Laporan Tutorial Blok 15 Skenario 3 PDF
Laporan Tutorial Blok 15 Skenario 3 PDF
BLOK GASTROINTESTINAL
SKENARIO 3
“Nyeri Perut Kanan”
KELOMPOK 13
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
Seorang wanita, usia 30 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum dengan
keluhan nyeri di perut kanan bawah. Sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri
dirasakan mulai dari ulu hati kemudian berpindah dan menetap di daerah perut kanan
bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, kadang disertai diare tanpa darah. Tiga hari
sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demam dan nyeri di perut semakn
bertambah, disertai mual dan muntah. Riwayat BAB dan BAK sebelumnya dalam
batas normal, Riwayat menstruasi baik. Pasien tidak ada riwayat penurunan berat
badan. Pasien jarang mengkonsumsi buah dan sayur.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 38,8 C,
nadi 104x/menit, respirasi 22 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan tidak
tampak adanya massa, bising usus normal, nyeri tekan di perut kanan bawah, teraba
massa ukuran 3 x 4 x 5 cm, permukaan rata, konsistensi padat, terfiksir, dan nyeri
tekan (+), perkusi redup (+) di atas massa. Tidak ditemukan adanya defans muscular.
Colok dubur teraba massa (+), nyeri (+) di arah jam 9-11, feces (+), darah (-).
Dokter memberikan informasi kepada pasien dan keluarga, menyarankan
pasien untuk rawat inap serta pemeriksaan agar mencegah komplikasi lebih lanjut.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario
Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
a. Nyeri alih : nyeri yang terjadi apabila suatu segmen persarafan mensarafi
lebih dari satu daerah.
b. Defans muscular : nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen akibat
rangsangan pada peritoneum parietal. Perut tegang seperti papan dimana
rigiditas involunteer.
2. Langkah II : Menentukan atau mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini adalah sebagai berikut:
a. Mengapa nyeri berpindah dan menetap di daerah perut kanan bawah?
b. Apa hubungan diare dengan nyeri yang dirasakan?
c. Apa hubungan demam, mual, muntah dengan nyeri yang dirasakan?
d. Apa saja organ yang ada di perut kanan bawah?
e. Mengapa nyeri dirasakan hilang timbul?
f. Mengapa demam baru timbul setelah nyeri ulu hati?
g. Mengapa ditanyakan riwayat BAB, BAK, menstruasi dan konsumsi buah
& sayur, dan penurunan berat badan?
h. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan lab?
i. Apa saja pemeriksaan penunjang yang disarankan?
j. Apa diagnosis banding untuk kasus ini?
k. Bagaimana penatalaksanaan untuk kasus ini?
l. Apa saja komplikasi yang bisa timbul?
m. Bagaimana prognosisnya? Apa edukasi yang diberikan oleh dokter untuk
pasien?
n. Apa perbedaan apendisitis akut dan kronik?
o. Bagaimana patient safety pada kasus di atas?
p. Apa yang dimaksud tentang diverticulosis?
bw.
bx.
by.
bz.
ca.
cb. Nyeri Perut Kanan
cc.
cd.
ce.
cf.
cg.
ch.
Mekanisme Pemeriksaa
Penyebab:
ci.
Rangsangan yang mengganggu (tergantung nosiseptor) ujungnya peka terhadap rangsang kimiawi yang me
Appendicitis
Pemeriksaa
cj.
Nyeri berpindah: SBN I epigastrium
ck. dan inguinalis dextra sama., beberapa organ memiliki dermatom yang
obstruksi sa
colo
cl. Inflammatory B
cm. ureterolithiasis
cn. Hernia Inguina
co. Torsi Ovarium
PID
KET
Salphingitis
Adneksitis
cp.
cq.
cr.
cs.
ct.
cu.
cv.
5. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
a. Apa hubungan diare dan demam dengan nyeri yang dirasakan ?
b. Mengapa nyeri dirasakan hilang timbul?
c. Mengapa demam baru timbul setelah nyeri ulu hati?
d. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut?
e. Apa saja komplikasi yang dapat timbul?
f. Bagaimana prognosisnya? Apa edukasi yang diberikan oleh dokter untuk
pasien ?
g. Apa perbedaan inflamasi akut dan kronik?
h. Apa yang dimaksud tentang diverticulosis?
i. Apa saja patient safety pada skenario?
cw.
6. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru
cx. Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok
secara individu
cy.
7. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh
cz.
da. Setelah berdiskusi pada pertemuan pertama, kami bersepakat bahwa
pasien terkena apendisitis dengan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.
db. Hubungan diare dan demam dengan nyeri yang dirasakan
dc. Diare dapat bersamaan dengan keluarnya darah. Namun tidak semua
diare yang disebabkan oleh infeksi dapat menyebabkan perdarahan. Hal ini
bergantung pada dua hal yaitu
a. Jenis agen infeksi yang menyerang
dd. Tidak semua agen infeksi pada gastrointestinal dapat menyebabkan
diare berdarah. Beberapa agen infeksi yang menyebabkan perdarahan
seperti Salmonella, Shigella, Campylobacter, EHEC (Enterohemorrhagic
Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli), Clostridium
difficile, Entamoeba histolytica, dan cacing cambuk atau Trichuris
trichiura dapat menyebabkan diare dengan darah melalui jalur
mekanismenya masing-masing. Jika agen infeksi yang menyerang tidak
memiliki sifat invasi atau memiliki toksin maka tidak dapat menyebabkan
diare berdarah (disentri).
b. Stadium kerusakan
de. Pada skenario didapatkan nyeri pada regio iliaca dextra dimana salah
satu organ yang terdapat disitu adalah appendiks. Appendiks ini merupakan
saluran buntu yang sangat mudah mengalami infeksi jika terjadi obstruksi.
Obstruksi dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab diantaranya
karena faktor mekanis yang menyebabkan penumpukan fecalith, adanya
cacing atau bakteri, infeksi. Jika appendiks mengalami peradangan akut
oleh karena agen penyebab tersebut maka ukuran appendiks pun akan
membesar pula akibat dari sekret yang tetap dihasilkan oleh kelenjar
limfoid appendiks sebagai respon adanya infeksi. Karena obstruksi
sehingga sekret tidak bisa dikeluarkan. Jika ukuran appendiks sudah
mencapai batas maksimal maka appendiks akan mengalami ruptur.
Rupturnya organ ini akan menyebabkan perdarahan yang dapat keluar
bersama feses. (Adi P, 2007)
df.
dg. Demam
dh. Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat berasal dari
eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh sedangkan
pirogen endogen berasal dari dalam tubuh. Pirogen eksogen, dapat berupa
infeksi atau non-infeksi, akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit,
dan endotel untuk melepaskan interleukin (IL)-1, IL-6, Tumor Necrosing
Factor (TNF)-α, dan interferon (IFN)-γ yang selanjutnya akan disebut pirogen
endogen/sitokin. Pirogen endogen ini, setelah berikatan dengan reseptornya di
daerah preoptik hipotalamus akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi
fosfolipase-A2, yang selanjutnya melepas asam arakhidonat dari membran
fosfolipid, dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah
menjadi prostaglandin E2 (PGE2). Rangsangan prostaglandin inilah, baik
secara langsung maupun melalui pelepasan AMP siklik, menset termostat pada
suhu tubuh yang lebih tinggi. Hal ini merupakan awal dari berlangsungnya
reaksi terpadu sistem saraf autonom, sistem endokrin, dan perubahan perilaku
dalam terjadinya demam (peningkatan suhu).
di. Pusat panas di hipotalamus dan batang otak kemudian akan
mengirimkan sinyal agar terjadi peningkatan produksi dan konservasi panas
sehingga suhu tubuh naik sampai tingkat suhu baru yang ditetapkan. Hal
demikian dapat dicapai dengan vasokonstriksi pembuluh darah kulit, sehingga
darah yang menuju permukaan tubuh berkurang dan panas tubuh yang terjadi di
bagian inti akan memelihara suhu inti tubuh. Epinefrin yang dilepas akibat
rangsangan saraf simpatis akan meningkatkan metabolisme tubuh dan tonus
otot. Mungkin akan terjadi proses menggigil dan atau individu berusaha
mengenakan pakaian tebal serta berusaha melipat bagian-bagai tubuh tertentu
untuk mengurangi penguapan.
dj. Pada skenario ini zat pirogen berupa pirogen endogen yang disebabkan
adanya infeksi bakteri. Bakteri ini dapat mengeluarkan zat toksin yang disebut
endotoksin. Demam pada kasus apendisitis biasanya tidak terlalu tinggi (37.5 –
38.5 C). Apabila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
dk.
dl. Nyeri hilang timbul
dm. Nyeri pada kasus apendisitis bisa secara mendadak dimulai perut
sebelah atas (ulu hati) atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah.
Setelah beberapa jam rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan
bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita dapat merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan nyeri bisa bertambah tajam. Pada
bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh di semua bagian perut. Pada
orang tua dan wanita hamil, sering kali dirasakan nyerinya tidak terlalu berat
dan nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila apendiks pecah, nyeri bisa
menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
dn.
do. APENDISITIS
a. Gambaran Anatomi dan Fisiologi Apendiks
dp. Appendix merupakan organ berbentuk cacing, panjangnya
kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian,
pada bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak
dan geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
dq. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu
di belakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon
asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
dr. Jenis posisi apendiks:
i. Promontorik : ujung apendiks menunjuk ke arah promontorium
sacri
ii. Retrocolic : apendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal
iii. Antecaecal : apendiks berada di depan caecum
iv. Paracaecal : apendiks terletak horizontal di belakang caecum
v. Pelvic descenden : apendiks menggantung ke arah pelvis minor
vi. Retrocaecal : intraperitoneal / retroperitoneal; apendiks berputar ke
atas ke belakang caecum
ds. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang
mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.
dt. Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.
du. Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang
sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular
submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah
dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang
terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu
di mesoappendiks. Jika apendiks terletak retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.
i. Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki vilus
ii. Tunika submukosa : banyak folikel limfoid
iii. Tunika muscularis : stratum sirkulare sebelah dalam dan stratum
longitudinal (gabungan tiga tinea coli) sebelah luar
iv. Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal, asalnya dari
peritoneum viscerale
dv. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir kedalam
sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan
pada pathogenesis apendisitis.
dw. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh. (Guyton, 2007)
b. Epidemiologi Apendisitis
dx. Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di
Negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya turun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
dy. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada
anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden
lelaki lebih tinggi.
c. Etiologi Apendisitis
dz. Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
ea. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
d. Morfologi Apendisitis
eb. Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di
seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa
mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular
ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap
menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini
menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik
untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis
propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa
(Cotran et al, 2013)
e. Klasifikasi Apendisitis
ec. Apendisitis dapat dibedakan menjadi beberapa tipe sebagai berikut:
i. Apendisitis akut
ed. Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks.
Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang
selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
ee. Penyebab obstruksi dapat berupa: hiperplasia limfonodi sub
mukosa dinding apendiks, fekalith, benda asing, dan tumor
ef. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan
tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
eg. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke
dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang
menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
eh. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks
ii. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
ei. Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks
dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan
edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan
di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum
iii. Apendisitis Kronik
ej. Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika
dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
ek. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5
persen
iv. Apendisitis Rekurens
el. Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak pernah kembali ke
bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko
untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50 persen. Insidens
apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang
diperiksa secara patologik.
em. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi
karena sering penderita datang dalam serangan akut
v. Mukokel Apendiks
en. Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang
berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang
biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan
tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat
disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi
ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa
tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang
di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendektomi.
vi. Tumor Apendiks
eo. Adenokarsinoma apendiks
ep. Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan
sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa
metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan
yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding
hanya apendektomi
vii. Karsinoid Apendiks
eq. Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini
jarang didiagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan
diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena
spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin
yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
er. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan
opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan
karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang
reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
f. Patofisiologi Apendisitis
es. Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian
menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada
apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi
menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi
terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena
keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa.
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
et. Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan
terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks.
Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum
setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
eu. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark
dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah
mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam
keadaan perforasi.
ev. Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk
membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup
apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.
Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat. (Burkitt, Quick, Reed, 2007)
ew. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang
lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan
tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh
darah.
ex. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini
menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut
kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
g. Manifestasi Klinis Apendisitis
ey. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala
klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Terkadang, apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar
37.5 – 38.5 C.
ez. Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendisitis ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:
i. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya
terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke
arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena
kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
ii. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
fa. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum,
akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).
fb. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih karena
rangsangan dindingnya.
fc. Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada
waktunya sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak
khas:
i. Pada anak-anak
fd. Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.
Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa
jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi
lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90
% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
ii. Pada orang tua berusia lanjut
fe. Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih
dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi
perforasi.
iii. Pada wanita
ff. Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan
yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat
genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit
kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan
usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
h. Komplikasi Apendisitis
fg. Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis
meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke
rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi
komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang
tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis,
omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh
darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
i. Abses
fh. Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus.
Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis.
Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi
rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
ii. Perforasi
fi. Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga
bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12
jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24
jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas
lebih dari 38,5 C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
peritonitis
iii. Peritonitis
fj. Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan
komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan
hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit
perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis. (National Health Service, 2014)
i. Penatalaksanaan Apendisitis
fk. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
i. Penanggulangan konservatif
fl. Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita
yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi.
Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik
sistemik
ii. Operasi
fm. Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis
maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
fn. Terdapat dua metode dalam pembedahan:
a) Laparotomy atau open appendectomy
fo. Menggunakan insisi tunggal di kuadran kanan bawah
abdomen, di mana insisinya mulai kulit sampai ke dinding
abdomen juga, untuk mengambil appendiks.
b) Laparoscopic atau keyhole appendectomy : melakukan 3 insisi
kecil, untuk memasukkan alat serta mengambil appendiks.
Metode ini mengurangi risiko terkena komplikasi, seperti infeksi
nosokimial dan memiliki waktu penyembuhan lebih singkat.
Namun jika dalam laparoscopic appendectomy terjadi rupture
appendiks, maka ahli bedah perlu melakukan laparotomy untuk
mencegah penyebaran infeksi dari bakteri yang keluar saat
appendiks robek/rupture.
fp. Lapisan kulit yang dibuka pada apendektomi yaitu:
a) Kutis f) MOI
b) Subkutis g) M. Transversus
c) Fascia Scarpa h) Fascia transversalis
d) Fascia Campher i) Pre peritoneum
e) Aponeurosis MOE j) Peritoneum
k) Pasca operasi, dilakukan juga observasi tanda vital untuk
mengetahui terjadinya perdarahan, syok, hipertermia atau gangguan
pernafasan.
l) Setelah pembedahan, biasanya pasien bisa sembuh total. Di
mana dianjurkan bagi yang melakukan laparotomy untuk
mengurangi aktifitas fisiknya selama 10-14 hari setelah
pembedahan, sementara untuk laparoscopic 3-5 hari setelah
pembedahan.
m) Jika ahli bedah menemukan appendiks normal selama
pembedahan, banyak ahli bedah akan tetap melakukan
appendectomy untuk mengurangi kemungkinan buruk di kemudian
hari karena apendisitis. (National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Disease, 2010)
n) Edukasi untuk pasien pasca appendectomy :
a) Mengikuti saran diet makanan
b) Menggunakan laksatif ringan untuk beberapa hari awal
c) Minum air yang cukup, untuk mencegah terjadinya konstipasi
d) Istirahat cukup, untuk mempercepat penyembuhan
e) Menghindari mengangkat benda berat dan menaiki tangga, agar
tidak membuat otot abdomen tegang
f) Setelah beberapa hari istirahat, mulai kembali aktifitas normal
secara perlahan dengan beberapa olahraga ringan
iii. Pencegahan tersier
o) Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-
abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses
intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
(Pierce, 2007)
p)
q) Penatalaksanaan dapat juga didasarkan atas Skoring Alvarado
r) Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
s) Gejala dan tanda: Skor
t) Nyeri berpindah 1
u) Anoreksia 1
v) Mual-muntah 1
w) Nyeri fossa iliaka kanan 2
x) Nyeri lepas 1
0
y) Peningkatan suhu > 37,3 C 1
z) Jumlah leukosit > 10x103/L 2
aa) Jumlah neutrofil > 75% 1
ab) __________________________________________________
ct) Adi, P. 2007. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dalam
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
cu) Better Channel Health. 2012. Appendectomy.
http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Appendicectom
y?open - diakses Mei 2015
cv) Bickley, LS. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan
Bates. Jakarta: EGC. p: 164
cw) Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, & Management. Fourth Edition. London:
Elsevier, 389-398
cx) Cotran RS., Kumar V., Collins T., 2013. Robbins Pathologic Basis of Disease,
9th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.
cy) Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
cz) Hadi S. 2013. Gastroenterologi. Bandung: PT Alumni
da) Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., ed. 2005. Bedah
Digestif dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Jakarta: Media Aesculapius. pp 307-313.
db) National Health Service. 2014 Appendicitis-complications.
http://www.nhs.uk/Conditions/Appendicitis/Pages/Complications.aspx -diakses
Mei 2015.
dc) National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2010.
Appendicitis. http://www.niddk.nih.gov/health-information/health-
topics/digestive-diseases/appendicitis/Pages/treatment.aspx - diakses Mei 2015.
dd) Pierce, Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta: Penerbit Erlangga
de) Price, SA. Wilson, LM. 2006. Penyakit Divertikula pada Usus Besar.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta:
EGC. pp 459-461, 448-449
df) Sjamsuhidajat R., Jong, W.D., ed. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC. pp: 639-645.
dg) Subanda, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan
Gastrointestinal yang Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta : CV Sagung Seto
dh) Swartz, M. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC