0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan4 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang gambaran klinis refluks gastroesofageal dan hubungannya dengan penyakit laring. Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan manifestasi ekstraesofageal seperti laringitis kronik, nyeri tenggorokan, dan batuk kronik. Gejala ekstraesofageal dapat muncul karena asam lambung yang naik ke laring dan faring. Diagnosis definitif dilakukan dengan tes pH esofagus untuk membedakan refluks gastroes
Dokumen tersebut membahas tentang gambaran klinis refluks gastroesofageal dan hubungannya dengan penyakit laring. Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan manifestasi ekstraesofageal seperti laringitis kronik, nyeri tenggorokan, dan batuk kronik. Gejala ekstraesofageal dapat muncul karena asam lambung yang naik ke laring dan faring. Diagnosis definitif dilakukan dengan tes pH esofagus untuk membedakan refluks gastroes
Dokumen tersebut membahas tentang gambaran klinis refluks gastroesofageal dan hubungannya dengan penyakit laring. Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan manifestasi ekstraesofageal seperti laringitis kronik, nyeri tenggorokan, dan batuk kronik. Gejala ekstraesofageal dapat muncul karena asam lambung yang naik ke laring dan faring. Diagnosis definitif dilakukan dengan tes pH esofagus untuk membedakan refluks gastroes
Gastroesophageal reflux (GER) dan extraesophageal reflux (EER) adalah
dua hal yang berbeda, perbedaan yang pertama yaitu gejala yang ditimbulkan. Pada kasus GERD, keluhan utama pasien adalah rasa terbakar, nyeri retrosternal dan regurgitasi. Extraesophageal reflux memiliki gejala yang kurang spesifik, yang ditemukan pertama kali dapat berupa mendeham, sensasi benda asing pada faring, batuk, suara serak dan kekeringan faring (rasa terbakar di retrosternal jarang ditemukan). Tanda dari EER dapat disertai atau tidak disertai gejala tipikal dari reflux disease. Perlu diperhatikan bahwa jumlah material yang sama dikerluarkan, yang mana dapat dengan mudah menjadi netral dengan mekanisme pertahanan esofageal, dapat menimbulkan lesi hypo-pharyngo- laringeal, hal ini menyebabkan EER lesi esofageal dapat menghilang. Kedua pengakit ini juga memiliki perbedaan pada jangka panjang, GERD mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi berupa adenokarsinoma esofageal, sedangkan EER mempunyai risiko tinggi dalam perkembangan karsinoma laring atau paru, sinusitis dan otitis.8,9 Dalam ilmu yang mempelajari tentang telinga, mata dan tenggorokan, diagnosis dari inflamasi faringo-laring atau rhinosinusal merupakan lanjutan dari EER yang merupakan salah satu eksklusi dan berdasarkan anamnesis yang menyeluruh, yang mana kami tertarik dalam gejala, perilaku dan faktor risiko medis, dalam pemeriksaan klinis ENT, penilaian laryngo-fibroscopical (Gambar 1), pemeriksaan phoniatric¸ pemeriksaan barite pharingo-esogastric, upper gastrointestinal endoscopy dan esophageal manometry. Pemeriksaan untuk diagnosis pasti pada GERD dan EER adalah melaluli monitor tes pH esofageal. EER adalah ciri-ciri dari refluk gaster berupa manifestasi extraesophageal. Terdapat beberapa penyakit dari ilmu yang mempelajari telinga, mata dan tenggorokan yang dapat dikelompokkan dengan kelainan ini, yang tersering adalah chronic reflux laryngitis.10 Bahkan, pada tingkat laring, nodul vokal, granuloma dan contact ulcer, polip pada pita suara, sulcus glottidis, kanker pharyngo-laryngeal, laryngospasm, stenosis subglotis dapat juga ditemukan. Rinosinusitis kronis, chronic oropharyngeal mycosis dapat juga ditemukan pada EER10-12 (Table 1). Chronic recurrent pharyngitis merupakan konsekuensi dari refluk gaster pada 60% kasus.10 Gejala dari extraesophageal reflux dapat dibagi menjadi dua kategori: laringeal dan ekstralaringeal. Gejala yang paling sering berhubungan dengan refluk laringo-faring adalah pertanda telah mengenai laring dan dipresentasikan dengan batuk kronis, dysphonia (episodik atau kronis), odynophagia, vocal fatique, laryngospasm.15 Berdasarkan manifestasi extraesophageal, perasaan “benjolan di tenggorokan” (globus), disfagia, chronic hemming¸ nyeri tenggorokan, hipersekresi mukus, postnasal drip, halitosis, nocturnal cough, sensai terbakar pada faring, otalgia dapat ditemukan.10-12 Eksplorasi gejala klinis yang lain digunakan ketika kita mendapat diagnosis yang belum jelas, ketika gajalanya atipikal, kekambuhan atau terkait komplikasi, jika tidak ada respon yang adekuat dari terapi atau sebelumnya telah dilakukan operasi antirefluk. Carr et al.14 mempelajari tentang perubahan spesifik EER dalam sebuah grup yang terdiri dari 77 pasien, menggunakan direct laryngoscopy dan bronchoscophy, dan menemukan beberapa perubahan faringolaring termasuk lingual tonsil hypertrophy (p<.001), postglottic edema (p<.001), arytenoid edema (p<.001), vocal cord edema (p=.003) dan perubahan cricotracheal (p=0,003) – inflamasi karina (p<0,001). Arytenoid edema, postglotic edema dan lingual tonsil hypertrophy merupakan tanda klinis patognomonik dari EER, 65% pasien yang pada penelitian yang didiagnosis dengan GERD mempunyai setidaknya satu dari tanda tersebut. Tabel 1 Manifestasi ENT dari EER
Chronic recurrent pharyngitis
Nyeri tenggorokan Laringitis kronis Vocal cord granulomas, nodules, ulcer Faring dan laring Laryngospasm Subglottic stenosis Kanker Sulcus glottides Disphonia Globus Chronic rhinosinusitis Hidung dan sinus Chronic hypertrophic rhinitis Postnasal Drip Halitosis Kavitas oral Aphihous ulcers Dental erosions Telinga tengah Serous otitis media Pohon tracheobronchopulmonary Batuk kering Tracheobronchitis Yang lainnya Sleep apnea syndrome
REFLUKS GASTROESOFAGEAL DAN PENYAKIT LARING
1. Laringitis kronik Gejala yang khas dari laringitis kronik (gambar 2) adalah disfonia yang disertai dengan usaha untuk berbicara, sensasi terbakar pada hypofaringeal yang persisten atau berulang, tanpa tanda infeksi, mendeham atau batuk. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hansong dan Jiang15, menemukan bahwa pasien dengan glottis posterior berkemungkinan menderita EER. Hal ini dikarenakan adanya silia mukosa pernapasan yang bergerak, terkena dengan material asam. Penulis meneliti 182 pasien dengan EER dan laringitis kronik, yang telah dilakukan berbagai terapi. 51% pasien diobati dengan terapi EER pada malam hari, 26%nya diberikan reseptor H2 antagonis, 20% nya dengan pompa proton inhibitor, dan 3% adalah gabungan ketiganya. Setahun sebelumnya, Habermann mengevaluasi efisiensi penatalaksanaan dengan pantoprazol pada 29 pasien dengan laringitis kronik dan disertai dengan refluks gastroesofageal. Pada akhir pengobatan minggu ke-6, diperoleh perbaikan berdasarkan keluhan dan tampilan pada video-lariyngo-stroboscopic (p<0.05). 2.