Kumpulan NgajiYuk Kastrat Psikologi
Kumpulan NgajiYuk Kastrat Psikologi
I. Latar Belakang
Kasus dugaan pengeroyokan oleh sejumlah remaja putri berstatus siswi SMA
terhadap korban bernama Audrey, remaja putri status siswi SMP di Kota Pontianak,
Kalimantan Barat (Kalbar), menyita perhatian masyarakat Indonesia dalam tiga hari
terakhir. Seperti diketahui, kasus dugaan kekerasan terhadap Audrey ini menjadi
sorotan hingga mengundang reaksi luas dan memunculkan petisi 'Justice for Audrey'.
Melihat skala luasnya, Indonesia saat ini masih memiliki permasalahan terkait
kekerasan remaja dan anak. Kekerasan remaja dan anak telah menjadi perhatian lama
pemerintah Indonesia. kasus Audrey mengingatkan kita kembali bahwa ada kasus-
kasus kekerasan lain yang tersebar di Indonesia.
VIII. Referensi
Wandera, S., Clarke, K., Knight, L., Allen, E., Walakira, E., & Namy, S. et al. (2017). Violence
against children perpetrated by peers: A cross-sectional school-based survey in Uganda.
Child Abuse & Neglect, 68, 65-73. doi: 10.1016/j.chiabu.2017.04.006
Corboz J, Hemat O, Siddiq W, Jewkes R (2018) Children’s peer violence perpetration and
victimization: Prevalence and associated factors among school children in Afghanistan. PLoS
ONE 13(2): e0192768. https://doi.org/10.1371/journal. Pone.0192768
I.Bukti Screenshoot komen netijen yg julid, tidak mikir, ga faedah, provokasi yg buruk
II. Latar Belakang netijen yang sering latar, overgeneralisasi, hanya memandang
dr satu sudut pandang, gampang terprovokasi
Indonesia memiliki jumlah pengguna internet yang banyak. Dari hasil survey yang
dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2016), di
Indonesia sendiri terhitung 132,7 juta pengguna internet dan 129,2 juta di antaranya
menggunakan internet untuk membuka media sosial.
Akan tetapi, penggunaan media sosial oleh netizen seringkali mengarah pada
provokasi dan ujaran-ujaran yang berindikasi negatif. Hal ini terjadi krena beberapa
faktor.
Faktor pertama berhubungan dengan ungkapan kebencian kerap menyebar lebih
cepat dan lebih kuat karena tidak tatap muka. Haters sebagai social group di
dunia maya (cyber space) merupakan salah satu dampak negatif dari
perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih di era modern ini
(Zitorus dan Irwansyah 2017; Bungin 2006:315), Para pembenci dapat dengan
bebas meninggalkan komentar kebencian karena komunikasi maya (cyber) tidak
memerlukan interaksi tatap muka (Lusiana 2017;Larasati dan Nina 2016),
Menggunakan huruf dengan benar juga menjadi bagian dari etika komunikasi di
media sosial. Mudahnya, selalu gunakan huruf yang wajar. Menulis sesuatu di media
sosial dengan menggunakan huruf kapital semua bisa memberikan kesan marah,
kecewa dan menantang.
Warna huruf juga penting untuk diperhatikan. Beberapa media sosial biasanya
memberikan fitur ini untuk menambah keragaman dari jenis tulisan yang akan
diberikan seseorang. Menggunakan warna huruf merah dengan tulisan yang tebal bisa
memiliki kesan menantang dan marah. Persepsi orang yang berbeda-beda ini menjadi
alasan mengapa penulisan huruf dengan warna yang standar menjadi penting.
Dalam media sosial, banyak sekali simbol dan ikon yang seringkali disertakan dalam
sebuah informasi atau tulisan. Ada dikenal simbol emoji atau sticker dan lain
sebagainya. Manakala akan menggunakan simbol tersebut, pastikan simbol yang
digunakan juga tepat.
Menggunakan simbol wajah cemberut pada tulisan juga akan membangun persepsi
orang dengan kuat. Oleh karena itu, berhati-hati dalam menggunakan simbol dan ikon
adalah penting. Bila perlu, justru hindari menggunakan simbol atau ikon sehingga
tulisan dan informasi yang kita buat lebih bersifat netral.
Saat dihubungi melalui media sosial, pastikan kita juga memberikan respon dengan
segera. Menunda-nunda untuk memberikan respon atau bahkan mengabaikannya akan
memberikan kesan yang jelek. Apalagi sekarang ini banyak sekali media sosial yang
juga sudah melengkapi fitur pemberitahuan bahwa pesan yang disampaikan sudah
dibaca oleh penerima pesan.
Ini adalah poin paling penting dari hampir semua poin yang membahas mengenai
etika dalam menggunakan komunikasi media sosial. Informasi yang disebarkan tanpa
referensi yang jelas akan menimbulkan efek berantai terhadap setiap orang.
Hal ini bisa mengundang kesimpang-siuran berita yang tentu saja sangat tidak
diharapkan. Istilah yang mungkin kita kenal saat ini adalah berita hoax. Bahkan, hal
ini bisa diperkarakan pula di hukum bila penyebaran informasi palsu tersebut memang
disengaja. Ada pengaruh media sosial yang bisa berfungsi secara cepat dalam hal
penyebaran info.
Bandwagon effect
Secara sederhana, bandwagon effect dapat disebut dengan efek ikut-ikutan. Seseorang
melakukan sesuatu karena orang lain juga melakukannya. Dalam konteks sosial
media, seseorang mempercayai suatu berita karena banyak orang yang
menyebarkannya. Contohnya, berita yang disebarkan oleh orang dengan follower
banyak lebih dipercaya, berita yang banyak di retweet cenderung lebih dipercaya
(Lin, Spence, & Lachlan, 2016)
Framing effect
Kepercayaan akan suatu informasi dapat dipengaruhi oleh bagaimana informasi
tersebut disampaikan. Seringkali informasi yang disajikan oleh media tidak hanya
mengatur agenda publik, tetapi juga seperti telah menentukan bagaimana publik
memikirkan masalah tertentu (Igartua & Cheng, 2009).
Framing effect dapat meningkat ketika seseorang tidak berusaha dalam melakukan
processing atau kemalasan berpikir (Thomas & Millar, 2011).
VI. Referensi
Igartua, J. J., & Cheng, L. (2009). Moderating effect of group cue while processing
news on immigration: Is the framing effect a heuristic process?. Journal of
Communication, 59(4), 726-749.
Lin, X., Spence, P. R., & Lachlan, K. A. (2016). Social media and credibility
indicators: The effect of influence cues. Computers in Human Behavior, 63, 264-271.
Peter, C., & Koch, T. (2016). When debunking scientific myths fails (and when it
does not) The backfire effect in the context of journalistic coverage and immediate
judgments as prevention strategy. Science Communication, 38(1), 3-25.
Thomas, A. K., & Millar, P. R. (2011). Reducing the framing effect in older and
younger adults by encouraging analytic processing. Journals of Gerontology Series B:
Psychological Sciences and Social Sciences, 67(2), 139-149.
https://pakarkomunikasi.com/etika-komunikasi-di-media-sosial
Ngaji Yuk #3 23 Mei 2019
Infografis
•Slide 1:
Pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2019 adalah 150 juta sama seperti pengguna
internet di Indonesia, yaitu 56% dari jumlah populasi warga Indonesia. (tolong dibentuk chart ya :)
• Sedangkan pengguna media sosial gawai ada 130 juta jiwa yang merupakan 48% dari populasi
seluruh masyarakat Indonesia yaitu 268,2 juta jiwa.
Slide 2
• Youtube, Facebook, Whatsapp, Instagram dan Line menjadi 5 media sosial dengan jumlah
pengguna terbanyak di Indonesia. (Chart batang bisa banget, ditambahin simbol perusahaannya)
Slide 3
Penelitian Oberst, Wegmann, Stodt, Brand, and Chamarro (2017) menemukan bahwa pengguna
sosial media yang berat cenderung lebih mudah terkena gangguan psikologis. (tolong divisualin ya :)
Slide 4
Beberapa penelitian menemukan bahwa seseorang yang menggunakan sosial media dengan
intensitas tinggi cenderung memiliki tingkat FoMO yang tinggi dan terkena beberapa masalah
psikologis seperti : depresi, emosi negatif, compulsive social media use, gangguan makan, rendahnya
kepuasan hidup, dll. ( penggunaan sosmed tinggi FoMO tinggi terkena masalah psikologis
Slide 5
Slide 6
(Referensi)
Dhira, A., Yossatorn, Y., Kaur, P., Chene, S. (2018). Online social media fatigue and psychological
wellbeing—A study of
compulsive use, fear of missing out, fatigue, anxiety and depression. International Journal of
Information Management 40, 141–152.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-pengguna-media-sosial-indonesia
NgajiYuk #3 23 Mei 2019
FoMO
Fear of Missing Out
Apa itu FoMO?
FoMO atau Fear of Missing Out adalah ketakutan atau kecemasan tidak terhubung, ketinggalan
atau terlewat pengalaman yang dinikmati oleh orang lain.
Seseorang dengan tingkat FoMO yang tinggi cenderung secara gigih ingin tau kegiatan-
kegiatan orang lain.
FoMO merupakan dampak dari adanya teknologi berupa sosial media seperti
Instagram, Twitter, Line, Whatsapp, dll.
Seseorang dengan tingkat FoMO yang tinggi merasa harus selalu mengecek sosial
medianya karena merasa takut tertinggal berita terbaru, gelisah bila tidak terhubung
atau tidak bisa mengikuti suatu tren.
FoMO terjadi karena rasa takut dan khawatir yang berlebihan sehingga memicu
berbagai perasaan negatif, seperti kecemasan yang berlebihan dan obsesif.
FoMO dapat menjadi variabel mediator antara karakteristik personal dan ketidakpuasan
akan kebutuhan sosial dengan variabel keterlibatan sosial media.
FoMO dapat berbahaya karena seseorang cenderung ingin membuka sosial medianya
dalam situasi-situasi yang tidak seharusnya, seperti ketika mengendarai mobil,
partisipasi sosial, dan mengabaikan orang lain ketika melakukan komunikasi face to
face.
beberapa fakta FoMO:
1. Mengecek sosial media adalah hal pertama yang dilakukan oleh seseorang dengan FoMO
lakukan ketika baru bangun tidur.
2. Seseorang dengan FoMO kesulitan dalam memanajemen waktu dan menghabiskan kurang
lebih 400 menit perhari untuk mengecek sosal media.
3. Kebanyakan yang terkena FoMO berusia dari 16 sampai 35 tahun.
4. Sebanyak 8 dari 10 orang dengan FoMO percaya bahwa sosial media digunakan untuk
menunjukan siapa dirinya dan apa saja yang ia lakukan.
5. Orang dengan FoMO merasa profil di sosial medianya sangat penting untuk menggambarkan
kepribadian mereka yang sebenarnya.
Referensi
Dhira, A., Yossatorn, Y., Kaur, P., Chene, S. (2018). Online social media fatigue and
psychological wellbeing—A study of compulsive use, fear of missing out, fatigue,
anxiety and depression. International Journal of Information Management, 40, 141–
152.
Oberst, U., Wegmann, E., Stodt, B., Brand, M., & Chamarro, A. (2017). Negative
consequences from heavy social networking in adolescents: The mediating role of fear
of missing out. Journal of adolescence, 55, 51-60.
Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out:
prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FOMO. Motivation and
Emotion, 1-13.
Lanjutan NgajiYuk#3
Foto 1: Kasus Molly
Remaja perempuan berusia 14 tahun, Molly Russel, ditemukan telah mengakhiri hidupnya
pada tahun 2017. Ayahnya, Ian Russel, menyalahkan Instagram sebagai sosial media yang telah
mendukung anaknya dalam usaha bunuh diri. Molly Russell mengakhiri hidupnya ketika dia
mulai mencari foto – foto di Instagram yang menekankan unsur self – harm dan suicide.
Orang tua Molly menemukan foto – foto yang mengandung unsur suicide di akun
Instagramnya. Ian Russel mengkritisi Instagram karena memudahkan akses pengguna dalam
pencarian posting yang berujung pada self – harm dan suicide. Ribuan foto yang menunjukkan
unsur – unsur tersebut dapat diihat di berbagai situs populer.
Instagram menanggapi kematian Molly Russel telah meminta maaf dan membuat fitur baru
bernama Sensitivity Screens yang melarang semua jenis foto – foto yang mengandung unsur
self – harm, suicide, dan food disorder di situsnya.
Foto 4: Dampak FoMO ternyata cukup mengerikan bukan? Bagaimana sih cara menggunakan
sosial media yang bijak? Yuk ikuti JRS x Ngariung