Anda di halaman 1dari 32

PETUNJUK TEKNIS

PEMBENIHAN UDANG GALAH


SKALA RUMAH TANGGA
Ikhsan Khasani,Yogi Himawan, Rommy Suprapto, Asep Sopian

BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN


PUSAT RISET PERIKANAN BUDIDAYA
LOKA RISET PEMULIAAN DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN
AIR TAWAR, SUKAMANDI
2010
BAB 1
PENDAHULUAN

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan spesies asli Indonesia


dan menjadi salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya air tawar di
Indonesia (Budiman, 2004), serta telah dikembangkan di banyak negara di benua
Asia, Afrika dan Amerika (Yakoeb, 1989, New, 2002, Wowor & Ng, 2007). Budidaya
udang galah sebenarnya sudah berjalan lebih dari tiga dekade, dan mulai dilakukan
secara intensif pada awal tahun 1990-an. Pasang surut budidaya udang galah tak
terlepas dari permasalahan dalam pasokan benih dan kecenderungan pasar
terhadap produk perudangan. Udang tawar yang dikenal sebagai ”baby lobster”
memiliki beberapa kelebihan, di antaranya pertumbuhan yang cepat, mampu hidup
pada perairan tawar hingga payau salinitas rendah, serta belum terlalu bermasalah
dengan penyakit. Namun demikian, pada segmen pembenihan dihadapkan pada
permasalahan sintasan yang rendah yang berdampak pada biaya produksi tinggi,
sehingga sebagian unit pembenihan udang galah pemerintah dan swasta beralih
fungsi menjadi unit produksi benih udang windu dan vaname.
Produk utama pada kegiatan pembenihan udang galah adalah udang stadia
pasca larva umur sepuluh hari (PL-10) yang sudah siap tebar, baik untuk kolam
tawar maupun payau. Umumnya benih ini memiliki panjang total berkisar antara 10
– 11 mm dengan morfologi sudah lengkap seperti udang dewasa. Pada kebanyakan
hatchery udang galah baik milik pemerintah (BBUG, UPUG) maupun swasta derajat
sintasan yang diperoleh masih tergolong rendah, berkisar pada angka 15 – 30%.
Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi benih ukuran tersebut juga relatif
panjang yaitu 35 – 55 hari bahkan bisa mencapai 40 hari. Informasi yang penulis
peroleh dari beberapa negara yang mengembangkan udang galah seperti Malaysia,
Vietnam dan Laos juga menyatakan bahwa sintasan yang diperoleh pada kegiatan
pembenihan sangat fluktuatif berkisar antara 20 – 40% dengan lama waktu
pemeliharaan mencapai 35 hari.
Melalui penerapan intensifikasi, diantaranya bentuk wadah kerucut (Gambar
1.) ternyata dapat diperoleh derajat sintasan yang sangat menggembirakan, yaitu
berkisar antara 40 – 50%. Pertumbuhan larva udang galah juga lebih cepat
sehingga waktu yang dibutuhkan juga lebih singkat, yaitu berkisar antara 30 – 35
hari dengan performa benih yang lebih seragam. Tentunya dengan peningkatan
kelangsungan hidup dan pengurangan waktu maka keuntungan yang dapat
diperoleh juga akan jauh meningkat. Secara ringkas, petunjuk teknis ini akan
memaparkan langkah-langkah menggapai kesuksesan pada pembenihan udang
galah, yang meliputi: penentuan lokasi dan disain hatchery, induk udang galah,
pemeliharaan larva, manajemen kualitas air, manajemen pakan, dan penanganan
pasca larva (pl).

Gambar 1. Bak corong pemeliharaan larva


BAB 2
PENENTUAN LOKASI DAN DISAIN HATCHERY

Lokasi Pembenihan

Pembenihan udang galah sebaiknya dilakukan pada daerah yang didukung


oleh infrastrktur yang baik, termasuk di antaranya adalah tersedia jaringan listrik
pemerintah agar biaya listrik dapat ditekan, dekat akses jalan, terjamin keamanan,
dan dekat sumber air laut dan air tawar. Pembenihan udang galah sistem ganti air
mutlak membutuhkan banyak air laut, sehingga lokasi bangunan lebih disarankan
dekat dengan pantai. Namun demikian, apabila hatchery dibangun di daerah
perkolaman pembesaran udang galah maka sistem pengelolaan air yang baik harus
dilakukan, salah satu metode yang biasa dikembangkan melalui sistem resirkulasi
secara terbuka (open recirculation system).

Desain hatchery

Pembenihan skala rumah tangga dapat dilakukan dalam hatchery yang relatif
sederhana dan tidak terlalu rumit. Guna memudahkan dalam operasional
pembenihan, maka penataan ruang, wadah dan alat bantu harus dikondisikan secara
baik. Berikut contoh desain hatchery pembenihan yang sederhana :
BAB 3

INDUK UDANG GALAH

Seleksi Induk
Salah satu faktor penentu keberhasilan pembenihan udang galah dimulai dari
kualitas induk yang baik secara genetip dan fenotip, sehat, dan tidak cacat.
Sebelum melakukan pemijahan, sebaiknya dilakukan seleksi induk yang baik
sehingga diharapkan akan diperoleh larva yang berkualitas baik. Langkah memilih
induk udang galah yang baik untuk pemijahan diantaranya adalah :
1. Menangkap induk-induk udang galah dalam bak penampungan induk secara
hati-hati dengan menggunakan seser, kemudian ditampung dalam baskom
plastik besar yang terpisah antara jantan dengan betina.
2. Memilih induk betina udang galah dengan ketentuan :
― Ukuran bobot minimum 40 g untuk udang umur 6 bulan.
― Telah cukup matang gonad, ditandai dengan ovarinya yang berwarna
kekuningan
― Sehat dan tidak cacat.
3. Memilih induk jantan udang galah dengan ketentuan :
― Ukuran bobot minimum 50 g untuk udang umur 6 bulan.
― Sehat, tidak cacat dan bercapit biru besar (blue claw male)

(A) (B)
Gambar 2. Induk betina yang telah matang gonad (A) dan Induk jantan yang normal
dan sehat (B).
Menangkap induk udang Menempatkan induk secara terpisah

Induk jantan dan betina yang normal dan sehat


Gambar 3. Rangkaian seleksi induk udang galah untuk pemijahan

Pemijahan
Pemijahan udang galah dilakukan untuk memperbanyak dan meremajakan
populasi sehingga ketersediaan dan kualitasnya tetap terjaga. Pemijahan udang
galah dapat dilakukan dalam galur murni maupun persilangan antar populasi.
Hindari pemijahan induk dengan hubungan kerabat dekat (inbreeding). Prosedur
pemijahan udang galah diantaranya :
1. Mempersiapkan bak atau kolam pemijahan. Apabila pemijahan dilakukan
dalam bak maka bak terlebih dahulu dibersihkan, dipasang instalasi air dan
aerasi, ditempatkan naungan atau shelter , diisi air setinggi 50 - 80 cm. Pada
sistem produksi skala besar dan kontinyu pemijahan sebaiknya dilakukan di
kolam yang sebelumnya telah dipupuk.
2. Memasukkan induk betina dan jantan dengan rasio 3 betina ; 1 jantan.
Kepadatan maksimal 5 ekor/m2
3. Memberikan pakan, pelet dan cumi, sejumlah 3% perhari, 3 kali per hari.
4. Menyipon kotoran dalam bak setiap hari, pada sore hari dan mengganti air
baru sebanyak 10% volume.
5. Setalah 2 minggu dilakukan pengangkatan induk.
Induk jantan dan betina Bak pemijahan

Proses pemijahan
induk betina bertelur

Gambar 4. Rangkaian pemijahan induk udang galah pada bak dengan rasio jantan
dan betina 1:3

Inkubasi Telur
Setelah melalui proses pemijahan, induk betina akan membawa telur yang
terdapat pada broodchamber. Selama masa pengeraman, telur udang galah akan
mengalami perubahan warna sesuai perkembangan embrionya. Perubahan warna
yang terjadi pasca pembuahan hingga siap menetas adalah kuning, jingga/oranye,
cokelat/abu-abu tua. Induk udang galah yang sedang mengerami telur berwarna
cokelat diambil dan ditempatkan dalam corong penetasan hingga semua telur
menetas. Umumnya, telur yang berwarna cokelat akan menetas selama kurang lebih
3-4 hari masa inkubasi. Prosedur penetasan telur udang galah diantaranya adalah :
1. Mempersiapkan bak penetasan telur (inkubasi) yang berupa bak fiberglass,
membersihkan bak, memasang instalasi air dan aerasi dan mengisi bak dengan
air tawar setinggi 30 – 50 cm.
2. Menangkap secara hati-hati induk betina yang telah memijah dengan massa telur
dalam kantung pengeraman yang telah berwarna kecokelatan dengan
menggunakan seser, selanjutnya ditampung dalam baskom plastik besar.
3. Memasukkan induk betina yang terpilih kedalam bak inkubasi, masing-masing 1
ekor induk untuk setiap bak.
4. Memberi pakan harian berupa potongan cumi, dilakukan 3 kali per hari, sebanyak
3% bobot udang.
5. Memeriksa/monitoring untuk mengetahui terjadinya penetasan telur.

(A) ( B)
Gambar 5. Telur yang berwarna cokelat dan siap ditetaskan (A) serta corong
penetasan telur (B)
BAB 4
PEMELIHARAAN LARVA

Larva udang galah merupakan organisme yang sangat sensitif dan rentan
terhadap perubahan lingkungan. Kegagalan yang sering dialami oleh para pembenih
udang galah kebanyakan disebabkan oleh kanibalisme larva dan serangan penyakit.
Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut maka langkah-langkah berikut harus
dicermati dan dijalankan.

Higienis

Udang galah dalam proses pertumbuhannya selalu dibarengi dengan


peristiwa ganti kulit (moulting). Pada kondisi moulting larva udang sangat lemah dan
rentan terhadap keberadaan patogen. Oleh karena itu maka upaya pencegahan
terhadap masuknya agen penyakit harus dilakukan secara disiplin. Hal-hal yang
harus selalu dibersihkan dan disucihamakan (desinfektasi) adalah alat-alat bantu
seperti selang sipon, waskom, gelas pengamatan, sendok, lantai ruangan, dan
tentunya tenaga pelaksana. Melalui pencegahan sedini mungkin diharapkan jasad
patogen tidak akan masuk ke lingkungan pemeliharaan larva (hatchery).

Gambar 6. Desinfektasi wadah dan peralatan pembenihan dalam larutan kaporit 20


mg/L sebelum alat digunakan

Keberhasilan pembenihan udang galah tentunya tidak terlepas dari kualitas


larva yang digunakan dan cara penanganan larva sebelum dipelihara. Larva udang
galah yang diperoleh dari induk hasil seleksi, induk unggul, lebih berpeluang besar
memberikan hasil yang tinggi dibandingkan larva dari induk yang tidak jelas
kualitasnya. Demikian pula larva dari induk hasil budidaya juga memiliki kecepatan
tumbuh lebih baik sehingga periode pembenihan yang diperlukan lebih singkat,
dengan resiko kanibalisme lebih kecil (Yakoeb, 1989; Imron dkk, 2008). Sebagian
besar pembenih udang galah kurang mengindahkan asal usul induk yang digunakan,
sehingga resiko digunakannya larva yang telah mengalami inbreeding (kawin
sesama kerabat dekat) sangat tinggi. Penggunaan larva yang diperoleh dari induk
yang telah terbuahi di kolam pembesaran beresiko tinggi mengalami penurunan
mutu genetis karena inbreeding, sehingga larva tumbuh lambat, daya adaptasi
rendah serta rentan terhadap perubahan lingkungan dan infeksi patogen.
Faktor lain yang cukup berpengaruh terhadap kualitas larva adalah cara
penanganannya. Biosekuriti sebaiknya diterapkan pada semua aspek dan
komponen pembenihan, termasuk larva yang digunakan. Desinfektasi larva
dilakukan dengan merendam larva dalam larutan formaldehid 200-250 ml/l selama
30 detik, selanjutnya dibilas dengan air tawar steril. Larva kemudian ditempatkan di
stoples, biarkan selama 2-3 menit. Hanya larva yang sehat, dengan ciri berenang
aktif, yang dipilih untuk dipelihara. Larva yang berada di dasar wadah
mengindikasikan bahwa larva tersebut lemah, dan tidak layak dipelihara,

Pemanenan Larva

Setelah semua telur yang dierami menetas, dilakukan pemanenan larva dari
corong penetasan. Berikut langkah-langkah pemanenan larva :
1. Menyiapkan air payau 5‰ sebagai media penampungan larva,
dimasukkan dalam stoples plastik bervolume 5-10 liter.
2. Memindahkan induk yang telurnya telah menetas dari bak inkubasi.
Menyedot larva bersama air dalam bak inkubasi dengan menggunakan
selang sipon dan ditampung dalam baskom/ember yang telah dilengkapi
plankton net sebagai saringan.  
3. Memasukkan larva hasil penyaringan ke dalam stoples plastik dan
diaerasi. 

(A) (B) (C)


Gambar 7. Pemanenan larva menggunakan selang (A), larva hasil panen dalam
stoples 5 liter (B) dan larva umur 1 hari.
Penanganan dan Penghitungan Larva Udang Galah
Pasca pemanenan larva udang dari corong penetasan dilakukan penanganan
melalui desinfektasi dan dilanjutkan dengan penghitungan jumlahnya. Desinfektasi
larva dilakukan dengan maksud menyeleksi larva yang lemah sehingga pada saat
pembenihan hanya larva yang normal dan sehat saja yang digunakan. Prosedur
penanganan larva diantaranya :
1. Mendesinfektan larva udang galah hasil pemanenan, dengan rangkaian
sebagai berikut: menampung larva dalam seser halus, mensterilkan larva
dengan merendam dalam larutan formaldehid 200 – 250 mg/L selama 30
detik, dengan aerasi cukup. Membilas larva dengan air payau steril.
2. Menampung larva dalam stoples plastik bervolume 5 liter yang diisi air
payau, menyipon larva yang mati dan kotoran di dasar stoples,
selanjutnya menghomogenkan larva dengan cara diaerasi secara merata.
3. Mengambil 10 mL sampel dari stoples plastik tersebut dan ditampung
dalam mangkuk plastik, diulang minimal 3 mangkuk.
4. Sampel larva dalam mangkuk plastik ditambah air dengan salinitas yang
sama (5‰) agar memudahkan dalam proses penghitungan dengan
menggunakan bantuan sendok plastik.
5. Menghitung jumlah larva hasil sampling 10 mL tersebut dengan cara
mengambil larva dalam mangkuk plastik tersebut dan memindahkan ke
mangkuk plastik yang lain dengan menggunakan sendok plastik. Untuk
mempermudah dan meningkatkan ketelitian proses penghitungan dapat
digunakan handcounter.
6. Prosedur no. 2 – 4 di atas diulang minimum sebanyak 3 kali untuk
meminimumkan terjadinya bias dan meningkatkan akurasi.
7. Jumlah larva dihitung dengan mengalikan rata-rata jumlah larva hasil
beberapa kali sampling dalam media bervolume 10 mL tersebut dengan
volume total media (5 L), atau dengan rumus sebagai berikut.

Jumlah larva = rata-rata jumlah larva hasil sampling x 5.000 mL


10 mL
(A) (B) (C)
Gambar 8. Larva udang dalam stoples 5 L (A) disampling dalam mangkuk (B) dan
dihitung hingga didapat estimasi jumlahnya (C).

Penyiapan Air Media Pemeliharaan Larva Udang Galah 

1. Menentukan kebutuhan air yang akan dibuat, untuk menghitung jumlah


air laut dan air tawar yang diperlukan, dengan rumus S1 x V1 = S2 x V2.
(S1 = salinitas air laut, V1 = Voume air laut yang diperlukan, S2 =
Salinitas air payau yang akan dibuat, V2 = Volume air payau yang akan
dibuat)
2. Menyedot air laut dan tawar sesuai perhitungan, dan ditampung dalam
bak aklimatisasi.
3. Mensterilkan air dengan sistem intensif, menggunakan kombinasi UV,
ozon, dan filter aktif, dengan cara melewatkan air payau ke dalam sistem
sterilisasi. Sterilisasi dapat pula dilakukan dengan sistem klorinasi
menggunakan larutan klorin (natrium hypochlorite, bahan aktif 60%),
dengan dosis 10 mg/L. Larutkan bubuk kaporit, taburkan ke media air
payau, biarkan 12 jam. Aerasi air payau secara merata selama minimal
24 jam hingga residu klorin hilang. Air siap digunakan untuk memelihara
larva dan menetaskan kista artemia. Guna lebih aman, test residu klorin
dengan klorin test.
Gambar 9. Alur persiapan media pemeliharaan larva udang galah sistem corong

Pemeliharaan Larva Udang Galah


Pemeliharaan larva udang galah dapat dilakukan ketika larva sudah
tersedia dan media pemeliharaan telah siap digunakan. Kepadatan larva yang
digunakan adalah 50 ekor/L air payau 10 ppt dan dilengkapi heater dan instalasi
aerasi. Pada pemeliharaan larva dalam wadah corong dan fiber, diaplikasikan
metode penggantian air (Clear Water exchange) untuk menjaga kualitas air
media. Berikut prosedur pemeliharaan larva udang galah:

1. Mempersiapkan bak pemeliharaan larva yang berupa bak fiberglass atau


bak semen terlebih dahulu, disterilisasi/desinfeksi dengan kaporit,
instalasi aerasi disetting, dan diisi dengan air payau bersalinitas 10‰
sebagai media pemeliharaan larva. Water heater thermostat diatur pada
suhu 30 oC.
2. Menyeterilkan semua alat bantu dengan merendam dalam larutan kaporit
dosis 10 mg/L, dibilas dengan air tawar steril.
3. Melakukan langkah biosecurity, dengan cara melengkapi pintu masuk
hatchery dengan bak perendaman kaki yang diisi larutan kaporit dosis 10-
20 mg/L, sebagai langkah preventif (biosecurity), demikian pula lantai
hatchery selalu dibersihkan. Sediakan pula ember berisi larutan
desinfektan untuk mencuci tangan sebelum melakukan aktivitas
pembenihan.
4. Menebar larva udang galah ke dalam bak pemeliharaan larva dengan
kepadatan 50 ekor per liter.
5. Pakan berupa nauplii Artemia sp. diberikan sejak hari ke-2 dan
seterusnya. Setelah memasuki umur 10 hari atau sejak perkembangan
larva mulai memasuki stadium 7 dikombinasikan dengan egg custard.
Egg custard diberikan setiap hari sampai pemanenan, diberikan sebanyak
3 kali, yakni pada pagi hari (pukul 10.00), siang hari (pukul 12.00 dan
pukul 14.00). Nauplii Artemia sp. diberikan pada sore hari (pukul 16.00).
6. Menyipon kotoran setiap hari sejak larva diberi pakan egg custard.
Penyiponan dilakukan pada sore hari sebelum pemberian nauplii Artemia
sp.
7. Menambahkan sejumlah air setiap hari untuk mengganti volume air yang
berkurang pada saat penyiponan. Penggantian air secara rutin mulai
dilakukan sejak larva diberi pakan egg custard. Namun demikian, bila
pada minggu pertama kadar amonia atau nitrit cukup tinggi penggantian
air harus dilakukan.
8. Memonitor suhu, pH, salinitas setiap hari, sedangkan kadar amonia dan
nitrit diukur setiap 3 hari dengan test kit atau spektrofotometer
9. Lama periode pemeliharaan larva udang galah berkisar 25 – 30 hari.
Pemanenan dilakukan saat populasi pascalarva (PL) telah mencapai
sekitar 80%.
(A) (B)

(D)
(C)
Gambar 10. Beberapa bentuk dan warna wadah pemeliharaan larva udang galah,
corong fiber (A), Bak Fiber (B&D), dan bak beton (C).

Pengamatan Stadia Larva


Pertumbuhan Larva Udang Galah ditunjukkan dengan perkembangan stadia
larva. Pengamatan perkembangan larva perlu dilakukan untuk mengetahui kemajuan
dan pertumbuhan larva. Untuk mencapai stadia pasca larva, larva tersebut akan
mengalami 11 stadia. Pada setiap stadia terdapat perbedaan-perbedaan morfologis
yang menandakan ciri khas setiap stadia.
Setiap pengamatan 20 ekor larva diambil secara acak dan diamati di bawah
microskop binokuler yang dilengkapi dengan mikrometer. Berdasarkan pengamatan
perkembangannya stadia larva di peroleh nilai LSI ( Larva Stege Index ). Nilai LSI
merupakan indikator dari pertumbuhan larva. Penghitungan LSI dapat menggunakan
rumus sebagai berikut :
(n1 xa ) + (n2 xb ) + K + (nn xk )
LSI =
N

Keterangan :
A,b….k = Stadia larva, yaitu stadia I – II
n1,n2….nn = Jumlah larva yang dilihat pada stadium yang sama
N = Jumlah total larva yang diamati
Larva udang galah Mikroskop Larva teramati

Gambar 11. Pengamatan stadia larva udang galah

Ciri-ciri morfologi pada masing-masing stadia larva udang galah


Umur (hari)
Stadium Ciri khas
1–2
1 Mata masih menempel
2–4
2 Mata sudah bertangkai
Uropoda sudah terpisah menjadi 2 dan rostrum 1
3–6
3
lekukan
Kaki jalan ke-4 sudah terbentuk, uropoda terpisah 4 – 10
4
dan melebar, rostrum 2 lekukan (berduri 2)
Kaki jalan ke-4 bertambah panjang, telson dari 6 – 12
5
pangkal ke ujung lurus
6 Tunas kaki renang mulai terbentuk 9 – 14

7 Kaki renang mulai bercabang 15 – 16

8 Kaki renang luar berambut (ditumbuhi setae) 16 – 18


Kedua kaki renang (endopoda dan eksopoda) 17 – 20
9
ditumbuhi setae
10 Rostrum atas bergerigi 3-5 19 – 22

11 Rostrum atas bergerigi 7-11 22 - 26


Rostrum atas dan bawah bergerigi, bentuk
PL
sempurna seperti udang dewasa

Stadia 1-11 larva udang galah dengan karakteristik pada masing-masing stadia:
BAB 5
MANAJEMEN KUALITAS AIR

Larva udang galah hidup di air payau bersalinitas (kadar garam) 10 – 15


permil, yang dibuat dengan cara mencampurkan sejumlah tertentu air laut dengan air
tawar. Sebelum digunakan air harus dipastikan bebas dari jasad renik
(mikroorganisme) dengan cara disucihamakan. Metode sterilisasi media
pemeliharaan dapat dilakukan baik dengan klorinasi, ozonisasi maupun ultra violet.
Sterilisasi dengan kombinasi ultra violet dan ozonisasi dirasa paling efektif. Namun
untuk pembenihan skala rumah tangga metode klorinasi (menggunakan Natrium
Hipoklorit) dipandang lebih memungkinkan karena lebih murah. Sebelum air
digunakan sebagai media pemeliharaan larva pastikan terlebih dahulu sudah tidak
mengandung residu klorin. Cara praktis untuk menghilangkan residu klorin adalah
dengan cara mengaerasi air selama minimal 24 jam. Untuk lebih amannya dapat
dilakukan pengukuran residu klorin dengan klorin test kit.
Monitoring kualitas air sebaiknya dilakukan secara periodik untuk
menghindari kematian larva karena penurunan kualitas air. Apabila air media sudah
mengalami penurunan kualitas maka dapat diantisipasi dengan mengganti sebagian
air. Untuk para pembenih yang sudah cukup berpengalaman biasanya akan
melakukan penggantian air beberapa kali khususnya setelah larva sudah diberi
pakan buatan. Walaupun ada beberapa teknis pengelolaan air media pemeliharaan
larva, yaitu resirkulasi, penggunaan probiotik dan sistem ganti air, namun metode
terakhir diketahui lebih praktis dan mudah diterapkan bagi pembenih sekala rumah
tangga.

Gambar 11. Unit Pengolahan air media pemeliharaan larva udang galah
(A) (B)

(C)

Gambar 13. Beberapa peralatan pemantau kualitas air, Spektrofotometer (A), Water
Quality Checker (B), dan Test Kit pH, amonia dan nitrit (C)

Udang galah memiliki persyaratan kualitas air yang optimum untuk


kehidupannya. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar larva dapat tumbuh
optimal. Peran kualitas air sangat vital dalam menunjang kelulushidupan serta
pertumbuhan larva karena air merupakan media tempat larva tumbuh dan
berkembang. Berikut beberapa parameter kualitas air optimum yang dibutuhkan
larva udang galah :
Salinitas : 10 -15 ‰
pH : 6.5 - 8.5
Suhu : 29 – 31o C
DO : > 5 ppm
Nitrit : < 0,3 mg/L
Nitrat : < 3 mg/L
Alkalinity : 60 - 100 mg/L
Amonia : < 1,0 mg/L
Wadah : kerucut/corong/fiber lebih baik, warna latar gelap.
Intensitas cahaya :3000 Lux, 12 – 18 jam
Selain kualitas air, intensitas cahaya wajib diperhatikan karena juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan larva. Udang galah merupakan salah
satu spesies yang bersifat sensitif pada cahaya dan nocturnal atau aktif bergerak
pada malam hari, namun juga tidak dapat tumbuh optimal pada kondisi kurang
cahaya sehingga pengaturan intensitas cahaya wajib dilakukan khususnya pada fase
pembenihan.

Gambar 13. Beberapa cara pengaturan intensitas cahaya pada beberapa hatchery
udang galah
BAB 6
MANAJEMEN PAKAN

Manajemen pakan yang baik merupakan kunci utama dalam pembenihan


udang galah. Selama pembenihan larva udang galah diberi pakan berupa naupli
artemia dan pakan buatan. Kekurangan jumlah pakan akan menyebabkan larva
lambat tumbuh dan terjadinya kanibalisme sesama larva. Sebaliknya pemberian
pakan yang berlebih selain akan meningkatkan biaya produksi dan akan
meningkatkan resiko penurunan kualitas media pemeliharaan, yang memicu
berkembangnya jasad patogen dan mengancam kegiatan pembenihan. Teknik
pemberian pakan yang baik, waktu dan jumlah pemberian yang tepat serta
komposisi nutrien yang seimbang tentunya akan menjamin keberhasilan selama
pembenihan udang galah.

Pakan Alami: Naupli Artemia

Jenis pakan alami yang umum digunakan dalam pembenihan udang galah
adalah naupli Artemia. Meskipun neonatus Moina dan Daphnia dapat digunakan
sebagai pakan larva, namun karena Artemia memiliki banyak kelebihan, mudah
dalam penyediaan, nutrisi lebih tinggi, dan lingkungan salinitas lebih sesuai (mampu
hidup di media pemeliharaan larva udang galah), maka penggunaan pakan alami
tawar tersebut kurang populer.

Gambar 14. Nauplii artemia sp. yang telah menetas dan siap diberikan pada larva
udang galah
Artemia merupakan produk impor yang harganya relatif mahal, sehingga
penghematan melalui teknik penetasan dan penggunaan yang benar harus
dijalankan sebaik mungkin. Cara penetasan artemia sangat mempengaruhi daya
tetas dan kualitas naupli yang diperoleh. Salah satu metode penetasan kista artemia
yang diketahui memberikan daya tetas tinggi dan nilai nutrisi optimal adalah melalui
hidrasi dan dekapsulasi (pemilihan kista yang baik dan penipisan cangkang kista
artemia). hidrasi dilakukan dengan merendam kista artemia dalam air tawar atau air
asin selama 1-2 jam, dengan suplai aerasi kuat. Setelah waktu perendaman
tersebut aerasi dimatikan, dibiarkan sekitar 5 menit, untuk selanjutnya kista yang
mengapung (kista kosong) dibuang melalui aliran air. Sedangkan dekapsulasi
dilakukan dengan merendam kista artemia dalam larutan klorin dosis 0,5 g bahan
aktif untuk setiap 1 g kista Artemia selama beberapa saat hingga warna kista
berubah menjadi orange, selanjutnya dibilas dengan air tawar steril dan artemia siap
ditetaskan. Melalui penipisan cangkang maka energi yang diperlukan oleh embrio
artemia untuk memecahkan cangkang lebih sedikit dibanding tanpa dekapsulasi,
sehingga cadangan nutrisi yang tersedia lebih banyak. Dekapsulasi juga berfungsi
pula untuk mematikan mikroorganisme yang berpotensi menjadi patogen bagi larva.
Mengingat larva udang galah ukurannya sangat kecil, maka naupli artemia
yang digunakan harus yang masih baru menetas, neonatus. Naupli artemia dengan
umur muda memiliki banyak kelebihan, di antaranya gerakannya lambat sehingga
mudah ditangkap larva udang, ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva udang,
nilai nutrisinya masih tinggi (Yacoeb, 1999). Dalam rangka penyediaan naupli
artemia dengan ukuran tersebut, maka sebaiknya penetasan artemia dilakukan dua
kali, yaitu penetasan untuk penyediaan naupli waktu pagi, dan penetasan untuk
pemberian pakan sore.

Gambar 15. Berbagai produk artemia yang dijual di pasaran


Berbagai produk artemia beredar di pasaran, sehingga kejelian dalam
memilih akan memberikan dampak terhadap kualitas artemia yang diperoleh.
Beberapa produk menawarkan artemia dengan harga lebih murah, dengan
konsekuensi daya tetas (hatching rate) lebih rendah, sekitar 80%. Komposisi produk
artemia tersebut umumnya terdiri atas kista yang didalamnya terkandung embrio,
dan sebagian kecil lainnya merupakan kista kosong. Masuknya kista kosong ke
dalam sistem pemeliharaan larva harus dihindari karena berpotensi sebagai media
penempelan mikroorganisme. Teknik sederhana untuk mengurangi resiko
pengotoran media pemeliharaan larva oleh kista kosong tersebut adalah melalui
perendaman (hidrasi) terlebih dahulu ke dalam air tawar sebelum proses
dekapsulasi. Perendaman kista artemia dilakukan sekitar 30-60 menit dengan
sistem aerasi merata hingga semua kista teraduk dan proses penyerapan air
berjalan baik. Kista yang kosong akan mengapung di permukaan. Setelah waktu
tersebut, aerasi dimatikan, biarkan 3-5 menit, selanjutnya kista yang mengapung
dialirkan keluar dengan memiringkan ember perendaman. Jumlah atau prosentase
kista yang kosong mengindikasikan kualitas produk artemia.
Prosedur penetasan kista artemia sebagai berikut :

1. Merendam 10 g kista Artemia sp. dalam 10 L air tawar (dalam stoples),


kemudian diaerasi selama 1 jam.
2. Mematikan aerasi dan biarkan selama ± 5 menit.
3. Membuang kista yang mengapung.
4. Menampung kista dalam seser halus atau plankton net
5. Merendam kista dalam larutan 300 mL/l klorin sampai kista berwarna orange,
bilas dengan air tawar steril.
6. Memasukkan kista tersebut ke dalam corong penetasan berisi 20 L air payau
15‰.
7. Memasang aerasi dengan kekuatan sedang selama 18-20 jam.
8. Memanen nauplii Artemia sp. dengan cara :
― Mematikan aerasi, menyalakan lampu, biarkan selama 5-10 menit.
― Membuka kran pada bagian bawah bak penetasan, ditampung dalam
plankton net.
― Membilas dengan air tawar steril.
― Menampung nauplii Artemia sp. dalam 20 L air payau 10‰.
― Memasang aerasi dengan kekuatan sedang.
Corong penetasan kista Artemia sp. Pemanenan nauplii

Nauplii yang siap diberikan Nauplii Artemia sp yang telah dibersihkan

Gambar 16. Prosedur penetasan kista artemia melalui teknik hidrasi

Setelah kista menetas dan menjadi nauplii, langkah selanjutnya adalah


melakukan penghitungan jumlah nauplii untuk menyesuaikan dosis pemberian
kepada larva melalui metode sampling. Penghitungan nauplii Artemia sp. dilakukan
dengan teknik random sampling, minimum 3 kali pengambilan sampel yang terdiri
dari bagian atas, tengah dan bawah media penampungan. Alat bantu sampling yang
digunakan dapat berupa pipet volumetrik (10 mL) atau beaker glass (100 mL).
Apabila artemia masih terlalu padat sehingga sulit dihitung, maka dilakukan
pengenceran 100-1.000 kali.

Contoh sampling dengan pipet 10 mL:


Misal sampling I: 50 ekor Maka rata-rata artemia dalam 1 mL adalah
II: 60 ekor (50 + 60 + 70) : 3 = 60 ekor/10 mL
III: 70 ekor Jadi kepadatan artemia = 6 ekor/mL
Apabila larva yang dipelihara sebanyak 5.000 ekor dalam setiap bak fiberglas
kerucut bervolume 50 liter, dan larva berumur 4 hari, dengan pemberian pakan waktu
pagi 3 ekor nauplii Artemia/larva, maka kita harus memberi pakan Artemia sebanyak
= 5 ekor nauplii x 5.000 = 25.000 naupli Artemia. Karena dalam 1 mL media
penampungan Artemia terdapat 6 ekor nauplii, maka jumlah Artemia yang diberikan
sebanyak 25.000 : 6 = 4.200 mL biakan artemia.
Tabel 1. Dosis pemberian nauplii artemia untuk larva udang galah

Artemia / ekor larva Egg custard (mg) / 1000 ekor larva


Umur (hari)
08.00 16.00 10.00 12.00 14.00
2 1 5 - - -
3 2 6 - - -
4 3 10 - - -
5 3 11 - - -
6 4 14 - - -
7 5 15 - - -
8 6 20 - - -
9 8 24 - - -
10 8 24 30 10 10
11 8 26 30 10 10
12 9 27 30 10 10
13 9 29 30 15 15
14 10 30 40 20 25
15 ― 19 11 34 50 20 20
20 12 38 60 20 20
21 ― PL 12 38 70 25 25
- - - 80 25 25
- - - 80 30 30
- - - 90 30 30
- - - 100 30 30
- - - 100 35 35
- - - 100 40 40
- - - 150 50 50
- - 150 50 50

Pakan buatan (egg custard)

Penggunaan pakan buatan dalam bentuk adonan roti (egg custard) sudah
menjadi pedoman umum dalam pembenihan udang galah baik sekala nasional
maupum internasional. Pakan buatan mulai diberikan pada larva stadia 6 atau
setelah larva dipelihara 9 hari. Setelah melalui serangkaian penelitian telah
diperoleh beberapa formula pakan buatan yang mampu menjadi substitusi Artemia
dalam pembenihan udang galah. Secara umum, formula pakan buatan terdiri atas
telur, susu, daging ikan atau udang, bahan pengikat, vitamin, dan mineral. Sebagian
besar formula pakan buatan yang telah dipublikasikan memiliki kandungan protein
kasar di atas 50% sehingga sangat baik untuk memacu pertumbuhan larva.
Gambar 17. pakan buatan (Egg custard), pakan tambahan larva udang galah
Mengingat ukuran pakan sangat berpengaruh terhadap efektifitas makan
larva, maka dalam penyediaanya egg custard harus mengalami perlakuan sehingga
ukurannya sesuai bagi larva dengan umur tertentu melalui teknis penyaringan
dengan jenis saringan berbeda. Secara sederhana saringan yang digunakan terdiri
atas 3 jenis, yaitu saringan teh, saringan kelapa bermata saring kecil, dan saringan
kelapa bermata saring lebih besar.
Mengingat egg custard memiliki kandungan protein tinggi dan mudah larut
dalam air maka penggunaanya harus bijak sehingga tidak mengotori media
pemeliharaan larva yang berakibat pada meningkatnya kadar amonia, nitrit, dan
asam sulfida dan beresiko mematikan larva. Pakan buatan diberikan sedikit demi
sedikit dengan frekuensi pemberian tiap 2 jam selama siang hari, sementara selama
malam hari larva diberi pakan naupli artemia dalam jumlah memadai.
Berikut cara pembuatan egg custard :
1. Membersihkan cumi, selanjutnya mengukus selama 10 menit, lalu
ditiriskan. Selanjutnya, menghaluskan cumi dengan blender sampai
halus.
2. Mencampur secara merata bahan-bahan baku egg custard, yakni cumi,
susu, kuning telur dan tepung terigu dengan ditambah air secukupnya.
Kemudian adonan tersebut diblender lagi sampai benar-benar halus.
3. Memasukkan adonan yang sudah halus ke dalam loyang dan dikukus
sampai matang atau sampai adonan sudah terasa keras, kurang lebih
selama 1 jam dengan menggunakan kompor dengan nyala api sedang.
4. Mengangkat dan meniriskan adonan yang sudah matang (egg custard).
Setelah itu, dalam keadaan cukup panas membelah adonan berbentuk
kotak ukuran 2 x 2 cm.
5. Menambahkan multivitamin dengan cara menuangnya di atas andonan,
dan mengoleskan secara merata di permukaan adonan dan celah irisan.
Biarkan beberapa saat hinggá multivitamin terserap.
6. Menyimpan egg custard dalam freezer sehingga tidak rusak karena
mikroorganisme dan serangga. 
 

Gambar 18. Proses pembuatan egg custard

Pembersihan wadah pemeliharaan (penyiphonan)

Selama larva hanya diberi pakan naupli Artemia, biasanya kualitas air
masih dalam kisaran layak bagi kehidupan larva dan kegiatan pembersihan
(penyiponan) belum perlu dilakukan. Penyiponan harian dilakukan setelah
digunakannya pakan buatan, dan dilakukan pada sore hari menjelang pemberian
naupli artemia. Pembersihan dinding bak dilakukan hati-hati agar tidak menimbulkan
stres larva. Aerasi dimatikan terlebih dahulu, selanjutnya dinding bak dibersihkan
dengan pembersih bertekstur lembut yang terlebih dahulu disterilkan. Biarkan
selama beberapa menit sampai kotoran mengendap, selanjutnya dengan bantuan
selang steril kotoran disedot keluar, sementara air buangan ditampung dalam ember
yang dilengkapi saringan sehingga larva yang terbawa tidak terbuang. Larva yang
mengalami ganti kulit akan berada didasar bak dan terbawa saat penyiponan.
Selanjutnya larva yang masih sehat dikembalikan lagi ke bak pemeliharaan.

Gambar 19 Penyiponan dilakukan sebagai upaya mengurangi sisa pakan


BAB 7
PENANGANAN PASCA LARVA (PL)

Penempatan Naungan (shelter)


Setelah 20 hari pemeliharaan biasanya sebagian larva telah mencapai stadia
pasca larva (PL) dan berubah sifat dari planktonik (berenang pasif di permukaan )
menjadi bentik dan aktif berenang mengitari dinding wadah. Ketidakseragaman
waktu pencapaian fase PL memicu terjadinya kanibalisme PL terhadap larva, yang
berdampak terhadap menurunnya produktivitas pembenihan. Resiko tersebut dapat
diminimalisir dengan penempatan naungan (shelter) di bak pemeliharaan larva.

Gambar 20. Penempatan shelter sebagai tempat PL menempel dan memperluas


bidang permukaan

Panen Pasca Larva (PL)

Setelah sebagian besar, sekitar 80%, larva mencapai stadia PL maka panen
PL dapat dilakukan. Ada beberapa cara panen PL, di antaranya dengan
menggunakan seser bermata halus untuk memindahkan larva ke bak lain, menyedot
larva keluar bak, dan dengan cara mengalirkan air ke bak pemeliharaan larva
sehingga larva terbawa arus air keluar wadah pemeliharaan.
Pasca larva selanjutnya secara perlahan diberi pakan berupa pellet
berprotein tinggi berbentuk serbuk (crumble) dan naupli artemia hingga 5 hari.
Penyesuaian salinitas media pemeliharan dengan salinitas air kolam untuk
pendederan atau pembesaran udang galah dilakukan secara perlahan agar PL tidak
stres. Pasca larva umur 10 hari sudah mampu berenang cepat dan memiliki
adaptasi yang cukup bagus terhadap perubahan lingkungan sehingga siap dijual
atau dideder. Prosedur pemanenan larva pasca larva udang galah adalah sebagai
berikut :
1. Menyiapkan media pemeliharaan dengan salinitas 10‰ untuk penampungan
pasca larva hasil pemanenan. Suhu pada media penampungan diatur sama
dengan media pemeliharaan larva (berkisar 29-31˚C).
2. Proses pemanenan dilakukan dengan mematikan aerasi terlebih dahulu.
Selanjutnya, memindahkan terlebih dahulu populasi larva (yang masih tersisa
maksimum sebanyak 20%) yang berenang di bagian permukaan dengan
menggunakan seser dan ditampung pada baskom plastik secara terpisah.
3. Setelah semua larva yang tersisa telah diambil dari bak pemeliharaan larva,
langkah selanjutnya adalah menyipon kotoran dari air media pemeliharaan larva
secara perlahan-lahan dengan slang sipon.
4. Pada bagian ujung slang disaring dengan seser halus dengan beralaskan
baskom plastik.
5. Pada saat penyiponan, ketika air dalam corong pemeliharaan larva tinggal
sedikit, maka dialirkan air tambahan secara perlahan-lahan agar sisa pascalarva
seluruhnya habis tersedot. Selanjutnya, pascalarva ditampung dalam baskom,
kemudian dihitung jumlahnya.
6. Populasi larva dan pascalarva dipelihara lagi di tempat yang terpisah. Larva
dipelihara lagi dalam bak pemeliharaan larva. Pasca larva dipelihara dalam bak
penampungan.
7. Menurunkan salinitas media penampungan pasca larva secara perlahan-lahan,
maksimum sebesar 2‰ per hari hingga mencapai salinitas 0.
8. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan dalam bak penampungan berupa
pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang diberikan berupa nauplii
Artemia sp., yang selanjutnya secara bertahap diganti dengan kutu air (Moina sp.
dan Daphnia sp.). Pakan buatan yang diberikan berupa egg custard yang
selanjutnya secara bertahap diganti dengan pakan pelet bentuk tepung.
9. Setelah pasca larva mencapai salinitas 0 barulah PL siap ditebar ke kolam atau
bak pendederan.
Gambar 21. Pemanenan PL udang galah menggunakan selang
Pembenihan Skala Rumah Tangga
Pembenihan udang galah dapat dilakukan pada skala rumah tangga.
kelengkapan alat dan bahan tentu tidak akan sebesar pembenihan intensif maupun
semiintensif sehingga dapat dilakukan pada lokasi yang relatif lebih kecil. Peralatan
dan alat bantu yang harus disiapkan pada pembenihan skala rumah tangga
diantaranya :

NO JENIS ALAT JUMLAH FUNGSI


1. Fiber corong volume 100 L 20 buah Pemeliharaan larva
2. Blower 60 titik 2 buah Suplai oksegen
3. Genset 1 buah Cadangan listrik
4. Fiber corong volume 20 L 2 buah Penetasan artemia
5. Fiber/bak volume 2 ton 4 buah - Pemijahan
- Penampung air laut, tawar,
dan payau
6. Selang aerasi 1 gulung Aerasi
7. Unit filter air 1 unit Menyaring air
8. Ember, waskom, Secukupnya Panen benih, tampung
artemia
9. Seser larva, seser induk 3-5 buah Panen larva, panen PL,
pindahkan induk
10. Pembersih ruangan kerja 1 paket Menjaga kebersihan
lingkungan hatchery
11. Salinometer atau 1 buah Pengukur kadar garam air
refraktometer
12. pH meter atar pH test kit 1 buah Pengukur PH
13. Thermometer air 2 buah Pengukur suhu air
14. Timbangan bahan pakan 1 buah Menimbang bahan pakan
buatan
15. Kompor, panci 1 set Pembuatan pakan buatan
16. Mixer 1 buah Pembuatan pakan buatan
17. Saringan teh, sar. kelapa 2 buah Penyaring pakan buatan
18. Kulkas 1 buah Menyimpan pakan dan bahan
kimia
DAFTAR PUSTAKA

Budiman A.A., 2004. Perkembangan udang GIMacro di Indonesia. Proseding Temu


Nasional Udang Galah GIMacro, Yogyakarta, 22–23 Juni 2004: 11 hal.

Khasani, I. 2004. Intensifikasi pembenihan udang galah. Warta Penelitian


Perikanan. Pusat Riset Perikanan Budidaya.

New, M.B. 2002. Farming freshwater prawn, a manual for the culture of giant river
prawn (Macrobrachium rosenbergii ). FAO Fisheries Technical Paper, Rome:
xiii + 207 hlm.

Wowor, D. & P.K.L.Ng. 2007. The giant freshwater prawns of Macrobrachium


rosenbergii species group (Crustacea: Decapoda: Caridea: Palaemonidae).
The Raffles Bulletin of Zoology 55(2): 321−336

Yakoeb, A. 1989. Ternakan benih udang galah secara intensif. Jabatan Perikanan
Kementerian Pertanian Malaysia, Kuala Lumpur: iii + 49 hlm.

Anda mungkin juga menyukai