Anda di halaman 1dari 17

IDENTIFIKASI PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL

PADA ANAK DI BAWAH UMUR

Oleh

Eko Arie Pratama

H22113006

PROGRAM STUDI GEOFISIKA

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HASANUDDIN
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Anak yang merupakan generasi penerus bangsa, tentunya perlu mendapatkan pendidikan
yang baik agar potensi-potensi yang mereka miliki dapat berkembang pesat, sehingga akan
tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki berbagai macam kemampuan serta
ketrampilan yang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh sebab itu pihak keluarga, lembaga
pendidikan dan masyarakat harus ikut berperan dan bertanggung jawab dalam memberikan
berbagai bimbingan yang tepat sehingga akan tercipta generasi yang tangguh dan berkualitas.

Namun,dewasa ini dalam dunia anak terjadi berbagai macam fenomena negatif yang
mengusik kehidupan mereka.Berbagai penyimpangan sosial yang ada dalam masyarakat kita
sekarang ini semakin banyak terjadi dan sebagian besar menimpa anak-anak. Walaupun
undang-undang tentang penyimpangan tersebuttelah diterbitkan, para pelaku penyimpangan
sosial tetap saja berani untuk melakukan aksinya dimana pun, kapan pun dan kepada siapa pun,
terutama anak-anak.Salah satunya adalah masalah pelecehan seksual.Pelecehan atau kekerasan
seksual dewasa ini menjadi isu penting untuk dibahas.Ironisnya, rata-rata korban dari pelecehan
atau kekerasan seksual tersebut adalah anak-anak.Menurut data yang dikumpulkan dan
dianalisa oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), tercatat
21.689.797 kasus pelanggaran hak anak.Hampir separuh kasus merupakan kejahatan seksual
terhadap anak.Presentase setiap tahun untuk angka kekerasan seksual pada anak pun semakin
meningkat.

2. Rumusan Masalah

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa akhir-akhir ini jumlah kasus kekerasan seksual
terhadap anak di bawah umur makin meningkat? Bagaimana cara agar kekerasan terhadap anak
bisa diminimalisir?

3. Tujuan

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah mengetahui penyabab meningkatnya jumlah


kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur dan cara mencegahnya.
METODOLOGI

Identifikasi dilakukan dengan mengumpulkan data tindak kekerasan seksual terhadap


anak dari KPAI dan POLRI, Kemudian hasil penyidikan dari kasus kekerasan tersebut. Setelah
itu mencari beberapa sumber yang memberikan solusi atau cara menanggulangi atau mencegah
kekerasan tersebut terjadi.

Mulai

Referensi
Pengumpulan Data Kejadian
Pendukung
Informasi

Tidak sesuai Tidak sesuai

Verifikasi

Sesuai

Pengolahan

Hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan

Menurut data yang dikumpulkan dan dianalisa oleh Pusat Data dan Informasi Komisi
Nasional Perlindungan Anak (KPAI), tercatat 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak.Hampir
separuh kasus merupakan kejahatan seksual terhadap anak.Presentase setiap tahun untuk angka
kekerasan seksual pada anak pun semakin meningkat. Pada tahun 2012, sebanyak 2.637 kasus
dengan 41 persen kejahatan seksual pada anak, lalu pada 2013 jumlah kekerasan pada anak
memang menurun tapi persentase untuk kekerasan seksual melonjak, 60 persen dari kasus yang
terjadi. Data terakhir yang dimiliki Komnas Anak, pada Januari-Juni 2014 terdapat 1.039 kasus
dengan jumlah korban sebanyak 1.896 anak yang didominasi 60 persen diantaranya dalam
kasus kejahatan seksual. Rincian kasus menurut data yang berhasil dirangkum Harian Terbit,
berdasarkan catatan Komnas PA Januari-April 2014, terdapat 342 kasus kekerasan seksual
terhadap anak.Data Polri 2014, mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
terjadi di separuh tahun 2014.Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah
korban mencapai 859 orang.Sedangkan data KPAI dari bulan Januari hingga April 2014,
terdapat 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak.

Maraknya pelecehan seksual yang terus menerus terjadi mengakibatkan keresahan dari
masyarakat. Ajakan-ajakan melakukan hal yang negative seperti hubungan seks, dan terkadang
ada ancaman-ancaman jika ajakan pelaku tidak dipenuhi. Hal tersebut dikatakan pelecehan
seksual karena jika ada seseorang yang mengalami kejadian tersebut dan dia merasa malu,
marah, tersinggung atau benci, tentu hal itu sudah termasuk pelecehan seksual. Walau tidak
melakukan penyiksaan secara fisik, pelaku tersebut sudah membuat korbannya merasa
terganggu dan tidak nyaman.Tindakan ini dapat disampaikan secara langsung maupun implicit.
Namun ada yang berpendapat bahwa korban yang justru dianggap menimbulkan masalah
karena mungkin memberikan impuls-impuls dengan penampilan, sikap dan tindakan yang
membuat para pelaku tersugesti untuk melakukan pelecehan. Umumnya, para korban akan
tutup mulut yang terkadang hingga waktu yang sangat lama karena alasan-alasan tersebut, dan
adanya ketakutan ia akan kian menjadi sasaran pelecehan. Mereka tidak membicarakannya
dengan teman ataupun keluarga. Proses penyembuhan akan kian sulit ketika ada penyangkalan
dari institusi, ketidak-percayaan, atau mempersalahkan korban. Pelakunya biasanya berasal dari
berbagai golongan seperti keluarga sendiri, kerabat, tetangga, guru, karyawan, parabos-bos
perusahaan, preman, atau siapapun yang ingin memuaskan nafsu seks mereka dengan
melakukan pelecehan bahkan kekerasan seksual, terutama aanak-anak.

1. Pelaku dan Korban Kekerasan Seksual

Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa pelecehan seksual bisa terjadi pada
siapapun, termasuk laki-laki, wanita yang mengenakan jilbab dan berpakaian serba tertutup,
atau wanita yang telah memiliki sejumlah anak, wanita mengandung, atau bahkan anak-
anak.Namun yang begitu menggelitik, mengapa anak-anak yang sangat sering
dilecehkan?Menurut Muhamad Choirudin dalam jurnal yang berjudul Urgensi Pendidikan Seks
Sejak Dini Dalam Belenggu Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Sebuha upaya preventif dan
protektif), dalam beberapa kasus sering kita mendengar bahwa pelaku begitu mudah melakukan
kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Mereka melakukan tindakan tersebut bahkan
nyaris tanpa penolakan dan atau perlawanan sedikitpun ditambah lagi sang anak diberi modal
iming-iming beberapa lembar rupiah atau makanan ringan saja sudah cukup.

Menurut N.K Endah Triwijati dalam jurnal tentang pelecehan seksual (berjudul
Pelecehan Seksual : Tinjauan Psikologis: 2007) ciri pelaku pelecehan seksual bervariasi.
Sekalipun perilaku dan motif bisa bervariasi antar pelaku, tetapi setidaknya ada 4 dimensi yang
disusun kelompok pendukung korban pelecehan seksual. Pertama, “public” vs ”private”.
Mereka yang masuk dalam kategori “public” adalah mereka yang menunjukkan perilaku/sikap
melecehkan itu di hadapan orang lain, artinya, dia tergolong orang yang “show off”. Mereka
yang masuk dalam kategori “privat” umumnya sangat ingin tampil konservatif dan baik, tetapi
ketika mereka berada sendirian dengan sasaran korban, perilaku mereka berubah sama sekali.
Si “privat” sangat menikmati tipu muslihat dan ketidaktampakan perilakunya ini.Kedua, si
“untouchable” vs.”risk taker”.Si “untouchable” yaitu mereka yang tidak menimbang
konsekuensi dari perilakunya.Ia percaya bahwa ia sepenuhnya mengendalikan situasi, bebas
dari resiko. Ia orang yang narsistik, grandiose, dan justru berlagak mempunyai relasi seksual
dengan sasaran korban. Ia menikmatinya sebagai challenge to the system. Tipe ke 2 adalah
orang yang sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang secara moral salah. Karenanya
ia cenderung menyalahkan korban, menyatakan korban sebagai orang yang mengambil
keuntungan atas dirinya, dan memposisikan dirinya sebagai korban. Ketiga, “seducer-
demander” vs. ”Passive-Initiator”. Tipe pertama adalah seorang yang lihai “memainkan
kekuasaan”.Dialah yang secara aktif merancang tindakannya dengan memanfaatkan posisinya.
Tipe pertama yang “seducer” menggunakan posisinya karena ia membutuhkan rasa diinginkan
dan dicintai; “demander” memakai posisinya untuk membuat target tahu “posisi dia yang se-
mestinya”. Tipe kedua, “passive -initiator” mengawali tindakan dengan “memuji” atau
“menggoda”. Mereka beranggapan bila korban “menjawab” (melakukan kontak seksual) maka
apa yang terjadi bukan kesalahan mereka. Mereka mengatakan korbanlah yang “meminta”.
Keempat, “obsessive” vs. ”Don Juan”. “Obsessive” adalah mereka yang merasa berkuasa, ingin
dihormati, menjadi pusat relasi; sebenarnya mereka adalah orang yang merasa “tidak berhasil”
di tempat kerja.“Don Juan” (“Juanita”) melakukan pelecehan pada banyak orang, sering lupa
wajah/nama korban, dan melakukan pelecehan itu atas dorongan untuk
“mengalahkan”.Berdasarkan ciri-ciri pelaku pelecehan seksual terhadap anak itu, contoh nyata
para pelaku pelecehan seksual yang ada di lapangan adalah orang tua atau keluarga, kerabat,
teman, guru, tetangga, para pegawai maupun dari berbagai lapisan masyarakat. Jadi para pelaku
bisa dari berbagai golongan baik itu yang paling dekat dengan korban bahkan yang belum
dikenal sama sekali.

Pelecehan seksual memang bisa terjadi pada siapapun.Kasus di mana wanita dan anak-
anak yang menjadi korban juga memang lebih banyak terjadi.Namun pada dasarnya, setiap
orang potensial menjadi korban pelecehan, baik itu laki-laki atau perempuan, anak-anak atau
orang dewasa, bahkan orang tua sekalipun.Contoh kasus menurut KPAI adalah kasus pelecehan
seksual yang dialami oleh salah satu murid Taman Kanak-Kanak (TK) Jakarta Internasional
School (JIS).Dia adalah salah satu contoh korban pelecehan seksual dari para pelaku yang
kejam karena tega melakukan hal itu terhadap anak-anak.

2. Waktu dan Tempat Terjadinya Kekerasan Seksual

Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di sekolah, di bus,
kantor, pabrik, supermarket, taman, trotoar, baik siang maupun malam. Salah satu contohnya
adalah pelecehanyang terjadi di sekolah.Di lembaga pendidikan seperti sekolah biasanya
pelecehan dilakukan oleh guru kepada siswanya dengan modus kenaikan nilai atau kelulusan
mata pelajaran.Selain itu juga bisa dilakukan siswa dengan siswa atas dasar iseng atau yang
lainnya.Keadaan tersebut akan membuat siswanya ketakutan dan tidak nyaman dalam belajar
di sekolah karena adanya gangguan dari guru-guru nakal dan teman-teman yang jahil. Selain di
sekolah, tempat yang sering digunakan untuk melakukan pelecehan seksual ada di tempat kerja.
Disana seringkali terjadi pelecehan yang kemudian disertai dengan janji imbalan pekerjaan atau
kenaikan jabatan.Bahkan bisa disertai ancaman, baik secara terang-terangan ataupun
tidak.Kalau janji atau ajakan tidak diterima bisa kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, atau
dipindahkan.Pelecehan seksual bisa juga terjadi tanpa ada janji atau ancaman, namun dapat
membuat tempat kerja menjadi tidak tenang, ada permusuhan, dan penuh tekanan.

Bukan hanya dimana saja, pelecehan juga bisa terjadi kapan saja. Pagi, siang, sore maupun
malam.Suasana yang mendukung seperti misalnya saat berada di sekolah. Keadaan sekolah
yang sepi dan terasa aman kemudian ada korban yang menjadi incaran, maka sang pelaku akan
melancarkan aksinya saat itu juga. Pelaku pelecehan seksual anak-anak biasanya melecehkan
dengan cara menunjukkan alat kelaminnya pada sang korban, atau mencabulinya. Selain di
sekolah, saat berada di bus juga bisa terjadi pelecehan.Karena semua orang berdesak-desakan,
pelaku pelecehan sangat senang untuk memanfaatkan kondisi tersebut untuk menempelkan alat
kelaminnya terhadap korban, atau meraba-raba bagian tubuh korban, dan sebagainya.Dalam
melakukan aktivitas apapun, bisa terjadi pelecehan seksual yang tidak diinginkan dengan
tempat dan waktu yang tidak tentu.

3. Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual

Pelecehan seksual bisa terjadi pada siapapun, termasuk laki-laki, wanita yang
mengenakan jilbab dan berpakaian serba tertutup, atau wanita yang telah memiliki sejumlah
anak, wanita mengandung, atau bahkan anak-anak.Namun yang begitu menggelitik, mengapa
anak-anak yang sangat sering dilecehkan?Menurut Muhamad Choirudin dalam jurnal yang
berjudul Urgensi Pendidikan Seks Sejak Dini Dalam Belenggu Kekerasan Seksual Terhadap
Anak (Sebuha upaya preventif dan protektif), dalam beberapa kasus sering kita mendengar
bahwa pelaku begitu mudah melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak.
Mereka melakukan tindakan tersebut bahkan nyaris tanpa penolakan dan atau perlawanan
sedikitpun ditambah lagi sang anak diberi modal iming-iming beberapa lembar rupiah atau
makanan ringan saja sudah cukup.
Selain anak-anak, pelecehan sesksual juga sering terjadi pada wanita. Penyebab
pelecehan tersebut menururt Riyadi, Jeanny Maria Fatima dalam jurnal yang berjudul
(Harassement And Violence Against Women in SPFM RADIO Programs And Their Impacts
on Woman Listeners in Makassar City, 2012) terjadi karena wanita menggunakan pakaian yang
sangatmencolok mata orang yang memandangnya. Selain itu dari cara jalan mereka juga bisa
menimbulkan hasrat para pria untuk melakukan pelecehan, meskipun adajuga yang tetap
beranggapan bahwa laki-laki turut bersalah karena tidak menghargai kaum perempuan. Ada
yang mengatakan bahwa haltersebut mutlak kesalahan dari si perempuannya yang tidak
menutup aurat dalam berpakaiansehingga membuat mata laki-laki bebas melihat dan
mengeskploitasi tubuh si perempuantersebut. Disisi lain, adapula yangmengatakan bahwa
terjadinya pelecehan seksual itu adalah faktor takdir semata sebabsekarang walaupun kaum
perempuan berpakaian tertutup tapi kalau sudah takdir makapasti akan terjadi, inilah yang
kemudian menjadi hal yang miris ataumemprihatinkan.

Kedua sebab diatas jika dilihat dari sudut pandang yang lebih mengarah pada apa yang
membuat korban menarik. Selanjutnya adalah dari sudut pandang pelaku sendiri. Mereka
memiliki alasan mengapa melakukan pelecehan seksual, diantaranya adalah pengalaman masa
kecil pelaku yang juga pernah dilecehkan membuatnya ingin berganti melecehkan saat sudah
dewasa, selain itu terkadang pelaku memiliki hasrat seks yang tidak bisa disalurkan dengan
pasangan sehingga mencari orang lain untuk dijadikan alat pemuas kebutuhan seksnya,
kemudian karena suasana yang terkadang mendukung sehingga dapat dimanfaatkan oleh sang
pelaku, selanjutnya pelaku memiliki otoritas atas korban sehingga dia bisa melakukan apa saja
yang dia mau. Selain hal tersebut masih banyak penyebab terjadinya pelecehan seksual.

4. Peran Orang tua, Guru BK/Konselor, dan Masayarakatdalam Menangani Masalah


Pelecehan Seksual

Untuk menangani masalah pelecehan seksual khususntyaa terhadap anak, orang tua,
guru dan masyarakat harus saling mendukung.Mulai dari orang tua yang merupakan dunia
pertama bagi anak-anak.Para orang tua bisa melakukan pencegahan agar anak-anak mereka
tidak mengalami pelecehan, baik itu jadi pelaku atau korban. Yang bisa dilakukan adalah :

1. Mengajarkan anak tentang sopan santun terhadap orang lain.

2. Mengajari anak-anak agar dapat waspada dengan orang lain yang dirasa mencurigakan.

3. Memberikan pendidikan seks secara sederhana agar anak-anak paham.

4. Mengontrol pergaulan anak-anak dengan teman-teman dan lingkungan mereka.

5. Ajak anak untuk selalu berkomunikasi sehingga dapat terbuka dengan orang tua.

6. Menerapkan pola asuh demokratis namun terkontrol menjadi upaya yang dapat
mendukung pengoptimalan tumbuh kembang anak.
7. Orang tua membuka komunikasi dan menjalin kedekatan emosi dengan anak-anak.
Dengan cara menyempatkan diri untuk bermain bersama anak-anak dan menemaninya di setiap
kesempatan yang ada.

8. Orang tua disarankan memberikan pengertian kepada anak-anak tentangtubuh mereka


dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lainterhadap bagian tubuhnya. Misalnya,
anak diberi pengertian bahwa kalauada orang lain yang mencium misal di pipi harus hati-hati
karena itu tidak diperbolehkan, apalagi orang lain itu yang tidak dikenal.

9. Kenalkan kepada anak perbedaan antara orang asing, kenalan, teman,sahabat, dan
kerabat. Misalnya, orang asing adalah orang yang tidak dikenal sama sekali. Terhadap mereka,
si anak tak boleh terlalu ramah,akrab, atau langsung memercayai. Kerabat adalah anggota
keluarga yangdikenal dekat. Meski terhitung dekat, sebaiknya sarankan kepada anak untuk
menghindari situasi berduaan saja.

10. Jika sang anak sudah melewati usia balita, ajarkan bersikap malu bilatelanjang. Dan,
bila sudah memiliki kamar sendiri, ajarkan pula untuk selalu menutup pintu dan jendela bila
tidur.

Selain orang tua, guru, khususnya guru bimbingan dan konseling (BK) atau konselor memiliki
peranan penting dalam penanggulangan ataupun penanganan masalah pelecehan seksual,
khususnya yang berada di lembaga pendidikan yaitu sekolah dengan korban anak-anak.
Menurut Wekerle dan Wolfe dalam buku Psikologi Abnormal (Jefferey S. Nevid, dkk, 2005)
sebagian besar fokus dalam mencegah penganiaayan terhadap anak dipusatkan pada pelatihan
terhadap orang tua baru, atau calon orang tua, khususnya yang berusia belasan, tentang
ketrampilan menjadi orang tua. Jadi dengan melatih para orang tua untuk merawat dan
mendidik anaknya akan mengurangi tingkat penganiayaan atau pelecehan karena rata-rata anak
yang sopan dan terdidik dengan baik akan membuat para pelaku segan melakukan pelecehan.
Menurut Reppuci dan Haugard (dalam Sciarra, 2004) program pencegahan kekerasan seksual
di sekolah seyogyanya dikemas dalam bentuk kurikulum yang bervariasi sesuai dengan usia
dan kapasitas berpikir anak. Tujuan utamanya adalah mencegah kekerasan seksual terjadi pada
anak. Inti materinya adalah sebagai berikut :

1. Mengajarkan sentuhan yang baik, buruk, atau yang membingungkan anak.

2. Mengajarkan anak untuk dapat mengontrol siapa pun yang menyentuh tubuhnya dan
bagian-bagian mana yang disentuh.

3. Mengajarkan anak untuk berani melapor pada orang dewasa yang bertanggung jawab
misalnya orangtua atau guru mengenai sentuhan-sentuhan tidak tepat yang diterimanya, bahkan
seandainya anak dilarang melaporkan pada siapapun oleh pelaku.

4. Mengajari anak assertive skill terhadap perlakuan kekerasan seksual, misalnya berkata
tidak untuk segala bentuk perlakuan dari orang lain yang menjurus seksual, melatih bela diri
dan sebagainya.
Paradigma, No. 09 Th. V, Januari 2010 ISSN 1907-297X 88 PENUTUP Materi-materi
tersebut dapat disajikan dalam bentuk buku (dapat pula komik untuk siswa yang berusia lebih
muda), videotape, bermain peran, atau pertunjukan boneka untuk anak-anak. Konselor sekolah
perlu juga menginformasikan pada orangtua siswa tentang program pencegahan kekerasan
seksual ini sehingga orangtua pun dapat seiring mengajarkan materi-materi ini di rumah.
Melalui semua program, baik pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), atau rehabilitatif
(perbaikan) ini diharapkan kekerasan seksual pada anak yang sangat tidak manusiawi ini tidak
akan terjadi lagi.

Selain upaya pencegahan, Ada beberapa langkah pertama yang dapat dilakukan oleh
guru BK ataupun Konselor dalam melakukan identifikasi terhadap siswa yang diduga
mengalami pelecehan dan tidak berani bercerita, antaralain :

1. Memastikan anak tidak sakit atau dalam bahaya

2. Fungsi utama guru BK atau konselor adalah mendengarkan

3. Mencerminkan perasaan dan maknanya

4. Bersikap santai, tidak panic dan tidak shock dengan cerita yang didengarkan

5. Meminta persetujuan untuk memberitahukan pihak lain yang mungkin bisa


membantunya

6. Meyakinkan anak bahwa konselor akan melindungi

Setelah melakukan beberapa langkah diatas, kemudian ada 2 tindakan yang harus
dilakukan oleh konselor atau guru BK yaitu melakukan penyelidikan tentang pelecehan seksual
yang dialami. Penyelidikan tersebut bukan investigasi tapi hanya intervensi responsive sang
korban terhadap peristiwa yang sudah dialaminya. Kemudian konselor atau guru BK juga bisa
bekerjasama dengan komnas anak, polisi, psikolog.Sebelum melakukan semua itu sebaiknya
diadakan bimbingan preventif mengenai pendidikan seks untuk anak/siswa baik secara
kelompok maupun klasikal.Semakin kritis anak terhadap masalah seksual, semakin penting
pula bagi konselor untuk segera mengambil sikap yang bijak.

Faller (1989) menyarankan beberapa strategi interview untuk anak korban kekerasan seksual,
yaitu :

1. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan umum terlebih dahulu untuk memulai. Salah satu


contoh pertanyaan yang bagus untuk mengawali proses wawancara misalnya apakah kamu tahu
mengapa ibu memanggilmu untuk datang ? Contoh pertanyaan yang keliru misalnya guru
kelasmu mengatakan bahwa kamu mengelami kekerasan seksual di rumah, benarkah ?

2. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terfokus pada kekerasan seksual yang dialami


anak, misalnya pelakunya, bentuk perlakuannya, bagian tubuh mana yang mengalami
kekerasan seksual, dan sebagainya. Contoh pertanyaannya misalnya adakah perlakuan tertentu
dari pamanmu yang tidak kamu suka, coba jelaskan.
3. Banyak menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Diharapkan konselor banyak
menggunakan pertanyaan terbuka untuk mengungkap banyak informasi dari anak.Akan tetapi
sesekali pertanyaan tertutup juga diperlukan untuk mendapatkan informasi awal yang kemudian
dapat dikembangkan untuk eksplorasi lanjut dengan pertanyaan terbuka. Meskipun respon
verbal anak sangat dibutuhkan, penting juga bagi konselor sekolah untuk mengamati bahasa
tubuh anak selama proses wawancara ini. Beberapa ekspresi nonverbal yang dapat memperkuat
dugaan adanya kekerasan seksual antara lain ketidaknyamanan yang ekstrim, penolakan, atau
ekspresi malu yang luar biasa pada anak (Sciarra, 2004).

Setelah teridentifikasi adanya kekerasan seksual pada siswa, langkah konselor selanjutnya
adalah mulai melakukan konseling terhadap siswa.Menurut Kartika Nur Fathiyah dalam jurnal
berjudul (Peran Konselor Sekolah untuk Penanganan Kekerasan Seksual :85)beberapa program
terapi ada yang menggabungkan terapi bermain dengan terapi seni. Suharto (dalam Huraerah,
2007) menjelaskan beberapa model program konseling yang dapat diberikan untuk anak yang
mengalami kekerasan seksual.Model-model tersebut adalah sebagai berikut. 1). The dynamic
of Sexual Abuse. Konseling ini difokuskan pada pengembangan konsepsi anak bahwa kejadian
kekerasan seksual termasuk kesalahan dan tanggung jawab pelaku bukan korban.Anak-anak
dijamin bahwa mereka tidak dipersalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.Kontak
seksual yang terjadi adalah akibat trik para pelaku yang lebih dewasa, kuat, cerdas, dan itu
merupakan pelanggaran hukum. 2). Protective behaviors Counseling. Pada konseling ini anak-
anak dilatih untuk menguasai keterampilan mengurangi kerentanannya terhadap kekerasan
seksual dari orang lain sesuai dengan usianya. Misalnya untuk anak prasekolah dilatih berkata
‘tidak’ terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan atau menjauh secepat mungkin dari
orang yang kelihatannya ingin melakukan kekerasan seksual. 3). Survivor atau self esteem.
Konseling ini berupaya untuk menyadarkan anak-anak yang menjadi korban, bahwa mereka
sebenarnya bukan korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) menghadapi
masalah kekerasan seksual. Konseling juga dapat difokuskan untuk meningkatkan kesadaran
anak akan kekuatan dan kelebihan yang mereka miliki. 4). Feeling Counseling. Anak-anak yang
mengalami kekerasan seksual pada proses ini diidentifikasi kemampuannya mengenali berbagai
perasaan. Anak-anak diyakinkan bahwa mereka mempunyai hak untuk memiliki perasaan
sendiri. Perasaan mereka tidak akan dinilai baik atau buruk. Selanjutnya anak didorong untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan baik pada saat mengalami
kekerasan seksual maupun saat ini.Dalam keadaan ini anak-anak diberi kesempatan untuk
secara tepat memfokuskan perasaan marahnya pada pelaku dan mungkin pula pada orangtua,
polisi, lembaga peradilan, atau pun konselor sekolah sendiri yang tidak mampu memberi
perlindungan memadai pada anak.Namun demikian, konselor juga perlu menghargai hak-hak
anak yang sulit atau menolak membicarakan perasaannya. Memaksa Paradigma, No. 09 Th. V,
Januari 2010 • ISSN 1907-297X 86 mereka justru akan memperkuat rasa bersalah dan
penderitaannya. 5). Cognitive Therapy. Konseling dilakukan dengan cara mengintervensi
pikiran-pikiran negatif anak yang muncul karena kekerasan seksual dengan berbagai cara,
misalnya penghentian pikiran-pikiran negatif. Dapat dilakukan dengan cara misalnya anak
diminta membayangkan bahwa ketakutan dan kekhawatirannya adalah seperti air yang
mengucur dari kran. Anak korban kekerasan seksual diminta untuk membayangkan bahwa dia
saat ini sedang mengangkat tangan dan menjangkau kran itu serta menutupnya dengan kuat.
Selain itu, terapi kognitif dapat pula dilakukan dengan cara mengganti atau menukar pikiran,
misalnya konselor membantu anak untuk menghafal syair pendek dalam bentuk pernyataan
yang berlawanan dengan kekhawatiran yang dialami anak. Anak kemudian mengulangulang
syair tersebut untuk membuang kekhawatirannya.

Peran Konselor dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Anak Sebenarnya langkah terpenting
dalam penanganan kekerasan seksual anak adalah mencegahnya sehingga kasus ini tidak terjadi
atau terulang lagi pada korban maupun anak-anak lain yang belum menjadi korban.Hal
terpenting dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak adalah dengan membuka kebebasan
yang seluas-luasnya pada anak untuk bercerita. Konselor hendaknya dapat menjadi teman
berbagi yang nyaman bagi anak untuk hal apa pun. Pada akhirnya anak akan mempercayai
konselor atas masalah yang mereka hadapi, dan meyakini konselor pasti melakukan aksi nyata
dalam membantu masalahnya, bukan hanya kata. Dengan demikian anak akan selalu membawa
masalah mereka kepada konselor kapan saja tanpa khawatir kritikan maupun hukuman.
Hubungan antara konselor sekolah dengan siswa yang terbangun dengan baik ini membuka
pintu seluas-luasnya untuk pencegahan kekerasan seksual pada anak. Seandainya ada upaya
awal dari pelaku kekerasan seksual terhadap anak akan dapat diketahui dan diantisipasi sedini
mungkin. Umumnya pelaku kekerasan seksual tidak serta merta melakukan kekerasan seksual
pada anak.Menurut Kartika Nur Fathiyah dalam jurnal berjudul (Peran Konselor Sekolah untuk
Penanganan Kekerasan Seksual : 87) Biasanya ada upaya awal misalnya membangun
kepercayaan terlebih dahulu dengan anak, memberi hadiah, berperilaku baik, membangun
hubungan baik dengan orangtua dan sebagainya baru kemudian membujuk korban untuk
melakukan aktivitas seksual yang dikehendaki pelaku. Konselor sekolah juga perlu
memberikan layanan bimbingan pada seluruh siswa untuk asertif terhadap siapa pun yang
bersikap tidak sopan atau tidak pantas. Dengan bahasa yang patut dan sopan, konselor sekolah
dapat menyampaikan pada siswa tentang sentuhan-sentuhan yang wajar dan tidak wajar dari
orang lain baik saudara, non-saudara, maupun orang dewasa, anak-anak, atau remaja lain.
Konselor sekolah perlu juga mengajarkan mengenali perilaku grooming. Yaitu proses
mengidentifkasi dan melibatkan anak dalam aktivitas seksual secara bertahap oleh pelaku
kekerasan seksual. Tidak ada paksaan di dalamnya, tetapi melibatkan rayuan, paksaan, serta
manipulasi dengan motivasi untuk mengeksploitasi anak secara seksual Misalnya
meningkatkan kontak fisik dengan anak, berpura-pura tidak sengaja menyentuh anak,
memposisikan secara fisik untuk selalu berdekatan dengan korban dan sebagainya
(www.ubb.ac.id, 2010).

Peran lingkungan masyarakat dalam proses pencegahan dan pemulihan masalah pelecehan
seksual juga sangat dibutuhkan. Saat ini upaya mengatasi kasus pelecehan seksual anak secara
hukum telah ada undang-undang yang mengaturnya secara jelas.Yang masih kurang adalah
upaya pencegahan.Upaya pencegahan harus dilakukan secara komprehensif, artinya tidak bisa
hanya dilakukan oleh satu pihak (orang tua atau keluarga) saja, melainkan harus terintegrasi
dengan pemerintah, lembaga kemasyarakatan, sekolah, tenaga profesional, dsb yang memang
memiliki konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa upaya
pencegahan yang efektif adalah adalah sebagai berikut :
a. Memberikan pemahaman kepada anak mengenai jenis-jenis pelecehan seksual, dan
menjelaskan kepada anak bahwa pelecehan seksual dalam bentuk apapun merupakan tindakan
yang tidak baik dan melanggar peraturan. Serta, mengajarkan kepada anak mengenai hal-hal
yang harus mereka lakukan jika menemukan adanya tindakan pelecehan seksual yang dilakukan
oleh orang-orang di sekitar mereka (misalnya: segera berlari ke tempat yang ramai, segera
melpor pada guru atau kepala sekolah, dan sebagainya). Poin a ini sebaiknya dilakukan oleh
orang tua, sekolah, maupun pengajar di tempat ibadah.

b. Melakukan seleksi dan rekrutmen yang lengkap dan dilakukan oleh tenaga ahli seperti
psikolog, untuk mencegah kemungkinan adanya pelaku pelecehan seksual yang dipekerjakan
di tempat-tempat yang banyak terdapat anak-anak (arena bermain, sekolah, day care, dan
sebagainya).

c. Memperlengkapi setiap sudut bangunan yang diperuntukkan bagi anak-anak, dengan


kamera CCTV yang selalu terpantau agar kasus-kasus pelecehan seksual dapat terdeteksi
dengan lebih cepat dan mudah.

Ketiga pihak yaitu orang tua, guru atau sekolah dan masyarakat adalah dunia anak-anak.Mereka
harus bisa berkolaborasi untuk menghindarkan anak dari hal-hal negative yang tidak
diinginkan, termasuk pelecehan seksual.Dengan upaya preventif dan kuratif oleh pihak-pihak
tersebut, diharapkan anak mampu untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai
tugas perkembangan mereka.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pelecehan seksual adalah tindakan melecehkan atau merendahkan orang lain baik secara
verbal maupun non verbal untuk memenuhi kebutuhan seksual para pelaku sehingga akibatnya
adalah keresahan diri korban baik yang bersifat fisik maupun psikis karena adanya pemaksaan
yang tidak dapat diterima. Ada banyak bentuk pelecehan seksual terhadap anak dan bisa kita
ketahui semua dari berbagai berita di beberapa media dari mulai digerayangi, dicabuli, digauli,
sampai dengan diperkosa.Bahkan ada yang bentuknya memaksa seorang anak untuk melihat
tayangan pornografi sedangkan si pelaku cukup melakukan kegiatan seksualnya secara mandiri
tanpa melibatkan si anak secara fisik.Namun apapun bentuk modus operandi yang dilakukan,
yang pasti kesemuanya merupakan bentuk kejahatan terhadap anak dan menimbulkan trauma
yang berkepanjangan.

Pelaku pelecehan seksual bisa dilakukan oleh orang tua atau keluarga, kerabat, teman, guru,
tetangga, para pegawai maupun dari berbagai lapisan masyarakat. Jadi para pelaku bisa dari
berbagai golongan baik itu yang paling dekat dengan korban bahkan yang belum dikenal sama
sekali.

Penyebab terjadinya hal tersebut dalam beberapa kasus sering kita mendengar bahwa
pelaku begitu mudah melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Mereka
melakukan tindakan tersebut bahkan nyaris tanpa penolakan dan atau perlawanan sedikitpun
ditambah lagi sang anak diberi modal iming-iming beberapa lembar rupiah atau makanan ringan
saja sudah cukup. Selain pada anak, pelecehan yang terjadi karena wanita menggunakan
pakaian yang sangatmencolok mata orang yang memandangnya. Selain itu dari cara jalan
mereka juga bisa menimbulkan hasrat para pria untuk melakukan pelecehan, meskipun adajuga
yang tetap beranggapan bahwa laki-laki turut bersalah karena tidak menghargai kaum
perempuan. Ada yang mengatakan bahwa haltersebut mutlak kesalahan dari si perempuannya
yang tidak menutup aurat dalam berpakaiansehingga membuat mata laki-laki bebas melihat dan
mengeskploitasi tubuh si perempuantersebut. Disisi lain, adapula yangmengatakan bahwa
terjadinya pelecehan seksual itu adalah faktor takdir semata sebabsekarang walaupun kaum
perempuan berpakaian tertutup tapi kalau sudah takdir makapasti akan terjadi, inilah yang
kemudian menjadi hal yang miris ataumemprihatinkan. Itu jika dilihat dari sudut pandang hal
menarik pada korban. Namun dari sudut pandang pelaku, pengalaman masa kecil pelaku yang
juga pernah dilecehkan membuatnya ingin berganti melecehkan saat sudah dewasa, selain itu
terkadang pelaku memiliki hasrat seks yang tidak bisa disalurkan dengan pasangan sehingga
mencari orang lain untuk dijadikan alat pemuas kebutuhan seksnya, kemudian karena suasana
yang terkadang mendukung sehingga dapat dimanfaatkan oleh sang pelaku, selanjutnya pelaku
memiliki otoritas atas korban sehingga dia bisa melakukan apa saja yang dia mau. Selain hal
tersebut masih banyak penyebab terjadinya pelecehan seksual.

Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di sekolah, di bus,
kantor, pabrik, supermarket, taman, trotoar, baik siang maupun malam. Dalam melakukan
aktivitas apapun, bisa terjadi pelecehan seksual yang tidak diinginkan dengan tempat dan waktu
yang tidak tentu.

Selain itu, frekuensi dan durasi terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual juga
berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan.Semakin sering frekuensinya, atau semakin
lama durasinya, maka trauma yang ditimbulkan pada anak juga semakin besar.Semakin besar
trauma yang ditimbulkan, maka semakin panjang waktu pemulihan yang dibutuhkan.Keadaan
trauma yang ditimbulkan sebagai dampak dari kejadian pelecehan atau kekerasan seksual dapat
terlihat dari perilaku korban. Seorang anak yang sedang dalam keadaan trauma biasanya
menunjukkan adanya penurunan derajat aktivitas, penurunan minat sosialiasi, mengalami
mimpi buruk, peningkatan perilaku cemas atau takut akan hal-hal yang sebelumnya tidak ia
khawatirkan, bahkan kesulitan tidur. Jika hal tersebut tidak segera tertangani, maka anak tidak
akan mampu menyesuaikan diri dan melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan usianya. Hal
tersebut berdampak sangat besar dalam optimalisasi tumbuh kembang anak.Pelecehan/kekeran
seksual tersebut mengakibatkan trauma pada anak.Trauma dapat disembuhkan namun tidak
dapat dilupakan. Artinya adalah, kita tidak mungkin membuat seseorang lupa 100% dengan apa
yang pernah ia alami, apalagi jika peristiwa tersebut memberikan kesan yang mendalam bagi
dirinya. Penanganan yang dilakukan bukan bertujuan agar anak lupa bahwa ia pernah
mengalami hal tersebut, melainkan agar anak tetap dapat beraktivitas sesuai dengan usia dan
kemampuannya, meskipun ia masih mengingat peristiwa pelecehan yang ia alami. Faktor yang
berperan penting dalam proses pemulihan adalah dukungan dan penerimaan yang diberikan
oleh lingkungan sosial. Ketika orangtua, guru, dan sebagainya tetap mengajak anak
berinteraksi, anak merasa bahwa dirinya masih berharga meskipun telah mengalami hal yang
tidak menyenangkan. Selain itu, anak juga harus dijauhkan semestara dari topic-topik
maupuntempat-tempat yang akan memunculkan reaksi-reaksi trauma (menangis, berteriak,
menarik diri, ketakutan, dan sebagainya).

2. Saran

Menurut Ajen Diana Wati (2003) Adapun cara-cara yang hendaknya dilakukan para
orang tua, untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak yakni peran keluarga dalam
proses pencegahan dan pemulihan. Anggapan sebagian orangtua bahwa membicarakan masalah
seks adalah sesuatu yang tabu sebaiknya dihilangkan. Anggapan seperti inilah yang
menghambat penyampaian pengetahuan seks yang seharusnya sudah dapat dimulai dari segala
usia. Pendidikan seks disini dapat membantu para remaja laki-laki dan perempuan untuk
mengetahui resiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan keputusan
seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri
maupun orangtuanya.

Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak keluarga maupun ahli saat membantu
pemulihan korban anak-anak dibandingkan dengan korban yang lebih dewasa adalah kesulitan
dalam mengenali perasaan dan pikiran korban saat peristiwa tersebut terjadi. Anak-anak
cenderung sulit mendiskripsikan secara verbal dengan jelas mengenai proses mental yang
terjadi saat mereka mengalami peristiwa tersebut. Sedangkan untuk membicarakan hal tersebut
berulang-ulang agar mendapatkan data yang lengkap, dikhawatirkan akan menambah dampak
negatif pada anak karena anak akan memutar ulang peristiwa tersebut dalam benak mereka.
Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa aman kepada anak
untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak
akan lebih mudah untuk melakukannya. Setelah itu, berikan pertanyaan yang mudah dijawab
dengan singkat dan tepat oleh anak, seperti misalnya, “Apakah bagian ini (tunjuk bagian tubuh
anak) pernah dipegang orang lain?”Jika anak menjawab ya, tanyakan “Di mana?Rumah atau
sekolah?”Setelah tahu lokasinya, baru orang tua menanyakan tentang “Siapa” dan
“Kapan”.Setelah mendapatkan informasi bahwa anak Anda mengalami pelecehan seksual,
orang tua dapat menggali data melalui orang-orang yang ada di sekitar anak yang kemungkinan
dapat dipercaya untuk memberikan informasi tambahan tentang peristiwa yang dialami anak.
Orang tua juga sebaiknya segera membawa anak untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli
(psikolog, konselor, psikiater) yang biasa menangani anak-anak korban pelecehan seksual,
untuk mendiskusikan mengenai kondisi anak pasca peristiwa pelecehan seksual terjadi.
Sehingga, anak akan mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat untuk memulihkan kondisi
psikologis anak akibat trauma yang ditimbulkan.

Selain orang tua, peran lingkungan dalam proses pencegahan dan pemulihan masalah
pelecehan seksual juga sangat dibutuhkan. Saat ini upaya mengatasi kasus pelecehan seksual
anak secara hukum telah ada undang-undang yang mengaturnya secara jelas.Yang masih
kurang adalah upaya pencegahan.Upaya pencegahan harus dilakukan secara komprehensif,
artinya tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak (orang tua atau keluarga) saja, melainkan
harus terintegrasi dengan pemerintah, lembaga kemasyarakatan, sekolah, tenaga profesional,
dsb yang memang memiliki konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Harus diingat, pelecehan kekerasan dan pemerkosaan adalah hal yang sensitif, sulit
diungkapkan atau dibuktikan.Tak ubahnya gunung es yang dari permukaan air seringkali hanya
terlihat puncaknya, data kasus perkosaan yang tercatat barangkali hanya mewakili sebagian
kecil dari realitas yang sesungguhnya.Kekerasan seksual pada anak seringkali meninggalkan
bekas traumatis yang sulit dihilangkan.Sehingga benar-benar diperlukan peran dan usaha
penanggulangan kejahatan dari berbagai pihak dalam penanggulangan kekerasan dan pelecehan
seksual pada anak.yakni bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut
sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system).
DAFTAR PUSTAKA

Diana wati, Ajen.2003.Pendidikan Seks Untuk Remaja.Tangerang : Kawan Pustaka.Jeffrey S.


Nevid, dkk.2005.Psikologi Abnormal Jilid 2.Jakarta : Erlangga.

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Pelecehan%20Seksual%20Tinjauan%20Psikologi.pdf,
diakses Kamis, 19 Mei 2016, pukul 12.12 WIT

http://www.kompasiana.com/yulidong/kenanga-siswaku-yang-malang_5512155ba333115956
ba7d2c, diakses pada Kamis,19 Mei 2016, pukul 12.15WIT

http://unesdoc.unesco.org/images/0022/002295/229599ind.pdf, diakses pada Kamis, 19 Mei


2016, pukul 12.17 WIT

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-
dan-Tangani.pdf, diakses rabu, 19 Mei 2016, pukul 12.20 WIT

http://www.smallcrab.com/seksualitas/621-pelecehan-seksual-dan-pemerkosaan, diakses pada


Kamis, 19 Mai 2016, pukul 12.30 WIT

http://manggumedia.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-pelecehan-seksual-terhadap-anak.html),
diakses pada Rabu, 19 Mai 2016, pukul 14.24 WIT

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual, diakses pada Kamis, 19 Mai 2016, pukul


14.30 WIT

http://e-journal.uajy.ac.id/6029/1/JURNAL%20HK09957.pdf, diakses pada Kamis, 19 Mai


2016, pukul 13.43 WIT

http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Dinamika-Psikologis-
Kekerasan-Seksual-Sebuah-Studi-Fenomenologi.pdf, diakses pada Jumat, 19 Mai 2016,
pukul 13.45 WIT

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/110710244_3v.pdf, diakses pada Kamis, 19 Mai 2106, pukul


13.46 WIT

http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/article8.pdf, diakses Kamis, 19 Mai


2016, pukul 13.46 WIT

http://digilib.uin-suka.ac.id/4078/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf,
diakses pada Kamis, 19 Mai 2106, pukul 13.48 WIT

http://digilib.uinsby.ac.id/9681/2/bab%201.pdf, diakses pada Kamis, 19 Mai 2016, pukul 13.50


WIT

http://pakedirikab.go.id/Dokumen/Urgensi%20Pendidikan%20Seks%20Sejak%20Dini%20(S
ebuah%20upaya%20preventif%20dan%20protektif).pdf, diakses pada Kamis, 19 Mai
2016, pukul 13.52 WIT
https://www.academia.edu/8608555/KEKERASAN_SEKSUAL_TERHADAP_ANAK_US
A_DINI, diakses pada Jumat, 19 Mai 2016, pukul 15.06 WIT

http://www.unicef.org/indonesia/id/A7_-_B_Ringkasan_Kajian_Perlindungan.pdf, diakses
pada kamis, 19 Mai 2016, pukul 15.06 WIT

Anda mungkin juga menyukai