Anda di halaman 1dari 17

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nekrolisis Epidermal Toksik (TEN) atau disebut juga Sindrom Lyell


karena yang mencetuskan nama TEN adalah Alan Lyell pada tahun 1956. Kata
toksik mengacu pada toksemia atau sirkulasi dari racun yang dianggap
bertanggung jawab atas gejala dan nekrosis epidermis. Lyell menciptakan istilah
"nekrolisis" dengan menggabungkan gejala klinis utama "epidermolisis" dengan
karakteristik histopatologis nekrolisis. TEN merupakan penyakit mukokutaneus
yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa
nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu
berhubungan dengan konsumsi obat. TEN terjadi tanpa dapat diprediksi. Pada
TEN, saat awal kana dermatosis yang tampak tidak berbahaya tetapi dapat
menjadi progresif dalam watu singkat. Risiko kematian TEN dapat diprediksi
secara akurat dengan menggunakan Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal
Necrolysis (SCORTEN)1,8,9.
Nekrolisis Epidermal Toksik sangat jarang terjadi, insidensi NET pertahun
adalah 1 sampai 7 kasus per tahun, NET lebih banyak terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki, rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah
1,5:1. NET lebih sering terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan usia diatas 65
tahun7,9. Insidensi NET di Asia Tenggara sebagaian besar masih belum diketahui
karena belum ada penelitian yang dipubliksikan.
Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
penunjang, tatalaksana, dan prognosis nekrolisis epidermal yang bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman tentang nekrolisis epidermal. Kompetensi nekrolisis
epidermal bagi dokter umum adalah 3B, sehingga mahasiswa profesi dokter
dituntut untuk mengetahui dan memahami nekrolisis epidermal agar dapat
memberikan tatalaksana awal pada keadaan gawat darurat bagi setiap pasien
nekrolisis epidermal yang dihadapi selama proses pendidikan maupun kegiatan
profesional.
2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Nekrolisis epidermal toksik (NET atau TEN) adalah reaksi mukokutan


akut yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang luas dan dapat
mengancam jiwa dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa ditandai eritema,
vesikel, bula, erosi, purpura dan epidermolisis yang luas. Pelepasan lapisan
epidermis dan dermis hasil dari kematian keratinosit atau apoptosis
keratinosit.3,1,7,8

2.2 Epidemiologi

TEN merupakan penyakit yang jarang. Insiden TEN 0,4–1,2 kasus/juta


penduduk/tahun di dunia yaitu sekitar 1 -7 kasus per tahun. Penyakit ini dapat
terjadi pada setiap usia dan risiko meningkat pada usia di atas 40 tahun, dan
perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan rasio 0,6. Pasien
terinfeksi HIV, penyakit kolagen vaskular, dan kanker menunjukkan peningkatan
risiko mendapat TEN5. Angka kematian TEN berkisar 20%–25% ada pula
referensi yang menyatakan 25-35%. Pertambahan usia, komorbiditas, dan luas
kulit terkena berkorelasi dengan prognosis buruk1,2,6,7,9.

2.3 Etiologi

TEN merupakan reaksi kulit terhadap bermacam agen penyebab dengan


patogenesisnya yang belum jelas. Etiologi TEN sebagai berikut3,7,9:

- Obat : angka kejadian yang disebabkan oleh obat-obatan sekitar 80-95%.


Macam-macam obat yang menyebabkan reaksi kulit sebagai contoh adalah
nevirapine, sulfonamide, fenitoin, fenobarbital, carbamazepin, allopurinol,
NSAID (piroxicam, aspirin), antitoksin tetanus, penicillin, tetrasiklin,
rifampisin
- Bakteri : Mycoplasma pneumonia, Staphylococcus
- Infeksi virus : Varisella, herpes
3

- Vaksinasi : polio, morbili

Gambar 1. Obat-obat yang berisiko terhadap terjadinya Epidermal Nekrolisis

2.4 Faktor Resiko

Pada lebih dari 95% pasien TEN, dilaporkan disebabkan penggunaan obat.
Pada umumnya risiko terjadinya TEN paling tinggi pada minggu awal terapi dan
pada penggunaan obat dengan waktu paruh lebih lama. Obat penyebab tersering
dan merupakan risiko tinggi penyebab NET yaitu, Antibiotik (terutama golongan
long acting sulfa dan penicilin), obat-obat anti kejang, obat-obat anti inflamasi
(NSAID), dan obat-obat allopurinol4. Pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk
terjadi TEN antara lain, pasien yang memiliki genotip slow-acetylator,
immunocompromised (HIV),menjalani radioterapi, antikonvulsan, atau yang
memiliki alel spesifik HLA (Human Leukocyte Antigen). Pada pasien dengan
AIDS, risiko terjadinya NET meningkat 1000 kali lebih tinggi dari populasi
umum. Kerentanan genetik ikut berperan pada faktor resiko TEN ras tertentu yang
mempengaruhi pada patogenesis. Asosiasi kuat didapati pada populasi Han
Chinese, Thailand, India, dan Malaysia antara HLA-B*1502 dan SSJ yang
diinduksi karbamazepin. Asosiasi NE akibat karbamazepin dan HLA-B*1502 ini
tidak dijumpai pada orang Eropa yang tidak mempunyai turunan Asia.
Berlawanan dengan HLA-B*580l dan SSJ akibat alopurinol yang umum dijumpai
4

di semua populasi, termasuk Han Chinese, Thailand, Jepang, Korea, dan


Eropa1,6,7,9.

2.5 Patofisiologi

Nekrolisis epidermal sebagian besar diakibatkan oleh efek kumulatif risiko


yang berhubungan dengan struktur obat dan kecenderungan genetik pasien (alel
human leukocyte antigen [HLA], karakteristik metabolisme obat, dan Sel T
Mekanisme Imunonologi
Nekrolisis epidermal merupakan reaksi hipersensitivitas obat tipe lambat,
dengan latensi khas 4–28 hari dan terjadi selama 8 minggu setelah inisiasi obat
yang dicurigai. TEN termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe 41,8.
Obat-obatan ini memiliki berat molekul rendah dan sering dianggap sebagai
antigen asing oleh T cell receptors (TCRs) untuk mengaktifkan respon imun
adaptif. Dalam beberapa kasus, obat-obatan berinteraksi langsung dengan TCR
yang terlibat dalam presentasi molekul HLA dari antigen-presenting cells (APCs).
Model ini dikenal sebagai konsep p-i (pharmacological interaction of drugs with
immune receptors). Obat juga dapat berinteraksi dengan TCRs melalui kompleks
peptida-obat yang dipaparkan pada molekul HLA APCs, dikenal sebagai konsep
hapten. Sebagai contoh karbamazepin tidak dapat berikatan secara kovalen ke
peptida atau protein tetapi mampu berikatan ke TCRs dengan afinitas rendah dan
mengaktivasi sel T. Setelah obat-obatan spesifik berikatan secara nonkovalen ke
molekul HLA dan TCRs, HLA-obat-TCRs menginisiasi reaksi imunitas dengan
mengaktivasi sel T sitotoksik CD8+ dan sel natural killer (NK)8.
Teori utama untuk menjelaskan pengelupasan epidermis yang parah pada
NE adalah sitoksisitas dari sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK. Pengelupasan
epidermis disebabkan apoptosis keratinosit. Penelitian menunjukkan bahwa
apoptosis keratinosit pada lesi kulit dan cairan blister pada pasien NE
berhubungan dengan peningkatan jumlah sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK yang
sangat besar. Saat sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK diaktifkan, reaksi imunitas
cell-mediated diarahkan langsung pada keratinosit terbatas dalam HLA kelas I.
Setelah aktivasi respon ini, berbagai molekul sinyal sitotoksik, termasuk
5

granulisin, perforin/granzim B, dan Fas/Fas ligan, diteruskan ke lesi kulit untuk


menginduksi apoptosis keratinosit1,6,8,9.
Pada kulit normal FasL ada dikeratinosit dengan saat rendah, terlokalisir
dalam sel. Pada TEN FasL meningkat dalam sel serta di luar sel. Setelah kontak
FasL induksi Fas multimerasi mengirim sinyal untuk terjadi kematian sel akibat
apoptosis yang saangat luas hingga terjadi destruksi luas. Destruksi yang terlalu
luas ini menyebabkan fagositosis unutk eliminasi sel yang apoptosis terbatas
sehingga sel jadi nekrosis dan menghasilkan komponen intraseluler yang
mengakibatkan respon inflamasi1,8,9..
Granulisin yang merupakan protein sitotoksik yang diproduksi oleh sel T
sitotoksik atau sel NK bertindak sebagai mediator kunci yang bertanggung jawab
atas kematian keratinosit yang luas. Granulisin tidak hanya merupakan protein
sitotoksik tetapi juga aktivator kemoatraktan dan proinflamasi yang dapat
mempromosikan ekspresi monosit kemokin (C-C motif) ligan (CCL) 20 dan
mampu mempromosikan antigen-presenting (dendritic) cell dan perekrutan
leukosit (khususnya, subunit granulisin 15 kD, yang sebagian besar diproduksi
oleh sel T CD8+ dan sel T NK). Sel granulisin-positif pada erupsi obat tetap telah
ditemukan serupa dengan yang diamati pada NE1,6,8,9.
Sitokin terlibat dalam patogenesis NE. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tumor necrosis factor (TNF)-α dijumpai dalam lesi NE dan
berkorelasi secara proporsional dengan perkembangan penyakit. TNF-α dapat
menginduksi apoptosis sel, aktivasi, dan diferensiasi, serta respon inflamasi.
Selain itu, interferon (IFN)-γ adalah sitokin yang umum yang terlibat dalam
hipersensitivitas obat tipe lambat, termasuk NE. IFN-γ sering diekspresikan pada
dermis dan epidermis superfisial pada lesi NE. IFN-γ diketahui menginduksi
presentasi antigen dan dengan demikian merangsang imunitas dengan upregulasi
molekul HLA. TNF-α, IFN-γ, beberapa sitokin, dan reseptor kemokin yang
bertanggung jawab atas proliferasi, pengaturan, dan pengaktifan sel T telah
ditemukan pada lesi kulit, cairan blister, sel-sel blister, sel mononuklear perifer,
atau plasma pasien NE. Sitokin/kemokin ini termasuk reseptor interleukin (IL)-2,
IL-5, IL-6, IL-15, IL-181,6,8,9.
6

Gambar 2. Beberapa mekanisme terjadinya apoptosis keratinosit epidermis pada


NE. (A) Obat dapat menyebabkan upregulasi dari FasL oleh keratinosit yang
secara konstitutif mengekspresikan Fas, menyebabkan jalur apoptosis yang
dimediasi oleh death-receptor. (B) Obat berinteraksi dengan MHC kelas 1 lalu
drug-specific CD8+ cytotoxic T cells berakumulasi dalam epidermal blister
melepaskan perforin dan granzim B yang membunuh keratinosit. (C) Obat
mengaktivasi sel T CD8+, sel NK, dan sel NKT mensekresi granulisin, kematian
keratinosit tidak memerlukan kontak sel9.

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala Awal
Nekrolisis epidermal secara klinis timbul dalam 8 minggu (biasanya 4–30
hari) setelah pajanan obat, kecuali pada pasien yang pernah menderita NE
7

kelainan klinis dapat timbul dalam beberapa jam. Ada pula referensi yang
menyebutkan 1- 3 minggu pajanan obat. Keluhan prodormal seperti demam,
lemas, tidak nafsu makan, sefalgia, rinitis, dan mialgia bisa timbul 1–3 hari
sebelum lesi mukokutaneus. Selanjutnya secara progresif, timbul keluhan sakit
menelan dan rasa terbakar pada mata, mengawali terkenanya mukosa1,9.

Lesi Kulit
Awalnya erupsi terdistribusi simetris pada wajah, tubuh bagian atas, dan
ekstremitas bagian proksimal. Dalam beberapa jam sampai beberapa hari
menyebar ke bagian tubuh lain. Lesi kulit ditandai dengan makula dusky red,
purpurik, ireguler, dan secara progresif akan berkonfluen. Lesi target atipik
dengan bagian sentral gelap sering dijumpai. Penggabungan lesi nekrotik
menimbulkan eritem difus dan luas. Tanda Nikolsky positif pada zona
eritematosa. Pada stadium ini, lesi berkembang menjadi lepuh flaksid, yang
menyebar bila ditekan dan mudah pecah. Epidermis yang nekrotik mudah terlepas
pada tempat yang mendapat tekanan atau trauma gesekan, menampakkan area
dermis luas yang terbuka, merah, kadang membasah1,6,9,7.

Gambar 3. (A) Erupsi awal. Macula dusky red (lesi target atipik) secara progresif
berkonfluen dan menampakkan pengelupasan epidermis. (B) Gambaran awal
8

dengan vesikula dan blister, perhatikan warna dusky dari blister roof,
menunjukkan nekrosis epidermis. (C) Erupsi lanjut. Lepuh dan pengelupasan
epidermis menyebabkan erosi luas. (D) Nekrosis epidermal full-blown ditandai
area erosi luas akibat pengelupasan6.

Gambar 4. Fase eksantematosa awal dengan tanda Nikolsky6

Lesi Mukosa
Keterlibatan mukosa (minimal 2 lokasi), ditemui pada 90% kasus dan dapat
mendahului atau mengikuti erupsi kulit. Lesi dimulai dengan eritema dilanjutkan
dengan erosi yang nyeri pada mukosa mulut, mata dan genital yang menyebabkan
gangguan makan, fotofobia, konjungtivitis dan nyeri buang air kecil. Rongga
mulut dan vermillion border bibir hampir selalu terkena (hampir 100%) dan
menampakkan kelainan berupa erosi yang nyeri dan hemoragik, dilapisi
pseudomembran putih keabuan dan krusta pada bibir. Kisaran 80% pasien
didapati lesi konjungtiva, ditandai hiperemi, nyeri, fotofobia, lakrimasi, dan
discharge. Bulu mata dapat terlepas. Pada keadaan lebih berat, dapat terjadi ulkus
kornea, uveitis anterior, dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata
dan konjungtiva sering terjadi6,7,9.
9

Gambar 5. (A) Erosi dan nekrosis ekstensif bibir bawah dan mukosa mulut. (B)
Erosi masif tertutup krusta pada bibir. Tampak pula kerontokan bulu mata6.

Gejala Ekstrakutan
Nekrolisis epidermal disertai oleh demam tinggi, nyeri dan kelemahan.
Komplikasi paru awal 25% pasien, ditandai sesak nafas, hipersekresi bronkial,
hipoksemia, hemoptisis dan ekspektorasi bronchial mucosal casts. Keterlibatan
bronkial pada pada NE tidak berkorelasi dengan luas lesi kulit atau obat penyebab.
Gagal pernafasan akut yang timbul cepat setelah timbul kelainan kulit, biasanya
prognosisnya jelek6.
Keterlibatan saluran pencernaan berupa nekrosis epitel esofagus, usus halus,
atau kolon yang bermanifestasi berupa diare, malabsorpsi, melena, dan bahkan
perforasi kolon jarang terjadi. Proteinuria, mikroalbuminemia, hematuria, dan
azotemia tidak jarang ditemui6.

2.7 Diagnosis

Diagnosis NET dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien NET hal yang terpenting adalah
terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, selain itu dapat deitemukan
keluhan berupa nyeri menelan, kesulitan berkemih, dan adanya gejala-gejala pada
flu5.
10

Pada pemeriksaan fisik lesi kulit yang ditemukan dapat berupa makula atau
purpura dengan ciri flat atypical targets. Pada stadium lanjut didapatkan adanya
Nikolsky sign dan Asboe Hansen Sign positif. Hal ini disebabkan karena adanya
nekrosis pada sel keratinosit sehingga terjadi pelepasan lapisan dermis dan
epidermis. Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis
harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu faktor
penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas permukaan
tubuh menggunakan BSA (Body Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar
dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering terjadi overestimasi
dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin detachment). Pengukuran harus
meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan maupun tidak (Nikolsky sign
+), dan tidak termasuk area yang hanya berupa eritema saja (Nikolsky sign -).
Berdasarkan luas lesi skin detachment, klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup,
SSJ, SSJ-NET, dan NET1,2,6,9. Berdasarkan luas lesi pelepasan lapisan epidermis,
klasifikasi pasien dibagi menjadi 3 grup6,9.

1. SJS : < 10% body surface area (BSA)


2. SJS-TEN overlap : 10-30% BSA
3. TEN : >30% BSA

Gambar 7. Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh yang terkena9.


11

Pemeriksaan penunjang pada pasien NET adalah pemeriksaan


laboratorium dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan laboratorium tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis NET, biasanya pemeriksaan
laboratorium digunakan untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien
dan memperkirakan prognosis pasien. Peningkatan urea serum, kadar kreatinin
dan glukosa, neutropenia, limfopenia, dan trombositopenia secara statistik terkait
dengan hasil yang buruk1,6,9.

Pada pemeriksaan histopatologi jaringan, lesi awal menunjukkan apoptosis


keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di
seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan
epidermis dan dermis2,6,9.

Gambar 6. Gambaran histologi NET. A. eosinofilik nekrosis epidermis di bagian


puncak, dengan respon inflamasi kecil di dermis. Catatan pembelahan di zona
persimpangan. B. Epidermis yang nekrosis lengkap telah terlepas dari dermis dan
dilipat seperti lembar6.

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis TEN tidak sulit, cukup secara klinis. Diagnosis banding yang
pertama adalah Steven Johnson Syndrome (SJS), perbedaanya adalah pada SJS
tidak terdapat epidermolisis dan keadaan umumnya masih lebih baik2,4,6.
Nekrolisis Epidermal Toksik dengan Sindroma Steven-Johnson (SSJ) memiliki
12

kesamaan dalam gejala klinis, gambran histopatologi, faktor risiko, penyebab, dan
mekanisme, dua kondisi ini dianggap sebagai tingkat keparahan dari suatu proses
yang identik, hanya berbeda dalam hal luas permukaan tubuh yang terlibat. NET
dan SSJ ditandai dengan keterlibatan lapisan kulit dan membran mukosa.

Selain itu bisa apabila tidak ada mukosa yang terkena atau hanya 1 lokasi
mukosa yang terkena, harus dipertimbangkan diagnosis alternatif: staphylococcal
scalded skin syndrome (SSSS) pada pada usia anak dibawah 5 tahun serta
sebabnya yaitu Staphylococcus aures; purpura fulminans pada anak dan dewasa
muda; acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), thermal burns,
fototoksisitas, atau pressure blisters pada dewasa. Perjalanan penyakit Linear IgA
bullous disease dan pemfigus paraneoplastik biasanya tidak begitu akut, dan
pemeriksaan imunofluoresen langsung positif. Diagnosis banding lain ialah
generalized bullous fixed drug eruption (GBFDE). Prognosis GBDFE lebih baik,
mungkin karena mukosa yang terkena lebih ringan dan tidak mengenai organ
dalam. Selain itu, awitannya cepat dan lepuh yang timbul lebih besar dan berbatas
jelas1,2,6,9.

2.9 Terapi

Nekrolisis epidermal adalah penyakit berat yang membutuhkan penanganan


optimal. Diagnosis tepat menghentikan obat tersangka dan segera memulai
penatalaksanaan suportif di rumah sakit, masih merupakan penatalaksanaan
utama.

Pelayanan suportif terdiri atas memelihara keseimbangan hemodinamik dan


mencegah komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. TEN disertai
kehilangan cairan nyata akibat erosi dapat meyebabkan hipovolemia dan
electrolyte imbalance. Suhu ruangan sebaiknya antara 30oC dan 32oC untuk
mengurangi kehilangan cairan tubuh melalui kulit. Pemakaian air-fluidized bed
menambah kenyamanan pasien2,5,6.
Pemberian nutrisi awal (hari ke-2 rawat inap) melalui nasogastric tube
dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan lesi kulit dan menurunkan risiko
translokasi bakteri dari saluran perncernaan, selain menurunkan risiko stress ulcer
13

dan memungkinkan penghentian awal nutrisi melalui jalur vena. Jumlah kalori
yang dibutuhkan adalah 1500 kalori dalam 1500 ml, pada 24 jam pertama,
dinaikkan 500 kalori/hari sampai mencapai 3500–4000 kalori/hari2,6.
Penggantian cairan (makromolekul atau larutan NaCl 0,9%, ringer laktat,
dan dekstrosa 5% dalam perbandingan 1:1:1) harus dimulai sesegera mungkin dan
jumlah cairan yang dibutuhkan disesuaikan tiap hari. Volume infus biasanya lebih
sedikit daripada kasus luka bakar dengan luas lesi yang sama (2/3 – 3/4 kebutuhan
kasus luka bakar), karena pada NE tidak ada edema interstitial. Jumlah cairan
(diawali 20–30 tetes/menit), selanjutnya disesuaikan untuk memelihara output
urin 0,5–1 ml/kg/jam atau minimal 50–80 ml/jam, atau 30–50 ml/jam. Infus
dihentikan bila dapat menelan dan tidak ada gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit2,5,6.
Pada daerah kulit yang terkelupas jaga tekanan terhadap kasur, bila perlu
kulit diberikan vaselin sampai terjadi bentukan reepitelisasi. Pada daerah yang
tidak terkelupas tetap dipertahan tanpa ada intervensi. Pada wajah dan bagian
yang terdapat krusta dapat dibersikan menggunakan cairan normal salin (sodium
klorida / NaCl 0,9 %). Hindari pemakaian silver sulfadiazine karena sulfadiazin
merupakan salah satu obat penyebab NE. Antibiotik profilaksis tidak dianjurkan
kecuali didapatkan kecurigaan infeksi secara klinis.2,6,9.
Mata harus diperiksa setiap hari oleh oftalmologis. Air mata artifisial, tetes
mata antibiotik atau antiseptik, dan vitamin A digunakan tiap 2 jam pada fase
akut, dan diindikasikan pelepasan mekanik terhadap sinekia awal. Krusta mulut
dibuang dan harus dicuci beberapa kali tiap hari dengan cairan normal salin
(sodium klorida / NaCl 0,9 %) atau antiseptik, gentian violet 1%, kenalog in
orabase atau antijamur. Dapat diberikan antibiotik ointment seperti mupirocin
atau petrolatum jika pasien mendapatkan antibiotik sistemik yang diaplikasikan
pada bagian orifisum, mulut, hidung, telinga2,6,9.

Terapi sistemik

Imunoglobulin intravena (IVIG). Pemakaian imunoglobulin dosis tinggi


didasarkan bahwa kematian sel via Fas-mediated dapat diatasi oleh aktivitas anti-
Fas yang terdapat dalam sediaan komersial immunoglobulin manusia normal.
14

Pemberian terbaik dalam 24–72 jam lesi bula pertama. Dosis yang
direkomendasikan adalah 1 g/kgBB/hari selama 3 hari. IVIg secara konsisten dan
cepat dapat menghambat progresivitas penyakit dan pelepasan epidermis
(epidermal detachment) studi menunjukkan bahwa IVIg (pada dosis total >2g/kg
diberikan dalam 3-4 hari) dapat mengurangi angka kematian akibat NET6,7,9

Kortikosteroid sistemik telah menjadi terapi tetap selama beberapa dekade,


namun penggunaannya masih dianggap kontroversial, meskipun suatu studi
menyatakan efektivitas kortikosteroid bila diberikan secara cepat dan dalam
periode singkat sebagai dosis denyut (pulse therapy). Kortikosteroid yang
digunakan berupa dexamethasone IV 1.5 mg/kg selama 3 hari berturut-turut.
Prosedur pemberian steroid sistemik sebagai berikut: deksametason i.v. 2-4 x 5
mg/hari sampai lesi tidak timbul lesi baru dan lesi lama resolusi (kisaran 5-hari); dosis
selanjutnya diturunkan cepat, 5 mg/hari; setelah dosis perhari mencapai 5 mg,
dilanjutkan dengan pemberian oral deksa 4 x 0.5 mg atau prednisone 4 x 5 mg, 1 hari;
tiap hari diturunkan 3 x 5 mg, 2 x 5 mg, sampai akhirnya dicapai dosis 1 x 5 mg;
selanjutnya dihentikan6,7,9.

Siklosporin A. Siklosporin adalah agen imunosupresif kuat disertai efek biologik


yang secara teoritis dapat berguna dalam pengobatan NE (reepitelialisasi lebih
cepat, gagal multiorgan dan kematian lebih sedikit): aktivasi sitokin sel Th2,
menghambat mekanisme sitotoksik CD8+, dan efek antiapoptosis dengan inhibisi
FasL, NFkβ, dan TNF-α.1 Dosis yang diberikan adalah 3 mg/kg/hari selama 10
hari, oral kemudian diturunkan dalam 1 bulan atau 100 – 300 mg / hari.6,9

2.10 Prognosis dan Komplikasi

Nekrolisis epidermis toksik adalah kondisi akut, sistemik, terik yang


menghasilkan denudasi kulit dengan ketebalan penuh, yang melibatkan
permukaan kulit dan mukosa, yang memiliki tingkat kematian sekitar 25% hingga
30%1,2,6,7,9.

Tabel 1. Angka kematian pasien NE berdasarkan nilai SCORTEN2,6,7,9


Faktor Prognostik Skor
 Usia >40 tahun 1
15

 Denyut jantung >120x/menit 1


 Terdapat kanker atau keganasan 1
hematologic 1
 Epidermolisis >10% LPB 1
 Kadar urea serum >10 mM/L (>28mg/dL) 1
 Kadar bikarbonat serum <20mEq/L 1
 Kadar gula darah sewaktu >14mM/L
(>252mg/dL)
Nilai SCORTEN Angka Kematian (%)
0–1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
5 90

Tabel 2. Komplikasi pasien nekrolisis epidermal toksik5


Komplikasi NET(%)
Kulit 6 (30)
Makula hipopigmentasi 2
Makula hiperpigmentasi 4
Mata 7 (35)
Keratitis 2
Keratokonjungtivitis 1
Lagoftalmus 2
simblefaron 1
Erosi kornea
Sepsis 1 (5)
Peningkatan transaminase 1 (5)
Gangguan saluran nafas 2 (10)
Bronkitis 1
Infeksi saluran nafas bawah 1
Peningkatan gula darah terinduksi steroid 1 (5)
Jumlah(100%) 20
16

BAB 3

KESIMPULAN

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit mukokutaneus yang


jarang tejadi dan mengancam nyawa. NET terjadi akibat perlepasan epidermis
yang luas dan hampir selalu behubungan dengan obat. Patogenesis NET masih
belum diketahui secara pasti. Diduga berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas tipe
IV. Teori utama untuk menjelaskan pengelupasan epidermis yang parah pada NE
adalah sitoksisitas dari sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK. Pengelupasan epidermis
disebabkan apoptosis keratinosit. Penelitian menunjukkan bahwa apoptosis
keratinosit pada lesi kulit dan cairan blister pada pasien NE berhubungan dengan
peningkatan jumlah sel T sitotoksik CD8+ dan sel NK yang sangat besar. Lesi
awal berupa macula eritematous atau purpura dengan Nikolsky sign (+) yang
diikuti terbentuknya bula. Belum ada terapi spesifik bagi pasien NET, terapi
hanya bersifat suportif dan bertujuan untuk mencegah komplikasi. Prognosis
pasien NET dapat diperkirakan menggunakan tabel SCORTEN.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Robert A. Schwartz, MD, MPH, Dsc (Hon), FRCP (Edin), Patrick H.


Mcdonough, MD, And Brian W. Lee, MD, MS. 2013. Part I. Introduction,
History, Classification, Clinical Features, Systemic Manifestations, Etiology,
And Immunopathogenesis. J Am Acad Dermatol Volume 69, Number 2 : New
Jersey
2. Robert A. Schwartz, MD, MPH, Dsc (Hon), FRCP (Edin), Patrick H.
Mcdonough, MD, And Brian W. Lee, MD, MS. 2013. Part II. Prognosis,
sequelae, diagnosis, differential diagnosis, prevention, and treatment. J Am
Acad Dermatol Volume 69, Number 2 : New Jersey
3. Hari Sukamto, Marsudi hutomo, Saut Sahat. 2005. Nekrolisis Epidermal Toksik
dalam: pedoman diagnosis dan terapi ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo
4. Adhi Djuanda dan Mochtar Hamzah. 2010. Nekrolisis Epidermal Toksik.
Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI
5. Yuli Wahyu Rahmawati, Diah Mira Indramaya. 2016. Studi Retrospektif:
Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Surabaya: Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and
Venereology Vol. 28 / No. 2 / Agustus 2016
6. Allanore LV., Roujeau JC. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens–Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In : Goldsmith LA, Katzs SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine, 8th Edition. New York: McGrawHill:
h.439-8.
7. Taylor SC, Kelly AP, Lim Henry, Serrano AA. 2016 . Dermatology for skin of
color Second edition. United States: McGraw-Hill Education
8. Griffith C, Backer J Burn, S. Breathnach, N. Cox,. 2016. Rook’s textbook of
dermatology ninth edition. Massachusetts: Blackwell Science
9. Bolognia J, Schaffer J, Cerroni L. 2018. Bolognias dermatology fourth edition.
Elsivier

Anda mungkin juga menyukai