Anda di halaman 1dari 35

Form Protokol Penelitian Kesehatan

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA


JL. RS. FATMAWATI JAKARTA SELATAN
Telp/ Fax.
E-mail : komisietikupnvj@gmail.com

PROTOKOL PENELITIAN
(Dibuat rangkap tiga, dengan diketik satu spasi, dalam halaman yang tersedia)

I. RINGKASAN

1. PENGUSUL
a. Nama : Sri Yani
b. Jabatan : Dosen / Asisten Ahli
c. Instansi/Kantor : FIKES UPN Veteran Jakarta
d. Alamat dan telepon : Asrama Yonif Mekanis 201/JY Jl. Raya Bogor KM 28
Kantor Gandaria, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur
08128253233

2. PROYEK PENELITIAN
a. Judul Penelitian : (Pilih judul yang singkat tapi cukup menjelaskan gagasan penelitian ini
Manfaat Intervensi Metode Bobath dan NMT Pada Penderita Pasca Stroke terhadap
Gangguan Keseimbangan dan Jalan

b. Ringkasan Penelitian : (Uraian singkat mengenai yang akan dikerjakan, alasan diadakan penelitian, dan
data/informasi/pengetahuan/teknologi/yang dihasilkan)
Penelitian yang akan dilakukan peneliti
1) Stroke merupakan salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian di seluruh dunia.
Dampak yang ditimbulkannya sangat besar baik di negara maju maupun di negara yang
sedang berkembang, termasuk dampaknya terhadap sosioekonomi. Sebagian besar
penderita pasca stroke mengalami kelumpuhan anggota gerak atas maupun anggota
gerak bawah. Gangguan yang dialaminya dapat berupa kelemahan otot, gangguan
koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan jalan dan bahkan gangguan aktifitas
sehari-hari. Untuk itu diperlukan penanganan yang komperhensif dari beberapa disiplin
ilmu salah satunya fisioterapi. Modalitas fisioterapi yang berkemabang saat ini sangat
beragam. Sehingga diperlukan data hasil penelitian untuk mendukung praktis fisioterapi
dalam memberikan pelayanan kepada penderita pasca stroke terutama yang mempunyai
gangguan keseimbangan dan gangguan jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
manfaat intervensi fisioterapi yang merupa metode bobath dan Neuro Muscular Taping
(NMT) terhadap gangguan keseimbangan dan gangguan jalan. Penelitian dilakukan di
poli Fisioterapi RSUD Cengkareng. Di RSUD tersebut pasien atau penderita paska
stroke yang berkunjung ke poli fisioterapi setiap harinya rata-rata 3 orang. Metode
penelitian adalah quasi eksperimen pre dan post test non control. Data diambil sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi fisioterapi berupa metode bobath dan NMT. Hasil

1
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terutama bagi penderita pasca stroke dan
fisioterapis dalam melakukan praktik fisioterapi dalam memberikan pelayanan kepada
pasien stroke terutama yang mempunyai gangguan keseimbangan dan gangguan jalan.

2) Tempat Penelitian : RSUD Cengkareng Poli Fisioterapi

3) Lama Penelitian : 1 – 2 bulan (November – Desember 2016)

3. RENCANA BIAYA
Sumber Pembiayaan :
a. Dikti Rp
b. UPN Rp. 10.000.000,-

Rp. 10.000.000,-

II. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Mengulas secara singkat pentingnya penelitian dilakukan, gambaran permasalahan secara
faktual yang terjadi terkait dengan target penelitian

Stroke merupakan salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian di seluruh dunia.
Dampak yang ditimbulkannya sangat besar baik di negara maju maupun di negara yang
sedang berkembang, termasuk dampaknya terhadap sosioekonomi. Upaya preventif terhadap
stroke akan sangat mempengaruhi masyarakat secara luas. Pengendalian faktor risiko stroke
telah terbukti menurunkan risiko seseorang untuk menderita stroke. Pemahaman yang lebih
baik tentang stroke diharapkan dapat membantu upaya pencegahan dan pemulihan. (Aldy
S.Rambe, 2006)
Stroke merupakan Penyakit tidak menular (PTM). PTM adalah penyakit kronis tidak
ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya
berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular
(penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit
paru obstruksi kronis), dan diabetes. Data penyakit tidak menular didapat melalui
pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma,
(2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) diabetes melitus (DM), (5)
hipertiroid. (6) hipertensi, (7) jantung koroner, (8) gagal jantung, (9) stroke, (10) gagal ginjal

2
kronis (GGK), (11) batu ginjal, (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: PTM
yang didiagnosis tenaga kesehatan atau berdasarkan keluhan/gejala tertentu dan onset PTM
yang didiagnosis tenaga kesehatan atau keluhan/gejala yang dialami responden. (Riskesdas,
2013).
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan
diagnosis Nakes/gejala di-perkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). (Situasi Kesehatan
Jantung, 2014). Di pelayanan Fisioterapi RSUD Cengkareng rata-rata pasien yang berkunjung
dengan diagnosa stroke per hari 5 pasien.
Stroke menjadi penyebab utama gangguan fungsional dengan 20% penderita
membutuhkan institusi pelayanan setelah 3 bulan sejak serangan stroke, dan 15 % hingga 30
% cacat secara permanen. Sebagian besar stroke disebabkan karena adanya kombinasi dari
berbagai faktor resiko yaitu hipertensi, kadar kolesterol dalam darah, mengeras nya arteri
(atherosklerosis), kelainan jantung, jenis kelamin, usia, diabetes, merokok, riwayat stroke
dalam keluarga dan lainnya. (Feigin, Stroke, 2006).
Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke iskemik (ischemic stroke) dan stroke
hemoragik stroke (hemorragic stroke). Stroke iskemik sebagian besar merupakan komplikasi
dari penyakit vascular, yang ditandai dengan gejala penurunan tekanan darah secara
mendadak, takikardia, pucat, dan pernapasan yang tidak teratur. Sementara stroke hemoragic
pada umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan intra cranial dengan gejala peningkatan
tekanan darah systole >200 mmHg pada hipertonik dan 180 mmHg pada nonmotonik,
bradikardia wajah keunguan, sianosis, dan pernapasan mengorok. (Batticaca, 2008)
Pada insan pasca stroke salah satu masalah yang perlu mendapatkan perhatian adalah
menurunnya kemampuan mobilitas untuk dapat melakukan aktivitas. Masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh stroke bagi kehidupan manusia pun sangat kompleks. Adanya gangguan-
gangguan fungsi vital otak seperti gang-guan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan
kontrol postur, gangguan sensasi, dan gangguan refleks gerak akan menurunkan kemampuan
aktivitas fungsional individu sehari-hari termasuk diantaranya adalah fungsi berjalan. (Susanti,
2008).
Delapan puluh persen penderita stroke mempunyai defisit neuromotor sehingga
memberikan gejala kelumpuhan sebelah badan dengan tingkat kelemahan bervariasi dari yang
lemah hingga berat, kehilangan sensibilitas, kegagalan sistem koordinasi, perubahan pola jalan

3
dan terganggunya keseimbangan. Hal ini mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari. Oleh karena itu setelah serangan stroke, penderita harus
mempelajari kembali hubungan somatosensori baru atau lama untuk melakukan tugas-tugas
fungsionalnya (Arif, 2008).
Metode Fisioterapi yang dapat diberikan pada treatment insan pasca stroke berupa
metode seperti Bobath, Proprioceptive Neuromuscular Facilitation(PNF), Constraint Induce
Movement Therapy (CIMT), Neuromuscular Taping (NMT) Feldenkrais, Hydrotherapy,
Electrotherapy, Actinotherapy dan sebagainya. Aplikasi metode Bobath memperbaiki pola
jalan normal pada insan pasca stroke (Irfan, 2012), latihan bobath enam kali dalam satu bulan
lebih efektif meningkatkan keseimbangan statis dari latihan aktifitas fungsional (Arta, 2011).
PNF direkomendasikan sebagai treatment yang efektif untuk gangguan fungsional ambulasi
pasca stroke (Co Akosile, Boa Adegoke, Oe Johnson, FA Maruf, 2011). NMT menurunkan
nyeri dan ROM Shoulder pada penderita stroke dengan nyeri bahu (Paolo Pillastrini, et all.
2016), dan Kinesio Taping merupakan intervensi yang tepat untuk mengatasi gangguan
ekstremitas atas pada hemiplegi (Ewa Jaraczewska, Carol Long, 2006).
Penelitian sebelumnya membahas intervensi bobath terhadap keseimbangan statis, dan
Kinesiotaping mengatasi gangguan ekstremitas atas pada hemiplegia. Dari kedua penelitian
tersebut peneliti bermaksud mengkombinasikan kedua metode intervensi yakni metode bobath
dan taping dalam hal ini Neuro Muscular Taping (NMT) terhadap kemampuan keseimbangan
dinamis yang diukur dengan parameter Berg Balance Scale (BBS) dan kemampuan jalan
dengan parameter Motor Assesment Scale (MAS). Dalam hal ini, peneliti memilih intervensi
Bobath dan NMT (Taping), untuk mengatasi gangguan keseimbangan dinamis dan gangguan
jalan di poli Fisioterapi RSUD Cengkareng.

2. RUMUSAN MASALAH (RATIONALE)


Mendeskripsikan permasalahan yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian.

Ada banyak metode yang dapat diberikan oleh Fisioterapi untuk mengatasi gangguan
keseimbangan dan gangguan berjalan pada pasien pasca stroke, untuk itu diperlukan metode
yang efektif. Apakah metode bobath dan NMT akan bermanfaat secara signifikan terhadap
gangguan keseimbangan dan gangguan jalan pada penderita pasca stroke?

4
3. TUJUAN PENELITIAN
Menguraikan target penelitian yang akan dicapai melalui tahapan penelitian yang akan
dilakukan dan durumuskan dengan menggunakan kata kerja yang hasilnya dapat diukur atau
dilihat misalnya menjajaki, menguji, menbuktikan, menguraikan, membuktikan atau membuat
prototipe, dan sebagainya.

3.1. TUJUAN UMUM


Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat pemberian intervensi
metode Bobath dan NMT pada penderita pasca stroke terhadap gangguan keseimbangan
dan jalan.

3.2. TUJUAN KHUSUS


1) Mengkaji gambaran karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat
pendidikan) penderita pasca stroke
2) Mengetahui manfaat intervensi metode Bobath dan NMT pada penderita pasca
stroke terhadap gangguan keseimbangan
3) Mengetahui manfaat intervensi metode bobath dan NMT pada penderita pasca
stroke terhadap gangguan pola jalan.

4. MANFAAT PENELITIAN
Menggambarkan kontribusi yang akan diberikan secara spesifik setelah penelitian dilakukan
baik secata konseptual/teoritis, akademis, metodologis maupun sosial jika ada.

Bagi Fisioterapi
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan dalam penelitian selanjutnya dalam
penatalaksanaan manajemen Fisioterapi pada penderita pasca stroke dan juga dapat
dijadikan rujukan bagi parktisi fisioterapi dalam melakukan praktik fisioterapi di
pelayanan kesehatan terutama unit stroke, terutama pasien dengan gangguan
keseimbangan dan jalan

Bagi Rumah Sakit


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi rumah sakit tentang
pendekatan pelayanan fisioterapi pada penderita pasca stroke terutama dengan pasien
yang mempunyai gangguan keseimbangan dan jalan dan dapat diterapkan oleh
fisioterapis yang bekerja di rumah sakit tersebut.

5
Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi baru bagi institusi
pendidikan khususnya bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Ilmu Kesehatan program studi
Fisioterapi dan merupakan data pendukung bagi peneliti yang ingin melanjutkan
penelitian dengan tema yang sama.

III. LANDASAN TEORI

1. KAJIAN TEORI
1. Stroke
1.1 Definisi Stroke
Stroke disebut juga CVA (cerebro vascular accident) yaitu suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan tanda dan gejala neurologis, yang biasanya bersifat
fokal dan akut, yang diakibatkan oleh penyakit atau kelainan ataupun gangguan pada
pembuluh darah otak. Stroke adalah cedera vaskular akut pada otak. Ini berarti bahwa
stroke adalah suatu cedera mendadak dan berat pada pembuluh-pembuluh darah otak.
Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah,
sumbatan dan penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah. Semua ini menyebabkan
kurangnya pasokan darah yang memadai dengan gejala tergantung pada tempat dan
ukuran kerusakan (Feigin, Stroke, 2006).
Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh darah
serebral yang tidak sehat sehingga biasa disebut juga “cerebral arterial disease”
(Goodman, 1998). Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan bekuan darah,
penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan penyempitan atau pecahnya pembuluh
darah, semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang memadai (Irfan,
2012).
Hampir 85 % stroke disebabkan oleh: sumbatan oleh bekuan darah,
penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak, atau embolus
yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakranial (arteri yang berada di luar
tengkorak) yang menyebabkan sumbatan disatu atau beberapa arteri intrakrani (arteri
yang berada di dalam tengkorak). Ini disebut sebagai infark otak atau stroke iskemik.

6
Pada orang berusia lanjut lebih dari 65 tahun, penyumbatan atau penyempitan dapat
disebabkan oleh aterosklerosis atau mengerasnya arteri (Irfan, 2012)
Hal inilah yang terjadi pada hampir dua pertiga pasien stroke iskemik. Secara
rata-rata seperempat dari stroke iskemik disebabkan oleh emboli, biasanya dari
jantung (stroke kardio-embolik). Penyebab lain seperti gangguan darah, peradangan
dan infeksi merupakan penyebab sekitar 5-10% kasus stroke iskemik. Namun
penyebab pasti dari sebagian stroke iskemik tetap tidak diketahui meskipun telah
dilakukan pemeriksaan yang mendalam (Marlow, 2008)
Sebagian stroke iskemik terjadi di hemisfer otak, meskipun sebagian terjadi di
serebelum (otak kecil) atau batang otak. Beberapa stroke iskemik di hemisfer
tampaknya bersifat ringan (sekitar 20 % dari semua stroke iskemik); stroke ini
asimptomatik (tak bergejala; hal ini terjadi pada sekitar sepertiga pasien usia lanjut)
atau hanya menimbulkan kecanggungan, kelemahan ringan atau masalah daya ingat.
Namun stroke ringan ganda dan berulang dapat menimbulkan cacat berat, penurunan
kognitif dan demensia (Irfan, 2012).
1.2 Etiologi Stroke
Menurut (Muttaqin, 2008) penyebab stroke iskemik yaitu:
a. Thrombosis Cerebral

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi


sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema
dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia
serebral. Tanda dan gejala neurologis memburuk pada 48 jam setelah
thrombosis, beberapa keadaan dibawah ini dapat thrombosis otak :
1) Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu penebalan
dan pengerasan arteri besar dan menengah seperti koronari, basilar, aorta dan
arteri iliaka. Arterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis artherosklerosis bermacam – macam. Kerusakan dapat
tejadi melalui mekanisme berikut :
7
a) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
b) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
c) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus).
d) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisme kemudian robek dan
terjadi pendarahan.

2) Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak, dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus
dijantung yang terlepas dan menyumbat system arteri serebral. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurangdari 10 – 30 detik. Beberapa
keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :
a) Katup – katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.
b) Myokard infark
c) Fibrilasi, keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehigga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu – waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus – embolus kecil.

1.3 Faktor Resiko

Menurut (Feigin, Stroke, 2006) penyakit atau keadaan yang menyebabkan atau
memperparah stroke disebut dengan faktor resiko stroke. Faktor resiko medis
penyakit stroke tersebut antara lain disebabkan oleh:

a. Hipertensi
Tekanan darah yang meningkat secara perlahan dapat merusak dinding
pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan mendorong terbentuknya bekuan
darah dan aneurisma, yang pada akhirnya akan menyebabkan stroke. Apabila tidak
diobati, kurang lebih setengah dari penderita hipertensi akan meninggal akibat
penyakit jantung dan hampir 33% akan meninggal akibat stroke dan 10-15% akan
meninggal akibat gagal ginjal
8
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus dapat menimbulkan perubahan pada sistem vascular (pembuluh
darah dan jantung). Pada pasien DM biasanya darah mengalami kepekatan yang
membuat darah menggumpal atau dengan kata lain mengalami trombosis. Trombosis
adalah proses kompleks yang berhubungan dengan proses terjadinya aterosklerosis
yang selanjutnya dapat menghasilkan penyempitan pembuluh darah yang mengarah
ke otak

c. Penyakit Jantung
Setelah hipertensi, faktor risiko berikutnya adalah penyakit jantung, terutama
penyakit yang disebut atrial fibrilation, yakni penyakit jantung dengan denyut jantung
yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di atrium kiri ini mencapai empat
kali lebih cepat dibandingkan di bagian – bagian lain jantung. Ini menyebabkan aliran
darah enjadi tidak teratur dan secara insidentil terjadi pembentukkan gumpalan
darah. Gumpalan – gumpalan inilah yang kemudian dapat mencapai otak dan
menyebabkan stroke. Pada orang – orang berusia di atas 80 tahun, atrial fibrilation
merupakan penyebab utama kematian pada satu diantara empat kasus stroke.

d. Keturunan Sejarah Stroke pada Keluarga


Nampaknya, stroke terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang sangat
berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes dan cacat
pada bentuk pembuluh darah. Gaya hidup dan pola suatu keluarga juga dapat
mendukung risiko stroke. Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil) mungkin
merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke
yang lain.

e. Kolesterol
Kadar kolesterol yang tinggi akan berpengaruh pada faktor resiko
aterosklerosis. Kadar kolesterol dibawah 200mg/dl dianggap aman, sedangkan diatas
240mg/dl sudah berbahaya dan resiko terkena penyakit jantung dan stroke

9
f. Usia
Semakin bertambah umur, semakin tebal dan kaku pembuluh darah, semakin
kuat jantung harus memompa, akibatnya tensi semakin tinggi

g. Pola hidup
Perokok, obesitas, peminum alkohol, pemakaian narkoba, stress fisik dan
mental dapat meningkatkan resiko terkena stroke.

1.4 Patofisiologi Stroke


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak pada stroke

iskemik (Aliah, 2007). Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit dan tersumbat

oleh trombus atau embolus, Keadaan darah : viskositas dan hematokrit darah yang

meningkat menyebabkan aliran darah lebih lambat, anemia yang berat menyebabkan

oksigenasi otak menurun. kelainan jantung, menyebabkan menurunnya curah jantung

serta lepasnya embolus yang menimbulkan iskemia otak.

Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri adalah timbulnya defisit

neurologik secara mendadak Pemeriksaan CT Scan dapat dilihat adanya daerah

hipodens yang menunjukkan infark/iskemik dan edema. (O’Sullivan, Susan B,

Schmitz, Thomas J., 2007).

Gambaran patologik pada stroke hemoragik menunjukkan ekstravasasi darah

karena robeknya pembuluh darah otak diikuti pembentukan edema dalam jaringan

otak disekitar hematom (Aliah, 2007). Gejala Klinis Dari Stroke Hemoragik: nyeri

kepala karena hipertensi, biasanya seranganya cepat dan dapat menimbulkan koma

(65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% terjadi antara setengah sampai 2 jam dan

12% terjadi setelah 2 jam, perdarahan subaraknoidal (PSA) gejala prodromal : nyeri

10
kepala hebat (10%), 90% tanpa keluhan sakit kepala (Aliah, 2007).

1.5 Patalogi Stroke Iskemik


Menurut (Muttaqin, 2008) infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke
area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor – faktor seperti lokasi
dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang
disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah
(makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan
spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru
dan jantung). Atherosklerotik sering / cenderung sebagai faktor penting terhadap
otak, thrombus dapat berasal dari flak aterosklerotik atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti disekitar area. Area
edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri.
Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang – kadang sesudah beberapa
hari, dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena
thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti
trombosis.

1.6 Tanda dan Gejala Stroke


Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai,
terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda
atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata; bingung mendadak; tersandung selagi
berjalan; pusing bergoyang; hilangnya keseimbangan atau koordinasi; dan nyeri
kepala mendadak tanpa kausa yang jelas.
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak
mungkin berkaitan dengan gejala berikut yang disebut sindrom neurovaskular.
Walaupun perdarahan di daerah vaskular yang sama mungkin menimbulkan banyak

11
efek yang serupa, gambaran klinis keseluruhan cenderung berbeda karena, dalam
perluasannya ke arah dalam, perdarahan dapat mengenaiteritorial dari lebih satu
pembuluh. Selain itu, perdarahan menyebabkan pergeseran jaringan dan
meningkatkan tekanan intra kranial (TIK).
Gejala stroke iskemik
a. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri
serebri media.
b. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteri serebri anterior dan media atau ateri
serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin
mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif
karena keterlibatan daerah bicara-motorik Broca.
c. Hemiparesis atau monoparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan)
d. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena); gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan bicara dan komunikasi.
e. Kelumpuhan di satu sampai empat ekstremitas
f. Meningkatnya refleks tendon
g. Ataksia
h. Gejala-gejala serebelum seperti tremor intention, vertigo
i. Tinitus, gangguan pendengaran.
j. Rasa baal di wajah, mulut, dan lidah
k. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis

2 Keseimbangan
2.1 Definisi Keseimbangan
Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur
oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem
regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh
mempertahankan keseimbangan adalah: menyanggah tubuh melawan gravitasi dan
faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan
seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian
tubuh lain bergerak. (Irfan, 2012)

2.2 Komponen Keseimbangan


12
a. Sistem Informasi Sensoris
Sistem informasi sensoris meliputi visual, sistem vestibular dan
somatosensoris (Irfan, Fisioterapi Bagi Insan Stroke, 2010). Visual memegang
peran penting dalam sistem sensoris. Cratty dan Martin mengatakan bahwa
keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar
tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan dan sebagai
motor tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan juga
merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada,
penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak
gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata
menerima sinar yang berasal dari objek sesuai jarak pandang. Dengan informasi
visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang
pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot yang sinergi untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh. Dengan demikian bahwa visual berperan
sebagai kontrol jarak terhadap objek dan memberikan sinyal posisi dan gerakan
kepala sebagai respon pada objek dan lingkungan (Irfan, 2012)
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting
dalam keseimbangan kontrol kepala dan gerak bola mata. Reseptor sensoris
vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi
kanalis semisirkularis, utrikulus serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini
disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan
posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo ocular,
mereka mengontrol gerak mata terutama ketika melihat obyek yang bergerak.
Mereka meneruskan pesan melalui ke delapan saraf kranialis ke nukleus vestibular
yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular
tetapi ke serebellum, reticular formasi, thalamus dan korteks serebri. Nukleus
vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinthine, retikular formasi
dan serebellum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron
melalui medulla spinalis terutama ke motor neuron yang menginervasi otot – otot
proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot – otot postural).
Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan
keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural. Dengan demikian,

13
maka peran vestibular antara lain menjaga midline tubuh, posisi dan gerakan
kepala, kontrol postur dan tonus. Kemampuan mengontrol postur adalah fokus
utama dalam intervensi pada kondisi stroke. Aktivitas ekstremitas dapat dilakukan
dengan efisien karena adanya kemampuan kontrol postural yang adekuat (Irfan,
2012)
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau propioseptif serta persepsi –
kognitif. Informasi propioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis
medulla spinalis. Sebagian besar masukan (input) propioseptif menuju serebellum,
tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniscus medialis dan
thalamus. Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian
bergantung pada impuls yang datang dari alat indera dalam dan sekitar sendi. Alat
indera tersebut adalah ujung – ujung saraf yang beradaptasi lambat disinovial dan
ligamentum. Impuls dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain,
serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang
(Irfan, 2012)
b. Respon Otot – Otot Postural yang Sinergis
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari
aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun
bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur
keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam
berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural
bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya
gravitasi, dan alignment tubuh.
Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan
dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi
gerak tertentu, misalnya pada gerakan fleksi elbow joint akan melakukan reaksi
kerja yang sinergis antara otot fleksor (penggerak fleksi) dengan otot ekstensor
(penggerak ekstensi) dalam hal kecepatan dan kekuatan yang dibutuhkan dalam
melakukan gerakan tersebut.
Perlu untuk dipahami bahwa masalah utama dari sistem motor kontrol tidak
hanya pada aktivitas otot agonis semata atau yang sering disebut primemover,

14
akan tetapi melibatkan komponen otot antagonis dan otot stabilisator postur yang
bekerja secara sinergi dan terintegrasi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Rothwell.

c. Kekuatan Otot
Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua
gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot
sebagai respon motorik.
Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban
baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban internal (internal
force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu
seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan
kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktifasi, maka semakin
besar pula kekuatan otot yang dihasilkan otot tersebut.
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya tekanan gaya dari luar.
Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk
melawan gaya gravitasi serta beban ekternal lainnya secara terus menerus
mempengaruhi posisi tubuh.
Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil merupakan
bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun
dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan jika otot memiliki kekuatan dengan besaran
tertentu.

e. Adaptive System
Merupakan kemampuan adaptasi akan memodifikasi masukan sensoris dan
keluaran motorik ketika terjadi perubahannya akan sangat menentukan proses
pembelajaran motorik sampai menghasilkan gerakan terampil dan fungsional

f. Lingkup Gerak Sendi


Kemampuan gerak sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan
gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi, serta
keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang

15
memungkinkan untuk seimbang.

2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan


Faktor – faktor yang mempengaruhi keseimbangan berupa gaya gravitasi bumi,
pusat gravitasi, garis gravitasi dan bidang tumpu. Gaya gravitasi bumi merupakan gaya
tarik bumi terhadap suatu benda, hal ini juga berlaku pada tubuh manusia di mana
tekanan gravitasi bekerja pada tubuh manusia baik dalam keadaan statis maupun
dinamis.
Pusat gravitasi (Center of Gravity – COG) terdapat pada semua objek. Pada
manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat
gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat diatas pinggang diantara depan dan
belakang vertebra sacrum ke dua.
Garis gravitasi (Line of Gravity – LOG) merupakan garis imajiner yang berada
vertical melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi,
pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah untuk menentukan derajat stabilitas tubuh.
Bidang tumpu (Base of Support – BOS) merupakan bagian dari tubuh yang
berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang
tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi
stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri
dengan satu kaki. Base of support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada
pola gerak individu. BOS merupakan komponen stabilisasi pada fungsi gerak, sehingga
kondisi BOS akan menghasilkan reaksi gerak pada tubuh.
2.4 Pengukuran Keseimbangan
Pengukuran keseimbangan pada penderita pasca stroke menggunakan
parameter Berg Balance Scale (BBS), Test ini berguna untuk melihat tubuh
mempertahankan sikap pada waktu duduk, berdiri, dan menjangkau benda dengan
jarak tertentu,berputar 360 o, bertumpu pada satu kaki dan berdiri dengan satu kaki.
BBS terdiri dari 14 item skala uji kemampuan duduk, berdiri dan menjangkau
benda dengan jarak tertentu ,berputar 360o, bertumpu pada satu kaki dan berdiri
dengan satu kaki. Setiap item meliki level 1-4 dengan skor keseluruhan 56 point.

16
3 Gangguan Fungsi Jalan
2.3.1 Gait Speed
Jalan merupakan cara untuk menempuh jarak tertentu. Jalan adalah hasil dari
hilangnya keseimbangan pada sikap berdiri dari kedua kaki secara berturut-turut. Setiap
keseimbangan dari satu kaki hilang, diganti atau diikuti oleh tumpuan baru pada kaki yang
lain, sehingga terjadi keseimbangan kembali. Laju ke depan pada peristiwa jalan
disebabkan kombinasi dari tiga kekuatan yang bekerja, yaitu :
1. Kekuatan otot yang menyebabkan tekanan pada kaki terhadap permukaan
tumpuan tanah
2. Gaya berat yang berusaha menarik tubuh ke depan dan ke bawah bila terjadi
keseimbangan (balance), dan
3. Kekuatan momentum yang bermaksud mempertahankan tubuh yang bergerak
dalam arah yang sama dengan kecepatan yang tetap.
Kekuatan-kekuatan lain yang membantu adalah permindahan momentum ayunan
lengan, yang semula dimaksudkan untuk membantu keseimbangan (Mulyono Sigit, 2001)
Pada waktu jalan setiap gerakan langkah pada tiap tungkai menjalani beberapa fase.
Fase menyokong (stance phase) terdiri atas fase menghambat (double support) dan fase
mendorong/propulasi (propulsion phase) atau fase pada saat hanya satu kaki yang
menyangga (single support) dan ini merupakan permulaan fase mengayun. Pada sikap
berdiri, garis berat mencapai tanah berada di antara kedua kaki. Pada waktu mulai jalan
titik berat berpindah karena berat badan sekarang dibebankan pada satu kaki saja yaitu kaki
yang menapak/menyangga. Jika kaki kiri akan dilangkahkan, kaki kanan ditapakkan dan
kaki kiri tidak lagi menampung berat badan. Tungkai kiri selanjutnya didorong ke depan,
terjadi anterefleksi tungkai kiri yang dilakukan oleh m. iliopsoas, m. rectus femoris
sampaikaki kiri tidak menapak (fase propulsi). Panggul bagian kiri cendurung menurun dan
ini dilawan oleh kontaksinya m. gluteus medius dan m. gluteus minimus sebelah kanan.
Otot ini secara bersamaan memutar panggul kiri ke depan dan dengan demikian membantu
mengayunkan tungkai kiri maju dan memperbesar langkah, selanjutnya titik berat bergerak
ke depan. Akibatnya badan hendak jatuh ke depan. Bersamaan dengan proses ini terjadi
plantarfleksi kaki kanan oleh kontaksinya m. triceps surae dan calcaneus kanan terangkat
dari tanah. Titik berat yang tadinya turun sekarang naik kembali, selanjutnya tumit kiri
mengenai tanah sebagai pusat pemutaran kaki yang dimulai berturut-turut dari bagian

17
lateral telapak kaki kiri menuju ke distal sampai ossis metatarsal. Kaki kanan melepaskan
diri dari tanah bersamaan dengan adanya dorsofleksi pada persendian metatraso phalangeal,
meski jari-jari kaki masih kokoh berpijak. Pada waktu yang bersamaan tumit kaki kiri
mengenai tanah. Pada akhir gerakan garis berat caput oss metatarsal pertama kanan
perpindah. Oleh kerena itu, tubuh jatuh ke depan. Pada waktu itu calcaneus kanan
meninggalkan tanah. Akibatnya terus menurunnya titik berat dapat dihindari, calcaneus kiri
mengenai tanah dan kaki kiri mulai menampung berat badan.
Tungkai kanan difleksikan pada persendian lutut, tetapi masih mengenai tanah lewat
jari-jari kaki (fase propulsi). Kkai kiri selanjutnya menapak seluruhnya dan menjadikaki
penyangga. Kkai kanan meninggalkan tanah dan tungkai kanan dilakukan antefleksi dalam
persendian coxae (fase mengayun). Pada gerakan ini, tungkai bawah terlempar m.
semitendinosus, m. semi membranosus, dan m. bicep femoris teregang, sehingga gerakan
tungkai ini terhambat, begitu pula gerakan antefleksi pada persendian coxae (Carr Janet,
Shepherd Roberta, 2000)
Setelah terjadi ekstensi pada persendian lutut kanan, gerakan mengayun dapat
dianggap selesai dan tuberositas calcaneus mengenai tanah karena titik berat badan
berpindah ke depan dan selanjutnya seluruh kaki menapak tanah. Menapkanya kaki tidak
disebabkan plantar fleksi persendian talocruralis, melainkan oleh gerakan majunya badan.
Pada waktu itu timbul fleksi pada persendian lutut yang dilawan oleh kontraksinya m.
quadriceps femoris. Dengan kaki menapak di tanah, maka tungkai terjadi antefleksi
persendian lutut dan antefleksi persndian coxae. Selanjutnya terjadi ekstensi di persendian
lutut dan retrofleksi di persendian coxae sehingga kaki kanan menjadi kaki penyangga dan
titik berat naik lagi.
Fase mendorong ialah waktu antara kaki ada di bawah titik berat sampai ia
meninggalkan tanah. Fase menghambat ialah waktu antara kaki mengenai tanah sampai ia
ada di bawah titik berat. Pada waktu jalan dijumpai saat kedua kaki merapat tanah (double
support). Pada waktu calcaneus kaki kanan meninggalkan tanah, tungkai kanan
diretrofleksikan lebih banyak daripada yang mungkin dilakukan di dalam persendian coxae.
Dengan demikian inklinasi pervis harus ditambah karena badan harus tetap tegak.
Penambahan inklinasi hanya dimungkinkan bila terjadi retrofleksi di kolum vertebralis
daerah lumbal. Jadi lordosis lumbal harus ditambah. (Mulyono Sigit, 2001, Carr Janet,
Shepherd Roberta, 2000))

18
Pada waktu tungkai kanan diayun ke depan, persendian coxae kanan juga bergerak ke
depan. Ini hanya dapat terjadi bila ada rotasi pada kolumna vertebralis yang hanya mungkin
terjadi di daerah thoracalis dan endorotasi tungkai pada persndian coxae kiri. Pada fase
mendorong timbul kekuatan yang dapat dianalisis dalam kekuatan vertikal dan kekuatan
horizontal. Kekuatan vertikal lebih besar daripada horizontal. Pada permulaan fase
mendorong ada percepatan pada gerakan maju. Pada fase ini jalan dengan ibu jari kaki
menunjukk ke depan ada saatnya tumit terangkat. Karena ini terjadi hiperekstensi
persendian metatarso phalangealis sehingga flexor jari kaki tertarik. Tekanan otot tersebut
menimbulkan refleks tarikan sehingga otot-otot berkontraksi. (Sigit, 2001)

3.2 Patologi Gait


Patologi gait meliputi
1. Kelemahan
Kekuatan otot berkurang dpat diakibatkan oleh penggunaan otot yang kurang,
kelainan pada otot itu sendiri atau kerusakan syaraf. Kekuatan otot diperlukan
dalam jalan. Kurang lebih 75 % dari kekuatan normal (kekuatan motorik 3/5)
diperlukan untuk lokomosi. Dengan adanya kelemahan otot menyebabkan
fungsinya akan berkurang. Kelemahan dari sekelompok otot memberikan
karakteristik pola git yang berbeda.
Kelemahan otot-otot betis tidak terkompensasi menghasilkan pengurangan
kontrol mid stance dari rotasi tibia. Peningkatan dorsofleksi akan meningkatkan
kemampuan fungsi quadriceps untuk mempertahankan stabilitas ekstremitas.
Sebagai alternatif, tibia akan memendek dengan lutut membengkok ke belakang
sehingga menurunkan kerja quadriceps. Akibatnya pola jalan meimbulkan
gangguan pada persendian lutut. Kompensasi yang lain adlah berkuangnya
kecepatan dan panjang langkah.
Konsekuensi dari kelemahan otot dari pretibial akan meningkatkan platar fleksi.
Kelemahan m. quadriceps akan mengurangi kontrol lutut. Kelemahan m.
hamstring menyebabkan berkurangya kecepatan jalan atau menurunnya lingkup
gerak sendinya. Kelemahan otot-otot adduktor sendi hip mengakibatkan
ketidakstabilan pelvis selama fase stance.
2. Kontraktur

19
Kontrakktur otot yang terjadi di pergelangan kaki menyebabkan plantar fleksi
sebesar 15o pada umunya. Posisi persendian ini akan memeinimasilisaikan
kekuatan tekanan pada kapsul sendi sehingga ekstremitas bawah dapat terjadi
lambat.
Akibat kontraktur pada otot di persendian lutut menyebabkan lutut mengalami
fleksi 30o. Panjang langkah menjadi memendek sebagai akibat dari pengurangan
ekstensi lutut pada akhir ayunan dan metabolisme meningkat. Kontraktur ini
menyebabkan ekstensi lutut mengurangi gerakan ekstremitas bawah pada awal
ayunan.
Kontraktur pada otot-otot fleksor sendi hip akibat pemendekan otot-otot
tersebut. Ini menyebabkan pelvis menjadi kaku. Sedangkan kontraktur pada otot-
otot ekstensor pelvis jarang terjadi.
3. Nyeri
Nyeri dapat terjadi akibat spastisitas yang timbul. Akibat nyeri menyebabkan
modifikasi jalan. Satu mekanisme untuk mengurangi pada sendi dengan
mengurangi kekuatan pada otot pada sendi yang nyeri tetapi hal ini akan
menyebabkan atropi dan kelemahan otot.
4. Sensory Loss
Kerusakan proprioseptif menghambat jalan karena kekurangan informasi dari
posisi ektremitas.
5. Spastistas
Spastistas terjadi akibat lesi pada susunan saraf pusat. Lesinya dapat terjadi di
otak maupun di medula spinalis. Spastisitas dapat melibatkan anggota gerak atas
dan bawah. Pada anggota gerak bawah, spastisitas dapat mengakibatkan beberapa
perubahan anggota gerak bawah yang umumnya meliputi kali equinovarus, kaki
valgus, kekakuan lutut dan adduksi tungkai.

3.3 Hemiplegic Gait


Tipe gait orang setelah menderita stroke tergantung di mana lokasi lesi dan sistem
apa yang terkena. Jika area motorik atau jalur motorik yang terlibat akan terjadi
hemiplegi atau hemiparesis pada anggota gerak kontralateral. (Carr Janet, Shepherd
Roberta, 2000)

20
Tidak semua penderita hemiparesis memilki derajat defisit motorik yang sama.
Hemiplegic gait sering ditemui pada orang dengan hemiparesis meski mempunyai
banyak variasi. (Sigit, 2001)
Gambaran deviasi gait yang sering terluhat pada penderita hemiparesis, seperti :
- Selama fase menyokong dari tungkai hemiparesis menunjukkan foot flat.
Penderita memperlihatkan plantar fleksi dan supinasi kaki pada awal kontak
dan kemudian berat badan akan berada di batas lateral dari kaki.
- Pada orang normal fleksi lutut 10o-15o yang diperlukan untuk menyerap tenaga
dari momentum dan berat badan. Namun pada penderita hemiplegia, fleksi
lutut mungkin menghilang sehingga lutut tetap ekstensi bahlan hiperekstensi
(genu recurvatum)
- Badan berusaha menggerakkan pusat beratnya ke depan lutut yang kaku.
- Pada fase mengayun, terlihat kurangnya fleksi (normal 30 o dan 40o) dan
kurangnya plantar fleksi pergelangan kaki (Gillen Glen, Burkhrdt Ann, 2002).

4 Metode Bobath
Metode Bobath pada dasarnya terfokus dengan fasilitasi gerakan melalui stimulus,

khususnya pada otot, reseptor sendi, dan reseptor taktil. Metode ini juga lebih menekankan

pada pengaruh restorasi perkembangan pola gerak serta stabilitas postural maupun pola

gerak normal.

Konsep Bobath di mulai pada tahun 1940’s oleh Dr.Karel dan Mrs.Berta bobath.

Adapun tujuan utama dari metode ini tidak hanya untuk menguatkan otot yang mengalami

kelemahan, tetapi juga untuk untuk memberikan sensasi tentang posisi, tonus otot, dan

gerakan. Tehnik metode Bobath hampir seluruhnya memfasilitasi gerakan pada tangan dan

pada saat bersamaan pula menghambat pola gerak yang tidak seharusnya. Saat ini para

klinisi Bobath mempertimbangkan bahwa penanganan therapuetik seperti fasilitasi dan

inhibisi di gunakan bersama-sama dengan motor learning, dan motor kontrol strategi agar

memudahkan terjadinya suatu gerakan dan postur yang baik (Shumway, 2007).

21
Studi tentang keefektifan Bobath belum banyak di temukan dan sampai saat ini belum

ada seseorang yang dapat membuktikan dan menunjukkan bahwa methode Bobath

mempunyai nilai yang lebih di bandingkan dengan methode lainnya yang digunakan oleh

fisioterapis, secara umum methode Bobath hanya di buktikan secara empiris (Butler, et.al,

2001; Sharkey, 2001 & Tsorlakis, et.al, 2004). Para fisioterapi menerapkan metode Bobath

dengan mengevaluasi bukti yang ada seperti memperkirakan karakteristik pasien terhadap

intervensi therapeutic yang konsisten yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Bobath

(Howle, 2002).

Pada tahun 1942 ketika Mrs Bobath sedang menangani pasien dengan hemiplegic, ia

menemukan bahwa dengan mencegah terjadinya pola gerak yang abnormal karena adanya

spastisitas maka melalui handling dari Mrs Bobath maka pasien akan dapat bergerak lebih

normal dan kemungkinan pasien akan dapat melakukan aktivitas fungsional. Dengan

mengamati reaksi pasien terhadap penanganan yang telah di berikan Mrs Bobath menjadi

sadar akan tiga hal penting yaitu untuk pola gerak normal jika ada pola gerak yang

abnormal, pola abnormal di butuhkan untuk menekan (inhibisi), selanjutnya pentingnya

akan pengalaman sensory motor , karena kita bukan mempelajari sebuah gerakan tapi,

bagaimana “sensasi gerak”, dan terakhir dengan menggerakkan bagian tubuh yang

proximal maka akan berpengaruh terhadap perubahan gerak pada bagian distal.

Penggunaan tehnik treatment dan handling yang tepat dari metode Bobath berbeda

dengan metode lainnya yang di gunakan untuk menangani gangguan sensor-motor pada

penderita dengan neuropathology. Ada dua teknik di dalam Bobath yaitu inhibisi dan

fasilitasi. Teknik inhibisi di gunakan untuk mengembalikan tonus otot dari keadaan

hipertonus atau spastic. Sedangkan teknik fasilitasi di gunakan untuk mengembalikan tonus

otot dari keadaan flaccid. Ada berbagai macam teknik inhibisi seperti deep pressure, slow

22
rolling, dan slow rocking. Sedangkan teknik fasilitasi terdiri dari icing, fast brushing,

tapping, stroking, quick stretch (Howle, 2002).

5 Neuro Muscular Taping


Neuromuscular taping berpengaruh pada sistem limfatik. Ketika terjadi inflammasi
sistem limfatik pada superficial dan deep limfatic vessels akan penuh. Neuromuscular
taping membantu aliran limfatik dibawahnya sehingga terjadi penurunan tingkat
inflammasi. Keuntungan dari Neuromuscular taping bahwa daerah convolution dapat
meningkatkan sirkulasi darah dan cairan limfa karena efek lifting, yang menciptakan ruang
diantara kulit dan otot. Pemakaian neuromuscular taping pada daerah luka akan
melancarkan sirkulasi darah dan meningkatkan volum darah.
Dalam mengklasifikasi pemasangan neuromuscular taping perlu diperhatikan starting
pointdan tengangan dalam tarikan.
a. Dari distalke proximal (Insertion to Origo)
Digunakan untuk menginhibisi penggunaan otot yang berlebihan dan spasme otot
dengan tegangan 15% sampai 25%.
b. Dari proximal ke distal (Origo to Insertion)
Digunakan untuk memfasilitasi kelemahan otot yang berlebihan dan rehabilitasi
dengan tegangan 15% sampai 50%.

23
2. KERANGKA BERFIKIR
Menjelaskan secara teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti. Jadi secara teoritis
perlu dijelaskan hubungan antara variabel independen dan dependen. Bila dalam penelitian
ada variabel moderator dan intervening, maka juga perlu dijelaskan, mengapa variabel itu
ikut dilibatkan dalam penelitian.

Problematik fisioterapi pada penderita pasca stroke sebagaian besar mengalami

kelumpuhan anggota gerak pada satu sisi. Hal akan mengakibatkan kelemahan otot,

gangguan posture, keseimbangan, dan jalan. Intervensi yang dilakukan pada penelitian ini

dilakukan pada pasien stroke untuk melihat perubahan yang terjadi dari setiap variabel-

variabel antara lain kelemahan otot dengan parameter MMT, posture, gangguan

keseimbangan dan jalan di ukur dengan menggunakan parameter Gait speed dan BBS,

Penelitian ini hanya membatasi dua intervensi Bobath dan NMT pada dua variabel

keseimbangan dan jalan digambarkan secara skematik sebagai berikut.

Bagan 1

Konsep Penelitian dengan Intervensi Bobath dan NMT terhadap keseimbangan dan Jalan

Intervensi
Bobath dan Neuromuscular
Taping

PRE POST

Keseimbangan Keseimbangan
jalan Jalan

Karakteristik Responden :
Usia
Jenis kelamin
Lama stroke

24
IV. METODOLOGI PENELITIAN

1. BAHAN DAN METODE


Merupakan bagian paling penting dari protokol yang meliputi rancangan penelitian, subjek
penelitian, besar sampel, intervensi dan observasi. Bahan dan metode juga merupakan
kerangka pendekatan studi dan dapat berupa analisis teori, metode eksperimen atau
kombinasi. Uraikan metode secara terperinci (peubah, model, rancangan, teknik pengumpulan
dan analisis data serta cara penafsiran).

Penelitian ini bersifat quasi eksperimental, dengan menggunakan rangcangan non


randomized pre test and post test non control design. Di mana penelitian bertujuan untuk
melihat manfaat intervensi Bobath dan NMT pada penderita pasca stroke terhadap
keseimbangan dan gangguan jalan. Subjek penelitian ini adalah penderita stroke iskemik
yang berkunjung di poli Fisioterapi RSUD Cengkareng yang memenuhi kriteria inklusi

O1 X O2

Keterangan
O1 : Pemeriksaan dan pengukuran keseimbangan dan jalan penderita Pasca Stroke
O2 : Pemeriksaan dan pengukuran keseimbangan dan jalan penderita Pasca Stroke
setelah intervensi
X : Intervensi metode Bobath dan NMT
Intervensi yang diberikan adalah pemberian intervensi fisioterapi yang berupa metode
bobath dan NMT selama 12 kali terapi dalam satu bulan yang bertujuan untuk mengatasi
masalah gangguang keseimbangan dan gangguan jalan pada penderita pasca stroke.
Desain kegiatan

Studi awal/pre test Studi akhir/post test


- Keseimbangan - Keseimbangan
- jalan - jalan

Intervensi FT
- Bobath
- NMT

25
2. PROSEDUR
Yang menggunakan intervensi harus dideskripsikan, obat-obatan atau perangkat yang akan
digunakan dan dijelaskan apakah sudah tersedia secara komersial atau masih dalam tahap
eksperimen.

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan cara:

1) Memilih calon responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi menggunakan
teknik purposive sampling yaitu penderita pasca stroke yang sedang terapi
fisioterapi.
2) Mendatangi calon responden, menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Peneliti
membawa surat permohonan serta kuesioner dan lembar persetujuan untuk menjadi
responden.
3) Peneliti menjelaskan tahapan penelitian setelah calon responden bersedia untuk
menjadi responden
4) Responden menandatangani lembar persetujuan dihadapan peneliti
5) Peneliti melakukan pemeriksaan awal kepada penderita dari riwayat penyakit, vital
sign, terutama gangguan keseimbangan dan jalan
6) Peneliti melakukan intervensi bobah dan NMT kurang lebih selama 1 jam.
7) Peneliti meminta responden untuk mengikuti program terapi ini selama 12 terapi
yakni 3 minggu sekali selama 4 minggu.
8) Peneliti melakukan pemeriksaan akhir yakni vital sign, terutama gangguan
keseimbangan dan jalan.
9) Peneliti memberikan souvenir tanda terima kasih telah berpartisipasi dalam
penelitian kepada responden pada akhir sesi intervensi.

Intervensi Bobath dan NMT tidak menimbulkan efek samping. Bobath dan NMT adalah
bentuk intervensi yang bertujuan untuk stimulasi atau inhibisi otot tertentu. Bobath
merupakan intervensi yang berupa latihan-latihan stimulasi agar pasien mampu bergerak
sendiri. Intervensi NMT berupa pemberian taping pada daerah pinggang dan anggota gerak
bawah.
Dalam Pemberian Intervensi Bobath dan NMT Peneliti bekerjasama dengan Fisioterapis
yang ada di RSUD Cengkareng, dimana fisioterapis telah mempunyai kompetensi

26
intervensi Bobath dan NMT.

3. POPULASI DAN SUBYEK


Populasi penelitian merupakan penjelasan asal subyek penelitian. Prosedur pemilihan subyek
harus dijelaskan secara rinci disertai kriteria inklusi dan kriteria eksklusi subyek. Kriteria
inklusi merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subyek agar dapat
diikutsertakan dalam penelitian, sedangkan kriteria eksklusi adalah keadaan yang
menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi tersebut tidak dapat diikutsertakan
dalam penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita pasca stroke yang dirujuk oleh
dokter spesialis saraf ke fisioterapis untuk mendapat intervensi fisioterapi secara rutin
setiap minggunya.
Perhitungan besarnya sampel pada penelitian ini menggunakan rumus slovin:
𝑁
𝑛=
1 + (𝑁 𝑥 𝑑 2 )

15
𝑛=
1 + (15𝑥0,0025)

15
𝑛=
1 + 0,038

15
𝑛=
1,038

𝑛 = 14,45
𝑛 = 15
Keterangan:
N = besar sampel
d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan adalah 5% (0,05)
N = Jumlah populasi ( 15 )
Berdasarkan hasil sampel yang di dapat peneliti menambahkan 10% dari total
sampel untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop out maka sampel menjadi 15 +
(15x10%) = 16,5 dibulatkan menjadi 17 sampel.
27
 Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Usia pasien 30-75 tahun
2. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
3. Dengan diagnosa dokter stroke iskemik
4. Mempunyai defisit neurologis dengan NIHSS kategori sedang (5-14)
5. Lama stroke < 6 bulan
6. Mempunyai gangguan keseimbangan
7. Pasien sudah mampu berdiri tegak
8. Bersedia mengikuti program penelitian dari awal sampai akhir

 Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:


1. Tidak bersedia menjadi responden
2. Mengalami gangguan neurologis lain seperti parkinson berdasarkan diagnosa
dokter
3. Memiliki gangguan sensasi (anestesia)
4. Sedang mengikuti penelitian lain.

4. WAKTU PENELITIAN
Adalah lokasi dan institusi dimana data akan diperoleh subyek penelitian, bahan/sampel
diambil/diperiksa harus dijelaskan secara rinci. Waktu penelitian dimulai sejak awal
penelitian sampai laporan akhir penelitian selesai dan dipertanggungjawabkan sebaiknya
dibuat dalam bentuk barchart.

Penelitian dilakukan di RSUD Cengkareng Jakarta Barat. Penelitian ini akan


dilakukan pada bulan November – Desember 2016.

5. DEFINISI OPERASIONAL
Operasionalisasi Konsep serta istilah-istilah yang digunakan didalam penelitian berdasarkan
acuan teori atau glosarium.
No Variabel Definisi Operasional Pengukuran Sklala Katagori

1 Keseimbangan Keseimbangan adalah Penderita diminta untuk Interval 0-20: Wheelchair


kemampuan seseorang melakukan 14 gerakan yang bound
(pasien) untuk ada di parameter BBS yakni : 21-40: Walking
mempertahankan 1. Duduk ke berdiri with assistance
posisinya dalam kondisi 2. Berdiri tanpa bantuan 41-56:
stabil baik posisi statis 3. Duduk tanpa bantuan independent
28
maupun dinamis. 4. Berdiri ke duduk
Keseimbangan ini diukur 5. Transfers
dengan parameter Berg 6. Berdiri dengan mata
Balance Scale (BBS) Test tertutup
untuk melihat tubuh 7. Berdiri dengan kedua kaki
mempertahankan sikap sejajar
pada waktu berdiri, duduk 8. Meraih benda dengan
dan melangkah tangan terulur ke depan
9. Mengambil benda di lantai
dari posisi berdiri
10. Memutar balik melihat
ke belakang
11. Berputar 360o
12. Bertumpu pada satu kaki
di stool
13. Berdiri dengan satu kaki
di depan
14. Berdiri pada satu
Hasil pemeriksaan akan
dicatat pada blanko
pemeriksaan
2 Gangguan Jalan Gambaran adanya deviasi Gangguan fungsi jalan diukur nominal Skor 1-6 yang
atau penyimpangan dari dengan parameter Motor sesuai dengan
pola jalan normal Asessment Scale (MAS) : kolom prosedur
1. Berdiri pada tungkai dan
melangkah ke depan
dengan tungkai yang lain
(panggul harus ekstensi),
terapis siap menolong
2. Berjalan dengan bantuan
yang siap dari seseorang
3. Berjalan sendiri sejauh 3
meter atau menggunakan
bantuan tetapi bukan
bantuan yang siap sedia
4. Berjalan 5 meter tanpa
bantuan selama 15 detik
5. Berjalan 10 meter tanpa
bantuan, berbalik arah,
mengambil kantong pasir
kecil di lantai, dan berjalan
kembali selama 25 detik
6. Berjalan naik turun 4
langkah dengan atau tanpa
bantuan tetapi tanpa
pegangan sebanyak 3 kali
dalam 35 detik
3 Umur Usia responden yang Wawancara dengan Ordinal 1. < 50 tahun
dilihat dari tanggal lahir menggunakan kuesioner 2. > 50 tahun
4 Jenis Kelamin Secara biologis subjek Wawancara dengan Nominal 1. Laki-laki
dilihat dengan cara menggunkan kuesioner 2. perempuan
wawancara
5 Lama Stroke Waktu setelah terjadi Wawancara dengan Ordinal 1. < 180 hari
serangan stroke saat menggunkan kuesioner 2. > 180 hari
dilakukan intervensi

29
IV. DAFTAR PUSTAKA

1. SISTEM PENGACUAN
Penulisan yang cermat tentang kepustakaan akan mempermudah pembaca dalam
menelusuri masalah yang dicarinya dari sumber acuan tadi. Setiap sistem pengacuan harus
digunakan secara taat asas dalam tubuh tulisan, tabel, dan gambar kemudian disesuaikan
dengan Daftar Pustaka. Sistem penulisan menggunakan sistem Nama-Tahun (sistem
Harvard).

Aliah. (2007). Stroke Patofisiologi dan penatalaksanaan. Surabaya.


Arif, W. (2008). Jurnal Fisioterapi Indonusa. Pengaruh Pemberian PNF terhadap Kekuatan
Fungsi Prehension pada Pasien Stroke Hemoragic dan Non Hemoragic .
Arta, I. G. (2011). Pelatihan dengan Pendekatan Metode Bobath Lebih Efektif dari pada Latihan
Aktifitas Fungsional untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Statis pada Pasien Stroke
Sub Akut. Portal Garuda .
Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Carr Janet, Shepherd Roberta. (2000). A Motor Relearning Programme for Stroke, second ed.
UK: BAS Printers.
Co Akosile, Boa Adegoke, Oe Johnson, FA Maruf. (2011). Effects of Proprioceptive
Neuromuscular Fascilitation Tehnique on the Functional Ambulation of Stroke Survivors.
Journal of the Nigeria Sosiety of Physiotherapy .
Ewa Jaraczewska, Carol Long. (2006). Kinesio Taping in Stroke: Improving Functional Use of
the Upper Extremity in Hemiplegia. Journal Topics in Stroke Rehabilitation .
Feigin, V. (2006). Stroke. Jakarta: Gramedia.
Feigin, V. (2006). Stroke. Jakarta: Gramedia.
Gillen Glen, Burkhrdt Ann. (2002). Stroke Rehabilitation. USA: Mosby year book.
(2010). In M. Irfan, Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: CV. Graha Ilmu.
Irfan, M. (2012). Aplikasi Terapi Latihan Metode Bobath dan Surface Electromygraphy (SEMG)
Memperbaiki Pola Jalan Insan Pasca Stroke , 3.
Irfan, M. (April 2012). Applikasi Terapi Latihan Metode Bobath dan Surface Electromyography
(SEMG) Memperbaiki Pola Jalan Insan Pasca Stroke. Jurnal Fisioterapi Volume 12 Nomor
1.
Marlow, C. (2008). Stroke Practical Management 3rd Edition. United Kingdom: Blackwell.

30
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
O’Sullivan, Susan B, Schmitz, Thomas J. (2007). Physical Rehabilitation. Edisi 5. Philadelphia :
F. A. Davis Company.
Paolo Pillastrini, Giulia Rocchi, Deborah Deserri, Paola Foschi, Michele Mardegan, Maria
Teresa Naldi, Jorge Hugo, Villafane, Lucia Bertozzi. (2016). Efectiveness of
Neuromuscular Taping on painful hemiplegic shoulder: a randomised clinical trial. Journal
Disability and Rehabilitation , 1603-1609.
Rambe, A. S. (2006). Stroke: Sekilas Info tentang Definisi, Penyebab, Efek dan Faktor Resiko.
IKM , 195-198.
Sigit, M. (2001). Aanatomi Fungsional sistem Lokomosi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
(2014). Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Susanti, J. (2008). Jurnal Fisioterapi Indonusa. Pengaruh Penerapan Motor Relearning
Programme terhadap Peningkatan Keseimbangan Berdiri pada Pasien Stroke Hemiplegic .

31
V. LAMPIRAN

1. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) (bila diperlukan)


a. Naskah PSP
PENJELASAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Sri Yani
Status : Dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta

Bermaksud melaksanakan penelitian yang berjudul “ Manfaat Intervensi Metode Bobath dan NMT
Pada Penderita Pasca Stroke terhadap Gangguan Keseimbngan dan Jalan ”. Bersama ini saya akan
menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat atau pengaruh intervensi Bobath dan
NMT pada penderita pasca stroke terhadap gangguan keseimbangan dan jalan .
2. Manfaat penelitian ini secara umum dapat dijadikan rujukan dalam menentukan tindakan
yang tepat untuk mengatasi masalah gangguan keseimbangan dan jalan pada penderita pasca
stroke.
3. Peneliti akan melakukan wawancara untuk mengetahui identitas pasien (nama, usia, lama
stroke). Perkiraan waktu 1-3 menit
4. Peneliti akan melakukan pemeriksaan berupa vital sign (HR, RR dan tekanan darah),
kemampuan keseimbangan dan jalan Bapak/Ibu. Perkiraan waktu 20 – 25 menit.
5. Peneliti akan memberikan terapi intervensi Bobath kepada Bapak/Ibu. Perkiraan waktu yang
diperlukan untuk terapi adalah 45 – 60 menit.
6. Peneliti akan memasangkan taping pada pinggang, punggung, tungkai dan kaki Bapak/Ibu.
Perkiraan waktu 5-10 menit.
7. Bapak/Ibu diminta untuk dapat mengikuti program ini selama 4 minggu berturut-turut.
Setiap minggunya diakan dilakukan terapi 3 x seminggu.
8. Peneliti akan melakukan evaluasi (pemeriksaan kembali) pada sesi terakhir terapi.
9. Peneliti menjamin kerahasiaan informasi tentang identitas ibu/bapak. Data yang diberikan
hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Pelaporan hanya akan menggunakan
kode partisipan, bukan nama sebenarnya.
32
10. Bapak/ibu berhak untuk mengajukan keberatan terhadap hal-hal yang tidak berkenan dalam
penelitian ini.
11. Sehubungan dengan apa yang telah dijelaskan diatas, saya memohon kesediaan bapak/ibu
untuk memberikan persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Partisipasi
ibu/bapak bersifat sukarela tanpa paksaan. Tidak ada sanksi apapun jika ibu/bapak menolak
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
12. Demikian atas perhatian dan kerjasama dari bapak/ibu, saya ucapkan banyak terima kasih.

Semua informasi yang kami dapatkan akan kami jaga kerahasiannya dan akan digunakan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan program fisioterapi pada
penderita stroke khususnya di RSUD Cengkareng.
Apabila bapak/ibu/saudara/i membutuhkan penjelasan dapat menghubungi tim pelaksana
penelitian ini yaitu, Sri Yani, Heri Wibisono dan Eko Prabowo. Serta jika membutuhkan
keterangan lebih lanjut dapat menghubungi penanggung jawab dalam penelitian ini.
Adapun penanggung jawab dalam penelitian ini adalah Sri Yani (08128253233)

Jakarta, 2016
Peneliti

( Sri Yani )

33
b Formulir Persetujuan

INFORMED CONSENT
(Lembar Persetujuan Menjadi Responden)

MANFAAT INTERVENSI METODE BOBATH DAN NMT PADA PENDERITA PASCA


STROKE TERHADAP GANGGUAN KESEIMBNGAN DAN JALAN DI RSUD
CENGKARENG TAHUN 2016

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama / inisial : ...................................................
Usia : ...................................................
Alamat : ...................................................
Telah mendapat penjelasan tentang tujuan, prosedur, manfaat dan resiko dalam penelitian ini.
Saya memahami bahwa keikutsertaan saya menjadi responden pada penelitian ini sangat besar
manfaatnya untuk mengetahui manfaat atau pengaruh intervensi Bobath dan NMT pada penderita
pasca stroke terhadap keseimbangan dan jalan. Dengan menandatangani surat persetujuan ini,
berarti saya telah menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa paksaan.

Jakarta , ............................... 2016

Saksi: Subyek:

(………………………) (………………………)

Ketua Peneliti

(………………………)

34
FORM PEMERIKSAAN PENELITIAN
MANFAAT INTERVENSI METODE BOBATH DAN NMT PADA PENDERITA PASCA
STROKE TERHADAP GANGGUAN KESEIMBNGAN DAN JALAN DI RSUD
CENGKARENG TAHUN 2016

35

Anda mungkin juga menyukai