Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR CLAVIKULA

A. Konsep penyakit
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
dengan jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai sters yang
lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya (Bruner & Suddarth, 2001).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer Arif, 2000).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Sylvia A, 1995).
Clavicula merupakan salah satu tulang yang sering mengalami fraktur
apabila terjadi cedera pada bahu karena letaknya yang superfisial. Pada
tulang ini bisa terjadi banyak proses patologik sama seperti pada tulang
yang lainnya yaitu bisa ada kelainan congenital, trauma (fraktur), inflamasi,
neoplasia, kelainan metabolik tulang dan yang lainnya. Fraktur clavicula
bisa disebabkan oleh benturan ataupun kompressi yang berkekuatan rendah
sampai yang berkekuatan tinggi yang bisa menyebabkan terjadinya fraktur
tertutup ataupun multiple trauma.
Clavicula adalah tulang yang paling pertama mengalami pertumbuhan
pada masa fetus, terbentuk melalui 2 pusat ossifikasi atau pertulangan
primer yaitu medial dan lateral clavicula, dimana terjadi saat minggu ke-5
dan ke-6 masa intrauterin. Kernudian ossifikasi sekunder pada epifise
medial clavicula berlangsung pada usia 18 tahun sampai 20 tahun. Dan
epifise terakhir bersatu pada usia 25 tahun sampai 26 tahun.

2. Etiologi
Penyebab farktur clavicula biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu
akibat kecelakaan apakah itu karena jatuh atau kecelakaan kendaraan
bermotor, namun kadang dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non
traumatik. Berikut beberapa penyebab pada fraktur clavicula yaitu :
a. Fraktur clavicula pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh
simphisis pubis selama proses melahirkan.
b. Fraktur clavicula akibat kecelakaan termasuk kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang lainnya.
c. Fraktur clavicula akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama,
misalnya pada pelajar yang menggunakan tas yang terlalu berat.
d. Fraktur clavicula akibat proses patologik, misalnya pada pasien post
radioterapi, keganasan clan lain-lain.

3. Klasifikasi
Pengklasifikasian fraktur clavicula didasari oleh lokasi fraktur pada
clavicula tersebut. Ada tiga lokasi pada clavicula yang paling sering
mengalami fraktur yaitu pada bagian midshape clavikula dimana pada
anak-anak berupa greenstick, bagian distal clavicula dan bagian proksimal
clavicula. Menurut Neer secara umum fraktur klavikula diklasifikasikan
menjadi tiga tipe yaitu :
a. Tipe I : Fraktur pada bagian tengah clavicula. Lokasi yang paling
sering terjadi fraktur.
b. Tipe II : Fraktur pada bagian distal clavicula. Lokasi tersering kedua
mengalami fraktur setelah midclavicula.
c. Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal clavicula. Fraktur yang paling
jarang terjadi dari semua jenis fraktur clavicula, insidensnya hanya
sekitar 5%.
Ada beberapa subtype fraktur clavicula bagian distal, menurut Neer
ada 3 yaitu :
1) Tipe I : merupakan fraktur dengan kerusakan minimal, dimana
ligament tidak mengalami kerusakan.
2) Tipe : merupakan fraktur pada daerah medial ligament
coracoclavicular.
Tipe III : merupakan fraktur pada daerah distal ligament
coracoclavicular dan melibatkan permukaan tulang bagian distal
clavicula pada AC joint.

4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi
deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembekakan lokal, dan
perubahan warna.
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstermitas normal. Ekstermitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada intergitas tulang
tempat meleketnya otot.
c. Pada ferktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat
fraktur. Fregmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5
sampai 5 cm (1 sampai 2 inci)
d. Saat ekstermitas di periksa dengan tangan. Teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gerakan antara fregmen satu
dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah
di jaringan sekitarnya.
d. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
h. Defirmitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya
i. Shock hipouolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

5. Patofisiologi
Fraktur clavicula paling sering disebabkan oleh karena mekanisme
kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan yang
melebihi kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari lateral bahu
apakah itu karena jatuh, keeelakaan olahraga, ataupun kecelakaan
kendaraan bermotor.
Pada daerah tengah tulang clavicula tidak di perkuat oleh otot
ataupun ligament-ligament seperti pada daerah distal dan proksimal
clavicula. Clavicula bagian tengah juga merupakan transition point antara
bagian lateral dan bagian medial. Hal ini yang menjelaskan kenapa pada
daerah ini paling sering terjadi fraktur dibandingkan daerah distal ataupun
proksimal.

6. Komplikasi
Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut Doenges (2000)
antara lain:
a. Syock
b. Infeksi
c. Nekrosis divaskuler
d. Cidera vaskuler dan saraf
e. Mal union
f. Borok akibat tekanan
Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut Brunner
& Suddarth (2001) antara lain :
a. Komplikasi Awal
1) Syok hipofolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tak kelihatan).
2) Sindrom emboli lemak, setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis,
fraktur multiple, atau cedera remuk, dapat terjadi emboli lemak,
khususnya pada dewasa muda (20 sampai 30 tahun) pria. Pada saat
terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan teradinya globula lemak
dalam aliran darah yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil.
3) Sindrom kompartemen, merupakan masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan
jaringan.
b. Komplikasi Lambat
1) Pernyatuan terlambat atau tidak adanya penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Ini mungkin
berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh)
fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh.
Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-
ujung patahan tulang. Faktor yang ikut berperan dalam masalah
penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur, interposisi jaringan di
antara ujung-ujung tulang, imobilisasi dan manipulasi yang tidak
memadai, yang menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu
jauh antara fragmen tulang.
2) Stimulasi elektrik osteogenesis
Osteogenesis pada tidak adanya penyatuan dapat distimulasi dengan
impuls elektrik, efektivitasnya sama dengan graft tulang. Stimulasi
elektrik memodifikasi lingkungan jaringan, membuatnya bersifat
elektronegatif, yang akan meningatkan deposisi mineral dan
pembentukan tulang.
3) Nekrosis avaskuler tulang
Terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati.
4) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Pasien merasa nyeri dan terjadi penurunan fungsi moblisasi.
Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut Sylvia (1995)
antara lain: Malunion
Adalah suatu keadaan di mana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
5) Delayed union dan nonunion
Sambungan yang terlambat dan tulang patah yang tidak menyambung
kembali. Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus
berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal. Nonunion dari tulang yang patah dapat menjadi komplikasi
yang membahayakan bagi penderita.

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang.
b. Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan
lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan.
c. Jika tulang mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk
memantau penyembuhan.

8. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut
Henderson (1997), yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian
yang patah ke dalam bentuk semula (anatomis), imobiusasi untuk
mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang
rusak. Jenis-jenis fraktur reduction yaitu:
1. Manipulasi atau closered
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi,
panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia
ataupun umum.
2. Open reduksi
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan
sering dilakukan dengan internal fixasi menggunakan kawat, screlus,
pins, plate, intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini
adalah kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan
anesthesia. Jika dilakukan open reduksi internal fixasi pada tulang
(termasuk sendi) maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 3 macam yaitu:
1) Skintraksi Skintraksi
Adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan
biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72jam).
2) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera
dan sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins
(kawat) ke dalam tulang.
3) Maintenance traksi
Merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan
secara langsung pada tulang dengan kawat atau pins.

Pengobatan fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif :


a) Terapi konservatif, terdiri dari ;
1) Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum chirurgicum
humeri dengan kedudukan baik.
2) Imobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada
fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
3) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, misalnya pada fraktur
suprakondilus, fraktur Colles, fraktur Smith. Reposisi dapat dalam
anastesi umum atau lokal.
4) Traksi, untuk reposisi secara perlahan.
b) Terapi operasi, terdiri dari ;
1) Reposisi terbuka, fiksasi interna.
2) Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi
eksterna.
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung
dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk
menjaga agar mereka tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses
penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia
lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh,
tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.
Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk
membatasi pergerakan. Dengan pengobatan ini biasanya patah tulang
selangka (terutama pada anak-anak), tulang bahu, tulang iga, jari kaki dan
jari tangan, akan sembuh sempurna.
Patah tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan
(imobilisasi).
Imobilisasi bisa dilakukan melalui:
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang.
b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di
sekitar tulang yang patah
c. Penarikan (traksi) : menggunakan beban untuk menahan sebuah
anggota gerak pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan,
tetapi dulu pernah menjadi pengobatan utama untuk patah tulang
pinggul.
d. Fiksasi internal : dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan
atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan
pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang
disertai komplikasi.
Imobilisasi lengan atau tungkai menyebabkan otot menjadi lemah dan
menciut. Karena itu sebagian besar penderita perlu menjalani terapi
fisik.
Terapi dimulai pada saat imobilisasi dilakukan dan dilanjutkan sampai
pembidaian, gips atau traksi telah dilepaskan.
Pada patah tulang tertentu (terutama patah tulang pinggul), untuk
mencapai penyembuhan total, penderita perlu menjalani terapi fisik
selama 6-8 minggu atau kadang lebih lama lagi.

Proses Penyembuhan Fraktur


a. Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga
rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang
cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan
akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang
primitif (osteogenik) berdeferensiasi menjadi kondroblas dan
osteoblas.
b. Kondroblas akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi
kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) di sekitar lokasi fraktur.
Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus
dari fragmen satunya, dan menyatu.
c. Fusi dari ke dua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut
dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada
tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur.
d. Persatuan (union) tulang provesional ini akan menjalani transformasi
metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus
tulang akan mengalami re-modelling di mana osteoblas akan
membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan
bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang
menyerupai keadaan tulang aslinya. (Sylvia A,1995)

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Emergency & Kritis
a. Primary survey
1) Pertolongan pertama yang dilakukan
2) Pemeriksaan fisik :
 Identifikasi fraktur
 Perdarahan
 Ekimosis
 Pergerakan obnormal
 Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
 Observasi spasme otot.
b. Secondary survey
1) Riwayat perjalanan penyakit.
2) Riwayat pengobatan sebelumnya
3) Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya
fraktur :
 Osteomyelitis acut
 Osteomyelitis kronik
 Osteomalacia
 Osteoporosis
 Gout
 Rhematoid arthritis
c. Tersier survey
Pemeriksaan diagnostik :
 Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
 RÖ
 CT-Scan
d. Pengkajian fungsional
1) Aktivitas/istirahat
a. kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b. Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi
a. Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
b. Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
c. Tachikardi
d. Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
e. Capilary refil melambat
f. Pucat pada bagian yang terkena
g. Masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori
a. Kesemutan
b. Deformitas, krepitasi, pemendekan
c. Kelemahan
4) Kenyamanan
a. Nyeri tiba-tiba saat cidera
b. Spasme/ kram otot
5) Keamanan
a. Laserasi kulit
b. Perdarahan
c. Perubahan warna
d. Pembengkakan local

2. Diagnosa keperawatan & fokus intervensi


Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan fraktur antara
lain :
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap
fraktur.
Tujuan : Klien menyatakan nyeri hilang, menunjukkan
penggunaan ketrampilanrelaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi.
Intervensi :
a. Kaji lokasi, intensitas, dan tipe nyeri. Gunakan skala peringkat nyeri.
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring sampai
fraktur berkurang.
c. Pertahankan traksi yang diprogramkan dan alat-alat penyokong.
d. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
e. Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan.
f. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
g. Ajarkan teknik relaksasi, contoh : distraksi, stimulasi kutaneus.
h. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, misal : ubah posisi.
i. Kolaburasi pemberian analgesik.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka


neuromuskuler.
Tujuan : Klien mendapatkan mobilitas pada tingkat optimal,
mempertahankan posisi, fungsional, menunjukkan teknik mampu
melakukan aktivitas.
Intervensi :
a. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan.
b. Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik.
c. Instruksikan klien untuk/bantu klien dalam rentang gerak pasif/aktif
pada ektremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
d. Awasi tekanan darah dan perhatikan keluhan pusing.
e. Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan napas dalam.
f. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder


terhadap fraktur.
Tujuan : Klien dapat melakukan perawatan diri secara sederhana dan
mandiri.
Intervensi :
a. Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas
perawatan.
b. Tingkatkan harga diri dan penentuan diri selama aktivitas perawatan
diri.
c. Tingkatkan partisipasi optimal.
d. Beri dorongan untuk mengekspresikan perasaan tentang kurang
perawatan diri.
e. Libatkan keluarga/orang dekat dalam membantu klien melakukan
perawatan diri.

4. Aktual/resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan


fraktur.
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, mencapai
penyembuhan luka
sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.
Intervensi :
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan,
perubahan warna kelabu, memutih.
b. Massage kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering
dan bebas kerutan.
c. Ubah posisi dengan sering (4 jam sekali).
d. Amati kemungkinan adanya tekanan pada bagian luka khususnya pada
pinggir atau bawah bebat.
e. Anjurkan klien untuk menggerakkan bagian anggota tubuh lain yang
tidak sakit.

5. Aktual/resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma


jaringan.
Tujuan : Klien akan menunjukkan penyembuhan luka sesuai waktu dengan
bukti luka, tidak terdapat pus.
Intervensi :
a. Observasi keadaan umum luka.
b. Pantau penyembuhan luka dengan memperhatikan hal berikut : bukti
luka tidak terdapat pus.
c. Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan berbicara.
d. Selidiki nyeri tiba-tiba / keterbatasan gerakan dengan edema lokal /
eritema ekstremitas cedera.
e. Lakukan perawatan luka aseptik dan antiseptik.
f. Lakukan prosedur isolasi.
g. Tutup luka dengan kasa steril.
6 .Ansietas berhubungan dengan gangguan status kesehatan/krisis situasi.
Tujuan : Klien tidak rewel, terlihat tenang dan relaks, ikut serta dalam
aktivitas.
Intervensi :
a. Pantau tingkat ansietas klien.
b. Berikan penekanan penjelasan dokter mengenai pengobatan dan
tujuannya, klarifikasi kesalahan konsep.
c. Berikan dan luangkan waktu untuk mengungkapkan perasaan.
d. Ajarkan dan bantu dalam teknik penatalaksanaan stress.
e. Kaji perilaku koping yang ada dan anjurkan penggunaan perilaku yang
telah berhasil digunakan untuk mengatasi pengalaman yang lalu.
f. Berikan dorongan untuk berinteraksi dengan orang terdekat, teman
serta saudara.
g. Jelaskan semua prosedur dan pengobatan, libatkan klien dalam
perencanaa, berikan pilihan, berikan dorongan untuk membuat
keputusan yang aman.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. “Keperawatan Medikal Bedah”. EGC: Jakarta.


Doenges, marilynn E. 1999. “Rencana Asuhan Keperawatan”. EGC: Jakarta
Mansjoer Arif. 2000. “Kapita Selekta Kedokteran”. FKUI.
Sylvia A.price. 1995. “Patofisiologi” edisi 4. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai