Anda di halaman 1dari 19

BBDM MODUL 5.

1 SKENARIO 1

“GAGAL MENIKAH”

Seorang laki laki 18 tahun datang ke IGD diantar keluarga karena kejang. Dua hari ini
meracau seperti berbicara dengan tunangannya. Pasien tidak mengenali keluarganya. Bibir
pasien tampak kering dan mata cekung dan hari ini muncul kejang pada pasien. Keluarga
mengatakan tiga minggu yang lalu tunangan memutuskan untuk tidak jadi menikah dan
mengembalikan cincin pertunangan dengan alasan ketidakcocokan. Pasien menjadi murung,
mengurung diri di kamar dan tidak mau makan dan minum lagi merasa hidup tidak berarti.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 100x/menit dan suhu 400C

A. STEP 1 : Clarifying Unfamiliar Terms


1. Meracau : Berbicara tidak punya artian khusus. Sementara itu dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa meracau adalah mengigau atau berbicara tidak
karuan
2. Kejang : Gangguang fungsi otak tanpa sengaja paroksimal yang dapat diakibatkan
oleh gangguan kesadaran, adanya aktivitas motoric yang abnormal dan gangguan
sensoris abnormal

B. STEP 2: Define The Problems


1. Mengapa pasien mengalami penurunan nafsu makan ?
2. Mengapa pasien meracau ?
3. Mengapa pasien mengalami bibir kering dan mata cekung ?
4. Mengapa Tekanan darah dan suhu meningkat ?
5. Mengapa pasien tidak mengenali keluarganya ?
6. Apakah hubungan kondisi pasien dengan gejala yang dialami pasien ?
7. Bagaimana pasien dapat mengalami kejang ?

C. STEP 3 : Brainstroming Possible Hypothesis


1. Mengapa pasien mengalami penurunan nafsu makan ?
Nafsu makan dikontrol oleh nukleus ventrolateral yang berada pada hypothalamus
lateral. Pada nukleus tersebut neurotransmitter terbanyak adalah serotonin. Pada
kasus ini, pasien mengalami penurunan mood sehingga megakibatkan penurunan
serotonin. Berkurangnya serotonin ini akhirnya menyebabkan penurunan nafsu
makan
Adanya mood hipotimia menyebabkan penurunan sekresi serotonin sehingga
menyebabkan penurunan nafsu makan

2. Mengapa pasien meracau ?


Adanya stressor dapat menyebabkan stress psikologi dan dapat menyebabkan
inkoherensia ataupun halusinasi. Pada individu yang mendapatkan stressor maka
tubuh akan merespon, salah satunya adalah respon endokrin. Stres dapat
meningkatkan sekresi CRF (corticotropin Releasing Factor) di hypothalamus yang
memicu hipofisis anterior untuk mengeluarkan ACTH. ACTH akan dialirkan lewat
pembuluh darah menuju organ target yaitu korteks adrenal untuk mrlrpaskan
glukokortikoid terutama cortisol. cortisol akan beredar dalam pembuluh darah dan
akan menembus swar darah otak. cortisol kemudian akan berikatan dengan receptor
dihipocampus sehingga menyebabkan penurunan kemampuan pemahaman terhadap
stimuli.
Penurunan monoamine dapat mengganggu regulasi neuroendokrin sehingga dapat
meningkatkan produksi CRF

3. Mengapa pasien mengalami Bibir Kering dan Mata Cekung ?


Pada kasus ini pasien tidak mau makan dan minum maka pasien mengalami dehidrasi
sehingga menyebabkan bibir kering dan mata cekung. Dehidrasi sendiri ada dehidrasi
ringan, dehidrasi sedang dan dehidrasi berat. Pada tahap dehidrasi ringanpun sudah
bisa terjadi bibir kering, namun untuk mata cekung terjadi pada dehidrasi berat, maka
dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami dehidrasi berat.
Selain itu saat terjadi stress maka akan mengakibatkan aktivasi saraf simpatis yang
akan menyebabkan inhibisi produksi saliva dan menyebabkan bibir kering.

4. Mengapa pasien mengalami peningkatan Tekanan Darah dan Suhu ?


Pada individu yang mendapatkan stressor maka tubuh akan merespon, salah satunya
adalah respon endokrin. Stres dapat meningkatkan sekresi CRF (corticotropin
Releasing Factor) di hypothalamus yang memicu hipofisis anterior untuk
mengeluarkan ACTH. ACTH akan dialirkan lewat pembuluh darah menuju organ
target yaitu korteks adrenal untuk mrlrpaskan glukokortikoid. Glukokortikoid ini akan
meningkatkan penggunaan energi (peningkatan metabolisme), meningkatkan aktivitas
kardiovaskuler, menghambat imun, dll. Adanya peningkatan metabolisme
menyebabkan adanya kenaikan suhu sedangkan meningkatnya akvitas kardiovaskuler
menyebabkan tekanan darah dan nadi meningkat.
Sementara itu adanya peningkatan glukokortikoid akan menyebabkan penurunan
kerja sistem imun. Penurunan kerja sistem imun akan meningkatkan produksi
norepinefrin sehingga akan meningkatkan IL-1 dan IL-6 yang dapat mempengaruhi
thermostat sehingga menyebabkan kenaikan suhu.
Pada saat Stress, saraf simpatis akan teraktivasi dan meningkatkan epinefrin dan
norepinefrin dalam pembulu darah sehingga menyebabkan vasokontriksi.
vasokontriksi ini akan meningkatkan tahanan perifer sehingga tekanan darahpun
meningkat.

5. Mengapa pasien tidak mengenali keluarganya ?


Saat neurotrasmiter sistem limbik maka akan terjadi gangguan pada hippocampus
yaitu tempat pembelajaran dan memori. Maka kemungkinan pada pasien terjadi
gangguan memori sehingga pasien tidak mengenali keluarganya.
Dapet juga terjadi akibat peningkatan cortisol dalam pembuluh darah akibat adanya
kejadian yang tidak menyenangkan sehingga pada pasien mengelami gangguan
memori.

6. Apakah Hubungan kondisi pasien dengan gejala yang dialami pasien ?


Kejadian yang tidak menyenangkan dapat menyebabkan mood disorder. Disini pasien
merasa kecewa pada tunangannya dan menjadi stress. Pada keadaan ini akan terjadi
aktivasi saraf simpatis dan hormon glukokortikoid, sehingga menyebabkan inhibisi
sekresi saliva dan peningkatan aktivitas jantung.
7. Bagaimana pasien dapat mengalami kejang ?
Adanya stress menyebabkan aktivasi saraf simpatis sehingga terjadi hiperventilasi.
Adanya hiperventilasi akan menyebabkan CO2 dalam pembuluh darah meningkat
dimana apabila kadarnya juga meningkat dalam otak maka akan menyebabkan
lecutan listrik otak sehingga menyebabkan kejang

D. STEP 4 : Diagram
GEJALA
(Sesak nafas dini hari, suara mengi,
dahak sulit keluar )

PEMERIKSAAN FISIK
(Kardiomegali, hepatomegaly, pitting oedem,
postur roundoud, ictus cordis deviasi

Diagnosis Banding
(Cor pulmonal e.c. hipertensi pulmonal,
pneumonia, asma bronkial, PPOK)

Pemeriksaan penunjang

Diagnosis kerja

Tatalaksana dan edukasi

E. STEP 5 : Define Learning Objective


1. Definisi, Etiologi dan Klasifikasi sindrom delirium
2. Patofisiologi dari macam macam kejang
3. Cara penegakan diagnosis sindroma delirium
4. Penatalaksanaan sindrom delirium
5. Pencegahan dan edukasi sindrom delirium
F. STEP 6 : Result of Learning
1. Definisi, Etiologi dan Klasifikasi Sindrom Delirium
Definisi Sindrom Delirium
Delirium adalah kejadian akut atau subakut neuropsikiatri berupa penurunan
fungsi kognitif dengan gangguan irama sirkardian dan bersifat reversible. Penyakit ini
disebabkan oleh disfungsi serebral dan bermanifestasi secara klinis berupa kelainan
neuropsikiatri. (Dewanto,dkk.2009)
Istilah delirium sama dengan keadaan bingung akut, secara tegas, hal ini
menjelaskan berbagai keadaan bingung akut yang terpisah secara klinis ditandai oleh
periode gelisah, aktivitas mental yang meninggi, mudah terbangun, kesiapan yang
jelas dalam memberikan respons terhadap stimuli tertentu (seperti suara bising yang
tiba-tiba), halusinasi visual yang mengganggu, hiperaktivitas motorik, dan stimulasi
autonom. Gangguan perhatian, penting pada keadaan bingung akut, terjadi meskipun
kebingungan yang tampak. Agitasi delirium secara khas berfluktuasi dan dapat
berubah atau berlanjut menjadi keadaan bingung yang redup. Gambaran klinis
ditunjukkan oleh adanya halusinasi yang gembira dari delirium tremens yang
menyertai berhentinya minum alcohol. Akan tetapi delirium mungkin tampak pada
keadaan bingung akut dari setiap penyebab. (Isselbacher,dkk.1999)
Delirium menurut Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders(DSM-IV-
TR) adalah sindrom yang memiliki banyak penyebab dan berhubungan dengan
derajat kesadaran serta gangguan kognitif

Etiologi Sindrom Delirium


 Penyebab-penyebab delirium yang umumnya reversibel :
 Hipoksi.
 Hipoglikemi.
 Hipertermi.
 Delirium antikolinergik.
 Sindrom putus zat karena alkohol atau sedatif.
 Penyebab lain :
 Infeksi
 Gangguan metabolik.
 Lesi struktural otak.
 Pascaoperasi.
 Lain-lain : kurang tidur, retensi urin, fecal impaction, perubahan lingkungan.
 Intoksikasi:
a. Intoksikasi zat : alkohol, heroin, kanabis, PCP (Phenyciclidin), dan LSD
b. Intoksikasi obat :
- Antikolinergik (antidepresan trisiklik).
- Narkotik (meperidin).
- Hipnotik sedatif (benzodiazepin).
- Histamin-2 (H-2) blocker (simetidin).
- Kortikosteroid.
- Antihipertensi sentral (metildopa dan reserpin).
- Antiparkinsonisme (levodopa).
 Sindrom putus zat : alkohol, opiat, dan benzodiazepin.

 Demensia
Merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar. Faktor risiko demensia
pada pasien delirium sebesar 25-50%. Adanya demensia meningkatkan risiko
delirium sebanyak 2-3 kali

 Delirium yang berhubungan dengan operasi:


 Preoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan elektrolit, dan
cairan).
 Intraoperatif (meperidin, benzodiazepine long-acting, dan anti¬kolinergik
seperti atropin).
 Pascaoperatif (hipoksia dan hipotensi).

 Penyebab neurologik
Hal ini biasanya dengan adanya tanda neurologic fokal selain fungsi
terganggu. Contohnya meliputi hemiparesis pada kaku kuduk pada meningitis
atau perdarahan subarachnoid dan gangguan gaya berjalan pada hidrosefalus.
Keadaan bingung persisten dapat terjadi dengan rangkaian kejang ringan atau
kontinyu (status epileptikus min). Keadaan bingung akut dapat menyertai
ensefalitis atau abses otak tanpa tanda sistemik infeksi yang selalu ada.

 Penyebab sistemik
Penyebab sistemik biasanya ditandai dengan tidak adanya tanda neurologic
fokal yang terpisah dari gangguan kognitif, meskipun mungkin tampak tanda
minor seperti asimetris reflex atau respons ekstensor plantaris

 Penyebab psikiatrik
Pada kecemasan, kesedihan yang ekstrim, atau depresi, orientasi terhadap
orang dan tempat biasanya tetap baik, dan dengan dorongan, pasien dapat
berkonsentrasi dan memperbaiki penampilan kognitif. Hiperaktivitas,
berkurangnya kebutuhan tidur, tekanan pembicaraan, delusi, jarak perhatian yang
singkat. Dan perhatian mudah dialihkan pada mania akut mungkin dikacaukan
dengan sensetivitas yang berlebihan pada delirium. Mania ditandai dengan
meningkatnya suasana hati yang bertahan lama dan orientasi tetap baik.

Klasifikasi Delirium

Tanda yang khas adalah penurunan kesadaran dan gangguan kognitif. Adanya
gangguan mood (suasana hati), persepsi dan perilaku merupakan gejala dari deficit
kejiwaan. Tremor, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala
deficit neurologis.
Klasifikasi delirium berdasarkan DSM-IV :
1) Delirium karena kondisi medis umum
2) Delirium karena intoksikasi zat
3) Delirium karena sindrom putus zat
4) Delirium karena etiologi multiple
5) Delirium yang tak terklasifikasikan

2. Patofisiologi dan Macam Macam Kejang


a. Patofisiologi Kejang
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,
aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisiyang
terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls .Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membran neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari
ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan melepaskan muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepasnya muatan listrik dengan jumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan kejang. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa
beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi
ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar tempat epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus melepaskan muatan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan
suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya
zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

b. Klasifikasi Kejang
Kejang telah di klasifikasikan dalam beberapa klasifikasiberdasarkan etiologi
baik itu idiopatik (primer) atau gejala (sekunder). Klasifikasi kejang pertama kali
diusulkan oleh Gastaut pada tahun 1970 dan kemudian disempurnakan berulang
kali oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, dengan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Kejang Parsial (fokal)
1.1.Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.1.1.Dengan gejala motorik
1.1.2.Dengan gejala sensorik
1.1.3.Dengan gejala otonomik
1.1.4.Dengan gejala psikik
1.2.Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.2.1.Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
1.2.1.1.Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
1.2.1.2.Dengan automatisme
1.2.2.Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
1.2.2.1.Dengan gangguan kesadaran saja
1.2.2.2.Dengan automatisme

1.3.Kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)


1.3.1.Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
1.3.2.Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
1.3.3.Kejang parsial sederhana berkembang menjadiparsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum

2.Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)


2.1.lena/ absens
2.2.mioklonik
2.3.klonik
2.4.tonik
2.5.tonik-klonik
2.6.atonik/ astatik

3.Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

c. Penjelasan Macam-Macam Kejang


1. Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa:
 “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi

2. Kejang parsial kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan
besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
 Berbicara tidak jelas seperti mengguman.

3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah.
Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin
tidur setelah serangan semacam ini.

4. Kejang absans/ Petit Mal


Kejang ini di bagi menjadi kejang absans tipikal atau petitmal dan kejang
atipikal. Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik
motorik anak secara tiba-tiba,kehilangan kesadaran sementara secara
singkat,yang di sertai dengan tatapan kosong.Sering tampak kedipan mata
berulang saat episode kejang terjadi.Episode kejang terjadi kurang dari 30
detik.Kejang ini jarang di jumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Kejang absans atipikal di tandai dengan gerakan sepertihentakan berulang
yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas dan disertai dengan
perubahan kesadaran.

5. Kejang Mioklonik
Kejang yang ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba-
tiba dan di sertai dengan flexi lengan.Kejang tipe ini dapat terjadi ratusan kali
per hari.

3. Penegakan Diagnosis Sindrom Delirium


a. Anamnesis
Anamnesis penting dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan
delirium kebanyakan datang ke dokter dengan gangguan kognitif yang sudah
parah. Oleh karena itu, pada kasus tersebut anamnesis dilakukan dengan menggali
informasi dari keluarga dekat.
Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom
delirium yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Dengan
algoritma ini, seorang dokter bisa menggali informasi yang dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis.

Tabel 1. Confusion Assessment Method (CAM)


Confusion Assessment Method (CAM)
Awitan akut dan berfluktuasi
a. Apakah ada bukti status mental pasien berubah mendadak (akut) dari
kondisi awalnya?
1.
b. Apakah perilaku tersebut (abnormal) berfluktuasi pada hari itu,
dengan kata lain hilang timbul atau keparahannya meningkat-
menurun?
Perhatian tidak terfokus
2. Apakah pasien sulit memusatkan perhatian, misalnya mudah sekali teralih
atau sulit mengikuti pembicaraan?
Pikiran tidak tertata
Apakah pemikiran pasien tidak tertata atau tidak koheren, misalnya
3.
percakapan melantur atau tidak relevan, aliran gagasan tidak jernih atau tidak
logis, berganti-ganti topik secara tidak terduga?
Perubahan tingkat kesadaran
Secara keseluruhan, bagaimana anda menilai tingkat kesadaran pasien ini?
4.
Apakah waspada (normal), vigilant (waspada berlebihan), letargik, stupor,
koma?
Pasien harus memenuhi nilai 1 dan 2 ditambah nilai 3 atau 4 untuk diagnosis
delirium.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sering mengungkapkan petunjuk penyebab delirium.
Adanya temuan fisik berupa gambaran klinis yang telah diketahui atau riwayat
trauma kepala atau ketergantungan alkohol atau zat lain membantu menegakkan
diagnosis.
Tabel 2. Gambaran Klinis Delirium
Disfungsi
Gambaran Esensial Gambaran Variabel Pemeriksaan Fisik
Autonom
 Onset akut  Gangguan persepsi  Disartria  Takikardi
 Berfluktuasi  Hiper/hipo-aktif  Disnomia  Hipertensi
 Tidak terfokus  Ganguan tidur atau  Disgrafia  Berkeringat
 Disorganisasi siklus tidur  Afasia banyak
berpikir &  Gangguan  Nistagmus  Flushing
berbicara emosional  Ataksia  Dilatasi pupil
 Kesadaran  Tremor/asteriksis
berkabut  Mioklonus
 Defisit kognitif

c. Pemeriksaan Penunjang
Delirium biasanya didiagnosis di bangsal rawat dan ditandai oleh awitan
gejala yang mendadak. Pemeriksaan status mental di bangsal rawat, contohnya
Mini Mental State Examination (MSSE), dapat digunakan untuk
mendokumentasikan hendaya kognitif serta untuk memberikan landasan untuk
mengukur perjalanan klinis pasien.
Pemeriksaan laboratorium pasien delirium sebaiknya mencakup uji standar
dan pemeriksaan tambahan sesuai indikasi klinis. Pada delirium, EEG secara
karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas secara umum dan dapat berguna
untuk membedakan delirium dengan depresi dan psikosis. EEG pasien delirium
kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas fokal. Pada kasus jarang,
mungkin sulit untuk membedakan delirium terkait epilepsi dengan delirium
terkait penyebab lain.
CT Scan dilakukan untuk delirium dengan sebab kelainan intrakanial. Pungsi
lumbal juga perlu dilakukan jika curiga penyebab delirium adalah meningitis.
d. Kriteria Diagnosis Delirium
Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria dari DSM-5, yaitu:
1. Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan terhadap lingkungan)
dengan penurunan kemmapuan fokus, mempertahankan atau mengubah
perhatian.
2. Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam
hingga hari) dan biasanya cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
3. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa)
atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam kondisi demensia
4. Gangguan pada kriteria 1 dan 3 tidak disebabkan oleh gangguan neuro-
kognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang berkembang dan
tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma
5. Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang
mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung
suatu kondisi medik umum, intoksiksikasi atau penghentian substansi
(seperti penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap
toksin, atau karena etiologi multipel.

e. Diagnosis Banding Delirium


Delirium harus dibedakan dengan demensia dan depresi.

Tabel 3. Perbedaan Delirium, Demensia, dan Depresi


Delirium Demensia Depresi
Onset Akut Perlahan bervariasi
(tersembunyi)
Perjalanan Berfluktuasi Progresif Diurnal
Kesadaran Terganggu, berkabut Baik hingga tahap Baik
akhir
Perhatian Tidak terfokus Normal Kurang
Memori Memori jangka Memori jangka Normal
pendek kurang pendek kurang
Proses Disorganisasi, Kesulitan dengan Tidak
berpikir inkoheren pemikiran abstrak terganggu,
kurang percaya,
tidak ada
harapan hidup
Persepsi Misinterpretasi, Normal (kecuali lewy Dapat dengan
halusinasi, delusi body) kompleks delusi
psikosis
paranoid
MMSE Sulit menyelesaikan Berjuang Kurang
MMSE keras/berusaha motivasi
menemukan respon
yang benar

f. Pemeriksaan Penunjang
a. ASPEK LABORATORIUM
 Digunakan untuk screening etiologi dan mengetahui kemungkinan komplikasi
 Hasil lab yang muncul adalah :
 Hematocrit meningkat dan polisitemia
Disebabkan penyakit paru dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
dengan kenaikan viskositas darah.
Peningkatan jumlah eritrosit juga berhubungan dengan usaha tubuh untuk
mengikat oksigen lebih banyak.
 Antibody anti-nuclear
Penyakit vascular kolagen (scleroderma)
 Serum alfa-1 antitripsin
Jika terjadi defisiensi, melindungi dari enzim protein dan kerusakannya.
 Blood Gas Analysis
Dilakukan untuk mengevaluasi status oksigen dan karbondioksida dalam
pembuluh darah arteri, serta mengukur pH darah.
 B-Natrium Peptide (BNP)
Merupakan hormone yang disekresi oleh ventrikel dan dikeluarkan jika
ventrikel mengalami kelelahan.
Memiliki prohormon yaitu nt-pro BNP.

b. X-FOTO THORAX
 Pada cor-pulmonale biasanya tampak :
Pembesaran a.pulmonalis daerah hilus
Pembesarah jantung kanan
Pelebaran v.cava
Penurunan drastic corak vaskuler paru
Jika terdapat emfisema, difragma agak rendah
c. EKG

EKG pada kor pulmonale biasanya terdapat gambaran Right Ventricle Hipertrophy
(RVH), RV Strain. Berbagai perubahan pada EKG:

1. Right Axis Deviation


2. R/S Amplitudo rasio pada V1 >1 (normalnya <1)
3. R/S Amplitudo rasio pada V6 <1 (normalnya >1)
4. Terdapat gambaran P-pulmonale (Kenaikan gelombang P)
5. Gambaran S1Q3T3 pattern dan inkomplit/komplit Right Bundle Branch
Block. Terutama bila etiologinya menyangkut emboli pada paru

Ritme pada kor pulmonale biasanya bervariasi dari normal sampai aritmia. Biasanya
supraventrikular

d. Echocardiography

Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis
kor pulmonal adalah dengan echocardiography. Dimensi ruang ventrikel kanan
membesar, tetapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran
echocardiography katup pulmonal, gelombang ‘a’ hilang menunjukan hipertensi
pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan echocardiography sulit terlihat katup
pulmonal karena acoustic window sempit akibat penyakit paru.

g. Penatalaksanaan Medikamentosa Dan Non Medikamentosa; Serta Edukasi Pada


Pasien Cor Pulmonale
Pada pasien cor pulmonal yang merokok, maka merupakan suatu keharusan dan
kewajiban bagi mereka untuk benar-benar berhenti merokok sebagai langkah paling
awal dalam prosedur penatalaksanaan sebelum dilanjutkan dengan penatalaksanaan
yang lainnya.

Tujuan pengobatan pada pasien dengan cor pulmonal adalah:


a. Melakukan pengobatan pada penyakit yang mendasarinya.
b. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas.
c. Menurunkan tahanan perifer a.pulmonalis sehingga menurunkan tragedi
hipertensi pulmonal.
d. Melakukan pengobatan pada penyakit komplikasi lainnya.
e. Melakukan pengobatan untuk gagal jantung kanan (bila terjadi).
f. Meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga bisa produktif kembali.

PENATALAKSANAAN
TERAPI O2
 Terapi O2 akan mengurangi vasokontriksi sehingga akan menurunkan tahanan
perifer pembuluh darah pulmo yaitu a.pulmonalis sehingga isi sekuncup (stroke
volume) jantung akan meningkat.
 Terapi O2 juga akan meningkatkan aliran oksigen ke otak, jantung, dan organ-
organ penting lainnya. Yang juga akan berefek pada peningkatan kualitas hidup.
 Durasi penggunaan terapi O2 sendiri terdapat beberapa sumber yaitu:
1) Selama 12 jam (National Institute of Health);
2) Selama 15 jam (British Medical Research Council); dan
3) Selama 24 jam (National Institute of Health).
VASODILATOR
 Obat-obat golongan vasodilator di antaranya adalah Nitrat, Hidralazine,
Minoxidil, dan Diazoxide. Penggunaan obat-obatan ini dapat disertai pula
dengan obat-obatan ACE Inhibitor seperti captotril, ramipril, dan lisinopril.
 Penggunaan vasodilator ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan
hemodinamik seperti:
1) Resistensi vaskuler paru diturunkan minimal 20%;
2) Curah jantung meningkat atau tidak berubah;
3) Tekanan a.pulmonalis menurun atau tidak berubah; dan
4) Tekanan darah sistemik tidak berubah dengan signifikan.
 Evaluasi diperlukan untuk memastikan apakah keseimbangan hemodinamik
bersifat menetap atau tidak; dalam kurun waktu setelah 4-5 bulan penggunaan.

DIGITALIS
 Obat digitalis hanya digunakan apabila cor pulmonal disertai dengan gagal
jantung kiri atau indikasi adanya atrial fibrillation (AF).
 Penggunaan obat digitalis ini bisa saja meningkatkan resiko terjadinya
komplikasi aritmia jantung.
DIURETIK
 Obat diuretik digunakan apabila cor pulmonal disertai dengan gagal jantung
kanan.
 Golongan obat diuretik ini seperti thiazide dan furosemide; yang berfungsi untuk
meningkatkan proses urinasi guna menurunkan tekanan darah sistemiknya.
 Namun, penggunaan diuretik memiliki beberapa kelemahan yaitu timbulnya
kekurangan cairan (dehidrasi) sehingga berdampak pada menurunnya preload
ventrikel kanan dan menurunnya curah jantung.
FLEBOTOMI
 Merupakan tindakan yang dilakukan pada pasien cor pulmonal dengan nilai
hematokrit (Ht) yang tinggi; pada keadaan ini nilai Ht diharapkan untuk turun
mencapai angka 59%. Indikasi dilakukannya terapi ini bila terjadi gagal jantung
kanan.
 Apa itu hematokrit? Hematokrit adalah perbandingan antara jumlah sel darah
merah dengan semua volume darah. Nilai hematokrit normal adalah sebagai
berikut:
1) Pria dewasa : 38,8 s.d 50%
2) Wanita dewasa : 34,9 s.d 44,5%
ANTIKOAGULAN
 Antikoagulan diberikan apabila dicurigai terjadi tromboemboli akibat adanya
hipertrofi dan disfungsi ventrikel kanan; dan adanya faktor imobilisasi pada
pasien.
 Obat-obatan antikoagulan ini seperti Heparin, dan Warfarin.

EDUKASI
Edukasi yang bisa diberikan pada pasien cor pulmonal meliputi:
a. Apabila pasien merupakan perokok, maka harus diedukasikan bahwa dia
wajib dan harus berhenti merokok guna mengurangi resiko terpaparnya asap
rokok dan zat-zat berbahaya pada rokok yang dapat memperparah keadaan
dan menggagalkan pengobatan.
b. Mengedukasikan kepada pasien untuk menghindari paparan asap rokok, zat
kimia, dan polusi udara baik indoor maupun outdoor; yang bisa diatasi dengan
penggunaan masker pada kehidupan sehari-hari.
c. Menghindari dan mengobati segera apabila positif terserang penyakit-penyakit
infeksi pada saluran pernapasan agar tidak memperkeruh kondisi tubuh.
d. Mengutamakan diet makanan yang cukup nutrisi dan tidak memperberat
beban yaitu dengan makanan-makanan yang teksturnya lunak seperti bubur.
Daftar Pustaka

Dewanto, G.dkk.2009. Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC


Isselbacher, dkk.1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit dalam: Volume 1. Jakarta:
EGC
1. Guidelines for seizure Management. 2010
2. Goldenberg, M.M. Overview of Drugs Used for epilepsy and Seizures. P & T. 2010, 36:7.
3. French, J.a. Pedley, T. A. Initial Management of Epilepsy. The new England Journal of
Medicine. 2008.
4. Winifred Karema, Gunawan Dimas P, dkk .'Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Tentang Epilepsi Di Kelurahan Mahena Kecamatan Tahuna Kabupaten Sangihe'. Manado:
Universitas Sam Ratulangi, 2008.
5. Vaughan, C. J. Delanty, N. Pathophysiology of acute Symptomatic Seizure.. Seizures :
Medical Causesand Management. 2002.
6. Care of the patient with seizures 2th. USA : AANN Clinical Practice Guidelines Series.2009
7. Haurer Stephen L. Harrison”s Neurology In clinical Medicine. Usa : Mc Graw Hill Education,
2013.
8. Sidharta Priguna. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum, Jakarta : Dian Rakyat.2007
9. Rudzinski, L.A. Shih, J.J. The Classfication of Seizures and Epilepsy Syndromes.Novel
Aspect On Epilepsy. 2011
10. Type of Seizures. USA : Epilepsy Foundation of America. 2009

Luman, Andi. 2015. Sindrom Delirium. Kalbemed online


Mumlim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Diagnosis PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya
Sadock, Benjamin J. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai