Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH

SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul dalam perspektif Islam disebut
sebagai kelompok masyarakat sābiqun bi al-khairāt 1 (pemenang lomba kebaikan atau
pencetak rekor kebaikan). SDM unggul yang nerupakan kelompok masyarakat sābiqun
bi al-khairāt adalah sumber daya yang merefleksikan delapan karakter khusus yang
dimilikinya, yaitu:

1. Memiliki rasa takut kepada Allah Swt (al-khauf min Allah).


2. Memiliki kekuatan iman (quwwah al-imān)
3. Memiliki tauhid yang bersih (tajrīd al-tauhīd)
4. Mengenal urgensi waktu dan umur (ma`rifah qīmah al-awqāt wa al-a`mār)
5. Tekad yang jujur, cita-cita yang tinggi dan kemauan yang kuat.
6. Semangat kompetitif dalam setiap kebaikan
7. Hati yang bersih (salāmah al-shadr)
8. Peniti jalan pendahulu mereka yang shalih. 2
Adian Husaini dalam catatannya yang disampaikan dalam diskusi sabtuan di
INSIST, 12 Juni 2010 M mengatakan bahwa inilah hakekat dari tujuan pendidikan, yakni
mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M. Naquib al-Attas
dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is
to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education
in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the
Islamic concept of education is the inculcation of adab…”3

Tujuan pendidikan yang menurut Ahmad Tafsir telah difahami oleh para pemikir
sejak 600 tahun SM ini4 , pada tataran kebijakan dan aplikasinya di dunia pendidikan di
Indonesia –menggunakan istilah Ibn Taimiyah- 5 masih bersifat `ilm al-yaqīn (informasi
ilmiyah yang diyakini), belum sampai kepada `ain al-yaqīn (realita yang diyakini)
apalagi sampai kepada haq al-yaqīn (perwujudan hakiki keyakinan).

Pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan Nasional sudah


mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, mulai

1
Qs. Fathir [35]: 32
2
Intisari dari Qs. Al-Mu`minun [23]:57-61. Baca: Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Freh, al-Rāid Durūs
Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Saudi Arabia: Dār al-Andalus al-Khadrā, 2006, Cet ke-3, Juz. I, hlm. 332-336
3
http://www.insistnet.com
4
http://www.knowledge-leader.net/2011/12/pendidikan-agama-islam-sebagai-basis pendidikan-
karakter/
5
Khālid Abū Syādī, Rihlah al-Bahts `An al-Yaqīn, Thanthā: Dār al-Basyīr, 2006, Cet ke-1, hlm.13
dari SD sampai Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh,
pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk
sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter
seseorang. Pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. 6

Ahmad Tafsir memaparkan bahwa pendidikan Indonesia dewasa ini memiliki 7


persoalan yang amat menonjol, yaitu:

Pertama, sistem pendidikan yang masih kaku. Suatu sistem yang terperangkap
dalam kekuasaan otoriter pasti akan kaku sifatnya. Ciri-cirinya yang dapat dilihat dengan
mudah, yaitu sentralisme dan birokrasi yang ketat.7

Kedua, Sistem pendidikan nasional telah diracuni oleh praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Mengapa hal itu mudah masuk? Karena sistem kita tertutup. Manipulasi
dana masyarakat banyak terjadi, baik untuk kepentingan organisasi politik atau
kelompok atau kepentingan pribadi.

Ketiga, sistem pendidikan tidak berorientasi pada pemberdasyaan masyarakat.


Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan rakyat telah berganti dengan praktik-praktik
yang memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas baik. Rakyat
tidak diperdayakan melainkan diperas. Mutu lulusan rendah.8

Keempat, Sistem pendidikan belum mengantisipasi abad ke-21.

Kelima, biaya pendidikan terlalu kecil.

Keenam, pendidikan masih gagal menghasilkan lulusan yang tidak sanggup


korupsi.

Ketujuh, daya saing lulusan memang belum tinggi. 9

Menurut penulis ada problem dasar pendidikan yang lebih utama dilihat dari
perspektif Islam, yaitu sekularisme dalam dunia pendidikan.

Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3


disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

6
Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab , Depok:
Komunitas Nuun, 2011, hlm. 37
7
Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, Dalam Buku “Mereka Bicara Pendidikan Islam
Sebuah Bunga Rampai”, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009, Cet ke-1, hlm. 35
8
Ibid, 36
9
Ibid, 37-39
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami
bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup
dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa
Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang
sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan
urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan
bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik
adalah nilai- nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.

Sehingga realita masyarakat Indonesia masih berada dalam kondisi keterpurukan,


setidaknya menurut kacamata Islamic worldview, yang ditandai oleh:

1. Masih maraknya kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal kesyirikan.


2. Masih cukup dominannya kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal bid`ah
3. Kemaksiatan kolektif atau terbuka yang terbiarkan
4. Kezaliman-kezaliman sesama yang sulit dicegah dan dihentikan. 10

Kembali kepada sistem pendidikan Islmi yang syamil (paripurna) dan kamil
(sempurna) merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban Bangsa yang
sesungguhnya. Dan pendidikan Islami yang yang syamil dan kamil itu telah diwujudkan
oleh seorang pendidik besar dan agung, yaitu Rasulullah saw dalam satu sistem
pendidikan rabbaniyah. Lalu,

1. Bagaimana konsep pendidikan rabbāniyah di Masa Rasulullah saw?


2. Apa tujuan serta bagaimana materi, metode dan evaluasi pendidikan rabbāniyah di
masa Rasulullah saw?
3. Bagaimana Aplikasi pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah saw dalam
pendidikan masa kini?

10
DPP Hasmi, Tugas dan Tujuan, Bogor: Hasmi, 2010, cet ke-2, hlm. 26
BAB II

KONSEP PENDIDIKAN RABBANIYAH

Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa al-Qur`ān, sehingga untuk


memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang rabbānī.
Kata rabbānī terulang sebanyak 3 kali dalam al-Qur`ān, dua kali dalam bentuk
shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar sālim marfû` (‫)الربانيون‬, yaitu Qs. al-
Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat jama` mudzakkar sālim manshûb
(‫)الربانيين‬, yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Ayat-ayat tersebut adalah:

Pertama, Allah Swt berfirman:

    


  
  
   
    
  
  
  
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah
dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia
berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali `Imrān
[3]:79)
Kedua, Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang
Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu
takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
(QS. Al-Māidah [5]:44)
Ketiga, Allah swt berfirman:

Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka


mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS. Al-Māidah [5]:63)
al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas, menurutnya:
“al-Rab menurut etimologinya adalah al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam
bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan rabbabahu. Kata al-rab adalah
mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku. Sedangkan kata al-rabbānī
dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah Ta`ala yang merupakan mashdar
(sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.11
Rabbāniyah dalam bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah Swt. Oleh
karena itu, sebagaimana orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau marganya,
seperti Mishrī `berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam dan sebagainya,
ada juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn, yakni mereka yang
telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan dirinya kepada Allah Swt. 12

Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah sebenarnya
memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena, di antara sifat
karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah (mendidik).

Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah memiliki lima makna, yaitu:
Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti pertambahan dan
pertumbuhan.
Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang berarti perkembangan dan
pembesaran.
Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti pemeliharaan dan perbaikan.
Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang berarti kesucian dan ketinggian.
Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung, menjaga dan
mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya. 13
Menurut Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Frêh, rabbānī adalah orang-orang yang
memiliki karakter-karakter khusus yang meliputi: 1) Murabbin hakīm (pendidik yang
bijaksana), 2) Dā`iyah mushlih (pembimbing yang reformis), 3) Mengamalkan ilmu,
4) Taqiyyun halīm (bertaqwa lagi penyabar), 5) faqīh bi wāqi` ummatih (memahami
realita umat). Ini berarti, Rabbānī adalah orang yang menggabungkan ilmu
pengetahuan dengan pandangan politik yang bijak. Diambil dari perkataan orang
Arab: rab amr al-nās yarubbuhu, yaitu ketika dia memperbaiki dan menegakkan
urusan umat, maka dialah rabbān dan rabbānī untuk menunjukkan seringnya. Abu
`Ubaidah berkata: Aku mendengar seorang yang berilmu berkata: rabbānī adalah
orang yang berilmu tentang halal, haram, perintah dan larangan serta mengetahui

11
Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt, hal: 189
12
Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān, Mesir: Dār al-Tauzī` wa al-
Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
13
Muhammad Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197 serta dikutip pula
oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Lī al-
Nabi Muhammad saw, cet-1, hal. 38
berbagai khabar tentang umatnya, baik yang telah berlalu maupun yang sedang
14
terjadi.
Sedangkan menurut Salmān al-`Audah, karakter rabbāniyah memiliki 10 sifat,
yaitu: 1) Ilmu, 2) Ittibā` (Pengikut setia Rasulullah saw), 3) Ikhlās (murni tujuan
baktinya), 4) Berakhlak dan beradab keilmuan, 5) Bergaul dengan orang lain dengan
baik, 6) Memiliki kebanggaan terhadap ilmu, 7) Hikmah (bijaksana), 8) Mengetahui
derajat diri, 9) Beramal bakti, dan 10) Belajar.15
`Abd al-`Azīz Kuhail menguraikan lebih jauh tentang jalinan antara karatkter
rabbāniyah dan jalan pembentukannya dalam satu panduan yang utuh. Menurutnya
rabbānī adalah seorang muslim yang memiliki akal yang cerdas, kalbu yang hidup
dan anggota tubuh yang produktif, di mana dengan kepribadiannya yang lengkap itu
dia sanggup memikul tanggung jawab khilafah dan tegar menghadapi berbagai situasi
perubahan dan reformasi.
Jika ke-rabbāniyah-an berarti tegak lurusnya akal, kalbu dan anggota tubuh
dalam tatanan dan tuntunan Ilahi, maka pembentukannya harus terorientasi dalam
metode pendidikan sebagai berikut:
1) Afkār (Pemikiran).
Memberi bekal akal dengan wawasan paripurna tentang Allah swt, manusia, alam
dan kehidupan yang diasaskan pada wahyu, ayat-ayat alam semesta dan jiwa
manusia. Inilah langkah pertama dalam pembentukan yang bertolak dari
didahulukannya wahyu “iqra” sebagai asas pendidikan pemikiran orisinil yang
dapat memberikan keyakinan tentang pemahaman valid serta menjauhkan akal
dari keruwetan filsafat dan prasangka.
2) `Āthifah (Perasaan)
Mensucikan jiwa dari berbagai penyakit yang dideritanya, meninggikan cita-cita
kalbu, mengikatnya dengan Allah swt serta memberinya gizi dengan berbagai
hakekat azaliah. Dengan demikian, seluruh perasaannya, kerinduannya dan
gejolak jiwanya penuh dengan kelembutan, kasih sayang, kekuatan, kemuliaan,
pengabdian dan seluruh kehormatan, tidak menampik hal-hal yang baik serta
tidak bergelimang di dalamnya. Dia akan selalu memperlakukan alam dan

14
Māzin bin `Abd al-Karīm al-Frêh, al-Rāid Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Jeddah: Dār al-
Andalus al-Khadrā, 2006, cet ke-2, jilid. III, hal. 279-280
15
Salmān al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet ke-1,hal. 3-17
makhluk lainnya secara positif, sehingga semuanya menjadi bekal kekal yang
tidak akan lenyap saat dia menempuh perjalanan hidup dan fase-fase dakwah.
3) Sulûk (sikap perilaku)
Memenuhi sikap perilakunya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai Tuhan-
nya, melakukan kebaikan, mempropagandakan reformasi kebenaran dan
meluruskan penyimpangan dalam tatanan hukum alam kehidupan. Dengan
demikian, kekuatan tangannya terbiasa membangun dan memberi, kedua matanya
memandang nikmat-nikmat Allah swt dengan pandangan syukur serta
memandang aibnya dengan pandangan mengobati, telinganya biasa mendengar
suara orang-orang yang dizalimi, lisannya biasa memberikan nasehat, serta
kakinya biasa melangkah ke arah produktif. 16

Dengan ini semua, pendidikan pemikiran, ruhani dan sikap perilaku akan
membentuk para pewaris Nabi yang selalu menapaki jalan keimanan Rasulullah saw
yang ma`sûm:

 
 
  
 
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi. (Qs. Shad [38]: 45)
Mereka mata rantai pengikut para Nabi yang mulia, di mana Allah swt memuji
mereka dengan dua ciri dasar, yaitu ûli al-aydī17 (pemilik anggota tubuh yang
bersemangat tinggi dan melahirkan perbuatan-perbuatan besar yang produktif) serta
ûli al-abshār18 (pemilik kalbu dan akal, karena inilah tempat penangkapan ilmu,
walaupun tidak terbatas hanya memiliki keduanya seperti alat-alat mekanik saja,
tetapi alat-alat yang hidup bergerak dengan penuh vitalitas).”19

Materi dasar dan inti dalam pendidikan rabbāniyah adalah al-Qur`ān yang
merupakan Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt) yang diturunkan kepada Rasulullah,

16
http://www.odabasham.net/show.php?sid=21751
17
Ûli al-aydi menurut Ibn `Abbās adalah “kuat dalam ibadah”, menurut Sa`īd bin Jubair adalah “kuat
dalam beramal”, dan menurut Mujāhid adalah “kuat dalam melaksanakan perintah Allah”. Baca: Jalāl al-Dīn al-
Suyûthī, al-Dur al-Mantsûr , Juz VIII, 419
18
Ûli al-abshar menurut Ibn `Abbās adalah “berilmu tentang perintah-perintah Allah”, menurut Sa`īd
Ibn Jubair adalah “berilmu tentang urusan agama mereka”, dan menurut Mujāhid adalah “akal”. Baca: Ibid
19
http://www.odabasham.net/show.php?sid=21751
Muhamamd saw dengan seluruh kandungan mu`jizatnya serta bernilai ibadah dengan
membacanya.20
Muhammad `Abduh berkata tentang kandungan Qs. Ali `Imran [3] ayat 79 :

ِ‫َّاس ونَ آش ِره‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ‫أَفَاد‬


َ ِ ‫اْلنآ َسا َن يَ ُك آو ُن َرََّّبنيًّا بعلآ ِم الآكتَاب َو َد آرسه َوبِتَ آعلآيمه للن‬
ِ‫َن آ‬
َّ ‫ت آاْليَ ُة أ‬ َ
“Ayat tersebut memberi pengertian bahwa manusia bisa menjadi rabbāni dengan
mengetahui dan mempelajari al-Kitāb serta mengajarkan dan menyebarkannya
kepada umat manusia”. 21
Sebagai sebuah materi dasar dan inti, Al-Qur`ān dalam perspektif pendidikan
rabbāniyah memiliki banyak keistimewaan yang begitu tinggi dan mulia, di
antaranya:
1. Menghidupkan hati. (Qs. Asy-Syura [42]: 52)
2. Menyinari mata hati. (Qs. Al-Maidah [5]: 15-16)
3. Obat Hati. (Qs. Yunus [10]: 57)
4. Membahagiakan Pemiliknya. (Qs. Al Hijr [15]: 87-88)
5. Menambah Keimanan (Qs. Al Anfal [8]: 2)
6. Memperjelas Pandangan. (Qs. Az- Zumar [39]: 27)
7. Penyampai Kabar Gembira dan Ancaman. (Qs. Al-Kahfi [18]: 1-2)
8. Sumber Ilmu yang Paling Penting. (Qs. An-Nahl [16]: 89)
Al-Qur`ān merupakan nasehat terbaik yang mengembalikan para pendengarnya
kepada kesadaran. Al-Qur`ān juga merupakan sistem teragung. 22

Al-Qur`ān penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, orang yang
ingin meneliti tentang sastra, sejarah, kisah, etika dan sebagainya, niscaya akan
mendapatkan di dalamnya. Akan tetapi, hal ini bukan yang menjadi tujuan utama
diturunkannya al-Qur`ān dan perintah mentadabburi serta memikirkan makna-
maknanya. Karena al-Qur`ān adalah kitab petunjuk. Allah Swt berfirman:

(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)... (Qs. Al-Baqarah [2]: 185)

Beberapa kandungan materi al-Qur`ān banyak dijabarkan oleh para ulama dan pakar
sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tetapi penulis membaginya ke dalam
beberapa kelompok sudut pandang, di antaranya:
20
Mannā` al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004, cet ke-4, hal.
17
21
Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār, Beirut: Dār
al-Ma`rifah, 1993, Juz III, hal. 348. Dikutip pula oleh Muhammad Adīb al-Shālih dalam kitab “Al-Rabbāniyyūn;
Qudwah wa `Amal, Qirāat fī al-Tarbiyah wa al-Sulūk ”, Riyād: Dār al-Wathan, 2000, Cet-1, hal:27.
22
Majdi al-Hilālī, al-Tharīq Ila al-Rabbāniyyah Minhāj wa Sulūk , Mesir: Maktabah al-Sayyidah,
2002, cet- 1, hal. 63-66
1. Sudut pandang dari tujuan hakiki kehidupan manusia sebagai peserta didik, yaitu
tauhid, mengesakan Allah Swt dalam semua pengabdian. Ibn Qayyim adalah
tokoh yang dapat kita jadikan salah satu pelopor sudut pandang ini.
2. Sudut pandang dari berbagai sisi keagamaan dan sosial kehidupan manusia yang
sedang manjalani kehidupannya.
3. Sudut pandang dari berbagai hubungan manusia dengan Pencipta, dirinya sendiri
dan alam sekelilingnya.
Salīm bin `īd al-Hilālī menjelaskan bahwa metode utama dalam pendidikan
rabbāniyah adalah metode hikmah yang digambarkan dalam aktualisasi pengajaran
ber-tadarruj (yang bersifat gradual atau bertahap)23 . Bukhāri rhm berkata:

ِ ِ‫الرََّّبِِنُّ الَّ ِذي ي رِّب النَّاس ب‬


‫صغَا ِر الآعِلآ ِم‬ َّ ‫ال‬
ُ ‫}حلَ َماءَ فُ َق َهاءَ َويُ َق‬ َ ِِ‫اس{ ُكونُوا َرََّّبنِي‬
‫ني‬ ٍ َّ‫ال آاب ُن َعب‬ َ َ‫َوق‬
َ ِ َُ ُ
ِ‫قَآبل كِبَا ِره‬
َ
“Ibn `Abbās berkata (jadilah kalian rabbānī) yaitu para ahli fiqih yang amat
penyabar. Dikatakan bahwa rabbānī adalah orang yang mendidik manusia dengan
ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik”. 24
Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung empat pengertian, antara lain:
1. Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal (ilmu yang
disertai amal kebajikan)
2. Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3. Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan kedunguan.
4. Tercegah dari kerusakan.
Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus bahasa, Ibn
Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata hikmah Sebagai
“Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat menghantarkan terwujud
dan tercapainya sesuatu secara akurat”.25
Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian hikmah dapat
dilihat dari dua sudut pandang:
1. Dari segi teoritis ilmiah.
Dari segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang berada di
balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat, baik yang
berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan, atau yang bersifat
qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum syariah.

23
www.al-manhaj.co m 22 Januari 2011 M
24
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār al-Kitāb al-
`Arabi, 2007 M, hal. 30
25
Ahmad Ibn `Abd al-Halīm Ibn Taimiyah, Majmû` al-Rasāil al-Kubrā, Beirut: Dār Ihyā al-Turāts
al-`Arabi, tt, Juz. II, hal. 7
2. Dari segi amal praktis.
Dari segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di tempatnya
yang tepat.26 Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad al-Shallābī, hikmah
memiliki tiga tingkatan, yaitu:
a. Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui batas, tidak
tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan watunya. Segala hal
memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya, memiliki batas dan target
yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui, memiliki waktu yang tidak boleh
didahului atau ditunda. Di sinilah hikmah berarti menjaga tiga segi hal tersebut.
b. Mengenal keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah dalam janji-Nya
serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah, baik yang bersifat syar`i
maupun hukum alam yang berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya, karena di
dalamnya tak ada kezaliman dan penyelewengan. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Qs. An-Nisa
[4]: 40)
c. Bashīrah (kemampuan mumpuni), yaitu kekuatan daya tangkap, kecerdasan,
ilmu dan keahlian.27

Dalam pendidikan rabbāniyah, evaluasi dikenal dengan hisab. Kata hisab


dalam prakteknya dapat dibagi menjadi dua bagian, muhāsabah (evaluasi ke dalam)
dan hisbah (evaluasi ke luar).28 Menurut Muhammad Shālih al-Munajjid, muhāsabah
berarti meneliti amal-amal jiwa, memperbaiki berbagai kesalahannya dan menunaikan
berbagai kesalehannya.29 Dalam kajiannya tentang muhāsabah, Ibn Qayyim al-
Jauziyyah membagi muhāsabah kepada dua bagian30 , yaitu:

1. Muhāsabah (mengadakan evaluasi) sebelum beraktifitas, yaitu dengan pertama kali


menganalisa tekad dan niat jiwanya, serta tidak bersegera melakukannya sampai
jelas urgensi melaksanakannya dibandingkan meninggalkannya.

26
Sa`īd Ibn `Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-Kitāb wa al-
Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq, Riyād: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, 1994, cet ke-1, hal.
42
27
Ali Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm, Kairo: Dār Ibn al-
Jauzī, 2007, cet ke-1, hal. 152
28
Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London: al-Muntadā
al-Islāmī, 1995, Cet ke-1, hlm. 32-33
29
Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād, 2009, Cet ke- 1,
hlm. 8
30
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān, Juz. I, hlm. 134-135
2. Muhāsabah (mengadakan evaluasi) setelah beraktifitas. Bagian ini terdiri dari tiga
macam:
a. Mengevaluasi tentang berbagai keteledoran dalam bidang keta`atan pada hak
Allah swt, dimana tidak dijalankan sesuai keharusannya.
b. Mengevaluasi diri tentang setiap aktifitas yang meninggalkannya jauh lebih baik
daripada mengerjakannya.
c. Mengevaluasi diri tentang urusan-urusan yang mubah atau biasa, mengapa harus
dilakukan, apakah untuk tujuan keridhaan Allah swt dan hari akhirat atau
sekedar mencari kesenangan dunia.

Sedangkan hisbah dapat diartikan sebagai suatu upaya memerintahkan segala


yang ma`ruf saat ditinggalkan secara nyata serta melarang yang munkar saat
dilakukan dengan terang-terangan.31

Bagi al-Munajjid, ada 5 pokok masalah yang harus dijadikan sasaran evaluasi,
yaitu:

1. Perkara-perkara yang fardhu


2. Hal-hal yang diharamkan dan dilarang
3. Kelalaian dari tujuan penciptaan
4. Evaluasi anggota tubuh
5. Evaluasi tekad dan niat.32

31
Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, hlm. 33
32
Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, hlm. 44-45
BAB III

PENDIDIKAN RABBANIYAH DI MASA RASULULLAH SAW

Rasulullah saw adalah guru dan pendidik seluruh manusia, bahkan guru dan
pendidik terbaik seumur zaman. Rasulullah saw mendeklarasikan dirinya sebagai
seorang mu`allim atau seorang guru yang merupakan tugas yang diembannya dari
Allah Swt.33 Rasulullah saw bersabda:

`Abdullāh Ibn 'Amr ia berkata; Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam keluar dari salah satu kamarnya dan masuk ke dalam masjid. Lalu beliau
menjumpai dua halaqah, salah satunya sedang membaca Al Qur`an dan berdo'a
kepada Allah, sedang yang lainnya melakukan proses belajar mengajar. Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: \"Masing-masing berada di atas
kebaikan, mereka membaca Al Qur`an dan berdo`a kepada Allah, jika Allah
menghendaki maka akan memberinya dan jika tidak menghendakinya maka tidak
akan memberinya. Dan mereka sedang belajar, sementara diriku diutus sebagai
pengajar, \" lalu beliau duduk bersama mereka. (Hr. Ibn Majah)34
Sebagai seorang murabbī bagi manusia, Rasulullah saw dibekali Allah swt
dengan beberapa kompetensi, yang merupakan keharusan untuk dimiliki agar berhasil
dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi-kompetensi ini dapat dibagi menjadi 5
jenis35 :
1. Kompetensi Nama
Rasulullah saw memiliki beberapa nama yang bukan hanya berfungsi sebagai
tanda pengenal, tetapi di dalamnya terkandung sifat-sifat yang menunjukkan
terpuji dan sempurnanya Rasulullah saw. 36
Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad, Ahmad,
al-Māhi yang maknanya dengankulah Allah menghilangkan kekafiran. Aku juga

33
Muhammad Ibn `Abdullāh al-Duwesy, al-Mudarris wa Mahārāt al-Taujīh, Riyād: Dār al-Wathan,
2000, Cet ke-4, hlm. 22
34
Muhammad Ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah, Bāb Fadhl al-`Ulamā wa al-Hats `alā Thalab
al-`Ilm, Juz. I, hlm. 88, Nomor: 229
35
Disarikan dari beberapa sumber, antara lain: 1) Rasyīd Mans hûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard
Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw, Iskandariah: Dār al-Imān, 2008,
Cet ke-1, hlm. 63-78, 2) Muhammad Ibn `Īsā al-Tirmidzī, al-Syamāil al-Muhammadiyah wa al-Khashāish al-
Mushthafawiyah, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. 3) Shālih Ibn `Abdullāh Ibn Humaid dan `Abd al-Rahmān Ibn
Muhammad Ibn `Abd al-Rahmān Ibn Mallûh, Mausû`ah Nadhrah al-Na`īm Fī Makārim Akhlāk al-Rasûl al-
Karīm, Jeddah: Dār al-Wasīlah, 2004, Cet ke-3, Juz. I, hlm. 415-447, 4) Aidh al-Qarni dan Manshur Ibn Nashir
al-`Awaji, Edisi Indonesia: Muhammad Sang Idola Dilengkapi Dengan Penjelasan Tentang Mukjizat -Mukjizat
Nabi saw, Penerjemah: Najib Junaedi, Surabaya: eLBA, 2006, Cet ke-1, 5) Shafiy al-Rahmān al-Mubārakfûrī,
al-Rahīq al-Makhtûm, Riyād: Dār al-Muayyid, 1995, dan 6) `Alī al-Hasanī al-Nadwī, al-Sīrah al-Nabawiyyah,
Damaskus: Dār al-Qalam, 2004, Cet ke-2
36
Muhammad Ibn Abû Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma`ād Fī Hadyi Khair al-`Ibād,
Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994, Cet ke-27, Juz. I, hlm. 86
adalah al-Hāsyir, yang maknanya manusia dibangkitkan di atas telapak kakiku.
Dan aku juga al 'Āqib.\" (Hr. Bukhari)37
Dalam sebuah hadis disebutkan:
\"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan.., \" (Al Fath: 8). Sama dengan ayat yang
ada di dalam Taurat berbunyi: \"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan dan
pelindung bagi orang-orang `Arab, kamu adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku, dan
Aku menamaimu Al Mutawakkil (orang yang bertawakkal tinggi). Engkau bukan
orang yang berperangai buruk, juga bukan berwatak keras dan bukan sakhkhob
(orang yang cerewet, berteriak keras-keras) di pasar.\" Dan beliau tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan serupa akan tetapi beliau mema'afkan dan
mengampuninya, dan Allah tidak akan mewafatkan beliau sampai beliau
meluruskan Millah (dien) Nya yang bengkok, hingga manusia mengucapkan Lā
Ilāha IllAllāh, sehingga dengannya beliau dapat membukakan mata yang buta,
telinga yang tuli dan hati yang lalai.\" (Hr. Bukhari)38
Nama lainnya adalah Ahmad, seperti diceritakan oleh Nabi `Isa as kepada
kaumnya. Dia juga bernama al-`Āqib (yang datang belakangan), al-Hāsyir (yang
menumpulkan) dan al-Māhi (yang menghapus). Nama al-Māhi, al-Hāsyir, al-
Muqaffī, dan al-`Āqib telah ditafsirkan di dalam hadis Jubair Ibn Muth`īm. 39
2. Kompetensi Nasab
Kehormatan dan kebersihan nasab atau garis keturunan Rasulullah saw yang
dilahirkan dari kabilah terhormat di Bangsa Arab dijelaskan langsung oleh
Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Sesungguhnya Allah swt memilih Kinānah dari keturunan Ismail, memilih


Quraisy dari keturunan Kinānah, memilih Banī Quraisy dari keturunan Quraisy
dan memilihku dari keturunan Banī Hāsyim”. (Hr. Muslim)40
Nama Rasulullah saw secara lengkap keturunannya adalah Muhammad Ibn
`Abdullāh Ibn `Abd al-Muththalib Ibn Hāsyim Ibn `Abd al-Manāf Ibn al-Qushai
Ibn Kilāb Ibn Murrah Ibn Ka`ab Ibn Luay Ibn Ghālib Ibn Fihr Ibn Mālik Ibn al-
Nadhar Ibn Kinānah Ibn Khuzaimah Ibn Mudrikah Ibn Ilyās Ibn Mudhar Ibn Nizār
Ibn Ma`ād Ibn `Adnān.41
Abû Sufyān mengakui di hadapan Heraklius tentang ketinggian dan
kemuliaan nasab Rasulullah saw, ketika ditanya: “Bagaimana nasabnya di

37
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Ya`tī Min Ba`dī
Ismuhu Ahmad, hlm. 1023, Nomor: 4896
38
Ibid, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Inna Arsalnāka Syāhidan wa Mubasysyiran wa Nadzīran, hlm. 1008,
Nomor: 4838
39
Ibid
40
Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābûrī, Shahīh Muslim, Beirut: Dār Ibn Hazm, 1998, cet ke-
1, hal. 1249 Nomor Hadis: 2276
41
Muhammad Ibn Ismāīl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabi, 2007, Kitab
Manāqib al-Anshār; Bāb Mab`ats al-Nabi saw, hal. 777
kalangan kalian?”, Abû Sufyān menjawab: “Dia di kalangan kami memiliki nasab
(yang baik)”, Heraklius berkata: “Begitulah para Rasul diutus pada nasab
kaumnya”.42
3. Kompetensi Khalq
Maksud dari arti khalqiyah adalah bentuk lahir atau fisik yang Allah Swt ciptakan
dalam diri Rasulullah saw43 . Dalam bentuk fisik dan lahir ini, kepribadian
Rasulullah saw memiliki dua kesempurnaan dan kematangan, yaitu:
a. Panca indera yang baik, anggota tubuh yang sempurna dan akal yang cerdas
b. Bahasa yang lugas dan tegas serta wajah yang memikat44
4. Kompetensi Khuluq
Kata al-Khalqu, al-Khulqu dan al-Khuluqu pada dasarnya satu arti, akan tetapi
kata al-khalqu lebih spesial pada gaya, bentuk dan gambar yang dapat terlihat oleh
mata kepala, sedangkan al-Khuluq lebih spesial pada kekuatan dan karakter yang
terlihat oleh mata hati.45
5. Kompetensi Adab
Rasulullah saw diberikan anugerah besar oleh Allah swt dengan adab-adab
yang amat tinggi. Semua kehidupan beliau dipenuhi dengan adab, yaitu
menggunakan semua perkataan dan perbuatan yang terpuji serta memelihara diri
dari semua jenis kesalahan.46
Rasulullah saw amat beradab kepada Allah swt, Pencipta, Pemilik dan
Pengatur urusan semua alam semesta, juga dengan kalam-Nya atau kalimat-kalimat
wahyu yang disampaikan kepada nya. Rasulullah saw amat beradab terhadap
dirinya sendiri sebagai utusan Allah Swt. Rasulullah saw pun amat beradab kepada
semua manusia dan seluruh alam semesta. 47 Sehingga, dalam semua perkataan dan
perilaku Rasulullah saw ditemukan semua adab dan tata-krama.
Seluruh ilmuwan (al-`ulamā) bersepakat bahwa materi pendidikan rabbāniyah
di masa Rasulullah saw berasal dari wahyu yang berbentuk Kalāmullāh (kata-kata

42
Yahyā bin Ibrāhim al-Yahyā, Madkhal Li Fahm al-Sīrah, Madinah: Dār al-Khudairī, 1420, cet ke-
1, hal. 71
43
`Iyādh Ibn Mûsā Ibn `Iyādh al-Yahshabi, al-Syifā Bi Ta`rīf Huqūq al-Mushthafā, Beirut: Dār al-
Kitāb al-`Arabi, 1984, Juz. I, hal. 81
44
Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Li al-
Nabi Muhammad saw, Iskandaria, Dār al-Imān, 2008, cet ke-1, hal. 65
45
Ahmad al-Thûkhī dan Ahmad Mushthafā, al-Silsilah al-Dzahabiah Fī al-Akhlāq al-Islāmiyah,
Kairo: Maktabah al-Sunnah, 2000, Cet ke-1, Juz I, hal. 19
46
Ahmad al-Thukhi dan Ahmad Mushthafa, al-Silsilah al-Dzahabiah Fi al-Akhlak al-Islamiyyah,
hlm. 114
47
Ibid, 115-116
Allah Swt), yaitu al-Qur`ān serta tafsir dan penerapan Rasulullah saw terhadapnya
yang dikenal dengan sunnah.48
Dalam diskursus ilmu metodologi hukum (Ushūl al-Fiqh), materi-materi yang
diajarkan Allah Swt sebagai al-Rab dijabarkan oleh Rasulullah saw dalam bentuk tiga
hal: 1) memberikan penekanan dan penguat materi-materi wahyu yang terdapat dalam
al-Qur`ān, seperti kewajiban shalat dan lain-lain, 2) memberikan penjelasan dan
penafsiran materi-materi global wahyu yang terdapat dalam al-Qur`ān, seperti jumlah
bilangan shalat, zakat dan lain-lain, serta 3) memberikan materi-materi tambahan
yang tidak terdapat dalam wahyu al-Qur`ān yang sama kedudukannya sebagai
wahyu.49
Seluruh materi rabbāniyah ini diajarkan oleh Rasulullah saw dalam dua
periode kehidupannya, yaitu periode Mekah (selama kurang lebih 13 tahun) dan
50
periode Madinah (selama kurang lebih 10 tahun).
Jika dilihat dari tugas kenabian dan kerasulan yang tercantum dalam ayat-ayat
51
al-Qur`ān , materi-materi pendidikan di masa Rasulullah saw terbagi dalam tiga
rumpun berdasarkan tujuan materi masing- masing:
1. Materi membaca ayat-ayat Allah Swt (tilāwah al-ayāt)
Pengajaran al-Qur`ān al-Karīm dalam sejarah telah dimulai sangat awal sekali,
yaitu setelah Bai`at al-`Aqabah pertama saat Mush`ab Ibn `Umair rda diutus oleh
Rasulullah saw sebagai seorang duta guru ngaji al-Qur`ān untuk masyarakat
Madinah serta mengajarkan pula hukum-hukum syari`ah. Karena itu pula, Mush`ab
Ibn`Umair dikenal dengan julukan “al-Muqrī”.52
Ibn Syaibah dan al-Wāqidī meriwayatkan dalam hadits-hadis yang dikumpulkan
oleh keduanya tentang hijrah Ibn Ummi Maktûm bahwa saat dia menuju Madinah
untuk berhijrah setelah perang Badar, dia sempat singgah di sebuah rumah yang
dikenal dengan nama “Dār al-Qurra”, yaitu rumahnya Makhramah Ibn Naufal.53

48
Ahmad Salam, Mā Anā `Alaihi wa Ashhābī; Dirāsat Fī Asbāb Iftirāq al -Ummah wa Muqawwimāt
Wihdatiha al-Syar`iyyah wa al-Kauniyyah Min Khilāl Hadīts al-Iftirāq, Beirut: Dār Ibn Hazm, 1995, cet ke-1,
hal. 84
49
Muhammad Ibn Husen Ibn Hasan al-Jīzāni, Ma`ālim Ushûl al-Fiqh `Inda Ahl al-Sunnah wa al-
Jamā`ah, Dammām, Dār Ibnu al-Jauzī, 1428, Cet ke-6, hal: 119
50
Lihat: Akram Dhiyā al-`Umurī, al-Sīrah al-Nabawiyyah Muhāwalah Li Tathbīq Qawā`id al -
Muhadditsīn Fi Naqd al-Riwāyat al-Sīrah al-Nabawiyyah, Juz. I hal. 129
51
Lihat: Qs. Al-Jumua`ah [62]:2
52
`Abd al-Malik Ibn Hisyām al-Mu`āfirī, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Saudi Arabia: Dār al-Bayān al-
Hadītsah, 2001, cet ke-1, Juz II, hal. 52
53
Yûsuf Ibn Umar al-Numairī Ibn `Abd al-Bar al-Qurthubī, al-Istī`āb Fī Ma`rifah al-Ashhāb, Beirut:
Dār al-Kitāb al-`Arabī, 2000, cet ke-2, Juz II, hal. 250-251
Sejarah jejak pengajaran al-Qur`ān di masa Rasulullah saw dapat ditunjukkan
dalam dua bukti:
Pertama, para ahli membaca al-Qur`ān –sejak mula sejarah- telah menjadi sekte
sosial yang cukup dikenal.
Kedua, para ahli membaca al-Qur`ān ini memiliki rumah-rumah khusus tempat
mereka mempelajarinya.54
Bahkan, dengan bahasa yang sangat jelas, Rasulullah saw memerintahkan umatnya
untuk mengambil ilmu membaca al-Qur`ān dari empat orang sahabat yang dikenal,
yaitu:
“Ambillah oleh kalian al-Qur`ān dari empat orang: `Abdullāh Ibn Mas`ûd, Sālim,
Mu`ādz dan Ubay Ibn Ka`ab”. (Hr. Bukhāri)55
2. Materi penyucian hati (tazkiyah al-nafs)
Sedangkan artikulasi al-tazkiyah dari dimensi istilah syar`i (terminologis agama),
menurut Ahmad Farīd (seorang ulama kontemporer yang sangat konsern dengan
pendidikan jiwa) adalah:
“Maksud tazkiyah al-nufûs adalah mensucikan dan mengharumkannya, sehingga
jiwa selalu siap memperkenankan Tuhannya serta beruntung di dunia dan
akhiratnya, sebagaimana Allah Swt berfirman [Sungguh beruntung orang yang
mensucikan (mentazkiyah) jiwanya dan sungguh merugi orang yang
mengotorinya] (Qs. Al-Syams [91]: 9-10)”.56
Materi-materi yang diajarkan Rasulullah saw untuk mentazkiyah jiwa-jiwa
sahabatnya menurut hasil kajian para ulama adalah:
a. Materi Tauhid dan Akidah Keimanan
1) Seluruh ulama sīrah nabawiyyah –berdasarkan hasil penelitian Muhammad
Amhazûn- bersepakat bahwa sejak di Makkah, Rasulullah saw menanamkan
materi-materi tauhid dan akidah keimanan kepada manusia. Materi-materi
tersebut meliputi: Men-tauhid-kan Allah swt dalam rubûbiyah-Nya, Men-
tauhid-kan Allah swt dalam ulûhiyah-Nya, Dua pondasi dasar dibangunnya
keta`atan pengabdian kepada Allah swt, yaitu: a) tidak beribadah kecuali
kepada Allah swt, dan b) tidak beribadah kecuali dengan syari`atNya yang
disampaikan melalui lisan rasulNya. Tauhid mencakup perkataan dan

54
Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah, Mesir:
Dār al-Salām, 2002, cet ke-1, hal. 181
55
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Hal. 1055, No Hadis: 4999
56
Ahmad Farīd, Tazkiyah al-Nufûs, Iskandaria: al-Maktabah al-`Ashriyah, 2005, cet ke-1, hal. 4
perbuatan, Men-tauhid-kan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatNya.. serta
Beriman kepada al-yaum al-akhīr (hari akhirat)57
b. Materi Ibadah
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang terkait
dengan masalah shalat. Bahkan shalat menjadi pencegah perbuatan keji dan
munkar. (Hr. Al-Nasāi)58
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan
dengan masalah shaum. (Hr. Muslim)59
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan
dengan masalah zakat. (Hr. Muslim)60
Rasulullah saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan
dengan masalah haji. (Hr. Muslim)61
c. Materi Akhlak dan Adab

Materi akhlak di masa Rasulullah saw berisi pada dua bahasan utama yaitu:
(a) menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji (al-akhlāq al-mahmûdah), dan
(b) membuang akhlak-akhlak tercela (al-akhlāq al-madzmûmah).

Pada akhlak-akhlak terpuji, Rasulullah saw mengajarkan akhlak-akhlak


sebagai berikut62 : Sabar, Tawakkal, Adil, Kasih sayang, Malu, Jujur, Derma,
Rendah hati

Pada akhlak-akhlak tercela Rasulullah saw melarang akhlak-akhlak sebagai


berikut:Dzalim, Hasad, Menipu, Ujub dan Tertipu, Lemah dan Malas.

d. Materi Doa dan Zikir


Dalam Pendidikan rabbaniyah di masa Rasulullah saw, materi-materi dalam
rumpun tazkiyah adalah materi-materi yang tidak terpisah satu dengan lainnya,
karena di rumpun inilah materi-materi pembentukan karakter rabbāniyah
berpusat dan berputar. Rasulullah saw mengajarkan aqidah keimanan melalui

57
Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah, hal.
21-34
58
Ahmad bin Syu`aib al-Nasāī al-Khurāsānī, Sunan al-Nasāī, Kitāb al-Shalāt, Bāb al-Muhāsabah `ala
al-Shalāt, Beirut: Maktabah al-Mathbû`at al-Islāmiyyah, 1986, Juz. I, hal. 250, No Hadis: 461
59
Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisāburī, Shahīh Muslim, Kitāb al-Shiyām, Bāb Fadhl al-
Shiyām, hal. 580, No Hadis: 1151
60
Ibid, Kitāb al-Zakāt, Bāb Qabûl al-Shadaqah Min al-Kasb al-Tahyyib wa Tarbiyyatuhā, hal. 506,
No Hadis: 1014
61
Ibid, Kitāb al-Haj, Bāb Fī Fadl al-Haj wa al-`Umrah wa Yaum `Arafah, hal. 704, No Hadis: 1350
62
Ahmad Mu`ādz Haqqī, al-Arba`ûn Hadītsan Fī al-Akhlāk Ma`a Syarhihā, Riyād: Dār Thuwaiq,
1993, hal. 14-104
ibadah, akhlak atau adab dan do`a, mengajarkan ibadah melalui aqidah
keimanan, akhlak atau adab dan doa, mengajarkan akhlak atau adab melalui
aqidah keimanan, ibadah dan doa, serta mengajarkan doa melalui aqidah
keimanan, ibadah, akhlak atau adab.63
Rasulullah saw mengajarkan bahwa salah satu syarat diterimanya doa seorang
hamba adalah memakan makanan yang halal, karena Allah swt adalah Zat Yang
Maha Thayyib (baik), sehingga tidak menerima satu doa yang dipanjatkan
kepada-Nya kecuali dari orang yang thayyib dan yang memiliki perilaku yang
thayyib.64
3. Materi ta`līm al-Kitāb dan al-hikmah
Rasulullah saw mengaitkan semua peristiwa sejarah, alam dan sosial
kemasyarakatan dengan dasar-dasar keimanan kepada yang gaib, ibadah dan
akhlak yang mulia. Rasulullah saw mengajarkan bahwa peristiwa kusuf (gerhana
matahari) dan khusuf (gerhana bulan) terkait dengan keagungan dan kekuasaan
Allah swt, bukan karena takhayyul kematian seseorang atau mistik karena ada
peristiwa bencana dan lain-lain.65 "\ .

Metode Rasulullah saw dalam mendidik umatnya diajarkan langsung oleh Allah
swt dalam firman-Nya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125)
Metode Rasulullah saw dalam mendidik umatnya diajarkan langsung oleh Allah
swt dalam firman-Nya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125)
1. Pendekatan Hikmah (Kebijaksanaan).
Dalam pendekatan hikmah, Rasulullah saw menerapkan metode pendidikan yang
sangat memperhatikan unsur-unsur dasar antara lain:

63
Sayyid Sa`īd `Abd al-Ghanī, Haqīqat al-Walā wa al-Barā Fi Mu`taqad Ahl al-Sunnah wa al-
Jamā`ah, Iskandaria: Dār al-Īmān, 2006, hlm. 136
64
Rāsyid Ibn Husain al-`Abd al-Karīm, Al-Durūs al-Yaumiyah Min al-Sunan wa al-Ahkām al-
Syar`iyyah, Riyād: Dār al-Shumay`ī, 2002, Cet ke-2, hlm. 79
65
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Kusūf, Bāb al-Shalāt Fī Kusūf al-
Syams, hlm. 212, Nomor: 1042
a. Memperhatikan tadarruj (tahapan) pembelajaran.66
b. Menjaga etika berkomunikasi dan mengajak berbicara setiap orang sesuai
dengan kadar pemikiran mereka..67
c. Menjaga maslahat dan menolak mudarat.. 68
d. Menjaga Aulawiyāt (prioritas).69
e. Menjaga waktu. Rasulullah saw sangat memperhatikan waktu mengajar dan
belajar agar tidak membosankan para sahabatnya. 70
f. Menjaga Perencanaan dan Manajemen pendidikan. 71
2. Pendekatan Mau`idzah Hasanah (Nasehat yang Baik)
a. Metode Kisah
b. Metode Dharb al-Amtsāl
c. Metode Targhīb dan Tarhīb
d. Metode Uswah atau Qudwah
e. Metode Tafakkur dan Tadabbur atau Tadzakkur.
a. Metode Soal-Jawab
b. Metode Amr Ma`rûf dan Nahi Munkar
c. Metode Ta`wīd (Pembiasaan)

a. Pendekatan Jidal Bi al-Lati Hiya Ahsan (Diskusi Terbaik)

Dalam menjalankan misi pendidikan, untuk melihat tingkat atau kadar


penguasaan sahabat terhadap materi pelajaran, Rasulullah saw juga mengevaluasi
sahabat-sahabatnya. Dengan mengevaluasi sahabat-sahabat, Rasulullah saw
mengetahui kemampuan para sahabat dalam memahami ajaran agama atau dalam
menjalankan tugas.72

66
`Ali Ibn Nafī` al-`Ulyāni, Ahammiyah al-Jihād Fī Nasyr al-Da`wah al-Islāmiyyah Wa al-Rad `Alā
al-Thawāif al-Dhāllah Fīh, Riyād: Dār Thayyibah, 2003, Cet ke-4, hlm. 136-144
67
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-`Ilm Bāb Man Hakshsha Bi al-`Ilm
Qauman Duna Qaumin Karāhiyah an Lā Yafhamû, Hal : 42
68
Ibid, Bāb Man Taraka Ba`dha al-Ikhtiyār Makhāfah An Yaqshur Fahm Ba`dhi al-Nās `Anhu
Fayaqa`û Fī Asyad Minhu, Nomor: 126
69
Ibid, Kitāb al-Zakāt, Bab Wujûb al-Zakāt, hlm. 283, Nomor: 1395
70
Ibid, Kitab al-`Ilm, Bab Ma Kana al-Nabi saw Yatakhawwaluhum Bi al-Mau`idzah wa al-`Ilm Kay
La Yanfiru, hlm. 30,Nomor: 68
71
Mazin Ibn `Abd al-Karim al-Freh, al-Raid Durus Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Juz. III, hlm. 59-
62
72
Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi Membangun Kerangka Pendidikan Ideal
Perspektif Rasulullah, hlm. 179
Unsur-unsur muhasabah yang dijalankan oleh Rasulullah saw berada di
seputar indikator iman dan kufur, di mana dengan indikator-indikator iman seseorang
dapat meraih derajat kemuliaan dan dengan indikator kufur seseorang mendapatkan
derajat kehinaan.
BAB IV

APLIKASI PENDIDIKAN RABBANIYAH DI MASA RASULULLAH SAW DALAM


PENDIDIKAN MASA KINI

A. Dalam aplikasinya pendidikan rabbāniah berarti pembentukan indikitor-indikator


hidayah taufik yang dikehendaki Allah swt pada diri manusia melalui proses tarbiyah
(pendidikan).
Dari kajian penulis tentang pengertian Rabbāniyah dan rabbānī ditemukan 5
Indikator dengan 30 karakternya yang menjadi tujuan pendidikan rabbāniyah, yaitu:
1. Indikator keimanan: Ta`at kepada Allah swt; Berorientasi akhirat; Rajin
beribadah; Bertakwa kepada Allah swt; Patuh atau komitmen kepada ajaran-
ajaran agama; Ikhlas dalam mengabdi; Rajin berdoa.
2. Indikator akhlak: Sabar; Santun; Beradab; Jujur; Amanah; Hormat kepada guru
dan orang tua; Tsabāt (kokoh pendirian); `Iffah (Menjaga kehormatan)
3. Indikator keilmuan: Cerdas; Kritis; Rajin belajar; Kreatif; Inovatif; Berfikir
metodologis; Memiliki kebanggaan terhadap ilmu pengetahuan.
4. Indikator sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup: Beramal bakti; Berjiwa
reformis; Tenggang Rasa; Hidup bersama umat
5. Indikator kepemimpinan: Cinta keadilan; Penuh kebijaksanaan; Pandai menata
dan mengatur; Bertanggung jawab; Pandai Bermusyawarah.
B. Aplikasi Karakter Rasulullah saw sebagai Murabbī Bagi Reorientasi Profil Pendidik
Berbasis Rabbāniyah.
Dari kajian penulis tentang karakter Rasulullah saw sebagai seorang murabbi
(pendidik), dihasilkan satu rumusan bahwa profil seorang pendidik adalah:
1. Memiliki nama yang mengandung arti mulia menurut syariah, baik menurut sosial
masyarakat serta melambangkan cita-cita yang tinggi dan kuat.
2. Lahir dari keturunan yang baik, tidak tercemar dan tidak rendah.
3. Memiliki panca indera yang baik, anggota tubuh yang lengkap, wajah yang
memikat dan akal yang cerdas serta kemampuan bahasa yang tegas dan lugas.
4. Memiliki akhlak-akhlak terpuji yang tertanam kuat dalam jiwa dan
terimplementasikan dalam setiap langkah amalnya.
5. Memiliki adab-adab yang tinggi, baik adab kepada Allah swt, adab kepada sesama
manusia (khususnya guru dan orang tua), serta adab terhadap alam semesta.
C. Aplikasi Materi Pendidikan Rabbāniyah di Masa Rasulullah saw Bagi Reformulasi
Materi Pendidikan Berbasis Rabbāniyah
Dalam melakukan redesign materi-materi pendidikan Islam yang berbasis
rabbani dapat digunakan pendekatan rumpun-rumpun materi yang terbagi menjadi
tiga segi:
1. Rumpun materi dasar dan utama, yaitu rumpun tazkiyah
2. Rumpun materi kulit dasar atau pengantar, yaitu rumpun tilawah dan
3. Rumpun materi pengembangan dan keahlian, yaitu ta’lim ilmu pengetahuan yang
tetap berpijak pada wahyu dan ijtihad ilmiah.
D. Aplikasi Metode Pendidikan Rabbāniyah di Masa Rasulullah saw Bagi
Pengembangan Metode Pendidikan Berbasis Rabbāniyah
Kajian penulis tentang metode pendidikan Rabbāniyah di masa Rasulullah saw
menghasilkan fakta bahwa metode beliau memiliki tiga pendekatan:
1. Pendekatan Hikmah, metode-metode yang dikembangkan harus memperhatikan
unsur-unsur:
a. Memperhatikan tadarruj (tahapan) pembelajaran
b. Menjaga etika berkomunikasi dan mengajak berbicara setiap orang sesuai
dengan kadar pemikiran mereka
c. Menjaga maslahat dan menolak mudarat bagi peserta didik.
d. Menjaga Aulawiyāt (prioritas) materi yang disampaikan
e. Menjaga waktu pembelajaran
f. Menjaga Perencanaan dan Manajemen pendidikan
2. Pendekatan mau`idzah hasanah, yaitu metode-metode yang dapat menyentuh hati
dan melembutkan jiwa, yang dalam aplikasinya bisa berbentuk:
a. Metode kisah
b. Metode Perumpamaan
c. Metode Targhīb (dorongan) dan Tarhīb (ancaman)
d. Metode Ketauladanan
e. Metode Tafakkur, Tadabbur dan Tadzakkur (Renungan)
f. Metode Soal-Jawab
g. Metode Amr Ma`ruf dan Nahi Munkar
h. Metode Ta`wid (Pembiasaan)
i. Pendekatan Jidal Bi al-Lati Hiya Ahsan (Diskusi Terbaik)
E. Aplikasi Evaluasi Pendidikan Rabbāniyah di Masa Rasulullah saw Bagi Pemantapan
Evaluasi Pendidikan Berbasis Rabbāniyah
Dari kajian penulis tentang evaluasi pendidikan Rabbāniyah di masa Rasulullah
saw dapat ditarik benang merah bahwa evaluasi di masa Beliau terdiri dari dua
bentuk:
1. Muhāsabah (Evaluasi ke dalam), dalam hal ini dilakukan dengan dua tahapan:
a. Tahapan sebelum beraktifitas
b. Tahapan sesudah beraktifitas

Evaluasi di poin ini dilakukan terhadap indikator-indikator iman dan kufur untuk
menilai kesuksesan atau kegagalan pendidikan berbasis rabbaniyah.

2. Hisbah (Evaluasi ke luar), dalam hal ini dilakukan dengan hal:


a. Memerintahkan yang ma`ruf (baik menurut akal dan syariah)
b. Melarang yang munkar (buruk menurut akal dan syariah)

Evaluasi di poin ini diarahkan untuk mengontrol terbentuk dan tidak terbentuknya
karakter rabbaniyah pada para peserta didik.

Dari benang merah ini dalam aplikasinya harus diwujudkan suatu Evaluasi pendidikan
berbasis rabbāniyah yang memperhatikan dua peran, yaitu:

1. Evaluasi yang berperan sebagai dasar penilaian.


2. Evaluasi yang berperan khusus, yaitu penilaian yang dilakukan untuk para peserta
didik yang akan mengemban tugas-tugas khusus. Dalam hal ini masing-masing
domain dinilai sesuai dengan ciri dasar tugasnya dengan tetap berbasis pada
evaluasi dasar.
Hal ini bisa dilihat bahwa evaluasi pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah
saw memiliki sasaran-sasaran antara lain:
a. Penguasaan pengetahuan kognitif
b. Segi ranah afektif
c. Segi psikomotorik
d. Kemampuan Spiritual
e. Kemampuan mengendalikan emosi yang negatif
f. Kemampuan menumbuhkan kepedulian dan kepekaan untuk mempertahankan
nilai- nilai luhur yang universal
g. Kemampuan menumbuhkan rasa empati, kepekaan, dan kepedulian sosial untuk
membantu sesama saudaranya dalam berbagai keadaan senang dan susah
h. Kadar kesempurnaan akhlak
i. Kelayakan mengemban satu tugas tertentu
j. Indikator keimanan atau kekufuran
k. Pemanfaatan waktu untuk neraca kebaikan
l. Aktifasi ilmu untuk kerja-kerja ibadah
m. Penguasaan dan pengendalian harta untuk yang mengandung keberkahan
n. Kemampuan fisik untuk pengabdian kepada Allah swt

Anda mungkin juga menyukai