Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN


DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
TERHADAP KASUS TESTIMONI PALSU

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah

Metode Penelitian dan Penulisan Hukum

Kelas C – Reguler

Disusun oleh:

KELOMPOK: PIERCING THE CORPORATE VEIL

DIFFARYZA ZAKI RAHMAN 1706048652

HERLINDA SAFIRA 1706977424

HERLYANA MAHARANI 1706977430

MAUDYNA 1706047946

SHANIA KHAIRUNNISA 1706977790

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
1

A. PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
Dunia sedang memasuki era Revolusi 4.0 tak terkecuali Indonesia.
Memasuki Revolusi 4.0 dimulai dengan adanya perkembangan salah satu
teknologi informasi yakni media internet. Internet telah melahirkan konsep baru
di berbagai bidang seperti bidang pendidikan (e-learning), bidang pemerintahan
(e-goverment), bidang bisnis (e-business), bidang politik (e-democracy), dan
bidang perdagangan (e-commerce). Dengan berbagai kemudahan yang
disediakan dalam bidang perdagangan atau transaksi elektronik e-commerce,
berhasil menarik pengguna dalam jumlah yang besar. Hal tersebut terjadi karena
menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Pasal 3 ayat (2)
menyatakan bahwa “dengan adanya e-commerce memberikan manfaat bagi
masyarakat serta dapat digunakan secara luas.”1 Selain itu, e-commerce diminati
masyarakat karena lebih efisien dan efektif dalam melakukan transaksi.
Namun di balik kemudahan tersebut, terdapat tantangan bagi pengguna
e-commerce terutama bagi calon pembeli. Karena dalam hal ini, pembeli tidak
dapat melihat barang yang akan dibeli secara langsung. Calon pembeli hanya
dapat mengakses dan melihat barang tersebut melalui aplikasi e-commerce via
daring. Calon pembeli membutuhkan kepercayaan terhadap penjual dalam
aplikasi tersebut. Maka dari itu, pembeli terbantu dengan adanya testimoni dari
pembeli yang telah melakukan transaksi jual beli di aplikasi tersebut. Testimoni
adalah pemberian kesaksian tentang kualitas atau keuntungan dari suatu produk.2
Testimoni ini dapat menimbulkan konsep kepercayaan kepada calon pembeli
yang membacanya. Tidak jarang bahwa testimoni ini dijadikan acuan bagi calon
pembeli untuk menumbuhkan kepercayaan pada penjual dari pilihan barangnya.
Begitupun bagi penjual, testimoni dari pembeli ini penting karena dapat
mempengaruhi keputusan calon pembeli lainnya untuk membeli atau tidak di
toko online tersebut.

1
Indonesia, Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial, PBI Nomor 19/12/PBI/2017, Lembar Negara Nomor 245 Tahun 2017,
Pasal 3 ayat (2).
2
Frans M Royan, Marketing Celebrities, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005),
hlm. 33.

UNIVERSITAS INDONESIA
2

Unsur kepercayaan merupakan salah satu faktor yang penting pada era
Computer Mediated Communication (CMC). Pada sektor e-commerce
kepercayaan konsumen merupakan faktor yang penting karena berkaitan dengan
adopsi dan perkembangan sektor e-commerce tersebut. Seperti dalam transaksi
pada umumnya, isu kepercayaan menjadi penting dalam sektor e-commerce
karena dalam proses transaksinya tidak melibatkan interaksi dan komunikasi
yang dilakukan secara langsung atau tatap muka. Hal ini tentu membuat
konsumen merasakan adanya risiko yang dapat terjadi, seperti risiko penipuan.
Disinilah peran besar adanya sebuah testimoni dalam era e-commerce.
Pemberian testimoni merupakan suatu wujud kebebasan dalam membuat konten
terkait informasi produk atau jasa di platform e-commerce. Ulasan tersebut
berasal dari pengalaman konsumen dalam berbelanja, baik itu ulasan terkait
produk yang dijual, respons penjual, ataupun kecepatan pengiriman. Terdapat
dua fungsi besar pada testimoni, yaitu sebagai salah satu landasan rasa percaya
bagi konsumen dan sebagai media promosi atau pengiklanan bagi penjual.
Testimoni merupakan salah satu bentuk Electronic Word Of Mouth (E-
WOM) yang kian sering digunakan di era e-commerce ini.3 Sebuah penelitian
menunjukan bahwa 91% konsumen online mempercayai testimoni online
selayaknya testimoni tersebut diberikan melalui ulasan langsung atau secara
lisan kepadanya. Sehingga hal ini pula yang mempengaruhi 86% konsumen
online untuk memeriksa testimoni sebelum memutuskan untuk melanjutkan
transaksi online.4 Mengingat pentingnya peran testimoni dalam kelancaran
transaksi e-commerce, tidak jarang beberapa platform online shopping
berlomba-lomba untuk mendorong para konsumennya memberikan testimoni
setelah dilakukannya transaksi. Tentu saja konsumen menyambut baik ajakan ini
karena dengan timbal balik adanya reward dari pengelola platform terhadap
setiap testimoni yang diberikan. Salah satu contohnya ada pada salah satu
platform online shopping di Indonesia, yaitu Shopee. Ketika konsumen telah

3
Lidya Agustina, Alifia Oktrina Fayardi, Irwansyah, “Online Review: Indikator
Penilaian Kredibilitas Online dalam Platform E-commerce,” Jurnal Ilmu Komunikasi (2018),
Vol. 15, No. 2, Hlm. 142.
4
Rose Murphie, “Local Consumer Review Survey | Online Reviews Statistics &
Trends” https://www.brightlocal.com/research/local-consumer-review-survey/, diakses 11
Oktober 2019.

UNIVERSITAS INDONESIA
3

menerima barang yang dipesan dan telah memilih menyelesaikan transaksi,


pihak Shopee akan memberikan kesempatan pada konsumennya untuk
memberikan penilaian berupa “bintang” kepada toko tersebut. Selain itu
konsumen juga diberikan kesempatan untuk menuliskan testimoninya terhadap
barang, pelayanan, atau hal lain yang berkaitan dengan toko tempat barang
tersebut didapatkan dan tentu saja dengan imbalan dari pihak Shopee berupa
“coin shopee”.
Namun sayangnya mengingat betapa pentingnya testimoni, banyak
pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan hal ini untuk
menciptakan testimoni palsu. Bahkan sebuah studi yang dilakukan Bing Liu,
Professor Ilmu Komputer dari Universitas Illinois Chicago menemukan bahwa
30% testimoni online terhadap produk-produk tertentu terbukti palsu.5
Terdapat beberapa cara untuk menciptakan testimoni palsu, di antaranya
adalah dilakukan sendiri oleh para penjual, atau menggunakan orang lain untuk
memberikan ulasan palsu. Tindakan ini tentu saja tidak dapat dibenarkan karena
mengandung unsur penipuan di dalamnya. Banyak cara yang dapat dilakukan
penjual untuk memberikan testimoni palsu, yaitu dengan menuliskan sendiri
ulasannya, membayar jasa pihak lain untuk memberikan testimoni terhadap
produknya, atau dengan mencuri testimoni toko atau produk dari toko lainnya
untuk diakui sebagai testimoni terhadap produk atau toko miliknya. Apapun cara
yang dilakukan tentu saja merugikan dari pihak pembeli dimana informasi yang
diharapkan dapat dipertimbangkan untuk melakukan transaksi adalah informasi
yang menyesatkan. Sehingga maraknya testimoni palsu dalam e-commerce saat
ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan konsumen. Hal ini sangat
disayangkan mengingat pesatnya perkembangan e-commerce di era 4.0 saat ini.
Adanya testimoni palsu dapat disamakan dengan suatu kesaksian yang
palsu. Pemberian testimoni palsu dapat dikategorikan sebagai perilaku
komunikasi yang koruptif, karena kebenaran substansi pesannya ditiadakan,

5
Bing Liu, Arjun Mukherjee, Natalie Glance, “Spotting Fake Reviewer Groups in
Consumer Reviews” https://www.cs.uic.edu/~liub/publications/WWW-2012-group-spam-
camera-final.pdf, diakses pada 11 Oktober 2019.

UNIVERSITAS INDONESIA
4

yang dapat disamakan dengan iklan yang menyesatkan.6 Seperti yang diulas
sebelumnya, testimoni memiliki peran vital dalam meyakinkan calon pembeli
terhadap produk atau jasa yang ditawarkan oleh si penjual. Apabila testimoni
palsu yang diberikan dalam bagan ulasan di marketplace adalah perbuatan si
penjual secara langsung maupun tidak langsung, dan ternyata si pembeli merasa
yakin dengan kebenaran testimoni tersebut dan membeli produknya yang mana
ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam testimoni, maka
hal ini dapat dikategorikan sebagai sebuah penipuan.
Adapun kasus pemberian testimoni palsu yang terungkap adalah kasus
yang dialami TripAdvisor di Italia. TripAdvisor merupakan situs pengulas
wisata terkemuka yang memberikan rekomendasi dan penilaian terhadap
berbagai obyek wisata dengan berbasis penilaian yang diberikan oleh reviewer.
Namun pada 2018 terungkap bahwa ada 1.386.000 ulasan palsu yang ada di situs
TripAdvisor.7 TripAdvisor melaporkan seorang pria warga negara Italia karena
terlibat pembuatan ulasan atau testimoni palsu pada situs TripAdvisor. Si Pria
yang disamarkan namanya tersebut dipidana penjara sembilan bulan dan dijatuhi
hukuman denda sebesar Rp136 Juta. Belakangan diketatahui ternyata pria
tersebut bekerja pada perusahaan asli Italia yang bernama Promo Salento yang
menjual ulasan ke restoran, perhotelan dan obyek wisata.8 Pada kasus yang lain
di tahun 2015, Amazon, sebuah perusahaan ritel online dikabarkan menggugat
lebih dari seribu orang yang diduga memberikan ulasan palsu di situsnya. Dalam
mengungkap kasus ini, Amazon kesulitan mengidentifikasi siapa yang
memberikan testimoni palsu tersebut sebab mereka yang memberi testimoni
palsu selalu menggunakan identitas palsu dalam memberikan testimoni itu. Cara
mereka bekerja adalah dengan menggunakan identitas palsu untuk mengunduh
produk Amazon lebih dari 200 kali dalam 5 hari, dan terhadap semua unduhan
tersebut mereka memberika bintang 5 untuk produk yang diulas beserta

6
Bambang Sukma Wijaya, “Korupsi Komunikasi Dalam Dimensi Pesan, Media,
Konteks Dan Perilaku: Sebuah Proposisi Teoretis Untuk Riset,” Journal Communication
Spectrum (2013), Vol. 3 No. 1, Hlm. 6-7.
7
Albert Supargo, “Jangan Nekat Bikin Ulasan Palsu di TripAdvisor, Ini
Hukumannya”, https://travel.kompas.com/read/2019/09/24/200000827/-jangan-nekat-bikin-
ulasan-palsu-di-tripa dvisor-ini-hukumannya-?page=all, diakses 12 Oktober 2019.
8
Ibid.

UNIVERSITAS INDONESIA
5

komentar yang memuji produk itu.9 Sama seperti kasus sebelumnya, para
pemalsu testimoni ini dibayar untuk melakukan hal itu sebesar 3,25 dollar di
website Fiverr.10
Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna internet
terbanyak di dunia dengan 171 juta pengguna internet per 30 Juni 2019.11
Sementara itu, ada sekitar 11,9 persen populasi Indonesia yang secara rutin
berbelanja secara online pada 2018.12 Pada 2018 pula, jumlah transaksi e-
commerce di Indonesia sudah mencapai Rp144 Trilyun yang meningkat dari
jumlah Rp110 Trilyun pada 2017.13 Mengingat bahwa besarnya volume
transaksi e-commerce dan juga jumlah pembelinya yang mana juga terus tumbuh
dari tahun ke tahun, testimoni palsu merupakan sebuah ancaman yang dapat
merugikan perekonomian Indonesia sektor e-commerce dalam jumlah yang
besar pula. Meski belum ada studi lebih lanjut mengenai perkiraan pasti
kerugian yang dapat ditimbulkan oleh adanya testimoni palsu, dapat
diperkirakan potensinya sangat besar karena testimoni palsu sendiri kini telah
berubah menjadi bisnis yang menghasilkan.
Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai perlindungan konsumen telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Dalam Pasal 7 UUPK disebutkan kewajiban-kewajiban
pelaku usaha antara lain:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;

9
Dwi Murdaningsih, “Jaga Reputasi, Amazon Tuntut Ribuan Penulis Ulasan Palsu”,
https://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/15/10/19/nwgx1s368-jaga-reputasi-amazon-
tuntut- ribuan-penulis-ulasan-palsu, diakses 12 Oktober 2019.
10
Ibid.
11
“Internet World Stats Usage and Population Statistics”, https://www.internet
worldstats.com/asia.htm#id, diakses 12 Oktober 2019.
12
Andri Donnal Putera, “Jumlah Pembeli Online Indonesia Capai 11,9 Persen
Populasi,” https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/07/164100326/jumlah-pembeli-online-
indonesia-capai-119-persen-dari-populasi, diakses 12 Oktober 2019.
13
“Apa yang Diungkapkan Data tentang Pasar Online Indonesia dan Global?”,
https://academy.getcraft.com/id/blog/apa-yang-diungkapkan-data-tentang-pasar-online-indonesia
-dan-global, diakses 12 Oktober 2019.

UNIVERSITAS INDONESIA
6

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta


tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Berdasarkan isi dari pasal tersebut, testimoni palsu merupakan kejahatan
yang melanggar ketentuan dari Pasal 7 huruf a, b, dan c. Di mana pasal-pasal
tersebut pada prinsipnya mengatur kewajiban bagi pelaku usaha untuk beritikad
baik, atau yang artinya dapat dipersamakan dengan jujur. Pun dalam Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia telah dijelaskan bahwa
semua perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Adapun itikad baik
tersebut berupa patut dan tidak bertentangan dengan hukum. Testimoni palsu
merupakan perbuatan yang tidak patut dan bertentangan dengan hukum, karena
pada umumnya testimoni palsu ditulis oleh pelaku usaha sendiri atau oleh pihak
ketiga yang dibayar oleh pelaku usaha supaya menulis testimoni sesuai
keinginan pelaku usaha agar mendapatkan rating dan keuntungan.
Testimoni palsu pastinya akan membawa dampak tersendiri bagi
konsumen yang mengalami kerugian akibat ulasan palsu tersebut, dikarenakan
belum ada mekanisme yang khusus, konsumen hanya dapat mengandalkan
pelaporan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) atau menempuh
cara-cara penyelesaian sengketa yang diatur dalam UUPK. Menurut Pasal 45
ayat (1) UUPK,

UNIVERSITAS INDONESIA
7

Penyelesaian sengketa konsumen di mana setiap konsumen yang


dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.14

Lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan masalah sengketa


konsumen di luar pengadilan menurut Pasal 49 Bab XI UUPK adalah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penanganan dan penyelesaian sengketa yang
diberikan oleh BPKN dalam hal ini berupa melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi. Pun, BPKN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan
kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia. BPKN juga bertugas untuk memberikan sanksi administrasi bagi
pelaku usaha bertanggung jawab kepada konsumen yang merasa dirugikan
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah).
Selain melanggar ketentuan dalam UUPK, testimoni palsu terutama
dalam E-commerce juga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut
Pasal 45 A UU ITE dijelaskan bahwa,

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).15

14
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999,
LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, Pasal 45 ayat (1).
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor
19 Tahun 2016, LN No. 251 Tahun 2016, TLN No. 5952, Pasal 45A.

UNIVERSITAS INDONESIA
8

Pun, dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang


Perdagangan pada Pasal 65 ayat (1) berbunyi “Setiap Pelaku Usaha yang
memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.”16 Oleh
karena itu, testimoni palsu secara tidak langsung juga telah melanggar pasal di
atas, karena bentuk testimoni palsu pada dasarnya yaitu merupakan bentuk
testimony dengan memberikan informasi secara bohong/palsu.
Sebagai suatu stakeholder dalam mewujudkan perlindungan konsumen,
dijelaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait, serta dalam
rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan
Perlindungan Konsumen Nasional. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN) mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Dalam hal menangani testimoni palsu, pemerintah di Indonesia telah
memberikan perhatian khusus dengan mengeluarkan suatu peraturan. Peraturan
tersebut telah terwujud dalam UUPK, UU ITE, dan UU Perdagangan. Selain
turut serta dari pemerintah, diperlukan juga suatu dorongan dari lembaga terkait
seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Fungsi dari Badan
Perlindungan Konsumen Nasional yaitu:
1. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
2. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
3. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;

16
Indonesia, Undang-Undang tentang Perdagangan, UU Nomor 7 Tahun 2014, LN
No. 45 Tahun 2014, TLN No. 5512, Pasal 65 ayat (1).

UNIVERSITAS INDONESIA
9

4. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya


masyarakat;
5. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
6. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha; dan
7. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Merujuk dalam Pasal tersebut, untuk menanggulangi testimoni palsu
maka BPKN dapat memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah
dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
Namun dalam hal ini BPKN tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
peraturan-peraturan seperti halnya yang dilakukan oleh FTC dan ACCC. Selain
itu, BPKN juga dapat melakukan penelitian dan pengkajian terhadap barang/jasa
yang menyangkut keselamatan konsumen serta dapat memberikan informasi
mengenai testimoni palsu kepada masyarakat.
Selain BPKN, LPKSM juga memiliki tugas, yaitu menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta
kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. LPKSM
dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu
memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun
kelompok. Peraturan perundang-undangan di Indonesia umumnya tidak secara
tegas membuat pembatasan pengertian dan lingkup advokasi, termasuk PP
LPKSM. Berdasarkan pengertian advokasi yang diungkapkan para ahli maka
dapat diketahui bahwa advokasi adalah segala upaya pengerahan sumber daya
untuk membela, memajukan, bahkan mengubah tatanan kebijakan, kedudukan
atau program dari berbagai macam institusi. Adapun bentuk sumber daya yang
dikerahkan dalam rangka advokasi adalah:
1. Organisasi-organisasi demokratis yang kuat yang dibentuk dengan
memanfaatkan potensi kekuatan sosial dan politik yang tersedia, seperti
menggunakan pengaruh kekuatan tokoh masyarakat, institusi keagamaan,
institusi kepemudaan, kekuatan partai politik dan demonstrasi;

UNIVERSITAS INDONESIA
10

2. Organisasi akar rumput yang kuat dan pemberian pendidikan serta


pemberdayaan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat
sehingga dapat menjadi pembela-pembela yang efektif;
3. Penggunaan mekanisme formal institusi hukum dan struktur administrasi
yang ada, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
LPKSM tentunya dapat dimasukkan ke dalam kategori sumber daya
yang pertama karena biasanya yang tertarik untuk mendirikan LPKSM adalah
tokoh masyarakat yang peduli dengan permasalahan konsumen. Mereka
biasanya dari golongan pengacara, akademisi, tokoh adat dan agama, seperti
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI).
Oleh karena itu, Indonesia telah memiliki dua lembaga di bawah
pemerintah untuk mengatasi permasalahan sengketa dalam hal perlindungan
konsumen. Namun, akan lebih baik jika Indonesia memiliki lembaga independen
yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan regulasi terkait perlindungan
konsumen. Dan, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlu diingat kembali bahwa salah
satu faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
akan haknya memang masih sangat rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh
kurangnya kesadaran dari pihak konsumen itu sendiri akan rendahnya
pendidikan konsumen yang ada. Oleh karena itu, undang-undang terkait
perlindungan konsumen menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah
dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pendidikan dan pembinaan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini sangat penting, karena pada kenyataannya
masyarakat memegang teguh prinsip yang mengatakan, mendapatkan
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.
Prinsip tersebut pada dasarnya juga membuat boomerang bagi masyarakat
Indonesia karena akan merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa jelas dikatakan yang diperlukan
untuk meningkatkan perlindungan konsumen adalah dengan meningkatkan

UNIVERSITAS INDONESIA
11

kesadaran dari para pelaku usaha itu sendiri dan kesadaran bagi para konsumen
akan haknya yang masih sangat rendah. Upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen
secara integratif dan komprehensif, tetapi juga perlu peraturan pelaksanaannya
seperti halnya pembinaan aparat, pranata dan perangkat-perangkat yudikatif,
administratif dan edukatif, serta sarana dan prasarana penunjang lainnya, agar
nantinya peraturan perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif di
masyarakat. Sehingga penelitian "Analisis Perlindungan Hukum bagi Konsumen
dalam Transaksi E-commerce terhadap kasus Testimoni Palsu" dimaksudkan
untuk menjawab tantangan mengenai payung hukum yang tersedia serta
penegakkan aturan hukum atas testimoni palsu bagi konsumen digital pengguna
e-commerce.

b. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut, pokok-pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagaimana payung hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
melaksanakan transaksi e-commerce terhadap kasus testimoni palsu
yang diberikan oleh penjual?
2. Bagaimana penegakan dalam hukum perlindungan konsumen
khususnya terhadap kasus testimoni palsu yang dilakukan oleh penjual
dalam transaksi e-commerce?

B. TUJUAN PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian, peneliti memiliki tujuan umum dan khusus,
yakni:
1. Tujuan Umum
Penelitian ini menganalisis mengenai payung hukum dan bentuk
penegakan hukum kepada konsumen dalam melakukan transaksi e-
commerce di masa globalisasi teknologi yang semakin berkembang.
Dengan hal ini, diharapkan peneliti memahami payung hukum dan

UNIVERSITAS INDONESIA
12

penegakan hukum untuk konsumen khususnya dalam kasus testimoni palsu


dalam transaksi e-commerce.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui penerapan payung hukum kepada konsumen dalam
melaksanakan transaksi e-commerce terhadap kasus testimoni palsu
yang diberikan oleh penjual;
2. Memahami bentuk penegakan hukum dalam upaya perlindungan
konsumen khususnya terhadap kasus testimoni palsu yang dilakukan
oleh penjual dalam transaksi e-commerce.

C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Judul Buku : Hukum Tentang Perlindungan Konsumen
Nama Pengarang : Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
Cetakan : Satu
Jumlah Halaman : 202 halaman
Impresum : Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
Uraian Singkat : Buku ini memberikan pemahaman sejarah dan
definisi dari hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Lebih jauhnya
buku ini menjabarkan mengenai hak dan kewajiban serta larangan bagi
pelaku usaha, mengenai perjanjian, pertanggung jawaban pelaku usaha
kepada konsumen, penyelesaian sengketa, ketentuan sanksi, serta badan
perlindungan konsumen dana LSM di bidang tersebut. Terdapat
kelebihan dan kekurangan dari buku. Kelebihan dari buku ini adalah
luasnya cakupan materi yang dibahas dalam satu buku. Penulis berhasil
meberikan gambaran lengkap mengenai materi hukum perlindungan
konsumen. Walaupun demikian pembahasan yang dibahas di dalam buku
ini bersifat umum dan tidak terlalu mendalam. Kekurangan dari buku ini
adalah kualitas kertasnya yang tidak begitu kuat (cenderung mudah
robek). Namun untuk sampulnya, mengingat ini cetakan tahun 2000
dapat dikatakan cukup baik hingga saat ini.17

17
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cet.
1, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000).

UNIVERSITAS INDONESIA
13

2. Judul Buku : Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif


Perlindungan Konsumen
Nama Pengarang : Taufik H. Simatupang
Cetakan : Satu
Jumlah Halaman : 142 halaman
Impresum : Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004
Uraian Singkat : Buku ini memberikan pemahaman perihal aspek
hukum periklanan di Indonesia. Buku ini juga mengaitkan bagaimana
periklanan berkaitan pula dengan aspek hukum perlindungan konsumen.
Buku ini hanya membahas salah satu aspek penting dari hukum
perlindungan konsumen pada saat ini, yaitu mengenai periklanan. Buku
ini memberikan gambaran berupa perbandingan hukum periklanan
dengan hukum perlindungan konsumen. Selain itu buku ini juga
membandingkan dengan ketentuan konvensi-konvensi internasional
secara singkat. Namun kekurangan dari buku ini cenderung hanya
memaparkan dasar-dasar hukumnya saja, tidak terlalu memfokuskan
pada teori atau analisa pandangan penulis atau kritiknya terhadap
ketentuan-ketentuan tertentu. Kemudian berkenaan dengan fisik dari
buku ini, secara umum dapat dikatakan cukup baik. Kertas yang
digunakan cukup tebal, mengingat buku dicetak pada tahun 2004,
peneliti mendapati buku ini tidak memiliki kecacatan dari aspek kertas.18

3. Judul Buku : Kompilasi Hukum Telematika


Nama Pengarang : Edmon Makarim, SH, S.Kom
Cetakan : Satu
Jumlah Halaman : 630 halaman
Impresum : Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003
Uraian Singkat : Buku ini memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan hukum
telematika. Pembahasan buku ini dimulai dari pengertian dasar tentang
informasi dan komunikasi, perkembangannya hingga aspek hukum
18
Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan
Konsumen, Cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).

UNIVERSITAS INDONESIA
14

telekomunikasi itu sendiri serta singgungannya dengan aspek hukum


lainnya. Salah satu aspek bahasan yang berkaitan dengan bahasan
penulisan dalam buku ini ialah pemahaman mengenai kaitan hukum
telekomunikasi dengan hukum perikatan, perlindungan konsumen, serta
pidana. Buku ini berhasil menyajikan pembahasan hukum telematika
dengan bahasa yang mudah dimengerti. Selain itu penulis berhasil
memberikan materi yang mendalam pada setiap pembahasan aspek
hukum yang dikaitkan oleh hukum telematika. Kemudian berkenaan
dengan fisik buku, dapat dikatakan buku ini sangat baik. Kertas yang
digunakan adalah kertas tebal yang tidak mudah rusak. Sampul dari buku
ini yang digunakan oleh peneliti adalah hardcover dalam kondisi yang
sangat baik. Secara umum buku ini dari aspek fisik maupun substansi
sangat membantu peneliti.19

4. Judul Buku : Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-


Commerce Perspektif Hukum Nasional dan Internasional
Nama Pengarang : Acep Rohendi
Jumlah Halaman : 16 halaman
Impresum : Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004
Uraian Singkat : Buku ini memberikan pemahaman perihal aspek
hukum periklanan di Indonesia. Buku ini juga mengaitkan bagaimana
periklanan berkaitan pula dengan aspek hukum perlindungan konsumen.
Buku ini hanya memberikan gambaran umum mengenai E-Commerce
dan mengaitkannya dengan hukum positif Indonesia serta dengan
perbandingan ketentuan-ketentuan Internasional. Pembahasan dalam
buku ini tidak diulas secara mendalam, namun cukup untuk memberikan
gambaran besarnya bagi peneliti. Dari segi fisik, buku ini tidak terlalu
baik. Halaman dan sampul yang digunakan dalam buku ini bukan kertas
dengan kualitas yang baik. Sehingga ketika mendapati buku ini, peneliti

19
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003).

UNIVERSITAS INDONESIA
15

mengalami kesulitan membaca halaman-halaman tertentu karena adanya


bagian yang sudah robek.20

5. Judul Buku : Marketing Celebrities


Nama Pengarang : Frans M Royan
Jumlah Halaman : 228 halaman
Impresum : Jakarta, PT Elex Media Komputindo
Uraian Singkat : Buku ini memberikan gambaran baru bagi
penulis dalam hal periklanan di era modern yang mengedepankan
teknologi. Buku ini menjelaskan aspek-aspek dunia periklanan berupa
perkembangan dan aspek positif serta negatif dunia marketing berkaitan
dengan maraknya online market. Buku ini tidak memberikan penjelasan
mengenai aspek hukum perlindungan konsumen atau periklanan secara
langsung, namun buku ini memberikan pemahaman mengenai aspek
periklanan dari perspektif ekonomi. Bahasa dan struktur penyajian dari
buku ini membuat materi yang disampaikan mudah dimengerti bagi
penulis. Dari segi fisik buku ini dapat dikatakan cukup baik. Kertas yang
digunakan tebal sehingga tidak mudah rusak.21

D. DEFINISI OPERASIONAL
Dalam rangka memberikan arah pembahasan yang jelas dalam penelitian
hukum ini, maka penulis akan memberikan beberapa definisi operasional
terhadap istilah-istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini,
sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam penelitian dan pembahasan ruang
lingkup penelitian, sebagai berikut:
Istilah-istilah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penelitian ini, yakni:22
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.23

20
Acep Rohendi, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-Commerce Perspektif
Hukum Nasional dan Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).
21
Frans M. Royan, Marketing Celebrities, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, s. a.).
22
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999,
LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821.

UNIVERSITAS INDONESIA
16

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.24
3. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen.25
4. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hokum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.26
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.27
6. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh
Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan
28
konsumen.
7. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.29
8. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) adalah badan yang
dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan
konsumen.30

23
Ibid., Pasal 1 angka 1.
24
Ibid., Pasal 1 angka 2.
25
Ibid., Pasal 1 angka 3.
26
Ibid., Pasal 1 angka 4.
27
Ibid., Pasal 1 angka 5.
28
Ibid., Pasal 1 angka 9.
29
Ibid., Pasal 1 angka 11.
30
Ibid., Pasal 1 angka 12.

UNIVERSITAS INDONESIA
17

Selain, istilah yang digunakan dalam UU Perlindungan Konsumen,


adapula istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Istilah-istilah tersebut berupa:31

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,


termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
32
memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.33
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis,
dan/atau menyebarkan informasi.34
4. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.35
5. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui
Sistem Elektronik.36
6. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.37
7. Orang adalah perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara
asing, maupun badan hukum.38

31
Indonesia, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor
19 Tahun 2016, LN No. 251 Tahun 2016, TLN No. 5952.
32
Ibid., Pasal 1 angka 1.
33
Ibid., Pasal 1 angka 2.
34
Ibid., Pasal 1 angka 3.
35
Ibid., Pasal 1 angka 5.
36
Ibid., Pasal 1 angka 17.
37
Ibid., Pasal 1 angka 18.

UNIVERSITAS INDONESIA
18

8. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan


persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.39

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian diibaratkan sebagai sebuah “blue print” atau pedoman
bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Dalm menyusun metode penelitian
terdapat beberapa hal yang perlu ditentukan, yaitu bentuk penelitian, tipologi
penelitian, jenis data, alat pengumpulan data, dan analisa data.
Bentuk penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah penelitian normatif. Penelitian normatif atau yang kerap disebut
penelitian kepustakaan adalah penelitian untuk menyelidiki makna peristiwa
hukum dalam pendekatan hukum itu sendiri guna memperoleh simpulan yang
menguatkan atau mengubah persepsi hukum. Dalam penelitian normatif terdapat
berbagai jenis penelitian yang dapat dilakukan, diantaranya yaitu penelitian
menarik asas hukum, penelitian sistematik hukum, penelitian taraf sinkronisasi
peraturan perundang-undangan, penelitian perbandingan hukum, dan penelitian
sejarah hukum. Fokus penelitian ini adalah pada penelitian sistematik hukum
terhadap ketentuan mengenai pemberian testimoni palsu dalam transaksi E-
Commerce. Dimana pada penelitian ini peneliti akan membahas aspek dasar
dalam sistematika hukum, yaitu subjek hukum, hak dan kewajiban hukum,
peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum.
Aspek lain yang perlu dibahas dalam metode penelitian adalah mengenai
tipologi penelitian. Hal ini bertujuan untuk membantu peneliti dalam kegiatan
pengumpulan dan analisa data. Tipologi penelitian dapat dikelompokan menjadi
5 hal, yaitu berdasarkan sifat, bentuk tujuan, penerapan, dan ilmu yang
digunakan. Sebuah penelitian berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu penelitian eksploratoris, deskriptif, dan eksplanatoris. Maka berdasarkan
sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu indvidu, keadaan,
gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.
38
Ibid., Pasal 1 angka 21.
39
Ibid., Pasal 1 angka 22.

UNIVERSITAS INDONESIA
19

Berkaitan dengan penelitian ini, penelitian memfokuskan untuk menggambarkan


suatu femomena testimoni palsu dalam platform E-Commerce secara lebih
mendalam dan menunjukan bagaimana aspek hukum didalamnya. Selanjutnya
berdasarkan bentuknya, penelitian terbagi menjadi 3 jenis, yaitu penelitian
diagnostis, preskriptif, dan evaluatif. Berdasarkan bentuknya, penelitian ini
jenisnya adalah preskriptif atau penelitian yang bertujuan untuk memberikan
jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan. Kemudian berdasarkan
tujuannya, penelitian sebuah penelitian dibagi menjadi 4 jenis, yaitu penelitian
fact-finding, problem-finding, problem identification, dan problem solution.
Sehingga berdasarkan tujuannya, jenis penelitian ini adalah problem solution.
Hal ini sejalan dengan tipologi penelitian berdasarkan bentuk yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan jalan
keluar bagi permasalahan. Dikatakan demikian karena substansi dari penelitian
ini adalah untuk menganalisa perlindungan hukum terhadap masalah testimoni
palsu dalam transaksi E-Commerce yang dapat menjadi solusi bagi para pihak
yang terlibat dalam kasus tersebut. Kemudian penelitian yang dilihat dari sudut
penerapannya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu penelitian murni, berfokus
masalah, dan terapan. Dan aspek tipologi penelitian lainnya adalah berdasarkan
ilmu yang digunakan, dimana dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu mono disipliner,
multi disipliner, dan inter disipliner. Jenis penelitian ini berdasarkan ilmu yang
dipergunakan adalah penelitian inter-disipliner. Hal ini dikarenakan dalam
menyusun penelitian ini, peneliti tidak dapat mengenyampingkan penggunaan
disiplin ilmu lain selain ilmu hukum, seperti ilmu ekonomi dan ilmu Informasi
dan Teknologi. Namun dalam penyusunan penelitian ini, peneliti tetap
menggunakan satu metode, yaitu penelitian normatif.
Kemudian aspek penting lainnya yang menunjang sebuah penelitian
adalah data. Secara garis besar data dibagi menjadi 2 jenis, yaitu data sekunder
dan data. Data primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara langsung
dari masyarakat. Data primer ini umumnya digunakan dalam hal peneliti hendak
meneliti perilaku hukum dari warga masyarakat. Kemudian data sekunder adalah
data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Dalam penelitian hukum, jenis
data sekunder terbagi menjaid 2, yaitu data sekunder hukum dan non hukum.

UNIVERSITAS INDONESIA
20

Data sekunder hukum kemudian terbagi lagi berdasarkan kekuatan mengikatnya,


yaitu sumber primer, sekunder, dan tersier. Sumber hukum primer adalah
sumber hukum yang bersifat mengikat. Pada penelitian ini, sumber hukum
primer yang digunakan adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan
Yurisprudensi. Selanjutnya sumber hukum sekunder bertujuan untuk
menjelaskan sumber hukum primer. Dalam penelitian ini sumber hukum
sekunder yang digunakan adalah artikel ilmiah, buku, skripsi, tesis, dan disertasi.
Selanjutnya adalah sumber hukum tersier yang bertujuan memberikan
penjelasan terhadap sumber hukum primer dan sekunder. Pada penelitian ini
sumber hukum tersier yang digunakan adalah kamus dan penerbitan pemerintah.
Setelah menentukan jenis data yang akan digunakan, maka langkah
selanjutnya adalah menentukan alat pengumpulan data. Sesuai dengan metode
penelitian yang dipilih peneliti yaitu penelitian normatif, maka alat pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.
Selanjutnya berkaitan dengan metode yang digunakan untuk melakukan
analisa data, secara umum terbagi atas dua, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
Pada penelitian, analisa data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif adalah cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis. Ciri
pendekatan kualitatif adalah bersifat eksploratoris-deskriptif, induktif-deduktif,
penggunaan teori terbatas, variable ditemukan setelah berjalannya pengolahan
data, dan lebih terhadap kasus tertentu.

F. KEGUNAAN TEORITIS DAN PRAKTIS


a. Adapun kegunaan teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut:
Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan dalam pengembangan
payung hukum sebagai suatu tindakan penegakkan hukum bagi konsumen
terhadap penjual yang bertitikad buruk pada suatu e-commerce yang
keberadaannya tidak dapat dilihat secara kasat mata. Dalam hal ini
perlindungan konsumen khususnya dan masyarakat umumnya terhadap
testimoni palsu yang akan merugikan masyarakat. Serta menajadi nilai
tambah ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan maupun dalam
pergaulan bermasyarakat.

UNIVERSITAS INDONESIA
21

b. Adapun kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:


i. Bagi mahasiswa fakultas hukum khususnya dan mahasiswa umumnya
dapat menjadi referensi serta landasan untuk mengkaji mengenai
perlindungan hukum terhadap konsumen dalam e-commerce terutama
mengenai testimoni palsu;
ii. Bagi Peneliti, peneliti mampu menganalisis dan mengidentifikasi
mengenai hal-hal yang perlu diatur sebagai payung hukum guna
penegakkan hukum yang ada terhadap konsumen dalam e-commerce
terutama mengenai testimoni palsu sekaligus mengevaluasi hal-hal
yang sudah ada namun perlu diperbaiki;
iii. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menjadi bahan penambah ilmu
pengetahuan serta menjadi acuan untuk berhati-hati dalam
menggunakan dan memanfaatkan teknologi yang semakin canggih
khususnya dalam menjadikan testimoni yang terdapat di e-commerce
menjadi dasar bertransaksi secara online.

G. BIAYA PENELITIAN

No. Uraian Kegiatan Biaya Yang Diusulkan


Per Unit Total
1. Pengumpulan Data dan Sumber Rp1.500.000,00 Rp1.500.000,00
Pustaka @1
2. Transportasi Taksi @ 4 @Rp250.000,00 Rp1.000.000,00
3. Honorarium Narasumber Ahli @ @Rp1.000.000,00 Rp2.000.000,00
2
4. Honorarium Narasumber @10 @300.000,00 Rp3.000.000,00
5. Akses Portal “eCLIS.id” @ 1 @1.500.000,00 Rp1.500.000,00
6. Kertas A4 @500 @150,00 Rp75.000,00
7. Tinta Printer/Cartridge @3 @100.000,00 Rp300.000,00
8. FGD Hasil Penelitian @1 @2.500.000,00 Rp2.500.000,00
Jumlah Biaya Rp11.875.000,00

UNIVERSITAS INDONESIA
22

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.

Mamudji, Sri. dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. Pertama. Depok:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Rohendi, Acep. Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-Commerce Perspektif


Hukum Nasional dan Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Royan, Frans M. Marketing Celebrities. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,


2005.Simatupang, Taufik H. Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif
Perlindungan Konsumen. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 2. Jakarta: UI Press 1982.

. dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Ed. 1. Cet. 19. Depok: Rajawali
Pers, 2019.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Cet. 1.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Jurnal
Agustina, Lidya. dkk. “Online Review: Indikator Penilaian Kredibilitas Online dalam
Platform E-commerce.” Jurnal Ilmu Komunikasi (2018). Vol. 15, No 2. Hlm.
141-154.
Wijaya, Bambang Sukma.”Korupsi Komunikasi Dalam Dimensi Pesan, Media, Konteks
Dan Perilaku: Sebuah Proposisi Teoretis Untuk Riset.” Journal Communication
Spectrum (2013). Vol. 3 No. 1. Hlm. 6-7.

Internet
Academy. “Apa yang Diungkapkan Data tentang Pasar Online Indonesia dan Global?”
https://academy.getcraft.com/id/blog/apa-yang-diungkapkan-data-tentang-pasar-
online-indonesia-dan-global. Diunduh pada 12 Oktober 2019.

Internet World Stats. “Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics
and Facebook Subscribers.” https://www.internetworldstats.com/asia.htm#id.
Diunduh pada 12 Oktober 2019.

Liu, Bing, Arjun Mukherjee, Natalie Glance. “Spotting Fake Reviewer Groups in
Consumer Reviews.” https://www.cs.uic.edu/~liub/publications/WWW-2012-
group-spam-camera-final.pdf. Diunduh pada 11 Oktober 2019.

Murdaningsih, Dwi. “Jaga Reputasi, Amazon Tuntut Ribuan Penulis Ulasan Palsu.”

UNIVERSITAS INDONESIA
23

https://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/15/10/19/nwgx1s368-jaga-
reputasi
-amazon-tuntut- ribuan-penulis-ulasan-palsu. Diunduh pada 12 Oktober
2019.

Murphie, Rose. “Local Consumer Review Survey | Online Reviews Statistics &
Trends.” https://www.brightlocal.com/research/local-consumer-review-survey/.
Diunduh 11 Oktober 2019.

Putera, Andri Donnal. “Jumlah Pembeli Online I0ndonesia Capai 11,9 Persen
Populasi.”https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/07/164100326/jumlah-
pembeli-online-indonesia-capai-119-persen-dari-populasi. Diunduh pada 12
Oktober 2019.

Supargo, Albert. “Jangan Nekat Bikin Ulasan Palsu di TripAdvisor, Ini Hukumannya.”
https://travel.kompas.com/read/2019/09/24/200000827/-jangan-nekat-bikin-
ulasan-palsu-di-tripadvisor-ini-hukumannya-?page=all. Diunduh pada 12
Oktober 2019.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun
1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.

________. Undang-Undang tentang Perdagangan. UU Nomor 7 Tahun 2014. LN No.


45 Tahun 2014. TLN No. 5512.

________. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU Nomor 19


Tahun 2016. LN No. 251 Tahun 2016. TLN No. 5952.

________. Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan


Teknologi Finansial. PBI Nomor 19/12/PBI/2017. LN No. 245 Tahun 2017.

UNIVERSITAS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai