Anda di halaman 1dari 27

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

PARTISIPASI POLITIK

DISUSUN OLEH :

AGUNG SETIAWAN (1627020006)

DOSEN PEMBIMBING :

RENI APRIANI S.IP, M.Si

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK TAHUN 2018/2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas berkah dan
rahmat – NYA, saya bisa menyusun Makalah tentang Partisipasi Politik di Perguruan
Tinggi Negeri guna untuk memenuhi kebutuhan materi mata kuliah Pencitraan Politik.

Sholawat beriring salam tetap tercurahkan kepada Baginda Muhammad SAW,


kepada para sahabatnya, pengikutnya dan kita selaku ummatnya.

Makalah ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata kuliah


Pemahaman tentang Partisipasi Poltik ataupun yang berkaitan dengannya tentu sangat
diperlukan, dengan suatu tujuan agar beberapa masalah dapat dipelajari dan
diselesaikan, sekaligus memperdalam wawasan kita semua.

Saya juga mengucap kan terima kasih kepada Ibu Reni Apriani S.IP, M.Si selaku
Dosen studi Pencitraan Politik Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada sumber – sumber inspirasi Makalah
ini.

Makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena saya juga masih
dalam proses tahap pembelajaran. Oleh karena itu kritik, koreksi dan saran sangat saya
harapkan. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Terima kasih
atas perhatiannya dan jikalau ada kesalahan kata maupun tulisan saya mohon maaf.

Palembang, 15 Maret 2019

Agung Setiawan
NIM : 1627020006

1
DAFTAR ISI

COVER DEPAN..............................................................................................

KATA PENGATAR ............................................................................... .........1

DAFTAR ISI....................................................................................................2

BAB 1 Pendahuluan.......................................................................................3

A. Latar Belakang.............................................................................................3

B .Rumusan Masalah........................................................................................4.

C. Tujuan Penulisan .........................................................................................4

D. Manfaat Penelitian ......................................................................................4

BAB II Pembahasan........................................................................................5

A.Pengertian Patrisipasi Politik ........................................................................5

B.Fungsi Partisipasi Politik ..............................................................................7

C.Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik..................................................................9

D.Faktor-faktor yang mempengaruhi Partisapasi Politik ................................11

E.Peran Warga Negara Dalam Partisipasi Politik............................................13

F. Partisipasi Politik di Sumsel .......................................................................19

BAB III Penutup.............................................................................................24

A. Kesimpulan ........................................................................................24

B,Saran....................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................26

2
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi ,
sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Partisipasi politik itu
merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
yang dilakukan pemerintah. Sslah satu kegiatan yang menunjukan adanya partisipasi
politik dalam sebuah negara adalah proses pemilihan umum.

Di negara-negara yang demokratis pemilihan umum merupakan alat untuk


memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksaan
pemerintah dan sistem politik yang berlaku.Dengan hal ini pula, pemilihan umum
tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat.Dalam pelaksanaannya,
keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara.
Dengan demikian, masyarakat tentu berhak ikut serta mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan itu. Bahkan tingkat partisipasi politik memiliki
hubungan erat dengan pertumbuhan sosialekonomi.Artinya dapat mendorong
tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam
partisipasi politiknya menunjukkan derajat kepentingan mereka.

Munculnya orde yang membangun sistem politik dan tatanan kelembagaan secara
konstitusional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, memiliki pengaruh terhadap
partisipasi politik rakyat.Orde itu cenderung untuk menciptakan kondisi sosial politik
dan sosial ekonomi yang mapan sebagi sarana dalamb melaksanakan
pembangunan.Stabilitas politik dan stabilitas ekonomi berusaha di ciptakan dan
dipelihara sebagai modal bagi terciptanya kondisi untuk membangun.

Modernisasi dan transformasi sosial tampaknya merupakan karakteristik


pembangunan di Indonesia. Tuntutan–tuntutan ke arah perkembangan cepat untuk
mencapai target-target pembangunan. Banyak orang yang masih mempertanyakan
format partisipasi masyarakat , terutama yang berkaitan dengan partisipasi politik, ada
semacam keraguan bahwa partisipasi yang dilakukan bukanlah bentuk partisipasi
politik yang sesungguhnya, tetapi hanyalah partispasi semu ( pseudo paricipation )
Anggapan bahwa partisipasi itu karena mobilitas atau dalam istilah Huntington ialah
“partisipasi yang di mobilisasi” anggapan tersebut seringkali mengambil contoh
dalam mekanisme pemilihan umum lima tahunan, yang dipadang tidak mencerminkan
bentuk partisipasi politik yang sesungguhnya.

Untuk melihat hal itu, tampaknya perlu dipahami bagaimana format partisipasi politik
di beberapa negara berkembang yang menganut model pembangunan yang

3
berbeda.Maka hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan kajian lebih
mendalam mengenai partisipasi politik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi pada latar belakang diatas, maka penulis memperoleh


permasalahan yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan pembahasan sebagai
berikut:

 Apakah yang dimaksud dengan Partisipasi Politik?


 Apakah Fungsi Partisipasi Politik?
 Bagaimana bentuk-bentuk Partisipasi Politik serta faktor apa saja yang
mempengaruhi timbulnya Partisipasi Politik?
 Bagaimana peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya
dengan sosial-ekonomi pada negara berkembang?

C. Tujuan Penulisan

Sesuai rumusan masalah yang ada diatas, maka penulisan ini bertujuan untuk
mengetahui:

 Pengertian Partisipasi Politik,


 Fungsi Partisipasi Politik,
 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik serta faktor apa saja yang mempengaruhi
timbulnya Partisipasi Politik,
 Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan
sosialekonomi pada negara berkembang

D. Manfaat Penulisan

 Manfaat Teoritis
 Menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Pencitraan
 Politi khususnya mengenai materi Partisipasi Politik, baik itu berkaitan dengan
pengertian, bentuk, factor, peran Warga Negara serta hubungan partisipasi
politik dengan sosial-ekonomi dalam negara berkembang.
 Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penulisan yang sejenis

Manfaat Praktis

 Bagi masyarakat, penulisan ini dapat dijadikan sebagai koleksi bacaan dalam
menambah wawasan mengenai Pencitraan Politikkhususnya Partisipasi
Politik.
 Bagi kalangan pendidik di Sekolah/Kampus, penulisan ini dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran dalam mata pelajaran/mata kuliah Pencitraan
Politik dengan materi Partisipasi Politik.
 Bagi Universitas Islam Negeri Raden Fatah penulisan ini dapat menambah
koleksi bacaan dalam menambah wawasan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Partisipasi Politik

Secara etimologi Partisipasi berasal dari bahasa latin, yaitu pars yang berari bagian
dan capere yang berarti mengambil. Bila digabungkan maka dapat kita artikan “
mengambil “. Dalam bahasa inggris,participate atau participation berarti mengambil
bagian atau mengambil peranan. Jadi partisipasi politik dapat kita artikan dengan
mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik
suatu negara ( Soeharno: 2004; 102).

Partisipasi merupakan aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi politik adalah usaha


terorganisir oleh para warga negara untuk memlih pemimpin-pemimpin mereka dan
memengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan umum. Usaha ini dilakukan akan
tanggung jawab dan kesadaran mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu
bangsa dalam suatu Negara. Sementara itu, Syarbaini mendefinisikan partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif
dalam kehidupan politik, seperti memilih pemimpin Negara, atau upaya untuk
memengaruhi kebiijakan pemerintah.

Dusseldorp (1981) mengartikan partisipasi sebagai kegiatan atau keadaan mengambil


bagian dalam suatu aktivitas untuk mencapai suatu kemanfaatan secara optimal.
Devinisi lebih rinci dikemukakan oleh Cohen Uphoff (1979), partisipasi sebagai
keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh
kemanfaatan, dan mengevaluasi program. Sementara itu Davis (1977), memberikan
definisi partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosi seseorang di dalam situasi
kelompok yang mendorong dirinya untuk memberi sumbangan bagi tercapainya
tujuan dan membagi tanggung jawab diantara mereka(dalam Basrowi, Sudikin dan
Suko Susilo, 2012: 65).

Partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson ( dalam Soeharno: 2004; 103)
adalah kegiatan politik warga negara preman ( private citizen) yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dari pengertian partisipasi
politok diatas maka Huntington dan Nelson memberikan batasan mengenai partisipasi
politik yaitu;

Partisipasi yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Hal-hal seperti


sikap dn perassaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
bentuk tindakan politik bukan terpisah dari tindakan politik.

Subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara preman

( Private Citizen) atau lebih tepatnya orang per orang dlam peranannya sebagai

warga negara biasa, bukan orang-orang profesional dibidang politik seperti pejabat
pemerintah, pejabat partai, calon politikus, lobbi professional.

5
Kegiatan partisipasi politik dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang
mempunyai wewenang politik.

Mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan


itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.

Mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan, partisipasi otonom


yaitu kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan
adalah kegiatan politik yang dilakukan karena keinginan orang lain.

Miriam budiardjo memberikan batassan yang lebih luas mengenai partisipasi politik
(dalam Soeharno: 2004; 104), ia memandang bahwa partisipasi politik sebagai
kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut secara aktif dalam kegiatan politik,
misalnya dalam pemilihan pemimin negara, mempengaruhi kebijaksanaan negara dan
berbagai kegiatan lainnya.Di pihak lain Budiarjo secara umum mengartikan
partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public
policy).Partisipasi politik yang demikian merupakan tindakan-tindakan yang berusaha
mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, terlepas apakah itu legal atau tidak.
Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan
pemberontakan untuk mempengaruhi

kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik (Sudjiono


Sastroatmodjo,1995: 67-79).

Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk, kita dapat membedakan
jenisjenis perilaku perilaku yang berkaitan dengan partisipasi politik sebagai berikut;

Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga menyangkut


sumbangansumbangan untuk kampanye, bekerja dalam sebuah pemilihan, mencari
dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi
hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih meluas
dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya, dan oleh sebab itu
factor-faktor yang berkaitan dengan kejadian itu seringkali membedakannya dari
jenis-jenis partisipasi lain, termasuk kegiatan kampanye lainnya.

Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi


pejabat-pejabat pemerinah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang
menyangkut kepentingan orang banyak.

Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam


sebuah organisasi yang tujuan utama dan eksplisinya adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah.

6
Mencari koneksi(Contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan
terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh
manfaat bagi satu atau segelintir orang ( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson:
1994; 16-17).

Sifat yang berseberanga dengan partisipasi politik adalah sikap Apatis( masa
bodoh)secara sederhana sekali bisa didefinisikan sebagai tidak punya minat atau tidak
punnya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gajala pada umumnya atau
pada khususnya. Dari sudut pandang sosiologis, dapat diterapkan pada masyarakat
secara umum atau hannya pada aspek-aspek tertentu dari masyarakat. Karena itu,
sejauh mengenai partisipasi politik, sifat yang paling penting dari seorang yang apatis
adalah kepasifanya atau tidak adanya kegiatan politik.

Morris Rosenberg mengsugestikan tiga alasan pokok untuk menerapkan apati


politik.Kesimpulan didasarkan pada satu seri wawancara yang tidak berstruktur yang
mendalam.Alasan pertama adalah konsekuensi yang di tanggung dari aktivitas politik.
Hal itu dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas
politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek hidupnay. Alasan Rosenberg
kedua adalah, bahwa individu dapatmenganggap aktivitas politik sebagai sia-sia saja.
Sebagai individu tunggal, dia mungkin merasa bahwa dia sama sekali tidak mampu
mempengaruhi jalannya peristiwa, dan bahawa kekuatan politik yang bersifat
bagaimanapun juga ada diluar control individu. Yang ketiga, seperti limbrath,
roenberg beranggapan, bahwa “memacu diri untuk bertindak” atau perangsang politik
adalah faktor penting untuk mendorong aktivitas politik, dengan tidak adannya
perangsang sedemikian itu dapat menambahkan perasaan apati( dalam Michael Rush
dan Philip Althoff, 2008: 144-146).

B. Fungsi Partispasi Politik

Menurut Robert Lane ( dalam Rush dan Altohof dalm Suharno, 2004: 107) partisipasi
politik memiliki empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu yaitu;

Fungsi pertama sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi, partisipasi politik
seringkali muncul dalam bentuk upaya-upaya menjadikan arena politik untuk
memperlancar usaha ekonominya ataupun sebagai sarana untuk mencari keuntungan
material.

Fungsi kedua sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian
sosial, yakni memenuhi kebutuhan akan harga diri, meningkatnya status sosial, dan
merasa terhormat karena dapat bergaul dengan pejabat-pejabat terkemuka dan
penting. Pergaulan yang luas dan bersama pejabat-pejabat itu pula yang mendorong
partisispasi seseorang untuk terlibat dalam aktivitas politik. Orangorang yang
demikian itu merasa puas bahwa politik dapat memenuhi kebutuhan terhadap
penyesuaian sosialnya.

Fungsi ketiga sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus, orang berpartisipasi
dalam politik karena politik dianggap dapat dijadikan sarana bagi pencapaian tujuan-

7
tujuan tertentu seperti untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan proyek-proyek,
tender-tender, dan melicinkan karier bagi pejabatnya. Nilai-nilai khusus dan
kepentingan individu tersebut apabila tercapai, akan makin mendorong partisispasinya
dalam politik. Terlebih lagi bagi seseorang yang terjun dalam bidang politik,
seringkali politik dijadikan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya.

Fungsi keempat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan
kebutuhan psikologi tertentu, yakni bahwa keterlibatannya dalam bidang politik untuk
memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuuhan psikologi tertentu, seperti
kepuasan batin, perasaan terhormat, merasa menjadi sosok yang penting dan dihargai
orang lain dan kepuasan-kepuasan atas target yang telah ditetapkan.

Menurut Arbit Sanit ( Dalam Sastroatmojo, 1995: 84-87) memandang ada tiga fungsi
partisipasi politik yaitu;

Pertama memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya


beserta sistem politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini sering terwujud dalam
bentuk pengiriman wakil-wakil atau utusan pendukung ke pusat pemerintahan,
pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan terhadap pemerintah, dan
pemilihan calon yang diusulkan oleh organisasi politik yang telah dibina dan
dilembagakan oleh penguasa tersebut.

Kedua partisipasi yang dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan


dan kekurangan pemerintah. Langkah itu dilakukan dengan harapan agar pemerintah
meninjau kembali, memperbaiki atau mengubah kelemahan tersebut. Partisipasi ini
dapat terlihat dalam bentuk membuat petisi, reolusi, aksi pemogokan, demonstrasi,
dan aksi protes.

Ketiga partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud


menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam
pemerintahan dan dalam sistem politik. Untuk mencapai tujuan seperti itu seringkali
dilakukan pemogokan, pembangkangan politik, huru-hara dan kudeta bersenjata.

Selain memiliki berbagai fungsi, partisipasi politik juga memiliki beberapa tugas
yaitu;

Untuk mendorong program-program pemerintah, hal ini berarti bahwa peran serta
masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan program
pemerintahan.

Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi


pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan,

Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah
dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan.

Untuk menyampaikan nilai-nilai, sikap-sikap, pandangan-pandangan, dan


keyakinankeyakinan politik diperlukan sarana-sarana. Untuk itu selanjutnya Almond

8
menyebutkan adanya enam sarana (agen sosialisasi politik) yaitu keluarga, sekolah,
kelompok bergaul atau bermain, pekerjaan , media massa dan kontak-kontak politik
langsung.

C. Bentuk-Bentuk Partispasi Politik

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi politik,
yang oleh Almond dikatakan sebagai kegiatan membentuk dan bergabung dalam
kelompok kepentingan. Mengikuti organisasi biasanya dimaksudkan untuk turut serta
mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pengambilan keputusan(sudjiono
sastroatmodjo,1995:74).

Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan maka
menurut Sastroatmojo (dalam Soeharno: 2004; 104) dapat dibagi menjadi partisipasi
aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara
mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternative kebijakan
yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk
mengoreksi kebijakan pemerintah.Sedangkan artisipasi pasif mencakup kegiatan
mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap
keputusan pemerintah.

Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya maka menurut Milbart dan
Goel

(dalam Soeharno: 2004; 104) membagi partisipasi politik dalam beberapa kategori
yaitu;

a. Apatis ( masa bodoh) yaitunorang yang menarik diri dari aktivitas politik.
b. Spektator yaitu orang-orang yang paling tidak, pernah itkut dalam pemilihan
umum.
c. Gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik,
yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap
muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
d. Pengeritik yaitu orang-orang yang berpartisipsi dalam bentuk yang tidak
konvensional
e. Partisipasi politik apabila dipandang dari segi stratifikasi sosial maka menurut
Goel dan

Oslan (dalam Suharno: 2004;105-106) terbagi atas beberapa hal yakni;

 Pemimpin politik
 Aktivitas politik
 Komunikator, yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap
dan informasi politik kepada orang lain
 Warga negara marginal yaitu orang yang sedikit melakukan kontak dengan
sistem politik

9
 Orang-orang yang terisolasi, yaitu orang-orang yang jarang melakukan kontak
dengan system politik

Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individu
dan kolektif.Individu adalah perorangan, sedangkan kolektif adalah kegiatan warga
negara secara serentak untuk memengaruhi penguasa. Partisipasi politik kolektif
dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi kolektif yang konvensional seperti kegiatan
dalam proses pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak konvensional
(agresif), seperti pemogokan yang tak sah, menguasai bangunan umum, dan huru-
hara.

Selanjutnya, ppartisipasi politik kolektif secara agresif dibedakan menjadi dua, yaitu
aksi yang kuat dan aksi yang lemah.Aksi yang kuat dan lemah tidak menunjukkan
sifat yang baik dan yang buruk. Dalam hal ini, kegiatan politik dapat dikategorikan
kuat apabila memenuhi tiga kondisi berikut: bersifat antirezim, dalam arti melanggar
peraturan mengenai partisipasi politik yang normal (melanggar hukum), mampu
mengganggu fungsi pemmmerintahan, dan harus merupakan kegiatan kelompok yang
dilakukan oleh nonelit(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 72).

Aksi protes yang dibenarkan oleh hukum tidak termasuk ke dalam kategori partisipasi
politik agresif, seperti pemboikotan dan pemogokan buruh biasa tanpa tujuan-tujuan
politik.Apabila partisipasi politik yang agresif tidak mengandung kekerasan, kegiatan
ini di sebut pembangkangan warga Negara (civil disobedience), seperti penolakan
wajib militer.Sebaliknya, apabila kegiatan itu mengandung kekerasan disebut
kekerasan politik (politik violence), seperti pembunuhan politik. Partisipasi politik di
negara-negara yang menerapkkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga
Negara, akan tetapi dalam kenyataan, presentase warga negara yang berpartisipasi
berbeda dari satu Negara kenegara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga
Negara ikut serta dalam proses politik(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo,
2012: 72).

Dilihat dari latar belakang yang memotivasi timbulnya partisipasi politik maka
menurut halington dan nelson( dalam suharno: 2004; 107) terbagi menjadi dua yaitu;

a. Partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong oleh keinginan


pelakunya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.
b. Partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi yang digerakkan atau diinginkan oleh
orang lain, bukan karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.

Cohen dan Uphoff(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 66-67)
membedakan empat jenis partisipasi, yaitu

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan

Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ini terutama berkaitan dengan


penentuan alternatif tujuan dari suatu rencana pembanguan. Namun demikian dalam
praktik bisa lebih luas daripada sekedar itu. Partisipasi dalam pengambilan keputusan

10
ini sangat penting, karena masyarakat menuntut untuk ikut menentukan arah dan
orientasi pembangunan.

2. Partisipasi dalam pelaksanaan

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program merupakan kelanjutan dari


rencana yang telah disepakati sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, maupun tujuan. Dalam tahap pelakanaan program, dibutuhkan
keterlibatan berbagai unsur, khususnya pemerintah sebagai fokus atau sumber utama
pembangunan.

3. Partisipasi dalam mengambil manfaatan

Partisipasi ini tidak terlepas dari kualitas maupun kuantitas hasil pelaksanaan program
yang bisa dicapai. Dari segi kualitas, keberhasilan suatu program akan ditandai
dengan adanya peningkatan output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari
seberapa basar presentase keberhasilan suatu program yang dilaksanakan itu, apakah
sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

4. Partisipasi dalam evaluasi

partisipasi masyarakat dalam evaluasi ini berkaitan dengan masalah pelaksanaan


program secara menyeluruh. Partisipasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah
pelaksanaan program telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau ada
penyimpangan.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik


seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem
politik). Yang dimaksud dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan
kewajiban sebagai warga Negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang
lingkungan masyarakat dan politik, dan pengetahuan seseorang ialah penilaian
seseorang terhadap pemerintah ialah penilaian seseorang tentang lingkungan
masyarakat dan politik dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap
lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan
kepercayaan kepada pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan
dapat dipengaruhi atau tidak.

Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor tersebut, Paige membagi partisipasi


menjadi empat tipe.Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan
kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif.Sebaliknya,
apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah maka
partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis).Tipe partisipasi ketiga berupa
militan radikal, yakni apabila kesadaaran politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada
pemerintah sangat rendah. Selanjutnya, apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi
kepercayaan kepada pemerintah tinggi, maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif)
(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 72-73).
11
Sebagai sebuah kegiatan tentu partisipasi politik memiliki banyak factor yang dapat
mempengaruhinya, menurut Surbakti( dalam Suharno,2004: 108) terdapat dua
variabel yang dapat memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat
partisipasi politik seseorang, dua variable tersebut yaitu;

Aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak
mendapatkan perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewaiban-
kewajiban seperti kewajiban dalam system politik, kewajiban kehidupan sosial dan
kewajiban lainnya.

Menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasi terhadap pemerintah, baik


terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.

Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dann


bentuknya.Hal itu di samping berkaitan dengan sistem politik, juga berhubungan
dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Meluasnya
partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal yang menurut Weimer(dalam
sudjiono sastroadmodjo, 1995: 89-90) disebutkan paling tidak terdapat lima. Dari
kelima hal yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih
luas dalam proses politik itu yang

Faktor yang pertama ialah modernitas. Modernitas di segala bidang berimplikasi pada
komersialisasi pertanian industrilisasi,meningkatnya arus urbanisas, peningatan
kemapuan baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa/ media
komunikasi secara lebih luas. Kemajuan itu berakibat pada partisipasi warga kota
baru seprti kaum buruh kaum pedangang, dan profesional untuk ikut serta
mempengaruhi kebijakan dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik
sebagai bentuk kesadaran bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.

Faktor yang ke dua adalah terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial.


Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah
dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industriliasi dan modernitas. Dari hal
itu muncul persoalan yaitu siapa ang berhak ikut serta dalam pembuatan keputusan-
keputusan politik yang berakhir membawa perubahanperubahan dalam pola
partisipasi politik. Kelas menengah baru itu secara kritis menyuarakan kepentingan-
kepentingan masyarakat yang terkesan secara demokratis.

Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor


meluasnya partisipasi masyarakat. Ide-de baru seperti nasionalisme, liberalisme, dan
egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah penyebaran ide-ide
itu dalam seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang belum
maju sekalipun akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara cepat. Hal itu
berimplikasi pada tuntutan-tuntutan rakyat dalam ikut serta menentukan dan
mempengaruhi kebijakan pemerintah.

12
Faktor ke empat ialah adanya konflik antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin
politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan seringkali untuk mencapai
kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan masa. Dalam konteks ini
mereka beranggapan adalah sah apabila yang mereka lakukan demi kepentingan
rakyat dan dalam upaya memperjuangkan ide-ide partisipasi masa. Implikasinya
adalah munculnya tuntutan terhadap hak-hak rakyat, baik hak asasi manusia,
keterbukaan, demokratisasi, maupun isu-isu kebebasan pers. Dengan demikian
pertentangan dan perjuangan kelas menengah terhadap kaum bangsawan yang
memegang kekuasaan mengakibatkan perluasaan hak pilih rakyat.

Sebab kelima, menurut weimer ialah adanya keterlibatan pemerintah yang semakin
mmeluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasanya ruang lingkup
aktifitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisir
untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan

politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala
bidang kehidupan.

Dalam konteks Indonesia Arbi Sanit( dalam Suharno, 2004:110) menyebutkan


terdapat lima factor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia, yaitu;

a. Adanya kebebasan berkompetisi disegala bidang termasuk dibidang politik,


b. Adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka,
c. Adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri, sehingga organisasi
masyarakat dan partai politik dapat tumbuh dengan subur,
d. Adanya penyebaran sumber daya politik dalam masyarakat yang berupa
kekayaan dalam masyarakat,
e. Adanya distribusi kekuasaan dikalangan masyarakat sehingga tercipta suatu
perimbangan kekuatan.

E. Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan sosial-
ekonomi pada negara berkembang

Peran warga negara dalam negara nama lainnya adalah partisipasi politik. Karena
yang menjadi sasarannya adalah negara/pemerintah. Banyak sekali definisi partisipasi
politik , tetapi jika dianalisis, maka unsur-unsur partisipasi politik meliputi;

Pemeran: individu atau kelompok dari rakyat.

Bersifat sukarela: artinya berdasarkan kesadaran dari pemeran. Bukan karena


paksaan/penentu keputusan berasal dari luar dirinya. Yang terakhir ini dikenal dengan
mobilisasi politik.

Sasaran adalah penguasa/pemerintah.

Cara-cara yang ditempuh dapat berupa;

a. Legal atau illegal.

13
b. Teroganisir atau spontan.
c. Mantap atau sporadic.
d. Secara damai atau dengan kekerasan.
e. Efektif atau tidak efektif.
f. Pentingnya partisipasi politik, antara lain untuk;
g. Integrasi nasional
h. Pembentukan identitas nasional.
i. Loyalitas nasional.
j. Akselerasi keberhasilan pembangunan nasional.

Salah satu sarana untuk berpatisipasi adalah partai politik.Partai politik dapat
dikatakan sebagai sarana partisipasi politik dapat dikatakan sebagai sarana partisipasi
politik yang terpenting. Sebab partai politik terlibat langsung dalam proses konversi
(pengolahan) kebijakasanaan politik dan dalam menentukan seleksi terhadap pejabat-
pejabat politik lewat pemilu. Sehingga upaya mempengaruhi kebijaksanaan
pembangunan nasional yang dilakukan oleh warga negara, diharapkan akan lebih
efektif dibandingkan sarana partisipasi politik yang lain ( Drs. Cholisin, M.Si : 2013;
59-60).

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam
mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki status
ekonomi tinggi dipandang lebi cenderung untuk berpartisipasi politik secara aktif,
dibandingkan dengan yang status ekonominya lebih rendah.

Didalam masyarakat-masyarakat yang berlainan, partisipasi politik dapat berakar


dalam landasan-landasan golongan yang berlainan.Terkecuali dalam hal mencari
koneksi kebanyakan partisipasi politik melibatkan sesuatu kolektifitas. Oleh sebab itu
maka mungkin untuk menganalisa partisipasi dari segi tipe-tipe organisasi politik
yang berlainan dan digunakan untuk menyelenggarakan partisipasi dan yang biasanya
merupakan landasan yang lazim yaitu;

Kelas : perorangan denagn status sosial, pendapatan pekerjaan yang serupa.

Kelompok/ komunal : peroranganh dari ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama.

Lingkungan : perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu


sama lain.

Partai : perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang


sama dan berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas bidangbidang
eksekutuf dan legislative pemerintahan., dan

Golongan : perorangan yang disatukan oleh interaksi yang terus menerus atau intens
satu sama lain, dan salah satu manifestasinya adalah pengelompokan patron-klien,
artinya, satu golongan yang melibatkan pertukaran manfaat-manfaat secara timbal
balik diantara perorangan yang mempunyai system status, kekayaan

dan pegaruh yang tidak sederajat( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994; 21).
14
Hubungan antara pembangunan sosial-ekonomi dengan partisipasi politik adalah
sebagai berikut;

Pertama : didalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi


dengan status sosioekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi, berpenghasilan lebih
besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih partisipatif
daripada mereka yang miskin.

Kedua : pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan ketegangan dan tekanan antar
kelompok sosial; kelompok-kelompok yang baru bermunculan; kelompokkelompok
yang sudah mapan mulai terancam; dan kelompok-kelompok yang lebih rendah
menggunakan kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka.

Ketiga : perekonomian yang semakin kompleks menyebabkan bertambah banyaknya


organisasi dan perkumpulan serta meningkatnya jumlah orang yang terlibat dalam
kelompok-kelompok itu.

Keempat ; pembangunan ekonomi untuk sebagai memerlukan dan sebagian lagi


menghasilkan perluasan penting dari fungsi-fungsi pemerintah.

Kelima : modernisasi sosioekonomi biasanya berlangsung dalam bentuk


pembangunan nasional. Negara-negara merupakan wahana bagi modernisasi. Oleh
karena itu, maka bagi perorangan, hubungannya dengan negara menjadi sangat
penting, dan identitasnya sebagai bagian dari negaracenderung mengabaikan loyalitas
lainnya( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994; 6061).

Partisipasi politik antara masyarakat didaerah perkotaan dan pedesaaan tentu berbeda,
tingkat partisipasi politik di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan
daerah pedesaan, maka hal ini merupakan akibat dari perbedaan status sosial,
pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Partisipasi di negara berkembang: ketika kita mengetahui bahwa terdapat perbedaan


yang mencolok pada tingkat partiipasi di negara kaya dan negara yang miskin( dalam
hal ini negar berkembang dan negara tertinggal). Perbedaan tersebut dsebabkan oleh
banyak factor diantaranya bahwa orang-orang yang tertinggal biasanya tidak begiu
berpartisipasi didalam politik karena partisipasi bagi mereka dipandang tidak relevan
dengan urusan mereka yang pokok( pekerjaan, pangan dan bantuan medis) adanya
beberapa hal yang menyebabkan perasaan mengenai partisipasi tersebut berbeda
adalah.

Pertama, orang yang tertinggal tidak memiliki sumber-sumber daya untuk


berpartisipasi secara efektif-informasi yang memadai , kontak-kontak yang tepat,
uang dan seringkali juga waktu.

Kedua di lapisan-lapisan berpenghasilan rendah orang sering terbagi-bagi menurut


kas, suku bangsa, agama atau bahasa juga dimana garis-garis pemisah itu tidak jelas.
Orang dapat mengadakan pembedaan-pembedaan atas dasar sekte, penghasilan, status
atau tempat tinggal yang yang hampir tidak tampak bagi orang luar.
15
Ketiga orang tertinggal cenderung beranggapan bahwa permohonan atau
tekanantekanan dari mereka, baik peorangan atau kolektif akan dianggap sepi atau
ditolak oleh pihak berwajib, dan sebagian besar dari anggapan tersebut seringkali
benar ( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994; 160-161).

Sistem demokrasi liberal membuka kemungkinan yang sangat besar dan bebas bagi
terjadinya persaingan bebas dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang
politik. Seringkali keputusan-keputusan yang telah ditetapkan secara spontan ditolak
atau disetujui oleh masyarakat. Masa merupakan elemen yang reaktif terhadap setiap
perubahan keadaan sosial – politik yang terjadi. Di samping itu adanya kebebasan
berpolitik yang luas dan terbuka memungkinkan munculnya banyak partai politik
yang menyuarakan kepentingan – kepentingan kelompok masyarakat dan tidak
menutup kemungkinan menyuarakan kepentingan pribadi.

Sistem multi partai yang ada di satu sisi menampilkan dinamika politik masyarakat, di
sisi lain karena relatif belum dewasanya kesadaran politik rakyat dan sistem politik
menyebabkan instabilitas politik. Selain itu di sadari pula bahwa masa itu distribusi
kekuasaan dan sumber-sumber daya politik secara relatif ada di kalangan rakyat
denagn pemusatan kekuasan yang relatif kecil dan kekuasaan ekonimi yang tidak
terpusat pada satu atau dua orang saja. Dengan kondisi itu selain tidak terpusat pada
perimbangan kekuatan politik, juga tidak adanya satu sektor kekuatan politik yang
disebabkan oleh sekelompok orang yang memiliki akses-akses ekonomi sehingga
sangat menentukan keputusan-keputusan politik.

Sementara itu, pada masa demokrasi terpimpin faktor-faktor yang ada sebelumnya
hampir tidak dapat diketemukan. Kenyataan itu tampak sekali dalam praktek-praktek
politiknya. Sulit sekali menemukan iklim persaingan politik, kebebasan, dan
keterbukaaan politik dalam masa itu. Hal tersebut di pengaruhi oleh adanya
kepemipinan yang bermaksud mengarahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara bagi seluruh rakyat.

Partisipasi politik dalam pembangunan secara keseluruhan memiliki arti penting.


Pertama sebagai satu tujuan utama kaum elit politik dan kekuatan-kekuatan sosial dari
perorangan yang terlibat di dalam proses itu. Kedua, sebagi sarana kaum elit,
kelompok-kelompok, dan perorangan untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka
nilai tinggi. Ketiga, sebagi hasil sampingan atau konsekuensi tercapainya tujua-tujuan
lain bak oleh masyarakat secara keseluruhan ,oleh kaum elit, kelompok-kelompok dan
peseorangan dalam masyarakat.

Artinya partisipasi politik tetap diberi batasan, kerangka, dan arah untuk tetap
menjamin keapanan kekuasaan dan stabilitas nasional. Pembahasn dilakukan misal
dengan melakuakan pengawasan-pengawasan administrasi yyyang ketat dan tindakan-
tindakan otokratif. Pengawasan terhadap media massa dan komunikasi untuk
senantisa bergerak secara vertkal melaui jalan-jalan yang telah ditentukan. Disisi lain
komunikasi horisontal dibatasi agar tidak berkembang menjadi pendapat umum dalam
masyarakat.

16
Partisispasi politik dalam pembangunan itu sendiri jarang ditetapkan sabagai tujuan,
melainkan dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan lian. Selain itu patisipasi politik itu
juga merupakan efek samping yang berjalan seiringan denagn tujuan pembangunan
yang lain.

Berkaitan dengan pembangunan sosial ekonomi dengan partisipasi politik


menyelaraskan koulsi antara keduanya. Pertama, bahwa tingkat partisipasi politik
masyarakat cenderung berlainan dengan dasar status ekonomi. Umumnya mereka
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, cenderung lebih berpartisipasi dari pada
yang miskin dan tak berpendidikan ,dan memiliki kualitas pekerjaan yang rendah.

Logikanya ialah bahwa pembangunan akan menghasilkan banyak orang yang


berpendidika, berpenghasilan relatif tinggi, dan status pekerjaan yang tinggi sehingga
partisipasi politik masyarakat cenderung maningkat.Kedua ialah bahwa pembangunan
ekonomi dan sosial secara tidak langsung telah meningkatkan keteganggan dan
tekanan antara kelompok. Karena banyak kelompok yang memasuki arena
politik.Ketiga ialah berkembangnya ekonomi yang semakin kompleks menyebabkan
banyaknya organisasi dan perkumpulan sehingga melibatkan banyak orang dan
kelompok. Keempat, ialah pembangunan ekonomi di samping sebagai memerlukan
perluasan-perluasan penting dari fungsi-fungsi pemerintah, sebagaian yang lain
bahkan menghasilkan.

Dalam masyarakat maju perekonomiannya memerlukan lebih banyak promosi dengan


retribusi dengan pemerintah, berbeda dan yang terjadi pada masyarakat agraris.
Artinya merea melihat aliensi di dalamnya.Kelima, ialah modernisasi ekonomi yang
biasanya berlangsung bentuk pembangunan nasional. Seringkali orang perorang
memiliki loyalitas terhadap negara cenderung mengabaikan loyalitas lain. Ratinya
kebudayaan dan pandangan politik negara mengesankan sehingga memudahkan
partisipasi politik.

Partispasi politik dengan tegas mempersoalkan bagaimana rakyat diajak ikut serta
dalam proses pengambillan keputusan politi. Dengan itu, setiap keputusan politik
yang diambil oleh suprastruktur politik, melaui proses konvensi, dikaitkan kembali
dengan rakyat karena melibatkan rakyat. Salah satu corak pembangunan yang
barangakali sering diperhitungkan ialah meningkatnya aspirasi masyarakat yang oleh
Alfian sering disebut

“revolusi Harapan’. Untuk itu diperlukan sistem politik yang represif dan model
pembangunan yang dapat menangkap perkembangan aspirasi tersebut.

Dari sejarah politik Indonesia kritis partisipasi pada prinsipnya disebabkan beberapa
hal.

Adanya logika formal yang menyatakan bahwa infrastruktur politik dibentuk tanpa
melibatkan keikutsertaan rakyat, sehingga setiap kebijaksanaan politik yang diambil
oleh suprastruktur politik sedikit banyak dirasakan sebagai kurang adanya ikatan batin
denagn sebagian rajyat.

17
Setiap keputusan suprastruktur harus mengikatkan dan dipaksakan.

Ketidakacuhan (apatis) yang tumbuh dan seringkali disusul dengan manifestasi


ekstern berupa separatisme dan demokrasi.

Adanya volume tuntutan yang tidak mendapatkan wadah yang cukup dalam
suprastruktur politik, sehingga banyak persoalan pembangunan yang tujuannya
hendak mengembangkan masyarakat menjadi terganggu.

Pola pembangunan cenderung meletakan titik berat pada pertumbuhan ekonomi,


pembangunan sosial ekonomi akan cenderung mempertahankan stabilitas nasional
sebai kondisi dasar guna pencapaian sasaran itu. Pada model pembangunan tersebut,
partisipasi diperlukan untuk memberikan dukungan bagi terkesannya program-
program pembangunan secara keseluruhan. Partisipasi diarahkan dalam jalur-jalur dan
mekanisme yang ditentukan oleh pemerintahan untuk menjamin tetap berlangsung
proses pembangunan.

Distrubusi partisipasi rakyat, meskipun dalam pemilihan umum sejak 1971


menunjukan partisipasi yang benar, partisipasi dalam betuk lain perlu terus
dikembangkan. Disamping untuk mendukung proses pembangunan, hal itu juga untuk
memberikan peran terhadap masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap
pembangunan( Sudjiono Sastroadmodjo,1995: 98-107).

18
F.PARTISIPASI POLITIK DI SUMSEL PILKADA 2018

PADA 27 Juni 2018, sesuai dengan tahapan Pilkada Serentak 2018, masyarakat
Sumsel akan menentukan pilihannya, baik calon Gubernur/Wakil Gubenur maupun
Bupati/Walikota. Memilih calon Gubernur/Wakil Gubenur atau Bupati/Walikota
merupakan salah satu bentuk “kedaulatan berada di tangan rakyat” dan sekaligus
salah satu indikator untuk melihat sejauh mana tingkat partisipasi politik masyarakat
Sumatera Selatan (Sumsel).

Tingkat partisipasi politik masyarakat Sumsel tidak terlepas dari upaya proses
pendidikan politik. Karena pendidikan politik merupakan suatu proses dialogis
diantara pemberi dan penerima pesan, melalui pesan ini masyarakat Sumsel mengenal
dan mempelajari nilainilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik yang ideal,
termasuk calon

Gubernur/Wakil Gubenur maupun Bupati/Walikota, dari berbagai pihak dalam sistem


politik, seperti pemerintah, sekolah, dan partai politik. Dalam konteks ini, Rusadi
Kartaprawira mengartikan pendidikan politik sebagai upaya untuk meningkatkan
pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal
dalam sistem politiknya.

Untuk dapat mensosialisasikan nilai politik, maka agen atau sarana sosialisasi politik
harus menggunakan metode penyampaian pesan yang tepat melalui
pengimplementasian pendidikan politik. Implementasi pendidikan politik memberikan
fokus pada upaya penanaman nilai-nilai demokratis. Perlu disadari bahwa,
keberhasilan pendidikan politik tidak akan tercapai tanpa dibarengi dengan
penerapannya dilapangan.

Sedangkan cara berpartisipasi politik, di antaranya, melalui partisipasi konvensional,


misalnya, ikut dalam kegiatan kampanye ketika pilkada serentak 2018. Dalam
pengertian yang lebih teknis adalah “datang ke TPS dan memberikan suara” ketika
hari “pencoblosan tanggal 27 Juni 2018. Pada umumnya dikenal beberapa kategori
pemilih dalam Pilkada, yakni; 1). Pemilih yang datang ke TPS dan memberikan
suaranya secara sah; 2). Pemilih yang datang ke TPS dan memberikan suaranya
secara tidak sah; dan 3). Pemilih yang tidak datang ke TPS.

Bagi pemilih yang “datang ke TPS dan memberikan suaranya secara tidak sah”,
terdapat beberapa kondisi, antara lain, ketidaksengajaan karena ketidaktahuan,
sehingga suara yang diberikannya tidak sah, misalnya, mencoblos secara tidak benar,
dan sebagainya dan ada pula unsur kesengajaan. Sedangkan pada “pemilih yang tidak
datang ke TPS” berdasarkan pengalaman Pilkada sebelumnya, terdapat beberapa
kondisi, antara lain; pemilih yang tidak datang ke TPS karena malas datang ke TPS,
tempat tinggalnya jauh dari TPS, sehingga enggan datang, bepergian, lebih memilih
bekerja atau mencari uang daripada ke TPS dan berbagai alasan yang berkaitan
dengan kemalasan datang, juga ada yang karena namanya tidak terdaftar di Daftar

19
Pemilih Tetap (DPT). Kondisi kedua dan ketiga ini yang kemudian dikenal di
masyarakat dengan sebutan “golput”. Walaupun istilah “golput” itu sendiri tidak
dikenal di perundang-undangan dan terminologi teknis pemilu.

Pada kelompok golput, terdapat beberapa jenis, yakni, pertama, “golput” ideologis
atau politis, yakni mereka yang dengan “sengaja memilih” untuk “tidak memilih”
dengan alasan tidak ada gunanya ikut Pilkada. Golongan ini menganggap Pilkada
tidak penting, dan urusan politik kenegaraan juga tidak penting karena dianggap
penuh tipu-tipu dan koruptif. Golongan ini cenderung membenci politik, politikus dan
hal-hal yang berhubungan dengan politik dan Pilkada. Perilaku golput jenis ini dapat
juga dipicu oleh ketidakpercayaan (distrust) terhadap landidat yang diusung partai
politik dan lembagalembaga penyelenggara negara. Golongan ini biasanya berada
pada golongan menengah ke atas dan kaum intelektual. Kedua, kelompok golput
teknis, yakni mereka yang golput karena faktor dan kendala teknis seperti tidak dapat
menjangkau TPS dan tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Pada golput jenis pertama, sulit untuk dipengaruhi. Treatment pada golput jenis ini
memerlukan waktu yang lama dan edukasi yang kompleks. Pada golput jenis kedua,
lebih mudah. Namun, di samping treatment jangka pendek untuk sekedar
“mengembalikan para “golputers” ini kembali ke jalan Pilkada” diperlukan strategi
berjangka panjang untuk memberikan pendidikan pemilih agar pemilih lebih
termotivasi untuk ikut

“mencoblos” saat Pilkada atau meningkatkan partisipasi pemilih. Di Sumsel, menurut


Ketua KPU Sumsel H Aspahani SE Ak MM CA pihaknya mentargetkan angka
partisipasi pemilih mencapai 80 persen pada Pilkada Serentak 2018, khususnya pada
Pilgub Sumsel 27 Juni 2018 dengan jumlah Daftat Pemilih Tetap(DPT) per 10
September 2017 tercatat ada 5.921.584. “Kita mantapkan saja partisipasi itu lebih dari
nasional yang 77,5 persen. Kami berusaha untuk 80 persen,” ungkap Aspahani usai
acara Deklarasi Kampanye

Damai Pemilihan Gubernur dan Wagub Sumsel Tahun 2018 di Halaman Kantor KPU
Sumsel Jl Pangeran Ratu Jakabaring, Minggu (sripoku.com/18/2/2018). Demikian
pula, misalnya, KPU Kota Palembang menargetkan angka dikisaran 77% untuk
partisipasi Pilkada Kota Palembang 2018 sesuai dicanangkan Provinsi Sumsel.

Berkaitan dengan masih rendahnya partisipasi politik masyarakat Sumsel, pengamat


politik dan pendidikan politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Joko
Siswanto menilai ada enam faktor penyebab menurunnya angka partisipasi pemilih,
salah satunya yang dominan adalah tingkat kepercayaan masyarakat semakin rendah
terhadap parpol itu. Di samping itu, dia menjelaskan, majunya caleg bermasalah, atau
kasus-kasus yang terjadi di tingkat partai menjadi parameter masyarakat dalam
melakukan penilaian. Di Sumsel angkat golput mencapai angka 33 persen. Dengan
persentase pemilih pemula (16-17 persen) dan pemilih muda (<40 tahun) sekitar 50
persen. Data partisipasi masyarakat di pilkada terus turun.

20
Tentu kita berharap target yang telah ditetapkan oleh KPU Sumsel itu akan terealisasi.
Namun kita jangan lupa bahwa partisipasi pemilih merupakan bagian dari partisipasi
politik yang dapat dipahami dengan pendekatan perilaku politik (political behaviour).
Menurut Ramlan Surbakti, perilaku politik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni;
1). Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi,
sistem budaya, dan media massa; 2). Lingkungan sosial politik langsung yang
mempengaruhi dan membentuk kepribadian seseorang, seperti keluarga, agama,
sekolah, dan kelompok pergaulan (pengaruh); dan 3). Struktur kepribadian yang
tercermin dalam sikap individu.

Terkait lingkungan sosial politik baik langsung maupun tak langsung (faktor
eksternal) terdapat faktor internal yang ditelusuri dari konsep motivasi tindakan
politik dan pilihan rasional (rational choice) yang beroperasi di wilayah perilaku
politik masyarakat.

Motivasi tindakan dan pilihan rasional ini berkaitan dengan persepsi atas “subjek
pelaku kedua” dalam konteks pemilihan (apa yang dipersepsi dan akan dipilih),
kepentingan (interest) dari si pemilih dan harapan pemilih terhadap “nilai kebaikan”
yang dipersepsi (tujuan pemilu dalam persepsi pemilih).

Subjek pelaku kedua, adalah “siapa yang akan dipilih” (kandidat, parpol). Sedangkan
“subjek pelaku pertama” adalah si pemilih itu sendiri. Adapun, “nilai kebaikan”
adalah sesuatu tujuan dari tindakan politik yang dipersepsi oleh pemilih, yang dalam
konteks pemilu adalah tujuan pemilu itu sendiri. Artinya, seseorang bisa saja
memutuskan atau termotivasi untuk “ikut memilih” atau “tidak ikut memilih”
(kemudian disebut “golput”) tergantung dari 3 hal, yakni; persepsi pemilih terhadap
“apa yang akan dipilih”, kepentingan pemilih, artinya, pemilih merasa
kepentingannya terpenuhi atau tidak jika ikut Pilkada, dan pengharapan (ekspektasi)
pemilih akan “nilai kebaikan” dari tujuan (ikut) Pilkada. Proposisi ini didasari oleh
asumsi bahwa pemilih (masyarakat) pada dasarnya menginginkan kondisi masyarakat
yang lebih baik, termasuk dari keterlibatannya dalam aktivitas sosial maupun politik.
Ketiga poin tersebut juga erat kaitannya dengan pemahaman dan pengetahuan pemilih
terhadap isu Pilkada dan yang disangkutpautkannya dengan kepentingan dirinya. Dari
banyak penelitian ditemukan bahwa kisaran partisipasi politik masyarakat hanya 60%
sampai 70%. Hal ini disebabkan masyarakat merasa tidak terlalu memiliki ikatan
sosial dengan kandidat atau partai politik, sehingga dalam banyak hal lebih
mengutamakan ukuran pragmatis.

Selain itu, sebagian masyarakat pemilih lebih memperhatikan aktor individual (figur
calon) daripada parpol. Namun ada kesan di masyarakat menilai keberadaan aktor
politik dari persepsi kemanfaatan bagi masyarakat dan ini seringkali dimaknai
kemanfaatan praktis. Kondisi ini mempengaruhi pola mobilisasi oleh partai untuk
tujuan elektoralnya.

21
Dari sisi pemilih (masyarakat), ini berarti gejala “alienasi” (keterasingan) atau
menjauhnya masyarakat dari esensi Pilkada. Dan dari perspektif partisipasi pemilih,
kondisi ini berpotensi menambah apatisme masyarakat pada isu Pilkada.

Ketertarikan pemilih pada “agenda aktor politik” atau kemanfaatan bagi pemilih
semakin menguat dalam pengalaman masyarakat pemilih pada Pilkada langsung.
Motivasi dan perilaku pemilih menunjukkan ketertarikan pemilih agenda atau
program konkrit dari calon, yang kemudian, masyarakat lebih mengenal figur calon
(personal) ketimbang partainya. Yang menarik, gejala bergesernya perhatian dan
ketertarikan pemilih pada aktor personal dan bukan aktor institusi (partai politik).
Pemilih akan mencoblos, jika ada kemanfaatan secara nyata bagi mereka. Hubungan
pemilih seperti ini dengan peserta bercorak transaksional.

Di sinilah peran penting KPUD Sumsel dan KPUD Kabupaten/Kota harus intensif
mensosialisasikan kegiatan Pilkada kepada masyarakat Sumsel. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Sumsel agar bersedia memberikan
suaranya pada saat pemungutan suara. Hal ini sangat penting mengingat dalam setiap
pelaksanaan pemungutan suara, masih banyak masyarakat yang memilih golput.

Bahkan berdasarkan pengalaman dalam Pilkada di berbagai daerah, prosentase golput


relatif besar yaitu sekitar 25–35% dari total jumlah pemilih. Walaupun golput juga
bagian dari pilihan demokratis, yaitu pilihan antara memilih dan tidak memilih, tetapi
sikap golput berpotensi memandulkan Pilkada dan bahkanPilpres dan Pileg sebagai
ajang penjaringan aspirasi masyarakat. Mereka yang golput tentu tidak diketahui
bagaimana aspirasi mereka. Demokrasi sendiri merupakan instrumen yang selama ini
dipandang paling baik dalam melibatkanmasyarakat dalam pengambilan keputusan.

Sosialisasi politik bertujuan memberikan pendidikan politik yang mana menurut Joko
J. Prihatmoko (2003: 180) adalah membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik
dan kesadaran politik, serta partisipasi politik rakyat. Pendidikan politik menjadi
sangat penting untuk menumbuhkan budaya demokratis di masyarakat Sumsel.
Pendidikan politik memang tugas seluruh masyarakat, termasuk lembaga pendidikan
dan keluarga (Israr,2003). Lebih jauh, menurut Joko J. Prihatmoko (2003 : 183),
partisipasi politik adalah aktivitas yang dengannya individu dapat memainkan peran
dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk
memberi andil dalam menggariskan tujuan-tujuan umum kehidupan masyarakat
tersebut, dan dalam menentukan sarana terbaik untuk mewujudkannya.

Dengan demikian, partisipasi politik adalah peran serta masyarakat secara kolektif di
dalam proses penentuan pemimpin, pembuatan kebijaksanaan publik, dan
pengawasan proses pemerintahan. Pilkada menjadi salah satu instrumen sangat
penting dalam mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan
tentang siapa yang berhak menjalankan organisasi pemerintahan

22
.Hasil Rekapitulasi pada pilkada sumsel tahun 2018

.Hasil Rekapitulasi pada pilkada sumsel tahun 2013

Dari kedua foto terlihat terjadi peningkatan partisipasi pemilih pada pilkada SUMSEL
sebesar 1.344.970 pemilih

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian atau mengambil
peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara,partisipasi merupakan
aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi politik adalah usaha terorganisir oleh para
warga negara untuk memlih pemimpin-pemimpin mereka dan memengaruhi bentuk
dan jalannya kebijakan umum. Usaha ini dilakukan akan tanggung jawab dan
kesadaran mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu
Negara.

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi


politik,Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan
maka dapat dibagi menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif, Ditinjau dari sudut
pandang kadar dan jenis aktivitasnya maka menurut Milbart dan Goel Apatis
,Spektator ,Gladiator, pengritik. Partisipasi politik juga dapat dikategorikan
berdasarkan jumlah pelaku, yakni individu dan kolektif. Dilihat dari latar belakang
yang memotivasi timbulnya partisipasi politik maka menurut haltington dan
nelsonterbagi menjadi dua yaitu; Partisipasi otonom, Partisipasi mobilisasi,

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik


seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem
politik). Myron Meiner menjelaskan faktor-faktor penyebab masyarakat berkenaan
berpartisipasi dalam politik, yaitu:

1. Akibat adanya modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang


menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam
kekuasaan politik.
2. Adanya perubahan-perubahan struktur kelas.
3. Adanya pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern.
4. Adanya konflik antar kelompok kepentingan politik
5. Adanya keterlibatan pemerintah meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.

Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-


tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan
keputusan.

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam
mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki status
ekonomi tinggi dipandang lebi cenderung untuk berpartisipasi politik secara aktif,
dibandingkan dengan yang status ekonominya lebih rendah.

Partisipasi politik antara masyarakat didaerah perkotaan dan pedesaaan tentu berbeda,
tingkat partisipasi politik di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan
24
daerah pedesaan, maka hal ini merupakan akibat dari perbedaan status sosial,
pendidikan dan lapangan pekerjaan.

B. Saran

Penulis menyadari jika makalah ini masih jauh dari sempurna.Kesalahan ejaan,
metodologi penulisan dan pemilihan kata serta cakupan masalah yang masih kurang
adalah diantara kekurangan dalam makalah ini.Karena itu saran dan kritik
membangun sangat kami butuhkan dalam penyempurnaan makalah ini.

25
DAFTAR PUSTAKA

Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.

Samuel. P. Huntington dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik Di Negara


Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Cetakan ke- 2.

Soeharno, S.Pd.,M.Si. 2004. Diktat Kuliah Sosiologi Politik. DIKTAT.

Drs. Cholisin, M.Si. 2013. Ilmu Kewarganegaraan(Civics). Yogyakarta: Ombak.

Dr. Basrowi, Dr. Sudikin dan Dr. Suko Susilo. 2012. Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia
Indonesia.

Michael Rush dan Philip Althoff. 2008. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali
Pers.

Dosen UIN Raden Fatah DR Ahmad Zainuri MPd.I

26

Anda mungkin juga menyukai