Anda di halaman 1dari 222

RESPON AGRONOMIS PADI GOGO LOKAL KULTIVAR WAKAWONDU

TERHADAP BOKASHI DAN CAMPURAN PUPUK N, P, K


PADA LAHAN JENUH AIR

DISERTASI

OLEH
L.M. JALIL SILEA
G3IP 013 006

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
i
RESPON AGRONOMIS PADI GOGO LOKAL KULTIVAR WAKAWONDU
TERHADAP BOKASHI DAN CAMPURAN PUPUK N, P, K
PADA LAHAN JENUH AIR

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor


pada Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana
Universitas Halu Oleo

OLEH
L.M. JALIL SILEA
G3IP 013 006

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
ii
HALAMAN PENGESAHAN

RESPON AGRONOMIS PADI GOGO LOKAL KULTIVAR


WAKAWONDU TERHADAP BOKASHI DAN CAMPURAN
PUPUK N, P, K PADA LAHAN JENUH AIR

L.M. JALIL SILEA


G3 IP 013 006

DISERTASI

Prof. Ir. H. Sahta Ginting, M.Agr.Sc. Ph.D


Promotor

Dr. Ir. H. Sarawa, M.S Prof. Dr. Ir. La Ode Safuan, M,P
Ko-Promotor Ko- Promotor

Telah disetujui oleh:

Ketua Prog. Studi Ilmu Pertanian (S3)

Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si


NIP. 1969 0606 199303 2 001

iii
REFLEKSI

“Wal baladuth thayyibu yakhruju nabaatuhuu bi idzni rabbihii wal ladzii


khabutsa laa yakhruju illa nakidan”

Dan dari tanah yang subur dihasilkan tetanaman yang produktif dengan izin
Allah, dan dari tanah yang tidak subur tidak dihasilkan kecuali dengan payah
(Surah Al-A’raaf : 58)

iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : L.M. Jalil Silea

Nomor Induk Mahasiswa : G3IP 013 006

Program Studi : Ilmu Pertanian

Konsentrasi : Agronomi

Program Pendidikan : Doktor

Universitas : Halu Oleo – Kendari

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa kajian disertasi ini adalah karya akademik asli dari
penulis. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa sebahagian atau seluruh disertasi
ini ternyata di dalamnya ditemukan ada unsur karya orang lain atau kepalsuan (plagiat), maka
penulis bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan atau perundangan yang berlaku.

Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kendari, 28 Desember 2018

Yang Membuat Pernyataan,

L.M. JALIL SILEA


NPM. G3IP 013 006

v
HALAMAN IDENTITAS PENGUJI

Ketua Tim Penguji


Prof. Dr. Ir. R. Marzuki Iswandi, M.Si (Direktur Pascasarjana UHO)

Sekretaris
Prof. Dr. Ir. Muhidin, M.Si (Wakil Direktur Pascasarjana UHO)

Promotor
Prof. Ir. H. Sahta Ginting, M.Agr.Sc. Ph.D

Co – Promotor
Dr. Ir. H. Sarawa, M.S

Co – Promotor
Prof. Dr. Ir. La Ode Safuan, M.P

Penguji External
Dr. Ir. H. Radian, M.S

Penguji Kehormatan
Prof. Dr. Muhammad Zamrun, S.Si., M.Si., M.Sc

Anggota Tim Penguji

Prof. Dr. Ir. Andi Bahrun, M.Sc.Agr

Prof. Dr. Ir. Gusti Ray Sadimantara, M.Agr

Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si

Prof. Dr. Ir. M. Tufaila, M.P

Dr. Ir. Fransiscus S. Rembong, M.Sc

vi
ABSTRAK

L.M. JALIL SILEA: G3IP 013 006. Program Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana
Universitas Halu Oleo. Respon Agronomis Padi Gogo Kultivar Wakawondu terhadap
Kompos Bokashi dan Campuran Pupuk N-P-K pada Lahan Jenuh Air. Promotor: Sahta
Ginting, Co-Promotor I: Sarawa Mamma, dan Co-Promotor II: La Ode Safuan.

Percobaan dilakukan di lahan sawah kering Kelurahan Ngkaringngkaring Kota Baubau.


Tujuan penelitian ini adalah, (i) untuk mengetahui pengaruh interaksi aplikasi kompos
bokashi dan campuran pupuk N-P-K terhadap respon agronomi padi gogo Wakawondu yang
dibudidaya pada lahan jenuh air, (ii) untuk mengukur pengaruh mandiri dari aplikasi kompos
bokashi dan campuran pupuk N-P-K terhadap respon agronomis padi gogo Wakawondu yang
dibudidaya pada lahan jenuh air, dan (iii) untuk menemukan dosis terbaik dari aplikasi
kompos bokashi dan campuran pupuk N-P-K dalam rangka meningkatkan respon agronomis
dari padi gogo Wakawondu yang dibudidayakan pada lahan jenuh air. Percobaan disusun
menggunakan rancangan petak terbagi dalam rancangan acak kelompok dimana dosis
kompos bokashi sebagai petak utama dan campuran pupuk N-P-K sebagai anak petak.
Parameter pengamatan adalah: jumlah anakan padi, tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun,
kandungan klorofil, jumlah anakan produktif, hari berbunga, panjang malai, jumlah gabah per
malai, persentase gabah isi per malai, indeks panen, indeks luas daun, laju pertumbuhan
relatif, laju asimilasi bersih, luas daun spesifik, nisbah pupus akar, dan kandungan N-P-K
pada jaringan daun. Hasil penelitian menunjukan bahwa interaksi antara kompos bokashi dan
campuran pupuk N-P-K berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah per malai, kandungan
klorofil daun, dan serapan N dan K. Secara mandiri, kompos bokashi nyata meningkatkan
kadar klorofil daun, jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, persentase gabah
berisi, berat 1000 butir gabah, produktivitas gabah kering giling, laju asimilasi bersih, dan
serapan hara N, P, K. Secara mandiri campuran pupuk N-P-K nyata meningkatkan jumlah
anakan padi, jumlah daun, tinggi tanaman, luas daun, kandungan klorofil daun, anakan
produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, berat 1000
butir padi, produktivitas gabah kering giling, indeks luas daun, laju pertumbuhan relatif, dan
serapan hara N, P, K. Aplikasi 8 ton ha-1 kompos bokashi dan 100% dosis anjuran pupuk N,
P, K (250 kg Urea + 125 kg Sp-36 + 100 kg KCl) adalah dosis terbaik untuk respon
agronomis padi gogo kultivar Wakawondu terhadap kompos bokashi dan campuran pupuk N-
P-K pada lahan jenuh air. Disarankan untuk meningkatkan dosis kompos bokashi dan
campuran pupuk N-P-K untuk mendapatkan dosis optimal.

Kata kunci: kompos bokashi, pupuk N,P,K, jenuh air, Wakawondu, padi gogo

vii
ABSTRACT

L.M. JALIL SILEA: G3IP 013 006, Doctoral Program in Agricultural Science, Postgraduate
Program of Halu Oleo University. The Agronomic Response of the upland rice of
Wakawondu cultivar on bokashi compost and mixed N-P-K fertilizer at land saturated water.
Promotor: Sahta Ginting, Co-Promotor I: Sarawa Mamma, and Co-Promotor II: La Ode
Safuan.

The experiment was conducted in the field area of upland rice at Ngkaringngkaring Village of
Baubau City. The study aims: (i) to investigate the effect of interaction of bokashi compost
and mixed N-P-K fertilizer applications on agronomic responses of Wakawondu upland rice
cultivated at land saturated water, (ii) to measure the individual effects of the application of
bokashi compost and mixed N-P-K fertilizer on agronomic responses of Wakawondu upland
rice cultivated at land saturated water, and (iii) to discover the best rate of the application of
bokashi compost and mixed N-P-K fertilizer in order to improve agronomic responses of
Wakawondu upland rice cultivated at land saturated water. The experimental was arranged
using split plot in randomized block design, where rate of bokashi compost as main plot and
mixed N-P-K fertilizer as subplot. Observation parameters were: number of rice tillers, plant
height, leaf number, leaf area, chlorophyll content, number of productive tillers, days of
flowering, panicle length, unhulled rice per panicle, percentage of filled unhulled rice, rice
grain weight per panicle, weight of 1000 rice grain, production of dried unhulled rice, harvest
index, leaf area index, growth relative rate, netto assimilation rate, specific leaf area, root
stem ratio, and content of N-P-K in leaf tissue. The result showed that interaction between
bokashi compost and mixed N-P-K fertilizer significantly affected the number of unhulled
rice per panicle, leaf chlorophyll content and sorption of N and K. Individual bokashi
compost significantly increased leaf chlorophyll content, number of tillers productive,
number of unhulled rice per panicle, percentage of filled unhulled rice, weight of 1000 rice
grain, production of unhulled rice, netto assimilation rate, and sorption of N, P, K nutrients.
Individual mixed N-P-K fertilizer significantly enhanced number of rice tillers, leaf number,
plant height, leaf area, chlorophyll content, rice tillers productive, panicle length, number of
unhulled rice per panicle, percentage of filled unhulled rice per panicle, weight of 1000 rice
grain, production of unhulled rice, leaf area index, relative growth rate, and sorption of N, P,
K nutrients. The application of 8 ton ha-1 bokashi compost and 100% standard rate of N, P, K
fertilizer application (250 kg Urea + 125 kg SP-36 + 100 kg KCl) was the best rate of the
application for agronomic response of the upland rice of Wakawondu cultivar on bokashi
compost and mixed N-P-K fertilizer at land saturated water. It is recommended to increase
the rate of application of bokashi compost and mixed N-P-K fertilizer to obtain the optimum
rate.

Key words: bokashi compost, N,P,K fertilizer, saturated water, Wakawondu, upland rice

viii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Rabbil Allamin.


Puji syukur kepada Allah subhana wataallah tentunya dan kepada RasulNya
Muhammad Saw, karena dengan ridha dan petunjukNya sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan. Disertasi ini berjudul “Respon Agronomis Padi Gogo Lokal Kultivar
Wakawondu Terhadap Bokashi dan Campuran Pupuk N, P, K Pada Lahan Jenuh Air”.
Penelitian ini mengkaji bagaimana respon agronomis padi gogo lokal kultivar Wakawondu
yang diberi bokashi dan pupuk N,P,K serta interaksi antara bokashi dan campuran pupuk N,
P, K yang dibudidaya pada lahan jenuh air.
Hasil dari penelitian ini adalah didapatkannya suatu informasi mengenai pengaruh
bokashi dan pupuk N, P, K serta interaksi keduanya dalam memengaruhi proses agronomis
tanaman padi Wakawondu di lahan jenuh air. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah koleksi plasma nutfah kultivar-kultivar padi gogo lokal yang sudah hampir punah
keberadaannya, bahkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pengujian dan perbanyakan
genetik padi gogo kultivar lokal yang spesifik dengan kondisi lokal untuk dikembangkan.
Disadari bahwa tulisan ini masih diliputi dengan segalah kekurangan dan untuk itu
kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan.
Terimakasi kepada pihak-pihak yang telah menjadi sumber-sumber bacaan dan informasi
serta pihak yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini.

Kendari, Desember 2018

Penulis

ix
UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillahirabbilalamin...atas rahmat dan hidayah Allah SWT sehingga penelitian hingga


penyusunan Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul “Respon Agronomis
Padi Gogo Lokal Kultivar Wakawondu Terhadap Bokashi dan Campuran Pupuk
N,P,K pada Lahan Jenuh Air”.
Disertasi ini merupakan sebuah karya monumental saya. Kendati demikian, karya yang
sangat berharga ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu,
izinkanlah saya untuk menyampaikan terimakasih kepada:
1. Rektor UHO, Prof. Dr. Muhamad Zamrun, S.Si., M.Si., M.Sc
2. Rektor Unidayan, Ir. H. L.M. Sjamsul Qamar, M.T
3. Direktur Program Pascasarjana UHO, Prof. Dr. Ir. R. Marzuki Iswandi, M.Si
4. Dekan Fakultas Pertanian Unidayan, Ir. Musrif, M.P
5. Kementrian Ristek Pendidikan Tinggi atas bantuan Hibah Disertasi Doktor yang
diberikan
6. Prof. Ir. H. Sahta Ginting, M.Agr.Sc., Ph.D selaku Promotor
7. Dr. Ir. H. Sarawa Mamma, M.S, selaku Co-Promotor I
8. Prof. Dr. Ir. La Ode Safuan, M.P, selaku Co-Promotor II
9. Dr. Ir. H. Radian, MS, Selaku Penguji External
10. Prof. Dr. Ir. Andi Bahrun, M.Sc.Agr, Selaku Penguji
11. Prof. Dr. Ir. Gusti Ray Sadimantara, M.Agr, Selaku Penguji
12. Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si, Selaku P enguji
13. Prof. Dr. Ir. M. Tufaila, M.P, Selaku Penguji
14. Dr. Ir. Fransiscus S. Rembon, M.Sc, Selaku Penguji
15. Hasfiah, SP., M.P, Anggia, SP., M.P, Imran, SP, yang banyak membantu dalam
penelitian ini baik moril maupun material.
16. Rekan-rekan saya, Sri Yuniati, SP., M.P, Nur Sakina, SP., M.P, Badaria, S.Si., M.Sc,
Peliyarni, SP., M.P. dan Marzia, S.Sos.
17. Mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian Unidayan yang tidak sempat saya
sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya dalam proses pengamatan dan
pengambilan data.
18. Saudara-saudara saya, L.M. Nasrun Silea, Wa Ode Yusmina Silea, B.Sc., Wa Ode

x
Harlina Silea, Wa Ode Muslinang Silea, S.Pd., M.Pd, L.M. Irman Silea, S.Pd., M.Pd,
Drs. Mashuri, M.Pd, La Ode Iriama, S.Pd., La Ode Asman, SE., M.Si., Eti Nursanti,
dan dr. Wa Ode Nurul Husna. Terimakasih atas segala bantuan moril maupun
materialnya.
19. Teristimewa buat istri tercinta, Sahariani, S.Pd dan anak-anak saya, Wa Ode Leady
Fitriyani J Silea, S.E., Wa Ode Melvy Agrina J Silea, L.M. Ivan Al Vadil J Silea, Wa
Ode Anindya Faragita Silea, dan Wa Ode Natasya Febrylyzya Silea, kesabaran,
pengertian, dan ketabahan dalam memberi dukungan dalam segala hal sehingga studi
saya dapat diselesaikan. Penuh haru semua itu saya haturkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya untuk kalian yang kusayangi dan kucintai.
20. Kepada semua pihak yang telah membantu baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung dalam proses penyelesaian studi ini, saya ucapkan terimakasih banyak.

Kendari, Desember 2018

Penulis

xi
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................................... i


HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN REFLEKSI ........................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA DISERTASI .............................................. v
HALAMAN IDENTITAS PENGUJI ....................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xviii
BIOGRAFI PENELITI ........................................................................... xx

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 7
1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty) ....................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10


2.1 Karakteristik Lahan Kering ............................................................. 10
2.2 Karakteristik Lahan Sawah ............................................................. 13
2.3 Media Tanam ........................................................................... 18
2.4 Peranan Pupuk bagi Tanaman ......................................................... 22
2.5 Pupuk N, P, dan K ........................................................................... 25
2.5.1 Pupuk Nitrogen ............................................................ 25
2.5.2 Pupuk Fosfor ........................................................................ 35
2.5.3 Pupuk Kalium ............................................................ 42
2.6 Pupuk Bokashi ........................................................................... 46
2.7 Karakteristik, Morfologi, dan Fisiologi Tanaman Padi ........... 51

BAB III. KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS .................................................. 56


3.1 Kerangka Pikir ........................................................................... 56
3.2 Hipotesis ........................................................................... 59
xii
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 60
4.1 Tempat dan Waktu........................................................................... 60
4.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 60
4.3 Metode Pelaksanaan Penelitian ................................................ 61

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 76


5.1 Hasil ........................................................................... 76
5.1.1 Rekapitulasi Uji F Parameter Respon ............................... 76
5.1.2 Parameter Agronomis............................................................ 77
5.1.2.1 Tinggi Tanaman ................................................ 77
5.1.2.2 Jumlah Daun ................................................ 81
5.1.2.3 Jumlah Anakan ................................................ 84
5.1.2.4 Luas Daun Total ................................................ 87
5.1.2.5 Kandungan Klorofil Daun .................................... 91
5.1.2.6 Luas Daun Spesifik ............................................... 93
5.1.2.7 Indeks Luas Daun ................................................ 95
5.1.2.8 Laju Tumbuh Relatif ............................................. 97
5.1.2.9 Laju Asimilasi Bersih .................................... 99
5.1.2.10 Nisbah Pupus Akar ................................................ 101
5.1.2.11 Anakan Produktif ................................................ 102
5.1.2.12 Umur Berbunga .................................................... 103
5.1.2.13 Panjang Malai ................................................ 105
5.1.2.14 Jumlah Gabah Per Malai ....................................... 106
5.1.2.15 Persentase Gabah Isi Per Malai ............................ 107
5.1.2.16 Berat Gabah Per Malai .......................................... 108
5.1.2.17 Berat 1000 Butir Gabah ......................................... 110
5.1.2.18 Indeks Panen ................................................ 112
5.1.2,19 Produktivitas ................................................ 113
5.1.2.20 Kandungan Nitrogen ................................... 114
5.1.2.21 Kandungan Fosfor ................................................ 115
5.1.2.22 Kandungan Kalium ................................................ 117
5.2 Pembahasan ............................................................ 118
5.3 Pembahasan Umum ............................................................ 178

xiii
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 187
6.1 Kesimpulan ................................................ 187
6.2 Saran ............................................................ 188

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 190


LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................ 203

xiv
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

Tabel 1. Susunan Kombinasi Perlakuan ................................................................. 63


Tabel 2. Rekapitulasi uji F analisis varians respon morfologi dan fisiologi
padi lokal varietas wakawondu terhadap bokashi kotoran sapi dan
campuran pupuk NPK ............................................................................... 76
Tabel 3. Pengaruh Berbagai Dosis Campuran Pupuk N,P,K terhadap Tinggi
Tanaman (cm) pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST .................................. 78
Tabel 4. Pengaruh Berbagai Dosis Campuran Pupuk N,P,K Terhadap Jumlah
Daun (helai) pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 Minggu Setelah Tanam
(MST)......................................................................................................... 81
Tabel 5. Pengaruh Berbagai Dosis Campuran Pupuk N,P,K Terhadap Jumlah
Anakan Pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST ............................................. 84
Tabel 6. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N, P, K
Terhadap Luas Daun Total (cm2) pada Umur 2, 4, 6, 8, 10 MST ............. 88
Tabel 7. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk
N,P,K Terhadap Kandungan Klorofil Daun Padi (mg g-1) ....................... 92
Tabel 8. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Indeks Luas Daun pada Umur 10 Minggu Setelah Tanam
(MST)......................................................................................................... 95
Tabel 9. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Laju Tumbuh Relatif (g minggu-1) pada Umur 10 Minggu
Setelah Tanam (MST) ................................................................................ 97
Tabel 10. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Laju Asimilasi Bersih (g cm-2 minggu-1) pada Umur
10 (MST) .................................................................................................... 99
Tabel 11. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Anakan Produktif (batang) pada Umur 10 MST ........................ 102
Tabel 12. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Panjang Malai (cm) pada Umur 10 MST .................................. 105
Tabel 13. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk
N,P,K Terhadap Jumlah Gabah Per Malai (butir) ..................................... 106
Tabel 14. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Persentase Gabah Isi Per Malai (butir) ..................................... 107
Tabel 15. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Berat 1000 Butir Gabah (g) ...................................................... 110
Tabel 16. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Produktivitas (ton ha-1) Gabah Kering Giling (GKG) ............... 113

xv
Tabel 17. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran
Pupuk N,P,K Terhadap Kandungan N Total (%) Daun ......................... 114
Tabel 18. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Kandungan P Total (%) Daun .................................................. 116
Tabel 19. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran
Pupuk N,P,K Terhadap Kandungan K Total (%) Daun ......................... 117

xvi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian ......................................................................... 58


Gambar 2. Alur Penelitian Respon Agronomi Padi Gogo Lokal Kultivar
Wakawondu Yang Diberi Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K.............. 75
Gambar 3. Dinamika Tinggi Tanaman Padi yang Diberi Bokashi (a) dan
Campuran Pupuk N,P,K (b) pada Berbagai Umur Tanaman .................... 80
Gambar 4. Dinamika Jumlah Daun Yang Diberi Bokashi (a) dan Campuran
Pupuk N,P,K (b) pada Berbagai Umur Tanaman ...................................... 84
Gambar 5. Dinamika Jumlah Anakan Padi pada Berbagai Dosis Bokashi
(a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b) pada Umur 2–10 MST ...................... 87
Gambar 6. Dinamika Perkembangan Luas Daun Total (cm2) Dalam Setiap
Periode Tumbuh (MST) dengan Pemberian Bokashi (a) dan
Campuran Pupuk N,P,K (b) pada Berbagai Dosis Berbeda ...................... 91
Gambar 7. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Luas Daun Spesifik (cm2 g-1) pada Umur 60 HST............... 93
Gambar 8. Dinamika Perkembangan Indeks Luas Daun pada Berbagai Dosis
Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b) ............................................ 96
Gambar 9. Dinamika Perkembagan Laju Tumbuh Relatif pada Berbagai Dosis
Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b) Umur 4, 6, 8, dan
10 MST.................................................................................................... 98
Gambar 10. Dinamika Perkembagan Laju Asimilasi Bersih Padi Wakawondu
pada Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b).......... 100
Gambar 11. Dinamika Perkembangan Nisbah Pupus Akar pada Berbagai Dosis
Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b)........................................... 101
Gambar 12. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Umur Tanaman Berbunga 80% (hari) ................................ 104
Gambar 13. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Berat Gabah Per Malai (g).................................................. 109
Gambar 14. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Indeks Panen ....................................................................... 112

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Hal

Lampiran 1. Tata Letak Percobaan ........................................................................ 203


Lampiran 2a. Rata – Rata Tinggi Tanaman ............................................................. 204
Lampiran 2b. Tabel Sidik Ragam Tinggi Tanaman ................................................ 205
Lampiran 2c. Matrik Korelasi Antar Parameter Pengamatan ................................. 207
Lampiran 3a. Rata-Rata Jumlah Daun .................................................................... 210
Lampiran 3b. Tabel Sidik Ragam Jumlah Daun ..................................................... 211
Lampiran 4a. Rata-Rata Jumlah Anakan................................................................. 213
Lampiran 4b. Tabel Sidik Ragam Jumlah Anakan ....................................... 214
Lampiran 5a. Rata-Rata Luas Daun Total .............................................................. 216
Lampiran 5b. Tabel Sidik Ragam Luas Daun Total ............................................... 217
Lampiran 6. Tabel Sidik Ragam Kandungan Klorofil .......................................... 218
Lampiran 7a. Rata-Rata Luas Daun Spesifik .......................................................... 219
Lampiran 7b. Tabel Sidik Ragam Luas Daun Spesifik ........................................... 220
Lampiran 8a. Rata-Rata Indeks Luas Daun ............................................................ 221
Lampiran 8b. Tabel Sidik Ragam Indeks Luas Daun ............................................. 221
Lampiran 9a. Rata-Rata Laju Tumbuh Relatif ....................................................... 222
Lampiran 9b. Tabel Sidik Ragam Laju Tubuh Relatif ........................................... 223
Lampiran 10a. Rata-Rata Laju Asimilasi Bersih ...................................................... 224
Lampiran 10b. Tabel Sidik Ragam Laju Asimilasi Bersih ....................................... 225
Lampiran 11a. Rata-Rata Nisbah Pupus Akar (NPA) .............................................. 226
Lampiran 11b. Tabel Sidik Ragam Nisbah Pupus Akar (NPA) ............................... 227
Lampiran 12a. Rata-Rata Jumlah Anakan Produktif ....................................... 228
Lampiran 12b. Tabel Sidik Ragam Jumlah Anakan Produktif ................................. 228
Lampiran 13a. Rata-Rata Waktu Berbunga 80% (hari) ............................................ 229
Lampiran 13b. Tabel Sidik Ragam Waktu Berbunga 80% (hari) ............................. 229
Lampiran 14a. Rata-Rata Panjang Malai .................................................................. 230
Lampiran 14b. Tabel Sidik Ragam Panjang Malai ................................................... 230
Lampiran 15a. Rata-Rata Jumlah Gabah Per Malai ................................................. 231
Lampiran 15b. Tabel Sidik Ragam Jumlah Gabah Per Malai .................................. 231
xviii
Lampiran 16a. Rata-Rata Persentase Gabah Isi Per Malai ....................................... 232
Lampiran 16b. Tabel Sidik Ragam Persentase Gabah Isi Per Malai ...................... 232
Lampiran 17a. Rata-Rata Berat Gabah Per Malai .................................................... 233
Lampiran 17b. Tabel Sidik Ragam Berat Gabah Per Malai .................................. 233
Lampiran 18a. Rata-Rata Berat 1000 Butir Gabah .................................................. 234
Lampiran 18b. Tabel Sidik Ragam Berat 1000 Butir Gabah ................................. 234
Lampiran 19a. Rata-Rata Indeks Panen ................................................................... 235
Lampiran 19b. Tabel Sidik Ragam Indeks Panen .................................................... 235
Lampiran 20a. Hasil Analisis Kandungan Hara Tanaman....................................... 236
Lampiran 20b. Hasil Analisis Kandungan Hara Tanaman (lanjutan) ...................... 237
Lampiran 20c. Hasil Analisis Kandungan Hara Tanaman (lanjutan) ...................... 238
Lampiran 21a. Rata-Rata Produktivitas .................................................................... 239
Lampiran 21b Tabel Sidik Ragam Produktivitas ..................................................... 239
Lampiran 22. Tabel Sidik Ragam Kandungan Nitrogen ........................................ 240
Lampiran 23. Tabel Sidik Ragam Kandungan Phospor ........................................ 240
Lampiran 24. Tabel Sidik Ragam Kandungan Kalium ......................................... 240
Lampiran 25a. Sertifikat Hasil Pengujian Tanah dan Bokashi ................................... 241
Lampiran 25b. Hasil Pengujian Tanah dan Bokashi Sebelum Aplikasi Pemupukan .. 242
Lampiran 25c. Hasil Pengujian Tanah Setelah Aplikasi ............................................. 243
Lampiran 25d. Hasil Pengujian Tanah Setelah Aplikasi (Lanjutan) .......................... 244
Lampiran 26. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ....................................................... 245
Lampiran 27. Data Temperatur Harian Selama Penelitian ................................... 246

xix
BIOGRAFI PENULIS

Penulis dilahirkan di Lawele Kabupaten Buton pada 27


Februari 1968. Sebagai anak ke empat dari enam bersaudara
yang merupakan pasangan dari Bapak Drs. La Ode Silea
(Almarhum) dan Ibu Hj. Lumrah. Menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Lawele pada tahun 1980.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di
SMP Negeri Betoambari (sekarang SMPN 3) Baubau Pada
tahun 1983. Pada tahun 1986 menyelesaikan pendidikan
Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Baubau. Penulis
melanjutkan Pendidikan Tinggi pada Sekolah Tinggi Ilmu
Pertanian (STIP) Al-Gazali Ujung Pandang (sekarang Universitas Islam Makassar) jurusan
Budidaya Pertanian Konsentrasi Tanaman Keras dan penulis menyelesaikan kuliah pada
tahun 1992 dengan gelar Insinyur (Ir). Penulis memulai karier sebagai dosen yakni pada
tahun 1996. Waktu itu penulis diterima menjadi Dosen Tidak Tetap (Luar Biasa) pada
Fakultas Perikanan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau dan kemudian
diangkat menjadi Dosen Tetap Yayasan Pembina Unidayan pada tahun 2002. Pada tahun
1999 penulis melanjutkan pendidikan Strata Dua (S2) di Universitas Padjadjaran Bandung
dan mengambil jurusan Ilmu Tanaman dengan Bidang Kajian Utama Teknologi Pascapanen
Hasil Pertanian. Penulis menyelesaikan pendidikan Magister pada tahun 2003 dengan gelar
Magister Pertanian (M.P). Pada tahun 2008 Universitas Dayanu Ikhsanuddin resmi
membuka Fakultas Pertanian dengan Program Studi Agroteknologi. Pada saat itulah penulis
kemudian lebih aktif mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian
sebagai implementasi ilmu pengetahuan yang telah diperoleh di bangku Pendidikan Tinggi.
Pada tahun 2013 penulis kemudian melanjutkan pendidikan Strata Tiga (S3) di Universitas
Halu Oleo Program Studi Ilmu Pertanian dengan konsentrasi Agronomi dan menyelesaikan
studi Program Pascasarjana pada tahun 2018 dengan gelar Doktor (Dr). Penulis menikah
pada tahun 1994 dan telah dikaruniai lima (5) orang anak dengan empat orang putri dan satu
orang putra.

Demikian biografi saya.

Kendari, Deember 2018


Penulis,

L.M. Jalil Silea

xx
1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tanaman Gramineace

Batau rerumputan, yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas

(Siregar, 1981). Tanaman ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat

tropis dan subtropis. Diperkirakan terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal yaitu

Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza glaberrima yang berasal dari

Afrika Barat. Oryza sativa memilki dua subspecies yaitu Sinica (sinonim

Japonica) dan Indica. Padi japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi

akan tetapi mudah rebah, lemma-nya memiliki "ekor" atau "bulu", bijinya

cenderung membulat, dan nasinya lengket. Padi indica, sebaliknya, berumur lebih

pendek, postur lebih kecil, lemma-nya tidak ber-"bulu" atau hanya pendek saja,

dan bulir cenderung oval sampai lonjong. Selain kedua subspesies ini, dikenal

subspesies minor “javanica” yang memiliki sifat antara dari kedua tipe utama di

atas. Subspesies javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa (Siregar, 1981).

Berdasarkan ekosistem lahan tempat budidaya tanaman padi, maka padi

dibedakan dalam dua tipe yaitu padi lahan kering (gogo) yang ditanam di lahan

kering dan padi sawah yang ditanam di lahan basah dengan pengairan yang

kontinyu. Pada umumnya petani membudidayakan padi gogo kultivar lokal yang

mempunyai rasa enak, toleran terhadap lahan marginal, tahan terhadap beberapa

jenis hama dan penyakit, memerlukan masukan pupuk yang rendah serta

pemeliharaan mudah dan sederhana, akan tetapi memiliki produktivitas yang

rendah (Sunjaya, 2012). Saat ini rata-rata produktivitas padi gogo sekitar 3,31 ton
2

ha-1 yang masih lebih rendah dari produktivitas padi sawah yang mencapai 5,39

ton ha-1 (BPS, 2015). Sekalipun produktivitas padi sawah lebih tinggi jika

dibandingkan dengan padi gogo, akan tetapi padi sawah cenderung kurang tahan

terhadap hama penyakit dan kekeringan (BB Padi, 2017).

Ketersediaan Nitrogen, Fosfor, Kalium, Ca, Mg, yang rendah dan oksida

Besi dan Aluminium yang tinggi pada lahan kering merupakan faktor penyebab

dari rendahnya produktivitas padi gogo. Tanah-tanah kering umumnya

didominasi oleh tanah-tanah Alfisol, Ultisol, dan Oksisol dimana jenis tanah-

tanah ini umumnnya bersifat asam, dan defisien terhadap unsur hara. Di samping

itu, pada lahan kering, fosfor dan anion-anion difiksasi dengan kuat, kadar air dan

kapasitas simpan air tanah rendah dan rentan terhadap erosi. Sifat atau

karakteristik seperti ini menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya

rendah, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya.

Padi gogo kultivar Wakawondu merupakan jenis padi gogo lokal yang

banyak dibudidayakan oleh masyarakat di kepulauan Buton pada umumnya. Padi

ini memiliki karakteristik yakni beras berwarna merah, sifat nasi pulen (lengket),

aromatik (wangi), dan memiliki rasa yang enak. Kebutuhan beras Wakawondu

oleh masyarakat semakin meningkat seiring bertambahnya penduduk, karena saat

ini beras Wakawondu sudah banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok

khususnya sebagai pencegah maupun terapi bagi penderita gula darah (pangan

terapis). Selain itu juga beras ini dimanfaatkan sebagai makanan sajian dalam

setiap peringatan keagamaan (haroa) dan kegiatan adat bagi masyarakat Buton.

Tidak mengherankan jika harga beras ini di pasaran cukup mahal yang dapat
3

mencapai dua kali lipat dari harga beras biasa. Kendatipun karakterisik yang

dimiliki cukup baik, akan tetapi produktivitas yang dihasilkan masih relatif

rendah (3,31 ton ha-1) (BPS, 2015) sebagaimana produktivitas padi gogo pada

umumnya. Pada sisi lain, padi gogo kultivar Wakawondu ini sesungguhnya

memiliki potensi untuk dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa padi gogo lokal kultivar

Wakawondu yang ditanam di lahan basah memiliki respon yang positif terhadap

beberapa parameter tumbuh tanaman seperti jumlah anakan produktif, jumlah

malai, jumlah gabah per malai, termasuk potensi produktivitas yang dihasilkan

(Silea, 2013). Selama ini, padi Wakawondu hanya dibudidayakan di lahan kering

(ladang) ketika musim penghujan tiba. Dengan segala faktor pembatas yang ada

pada lahan kering maka berakibat pada rendahnya produktivitas dan frekuensi

panen.

Produktivitas padi gogo Wakawondu dapat ditingkatkan dengan cara

mengalihkan metode budidaya dari sistem ladang ke lahan sawah dengan media

jenuh air. Lahan jenuh air adalah lahan dengan kelembaban yang tinggi akan

tetapi tidak tergenang oleh air. Pada media tanam ini, kebutuhan air bagi tanaman

diperoleh dari air resapan yang bersumber dari saluran-saluran (draenase) yang

disediakan. Dengan demikian media tanam senantiasa dalam kondisi lembab.

Selain faktor air, kebutuhan hara makro dam mikro juga sangat diperlukan guna

mencapai produksi yang optimal. Nitrogen, fosfor, kalium adalah hara yang

dibutuhkan dalam jumlah banyak karena merupakan hara esensial bagi tanaman.
4

Pupuk kandang sapi memiliki kandungan hara (kilogram per ton) yakni;

Nitrogen 4,53 kg; Fosfor 0,91 kg; Kalium 3,63 kg; Kalsium 2,27 kg; Magnesium

0,91 kg; Sulfur 6,8 kg; Ferrum 0,45 kg; Boron 0,04 g; Cuprum 0,04 kg; Mangan

0,01 kg; dan Zinc 0,02 kg (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Pupuk kandang sapi

ini jika difermentasi lebih lanjut dengan menggunakan effective microorganisme

(EM-4) akan menghasilkan pupuk yang dikenal dengan nama “bokashi”. Bokashi

memiliki kandungan N total 2.09%, P total 158,24 mg/100 g, K total 4183,27

mg/100 g, C-Organik 18,37% (Lampiran 25b), serta mengandung unsur-unsur

mikro lainnya seperti Ca, Mg, B, S dan lain-lain (Nasir, 2008).

Secara agronomis, pemanfaatan bokashi dapat memberikan efek jangka

panjang (long-term effect) dibandingkan dengan pupuk anorganik. Dari aspek

kesehatan tanah, hal itu dapat memperbaiki sifak fisik, kimia dan biologi tanah

dan memiliki kapasitas menyimpan air yang baik. Selain itu, pemberian bokashi

dapat melengkapi asupan pupuk anorganik berupa N, P, K sehingga bersifat

komplementer untuk mendukung optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan

padi Wakawondu.

Ketersediaan unsur hara yang cukup dan dapat diserap dengan cepat bagi

tanaman padi tidak terlepas dari pengaruh bokashi yang memiliki unsur hara

mikro dan makro dalam membantu proses pertumbuhan dan penyerapan unsur

hara secara optimal dan efektif. Pemanfaatan kultivar yang berorientasi spesifik

lokal dengan pemberian pupuk yang tepat perlu dikaji untuk dikembangkan.

Produktivitas padi gogo yang rendah dan frekuensi panen yang rendah

yakni setahun sekali pada saat musim penghujan adalah penyebab rendahnya
5

tingkat pendapatan petani padi gogo di lahan kering (ladang). Hal ini secara

ekonomi menciptakan ketimpangan pendapatan ekonomi rumah tangga antara

petani padi sawah dan petani padi gogo di lahan kering. Metode budidaya padi

gogo di lahan jenuh air diharapkan mampu meningkatkan produktivitas padi gogo

dua kali lipat dibandingkan dengan jika di budidaya di lahan kering dan frekuensi

panen dapat ditingkatkan minimal dua kali dalam setahun. Hal ini tentu akan

berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani padi

gogo.

Teknologi budidaya dan pemupukan merupakan salah satu faktor penentu

di dalam meningkatkan produktivitas padi gogo. Sejalan dengan perkembangan

dan kemajuan teknologi pemupukan serta terjadinya perubahan status hara di

dalam tanah maka rekomendasi pemupukan yang telah ada perlu diteliti lagi dan

disempurnakan (Kasniari dan Supanda, 2007).

Pemanfaatan pupuk N, P, K dan bokashi dapat dipandang sebagai salah

satu alternatif untuk meningkat produktivitas padi gogo di lahan jenuh air. Akan

tetapi berapa takaran pupuk N, P, K dan bokashi yang tepat untuk menghasilkan

produktivitas padi Wakawondu yang optimal di lahan jenuh air adalah hal yang

masih perlu dikaji dan diteliti pada berbagai jenis tanah dan praktek budidaya.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap

pengaruh bokashi dan campuran pupuk N, P, K pada berbagai dosis terhadap

karakter agronomis padi gogo kultivar Wakawondu yang dibudidayakan di lahan

jenuh air.
6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan uraian masalah yakni:

1. Apakah ada pengaruh interaksi antara bokashi dan campuran pupuk N, P,

K terhadap parameter agronomis padi gogo lokal yang ditanam di lahan

jenuh air?

2. Apakah ada pengaruh bokashi terhadap parameter agronomis padi gogo

lokal yang ditanam di lahan jenuh air ?

3. Apakah ada pengaruh campuran pupuk N, P, K terhadap parameter

agronomis padi gogo lokal yang ditanam di lahan jenuh air?

4. Berapakah dosis pupuk bokashi dan campuran N, P, K yang tepat dalam

meningkatkan parameter agronomis padi gogo lokal di lahan jenuh air ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk:

1) Mengkaji pengaruh interaksi penggunaan bokashi dan campuran pupuk N,

P, K terhadap parameter agronomis padi gogo lokal yang ditanam di lahan

jenuh air.

2) Mengkaji pengaruh bokashi dan pengaruh campuran pupuk N, P, K

terhadap parameter agronomis padi gogo lokal yang ditanam di lahan

jenuh air.

3) Menemukan berapa dosis pupuk bokashi dan campuran pupuk N, P, K

yang tepat dalam meningkatkan parameter agronomis padi gogo lokal di

lahan jenuh air.


7

1.4 Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain:

1. Dapat memberikan sumbangan yang berarti terhadap pengembangan ilmu

dan teknologi di bidang pertanian khususnya terhadap pemanfaatan

bokashi dan pupuk N, P, K untuk meningkatkan pertumbuhan dan

produktivitas padi gogo di lahan jenuh air.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan pembanding bagi peneliti

dimasa mendatang.

1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty)

Beberapa hasil penelitian aplikasi bahan organik dan pupuk N, P, K yang

terkait dengan pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo yang pernah dilakukan,

antara lain:

1. Bilman Wilman Simanihuruk (2010). Tanggap Tanaman Padi Gogo

Terhadap Pengurangan N Sintetik Yang Digantikan Dengan Bahan

Organik Pupuk Kandang dan Tithonia diversifolia.

2. Hatta.M, Cut Nur Ichsan, Salman. (2010). Respon Beberapa Varietas Padi

Terhadap Waktu Pemberian Bahan Organik Pada Metode Sri.

3. Junita Barus (2011). Uji Efektivitas Kompos Jerami dan Pupuk NPK

Terhadap Hasil Padi.

4. Kusuma E Maria. (2012). Pengaruh Beberapa Jenis Pupuk Kandang

Terhadap Kualitas Bokashi.


8

5. Sunjaya Putra. (2012). Pengaruh Pupuk NPK Tunggal, Majemuk, dan

Pupuk Daun terhadap Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Kultivar Situ

Patenggang.

6. Sadimantara, G.R, dan Muhidin. (2012). Daya Hasil Beberapa Kultivar

Padi Gogo Lokal Asal Sulawesi Tenggara Pada Cekaman Kekeringan.

7. Rover. (2014). Pemberian Campuran Pupuk Anorganik dan Pupuk

Organik Pada Tanah Ultisol Untuk Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L).

8. Soraya dan Junita Barus (2014). Produktivitas Dua Kultivar Unggul Baru

Padi Gogo Dengan Aplikasi Pupuk Organik Di Lahan Kering Lampung

Selatan.

9. Ade A, Hayati R, Hayati E. (2015). Pengaruh Pemupukan Terhadap

Pertumbuhan Beberapa Kultivar Padi Gogo (Oryza sativa L).

10. Silea Jalil. (2015). Toleransi dan Respon Pupuk Organik pada Kultivar

Padi Gogo Lokal Buton yang Ditanam pada Lahan Basah.

11. Riani Ningsih; Dwi Rahmawati. (2017). Aplikasi Paclobutrazol dan

Pupuk Makro Anorganik terhadap Hasil dan Mutu Benih Padi (Oryza

sativa L.) .

Kebaruan (novelty) pada penelitian ini, yakni :

1. Penelitian tentang penggunaan pupuk organik dan anorganik pada

tanaman padi gogo telah banyak dilakukan terutama yang berkaitan

dengan ketahanan terhadap penyakit blas, akan tetapi masih terbatas yang

melakukan penelitian mengenai budidaya tanaman padi gogo kultivar

lokal melalui aplikasi bokashi dan pemakaian pupuk N, P, K di lahan


9

jenuh air sebagai upaya mewujudkan produktivitas padi gogo lokal yang

semaksimal mungkin.

2. Budidaya padi gogo Wakawondu yang selama ini dilakukan di lahan

kering (ladang) mengalami kendala dalam hal keterbatasan sumber air

karena hanya mengandalkan air hujan serta tingkat kesuburan tanah yang

rendah. Sementara itu, pada musim kemarau sumber air irigasi untuk

budidaya di lahan sawah juga menjadi terbatas. Sejauh ini upaya yang

belum pernah dilakukan adalah dengan membudidaya padi gogo

Wakawondu di lahan jenuh air dengan memanfaatkan sumber air yang

terbatas.

3. Hasil penelitian membuktikan bahwa budidaya padi gogo Wakawondu di

lahan jenuh air yang diberi kompos bokashi dan pupuk N, P, K nyata

meningkat produktivitasnya sehingga petani dapat menerapkan metode

budidaya guna mendapatkan hasil panen yang optimal.


10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Lahan Kering

Lahan kering umumnya terdapat di dataran tinggi (daerah pegunungan)

yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah

penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan ke dataran rendah, baik

melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi

lahan kering didefenisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih

banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari

kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan

Saleh, 2004).

Defenisi yang diberikan oleh Soil Survey Staffs (1998), lahan kering

adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama

periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai

dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700 m dpl). Dari

pengertian di atas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok

lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, ladang, kebun campuran,

perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.

Menurut klasifikasi iklim Oldeman, et al. (1980) daerah-daerah yang

memiliki bulan basah kurang dari 3 bulan dan antara 3-4 bulan dengan bulan

kering 4–6 bulan dan di atas 6 bulan digolongkan ke dalam iklim D3, D4, E3 dan

E4 atau daerah dengan tipe iklim kering.


11

Lahan kering dibagi ke dalam empat kategori, yakni :

1. Hyper Arid: indek kekeringan (rasio antara curah hujan dan evapotranspirasi

potensial) 0.03, tidak ada vegetasi tanaman kecuali hanya beberapa batang

rumput di daerah lembah, penggembalaan ternak berpindah-pindah, hujan

tahunan rendah (di bawah 100 mm tahun-1), serta hujan terjadi tidak

menentu, bahkan kadang-kadang tidak terjadi hujan sepanjang tahun. Daerah

ini terdapat di pe-“gurun”-an Saudi Arabia “Rub’ul Kholi” atau yang dikenal

dengan empty quarter.

2. Arid: indek kekeringan 0.03 - 0.20 yang ditandai dengan adanya peternakan,

kegiatan pertanian dilakukan dengan irigasi tetes dan sprinkler, terdapat

tanaman musiman dan tahunan yang letaknya terpisah-pisah, dan curah hujan

tahunan antara 100 – 300 mm. Terdapat di Jeddah, Saudi Arabia dan Negara-

negara Timur Tengah pada umumnya.

3. Semi Arid: indek kekeringan 0.2 - 0.5 yang ditandai dengan adanya kegiatan

pertanian dengan mengandalkan air hujan meski produktifitasnya masih

rendah, terdapat kegiatan peternakan komunal, dan curah hujan tahunan 300-

800 mm. Biasanya terdapat di perbatasan daerah tropis dan sub-tropis.

4. Subhumid: indek kekeringan 0.5 - 0.75. Daerah sub humid juga dimasukkan

ke dalam area lahan kering, meski sebenarnya memiliki karakter yang dekat

dengan daerah lahan basah. Di Indonesia kawasan timur memiliki karakter

Sub-humid, yang mana terdapat beberapa kendala untuk budidadaya

pertanian di daerah tersebut.


12

Karakteristik umum mengenai lahan kering antara lain: jumlah curah

hujan yang sangat rendah (700 –1500 mm tahun-1); jumlah bulan kering sangat

panjang (8 – 9 bulan / Maret – November); sifat curah hujan yang eratik dalam

bulan basah (hujan yang tidak merata, namun pada waktu tertentu mengalami

jumlah curah hujan yang sangat tinggi dan dapat menimbulkan banjir/genangan

yang tidak menguntungkan bagi usahatani); suhu harian yang rata-rata antara 30

sampai 32°C; topografi yang berbukit sampai bergunung; memiliki tanah-tanah

muda (ultisol dan inceptisol) yang bersolum tipis dan sering disebut tanah

berpersoalan atau problem soils (Sudjadi, 1984).

Lahan kering terjadi sebagai akibat dari curah hujan yang sangat rendah,

sehingga keberadaan air sangat terbatas, suhu udara tinggi dan kelembabannya

rendah. Lahan kering sering dijumpai pada daerah dengan kondisi antisiklon yang

permanen, seperti daerah yang terdapat pada antisiklon tropisme. Daerah tersebut

biasanya ditandai dengan adanya perputaran angin yang berlawanan arah jarum

jam di utara garis khatulistiwa dan perputaran angin yang searah jarum jam di

daerah selatan garis khatulistiwa.

Kekeringan merupakan salah satu pembatas utama dalam produktivitas

padi di lahan kering (Mostajeran and V. Rahimi-Eichi. 2009) karena dapat

menurunkan jumlah gabah isi (Passioura, 1996; Rang et al., 2011). Tanaman

yang toleran terhadap kondisi cekaman kekeringan akan menunjukan respon

fisiologis yang berbeda dengan tanaman yang peka dan tanggap tanaman

terhadap cekaman kekeringan, sehingga kemudian dibedakan atas tanaman

toleran dan tanaman peka (Bohnert dan Jensen, 1996). Pada beberapa kultivar
13

padi, kriteria ketahanan tanaman terhadap kekeringan juga dapat dilihat dari sifat

perakaran yang dimiliki (Sadimantara dan Muhidin, 2012) atau melalui uji daya

tembus akar (Hanum, et al., 2010). Karena respons genotipe tanaman terhadap

cekaman kekeringan pada saat tersebut menjadi maksimum, sehingga perbedaan

keragaan antar genotipe pun menjadi maksimum (Kasno dan Jusuf, 1994).

2.2 Karakteristik Lahan Sawah

Tanaman padi memerlukan lahan atau tanah yang tergenang pada masa

pertumbuhan vegetatif. Kondisi ini sangat memungkinkan jika penanaman padi

dilakukan pada lahan yang memiliki kemampuan untuk menampung air (kedap

air) lebih lama. Tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah, berupa

kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan mengikat air oleh tanah. Tekstur

tanah berperan terhadap kemampuan tanah dalam menahan dan meresapkan air.

Tekstur tanah yang sesuai untuk pertanaman padi sawah adalah tekstur yang

halus dengan porositas yang rendah (Supriyadi et al., 2009).

Menurut Greenland (1997), karakteristik utama tanah sawah yang

menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan tanah secara terus menerus tidak menyebabkan reaksi

tanah menjadi semakin masam. Hal ini berkaitan dengan sifat fisik dan

kimia tanah tergenang dimana penggenangan menyebabkan terjadinya

konversi pH tanah menuju netral.

2. Zat hara dari wilayah hulu terakumulasi di lahan sawah, dan hanya

sedikit yang tercuci.

3. Fosfor lebih mudah tersedia bagi tanaman padi sawah.


14

4. Terjadi penambahan hara lewat air luapan banjir, irigasi dan

pengendapan liat dan debu dari banjir.

5. Populasi aktif mikroorganisme penambat Nitrogen mempertahankan

Nitrogen organik.

6. Erosi permukaan dicegah oleh adanya teras dan galengan.

Ciri khas tanah sawah antara lain memiliki lapisan oksidasi di

bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0-1 cm, selanjutnya lapisan reduksi

setebal 25-30 cm dan diikuti lapisan bajak yang kedap air. Selain itu selama

pertumbuhan tanaman padi akan terjadi sekresi O2 oleh akar padi yang

menimbulkan ketampakan yang khas pada tanah sawah (Sanchez, 1993).

Padi sawah dibudidayakan pada kondisi tanah tergenang. Penggenangan

tanah akan mengakibatkan perubahan-perubahan sifat kimia tanah yang akan

mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Perubahan-perubahan sifat kimia

tanah sawah yang terjadi setelah penggenangan antara lain : (1) penurunan kadar

oksigen, (2) perubahan potensial redoks (Eh), (3) perubahan pH tanah, (4) reduksi

Ferri (Fe3+) menjadi Ferro (Fe2+ ), (5) perubahan mangani (Mn4+) menjadi

mangano (Mn2+), (6) terjadinya denitrifikasi, (7) reduksi sulfat (SO42-) menjadi

sulfit (SO32-), (8) peningkatan ketersediaan Zn dan Cu,(9) terjadinya pelepasan

CO2, CH4, H2S dan asam organik (De datta, 1981).

Reduksi besi adalah reaksi yang paling penting di dalam tanah

masam tergenang karena dapat menaikan pH dan ketersediaan P serta

manggantikan kation lain dari tempat pertukaran seperti K+. Peningkatan

Fe 2+ pada tanah masam dapat menyebabkan keracunan besi pada padi, apabila
15

kadarnya dalam larutan sama dengan 350 ppm. Konsentrasi besi dalam larutan

tanah diatur oleh pH tanah, kandungan bahan organik, kandungan besi itu sendiri

dan lamanya penggenangan (Ponnamperuma, 1985).

Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau

alkali, tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain

seperti ketersediaan Fosfor, status kation-kation basa dan status kation atau unsur

racun (Mukhlis, 2007). Jika tanah mineral disawahkan (digenangi), maka pH

tanah akan mengarah ke netral atau dengan kata lain tanah awal yang mempunyai

pH masam akan meningkat menuju pH netral, sebaliknya tanah awal

yang mempunyai pH alkalin akan turun menuju pH netral. Perubahan pH tanah

menuju netral mempunyai manfaat terhadap tingkat ketersedian hara tanah. Pada

tanah sawah ber-pH netral ketersediaan hara dalam kondisi optimal dan unsur

hara tertentu yang dapat meracuni tanaman mengendap (Adiningsih dan Agus,

2005).

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor

yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal

ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika

maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan

berdasarkan jumlah C-organik. Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi

antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Mustofa (2007)

dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk

C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari dua persen.


16

Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu

akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah

penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan

bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar

Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah (Widodo, 2006). Tanpa pemberian

bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah

yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah.

Kapasitas Tukar Kation sangat penting berkenaan dengan (1) kesuburan

tanah, (2) penyerapan hara, (3) ameliorasi tanah dan (4) mutu lingkungan.

Kompleks jerapan berdaya melawan pelindian tanah, mengendalikan neraca hara

dalam larutan tanah dan memberikan daya sanggah kimia kepada tanah

melawan perubahan besar pH. Dengan daya jerapnya, koloid tanah dapat

menambat air hujan atau air irigasi dan kation hara dari pelapukan mineral,

mineralisasi bahan organik atau dari pupuk. Dengan demikian KTK menjadi

faktor pembentuk cadangan air dan hara basa dalam tanah yang dapat

mengefisiensikan penggunaan air dan hara basa oleh tumbuhan

(Notohadiprawiro, 1998).

Tekstur tanah yang baik adalah tekstur halus berupa lempung, lempung

liat berdebu, lempung liat berpasir. Tekstur tanah tersebut sangat mendukung

untuk pengembangan tanaman padi sawah irigasi, karena tekstur lempung

merupakan tekstur yang banyak menyimpan unsur hara, menyediakan kandungan

air yang cukup untuk sirkulasi udara dalam tanah (Lehmann and Stahr, 2010;

Bolbol et al., 2013).


17

Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat

hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan

bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-

tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah

berpasir (Hardjowigeno, 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung

pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh :

1) Reaksi tanah, 2) Tekstur atau jumlah liat. 3) Jenis mineral liat, 4) Bahan

organik dan, 5) Pengapuran serta pemupukan. Soepardi (1983) mengemukakan

kapasitas tukar kation tanah sangat beragam, karena jumlah humus dan liat serta

macam liat yang dijumpai dalam tanah berbeda-beda pula.

Kejenuhan basa adalah perbandingan dari jumlah kation basa

yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam

persen. Kejenuhan basa rendah berarti tanah kemasaman tinggi dan kejenuhan

basa mendekati 100% tanah bersifal alkalis. Tampaknya terdapat hubungan

yang positif antara kejenuhan basa dan pH. Akan tetapi hubungan tersebut

dapat dipengaruhi oleh sifat koloid dalam tanah dan kation-kation yang diserap.

Tanah dengan kejenuhan basa sama dan komposisi koloid berlainan, akan

memberikan nilai pH tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan

derajat disosiasi ion H+ yang diserap pada permukaan koloid. Kejenuhan basa

selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah.

Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada

derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%,

berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika
18

kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan

basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari

tanah dengan kejenuhan basa 50%.

Tingkat kemasaman (pH) tanah sangat mempengaruhi status ketersediaan

hara bagi tanaman. Pada pH yang netral (6-7) ketersediaan hara menjadi optimal

dalam hal jumlah maupun kesetimbangan unsur hara dalam larutan tanah.

Menurut Hakim et al. (1986), reaksi (pH) tanah di luar kisaran itu dapat

mengakibatkan berkurangnya jumlah ketersediaan unsur hara tertentu dan kadang

malah menyebabkan kelebihan ketersediaan unsur hara lainnya. Hal ini dapat

berakibat terganggunya serapan hara oleh tanaman sehingga menghambat

pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan pendapat

Aishah et al. (2010), pH optimum untuk tanaman padi sawah berkisar antara 5,6-

6,0. Untuk media budidaya, beberapa jenis tanah yang cocok untuk

pengembangan padi sawah dapat berupa tanah gleisol, aluvial, gambut, kambisol,

podsolik (Alam et al., 1993, Darmawijaya, 1997).

2.3 Media Tanam

Pada dasarnya dalam budidaya tanaman, pertumbuhan dan perkembangan

tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Faktor

lingkungan yang paling penting adalah tanah dan iklim serta interaksi keduanya.

Padi gogo dapat tumbuh pada berbagai agroekologi dan jenis tanah. Persyaratan

utama untuk padi gogo adalah kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Faktor iklim

terutama curah hujan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan

budidaya padi gogo.


19

Padi gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya. Tumbuh di daerah

tropis dan subtropis pada 45o LU sampai 45o LS dengan cuaca panas dan

kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan (Amirullah, 2008). Padi dapat

ditanam pada musim kemarau atau musim penghujan. Pada musim kemarau,

produktivitas meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim penghujan,

walaupun air melimpah akan tetapi produktivitas dapat menurun karena proses

penyerbukan kurang intensif.

Pada dataran rendah, padi memerlukan ketinggian 0 - 650 m dpl dengan

temperatur 22 – 27o C, sedangkan di dataran tinggi yakni 650 - 2500 m dpl

dengan temperatur 19 – 23o C. Pola hujan menurut Oldeman (1999), pada

umumnya tanaman padi sawah memerlukan curah hujan antara 200 mm/bulan

atau 1500-2000 mm/tahun, ketinggian optimal 0 - 1500 m dpl. Di Indonesia, padi

ditanam dari dataran rendah sampai ketinggian 1300 m dpl. Soemartono (1983)

menyatakan bahwa padi menghendaki tempat di lingkungan yang terbuka dan

banyak mendapat sinar matahari. Intensitas sinar matahari besar pengaruhnya

terhadap hasil gabah, terutama saat tanaman berbunga, karena 75-80% kandungan

tepung dari gabah adalah hasil fotosintesis pada masa berbunga.

Tanaman padi pada umumnya membutuhkan air dalam jumlah relatif

banyak, akan tetapi tidak semua fase pertumbuhan membutuhkan air dalam

jumlah yang sama (Soemartono, 1983). Kebutuhan air untuk pengolahan tanah

sampai siap tanam (30) hari mengonsumsi air sebanyak 20% dari total kebutuhan

air untuk padi sawah dan fase bunting sampai pengisian bulir (15) hari

mengosumsi air sebanyak 35%. Berdasarkan data tersebut, sebetulnya sejak


20

tanam sampai memasuki fase bunting, tidak membutuhkan air banyak. Demikian

pula setelah masa pengisian bulir. Oleh karenanya, lima belas hari sebelum

panen, ditinjau dari aspek pemberian air memang tidak perlu lagi.

Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air di petakan sawah

dapat dilakukan dengan mengairi sawah dalam keadaan becek (macak-macak).

Setelah tanaman padi berumur 14 hari sampai periode bunting, padi tidak

memerlukan air yang banyak. Kebiasaan petani menggenangi sawahnya sampai

dengan ketinggian air mencapai 5 cm bahkan lebih karena petani tidak membayar

air yang digunakan tersebut, sehingga cenderung bermewah-mewah dengan air.

Pada daerah tadah hujan, pengefisienan penggunaan air penting sekali, mengingat

daerah tersebut tidak mempunyai air irigasi. Pada daerah ini penanaman dua kali

setahun membawa konsekuensi yang besar, terutama kekurangan air pada saat

tanaman membutuhkan air banyak (periode bunting sampai pengisian bulir), yang

dapat berakibat terjadinya penurunan hasil padi secara drastis.

Tanah yang cocok untuk bertanam padi adalah tanah gembur dan kaya

bahan organik. Tekstur tanah bisa lempung, lempung berdebu, atau lempung

berpasir. Derajat keasaman (pH) normal antara 5,5-7,5 pada ketebalan lapisan

antara 18-22 cm dengan kemiringan tidak lebih dari 8%. Lokasi lahan

seyogyanya terbuka, intensitas sinar matahari 100 % dengan ketinggian tempat

antara 0 - 1300 m dpl. Tekstur tanah dengan jumlah fraksi pasir yang sangat besar

kurang cocok untuk tanaman padi karena sangat mudah meloloskan air. Tanah

yang sesuai untuk tanaman padi adalah tanah yang mengandung lumpur atau

lempung sehingga mudah mengikat air.


21

Pengolahan tanah untuk penanaman padi harus sudah disiapkan sejak dua

bulan sebelum penanaman. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan dua macam

cara yaitu dengan cara tradisional dan cara modern. Pengolahan tanah sawah

dengan cara tradisional, yaitu pengolahan tanah sawah yang dilakukan dengan

alat-alat sederhana seperti sabit, cangkul, bajak dan garu yang semuanya

dikerjakan oleh manusia atau dibantu oleh hewan misalnya kerbau atau sapi,

sedangkan pengolahan tanah sawah dengan cara modern yaitu pengolahan tanah

sawah yang dilakukan dengan mesin yakni traktor dan alat-alat pengolah tanah

yang serba dapat bekerja sendiri. Pengolahan tanah sawah yang dilakukan secara

tradisional meliputi pembersihan, pencangkulan, pembajakan, dan penggaruan.

(Sugeng, 2001). Pengolahan tanah sebelum tanam juga bertujuan

untuk menciptakan sirkulasi udara dalam tanah, yaitu membuang gas beracun dan

menyerap oksigen.

Padi gogo dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Hal yang lebih

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia dan biologi

tanah atau dengan kata lain kesuburannya. Untuk pertumbuhan tanaman yang

baik diperlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu 45% bagian

mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% bagian udara, pada lapisan

tanah setebal 0 - 30 cm. Struktur tanah yang cocok untuk tanaman padi gogo ialah

struktur tanah yang remah. Tanah yang cocok berfariasi mulai dari yang berliat,

berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang tersedia

diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah tidak berbatu, jika ada harus < 50%.

Keasaman (pH) tanah bervariasi dari 5,5 sampai 8,0. Pada pH tanah yang lebih
22

rendah pada umumnya dijumpai gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan

Al. Sedangkan bila pH lebih besar dari 8,0 dapat mengalami kekahatan Zn.

Padi adalah tumbuhan yang tergolong tanaman air (water plant).

Sebagai tanaman air bukan berarti bahwa tanaman padi itu hanya bisa tumbuh di

atas tanah yang terus-menerus digenangi air, baik penggenangan itu terjadi secara

alamiah seperti yang terjadi pada tanah rawa-rawa, maupun penggenangan itu

disengaja seperti yang terjadi pada tanah-tanah sawah. Tanaman padi juga dapat

tumbuh di tanah daratan atau tanah kering, asalkan curah hujan mencukupi

kebutuhan tanaman akan air (Siregar, 1981). Pada dataran rendah padi tumbuh

pada tanah alluvial, tanah liat, regosol, grumosol, podsolik, dan latosol dan

sebagian pada andosol dan tanah pertengahan (De Data, 1981).

2.4 Peranan Pupuk bagi Tanaman

Upaya meningkatkan produktivitas pangan tidak terlepas dari teknologi

di bidang pemupukan sebagai salah satu penentunya (Kasniari dan Supanda,

2007). Pemupukan merupakan usaha pemberian atau penambahan unsur-unsur

hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk peningkatan produktivitas dan mutu

tanaman (Sarief, 1989). Pemupukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan

tingkat haranya hanya akan mengakibatkan gangguan pada tanaman budidaya

(Juniati dan Syamiah, 2006).

Sistem pemupukan merupakan salah satu proses pengendalian hama

secara kultur teknis dan termasuk kepada pengendalian hama terpadu. Seperti

yang diketahui selama ini bahwa penggunaan pupuk yang tidak benar (waktu

aplikasi, jenis, dan dosis) akan menyebabkan berbagai masalah terhadap tanaman,
23

sebaliknya penggunaan pupuk yang berimbang dan dengan dosis serta waktu

pemberian yang tepat dapat mengurangi perkembangan beberapa organisme

pengganggu tanaman (OPT). Oleh sebab itu, pemakaian dosis pupuk harus benar-

benar diperhatikan. Padi membutuhkan unsur hara yang diserap melalui tanah.

Hara N, P, dan K diperlukan dalam jumlah lebih banyak dan sering kekurangan,

sehingga disebut hara primer. Pemberian pupuk terhadap tanaman padi akan

membantu dalam penyediaan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman.

Pemupukan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk

memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian, khususnya di

daerah tropika basah yang tingkat kesuburan tanahnya relatif rendah karena

tingginya tingkat pelapukan dan pencucian hara. Pembatas pertumbuhan tanaman

yang umum dijumpai adalah kandungan hara di dalam tanah, terutama hara

makro N, P, dan K (Setyorini, 2005). Unsur Fosfat berperan menjaga

keseimbangan dari efek pemberian Nitrogen yang berlebihan, merangsang

pembentukan jaringan, dan memperkuat dinding sel sehingga diyakini dapat

membuat tanaman menjadi resisten (Buckman dan Brady, 1982).

Pemberian pupuk Kalium juga dapat meningkatkan ketahanan padi

terhadap serangan blas. Frekuensi pemberian pupuk K empat kali pada saat

tanam, umur 30 hst., umur 45 hst., dan umur 60 hst. lebih efektif dalam menekan

penyakit blas dibandingkan dengan hanya satu kali pada saat tanam (Nasahi,

2010). Jika Kalium cukup dalam tanaman, translokasi fotosintat dari daun ke

bagian perakaran akan lebih banyak, karena selain meningkatkan aktivitas enzim,
24

juga meningkatkan tingkat kelarutan gula sederhana dan distribusinya ke bagian-

bagian lain tanaman.

Tanaman padi gogo membutuhkan unsur K dalam jaringan tanamannya

karena K berperan besar dalam metabolism tanaman. Jika Kalium dalam tanah

sangat rendah (K-HCl 25 % < 8,3 mg K per 100 g tanah), dibutuhkan pupuk K

sebanyak 150 sampai 200 kg ha-1 KCl agar tanaman tidak mengalami defisiensi K

(Ernawati, 2008). Pupuk yang digunakan dalam budidaya padi gogo sebaiknya

dicampurankan antara pupuk organik dan pupuk anorganik. Pemberian pupuk

organik (pupuk kandang atau kompos), dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi

tanah. Sedangkan pemberian pupuk anorganik yang dapat menyediakan hara

dalam waktu cepat, pada dosis yang sesuai kebutuhan tanaman berpengaruh

positif terhadap pertumbuhan dan hasil.

Pupuk organik diaplikasikan pada saat penyiapan lahan. Pupuk ini dipakai

untuk meningkatkan kandungan C organik tanah dan meningkatkan kehidupan

mikroorganisme tanah. Dosis pupuk pada pertanaman padi gogo harus

disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanahnya. Jenis pupuk anorganik yang

diberikan berupa 150-200 kg ha-1 Urea, 75 kg ha-1 SP-36 dan 50 kg ha-1 KCl.

Pupuk SP-36 dan KCl diberikan saat tanam dan Urea pada 3-4 minggu dan 8

minggu setelah tanam. Pupuk Urea, SP-36 maupun KCl sebaiknya diberikan

dalam alur atau ditugal kemudian ditutup kembali dengan tanah untuk mencegah

kehilangan unsurnya.
25

2.5 Pupuk N, P, dan K

Peranan ketiga unsur ini (N, P dan K) sangat penting terhadap

pertumbuhan dan produktivitas tanaman, dimana interaksi dari ketiga unsur ini

akan menunjang pertumbuhan tanaman. Unsur N diperoleh dari pupuk Urea,

unsur P dari SP-36 sedangkan unsur K dari KCl dan ZK.

2.5.1 Pupuk Nitrogen

Nitrogen (N) merupakan salah satu hara makro yang paling banyak

mendapat perhatian, terutama terkait dengan isu lingkungan dan ekonomi.

Penggunaan Nitrogen yang berlebihan dapat menimbulkan kerugian yang besar

karena ekses Nitrogen dapat mempengaruhi kualitas lingkungan seperti

eutrofikasi pada danau-danau atau pencemaran pada air yang dikonsumsi oleh

manusia (Janus and Vollenweider, 1981).

Nitrogen dibutuhkan tanaman untuk membentuk protein, asam-asam

nukleik (DNA dan RNA), dan khlorofil (Suleman, 2014). Lebih lanjut dikatakan

bahwa gejala defisiensi Nitrogen umumnya ditunjukan oleh klorosis pada daun-

daun bagian bawah, pertumbuhan terhambat, tanaman kerdil, dan pada kasus

yang berat mengakibatkan nekrosis pada daun-daun tua. Kelebihan Nitrogen juga

dapat mengakibatkan pertumbuhan vegetatif berlebihan dan daun berwarna hijau

kehitaman.

Nitrogen bersumber dari litosfer, atmosfer, hydrosfer dan biosfer.

Komposisi Nitrogen terbesar terdapat di dalam litosfer (bahan induk, tanah,

sedimen, mineral liat, dan fosil) sekitar 98%, selebihnya ± 2% berada di atmosfer,

hydrosfer dan biosfer (Stevenson, 1994). Atmosfer merupakan salah satu sumber
26

Nitrogen (udara mengandung 78% N atau sebesar 3,8 x 1015 ton N2 molekular)

(Hanafiah, 2009), akan tetapi Nitrogen tersebut tidak dapat digunakan secara

langsung oleh tanaman kecuali melalui proses penambatan (fiksasi) melalui

presipitasi (hujan, embun, salju), fiksasi nonsimbiotik, fiksasi simbiotik, dan

fiksasi oleh organisme hidup yang bersimbiosis dengan tanaman (Suleman ,

2014). Fiksasi Nitrogen melalui presipitasi berupa NH4+ , NO2-, NO3- dan N

organik. Kontribusi Nitrogen melalui presipitasi bervariasi dan bergantung

kepada daerah atau wilayah. Di daerah tropik, kontribusi Nitrogen dilaporkan

lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah kutub (artic). Bahkan ada

kecenderungan Nitrogen yang bersumber dari presipitasi meningkat dengan

meningkatnya populasi manusia dan ternak.

Pasokan Nitrogen dari atmosfer dapat juga terjadi melalui petir yang

bermuatan listrik yang dapat memecah ikatan-ikatan Nitrogen dan selanjutnya

bereaksi dengan oksigen. Dalam proses ini Nitrogen mengalami oksidasi,

sebaliknya oksigen direduksi melalui proses: N2 + O2 2 NO (nitrus oksida).

Nitrus oksida yang terbentuk kemudian bersenyawa dengan oksigen membentuk

Nitrogen oksida (2 NO + O2 2NO2). Nitrogen dioksida bersifat mudah larut

dalam air dan selanjutnya membentuk asam nitrit dan nitrus (2 NO2 + H2O

HNO3 + HNO2). Asam-asam ini dengan mudah melepaskan hydrogen

membentuk ion nitrat dan nitrit yang tersedia bagi tanaman dan mikroorganisme,

yakni : HNO3 H+ + NO3- (ion nitrat) HNO2 H+ + NO2- (ion nitrit).

Sementara itu, fiksasi Nitrogen dalam bentuk nonsimbiotik merupakan

bentuk fiksasi biologi yang dilakukan oleh mikroba yang hidup bebas di dalam
27

tanah seperti bakteri saprophyte yang hidup pada sisa-sisa tanaman, bakteri yang

hidup di sekitar perakaran tanaman (rhizosphere) dan bakteri yang hidup di dalam

tanaman (endophytes). Mikroba nonsimbiotik berupa alga hijau-biru, bakteri

Rhodospirillum, Azotobacter, Beijerinkia, dan Clostridium. Alga hijau-biru

dilaporkan merupakan pemasok penting Nitrogen pada pertanian padi sawah

melalui fiksasi (Stevenson, 1994). Aktifitas Azotobacter sangat tergantung pada

kadar lengas tanah, oksigen, dan nutrisi. Sementara bakteri anaerob seperti

Clostridium umumnya dominan pada padang rumput, air yang tergenang dan

bahan organik tersedia tetapi suplai oksigen terbatas.

Azotobacter berperan penting dalam daur Nitrogen karena dapat

menghasilkan phytohormon yang dapat memacu pertumbuhan seperti auxin.

Azotobacter juga dapat meningkatkan mobilitas logam berat seperti Cd, Hg, dan

Pb sehingga mengurangi efek keracunan pada tanaman. Jumlah Nitrogen yang

dapat difiksasi oleh bateri nonsimbiotik ini relatif rendah, yakni hanya sekitar 15 -

20 kg ha-1 tahun-1. Biasanya untuk meningkatkan fiksasi Nitrogen dilakukan

dengan penambahan bahan organik sebagai substrat bagi mikroba.

Selain fiksasi nonsimbiotik, ada pula fiksasi simbiotik. Fiksasi simbiotik

adalah bentuk fiksasi biologi Nitrogen atmosfer yang dilakukan oleh

mikroorganisme hidup yang berasosiasi dengan akar tanaman. Bakteri yang

berasosiasi dengan akar tanaman adalah dari genus Rhizobium. Bakteri ini

memiliki kemampuan mengkonversi Nitrogen menjadi bentuk yang tersedia bagi

tanaman. Reaksinya berupa N2 + 6 e- + 8H+ 2NH4+.


28

Fiksasi Nitrogen membutuhkan energi berupa adenosintriphosphate

(ATP) untuk mereduksi N2 menjadi ammonia. Di dalam bakteri Rhizobium, ATP

diperoleh dari degradasi gula dan molekul lainnya hasil fotosintesis yang

dilakukan oleh tanaman inang (host) (Suleman, 2014). Lebih lanjut dikatakan

bahwa fiksasi Nitrogen juga membutuhkan elektron untuk enzim Nitrogenase.

Elektron tersebut meliputi semua protein kecil dan molekul-molekul reduktif

seperti flavodoxin, ferredoxin, nicotinamide, atau adenin dinukleotida.

Tanah yang terlalu lembab atau tergenang dapat menghambat

perkembangan akar rambut dan tempat pembentukan nodul, dan menghambat

difusi oksigen di dalam sistem perakaran tanaman. Pada kasus tertentu seperti

Sesbania rostrata dan Aeschynomene sp. dapat aktif memfiksasi Nitrogen pada

kondisi tersebut karena nodul terdapat pada bagian batang, dibandingkan dengan

tanaman yang menghasilkan nodul pada akar.

Kekeringan dapat mengurangi jumlah Rhizobium di dalam tanah sehingga

menghambat nodulasi dan fikasi N2. Jika kekeringan berlanjut maka hal ini dapat

merusak nodul. Kemasaman (pH) tanah dapat menghambat kelangsungan hidup

dan pertumbuhan Rhizobia di dalam tanah dan menghambat nodulasi serta fiksasi

N2. Rhizobia dan akar tanaman inang bisa keracunan Al+3, Mn+2 dan H+, serta

ketersediaan Ca2+ dan H2PO4- juga menurun. Defisiensi Fosfor yang sering terjadi

pada daerah tropika basah dapat menghambat nodulai, fiksaasi N2 dan

pertumbuhan tanaman. Peranan mikoriza untuk meningkatkan serapan Fosfor

dapat dimanfaatkan untuk memacu fiksasi Nitrogen.


29

Nitrogen anorganik yang banyak di dalam tanah akan menghambat proses

infeksi dan juga fiksasi N2. Beberapa hara mikro seperti Cu, Mo, Co, dan B

dibutuhkan dalam proses fikasi N2. Kekurangan Mo dapat menghambat fiksasi

N2, karena Mo merupakan komponen dari enzim Nitrogenase yang berperan

langsung dalam konversi N2 menjadi NH3. Bentuk Nitrogen dalam tanah

dibedakan atas Nitrogen organik dan Nitrogen anorganik.

Lebih dari 90% Nitrogen pada lapisan tanah atas (top soil) yang berbentuk

organik dalam bentuk asam amino, gula amino, purin dan pirimidin serta

senyawa-senyawa kompleks lainnya (Prasad dan Power, 1997), selebihnya adalah

Nitrogen anorganik yang terikat pada mineral liat. Nitrogen organik tanah

terutama bersumber dari bahan organik yang telah mengalami proses humifikasi.

Nitrogen organik dapat dibedakan menjadi fraksi yang mudah mengalami

mineralisasi dan fraksi yang stabil (Barber, 1995). Asam amino dapat ditemukan

dalam larutan tanah atau pori mikro tanah, terikat kuat pada mineral liat atau

terikat pada koloid humus. Asam amino mudah mengalami mineralisasi yang

selanjutnya masuk ke dalam larutan tanah. Gula amino merupakan komponen

struktural dari mukopolisakarida yang ditemukan bercampuran dengan

mukopeptida dan mukoprotein (Havlin et al., 2005). Di dalam tanah, gula amino

ditemukan dalam bentuk alkali-polisakarida yang tidak larut dan sering disebut

khitin (chitin). Gula amino sukar larut dalam tanah, akan tetapi memegang

peranan penting sebagai sumber Nitrogen dan memperbaiki stabilitas agregat

tanah.
30

Nitrogen anorganik di dalam tanah ditemukan dalam bentuk nitrat (NO3-),

nitrit (NO2-), ammonium (NH4+) dapat ditukar, ammonium tidak dapat tukar

(terfiksasi), gas diNitrogen (N2) dan oksida nitrus (N2O). Dari aspek kesuburan

tanah, bentuk Nitrogen di dalam tanah yang paling penting adalah nitrat, nitrit,

dan ammonium karena bentuk inilah yang dapat diserap oleh tanaman. Kadar

Nitrogen anorganik tanah umumnya lebih rendah dari Nitrogen organik tanah

yakni pada kisaran 2% sampai 5% Nitrogen dari volume tanah.

Nitrogen yang ada atau diaplikasikan ke dalam tanah akan mengalami

proses transformasi secara terus menerus dari bentuk organik menjadi anorganik

(mineralisasi) atau sebaliknya dari anorganik menjadi organik (imobilisasi).

Kedua proses ini terjadi secara simultan. Mineralisasi Nitrogen merupakan proses

transformasi Nitrogen organik dari sisa-sisa tanaman, bahan organik tanah atau

pupuk kandang menjadi Nitrogen anorganik yakni ammonia (NH3) kemudian

menjadi ammonium (NH4+). Proses ini terjadi melalui perantaraan

mikroorganisme yang menjadikan bahan organik sebagai sumber energinya

(Jansson, 1982). Mineralisasi Nitrogen organik pada dasarnya terdiri dari 3 tahap

penting, yakni aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Aminisasi adalah proses

pembebasan senyawa asam-asam amino yang dilakukan oleh organisme

heterotrop seperti bakteri, jamur dan aktinomicetes. Proses aminisasi

digambarkan sebagai berikut (Rosmarkam dan Yuwono, 2002): Protein R – NH2

+ CO2 + senyawa lain + energi. Sedangkan amonifikasi adalah perombakan

senyawa amin atau asam amino oleh mikroba tanah yang membebaskan amoniak.

Prosesnya adalah sebagai berikut:


31

R – NH2 + H2O NH3 dan ROH + energi

NH3 + H2O NH4+ + OH

Begitu terbentuk amonium maka ada sejumlah proses yang mungkin terjadi

antara lain: terasimilasi oleh mikroba atau tanaman, terikat pada kompleks

pertukaran, terfiksasi pada mineral liat, bereaksi dengan bahan organik tanah

membentuk kompleks NH2- quinon, mengalami volatilisasi atau nitrifikasi

(Havlin et al., 2005). Sementara itu, nitrifikasi merupakan proses oksidasi biologi

amoniak menjadi ammonium dan nitrit. Proses transformasinya adalah sebagai

berikut:

2 NH4+ + 3 O2 2 NO2- + 2 H2O + 4 H+ (Nitrosomonas)

2 NO2- + 1 O2 2 NO3- (Nitrobacter, Nitrospina)

NH3 + O2 NO2- + 3 H+ + 2e-

NO2- + H2O NO3- + 2 H+ + 2e-

Proses nitrifikasi dapat terlaksana pada kondisi aerob, misalnya pada

tanah kering yang beraerasi baik. Pada tanah yang tergenang nitrifikasi akan

terhambat. Faktor lain yang berpengaruh terhadap nitrifikasi adalah pH tanah,

kadar lengas tanah dan suhu dalam tanah. Aktifitas mikroba berkisar pada pH 4,5

– 10,0 dengan pH optimum 8,5. Nitrifikasi juga berlangsung sangat cepat pada

kadar air kapasitas lapang. Makin meningkat suhu tanah maka makin cepat proses

nitrifikasi berlangsung.

Transformasi Nitrogen dalam bentuk imobilisassi adalah transformasi

Nitrogen anorganik (NH4+ dan NO3-) menjadi Nitrogen organik seperti asam

amino dan protein melalui perantara mikroorganisme (Foth dan Ellis, 1997).
32

Konversi Nitrogen anorganik menjadi Nitrogen organik mengakibatkan Nitrogen

tidak tersedia bagi tanaman secara temporer. Selama imobilisasi, mikroba

berkompetisi dengan akar tanaman untuk memperebutkan NH4+ dan NO3-

sehingga tanaman bisa mengalami kekurangan Nitrogen. Kompetisi ini akan lebih

intens ketika kita aplikasikan material organik seperti jerami yang mempunyai

rasio C/N sekitar 60. Hal ini terjadi karena selama proses dekomposisi residu C/N

tinggi membutuhkan Nitrogen dari dalam tanah. Akan tetapi, ketika karbon di

dalam residu tanaman sudah berkurang atau habis terkonsumsi oleh mikroba,

maka pada saat itu mikroba kekurangan pasokan karbon sehingga mikroba mati.

Pada saat itulah mikroba melepaskan kembali Nitrogen dalam bentuk ammonium

yang tersedia bagi tanaman.

Nitrogen (N) dalam tanaman bergabung dengan unsur C, H, O, S

membentuk asam-asam amino, enzim-enzim amino, asam nukleat, klorofil,

alkaloid, dan basa purin. Menurut Mengel dan Kirkby (1987) bahwa Nitrogen

bekorelasi erat dengan perkembangan jaringan meristem, sehingga sangat

menentukan pertumbuhan tanaman. Pada tanaman, amonium lebih banyak

terserap dibandingkan dengan nitrat. Hal ini dikarenakan amonium segerah dapat

diinkorporasikan ke bentuk N-organik penyusun konstituen organ-organ tanaman,

sedangkan jika nitrat yang diserap, sebelum diinkorporasikan nitrat lebih dahulu

mengalami serangkaian reaksi denitrifikasi ke bentuk amonium yang

membutuhkan sejumlah energi kimia ATP (Jones, 1999), yang menurut Paul dan

Clark (1989) tidak begitu banyak bebeda dibandingkan dengan kebutuhan energi
33

kimia fiksasi N2 enzimatik. Hal ini berarti penyerapan amonium lebih

mengefisienkan penggunaan energi ATP dibandingkan dengan penyerapan nitrat.

Nitrat yang diserap mengalami serangkaian proses reduksi di dalam sel-

sel tanaman: 1) nitrat direduksi menjadi nitrit (NO2-), lalu 2) nitrit ini direduksi

menjadi amonia (NH3) (identik dengan nitrifikasi dalam tanah). Proses reduksi

menjadi amonia ini terjadi pada bagian hijau daun (kloroplast). Dalam proses ini

digunakan sejumlah ATP, oleh karena itu pada padi sawah yang banyak

menyerap amonium, sebagian besar reaksi reduksi ini tidak terjadi, sehingga

penggunaan energi ATP pada padi sawah menjadi lebih efisien. Konsekuensinya

kebutuhan pupuk fosfor dapat ditekan. Hal ini juga berarti bahwa penggunaan

pupuk amonium/Urea lebih efektif terhadap padi sawah dibandingkan dengan

pupuk nitrat, tetapi sebaliknya terhadap padi ladang.

Ion amonium dan amoniak dihasilkan dalam sel-sel tanaman melalui

proses fotorespirasi dalam siklus oksidasi karbon atau dari proses degradasi

metabolik terhadap cadangan protein selama perkecambahan biji. Asimilasi

ammonia ini digunakan untuk proses metabolisme lain. Akumulasi amoniak yang

sedikit berlebihan akan menjadi toksik bagi tanaman. Amoniak ini sebahagian

besar diasimilasi membentuk asam glutamat yang berfungsi sebagai konstituen

dasar dalam biosintesis asam-asam amino dan asam nuklet (DNA dan RNA).

Pada proses biosintesis, tahap awalnya adalah reaksi bolak-balik trans-aminasi

yang diaktivasi oleh enzim transaminase atau aminotransferase dan menghasilkan

asam aspartat dan asam keto. Asam aspartat ini selanjutnya diubah menjadi

aspargin, amida yang menyerupai glutamin, yang bersama asam-asam amino lain
34

seperti asam glutaman, merupakan senyawa nitrogen yang ditranslokasikan

melalui phloem ke bagian tanaman lainnya.

Unsur nitrogen adalah unsur yang cepat kelihatan pengaruhnya pada

tanaman. Unsur ini berperan utama dalam: merangsang pertumbuhan vegetatif

(batang dan daun); meningkatkan jumlah anakan dan meningkatkan jumlah bulir

batang-1. Kekurangan unsur N menyebabkan: pertumbuhan kerdil; daun

menyempit, menguning dan cepat rontok, serta sistem perakaran terbatas.

Sedangkan kelebihan unsur N menyebabkan: pertumbuhan vegetatif menjadi

dominan (lambat panen); mudah rebah; cenderung sekulen, daun berwarna hijau

kebiru-biruan, daun lebih tebal, pertumbuhan pucuk lebih pesat, menurunkan

kualitas bulir dan jaringan tubuh tanaman menjadi lemah sehingga mudah

terserang hama penyakit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk Urea 100 kg ha-1

nyata meningkatkan hasil padi gogo kultivar lokal Pendok sebesar 7,08 ton ha-1

gabah kering giling (GKG) (Zainal et al., 2012). Hasil penelitian lainnya

menyimpulkan bahwa pupuk nitrogen nyata meningkatkan tinggi tanaman,

jumlah anakan produktif, produktivitas gabah, panjang malai Sugiyanta (2007),

ukuran daun, jumah gabah malai-1, persentaase gabah isi dan kandungan protein

gabah (Doberman dan Fairhurst, 2000). Sementara itu, dosis anjuran berdasarkan

Peraturan Menteri Pertanian tahun 2007 yakni (Urea 200 kg ha-1 dengan

produktivitas rendah kurang dari 5 ton ha-1; Urea 250-300 kg ha-1 dengan

produktivitas sedang 5-6 ton ha-1; Urea 300-400 kg ha-1 dengan produktivitas

tinggi > 6 ton ha-1) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007).
35

Selanjutnya, BalitBang Pertanian tahun 2009 menganjurkan untuk penggunaan

urea yakni sebanyak 225 kg ha-1 dan Petrokimia Gresik menganjurkan untuk

penggunaan urea pada tanaman padi yakni sebesar 300 kg ha-1 (www.petrokimia-

gresik.com). Sedangkan berdasarkan Layanan Konsultasi Padi (LKP) atas

kerjasamanya dengan International Rice Research Institute (IRRI) bahwa

penggunaan urea di wilayah Kota Baubau yakni sebesar 200 kg ha-1

(http://webapps.irri.org/nm/id/index.php).

Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah pupuk Nitrogen yang

diberikan kepada tanaman senantiasa memperhatikan faktor jenis tanah, iklim

maupun jenis tanaman.

2.5.2 Pupuk Fosfor

Fosfor (P) merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar (hara

makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen

dan kalium. Tetapi, fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life). Fosfor

dibutuhkan tanaman dalam berbagai proses antara lain sebagai penyusun energi

(ATP), pengembangan organ reproduktif, pertumbuhan akar, pematangan buah

dan sintesis protein (Suleman, 2014). Fosfor dapat menangkap dan mengubah

energi matahari menjadi senyawa-senyawa yang sangat berguna bagi tanaman.

Jika kandungan P berlebihan, umur tanaman seakan-akan menjadi lebih pendek

dibandingkan dengan tanaman yang normal (Rosmarkam et al., 2002).

Metabolisme karbohidrat pada daun dan pemindahan sukrosa juga dipengaruhi

oleh P-anorganik walaupun mungkin secara tidak langsung. Pada proses pertama,

penyusunan sukrosa dan heksosa memerlukan fosfat energi tinggi (ATP dan
36

UTP). Oleh karena itu, P-anorganik diperlukan dalam sel-sel daun waktu

penyusunan karbohidrat.

Hara P bersifat mobil di dalam tanaman sehingga kekurangan pada salah

satu bagian tanaman dapat dipasok dari bagian tanaman lainnya. Ketika tanaman

menua atau matang, sebagian besar hara P dipindahkan ke biji atau buah, atau

ketika tanaman mengalami defisiensi, maka P akan ditranslokasikan dari jaringan

tanaman tua ke bagian tanaman yang masih muda dan aktif. Kekahatan P lebih

sulit di-diagnosis dibandingkan dengan kekahatan N dan K, karena tanaman

biasanya tidak metampakkan gejala-gejala yang jelas, selain pertumbuhan awal

yang kerdil. Gejala defisiensi P umumnya tampak pada tanaman muda yang

masih membutuhkan pasokan P yang besar dibandingkan dengan tanaman tua

(Suleman, 2014).

Umumnya daun dan batang berwarna hijau gelap dan pertumbuhan

terhambat. Tanaman yang menderita defisiensi P tampak lemah dan pematangan

buah tertunda. Kekahatan P pada tanaman jagung umumnya tampak pada

tanaman muda ditandai dengan daun berwarna ungu. Tanaman yang tumbuh pada

tanah dengan kadar CaCO3 dapat mengalami defisiensi P akibat presipitasi Ca-P

menjadi mineral tidak larut. Sebaliknya terlalu banyak pasokan P tanah dapat

mengakibatkan defisiensi Zn atau Fe (Jones, 1999; Havlin et al., 2005).

Kadar P-total dalam tanah bervariasi antara 0,05% - 0,15% (Havlin et al.,

2005). Total jumlah fosfor pada lapisan topsoil rata-rata 1.000 kg P ha-1 yang

tidak berbeda jauh dengan yang terangkut tanaman yakni sekitar 10-40 kg P ha-1

(Munawar, 2011). Hal ini disebabkan karena sebahagian besar fraksi P berada
37

dalam bentuk mineral yang tidak tersedia bagi tanaman. Umumnya kadar fosfor

dalam bahan organik adalah 1%, yang berarti dai 1 ton bahan organik tanah

bernisbah C/N = 10 (matang) dapat dibebaskan 10 kg Fosfor (setara 22 kg SP-

36). Jika tanah mengandung 1% bahan organik, berarti terdapat 200 kg P-organik

ha-1, yang dimineralisasikan secara perlahan tergantung aktivitas jasad perombak

bahan organik tanah, yang tercermin dari penurunan nisbah C/N nya.

Jika dibandingkan dengan nitrogen, P-tersedia dalam tanah relatif lebih

cepat menjadi tidak tersedia, karena: 1) terikat oleh kation tanah (terutama Al dan

Fe pada kondisi masam atau dengan Ca dan Mg pada kondisi netral) yang

kemudian mengalami presipitasi (pengendapan), atau 2) terfiksasi pada

permukaan positif koloidal tanah (liat dan oksida Al / Fe) atau lewat pertukaran

anion (terutama dengan OH-). Sumber Fosfor larutan tanah, terutama dari hasil

desintegrasi dan pelapukan batuan / bahan induk yang mengandung mineral apatit

[Ca10 (PO4)6 (F, Cl, OH)2], seperti fluor apatit, khlor apatit dan hidroksi apatit

(Barber, 1995), juga berasal dari mineralisasi P-organik hasil dekomposisi sisa-

sisa tanaman yang mengimmobilisasikan Fosfor dari larutan tanah dan hewan

(Hanafiah, 2009).

Fosfor dalam tanah berada dalam bentuk P-organik dan P-anorganik. P-

organik terdapat pada sisa tanaman, binatang tanah dan jasad renik. Setengah atau

lebih Fosfor pada horizon A berada dalam bentuk P-organik; jumlahnya sangat

tergantung pada kadar bahan organik tanah. Kadar P-organik pada lapisan topsoil

dilaporkan dapat mencapai 50% atau lebih. P-organik tanah dapat digolongkan

menjadi 3 bentuk, yakni: inositol fosfat, asam nukleik, dan fosfolipida (Foth dan
38

Elis, 1997). Inositol fosfat (10-50%) sangat resisten terhadap dekomposisi.

Bentuk yang paling umum adalah myo-inositol heksafosfat, yang juga disebut

asam phytic C6H6 (OHPO3)6, yang mempunyai 6 kelompok orthophosphate

(H2PO4-) yang terikat pada atom karbon cincin benzena.

Asam nukleik banyak ditemukan pada bahan organik segar, yang

terdekomposisi dengan cepat di dalam tanah. Ada dua bentuk asam nukleik, yakni

RNA dan DNA dilepaskan ke dalam tanah dalam jumlah besar dibandingkan

dengan inositol, dan terdegradasi lebih cepat. Fosfolipida (5%) adalah senyawa P-

organik yang tidak larut dalam air, tetapi mudah disintesis oleh mikroba tanah.

Meskipun P-organik terdapat pada lapisan olah, akan tetapi bentuk ini tidak

tersedia bagi tanaman. Seperti halnya nitrogen, P-organik dikonversi menjadi P-

anorganik melalui proses mineralisasi. Proses sebaliknya juga dapat terjadi yakni

konversi P-anorganik menjadi P-organik ke dalam tubuh mikroorganisme

(imobilisasi). Kedua proses ini berlangsung secara simultan di dalam tanah. Oleh

karena itu rasio C:P sangat menentukan proses mineralisasi-imobilisasi fosfor di

dalam tanah.

 Jika rasio C;P lebih kecil dari 200:1, mineralisasi net akan lebih dominan.

Mineralisasi net ini merupakan indikasi bahwa Fosfor cukup tersedia untuk

keberlanjutan hidup tanaman dan mikroorganisme.

 Jika rasio C;P antara 200:1 dan 300:1, mineralisasi dan imobilisasi net

cenderung seimbang.
39

 Jika rasio C;P lebih besar dari 300:1, imobilisasi net cenderung terjadi.

Selama proses imobilisasi, fosfor tidak cukup tersedia bagi kelangsungan

hidup tanaman dan mikroba. Mikroba cenderung menguras P tanah.

Di wilayah tropis, kadar P-organik dapat mencapai 700 kg ha-1 atau lebih,

sehingga dapat melepaskan 35 kg P ha-1. Hal ini mengakibatkan pemberian

Fosfor kadang tidak mendapat respon dari tanaman. Ion P di dalam larutan tanah

ditemukan dalam dua bentuk, yakni H2PO4- atau HPO= dan ketidaktersediaan P

bagi tanaman keberadaannya sangat tergantung pada pH tanah. Pada pH di bawah

5,6, kelarutan Fe (hara mikro toksik) dan Al (unsur toksik) meningkat sehingga

memfiksasi dan mengendapkan P larutan membentuk Al-P dan Fe-P (koloid)

yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi variscit (AlPO4.2H2O) dan

strengit (FePO4.2H2O).

Pengendapan P oleh Ca [menjadi kalsium trifosfat Ca3(PO4)2 yang relatif

masih mudah larut] mulai terjadi pada pH 6,0 dan kristalisasi koloid ini menjadi

apatit meningkat pada pH di atas 7,0 selaras dengan meningkatnya kelarutan Ca

dan OH-, sehingga pertukaran antaranion P dan OH- pada struktur Ca-koloidal

juga meningkat. Penurunan ketersediaan P pada pH di atas netral juga disebabkan

adanya ionisasi bentuk ion H2PO4- oleh OH- menjadi HPO4= yang relatif lebih

lambat diserap tanaman, dengan intensitas selaras peningkatan kadar anion

hidroksil tersebut.

Pada tanah-tanah tropika yang umumnya mengalami intensitas pelapukan

tinggi, bentuk-bentuk P terfiksasi di atas dapat terselubung oleh oksida-oksida Fe

dan atau Al membentuk P-terselubung yang kelarutannya sangat rendah. Hal ini
40

menyebabkan pada tanah-tanah tua (seperti oksisol dan ultisol) ketersediaan P

menjadi sangat rendah, meskipun kadangkala total kandungan P-nya cukup

tinggi.

Anion P begitu terlarut menjadi target fiksasi (oleh muatan positif koloid /

kristal dan kation), sehingga tidak mudah terbawa aliran massa atau berdifusi.

Konsekuensinya, anion ini sedikit sekali mengalami pelindian atau bergerak ke

tempat lain (tidak mobil), yang berakibat rendahnya efektivitas pemupukan jika

hanya ditebar di permukaan tanah. Tingginya fiksasi pada tanah-tanah tua

menyebabkan hanya 10-20% sisa P-pupuk yang diberikan ke dalam tanah yang

dapat dimanfaatkan tanaman musim berikutnya.

Beberapa faktor yang dapat menurunkan fiksasi P, antara lain (Havlin et

al., 2005): 1) adanya anion lain seperti silikat, karbonat, sulfat, arsenat dan

molybden akan bersaing dengan phosphate menempati kompleks jerapan; 2)

bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan P tanah. Mekanisme ini dapat

terjadi melalui beberapa cara:

 bahan organik membentuk kompleks phosphat organik yang dapat

meningkatkan serapan P oleh tanaman.

 Anion-anion organik dapat juga mengganti posisi P yang terfiksasi atau

dengan kata lain melepaskan P dari kompleks jerapan.

 Humus membungkus oksida Al dan Fe, sehingga P terfiksasi menurun.

 Bahan organik juga merupakan sumber P melalui proses mineralisasi;

 penggenangan (flooding) dapat menurunkan fiksasi P.


41

Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion anorganik cepat berubah

menjadi senyawa fosfor organik. Fosfor ini mobile antar jaringan tanaman. Kadar

optimal fosfor dalam tanaman pada saat pertumbuhan vegetatif adalah 0,3% -

0,5% dari berat kering tanaman. Ion fosfat dalam tanaman umumnya dalam

bentuk oksida. Fosfat setelah diserap dalam bentuk H2PO4- umumnya cepat

diesterifikasi melalui gugusan hidroksil berantai C menjadi fosfat berenergi tinggi

misalnya ATP. Perubahan P-anorganik menjadi P-organik hanya memerlukan

waktu beberapa menit (Marschner, 1986). Tetapi P-organik ini cepat dilepaskan

menjadi P-anorganik lagi ke dalam jaringan xylem tanaman. Menurut Morard

(1996), setelah diserap oleh akar, P mula-mula diangkut ke daun muda, kemudian

dipindahkan ke daun yang lebih tua. Di samping itu, P juga banyak terdapat pada

jaringan organ floem, sehingga banyak yang beranggapan bahwa P mempunyai

fungsi translokasi unsur hara tanaman.

Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfor primer (H2PO4-)

dan ion ortofosfor sekunder (HPO4-) dan (PO4-). Menurut Tisdale dan Nelson

(1985) bahwa ada kemungkinan fosfor masih dapat diserap dalam bentuk lain,

yaitu bentuk pirofosfor dan metafosfor. Bahkan, Thompson (1978) menjelaskan

bahwa kemungkinan fosfor diserap dalam bentuk senyawa fosfor organik yang

larut air, misalnya asam nukleat, phitin, glukosa fosfat, dan fruktosa fosfat.

Pengaruh Unsur P terhadap tanaman sulit untuk dijelaskan secara detail,

tetapi fungsi unsur ini adalah sebagai berikut : memacu terbentuknya bunga, bulir

pada malai; menurunkan aborsitas, menunjang perkembangan akar halus dan akar

rambut; memperkuat jerami sehingga tidak mudah rebah dan memperbaiki


42

kualitas gabah. Adapun kekurangan fosfor menyebabkan pertumbuhan kerdil;

jumlah anakan sedikit dan daun meruncing berwarna hijau gelap. Hasil penelitian

Syamsiyah (2008) bahwa peningkatan hara fosfor akan meningkatkan

pertumbuhan vegetatif tanaman padi gogo seperti tinggi tanaman, jumlah anakan,

jumlah daun dan indeks luas daun (ILD).

Penggunaan fosfor pada tanaman padi, dosis anjuran berdasarkan

Peraturan Menteri Pertanian tahun 2007 yakni (fosfor tinggi = 100 kg ha-1,

sedang = 75 kg ha-1, rendah = 50 kg ha-1) (Deptan, 2007). Bahkan, BalitBang

Pertanian tahun 2009 menganjurkan untuk penggunaan SP-36 yakni sebesar 125

kg ha-1, sedangkan Layanan Konsultasi Padi (LKP) atas kerjasama dengan

International Rice Research Institute (IRRI) menyarankan bahwa penggunaan

pupuk SP-36 sebesar 50 kg ha-1 untuk digunakan pada tanaman padi

(http://webapps.irri.org/nm/id/index.php).

2.5.3 Pupuk Kalium

Kalium merupakan unsur hara makro kedua setelah nitrogen yang paling

banyak diserap tanaman. Di kerak bumi, kadar kalium cukup tinggi, yakni sekitar

2,3% (analisis fusion) yang kebanyakan terikat dalam mineral primer atau

terfiksasi dalam mineral sekunder dari mineral lempung (clay) (Rosmarkam et

al., 2002), sedangkan bahan induk dan tanah-tanah muda umumnya mengandung

2 - 2,5% K atau 40 - 50 ton K ha-1 (Hanafiah, 2009).

Kalium dalam tanah tidak selalu dalam keadaan tersedia, tetapi masih

berubah menjadi bentuk yang lambat untuk diserap oleh tanaman (slowly

available). Hal ini disebabkan oleh bentuk kalium itu sendiri di dalam tanah,
43

yakni berupa K tidak tersedia (unavailable potassium), K lambat tersedia (slowly

available potassium), dan K mudah tersedia (readily available potassium).

Sekitar 90 - 98% K total tanah ditemukan dalam bentuk tidak tersedia.

Tanaman tidak dapat menyerap K di dalam bentuk kristalin yang tidak larut.

Sejalan dengan perkembangan waktu, mineral-mineral tersebut mengalami

pelapukan dan melepaskan K. Sekitar 1 - 10% bentuk K lambat tersedia karena

terperangkap di antara lapisan mineral liat, dan sering disebut fiksasi K sehingga

tidak dapat diserap oleh tanaman. Kalium lambat tersedia ini berfungsi sebagai

cadangan bagi K tersedia. Jumlah K terfiksasi dalam bentuk lambat tersedia

bervariasi menurut tipe mineral liat yang dominan.

Mineral montmorillonit menjerap K di antara lapisan liat pada saat kering,

kemudian dilepaskan kembali pada saat basah. Sedangkan mineral illit dapat

menjerap K pada saat kering, akan tetapi tidak melepaskan K ketika diberikan air.

Hal ini merupakan masalah dalam pemupukan K pada tanah yang banyak

mengandung mineral illit (Suleman, 2014). Sementara itu, 0,1 - 2% K yang larut

dari hasil pelapukan mineral atau bahan organik berada dalam larutan atau

teradsorpsi pada permukaan jerapan partikel liat akan mudah tersedia bagi

pertumbuhan tanaman. Ketika konsentrasi K di dalam larutan menurun, maka K

yang teradsorpsi pada mineral liat akan dilepaskan ke dalam larutan tanah.

Serapan K tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: 1) Kadar

lengas tanah. Pada kadar lengas tinggi umumnya banyak tersedia K tanah, oleh

karena gerakan ion K terutama melalui proses difusi. Jika tanah mengering, difusi

akan berkurang, sehingga akan menurunkan jumlah K berdifusi ke akar


44

(Munawar, 2011); 2) Kapasitas Tukar Kation (KTK). Peningkatan KTK akan

meningkatkan jumlah hara yang tersedia. Dengan mekanisme ini, tanah-tanah

dengan KTK tinggi dapat menjamin pasokan jumlah K yang tersedia bagi

tanaman; 3) Aerasi tanah. Udara dibutuhkan untuk respirasi akar dan serapan K.

Aktivitas akar dan serapan K menurun ketika kadar lengas mendekati jenuh air,

karena kadar oksigen menurun; 4) Suhu tanah. Semua proses fisiologis tanaman

akan meningkat ketika suhu tanah meningkat.

Peningkatan aktifitas fisiologi mengakibatkan peningkatan serapan K.

Suhu optimum untuk serapan K adalah 16 – 27oC. Serapan K menurun pada saat

suhu tanah rendah; 5) Sistem pengolahan. Tanah yang diolah dapat menciptakan

struktur dan aerasi yang baik sehingga air sebagai media difusi dapat mengangkut

K di sekitar perakaran tanaman. Sebaliknya tanpa olah tanah (no-till sistem) dapat

menurunkan serapan K (Suleman, 2014); 6) Keasaman (pH) tanah. pH tanah

berpengaruh terhadap fiksasi K (Rosmarkam et al., 2002; Hanafiah, 2009).

Kalium diserap tanaman dari larutan tanah dalam bentuk ion K+. Di dalam

tanaman, K berperan sebagai aktivator berbagai enzim, dan lebih dari 80% enzim

tanaman membutuhkan K untuk aktivasi (Baker dan Pilbeam, 2007). Kalium

adalah hara mobil di dalam tanaman dan akan bergerak dari bawah ke daun

bagian atas. Defisiensi K biasanya tidak langsung tampak atau biasa disebut

kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Unsur K rata-rata menyusun 1,0%

bagian tanaman. Unsur ini memiliki peran yang berbeda dibandingkan dengan N,

S dan P karena sedikit berfungsi sebagai penyusun komponen tanaman, seperti

protoplasma, lemak, dan selulosa, tetapi fungsi utamanya dalam pengaturan


45

mekanisme (bersifat katalitik atau katalisator) seperti fotosintesis, translokasi

karbohidrat, sintesis protein, dan lain-lain.

Secara fisiologis, unsur ini berfungsi dalam: metabolisme karbohidrat,

metabolisme nitrogen dan sintesis protein, pengaturan pemanfaatan berbagai

unsur hara utama, netralisasi asam-asam organik penting, aktivasi berbagai

enzim, percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem (pucuk,

tunas), dan pengaturan buka-tutup stomata dan hal-hal yang terkait dengan

penggunaan air (Hanafiah, 2009). Lebih jauh Mengel dan Kirkby (1987)

mengatakan bahwa kalium juga berperan mengatur tegangan turgor pada dinding

sel, sehingga jika tanaman defisiensi K tampak tidak tahan terhadap cekaman air,

karena tanaman tidak dapat memanfaatkan air secara maksimal.

Awalnya hanya pertumbuhan terhambat, dengan klorosis dan akhirnya

nekrosis (Mengel dan Kirkby, 1987). Melemahnya turgor batang, sehingga

mudah patah atau tanaman mudah rebah, kerentanan terhadap serangan penyakit,

menyebabkan rendahnya kualitas produktivitas buah dan sayur, menyebabkan

terganggunya aktivitas enzim invertase, diastase, peptase, dan katalase pada tebu,

dan piruvikinase pada beberapa tanaman lain merupakan ciri-ciri defisiensi unsur

kalium.

Selanjutnya defisiensi K juga menyebabkan proses fotosintesis terhambat

karena aktivitas enzim terhambat tetapi respirasi meningkat karena aktivitas

enzim meningkat, sehingga menghambat trasnsportasi karbohidrat (seperti gula

pada tebu) dan secara keseluruhan menghambat pertumbuhan. Terhambatnya

sintesis protein akibat terakumulasinya N-nonprotein pada daun. Pada tanaman


46

jagung, daun bagian bawah tampak berwarna coklat. Indikasi lain defisiensi K

adalah jumlah batang berkurang dan batang lemah pada tanaman gandum dan

jagung. Defisiensi K pada tanaman padi tampak ujung daun nekrotis dan

mengakibatkan pertumbuhan terganggu. Dengan adanya unsur kalium tersedia di

dalam tanah, menyebabkan antara lain: tanaman tumbuh tegar, merangsang

pertumbuhan akar dan tanaman lebih tahan terhadap hama dan penyakit.

Kelebihan kalium menyebabkan kadar magnesium pada daun menurun sehingga

daun menua dan pada tingkat terendah aktivitas fotosintesis terganggu.

Dosis anjuran berdasarkan Permentan tahun 2007 yakni (KCl tinggi =

100 kg ha-1, sedang = 50 kg ha-1, rendah = 50 kg ha-1) (Sofyan et al., 2000).,

BalitBang Pertanian tahun 2009 menganjurkan untuk penggunaan KCl yakni

sebesar 100 kg ha-1) dan Petrokimia Gresik menganjurkan penggunaan KCl

sebanyak 75 kg untuk tanaman padi (www.petrokimia-gresik.com),

2.6 Pupuk Bokashi

Bokashi merupakan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan

seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan hewan lainnya yang telah

difermentasi dengan menambahkan larutan yang mengandung mikroorganisme

yang efektif memperbaiki kesuburan tanah berupa Effective Microorganisms

yang disingkat (EM). Selama ini pupuk organik masih diangggap sebagai

alternatif, jika pupuk anorganik tidak tersedia, padahal para ahli lingkungan

sudah semakin khawatir dengan pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan

yang berasal dari pabrik karena berpotensi mencemari air tanah, danau, sungai,
47

dan atmosfer. Selain dinilai berdampak buruk terhadap lingkungan, juga

disinyalir berdampak pada manusia.

Harga pupuk buatan pun semakin mahal bagi petani. Oleh karena itu,

semakin beralasan untuk mengurangi penggunaan pupuk buatan atau bahkan

menghentikannya sama sekali. Saat ini budidaya tanaman secara organik semakin

diminati masyarakat. Ini merupakan indikasi bahwa masyarakat semakin sadar

akan pentingnya kesehatan.

Pemanfaatan bokashi sebagai bahan organik mempunyai beberapa

kelebihan baik dari aspek fisik, kimia, maupun biologi tanah. Secara fisik, dapat

meningkatkan kapasitas tanah mengikat air (water holding capacity), sehingga

kemampuan tanah menyediakan air menjadi lebih banyak dan tanah lebih tahan

kekeringan. Bahan organik dapat memperbaiki stabilitas agregat tanah,

menyebabkan tanah lebih tahan terhadap erosi. Permeabilitas tanah bertekstur

pasir menurun, sedangkan tanah bertekstur lempung meningkat. Bahan organik

dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah menjadi lebih ringan untuk

diolah dan mudah ditembus akar (Cooperband, 2002).

Secara kimia, bahan organik merupakan gudang unsur hara di dalam

tanah, karena proses mineralisasi akan melepaskan unsur hara seperti N, P, K dan

unsur-unsur lainnya. Di dalam tanah, bahan organik mempunyai kemampuan

untuk mempertahankan perubahan pH tanah, dengan cara menjerap atau

melepaskan ion H+ ke dalam larutan tanah (buffer). Bahan organik dapat

meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, sehingga jika dilakukan

pemupukan dengan dosis tinggi, hara tanaman tidak mudah tercuci. Menurut para
48

ahli, KTK bahan organik sekitar 100 - 300 meq/100 g, lebih tinggi jika

dibandingkan dengan mineral liat lainnya di dalam tanah. Bahan organik menjadi

sumber karbon dan energi bagi mikroba tanah yang penting di dalam daur hara.

Dilaporkan juga bahwa bahan organik akan melepaskan senyawa-senyawa

organik yang dapat mengurangi efek negatif pestisida, dan bahan polutan lainnya

serta dapat mengkhelaton hara-hara mikro sehingga tidak hilang dari sistem

tanah-tanaman.

Bokashi sebagai bahan organik berperan dalam perbaikan sifat fisik dan

kimia tanah, maka bokashi sangat tepat digunakan pada tanah-tanah tropika

basah. Tanah-tanah di daerah tropika basah yang telah mengalami pencucian

berat, seperti Ultisol dan Oxisol mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang

kurang baik. Di Indonesia, luasannya mencapai 69,5% dari total luas lahan

pertanian. Top soil dangkal, peka tehadap erosi, pH rendah, KTK rendah, dan

kadar bahan organik rendah. Aplikasi pupuk organik diharapkan dapat

memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produktifitas.

Pupuk bokashi bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro

rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah banyak atau berperan juga untuk

mengurangi pemakaian pupuk anorganik. Menurut Noor dan Ningsih (2001),

bokashi merupakan pupuk lengkap, yang mengandung unsur hara makro dan

mikro. Kandungan unsur hara bokashi adalah nitrogen (N) sebesar 0,92 %,

fosfor ( P ) 0,23 %, kalium ( K ) 1,03 %, serta mengandung


49

Ca, Mg, dan sejumlah unsur mikro lainnya seperti Fe, Cu, Mn, Zn, Bo, dan Mo,

yang berfungsi sebagai bahan makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan

tanaman.

Menurut Sutono, et al., (1996), pemakaian pupuk organik secara kontinu

dan berkesinambungan akan memberikan keuntungan dan manfaat dalam

pemakaian jangka panjang yaitu: (1) Pupuk organik mampu berperan

memobilisasi atau menjembatani hara yang sudah ada ditanah sehingga mampu

membentuk partikel ion yang mudah diserap oleh akar tanaman. (2) Pupuk

organik berperan dalam pelepasan hara tanah secara perlahan dan kontinu

sehingga dapat membantu dan mencegah terjadinya ledakan suplai hara yang

dapat membuat tanaman menjadi keracunan. (3) Pupuk organik membantu

menjaga kelembaban tanah dan mengurangi tekanan atau tegangan struktur tanah

pada akar-akar tanaman (4) Pupuk organik dapat meningkatkan struktur tanah

dalam arti komposisi partikel yang berada dalam tanah lebih stabil dan cenderung

meningkat karena struktur tanah sangat berperan dalam pergerakan air dan

partikel udara dalam tanah, aktifitas mikroorganisme menguntungkan,

pertumbuhan akar, dan kecambah biji. (5) Pupuk organik sangat membantu

mencegah terjadinya erosi lapisan atas tanah yang merupakan lapisan

mengandung banyak hara. (6) Pemakaian pupuk organik juga berperan penting

dalam merawat/menjaga tingkat kesuburan tanah yang sudah dalam keadaaan

berlebihan pemupukan dengan pupuk anorganik/kimia dalam tanah. (7) Pupuk

organik berperan positif dalam menjaga kehilangan secara luas hara Nitrogen dan
50

fosfor terlarut dalam tanah (8) Keberadaan pupuk organik yang tersedia secara

melimpah dan mudah didapatkan.

Bahan organik dengan C/N tinggi seperti pupuk kandang sapi lebih besar

pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan

organik yang terdekomposisi seperti kompos, karena kompos memiliki

kemampuan memperbaiki sifat kimia tanah yaitu (1) penyediaan hara makro (N,

P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun

jumlahnya relatif sedikit. Penggunaan bahan organik dapat mencegah kahat unsur

mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif

dengan pemupukan yang kurang seimbang; (2) meningkatkan kapasitas tukar

kation (KTK) tanah; dan (3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion

logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn. Bahan organik juga

berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat

meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi

penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman,

sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (BB Litbang Sumberdaya

Lahan Pertanian, 2006).

Hasil penelitian Rover (2014) menyimpulkan bahwa perlakuan campuran

pupuk anorganik dan organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah

bulir malai-1, berat gabah kering batang-1, dan berat berangkasan kering tanaman

padi. Lebih jauh dikatakan oleh (Ade et al., 2015) bahwa pemupukan 50% bahan

organik dan 50% pupuk anorganik dari dosis anjuran merupakan perlakuan

terbaik terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan batang-1 tanaman padi gogo.
51

Hasil penelitian Edward (2014) menyimpulkan bahwa pemakaian pupuk KCl 100

kg ha-1 dapat meningkatkan hasil padi gogo. Berdasarkan atas petunjuk Layanan

Konsultasi Padi (LKP) kerjasama IRRI menyarankan bahwa wilayah Kota

Baubau untuk tanaman padi sebaiknya diberikan bahan organik sebesar 5 ton ha-1

(http://webapps.irri.org/nm/id/index.php).

Penggunaan pupuk dengan perilaku berlebihaakan atau melebihi dosis

yang dianjurkan akan mengakibatkan pada pemborosan energi dan menimbulkan

berbagai dampak negatif terhadap lingkungan (Goenadi dan Herman, 1999).

Pemupukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tingkaton haranya hanya

akan mengakibatkan gangguan pada tanaman budidaya (Juniati dan syamsiah,

2006).

2.7 Karakteristik, Morfologi, dan Fisiologi Tanaman Padi

Padi, selain ditanam di sawah dengan pengairan sepanjang musim, juga

ditanam di tegalan, tanah hutan yang baru dibuka, lahan pasang surut dan rawa,

sehingga terdapat istilah padi ladang, padi gogo, padi gogo rancah dan padi lebak

(Siregar, 1981). Menurut Prihatman (2008), padi dapat dibedakan menjadi padi

sawah dan padi gogo. Padi sawah biasanya ditanam di daerah dataran rendah

yang memerlukan penggenangan air, sedangkan padi gogo ditanam di dataran

tinggi pada lahan kering. Kultivar padi sawah mempunyai beberapa keunggulan

dibandingkan padi sawah, seperti tidak mudah rebah, tidak mudah rontok,

berdaya hasil tinggi tapi umumnya tidak tahan dengan penyakit.

Padi gogo merupakan salah satu tanaman padi yang dapat ditanam pada

lahan kering. Lahan kering mempunyai ketersediaan air yang sedikit sehingga
52

padi gogo yang ditanam di lahan kering harus mempunyai sifat toleran terhadap

kekeringan (Rahayu dan Harjoso, 2010). Cekaman kekeringan dapat

mempengaruhi proses fisiologi dan biokimia tanaman serta menyebabkan

terjadinya modifikasi anatomi dan morfologi tanaman (Islami et al.,1995).

Budidaya padi gogo di lahan kering dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu gogo dan ladang. Padi gogo adalah padi yang diusahakan ditanah tegalan

kering secara menetap, sedangkan padi ladang diusahakan secara tidak menetap

atau berpindah-pindah. Hitchcock (1971) mengklasifikasikan tanaman padi

(Oryza sativa L) dalam famili graminae, sub famili oryzaceae dan genus oryza.

Tanaman padi memiliki banyak kultivar, yang satu sama lain mempunyai

ciri tersendiri, akan tetapi diantara kultivar tanaman padi itu ada beberapa sifat

yang sama. Apabila dibandingkan dengan padi sawah, padi gogo mempunyai

kendala lebih banyak dalam sistem budidayanya antara lain peka terhadap

kekeringan, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif lebih sedikit,

luas permukaan daun lebih sempit, umur berbunga lebih lambat, persentase gabah

hampa lebih tinggi, dan bobot brangkasan lebih rendah (Rezkiyanti, 2000).

Padi gogo merupakan padi lahan kering yang ditanam dalam kondisi

kering. Syarat utama untuk tanaman padi gogo adalah kondisi tanah dan iklim

yang sesuai. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan faktor yang sangat

menentukan keberhasilan budidaya padi gogo karena kebutuhan air untuk padi

gogo hanya bergantung kepada curah hujan. Tanaman ini lebih peka terhadap

perubahan keadaan hujan dibandingkan padi sawah.


53

Padi gogo umumnya ditanam sekali setahun pada awal musim hujan. Di

Indonesia, padi gogo ditanam pada kondisi lingkungan yang beragam. Tanaman

ini dapat tumbuh pada daerah yang mempunyai ketinggian mencapai 1300 m dpl

dengan curah hujan 600-1200 mm selama fase pertumbuhan (Siregar, 1981).

Jumlah dan sebaran hujan merupakan komponen iklim yang penting dan

menentukan kesesuaian suatu lingkungan untuk pertumbuhan padi gogo. Pada

lahan kering, curah hujan dan kemampuan tanah memegang air menentukan

keberhasilan pertanam padi gogo. Suhu optimum yang dibutuhkan tanaman ini

berkisar 15-30°C.

Air merupakan komponen utama bagi pertumbuhan dan perkembangan

tanaman (Mulyaningsih, 2011). Padi gogo memerlukan air sepanjang

pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut hanya mengandalkan curah hujan.

Ketersediaan air memberikan pengaruh yang beragam pada fase vegetatif maupun

generatif (Aryanti, 2011) sehingga akan mempengaruhi produktifitas padi gogo.

Tanaman dapat tumbuh pada daerah mulai dari daratan rendah sampai daratan

tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45oLU sampai 45oLS dengan

cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah

hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan berturut-turut atau 1500-

2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim

kemarau produktivitas meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim

hujan, walaupun air melimpah produktivitas dapat menurun karena penyerbukan

kurang intensif. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl


54

dengan temperature 22-27oC sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan

temperature 19-23oC (Norsalis, 2011).

Padi gogo dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, sehingga jenis tanah

tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo. Sedangkan

yang lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia

dan biologi tanah atau dengan kata lain kesuburannya. Untuk pertumbuhan

tanaman yang baik diperlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu

45% bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% bagian udara,

pada lapisan tanah setebal 0 – 30 cm (Norsalis, 2011)..

Karakteristik lahan padi gogo cukup beragam sebagaimana beragamnya

kondisi iklim. Ekstur tanah bervariasi mulai dari berpasir hingga liat, keasaman

(pH) tanah bervariasi dari 3 sampai 10, kandungan bahan organik bervariasi

mulai 1 – 50% (BB Padi, 2015).

Dibandingkan padi gogo, padi sawah memiliki produktivitas yang tinggi.

Faktor yang menyebabkan produktivitas padi sawah lebih tinggi dibanding padi

gogo adalah karakteristik pertumbuhan padi sawah lebih baik dibandingkan

dengan padi gogo yaitu tanaman lebih pendek, jumlah anakan produktif lebih

banyak, luas daun lebih besar, pembungaan lebih cepat, persentase gabah hampa

lebih sedikit, produktivitas bahan kering lebih banyak, dan indeks hasil lebih

tinggi dari padi gogo (Yoshida, 1975). Akan tetapi, padi sawah akan berproduksI

dengan baik jika ditanam pada lahan yang sesuai. Untuk itu, tanah yang cocok

adalah tanah yang memiliki lapisan oksidasi di bawah permukaan air setebal 0-1

cm, lapisan reduksi setebal 25-30 cm dan diikuti lapisan bajak yang kedap air
55

(Sanchez, 1993). Keasaman tanah sebaiknya ber pH netral sehingga ketersediaan

hara dalam kondisi optimal dan unsur hara tertentu yang dapat meracuni tanaman

mengendap (Adiningsih dan Agus, 2005). Untuk mendapatkan tanah sawah yang

memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus.


56

BAB III. KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pikir

Padi gogo pada ekosistem lahan kering memiliki pertumbuhan dan

produktivitas yang lebih baik jika faktor–faktor pendukung pertumbuhan dan

produktivitas tanaman terpenuhi. Sistem budidaya padi gogo yang saat ini

dilakukan di lahan kering menghadapi berbagai cekaman yang ada seperti

cekaman air (kekeringan), cekaman fisik (struktur dan tekstur tanah yang kurang

baik), cekaman kimia (kekurangan nutrisi akibat jenis dan tingkat keasaman

tanah), atau campuran antar faktor cekaman tersebut. Kondisi tersebut yang

secara simultan menimbulkan tekanan berat pada tanah dan tanaman sehingga

berdampak pada produktivitas tanah dan tanaman menjadi rendah. Hal tersebut

menunjukan bahwa pengembangan padi gogo dihadapkan pada kendala yang

sangat kompleks, sehingga diperlukan perbaikan sistem budidaya.

Sistem budidaya padi Wakawondu di lahan kering dengan faktor

pembatas berupa ketersediaan air yang terbatas pada musim kemarau dapat

diatasi dengan cara budidaya padi di lahan sawah dengan kondisi jenuh air. Hal

ini diharapkan agar habitat padi gogo Wakawondu di lahan kering masih

menyerupai habitat alamianya dengan kebutuhan oksigen yang tercukupi, akan

tetapi kontinuitas kebutuhan air sebagai faktor pendukung pertumbuhan juga

tetap terjaga.

Mengatasi cekaman fisik dan kimia serta upaya mengoptimalkan

pertumbuhan dan produktivitas, pemberian pupuk diberikan dalam bentuk pupuk

organik maupun anorganik. Pupuk anorganik berupa N, P, K memiliki beberapa


57

keunggulan yakni mudah tersedia dengan kandungan hara yang tinggi, akan tetapi

harganya relatif lebih mahal secara ekonomis dan jika penggunaannya dilakukan

secara terus-menerus dan tidak terkontrol maka akan berdampak pada

pengrusakan ekosistem tanah (fisik, kimia, biologi tanah). Pada sisi lain, pupuk

organik dapat berperan dalam hal perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Kendatipun pupuk organik mengandung unsur hara yang lengkap, akan tetapi

kadar hara yang dikandung relatif rendah sehingga dibutuhkan dalam jumlah

besar untuk pengaplikasiannya. Mengingat pupuk organik yang sifatnya lambat

tersedia bagi tanaman, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan

memproses lebih lanjut sehingga terbentuk bahan organik berupa bokashi yang

relatif cepat tersedia bagi tanaman.

Budidaya padi Wakawondu di lahan sawah dengan kondisi jenuh air

adalah salah satu bentuk upaya mengatasi cekaman air dikala musim kemarau dan

kebutuhan oksigen bagi perakaran tanaman padi tetap terjaga. Akhirnya faktor-

faktor tersebut diduga dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman.

Akan tetapi, berapa dosis pupuk N, P, K dan bokashi yang tepat untuk mencapai

produktivitas padi Wakawondu yang optimal, kiranya masih perlu dilakukan

berbagai penelitian dan terintegrasi.

Penelitian ini akan mencari informasi yang berhubungan dengan respon

agronomi tanaman padi Wakawondu yang ditanam di lahan jenuh air dengan

pemberian bokashi yang dicampurankan dengan pupuk nitrogen, fosfor, dan

kalium guna mendapatkan informasi tentang peranan bokashi dalam


58

meningkatkan produksi serta kemampuan meningkatkan serapan pupuk

anorganik. Alur kerangka pikir diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.

Padi Gogo Wakawondu

Lahan Kering

 Cekaman Fisik
Penggunaan  Cekaman Kimia Penambahan
Pupuk N,P,K  Cekaman Biologi Bokashi

Produktivitas
Tanah dan Tanaman Rendah

Perbaikan Sistem Budidaya


(lahan jenuh air)
 Mudah tersedia  Memperbaiki sifat fisik,
 Kandungan hara tinggi kimia dan biologi tanah
 Harganya mahal  Kandungan hara lengkap
 Dapat merusak  Kadar hara rendah
ekosistem tanah (fisik,  Dibutuhkan dalam jumlah
kimia, biologi) banyak

Dosis Pupuk Yang Tepat


(N, P, K dan Bokashi)

Meningkatkan Produktivitas Tanah dan Tanaman

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian


59

3.2 Hipotesis

Berdasarkan uraian kerangka konseptual penelitian tersebut di atas dan

permasalahan yang dikemukakan, maka formulasi hipotesis atau dugaan

sementara penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat interaksi antara penggunaan bokashi dan campuran pupuk N, P,

K terhadap parameter agronomis padi gogo Wakawondu yang ditanam di

lahan jenuh air.

2. Penggunaan bokashi memberikan pengaruh terhadap parameter

agronomis padi gogo Wakawondu yang ditanam di lahan jenuh air.

3. Penggunaan campuran pupuk N, P, K memberikan pengaruh terhadap

parameter agronomis padi gogo Wakawondu yang ditanam di lahan jenuh

air.

4. Terdapat dosis pupuk yang tepat dalam meningkatkan parameter tumbuh

agronomis padi gogo Wakawondu di lahan jenuh air.


60

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan sawah di Kelurahan Ngkaringkari

Kota Baubau. Secara geografis, Kelurahan Ngkaringkari berada di bagian Selatan

garis khatulistiwa diantara 05,18° - 05,22° Lintang Selatan dan di antara 122,36°

- 122,44° Bujur Timur atau terletak di sebelah Selatan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah tanah ultisol yang berada pada

ketinggian 34 meter dari permukaan laut dengan curah hujan antara 0 - 149,8 mm

(CH rata-rata 50,45 mm/bulan selama penelitian). Tekanan udara 1015, 33 mb,

kelembaban udara 83%, kecepatan angin rata-rata 3,38 knot. (Stasiun BMG

Betoambari – Baubau). Suhu udara rata-rata selama penelitian 25,0-27,5oC

(Lampiran 27). Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2016 sampai Desember

2016.

4.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; benih padi

lokal kultivar Wakawondu, EM4, Natrium Hypoclorit, garam dapur (NaCl),

pupuk kandang sapi, sekam padi, dedak, gula pasir, air, terpal, pupuk Urea, SP-

36, KCl, aluminium foil, ice blue, isolasi plastik, bahan analisis, plastik ukuran

100 x 60 cm, paranet, bambu, kayu balok, karung goni, dan tali rafia.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah; kamera digital, label,

gembor, hand sprayer, garpu tanah, loyang, ember, kayu pengaduk, kaos tangan,

termometer, cool box, cangkul, parang, pisau, meteran, mistar geser, timbangan

analitik, alat-alat pengujian tanah, oven, cutter, dan alat tulis menulis.
61

4.3 Metode Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan kultivar padi gogo lokal “Wakawondu”

dimana kultivar ini merupakan salah satu kultivar yang memiliki produktivitas

yang baik di antara kultivar lokal lainnya yang ada di pulau Buton. Kultivar ini

memiliki rasa nasi yang enak, aromatik, pulen, dan sangat disukai oleh

masyarakat lokal (Buton). Benih kultivar ini diperoleh dari kebun petani di

kabupaten Buton Utara.

Pelaksanaan Percobaan:
Metode:

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot design)

dalam Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari dua faktor, yaitu:

Faktor pertama adalah bokashi (kotoran sapi yang telah difermentasi

dengan tambahan larutan EM4) (A) sebagai Petak Utama, terdiri atas lima taraf,

yakni dosis pupuk 0 ton ha-1 (A0), dosis pupuk 2 ton ha-1 (A1), dosis pupuk 4 ton

ha-1 (A2), dosis pupuk 6 ton ha-1 (A3), dosis pupuk 8 ton ha-1 (A4).

Faktor kedua adalah campuran pupuk N (Urea), P (SP-36), K (KCl)

sebagai Anak Petak (B) yang terdiri dari lima taraf, yakni: B0 = 0 kg ha-1 Urea +

0 kg ha-1 SP-36 + 0 kg ha-1 KCl; B1 = 62,50 kg ha-1 Urea + 31,25 kg ha-1 SP-36 +

25 kg ha-1 KCl; B2 = 125 kg ha-1 Urea + 62,50 kg ha-1 SP-36 + 50 kg ha-1 KCl;

B3 = 187,50 kg ha-1 Urea + 93,75 kg ha-1 SP-36 + 75 kg ha-1 KCl; B4 = 250 kg

ha-1 Urea + 125 kg ha-1 SP-36 + 100 kg ha-1 KCl.

Dengan demikian, diperoleh 25 campuran perlakuan. Masing-masing

perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 75 unit percobaan (75 petak). Setiap
62

petak ditanami padi dengan jarak tanam 20 cm x 25 cm yang menghasilkan 30

tanaman sehingga secara keseluruhan terdapat 2.250 tanaman.

Dosis campuran pupuk N, P, K yang digunakan didasarkan pada dosis

anjuran yakni 25% dosis anjuran, 50% dosis anjuran, 75% dosis anjuran, dan

100% dosis anjuran.

Dosis yang digunakan dalam percobaan ini adalah modifikasi dari

beberapa dosis anjuran sebagai rujukan, yakni:

1) Peraturan Menteri Pertanian tahun 2007, yakni Urea = 250-300 kg ha-1,

Fosfor =100 kg ha-1, KCl = 50 kg ha-1;

2) BalitBang Pertanian tahun 2009, yakni Urea = 250 kg ha-1, SP-36 = 125

kg ha-1, KCl = 100 kg.ha-1;

3) Layanan Konsultasi Padi (LKP) dimana Urea sebesar 200 kg ha-1, SP-36

sebesar 50 kg ha-1, dan bahan organik sebesar 5 ton ha-1)

(http://webapps.irri.org/nm/id/index.php).

Dari ketiga rujukan dosis anjuran tersebut kemudian dikompilasi dan menetapkan

satu dosis anjuran, yakni Urea = 250 kg ha-1, SP-36 = 125 kg ha-1, dan KCl = 100

kg ha-1. Sementara itu, untuk dosis bahan organik berupa bokashi ditetapkan

sebesar 2 ton ha-1, 4 ton ha-1, 6 ton ha-1, dan 8 ton ha-1.

Tata letak satuan percobaan terlihat pada Lampiran 1. Adapun susunan

perlakuan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.


63

Tabel 1. Susunan Kombinasi Perlakuan


No Perlakuan Dosis Pupuk
Bokashi Urea SP-36 KCl
(ton ha-1) (kg ha-1) (kg ha-1) (kg ha-1)
1 A0B0 0 0,00 0,00 0,00
2 A0B1 0 62,50 31,25 25,00
3 A0B2 0 125,00 62,50 50,00
4 A0B3 0 187,50 93,75 75,00
5 A0B4 0 250,00 125,00 100,00
6 A1B0 2 0,00 0,00 0,00
7 A1B1 2 62,50 31,25 25,00
8 A1B2 2 125,00 62,50 50,00
9 A1B3 2 187,50 93,75 75,00
10 A1B4 2 250,00 125,00 100,00
11 A2B0 4 0,00 0,00 0,00
12 A2B1 4 62,50 31,25 25,00
13 A2B2 4 125,00 62,50 50,00
14 A2B3 4 187,50 93,75 75,00
15 A2B4 4 250,00 125,00 100,00
16 A3B0 6 0,00 0,00 0,00
17 A3B1 6 62,50 31,25 25,00
18 A3B2 6 125,00 62,50 50,00
19 A3B3 6 187,50 93,75 75,00
20 A3B4 6 250,00 125,00 100,00
21 A4B0 8 0,00 0,00 0,00
22 A4B1 8 62,50 31,25 25,00
23 A4B2 8 125,00 62,50 50,00
24 A4B3 8 187,50 93,75 75,00
25 A4B4 8 250,00 125,00 100,00

Untuk mengetahui pengaruh dari seluruh perlakuan digunakan Analysis of

Variance (ANOVA), jika berbeda nyata dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan

(Duncan’s multiple range test) pada taraf kepercayaan 95% dengan menggunakan

program SAS for Window versi 9.0. Untuk melihat hubungan antara variabel

penelitian dilakukan uji korelasi menggunakan program Minitab for Window

versi 7,0.
64

Pelaksanaan Penelitian:
Penyediaan Bokashi

Untuk memenuhi keperluan pupuk bokashi selama penelitian maka disiapkan

bokashi sekitar 50 kg. Pembuatan bokashi ini didasarkan pada petunjuk

pembuatan bokashi (https://agroteknologi.web.id/panduan-dan-cara-membuat-

pupuk-bokashi/).

Untuk menghasilkan bokashi, bahan-bahan berupa 50 ml EM4 yang

ditambahkan dengan 3 sendok makan (sdm) gula pasir kemudian dilarutkan

dalam 5 liter air bersih. Sebanyak 75 kg pupuk kandang sapi kering (diperoleh

dari peternak sapi) ditambahkan dengan 2 kg sekam padi kering dan 2 kg dedak

yang ketiga bahan tersebut dicampur secara merata hingga berbentuk adonan.

Larutan yang telah mengandung EM4 kemudian disiramkan secara

perlahan dan merata ke dalam adonan sampai struktur adonan menjadi kenyal

dengan kadar air ± 30% dengan ciri bila dikepal dengan tangan air tidak keluar

dari adonan. Selanjutnya adonan digundukan dan diratakan di atas terpal dengan

ketebalan ±20 cm.

Langkah selanjutnya adonan ditutup dengan terpal dan dibiarkan selama 7

hari agar terjadi proses fermentasi. Suhu gundukan adonan dipertahankan pada

40oC – 50oC, dan pengecekan suhu di siang hari dilakukan setiap 5 jam sekali.

Setelah hari ke-8, bokashi telah selesai terfermentasi dengan ciri-ciri; hitam,

gembur, tidak panas, dan tidak berbau busuk (Lampiran 26).


65

Pengolahan Tanah

Tanah sawah sesuai ukuran yang disiapkan, diolah secara merata sampai

gembur dengan menggunakan handtractor. Tanah hasil olahan selanjutnya

dibersihkan dari sisa-sisa tanaman ataupun rerumputan (gulma) yang ada. Pada

pembuatan media tanam, terlebih dahulu membuat petak percobaan dengan

ukuran kurang lebih 40 m x 8 m. Selanjutnya di dalam petak percobaan dibuat

petakan kecil dengan ukuran 1,0 m x 1,5 m. Ketinggian petakan kecil (bedengan)

adalah ± 15 cm, dengan jarak antarpetakan 50 cm. Jarak antarpetakan berfungsi

sebagai saluran draenase dengan ketinggian permukaan air draenase ± 5 cm.

Keseluruhan bedengan sebanyak 75 bedengan yakni sesuai dengan jumlah

perlakuan dan ulangan (Lampiran 1).

Karakteristik media tanam yang dibuat adalah dalam kondisi jenuh air

walaupun tidak dalam kondisi tergenang air sebagaimana budidaya padi sawah

pada umumnya. Media tanam yang jenuh air ini bertujuan agar media tanam tetap

terjaga kelembabannya khususnya daerah perakaran. Kelembaban media ini

diperoleh dari air rembesan yang berasal dari draenase antar petak percobaan

(Lampiran 26).

Persiapan Tanam

Setiap petakan kecil diberi label dan diberikan pupuk bokashi sesuai dosis

yang telah ditetapkan untuk masing-masing perlakuan. Bokashi diberikan dengan

cara ditaburkan secara merata ke seluruh petak percobaan kemudian ditutupi

tanah kembali. Petak hasil pemberian bokashi kemudian dibiarkan selama dua
66

minggu dengan tujuan untuk memberi kesempatan pada proses fisik kimia dan

biologi tanah untuk mengurai bahan organik menjadi lebih terurai.

Bersamaan dengan pemberian bokashi, pupuk Urea, SP-36, dan KCl juga

diberikan sebagai pupuk awal sesuai dosis yang telah ditetapkan. Masing-masing

petak kecil ditanami 1 biji benih padi dengan jarak tanam 20 cm x 25 cm. Antara

petakan kecil masing-masing dibuat jalur selebar 50 cm dan antara petakan

kelompok juga dibuat jalur selebar 100 cm yang mana jalur-jalur tersebut

digunakan sebagai ruang/jalur untuk mengontrol tanaman dan melakukan

pengamatan (Lampiran 1).

Sebelum ditanam, benih direndam dalam air yang dicampur dengan garam

sebanyak 1%. Benih yang tenggelam kemudian diambil untuk dijadikan sebagai

benih tanam. Benih yang telah disortir selanjutnya disterilisasi dengan sodium

hypochlorite 1% selama 3 menit kemudian dicuci tiga kali dengan air steril.

Sesudah sterilisasi kemudian benih dibungkus dengan kain basah dan diperam

selama 1 x 24 jam. Benih yang telah diperam selanjutnya ditanam dengan cara

ditugal (tanam benih langsung), masing-masing satu biji benih padi per lubang

tanam.

Perlakuan Pemupukan

Pupuk Urea diberikan dua kali, yaitu pada umur 7 hari setelah tanam (hst)

dan pada 35 hst. Pupuk SP-36 diberikan pada saat pengolahan tanah, sedangkan

KCl diberikan sebanyak 3 kali, yakni 1/3 bagian diberikan pada saat pengolahan

tanah bersama pupuk SP-36, 1/3 bagian pada umur 35 hst, dan 1/3 bagian pada

umur 70 hst.
67

Berdasarkan pada luasan lahan percobaan yang digunakan yakni 1,0 x 1,5

m2 untuk setiap petakan percobaan, maka dosis setiap petakan yaitu Urea 100%

sebanyak 37,50 g petak-1, Urea 75% sebanyak 28,12 g petak-1, Urea 50%

sebanyak 18,75 g petak-1 , dan Urea 25% sebanyak 9,37 g petak-1. Untuk SP-36

100% yaitu sebanyak 18,75 g petak-1, SP-36 75% yaitu sebanyak 14,06 g petak-1,

SP-36 50% yaitu sebanyak 9,37 g petak-1, SP-36 25% yaitu sebanyak 4,68 g

petak-1. Sedangkan untuk KCl 100% yakni sebanyak 15,0 g petak-1, KCl 75%

sebanyak 11,25 g petak-1, KCl 50% sebanyak 7,5 g petak-1, KCl 25% sebanyak

3,75 g petak-1, Sementara itu, dosis setiap petakan untuk pupuk kandang sapi

yakni 0 ton ha-1, 2 ton ha-1, 4 ton ha-1, 6 ton ha-1, dan 8 ton ha-1 (0 g petak-1, 300 g

petak-1, 600 g petak-1, 900 g petak-1, dan 1.200 g petak-1).

Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan dan pemberantasan

hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara mencabut

rumput-rumput yang tumbuh. Interval penyiangan disesuaikan dengan kondisi

pertumbuhan gulma. Hama dikendalikan dengan memberikan Furadan 3 G pada

saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (hst) dengan takaran 5 kg ha-1.

Setelah memasuki masa panen (5 hari sebelum panen), pengairan dihentikan

dengan cara menutup saluran air yang masuk di lahan percobaan sehingga kondisi

media percobaan menjadi kering. Hal ini bertujuan untuk menyeragamkan

pemasakan biji dan mempercepat pemasakan biji. Panen dilakukan pada saat biji

telah masak fisiologis dengan ciri-ciri gabah telah berkembang penuh, keras, dan

berwarna kuning.
68

Pengamatan

Jumlah keseluruhan tanaman yang ada pada setiap petakan sebanyak 30

rumpun. Sampel tanaman yang ditetapkan untuk diamati pada setiap petakan

yakni sebanyak 3 (tiga) rumpun yang dipilih secara acak. Data yang dihasilkan

dari ketiga sampel kemudian dirata-ratakan. Di samping itu juga sebanyak 5

(lima) rumpun yang didestruksi selama proses pengambilan data untuk parameter:

laju tumbuh relatif, laju asimilasi bersih, nisbah pupus akar, klorofil daun, dan

kandungan N, P, K tanaman). Pengamatan dilakukan terhadap parameter

agronomis yang diamati pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 minggu setelah tanam

(MST).

Parameter yang diamati meliputi:

1) Tinggi tanaman, diukur menggunakan mistar dengan cara mengukur dari

pangkal tanaman hingga ujung daun tertinggi, pengukuran dilakukan pada

umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST.

2) Jumlah daun, dihitung semua daun yang telah terbentuk sempurna dan

pengukuran dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST.

3) Jumlah anakan, dihitung semua anakan yang terbentuk dan penghitungan

dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST.

4) Luas daun total, diukur dengan metode panjang kali lebar x konstanta x

jumlah daun total. Pengukuran luas daun dilakukan pada daun ketiga dari

atas, kemudian pada daun pertengahan, dan daun ketiga dari bagian

bawah. Luas ketiga daun sampel yang diukur kemudian dirata-ratakan.


69

Rumus yang digunakan adalah: P x L x k x total daun, dimana: P =

Panjang daun, L = Lebar daun, k = konstanta (0,78). (Sitompul dan

Guritmo, 1995).

5) Kandungan klorofil daun, diukur dengan menggunakan metode - Ekstrak

Tris HCl 1% memakai alat Spektrofotometer UV-VIS. Sampel daun

diambil sebanyak 3 helai (daun bagian atas, tengah, dan bawah tanaman)

untuk setiap perlakuan.

6) Luas Daun Spesifik (LDS), dihitung dengan rumus:

LDS = (Gardner et al., 1991)

Dimana: L = luas daun (cm2), BK = bobot kering daun (g)

7) Indeks Luas Daun, dihitung menggunakan rumus:

Indeks Luas Daun (ILD) = (Blanco, 2003):

Lam = luas daun rata-rata pada suatu tanaman yang diperoleh dengan

menjumlahkan seluruh luas daun pada unit sampel percobaan kemudian

dibagi dengan jumlah daun.

N = jumlah daun pada suatu tanaman

A = luas lahan yang ditutupi oleh kanopi tanaman

8) Laju Tumbuh Relatif (LTR), dihitung dengan formula:

(Gardner et al., 1991)

W1 = Bobot kering tanaman pada saat T1 (g), W2 = Bobot kering

tanaman pada saat T2 (g), T = Umur tanaman (minggu), 2 = Umur tua, 1

= Umur muda (Gardner et al., 1991).


70

9) Laju Asimilasi Bersih (LAB), diukur sebelum panen, dengan rumus:

LAB =

W1 = Bobot kering tanaman pada saat T1 (g), W2 = Bobot kering

tanaman pada saat T2 (g), T = Umur tanaman (minggu), L = Luas daun

(cm2), 2 = Umur tua, 1 = Umur muda (Gardner et al., 1991).

10) Nisbah pupus akar (NPA).

Pengamatan terhadap NPA dilakukan mulai umur 2 MST untuk melihat

dinamika perkembangannya. Pengamatan NPA dilakukan dengan cara

yaitu tanaman sampel dicabut secara perlahan, kemudian akarnya dicelup-

celupkan (dicuci) di dalam air untuk menghilangkan tanah dan kotoran.

Setelah bersih dari kotoran dan tanah, akar dan tajuk (bagian tanaman di

atas pangkal akar) dipisahkan dengan cara memotong pada pangkal akar.

Setelah diberi label, masing-masing sampel dimasukkan ke dalam oven

dengan temperatur 900C selama 24 jam. Akar dan tajuk kering ditimbang,

kemudian NPA dihitung dengan rumus sebagai berikut: NPA =

(Salisbury dan Ross, 1992).

11) Jumlah anakan produktif, dihitung semua jumlah anakan yang

menghasilkan malai saat sebelum panen yakni pada umur 10 MST.

12) Umur tanaman berbunga (hari), dilakukan dengan menghitung umur

tanaman sejak benih ditanam sampai 80% tanaman yang ada di setiap

bedengan keluar bunga.


71

13) Panjang malai, diukur pada setiap malai yang terbentuk. Pengukuran

dilakukan saat sebelum panen.

14) Jumlah gabah per malai, dihitung semua bulir yang terbentuk pada setiap

malai pada saat panen.

15) Persentase gabah isi per malai, dihitung semua bulir (gabah) berisi

(bernas) yang terbentuk pada setiap malai.

16) Berat butir per malai (g), diukur dengan cara menimbang berat gabah per

malai per batang pada saat panen.

17) Berat 1000 butir gabah (g) diukur setelah panen, dengan cara menimbang

berat 1000 butir gabah dengan kadar air 20% (GKP).

18) Indeks Panen (Harvest Index), dihitung dengan rumus:

HI = (Sitompul dan Guritno, 1995)

Dimana: HI = Harvest index

Y = Hasil tanaman

W = Berat kering total tanaman

Y dan W keduanya dihitung setelah dikering ovenkan.

19) Produktivitas hasil biji (ton ha-1) (GKG = gabah kering giling), dihitung

dengan menggunakan rumus:

Jumlah populasi x jumlah anakan produktif x jumlah butir per malai x


total produktivitas (Ihsan, 2011).

Disamping itu, juga dilakukan analisis tanah sebelum aplikasi pupuk

Sebelum diberikan pupuk, sampel tanah diambil pada lima titik yang telah

ditentukan (pada ke empat sudut bidang lahan dan bagian tengah lahan setelah
72

dibuat agonal) dengan kedalaman ± 15-20 cm. Semua sampel tanah dicampur

secara merata lalu dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian tanaman

diambil sampel lagi sebanyak 200 g lalu dicampur diantara ketiga bagian yang

diambil. Dari ketiga bagian yang telah dicampur merata selanjutnya diperoleh

sebanyak 600 g sampel. Sampel kemudian dikeringanginkan lalu dibungkus

dalam kantung plastik dan selanjutnya dikemas dalam dus untuk dianalisis di

laboratorium pengujian Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor (Lampiran 25b).

Analisis tanah setelah aplikasi pupuk yakni dua minggu setelah pemberian
pupuk

Pada masing-masing petak percobaan diambil sampel tanah pada lima

titik tanah yang telah ditentukan kemudian dicampur secara merata lalu disiapkan

sebanyak 600 g untuk dikeringanginkan guna keperluan analisis. Tata cara

pelaksanaan pengambilan sampel berlaku sama untuk semua petak percobaan.

Sampel yang telah dikeringanginkan kemudian dibungkus dengan kantung plastik

lalu diberi label dan selanjutnya dikemas dalam dus untuk selanjutnya dilakukan

analisis. Pengujian tanah dilakukan di laboratorium pengujian Departemen

Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

(Lampiran 25b, 25c, 25d). Analisis tanah meliputi:

1. Analisis pH tanah. pH tanah diukur dengan menggunakan Soil pH meter

jenis ETP303 pada pH H2O dan KCl 1:1.

2. Kandungan C organik tanah (%). Pengukuran dilakukan dengan metode

Walkley & Black.


73

3. Kandungan N,P,K tanah sebelum dan setelah aplikasi pupuk. Diukur

pada saat dua minggu setelah tanam. Kadar N total dihitung dengan

metode Kjeldahl. Kadar P tersedia diukur dengan alat Spektrofotometer

UV-VIS dengan metode ekstrak olsen. Kadar K tersedia dengan metode

ekstraksi ammonium asetat pH 7,0.

4. Kadar bahan organik diukur dengan analisis Ekstrak Morgan Wolf

5. Al-dd (aluminium dapat ditukarkan) (%). Pengukuran Al-dd dilakukan

dengan Titrimetri menggunakan metode ekstrak KCl 1 M.

6. Kadar Fe dan Mn, dianalisis dengan menggunakan alat AAS dan dihitung

dengan metode ekstrak: HNO3 65% + HClO4 60%

Analisis jaringan tanaman, dilakukan pada daun tanaman setelah tanaman

berumur 60 hari setelah tanam, meliputi:

Pada masing-masing petak percobaan disiapkan sampel daun tanaman

sebanyak tiga helai yakni daun bagian bawah, bagian tengah dan daun bagian atas

tanaman. Masing-masing sampel kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik

setelah diberi label lalu diikat dan dimasukan ke dalam coolbox yang telah berisi

ice blue sebagai bahan pendingin sehingga kesegaran bahan tanaman tetap terjaga

hingga proses analisis dilakukan. Pengujian bahan tanaman (daun) dilakukan di

laboratorium pengujian Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor (Lampiran 20a, 20b, 20c). Analisis tanaman

meliputi:
74

1. Kandungan N total daun, dianalisis dengan metode Kjeldahl

2. Kandungan P total daun, dianalisis dengan alat Spektrofotometer UV-

VIS dan dihitung dengan metode ekstrak: HNO3 65% + HClO4 60%

3. Kandungan K total daun, dianalisis dengan AAS dan dihitung dengan

metode ekstrak: HNO3 65% + HClO4 60%

4. Kandungan klorofil daun, dianalisis dengan alat spektrofotometer UV-

VIS, kemudian dihitung dengan metode ekstrak tris HCl 1%.

Analisis Kandungan Pupuk Bokashi

Sebanyak 600 g bokashi sebagai sampel dibungkus dalam kantung plastik setelah

diberi label dan selanjutnya dikemas dalam dus untuk dianalisis di laboratorium

pengujian Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor (Lampiran 25b).

Analisis kandungan hara bokashi meliputi:

1. Kadar C organik, pengukuran dilakukan dengan metode Walkley & Black.

2. Kadar N, dianalis dengan metode Kjeldahl

3. Kadar P, dihitung dengan metode ekstrak HCl 25%.

4. Kadar K, dihitung dengan metode ekstrak HCl 25%.

5. Kadar Fe, dihitung dengan metode ekstrak: HNO3 65% + HClO4 60%

6. Kadar Mn, dihitung dengan metode ekstrak: HNO3 65% + HClO4 60%

7. pH tanah diukur dengan menggunakan Soil pH meter jenis ETP303 pada pH

H2O dan KCl 1:1


75

Alur penelitian sebagaimana dilukiskan pada Gambar 2 di bawah ini.

Pembuatan Persiapan Persiapan


Bokashi Alat dan Bahan

Analisis Pengolahan Analisis Tanah


Kandungan Bokashi Tanah Sebelum Pemupukan

Persiapan Pembuatan
Tanam Petak Percobaan

Pemberian Bokashi,
SP-36, KCl Pemupukan
(pemupukan awal) Susulan

Pemeliharaan Analisis Tanah


Setelah Pemupukan

Analisis Jaringan Pengamatan Parameter Agronomis


Tanaman

Pengumpulan Data

Analisa Data

Hasil

Gambar 2. Alur Penelitian Respon Agronomis Padi Gogo Lokal Kultivar


Wakawondu Terhadap Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
76

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Rekapitulasi uji F Parameter Respon

Rekapitulasi uji F analisis varians respon agronomis padi gogo lokal

kultivar Wakawondu terhadap bokashi dan campuran pupuk N, P, K disajikan

pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Uji F Analisis Varians Respon Agronomis Padi Gogo


Lokal Kultivar Wakawondu Terhadap Bokashi dan Campuran Pupuk
N, P, K
No Variabel Pengamatan Hasil Uji F
A B AxB
1 Tinggi tanaman tn ** tn
2 Jumlah daun tn ** tn
3 Jumlah anakan tn ** tn
4 Luas daun tn ** tn
5 Kandungan klorofil ** ** **
6 Luas daun spesifik tn tn tn
7 Indeks luas daun tn ** tn
8 Laju tumbuh relatif tn ** tn
9 Laju asimilasi bersih ** tn tn
10 Nisbah pupus akar tn tn tn
11 Jumlah anakan produktif ** ** tn
12 Umur tanaman berbunga tn tn tn
13 Panjang malai tn ** tn
14 Jumlah gabah per malai ** ** **
15 Persen gabah isi per malai ** ** tn
16 Berat butir gabah per malai tn tn tn
17 Berat 1000 butir gabah ** ** tn
18 Indeks panen tn tn tn
19 Produktivitas hasil biji ** ** tn
20 Serapan Nitrogen ** ** **
21 Serapan Fosfor ** ** tn
22 Serapan Kalium ** ** **

Keterangan : A = Bokashi; B= Campuran pupuk N,P,K; AxB = Interaksi A dan B; tn =


tidak nyata; ** = berbeda sangat nyata
77

Tabel 2 menunjukkan bahwa interaksi antara bokashi dan

campuran pupuk N,P,K berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan

klorofil, jumlah gabah per malai, kandungan nitrogen, dan

kandungan kalium, sedangkan variabel pengamatan lainnya tidak

berpengaruh nyata. Secara mandiri, yakni bokashi berpengaruh sangat

nyata pada kandungan klorofil, jumlah anakan produktif, jumlah gabah per

malai, persentase gabah isi per malai, berat 1000 butir gabah, produktivitas, Laju

Asimilasi Bersih, kandungan nitrogen, kandungan fosfor, dan kandungan kalium,

sedangkan variabel pengamatan lainnya tidak berpengaruh nyata.

Perlakuan campuran pupuk N,P,K berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah

anakan, jumlah daun, tinggi tanaman, luas daun, kandungan klorofil, jumlah anakan

produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai,

berat 1000 butir gabah, produktivitas, Indeks Luas Daun, Laju Tumbuh Relatif,

kandungan Nitrogen, kandungan Fosfor, dan kandungan Kalium, sedangkan

variabel pengamatan lainnya tidak berpengaruh nyata.

5.1.2 Parameter Agronomis


5.1.2.1 Tinggi Tanaman

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap tinggi tanaman,

akan tetapi secara mandiri, campuran pupuk N,P,K berpengaruh nyata terhadap

tinggi tanaman (Tabel 3).

Hasil pengamatan rata-rata tinggi tanaman dan sidik ragamnya disajikan

pada Lampiran 2a dan 2b.


78

Tabel 3. Pengaruh Berbagai Dosis Campuran Pupuk N,P,K terhadap Tinggi


Tanaman (cm) pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST
Tinggi Tanaman
Perlakuan
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
B0 38,64 a 48,11 a 62,19 a 73,33 a 81,71 a
B1 39,11 a 48,89 a 68,35 b 77,15 b 85,17 a
B2 40,10 ab 49,21 ab 69,10 b 78,13 b 85,22 a
B3 41,87 b 51,37 bc 79,70 c 87,25 c 96,05 b
B4 41,91 b 51,95 c 81,10 c 89,36 c 96,88 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%.

Tabel 3 menunjukan bahwa pada umur 2 MST perlakuan campuran

pupuk N,P,K pada dosis B0, B1, dan B2 tidak menunjukan perbedaan yang nyata.

Perlakuan B2, B3 dan B4 juga tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Kecuali

pada perlakuan B3 dan B4 telah menunjukan perbedaan yang nyata dengan

perlakuan B0 dan B1. Pada umur 2 MST ini, tanaman tertinggi ditunjukan oleh

perlakuan B4 (41,91 cm) dan terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (38,64 cm)

diikuti oleh perlakuan B1 (39,11 cm), B2 (40,10 cm), dan B3 (41,87 cm).

Setelah umur 4 MST, tampak bahwa perlakuan B0, B1, B2 tidak

menunjukan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan yang dicobakan,

demikian pula perlakuan B2 dan B3 tidak menunjukan perbedaan yang nyata

diantara keduanya, serta perlakuan B3 dan B4 tidak berbeda nyata, akan tetapi

keduanya berbeda nyata dengan B0 dan B1. Perlakuan B4 berbeda nyata dengan

B0, B1 dan B2. Pada umur 4 MST, tanaman tertinggi ditunjukan oleh perlakuan

B4 (51,95 cm) dan terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (48,11 cm) diikuti oleh

perlakuan B1 (48,89 cm), B2 (49,21 cm), dan B3 (51,37 cm).


79

Pada umur 6 MST terlihat bahwa B0 menunjukan perbedaan yang nyata

dengan perlakuan lainnya, sedangkan B1 dan B2 tidak menunjukan perbedaan

nyata, demikian pula perlakuan B3 dan B4 diantara keduanya juga tidak berbeda

nyata. Akan tetapi, B3 dan B4 menunjukan perbedaan yang nyata dengan B0, B1

dan B2. Tanaman tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (81,10 cm) dan yang

terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (62,19 cm) kemudian diikuti oleh

perlakuan B1, B2, dan B3.

Pada umur 8 MST terlihat bahwa B0 menunjukan perbedaan yang nyata

dengan perlakuan lainnya, sedangkan B1 dan B2 tidak menunjukan perbedaan

nyata, demikian pula perlakuan B3 dan B4 diantara keduanya juga tidak berbeda

nyata. Akan tetapi, B3 dan B4 menunjukan perbedaan yang nyata dengan B0, B1

dan B2. Tanaman tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (89,36 cm) dan terendah

ditunjukan oleh perlakuan B0 (73,33 cm) kemudian diikuti oleh perlakuan B1,

B2, dan B3.

Pada 10 MST, terlihat bahwa perlakuan B0, B1, dan B2 menunjukan

perbedaan yang tidak nyata diantara ketiganya, akan tetapi ketiga perlakuan

tersebut berbeda nyata dengan perlakuan B3 dab B4. Sementara itu, perlakuan B3

dan B4 tidak berbeda nyata diantara keduanya. Pada umur 10 MST ini, tanaman

tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (96,88 cm) dan yang terendah ditunjukan

oleh perlakuan B0 (81,71 cm) diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Sebagaimana terlihat pada Tabel 3, bahwa perlakuan B4 menunjukan

respon terbaik terhadap tinggi tanaman pada semua periode tumbuh (umur

tanaman) walaupun hal ini tidak menunjukan perbedaan yang nyata dengan
80

perlakuan B3. Semakin tinggi dosis pupuk N,P,K yang diberikan maka semakin

baik pertumbuhan tinggi tanaman yang dihasilkan.

Secara umum, bahwa setiap periode tumbuh menunjukan pertambahan

tinggi tanaman, hingga pada minggu ke-10 masih menunjukkan pertambahan

tinggi kendati pada periode itu tanaman padi telah memasuki fase generatif

(Gambar 3).

(a) (b)

Gambar 3. Dinamika Tinggi Tanaman Padi yang Diberi Bokashi (a) dan Campuran
Pupuk N,P,K (b) pada Berbagai Umur Tanaman

Sebagaimana Gambar 3 bahwa hingga minggu ke-10 pertambahan tinggi

tanaman cenderung masih terjadi. Oleh karena pengamatan tinggi tanaman hanya

dilakukan sampai pada umur 10 minggu setelah tanam mengingat telah memasuki

fase generatif yang dikhawatirkan jika dilakukan pengamatan tinggi tanaman

hingga minggu ke-12 hal ini akan mengganggu fase generatif seperti

penggungguran bunga, maka pengamatan tinggi hanya sampai pada umur 10


81

MST. Hal ini menyebabkan informasi puncak pertumbuhan tinggi tanaman belum

dapat diketahui, akan tetapi sejak minggu ke 6 setelah tanam pola pertambahan

tinggi tanaman sudah mulai menunjukkan bentuk pertumbuhan yang agak

stationer, dan diduga bahwa puncak pertumbuhan kemungkinan terjadi pada

minggu ke-11 karena pada minggu tersebut adalah dimulainya fase pertumbuhan

generatif yang ditandai dengan keluarnya bunga.

5.1.2.2 Jumlah Daun

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap jumlah daun,

akan tetapi secara mandiri, campuran pupuk N,P,K berpengaruh nyata terhadap

jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST (Tabel 4). Hasil pengamatan rata-

rata jumlah daun dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 3a dan 3b.

Tabel 4. Pengaruh Berbagai Dosis Campuran Pupuk N,P,K Terhadap Jumlah


Daun (helai) pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST
Jumlah Daun
Perlakuan
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
B0 16,04 a 17,19 a 46,05 a 30,63 a 24,44 a
B1 16,30 a 18,30 a 54,00 b 31,24 a 25,72 b
B2 16,40 ab 18,41 a 54,22 b 33,13 b 26,04 b
B3 17,12 bc 19,66 ab 56,89 bc 35,60 bc 29,08 c
B4 17,32 c 21,53 b 61,41 c 36,38 c 29,79 c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%

Tabel 4 menunjukan bahwa pada umur 2 MST perlakuan B0, B1, dan B2

tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Perlakuan B2 dan B3 juga tidak

menunjukan perbedaan yang nyata, demikian pula perlakuan antara B3 dan B4

tidak menunjukan beda nyata. Kecuali untuk perlakuan B0, B1 dan B2 telah

menunjukan perbedaan yang nyata dengan perlakuan B4. Pada umur 2 MST ini,
82

jumlah daun tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (17,32 helai) dan yang

terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (16,04 helai) diikuti oleh perlakuan B1

(16,30 helai), B2 (16,40 helai), dan B3 (17,12 helai).

Setelah umur 4 MST, tampak bahwa perlakuan B0, B1, B2, B3 tidak

menunjukan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan yang dicobakan,

demikian pula perlakuan B3 dan B4 tidak menunjukan perbedaan yang nyata

diantara keduanya, akan tetapi keduanya berbeda nyata dengan B0, B1, B2. Pada

umur 4 MST, jumlah daun tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (21,53 helai)

dan yang terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (17,19 helai) diikuti oleh

perlakuan B1 (18,30 helai), B2 (18,41 helai), dan B3 (19,66 helai).

Pada umur 6 MST terlihat bahwa B0 menunjukan perbedaan yang nyata

dengan perlakuan lainnya, sedangkan B1, B2 dan B3 tidak menunjukan beda

nyata diantara ketiganya serta B3 dan B4 juga tidak berbeda nyata. Akan tetapi,

B4 menunjukan perbedaan yang nyata dengan B0, B1 dan B2. Jumlah daun

tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (61,41 helai) dan yang terendah

ditunjukan oleh perlakuan B0 (46,05 helai) kemudian diikuti oleh perlakuan B1,

B2, dan B3.

Pada 8 MST, terlihat bahwa perlakuan B0 dan B1 tidak menunjukan

perbedaan yang nyata diantara keduanya, juga antara perlakuan B2 dan B3 tidak

berbeda nyata. Perlakuan B4 menunjukan pebedaan nyata dengan perlakuan B0,

B1, dan B2 dan antara B4 dan B3 tidak menunjukan adanya perbedaan yang

nyata. Pada umur 8 MST ini, jumlah daun tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4
83

(38,88 helai) dan yang terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (27,47 helai)

diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Umur 10 MST, terlihat bahwa perlakuan B0 menunjukan perbedaan yang

nyata dengan perlakuan lainnya. Sementara itu, perlakuan B1 dan B2 tidak

berbeda nyata, serta antara B3 dan B4 juga tidak menunjukan perbedaaan yang

nyata tetapi keduanya berbeda nyata dengan B0, B1 dan B2. Pada umur 10 MST

ini, jumlah daun tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (29,79 helai) dan yang

terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (24,44 helai) diikuti oleh perlakuan B1,

B2, dan B3.

Secara umum semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka

pembentukan daun semakin banyak walaupun pada beberapa perlakuan tidak

menunjukan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT. Pada percobaan ini, dosis

100% dari dosis anjuran (B4) merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan

daun yang banyak dan B0 adalah perlakuan yang menghasilkan daun paling

sedikit.

Sebagaimana Tabel 4 di atas, bahwa pemberian campuran pupuk N,P,K

dengan dosis yang semakin tinggi menunjukan laju pertambahan jumlah daun.

Akan tetapi, tampak bahwa untuk dinamika perkembangan, dimana puncak

perkembangan jumlah daun terjadi pada minggu ke-6, baik terhadap perlakuan

pemberian bokashi maupun pemberian campuran pupuk N, P, K sebagaimana

terlihat pada Gambar 4.


84

(a) (b)

Gambar 4. Dinamika Jumlah Daun Yang Diberi Bokashi (a) dan Campuran
Pupuk N,P,K (b) pada Berbagai Umur Tanaman

5.1.2.3 Jumlah Anakan

Hasil analisis varians menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap jumlah anakan.

Secara mandiri, campuran pupuk N,P,K berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan

pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST (Tabel 5). Hasil pengamatan rata-rata jumlah

anakan dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 4a dan 4b.

Tabel 5. Pengaruh Berbagai Dosis Campuran Pupuk N,P,K Terhadap Jumlah


Anakan pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 Mingu Setelah Tanam (MST)
Jumlah Anakan
Perlakuan
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
B0 5,96 a 10,30 a 10,95 a 9,99 a 9,12 a
B1 6,08 ab 11,47 b 12,65 b 10,88 a 9,57 a
B2 6,64 abc 11,99 c 12,88 b 12,12 b 10,27 ab
B3 6,94 bc 13,12 d 14,11 c 12,24 b 10,28 ab
B4 7,29 c 13,98 e 15,16 c 13,48 c 10,92 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%.
85

Tabel 5 menunjukan bahwa pada umur 2 MST perlakuan campuran

pupuk N, P, K pada dosis B0, B1, dan B2 tidak menunjukan perbedaan yang

nyata. Perlakuan B1, B2, dan B3 juga tidak menunjukan perbedaan yang nyata,

demikian pula perlakuan antara B2, B3, dan B4 tidak menunjukan beda nyata.

Kecuali untuk perlakuan B0 dan B1 telah menunjukan perbedaan yang nyata

dengan perlakuan B4. Pada umur 2 MST ini, jumlah anakan tertinggi ditunjukan

oleh perlakuan B4 (7,29 batang) dan yang terendah ditunjukan oleh perlakuan B0

(5,96 batang) diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Setelah umur 4 MST, tampak bahwa terjadi perbedaan yang nyata pada

setiap perlakuan yang dicobakan. Pada umur 4 MST, jumlah anakan tertinggi

ditunjukan oleh perlakuan B4 (13,98 batang) dan yang terendah ditunjukan oleh

perlakuan B0 (10,30 batang) diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Pada umur 6 MST pertumbuhan jumlah anakan tampak bahwa B1 dan B2

tidak menunjukan beda nyata diantara keduanya akan tetapi berbeda nyata

dengan B0 dan B4. Demikian halnya perlakuan B3 dan B4 keduanya tidak

menunjukan beda nyata akan tetapi berbeda nyata dengan B0, B1, dan B2.

Jumlah anakan tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (15,16 batang) dan yang

terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (10,95 batang) kemudian diikuti oleh

perlakuan B1, B2, dan B3.

Umur 8 MST tampak bahwa perlakuan B0 dan B1 tidak menunjukan beda

nyata akan tetapi berbeda nyata dengan B2, B3, dan B4. Demikian juga untuk

perlakuan B2 dan B3 tidak menunjukan beda nyata diantara keduanya, akan

tetapi berbeda dengan B0, B1, dan B4. Sedangkan untuk perlakuan B4
86

menunjukan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan yang dicobakan.

Pada umur 8 MST ini, jumlah anakan tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4

(13,48 batang) dan yang terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (9,99 batang)

diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Pada 10 MST, terlihat bahwa perlakuan B0, B1, B2, dan B3 tidak

menunjukan beda nyata dan perlakuan B2, B3, dan B4 juga tidak menunjukan

perbedaan yang nyata. Kecuali perlakuan B4 telah menujukan perbedaan nyata

dengan perlakuan B0 dan B1. Pada umur 10 MST ini, jumlah anakan tertinggi

ditunjukan oleh perlakuan B4 (10,92 batang) dan yang terendah ditunjukan oleh

perlakuan B0 (9,12 batang) diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Secara umum semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka

pembentukan anakan semakin banyak walaupun pada beberapa perlakuan tidak

menunjukan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT. Pada percobaan ini, dosis

100% dari dosis anjuran (B4) merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan

jumlah anakan yang banyak dan B0 adalah perlakuan yang menghasilkan jumlah

anakan paling sedikit. Peran bokashi dan campuran pupuk N,P,K dalam

mendorong laju pertumbuhan tunas-tunas batang padi berupa anakan,

sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 5.

Gambar 5 di bawah mengilustrasikan pengaruh pemberian bokashi dan

campuran pupuk N,P,K terhadap perkembangan anakan tanaman padi. Semakin

tinggi dosis campuran pupuk N,P,K yang diberikan maka pertambahan anakan

semakin meningkat, begitupun terhadap pemberian bokashi secara numerik

menunjukan peningkatan jumlah anakan dengan peningkatan dosis bokashi


87

(a) (b)

Gambar 5. Dinamika Jumlah Anakan Padi pada Berbagai Dosis Bokashi


(a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b) pada Umur 2–10 MST

walaupun hal itu tidak menunjukan adanya pengaruh berbeda diantara dosis yang

dicobakan. Demikian halnya terhadap umur tanam, bahwa semakin lama umur

tanaman maka jumlah anakan juga semakin meningkat hingga mencapai titik

maksimum.

5.1.2.4 Luas Daun Total

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap luas daun total.

Secara mandiri, bahwa bokashi berpengaruh nyata terhadap luas daun pada umur

2 MST dan 8 MST dan campuran pupuk N,P,K berpengaruh nyata terhadap luas

daun pada umur 2 MST, 4 MST, 6 MST, 8 MST, dan 10 MST sebagaimana

ditunjukan pada Tabel 6.

Hasil pengamatan rata-rata luas daun total dan sidik ragamnya disajikan

pada Lampiran 5a dan 5b.


88

Tabel 6. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N, P, K


Terhadap Luas Daun Total (cm2) pada Umur 2, 4, 6, 8, 10 MST
Perlakuan Luas Daun Total
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
A0 161,27 a 254,02 1250,46 963,31 a 837,07
A1 192,79 b 284,96 1315,90 1051,31 ab 874,16
A2 196,64 b 293,22 1321,61 1143,21 b 887,46
A3 203,20 b 293,72 1394,54 1172,79 b 892,94
A4 210,48 b 326,67 1452,92 1179,73 b 904,56

B0 170,70 a 238,14 a 946,47 a 708,89 a 694,21 a


B1 182,36 a 263,38 a 1245,11 b 918,84 b 801,37 b
B2 184,35 ab 274,55 ab 1303,52 b 1070,33 b 825,72 b
B3 209,03 bc 318,77 bc 1522,73 c 1291,72 c 1017,36 c
B4 217,93 c 357,75 c 1717,60 c 1520,56 d 1057,52 c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%

Sebagaimana ditunjukan oleh Tabel 6 bahwa pada umur 2 MST perlakuan

A0 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (A1, A2, A3, dan A4), sedangkan

A1, A2, A3, dan A4 tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata. Luas daun

tertinggi ditunjukan oleh perlakuan A4 (210,48 cm2) dan yang terendah

ditunjukan oleh perlakuan A0 (161,27 cm2) diikuti oleh perlakuan A1, A2, dan

A3. Campuran pupuk N, P, K pada dosis B0, B1, dan B2 tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata. Perlakuan B2 dan B3 juga tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata, serta B3 dan B4 juga tidak berbeda nyata, tetapi B3 dan B4 berbeda

nyata dengan B0, B1, dan B2. Pada umur 2 MST ini, luas daun tertinggi

ditunjukan oleh perlakuan B4 (217,93 cm2) dan yang terendah ditunjukan oleh

perlakuan B0 (170,70 cm) diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.
89

Umur 4 MST tampak bahwa perlakuan B0, B1, dan B2 tidak menunjukan

perbedaan yang nyata, akan tetapi ketiganya menunjukan perbedaan yang nyata

dengan B4. Perlakuan B2 dan B3 tidak bebeda nyata juga antara B3 dan B4 tidak

berbeda nyata. Pada umur 4 MST, luas daun total tertinggi ditunjukan oleh

perlakuan B4 (357,75 cm2) dan yang terendah ditunjukan oleh perlakuan B0

(238,14 cm2).

Pada umur 6 MST, tampak bahwa perlakuan B0 menunjukan perbedaan

yang nyata dengan semua perlakuan lainnya. Sementara itu, perlakuan B1 dan B2

tidak menunjukan perbedaan nyata, demikian pula untuk perlakuan B3 dan B4

tidak menunjukan perbedaan nyata terhadap parameter luas daun. Luas daun

tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (1717,60 cm2) dan yang terendah

ditunjukan oleh perlakuan B0 (946,47 cm2) kemudian diikuti oleh perlakuan B1,

B2, dan B3.

Umur 8 MST tampak bahwa antara A0 dan A1 tidak berbeda nyata

diantara keduanya, demikian pula perlakuan A1, A2, A3, dan A4 juga tidak

berbeda nyata. Perlakuan A0 menunjukan adanya perbedaan nyata dengan A2,

A3, dan A4. Untuk pupuk bokashi, luas daun tertinggi dicapai oleh perlakuan

A4 (1179,73 cm2) dan terendah adalah perlakuan A0 (963,31 cm2). Perlakuan B0

menunjukan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan lainnya (B1, B2, B3,

dan B4). Sementara itu, perlakuan B1 dan B2 tidak menunjukan perbedaan yang

nyata, akan tetapi kedua perlakuan itu berbeda nyata dengan B0, B3 dan B4.

Demikian juga untuk perlakuan B3 menunjukan perbedaan nyata dengan B4.

Pada umur 8 MST ini, luas daun tertinggi dicapai oleh perlakuan B4 (1520,56
90

cm2) dan menunjukan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan lainnya dan

yang terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (708,89 cm2) diikuti oleh perlakuan

B1, B2, dan B3.

Pada umur 10 MST tampak bahwa perlakuan B0 menunjukan perbedaan

yang nyata dengan semua perlakuan lainnya terhadap parameter luas daun.

Sementara itu, perlakuan B1 dan B2 tidak menunjukan beda nyata, demikian pula

untuk perlakuan B3 dan B4 tidak menunjukan perbedaan yang nyata pula

terhadap luas daun. Luas daun total tertinggi pada umur 10 MST ini ditunjukan

oleh perlakuan B4 (1057,52 cm2) dan yang terendah ditunjukan oleh perlakuan

B0 (694,21 cm2) kemudian diikuti oleh perlakuan B1, B2, dan B3.

Tabel 6 di atas melukiskan bahwa semakin tinggi dosis pupuk yang

diberikan maka semakin meningkat luas daun total yang dihasilkan kendati pada

beberapa perlakuan tidak menunjukan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT.

Perlakuan B4 menghasilkan nilai tertinggi terhadap luas daun total. Hal ini

disebabkan oleh pemberian dosis Nitrogen, Fosfor, maupun Kalium yang tinggi.

Dinamika perkembangan luas daun total akibat pemberian bokashi dan campuran

pupuk N,P,K dapat dilihat pada gambar 6.

Jika dilihat trend perkembangan luas daun total (Gambar 6) tampak

bahwa semakin tinggi dosis campuran pupuk N,P,K yang diberikan maka

semakin tinggi luas daun total yang dihasilkan. Perlakuan dengan bokashi

menunjukan nilai yang tidak begitu berbeda yang ditunjukan oleh garis yang

hampir berimpit. Kendati demikian, untuk perlakuan bokashi terlihat bahwa


91

puncak perkembangan luas daun terjadi pada minggu ke-6 dan ke-7 setelah

tanam. Setelah itu perkembangan luas daun mulai menurun.

(a) (b)

Gambar 6. Dinamika Perkembangan Luas Daun Total (cm2) Dalam Setiap Periode
Tumbuh (MST) dengan Pemberian Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) pada Berbagai Dosis Berbeda

5.1.2.5 Kandungan Klorofil Daun

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bokashi dan campuran pupuk

N,P,K serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil

daun sebagaimana ditunjukan pada Tabel 7. Hasil pengamatan rata-rata

kandungan klorofil daun dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 20b, 20c

dan 6a.

Tabel 7 menunjukan bahwa perlakuan A2B2, A3B2, dan A4B2 tidak

menunjukan adanya perbedaan nyata diantara ketiganya. A3B3 dan A4B3 juga
92

tidak menunjukan adanya perbedaan nyata. Demikian pula terhadap perlakuan

A4B1, A4B2, dan A4B3 tidak menunjukan adanya perbedaanyang nyata diantara

Tabel 7. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk


N,P,K Terhadap Kandungan Klorofil Daun (mg g-1)
Kandungan Klorofil Daun
Perlakuan
A0 A1 A2 A3 A4
B0 0,27 p 1,25 q 1,73 r 2,25 s 2,28 t
(a) (a) (a) (a) (a)
B1 1,65 p 1,97 q 2,04 r 2,29 s 2,42 t
(b) (b) (b) (b) (b)
B2 1,73 p 2,28 q 2,41 r 2,39 r 2,43 r
(c) (c) (c) (c) (b)
B3 1,97 p 2,35 q 2,52 r 2,45 s 2,45 s
(d) (d) (d) (d) (b)
B4 2,48 p 2,55 q 2,67 r 2,88 s 3,29 t
(e) (e) (e) (e) (e)
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r, s, t) dan
baris (a, b, c, d, e) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf kepercayaan 95%

ketiganya. Interaksi A4B4 (3,29 mg g-1) merupakan perlakuan dengan

kandungan klorofil daun tertinggi, sedangkan A0B0 (0,27 mg g-1) merupakan

perlakuan dengan kandungan klorofil daun paling rendah. Tampak bahwa

kandungan klorofil daun padi gogo kultivar Wakawondu mengalami peningkatan

dengan meningkatnya dosis pemupukan, baik pupuk bokashi maupun campuran

pupuk N,P,K.

Kandungan klorofil setiap taraf pemupukan menunjukan perbedaan yang

nyata, walaupun pada beberapa perlakuan tidak menunjukan adanya perbedaan

menurut uji DMRT. Hal ini disebabkan dengan semakin banyak dan tersedianya

kadar hara di zona rizosfer maka memungkinkan untuk diserap lebih banyak oleh
93

tanaman. Unsur hara yang cukup dan tersedia selanjutnya dimanfaatkan oleh

tanaman untuk mengoptimalkan pertumbuhan jaringan tanaman.

5.1.2.6 Luas Daun Spesifik (LDS) (cm2g-1)

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa luas daun spesifik

menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan baik

secara mandiri maupun interaksi antara perlakuan bokashi dengan campuran

pupuk N,P,K (Lampiran 7b).

Hasil pengamatan rata-rata luas daun spesifik disajikan pada Lampiran

7a. Pengaruh bokashi dan campuran pupuk N,P,K pada berbagai dosis terhadap

luas daun spesifik disajikan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Luas Daun Spesifik (cm2 g-1) pada Umur 60 HST

Sebagaimana Gambar 7, bahwa sekalipun tidak menunjukan perbedaan

yang nyata diantara perlakuan yang diberikan, akan tetapi secara numerik
94

semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan baik bokashi maupun campuran

pupuk N,P,K maka semakin tinggi nilai luas daun spesifik yang dihasilkan. Pada

umur 30 HST Perlakuan A4 adalah perlakuan yang menunjukan luas daun

spesifik tertinggi yakni 2,54 cm2g-1 sedangkan A0 adalah perlakuan dengan luas

daun spesifik paling rendah yakni 2,18 cm2g-1. Pada umur 60 HST, luas daun

spesifik mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pada umur 30 HST.

Perlakuan A4 menunjukan luas daun spesifik tertinggi yakni 1,63 cm2g-1

sedangkan A0 adalah perlakuan dengan luas daun spesifik paling rendah yakni

1,23 cm2g-1.

Sehubungan dengan pemberian campuran pupuk N,P,K, pada umur 30

HST perlakuan B4 yang menunjukan luas daun spesifik tertinggi yakni 2,60

cm2g-1 sedangkan B0 adalah perlakuan dengan luas daun spesifik paling rendah

yang hanya mencapai 1,97 cm2g-1. Memasuki umur 60 HST luas daun spesifik

juga mengalami penurunan. Perlakuan B4 menunjukan luas daun spesifik

tertinggi yakni 1,73 cm2g-1 sedangkan B0 adalah perlakuan dengan luas daun

spesifik paling rendah yakni 1,33 cm2g-1.

Pada Gambar 7 memperlihatkan bahwa luas daun spesifik yang dihasilkan

meningkat dengan meningkatnya dosis pemupukan baik peningkatan dosis

bokashi maupun peningkatan dosis pupuk N,P,K. Rata-rata luas daun spesifik

yang dihasilkan sebesar 2,36 cm2 g-1 pada 30 HST dan 1,49 cm2 g-1 pada 60 HST

baik terhadap perlakuan bokashi maupun perlakuan campuran pupuk NPK. Ini

berarti daun yang dihasilkan semakin tipis seiring pertambahan umur tanaman.
95

5.1.2.7 Indeks Luas Daun


Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap indeks luas

daun. Secara mandiri, campuran pupuk N,P,K berpengaruh nyata terhadap indeks

luas daun pada umur 10 MST (Tabel 8). Hasil pengamatan rata-rata indeks luas

daun dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 8a dan 8b.

Tabel 8. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K


Terhadap Indeks Luas Daun pada Umur 10 Minggu Setelah Tanam
(MST)
Indeks Luas Daun
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 4,26 4,05 3,97 4,31 4,23 4.17 a
B1 4,38 4,67 4,90 4,99 5,10 4.81 b
B2 4,76 5,09 4,85 4,87 5,20 4.95 b
B3 5,84 6,02 6,40 6,34 5,93 6.10 c
B4 5,87 6,40 6,49 6,28 6,68 6.35 c
Rerata 5,02 5,24 5,32 5,36 5,43
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris, tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%

Tabel 8 di atas menunjukan bahwa rerata perlakuan A0, A1, A2, A3, dan A4

tidak menunjukan perbedaan yang nyata diantara perlakuan yang dicobakan.

Sementara itu, perlakuan B0 menunjukan perbedaan yang nyata dengan semua

perlakuan lainnya terhadap Indeks Luas Daun, sedangkan, perlakuan B1 dan B2

tidak menunjukan beda nyata, demikian pula untuk perlakuan B3 dan B4 tidak

menunjukan perbedaan nyata terhadap Indeks Luas Daun. Indeks Luas Daun

tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (6,35) dan yang terendah ditunjukan oleh

perlakuan B0 (4,17) kemudian diikuti oleh perlakuan B1 dan B2, serta B3.
96

Sebagaimana Tabel 8 bahwa semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka

semakin tinggi Indeks Luas Daun yang dihasilkan walaupun pada beberapa

perlakuan tidak menunjukan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT.

Perlakuan campuran pupuk N,P,K menggambarkan bahwa semakin tinggi

dosis yang diberikan maka Indeks Luas Daun yang dihasilkan semakin meningkat

pula. Dinamika Indeks Luas Daun terhadap pemberian campuran N, P, K pada

dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Dinamika Perkembangan Indeks Luas Daun pada Berbagai Dosis


Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b)

Gambar 8 di atas melukiskan bahwa pada tanaman padi kultivar

Wakawondu terlihat perkembangan ILD selama fase vegetatif terjadi peningkatan

seiring peningkatan dosis pupuk yang diberikan. Pada minggu ke-10, dimana hal

ini mulai memasuki fase pembungaan, nilai ILD berkisar antara 5,02 – 5,43 untuk

perlakuan dengan bokashi walaupun menunjukan adanya pengaruh tidak nyata

diantara dosis bokashi yang dicobakan. Nilai ILD untuk perlakuan dengan pupuk

campuran N, P, K yaitu antara 4,17 – 6,35.


97

5.1.2.8 Laju Tumbuh Relatif (g minggu-1)

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap Laju Tumbuh

Relatif (LTR). Secara mandiri, campuran pupuk N,P,K berpengaruh nyata

terhadap LTR pada umur 10 MST (Tabel 9). Hasil pengamatan rata-rata LTR

dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 9a dan 9b.

Tabel 9. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K


Terhadap Laju Tumbuh Relatif (g minggu-1) pada Umur 10 Minggu
Setelah Tanam (MST)
Laju Tumbuh Relatif
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 0,708 0,709 0,708 0,709 0,708 0,708 a
B1 0,710 0,709 0,708 0,708 0,709 0,709 ab
B2 0,708 0,710 0,711 0,711 0,708 0,710 ab
B3 0,710 0,711 0,709 0,711 0,712 0,711 bc
B4 0,709 0,711 0,711 0,712 0,717 0,712 c
RERATA 0,709 0,710 0,710 0,710 0,711
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%

Pada Tabel 9 terlihat bahwa perlakuan A0, A1, A2, A3, dan A4

menunjukan perbedaan yang tidak nyata diantara semua perlakuan yang

dicobakan. Perlakuan B0, B1 dan B2 menunjukan perbedaan yang tidak nyata

diantara ketiganya. Sementara itu, perlakuan B1, B2, dan B3 menunjukan

perbedaan yang tidak nyata diantara ketiganya, serta perlakuan B3 dan B4 juga

tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata. Akan tetapi, perlakuan B4

menunjukan perbedaan yang nyata dengan perlakuan B0, B1 dan B2. Pada umur

10 MST ini, perlakuan B4 menunjukan LTR tertinggi yakni sebesar 0,712 g


98

minggu-1 dan LTR terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 yang hanya mencapai

0,708 g minggu-1.

Secara umum tampak bahwa LTR meningkat hingga umur 6 MST,

sesudah itu menurun seiring pertambahan umur tanaman. Juga, LTR cenderung

meningkat seiring peningkatan dosis pupuk kendati beberapa perlakuan tidak

menunjukan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT. Dinamika LTR pada

setiap periode mingguan sebagaimana dilukiskan pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9. Dinamika Perkembagan Laju Tumbuh Relatif pada Berbagai Dosis


Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b) Umur 4, 6, 8, dan 10 MST.

Laju tumbuh relatif (LTR) menggambarkan terjadinya peningkatan berat

kering tanaman dalam interval waktu, dalam hubungannya dengan berat awal.

Laju tumbuh relatif merupakan pertambahan berat kering tanaman pada suatu

waktu tertentu.

Puncak laju tumbuh relatif terjadi pada minggu ke-6 setelah tanam baik

pengaruh bokashi maupun pengaruh campuran N, P, K, dan setelah itu mulai


99

menurun pada minggu ke-8 dan seterusnya menurun hingga minggu ke 10

(Gambar 9).

5.1.2.9 Laju Asimilasi Bersih (g cm-2 minggu-1)

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap laju asimilasi

bersih (LAB), akan tetapi secara mandiri, bokashi berpengaruh nyata terhadap

laju asimilasi bersih pada umur 10 MST (Tabel 10). Hasil pengamatan rata-rata

laju asimilasi bersih dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 10a dan 10b.

Tabel 10. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Laju Asimilasi Bersih (g cm-2 minggu-1) pada Umur 10
(MST)
Laju Asimilasi Bersih
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 0,78 1,42 1,13 1,50 1,30 1,23
B1 1,15 1,30 1,11 1,14 2,01 1,34
B2 1,25 1,37 1,28 1,31 1,77 1,40
B3 1,08 1,31 1,64 1,49 1,59 1,42
B4 1,02 1,01 1,60 1,50 2,08 1,44
RERATA 1,06 a 1,28 a 1,35 a 1,39 a 1,75 b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%

Pada Tabel 10 terlihat bahwa semua perlakuan yakni A0, A1, A2 dan A3

tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata terhadap laju asimilasi bersih.

Akan tetapi, keempat perlakuan itu (A0, A1, A2, A3) berbeda nyata dengan

perlakuan A4. Laju asimilasi bersih yang tertinggi ditunjukan oleh perlakuan A4

(1,75 g cm-2 minggu-1) dan terendah ditunjukan oleh perlakuan A0 (1,06 g cm-2

minggu-1). Perlakuan B0, B1, B2, B3 dan B4 tidak menunjukan adanya perbedaan
100

yang nyata terhadap laju asimilasi bersih. Akan tetapi, secara numerik laju

asimilasi bersih yang tertinggi ditunjukan oleh perlakuan B4 (1,44 g cm-2 minggu-
1
) dan terendah ditunjukan oleh perlakuan B0 (1,23 g cm-2 minggu-1).

Sebagaimana Tabel 10 di atas, bahwa laju asimilasi bersih meningkat

seiring peningkatan dosis pupuk menurut hasil uji DMRT. Secara numerik bahwa

laju asimilasi bersih terus meningkat seiring peningkatan dosis pemupukan

kendati peningkatan tersebut tidak signifikan menurut uji Anova.

Secara umum tampak bahwa laju asimilasi bersih meningkat seiring

pertambahan umur tanaman (Gambar 10). Pada penelitian ini terlihat bahwa

puncak laju asimilasi terlihat pada minggu ke-10 setelah tanam dan diduga

kemungkinan masih akan meningkat lagi atau sebaliknya bahkan mulai menurun

pada minggu berikutnya.

(a) (b)

Gambar 10. Dinamika Perkembagan Laju Asimilasi Bersih Padi Wakawondu


pada Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b)
101

5.1.2.10 Nisbah Pupus Akar

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bokashi dan campuran

pupuk N,P,K serta interaksi keduanya menunjukan pengaruh yang tidak nyata

terhadap Nisbah Pupus Akar (NPA) pada 10 MST (Lampiran 11b).

Hasil pengamatan rata-rata NPA disajikan pada Lampiran 11a. Secara

numerik tampak bahwa semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka semakin

tinggi NPA yang dihasikan. Dinamika NPA selama periode tumbuh tanaman

sebagaimana ditunjukan pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11. Dinamika Perkembangan Nisbah Pupus Akar pada Berbagai Dosis
Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K (b)

Meskipun perlakuan dengan bokashi maupun perlakuan dengan pupuk N, P, K

setelah tanam menunjukan fluktuasi antar dosis pemupukan (Lampiran 19a), akan

tetapi rata-rata Nisbah Pupus Aakar (NPA) dengan nilai paling baik diperlihatkan

oleh perlakuan A4 dan perlakuan B4 serta nilai NPA paling rendah ditunjukan

oleh perlakuan A0 dan B0.


102

Sebagaimana LAB, bahwa pengukuran NPA dalam penelitian ini juga

hanya berlangsung hingga umur 10 MST. Oleh karena itu, pada penelitian ini

puncak NPA terlihat pada minggu ke-10 setelah tanam dan diduga kemungkinan

masih akan meningkat lagi pada minggu berikutnya.

5.1.2.11 Anakan Produktif

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap anakan

produktif, akan tetapi secara mandiri, bokashi maupun campuran pupuk N,P,K

berpengaruh nyata terhadap anakan produktif pada umur 10 MST (Tabel 11).

Hasil pengamatan rata-rata anakan produkstif dan sidik ragamnya

disajikan pada Lampiran 12a dan 12b.

Tabel 11. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Anakan Produktif (batang) pada Umur 10 MST
Anakan Produktif
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 4,62 5,84 6,42 6,78 7,29 6,19 a
B1 6,78 6,96 7,40 8,29 9,18 7,72 b
B2 7,62 7,82 8,07 8,82 9,78 8,42 c
B3 8,11 7,87 8,22 9,13 10,13 8,69 c
B4 9,42 9,27 9,56 10,36 11,24 9,97 d
RERATA 7,31 p 7,55 pq 7,93 q 8,68 r 9,52 s
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r) dan baris
(a, b, c, d) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada
taraf kepercayaan 95%

Pada Tabel 11 terlihat bahwa pada umur 10 MST pemberian bokashi

pada perlakuan A0 dan A1 tidak menunjukan perbedaan yang nyata, demikian

pula perlakuan A1 dan A2 tidak menunjukan perbedaan yang nyata, sedangkan


103

perlakuan A3 dan A4 menunjukan perbedaan yang nyata diantara keduanya.

Perlakuan A0 berbeda nyata dengan perlakuan A2, A3 dan A4, demikian pula

perlakuan A2 berbeda nyata dengan perlakuan A3 dan A4. Perlakuan A4

menunjukan jumlah anakan produktif yang tertinggi yakni sebanyak 9,52 batang

dan perlakuan A0 menghasilkan jumlah anakan produktif yang paling sedikit

yakni sebesar 7,31 batang kemudian disusul oleh perlakuan A1 (7,55 batang), A2

(7,93 batang) dan A3 (8,68 batang).

Pemberian campuran pupuk N,P,K pada perlakuan B0 menunjukan

perbedaan yang nyata dengan perlakuan B1, B2, B3 dan B4. Demikian pula

perlakuan B1 dan B4 menunjukan perbedaan yang nyata dengan pelakuan yang

lainnya. Kecuali antara perlakuan B2 dan B3 keduanya tidak menunjukan

perbedaan yang nyata, kendati kedua perlakuan tersebut menunjukan perbedaan

yang nyata dengan perlakuan B0, B1, dan B4. Perlakuan B4 menunjukan jumlah

anakan produktif yang tertinggi yakni sebanyak 9,97 batang dan perlakuan B0

menghasilkan jumlah anakan produktif yang paling sedikit yakni sebesar 6,19

batang kemudian disusul oleh perlakuan B1 (7,72 batang), B2 (8,42 batang) dan

B3 (8,69 batang).

5.1.2.12 Umur Berbunga

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa umur berbunga 80% tidak

menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada semua perlakuan baik secara

mandiri maupun interaksi antara perlakuan pemberian bokashi dengan campuran

pupuk N,P,K (Lampiran 13b). Hasil pengamatan rata-rata umur berbunga (80%)

disajikan pada Lampiran 13a. Pengaruh bokashi dan campuran pupuk N,P,K
104

pada berbagai dosis terhadap umur tanaman berbunga 80% (hari) disajikan pada

gambar 12.

Sebagaimana ditunjukan oleh Gambar 12 bahwa semakin tinggi dosis

bokashi yang diberikan maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk

berbunga. Secara deskriptif, tanaman padi kultivar Wakawondu yang ditanam di

(a) (b)

Gambar 12. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Umur Tanaman Berbunga 80% (hari)

lahan jenuh air mulai terbentuk bunga pada umur 75 hari setelah tanam (HST)

dan setelah umur 100 hari semua perlakuan sudah mencapai 80% berbunga. Pada

umur 103 HST keseluruhan tanaman telah berbunga 100%. Pada umur 128 HST

tanaman telah masak penuh dan siap dipanen. Dalam percobaan ini, kultivar

Wakawondu mencapai masa panen yang relatif lebih singkat. Padi Wakawondu

yang dibudidayakan di lahan kering (ladang) masa panen mencapai umur 143

HST (Kadidaa et al., 2017).

Dengan sistem budidaya di lahan jenuh air dimana ketersediaan air

terpenuhi dan didukung dengan ketersediaan unsur hara yang cukup, tanaman

padi dapat mempercepat siklus hidupnya. Dengan membudidayakan padi


105

Wakawondu di lahan jenuh air yang masa panennya ± 4 bulan berarti padi ini

dapat dipanen minimal dua kali dalam setahun dengan memanfaatkan sistem

irigasi teknis.

5.1.2.13 Panjang Malai

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap panjang malai

pada umur 10 MST (Tabel 12), akan tetapi secara mandiri, campuran pupuk

N,P,K berpengaruh nyata terhadap panjang malai. Hasil pengamatan rata-rata

panjang malai dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 14a dan 14b.

Tabel 12. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Panjang Malai (cm) pada Umur 10 MST
Panjang Malai
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 23,5 23,3 23,4 23,2 24,1 23,5 a
B1 23,7 24,3 24,5 23,6 24,3 24,1 ab
B2 23,8 24,0 23,6 24,4 24,9 24,1 ab
B3 23,9 25,1 24,9 25,5 24,6 24,8 b
B4 24,9 23,6 25,2 25,0 25,4 24,8 b
RERATA 23,9 24,1 24,3 24,3 24,7
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%

Pada Tabel 12 tampak bahwa campuran pupuk N,P,K pada perlakuan B0, B1 dan

B2 menunjukan perbedaan yang tidak nyata diantara ketiganya. Selanjutnya,

perlakuan B1, B2, B3 dan B4 juga tidak menunjukan perbedaan yang nyata

diantara perlakuan tersebut. Akan tetapi, perlakuan B0 menunjukan perbedaan

yang nyata dengan perlakuan B3 dan B4. Perlakuan B4 menunjukan panjang

malai yang tertinggi yakni sebesar 24,83 cm dan perlakuan B0 menghasilkan


106

panjang malai yang paling rendah yakni sebesar 23,50 cm kemudian disusul oleh

perlakuan B1 (24,08 cm), B2 (24,14 cm) dan B3 (24,78 cm). Sesuai Tabel 12,

bahwa secara numerik panjang malai meningkat sejalan dengan peningkatan

dosis pupuk kendatipun ada beberapa perlakuan yang menunjukan tidak ada

perbedaan nyata menurut uji DMRT. Berdasarkan hasil uji nilai rata-rata,

perlakuan B4 menunjukan malai terpanjang kendati tidak berbeda nyata dengan

perlakuan B3.

5.1.2.14 Jumlah Gabah Per Malai

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bokashi dan campuran

pupuk N,P,K serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah

per malai (Tabel 13). Hasil pengamatan rata-rata jumlah gabah per malai dan

sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 15a dan 15b.

Tabel 13. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk
N,P,K Terhadap Jumlah Gabah Per Malai (butir)
Jumlah Gabah Per Malai
Perlakuan
A0 A1 A2 A3 A4
B0 82,44 p 102,08 p 108,36p 113,13 p 118,33 p
(a) (b) (c) (d) (e)
B1 95,88 q 105,00 q 112,35 q 118,31 q 120,08 q
(a) (b) (c) (d) (e)
B2 103,02 r 110,89 r 117,85 r 123,82 r 122,14 r
(a) (b) (c) (d) (e)
B3 115,32 s 115,58 s 123,04 s 127,48 s 130,53 s
(a) (b) (c) (d) (e)
B4 120,50 t 119,50 t 127,18 t 132,40 t 139,87 t
(a) (b) (c) (d) (e)
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r, s, t) dan
baris (a, b, c, d, e) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf kepercayaan 95%
107

Tabel 13 menunjukan bahwa semua perlakuan menunjukan perbedaan

yang nyata pada semua level dosis pupuk. Interaksi antara bokashi dan campuran

pupuk N,P,K terlihat bahwa A4B4 (139,87 butir) merupakan perlakuan dengan

jumlah gabah per malai tertinggi, sedangkan A0B0 (82,44 butir) merupakan

perlakuan dengan jumlah gabah per malai paling rendah.

5.1.2.15 Persentase Gabah Isi Per Malai

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bokashi dan interaksinya

dengan campuran pupuk N, P, K tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap

persentase gabah isi per malai, akan tetapi secara mandiri, campuran pupuk

N,P,K berpengaruh nyata terhadap persentase gabah isi per malai (Tabel 14).

Hasil pengamatan rata-rata persentase gabah isi per malai dan sidik ragamnya

disajikan pada Lampiran 16a dan 16b.

Tabel 14. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Persentase (%) Gabah Isi Per Malai
Persentase Gabah Isi Per Malai
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 77,92 80,71 84,83 81,91 85,47 82,17 a
B1 80,73 84,04 84,86 85,63 85,39 84,13 ab
B2 80,71 85,93 84,46 88,01 87,40 85,30 ab
B3 83,90 84,58 83,30 86,95 91,11 85,97 b
B4 86,68 85,85 87,54 89,14 89,97 87,84 b
RERATA 81,99 p 84,22 pq 85,00 pq 86,33 q 87,87 q
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q) dan baris (a,
b) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf
kepercayaan 95%

Pada Tabel 14 terlihat bahwa perlakuan bokashi pada level dosis (A0,

A1, A2) tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata, demikian juga
108

perlakuan A1, A2, A3, dan A4 tidak menunjukan adanya perbedaan nyata. Akan

tetapi perlakuan A0 berbeda nyata dengan A4. Secara numerik menunjukan

adanya peningkatan dengan meningkatnya dosis pupuk bokashi yang diberikan.

Bahwasanya perlakuan A4 menunjukan persentase gabah isi per malai yang

tertinggi yakni sebesar 87,87% dan perlakuan A0 menghasilkan persentase gabah

isi per malai yang paling rendah yakni sebesar 81,99% kemudian disusul oleh

perlakuan A1 (84,22%), A2 (85,00%) dan A3 (86,33%).

Perlakuan campuran pupuk N,P,K (B0, B1, B2) tidak menunjukan adanya

perbedaan yang nyata. Demikian pula antara B1, B2, B3, dan B4 tidak

menunjukan adanya perbedaan yang nyata. Akan tetapi, perlakuan B0 berbeda

nyata dengan perlakuan B4. Perlakuan B4 menunjukan persentase gabah isi per

malai yang tertinggi yakni sebesar 87,84% dan perlakuan B0 menghasilkan

persentase gabah isi per malai yang paling rendah yakni sebesar 82,17%

kemudian disusul oleh perlakuan B1 (84,13%), B2 (85,30%) dan B3 (85,97%).

5.1.2.16 Berat Gabah Per Malai

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa berat gabah per malai tidak

menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata pada semua perlakuan baik

secara mandiri maupun interaksi antara perlakuan pemberian bokashi dengan

campuran pupuk N,P,K (Lampiran 17b). Hasil pengamatan rata-rata berat gabah

per malai disajikan pada Lampiran 17a. Pengaruh bokashi dan campuran pupuk

N,P,K pada berbagai dosis terhadap berat gabah per malai (g) disajikan pada

gambar 13.
109

Sebagaimana ditunjukan oleh gambar 13 bahwa semakin tinggi dosis

bokashi dan campuran pupuk N,P,K yang diberikan maka semakin berat butir

gabah per malai yang dihasilkan. Perlakuan A4 adalah perlakuan yang

menunjukan berat gabah per malai paling tinggi yakni 3,52 g sedangkan A0

adalah perlakuan dengan berat gabah per malai paling rendah yakni 2,37 g.

Perlakuan B4 adalah perlakuan yang menunjukan berat gabah per malai paling

(a) (b)

Gambar 13. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Berat Gabah Per Malai (g)

tinggi yakni sebesar 3,11 g malai-1 sedangkan B0 adalah perlakuan dengan berat

gabah per malai paling rendah yakni 2,49 g malai-1.

Sekalipun tidak menunjukkan beda nyata berdasarkan analisis varians,

akan tetapi hasil yang diperoleh melukiskan bahwa bokashi maupun campuran

pupuk N,P,K memberi kontribusi yang baik terhadap unsur hara khususnya dalam

periode pengisian biji padi.


110

5.1.2.17 Berat 1000 Butir Gabah

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap berat 1000 butir

gabah, akan tetapi secara mandiri, bokashi maupun campuran pupuk N,P,K

berpengaruh nyata terhadap berat 1000 butir gabah (Tabel 15). Hasil pengamatan

rata-rata berat 1000 butir gabah dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 18a

dan 18b.

Tabel 15. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Berat 1000 Butir Gabah (g)
Berat 1000 Butir Gabah
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 26,57 27,77 28,15 28,58 28,22 27,86 a
B1 27,35 28,58 28,57 29,01 29,04 28,51 ab
B2 28,12 29,21 28,95 29,40 29,53 29,04 abc
B3 28,20 29,33 29,31 29,77 30,44 29,41 bc
B4 28,77 29,82 30,03 30,47 31,32 30,08 c
RERATA 27,80 p 28,94 q 29,00 q 29,45 r 29,71 r
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r) dan baris
(a, b, c) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf
kepercayaan 95%

Pada Tabel 15 terlihat bahwa perlakuan A0 menunjukan perbedaan yang

nyata dengan perakuan lainnya. Perlakuan A1 dan A2 menunjukan perbedaan

yang tidak nyata serta antara perlakuan A3 dan A4 juga menunjukan perbedaan

yang tidak nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan A0, A1,

dan A2. Perlakuan A4 menunjukan berat 1000 butir gabah yang tertinggi yakni

sebesar 29,71 g dan perlakuan A0 menghasilkan berat 1000 butir gabah yang
111

paling rendah yakni sebesar 27,80 g kemudian disusul oleh perlakuan A1 (28,94

g), A2 (29,00 g) dan A3 (29,45 g).

Selanjutnya terlihat bahwa perlakuan B0, B1, dan B2 menunjukan

perbedaan yang tidak nyata, demikian pula dengan perlakuan B1, B2, dan B3

juga tidak berbeda nyata, serta perlakuan antara B2, B3, dan B4 menunjukan

perbedaan yang tidak nyata. Akan tetapi perlakuan B4 menunjukan perbedaan

yang nyata dengan perlakuan B0 dan B1. Perlakuan B4 menunjukan berat 1000

butir gabah yang tertinggi yakni sebesar 30,08 g dan perlakuan B0 menunjukan

berat 1000 butir gabah yang paling rendah yakni sebesar 27,86 g kemudian

disusul oleh perlakuan B1 (28,51 g), B2 (29,04 g) dan B3 (29,41 g).

Secara numerik, berat 1000 butir gabah meningkat seiring peningkatan

dosis pupuk menurut uji DMRT. Tabel 15 menunjukkan bahwa perlakuan A4

menghasilkan berat gabah tertinggi yakni 29,71 g kendatipun tidak berbeda nyata

dengan perlakuan A3 yang mencapai berat 29,45 g. Ini berarti, perlakuan A3

berupa bokashi dengan dosis 6 ton ha-1 merupakan dosis ideal yang diberikan

karena lebih ekonomis dari segi biaya dan respon yang dihasilkan tidak berbeda

nyata dengan perlakuan A4 yakni pemberian bokashi dengan dosis 8 ton ha-1.

Demikian pula dengan campuran pupuk N,P,K yang diberikan bahwa semakin

tinggi dosis pupuk yang diberikan maka semakin tinggi berat butir gabah yang

dihasilkan. Dosis 75% dari dosis anjuran (B3) sesungguhnya merupakan dosis

terbaik yang diberikan untuk campuran pupuk N,P,K terhadap padi kultivar

Wakawondu yang dibudidaya di lahan sawah. Walaupun dosis 75% tidak berbeda

nyata dengan dosis 100% dosis anjuran tetapi secara ekonomis lebih diinginkan.
112

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bokashi dapat mengurangi dosis

campuran pupuk N,P,K hingga 25 dari dosis yang disarankan.

5.1.2.18 Indeks Panen (HI = )

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa indeks panen menunjukkan

pengaruh yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan baik secara mandiri

maupun interaksi antara perlakuan pemberian bokashi dengan campuran pupuk

N,P,K (Lampiran 19b). Hasil pengamatan rata-rata indeks panen disajikan pada

Lampiran 19a. Pengaruh bokashi dan campuran pupuk N,P,K pada berbagai

dosis terhadap indeks panen disajikan pada Gambar 14.

(a) (b)

Gambar 14. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi (a) dan Campuran Pupuk N,P,K
(b) Terhadap Indeks Panen

Sebagaimana ditunjukan oleh Gambar 9 bahwa semakin tinggi dosis

pupuk yang diberikan baik bokashi maupun campuran pupuk N,P,K maka

semakin tinggi nilai indeks panen yang dihasilkan. Pada perlakuan dengan pupuk

bokashi, perlakuan A4 adalah perlakuan yang menunjukan indeks panen tertinggi

yakni 0,57 sedangkan A0 adalah perlakuan dengan indeks panen paling rendah
113

yakni 0,54. Sementara itu, perlakuan dengan pemberian campuran pupuk N,P,K

dimana B4 adalah perlakuan yang menunjukan indeks panen paling tinggi yakni

sebesar 0,62 sedangkan B0 adalah perlakuan dengan indeks panen paling rendah

yakni 0,54.

5.1.2.19 Produktivitas (ton ha-1)

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap produktivitas

gabah, akan tetapi secara mandiri, bokashi maupun campuran pupuk N,P,K

berpengaruh nyata terhadap tingkat produktivitas gabah kering giling (GKG)

(Tabel 16). Hasil pengamatan rata-rata produktivitas gabah kering giling dan

sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 21a dan 21b.

Tabel 16. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Produktivitas (ton ha-1) Gabah Kering Giling (GKG)
Produktivitas
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 1.71 2.81 3.32 3.73 4.13 3.14 a
B1 3.02 3.54 4.03 4.82 5.43 4.17 b
B2 3.77 4.29 4.68 5.46 5.99 4.84 c
B3 4.51 4.53 5.04 5.89 6.84 5.36 d
B4 5.57 5.58 6.22 7.11 8.35 6.56 e
RERATA 3.71 p 4.15q 4.66 r 5.40 s 6.15 t
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r, s, t) dan
baris (a, b, c, d, e) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf kepercayaan 95%

Pada Tabel 16 terlihat bahwa semua perlakuan menunjukan perbedaan

yang nyata antara satu dengan lainnya. Tampak bahwa perlakuan A4

menunjukan tingkat produktivitas gabah kering tertinggi yakni 6,15 ton ha-1 dan
114

perlakuan A0 menghasilkan tingkat produktivitas gabah kering yang paling

rendah yakni sebesar 3,71 ton ha-1 kemudian disusul oleh perlakuan A1 (4,15

ton ha-1), A2 (4,66 ton ha-1) dan A3 (5,40 ton ha-1).

Perlakuan B4 menunjukan tingkat produktivitas gabah kering yang

tertinggi yakni 6,56 ton ha-1 dan perlakuan B0 menghasilkan tingkat

produktivitas gabah kering yang paling rendah yakni sebesar 3,14 ton ha-1

kemudian disusul oleh perlakuan B1 (4,17 ton ha-1), B2 (4,84 ton ha-1) dan B3

(5,36 ton ha-1).

5.1.2.20 Kandungan Nitrogen

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bokashi dan campuran

pupuk N,P,K serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kandungan N

total (Tabel 17). Hasil pengamatan rata-rata kandungan N total dan sidik

ragamnya disajikan pada Lampiran 20a, 20b dan 22.

Tabel 17. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk
N,P,K Terhadap Kandungan (%) N Total
Kandungan (%) N Total
Perlakuan
A0 A1 A2 A3 A4
B0 1,03 p 1,20 q 1,31 r 1,36 s 1,56 t
(a) (a) (a) (a) (a)
B1 1,13 p 1,28 q 1,44 r 1,44 r 1,75 t
(b) (b) (b) (b) (b)
B2 1,16 p 1,31 q 1,52 r 1,52 r 1,86 t
(c) (b) (c) (c) (c)
B3 1,23 p 1,42 q 1,54 r 1,70 s 1,92 t
(d) (d) (d) (d) (d)
B4 1,28 p 1,51 q 1,57 r 1,77 s 1,97 t
(e) (e) (e) (e) (e)
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r, s, t) dan
baris (a, b, c, d, e) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf kepercayaan 95%
115

Tabel 17 menunjukan bahwa perlakuan A2B1 dan A3B1 tidak berbeda

nyata diantara keduanya. Demikian pula dengan perlakuan A2B2 dan A3B2 juga

tidak menunjukan adanya perbedaan nyata diantara keduanya. Interaksi antara

bokashi dan campuran pupuk N,P,K (A4B4 = 1,97%) merupakan perlakuan

dengan kandungan N total tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya,

sedangkan A0B0 (1,03%) merupakan perlakuan dengan kandungan N total paling

rendah dan bebeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tampak bahwa kandungan N

total padi kultivar Wakawondu mengalami peningkatan dengan meningkatnya

dosis pemupukan, baik pupuk bokashi maupun campuran pupuk N,P,K walaupun

masih terdapat beberapa perlakuan yang tidak menunjukan adanya perbedaan

nyata menurut uji DMRT.

5.1.2.21 Kandungan Fosfor

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh

interaksi antara bokashi dengan campuran pupuk N,P,K terhadap kandungan P

(Fosfor) total. Akan tetapi, secara mandiri bokashi maupun campuran pupuk

N,P,K berpengaruh nyata terhadap kandungan P total (Tabel 18).

Hasil pengamatan rata-rata serapan Fosfor dan sidik ragamnya

disajikan pada Lampiran 20a, 20b dan 23.

Tabel 18 menunjukan bahwa perlakuan bokasi pada dosis A0 menunjukan

perbedaan yang nyata dengan perlakuan lainnya (A1, A2, A3, A4). Demikian

pula dengan perlakuan A1 menunjukan perbedaan nyata dengan perlakuan yang

lain. Akan halnya dengan perlakuan A2 dan perlakuan A3, yang mana keduanya
116

Tabel 18. Pengaruh Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk N,P,K
Terhadap Kandungan (%) P Total Daun
Kandungan (%) P Total Daun
Perlakuan Rerata
A0 A1 A2 A3 A4
B0 0,13 0,15 0,16 0,17 0,18 0,16 a
B1 0,14 0,16 0,17 0,18 0,18 0,17 ab
B2 0,15 0,16 0,17 0,19 0,20 0,17 bc
B3 0,16 0,17 0,19 0,19 0,20 0,18 c
B4 0,17 0,18 0,21 0,21 0,21 0,20 d
RERATA 0,15 p 0,16 q 0,18 r 0,19 rs 0,20 s
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r, s) dan
baris (a, b, c, d) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf kepercayaan 95%

menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata, serta perlakuan A3 dan A4 juga

keduanya tidak berbeda nyata, akan tetapi keduanya berbeda nyata dengan

perlakuan A0 dan A1. Perlakuan A4 menunjukan kandungan P total tertinggi

yakni sebesar 0,20% dan terendah ditunjukan oleh perlakuan A0 yang hanya

sebesar 0,15% kemudian disusul oleh perlakuan A1, A2, dan A3.

Perlakuan campuran pupuk N,P,K juga menunjukan perbedaan yang

nyata diantara level dosis pupuk yang dicobakan. Perlakuan B0 menunjukan

perbedaan yang nyata dengan perlakuan B2, B3, dan B4. Perlakuan B1 tidak

berbeda nyata dengan B2, dan B2 tidak berbeda nyata dengan B3. Perlakuan B4

menunjukan perbedaan yang nyata dengan pelakuan lainnya. Perlakuan B4

menunjukan kandungan P total tertinggi yakni sebesar 0,20% dan yang paling

rendah ditunjukan oleh perlakuan B0 yakni sebesar 0,16% disusul oleh perlakuan

B1, B2, dan B3. Tampak bahwa kandungan P total padi kultivar Wakawondu
117

mengalami peningkatan dengan meningkatnya dosis pemupukan, baik pupuk

bokashi maupun campuran pupuk N,P,K.

5.1.2.22 Kandungan Kalium

Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bokashi dan campuran

pupuk N,P,K serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kandungan K

(Kalium) total (Tabel 19). Hasil pengamatan rata-rata kandungan K dan sidik

ragamnya disajikan pada Lampiran 20a, 20b dan 24.

Tabel 19 menunjukan bahwa perlakuan interaksi antara bokashi dan

campuranpupuk N,P,K pada perlakuan A2B1 dan A2B2 tidak berbeda nyata,

demikian juga dengan perlakuan A3B1 dan A3B2 tidak menunjukan adanya

perbedaan nyata.

Tabel 19. Pengaruh Interaksi Berbagai Dosis Bokashi dan Campuran Pupuk
N,P,K Terhadap Kandungan K Total (%) Daun
Kandungan (%) K Total Daun
Perlakuan
A0 A1 A2 A3 A4
B0 2,09 p 2,31 q 2,78 r 2,97 s 3,14 t
(a) (a) (a) (a) (a)
B1 2,13 p 2,51 q 2,83 r 3,10 s 3,25 t
(b) (b) (b) (b) (b)
B2 2,30 p 2,69 q 2,83 r 3,11 s 3,32 t
(c) (c) (b) (b) (c)
B3 2,42 p 2,79 q 3,05 r 3,24 s 3,82 t
(d) (d) (d) (d) (d)
B4 2,46 p 2,81 q 3,16 r 3,27 s 4,38 t
(e) (e) (e) (e) (e)
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom (p, q, r, s, t) dan
baris (a, b, c, d, e) yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf kepercayaan 95%

Perlakuan A4B4 merupakan perlakuan dengan kandungan K total tertinggi

(4,38%), sedangkan A0B0 merupakan perlakuan dengan kandungan K total


118

paling rendah (2,09%). Tampak bahwa kandungan K total mengalami

peningkatan dengan meningkatnya dosis pemupukan.

5.2 Pembahasan

Pemberian pupuk N, P, K pada 100% dosis anjuran (B4) menunjukan

respon tertinggi terhadap tinggi tanaman pada semua periode tumbuh (umur

tanaman). Semakin tinggi dosis pupuk N,P,K yang diberikan maka semakin baik

pertumbuhan tinggi tanaman yang dihasilkan (Tabel 3). Keberadaan unsur makro

berupa N, P, K di dalam tanah dimanfaatkan sebaik mungkin untuk pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. Menurut Syekhfani (1997), Nitogen berfungsi

memacu pertumbuhan vegetatif tanaman. Kendatipun keberadaan bokashi tidak

menunjukan adanya pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, akan tetapi bokashi

dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga serapan pupuk N,

P, K mengalami peningkatan (Tabel 17, 18, 19). Mengingat serapan N dan K

yang tinggi pada tanaman sebagaimana ditunjukan oleh hasil analisis jaringan

pada daun tanaman (Lampiran 20a, 20b), maka unsur-unsur itu dengan optimal

dimanfaatkan oleh tanaman untuk membentuk jaringan-jaringan tumbuh vegetatif

tanaman berupa organ batang, daun, dan akar. Pertambahan ukuran batang dan

daun akhirnya mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman.

Menurut Yamin (1986) bahwa N berperan dalam pembelahan inti sel.

Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman meningkat yang

salah satunya adalah jaringan batang dan daun. Sugiyanta (2007) melaporkan

bahwa pupuk Nitrogen nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah anakan

produktif, produktivitas gabah, panjang malai ukuran daun, jumah gabah malai-1.
119

Sebagaimana data pada penelitian ini menunjukan bahwa semakin tinggi dosis

N,P,K yang diberikan maka pertambahan tinggi tanaman semakin meningkat.

Pada penelitian ini, sekalipun tidak menunjukan pengaruh yang nyata,

akan tetapi bokashi sebagai bahan organik mengandung asam-asam organik yang

kemudian berperan menaikkan pH tanah (Lampiran 25b, 25c, 25d) sehingga

mengurangi kelarutan Fe yang mengikat P dan menjadikan unsur hara yang

diperlukan menjadi tersedia secara optimal. Pengaruh bahan organik berupa

bokashi yang diberikan juga berperan dalam meningkatkan Kdd sehingga

ketersediaan K menjadi meningkat (Tabel 19). Peran unsur K sebagai katalitik

atau katalisator kemudian mendorong peningkatan proses fotosintesis, translokasi

karbohidrat, sintesis protein, yang akibatnya meningkatkan pembentukan

biomassa dan bermuara pada peningkatnan jaringan-jaringan tumbuh tanaman

seperti daun dan batang tanaman. Sebagaimana dikatakan Hanafiah (2009),

secara fisiologis unsur ini berfungsi dalam: metabolisme karbohidrat,

metabolisme Nitrogen dan sintesis protein, pengaturan pemanfaatan berbagai

unsur hara utama, netralisasi asam-asam organik penting, aktivasi berbagai

enzim, percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem (pucuk,

tunas), dan pengaturan buka-tutup stomata dan hal-hal yang terkait dengan

penggunaan air.

Pertumbuhan tinggi tanaman akan diikuti dengan pertambahan jumlah

daun (Tabel 4) dan jumlah anakan (Tabel 5). Hal ini ditunjukan dengan hasil uji

korelasi bahwa tinggi tanaman berkorelasi positif dan signifikan dengan jumlah

daun (r = 0,90) dan jumlah anakan dengan r = 0,55. Peningkatan jumlah daun
120

diduga kemungkinan tanaman memiliki ketersediaan energi yang cukup berupa

ATP dan NADPH2 yang bersumber dari P untuk merangsang pembentukan

jaringan berupa daun. Sebagaimana dikatan oleh (Suleman, 2014) bahwa Fosfor

dibutuhkan tanaman dalam proses pembentukan AMP ADP ATP,

pertumbuhan akar, pematangan buah dan sintesis protein.

Hasil penelitian Syamsiyah (2008) bahwa peningkatan hara Fosfor akan

meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman padi gogo seperti tinggi tanaman,

jumlah daun dan jumlah anakan. Pertambahan tinggi tanaman selain diakibatkan

pertambahan panjang batang, juga dipengaruhi oleh pertambahan panjang dan

lebar daun. Pertambahan panjang dan lebar daun ini kemudian berpengaruh

terhadap pertambahan luas daun. Hal ini dibuktikan dengan korelasi yang postif

antara tinggi tanaman dan luas daun dengan r = 0,92 (Lampiran 2c). Semakin

panjang daun yang dihasilkan maka tanaman yang dihasilkan juga akan semakin

tinggi, karena variabel panjang dan lebar daun merupakan peubah untuk

menentukan luas daun.

Daun yang luas dapat menjadi indikator banyaknya klorofil yang

terkandung pada daun. Peningkatan klorofil meningkatkan hasil fotosintesis yang

selanjutnya memacuh peningkatan pembentukan organ-organ tumbuh seperti

daun. Pada Gambar 3 juga menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman

sampai dengan akhir percobaan masih cenderung meningkat untuk semua

perlakuan yang dicobakan, baik perlakuan dengan bokashi maupun perlakuan

dengan campuran pupuk N,P,K. Kendatipun masih menunjukan peningkatan

tinggi, akan tetapi laju peningkatan tinggi tanaman cenderung mulai lambat.
121

Meskipun demikian, diduga bahwa jika dosis pupuk ditingkatkan lagi,

kemungkinan masih akan terjadi pertambahan tinggi tanaman sebagaimana kurva

pertumbuhan tinggi tanaman (Gambar 3) masih terlihat linear dan belum

diperoleh titik optimum pertumbuhan tinggi tanaman. Artinya, pemberian pupuk

N, P, K pada 100% dosis anjuran ternyata belum menunjukan dosis optimal

sehingga masih perlu ditingkatkan lagi.

Hasil penelitian Hasfiah, et al. (2012) pada beberapa kultivar lokal padi

gogo Sulawesi Tenggara bahwa pada umur 10 MST Padi gogo kultivar Besu

memiliki tinggi tanaman (146,28 cm), kultivar Kori (154,48 cm), kultivar

Nggalaru (158,87 cm), kultivar Endokadia (160,49 cm). Varietas gogo lainnya

di Indonesia yaitu varietas Towuti dengan tinggi tanaman (101,16 cm), Situ

Bagendit (103,83 cm), Limboto (128,28), Situ Patenggang (125,92 cm), Inpago 6

(137,03 cm) (Bakhtiar, et al., 2013).

Sebagaimana kultivar gogo lainnya, padi gogo Wakawondu memiliki

ukuran yang relatif tinggi yakni 178,84 cm pada umur 12 MST (Budianti Kadidaa

et al., 2017). Akan tetapi, jika dibudidayakan pada lahan dengan ketersediaan

hara dan air yang cukup maka perkembangan vegetatif lebih cepat

menyelesaiakan siklusnya sehingga ukuran tinggi tanaman menjadi lebih pendek

yakni sekitar 81,71 cm - 96,88 cm atau rata-rata setinggi 89,30 cm. Hal ini berarti

padi gogo Wakawondu secara fisiologis mengalami penurunan ukuran tinggi

sebesar 50,1% sebagaimana hasil penelitian ini. Dengan demikian, diduga bahwa

unsur-unsur hara yang terserap kemungkinan dipersiapkan untuk mendukung

pertumbuhan tanaman pada fase generatif tanaman.


122

Pembentukan daun diawali dai primordia daun yang terdapat pada

meristem pucuk yang terdapat pada ujung batang. Perkembangan primordia daun

sampai menjadi daun selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi

oleh faktor lingkungan berupa kesuburan tanah. Unsur NPK sangat berperan

dalam pembentukan daun. Hal ini dapat dilihat dari korelasi antara N, P, K

dengan jumlah daun yang terbentuk, dimana berturut-turut r = 0,50, r = 0,62, r =

0,46 (Lampiran 2c). Unsur Fosfor sangat berperan dalam meningkatkan jumlah

daun karena Fosfor berperan dalam penyediaan energi untuk proses metabolisme

tanaman serta berperan dalam pembentukan klorofil dan pembentukan akar-akar

halus tanaman (Suleman, 2014).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi campuran N, P,

K maka pertumbuhan jumlah daun semakin meningkat (Tabel 4). Peningaktan

jumlah daun ikut mempengaruhi luas daun total. Sebagaimana hasil uji korelasi

menunjukan hubungan yang kuat antara jumlah daun dengan luas daun dengan r

= 0,94. Daun yang luas memiliki kandungan klorofil yang lebih banyak sehingga

aktifitas fotosintesis dapat meningkat. Peningkatan fotosintesis ini diikuti dengan

peningkatan pembentukan biomassa berupa pembentukan akar, batang, bunga

dan buah. Produktivitas buah dalam bentuk gabah berkorelasi erat dengan jumlah

daun dan luas daun, berturut-turut r = 0,74 dan r = 0,80 (Lampiran 2c). Terhadap

jumlah daun yang terbentuk, peran bokashi belum menunjukan pengaruh yang

signifikan. Hal ini kemungkinan bokashi masih dalam proses penguraian lanjut

sehingga belum tersedia untuk diserap oleh tanaman. Sebagaimana terlihat pada

Gambar 4 bahwa dinamika perkembangan jumlah daun pada minggu ke-2 hingga
123

ke-4 untuk semua perlakuan selama periode tumbuh menunjukkan trend fluktuatif

dan saling overlaping. Hal ini dikarenakan bokashi sebagai bahan organik belum

berada dalam bentuk tersedia dan masih dalam proses penguraian. Setelah

minggu ke-6 pengaruh bokashi mulai terlihat hingga pada minggu ke-10.

Pengaruh bokashi yang fluktuaktif pada 2 MST dan 4 MST menunjukkan bahwa

dosis bokashi yang diberikan pada penelitian ini belum menunjukkan pengaruh

yang baik dan hanya bersifat menyediakan hara di dalam tanah yang akan

digunakan untuk pembentukan jaringan tumbuh lainnya. Akan tetapi tampak

bahwa untuk dinamika perkembangan, dimana puncak perkembangan jumlah

daun terjadi pada minggu ke-6, baik terhadap perlakuan pemberian bokashi

maupun pemberian campuran pupuk N, P, K (Gambar 4).

Secara keseluruhan bahwa hingga minggu ke-10 pembentukan daun-daun

masih cenderung terjadi walaupun puncak pembentukannya terjadi pada minggu

ke-6. Setelah minggu ke-6, jumlah daun menunjukan penurunan hingga minggu

ke-10. Penurunan ini disebabkan adanya kematian pada daun khususnya daun-

daun muda yang berada di sekitar batang bawah tanaman. Hal ini diduga

dikarenakan pasokan unsur hara pada daun-daun muda mulai berkurang dan

bahkan terhenti sehingga jaringan tersebut menguning dan akhirnya mengalami

kematian. Unsur-unsur hara yang diserap tanaman disimpan pada bagian lain

tanaman sebagai bahan untuk pembetukan bagian generatif tanaman seperti

bunga dan buah. Secara fisiologis, persiapan pembentukan bagian generatif pada

padi Wakawondu mungkin dimulai setelah minggu ke-7 yaitu setelah

pembentukan daun mencapai titik optimal pada minggu ke-6 dengan indikator
124

morfologis yakni menguning dan matinya daun-daun muda. Oleh karena proses

pembentukan daun-daun muda ini tentu saja mengurangi pasokan nutrisi untuk

pembentukan bagian-bagian generatif seperti anakan produktif dan jumlah gabah.

Terhadap periode pembungaan, umur tanaman berbunga menunjukan

korelasi yang negatif dengan jumlah daun (r = -0,44), dan korelasi tidak nyata

terhadap Luas Daun Spesifik dan Nisba Pupus Akar. Artinya, pertambahan

jumlah daun justru menyebabkan periode pembungaan lebih cepat, dan jumlah

anakan, peningkatan Luas Daun Spesifik serta Nisba Pupus Akar tidak berkaitan

dengan periode pembungaan (Lampiran 2c). Sebagaimana data pada Tabel 5,

bahwa jumlah anakan meningkat dengan meningkatnya level pemupukan. Hal ini

terjadi karena pupuk N,P,K sebagai unsur hara makro dapat memenuhi

ketersediaan unsur hara pada tanah untuk mendukung potensi genetik kultivar

Wakawondu dalam pembentukan tunas batang secara maksimal. Di samping itu,

keberadaan bokashi sebagai bahan organik cukup berperan dalam perbaikan sifat

fisik tanah serta penyediaan hara mikro. Potensi ini nyata berbeda dengan kultivar

lokal lainnya seperti kultivar wangkariry dan kultivar wakombe yang ada di

wilayah Pulau Buton jika diberi perlakuan pemupukan seperti yang dilaporkan

oleh Silea (2015) bahwa kultivar Wakawondu yang diberi pupuk kandang ayam

dapat menghasilkan anakan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan

Wangkariry dan Wakombe.

Seperti halnya tinggi tanaman, peningkatan dosis pupuk yang diberikan

ikut mempengaruhi peningkatan jumlah anakan yang terbentuk (Tabel 5).

Diduga bahwa dosis yang tinggi memberikan kecukupan nutrisi untuk


125

melangsungkan proses-proses fisiologis tanaman khususnya pembentukan

anakan. Seperti dikemukakan oleh (Nyakpa et al., 1988) bahwa Nitrogen

merupakan penyusun utama bobot kering tanaman dibandingkan tanaman yang

lebih tua sehingga semakin besar bobot kering dan semakin tinggi kadar N akar

maka serapan hara khususnya N akan semakin besar sehingga N tersedia dengan

cepat bagi tanaman. Selanjutnya Silea et al. (2017) bahwa Ketersediaan N yang

cukup dalam tanah akan cepat memberi respon terhadap pertumbuhan vegetatif

tanaman. Pada tahap vegetatif, tanaman secara aktif menyerap unsur hara seperti

N. P, dan K serta senyawa mikro lainnya. Disamping itu, ketersediaan unsur

Kalium yang cukup juga mendukung perkembangan anakan yang lebih baik.

Sekalipun kadar N dalam tanah hanya sedikit mengalami peningkatan

setelah pemberian pupuk (Lampiran 25b, 25c, 25d) akan tetapi daya serap

tanaman terhadap N lebih baik dengan meningkatnya dosis pemupukan N. Daya

serap yang baik ini mungkin disebabkan oleh adanya bokashi sebagai pupuk

organik yang diberikan. Sekalipun tidak terjadi interaksi antara bokashi dan

campuran pupuk N,P,K, akan tetapi secara mandiri pengaruh campuran pupuk

N,P,K di dalam bokashi nyata meningkatkan jumlah anakan tanaman padi.

Nitrogen yang diserap tanaman selanjutnya dimanfaatkan untuk memacuh

pembentukan sel-sel pada jaringan tumbuh tanaman diantaranya jaringan batang

(anakan). Sebagaimana dikatakan oleh Yoshida (2001) bahwa fungsi N bagi

tanaman padi diantaranya untuk merangsang pertumbuhan yang cepat atau

meningkatkan tinggi dan jumlah anakan. Dalam percobaan ini tampak bahwa

unsur K terserap dengan baik oleh tanaman padi Wakawondu (Lampiran 20a,
126

20b). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kadar lengas tanah yang baik sehingga

proses difusi ion K juga menjadi baik serta tersedianya bahan organik

menyebabkan aerasi dan KTK juga lebih baik. Kendati tidak begitu berperan

dalam menyusun bagian tanaman (hanya 1%), akan tetapi Kalium berperan

sebagai aktivator berbagai enzim dan fungsi utamanya dalam pengaturan

mekanisme (bersifat katalitik atau katalisator) seperti fotosintesis, translokasi

karbohidrat, sintesis protein, dan lain-lain. Menurut Baker dan Pilbeam (2007),

lebih dari 80% enzim tanaman membutuhkan K untuk aktivasi. Dengan demikian

K berperan dalam percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem

(pucuk, tunas) yang akhirnya memacu perkembangan anakan tanaman padi.

Kalium dalam tanaman berperan sebagai ion yang sebagian besar berada

dalam cairan sel. Unsur K pada tanaman berkaitan erat dengan proses biofisika

dan biokimia (Beringer, 1980). Dalam proses biofisika, K berperan penting dalam

mengatur tekanan osmosis dan tugor, yang pada gilirannya akan memengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan sel serta membuka dan menutupnya stomata.

Penyediaan K yang cukup akan mengoptimalkan proses pengubahan tenaga surya

menjadi tenaga kimia (ATP atau senyawa organik). Apabila tanaman kekurangan

K, maka pengangkutan (translocation) karbohidrat dari daun ke organ lainnya

terhambat sehingga hasil fotosintetis terakumulasi pada daun dan menurunkan

kecepatan fotosintetis itu sendiri (Mengel dan Kirkby 1987). Kekurangan hara

Kalium juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman. Gangguan

pertumbuhan tanaman ditemukan pada pengurangan jumlah anakan. Tanaman

yang kekurangan Kalium juga tidak tegar sehingga mudah rebah. Gangguan
127

pertumbuhan ini disebabkan oleh terganggunya aktivitaas berbagai enzim yang

berperan penting dalam proses metabolisme tanaman. Di samping itu Kalium

secara fisiologis dan biokimia berperan dalam peningkatan laju fotosintesis dan

penghematan penggunaan air (Bidwell, 1979). Jika Kalium cukup dalam

tanaman, translokasi fotosintat dari daun ke bagian perakaran akan lebih banyak,

karena selain meningkatkan aktivitas enzim, juga meningkatkan tingkat kelarutan

gula sederhana dan distribusinya ke bagian-bagian lain tanaman seperti akar dan

jaringan batang yang selanjutnya mendorong pembentukan anakan.

Anakan yang terbentuk kemudian menghasilkan sejumlah daun sehingga

hal ini mempengaruhi banyaknya daun yang terbentuk. Hal ini dilihat dari

korelasinya dengan jumlah daun sebesar r = 0,58 (Lampiran 2c). Selain

berkorelasi dengan jumlah daun, juga berkorelasi positif dan signifikan dengan

variabel pertumbuhan lainnya (luas daun, kandungan klorofil, anakan produktif,

panjang malai, jumlah gabah, berat gabah, produksi, indeks panen, indeks luas

daun, LTR, LAB, dan kandungan NPK daun), kecuali umur tanaman berbunga

berkorelasi secara negatif dan tidak signifikan. Variabel Nisbah Pupus Aakar juga

memiliki korelasi yang tidak signifikan dengan jumlah anakan dengan r = 0,15

(Lampiran 2c).

Banyaknya anakan yang terbentuk ini akan diikuti dengan pembentukan

daun, sehingga ikut mempengaruhi luas daun. Daun yang luas berkorelasi dengan

jumlah klorofil dengan r = 0,69 (Lampiran 2c). Artinya semakin daun itu luas

maka klorofil yang dikandungnya juga lebih banyak. Peningkatan jumlah klorofil

akan diikuti dengan peningkatan aktifitas fotosintesis sepanjang faktor-faktor lain


128

berada pada kondisi optimal. Hasil dari aktifitas fotosintesis adalah fotosintas

yang kemudian dimanfaatkan untuk membentuk jaringan tanaman yang salah

satunya adalah jaringan batang (anakan). Peningkatan fotosintesis ini berkaitan

erat dengan laju penyerapan nutrisi yang akhirnya akan memacu pertumbuhan

dan perkembangan tanaman termasuk pembentukan anakan sebagai hasil

pembelahan dan pembesaran sel. Pada proses-proses tersebut berupa transfer

fotosintat, penyimpanan energi, metabolisme sel, perombakan hasil fotosintesis

melalui respirasi, unsur Fosfor sangat berperan penting.

Menurut Winarso (2005) Fosfor berperan dalam proses fotosintesis,

respirasi, transfer, penyimpanan energi, pembelahan sel dan pembesaran sel.

Interaksi antara N, P, K dan klorofil sangat mendukung pembentukan anakan.

Peningkatan kandungan NPK akan meningkatkan pembentukan klorofil daun

(Tabel 7) yang kemudian berdampak pada peningkatan proses fotosientesis untuk

menghasilkan fotosintat guna pembentukan bagiann vegetatif tanaman berupa

pembentukan anakan. Keterpaduan bahan organik dan anorganik pada

keseimbangan yang optimal keduanya akan mempercepat proses pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. Pupuk organik selain berperan dalam menyediakan

hara makro dan mikro juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah sehingga dapat memobilisasi hara yang sudah ada di dalam tanah

untuk membentuk partikel ion yang mudah diserap oleh akar tanaman.

Kendati bokashi belum menunjukan pengaruh yang signifikan, akan tetapi

bokashi dapat berperan dalam peningkatan penyerapan unsur hara makro melalui

perbaikan KTK tanah sehingga ikut mengambil peran dalam mendorong laju
129

pertumbuhan tunas-tunas batang padi berupa anakan, sebagaimana dilukiskan

dalam Gambar 5.

Secara numerik menunjukan peningkatan jumlah anakan dengan

peningkatan dosis bokashi walaupun hal itu tidak menunjukan adanya pengaruh

berbeda diantara dosis yang dicobakan. Demikian halnya terhadap umur tanam,

bahwa semakin lama umur tanaman maka jumlah anakan juga semakin

meningkat hingga mencapai titik maksimum. Pada penelitian ini, puncak

pertambahan anakan terjadi pada minggu ke-6 setelah tanam. Setelah itu

pembentukan anakan mulai berkurang dikarenakan terjadi kematian.

Sebagaimana hasil penelitian Denny (2002) terhadap padi sawah bahwa jumlah

anakan maksimum dicapai pada 8 MST kemudian menurun pada minggu

selanjutnya. Sejalan dengan Vergara (1995) bahwa anakan tanaman padi mulai

terbentuk sejak umur 10 HST dan mencapai maksimum pada umur 50-60 HST.

Setelah mencapai maksimum selanjutnya jumlah anakan cenderung berkurang.

Peristiwa kematian jaringan pada anakan diduga dikarenakan unsur-unsur

hara yang diserap tanaman disimpan sebagai bahan untuk pembentukan bagian

generatif tanaman seperti bunga dan buah. Secara fisiologis, anakan yang tidak

memungkinkan untuk berkembang menjadi anakan produktif akan mengalami

kematian. Hal ini mungkin disebabkan karena transportasi hara menjadi

berkurang dan akhirnya terhenti sehingga jaringan tersebut mengalami kematian.

Grist (1960) menyatakan bahwa terjadi persaingan unsur hara antar anakan

sehingga sebagian dari batang/anakan tidak dapat bersaing dan mati.


130

Pada penelitian ini diketahui bahwa bokashi tidak menunjukan perbedaan

yang nyata untuk setiap level dosis yang dicobakan terhadap pembentukan

anakan. Diduga bahwa bokashi yang salah satu kandungan haranya adalah unsur

Nitrogen, hal ini masih dimanfaatkan oleh mikroba dekomposer sebagai sumber

energinya sehingga unsur N yang tersedia pada bokashi belum dimanfaatkan oleh

tanaman untuk membangun sel dan membentuk jaringan-jaringan tumbuh

tanaman padi. Hal ini didasarkan pada kandungan C- organik yang meningkat

setelah aplikasi pemupukan (Lampiran 25c, 25d).

Sebagaimana dilaporkan oleh BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian

(2006) bahwa bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, juga

berperan sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba. Bahkan, pemupukan yang

tidak seimbangpun dan tidak sesuai dengan tingkatan haranya hanya akan

mengakibatkan gangguan pada tanaman budidaya (Juniati dan syamsiah, 2006).

Selain peran pupuk, ketersediaan air yang cukup juga menentukan banyaknya

anakan yang terbentuk. Sebagaimana penelitian Budianti Kadidaa et al. (2017)

terhadap padi gogo Wakawondu yang dibudidaya pada lahan kering, hanya

menghasilkan anakan sebanyak 7,15 batang yang masih lebih rendah dari hasil

penelitian ini.

Luas daun ditentukan oleh panjang dan lebar daun. Daun yang luas akan

mengandung banyak klorofil dibandingkan dengan daun yang sempit (Tia

Setiawati et al., 2016) dan kandungan klorofil pada daun akan mempengaruhi

reaksi fotosintesis. Kadar klorofil yang sedikit tentu tidak akan menjadikan reaksi

fotosintesis maksimal. Ketika reaksi fotosintesis tidak maksimal, senyawa


131

karbohidrat yang dihasilkan juga tidak bisa maksimal. Luas daun berkorelasi

kuat dengan jumlah daun (r = 0,94), tinggi tanaman (r = 0,92), kandungan klorofil

(r = 0,69) serta variabel lainnya kecuali umur berbunga menunjukan korelasi

yang negatif (r = -0,42) (Lampiran 2c) atau dikatakan bahwa peningkatan luas

daun cenderung memaksimalkan komponen-komponen tumbuh tanaman

sehingga tahapan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman lebih cepat.

Peningkatan luas daun meningkat sejalan dengan peningkatan tinggi tanaman

karena tinggi tanaman adalah variabel yang dipengaruhi oleh luas daun.

Peningkatan luas daun ini berkorelasi kuat dengan ILD (r = 1,00) sehingga ikut

meningkatkan indeks luas daun. Luas daun juga berkorelasi dengan LTR dan

LAB. Meningkatnya luas daun ikut memaksimalkan laju pertumbuhan dan laju

asimilasi sehingga kemudian akan memaksimalkan produksi biomassa. Biomassa

selanjutnya dimanfaatkan untuk memaksimal pembentukan malai, jumlah gabah,

dan akhirnya peningkatan produktivitas.

Data pada tabel 6 menunjukan bahwa peningkatan dosis pupuk N, P, K

diikuti dengan peningkatan luas daun yang kemudian diikuti dengan peningkatan

kandungan klorofil daun. Area daun yang luas ikut meningkatkan laju transpirasi

(Lubis, 2000), Akibatnya, serapan hara juga semakin meningkat sekalipun ada

faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi laju transpirasi seperi cahaya, suhu,

kelembaban, angin, ketersediaan air, jumlah stomata, tebal tipisnya daun.

Serapan hara oleh tanaman dapat mempengaruhi fotosintesis dan tampak

pengaruhnya pada luas daun (Mas’ud, 1993). Lebih lanjut (Lakitan (2004)

menyatakan bahwa air bergerak ke atas karena adanya tarikan akibat terjadinya
132

transpirasi dari daun sehingga menimbulkan daya hisap daun. Tarikan air dari

tanah kemudian membawa serta hara-hara yang diperlukan tanaman untuk

membentuk jaringan-jaringan tanaman. Salah satu hara makro yang berperan

dalam pembentukan jaringan daun adalah N. Nitrogen pada tanaman berfungsi

dalam memperluas area daun sehingga dapat meningkatkan fotosintesis

(Chaturvedi, 2005) guna pembentukan biomassa tanaman. Interaksi antara N, P,

dan K yang cukup dan seimbang nyata memacu pertumbuhan panjang dan lebar

daun. Dalam penelitian ini diduga bahwa kebutuhan hara dengan dosis 100%

dosis anjuran cenderung mendekati level yang sesuai (cukup dan seimbang)

sehingga meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi di

lahan jenuh air.

Sebagaimana dikatakan oleh Schulze dan Caldwell (1995) bahwa

pemberian pupuk Urea dengan dosis yang sesuai akan meningkatkan kandungan

Nitrogen dalam rhizosfer, mengoptimalkan penyebaran Nitrogen dengan merata

dan merangsang penyerapan serta penggunaan Nitrogen secara efisien. di sisi lain

pemberian pupuk Urea yang berlebihan akan bersifat toksik pada tanaman

sehingga dapat mengganggu tahap perkembangan vegetatif maupun generatif

(Zheng, 2007). Secara umum perkembangan tanaman padi dapat dibagi menjadi

dua tahap, yaitu perkembangan vegetatif dan generatif. Tahapan vegetatif

tanaman padi merupakan tahapan proses pertunasan, pembentukan daun, anakan

dan pemanjangan batang. Pertumbuhan pada tahap generatif pada padi ditandai

dengan proses pembungaan, pembentukan malai sampai pengisisan gabah. Pada


133

tahap vegetatif tanaman secara aktif menyerap unsur hara seperti N. P, dan K

serta senyawa mikro lainnya.

Tanaman menyerap N dalam bentuk ion nitrat (NO3-) dan ion ammonium

(NH4+), baik yang telah tersedia di tanah maupun dari pupuk. Menurut Larcher

(1995) bahwa Nitrogen yang diserap kemudian diubah dalam bentuk asam

nukleat dan asam amino untuk biosintesis protein dan pertumbuhan baik vegetatif

maupun generatif. Namun demikian, terserapnya N oleh tanaman dipengaruhi

beberapa faktor internal, seperti kondisi fisiologi tanaman, jenis tanaman dan

kebutuhan tanaman pada hara tertentu. Faktor eksternal atau lingkungan yang

mempengaruhi terserapnya Nitrogen oleh tanaman, yaitu cahaya, udara, air dan

pH tanah (FAPRC, 1995). Daya serap tanaman terhadap Nitrogen lebih baik

dengan meningkatnya dosis pemupukan N (Lampiran 20a, 20b). Hal ini mungkin

disebabkan oleh adanya bokashi yang diberikan. Sekalipun tidak terjadi interaksi

antara bokashi dan campuran pupuk N, P, K, akan tetapi secara mandiri pengaruh

campuran pupuk N,P,K di dalam bokashi nyata meningkatkan luas daun.

Nitrogen yang diserap tanaman selanjutnya dimanfaatkan untuk memacu

pembentukan sel-sel pada jaringan tumbuh tanaman diantaranya jaringan daun

(panjang dan lebar daun).

Peningkatan luas daun bukan semata-mata dikarenakan oleh daya adaptasi

tanaman terhadap naungan, seperti yang dikemukakan oleh Haris (1999) bahwa

peningkatan luas daun merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap

naungan guna memperoleh cahaya yang lebih banyak atau optimalisasi

penerimaan cahaya oleh tanaman, akan tetapi respon tanaman terhadap


134

kecukupan dan ketersediaan nutrisi tanah juga meningkatkan luas dun guna

optimalisasi serapan cahaya matahari oleh tanaman padi. Dalam penelitian ini

tampak bahwa semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka volume luas

daun semakin meningkat. Bahwa dengan semakin meningkatnya volume luas

daun maka semakin meningkat aktivitas fotosintesis melalui peningkatan jumlah

klorofil. Pada tanaman padi, volume luas daun yang meningkat justru

meningkatkan proses transpirasi. Akan tetapi peningkatan laju transpirasi justru

meningkatkan serapan hara N, P dan K yang akhirnya meningkatkan bobot bulir

dan produktivitas gabah padi.

Jika dilihat trend perkembangan luas daun total (Gambar 6) tampak

bahwa perlakuan dengan bokashi dimana puncak perkembangan luas daun terjadi

pada minggu ke-6 dan ke-7 setelah tanam. Setelah itu perkembangan luas daun

mulai menurun. Sebagaimana pengaruh bokashi, pemberian campuran pupuk

N,P,K juga memperlihatkan puncak perkembangan luas daun total untuk padi

Wakawondu terjadi pada minggu ke-8 setelah tanam, setelah itu trend

perkembangan luas daun mulai menurun sebagai akibat adanya daun-daun yang

mulai menguning dan mengering. Pada minggu ke-7 perkembangan luas daun

untuk perlakuan bokashi sudah terhenti, sementara dengan perlakuan pemberian

campuran pupuk N, P, K masih cenderung bertambah. Hal ini menunjukan bahwa

sesungguhnya ketersediaan nutrisi yang cukup masih dapat dimanfaatkan untuk

membangun bagian-bagian vegetatif tanaman berupa panjang dan lebar daun.

Dengan pertambahan ukuran daun ini maka semakin maksimal daun

memanfaatkan cahaya matahari untuk proses fotosisntesis.


135

Prinsip dasar produksi tanaman adalah konversi energi matahari (energi

cahaya) menjadi energi kimia (senyawa organik) dan dapat diambil oleh manusia

dalam bentuk biji, buah, bunga, daun, batang, akar, dan sebagainya. Produksi

senyawa organik yang dihasilkan oleh proses fotosintesis tergantung pada

tersedianya air, CO2, energi matahari di sekitar tanaman. Organ fotosintetik yang

berperan dalam proses fotosintesis adalah stomata dan klorofil (Prawiranata et al.,

1981). Klorofil yang terbentuk disebabkan oleh unsur-unsur hara makro maupun

mikro yang terserap oleh tanaman. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa klorofil

berkorelasi positif dengan unsur N (r = 0,86), P (r = 0,77), K (r = 0,76). Artinya,

peningkatan kadar N, P, K pada daun ikut meningkatkan pembentukan klorofil.

Selain N, P, K, bokashi juga turut mempengaruhi pembentukan klorofil (Tabel 7)

karena bokashi mengandung hara makro dan mikro seperti N, P, K, Mg, Fe, Mn,

(Lampiran 25b). Sebahagian dari unsur-unsur tersebut kemudian dimanfaatkan

sebagai komponen pembentuk klorofil. Sebagaimana dilaporkan oleh Kochnar

dan Krisnamoorthy (1984), kandungan klorofil yang terbentuk dipengaruhi oleh

banyak faktor yaitu faktor genetik, cahaya, ketersediaan oksigen, karbohidrat dan

unsur N, Mg, Fe dan Mn.

Jumlah klorofil yang banyak diharapkan akan memaksimalkan aktifitas

fotosintetis sehingga fotosintat yang terbentuk akan maksimal. Fotosintat ini

kemudian dimanfaatkan untuk memaksimalkan komponen tumbuh tanaman

seperti anakan produktif, panjang malai, jumlah dan berat gabah, Indeks Panen,

LDS, LTR, LAB, NPA, produktivitas, yang mana komponen-komponen ini

memiliki korelasi dengan kandungan klorofil (Lampiran 2c). Di samping itu,


136

klorofil daun berkorelasi positif dan signifikan dengan luas daun (r = 0,69), tinggi

(r = 0,65), jumlah daun (r = 0,62), jumlah anakan (r = 0,74) (Lampiran 2c).

Peningkatan komponen-komponen tumbuh di atas akhirnya mempengaruhi

komponen produktivitas tanaman padi. Dari ketiga unsur hara makro yang ada,

Nitrogen memiliki korelasi yang kuat terhadap pembentukan klorofil daun.

Nitrogen sebagai unsur hara makro memegang peranan penting dalam proses

penyusunan klorofil, karena Nitrogen sebagai salah satu gugus pembentuk

klorofil. Baik Klorofil “a” (C55H72O5N4Mg) maupun klorofil “b”

(C55H70O6N4Mg) (Meyer and Anderson, 1952) menunjukan bahwa selain C, H,

dan O, komponen penyusun klorofil lainnya adalah Nitrogen dan Magnesium.

Bokashi sebagai bahan organik selain mengandung hara makro juga

mengandung hara mikro diantaranya berupa Mg dan Fe (Noor dan Ningsih,

2001). Kedua unsur tersebut (Mg dan Fe) bersama N melalui Urea yang diberikan

kemudian dimanfaatkan untuk membentuk klorofil. Hanafiah (2005)

mengungkapkan bahwa unsur Nitrogen sangat mempengaruhi partumbuhan

tanaman, karena berkorelasi erat dengan perkembangan jaringan meristem. Unsur

N juga berperan sebagai penyusun semua protein, klorofil, asam-asam nukleat

dan pembentukan koenzim. Menurut Suharno et al., (2007), bahwa keberadaan

unsur Nitrogen juga sangat penting terutama kaitannya dengan pembentukan

klorofil pada daun tanaman. Klorofil dinilai sebagai “mesin” tumbuhan karena

mampu mensistesis karbohidrat yang akan menunjang pertumbuhan tanaman.

Selain Nitrogen, Fosfor di dalam struktur tubuh tanaman juga berperan

penting terutama dalam hal penyediaan energi dalam bentuk ATP yang cukup
137

tinggi untuk membentuk klorofil. Kandungan klorofil daun yang tinggi

diharapkan akan mengoptimalkan proses fotosintesis sehingga biomassa yang

dihasilkan akan meningkat pula. Sejalan dengan hasil penelitian Harjoko (2005),

bahwa tanaman yang memiliki kandungan khlorofil tinggi diharapkan sangat

efisien di dalam penggunaan energi radiasi matahari untuk melaksanakan proses

fotosintesis. Tanaman tersebut juga akan mampu memanfaatkan energi matahari

semaksimal mungkin, yang selanjutnya akan mampu meningkatkan biomassa

tanaman dan hasil biji tanaman.

Unsur P di dalam sel-sel tanaman berfungsi sebagai komponen beberapa

enzim dan protein, ATP dalam metabolisme tanaman seperti proses fotosintesis

dan respirasi tanaman, sebagai pembentuk biji dan buah. Ketersediaan P yang

cukup pada periode awal pertumbuhan akan berpengaruh terhadap fase primordia

dan pembentukan bagian reproduktif tanaman. Unsur K berperan dalam

pengaturan mekanisme (bersifat sebagai katalisator) antara lain fotosintesa,

translokasi karbohidrat, sintesis protein, aktivasi berbagai enzim, percepatan

pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristematik (pucuk, tunas).

Unsur K juga tidak kalah pentingnya dalam pembentukan klorofil.

Penyediaan K yang cukup sangat diperlukan dalam proses pengubahan tenaga

surya menjadi tenaga kimia (ATP atau senyawa organik), serta laju fotosintesis

tetap terjaga. Oleh Mengel dan Kirkby (1987) bahwa jika tanaman kekurangan

K, maka pengangkutan (translocation) karbohidrat dari daun ke organ lainnya

terhambat sehingga hasil fotosintetis terakumulasi pada daun dan menurunkan

kecepatan fotosintetis itu sendiri.


138

Dari peran ketiga unsur makro tersebut akhirnya mendukung peningkatan

produktivitas klorofil. Peningkatan klorofil ini selanjutnya berperan sebagai

antena pemanen cahaya dalam menyerap energi radiasi dan mengubahnya

menjadi energi kimia. Dengan demikian, peningkatan klorofil berkorelasi dengan

kadar hara yang tersedia. Kandungan klorofil a dan klorofil b pada tanaman

mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan. Semakin banyak

kandungan klorofil a dan klorofil b maka laju fotosintesis akan meningkat,

sehingga membuat penyerapan nutrisi dari dalam tanah menjadi lebih optimal dan

akan memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Campbell et

al. (2000) klorofil a dan klorofil b sangat baik menyerap spektrum merah.

Spektrum merah dengan panjang gelombang 630 - 675 nm ini nanti dimanfaatkan

untuk menghasilkan energi dalam proses fotosistem I dan fotosistem II. Energi

yang dihasilkan akan digunakan untuk proses pertumbuhan.

Berdasarkan hasil pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan

padi gogo kultivar Wakawondu memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi

dengan semakin tingginya dosis pemupukan. Peningkatan dosis pemupukan ini

merangsang perkembangan ukuran daun yang lebih luas dan jumlah daun yang

lebih banyak. Hal ini menyebabkan tanaman menjadi optimal dalam melakukan

fotosintesis karena jumlah klorofil daun juga semakin meningkat. Dengan

demikian, luas daun dan jumlah daun juga menentukan jumlah klorofil yang

dimiliki tanaman untuk proses fotosintesis. Hal ini dibuktikan oleh Zulfita (2012)

bahwa pengurangan atau pemotongan daun akan menghambat aktivitas

fotosintesis karena kadar klorofil yang dimiliki daun tidak banyak. Keberadaan
139

klorofil dalam kaitannya dengan fotosintesis, oleh Sanchez (1993) dan Lambers

et al. (2008) menerangkan bahwa fotosintesis berpengaruh mulai dari

perkecambahan, pembentukan tunas dan anakan, pembentukan dan pembelahan

sel sampai dengan pembungaan, pembuahan dan pengisian biji, percepatan

pematangan serta peningkatan kuantitas dan kualitas hasil. Hal ini dikarenakan

fotosintesis sebagai salah satu kegiatan metabolisme primer dalam tanaman yang

berperan dalam sintesis dan metabolisme senyawa-senyawa organik dalam

tanaman seperti gula fosfat, asam nukleat, nukleotida, ko-enzim dan fosfolipida.

Hambatan proses-proses metabolisme tersebut akan menyebabkan hambatan

pertumbuhan, perkembangan, pengisian polong dan bulir dan produktivitas

tanaman serta pembentukan tunas dan anakan.

Dalam penelitian ini, jumlah klorofil yang dihasilkan sebesar 3,29 mg g-1

yang dihasilkan oleh perlakuan 8 ton ha-1 bokashi yang dicampurankan dengan

100% dosis anjuran campuran pupuk N,P,K (A4B4). Hasil ini masih lebih baik

jika dibandingkan dengan jumlah total klorofil padi hitam yang diberi pupuk nano

silika yang jumlah klorofilnya hanya sebesar 1,70 mg g-1 (Putri, F.M, 2017).

Sedangkan padi gogo kultivar menthik wangi maupun kultivar segreg hanya

menghasilkan klorofil daun sebesar 0,25 mg g-1 pada fase vegetatif dan menurun

menjadi 0,075 mg g-1 pada fase generatif (Siswanti dan Agustin, 2014).

Indeks Luas Daun (ILD) berkorelasi dengan jumlah klorofil (r = 0,696)

yang ada. Dalam penelitian ini, semakin tinggi dosis pupuk anorganik yang

diberikan maka ILD semakin meningkat (Tabel 8). Peningkatan ILD seiring

peningkatan jumlah klorofil daun (Tabel 7) yang diharapkan akan meningkatkan


140

proses konversi energi cahaya menjadi energi kimia (fotosintesis) yang kemudian

terakumulasi dalam bentuk bahan kering (fotosintat). Hasil fotosintesis

selanjutnya akan dimanfaatkan untuk membentuk biomassa tanaman. Akhirnya,

biomassa digunakan sebagai salah satu peubah untuk mengukur pertumbuhan

tanaman melalui indeks luas daun. Shibles dan Weber (1965) mengemukakan

bahwa ada hubungan antara nilai indeks luas daun dan produktivitas bahan kering

yang mengikuti kurva asimtotik.

Pada penelitian ini, salah satu bahan kering yang dihasilkan adalah gabah.

Produktivitas gabah meningkat dengan meningkatnya ILD sehingga tejadi

korelasi antara indeks luas daun dengan produktivitas tanaman padi (r = 0,80)

(Lampiran 2c). Menurut Manurung dan Ismunadji (1989), nilai ILD optimal pada

padi berkisar 4 – 7 dan nilai ILD maksimal dicapai pada fase berbunga. Nilai ILD

tertinggi dari hasil penelitian ini sebesar 6,35 yang merupakan nilai optimal.

Optimalnya nilai ILD yang dicapai dari hasil penelitian ini disebabkan karena

perolehan hara tanaman telah cukup dan tersedia serta intensitas cahaya yang

cukup selama periode pertumbuhan dan juga didukung dengan kebutuhan air

yang selalu tersedia.

Implikasi dari ILD yang optimal ini menunjukan optimalisasi kemampuan

daun untuk menyekap cahaya. Indeks Luas Daun juga berkorelasi positif dengan

luas daun spesifik ( r = 0,47) walaupun pemupukan tidak menunjukan pengaruh

signifikan dengan Luas Daun Spesifik (Lampiran 7b). Akan tetapi, secara

numerik aplikasi bokashi dan campuran pupuk N,P,K meningkatkan luas daun

spesifik sejalan dengan peningkatan dosis pemupukan (Lampiran 7a). Hal ini
141

menunjukkan bahwa pemberian bokashi dan pupuk N,P,K mengakibatkan daun

semakin luas sehingga memungkinkan peningkatan aktivitas fotosintesis karena

dengan semakin luasnya daun maka semakin banyak cahaya yang terserap, di

samping itu luas daun spesifik juga menentukan transmisi cahaya yang diserap

oleh daun. Semakin besar nilai luas daun spesifik mengindikasikan daun semakin

tebal. Daun yang tebal diprediksikan memiliki kandungan enzim ribulose

bifosfat dan klorofil yang lebih tinggi dari pada daun tipis (Sitompul dan

Goeritno 1995), meskipun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa

hubungan luas daun spesifik dengan fotosintesis tidak konsisten sehubungan

dengan adanya sifat pengerutan daun (Thompson et al., 1995).

Disamping LDS yang ikut menentukan efektivitas serapan cahaya, juga

peningkatan jumlah daun akan meningkatkan serapan cahaya matahari untuk

mengoptimalkan proses fotosintesis. Dengan demikian maka fotosintat yang

dihasilkan untuk pertumbuhan tanaman juga semakin banyak. Yoshida (1981)

menyatakan bahwa ILD yang besar diperlukan untuk menyekap radiasi matahari.

Nilai ILD yang diperlukan untuk menyekap 95% cahaya datang dalam kanopi

tanaman padi adalah dengan ILD sekitar 4-8 untuk jalannya fotosintesis yang

baik. Meningkatknya jumlah daun, luas daun, luas daun spesifik, jumlah klorofil

dan ILD sejalan dengan peningkatan dosis pupuk N, P, K serta dukungan

temperatur yang sesuai selama penelitian yang berkisar antara 22,8-33,70 oC

(Lampiran 26), maka hal ini menjadikan proses fotosintesis berlangsung secara

optimal. Hasil fotosintesis akhirnya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk

membentuk biomassa dalam membangun jaringan-jaringan tumbuh tanaman baik


142

jaringan tumbuh vegetatif maupun generatif. Indikator peningkatan biomassa ini

dapat dilihat dari meningkatnya laju tumbuh relatif (Tabel 9) dan peningkatan

laju asimilasi bersih (Tabel 10) seiring peningkatan dosis pemupukan baik pupuk

bokashi maupun campuran pupuk N, P, K. Peningkatan dosis N, P, K secara

nyata meningkatkan LTR dan LTR berkorelasi sangat kuat dengan LAB dengan r

= 0,48 dan juga LTR berkorelasi dengan ILD dengan r = 0,67 (Lampiran 2c).

Pada penelitian ini, ILD dan LAB meningkat dengan peningkatan level dosis

pupuk yang diberikan. Dengan demikian maka LTR juga mengalami

peningkatan seiring pertambahan dosis pupuk (Tabel 9). Sebagaimana dikatakan

oleh Dwidjosputro (1994), laju pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh LAB dan

ILD. LAB yang tinggi dan ILD optimum akan meningkatkan laju pertumbuhan

tanaman.

Laju tumbuh relatif (LTR) menggambarkan terjadinya peningkatan berat

kering tanaman dalam interval waktu, dalam hubungannya dengan berat awal.

Pertumbuhan optimal terjadi pada minggu ke-6 kemudian menurun pada minggu-

minggu berikutnya (Gambar 9). Peristiwa ini terjadi dikarenakan biomassa berada

pada puncak pembentukannya pada minggu ke-6 setelah tanam. Pada minggu ke

8, biomassa yang terbentuk mulai dipersiapkan untuk ditranslokasikan pada

bagian-bagian tumbuh generatif seperti anakan produktif, bunga, dan buah. Pada

saat tanaman padi memasuki fase reproduktif dan banyak daun yang telah

senescence bahkan banyak yang rontok karena translokasi unsur hara mulai

terhambat, situasi ini menyebabkan laju pertumbuhan tanaman akan terhambat.

Penurunan LTR juga dikarenakan semakin rendahnya pertumbuhan organ


143

vegetatif (jumlah anakan, berat kering akar dan berat kering tanaman).

Pemberian dosis 0, 2, 4, 6, dan 8 ton ha-1 bokashi belum menunjukan adanya

perbedaan diantara dosis tersebut. Hal ini berarti bokashi pada level tersebut

masih sebatas menyediakan unsur hara dan belum memaksimalkan kebutuhan

tanaman untuk pertambahan biomassa. Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa

klorofil berkorelasi dengan laju tumbuh relatif yakni r = 0,60. Artinya,

peningkatan klorofil ikut mempengaruhi peningkatan Laju Tumbuh Relatif.

Laju Asimilasi Bersih berkorelasi positif dan kuat dengan luas daun (r =

0,36) dan juga berkorelasi kuat dengan jumlah klorofil daun (r = 0,61) serta

berkorelasi dengan NPA (r = 0,52) (Lampiran 2c) sehingga fotosintesa juga

meningkat. Akibat dari peristiwa ini maka terjadi peningkatan biomassa tanaman

khususnya pada bagian tajuk tanaman. Seperti dikatakan oleh Sitompul dan

Guritno (1995) bahwa laju asimilasi bersih merupakan tingkat asimilasi CO2

bersih, yaitu jumlah total CO2 yang diambil tanaman dikurangi dengan jumlah

yang hilang melalui respirasi. Lebih lanjut dikatakan oleh Kastono et al. (2005)

bahwa LAB dapat menggambarkan produktivitas bahan kering atau merupakan

produktivitas bahan kering per satuan luas daun dengan asumsi bahan kering

tersusun sebagian besar dari CO2. Rata-rata Laju Tumbuh Relatif yang dicapai

dalam penelitian ini berkisar antara 0,708 – 0,717 g g-1minggu-1 dan LAB yang

diperoleh sebesar 0,78 hingga 2,08 g cm-2 minggu-1. Nilai-nilai ini masih masuk

dalam kisaran yang diperlihatkan oleh Scott dan Batchalor (1979), bahwa LAN

berkisar antara 1,33-8,50 g cm-2 minggu-1 dan niali LTR berkisar antara 0,011 –

0,355 g g-1 hari-1.


144

Laju Asimilasi Bersih meningkat seiring pertambahan umur tanaman

(Gambar 10). Puncak laju asimilasi terlihat pada minggu ke-10 setelah tanam dan

diduga kemungkinan masih akan meningkat lagi atau sebaliknya bahkan mulai

menurun pada minggu berikutnya. Selain oleh faktor eksternal berupa pupuk,

faktor internal berupa umur tanaman juga berpengaruh terhadap laju asimilasi.

Pengaruh ini disebabkan oleh penumpukan biomassa tanaman setiap periode

waktu. Semakin lama umur tanaman maka laju asimilasi bersih juga akan

meningkat, kendati peningkatan itu akan mengalami stagnasi pada periode

tumbuh (umur) tertentu. Sebagaimana pernyataan Gardner et al. (1991) bahwa

LAB adalah laju penimbunan berat kering per satuan luas daun per satuan waktu.

LAB merupakan ukuran rata-rata efisiensi fotosintesis daun dalam suatu

komunitas tanaman budidaya.

Menurut Stoskopf (1981), LAB dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya adalah ketersediaan air, cahaya, suhu, karbon dioksida, umur daun,

nutrisi, kandungan klorofil daun dan genotipe tanaman. Media yang digunakan

pada penelitian ini adalah media jenuh air sehingga selama periode tumbuh

ketersediaan air senantiasa terpenuhi. Dengan demikian proses transpirasi

berlangsung dengan baik dan berimplikasi pada proses serapan air dan hara yang

baik. Kondisi ini juga didukung dengan cahaya matahari yang cerah dan suhu

yang sesuai selama penelitian yakni berkisar antara 25,0-27,5oC di wilayah

penelitian (Lampiran 26), akibatya, terjadi peningkatan laju asimilasi. Pada umur

8 – 10 MST terlihat bahwa LAB semakin meningkat. Pada kondisi ini jumlah

daun berkurang karena terjadi kematian daun-daun muda pada bagian dasar tajuk
145

dan berimplikasi terhadap penurunan luas daun total dan indeks luas daun. Situasi

ini menyebabkan daun-daun cenderung tidak overlaping (tidak saling menaungi)

dan dimungkinkan bahwa semua daun relatif masih efektif melakukan

fotosintesis.

Daun-daun yang secara aktif melakukan fotosintesis sangat berpengaruh

terhadap laju asimilasi bersih tanaman, sedangkan daun-daun yang tidak aktif

misalnya daun yang sudah tua, daun yang menguning atau ternaungi akan

menurunkan laju asimilasi bersih. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh (Gardner

et al., 1991), dengan bertumbuhnya tanaman budidaya dan dengan meningkatnya

Indeks Luas Daun, makin banyak daun yang terlindung, menyebabkan penurunan

Laju Asimilasi Bersih sepanjang musim pertumbuhan. Dalam tajuk yang Indeks

Luas Daunnya tinggi, daun yang muda pada puncak tajuk menyerap radiasi

paling banyak, memiliki laju asimilasi CO2 yang tinggi dan mentranslokasikan

sejumlah besar hasil asimilasi ke bagian tumbuhan yang lain. Sebaliknya, daun-

daun yang tampak menguning dan daun-daun yang lebih tua pada dasar tajuk dan

terlindung mempunyai laju asimilasi CO2 yang rendah dan memberikan sedikit

hasil asimilasi kepada bagian tumbuhan yang lain.

Sekalipun pemberian pupuk menunjukan pengaruh yang tidak signifikan

terhadap NPA, akan tetapi luas daun, LTR, LAB, LDS berkorelasi positif dan

kuat terhadap NPA, dan NPA tidak berkorelasi dengan jumlah anakan dan umur

berbunga (Lampiran 2c). Pemberian bokashi dan campuran pupuk N,P,K

menunjukan peningkatan NPA (Gambar 11). Hal tersebut mengindikasikan

bahwa pemberian kedua jenis pupuk cukup mampu meningkatkan ketersediaan


146

nutrisi sehingga memacu pertumbuhan pupus tanaman padi. Pemberian pupuk

dapat meningkatkan ketersedaan nutrisi untuk tanaman sehingga nutrisi tersebut

lebih digunakan untuk proses metabolisme yang ada dalam tanaman. Dengan

peningkatan metabolisme yang terjadi dalam tanaman selanjutnya akan

terekspresikan dengan pertambahan masa pada tanaman, meskipun hasil analisis

ragam tidak menunjukan beda nyata pada masing-masing level dosis pemupukan

yang diberikan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai NPA berkisar antara 0,81 –

5,30 atau rata-rata sebesar 3,06. Nisbah Pupus Akar yang bernilai lebih dari satu

menunjukkan pertumbuhan tanaman lebih ke arah pupus, sedangkan NPA yang

bernilai kurang dari satu menunjukan pertumbuhan tanaman lebih ke arah akar.

Perlakuan A0 dan B0 menghasilkan NPA dengan nilai kurang dari 1. Ini

berarti bahwa kurangnya asupan nutrisi menyebabkan pertumbuhan tanaman

mengarah pada bagian akar. Hal ini diduga bahwa tanaman secara genetik

berupaya mengembangkan organ akar semaksimal mungkin agar mampu

memperoleh unsur hara pada zona perakaran yang lebih luas. Menurut Nurmala

dan Irwan (2007), NPA yang ideal bagi tanaman pangan bernilai 3. Nilai NPA

yang tinggi pada penelitian ini yakni perlakuan A4 dan perlakuan B4 diduga

disebabkan oleh ketersediaan nutrisi yang cukup dan seimbang sehingga ruang

tumbuh tanaman kearah pupus menjadi lebih luas. Pertumbuhan tanaman yang

lebih difokuskan ke arah pupus menyebabkan pembentukan akar terhambat.

Penyebab lain terhambatnya pembentukan akar diduga diakibatkan oleh

kurangnya unsur P yang tersedia sehingga akar tanaman tidak mendapatkan unsur

hara P yang cukup. Meskipun tidak terdapat pengaruh nyata, NPA dengan nilai
147

paling baik diperlihatkan oleh perlakuan pemberian bokashi 8 ton ha-1 dan

campuran pupuk N,P,K 100% dosis anjuran yang mana hal ini lebih dikarenakan

oleh nisbah antara bobot kering tajuk dan bobot kering akar cukup besar. Hal ini

berarti bahwa pembagian fotosintat lebih ke arah pupus sehingga pertumbuhan

tajuk lebih besar. Implikasinya adalah terjadinya peningkatan bagian-bagian

pupus berupa tinggi tanaman, jumlah dan luas daun, panjang malai, jumlah

gabah, berat gabah, berat 1000 butir gabah dan produktivitas tanaman.

Jumlah anakan produktif tertinggi diperoleh pada perlakuan B4 yakni

sebanyak 9,97 batang sedangkan tanpa pemberian pupuk hanya sebanyak 6,19

batang (Tabel 11) atau terjadi peningkatan sebesar 61,06% jika diberi campuran

pupuk N,P,K dengan dosis 100% dosis anjuran. Sementara itu, pengaruh

pemberian bokashi telah meningkatkan jumlah anakan produktif sebesar 30,23%

pada dosis 8 ton ha-1 (A4) jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk

yakni dari 7,31 anakan produktif menjadi 9,52 anakan produktif, dan untuk

interaksi tertinggi dihasilkan oleh perlakuan bokashi 8 ton ha-1 dan campuran

pupuk N, P, K 100% dosis anjuran (A4B4) dengan jumlah anakan produktif

mencapai 11,24 batang (Tabel 11). Di sisi lain, jika padi Wakawondu

dibudidaya pada lahan kering tanpa perlakuan pemupukan maka anakan produktif

yang dihasilkan hanya mencapai 7,04 batang (Kadidaa et al., 2017).

Data tersebut menunjukan terjadi peningkatan jumlah anakan produktif

sebesar 37,37% jika dibudidaya pada lahan jenuh air dengan dukungan nutrisi

organik dan anorganik yang tersedia. Peningkatan jumlah anakan produktif ini

berkorelasi positif dengan peningkatan kandungan hara N (r = 0,83), P (r = 0,87),


148

K (r = 0,76) yang ada pada daun (Lampiran 2c). Semakin tinggi kandungan hara

daun maka semakin banyak anakan produktif yang terbentuk hingga mencapai

titik optimum. Titik optimum ini dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan

tumbuh tanaman. Walaupun demikian, dalam penelitian ini peningkatan anakan

produktif masih cenderung linear dengan meningkatnya pemberian pupuk.

Artinya, pemberian pupuk belum menghasilkan dosis yang optimal untuk

budidaya padi gogo Wakawondu di lahan jenuh air.

Peningkatan dosis pupuk yang diberikan menjadikan jumlah anakan

batang padi semakin meningkat pula. Kenyataan ini menggambarkan bahwa

pemberian pupuk N,P,K pada dosis yang diberikan dapat menyediakan unsur hara

makro dalam jumlah yang cukup bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Dengan tambahan hara organik yang menyediakan unsur-unsur mikro maka

kebutuhan tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman

padi dapat dipenuhi. Unsur mikro pada bahan organik berupa Ca sangat berperan

dalam mengaktifkan pembentukan bulu-bulu akar dan menguatkan batang, unsur

Sulfur (S) membantu dalam pembentukan asam amino, dan membantu proses

pertumbuhan lainnya, juga ada unsur hara mikro Fe, Zn yang tersedia dan diserap

oleh tanaman untuk pertumbuhan vegetatif tanaman.

Hadisuwito (2008) menyatakan bahwa fungsi unsur hara N yaitu

membentuk protein dan klorofil, fungsi unsur P sebagai sumber energi yang

membantu tanaman dalam perkembangan fase vegetatif, unsur K berfungsi dalam

pembentukan protein dan karbohidrat serta fungsi dari unsur S membantu dalam

pembentukan asam amino, dan membantu proses pertumbuhan lainnya. Fosfor


149

lebih banyak berperan pada fase generatif dibandingkan fase vegetatif. Hal ini

dapat dilihat dari korelasi yang sangat kuat antara anakan produktif dan Fosfor (r

= 0,87). Menurut Winarso (2005), serapan P saat fase vegetatif tidak lebih dari

10% sehingga 90% unsur hara P selama pertumbuhannya diserap saat fase

generatifnya. Dengan semakin banyak P yang ditambahkan dalam tanah maka

memungkinkan semakin banyak pula jumlah anakan produktif. Jumlah anakan

produktif berkorelasi dengan produktivitas gabah yang dihasilkan dengan korelasi

sebesar r = 0,98 atau dikatakan bahwa anakan produktif memberi kontribusi

sebesar 98,2% terhadap tingkat produktifitas yang dihasilkan. Dengan jumlah

anakan produktif yang banyak maka malai yang dihasilkan akan semakin banyak,

yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas gabah. Anakan produktif

juga menunjukan korelasi yang kuat dengan indeks panen (r = 0,70) yang berarti

semakin banyak anakan produktif maka semakin tinggi indeks panen yang

dicapai atau semakin tinggi bahagian tanaman yang bernilai ekonomi yang

dihasilkan.

Winarso (2005) mengemukakan bahwa pemberian fosfor dalam jumlah

yang cukup dan tersedia dapat merangsang keaktifan penyerapan unsur hara lain,

karena fungsi fosfor dalam tanaman yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi,

transfer dan penyimpanan energi, pembelahan sel dan pembesaran sel serta proses

lainnya di dalam tanaman. Selanjutnya Buckman dan Brady (1982) menyatakan

bahwa sebagian besar penyerapan Nitrogen tanah tergantung pada pemberian

pupuk fosfor, sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman akan meningkat,

termasuk jumlah anakan yang menghasilkan malai. Hal ini sejalan dengan
150

pendapat Marschner (1997) bahwa unsur hara yang tersedia cukup dalam tanah

terutama N, P dan K dapat merangsang pembentukan anakan dan anakan

produktif. Sejalan dengan Marschner, Vergara (1990) mengemukakan bahwa

pemberian pupuk NPK akan merangsang pembentukan anakan produktif

menjadi lebih optimal. Ketiga senyawa tersebut sangat penting dalam proses

fotosintesis, karena mempengaruhi laju fotosintesis (Rauf, 2000). Rata-rata

perlakuan yang diberi pupuk memberi kontribusi sebesar 81,56% dari jumlah

anakan yang kemudian berkembang menjadi anakan produktif, sementara yang

tidak diberi perlakuan pupuk hanya berkontribusi sebesar 47,33% yang

berkembang menjadi anakan produktif. Menurut Basyir (1995), jumlah anakan

padi gogo sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara khusunya N dalam

tanah.

Kombinasi unsur hara N, P, K berpengaruh terhadap jumlah anakan

produktif. Dengan semakin banyak P yang ditambahkan dalam tanah maka

memungkinkan semakin banyak pula jumlah anakan produktif. Jumlah anakan

produktif berpengaruh terhadap produksi gabah yang dihasilkan. Dengan jumlah

anakan produktif yang banyak maka malai yang dihasilkan akan semakin banyak,

yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi gabah (Silea et al., 2017).

Proses fotosintesis yang lancar berpengaruh terhadap karbohidrat yang

dihasilkan. Karbohidrat yang cukup akan berpengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman. Semakin banyak jumlah anakan, maka fotosintat yang dihasilkan

semakin tinggi sehingga mendukung pembentukan anakan produktif. Anakan

produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai. Anakan akan


151

berkembang dengan baik dikarenakan O2 mudah masuk ke dalam tanah pada

media jenuh air. Sejalan dengan itu, Berkelaar (2001) bahwa saat pertumbuhan

vegetatif dimana tanah dalam keadaan aerobik menyebabkan nutrisi tersalurkan

dengan baik guna mengoptimalkan pertumbuhan tanaman padi sehingga jumlah

anakan tumbuh lebih banyak. Anakan yang terbentuk pada stadia pertumbuhan

biasanya tidak produktif. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum, jumlah

anakan padi akan berkurang, sehingga anakan produktifnya juga berkurang dari

jumlah anakan maksimum. Hal ini disebabkan karena terjadinya kompetisi

nutrisi antar anakan sehingga sebahagian dari anakan tidak dapat bersaing dan

akhirnya mengalami kematian. Kalau tidak menimbulkan kematian maka malai

yang dihasilkan akan kecil dan mengalami keterlambatan dari malai-malai

lainnya dalam hal pemasakan biji, dan pada waktu panen bulir-bulir hanya berisi

separuh. Juga persaingan karbohidrat, antar anakan yang saling terlindungi,

sehingga tidak semua memperoleh cahaya matahari untuk membuat makanannya

(Grist, 1960). Banyaknya malai dalam setiap batang akan mempengaruhi gabah

yang dihasilkan. Selain pupuk, faktor lingkungan juga ikut mempengaruhi jumlah

anakan, yang salah satunya adalah ketersediaan hara dan air.

Beberapa komponen hasil yang menentukan produktivitas adalah jumlah

anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, berat 1000 butir gabah,

dan persentase gabah isi. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa jumlah anakan

produktif berkorelasi positif dan nyata dengan produktivitas dengan r = 0,98;

panjang malai dengan r = 0,72; jumlah gabah per malai dengan r = 0,949; berat

1000 butir gabah dengan r = 0,94; persentase gabah isi dengan r = 0,94. Semua
152

nilai – nilai di atas mencerminkan nilai korelasi masing-masing komponen hasil

dengan produktivitas. Anakan produktif (Tabel 11), jumlah gabah per malai

(Tabel 13), persentase gabah isi (Tabel 14) berat 1000 butir gabah (Tabel 15)

nyata dipengaruhi oleh pemberian pupuk baik pupuk bokashi maupun campuran

pupuk N, P, K. Artinya, ketiga komponen tersebut meningkat dengan

peningkatan dosis pupuk yang diberikan. Komponen hasil berupa panjang malai,

peningkatannya secara nyata hanya dipengaruhi oleh pemberian pupuk N, P, K

(Tabel 12), sedangkan komponen waktu berbunga (Lampiran 13b), berat gabah

per malai (Lampiran 17b) dan indeks panen (Lampiran 19b) peningkatannya

nyata tidak dipengaruhi oleh pemberian pupuk bokashi maupun pupuk N, P, K.

Pupuk N, P, K dan pupuk bokashi sebagai hara tanaman berperan penting dalam

pembentukan komponen hasil tanaman padi. Hardjowigeno (2003) mengatakan

bahwa perlu diperhatikan ketersediaan unsur N dan P agar unsur yang diserap

tanaman terdapat dalam keadaan seimbang. Hal ini diketahui bahwa fungsi dari

nitrogen adalah untuk memacu pertumbuhan vegetatif, sedangkan fungsi pospor

adalah untuk memacu pertumbuhan generatif.

Pupuk organik selain dapat memperbaiki struktur tanah untuk

meningkatkan perkembangan akar serta meningkatkan serapan unsur hara, juga

dapat menyediakan unsur hara tanaman dan menekan fiksasi P oleh Al sehingga

ketersediaan unsur P bagi tanaman dapat terpenuhi. Dengan demikian maka

pembentukan malai akan semakin meningkat. Menurut Winarso (2005), nitrogen

selain berperan dalam pertumbuhan vegetatif, juga berperan dalam pembentukan

malai. Hasil uji korelasi diketahui bahwa pertumbuhan malai berkolerasi positif
153

dan sangat signifikan dengan serapan N dengan r = 0,63, serapan P dengan r =

0,68, dan serapan K dengan r = 0,57 (Lampiran 2c). Penambahan dosis pupuk

anorganik terutama Urea mengakibatkan serapan N menjadi meningkat sehingga

jumlah malai yang terbentuk menjadi lebih banyak dan memacu pemanjangan

malai.

Interaksi antara bokashi dan pupuk N, P, K berpengaruh secara nyata

terhadap jumlah gabah per malai (Tabel 13). Tampak bahwa jumlah gabah per

malai padi gogo kultivar Wakawondu mengalami peningkatan dengan

meningkatnya dosis pemupukan, baik pupuk bokashi maupun campuran pupuk

N,P,K. Dengan penambahan hara organik berupa bokashi yang menyediakan

unsur-unsur mikro maka daya serap unsur makro dari tanah akan meningkat dan

kebutuhan tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan dapat

diperoleh. Dalam penelitian ini, pemberian hara makro berupa N, P, dan K yang

meningkat menunjukkan peningkatan jumlah gabah per malai yang terbentuk.

Bahwasanya, fosfor lebih banyak berperan pada fase generatif dibandingkan fase

vegetatif. Fosfor meningkatkan kualitas buah, biji-bijian dan sangat penting

dalam pembentukan biji. Fosfor membantu mempercepat perkembangan akar dan

perkecambahan, dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, meningkatkan

daya tahan terhadap penyakit yang akhirnya meningkatkan kualitas hasil panen.

Hasil uji korelasi menunjukan bahwa jumlah gabah per malai berkorelasi

positif dan sangat kuat dengan serapan N (r = 0,87), serapan P (r = 0,94), serapan

K (r = 0,86), juga korelasinya dengan variabel tumbuh lainnya, kecuali umur

berbunga 80% menunjukan korelasi yang negatif (Lampiran 2c). Dari ketiga
154

unsur hara makro yang ada, fosfor memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap

pembentukan gabah. Fosfor sebagai unsur hara makro sangat diperlukan dalam

sel-sel daun pada proses sintesis karbohidrat karena berperan menyediakan energi

tinggi dalam bentuk ATP dan UTP. Selain itu, fosfor juga berperan dalam

pengembangan organ reproduktif, pematangan buah dan sintesis protein

(Suleman, 2014). Kombinasi pupuk N, P, K dan bokashi menunjukan bahwa

dosis N,P,K 100% dari dosis anjuran yang dicampurankan dengan 8 ton ha-1

bokashi tampaknya unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan

perkembangan baik pada fase vegetatif maupun generatif rupanya telah cukup

dan berada dalam keadaan seimbang. Hal ini menyebabkan pembentukan organ

tumbuh dan organ produktif tanaman menjadi optimal untuk mendorong

pertumbuhan tanaman yang cepat dan juga memperbaiki tingkat hasil dan

kualitas gabah melalui peningkatan jumlah anakan, pengisian gabah,

pembentukan gabah, dan sintesis protein.

Bintari (2006) dan Muwarni (2010) menyatakan bahwa pemupukan yang

berimbang pada awal fase generatif khususnya pemberian NPK, ini akan

meningkatkan jumlah butiran gabah per tanaman. Sejalan dengan perlakuan pada

penelitian ini yaitu pemberian bokashi 8 ton ha-1 ditambah pupuk N,P,K pada

100% dosis anjuran telah mampu membentuk gabah dalam setiap malainya rata-

rata mencapai 139,87 butir. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini masih lebih

rendah jika dibandingkan dengan varietas Situ Patenggang di Nagrak Sukabumi

yang telah mencapai 194,15 butir malai-1 dengan dosis pupuk yang digunakan

yaitu NPK 200 kgha-1 + Pupuk daun 3 l ha-1 (Sunjaya Putra, 2012). Kendati
155

jumlah gabah per malai yang dihasilkan belum maksimal, akan tetapi jika

dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian pupuk (kontrol), jumlah gabah

per malai yang dihasilkan rata-rata hanya sebanyak 82,44 butir atau telah terjadi

peningkatan sebesar 41,06% jika diberi bokashi pada dosis 8 ton ha-1 dan

campuran pupuk N,P,K dengan 100% dosis anjuran. Campuran bokashi dan

dengan unsur hara makro yang lengkap (NPK) tampaknya mampu meningkatkan

jumlah anakan produktif. Jumlah anakan produktif berpengaruh terhadap

produktivitas gabah yang dihasilkan. Dengan jumlah anakan produktif yang

banyak maka malai yang dihasilkan akan semakin banyak, yang pada akhirnya

akan meningkatkan produktivitas gabah. Sekalipun tidak terjadi interaksi nyata

antara bokashi dan pupuk N, P, K, akan tetapi tampak bahwa bokashi maupun

campuran pupuk N,P,K memberikan respon positif terhadap banyaknya

persentase gabah berisi pada padi gogo Wakawondu (Tabel 14).

Dalam penelitan ini, lokasi dimana percobaan dilakukan terjadi serangan

hama berupa walangsangit, ulat gerayak, wereng coklat, maupun semut hitam.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dilakukan penanganan fisik-kimia

berupa pembersihan gulma dan pemberian pestisida serta perlindungan dengan

paranet di seluruh area percobaan (Lampiran 26). Upaya tersebut berpengaruh

positif terhadap persentase gabah yang berisi dan mengurangi jumlah gabah

hampa.

Persentase gabah isi per malai akan tinggi jika butir hampa per malai

rendah. Menurut Jenning et al. (1997) bahwa penyebab kehampaan secara umum

adalah terjadinya kerebahan dan serangan hama berupa walang sangit. Tanaman
156

rebah menyebabkan pembuluh xylem dan floem menjadi rusak sehingga

menghambat pengangkutan hara mineral dan fotosintat. Pada saat tanaman

rebah maka pengisian menjadi terhambat. Di samping itu, letak daun-daun

menjadi tidak beraturan dan akhirnya banyak menghasilkan gabah hampa.

Demikian pula serangan hama menyebabkan kehampaan pada bulir padi karena

pada periode masak susu cairan pada bulir padi terisap oleh hama sehingga

pembentukan biji menjadi tidak normal. Akibatnya bulir mengalami kehampaan.

Unsur hara juga berpengaruh terhadap kualitas gabah yang dihasilkan.

Hasil uji korelasi menunjukan bahwa persentase gabah isi per malai berkorelasi

positif dan sangat kuat dengan kandungan N (r = 0,91), kandungan P (r = 0,95),

kandungan K (r = 0,88) (Lampiran 2c). Interaksi ketiga unsur hara makro yang

ada dalam keadaan yang seimbang akan memberi kontribusi positif dalam proses

pengisian gabah. Nitrogen berperan dalam pembentukan bulir padi, fosfor selain

berperan dalam sintesis karbohidrat juga berperan aktif dalam mentranslokasikan

fotosintat ke bagian biji, serta kalium berperan pada tahap pengisian biji.

Kekurangan unsur kalium dapat menyebabkan proses pengisian gabah menjadi

tidak sempurna yang berakibat banyak dihasilkan gabah hampa. Dalam

percobaan ini, kandungan K meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk yang

diberikan (Lampiran 20a, 20b). Unsur K ini berperan dalam proses pengisian

gabah. Menurut Abdulrachman et al. (2009), kekurangan K dapat menyebabkan

kehampaan gabah tinggi dan pengisian gabah tidak sempurna. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Sunjaya (2012) Jumlah gabah per malai dan persentase gabah

isi per malai akan berpengaruh positif pada bobot gabah kering per batang.
157

Meningkatnya persentase gabah berisi juga dikarenakan oleh ketersediaan

unsur hara yang cukup dan seimbang selama periode tumbuh. Dengan

pemupukan yang diberikan selama penelitian dan sesuai dengan kebutuhan serta

pada kondisi yang tersedia untuk diserap memungkinkan tanaman padi

Wakawondu melangsungkan proses fisiologis dan metabolismenya dengan baik.

Sebagaimana dinyatakan oleh Dwidjoseputro (1994) bahwa tanaman akan

tumbuh dengan baik apabila segala elemen yang dibutuhkan tersedia dalam

jumlah yang cukup dan dalam bentuk yang siap diserap oleh tanaman. Lebih

lanjut Lingga dan Marsono (2006) menjelaskan bahwa jika ketersediaan unsur

hara esensial kurang dari jumlah yang dibutuhkan maka tanaman akan terganggu

proses metabolismenya sebab tanaman mempunyai korelasi yang positif dengan

ketersediaan unsur hara sehingga dalam budidaya tanaman ketersediaan unsur

hara merupakan faktor yang sangat menentukan.

Bahwasanya bokashi selain mengandung unsur hara makro dan mikro,

juga berperan didalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat-

sifat tanah yang baik menjadikan KTK tanah meningkat, akhirnya serapan unsur-

unsur hara mengalami peningkatan yang dapat diamati melalui peningkatan

kandungan N, P, K daun (Lampiran 20a, 20b). Dengan demikian, faktor-faktor

yang diperlukan untuk optimalisasi proses pengisian gabah padi cukup tersedia.

Hal ini dapat dilihat dengan tanpa pemberian pupuk bokashi (A0) menunjukan

presentase gabah isi yang paling rendah di antara perlakuan yang ada (Tabel 14).

Pemberian pupuk bokashi dan campuran pupuk N, P, K menghasilkan

persentase gabah isi sebesar 89,97% jika dibandingkan dengan tanpa pemupukan
158

yang hanya sebesar 77,97% atau mengalami peningkatan sebesar 13,39%. Hasil

ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan padi gogo kultivar Jatiluhur yang

mana prosentase gabah berisi hanya mencapai 66,62% gabah isi per malai (Andes

Prayuda et al., 2013). Jika padi Wakawondu dibudidaya di lahan kering (ladang)

prosentase gabah berisi hanya mencapai 82,30% atau prosentase gabah hampah

mencapai 17,69% (Kadidaa et al., 2017). Hal ini tentu saja berdampak pada

rendahnya tingkat produktivitas gabah. Media budidaya yang digunakan

dalam penelitian ini adalah media dengan ketersediaan air yang selalu terjaga

sehingga dapat menghindari cekaman kekeringan sebab cekaman kekeringan

khususnya pada fase generatif adalah salah satu penyebab rendahnya

produktivitas tanaman dan tingginya sterilitas gabah di lahan kering. Sejalan

dengan itu, Jongdee et al. (2006) menyatakan bahwa kekeringan yang terjadi

ketika periode pembungaan dapat menurunkan hasil secara nyata dan rendahnya

fertilitas gabah.

Hasil uji korelasi menunjukan bahwa berat 1000 butir gabah berkorelasi

positif dan sangat kuat dengan unsur N (r = 0,86), P (r = 0,91), K (r = 0,85)

(Lampiran 2c) dan menunjukan peningkatan dengan meningkatnya dosis

pemupukan (Tabel 15). Hara Fosfor berpengaruh terhadap berat gabah kering.

Menurut Winarso (2005), sebagian besar P akan dimobilisasi ke biji atau buah

setelah tanaman memasuki fase generatif. Selanjutnya Dobermann dan Fairhurst

(2000) melaporkan bahwa defisiensi P dapat meningkatkan persentase gabah

hampa, menurunkan bobot dan kualitas gabah. Pembentukan butir padi

dipengaruhi oleh serapan hara, sehingga dari pemberian pupuk organik dan
159

anorganik akan menambah pasokan hara dalam jumlah yang tersedia. Unsur-

unsur hara N, P dan K yang diserap tanaman pada mulanya digunakan untuk

mendukung pertumbuhan vegetatif seperti tinggi tanaman dan penambahan

anakan, kemudian pada fase pertumbuhan generatif unsur-unsur tersebut

digunakan untuk pembentukan bunga dan biji/gabah tanaman padi.

Dengan demikian semakin banyak unsur yang diserap maka akan

meningkatkan pembentukan gabah padi. Tidak terjadinya interaksi antara bokashi

dan campuran pupuk N,P,K terhadap komponen hasil mengisyaratkan bahwa

keduanya hanya berperan dalam menyediakan kebutuhan hara tanaman. Pupuk

yang diberikan berupa Urea, SP-36 dan KCl yang mengandung hara N, P dan K

dimana pupuk tersebut mudah larut sehingga mudah diserap tanaman yang

kemudian akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada fase

generatif unsur-unsur tersebut selanjutnya digunakan untuk membentuk biji,

sehingga dengan tersedianya unsur tersebut maka akan menentukan kualitas biji

yang dibentuk. Menurut Silea et al. (2017), peningkatan pemupukan phospor

cenderung meningkatkan pertambahan bobot kering gabah. Pemupukan dengan P

berpengaruh terhadap berat gabah kering karena peningkatan suplai unsur hara P

cenderung meningkatkan serapan Phosor.

Pemberian bokashi yang dicampurankan dengan pupuk N,P,K pada

penelitian ini menghasilkan berat 1000 butir gabah yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pemberian pupuk NPK Ponska yang dicampurankan

dengan pupuk organik kotoran babi, kotoran ayam, dan kotoran sapi pada kultivar

sama yang hanya mencapai berat 25,64 g (Silea, 2015). Hasil percobaan Andes
160

Prayuda, et al. (2013) bahwa berat 1000 butir gabah pada sistem budidaya gogo

untuk kultivar IR 64 dan Jatiluhur masing-masing sebesar 13,35 g dan 14,34 g,

sedangkan pada sistem budidaya sawah menghasilkan berat 1000 butir gabah

lebih besar jika dibandingkan dengan sistem budidaya gogo, yaitu masing-masing

sebesar 22,35 g dan 17,37 g dengan menggunakan kultivar yang sama.

Selanjutnya, Sumreen Siddiq et al. (2011) bahwa rata-rata berat 1000 biji padi

yang dihasilkan dari percobaann dengan 135 kg N per hektar pada lahan kering

di Punjab India dihasilkan sebesar 23,10 g.

Penelitian Putra dan Muh. Kusberyunadi (2015) dengan menggunakan

pupuk kandang sapi dan pupuk kandang kambing pada 3 kultivar yakni IR-64,

Ciherang, dan Ciliwung melaporkan bahwa rata-rata bobot 1000 biji padi sebesar

28,2 g yang dihasilkan dari pupuk kandang sapi dan sebesar 29,4 g yang

dihasilkan dari pupuk kandang kambing. Hasil-hasil tersebut masih lebih rendah

jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai pada penelitian ini. Secara genetik

padi gogo kultivar Wakawondu memiliki potensi produktivitas yang tinggi

sebagaimana kultivar lokal Sulawesi Tenggara lainya seperti kultivar Bakala dan

kultivar Kori dengan berat 1000 biji masing-masing sebesar 34,77 g dan 33,12 g

(Hasfiah et al., 2012), serta Wakawondu sebesar 35,08 g jika dibudidaya di lahan

kering (Kadidaa et al., 2017). Berat 1000 butir gabah yang dicapai dalam

penelitian ini merupakan informasi penting bagi pemulia dalam rangka

pengembangan kultivar unggul baru spesifik lokasi. Berat 1000 biji gabah

merupakan karakter penting dalam pengadaan suatu kultivar unggul baru karena

menentukan jumlah produktivitas. Lu dan Chang (1980) menyatakan bahwa


161

jumlah gabah yang dihasilkan tiap malai, berat 1000 biji gabah atau ukuran gabah

tanaman padi ditentukan oleh sifat genetiknya.

Hasil uji korelasi menunjukan bahwa produktivitas berkorelasi sangat

kuat dan positif dengan variabel pertumbuhan lainnya, kecuali umur tanaman

berbunga berkorelasi secara negatif dengan r = - 0,52 (Lampiran 2c). Selain unsur

hara N, P, K yang berasal dari pupuk anorganik maupun bokashi, komponen hasil

yang mendukung produktivitas adalah anakan produktif (r = 98,2%), jumlah

gabah per malai (r = 94,9%), persentase gabah isi per malai (r = 94,7%), berat

1000 butir gabah (r = 94,9%). Hal ini mengindikasikan bahwa keempat variabel

di atas mempengaruhi produktivitas tanaman padi rata-rata sebesar 96%.

Produktivitas juga berkorelasi dengan indeks panen dengan r = 0,73. Sekalipun

dalam penelitian ini pemberian pupuk tidak menunjukan pengaruh yang nyata

terhadap indeks panen, akan tetapi indeks panen yang dihasilkan rata-rata sebesar

0,58 yang berarti daya hasilnya cukup tinggi.

Pada sisi lainnya, unsur hara N, P, K berperan penting dalam

meningkatkan produktivitas tanaman. Hara Fosfor cukup memainkan peranan

penting dalam hal metabolisme karbohidrat, transfer fotosintat, penangkapan dan

pengubahan energi matahari menjadi senyawa organik yang berguna, penyediaan

energi guna proses-proses biokimia sel, pembelahan dan pembesaran sel. Hal ini

ditunjukan dengan korelasi Fosfor yang sangat kuat terhadap produktivitas

dimana (r = 92,3%) dibandingkan dengan unsur Nitrogen (r = 87,7%), dan

Kalium (r = 84,8%) (Lampiran 2c). Sebagaimana Tabel 16 di atas menunjukkan

bahwa produktivitas gabah kering giling menunjukan peningkatan seiring


162

meningkatnya dosis pupuk yang diberikan baik pupuk bokashi maupun campuran

pupuk N,P,K menurut uji DMRT. Produktivitas yang tinggi pada tanaman padi

adalah sebagai bentuk respons dari aplikasi bokashi dan campuran pupuk N,P,K.

Kondisi ini disebabkan karena pemberian bokashi menciptakan daerah perakaran

(rhizosfer) yang baik untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan akar,

sedangkan pemberian pupuk N, P, K menyebabkan ketersediaan hara menjadi

terpenuhi bagi tanaman.

Hal ini akan memberikan produktivitas yang tinggi karena rhizosfer yang

baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan akar, yang pada akhirnya

menyebabkan pergerakan hara dan air sangat optimal. Pemberian pupuk bokashi

dan campuran pupuk N, P, K dengan dosis yang meningkat berkorelasi dengan

peningkatan serapan hara, berkorelasi dengan peningkatan pertumbuhan

vegetatif, dan berkorelasi dengan peningkatan peubah produktivitas. Hal ini

dimungkinkan karena bahan organik berupa bokashi sebagai pupuk kandang sapi

telah terdekomposisi dengan baik selama proses fermentasi, yang kemudian

pupuk bokashi tersebut berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah

serta ditunjang oleh ketersediaan air yang cukup melalui media jenuh air.

Akhirnya pupuk N, P, K dapat dapat terserap dengan baik.

Hara N,P,K yang terserap selanjutnya dimanfaatkan secara maksimal

untuk menunjang proses metabolisme di dalam sel-sel tanaman. Fadiluddin

(2009) menyatakan bahwa hasil dan komponen hasil merupakan resultan dari

pertumbuhan vegetatif tanaman padi. Penggunaan pupuk organik yang dicampur

dengan pupuk anorganik secara nyata dapat meningkatkan produktivitas tanaman


163

padi gogo di lahan sawah. Pemberian Nitrogen pada tanaman berperan untuk

memacu pertumbuhan vegetatif sebagai aparat fotosisntesis yang sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan generatif khususnya produktivitas.

Sebagaimana dikemukakan oleh Engelstad (1997) bahwa pemberian pupuk N

pada tanaman padi adalah untuk meningkatkan hasil bahan kering. Menurut

Kamsurya (2002), dengan pemberian pupuk urea saja sebenarnya sudah mampu

meningkatkan berat gabah kering giling.

Pupuk urea mampu menyediakan nitrogen sebanyak 46%. Namun

demikian, pengaruhnya lebih efektif bila diberikan secara berimbang dengan

pupuk yang lain. Meskipun dalam penelitian ini tidak terjadi interaksi antara

bokashi dan campuran pupuk N,P,K akan tetapi secara mandiri pemberian 8 ton

ha-1 bokashi (A4) menghasilkan gabah kering tertinggi yakni 6,15 ton ha-1 yang

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan jika dibandingkan dengan tanpa

bokashi yang hanya mencapai 3,71 ton ha-1 gabah kering. Artinya, dengan

pemberian bahan organik berupa bokashi, produktivitas gabah kering kultivar

Wakawondu dapat meningkat sebesar 65,54%. Demikian pula dengan pemberian

campuran pupuk N,P,K dengan 100% dosis anjuran mampu menghasilkan berat

gabah kering yang tertinggi yakni sebesar 6,56 ton ha-1 yang berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya.

Jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk N,P,K produktivitas

yang dicapai hanya sebesar 3,14 ton ha-1 atau terjadi peningkatan produktivitas

sebesar 108,94% jika diberi pupuk N,P,K pada 100% dosis anjuran. Kenyataan

ini menunjukkan bahwa peranan pupuk organik dan anorganik sangat baik dalam
164

menyediakan unsur-unsur hara dan membantu meningkatkan serapan unsur N, P,

K yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi.

Data ini pula melukiskan bahwa padi gogo kultivar Wakawondu memiliki

responsibiliti terhadap pemupukan, baik pupuk organik maupun pupuk anorganik.

Bahkan, daya adaptasi dan genetik yang ditunjukan mampu menghasilkan

produktivitas yang sangat tinggi jika dibudidayakan di lahan jenuh air dengan

kondisi air yang senantiasa tersedia. Peranan unsur mikro yang dikandung

bokashi selain menyediakan kebutuhan tanaman padi untuk pertumbuhan dan

perkembangannya juga berperan dalam mengaktifkan dan meningkatkan aktivitas

enzim dalam beberapa aktifitas metabolik. Bokashi sebagai bahan organik dapat

meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah sehingga unsur-unsur makro

(N, P, K) dapat dipertukarkan dengan baik dan melepaskan kation terjerap dalam

koloid tanah sehingga tersedia untuk diserap oleh tanaman. Salah satu faktor yang

menentukan berat gabah kering adalah kandungan nitrogen dalam tanah. Menurut

Buckam dan Brady (1982), pada tanaman padi-padian, nitrogen memperbesar

ukuran butiran dan meningkatkan persentase protein dalam biji. Pupuk anorganik

mampu menyediakan nitrogen yang tinggi dan mudah diserap tanaman.

Ketersediaan nitrogen setelah pembungaaan dapat meningkatkan berat

biji. Dalam percobaan ini nitrogen terserap dengan baik oleh tanaman. Untuk itu,

nitrogen mengambil peran dalam pengisian biji sehingga kebutuhan nitrogen

dapat dipenuhi dengan baik pada fase reproduktif awal yang akhirnya berat biji

menjadi meningkat. Apabila tanaman sudah memasuki fase generatif, sebagian

besar Fosfor (P) diimobilisasi ke biji atau buah serta bagian generatif tanaman
165

lainnya. Kadar P pada bagian-bagian generatif tanaman (biji) lebih tinggi jika

dibandingkan dengan bagian-bagian tanaman lain (Winarso, 2005). Dengan

semakin tinggi berat gabah kering maka produktivitas padi akan semakin

meningkat. Fosfor di dalam tanaman mempunyai fungsi sangat penting yaitu

dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer dan penyimpanan energi,

pembelahan dan pembesaran sel serta proses-proses di dalam tanaman lainnya.

Fosfor meningkatkan kualitas buah, biji-bijian dan sangat penting dalam

pembentukan biji. Jumlah anakan produktif berpengaruh terhadap produktivitas

gabah yang dihasilkan. Dengan jumlah anakan produktif yang banyak maka malai

yang dihasilkan akan semakin banyak, yang pada akhirnya akan meningkatkan

produktivitas gabah.

Pemberian fosfor mampu meningkatkan berat biji karena fosfor

merupakan penyusun fosfolipid, nukleoprotein dan fitin yang selanjutnya akan

menjadi banyak tersimpan di dalam biji. Fosfor sangat berperan aktif dalam

mentransfer energi di dalam sel, juga berfungsi untuk mengubah karbohodrat

(Hakim, et al., 1986) sehingga berat biji meningkat. Penambahan kalium (K)

melalui pupuk KCl berpengaruh terhadap berat gabah kering. Kalium juga

berpengaruh terhadap berat biji karena kalium berfungsi untuk menambah ukuran

serta bobot gabah (Gardner, et al., 1991).

Selama penelitian, kebutuhan air untuk pertumbuhan dan perkembangan

tanaman selalu tersedia sehingga proses fisiologis tanaman berjalan dengan baik

untuk mendukung optimalisasi produktivitas. Menurut Roesmarkam dan Yuwono

(2002), selain membutuhkan hara, pembentukan biji juga membutuhkan air dalam
166

jumlah yang cukup. Kebutuhan air yang cukup akhirnya mendukung pencapaian

produktifitas yang maksimal. Pada sisi lain, Samuel dan Muthukkaruppan (2011)

mengemukakan bahwa meningkatnya peubah komponen produktivitas karena

terjadinya peningkatan unsur nitrogen, fosfat, dan kalium di tanah yang

merupakan unsur utama yang diperlukan tanaman. Limbongan et al. (2009)

menyatakan bahwa penambahan nitrogen memberikan pengaruh yang sangat

nyata terhadap persentase gabah bernas. Selanjutnya Abdullah et al. (2008)

menyatakan bahwa potensi hasil padi ditentukan oleh komponen hasil, yaitu

jumlah malai per batang, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi, dan bobot

gabah bernas.

Dalam penelitian ini dengan sistem budidaya di lahan jenuh air serta

penggunaan bokashi dan campuran pupuk N,P,K (Tabel 16) adalah nyata

meningkatkan produktivitas padi dengan capaian sebesar 6,56 ton ha-1 gabah

kering giling. Hasil ini masih lebih tinggi dari produktivitas padi gogo varietas

Inpago 4 dengan capaian sebesar 6,0 ton ha-1 yang dilakukan di Aceh Timur

(BPTP, 2013). Kendatipun demikian, hasil ini masih lebih rendah dari capaian

padi kultivar ciherang di Jember dengan menggunakan pupuk NPK pada dosis

450 kg ha-1 Urea, 112.5 kg ha-1 SP-36, 75 kg ha-1 KCl dengan capaian panen

sebesar 17,67 ton ha-1 (Riani Ningsih dan Dwi Rahmawati, 2017). Sekalipun

masih lebih rendah dari capaian hasil penelitian Riani dan Dwi Rahmawati

(2017), akan tetapi potensi padi Wakawondu telah mendekati potensi hasil varitas

unggul baru padi gogo (INPAGO 12 AGRITAN) yang dilepas oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian tahun 2017,


167

yang mampu berproduksi hingga 10.2 ton ha-1. Varietas INPAGO 12 AGRITAN

merupakan hasil persilangan antara varietas lokal Selegreng dengan varietas

Ciherang dan Kencana Bali.

Hasil lainnya sebagaimana dilaporkan Widyantoro et al. (2007) produksi

maksimum padi gogo ranca melalui model PTT di Desa Kemiri Kecamatan

Kunduran Kabupaten Blora Jawa Tengah untuk kultivar Situ Patenggang dapat

mencapai 7,72 ton ha-1 GKG dan produktivitas kultivar Batutegi mencapai 7,74

ton ha-1 GKG. Jika dibandingkan dengan padi sawah varietas unggul baru (VUB)

yaitu Inpari 30, produktivitas VUB ini dapat mencapai 11,12 ton ha-1 (Sunjaya

Putra dan Yati Haryati (2018). Produktivitas padi Wakawondu yang dihasilkan

telah melebihi capaian produksi nasional baik padi gogo maupun padi sawah,

dimana rata-rata produktivitas padi gogo sekitar 3,31 ton ha-1 dan produktivitas

padi sawah mencapai 5,39 ton ha-1 (BPS, 2015).

Menurut Andes Prayuda (2013) bahwa sistem budidaya sawah

menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sistem

budidaya gogo yaitu hasilnya dapat mencapai hingga tiga kali lebih tinggi jika

dibandingkan dengan sistem budidaya gogo. Produktivitas yang tinggi di lahan

sawah juga tidak terlepas dari peranan air. Air merupakan faktor lingkungan yang

sangat penting pada pertumbuhan padi. Air selain berperan khusus dalam proses

fotosintesis juga mempunyai fungsi sebagai pengangkut unsur-unsur hara dari

dalam tanah. Sari (2009) menyatakan bahwa tanaman padi yang mengalami

kekurangan air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi komponen

produksi, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas padi. Dengan


168

demikian, ketersediaan air juga harus diperhatikan untuk meningkatkan

produktivitas padi. Padi merupakan jenis tanaman yang memerlukan air yang

cukup selama proses pertumbuhannya. Hasil penelitian Sri Wahyuni et al.

(20016) bahwa padi gogo varietas Towuti yang dibudidaya pada lahan kering jati

muda menghasilkan produktivitas sebesar 3,50 ton ha-1, sedangkan jika

dibudidaya pada lahan sawah produktivitas dapat mencapai 5,57 ton ha-1.

Padi Wakawondu termasuk kultivar yang memiliki daya ketahanan

terhadap kekeringan tergolong sedang (Sadimantara dan Muhidin, 2012),

sehingga produksi yang dihasilkan pada sistem ladang menghasilkan daya hasil

yang tidak maksimal. Padi jenis ini memiliki potensi produksi yang dapat

dioptimalkan jika dibudidayakan pada lahan yang memiliki ketersediaan air yang

baik. Dengan produksi sebesar 6,56 ton ha-1 mengindikasikan bahwa padi

Wakawondu memiliki potensi genetik untuk ditingkatkan produktivitasnya.

Terhadap kandungan nitrogen daun (Tabel 17) menggambarkan bahwa unsur hara

N terserap dengan baik oleh tanaman. Hal ini dikarenakan dukungan lingkungan

perakaran yang baik. Penambahan bahan organik selain memberi kontribusi

terhadap sifat kimia tanah, juga kontribusinya terhadap perbaikan sifat fisik dan

biologi tanah. Bahan organik meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga unsur

hara tersedia dengan cepat bagi tanaman. Disamping itu, pupuk organik juga

dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman

seperti Al, Fe, dan Mn.

Bokashi sebagai pupuk organik berperan dalam memobilisasi hara yang

sudah ada di dalam tanah sehingga mampu membentuk partikel ion yang mudah
169

diserap oleh akar tanaman. Di samping itu, pupuk organik yang diberikan

mengandung sejumlah unsur makro dan mikro seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Zn,

Cu, Mo, Co, B, Mn, Fe meskipun jumlahnya relatif sedikit. Nitrogen adalah

unsur hara yang bermuatan positif (NH4+) dan negatif (NO3-), yang mudah hilang

atau menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Beberapa proses yang menyebabkan

ketidaktersediaan N dari dalam tanah adalah proses pencucian/terlindi (leaching)

NO3-. Denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatilisasi NH4+ menjadi NH3, terfiksasi

oleh mineral liat atau dikonsumsi oleh mikroorganisme tanah (Muklis dan Fauzi,

2003). Tanah ultisol dengan kandungan liat tinggi memiliki daya serap N yang

tergolong relatif rendah seperti jenis tanah dalam percobaan ini.

Rata-rata kandungan N sebesar 1,03-1,97% yang masih lebih rendah jika

dibandingkan hasil penelitian Tisdale et al. (1990) bahwa kadar nitrogen rata-rata

dalam jaringan tanaman adalah 2 - 4% berat kering tanaman. Dari uji DMRT

taraf 5% dapat diketahui bahwa penambahan bokashi mampu meningkatkan

kandungan N (Tabel 17). Hasil uji korelasi menunjukan bahwa kandungan

nitrogen berkorelasi sangat kuat dengan kandungan klorofil daun (r = 0,77),

produktivitas (r = 0,87), dan juga variabel pertumbuhan lainnya, kecuali umur

tanaman berbunga berkorelasi secara negatif (r = -0,43) (Lampiran 2c). Serapan

N yang baik kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan pembentukan klorofil

(Suharno et al., 2007) yang selanjutnya klorofil yang banyak akan meningkatkan

proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ditranslokasi ke seluruh jaringan untuk

mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan.


170

Terhadap kandungan N total pada jaringan daun, interaksi terbaik

ditunjukan oleh perlakuan dengan dosis 8 ton ha-1 bokashi dan pupuk N, P, K

pada 100% dosis anjuran (A4B4). Interaksi tersebut menghasilkan suatu

imbangan pupuk organik dan pupuk anorganik yang baik sehingga menyebabkan

hara cepat tersedia bagi tanaman. Hal ini memungkinkan unsur hara seperti

nitrogen lebih mudah diserap tanaman. Sebagaimana dikatakan oleh Sirait (2005)

bahwa perlakuan pemupukan nitrogen menghasilkan adanya perbedaan

kandungan nitrogen tajuk. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Wilson dan Wild

(1990) bahwa pemupukan nitrogen akan meningkatkan kandungan nitrogen tanah

yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap peningkatan kandungan Nitrogen

daun. Menurut Suharno et al. (2007), bahwa keberadaan unsur nitrogen juga

sangat penting terutama kaitannya dengan pembentukan klorofil pada daun

tanaman. Klorofil dinilai sebagai “mesin” tumbuhan karena mampu mensistesis

karbohidrat yang akan menunjang pertumbuhan tanaman.

Keberadaan nitrogen dalam struktur tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa

faktor terutama ketersediaan air, unsur hara dalam tanah terutama Nitrogen.

Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis. Lebih lanjut

dinyatakan oleh Soplanit dan Nukuhaly (2012), bahwa penyediaan N yang cukup

pada fase generatif sangat penting juga dalam memperlambat proses penuaan

daun, mempertahankan fotosintesis selama fase pengisian gabah, dan peningkatan

protein dalam gabah.

Tampak bahwa kandungan P total padi kultivar Wakawondu mengalami

peningkatan dengan meningkatnya dosis pemupukan, baik pupuk bokashi


171

maupun campuran pupuk N,P,K (Tabel 18). Hal ini disebakan karena senyawa

organik yang berasal dari bokashi berperan optimal dalam membantu pelarutan

atau pelepasan P yang terikat oleh Fe, Al, dan Ca tanah sehingga menjadi tersedia

dan diserap baik oleh tanaman. Kandungan P dalam jaringan daun tanaman

meningkat dengan pemberian N,P,K. Pupuk anorganik berupa campuran pupuk

N,P,K bersifat mudah larut sehingga lebih cepat terurai jika dibandingkan dengan

pupuk organik yang hal ini menjadikannya cepat tersedia bagi tanaman. Suleman

(2014) mengatakan bahwa pupuk anorganik (SP-36) berada dalam bentuk

persenyawaan hara P, sehingga dalam pelepasan ke dalam tanah akan lebih

lambat dari pada pupuk yang tidak dipersenyawakan, karena unsur P harus

terlebih dahulu terurai dari senyawa-senyawa mikro tersebut untuk tersedia bagi

tanaman. Dengan demikian sematan P oleh ion-ion Ca dan mineral-mineral

lempung menjadi lebih sedikit, sehingga ketersediaan P bagi tanaman meningkat.

Pada umumnya kadar P di dalam tanaman di bawah kadar N dan K yaitu sekitar

0,1 hingga 0,2%. Tanaman menyerap sebagian besar unsur hara P dalam bentuk

ion ortofosfat primer (H2PO4-). Sejumlah kecil diserap dalam bentuk ion

ortofosfat sekunder (HPO4-2).

Fosfor (P) merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar (hara

makro), jumlah P dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen (N)

dan kalium (K), tetapi P dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life)

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Hasil uji korelasi menunjukan bahwa fosfor

berkorelasi sangat kuat dengan variabel pertumbuhan lainnya, kecuali umur

tanaman berbunga berkorelasi secara negatif (Lampiran 2c). Unsur hara P yang
172

diserap tanaman kemudian dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menyediakan

energi guna keberlangsungkan proses-proses metabolisme. Hasil metabolisme

kemudian digunakan untuk membentuk organ-organ tanaman terutama organ

generatif. Ini ditunjukan dengan korelasi yang sangat kuat antara fosfor dengan

variabel generatif tanaman seperti anakan produktif (r = 0,87), panjang malai (r =

0,68), jumlah gabah per malai (r = 0,94), persentase gabah berisi per malai (r =

0,95), berat gabah per malai (r = 0,77), berat 1000 butir gabah (r = 0,91)

(Lampiran 2c). Organ-organ generatif berkembang dengan baik yang akhirnya

meningkatkan produktivitas tanaman.

Pada penelitian ini, pupuk anorganik yang ditambahkan berupa SP-36

adalah pupuk sebagai sumber P sehingga akan menjadi P tersedia dalam jumlah

tinggi dan mudah larut sehingga mudah diserap oleh tanaman, sedangkan bokashi

akan meningkatkan ketersedian P dari bahan organik. Menurut Sutanto (2005)

bahwa bahan organik disamping dapat menyumbangkan Fosfor juga

menghasilkan bahan-bahan terhumifikasi yang berperan untuk memperbesar

ketersediaan Fosfor dari mineral karena membentuk P humat yang lebih mudah

diserap tanaman. Selain itu, bahan organik menghasilkan asam organik yang

dapat melepaskan unsur P yang diikat oleh Al dan Fe serta mencegah

pengikatan/fiksasi oleh Al dan Fe karena asam organik tersebut akan mencekam

Al dan Fe. Hasil penelitian Hanafiah (2005), menunjukan bahwa pemberian

pupuk kandang mampu menekan daya fiksasi P yang ditunjukan oleh

meningkatnya kadar P-tersedia, P-larut air dan P-organik, serta menurunnya

bentuk P-Al dan P-Fe. Sehingga dengan menggunakan pupuk kandang akan
173

meningkatkan efisiensi pemupukan fosfor. Pada perlakuan tanpa bokashi (A0)

rata-rata kandungan P hanya mencapai 15% dan perlakuan tanpa campuran pupuk

N,P,K (B0) rata-rata kandungan P mencapai 16% (Tabel 18). Kandungan P

meningkat menjadi 21% pada perlakuan A4B4. Hal ini dikarenakan penambahan

bokashi selain meningkatkan KTK tanah juga menyediakan P humat dan

melepaskan P terfiksasi oleh Al dan Fe sehingga serapan P menjadi meningkat.

Sebagaimana data penelitian menunjukan bahwa semakin tinggi dosis P

yang diberikan maka kandungan P dalam tanaman semakin meningkat.

Peningkatan ini diduga disebabkan oleh pemberian bokashi sebagai bahan

organik. Bahan organik membentuk kompleks phosphat organik yang dapat

meningkatkan serapan P oleh tanaman. Bahkan, anion-anion organik dapat juga

mengganti posisi P yang terfiksasi atau dengan kata lain melepaskan P dari

kompleks jerapan Fosfor. Hasil analisis tanah juga menunjukkan bahwa P

tersedia dalam bentuk ion ortofosfor primer (H2PO4-) dan ion ortofosfor sekunder

(HPO4-) meningkat dan menurunnnya unsur Fe.

Pada penelitian ini, peningkatan P menyebabkan peningkatan organ

tumbuh tanaman padi. Sebagaimana penelitian Syamsiyah (2008) melaporkan

bahwa peningkatan hara fosfor akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif

tanaman padi gogo seperti tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun dan

indeks luas daun (ILD). Pupuk fosfor memiliki sejumlah peran penting bagi

tanaman. Novizan (2003) mengemukakan bahwa pupuk SP-36 adalah pupuk

yang mengandung 36% P dalam bentuk P2O5. Fosfor berperan dalam

merangsang pertumbuhan awal bibit tanaman, merangsang pembentukan bunga,


174

buah dan biji, bahkan mampu mempercepat pemasakan buah dan membuat biji

menjadi bernas. Tanaman yang kekurangan Fosfor akan menunjukkan gejala

pertumbuhan yang lambat dan kerdil, pematangan buah terlambat dan biji

berkembang tidak normal.

Dari penelitian Widyawati (2007), dengan pemupukan SP-36 50 kg ha-1

diperoleh hasil berat gabah kering giling sebesar 11,243 kg petak-1 dan berbeda

nyata terhadap kontrol (SP-36 0 kg ha-1) yang hanya sebesar 7,52 kg petak-1

dengan penambahan pupuk SP-36 50 kg ha-1 ternyata mampu memberikan

peningkatan hasil 33,11 %. Terhadap kandungan Kalium pada jaringan daun,

interaksi terbaik ditunjukan oleh perlakuan A4B4 (Tabel 19). Hal tersebut diduga

karena pada pemberian pupuk dengan dosis demikian menjadikan unsur K di

dalam tanah cukup tersedia sehingga penyerapan K juga menjadi maksimal. Sri

Nuryani et al. (2010) melaporkan bahwa pupuk organik berfungsi dalam

menaikan pH tanah, meningkatkan KTK dan ketersediaan NPK tanah, demikian

pula meningkatkan serapan hara NPK dan hasil tanaman padi.

Dalam tanah terdapat empat bentuk K, yang selalu berada dalam

keseimbangan yang dinamis, yaitu: (1) K terlarut (dalam larutan tanah); (2) K

dapat dipertukarkan; (3) K tidak dapat dipertukarkan, dan (4) K mineral (Su,

1976). Dalam kaitannya dengan kemudahan bentuk K diserap tanaman, K terlarut

dikenal sebagai K segera tersediakan, K dapat dipertukarkan sebagai K cadangan

yang mudah dimobilisasi, K tidak dapat dipertukarkan atau K-tersemat (fixed)

mineral lempung sebagai K simpanan yang lambat disediakan, dan K mineral

sebagai K cadangan semipermanen. Kemampuan tanaman padi menyerap K


175

sangat terbatas karena porsi K terlarut dan K dapat ditukar di dalam larutan tanah

hanya sekitar 1-2% dari total K dalam tanah. Padahal, K terlarut dan K dapat

tertukar itulah yang dapat diserap oleh tanaman. Sisanya sebanyak 1-10%

merupakan K tidak dapat ditukar dan 90-98% adalah K mineral. Menurut (Sri

Adiningsih, 1986) bahwa kemampuan tanah dalam menyediakan K, yang

dinyatakan dalam K-total dan K dapat ditukar (K-dd) umumnya sangat rendah.

Kalium sebagai hara esensial dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, bahkan

untuk tanaman padi melebihi kebutuhan N. Meskipun diperlukan dalam jumlah

banyak, K dalam tanaman bukan menjadi penyusun senyawa organik, melainkan

sebagai ion yang sebagian besar berada dalam cairan sel. Peran K pada tanaman

berkaitan erat dengan proses biofisika dan biokimia (Beringer, 1980).

Dalam proses biofisika, K berperan penting dalam mengatur tekanan

osmosis dan tugor, yang pada gilirannya akan memengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan sel serta membuka dan menutupnya stomata. Gangguan pada

pembukan dan penutupan stomata akibat tanaman kahat (Deficiency) K akan

menurunkan aktivitas fotosintetis karena terganggunya pemasukan CO2 ke daun.

Kalium diserap tanaman dari tanah dalam bentuk ion (K+) serta berfungsi sebagai

pendukung proses metabolisme tanaman (Winarso, 2005). Kalium mempunyai

peranan penting terhadap lebih dari 50 enzim baik langsung maupun tidak

langsung. Bila tanaman kurang K, maka banyak proses yang tidak berjalan

dengan baik, misalnya terjadinya akumulasi karbohidrat, menurunnya kadar pati,

dan akumulasi senyawa nitrogen dalam tanaman. Kebanyakan tanaman yang

kekurangan kalium memperlihatkan gejala lemahnya batang tanaman sehingga


176

tanaman mudah roboh (Rosmarkan dan Yuwono, 2002). Dengan demikian unsur

K merupakan unsur hara yang sangat esensial.

Hasil analisis terhadap kandungan K diketahui bahwa penggunaan

bokashi cukup berperan dalam serapan K dibandingkan dengan penggunaan

campuran pupuk N,P,K. Terlihat bahwa bokashi dengan dosis 8 ton ha-1 (A4)

menghasilkan kandungan K dalam jaringan tanaman rata-rata sebesar 3,58 %

sedangkan pemberian pupuk N,P,K pada dosis 100% dosis anjuran (B4) hanya

menghasilkan daya serap K rata-rata sebesar 3,21 % (Tabel 19). Hal ini

dikarenakan bokashi memiliki peranan dalam menyediakan K untuk tanaman

yakni melalui mineralisasi bahan organik yang memasok unsur K, serta

kandungan koloid organik yang bermuatan negatif akan mengikat sementara

unsur K, sehingga unsur K yang diberikan dari pupuk anorganik terhindar dari

pencucian dan difiksasi oleh mineral liat. Dengan demikian unsur K yang

diberikan melalui pemupukan akan diserap secara maksimal oleh tanaman.

Pemberian pupuk K yakni KCl dan bokashi akan meyebabkan tanah dan

daerah sekitar perakaran tanaman dijenuhi oleh muatan K, sehingga konsentrasi

K menjadi lebih tinggi. Disfusi dan osmose meyebabkan K diabsorbsi oleh akar

tanaman dan ditransfer ke seluruh jaringan tanaman. Tabel 19 juga

memperlihatkan bahwa perlakuan campuran A4B4 menunjukan kandungan K

tertinggi 4,380% dan berbeda nyata pada uji DMR taraf 95 % terhadap pelakuan

lainnya. Pada perlakuan A4B4, kandungan K meningkat tajam yang jika tanpa

pemberian pupuk kandungan K hanya sebesar 2,09% atau meningkat sebesar

52,12%. Dengan demikian pemberian kedua pupuk tersebut dapat meningkatkan


177

kandungan K dalam tanaman karena keduannya mampu menyuplai K tersedia

untuk tanaman. Akibat dari peningkatan serapan K ini kemudian diikuti dengan

peningkatan absorpsi K ke seluruh jaringan tanaman untuk pertumbuhan dan

perkembangan baik jaringan vegetatif maupun jaringan generatif.

Sesuai dengan sifatnya, pupuk anorganik berupa KCl yang diberikan

bersifat cepat larut, sehingga kehilangan unsur K pun juga cepat, karena unsur K

sangat mobil. Selain diserap tanaman, K dapat hilang karena difiksasi mineral liat

dan mengalami pelindian/pencucian (Hanafiah, 2005), sehingga dengan hanya

memberikan pupuk anorganik tidak mempengaruhi ketersediaan K dalam tanah

terutama setelah penanaman. Menurut Hanafiah (2005), ketersedian unsur K

disuplai dari pelarutan mineral-mineral K (feldsfar dan mika), pemberian pupuk

(anorganik/organik) dan mineralisasi bahan organik. Bokashi memiliki fungsi

ganda terhadap ketersediaan K dalam tanah yakni mensuplai hara K tersedia

dengan kandungan K2O dan mensuplai bahan organik. Bahan organik tersebut

selain mensuplai hara K lewat mineralisasinya juga menjaga K dari pencucian,

karena bahan organik mengandung koloid humus yang bermuatan negatif

sehingga mampu mengikat K. Menurut Goeswono (1983), bahwa humus

merupakan koloid organik yang bermuatan negatif sehingga daya jerap kation

humus jauh melebihi liat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bokashi nyata

meningkatkan bahan organik (Lampiran 25b) sehingga ketersediaan K dalam

tanah juga meningkat. Dengan demikian pemberian bokashi dapat meningkatkan

ketersediaan K dalam tanah. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa nitrogen,


178

phospor, dan kalium berkorelasi kuat dan positif terhadap semua komponen

agronomis tanaman padi, seperti; tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun,

luas daun, kandungan klorofil daun, jumlah anakan produktif, panjang malai,

jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, berat gabah per malai,

berat 1000 butir gabah, produktivitas, indeks panen, indeks luas daun, Laju

Tumbuh Relatif, Laju Asimilasi Bersih, Luas Daun Spesifik, dan Nisbah Pupus

Akar, kecuali waktu berbunga berkorelasi negatif (Lampiran 2c). Artinya, unsur

N, P, K sangat berperan nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Bahkan dosis N, P, K yang meningkat justru bersifat

antagonis terhadap periode pembungaan sehingga cenderung dapat

memperpendek usia panen tanaman padi gogo kultivar Wakawondu di lahan

jenuh air. Unsur hara N, P, K secara bersama-sama dapat memaksimalkan

komponen tumbuh generatif sehingga optimalisasi produktivitas dapat dicapai.

5.3 Pembahasan Umum

Tanaman padi gogo kultivar Wakawondu yang dibudidaya di lahan jenuh

air memiliki respon pertumbuhan yang positif dengan tingkat produktivitas yang

lebih baik dibandingkan dengan jika dibudidaya di lahan kering (ladang). Hal ini

disebabkan kebutuhan air selama masa pertumbuhan senantiasa tersedia untuk

melangsungkan proses-proses metabolisme tanaman.

Pada penelitian ini, semakin meningkat dosis pupuk N, P, K yang

diberikan maka semakin meningkatkan komponen tumbuh tanaman. Pupuk N, P,

K sebagai hara makro sangat diperlukan guna menunjang pertumbuhan dan

perkembangan tanaman yang baik. Penggunaan pupuk N, P, K dalam penelitian


179

ini menjadikan asupan nutrisi lebih banyak dan tersedia sehingga serapan NPK

meningkat. Nutrisi yang terserap kemudian menjadi komponen yang sebagian

dimanfaatkan untuk memproduksi lebih banyak butir-butir klorofil pada daun.

Klorofil berperan dalam proses fotosintesis guna menghasilkan fotosintat.

Akhirnya fotosintat didistribusi ke seluruh jaringan tanaman untuk memenuhi

kebutuhan komponen-komponen pertumbuhan berupa anakan, daun dan batang

tanaman, anakan produktif, malai, dan gabah. Ketersediaan fotosintat yang cukup

juga ikut berperan dalam meningkatkan laju pertumbuhan tanaman.

Meningkatnya semua parameter tumbuh agronomis tersebut akhirnya bermuara

pada peningkatan produktivitas tanaman. Hubungan N, P, K terhadap semua

komponen tumbuh dan hubungan antara setiap komponen berkorelasi secara

positif, kecuali waktu berbunga menunjukan korelasi yang negatif terhadap

semua parameter agronomis yang dicobakan. Artinya, peningkatan komponen

tumbuh menjadikan periode berbunga menjadi lebih cepat.

Keberadaan ketiga unsur makro yang diberikan (NPK) bekerja secara

simultan dan berhubungan erat dalam jaringan tanaman untuk memenuhi

kebutuhan sel selama proses metabolisme. Korelasi antara ketiga unsur tersebut

yaitu N-P (r = 0,92), N-K (r = 0,94), P-K (r = 0,89) (Lampiran 2c). Artinya ketiga

unsur ini secara bersinergi berperan dalam proses-proses metabolisme tanaman.

Jika satu unsur tercukupi akan tetapi unsur lainnya tidak tercukupi maka sistem

metabolisme tanaman akan terganggu. Pada penelitian ini, dosis maksimal yang

diberikan adalah Nitrogen sebanyak 250 kg ha-1, Phospor sebanyak 125 kg ha-1,

dan K sebanyak 100 kg ha-1 tampaknya belum menunjukan dosis optimal. Jika
180

dilihat dari kurva yang ada (Gambar 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14)

menunjukan bahwa peningkatan dosis pupuk secara linear meningkatkan semua

parameter agronomis yang ada. Dosis pupuk yang digunakan masih dapat

ditingkatkan lagi untuk meningkatkan semua komponen tumbuh tanaman padi

gogo kultivar Wakawondu.

Setiap unsur (N, P, K) memiliki peran masing-masing dalam proses-

proses metabolisme. Unsur N berperan dalam pembelahan inti sel untuk

membentuk sel-sel baru dan memperbesar sel itu sendiri, meningkatkan

fotosintesis. Phospor berperan dalam penyediaan energi berupa ATP dan

NADPH2 untuk merangsang pembentukan jaringan tanaman. Sebagaimana

dikatan oleh (Suleman, 2014) bahwa Fosfor dibutuhkan tanaman dalam proses

penyusun energi (ATP), pengembangan organ, pertumbuhan akar, pematangan

buah dan sintesis protein. Syamsiyah (2008) melaporkan bahwa peningkatan hara

Fosfor akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman padi gogo seperti

tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun dan Indeks Luas Daun (ILD). Unsur

K berperan sebagai katalitik atau katalisator sehingga proses fotosintesis,

translokasi karbohidrat, sintesis protein, menjadi meningkat yang akibatnya

meningkatkan pembentukan biomassa dan bermuara pada peningkatnan jaringan-

jaringan tumbuh tanaman. Secara fisiologis, unsur K berfungsi dalam:

metabolisme karbohidrat, metabolisme Nitrogen dan sintesis protein, pengaturan

pemanfaatan berbagai unsur hara utama, netralisasi asam-asam organik penting,

aktivasi berbagai enzim, percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan


181

meristem (pucuk, tunas), dan pengaturan buka-tutup stomata dan hal-hal yang

terkait dengan penggunaan air (Hanafiah, 2009).

Hasil kerja hara NPK kemudian mendorong peningkatan pertumbuhan

dan perkembangan jaringan tanaman yang salah satunya adalah tinggi tanaman.

Peningkatan tinggi tanaman ini berkaitan dengan pertambahan luas daun dengan

korelasi (r = 0,923). Semakin luas ukuran daun maka ukuran tinggi tanaman juga

akan semakin meningkat. Menurut Chaturvedi (2005) salah satu fungsi N adalah

meningkatkan panjang dan lebar daun sehingga aktivitas fotosintesis juga

meningkat guna peningkatan biomassa tanaman. Selanjutnya Minardi (2002)

melaporkan bahwa N dan K mampu meningkatkan proses fotosintesis yang

selanjutnya akan berpengaruh pula pada peningkatan tinggi dan berat kering

tanaman.

Peran NPK pada komponen tumbuh lainnya adalah merangsang

pembentukan tunas-tunas daun. Daun yang banyak berkaitan dengan jumlah

klorofil yang dikandung. Semakin banyak daun yang dihasilkan maka jumlah

klorofil juga semakin meningkat. Klorofil yang banyak berkaitan dengan

peningkatan aktifitas fotosintesis dalam menghasilkan fotosintat. Melalui peran

Posphor dan Kalium, fotosintat kemudian didistribusi ke seluruh jaringan

tanaman untuk keperluan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, baik jaringan

vegetatif maupun generatif tanaman. Sebagaimana hasil uji korelasi menunjukan

bahwa semua komponen tumbuh tanaman berkaitan antara satu dengan yang

lainnya (Lampiran 2c). Jika satu komponen tumbuh meningkat maka komponen

tumbuh lainnya juga mengalami peningkatan hingga pada suatu titik optimal.
182

Selain pupuk N, P, K sebagai hara makro, bokashi lebih berperan dalam

meningkatkan komponen-komponen tumbuh generatif dan fisiologis tanaman

diantaranya; meningkatkan jumlah anakan produktif, gabah per malai lebih

banyak, meningkatkan persentase gabah berisi, rata-rata berat 1000 butir gabah

meningkat, peningkatan Laju Asimilasi Bersih, kandungan N,P,K daun

meningkat, serta peningkatan kandungan klorofil daun dan produktivitas tanaman

padi.

Dalam penelitian ini, eksistensi bokashi sebagai hara mikro telah berperan

dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga pupuk N, P, K

yang tersedia di dalam tanah dapat terserap dengan baik. Hal ini didasarkan pada

pengaruh nyata yang diberikan bokashi terhadap sejumlah parameter tumbuh

generatif. Pada masa pertumbuhan awal tanaman padi, bokashi belum

menunjukan pengaruhnya terhadap komponen tumbuh vegetatif tanaman. Silea,

et al. (2017) melaporkan bahwa pengaruh pupuk organik yang signifikan selama

pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi gogo terlihat pada fase generatif

yakni pada komponen bobot 1000 butir gabah dan produksi.

Nutrisi yang dikandung bokashi masih dimanfaatkan oleh

mikroorganisme sebagai sumber energi pada masa-masa awal keberadaan

bokashi. Pada sisi lain, bokashi sebagai bahan organik cenderung lambat

melepaskan unsur-unsur hara yang dikandungnya. Pengaruh yang diberikan

bokashi setelah tanaman berada pada fase generatif, dimana pada fase ini

mikroorganisme telah melepaskan kembali energinya dalam bentuk nutrisi ke

dalam tanah dan juga bokashi mulai melepaskan ion-ion nutrisi yang
183

dikandungnya. Ini membuktikan bahwa pupuk anorganik berupa N, P, K lebih

dimanfaatkan pada masa pertumbuhan vegetatif karena cepat tersedia dan bokashi

yang lambat tersedia lebih termanfaatkan pada masa pertumbuhan generatif.

Kebutuhan nutrisi tanaman yang lengkap baik makro maupun mikro cenderung

pada masa pertumbuhan generatif. Artinya, pembentukan komponen tumbuh

generatif yang baik memerlukan sejumlah unsur-unsur makro dan mikro yang

tersedia.

Keterpaduan atau interaksi antara bokashi dan pupuk N, P, K hanya

mempengaruhi beberapa komponen tumbuh berupa meningkatnya jumlah gabah

per malai, kandungan klorofil daun, dan kandungan N dan K. Hal ini

membuktikan bahwa pada level dosis pupuk yang dicobakan masih belum

menunjukan pengaruh saling melengkapi yang cukup signifikan, akan tetapi

hanya sebatas pada peran masing-masing dalam penyediaan hara bagi tanaman.

Bokashi dengan sifatnya yang lambat melepaskan unsur-unsur hara yang

terkandung didalamnya serta perannya yang dapat membantu melepaskan unsur-

unsur hara pada tanah, diduga bahwa peran efektifnya jika bokashi diberikan

secara kontinyu dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Sejalan dengan

hal itu, Sutono, et al. (1996), bahwa kontinuitas dan kesinambungan penggunaan

bahan organik dalam periode panjang akan mampu berperan dalam memobilisasi

atau menjembatani hara yang sudah ada di tanah sehingga mampu membentuk

partikel ion yang mudah diserap oleh akar tanaman serta berperan dalam

pelepasan hara tanah secara perlahan dan kontinyu sehingga dapat membantu dan

mencegah terjadinya ledakan suplai hara.


184

Untuk itu, selama periode penelitian ini yang hanya ± lima bulan dengan

pemberian bokashi yang terbatas menjadikan peran bokashi belum begitu

menunjukan efektifitasnya. Kemungkinan lainnya, jika dosis pupuk ditingkatkan

lagi baik bokashi maupun pupuk N, P, K, diduga keterpaduan diantara kedua

pupuk akan menunjukan peran yang sangat signifikan dalam semua komponen

pertumbuhan tanaman padi.

Jika dilihat data pada setiap parameter agronomis, menunjukan bahwa

peningkatan dosis pupuk baik bokashi maupun pupuk N, P, K nyata

meningkatkan parameter-parameter tumbuh tanaman. Beberapa level dosis pupuk

yang dicobakan masih menunjukan kecenderungan peningkatan pada setiap

parameter yang ada. Dosis 8 ton ha-1 bokashi dan pupuk N, P, K pada 100% dosis

anjuran (250 kg ha-1 Nitrogen, 125 kg ha-1 Phospor, 100 kg ha-1 Kalium) masih

menunjukan pola pertumbuhan dan perkembangan yang linear. Artinya, sampai

pada dosis tersebut belum ditemukan dosis optimal pada percobaan ini. Diduga

bahwa keterpaduan antara bokashi dan pupuk N, P, K akan memberi pengaruh

yang lebih luas pada parameter-parameter tumbuh tanaman jika dosis kedua

pupuk yang diberikan ditingkatkan lagi.

Metode budidaya padi gogo di lahan jenuh air memberi peluang bagi

tanaman untuk tumbuh dan berkembang lebih baik karena kebutuhan air

terpenuhi dan tata aerasi untuk mensuplai oksigen bagi tanaman terpelihara.

Media tumbuh tanaman secara fisik dan kimia cukup baik karena diberi bokashi

yang dapat memperbaiki tekstur tanah, juga meningkatkan kapasitas tukar kation

sehingga unsur hara makro dapat terserap dengan baik. Bokashi juga
185

mengandung unsur hara makro dalam jumlah sedikit serta mengandung sejumlah

hara mikro yang dibutuhkan tanaman. Akhirnya, keterpaduan bokashi dan

campuran pupuk N, P, K saling melengkapi dan berada dalam keadaan yang

cukup dan tersedia dengan dukungan media yang baik dan akhirnya menjamin

pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi kultivar Wakawondu dapat

berlangsung dengan baik dengan produktivitas yang meningkat.

Sekalipun tidak terjadi interaksi nyata antara bokashi dan campuran pupuk

N, P, K terhadap produktivitas gabah, akan tetapi pemberian campuran pupuk N,

P, K, dengan dosis 250 kg ha-1 Nitrogen + 125 kg ha-1 Phospor + 100 kg ha-1

Kalium telah menghasilkan produktivitas gabah padi gogo kultivar Wakawondu

sebesar 6,57 ton ha-1 atau terjadi peningkatan produktivitas sebesar 108,94% jika

dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk yang hanya menghasilkan

produktivitas sebesar 3,14 ton ha-1 gabah kering giling (Tabel 16). Dengan

meningkatnya dosis pupuk N,P,K yang diberikan, maka ketersedian hara N, P dan

K menjadi semakin meningkat. Ketersediaan hara tersebut selanjutnya diserap

oleh tanaman sehingga semakin banyak hara yang tersedia di dalam koloid tanah

maka tanaman juga akan menyerap hara tersebut dalam jumlah yang banyak. Hal

ini dapat dilihat dari kandungan N, P, K pada daun (Tabel 17, 18, 19). Hara

makro dan mikro yang bersumber dari pupuk N, P, K dan bokashi kemudian

dimetabolisme oleh tanaman. Dengan kondisi temperatur yang ideal bagi

tanaman padi berupa temperatur harian rata-rata selama penelitian 25,0-27,5oC

(Lampiran 27) menjadikan aktivitas fotosintesis dan respirasi berlangsung dengan

baik. Proses metabolisme yang baik itu ditandai dengan peningkatan Laju
186

Tumbuh Relatif (Tabel 9) dan LAB (Tabel 10) yang dihasilkan. Fotosintat yang

dihasilkan kemudian ditranslokasikan ke seluruh jaringan tanaman untuk

membangun komponen-komponen agronomis. Komponen agronomis berupa

tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, anakan, berat kering tanaman mengalami

peningkatan dengan peningkatan dosis pupuk. Akibat peningkatan komponen

agronomis tersebut kemudian diikuti dengan peningkatan komponen hasil berupa;

anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, prosentase gabah isi

per malai, berat butir gabah per malai, dan akhirnya bermuara pada peningkatan

produktivitas. Keseluruhan komponen agronomis dan komponen hasil tersebut

berkorerlasi kuat dan positif antara satu dengan yang lainnya (Lampiran 2c).

Tingkat kemasaman (pH) tanah sangat mempengaruhi status ketersediaan

hara bagi tanaman. Rata-rata pH yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 6,9

(Lampiran 25c, 25d). Pada pH yang netral (6-7) ketersediaan hara menjadi

optimal dalam hal jumlah maupun kesetimbangan unsur hara dalam larutan tanah.

Menurut Hakim et al. (1986), reaksi (pH) tanah di luar kisaran itu dapat

mengakibatkan berkurangnya jumlah ketersediaan unsur hara tertentu dan kadang

malah menyebabkan kelebihan ketersediaan unsur hara lainnya. Hal ini dapat

berakibat terganggunya serapan hara oleh tanaman sehingga menghambat

pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan pendapat

Aishah et al. (2010), pH optimum untuk tanaman padi sawah berkisar antara 5,6-

6,0. Untuk media budidaya, beberapa jenis tanah yang cocok untuk

pengembangan padi sawah dapat berupa tanah gleisol, aluvial, gambut, kambisol,

podsolik (Alam et al., 1993, Darmawijaya, 1997).


187

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Interaksi bokashi dengan dosis 8 ton ha-1 dan campuran pupuk N, P, K

100% dosis anjuran (250 kg ha-1 Urea + 125 kg ha-1 SP-36 + 100 kg ha-1

KCl) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan dosis

lainnya dan meningkatkan hasil terhadap jumlah gabah per malai (139,87

butir), kandungan klorofil daun (3,29 mg g-1), dan kandungan N (1,97%)

dan K (4,38%) daun, padi gogo Wakawondu yang ditanam di lahan jenuh

air.

2. Penggunaan bokashi 8 ton ha-1 pada budidaya padi gogo Wakawondu di

lahan jenuh air meningkatkan jumlah anakan produktif (9,52 batang),

persentase gabah isi per malai (87,87%), berat 1000 butir gabah (29,71 g),

produktivitas (6,15 ton ha-1), Laju Asimilasi Bersih (1,75 g cm-2 minggu-
1
), dan kandungan P daun (0,20).

3. Penggunaan campuran pupuk N,P,K 100% dosis anjuran (250 kg ha-1

Urea + 125 kg ha-1 SP-36 + 100 kg ha-1 KCl) pada budidaya padi gogo

Wakawondu di lahan jenuh air memberikan hasil yang lebih tinggi

terhadap jumlah anakan (10,92 batang), jumlah daun (29,79 helai), tinggi

tanaman (96,88 cm), luas daun (1057,52 cm2), anakan produktif (9,97

batang), panjang malai (24,8 cm), persentase gabah isi per malai

4. (87,84%), berat 1000 butir gabah (30,08 g), produktivitas (6,56 ton ha-1),

Indeks Luas Daun (6,35), Laju Tumbuh Relatif (0,712 g minggu-1) , dan

kandungan P daun (0,20)


188

4. Pemberian bokashi dengan dosis 8 ton ha-1 dapat menghasilkan

produktivitas sebesar 6,15 ton ha-1 dan 100% dosis anjuran berupa

pupuk N (250 kg ha-1 Urea), P (125 kg ha-1 SP-36), K (100 kg ha-1 KCl)

menghasilkan produktivitas sebesar 6,57 ton ha-1 . Kedua dosis tersebut

merupakan dosis yang lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan dan

produktivitas padi gogo kultivar Wakawondu di lahan jenuh air.

5. Hasil penelitian menunjukan bahwa respon agronomis kultivar

Wakawondu di lahan jenuh air lebih baik jika dibandingkan di lahan

kering dengan tinggi tanaman mengalami penurunan sebesar 50,1%,

waktu panen menjadi lebih singkat yakni dari 143 hari menjadi 128 hari,

jumlah anakan produktif meningkat sebesar 37,37%.

6. Budidaya padi gogo Wakawondu di lahan jenuh air mempengaruhi: (i)

tinggi tanaman mengalami penurunan sebesar 50,1% dibandingkan

dengan jika dibudidaya pada lahan kering, (ii) waktu panen menjadi lebih

singkat yakni dari 143 hari menjadi 128 hari, (iii) jumlah anakan produktif

meningkat sebesar 37,37%.

6.2 Saran

1. Dianjurkan untuk menggunakan pupuk bokashi dengan dosis 8 ton ha-1

dan campuran pupuk N, P, K dengan dosis 250 kg-1 Urea + 125 kg-1 SP-36

+ 100 kg-1 KCl) untuk memaksimalkan pertumbuhan dan produktivitas

padi gogo Wakawondu di lahan jenuh air.

2. Penggunaan pupuk bokashi dengan dosis 8 ton ha-1 dan campuran pupuk

N, P, K dengan dosis 250 kg-1 Urea + 125 kg-1 SP-36 + 100 kg-1 KCl)
189

merupakan dosis terbaik, akan tetapi jika diaplikasikan di tingkat petani,

perlu dilakukan analisis ekonomi dengan memperhitungkan biaya

produksi dan nilai produktivitas yang dicapai.


190

.DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B, Tjokrowidjojo S, Sularjo. (2008). Perkembangan dan Prospek


Perakitan Padi Tipe Baru di Indonesia. J Litbang Pertanian 27:1–9.
Abdulrachman S, Sembiring H dan Suyamto. (2009). Pemupukan Tanaman Padi.
Jurnal Litbang Pertanian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Sukamandi. 44 hal.
Ade A, Hayati R, Hayati E. (2015). Pengaruh Pemupukan Terhadap Pertumbuhan
Beberapa Kultivar Padi Gogo (Oryza sativa L). Jurnal Floratek 10: 61-68.
Adiningsih, J. S dan F. Agus. (2005). Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah
Sawah (Paddy Soil Test Kit) Versi 1.0. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Aishah, A.W., S. Zauyah, A.R. Anuar and C.I. Fauziah. (2010). Spatial
Variability of Selected Chemical Characteristics of Paddy Soils in Sawah
Sempadan, Selangor, Malaysia. Malaysian Journal of Soil Science 14:27-
39.
Alam, M.L., S.M. Saheed, A. Shinagawa, and N. Miyauchi. (1993). Chemical
Properties of General Soil Types of Bangladesh. Memoirs of the Faculty
of Agriculture, Kagoshima University 29:75-87.
Amirullah, Andi. (2008). Budidaya Padi. http://amiere.multiply.com. Makassar
(on line), diakses tanggal 22 Agustus 2015, 04:29.
Andes Prayuda Yunanda, Ahmad Rifqi Fauzi, Ahmad Junaedi (2013).
Pertumbuhan dan Produktivitas Padi Kultivar Jatiluhur dan IR64 pada
Sistem Budidaya Gogo dan Sawah. Bul. Agrohorti 1 (4) : 18 – 25.
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Aryanti. (2011). Metode Pengusangan Cepat Terikasi Secara Dini Genotipe Padi
Gogo (Oryza sativa L.) Toleran Kekeringan. Tesis. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2007). Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 40/Permentan/O.T-140/4/2007 tanggal 11 April
2007:Tentang Rekonmendasi Pemupukan N, P, K pada Padi Sawah
Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2009). Petunjuk Pelaksanaan
Percobaan Uji Multilokasi Padi (UML) Padi Gogo.
Bahar Edward. (2014). Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Kultivar Tondano pada
Pemberian Zat Pengatur Tumbuh dan Pupuk Kalium. Jurnal Sungkai 2 (1)
: 10-22.
191

Baker, AV, Pilbeam, D. J. (2007). Handbook of Plant Nutrition, CRC Press, Boca
Raton, USA.
Bakhtiar, Hasanuddin dan Taufan Hidayat. (2013). Identifikasi Beberapa Varietas
Unggul Padi Gogo di Ace Besar. Jurnal Agrista 17 (2) : 49 – 54.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. (2006). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. (2015). Jenis Tanah dan Profil Lahan Padi
Gogo.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. (2017). Mengenal 7 Varietas Padi Darat
Unggul (Padi Gogo Lahan Kering), Potensi Hasil dan Keunggulannya.
Barber, S.A. (1995). Soil Nutrient Bioavailability: A Mechanistics Approach. 2nd
Edition. New York: John Wiley & Sons.
Barus Junita. (2011). Uji Efektivitas Kompos Jerami dan Pupuk NPK terhadap
Hasil Padi. J. Agrivigor 10(3): 247-25.
Basyr, A., S.Punarto, Suyanto dan Suprihatin. (1995). Padi Gogo. Balai
Penelitian Tanaman Pangan. Malang.
Bidwell, R.G.S. (1979). Plant Physiology 2en ed. Collier Mac Millan International
Editions. New York.
Bintari, E.N., (2006). Uji Daya Galur Harapan Padi Sawah Tipe Baru (Oryza
sativa, L) di Dua Lokasi Berbeda. Jurnal Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Beringer, H. (1980). The Role of Potassium in Crop Production. In: Proceeding of the
International Seminar the Role of Potassiumin Crop Production. FSSA Publication
75: 25-32.
Berkelaar, D. (2001). Sistem Intensifikasi Padi (the System of Rice
Intensification-SRI): Sedikit Dapat Memberi Lebih Banyak. 7 hal
terjemahan. Buletin ECHO, Inc. 17391 Durrance Rd. North Ft. Myers FL.
33917 USA.
Blanco, F.F. and M.V. Folegatti. (2003). A new method for Estimating the Leaf
Area Index of Cucumber and Tomato Plants. Horticultura Brasiliera 21:
666-669.
Bohnert, H.J. and R.G. Jensen. (1996). Strategies for engineering water stress
tolerance in plants. TIBTECH 14 : 89-97.
Bolbol, H., M.K. Eghbal, H. Torabi, and N. Davatgar. (2013). Fertility
Capability Classification of Paddy Soils in Comparison With The Soil
Taxonomy Inguilan Province, Iran. International Journal of Agriculture:
Research and Review 3(4):873-880.
BPS. (2015). Statistik Indonesia 2015. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 612p.
192

BPTP. (2013). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Aceh, Praptono, S. 201 1,


Bertanam padi di polibag. http://epetani.deptan.go.id/budidaya/bertanam-
padi-di-polibag-1632 (diakses tgl 26 MAret 2015).
Buckman, H. O. dan Brady, N. C. (1982). Ilmu Tanah (terjemahan Soegiman).
Bharatakarya Aksara. Jakarta.
Campbell, N.A., J.B. Reece., dan L.G. Mitchell. (2000). Biologi. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Chandra Elifiana Prima Putra dan Muh. Kusberyunadi. (2015). Respon
Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L .) Pada
Berbagai Jenis Pupuk Kandang. Jurnal Unsika.
Chaturvedi I. (2005). Effect of Nitrogen Fertilizer on Growth, Yield and Quality
of Hybrid Rice (Oryza sativa L.). J Eur Agric 6 (4): 611-618.
Cooperband L. (2002). The Art and Science of Composting: A Resource For
Farmers and Compost Producers. University of Wisconsin, Madison.
Darmawijaya, M.I. (1997). Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah
dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Denny Kurniadie. (2002). Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK
Phonska dan Pupuk N Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi
Sawah (Oryza sativa L) Varietas IR 64. J. Bionatuna, 4(3): 137-147.
Departemen Pertanian. (2007). Rekomendasi Pemupukan N, P dan K pada Padi
Sawah Spesifik Lokasi. Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan
/OT.140/04/2007. Departemen Pertanian, Jakarta.
De Data. (1981). Principles and Practice of Rice Production. John Wiley and
Sons, New York.
Dobermann A, Fairhurst T. (2000). Rice nutrient disorders and nutrient
management. Potash and Phosphate Institute of Canada and
International Rice Research Institute. Oxford Geographic Printers Pte
Ltd. Canada, Philiphine. hlm 35-43.
Dwidjoseputro. (1994). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Utama.
Jakarta.
Eko Norsalis. (2011). Padi Gogo dan Sawah.
http://skp.unair.ac.id/respository/GuruIndonesia/Padigogodansawah_ekon
orsalis_17170.pdf(07/05/15).
Engelstad, O.P. (1997). Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Terjemahan D. H.
Goenadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ernawati, R. (2008). Analisis Sifat-sifat Kimia Tanah pada Tanah Timbunan
Lahan Bekas Penambangan Batu Bara. J.Teknologi Technoscientia I (1):
85-93.
193

Fadiluddin M. (2009). Efektivitas formula pupuk hayati dalam memacu serapan


hara, produktivitas, dan kualitas hasil jagung dan padi gogo di lapang.
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
FAPRC (Food Agriculture Policy Research Center. (1995). Science of The Rice
Plant, Vol 2, Physiology. Tokyo: Nobunkyo.
Foth, H.D. dan B.G. Ellis. (1997). Soil Fertility. 2nd Edition. Boca Raton: CRC
Press.
Gardner B, Pearce, Mitchell RL. (1991). Physiology of Crop Plants. The Iowa
State University.
Goenadi, D.H. dan Herman. (1999). Manfaat dan Prospek Pengembangan
Industri Pupuk Hayati di Indonesia. Jurnal Litbang Departemen Pertanian.
18(3): 91-97.
Greenland, D. J. (1997). The sustainability of rice farming. CAB International,
New York, USA and IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 273p.
Grist, D.H. (1960). Rice Formerly Agricultural Economist, Colonial Agricultural
Service, Malaya. Longmans Green and Co. Ltd. London.
Hadisuwito, S. (2008). Membuat Pupuk Kompos Cair. Agromedia Pustaka.
Jakarta. 50 hal.
Havlin, J.L., J.D. Beaton, A.L. Nelson. W.L. Nelson. (2005). Soil Fertility and
Fertilizers: An Introduction to Nutrient Management. Pearson Prentice
Hall. New Jersey. 515p.
Hakim, N, M.Yusuf, A.M. Lubis, N. Sutopo, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Ban
Hong dan H.H. Bailey. (1986). Dasara-Dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. Lampung
Hanafiah, K.A. (2005). Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo, Jakarta
Hanafiah, K.A. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Rajawali Pers. Jakarta.
Hanum, T., Swasti, E dan Sutoyo. (2010). Uji Toleransi Beberapa Genotipe Padi
Beras Merah Lokal (Oryza Sativa L) Terhadap Kekeringan Selama Fase
Semai. Jurnal Jerami Universitas Andalas Padang 3(3): 6-10.
Hardjowigeno, S. (2003). Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 220
hal.
Haris, A. (1999). Karakteristik iklim mikro dan respon tanaman padi gogo pada
pola tanam sela dengan tanaman karet. Tesis. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harjoko, D. (2005). Hubungan Antara Dosis Pemupukan Nitrogen, Kadar
Klorofil Dan Laju Fotosintesis Pada Tanaman Padi Sawah.
http://elib.pdii.lipi.go.id,
194

Hasfiah, Taufik M, Wijayanto T. (2012). Uji Daya Hasil dan Ketahanan Padi
Gogo Lokal Terhadap Penyakit Blas (Pyricularia oryzae) Pada Berbagai
Dosis Pemupukan. PPs UNHALU, Penelitian Agronomi 1(1): 26-36.
Hasnudi, E. Saleh. (2004). Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk
Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usaha Tani Terpadu di
Indonesia. Digitizet by USU Digital Library.
http://wwwlibrary.usu.ac.id/download/fp/ternak-eniza4.pdf.
Hatta Muhammad, Ichsan C Nur, Salman. (2010). Respon Beberapa Vaietas Padi
Terhadap Waktu Pemberian Bahan Organik Pada Metode Sri. J. Floratek
5: 43 – 53.
Hitchcock, A.S. (1971). Manual of the Grasses of the United States. 2nd ed. Agnes
Chase (Ed). Vol. 1, New York; Dover Publications.
Ihsan Nurman. (2011). Menghitung Perkiraan Produksi Panen Padi. THL-TBPP
Deptan Banten.
Indonesian Center for Rice Research. (2017). Padi Gogo Potensi Hasil Tinggi.
http://pangan.litbang.pertanian.go.id.
Islami,T. dan W.H. Utomo. (1995). Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP
Semarang Press, Semarang.
Jansson M.B. (1982). Land Erosion by Water in Different Climates. Uppsala
University. Uppsala Sweden.
Janus, L.L. and R.A. Vollenweider. (1981). The OECD Cooperative Programme
on Eutrophication: Summary Report – Canadian Contribution. Inland
Waters Directorate Scientific Series No. 131, Envoronment Canada,
Burlington, Ontario, Canada.
Jennings PR, Coffman WR, Kauffman HE. (1997). Rice Improvement. Los Banos
(PH): International Rice Research Institute.
Jones, J.B. (1999). Plant Nutrition Manual. 2nd Edition. Boca Raton: CRC Press.
Jongdee B. Pantuwan G. Fukai S. Fischer K. (2006). Improving Drought
Tolerance in Rainfed Lowland Rice: An Example From Thailand. Agric
Water Manage. 80:225-240.
Juniati dan Syamiah. (2006). Pengaruh Jenis Pupuk Organik dan Jarak Tanam
terhadap Pertumbuhan Lidah Buaya. Jurnal Floretek 2 : 107-113. Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Kadidaa.B, G.R. Sadimantara, Suaib, La Ode Safuan, Muhidin. (2017). Genetic
Diversity of Local Upland Rice (Oryza sativaTraits L.) Genotypes Based
on Agronomic Traits and Yield Potential in North Buton, Indonesia.
Asian Journal of Crop Science. 9(4): 109-117.
195

Kamsurya M.Y, H. T Sebayang, dan B. Guritno. (2002). Pengaruh Pemupukan


Nitrogen Pada Lahan Tanpa Olah Tanah dengan Herbisida Glifosat
terhadap pertumbuhan beberapa kultivar padi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang.
Kasniari, D. N dan A. A. N. Supanda. (2007). Pengaruh Pemberian Beberapa
Dosis Pupuk (N, P, K ) dan Jenis Pupuk Alternatif terhadap Hasil
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dan Kadar N, P, K Inceptisol Selemadeg,
Tabanan. Agrotrop Fakultas Pertanian Udayana. Denpasar. 26 (4) : 168-
176.
Kasno, A. Dan M. Jusuf. (1994). Evaluasi plasma nutfah kedelai untuk daya
adaptasi terhadap kekeringan. J. II. Pert.Indon 4(1): 12-15.
Kastono, D.H. Sawitri dan Siswandono. (2005). Pengaruh Nomor Ruas Setek
dan Dosis Pupuk Urea Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kumis Kucing. J
Ilmu Pertanian. 12(1): 56-64.
Kochnar, P. And H. Krisnamoorthy. (1984). Text Book of Plant Physiology.
Delhi.
Kusuma E Maria. (2012). Pengaruh Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap
Kualitas Bokashi. Jurnal Ilmu Hewani Tropika 1(2): 37-42. LPPM
Unkrip. Palangka Raya.
Lakitan, B. (2004). Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Jakarta. Raja Grafindo.
Lambers H, Chapin III FS dan Pons TL. (2008). Plant Physiological Ecology
Second Edition. New York: Springer Science and Business Media. 604 p.
Larcher W. (1995). Physiology Plant Ecology.Edisi ke-3. German: Springnger
Verlag Berlin Heidelberg.
Lehmann, A. and K. Stahr. (2010). The Potential of Soil Functions and Planner-
Oriented Soil Evaluation to Achieve Sustainable Land Use. J Soils
Sediments 10:1092-1102.
Limbongan YL, Purwoko BS, Trikoesoemaningtyas, Aswidinnoor H. (2009).
Respons genotipe padi sawah terhadap pemupukan Nitrogen di dataran
tinggi. Jurnal Agronomi Indonesia. 37(3): 175-182.
Lingga, P dan Marsono. (2006). Petunjuk penggunaan pupuk. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Lu, J.J and T.T Chang. (1980). Rice in Temporal and Spatial Perspective. in Rice.
Bor, S. Luh (ED.). Production and Utilization. AVI Publishing Company
West Port Connection;1-24p
Lubis, K. (2000). Respon Morfogenesis Embrio Beberapa Kedelai pada Berbagai
Konsentrasi NaCl Secara In vitro. Jurnal Ilmiah PertanianKultura.
Manurung, S.O., dan Ismunadji, M. (1989). Morfologi dan Fisiologi Padi. Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan Bogor.
196

Marschner, H. (1986). Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press


Harcourt Brace Javanovich, Publisher. London.
Marschner, H. (1997), Mineral nutrition of hingher plants,Academic Press, New
York.
Mas’ud, P. (1993). Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung.
Minardi, S. (2002). Kajian Komposisi NPK Terhadap Hasil Beberapa Varietas
Tanaman Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris L.) di Tanah Alfisol, Jurnal
Sains Tanah.2(1): 18-24
Mengel, K. And E.A. Kirkby. (1987). Principles of Plant Nutrition. Bern:
International Potash Institute.
Meyer, B.S. and D.B. Anderson. (1952). Plant Physiology. Second Edition,
Maruzen Asian Edition, Japan: 784 pp.
Morard, P., and Silvestre, J. (1996). Plant Injury due to Oxygen Deficiency in the
Root Environment of Soilless Culture: A Review. Plant and Soil. 184:
243-254.
Mostajeran, A. and V. Rahimi-Eichi. (2009). Effects of Drought Stress on
Growth and Yield of Rice (Oryza sativa L.) Cultivars and Accumulation
of Proline and Soluble Sugars in Sheath and Blades of Their Different
Ages Leaves. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci 5 (2): 264-272.
Mukhlis dan Fauzi. (2003). Pergerakan Unsur Hara Nitrogen dalam Tanah.
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Mukhlis. (2007). Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.
Mulyaningsih, E.S. (2011). Pengembangan Padi Gogo Indica Toleran Kekeringan
Melalui Transformasi Genetik Gen Regulator Hd-Zip Oshoxo dan Seleksi
Populasi Padi Mengandung Marka Genetik Qtl 12.1. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. IPB.
Munawar. (2011). Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press.
Murata, Y and S. Matsushima. (1978). “Rice”. In Evans, L.T. (Ed). Crop
Physiology. Cambridge: University Press. Cambridge.p. 73-99.
Mustofa A. (2007). Perubahan Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah Pada Hutan
Alam yang Diubah Menjadi Lahan Pertanian di Kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Muwarni, I.R. (2010). Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Kultivar Padi Sawah
pada Taraf Pemupukan N d i M u s i m P en gh u j a n . S k r i p si .
F a k u l t a s P e r t a n i a n , U niversitas Jenderal Soedirman.
Nasahi, C. (2010). Peran Mikroba dalam Pertanian Organik. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung.
197

Nasir. (2008). Pengaruh Penggunaan Pupuk Bokashi Pada Pertumbuhan dan


Produksi Padi, Palawija dan Sayuran.
http://www.dispertanak.pandeglang.go.id/. Diakses pada Juli 20016.
Noor, A. dan R.D. Ningsih. (2001). Upaya meningkatkan kesuburan dan
produktivitas tanah di lahan kering. Dalam. Prosiding Lokakarya Strategi
Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan. Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian. Banjarbaru.
Notohadiprawiro, T. (1998). Tanah dan Lie0ngkungan. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Novizan. (2003). Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Nurmala, T. dan Irwan A.W. (2007). Pangan Alternatif Berbasis Serealia Minor.
Bandung. Penerbit : Pustaka Giratuna.
Nyakpa, M.Y. Lubis, A.M. Pulung, M.A. Amroh, A.G, Munawar, A. Hong, G.B
dan N. Hakim. (1988). Kesuburan Tanah. Universitas Lampung Press.
Lampung.
Oldeman, L.R. (1999). An agroclimatic map of Java. Contribution from The
Central Research Institute for Agriculture no. 17. CRIA. Bogor.
Oldeman, R.L., Irsal Las, and Muladi. (1980). The agro-climatic maps of
Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara
Contrib. No.60. Centr. Res. Inst.Agrc. Bogor.
Passioura, J. B. (1996). Drought and drought tolerance. Plant Growth Regulation,
20 : 79-83.
Paul, E.A. and F.E. Clark. (1989). Soil Microbiology and Biochemistry.
Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publ., Toronto.
Ponnamperuma, F.N. (1985). Straw As a Source of Nutrients For Wetland Rice.
IRRI. PHilipines.
Prasad, R. And Power, J.F. (1997). Soil Fertility Management for Sustainable
Agriculture. New York, USA, Lewis Publishers, 356pp.
Prawiranata, W., S Haran dan P Tjondronegoro. (1981). Dasar-Dasar Fisiologi
Tumbuhan. Departemen Botani. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Prihatman Kemal. (2008). Tentang Budidaya Pertanian Padi (Oryza sativa L.)
Jakarta (1)1-16
Putra, Sunjaya. (2012). Pengaruh Pupuk NPK Tunggal, Majemuk, dan Pupuk
Daun terhadap Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Kultivar Situ
Patenggang. Jurnal Agrotrop 2(1): 15-21.
Putra, Sunjaya dan Yati Haryati. (2018). Kajian Produktivitas dan Respon Petani
Terhadap Padi Varietas Unggul Baru di Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 21(1): 1-10.
198

Rahayu, A.Y. dan T. Harjoso. (2010). Karakter Agronomis dan Fisiologis Padi
Gogo yang Ditanam pada Media Tanah Bersekam pada Kondisi Air Di
bawah Kapasitas Lapang. Akta Agrosia. 13 (1): 40-49.
Rang. Z.W, S.V.K. Jagadish., Q.M. Zhou., P.Q. Craufurd., S. Heuer. (2011).
Effect of high temperature and water stress on pollen germination and
spikelet. fertility in rice. Environmental and Experimental Botany 70: 58–
68.
Rauf, A.W,Syamsudin T dan Sri Rahayu Sihombing. (2000). Peranan Pupuk
NPK pada Tanaman Padi. Jurnal . Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Riani Ningsih; Dwi Rahmawati. (2017). Aplikasi Paclobutrazol dan Pupuk Makro
Anorganik terhadap Hasil dan Mutu Benih Padi (Oryza sativa L.) .
Agriprima, Journal of Applied Agricultural Sciences 1(1): 22-34.
Rezkiyanti P. (2000). Uji Potensi Hasil Beberapa Galur Padi Gogo (Oryza sativa
L.) pada Beberapa Tingkat Naungan (Skripsi S1). Jurusan Budidaya
Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Rosmarkam A dan Yuwono.W.N. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius,
Yogyakarta.
Rover. (2014). Pemberian Campuran Pupuk Anorganik dan Pupuk Organik Pada
Tanah Ultisol Untuk Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L). Jurnal Green
Swarnadwipa 5(1): 121-130.
Sadimantara, G.R, dan Muhidin. (2012). Daya Hasil Beberapa Kultivar Padi
Gogo Lokal Asal Sulawesi Tenggara Pada Cekaman Kekeringan. Jurnal
Agroteknos 2(3):121-125
Salysbury, F. B dan C.W. Ross. (1992). Fisiologi Tumbuhan, jilid dua.
Terjemahan Plant Physiology, 4th edition, oleh : Diah R. Lukmana dan
Sumaryono. 1992. Bandung. Penerbit ITB Bandung.
Samuel S, Muthukkaruppan SM. (2011). Characterization of plant growth
promoting rhizobacteria and fungi associated with rice, mangrove and
effluent contaminated soil. Current Botany. 2(3): 22-25.
Sanchez, P.A. (1993). Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB.
Bandung.
Sari, E.N. (2009). Pertumbuhan dan Produksi Padi yang di Tanam Dengan
Metode System of Rice Intensification (SRI) Di Desa Limo, Depok, Jawa
Barat.
Sarief, E. S. (1989). Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.
Bandung.
Schulze ED, MM Caldwell. (1995). Ecophysiology of Photosynthesis. New York:
Springer-Verlag.
199

Scott, H. Dr D. and J.T. Batchelor. (1979). Dry Weight and Leaf Area, Solar
Radiation, Interception and Dry Matter Production by Soybeans. Crop Sci.
5:575-578.
Setyorini. (2005). Pupuk Organik Tingkatkan Produktivitas Pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat 27(6): 13-15
Shibles, R. M. Dan C. R. Weber. (1965). Leaf area, solar radiation, interception
and dry matter production by Soybeans. Crop Sci. 5 : 575 – 578.
Siddiq Sumreen, Anayat A, Sattar A, Asif Ali M and Yaseen M (2011). Response
of Different Rice (Oryza sativa L.) Cultivars to Different NPK Levels In
The Central Cropping Zone of Punjab. Agric. Sci. Digest 31 (3) : 155 –
160.
Silea Jalil. (2013). Uji Adaptasi Beberapa Kultivar Padi Gogo Lokal di Lahan
Basah. (nonpublikasi).
Silea Jalil. (2015). Toleransi dan Respon Pupuk Organik pada Kultivar Padi
Gogo Lokal Buton yang Ditanam pada Lahan Basah. Jurnal Agriyan 1(2):
48-52.
Silea L. O. M. J., Ginting S., Mamma S., Safuan L. O., (2017). The Agronomic
Response of the Dry Rice Toward Fertilized Plantation on Wetland. AAB
Bioflux 9 (1):47-56.
Simanihuruk Bilman Wilman. (2010). Tanggap Tanaman Padi GogoTerhadap
Pengurangan N Sintetik Yang Digantikan Dengan Bahan Organik Pupuk
Kandang dan Tithonia Diversifolia. Jurnal Agriculture 18 (2) : 710-718.
Sirait, J. (2005). Pertumbuhan dan serapan Nitrogen rumput pada naungan dan
pemupukan yang berbeda. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Siregar, H. (1981). Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastra Hudaya. Jakarta
Sitompul, SM dan Guritno, B. (1995). Analisis Pertumbuhan Tanaman, Gadjah
Mada University, Yogyakarta
Soemartono. (1983). Neraca Air Lahan Klimatik di Indonesia pada Satuan
Kabupaten. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian IPB Bogor dengan
Badan Litbang Pertanian Jakarta. Bogor. 133 hal.
Soepardi, Goeswono. (1983). Sifat dan Ciri Tanah. Departmen Ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 591 hal.
Soil Survey Staff. (1998). Kunci Taxonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa
Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, IPB – Bogor.
200

Soplanit, R. dan S. Nukuhaly. (2012). Pengaruh Pengelolaan Hara NPK Terhadap


Ketersediaan N dan Hasil Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L.) di Desa
Waelo Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru. Jurnal Ilmu Budidaya
Tanaman 1(1): 23-27.
Soraya dan Junita Barus, (2014). Produktivitas Dua Kultivar Unggul Baru Padi
Gogo Dengan Aplikasi Pupuk Organik Di Lahan Kering Lampung
Selatan. Pros. Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015.
Sri Adiningsih, J. Dan T. Prihatini. (1986). Pengaruh Pengapuran dan Inokulan
Terhadap Produksi dan Pembintilan Tanaman Kedelai pada Tanah
Podsolik di Sitiung II, Sumatera Barat. Prosiding Pertemuan Teknis
Penelitian Tanah, Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Hlm 139-150.
Sri Nuryani Hidayah Utama, M Haji, N Widya. (2010). Serapan Hara N, P, K
pada Tanaman Padi dengan Berbagai Lama Penggunaan Pupuk Organik
pada Vertisol Sragen. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 10(1): 1-13.
Sri Wahyuni, Triny S, Kadir, Udin S N. (20016). Hasil dan Mutu Benih Padi
Gogo pada Lingkungan Tumbuh Berbeda. J. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. 25 (1) 30-37.
Stevenson, F.J . (1994). Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. John
Wiley& Sons. New York.
Stoskopf, N.C. 1981. Understanding Crop Production. Reston Publishing
Company. Inc. Virginia. 433 p
Su, N.R. (1976). Potassium Fertilization of Rice. Pp.117-148. In The Fertility of
Paddy Soils and Fertilizer Application for Rice. Food and Fertilizer
Technology Center for the Asian and Pacific Region, Taiwan, Republic of
China.
Sudjadi. (1984). Problem Soil In Indonesia And Their Menagement Centre For
Soil Research Ministry, of Agriculture. Dalam Pemberitaan dan penelitian
tanah. No. 9. tahun 1990. Bogor.
Sugeng, H. (2001). Bercocok Tanam Padi. Aneka Ilmu. Semarang.
Sugiyanta. (2007). Peran Jerami dan Pupuk Hijau Terhadap Efisiensi dan
Kecukupan Hara Lima Kultivar Padi Sawah. Disertasi (S3) Institut
Pertanian Bogor.
Suharno., Mawardi, I., Setiabudi, Lunga, N dan S. Tjitrosemito. (2007). Efisiensi
Penggunaan Nitrogen pada Tipe Vegetasi yang Berbeda di Stasiun
Penelitian Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat.
Biodiversitas 8: 287-294.
Suleman, Darwis. (2014). Kesuburan Tanah Tropika Basah Dan Teknologi
Pemupukan. Unhalu Press.
Supardi Goeswono. (1983). Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. 591
hal.
201

Supriyadi S., A. Imam dan A. Amzeri. (2009). Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk
Tanaman Pangan di Desa Bilaporah, Bangkalan. Agrovigor 2(2):110-117.
Sutanto, Rachman. (2005). Dasar-Dasar Ilmu Tanah Konsep Kenyataan. Kanisius
Yogyakarta.
Sutedjo, M.M. (2002). Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sutono, S., A. Abdurachman dan I. Juarsah. (1996). Perbaikan Tanah Podsolik
Merah Kuning (Haplorthox) Menggunakan Bahan Organik dan
Anorganik: Suatu Percobaan Rumah Kasa. Prossiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Puslittanak.
Syamsiar. (2009). Respon kultivar dan pupuk organik terhadap intensitas
serangan penyakit pada pertanaman padi secara organik. Departemen
Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. FP USU, Medan.
Syamsiyah, Syofiatin. (2008). Respon Tanaman Padi Gogo terhadap Stress Air
dan Inokulasi Mikoriza. Skripsi (S1) Institut Pertanian Bogor.
Syekhfani. (1997). Hara Air Tanah dan Tanaman. Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Brahwijaya. Malang.
Thompson, JA, Nelson, RL & Schweitzer, LE. (1995). Relationships Among
Specific Leaf Weight, Photosynthetic Rate, and Seed Yield in Soybean,
Crop Sci., 35: 1575-1581.
Thompson, L.M. and F.R. Troeh. (1978). Soils and Soil Fertility. McGraw - Hill
Pub. xi+516 h.
Tia Setiawati, Irene AAS, Mohamad N, Asep ZM. (2016). Analisis Kadar
Klorofil dan Luas Daun Lampeni (Ardisia humilis Thumberg) pada
Tingkat Perkembangan yang Berbeda di Cagar Alam Pangandaran.
Prosiding. Seminar Nasional MIPA. 122-126 h.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson & J.D. Braton. (1985). Soil Fertility and Fertilizers.
MacMillan Pub. Co New York. Xiv + 754h.
Tisdale, S.L., W.L., Nelson dan J.D. Braton. (1990). Soil Fertility dan
Fertilizer.4th Edition Macmillan Pub. Co. New York.
Umi Siswanti Dwi, Rega Virgiyana Agustin. (2014). Respons Fisiologis Padi
(Oryza sativa L.) " Segreng " dan " Menthik Wangi " Terhadap Aplikasi
Pupuk Organik Cair dan Dekomposer . J. Biogenesis 2 (2): 89-93.
Vergara, B.S. (1990). Bercocok Tanam Padi. Departemen partanian, Jakarta.
Vergara. B.S. (1995). Plant growth and development. Rice Production Manual.
IRRI Philippines.
Widodo, R.A. (2006). Evaluasi Kesuburan Tanah Pada Lahan Tanaman Sayuran
di Desa Sewukan Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. J. Tanah dan
Air 7(2):142-150.
202

Widyantoro, Hamdan P, Sigit Y. Jatmiko. (2007). Peningkatan Produktivitas Padi


Gogo Rancah Melalui Pendekatan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu.
Apresiasi Hasil Penelitian Padi. bbpadi.litbang.pertaniango.id.
Widyawati, R. (2007). Kandungan N Tanah Sawah dan Kualitas Tanaman Padi
(Oryza sativa L.) Akibat Pemberian Pupuk Organik dan Pupuk Anorganik
Di Mojogedang. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Wilson, J.R. and D.W.M. Wild. (1990). Improvement of Nitrogen Nutrition and
Grass Growth Under Shading. (serial on line).
www.aciar.gov.au/web.nsf/doc/JFRNSJ4765.
Winarso, S. (2005). Kesuburan Tanah. Gava Media. Yogyakarta.
Yamin, M. (1986). Pengaruh Pemberian Pupuk P, Pupuk Kandang dan Kapur
terhadap Serapan P dan Produktivitas Jagung Hibrida. Balai Penelitian
Tanaman Pangan, Sukamandi.
Yoshida,S. (1975). Factors That Limit the Growth and Yield of Upland Rice.
Major research in upland rice. IRRI, Los banos. Philippines. 269 p.
Yoshida, S. (1981). Fundanmentals of Rice Crop. IRRI Los Banos Philippines.
Yoshida, S. ( 2001). Mineral nutrients of rice. Hlm. 111-176. Dalam
Fundamentals of Rice Crop Science. IRRI. Los Banos, laguna,
Philliphines.
Zainal A., Dewi, I.R., Setyorini D. (2012). Kajian Efektivitas Pemupukan N
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Kultivar Lokal di Lahan
Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.
Zheng YM, YF Ding, QS Wang, GH Li, H Wu, Q Yuan, HZ Wang, SH Wang.
(2007). Effect of Nitrogen applied before transplanting on nutrient use
effeciency in rice. Agric Sc Chn 6 (7):84
Zulfita D. (2012). Kajian Fisiologis Tanaman Lidah Buaya Dengan Pemotongan
Ujung Pelepah Pada Kondisi Cekaman Kekeringan. J. Perkebunan dan
Lahan Tropika 2(1): 7-15.

http://webapps.irri.org/nm/id/index.php. Pengelolaan Hara spesifik Lokal


(PHSL// Nutrien Manager for Rice = NM Rice)) padi sawah Telah di
upgrade menjadi Layanan Konsultasi Padi (LKP). diakses pada tanggal 30
Desember 2015.
www.petrokimia-gresik.com. Petrokimia Gresik. Diakses pada 29 Desember
2015.
(https://agroteknologi.web.id/panduan-dan-cara-membuat-pupuk-bokashi/).
Diakses pada 03 Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai