Anda di halaman 1dari 12

#NgajiYuk1 14 April 2019

KEKERASAN PADA REMAJA

I. Latar Belakang
Kasus dugaan pengeroyokan oleh sejumlah remaja putri berstatus siswi SMA
terhadap korban bernama Audrey, remaja putri status siswi SMP di Kota Pontianak,
Kalimantan Barat (Kalbar), menyita perhatian masyarakat Indonesia dalam tiga hari
terakhir. Seperti diketahui, kasus dugaan kekerasan terhadap Audrey ini menjadi
sorotan hingga mengundang reaksi luas dan memunculkan petisi 'Justice for Audrey'.

Melihat skala luasnya, Indonesia saat ini masih memiliki permasalahan terkait
kekerasan remaja dan anak. Kekerasan remaja dan anak telah menjadi perhatian lama
pemerintah Indonesia. kasus Audrey mengingatkan kita kembali bahwa ada kasus-
kasus kekerasan lain yang tersebar di Indonesia.

II. Data Statistik di Indonesia

Data kekerasan remaja yang dihimpun oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan


dan Perlindungan Anak (KPPA) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Indonesia masih
memiliki permasalahan dalam bidang kekerasan remaja dan anak dengan aduan sebanyak
4620.

III. Pengertian kekerasan remaja


Kekerasan remaja/Peer violence didefinisikan sebagai tindakan kekerasan fisik,
emosional atau seksual yang dilakukan oleh teman sebaya di usia sekolah (Wandera
dkk., 2017). Kekerasan remaja dapat berkembang dengan cara yang berbeda. Beberapa
anak menunjukkan perilaku bermasalah pada anak usia dini yang secara bertahap
meningkat menjadi bentuk agresi yang lebih parah sebelum dan selama masa remaja.
World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa kekerasan remaja
berdampak seumur hidup pada fungsi psikologis dan sosial seseorang.
IV. Jenis-Jenis Kekerasan Remaja
Pada umumnya kekerasan pada remaja itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu secara
langsung ( agresi fisik, ancaman, dan ejekan), tidak langsung ( menyebarkan berita
palsu dan pengucilan dari kelompok), dan intimidasi.
Jenis Kekerasan terhadap anak menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A):
1. Kekerasan Fisik : pukul, tampar, tendang,cubit, dsb.
2. Kekerasan Emosional : kekerasan berupa kata-kata yang menakut-nakuti,
mengancam, menghina, mencaci dan memaki dengan kasar dan keras.
3. Kekerasan Seksual: pornografi, perkataan porna, tindakan tidak senonoh,
pelecehan organ seksual.
4. Pengabaian dan penelantaran: segala bentuk kelalaian yang melanggar hak
anak dalam pemenuhan gizi dan pendidikan.
5. Kekerasan ekonomi (Eksploitasi): memperkerjakan anak di bawah umur
dengan motif ekonomi, prostitusi anak.
V. Faktor penyebab kekerasan remaja
 Keluarga, ketika orang tua tidak mengambil peran aktif dalam kehidupan
anaknya, remaja menjadi tidak terkendali sehingga berteman dengan orang
yang salah.
 Media, kekerasan di media dapat memengaruhi remaja dan dapat membuat
mereka bertindak agresif.
 Teman sebaya, tekanan dari teman sebaya dapat menjadi faktor penyebab
kekerasan remaja saat teman sebaya cenderung berperilaku agresif.
 Kesehatan Mental, penyakit mental juga merupakan penyebab kekerasan di
kalangan remaja. Masalah kesehatan mental seperti ADHD, bipolar, ODD,
dan gangguan perilaku, semuanya memiliki perilaku agresif atau perasaan
marah sebagai gejala umum.
 Child Abuse, child abuse dipandang sebagai sebuah siklus, anak-anak yang
menjadi korban kekerasan di rumah bisa menjadi pelaku kekerasan di
kemudian hari.
VI. Dampak kekerasan remaja
Dampak negatif dari peer violence bisa terjadi dari segi kesehatan fisik maupun
psikologis yang telah banyak didokumentasikan oleh penelitian. Tidak hanya itu,
Kekerasan teman sebaya juga dapat berdampak negatif pada kinerja sekolah anak-
anak, dengan beberapa penelitian menunjukkan kinerja akademis yang buruk dan
perihal kehadiran di sekolah.
 Masalah kesehatan fisik : masalah kesehatan fisik anak-anak dan gejala
psikosomatik. Psikosomatik adalah suatu kondisi atau gangguan ketika pikiran
memengaruhi tubuh, hingga memicu munculnya keluhan fisik, seperti sakit
kepala, kelelahan, sakit perut dan pusing
 Masalah psikologis : harga diri yang rendah, perasaan depresi, kecemasan
sosial, gangguan tidur, rendahnya efikasi diri, kesepian, keputusasaan dan ide
bunuh diri
VII. Bagaimana kita menanggapi hal seperti ini? Sebagai netizen, apa sih yang harus
dilakukan? Stay tune di rilis berikutnya ya!! :)

VIII. Referensi
Wandera, S., Clarke, K., Knight, L., Allen, E., Walakira, E., & Namy, S. et al. (2017). Violence
against children perpetrated by peers: A cross-sectional school-based survey in Uganda.
Child Abuse & Neglect, 68, 65-73. doi: 10.1016/j.chiabu.2017.04.006

Corboz J, Hemat O, Siddiq W, Jewkes R (2018) Children’s peer violence perpetration and
victimization: Prevalence and associated factors among school children in Afghanistan. PLoS
ONE 13(2): e0192768. https://doi.org/10.1371/journal. Pone.0192768

Witmer, D. (2019, March 9). Causes of Youth Violence. Diambil dari


http://https://www.verywellfamily.com/causes-of-youth-violence-2611437
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.2017.Statistik Gender Tematik --
Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia.Jakarta.Indonesia
#NgajiYuk2 5 Mei 2019

MENJADI NETIJEN YANG BUDIMAN

I.Bukti Screenshoot komen netijen yg julid, tidak mikir, ga faedah, provokasi yg buruk

II. Latar Belakang netijen yang sering latar, overgeneralisasi, hanya memandang
dr satu sudut pandang, gampang terprovokasi

Indonesia memiliki jumlah pengguna internet yang banyak. Dari hasil survey yang
dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2016), di
Indonesia sendiri terhitung 132,7 juta pengguna internet dan 129,2 juta di antaranya
menggunakan internet untuk membuka media sosial.

Akan tetapi, penggunaan media sosial oleh netizen seringkali mengarah pada
provokasi dan ujaran-ujaran yang berindikasi negatif. Hal ini terjadi krena beberapa
faktor.
Faktor pertama berhubungan dengan ungkapan kebencian kerap menyebar lebih
cepat dan lebih kuat karena tidak tatap muka. Haters sebagai social group di
dunia maya (cyber space) merupakan salah satu dampak negatif dari
perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih di era modern ini
(Zitorus dan Irwansyah 2017; Bungin 2006:315), Para pembenci dapat dengan
bebas meninggalkan komentar kebencian karena komunikasi maya (cyber) tidak
memerlukan interaksi tatap muka (Lusiana 2017;Larasati dan Nina 2016),

III. Etika komunikasi di sosmed


1. Selalu perhatikan penggunaan kalimat

Penggunaan kalimat merupakan bagian yang penting saat berkomunikasi


menggunakan media sosial. Kalimat-kalimat dengan susunan yang tepat, disertai
tanda baca yang tepat juga merupakan salah satu bagian yang penting supaya etika
komunikasi bisa dijaga dengan baik. Hindari menggunakan kalimat-kalimat yang
tidak utuh. Kalimat yang tidak utuh bisa memicu timbulnya ambiguitas sehingga bisa
menjadi sumber dari kesalahpahaman.

2. Berhati-hati saat menggunakan huruf

Menggunakan huruf dengan benar juga menjadi bagian dari etika komunikasi di
media sosial. Mudahnya, selalu gunakan huruf yang wajar. Menulis sesuatu di media
sosial dengan menggunakan huruf kapital semua bisa memberikan kesan marah,
kecewa dan menantang.

Sebaliknya, menggunakan huruf yang cenderung kecil semua akan menandakan


seseorang terlalu abai dan tidak serius mengenai informasi yang sedang akan ia
bagikan. Oleh karenanya, penggunaan huruf yang sesuai dan wajar bisa menunjang
etika yang baik saat berkomunikasi.

3. Perhatikan pemilihan warna huruf

Warna huruf juga penting untuk diperhatikan. Beberapa media sosial biasanya
memberikan fitur ini untuk menambah keragaman dari jenis tulisan yang akan
diberikan seseorang. Menggunakan warna huruf merah dengan tulisan yang tebal bisa
memiliki kesan menantang dan marah. Persepsi orang yang berbeda-beda ini menjadi
alasan mengapa penulisan huruf dengan warna yang standar menjadi penting.

4. Pemilihan simbol dan ikon yang tepat

Dalam media sosial, banyak sekali simbol dan ikon yang seringkali disertakan dalam
sebuah informasi atau tulisan. Ada dikenal simbol emoji atau sticker dan lain
sebagainya. Manakala akan menggunakan simbol tersebut, pastikan simbol yang
digunakan juga tepat.

Menggunakan simbol wajah cemberut pada tulisan juga akan membangun persepsi
orang dengan kuat. Oleh karena itu, berhati-hati dalam menggunakan simbol dan ikon
adalah penting. Bila perlu, justru hindari menggunakan simbol atau ikon sehingga
tulisan dan informasi yang kita buat lebih bersifat netral.

5. Menggunakan bahasa yang sesuai


Bahasa yang sesuai di sini adalah menunjukkan bagaimana tata krama kita saat
berkomunikasi dengan orang lain. Perhatikan dengan siapa kita berbicara. Jangan
sampai keluar bahasa-bahasa yang kurang sopan pada orang tertentu sehingga etika
dalam komunikasi ini menjadi hilang. Pastikan ini juga menjadi salah satu hal yang
diperhatikan saat menggunakan media sosial. Ada efek media sosialyang bisa saja
tergantung dari hal ini.

6. Memberikan respon dengan segera

Saat dihubungi melalui media sosial, pastikan kita juga memberikan respon dengan
segera. Menunda-nunda untuk memberikan respon atau bahkan mengabaikannya akan
memberikan kesan yang jelek. Apalagi sekarang ini banyak sekali media sosial yang
juga sudah melengkapi fitur pemberitahuan bahwa pesan yang disampaikan sudah
dibaca oleh penerima pesan.

7. Memberikan informasi yang memiliki referensi jelas

Ini adalah poin paling penting dari hampir semua poin yang membahas mengenai
etika dalam menggunakan komunikasi media sosial. Informasi yang disebarkan tanpa
referensi yang jelas akan menimbulkan efek berantai terhadap setiap orang.

Hal ini bisa mengundang kesimpang-siuran berita yang tentu saja sangat tidak
diharapkan. Istilah yang mungkin kita kenal saat ini adalah berita hoax. Bahkan, hal
ini bisa diperkarakan pula di hukum bila penyebaran informasi palsu tersebut memang
disengaja. Ada pengaruh media sosial yang bisa berfungsi secara cepat dalam hal
penyebaran info.

8. Tidak memancing pertentangan

Terakhir, hindari melakukan komunikasi yang memancing pertentangan melalui


media sosial. Mengingat persepsi orang yang berbeda terhadap paparan informasi,
maka kita juga harus memperhatikan hal ini supaya terhindar dampak negatif dari
media sosial.

IV. Be a good netijen

1. Jangan telan berita secara mentah-mentah


Maraknya berita hoax di internet membuat kita sebagai netizen harus teliti
dalam mencerna berita. Sebelum mempercayai atau menyimpulkan berita, ada
baiknya kita mencari kebenaran tentang berita tersebut. Kebenaran berita bisa dilihat
dari siapa yang menulis berita tersebut, apakah dia dapat dipercaya, apakah platform
yang mengunggah berita tersebut dapat dipercaya, dan lain sebagainya.
2. Keep your opinions to yourself
Ini merupakah hal yang paling penting. Karena tidak semua opini kita itu bisa
diterima oleh orang lain. Bahkan terkadang opini kita bisa saja menyakiti perasaan
orang yang kita nilai. Sehingga untuk menghindari hal-hal buruk lebih baik kita keep
our opinions to ourself karena tidak semua opini atau pandangan kita boleh kita
utarakan.
V. Efek-efek psikologis
Beberapa bias kognitif yang dapat mempengaruhi judgment dan kepercayaan
seseorang, diantaranya :
Backfire effect
Seseorang cenderung tidak mempercayai bukti yang bertentangan dengan
kepercayaan awalnya. Penyanggahan terhadap informasi yang salah justru semakin
memperkuat kepercayaan akan kebenaran informasi yang sebenarnya salah. Kenapa
orang cenderung mempercayai suatu pernyataan benar padahal dengan cukup jelas
telah terindikasi salah? Yang pertama, karena penyajian yang terus berulang. Kedua,
berdasarkan pada kenyataan bahwa memori untuk detail kontekstual memudar lebih
cepat daripada untuk informasi itu sendiri (Peter & Koch, 2016).

Bandwagon effect
Secara sederhana, bandwagon effect dapat disebut dengan efek ikut-ikutan. Seseorang
melakukan sesuatu karena orang lain juga melakukannya. Dalam konteks sosial
media, seseorang mempercayai suatu berita karena banyak orang yang
menyebarkannya. Contohnya, berita yang disebarkan oleh orang dengan follower
banyak lebih dipercaya, berita yang banyak di retweet cenderung lebih dipercaya
(Lin, Spence, & Lachlan, 2016)

Framing effect
Kepercayaan akan suatu informasi dapat dipengaruhi oleh bagaimana informasi
tersebut disampaikan. Seringkali informasi yang disajikan oleh media tidak hanya
mengatur agenda publik, tetapi juga seperti telah menentukan bagaimana publik
memikirkan masalah tertentu (Igartua & Cheng, 2009).
Framing effect dapat meningkat ketika seseorang tidak berusaha dalam melakukan
processing atau kemalasan berpikir (Thomas & Millar, 2011).

Illusory truth effect


Berita yang terus diulang, meski belum tentu kebenarannya dianggap lebih benar
dibanding berita baru (Polage, 2012).

VI. Referensi

Igartua, J. J., & Cheng, L. (2009). Moderating effect of group cue while processing
news on immigration: Is the framing effect a heuristic process?. Journal of
Communication, 59(4), 726-749.

Lin, X., Spence, P. R., & Lachlan, K. A. (2016). Social media and credibility
indicators: The effect of influence cues. Computers in Human Behavior, 63, 264-271.

Peter, C., & Koch, T. (2016). When debunking scientific myths fails (and when it
does not) The backfire effect in the context of journalistic coverage and immediate
judgments as prevention strategy. Science Communication, 38(1), 3-25.

Polage, D. C. (2012). Making up History: False Memories of Fake News Stories.


Europe's Journal of Psychology, 8(2), 245.

Thomas, A. K., & Millar, P. R. (2011). Reducing the framing effect in older and
younger adults by encouraging analytic processing. Journals of Gerontology Series B:
Psychological Sciences and Social Sciences, 67(2), 139-149.

https://pakarkomunikasi.com/etika-komunikasi-di-media-sosial
Ngaji Yuk #3 23 Mei 2019

Infografis

Media (SOS)ial dan kesehatan mental

•Slide 1:

Pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2019 adalah 150 juta sama seperti pengguna
internet di Indonesia, yaitu 56% dari jumlah populasi warga Indonesia. (tolong dibentuk chart ya :)

• Sedangkan pengguna media sosial gawai ada 130 juta jiwa yang merupakan 48% dari populasi
seluruh masyarakat Indonesia yaitu 268,2 juta jiwa.

Slide 2

• Youtube, Facebook, Whatsapp, Instagram dan Line menjadi 5 media sosial dengan jumlah
pengguna terbanyak di Indonesia. (Chart batang bisa banget, ditambahin simbol perusahaannya)

Slide 3

Penelitian Oberst, Wegmann, Stodt, Brand, and Chamarro (2017) menemukan bahwa pengguna
sosial media yang berat cenderung lebih mudah terkena gangguan psikologis. (tolong divisualin ya :)

Slide 4

Beberapa penelitian menemukan bahwa seseorang yang menggunakan sosial media dengan
intensitas tinggi cenderung memiliki tingkat FoMO yang tinggi dan terkena beberapa masalah
psikologis seperti : depresi, emosi negatif, compulsive social media use, gangguan makan, rendahnya
kepuasan hidup, dll. ( penggunaan sosmed tinggi  FoMO tinggi terkena masalah psikologis

Slide 5

FoMO itu apa sih? Tunggu rilis berikutnya yaaaa

Slide 6

(Referensi)

Dhira, A., Yossatorn, Y., Kaur, P., Chene, S. (2018). Online social media fatigue and psychological
wellbeing—A study of

compulsive use, fear of missing out, fatigue, anxiety and depression. International Journal of
Information Management 40, 141–152.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-pengguna-media-sosial-indonesia
NgajiYuk #3 23 Mei 2019
FoMO
Fear of Missing Out
Apa itu FoMO?
FoMO atau Fear of Missing Out adalah ketakutan atau kecemasan tidak terhubung, ketinggalan
atau terlewat pengalaman yang dinikmati oleh orang lain.
 Seseorang dengan tingkat FoMO yang tinggi cenderung secara gigih ingin tau kegiatan-
kegiatan orang lain.
 FoMO merupakan dampak dari adanya teknologi berupa sosial media seperti
Instagram, Twitter, Line, Whatsapp, dll.
 Seseorang dengan tingkat FoMO yang tinggi merasa harus selalu mengecek sosial
medianya karena merasa takut tertinggal berita terbaru, gelisah bila tidak terhubung
atau tidak bisa mengikuti suatu tren.
 FoMO terjadi karena rasa takut dan khawatir yang berlebihan sehingga memicu
berbagai perasaan negatif, seperti kecemasan yang berlebihan dan obsesif.
 FoMO dapat menjadi variabel mediator antara karakteristik personal dan ketidakpuasan
akan kebutuhan sosial dengan variabel keterlibatan sosial media.
 FoMO dapat berbahaya karena seseorang cenderung ingin membuka sosial medianya
dalam situasi-situasi yang tidak seharusnya, seperti ketika mengendarai mobil,
partisipasi sosial, dan mengabaikan orang lain ketika melakukan komunikasi face to
face.
beberapa fakta FoMO:
1. Mengecek sosial media adalah hal pertama yang dilakukan oleh seseorang dengan FoMO
lakukan ketika baru bangun tidur.
2. Seseorang dengan FoMO kesulitan dalam memanajemen waktu dan menghabiskan kurang
lebih 400 menit perhari untuk mengecek sosal media.
3. Kebanyakan yang terkena FoMO berusia dari 16 sampai 35 tahun.
4. Sebanyak 8 dari 10 orang dengan FoMO percaya bahwa sosial media digunakan untuk
menunjukan siapa dirinya dan apa saja yang ia lakukan.
5. Orang dengan FoMO merasa profil di sosial medianya sangat penting untuk menggambarkan
kepribadian mereka yang sebenarnya.
Referensi
Dhira, A., Yossatorn, Y., Kaur, P., Chene, S. (2018). Online social media fatigue and
psychological wellbeing—A study of compulsive use, fear of missing out, fatigue,
anxiety and depression. International Journal of Information Management, 40, 141–
152.
Oberst, U., Wegmann, E., Stodt, B., Brand, M., & Chamarro, A. (2017). Negative
consequences from heavy social networking in adolescents: The mediating role of fear
of missing out. Journal of adolescence, 55, 51-60.
Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out:
prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FOMO. Motivation and
Emotion, 1-13.
Lanjutan NgajiYuk#3
Foto 1: Kasus Molly
Remaja perempuan berusia 14 tahun, Molly Russel, ditemukan telah mengakhiri hidupnya
pada tahun 2017. Ayahnya, Ian Russel, menyalahkan Instagram sebagai sosial media yang telah
mendukung anaknya dalam usaha bunuh diri. Molly Russell mengakhiri hidupnya ketika dia
mulai mencari foto – foto di Instagram yang menekankan unsur self – harm dan suicide.
Orang tua Molly menemukan foto – foto yang mengandung unsur suicide di akun
Instagramnya. Ian Russel mengkritisi Instagram karena memudahkan akses pengguna dalam
pencarian posting yang berujung pada self – harm dan suicide. Ribuan foto yang menunjukkan
unsur – unsur tersebut dapat diihat di berbagai situs populer.
Instagram menanggapi kematian Molly Russel telah meminta maaf dan membuat fitur baru
bernama Sensitivity Screens yang melarang semua jenis foto – foto yang mengandung unsur
self – harm, suicide, dan food disorder di situsnya.

Foto 2: Gejala Psikopatologi


Gejala psikopatologi yang muncul akibat FoMO
1. Stres
2. merasa kesepian (loneliness),
3. Memiliki self-esteem yang rendah

Foto 3: Psikopatologi akibat FoMO


1. Pengguna SNS (Social Networking Site) kompulsif memiliki tingkat anxiety lebih tinggi
dibanding pengguna SNS nonkompulsif.
Fakta Penelitian : menemukan bahwa pengguna yang cemas cenderung lebih terlibat dengan
media sosial untuk mengurangi keadaan cemas mereka, misalnya mencari perhatian,
dukungan, atau rasa memiliki di media sosial2
2. Pengguna SNS secara signifikan berasosiasi dengan depresi.
Fakta Penelitian : Penggunaan SNS pada perempuan lebih meningkatkan kemungkinan terkena
gejala depresi dibandingkan pengguna laki-laki.

Foto 4: Dampak FoMO ternyata cukup mengerikan bukan? Bagaimana sih cara menggunakan
sosial media yang bijak? Yuk ikuti JRS x Ngariung

Foto 5: Poster JRS x Ngariung

Anda mungkin juga menyukai