Anda di halaman 1dari 5

Teknik kultur anther dan pollen

A. Pendahuluan
Sel-sel tanaman haploid mengandung satuan kromosom yang lengkap, dan tanaman-
tanaman ini berguna dalam program pemuliaan tanaman untuk seleksi sifat-sifat yang
diinginkan. Fenotipe merupakan ekspresi informasi genetik duplikat tunggal, tidak ada
penutupan sifat-sifat melalui dominasi gen. Tujuan kultur anter dan serbuk sari adalah untuk
mendapatkan tanaman haploid melalui induksi embryogenesis dan pembelahan spora
monoploid secara berulang-ulang, baik mikrospora maupun serbuk sari muda. Mikrospora
menunjukkan awal generasi gametofit jantan. Miksospora yang telah matang, terutama yang
telah keluar dari tetradnya dikenal sebagai serbuk sari (Bhojwani dan Bhatnagar, 1974).
Komplemen kromosom dari tanaman haploid dapat digandakan dengan teknik kolkisin atau
teknik regenerasi untuk mendapatkan tanaman diploid homozigot yang fertil (Vasil dan
Nitsch, 1975). Walaupun jumlah sistem kultur serbuk sari yang telah berhasil masih relatif
sedikit (Sunderland, 1971, 1977), teknik ini telah menghasilkan beberapa varietas tanaman
unggul di Cina (Sunderland dan Cocking, 1978; Sunderland, 1979).
B. Media kultur.
Tulecke (1963) pertama kali menemukan bahwa serbuk sari matang dari tanaman
gimnospermae, Ginkgo biloba, dapat diinduksi untuk membentuk kalus diploid bila
dikulturkan pada medium yang sesuai. Pembelahan yang berulang-ulang pada kultur serbuk
sari tanaman angiospermae dibahas lebih lanjut oleh Guha dan Maheshwari (1966), yang
secara tanpa disengaja telah membuat temuan yang sangat berharga. Mereka melakukan
percobaan dengan mengkulturkan serbuk sari Datura innoxa untuk melihat kelayakan
penerapan sistem ini dalam mempelajari faktor-faktor yang mengatur proses meiosis. Respon
pertumbuhan serbuk sari, yang terdapat di dalam anter dewasa, memperlihatkan adanya 3 tipe
yang mencerminkan sifat medium. Walaupun serbuk sari tidak responsif terhadap IAA,
namun kalus diinisiasi pada media yang mengandung baik ekstrak ragi maupun kasein
hidrolisat. Embryoid-embryoid berbentuk torpedo, yang kemudian berkembang menjadi
plantlet, dihasilkan setelah pengkulturan anter tersebut pada media yang mengandung baik
kinetin maupun air kelapa. Pewarnaan dengan acetocarmine menunjukkan bahwa plantlet-
plantlet yang baru terbentuk hanya memiliki satu set kromosom (Guha dan Maheshwari,
1966, 1967).
Tahap perkembangan anter pada saat dikulturkan merupakan faktor yang paling
penting untuk diperhatikan guna keberhasilan pembentukan embryoid. Pada tanaman-
tanaman angiospermae dengan jumlah anter yang tidak terbatas pada setiap tunas bunga,
tunas-tunas dapat dipilih yang mengandung sejumlah anter dengan berbagai tahap
perkembangan serbuk sarinya. Pada spesies dengan jumlah anter terbatas, beberapa tunas
harus diperiksa guna mendapatkan semua tahap perkembangan serbuk sari. Dua metoda dasar
yang dapat digunakan yaitu
(1) Potongan-potongan anter dikulturkan pada medium padat ataupun cair, dan
embryogenesis berlangsung di dalam anter; atau
(2) serbuk sari dikeluarkan dari anter, baik menggunakan peralatan mekanik ataupun
dengan pecahnya anter secara alamiah, dan serbuk sari dikulturkan pada medium cair.
Diperlukan waktu 3 hingga 8 minggu bagi plantlet-plantlet haploid untuk muncul dari anter
yang dikulturkan (Reinert dan Bajaj, 1977).
Pada kultur anther penambahan arang kedalam media akan membantu proses
pertumbuhan eksplan, arang aktif berpengaruh merangsang embryogenesis somatik serta
inisiasi embryo dari jaringan anter haploid. Pengaruh arang ini telah dibuktikan pada kultur
anter tembakau (Anagnostakis, 1974; Bajaj, Reinert, dan Haberle, 1977), rye (Wenzel,
Hoffman, dan Thomas, 1977), kentang (Sopory, Jacobson, dan Wenzel, 1978), dan pada
tanaman-tanaman lain. Eliminasi senyawa penghambat dari dalam agar diperkirakan
merupakan suatu faktor penting karena respon yang sama diperoleh dengan dialisis agar
menggunakan arang aktif, atau dengan memakai agar yang sangat murni sebagai bahan
pemadat (Kohlenbach dan Wernicke, 1978). Kemungkinan lain adalah penyerapan 5-
(hydroxymethyl)-2-furfural, suatu produk degradasi dari sukrosa yang diotoklaf oleh agar
(Wetherhead, Bordon, dan Henshaw, 1978). Suatu penelitian tentang kultur anter Petunia dan
Nicotiana konsisten dengan hipotesis bahwa arang dapat mengeliminir zat pengatur tumbuh
endogen dan eksogen dari medium kultur (Martinean, Hanson, dan Ausubel, 1981).
Walaupun peranan yang pasti dari arang aktif pada proses perkembangan ini masih belum
diketahui, penggunaan senyawa ini untuk meningkatkan produksi plantlet haploid perlu terus
ditingkatkan (Bajaj, 1983).
C. Pemilihan anther.
Sunderland (1979) melaporkan, bahwa pada bunga sejumlah tanaman anter dapat
dikelompokkan menjadi: pramitosis, mitosis dan pascamitosis. Pada kelompok pramitosis
respon terbaik diperoleh pada penggunaan anter di mana mikrospora telah menyelesaikan
meiosis namun belum memulai pembelahan serbuk sari yang pertama (misalnya pada
Hyoscyamus, Hordeum vulgare). Anter tanaman yang termasuk ke dalam kelompok mitosis
memperlihatkan respon optimal pada tiga pembelahan serbuk sari pertama (misalnya pada
Nicotiana tabacum, Datura innoxia, Paeonia). Tahap biseluler awal dari perkembangan serbuk
sari merupakan tahap yang terbaik pada tanaman-tanaman dari kelompok pascamitosis
(misalnya Atropa belladona, berbagai sepesies Nicotiana). Dalam hal N. tabacum, tunas-tunas
bunga dengan corolla yang terlihat dari luar calyx kemungkinan mengandung anter dengan
tahap perkembangan yang sesuai, walaupun barangkali terdapat sedikit perbedaan antar
kultivar (Kasperbauer dan Wilson, 1979). Tahap ini diistilahkan sebagai “tahap-2” oleh
Nitsch (1969), dan “tahap-4” oleh Sunderland dan Dunwell (1977).
Faktor penting lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur anter adalah kondisi
fisiologis tanaman induk (misalnya fotoperiodesitas, intensitas cahaya, suhu dan nutrisi
mineral). Anter hendaknya diambil dari bunga yang diproduksi selama awal periode berbunga
suatu tanaman (Sunderland, 1971). Hasil berupa embryo dalam jumlah besar telah dilaporkan
diperoleh dari tanaman yang dikulturkan dalam kondisi hari pendek dan intensitas cahaya
tinggi (Dunwell, 1976). Untuk informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Sunderland dan
Dunwell (1977).
Berbagai tipe praperlakuan terhadap anter telah diketahui dapat meningkatkan
produksi embryo pada sejumlah tanaman. Praperlakuan anter dengan suhu rendah selama 2 –
30 hari pada suhu 3 – 10 0C dapat merangsang embryogenesis (Sunderland dan Roberts,
1977). Praperlakuan lain termasuk perendaman kuncup bunga di dalam air selama beberapa
hari (Wilson, Mix, dan Foroughi-Wehr, 1978) dan sentrifugasi anter pada suhu 3 – 50C
selama lebih-kurang 30 menit (Sangwan-Norreel, 1977).
D. Kultur anther
Kultur anther dapat menghasikan planlet hapliod melalui isolasi serbuk sari yang di
peroleh dari potongan anther, dan juga dapat dilakukan penggandaan kromosom dari tanaman
haploid menjadi diploid. Berikut merupakan prosedur dasar yang dapat dilakukan pada proses
kultul anther.
1. Tanaman yang digunakan baiknya merupakan tanaman yang dibudidayakan sampai
mencapai tahap pembentukan tunas bunga. Dalam hal tanaman tembakau, tunas-tunas
tersebut hendaknya memiliki cprolla dengan panjang 21 – 23 mm, dan pada tahap ini
serbuk sari telah menyelesaikan mitosis pertama (Sunderland dan Roberts, 1977).
2. Jika bahan tanaman yang digunakan adalah tembakau, hasil terbaik akan diperoleh
dengan memberi praperlakuan pada tunas bunga selama kira-kira 12 hari (suhu 7 –
80C) sebelum dikulturkan (Sunderland dan Roberts, 1977). Untuk sterilisasi
permukaan, tunas-tunas dimasukkan ke dalam cawan Petri yang berisi larutan
hipoklorit plus bahan pelembab (selama 10 menit).
3. Bilas tunas-tunas beberapa kali dengan air suling steril. Gunakan pinset dan jarum
pemotong, buka tunas dan keluarkan anter dengan hati-hati. Diperlukan kehati-hatian
yang tinggi, dan diperlukan mikroskop diseksi untuk langkah ini. Anter yang telah
dipotong dari masing-masing tunas dikelompokkan bersama-sama sesuai dengan
tunas asalnya.
4. Dari setiap kelompok diambil satu anter dan dipecahkan di dalam acetocarmine untuk
mengetahui tahap perkembangan serbuk sarinya. Jika serbuk sari dari anter yang
dipecahkan berada pada tahap perkembangan yang dikehendaki, maka anter yang
tersisa pada kelompoknya dapat dikulturkan. Dalam hal Hyoscyamus niger,
mikrospora hendaknya telah menyelesaikan meiosis, namun belum memulai
pembelahan serbuk sari yang pertama. Serbuk sari Nicotiana tabacum hendaknya
memperlihatkan pembelahan yang pertama. Tangkai anter harus dibuang sebelum
dikulturkan, jika tidak maka tangkai tersebut akan membentuk kalus pada ujung
potongannya.
5. Anter dapat dikulturkan baik pada media yang dipadatkan dengan agar (Sunderland
dan Wicks, 1971) maupun pada media cair (Wernicke dan Kohlenbach, 1976, 1977;
Sunderland dan Roberts, 1977). Petunjuk untuk mempersiapkan medium kultur
disajikan pada akhir bagian ini.
6. Anter dikulturkan pada suhu 250C pada kondisi gelap ataupun diberi cahaya.
Kehadiran cahaya penting setelah pembentukan plantlet dimulai untuk memproduksi
klorofil dan menghasilkan pertumbuhan yang normal. Pencahayaan yang terus-
menerus dari lampu fluorescent (300 lux) memberikan hasil yang memuaskan
(Kasperbauer dan Wilson, 1979). Embryo-embryo muda dapat dideteksi dengan
secara hati-hati meletakkan anter yang membengkak pada gelas objek dan diberi satu
tetes pewarna acetocarmine, lalu diamati di bawah mikroskop. Pembentukan plantlet
terjadi setelah periode 4 – 5 minggu kultur.
7. Pisahkan plantlet-plantlet dengan menggunakan pinset, dan buang sisa-sisa jaringan
anter. Guna mempercepat perkembangan plantlet, pindahkan plantlet tersebut ke
medium induksi akar setelah panjangnya lebih-kurang 3 mm. Medium ini identik
dengan medium untuk kultur anter, kecuali agar yang digunakan hanya 0,5% (w/v)
dan semua komponen lain diberikan dengan konsentrasi setengahnya. Selama periode
pertumbuhan ini tanaman-tanaman harus ditempatkan pada kondisi dengan
fotoperiodesitas 12 jam/hari dan intensitas cahaya 5.000 lux yang berasal dari lampu
fluorescent putih (Kasperbauer dan Wilson, 1974). Dianjurkan agar para siswa
mengamati ujung akar plantlet menggunakan pewarna acetocarmine atau pewarna
Feulgen guna memperjelas jumlah kromosom haploid (Darlington dan La Court,
1976; Collins, 1979).

Anda mungkin juga menyukai