Anda di halaman 1dari 58

MATRI LINI

Gadis cantik yang duduk di atas kursi tua itu bernama Matri Lini. Dia
memakai sunting perhiasan penganten tradisional yang tinggi, berat dan besar di
kepalanya. Dikelilingi rombongan Vocal Grup menyanyi sambil menari dalam
sebuah lingkaran. Setelah nyanyian selesai, muncul Rahayu, ibu Matri Lini. Dia
memakai baju kurung dan berselendang. Berdiri mengipasi Matri Lini yang
kepanasan. Menyusul pula Datuk Gandang memakai pakaian adat yang sudah
usang.

LINI :
Dari jam delapan pagi, hm… sampai jam delapan malam. Dua belas jam sudah!
Aduh. Beratnya. Semakin berat. Mama, buang saja bebanku ini. Semuanya terasa
menyakitkan.

RAHAYU :
Memang berat tetapi bagus sekali. Hanya orang beradat seperti kita yang boleh
memakainya.

DATUK :
Tidak ada pakaian adat yang ringan. Tanda pakaian itu pakaian adat adalah, kita
keberatan memakainya. Pakaian atau perhiasan yang ringan biasanya dipakai ratu-
ratu kecantikan saja. Ya kan?

RAHAYU :
Sedangkan untuk menjemput tamu dari Jakarta di lapangan terbang kau tahan
memakai sunting yang lebih besar. Kau tidak mengeluh, bahkan bangga, walau
tak seorangpun dari tamu itu mau mempersuntingmu.

89
DATUK :
Padahal acara itu tidak ada hubungannya dengan upacara adat.

LINI :
Buka saja, Ma. Berat sekali. Aduh. Bahu, leher, pinggang terasa sakit dan nyeri.
Ayolah, Ma. Ma.

DATUK :
Jika akad nikah selesai diucapkan dan kau duduk bersanding dengan mempelai
agak sebentar, baru suntingmu boleh dibuka. Dan setelah itu, tidak memakai
suntingpun sampai mati, tidak apa-apa.

RAHAYU :
Hanya sekali dalam seumur hidup, nak.

DATUK :
Ini termasuk latihan, Lini. Latihan menjunjung beban. Bila sudah menjadi istri
bebanmu akan semakin berat. Beban yang paling berat bagimu adalah suamimu
sendiri.

LINI :
Mh… Ma, rasanya mau muntah. Mmmm… Ma!

DATUK :
Kerongkonganmu kering. Kalau haus jangan ditahan. Ayo, Rahayu. Ambilkan
minuman.

RAHAYU :
Mau minum apa? Air jeruk, ya? (ke luar)

DATUK :

90
Gadis-gadis seperti kau memang tidak tahan memikul beban yang begitu berat,
walau beban itu hiasan dirimu sendiri. Tapi Lini, kita harus menjalankan adat
sebaik-baiknya. Kita tidak boleh mengecewakan adat.

LINI :
Tapi yang tersiksa hanya aku sendiri, Datuk.

DATUK :
Bukan kau sendiri saja. Semua datuk-datuk di kampung ini juga menunggu sejak
dari pagi. Pakaian merekapun lebih berat lagi. Hitam, tebal dan panas sekali bila
dipakai. Tapi sudahlah. Sebentar lagi mempelai tentu datang.

LINI :
Hm… panasnya. Panas sekali.

DATUK :
Semua orang kepanasan sekarang. Aku juga. Tapi biarlah aku mengipasimu.
(Mengambil kipas)

LINI :
Datuk, jangan. Jangan. Kalau dilihat orang Datuk mengipasiku, nanti aku
dikatakan tidak tahu adat. Jangan Datuk.

DATUK :
Kalau kemenakan yang menyuruh mamak, memang, kemenakan begitu tidak
beradat. Tapi kalau aku mau mengipasimu karena kepanasan, siapa yang melarang
seorang mamak memberi angin pada kemenakannya sendiri? Adat tidak
melarangnya. (Mengipasi Matri Lini)

LINI :
Jangan Datuk, jangan. Nanti aku dikatakan tidak tahu adat.

DATUK :

91
(Terus mengipasi Matri Lini) Lini. Jika kau telah dinikahi Merah Silu, kau
langsung dibawanya ke Jakarta. Pasti kau akan senang. Bisa pergi bersamanya ke
mana-mana. Ke Jerman, Jepang, Singapura. Dan ibumu tentu akan terkabul pula
niatnya menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Bersuami dengan orang kaya seperti Merah Silu adalah kebanggan kita, Lini.
Saingan yang banyak telah gugur dan kau ke luar sebagai pemenang. Ya, mungkin
karena kau keturunan orang beradat atau karena kau seorang ratu kecantikan.
Memang jarang orang beradat yang bisa meraih gelar Ratu Kecantikan sekaligus.
Di situlah kunci keberhasilanmu merebut Merah Silu.
Dalam pandangan adat, yang dapat dikatakan seseorang itu sebagai orang yang
sebenar-benarnya orang, hanya dua. Pertama, orang berbangsa. Kedua, orang
berharta. Selebihnya hanyalah orang-orang yang tidak masuk hitungan tapi
berguna untuk memenuhi keranjang. Orang denikian namanya – mentimun
bungkuk --.
Merah Silu orang berharta, kaya. Dialah yang dianggap orang dalam adat. Dan
kita, orang berbangsa, dan kitalah yang disebut orang secara adat. Ya kan? Masih
kepanasan? Masih ya? Biar kukipas lagi. Lini kaulah nanti yang akan melanjutkan
keturunan kita, memelihara adat kita, menerima waris rumah gadang dan tanah
pusaka. Kau yang akan membangkitkan batang tarandam bersama suamimu
Merah Silu.
Tapi kuingatkan lagi, seorang gadis yang tahu adat adalah gadis yang secara sadar
mengikuti perintah mamaknya dan menyenangkan hati ibunya.
Dan semua itu telah kau jalankan dengan sepenuh hati. Adat kita ini Lini, adalah
adat yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan.

LINI :
Maksud Datuk, adat plastik. Aduh… beratnya.

DATUK :
Heehe, masih sempat kau bergurau dalam keadaan seperti ini. Bagaimana? Masih
kepanasan? Cukup? Lama-lama mengipasimu tanganku bisa kaku.

92
LINI :
Aduh… Mama… beratnya. Semakin berat. Mual, Ma.

DATUK :
Yang berada di atas kepalamu sekarang adalah kebesaran adat. Adat yang kuat
memang berat, Lini. Aku bangga karena kau masih mampu menjunjungnya
sampai saat ini, (dengan suara keras dan tajam) dan kau tidak merasa dipaksa,
bukan!

LINI :
Tidak, tidak, Datuk. Kemenakan harus mengikuti perintah mamaknya. Aku sangat
menyadarinya, Datuk.

DATUK :
Syukurlah. Kau sudah dewasa dan mengerti dengan adat istiadat. Kepanasan lagi?
ya kan? (Mengipasi Lini kembali)
Lini. Tadi sudah kukatakan, kaulah yang akan membangkitkan batang terandam.
Percayalah Lini. Sekarang hanya kita bertiga yang masih hidup. Aku mamakmu,
ibumu adikku dan kau kemenakanku. Jadi keinginanku untuk menjadi seorang
Datuk benar-benar untuk kau sendiri. Syukur bisa kau melanjutkan keturunan
keluarga kita. Aku percaya, kau tentu akan mendapat anak yang banyak.

LINI :
Mengapa Datuk takut kalau aku tidak punya anak?

DATUK :
Dukun kita, Malin Palito pernah mengatakan bahwa kau tidak mungkin
melahirkan anak secara wajar. Dikatakannya lagi, keluarga kita akan punah.
Habis. Uh! Terlalu berlebih-lebihan! Tuhan saja yang lebih berkuasa belum tentu
menghukum kita begitu kejam! Kau tahu Lini, kutampar, hehe, kutampar dukun

93
itu! Coba Lini, tidak masuk akal kita, kalau kau dikatakannya tidak mampu
melahirkan anak.

LINI :
Mudah-mudahan aku akan punya anak, Datuk. Oh… oh… semuanya mengerikan,
menakutkan, oh. (menangis)
DATUK :
(Memijit-mijit bahu Lini dengan lembut) Lini. Aku tahu kesedihanmu. Kau takut
tidak punya anak, karena takut dituduh tidak mampu melanjutkan keturunan
keluarga kita, tidak suka memelihara adat, dan tidak mau mewarisi harta pusaka.
Kau menangis, karena jika tidak punya anak, tentu semua sawah dan ladang serta
rumah gadang, gelar penghulu kita yang kini kupakai –Datuk Gandang—akan
diambil orang lain. Tapi percayalah Lini, kau pasti punya anak. Bahkan siang
malam aku berdoa agar kau cepat-cepat dapat melahirkan anak.

LINI :
(Menangis) Datuk. Datuk. O…

DATUK :
(Memijit-mijit lengan Lini) Yaya. Karena semua itulah kau kujodohkan dengan
Merah Silu. Merah Silu sehat dan sudah terbukti dapat memberikan anak. Anak-
anaknya sudah sembilan orang! Merah Silu sangat benci pada perempuan yang
tidak mampu melahirkan. Itulah sebabnya Merah Silu menceraikan istrinya yang
kedua. Lini. Yang kucemaskan adalah jika kesalahan itu tertimpa padamu. Suami
sehat, istri gersang. Bibit unggul, tanah tak subur.

LINI :
Aku harus punya anak, Datuk. Harus.

DATUK :
Syukur alhamdulillah. Kau benar-benar telah memahami adat. Ingin melanjutkan
keturunan kita. Lini. Kau berani punya anak, bukan?

94
LINI :
(Menangis) O, oh… mengapa Datuk bertanya begitu.

DATUK :
Maklumlah, Lini. Kau seorang ratu kecantikan. Kata orang, ratu-ratu kecantikan
takut kehilangan kecantikannya karena melahirkan anak. Begitu juga banyak
orang pandai-pandai, orang-orang kaya dan pegawai-pegawai tinggi. Mereka lebih
suka memilih keluarganya punah daripada beranak banyak. Menurut pikiranku,
mereka seperti itu patut dicurigai, apakah mereka masih menjadi orang beradat
atau tidak.

IBU :
(Suara) Orang lain jangan diikut-ikutkan, nanti susah. (Datang membawa segelas
air putih) Semua jeruk sudah dipakai dukun-dukun. Habis semua! Lini, terpaksa
kau minum air putih saja. Minumlah nak.
(Pada Datuk) Bang Datuk. Utusan yang disuruh menjemput marapulai telah
kembali. Marapulai tidak datang bersama mereka.

DATUK :
Jadi, Merah Silu tidak datang? Wah! (Ke luar)

IBU :
(Melihat Lini masih menangis) Kau dimarahi?

LINI :
Tidak.

IBU :
Lalu? Mengapa menangis?

LINI :
Datuk meragukan keberanianku punya anak.

IBU :

95
Dia takut kalau kau tidak punya anak. Akupun juga.

LINI :
Takut kalau keluarga kita punah?

IBU :
Tidak hanya itu, Lini. Merah Silu orang kaya, jika kau tidak berhasil punya anak
dengannya, apa jadinya nanti. Kau tidak akan mendapat bagian yang banyak jika
Merah Silu meninggal. Bagiku bukan harta Merah Silu yang penting, tapi hakmu
sebagai istri. Dan orang-orang kampungpun akan menyesali. Mestinya harus
diperiksa dokter apakah kau bisa mendapatkan anak atau tidak.

LINI :
Sudah diperiksa, Ma.

IBU :
Apa kata dokter?

LINI :
(Menangis memeluk Ibunya) Ma… ma… aku beranak.

IBU :
Syukur. Syukurlah kau bisa beranak. Tapi kenapa menangis?

LINI :
Ma. Bebanku ini. Berat sekali. Berat. Buang saja, Ma. Berat dan semakin berat.
Mual!

IBU :
Perempuan harus tahan memikul beban. Tabahlah. Sebentar lagi suntingmu akan
dibuka setelah dinikahi Merah Silu.

LINI :

96
Oh… Mama, beratnya. Pinggulku, perutku. Mual, nyeri dan pegal.

IBU :
Duduk terlalu lama memakai sunting yang berat, memang begitu nak. Tahanlah
sebentar lagi.

LINI :
Buang saja Ma. Buang. Semakin sakit.

IBU :
O, keringatmu banyak sekali. (Menghapus keringat Lini dengan selendangnya)
Kau cantik, Lini. Tidak salah kau terpilih menjadi ratu kecantikan. Ya kan?
Senyumlah. Senyummu gairah hidupku, nak. Lini…

LINI :
(Senyum) Ah, Mama.

DATUK :
(Datang. Wajahnya tegang sekali tapi segera berubah menjadi tenang)

IBU :
Bagaimana Bang Datuk?

DATUK :
Benar juga.

IBU :
Benar bagaimana?

DATUK :
Merah Silu mendadak ke Jepang. Urusan dagang.

IBU :
Oh. Kapan dia kembali?

97
DATUK :
Bagaimana aku bisa tahu, Rahayu. Rasanya,

LURAH :
(Datang tergesa) Datuk. Tidak sepantasnya Merah Silu begitu. Masa dia tidak
datang saat hari perkawinannya. Datuk-datuk yang menunggu sejak tadi pagi
kecewa sekali.

DATUK :
Begini Pak Lurah. Kecewa ya kecewa. Tapi kita harus memaklumi kesibukan
Merah Silu. Dia terlalu sibuk. Dua hari di Jerman, tiga hari di Spanyol, dua hari di
Prancis, dan hari-hari lainnya ke Amerika, Korea, India, Jepang, yah… pengusaha
besar, importir mobil, exportir udang, batu bara dan kayu gelondongan.

LURAH :
O, begitu. Orang kaya rupanya. Tapi siapa yang mengatakan Merah Silu makelar
tanah, tukang tadah, pedagang kaki lima? Tentu orang yang iri hati padanya
mengatakan begitu.

DATUK :
Yaya, siapa lagi! Tapi biasa begitu Pak Lurah. Mereka mengatakan Merah Silu
tukang jual obat, pembual, dan pencopet, malah!

LURAH :
Tapi Datuk, kalau Merah Silu benar-benar orang kaya, kenapa rumah ibunya dan
pakaian ayahnya begitu sederhana. Tidak mengirimkan uang ke kampung untuk
perbaikan mesjid dan sekolah. Bahkan ayahnya sering terlihat ke hutan mencari
kayu.

DATUK :

98
Kalau orang sudah terlalu kaya hidupnya pasti sederhana, bahkan eksentrik, kata
orang. Tidak seperti kita di sini. Orang kampung kita suka berlagak, Pak Lurah.
Kaya tidak, tapi berlagak seperti raja-raja minyak. Dan Merah Silu tidak mau
dengan lagak-lagak kosong begitu.

LURAH :
Yaya. Semestinya Merah Silu memberi kabar sebelumnya kalau tidak datang.

DATUK :
Dia orang sibuk, Pak Lurah. Orang tersibuk di dunia ini. Coba Pak Lurah
bayangkan. Sampai-sampai anaknya sulit menemui. Kesembilan anaknya terpaksa
mencari jalan sendiri-sendiri. Ya, yang namanya orang kaya. Apa saja diinginkan
anaknya dapat mereka penuhi sendiri. Babunya saja 16 orang, cantik-cantik
bahkan ada yang secantik ratu kecantikan. Belum lagi sekretaris pribadinya? O,
tujuh orang! Setiap hari kerja berganti. Bayangkan itu, Pak Lurah.

LURAH :
Sudah berapa biaya yang Datuk keluarkan menyelenggarakan pesta semeriah ini,
tapi akhirnya kecewa.

DATUK :
Jika mau beruntung kita harus berani merugi, Pak Lurah. Jika perlu kugadaikan
lagi sebagian sawah yang di kaki bukit itu. Menurut adat, kita boleh
menggadaikan sawah atau tanah pusaka untuk pesta perkawinan kemenakan kita
sendiri, ya kan?

LURAH :
Tentu semua surat-surat harus diperbaharui lagi.

DATUK :
Ah, itu kan pekerjaan Pak Lurah. Pokoknya, untuk Pak Lurah beres!

99
IBU :
(Merangkul Lini yang sudah tidak sadarkan diri)
Abang! Abang Datuk! Lini! Lini pingsan!

DATUK :
Pingsan? Ah… Lini. Dia kecewa dan hatinya luluh karena tidak jadi duduk
bersanding hari ini.

LURAH :
Kenapa rupanya? Pucat sekali, seperti ketakutan.

IBU :
Perutnya, Bang! Perutnya!

DATUK :
Ya ya. terlalu lama duduk di luar. Masuk angin pasti. Bawa ke kamarnya.

LURAH :
Wah, gawat. Harus dipanggil dokter.

DATUK :
Tolonglah Pak Lurah.

LURAH :
(Ke luar) Baik. Baik.

IBU :
(Membawa Lini ke luar) Lini. Lini. Biar pingsan, usahakan terus berjalan. Ayo,
Lini. Kau terlalu berat di gendong lagi. aku sudah tidak kuat. Ayo. Nah…
(Keduanya ke luar)

DATUK :

100
(Gelisah duduk di kursi)
Apa pun yang terjadi, aku harus buktikan pada Merah Silu, bahwa sebagai orang
beradat aku memaklumi keadaannya. Dengan cara seperti sekarang adalah bukti
bahwa aku menghormati dan menghargainya.
Bagi orang lain, tidak datangnya Merah Silu pada hari perkawinannya sendiri,
mungkin dianggap penghinaan terhadap pihak penganten perempuan. Tapi kalau
dipikir secara benar, bagaimana mungkin orang kaya seperti Merah Silu mau
menghina keluarga Matri Lini. Dan sekiranya memang orang kaya mau menghina
orang miskin, apa alasan kita tersinggung, terhina? Dia sibuk dan kita yakini
kesibukannya.
Bagi Merah Silu, tentu dia tidak akan melepaskan kesempatan dagangnya yang
akan menguntungkan berartus-ratus juta rupiah hanya karena terpaksa menghadiri
perkawinannya sendiri. Merah Silu tentu tidak mau kehilangan pekerjaan setelah
kawin dengan Matri Lini. Barangkali semua orang sependapat, bahwa perkawinan
bukan untuk menciptakan pengangguran.
Bagi Matri Lini sendiri, kejadian seperti ini dapat pula dijadikannya sebagai
pelajaran, bahwa seorang istri harus rela berkorban untuk karier suami. Istri tidak
boleh menghalangi atau menjadikan suaminya seorang penganggur.
Betapa konyolnya, kalau hanya karena menepati janji dengan istri lalu rejeki
melayang, keuntungan terbang, kesempatan lepas dari tangan.
Bagi orang kampung sendiri hal ini adalah kebanggaan! Mereka bangga bahwa
Merah Silu bukan sembarang orang. Bukan penganggur yang bisa datang kapan
saja dipanggil. Merah Silu itu sendiri,

IBU :
(Tergesa datang) Abang Datuk. Lini muntah-muntah.

DATUK :
Sudah kukatakan. Dia muntah karena masuk angin.

IBU :
Bukan itu. bukan! Ah, bukan masuk angin!

101
DATUK :
Kalau bukan masuk angin, tentu…

IBU :
Dia sudah mengatakan semua! Dia mengaku bahwa,

DATUK :
Kecewa? Kecewa karena tidak jadi duduk bersanding? Kecewa karena tidak nikah
malam ini, tidak jadi malam pengantennya malam ini?
Anak-anak sekarang memang begitu, Rahayu. Dapat cobaan sedikit sudah
goncang. Mental anak-anak muda kita begitu lemah. Kau tahu Rahayu, Merah
Silu sebenarnya menguji kita. Diujinya apakah kita benar-benar menghormatinya
sebagai menantu yang kaya. Tapi Rahayu, orang beradat seperti kita bagaimana
bisa diuji lagi, bukan? Silahkan uji. Dua, tiga atau lima kali Merah Silu belum
juga datang, dia tetap kita tunggu dengan pesta perkawinannya. Keyakinan kita
sangat kuatnya, Rahayu. Kuat sekali, ya kan?
Secara prinsip Merah Silu telah bersedia menjadi suami Matri Lini. Soal
terlambat, tertunda, kesibukan, itu kan hanya persoalan teknis. Katakan pada Lini,
yakinkan dia, bahwa pada prinsipnya Merah Silu adalah suaminya.

IBU :
Tapi Lini,

DATUK :
Tapi apa? Mau nikah sekarang juga? Apa dia sudah gila?

IBU :
Abang Datuk. (Melirik ke kiri ke kanan kalau-kalau ada orang lain, lalu berbisik
pada Datuk)

DATUK :

102
(Terkejut sekali setelah dibisiki) Ha, ha, ham… (Mulutnya segera ditutup Ibu)
kalau begitu kau yang gila! Nikah belum, kawin belum, malam penganten belum,
masa sudah ha (Ibu menutup lagi mulutnya). Kau kira ham (Menutup mulutnya
sendiri) dapat dipermain-mainkan!

IBU :
Sudah tiga bulan! Tiga bulan!

DATUK :
Ah, tiga bulan yang lalu aku datang resmi meminta Merah Silu kepada ayahnya
untuk menjadi suami Matri Lini, masa sejak lamaran itu Lini suda ha (Ibu
menutup mulut Datuk dengan tangkas)
Aku setuju Matri Lini punya anak, tapi tidak perlu terburu-buru. Nikah dulu.
Resmi. Kita orang beradat.

IBU :
Yang kurang ajar itu si, (Berbisik pada Datuk) itu, sopir yang selalu mengantarkan
Lini pulang malam hari dari pesta-pesta pantainya.
Malu kita Bang. Malu!

DATUK :
Iya. Mamak siapa yang tidak malu kalau kemenakannya disopiri seorang sopir!
Tak perlu kau ajari aku.

IBU :
Kalau semua orang tahu, bagaimana Bang? Kita orang beradat.

DATUK :
Uh! Masa orang lain tidak mengerti dengan kodrat seorang perempuan. Kodrat
perempuan itu ha, (Menutup mulutnya sendiri) melahirkan! Ya kan?

IBU :
Tapi ini tidak wajar.

103
DATUK :
Iya. Yang wajar tentu Lini nikah dulu dengan Merah Silu. Atau, si sopir itu
menanyakan padaku apakah Lini boleh diha (Ibu menutup mulut Datuk) nya!

DATUK :
Biar harimau dalam perut, kambing hitam juga harus dikeluarkan. Begitu pepatah
adat. Aku ini Datuk, Rahayu. Datuk Gandang! Seorang Datuk, bagaimanapun,
tidak boleh marah. Ini undang-undang!

LURAH :
(Datang kepayahan) Sayang sekali, Datuk. Dokter malam ini main ceki. Katanya,
tidak seorangpun dokter dibenarkan membawa alat-alat kedokteran ke tempat
judi. Ini sumpah dokter, katanya lagi.

DATUK :
Dokter yang baik memang harus dapat membedakan waktu dan tempat. Dokter
begitu biasanya cepat naik pangkat.

LURAH :
Bagaimana Bu Rahayu? Sembuh?

IBU :
Belum berobat bagaimana mungkin sembuh, Pak Lurah.

DATUK :
Pak Lurah. Bagaimana kalau dipanggil bidan saja.

LURAH :
Bidan.

104
DATUK :
Matri Lini adalah perempuan, Pak Lurah harus tahu itu. Di dalam agama, haram
hukumnya seorang lelaki bukan muhrim menyentuh apalagi meraba-raba seorang
perempuan. Kalau seorang bidan merawat Lini, itu sangat sesuai dengan agama.
Kita orang beradat, Pak Lurah. Adat kita adat yang bersendi syara’, syara’
bersendi kitabullah.

LURAH :
Bidan, Datuk! Apa Matri Lini sedang,

DATUK :
Kenapa heran, Pak Lurah. Matri Lini kan juga, (tidak sempat melanjutkan
pembicaraan karena mulutnya segera disumbat Ibu dengan selendang) Mmm,
kau, kau… (Menunjuk-nunjuk mulutnya sendiri) Mm, mm, mm, mm.

LURAH :
(Tiba-tiba marah sekali) Bu Rahayu! Aku Lurah di sini! Lurah! Sedangkan Lurah
saja tidak mau membungkam seorang Datuk yang sedang bicara. Tapi Bu Rahayu
telah bertindak melebihi wewenangku! Bu Rahayu! Aku tersinggung lagi!
Tersinggung!

IBU :
Tersinggung lagi? Yaya. Baik. Baik Pak Lurah. (Memeluk kaki Pak Lurah dengan
gairah tapi pura-pura menangis) Pak Lurah. Pak Lurah. Maaf Pak Lurah. Oh, Pak
Lurah maafkan saya. Rahayu tidak akan melakukan lagi. Yaya. Melakukan lagi,
pak Lurah. Oh, yaya, lagi Pak Lurah. Lagi.

DATUK :
(Berteriak dan sumbat mulutnya terlepas) Mmmmmmm Rahayu! Kita orang
beradat!

Suasana berganti

105
*

Lelaki yang sudah agak tua yang duduk di atas kursi itu bernama Bujang
Palindih. Mukanya babak belur. Tangan kanannya dibalut dan digantungkan ke
leher dengan saputangan besar. Pakaiannya penuh lumpur bahkan ada yang
robek.
Bujang Palindih dikelilingi rombongan Vocal Grup yang menyanyi dan
menari dalam lingkaran besar. Setelah rombongan Vocal Grup itu menyelesaikan
nyanyiannya, merekapun istirahat. Lalu, muncul Datuk Gandang dengan
pakaian Judo dan dengan ramah sekali tersenyum pada Bujang Palindih yang
merintih kesakitan.

DATUK :
Kan aku harus cuci tangan dulu, Jang.

BUJANG :
Aduh. Aduh. Sakit sekali. Tanganku ini, Datuk. Sakit. Mungkin patah tulang.

DATUK :
Mestinya tadi kau tidak perlu melawan. Aku kan hanya mengajakmu mampir
minum kopi ke sini. Tapi, ya, apa boleh buat. Begitulah keadaanmu jadinya. Jang.
Kau mau melupakan apa yang baru saja kau alami?

BUJANG :
Apa yang harus kulupakan. Aduh, tanganku. Tanganku.

DATUK :
Melupakan bahwa kau kubanting ke lumpur empat kali. Mau kan!

BUJANG :
Yaya. Yaa, Datuk. Aduh…

106
DATUK :
Pinggangmu kena tendangan tiga kali.

BUJANG :
Yaya.

DATUK :
Tangan, tanganmu ter, terpelintir keras sekali.

BUJANG :
Yaya.

DATUK :
Bagus. Dan sekarang kau di sini. Pulih! Pulih, kan!

BUJANG :
Pulih sekali. Aduh… ad…

DATUK :
Mau minum apa? Kopi atau teh telor?

BUJANG :
Air putih saja, Datuk.

DATUK :
Bagus. Orang kotor memang suka minuman bersih, hehe.
(berteriak ke arah luar) Rahayu! Rahayu! Air Putih untuk tamu!
(pada Bujang lagi) Makan?

BUJANG :
Sudah kenyang, Datuk?

DATUK :

107
Bagus. Orang kenyang memang malas berkelahi, ya kan? Begini Jang. Kau mau
kubebaskan? Mau kan?

BUJANG :
Dibebaskan? Apa aku jadi tawanan?

DATUK :
Namun, sebelum kau kubebaskan, aku ingin bicara denganmu dari hati ke hati.
Kita orang beradat dan tidak semua hal harus dilakukan secara kekerasan. Ya kan.

BUJANG :
Aduh… sakitnya. Memang patah tulangku.

DATUK :
Nama lengkapmu, Bujang Palindih?

BUJANG :
Ya, Datuk.

DATUK :
Pekerjaan, sopir.

BUJANG :
Ya.

DATUK :
Umur garis miring tanggal lahir?

BUJANG :
49 tahun.

DATUK :
Pendidikan terakhir garis miring ijazah tahun?

108
BUJANG :
Sarjana 1986.

DATUK :
Alamat terakhir dan kode pos?

BUJANG :
Jalan Lurus, Perumnas, kosong tiga kosong dua kosong satu kosong-kosong.

DATUK :
Jumlah keluarga?

BUJANG :
Satu istri, satu anak, satu babu, satu mertua, satu kemenakan, satu,

DATUK :
Nusa! Satu bangsa! Satu bahasa! Babi kau!

BUJANG :
Aduh… sakitnya. Pasti ada pendarahan. Aduh.

DATUK :
Baiklah, Jang. Dengarkan aku. Aku telah menjodohkan kemenakanku, Matri Lini,
dengan Merah Silu. Siapa yang tidak kenal dengan Merah Silu. Orang kaya, ya
kan? Rumah lima, mobil sembilan, toko tujuh, kapal tiga, pesawat empat,
lapangan terbang sepuluh. Bandar sepuluh, namanya menurut adat!
Tapi Jang, sewaktu Matri Lini akan duduk bersanding ternyata Matri Lini telah
hamil. Sebagai orang beradat, tentu kita malu. Bagaimana Jang. Kau tidak merasa
malu?

BUJANG :
Aduh… tentu saja malu, Datuk.

109
DATUK :
Yaya. Sekarang pertanyaanku adalah, siapa yang mendalangimu melakukan hal
yang memalukan itu? Dalangnya siapa?

BUJANG :
Tidak pernah didalangi oleh siapapun kalau Lini hamil, Datuk. Percayalah.
Barangkali Lini pun tidak bermaksud untuk hamil sewaktu dia dihamili.

DATUK :
Kukira memang begitu. Zaman sekarang sulit ada manusia yang bersih, ya kan.
Bersih kotornya tergantung pada ketahuan atau tidaknya perbuatan yang
dilakukan. Ada perbuatan jahat yang dilakukan seseorang tapi tidak ketahuan,
maka seseorang itu terlepas dari kejahatan. Ada yang jujur mengakui kesalahan,
maka yang jujur itu pun diakui menjadi jahat.

BUJANG :
Kebetulan aku jujur dan kuakui kesalahanku.

DATUK :
Kau jujur? Hehe! Nah, kalau kau jujur apa kau akui juga perbuatanmu dengan
Matri Lini pada istrimu?

BUJANG :
Ya. Aduh…

DATUK :
Juga pada kemenakanmu?

BUJANG :
Y a.

DATUK :
Juga pada mertuamu?

110
BUJANG :
Ya. malah mereka bangga bahwa ada seorang ratu kecantikan mau menyerahkan
segalanya kepada seorang sopir seumur aku.

DATUK :
Bangga? Tapi keluargamu tidak gila semua, kan?

BUJANG :
Gila semua atau waras semua sama saja. Aduh… pasti ada pendarahan di dalam
tubuhku ini.

DATUK :
Jang. Kalau hanya aku terhina, ibu Matri Lini merasa malu atau orang kampung
tersinggung karena perbuatanmu terhadap Matri Lini, mungkin bagiku tidak jadi
persoalan. Tapi Jang, sekiranya aku jadi Merah Silu, bakal suami Matri Lini,
menghadapi persoalan semacam ini, tentu mobilmu akan dibelinya kontan dan kau
akan jadi penganggur selamanya!
Aku sudah susah payah menjaga perasaan Merah Silu, tapi kau justru berbuat
sebaliknya.
E, Jang. Kalau mau jadi orang beradat seperti aku, kau dari sekarang harus mulai
melatih diri untuk menjaga perasaan orang-orang kaya. Orang kaya itu harus
dijaga betul perasaannya, Jang. Jangan biarkan mereka sampai kecil hati atau
tersinggung. Sebab, orang miskin memerlukan orang kaya. Ya kan? Sekarang ini
Jang, lebih bangga kita ditegur orang kaya daripada dipanggil ke kantor kelurahan
maupun ke kantor Balaikota. Orang kaya itu harus kita pertahankan.

BUJANG :
Kalau Merah Silu orang benar-benar kaya, pasti dicarinya perempuan lain untuk
dijadikan istrinya. Buat apa beristri dengan orang hamil, bukan?

DATUK :

111
Perempuan lain? Kemudian kau sendiri akan menjadi suami Matri Lini? O,
tunggu dulu, Jang! Adat mengatakan bahwa yang dikatakan orang itu adalah
orang kaya dan orang berbangsa. Yang lain hanya orang-orangan, Jang. Maaf, ini
kata adat, bukan kata-kataku sendiri.

BUJANG :
Aduh… terserah Datuklah. Memang akupun tidak berniat mengawini Matri Lini.

DATUK :
O, begitu. Syukur. Dan kau tidak akan mempertanggung jawabkan perbuatanmu,
bukan?

BUJANG :
Kepada Lini sudah kukatakan bahwa aku tidak mempertanggung jawabkan segala
akibat dari hubungan kami berdua di atas mobil itu. Yah, tapi Lini punya pendapat
lain.

DATUK :
Bagaimana pendapatnya?

BUJANG :
Menurut Lini, dia benar-benar telah memahami adat. Di dalam adat, katanya,
hanya mamak yang harus bertanggung jawab terhadap kemenakannya.

DATUK :
Hehe! Aku harus bertanggung jawab atas hubungan gelap kalian berdua? Nah,
lalu?

BUJANG :
Menurut Lini lagi, yang penting bagi seorang perempuan di dalam adat, adalah
status! Status yang diakui. Artinya, pengakuan seorang laki-laki terhadap bayi
yang sedang dikandungnya. Pengakuan itu baru wajar dan sah, tentulah

112
pengakuan dari seorang suami. Soal siapa yang menghamilinya, menurut Lini, itu
hanya persoalan teknis. Ini menurut Lini, bukan karanganku sendiri.

DATUK :
Persoalan teknis? Ampun aku, Jang.

BUJANG :
Bukan aku, tapi menurut Matri Lini. Dia memang gadis pintar. Umumnya Datuk,
gadis cantik jarang yang pintar. Tapi Lini lain. Dua-duanya sekaligus ada dalam
dirinya.

DATUK :
O, soal itu memang sudah dari dulu. Lini memang cerdas dan cantik. Dia kan
kemenakanku, satu-satunya, Jang! Ratu kecantikan lagi. Teman-temannya selalu
memanggilnya, Ratu. Atau, Putri. Kadang-kadang aku seperti berada pada cerita
Seribu Satu Malam, hehe.

BUJANG :
Yaya. Karena kecerdasannya itulah dia mampu menipu dirinya sendiri.

DATUK :
Menipu diri sendiri? Mungkin. Mungkin saja, Jang. Sebab dia tidak berani menipu
aku. Ya, orang beradat namanya. Daripada menipu adat lebih baik menipu diri
sendiri, ya kan.

BUJANG :
Benar itu Datuk. Pengalamanku sewaktu kuliah juga begitu. Banyak perempuan
pintar, gadis cerdas, menipu diri sendiri. Menurut mereka, hal itu sah dan tidak
mungkin dilakukan orang-orang bodoh. Yang paling sukar adalah menipu diri
sendiri. Dan menurut mereka, hanya orang-orang cerdas dan pintar sajalah yang
dapat mengatasi kesukaran itu.

DATUK :

113
Hebat sekali, Jang! Dan aku,

BUJANG :
Juga mengalami kesukaran? Kesukaran apa yang Datuk alami? Soal Matri Lini?

DATUK :
Merah Silu! Aku harus menjaga perasaannya, Jang.

BUJANG :
Benar Datuk. Sebaiknya Datuk menghindari persoalan lain sehingga pikiran
Datuk benar-benar tertuju pada satu hal saja – menjaga perasaan orang kaya --.
Tapi dengan kehadiranku di sini, Datuk menghadapi kesulitan yang lain, ya kan?

DATUK :
Kau mau menghindarkan aku dari kesulitan lain itu?

BUJANG :
O, tentu. Kesulitan Matri Lini saja dapat kuatasi. Kesulitan mamaknya kan juga
harus dapat pula kuatasi. Apa yang harus kulakukan Datuk. Katakanlah.

DATUK :
Tinggalkan tempat ini. Cepat!

BUJANG :
Tapi bagaimana dengan tanganku yang patah, pendarahan, pinggangku, mukaku
dan pakaianku seperti ini? Siapa yang harus bertanggung jawab?

DATUK :
Tentu mamakmu. Kita orang beradat, Jang. Mamak harus bertanggung jawab pada
kemenakannya, ya kan? Pergilah! Cepat!

BUJANG :

114
Baik. Memang sulit seorang Datuk seperti Datuk Gandang ini. Seorang Datuk
yang sangat memahami hakekat adat. Datuk-datuk lain hanya bisa berpakaian
adat, menghapal pepatah petitih atau menjual tanah pusaka saja. Menurutku,
Datuklah yang pertama kali memakai adat secara utuh, mendalam dan terpadu.
Sedangkan Datuk-Datuk lainnya, baru pada taraf,

DATUK :
(Memelintir tangan Bujang) Pergi atau tidak!

BUJANG :
Aduh, aduh. Yaya, aku pergi. Sedangkan Datuk-datuk yang lain baru pada taraf
seorang Datuk lokal. Datuk yang sangat terbatas wawasannya. Datuk yang hanya
menjadi Datuk pada kemenakan mereka sendiri. Belum menjadi Datuk pada
adatnya. Datuk-Datuk sebenarnya harus berada di depan segala persoalan, di
dalam segala hakekat. Dapat memisahkan antara upacara adat dengan inti, saripati
adat. Dapat membedakan persoalan prinsip dengan persoalan teknis. Ya, pokoknya
seorang Datuk,

DATUK :
(Memelintir tangan Bujang lebih keras) Cepat!

BUJANG :
Aduh, aduh. Tapi Datuk sendiri, yang dipanggilkan Datuk Gandang Nan Lambok
adalah seorang Datuk yang patut dicontoh. Punya jiwa besar, wawasan yang luas.
Walaupun pekerjaan sehari-harinya hanya sebagai Satpam, tapi dia berani berbuat
memurnikan adat.
Sebenarnya, apa yang telah Datuk lakukan, atau yang telah diperbuat Matri Lini
maupun Merah Silu, sudah sesuai dengan panggilan adat. Adat mengatakan –
karena emas semua bisa dikemas, karena padi semua dapat menjadi – pada
hakekatnya adalah uang! Kekayaan! Dengan uang semua bisa dibeli. Siapa yang
kaya pasti dapat memiliki segalanya!

115
DATUK :
Sudah kataku! Kau mau pergi atau tidak! (Memelintir tangan Bujang lebih kuat
lagi)

BUJANG :
Aduh! Bisa patah satu lagi, Datuk.

IBU :
(Bertelekung membawa segelas air putih) Kalau menyuruhnya pergi, tangannya
harus dilepaskan dulu.

DATUK :
Menyiapkan air putih saja begitu lama.

IBU :
Aku sedang sembahyang, bagaimana menyiapkannya.

DATUK :
(Memelintir tangan Bujang lebih keras) Kau haus Jang?

BUJANG :
Tidak, tidak, aduh aduh…

DATUK :
Kalau begitu biar aku yang haus. (Mengambil air itu dan meminumnya)

BUJANG :
Silahkan Datuk. Minumlah. Aduh, tanganku. Tanganku.

DATUK :
(Melepaskan tangan Bujang dan menyerahkan gelas kepada Ibu) Tambah lagi.

BUJANG :
(Segera berdiri) Terima kasih, Datuk. (Ke luar)

116
IBU :
E, bang Datuk. Bujang tidak boleh pergi. Dia harus dituntut! Dia telah membuat
malu keluarga kita! Arang telah dicorengkannya ke muka kita! Dia harus dituntut
12 juta!

DATUK :
Uh! Mobil untuk taksinya saja hanya berharga 8 juta. Itupun taksi induk
semangnya. Sedangkan si Bujang itu sendiri tidak berharga apa-apa. Mentimun
bungkuk! Orang miskin tidak mungkin memenuhi tuntutan apapun.

IBU :
Jadi Abang Datuk membiarkan begitu saja?

DATUK :
Justru aku lebih memikirkan perasaan Merah Silu.

IBU :
Perasaan kita?

DATUK :
Dapat kita atasi sendiri.

IBU :
Dan malu kita pada orang kampung?

DATUK :
Malu kita, malu orang beradat. Malu Matri Lini, malu kita semua. Orang beradat
sama semalu, Rahayu. Kalau sudah sama-sama malu, ya apa lagi. Tidak menjadi
malu lagi namanya.

IBU :

117
Kalau Abang Datuk berpikir begitu terus, lama-lama kita bisa gila, atau orang lain
menuduh kita gila.

DATUK :
Kita tidak merugikan orang lain. Kita mungkin dikatakan gila adat, gila harta, itu
biasa. Orang lain itupun nanti akan mendapat keuntungan dari kegilaan kita.

IBU :
Kalau begitu, apa yang dilakukan Matri Lini tidak memalukan lagi? Dapat
dibenarkan secara adat?

DATUK :
Sebagai resiko, Matri Lini harus dapat mengatasi persoalannya sendiri. Itulah
satu-satunya cara menjadikannya dewasa.

IBU :
Dan kita? Kita diam saja? Kemenakan hamil di luar nikah tapi mamaknya hanya
berkhotbah tentang adat, tentang kegilaan. Hanya begitu?

DATUK :
Ah, kau. Nyinyir! Apa kau bisa memindahkan kandungan Lini ke perutmu, atau
ke perutku, atau ke perut kerbau kita? Tidak bukan? Kita tidak bisa berbuat apa-
apa. Soal hamil adalah persoalan individuil!

IBU :
Bagaimana kalau digugurkan saja.

DATUK :
Sama artinya dengan membuang garam ke laut. Menggugurkan kandungan
memerlukan ongkos yang banyak. Itu berarti menambah kekayaan dokter yang
sudah kaya.

IBU :

118
(Menangis) Abang Datuk. Belum pernah dalam keluarga kita terjadi hal
memalukan seperti ini.

DATUK :
Aku tahu.

IBU :
Kalau tahu mengapa tidak diatasi.

DATUK :
Sudah kukatakan berkali-kali. Lini tidak minta persetujuanku sewaktu dihamili si
Bujang! Diberitahupun tidak! Coba kalau diberi tahu sebelumnya, tentu kularang.
Rahayu, aku juga tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Aku Datuk, orang
beradat!

IBU :
Kalau anak Lini lahir, lalu bayinya menjadi anak siapa?

DATUK :
Rahayu, Rahayu. Kalau anak Matri Lini lahir, bayi itu ya, anak Matri Lini. Apa
mungkin jadi anak kambing, anak jawi, anak bincacak atau bincacau, atau anak
singiang-ngiang rimba? Ah, kau. Orang beranak orang, itu adat namanya. Adat
yang sebenar adat. Fitrah. Hukum alam. Kalau orang beranak musang, baru
dikatakan orang itu tidak beradat.

IBU :
Dan bapak si anak itu?

DATUK :
Si Bujang! Bujang Palindih! Kan sudah diakui sendiri oleh Matri Lini.

IBU :
Apa si Bujang juga mengakui sebagai anaknya.

119
DATUK :
Ah, kau. Siapa saja boleh mengakui. Apa sulitnya pengakuan zaman sekarang.
Orang maling kalau tidak mengakui bahwa dia maling, dia dianggap tidak maling!
Seorang pembual kalau diakuinya sendiri apa yang dikatakannya bukan bualan,
pembual itu tidak menjadi pembual lagi. Pengakuan itu tergantung kita, Rahayu.

IBU :
Kudengar tadi, Bujang tidak mau berterus-terang.

DATUK :
Di tempat yang terang terus, orang tidak suka berterus terang. Itu biasa, Rahayu.

IBU :
Kawinkan saja Matri Lini dengan si Bujang.

DATUK :
O, o, o! kau mau memperjuangkan si Bujang atau Merah Silu? Dan lagi, secara
adat tidak dibenarkan seorang perempuan bersuami dua.

IBU :
Jadi, Matri Lini tetap dikawinkan dengan Merah Silu?

DATUK :
Persetujuan prinsip kan sudah. Dan belum ada pembatalan dari kedua belah pihak.

IBU :
Tapi Merah Silu belum menikahi Matri Lini.

DATUK :
Itu masalah teknis. Bisa diwakilkan.

IBU :
Nikah yang diwakilkan hanyalah cara orang dahulu. Tapi sekarang,

120
DATUK :
Justru lebih hebat lagi. Dulu hanya nikah yang boleh diwakilkan kepada orang
lain, tapi sekarang semua hal boleh diwakilkan.
Pikiran, suara, semuanya punya wakil. Sah menurut undang-undang. Ah, kau
rupanya sudah ketinggalan zaman.

IBU :
Kapan nikah begitu akan dilaksanakan.

DATUK :
Nah, itu pertanyaan dari pikiran jernih. Kapan. Artinya kau berpikir ke depan.
Tidak menyesali atau mengutuki apa yang telah terjadi. Bagus sekali. Kapan ya.
Ya, kapan-kapan saja.

IBU :
(Lemah duduk di korsi) Abang Datuk. Abang Datuk. Waktunya harus ditentukan.

DATUK :
Tergantung keadaan. Bagaimana kita memaksa keadaan, ya kan?

IBU :
Bagaimana kalau besok.

DATUK :
Kenapa tidak malam ini saja? Kenapa harus ditunggu besok pagi apa yang dapat
dikerjakan hari ini.

IBU :
Malam ini? Kadinya mana? Ayah mempelai mana? Saksi nikahnya mana?

DATUK :
Ah, kau. Itu hanya persoalan teknis, kataku!

IBU :

121
(Lemah) Teknis? Oh…

Suasana berganti

Gadis yang bernama Matri Lini itu sudah berganti baju. Sekarang dia
memakai kebaya. Duduk di atas kursi. Sebuah kopor dan sebuah bungkusan lain
berada di dekatnya. Matri Lini dikelilingi rombongan Vocal Grup menyanyi dan
menari dalam lingkaran. Setelah bernyanyi, mereka istirahat. Lalu, Ibu datang.
Dia gelisah sekali.

LINI :
Sebaiknya Mama duduk di sini.

IBU :
Kau saja. Penganten baru tidak baik berdiri lama.

LINI :
Nanti dikatakan aku tidak beradat. Ibu berdiri sedang anaknya duduk dengan
enak. Ayolah Ma. Duduklah.

IBU :
Jangan, jangan. Biar kau saja.

LINI :
Ma. Obat anti mabuk sudah diminum?

IBU :
Belum.

LINI :

122
Kalau nanti mama muntah-muntah di pesawat, kita dianggap kampungan, baru
pertama kali naik kapal terbang. Minumlah Ma. Tidak terlalu pahit.

IBU :
Orang tua seperti aku tidak mungkin mabuk lagi, Lini. Biasanya yang mabuk
penganten baru atau gadis mula bercinta.

LINI :
Aaa, Mama.

DATUK :
(Datang berpakaian seragam seorang Satpam membawa sebuah kopor dan
beberapa bungkusan besar)

IBU :
Barang-barang apa ini Abang Datuk. Banyak sekali.

DATUK :
(Meletakkan barang-barang itu dekat kopor yang lain) Untung komandanku
bertengkar dengan istrinya. Kalau tidak, barang-barang ini tidak sempat kau bawa.
Merah Silu tentu akan kecewa.

LINI :
Kalau pesawatnya kecil bisa menyulitkan membawa barang sebanyak ini, Datuk.

DATUK :
Keberangkatanmu bukan hanya sebagai istri Merah Silu tetapi sekaligus
membawa kiriman dari keluarga yang beradat. Kiriman seorang Datuk untuk
seorang menantu.
Sebagai orang beradat perlengkapanmu harus cukup. Siapa tahu nanti Merah Silu
ingin mengadakan pesta adat ulangan karena tidak sempat melakukannya di
kampung. (Membuka kopor dan membuka sebagian isinya) Pelaminan lengkap.
Tinggal pasang dan gantung. Ini (Membuka bungkusan yang lain) Tabir penutup

123
dinding. Ini kelambu tujuh lapis, sebagaimana kelambu Bundo Kanduang dalam
kaba Cindua Mato. Betapapun kayanya seseorang, betapa juga tinggi pangkatnya,
jika mereka tidak mempunyai barang-barang adat seperti ini, pasti, pasti dikatakan
orang tidak beradat. Pokoknya Lini, aku tidak ingin mengecewakan Merah Silu.
(Menghapus keringat) Untung orang lain mau membeli sebagian sawah kita yang
terletak di kaki gunung Singgalang, sehingga uangnya dapat kubelikan barang
ini. Kalau tidak, Merah Silu pasti kecewa. Pelihara barang-barang ini baik-baik.
Jangan sampai terendam air. Kau tahu berapa biaya yang sudah kukeluarkan untuk
semua ini? Tidak kan? Empat belas setengah juta!

IBU :
Empat belas setengah juta? Istri Pak Camat juga membeli barang-barang seperti
ini, tapi harganya hanya satu setengah juta.

DATUK :
Istri Pak Camat banyak kenalan dan semua pedagang segan padanya. Untung istri
Pak Camat masih mau membayar. Kalau diminta saja, apalagi kalau dikatakan
untuk promosi kebudayaan, para pedagang akan berlomba-lomba memberikan
sebagai sumbangan.

IBU :
Dan istri Pak Lurah hanya membelinya dua juta.

DATUK :
Istrinya yang nomor berapa? O, itu yang tinggal di kampung sebelah? Pantas
kalau dia membeli dua juta. Pangkat Lurah lebih rendah dari Camat. Setiap
pedagang barang akan menaikkan harga pada pembeli yang berpangkat rendah.
Rahayu. Kalau dipikir-pikir, barang yang kubeli empat belas setengah juta ini
masih terlalu murah untuk dibawa oleh istri seorang kaya, seperti istri Merah Silu
ini. Sebab, semakin mahal harganya semakin tinggi nilainya.
Hanya empat belas setengah juta, Rahayu. Ya, apa boleh buat. Kita hanya mampu
begitu.

124
IBU :
Mungkin pedagang itu menipu abang Datuk.

DATUK :
Ah, jadi kau sangsi harga-harga barang-barang ini empat belas setengah juta?
Percayalah, Rahayu. Aku tidak mau mengambil keuntungan sesenpun. Ini barang
kebudayaan. Segan aku mencatut harganya, apalagi barang kebudayaan kita
sendiri

IBU :
Aku tidak menuduh. Tapi rasanya, ya, terlalu mahal.

DATUK :
Yang murah memang ada. Tapi bagaimana mungkin membeli barang murahan.
Kalau Merah Silu kecewa, bagaimana? Apapun akan kuberikan pada Merah Silu
asal dia tidak kecewa. Ingat Rahayu. Kita harus menjaga perasaan orang-orang
kaya apalagi menantu sendiri.

IBU :
Hasil penjualan sawah itu hanya lima belas juta. Tentu sisanya hanya lima ratus.
Tidak cukup untuk ongkos dua orang.

DATUK :
Untuk kalian berdua hanya dua ratus. Tiga ratus untuk biayaku selama kalian di
rumah Merah Silu. Ini (Menyerahkan uang)

IBU :
Kenapa harus diambil tiga ratus? Istri tidak ada, anak juga tidak punya.

DATUK :
Tugas seorang Penghulu sangat berat, Rahayu. Apalagi zaman sekarang.
Semuanya bisa diselesaikan kalau ada uang di tangan.

125
IBU :
O, Abang Datuk. Bagaimana aku bisa pulang bila ongkosnya kurang. Apa aku
harus pulang berjalan kaki?

DATUK :
Merah Silu adalah menantu yang tahu adat, Rahayu. Jika mertuanya pulang mesti
dibelikannya tiket pesawat. Jangankan tiket, pesawat terbangpun kau bisa
dibelikannya. Merah Silu orang kaya, Rahayu. Kaya sekali.

LURAH :
(Datang berpakaian seorang penghulu)
E, Datuk Gandang! Ah, saya kira Satpam dari kantor apa.

DATUK :
He, he, Pak Lurah. Sejak kapan jadi Penghulu? Datuk apa gelar Pak Lurah
sekarang. Yaya. Memang lebih gagah pak Lurah berpakaian adat daripada
Penghulu yang sebenarnya.

LURAH :
Yaya. Sebenarnya ini pakaian pinjaman, Datuk. Saya diperintahkan mengiringkan
Datuk-Datuk kita menyambut tamu yang datang tadi siang dari Jakarta. Tapi
ternyata Datuk-Datuk di kampung kita tidak ada yang mempunyai pakaian adat
yang bagus.

DATUK :
Sesuai dengan pepatah adatnya. Adat dipakai baru, baju dipakai usang.

LURAH :
Memang, semua pakaian mereka sudah usang bahkan ada juga yang sudah
ditambal sulam. Coba, kalau seorang Datuk dengan pakaian begitu yang kita
kirim, tentu orang menyangka bahwa Datuk-Datuk kita miskin semua. Itulah
sebabnya aku berusaha menyewa pakaian ini dan kupakai sendiri.

126
DATUK :
Pak Lurah memang bijaksana. Berkat tindakan Pak Lurah semua Penghulu
terhindar dari tuduhan kemiskinan. Sekaligus pula memenuhi apa yang diinginkan
atasan Pak Lurah sendiri.

LURAH :
Kita orang beradat, Datuk. Pandai mengatasi keadaan. Seperti menarik sehelai
rambut dalam sekarung tepung. Rambut tidak putus, tepungnya tidak berserakan.

DATUK :
Benar Pak Lurah. Yang penting kita harus memberikan kesan kepada tamu-tamu
kita, bahwa Penghulu Adat suka menyambut tamunya dan kaya semua. Walaupun
adat yang kita bangga-banggakan itu akan jadi kabur, karena seorang dubalang
memakai pakaian penghulu. Yaya, Rahayu. Aku jadi ingat lagi.

IBU :
Apa lagi, Bang?

DATUK :
Mestinya Lini juga harus membawa seperangkat pakaian penghulu untuk Merah
Silu. Wah, kalau Merah Silu berpakaian adat tentu akan membanggakan kita.
Seorang Datuk sekaligus seorang yang teramat kaya. Tapi, yah, waktunya sudah
kasip. Lini. Katakan pada Merah Silu nanti, bahwa aku benar-benar minta maaf,
karena lupa memberikan seperangkat pakaian adat kepadanya.

LURAH :
Nanti saja Datuk. Merah Silu harus diberi dulu gelar Datuk. Ya, gelar Datuk di
kampung kita. Ah, bayangkan. Tentu akan diadakan pesta besar-besaran. Jalan ke
kampung kita akan diaspal, jembatan akan diperbaiki. Gagasan ini baik sekali
Datuk. Dan Rahayu, kalau sempat bicara dengan Merah Silu tidak apa bicara
dengannya soal pemberian gelar ini.

127
DATUK :
Itu urusan mudah, Pak Lurah. Yang penting sekarang Lini harus ke Jakarta
menemuinya.

IBU :
Tentu Lini harus diantarkan kepada suaminya.

LURAH :
Yaya. Itu namanya istri wesel.

IBU :
Istri Wesel?!

LURAH :
Karena kesibukan nikah terpaksa diwakilkan. Karena berjauhan istri dikirimkan.
Istri kiriman inilah yang dikenal –istri wesel--. Tapi umumnya istri wesel lebih
setia.

DATUK :
Benar. Adat kita memang satu-satunya yang dapat mengatasi persoalan dunia
modern. Terbaik. Nomor satu di dunia barangkali. Ya kan?

LURAH :
Yaya, adat kita memang canggih. Tapi Datuk, (Menyeret Datuk ke samping)
Sekarang Merah Silu tidak berada di Jakarta. Buat apa Matri Lini pergi ke sana.

DATUK :
Siapa yang mengatakan begitu?

LURAH :
Bersama rombongan dari Jakarta tadi pagi Merah Sago saudara dari Merah Silu
datang menemuiku. Aku dan Merah Sago kan teman lama selapik seketiduran.
Merah Sago mengatakan bahwa Merah Silu selama enam bulan pergi ke Kanada.

128
DATUK :
Enam bulan? Di Kanada? Apa urusannya?

LURAH :
Ya, pengusaha besar tentu urusan banyak yang harus diselesaikan.

DATUK :
Merah Silu selalu sukses dan hubungan dagangnya mencangkup seluruh dunia.
Coba Pak Lurah, siapa yang tidak bangga punya menantu demikian.

LURAH :
Atas rahmat Tuhan juga Datuk dapat menantu demikian. Bersyukurlah. Dan saya
permisi dulu. Saya harus segera mengembalikan pakaian adat ini pada toko orang
India di Pasar Jawa.

DATUK :
Hehe. Jadi orang India yang mempersewakan pakaian Penghulu yang bagus itu?

LURAH :
Jangan heran Datuk. Asal ada uang semuanya bisa. Dek ameh kameh, dek padi
manjadi. Kan begitu.

DATUK :
Ya. itulah sebabnya aku berjuang mati-matian menjodohkan Matri Lini dengan
Merah Silu.

LURAH :
Dan Datuk berhasil. Selamatlah. Bu Rahayu, selamat menemui menantu. Ondeh
Matri Lini. Ratu kecantikan kita. Jangan khawatir, suamimu pasti milikmu. (Ke
luar)

IBU :
Abang Datuk. Apa yang dibisiki Pak Lurah padamu.

129
DATUK :
Sekeras itu bicaranya tidak kau dengar? Dia tidak berbisik tapi seakan berbisik.
Ini namanya bisik orang beradat.

IBU :
Soal Merah Silu kan?

DATUK :
Kau dan Lini tidak tepat pergi ke Jakarta sekarang. Selama enam bulan Merah
Silu berada di Kanada. Itu bagus sekali. Aku masih sempat memesan seperangkat
pakaian adat yang bagus untuk Merah Silu.

IBU :
Tidak jadi berangkat sekarang?

DATUK :
Buat apa ke Jakarta kalau tidak berjumpa dengan Merah Silu?

IBU :
Enam bulan lagi? O, Abang Datuk. Kita pasti mendapat kesulitan lagi.

DATUK :
Jangan khawatir. Pakaian adat yang bagus bisa siap empat bulan. Biar aku yang
menanggung biayanya.

IBU :
Enam bulan lagi kandungan Lini sudah berumur sembilan bulan. Lini tentu akan
bertemu dengan suaminya saat akan melahirkan. Ini bukan lelucon anak ajaib,
Abang Datuk.

DATUK :

130
Yaya. Untung sekali Pak Lurah tidak awas matanya. Kalau dia pejabat tinggi pasti
cepat dapat membedakan mana wanita yang masih perawan dan mana yang akan
melahirkan.

IBU :
Tapi orang kampung akan segera mengetahui kehamilannya dan kita akan
dijadikan bahan gunjingan. Jika Merah Silu sempat tahu, bisa jadi Merah Silu
akan menolak.

DATUK :
Dia sudah dinikahkan, masa Merah Silu tidak mau menerima istrinya.

IBU :
Iya. Kalau Merah Silu menolak itu namanya perceraian. Matri Lini punya hak
untuk menuntut haknya.

DATUK :
Ah, orang seperti Merah Silu tentu tidak mau direpotkan dengan hal-hal begitu.
Paling-paling diterimanya juga. Toh Merah Silu tetap menantu kita.

IBU :
Abang Datuk. Selama enam bulan mendatang Lini tidak usah berada di kampung.
Malu kita.

DATUK :
Lalu? Mau dibawa ke mana?

IBU :
Ke mana yang mungkin untuk disembunyikan. Ayolah Bang. Kita harus berangkat
sekarang juga.

DATUK :
Dan barang-barang adat ini juga harus dibawa?

131
IBU :
Yang jelas Matri Lini harus disembunyikan. Ayo Lini. (Ke luar bersama Matri
Lini)

DATUK :
E, e, e, Rahayu! Lini! Bagaimana mungkin aku membawa barang-barang ini
sendiri. Ah.
(Membungkus barang-barangnya kembali) Uh, gara-gara takut pada mulut usil
orang kampung, aku sendiri yang harus mengemasi barang-barang ini! Oh, orang
kampungku. Mengapa kalian terlalu suka mempergunjingkan keadaan orang lain?

IBU :
(Datang memegang tiket pesawat)
Abang Datuk. Kalau memang tidak jadi berangkat sebaiknya tiket ini diuangkan
saja. Uangnya cukup banyak juga. Dua tiket!

DATUK :
Kalau ditukar harus ke kantor pusat dan dipotong duapuluh lima persen.

IBU :
Kalau begitu dijual langsung saja, Bang Datuk.
(Menyerahkan tiket dan pergi tergesa)

DATUK :
Dijual langsung?
(Barang-barang yang telah dibungkus disandangnya sambil menggenggam dua
tiket)

NYONYA :
(Datang, kaget dan marah)
Datuk! Tadi Datuk minta izin mengantarkan kemenakan, ternyata mencari
objekan. Ah, kalau suami saya tahu begini, Datuk bisa diberhentikan. Wah, wah,

132
Datuk Gandang. Mau mencatut tiket lagi. Datuk kira tiket pesawat sama dengan
karcis pasar malam.

DATUK :
Maafkan saya nyonya. Saya benar-benar mengantarkan kemenakan saya. Tapi
keberangkatannya ditunda.

NYONYA :
Ini barang apa? Kenapa banyak sekali?

DATUK :
Pelaminan, tabir serta kelambu.

NYONYA :
Mau dibawa ke mana? Ke pesawat? O yaya, mau dibawa lagi ke kampung?

DATUK :
Susah juga dibawa kembali ke kampung, Nyonya.

NYONYA :
Yah, kebetulan sekali. Kebetulan yang bagus, Datuk. Kami akan kedatangan tamu
dari Perancis. Pelaminan ini nanti bisa dipasang di Gedung Pertemuan. Bawa ke
rumah saja, ya.

DATUK :
Semua ini barang-barang adat, Nyonya. Dan saya,

NYONYA :
Karena adat itulah, Datuk. Itulah sebabnya dipasang di Gedung Pertemuan.
Kebudayaan dan adat kita sangat tinggi dan harus diperagakan kepada tamu-tamu
asing. Datuk. Nanti sewaktu memasangnya tolong ya.

DATUK :

133
Saya memasang pelaminan? Wah, Nyonya. Saya ini seorang Datuk, pemangku
adat.

NYONYA :
Kalau bukan orang tahu adat memasang pelaminan, apa jadinya Datuk. Kalau
pasangannya tidak menurut adat, tentu Datuk juga yang disalahkan orang. Dua
minggu lagi ya.

DATUK :
Nyonya!

NYONYA :
Oya. Soal tiket kan? Boleh. Kebetulan sekali. (Mengambil tiket dari tangan
Datuk) Akhirnya rencanaku mengantarkan Pak Bandot terlaksana juga. Datuk.
Katakan pada suami saya bahwa saya akan mengantarkan Pak Bandot sampai ke
Jakarta. Katakan padanya, saya mendapat tiket kehormatan.

DATUK :
Jadi, Nyonya akan mengantarkan Pak Bandot dengan tiket kemenakan saya?

NYONYA :
Soal nama dalam tiket mudah menggantinya, Datuk. (Memberi uang) Ini, dua
ribu. (Datuk terpaksa menerimanya).
Bawa pelaminan ini ke rumah. Letakkan saja dulu di garase. Jangan lupa pesan
saya pada atasanmu yang rewel itu, ya. (Melihat jam tangan) Wah, waktunya
sudah mendesak. (Ke luar)

DATUK :
(Bingung) Wah, kalau Merah Silu tahu hal ini, (Mengangkat barang-barang itu ke
luar).

Suasana berganti

134
*

Bujang Palindih kini mendadak jadi orang kaya. Pakaiannya rapi,


berdasi dan berkacamata emas tergantung di saku. Dia duduk di kursi meraba-
raba tas jinjingnya yang bagus. Pak Lurah dengan pakaian safarinya mengepit
sebuah map tua dan catatan harian berdiri di samping kanan. Sedangkan Datuk
mengenakan kaos oblong yang sempit bertuliskan Singapore di dada dan
memakai sarung berdiri di samping kiri. Mereka dikeliling rombongan Vocal
Group yang terus menyanyi dan menari. Setelah itu mereka istirahat. Maka
mulailah Bujang Palindih membuka persoalan.

BUJANG :
Dalam tahun ini juga sebuah pabrik besar akan didirikan di sini. Tuan Bandot
sudah memutuskan akan mendirikan pabrik alat-alat berat. Semua urusannya
sudah selesai selain membebaskan sebagian lokasi pabrik. Itulah sebabnya saya
datang kepada Datuk untuk menjelaskan semua persoalan.

LURAH :
Sawah, ladang dan rumah gadang milik kaum Datuk termasuk dalam lokasi
pabrik. Datuk diminta meninggalkan semuanya itu karena semua urusan telah
diselesaikan Tuan Bandot.

BUJANG :
Terus terang Datuk, saya agak keberatan menyuruh Datuk meninggalkan rumah
gadang dan melepaskan hak sebagai pemilik tanah pusaka yang dimiliki selama
ini. Sebab, bila Datuk tidak mempunyai lagi rumah gadang, tanah pusaka maupun
pandam pekuburan, tentu kehidupan Datuk akan semakin sulit. Apalagi kalau
dilihat sebagai orang beradat.

DATUK :
Siapa tadi yang kau katakan, Jang? Tuan Bandot? Dan dia mau mendirikan pabrik
di atas tanah pusakaku? Apa dia sudah gila atau kau sudah senewen. Aku tidak
pernah menjual tanah pusaka kepada orang yang bernama Bandot!

135
BUJANG :
Begini Datuk. Tanah pusaka atas nama Datuk sudah dibeli Tuan Bandot.
(Mengeluarkan sebundel surat dari dalam tas) Ini surat-suratnya. Lihatlah.

DATUK :
Jang. Kau masih ingat berapa kali kau kubanting dulu? Ingat kan? Pergilah cepat.
Aku tidak punya urusan tanahku dengan siapapun.
LURAH :
Jang. Menurut peraturan yang berlaku, ongkos pemindahan tanah harus melalui
Lurah setempat.

BUJANG :
Saya mengerti Pak Lurah. Ini (Mengeluarkan sejumlah uang kepada Datuk) untuk
biaya administrasi, Datuk.

LURAH :
Di kelurahan ini ada 75 Kepala Keluarga. Uang itu hanya biaya administrasi tanah
pusaka Datuk sendiri, bukan?

BUJANG :
Yang lain kita selesaikan saja di kantor.

LURAH :
Ya. di kantor kelurahan. Ayo. (Ke luar)

BUJANG :
Apa boleh buat Datuk. Datuk harus pindah secepatnya. Ya kan? Permisi. Ke
kantor kelurahan dulu. (Ke luar mengikuti Pak Lurah)

DATUK :
(Menghitung uang) Hanya lima puluh ribu?

IBU :

136
(Datang tergesa) Lini! Lini! Duduk di sini, cepat. Jangan sampai diketahui orang
kampung. Ayo.

LINI :
(Menggendong bayi dan langsung duduk)

IBU :
Abang Datuk. Lini selamat melahirkan. Bayinya, perempuan! O, keturunan kita
pasti berlanjut. Aku lega dan puas. Rumah Gadang dan tanah pusaka kita akan
tetap terjaga oleh Lini dan anak-anaknya. Ohoo! Aman sudah. Aman!
(Memandang Datuk dengan tajam) Ada apa? Abang Datuk kehilangan uang?

DATUK :
(Menyerahkan uang) Ambillah.

IBU :
(Menghitung uang) Lumayan. Bisa untuk administrasi cucuku!

DATUK :
Rahayu. Kau tahu uang apa itu?

IBU :
Uang Abang Datuk, bukan?

DATUK :
Biaya pengosongan rumah gadang dan pemindahan kita ke tempat lain.

IBU :
Rumah gadang ini sudah kosong, apanya lagi yang mau dikosongkan?

DATUK :

137
Dengar Rahayu. Sewaktu kau pergi menyembunyikan kandungan Lini, mendadak
Merah Silu datang. Katanya, dia mau menjemput Lini dan akan dibawa langsung
ke Jakarta. Aku mau menjemput kalian, tapi Merah Silu melarangku pergi.

IBU :
Untung sekali Merah Silu melarang Abang Datuk pergi menjemput kami, kalau
tidak tentu,

DATUK :
Besoknya Merah Silu datang lagi. Dikatakannya bahwa dia harus mengirimkan
uang secepatnya ke Jerman untuk melunasi biaya mobil-mobil yang akan
dimasukkan ke sini. Tapi ceknya sendiri tidak mencukupi. Dan dia memerlukan
uang seratus juta.
Sebagai mertua tentu kita wajib menolongnya, tapi kita tidak punya uang
sebanyak itu. tapi menurut Merah Silu, sertifikat tanah pusaka yang luas ini pasti
dapat dijadikan jaminan pinjaman uang.
Dia berjanji seminggu untuk mengembalikan sertifikat itu.

IBU :
Pasti tidak dikembalikannya, ya kan!

MAMAK :
Duagaanmu benar. Merah Silu menjualnya kepada Tuan Bandot. Seorang
pengusaha besar yang akan membuka pabrik besar di kampung ini.
Dan uang itu adalah uang pengosongan rumah gadang dan kita harus berangkat
meninggalkan semua harta pusaka kita.

IBU :
(Melemparkan uang itu ke tanah) Abang Datuk. Abang Datuk terlalu cepat
percaya.

DATUK :

138
Soalnya, karena aku yakin tidak mungkin orang kaya mau menipu. Mana
mungkin Merah Silu sekaya itu mau menipu mertuanya sendiri.
Rahayu, Lini. Salahkah aku kalau mempercayai orang kaya? Mempercayai
menantu sendiri?

IBU :
Kenapa abang datuk tidak menjemput kami lebih dulu.

DATUK :
Serba susah, Rahayu. Kujemput kau berarti Matri Lini juga harus pulang. Itu sama
artinya memberitahu Merah Silu bahwa Matri Lini hamil.

IBU :
Setelah sertifikat itu diserahkan, ke mana perginya Merah Silu.

DATUK :
Dia sibuk dan terburu-buru. Tapi sempat juga meninggalkan oleh-oleh yang
dibelikannya di Singapura.

IBU :
O, Abang Datuk diberi oleh-oleh oleh Merah Silu? Apa? Arloji?

DATUK :
Tidak.

IBU :
Jas satu stel? Atau sepatu?

DATUK :
(Memegang kaos oblong yang dipakainya) Ini.

IBU :
Hanya ini? Kaos oblong? Ondeh mak oi!

139
DATUK :
Namanya saja buah tangan tentu tidak semahal buah durian.

IBU :
Kita harus mencari Merah Silu. Dia harus dituntut.

DATUK :
Sekarang ini mencari orang kaya susah, Rahayu. Apalagi kalau menuntutnya.
Bahkan Merah Silu bisa berbalik menuntut kita.

IBU :
Menuntut kita?

DATUK :
Tentu. Kalau dia menuntut bahwa Lini hamil, bagaimana? Pasti kita dituduh telah
mencemarkan nama baik Merah Silu. Berat hukumannya kalau mencemarkan
nama orang kaya. Menuntut orang kaya sama dengan menantang matahari,
Rahayu.

IBU :
Abang datuk bisa menuntut atas nama kami, kaum kita. Abang datuk kan seorang
penghulu, kepala kaum.

DATUK :
Datuk ya Datuk, Rahayu. Tapi kalau pekerjaanku hanya sebagai seorang satpam,
sedangkan Malin Bongsu yang bukan penghulu menjadi komandanku, ya kita
mau apa. Datuk kalau tidak berpangkat tinggi atau kaya, tentu akan dianggap
sampah saja.

IBU :
Rumah Gadang dan tanah pusaka sudah dicuri Merah Silu. Tuan Bandot telah
mengusir kita dari kampung ini. Adat apa lagi yang harus kita pertahankan, Abang
Datuk.

140
DATUK :
Namun kita tetap beradat. Jangan kau kira orang beradat harus punya rumah
gadang dan tanah pusaka saja. Aku punya kemenakan, Matri Lini. Dan Matri Lini
punya anak perempuan. Itu sudah lebih dari segalanya. Daripada kita punah walau
harta pusaka seluas bumi apa gunanya, ya kan?

IBU :
Yaya. Tapi kitapun tidak mampu mensahkan siapa ayah bayi itu.

DATUK :
Ayahnya jelas, bukan? Bujang Palindih! Apa lagi. Rahayu. Dalam keadaan seperti
ini kita jangan bertengkar. Sebelum orang-orang pulang dari sawahnya sebaiknya
kita tinggalkan kampung ini. Ayo Lini. Rahayu.

IBU :
(Menangis dan lari ke luar, lalu kembali lagi membawa sebuah kuali)

DATUK :
Kau bawa kuali? Untuk apa?

IBU :
Untuk membuat rendang. Hanya itu masih bisa kupertahankan.

LINI :
(Berdiri) Datuk. Ke mana kita akan pergi?

DATUK :
Yah, ke mana saja yang kau sukai.

IBU :
Abang Datuk. Ke mana kita?

DATUK :

141
Tunggu. (Mengambil kursi dan membawanya) Ini satu-satunya yang masih
menjadi milik kita.

IBU :
Apa?

DATUK :
Bila tempat berdiri dan tempat tidur sudah tidak ada lagi, maka tempat duduk
menjadi penting. Ayo kita pergi.

IBU :
Iya, tapi ke mana?

DATUK :
Pokoknya kita pergi. Ayo.

Mereka berjalan berkeliling. Datuk terus bicara selama dalam perjalanan.

IBU :
Kita berjalan melingkar, Bang Datuk?

DATUK :
Yah bagaimana lagi. Jalan lurus tidak mungkin lagi kita tempuh.

IBU :
Kita tidak berada dalam lingkaran setan, bukan?

DATUK :
Tidak, Rahayu. (Dengan suara penuh semangat)
Perjalanan seperti yang kita lakukan sekarang, juga sudah terjadi masa masa lalu.
Kita hanya melanjutkan perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa. Seorang tokoh
pendiri adat kita, Datuk Perpatih Nan Sabatang juga pergi meninggalkan kampung

142
halaman dan kembali dengan gagasan-gagasan baru. Rasul Allahpun berjalan kaki
dari Mekah ke Medinah melakukan hijrah dan kembali dengan kemenangan.
Bahkan jauh sebelum itu, nenek moyang kita juga berangkat dari negerinya
sampai menemukan puncak gunung Merapi. Dari sana mereka berkembang biak
dan sampai pada kita sekarang.
Jangan putus asa!
Matri Lini. Apalah artinya rumah gadang atau tanah pusaka. Semua itu hanya
benda, hanya perlengkapan adat. Tanpa perlengkapan itu pun kita tetap mampu
menjalankan adat. Adat kita adalah adat nan kawi, adat yang tak lekang karena
panas dan tak lapuk karena hujan. Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Jangan bersedih, Rahayu.
Kita terusir sekarang mungkin karena kesalahan kita sendiri atau mungkin karena
Merah Silu, Pak Bandot, si Bujang, Pak Lurah, atau, mungkin karena hal-hal lain
yang tidak kita tahu. Tapi ya begitulah. Kita terusir. Baik! Dan kita pergi
melakukan perjalanan.
Kita tidak perlu bertahan mati-matian terhadap yang selama ini kita bangga-
banggakan. Sebab, ternyata, kebanggaan-kebanggaan itu tidak membanggakan
kita lagi.
O, jika ada orang mengatakan, bahwa kita telah kalah atau dikalahkan, biarlah.
Tapi memang kita tidak pernah berusaha untuk menang. Berniat bertanding
sajapun tidak pernah ada. Sebab, pepatah kita mengatakan menang akan jadi
arang, kalah akan jadi abu. Ya kan.
Matri Lini, jangan cepat lelah.
Perjalanan sekarang ini adalah perjalanan untuk menguji, apakah kau mampu
menggendong anak perempuanmu sampai ke ujung zaman. Perjalanan ini kelak
akan disebut orang sebagai perjalanan Matrilini!
Dalam persoalan ini, tentu saja Bujang Palindih harus dikesampingkan, karena dia
hanya sebagai tamu, semenda, pendatang gelap!
Rahayu, jangan lesu.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang diperjalankan.

143
LINI :
(Terkejut melihat anaknya telah kaku dalam gendongannya) Mama! Mama!
Anakku! Anakku!

IBU :
(Memeriksa bayi itu) O, dingin sudah! Lini! Anakmu! Cucuku! Dia telah mati.
(Menangis)

LINI :
(Menangis) Anakku. Anakku.

DATUK :
(Terus memimpin perjalanan) Dalam gendongan ibu, anak bisa mati. Yaya. Tapi
adat tidak akan mati dalam gendongan penghulu-penghulunya.

IBU :
Abang Datuk! Aku sudah tidak mengerti lagi tentang adatmu! Cucuku telah mati!
Harus secepatnya dikuburkan! Di mana lagi pandam pekuburan kaum kita!

DATUK :
Mayat siapapun tentu harus dikuburkan. Itu kewajiban kita yang masih hidup.

IBU :
Iya. Tapi di mana?

DATUK :
Rahayu, Matri Lini. Apa yang sebenarnya akan dikuburkan? Cucumu? Anakmu?
Atau, masa depanmu?
Aku sebenarnya sedih. Sedih sekali. Jatuh ke dalam air mataku. Lihatlah mataku,
tak berair lagi, bukan? Lihat mataku. Ya kan?
Ya. Perjalanan kita telah melalui tahap kedua. Jika tadi perjalanan kita perjalanan
Matri Lini yang terusir dari rumah gadang dan tanah pusakanya, kini perjalanan
kita adalah perjalanan Matri Lini mengubur anaknya sendiri. Seperti kata pepatah

144
– sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampau --. Sekali melakukan
perjalanan, dua persoalan langsung kita hadapi.

IBU :
Abang Datuk! Bang! Jangan bicara terus!

DATUK :
Rahayu. Kau tentu lebih suka diam karena sedang menuju pekuburan. Tapi tidak
ada gunanya melarangku bicara tentang apa yang telah kita lalui dan apa yang
sedang kita tempuh.
Coba misalnya jika ada duri di jalan. Aku harus mengatakan padamu. Itu duri,
Rahayu. Dan kau segera tahu akan bahaya dan akhirnya kau harus berhati-hati.
Jadi kalau aku bicara adalah untuk keselamatan perjalanan kita.

IBU :
Abang Datuk! (Merebut kursi yang disandang Datuk lalu meletakkannya di tanah
dan memaksa Datuk duduk)
Duduk!

DATUK :
(Mengikuti paksaan itu seperti tak terganggu)
Di dalam adat kita Matri Lini, kita diajar belajar kepada alam. Alam takambang
jadi guru, begitu bunyi ketentuannya. Belajar kepada alam berarti kita harus
memaklumi alam. Memaklumi keadaan alam. Memaklumi kenyataan. Karenanya
kita tidak perlu marah, kesal, sedih, hiba, yah, artinya kita harus menghindari
perasaan-perasaan. Sebab, alampun berubah tanpa perasaan pula.

IBU :
Sudah Bang! Sudah! (Mengambil bayi dari gendongan matrilini dan
meletakkannya di pangkuan Datuk)
Ini kenyataan sekarang! Ini adat kita sekarang!

145
Sudah mati dan harus dikuburkan!

DATUK :
(Penuh ketakutan memeluk bayi itu) Matri Lini. Rahayu. (Kejang di atas kursi
tapi mulutnya masih tetap bergerak menyebut-nyebut tentang adatnya)

LINI :
Datuk. Itu anakku. Anakku. Kuburkan, Datuk. Kuburkan.

IBU :
(Menyumbat mulut Datuk dengan selendangnya) Maaf. Maaf abang Datuk.

Dan rombongan Vocal Grup kembali bernyanyi dan menari melingkari ketiga
tokoh itu.

-tamat-

Padang, Agustus 1988


Kualalumpur, Agustus 2003

146

Anda mungkin juga menyukai