Pengantar
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah yang terdiri atas empat
mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Al-Qur’an-hadis,
menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna
secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari. Materi Akidah Akhlak terfokus pada pembahasan penanaman
keimanan dan akidah yang benar serta sifat-sifat terpuji yang garus dimiliki oleh
anak didik. Fikih membahas praktik ibadah sehari-hari dan sejarah membahas
tentang perjalanan umat Islam dari masa kemasa dari segi politik, budaya dan
peradaban (Permenag No.2/2008).
1
Di samping itu, juga mempertimbangkan perkembangan psikologis anak,
bahwa tahap perkembangan intelektual anak usia 6-11 tahun adalah operasional
konkret (Piaget). Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar juga termasuk:
1. Anak usia 6-9 tahun, masa social imitation atau masa mencontoh, sehingga
diperlukan figur yang dapat memberi contoh dan teladan yang baik dari
orang-orang sekitarnya (keluarga, guru, dan teman-teman sepermainan),
3. Usia 12-15 tahun merupakan masa social adjustment atau penyesuaian diri
secara sosial.
Materi al-Qur’an Hadis semula terdiri dari dua bidang mata pelajaran yaitu
bidang al-Qur’an dan bidang Hadis, kemudian diintegrasikan menjadi satu bidang
mata pelajaran al-Qur’an Hadis. Sekalipun demikian di dalamnya tidak bisa
dilepaskan dari dua bidang tersebut. Jika dijumlah materi al-Qur’an sebanyak 21
Surah yakni dari surah al-Fatihah sampai dengan al-Dhuha. Secara rinci dapat
disebutkan satu persatu yaitu surah al-Fâtihah, al-Nâs, al-Falaq, al-Ikhlâsh, al-Lahab,
al-Nashr, al-Kâfirûn, al-Kawtsar, al-Mâ’ûn, al-Quraysy, al-Fîl, al-Humazah, al-‘Ashr, al-
Takâtsur, al-Qâri’ah, al-‘Âdiyât, al-Zalzalah, al-Bayyinah, al-Qadr, al-‘Alaq, al-Tîn, al-
Insyirah dan al-Dhuhâ.
Sedangkan materi Hadis terdiri dari minimal 10 Hadis secara tematik yaitu
tentang kebersihan, niat, menghormati orang tua, persaudaraan, silaturahim,
2
takwa, menyayangi anak yatim, salat berjamaah, ciri-ciri orang munafik, dan amal
salih.
d. Bacaan nun sukun dan tanwin (Izhar, ikhfa, idgham bighunnah dan
idgham bila ghunnah dan iqlâb).
a. Ilmu al-Qur’an;
b. Ilmu Hadis.
Dengan demikian materi al-Qur’an Hadis di MI terdiri dari dua materi, yakni:
pokok atau esensial dan materi pendukung. Materi pokok adalah materi al-Qur’an
dan Hadis sedang materi pendukung adalah materi pengantar dari segi pengenalan
baca tulis huruf Arab atau huruf al-Qur’an Hadis serta latar belakang masing-masing
materi.
3
4. Menterjemahkan surah-surah dan hadis-hadis pendek;
4. Melafalkan atau membaca dengan benar dan hapal surah-surah pendek dari
al-Fatihah sd al-Dhuha;
Analisis Materi
1. Materi al-Qur’an Hadis dan Pendekatannya
Materi al-Qur’an sebanyak 21 surah yakni dari surah al-Fatihah sampai dengan
surah al-Dhuha ditambah beberapa kaedah Ilmu Tajwid. Sedang materi Hadis hanya
sekitar 10 Hadis. Metode penyajian al-Qur’an yang ada sekarang ini menggunakan
metode tahlîlî (terurai sesuai dengan urutan ayat demi ayat atau urutan surah demi
surah) sedangkan penyajian Hadis menggunakan metode maudhu’î (tematik).
Kedua pendekatan metode ini memang yang paling popular di kalangan para
pakar Tafsir. Metode tahlîlî atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagaimana
yang dikutip oleh M Quraysh Shihab sebagai metode tajziî adalah satu metode tafsir
yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Sedangkan tafsir Maudhu’î adalah
mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan
ayat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditentukan sebelumnya.
Kemudian mufassir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Shihab, 1996: 86-7).
4
Dua metode yang bertolak belakang di atas diterapkan dalam sebuah buku
mata pelajaran al-Qur’an Hadis MI. Tentunya hal ini membuat tidak adanya
integritas antara Hadis dengan al-Qur’an, seolah-olah kandungan makna Hadis
berbeda dengan kandungan al-Qur’an, padahal di antara fungsi Hadis yang
terpenting adalah menjelaskan al-Qur’an secara integrated. Lihat saja tema-tema
yang ada dalam hadis sebanyak 10 tema, sedangkan pada materi al-Qur’an tidak
menggunakan tema kecuali nama-mana surah belaka sesuai dengan urutan dalam
al-Qur’an. Memang nama-nama surah itu tema yang menunjukkan isi kandungan
Surah tetapi bukan tema materi pembelajaran yang dimaksud secara maudhû’î
sebagaimana dalam hadis (Shihab, 1996: 86-7).
2. Pengintegrsaian proses;
Jika demikian kajian Hadis lebih terfokus dari pada kajian al-Qur’an. Mungkin
dianggap belum saatnya mengkaji al-Qur’an tetapi sayangnya sudah saatnya
mengkaji Hadis. Pola pikir ini saya kira kurang tepat, karena tidak ada alasan untuk
tidak memberi penyajian materi yang lebih strategis dan sistematis tidak
amburadul dalam rangka mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan.
Pemahaman makna kandungan ayat dan hadis layaknya memang disederhanakan
dan lebih kepada ketauladanan serta pembentukan lingkungan, tetapi tidak berarti
menghilangkan penyajian yang lebih strategis dan sistematis tersebut.
Pemikir al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama
menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlîlî itu, tidak lain kecuali dalam rangka
upaya mereka dalam meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahamn akan
kemu’jizatan al-Qur’an. Terlepas dari benar atau tidaknya pemikiran ini tentunya
kemu’jizatan al-Qur’an tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan
dengan memperhatikan rumusan definisi mu’jizat dimana terkandung di dalamnya
unsur tahaddî (tantangan), seorang muslim tidak perlu ditantang karena dengan
keislamannya ia telah menerima.
Terlepas dari keberhasilan metode tahlîlî atau tidak, yang jelas untuk
masyarakat muslim sekarang ini belum merupakan persoalan yang mendesak.
Penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan
dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an.
5
Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi
pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.
Kelemahan lain metode Tafsir tahlîlî adalah sifat penafsirannya terlalu teoritis tidak
sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka
alami dalam masyarakat.
a. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan Hadis Nabi adalah satu
cara yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
Dari segi surah dan ayat yang dijadikan materi pembelajaran di MI, memang
surah-surahnya pendek, demikian juga ayat-ayatnya. Hal itu sesuai dengan
kesanggupan siswa MI yang baru belajar al-Qur’an. Namun, jika dilihat dari segi isi
kandungannya surah-surah pendek ini tergolong surah Makiyah, isi kandungannya
membahas tentang akidah dan keimanan. Sesuai dengan analisa Fazlur Rahman
(1997: 37), bahwa sesungguhnya kesan paling kuat yang ditinggalkan al-Qur’an
bukanlah berupa Tuhan yanag selalu mengawasi, merengut, dan menghukum—
sebagaimana yang dibuat oleh orang-orang Kristen. Bukan pula gambaran seorang
hakim utama sebagaimana ulama Fikih Islam. Tetapi suatu kehendak yang
bertujuan dan terpadu, yang menciptakan tata tertib di alam semesta, sifat-sifat
6
kekuasaan, kagungan, kewaspadaan, keadilan, dan kebijaksanaan adalah
kesimpulan yang tepat dan dapat diambil dari keteraturan kosmos yang kreatif.
2. Sistematika Pembahasan
4. Penjelasan kandungan;
Teks ayat atau Hadis ditulis di papan, white board atau di layar monitor.
Tulisan hendaknya yang benar, berharakat, lurus garis dan indah, agar siswa
terbiasa menulis yang benar dan indah. Siswa sering ditugasi menulis yang benar
dan indah agar rajin berlatih, karena masih sering ditemukan seorang mahasiswa di
Perguruan Tinggi Islam sekalipun masih belum bisa menulis dan membaca huruf al-
Qur’an bahkan ada guru agama yang belum pandai menulis dan membaca huruf al-
Qur’an.
Kosa kata dimaksudkan arti kata yang dianggap sulit oleh siswa tidak
seluruhnya dan tujuannya pembekalan kepada siswa agar mampu menerjemahkan
teks tersebut secara mandiri dengan dibantu kosa kata ini. Di samping itu siswa
diharapkan mampu mengartikan kata demi kata dalam teks, tidak hanya mampu
menerjemahkan secara hapalan belaka. Oleh karena siswa perlu digiring bertanya
andaikata masih didapatkan kosa kata yang belum dimengerti artinya.
Terjemahan atau alih bahasa dapat dilakukan dengan mudah jika arti kosa
kata dalam teks sudah dikuasai, di samping adanya kemampuan menyusun bahasa
7
Indonesia dengan kalimat yang benar dan baik. Susunan bahasa Arab berbeda
dengan susunan bahasa Indonesia, siswa harus diajak berkemampuan
membedakannya. Misalnya, dalam Jumlah fi’liyah susunan kalimatnya, Prediket +
Subjek + Objek (fi’il + fa’il + maf’ul), sedang dalam bahasa Indonesia susunan ini
tidak populer. Susunan kalimat bahasa Indonesia yang populer adalah SPO (Subjek
+ Prediket + Objek/ fa’il + fi’il + maf’ul) . Misalnya dalam bahasa Arab:
َ مد ٌ ال ْقُْرآ
ن ّ ح ُ قََرأ
َ م
Susunan di atas terjemahan asalnya adalah membaca Muhammad al-Qur’an.
Susunan kalimat ini dalam bahasa Indonesia sulit dipahami, sebaiknya diubah
susunannya menjadi Muhammad membaca al-Qur’an dan kalimat inilah yang benar
dalam bahasa Indonesia. Dalam al-Qur’an maupun Hadis banyak terdapat jumlah
َ = إ ِّياdiartikan Hanya
fi’lîyah seperti di atas. Misalnya dalam surah al-Fatihah: ُ ك ن َعْب ُد
kepada Engka kami menyembah. Asalnya Hanya kepada Engkau menyembah kami.
Dasar-dasar terjemahan seperti ini mestinya sudah diberikan kepada murid-murid
MI sesuai dengan tingkatan kelasnya.
Penjelasan kandungan adalah uraian secara rinci dari matan Hadis atau dari
ayat yang masih global terjemahannya. Uraian ini dimaksudkan memperjelas
makna matan atau ayat dengan menghubungkan dengan kehidupan nyata yang
dialami siswa atau dihubungkan dengan pengalaman, pengetahuan dunia nyata,
kisah-kisah, dan perkembangan iptek dengan diberikan contoh-contoh yang
kongkrit. Penjelasan hendaknya lebih luas, lebih dalam dan lebih terurai dilengkapi
dengan latar belakang turunnya ayat atau surah (Asbâb al-Nuzûl) atau latar
belakang datangnya Hadits (Asbâb wurûd al-hadîts) jika didapatkan dan sejarah
sebagian pembawa atau periwayat Hadits jika memungkinkan.
Pelajaran yang dipetik dengan menggali dari kandungan teks adalah teks ayat
atau matan Hadis itu dapat dijadikan sebagai dalil atau dasar dalam penggalian
tersebut (istinbâth). Pelajaran yang dipetik ini semacam penyimpulan induktif tetapi
tendensius, karena harus didasarkan pada teks.
8
pendek juga lebih mudah dibanding pemahaman Hadis, sebagaimana menghafal
hadis-hadis pendek bagaikan materi mahfûzhât dari kata mutiara atau kata hikmah.
Keduanmya saling medukung dan saling melengkapi. Jika tidak demikian, akan sulit
tercapai tujuan penghayatan dan penerapan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi dan
akan lebih mudah menauladani dan pembiasaan dari guru tanpa materi al-Qur’an
hadis. Hafalan pada surah-surah pendek memang perlu tetap dipertahankan
sebagaimana yang ada tetapi tingkat pemahaman arti atau kandungan harus
kreatif dan inovatif dalam meningkatkannya dengan cara baru untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
Pembelajaran awal yang paling esensial adalah pengenalan baca tulis huruf al-
Qur’an. Karena bagaimanapun anak tidak bisa belajar al-Qur’an Hadis manakala
tidak menguasai baca tulis huruf al-Qur’an. Oleh karena itu guru harus serius untuk
memberantas buta baca tulis huruf al-Qur’an ini. Mulailah dari pengenalan yang
sederhana secara sabar tetapi anak mengerti huruf, misalnya dari huruf satuan dan
huruf kesatuan, mulai dari bongkar dan pasang huruf atau memisahkan dari
persambungan dan menyambung dari huruf yang terpisah yang disebut metode
Gestalt atau Gelobal dan lain-lain. Lakukan metode yang bervariatif seperti Iqra,
Qira’ati, al-Baghdadi, al-Barqî dan lain-lain. Lakukan pula analisis metode mana
yang lebih tepat dipakai untuk anak-anak tingkat dasar. Sekalipun dalam silabus al-
Qur’an banyak hapalan, diharapkan hapalan yang paham bacaan bukan hapalan
dari pendengaran. Akibatnya, banyak anak lulus MI tetapi masih belum bisa
membaca huruf al-Qur’an. Menghapal yes, tetapi membaca no! Apalagi
pemahaman arti dan mengaplikasikan dalam kehidupan akan lebih sulit dilakukan.
9
ة َ
ٍ م
َ ْن ن ِع
َ م
ِ ت
َ م
ْ َأن ْع
ْ م
ل َ ْن ي َع َ َي َن َْهى ف
ْ م
ن
ْ م
ّ خي ٌْر
َ حْر
َ ْ َوان
م ْ ِن َرب ّهْ َف ع ٍ ْ خوَ نْ م ّ
ه َ ( وا3 )من عَل َق ل َهب
ُ ُ مَرأت ْ َ ٍ َ ٍ ْ ِ
ٍ سد َ م ّ من ُُ ْ حب
ّ ل َ ت ْ فّ خ َ ن
ْ م
َ
ه
ِ ن الل
َ م
ّ ل ُ خاط ِئ َةٍ َر
ٌ ْ سو َ
َ ٍكاذِب َة
س
ُ صد ُُرالّنا
ْ َ مئ ِذٍ ي
َ ْمَية ي َو
ِ حا
َ َناٌر
… ُخي ًْرا ي ََره
َ حْر
َ ْ َوان
…… ……..
Sedangkan metode deduktif atau istinbathî adalah seperti yang umum dipakai
mayoritas buku-buku Ilmu Tajwid di sekitar kita, yakni dari kaedah atau definisi
terlebih dahulu kemudian diberikan contoh. Pemberian kaedah atau definisi ini
bentuknya masih abstrak seolah masih di di dunia mimpi, maka perlu diajak ke
dunia nyata dengan analisis induksi. Kelemahan metode deduktif di sini siswa
cenderung hapal definisi dan contoh-contohnya tetapi kurang analisis yang tajam
dan kurang dapat mengembangkannya, kecuali dengan menggunakan metode
campuran.
Tugas penelusuran atau pembedahan ilmu Tajwid bab tertentu dalam surah
tertentu sangat penting dilakukan secara berulang-ulang untuk melatih kecerdasan
anak mempraktikkan penerapannya ke lapangan, di samping bersifat pendalaman
teori yang telah diberikan. Misalnya cari dan telusuri bacaan Ikhfa dalam surah al-
Dhuha. Tugas seperti ini membuat siswa kreatif dan aktif dalam mengembangkan
dan menerapkan pengetahuannya di lapangan di samping lebih efektif tidak
menghabiskan jam pelajaran di kelas.
10
5. Penerapan al-Qur’an Hadis dalam Kehidupan
Penerapan ayat atau Hadis dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and
Learning) akan lebih tepat karena materi pembelajaran tidak harus secara tekstual
diberikan, akan tetapi melalui pemahaman sederhana dan pembiasaan serta
ketauladanan seperti layaknya pendidikan agama Islam. Pendekatan CTL bukan
hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajari, tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Mata pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan
kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan
nyata (Sanjaya, 2008: 109-110).
ن
ِ ما ِ ْ شط ُْر ا
َ لي َ الط ُّهوُر
Atau ketika guru mengajak berwudhu bersama murid kareana akan membaca
al-Qur’an atau karena akan shalat diringi membaca Hadis dan ayat al-Qur’an yang
mendukung pembiasaan tersebut. Misalnya sambil membaca firman Allah:
ِ ّمت َط َه
222 : رين )البقرة ُ ْ ب ال
ّ ح
ِ ُ ن وَي
َ واِبي
ّ ّ ب الت
ّ ح َ ّ ن الل
ِ ُه ي ّ ِ )إ
11
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai
orang-orang yang bersuci” (QS. Al-Baqarah/2 : 222).
Ayat atau Hadis pendek tersebut adakalanya dibacakan di hadapan murid atau
murid diajak membaca bersama dan mencatat ayat atau Hadis bagi yang belum
hapal. Untuk memudahkan ingatan murid adakalanya Hadis dan ayat tersebut
ditulis dalam bentuk kaligrafi yang menarik dan ditempel atau digantung di dinding
sekitar kelas. Dengan menyebutkan ayat dan Hadis yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan murid bersama guru akan menambah keyakinan dan
kekhusyu’an dalam menauladani guru dan akan berkesan untuk selamanya serta
akan dapat menerapkan perbuatan yang sama baik dalam kelas maupun di luar
kelas.
Simpulan
Dalam pembelajaran terhadap siswa MI guru menjadi figur sentral yang diikuti
dan ditauladani murid, baik dari sikap, tingkah laku, perkataan dan perbuatan.
Sesuai dengan perkembangan anak, masa social imitation atau masa menyontoh,
ketauladanan guru selalu diikuti anak. Artinya, guru harus banyak bacaan agar
mempunyai wawasan keilmuan, sehingga siswa terbentuk dengan baik dan tercapai
tujuan yang ingin dicapai. Guru harus lebih dahulu hapal surah-surah atau hadis-
hadis pendek ketika murid-muridnya ditugasi menghapal surah-surah tersebut.
Guru juga harus mampu menterjemahkan atau mengartikan ayat-ayat Quran dan
Hadis terlebih dahulu sebelum anak murid diberi tugas hal tersebut. Guru harus
fasih bacaannya bermakhraj dan bertajwid sehingga dapat diikuti anak-anak
muridnya dengan benar dan seterusnya. Guru MI adalah pembentuk lidah Qur’an
pertama, sebagaimana pembentuk pribadi dan karakter awal.
Daftar Pustaka
A’zhamy, Al-, M.M. (1992). Metodologi Kritik Hadis. Terjemahan A. Yamin. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Humam, A. (2000). Buku Iqra; Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an. Yogyakarta:
Balai Litbang LPTQ Nasional. Edisi Revisi.
12
Mulyasa, E. (2006). Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Cet. 4.
Munadi, Y. dan Hamid, F. (2009). Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan. Jakarta: FITK UIN Jakarta.
Nicholl, C.R. dan Malcom J. (2002). Accelereted Learning for The 21S Century.
Terjemahan Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.
Qardlâwî, Al-. Y. (1994). Kayf Nata’âmal Ma`a al-Sunnah al-Nabawîyah. Mesir: Dâr
al-Wafâ. Cet. Ke-7.
Shihab, M.Q. (1996). Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Abdul Majid Khon, dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Jakarta. E-mail: majid_khon@yahoo.co.id.
13