Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS MATERI AL-QUR’AN HADIS MADRASAH IBTIDAIYAH

Pengantar

Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,


dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut,
salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di madrasah adalah
Pendidikan Agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.

Pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah terdiri atas empat mata


pelajaran, yaitu: Al-Qur'an-Hadis, Akidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan
Islam. Masing-masing mata pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi
mengisi dan melengkapi. Al-Qur'an-hadis merupakan sumber utama ajaran Islam,
dalam arti ia merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih (ibadah, muamalah),
sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut.

Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah yang terdiri atas empat
mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Al-Qur’an-hadis,
menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna
secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari. Materi Akidah Akhlak terfokus pada pembahasan penanaman
keimanan dan akidah yang benar serta sifat-sifat terpuji yang garus dimiliki oleh
anak didik. Fikih membahas praktik ibadah sehari-hari dan sejarah membahas
tentang perjalanan umat Islam dari masa kemasa dari segi politik, budaya dan
peradaban (Permenag No.2/2008).

Mata pelajaran Al-Qur'an-Hadis di Madrasah Ibtidaiyah adalah salah satu mata


pelajaran PAI yang menekankan pada kemampuan membaca dan menulis al-Qur'an
dan hadis dengan benar, serta hapalan terhadap surat-surat pendek dalam al-
Qur'an, pengenalan arti atau makna secara sederhana dari surat-surat pendek
tersebut dan hadis-hadis tentang akhlak terpuji untuk diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui keteladanan dan pembiasaan. Hal ini sejalan dengan misi
pendidikan dasar adalah untuk:

1. Pengembangan potensi dan kapasitas belajar peserta didik, yang


men¬yangkut: rasa ingin tahu, percaya diri, keterampilan berkomunikasi dan
kesadaran diri;

2. Pengembangan kemampuan baca-tulis-hitung dan bernalar, keterampilan


hidup, dasar-dasar keimanan dan ketakwaan terhadan Tuhan YME; serta

3. Fondasi bagi pendidikan berikutnya.

1
Di samping itu, juga mempertimbangkan perkembangan psikologis anak,
bahwa tahap perkembangan intelektual anak usia 6-11 tahun adalah operasional
konkret (Piaget). Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar juga termasuk:

1. Anak usia 6-9 tahun, masa social imitation atau masa mencontoh, sehingga
diperlukan figur yang dapat memberi contoh dan teladan yang baik dari
orang-orang sekitarnya (keluarga, guru, dan teman-teman sepermainan),

2. Usia 9–12 tahun, masa second star of individualisation atau masa


individualisasi, dan

3. Usia 12-15 tahun merupakan masa social adjustment atau penyesuaian diri
secara sosial.

Secara substansial mata pelajaran Al-Qur'an-Hadis memiliki kontribusi dalam


memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mencintai kitab sucinya,
mempelajari dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-
Qur'an-Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam dan sekaligus menjadi pegangan
dan pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. Materi Al-Quran-Hadis juga
mendorong tumbuhnya kajian pengembangan bahasa Arab.

Ruang Lingkup Materi Esensial


Ruang lingkup mata pelajaran Al-Qur'an-Hadis di Madrasah Ibtidaiyah meliputi:

1. Pengetahuan dasar membaca dan menulis al-Qur'an yang benar sesuai


dengan kaidah ilmu tajwid.

2. Hapalan surat-surat pendek dalam al-Qur'an dan pemahaman sederhana


tentang arti dan makna kandungannya serta pengamalannya melalui
keteladanan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pemahaman dan pengamalan melalui keteladanan dan pembiasaan


mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan kebersihan, niat, menghormati
orang tua, persaudaraan, silaturahmi, takwa, menyayangi anak yatim, salat
berjamaah, ciri-ciri orang munafik, dan amal salih.

Materi al-Qur’an Hadis semula terdiri dari dua bidang mata pelajaran yaitu
bidang al-Qur’an dan bidang Hadis, kemudian diintegrasikan menjadi satu bidang
mata pelajaran al-Qur’an Hadis. Sekalipun demikian di dalamnya tidak bisa
dilepaskan dari dua bidang tersebut. Jika dijumlah materi al-Qur’an sebanyak 21
Surah yakni dari surah al-Fatihah sampai dengan al-Dhuha. Secara rinci dapat
disebutkan satu persatu yaitu surah al-Fâtihah, al-Nâs, al-Falaq, al-Ikhlâsh, al-Lahab,
al-Nashr, al-Kâfirûn, al-Kawtsar, al-Mâ’ûn, al-Quraysy, al-Fîl, al-Humazah, al-‘Ashr, al-
Takâtsur, al-Qâri’ah, al-‘Âdiyât, al-Zalzalah, al-Bayyinah, al-Qadr, al-‘Alaq, al-Tîn, al-
Insyirah dan al-Dhuhâ.

Sedangkan materi Hadis terdiri dari minimal 10 Hadis secara tematik yaitu
tentang kebersihan, niat, menghormati orang tua, persaudaraan, silaturahim,

2
takwa, menyayangi anak yatim, salat berjamaah, ciri-ciri orang munafik, dan amal
salih.

Sebagai materi pendukung adalah sebagai berikut:

1. Keterampilan baca tulis huruf Hijaiyah dengan benar (makhraj).

2. Kaedah Tajwid, meliputi:

a. Waqaf (berhenti bacaannya) dan washal (berlanjut).

b. Al-Qamariyah dan Al-Syamsiyah.

c. Madd thabi’i, mad wajib muttashil dan mad jaiz munfashil.

d. Bacaan nun sukun dan tanwin (Izhar, ikhfa, idgham bighunnah dan
idgham bila ghunnah dan iqlâb).

Materi pendukung bagi guru untuk memperkaya wawasan adalah:

a. Ilmu al-Qur’an;

b. Ilmu Hadis.

Dengan demikian materi al-Qur’an Hadis di MI terdiri dari dua materi, yakni:
pokok atau esensial dan materi pendukung. Materi pokok adalah materi al-Qur’an
dan Hadis sedang materi pendukung adalah materi pengantar dari segi pengenalan
baca tulis huruf Arab atau huruf al-Qur’an Hadis serta latar belakang masing-masing
materi.

Tujuan, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar


(SKKD)
Mata pelajaran Al-Qur'an-Hadis di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk:

1. Memberikan kemampuan dasar kepada peserta didik dalam membaca,


menulis, membiasakan, dan menggemari membaca al-Qur'an dan hadis;

2. Memberikan pengertian, pemahaman, penghayatan isi kandungan ayat-ayat


al-Qur’an-Hadis melalui keteladanan dan pembiasaan;

3. Membina dan membimbing perilaku peserta didik dengan berpedoman pada


isi kandungan ayat al-Qur'an dan Hadis (Permenag No.2 /2008).

Standar Kompentensi yang ingin dicapai sebagai berikut:

1. Membaca dan menulis huruf al-Qur’an;

2. Membaca surah-surah pendek dan hadis-hadis dengan fashih;

3. Menghapal surah-surah dan hadis-hadis pendek;

3
4. Menterjemahkan surah-surah dan hadis-hadis pendek;

5. Menjelaskan kandungan surah-surah dan hadis-hadis pendek;

6. Menerapkan kandungan surah-surah dan hadis-hadis pendek dalam


kehidupan.

Kompetensi Dasar yang ingin dicapai sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi huruf-huruf hijaiyah dan tanda baca;

2. Membaca huruf-huruf hijaiyah dengan benar (sesuai dengan makhraj);

3. Memahami dan menerapkan kaidah-kaidah Ilmu Tajwid seperti waqaf,


washal, al-Qamariyah dan Al-Syamsiyah, mad thabi’i, mad wajib muttashil
dan madd jaiz munfashil, bacaan nun sukun dan tanwin (Izhar, ikhfa, idgham
bighunnah dan idgham bila ghunnah dan iqlâb).

4. Melafalkan atau membaca dengan benar dan hapal surah-surah pendek dari
al-Fatihah sd al-Dhuha;

5. Mengartikan, menerjemahkan, menjelaskan kandungan dan menerapkan


dalam kehidupan sehari-hari ayat-ayat atau surah-surah pendek pilihan dari
al-Fatihah sd al-Dhuha;

6. Membaca, mengartikan, menerjemahkan, menjelaskan kandungan dan


menerapkan dalam kehidupan sehari-hari hadis-hadis pendek pilihan yang
bertema; kebersihan, niat, menghormati orang tua, persaudaraan,
silaturahmi, takwa, menyayangi anak yatim, salat berjamaah, ciri-ciri orang
munafik, dan amal salih.

Analisis Materi
1. Materi al-Qur’an Hadis dan Pendekatannya

Materi al-Qur’an sebanyak 21 surah yakni dari surah al-Fatihah sampai dengan
surah al-Dhuha ditambah beberapa kaedah Ilmu Tajwid. Sedang materi Hadis hanya
sekitar 10 Hadis. Metode penyajian al-Qur’an yang ada sekarang ini menggunakan
metode tahlîlî (terurai sesuai dengan urutan ayat demi ayat atau urutan surah demi
surah) sedangkan penyajian Hadis menggunakan metode maudhu’î (tematik).

Kedua pendekatan metode ini memang yang paling popular di kalangan para
pakar Tafsir. Metode tahlîlî atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagaimana
yang dikutip oleh M Quraysh Shihab sebagai metode tajziî adalah satu metode tafsir
yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Sedangkan tafsir Maudhu’î adalah
mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan
ayat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditentukan sebelumnya.
Kemudian mufassir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Shihab, 1996: 86-7).

4
Dua metode yang bertolak belakang di atas diterapkan dalam sebuah buku
mata pelajaran al-Qur’an Hadis MI. Tentunya hal ini membuat tidak adanya
integritas antara Hadis dengan al-Qur’an, seolah-olah kandungan makna Hadis
berbeda dengan kandungan al-Qur’an, padahal di antara fungsi Hadis yang
terpenting adalah menjelaskan al-Qur’an secara integrated. Lihat saja tema-tema
yang ada dalam hadis sebanyak 10 tema, sedangkan pada materi al-Qur’an tidak
menggunakan tema kecuali nama-mana surah belaka sesuai dengan urutan dalam
al-Qur’an. Memang nama-nama surah itu tema yang menunjukkan isi kandungan
Surah tetapi bukan tema materi pembelajaran yang dimaksud secara maudhû’î
sebagaimana dalam hadis (Shihab, 1996: 86-7).

Seharusnya pendekatan integritas deskreptif juga digunakan untuk


menjelaskan pemahaman makna al-Qur’an Hadis, terutama teks-teks yang
dianggap sulit dipahami atau tidak sesuai dengan zaman dan situasi sekarang.
Karena Sunah yang salah satu fungsinya sebagai penjelas dan interpretator al-
Qur’an memiliki universalitas makna seperti al-Qur’an. Ia juga sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan kemajuan. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang dinamis
sesuai dengan perkembangan zaman (Qardlawi, 1994: 16).

Bahkan menurut Ahmad Tafsir (Tafsir, 2008: 85) sebaiknya pengintegrasian


pada empat hal:

1. Pengintegrasian pada materi pelajaran;

2. Pengintegrsaian proses;

3. Pengintegrsaian dalam memilih bahan ajar;

4. Pengintegrsaian dalam memilih media pengajaran.

Jika demikian kajian Hadis lebih terfokus dari pada kajian al-Qur’an. Mungkin
dianggap belum saatnya mengkaji al-Qur’an tetapi sayangnya sudah saatnya
mengkaji Hadis. Pola pikir ini saya kira kurang tepat, karena tidak ada alasan untuk
tidak memberi penyajian materi yang lebih strategis dan sistematis tidak
amburadul dalam rangka mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan.
Pemahaman makna kandungan ayat dan hadis layaknya memang disederhanakan
dan lebih kepada ketauladanan serta pembentukan lingkungan, tetapi tidak berarti
menghilangkan penyajian yang lebih strategis dan sistematis tersebut.

Pemikir al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama
menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlîlî itu, tidak lain kecuali dalam rangka
upaya mereka dalam meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahamn akan
kemu’jizatan al-Qur’an. Terlepas dari benar atau tidaknya pemikiran ini tentunya
kemu’jizatan al-Qur’an tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan
dengan memperhatikan rumusan definisi mu’jizat dimana terkandung di dalamnya
unsur tahaddî (tantangan), seorang muslim tidak perlu ditantang karena dengan
keislamannya ia telah menerima.

Terlepas dari keberhasilan metode tahlîlî atau tidak, yang jelas untuk
masyarakat muslim sekarang ini belum merupakan persoalan yang mendesak.
Penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan
dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an.

5
Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi
pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.
Kelemahan lain metode Tafsir tahlîlî adalah sifat penafsirannya terlalu teoritis tidak
sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka
alami dalam masyarakat.

Beberapa keistimewaan metode maudhu’î, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan Hadis Nabi adalah satu
cara yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an

b. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami

c. Dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan


bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat (Shihab, 1996: 117).

Seyogyanya bentuk penyajian al-Qur’an seirama dengan Hadis yakni secara


tematik (maudhû’î) dalam hal pemahaman arti atau kandungannya serta
penerapannya akan lebih baik, lebih memudahkan dan lebih menggairahkan siswa.
Pemahaman al-Qur’an layaknya diambil dari ayat-ayat pendek yang berkaitan
dengan tema Hadis dan layaknya ayat-ayat yang ada di sekitar surah-surah pendek
atau ayat-ayat pendek yang ada dalam al-Qur’an. Atau sebaliknya adanya tema-
tema tertentu yang ditetapkan kemudian disesuaikan ayat-ayat dan hadis-hadisnya
untuk dikaji. Hal ini bukannya tidak mungkin, Fazlur Rahman (1996) sendiri menulis
buku yang berjudul Major Themes of the Qur’an yang mengungkap delapan tema
besar dalam al-Qur’an. Delapan tema tersebut adalah Tuhan, manusia sebagai
individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan
wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan dan lahirnya masyarakat muslim.

Guru juga bisa mengungkap tema-tema kscil dalam surah-surah pendek


tersebut. Misalnya dalam salah satu tema Hadis tentang kebersihan dihubungkan
dengan ayat pendek tentang kebersihan atau sebaliknya ada tema tentang berbuat
baik kepada orang tua disebutkan ayat dan Hadisnya, demikian juga tema-tema
lain. Guru harap dapat menyesuaikan bahan ajar al-Qur’an dan Hadis yang satu
arah dan satu fokus dalam satu tema seperti tersebut sehingga memudahkan bagi
siswa dalam menghayati kandungan al-Qur’an dan Hadis yakni dengan
menggunakan metode maudhu’i tersebut. Materi al-Qur’an yang diberikan di MI
sekarang ini lebih tepat dikatakan sebagai materi hapalan yang menekankan
kepada hapalan anak, bukan pemahaman arti kandungnnya sebagaimana Hadis.

Dari segi surah dan ayat yang dijadikan materi pembelajaran di MI, memang
surah-surahnya pendek, demikian juga ayat-ayatnya. Hal itu sesuai dengan
kesanggupan siswa MI yang baru belajar al-Qur’an. Namun, jika dilihat dari segi isi
kandungannya surah-surah pendek ini tergolong surah Makiyah, isi kandungannya
membahas tentang akidah dan keimanan. Sesuai dengan analisa Fazlur Rahman
(1997: 37), bahwa sesungguhnya kesan paling kuat yang ditinggalkan al-Qur’an
bukanlah berupa Tuhan yanag selalu mengawasi, merengut, dan menghukum—
sebagaimana yang dibuat oleh orang-orang Kristen. Bukan pula gambaran seorang
hakim utama sebagaimana ulama Fikih Islam. Tetapi suatu kehendak yang
bertujuan dan terpadu, yang menciptakan tata tertib di alam semesta, sifat-sifat

6
kekuasaan, kagungan, kewaspadaan, keadilan, dan kebijaksanaan adalah
kesimpulan yang tepat dan dapat diambil dari keteraturan kosmos yang kreatif.

Jika boleh dirumuskan, surah-surah pendek itu membahas akidah atau


keimanan sedang Hadis-Hadisnya membahas tentang akhlak. Akidah sebagai dasar
pertama dan utama bagi seseorang dalam beramal saleh atau berakhlak. Hal ini
ditunjukkan dalam al-Qur’an di berbagai ayat disebutkan âmanû wa ‘amilû al-
shâlihât, artinya beriman terlebih dahulu baru beramal saleh. Keimanan anak harus
ditumbuhkan melalui bacaan al-Qur’an yang khusyu’, di samping melalui kajian isi
kandungannya yang menyentuh hati siswa kemudian baru ditumbuhkan akhlaknya
yang mulia.

2. Sistematika Pembahasan

Pemahaman ayat dan Hadis hendaknya melibatkan siswa secara bersama-


sama (children centred) dengan pendekatan active learning mulai dari proses
sampai kepada hasil pemahaman tidak terpaku pada buku pegangan saja. Bahkan
hendaknya baik guru maupun murid melepas buku terlebih dahulu atau tutup buku
terlebih dahulu setelah selesai pembelajaran baru murid diajak membuka buku
bersama dan diajak memperhatikan isi buku untuk memperkuat keterangan yang
telah disampaikan. Dengan demikian murid mengerti dan paham pelajaran yang
disampaikan.

Sistematika pembelajaran al-Qur’an Hadis disajikan secara aktif, misalnya


sebagai berikut:

1. Teks ayat atau Hadis;

2. Kosakata (mufradât) terbimbing, agar siswa mampu menerjemahkan sendiri;

3. Terjemahan secara mandiri;

4. Penjelasan kandungan;

5. Pelajaran yang dipetik dari kandungan (kesimpulan).

Teks ayat atau Hadis ditulis di papan, white board atau di layar monitor.
Tulisan hendaknya yang benar, berharakat, lurus garis dan indah, agar siswa
terbiasa menulis yang benar dan indah. Siswa sering ditugasi menulis yang benar
dan indah agar rajin berlatih, karena masih sering ditemukan seorang mahasiswa di
Perguruan Tinggi Islam sekalipun masih belum bisa menulis dan membaca huruf al-
Qur’an bahkan ada guru agama yang belum pandai menulis dan membaca huruf al-
Qur’an.

Kosa kata dimaksudkan arti kata yang dianggap sulit oleh siswa tidak
seluruhnya dan tujuannya pembekalan kepada siswa agar mampu menerjemahkan
teks tersebut secara mandiri dengan dibantu kosa kata ini. Di samping itu siswa
diharapkan mampu mengartikan kata demi kata dalam teks, tidak hanya mampu
menerjemahkan secara hapalan belaka. Oleh karena siswa perlu digiring bertanya
andaikata masih didapatkan kosa kata yang belum dimengerti artinya.

Terjemahan atau alih bahasa dapat dilakukan dengan mudah jika arti kosa
kata dalam teks sudah dikuasai, di samping adanya kemampuan menyusun bahasa

7
Indonesia dengan kalimat yang benar dan baik. Susunan bahasa Arab berbeda
dengan susunan bahasa Indonesia, siswa harus diajak berkemampuan
membedakannya. Misalnya, dalam Jumlah fi’liyah susunan kalimatnya, Prediket +
Subjek + Objek (fi’il + fa’il + maf’ul), sedang dalam bahasa Indonesia susunan ini
tidak populer. Susunan kalimat bahasa Indonesia yang populer adalah SPO (Subjek
+ Prediket + Objek/ fa’il + fi’il + maf’ul) . Misalnya dalam bahasa Arab:

َ ‫مد ٌ ال ْقُْرآ‬
‫ن‬ ّ ‫ح‬ ُ ‫قََرأ‬
َ ‫م‬
Susunan di atas terjemahan asalnya adalah membaca Muhammad al-Qur’an.
Susunan kalimat ini dalam bahasa Indonesia sulit dipahami, sebaiknya diubah
susunannya menjadi Muhammad membaca al-Qur’an dan kalimat inilah yang benar
dalam bahasa Indonesia. Dalam al-Qur’an maupun Hadis banyak terdapat jumlah
َ ‫ = إ ِّيا‬diartikan Hanya
fi’lîyah seperti di atas. Misalnya dalam surah al-Fatihah: ُ ‫ك ن َعْب ُد‬
kepada Engka kami menyembah. Asalnya Hanya kepada Engkau menyembah kami.
Dasar-dasar terjemahan seperti ini mestinya sudah diberikan kepada murid-murid
MI sesuai dengan tingkatan kelasnya.

Penjelasan kandungan adalah uraian secara rinci dari matan Hadis atau dari
ayat yang masih global terjemahannya. Uraian ini dimaksudkan memperjelas
makna matan atau ayat dengan menghubungkan dengan kehidupan nyata yang
dialami siswa atau dihubungkan dengan pengalaman, pengetahuan dunia nyata,
kisah-kisah, dan perkembangan iptek dengan diberikan contoh-contoh yang
kongkrit. Penjelasan hendaknya lebih luas, lebih dalam dan lebih terurai dilengkapi
dengan latar belakang turunnya ayat atau surah (Asbâb al-Nuzûl) atau latar
belakang datangnya Hadits (Asbâb wurûd al-hadîts) jika didapatkan dan sejarah
sebagian pembawa atau periwayat Hadits jika memungkinkan.

Pelajaran yang dipetik dengan menggali dari kandungan teks adalah teks ayat
atau matan Hadis itu dapat dijadikan sebagai dalil atau dasar dalam penggalian
tersebut (istinbâth). Pelajaran yang dipetik ini semacam penyimpulan induktif tetapi
tendensius, karena harus didasarkan pada teks.

Guru profesional harus mampu mengembangkan persiapan mengajar yang


baik, logis, dan sistematis, karena di samping untuk melaksanakan pembelajaran,
persiapan tersebut mengemban profesional accountability, sehingga guru dapat
mempertanggung jawabkan apa yang dilakukannya. Persiapan mengajar yang
dikembangkan guru memiliki makna yang cukup mendalam; bukan hanya kegiatan
rutinitas untuk memenuhi kelengkapan administratif, tetapi merupakan cermin dari
pandangan, sikap, dan keyakinan profesional guru mengenai apa yang terbaik
untuk peserta didiknya (Mulyasa, 2006: 80-82).

3. Materi Hafalan dan Baca Tulis

Pembelajaran al-Qur’an di MI terkesan hanya mengutamakan hapalan saja dan


kurang analisis pemahaman, bahkan hafalan terjadi pada terjemahan, arti
kandungan dan latihan baca tulis. Berbeda dengan Hadits yang mengutamakan
pada pemahaman saja dan kurang dalam hapalan. Hal ini dapat dimaklumi karena
pentingnya hafalan surah-surah pendek yang berlaku di masyarakat dan dibaca
sehari-sehari baik dalam shalat maupun di luar shalat. Tetapi pemahaman ayat-ayat

8
pendek juga lebih mudah dibanding pemahaman Hadis, sebagaimana menghafal
hadis-hadis pendek bagaikan materi mahfûzhât dari kata mutiara atau kata hikmah.
Keduanmya saling medukung dan saling melengkapi. Jika tidak demikian, akan sulit
tercapai tujuan penghayatan dan penerapan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi dan
akan lebih mudah menauladani dan pembiasaan dari guru tanpa materi al-Qur’an
hadis. Hafalan pada surah-surah pendek memang perlu tetap dipertahankan
sebagaimana yang ada tetapi tingkat pemahaman arti atau kandungan harus
kreatif dan inovatif dalam meningkatkannya dengan cara baru untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.

Hapalan surah-surah pendek memang penting, tetapi jangan membuat


kelengahan dalam pembelajaran mengenal huruf, baca dan tulis. Banyak siswa
yang hapal surah-surah pendek tetapi belum bisa membaca al-Qur’an. Ketika siswa
disuruh memegang kalam untuk menunjuk huruf yang dibaca, kalamnya ke mana-
mana tidak sesuai dengan huruf yang dibaca, padahal mereka terampil dan lancar
hapalannya. Atau ketika disodorkan bacaan al-Qur’an surah-surah yang panjang
seperti surah al-Baqarah tidak berbunyi. Ini suatu indikasi bahwa anak belum bisa
atau belum menguasai bacaan huruf al-Qur’an. Guru bisa melatih murid-muridnya
membaca tulisan yang ada di papan tulis atau white board dan atau di buku dengan
cara menunjuk tulisan dengan kalam atau dengan petunjuk lain yang dapat
digunakan.

Pembelajaran awal yang paling esensial adalah pengenalan baca tulis huruf al-
Qur’an. Karena bagaimanapun anak tidak bisa belajar al-Qur’an Hadis manakala
tidak menguasai baca tulis huruf al-Qur’an. Oleh karena itu guru harus serius untuk
memberantas buta baca tulis huruf al-Qur’an ini. Mulailah dari pengenalan yang
sederhana secara sabar tetapi anak mengerti huruf, misalnya dari huruf satuan dan
huruf kesatuan, mulai dari bongkar dan pasang huruf atau memisahkan dari
persambungan dan menyambung dari huruf yang terpisah yang disebut metode
Gestalt atau Gelobal dan lain-lain. Lakukan metode yang bervariatif seperti Iqra,
Qira’ati, al-Baghdadi, al-Barqî dan lain-lain. Lakukan pula analisis metode mana
yang lebih tepat dipakai untuk anak-anak tingkat dasar. Sekalipun dalam silabus al-
Qur’an banyak hapalan, diharapkan hapalan yang paham bacaan bukan hapalan
dari pendengaran. Akibatnya, banyak anak lulus MI tetapi masih belum bisa
membaca huruf al-Qur’an. Menghapal yes, tetapi membaca no! Apalagi
pemahaman arti dan mengaplikasikan dalam kehidupan akan lebih sulit dilakukan.

4. Pembelajaran Ilmu Tajwid

Pembelajaran Ilmu Tajwid sebaiknya menggunakan metode induktif (istiqrâ’î)


lebih baik dari pada metode deduktif (istinbâthî) atau menggunakan metode
campuran keduanya. Metode deduktif membuat siswa menghapal dan kurang
analisis. Metode induktif akan lebih aktif karena siswa diajak ke dunia nyata apa
yang dilihat, apa yang disaksikan, apa yang dirasakan dan apa yang ditemukan
baru kemudian disimpulkan. Metode induktif adalah metode penyajian dari
beberapa contoh kemudian dianalisis dan disimpulkan menjadi kaedah umum atau
dari kasus-kasus yang khusus kemudian menjadi kaedah yang umum atau
penyimpul rataan. Misalnya dalam pembelajaran Izhar dan Idgham, ajaklah
membaca contoh-contoh berikut terlebih dahulu kemudian dianalisis dan
disimpulkan: Izhar: Idgham:

9
‫ة‬ َ
ٍ ‫م‬
َ ْ‫ن ن ِع‬
َ ‫م‬
ِ ‫ت‬
َ ‫م‬
ْ َ‫أن ْع‬
ْ ‫م‬
‫ل‬ َ ْ‫ن ي َع‬ َ َ‫ي َن َْهى ف‬
ْ ‫م‬
‫ن‬
ْ ‫م‬
ّ ‫خي ٌْر‬
َ ‫حْر‬
َ ْ ‫َوان‬
‫م‬ ْ ِ‫ن َرب ّه‬ْ َ‫ف ع‬ ٍ ْ ‫خو‬َ ‫ن‬ْ ‫م‬ ّ
‫ه‬ َ ‫( وا‬3 )‫من عَل َق ل َهب‬
ُ ُ ‫مَرأت‬ ْ َ ٍ َ ٍ ْ ِ
ٍ ‫سد‬ َ ‫م‬ ّ ‫من‬ ُُ ْ ‫حب‬
ّ ‫ل‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ف‬ّ ‫خ‬ َ ‫ن‬
ْ ‫م‬
َ
‫ه‬
ِ ‫ن الل‬
َ ‫م‬
ّ ‫ل‬ ُ ‫خاط ِئ َةٍ َر‬
ٌ ْ ‫سو‬ َ
َ ٍ‫كاذِب َة‬

‫س‬
ُ ‫صد ُُرالّنا‬
ْ َ ‫مئ ِذٍ ي‬
َ ْ‫مَية ي َو‬
ِ ‫حا‬
َ ‫َناٌر‬
… ُ‫خي ًْرا ي ََره‬
َ ‫حْر‬
َ ْ ‫َوان‬
…… ……..

Siswa diajak membaca yang benar, bagaimana perbedaannya antara bacaan


kelompok kanan dan kelompok kiri, apa saja yang ditemukan. Nun sukun dan
tanwin pada kelompok kiri dibaca jelas, nun sukun dibaca jelas dan tanwin juga
dibaca jelas ketika bertemu dengan huruf ‘ain, ha, ha, dan kha, bacaan jelas itu
disebut Izhar. Sedangkan kelompok kanan Nun sukun dan tanwin hilang bacaannya
dan menyatu dengan huruf setelahnya ketika bertemu dengan huruf nun, ya, mim,
ra, dan waw. Penyatuan bacaan nun sukun dan tanwin pada huruf setelahnya itulah
disebut Idgham. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, apabila nun sukun
atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf ‘ain, ha, ha, dan kha dibaca jelas
(Izhar) atau Izhar adalah apabila nun sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu
huruf ‘ain, ha, ha, dan kha. Apabila nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf
nun, ya, mim, ra, dan waw dibaca penyatuan dengan huruf setelahnya disebut
Idgham, atau Idgham adalah apabila nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf
nun, ya, mim, ra, dan waw. Kesimpulan ini kemudian dijadikan suatu kaedah ilmu
Tajwid atau definisi bacaan nun sukun dan tanwin.

Sedangkan metode deduktif atau istinbathî adalah seperti yang umum dipakai
mayoritas buku-buku Ilmu Tajwid di sekitar kita, yakni dari kaedah atau definisi
terlebih dahulu kemudian diberikan contoh. Pemberian kaedah atau definisi ini
bentuknya masih abstrak seolah masih di di dunia mimpi, maka perlu diajak ke
dunia nyata dengan analisis induksi. Kelemahan metode deduktif di sini siswa
cenderung hapal definisi dan contoh-contohnya tetapi kurang analisis yang tajam
dan kurang dapat mengembangkannya, kecuali dengan menggunakan metode
campuran.

Tugas penelusuran atau pembedahan ilmu Tajwid bab tertentu dalam surah
tertentu sangat penting dilakukan secara berulang-ulang untuk melatih kecerdasan
anak mempraktikkan penerapannya ke lapangan, di samping bersifat pendalaman
teori yang telah diberikan. Misalnya cari dan telusuri bacaan Ikhfa dalam surah al-
Dhuha. Tugas seperti ini membuat siswa kreatif dan aktif dalam mengembangkan
dan menerapkan pengetahuannya di lapangan di samping lebih efektif tidak
menghabiskan jam pelajaran di kelas.

10
5. Penerapan al-Qur’an Hadis dalam Kehidupan

Penerapan ayat atau Hadis dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and
Learning) akan lebih tepat karena materi pembelajaran tidak harus secara tekstual
diberikan, akan tetapi melalui pemahaman sederhana dan pembiasaan serta
ketauladanan seperti layaknya pendidikan agama Islam. Pendekatan CTL bukan
hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajari, tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Mata pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan
kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan
nyata (Sanjaya, 2008: 109-110).

Tetapi dalam pembelajaran al-Qur’an Hadis diperlukan adanya tekanan


tertentu yakni dengan menyertakan teks-teks ayat atau hadis dalam memberi
ketauladanan sekalipun berbentuk penggalan-penggalan untuk memberikan
motivasi pada saat guru memberikan ketauladan atau pembiasaan pada siswa,
agar siswa dapat berinteraksi dengan al-Qur’an. Demikian ini dilakukan agar
tambah kekhusyu’an membaca al-Qur’an dan untuk membedakan dengan mata
pelajaran lain seperti pelajaran akidah akhlak, fikih, dan lain-lain. Sekalipun
sebagian materi mata pelajaran lain seperti fikih dan akidah akhlak bersumberkan
dari al-Qur’an Hadis, namun tidak seperti materi al-Qur’an Hadis yang secara
langsung dikaji dan dipahami dari ayat-ayatnya atau Hadis.

Metode pembelajaran al-Qur’an Hadis yang baik, sebagaimana metode Nabi


dalam pembelajaran Sunah atau Hadis secara garis besar ada tiga kelompok, yaitu
sebagai berikut:

a. Pembelajaran secara verbal/lisan;

b. Pembelajaran secara tertulis (dikte/imlak);

c. Demontrasi secara praktis (A’zhami, 1992: 27).

Pembelajaran secara verbal, Nabi biasanya mengulang-ulang inti masalah


sampai tiga kali, agar memudahkan sahabat untuk memahami atau menghapal.
Pembelajaran tertulis berupa penulisan wahyu dan Hadis bagi sahabat tertentu dan
pengiriman surat kepada para raja untuk masuk Islam. Sedangkan pembelajaran
demontrasi praktis adalah praktik beberapa ibadah, seperti sabda Nabi berikut ini:
ikuti aku, shalatlah seperti aku shalat, dan seterusnya.

Contoh penerapan al-Qur’an Hadis dalam kehidupan anak-anak. Misalnya guru


membuang sampah pada tempatnya, diikuti siswa membuang sampah juga pada
tempatnya dengan mengingat, Rasulullah SAW bersabda:

‫ن‬
ِ ‫ما‬ ِ ْ ‫شط ُْر ا‬
َ ‫لي‬ َ ‫الط ُّهوُر‬

“Bersuci itu separuh dari iman,” (HR. Muslim).

Atau ketika guru mengajak berwudhu bersama murid kareana akan membaca
al-Qur’an atau karena akan shalat diringi membaca Hadis dan ayat al-Qur’an yang
mendukung pembiasaan tersebut. Misalnya sambil membaca firman Allah:

ِ ّ‫مت َط َه‬
222 : ‫رين )البقرة‬ ُ ْ ‫ب ال‬
ّ ‫ح‬
ِ ُ ‫ن وَي‬
َ ‫واِبي‬
ّ ّ ‫ب الت‬
ّ ‫ح‬ َ ّ ‫ن الل‬
ِ ُ‫ه ي‬ ّ ِ ‫)إ‬

11
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai
orang-orang yang bersuci” (QS. Al-Baqarah/2 : 222).

Ayat atau Hadis pendek tersebut adakalanya dibacakan di hadapan murid atau
murid diajak membaca bersama dan mencatat ayat atau Hadis bagi yang belum
hapal. Untuk memudahkan ingatan murid adakalanya Hadis dan ayat tersebut
ditulis dalam bentuk kaligrafi yang menarik dan ditempel atau digantung di dinding
sekitar kelas. Dengan menyebutkan ayat dan Hadis yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan murid bersama guru akan menambah keyakinan dan
kekhusyu’an dalam menauladani guru dan akan berkesan untuk selamanya serta
akan dapat menerapkan perbuatan yang sama baik dalam kelas maupun di luar
kelas.

Simpulan

Pembelajaran al-Qur’an Hadis di Madrasah Ibtidaiyah memang komplek


permasalahannya, karena kenyataannya tidak sekedar pembelajaran al-Qur’an
Hadis saja, tetapi juga belajar baca tulis huruf Arab (huruf al-Qur’an), kaligrafi Arab
(khath dan imlak), pelajaran tajwid, Ilmu Hadis dan Ilmu al-Qur’an, Tafsir, tahfîzh
dan lain-lain. Dengan ragam pembelajaran ini guru dituntut berhasil mengantar
siswa mencapai tujuan yang ingin dicapai. Guru harus pandai menyajikan
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan active learning dengan
pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan). Guru hendaknya mampu menggunakan metode yang tepat dan
variatif sehingga tidak menjemukan atau tidak membosankan.

Dalam pembelajaran terhadap siswa MI guru menjadi figur sentral yang diikuti
dan ditauladani murid, baik dari sikap, tingkah laku, perkataan dan perbuatan.
Sesuai dengan perkembangan anak, masa social imitation atau masa menyontoh,
ketauladanan guru selalu diikuti anak. Artinya, guru harus banyak bacaan agar
mempunyai wawasan keilmuan, sehingga siswa terbentuk dengan baik dan tercapai
tujuan yang ingin dicapai. Guru harus lebih dahulu hapal surah-surah atau hadis-
hadis pendek ketika murid-muridnya ditugasi menghapal surah-surah tersebut.
Guru juga harus mampu menterjemahkan atau mengartikan ayat-ayat Quran dan
Hadis terlebih dahulu sebelum anak murid diberi tugas hal tersebut. Guru harus
fasih bacaannya bermakhraj dan bertajwid sehingga dapat diikuti anak-anak
muridnya dengan benar dan seterusnya. Guru MI adalah pembentuk lidah Qur’an
pertama, sebagaimana pembentuk pribadi dan karakter awal.

Daftar Pustaka

A’zhamy, Al-, M.M. (1992). Metodologi Kritik Hadis. Terjemahan A. Yamin. Jakarta:
Pustaka Hidayah.

Humam, A. (2000). Buku Iqra; Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an. Yogyakarta:
Balai Litbang LPTQ Nasional. Edisi Revisi.

12
Mulyasa, E. (2006). Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Cet. 4.

Munadi, Y. dan Hamid, F. (2009). Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan. Jakarta: FITK UIN Jakarta.

Nawawy, Al-. (t.th). Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawy. Indonesia: Maktabah


Dakhlan.

Nicholl, C.R. dan Malcom J. (2002). Accelereted Learning for The 21S Century.
Terjemahan Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.

Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen. Undang-


Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20. Jakarta: 11 Juni 2003.

Qardlâwî, Al-. Y. (1994). Kayf Nata’âmal Ma`a al-Sunnah al-Nabawîyah. Mesir: Dâr
al-Wafâ. Cet. Ke-7.

Rahman, F. (1996). Tema Pokok al-Qur’an. Terjemahan Anas Mahyudin. Bandung:


Pustaka. Cet. 2.

Rahman, F. (1997). Islam. Terjemahan Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. Cet. 3.

Sanjaya, W. (2008). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis


Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cet. 3.

Shihab, M.Q. (1996). Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

Tafsir, A. (2008). Strategi Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam. Bandung:


Maestro.

Umam, K. (2008). al-Qur’an Hadits, kelas 1–6. Semarang: Thaha Putra.

Abdul Majid Khon, dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Jakarta. E-mail: majid_khon@yahoo.co.id.

13

Anda mungkin juga menyukai