Anda di halaman 1dari 283

ISBN : 978-602-9238-62-4

MEKANIKA KUANTUM MOLEKUL


Struktur Elektronik Atom dan Molekul
Rustam E. Siregar
MEKANIKA KUANTUM MOLEKUL:

STRUKTUR ELEKTRONIK
ATOM DAN MOLEKUL

Rustam E. Siregar

Departemen Fisika, FMIPA


UNIVERSITAS PADJADJARAN

ISBN 978-602-9238-62-4

i
PENGANTAR

Alhamdulillah. akhirnya penulisan buku ini dapat terselesaikan. Sesungguhnya buku ini
merupakan pengembangan dari diktat dan catan-catatan kuliah serta menggunakan
berbagai buku teks dan makalah-makalah. Isi buku ini dirancang sesuai kebutuhan
perkuliahan mahasiswa tingkat S1 dan S2 prodi Fisika dan Kimia. Dalam setiap bab,
buku ini diperlengkapi dengan contoh-contoh dan soal-soal untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik.
Struktur elektronik adalah keadaan gerak elektron-elektron di dalam medan
elektrostatik inti-inti yang stasioner. Pengertian itu meliputi fungsi-fungsi gelombang dan
energi-energi bersangkutan. Struktur elektronik diperoleh melalui penyelesaian
persamaan-persamaan fisika kuantum. Untuk itu ada sejumlah metoda perhitungan dan
penggunaannya bervariasi dari kasus ke kasus.
Sesuai dengan pengertian di atas, terlebih dahulu di dalam Bab 1 dikemukakan
dasar-dasar fisika kuantum yang meliputi persamaan Schrödinger, persamaan nilai eigen,
representasi matriks, teori gangguan dan metoda variasi. Bab ini selanjutnya merupakan
landasan bagi pembahasan struktur elektronik atom dan molekul dalam bab-bab
selanjutnya.
Bab 2 berisi struktur elektronik atom berelektron tunggal seperti hidrogen. Karena
sangat sederhana, penurunan struktur elektroniknya dapat dilakukan secara analitik.
Pengertian orbital atom dan energi bersangkutan, pengertian spin, pengaruh medan listrik
(efek Stark) dan medan magnet (efek Zeeman) serta interaksi-interaksi lainnya
diperkenalkan dalam bab ini.
Dalam Bab 3 dikemukakan struktur elektronik atom dengan sejumlah elektron,
khususnya helium dan litium. Potensial antara elektron-elektron menyebabkan
perhitungan secara analitik menjadi lebih sulit. Untuk itu digunakan teori gangguan dan
metoda variasi. Di sini mulai dipergunakan prinsip Pauli tentang spin elektron dan
diperkenalkan fungsi gelombang dengan cara determinan Slater. Dalam bab ini mulai
diperkenalkan perhitungan yang menggunakan orbital atom jenis Slater (STO) dan proses
self consistent field (SCF) serta korelasi elektron dan penanganannya.
Strukrur elektronik molekul dimulai dalam Bab 5, namun sebelumnya dibahas
simetri molekul dalam Bab 4 dengan menggunakan teori grup. Simetri molekul dengan
representasi-representasi irreducible-nya serta pembentukan orbital molekul sebagai
kombinasi linier yang teradaptasi simetri dikemukakan dalam bentuk contoh-contoh. Bab
5 berisi struktur elektronik molekul sederhana, seperti molekul ion hidrogen, molekul
hidrogen dan LiH. Pembahasan diawali dengan aproksimasi Born-Openheimer dan teori
orbital molekul. Dalam bab ini sudah diperkenalkan interaksi konfigurasi. Bab 6 berisi
tentang molekul organik terkonjugasi; pembahasan dilatar-belakangi oleh teori elektron-
π. Dengan demikian struktur molekul dapat diungkapkan dengan metoda perhitungan
Hückel. Hasil-hasil perhitungan dengan metoda ini mampu memperlihatkan kesesuaian
faktual secara kualitatif.
Metoda perhitungan secara ab initio berdasarkan persamaan Hartree-Fock-
Roothaan dikemukakan dalam Bab 7. Secara detail dikemukakan cara pembentukan
fungsi-fungsi basis (STO-nGTO) untuk mengatasi kesulitan perhitungan integral-integral
molekul dalam proses SCF. Berbagai cara mengatasi masalah korelasi elektron
dikemukakan secara lengkap. Dalam bab ini juga dikemukakan berbagai metoda semi-
empirik berikut aproksimasi-apoksimasi yang melandasinya. Dalam Bab 8 dikemukakan

ii
berbagai besaran atau sifat-sifat molekul yang dapat dihitung dengan menggunakan
fungsi gelombang keadaan dasar hasil perhitungan ab initio atau semi-empirik. Bab
terakhir, Bab 9, berisi tentang dasar-dasar spektroskopi NMR, Inframerah, Raman dan
UV-Vis.
Isi buku ini akan terus akan diperbaiki dan dikembangkan. Akhirnya, kepada
Allah swt. kita berserah diri, dengan harapan semoga buku ini bermanfaat bagi
mahasiswa dan pembaca.
Jatinangor, 09 April 2014
Rustam E. Siregar

iii
DAFTAR ISI
Pengantar i
Daftar Simbol vii
BAB 1 DASAR-DASAR FISIKA KUANTUM\ 1
1.1 Persamaan Schrödinger 1
1.2 Representasi Matriks 12
1.3 Gangguan Tak Bergantung Waktu 17
1.4 Gangguan Bergantung Waktu 26
1.5 Metoda Variasi 29
Soal-soal 31

BAB 2 ATOM BERELEKTRON TUNGGAL 33


2.1 Spektrum Atom Hidrogen; Model Bohr 33
2.2 Momentum Sudut Elektron 34
2.3 Energi dan Fungsi Gelombang Elektron 42
2.4 Probabilitas Transisi 48
2.5 Effek Stark 49
2.6 Spin Elektron 52
2.7 Effek Zeeman 54
2.8 Interaksi Hyperfine 57
Soal-soal 60

BAB 3 ATOM DENGAN BEBERAPA ELEKTRON 62


3.1 Atom Helium 62
3.1.1 Atom Helium pada keadaan dasar 62
3.1.2 Atom Helium pada keadaan tereksitasi 68
3.2 Prinsip Pauli; Determinan Slater 73
3.3 Atom Litium 78
3.4 Metoda SCF untuk Atom 81
3.5 Korelasi Elektron 92
3.6 Struktur Elektronik Atom 95
Soal-soal 102

BAB 4 SIMETRI MOLEKUL 103


4.1 Simetri dan Grup Simetri 103
4.2 Representasi Grup 105
4.3 Grup dan Fisika Kuantum 109
4.4 Perkalian Langsung 110
4.5 Beberapa contoh aplikasi 112
Soal-soal 129

BAB 5 MOLEKUL DIATOMIK 120


5.1 Aproksimasi Born-Oppenheimer 120
5.2 Teori Orbital Molekul 121
5.3 Molekul Ion Hidrogen 123
5.4 Molekul Hidrogen dalam Keadaan Dasar 129
5.5 Interaksi Konfigurasi 133
5.6 Molekul Hidrogen dalam Keadaan Tereksitasi 134
5.7 Molekul Diatomik Homonuklir 136

iv
5.8 Molekul Diatomik Heteronuklir 140
Soal-soal 144

BAB 6 MOLEKUL ORGANIK TERKONJUGASI 145


6.1 Hibridisasi Orbital-Orbital Atom 145
6.2 Metoda Hückel 151
6.3 Poliena Terkonjugasi Linier 161
6.4 Poliena terkonjugasi siklis 163
6.5 Aplikasi Simetri 165
6.6 Pengaruh Heteroatom dan Substituen 175
Soal-soal 177

BAB 7 METODA KOMPUTASI STRUKTUR ELEKTRONIK 179


7.1 Perumusan Hartree-Fock-Roothaan 179
7.2 Fungsi-fungsi Basis 187
7.3 Korelasi Elektron 192
7.3.1 Interaksi Configurasi (CI) 192
7.3.2 Teori Gangguan Møller-Plesset (MP) 193
7.3.3 Teori Coupled-Cluster (CC) 195
7.4 Teori Fungsional Kerapatan (DFT) 197
7.5 Metoda Semi-empirik 201
7.5.1 Metoda Hückel yang diperluas 201
7.5.2 Metoda Pariser-Parr-Pople 202
7.5.3 Metoda CNDO 204
7.5.4 Metoda INDO 205
7.5.5 Metoda NDDO 207
7.5.6 Metoda MNDO 208
7.6 Metoda Mekanika Molekul 209
7.7 Hibrid MK/MM 211
7.8 Paket Piranti Lunak 212
Soal-soal 214

BAB 8 BEBERAPA BESARAN MOLEKUL 215


8.1 Muatan Atom 215
8.2 Momen Dipol Permanen 215
8.3 Polarizabilitas Listrik Statik 217
8.4 Polarizabilitas Listrik Dinamis 222
8.5 Indeks Bias Bahan Optik 226
8.6 Interaksi Dispersi 226
8.7 Polarizabilitas Magnet 228
8.8 Aktivitas Optik 230
Soal-soal 234

BAB 9 SPEKTROSKOPI MOLEKUL 235


9.1 Resonansi Magnetik Inti (NMR) 235
9.2 Spektroskopi Inframerah 239
9.3 Spektroskopi Raman 242
9.4 Spektroskopi UV-Vis 244

Apendiks 1. Beberapa Konstanta 250

v
Apendiks 2. Beberapa Integral 251
Apendiks 3. Transformasi Koordinat Cartesian ke Koordinat Bola 252
Apendiks 4. Karakteristik Beberapa Atom 254
Apendiks 5. Tabel Karakter Beberapa Grup Simetri 257
Apendiks 6. Beberapa Program Komputer 262
Apendiks 7. Koordinat dan Frekuensi Normal 266
Indeks 269
Daftar Pustaka 271

vi
DAFTAR SIMBOL

a0 Jari-jari Bohr
anm Koefisien kombinasi linier
A Representasi irredusibel (berdimensi satu) yang simetrik terhadap sumbu rotasi C2
Å Angstrom
Aav: Harga rata-rata, nilai ekspektasi operator Â
 Fungsi spin
Potensial ionisasi dalam metoda Hückel (Fii),
Eksponen dalam fungsi Gaussian,
Polarizabilitas listrik.
B Medan magnet
Representasi irredusibel (berdimensi satu) yang anti-simetrik terhadap sumbu rotasi C2
 Fungsi spin
Elemen off-diagonal dari Hamiltonian efektif elektron-π
Hyperpolarizabilitas order-1;
Magneton Bohr
c Kecepatan cahaya dalam ruang hampa
cin Koefisien LCAO ke-i dalam orbital molekul ke-n.
D Energi dissosiasi
Satuan polarizabilitas (debye)
ij Kronecker delta
e Muatan elementer
E Energi
E Medan listrik
n Energi orbital molekul ke-n
f Frekuensi
F Operator Fock
G Operator gangguan
γ Gyromagnetic ratio

H Hamiltonian sistem partikel
K Energi kinetik
L Panjang;
Momentum sudut.
ℓ Bilangan kuantum orbilat
m Massa elektron
mℓ Bilangan kuantum magnetik orbital
ms Bilangan kuantum magnetik spin
µ Dipole listrik;
Elektron ke-µ
n Bilangan kuantum utama,
Indeks orbital molekul.
N Jumlah elektron
ν Elektron ke-ν

vii
BAB 1
DASAR-DASAR FISIKA KUANTUM
Pada awal abad 20 para Fisikawan menyadari bahwa hukum-hukum makroskopik dalam
Fisika tidak mampu menjelaskan perilaku partikel pada tingkat mikroskopik. Hal itu
mendorong para Fisikawan untuk mengembangkan suatu bidang Fisika yang disebut
Mekanika Kuantum atau Fisika Kuantum. Pada hakikatnya, Fisika Kuantum bertolak dari
sifat gelombang partikel. Jika bentuk potensial yang mempengaruhi partikel serta
batasannya diketahui maka akan diperoleh fungsi gelombang dan peluang keberadaannya,
serta energidan sifat-sifat lainnya.

1.1 Persamaan Schrödinger


Dalam fisika klassik dikenal persamaan gelombang 1-dimensi sebagai berikut

 2 ( x, t ) 1  2 ( x, t )
 2  0. (1.1)
x 2 v t2

di mana  ( x, t ) adalah fungsi gelombang dengan variable posisi (x) dan waktu (t). Jika
dimisalkan
 ( x, t )   ( x)  (t ) (1.2)

dan disubstitusikan ke persamaan (1.1) maka

v 2 d 2 ( x) 1 d 2 (t )
 2 . (1.3)
 ( x) dx 2
 (t ) dt 2

Pemberian konstanta -2 dapat dilakukan karena telah terjadi pemisahan variabel x dan
variabel t. Secara fisis hal ini berlaku karena keadaan yang stasioner. Jadi, dari persamaan
(1.3) itu diperoleh dua persamaan:

d 2 (t )
  2 (t )  0 (1.4)
d t2
dan
d 2 ( x)  2
 2  ( x)  0 (1.5)
dx 2 v

Dari persamaan (1.4) diperoleh

 (t ) ~ e i t (1.6)

dengan i   1 adalah bilangan imajiner. Jadi fungsi gelombang (1.2) dapat dituliskan
menjadi
 ( x, t )   ( x) e it (1.7)

Jika partikel dipandang sebagai gelombang, maka panjang gelombangnya adalah

1
=h/p. di mana h=6,6310-34 Js disebut konstanta Planck dan p momentum linier
partikel. Karena kecepatan v=f maka


v (1.8)
p

di mana   h / 2 .dan =2f. Dengan demikian maka persamaan gelombang (1.5)


menjadi
d 2 ( x) p 2
 2  ( x)  0 (1.9)
dx 2 

Tetapi, karena energi kinetik partikel adalah

p2
T (1.10)
2m

maka persamaan gelombang (1.9) menjadi

d 2 ( x) 2m T
 2  ( x)  0 (1.11)
dx 2 

Jika energi potensial yang dimiliki partikel adalah V, maka energi partikel itu
adalah
E  T V (1.12)

Dengan demikian maka persamaan gelombang (1.11) menjadi

d 2 ( x) 2m
 2 ( E  V )  ( x)  0 (1.13)
dx 2 

Inilah yang disebut persamaan Schrödinger yang tidak bergantung waktu. Jadi, persamaan
Schrödingeradalah persamaan gelombang untuk satu partikel. Untuk 3-dimensi
persamaan Schrödinger adalah:

2m
 2 ( x, y, z )  ( E  V ) ( x, y, z )  0 (1.14)
2
di mana
d2 d2 d2
2    .
dx 2 dy 2 dz 2

Dari persamaan (1.13) dan (1.14) jelas bahwa persamaan Schrödinger adalah persamaan
gelombang bagi partikel. Solusi persamaanitu adalah energi E dan fungsi gelombang
φ(x)Untuk menyelesaikan persamaan itu diperlukan syarat batas bagi fungsi gelombang
φ(x). Syarat batas itu bisa ditentukan jika bentuk energi potensial V(x) diketahui
sebelumnya.
Persamaan Schrödinger (1.13) untuk 1-dimensi dapat dituliskan sebagai berikut:

2
 2 d 2 
 2
 V ( x)  ( x)  E ( x) (1.15)
 2m dx 
Untuk itu nyatakanlah
ˆ 2 d 2
H   V ( x) (1.16)
2m dx 2

sehingga persamaan (1.15) menjadi

Hˆ  ( x)  E ( x) (1.17)

Ĥ disebut Hamiltonian partikel yang merupakan operator energi dari partikel. Untuk
kasus 3-dimensi Hamiltonian itu adalah

2 2
Hˆ     V ( x, y, z ) (1.18)
2m

Hamiltonian di atas hanya bergantung pada ruang, tidak bergantung waktu. Jadi ia
bersifat stasioner. Dalam persamaan (1.17) terlihat bahwa operasi operator Ĥ pada fungsi
 (x) menghasilkan energi E tanpa mengubah fungsi  (x) . Persamaan seperti itu disebut
persamaan nilai eigen, di mana E adalah nilai eigen energy dari operator Ĥ dengan fungsi
eigen  (x) . Analogi dengan fisika klassik, E=K+V, maka  ( 2 / 2m) 2 / x 2 adalah
operator energy kinetik dan V adalah operator energi potensial dari partikel; baca Siregar
(2010).
Kembali ke persamaan (1.7), mengingat   E /  maka persamaan itu bisa
dituliskan seperti  ( x, t )   ( x) e iEt /  . Jika operator Ĥ dioperasikan pada fungsi lengkap
itu maka

𝐻 𝜓(𝑥, 𝑡) = 𝐻 𝜑(𝑥)𝑒 𝑖𝐸𝑡 /ℏ = 𝐸𝜑(𝑥)𝑒 𝑖𝐸𝑡 /ℏ


𝜕
= −𝑖ℏ 𝜓(𝑥, 𝑡)
𝜕𝑡
Persamaan ini

 i  ( x, t )  Hˆ  ( x, t ) (1.19)
t

disebut persamaan Schrödinger yang bergantung waktu.


Dengan fungsi gelombang  (x) dapat dinyatakan kerapatan peluang untuk
menemukan partikel itu di posisi x dalam rentang dx, yakni  ( x) dx sehinggaberlaku
2



  ( x)
2
dx  1 (1.20)


Persamaan (1.20) itu menyatakan fungsi gelombang partikel yang dinormalisasi. Dalam
persamaan itu  ( x)   * ( x)  ( x)   ( x) di mana  * ( x) adalah konjugat dari  (x)
2 2

Merngenai persamaan Schrödingerlihat juga Clark (1982) dan Siregar (2010).

3
Contoh 1.1 Sumur Potensial Persegi Tak Hingga
Andaikanlah sebuah elektron terperangkap didalam potensial berbentuk sumur tak
terhingga berdimensi-1 seperti berikut:

0; −𝑎 < 𝑥 < 𝑎
𝑉(𝑥) = (1.21)
∞; 𝑥 ≥ 𝑎, 𝑥 ≤ −𝑎
V=

-a 0 a x

Gambar 1.1 Potensial persegi tak hingga berdimensi-1.

Potensial persegi tak hingga 1-dimensi disebut juga kotak 1-dimensi dengan panjang 2a.
Seperti terlihat dalam Gambar 1.1, partikel itu berada dalam daerah -a<x<a, dan sama
sekali tak dapat ke luar daerah itu. Dengan perkataan lain peluang elektron berada di x>a
dan di x <-a sama dengan nol. Oleh sebab itu, jika (x) adalah fungsi gelombang
elektron, maka syarat batas bagi fungsi gelombang itu adalah:

 ( a )   ( a )  0 (1.22)

Karena V(x)=0 dalam daerah –a<x<a, maka persamaan Schrödinger (1.13) bagi partikel
tersebut adalah:
 2 d 2
 E  0 (1.23)
2m dx 2
atau
d 2 2mE
2
 k 2  0; k 2  2 (1.24)
dx 

Solusi persamaan (1.24) adalah

 ( x)  C cos kx dan  ( x)  D sin kx (1.25)

Dengan syarat batas dalam persamaan (1.22), untuk x=a diperoleh

n
cos ka  0; k  ; n  1, 3, 5, ......
2a (1.26)
n
sin ka  0; k  ; n  2, 4, 6, ......
2a
Jadi fungsi eigen itu adalah:

 n ( x)  C cos nx / 2a  untuk n=1,3,5,


 n ( x)  D sin (nx / 2a) untuk n=2,4,6 …

4
Harga C dan D dihitung melalui normalisasi fungsi, yakni:
a


a
n ( x) 2 dx  1 .

Hasilnya adalah C=D= 1 / a , sehingga fungsi-fungsi eigen itu adalah:

1 𝑛𝜋
𝜑𝑛 𝑥 = cos
𝑥 ; 𝑛 = 1,3,5.. (1.27)
𝑎 2𝑎
1 𝑛𝜋
𝜑𝑛 (𝑥) = cos 𝑥 ; 𝑛 = 2,4,6. ..
𝑎 2𝑎

dengan n disebut bilangan kuantum. Fungsi-fungsi ini membentuk set ortonormal;


maksudnya:
1,jika 𝑛 = 𝑚
𝑎 ∗
𝜑 (𝑥)𝜑𝑚 (𝑥)𝑑𝑥 = 𝛿𝑛𝑚 =
−𝑎 𝑛
(1.29)
0,jika 𝑛 ≠ 𝑚

Berdasarkan persamaan (1.27 a, b), fungsi-fungsi eigen dan kerapatan peluang


keberadaan elektron dapat dilukiskan seperti dalam Gambar 1.2.Selanjutnya, dari
persamaan (1.24) dan (1.26) diperoleh harga eigen energi:

  2 2 
En  n  2
; n  1, 2, 3, ....
2 
(1.30)
 8ma 

3 32
3
2

2 22
3
2
2

1 12
3
1 2

-a0 ax -a 0 ax
Gambar 1.2 Fungsi-fungsi eigen n dan kerapatan peluangn2 untuk n=1, 2, 3.

Energi ini berharga diskrit (tidak kontinu, tapi bertingkat-tingkat) yang ditandai oleh
bilangan kuantum n; rupanya, suatu partikel yang terperangkap dalam sumur potensial
memiliki tingkat-tingkat energi (diskrit) seperti diperlihatkan dalam Gambar 1.3. Dengan
bahasa yang lain, partikel yang terperangkap dalam suatu potensial mengalami kuantisasi.
4
E4=16E1
3
E3=9E1
2
E2=4E1
1
E1   2  2 / 8ma2  
Gambar 1.3 Tingkat-tingkat energi elektron yang terperangkap dalam sumur potensial
tak terhingga.

5
Contoh 1.2 Potensial Persegi Terhingga
Misalkan elektron berada dalam sumur potensial terhingga seperti

0;  a  x  a
V ( x)   (1.31)
V0 ; x  a, x  a

Seperti diperlihatkan dalam Gambar 1.4 partikel berada dalam daerah –a<x<a. Jika
energi E<Vo secara klasik partikel tak dapat ke luar daerah itu. Tetapi secara kuantum,
karena potensial itu terhingga partikel masih berpeluang berada diluar daerah –a<x<a.
Jadi, berbeda dengan sebelumnya, syarat batas tak dapat diterapkan; yang dapat
dinyatakan adalah ()=0.
V
Vo
E<Vo

-a 0 a x

Gambar 1.4 Sumur potensial persegi terhingga.

Untuk daerah –a<x<apersamaan Schrödinger adalah:

d 2 2m
 E  0 (1.32)
dx 2  2

dengan mana diperoleh solusi berikut:

 ( x)  cos kx dan  ( x)  sin kx (1.33a)


dengan
2mE
k2  . (1.33b)
2

Untuk daerah xa, persamaan Schrödinger adalah:

d 2 2m
 ( E  Vo )  0 (1.34)
dx 2  2

Karena energi partikel E<Vo maka (x) merupakan fungsi exponensial yang menurun
menuju nol di x=. Jadi, untuk xa didapat

 ( x)  C e  K x (1.35a)
dengan
2m(Vo  E )
K2  . (1.35b)
2

Agar (x) kontinu di semua harga x=±a, kedua persamaan (1.33a) dan (1.35a) beserta
turunannya di x=±a harus sama. Jadi,

6
cos ka  Ce  Ka
 k sin ka   KCe  Ka
sehingga,
ka tg ka  Ka \ (1.36)
Begitu pula,
sin ka  Ce  Ka
k cos ka   KCe  Ka
sehingga
ka ctg ka   Ka \ (1.37)

Selain itu, dari persamaan (1.33b) dan (1.35b) diperoleh persamaan lingkaran

2mVo a 2
(ka) 2  ( Ka) 2  (1.38)
2

Ketiga persamaan (1.36), (1.37) dan (1.38) digambarkan dalam Gambar 1.5. Perpotongan
lingkaran (Vo tertentu) dengan garis-garis tg(ka) dan ctg (ka) memberikan harga-harga
kuntuk Vo tersebut. Harga-harga k itu ditandai dengan bilangan kuantum n=0, 2, 4,….
untuk perpotongan dengan tg(ka) dan n=1, 3, 5, …. untuk perpotongan dengan ctg(ka).
Selanjutnya dengan persamaan (1.33b) diperoleh harga-harga eigen energi:

 2 k n2
En  ; n  0,1, 2, ............. (1.39)
2m

Terlihat dalam Gambar 1.5 bahwa jumlah tingkat energi sangat bergantung pada
harga Voa2; misalnya untuk Voa2ħ2/4m hanya ada satu, dan ada dua tingkat energi
untukVoa2ħ2/2m. Fungsi-fungsi eigen di dalam sumur potensial mirip dengan
persamaan
tg (ka) tg (ka)
ctg (ka) ctg (ka)
Ka

n=0

n=1 2meVo a 2
(ka) 2  ( Ka) 2 
2
n=2

n=3
0 /2  3/2 2 ka

Gambar 1.5 Grafik untuk menentukan harga-harga ka.

7
(1.27), tetapi mulai di x=a fungsi-fungsi itu menurun secara eksponensial menuju 0
dix=. Untuk jelasnya, fungsi-fungsi itu diperlihatkan dalam Gambar 1.6.
3

2

1

-a 0 ax
Gambar 1.6 Fungsi-fungsi eigen dari partikel dalam sumur potensial terhingga.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa meskipun potensial yang dialami partikel itu
terhingga, tetapi karena E<Vo, energinya tetap diskrit. Keadaan energi yang diskrit itu
merupakan ciri dari partikel yang terikat dalam sumur potensial. Karena potensial itu
berhingga, fungsi-fungsi eigen mempunyai ekor berbentuk eksponensial menurun di luar
sumur. Artinya, elektron masih mempunyai peluang berada di luar sumur. Hal ini tidak
mungkin secara klasik.

Contoh 1.3 Osilator Harmonis Sederhana


Sebuah partikel bermassa m mengalami gaya pegas 1-dimensi sehingga menghasilkan
energi potensial V(x)=½m2x2. Jika partikel itu berosilasi dengan simpangan x yang
cukup kecil sehingga x(t) berbentuk sinusoida maka gerakan partikel itu bersifat
harmonis. Itu sebabnya sistem seperti ini disebut osilator harmonis sederhana. Misalkan
(x) adalah fungsi gelombang partikel sehingga dengan energi potensial tersebut
persamaan Schrödinger untuk partikel itu adalah

d 2 ( x) 2m
2
 2 ( E  12 m 2 x 2 ) ( x)  0 (1. 40)
dx 
Andaikanlah
2E m
 ; z x (1. 41)
 

maka persamaan Schrödinger di atas menjadi sederhana seperti

d 2 ( z )
2
 (  z 2 ) ( z )  0 (1. 42)
dz

Solusi persamaan ini ada jika E>0 dan fungsi gelombang (x)=0 jika x→. Cara
penyelesaian persamaan (1.42) di atas dapat dilihat dalam buku Boas (1983). Solusi
persamaan tersebut adalah

1
e  z / 2 H n ( z ); n  0,1, 2, 3, ....
2
 n ( z)  (1. 43)
 2 n!
n1/ 2

8
dengan syarat   2n  1. Dari syarat ini diperoleh energi

En  (n  12 ) (1. 44)

Bilangan n adalah bilangan kuantum. Jadi, dapat dikatakan bahwa partikel yang berosilasi
mempunyai tingkat-tingkat energi yang diskrit (terkuantisasi). Hn(z) dalam persamaan
(1.43) adalah polinom Hermite tingkat-n dengan

H 0 ( z)  1
H1 ( z )  2 z
(1. 45a)
H 2 ( z)  4z 2  2
H 3 ( z )  8 z 3  12 z

Polinomial Hermite mempunyai hubungan rekursif:

H n1 ( z )  2 z H n ( z )  2n H n1 ( z )
dH n ( z ) (1.45b)
 2n H n1 ( z )
dz
dansifat ortogonalitas:

e H m ( z ) H n( z ) dz  2 n n! 1/ 2 mn
z2
(1.45c)


Dalam Gambar 1.7 diperlihatkan fungsi-fungsi eigen untuk n hingga 3.Besarnya frekuensi
osilator harmonis ada dalam daerah frekuensi bunyi. Sehubungan dengan itu maka gerak
osilasi partikel disebut mengandung fonon (phonon). Sebuah fonon memiliki energi  .
Bilangan kuantum n mengungkapkan jumlah fonon. Keadaan dengan fungsi gelombang
0(x) yang memiliki energi E0  12  tidak mengandung fonon; ini disebut keadaan
dasar, sedangkan 1(x) yang memiliki energi E1  32  mengandung sebuah fonon. Jadi
untuk mengeksitasikan partikel dari keadaan dasar ke keadaan eksitasi pertama, partikel
memerlukan sebuah fonon berenergi sebesar  .Keadaan denganfungsi gelombang
E

3 n=3

2 n=2

1 n=1
n=3
0 n=0
n=2
0 x
Gambar 1.7 Fungsi-fungsi gelombang osilator harmonis sederhana untuk n hingga 3.

9
2(x) yang memiliki energi E2  52  mengandung dua buah fonon; artinya, untuk
mengeksitasikan partikel dari keadaan dasar 0ke keadaan eksitasi kedua2, partikel
memerlukan dua buah fonon masing-masing berenergi sebesarℏ.

Contoh 1.4Sumur Potensial Persegi dengan Dinding


Sebuah partikel terperangkap dalam sumur potensial

, x0

V ( x)   V0 ; 0 xa (1.46)
0; xa

seperti terlihat dalam Gambar 1.8. Karena ada dalam daerah 0  x  a maka energi
partikel itu E<0.

V=
a
0
x

-V0

Gambar 1.8 Sumur potensial persegi dengan dinding di x=0.

Misalkan 1(x) adalah fungsi gelombang partikel dalam daerah 0  x  a ;


persamaan Schrödinger untuk daerah itu adalah

d 21 ( x) 2m
 2 ( E  V0 )1 ( x)  0 (1. 47)
dx 2 

dengan (x)=0 di x=0. Karena E+V0>0 maka solusi persamaan di atas adalah

1 ( x)  A eikx  B e ikx (1.48a)


dengan
2m
k ( E  V0 ) (1.48b)
2

Karena 1(x)=0 di x=0 maka B=-A dan persamaan (1.48a) menjadi

 (1) ( x)  A e ikx  e ikx   C sin kx (1.49)

Dalam daerah x>a, misalkan fungsi gelombang partikeladalah2(x). Karena V=0 maka
persamaan Schrödinger untuk daerah itu adalah

10
d 2 2 ( x) 2m
 2 E 2 ( x)  0 (1.50)
dx 2 

Karena E<0 maka solusi persamaan ini adalah

 2 ( x)  D e  Kx (1.51a)
dengan
2m
K E (1.51b)
2

Kedua fungsi gelombang partikel itu harus bersambung di x=a. Untuk itu kedua fungsi
dan turunan-turunannya harus sama di x=a.

𝜑2 (𝑎) = 𝜑2 (𝑎) → 𝐶 sin 𝑘 𝑎 = 𝐷𝑒 −𝐾𝑎


d1 d
 2  kC cos ka   KD e  Ka
dx xa dx xa

Dari kedua persamaan itu diperoleh

k 2 e 2 aK
DC 2 (1.52)
k  K2
dan
ak cot ka  aK (1.53)

sedangkan dari persamaan (1.48b) dan (1.51b) diperoleh

2m 2
(ak ) 2  (aK ) 2  a V0 (1.54)
2

Perpotongan kedua persamaan di atas akan memberikan solusi untuk energi. Kedua
persamaan di atas diplot pada grafik aK vs. ak dan hasilnya seperti Gambar 1.9. Terlihat
bahwa
 2 2
untuk: a 2V0  tidak ada perpotongan, artinya tidak ada solusi,
8m
untuk:    a 2V0  9  hanya ada satu salusi, artinya satu harga energi;
2 2 2 2

8m 8m
9 2  2 25 2 2
untuk:  a 2V0  ada dua solusi, artinya dua harga energi;
8m 8m
25 2  2 49 2  2
untuk:  a 2V0  ada tiga buah solusi, artinya tiga harga energi.
8m 8m
21.2 2  2
Dalam Gambar 1.9 di atas, untuk a 2V0  ada dua buah titik potong, yakni pada
8m
ak=0,75 dan 1,6. Dengan menggunakan persamaan (1.48b) diperoleh
 2 2  2 2
E1  2,1 , E 2  0,1
ma 2 ma 2

11
2m 2
(ak ) 2  (aK ) 2  a V0
aK 2

3

2

 -akcot ak

0  2 3 4 ak
Gambar 1.9 aK sebagai fungsi ak sesuai persamaan(1.43) dan (1.44).

Energi negatif dari partikel menunjukkan bahwa partikel itu dalam keadaan terikat
(bound state). Dari persamaan (1.49), (1.51) dan (1.52), fungsi gelombang partikel untuk
dua keadaan terikat di atas diperlihatkan dalam Gambar 1.10. Tampak bahwa fungsi-
fungsi itu mati di x=0 karena dinding sumur potensial, tetapi masih ada di daerah x>a
dengan bentuk eksponensial menuju nol. Artinya, partikel masih memiliki peluang,
walaupun kecil, di daerah x>a.

2

E2

1
E1

0 a x
Gambar 1.10 Fungsi gelombang partikel untuk dua keadaan terikat.

1.2 Representasi Matriks


Tinjaulah persamaan eigen

Hˆ   E (1.55)

dengan fungsi gelombang yang dinormalisasi

  dV 1
*
(1.56)

Misalkan fungsi gelombang  bisa diungkapkan sebagai superposisi fungsi-fungsi {i},


maka

12
  c11  c2 2  c3 3  .....  c N  N
  ci i (1.57)
i
dengan overlap
  dV  Sij
*
i j (1.58)

Karena fungsi gelobang sistem dinormalisasi dalam persamaan (1.56), maka

c c S
ij
*
i j ij 1 (1.59)

Masalahnya adalah bagaimana menentukan perangkat koefisien {ci} untuk suatu fungsi
gelombang sistem  yang eneginyaE?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, substitusikan persamaan (1.57) ke persamaan
(1.55); hasilnya
 c j Hˆ  j  E  c j j
j j
(1.60)

Selanjutnya persamaan di atas dikalikan dari kiri dengan  i* lalu diintegral,

 c   Hˆ  dV  E  c    dV
j
j
*
i j
j
j
*
i j (1.61)

Nyatakanlah
H ij   i* Hˆ  j dV (1.62a)

Hijmerupakan elemen matriks dari operator Ĥ dengan basis  i  . Jadi

 H 11 H 12 H 13 ..... 
 
 H 21 H 22 H 23 ...... 
Hˆ  
H H 32 H 33 ...... 
(1.62b)
 31 
 ............................. 
 
Demikian pula
S ij    i* j d (1.63a)
 S11 S12 S13 ..... 
 
 S 21 S 22 S 23 ...... 
Sˆ  
S S S ...... 
(1.63b)
 31 32 33 
 ............................. 
 
Dengan persamaan (1.62a) dan (1.63a) maka diperoleh

 c j H ij  E  c j Sij
j j
(1.64)
 c j ( H ij  ES ij )  0
j

13
Dalam bentuk matriks, persamaan (1.64) dapat dituliskan seperti

Hˆ Cˆ  E Sˆ Cˆ
(1.65)
( Hˆ  E Sˆ ) Cˆ  0
atau
 H 11  ES 11 H 12  ES 12 .........H 1N  ES 1N   c1 
  
 H 21  ES 21 H 22  ES 22 .........H 2 N  ES 2 N   c2 
 ..... ..... ...... .............................................   ...   0 (1.66)
  
 H  ES H  ES ......H NN  ES NN  c 
 N1 N1 N2 N2  N

Persamaan di atas disebut persamaan sekuler. Persamaan itu memiliki solusi hanya jika
determinan
det(Hˆ  E Sˆ )  0 (1.67)
atau
H 11  ES 11 H 12  ES 12 .........H 1N  ES 1N
H 21  ES 21 H 22  ES 22 .........H 2 N  ES 2 N
0 (1.68)
..... ..... ...... ..........................................
H N 1  ES N 1 H N 2  ES N 2 ......H NN  ES NN

yang disebut determinan sekuler. Jika semua elemen matriks Hij dan Sij diketahui maka
dari determinan itu bisa diperoleh N buah harga En dengan n=1, 2, …,N. Selanjutnya,
substitusikanlah setiap En ke persamaan (1.66) untuk memperoleh koefisien-koefisien
{ci} bagi fungsi eigen bersangkutan. Jelasnya, E n   n   cni i .
i

Proses di atas disebut proses diagonalisasi. Maksudnya, matriks dari operator Ĥ


dengan menggunakan basis {i} menjadi diagonal jika menggunakan basis {n}. Untuk
sistem dengan jumlah partikel yang banyak, perhitungan hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan program komputer. Berbagai software yang ada seperti MATLAB, dapat
melaksanakan proses diagonalisasi matriks

Aˆ Cˆ  aIˆCˆ (1.69)

di mana Iˆ adalah matriks satuan dengan elemen  mn . Oleh sebab itu, persamaan (1.55)
dengan overlap Ŝ harus di transformasi dari Hˆ Cˆ  ESˆC menjadi Hˆ ' Cˆ '  EIˆCˆ ' yang
sama dengan persamaan (1.69). Untuk itu, kalikan fihak kiri dan fihak kanan dari
persamaan (1.65) masing-masing dengan matriks Sˆ 1 / 2 , dan sisipkan Iˆ  Sˆ 1 / 2 Sˆ 1 / 2 di
antara Ĥ dan Ĉ di fihak kiri dan diantara Ŝ dan Ĉ di fihak kanan; hasilnya adalah

   
Sˆ 1 / 2 Hˆ Sˆ 1/ 2 Sˆ 1 / 2 Cˆ Sˆ 1 / 2  E Sˆ 1 / 2 Sˆ Sˆ 1/ 2 Sˆ 1 / 2 Cˆ Sˆ 1/ 2
(1.70)
 E Iˆ Sˆ 1 / 2 Cˆ Sˆ 1 / 2
Misalkan

14
Hˆ '  Sˆ 1/ 2 Hˆ Sˆ 1/ 2
(1.71)
Cˆ '  Sˆ 1/ 2 Cˆ Sˆ 1/ 2
sehingga diperoleh
Hˆ ' Cˆ '  EIˆCˆ ' (1.72)

yang sama dengan persamaan (1.69). Jadi, sebelum proses diagonalisasi dengan software
yang ada, harus dibuat program untuk memperoleh Ŝ dan Sˆ
1/ 2 1/ 2
, lalu Ĥ ' dan Ĉ ' .
Setelah diperoleh E dan Ĉ ' , matriks Ĉ ditentukan dengan

Cˆ  Sˆ 1 / 2 Cˆ ' Sˆ 1 / 2 (1.73)

Contoh 1.5 Penyelesaian secara matriks


Dengan menggunakan basis 1 dan 2, operator Ĥ dalam bentuk matriks adalah
  12  5 
Ĥ   
 5 8 
 
Tentukanlah fungsi-fungsi eigen dan nilai-nilai eigen bersangkutan jika
a) matriks overlap adalah
1 0,2 
Ŝ   
 0,2 1 
b) matriks overlap adalah
1 0 
Ŝ   
0 1 
Solusi:
a) Misalkan E adalah nilai eigen energi dengan fungsi eigen =c11+ c22, maka
b)
  12  E  5  0,2 E  c1 
    0
  5  0,2 E  8  E  c 2 
sehingga
 12  E  5  0,2 E
0
 5  0,2 E  8  E

0,96E2+18E+71=0→E1=-12.58; E2=-5,42

Substitusikan E1 ke persamaan matriks, diperoleh

 0,58  2.484  c1 
    0
  2.484 4.58  c 2 

0,58c1-2.484c2=0→c2=0,2335 c1
Normalisai
c12  c22  2c1c2 S  1  c12 (1  0,2335 2  2  0,2335  0,2)  1  c1  0,93; c2  0.22
 1  0,931  0,222
Substitusikan E2

15
  6,58  3,916  c1 
    0
  3,916  2,58  c 2 

-6,58c1-3,916c2=0→c2=-1,68c1

c12  c22  2c1c2 S  1  c12 [1  1,68 2  2  (1,68)  0,2]  1  c1  0,56; c2  0.95


 2  0,561  0.95 2

Program MATLAB yang disusun untuk menyelesaikan soal di atas adalah sebagai
berikut.

clc
S=[1 0.2; 0.2 1];
H=[-12 -5; -5 -8];
[P,D]=eig(S); % Dadalah matriks hasil diagonalisasi matriks S dan P matriks
transformasi
D1=inv(D); % inversi matriks D
S1=P*(D1^0.5)*P; % S1 adalah matriks S^(-0.5)
H1=S1*H*S1;
[C1,E]=eig(H1);% C1 adalah matriks C’
E
C=S1* C1*(S^0.5);
C

c) Jika Sij=ij
  12  E  5  c1 
    0
  5  8  E  c2 

 12  E  5
0
5 8 E

E2+20E+71=0→E1=-15,38; E2=-4,62

Substitusikan E1 ke persamaan matriks, diperoleh

 3,38  5  c1 
    0
5 7,38  c2 

3,38 c1-5c2=0→c2=0,68c1
c  c  1  c12 (1  0,46)  1  c1  0,83; c2  0.56
2
1
2
2
 1  0,831  0,56 2

Substitusikan E2
  7,38  5  c1 
    0
5  3,38  c2 

16
-7,38c1-5c2=0→c2=-1,48c1
c  c  1  c12 [1  2,19]  1  c1  0,56; c2  0.83
2
1
2
2
 2  0,561  0.83 2
Sifat penting:dalam halSj=ij, trace dari matriks Ĥ adalah tetap terhadap transformasi
basis dari {i}{i}. Jelasnya,

 i    i 

  12  5    15,38 0 
Hˆ     Hˆ   .
 5 8    
   0 4,62 

1.3 Gangguan Tak Bergantung Waktu


Dalam paragraf ini akan dikemukakan aproksimasi terhadap sistem yang mengalami
gangguan tak bergantung waktu. Aproksimasi yang dlakukan sebagai akibat dari
kehadiran gangguan itu bergantung pada keadaan sistem. Dua keadaan yang harus
dibedakan adalah keadaan nondegenerate dan keadaan degenerate. Nondegenerate
artinya, beberapa fungsi gelombang dengan energi yang berbeda.Degenerate artinya,
beberapa fungsi gelombang memiliki energi yang sama

1.3.1 Gangguanpada Sistem Tak Berdegenerasi


Tinjaulah suatu sistem yang mengalami gangguan. Sebelum kehadiran gangguan
misalkan kita sudah mengetahui Hamiltonian dan fungsi-fungsi eigennya, yakni Ĥ ( 0) dan
 i(0)  sedangkan energi eigennya Ei(0) sehingga berlaku
Hˆ (0) i( 0)  Ei( 0) i( 0) ; i  12, ......N (1.74)
dengan
  (j0) dv   ij
( 0 )*
i (1.75)

Misalkan sistem mengalami gangguan kecil Ĝ sehingga Hamiltonian menjadi

Hˆ  Hˆ (0)   Gˆ ; Gˆ  Hˆ (0) (1.76)

dengan  adalah parameter yang bernilai 01. Harga =1 menyatakan gangguan itu
sepenuhnya di alami sistem.
Pada saat kehadiran gangguan itu, fungsi gelombang sistem berubah menjadi
{i} dan energi eigennya menjadi {Ei} sehingga

Hˆ  i  Ei i ; i  12, ......N (1.77)

Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara {i} dan  i( 0)  serta {Ei}dan Ei( 0) 
Karena gangguan cukup kecil, maka baik fungsi-fungsi eigen maupun energi-energi eigen
dapat didekati sebagai berikut:

 i  i(0)  i(1)   2i( 2)   3i(3)  .......... (1.78)

17
Ei  Ei(0)  Ei(1)   2 Ei( 2)   3 Ei(3)  .......... (1.79)

di mana indeks atas (j) menyatakan order koreksi yang harus diberikan karena kehadiran
gangguan. Dengan substitusi persamaan (1.76), (1.78) dan (1.79) ke persamaan (1.77)
diperoleh

Hˆ ( 0)

 Gˆ  i(0)  i(1)   2i( 2)   3i(3)  ...  
E i
( 0)
 
 Ei(1)   2 Ei( 2)   3 Ei(3)  .... i(0)  i(1)   2 i( 2)  ..

Aproksimasi dilakukan dengan mempersamakan fihak kiri dan kanan yang memiliki
parameter yang sama, lalu menetapkan =1. Hasilnya antara lain adalah

(i) Hˆ ( 0) i( 0)  Ei( 0) i( 0)



(ii) Hˆ (0)i(1)  Gˆ i(0)  Ei(0) i(1)  Ei(1)i(0)  Hˆ (0)  Ei(0) i(1)  Ei(1)  Gˆ  i(0)   
(iii) Hˆ (0) ( 2)  Gˆ  (1)  E (0) ( 2)  E (1) (1)  E ( 2) (0)
 
i i i i i i i i

 
 Hˆ (0)  Ei( 0)  i( 2)  Ei(1)  Gˆ  i(1)  Ei( 2) i( 0)
(iv) Hˆ (0) i(3)  Gˆ i( 2)  Ei(0) i(3)  Ei(1) i( 2)  Ei( 2) i(1)  Ei(3) i(0)
  i  i 
 Hˆ ( 0)  E (0)  (3)  E (1)  Gˆ  ( 2)  E ( 2) (1)  E (3) (0)
i i i i i i

dan seterusnya. Persamaan (i) itu sama dengan persamaan (1.74).

Koreksi order-1
Persamaan (ii) kalau dikalikan dari kiri dengan  i( 0) lalu diintegral, akan menghasilkan
*

 i Hˆ  Ei i dV   i Ei  Gˆ i dV


( 0) * ( 0) ( 0) (1) ( 0) * (1) ( 0)

Ei(0)  Ei(0)  i(0)*i(1) dV  Ei(1)  i(0)*i(0) dv   i(0)*Gˆ i(0) dV

Misalkan koreksi oerder-1 bagi fungsi eigen adalah superposisi fungsi-fungsi lama
sebagai berikut.
i(1)   aij (j0) (1.80)
j i

Maka diperoleh
0  Ei(1)   i( 0) Gˆ i( 0) dV
*

sehingga koreksi order-1 bagi energi eigen adalah

Ei(1)   i( 0) Gˆ i( 0) dV  Gii


*
(1.81)

Dari persamaan (1.80) koreksi order-1 bagi fungsi eigen ditentukan sebagai berikut.
Substitusi persamaan (1.80) ke persamaan (ii) menghasilkan

18
 a Hˆ ij
( 0)
 
 Ei( 0)  (j0)  Ei(1)  Gˆ  i( 0) 
j i

Jika dikalikan dari kiri dengan  k( 0) di mana k  i , lalu diintegral maka


*

 aij   k(0) Hˆ (0)  Ei(0)  (j0) dV    k(0) Ei(1)  Gˆ i(0) dV ;


* *

j i

 aij Ek(0)  Ei(0)   k(0)  (j0) dV  Ei(1)   k(0) i(0) dv    k(0) Gˆ i(0) dV
* * *

j i

 
aik Ek( 0)  Ei(0)   k( 0) Gˆ i( 0) dV
*

Jadi, koefisien ak adalah



( 0) *
k Gˆ  i( 0) dv Gki
aik   (1.82)
E ( 0)
k E i
( 0)
E  Ei( 0)
( 0)
k

Jadi, persamaan (1.80) yang merupakan koreksi order-1 bagi fungsi eigen adalah

G ji
 i(1)    (j0) (1.83)
j i E ( 0)
j E i
( 0)

Koreksi order-2
Sekarang akan diturunkan koreksi order-2. Kalikan persamaan (iii) dengan i( 0) lalu
*

diintegral.

  Hˆ
( 0) *
i
( 0)

 Ei( 0) i( 2) dV  Ei( 2)  i( 0) i(0) dV   i(0) Ei(1)  Gˆ i(1) dV
* *
 
E i
( 0)

 Ei(0)  i(0) i( 2) dV  Ei( 2)  Ei(1)  i(0) i(1) dV   i( 0) Gˆ i(1) dV
* * *

Ei( 2)   i( 0) Gˆ i(1) dV


*

Misalkan koreksi order-2 bagi fungsi eigen adalah

 i( 2)   bij (j0) (1.84)


j i

maka diperoleh koreksi order-2 bagi energi eigen adalah

Ei( 2 )   aij  i( 0) Gˆ  (j0) dV


*

j i

G ji Gij (1.85)

j i E i
(0)
E (0)
j

Untuk koreksi order-2 bagi fungsi eigen, substitusikan persamaan (1.84) ke persamaan
(iii)

19
 b Hˆ ij
( 0)
 
 Ei( 0)  (j0)  Ei(1)  Gˆ i(1)  Ei( 2)i( 0) 
j i

Selanjutnya, kalikan dari kiri dengan  k( 0)* di mana kI lalu diintegral,

 b   Hˆ
ij
( 0 )*
k
( 0)
  
 Ei( 0)  (j0) dV    k( 0)* Ei(1)  Gˆ i(1) dV  Ei( 2)   k( 0)*i( 0) dV
j i

 
bik Ek( 0)  Ei( 0)  Ei(1)   k( 0)*i(1) dV    k( 0 )*Gˆ i(1) dV

 Ei(1)  aij   k( 0 )* (j0 ) dV   aij   k( 0)*G (j0) dV


j i j i

 Ei(1) aik   aij   k( 0)*G (j0 ) dV


j i

Lalu gunakan persamaan (1.81), (1.82) dan (1.83) untuk enghasilkan


bik E k( 0)  Ei( 0)    Gki Gii
  ( 0)
G ji Gkj
E  Ei ( 0)
k
(0)
j i E j  Ei( 0)
sehingga diperoleh
G ji Gkj Gki Gii
bik   
j i E ( 0)
j E i
( 0)
 E (0)
k E i
( 0)
 E (0)
k  Ei( 0)  2

Jadi, koreksi order-2 bagi fungsi eigen adalah

 G ji Gkj Gki Gii  ( 0)


 i( 2)     k
   E
(1.86)
k i  j i E j  Ei E k  Ei
( 0) (0) (0) ( 0) (0)
k  Ei( 0) 
2


Koreksi order-3
Untuk koreksi order-3 kalikan persamaan (iv) dengan i( 0) lalu diintegral.
*

  Hˆ
i
(0)* (0)
 *
 *

 Ei( 0) i(3) dV   i( 0) Ei(1)  Gˆ i( 2) dV  Ei( 2)  i( 0) i(1) dv  Ei(3)  i( 0) i( 0) dV
*

   i( 0) Gˆ i( 2) dV  Ei(3)


*

Misalkan
i(3)   cij (j0)
j i

maka
Ei(3)   i( 0) Gˆ i( 2) dV
*

Jadi, dengan persamaan (1.86) koreksi order-3 bagi energi eigen adalah

Ei(3)    i(0) Gˆ  i( 2) dV   bik   i( 0) Gˆ  k(0) dV   bik Gik


* *

k i k i
(1.87)

20
 GkjG ji Gik GkiGii Gik 
   ( 0 )  
k i  
 j i k
( 0)

E  Ei E j  Ei
( 0) ( 0)
 
Ek(0)  Ei(0) 
2


Dari persamaan (1.84) dan (1.87)tampak bahwa aproksimasi yang telah


dikemukakan tidak berlaku untuk sistem yang memiliki energi eigen yang sama
(degenerate) untuk fungsi eigen yang berbeda. Cara aproksimasi untuk sistem yang
degenerate akan dikemukakan setelah ini.

Contoh 1.6 Gangguan pada Sumur Potensial Tak Hingga


Tinjaulah sebuah partikel di dalam sumur potensial tak hingga

 , x   a, x  a
V 
0 , a  x  a

Misalkan gangguan yang dialami partikel adalah

G   cos(x / 2a);  1 2 a  x  1
2 a

seperti tampak dalam Gambar 1.11.


V=

-a 0 a x
Gambar 1.11 Sumur potensial tak hingga dengan gangguan.

Dalam Contoh 1.1 diperlihatkan bahwa fungsi-fungsi eigendan energi eigen


bersangkutan dari partikel adalah

 1  n 
 cos  x ; n  1, 3, 5.....
 a  2a 
 n ( x)  
( 0)
.
 1  n 
sin  x ; n  2, 4, 6......

 a  2a 
  2 2 
En( 0)  n 2  ; n  1, 2, 3, ....
2 
 8ma 

Jelas bahwa fungsi-fungsi eigen memiliki energi yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa
sistem ini nondegenerate, sehingga aproksimasi di atas dapat digunakan.
Misalkan kita akan menentukan fungsi gelombang dan energi terkoreksi hingga
order-1.Seperti terlihat di atas, energi dan fungsi eigen pada keadaan dasar (sebelum ada
gangguan) adalah

21
  2 2 
E1(0)   
2 
 8ma 
1  
1( 0) ( x)  cos  x 
a  2a 

Berdasarkan persamaan (1.70) koreksi energi order-1 adalah

  x   x 
a/2
E1(1)  G11   1(0) Gˆ 1(0) dx 
*
 cos 2   cos dx
a a / 2  2a   2a 
   3x   x 
a/2
  cos
4a  a / 2   2a 
  3 cos  dx  0.75
 2a  

Jadi, energi keadaan dasar yang terkoreksi gangguan adalah

  2 2 
E1( 0)   2
  0.75

 8me a 

Berdasarkan persamaan (1.83) koreksi order-1 bagi keadaan dasar adalah

G21 G
1(1)    2( 0)  ( 0) 31 ( 0)  3(0)  ......
E  E1
( 0)
2
(0)
E3  E1
 a/2
 x   x   x 
G21   sin   cos  cos dx
a  a / 2  a   2a   2a 
a / 2
 a/2
 x   x    x 
  sin   cos dx 
2a  a / 2  a   a   sin   dx
2a  a / 2  a 

 a  x   a  x 
a/2 a/2

 sin 2    cos   0.16 


2a 2  a   a / 2 2a   a  a / 2
 a/2  3x   x   x 
G31   cos  cos  cos dx
2a  a / 2  2a   2a   2a 
 a/2
1  2x  1  3x  1  x 
  
2a  a / 2  4
cos   cos   cos  dx
 a  2  2a  4  2a  

  1 a 
a/2 a/2
 2x  1 2a  3x  1 2a  x 
a/2

  sin    sin    sin   


2a  4 2  a   a / 2 2 3  a  a / 2 4   2a   a / 2 

 0,08 
  2  2  3 2  2
E 2( 0)  E1( 0)  (4  1) 
2  2
 8ma  8ma

22
  2  2  8 2  2
E3( 0)  E1( 0)  (9  1) 
2  2
 8ma  8ma

Maka koreksi order-1 bagi keadaan dasar adalah

ma 2 ( 0) ma 2 ( 0)
(1)
1  0.04 2  2  0,01 2  3  ......
 

dan fungsi keadaan dasar yang terkoreksi gangguan adalah

ma 2 (0) ma 2 (0)
 1  1(0)  0.04 2  2  0,01 2  3  ......
 

1.3.2Gangguanpada Sistem Berdegenerasi


Misalkan Ĥ ( 0) adalah Hamiltonian suatu sistem yang memiliki fungsi-fungsi eigen  i( 0) 
dengan i=1, 2, ...N, yang berdegenerasi:

Hˆ  i( 0)   Ei( 0) i( 0) . (1.88a)


dengan
  (j0) .dV   ij
( 0)*
i (1.88b)
dan
E1(0)  E2(0)  .......  E N(0)  E ( 0) (1.88b)

Kehadiran gangguan Ĝ mengubah Hamiltonian menjadi Hˆ  Hˆ (0)  Gˆ .


Misalkanlah  suatu fungsi eigen yang memenuhi

Hˆ   E (1.89a)
dengan
  .dv  1
*
(1.89b)

Untuk menentukan dan E, kita nyatakan  sebagai kombinasi linier dari fungsi-fungsi
eigen  i( 0) 
   ci i(0) (1.90a)
i
dengan
c 1
2
i (1.90b)
i

Substitusi persamaan (1.90a) ke persamaan (1.89a) dengan menggunakan


Hˆ  Hˆ (0)  Gˆ menghasilkan

 c Hˆ
i
i
( 0)

 Gˆ  i( 0)  E  ci i( 0)
i
(1.91)

23
Kalikanlah dari kiri dengan  (j0)* lalu integral; hasilnya

 c   Hˆ
i
i
( 0 )*
j
( 0)

 Gˆ i( 0) dV  E  ci   (j0)*i( 0) dV
i
(1.92a)

atau
 c G
i
i ji 
 ( E  E ( 0) )  ji  0 (1.92b)

Tetapi E  E (0)  E (1) adalah koreksi energi karena kehadiran gangguan. Persamaan
(1.92b) menjadi
 ci G ji  E (1) ji   0
i
(1.92c)

Dalam bentuk matriks, persamaan di atas adalah

 G11  E (1) G12 ........   c1 


  
 G21 G22  E . .........   c2   0
(1)
(1.93)
 
 ..................................................  .... 
 

Determinan matriks itu adalah

G11  E (1) G12 ........


G21 G22  E (1) . .........  0 (1.94)
.................................................

Karena G ji diketahui atau dapat dihitung, maka determinan itu akan menghasilkan N
buah koreksi energi eigen E1(1) , E 2(1) , .., E N(1) . Substitusi setiap energi Ei ke persamaan
(1.93) akan menghasilkan koefisien-koefisien {ci} untuk fungsi eigen i.Aproksimasi
yang dikemukakan di atas, pada dasarnya sama dengan yang telah dikemukakan dalam
paragraf 1.2.

Contoh 1.7Gangguan pada Sistem Berdegenerasi


Andaikan Hamiltonian Ĥ ( 0) mempunyai empat fungsi eigen i( 0) , i=1, 2, 3, 4 masing-
masing dengan energi E ( 0) =-10 eV. Andaikanlah G11= G22=G33= G44=0, sedangkan
Gi,i+1= Gi+1,i=-2 eV dan lainnya 0. Persamaan sekuler adalah

  E (1)  2 0 0   c1 
  
 2  E (1) .  2 0   c2 
.    0
 0  2  E (1)  2   c3 
  
 0 0  2  E (1)   c 4 

dan determinan sekuler adalah

24
 E (1) 2 0 0
2  E (1) .  2 0
0
0 2 E (1)
2
0 0 2  E (1)


 E (1)  E (1)   8E  2 2E 
3 (1) (1) 2

8  0
E   12E   16  0
(1) 4 (1) 2

E 
(1) 21
2
 
12  144  64  6  4,47 

E1  3,24 eV
(1)

E  
(1) 2
 10,47  

E 4  3,24 eV
(1)


E 2  1,24 eV
(1)

E  
(1) 2
 1,53  

E3  1,24 eV
(1)

Pemberian indeks bawah dimulai dari yang paling negatif. Karena E  E (0)  E (1) , maka
E1(1)  3,24 eV  E1  10  3,24  13,24 eV
E2( 0)  1,24 eV  E2  10  1,24  11,24 eV
E3( 0)  1,24eV  E3  10  1,24  8,76 eV
E4( 0)  3,24eV  E4  10  3,24  6,76 eV
Substitusikan E1(1)  3,24 eV ke persamaan sekuler akan menghasilkan c2=1.62c1,
c3=1,62c1 dan c4=c1. Normalisasi:
c12  c22  c32  c42  1  c1  0,371; c2  0,602; c3  0,602; c4  0,602;
sehingga
 1  0,3711(0)  0,602 2(0)  0,6023(0)  0,602 4(0) .

Dengan cara yang sama diperoleh

 2  0,6021(0)  0,371 2(0)  0,3710,6023(0)  0,602 4(0)


 3  0,6021(0)  0,371 2(0)  0,3710,6023(0)  0,602 4(0)
 4  0,3711(0)  0,602 2(0)  0,6023(0)  0,602 4(0)

Dalam Gambar 1.12 diperlihat peralihan keadaan degenerate menjadi nondegenerate


sebagai akibat dari gangguan.
4
E4
3
E(0) 1 2(0) 3(0) 4(0)
( 0)
E3
2
E2
1 E1
degenerate nondegerate

Gambar 1.12 Perubahan keadaan degenerate menjadi nondegenerate karena gangguan.

25
1.4 Gangguan Bergantung Waktu
Misalkan gangguan terhadap system adalah Gˆ (r , t )  Gˆ o (r ) u(t ) . Karena gangguan itu maka
Hamiltonian total adalah:
Hˆ  Hˆ (0) (r )  Gˆ (r , t ) (1.95)

di mana Ĥ ( 0) adalah Hamiltonian sebelum ada gangguan. Misalkan fungsi-fungsi eigen


dari Ĥ (0) adalah  i( 0) (r , t ) sehingga dengan persamaan Schrödinger yang bergantung
waktu berlaku:
 ( 0) (r , t ) ˆ ( 0) ( 0)
i i  H  i (r , t ) (1.96a)
t
Solusinya adalah
( 0)
iEi t / 
 i(0) (r , t )   i(0) (r ) e (1.96b)

di mana Ei( 0)  adalah nilai sebelum terganggu.


Karena Hamiltonian Ĥ bergantung waktu maka energi tak bisa stasioner.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menentukan fungsi gelombang bagi Ĥ dari
fungsi-fungsi stasioner  i( 0) (r , t ). Misalkan  i (r , t ) adalah fungsi-fungsi eigen bagi
Ĥ dengan mana berlaku:

 i (r , t ) ˆ
i  H  i (r , t )  [ Hˆ ( 0) (r )  Gˆ (r , t )] i (r , t ) (1.97)
t

Sebelum ada gangguan, sistem benar-benar pada fungsi keadaan yang stasioner, misalnya
 i( 0) (r , t ) , i berati awal (initial). Segera gangguan itu masuk, sistem berada pada fungsi
yang merupakan campuran dari fungsi-fungsi stasioner. Nyatakanlah  i (r , t ) sebagai
kombinasi linier dari fungsi-fungsi stasioner:

 i (r , t )   cik (t )  k(0) (r , t ) (1.98)


k

di mana cik(t) adalah koefisien kombinasi yang juga bergantung waktu. Substitusi
persamaan (1.98) ke persamaan (1.97) menghasilkan:

 cik (t ) Hˆ (0)k(0) (r, t )   cik (t )Gˆ (r, t ) k(0) (r, t )


k k

dcik (t ) (0)  (0) (r , t )


 i  k (r , t )  i cik (t ) k
k dt k t

Sesuai dengan persamaan (1.96a), suku pertama di sebelah kiri sama dengan suku kedua
di sebelah kanan; oleh sebab itu

dcik (t ) (0)
 cik (t )Gˆ (r, t ) k(0) (r, t )  i dt
 k (r , t )
k k

26
Andaikanlah pada akhir gangguan, partikel menempati keadaan  (f0) (r , t ) ; f bearti
akhir (final). Dengan mengalikan  (f0)* (r , t ) dari sebelah kiri pada persamaan di atas lalu
mengintegralnya, akan diperoleh:
dc (t )
 cik (t )  (f0)* (r, t )Gˆ (r, t ) k(0) (r, t ) dV  i dtik   (f0)* (r, t ) k(())(r, t ) dV
k k

Integral sebelah kanan mempunyai harga hanya jika k=f. Jadi persamaan di atas dapat
sederhanakan menjadi,

dcif (t ) 1
dt
 
i k
cik (t )   (f0)* (r , t )Gˆ (r , t ) k(0) (r , t ) dV (1.99)

Persamaan di atas menggambarkan laju pertumbuhan koefisien bagi percampuran


keadaan awal mulai dari awal hingga akhir gangguan. Pada permulaan kita mengandaikan
sistem berada sepenuhnya pada keadaan  i( 0) (r , t ) , sehingga pada t=0, cii=1 dan semua
cik=0. Diasumsikan bahwa beberapa saat sejak gangguan dimulai, cii masih mendekati satu
sedangkan semua cik dapatdiabaikan terhadap cii. Jadi, suku paling penting dalam
persamaan (1.89) adalah yang mempunyai indeks k=i, sehingga dengan menggunakan
persamaan (1.96b):

dcif (t ) 1
 (f0)* (r , t )Gˆ (r , t ) k(0) (r , t ) dV
i 

dt (1.100a)
1 i ( E ( 0 )  E ( 0 ) )t / 
 G ofi (r ) u (t ) e f i
i

di mana telah dimisalkan G(r,t)=Go(r) u(t) dan

G ofi    (f0)* (r , t )G o (r )k(0) (r , t ) dV . (1.100b)

Selanjutnya, persamaan (1.100a) diintegrasi sebagai berikut:

G ofi T
i ( E (f 0 )  Ei( 0 ) )t / 
cif (T )  cif (0) 
i  dt u(t ) e
0

Tetapi seperti disebutkan di atas, pada permulaan cif dapat diabaikan; selain itu
( E (f 0)  Ei( 0) ) /    fi . Jadi
G ofi T
i fi t
cif (T ) 
i  dt u(t ) e
0
(1.101)

2
Persamaan terakhir ini bila dikuadrat, cif , bisa diartikan sebagai ukuran dari
probabilitas transisi dari keadaan stasioner awal  i( 0) (r ) ke keadaan stasioner akhir

27
 (f0) (r ) . Probabilitas transisi rata-rata didefenisikan sebagai berikut:
2
Pif  T1 c if (T ) (1.102)

Contoh 1.8 Probabilitas Transisi


 
Misalkanlah medan listrik    o cos t berinteraksi dengan elektron dalam atom.
 
Interaksi antara medan dan momen dipol terinduksi   er , yakni

 
Hˆ D  .  (e o r cos  ) cos t . (1.103a)

merupakan gangguan terhadap keadaan stasioner atom. Dalam persamaan (1.93),


katakanlah medan listrik pada sumbu-z. Persamaan (1.103a) bisa dituliskan seperti

Hˆ D  G o (r ) u (t )
Gˆ o (r )  e r cos 
o (1.103b)
u (t )  cos t

Sesuai dengan persamaan (1.100b), maka

G ofi  e o   (f0) (r )r cos   i(0) (r ) dV   o M fi


(1.104)
M fi  e   (f0) (r )r cos   i(0) (r ) dV

Mfidisebut disebut momen transisi dipole. Dengan itu maka persamaan (1.101) menjadi
 o M fi T i fi t

i 0
cif (T )  dt cos t e
(1.105a)
 o M fi  ei (  )T  1
fi
 1 e
i ( fi  )T
   
i 2   fi    fi   
Dalam kasus di mana =fi, suku pertama dapat diabaikan. Maka probabilitas
transisi dalam persamaan (1.102) adalah:

 o2 M fi
2
sin 2 [( fi   )T / 2]
P~ (1.105b)
4 2 [( fi   ) / 2]2

Probabiltas transisi sebagai fungsi frekuensi diperlihatkan dalam Gambar 1.13.Jelas


bahwa pada =fiprobabilitas transisi paling besar. Dalam keadaan ini, seperti

fi 
Gambar 1.13 Probabilitas transisi sebgai fungsi frekuensi.

28
diperlihatkan dalam Gambar.1.14, transisi itu berlangsung karena mengabsorbsi foton
(photon) dari gelombang elektromagnet, dan elektron bertransisi dari tingkat energi Ei( 0)
ke tingkat energi E (f0) yang lebih tinggi.

 (f0)  i( 0)
E (f0) Ei( 0)

 fi  fi

Ei( 0)  i( 0) E (f0)  (f0)

(a) (b)
Gambar 1.14 Transisi elektron karena absorpsi foton (a) dan emisi foton (b).
Untuk kasus emisi di mana =fi diperoleh rumusan yang sama dengan
persamaan (1.105b). Transisi ini disebut juga transisi stimulatyang merupakan dasar bagi
mekanisme laser. Energi foton yang diserap sama dengan beda energi kedua keadaan:

E fi  E f  Ei   fi (1.106)

1.5 Metoda Variasi


Andaikan suatu sistem mempunyai Hamiltonian Ĥ . Seperti telah dikemukakan dalam
paragraf 1.1, jika fungsi gelombang sistem itu  maka energi sistem adalah

  Hˆ  dV
*

E (1.107)
   dV
*

Fungsi gelombang  itu ditentukan dengan menggunakan persamaan Schrödinger. Cara


lain adalah menebak fungsi gelombang dengan parameter-parameternya. Selanjutnya,
persamaan (1.107) divariasi terhadap parameter-paremeter tersebut untuk memperoleh
energi minimum.
Sebagai contoh, tinjaulah osilator harmonis sederhana yang hamiltoniannya

ˆ 2 2 1
H ( x)    m 2 x 2
2m x 2
2

Karena simpangan simetris terhadap titik kesetimbangan (x=0) maka fungsi gelombang
diduga memenuhi
 ( x )  e  x
2

Dalam hal ini  adalah parameter yang akan divariasi.


Sesuai dengan persamaan (1.107) energi dihitung berdasarkan persamaan (1.107).
Penyebut dan pembilang diturunkan sebagai berikut.

ˆ  2  2 1
H    m 2 x 2
2m x 2
2

29

2
2m
 2 1
2

 2  4 2 x 2 e  x  m 2 x 2e  x
2

Selanjutnya

  Hˆ  dx  
* 2
2m
 1
 2  4 2 x 2 e 2 x dx   m 2 x 2 e 2 x dx
2

2
2

2   1
  
2 x 2 2  2 x 2
 2  e  4  x e dx   m  x 2 e 2 x dx
2
 2 2
2m  0 0  2 0
1/ 2 1/ 2
 2    1 2 2 2  1   
     m 2    
2m  2   2 m  4  8 3 
  
dan
 1/ 2
1  
   dx   e
 2 x 2
*
dx   
0
2  2 

Integral-integral di atas dapat dilihat dalam Appendiks 2. Dari hasil-hasil itu, maka
1/ 2 1/ 2
 2   1 2 2 2 1  
    m 2    3 
 Hˆ dx 2m  2  2 m  4  8 
E 
 
1/ 2
dx 1  
 
2  2 

 2  1 2 2 2  1
   m 2  
m 2 m  4
Variasi energi terhadap parame adalah

dE  2 4 2 1  1 2 2 2  1  1 
    m 2      0
d m m 4  2 m  4   2 
1 2 2 2 1 m 2 2 1 m
m 2   0  2  2
 
2 m 4  2 

Dari harga itu, diperoleh energi dasar

 2 1 m  1 2 2 2  1 1
E   m 2    
m 2  2 m  4 2
dan fungsi gelombang
 m 2 
 ( x)  e  x  exp  
2
x 
 2 
Energi dasar itu sama dengan persamaan (1.44) dan fungsi gelombang itu sama dengan
persamaan (1.43) untuk n=0.

30
Soal-soal
d2
1.1 Tunjukkan bahwa =exp(-x/2) adalah fungsi eigen dari operator 2
 x2 .
dx
d 2
1.2 Dengan persamaan  a , tentukanlah a dan (x) jika dikenakan syarat batas
dx 2
(0)= (L)=0. Tentukanlah (x) yang dinormalisasi.

1.3 Sebuah partikel bermassa 210-29 kg berada dalam kotak 1-dimensi yang
panjangnya 4 nm. Hitunglah frekuensi dan panjang gelombang foton yang
diemisikan jika partikel berpindah dari bilangan kuantum n=2 ke n=1.

1.4 Sebuah partikel bermassa 910-31 kg berada di dalam kotak 1-dimensi. Ketika
partikel itu berpindah dari n=5 ke n=2, partikel mengemisikan foton dengan panjang
gelombang 500 nm. Hitunglah panjang kotak itu.

1.5 Harga rata-rata posisi partikel di dalam kotak 1-dimensi dihitung dengan rumus

a
  x  a untuk semua n.
2
x n n ( x)dx . Tunjukkan bahwa x n
a

1.6 Suatu model sederhana untuk poliena adalah model orbital molekul elektron bebas
(free electron molecular orbital, FEMO). Tinjaulah rantai poliena dari N atom
karbon yang terkonjugasi dengan r adalah jarak antara dua atom karbon berdekatan.
Dengan itu maka boleh dipandang bahwa panjang kotak 1-dimensi adalah L=(N-1)r.
Rumuskan tingkat-tingkat energinya.

1.7 Suatu sumur persegi 1-dimensi dalamnya 15 eV dan lebarnya 2 Å Hitunglah jumlah
keadaan terikat yang dimiliki elektron.

1.8 Pada molekul HI, atom I memiliki dapat dipandang diam dan atom hidrogen
berosilasi dengan konstanta gaya k=313,8 N/m. Massa atom hidrogen m=1,710-
27
kg. Tentukanlah tingkat-tinggat energi dan hitunglah panjang gelombang yang
diemisikan jika terjadi transisi dari n=1 ke n=0.

1.9 Dengan hubungan rekursif polinom Hermite dalam persamaan (1.45b) buktikan

z n  1
2 (n  1)  n1  1
2 n  n1
m
dengan z  x.

1.10 Dalam osilator harmonis, buktikanlah bahwa momen transisi berikut



M mn  e   m* x n dx; m  n


tidak sama dengan nol hanya jika m-n =1. Gunakan sifat   m*  n dz   m,n .


31
1.11 Tinjaulah sebuah partikel di dalam kotak 1-dimensi yang panjangnya 2a. Andaikan
elektron berada pada keadaan dasarnya; jika ada gangguan x dengan  adalah
konstanta tentukanlah energi dan fungsi gelombangnya hingga koreksi order
pertama.

1.12 Suatu osilator harmonis dimensi-satu (sepanjang sumbu-x) mengalami gangguan


bxĤ ( 0) dengan b adalah konstanta dan Ĥ ( 0) adalah Hamiltonian osilator tanpa
gangguan. Jika awalnya osilator berada pada keadaan dasarnya tentukanlah energi
dan fungsi keadaannya hingga koreksi order pertama.

1.13 Pandanglah potensial V=½m2x2+x4 dari suatu osilator (disebut osilator tak-
harmonis). Jika suku kedua dipandang sebagai gangguan, tentukanlah energi dan
fungsi gelombang keadaan dasar hingga koreksi order pertama.

32
BAB 2
ATOM BERELEKTRON TUNGGAL
Atom-atom seperti hidrogen (H), ion helium (He+), ion litium (Li+2), ion berilliu (Be+3)
memiliki satu lektron yang mengitari inti atom. Secara umum muatan inti dinyatakan +Ze
di mana Z adalah jumlah proton. Dalam bab ini akan dikemukakan cara menentukan
fungsi-fungsi gelombang (orbital) elektron dan energi-energi bersangkutan.

2.1 Spektrum Atom Hidrogen


Dari spektrum atom hidrogen, Balmer dan Ritz (1885) menemukan bahwa panjang
gelombang yang berkaitan dengan garis-garis spektrum adalah

1  1 1 
 R  2  2 ; n  m. (2.1)
n m n 

R=1,097104m-1 adalah konstanta Rydberg.


Usul pertama tentang struktur atom dikemukakan oleh Rutherford (1911): atom
mengandung inti bermuatan listrik positif yang dikelilingi oleh elektron-elektron.
Penjelasan seperti itu tidak cukup karena elektron-elektron akan ditarik oleh inti dan
menghancurkan atom. Lebih dari pada itu, struktur seperti itu tak dapat menjelaskan
spektrum atom hidrogen.
Niels Bohr (1913) mengatasi masalah di atas dengan mengasumsikan bahwa
elektron mengitari inti hanya pada orbit-orbit dengan energi yang stasioner sehingga
elektron tidak memancarkan radiasi. Pada orbit-orbit itu elektron memiliki momentum
sudut yang besarnya
L  n; n  1, 2,........ (2.2)

di mana   h / 2 , dan h=6,62410-34Js adalah konstanta Planck. Selanjutnya dikatakan


bahwa absorpsi atau emisi radiasi terjadi karena lompatan elektron dari satu orbit ke orbit
yang lain:
Ei  E f   (2.3)

di mana Eidan Efadalah energi-energi orbit stasioner,   2 f , f adalah frekuensi radiasi.


Perhitungan energi orbit stasioner dilakukannya dengan menggunakan teori klassik dan
asumsi momentum di atas. Hasilnya adalah

Z 2e2
En   ; n  1, 2,....... (2.4a)
8 0 rn

dengan 0 adalah permittivitas ruang hampa, dan

rn  n 2 a0 (2.4b)
jari-jari orbit, dan
 2 4 0
a0   0,53 Å (2.4c)
me2

disebut jari-jari Bohr. Jadi untuk atom hidrogen, sesuai dengan persamaan (2.3) diperoleh

33
2 2 me4  1 1 
fn   (2.5)
(4 0 ) 2  3  n 2f ni2 

Dengan f=c, di mana c adalah kecepatan cahaya dalam ruang hampa, diperoleh

1 2 2 .me 4  1 1 
  (2.6)
n (4 0 ) 2  3 c  n 2f ni2 

Dari hasil di atas diperoleh rumusan konstanta Rydberg dalam persamaan (2.1) sebagai

2 2 .me 4
R (2.7)
(4 0 ) 2  3 c

Dengan substitusi nilai-nilai m, e, c , h dan 0 akan diperoleh harga yang sama dengan
hasil eksperimen seperti dalam persamaan (2.1).
Model Bohr sebagai gabungan fisika klassik dan kuantum telah mampu
menjelaskan spektrum atom hidrogen, namun untuk atom-atom lain akan mengalami
banyak kekurangan. Kegagalan itu selanjutnya dapat diatasi oleh Heisenberg dengan
mekanika matriks dan oleh Schrödinger (1926) dengan mekanika gelombang

2.2 Momentum Sudut Elektron


Di dalam atom, elektron mengorbit mengitari inti yang bermuatan positif. Pandanglah inti
sebagai pusat koordinat, maka momentum sudut suatu elektron adalah perkalian antara
vektor posisi dan momentum linier partikel itu.
  
L  rp (2.8)

Komponen-komponennya dalam koordinat Cartesian adalah:

Lx  yp z  zp y
L y  zp x  xp z (2.9)
Lz  xp y  yp x
dan kuadratnya adalah
L2  L2x  L2y  L2z (2.10)

Dalam Bab 1 telah dikemukakan bahwa operator energi kinetik adalah Kˆ  ( 2 / 2m) 2
Dari hubungan K  p 2 / 2m maka komponen-komponen operator momentum adalah
pˆ x  i d / dx . pˆ y  i d / dy dan pˆ z  i d / dz . Jadi, operator-operator momentum
sudut dalam persamaan (2.9) adalah:

34
 
Lˆ x  i ( y  z )
z y
 
Lˆ y  i ( z  x ) (2.11)
x z
 
Lˆ z  i ( x  y )
y x

Melalui transformasi koordinat, di dalam koordinat bola operator-operator tersebut adalah


(lihat Apendiks 3),
 
Lˆ x  i(sin   ctg  cos  )
 
 
Lˆ y  i(cos   ctg  sin  ) (2.12)
 

Lˆ z  i


di mana 090o adalah sudut antara vektor posisi dan sumbu-z dan 0180o adalah
sudut azimut seperti dalam Gambar 2.1.
Selanjutnya diperoleh juga

 1     1 2 
Lˆ2   2   sin   2  (2.13)
 sin      sin   2 

z

y
x .

Gambar 2.1 Koordinat Cartesian dan koordinat bola.

Komutator-komutator momentum adalah sebagai berikut:

[ Lˆ x , Lˆ y ]  Lˆ x Lˆ y  Lˆ x Lˆ y  i Lˆ z
[ Lˆ y , Lˆ z ]  Lˆ y Lˆ z  Lˆ z Lˆ y  i Lˆ x
(2.14)
[ Lˆ z , Lˆ x ]  Lˆ z Lˆ x  Lˆ x Lˆ z  i Lˆ y
[ Lˆ2 , Lˆ ]  Lˆ2 Lˆ  Lˆ Lˆ2  0,   x, y, z.

35
Contoh 2.1: Komutator Momentum Sudut
Buktikan [ Lˆ y , Lˆ z ]  Lˆ y Lˆ z  Lˆ z Lˆ y  i Lˆ x .
Tinjaulah fungsi  ( x, y, z )

[ Lˆ y , Lˆ z ]  Lˆ y Lˆ z  Lˆ z Lˆ y
               
  2  z  x   x y    x  y   z x 
 x z   y x   y x   x z 
   2  2  2  2 
  2  z  zx  zy 2  x 2  xy 
 y xy x zy zx 

 2 
 xz   x 2   yz    y   yx   
2

 yx yz x 2 z xz 



      
  2  z  y    i  i y  z 
 y z   z y 
 iLˆ  x

Jadi, [ Lˆ y , Lˆ z ]  iLˆ x .
Operator L̂ z dan L̂2 masing-masing mempunyai fungsi eigen dan nilai eigen.
Misalkan () adalah fungsi eigen dari L̂ z dengan nilai eigen Lz, maka:

L̂z   Lz  ;
atau

 i  Lz 

dari mana diperoleh
   0 e iLz / 

Karena sifat ( )  (  2 ) , maka

iLz ( 2 ) / 
e iLz /   e  e iLz /  e i 2 Lz /  .

Karena e i 2Lz /   cos (2Lz / )  i sin (2Lz / )  1 maka diperoleh

2
Lz  0,  2 ,  4 , .....

sehingga nilai eigen operator L̂ z adalah:

Lz  m ; m  0,  1,  2, ..... (2.15)

Dengan demikian maka fungsi eigen bersangkutan adalah:

36
( )   0 e im  (2.16)

Konstanta  0 ditentukan dengan cara normalisasi,

2

   d  1;
*

0
2
1
 02  d  1  2C 2  1   0 
0 2

Selanjutnya  0 disebut faktor normalisasi. Jadi, fungsi eigen yang dicari adalah

1 im 
( )  e (2.17)
2

Fungsi-fungsi tersebut ortogonal satu sama lain. Terlihat dari persamaan (2.15) bahwa
komponen-z dari momentum sudut itu terkuantisasi dengan bilangan kuantum m .
Dalam eksperimen, sumbu-z dinyatakan sebagai arah medan magnet statik. Oleh sebab
itu m disebut bilangan kuantum magnetik orbital.
Nilai eigen dan fungsi eigen operator L̂2 ditentukan sebagai berikut. Andaikan
Y(,) adalah fungsi eigen dengan nilai eigen L2, maka

Lˆ2Y ( , )  L2Y ( , )

Dengan persamaan (2.13) maka

 1     1 2 
 2   sin   2 
Y  L2Y
 sin      sin   
2

atau
 2Y Y L2 sin 2   2Y
sin 2   sin  cos   Y  
 2  2  2

Untuk menyelesaikan persamaan di atas terlebih dahulu dilakukan pemisahan variabel;


untuk itu misalkan
Y ( ,  )  P( ) ( ) (2.18).
sehingga diperoleh
1  2 2P P L2 sin 2   1  2
 sin   sin  cos   
   .
P  2  2    2

Dengan  sebagai fungsi eigen L̂z yang diperlihatkan dalam persamaan (2.16) maka
diperoleh
2P P  L2 m2 
 ctg     P  0 (2.19)
 2    2 sin 2  

37
Persamaan ini identik dengan persamaan differensial Legendre terasosiasidengan

L2   2 (  1);   m (2.20a)


dan solusinya adalah

  m
(1)  m  d 
m
1
( w)   (1  w2 ) 2    ( w2  1)  ; w  cos 
m
P (2.20b)
2 !  dw 

Beberapa contoh fungsi itu adalah

P00 ( )  1;
P10 ( )  cos  ;
P11 ( )   sin  ;
(2.21)
P20 ( )  12 (3 cos 2   1);
P21 ( )  3 cos  sin  ;
P22 ( )  3 (1  cos  ) 2 .

Dalam persamaan (2.20),  adalah bilangan bulat positif: 0, 1, 2, ….. yang disebut
bilangan kuantum orbital. Dari persamaan itu jelas bahwa untuk suatu nilai  ada (2 
+1) buah nilai mℓ, yakni mℓ= -  , -(  -1), …,-1., 0, 1,……., (  -1),  . Besar momentum
sudut adalah L   (  1) ; untuk  =1, L=ħ2. Momentum sudut itu mempunyai tiga
orientasi seperti diperlihatkan dalam Gambar.2.2. Lz=mℓħ adalah proyeksi L pada sumbu-
z.
z
mℓ =1
Lz= 
L 2

Lz=0 mℓ =0

Lz=-  mℓ = -1

Gambar 2.2 Orientasi momentum sudut terhadap sumbu-z untuk  =1.

Akhirnya, dari persamaan (2.18) diperoleh fungsi eigen bagi operator L̂2 :

Y ( ,  )  Ym ( ,  )  P ( )  m ( )
m
(2.22)

yang disebut fungsi harmonik bola (spherical harmonics). Beberapa contoh fungsi Ym
adalah sebagai berikut:

38
1
Y00 (  ) 
4
3
Y10 ( )  cos  ;
4
3
Y11 ( )   sin  e i
8
(2.23)
5
Y20 ( )  (3 cos 2   1)
16
15
Y21 ( )   sin 2 e i
32
15
Y2 2 ( )  sin 2  e  2i
32

Sifat ortogonalitas dari fungsi-fungsi di atas adalah

 2

  (Y
0 0
m ) *Y 'm ' sin  d d    ' m m ' (2.23c)

Dengan fungsi-fungsi tersebut berlaku persamaan nilai eigen:

Lˆ2Ym   2 (  1)Ym ;   0,1, 2,....


(2.24)
Lˆ z Ym  m  Ym ; m  ,  (  1),......

Orbital-orbital elektron dibangun dari fungsi-fungsi Ym dalam bentuk ril. Karena
di antara fungsi-fungsi Ym itu ada yang kompleks, maka pembentukan orbital harus
dilakukan melalui kombinasi linier dari fungsi-fungsi tersebut. Selanjutnya fungsi ril itu
disebut orbitalatom . Orbital-orbital itu diberi simbol s untuk   0 , p untuk   1 dan d
untuk   2 dan seterusnya. Untuk jelasnya baca Alonso (1979) atau Siregar (2010).

1
  0; s  Yoo 
4
 3
 p z  Y1 
o
cos 
 4
(2.25a)
 1 3
  1;  px  (Y11  Y11 )  sin  cos 
 2 4
 i 3
 py  (Y11  Y11 )  sin  sin 
 2 4

39
 5
 d z 2  Y20  (3 cos 2   1)
 16 
 1 15
 d xz   (Y21  Y21 )  sin  cos  cos 
 2 4

 i 15 (2.25b)
  2;  d yz  (Y21  Y21 )  sin  cos  sin 
 2 4
 1 15
 d x2  y 2  (Y22  Y22 )  sin 2  cos 2 
 2 16 

d xy  i (Y22  Y22 )  15 sin 2  sin 2

 2 16

Dalam Gambar.2.3 diperlihatkan orbital-orbital tersebut.


z z z z

y y y y

x s x px x py x pz
z z z z z

y y y y y

x x x x x
dz2 dxz dyz dx2-y2 dxy

Gambar 2.3 Orbital-orbital atom s, p, dan d.

Sehubungan dengan operator L̂ x dan L̂ y dibentuk operator L̂ dan L̂ sebagai
berikut
Lˆ   Lˆ x  iLˆ y ; Lˆ   Lˆ x  iLˆ y (2.26)

Dengan operator L̂z komutatornya adalah

Lˆ z Lˆ   Lˆ  Lˆ z  Lˆ 
sehingga
Lˆ z Lˆ Ym  ( Lˆ  Lˆ z  Lˆ  )Ym  (m  1)Lˆ Ym
Lˆ z Lˆ Ym 1  ( Lˆ  Lˆ z  Lˆ  )Ym 1  m Lˆ Ym 1

Tampak bahwa ( Lˆ  Ym ) adalah fungsi eigen dari L̂ z dengan nilai eigen (mℓ+1)ħ.
 
Demikian pula Lˆ Ym , adalah fungsi eigen dari L̂ z dengan nilai eigen mℓħ. Padahal
merujuk pada persamaan (2.24) nilai-nilai eigen itu adalah nilai eigen dari L̂ z terhadap
Ym 1 dan Ym . Oleh sebab itu, dapat dituliskan

40
Lˆ Ym  C Ym 1
Lˆ Ym 1  C Ym

Dengan kedua persaman di atas, maka

Lˆ  Lˆ Ym  C 2Ym .
Di fihak lain,

Lˆ  Lˆ Ym  ( Lˆ2  Lˆ2z  Lˆ z )Ym  [ 2 (  1)  m (m  1)]Ym

sehingga diperoleh,
C 2   2 (  1)  m (m  1) .

Dengan demikian maka sifat operasi operator L̂ adalah:

Lˆ Ym   (  1)  m (m  1) Ym 1


(2.27)
Lˆ Ym   (  1)  m (m  1) Ym 1

Kedua persamaan di atas bukan persamaan nilai eigen, karena operator-operator itu
menggeser bilangan kuantum mℓ. Operator L̂ menambah bilangan kuantum mℓmenjadi
mℓ+1, sedangkan L̂ menguranginya dari mℓ menjadi mℓ-1. Oleh sebab itu, kedua
operator itu disebut sebagai operator tangga (ladder operator).

Contoh 2.2: Matriks Momentum Sudut


Tentukanlah matriks momentum sudut dengan menggunakan Ym sebagai basis untuk
ℓ=2. Dengan ℓ=2, mℓ=-2,-1, 0, 1, 2.
a) L̂ z
Lˆ 
m m '   Y*m' Lˆ zYm sin  d d  m   Y*m' Ym sin  d d m  m' m

Ada harga hanya jika m’ℓ= mℓ


mℓ = -2 -1 0 1 2 mℓ=
  2 0 0 0 0  -2
 
 0  0 0 0  -1
Lˆ z   0 0 0 0 0  0
 
 0 0 0  0  1
 0 2 
 0 0 0 2
b) L̂ x
Lˆ x  1
2 Lˆ

 L 

41
Lˆ 
x m ' m   Ym ' Lˆ xYm sin  d d
 
 12  Ym ' Lˆ Ym sin  d d   Ym ' LYm sin  d d 
 12  (  1)  m (m  1)  Ym ' Ym 1 sin  d d
 12  (  1)  m (m  1)  Ym' Ym 1 sin  d d
 

 12  (  1)  m (m  1)  m ' m 1  12  (  1)  m (m  1)  m ' m 1


Terlihat, ada harga hanya jika m’ℓ= mℓ+1 atau m’ℓ= mℓ-1

m’ℓ=-2 - 1 0 1 2 mℓ=
 0 1 0 0 0 -2
 
 12 6 0 1
2 6 0 0 -1
 
Lˆ x   0 1
2 6 0 1
2 6 0 0
 0 0 1 0 1  1

 0 0 0 0 0 2
 

2.3 Energi dan Fungsi Gelombang Elektron


Sekarang akan dikemukakan atom hidrogen H, dan ion-ion yang memiliki hanya satu
elektron. Terlebih dulu diasumsikan bahwa inti atom adalah pusat yang diam sehingga
energi kinetik inti diabaikan; ini disebut aproksimasi Born-Oppenheimer. Hamiltonian
elektron disekitar inti adalah
2 2 Ze 2
Hˆ     (2.28)
2m 4 o r

Z adalah jumlah proton dalam inti (nomor atom) dan m massa elektron. Jika adalah
fungsi gelombang elektron, maka persamaan Schrödingerya adalah

Hˆ   E (2.29)

Karena energi potensial -Ze2/4orbersifat sentral maka Hamiltonian itu harus


diungkapkan dalam koordinat bola; artinya operator  2 harus ditransformasikan ke
koordinat bola (lihat Apendiks 3). Hasil transformasi itu adalah:

2  2 2  1 2 ctg   1  2  Ze 2
Hˆ    2   2    (2.30)
2m  r r r r  2 r 2  r 2 sin 2   2  4 o r

Mengingat operator L̂2 dalam persamaan (2.3), maka persamaan (2.30) dapat
disederhanakan menjadi
2  2 2  Lˆ2  Ze 2
Hˆ    2     (2.31)
2m  r r r  2 r 2  4 o r

sehingga persamaan Schrödinger (2.29) dapat menjadi sebagai berikut:

42
 2   2 2    Ze 2 Lˆ2 
 2     E     0 (2.32)
2m  r r r   4 o r 2mr 2 

Inilah persamaan Schrödinger dalam koordinat bola. Dalam persamaan (2.32) L̂2
merupakan bagian dari Ĥ . Karena fungsi harmonik bola Ym ( ,  ) adalah fungsi eigen
dari L̂2 maka fungsi (r,,) harus mengandung Ym ( ,  ) . Oleh sebab itu (r,,) dapat
dinyatakan sebagai:
 (r, ,  )  R(r ) Ym ( ,  ) (2.33)

R(r) disebut fungsi gelombang radial. Substitusi ke persamaan (2.32) menghasilkan:

2   2 R 2 R   Ze 2  2 (  1) 
 2     E   R  0 (2.34)
2m e  r r r   4 o r 2mr 2 

Dalam persamaan ini terlihat bahwa secara efektif elektron memiliki energi potensial
efektif:
Ze 2  2 (  1)
V   (2.35)
4 o r 2mr 2

Dalam Gambar 2.4 tampak bahwa potensial itu menuju nol jika r menuju . Di sekitar
harga minimum potensial ini mirip dengan osilator harmonis sederhana.

 2 (  1)
2mr 2

0
r

E Ze 2

4 o r

Gambar 2.4 Potensial efektif yang dimiliki elektron di dalam atom hidrogen.

Jadi, jika elektron berada dalam potensial efektif seperti dalam Gambar
2.4elektron akan memiliki energi yang diskrit. Energi itu merupakan tingkat-tingkat
energiyang negatif.Untuk menyelesaikan persamaan (2.34) perlu dilakukan
penyederhanaan; untuk itu misalkan:

Z 2e2 2Z 4 o  2
n ;  r; ao  (2.36)
8 o ao E nao me 2

43
Dalam persamaan ini, ao=0,53 Å adalah jari-jari Bohr. Substitusi persamaan (2.36) ke
persamaan (2.34) menghasilkan

d 2 R 2 dR  n 1 (  1) 
    R  0 . (2.37)
d 2  d   4  2 

Untuk menuju tak terhingga R()menjadi sederhana, yakni

d 2R 1
 4 R 0,
d 2

dan solusinya R=e -/2. Tahap berikutnya, misalkan fungsi itu

R(  )   s L (  ) e   / 2 (2.38)

Kehadiran s adalah untuk memberi jaminan bahwa fungsi R() akan menuju nol bila 
menuju nol (tidak ada peluang elektron berada di inti). Substitusi persamaan (2.38) ke
persamaan (2.37) menghasilkan

d 2L dL
2  2( s  1)     [  (n  s  1)  s( s  1)  (  1)]L  0
d 2
d

Agar memberikan solusi yang baik dipilih s(s+1)- (  1)  0 atau s=  , sehingga

d 2L dL
  2(  1)     (n    1)L  0 (2.39)
d 2
d

Persamaan ini adalah persamaan differensial Laguerre Terasosiasi, jika

n  (  1); n  1, 2, 3, ..... (2.40)

Jadi, solusi persamaan (2.39) adalah polinom Laguerre Terasosiasi L n21 (  ) (Boas,
1983). Beberapa contoh polinom Laguerre Terasosiasi adalah sebagai berikut:

n  L n21
1 0 L 11 (  )  1
2 0 L 21 (  )  2(2   )
2 1 L 33 (  )  18 (2.41)
3 0 L 31 (  )  3(6  6    2 )
3 1 L 43(  )  24(4   )
3 2 L 55 (  )  120.

Polynomial ini memilik sifat ortogonalitas:

44
2n(n  )!
 3

  e L n (  )L n' (  )  d 
2   2  1 2  1 2
 (2.42)
0
n    1! n'n
Akhirnya, dengan persamaan (2.38) dan (2.41) diperoleh:

(n    1)!    / 2 2 1
Rn (  )   e L n (  )
2n[(n  )!]3
(2.43)
Jika ditransformasi dari Rnℓ() ke Rnℓ (r) dengan menggunakan persamaan (2.36) akan
diperoleh:
3
 2Z  (n    1)!    / 2 2 1
Rn (r )     e L n (  ) (2.44)
 2n[(n  )!]
3
 nao

Beberapa contoh fungsi Rnℓ(r) adalah sebagai berikut:


3/ 2
Z 
R10 (r )  2  e  Zr / ao
 ao 
3/ 2
1 Z  Zr   Zr / 2 ao
R20 (r )    1   e
2  ao   2ao 
5/ 2
1 Z 
R21 (r )    re Zr / 2 ao
2 6  ao 
3/ 2  2
(2.45)
2 Z  2Zr 2  Zr 
R30 (r )    1      e  Zr / 3ao
3 3  ao   3ao 3  3ao  
5/ 2
8 Z   Zr   Zr / 3ao
R31 (r )    1   r e
27 6  a o   6a o 
7/2
8 Z 
R32 (r )    r 2 e  Zr / 3ao
81 30  a o 

Selanjutnya, berdasarkan persamaan (2.36) diperoleh energi elektron:

mZ 2 e 4 Z2 Z 2e2 Z2
En    Rhc    ( 13,6 eV ) (2.46)
2(4 o ) 2  2 n 2 n2 8 o ao n 2 n2

di mana R  me4 / 8 o2 h 3 c  adalah konstanta Rydberg. Untuk atom hidrogen Z=1,
rumusan ini sama dengan model Bohr. Bilangan n disebut bilangan kuantum utama;
bilangan inilah yang menyebabkan kediskritan dari energi elektron.
Dalam persamaan (2.20), L2   2 (  1) dapat diganti menjadi L2   2 (n  1)n
 (n 2  n) 2 sehingga jika n cukup besar maka L2  n 2  2 atau L  n sebagaimana
model Bohr. Jadi, postulat Bohr merupakan kasus yang sangat khusus dari hasil
persamaan Schrödinger.

45
Kembali ke persamaan (2.33), kini fungsi gelombang elektron dapat dituliskan
secara lengkap dengan bilangan-bilangan kuantumnya seperti:

 nm (r , ,  )  Rn (r ) Ym ( ,  ) (2.47)

Dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, fungsi  nm dengan sendirinya merupakan
fungsi eigen bagi operator Ĥ , L̂ z dan L̂2 :

Hˆ  nm  En nm ,


Lˆ z nm  m  nm (2.48)
Lˆ2 nm   2 (  1)  nm .

Beberapa fungsi gelombang  nlm diperlihatkan di bawah ini:


3/ 2
1 Z 
100    e  Zr / ao ;
  a o 
3/ 2
(2.49)
1 Z   Zr 
 200     2   e  Zr / 2 ao ;
4 2  a o   ao 
3/ 2
1 Z   Zr   Zr / 2 ao
 210      e cos  ;
4 2  a o   ao 
3/ 2
1  Z   Zr   Zr / 2 ao
 211     e sin  e i ;
8   a o   a o 
Karena energi hanya ditentukan oleh bilangan kuantum n, maka fungsi-fungsi
φ200, φ210, φ21+1 memiliki energi yang sama; ini disebut keadaan yang berdegenerasi lipat-
4. Sesuai dengan nilai-nilai bilangan kuantum n dan ℓpersamaan (2.49) di atas bisa
dituliskan sebagai berikut:
3/ 2
1  Z 
1s  100    e  Zr / ao ;
  a o 
3/ 2
1Z   Zr 
 2 s   200     2   e  Zr / 2 ao
4 2  ao   ao 
(2.50)
5/ 2
1 Z 
 2 pz   210    re  Zr / 2 ao cos  ;
4 2  ao 
5/ 2
1 Z 
 2 px    re  Zr / 2 ao sin  cos  ;
4 2  ao 
5/ 2
1 Z 
 2 py    r e  Zr / 2 ao sin  sin  .
4 2  ao 

Fungsi-fungsi di atas disebut orbital-orbital atom dari atom/ionberelektron tunggal.

46
Contoh 2.3: Rapat Peluang Elektron
2
Rapat peluang elektron berada dalam suatu orbital  nm adalah  nm . Peluang untuk
menemukan elektron dalam suatu sel bola setebal dr pada jarak r dari inti adalah:
2
P(r )dr  4 r 2  nm dr
Z 2 Zr / ao
Untuk orbital 1s , P(r )  4r 2 e . Gambar 2.5 memperlihatkan rapat peluang
ao3
elektron pada orbital atom 1s sebagai fungsi jarak antara inti dan elektron dalam atom
hidrogen.
Peluang maksimum diperoleh sebagai berikut:
dP(r )  2Z  Z 2 Zr / ao
  8r  4r 2  e 0
dr  a0  a03

8r   4r 2  2Z r 
a0
a0 Z
1.2

P(r)
P(r)

0.5

0
0 1 2 3 4 5 6
r/a0
r/a0
Gambar 2.5 Rapat peluang sebagai fungsi jarak pada orbital atom 1s .

Untuk Z=1, hasil ini sesuai dengan model Bohr tentang jari-jari orbital elektron pada n=1.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa keadaan suatu elektron dapat
dikarakterisasikan oleh tiga bilangan kuantum n, ℓ dan mℓ. Selanjutnya, dengan orbital
atom  nm tersebut, harga rata-rata besaran fisis elektron dapat ditentukan melalui
persamaan berikut:
A   n*m Aˆ  nm dV (2.51)
di mana elemen volume

dV  r 2 dr sin  d d; 0  r  ; 0     ; 0    2 (2.52)

Contoh 2.4: Harga rata-rata <1/r> dan <r>


Harga rata-rata (1/r)av pada orbital atom 1s adalah
3  2
1 1 1  1 2
1/ r  *
1s dv    e
 2 r / ao
r dr  sin  d  d
  ao
1s 1s
r  0
r 0 0

47
 2 
1!
 sin  d  d  4 ; e
 2 r / ao
rdr  ,
0 0 0 (2 / ao ) 2

lihat persamaan (10) dalam Appendiks 2.Maka diperoleh harga rata-rata

1ao2 1
1/ r  a 4 3

1s
 4 ao
o

Harga rata-rata (r)av pada orbital atom 1s adalah:


1 3!ao4 3
r    r1s dv 
*
4a 3
e
2 r / ao 3 3
r dr  4a  ao
1s 1s
 o
0
o
24 2
Jelaslah bahwa (1/r)av 1/(r)av.

2.4 Probabilitas Transisi


Probabilitas transisi (~ intensitas) sebanding dengan kuadrat momen transisi dipol.
Momen transisi yang disebabkan oleh komponen-z dari dipol listrik adalah

M if( z )  e  i* z f dV . (2.53)

Jika diterapkan pada elektron dalam atom hidrogen, fungsi-fungsi dalam integral diganti
dengan  nm :
M if( z )  e  n*m z n ' 'm' dV (2.54a)

di mana z=r cos. Untuk komponen-x

M if( x )  e  n*m x n ' 'm' dV (2.54b)

di mana x=r sin cos = (1/2)r sin (ei+e-i),


Untuk komponen-y
M if( y )  e  n*m y n ' 'm' dV (2.54c)

di mana y=r sin sin= (1/2i)r sin (ei-e-i), Dapat dibuktikan bahwa transisi dapat
berlangsung dengan syarat (selection rule):

n 1, 2, .......
  1 (2.55)
m  0,  1

Contoh 2.3:
Hitunglah komponen transisi dipole listrik M(z) dari orbital-orbital atom 2s dan 2p ke
orbital 1s dari atom hidrogen.
a) 2s  1s

48
M 2( sz 1s  e   2 s z1s dV ;
)

  2
e
 e o (2  r / ao )r dr  cos  sin  d  d  0
3 3 r / 2 a
M 2( zs 1s 
) 3
ao
4 2 0 0 0

b) 2 pz 1s
M 2( zpz) 1s  e  2 pz z1s dv; z  r cos 
  2
e
 e o r dr  cos  sin  d  d
4 3 r / 2 a
M 2( zpz) 1s   ao 4 2

4 2 0 0 0

e 4 4! 4
 ao  0,745 eao
4 2 (3 / 2ao ) 5 3
c) 2 p x  1s
M 2( zpx) 1s  e   2 p x z1s dv; z  r cos  ;
  2
e
e r dr  cos  sin  d  sin  d  0
3 3 r / 2 ao
M (z)
2 px1s  ao 4 2

4 2 0 0 0

d ) 2 p y ke 1s
M 2( zpy) 1s  e 2 p y z1s dv; z  r cos 
  2
e
 e o r dr  cos  sin  d  cos  d  0
3 3 r / 2 a
M 2( zpy) 1s  ao 4 2

4 2 0 0 0

2.5 Effek Stark


Pengaruh medan listrik statik terhadap tingkat-tingkat energi suatu elektron dalam atom
disebut effek Stark. Interaksi medan listrik dengan dipol listrik elektron dipandang
sebagai gangguan tak bergantung waktu. Tinjaulah atom hidrogen yang ditempatkan
dalam medan listrik statisE; andaikan medan itu sejajar sumbu-z. Interaksi dipol listrik
dengan medan listrik itu adalah,
 
G  er . E.  eE r cos  (2.56)

sehingga Hamiltonian total elektron adalah:

Hˆ  Hˆ (0)  eE r cos  (2.57)

Hamiltonian awal Ĥ ( 0) mempunyai fungsi-fungsi eigen  n(m 0)



 dari elektron dalam atom
hidrogen, di mana berlaku
Hˆ ( 0) n(0m)   En( 0) n(0m)  (2.58)

Keadaan dasar atom hidrogen 1s( 0 ) tidak berdegenerasi dengan fungsi-fungsi eigen
lainnya, sehingga metoda gangguan tak bergantung waktu dapat diterapkan untuk
menghitung koreksi-koreksi bagi 1s( 0 ) dan E1( 0) . Seperti telah dikemukakan dalam
paragraf 1.3, koreksi order-1 bagi energi adalah:

49
E1(1)  eE  1(s0) r cos  1(s0) dV

  2
ao3
e r dr  cos  sin  d  d  0
 2 r / ao
 eF 3

 0 0 0

Jadi, gangguan tidak mengubah energi E1( 0) . Selanjutnya, koreksi order-1 terhadap fungsi
1s( 0) adalah:

1(s1) 
eE
E  E 2( 0)
( 0)
  2s  
r cos  1s dV  2 s    2 px r cos  1s dV  2 px 
1

 
   2 py r cos  1s dV  2 py    2 pz r cos  1s dV  2 pz    (2.59)
0,745a o eE
  2 pz
E1( 0 )  E 2( 0)

Dalam perhitungan di atas, integral dalam suku keempat saja yang tak sama dengan nol.
Sekarang akan diperiksa koreksi order-2. Dalam perhitungan, cukup ditinjau
fungsi-fungsi keadaan yang dekat dengan 1s( 0 ) yakni  2( 0s ) ,  2( 0pz) ,  2( 0px) ,  2( 0py) yang
berdegenerasi dengan energi E 2( 0) . Dengan fungsi-fungsi itu, maka

E1( 2) 
e2E 2
E1( 0)  E2( o )
  (0)
1s r cos   2( 0s ) dV   
2
( 0)
1s r cos   2( 0px) dV 
2

  
2
  1(s0) r cos   2(0py) dV   1(s0) r cos   2(0pz) dV 
2

Seperti telah dikemukakan, yang memiliki harga hanyalah integral dalam suku keempat
saja, yakni 0,745 ao. Jadi,
e2E 2
E1( 2)  ( 0) (0,745ao ) 2 (2.60)
E1  E 2 ( 0)

Dari hasil itu maka energi yang terkoreksi adalah:

(0,745ao ) 2 e 2 2
E1  E ( 0)
 E (2.61)
E1( 0)  E 2( 0)
1

sedangkan fungsi terkoreksi hingga order-1 adalah:

0,745ao eE
1s  1(s0)   2( 0pz) (2.62)
E ( 0)
2 E ( 0)
1

Menurut teori klasik, energi atom dalam medan listrik statik adalah E=E(0)+½ E 2 di
mana  adalah polarizabilitas atom. Dengan hasil dalam persamaan (2.61) maka
polarizabilitas atom hidrogen adalah:

50
(0,745 ao ) 2 e 2
  2 ( 0) (2.63)
E1  E 2( 0)

Sekarang akan diperiksa effek Stark terhadap E2(0) dan keempat fungsinya yang
berdegenerasi. Misalkan fungsi-fungsi itu 1   2 s ,  2   2 pz ,  3   2 px ,  4   2 py .
Keempat fungsi itu memenuhi

   dV  
k l kl .

Elemen-elemen matriks H kl    k Hˆ l dv dapat dihitung dengan hasil sebagai berikut:

H11  H 22  H 33  H 44  E2(0)
H12  H 21  3eEao
Lain-lainnya =0.

Misalkan E '  E  E2( 0) maka persamaan sekuler adalah

  E'  3eEao 0 0  c1 
  
  3eEao  E' 0 0  c 2 
0 (2.64)
 0 0  E' 0  c3 
  
  E  c 4 
 0 0 0

Dengan determinan sekuler:

 E'  3eEao 0 0
 3eEao  E' 0 0
 0. (2.65)
0 0  E' 0
0 0 0  E'

diperoleh persamaan pangkat-4 berikut:

( E ' ) 4  (3eEao ) 2 ( E ' ) 2  0


( E ' ) 2  (3eEao ) 2  E '  3eEao  E1  E2(0)  3eEao , E2  E2(0)  3eEao ( 2.66)
( E ' )  0  E3  E4  E2(0)
2

Substitusi E1 ke dalam persamaan sekuler (2.64) dan menggunakan normalisasi akan


menghasilkan c1=c2=1/2 dan substitusi E2 menghasilkan c1=-c2=1/2. Karena E3 dan E4
sama dengan harga asalnya maka fungsinya juga sama dengan asalnya. Jadi,

1 1
1  ( 2 s   2 pz );  2  ( 2 s   2 pz );  3   2 px ;  4   2 py . (2.67)
2 2

51
Hasil di atas, bersama dengan hasil perhitungan teori gangguan bagi E1s diperlihatkan
dalam Gambar 2.6 di bawah ini.
2
E2=E2(0)+3eE ao
2s2pz2px2py
(0) 3, 4
E2 E3=E4=E2(0)

1
E1=E2(0)-3eE ao

1s
E1s(0)
(0,745ao ) 2 e 2 2
E1s  E1(s0)  E
E 2( 0)  E1(s0)
0,745a o eE
1s   2 pz
E 2( 0)  E1( 0)
Gambar 2.6 Pemecahan keadaan-keadaan berdegenerasi olef efek Stark.

2.6 Spin Elektron


Selain memiliki momentum sudut, sebuah elektron juga memiliki spin. Spin adalah
momentum sudut intrinsik yang tidak memiliki ruang. Operator-operator spin adalah Ŝ z ,
Ŝ 2 , Sˆ , Sˆ . Elektron mempunyai bilangan kuantum spin s=½ sehingga bilangan kuantum
 
magnetik spin adalah ms=+½, -½. Karena tak mempunyai variabel ruang, fungsi spin
dinyatakan dengan s, ms yang memenuhi

s, ms s, ms 1 , s, 12 s, 12  s, 12 s, 12  0 . (2.68)

Operasi operator-operator spin adalah sebagai berikut.

Sˆ z s, ms  ms  s, ms (2.69)
Sˆ  s, 12  0; Sˆ  s, 12   s, 12
\(2.70)
Sˆ  s, 12   s, 12 ; Sˆ  s, 12  0
Sˆ 2 s, ms  34  2 s, ms (2.71)

 
Spin S dari elektron mengalami penjumlahan dengan momentum sudut L dari

elektron bersangkutan untuk membentuk momentum sudut total J sebagai berikut
  
J  LS. (2.72)

Bilangan kuantum dari momentum sudut total itu adalah

j s  s (2.73)

dan bilangan kuantum magnetiknya:

52
m j   j,  ( j  1),............. (2.74)

Momen magnet yang terinduksi oleh gerak orbital elektron dan momen magnet
terinduksi oleh spin-nya, berinteraksi dengan Hamiltonian (lihat Alonso et al. 1979).

Hˆ SL  a S . Lˆ (2.75)
di mana
E n Z 2 2
a (2.76a)
 2 n(  1)(  12 )
dan
e2 1
 
4 0 c 137 (2.76b)

disebut konstanta struktur halus.Enadalah energi kulit ke-n; lihat Alonso et al.
    
1979).Karena J  L  S maka J 2  L2  S 2  2S . L dan persamaaan (2.75) selanjutnya
dapat dituliskan seperti
Hˆ SL  12 a ( Jˆ 2  Lˆ2  Sˆ 2 ) (2.77)

Dengan nilai-nilai eigen masing-masing dari Jˆ 2 , Lˆ2 , Sˆ 2 , energi interaksi itu adalah

ESL  12 a 2 [ j ( j  1)  (  1)  s(s  1)] (2.78a)

Mengingat j=ℓs pada persamaan (2.73)maka ada dua harga ESL:

()
E SL  12 a 2 ,
( )
(2.78b)
E SL   12 a (  1) 2 .

Orbital 2p dari atom hidrogendi mana   1, energinya yakni E2 mengalami pemecahan
seperti dalam Gambar 2.7. KarenaE2=-3.4 eV, maka E  3 / 2a 2  48 106 eV . Ini
identik dengan frekuensi f=11,6 GHz.Pergeseran suatu tingkat energi karena interaksi
spin-orbital disebut pergeseran Lamb.
j=3/2 ()
E SL  12 a 2 ,
E2 3 2
a
2
()
E SL   a 2 .
j=1/2

Gambar 2.7 Pemecahan energi karena interakswi spin-orbit.

Kehadiran spin elektron menyebabkan fungsi gelombang elektron harus


dilengkapi dengan fungsi spin, yakni  nm s, ms . Kehadiran spin dalam fungsi
gelombang itu tidak mengubah persamaan eigen dari Hamiltonian elektron karena di
dalam Hamiltonian itu tidak terkandung operator spin,

53
Hˆ  nm s, ms  En nm s, ms (2. 79)

Karena harga ms=-1/2, 1/2, maka harus dibedakan  nm 1


2 , 12 dan  nm 1
2 , 12 .
Menurut Pauli, setiap fungsi lengkap nm s, ms hanya boleh ditempati oleh satu
elektron. Jadi, suatu fungsi gelombang  nm boleh ditempati maksimum oleh 2 elektron.
Dengan demikian maka jumlah maksimum elektron pada setiap kulit (n) adalah 2n2.
Karena energi hanya bergantung pada n maka kulit n itu berdegenerasi 2n2.

2.7 Effek Zeeman


Elektron yang bergerak melingkar pada lintasan berjari-jari r dengan laju v akan
menimbulkan arus listrik sebesar ev/(2r). Dengan luas lingkaran r2 arus itu akan
menginduksikan momen magnet yang besarnya  = (ev/2r) r2 = evr/2.
Karenamomentum sudut elektron L=rmv, maka diperoleh hubungan:  =(e/2m)L. Dalam
bentuk vektor hubungan ini dituliskan seperti:
 e   
 L e L (2.80)
2m 
e
e   9,2732  10 24 joule/tesla (2.81)
2m

e disebut magneton Bohr elektron:


Di dalam medan magnet Byang dinyatakan pada sumbu-z, momen magnet itu
akan berpresisi di sekitar medan dengan frekuensi yang disebut frekuensi Larmor

  B (2.82)

dengan =e/2me =8,79691010Hz/tesla disebut gyromagnetic ratio. Untuk satu tesla,


frekuensi Larmor itu adalah 14 GHz. Interaksi antara momen magnet dengan medan
magnet diungkapkan oleh
      
H Z   . B  e L.B  e BLˆ z (2.83)
 

Harga-harga eigen L̂z adalah m  sehingga energi interaksi itu adalah

EZ   e Bm (2.84))

Energi ini merupakan tambahan bagi energi elektron, dan effek medan magnet itu disebut
effek Zeeman normal. Untuk orbital atom 2p (ℓ =1) dan 1s (ℓ =0) effek itu diperlihatkan
dalam Gambar 2.8 berikut. Dengan medan magnet dua tesla, beda energi E   e B  =
18,5464  1024 joule yang identik dengan frekuensi f=27,8 GHz. Ini sedikit lebih besar
dari interaksi spin-orbit, sehingga medan satu tesla dipandang cukup besar.
Secara umum, momen magnet di atas harus meliput spin juga, sehingga

   
 
 e   
 L  gs S   e L  gsS (2.85)
2m 

54
m  1
p m  0 e B 3 2
E2 a
2
m  1

s m  0
E1
B=0 B0
Gambar.2.8 Pemecahan tingkat energi karena medan magnet yang kuat.

Parameter gs≈2 adalah faktor Lande. Dengan nilai gs itu maka momen magnet menjadi


e 
J  S   g

  
J   e
J J (2.86a)
 
di mana
  
( J  S ). J j ( j  1)  s( s  1)  (  1)
gJ   1 (2.86b)
J 2
2 j ( j  1)

Untuk ℓ=1, j=3/2 dan 1/2; gJ=1,33 dan 0,67 (lihat Alonso et al., 1979).
Jika elektron berada dalam medan magnet B maka interaksi dengan medan itu
adalah:
     
Hˆ Z   J . B  e g J J .B  e g J BJ z (2.87)
 
Energi interaksi ini adalah
EZ   e g J B m j (2.88)

Dalam medan magnet B yang lemah, energi interaksi ini masih lebih kecil
daripada energi interaksi spin-orbit (lihat persamaan 2.78). Untuk   0 , j=1/2, gJ=2,
mj=-1/2, 1/2 Untuk   1, j=3/2, 1/2. Dengan j=3/2, gJ=1,33, mj=-3/2, -1/2, 1/2, 3/2, dan
dengan j=1/2, gJ=0,67, mj=-1/2, 1/2. Pergeseran energi itu diperlihatkan dalam Gambar
2.9. Pecahan-pecahan karena spin disebut effek Zeemananomali.Energi keadaan dasar di
mj=3/2
1,33eB
j  3/ 2 mj=1/2

mj=-1/2
E2 2p
3 2 mj=-3/2
a
2
mj=1/2
0,67eB
j  1/ 2 mj=-1/2

ms=1/2
1s j  1/ 2 2eB
E1
Interaksi spin-orbit ms=-1/2
B=0 B0
Gambar.2.9 Pemecahan tingkat energi karena medan magnet yang lemah.

55
dalam medan magnet akan tergeser sebesar gseBms; lihat Gambar 2.8. Spin elektron
dengan ms=1/2 secara vektor mengarah sejajar medan magnet (spin up) dan spin dengan
ms=-1/2 berlawanan arah dengan medan magnet (spin down). Perbedaan energi keduanya
adalah E  2 e B . Dengan medan 0,3 tesla, E  5,56 10 24 J yang identik dengan
frekuensi 8 Ghz (frekuensi gelombang mikro). Pengukuran ini dapat dilakukan dengan
spektroskopi Electron Spin Resonance (ESR).

Contoh 2.4 Transisi spin elektron; ESR


Tinjaulah transisi spin elektron dari 1s 12 , 12 ke 1s 12 , 12 . Misalkan medan magnet statis
B0pada sumbu-z, diberikan medan magnet berosilasi B1 cos ωt pada sumbu-x. Interaksi
antara medan B1 dan spin elektron adalah

  
Hˆ 1    S . B1  e g s B1 cos t Sˆ x (2.89)


Terlihat bahwa hamiltionian H1 hanya mengandung operator spin saja sehingga hanya
beroperasi pada fungsi spin saja. Dalam paragraf 2.6 telah dikemukakan Sˆ x  12 Sˆ   Sˆ 

 
yang operasinya akan menggeser harga ms. Itu berati, operator H1 adalah operator yang
menyebabkan transisi spin. Oleh sebab itu, operator ini dapat dipandang sebagai
gangguan yang bergantung waktu. Untuk itu nyatakanlah

H 1  Gˆ 0 u(t ) Sˆ x (2.90a)
dengan

Gˆ 0  e g s B1 Sˆ x ; u (t )  cos t (2.90b)

Misalkan keadaan awal spin elektron 1s 12 , 12 dan keadaan akhir 1s 1
2 , 12 maka sesuai
dengan persamaan (1.92) probabilitas transisi spin adalah

2
Pif  T1 c if (T )
dengan
G 0fi T
i fi t
cif (T ) 
i  dt cos t e
0
Selanjutnya dihitung
e
G 0fi  1 1
,
2 2
Gˆ 0 1
2
, 12  g s B1 1 1
,
2 2
Sˆ x 1
2
, 12

e
 g s B1 12 1 1
,
2 2
Sˆ   Sˆ  1
2
, 12

Dapat diturunkan bahwa Sˆ  12 , 12   12 , 12 dan Sˆ 12 , 12  0 , sehingga
e
G 0fi  g s B1 12    e B1

sedangkan

56
T
i fi t sin[( fi   )T / 2]
 dt cos t e
0

[( fi   ) / 2]
Maka diperoleh
 e B1 sin[( fi   )T / 2]
cif (T ) 
i 2 [( fi   ) / 2]
dan akhirnya, probabilitas transisi spin elektron dari 1s 12 , 12 ke 1s 1
2 , 12 adalah
2
1  e B1 sin[( fi   )T / 2] 1   e B1  sin [( fi   )T / 2]
2 2

Pif     (2.91)
T i 2 [( fi   ) / 2] T  2  [( fi   ) / 2]2

2.8Interaksi Hyperfine

Inti-inti atom seperti H 1 ,C 13 dan F 19 juga memiliki spin yang diberi simbol I . Untuk
proton, spin inti tersebut mempunyai bilangan kuantum I=½. Sifat-sifat spin inti dan
fungsi-fungsi spinnya mirip dengan sifat-sifat dan fungsi-fungsi spin elektron.Karena spin
inti itu menginduksikan moment magnet, maka inti dapat berinteraksi dengan spin
elektron. Tinjaulah elektron dalam keadaan dasar atom hidrogen; interaksi dapat
diungkapkan dengan Hamiltonian:
 
Hˆ SI  A S . I
(2.92)
 A Sˆ z Iˆz  1 2 A( Sˆ  Iˆ  Sˆ  Iˆ )

Parameter A disebut konstanta kopling hyperfine. Misalkan fungsi-fungsi spin elektron


adalah S dan S; demikian juga fungsi-fungsi spin inti I dan I. Jadi fungsi spin
bersama adalah:
 S I ,  S  I ,  S I ,  S  I (2.93)

Dengan fungsi-fungsi itu, operator spin elektron beroperasi pada fungsi S dan S
sedangkan operator spin inti pada I dan I.
Elemen matriks Ĥ SI dengan fungsi-fungsi itu sebagai basis dapat ditentukan
sebagai berikut:
H 11  H 44   S  I ASˆ z Iˆz  1 2 A( Sˆ  Iˆ  Sˆ  Iˆ )  S  I
 A  S  I Sˆ z Iˆz  S  I  1
2 A  S  I Sˆ  Iˆ  S  I   S  I Sˆ  Iˆ )  S  I 
A 2
  S I  S I  0  0
4
A 2

4
H12  H 21   S I ASˆ z Iˆz  1 2 A( Sˆ Iˆ  Sˆ Iˆ )  S  I
 A  S I Sˆ z Iˆz  S  I  1 2 A  S I Sˆ Iˆ  S  I   S I Sˆ Iˆ )  S  I 
  1 4 A 2  S  I  S  I  0  1
2 A 2  S  I  S  I
0
Selanjutnya dapat diturunkan:

57
H 22  H 33   1 4 A 2
H 23  H 32  1 2 A 2
Lainnya  0

Persamaan sekulernya adalah

1   0 0 0  c1 
  
 0  1   2 0  c 2 
1 A 2 0
 0 2  1   0  c3 
4
  
 0 0 1    c 4 
 0

di mana E  1
4 b 2 . Dengan determinan sekuler:

1  0 0 0
2 0 1  2 0
1 A 0
2 1  0
4
0
0 0 0 1 
diperoleh (1   ){(1   ) 2 (1   )  4(1   )}  0 sehingga

1    0  1  1
(1   ) 2  4  0  1    2   2  1,  3  3
1   0  4  1

Akhirnya dihasilkan energi interaksi:

E1  E 2  E 4  1
4 A 2
(2.94)
E 3   3 4 A 2

Terlihat dalam persamaan sekuler bahwa  S  I dan  S  I masing-masing


tidak tercampur dengan lainnya,sedangkanantara  S  I dan  S  I terjadi percampuran.
Substisi masing-masin 2 dan 3 akan menghasilkan koefisien-koefisien bagi percampuran
itu. Hasil keseluruha fungsi adalah

1   S  I ; 4  S I
2  1
2
S I   S I  (2.95)
3  1
2
  S I  S I 
Berdasarkan harga-harga energi di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi spin elektron
dan spin inti menyebabkan keadaan dasar atom hidrogen pecah menjadi dua, masing-
masing dengan pergeseran  3 4 A 2 yang singlet dan 1 4 A 2 yang triplet (berdegenerasi
lipat-3); lihat Gambar 2.10. Spektroskopi resonansi spin elektron (ESR) menunjukkan

58
harga A 2 =1,5x10-28 joule identik dengan frekuensi f=230 KHz. Ini adalah energi yang
sangat kecil sehingga interaksi ini disebut hyperfine interaction.
1, 2, 4
E1(0)  1 4 A 2
(0) 1s
𝐸1
A 2

3
E1(0)  3 4 A 2
Gambar 2.10 Pecahnya keadaan dasar karena interaksi hyperfine.

59
Soal-soal

2.1 Hitunglah sudut-sudut yang mungkin antara L dan sumbu-z untuk  =2.

2.2 Operator L̂2 suatu partikel memiliki nilai eigen 12 2 dengan fungsi eigen tertentu;
tentukanlah nilai eigen operator L̂ z dengan fungsi eigen yang sama.

2.3 Gunakanlah operator tangga L̂ tiga kali berturut-turut terhadap fungsi harmonik
bola Y1,1 , dan tunjukkan bahwa setiap operasi akan menghasilkan fungsi-fungsi Y1,0;
Y1,-1; dan nol.

2.4 Hitunglah harga rata-rata potensial yang dialami elektron dalam atom hidrogen
pada: (i) keadaan dasar 1s, (ii) keadaan 2pz, dan (iii) keadaan 3s.

2.5 Hitunglah harga rata-rata 1 / r yang pada orbital-orbital:

(i) 1s, (ii) 2s, (iii) 2pz, dan (iv) 3s.

2.6 Buktikanlah bahwa harga rata-rata jarak elektron-inti pada keadaan  nm adalah:

r    n*m r nm dV

 ao 
3
2
n 2  12 (  1) 
2
2.7 Dengan rumusan peluang P(r )  4r 2  nm , tentukanlah jarak r di mana peluang
mencapai maksimum untuk orbital-orbital: (i) 1s, (ii) 2s, (iii) 2pz, dan (iv) 3s.

2.8 Hitunglah harga rata-rata energi kinetik dan energi potensial pada orbital 1s:

2
2m 
K  1*s  21s dV ;

e2 1
V 
4 0  1*s 1s dV
r

2.9 Hitunglah komponen momen transisi dipole listrik M(z) untuk transisi: (i) dari orbital
3s ke orbital 1s, (ii) 3s ke 2pz, dan (iii) 3s ke 2px.

2.10 Hitunglah komponen-komponen momen transisi dipole listrik M(x) dan M(y) dari
orbital 2p ke orbital 1s.

2.11 Suatu besaran penting dalam spektroskopi adalah peluang suatu elektron ditemukan
di posisi inti. Evaluasi kerapatan peluang suatu elektron di orbital atom 1s dan 2s.
2.12 Interaksi dipol magnet antara elektron dan momen magnet inti sebanding dengan
1/r3. Hitunglah harga rata-rata 1 / r 3 untuk elektron di orbital 1s.

60
2.13 Untuk suatu harga bilangan kuantum utama n, harga bilangan kuantum orbital 
adalah 0, 1, 2, ….,n-1, dan untuk suatu harga  , m mengambil harga  ,   1 , …..,
2
  . Buktikan bahwa degenerasi bilangan kuantum utama n adalah n .

2.14 Jika keadaan elektron di dalam ion He adalah  (r, ,  )  R41(r )Y11( ,  ) htunglah
(a) energi elektron, (b) besarnya vektor momemtum sudut L, dan (c) proyeksi vektor
momemtum sudut pada sumbu z.

2.15 Nilai e/m bisa ditentukan secara eksperimen melalui pengamatan efek Zeeman.
Tentukanlah nilai tersebut jika separasi antara dua garis dalam medan 0.45 T adalah
6,29GHz.

2.16 Tentukanlah frekuensi RF yang bisa menginduksikan transisi spin elektron dari
orientasi paralel menjadi antiparalel atau sebaliknya di dalam medan magnet 0,1 T.

61
BAB 3
ATOM DENGAN BEBERAPAELEKTRON
Dalam Bab 2 telah dibahas atom dengan satu elektron. Di sana energi potensial yang
dimiliki elektron hanya berasal dari inti saja. Jika atom mengandung sejumlah elektron,
energi potensial yang dimiliki satu elektron tidak saja berasal dari inti, tapi juga dari
elektron-elektron lainnya. Dengan demikian maka jarak elektron-elektronmerupakan
variabel di dalam persamaan Schrödinger. Kesulitan akan timbul pada saat menyelesaikan
integral dengan menggunakan orbital atom yang sudah dikenal yakni s, p, d,…yang
bervariabel jarak elektron-inti saja. Selain itu, karena ada sejumlah elektron maka fungsi
gelombang sistem elektron harus memperhatikan spin-spin elektron bersangkutanuntuk
memenuhi aturan Pauli.

3.1 Atom Helium


3.1.1 Atom Helium pada keadaan dasar
Atom helium memiliki dua elektron yang bergerak dalam medan listrik inti bermuatan Z=
+2e. Selain interaksi tarikan dari inti, kedua elektron saling tolak-menolak dengan gaya
Coulomb. Dengan melabeli elektron, 1 dan 2, suatu atom helium diperlihatkan dalam
Gambar 3.1
1 2 -e
-e r12 1s
r2
r1

+2e
Gambar 3.1 Atom helium keadaan dasar.

Hamiltonian kedua elektron adalah

e2
Hˆ  Hˆ 1c  Hˆ 2c  (3.1)
4 o r 12
dengan
2 2 2e 2
H ic  i  ; i  1, 2 (3.2)
2m 4 o r i

Masing-masing H1c dan H 2c mirip dengan Hamiltonian elektron dari atom berelektron
tunggal (dengan Z=2), sedangkan suku Vee adalah potensial Coulomb antara elektron-
elektron dengan r12 adalah jarak antara keduanya.
Fungsi gelombang kedua elektron bisa dipandang sebagai perkalian fungsi
masing-masing elektron. Dengan orbital 1s keadaan dasar itu adalah

 0 (r1 , r2 )  1s (r1 )1s (r2 ) (3.3)


di mana
3/ 2
1  2  2 ri / a0
1s (ri )    e ; i  1,2.
  a0 
(3.4)

62
Energi keadaan dasar tersebut adalah

E 0   0 * Hˆ  0 dV1 dV2
e2 1 (3.5)
  0 ˆ * ˆ c
H 1  0 dV1 dV2   0 H 2 0 dV1 dV2    0 *  0 dV1 dV2
* c
4 o r12

Perhitungan suku pertama dan kedua adalah sebagai berikut (lihat peramaan (2.46)):

 Hˆ 1c 0 dV1 dV2   1*s (r1 ) Hˆ 1c1s (r1 )dV1  1*s (r2 ) 1s (r2 )dV2
*
0

4e 2
  54,4 eV
8 0 a0

 0 Hˆ 2 0 dV1dV2   1s (r2 ) Hˆ 2 1s (r2 )dV2  1s (r1 ) 1s (r1 )dV1
* c * c *

4e 2
  54,4 eV
8 0 a0

di mana telah dipakai sifat  1*s (r1 )1s (r1 )dV1   1*s (r2 )1s (r2 )dV2  1 . Untuk suku ketiga

1 1
 0  0 dV1dV2   1*s (r1 )1*s (r2 ) 1s (r1 )1s (r2 )dV1dV2
*
r12 r12

Terlihat bahwa variabel jarak di dalam orbital-orbital yang digunakan adalah r1 dan r2,
yakni jarak elektron-inti sedangkan r12 adalah jarak elektron-elektron Hal itu
menyebabkan perhitungan energi potensial elektron-elektronmenjadi sulit. Untuk
sementara persamaan (3.5) menjadi

e2 1
E0  108,8 eV 
4 0  1*s (r1 )1*s (r2 ) 1s (r1 )1s (r2 )dV1dV2
r12
(3.6)

Hasil eksperimen menunjukkan energi keadaan dasar atom helium adalah -79 eV. Itu
artinya energi interaksi itu sangat penting untuk dihitung. Ada dua cara untuk menghitung
energi potensial elektron-elektron itu, (i) menggunakan teori gangguan dan (ii)
menggunakan metoda variasi.

Teori Gangguan
Suku kedua dalam persamaan (3.6) dipandang sebagai koreksi order-1 terhadap energi

e2 1
E (1) 
4 0  1*s (r1 )1*s (r2 ) 1s (r1 )1s (r2 )dV1 dV2
r12
6
e2 1  2  1 2
e
 4 r1 / a0
   e  4 r2 / a0 r1 dr1 sin 1 d1 d1 r22 dr2 sin  2 d 2 d 2
4 o  2  a 0  r12
(3.7)

63
Aproksimasi perlu dilakukan untuk menghubungkan jarak elektron-elektron r12 menjadi
jarak-jarak inti-elektron. Untuk itu 1/r12 dapat dinyatakan sebagai superposisi produk
fungsi-fungsi harmonis sebagai berikut:


1 
1 r *
  Ym  (1 , 1 )Ym ( 2 ,  2 ) (3.8)
r12  0 m   2  1 r 1

di mana simbol r< menyatakan jarak yang lebih kecil dari pada r1 dan r> menyatakan
jarak yang lebih besar dari pada r2;untuk jelasnya lihat Jackson (1975). Persamaan (3.7)
menjadi
6  
e2 1  2  1  4 r1 / a0  4 r2 / a0 r

E  (1)
 
4 o  2  a0 
  
 m 2  1 r1 0 r2 0
e e
r
r 2 dr1r22 dr2 
 1 1

2  2 
       Y (1 , 1 )Ym ( 2 , 2 ) sin 1 d1 d1 sin  2 d 2 d2
*
m  (3.9)
 1 0 1 0 2 0 2 0

Untuk dapat menyelesaikan persamaan di atas digunakan fungsi harmonik bola Y00 dari
persamaan (2.23a). Kalikan dan bagikanlah persamaan (3.9) dengan

1
Y00 (1 ,1 )Y00* ( 2 ,2 ) 
4

Untuk memperoleh susunan sebagai berikut.

6 
e2  2  1 4 r1 / a0  4 r2 / a0 r

E (1)
 2  
  o  a0 
 2  1   e e r 2 dr1r22 dr2
 1 1
r
 m 00
 2  2
   Ym  (1 ,1 )Yoo (1 ,1 ) sin 1 d1 d1   
Y00* ( 2 ,2 )Ym ( 2 ,2 ) sin  2 d 2 d2
*

1 0 1 0  2 0 2 0
Berdasarkan sifat fungsi harmonik bola berlaku
 2  2

  Ym  (1 ,1 )Yoo (1 ,1 ) sin 1 d1 d1    Y00 ( 2 ,2 )Ym ( 2 ,2 ) sin  2 d 2 d2   0 0m
* *
 
1 0 1 0  2  0 2  0

Maka dengan   0, m  0 diperoleh

6
e2  2  1 2
  e 1 0e 2 0
4 r / a 4 r / a
E (1)
 2   r1 dr1r22 dr2 (3.10)
  o  a0  0 0
r

Sekarang masalahnya adalah bagaimana cara memperlakukan r> dalam integral. Itu
dilakukan bertahap. Integralkan r1 dari 0 ke r2 dengan r>=r2, lalu dari r2 ke  dengan
r>=r1. Dengan itu maka persamaan (3.10) menjadi
e2  2 
6
r2 r 2  2 
4 r1 / a0 r1
 e 4r2 / a0 r22   dr1   e
4 r1 / a0
E (1)
 2   1
e dr1  dr2
  o  a0  0  0 r2 r2
r1 

64
e2  2  
 4r2 / a0  2 2 4r1 / a0 
6  r    
4 r2 / a0 2  
 2  1  2 
4 r1 / a0
 2   e r r e dr dr  e r e r1 1 dr2 
dr
  o  a0   0  1
 2
 
0  0  r2  

Dengan menggunakan rumus-rumus integral 5, 6, dan 7 dalam Apendiks 2 diperoleh


hasil akhir
5 2e 2
E (1)    34 eV (3.11)
8 4 0 a0
sehingga
E0  108,8  34  74,8 eV (3.12)

Dibandingkan dengan hasil eksperimen yang -79eV, hasil di atas menyimpang 5,3% .

Metoda Variasi
Dalam atom helium, satu elektron bisa lebih dekat ke inti sehingga elektron yang lain
mengalami medan inti yanglebih kecil; lihat Gambar 3.2. Dengan pandangan itu maka

r12 -e
-e
r1 r2

+2e

Gambar 3.2 Elektron terluar mengalami medan inti lebih kecil.

nomor atom Z=2 bisa diganti dengan  yang harganya 1<<2. Hamiltonian dalam
persamaan (3.1) dituliskan sebagai berikut:


Hˆ  H1c  H 2c  
(  2)e 2 (  2)e 2
4 o r 1
 
e2
4 o r 2 4 o r12
(3.13a)

dengan
2 2  e2
H 1c  1 
2m e 4 o r 1
(3.13b)
2 2  e2
H 2c   2 
2m e 4 o r 2

Untuk menghitung energi keadaan dasar atom helium, misalkan fungsi gelombang
elektron dalam keadaan dasar itu adalah
3
1     r / a  r / a
 0  1s (r1 )1s (r2 )    e 1 0 e 2 0 (3.14)
  a0 
Energi dihitung sebagai berikut:

65
E 0 ( )   0 Hˆ  0 dV1 dV2
*

   *1s (r1 ) H 1( 0)1s (r1 )dV1    *1s (r2 ) H 2( 0)1s (r2 )dV1 dV2

(  2)e 2 (  2)e 2
  *
1s (r1 ) 1s (r1 )dV1    1s (r2 )
*
1s (r2 )dV1 dV2
4 o r 1 4 o r 2
e2
  *
1s (r1 ) *
1s (r2 ) 1s (r1 )1s (r2 )dV1 dV2
4 o r12
atau
 2e2  2e2
E0 ( )   
8 0 a0 8 0 a0
  2e 2  1 1 
   1s (r1 )dV1    *1s (r2 ) 1s (r2 )dV2 
*
1s (r1 )
4 0  r1 r2 
(3.15)
e2 1
  (r1 ) (r2 ) 1s (r1 )1s (r2 )dv1 dV2
* *
1s 1s
4 o r12

Dalam persamaan di atas telah digunakan sifat

 (r1 )1s (r1 )dV1    *1s (r2 )1s (r2 )dV2  1 .


*
1s

 2e2
Suku pertama dan kedua masing-masing menghasilkan  . Suku ketiga dan
8 0 a0
keempat dihitung sebagai berikut:

3  2
1 1  
 r e dr  sin 1 d1  d
 2 r1 / a0
*
1s (r1 ) 1s (r1 )dV1   
  a0 
1
r1 0 0 0

3
1   1 
   4 
  a0  2 / a0  2
a0

Suku kelima dihitung dengan cara perhitungan teori gangguan yang hasilnya seperti
dalam persamaan (3.11). Jadi,

e2 1 5  e2
4 o 
 *
1s (1) 1s (2)
*
 (1) ( 2) dv dv 
8 4 0 a0
1s 1s 1 2
r12

Dengan demikian maka


  2e 2 
E ( )  2   2
  2e 2   5 e 2

 8 0 a0  4 0 a0 8 4 0 a0

e2  2 5 
     2  2)    
4 0 a0  8 

66
 5 
 (27,2 eV )  2  4   
 8 

Selanjutnya, minimalisasi energi: dE / d  0 , akan memberikan   1,6875 , sehingga


energi keadaan dasar menjadi

E0  (27,2 eV)[1,6875 
27
 1,6875]  77,46 eV
2
(3.16)
8

Hasil ini menyimpang 2 % dari hasil eksperimen yang -79 eV. Jadi, metoda variasi
memberikan hasil yang lebih baik dari pada teori gangguan.

Contoh 3.1 Harga rata-rata 1 / r1 dan r1 dalam keadaan dasar helium


1
1 / r1   0*  0 dV
r1
6
1    r1 / a0  r2 / a0 1  r1 / a0  r2 / a0
 2  
  a0  e e
r1
e e dV1dV2

6
1   2 r1 / a0 1 2 r2 / a0
 2  
  a0  e r1
dV1  e dV2

6  2   2
1   2 r1 / a0 1 2 r2 / a0
 2  
  a0  e r1
r12 dr1  sin 1d1  d   e r22 dr2  sin 1d1  d
0 0 0 0 0 0

  
6
1    1  2 
    4  4
 2  a0   2 / a 2
 0
 2 / a 3
 0


6 2 3
1    a0   a0 
 2       32 2
  a0   2   2 


a0

Dengan   1,6875 maka pada keadaan dasar 1 / r1   3,18 Å-1.
a0
r1   0* r1 0 dv
6
1    r1 / a0  r2 / a0  r1 / a0  r2 / a0
 2  
  a0  e e r1 e e dV1 dV2

6
1   2 r1 / a0 2 r2 / a0
 2  
  a0  e r1 dV1  e dV2

6  2   2
1   2 r1 / a0 2 r2 / a0
 2 
  a0


e
0
r1 r12 dr1  sin 1 d1  d   e
0 0 0
r22 dr2  sin 1 d1  d
0 0

67
   3 a0
6
1    6  2 
 2    2 / a 4  4  2 / a 3  4  2 
  a0   0  0 
3 a0
Jadi, pada keadaan dasar r1   0,47 Å
2

3.1.2 Atom Helium dalam Keadaan Tereksitasi


Misalkan sebuah elektron bertransisi dari orbital 1s ke orbital 2s. Ada dua fungsi basis
yang mungkin bagi keadaan eksitasi itu, yakni

1  1s (r1 ) 2 s (r2 )


(3.17)
 2  1s (r2 ) 2 s (r1 )

Kedua fungsi di atas adalah fungsi ruang. Dengan kombinasi linier dari kedua fungsi
basis di atas dibentuk fungsi keadaan eksitasi

  c11  c22 (3.18)

Bentuk maktriks Hamiltonian dalam persamaan (3.1) dengan menggunakan


fungsi-fungsi basis dalam persamaan (3.17) adalah:

 H 11 H 12 
 
ˆ
H   (3.19a)
H H 22 
 21
dengan
H ij   i* Hˆ  j dV (3.19b)

Jika energi keadaan eksitasi adalah E dan overlap antara kedua fungsi basis adalah Sij
maka persamaan sekuler adalah

 H 11  ES11 H 12  ES12  c1 
  
    0
 H  ES H 22  ES 22  c2 
 21 21

Karena
S ij   i* j dV   ij

maka persamaan sekuler di atas menjadi

 H 11  E H 12  c1 
  
    0 (3.20)
H  
 21 H 22  E  c2 

Dari determinan sekulernya diperoleh

68
E 2  ( H11  H 22 ) E  ( H11H 22  H12 H 22 )  0
sehingga
E  1 2 ( H11  H 22 )  1 2 ( H11  H 22 ) 2  4H12 H 21 (3.21)

Elemen-elemen matriks Hij dihitung satu-persatu sebagai berikut:

H 11   1* Hˆ 1 dV

 
  1*s (r1 ) 2*s (r2 ) Hˆ 1c  Hˆ 2c  Vee 1s (r1 ) 2 s (r2 )dV1 dV2
  1*s (r1 ) Hˆ 1c1s (r1 )dV1   2*s (r2 ) 2 s (r2 )dV2   1*s (r1 )1s (r1 )dV1   2*s (r2 ) Hˆ 2c 2 s (r2 )dV2

  1*s (r1 ) 2*s (r2 ) Vee1s (r1 ) 2 s (r2 )dV1dV2


 E1s (1)  E2 s (2)  J1s 2 s
di mana
J 1s 2 s   1*s (r1 ) 2*s (r2 )Vee1s (r1 ) 2 s (r2 )dV1dV2
e2 1

4 0  1*s (r1 ) 2*s (r2 ) 1s (r1 ) 2 s (r2 )dV1dV2
r12
(3.22a)

Karena e1*s (r1 )1s (r1 ) adalah kerapatan elektron di r1 dan e 2*s (r2 ) 2 s (r2 ) adalah
kerapatan elektron di r2 maka J1s2smenggambarkan potensial Coulomb. Itu sebabnya
J1s2sdisebut potensial Coulomb antara kedua elektron.
Dengan cara yang sama diperoleh

H 22  E2 s (1)  E1s (2)  J 2 s1s

H 22  H11 karena E1s (1)  E1s (2) , E2 s (1)  E2 s (2) dan J 1s 2 s  J 2 s1s . Selanjutnya
diperoleh
H12  K1s 2 s
di mana
K 1s 2 s   1*Vee 2 dV
e2 1 (3.22b)

4 0  1*s (r1 ) 2*s (r2 ) 1s (r2 ) 2 s (r1 )dV1 dV2
r12

K1s2s disebut potensial tukar (exchange) antara kedua elektron. Dalam hal ini terjadi
pertukaran elektron antara orbital 1s dan  2 s . Potensial ini tak mempunyai analogi
klassik, ini muncul sebagai koreksi kuantum terhadap Coulomb.
Substitusi elemen-elemen matriks di atas ke persamaan (3.21) menghasilkan

E1(  )  E1s  E 2 s  J 1s 2 s  K1s 2 s


(3.23)
E1(  )  E1s  E 2 s  J 1s 2 s  K1s 2 s
Terlihat, jika interaksi elektron-elektron diabaikan kedua fungsi dalam persamaan (3.23)
memiliki energi yang sama (berdegenerasi). Tapi jika interaksi elektron-elektron itu tidak

69
diabaikan kedua fungsi keadaan itu akan terpisah dengan tingkat-tingkat energi yang
berbeda 2K1s2s.
Selanjutnya, substitusi masing-masing energi itu ke persamaan sekuler akan
menghasilkan koefisien-koefisien ci yang diperlukan untuk membentuk fungsi keadaan
tereksitasi. Hasilnya adalah

E1(  )   1(  ) 
1
1  2  1
1s (r1 ) 2s (r2 )  1s (r2 ) 2s (r1 ) ; (3.24a)
2 2
E1( )   1( ) 
1
1  2   1
1s (r1 ) 2s (r2 )  1s (r2 ) 2s (r1 ) (3.24b)
2 2

Jika jarak antara kedua elektron r120 atau r1=r2 maka 1s (r1 ) 2 s (r2 )  .
1s (r2 )2 s (r1 ) . Akibatnya,
r1  r2 :  1(  ) 
1
21s (r1 ) 2 s (r2 )
2 (3.25)
 ()
1 0

2 2
Dalam Gambar 3.3 diperlihatkan kerapatan peluang  1(  ) dan  1(  ) ; lihat Atkins et al.
2
(2005). Ketika r12=0,  1(  ) =0; artinya tidak ada peluang menemukan kedua elektron
pada posisi yang sama dengan fungsi keadaan tereksitasi  1(  ) . Tetapi, justru peluang itu
maksimum dengan fungsi keadaantereksitasi  1(  ) . Cekungan  1(  ) =0 disebut lubang
2

Fermi. Ini menunjukkan bahwa kedua elektron pada fungsi keadaan  1(  ) cenderung
menghindar satu sama lain. Itu sebabnya energi keadaannya lebih rendah daripada  1(  ) .
2
 1(  )
2
 1(  )

0 r12 0 r12
2 () 2
Gambar 3.3 Kerapatan peluang  1(  ) dan  1 ; Atkins et al. (2005).

Sekarang misalkan sebuah elektron bertransisi dari orbital 1s ke orbital 2p.
Perhitungan untuk keadaan eksitasi ini dapat dilakukan seperti cara di atas. Hasil
perhitungan energi dan fungsi-fungsi bersangkutan adalah

E 2(  )  E1s  E 2 p  J 1s 2 p  K1s 2 p
(3.26)
E 2(  )  E1s  E 2 p  J 1s 2 p  K1s 2 p

70
 2(  ) 
1
 1s (r1 ) 2 p (r2 )  1s (r2 ) 2 p (r1 ) 
2 . (3.27)
 2(  ) 
1
 1s ( r1 ) 2 p ( r2 )  1s ( r2 ) 2 p ( r1 ) 
2

Pembahasan di atas telah menggunakan orbital-orbital atom hydrogen. Dalam bab


2 dikemukakan bahwa energi hanya ditentukan oleh bilangan kuantum n. Jadi, orbital-
orbital 2s, 2px,2py, dan 2pz, berdegenerasi-4 dengan energi E2s=E2p. Jadi, energi E1(  )
dalam persamaan (3.23) dan energi E 2(  ) dalam persamaan (3.26) hanya dibedakan oleh
energi potensial Coulomb dan energi potensial tukar. Jika interaksi elektron-elektron
diperlakukan sebagai gangguan seperti dalam paragraf 3.1, akan diperoleh (lihat Levine
1991).,
17 Ze 2 16 Ze 2
J 1s 2 s   11.42 eV ; K1s 2 s   1,19 eV
81 4 0 a0 729 4 0 a0
(3.28)
59 Ze 2 112 Ze 2
J 1s 2 p   13.21eV ; K1s 2 p   0,93 eV
243 4 0 a0 6561 4 0 a0

Dengan demikian energi-energi keadaan eksitasi adalah

E1(  )  E1s  E 2 s  12,61 eV


E1(  )  E1s  E 2 s  10,23 eV
(3.29)
E 2(  )  E1s  E 2 p  14.14 eV
E 2(  )  E1s  E 2 p  12.28 eV

di mana E1s+E2s= E1s+E2p=-68eV. Energi-energi keadaan eksitasi itu diperlihatkan dalam


Gambar 3.4.
E 2(  )
E1(  )(  ) 2 K1s2p
E2
2 K1s2s
()
E 1

J1s2p
J1s2s

E1s  E2 s
E1s  E2 p

Gambar 3.4 Energi-energi keadaan eksitasi-1 dan -2.

Contoh 3.2 Harga rata-rata 1 / r1 dan r1 dalam keadaan tereksitasi

Tinjau keadaan tereksitasi  2(  ) 


1

1s (r1 ) 2 p (r2 )  1s (r2 ) 2 p (r1 ) 
2

71
1
1 / r1   2(  )*  2(  ) dV
r1


  1s (r1 ) 2 p (r2 )  1s (r2 ) 2 p (r1 ) *  r1 1s (r1 )2 p (r2 )  1s (r2 )2 p (r1 )dV1dV2
1
1 1
  1s (r1 ) 1s (r1 )dV1   2* p (r2 ) 2 p (r2 )dV2   1s (r1 )  2 p (r1 )dV1   2* p (r2 )1s (r2 )dV2
r1 r1
1 1
  1s (r2 ) 2 p (r2 )dV2   2* p (r1 ) 1s (r1 )dV1   1s (r2 )1s (r2 )dV2   2* p (r1 )  2 p (r1 )dV1
r1 r1

Gunakan sifat ortonormal dari orbital-orbital atom hidrogen:

 (r2 )1s (r2 )dV2    2* p (r2 ) 2 p (r2 )dV2  1 ,



1s

 (r2 )1s (r2 )dV2   1s (r2 ) 2 p (r2 )dV2  0


*
2p

dan ambil  2 p =  2 pz , maka


1 1
1 / r1   1s (r1 ) 1s (r1 )dV1    2* p (r1 )  2 p (r1 )dV1
r1 r1
3  2
1  2 r1 / a0 1 2
  
  a0  e
0
r1
r1 dr1  sin 1d1  d1
0 0

5  2
1    r1 / a0 1 2

32
 
 a0 
e
0
r12
r1
r1 dr  cos 2 1 sin 1d1  d1
10 0

3 5
1  1 1   6 4 5 
   4    
  a0  (2 / a0 ) 2
32  a0  ( / a0 ) 3
4
4 a0

Jadi, pada keadaan tereksitasi 1 / r1  3,98 Å-1. Bandingkan dengan 1/ r1  3,18 Å-1 pada
keadaan dasar dalam Contoh 3.1.

  
r1   1s (r1 ) 2 p (r2 )  1s (r2 ) 2 p (r1 ) * r1 1s (r1 ) 2 p (r2 )  1s (r2 ) 2 p (r1 ) dV1 dV2 
  1s (r1 )r11s (r1 )dV1    2* p (r1 )r1 2 p (r1 )dV1
3  2
1   2 r1 / a0
 
  a0


e
0
r1 r12 dr1  sin 1 d1  d1
0 0

5  2
1    r1 / a0
   e  cos 1 sin 1 d1  d1
2 2 2
r r r dr
32
1 1 1
 a0  0 10 0

3 5
1   6 1   120 4 a
   4     6,5 0
  a0  ( 2 / a 0 ) 4
32  a0  ( / a 0 ) 3
6

72
a0
Jadi, pada keadaan tereksitasi r1  6,5  2,04 Å. Bandingkan dengan r1  0,47 Å

pada keadaan dasar; lihat Contoh 3.1.

3.2 Prinsip Pauli; Determinan Slater


Menurut Pauli, suatu fungsi ruang (r1,r2) harus dilengkapi spin-spin elektron
melaluiperkalian dengan fungsi spinnya. Misalkan fungsi spin dua elektron adalah(1,2)
maka
(1,2)   (r1 , r2 )  (1,2) (3.30)

Selanjutnya, suatu fungsi lengkap  dari suatu sistem elektron harus bersifat antisimetrik
terhadap pertukaran elektron. Jika (r1,r2) adalah fungsi ruang yang simetrik terhadap
pertukaran elektron maka  (1,2) harus antisimetrik terhadap pertukaran elektron yang
sama, demikian juga sebaliknya.
Dalam persamaan (3.3) fungsi ruang dari keadaan dasar helium:

 0 (r1 , r2 )  1s (r1 )1s (r2 ) ; simetrik (3.31)

adalah simetrik terhadap pertukaran elektron. Pada keadaan dasar itu spin-spin kedua
elektron berlawanan arah satu sama lain sehingga total spin S=0, dan ms=0; ini disebut
singlet. Lihat Gambar 3.5 a). Fungsi spin dari kedua elektron dalam keadaan dasar helium
adalah
 (1,2)  12  (1) (2)   (2) (1) antisimetrik (3.32)

Fungsi itu antisimetrik terhadap pertukaran elektron. Artinya, dengan mempertukarkan


elektron diperoleh fungsi yang sama dengan negatifnya fungsi semula. Jadi, fungsi
keadaan dasar secara lengkap dituliskan seperti

0  1
2
1s (r1 )1s (r2 )  (1) (2)   (2) (1) (3.33)

2s
a) 0
1s

2s 2s
b) atau 1(  )
1s 1s

2s 2s
c) atau 1(  )
1s 1s

Gambar 3.5 Keadaan a) dasar, b) tereksitasi singlet dan c) tereksitasi triplet.

73
Fungsi  1(  ) dalam persamaan (3.24a) adalah fungsi ruang yang simetrik. Untuk
memperoleh fungsi lengkap, fungsi itu harus dikalikan dengan fungsi spin yang anti
simetrik (keadaan singlet) seperti dalam persamaan (3.32):

1(  ) 
1
1s (r1 ) 2s (r2 )  1s (r2 ) 2s (r1 ) 1
 (1)  (2)   (2)  (1) (3.34)
2 2

Lihat Gambar 3.5 b). Berbeda halnya dengan fungsi keadaan tereksitai  1(  ) ’ Fungsi ini
antisimetrik terhadap pertukaran elektron. Jika fungsi itu dilengkapi dengan fungsi spin
maka fungsi spin itu harus simetrik. Itu artinya kedua spin harus searah sehingga total
spin S=1 dan ms=-1,0,1. Lihat Gambar 3.5 c). Keadaan ini disebut triplet dan fungsi-
fungsi spin kedua elektron adalah

  (1) (2)

   12  (1)  (2)   (2)  (1) simetrik (3.35)

  (1)  (2)

Dengan demikian maka fungsi keadaan tereksitai  1(  ) secara lengkap dituliskan seperti

  (1) (2)



1(  )  2 1s (r1 ) 2 s (r2 )  1s (r2 ) 2 s (r1 ) 12  (1)  (2)   (2)  (1)
1
(3.36)


  (1)  (2)

2
Keadaan di mana  1(  )  0 di r1=r2 (disebut lubang Fermi) dikaitkandengan keadaan
S=1. Dapat disimpulkan bahwa dua elektron dengan spin yang searah akan saling
menjauhi.
Eksitasi elektron dari orbital atom 1s ke orbital 2p akan menghasilkan fungsi-
fungsi keadaan eksitasi 2(  ) dan 2(  ) masing-masing simetrik dan antisimetrik terhadap
pertukaran elektron. Secara umum fungsi keadaan lengkapnya masing-masing adalah

2(  ) 
1

1s (r1 )2 p (r2 )  1s (r2 )2 p (r1 )  1
 (1)  (2)   (2)  (1) (3.37)
2 2
  (1) (2)

2(  )  

 12 1s (r1 ) 2 p (r2 )  1s (r2 ) 2 p (r1 )  12  (2)  (1)   (2)  (1) (3.38)

  (1)  (2)

Dari hal-hal diatas, terlihat bahwa


(i) Setiap fungsi ruang yang simetrik adalah singlet dan yang antisimetrik adalah triplet.
(ii) Energi keadaan eksitasi triplet selalu lebih rendah daripada energi eksitasi keadaan
singlet

74
Struktur elektronik keadaan dasar 0 , keadaan tereksitasi singlet 1(  ) dan triplet 1(  )
diperlihatkan dalam Gambar 3.5.

Contoh 3.3 Momen transisi


Transisi elektron dari satu keadaan ke keadaan lain, harus memenuhi selection rules,

n 1, 2, .......;   1; m  0,  1 (3.39)

Lakukan perhitungan momen transisi dengan komponen dipol listrik z=-e(z1+z2) antara
keadaan dasar dan keadaan-keadaan tereksitasi.
a) 0  1(  ) : ℓ=0, kedua keadaan memiliki fungsi ruang yang sama-sama simetrik.

1  e  0 ( z1  z 2 ) 1 dV1 dV2 =0;


()
M 0(
z) *

Transisi 0  1(  ) terlarang.

b) 0  1( ) : ℓ=0, kedua keadaan memiliki fungsi ruang yang berbeda simetri.

2   e  0 ( z1  z 2 ) 2 dV1 dV2 =0;


( )
M 0(
z) *

Transisi 0  1( ) terlarang.

c) 0  2(  ) : ℓ=1, kedua keadaan memiliki fungsi ruang yang sama-sama simetrik.

2   e  0 ( z1  z 2 ) 2 dV1 dV2
()
M 0(
z) *

1 *
M 0( 2   e  1s (r1 )1*s (r2 )(r1 cos 1  r2 cos  2 )
z)

2
.  
 1s (r1 ) 2 pz (r2 )  1s (r2 ) 2 pz (r1 ) dV1 dV2
  (1)  (2)   (2)  (1)  (1)  (2)   (2)  (1)

 e  1*s (1)(r1 cos 1 ) 2 pz (1)dV1   1*s (2)(r2 cos  2 ) 2 pz (2)dV2

 0,745 ea o  2
 1,49ea 0
Transisi 0  2(  ) diperbolehkan.
d) 0  2( ) : ℓ=1, kedua keadaan memiliki fungsi ruang yang berbeda simetri
M 0( z )2  e  1(  )* ( z1  z 2 )2(  ) dV1dV2
1 *
2
 e 1s (r1 )1*s (r2 )(r1 cos 1  r2 cos  2 )
 
 1s (r1 ) 2 pz (r2 )  1s (r2 ) 2 pz (r1 ) dV1dV2
  (1)  (2)   (2)  (1)  (1)  (2)   (2)  (1)
0

75
Transisi 0  2( ) terlarang.

e) 1(  )  2(  ) :ℓ=1, kedua keadaan memiliki fungsi ruang yang sama-sama simetrik

M 1(z) 2  e  1(  )* ( z1  z 2 )2(  ) dV1dV2

 e
1
4   
1*s (r1 ) 2*s (r2 )  1*s (r2 ) 2*s (r1 ) (r1 cos 1  r2 cos  2 )


 1s (r1 ) 2 pz (r2 )  1s (r2 ) 2 pz (r1 ) dV1dV2 
  (1)  (2)   (2)  (1)  (1)  (2)   (2)  (1)

 e
1
2  
 2*s (r1 )r1 cos 1 2 pz (r1 )dV1    2*s (r2 )r2 cos  2 2 pz (r2 )dV2 
3
1 Z   Zr1  2 Zr1 / 2 ao 4  2
 e   0  a0 
   1    1  d1
2
2 e r dr cos sin d
32
1 1 1
 a0  0 0

 5!  4
4
1 Z  4! Z
 e   2  
32  Z / a 0  a 0 Z / a 0 6  3
5
 a0 
2
e a  a  3
   0  (72)  3e  0   ea 0
24  Z  Z  2
Transisi 1(  )  2(  ) diperbolehkan.

f) 1( )  2( ) :ℓ=1, kedua keadaan memiliki fungsi ruang yang sama-sama
antisimetrik

M 1(z) 2  e  1(  )* ( z1  z 2 )2(  ) dV1 dV2

 e
1
4
 
1*s (r1 ) 2*s (r2 )  1*s (r2 ) 2*s (r1 ) (r1 cos 1  r2 cos  2 )

 
 1s (r1 ) 2 pz (r2 )  1s (r2 ) 2 pz (r1 ) dV1 dV2

  (1)  (2)   (2)  (1)  (1)  (2)   (2)  (1)

 e
1
2 

 2*s (r1 )r1 cos 1 2 pz (r1 )dv1    2*s (r2 )r2 cos  2 2 pz (r2 )dv2 
3
1 Z   Zr1  2 Zr1 / 2 ao 4  2
 e   0  2  a0 e r1 dr1  cos 1 sin 1 d1  d1
2

32  a0  0 0

  5!  4
4
1 Z 4! Z
 e   2  
32   Z / a 0  a 0 Z / a 0 6  3
5
 a0
2
e a  a  3
   0  (72)  3e  0   ea 0
24  Z  Z  2

76
Transisi 1( )  2( ) diperbolehkan.

Dalam Gambar 3.6 diperlihatkan tingkat-tingkat energi keadaan dan transisi-transisi yang
diperbolehkan dan terlarang. Transisi 1(  )  2(  ) diperbolehkan karenaselain ℓ=1,
fungsi –fungsi ruangnya sama-sama simertrik. Transisi 1( )  2( ) juga diperboleh
karena selain ℓ=1, fungsi–fungsi ruangnya sama-samaantisimertrik. Tetapi meskipun
ℓ=1, jika fungsi–fungsi ruangnya berbeda simetrimaka transisi itu terlarang. Dapat
disimpulkan bahwa transisi diperbolehkan selain harus memenuhi selection rules, fungsi-
fungsi ruangnya harus memiliki simetri yang sama: simetrik  simetrik atau antisimetrik
antisimetrik.
Simetrik Antisimetrik

2(  )
2(  )
1(  )
1(  )

0

Gambar 3.6 Tingkat-tingkat energi atom helium dan transisi antar keadaan; garis 
menyatakan transisi yang diperbolehkan, dan garis ----- menyatakan transisi terlarang.

Telah dikemukakan bahwa keadaan suatu sistem elektron harus diungkapkan


dengan fungsi lengkap, yakni produk fungsi ruang dan fungsi spin, yang antisimetrik
terhadap pertukaran elektron. Fungsi lengkap yang antisimetrik itu dapat disusun dalam
bentuk determinan yang disebut determinan Slater. Bentuk determinan dari keadaan dasar
adalah
1
0  1s (1)1s (2)  (1)  (2)   (2)  (1)
2!
1s (1) (1) 1s (1)  (1)
1 (3.40)

2
1s (2) (2) 1s (2)  (2)
Produk orbital atom dan fungsi spin seperti 1s (i) (i) atau 1s (i)  (i) disebut spin-
orbital.
Untuk keadaan-keadaan treksitasi bentuk determinan dari fungsi-fungsi keadaan
adalah
1(  ) 
1
1s (1)2s (2)  1s (2)2s (1) 1  (1) (2)   (2) (1)
2 2
 1s (1) (1) 1s (1)  (1)  2 s (1) (1)  2 s (1)  (1) 
1 
    (3.41)
2 
  2 s (2) (2)  2 s (2)  (2) 1s (2) (2) 1s (2)  (2) 

77
  (1) (2)

1(  ) 
1
1s (1) 2 s (2)  1s (2) 2 s (1) 12  (1) (2)   (2) (1)
2 
  (1)  (2)

 1s (1) (1)  2 s (1) (1)
 1
 2
 1s (2) (2)  2 s (2) (2)

  1s (1) (1)  2 s (1)  (1)  2 s (1) (1) 1s (1)  (1) 
1  
    (3.42)
 2   (2) (2)  (2)  (2)  (2) (2)  (2)  (2) 
  1s 2s 2s 1s 
  (1)  (1)  2 s (1)  (1)
 1 1s

 2  (2)  (2)  (2)  (2)
 1s 2s

3.3 Atom Litium


Atom litium memiliki tiga buah elektron yang mengorbit di sekitar inti bermuatan +3e.
Dengan menggunakan orbital-orbital atom hidrogen, pada keadaan dasar dua buah
elektron menempati orbital 1s dan yang satu lagi menempati orbital 2s. atom litium; lihat
Gambar 3.7. Hamiltonian elektron-elektron itu adalah

e2  1 1 1 
Hˆ  Hˆ 1c  Hˆ 2c  Hˆ 3c      (3.43)
4 o  r 12 r13 r23 
dengan
2 2 3e 2
H ic   i  ; i  1,2,3 (3.44)
2m 4 o r i

2s
0
1s

Gambar 3.7 Keadaan dasar atom litium.

Sesuai dengan Gambar 3.7, dan analog dengan fungsi keadaan dasar helium dalam
persamaan (3.40), fungsi keadaan dasar litium adalah

1s (1) (1) 1s (1)  (1)  2 s (1) (1)


1
0 (1,2,3)  1s (2) (2) 1s (2)  (2)  2 s (2) (2) (3.46a)
3!
1s (3) (3) 1s (3)  (3)  2 s (3) (3)
atau

78
0 (1,2,3) 
1
1s (1) 1s (2) 2 s (3)   2 s (1)1s (2)1s (3) (1) (2) (3)
6
 1s (1) 2 s (2)1s (3)  1s (1)1s (2) 2 s (3) (1) (2) (3) (3.46b)
  2 s (1)1s (2)1s (3)  1s (1) 2 s (2)1s (3) (1) (2)  (3)

Jika potensial antara elektron-elektron dipandang sebagai gangguan, maka energi


keadaan dasar dengan koreksi order-1 adalah

E0  E ( 0)  E (1) (3.47)
dengan
E (0)   0* ( Hˆ 1c  Hˆ 2c  Hˆ 33 )0 dV
(3.48)
dan
E (1)   0*Vee 0 dV (3.49)

Persamaan (3.48) diselesaikan sebagai berikut.

E (0)   0* Hˆ 1c 0 dV   0* Hˆ 2c 0 dV   0* Hˆ 3c 0 dV

  Hˆ
*
0
c
1 0 dv 
1
 1s (1) 1s (2) 2 s (3)   2 s (1)1s (2)1s (3)* Hˆ 1
6
1s (1) 1s (2) 2 s (3)   2 s (1)1s (2)1s (3)dV
1
1s (1) 2 s (2)1s (3)  1s (1)1s (2) 2 s (3) Hˆ 1
*

6 
1s (1) 2 s (2)1s (3)  1s (1)1s (2) 2 s (3)dV 
   2 s (1)1s (2)1s (3)  1s (1) 2 s (2)1s (3) Hˆ 1
1 *

6
 2 s (1)1s (2)1s (3)  1s (1) 2 s (2)1s (3)dV
1
6
 2

  1s (1) Hˆ 1 1s (1)dv1    2 s (1) Hˆ 1  2 s (1)dV1   1s (1) Hˆ 1 1s (1)dV1
6
1

   2 s (1) Hˆ 1  2 s (1)dV1   1s (1) Hˆ 1 1s (1)dV1
6

atau
4 2
  Hˆ 0 dV   1s (1) Hˆ 1 1s (1)dV1    2 s (1) Hˆ 1  2 s (1)dV1
* c
0 1
6 6

Dengan cara yang sama diperoleh

4 2
  Hˆ  1s (2) Hˆ 21s (2)dV2    2 s (2) Hˆ 2 2 s (2)dV2
0 dV 
* c
0 2
6 6
4 2
 0 Hˆ 3 0 dV  6  1s (3) Hˆ 31s (3)dV3  6   2s (3) Hˆ 3 2s (3)dV3
* c

Karena

79
3e 2
 1s (1) Hˆ 1 1s (1)dV1   1s (2) Hˆ 21s (2)dV2   1s (3) Hˆ 31s (3)dV3   8 0 a0
3e 2
  2s (1) Hˆ 1  2s (1)dV1    2s (2) Hˆ 2 2s (2)dV2    2s (3) Hˆ 3 2s (3)dV3   32 0 a0
maka energi yang belum dikoreksi adalah

 32 e 2  32 e 2 9 32 e 2
E ( 0)  2       275,5eV (3.50)
 8 0 0 
a 32 a
0 0 4 8 a
0 0

Suku ke-4 dari persamaan (3.44) memberikan koreksi order-1 yang penyelesaiannya
sebagai berikut.

e2  1 1 1 
E (1)    0* 0 dV   0* 0 dV   0* 0 dV 
4 0  r12 r13 r23 
1
 0 dV 
*
0
r12
1
6
  1s (1) 1s (2) 2 s (3)   2 s (1)1s (2)1s (3)
* 1
r12
1s (1) 1s (2) 2 s (3)   2 s (1)1s (2)1s (3)dV

  1s (1) 2 s (2)1s (3)  1s (1)1s (2) 2 s (3) 1s (1) 2 s (2)1s (3)  1s (1)1s (2) 2 s (3)dV
* 1
r12

   2 s (1)1s (2)1s (3)  1s (1) 2 s (2)1s (3)  2 s (1)1s (2)1s (3)  1s (1) 2 s (2)1s (3)dV 
* 1
r12

1  1 1
   1s (1)1s (2) 1s (1)1s (2) dV1dV2    2 s (1)1s (2)  2 s (1)1s (2)dV1dV2
6  r12 r12
1 1
  1s (1) 2 s (2) 1s (1) 2 s (2) dV1dV2   1s (1)1s (2) 1s (1)1s (2)dV1dV2
r12 r12
1 1
   2 s (1)1s (2)  2 s (1)1s (2) dV1dV2   1s (1) 2 s (2) 1s (1) 2 s (2)dV1dV2
r12 r12
1 1 
   2 s (1)1s (2) 1s (1) 2 s (2)dV1dV2   1s (1) 2 s (2) 1s (2) 2 s (1)dV1dV2 
r12 r12 
Mengingat pengertian potensial Coulomb dan potensial tukar maka

e2 1 4 2 2
4 0  0*
r12
0 dV  J 1s 2 s  J 1s1s  K1s1s
6 6 6

Dengan cara yang sama akan diperoleh hasil yang sama,

80
e2 1 4 2 2
4 0  0* 0 dv  J 1s 2 s  J 1s1s  K1s1s
r13 6 6 6
e2 1 4 2 2
4 0  0*
r23
0 dv  J 1s 2 s  J 1s1s  K1s1s
6 6 6

Jadi, koreksi order-1 adalah

E (1)   0*Vee 0 dV  2 J 1s 2 s  J 1s1s  K1s 2 s


(3.51)

Perhitungan dengan cara yang sama dengan persamaan (3.6) akan menghasilkan

5 3e 2 17 3e 2 16 3e 2
J 1s 2 s  ; J 1s1s  ; K1s 2 s 
8 4 0 a0 81 4 0 a0 729 4 0 a0
sehingga
5965 3e 2
E (1)   83,5 eV. (3.52)
972 4 0 a0

Akhirnya diperoleh energi keadaan dasar

E0=-275,5 eV+83,5 eV=-192eV (3.53)

Hasil di atas 5,65 % di atas eksperimen yang E0=-203,5 eV.


Perhitungan dengan metoda variasi dilakukan dengan menggunakan dua
eksponen, 1 untuk orbital 1s dan 2 untuk orbital 2s. Kedua eksponen itu tentu tidak sama
sehingga kedua orbital tidak ortogonal satu sama lain. Akibatnya, fungsi gelombang
keadaan dasar yang dibentuk melalui determinan Slatermenjadi tidak ternormalisasi,
 0 0 dV  1, sehingga perhitungan energi keadaan dasar harus mengikuti:
*

  Hˆ  dV
*
0 0
E0  (3.54)
   dV
*
0 0

Selanjutnya dilakukanlah variasi E0 /  1  E0 /  2  0 . Perhitungan tidak dilakukan


di sini, tetapi hasil perhitungan E.B. Wilson,1=2,686 dan 2=1,776. Dengan kedua
eksponen itu diperoleh E0=-201,2 eV atau 1,13% di atas eksperimen. Nilai 2 yang jauh
lebih kecil dari pada 1 menggambarkan betapa besarnya skrining yang dialami elektron
di 2s karena kedua elektron yang lain di 1s; Wilson (1933).

3.4 Metoda SCF untukAtom


Untuk atom dengan sejumlah elektron, selain potensial yang berasal dari inti, suatu
elektron mengalami juga potensial dari elektron-elektron lainnya. Misalnya, Hamiltonian
untuk elektron ke-μ adalah:

81
e2
Hˆ (  )  Hˆ c (  )  
 
( ) 4 o r 
(3.55a)

di mana
2 2 Ze 2
Hˆ c (  )     (3.55b)
2m 4 o r

Suku kedua sebelah kanan dalam persamaan (3.55a) adalah jumlah potensial yang
berasal dari elektron-elektron lain. Dengan demikian maka Hamiltonian total bagi
seluruh elektron adalah:
 e 2 
Hˆ    Hˆ c (  )  1 2  (3.56)

 

 (   ) 4 o r  

Faktor ½ diperlukan untuk mencegah penghitungan dua kali pada setiap pasangan μν.
Untuk mengatasi kehadiran potensial repulsif antar elektron dalam persamaan (3.56)
diperlukan cara untuk menetapkan fungsi gelombang bagi sistem banyak-elektron
tersebut. Oleh sebab itu, potensial antar elektron-elektron untuk saat ini dapat dipandang
sebagai gangguan. Dengan demikian maka Hˆ c ( ) merupakan Hamiltonian elektron-
tunggal. Misalkanlah  j (1) adalah spin-orbital elektron ke-j yang diduduki oleh elektron
ke-1. Suatu spin-orbital adalah produk dari orbital atom  j dan fungsi spin dari elektron
( atau ) yang menempati orbital atom itu, misalnya  j (1)   j (1) (1) . Spin-orbital ini
adalah fungsi eigen dari Hamiltonian elektron-tunggal ke-1, Hˆ c (1) , dengan energi eigen
Ej:
Hˆ c (1) j (1)  E j j (1) (3.57)

Sebagai pendekatan, fungsi-fungsi elektron-tunggal dapat dikombinasikan


bersama-sama untuk membangun fungsi gelombang bagi sistem banyak-elektron.
Misalkan  adalah fungsi gelombang tersebut, sehingga dengan Hamiltonian total dalam
persamaan (3.56) berlaku persamaan Schrödinger: Ĥ  E , di mana E   j E j .
Karena elektron-elektrn dipandang bebas satu sama lain (interaksi elektron-elektron untuk
sementara diabaikan), maka menurut Hartree-Fockfungsi gelombang untuk sistem N-
elektron dapat diungkapkan sebagai perkalian dari fungsi-fungsi elektron-tunggal:

  1 (1)2 (2)3 (3).......... N ( N ) (3.58a)

Contoh 3.4 Bukti persamaan (3.58a)


N
Jika Ĥ  E dengan Hˆ   Hˆ  dan Hˆ   j (  )  E j j (  ) sehingga E   E j .
 j 1

Buktikan bahwa   1 (1)2 (2)3 (3)......... N ( N ) .


Misalkan   1 (1)  2 (2)  3 (3).  ........  . N ( N ) maka

82
 
Hˆ   Hˆ 1  Hˆ 2  Hˆ 3  ......  Hˆ N 1 (1)   2 (2)  3 (3).  ........  . N ( N )

 Hˆ 11 (1)  Hˆ 2 2 (2)  Hˆ 33 (3)  ..........  Hˆ N  N ( N )

 E11 (1)  E 2 2 (2)  E33 (3)  .............  E N  N ( N )

 E1  E 2  E3  .............  E N 1 (1)   2 (2)  3 (3).  ........  . N ( N )


Artinya,   1 (1)  2 (2)  3 (3).  ........  . N ( N ) bukan fungsi gelombang sistem
partikel.
Sekarang misalkan   1 (1)2 (2)3 (3)......... N ( N ) maka
 3 N 
Hˆ   Hˆ  Hˆ  Hˆ  ......  Hˆ  (1) (2) (3).......... ( N )
1 2 1 2 3 N

 Hˆ 11 (1) 2 (2)3 (3).......... N ( N )  1 (1) Hˆ 2 2 (2)3 (3).......... N ( N )


 1 (1) 2 (2) Hˆ 33 (3).......... N ( N )  ..........  1 (1) 2 (2)3 (3)..........Hˆ N  N ( N )
 E1 1 (1) 2 (2)3 (3).......... N ( N )  E 2 1 (1) 2 (2)3 (3).......... N ( N )
 E 3 1 (1) 2 (2)3 (3).......... N ( N )  .............  E N 1 (1) 2 (2)3 (3).......... N ( N )
 E1  E 2  E 3  .............  E N 1 (1) 2 (2)3 (3).......... N ( N )  E

Artinya,   1 (1)2 (2)3 (3).......... N ( N ) adalah fungsi gelombang sistem partikel.


Dalam persamaan (3.58a) setiap spin-orbital elektron-tunggal j
mengakomodasikan elektron ke-μ=j. Sebenarnya, satu elektron dan elektron lainnya tidak
dapat dibedakan, sehingga fungsi spin-orbital j bisa juga mengakomodasikan elektron
ke-μ≠j. Oleh sebab itu fungsi berikut ini

(1,2,3...N )  1 (2)2 (1)3 (3)................. N ( N  1) (3.58b)

adalah juga fungsi gelombang bagi sistem tersebut Jadi, ada banyak fungsi gelombang
yang dapat dibangun melalui perkalian dengan penempatan elektron yang berbeda-beda,
yakni dengan mempermutasikan elektron-elektron. Karena ada N buah elektron dengan N
buah spin-orbital, maka ada N! buah fungsi gelombang yang dapat dibentuk.
Telah dikemukakan dalam paragraf 3.1, fungsi gelombang lengkap untuk atom
banyak elektron harus antisimetrik terhadap pertukaran elektron, sehingga dapat
diungkapkan dalam bentuk determinan dari spin-orbit-spin-orbit yang ditempati elektron-
elektron. Untuk sistem N-elektron, fungsi gelombang lengkap itu adalah:

1 (1)  2 (1) 3 (1) ............  N (1)


1 1 (2)  2 (2) 3 (2)............ N (2)
 (1,2,...., N )  (3.59a)
N! ...............................................
1 ( N )  2 ( N ) 3 ( N )......... N ( N )

Spin-orbital-spin-orbital disebut fungsi basis bagi pembentukan fungsi gelombang


lengkap Ψ.
Dalam determinan di atas sudah diterapkan eksklusi Pauli: setiap spin-orbital
hanya dapat diduduki oleh satu elektron, atau setiap orbital atom dapat ditempati
maksimum oleh dua elektron masing-masing dengan spin- dan spin-. Jadi, dengan

83
 j ( )   j ( ) ( ) atau  j ( )   j ( ) ( ) maka persamaan (3.54a), unuk N
genapsecara lengkap diungkapkan sebagai berikut:

1 (1) (1) 1 (1)  (1)  2 (1) (1) .......  N (1)  (1)


2

1 1 (2) (2) 1 (2)  (2)  2 (2) (2)..... N2 (2)  (2)


 (1,2,....., N )  (3.59b)
N! .......................................................................
1 ( N ) ( N ) 1 ( N )  ( N ) ................. N ( N )  ( N )
2

Pembentukan fungsi gelombang sistem banyak-elektron dengan cara di atas dikenal


sebagai determinan Slater dari seluruh spin-orbital elektron-elektron.
Dalam paragraf 3.1 dan 3.2 telah diperlihatkan kesulitan dalam perhitungan
secara eksak energi atom helium dan litium dalam keadaan dasar. Kesulitan itu
ditimbulkan oleh kehadiran potensial repulsif antar elektron. Semakin banyak elektron
dalam atom, semakin sulit pula perhitungan yang dihadapi, malah tidak mungkin
dilakukan. Hal ini yang mendorong orang untuk melakukan perhitungan dengan cara
numerik. Orang pertama yang melakukan perhitungan ini adalah Hartree dan idenya
adalah sebagai berikut.
Hamiltonian total elektron-elektron telah dikemukakan dalam persamaan (3.56).
Di atas telah dikemukakan bahwadalam pembentukan fungsi gelombang interaksi antara
elektron-elektron tidak dilibatkan, sehingga Hˆ c (  ) dipandang sebagai Hamiltonian
elektron-tunggal. Sekarang, interaksi elektron-elektron itu harusdipandang sebagai
potensial yang dialami elektron ke-μ dari elektron-ν yang menempati orbital s. Jadi,
potensial itu diungkapkan sebagai berikut :

e2 1
Vs (  ) 
4 o   s* ( )  s ( ) d
r 
(3.60)

Dengan demikian maka Hamiltonian elektron tunggal dalam persamaan (3.50a) dapat
dinyatakan sebagai Hamiltonian efektif elektron-tunggal ; untuk elektron ke-μ
Hamiltonian efektif itu adalah:

Fˆ (  )  Hˆ c (  )  [2 Jˆ s (  )  Kˆ s (  )] (3.61)
s

Di sini Ĥ c disebut Hamitonian teras dari elektron ke-μ. Selanjutnya dipenuhi persamaan
Schrödinger:
Fˆ (  ) s (  )  Es s (  ) (3.62)

di mana Esadalah energi dari spin-orbital ke-s, yakni s. Orbital-orbital atom {s} untuk
atom dengan banyak elektron tak sama dengan orbital atom hidrogen. Menurut
Roothaan, suatu orbital atom dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari fungsi-fungsi
basis {i}
 s   c si  i (3.63)
i
Fungsi basis i yang sering dipakai adalah orbital jenis Slater (Slater-type orbital, STO)
yang rumusannya seperti:

84
(2 ) n1/ 2 n1  r
 ( , n, , m )  r e Ym ( ,  ) (3.64a)
(2n)!

di mana r dalam satuan a.u. (1 a.u=0,53Å adalah jari-jari Bohr), n, l, ml masing-masing


adalah bilangan-bilangan kuantum utama, bilangan kuantum orbital dan bilangan
kuantum magnetik orbital, sedangkan adalah eksponen orbital yang merupakan

Z eff
 (3.64b)
neff

di mana Zeff adalah harga efektif nomor atom Z dan neff adalah harga efektif bilangan
kuantum utama. Harga-harga Zeff dari beberapa atom dalam keadaan dasar adalah seperti
Table 3.1 di bawah ini;Clementi et al. (1963).

Tabel 3.1 Harga-harga Zeff dari beberapa atom


H He
1s 1 1.6875
Li Be B C N O F Ne
1s 2.6906 3.6848 4.6795 5.6727 6.6651 7.6579 8.6501 9.6421
2s 1.2792 1.9120 2.5762 3.2166 3.8474 4.4916 5.1276 5.7584
2p 2.4214 3.1358 3.8340 4.4532 5.1000 5.7584
Na Mg Al Si P S Cl Ar
1s 10.6259 11.6089 12.5910 13.575 14.5578 15.5409 16.5239 17.5075
2s 6.5714 7.3920 8.2136 9.0200 9.8250 10.6288 11.4304 12.2304
2p 6.8018 7.8258 8.9634 9.9450 10.9612 11.9770 12.9932 14.0082
3s 2.5074 3.3075 4.1172 4.9032 5.6418 6.3669 7.0683 7.7568
3p 4.0656 4.2852 4.8864 5.4819 6.1161 6.7641

Harga neffuntuk suatu n adalah sebagai berikut


n 1 2 3 4 5 6
neff 1 2 3 3,7 4 4,2
Dalam bentuk ril-nya, dengan menggunakan persamaan-persamaan (2.25) orbital STO
1s, 2s, 2px, 2py dan 2pz adalah
dari
 3 / 2  r
1s  e

 5 / 2  r
 2s  e
3 (3.64c)
 5 / 2  r
2 p  re sin  cos 
x
2
 5 / 2  r
2 p  re sin  sin 
y
2
Terlihat bahwa orbital-orbital STO tidak ortogonal satu sama lain kecuali jika mlberbeda
untuklyang sama. Dalam persamaan (3.63) orbital atom  (n, l, ml ) merupakan kombinasi
linier dari beberapa orbital STO yang sama bilangan kuantumnya (yakni n, l, ml ) tetapi
dengan harga-harga eksponen yang berbeda.

85
Dengan persamaaan (3.63) di atas, maka operasi integral Coulomb dan integral
tukar pada fungsi-fungsi STO adalah sebagai berikut.

 * e2 
ˆ
J s (  )  j (  )     s ( )  s ( ) dV   j (  )
 4 o r  
(3.65a)
 e2 
  csk *
csl    k* ( )  l ( ) dV   j (  )
k l  4 o r  
 * e2 
ˆ
K s (  )  j (  )     s ( )  j ( ) dV   s (  )
 4 o r  
(3.65b)
 * e2 
  csk csl    k ( )
*
 j ( ) dV   l (  )
k l  4 o r  

Dengan persamaan (3.62) dan 3.63a) selanjutnya diperoleh persamaan sekuler

 F
j
ij  ES ij c j  0 (3.66)

di mana

Fij  H ijc   2c sk* c sl (ij kl)  12 (il kj) 
s k l

 
(3.67a)
 H ijc   Pkl (ij kl)  12 (il kj)
k l
dengan
H ijc    i* (  )H c (  )  j (  ) dV 
e2 1
(ij kl)    i ( )  k ( ) r  l ( )  j (  ) dV dV
* *
(3.67b)
4 0
Pkl   2c sk
*
c sl
s

Selanjutnya, integral overlap adalah

Sij    i* (  ) j (  ) dV (3.67c)

Persamaan sekuler (3.60) dapat dituliskan dalam bentuk perkalian matriks:

 F11  ES 11 F12  ES 12 ............F1N  ES 1N  c1 


  
 F21  ES 21 H 22  ES 22 ........... F2 N  ES 2 N  c 2 
    0 (3.68a)
 .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........  ... 
 ....................................................................  ... 
  

Dari persamaan sekuler itu dipenuhi determinan

86
F11  ES 11 F12  ES 12 ............F1N  ES 1N
F21  ES 21 H 22  ES 22 ........... F2 N  ES 2 N
0 (3.68b)
....................................................................
....................................................................
Dari determinan itu diperoleh harga-harga energi spin-orbital {Es}; substitusi setiap
energi orbital Es ke dalam persamaan (3.67) akan menghasilkan koefisien-
koefisien{csj}bagi spin-orbital tersebut (lihat persamaan (3.63a)). Orbital seperti dalam
persamaan (3.63a) harus dinormalisasisehingga berlaku

c
ij
si sjc S ij  1 (3.69)

Sebelum dapat menyelesaikan persamaan sekuler di atas terlebih dahulu kita harus
menghitung seluruh Fij; tetapi seperti terlihat dalam persamaan (3.65a) diperlukan
koefisien-koefisien {csk}. Untuk itu harus disediakan harga awal bagi koefifien-koefisien
tersebut, dan selanjutnya perhitungan dilakukan dengan cara iterasi sehingga diperoleh
koefisien-koefisien yang tidak berubah lagi (konvergen). Inilah yang dimaksud dengan
penyelesaian dengan cara self-consistent field (SCF)
Dalam persamaan (3.66b) Pkl adalah elemen matriks kerapatan elektron. Untuk
atom dengan sel-tertutup, kerapatan probabilitas elektron adalah

N /2 N /2
  2  s* s  2 csk* csl  k*  l   Pkl  k*  l (3.70)
s 1 s k l k l

Dari hasil perhitungan di atas, selanjutnya dapat ditentukan fungsi keadaan


elektron-elektron atom sebagai determinan Slaterdari seluruh spin-orbital yang ditempati
elektron. Untuk N (genap) elektron fungsi keadaan dasar dengan konfigurasi
1222 ....... N2 / 2 adalah seperti persamaan (3.59b). Karena 0 sudah dinormalisasi maka
energi atom adalah: Eo  0* Hˆ 0 dV . Dengan fungsi keadaan di atas dan Hamiltonian

dalam persamaan (3.56) maka
N /2 N /2 N /2
E0  2 Hˆ rr    2 J rs  K rs  (3.71)
r 1 r 1 s 1

Di lain fihak, dengan persamaan (3.62) energi elektron di orbital φradalah:

E r    r* Fˆ r dV    r* Hˆ c r dV   [2 r* Jˆ s (  )  Kˆ s (  )] r dV


s
(3.72)
 H rrc   [2 Jˆ rs  Kˆ rs ]
s
Oleh sebab itu, energi keadaan E0 adalah :
N /2 N /2
E0   E r   H rrc
r 1 r 1
N /2
(3.73)
  E r  12  Pij H ijc
r 1 i j
Dalam persamaan-persamaan di atas r adalah indeks bagi orbital r dan i, j, k. l adalah
indeks bagi fungsi-fungsi STO. Perhitungan untuk keadaan dasar dan tereksitasi dari 54

87
buah elemen dalam tabel periodik telah dilakukan oleh Clementi et al. (1974)Diagram alir
SCF atom diperlihatkan dalam Gambar 3.8.
Energi yang diperlukan untuk melepaskan elektron dari orbital r dengan asumsi
bahwa electron-elektron yang lain tidak terganggu, adalah energy electron tunggal Er.
Energi bisa dinyatakan sebagai energi ionisasi elektron dari orbital itu. Inilah yang
dikenal sebagai teorema Koopman.
Start

N, {i}, {Sij},
{H ijc } , {(ijkl)}, {ci}

{Pij( 0) }

iter=iter+1
iter

{Fij } {Pij( 0) }  {Pij }

Diagonalisasi

{Er },{cri }

{Pij }

tidak
( 0)
{Pij }?{P } ij

ya

E0

E0, {Er},{Pij}, iter

Stop

Gambar 3.8 Diagram alir SCF atom.

88
Contoh 3.5 Keadaan Dasar Atom Helium dengan Metoda SCF
Perhitungan SCF untuk atom helium pada keadaan dasar dilakukan sebagai berikut; lihat
Levine (1991).Dengan menggunakan fungsi basis STO 1s (n=1, l=0, ml=0):
 1  1.45,  2  2.91 maka
3/ 2 3/ 2
   1r / ao  
1  2 1  e Y0,0 ;  2  2 2  e  2r / ao Y0,0
 ao   ao 

Integral overlap adalah

S11   1 1dV  1; S 22    2  2 dv  1;

3/ 2 3/ 2 
   2  8 13 / 2 23 / 2
S12  S 21   1  2 dV  4 1     e 1 2 o r dr 
(  ) r / a 2
 0,837
 ao   ao  0  1 2 
3

Hamiltonian teras dapat dituliskan:

2 2   e
2
   2
Hˆ c (  )     
2m 4 o r 4 o r
sehingga diperoleh
ˆ

  2 2  1 e2 
H   1 H 1dV   1  
c c
1 

  2  dV
 1dV   1 1
4 o r  4 o r
11 1
0  2m 0

 12 e 2  e2
   1  2 1  50,3095 eV
8 o ao 4 o ao
c ˆ c

  2 2  2 e2 
H    2 H  2 dV    2  
 2  

  2  dV
 2 dV    2 2
22 
4 o r  4 o r
2
0  2m 0

 22 e 2  e2
   2  2 2  43,1582 eV
8 o ao 4 o ao

H12c  H 21
c

  2 2  2 e2 
  1 Hˆ c  2 dV   1   1 

  2  dV
  2 dV   1 2
4 o r  4 o r
2
0  2m 0

 22 e 2 4 2  2 13 / 2 23 / 2 e 2
 S12   51,2293 eV
8 o ao  1   2 3 4 o ao
Selanjutnya, dengan cara perhitungan interaksi antar elektron yang telah diperlihatkan
dalam atom helium dengan menggunakan orbital Slater, dapat diperoleh:


5  1e 2
1111    (1)  (2) e2
1 (1) 1 (2)dV1dV2   24,6595 eV
4 o r12 8 4 o ao
1 1
0

 2e2
22 22  5  49,4932 eV
8 4 o ao

11 22  2211    2  4 13 22   1 24  4 12 23  e 2


4
1
 32,1809 eV
( 1   2 ) 4 4 o ao

89
20 13 23
1212  21 21  12 21  2112  e2
 25,9494 eV
 1   2 5 4 o ao
1112  11 21  1211  2111
16 19 / 2 23 / 2 12 1  8 2 9 1   2  e 2
   24,5806 eV
3 1   2 4   1   2 2 
2 12  4 o ao
12 22  2212  21 22  22 21
16 29 / 2 13 / 2 12 2  8 1 9 2   1  e 2
   35,3212 eV
3 2   1 4   1   2 2 
2 22  4 o ao

Untuk menentukan koefisien ekspansi bagi χ1 dan χ2 didalam    ci  i sebagai


i
permulaan iterasi dipilih c11/c21=2. Mengingat normalisasi φsdalam persamaan (3.69)
maka
1
c21  .
1  (c11 / c21 ) 2  2c11 / c21 S12

Substitusi S12 dan c11/c21menghasilkan c21=0,3461 dan c11=0,6922. Dengan harga-harga


ini diperoleh:
P11(0)  0,9583; P12(0)  P21(0)  0,4791; P22(0)  0,2396.

Iterasi pertama dilakukan dengan harga-harga Pij( 0) untuk menghitung Hcij dan ij kl 
sehingga harga-harga Fijsebagai berikut.

F11  H 11c  1 2 P11( 0) 1111  P12( 0) 1112  P22( 0) 11 22  1 2 12 21
 50,3095  1 2  0,9583  24,6595  0,4791 24,5806
 0,2396  49,4932  1 2  25,9494
 22,1234 eV
F12  F21  H12
c
 12 P11(0) 1211  12 P12( 0) 32 1212  12 11 22 12 P22( 0) 12 22
F12  51,229  1 2  0,9583  24,5806
 1 2  0,4791   32  25,9494  12  32,1809  1 2  0,2396  25,9494
 24,2731 eV
F22  H 22
c
 P11( 0) 22 11  1 2 2112  P12( 0) 2212  1 2 P22( 0) 22 22
 43,1582  0,958332,1809  1 2  25,9494   0,4791  35,3212
 1 2  0,2396  49,4932
 1,9048 eV
Jadi determinan sekulernya adalah
 22,1234  E  24,2731  0,8366 E
0
 24,2731  0,8366 E  1,9048  E

90
Dari determinan itu selanjutnya diperoleh

E1=-23,2288 eV dan E2=78,472 eV.

Substitusi energi E1 ke persamaan sekuler menghasilkan c11/c21=4,42, dan dengn syarat


normalisasi diperoleh
c11=0,836 dan c21=0,189.

Dengan koefisien-koefisien ini diperoleh

P11(1)  1,398; P12(1)  P21(1)  0,316; P22(1)  0,071.

Dibandingkan dengan harga-harga harga-harga Pij( 0) , terlihat adanya perbedaan sangat


besar. Oleh sebab itu harus dilakukan iterasi kedua dengan menggunakan harga-harga
Pij(1) tersebut untuk menghitung Fij. Hasilnya

F11= -23,9466 eV, F12=F21= -25,5792 eV, F22= -3,3906 eV

Determinan sekulernya
 23,9466  E  25,5792  0,8366 E
0
 25,5792  0,8366 E  3,3906  E

dari mana diperoleh


E1=-24,9696 eV dan E2=76,432 eV.

Substitusi E1 ke dalam persamaan sekuler menghasilkan c11/c21=4,61; setelah


dinormalisasi diperoleh
c11=0,842 dan c21=0,183.

Dengan koefisien-koefisien ini diperoleh harga-harga Pij:

P11( 2)  1,418; P12( 2)  P21( 2)  0,308; P22( 2)  0,067.

Terlihat, masih ada perbedaan dengan Pij(1) sebelumnya sehingga perlu iterasi ketiga untuk
menghitung Fijlagi dengan menggunakan Pij( 2) di atas, dan hasilnya

F11= -23,9738 eV, F12=F21= -25,5793 eV, F22= -3,3879 eV

Dari determinan sekulernya, diperoleh

E1=-24,9696 eV dan E2=76,404 eV.

Susbstitusi E1 ke persamaan sekuler menghasilkan c11/c21=4,6 dan normalisasi


memberikan
c11=0,842 dan c21=0,183.

91
Koefisien-koefisien ini memberikan

P11(3)  1,418; P12(3)  P21( 2)  0,308; P22(3)  0,067.

Hasil ini sudah sama dengan Pij( 2) sehingga perhitungan selesai (self consistent field). Jadi,
dengan menggunakan koefisien-koefisien {cij} terakhir diperoleh orbital atom

1  0,842 1  0,183 2 dengan E1==-24,9696 eV

Substitusi E2 ke persamaan sekuler yang menggunakan harga-harga Fijterakhir akan


menghasilkan c12=-1,622 dan c22=1,818. Dengan itu maka diperoleh orbital

 2  1,622 1  1,818 2 dengan E2= 76,404 eV.

Selanjutnya, dengan persamaan (3.73), energi keadaan dasar helium adalah


E0  E1  1 2 P11H11c  2 P12 H12c  P22 H 22
c

 24,9696  1 2 1,418 (50,3095)  2  0,308  (51,2293)
 0,067  (43,1582)  77,85 eV
Jika dibandindingkan dengan hasil perhitungan pada paragraf3.1 yang menggunakan
metoda variasi dengan orbital atom hidrogen, metoda SCF ini memberi hasil sedikit lebih
baik. Program SCF untuk atom He dapat dilihat dalam Apendiks 6.1.

3.5 Korelasi Elektron


Hasil perhitungan energi keadaan dasaratom helium(-77,6 eV) yang menggunakan
orbital 1s dengan metoda variasi di mana muatan inti di-skrin, masih di atas hasil
eksperimen (-79 eV). Dengan metoda SCF di mana orbital atom dinyatakan sebagai
superposisi dua buah fungsi STO memberikan hasil sedikit lebih baik (-77,85 eV), namun
tetap di atas eksperimen.
Ada beberapa penyebab yang bisa berkontribusi terhadap perbedaan tersebut;
penyebab yang paling dominan adalah pembentukan fungsi gelombang dengan cara
determinan Slaterdari orbital-spin-orbital-spin. Pada keadaan dasar dan tereksitasi singlet
dari atom helium posisi kedua elektron dengan spin yang berlawanan arah bebas satu
sama lain; ini tidak terkorelasi. Memang, ketika sebuah elektron tereksitasi dengan arah
yang sama dengan pasangannya (triplet), pada r1=r2 kerapatan peluangnya sama dengan
nol (lubang Fermi). Pasangan elektron yang spinnya searah akan saling menjauhi. Hal ini
sesuai dengan potensial tolak-menolak antara kedua elektron yang mempunyai
kecenderungan untuk menghindar satu sama lain. Kecenderungan itulah yang disebut
korelasi elektron.
Ada dua cara untuk menghadirkan korelasi elektron dalam perhitungan. Yang
pertama adalah cara Hyleraasyang memasukkan jarak antara elektron r12 di dalam fungsi
gelombang. Untuk atom helium fungsi itu adalah

 r1 / a0  r2 / a0
 0  Ne e (1  br12 ) (3.74)

di mana N adalah faktor normalisasi,  dan b adalah dua parameter yangakan divariasi.
Minimalisasi terhadap  dan b menghasilkan energi minimum -78,7 eV dengan  = 1,849
92
dan b=0,346/a0. Energi hasil perhitungan ini hanya 0,3 eV di atas eksperimen;Levine
(1991).Masalah dengan cara Hyleraas adalah bahwa perhitungannya sangat sulit
dilakukan jika jumlah elektron cukup besar.
Cara kedua adalah interaksi konfigurasi (configuration interaction, CI). Dalam
cara ini, fungsi gelombang dinyatakan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi konfigurasi
keadaan dasar dan tereksitasi. Jika {i} adalah fungsi-fungsi konfigurasi yang diperoleh
dengan cara SCF, maka fungsi gelombang keadaan dasar adalah

 0   Ci i (3.75)

Dengan fungsi-fungsi itu sebagai basis diperoleh persamaan sekuler

 H
i
ij  ES ij Ci  0 (3.76a)

dengan
H ij   i* Hˆ  j dV (3.76b)
dan
S ij   i*  j dV (3.76c)

Contoh 3.6 Interaksi konfigurasi untuk memperoleh keadaan dasar atom helium
Sudah dilakukan perhitungan SCF yang hasilnya seperti dalam Contoh 3.5:

1  c111  c21 2  0,8421  0,183 2


 2  c12 1  c22  2  1,6221  1.818 2

Dua konfigurasi hasil SCF dipakai sebagai basis dalam perhitungan interaksi konfigurasi.
Yang pertama, kedua elektron di 1 maka fungsi konfigurasinya adalah
1
1  1 (1)1 (2)[ (1)  (2)   (1) (2)]
2
dan yang kedua, kedua elektron di  2 maka fungsi konfigurasinya adalah
1
2   2 (1) 2 (2)[ (1)  (2)   (1) (2)]
2
Persamaan sekuler adalah

 H 11  ES 11 H 12  ES 12  C1 
  
    0
  
 H 21  ES 21 H 22  ES 22  C 2 

Dengan kedua konfigurasi di atas, maka

H 11   1* Hˆ 1dV  77,85 eV

adalah energi atom helium yang diperoleh dengan metoda SCF.


* ˆ 1 * e2
H 21   2 H1dV    2 (1) 2 (2)( H 1  H 2 
* c c
)1 (1)1 (2)dV1dV2
2 4 0 r12

93
e2 1
  (1) 2* (2) 1 (1)1 (2)dV1dV2
*

4 0 r12
2
r12

karena   2* (1)1 (1)dV1    2* (2)1 (2)dV2  0 . Jadi,

 c  2 (1)  2 (2)
e2 1
H 21  2
1 (1) 1 (2)  c12c22 1 (1)  2 (2)  c12c22  2 (1) 1 (2)  c22
2

4 0
12
r12
c 2
11 1 (1) 1 (2)  c11c211 (1)  2 (2)  c11c21 2 (1) 1 (2)  c21
2
 2 (1)  2 (2)dV1 dV2

 c11c12 1111  2 c11


2 2 2

c12c 22  c11c 21c12
2

1112  2c11c21c12c22 11 22

 c11c 22  2c11c 21c12c 22  c 21
2 2 2 2
c12 1212  2c c c  c 21
2
11 21 22
2

c12c 22 12 22  c 21c 22 22 22
2 2

 7,86 eV  H 12
e2
H 22    Hˆ 2 d    2* (1) 2* (2)[ H c (1)  H c (2) 
*
] 2 (1) 2 (2)dV1 dV2
4 0 r12
2

e2 1
   (1) H (1) 2 (1)dV1    (2) H (2) 2 (2)dV2 
* c *

c
 2* (1) 2* (2)  2 (1) 2 (2)dV1 dV2
4 0
2 2
r12

 (1) H c (1) 2 (1)dv1  c122  1 (1) H c (1) 1 (1)dv1  2c12c 22  1 (1) H c (1)  2 (1)dv1
*
2

 c 22   2 (1) H (1)  2 (1)dv1


2 c

 c122 H 11c  2c12c 22 H 12c  c 22


2 c
H 22    2* (2) H c (2) 2 (2)dv 2
e2 1
4 0  2* (1)2* (2) 2 (1)2 (2)dv1dv2 
r12
e2
 c12 c12 1 (1) 1 (2)  c12 c 22 1 (1)  2 (2)  c12 c22  2 (1) 1 (2)  c22 c 22  2 (1)  2 (2) r12
1

4 0
c12 c12 1 (1) 1 (2)  c12 c 22 1 (1)  2 (2)  c12 c 22  2 (1) 1 (2)  c 22 c 22  2 (1)  2 (2)dv1dv 2
 c12
4
1111  4c123 c22 1112  2c122 c222 11 22  4c122 c222 12 12  4c12 c223 21 22  c 224 22 22
Jadi,
H 22  2 c12
2

H 11c  2c12c 22 H 12c  c 22
2 c
H 22  c12
4

1111  4c123 c22 1112 2c122 c222 11 22
 4c12
2 2
c 22 12 12 4c12c 22
3
21 22  c224 22 22
 87,58 eV
Karena ortonormal maka integral overlap adalah

S11   1*1dV  1, S 22   2*2 dV  1; S12  S 21   1*2 dV  0

Dengan hasil-hasil di atas maka persamaan sekuler adalah

94
  77,85  E 7,861  C1 
  
    0
  
 7,861 87,5  E  C 2 
Determinan=0,
 77,85  E 7,861
0
7,861 87,58  E
sehingga diperoleh

E 2  9,73E  6879.9  0  E1  78,44 eV, E2  87,96 eV

Substitusi E1 ke persamaan sekuler menghasilkan C21/C11=0,08 sehingga dengan


normalisasi diperoleh C11=0,997 dan C21=-0,079. Jadi, perhitungan CI ini menghasilkan
energi keadaan dasar atom helium
E0=-78,44 eV
dengan fungsi gelombang
 0  0,9971  0,0792

Terlihat bahwa interaksi konfigurasi dapat memperbaiki energi keadaan dasar dari -77,85
eV menjadi -78,44 eV (harga eksperimen -79eV) .

3.6 Struktur Elektronik Atom


Struktur elektronik suatu atom dengan sejumlah elektron secara kualitatif dapat difahami
atas dasar orbital-orbital atom sejenis-hidrogen. Menurut prinsip eksklusif Pauli (1924)
setiap orbital atom  nm dapat mengakomodasikan maksimum dua buah elektron dengan
spin yang berlawanan. Untuk setiap bilangan kuantum orbital ℓ ada 2ℓ+1 buah harga
bilangan kuantum magnetik orbitalmℓ, dan untuk setiap mℓ ada dua buah bilangan
kuantum magnetik spin ms (±1/2). Maka berdasarkan eksklusi Pauli jumlah maksimum
elektron yang terakomodasikan untuk setiap harga ℓ adalah 2(2ℓ+1). Berikut ditunjukkan
secara eksplisit simbol dan jumlah maksimum elektron yang dapat terakomodasikan
untuk setiap harga ℓ.
Simbol: s p d f g
Harga ℓ: 0 1 2 3 4
Jumlah elektron: 2 6 10 14 18
Dengan menggunakan prinsip ini, elektron-elektron dapat ditempatkan ke setiap orbital
mulai dari energi yang paling rendah hingga mencapai maksimum. Jika suatu orbital nℓ
telah penuh, orbital berikutnya mulai diisi. Metoda penyusunan struktur atom seperti ini
disebut prinsip Aufbau. Sesuai dengan urutan besarnya energi, dalam Gambar 3.9
diperlihatkan urutan orbital nℓ dalampengisian elektron.
Sebagai akibat dari interaksi spin-orbit, suatu orbital np(n>1) memiliki energi
lebih tinggi dari pada ns tetapi lebih rendah dari pada (n+1)s. Energi suatu orbital nd
sedikit di atas (n+1)s tetapi sedikit lebih rendah dari pada (n+1)p. Antara orbital-orbital 1s
dan 2s, 2p dan 3s, 3pdan 4s, 4p dan 5s muncul sejenis gap energi. Karena kehadiran gap-
gap itu, terjadi pengelompokan tingkat-tingkat energi.Kelompok itu disebut sel, dan

95
setiap orbital (nℓ) di dalam sel disebut sub-sel. Jumlah maksimum elektron dari sel-sel
berurutan yang terisi penuh adalah 2, 10, 18, 36, 54, 86 dan seterusnya. Atom-atom
dengan jumlah elektron maksimum seperti He, Ne, Ar, Kr, Xe dan Rd disebut gas mulia
(inert gas).
Ketika mengisi orbital p harus diingat bahwa orbital ini terdiri dari tiga sub-sel px,
py dan pz, yang masing-masing dapat mengakomodasikan 2 elektron.Dalam
pengisiannyaharus sebanyak mungkin elektron dengan spin-spin paralel. Jadi, pada atom
C kedua spin elektronitu paralel, pada atom N ada tiga spin parallel, pada O dua spin
parallel dan yang dua lagi anti-paralel. Dalam Tabel 3.2diperlihatkan penempatan
elektron-elektron sehubungan dengan spinnya.
7p 6
6d 10
5f 14 32 118(?)
7s 2

6p 6
5d 10 32
4f 14 86(Ra)
6s 2

5p 6
4d 10
18 54 (Xe)
5s 2

4p 6
3d 10
4s 2 18 36(Kr)

3p 6 8
3s 2 18(Ar)

2p 6 8 10 (Ne)
2s 2

1s 2 2 2(He)

Gambar 3.9 Tingkat-tingkat energi atom dan prinsip Aufbau.

Tabel 3.2 Struktur elektronik dan konfigurasi keadaan dasar beberapa atom.
n=1 n=2
Atom 1s 2s 2px 2py 2pz Konfigurasi Term
2
H  1s S1/2
He  1s2 1
S0
Li   1s22s 2
S1/2
Be   1s22s2 1
S0
B    1s22s22p 2
P1/2
C     1s22s22p2 3
P0
N      1s22s22p3 4
S
O      1s22s22p4 3
P2
F      1s22s22p5 2
P3/2
Ne      1s22s22p6 1
S

Keadaan yang sama terjadi pada orbital d yang terdiri dari lima sub-sel. Hal ini sesuai
dengan aturan Hund: resultan spin dari keadaan dasar atom-atom yang masih sesuai
dengan prinsip eklusif Pauli memiliki harga terbesar.
Tingkat-tingkat energi terkait dengan orbital-orbital suatu atom besar cenderung
mengikuti urutan dalam Gambar 3.10. Terlihat bahwa setelah n=2 tingkat-tingkat energi

96
itu beroverlap, energi orbital 4s sedikit lebih rendah dari pada 3d dan orbital 5s lebih
rendah dari pada 4d, 6s lebih rendah 4f dan seterusnya.

4f
5p
4d 5s
4p
3d
4s
3p
3s

2p
2s (a)

1s
1 2 3 4 5 6 7 8
s s s s s s s s

p p p p p p p

d d d d d d

f f f f
(b)
(b)
Gambar 3.10 (a) Tingkat-tingkat energi orbital-orbital atom berat, (b) urutan pengisian
elektron-elektron.

Term dalam tabel konfigurasi secara umum dapat dituliskan seperti2S+1LJdi mana
L menyatakan total bilangan kuantum orbital dengan simbol sebagai berikut.
L Simbol
0 S
1 P
2 D
3 F
Jmenyatakan bilangan kuantum totalJ=L+S, dan 2S+1 menyatakan multiplisitas spin.
Dalam Tabel 3.2 atom H memiliki hanya satu elektron di orbital 1ssehingga
konfigurasinya 1s1, L=0 maka simbolnya S, spin S=½ maka 2S+1=2, dan J=L+S=½;
maka term untuk atom H adalah 2S1/2. Dalam atom He, ada dua elektron dengan spin
antiparalel di orbital 1ssehingga konfigurasinya 1s2, L=0 maka simbolnya S, S=0
sehingga 2S+1=1, J=0, makaterm keadaan dasar He adalah1S0. Dalam atom Li ada tiga
elektron, dua di orbital 1s dengan spin antiparalel dan satu lagi di orbital 2s,
konfigurasinya 1s22s1; L=0 maka simbolnya S, S=1/2 maka 2S+1=2, dan J=1/2 sehingga
termkeadaan dasar Li adalah2S1/2. Atom B mempunyai 5 elektron, dengan konfigurasi
1s22s22p.: L=1, S=1/2, J=1/2, 3/2 dan term keadaan dasarnya 2P1/2.
Teori tentang struktur atom yang memiliki sel-sel lengkap ditambah dengan satu
atau dua elektron terluar, relatif sederhana. Elektron-elektron pada sel penuh disebut
teras dan sisanya disebut elektron-elektron valensi. Contohnya atom C yang konfigurasi
keadaan dasarnya 1s22s22p2. Terasnya adalah 1s2 (sama dengan He) sedangkan elektron-
elektron 2s22p2 adalah elektron valensi. Itu sebabnya konfigurasi itu dituliskan
[He]2s22p2. Perlu disadari bahwa jika berikatan dengan atom lain, sebuah elektron

97
promosi dari 2s ke 2p sehingga terjadi pembentukan orbital atom baru yang disebut
hibrida (h). Dalam sp1 misalnya hibrida-hibrida h1 dan h2 dibentuk olehkombinasi 2s dan
2px dalam sp2 hibrida-hibrida h1, h2 dan h3 dibentuk olehkombinasi 2s, 2px dan 2py.
Energi ikat elektron-elektron teras jauh lebih besar dari pada elektron valensi, dan
itu meningkat cepat dengan semakin besarnya nomor atom. Karena ikatan yang kuat itu,
elektron-elektron teras suatu atom secara praktis tidak terganggu dalam banyak proses
kimiawi. Dalam berbagai sifat kimia seperti ikatan antar atom dalam molekul dan reaksi
kimia, peran elektron-valensi sangat dominan. Suatu sel yang terisi penuh memiliki L=0
dan S=0. Artinya, momentum sudut dan spin suatu atom ditentukan oleh elektron-
elektron-valensinya saja. Misalnya, atom dengan satu elektron-valensi memiliki S=½ dan
semua tingkat energi di mana hanya elektron-valensi itu saja yang tereksitasi adalah
doblet (2S+1=2). Untuk atom-atom ini L=ℓ yakni bilangan kuantum orbital dari elektron-
valensi itu sendiri.
Rumusan yang dapat mem-fit tingkat-tingkat energi elektron-valensi adalah:

2
 Z eff 
E n   Rhc    Rhc n2 (3.77)
n 
 eff 

di mana R adalah konstanta Rydberg dan  n adalah eksponen orbital seperti dalam
persamaan (3.63c).Dalam persamaan (3.77), berlaku Zeff=Z- di mana  adalah konstanta
skrining, dan neff=n- di mana  adalah cacat kuantum yang nilainya bergantung pada
harga-harga n dan l dari elektron valensi. Untuk litium dan natrium nilaiadalah
s p d
Li (Z=3) 0,4 0,04 0
Na(Z=11) 1,37 0.88 0.01

Nilai bisa ditentukan sebagai bikut: Tetapkan kulit (n) di mana elektron yang akan
ditentukan konstanta -nya berada. Konstanta untuk elektron itumerupakan jumlah
kontribusi-kontribusi berikut ini: (i) semua elektron lain pada kulit yang sama
menimbulkan faktor skrining 0,35; (ii) elektron di kulit (n-1) menimbulkan faktor 0,85
dan elektron di kulit (n-2) menimbulkan faktor 1.; (iii) jika elektron di orbital d atau f
faktor 1 diberikan oleh semua elektron yang berada di bawahnya.

Contoh 3.7 Menentukan Zeff


1) Zeff untuk elektron 2s dari Li (Z=3).
Konfugurasi elektron: 1s2 2s
Terhadap satu elektron 2s ada 2 elektron di kulit (n=1), maka ζ =0,85 × 2=1,7.
Zeff = Z – ζ =3-1,7=1,3.
2) Zeff untuk elektron 2p dari N (Z=11)
Konfugurasi elektron: 1s2 (2s22p6) 3s
Terhadap 1 elektron di 2p, ada 5 elektron di kult yang sama (n=2), dan 2 elektron di
kulit n=1), maka ζ =70,35+20,85=4,15. Zeff = Z – ζ =11-4,15=6,85.
Elektron di 3s tidak menimbulkan skrining.
3) Zeff untuk elektron 3s dari N (Z=11)
ζ =80,85+21=2,2.
Atom-atom yang memiliki elektron di sub-sel d dikenal sebagai logam transisi.
Atom-atom itu mulai dari Sc hingga Zn, dari Y hingga Cd, dan dari Lu hingga Hg; lihat
Apendiks 4. Elektron-elektron terluar suatu atom logam transisi selalu di sub-sel s yang

98
jari-jarinya lebih besar daripada d. Peningkatan nomor atom (Z) diiringi oleh penambahan
elektron pada sub-sel d; efeknya pada elektron di s sangat kecil. Karena kecilnya
perubahan jari-jari dan energi ionisasinya maka sifat kimia atom-atom logam transisi
tidak banyak berbeda satu-sama lain. Konduktivitas listrik atom-atom ini menurun dari Sc
ke Mn dan selanjutnya meningkat hingga Cu; meningkat dari Y hingga Ag, meningkat
dari Lu hingga Au. Suseptibilitas magnetnya boleh dikatakan sama, karena besarnya
momentum sudut yang dimiliki elektron-elektron d, dan besarnya jumlah elektron-d yang
dapat saling menggandengkan momen magnet spinnya. Fe, Ni dan Co bersifat feromagnet
sedangkan Cu dan Zn bersifat diamagnet dan atom-atom lainnya bersifat paramagnet.
Atom-atom yang pengisian sub-sel 4f-nya setelah sub-sel 6s disebut logam tanah-
langka (rare earth). Sifatnya mirip dengan logam transisi. Karena banyaknya jumlah
elektron di sub-sel 4f dan karena banyaknya jumlah elektron yang dapat menyearahkan
momen magnet spin mereka, maka suseptibilitas paramagnet atom-atom ini lebih besar
daripada logam transisi. Demikian pula sifat feromagnetnya, lebih besar daripada Fe.
Untuk jelasnya lihat Alonso et al. (1979),
Total momentum sudut suatu atom dapat menentukan sifat-sifat magnetik atom
dan probabilitas transisi dalam proses radiasi. Pada suatu atom yang terisolasi, total
momentum sudutnya selalu konstan; dengan menyatakan J sebagai bilangan kuantum
2
maka harga eigen dari Ĵ dan Ĵ z adalah:

J 2  J ( J  1) 2 ; J z  M J ; M J   J ,  ( J  1), ........ (3.78)

Untuk setiap konfigurasi elektron dari suatu atom, ada beberapa harga yang mungkin dari
J, masing-masing dengan energi yang berbeda. Masalahnya adalah bagaimana
menentukan harga-harga J yang dimungkinkan untuk setiap konfigurasi dan fungsi-fungsi
gelombang bersangkutan.
Suatu metoda yang dapat dipakai untuk menentukan harga-harga J adalah metoda
L-S coupling atau disebut juga Russel-Saunders coupling. Dengan memandang elektron-
elektron bebas satu sama lain, fungsi gelombang seperti dalam persamaan (3.59b) di
mana setiap keadaan dinyatakan dengan bilangan-bilangan kuantum secara lengkap, maka
 
total momentum sudut adalah L   Li dan Lz   Lzi . Jika L dan ML adalah bilangan
i i
kuantum, maka berlaku

L2  L( L  1) 2 ; Lz  M L ; M L   L,  ( L  1),........... (3.79)


 
dengan M L   mi . Dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk spin, S   S i dan
i i

S z   S zi . Jika S dan MSadalah bilangan kuantum, maka


i

S 2  S (S  1) 2 ; S z  M S ; M S   S ,  (S  1),..... (3.80)

 
dengan mS   msi . Jika L dan S diketahui, total momentum sudut untuk konfigurasi
i
  
ditetapkan dengan J  L  S . Harga-harga yang mungkin dari bilangan kuantum J
adalah:
J  L  S , L  S  1, .............., L  S . (3.81)

99
Keadaan suatu atom ditetapkan dengan ketiga bilangan kuantum L, S, dan J.
Keadaan-keadaan suatu konfigurasi dengan L dan S yang sama dinyatakan dengan suatu
term atau simbol. Setiap term dari suatu konfigurasi memiliki energi yang berbeda.
Energi setiap term bergantung pada harga L. Setiap harga L berkaitan dengan orientasi
relatif yang berbeda dari momentum-momentum sudut elektron-elektron, dan oleh sebab
itu berkaitan dengan orientasi relatif yang berbeda dari gerakan-gerakannya. Hal ini
menyebabkan interaksi Coulomb yang berbeda dan menyebabkan harga energi atom yang
berbeda. Keadaan-keadaan suatu term dengan L dan S yang sama tetapi berbeda harga J
secara praktis memiliki energi yang sama dan menimbulkan suatu multiplet. Pecahnya
suatu term L-S sesuai dengan harga-harga J merupakan efek interaksi spin-orbit. Karena
S<L, maka ada (2S+1) buah harga-harga J yang berbeda; inilah yang disebut multiplisitas.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, suatu term ditandai dengan simbol 2S+1LJ di
mana L menyatakan total bilangan kuantum orbital, J menyatakan bilangan kuantum
2 S 1
total J=L+S, dan 2S+1 menyatakan multiplisitas. Penulisannya adalah LJ di mana
simbol untuk L=0 adalah S, L=1 adalah P dan L=2 adalah D. Sebagai contoh, konfigurasi
ns2 hanya memberikan term singlet 1S0 seperti pada helium, di mana L=0, S=0 dan J=0.
Untuk konfigurasi np2 term yang mungkin adalah L=0, S=0, J=0 atau 1S0, L=2, S=0, J=2
atau 1D2 dan L=1, S=1, dan J=2 atau 3P2.
Susunan term-term dalam suatu konfigurasi elektron-elektron yang sama, dapat
dilakukan dengan mengikuti aturan empiris Hund:
(i) dari semua term yang mungkin, term dengan multiplisitas terbesar (S paling besar)
memiliki energi paling rendah; dari semua term dengan multiplisitas yang sama, yang
paling besar harga L-nya memiliki energi terendah.
(ii) susunan tingkat-tingkat multiplisitas dari setiap term akan normal (J paling kecil
berenergi paling rendah) bilamana sub-sel kurang dari setengah. Susunan jadi terbalik
jika sub-sel lebih dari setengah.
Dalam Gambar 3.10 diperlihatkan urutan tingkat-tingkat energi dalam konfigurasi np2
mulai dari yang paling rendah: 3P, 1D dan 1S yang pecah karena pengaruh
Coulombterhadap momentum sudut total L seperti telah dikemukakan di atas. Karena
adanya interaksi spin-orbit maka 3P yang triplet (S=1) akan pecah tiga, masing-masing
dengan J=0, 1, dan 2. Terakhir diperlihatkan juga bahwa interaksi dengan medan magnet
(efek Zeeman) memecah setiap term berdasarkan harga J-nya dengan jumlah pecahan
(2J+1);Alonso et al. (1979).
Interaksi Interaksi Interaksi
Coulomb spin-orbit Zeeman
1
S 1So
np2 1
D2
1
D 3
P2
3
P1
3
P 3
P0

Gambar3.10 Tingkat-tingkat energi dalam konfigurasi np2 .

Besarnya jumlah tingkat-tingkat energi yang dalam suatu atom banyak-elektron


memperlihatkan spektrum yang jauh lebih rumit dari pada atom berelektron-tunggal.
Transisi-transisi elektron dibatasi oleh aturan seleksi; untuk transisi-dipol-listrik aturan
seleksinya adalah:

100
L  1, S  0
J  0,  1; ( tidak 0  0) (3.82)
M J  0,  1.

Transisi J=0J’=0 terlarang karena melanggar hukum kekekalan momentum sudut


karena suatu foton memiliki satu unit momentum sudut atau spin.

101
Soal-soal
3.1 Konfigurasi elektron suatu atom adalah 4s4p3d; dengan M L=1 dan MS=3/2
tuliskanlah semua fungsi gelombang yang mungkin dalam bentuk determinan Slater

3.2 Tentukanlah term untuk konfigurasi elektron di bawah ini, dan tunjukkanlah dalam
setiap kasus term yang mana bernergi paling rendah.
(i) ns, (ii) np3, (iii) (np2)(n’s), (iv) (nd2)(n’p).

3.3 Nyatakanlah harga-harga bilangan kuantum S, L, dan J dalam term-term berikut:


1
S0, 2S½, 1P1, 3P2, 1D2, dan 5D1.

3.4 Tentukanlah transisi-transisi dipole listrik di bawah ini yang diizinkan.


(a) 1s2s, (b) 1s2p, (c) 2p3d, (d) 3s5p , dan (e) 3s3d.

3.5 Transisi elektron dalam atom Na dari orbital 3p ke orbital 3s menghasilkan garis
dengan panjang gelombang 589 nm. Hitunglah panjang gelombangnya . Hitung juga
untuk transisi dari 2p ke 2s.

3.6 Spektrum suatu ion berelektron-tunggal dari sebuah elemen menunjukkan orbital-
orbital ns berenergi 0, 2057972 cm-1, 2439156 cm-1dan 2572563 cm-1.untuk n=1, 2,
3, 4. Tentukan elemen itu serta ramalkan energi ionisasi ion itu.

3.7 Berdasarkan persamaan (3.77) tentukanlah energi keadaan dasar dan keadaan
eksitasi pertama dari elektron valensi dalam atom Li dan Na.

3.8 Beberapa garis K dari berbagai atom yang telah pernah diukur adalah: magnesium:
9,87 Å; sulfur: 5,36 Å, kalsium: 3,35 Å; chromium: 2,29 Å; cobalt: 1,79 Å;
tembaga: 1,54 Å; rubidium: 0,93 Å; dan tungsten: 0,21 Å. Plot akar frekuensi
terhadap nomor atom. H.G.Mosley menemukan hubungan empiris dalam bentuk
f1/2=A(Z-). Dari gambar hasil plot tersebut taksirlah harga-harga A dan .

3.9 Hitunglah konstanta kopling spin-orbit untuk electron 2p dalam orbital jenis Slater,
dan evaluasi hal itu untuk atom-atom netral dari boron hingga fluor.

3.10 Tuliskan Hamiltonian electron untuk ataom Li (Z=3) dan tunjukkan bahwa jika
potensial elektron-elektron diabaikan maka fungsi gelombangnya bisa dinyatakan
sebagai perkalian dari 1s(1)1s(2)2s(3) dari orbital-orbital hidrogen dan energinya
merupakan perjumlahan energi masing-masing elektron.

3.11 Orbital-orbital jenis Slater dapat dinormalisasi tetapi tidak orthogonal satu sama
lain. Dalam prosedur ortogonalisasi Schmidt suatu orbital 1 bisa dibuat orthogonal
terhadap orbital 2 dengan membentuk  '1  1  c 2 dengan c   1* 2 dV .
Buktikan bahwa ’1 dan 2 adalah orthogonal. Lakukanlah prosedur itu untuk
orbital 2s dan 1s dari jenis Slater.

102
BAB 4
SIMETRI MOLEKUL
Simetri molekul adalah konsep yang yang mendasar dalam kimia. Dengan mengetahui
simetri suatu molekul orang dapat meramalkan atau menjelaskan berbagai sifat kimiawi
dari molekul bersangkutan. Untuk mengungkapkan simetri suatu molekul diperlukan
pemahaman tentang teori grup. Bab ini akan diwali dengan teori grup atau biasa disebut
grup simetri.

4.1 Simetri dan Grup Simetri


Suatu operasi simetri terhadap suatu molekul akan mengalihkan molekul itu ke suatu
orientasi yang ekivalen dengan orientasi semula(Cotton, 1963).Ada beberapa jenis
operasi, antara lain:
1. Rotasi melalui sudut 2/n sekitar sumbu (sumbu lipat-n). Operasi ini dinyatakan
dengan Cn dengan n=1, 2, 3,.. C1 adalah rotasi 360o yang disebut identitas I, C2 adalah
rotasi 180o (sumbu lipat-2), misalnya rotasi pada sumbu-z dalam Gambar 4.1 (a).

z y
H H Cl
H
N
C Pusat simetri C

y x Hc
O z C Ha
x
(a) Cl (b) H Hb (c)
Gambar 4.1 Formaldehid (a), trans-dikloroetilen (b) dan NH3 (c).

2. Refleksi melalui bidang. Refleksi dengan bidang vertikal yakni bidang yang sejajar
sumbu rotasi (misalnya bidang-zx dan bidang-zy,) dinyatakan dengan v dan v’ dalam
Gambar 4.1 (a); refleksi dengan bidang horizontal yakni bidang yang tegak lurus
sumbu rotasi dinyatakan dengan h, misalnya bidang-xy dalam Gambar 4.1 (b). Jika
bidang cermin membagi dua sudut antara dua sumbu rotasi C2, refleksi ditandai dengan
d.
3. Rotasi tak sesungguhnya yakni rotasi Cn yang diikuti dengan refleksi h. Rotasi ini
dinyatakan dengan

Sn=hCn (didahului dengan Cn lalu h).

Contohnya dalam Gambar 4.1(b): S2=h(xz) C2(y) dan S2=h(yz) C2(x)


4. Inversi, yakni operasi h yang diikuti oleh rotasi C2. Jadi i=C2h, seperti dalam Gambar
4.1 (b): i=C2(z)h(xy). Benda yang memenuhi operasi inversi miliki pusat simetri,
misalnya titik pusat sumbu dalam Gambar 4.1 (b).
Suatu grup simetri adalah kumpulan sejumlah operasi simetri (elemen); grup
simetri diberi simbol yang menggambarkan operasi-operasi simetri yang terkandung
sebagi elemen dalam grup itu. Contohnya adalah grup C2v grup C2h, dan C3v masing-
masing seperti Tabel 4.1, Tabel 4.2dan Tabel 4.3.

103
Tabel 4.1. Tabel perkalian grup C2v
h=4 I C2 v v’
I I C2 v v’
C2 C2 I v’ v
v v v’ I C2
v’ v’ v C2 I

Contohnya formaldehid dalam Gambar 4.1(a).

Tabel 4.2. Tabel perkalian grup C2h


h=4 I C2 h i
I I C2 h i
C2 C2 I i h
h h i I C2
i i h C2 I

Contohnya trans-dikloroetilen dalam Gambar 4.1(b).

Tabel 4.3. Tabel perkalian grup C3v.


h=6 I C3 C32 va vb vc
va vb vc
2
I I C3 C3
C3 C3 C32 I vc va vb
C32 C32 I C3 vb vc va
va va vb vc I C3 C32
vb vb vc va C32 I C3
vc va vb
2
vc C3 C3 I
Contohnya molekul amoniak (NH3) dalam Gambar 4.1 (c).

Beberapa definisi dasar dan teorema penting dari suatu grup adalah:
1. Order suatu grup, h, menyatakan jumlah elemen dalam grup. Untuk grup C2v dan C2h,
masing-masing h=4 dan untuk C3v, h=6.
2. Perkalian dua elemen dalam grup yang sama, sama dengan suatu elemen dalam grup
itu. Misalnya, A dan B adalah elemen grup, maka jika C=AB maka C juga adalah
elemen grup. Jadi, suatu grup mempunyai tabel perkalian, seperti Tabel 4.1 dan Tabel
4.2. Jika AB BA, maka A dan B disebut tidak komut dan jika AB=BA disebut
komut, misalnya
vC2= C2v

seperti dalam Tabel 4.1 dan

C3vavaC3

dalam Tabel 4.3.


3. Salah satu elemen grup adalah identitas, I. Jika A adalah elemen di dalam grup yang
sama dengan I, maka IA=AI=A.
4. Antara elemen-elemen grup berlaku aturan asosiasi:

ABC=A(BC)=(AB)C.

104
5. Setiap elemen memiliki resiprok yang juga elemen grup. Jika A dan B adalah dua
elemen grup dengan AB=BA=I, maka A adalah resiprok dari B dan sebaliknya
sehingga berlaku A=B-1 dan B=A-1. Contohnya, dalam grup C3v,
6.
C3C32=I,
sehingga
C32= C3-1 dan C3 =(C32 )-1.

7. Dalam suatu grup terdapat beberapa grup-grup kecil yang memenuhi sifat 2-5; grup
kecil itu disebut subgrup. Order subgrup merupakan faktor bulat dari order grup (h);
misalnya grup C2v dengan h=4, mempunyai tiga buah subgrup berorder 2, masing-
masing (I, C2), (I, v) dan (I, v’).
8. Jika A dan X adalah dua elemen grup maka

B=X-1AX (4.1)

adalah juga elemen grup. B disebut hasil transformasi similaritas A dengan X. Jika

X-1X=XX-1=I,
maka
A=XBX-1. (4.2)

Jika X adalah resiprok dari Y: X=Y-1 atau Y=X-1 , maka

A=Y-1BY dan B=YAY-1. (4.3)

Dalam hal ini, A dan B disebut berkonjugasi. Dalam Tabel 4. 3 terlihat:

vaC3= C3vc=vb;
jadi
vc =C3-1vaC3 dan va= C3vc C3-1;

maka vc adalah hasil transformasi similaritas va dan sebaliknya, dengan C3; jadi
vc dan va berkonjugasi.
Suatu set lengkap elemen-elemen grup yang saling berkonjugasi disebut kelas dari
grup tersebut. Jika XAX-1, XBX-1, dan XCX-1 semuanya menghasilkan A, B, dan C untuk
suatu operasi X, maka A, B, dan C membentuk kelas. Jumlah kelas dalam suatu grup
merupakan faktor bulat dari order grup (h).
Dalam grup C2v, semua elemen grup komut satu sama lain, AX=XA sehingga X-
1
AX=X-1XA=A. Jadi, setiap elemen dalam grup C2v membentuk satu kelas-1, sehingga
jumlah kelas grup ini adalah empat. Dalam grup C3v, I membentuk kelas-1, C3 dan C32
membentuk kelas-2 dan va, vb dan vc membentuk kelas-3; jadi ada tiga buah kelas.

4.2 Representasi Grup


Representasi suatu grup adalah suatu kumpulan matriks berukuran (nxn) yang dapat
mengungkapkan operasi grup itu pada sesuatu fungsi atau satu kumpulan fungsi-fungsi.
Dalam Gambar 4.2 diperlihatkan operasi elemen-elemen grup C2vterhadap gerak
translasi sepanjang sumbu-sumbu x, y, dan z.Terlihat bahwa pengaruh operasi-operasi itu
adalah mengembalikan orbital ke posisi dengan dan tanpa perubahan tanda (-1 atau +1);
+1 disebut simetrik dan -1 disebut anti-simetrik.

105
z

x y
I v’
C v
z z z z
2 x

x y x y x y y

Gambar 4.2 Opersai simetri grup C2v pada translasi x, y, z.

I z  z; C2 z  z;  v z  z;  v ' z  z (4.4a)
I x  x; C2 x   x;  v x  x;  v ' x   x (4.4b)
I y  y; C2 y   y;  v y   y;  v ' y  y (4.4c)

Selain itu, dapat juga dilakukan operasi simetri terhadap rotasi. Itu dilaksanakan
dengan menggambar lingkaran rotasi, misalnya Rz pada bidang xy seperti dalam Gambar
4.3. Hasilnya adalah:

I Rz  Rz ; C 2 Rz  Rz ;  v Rz   Rz ;  v ' R z   Rz (4.5)

z
Rz

I v’
z z C2 v z z

Rz Rz -Rz -Rz
Gambar 4.3 Operasi simetri elemen-elemen C2v terhadap rotasiRz.

Operasi simetri terhadap rotasi Rx hasilnya seperti operasi terhadap translasi-y


(persamaan 4.4c), dan Ry sama dengan operasi terhadap translasi-x (persamaan 4.4b).
Hasil-hasil operasi untuk tranlasi dan rotasi disusun dalam Tabel 4.4.
Kumpulan bilangan hasil-hasil operasi dalam Tabel 4.4 memenuhi tabel perkalian
seperti diperlihatkan Tabel 4.1. Kumpulan bilangan itu membentuk representasi grup;
suatu representasi diberi simbol . Jadi, dalam tabel di atas ada empat buah representasi
grup C2v, yakni 1, 2, 3 dan 4.

Tabel 4. 4 Opersai-simetri elemen-elemen grup C2v terhadap translasi dan rotasi.


C2v I C2 v v’ Representasi
z 1 1 1 1 1
Rz 1 1 -1 -1 2

106
x, Ry 1 -1 1 -1 3
y, Rx 1 -1 -1 1 4

Selain kumpulan bilangan, kumpulan matriks dimungkinkan pula memenuhi tabel


perkalian. Sebagai contoh dalam Tabel 4.5 operasi elemen-elemen grup C3v terhadap
translasi dan rotasi.Terlihat, perkalian dua matriks memenuhi tabel perkalian dalam Tabel
4.3; jadi kumpulan matriks di atas membentuk representasi grup C3v.

Tabel 4. 5. Opersai elemen-elemen grup C3v terhadap translasi dan rotasi.


I C3 C32 va vb vc
z 1 1 1 1 1 1
Rz 1 1 1 -1 -1 -1
x,y 1 0    12 12 3    12  12 3   1 0  12  12 3   12 12 3 
           
Rx, Ry  0 1  1 3  1  1 3  1   0 1  1 3  1  1 3  1 
 2 2   2 2   2 2  2 2

Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa representasi suatu grup


adalah sekumpulan matriksberdimensi-1 (lihat Tabel 4.1),atau sekumpulan
matriksberdimensi-2 (lihat Tabel 4.3), atau matriks berdimensi lebih tinggi, yang
merumuskan operasi secara matematik terhadap suatu fungsi atau sekumpulan fungsi-
fungsi. Jadi, dimungkinkan memperoleh sebanyak mungkin representasi-representasi,
bergantung pada fungsi-fungsi yang dipilih.
Suatu representasi dapat direduksi atas bantuan transformasi similaritas. Misalkan
matriks A, B ….., masing-masing berukuran (nn), adalah representasi suatu grup. Jika
dengan matriks X dapat dilakukan transformasi similaritas, maka

A 0  B 0 
X 1 AX   1  ; X 1 BX   1  , dan seterusnya. (4.7)
 0 A2   0 B2 

A1 , B1 adalah matriks-matriks berdimensi m, A2 , B2 berdimensi (n-m) dan seterusnya.


Dengan demikian itu maka matriks-matriks A, B ….., disebut matriks tereduksi. Jika
selanjutnya A1 , B1 dan A2 , B2 tak dapat lagi direduksi dengan suatu transformasi
similaritas, maka kumpulan matriks tersebut merupakan representasi yang tak tereduksi
(irreducible representation, IR). IR berdimensi-1 diberi simbol A atau B, yang
berdimensi-2 diberi simbol E dan yang berdimensi-3 diberi simbol T.
IR-IR suatu grup dapat dianalogikan dengan vektor-vektor basis dalam suatu
ruang. Dalam suatu ruang, suatu vektor dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari
vaktor-vektor basis; demikian pula halnya dengan suatu representasi grup. Suatu
representasi grup dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari IR-IR dalam grup itu;
jadi, jika {i } adalah IR-IR dalam suatu grup, maka representasi grup itu () adalah

   ci i (4.8)
i
di mana ci adalah bilangan bulat positif termasuk nol.
Jumlah elemen-elemen diagonal suatu matriks (nxn) disebut trace atau karakter
dari matriks itu dan diberi simbol . Karakter itu tidak berubah karena transformasi
similaritas. Oleh sebab itu, matriks-matriks yang menggambarkan operasi-operasi simetri
dari kelas yang sama mempunyai karakter yang sama pula. Misalnya, bilangan-bilangan

107
dalam Tabel 4. 4 merupakan matriks berdimensi-1, dan itu sudah merupakan IR-
IR.Dengan demikian maka tabel karakter grup C2v adalah seperti Tabel 4. 6.

Tabel 4. 6. Tabel karakter grup C2v.


 I C2 v v’
A1 1 1 1 1 z x2,y2,z2
A2 1 1 -1 -1 Rz xy
B1 1 -1 1 -1 x, Ry xz
B2 1 -1 -1 1 y, Rx yz

Simbol bagi suatu IR berdimensi-1 adalah A atau B dan yang berdimensi-2 adalah E;IR
yang simetrik terhadap sumbu rotasi (C2) adalah A, dan yang antisimetrik adalah B.
Indeks 1 pada A1 menyatakan simetrik terhadap v dan indeks 2 menyatakan anti-
simetrik. Tabel 4.7 berikut adalah tabel karakter grup C3v.
Tabel 4.7. Tabel karakter grup C3v.
 I 2C3 3v
A1 1 1 1 z x2+y2+z2
A2 1 1 -1 Rz -
E 2 -1 0 x, y, x2-y2,xy
Rx, Ry xz, yz

Dalam tabel ini, 2C3 menyatakan C3 dan C32; hal ini bisa serentak dikelompokkan karena
dua operasi simetri dari kelas yang sama. Demikian pula 3v menyatakan va, vb, dan vc
merupakan tiga buah operasi simetri dalam kelas yang sama. E menyatakan IR
berdimensi-2. Jika molekul mempunyai pusat simetri seperti trans-dikloroetilen
dalamGambar 4.1b, indeks g digunakan pada IR jika karakter dari operasi inversi i sama
dengan +1, dan indeks u jika -1. Contohnya adalah tabel karakter C2h dalam Tabel 4.8
dan D2h dalam Tabel 4.9.

Tabel 4.8. Tabel karakter grup C2h.


 I C2 h i
Ag 1 1 1 1 Rz x2,y2,z2,xy
Au 1 1 -1 -1 z -
Bg 1 -1 -1 1 Rx, Ry xz, yz
Bu 1 -1 1 -1 x, y -

Tabel 4.9 Tabel karakter grup D2h.


 I C2(z) C2(y) C2(x) h(xy) h(xz) h(y i
z)
Ag 1 1 1 1 1 1 1 1 - x2,y2,
z2
Au 1 1 1 1 -1 -1 -1 -1 - -
B1g 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 Rz xy
B1u 1 1 -1 -1 -1 -1 1 1 z -
B2g 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 Ry xz
B2u 1 -1 1 -1 -1 1 -1 1 y -

108
B3g 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 Rx yz
B3u 1 -1 -1 1 -1 1 1 -1 x -

Seperti terlihat dalam tabel-tabel karakter di atas, hanya ada satu IR yang memiliki +1
untuk setiap operasi simetri. IR itu diberi simbol A (Ag jika ada pusat simetri) dan diberi
indeks seperti A1 atau A1g jika ada beberapa IR A (Ag).
Beberapa teorema penting yang berkaitan dengan IR-IR suatu grup adalah sebagai
berikut:
1. Jumlah IR dalam suatu grup, sama dengan jumlah kelas dalam grup itu.
2. Jumlah kuadrat dimensi IR-IR, {li}, suatu grup sama dengan order grup itu (h):

l i
i
2
h (4.9)

3. Jumlah kuadrat karakter-karakter matriks dalam suatu IR ke-i, yang sesuai dengan
operasi simetri R, sama dengan order grup itu:

   2
i ( R)  h (4.10)
R
4. Karakter-karakter dari matriks-matriks suatu operasi simetri dalam IR-IR yang berbeda,
ortogonal satu sama lain:


R
i ( R) j ( R)  h ij (4.11)

5. Dalam suatu representasi (tereduksi atau tidak), karakter-karakter semua matriks


dalam kelas yang sama adalah identik.
Andaikan (R) adalah karakter operasi simetri R dari suatu representasi tereduksi.
Sejalan dengan ungkapan dalam persamaan (4.11) maka (R) dapat dinyatakan sebagai
kombinasi linier dari karakter-karakter operasi itu dalam berbagai IR dari grup
bersangkutan:
 ( R)   ai i ( R) (4.12)
i

di mana ai adalah bilangan bulat yang menyatakan berapa kali IR ke-i muncul dalam
representasi tereduksi. Koefisien ai itu dapat ditentukan sebagai berikut:

  ( R) 
R
j ( R)   ai   i ( R)  j ( R)   ai h ij  ai h
i R i
sehingga
1
ai    ( R)  i ( R)
h R
(4.13)

4.3 Grup dan Fisika Kuantum


Untuk suatu sistem partikel yang memiliki Hamiltonian Ĥ dengan fungsi-fungsi eigen
non-degenerate  dan energi E berlaku Hˆ   E . Dalam kaitannya dengan simetri, jika
dua atau lebih partikel dipertukarkan melalui operasi simetri (R), Hamiltonian itu tidak

109
berubah. Jadi, sebelum dan sesudah operasi simetri, konfigurasi partikel tetap saja. Oleh
sebab itu Hamiltonian dan operasi simetri komut satu sama lain:

Hˆ R  RHˆ (4.14)
dan berlaku:
Hˆ R  RHˆ   Ei R (4.15)

Jadi Radalah fungsi eigen bagi Ĥ . Jika adalah fungsi yang dinormalisasi, maka
dariRyang dinormalisasi berlaku:

R  1 (4.16)

Artinya, dengan setiap operasi simetri dari grup terhadap fungsi eigen yang non-
degenerate tersebut diperoleh representasi grup dengan matriks berdimensi-1, yakni 1.
Karena berdimensi-1 maka representasi itu irreducible. Jadi, dengan j(R) adalah karakter
IR ke-j untuk operasi R maka fungsi yang bertransformasi seperti IR ke-j adalah

 j    j ( R) R (4.17)
R

Fungsi inilah yang disebut sebagai fungsi yang teradaptasi simetri (symmetry adapted
function).
Untuk fungsi-fungsi eigen yang degenerate, persamaan (4.16) tetap berlaku, tetapi
untuk memperoleh n buah fungsi-fungsi degenerate itu, harus dilakukan n kali prosedur
dengan fungsi-fungsi  yang berbeda. Tetapi, fungsi-fungsi yang diperoleh pada
umumnya tidak ortogonal satu sama lain, sehingga diperlukan proses ortogonalisasi.

4.4 Perkalian Langsung


Misalkan {i} dan {i} dua kumpulan fungsi-fungsi yang merupakan basis untuk
representasi grup. Jika R adalah salah satu elemen dari grup itu maka

Ri   a ji j ; R i   b ji j (4.18a)


j j

dan
Ri j   akiblj k  l   ckl,ij k  l (4.18b)
k,l j, l

Kumpulan fungsi-fungsi {ij} yang disebut perkalian langsung (direct product) dari i
dan j, juga membentuk basis untuk representasi grup tersebut. Koefisien ckl,ij adalah
elemen dari matriks, sebutlah C, yang berorder (mn)(mn).
Karakter dari matriks C itu untuk elemen grup R adalah

 C ( R)   c jl , jl   a jj bll    ( R)   ( R) (4.19)
j ,l j ,l

Itu berarti bahwa karakter dari representasi hasil perkalian langsung dua kumpulan fungsi,
sama dengan perkalian karakter-karakter dari representasi-representasi yang berbasiskan
kedua kumpulan fungsi itu.

110
Sebagai contoh, perkalian langsung beberapa IR dalam grup C3v adalah sebagai
berikut:
Grup C3v
 I 2C3 3v
A1 1 1 1
A2 1 1 -1
E 2 -1 0

Terlihat A1A2=A2, A22=A1, A1E= A2E=E, E2= A1+A2+E.


Dua buah aplikasi penting dari perkalian langsung dikemukakan berikut ini. (1)
Elemen matriks dari hamiltonian:

H ij   i Hˆ  j dv (4.20)

Hamiltonian Ĥ dari sistem elektron memiliki reprentasi simetrik penuh dari molekul
(misalnya A1 dalam C2v, dan Ag dalam C2h). Jadi, dari segi simetri persamaan (4.20) harus
memenuhi
( H )  ( 1 )( 2 ) (4.21)

Kedua, dalam persoalan transisi elektron, misalnya dari keadaan dasar o ke suatu
keadaan tereksitasi, misalnya n, peluang bertransisi sebanding dengan kuadrat momen
transisi yang diungkapkan dengan
M 0n   0 ̂ n dV (4.22)

Dalam persamaan ini û adalah operator dipol listrik yang diungkapkan dengan
komponen-komponenya ˆ  e( xˆ  yˆ  zˆ) , sehingga persamaan (4.22) dapat dinyatakan
atas komponen-komponennya secara terpisah:

n  e  0 x n dV
M 0(
x)
ˆ

n  e  0 y n dV
M 0(
y)
ˆ (4.23)
M 0( n  e  0 z
ˆ n dV
z)

Persamaan-persamaan di atas menyatakan bahwa transisi dapat terjadi melalui salah satu
dari ketiga komponen tersebut. Dalam kaitannya dengan gelombang elektromagnet yang
terabsorbsi/teremisi dalam transisi itu, medan listrik dari gelombang tersebut mempunyai
polarisasi yang arahnya sama dengan salah satu dari x, y, atau z. Jadi, jika hanya
M 0( n  e  0 z
ˆ n dV 0, maka transisi tersebut terkait dengan medan yang terpolarisasi
z)

dalam arah-z.
Berdasarkan persamaan (4.23) di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah satu dari
ketiga transisi tersebut dapat terjadi hanya jika representasi perkalian langsung 0 n
sama dengan representasi dari salah satu komponen x, y atau z; misalnya untuk
komponen-z berlaku:

( z )  (0 )(n ) (4.24)

111
Dalam menetapkan representasi suatu fungsi keadaan, terlebih dahulu harus
diketahui konfigurasi elektron dari keadaan tersebut. Setiap orbital molekul memiliki
representasi sendiri, sehingga representasi suatu keadaan sama dengan representasi
perkalian langsung dari orbital-orbital molekul yang diduduki elektron-elektron
bersangkutan. Jika suatu orbital molekul yang memiliki representasi A1 dalam grup C2v,
maka setiap elektron yang menduduki orbital itu dinyatakan dengan representasi a1; untuk
dua elektron di orbital itu dinyatakan dengan representasi a1 a1 yang hasilnya dapat
dilihat dalam tabel karakter C2v.
Sebagai contoh, andaikan suatu molekul memenuhi grup C2v dengan struktur
elektronik keadaan dasar o dan tereksitasi 1, 2 seperti dalam gambar Gambar.4.7.
a1 5 a1 5 a1 5
b1 4
b1 4 b1 4

b2 3 b2 3 b2 3
b1 2 b1 2 b1 2
a1 1 a1 1 a1 1
0 1 2
Gambar 4.7 Simetri setiap orbital molekul dalam berbagai keadaan.

Representasi masing-masing keadaan adalah:

(0 )  (a1a1 )(b1b1 )(b2 b2 )  a1a1a1  A1


(1 )  (a1a1 )(b1b1 )(b2 )(b1 )  a1a1a2  A2
(2 )  (a1a1 )(b1b1 )(b2 )(a1 )  a1a1a2  B2

Selanjutnya, mungkin atau tidak mungkinnya transisi elektron dari keadaan o ke


keadaan 1 atau 2 diperiksa berdasarkan persamaan (4.24):

(ˆ )  (0 )(1 )  A1 A2  A2


(ˆ )  (0 )(2 )  A1 B2  B2

Berdasarkan tabel karakter C2v jelas bahwa (ˆ )  A2 tidak menggambarkan


representasidari salah satu komponen x, y maupun z, sedangkan (ˆ )  B2
menggambarkan representasi komponen y; lihat Tabel 4.6. Jadi, transisi dari 0 ke 1,
tidak mungkin terjadi, sedangkan dari o ke 2 mungkin terjadi.

4.5 Beberapa contoh aplikasi


1. Orbital molekul Formaldehid
Molekul formaldehid memenuhi grup simetri C2v yang tabel perkaliannya seperti Tabel 4.
1 dan tabel karakternya sepreti Tabel 4. 4. Dalam pembentukan orbital molekul ditempuh
tiga tahap berikut.
(i) menentukan kombinasi linier dari orbital-orbital atom 1s dari kedua atom hidrogen.

112
(ii) menentukan IR bagi orbital 2s, 2px, 2py dan 2pz masing-masing atom C dan O.
(iii) penggabungan hasil-hasil tahap (i) dan (ii).
Tahap pertama, gambarkanlah molekul formaldehid H2CO:

H z H

C
y
O
Karakter molekul ini untuk setiap operasi simetri I, C2(z), v(xz), dan v’(yz) adalah:
1s a  1s a  1 0 
I       I    I=2
1sb  1sb   0 1
1s a  1sb   0 1
C 2      C 2      C2  0
1sb  1s a  1 0 
1s  1s   0 1
 v  a    b    v       v  0
1sb  1s a  1 0 
1s a  1s a  1 0 
 v '       v '       v '  2
1sb  1sb   0 1
Dari hasil di atas diperoleh tabel karakter dari orbital-orbital atom hidrogen adalah:

I C2 v v’
(R) 2 0 0 2

Dari Tabel 4. 6 karakter grup C2v adalah


C2v I C2 v v’
A1 1 1 1 1 z x2,y2,z2
A2 1 1 -1 -1 Rz xy
B1 1 -1 1 -1 x, Ry xz
B2 1 -1 -1 1 y, Rx yz

Berdasarkan persamaan (4.13)


1
ai    ( R)  i ( R)
h R
dan dari Tabel 4. 6 di atas berlaku:
a A 1  1 4 2 1  0 1  0 x1  2 1  1; a A  2 1  0 1  0 1  2 1  0
1
4
2

a B  1 4 2 1  0 1  0 1  2 1  0[ a B  1 4 2 1  0 1  0 1  2 1  1
1 2
Jadi, orbital-orbital 1s dari atom-atom hydrogen mempunyai representasi:
  1 A1  0  A2  0  B1  1 B2  A1  B2
Artinya, ada sebuah fungsi teradaptasi simetri A1 dan sebuah teradaptasi simetri B2.
Fungsi-fungsi itu ditentukan sebagai berikut.Ambillah orbital 1sa sebagai awal
perhitungan, operasikan elemen-elemen grup C2v pada orbital itu, dan hasilnya adalah:
I C2 v v’
1sa 1sa 1sb 1sb 1sa

113
Sesuai dengan persamaan (4.17),  j    j ( R) R maka perkalian dengan IR A1
R
menghasilkan fungsi

 A  1  (1s a )  1  (1sb )  1  (1sb )  1  (1s a )


1
 2(1s a )  (1s b )

yang jika dinormalisasi menjadi,


A 
1
1
1s a 1sb 
2

Selanjutnya perkalian dengan IR B2 diperoleh fungsi

 B  1  (1s a )  1  (1sb )  1  (1sb )  1  (1s a )


2
 2(1s a )  (1s b )

yang jika dinormalisasi menjadi


1
B  (1s a 1s b )
2 2

Tahap kedua adalah menentukan IR bagi orbital-orbital 2s, 2px, 2py dan 2pz dari
atom karbon dan atom oksigen. Untuk orbital 2s dan 2pz berlaku:

I (2s)  2s; C2 (2s)  2s;  v (2s)  2s;  v ' (2s)  2s;


I (2 p z )  2 p z ; C 2 (2 p z )  2 p z ;  v (2 p z )  2 p z ;  v ' (2 p z )  2 p z ; .

Jadi, transformasi orbital 2s dan 2pz memenuhi representasi A1.

I (2 p x )  2 p x ; C2 (2 p x )  2 p x ;  v (2 p x )  2 p x ;  v ' (2 p x )  2 p x ;
I (2 p y )  2 p y ; C2 (2 p y )  2 p y ;  v (2 p y )  2 p y ;  v ' (2 p y )  2 p y ;

Terlihat bahwa orbital 2px bertransformasi sesuai representasi B1 dan orbital 2py
bertransformasi sesai representasi B2.
Tahap ketiga adalah penggabungan hasil-hasil tahap pertama dan tahap kedua.
Dari seluruh transformasi yang telah dilakukan diperoleh pengelompokan seperti tabel
berikut:
IR Kedua atom H Atom C Atom O
A1 (1sa+1sb)/√2 2s, 2pz 2s, 2pz
B1 - 2px 2px
B2 (1sa-1sb)/√2 2py 2py

Dari tabel di atas diperoleh lima buah orbital molekul, yakni


1
A1 :  1  c11 (1s a  1sb )  c 21 (2sC )  c31 (2 p zC )  c 41 (2sO )  c15 (2 p zO )
2
B1 :  2  c12 (2 p xC )  c 22 (2 p xO )

114
1
B2 :  3  c13 (1sa  1sb )  c23 (2 p yC )  c33 (2 p yO )
2
Orbital 1 yang bersimetri A1 adalah orbital bonding-, orbital 2 adalah orbital bonding-
 bersimetri B1, sedangkan 3 yang bersimetri B2 adalah orbital nonbonding. Berdasarkan
hasil-hasil di atas, maka orbital anti-bonding-* bersimetri A1, dan orbital anti-bonding-
* bersimetri B1. Penggambaran sekaligus orbital-orbital tersebut diperlihatkan dalam
Gambar 4.8
A1 *(5)

B1 *(4)

* n*
B2 n (3)
B1  (2)

A1  (1)

Gambar 4.8 Orbital molekul-orbital molekul dari formaldehioda.

Sebagaimana telah diketahui, transisi elektron dari satu orbital ke orbital lainnya
dihitung berdasarkan momen transisi, misalnya dari keadaan dasar o ke keadaan terek-
sitasi 24 , yakni (*):
 24   0 ˆ 24 dv

Untuk mengetahui apakah transisi itu dapat terjadi atau tidak, maka persamaan di atas
diungkapkan sesuai dengan persamaan (4.24):

(ˆ )  (0 ) (24 )

Representasi suatu keadaan (konfigurasi elektron) merupakan perkalian representasi-


representasi orbital yang diduduki masing-masing elektron; jadi

(0 )  ( A1 A1 )( B1 B1 )( B2 B2 )  A1 A1 A1  A1
(24 )  ( A1 A1 ) B1 ( B2 B2 ) B1  A1 A1 A1  A1
maka
(ˆ )  A1  A1  A1

Maka, transisi dari 2 ke 4 (*) terjadi hanya jika (ˆ )  A1 ; ini mungkin terjadi
dengan komponen-z saja; lihat Tabel 4.6.
Untuk transisi elektron dari 0ke keadaan tereksitasi 34 (n*), harus
diperiksa representasi 34 yakni

(34 )  ( A1 A1 )( B1 B1 ) B2 B1  A1 A1 A2  A2
sehingga
(ˆ )  A1  A2  A2

115
Transisi ini tidak bisa terjadi karena (ˆ )  A2 tidak memenuhi satupun dari representasi
komponen dipol x, y, atau z; dengan demikian maka transisi n* tidak dapat terjadi.

2. Orbital molekul NH3


Molekul ini memenuhi grup simetri C3v dengan tabel perkalian seperti Tabel 4.3 dan tabel
karakter seperti Tabel 4.7 (Chandra 1974).

vb

vc N va

Hc
Ha
Hb
Operasi simetri elemen-elemen grup ini terhadap orbital 1s dari atom-atom H adalah:

1s a  1s a  1 0 0 
     
I 1sb   1sb   I   0 1 0  I=3
1s  1s   
 c  c  0 0 1
1s a  1sb  0 1 0 
     
C 3 1sb   1s c  C 3   0 0 1    C3  0
     
1s c  1s a  1 0 0 
1s a  1s c  0 0 1 
     
C 32 1sb   1s a   C 32  1 0 0    C 2  0
      3

 c  b
1s 1s  0 1 0 
1s a  1s a  1 0 0 
     
 va 1sb   1sc    va   0 0 1   va  1
     
1s c  1sb   0 1 0
1s a  1s c   0 0 1
     
 vb 1sb   1sb    vb   0 1 0     vb  1
     
1s c  1s a  1 0 0 
1s a  1sb  0 1 0 
     
 vc 1sb   1s a    vc  1 0 0    vc  1
     
1s c  1sc   0 0 1

Jadi, karakter yang dihasilkan dari operasi simetri di atas adalah:

I 2C3 v
 3 0 1

116
Karakter C3v, seperti dalamTabel 4.7 adalah
 I 2C3 3v
A1 1 1 1 z x2+y2+z2
A2 1 1 -1 Rz -
E 2 -1 0 x, y, x2-y2,xy
Rx, Ry xz, yz

Berdasarkan persamaan (4.13) diperoleh

aA1  1 3  1  0  1 2  1  1  3  1
6

a A2  1 6 3  1  0  1  2  1  1  3  0
a E  1 6 3  2  0  1  2  0  1  3  1

Maka orbital-orbital 1s dari ketiga atom H memenuhi representasi:

  A1  E

Artinya, ada sebuah orbital teradaptasi simetri A1 dan dua buah teradaptasi simetri E
(karena IR dari E berukuran 2 x 2).
Untuk memperoleh kombinasi linier dari orbital-orbital 1s tersebutoperasikanlah
elemen-elemen grup pada orbital-orbital itu, misalnya

I C3 C32 va vb vc


1sa 1sa 1sb 1sc 1sa 1sc 1sb
1sb 1sb 1sc 1sa 1sc 1sb 1sa
1sc 1sc 1sa 1sb 1sb 1sa 1sc

Hasil perkalian dengan reperesentasi A1 lalu menjumlahkannya menghasilkan orbital


yang teradaptasi simetri:
 A  2(1s a  1sb  1sc )
1

yang jika dinormalisasi menjadi


1
A  (1s a  1sb  1s c )
1 3

Selanjutnya, perkalikan representasi E dengan tabel di atas. Karena E berdimensi dua


maka dalam tabel di atas disediakan dua baris operasi simetri. Hasil perkalian dengan
representasi E pada baris pertama tabel, akan menghasilkan fungsi:  E1  2(1sa )  1sb
 1sc yang jika dinormalisasi menjadi

1
 E1  [2(1s a )  1sb  1s c ]
6

sedangkan dengan baris kedua dari tabel yang sama diperoleh

117
1
 E2  [2(1sb )  1s a  1s c ]
6

Baris ketiga dalam tabel operasi di atas tidak diperlukan, karena hasilnya akan sama
dengan yang sebelumnya.Kedua fungsi tersebut tidak ortogonal; untuk itu gunakan
ortogonalisasi Schmid, di mana kedua fungsi tersebut dinyatakan sebagai:

 E1 dan  E 2'   E 2  c E1
dengan mana
c    E1 E 2 dv   16 (2  2  1)  1
2 .

Sehingga, hasil setelah normalisasi adalah

1
 E 2'  [ 1sb  1s c ]
2

Selanjutnya operasi elemen-elemen grup terhadap orbital-orbital atom 2s, 2px, 2py
dan 2pz dari atom N, adalah sebagai berikut. Representasi yang sesuai bagi orbital-orbital
2s dan 2pz, adalah A1. Sedangkan orbital 2px dan 2py, karena terletak pada sumbu-x dan –
y representasi bagi keduanya adalah E. Jadi secara keseluruhan dapat ditabelkan sebagai
berikut:
IR Ketiga atom H N
A1 (1sa+1sb+1sc)/3 2s, 2pz
E [2(1sa)-1sb-1sc]/6 2py
(1sb-1sc)/ 2 2px

Jadi, orbital-orbital molekul NH3 adalah:

A1 :  1  c1 [( 1 3 )(1s a  1s b  1s c )]  c 2 (2s)  c3 (2 p z )

 2  c'1 [ 2 (1s b  1s c )]  c' 2 (2 p x )


 1
E: 
 3  c"1 [( 6 )[2(1s a )  1s b  1s c )]  c" 2 (2 p y )
 1

Selanjutnya, koefisien-koefisien c ditentukan dengan cara biasa, yakni dengan persamaan


sekuler.

118
Soal-soal
4.1 Tentukanlah semua operasi simetri yang mungkin pada masing-masing molekul (a)
H2S, (b)CHF3, (c)HOCl, (d)CH2F2.

4.2 Tentukanlah operasi-operasi simetri dalam molekul-molekul berikut, dan tentukan


pula grup simetrinya. (a) CH4, (b) CH3F, (c) CH2F2.

4.3 Tentukanlah operasi-operasi simetri dalam molekul-molekul berikut, dan tentukan


pula grup simetrinya. (a) CH2=CH2, (b) CH2=CHF, (c) CH2=CF2.

4.4 Tentukanlah orbital-orbital molekul dari molekul-molekul: (a) CH2=CH2, (b)


CH2=CHF, (c) CH2=CF2.

4.5 Tentukanlah represenrasi irredusibel dari orbital-orbital atom s, px, py, pz dalam grup
simetri C2v.

4.6 Molekul H2O (lihat gambar) memenuhi grup C2v dengan sumbu-z sebagai sumbu
rotasi.Pada setiap atom H ada orbital atom 1s, pada atom O ada orbital atom 2s, 2px,
2py dan 2pz. Tentukanlah orbital-orbital molekul H2O.
y

O x

H H
z
a. Apakah IR untuk orbital-orbital atom s, p, d dalam grup simetri D6h?

b. Gambar di bawah ini adalah vibrasi normal molekul air. Gunakanlah grup simetri C2v
untuk modus-modus itu dan tentukanlah IR-IR-nya.

c. Fungsi f1 mempunyai simetri berkaitan dengan IR E2 dan fungsi f2 dengan IR A1


dalam grup simetri C6v. Tunjukkan bahwa 𝑓1 𝑥𝑓2 𝑑𝜏 = 0.

d. Fungsi keadaan dasar H2O mempunyai IR A1 dalam grup simetri C2v. Tentukanlah
IR-nya pada keadaan tereksitasi yang menyerap cahaya terpolarisasi linier (a) x, (b)
y, (c) z.

119
BAB 5
MOLEKUL DIATOMIK
Molekul diatomik adalah molekul dengan dua buah inti atom seperi H2 dan LiH.
Pembahasan diawali dengan mengemukakan konsep orbital molekul dan fungsi keadaan
molekul untuk menentukan energi molekul. Dalam perhitungan energi molekul akan
ditemui interaksi elektron-elektron yang akan memperumit proses perhitungan. Itu diatasi
dengan memperkenalkan aproksimasi Hamiltonian efektif; namun aproksimasi itu akan
menghilangkan korelasi elektron. Untuk menghadirkan kembali korelasi tersebut harus
digunakan interaksi konfigurasi.

5.1 Aproksimasi Born-Oppenheimer


Sebuah molekul terdiri dari inti-inti yang secara serentak dikelilingi oleh elektron-
elektron. Untuk kemudahan pmbahasan, tinjaulah sistem dari dua buah inti masing-
masing pada posisi X1 dan X2 dan sebuah elektron pada posisi x. Hamiltonian sistem itu
adalah
2 2 2 2
Hˆ    
2m x 2 i 1, 2 2M i X i2
 V ( x, X 1 , X 2 ) (5.1)

Misalkan fungsi gelombang sistem adalah (x, X1,X2) sehingga persamaanSchrödinger


adalah
Hˆ ( x, X 1 , X 2 )  E ( x, X 1 , X 2 ) (5.2)

Selanjutnya andaikan n(X1, X2) adalah fungsi gelombang inti-inti dan e(x, X1, X2)
fungsi gelombang elektron; maka fungsi gelombang molekul adalah

( x, X 1 , X 2 )  e ( x, X 1 , X 2 )n ( X 1 , X 2 ) (5.3)

Dengan Hamiltonian dalam persamaan (5.1), fihak kiri dari persamaan Schrödinger (5.2)
adalah
  2  2 e   2  2 e n
Hˆ   n  


2 
   2
 Ve n (5.4)
 2 m x  i 1, 2 2 M i X i

2  2 n  2 e  n
e n  e  n 2 e
X i2
X i 2
X i 2
X i X i
 2 2   2   2 n  2 e  n 
Hˆ   n    
e   
    2 e   Ve n
X i X i 
 2m x X i X i
2 e 2 n 2
 i 1, 2 2M 1 
 2 2   2  2 n  2   2 e e n 

 
 2
e

 n   e   2
  
  n
 2
 2
 
  Ve n
 2 m x  i 1, 2 2 M i X i i 1, 2 2 M i X i X i X i 

Karena massa inti jauh lebih besar maka suku ketiga cukup kecil dan bisa diabaikan.
Maka
  2  2 n   2 2 

     
2  e
e  Ve n  Ee n (5.5)
 i 1, 2 2M i X i   2m x
2

120
Terlihat, untuk posisi inti-inti yang tetap, suku pertama sama dengan nol sehingga berlaku

 2 2 
 
 2m x 2  V e  E e e (5.6)
 

Persamaan (5.6) merupakan persamaan Schrödinger untuk elektron dalam potensial inti-
inti V yang bergantung pada posisi inti-inti yang tetap. Aproksimasi derngan massa inti-
inti yang jauh lebih besar daripada masa elektron dan posisi inti-inti yang tetap disebut
aproksimasi Born-Oppenheimer.

5.2 Teori Orbital Molekul


Dalam teori orbital molekul elektron-elektron dipandang menempati orbital-orbital
molekul yang meluas ke seluruh inti-atom di dalam molekul tersebut. Penempatan
elektron dalam orbital-orbital tersebut dimulai dari tingkat energi yang paling rendah
mengikuti prinsip Pauli.Bertitik tolak dari pandangan bahwa hanya elektron-elektron
valensi yang berperan dalam ikatan antar atom, maka orbital-orbital atom yang ditempati
oleh masing-masing elektron valensi berkontribusi di dalam suatu orbital molekul. Untuk
itu Roothaan (1951) mengemukakan bahwa suatu orbital molekul bisa dipandang sebagai
kombinasi linier dari seluruh orbital atom yang ditempati oleh elektron-elektron valensi
(linear combination of atomic orbitals, LCAO). Jika orbital-arbital atom dari N buah
elektron valensi adalah φ1, φ2, φ3,……,φN, maka orbital molekulke-ndapat dibentuk
seperti:
 n   c jn j ; j  1, 2, .........., N . (5.7a)
j

di mana cnj adalah koefisien bagi orbital atom jdi dalam orbital molekul n. Dengan N
buah orbital atom itu, diperoleh N buah orbital molekul.
Jika suatu orbital molekul dinormalisasi, maka dipenuhi  * dv  1 sehingga
berlaku
 c
i j
*
in c jn S ij  1 (5.7b)

dengan
Sij   i* j dV (5.7c)
disebut integral overlap.
Dalam keadaan dasar seperti diperlihatkan pada Gambar 5.1, untuk N yang genap
maka sesuai dengan prinsip Pauli, ½N buah orbital molekul saja yang diisi elektron, mulai
N N

N/2+2 N/2+2
N/2+1 N/2+1(LUMO)

N/2 N/2(HOMO)

N/2-1 N/2-1

1 1

Gambar 5.1 Orbital-orbital molekul dalam keadaan dasar dengan pengisianelektron sesuai
prinsip Pauli.

121
dari tingkat energi paling rendah. Inilah yang disebut sel tertutup (closed shell).
Orbital N/2 merupakan highest occupied molecular orbital (HOMO) dan N/2+1
merupakan lowest unoccupied orbital molecule (LUMO).
Setelah dapat menetapkan orbital-orbital molekul, selanjutnya fungsi gelombang
atau fungsi keadaan molekul diungkapkan sebagai determinan Slater(1929) dari seluruh
orbital molekul-spin. Orbital molekul ke-n, 𝜓𝑛 , yang ditempati oleh elektron ke-𝜇 dengan
fungsi spin 𝜒 dituliskan seperti 𝜓𝑛 𝜇 𝜒(𝜇). Jadi, fungsi keadaan dasar molekul dengan
jumlah elektron N yang genap adalah:

 1 (1) (1)  1 (1)  (1)  2 (1) (1)  2 (1)  (1).... ........ N / 2 (1)  (1)

1  1 (2) (2)  1 (2)  (2)  2 (2) (2)  2 (2)  (2).......... N / 2 (2)  (2)
o  (5.8)
N! .....................................................................................................

 1 ( N ) ( N )  1 ( N )  ( N )  2 ( N ) ( N )  2 ( N )  ( N )...... N / 2 ( N )  ( N )

Fungsi keadaan di atas telah memenuhi syarat antisimetrik bagi sistem elektron sebagai
fermion. Untuk orbital molekul 𝜓𝑛 , yang harus ditentukan adalah koefisien-koefisien
{cnj} dalam persamaan (5.7a), sekaligus dengan energi yang berkaitan dengan orbital
molekul bersangkutan, n.
Misalkan Fˆ (  ) adalah Hamiltonian efektif elektron tunggal ke-μ maka berlaku
persamaan Scchrödinger,
Fˆ ( ) ( )   ( ) (5.9)

 adalah energi orbital molekul. Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan (5.7a)


diperoleh persamaan sekuler

 (F
j
ij  S ij ) c j  0; i, j  1,2,....., N . (5.10a)

dengan
Fij   i Fˆ j dV ; Sij   i j dV (5.10b)

Dalam bentuk matriks, persamaan (5.10a) adalah

 F11  S11 F12  S12 ............F1N  S1N  c1 


  
 F21  S 21 F22  S 22 ........... F2 N  S 2 N  c 2 
    0 (5.10c)
 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .........  ... 
 F  S F  S ........ F  S  c N 
 N1 N1 N 2 N2 NN NN 

Daripersamaan seperti (5.10b) di atas berlaku determinan berikut:

F11  S11 F12  S12 ............F1N  S1N


F21  S 21 F22  S 22 ........... F2 N  S 2 N
0 (5.11)
.....................................................................
FN 1  S N 1 FN 2  S N 2 ........ FNN  S NN

122
Jika semua Fijdan Sijdiketahui maka dari determinan itu akan diperoleh N buah harga
energi orbital molekul: 1,  2,…..,  N. Selanjutnya, dengan mensubstitusikan setiap harga
energi  n ke persamaan (5.10c) dan mengingat normalisasi dalam persamaan (5.7b) akan
dihasilkan satu set harga-harga koefisien, yakni c1n, c2n, ….,cNn dengan mana fungsi n
N
dibentuk berdasarkan persamaan (5.7a) yakni  n   cin i .
i 1

Jika orbital-rbital atom  i  ortonormal maka persamaan (5.7b) menjadi lebih


sederhana, yakni
1 jika i  j;
 cin* c jn  ij   (5.12a)
ij 0 lainnya.

Persamaan sekuler (5.10b ) menjadi sederhana pula,

 F11   F12 ...........F1N  c1 


  
  
 F21 F22   .......... F2 N  c 2 
    0 (5.12b)
 ..............................................  ... 
  
 F    c N 
 N1 F N2 ..........F NN 
dan determinan
F11   F12 ...........F1N

F21 F22   .......... F2 N


0 (5.12c)
..............................................

FN 1 FN 2 ..........FNN  

Persamaan (5.12) di atas sangat mudah diselesaikan dengan menggunakan MATLAB.

5.3 Molekul Ion Hidrogen


Molekul ion H 2 mempunyai dua inti proton, sebutlah a dan b dengan sebuah elektron
seperti diperlihatkan dalam Gambar 5.2. Dalam keadaan dasar elektron menempati
orbital-orbital atom 1sa dan 1sb . Dengan kedua orbital atom itu, dibentuk orbital molekul
seperti
  c11sa  c21sb (5.13)

dengan c1 dan c2 akan ditentukan kemudian.


-e

ra rb
a b
+e R +e
Gambar 5.2Molekul ion hidrogen.
Dengan hanya sebuah elektron maka Hamiltonian ion hidrogen adalah:
123
2 2 e2 e2
Hˆ      (5.14)
2m 4 o ra 4 o rb

Selanjutnya, sesuai dengan persamaan (5.10c), persamaan sekuler adalah

 H 11   H 12  S  c1 
  
    0 (5.15a)
  
 H 21  S H 22    c 2 
dengan
H ij    i* Hˆ  j dv
(5.15b)
S    i* j dv
Determinan adalah
H 11   H 12  S
0
H 21  S H 22  

Karena H11=H22, dan H12=H21, maka diperoleh

( H11   ) 2  ( H12  S ) 2  0
H11    ( H12  S )

sehingga kedua harga energi orbital molekul adalah

H 11  H 12 H  H 12
1  ;  2  11 (5.16)
1 S 1 S

Dengan mensubstitusikan masing-masing energi ke persamaan sekuler (5.15a) dan


menggunakan normalisasi seperti dalam persamaan (5.7b) akan diperoleh

1 1
c11  c21  ; c12  c22 
2  2S 2  2S (5,17)

Selanjutnya orbital molekul masing-masing energi 1 dan 2 adalah

1 
1
 1s a   1 sb 
2  2S
(5.18)
2 
1
 1s a   1s b 
2  2S

124
Contoh 5.1 Perhitungan S, H11 dan H12.
a) S
S   1s 1s dV
a b

1
Dengan orbital atom 1s  ao3 / 2 e r / ao dari hidrogen, lihat persamaan (2.50a), maka

1
S   1sa 1sb dV  ao3  e ( ra rb ) / ao dV (5.19)

Integral dapat diselesaikan dengan transformasi ke koordinat elliptik; lihat Gambar 5.3.

(,υ,)

ra
rb

a b
0 z
(0,0,-½R) (0,0,½R)
y

Gambar 5.3 Molekul ion hidrogen dalam koordinat elliptik.

Hubungan antara koordinat Cartesian dan elliptik adalah sebagai berikut.

ra  rb r r
 ; v a b
R R
x  12 R (  2  1)(v 2  1) cos  ;

y  12 R (  2  1)(v 2  1) sin  ; z  12 Rv (5.20)


dV  18 R 3 (  2  v 2 )d dv d ;
1    ;  1  v  1; 0    2

Dengan demikian maka integraloverlap dalampersamaan (5.19) menjadi

  21 1   1 2
R3  R / ao R3  R / ao
S    
    8a 3        d
2 2 2
e dv v dv d e d ( v ) dv
4a o3 1  1 1  o 1 1 0

R3

 R / ao
 21 1  R3

 R / a o 2 R3

 3 
e    dv   v 2
dv  d  3 
e  d  3 
e  R / ao d
4a o 1  1 1  2a o 1 6a o 1

Hasilnya adalah :
 R 1  R    R / ao
2

S ( R)  1      e (5.21)
 ao 3  ao  

125
b) H11
H 11   1*sa Hˆ 1sa dV
 2 2 e2 e2 e2 
 
1*sa

 2m     1s dVa
 a
 e 4 r
o a 4 r
o b 4 0 ab 
R
 2 2 e2  e2
  1*sa      1sa dVa   1*sa 1sa dVa
 2 me 4 r
o a  4 r
o b

Suku pertama adalah energi keadaan dasar atom hidrogen, EH=-13,6 eV, sehingga

H11  EH  P (5.22a)
dan Padalah
e2
P   1*sa 1s dVa .
4 o rb a

Dengan menggunakan orbital atom hidrogen 1s maka

e2 1 e 2 a03 1
P
4 o  1sa
rb
1sa dVa 
4  o
2  e 2 ra / ao dVa
rb

Dalam koordinat elliptik P itu adalah

e 2 a o3  R (   ) / ao 2 R3 2
P
4 2  o
e R (   v) 8
(   v 2 )d dv d

1
e 2 a o3 2R 2  (   ) R / ao

4 2  o 4
 e (   v) d dv
1 1

e2   R   2 R / ao 
P 1  1  e  (5.22b)
4 o R   a0  
c) H12
H 12   1sa Hˆ 1sb dV
 2 e2 e2 
  1sa   2   1s dV
 b
 2m e 4 o ra 4 o rb 
 2 2 e2  e2 1
  1sa     1s dV 
   1sb dV
4 o ra 
1s
 2me  4 r
b a
o b

e2 1
 E H  1sa 1sb dV 
4 o  a rb
 1s 1sb dV

H12  EH S  Q (5.23a)

126
e2 1 e2 1 1
Q
4 o   1s a
rb
1sb dV  3 
4 o a o
e ( ra  rb ) / ao dV
rb
e2 1 2 R3 2
4 o a o3 
 R / ao
 e (   v 2 )d dv d
R(   v) 8
1
e 2 a o3 2R 2
e
 R / ao
 (   v)d dv
4 o  4 1 1

e2  R
Q 1  e  R / ao (5.23b)
4 o ao  a0 

Dari hasil-hasil perhitungan di atas tampak bahwa S, P dan Q bergantung hanya pada
jarak antara kedua proton saja. Substitusi H11, H22 dan H12 ke persamaan (5.16)
menghasilkan
PQ
1  EH 
1 S
(5.24)
PQ
 2  EH 
1 S

Karena P, Q dan S adalah besaran-besaran positif maka 1<2; jadi 1 adalah energi rbital
molekul 1 dan 2 adalah energi orbital molekul 2. Energi orbital sebagai fungsi jarak
antara kedua inti, R, diperlihatkan dalam Gambar 5.4. Terlihat, energi orbital molekul 1
mencapaiminimum jika jarak antara inti R≈2,5 a0=1,33 Å. Pada jarak itu 1=-18,08 eV
dan 2=-7,90 eV.
0.1

0.05 2
1
-EH(au)
00
0 2 4 6 8 10
-0.05 R (au)

-0.1
Gambar 5.4 Energi orbital molekul ion hidrogen; EH=-0.5 au, energi 1 au=27,2 eV,
jarak 1 au=0,53 Å.

Penggambaran energi-energi orbital berikut orbital molekul bersangkutan sesuai


dengan persamaan (5.18) adalah seperti Gambar 5.5. Orbital molekul 1 disebut bonding
dan 2 disebut anti-bonding.
Energi molekul ion H2 dihitungsebagai berikut. Karena hanya ada satu elektron,
maka orbital molekul 1 merupakan keadaan dasar, sehingga energi ion itu adalah

127
2 2 (anti-bonding)

1 1 (bonding)
a) b)
Gambar 5.5 a) Energi-energi orbital molekul, dan b)penggambaran orbital molekul.

E0   1* Hˆ 1dV

 2 2 e2 e2 e2 
  1*        1dV
 2m 4 o ra 4 o rb 4 o R 


1
2  2S 

 *
1sa   * 

1sb   2 2
 
e2

e2 
   1s dV
4 o ra 4 o rb  1sa
 
 2me
b

1  *  2 2 e2  *  
2
e2 
2  2S   a  2m  1sb  2m
 
 1s      dV      2
  dV 
4 o ra  1sa 4 o rb  1sb
 2 2 e2   2 2 e2 
  1*sa     1s dV   1*s      dV
 2m 4 o rb  b b
 2m 4 o ra  1sa
e2 e2 e2
  1*sa 1sa dV   1*sb 1sb dV   1*sa 1sb dV
4 o rb 4 o ra 4 o rb
e2 
  1*sb 1*sa dV 
4 o rb 

1
2EH (1  S )  2( P  Q)
2  2S
atau
PQ
E0  E H   1 (5.25)
1 S

Kerapatan elektron pada setiap orbital molekul adalah  1 dan  2 . Dengan


2 2

persamaan (5.18) diperoleh,

12s  12s  21s 1s


1 
2 a b a b
;
2  2S
(5.26a)
12s  12s  21s 1s
2 
2 a b a b

2  2S

Pada titik tengah antara inti a dan inti b, ataura=rb=1/2 R , 1sa  1sb kerapatan itu adalah

128
212sa
1  ; 2  0.
2 2
(5.26b)
1 S

Jadi, jika elektron berada di titik ra=rb maka elektron itu menempati orbital molekul 1
dan kerapatannya maksimum.Tarikan dari kedua inti terhadap elektron membuat keadaan
menjadi stabil.

5.4 Molekul Hidrogen dalam Keadaan Dasar


Seperti diperlihatkan oleh Gambar 5.6 a), molekul H2 mempunyai dua elektron yang
masing-masing bergerak dalam potensial dua inti (proton) dan potensial antara mereka.
Karena molekul ini dibangun dari dua atom H, sebutlah Ha dan Hb, maka molekul ini
memiliki dua buah orbital molekul, seperti diperlihatkan dalam Gambar 5.6 b).
1 r12 2
-e -e
ra1 2 2
rb2
ra2 rb1
a 1 1
b
+e R +e
(a) (b)
Gambar 5.6 (a) Molekul hidrogen, dan (b) struktur elektronik.dalam keadaan dasar.

Dalam keadaan dasar kedua elektron menduduki orbital molekul 1 dengan spin 
dan  seperti diperlihatkan oleh Gambar 5.6(b). Karena total spin S=0 (singlet), maka
fungsi gelombang keadaan dasar molekul H2 adalah:

 1 (1) (1)  1 (1)  (1)


1
o 
2
 1 (2) (2)  1 (2)  (2) (5.27a)

 1 (1) 1 (2) (1)  (2)   (1) (2)


1

2
Orbital molekul dengan 1 sama dengan persamaan (5.18),

1 
1

1s a  1sb  (5.27b)
2  2S

Secara lengkap, Hamiltonian elektron-elektron dalam molekul H2 adalah:

e2
Hˆ  Hˆ c (1)  Hˆ c (2)  (5.28a)
4 o r12
dengan
2 2 e2
Hˆ c (  )      ;   1, 2;   a, b (5.28b)
2m  4 o r

129
Energi keadaan dasar molekul H2 dihitung sebagai berikut.

E0   o Hˆ o dV . (5.29)

 e2 
E 0  1 2  1 (1) 1 (2)  Hˆ c (1)  Hˆ c (2)   1 (1) 1 (2) dV1 dV2
 4 o r12 
  (1)  (2)   (2)  (1)  (1)  (2)   (2)  (1)
  ψ1* (1) Hˆ c (1)ψ1 (1) dV1  ψ1* (2)ψ1 (2) dV2   ψ1* (1)ψ1 (1) dV1  ψ1* (2) Hˆ c (2)ψ1 (2) dV2
e2
   ψ1* (1)ψ1* (2) ψ1 (1)ψ1 (2) dV1 dV2
4πε o r12

ψ (1)ψ1 (1) dv1   ψ1* (2)ψ1 (2) dv2  1 , maka persamaan di atas dapat dituliskan
*
Karena 1

seperti
E0  2 1  J 12 (5.30)
dengan
 1   ψ1* (1) Hˆ c (1) ψ1 (1) dV1   ψ1* (2) Hˆ c (2) ψ1 (2) dV2
(5.31a)
PQ
 EH 
1 S

yang sama dengan (5.24) dan J12 adalah energi interaksi antara kedua elektron:

e2
J 12    ψ1* (1)ψ1* (2) ψ1 (1)ψ1 (2) dV1 dV2 (5.31b)
4 o r12

Energi keadaan dasar pada persamaan (5.25) dari molekul ion H2 yang memiliki satu
elektron adalah energi orbital molekul  1 . Jika dibandingkan dengan energi keadaan dasar
pada persamaan (5.30) dari molekul H2 yang memiliki dua elektron, energi itu tidak
sekedar dua kali  1 tapi juga mendapat tambahan energi dari interaksi antara kedua
elektron J12. Interaksi ini merupakan energi potensial Coulomb dan J12 disebut integral
Coulomb elektro-elektron.
Perhitungan untuk integral Coulomb elektron-elektron dalam persamaan (5.31b)
adalah sebagai berikut.

e2
J12    ψ1* (1)ψ1* (2) ψ1 (1)ψ1 (2) dV1dV
4 o r12

 1s (1)  1s (1)1s (2)  1s (2) 4 o r12


2
 1 
2
e
 
 2  2S  a b a b

 1s (1)  1s (1) 1s (2)  1s (2) dV1 dV2
a b a b

130
   4e r
2
 1 
2
  1sa (1)1sa ( 2)  1sa (1)1sb ( 2)  1sb (1)1sa ( 2)  1sb (1)1sb ( 2)
 2  2S  o 12


 1sa (1)1sa (2)  1sa (1)1sb (2)  1sb (1)1sa (2)  1sb (1)1sb (2) dV1dV2 
2

 aa aa   aa ab   aa ba   aa bb   ab aa   ab ab   ab ba   ab bb 


 1 

 2  2S 
 ba aa   ba ab   ba ba   ba bb   bb aa   bb ab   bb ba   bb bb 

Karena aa aa  = bb bb  , aa bb  = bb aa  , aa ab  = ab aa  = ab bb  = ba aa  maka hasil
diatas dapat dinyatakan sebagai berikut.

 2aa aa   2aa bb   8aa ab   4ab ab 


 1 
J 12  (5.32)
 2  2S 

Suku pertama dalam peramaan (5.32) adalah integral satu pusat seperti yang telah
diturunkan untuk atom helium, yakni

aa aa     *
(1)1*sa (2)
e2
1s (1)1s (2) dV1 dV2 
5 e2
(5.33a)
4 o r12 8 4 0 a0
1sa a a

Suku kedua merupakan integral Coulomb dua pusat,

aa bb    *
(1) * e2
1s (1)1s (2)dV1 dV2
4 0 r12
1s a 1s a a b

(5.33b)
e2 1 1  1 11 3 1 2  2  
          e ;   R / a0
4 0 a0   2   8 4 6  

Suku ketiga adalah integral campuran dua-pusat

aa ab    *
(1)1*sa (2)
e2
1s (1)1s (2) dV1 dV2
4 o r12
1s a a b

(5.33c)
e 2 1  1 5     1 5  3  
  2    e    e ;   R / a0
4 0 2a0  4 8   4 8  

dan suku keempat adalah integral tukar dua-pusat

e2
ab ab   1*s (1)1*s (2) 1s (1)1s (2) dv1dv2
a b
4 o r12 b b

e2 1
 A(  )  B(  );   R / a0
4 0 5a0

131
A(  ) 
6

  ln  S 2
 E1 (4  ) S 2  2 E1 (2  ) SS ' 
 25 23 1 
B (  )       3 2   3  e  2  0
 8 4 3 


S '  S (  )  1    1
3
2
e 


e z
E1 ( x)   dz; (5.33d)
x
z
  0,57722 konstanta Euler

Integral-integral tersebut di atas dapat dilihat dalam Atkins et al. (2005).


Karena dua-pusat, maka mulai suku kedua hingga suku keempat bergantung pada
jarak antara kedua inti (R) seperti terlihat dalam persamaan (5.33b-d) sehingga jika
Rsuku-suku itu menuju nol dan yang tersisa di dalam J12 hanyalah suku pertama saja.
Jadi, untuk R energi total menjadi:

Eo  2 E H 
1
aa aa . (5.34)
2

Semestinya, jika R, molekul H2berdisosiasi dan berubah menjadi dua atom H dan
energinya menjadi 2EH saja. Jadi, cara perhitungan di atas tidak dapat menunjukkan
disosiasi molekul secara benar. Penjelasan tentang ketidak sesuaian tersebut adalah
sebagai berikut. Fungsi keadaan dalam persamaan (5.27a), bagian ruangnya dapat
dituliskan sebagai berikut:

o   1 (1) 1 (2) 
1
2(1  S )
 
1sa (1)  1sb (1) 1sa (2)  1sb (2) 
(5.35)

1
2(1  S )

1sa (1)1sa (2)  1sb (1)1sb (2)  1sa (1)1sb (2)  1sb (1)1sa (2) 

Suku pertama menyatakan kedua elektron berorientasi pada inti-a, tidak ada yang
berorientasi pada inti-b. Kedaan ini dapat disebut sebagai: H a  H b . Hal yang sama
dengan suku kedua: H a  H b . Suku ketiga dan keempat menggambarkan keadaan di mana
kedua inti membagi kedua elektron. Jadi, suku pertama dan kedua meggambarkan
keadaan ionik dan sisanya menggambarkan keadaan kovalen, yakni

1sa (1)1sa (2)  1sb (1)1sb (2)


ion  (5.36a)
2  2S 2
1sa (1)1sb (2)  1sa (2)1sb (1)
kov  (5.36b)
2  2S 2

sehingga fungsi keadaan molekul menjadi:

132
2(1  S 2 )
o  (kov  ion ) (5.36c)
2(1  S )

Fungsi gelombang ini memperlihatkan bobot yang sama bagi struktur ionik dan struktur
kovalen. Hal ini bertentangan dengan fakta di mana kejadian struktur ionik sangat kecil
kemungkinannya karena H2 adalah nonpolar. Lagipula, jika satu elektron berada di suatu
titik disekitar salah satu inti, maka peluang elektron lainnya untuk datang mendekati
elektron pertama cukup sangat kecil, karena adanya gaya tolak Coulomb. Jadi, posisi
elektron-elektron dalam suatu sistem elektron jamak seharusnya terkorelasi; oleh sebab
itu, fungsi gelombang yang benar adalah fungsi yang memperhitungkan korelasi
elektron. Di lain fihak, fungsi kov memperlihatkan korelasi elektron; bila satu elektron
berada di dekat inti-a maka elektron lain berada didekat inti-b. Dengan memandang
fungsi ini sebagai fungsi keadaan dasar, maka energi total adalah seperti :

 e2 
Eo   kov Hˆ c (1)  Hˆ c (2)  kov dV
 4 o r12 
(5.37)
2( P  SQ) aa bb  ab ab
 2EH  
1 S 2 1 S 2

dan penggambarannya seperti dalam Gambar 5.7 b.Sekarang jelas bahwa kecuali suku
pertama, suku-suku lain bergantung pada R dan menuju nol jika R. Ungkapan fungsi
keadaan seperti di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh teori ikatan valensi.
Eo (a)
2EH
(b)

Ro R
Gambar 5.7 Energi H2 dalam keadaan dasar, (a) berdasarkan persamaan (5.30) dan,
(b) berdasarkan persamaan (5.37).

5.5 Interaksi Konfigurasi


Energi keadaan dasar molekul H2 dalam persamaan (5.34) atau Gambar 5.7a
menunjukkan tidak menuju 2EH meskipun jarak antar inti R. Hal ini merupakan
akibat dari terabaikannya korelasi elektron dalam funggsi gelombang keadaan dasar.
Dalam metoda orbital molekul korelasi antara elektron-elektron dapat diperhitungkan
melalui interaksi konfigurasi, seperti yang akan dikemukakan di bawah ini untuk kasus
molekul H2.
Dalam keadaan dasar kedua elektron menempati orbital molekul 1.Fungsi
gelombang keadaan dasar itu seperti dalam persamaan (5.27)

 1 (1) 1 (2) (1) (2)   (2)  (1)


1
0  (5.38)
2

133
Kedua elektron dapat pula dieksitasikan ke orbital molekul 2.Fungsi keadaan eksitasi ini
adalah
 2 (1) 2 (2) (1)  (2)   (2)  (1)
1
2  (5.39)
2
Kedua fungsi di atas dipakai sebagai basis untuk membentuk persamaan sekuler. Dalam
hal ini berlaku S   0 Hˆ e 2 dv  0 . Dterminan sekuler seperti dalam persamaan (5.28b)
adalah sebagai berikut.
H 00  E H 02
0 (5.40)
H 20 H 22  E
atau
( H 00  H 22 )  ( H 00  H 22 ) 2  4 H 02
2

E (5.41)
2
di mana
H 00   0 Hˆ e 0 dV  21  J12
( 0)
(5.42a)
H 22   2 Hˆ e 2 dV 2 2  J12
( 2)
(5.42b)
H 02   0 Hˆ e 2 dV

e2 1 (5.42c)

4 o   1 (1) 1 (2) r12
 2 (1) 2 (2)dV1dV2  K12

Dalam persamaan (5.41) energi keadaan dasar diperoleh dengan memilih tanda negatif.
Untuk R akan diperoleh

( 0)
J 12  J 12
( 2)
 K12  12 aa aa 
(5.43)
H oo  H 22  2 E H  1
2
aa aa 
sehingga untuk R energi dalam persamaan (5.41) adalah E0=2EH seperti diperlihatkan
oleh Gambar 5.7b. Jadi, kelemahanmetoda orbital molekul dapat diatasi dengan
memperhitungkan korelasi elektronmelalui interaksi konfigurasi.

5.6 Molekul Hidrogen dalam Keadaan Tereksitasi


Berdasarkan teori orbital molekul, molekul H2 memiliki dua orbital molekul 1 dan 2
seperti diperlihatkan dalam Gambar 5.6b. Dalam keadaan dasar kedua elektron
menduduki orbital 1. Keadaan eksitasi pertama diungkapkan dengan menempatkansatu
elektron di 2. Sehubungan dengan spin, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi seperti
diperlihatkan dalam Gambar 5.8, paralel (S=1, triplet) atau anti-paralel (S=0, singlet).

2

1
(a) (b)
Gambar 5.7 Dua kemungkinan posisi spin elektron dalam keadaan tereksitasi,
(a) singlet, dan (b) triplet.

134
Seperti sudah disingung sebelumnya, fungsi gelombang keadaan singlet
mengandung fungsi spin antisimetrik sehingga fungsi ruangnya harus simetrik. Dengan
demikian, maka fungsi keadaan tereksitasi singlet secara lengkap adalah:

1

1
 1 (1) 2 (2)   1 (2) 2 (1) (1) (2)   (1) (2)
2
 (1) (1)  2 (1)  (1)  1 (1)  (1)  2 (1)  (1)  (5.44)
1 1 
   
2 

 1 ( 2) ( 2)  2 ( 2)  ( 2)  1 ( 2)  ( 2)  2 ( 2)  ( 2) 

Untuk keadaan tereksitasi triplet, fungsi keadaan tereksitasi itu adalah salah satu
dari tiga buah fungsi yang mungkin, yakni

 (1) (2)

3

1
 1 (1) 2 (2)  1 (2) 2 (1) 1  (1) (2)   (1) (2) (5.45)
2  2
 (1)  (2)

Ketiga fungsi gelombang tersebut memiliki energi yang sama (degenerasi rangkap tiga).
Karena multiplisitas spinnya lebih tinggi, maka menurut aturan Hund energi keadaan
eksitasi triplet lebih rendah daripada keadaan eksitasi singlet.
Energi keadaan tereksitasi singlet adalah:

1
Eex   1 Hˆ 1dV

yang dapat dihitung sebagai berikut.

Eex    (1) 2 (2)   1 (2) 2 (1)Hˆ e  1 (1) 2 (2)   1 (2) 2 (1)dV1dV2


1 1
4 1

  (1)  (2)   (1) (2)  (1)  (2)   (1) (2)


E ex    1 (1) 2 (2)  1 (2) 2 (1)Hˆ e  1 (1) 2 (2) 1 (2) 2 (1) dV1dV2
1 1
2
(5.46)
 2 I 1  I 2  I 3  I 4 
1

I1   1 (1) 2 (2) Hˆ  1 (1) 2 (2)dV1dV2

e2
  1 (1) 2 (2)[ Hˆ c (1)  Hˆ c (2)  ] 1 (1) 2 (2)dV1dV2
4 o r12
  1 (1) Hˆ c (1) 1 (1)dV1  2 (2) 2 (2)dV2   2 (2) Hˆ c (2) 2 (2)dV2  1 (1) 1 (1)dV1

e2
  1 (1) 2 (2)  1 (1) 2 (2)dV1dV2 (5.47a)
4 o r12
  1   2  J12

135
I 2   1 (1) 2 (2) Hˆ 1 (2) 2 (1)dV
 e2 
  1 (1) 2 (2)  Hˆ c (1)  Hˆ c (2)   1 (2) 2 (1)dV
 4 o r12 
(5.47b)
  1 (1) Hˆ (1) 2 (1)dV1  2 (2) 1 (2)dV2   2 (2) Hˆ (2) 1 (2)dV2  1 (1) 2 (1)dV1
c c

e2 e2
  1 (1) 2 (2)  2 (1) 1 (2)dV1dV2   (1) (1)dV  2 (2) 1 (2)dV
4 o r12 4 o r12
1 2

 0  0  K12  0
I 3   1 (2) 2 (1) Hˆ 1 (1) 2 (2)dV1dV2  K12 (5.47c)

I 4   1 (2) 2 (1) Hˆ  1 (2) 2 (1)dV1dV2  1   2  J12 (5.47d)

K12 dalam persamaan (5.47c) disebut integral tukar. Akhirnya diperoleh

1
Eex   1   2  J 12  K12 (5.48)

Energi keadaan eksitasi triplet, dengan menggunakan salah satu fungsi gelombang dalam
persamaan (5.45) adalah:
3
Eex   1   2  J 12  K12 (5.49)

Terlihat bahwa keadaan eksitasi triplet berenergi lebih rendah daripada singlet dengan
beda energi sebesar 2 K12; lihat Gambar 5.9.
1
E ex
1

3
Eex 3

E0 0

Gambar 5.9 Energi keadaan dasar, tereksitasi singlet dan triplet.

5.7 Molekul Diatomik Homonuklir


Bila kita mampu mendekatkan dua buah atom yang sama, yang masing mempunyai
orbital atom φa dan φb (dua orbital atom yang sama dari dua inti yang sama), akan
terbentuk molekul dengan orbital molekul φa + φb (bonding) dan φa -φb (antibonding)
seperti diperlihatkan dalam Gambar 5.10.
2=c22(φa-φb)
φa φb

1=c11(φadari
Gambar 5.10 Pembentukan orbital molekul +φb)dua buah orbital atom dalammolekul
diatomik homonuklir.

136
Andaikanlah kedua inti molekul berada pada sumbu-z.Maka posisi elektron dapat
diungkapkan dalam koordinat eliptik (,,); lihat Gambar 5.3. Analogdengan ortbital
atom,maka suatu orbital molekul dapat diungkapkan dalam variabel terpisah seperti
(,,)=F(,)(). Dalam proses pemisahan variable itu berlaku:

 2 ( ) 1
 2 ( )   ( )  exp(  i ) (5.50)
 2
2
Operasi momentum sudut L̂ z terhadap () adalah
 ( )
Lˆ z  F (  , ) Lˆ z ( )  F (  , )(i)    . (5.51)

Jadi,  merupakan bilangan kuantum magnetik mirip dengan mℓ dalam atom. Oleh sebab
itu  dapat dipakai untuk mengkarakterisasikan suatu orbital molekul; untuk itu diberikan
simbol bagi setiap harga , yakni

= 0, 1, 2, 3, ……..
Simbol orbital: , , , , ………

Dalam Tabel di bawah ini diberikan beberapa contoh:

Orbital molekul Simbol ml dari orbital atom 

1sa+1sb  g 1s
1sa-1sb  u 1s 0 0

2 p z a  2 p zb  g 2p

2 p z a  2 p zb u 2p
2 p xa  2 p xb
u 2p
2 p ya  2 p yb 1 1

2 p xa  2 p xb
g 2p
2 p y a  2 p yb

Indeks g dan u masing-masing menyatakan simetrik dan tidak simetrik terhadap inversi
melalui pusat simetri molekul, seperti diperlihatkan oleh Gambar 5.11 Untuk molekul
diatomik-berbeda inti tidak digunakan simetri; orbital-orbital molekulnya cukup
dinyatakan seperti 1s, 2s, 2p dan sebagainya.
Energi orbital molekul bergantung pada jenis orbital atom yang membentuknya, dan
overlap antara orbital-orbital atom tersebut. Misalnya, g1s dan u1s berenergi jauh lebih
rendah g2s karena energi orbital atom φ1s jauh lebih rendah daripada φ2s. Demikian pula
g2s, energinya lebih rendah daripada g2p. Sehubungan dengan overlap, dua buah orbital
φ2px atau dua buah orbital φ2py memiliki overlap lebih kecil daripada overlap darisejenis
dari dua atom yang sama. dua orbitalφ2s atau dua orbital φ2pz, sehingga energi g2p dan

137
u2plebih rendah daripadag2p dan u2p. Dengan alasan-alasan tersebut, maka urutan
energi adalah:

 g 1s u 1s g 2s u 2s g 2 p u 2 p g 2 p u 2 p. (5.52)

. + - u1s=1sa- 1sb
+ + -
+
1sa 1sb + g1s=1sa + 1sb

(a)
- + + - u2p=2pza-2pzb

- + + + -
2pz 2pz
a - + - g2p=2pza+2pzb
(b)b

+ -
2pya - 2pyb
+ + - +
+
- - +
2pya + 2pyb
2pya 2pyb
-
(c)

Gambar 5.11 Pembentukan orbital molekul bonding dan antibonding dari dua orbital atom

Untuk molekul dengan beberapa elektron, total momentum sudut orbital juga
mengkarakterisasikan keadaan molekul tersebut. Misalnya:

  = 0, 1, 2, 3, ……..
Simbol: , , , , ………

Simbol itu diperlengkapi dengan multiplisitas spin (2S+1) dan simetrinya (g atau u),
misalnya 2 S 1  g . Sebagai contoh, dalam table di bawah ini diperlihatkan keadaan dasar
beberapa molekul diatomik homonuklir lengkap dengan energi dissosiasinya (Gaydon,
1953):
Molekul Konfigurasi keadaan dasar Simbol Energi
dissosiasi (eV)
H2+ (g1s) 2
g 2,65
H2 (g1s)2 1
g 4,48
He2+ (g1s)2(u1s)1 2
u 3,10

138
He2 (g1s)2(u1s)2 1
g -
Li2 (g1s)2(u1s)2(g2s)2 1
g 1,14
Be2 [Li2] (u2s)2 1
g -
B2 [Li2] (u2s)2(u2p)2 3
g 3,00
C2 [Li2] (u2s)2(u2p)4 1
g 4,90
N2 [Be2] (u2p)4(g2p)2 1
g 9,60
N2+ [Be2] (u2p)4(g2p)1 2
g 8,73
O2 [Be2] (g2p)2 (u2p)4(g2p)2 3
g 5,88
O2+ [Be2] (g2p)2 (u2p)4(g2p)1 2
g 6,48
Fe2 [Be2] (g2p)2 (u2p)4(g2p)4 1
g 1,60

Berikut ini akan dikemukakan perubahan suatu orbital molekul menjadi orbital
atom jika inti-inti disatukan. Pandanglah orbital molekul g1s (=φ1sa+φ1sb) dari H2+. Jika
proton dan atom H dalam molekul ini disatukan (R=0) maka H2+ akan berubah menjadi
ion He+ dan orbital molekul g1s berubah menjadi orbital atom 1s dari atom He. Tetapi
orbital u1s (=φ1sa-φ1sb) tidak berubah menjadi 2sdari helium karena berbeda simetri,
tetapi berubah menjadi salah satu dari orbital 2p. Untuk jelasnya, perhatikan Gambar
5.12. Dikatakan bahwag1s berkorelasi dengan φ1s dan u1s berkorelasi dengan φ2p.
Dengan cara yang sama, terlihat bahwa g2s berkorelasi dengan φ2s, danu2s berkorelasi
dengan φ3p. Dapat disimpulkan bahwa dengan mempersatukan inti-inti molekul, orbital-
orbital molekul bonding berubah menjadi orbital atom dengan bilangan kuantum yang
sama, sedangkan orbital molekul anti-bonding berubah menjadi orbital atom disertai
dengan peningkatan bilangan kuantum.
3du
u2p
3d 3dg
g2p
3dg
3pu 2p
u2p
3p
3pu
g2p
3s
2pu u2s
2p 2s
2pu g2s
2sg
2s u1s
1s
1sg
g1s
1s
Atom-atom
Atom-atom dipersatukan Molekul terpisah R=
R=0

Gambar 5.12 Korelasi orbital untuk molekul diatomik homonuklir.

Suatu cara untuk menggambarkan diagram korelasi adalah aturan tak-menyilang


(non-crossing rule), yang menyatakan bahwa energi-energi dari orbital-orbital molekul
bersimetri sama tidak bersilangan di dalam diagram korelasi. Dalam Gambar 5.12 terlihat
bahwa orbital-orbital g tak satupun yang berpotongan, demikian pula orbital-orbital u.
Sehubungan dengan itu, Alden (1979)membuktikan bahwa dua keadaan yang memiliki
simetri yang sama tidak bisa bersilangan pada saat jarak kedua inti dalam molekul
mengalami perubahan.
139
Sebagai bahan analisa, misalkan φ1 dan φ2 masing-masing adalah orbital atom dari
dua atom yang membentuk molekul. Bila kedua atom didekatkan satu sama lain untuk
membentuk molekul, maka orbital molekul yang terbentuk adalah

  c11  c2 2

di mana c1 dan c2 ditentukan untuk energi E minimum. Karena integral overlap


S11=S22=1, dan S12=0, maka melalui determinan Slater diperoleh energi orbital molekul:

  12 ( H11  H 22 )  12 ( H11  H 22 ) 2  4H122

Karena ada dua harga energi, 1 dan 2 maka ada dua buah orbital molekul, 1 dan
2. Jika φ1 dan φ2berbeda simetri maka H12=0, sedangkan dengan mengatur jarak antar
inti bisa dicapai H11=H22 sehinga 1=2. Dalam keadaan ini persilangan dalam diagram
bisa terjadi. Jika φ1 dan φ2bersimetri sama, maka H120 dan 12 sehingga tidak terjadi
persilangan.

5.8 Molekul Diatomik Heteronuklir


Dalam suatu molekul diatomik yang kedua intinya berbeda, orbital molekul dibangun
sebagai kombinasi linier dari dua orbital atom yang berbeda. Di dalam molekul LiH, atom
H menyumbangkan orbital atom φ1s dan atom Li menyumbang φ2s; dalam molekul HF,
atom H menyumbangkan orbital φ1s dan atom F menyumbangkan orbital 2pz. Dalam hal
ini, φ1s dengan φ2s atau φ2pz dapat dikombinasikan karena keduanya sama-sama memiliki
bilangan kuantum magnetik m=0. Orbital atom φ2px atau φ2py yang memiliki m=1 tidak
bisa berkombinasi dengan 1s karena tidak akanmenghasilkan overlap.
Tinjaulah molekul LiH; konfigurasi elektron dalam atom Li adalah 1s22s1sehingga
orbital molekul dibentuk dengan orbital 2s dari atom Li dan orbital 1s dari atom
H, yakni:
  c11sH  c2 2 sLi (5.53)

Misalkan Ĥ adalah hamiltonian elektron tunggal, maka determinan sekuler untuk sistem
dua elektron ini adalah:

H 11   H 12S
0 (5.54)
H 21  S H 22  

dari mana diperoleh kedua energi orbital molekul:


1
( H 11  H 22  2H 12 S )
2(1  S 2 ) (5.55)
 ( H 11  H 22  2 H 12 S )  4(1  S )( H 11H 22  H )
2 2 2
12 
dengan

140
H 11   1sH Hˆ 1sH dV

H 22    2 sL Hˆ  2 sL dV
(5.56)
H 12  H 21   1sH Hˆ  2 sL dV

S   1sH  2 sL dV

Menurut Karo (1959),untuk jarak inti-inti 1,6 Å,berlaku harga-harga berikut:

H11  13,6 eV, H 22  9,2 eV , H12  5,8 eV , S  0,39.

Substitusi harga-harga itu ke persamaan (5.55) akan menghasilkan:

1  13,65 eV ;  2   7,90 eV (5.57)

Substitusi 1 ke persamaan sekuler, akan memberikan c2/c1=0,11. Karena


1ternormalisasi, maka c12  c22  2c1c2 S  1; selanjutnya diperoleh c1=0,954 dan
c2=0,105 dan akhirnya diperoleh orbital molekul pertama:

 1  0,954 1s  0,105 2s


H L
(5.58a)

Dengan cara yang sama, substitusi 2 ke persamaan sekuler menghasilkan

 2  0.5161s  1.081 2s
H L
(5.58b)

Dalam keadaan dasar kedua elektron menempati orbital mlekul 1; kerapatan
elektron pada orbital ini adalah


 0  2 12  2 (0,954) 2 12s  (0,105) 2  22s  2(0,954)(0,105)1s  2s
H L H L
 (5.59)

Perhitungan untuk 1sH2sL mengikuti pendekatan Mulliken:

1sH  2 sL  12 S (12sH   22sL ) (5.60)

Substitusi persamaan (5.60) dengan S=0,39 ke (5.59) menghasilkan:

 o  1,912s  0,1 22s (5.61)


H L

Kerapatan ini menunjukkan, bahwa dengan dua elektron ada 1,9 di sekitar inti H dan 0,1
di sekitar inti Li. Artinya, atom H kelebihan 0,9 elektron dan atom Li kekurangan 0,9
elektron, yang secara simbolik dituliskan seperti

Li+0,9H-0,9

Hasil perhitungan di atas secara kualitatif sesuai dengan pengamatan bahwa dalam

141
keadaan dasar molekul LiH bersifat ionik.
Sekarang, andaikan sebuah elektron tereksitasi ke orbital molekul 2; kerapatan
elektron dalam keadaan tereksitasi ini adalah

 eks   12   22  (0,954) 2 12s  (0,105) 2  22s  2(0,954)(0,105)1s  2 s  


(0,516)  
H L H L

2 2
1s H  (1,081) 
2 2
2 sL  2(0.516)(1,081)1sH  2 sL (5.62)
 0,99912sH  1,001 22s L

Artinya, ada 0,999 elektron di atom H dan 1,001 elektron di atom Li; ini dituliskan seperti

Li-0,001H+0,001

Kelebihan dan kekuranga elektron di atas tidak cukup siknifikan untuk menyatakan ikatan
ionik; jadi dalam keadaan tereksitasi seperti di atas ikatan dalam molekul LiH adalah
ikatan kovalen.
Dari hasil-hasil di atas terlihat bahwa meskipun kita telah menggunakan
pendekatan-pendekatan yang agak kasar, namun hasil-hasil tersebut secara kualitatif
benar. Orbital molekul 1 dalam persamaan (5.58) dan 2 dalam persamaan (5.62)
dibangun dari orbital-orbital atom φ1sH dan φ2sL yang masing-masing memiliki ml=0; jadi
kedua orbital molekul memiliki simetri-. Pembentukan kedua orbital molekul itu
mengikuti diagram seperti dalam Gambar 5.13.
2=c21φa-c22φb
φb
φa

1=c11φa+c12φb
Gambar.5.13 Pembentukan orbital molekul dari dua buah orbital atom
dalam molekul diatomik heteronuklir.

Atom-atom dipersatukan R=0 Molekul Atom-atom terpisah R=


3d
3d 3d 2pB

3d 2pB 2pB


3p 2pA
3p 2pA
3p 2pA

3s 3s
2s 2sB
2p 2sAB
2p 2sA
2p
2s 2s 1sB 1sB
1sA
1s
1s 1sA

Gambar 5.14 Korelasi orbital untuk molekul diatomik heteronuklir.

142
Orbital 1 didominasi oleh φ1sH sehingga jika inti-inti H dan Li dipisahkan (R=)
maka 1 akan berubah menjadi φ1sH. Di lain fihak, penyatuan kedua inti (R=0) akan
membentuk atom Be dengan orbital φ2s. Proses yang sama mengalihkan 2 menjadi φ2sL
pada R= dan φ2p pada R=0. Perubahan-perubahan itu tidak bersilangan karena kedua
orbital molekul itu memiliki simetri yang sama. Dalam Gambar 5.14 diperlihatkan
diagram korelasi untuk molekul diatomik heteronuklir yang dibentuk dari dua atom, A
dan B .

Energi disosiasi
Energi potensial antara dua ion dari molekul diatomik heteronuklir secara empirik adalah

e2 b
V (r )    (5.63)
4 0 r r9

Di sini b/r9 merupakan koreksi terhadap energi tarik Coulomb antar kedua ion, di mana
pangkat 9 merupakan fitting terbaik terhadap data eksperimen. Harga minimum dari
energi potensial itu diperoleh dari dV / dr r0 =0,. Dari sini diperoleh b  e 2 r08 / 36 0
sehingga harga minimum energi potensial itu adalah

8  e2 
V (r0 )     (5.64)
9  4 0 r0 

Harga positifnya energi potensial inilah yang disebut energi dissosiasi molekul, yakni
energi yang diperlukan untuk mendissosiasikan molekul dari keadaan dasarnya menjadi
dua ion yang diam dengan jarak tak terhingga. Misalnya untuk kasus NaCl, energy
dissosiasi adalah energi yang diperlukan untuk memisahkan molekul menjadi ion Na+ dan
-
Cl . Pada keadaan dasar NaCl, r0=2,51Å, energi dissosiasinya 5,12eV.
Jika diinginkan energi dissosiasi untuk memisahkan molekul NaCl menjadi dua
atom netral Na dan Cl maka harus disadari bahwa untuk mengionisasi Na diperlukan
energi 5,14 eV (lihat Apendiks 4.1) sedangkan pembentukan ion Cl- akan melepaskan
energi3,763 eV (lihat Apendiks 4.2). Maka sistem yang terbentuk oleh Na+ dan Cl- pada
jarak pisahtak terhingga mempunyai kelebihan energi sebesar 5,14eV -3,63 eV=1,51 eV.
Itu berarti, energi dissosiasi NaCl jika terpisah menjadi atom-atom netral adalah 5,12 eV-
1,51eV=3,61 eV; hasil ini lebih besar dari eksperimen. Tabel di bawah ini
memperlihatkan beberapa molekul diatomik dengan jarak antar inti (r0), energi dissosiasi
(D) dan dipol listrik permanenµ0.

Molekul r0 (Å) D (eV) µ0 (D) Molekul r0 (Å) D (eV) µ0 (D)


H2 0,74 4,48 0 NaCl 2,51 3,58 8,5
Li2 2,67 1,03 0 HCl 1,27 4,43 1,07
O2 1.21 5,08 0 LiH 1,60 2,5 5,88
N2 1,09 7,37 0 KBr 2,94 3,96 1,29
Cl2 1.99 2,47 0 KF 2,55 5,9 8,6
HI 1,61 3,06 0,38 KCl 2,79 4,92 8,0
CO 1,13 11,11 0,12 KI 3,23 3,0 9,24
NO 1,15 5,3 0,15 CsCl 3,06 3,76 9,97

143
Soal-soal
5.1 Kebergantungan S, P, dan Q pada R dalam molekul ion 𝐻2+ dapat dilihat pada
persamaan (5.21), (5.22b) dan (5.23b). Buatlah program komputer untuk
menghitung dan menggambarkan ketiganya sebagai fungsi R.

5.2 Dengan menggunakan program komputer dalam soal nomor 5.1, selanjutnya
gambarkan energi elektron 1 dan 2 sebagai fungsi R.

5.3 Hitunglah energi keadaan dasar H2+ untuk jarak R=2ao di mana ao adalah jari-jari

Bohr. Selanjutnya hitung pula energi keadaan dasar molekul H2 dengan R yang
sama.

5.4 Energi keadaan dasar molekul H2 diperlihatkan oleh persamaan (5.30). Dengan
menggunakan semua integral-integral dalam persamaan (5.31) - (5.33) buatlah
program komputer untuk menggambarkan energi keadaan dasar sebagai fungsi R.

5.5 Energi keadaan dasar molekul H2 diperlihatkan oleh persamaan (5.30). Dengan
menggunakan semua integral-integral dalam persamaan (5.31) - (5.33) buatlah
program komputer untuk menggambarkan energi keadaan dasar sebagai fungsi R.

5.6 Buktikanlah persamaan (5.37)

5.7 Kemukakanlah pandangan teori orbital molekul bagi molekul ion HeH+. Tunjukkan
bahwa untuk R=, HeH+ berdisosiasi lebih ke H+ dan He, bukannya ke He+ dan H.
Potensial ionisasi helium dan hidrogen masing-masing adalah 24,6 eV dan 13,6 eV.

5.8 Ion He2+ mempunyai konfigurasi (g1s)2(u1s)1. Tentukanlah energi sistem elektron
ini dalam integral-integral J dan K. Asumsikan energi g1s adalah 1 dan energi
u1s adalah 2.

5.9 Prediksilah konfigurasi keadaan dasar molekul CO dan NO. Tentukanlah term-term
yang bisa timbul pada masing-masing molekul, dan yang manakah berenergi lebi
rendah.

5.10 Buktikanlah persamaan (5.57) dan (5.58).

5.11 Hitunglah energi yang dilepaskan untuk mendissosiasikan molekul AlCl menjadi
atom netral Al dan Cl. Lakukan juga untuk molekul AlBr.

5.12 Jika atom H menangkap satu electron untuk menjadi H-, energy sebesar 0,75 eV
akan dilepaskan. Energi ioniasi Li adalah 5,30 eV. Hitunglah energi dissosiasi dari
LiH. Misalkan jarak antara inti-inti adalah 1,6 Å.

144
BAB 6
MOLEKUL ORGANIK TERKONJUGASI
Konjugasi adalah overlap antara satu orbital-p dengan orbital-p lainnya sepanjang suatu
ikatan sigma. Molekul di mana atom-atom dihubungkan oleh orbital-orbital-p sehingga
elektron-elektron terdelokalisasi melalui ikatan berselang-seling tunggal dan rangkap
disebut molekul terkonjugasi. Elektron-elektron yang terdelokalisasi itu disebut elektron-
. Senyawa seperti grafen, grafit, polimer-polimer konduktif dan nanotube karbon
termasuk senyawa terkonjugasi.

6.1 Hibridisasi Orbital-Orbital Atom


Dalam paragraf 5.8 telah di bahas molekul LiH di mana orbital molekul dibangun dari
orbital φ1sH dan φ2sL. Tetapi kita telah mengetahui bahwa orbital-orbital atom φ2s dan φ2p
memiliki energi yang sama, sehingga dalam pembentukan orbital molekul LiH kedua
orbital itu dapat dilibatkan. Jadi, orbital molekul LiH dapat dibentuk seperti:

  c11sH  c2 2 sL  c3 2 pL (6.1)

Untuk jarak inti-inti 1,6Å Karo telah menghitung elemen-elemen matriks berikut (Karo et
al. 1959):

H 11  10,63 eV, H 22  6,15 eV, H 33  4,81 eV,

H 12  5,77 eV, H 13  5,96 eV, H 23  1,60 eV,


(6.2a)
S11  S 22  S 33  1,

S12  S 21  0,47, S13  S 31  0,51, S 23  S 32  0.

Dari determinan sekuler yang menggunakan elemen-elemen matriks di atas diperoleh


energi-energi orbital molekul:

1= -10,83 eV; 2=-4,19 eV, 3=-0,82 eV. (6.2b)

Harga 1 di atas bersesuaian dengan potensial ionisasi bagi LiH. Karena energi ini paling
negatip, maka energi ini merupakan energi orbital molekul bonding. Selanjutnya,
substitusi energi 1 ke dalam persamaan sekuler akan menghasilkan orbital molekul
bonding tersebut, yakni:

 1  0,701sH  0,33 2 sL  0,20 2 pL (6.3a)

Dari suku kedua dan suku ketiga dalam persamaan (6.3a) diatas dapat diturunkan orbital
campuran (hibrid) yang berasal dari atom Li, misalnya

 hL  a  2 sL  b  2 pL (6.3b)
2 2
dengan a +b =1, dan
 1  0,701sH  c hL (6.3c)

145
Jadi, dengan membandingkan persamaan (6.3c) di atas dengan persamaan (6.3a)
diperoleh ac=0,33 dan bc=0,20. Dengan demikian maka a=0,855 b=0,518 dan c= 0,39.
Orbital hybrid (6.3b) menjadi

 hL  0,855 2 sL  0,518 2 pL (6.4)

dan orbital molekul dalam persamaan (6.3a) dapat dituliskan seperti:

 1  0,701sH  0,39 hL (6.5)

Proses pembentukan suatu orbital atom campuran dari dua atau lebih orbital atom
dalam suatu atom disebut hibridisasi, dan proses itu berlangsung pada saat pembentukan
ikatan dengan atom lain. Dengan orbital atom hibrida φhL, keadaan lebih stabil (energi
bonding lebih negatip, karena overlap berlangsung tidak saja antara orbital φ1sH dan φ2sL
tapi juga dengan φ2pL. Energi suatu orbital hibrid berada di antara kedua orbital
pembentuknya. Jika perbedaan energi kedua orbital cukup besar, hibridisasi lebih sulit
terjadi karena diperlukan lebih besar energi. Jadi dua orbital yang beda energinya kecil
mempunyai peluang lebih besar untuk berhibridisasi.
Pada molekul diatomik heteronuklir seringkali terjadi aliran muatan dari satu atom
ke atom lain, bergantung pada ‘daya tarik elektron’ dari masing-masing atom. Dalam
keadaan seperti ini ikatan disebut polar; ikatan polar itu menimbulkan momen dipol
molekul. Misalkan molekul AB memiliki orbital molekul:

  N ( A   B ) (6.6)

di mana harga 0 menyatakan elektron-elektron terkonsentrasi sepenuhnya di atom A,


dan  menyatakan elektron-elektron terkonsentrasi sepenuhnya di atom B. Keadaan-
keadaan ekstrim ini masing-masing menggambarkan ikatan ionik murni: A-B+ dan A+B-.
Halnya berbeda jika =1; orbital molekul menggambarkan distribusi elektron yang sama
di kedua atom sehingga tidak menimbulkan polaritas; jadi, ikatan antara kedua atom
berkarakter kovalen.
Menurut Pauling, elektronegativitas(lihat Apendiks 4.2) suatu atom adalah tenaga
atom itu untuk menarik elektron-elektron dalam molekul. Dengan demikian maka
polaritas suatu ikatan menunjukkan perbedaan elektronegativitas atom-atom yang
dihubungkan oleh ikatan itu. Berdasarkan persamaan (6.6) kerapatan elektron yang
berkaitan dengan dua elektron dalam orbital bonding  adalah:

  2 2  2 N 2 ( A2  2 B2  2 A B ) (6.7)

Dengan melakukan mengintegral diperoleh

  dV  2 N   dVA  2   B2 dVB  2   A B dVA dVB 


2 2
A

 q A  qB  q AB

di mana qA adalah jumlah elektron di atom A, qB adalah jumlah elektron di atom B dan
qAB adalah jumlah elektron di antara kedua atom. Jadi

146
q A  2 N 2 ; q B  22 N 2 ; q AB  4N 2 S AB (6.8a)

Karena jumlah elektron adalah dua maka, 2 N 2  22 N 2  4N 2 S AB  2 , sehingga

1
N2  (6.8b)
1  S   2

Terlihat bahwa, bila ≠1 maka qA≠qB; artinya ada pergeseran muatan yang menimbulkan
karakter ionik. Jika >1, maka qA<qB yang menunjukkan aliran elektron dari A ke B
.untuk membentuk A+B-.
Andaikan pada awalnya, qA=qB, lalu mengalir sejumlah muatan, misalnya , dari
A ke B. Maka beda muatan elektron keduanya adalah qB-qA=2; jika =1, maka qB=2,
qA=0 yang berarti ikatan antara kedua atom sepenuhnya ionik. Oleh sebab itu
didefenisikan fraksi karakter ionik sebagai berikut:

qB  q A
f  . (6.9a)
2

Dengan persamaan (5.71) dan (5.72), defenisi itu menjadi:

2  1
f  . (6.9b)
1  2S  2

Jelas bahwa f=0 menyatakan ikatan sepenuhnya kovalen, dan f=1 menyatakan ikatan
sepenuhnya ionik
Selanjutnya, total momen dipol dapat didekati sebagai berikut:

qB  q A eR (2  1)
  eR  eRf  (6.10)
2 1  2S  2

di mana R adalah jarak antara kedua inti A dan B.

Orbital hibrid dari atom O dalam H2O


Konfigurasi elektron dalam atom oksigen adalah 1s22s22p4. Jadi, ikatan dalam
molekul H2O sepertinya dibentuk oleh orbital 2px dan 2py dari atom O dengan orbital1s
dari masing-masing atom H. Jika ini yang terjadi, maka sudut antara kedua ikatan adalah
90o, tetapi eksperimen menunjukkan sudut itu 104,5o. Oleh sebab itu perlu diterapkan
konsep hibridisasi. Andaikan satu elektron dari orbital 2s berpromosi ke 2p, misalnya
menjadi 1s22s12px12py22pz2 atau 1s22s12px22py12pz2. Selanjutnya, tinjau dua buah orbital
hibrid:
 h1  N1 ( 2 s  1 2 p ' )
(6.11)
 h 2  N 2 ( 2 s   2 2 p '' )

dengan φ2p’ danφ2p’’ adalah orbital-orbital φ2px dan φ2py atau kombinasi keduanya. Kedua
hibrida di atas orthogonal satu satu sama lain:

  
h 2 dV  N1 N 2 1  2  2 s2 p '' dV  1  2 p '2 s dV  12  2 p '2 p '' dV  0
h1

147
Karena berasal dari satu atom, maka suku kedua dan ketiga sama dengan nol. Yang tersisa
hanyalah suku keempat dan untuk itu misalkan

 2 p '   2 px ,
(6.12)
 2 p ''  cos 12  2 px  sin 12  2 py

dengan 12 adalah sudut antara kedua hibrida. Dengan persamaan (6.12) maka

 2 p '' dV  cos 12  22pxdV  sin 12  2 px2 pydV  cos 12 .
2 p'

Jadi,
  h 2 dv  N1 N 2 1  12 cos 12   0
h1 (6.13)

merupakan syarat ortogonalitas antara kedua hibrida. Terlihat dalam persamaan (6.13)
bahwa sudut 12 berkaitan dengan besarnya campuran 2s-2p dalam kedua hibrida. Dengan
mengambil 1=2 maka cos12=-1/2; artinya sudut 12>90o. Jadi jelas bahwa konsep
hibridisasi sesuai dengan eksperimen. Harga  tidak dapat ditentukan, kecuali
menggunakan harga eksperimen 104,5o. Dengan harga ini maka 2. Jadi, perbandingan
orbital 2s dan 2p dalam hibrida-hibrida itu adalah 1:4.
Dalam ungkapan hibridisasi di atas, orbital 2pz bersama 2s membentuk hibrida
lone pair yang mengandung dua elektron. Andaikan hibrida itu adalah

 h3  N 3 ( 2 s  3 2 pz ) (6.14)

Terhadap hibrida-hibrida φh1 dan φh2 misalkan hibrida φh3 membentuk sudut 13 dan 23.
Sifat orthogonal terhadap kedua hibrida memberikan cos 13= cos 23= -1/3. Jadi
13=23>90o. Dengan perkataaan lain hibrida φh3 mengarah ke belakang O sebagai garis
bagi dari sudut H-O-H seperti diperlihatkan dalam Gambar 6.1. Dengan 12=104,5o maka
13=23=127,75o, dan 3=0,816.

φh3(lone pair)

127,75o 127,75o

φh1 φh2

H 104,5o H

Gambar 6.1 Orbital-orbital hibrid atom O dalam H2O.

Orbital hibrid dari atom C

148
Atom karbon dalam keadaan dasar memiliki konfigurasi 1s22s22p2. Konfigurasi ini
memperlihatkan valensi dua (divalent), tetapi dalam senyawanya atom ini bervalensi
empat (tetravalent). Untuk menjelaskan itu, diandaikan satu elektron 2s berpromosi ke 2p
sehingga konfigurasi menjadi 1s2 2s1 2p3. Selanjutnya, orbital 2s bercampur dengan
orbital-orbital 2p membentuk orbital-orbital hibrida..
Perumusan umum suatu hibrida yang terbentuk dari orbital-orbital 2s dan 2p
adalah
 h  a 2 s  b 2 p ; a 2  b 2  1 (6.15)

Jenis hibrida ini disebut spn dengan bilangan bulat n=(b/a)2 menyatakan jumlah
komponen 2p yang terlibat. Normalisasi hibrida di atas adalah:

h 
1
1 n
 2s  n 2 p  (6.16)

Orbital 2p dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari orbital-orbital komponen- nya:

 2 p  c x 2 px  c y  2 py  c z  2 pz
(6.17)
c x2  c 2y  c z2  1

Tinjau hibridisasi jenis sp3; setiap hibrida melibatkan ketiga komponen 2p dengan
bobot yang sama. Berdasarkan persamaan (6.16) diperoleh:

h 
1
2

 2s  3  2 p 
Karena bobot yang sama, maka 2p dalam persamaan (6.17) dapat diungkapkan oleh
empat buah kombinasi, yakni
 2 px   2 py   2 pz

1  2 px   2 py   2 pz
2p   (6.18)
3   2 px   2 py   2 pz
 
 2 px   2 py   2 pz

Jadi, hibridisasi enis sp3 mengandung empat buah hibrida, yakni

 h1  12 ( 2 s   2 px   2 py   2 pz )
 h 2  12 ( 2 s   2 px   2 py   2 pz )
(6.19)
 h3  12 ( 2 s   2 px   2 py   2 pz )
 h 4  12 ( 2 s   2 px   2 py   2 pz )

yang orthogonal satu sama lain. Misalkan sudut antara dua kombinasi dalam persamaan
(6.18) adalah . Dengan sifat orthogonal, maka sudut antara dua buah hibrida dapat
ditentukan, misalnya:

149
 h1  h 2  14  2 s  2 s  3
4
 2 p '  2 p ''
0  14  43 cos   cos    13
  109,47 o
Jadi, keempat hibrida jenis sp3 dalam persamaan (6.19) membentuk struktur tetrahedral.
Semua ikatan yang dapat terjadi dari hibrida-hibrida ini disebut ikatan-. Contoh molekul
di mana terjadi hibridasi sp3di dalam atom karbon adalah metana, CH4 seperti dalam
Gambar6.2.
H

Gambar 6.2 Struktur tetrahedral dari hibrida-hibrida sp3 dalam CH4.

Sekarang, tinjau hibridisasi jenis sp2. Sesuai dengan persamaan (6.16) setiap
hibrida memenuhi persamaan berikut:

h 
1
3
 2s  2 2 p 
Dalam jenis ini, 2p merupakan kombinasi linier dari 2pxdan 2py. Misalkan hibrida
pertama dipilih
 h1 
1
3

 2 s  2  2 px 
(6.20a)

dan yang kedua,


 h2 
1
3

 2 s  2 (c x 2 px  c y 2 py ) 
Dengan sifat orthogonal,  h1  h 2  13  23 c x  0 , maka cx=-½. Karena cx2+cy2=1, maka
cy=±√¾ sehingga h2 di atas pecah menjadi dua, yakni

1 1 1
 h2   2s   2 px   2 py
3 6 2
(6.20b)
1 1 1
 h3   2s   2 px   2 py
3 6 2

Andaikan sudut antara dua hibrida adalah , maka

150
  
 h 2 dV  13   2 s 2 s dV  2  2 p ' 2 p '' dV  13  23 cos   0
h1

cos    12    120o
Jadi, ketiga hibrida berada pada bidang-xy dengan sudut 120o satu sama lain. Contoh
molekul di mana atom karbon memiliki hibrida-hibrida sp2 adalah hidrokarbon olefin dan
aromatik di mana ikatan- terbentuk dari hibrida-hibrida sp2 dan ikatan- dibentuk oleh
orbital-orbital 2pz. Kedua macam ikatan itu diperlihatkan oleh molekul etilena H2C=CH2
seperti dalam Gambar 6.3.

H H
H H
y z
x
x H
H
ikatan-
H ikatan- H

Gambar 6.3 Ikatan- dan ikatan- dalam etilena (C2H4).

Jenis hibridisasi terendah adalah sp1 di mana dua hibrida terbentuk dari orbital 2s
dan 2px,
1
 h1  ( 2 s   2 px )
2
(6.21)
1
 h2  ( 2 s   2 px )
2

Dengan kedua hibrida dapat terbentuk ikatan-, sedangkan orbital-orbital 2py dan
2pzdapat membentuk ikatan-. Contoh kedua hibrida ini ditemukan adalah molekul
asetilena HCCH seperti dalam Gambar 6.4.


H z

x
H

Gambar 6.4 Ikatan dalam molekul asetilena (C2H2).

6.2 Metoda Hückel


Dalam kimia organik dikenal kelompok senyawa terkonjugasi, misalnya etana C2H4
seperti diperlihatkan dalam Gambar 6.3. Dalam senyawa-senyawa ini setiap atom karbon
mengalami hibridisasi sp1 atau sp2. Dalam molekul etana, hibridisai sp2 menghasilkan tiga
buah ortbital hibrida; ketiga hibrida itu membentuk ikatan- dengan atom-atom
tetangganya. Orbital 2pz yang tersisa, membentuk ikatan- dengan orbital 2pz dari atom
tetangganya. Ikatan- itu berada pada bidang yang tegak lurus terhadap bidang molekul,

151
yakni bidang yang dibentuk oleh ikatan-ikatan-. Elektron yang berperan dalam ikatan-
, disebut elektron-, terlokalisasi di tempat. Elektron yang berperan dalam ikatan-
disebut elektron-; elektron ini tidak terlokalisasi tetapi agak mudah bergerak di
sepanjang molekul. Kemudahan bergerak itulah yang menimbulkan polarizabilitas
molekul searah dengan ikatan-.
Karena ikatan- berada pada bidang yang tegak lurus terhadap bidang molekul,
jarak antara elektron- dan elektron- cukup besar sehingga interaksi antara mereka
relatif lebih kecil daripada interaksi antara elektron-elektron-. Jika interaksi antara
elektron- dan elektron- dapat diabaikan, maka orbital molekul dari suatu molekul
terkonjugasi dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari orbital-orbital 2pz saja.
Pandangan inilah yang disebut teori elektron-.
Berdasarkan teori elektron-, Hückel(1931) mengembangkan metoda perhitungan
yang dapat memberikan pengertian-pengertian dasar tentang sifat-sifat senyawa
terkonjugasi. Dalam metoda ini, Hamiltonian elektron- diungkapkan sebagai jumlah
Hamiltonian efektif elektron-tunggal:

N
Hˆ   Fˆ (  ) (6. 22)
 1

di mana μ menyatakan nomor elektron- dan N menyatakan jumlah elektron- dari


molekul. Jika setiap atom memiliki hanya satu elektron- yang menempati orbital atom
2pz dari atom tersebut.
Selanjutnya, suatu orbital molekul diungkapkan sebagai kombinasi linier dari
orbital-orbital 2pz dari semua atom karbon dalam molekul:

   ci  i (6. 23)
i

dengan i adalah orbital 2pz di atom karbon ke-i. Dengan Hamiltonian efektif elektron-
tunggal dan orbital molekul di atas, maka peramaan eigen adalah

F̂   (6. 24)

Dengan persamaan (6.2) dan persamaan (6.3) diperoleh persamaan sekuler:

 F
i
ij 
 S ij ci  0; i, j  1, 2, ....N (6. 25)

Dalam pandangan Hückel, elemen matriks dari Hamiltonian efektif elektron-tunggal


dapat diungkapkan dengan data empiris; misalnya Fii merupakan potensial ionisasi
elektron- di karbon ke-i, dan Fij adalah energi yang diperlukan jika elektron- melompat
antara dua atom karbon. Selain itu, Sii=1 dan Sij lainnya diabaikan karena jauh lebih kecil
dari satu. Jadi, untuk mudahnya dituliskan,
 jika i  j

Fij   jika atom ke  i dan ke  j berikatan (6. 26)
0
 lainnya

152
1; i  j
S ij   (6. 27)
0; lainnya

di mana potensial ionisasi  -11 eV dan energi lompat  -2,5 eV. Dengan demikian,
maka persamaan sekuler (6.4) dalam bentuk matriks adalah

    0...........  c1 
  
      ...........  c2 
0
    .......  c3 
 0 (6. 28)
  
 ..................................... ... 
  
Melalui determinan
   0...........
     ...........
0 (6.29)
0     .......
.....................................

dapat ditentukan semua harga energi orbital molekul {n}. Dengan mensubstitusikan
setiap energi orbital molekul ke persamaan (6.28) akan diperoleh koefisien-koefisien c
bagi orbital molekul bersangkutan. Perhitungan untuk menentukan harga-harga  dan
koefisien-koefisien c bersangkutan dari persamaan sekuler disebut diagonalisasi matriks
𝐻.
Selanjutnya, andaikanlah n adalah salah satu orbital molekul sebagai solusi dari
persamaan sekuler; maka MO-LCAO menghasilkan

N
 n   cni i .
i 1

Karena orbital molekul ini harus ternormalisasi, maka

 
*
n n dV   cin* c jn  i* j dV  cin c jn Sij  1 .
i, j i

Tetapi, dengan asumsi dalam persamaan (6.3) di mana Sij=δij, maka persamaan di atas
menjadi
 n n dV   cni  1
* 2
(6. 30)
i

di mana cni2 merupakan kerapatan parsial elektron- di atom karbon ke-i karena elektron-
itu menempati orbital molekul n.
Selanjutnya jika ηn (=0,1,2) adalah jumlah elektron- yang menempati orbital
molekul n maka kerapatan elektron- di atom karbon ke-i adalah

qi  pii   n cin2 (6. 31)


n

153
sedangkan order-ikatan antara atom-atom karbon ke-i dan ke-jyang berikatan langsung
adalah

pij   n cin c jn ; i  j (6. 32)


n

Order-ikatan mempunyai hubungan dengan panjang ikatan. Semakin besar order-ikatan,


semakin kuat pula ikatan tersebut sehingga panjang ikatannya semakin pendek.
Pendekatan untuk hubungan antara order-ikatan dan panjang ikatan dapat mengikuti
rumusan empiris dari Coulson (1939):

rij  1,5  0,15 pij (Å) (6. 33)

Berikut adalah program Hückel untuk molekul linier dengan menggunakan MATLAB.
%Program Hückel untuk molekul linier
clc
clear;
close all;
% Matriks Fock
N=4;
for i=1:N
f(i,i)=-11;
end
for i=1:N-1
f(i,i+1)=-2.5;
f(i+1,i)=-2.5;
end
disp('Keadaan dasar')
% Energi orbital molekul dan koefisien bersangkutan
[C,D]=eig(F);
for i=1:N
E(i)=D(i,i);
end
disp('energi orbital molekul')
E
disp('koefisien c')
C
% Bond order
for i=1:N-1
P(i,i+1)=2*C(i,1)*C(i+1,1)+C(i,2)*C(i+1,2);
end
% Panjang ikatan dua karbon bertetangga terdekat
for i=1:N-1
r(i)=1.52-0.15*P(i,i+1);
end
disp('panjang ikatan')
r
Coulson (1947) juga mengemukakan valensi bebas suatu atom karbon, yakni
mudahnya atom itu diserang radikal bebas. Valensi bebas suatu atom karbon adalah
selisih antara order-ikatan maksimum yang mungkin dan total order-ikatanyang terkait

154
dengan atom karbon tersebut. Harga order-ikatan maksimum terjadi pada atom karbon di
pusat trimetilen metan, yakni 1,732.

CH2

CH2 C

Trimetilen metan CH2


Dengan demikian maka valensi bebas atom karbon ke-i adalah

Fi  1,732  Pi (6. 34)

Jadi, semakin besar harga total order-ikatan pada suatu atom karbon, semakin kecil
pula valensi bebasnya; artinya, semakin kecil peluang atom karbon tersebut untuk bisa
diserang radikal bebas lainnya.
Selain besaran-besaran di atas, dapat pula dihitung energi delokalisasi molekul.
Besarnya energi delokalisasi elektron-merupakan ukuran stabilitas molekul tersebut.
Energi delokalisasi elektron-adalah

Ed  Eo  Elok (6. 35)

Energi sistem elektron Eo adalah energi total elektron-, yakni

Eo   n  n (6. 36)
n

di mana n adalah energi orbital molekul n sedangkan ηnadalah jumlah elektron- yang
menduduki orbital molekul tersebut. Energi lokalisasi Elok adalah energi elektron- jika
semua elektron itu dalam keadaan terlokalisasi. Energi ini dapat dihitung dengan
memandang bahwa semua Fij=0 kecuali atom ke-i dan ke-j berikatan rangkap. Misalkang1
menyatakan jumlah ikatan rangkap dan g2 menyatakan jumlah elektron yang tak
berpasangan (radikal) dalam molekul, maka energi lokalisasi elektron- adalah

Elok  g1 (2  2 )  g 2 (6. 37)

Berdasarkan besarnya energi delokalisasi itu, maka stabilitas molekul dapat ditetapkan.
Semakin besar harga negatif dari energi delokalisasi, semakin stabil molekul
bersangkutan.

Contoh 6.1 Radikal Allil


Molekul ini mengandung tiga buah atom karbon seperti gambar berikut. Molekul ini
disebut radikal karena dengan tiga buah elektron-
 ada satu yang tidak berpasangan.
2
CH

CH2 CH2
1 3

155
Mulai dari satu ujung atom-atom karbon diberi nomor 1, 2, dan 3. Persamaan sekulernya
adalah:
    0  c1 
  
       c 2   0
 0
      c3 

Determinan sekuler untuk molekul ini adalah:

   0 x 1 0
     1 x 1  0
0    0 1 x
dengan
 
x ;     x

Determinan di atas adalah x3-2x=0 sehingga didapat x=-2, 0, 2; energi orbital molekul
adalah
1     2 bonding
2  non  bonding
3    2 anti  bonding

di mana  dan  adalah energi yang negatif. Selanjutnya, substitusi harga-harga energi
atau x tersebut ke dalam persamaan sekuler akan menghasilkan koefisien c bersangkutan,
dan orbital-orbital molekunya adalah sebagai berikut:

1:1=0,5 φ1+0,707 φ2+0,5 φ3


2: 2= 0.707φ1-0,707φ3
3: 3=0,5 φ1-0,707φ2+0,5 φ3

Sebagai radikal, keadaan dasar molekul mempunyai konfigurasi elektron-621


seperti dalam gambar berikut:

3 3
LUMO

2 2

1 1 HOMO

Elektron- tunggal yang berada pada orbital 2 memiliki peluang yang sama untuk
berada di atom C1 dan atom C3, dan tidak berpeluang di atom C2. Jadi ada dua struktur
molekul yang mungkin:
CH CH

CH2 CH2 CH2 CH2

156
Kerapatan muatan pada setiap atom sesuai dengan persamaan (6.10) adalah sebagai
berikut.
q1  2c112  c21
2
 2(0,5) 2  (0,707) 2  1.
q2  2c12
2
 c22
2
 2(0,707) 2  (0) 2  1.
q3  2c13
2
 c23
2
 2(0,5) 2  (0,707) 2  1.

Artinya, pada setiap atom karbon ada satu elektron-.


Order-ikatan antara dua atom bertetangga terdekat sesuai dengan persamaan
(6.11) adalah sebagai berikut.

p12  2c11c12  c21c22  2  0,5  0,707  0,707  0  0,707


p23  2c12c13  c22c23  2  0,707  0,5  0  0,707  0,707

Dengan order-ikatan tersebut maka jarak antara dua atom bersangkutan adalah sama, dan
berdasarkan persamaan (6.33), jarak itu adalah 1,394 Å.
Valensi bebas pada setiap atom sesuai persamaan (6.34) adalah sebagai berikut:

F1  1,732  0,707  1,025

F2  1,732  (0,707  0,707)  0.318

F3  1,732  0,707  1,025

Jadi, atom karbon C1 dan karbon C3 yang berada diujung-ujung molekul lebih reaktif
dibandingkan dengan karbon C2 yang ditengah.Energi keadaan dasar:
Eo=21+2=3+22. Sesuai dengan gambaran di atas dan persamaan (6.37) maka
sebagai radikal energi lokalisasinya adalahElok=(2+2)+=3+2 sehingga energi
delokalisasi adalahEd= Eo-Elok=0,8.Sebagai kation struktur elektroniknya 1220dengan
energi Ekat=2+22  , Elok=2+2 sehingga energi delokalisasinya 0,8. Sebagai anion
deng\an struktur elektronik1222, energinyaEan=4+22  dan
Elok=(2+2)+2=4+2, sehingga energi delokalisasinya 0,8 juga. Jadi, stabilitas allil
dalam ketiga bentuknya adalah sama.

Contoh 6.2 Butadiena


Butadiena memiliki empat buah atom karbon seperti dalam gambar berikut.
2 4
CH CH2
CH2 CH
1 3
Mulai dari satu ujung, atom-atom karbon diberi nomor 1, 2, 3, dan 4.Determinan sekuler untuk
molekul ini adalah:
x 1 0 0
1 x 1 0
0
0 1 x 1
0 0 1 x
dengan

157
 
x

Determinan itu memberikan persamaan x4-3x2+1=0, yang akar-akarnya adalah x=-1,62, -


0,62, 0,62, 1,62, sehingga energi orbital molekul adalah

 1    1,62  bonding

 2    0,62  bonding

 3    0,62  anti  bonding

 4    1,62  anti  bonding

di mana  dan  adalah energi yang negatif. Selanjutnya, orbital molekul terkait dengan
energi oerbital tersebut diperoleh dengan menentukan koefisien-koefisien c bersangkutan.
Untuk itu substitusikan harga-harga energi atau x ke dalam persamaan sekuler sehingga
koefisien c bersangkutan dapat ditentukan. Hasilnya, adalah seperti gambar berikut, di
mana orbital-orbital molekulnya adalah

1:1= 0,376 φ1 + 0,607 φ2 + 0,607φ3 + 0,376 φ4


2: 2= 0,607 φ1 + 0,376 φ2 - 0,376 φ3 - 0,607φ4
3: 3=0,607φ1 - 0,376 φ2 -0,376 φ3 + 0,607φ4
4: 4=0,376 φ1 - 0,607 φ2 + 0,607φ3 - 0,376 φ4

4 4

3 3 LUMO

2 2 HOMO

1 1
Dalam keadaan dasar molekul butadiena ini mempunyai konfigurasi elektron-1222
seperti terlihat dalam gambar di atas.
Kerapatan elektron pada setiap atom dihitung sebagai berikut.
q1  2c11
2
 2c21
2
 2(0,376) 2  2(0,607) 2  1.
q2  2c12
2
 2c22
2
 2(0,607) 2  2(0,376) 2  1.
q3  2c13
2
 2c23
2
 2(0,607) 2  2(0,367) 2  1.
q4  2c14
2
 2c24
2
 2(0,367) 2  2(0,607) 2  1.

Artinya, pada setiap atom karbon ada satu electron-π. Perhitungan order-ikatan antara dua
atom bertetangga terdekat adalah sebagai berikut.

p12  2c11c12  2c21c22  2(0,376  0,607  0,607  0,376)  0,912


p23  2c12c13  2c22c23  2(0,607  0,607  0,376  0,376)  0,436

158
p34  2c13c14  2c23c24  2(0,607  0,376  0,376  0,607)  0,912

Dengan order-ikatan tersebut maka jarak antara dua atom berdekatan adalah r12=r34=1,363 Å dan
r23=1,4310 Å. Artinya, ikatan antara C1 dan C2, antara C3 dan C4 adalah ikatan rangkap ( dan
), dan antara C2 dan C3 adalah ikatan tunggal (): CH2=CH-CH=CH2.
Valensi bebas pada setiap atom adalah sebagai berikut:

F1  F4  1,732  0,912  0,820

F2  F3  1,732  (0,912  0,436)  0.384

Hasil itu menggambarkan bahwa atom C1 dan C4 yang berada diujung-ujung molekul
lebih reaktif dibandingkan atom C2 dan C3 yang ditengah. Hal ini sesuai dengan reaksi
Diels-Alder di mana butadiena + etilena sikloheksena seperti gambar berikut

CH2 CH2
C-H CH2 CH CH2
+
C-H CH2 CH CH2
CH2 CH2
Energi keadaan dasar: Eo=21+22=4+4,48. Energi lokalisasi adalah Elok=2(2+2)
sehingga energi delokalisasi adalah Ed=0,48 .
Selanjutnya, tinjaulah butadiena dalam keadaan tereksitasi dengan konfigurasi
elektron-122131 seperti dalam gambar.
4 4
3 3

2 2
1 1

Energi dalam keadaan eksitasi adalah Eeks=21+2+3=4+1,62. Rapat muatan pada


setiap atom tetap saja sama dengan satu. Order ikatan adalah:

p12  p34  2c11c12  c21c22  c31c32


 2(0,376  0,607)  0,607  0,376  0,607  (0,376)  0,456
p23  2c12c13  c22c23  c32c33
 2(0,607  0,607)  0,376 2  0,376 2  0,737

Dengan order-ikatan ini maka jarak r12=r34=1,432 Å dan r23=1,389Å; artinya, terjadi
pembalikan panjang ikatan, yang rangkap pada keadaan dasar menjadi tunggal pada
keadaan tereksitasi dan sebaliknya, seperti dalam gambar berikut.
CH CH2 keadaan
tereksitasi
CH2 CH
159
Energi lokalisasi Elok=(2+2)+2=4+2, Eeks=4+1,62. Elok>Eeks. Artinya, keadaan
eksitasi samasekali tidak stabil. Jika dihitung valensi bebasnya, diperoleh: F1=F4=1,276
dan F2=F3=1,0; jadi ada peningkatan valensi bebas pada kedua atom di ujung-ujung
molekul. Hal ini menunjukkan, bahwa dalam reaksi Diels-Adler molekul butadiena
terlebih dahulu mengalami eksitasi sebelum membentuk sikloheksena..

Contoh 6.3 Siklo-profenil


Molekul ini mengandung tiga atom karbon yang membentuk siklis seperti gambar berikut.
Determinan sekuler untuk molekul ini adalah:

x 1 1
1 x 10
1 1 x
3
dari mana diperoleh x -3x+2=0, sehingga:

x1  2;  1    2
x2  x3  1;  2   3    

Molekul ini bisa berupa kation (dua elektron-), radikal (tiga electron-π) dan
anion (empat elektron-π) seperti gambar berikut.

CH CH CH CH CH CH

C+H CH CH
Kation Radikal Anion
Pengisian elektron- pada orbital-orbital molekul untuk ketiganya adalah sebagai berikut:
2=3

1

Kation Radikal Anion

Jadi energi masing-masing adalah:

E okat  2(  2 )  2  4
E orad  2(  2 )      3  3
E oani  2(  2 )  2(   )  4  2

Energi lokalisasi masing-masing adalah:


kat
Elok  2  2
rad
Elok  (2  2 )    3  2
ani
Elok  (2  2 )  2  4  2
Dengan demikian maka energi delokalisasi masing-masing adalah:

160
Edkat  2 ; Edrad   ; Edani  0

Jadi kestabilan paling tinggi dari siklo-propenil adalah dalam bentuk kation, baru radikal,
dan anion samasekali tidak stabil.

Contoh 6.4 Siklo-butadiena


Molekul ini mengandung empat atom karbon dalam bentuk siklis seperti gambar berikut.
CH CH

CH CH
Determinan sekuler untuk molekul ini adalah:

x 1 0 1
1 x 1 0
0
0 1 x 1
1 0 1 x
dari mana diperoleh:
x1  2;  1    2

x2  x3  0;  2   3  

x4  2;  4    2

Dalam keadaan dasar penempatan elektron- pada orbital molekul adalah sebagai berikut:
4
2 3
1

Energi keadaan dasar adalah Eo=21+22=4+2; energi lokalisai Elok=2(2+2)


=4+4. Jadi, energi lokalisasi lebih besar dari pada energi keadaan dasarnya; artinya,
molekul ini sama sekali tidak stabil, atau tidak dapat disintesis.
Dari pembicaraan di atas, terlihat bahwa semakin besar molekul semakin besar
pula matriks Fijyang akan ditangani. Oleh sebab itu, perhitungan dilakukan dengan
membuat program komputer.

6.3 Poliena Terkonjugasi Linier


Seperti telah dikemukakan, dalam keadaan dasar molekul butadiene memiliki ikatan
rangkap dan ikatan tunggal secara berselang-seling. Molekul ini termasuk poliena
yang terkonjugasi linier.
Berdasarkan persamaan (6.28), dengan penerapan Hückel diperoleh

c k 1  xc k  c k 1  0
  (6. 38)
x

161
dengan k=1, 2, ……, N adalah nomor yang diberikan pada atom-atom karbon mulai dari
satu ujung (1) hingga ujung lainnya (N). Untuk itu dapat diberikan syarat batas

co  c N 1  0 (6. 39)

Andaikanlah solusi persamaan (6.14) memenuhi

ck  Ae ik  Be ik

di mana A dan B adalah konstanta yang kompleks. Substitusi ke persamaan (6.38) akan
menghasilkan
x  2 cos  (6. 40)

Selanjutnya, penerapan syarat batas (6.39) menghasilkan sin[(N+1)]=0, sehingga

n
 ; n  1, 2, ........., N (6. 41)
N 1
Akhirnya diperoleh
 n    2 cos[n /( N  1)] (6. 42)
dan koefisien
2  nk 
cnk  sin  (6. 43)
N 1  N 1
sedangkan orbital molekul adalah
2  nk 
n 
N 1

k
k sin 
 N  1
(6. 44)

di mana k adalah orbital 2pz di atom karbon ke-k. Jelas bahwa, dari N buah atom karbon
(N buah elektron-) diperoleh N buah orbital molekul dengan energi orbital yang simetris
terhadap , seperti diperlihatkan dalam Gambar. 6.1. Terlihat dalam gambar bahwa untuk
N ganjil orbital energi  adalah non-bonding, semua di bawahnya adalah bonding dan
semua di atasnya anti-bonding. Untuk N genap, tidak ada orbital non-bonding. Contoh
untuk N=3 adalah radikal allil dan N=4 adalah butadiene, sedangkan contoh bagi N yang
besar adalah poliena dan N adalah poliasetilena.
Untuk N genap, orbital molekul ke-N/2 disebut HOMO, dan orbital ke (N/2+1)
disebut

anti-bonding

 ……………… non-bonding
.
bonding

N=2 N=3 N=4 N=10N

Gambar 6.1 Tingkat-tingkat energi orbital molekul dari molekul terkonjugasi linier
dalam keadaan dasar untuk N genap dan ganjil.

162
LUMO. Beda energi antara LUMO dan HOMO (sebutlah atau gap energi) dapat
diturunkan dengan menggunakan persamaan (6.21):

 ( 1 N  1) 
  4 cos  2  (6. 45)
 N 1 

Gap energi sebagai fungsi jumlah atom karbon adalah seperti Gambar 6.2. Orbital
molekul pada tingkat-tingkat HOMO dan LUMO disebut orbital molekul frontier.
1,4
1,2
Gap(satuan beta)

1
0,8

0,6
0,4

0,2
0
0 0,1 0,2 0,3
1/N

Gambar 6.2 Gap energi sebagai fungsi jumlah atom karbon (N genap).

6.4 Poliena terkonjugasi siklis


Sebagai mana poliena terkonjugasi linier, poliena terkonjugasi siklis juga memenuhi
persamaan (6.35), namun dengan syarat batas:

ck  c N  k (6. 46)
Untuk itu, misalkan
ck  e ik (6. 47)

sehingga dengan persamaan (6.46), e ik  e i ( N k ) . Dengan itu, maka e iN  1 atau

 N / 2 ; N genap
2n 
 ; n  0,  1,  2, ......,  (6. 48)
N  ( N  1) / 2; N ganjil

Selanjutnya substitusi persamaan (6.46) ke persamaan (6.38) menghasilkan

e i ( j 1)  xe ij  e i ( j 1)  0


atau
e i  x  e i  0 atau x  2 cos 
sehingga diperoleh:
 n    2 cos(2n / N ) (6. 49)

Selanjutnya dengan persamaan (6.47) dan (6.48) diperoleh

163
1
cnk  e i 2 kn / N (6. 50)
N

sehingga, orbital molekul adalah

1
n 
N
 e
k
k
i 2 kn / N
(6. 51)

di mana k adalah orbital 2pz di atom karbon ke-k. Orbital-orbital molekul molekul siklis
dapat digambarkan seperti dalam Gambar 6.3.

N=3 N=4 N=5 N=6 N=7

Gambar 6.3 Orbital-orbital molekul dari molekul terkonjugasi siklis.

Sebagai aplikasi teori di atas, tinjaulah molekul siklo-pentadiena yang


mengandung lima atom karbon seperti dalam gambar di bawah ini.

CH CH CH CH CH CH
CH CH CH CH
CH CH
+
HC HCo HCoo
Kation Radikal Anion
Kelima tingkat energi orbital molekul adalah

 0    2
 1    2 cos(2 / 5)    0,62
  2    2 cos(2 / 5)    1,62

Pengisian elektron- ke orbital-orbital tersebut dalam bentuk kation, radikal, dan anion
adalah seperti dalam gambar di bawah ini.

2

1

o

Kation Radikal Anion

Energi ketiga jenis senyawa di atas, masing-masing adalah:

164
E kat  4  5,24 ;

E rad  5  5,86 ;

E ani 6  6,48 .

Energi lokalisasi masing-masing adalah:

Elok,kat  4  4 ;

Elok,rad  5  4 ;

Elok,ani  6  4 .

Energi delokalisasi masing adalah:

E d ,kat  1,24  ;

E d ,rad  1,86  ;

E d ,ani  2,4 

Jadi, yang paling stabil dari ketiganya adalah senyawa anion sebagai akibat dari penuhnya
ketiga orbital. Kestabilan itu ditunjukkan oleh keasamannya yang tinggi dan
kemampuannya bereaksi dengan kalium membentuk K+(C10H10)-. Di lain fihak telah
disadari sulitnya mensintesis senyawa kation (C10H10)+, yang disebut ion karbonium.
Molekul benzena yang mengandung enam buah elektron- memiliki energi
keadaan dasar 6+8, dan energi lokalisasi 6+6, sehingga energi delokalisasinya
adalah 2. Dapat dihitung pula bahwa jarak-jarak antara dua atom karbon berdekatan
adalah sama. Jadi keenam elektron- itu terdelokalisasi sepanjang cincinnya. Hal itu
menyebabkan karakter kearomatisannya cukup besar.
Teori orbital molekul pada poliena siklis menunjukkan kekhususan stabilitas
elektronik dari senyawa siklis dengan 4n+2 buah elektron-. Berdasarkan perhitungan
dengan metoda Hückel sistem koplanar yang memiliki 4n+2 buah elektron- mempunyai
stabilitas yang tinggi dan karakter kearomatisannya besar, sebagai akibat dari konfigurasi
dengan sel tertutup sebagai mana dalam gas inert.

6.5 Aplikasi Simetri


Untuk molekul yang besar, ukuran matriks dalam persamaan sekuler menjadi besar pula.
Hal itu menyebabkan perhitungan menjadi lebih sulit. Aplikasi simetri terhadap molekul
bersangkutan dapat membantu mempermudah perhitungan melalui pengelompokan IR.
Antara satu kelompok dan kelompok lain tidak ada interaksi sehingga matriks yang besar
bisa dipecah menjadi beberapa matriks kecil, seperti contoh berikut.

165
 a11 a12 a13 a14 a15 a16   A A 
   11 12 A13 0 0 0

a a 26   A21 A22 A23 0
 21 a 22 a 23 a 24 a 25 0 0 
 
  
 a31 a32 a33 a34 a35 a36 
 A31 A32 A33 0 0 0 
  
 a 41 a 42 a 43 a 44 a 45 a 46   0 0 0 B11 B12 B13 
   
 a51 a52 a53 a54 a55 a56   0 0 0 B21 B22 B23 
   
a  B33 
 61 a 62 a 63 a 64 a 65 a 66   0 0 0 B31 B32

Berikut akan diperlihatkan dua contoh aplikasi simetri, butadiena dan antresena.

Butadiena
Tinjau molekul butadiena H2C=CH-CH=CH2; berdasarkan teori Hückel ada empat
buah orbital 2pz yang digunakan dalam pembentukan orbital molekul. Jadi, persamaan
sekulernya mengandung matriks berukuran 4x4.

2 z
4
1 3

x
y

Jika ditinjau dari segi simetri, dengan bidang-xy sebagai bidang molekul, akan
dipenuhi operasi-operasi simetri C2(z), h(xy) dan i. Jadi, molekul ini memiliki grup C2h
dengan karakter seperti Tabel 4.8.Operasi elemen-elemen grup terhadap orbital-orbital
{i=2pz} adalah seperti Tabel 6.1 berikut total karakter setiap operasi simetri tersebut.
Tabel 6.1 Operasi grup C2h terhadap orbital-orbital dan total karakternya masing-masing

I C2(z) h(xy) i
1 1 4 1 4
2 2 3 2 3
3 3 2 3 2
4 4 1 4 1
 4 0 4 0

Selanjutnya, karakter di atas dipakai untuk menentukan representasi yang sesuai


berdasarkan tabel karakter C2hpada Tabel 4.8 .

C2h I C2 h i
Ag 1 1 1 1 Rz,x2,y2,z2,xy
Au 1 1 -1 -1 z
Bg 1 -1 -1 1 Rx, Ry, xz, yz
Bu 1 -1 1 -1 x, y

166
Berdasarkan persamaan (4.12) koefisien-koefisien ai dihitung menggunakan Tabel 4.8
dan karakter dalam Tabel 6.1 sebagai berikut:

a(Ag)=¼(41+01+41+01)=2,
a(Au)=¼(41+01-41-01)=0,
a(Bg)=¼(41-01-41+01)=0,
a(Bu)=¼(41-01+41-01)=2.

Jadi, representasi untuk butadiena adalah

=2Ag+2Bu.

Artinya, dua buah orbital teradaptasi simetri Ag dan dua buah teradaptasi Bu.
Selanjutnya, akan ditentukan orbital-orbital yang teradaptasi simetri {i} sebagai
kombinasi linier dari orbital-orbital asal {i=2pz}. Untuk itu hasil operasi simetriorbital-
orbital asal dikalikan dengan karakter-karakter Ag dan Bu, dan dijumlahkan.

C2h I C2 h i
1 1 4 1 4
2 2 3 2 3
Ag 1 1 1 1
Bu 1 -1 1 -1

Melihat tabel di atas diperoleh orbital-orbital teradaptasi sesuai representasinya.


1  1   4  1   4  1  1 2 (1   4 )
Ag 
 2   2   3   2   3   2  1 2 ( 2   3 )
 3  1   4  1   4   3  1 2 (1   4 )
Bu 
 4   2   3   2   3   4  1 2 ( 2   3 )

Dengan orbital-orbital teradaptasi itu, maka elemen-elemen matriks Fijadalah

F11  1 Fˆ 1  1
2 [ 1 Fˆ 1  1 Fˆ  4   4 Fˆ 1   4 Fˆ  4 ]

 (  0  0   )  
1
2

F12  F21  1 Fˆ  2  1 2 [ 1 Fˆ  2  1 Fˆ  3   4 Fˆ  2   4 Fˆ  3 ]

 (  0  0   )    
1
2

F22   2 Fˆ  2  1 2 [  2 Fˆ  2   2 Fˆ  3   3 Fˆ  2   3 Fˆ  3 ]

 (       )    
1
2

F33  3 Fˆ 3  1 2 [ 1 Fˆ 1  1 Fˆ  4   4 Fˆ 1   4 Fˆ  4 ]

 (  0  0   )  
1
2

F34  F43  3 Fˆ 4  1 2 [ 1 Fˆ  2  1 Fˆ 3   4 Fˆ  2   4 Fˆ 3 ]
 1
2 (  0  0   )  

167
F44  4 Fˆ 4  1
2 [  2 Fˆ  2   2 Fˆ 3  3 Fˆ  2  3 Fˆ 3 ]
 1
2 (       )    

Dengan itu semua, maka persamaan sekuler adalah

    0 0   c1 
  
      0 0   c2 
 0 0     c   0
  3
 0         c4 
 0

Jadi, matriks berukuran 44 dalam Contoh 6.2 berubah menjadi dua buah matriks yang
berukuran 22, dengan persamaan sekuler masing-masing adalah

     c1 
Ag :     0
        c2 
     c3 
Bu :     0
        c 
  4 

Determinan sekularnya adalah:


  
Ag :  0;
    
  
Bu : 0
    

Dengan determinan-determinan di atas diperoleh energi orbital molekul sebagai berikut:

  1,62   1
 ( Ag )  
  0,62   3
  1,62   4
 ( Bu )  
  0,62   2

Hasil-hasil energi di atas sama dengan hasil-hasil dalam Contoh 6.2. Selanjutnya dengan
hasil di atas, maka untuk representasi Ag diperoleh: untuk 1: c1=0,53, c2=0,85 dan untuk
3: c1=0,85, c2=-0,53.Untuk representasi Budiperoleh untuk2: c1=0,85 dan c2=-0,53 dan
untuk 4: c1=0,53, c2=-0,85. Dengan demikian maka orbital molekul yang teradaptasi
simetri adalah
 1  0,531  0,85 2  0,375( 1 4 )  0,607( 2   3 )
Ag : 
 3  0,851  0,53 2  0,607( 1 4 )  0,375( 2   3 )

 2  0,853  0,53 4  0,607( 1 4 )  0,375( 2   3 )



Bu : 
 4  0,531  0,85 2  0,375( 1 4 )  0,607( 2   3 )

168
Hasil-hasil di atas sama dengan hasil dalam Contoh 6.2. Dengan hasil-hasil tersebut,
struktur elektronik butadiena dalam keadaan dasar o adalah seperti dalam Gambar 6.3

4 4(Bu)
3 3(Ag)

2 2(Bu)
1 1(Ag)

Gambar 6.3 Orbital molekul-orbital molekul butadiena.

Jelaslah bahwa struktur elektronik yang diperoleh dengan menggunakan simetri


sama dengan hasil yang diperoleh tanpa memperhatikan simetri. Hanya saja, dengan
penerapan simetri kita memecahkan dua buah determinan sekuler berukuran 2x2 yang
jauh lebih mudah dibandingkan dengan determinan berukuran 4x4.
Sekarang akan dibahas transisi elektron-; mula-mula diperiksa representasi
fungsi-fungsi keadaan sebagai berikut.o1222, 1122131, 2122141,
3112231 dan 4112241. Dari struktur elektronik dalam Gambar 6.3 representasi
masing-masing adalah
(o)=Ag2Bu2=AgAg =Ag
(1)=Ag2BuAg=AgBu=Bu
(2)=Ag2BuBu=AgAg=Ag
(3)=AgBu2Ag=AgAgAg=Ag
(4)=AgBu2Bu=AgAgBu=Bu.

Representasi transisi-transisi adalah

(o)(1)=AgBu=Bu
(o)(2)=AgAg=Ag
(o)(3)=AgAg=Ag
(o)(4)=AgBu =Bu

Dari Tabel 4.8jelas bahwa komponen dipol  x  ex dan  y  ey masing-masing


memiliki representasi Bu. Suatu transisi diizinkan jika memenuhi persamaan (4.24) yakni
(ˆ )  (o ) (n ) . Jadi, transisi o1 dan o4 diizinkan sedangkan
transisio2 dan o3adalah terlarang. Dapat diperiksa pula bahwa transisi 1 ke
2 juga bisa terjadi. Transisi-transisi itu diperlihatkan dalam Gambar 6.4. Panjang
gelombang dalam Gambar 6.4(b) adalah

hc 1,24
ki (μm)   ; i  0, 1; k  1, 2
Ek  Ei Eki (eV)

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua hal penting yang
diperoleh dari aplikasi simetri: (1) ukuran matriks dalam persamaan sekuler menjadi kecil
sehingga mudah diselesaikan, dan (2) mungkin atau tidak terjadinya transisi elektron
antara dua keadaan mudah terlihat.

169
2(Ag) E2

1(Bu) E1

(a) 
0(Ag) E0

(b)

02 01 12 


Gambar 6.4 (a) Transisi-transisi elektron dalam butadiena, (b) spektrum UV-Vis.

Naftalen
Sesuai dengan teori elektron-, molekul naftalena seperti gambar di bawah
memiliki sepuluh buah orbital 2pz yang digunakan dalam pembentukan orbital molekul.
Jadi persamaan sekulernya berukuran 10x10.Berdasarkan gambar itu, molekul tersebut
memiliki operasi-operasi simetri C2(z), C2(y), C2(x), h(xy), h(xz), h(yz), dan i. Jadi,
molekul ini memenuhi grup D2h dengan karakter seperti Tabel 4.9.

z
2
1
3
9
8 4
10
7
5 y
6
x

D2h I C2(z) C2(y) C2(x) h(xy) h(xz) h(yz) i


Ag 1 1 1 1 1 1 1 1
Au 1 1 1 1 -1 -1 -1 -1
B1g 1 1 -1 -1 1 -1 -1 1
B1u 1 1 -1 -1 -1 1 1 -1 z
B2g 1 -1 1 -1 -1 1 -1 1
B2u 1 -1 1 -1 1 -1 1 -1 y
B3g 1 -1 -1 1 -1 -1 1 1
B3u 1 -1 -1 1 1 1 -1 -1 x

Operasi simetri terhadap orbital-orbital atom 2pzadalah seperti tabel di bawah ini.
Dalam tabel ditampilkan karakter setiap operasi.

170
D2h I C2(z) C2(y) C2(x) h(xy) h(xz) h(yz) i
1 1 5 -8 -4 -1 4 8 5
2 2 6 -7 -3 -2 3 7 6
3 3 7 -6 -2 -3 2 6 7
4 4 8 -5 -1 -4 1 5 8
5 5 1 -4 -8 -5 8 4 1
6 6 2 -3 -7 -6 7 3 2
7 7 3 -2 -6 -7 6 2 3
8 8 4 -1 -5 -8 5 1 4
9 9 10 -9 -10 -9 10 9 10
10 10 9 -10 -9 -10 9 10 9
 10 0 -2 0 -10 0 2 0

Selanjutnya, berdasarkan tabel karakter (Tabel 4.9) dihitung koefisien-koefisien


bagi setiap representasi.
1
a( Ag )  (110  1 0  1 2  1 0  110  1 0  1 2  1 0)  0
8
1
a( Au )  (110  1 0  1 2  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  2
8
1
a( B1g )  (110  1 0  1 (2)  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  0
8
1
a( B1u )  (110  1 0  1 (2)  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  3
8
1
a( B2 g )  (110  1 0  1 (2)  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  2
8
1
a( B2u )  (110  1 0  1 (2)  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  0
8
1
a( B3 g )  (110  1 0  1 (2)  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  3
8
1
a( B3u )  (1 10  1 0  1 (2)  1 0  1 (10)  1 0  1 2  1 0)  0
8
Dari hasil di atas maka naftalena memiliki representasi:
  2 Au  3B1u  2B2 g  3B3 g
Jadi, dari sepuluh orbital 2pzdua buah di antaranya masukdalam representasi Au, tiga buah
dalam B1u, dua buah dalam B2g dan tiga buah dalam B3g. Berdasar tabel di bawah ini

D2h I C2(z) C2(y) C2(x) h(xy) h(xz) h(yz) i


1 1 5 -8 -4 -1 4 8 -5
2 2 6 -7 -3 -2 3 7 -6
9 9 10 -9 -10 -9 10 9 -10
Au 1 1 1 1 -1 -1 -1 -1
B1u 1 1 -1 -1 -1 1 1 -1
B2g 1 -1 1 -1 -1 1 -1 1
B3g 1 -1 -1 1 -1 -1 1 1

171
diperoleh orrbital-orbital teradaptasi simetri untuk setiap representasi, yakni

1  1 2 (1   4   5   8 )
Au : 
 2  2 ( 2   3   6   7 )
1

3  1 2 (1   4   5   8 )


B1u :  4  1
2 ( 2   3   6   7 )

5 
 ( 9  10 )
1
2

6  1 2 (1   4   5   8 )
B2 g : 
7  2 ( 2   3   6   7 )
1

8  1 2 (1   4   5   8 )


B3 g : 9  1 2 ( 2   3   6   7 )

10  2 ( 9  10 )
 1

Kini jelas, bahwa determinan sekuler yang 10x10 berubah menjadi 2x2, 3x3, 2x2 dan 3x3
seperti berikut. Elemen-elemen Fij dalam representasiAu adalah:

 F11   1 4 1   4   5   8 Fˆ 1   4   5   8    1 2 


Au :  F12  H 21  1 4 1   4   5   8 Fˆ  2   3   6   7  

 F22  1 4  2   3   6   7 Fˆ  2   3   6   7    

Selanjutnya dengan cara yang sama diperoleh:

 F33  1 4 1   4   5   8 Fˆ 1   4   5   8    1 2  ;

 F34  F43  1 4 1   4   5   8 Fˆ  2   3   6   7   ;

F  F  1 1   4   5   8 Fˆ  9  10  1 2 
 35 53 2 2
B1u : 
 F44  1 4  2   3   6   7 Fˆ  2   3   6   7     ;

 F45  F54  1 2 2  2   3   6   7 Fˆ  9  10  0;

 F55  1 2  9  10 Fˆ  9  10    

 F66  1 4 1   4   5   8 Fˆ 1   4   5   8    1 2  ;


B2 g :  F67  F76  1 4 1   4   5   8 Fˆ  2   3   6   7  

ˆ
 F77  4  2   3   6   7 F  2   3   6   7    
 1

172
 F88  1 4 1   4   5   8 Fˆ 1   4   5   8    1 2  ;

 F89  F98  1 4 1   4   5   8 Fˆ  2   3   6   7   ;

F  F  1 1   4   5   8 Fˆ  9  10  2 
 8,10 10,8 2 2
B3 g : 
 F99  1 4  2   3   6   7 Fˆ  2   3   6   7     ;

 F9,10  F10,9  1 2 2  2   3   6   7 Fˆ  9  10  0;

 F10,10  1 2  9  10 Fˆ  9  10    

Jadi, determinan sekuler dan energi orbital molekul dalam masing-masing representasi
adalah:
     0.62 ;

Au :  0   ( Au )  
        1.62

   1
2
    ;

B1u :       0  0   ( B1u )    0.828 ;

1
2
 0       1,828
     1,62 ;

B2 g :  0    ( B2 g )  
       0,62

   1
2
    ;


B3 g :      0  0   ( B3 g )    1.67  ;

1
2
 0        0.67 

Koefisien-koefisien kombinasi linier dari {i} untuk pembentukan orbital molekul


dihitung seperti biasa, dan hasilnya:

  0.62  c1  0,850; c2  0,525


 ( Au )  
  1.62  c1  0,525; c2  0,850
    c1  0; c 2  0,597; c3  0,830

 ( B1u )    0,828  c1  0,83; c2  0,453; c3  0,315
  1,828  c  0,558; c  0,678; c  0,479
 1 2 3

  1,62 c1  0,525; c 2  0,85


 ( B2 g )  
  0,62 c1  0,85; c2  0,525
    c1  0; c 2  0,597; c3  0,830;

 ( B3 g )    0,734  c1  0,593; c2  0,341; c3  0,73;
  1,734  c  0,599; c  0,816 c  0,579;
 1 2 3

173
Jadi, orbital molekul yang diungkapankan melalui kombinasi linier dari {i=2pz} jika
diurut sesuai dengan urutan energi mulai dari paling negatif (ingat  dan  negatif)
adalah:
Energi Orbital molekul j
1=+1,828 1=0,28(1+4+5+8)+0,34(2+3+6+7)+0,34(9+10) B1u
2=+ 2=-0,30(2+3+6+7)-0,59(9-10) B1u
3=+0,734 3=0,30(1-4-5+8)-0,17(2-3-6+7)+0,52(9-10) B3g
4=+0,62 4=0.43(1+4-5-8)-0,26(2+3-6-7) B2g
5=+0,62 5=0,43(1-4+5-8)+0,26 (2-3+6-7) Au
6=-0,828 6=0,42(1+4+5+8)-0,23(2+3+6+7)-0,23(9+10) B1u
7=- 7=-0,3(2-3-6+7)+0,6(9-10) B3g
8=-1,62 8=0,26(1+4+5+8)-0,43 (2-3+6-7) Au
9=-1,62 9=0.26(1+4+5+8)+0,43(2+3-6-7) B2g
10=-1,734 10=0,30(1+4+5+8)-0,41(2-3-6+7)+0,43(9-10) B3g

Struktur elektronik dalam keadaan dasar o diperlihatkan dalam Gambar 6.5. Selain itu
digambarkan juga tiga buah keadaan tereksitasi, 1 hasil transisi sebuah elektron dari
56 , 2 hasil transisi sebuah elektron dari 57 dan 3 hasil transisi sebuah
elektron dari 46.
B3g 10 10 10 10
    c1  0; c2  0 ,597c1; c30  ;0,597; c3 0,830
; c02,830  ;  c1  0; c2  0,
B3g 7  7  7 7 
 ( B3 g
 ( B3 g )    0,734 ) c1  0,0593 ; c2 
,734 c01,341 c3;( B
 0;,593 0,
g) ;
c023,73 ;0c,734
341 3 0 ,73
; c1  0,593
B1u 6   1,734
6  6 6 
   c1  0,599
1,734; c2 c01,816
 0,599
c3 ; c20,579   1c,3734
0;,816  0,
579c;1  0,599
Au 
10 5 
10 5
5 
10 5

B2g 4 4 4 4

B1u 1 1 1 1
    c1  0; c2  0 c1; c30 ;c 
 ;0 c1;c30;c0 0; , c1; c30; c02,830
 ;0,

,597 0,830 ,597 2 ,830 597
o 1 2  23 
 ( B3 g
 ( B3 g )    0,734  (; Bc32g
) c1  0,0593
,734 ) c01,341
 0;,05933
c,734 c023,73
;( B c01,
g) ;
 0,;593
341 0c,734 
; c2,73
3 0  0;,593
; 0c1,341 c3
 beberapa  0,599   1,734
c20, c01;,816
0,599 ; c20 0 3 
Gambar 6.5 Keadaan dasar dan keadaan tereksitasi molekul naftalena.
 1,734  c1 1,734; c2  c01,816  0,599c3 ;  579 1c,3734 ,579  0,c599
c;1,816
Representasi keadaan-keadaan seperti dalam gambar adalah

(0 )  ( B1u B1u )......( B2 g B2 g )( Au Au )  Ag ..... Ag Ag  Ag

(1 )  ( B1u B1u ).......( B2 g B2 g ) Au B1u  Ag ...... Ag B1g  B1g


(2 )  ( B1u B1u ).....( B2 g B2 g ) Au B3 g  Ag ....... Ag B3u  B3u
(3 )  ( B1u B1u )........B2 g ( Au Au ) B1u  Ag ...... Ag B2u  B2u

Jadi, representasi momen transisi untuk n=1, 2 dan 3 masing-masing adalah B1g, B3u dan
B2u. Artinya,
transisi 0  1 : (ˆ )  (0 )(1 )  Ag B1g  B1g
transisi 0  2 : (ˆ )  (0 )(2 )  Ag B3u  B3u
transisi 0  3 : (ˆ )  (0 )(3 )  Ag B2u  B2u

174
Berdasarkan Tabel 4.9 komponen dipole x, y dan zmasing-masing memiliki representasi
B3u, B2u dan B1u. Jadi, transisi 0  1 terlarang sedangkan transisi 0  2 dan
transisi 0  3 diperbolehkan masing-masing dengan komponen dipol x dan y.

6.6 Pengaruh Heteroatom dan Substituen


Dalam suatu molekul heterosiklik, suatu atom karbon bisa diganti dengan atom lain
seperti N dan O, dan di dalam molekul tersubstitusi suatu atom hidrogen diganti dengan
atom lain atau gugus substitusi seperti F dan NH2. Kehadiran atom lain dalam suatu
molekul heterosiklis menyebabkan elemen matriks Fii(=i) untuk heteroatom berbeda
dengan atom karbon yang masih ada. Demikian pula harga i di mana imenyatakan
heteroatom.
Secara umum besaran  dan  untuk heteroatom dirumuskan sebagai beikut:

 i    hi 
(6. 52)
 i  ki 

di mana  dan  adalah nilai untuk atom karbon, sedangkan hidan kibergantung pada jenis
heteroatom (ke-eloktronegatifan) seperti dalam table di bawah ini.

Harga-harga hi dan ki untuk berbagai atom


Atom-i hi Ikatan ki
-O- 2 C-O- 0.8
N-O- 0.7
O= 1 C=O 1.0
-N- 1.5 C-N- 0.8
-N= 0.5 C=N- 1.0
-F 3 C-F 0.7
-Cl 2 C-Cl 0.4
-Br 1.5 C-Br 0.3

Sebagai contoh, perhatiakan molekul formaldehid H2C=O; determinan sekuler adalah:

x 1
 0 atau x2+x-1=0.
1 x 1

Hasilnya, x=0,62 dan x=-1,62 atau energi orbitalmolekul adalah

1= +1,62 ,
2= -0,62 .
Dengan 1 diperoleh
1=0,525φC+ 0,851φO,
dan dengan 2 diperoleh
2=0,851φC- 0,525φO.

Penggambarannya diperlihatkan dalam Gambar 6.6 di mana energi orbital molekul


bonding (1) lebih dekat pada orbital atom oksigen dan orbital molekul anti-bonding

175
(2) lebih dekat orbital atom karbon seperti diperlihatkan dalam Gambar 6.6.
2,2
φC
φO

1,1

Gambar 6.6 Pembentukan orbital molekul pada formaldehida.

Kerapatan muatan pada masing-masing atom dalam keadaan dasar adalah:

qC= 2x 0,5252=0,55
qO=2x0,8512=1,45.

Artinya, atom O menarik 0,45 elektron dari atom C; hal ini sesuai dengan sifat atom
oksigen yang senang menarik elektron (ke-elektronegatifan-nya lebih tinggi dari pada
karbon).
Dalam molekul heterosiklis piridin, atom nitrogen dipandang terhibridisasi sp2
dengan lone pair mengarah ke luar bidang cincin. Oleh sebab itu nitrogen ini mempunyai
satu elektron valensi yang tersisa untuk berperan dalam ikatan elektron -, sehingga
piridin adalah isoelektronik- dengan benzen. Kerapatan elektron dan order ikatan
dihitung dari tiga buah orbital molekul yang masing-masing ditempati elektron-. Hasil
perhitungan kerapatan elektron untuk piridin adalah sebagai berikut (Murrel et.al.,1977):
Terlihat bahwa sebagian muatan dari masing-masing atom karbon tertarik menuju atom
nitrogen yang mempunyai keelektronegatifan lebih besar dari atom karbon. Juga terlihat
bahwa kehadiran atom N memberi pengaruh yang besar pada atom-atom alternasi; hal ini
sesuai dengan ‘hukum polaritas yang beralternasi’.
0,910
10
0,987 0,987

0,962 0,962
N
1,147

176
Soal-soal
6.1 Untuk molekul hipotetis trimetilen metan (CH2)3C tuliskanlah persamaan sekuler
menurut metoda Hückel. Kemudian tentukanlah orbital-orbital molekul dan energi
orbital bersangkutan dalam keadaan dasar. Gambarkanlah tingkat-tingkat energi
orbital itu dan tempatkanlah elektron-. Selanjutnya hitunglah order-order-ikatan,
dan jarak antar karbon.

6.2. Molekul etilen dirumuskan seperti H2C=CH2 dan formaldehid seperti H2C=O.
Parameter ho=1 dan kc-o=1 untuk atom oksigen. Selesaikanlah pertanyaan berikut
atas dasar metoda Hückel.
a. Hitunglah energi-orbital dan orbital molekul bersangkutan pada etilen. Dalam
keadaan dasar, tentukanlah kerapatan elektron- di masing-masing atom karbon,
dan hitung pula panjang ikatan C=C.
b. Hitunglah energi-orbital dan orbital molekul bersangkutan pada formaldehid.
Dalam keadaan dasar,tentukanlah kerapatan elektron- di atom karbon dan di
atom oksigen, dan hitung pula panjang ikatan C=O.
c. Jelaskanlah perbedaan hasil-hasil perhitungan untuk kedua molekul.

6.3 Tunjukkan bahwa dalam konfigurasi keadaan dasar butadiena, panjang ikatan 1-2
dan 3-4 lebih pendek daripada 2-3; dalam konfigurasi tereksitasi pertama panjang
ikatan 2-3 lebih pendek daripada 1-2 dan 3-4. Tunjukkan pula bahwa pada anion-
butadiena panjang ikatan-ikatan hampir sama.

6.4 Hitunglah energi dan orbital molekul benzene.


6.5 Energi ionisasi benzene 9.4 eV, naftalena 8.3 eV dan antrasena 7 eV. Gunakanlah
data ini untuk menentukan  dan  yang diperlukan dalam metoda Hückel.

6.5 Hitunglah energi dan orbital molekul sikalopentadien

6.7 Hitunglah tingkat-tingkat energi orbital molekul dan koefisien-koefisien LCAO


untuk molekul terkonjugasi di bawah ini.

Siklobutadiena trimetilen metana metilen siklopropena

6.8 Buat program MATLAB untuk molekul-molekul di bawah ini.


Bandingkan total energi keduanya. Apa kesimpulan anda tentang pengaruh cabang
dalam molekul terkonjugasi?

1,3,5-heksatriena 3-metilena-1,4,pentadiena

6.9 Berikut adalah senyawa-senyawa bisiklik. Semuanya mempunyai 10 elektron-π.

177
(a) Yang manakah yang memperlihatkan stabiltas aromatic?

Naftalen Azulen [6,2,0]-bisiklodekapenten

(b) Sifat tak-biasa apakah dari azulen yang bisa diramalkan dari perhitungan?

6.10 Tentukanlah (i) tingkat-tingkat energi dan orbital molekul, (ii) panjang ikatan, dan
(iii) spectrum UV, untuk molekul naftalen.

6.11 Lakukan hal yang sama dengan soal nomor 5 untuk molekul antrasena.

6.12 Gunakanlah simetri molekul untuk menghitung tingkat-tingkat energi dan orbital
molekul naftalen.

6.13 Gunakanlah simetri molekul untuk menghitung tingkat-tingkat energi dan orbital
molekul antrasena.

6.14 Hitunglah energy delokalisasi karbocation, karbanion, dan radikal bebas yang
diperoleh dari propana.

6.15 Hitunglah kerapatan electron, order ikatan dan energy delokalisasi pada molekul-
molekul berikut.

formaldehida formamida urea

6.16 Bandingkanlah stabilitas furan dan pirrol dengan siklopentadienil anion. Apakah
aturan aromatik 4n+2 berlaku untuk heterosiklik?

furan pirrol siklopentadienil anion

178
BAB 7
METODA KOMPUTASI STRUKTUR ELEKTRONIK
Dalam paragraf 3.4 telah dibahas metoda SCF untuk atom yang mengandung banyak
elektron berdasarkan pandangan Hatree-Fock. Dalam paragraf 5.2 telah dikemukakan
pula teori orbital molekul berdasarkan pandangan Roothaan. Dalam bab ini akan
dikemukakan perumusan Hatree-Fock-Roothaan secara umum dan bagaimana perumusan
itu dipakai untuk molekul. Bertolak dari perumusan Hartree-Fock-Roothaan,
berkembanglah metoda-metoda komputasi untuk studi molekul. Metoda-metoda itu bisa
dibagi menjadi dua kategori: ab initio dan semiempirik. Metoda ab initioadalah metoda
yang dalam perumusan-perumusannya sepenuhnya tidak mengandung parameter-
parameter eksperimen. Metoda ini menggunakan, interaksi konfigurasi, teori perturbasi
dan teori fungsional densitas.Semua integral dievaluasi secara eksak. Hasil perhitungan
dengan metoda ab initio setaraf dengan hasil eksperimen, hanya saja memerlukan
komputer yang lebih canggih agar proses komputasi berlangsung lebih cepat khususnya
untuk molekul besar.

7.1 Perumusan Hartree-Fock-Roothaan


Untuk suatu molekul yang memiliki banyak elektron, Hamiltonian elektron tunggal
(dalam satuan atom) dirumuskan seperti
e2
Hˆ (  )  Hˆ c (  )  1 2  (7.1)
   4 0 r 

di mana
2 2 Z ae2
ˆ
H ( )  
c
c   (7.2)
2m a 4 0 r a

sehingga hamiltonian total sistem elektron adalah

 e2 
Hˆ   Hˆ (  )   Hˆ c (  )  1 2   (7.3)
  
  4 0 r  

Dalam persamaan-persamaan di atas Za adalah nomor atom ke-a, rμa jarak antara elektron
ke-μ dan inti ke-adan rμν adalah jarak antara elekron ke-μ dan elektron ke-ν.
Dalam persamaan (7.1) potensial antara dua elektron melibatkan secara serentak
koordinat masing-masing elektron ke-μ dan ke- yang tidak bisa dievaluasi secara eksak.
Untuk itu Fock melakukan pendekatan dengan memandang potensial sebagai potensial
elektron ke-μ dalam medan rata-rata elektron ke- yang menduduki orbital molekul ke-n,

e2 1
4 0   n* ( )  n ( ) dVv
r 
(7.4a)

Karena elektron dapat bertukar tempat antara orbital-orbital molekul, maka potensial itu
bisa dipandang mencakup
e2 1
4 0   n* ( )  m ( ) dVv
r 
(7.4b)

179
Kedua macam potensial di atas harus dijumlahkan pada semua orbital molekul yang
ditempati elektron. Untuk sistem elektron dengan sel tertutup, jumlah orbital molekul
adalah N genap. Dengan demikian, Hamiltonian untuk satu elektron dinyatakan sebagai
Hamiltonian efektif elektron-tunggal, misalnya untuk elektron ke-

 
N /2
Fˆ ( )  Hˆ c ( )   2 Jˆn ( )  Kˆ n ( ) (7.5)
n

F̂ disebut operator Fock di mana

 e2 1 
Jˆn (  ) m (  )     n* ( )  n ( ) dVv  m (  ) (7.6)
 4 0 r  
 e2 1 
Kˆ n (  ) m (  )     n* ( )  m ( ) dVv  n (  ) (7.7)
 4 0 r  

Operator Ĵ dan K̂ masing-masing disebut operator Coulomb dan operator tukar. Angka 2
pada operator Coulomb dalam persamaan (7.5) menyatakan jumlah elektron yang
menempati suatu orbital molekul untuk sistem elektron dengan sel tertutup. Operator
tukar muncul karena persyaratan fungsi gelombaang yang harus antisimetrik terhadap
pertukaran elektron. Persamaan-persamaan (7.5) sampai dengan (7.7) disebut persamaan
Hartree-Fock. Selanjutnya persamaan (7.2) berubah menjadi

Hˆ   F (  ) (7.8)

Persamaan eigen dari operator Fock untuk elektron ke-μ pada suatu orbital
molekul, misalnya n(μ), adalah

Fˆ (  ) n (  )   n n ( ) (7.9)

Dalam bab-bab yang lalu telah dikemukakan aproksimasi MO LCAO dari


Roothaan, yakni pembentukan suatu orbital molekulψi (fungsi ruang) sebagai kombinasi
linier dari orbital-orbital atom yang selanjutnya disebut sebagai fungsi-fungsi basis {i},

 n   cni i (7.10)
i

Fungsi basis akan dibahas dalam paragraf 7.2.Substitusi persamaan (7.10) ke persamaan
(7.9) menghasilkan persamaan sekuler:

 F
i
ij   n S ij cnj  0 (7.11)

dengan elemen-elemen matriks Fock

Fij   i* Fˆ j dV (7.12)

180
dan integral overlap
Sij   i* j dV (7.13)

Ungkapan rinci dari Fij dalam persamaan (7.12) adalah sebagai berikut:

Fij   i* ( )Hˆ c ( ) j (  ) dV   i* (  )[2 J n (  )  K n ( )] j ( )dV (7.14)


n
atau
e2
Fij  H    2c c
c *

*
(  ) j (  )  k* ( )l ( )dV dV
4 0 r 
ij nk nl i
kl n

e2
   (  ) c c
* *

*
(  )l (  )  k* ( )  j ( )dV dV
4 0 r 
i nk nl i
n (7.15)
 H ijc   2cnk
*
cnl [(ij kl)  1 2 (il kj)]
k ,l n

 H ijc   Pkl [(ij kl)  1 2 (il kj)]


k ,l

di mana
H ijc   i* (  )Hˆ c (  ) j (  ) dV (7.16)

Integral (ij kl) dan (il kj) masing-masing disebut integral repulsif dua-elektron, dan
ungkapannya adalah

e2 1 *
(ij kl)    (  ) j (  )  k ( )l ( ) dV dV
*
(7.17)
4 0
i
r 
e2 1 *
(il kj)    (  )l (  )  k ( ) j ( ) dV dV
*
(7.18)
4 0
i
r 

Adapun Pkl dalam persamaan (7.15) adalah order ikatan antara orbital atom ke-k dan
orbital atom ke-l, yakni
occ
Pkl   2c nk cnl (7.19)
n
Berdasarkan perumusan-perumusan di atas, program komputer untuk komputasi
molekul dapat dirancang berdasarkan diagram alir seperti diperlihatkan dalam Gambar
7.1. Elemen matriks Fock {Fij} harus dihitung terlebih dahulu, namun dalam setiap Fij itu
diperlukan koefisien-koefisien {cnj} untuk menghitung order ikatan {Pij}. Oleh sebab itu,
perhitungan hanya dapat dilaksanakan secara iteratif dengan memberikan harga awal,
{P0ij}. Metoda perhitungan seperti inilah yang disebut self-consistent field (SCF).
Akhirnya, dengan menggunakan hasil perhitungan SCF, fungsi keadaan dasar di-
bangun dalam bentuk determinan Slater dari seluruh orbital molekul yang diduduki
elektron. Untuk sistem sel tertutupfungsi itu adalah determinan Slater dari semua spin-
orbital molekul seperti,

181
 1 (1) 1 (1)  2 (1)  2 (1)........... N / 2 (1)
 1 (2) 1 (2)  2 (2)  2 (2)........... N / 2 (2)
1 (7.20a)
o  ...........................................................................
N!
...........................................................................
 1 ( N ) 1 ( N )  2 ( N )  2 ( N ).......... N / 2 ( N )

dengan  ns (i) adalah spin-orbital molekul ke-n yang ditempati elektron ke-i dengan spin s
( atau ). Secara simbolik fungsi keadaan itu dituliskan seperti

o   1 1 ........... N / 2 (7.20b)

Start

{P0ij}, Δ

iter=1

Fij

iter=iter+1
Diag. F

{n},{cnj} {P0ij}={Pij}

{Pij}

{Pij}-P0ij}Δ
tidak
ya

{n},{cnj}}

Stop

Gambar 7.1 Diagram alir metoda perhitungan SCF.

Dalam persamaaa (7.20a) dan (7.20b) terlihat bahwa setiap orbital molekul n ditempati
oleh dua elektron dengan spin berpasangan; ini sesuai dengan prinsip Pauli. Perumusansel

182
tertutup seperti ini dikenal dengan istilahrestricted Hartree Fock (RHF). Gambaran
susunan elektron dan spinnya dalam keadaan dasar diperlihatkan dalam Gambar 7.2.

. N
.
m
.
. N/2+1

. N/2
.
k
.
. 1

Gambar 7.2 Susunan elektron dan spinnya dalam keadaan dasar.

Contoh 7.1Tunjukkan bahwa fungsi keadaan

 
1  1 (1)  1 (1)
o 
2  1 (2)  1 (2)

adalah fungsi eigen dari Hamiltonian Hˆ  Hˆ (1)  Hˆ (2).

 
1  1 (1)  1 (1)
    
o   1 
 

1

 1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2) 
2  1 (2)  1 (2)
1
2

Hˆ 0  [ Hˆ (1)  Hˆ (2)]
1
 1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2) 
2

1 ˆ
  
H (1)  1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2)  Hˆ (2)  1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2)
2

1 ˆ
2
H (1) 1 (1) 1 (2)  Hˆ (1) 1 (1) 1 (2) 
1

2

 1 (1) Hˆ (2) 1 (2)   1 (1) Hˆ (2) 1 (2) 

 1 (1)  Hˆ (1) 1 (1) (1)  1 1 (1) (1)   1 1 (1)


  
ˆ
H (1)
 ˆ 
 1 (1)  H (1) 1 (1)  (1)  1 1 (1)  (1)  1 1 (1)

 1 (2)  Hˆ (2) 1 (2) (2)  1 1 (2) (2)  1 1 (2)
  
Hˆ (2)
 ˆ 
 1 (2)  H (2) 1 (2)  (2)  1 1 (2)  (2)  1 1 (2)

Hˆ 0   1
1
 
 1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2)   2
1

 1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2) 
2 2

 ( 1   2 )  1 (1) 1 (2)   1 (1) 1 (2) 
 ( 1   2 )0

183
Contoh 7.2 Tunjukkan bahwa fungsi keadaan

 1 (1)  1 (1)  1 (1)


1 
o   1 (2)  1 (2) 1 (2)  0
3! 
 1 (3)  1 (3) 1 (3)
1 
o   1 (1) 1 (2) 1 (3)   1 (1) 1 (2) 1 (3)   1 (1) 1 (2) 1 (3)
3!
  1 (1) 1 (2) 1 (3)   1 (1) 1 (2) 1 (3)   1 (1) 1 (2) 1 (3)
0

Jadi, fungsi diatas bukan fungsi eigen dari Hˆ  Hˆ (1)  Hˆ (2)  Hˆ (3) karena fungsi itu
melanggar prinsip Pauli.

Contoh 7.3 Tunjukkanlah bahwa fungsi keadaan dasar sistem sel tertutup (RHF) adalah
fungsi eigen dari operator spin Ŝ 2 . Untuk itu tinjaulah fungsi keadaan dasar dari sistem
dua elektron:
 1 (1)  1 (1)
1
o  .
2!  
 (2)
1  (2)
1

Fungsi itu dapat dinyatakan seperti:

o 
1
. 
1 
(1) 1 (2)  1 (1) 1 (2) 
1
 1 (1) (1) 1 (2) (2)  1 (2) (2) 1 (1) (1)
2 2
 1 (1) 1 (2) (1)  (2)   (2)  (1)
1

2
  
Operator spin S  s1  s2 sehingga (lihat paragraf 2.6)

   
Sˆ 2  ( s1  s2 ).( s1  s2 )  sˆ12  sˆ22  2sˆ1.sˆ2  sˆ12  sˆ22  2( sˆ1z sˆ2 z  sˆ1x sˆ2 x  sˆ1 y sˆ2 y )
.
 sˆ12  sˆ22  2sˆ1z sˆ2 z  sˆ1 sˆ2  sˆ1 sˆ2 .

sˆ12  (1)  (2)   (2)  (1)  sˆ12 (1)  (2)   (2) sˆ12  (1)    (1)  (2)   (2)  (1)
3 2
4
sˆ22  (1)  (2)   (2)  (1)   (1) sˆ22  (2)  sˆ22 (2)  (1)   2  (1)  (2)   (2)  (1)
3
4
2sˆ1z sˆ2 z  (1)  (2)   (2)  (1)  2[ sˆ1z (1) sˆ2 z  (2)  sˆ2 z (2) sˆ1z  (1)]
1  1   1 1  1
 2       (1)  (2)       (2)  (1)    2 [ (1)  (2)   (2)  (1)]
2  2   2 2  2

sˆ1 sˆ2  (1)  (2)   (2)  (1)  sˆ1 (1) sˆ2  (2)  sˆ2 (2) sˆ1  (1)
 0   (2) (1)   2 (1)  (2)

184
sˆ1 sˆ2  (1)  (2)   (2)  (1)  sˆ1 (1) sˆ2  (2)  sˆ2 (2) sˆ1  (1)
 (1) (2)  0   2 (2)  (1)
(sˆ1 sˆ2  sˆ1 sˆ2 ) (1) (2)   (2) (1)   2[ (1) (2)   (2) (1)]
 1 (1) 1 (2) Sˆ 2  (1)  (2)   (2)  (1)
1
Sˆ 2 o 
2
3 1  1
 1 (1) 1 (2) (1)  (2)   (2)  (1)  0  o  0
3
  2  2  2  2 
4 4 2  2
Jadi fungsi keadaan dasar o adalah fungsi eigen dari operator spin Ŝ dengan nilai eigen
2

nol.
Dari hasil perhitungan SCF, keadaan tereksitasi singlet berkaitan dengan promosi
satuelektron dari orbital molekul  k (kN/2) ke  m (mN/2+1) menghasilkan keadaan
eksitasi
1
k m 
1
2
 
1 .... k1 k m k1 .... N / 2
(7.20c)
   
  1 .... k 1 m k  k 1 .... N / 2  

atau
 1 (1) ....... k1 (1)  k (1)  m (1)  k1 (1)........... N / 2 (1)
      
 1 (2) ...... k 1 (2)  k (2)  m (2)  k 1 (2).......... N / 2 (2)
1 
1
k  m   ...............................................................................................
2  N! 
........................................... .....................................................

 1 ( N ) .... k1 ( N )  k ( N )  m ( N )  k1 ( N )......... N / 2 ( N )
 (7.20d)

 (1) ....... 
k 1

(1)  (1)  (1)   
k 1 (1)........... (1) 


1 k m N /2

 1 (2) ...... k1 (2)  k (2)  m (2)  k1 (2).......... N / 2 (2) 



 ............................................................................................... 
................................................................................................ 

 1 ( N ) .... k1 ( N )  k ( N )  m ( N )  k1 ( N )......... N / 2 ( N ) 

di mana tanda negatif untuk keadaan singlet dan tanda positif untuk keadaan triplet.
Gambar 7.3 memperlihatlan susunan elektron dalam keadaan-keadaan tereksitasi singlet
dan triplet.
. N . N
. .
m m
. .
. N/2+1 . N/2+1


. N/2 . N/2
. .
k k
. .
. 1 . 1

Gambar 7.3 Susunan elektron dalam keadaan tereksitasi: (-) singlet dan (+) triplet.

185
Contoh 7.4 Jika hanya meninjau elektron-π saja maka keadaan dasar butadiena adalah

 1 (1)  1 (1)  2 (1)  2 (1) 


     
    = 1  1 (2) 1 (2) 2 (2) 2 (2) .
0   1  1  2  2
4!  1 (3) 1 (3) 2 (3) 2 (3) 
 
 1 (4) 1 (4) 2 (4) 2 (4)

Tentukanlah fungsi keadaan molekul butadiena jika satu elektron tereksitasi dari orbital
molekul2 ke orbital molekul 3 dengan spin yang tetap (singlet).

1
23 
1
2
  1 1 2 3   1 1 3 2 
 1 (1)  1 (1)  2 (1)  3 (1)   1 (1)  1 (1)  3 (1)  2 (1)  
   
1  1 (2) 1 (2) 2 (2) 3 (2)  1 (2) 1 (2) 3 (2)  2 (2)  
     
2  4!  1 (3) 1 (3) 2 (3) 3 (3)   1 (3) 1 (3) 3 (3)  2 (3)  
     

 1 (4) 1 (4) 2 (4) 3 (4)  1 (4) 1 (4) 3 (4)  2 (4)  
 

Dalam sistem sel terbuka, misalnya untuk N=3 keadaan dasar adalah

1 (1) 1 (1)  2 (1)


1 (2)
1 
o  1 (2)  2 (2)
3!
1 (3) 1 (3)  2 (3)

Meskipunelektron-1 dan elektron-2 berada pada orbital molekul ruang yang sama,1,
tetapi karena spinnya berbeda maka interaksi masing-masing dengan elektron-3 dengan
spin tertentu adalah berbeda. Dengan demikian maka persamaan eigen bagi operator
 
Hatree-Fock-Roothaan untuk masing-masing hamiltonian effektif F̂ dan F̂ harus
mengikuti
Fˆ s ( ) m
s
( )   m m ( ); s   , 
s s (7.21a)
di mana

 
Ns
Fˆ s (  )  Hˆ c (  )   Jˆ ns (  )  Kˆ ns (  ) ; s   ,  (7.21b)
n
dengan N dan Nβ masing-masing menyatakan jumlah elektron dengan spin- dan spin-β.
Jadi N= N + Nβ adalah jumlah elektron keseluruhan.Pandangan dan perumusan di atas
disebut unrestricted Hartree Fock (UHF).
Selanjutnya masing-masing orbital molekul  n dan  n dinyatakan sebagai

 nq   cinq  i ; q   ,  (7.22)
i

dengan mana diperoleh persamaan sekuler

186
 F
i
q
ij 
  nq S ij c qjn  0; q   ,  (7.23)

dengan elemen-elemen matriks


Fijq  H ijc   Pkl (ij kl)  Pklq (ij kl) ; q   ,   (7.24)
k ,l

di mana
Pkl  Pkl  Pkl (7.25)
dengan
Nq

P   cknq* clnq ; q   , 
q
kl (7.26)
n

Energi molekul (Etotal) adalah jumlah energi sistem elektron (Eel)dan energi
potensial repulsif inti-inti terasnya:

 Pij H ij  Fij 
1
Eel  (7.27a)
2 i j
Etotal  Eel   E c
AB (7.27b)
A B (  A)

7.2Fungsi-fungsi basis
Dalam persamaan (7.10) dikemukakan bahwa suatu orbital molekul dibentuk sebagai
kombinasi linier dari fungsi-fungsi basis elektron tunggal. Dalam perhitungan ab initio
struktur elektronik atom, orang menggunakan orbital atom Slater type orbital(STO)
menggantikan orbital atom hidrogen karena orbital atom STOlebih sesuai untuk atom
yang lebih besar. Suatu orbital atom STO dirumuskan seperti

n1/ 2
1  2   r / a0
 STO
   r n1e Y m ( ,  ) (7.28)
(2n)!  a0
s

di mana  adalah eksponen orbital STO; n, l, m adalah bilangan kuantum utama, bilangan
kuantum orbital dan bilangan kuantum magnetik orbital sedangkan indek s mewakili
(n,l,m), misalnya s: 1s, 2s, 2px, 2py, 2pz. Dalam perhitungan ab initio itu, akan diperoleh
harga-harga eksponen yang memberikan energi atom minimum. Dalam perhitungan
struktur molekul, seperti telah dikemukakan di atas, dihadapi banyak sekali perhitungan
integral-integral dua-elektron (ij kl) . Pemakaian orbital atom STO dalam perhitungan itu
tidak praktis, dan masalah ini telah banyak dibahas orang.
Untuk memudahkan perhitungan ab initio, Boys (1950) mengusulkan penggunaan
orbital jenis Gaussian,Gaussian type orbital(GTO), sebagai fungsi basis menggantikan
STO. Bentuk asli (primitif)-nya suatu fungsi GTO adalah

g  Ne  ( r rc ) ( x  xc )i ( y  yc ) j ( z  zc ) k
2
(7.29)

di mana (xc, yc, zc) adalah koordinatdari pusat fungsi Gaussian (rc), (x, y, z) adalah
koordinat posisi elektron (r), α adalah eksponen;i, j, k adalah bilangan-bilangan bulat

187
positif sedangkan indeks ladalahl=i+j+k dianalogikan sebagai bilangan kuantum orbital l
dari atom; misalnya l=0 disebut Gaussian-s, l=1 disebut Gaussian jenis-p dan sebagainya.
Fungsi-fungsi Gaussian yang biasa dipakai untuk orbital-orbital 1s, 2p dan 3d adalah
sebagai berikut:
g1s  N 1e  r
2

g 2 p x  N 1e  r x; g 2 p y  N 1e  r y; g 2 p z  N 1e  r z
2 2 2

(7.30)
g 3d xx  N 2 e  r x 2 ; g 3d yy  N 2 e  r y 2 ; g 3d zz  N 2 e  r z 2
2 2 2

g 3d xy  N 3 e  r xy; g 3d xz  N 3 e  r xz ; g 3d yz  N 3 e  r zy
2 2 2

Contoh 7.5 Faktor normalisasi GTO


Berdasarkan   * (r ) (r ) dr 1 maka untuk fungsi Gaussian yang berpusat di (0,0,0)
  
1  N 2  e  r x i y j z k e  r x i y j z k dr  N 2  e 2 r x 2i y 2 j z 2 k dr
2 2 2

Karena r 2  x 2  y 2  z 2 ; dr  dxdydz maka


1  N 2  e 2 x x 2i dx  e 2 y y 2 j dy  e 2 z z 2k dz
2 2 2


(2i  1)!! 
e
2 x 2
x 2i dx  dengan (2i  1)!! 1.3.5.......(2i  1).
 (4 ) i 2

Jadi ,
(2i  1)!!  (2 j  1)!!  (2k  1)!!  (2i  1)!!(2 j  1)!!(2k  1)!!   
3/ 2

1 N 2
  N 2
 
(4 ) i  j  k  3 / 2

(4 ) i 2 (4 ) j 2 (4 ) k 2 2

sehingga
2 ( i  j  k )  ( 2 i  2 j  2 k  3) / 4
3/ 4
2
N    (7.31)
  [(2i  1)!!(2 j  1)!!(2k  1)!!]1 / 2

Untuk i=j=k=0, N1  2 /  3 / 4 sehingga g1s  2 /  3 / 4 e  r .


2

Untuk i=1, j=k=0, N 2  2 /  3 / 4 2  maka g 2 px  2 /   2  x e  r  2  x g1s


3/ 4 2

Untuk i=2, j=k=0, N 3  2 /  3 / 4 (4 / 3) maka g 3dx  (4 / 3) x 2 g1s . 2

Keuntungan penggunaan fungsi GTO adalah bahwa perkalian dua fungsi GTO yang
berbeda pusat sama dengan suatu fungsi GTO yang berpusat di antara kedua pusat fungsi
semula; lihat Gambar 7.4 (lihat juga Szabo et al. 1989 dan Atkins et al. 2005).
Dapat dihitung bahwa pusat dan eksponen fungsi Gaussian hasil perkalian
g1(a1,1,R1,r)  g2(a2,2,R2,r) adalah
 R   2 R2
R 1 1 ;
1   2
(7.32)
 1 2

1   2

188
Dengan demikian maka integral-integral dua-elektron dengan tiga dan empat pusat atom
bisa direduksi menjadi integral dengan dua pusat.

20

g1g2
15

2
0 , 018 ( r 30 )
10 g 2  8e
2
0 , 015 ( r  20 )
g1  5e
5

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

rr
Gambar 7.4 Fungsi Gaussian g1dan g2serta perkaliannya.

Kelemahan suatu fungsi GTO adalah ketika mendekati inti atom fungsi ini tidak
setajam STO. Untuk mengatasi hal itu, maka beberapa fungsi GTO dikelompokkan untuk
membentuk suatu fungsi basis baru yang disebut fungsi Gaussian terkontraksi
(contraction GTO disingkat CGTO) , yakni kombinasi linier dari beberapa fungsi
primitif,
 s   a s g  (7. 33)

Koefisien-koefisien asl yang disebut koefisien kontraksi dan parameter-parameter di
dalam fungsi GTOgj dipertahankan selama perhitungan. Dengan demikian maka orbital
molekul yang dirumuskan seperti persamaan (7.10) menjadi

 n   cns  s   cns  a s g  (7.34)


s s 

Jelas bahwa penggunaan fungsiCGTO akan mengurangi secara drastis jumlah koefisien
cns yang harus dihitung, dan hal ini dengan sendirinya mempercepat
perhitungan.Pembentukan suatu CGTO dari beberapa GTO sebagai pengganti suatu STO
dilakukan dengan cara least square fitting; Andzelm et al. (1984) dan Tazartes et
al.(1998).
Penentuan fungsi basis mengikuti pengertian-pengertian berikut.
(1) Basis set minimal:
Suatu basis set minimal mengandung satu fungsi basis STO untuk setiap orbital
atom kulit-dalam dan kulit valensi dari setiap atom. Misalnya pada molekul NH3 minimal
basis setnya adalah satu fungsi STO untuk 1s pada setiap H dan 1s, 2s, 2px, 2py, 2pz pada
N sehingga jumlah fungsi basis STO dalam minimal basis set untuk NH3 adalah 8. Pada
molekul C2H2 basisset minimalterdiri atas,1s, 2s, 2px, 2py, 2pz untuk setiap atom C dan 1s
untuk setiap atom H. Jadi, jumlah fungsi basis STO untuk C2H2adalah 12. Notasi untuk
minimal basis set ini adalah (2s1p/1s). Suatu basis set minimal akan menghasilkan fungsi
gelombang dan energi yang tidak tepat sehingga diperlukan basis set yang lebih luas.

(2) Basis set double-zeta(DZ):


Suatu basis set DZadalah basis set yang diperoleh dengan mengganti setiap fungsi
basis STO dalambasis set minimal dengan dua buah STO yang berbeda eksponen .

189
Misalnya basis setdouble-zetauntuk C2H2 terdiri dari dua 1s pada setiap H, dan dua 1s +
dua 2s+ dua 2px+ dua 2py + dua 2pz pada etiap C. Jadi, ada 24 fungsi basis STO.Notasi
basis set ini adalah (4s2p/2s). Di dalam orbital molekul setiap fungsi basis itu memiliki
koefisien cns sendiri-sendiri. Itu sebabnya, dalam basis set DZjumlah koefisien-koefisien
itu dua kali jumlah koefisien-koefisien diperoleh dalam basis set minimal.

(3) Basis set split-valence (SV):


Suatu basis set SV menggunakan dua fungsi basisSTO untuk setiap orbital atom
valensi, tetapi hanya satu untuk setiap orbital atom kulit-dalam. Misalnya, dalam
perhitungan SCF atom C diperlukan satu fungsi basis bagi orbital 1s, dua bagi orbital 2s
dan dua untuk masing-masing orbital 2p. Untuk NH3, pada setiap H perlu dua fungsi
basis bagi orbital 1s, dan untuk N perlu satu bagi orbital 1s + dua bagi 2s + dua bagi
masing-masing orbital 2p sehingga jumlah fungsi basis adalah 15.

(4) Basis set DZ+polarisasi (DZP):


Karena pembentukan ikatan antar atom dalam molekul, maka orbital-orbital dari
satu atom akan terpolarisasi oleh atom lainnya. Distorsi itu perlu diperhitungkan dengan
memasukkan fungsi-fungsi basis dengan bilangan kuantum ℓ yang lebih tinggi. Jadi,
orbital 1s ditambah dengan 2p, dan orbital 2p ditambah dengan 3d. Untuk NH3 misalnya
setiap 1s pada atom H ditambah tiga buah 2p, dan enam 3d ditambahkan pada N,
sehingga jumlah fungsi basis menjadi 15+9+6=30.
Ada berbagai cara membentuk fungsi CGTO sebagai pengganti fungsi STO,
diantaranya:
(i) Perhitungan SCF dilakukan terlebih dahulu pada atom dengan menggunakan fungsi
STO. Dari perhitungan diperoleh fungsi-fungsi basis STO yang optimal. Selanjutnya,
fungsi-fungsi STO itu dipakai untuk memperoleh fungsi-fungsi CGTO yang baik
melalui fitting least-square, dan fungsi-fungsi CGTO itu selanjutnya dipakai dalam
perhitungan SCF molekul. Ekspansi suatu fungsi STO dalam N buah primitif GTO
ditandai dengan simbol STO-NG. Yang popular dari cara ini adalah memilih N=3
yang memberikan suatu set CGTO yang disebut STO-3G. Dalam Gambar 7.5
diperlhatkan ketepatan STO-3G untuk menggantikan STO untuk orbital 1s.
0.7
STO

0.6 STO-1G
STO-2G

0.5 STO-3G
Amplitudo

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 1 2 3 4 5
r (au)

Gambar 7.5 Sebuah orbital STO 1s dan beberapa STO-NG.

190
(ii) Perhitungan SCF molekul dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan sejumlah
fungsi primitif GTO. Dari perhitungan itu diperoleh koefisien-koefisien ekspansi cns
dari setiap fungsi GTO untuk setiap orbital molekul n; lihat persamaan (7.10). Lalu,
koefisien-koefisien itu dipakai untuk menemukan fungsi-fungsi CGTO untuk
perhitungan SCF molekul; lihat persamaan (7.31b).

Contoh 7.6 Untuk keadaan dasar atom O, Huzinaga (1956) telah melakukan
optimasi terhadap sembilan buah GTO jenis-s. Hasil optimasi untuk sembilan buah
GTO adalah sebagai berikut:
g1 g2 g3 g4 g5 g6 g7 g8 g9
i 7817 1176 273.2 81.2 27.2 9.53 3.41 0.94 0.285
ai 1s 0.0012 0.009 0.043 0.144 0.356 0.461 0.140 -0.0006 0.001
ai2s -0.0003 -0.002 -0.010 -0.036 -0.095 -0.196 -0.037 0.596 0.526

Untuk membentuk CGTO digunakan rumus:

   ai g i ; g i  exp(  i r 2 )
i

di mana aiadalah koefisien ekspansi kontraksi dan i adalah eksponen. Misalkanlah kita
ingin membentuk CGTO dalam basis set SV, maka orbital 1s adalah sebuah CGTO dan
orbital 2s dengan dua buah CGTO.
Dari hasil di atas terlihat bahwa koefisien-koefisien ai bagi 1s: g1, g2, g3, g4, g5 dan
g7 jauh lebih besar daripada koefisien-koefisien ai bagi 2s, dan koefisien-koefisien ai bagi
2s: g8 dan g9 lebih besar daripada koefisien-koefisien ai bagi 1s, sedangkan koefisien-
koefisien ai dari g6 berkontribusi baik pada 1s maupun 2s. Jadi, CGTO yang mungkin
untuk 1s adalah


1s  N1 0.0012 e 7817r  0.009e 1176r  0.043 e 273.2 r  0.014 e 81.2 r  0.356 e 27.2 r
2 2 2 2 2

 0.14 e 3.41r
2

Orbital 2s memerlukan dua buah CGTO, dan itutentu berasal dari g6, g8 dan g9. Dari
ketiga- nya,g9 memiliki eksponen paling kecil sehingga fungsi ini menurun secara lambat
terhadap r; inilah yang disebut fungsi diffuse. Jadi fungsi CGTO untuk 2s adalah


 2 s  N 2  0.196e 9.53r  0.596e 0.94r
2 2
 dan  2s'  N 2' 0.526e 0.285r .
2

Basis Set Pople


Basis set ini dikembangkan oleh Pople. Setiap orbital atom diungkapkan dengan tiga buah
fungsi Gaussian (STO-3G) yang dipilih untuk menggantikan fungsi STO. Basis set split-
valence double-zeta dari Pople disebut 6-31G; artinya orbital teras adalah CGTO dari
enam buah fungsi Gaussian, dan orbital valensi dinyatakan dengan dua orbital, satu
CGTO dari tiga fungsi Gaussian dan satu Gaussian tunggal. Basis set 6-31G* atau 6-
31G(d) adalah 6-31G dengan tambahan fungsi polarisasi d pada atom-atom selain
hidrogen. Basis set 6-31G**atau 6-31G(d,p) adalah 6-31G* ditambahi dengan fungsi
polarisasi-p untuk hidrogen. Basis set 6-311G adalah suatu basis split-valence triple-zeta
dengan penambahan satu GTO pada 6-31G. Basis set 6-31+G adalah 6-31G ditambah
fungsi-fungsi diffuse s dan p untuk selain hidrogen, sedangkan 6-31++G mempunyai
fungsi-fungsi diffus untuk hidrogen juga.

191
Contoh 7.7 Menentukan jumlah fungsi basis dengan menggunakan basis set 6-31G*.
Tinjaulah molekul C2H2; dengan basis set 6-31G* setiap atom dalam molekul akan
mengandung (i) satu CGTO dari 6 primitif untuk setiap orbital kulit-dalam, dan (ii) dua
fungsi basis untuk setiap orbital valensi, satu CGTO dari 3 primitif dan satu primitive
tunggal. Jadi ada 6 fungsi polarisasi jenis-p untuk setiap atom selain hidrogen. Setiap
orbital 1s dari H dinyatakan dengan 2 fungsi basis, dengan menggunakan 4 primitif
Gaussian. Setiap orbital 1s dari C dinyakan dengan satu CGTO dari 6 primitif. Orbital-
orbital 2s, 2px, 2py, dan 2pz dari setiap atom C dinyatakan dengan 2 fungsi basis, satu
CGTO dari 3 primitif dan satu primitif. Sebagai tambahan, setiap atom C juga
mempunyai 6 fungsi polariasi jenis-d. Jadi, jumlah fungsibasis dalam basis set 6-31G*
untuk C2H2 adalah 2(1+42+6)+22=34. Jumlah seluruh fungsi primitive adalah
2{6+4(3+1)+6}+2(3+1)=64.

7.3 Korelasi Elektron


Dalam teori Hartree-Fock, potensial yang dialami oleh satu elektron yang berasaal dari N-
1 elektron lainnya dinyatakan sebagai potensial rata-rata. Teori tersebut tidak
memperhitungkan potensial sesaat antara elektron-elektron dan tidak juga
memperhitungkan effek kuantum terhadap distribusi elektron. Hal itu menyebabkan
fungsi gelombang molekul yang diperoleh tidak bersifat eksak. Maka teori Hartree-Fock
dikatakan telah mengabaikan korelasi elektron. Beberapa cara untuk menangani korelasi
elektron dikemukakan sebagai berikut. Untuk deteilnya baca Atkins et al. (2005).

7.3.1 Interaksi Configurasi


Dalam metoda komputasi suatu orbital molekul diekspansikan dalam suatu basis set.
Jumlah basis set itu terbatas dan menyebabkan ketidak lengkapan. Untuk itu penanganan
masalah korelasi dilakukan dengan cara interaksi konfigurasi (CI) di mana fungsi
keadaan dasar dan fungsi-fungsi tereksitasi di campur melalui proses interaksi. Cara ini
diharapkan dapat memperbaiki fungsi-fungsi keadaan.
MisalkanlahΨI dengan I=1, 2, .. adalah fungsi-fungsi keadaan (konfigurasi) yang
diperoleh dengan perhitungan SCF, yakni keadaan dasar dan keadaan-keadaan tereksitasi
(tunggal dan dobel) yang memiliki simetri yang sama. Dengan itu maka suatu fungsi
keadaan yang lebih baik dalam simetri tersebut, diungkapkan sebagai kombinasi linier
dari fungsi-fungsi konfigurasi:

    C I I (7.35)
I

Dengan Hamiltonian total Ĥ dari sistem elektron dalam molekul, maka berlaku
persamaan sekuler:
 H IJ  E S IJ C J  0
J
(7.36)

di mana
H IJ  I Hˆ J ; S IJ  I J (7.37)

Selanjutnya Eα dan {CIα} bersangkutan dapat ditentukan.


Jumlah fungsi-fungsi konfigurasi dengan simetri yang sama meningkat cepat
sekali dengan pertambahan jumlah elektron dan jumlah fungsi-fungsi basis; misalnya
dengan n buah elektron dan b buah fungsi basis akan dihasilkan bn buah konfigurasi.
Jadi, interaksi konfigurasi sepenuhnya (full CI) hanya dapat dilakukan pada molekul kecil

192
saja. Untuk molekul sedikit besar, interaksi konfigurasi dilakukan terbatas (limited CI),
misalnya hanya melibatkan keadaan-keadaan mono-eksitasi rendah saja.
Koefisien ekspansi Aiα dapat pula diperkirakan dengan teori perturbasi seperti
telah dikemukakan dalam Bab 1. Misalnya untuk keadaan dasar,

H 0J
 0  0   J (7.38)
J E0  E J

di mana E0 dan EJ masing-masing adalah energi keadaan Ψ0 dan ΨJhasil perhitungan


SCF.

7.3.2 Teori Gangguan Møller-Plesset (MP)


Møller-Plesset (Levine, 1991 dan Atkins et al., 2005)mengemukakan suatu teori
gangguan partikel-jamak untuk atom dan molekul di mana fungsi gelombang yang tak
terganggu adalah fungsi Hatree-Fock.Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Pople dan
kawan-kawanPada hakikatnya, teori ini sama dengan teori gangguan tak-bergantung
waktu.
Mirip dengan persamaan Hatree-Fock, untuk fungsi spin-orbital ψi, persamaan
Hatree-Fock bagi elektron ke-μ dalam molekul yang mempunyai N buah elektron berlaku

F ( ) i ( )   i i ( ) (7.39)
di mana
2 2
 
N
Z
F ( )          Jˆ j (  )  Kˆ j (  ) (7.40)
2m  r  j 1

di mana Jˆ j (  ) dan Kˆ j (  ) telah dikemukakan dalam persamaan (7.6) dan (7.7) dengan
pengertian fungsi orbital ruang diganti dengan orbital-spin, dan integral dalam koordinat
ruang diganti dengan integrasi dalam kordinat ruang dan penjumlahan dalam koordinat
spin dari elektron.
Hamiltonian MP yang tidak terganggu diambil sebagai penjumlahan dari
hamiltonian effektif elektron tunggal,

n
Hˆ 0   Fˆ (  ) (7.41)
 1

Fungsi Hatree-Fock untuk keadaan dasar adalah determinan Slater dari fungsi-fungsi
orbital-spin; misalkan fungsi itu

0( 0)   1  2 ......... n (7.42)


dengan mana dipenuhi
Hˆ ( 0) 0( 0)  E0( 0) 0( 0) (7.43)

 n 
E0( 0)     i  (7.44)
 i 1 

( 0)
Gangguan Ĝ adalah selisih antara Hamiltonian sebenarnya Ĥ dan Ĥ ,

193
e2
 
n n
1
Gˆ  Hˆ  Hˆ ( 0)     Jˆ j (  )  Kˆ j (  )
4 0     r   1 j 1
(7.45)

Selanjutnya, seperti telah dikemukakan dalam Bab 1, koreksi order pertama terhadap
energi adalah E0(1)  0( 0) Gˆ 0( 0) sehingga energi yang terkoreksi order pertama atau
disebut energi Hatree-Fock

EHF  E0( 0)  E0(1)  0( 0) Hˆ ( 0) 0( 0)  0( 0) Gˆ 0( 0)  0(0) Hˆ 0( 0)

Koreksi order kedua adalah

2
s( 0) Gˆ 0( 0)
E0( 2)   (7.46)
s0 E0( 0)  Es( 0)

di mana s( 0) adalah fungsi keadaan tereksitasi yang belum terganggu, yakni determinan
Slater dari N buah fungsi spin-orbital yang sudah mengandung orbital-spin yang tidak
diduduki elektron dalam keadaan dasar. Misalkan i , j, k, .... adalah indeks bagi spin-
orbital yang diduduki elektron dan a, b, c, ... indeks bagi spin-orbital yang kosong di
alam determinan Slater 0( 0) . Maka dapat dinyatakan ia sebagai fungsi keadaan eksitasi
tunggal di mana dalam determinan Slater spin-orbital ψidiganti dengan ψa, dan ijab
merupakan fungsi keadaan eksitasi rangkap di mana ψidiganti dengan ψa dan ψjdiganti
dengan ψb.
Sehubungan dengan persamaan (7.42), dapat dinyatakan bahwa

ia Gˆ 0(0)  0, untuk semua i dan a (7.47)

Fungsi eksitasi rangkap ijab adalah fungsi eigen dari Ĥ 0 dengan nilai eigen
E ab
ij E ( 0)
0   a   b   i   j . Dengan menggunakan persamaan (7.46) diperoleh

2
n n 1 ab r121 ij  ab r121 ji
E ( 2)
0    
b  a 1 a  n 1 i  j 1 j 1  i   j   a   b 
(7.48)

di mana

e2
ab r121 ij    (1) b* (2) r121 i (1) j (2) dv1dv2
*
(7.49)
4 0
a

Perhitungan dengan metoda MP2 memasukkan koreksi energi hingga order dua; jadi
energi molekul: E HF  E0( 2) . MP3 memasukkan koreksi energi hingga order tiga.
Perhitungan MP jauh lebih cepat dari perhitungan CI sehingga banyak dipakai dalam ab
initio. Teori ini memiliki kelemahan, yaitu tak bekerja baik dalam: (i) sistem terbuka, (ii)
keadaan tereksitasi, (iii) geometri yang tak setimbang. Untuk itulah metoda perhitungan
dengan CI masih tetap dipakai.

194
7.3.3 Teori Coupled-Cluster (CC)
Metoda ini pada awalnya diperkenalkan oleh Coester dan Kümmel (1958, 1960),
kemudian dikembangkan oleh Pople dan kawan-kawan pada 1970. Misalkan Ψ0 adalah
fungsi keadaan dasar Hatree-Fock, maka fungsi eksak keadaan dasar Φ adalah

ˆ
  e T 0
 ˆk (7.50)
 1 ˆ2 1 ˆ3  T
 1  T  T  T  .......0  
ˆ 0
 2! 3!  k 1 k !

di mana Tˆ adalah operator cluster

Tˆ  Tˆ1  Tˆ2  ...........  Tˆn (7.51)

dengan n menyatakan jumlah elektron dalam molekul. Tˆ1 adalah operator eksitasi
tunggal, dan Tˆ operator eksitasi rangkap. Operator-operator ini didefenisikan sebagai
2
berikut:
 n
Tˆ10   t
a  n 1 i 1
i
a
ia (7.52a)
  n n 1
Tˆ2 0     t
b  a 1 a  n 1 j i 1 i 1
ab
ij ijab (7.52b)

di mana ia dan ijab masing-masing adalah keadaan tereksitasi tunggal dan rangap
sedangkan t ia dan t ijab adalah koefisien numerik.
ˆ
Gunanya e T dalam persamaan (7.50) adalah untuk merumuskan Φ sebagai
kombinasi linier dari determinan-determinan Slater yang meliput Ψ0 dan semua keadaan-
keadaan eksitasi dari suatu spin-orbit yang diduduki elektron ke spin-orbit yang kosong.
Jadi hal ini mirip dengan CI penuh. Pencampuran menjadi fungsi gelombang dari
determinan-determinan Slater dengan elektron-elektron tereksitasi dari spin-orbital yang
diduduki ke yang kosong memungkinkan elektron-elektron berjauhan satu sama lain
sehingga dapat menjamin berlangsungnya korelasi elektron.
Maksud dari metoda coupled-cluster adalah untuk memperoleh koefisien-
koefisien t ia dan t ijab untuk semua i, j, ....dan semua a, b, ....; segera koefisien-koefisien
ini (disebut amplitudo) diperoleh, fungsi Φ akan diketahui. Secara teori telah ditunjukkan

bahwa dari semua Tˆi yang paling banyak kontribusinya adalah Tˆ2 . Jadi, aproksimasi
Tˆ  Tˆ memberikan
2
ˆ
 CCD  eT2 o (7.53)

Persamaan (7.49) ini dikenal dengan metoda coupled-cluster doubles (CCD). Karena

1 1
e T2  1  Tˆ2  Tˆ22  Tˆ23  ......
ˆ

2! 3!

maka fungsi ΦCCD mengandung determinan-determinan Slater dengan substitusi-


substitusi dobel, quadrupel, hextupel dan seterusnya.

195
Persamaan untuk memperoleh amplitudo-amplitudo diturunkan sebagai berikut.
Substitusi   e T 0 ke persamaan Schrödinger Ĥ  E menghasilkan
ˆ

Hˆ eT 0  E eT 0
ˆ ˆ
(7.54)
Jika dikalikan dari kiri dengan 0* dan diintegrasi akan memberikan

0 Hˆ e T 0  E 0 e T 0
ˆ ˆ
(7.55)
1
e T 0  0  Tˆ0  Tˆ 2 0  .......
ˆ

2!
Karena
Tˆ  Tˆ1  Tˆ2  ...........  Tˆn ,
1 ˆ2
fungsi-fungsi Tˆ0 , T 0  ....... mengandung determinan-determinan Slater dengan
2!
paling sedikit satu spin-orbit yang diduduki elektron diganti dengan satu spin-orbit
ˆ
kosong. Karena sifat ortogonal spin-orbit, maka 0 eT 0  0 0  1 . Oleh sebab
itu persamaan (7.55) menjadi

0 Hˆ e T 0  E
ˆ
(7.56)

Selanjutnya, kalikan persamaan (7.54) dari kiri dengan ijab* lalu diintegral;
hasilnya
ijab Hˆ e T 0  E ijab e T 0
ˆ ˆ
(7.57)

Dengan persamaan (7.52) maka (7.53) menjadi

ijab Hˆ eT 0  0 Hˆ e T 0
ˆ ˆ ˆ
ijab e T 0 (7.58)

Sekarang, gunakan aproksimasi CCD, Tˆ  Tˆ2 , maka persamaan (7.56) menjadi

ECCD  0 Hˆ e T2 0
ˆ
(7.59)

dan persamaan (7.58) menjadi

ijab Hˆ e T2 0  0 Hˆ eT2 0
ˆ ˆ ˆ
ijab e T 0 (7.60)
dengan
0 Hˆ e T2 0  0 Hˆ (1  Tˆ2  1 2 Tˆ22  ......)0
ˆ

(7.61)
 0 Hˆ 0  0 Hˆ Tˆ2 0  0  E HF  0 Hˆ Tˆ2 0

di mana EHF adalah energi keadaan dasar (Hatree-Fock) yang diperoleh melalui proses

196
SCF dan 0 Hˆ Tˆ22 0  0
.
ijab Hˆ e T2 0  ijab Hˆ (1  Tˆ2  1 2 Tˆ22  ......)0
ˆ

(7.62)
  ab
ij Hˆ (1  Tˆ2  1 2 Tˆ22 )0

ijab e T2 0  ijab (1  Tˆ2  1 2 Tˆ22  ......)0


ˆ

 ijab 0  ijab Tˆ2 0  1 2 ijab Tˆ22 0  ... (7.63)

 ijab Tˆ2 0

Jadi, substitusi persamaan (7.61)-(7.63) ke persamaan (7.60) menghasilkan

ijab Hˆ (1  Tˆ2  1 2 Tˆ22  ......)0  E HF  0 Hˆ Tˆ2 0   ijab Tˆ2 0 (7.64)

Selanjutnya sifat dalam persamaan (7.48), Tˆ2 0 memberikan penjumlahan berlipat dari
t ijab ijab sedangkan 
Tˆ22 0  Tˆ2 Tˆ2 0  akan memberikan penjumlahan berlipat dari
t ijabt klcd ijkl
abcd
. Substitusi hasil-hasil ini ke persamaan (7.64) akan memberikan, untuk setiap
t ijab yang tak diketahui, satu persamaan di dalam persamaan (7.64), sehingga jumlah
persamaan-persamaan itu sama dengan jumlah t ijab yang tak diketahui. Akhirnya diperoleh

m m t 1

a
s 1
rs x s   brst x s xt  cr  0, r  1, 2, ........, m
t  2 s 1
(7.65)

di mana x1, x2, ....xm adalah t ijab yang tak diketahui, dan ars, brst, cr adalah konstanta-
konstanta yang meliputi energi-energi orbital dan integral-integral repulsif-elektron dalam
fungsi-fungsi basis, dan m jumlah t ijab yang tak diketahui. Persamaan (7.65) diselesaikan
secara iterasi, mulai dengan memberikan harga awal untuk x-x yang diperoleh dengan
mengabaikan beberapa suku dalam persamaan (7.65). Sekali harga x-x diperoleh maka
fungsi  CCD dalam persamaan (7.49) dan energi ECCD dalam (7.59) dapat ditetapkan.

7.4 Teori Fungsional Kerapatan (DFT)


  
Jika (r1 , r2 ,....., rn ) adalah fungsi keadaan suatu sistem dari n elektron, maka kerapatan
elektron adalah
       n
 
 (r )    ...... d r1dr2 .....drn (r1 , r2 ,....., rn ) 2   (r  ri ) (7.66)
i 1

Jadi, kalau suatu fungsi keadaan berdimensi 3n, maka kerapatan elektron hanya
berdimensi 3.
Model lama zat padat didasarkan pada ide intuitif yang menyatakan energi
keadaan dasar suatu sistem dapat diungkapkan dengan beberapa fungsional kerapatan
elektron,
E   Te    E eN    E ee   (7.67)

197
di mana Te adalah energi kinetik elektron, EeN energi tarikan inti-elektron, dan Eee energi
dorongan elektron-elektron dengan

Z  (r ) 
E eN [  ]     A dr
A r  RA

E ee [  ]  J [  ]  K [  ] (7.68)
 
 (r )  (r ' )  
J [  ]  1 2     dr dr '
r  r'

Selanjutnya, dengan menggunakan model Tomas-Fermi-Dirac dirumuskan:

 5/3 
(3 2 ) 3 / 2   (r ) dr
3
Te [  ] 
10
(7.69)
1/ 3
3 3   
K[ ]       (r )
4/3
dr
4  

Model ini hanya berguna untuk pamakaian semi-kuantitatif logam; metoda ini tidak teliti
jika digunakan untuk molekul. Teori yang moderen didasarkan pada dua teorema yang
dikemukakan oleh Hohenberg et al. (1964):
1. Kerapat elektron pada keadaan dasar secara unik menentukan hamiltonian Ĥ
2. Kerapatan elektron pada keadaan dasar memenuhi prinsip variasi:

Eapp  Hˆ (  app )  E0 (7.70)

di mana E0 adalah energi eksak keadaan dasar dan ρappadalah kerapat-an elektron pada
keadaan dasar.
Teorema Kohn et al. (1965) membenarkan pemakaian model berbasis ρ. Jika
harga eksak E(ρ) diketahui, perhitungan variasi akan memberikan jalur sederhana untuk
penentuan kerapatan pada keadaan dasar dan oleh sebab itu memberikan semua sifat-sifat
molekul pada keadaan dasar. E(ρ) tidaklah diketahui, tetapi Kohn & Sham menunjukkan
bahwa aproksimasi akurat bisa diperoleh dengan menggunakan pendekatan orbital.
Idenya adalah sebagai berikut:
1. Kerapatan muatan dirumuskan dalam ekspansi orbital

 n

 (r )    i (r )
2
(7.71)
i 1

di mana ψi adalah orbital Kohn-Sham; fungsi-fungsi orbital itu didefenisikan


sedemikian sehingga determinan Slater yang dibentuk dari fungsi-fungsi itu adalah
solusi eksak untuk sistem fiktif yang mempunyai kerapatan yang sama sebagaimana
sistem ril, tetapi Vee=0. Motivasi untuk itu adalah bahwa energi kinetik dari sistem
fiktif yang dianggap sebagai aproksimasi-pertama dari sistem ril bisa dirumuskan
seperti
Te0    i* (r ) 1 2  2  i (r ) dr
  
(7.72)
i

198
2. Fungsional energi dituliskan dengan menggunakan Te0 seperti:

E[  ]  Te0 [  ]  EeN [  ]  J [  ]  E xc [  ]

di mana EeN[ρ]+J[ρ] adalah rumusan klassik sebelumnya (7.64) dan Ex[ρ] adalah
fungsional korrelasi tukar (exchange). Rumusan ini mendefinisikan Exc, yang meliput
perbedaan antara Te[ρ] dan Te0[ρ] untuk pertukaran elektron sedangkan aspek lain dari
Veetak dperhitungkan untuk J[ρ].

3. Orbital-orbital {ψi} yang meminimumkan E memenuhi persamaan nilai eigen-pseudo:

hˆK S i   i i
(7.73)
dengan

hˆKS   1 2   
ZA   (r ')  E xc
     dr ' 
2
(7.74)
A r  R A r  r '

Orbital-orbital KS {ψi} bisa diekspansi dalam suatu set basis {φν} dengan cara yang sama
dengan kasus Hatree-Fock-Roothaan

 i   C vi v
v

sehingga diperoleh persamaan sekuler:

 K     S   C
v
i i 0 (7.75)

dengan elemen matriks


  
K      * (r )hˆ KS (r ) (r )d
 (7.76)
   (r ' )  E xc   
 (r )dr
 H c
     (r )    dr ' 
*

 r  r'  
dan
  1 2 Z   
 (r )dr
c
H       (r )  2     a
*
 
(7.77)
a r  Ra
 

Solusi persamaan (7.65) diperoleh dengan cara iterasi seperti diperlihatkan dalam
bentuk diagram pada Gambar 7.6, yang mirip dengan Gambar 7.1 untuk persamaan
Hatree-Fock-Roothaan. Perbedaaanya adalah, tidak ditemukan adanya integral-integral
dua elektron.
Selanjutnya,untuk Excorang menggunakan aproksimasi densitas lokal (local
density approximation, LDA) yang rumusannyaseperti
 
ExcLDA [  ]    (r ) x (  )   c (  )dr (7.78)

199
di mana εx(ρ) adalah energi exchange dan εc(ρ) energi korelasiper elektron dari sistem gas
elektron uniform dengan densitas . Untuk gas elektron yang uniform dapat digunakan
εx[ρ] fungsional energi-exchage Dirac (Parr et al. 1990), yakni

1/ 3
3 3 
 x ( )      (r )1 / 3 (7.79)
4 

Start

Hitung dan simpan


c
integral-integral Sμν, H μν

Tebaklah harga awal C(0)


dan ρ(0)

Bentuklah K(n) dari ρ(n-1) dan selesaikan


persamaan sekular untuk C(n) dan E(n)
ρ(n) ← ρ(n-1)
Bentuklan ρ(n) dari ρ(n-1)

Tidak
ρ =ρ
(n) (n-1)
?

Ya
SCF selesai: catat
ρ dan E

Stop

Gambar 7.6 Diagram alir penyelesaian persamaan Kohn-Sham.

Perumusan analitik dari energi korelasi untuk gas elektron homogen belum diketahui
kecuali dalam batas densitas tinggi dan rendah yang berkaitan dengan korelasi tak
berhingga lemah dan tak berhingga kuat. Batas densitas tinggi adalah (Parr et al. 1990),

 c  A ln(rs )  B  rs [C ln(rs )  D] (7.80)

dan batas densitas rendah adalah

1g g 
 c   0  3 /12  ......... (7.81a)
2  rs rs 
di mana

200
4 3 1
rs  (7.81b)
3 

adalah jari-jari Wigner-Seitz yang berkaitan dengan densitas. Simulasi energi gas elektron
homogen dengan kuantum Monte Carlo secara teliti telah dilakukan oleh Ceperley (1980)
untuk beberapa harga pertengahan dari densitas.

7.5 Metoda Semi-empirik


Metoda Hückel seperti telah dikemukakan dalam paragraf 6.2 adalah metoda
semiempirikpertama dan paling sederhana, karena elemen-elemen matriks Fock secara
langsung diungkapkan sebagai Fii=α dan Fij= jika atom i dan atom j berikatan langsung.
Selain itu, integral overlap dinyatakan sebagai Sij=δij. Dengan demikian maka proses
diagonalisasi untuk memperoleh energi-energi orbital molekul dan koefisien-koefisien
LCAO bersangkutan dilakukan dengan mudah sekali. Pengembangan metoda
semiempirik pertama yang berdasarkan perhitungan SCF adalahmetoda Pariser-Parr-
Pople. Baik Metoda Hückel maupun Metoda Pariser-Parr-Pople menggunakan prinsip
zero differential overlap (ZDO) dan pemakaiannya khusus untuk molekul organik
terkonjugasi (sistem elektron-π).

7.5.1 Metoda Hückel yang diperluas


Metoda ini dikemukakan pertama kali oleh Hoffmann (1963). Dalam metoda ini elektron-
σ dan elektro-π diperlakukan serentak tanpa mengabaikan integral overlap, dengan
menggunakan orbital jenis Slater (STO) sebagai basis set bagi elektron valensi. Misalnya,
untuk atom hidrogenhanya ada orbital 1s, untuk atom-atom lithium sampai flor adalah 2s
dan 2p. Di dalam persamaan sekuler integal overlap Sij menggunakan orbital STO yang
dinormalisasi sedangkan elemen matriks diagonal Fii merupakan negatifnya potensial
ionisasi elektron valensi untuk elektron di orbital atom ke-i. Elemen matriks Fij (ij)
didekati dengan rumusan empiris

 
Fij  0,5 Fii  F jj S ij K (7.82)

Harga parameter K sama dengan 1,75 memberikan hasil yang baik bagi energi total; tetapi
parameter ini dapat juga didekati dengan K=2-Sij. Contoh program dengan menggunakan
MATLAB diperlihatkan dalam Apendiks 6.2.

Contoh 7.8 Molekul Helium terprotonisasi


Sebagai contoh sederhana tinjaulah molekul He terprotonasi: He-H+. Panjang ikatan
molekul ini adalah 0,8 Å. Orbital 1s dari atom hidrogen dalam bentuk STO adalah

1  2( 1 / ao ) 3 / 2 exp(  1r1 / ao )Y10 (1 , 1 )

dengan ς1 =1,24 ao; orbital 1s dari atom helium adalah

 2  2( 2 / ao ) 3 / 2 exp(  2 r2 / ao )Y10 ( 2 , 2 )

dengan ς2/=2,09ao. Dapat dihitung, S11=S22=1, dan S12=S21=0,435. Jadi, matriks overlap
adalah
201
 1 0,435 
Ŝ   
 0,435 1 

Elemen matriks Fock adalah F11=-13.6 eV, F22=-24,6 eV, sedangkan F12=F21 dihitung
dengan menggunakan persamaan (6.39)F12=F21=0.5 x 1.75 x 0,435 x (-13.6-24,6) = -14.5
eV. Hasil-hasil perhitungan dengan program tersebut adalah:

1 / 2 1/ 2  1.435 0  ˆ 1  0.697 0 
P̂   ; D̂    ; D   
1 / 2
  1 / 2   0 0.565   0 1.769 

 1  0,835 0   1 1.083  0,248 


Dˆ 2   ; Sˆ 2   
 0 1.33    0,248 1,083 

  9,67  7,65 
F̂ '   ;
  7,65  21,74 

ε1=-25,45 eV dan ε2=-5,96 eV

 0,44 0,9   0,249 1,082 


Ĉ '    ; Ĉ    .
 0,9 0,44   0,867  0,696 

Jadi, orbital molekul  1  0,2491  0,867 2 dengan energi ε1=-25,5 eV, dan 2  1,0821
 0,696 2 dengan energi ε2=-5,95 eV.
Metoda Hückel yang diperluas tidak cukup teliti dalam menentukan geometri;
pemakaiannya terbatas pada molekul yang telah diketahui geometrinya secara
eksperimen. Namun, metoda ini berhasil meramalkan orbital molekul secara kualitatif,
dan sekarang dipakai orang untuk molekul besar, padatan dan struktur pita.

7.5.2 Metoda Pariser-Parr-Pople (PPP)


Meskipun metoda perhitungan Hückel dapat dipakai untuk meramalkan sifat-sifat
molekul hidrokarbon berdasarkan teori elektron-π, namun metoda ini tak mampu
meramalkan spektrum elektronik secara lengkap dari molekul bersangkutan. Hal ini
merupakan akibat dari tidak diperhitungkannya interaksi antar elektron. Metoda
perhitungan untuk sistem elektron- yang lebih baik di mana interaksi itu diperhitungkan
adalah metoda Pariser-Parr-Pople (1965). Bertolak dari persamaan-persamaan Hartree-
Fock-Roothaan, Pariser-Parr-Pople mengasumsikan dua hal:
(i) S ij   ij sebagaimana di dalam metoda Hückel.
(ii) i* ( ) j ( )  i* ( )i ( ) ij ; ini disebut zero differential overlap (ZDO).
Sebagai akibat dari asumsi ini, maka integral repulsif dua-
elektron menjadi
(ij kl)  (ii kk) ij  kl   ik  ij  kl (7.83)

202
di mana ik adalah potensial antara elektron di orbital atom i dan elektron di orbital atom
j. Dalam teori elektron-, di setiap atom hanya ada satu elektron-. Oleh sebab itu
persamaan (7.83) memberi arti bahwa nomor untuk elektron sama dengan indeks pada
orbital atom. Berdasakan asumsi-asumsi di atas maka

Fii   I i  1 2 pii  ii

   1 2 pij  ij ; i dan j tetangga terdekat (7.84)



Fij  
 2 pij  ij ; lainnya
 1

di mana Ii adalah energi ionisasi elektron- yang diperoleh dari eksperimen. Harga
βdidekati dengan rumus empiris

  2,5 exp[(1,397  rij ) / 0,6] (7.85)

di mana 1,397 Ǻ adalah jarak C-C dalam benzena. Seringkali jarak C-C didekati dengan
rumus empiris Coulson (Murrel et al.1977):

ri j  1,52  0,21 pij (Ǻ) (7.86)

Harga β untuk ikatan C-X diperlihatkan dalam paragraf 6.6. Adapun ii dapat didekati
sebagai berikut:
 ii  (ii ii )  I i  Ai (7.88)

di mana Ai, adalah affinitas elektron, yakni energi tambahan atom jika mendapat satu
elektron dari orbital atom 2pz.Dalam Tabel 7.1 berikut diberikan harga-harga I dan A dari
elektron- untuk berbagai atom.

Tabel 7.1Harga-harga I dan A dari elektron-


Atom I (eV) A (eV)
C 10.67 0.47
N 13.19 1.36
O 15.85 2.37
F 18.66 3.50

Potensial ij dapat didekati dengan rumusan (Ohno1964):

11eV
 ij  (ii jj )  (7.89)
1  0,584 rij2

di mana rij(Ǻ) adalah jarak antara elekron di orbital atom i dan elektron di orbital atom
j.
Dalam persamaan (7.84) terlihat kehadiran order ikatan pij di dalam elemen
matriks Fij. Sebagaimana telah diperlihatkan oleh persamaan (6.10) dan (6.11), order
ikatan itu mengandung koefisien-koefisien LCAO (ci). Karena koefisien-koefisien itu
adalah solusi dari persamaan sekuler

203
 F
j
ij   ij c j  0

maka penyelesaian harus dilakukan secara iterasi (SCF). Dalam Apendiks 6.3
diperlihatkan program Pariser-Parr-Pople untuk molekul linier dengan menggunakan
MATLAB. Menurut beberapa peneliti hasil perhitungan dengan metoda ini mempunyai
penyimpangan dari hasil eksperimen karena elektron-elektron yang dilibatkan dalam
metoda ini hanyalah elektro- saja.

7.5.3 Metoda CNDO


CNDO adalah singkatan dari Complete Neglect of Differential Overlap. Metoda ini
dikembangkan oleh Pople et al. (1965) untuk elektron-valensi. Beberapa pandangan yang
mendasari dalam metoda ini adalah sebagai berikut.
Basis set dibentuk dari orbital valensi dengan satu STO pada setiap orbital valensi;
hanya orbital s dan p saja yang dipakai. Dalam determinan sekuler, integral overlap
mengikuti ZDO, sehingga integral overlap antara dua orbital dari atom yang sama
(sepusat) adalah
S    (7.90)

Sebagai akibat seluruh integral dua-elektron pada satu pusat diparametrisasi dengan
menggunakan rumusan

ij kl   AA  ij  kl (7.91a)


dengan
 AA  I A  AA (7.91b)

di mana IA dan AA adalah potensial ionisasi dan affinitas elektron di orbital atom
bersangkutan. Kemudian, seluruh integral dua-elektron dengan dua pusat diparametrisasi
dengan rumusan Mataga-Nishimoto (1957):

 AA   BB
ii kk     (7.92)
2  R AB ( AA   BB )
AB

RAB adalah jarak inti teras A dan teras B; jika RAB besar rumusan di atas menuju 1/RAB,
sedangkan jika RAB kecil rumusan itu menuju harga rata-rata.
Dengan demikian maka elemen-elemen mariks Fock adalah

 
Fi Ai A  U i Ai A  PAA  1 2 Pi Ai A  AA   PBB  AB  V AB 
B A (7.93)
Fi A j A   2 Pi A j A  AA ; i  j
1

Fi A jB   i A jB  1 2 Pi A jB  AB ; A  B

Dalam persamaan di atas, integral satu-pusat U i Ai A diaproksimasikan sebagai energi yang


diperlukan untuk melepaskan elektron dari orbital ke-i,

204
U i A i A   1 2 ( I A  AA )  (Z A  1) AA (7.94)

Interaksi atraktif elektron-teras VAB untuk pasangan atom-atom dibuat sama dengan

VAB    iAVB  iA dVA  Z Beff  AB (7.95)

sedangkan off-diagonal elektron-tunggal, atau integral-integral resonansi, dibuat


sebanding dengan integral overlap

 i A jB  1
2 ( Ao   Bo )S i A jB (7.96)
Akhirnya,
PBB   Pk B k B (7.97)
kB

Dalam Tabel 7.2 diperlihatkan harga empirik dari beberapa atom yang diperlukan dalam
perhitungan. Metoda CNDO adalah metoda semi-empirik paling sederhana dari teori
Hatree-Fock karena integral-integral satu-elektron sepenuhnya diabaikan dan jumlah
integral dua-elektron hanyalah N2. Metoda ini tidak teliti dalam meramalkan struktur
molekul, karena tak mampu membedakan jenis-jenis orbital atom yang berbeda serta
orientasi orbital-orbital itu.

Tabel 7.2 Harga empirik dari beberapa atom.


Atom Zeff Is+As Ip+Ap AA -Uss - -βo (eV)
(eV) (eV) (eV) (eV) Upp(eV)
H 1,20 14,35 12,85 17,38 12,0
C 3,25 29,92 11,61 10,93 70,26 58,79 17,5
N 3,90 40,97 16,96 13,10 106,04 89,17 26,0
O 4,55 54,51 21,93 15,27 149,05 126,80 45,0
F 5,20 56,96 24,36 17,36 199,29 170,18 50,0

7.5.4 Metoda INDO


Elektron-elektron yang terkait dengan spektroskopi UV-Vis dalam molekul sangat
terlokalisasi terhadap suatu pusat-tunggal sehingga CNDO tidak mampu memperlihatkan
spektrumnya. Oleh sebab itu, CNDO perlu dimodifikasi agar lebih fleksibel untuk
menangani interaksi elektron-elektron sepusat. Pople et al. (1967) mengembangkan
metoda Intermediate Neglect of Differential Overlap (INDO) dengan memberi perhatian
terhadap integral-integral dua-elektron sepusat. Integral diparametrisasi dengan
menggunakan parameter-parameter Condon-Shortley (1935) seperti berikut.

( ss ss)   AA  F 0
(7.98)
( sp sp )  1
3 G1

205
( p  p p  p )  3
25 F 2;  
( p  p  p  p  )  F 0  4 25 F 2 (7.99)
( p  p  p p )  F 0  2 25 F 2 ;   

di mana μ,ν=x,y,zsehingga sudut-sudut ikatan valensi harus diperhitungkan secara teliti.


Dengan demikian maka elemen matriks dari Hamiltonian efektif elektron tunggal
adalah

Fi Ai A  U i Ai A   Pk Al A (i A i A k Al A )  1 2 (i A k A i Al A )   PBB  AB  V AB  (7.100a)
k Al A B A

Fi A j A   P (i k Al A A A 
j k A l A )  1 2 (i A k A j A l A ) ; i A  j A
k Al A
(7.100b)
Fi A jB   i A jB  1
2 Pi A jB  AB ; A  B

Jika orbital-orbital atom yang terlibat hanyalah jenis-s dan –p yang tidak
terhibridasi maka persamaan di atas menjadi lebih sederhana,


Fi Ai A  U i Ai A   Pk A k A (i A i A k A k A )  1 2 (i A l A l A i A )    PBB  AB  V AB 
kA B A

Fi A j A  1
2  
Pi A j A 3(i A j A i A j A )  (i A i A j A j A ) ; i A  j A (7.101)
Fi A jB   i  1 2 Pi A jB  AB ; A  B
A jB

di mana U i A i A ,  AB , VAB dan PBB sama dengan rumusan dalam CNDO. Parameter-
parameter INDO diperlihatkan dalam Tabel 7.3 berikut.

Tabel 7.3 Parameter-parameter INDO dalam eV.


Atom -Uss -Upp F0=AA G1 F2 -β0
H 17,38 20,41 9,0
C 66,62 55,79 16,06 7,28 4,73 21,0
N 99,76 85,34 19,27 9,41 5,96 25,0
O 139,20 120,83 22,46 11,81 7,25 31,0
F 184,81 162,26 25,69 14,48 8,59 39,0

Jika orbital-orbital valensi d dan f disertakan, maka jumlah integralmeningkat


cepat sekali dan perkiraan harga-harga spektroskopi menjadi sangat rumit. Meskipun
sudut-sudut ikatan valensi diperhitungkan sangat teliti tetapi geometri molekul secara
keseluruhan tetap tidak baik. Hanya dengan memberikan geometri molekul yang tepat,
metoda ini dapat memodelkan spektrum UV-Vis. Ridley et al. (1973) mengembangkan
INDO/S untuk spektroskopi.
Pengembangan metoda INDO khususnya terhadap parameter-parameternya
dilakukan oleh Michael et al. (1970). Metoda yang diperbaiki ini disebut MINDO
(Modified INDO). Modifikasi yang dilakukan adalah (i) pemakaian eksponen  yang
berbeda untuk orbital STO tipe s dan tipe p dalam atom yang sama, (ii) defenisi pasangan
parameter βAB antara atom A dan B tidak sama untuk sA-sB, sA-pB, pA-sBdanpA-pB, (iii)
mengadopsi sedikit perbedaan untuk γAB dan beberapa modifikasi empirik untuk energi

206
repulsif inti. Untuk mengoptimasi harga-harga parameter pada awalnya Dewar dkk.
memilih 138 molekul kecil yang mengandung C, H, N dan O dan membentuk fungsi yang
bergantung pada panjang ikatan, sudut valensi, sudut puntuir, momen dipol, potensial
ionisasi dan panas pembentukan.
Bertolak dari metoda INDO, Jug et al. (1980) mengembangkan metoda symmetric
orthogonallized INDO1 (SINDO 1) yang mencakup fungsi-fungsi d untuk atom-atom
baris kedua. Hal itu memungkinkan penanganan molekul-molekul hipervalen; SINDO 1
ternyata jauh lebih baik menangani senyawa-senyawa yang mengandung fosfor
ketimbang metoda-metoda lain yang tidak menggunakan fungsi-fungsi d.

7.5.5 Metoda NDDO


NDDO adalah singkatan dari Neglect of Diatomic Differential Overlap.Metoda ini
merupakan perbaikan dari INDO di mana diferensial overlap antara dua orbital atom dari
atom berbeda diabaikan; Pople (1965).
Metoda ini tidak menghitung integral-integral dua-elektron dua-pusat: semua
integral-integral ij kl  diperhitungkan, jika orbital ke-i dan ke-j dalam satu atom dan
orbital ke-k dan ke-l dalam atom yang sama atau dalam suatu atom yang lain. Dengan
orbital s, px, py, pz pada setiap atom, ada 10 kombinasi yang unik. Jadi ada 100 kombinasi
dari integral tersebut. Jika fungsi-fungsi d disertakan maka jumlah integal itu menjadi
2025. Jumlah ini cukup banyak, tetapi imbalannya adalah kelengkapan yang
menghasilkan perbaikan, sehingga metoda semi-empirik moderen menggunakan model
NDDO ini.
Elemen-elemen matriks Hamiltonian effektif elektron tunggal dalam metoda
NDDO adalah:

FiA jA  H icA jA   P (i


k A , lA
k Al A A A 
j k Al A )  1 2 (i Al A k A j A )   P
B  A k BlB
k BlB (i A j A k BlB )
(7.102)
FiA jB  H icA jB  1 2  Pk AlB (i Al A k B jB ); A  B
k B , lB

Jika orbital-orbital atom yang terlibat hanyalah jenis-s dan –p maka persamaan di atas
menjadi lebih sederhana, seperti


Fi A i A  H icAi A   Pk A k A (i A i A k A k A )  1 2 (i A k A i A k A )    P k BlB (i A i A k B l B )
kA B  A k BlB


Fi A j A  H icA j A  1 2 Pi A j A 3(i A j A i A j A )  (i A i A j A j A )    P k BlB (i A j A k B l B ); i A  j A
B  A k B , lB

Fi A jB   i A jB  1 2  Pk l A B
(i A l A j B k B ); A  B
k B , lB
(7.103)
dengan
H i Ai A  U i Ai A   V AB
B A

H c
iA jA  U i A j A    i A VB j A dv A (7.104a)
B A

 2 2 
U i A j A   i A     V A  j A dv A
 2m 

207
 2 2 
H icA jB   i A     V A  VB  jB dv A dv B (7.104b)
 2m 

Rumusan untuk U i Ai A dan  i A jB sama dengan CNDO dan INDO; untuk VAB yang didekati
dengan aproximasi Goeppert-Mayer dan Sklar(1938):
s A VB s A )  Z Beff s A s A s A s A )
s A VB p A )  Z Beff s A p A s A s A ) (7.105)

 p A VB p A )  Z Beff  p A p A s A s A )

yang nilainya sama dengan INDO.

7.5.6 Metoda MNDO


Metoda NDDO selanjutnya dikembangkan oleh Dewar dan Thiel (1977) menjadi
Modified Neglect of Diatomic Overlap(MNDO). Elemen matriks diagonal dari orbital-
orbital yang sama di satu atom adalah

Fii  U i   Z B ii s B s B    Pjj ii jj   1 2 ij ij     Pkl ii kl (7.106)


B A jA B k ,lB

dimana orbital ke-i ada di atom A. Suku pertama adalah potensial ionisasi dari orbital
atom ke-i, suku ke dua adalah energi atraksi inti-inti selain inti A, dan suku ke tiga adalah
integral-integral Coulomb dan tukar, dan keempat adalah repulsive elektron dari atom-
atom selain A.
Elemen matrik offdiagonal dari orbital-orbital berbeda, dalam satu atom

Fij    Z B ii s B s B   Pij 3 2 ij ij   1 2 ii jj     Pkl ii kl (7.107)


B A B k ,lB

dan jika atom berbeda, orbital-i di A dan orbital j di B:

Fij  1
2  i   j S ij  1 2   P ik jl 
kl (7.108)
kA lB

Karena sulit memperhitungkan integral-integral di atas, maka Dewar dkk.


menggantikannya dengan multipol-multipol. Misalnya ss diganti dengan titik muatan, sp
dengan dipol klasik dan pp dengan kuadrupol klasik.
Rumusan energi potensial repulsif inti-inti teras diungkapkan sebagai fungsi
integral-integral repulsif elektron-elektron,

E AB  Z A Z B s A s B s A s B ) (7.109)

di mana Z adalah nomor atom valensi. Parameter-parameter MNDO kini tersedia untuk
H, He, Li, Be, B, C, N, O, F, Al, Si, P, S, Cl, Zn, Ge, Br, Sn, I, Hg, and Pb.
Salah satu kelemahan metoda MNDO adalah dalam meramalkan geometri dan
energi ikatan hidrogen. Untuk itu Dewar et al.(1985) telah melakukan modifikasi dengan

208
mengembangkan Austin Model 1 (AM1). Energi potensial antara dua inti A dan B
dirumuskan seperti persamaan (9.26) dengan tambahan

 a 
4
E AB  Z A Z B s A s B s A s B ) 
Z AZ B bA ,i ( RAB c A ,i ) 2 bB ,i ( RAB cB ,i ) 2
A,i e  aB ,i e (7.110)
rAB i 1

Dalam persamaan di atas, setiap atom memiliki parameter a, b, dan c masing-masing


empat buah. Hal ini menggambarkan fungsi-fungsi Gauss yang terpusat pada berbegagai
jarak c untuk memodifikasi potensial gaya rata-rata antara dua atom. Optimisasi
parameter-parameter MNDO asli dengan parameter-parameter Gaussian dapat memper-
baiki hasil perhitungan.
Sebagai pengembangan terhadap AM1, Stewart (1989) mengemukakan model
Parametrization Model 3 (PM3 Stewart melakukan parametrisasi dengan menggunakan
algoritma optimisasi kompleks dalam kerangka NDDO-nya Dewar. Secara simultan
Stewart telah melakukan optimisasi parameter-prameter untuk H, C, N, O, F, Al, Si, P, S,
Cl, Br, dan I. Sekarang MNDO, AM1, PM3 bersama-sama dimasukkan dalam paket
program komputer bernama MOPAC.

7.6 Metoda Mekanika Molekul


Mekanika molekul adalah aplikasi mekanika klasik pada molekul. Atom-atom
diperlakukan sebagai bola-bola yang massanya bergantung pada inti atom-atom
pembentuknya. Ikatan kimia dipandang sebagai pegas yang menghubungkan atom-atom
dalam molekul; konstanta pegas bergantung pada jenis atom-atom yang berikatan, dan
jenis ikatannya tunggal, dobel dan tripel. Jenis lain adalah dengan menggunakan
konstanta pegas untuk memodelkan perubahan sudut ikatan, sudut dihedral dan
sebagainya. Masing-masing jenis pegas itu memiliki konstanta sendiri-sendiri. Gaya
Coulumb dipakai juga untuk mengungkapkan interaksi elektrostatis yang ada dalam
molekul.
Energi potensial total suatu molekul diungkapkan sebagai penjum-lahan dari
semua jenis energi potensial yang mungkin

V  Vstr  V  VvdW  Ves  V (7.111)

Vstr adalah energi potensial bond stretching

1
Vstr  
2 i
k s ,i (li  li ,0 ) 2 (7.112)

dengan li,0 adalah panjang normal ikatan, li adalah panjang ikatan setimbang, dan ks,i
konstanta pegas untuk ikatan ke-i dalam molekul. Vθ adalah energi potensial bond-
bending
1
V  
2 i
k ,i ( i   i ,0 ) 2 (7.113)

di mana θi, θi,0, dan kθ,i adalah sudut sudut setimbang, dan konstan pegas bending untuk
sudut ikatan ke-i. Harga-harga li,0 dan θi,0 diperoleh dari geometri setimbang molekul-
molekul kecil; misalnya panjang ikatan tunggal C-C sekitar 1,53 Å.
Energi potensial van der Waals merupakan penjumlahan interaksi-interaksi antara

209
atom-atom tak berikatan; setiap pasangan interaksi dirumuskan dengan potensial Lenard-
Jones
 a b 
VvdW    12  6  (7.114)
    R AB R AB 

di mana a dan b adalah konstanta dan Rαβ adalah jarak antara inti-A dan inti-B.
Energi potensial elektrostatik Ves di dalam molekul adalah

Q A QB
Ves  
A B R AB
(7.115)

dengan RAB adalah jarak antara inti-A dan inti-B yang muatannya masing-masing adalah
QA dan QB. Untuk hidrokarbon jenuh energi potensial ini diabaikan.
Energi potensial rotasi internal sekitar ikatan-ikatan tunggal dalam molekul adalah

1
V  V0 (1  cos 3 ) (7.116)
2

di mana V0 adalah potensial penghalang dan φ adalah sudut puntir sekitar ikatan tunggal
C-C. Dalam Gambar7.7 diperlihatkan pengertian energi-energi potensial Vstr, Vθ dan Vφ.
Parameter-parameter energi potensal Vdipilihsedemikian agar memberikan fitting yang
baik dalam hal geometri, energi dan spektrum vibrasi bagi molekul-molekul kecil. Hasil-
hasil perhitunga metoda ab initio bisa juga digunakan untuk menentukan parameter-
parameter itu. Dalam perhitungan mekanika molekul, orang menggunakan model-model
Dreiding (model struktur bangunan baja) untuk memperoleh konformasi yang baik dari
molekul. Mula-mula koordinat-koordinat atom dimasukkan ke program komputer yang
dipakai untuk menghitung V berikut turunan-1 dan -2 sebagai terkaan awal.

Interaksi non-bond

ks

φ
Gambar7.7 Penggambaran Vstr, Vθ dan Vφ.

Untuk molekul-molekul dengan ikatan rangkap terkonjugasi, orang bisa


memasukkan hasil perhitungan Mekanika Kuantum dari elektron-π. Misalnya,
perhitungan order ikatan Pij dengan metoda Pariser-Parr-Pople dapat dilakukan jika
geometri awal molekul sudah ditetapkan. Dengan order ikatan itu, konstanta ksidan li0
untuk ikatan terkonjugasi dapat ditentukan.
. Dengan menggunakan teknik minimisasi Newton-Raphson, program melakukan
variasi struktur hingga V minimum. Proses diulang untuk setiap konformasi yang lain.
Jadi, program akan memberikan geometri-geometri dan energi-energi dari berbagai
konformasi yang berkaitan dengan minimum-minimum lokal dalam V. Secara sederhana
proses itu diperlihatkan dalam Gambar7.8 di mana x menyatakan konformasi.

210
V L: minimum lokal
G: minimum global

L start

x
L
G

Gambar 7.8 Proses perhitungan iteratif untuk mencapai konformasi dengan energi
minimum global.
Beberapa observasi tentang Mekanika Molekul adalah sebagai berikut. (i) Metoda
MM2, MMP2 dan UFF memberikan prediksi kuantitatif yang sangat baik tentang
geometri molekul (misalnya alkana, eter, alkana tak-terkonjugasi) kalau effek elektronik
diabaikan. Panas pembentukan juga diprediksi secara teliti untuk molekul-molekul
tersebut, khususnya denganMM2 dan MM3. (ii) Untuk sistem terkonjugasi, MMP2 dan
MMX-PI bisa memberikan hasil lebih baik karena metoda ini memiliki koresi sistem-π.
UFF juga tepat untuk sistem tersebut. (iii) Untuk molekul besar seperti peptid dan polimer
metoda paling efektif adalah CHARMm and AMBER.

7.7 Hibrid MK/MM


Bertolak dari pandangan umum bahwa sistem kimiawi besar bisa dipartisi menjadi
daerah yang penting secara elektronik di mana mekanika kuantum (MK) dapat berperan,
dan sisanya ditangani dengan mekanika molekul (MM) maka orang mengembangkan
hibrid MK/MM. Dalam Gambar8.3 diperlihatkan pembagian daerah MK dan daerah MM.
Misalkan Hamiltonian total sistem molekul adalah

Hˆ  Hˆ MK  Hˆ MM  Hˆ MK / MM (7.117)
di mana
1 Z 1 Z Z
Hˆ MK     i2   A     A B (7.118)
2 i iA riA ij rij AB R AB

daerah MM

daerah MK

Gambar7.9 Penggambaran sistem MK/MM.

dengan riα-jarak antara elektron ke-i dan inti-A, rij-jarak antara elektron ke-i dan elektron
ke-j, RAB-jarak antara inti bermuatan ZA dan inti bermuatan ZB, semuanya dalam daerah
MK.
Hˆ MM  E MM (7.119)

211
dihitung dengan metoda mekanika molekul, dan

q Z q a b 
Hˆ MK / MM   M   A M    AM 12
 AM
6
 (7.120)
i , M riM A, M R AM A, M  R AM R AM 

di mana qM-muatan atom dalam molekul ke-M. Suku ke-1 dan ke-2 disebut efek muatan-
muatan luar. Bisa terjadi bahwa beberapa atom tidak bermuatan. Suku ke-3 adalah energi
van der Waals; ini bisa berbeda dari satu ion ke ion lain, misalnya meskipun ion-ion Cl
dan Br bermuatan sama tapi berbeda vdW; Warshel (1976).
Jika Ψ(r,RA,RM) adalah fungsi gelombang molekul sebagai fungsi dari posisi
elekron, posisi inti dan posisi molekul maka berlaku persamaan nilai eigen

Hˆ r , RA , RM   ERA , RM r, RA , RM  (7.121)


dengan
E  EMK  EMM  EMK / MM (7.122)

Prosedur perhitungan MK/MM adalah sebagai berikut:


1. Lakukan partisi molekul dalam bagian Mekanika Kuantum (MK) dan Mekanika
Molekul (MM).
2. Tentukan atom-tom penghubung antar kedua daerah (biasanya hidrogen, grup metal
atau halogen); atom-atom penghubung dikelola eksplisit selama perhitungan-
perhitungan MK.
3. Hapus hubungan antara atom-atom yang telah dihitung secara MK.
4. Buatlah daftar non-bond.
5. Hitung energi-energi dan gaya-gaya MM.
6. Hitung interaksi vdW dengan menggunakan daftar MK/MM vdW.
7. Hitunglah energi dan gaya-gaya interaksi elektrostatik MK dan MK/MM.
Atom-atom penghubung dipakai untuk untuk menyambungkan kerapatan
elektron; prosedurnya seperti dikemukakan oleh Gao (1996)adalah sebagai berikut:
1. Untuk daerah MK, ini adalah atom hidrogen. Atom ini berinteraksi dengan daerah MM
hanya secara elektrostatik.
2. Muatan untuk atom penghubung MM dibuat nol untuk menghindari penghitungan dua
kali interaksi elektrostatik
3. Interaksi vd Waals antara atom MK dan atom MM yang membentuk ikatan tidak
dihitung. Ikatan regang, sudut tekukan, dan torsi antara daerah MK dan daerah MM.
4. Interaksi-interaksi regangan, sudut tekuk dan torsi antara atom-atom kedua daerah
dihitung sebagaimana dalam MM.

7.8 Paket Piranti Lunak


Berbagai piranti lunak yang mampu melakukan perhitungan struktur elektronik antara
lain adalah Gaussian, GAMESS (General Atomic and Molecular Electronic Structure
Sistem), and CADPAC (Cambridge Analytical Derivatives Package). Gaussian
menggunakan metoda-metoda ab initio, DFT, semiempirik dan MM. GAMESS
menggunakan CI, MP2, CC dan DFT untuk koreksi korelasi electron. GAMESS juga
mampu melakukan perhitungan semiempirik. CADPAC mampu melakukan perhitungan-
perhitungan HF, MPPT, CC dan CI. Beberapa paket dirancang untuk perhitungan ab
initio yang sangat teliti khususnya untuk molekul kecil adalah MOLCAS, MOLPRO, and
COLUMBUS.

212
Paket untuk perhitungan semiempirik yang banyak dipakai orang adalah MOPAC.
Paket ini berisi MNDO, MINDO3, AM1, PM3, MNDO dan PM5. Paket ini dapat
menunjukkan sifat-sifat dan reaktifitas molekul dari ratusan atom dalam fasa gas, larutan
dan padat. Paket semiempirik yang lain adalah ZINDO yang menggunakan parameter-
parameter spektroskopi. Paket AMSOL meliput berbagai model solvasi khususnya pada
AM1 dan PM3 untuk menghitung energi-energi Gibbs dari solvasi air dan berbagai
larutan organik.
Untuk mekanika molekul (MM) ada paket-paket CHARMM (Chemistry at
Harvard Macromolecular Mechanics) dan AMBER (Assisted Model Building with
Energi Refinement). CHARMM menggunakan fungsi energi potensial yang
diparametrisasi untuk protein, asam nukleik (DNA dan RNA), dan lipid. Energi-energi
bisa dievaluasi setelah parameter-parameter seperti konstanta gaya, geometri setimbang
dan jari-jari vd Walls ditetapkan. Nilai-nilai parameter diperoleh dari kombinasi hasil-
hasil studi eksperimen dan mekanika kuantum. Paket CHARMm yang merupakan versi
lain dari CHARMM mapu melakukan perhitungan QM/MM.
Paket AMBER adalah paket MM yang efisien dan akurat untuk medan-medan
gaya biomolekuler. Untuk biopolimer, paket TINKER menggunakan berbagai medan
gaya yang ada dalam AMBER dan CHARMM.

213
Soal-soal
7.1 Buktikanlah bahwa faktor normalisasi fungsi gelombang dari N buah partikel yang
dibangun dengan cara determinan Slater adalah 1/ 𝑁!.

7.2 Berikanlah suatu contoh fungsi gelombang restricted HF dan unrestricted HF untuk
atom nitrogen.

7.3 Perhatikan persamaan (7.17). Jika fungsi-fungsi basis dianggap ril, integral
(ij kl)  ( ji kl) . Carilah integral-integral lain yang sama dengan (ij kl) .

Dua buah fungsi GTO masing-masing adalah g1  e  ( r  R ) dan g 2  e  ( r R )


2 2
7.4 1 1 2 2

dengan 1, R1, 2, dan R2 diketahui. Buktikan persamaan (7.33) untuk R dan ,
yakni pusat dan eksponen GTO hasil perkalian kedua GTO tersebut.

Hitunglah integral overlap antara dua buah GTO: g1  e  ( r  R ) dan g 2  e  2 ( r  R2 )


2 2
7.5 1 1

dengan batas integral - r .

7.6 Dengan menggunakan fungsi-fungsi GTO, tunjukkan bahwa integral 4-pusat bisa
dinyatakan sebagai integral 2-pusat. Hal itu tidak terjadi jika menggunakan fungsi
STO.

7.7 Tunjukkan bahwa turunan pertama fungsi Gaussian jenis-s terhadap salah satu
koordinat Cartesian menghasilkan suatu fungsi Gaussian jenis-p.\

7.8 Dengan menggunakan persamaan (9.29) tunjukkan bahwa turunan GTO jenis-s
terhadap posisi inti xc, akan menghasilkan GTO jenis-p, dan turunan GTO jenis-p
akan menghasilkan perjumlahan GTO jenis-s dan GTO jenis-d.

7.9 Hasil fitting STO-1G, STO-2G dan STO-3G terhadap orbital 1s adalah sebagai
berikut:
0, 271r 2
STO-1G: e
STO-2G: 0,682 e 0, 258r  0,433e 0.952r
2 2

STO-3G: 0,445 e0, 269r  0,545 e0,724r  0,154 e3, 425r


2 2 2

Dengan menggunakan persamaan (7.42) hitunglah faktor normalisasi masing-


masing.

7.10 Dalam perhitungan struktur elektronik CH3Cl, tunjukkanlah basis set (a) minimal,
(b) split-valence dan (c) DZP. Tentukanlah jumlah fungsi basis yang diperlukan
masing-masing basis set.

7.11 Tentukanlah jumlah fungsi GTO dalam perhitungan ab initio dengan menggunakan
basis set 6-31G.

7.12 Tentukanlah jumlah fungsi basis dalam perhitungan struktur elektronik molekul
etanol, CH3CH2OH dengan menggunakan a) 6-31G, b)6-31G*, c)6-31G**.

214
BAB 8
BEBERAPA BESARAN MOLEKUL
Fungsi gelombang dan energ elektron suatu atom atau molekul yang dihasilkan oleh suatu
metoda ab initio atau semi-empirik selanjutnya bisa digunakan untuk menentukan
besaran-besaran atom dan molekul bersangkutan. Lebih daripada itu,fungsi gelombang itu
dapat pula digunakan untuk memahami sifat-sifat dan fenomena kimia dari atom dan
molekul. Dalam Bab 6 hal-hal tersebut telah mulai dikemukakan khususnya untuk
molekul organik terkonjugasi dengan menggunakan metoda perhitungan Hückel yang
sederhana.

8.1 Muatan atom


Meskipun berbagai konsep muatan-muatan titik atom digunakan secara luas dalam
mekanika molekul, namun tidak ada defenisi unik dari muatan atom di dalam molekul.
Untuk menganalisis muatan atom dalam molekul dapat dipakai metoda Analisa Populasi
Mullikan (1955). Dalam metoda ini kerapatan distribusi elektron atau probabilitas
menemukan elektron dalam suat elemen volume dv adalah

N N
   Pij i j (8.1)
i j

Integral dalam keseluruhan ruang memberikan jumlah total electron

  dV   P S
i j
ij ij N (8.2)

Dalam hal ini, Piiadalah populasi netto di orbital atom i dan Qij=2Pij Sijadalah populasi
overlap antara orbital atom i dan j. Dalam skim Mulliken, populasi overlap dibagi oleh
atom-atom, sehingga muatan atom ke-i dapat dinyatakan sebagai

Qi  Pii  P S
j ( i )
ij ij (8.3)

Pada metoda perhitungan yang menerapkan aproksimaso zero differential overlap


(ZDO) seperti metoda Hückel, Pariser-Parr-Pople dan semiempirik lainnya, suku kedua
dalam persamaan (8.3) sama dengan Sij=0.

8.2 Momen Dipol Permanen


Molekul-molekul yang mempunyai satu ujung dengan muatan listrik lebih posistif
daripada ujung lainnya mempunyai sifat polar. Molekul-molekul polar mempunyai
momen dipol elektron permanen (μ). Komponen-x dari momen dipole permanen suatu
molekul didefenisikan seperti

ˆ 0 x  e xˆi (8.4)


i

dengan -e adalah muatan listrik elektron, xiadalah komponen ke-x dari vektor posisi

215
elektron ke-i.Rumusan bagi komponen-komponen-y dan –z analog dengan persamaan
(8.4). Dengan komponen-komponen momen dipole μ0x, μ0y, dan μ0z, maka momen dipol
permanen dirumuskan seperti

0  02x  02y  02z (8.5)

Satuan momen dipol adalah coulomb meter (Cm), tapi bisa juga debye (D) di mana
1D=3,3356410-30 Cm.
Jika 0 adalah fungsi gelombang keadaan dasar sistem elektron, maka nilai
ekspektasi momen dipole permanen adalah

0 x   0* ˆ 0 x 0 dV (8.6)

Untuk molekul dengan sel tertutup, substitusi persamaan (8.4) ke persamaan (8.6)
menghasilkan momen dipol elektron

( N  1) N N N / 2 *
 0 x  e
N!

i 1 n
 n (i)xi n (i) dVi (8.7)

di mana N adalah jumlah elektrondan n(i) adalah orbital molekul ke-n yang ditempati
elektron ke-i. Dengan menggunakan MO-LCAO, persamaan (8.7) menjadi

( N  1) N N N
 0 x  e
2 N!

i k ,l
Pkl   k* (i) xil (i) dVi (8.8)

di mana
N /2
Pkl   2cnk cnl (8.9)
n

adalah kerapatan elektron untuk k=l atau order ikatan untuk kl.

Contoh 8.1 Momen dipole LiH


Dalam paragraf 5.8 telah dibahas struktur elektronik molekul LiH. Dalam keadaan dasar
molekul ini bersifat ionik: Li+0,9H-0,9. Perhitungan menghasilkan orbital molekul

 1  0,9541s  0,105 2 s
H L

Jarak antara kedua atom adalah 1.6 Ǻ. Misalkanlah molekul ini terletak pada sumbu-x,
maka sesuai persamaan (8.5), dengan N=2 momen dipole permanen yang ditimbulkan
oleh elektron adalah
1
 0 x  e( x1  x2 )( P11  2 P12 S12  P22 )
2

Dari orbital molekul di atas diperoleh

P11  1,82, P12  0,20, P22  0,024 .

216
Jika inti Li sebagai referensi posisi maka x1=0 dan x2=1,6 Ǻ. Maka momen dipol
permanen adalah

1
 0 x   1,6  10 19 C  1,6 A o  (1,82  2  0,20  0,5  0,022)
2
 2,86  10 19 CA 0  8,56 D

Data eksperimen adalah 5,99 D (Wharton et al. (1960)).

8.3 Polarizabilitas Listrik Statik


Jika molekul ditempatkan dalam suatu medan listrik statik atau berosilasi, sistem elektron
di dalam molekul akan mengalami gangguan. Dari gangguan itu dapat diturunkan
besaran-besaran listrik molekul, seperti polarizabilitas, permittivitas dan indeks bias.

Dalam medan listrik statik E , misalkan pada sumbu-x, Hamiltonian mokekul
akan mengalami gangguan dengan

Gˆ  ̂ z E (8.10)
Hamiltonian total adalah

Hˆ  Hˆ (0)  Gˆ  Hˆ (0)  ̂ z E (8.11)

Berdasarkan teori gangguan yang tak bergantung waktu seperti telah dkemukakan dalam
paragraf 1.3 koreksi-koreksi terhadap energi keadaan dasar adalah

E0(1)   z ,00E

 z ,0 j  z , j 0
E0( 2)   E2
j 0 E ( 0)
j E ( 0)
0

        3
E0(3)    ( 0) z ,0 k( 0) z ,kj ( 0z), j 0 ( 0)  z ,0 k z ,k 0 z ,00 E
k i 
 j  
i Ek  E0 E j   E0 E ( 0)
k  E 
(0) 2
0 

Energi keadaan dasar terkoreksi karena gangguan menjadi

 z ,0 j  z , j 0 2
E0  E0( 0)   z ,00E   E
j 0 E j  E0
(0) ( 0)

(8.12)
       
   ( 0) z , 0 k( 0) z ,kj ( 0z), j 0 ( 0)  z ,0 k z ,k 0 z , 002 E 3  .....

 j i Ek  E0 E j  E0
k i     
Ek( 0)  E0( 0) 

Nilai ekspektasi momen dipol adalah

dE0
 - μˆ z (8.13a)
dE

217
dan itu adalah
1 1
μˆ z   0 z   zz E   zzzE 2   zzzzE 3  ......... (8.13b)
2 6

Jadi, dari persamaan (8.12) dan (8.13a) diperoleh

 z ,0 j  z , j 0   z ,0 k  z ,kj  z , j 0  z ,0 k  z ,k 0  z ,00  2
ˆ z   z ,00  2 E      E  .....
j 0 E j  E0
(0) (0)
3
k i 
 j  i Ek
(0)
 E 0
( 0)
E ( 0)
j  E0
(0)
E ( 0)
k
 
 E ( 0) 2
0  
Jika dibandingkan dengan persamaan (8.13b) diperoleh

0 z   z ,00 (8.14)

 z ,no  z ,0 n
 zz  2 (8.15)
n  0 E n  E0
( 0) (0)

  z ,0 k  z ,mn  z ,n 0  z ,0 m  z ,m0  z ,00 


 zzz  6   
m 0 
 n0 Ek  E0 En  E0
(0) ( 0) (0)

( 0)
 E ( 0)
k  E0( 0) 
2

(8.16)

Momen dipole  0 z adalah momen dipol permanen dari molekul,sedangkan suku-suku


selanjutnya adalah momen dipol terinduksi medan listrik. Dalam persamaan di atas, zz
adalah polarizabilitasstatis linier (oder-1),zzz adalah polarizabilitas statis oder-2 atau
hiperpolarizabilitas order-1. Dalam persamaan (8.14-16), dengan 0( 0) sebagai fungsi
keadaan dasar, m( 0) dan n( 0) fungsi keadaan tereksitasi maka

0, z   z ,00   0(0)*  z 0(0) dV (8.17)

 z ,0n   0(0)*  z n(0) dV (8.18)

 z ,mn   m(0)*  z n(0) dV (8.19)

Untuk molekul, fungsi keadaan eksitasi merupakan hasil dari transisi elektron dari suatu
orbital molekul ke orbital molekul yang lain. Misalkan m( 0) adalah keadaan eksitasi
elektron dari orbital molekul ke-i ke orbital molekul ke-k sehingga bia dituliskan
m( 0)  i(0)k dan n( 0) dari orbital molekul ke-j ke orital molekul ke-l atau n( 0)   j(
0)
l,

maka

 z ,0n   0(0)*  z  j(


0)
l dV   j  z  l dV
*
(8.20)

218
 z ,mn   i(0)k*  z  j(
0)
l dV

(8.21)
0 ..................................................................... jika i  j dan k  l
 *
 k  z l dV .................................................... jika i  j dan k  l
   *   dV ................................................. jika i  j dan k  l
  i z j
  h*  z h dV   i*  z i dV   *j  z j dV ..jika i  j dan k  l,
 h
lihat Szabo et al. (1989).Di dalam fluida, molekul berorientasi ke semua arah dengan
peluang yang sama, sehingga harga rata-rata polarizabilitas adalah

=⅓(xx+yy+zz). (8.22)
Jadi
2
2   2  z ,n 0
   (z0,)n 0 z ,0( 0n)   (8.23)
3 n  0 E n  E0 3 n0 En 0

2
dimana En0  En(0)  E0(0) dan  z ,n0   z ,n0  z ,0n .Intensitas suatu transisi diungkapkan
dengan kekuatan osilator, yakni

4 m 2
f n0   z ,n 0 (8.24)
3e 2 

Sehingga polarizabilitas static bisa diungkapkan seperti

e2 2 f

m
 En02 (8.25)
n0 n0

Contoh 8.2 Polarizabilitas osilator harmonis


Tinjaulah suatu sistem muatan, +e dan –e, yang terikat satu sama lain membentuk
osilator harmonis dengan konstanta pegas k. Andaikan sistem itu ditempatkan dalam
medan listrik yang sejajar sumbu-x.
Misalkan dalam keadaan setimbang jarak antara kedua muatan R. Dengan
perpanjangan jarak x, momen dipol adalah 0,x=e(R+x). Dari persamaan (8.26), dengan
menggunakan fungsi-fungsi gelombang osilator harmonis, polarizabilitas statis adalah

 x ,n1 x ,1n
 xx  2
n 1 En  E1
(0) (0)

 x,n1  e n* ( R  x) 1dx  eR  n*1dx  e n* x1dx

Pada suku pertama, karenan1 maka   n*1dx  0 . Pada suku kedua,



  x dx   n1
*

2m
n 1

219

 x ,n1  e  n1
2m
En(0)  (n  1 / 2)

2
    n1 1n  1 e2
 xx  2 e
2 m

 E (0)
 E1( 0)
 2e 2 
2m  m 2
  n0 n

k e2
Karena   maka  xx  .
m k
Dalam persamaan (8.14-16) telah ditunjukkan momen dipole listrik permanen dan
induksi oleh medan listrik luar yang sejajar sumbu-z. Jika medan listrik luar mempunyai
komponen pada sumbu-sumbu koordinat x, y dan z maka suatu komponen momen dipole
listrik dapat dinyatakan seperti

1 1
 a  0 a   abEb   abcEb Ec   abcdEb Ec Ed  .... (8.26)
2 6

di mana a, b, c, d menyatakan koordinat x, y, z. Terlihat jelas bahwa  ab adalah tensor


rank-1, hiperpolarizabilitas order-1  abc tensor rank-2 dan hiperpolarizabilitas order-2
 abcd tensor rank-3.

Contoh 8.3 Polarizabilitas statis butadiena dengan metoda Hückel


2 4
CH CH2 4
1 3
CH2 CH
x
Misalkan molekul butadiena memanjang pada sumbu-x seperti dalam gambar. Untuk
menghitung polarizabiltas diperlukan fungsi keadaan dasar dan fungsi-fungsi keadaan
tereksitasi serta energinya masing-masing. Fungsi keadaan dasar 0( 0) dengankonfigurasi
 12 22 memilikienergi E0( 0) =21+22. Fungsi keadaan tereksitasi singlet 1( 0) dengan
konfigurasi  12 21 31 memiliki energi E1( 0) =21+2+3.Fungsi keadaan tereksitasi singlet
2( 0) dengan konfigurasi  12 21 41 memiliki energi E2( 0) =21+2+4.Fungsi keadaan
tereksitasi singlet 3( 0) dengan konfigurasi  11 22 31 memiliki energi E3( 0) =1+22+3dan
fungsi keadaan tereksitasi singlet 4( 0) dengan konfigurasi  11 22 41 memiliki energi E4( 0)
=1+22+4.Jadi, Beda energiadalah E1( 0)  E0( 0) =3-2, E2( 0)  E0( 0) =4-2, E3( 0)  E0( 0) =3-1
dan E4( 0)  E0( 0) =4-1.
Perhitungan  x ,0 n dilakukan sebagai berikut:
 
 x ,0 n  e 0( 0)   x p n( 0) dx   x ,n 0
 p 

220
Jika n( 0) adalah keadaan eksitasi yang diperoleh dengan mengeksitasikan satu elektron
dari orbital molekul ke-i ke orbital molekul ke-k maka persamaan di atas

 
 x ,0 n  e  i   x p  k dx  e ciq ckr   q* x p r dx
 p  p q ,r

 e cip ckp x p
p

 eX 0 n
dengan
X 0 n   cip ckp x p
p

Dimana xp adalah jarak karbon ke-p dari suatu referensi disumbu-x. Misalnya, kalau
karbon nomor 1 dijadikan sebagai referensi maka x1=0, x2=r12cos 30o, x3= x2+r23 cos 30o,
dan x4= x3+r34 cos 30o. Program MATLAB untuk menghitung polarizabilitas adalah
sebagai berikut:

%Program Hückel untuk Polarizabilitas Statis Butadiena


clc
F=[-11 -2.5 0 0;-2.5 -11 -2.5 0; 0 0-11 -2.5; 0 0 -2.5 -11];
% Energi keadaan dasar
[C,E]=eig(F);
E
disp('koefisien c')
% Bond order
for i=1:3
P(i,i+1)=2*C(i,1)*C(i+1,1)+C(i,2)*C(i+1,2);
end
% Panjang ikatan dua karbon bertetangga terdekat
for i=1:3
r(i)=1.5-0.15*P(i,i+1);
end
disp('panjangikatan, dalamsatuan Angstrom')
r
% Jarak relatif atom C relative terhadap karbon pertama dalam satuan Angstrom
x(1)=0;
x(2)=r(1)*0.866;
x(3)=x(2)+r(2)*0.866;
x(4)=x(3)+r(3)*0.866;
%Beda energi keadaandalamsatuan eV
DE(1)=E(3,3)-E(2,2);
DE(2)=E(4,4)-E(2,2);
DE(3)=E(3,3)-E(1,1);
DE(4)=E(4,4)-E(1,1);
% Momendipole (belumdikalimuatan e)
M(1)=0;
for i=1:4
M(1)=M(1)+C(i,2)*C(i,3)*x(i);

221
end
M(2)=0;
for i=1:4
M(2)=M(2)+C(i,2)*C(i,4)*x(i);
end
M(3)=0;
for i=1:4
M(3)=M(3)+C(i,1)*C(i,3)*x(i);
end
M(4)=0;
for i=1:4
M(4)=M(1)+C(i,1)*C(i,4)*x(i);
end
% Polarizabilitasstatis
Polstat=0;
for n=1:4
Polstat = Polstat +2*M(n)*M(n)/DE(n);
end
Polstat

8.4 Polarizabilitas Listrik Dinamis


Polarizabilitas dinamis adalah polarizabilitas molekul yang ditempatkan dalam medan
listrik berosilasi. Misalkan medan berosilasi adalah 2E cos t , maka momen dipole listrik
adalah
 z  0 z   zz ( )  2E cos t  ........... (8.27)

Gangguan yang dialami atom atau molekul oleh medan berosilasi pada sumbu-z adalah


G(t )  2 z E cos t   z E eit  e it  (8.28)

Seperti telah dikemukakan dalam paragraf 1.4, fungsi keadaan yang bergantung waktu
dari molekul karena kehadiran gangguan adalah (t ) ,

(t )  0( 0) e iE0   an (t )n( 0) e iEn


(0) (0)
t/ t/
(8.29)
n 0

Dengan fungsi keadaan itu maka harga ekspektasi momen dipole adalah

 z    * (t ) ˆ z  (t ) dv

  0( 0 )* ˆ z 0( 0) dv


   0( 0 )* ˆ z n( 0) dv an (t )e in 0t   n( 0)* ˆ z 0( 0) dv an* (t )e in 0t  (8.30)
n0


  0, z    z ,0 n an (t )e in 0t   z ,n 0 an* (t )e in 0t 
n0
di mana

222
En( 0)  E0( 0)
n 0  (8.38)31)

Koefisien an(t) adalah

t t
1 E
an (t )   n( 0)*Gˆ (t ) 0( 0) e in 0t dvdt    n( 0)* ˆ z 0( 0) dv  e in 0t 2 cos t dt (8.32)
i 0 i 0

 z ,n 0 E  e i (n 0  )t e i (n 0  )t 
an (t )     (9.33)
    n 0   n0 

Substitusi an(t) ini ke persamaan (8.30) akan menghasilkan


2   2

 z ,n 0 
 z  0 z    2  2E cos t
n0
2 
(8.34a)
  n  0  n 0   
atau
 En 0  z ,n 0 
2

 z   0 z  2 2 2
 2E cos t (8.34b)
 n0 En 0  ( ) 

Dari (8.34b) diperoleh polarizabilitas dinamis seperti

2
En 0  z ,n 0
 zz ( )  2 (8.35a)
n0 En 0  ( )
2 2

Karena harga rata-rata polarizabilitas =⅓(xx+yy+zz) maka

2
2 En0  z , n0
 ( )   2 (8.35b)
3 n  0 En0  ( ) 2

2
dimana  z ,n 0   z ,n 0  z ,0 n , En0  En(0)  E0(0) dan  adalah energi foton dari medan
berosilasi. Dalam implementasinya persamaan (8.41) harus dinyatakan sebagai berikut

2
En 0  z ,n 0
 zz ( )  2 (8.36)
n 0 (En 0    i)(En 0    i)

di mana =h/denganadalah umur keadaan tereksitasi. Karena kita lebih mudah bekerja
dengan panjang gelombang, maka  diganti dengan 1,24 /  di mana  adalah panjang
gelombang dalam m.

Contoh 8.4 Polarizabilitas Dinamis


Berdasarkan persamaan (8.36) dapat disusun program MATLAB untuk perhitungan
polari- zabilitas dinamis butadiena sebagai berikut.

223
%Program Hückel untuk Polarizabilitas Dinamis Butadiena
Clc
G=0.2i; %faktor redaman
F=[-11 -2.5 0 0;-2.5 -11 -2.5 0; 0 0-11 -2.5; 0 0 -2.5 -11];
[C,E]=eig(F);
for i=1:3
P(i,i+1)=2*C(i,1)*C(i+1,1)+C(i,2)*C(i+1,2);
end
for i=1:3
r(i)=1.5-0.15*P(i,i+1);
end
x(1)=0;
x(2)=r(1)*0.866;
x(3)=x(2)+r(2)*0.866;
x(4)=x(3)+r(3)*0.866;
DE(1)=E(3,3)-E(2,2);
DE(2)=E(4,4)-E(2,2);
DE(3)=E(3,3)-E(1,1);
DE(4)=E(4,4)-E(1,1);
M(1)=0;
for i=1:4
M(1)=M(1)+C(i,2)*C(i,3)*x(i);
end
M(2)=0;
for i=1:4
M(2)=M(2)+C(i,2)*C(i,4)*x(i);
end
M(3)=0;
for i=1:4
M(3)=M(3)+C(i,1)*C(i,3)*x(i);
end
M(4)=0;
for i=1:4
M(4)=M(1)+C(i,1)*C(i,4)*x(i);
end
% Polarizabilitas dinamis (A)
for m=1:4
L(m)=1.24/DE(m); % panjang gelombang
end
for k=1:1000
L(k)=0.1+k*0.0004;% panjang gelombang
A(k)=0;
for m=1:4
B(k)=(DE(m)+1.24/L(k)-G)*(DE(m)-1.24/L(k)-G);
A(k)=A(k)+abs(DE(m)*(M(m))^2/B(k));
end
end
plot(L,A)
xlabel('Panjang gelombang (um)'),ylabel('Polarizabilitas (arb.unit)')

224
Hasil perhitungan dan analisa.
Keadaan-keadaan eksitasi singlet dan beda energinya masing-masing dengan keadaan
dasar:

1=23, E10=3.0902 eV setara dengan 01= 0.4013 m;


2=24, E20=5.5902 eV setara dengan 02=0.2218 m;
3=13, E30=5.5902 eV setara dengan 03=0.2218 m;
4=14,E40=8.0902 eV setara dengan 04= 0.1533m.

Momen transisi:
01 =-1.1498 (-1,610-19) CÅ;
02 = 0;
03 =0;
04 =-0.0504 (-1,610-19) CÅ;

Polarizabilitas sebagai fungsi panjang gelombang diperlihatkan dalam Gambar 8.1.


Terlihat bahwa polarizabilitas maksimum ada pada panjang gelombang 0,4m atau E10=
3.09eV. Itu terkait dengan hasil transisi elektron dari keadaan dasar 0 ke keadaan
eksitasi 1 di mana elektron bertransisi dari orbital molekul2 ke 3.
Bedasarkan simetri, butadiena memenuhi grup simetri C2h; lihat Contoh 6.5.
Representasi (IR) masing-masing fungsi keadaan adalah: (0)=Ag, (1)=Bu,
(2)=Ag, (3)= Ag dan (4)=Bu sedangkan IR dari momen dipole adalah (x)= Bu
di mana x adalah sumbu molekul. Berdasarkan

( x )  (0 ) (n )  Bu

di mana x adalah sumbu molekul, maka keadaan eksitasi yang sesuai untuk transisi
elektron dari keadaan dasar 0 adalah 1 dan 4. Tetapi karena beda energi E40 yang
cukup besar dan momen dipole 04 yang sangat kecil maka polarizabilitas terkait transisi
04 sangat kecil dibandingkan polarizabiltas dengan 01 sehingga tidak terlihat.
Transisi 02 dan 04 adalah terlarang; hal ini didukung oleh hasil perhitungan
02 = 03 =0.
3.5

2.5
a(arb.unit)

1.5

0.5

0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
Panjang gelombang (um)

Gambar 8.1 Polarizabilitas dinamis butadiena yang dihitung dengan metodaHückel.

225
8.5 Indeks bias bahan optik
Dalam teori medan elektromagnet dikemukakan bahwa permittivitas relatif r suatu bahan
optik adalah perbandingan permittivitas bahan itu dengan permittivitas ruang hampa
𝜀𝑟 =𝜀/𝜀0 dan indeks bias bahan adalah 𝑛 = 𝜀𝑟 . Dengan permittivitas relatif itu diperoleh
suseptibilitas listrik
𝜒𝑒 = 𝜀𝑟 − 1.

Suseptibilitas sebagai karakteristik bahan diungkapkan melalui polarisasi listrik yang


diinduksikan oleh medan listrik di dalam bahan,

P   e 0E .

Di fihak lain polarisasi dapat pula dinyatakan sebagai

P  N E
di mana Nadalah kerapatan molekul (N/V); medan listrik E harus dinyatakan sebagai
penjumlah medan luar dan medan yang terinduksi secara lokal di dalam molekul, yakni
P / 3 0 . Jadi, secara lengkap polarisasi dinyatakan seperti P   N E  P / 3 0  sehingga
diperoleh
  N / 0 
P    0 E
 1   N / 3 0 

dan suseptibilitas listrik bahan menjadi

 N / 0
e  (8.37)
1   N / 3 0
sedangkan indeks bias bahan

1  2 N / 3 0 N
n 1 (8.38a)
1   N / 3 0 2 0

Akhirnya dengan persamaan (8.35b) untuk polarizabilitas maka indeks bias di atas
menjadi
2
N En 0  z ,n 0
n  1
3 0
 E
n0
2
 ( ) 2
(8.38b)
n0

Untuk deteilnya baca Atkins et al. (2005).

8.6Interaksi Dispersi
Gaya dispersi adalah gaya tarik-menarik antara dua molekul tak bermuatan. Gaya ini
timbul karena kopling antara dipol-dipol listrik dari kedua molekul sebagai akibat dari
fluktuasi sesaat distribusi muatan pada molekul. Dipol pada satu molekul bisa
menginduksikan dipol pada molekul tetangganya, lalu terjadilah interaksi antara
keduanya(baca Atkins et al. 2005)..
Interaksi antara kedua dipole 𝜇𝐴 dan 𝜇𝐵 yang berjarak satu sama lain 𝑅 merupakan
gangguan terhadap Hamiltonian molekul,
226
Ĥ  Ĥ (0)  ĜAB (8.39a)
dengan
Ĥ (0)  Ĥ A  Ĥ B (8.39b)

adalah Hamiltonian sebelum ada gangguan, dan


   
1   3 A .R R. B 
ĜAB   A . B   (8.40a)
4 0 R3  R2 

Jika diandaikan R pada sumbu-z, maka gangguan di atas menjad

ĜAB 
1
  Bx   Ay  By  2 Az  Bz  (8.40b)
4 0 R
Ax

n n  Ψn Ψn
Misalkan Ψ (0) (0)
A B
(0)
adalah fungsi keadaan gabungan kedua molekul sebelum ada
A B

gangguan
nAnB  EnA  EnB Ψ nAnB
Ĥ (0)Ψ(0) (0) (0) (0)
(8.41)

Misalkan molekul-molekul itu non-polar, maka koreksi order-1 untuk energi adalah

E (1)   Ψ (0)
0 A0B Ĝ Ψ 0 A0B dVA dVB  0
* (0)*
(8.42)

sedangkan koreksi order-2

G00,n A n B Gn A n B ,00
E (2)  
n A (  0) E0(0)A 0 B  En(0)A n B
(8.43)
n B (  0)

di mana

G00,nAnB   Ψ (0)
0 A0B Ĝ Ψ nAnB dV
* (0)

  Ψ (0)
0 A Ψ 0 B (  Ax  Bx   Ay  By - 2  Az  Bz )Ψ nA Ψ nB dVA dVB
* (0)* (0) (0)

  Ax ,0 A nA  Bx ,0B nB   Ay ,0 A nA  By ,0B nB  2 Az ,0 A nA  Bz ,0B nB


dan
GnAnB ,00   Ψ (0)
n AnB Ĝ Ψ 0 A0 B dV
* (0)

  Ψ (0)
n A Ψ nB (  Ax  Bx   Ay  By - 2  Az  Bz )Ψ 0 A Ψ 0 B dVA dVB
* (0)* (0) (0)

  Ax ,nA 0 A  Bx ,nB 0B   Ay ,nA 0 A  By ,nB 0B  2 Az ,nA 0 A  Bz ,nB 0B

Perkalian G00,nAnB GnAnB ,00 menghasilkan sembilan suku. Di sana ada enam suku yang
harganya nol; misalnya ( Ax ,0 A n A  Ay ,n A 0 A )(Bx ,0 B nB By ,nB 0 B ) . Tiga suku lainnya berharga
tidak nol, misalnya ( Ax ,0 A n A  Ax ,n A 0 A )(Bx ,0 B nB Bx ,nB 0 B ) . Dari ketiga suku itu berlaku

227
 Ax ,0 A nA
 Ax ,n A 0A
=  Ay ,0 A n A  Ay ,n A 0 A =  Az ,0 A n A  Az ,n A 0 A dan berlaku pula  Ax ,0 A n A  Ax ,n A 0 A
1
=  A ,0 A n A  A ,n A 0 A . Dengan demikian maka koreksi order-2 adalah
3
(  A ,0 A n A  A ,n A 0 A )( B ,0 B n B  B ,n B 0 B )
2
2 1 
E (2)
  
3  4 0 R3 

n A (  0) E0(0)A 0 B  En(0)A n B
(8.44)
n B (  0)

Karena
E0(0)A0 B  En(0)A nB  ( E0(0)A  E0(0)B ) - ( En(0)A  En(0)B )  -[(En(0)A  E0(0)A )  ( En(0)B  E0(0)B )]

maka E(2)<0; artinya energi itu adalah energi tarikan yang berbanding terbalik dengan R6.

8.7 Polarizabilitas magnet


   
Momentum linier sebuah elektron di dalam medan magnet B adalah p  eA di mana A
  
adalah vektor potensial dari B : B    A (baca Atkins et al. 2005). Dengan demikian,
Hamiltonian sebuah elektron di dalam medan magnet adalah
   
( p  eA ).( p  eA )
Hˆ  V
2m
(8.45a)
p2 e   e2 2
  V  A. p  A
2m m 2m
  
di mana p. A  A. p . Jika medan magnet ituhomogen maka

 1  
A  Br ,
2
      
sehingga ( B  r ). p  B.(r  p)  B.L . Hamiltonian dalam persamaan (8.45a) menjadi

p2 e   e2 2
Hˆ  V  B.L  A (8.45b)
2m 2m 2m

Sekarang nyatakanlah B pada sumbu-z, maka A=Br/2 dengan r2=x2+y2. Jadi, persamaan
di atas menjadi
p2 e e2 2 2
Hˆ  V  BLz  B (x  y2 ) (8.45c)
2m 2m 8m

Dari persamaan ini sebutlah


p2
Hˆ (0)  V,
2m
e
Gˆ (1)  BLz , (8.46)
2m
e2 2 2
Gˆ ( 2)  B (x  y 2 )
8m
Maka koreksi order-2 terhadap energi elektron adalah
228
Lz ,0 n Lz ,n 0
E0( 2 )  G00( 2 )  
n0 E0( 0 )  En( 0 )
(8.47)
 e 2  e 
2
L L 
   0 ( x  y ) 0 dV    z ,0 n z ,n 0 B 2
* 2 2

 8m  2m  n0 En 0 

di mana Lz ,0n  0* Lz n dV dan En 0  En( 0 )  E0( 0 ) .


Polarizabiltas magnet suatu molekul diturunkan sebagai berikut. Misalkan mz
adalah komponen dipole magnet molekul di dalam medan magnet 𝐵 yang terletak pada
sumbu-z, maka mz   zz B  ..... di mana  zz adalah polarizabilitas magnet dari molekul.
Energi dipole itu yang dipandang sebagai koreksi order-2 bagi energi molekul adalah

B B
E (2)
0    mz dB    ( zz B  ....) dB   1 2  zz B 2  .... (8.48)
0 0

Dengan mempersamakan kedua persamaan di atas maka polarizabilitas magnet dari


molekul adalah

e2 e2 Lz ,0 n Lz ,n 0
 zz  
4m 
0 ( x  y )0 dV  2
* 2 2

2m

n0 En 0
(8.49)

Untuk molekul yang berotasi secara bebas, berlaku harga rata-rata   13 ( xx   yy   zz ) .


Karena
( x 2  y 2 )  (y 2  z 2 )  ( z 2  x 2 )  2 r 2
dan
Lx,0 n Lx,n 0  Ly ,0 n Ly ,n 0  Lz ,0 n Lz ,n 0  L0 n
2

maka harga rata-rata polarizabilitas magnet molekul adalah

2
e2 e2 L0 n

6m 
0
* 2
r 0 dV 
6m 2

n0 En 0
(8.50)

Suku pertama dikenal sebagai polarizabilitas diamagnetikdan suku kedua polarizabilitas


paramagnetik (baca Atkins et al. 2005).

Contoh 8.5 Tinjaulah sebuah elektron yang menempati orbital Slater 2px. Andaikan
energi orbital ini sebesar E di bawah orbital 2py. Hitunglah polarizabilitas magnet dalam
arah sumbu-z yang dimiliki elektron itu.Dari persamaan (3.64c) orbital STO untuk soal
ini adalah
 5 / 2  r
 2 px  re sin cos
2

229
 5 / 2  r
 2 py  re sin sin
2

Dengan menggunakan  2 px untuk  0 dan  2 py satu-satunya untuk  n maka

2 2 2

Lz ,0 n Lz ,n 0    *
Lˆ z 2 py dV   i   2* px  2 py dV   i   2* px 2 pxdV   2

2 px

 ( x 2  y 2 )2 px dV   2 px ( x 2  y 2 ) dV
* 2
2 px
2
 5/ 2
 r e  r sin  cos  (r sin  ) 2 r 2 dr sin  d d
2
  2
 5 6  2 r
2 
 r e dr  sin 5  d  cos
2
 d
0 0 0
 5
 16 
6! 6
    
2 2   15 
7 7
2

Akhirnya, dengan persamaan (8.49) diperoleh polarizabilitas magnet

 3 e2 e 2  2 
 zz   
 2 m 2 2m 2 E 
 
dan
 e2 e 2  2 
   
 m 2 6m 2 E 
 

8.9 Aktivitas Optik


Aktivitas optik adalah rotasi bidang polarisasi gelombang elektromagnet ketika melalui
bahan. Sifat bahan seperti itu berkaitan dengan kemampuan bahan untuk memecah berkas
cahaya terpolarisasi-bidang menjadi dua yang terpolarisasi melingkardengan arah rotasi
yang berlawanan, kiri dan kanan. Sifat itu yang disebutsebagai circular birefringence dari
medium, Jika medium memiliki indeks bias n+dan n- masing-masing bagi cahaya
terpolarisasi melingkar-kanan dan –kiri di sepanjang sumbu-z dengan frekuensi , maka
vektor-vektor medan listrik dari cahaya yang terpolarisasi melingkar-kiri dan –kanan
adalah

E    (iˆcos   ˆjsin  ) (8.51)
di mana
 n z 
     t   (8.52)
 c 
Dari persamaan (8.51), medan listrik hasil superposisi kedua vektor medan listrik itu
adalah

230
  
E  E   E -   [iˆ(cos    cos   )  ˆj (sin    sin   )] (8.53)

Tampak bahwa jika bahan tidak bersifat circular birefringence di mana          t


maka seperti terlihat dalam Gambar (8.2a), superposisi di atas adalah

E  iˆ2 cos  t (8.54)

Tetapi, dalam bahan yang bersifat circular birefringence di mana ada perbedaan indeks
bias antara polarisasi melingkar-kanan dan –kiri, salah satu akan menjalar lebih cepat
daripada yang lain sehingga timbul perbedaan fasa antara keduanya. Hal inilah yang
diperlihatkan oleh persamaan (8.52). Superposisi dalam persamaan (8.53) menjadi
  
E  E   E -  2 (iˆ cos   ˆj sin  ) cos  t (8.55)
di mana
z (n   n  )
 (8.56)
2c

adalah pergeseran sudut yang dialami cahaya terpolarisasi bidang dalam waktu t setelah
menjalar sejauh z; lihat Gambar (8.2b).

E

E+ E- E
(a) (b)
E
+ E-
t, z

Gambar 82 (a) Tidak bersifat circular birefringence, dan (b) bersifat circular
birefringence.

Cahaya sebagai gelombang elektromagnet, ketika melalui bahan yang bersifat


circular birefringenceakan menginduksikan polarisasi 𝑃 (baca Atkins et al. 2005),

   dB 
P  N  E    (8.57)
 dt 
 
di mana N adalah kerapatan molekul (N/V), E dan B adalah medan listrik dan medan
magnet dari gelombang elektromagnet (tegak lurus satu sama lain),  polarizabilitas
listrik dan karakteritik molekul. Dengan kedua macam polarisasi di atas maka indeks
bias adalah
   
n  1  N    (8.58)
 2 0 2c 0 

231
dengan tanda + untuk polaritas melingkar –kanan dan tanda - untuk polaritas melingkar-
kiri. Jadi, nR  nL menjadi
ωβ
n  n  N (8.59)
c 0

dan pergeseran sudut pada persamaan (8.56) menjadi

z 2 
 N  N  0 z 2  (8.60)
2c  0
2

di mana c=1/(0µ0)1/2 , kecepatan cahaya dalam ruang hampa dan 0 adalah permeabilitas
ruang hampa. Molekul dengan > 0 atau n   n  disebut bersifat dextrorotary dan
molekul dengan <0 atau n   n  disebut bersifat laevorotary. Selanjutnya akan
diturunkan parameter .
Pada saat cahaya menjalar di dalam bahan optik, komponen medan listrik ℇdan
komponen medan magnet 𝐵 dari cahaya itu menimbulkan gangguan terhadap
Hamiltonian elektron dari molekul dalam bahan. Jika 𝜇 dan𝑚 masing-masing adalah
momen dipole listrik dan momen dipole magnet dari molekul maka gangguan itu adalah
   
Gˆ (t )  .E (t )  m.B(t ) (8.61)

  
di mana m  L , dan L adalah momentum sudut total elektron, γ adalah rasio
giromagnetik elektron. Di dalam bahan yang bersifat circular birefringence vektor-vektor
medan dalampersamaan (8.61) harus dinyatakan melingkar- kanan dan melingkar-kiri,
   
Gˆ  (t )  .E  (t )  m.B  (t ) (8.62)

Dengan menggunakan vektor-vektor medan

ℇ± 𝑡 = 𝜀 𝑖 cos𝜔𝑡 ± 𝑗sin𝜔𝑡

𝐵± 𝑡 = 𝐵 ±𝑖 sin 𝜔𝑡0 − 𝑗 cos𝜔𝑡 (8.63)

maka gangguan dalam persamaan (8.62) dapat dituliskan menjadi

Gˆ  (t )   ( x cos t   y sin t )  B(mx sin t  my cos t ) (8.64)

Nilai ekspektasi momen dipole terinduksi oleh medan-medan di atas adalah

    0n an (t )e i t  n0 an* (t )ei


n0 n 0t
 (8.65)
n0

dengan an (t) adalah koefisien bagi fungsi keadaan terganggu yang bergantung waktu,

232
t
1
i 0
an (t )  Gn0 (t )ein 0t dt (8.66)

Karena integral di atas diawali dari t=0, maka gangguan pada persamaan (8.64) harus
diawali dari nol sehingga harus dikalikan dengan (1-et/). Dengan itu maka persamaan
(8.65) menjadi

2   n 0 cos t  i sin t 
    0 n ( x ,n 0  Bm y ,n 0 )
 n0  n20   2

 
(8.67a)
 i sin t   cos t  
 i 0 n ( y ,n 0  Bm x ,n 0 ) n 0 
 n20   2 
Kita tahu bahwa momen dipol listrik adalah ril, sedangkan momen dipolmagnet adalah
imaginer (karena momentum sudut adalah operator yang imajiner). Oleh sebab itu setelah
melalui penyusunan kembali, persamaan (8.67) dapat dituliskan sebagai berikut.

2  n 0    2  1  dB  (t )
 
 Re  0 n  n 0  2 E (t )  Im  0 n mn 0  2
2 

2 
(8.67b)
 n 0  n 0     n 0  n 0    dt

di mana Re menyatakan bagian ril dan Im bagian imajiner. Terlihat bahwa persamaan ini
 
sama dengan   P / N dalam persamaan (8.57) sehingga diperoleh

2  m
 Im  20 n n 0 2 (8.68)
 n0 n 0  

Dengan demikian maka pergeseran sudut pada persamaan (8.60) adalah

2  m
 N  0 z 2 Im  20 n n 0 2 (8.69)
 n0 n 0  

233
Soal-soal
8.1 Polarizabilitas volum didefenisikan seperti  '   / 4 0 . Molekul tetrachlorometan
mempunyai polarizabilitas volum1,0510-29m3. Hitunglah (a) besarnya momen dipol
terinduksi oleh medan listrik 10000 V/m, dan (b) perubahan energi molar.

8.2 Sebuah elektron di dalam kotak dimensi-1 (sepanjang sumbu-x) yang panjangnya L.
Andaikan di tengah kotak ada muatan positif yang menyebabkan timbulnya momen
dipol tetapi tidak mempengaruhi fungsi gelombang elektron. Hitunglah
polarizabilitas sistem sejajar sumbu-x.

8.3 Tentukanlah polarizabilitas dan polarizabilitas volum suatu atom hidrogen. Untuk
mudahnya misalkan keadaan dasar adalah 1s dan keadaan tereksitas 2pz.

8.4 Rancanglah perhitungan variasi bagi polarizabilitas atom hidrogen. Gunakan fungsi
coba =1s+a2pz yang belum dinormalisasi dengan a sebagai parameter variasi.
Hamiltoniannya adalah 𝐻 = 𝐻0 + 𝑒𝑧ℰ. Tentukanlaj nilai optimal a dan tentukanlah
zz. Harga eksperimen polarizabilitas volum adalah 6,610-31m3.

8.5 Pada sumbu-x, dua buah muatan +e dan –e dihubungkan oleh gaya dengan konstanta
gaya k . Sistem ditempatkan dalam medan listrik yang sejajar sumbu-x. Hitunglah
hiperpolarizabilitas xxx.

8.6 Kekuatan osilator dari transisi sekitar 160 nm dalam etana adalah 0.3. Hitunglah
polarizabiltas volum molekul itu. Harga eksperimen: 4,2210-30m3.

8.7 Tinjaulah dua partikel masing-masing di dalam kotak dimensi-satu. Jarak antara pusat
kedua kotak adalah R. Setiap sistem dapat dipandang sebagai model atom seperti
dalam soal nomor 8.2. Hitunglah energi dispersi jika kotak-kotak itu (a) pada satu
garis, (b) berdampinga tapi tidak pada satu garis.

8.8 Hitunglah energi dispersi antara dua buah atom hidrogen. Jarga eksperimen
polarizabilitas volume atom hydrogen adalah 6,610-31 m3.

234
BAB 9
SPEKTROSKOPI MOLEKUL
Metoda spektroskopi secara langsung memberikan informasi tentang struktur molekul
dan sifat kimia-fisiknya. Teori Kuantum dapat memberikan landasan fisis dari spektrum
serta hubungan antara struktur mikroskopik molekul dan parameter-parameter spektral
yang makroskopik. Secara umum asal-muasal fisis spektrum molekul adalah interaksi
antara radiasi gelombang elektromagnet dan materi. Peran dari teori kuantum dalam
spekroskopi molekul adalah memberikan model sederhana dan mendeskripsikan
spektrum secara singkat dengan menggunakan parameter-parameter empirik. Parameter-
parameter itu bergantung pada elektron-elektron yang terkandungan dalam molekul dan
interaksi-interaksinya yang dapat dihitung dengan menggunakan metoda-metoda
komputasi yang ada.

9.1 Resonansi Magnetik Inti (NMR)



Di dalam medan magnet luar B , spin-inti atom hidrogen dalam molekul mengalami
interaksi dengan hamiltonian seperti

Hˆ   g N  N (1   a ) Iˆa . B    J ab Iˆa . Iˆb (9.1)
a a b ( a )

di mana gN dan  N adalah faktor-g dan magneton Bohr inti, a konstanta perisai di inti
ke-a, Iˆa dan Iˆb masing-masing spin-inti ke-a dan ke-b dan Jabkonstanta kopling antara
kedua spin. Reonansi suatu inti hidrogen tergeser ke medan magnet yang lebih kecil
daripada medan magnet luar sebagai akibat dari awan elektron disekitar inti. Konstanta
perisai awan elektron inilah yang membedakan suatu proton dengan proton lain di dalam
molekul. Oleh sebab itu  merupakan parameter penting dalam spektroskopi NMR.
Selain itu, interaksi antara spin-spin menyebabkan pecahnya suatu signal absorpsi spin
karena interaksinya dengan spin lain. Struktur multiplet spektrum NMR muncul jika
molekul mengandung inti-inti yang berbeda konstanta perisi. Jumlah garis yang
disebabkan inti a dalam molekul AXn adalah 2nIx+1. Spasi antara dua garis dalam
spektrum suatu gugus adalah Jax.
Sebagai contoh Gambar 9.1 memperlihatkan signal NMR dari etilklorida (CH3-
CH2-Cl). Gugus CH3 memberikan signal dengan dua pecahan dan gugus CH2
memberikan signal dengan empat pecahan. CH2 muncul pada posisi medan lebih kecil

J12 J12 J12 J12 J12

CH2 CH3 TMS

B2B1 B
Gambar 9.1 Signal NMR etilklorida (CH3-CH2-Cl).

daripada CH3. Karena frekuensi Larmour sama pada kedua kelompok hidrogen, maka
konstanta perisai dari CH2 lebih kecil daripada CH3. Luas dibawah kurva signal
sebanding dengan jumlah atom hidrogen yang menimbulkan signal itu.

235
Dari persamaan (9.1) jelaslah adanya dua parameter penting dalam spektroskopi
NMR, yakni konstanta prisai dan konstanta kopling spin-spin. Kedua parameter ini akan
dibahas satu persatu sebagai berikut.

Konstanta Perisai
Dalam metoda semiempirik, Pople (1962) mengemukakan bahwa medan magnet
luar B memodifikasi fungsi basis atom iAdari atom amenjadi

 ie   
 i  i exp   Ai . r  (9.2)
a a
 hc a 

di mana Aia adalah vektor potensial medan magnet luar di posisi atom a. Dengan
demikian maka pembentukan orbital molekul di dalam medan magnet sebagai kombinasi
linier dari orbital-orbital atom (MO LCAO) menjadi

 n ( B)   ci ,n ( B)  i ( B) a a
(9.3)
a i

di mana koefisien LCAO dan fungsi basis telah dinyatakan sebagai fungsi medan magnet
luar. Begitu pula fungsi keadaan molekul sebagai determinan Slater dari seluruh orbital
molekul yang ditempati elektron, juga akan bergantung pada medan magnet luar.
Konstanta perisai suatu inti a, menurut Pople merupakan penjumlahan sebagai
berikut,
 a   aa
d
  aap    ab (9.4)
b a

di mana  aad
adalah konstanta perisai diamagnetik lokal, dan  aap konstanta perisai
paramagnetik. Suku ketiga adalah perisai yang ditimbulkan oleh arus antar atom yang
terinduksi oleh medan magnet; komponen ini dapat dipandang konstant.
Jika integral-integral multi-pusat diabaikan, komponen perisai diamagnetik adalah

e2 1
 aa
d

3mc2
 P  iaia ia
 ia dVa (9.5)
ia  ra 

Dalam hal ini Pia ia adalah elemen matriks P̂ dari molekul yang belum terganggu medan
magnet. Komponen perisai paramagnetik adalah

 aap  
N
1
  1
X aap   2 pa 3  2 pa dVa
ra
(9.6a)

P
X aa
1
3

 X aa
P
 xx
 X aa
P
yy
 X aa
P
zz 

X   
Ne 2  2 occ unocc
1 (9.6b)
P
   c y a , n c z a , n  c z a , n c ya , n 
p  n
aa xx
m 2c 2 n p

 cb
c
yb ,n zb ,n  c zb ,m c yb ,n 
236
Dalam persamaan (9.6b) di atas indeks xx menyatakan komponen tensor suseptibilitas
paramagnetik lokal; penjumlahan dilakukan pada semua orbital molekul yang diduduki
(n) dan yang tidak diduduki elektron (p). Penjumlahan terhadap semua atom
bdilakukan terhadap semua atom termasuk atom a; koefisien LCAO c ya ,n  c2 pa ,n .
Komponen X aa
P
yy dan X aaP zz diperoleh dengan cara substitusi siklik: xy, yz, zx.
Integral (1/r3)2pa bergantung pada muatan atom a. Dengan eksponen orbital Slater
(STO), integral itu bergantung pada jumlah rata-rata elektron dari atom a. Perumusan
untuk integral ini adalah
1 Z a3
 2 pa ra32 pa dVa  24 (9.7a)

dengan harga efektif muatan inti untuk orbital 2p adalah

 
Z a  Z ao  0,35  Pia ,ia  na  (9.7b)
 ia 

di mana Z ao adalah muatan inti efektif atom terisolasi, dan na jumlah elektron valensi
atom a.

Konstanta Kopling
Konstanta kopling dalam persamaan (9.1) dapat diungkapkan secara lengkap
seperti
J ab   a b K ab (9.8a)

di mana A dan B adalah rasio giromagnetik spin inti a dan b. Kabdikenal sebagai
kontribusi kontak Fermi antara spin inti a dan b(Memory, 1968) dengan ungkapan

2  8
     Sˆ  (r 
2

 E
 1
K ab    g  m  E0 0  a )m dV 
3 3  m0    (9.8b)
 
    0 Sˆv (rbv )m dV 
 v 

di mana g dan  masing-masing adalah faktor-g dan magneton Bohr elektron, Ŝ  dan Ŝ v
adalah vektor spin elektron ke- dan ke-, rajarak antara elektron ke- dan inti ke-a,
rbvjarak antara elektron ke- dan inti ke-b,0 adalah fungsi keadaan dasar dengan energi
E0 dan m adalah fungsi keadaan tereksitasi ke-m dengan energi Em.
Fungsi keadaan dasar adalah suatu determinan Slater tunggal untuk keadaan
singlet sel-tertutup adalah seperti persamaan (7.20b),

0   1  1 ...... n  n ..... N / 2 N / 2 (9.9)

maka fungsi-fungsi keadaan tereksitasi yang berkaitan dengan perpindahan elektron dari
orbital molekul ke-n ke orbital molekul-p adalah seperti persamaan (7.20c dan d),

237
Singlet: 0 n p   1  1 ...... n  p ..... N / 2 N / 2   1  1 ...... p  n ..... N / 2 N / 2 (9.10)

 1 n p   1  1 .... p  n ... N / 2 N / 2





Triplet :  0 n p   1  1 .... n  p ... N / 2 N / 2   1  1 .... p  n ... N / 2 N / 2 (9.11)


 1 n p   1  1 .... n  p ... N / 2 N / 2

Jumlah fungsi sejenis np adalah sama dengan perkalian jumlah orbital molekul yang
diduduki dan jumlah orbital molekul yang tak diduduki elektron dalam keadaan dasar.
Fungsi keadaan eksitasi np menggantikan m dan energi Enp menggantikan Emdalam
persamaan (9.8b). Aproksimasi kasar terhadap beda energi Enp – E0= p-n. Substitusi
persamaan (9.9) ke persamaan (9.8b) menghasilkan

2  8
2 N /2
 unocc
K ab    g 
3 3 
  (
n p  N / 2 1
p   n ) 1

(9.12)

  n (1) (ra1 ) p (1) dV  p (1) (rb1 ) n (1) dV 
Mengingat orbital molekul sebagai kombinasi linier dari orbital-orbital atom, maka
selanjutnya persaamaan (9.11) menjadi

2  8
2 N /2
 unocc
K ab  
3 3
g 

   (
n p  N / 21 ia jb
p   n ) 1

(9.13)

 cia ,n cia , p c jb , p c jb ,n  ia (1) (ra1 )ia (1) dV   jb (1) (rb1 ) jb (1) dV 
Sifat delta-Dirac adalah,

 i (1) (ra1 )i (1) dV  i (0)


2
a a a

(9.14)


2
jb (1) (rb1 ) jb (1) dV  ib (0)

di mana ia (0) dan ib (0) adalah orbital-orbital atom di pusat koordinat atom a dan atom
b. Jadi, persamaan (9.13) menjadi

2  8
2 N /2
 unocc
K ab   
3 3
g 

   ( p   n ) 1
n p  N / 21 ia jb (9.15)
2 2
 cia ,n cia , p c jb , p c jb ,n ia (0) ib (0)

Dalam persamaan di atas terungkap polarizabiltas atom-atom, yakni

238
N /2 unocc
 ia jb  4  ( p   n ) 1 cia ,n cia , p c jb , p c jb ,n (9.16)
n p  N / 21

Dengan demikian maka persamaan (9.15) menjadi

1  8
2

 
2 2
K ab   g  ia jb i (0) i (0) (9.17)
6 3  ia jb
a b

Jika a dan b adalah atom-atom hidrogen, maka orbital atom dalam persamaan itu adalah
1s.

9.2 Spektroskopi Inframerah


Spektrum inframerah ditimbulkan oleh transisi radiatif antara tingkat-tingkat vibrasi
molekul pada keadaan elektronik molekul yang sama. Spektrum dikarakterisasikan oleh
frekuensi absorpsi seperti frekuensi-frekuensi pita dan intensitas pita bersangkutan.
Penentuan frekuensi-frekuensi vibrasi dilakukan melalui analisa dengan menggunakan
koordinat normal.
Tinjaulah suatu molekul poliatomikyang mengandung N buah atom. Misalkan
atom ke-imengalami pergeseran kecil sejauh ∆𝑟𝑖 =(x,x+1,x+2), =3(i-1)+1.Maka
energi kinetik (T) dan energi potensial (V)molekul diungkapkan sebagai berikut

1 3 N  dxi 
2

T   mi   (9.18a)
2 i 1  dt 

3N
V  1 2  kij xi x j (9.18b)
i j

Dalam persamaan (9.18a) arus diingat bahwa m1=m2=m3, m4=m5=m6 dan seterusnya.
Parameterkij disebut konstanta gaya. Untuk menyederhanakan persamaan di atas
didefeniskan koordinat terbobot massaseperti

qi  mi xi (9.19)

sehingga persamaan (9.18a) dan (9.18b) menjadi

2
1 3 N 6 dq 
T   i  (9.20a)
2 i  dt 

3 N 6
V 1
2 K
i 1, j 1
ij qi q j (9.20b)

Koordinat terbobot q yang berkaitan dengan translasi dan rotasi harus dikeluarkan karena
tidak mengandung konstanta gaya. Itu sebabnya jumlah koordinat menjadi 3N-6. Energi
total adalah

239
3 N 6 2
 dqi  1 3 N 6
E 1
2  
i 1  dt 
  2  K ij qi q j
i 1, j 1
(9.21)

Kesulitan dengan suku kedua timbul dari kehadiran perkalian silang untuk ij.
Kesulitan itu di atas dengan menggunakankoordinat normalQkyang merupakan kombinasi
linier dari koordinat {qi} (Wilson (1955).Contoh cara menentukan koordinat normal dapat
dilihat dalam Apendiks 7. Dalam koordinat normal energi total menjadi

2
 dQi
3 N 6
 3 N 6
E 1
2  

i 1  dt
  1 2   i Qi2
 (9.22)
 i 1

Hamiltonian molekul yang mencakup seluruh atom dalam koordinat normal


adalah
Hˆ   Hˆ i
i
(9.23)
2
Hˆ i   1 2  2  1 2  i Qi2
Qi2

Karena Hamiltonian itu merupakan penjumlahan, maka fungsi gelombangnya adalah


produk dari fungsi-fungsi gelombang modus,

  1 (Q1 )2 (Q2 )...............  i (Qi ) (9.24)


i
Dalam hal ini berlaku
Hˆ ii (Qi )  Ei (Qi ) (9.25a)
dengan
i
i (Qi )  N n H n (ai Qi )e a Q / 2 ;
2
i i
ai  (9.25b)
i i

Di sini i di sebut frekuensi modus normal ke-i. Fungsi gelombang modus ke-i dengan
frekuensi idan energi
Eni  ni  1 2 i (9.26)

Jadi, fungsi keadaan dasar adalah

0  N  e  aiQi / 2  Ne Q ; Q 2   ai2Qi2
2 2
/2
(9.27)
i i
dengan energi
E0  1
2  i
i (9.28)

Intensitas absolut dari absorpsi pita ke-i menurut Einstein adalah


i   nm Bnm (9.29)
10 3 c

240
dengan c adalah kecepatan cahaya dalam ruang hampa, nm  En  Em  /  adalah
frekuensi transisi antara keadaan myang berenergi Em dan keadaan nyang berenergi En,
sedangkan Bnm adalah koefisien absorpsi yang dirumuskan seperti

8 2
Bnm   nm
2
(9.30)
3 2

Elemen martriks dari momen dipole nm adalah


   
nm   n (r , R)ˆ m (r ,.R) dVr dVR (9.31)


Di sini, fungsi keadaan dinyatakan sekaligus sebagai fungsi dari posisi elektron ( r ) dan

inti ( R ). Fungsi keadaan diungkapkan sebagai produk dari fungsi keadaan elektron dan
fungsi keadaan inti,
    
(r , R)   el (r , Q)  osc (Q) (9.32a)

di mana Qk adalah koordinat normal osilasi inti modus ke-k.


Misalkan transisi berlangsung antara keadaan vibrasi  nosc
1
yang berenergi
n1  12 
dan keadaan vibrasi  nosc
2
yang berenergi n2  1 2  dalam keadaan elektron
yang sama, maka
    
n (r , R)  oel (r , Q) nosc
1
(Q)
(9.32b)
    
m (r , R)  oel (r , Q) nosc
2
(Q)

maka persamaan (9.31) menjadi


     
 nm   oel (r , Q)nosc (Q) ˆ oel (r , Q) nosc (Q)dVr dVQ
1 2

(9.33)
  osc 
  nosc
1
(Q )  (Q ) n2 (Q) dVQ
dengan
    
 (Q)   oel (r , Q)ˆ oel (r , Q) dVr (9.34)

Di sekitar kedudukan setimbang, dapat dinyatakan

   
 (Q)   o     Qk (9.35)
k  Qk 0

Dari persamaan (9.35), 0 adalah momen dipole permanent dari molekul sehingga tidak
berperan dalam vibrasi molekul seperti terlihat dalam persamaan berikut

241
      
 nm  o  nosc (Q) nosc (Q) dvQ      nosc (Q ) Q  osc
(Q ) dvQ (9.36)
 Qk
k n2
0
1 2 1
k

Integral dalam suku pertama itu nol karena fungsi-fungsi keadaan osilasi untuk
n1n2orthogonal satu sama lain. Jadi

    
 nm       nosc (Q ) Q  osc
(Q ) dvQ (9.37)
 Qk
1 k n2
k 0

alam persamaan (9.37) di atas jelas bahwa signal inframerah terjadi jika dipenuhi
 / Qk 0  0 yang disebut aktif inframerah. Integral dalam persamaan (9.37) memiliki
harga hanya jika memenuhi aturan seleksi n1  n2  1 , seperti telah dikemukakan dalam
Bab 1 mengenai osilator harmonis. Transisi dari n1=0 ke n2=1 dikenal sebagai transisi
fundamental.
Dari segi simetri seperti diperlihatkan oleh persamaan (4.24) transisi
fundamental itu aktif inframerahjika modus normal bersangkutan memiliki spesis simetri
yang sama dengan salah satu komponen dari momen dipole.

(i )  (nosc
1
)(nosc
2
) (9.38)

9.3 Spektroskopi Raman


Spektroskopi Raman didasarkan pada hamburan foton oleh molekul, bukannya karena
absorpsi foton seperti pada spektroskopi IR. Proses hamburan adalah sebagai berikut.
Tinjaulah sebuah molekul yang berinteraksi dengan sebuah gelombang electromagnet.
Misalkan vektor medan listrik berosilasi ,
 
E  E 0 cos(0 t ) (9.39)

datang mengenai molekul. Medan itu menginduksikan momen dipole di dalam molekul
 
   ( ) E0 cos(0 t ) (9.40)

di mana polarizabilitas molekul (0) diungkapkan seperti

  
 ( )   ( 0 )    Qk cos( k t ) (9.41)
 Qk 0

dengan k adalah frekensi vibrasi modus normal dari inti-inti molekul.Jadi, momen dipol
pada persamaan (9.40)menjadi

242
      
  E 0  ( 0 )    Qk cos( k t ) cos( 0 t )
  Qk 0 
  1   
 E 0  ( 0 ) cos( 0 t )    Qk cos( 0   k )t (9.42)
 2  Qk 0
1    
   Qk cos( 0   k )t 
2  Qk 0 

Suku pertama menggambarkan hamburan yang tidak mengubah frekuensi; hamburan ini
disebut hamburan elastik Rayleigh. Suku kedua menggambarkan hamburan yang
menambah frekuensi; hamburan ini disebut hamburan tak-elastik anti-Stokes. Suku ketiga
menggambarkan hamburan yang mengurangi frekuensi; hamburan ini disebut hamburan
tak-elastik Stokes; yang kedua dan ketiga disebut hamburan Raman. Proses di atas
digambarkan seperti Gambar 9.2.

ℏ𝜔0 ℏ𝜔0 ℏ𝜔0 ℏ𝜔𝑅 ℏ𝜔0 ℏ𝜔𝑅

ℏ𝜔𝑘 ℏ𝜔𝑘
(a) (b) (c)

Gambar 9.2 Diagram energi yang memperlihatkan hamburan elastis Rayleigh (a),
hamburan Raman inelastis anti-Stokes (b) dan Stokes (c). 0 adalah frekuensi cahaya
datang,R adalah frekuensi cahaya terhambur dan kfrekuensi modus normal inti-inti
molekul.

Polarizailitas adalah tensor yang komponennya bisa dituliskan seperti

ind ,i   ii Ei   ij E j   ik E k ; i, j, k  x, y, z (9.43)

Intensitas hamburan Raman sehubungan dengan transisi vibrasi nm adalah

𝐼𝑛→𝑚 = 𝜎𝑛→𝑚 𝐼0 (9.44)

I0=intensitas cahaya datang dan nm adalah cross section hamburan.

 nm (0   k ) 4   ij
2
(9.45)
i, j

Sifat polarizabilitas sebagaitensor berakibat terhadap polarisasi hamburan Raman.


Misalkan koordinat-fix dari molekul searah osilasi medan listrik, katakanlah sumbu-z.
Gelombang elektromagnet menjalar sepanjang sumbu-y dan detektor cahaya ditempatkan

243
pada sumbu-x, maka hamburan Raman terdiri atas dua polarisasi, yakni sejajar medan
listrik (I//) dan tegak lurus medanlistrik (I). Intensitas masing-masing adalah
2 2
𝐼∥ ∞ 𝛼𝑧𝑧 ℰ𝑧

2 2
𝐼⊥ ∞ 𝛼𝑦𝑧 ℰ𝑧 (9.46)

Jika molekul tidak terorientasi, maka hubungan antara sifat polarisasi dan tensor
hamburanmenjadirumit dan komponen-komponen tensor tidak bisa ditentukan.

9.4 Spektroskopi UV-Vis


Kebanyakan molekul memperlihatkan karakteristik absorpsi radiasi elektromagnet, baik
dalam daerah ultraviolet-dekat maupun daerah sinar tampak. Absorpsi menyebabkan
eksitasi elektron dari suatu keadaan elektronik berenergi rendah ke keadaan elektronik
berenergi tinggi yang diiringi oleh perubahan gerakan-gerakan rotasi dan vibrasi. Hal ini
menyebabkan spektrum memiliki karakter pita.
Setiap energi keadaan elektronik merupakan fungsi parametrik dari koordinat -
koordinat inti sehingga memiliki kaitan dengan energi potensial elektronik. Kurva energi
potensial untuk suatu keadaan elektronik sangat berperan dalam interpretasi spektrum.
Pada umumnya, keadaan elektronik yang berbeda memiliki kurva potensial yang berbeda
pula seperti diperlihatkan dalam Gambar9.3. Biasanya, harga minimum energi potensial
untuk keadaan tereksitasi lebih besar daripada keadaan tereksitasi ril dan tergeser ke jarak
antar atom yang lebih besar pula. Di dalam gambar itu, transisi A disebut transisi 00
yakni transisi yang tidak mengandung vibrasi molekul, dan transisi B adalah maksimum
dari pita absorpsi.

Keadaan tereksitasi

Keadaan tereksitasi ril

B A
Keadaan dasar

Jarak antar atom (R)

Gambar 9.3 Kurva energi potensial untuk keadaan elektronik dasar dan tereksitasi.

Sebelum mengabsorpsi radiasi elektromagnet, molekul berada dalam keadaan


dasarnya, sebutlah o, dan jika suhu cukup rendah keadaan vibrasi terendah o( o ) (Q)
dengan Q menyatakan koordinat normal dari vibrasi pada keadaan dasar. Keadaan ini
diungkapkan sekaligus seperti

 o,o  o ( R; Q) o( o ) (Q) (9.47)

244
Jika molekul mengabsorpsi radiasi, elektron bertransisi ke keadaan elektronik
yang ebih tinggi, m, misalnya pada suatu keadaan vibrasi tertentu, s( m) (Q' ) . Keadaan
tereksitasi ini diungkapkan sekaligus seperti

 m,s  m ( R; Q' ) s( m) (Q' ) (9.48)

Dalam persamaan di atas Q’ adalah koordinat normal pada keadaan tereksitasi.


Probabilitas transisi antara kedua keadaan di atas berbanding lurus dengan kuadrat
momen dipol transisi elektron. Jika ̂ adalah momen dipol listrik dari molekul, maka
momen dipol transisi dirumuskan seperti

ms
M oo    o ,o ˆ  m, s dV

  o ( R; Q) o( o ) (Q) ˆ m ( R; Q' ) s( m ) (Q' ) dVR dVQ (9.49)

   o( o ) (Q)  om s( m ) (Q' ) dVQ


Dengan

om   o ( R; Q)ˆ m ( R; Q' ) dVR (9.50)

Menurut aproksimasi Born-Oppenheimer, jika vibrasi dalam keadaan dasar itu berada
dalam konfigurasi yang setimbang, Qo, maka persamaan (9.49) dapat disederhanakan
menjadi
ms
M oo  om  o( o ) (Q o )s( m) (Q' ) dVQ (9.51)

 (Q o )s( m) (Q' ) dVQ disebut faktor overlap Franck-Condon. Faktor ini


(o)
Integral o

mencapai harga maksimum jika potensial-potensial keadaan dasar dan tereksitasi


elektronik berimpit. Jadi, dari semua transisi yang mungkin, intensitas tertinggi adalah
transisi yang mempertahankan konfigurasi inti dalam keadaan dasar. Transisi ini disebut
transisi vertikal (B) seperti terlihat dalam Gambar9.3. Probabilitas transisi elektron dari
keadaan dasar yang ditunjukkan oleh persamaan (9.47) ke keadaan tereksitasi dalam
persamaan (9.48) adalah

om
2 2
2  o
Pooms ~  (o ) (Q o )s( m) (Q' ) dVQ (9.52)
[(om   )]

di mana  adalah frekuensi radiasi gelombang elektromagnet dan om adalah

E ms  Eo
 om   (9.53)
s h
dengan
Ems  Em   s(m) (9.54)

245
dimana E0 adalah energi keadaan dasar 0 dan Em adalah energi keadaan elektronik
tereksitasi m dan s(m) adalah energi vibrasi ke-s dalam keadaan elektronik tereksitasi
m. Untuk transisi 00 (A) probabilitas transisi dalam persamaan (9.52) mencapai
maksimum. Intensitas absorpsi dari suatu transisi elektron sebanding dengan probabiltas
transisi tersebut.
Dalam teori orbital molekul, suatu keadaan elektronik tereksitasi dapat dibangun
dari keadaan dasar dengan memindahkan satu elektron dari orbital molekul terisi ke
orbital molekul yang kosong seperti diperlihatkan dalam Gambar 9.4. Jadi, setelah
menyelesaikan perhitungan untuk keadaan dasar, selanjutnya keadaan-keadaan tereksitasi
dapat dibangun. Misalnya, jika keadaan tereksitasi m merupakan hasil pemindahan
elektron dari orbital molekul ike orbital molekul kmaka m= ik .

k k

i i
0  i
k

Gambar 9.4 Keadaan dasar 0 dan keadaan tereksitasi ik yang terkait dengan transisi
elektron dari obital molekul i ke orbital molekul k.

Dengan demikian persamaan (9.50 ) dapat dinyatakan seperti

 om   0 ˆ m dV   0 ˆ ik dV   i ˆ k dV (9. 55)

Selanjutnya, dengan mengungkapkan orbital molekul sebagai kombinasi linier dari


orbital-orbital atom diperoleh

om   cip c kq   p ˆ q dV (9.56)


pq

Ungkapan klasik dari momen dipol adalah


 
   q p rp (9.57)
p


di mana r p adalah vektor posisi muatan ke-p yakniqp.
Dalam teori elektron-, setiap atom karbon memiliki satu elektron-, sehingga
qp=-e pada setiap atom karbon, dan indeks p menyatakan atom karbon ke-p. Sebutlah xp
sebagai komponendari vektor posisi atom di sepanjang sumbu molekul, maka

 x  e  x p (9.58)
p

Jika titik pusat dipilih pada suatu ujung molekul, maka dp dapat dipandang sebagai jarak

246
atom ke-p dari ujung itu. Jadi,

 
 x,0 m  e cip c kq   p   xr  q dx  e cip c kp x p (9.59)
pq  r  p

Dengan metoda Hückel dan Pariser-Parr-Pople persamaan di atas secara mudah dapat
dihitung. Berikut adalah program absorbsi butadienadengan metoda Hückel.

% Program Absorpsi butadiena dengan metoda Huckel.


clc
clear;
close all;
G=0.02i; %faktor redaman
for i=1:4
F(i,i)=-11;
end
for i=1:3
F(i,i+1)=-2.5;
F(i+1,i)=-2.5;
end
disp('Keadaan dasar')
% Energi orbital molekul dan koefisien bersangkutan
[C,D]=eig(F);
for i=1:4
E(i)=D(i,i);
end
E
C
% Bond order
for i=1:3
P(i,i+1)=2*C(i,1)*C(i+1,1)+2*C(i,2)*C(i+1,2);
end
%
% Panjang ikatan dua karbon bertetangga terdekat
for i=1:3
r(i)=1.52-0.15*P(i,i+1);
end
% Jarak mendatar
for i=1:3
s(i)=r(i)*cos(30/57.3);
end
x(1)=0;
x(2)=s(1);
x(3)=d(2)+s(2);
x(4)=d(3)+s(3);
%
% Beda energi (DE)dan panjang gelombang (pg)
DE(1)=E(3)-E(2);
DE(2)=E(4)-E(2);

247
DE(3)=E(3)-E(1);
DE(4)=E(4)-E(1);
DE
pg(1)=1.24/DE(1);
pg(2)=1.24/DE(2);
pg(3)=1.24/DE(3);
pg(4)=1.24/DE(4);
pg
%
% Momen dipole transisi
M(1)=0;
for p=1:4
M(1)=M(1)+C(p,2)*C(p,3)*x(p);
end
M(2)=0;
for p=1:4
M(2)=M(2)+C(p,2)*C(p,4)*x(p);
end
M(3)=0;
For p=1:4
M(3)=M(3)+C(p,1)*C(p,3)*x(p);
end
M(4)=0;
For p=1:4
M(4)=M(4)+C(p,1)*C(p,4)*x(p);
end
%
%Absorpsi sebg fungsi energi foton dalam panjang gelombang L (um)
for k=1:1000
L(k)=0.1+k*0.0004;% panjang gelombang
A(k)=0;
for m=1:4
B(m)=(DE(m)+1.24/L(k)-G)*(DE(m)-1.24/L(k)-G);
A(k)=A(k)+abs((M(m))^2/B(m));
end
end
plot(L,A)
xlabel('Panjang gelombang (um)'),ylabel('Absorpsi (arb.unit)')

Hasil perhitungan dan analisa


Keadaan-keadaan eksitasi singlet dan beda energinya masing-masing dengan keadaan
dasar:
1=23, E10=3.0902 eVsetara dengan 01= 0.4013m;
2=24, E20=5.5902 eVsetara dengan 02=0.2218m;
3=13,E30=5.5902 eVsetara dengan 03=0.2218m;
4=14,E40=8.0902 eVsetara dengan 04= 0.1533m.
Momen transisi:
01 =-1.1498(-1,610-19) CÅ;
02 = 0;
03 =0;
248
04 =-0.0504 (-1,610-19) CÅ;
Spektrum UV-Vis diperlihatkan dalam Gambar 9.5.Terlihat bahwa spektrum
mengandung hanya sebuah puncak pada panjang gelombang 0,4 m.. Berdasarkan posisi
panjang gelombang (beda energi), puncak itu mewakili transisi dari 01, di mana
elektron bertransisi dari orbital molekul 2 ke orbital molekul 3.
Bedasarkan simetri, butadiena memenuhi grup simetri C2h; lihat Contoh 6.5.
Representasi (IR) masing-masing fungsi keadaan adalah: (0)=Ag, (1)=Bu,
(2)=Ag, (3)= Ag dan (4)=Bu sedangkan IR dari momen dipole adalah (x)= Bu
di mana xadalah sumbu molekul. Berdasarkan

( d )  (0 ) (n )  Bu


maka keadaan eksitasi yang sesuai untuk transisi elektron dari keadaan dasar 0 ke1 dan
4. Tetapi karena beda energi E40 yang cukup besar dan momen dipole 04yang sangat
kecil maka puncak 04 sangat kecil dibandingkan dengan 01 sehingga tidak
terlihat. Transisi 02 dan 04 adalah terlarang; ini didukung ole hasil
perhitungan 02 = 03 =0.Hasil perhitungan di atas mirip dengan hasil perhitungan dalam
Contoh 8.4 untuk polarizabilitas.
1.4

1.2

1
Absorpsi (arb.unit)

0.8

0.6

0.4

0.2

0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
Panjang gelombang (um)

Gambar 9.5 Spektrum absorpsi UV-Vis butadiena.

249
Apendiks 1
Beberapa Konstanta
Konstanta gravitasi: G = 6,6726 x 10-11 nm2/kg2
Konstanta gas universal: R = NAkB = 8,314 J/mole-K
Konstanta Boltzmann: kB = 1,38066 x 10-23 J/K
Konstanta Stefan-Boltzmann: σ = 5,6703 x 10-8 W/m2K4
Konstanta Faraday: F = 96,485 C/mole
Konstanta Coulomb: 1 / 4 o = 8,988 x 109 Nm2/C2
Konstanta Planck: ћ=h/2 = 1,054557 x 10-34 Js
Konstanta Rydberg R = 1,09737 x 107 /m
Konstanta struktur halus: α = 1/137,036
Kecepatan cahaya: c = 2,99792 x 108 m/s
Angstrom: Å =10-10 m= 10-4 μm= 0,1 nm
Elektron volt: eV = 1,6022 x 10-19 J
Muatan elektron: -e = -1,6022 x 10-19 C
Permittivitas ruang hampa: εo = 8,85419 x 10-12 C2/Jm
Bilangan Avogadro: NA = 6,022 x 1023/mole
Satuan massa atom: u = 1,661 x10-27 kg = 931,5 MeV/c2
Massa diam elektron: me = 9,11 x 10-31 kg = 0,511 MeV/c2
Massa diam proton: mp = 1,673 x 10-27 kg = 938,28 MeV/c2
Massa diam neutron: mn = 1,675 x 10-27 kg = 939,57 MeV/c2
Massa diam alfa: mα = 6,6448 x 10-27 kg = 3727,41 MeV/c2
Jari-jari Bohr: ao = 5,29177 x 10-11 m
Energi atom Hidrogen: En = -13,6057 eV/n2, n=1 ,2, .....
Magneton Bohr: μB = 9,2741 x 10-24 J/T
Magneton inti: μN = 5,0508 x 10-27 J/T

250
Apendiks 2
Beberapa Integral
x 1
1.  x sin bx dx  bsin bx  cos bx
b 2

x 1
2.  sin 2 bx dx   sin(2bx)
2 4b
x2 x 1
3.  x sin 2 bx dx   sin(2bx)  2 cos(2bx)
4 4b 8b
x3  x 1  x
4.  x sin bx dx     3  sin(2bx)  2 cos(2bx)
2 2

6  4b 8b  4b
1 bx
 xe dx 
e (bx  1)
bx
5.
b2
bx  x 2x 2 
2
6.  x e dx  e 
2 bx
  2  3 
 b b b 

n!
x e qx dx  ; n  0,1, 2, .....; q  0
n
7.
0 q n1

1  
1/ 2

e
bx2
8. dx   
0
2 b 

1.3.....(2n  1)   
1/ 2

x
bx2
9. 2n
e dx   2 n1  ; n  1, 2, 3, ......
0 2 n1 b 

n! at  a 2t 2 a nt n 
 x e dx   ; n  0,1, 2,.....
n  ax
10. e 1  at   ....... 
t a n1  2! n! 

251
Apendiks 3
Transformasi koordinat Cartesian ke koordinat bola
z

 r

x  y

x  r sin  cos  , y  r sin  sin  , z  r cos  (A3.1)

r 2  x2  y2  z 2 (A3.2)

z
cos   (A3.3)
x  y2  z2
2

y
tg   (A3.4)
x

  r          
      ;   x, y, z (A3.5)
    r        

Dari persamaan (A3.2) dan (A3.1) diperoleh:

r
2r  2 x  2r sin  cos 
x
sehingga
r
 sin  cos  (A3.6a)
x

Dengan cara yang sama diperoleh pula

r
 sin  sin 
y
(A3.6b)
r
 cos 
z
Dari persamaan (A3.3) diperoleh

 xz r sin  cos   r cos 


 sin   3 
x r r3
sehingga
 cos  cos 
 (A3.7a)
x r

252
dengan cara yang sama diperoleh pula

 cos  sin 

y r
(A3.7b)
 sin 

z r
i persamaan (A3.4) dan (A3.1)

1  y r sin  sin 
 2  2
cos  x
2
x r sin 2  cos 2 
sehinnga
 sin 
 (A3.8a)
x r cos 

Dengan cara yang sama diperoleh pula

 cos 

y r sin 
(A3.8b)

0
z

Substitusi persamaan (A3.6)-(A3.8) ke persamaan (A3.5) menghasilkan:

  cos  cos   sin  


 sin  cos   
x r r  r cos  
  cos  sin   cos  
 sin  sin   
y r r  r sin  
(A3.9)
  sin  
 cos  
z r r 

Selanjutnya diperoleh juga

2 2  1  2 ctg   1 2
2      (A3.10)
r 2 r r r 2  2 r 2  r 2 sin 2   2

253
APENDIKS 4
Karakteristik Beberapa Atom

4.1 Konfigurasi Elektron danEnergi Ionisasi

Z Atom Konfigurasi Simbol E. Ionisasi


(eV)
2
1 H 1s S1/2 13,60
2 He 1s2 1
S0 24,28
2
3 Li He+2s S1/2 5,39
4 Be He+2s2 1
S0 9,32
5 B He+2s22p 2
P1/2 8,30
6 C He+2s22p2 3
P0 11,26
7 N He+2s22p3 4
S3/2 14,55
8 O He+2s22p4 3
P2 13,61
9 F He+2s22p5 2
P3/2 17,42
10 Ne He+2s22p6 1
S0 21,56
2
11 Na Ne+3s S1/2 5,14
12 Mg Ne+3s2 1
S0 7,64
13 Al Ne+3s23p 2
P1/2 5,98
14 Si Ne+3s23p2 3
P0 8,15
15 P Ne+3s23p3 4
S3/2 10,48
16 S Ne+3s23p4 3
P2 10,36
17 Cl Ne+3s23p5 2
P3/2 13,01
18 Ar Ne+3s23p6 1
S0 15,76
2
19 K Ar+4s S1/2 4,34
20 Ca Ar+4s2 1
S0 6,11
21 Sc Ar+3d 4s2 2
D3/2 6,54
22 Ti Ar+3d24s2 3
F2 6,83
23 V Ar+3d34s2 4
F3/2 6,74
24 Cr Ar+3d54s 7
S3 6,76
25 Mn Ar+3d54s2 6
S5/2 7,43
26 Fe Ar+3d64s2 5
D4 7,87
27 Co Ar+3d74s2 4
F9/2 7,86
28 Ni Ar+3d84s2 3
F4 7,63
29 Cu Ar+3d104s 2
S1/2 7,72
30 Zn Ar+3d104s2 1
S0 9,39
31 Ga Ar+3d104s24p 2
P1/2 6,00
32 Ge Ar+3d104s24p2 3
P0 7,88
33 As Ar+3d104s24p3 4
S3/2 9,81
34 Se Ar+3d104s24p4 3
P2 9,75
35 Br Ar+3d104s24p5 2
P3/2 11,84
36 Kr Ar+3d104s24p6 1
S0 14,00
2
37 Rb Kr+5s S1/2 4,18
38 Sr Kr+5s2 1
S0 5,69
39 Y Kr+4d5s2 2
D3/2 6,38
40 Zr Kr+4d25s2 3
F2 6,84
41 Nb Kr+4d45s 6
D1/2 6,88
42 Mo Kr+4d45s2 7
S3 7,10
43 Tc Kr+4d55s2 6
S5/2 7,29
44 Ru Kr+4d75s 5
F5 7,37
45 Rh Kr+4d85s 4
F9/2 7,46

254
46 Pd Kr+4d10 1
S0 8,33
47 Ag Kr+4d105s 2
S1/2 7,57
48 Cd Kr+4d105s2 1
S0 8,99
49 In Kr+4d105s25p 2
P1/2 5,79
50 Sn Kr+4d105s25p2 3
P0 7,34
51 Sb Kr+4d105s25p3 6
D1/2 8,64
52 Te Kr+4d105s25p4 3
P2 9,01
53 I Kr+4d105s25p5 2
P3/2 10,45
54 Xe Kr+4d105s25p6 1
S0 12,13
2
55 Ca Xe+6s S1/2 3,89
56 Ba Xe+6s2 1
S0 5,21
57 La Xe+5d 6s2 2
D3/2 5,61
58 Ce Xe+4f 5d 6s2 1
G4 6,54
59 Pr Xe+4f3 6s2 4
I9/2 5,48
60 Nd Xe+4f4 6s2 5
I4 5,51
61 Pm Xe+4f5 6s2 6
H5/2 5,60
62 Fm Xe+4f6 6s2 7
F0 5,67
63 Eu Xe+4f7 6s2 8
S1/2 6,16
64 Gd Xe+4f75d 6s2 9
D2 6,74
65 Tb Xe+4f9 6s2 6
H15/2 6,82
66 Dy Xe+4f10 6s2 5
I8
67 Ho Xe+4f11 6s2 4
I15/2
68 Er Xe+4f12 6s2 3
H6
69 Tm Xe+4f13 6s2 2
F7/2
70 Yb Xe+4f14 6s2 1
S0 6,22
71 Lu Xe+4f145d 6s2 2
D3/2 6,15
72 Hf Xe+4f145d2 6s2 3
F2 7,00
73 Ta Xe+4f145d3 6s2 4
F3/2 7,88
74 W Xe+4f145d4 6s2 6
D0 7,98
75 Re Xe+4f145d5 6s2 6
S0 7,87
76 Os Xe+4f145d6 6s2 5
D4 8,70
77 Ir Xe+4f145d7 6s2 4
F9/2 9,20
78 Pt Xe+4f145d8 6s2 3
D3 8,88
79 Au Xe+4f145d10 6s 2
S1/2 9,22
80 Hg Xe+4f145d10 6s2 1
S0 10,43
81 Tl Xe+4f145d10 6s26p 3
P1/2 6,11
82 Pb Xe+4f145d10 6s26p2 3
P0 7,42
83 Bi Xe+4f145d10 6s26p3 4
F3/2 7,29
84 Po Xe+4f145d10 6s26p4 3
P2 8,43
85 At Xe+4f145d10 6s26p5 2
P3/2
86 Rn Xe+4f145d10 6s26p6 1
S0 10,75
87 Fr Rn+7s
88 Ra Rn+7s2 1
S0 5,23
89 Ac Rn+6d 7s2 2
D3/2 6,90
90 Th Rn+6d27s2 3
F2
91 Pa Rn+5f26d 7s2 4
K11/2
92 U Rn+5f36d 7s2 5
L6 4,00

255
4.2 Elektronegativitas beberapa atom

Z Atom E. negativitas Z Atom E. negativitas


(eV) (eV)
1 H 0,76 12 Mg 0
2 He 0 13 Al 0,47
3 Li 0,62 14 Si 1,35
4 Be 0 15 P 0,78
5 B 0,21 16 S 2,08
6 C 1,31 17 Cl 3,63
7 N 0 18 Ar 0
8 O 1,47 19 K 0,50
9 F 3,41 26 Fe 0,16
10 Ne 0 35 Br 3,38
11 Na 0,52 53 I 3,07

256
APENDIKS 5
Tabel Karakter Beberapa Grup Simetri

Fungsi linier,
C2 E C2 Fungsi kuadrat
rotasi
A +1 +1 z, Rz x2, y2, z2, xy
B +1 -1 x, y, Rx, Ry yz, xz

Fungsi linier,
C3 E C3 (C3)2 Fungsi kuadrat
rotasi
A +1 +1 +1 z, Rz x2+y2, z2
*
+1 + + x+iy; Rx+iRy
E * (x2-y2, xy) (yz, xz)
+1 + + x-iy; Rx-iRy

Fungsi linier,
C2v E C2 (z) v(xz) v(yz) Fungsi kuadrat
rotasi
A1 +1 +1 +1 +1 z x2, y2, z2
A2 +1 +1 -1 -1 Rz xy
B1 +1 -1 +1 -1 x, Ry xz
B2 +1 -1 -1 +1 y, Rx yz

Fungsi linier,
C3v E 2C3 (z) 3 v Fungsi kuadrat
rotasi
A1 +1 +1 +1 z x2+y2, z2
A2 +1 +1 -1 Rz -
E +2 -1 0 (x, y) (Rx, Ry) (x2-y2, xy) (xz, yz)

257
Fungsi linier,
C2h E C2 (z) i h Fungsi kuadrat
rotasi
Ag +1 +1 +1 +1 Rz x2, y2, z2, xy
Bg +1 -1 +1 -1 Rx, Ry xz, yz
Au +1 +1 -1 -1 z -
Bu +1 -1 -1 +1 x, y -

Fungsi linier,
D2 E C2 (z) C2 (y) C2 (x) Fungsi kuadrat
rotasi
A +1 +1 +1 +1 - x2, y2, z2
B1 +1 +1 -1 -1 z, Rz xy
B2 +1 -1 +1 -1 y, Ry xz
B3 +1 -1 -1 +1 x, Rx yz

Fungsi linier,
D3 E 2C3 (z) 3C'2 Fungsi kuadrat
rotasi
A1 +1 +1 +1 - x2+y2, z2
A2 +1 +1 -1 z, Rz -
E +2 -1 0 (x, y) (Rx, Ry) (x2-y2, xy) (xz, yz)

Fungsi linier,
D4 E 2C4 (z) C2 (z) 2C'2 2C''2 Fungsi kuadrat
rotasi
A1 +1 +1 +1 +1 +1 - x2+y2, z2
A2 +1 +1 +1 -1 -1 z, Rz -
B1 +1 -1 +1 +1 -1 - x2-y2
B2 +1 -1 +1 -1 +1 - xy
E +2 0 -2 0 0 (x, y) (Rx, Ry) (xz, yz)

258
Fungsi linier, Fungsi
D2h E C2 (z) C2 (y) C2 (x) i (xy) (xz) (yz)
rotasi kuadrat
Ag +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 - x2, y2, z2
B1g +1 +1 -1 -1 +1 +1 -1 -1 Rz xy
B2g +1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 -1 Ry xz
B3g +1 -1 -1 +1 +1 -1 -1 +1 Rx yz
Au +1 +1 +1 +1 -1 -1 -1 -1 - -
B1u +1 +1 -1 -1 -1 -1 +1 +1 z -
B2u +1 -1 +1 -1 -1 +1 -1 +1 y -
B3u +1 -1 -1 +1 -1 +1 +1 -1 x -

Fungsi linier, Fungsi


D3h E 2C3 (z) 3C'2 h (xy) 2S3 3 v
rotasi kuadrat
A'1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 - x2+y2, z2
A'2 +1 +1 -1 +1 +1 -1 Rz -
E' +2 -1 0 +2 -1 0 (x, y) (x2-y2, xy)
A''1 +1 +1 +1 -1 -1 -1 - -
A''2 +1 +1 -1 -1 -1 +1 z -
E'' +2 -1 0 -2 +1 0 (Rx, Ry) (xz, yz)

Fungsi
Fungsi
D4h E 2C4 (z) C2 2C'2 2C''2 i 2S4 h 2 v 2 d linier,
kuadrat
rotasi
x2+y2,
A1g +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 -
z2
A2g +1 +1 +1 -1 -1 +1 +1 +1 -1 -1 Rz -
B1g +1 -1 +1 +1 -1 +1 -1 +1 +1 -1 - x2-y2
B2g +1 -1 +1 -1 +1 +1 -1 +1 -1 +1 - xy
Eg +2 0 -2 0 0 +2 0 -2 0 0 (Rx, Ry) (xz, yz)
A1u +1 +1 +1 +1 +1 -1 -1 -1 -1 -1 - -
A2u +1 +1 +1 -1 -1 -1 -1 -1 +1 +1 z -

259
B1u +1 -1 +1 +1 -1 -1 +1 -1 -1 +1 - -
B2u +1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 -1 - -
Eu +2 0 -2 0 0 -2 0 +2 0 0 (x, y) -

Fungsi
2C6 h 3 3 Fungsi
D6h E 2C3 C2 3C'2 3C''2 i 2S3 2S6 linier,
(z) (xy) d v kuadrat
rotasi
x2+y2,
A1g +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 -
z2
A2g +1 +1 +1 +1 -1 -1 +1 +1 +1 +1 -1 -1 Rz -
B1g +1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 -1 - -
B2g +1 -1 +1 -1 -1 +1 +1 -1 +1 -1 -1 +1 - -
(Rx, (xz,
E1g +2 +1 -1 -2 0 0 +2 +1 -1 -2 0 0
Ry) yz)
(x2-y2,
E2g +2 -1 -1 +2 0 0 +2 -1 -1 +2 0 0 -
xy)
A1u +1 +1 +1 +1 +1 +1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 - -
A2u +1 +1 +1 +1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 +1 +1 z -
B1u +1 -1 +1 -1 +1 -1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 - -
B2u +1 -1 +1 -1 -1 +1 -1 +1 -1 +1 +1 -1 - -
E1u +2 +1 -1 -2 0 0 -2 -1 +1 +2 0 0 (x, y) -
E2u +2 -1 -1 +2 0 0 -2 +1 +1 -2 0 0 - -

Fungsi linier,
Td E 8C3 3C2 6S4 6 d Fungsi kuadrat
rotasi
A1 +1 +1 +1 +1 +1 - x2+y2+z2
A2 +1 +1 +1 -1 -1 - -
E +2 -1 +2 0 0 - (2z2-x2-y2, x2-y2)
T1 +3 0 -1 +1 -1 (Rx, Ry, Rz) -
T2 +3 0 -1 -1 +1 (x, y, z) (xy, xz, yz)

260
Fungsi
Fungsi
Oh E 8C3 6C2 6C4 3C2 =(C4)2 i 6S4 8S6 3 h 6 d linier,
kuadrat
rotasi
A1g +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 - x2+y2+z2
A2g +1 +1 -1 -1 +1 +1 -1 +1 +1 -1 - -
(2z2-x2-
Eg +2 -1 0 0 +2 +2 0 -1 +2 0 - y2, x2-
y2)
(Rx, Ry,
T1g +3 0 -1 +1 -1 +3 +1 0 -1 -1 -
Rz)
(xz, yz,
T2g +3 0 +1 -1 -1 +3 -1 0 -1 +1 -
xy)
A1u +1 +1 +1 +1 +1 -1 -1 -1 -1 -1 - -
A2u +1 +1 -1 -1 +1 -1 +1 -1 -1 +1 - -
Eu +2 -1 0 0 +2 -2 0 +1 -2 0 - -
T1u +3 0 -1 +1 -1 -3 -1 0 +1 +1 (x, y, z) -
T2u +3 0 +1 -1 -1 -3 +1 0 +1 -1 - -

261
Apendiks 6
Beberapa Program Komputer

6.1 Program SCF Atom He


%Program SCF Atom He
clc
clc
% Integral overlap
S=[1 0.837; 0.837 1];
[T,D]=eig(S); % D adalah matriks hasil diagonalisasi matriks S dan T matriks
transformasi
D1=inv(D); % inversi matriks D
S1=T*(D1^0.5)*T;%matriks S^(-0.5)
%Nilai awal P
a=2;
C0(2,1)=1/sqrt(1+a^2+2*a*S(1,2));
C0(1,1)=a*C0(2,1);
for i=1:2
for j=1:2
P0(i,j)=2*C0(i,1)*C0(j,1);
end
end
%Hamiltonian teras
H=[-50.3095 -51.2293;-51.2293 -43.1582];
%Integral-integral Coulomb
V(:,:,1,1)=[24.6595 24.5806;24.5806 32.1809];
V(:,:,1,2)=[24.5806 25.9494;25.9494 35.3212];
V(:,:,2,1)=[24.5806 25.9494;25.9494 35.3212];
V(:,:,2,2)=[32.1809 35.3212;35.3212 49.4932];
%V
delta=0.01;%P(1,1)-P0(1,1) paling kecil
W=0.002;
iter=1;
% Looping untuk P-----------------------------------------------------------------
while delta>W
% Matriks Fock
for i=1:2
for j=1:2
F(i,j)=H(i,j);
for k=1:2
for l=1:2
F(i,j)=F(i,j)+P0(k,l)*(V(i,j,k,l)-0.5*V(i,l,k,j));
end
end
end
end
F1=S1*F*S1;
[C1,E]=eig(F1); % C1 adalah matriks C’
%

262
C=S1*C1;
b=C(1,1)/C(2,1);
CIT(2,1)=1/sqrt(1+b^2+2*b*S(1,2));
CIT(1,1)=b*CIT(2,1);
%Perhitungan P
for i=1:2
for j=1:2
P(i,j)=2*CIT(i,1)*CIT(j,1);
end
end
delta=abs(P(1,1)-P0(1,1));
for i=1:2
for j=1:2
if delta>W
P0(i,j)=P(i,j);
end
end
end
iter=iter+1; %kembali ke looping P------------------------------------
end
% Looping selesai
iter
% Energi orbital dan koefisien2
E
C
% Energi keadaan dasar
E0=E(1,1)+0.5*(P0(1,1)*H(1,1)+2*P0(1,2)*H(1,2)+P0(2,2)*H(2,2));
E0

6.2 Program Huckel yang diperluas


% Program Huckel yang diperluas
clc
S=[1 0.435; 0.435 1];
F=[-13.6 -14.5; -14.35 -24.6];
[P,D]=eig(S); % D adalah matriks hasil diagonalisasi matriks S dan P matriks
transformasi
D1=inv(D); % inversi matriks D
S1=P*(D1^0.5)*P; %matriks S^(-0.5)
F1=S1*F*S1;
[C1,E]=eig(F1);% C1 adalah matriks C’
display(’energi mo’)
E
C=S1* C1*(S^0.5);
display(’koefisien LCAO’)
C

6.3 Program Pariser-Parr-Pople


%Program Pariser-Parr-Pople untuk Molekul Linier
clc

263
clc
Iu=15.6;
S=0.005;
delta=1;
M=4;
%Nilai awal P
for u=1:M
for v=1:M
if u==v
P0(u,v)=1;
else
P0(u,v)=0;
end
end
end
% Looping untuk P
iter=1;
while delta>S
%for iter=1:100
for u=1:M
for v=1:M
if v==u
r(u,v)=0;
elseif v>u+1
r(u,v)=0;
elseif v<u-1
r(u,v)=0;
else
r(u,v)=1.52-0.2*P0(u,v);
end
end
end
for u=1:M
for v=1:M
if abs(u-v)>1
V(u,v)=0;
else
V(u,v)=11/sqrt(1+0.584*r(u,v)^2);
end
end
end
% Matriks Fock
for u=1:M
for v=1:M
if u==v
F(u,v)=-Iu+0.5*P0(u,v)*V(u,v);
elseif abs(u-v)==1
F(u,v)=-2.5-0.5*P0(u,v)*V(u,v);
else
F(u,v)=0;

264
end
end
end
[C,D]=eig(F); %diagonalisasi
for u=1:M
E(u)=D(u,u); %energi orbital molekul
end
% Jumlah elektron pada orb molekul
for u=1:M
if u<=M/2
m(u)=2;
else
m(u)=0;
end
end
%Perhitungan P
for v=1:M
for u=1:M
jum=0;
for w=1:M
if u==v
P(u,v)=1;
elseif abs(u-v)==1
jum=jum+sum(m(w)*C(u,w)*C(v,w));
P(u,v)=jum;
else
P(u,v)=0;
end
end
end
end
delta=max(abs(P-P0));
for u=1:M
for v=1:M
if delta > S
P0(u,v)=P(u,v);
end
iter=iter+1; %kembali ke looping P
end
end
end
r
E
iter

265
Apendiks 7
Koordinat dan Frekuensi Normal
Tinjaulah molekul linier B-A-B dengan massa atom-atom mA dan mB . Misalkan ketiga
atomnya terletak pada sumbu-x dengan pergeseran masing-masing x1, x2, and x3.
Misalkan perubahan panjang ikatan x1-x2 dan x3-x2 sehingga energi potensial
sistem adalah
k x1  x2   k x3  x2 
1 1
V
2 2
(A7.1)
2 2

Andaikan konstanta pegas antara atom-atom,k12=k23=k. Dalam bentuk matriks

 k k 0 
 
kˆ    k 2k  k  (A7.2)
 0 k k 
 

Koordinat yang terboboti massa adalah

qi  mi xi (A7.3)

sehingga konstanta gaya dalam koordinat ini adalah

 2V 1
K ij   k ij (A7.4)
qi q j mi m j
atau
 k k 
  0 
 mB mB m A 
 
K   
k k k
2  (A7.5)
 mB m A mA mB m A 
 
 k k 
 0  
 mB m A mB 

Energi potensial dan energikinetik dalam koordinat terboboti massa adalah

1
V  Kij qi q j
2 i, j
(7A.6)

1 dqi
T 
2 i
qi2 , q i 
dt
(A7.7)

Dengan demikian persamaan gerak satu atom adalah

266
d T V
  0 atau qi   K ij q j  0 (A7.8)
dt qi qi j

atau dalam bentuk matriks,


qˆ   Kˆ qˆ (A7.9)

Koordinat normal adalah kombinasi linier dari koordinat terboboti massa,

Qn   cniqi (A7.10)

atau dalam bentuk matriks


Qˆ  Cˆ qˆ (A7.11)

Dari persamaan (A7.9) dan (A7.11) diperoleh


Qˆ  Cˆ Kˆ Cˆ 1Qˆ
(A7.12)
ˆ Qˆ
 
di mana
ˆ  Cˆ Kˆ Cˆ 1
 (A7.13)

Artinya, ̂ adalah matriks diagonal dari matriks K̂ dengan Ĉ adalah matriks vektornya.
Dengan matriks K̂ dalam persamaan (A7.5), maka
 k k 
   0 
 mB mB m A 
  c1 
 k k
 
k  c   0

2  2 (A7.14)
mB m A mA mB m A  
  c3 
 k k 
 0   
 mB m A mB 

Determinan matriks di atas harus sama dengan nol,

k k
  0
mB mB m A
k k k
 2   0
mB m A mA mB m A
k k
0  
mB m A mB

Dari determinan itu diperoleh akar-akar atau elemen diagonal matriks ̂


k  m  2mB 
1  0, 2  , 3  k  A  (A7.15)
mB  mA mB 

267
Dari akar-akar itu diperoleh frekuensi-frekuensimodus normal

k  m  2m 
1  0, 2  , 3  k  A B
 (A7.16)
mB  m m
A B 

Selanjutnyasubstitusi masing-masing n ke persamaan (A7.14) akan


menghasilkan koefisien cni yang kemu harus dinormalisasi.

b
Untuk 1  0  c13  c11; c12  c11
ab
mB mA
c11  c13  ; c12 
m A  2 mB mA  2mB

sehingga dengan persamaan (A7.10)

Q1  c11q1  c12q2  c13q3


1
m A  2 mB

m1B/ 2 q1  m1A/ 2 q2  m1B/ 2 q3  (A7.17)

k
Untuk 2   c22  0; c23  c21
mB
1 1
c21  ; c23  
2 2
Q2  c21q1  c22q2  c23q3
1 (A7.18)
 (q1  q2 )
2
 m  2mB 
Untuk 3  k  A 
 m A mB 
mA 2mB
c31  c33  ; c32  
2(mA  2mB ) mA  2mB

Q3  c31q1  c32q2  c33q3


1

m1A/ 2 q1  2m1B/ 2 q2  m1A/ 2 q3  (A7.19)
2(m A  2mB )

268
INDEKS

ab initio, 179 highest occupied molecular orbital


Aktivitas optik, 230 (HOMO), 122
AM1, 209 hiperpolarizabilitas, 218
Analisa Populasi Mullikan, 215 HOMO, 162
aproksimasi Born-Oppenheimer, 121 Hückel, 152
aproksimasi densitas lokal (local Hund, 100
densityapproximastion, LDA), 199 Hyleraas, 92
atom helium, 62 hyperfine interaction, 59
Atom helium, 62 indeks bias, 226
atom hidrogen, 235 INDO, 205
atom litium, 78 integral overlap, 201
Aufbau, 95 Interaksi Dispersi, 226
basis set DZ, 189 interaksi konfigurasi, 192
basis set minimal, 189 irreducible representation, IR, 107
Basis Set Pople, 191 jari-jari Bohr, 44
basis set SV, 190 kerapatan elektron, 128
bilangan kuantum koefisien kontraksi, 189
sudut total, 52 Kohn & Sham, 198
Born-Oppenheimer, 42 kombinasi linier, 26, 121
CNDO, 204 konstanta kopling, 57
determinan Slater, 77, 84, 122, 181, 194, konstanta kopling spin-spin, 236
195, 196 konstanta Planck, 2
diamagnet, 99 konstanta prisai, 236
effek Stark, 49 konstanta Rydberg, 98
eksponen orbital, 85 koordinat elliptik, 125
elektronegativitas, 146 koordinat internal terbobot, 239
energi delokalisasi, 157 koordinat normal, 240
energi exchange, 200 korelasi elektron, 192
energi korelasi, 200 kotak 1-dimensi, 4
energi orbita molekul, 122 lowest unoccupied orbital molecule
feromagnet, 99 (LUMO), 122
fonon (phonon), 9 LUMO, 163
foton (photon), 29 magneton Bohr elektron, 54
fraksi karakter ionik, 147 Mekanika Molekul, 209
fungsi basis, 83, 187 Metoda Hückel yang diperluas, 201
fungsi eigen, 3 Metoda Pariser-Parr-Pople, 202
fungsi Gaussian terkontraksi, 189 metoda semiempirik, 201
fungsi harmonik bola, 38 MNDO, 208
fungsi yang teradaptasi simetri, 110 model Tomas-Fermi-Dirac, 198
fungsional korrelasi tukar, 199 Molekul Diatomik Heteronuklir, 140
Hamiltonian efektif elektron tunggal, Molekul Diatomik Homonuklir, 136
122 molekul H2, 129
Hamiltonian elektron-tunggal., 84 molekul ion H+2, 123
Hamiltonian total, 82 momen dipol
harga rata-rata besaran fisis, 47 terinduksi, 28
hibrid MK/MM, 211 momen dipole permanen, 215
Hibridisasi Orbital-Orbital Atom, 145 momen magnet, 53

269
momen transisi, 75 polarizabilitas magnet, 229
Mosley, 102 polarizabilitas paramagnetik, 229
NDDO, 207 polarizabilitas statis, 218
normalisasi fungsi, 5 polinom Laguerre, 44
Operasi simetri, 106 polinomial Hermite, 9
operator potensial
momentum sudut, 34 effektif, 43
momentum sudut spin, 52 sumur tak hingga, 4
operator Coulomb, 180 probabilitas transisi, 27, 28
operator tukar, 180 Representasi Matriks, 12
orbital jenis Gaussian, 187 Resonansi Magnetik Inti (NMR), 235
orbital jenis Slater (Slater-type orbital, restricted Hartree Fock (RHF), 183
STO), 84 Russel-Saunders, 99
orbital molekul, 121 sel tertutup (closed shell), 122
orbital-spin, 122 self-consistent field (SCF), 87, 181
Osilator Harmonis, 8 self-consistent field (SCF)., 182
paramagnet, 99 sifat ortogonalitas, 44
Pengaruh Heteroatom dan Substituen, Slater, 201
175 Spektroskopi Inframerah, 239
persamaan diferensial Laguerre Spektroskopi Raman, 242
terasosiasi, 44 Spektroskopi UV-Vis, 244
persamaan eigen, 12, 186 spin elektron, 52
Persamaan eigen, 180 spin-orbital, 181
persamaan gelombang, 1 spin-orbital elektron, 82
persamaan Hartree-Fock, 180 suseptibilitas listrik, 226
persamaan Legendre terasosiasi, 38 Teorema Kohn et al., 198
persamaan nilai eigen, 3 Teori Coupled-Cluster (CC), 195
persamaan Schrödinger, 2 Teori Fungsional Kerapatan (DFT), 197
persamaan Schrödinger yang bergantung Teori Gangguan Møller-Plesset (MP),
waktu, 3 193
Persamaan sekuler, 156 transisi, 48
PM3, 209 absorpsi, 29
polarisasi listrik, 226 stimulat, 29
polarizabilitas diamagnetik, 229 unrestricted Hartree Fock (UHF), 186
polarizabilitas dinamis, 223 zero differential overlap (ZDO), 202

270
DAFTAR PUSTAKA

Alonso, M. and E. J. Finn (1979), Fundamental University Physics, Quantum and


Statistical Physics, Addison Wesley.

Andzelm, J., M. Klobukowski, E. Radzio-Andzelm, Y. Saski, H. Tatewaki (1984),


Gaussian Basis Sets for Molecular Calculations, (S. Huzinaga, Editor), Elsevier,
Amsterdam.

Atkins, P. and R. Friedman (2005), Molecular Quantum Mechanics, Oxford University.

Bartlett, R. J. (1989), Coupled-cluster approach to molecular structure and spectra: A


step toward predictive quantum chemistry, J. Phys. Chem. 93, 1697

Boas, Mary L. (1983), Mathematical Methods in the Physical Sciences, 2nd ed. John
Wiley.

Boys, S. F. (1950), Electronic wave functions I. A general method of calculation for the
stationary states of any molecular system, Proc. R. Soc. (London), A200, 542

Ceperley, D. M., and B. J. Alder (1980), Ground State of the Electron Gas by a
Stochastic Method, Phys. Rev. Lett.45, 566–569.

Chandra, A. K. (1974), Introductory Quantum Chemistry, Tata McGraw-Hill

Clark, H. (1982), A first course in Quantum Mechanics, ELBS and Van Nostrand
Reinhold.

Clementi , E., and C. Roetti,(1974), At. Data Nucl. Data Tables 14,177

Clementi, E. and D.L. Raimondi (1963), Atomic screening constants from SCF
functions. IBM Res. Note NJ-27

Coester, F. (1958), Bound states of a many-particle system, Nuclear Physics 7: 421–


424.

Coester, F. and H. Kümmel (1960). Short-range correlations in nuclear wave


functions, Nuclear Physics 17: 477–485

Condon ,E. U., and G. H-Shortley (1935). Theory of Atomic Spectra, Cambridge
University Press

Cotton, F. A. (1963), Chemical Applications of Group Theory, Interscience

Dewar, M. J. S and W. Thiel W. (1977), Ground states of molecules. 38. The MNDO
method. Approximations and parameters. J. Am. Chem. Soc. 99, 4899

Dewar, M. J. S, E. G Zoebisch, E. F Healy, JJP Stewart.(1985), AMI: A New General


Purpose Quantum Mechanical Molecular Model, J. Am. Chem. Soc. 107, 3902-3909.

271
Gaydon, A. G. (1953): Dissociation energies, Chapman & Hall,

Gao, J., (1996), Review on QM/M), Reviews in Comp. Chem. 7, 119-185

Goeppert-Mayer, M. and A. L. Sklar (1938), Calculations of the Lower Excited Levels


of Benzene, J. Chem. Phys. 6, 645

Hoffmann, R. (1963), An Extended Hückel Theory. I. Hydrocarbons, J. Chem. Phys.39,


1397–1412.

Hohenberg, P. and W. Kohn (1964), Inhomogeous Gas, Phys. Rev. B 136, 864–871.):

Huzinaga, S.(1965), Gaussian-type functions for polyatomic systems. I, J. Chem. Phys.


42, 1293

Jackson, J. D. (1975), Classical Electrodinamics, Wiley

Jug, K. and D. N. Nanda (1980), SINDOl. A semiempirical SCF MO method for


molecular binding energy and geometry I. Approximations and parametrization. Theor.
Chim. Acta 57, 95-106.

Jug, K. and D. N. Nanda (1980), SINDOl II Application to ground states of molecules


containing carbon, nitrogen and oxygen atoms. Theor. Chim. Acta 57, 107-130.

Jug, K. and D. N. Nanda (1980), SINDOl III. Application to ground states of molecules
containing fluorine, boron, beryllium and lithium atoms. Theor. Chim. Acta 57, 131-
144.

Karo, A. M. and A. R. Olsen (1959),Configuration Interaction in the Lithium Hydride


Molecule. I. A Determinantal AO Approach, J. Chem. Phys. 30, 1232

Kohn, W. and L. J. Sham (1965), Self-Consistent Equations Including Exchange and


Correlation Effects, Phys. Rev.A 140, 1133–1138

Levine, Ira N. (1991), Quantum Chemistry, Prentice Hall

Mead, C. Alden (1979), The ’’noncrossing’’ rule for electronic potential energy
surfaces: The role of time‐reversal invariance, J. Chem. Phys. 70, 2276

Memory, J.D., Quantm Theory of Magnetic Resonance Parameters, McGraw-Hill, NY,


1968

Michael J., S. Dewar, and Edwin Haselbach (1970),Ground states of .sigma.-bonded


molecules. IX. MINDO [modified intermediate neglect of differential overlap]/2 method,
J. Am. Chem. Soc.92, 590

Mulliken, R. S. (1955), Electronic Population Analysis on LCAO-MO Molecular Wave


Functions. I, The Journal of Chemical Physics23, 1833

Murrel, J. N., S. F. A. Kettle, and J. M. Tedder (1977), Valence Theory, ELSB

272
Nishimoto, K. and N. Mataga (1957),Electronic Structure and Spectraof Some Nitrogen
Heterocycles, Z. physik. Chem. (Frankfurt) 12, 335 and 13, 140 .

Ohno, K. (1964), Some Remarks on the Pariser-Parr-Pople Method, Theoret. Chim.


Acta 2, 219-227

Parr, Robert G and Weitao Yang, (1994). Density-Functional Theory of Atoms and
Molecules. Oxford University Press.

Pople, J, A., D. P. Santry and G. A. Segal (1965), Approximate Self-Consistent


Molecular Orbital Theory. I. Invariant Procedures, J. Chem. Phys. 43,S129

Pople,J.A (1962), Molecular Orbital Theory of diamagnetism, I. An approximate LCAO


scheme, J. Chem. Phys.37, 53.

Pople, J. A., D. L. Beveridge and P. A. Dobosh(1967), Approximate Self‐Consistent


Molecular‐Orbital Theory. V. Intermediate Neglect of Differential Overlap, J. Chem.
Phys. 47, 2026

Ridley, J., and M. Zener (1973), INDO technique for spectroscopy: Pyrrole and the
azines, Theor. Chim. Acta 32, 111-134

Roothaan, C. C. J. (1951). New Developments in Molecular Orbital Theory. Rev. Mod.


Phys.23, 69–89

Siregar, Rustam E. (2010), Fisika Kuantum, Teori dan Aplikasi, Wydia Padjadjaran

Slater, John. C. (1929), Theory of Complex Spectra , Phys. Rev. 34, 1293

Stewart J. J. P. J. (1989), Optimization of parameters for semiempirical methods I.


Method Compu . Chem. 10, 209-220. dan 221-264

Szabo, A. and N. S. Ostlund (1989), Modern Quantum Chemistry: Introduction to


advanced electronic structure theory, McGraw Hill Inc.

Tazartes, C. C., C. R. Anderson and E. A. Carter (1998), Automated Selection of


OptimalGaussian Fits to Arbitrary Functions in Electronic Structure Theory, J. Compt.
Chem.19, 1300

Warshel, A., and M. Levitt (1976), Theoretical Studies of Enzymic Reactions: Dielectric,
Electrostatic and steric stabilization of the carbonium ion in the reaction of lysozyme, J.
Mol. Biol. 103, 227-49.

Wharton, L. , L. Peter Gold and William Klemperer(1960), Dipole moment of lithium


hydride, J. Chem. Phys. 33, 1255

Wilson, E.B. (1933), Wave Functions for the Ground State of Lithium and
Three‐Electron Ions, J. Chem. Phys. 1, 210

273
Wilson, E. B., J. C. Decius, P. C. Cross, (1955), Molecular Vibrations: The Theory of
Infrared and Raman Vibrational Spectra, McGraw-Hill Inc.

274
Rustam E. Siregar adalah Guru Besar Emeritus di
Departemen Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
Bandung. Dia dilahirkan di Hutagodang Kabupaten
Labuhan Batu Sumatera Utara pada 3 Januari 1943. Lulus
Sarjana pada 1970 dari Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Padjadjaran Bandung, lulus Magistert Sains pada tahun
1983 dan Doktor pada tahun 1993 dari Pascasarjana Fisika
Institut Teknologi Bandung.
Sejak tahun 1985 hingga sekarang dia mengampu mata kuliah Fisika Kuantum dan Mekanika
Kuantum Molekul di program studi S1 Fisika Universitas Padjadjaran. Pada tahun 2002-2015 dia
mengampu mata kuliah Kimia Kuantum di program studi S2 dan S3 Pascasarjana Kimia
Universitas Padjadjaran. Selain itu, dia juga aktif dalam penelitian material optik dan fotonik.
Email: resiregar@phys.unpad.ac.id

275

Anda mungkin juga menyukai