GOD
OLEH:
Kelompok 4
1. GUSTI AYU PUTU DIKA DESIYANI (1881621002)
2. JUSTINA LAURENA (1881621003)
3. PUTU ESA NARANATA DEWI (1881621014)
1
2
Descartes. Gaunilo menunjukkan bahwa kita bisa memiliki ide dari sebuah
pulau yang sempurna (mungkin satu dengan pantai-pantai yang sempurna, bar
sempurna dan iklim yang sempurna). Seperti argumen teistik, bahwa kita tidak
harus percaya pada keberadaan sebuah pulau; bahwa kita dapat membayangkan
tempat seperti itu. Namun, itu adalah lebih baik, lebih sempurna untuk sebuah
pulau ada daripada tidak ada, dan begitu sebuah pulau yang sempurna harus
ada. Menurut Gaunilo, walaupun seseorang yang beralasan dengan demikian
akan menjadi bodoh dan sebagai argumen ontologis memiliki struktur yang
sama, seperti perjalanan menuju Tuhan juga akan bodoh. Jika memang
demikian, kita harus mencoba untuk mengungkap penalaran Descartes telah
salah.
Objek utama keprihatinan ontologis memperhatikan argumen Kant
mengklaim bahwa keberadaan bukanlah sebuah predikat (Kant, 1998). “Panas”
dan “kuning” adalah predikat, yang menggambarkan properti dari suatu hal.
Kopi saya memiliki properti menjadi panas, dan cangkir memiliki properti
menjadi kuning. Kant mengklaim bahwa frase “ada” tidak memainkan peran
tersebut, itu tidak menganggap properti untuk apa-apa, itu hanya tampaknya.
Ketika kita mengatakan bahwa Tuhan ada, kita tidak menyediakan informasi
lebih lanjut tentang Tuhan, dalam cara untuk mengatakan bahwa “Tuhan
adalah Bijaksana”. Keberadaan bukanlah sebuah properti dari Tuhan, bahwa
yang diperlukan jika Tuhan adalah memiliki semua hal yang kami pikir dia
memiliki. Dengan demikian, jika keberadaan bukanlah sebuah properti, itu
harus tidak dilihat sebagai salah satu kesempurnaan yang harus melekat kepada
Tuhan.
Argumen Kant memiliki dua bagian. Pertama, ia mengklaim bahwa
keberadaan Tuhan bukanlah sebuah predikat; kedua, ia memberikan alternatif
tentang bagaimana kita harus memahami pernyataan bahwa “Tuhan itu ada”.
Ini adalah kedua klaim yang menyediakan bantahan jelas argumen ontologis.
3
mati. Oleh karena itu adalah peristiwa yang sangat tidak mungkin karena
kita tidak pernah memiliki pengalaman hukum alam yang bertentangan.
Yang terakhir ini mungkin tidak mungkin karena para penulis Injil yang
dikenal jujur dan dapat diandalkan. Tetapi kita tahu dari kasus tersebut
penonton dapat diandalkan telah tertipu oleh ilusionis pintar, dan kasus-
kasus di mana orang-orang biasanya jujur telah berbohong. Ini bukan
untuk menuduh protagonis dalam kasus ini, klaim tersebut hanya itu
penipuan seperti itu bukan tidak mungkin sebagai hukum alam yang rusak.
Hume kemudian melanjutkan untuk menunjukkan bahwa ada
berbagai alasan mengapa kesaksian empiris tentang mukjizat akan
cenderung palsu. Orang sering berhayal fantastis dan tampaknya tak dapat
dijelaskan, karena itu mereka hanya terlalu terbuka untuk keyakinan
bahwa harus ada penjelasan supernatural untuk fenomena tertentu. Untuk
berbagai alasan, orang sering ingin bahwa Tuhan ada dan keinginan seperti
itu dapat mendorong mereka untuk percaya bahkan jika bukti yang
mendukung tidak baik. Bagi Hume, orang-orang yang percaya kepada
Tuhan hanya karena mereka memiliki iman dalam keberadaan-Nya dan
bukan karena mereka memiliki alasan yang baik untuk tidak menjadi
kerusakan dalam pemikiran mereka, kerusakan yang membuat mereka
tersesat dan sehari-hari mereka dapat melakukan penalaran yang tepat.
bahan atau dasar pikiran untuk berargumen. ‘Pemeluk agama biasa mengaku,
tidak perlu harus menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada, tetapi Tuhan sebagai
makhluk hidup telah masuk ke dalam pengalamannya sendiri’ (Hick, 1966, hal.
95).
Menurut Plantinga dan Alston, keyakinan religious/agama tertentu harus
dilihat sebagai dasar dalam pikiran fondasionalist. Keyakinan tersebut
dibenarkan secara tidak inferensial yaitu: dibenarkan tidak melalui alasan yang
dapat diartikulasikan, tetapi melalui dasar pengalaman/kehidupan religius
mereka. Mari kita mengingat pendekatan fondasionalist terkait dengan
pembenaran. Foundasionalisme tradisional mengklaim bahwa dasar keyakinan
kita adalah mutlak atau tidak bisa salah, sehingga keyakinan itu berkaitan
langsung dengan pengalaman seperti “Saya sekarang nampaknya melihat
bentuk berwarna merah”. Namun, keyakinan agama tidak bisa dilihat sebagai
dasar dalam pengertian ini, karena keyakinan agama merupakan hal yang
mutlak atau tidak bisa salah. Sebaliknya, diadopsi posisi yang mirip dengan
fondasionalisme sederhana. Dasar kepercayaan religius kita memiliki
pembenaran faksi pertama, yaitu keyakinan tersebut pembenaran utama,
kecuali kalau ada bukti yang menunjukkan bahwa kepercayaan itu tidak benar.
Dengan demikian: ‘sebuah pernyataan merasakan Tuhan adalah faksi pertama
yang dapat diterima hanya untuk kepentingan dari pernyataan itu sendiri,
dengan menahan alasan yang cukup bertentangan akan hal itu; dengan kata
lain, menyakinan akan kehadiran Tuhan tanpa harus memberi argumen akan
hal tersebut (Alston, 1991, hal. 67). Swinburne (1991) mendukung pandangan
yang demikian. Dia menganjurkan prinsip mudah percaya, yaitu kita harus
menerima bahwa baik pengalaman inderawi/sensori dan pengalaman religius
kita adalah benar adanya kecuali kita memiliki alasan kenapa kita meragukan
akan hal tersebut. Tanggung jawab pembuktian berada pada skeptis, yang
menunjukkan bahwa ada alasan yang demikian.
Dari waktu ke waktu orang-orang (tampaknya) memiliki pengalaman
religius dan kadang-kadang hal ini mengarah pada perolehan keyakinan
religius. Namun, dapat dikatakan bahwa ada penjelasan yang lebih baik untuk
9
4. Pertaruhan Pascal
Tulisan Blaise Pascal pada tahun 1660 mengklaim bahwa untuk
memperoleh keyakinan kepada Tuhan adalah serupa dengan berjudi, sehingga
untuk memutuskan apakah anda harus percaya kepada-Nya, maka anda harus
melakukan analisis manfaat biaya (cost-benefit analysis). Percaya pada Tuhan
bisa menimbulkan ketidaknyamanan kecil, yaitu anda harus pergi ke gereja
pada hari Minggu dan menyanyikan lebih banyak pujian dari yang anda
lakukan sebelumnya. Jika kepercayaan kepada Tuhan adalah sesat, maka
kegiatan yang demikian sia-sia, dan anda bisa mengisi hari Minggu anda
dengan kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Namun, jika keyakinan ini
benar, yaitu menyakini bahwa Tuhan itu hadir, maka imbalannya akan luar
biasa, yaitu kehidupan kekal di surga. “Jika menang anda akan memenangkan
segalanya; jika anda kehilangan, anda tidak akan kehilangan apa-apa. Jangan
ragu, pertaruhkan atau benar-benar yakini bahwa Tuhan itu ada’ (Pascal, 1966
, 418). Pascal mengklaim bahwa seorang penjudi rasional harus bertaruh bahwa
Tuhan dipihak dia. Dia mengakui bahwa anda tidak sekedar saja memilih untuk
percaya pada Tuhan, dengan atau tanpa bukti pendukung. Namun, anda dapat
memilih akan hal tersebut melalui perjalanan dari aksi/tindakan yang dapat
membantu anda untuk menumbuhkan keyakinan religius. Anda seharusnya
menghindari buku tentang filsafat agama yang ditulis oleh orang yang non-
believers; anda seharusnya menghadiri acara keagamaan yang pelaksanaannya
paling mengesankan, seperti halnya ke katedral atau masjid. dan anda harus
11
mencari teman yang pintar dan menarik yang merupakan believers. Jika anda
bertindak dengan cara ini, maka anda bisa mencapai keyakinan religius.
Mungkin hanya ada sedikit kesempatan dimana Tuhan hadir, tapi imbalannya
bagi mereka yang percaya kepada-Nya lebih besar daripada yang dipikirkan.
Situasi ini mirip dengan yang berikut ini. Didepan Wimbledon anda disuruh
untuk bertaruh satu sen pada turnamen tenis Wanita Singles. Jika Anda
bertaruh pada yang terfavorit, yaitu Venus Williams, dan dia menang, maka
uang taruhan anda dikembalikan. Jika anda bertaruh pada pihak diluar Inggris
dan dia menang, maka anda menerima 1 juta poundsterling. Setiap penjudi
sensitif seharusnya bertaruh pada tembakan panjang (long shot).
Namun ada masalah dengan pendekatan ini. Tidak jelas bahwa Tuhan
akan berpihak pada mereka yang mengikuti taruhan Pascal (Pascal’s wager)
karena mereka tidak memiliki hak seperti kebajikan. Tentunya Tuhan akan
mencari orang yang saleh dan yang tidak memikirkan manfaat jangka panjang
dari keyakinannya, daripada penjudi pintar yang hanya memikirkan kotak
hadiah. Hal ini juga bisa menjadi aneh untuk menyukai seorang penjudi yang
demikian melebihi non-believers yang baik dan berbudi luhur, orang yang
hanya karena tidak menemukan bukti persuasif terkait keberadaan Tuhan.
Masalah yang lebih mendasar dengan strategi Pascal adalah mengenai jenis
pembenarannya. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa believers yang
demikian bisa dibenarkan, yaitu pemikiran pragmatis. Namun, jenis
pembenaran ini tidak memiliki peran epistemik. Klaimnya hanya beranggapan
bahwa kita akan beruntung jika keyakinan religius kita ternyata benar, bukan
karena memiliki alasan yang baik untuk dipikirkan bahwa hal tersebut benar.
Jika hanya ini satu-satunya jenis pembenaran yang bisa dimiliki oleh keyakinan
religius kita, dan meskipun kenyakinan tersebut mungkin benar, maka kita
tidak punya pengetahuan tentang Tuhan.
religius adalah palsu dan tidak bisa dibenarkan. Jenis pemikir lain yang sering
dibahas dalam kaitannya dengan keyakinan religius adalah agnostik. Agnostik
setuju dengan ateis bahwa kita tidak memiliki pembenaran atas keyakinan kita
mengenai Tuhan. Namun mereka juga menekankan bahwa kita tidak bisa
membutktikan kalau Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, kami tidak memberi
pendapat dan menunda penilaian kita. Kita tidak mampu membuktikan bahwa
Tuhan tidak ada, tetapi alam semesta mungkin menjadi penjelasan terbaik dari
pengalaman kami.
Sudah diklaim bahwa disini juga ada masalah bagi ateisme, yaitu bisakah
ateisme dihidupi/diikuti?, dan banyak karya seni dan sastra yang telah
difokuskan pada mereka yang berjuang dengan pertanyaan ini. Pertama telah
disarankan bahwa ‘Jika Tuhan mati, maka semuanya diizinkan’ (ini adalah
salah satu tema dari Dostoyevsky’s Crime and Punishment); tanpa Tuhan tidak
akan ada moralitas. Namun, ini terlalu cepat disimpulkan. Bahkan yang lebih
mendasar, orang lain berpikir bahwa tanpa Tuhan hidup mereka tidak akan
bermakna, dan sebuah hidup hanyalah diikuti oleh kematian yang hampah.
Pandangan ini diekspresikan dalam sebuah adegan dari Bergman’s The Seventh
Seal (1957) di mana kesatria (knight) abad pertengahan berbicara pada figur
mayat (death) berkerudung.
Knight : Saya menginginkan pengetahuan! bukan iman, bukan asumsi,
tetapi pengetahuan. Saya mau Tuhan mengulurkan tangan-Nya,
membuka wajah-Nya dan berbicara kepada ku.
Death : Tapi dia tetap diam.
Knight : Saya berseru kepada-Nya dalam kegelapan. Tetapi itu seolah-
olah tidak ada orang yang sedang berada di sana.
Death : Mungkin tida ada seorangpun.
Knight : Jadi kehidupan adalah sebuah horor yang tidak masuk akal.
Tidak ada yang bisa hidup yang dihadapkan dengan kematian,
yang mengetahui segalanya hampah.
Pertanyaan mengenai makna kehidupan dan orang bisa hidup tanpa
Tuhan berada di luar cakupan buku ini, tetapi saya akan meninggalkan anda
13
dengan beberapa pemikiran dari para filsuf yang lebih optimis dari Jean-Paul
Sartre dan Simone de Beauvoir (dan rekan-rekan). Sartre menjelang akhir
hidupnya mengklaim:
Ateisme telah menguatkan kebebasan saya dan membuatnya lebih
berkumandang. Saya tidak membutuhkan Tuhan untuk mengasihi
tetangga/sesamaku. Hal itu merupakan hubungan langsung antara sesama
manusia yang satu dengan yang lainnya. Tindakan saya telah memutuskan
hidupku, hidupku yang akan berakhir. Hidup ini tidak berhutang apa-apa
kepada Tuhan, inilah yang saya inginkan terjadi, dan ketika saya renungkan
sekarang, sangat memuaskanku, dan saya tidak perlu mencari Tuhan untuk hal
itu. Hubungan yang benar dengan diri sendiri adalah hubungan yang benar-
benar kita alami, dan bukan dengan diri yang kita telah dibentuk secara kasar
dalam wujud kita sendiri. Anda [de Beauvoir] dan saya telah hidup tanpa
mempedulikannya [Tuhan]. Namun kita telah hidup, kita merasa bahwa kita
telah memperhatikan dunia kita, sehingga kita telah mencoba untuk melihat
dan memahaminya. (De Beauvoir, 1981, hal. 444-5)
Dan, setelah kematian Sartre, de Beauvoir menulis:
Kematiannya benar-benar memisahkan kita. Kematian saya tidak akan
membawa kita bersama-sama lagi. Memang pada hakikat indah bahwa kita bisa
hidup dalam harmoni begitu lama.
Pertanyaan
1. Nilailah klaim berikut ini yang dibuat oleh Michael Dummett, seorang filsafat
bahasa terkemuka:
Saya tidak mengatakan bahwa mengejar ide ini tentang... [filsafat bahasa] akan
mengarah pada kesimpulan ateistik, tetapi jika memang demikian, meskipun hal
tersebut tidak akan nyaman bagi saya, saya tidak terlalu mempermasalahkan.
Keyakinan religius saya akan mengatakan bahwa saya pasti membuat kesalahan
entah dimana, (Pyle, 1999, hal. 6)
Jawaban:
Klaim yang diungkapkan Michael Dummet memiliki arti bahwa jika kita
mengejar sebuah ide atau ilmu baru dalam kaitannya dengan pengetahuan, maka
keberadaan Tuhan dan keajaibannya akan dikesampingkan sehingga cenderung
bersikap atheism. Hal ini karena, semua pengetahuan yang berdasarkan ilmu
pasti tidak akan ada istilah suatu keajaiban. Akan tetapi, Michael Dummett juga
menambahkan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena
keyakinan religius yang dimiliki akan menunjukkan bahwa adanya kesalahan
dalam proses pencarian suatu ide atau pengetahuan walaupun kita tidak dapat
mengetahuinya. Keyakinan religius tersebut berkaitan dengan kepercayaan
seseorang dengan adanya hukum karma, sehingga seseorang dapat dikatakan
tidak atheism. Jadi, walaupun seseorang yang mencari suatu ilmu pengetahuan
pasti, mengesampingkan keajaiban dan keberadaan Tuhan, sedangkan orang
tersebut memiliki keyakinan religius, maka orang tersebut bukan atheis.
2. Apakah Hume berpikir Bahwa mukjizat tidak mungkin terjadi atau mustahil?
Jawaban:
Hume menyatakan bahwa tidak pernah ada laporan persuasif tentang keajaiban.
Keajaiban merupakan suatu fenomena yang bertentangan dengan hukum alam.
Kemudian Hume juga menunjukkan bahwa terdapat berbagai alasan mengapa
bukti empiris mengenai keajaiban akan cenderung tidak nyata. Hal tersebut juga
ditegaskan pada suatu fenomena ketika seseorang sedang menghayal, mereka
memiliki fantasi dan tampaknya tak dapat dijelaskan. Oleh karena itu, harus ada
penjelasan supernatural untuk fenomena tertentu sebagai pendukung suatu
keajaiban.
3. Mengapa kita meragukan kesaksian seseorang mengenai mukjizat?
Jawaban:
Hume menjelaskan bahwa ada berbagai alasan mengapa kesaksian empiris
tentang mukjizat akan cenderung palsu. Karena keajaiban adalah menentang
hukum alam, dimana orang mati memang harus tetap mati dan air mendidih
pada suhu 100 derajat celcius. Karena keajaiban tidak dapat dijelaskan dengan
hukum alam dan tidak di ketahui itu benar terjadi atau tidak.
4. Guru teologi anda adalah seorang ateis, namun ia mengajarkan anda ontologis
dan argumen desain terkait keberadaan Tuhan. Jika keyakinan guru anda sendiri
tidak benar / palsu, dan Tuhan benar-benar ada, bisahkah melalui kesaksiannya
menyebabkan anda memiliki pengetahuan tentang Tuhan? (Lihat bab 4,
pertanyaan 5.)
Jawaban:
Kita tidak bisa mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan dari kesaksian seorang
atheis. Atheisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai
keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.
Persepsi yang dimiliki oleh seorang atheis mengenai keberadaan Tuhan tidaklah
tepat untuk dijadikan dasar untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan.
Karena persepsi merupakan seperangkat proses mengenali, mengorganisasikan
dan memahami serapan-serapan indrawi yang kita terima dari stimulus
lingkungan. Persepi adalah representasi mental mengenai sebuah stimulus yang
sudah dimengerti. Cara kita merepresentasikan objek-objek bergantung
sebagian kepada sudut pandang kita dalam memahami objek-objek. Jadi
persepsi merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang ditangkap oleh indera
kita. Di dalam kasus mengenai atheis ini, seorang atheis seharusnya
menyampaikan apa yang dipercayai dan dipahaminya.
5. Dalam Misa Katolik, teman saya mendengar suara bernada tinggi yang indah
mengiringi pujian/nyanyian, tetapi pada saat melihat disekeliling tidak ada
orang di sana yang memiliki suara itu. Beberapa saat kemudian, dia diberitahu
oleh pendeta bahwa orang lain juga telah mendengar suara tersebut (meskipun
dia tidak merasakan sendiri). Haruskah pengalaman seperti ini dianggap sebagai
pembenaran untuk keyakinan religius teman saya?
Jawaban:
Pengalaman mendengarkan nada pujian tersebut tidak dapat dibenarkan,
sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pembenaran untuk suatu
keyakinan religius. Seseorang dapat kita percaya bahwa ia memiliki keyakinan
yang religius dengan adanya pendapat dari orang-orang bahwa memang ia
benar-benar religius dan disertai pengalaman yang kita lihat dengan sendiri
yakni rutin ke gereja, tidak hanya saat Misa Katolik. Selain itu, seseorang dapat
dikatakan memiliki keyakinan religius ketika perilakunya sudah dapat
dijustifikasi bahwa tergolong religius. Kepercayaan kepada Tuhan dapat
dibenarkan karena adanya pengalaman religius dimana pengalaman tersebut
tidak menjadi bahan atau dasar pikiran untuk berargumen.
6. Bisakah anda hidupi/ikuti atheisme? Bisakah hidup benar-benar indah jika tidak
ada Tuhan?
Jawaban:
Saya tidak bisa hidup sebagai seorang atheis atau menganut ajaran atheism,
karena saya memiliki keyakinan tentang adanya keberadaan Tuhan. Keyakinan
saya tentang keberadaan Tuhan karena adanya kepercayaan bahwa segala
sesuatu sudah ada yang mengatur, meskipun secara detil saya tidak mengetahui
atau terkait dengan hal-hal agama. Namun, satu hal yang saya yakini adalah di
luar sana, untuk kaum atheis, tanpa adanya kepercayaan dengan keberadaan
Tuhan bukan berarti tidak ada moralitas karena kebaikannya dilakukan demi
kemanusiaan bukan untuk mengejar pintu surga. Jadi, hidup benar-benar indah
jika masih terdapat moralitas dimana moralitas berperan sebagai pengatur dan
petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai
manusia yang baik dan menghindari perilaku yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA