Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GASTROINTESTINAL
SKENARIO 3
“Nyeri Perut Kanan”

KELOMPOK 13

AFIF BURHANUDIN G0013006


AMELIA IMAS VOLETA G0013024
CHRISTOPHER BRILLIANTO G0013064
DITA PURNAMA A G0013076
EDWINA AYU D G0013082
FEBRI DWI N G0013094
HEPY HARDIYANTI K G0013112
HUMAMUDDIN G0013114
LAILA NINDA S G0013132
MAISAN NAFI’ G0013148
MILA ULFIA G0013154
RICKY IRVAN A G0013200

TUTOR: Widana Primaningtyas, dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 3

Nyeri Perut Kanan

Seorang wanita, usia 30 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum dengan
keluhan nyeri di perut kanan bawah. Sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri
dirasakan mulai dari ulu hati kemudian berpindah dan menetap di daerah perut kanan
bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, kadang disertai diare tanpa darah. Tiga hari
sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demam dan nyeri di perut semakn
bertambah, disertai mual dan muntah. Riwayat BAB dan BAK sebelumnya dalam
batas normal, Riwayat menstruasi baik. Pasien tidak ada riwayat penurunan berat
badan. Pasien jarang mengkonsumsi buah dan sayur.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 38,8 C,
nadi 104x/menit, respirasi 22 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan tidak
tampak adanya massa, bising usus normal, nyeri tekan di perut kanan bawah, teraba
massa ukuran 3 x 4 x 5 cm, permukaan rata, konsistensi padat, terfiksir, dan nyeri
tekan (+), perkusi redup (+) di atas massa. Tidak ditemukan adanya defans muscular.
Colok dubur teraba massa (+), nyeri (+) di arah jam 9-11, feces (+), darah (-).
Dokter memberikan informasi kepada pasien dan keluarga, menyarankan
pasien untuk rawat inap serta pemeriksaan agar mencegah komplikasi lebih lanjut.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario
Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
a. Nyeri alih : nyeri yang terjadi apabila suatu segmen persarafan mensarafi
lebih dari satu daerah.
b. Defans muscular : nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen akibat
rangsangan pada peritoneum parietal. Perut tegang seperti papan dimana
rigiditas involunteer.
2. Langkah II : Menentukan atau mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini adalah sebagai berikut:
a. Mengapa nyeri berpindah dan menetap di daerah perut kanan bawah?
b. Apa hubungan diare dengan nyeri yang dirasakan?
c. Apa hubungan demam, mual, muntah dengan nyeri yang dirasakan?
d. Apa saja organ yang ada di perut kanan bawah?
e. Mengapa nyeri dirasakan hilang timbul?
f. Mengapa demam baru timbul setelah nyeri ulu hati?
g. Mengapa ditanyakan riwayat BAB, BAK, menstruasi dan konsumsi buah
& sayur, dan penurunan berat badan?
h. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan lab?
i. Apa saja pemeriksaan penunjang yang disarankan?
j. Apa diagnosis banding untuk kasus ini?
k. Bagaimana penatalaksanaan untuk kasus ini?
l. Apa saja komplikasi yang bisa timbul?
m. Bagaimana prognosisnya? Apa edukasi yang diberikan oleh dokter untuk
pasien?
n. Apa perbedaan apendisitis akut dan kronik?
o. Bagaimana patient safety pada kasus di atas?
p. Apa yang dimaksud tentang diverticulosis?

3. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara


mengenai permasalahan
Analisis sementara oleh kelompok kami mengenai permasalahan yang
disebutkan dalam langkah II adalah :

Pembagian 9 Regio Abdomen


Abdomen dapat dibagi menjadi 9 regio:
a. Regio hipochondriaca dextra
b. Regio hipochondriaca sinistra
c. Regio epigastrium
d. Regio lumbalis dextra
e. Regio lumbalis sinistra
f. Regio umbilikalis
g. Regio inguinalis dextra
h. Regio inguinalis sinistra
i. Regio hypochondriaca Gambar 1. 9 Regio Abdomen
Pada skenario, pasien mengeluh nyeri pada perut bagian kanan
(Bickley bawah. Pada
LS, 2007)
bagian perut kanan bawah atau regio inguinalis dextra terdapat organ-organ
sebagai berikut yang mungkin mengalami gangguan sehingga menyebabkan
nyeri: appendix vermiformis, colon, tuba fallopi, ovarium, dan ureter.

Penyebab nyeri perut kanan bawah


Berdasarkan anatomi organ yang terdapat pada regio inguinalis dextra, kami
mendata sejumlah kemungkinan penyebab nyeri pada pasien:
a. Apendisitis h. Inflammatory Bowel
b. Konstipasi
Disease
c. Obstruksi pada colon
i. Hernia inguinalis
d. Kehamilan Ektopik
j. Torsi ovarium
Terganggu (KET) k. PID
e. Salpingitis adneksitis l. Pyelonefritis
f. Nyeri kolik m. Perinefritik abses
g. Uretrolithiasis n. Infeksi
o. Tumor
p. Pada skenario, dokter menanyakan riwayat BAB, BAK, menstruasi,
konsumsi buah dan sayur, dan penurunan berat badan untuk dapat menegakkan
diagnosis dengan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
q. Riwayat BAB dan BAK pasien yang baik dapat menyingkirkan
diagnosis banding konstipasi, uretrolithiasis, inflammatory bowel disease,
pyelonefritis,, PID, dan perinefritik abses.
r.Riwayat menstruasi pasien baik dapat menyingkirkan diagnosis kehamilan
ektopik terganggu, torsi ovarium, salpingitis adneksitis, dan PID.
s. Riwayat penurunan berat badan dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis tumor.
t. Pasien yang jarang mengkonsumsi buah sayur sendiri merupakan faktor risiko
dari apendisitis, konstipasi, dan obstruksi pada colon.
u.
v. Mekanisme Nyeri
w. Nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan. Ada 3 jenis
stimulasi yang merangsang reseptor rasa nyeri yaitu:
a. Rangsangan mekanis
b. Rangsangan suhu
c. Rangsangan kimiawi yaitu zat kimia seperti bradikinin, serotonin, histamin,
ion kalium, asam asetilkolin, termasuk prostaglandin dan substansi P.
x. Rangsangan mekanis + rangsangan suhu  menimbulkan nyeri
lambat
y. Rangsangan mekanis + rangsangan suhu + rangsangan kimiawi 
menimbulkan nyeri cepat
z. Ada 3 komponen fisiologis nyeri yaitu:
a. Resepsi  proses perjalanan nyeri
aa. Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, suhu, kimiawi)
menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, dan
kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi. Apabila
nosiseptor mencapai ambang nyeri akan timbul impuls saraf yang akan
dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut saraf yang akan membawa
impuls saraf ada 2 jenis yaitu serabut saraf A- delta, dan serabut C. Impuls
saraf akan dibawa sepanjang serabut saraf sampai ke kornu dorsalis medula
spinalis. Impuls saraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis medula
spinalis melepaskan neurotransmiter (substansi P). Substansi P
menyebabkan transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls saraf ditransmisikan lebih
jauh kedalam sistem saraf pusat. Setelah impuls saraf sampai ke otak a
otak mengolah impuls saraf atimbul respon reflek protektif.
b. Persepsi  keadaan seseorang terhadap nyeri
ab. Merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus nyeri
ditransmisikan ke medulla spinalis naik ke talamus a serabut
mentransmisikan nyeri keseluruh bagian otak termasuk area limbik (area
yang mengandung sel-sel yang bisa mengontrol emosi) a area limbik
yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah
transmisi saraf berakhir dipusat otak maka individu akan mempersepsikan
ac. nyeri.
c. Reaksi  respon fisiologis dan perilaku setelah mempersepsikan nyeri
ad. Impuls nyeri ditransmisikan ke medulla spinalis a batang otak dan
talamus a sistem saraf otonom terstimulasi, saraf simpatis dan
parasimpatis bereaksi a timbul respon fisiologis dan perilaku
ae.
af. Sifat Nyeri
ag. Sifat nyeri berdasarkan letak atau penyebabnya :
a. Nyeri alih
ah. Terjadi apabila satu segmen persarafan mensarafi lebih dari 1 daerah.
ai. Misalkan : rangsangan pada diafragma oleh radang / perdarahan 
nyeri di bahu; dan pada kolesistitis akut  nyeri di daerah ujung belikat
b. Nyeri radiasi
aj. Nyeri yang menyebar didalam sistem / jalur anatomi yang sama
ak. Misalkan: kolik ureter / pielum ginjal bisa dirasakan sampai ke alat
kelamin luar. Kadang sulit dibedakan dengan nyeri alih.
c. Nyeri proyeksi
al. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan sensorik akibat cedera atau
peradangan saraf.
am. Misalkan : nyeri perifer setempat pada herpes zoster.
d. Nyeri kontinyu
an. Akibat dari rangsangan peritoneum parietal, akan dirasakan terus
menerus; khas oleh karena proses infeksi / inflamasi.
ao. Misalkan : pada peritonitis  nyeri tekan setempat; dinding perut
otot-ototnya menunjukkan defans muskuler secara reflek untuk melindungi
bagian yang meradang dari gerakan / tekanan setempat
e. Nyeri kolik
ap. Adalah nyeri viscera akibat spasme/hiperperistaltik otot polos organ
berongga dan biasanya karena hambatan pasase (obstruksi) dalam organ
tersebut. Bersifat nyeri tumpul / dull pain. Nyeri timbul karena hipoksia.
Kontraksi berbeda sehingga nyeri dirasakan hilang timbul.
aq. Trias kolik : nyeri perut kumat-kumatan, mual / muntah, dan gerak
paksa.
f. Nyeri iskemik
ar. Disebabkan oleh terganggunya sirkulasi lokal. Nyeri sangat hebat
menetap dan tidak menyurut. Merupakan tanda-tanda dari adanya jaringan
yang terancam nekrosis. Jika dibiarkan lebih lanjut  intoksikasi umum :
takikardi, keadaan umum menurun dan shock.
as. Misalkan : hernia stangulata dan volvulus
g. Nyeri pindah
at. Dimana lokasi nyeri berubah sesuai dengan perkembangan patologis.
Misalnya, pada permulaan apendisitis sebelum radang mencapai
permukaan perotenium, nyeri visceral dirasakan di sekitar pusat disertai
rasa mual sebab apendiks termasuk usus tengah. Setelah radang terjadi di
seluruh dinding termasuk peritoneum viseral, terjadi nyeri akibat
rangsangan peritoneum yang merupakan nyeri somatik. Pada saat ini nyeri
dirasakan tepat letak peritoneum yang meradang yaitu di perut kanan
bawah. (Swartz, 1995)
au.
av. Nyeri berpindah dan menetap
aw. Pada pasien didapatkan nyeri awalnya dirasakan pada ulu hati namun
kemudian berpindah dan menetap di daerah perut kanan bawah. Hal ini
disebabkan oleh dermatom yang sama yang mempersarafi antara regio
inguinalis dextra dengan regio umbilicalis.
ax. Pada apendisitis, perangsangan difus ujung serabut nyeri appendix
vermiformis yang berjalan mengikuti saraf simpatis plexus mesentericus
superior dan nervus splanchnicus minor ke medulla spinalis segmen dapat
menyebabkan nyeri alih pada dermatom Nervus Thoracalis 10 yaitu di regio
umbilicalis yang mengakibatkan pasien merasakan nyeri di ulu hati. Dalam
beberapa jam, nyeri tersebut akan semakin progresif dan menetap pada asalnya
yaitu di bagian perut kanan bawah tempat appendix berada. Nyeri menetap ini
dapat dirasakan pada satu titik yaitu titik McBurney.
ay. Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian
menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks
menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya Terjadinya obstruksi
menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi
terhambat Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan
elastisitas dinding apendiks sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkanterhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus.
az. Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus
meningkat menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun
semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan
nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
ba.
bb. Gejala Penyerta
bc. Pada pasien didapatkan gejala penyerta yaitu diare tanpa darah,
demam, mual, dan muntah.
bd. Mual adalah sensasi (rasa) mengeluarkan makanan yang kuat atau
ingin muntah. Biasanya disertai denan tanda-tanda otonomik seperti
hipersalivasi, diaforesis, takikardia, pucat, dan takipnea, mual berhubungan erat
dengan anoreksia. Mual disebabkan oleh distensi atau iritasi di bagian mana
saja dari saluran pencernaan, tetapi juga dapat distimulasi oleh pusat otak yang
lebih tinggi.
be. Mual merupakan gejala umum dari kelainan pencernaan, namun juga
dapat terjadi pada ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, infeksi, kelainan
metabolisme, endokrin, labirin dan jantung. Dapat juga sebagai akibat dari
terapi obat, operasi, serta radiasi. impuls yang berasal dari otak bawah yang
berhubungan dengan motion sickness, maupun impuls yang berasal dari korteks
serebri untuk memulai muntah.
bf. Mual dan muntah pada apendisitis terjadi karena apabila terjadi reaksi
inflamasi pada apendiks, nervus vagus akan teraktivasi dan merangsang pusat
muntah di medulla oblongata. Apabila terjadi rangsangan pada pusat muntah
maka akan terjadi mekanisme muntah seperti pada umumnya.
bg. Muntah adalah peristiwa fisik yang sangat spesifik. Didefinisikan
sebagai evakuasi isi lambung yang cepat dan secara paksa dapat dengan alur
balik dari perut sampai dan keluar dari mulut. Muntah biasanya, namun tidak
selalu, dilanjutkan lagi dengan mual. Muntah sifatnya berulang-ulang di mana
terjadi kontraksi aktif otot-otot perut yang menghasilkan tekanan yang
menyebabkan evakuasi isi perut.
bh. Muntah biasanya dialami dalam serangkaian 3 peristiwa, yang hampir
semua orang telah alami:
a. Mual, biasanya terkait dengan penurunan motilitas lambung dan
peningkatan tonus di usus kecil. Selain itu, ssering terjadi pembalikan
peristaltik di usus kecil proksimal.
b. Nafas kering mengacu pada gerakan pernapasan spasmodik dilakukan
dengan glotis tertutup. Sementara itu terjadi, antrum kontrak perut, fundus
dan kardia gaster relax.
c. Emesis ketika isi usus lambung dan sering dalam jumlah kecil didorong
sampai dan keluar dari mulut
bi.
bj. Interprestasi Pemeriksaan Fisik
bk. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg,
masih dalam batas normal. Suhu tubuh mengalami kenaikan 38,8 0 C, nadi
104x/menit mengalami kenaikan, respirasi masih dalam batas normal 22
x/menit.
bl. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan tidak tampak adanya massa,
bising usus normal yang menadakan tidak adanya hiperperistaltik usus. Nyeri
tekan di perut kanan bawah yaitu pada titik McBurney, sepertiga lateral SIAS
dekstra yang menandakan adanya kemungkinan apendisitis, teraba massa
ukuran 3x4x5 cm, permukaan rata, konsistensi padat, terfiksir yang
menandakan massa tersebut masih berada di dalam kapsul, dan nyeri tekan (+),
perkusi redup (+) diatas massa menadakan adanya sekresi mukus yang
berlebihan sehingga menimbulkan suara perkusi redup. Tidak ditemukan
adanya defens muscular menandakan belum terjadi peritonitis.
bm. Colok dubur teraba massa (+), nyeri (+) di arah jam 9-11 yang
menunujukkan arah dari regio iliaca dekstra dimana terdapat apendiks, sehingga
dugaan terjadinya apendisitis menjadi lebih kuat. Feces (+) dan darah (-)
menunjukkan tanda belum terjadi perforasi pada usus.
bn. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter, 2005).
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
bo.
bp. Pemeriksaan Penunjang
bq. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dugaan terjadinya
apendisitis pada pasien menjadi lebih kuat. Berikut beberapa pemeriksaan
penunjang yang dapat digunakan untuk lebih memastikan diagnosis pada
pasien:
a. Pemeriksaan Laboratorium
br. Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%
b. Radiologi
bs. Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%
c. Analisia urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu diagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan apendisitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
bt. Berikut pemeriksaan penunjang khusus untuk apendisitis:
a. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis
b. Nyeri lepas (+) karena perangsangan peritoneum. Rebound tenderness
(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
c. Defans muscular (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
d. Rovsing sign (+) Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal
ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
e. Psoas sign (+) Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
f. Obturator sign (+) Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada
Hasil Pemeriksaan: daerah hipogastrium. (Subanda, 2007)
Tekanan darah normal, demam, takikardia , RR meningkat, bising usus normal tidak ada hiperperistaltik, perk
bu.
Pemeriksaan fisik lain yang diperlukan: McBurney, Psoas Sign, Rovsing Sign, Obturator Sign, CoughTest, Bloom
4. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III. Gejala:
Mual muntah
bv.
Diare tanpa dar

bw.

bx.

by.
bz.
ca.
cb. Nyeri Perut Kanan
cc.
cd.
ce.
cf.
cg.
ch.
Mekanisme Pemeriksaa
Penyebab:
ci.
Rangsangan yang mengganggu (tergantung nosiseptor) ujungnya peka terhadap rangsang kimiawi yang me
Appendicitis
Pemeriksaa
cj.
Nyeri berpindah: SBN I epigastrium
ck. dan inguinalis dextra sama., beberapa organ memiliki dermatom yang
obstruksi sa
colo
cl. Inflammatory B
cm. ureterolithiasis
cn. Hernia Inguina
co. Torsi Ovarium
PID
KET
Salphingitis
Adneksitis
cp.
cq.
cr.
cs.
ct.
cu.
cv.
5. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
a. Apa hubungan diare dan demam dengan nyeri yang dirasakan ?
b. Mengapa nyeri dirasakan hilang timbul?
c. Mengapa demam baru timbul setelah nyeri ulu hati?
d. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut?
e. Apa saja komplikasi yang dapat timbul?
f. Bagaimana prognosisnya? Apa edukasi yang diberikan oleh dokter untuk
pasien ?
g. Apa perbedaan inflamasi akut dan kronik?
h. Apa yang dimaksud tentang diverticulosis?
i. Apa saja patient safety pada skenario?
cw.
6. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru
cx. Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok
secara individu
cy.
7. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh
cz.
da. Setelah berdiskusi pada pertemuan pertama, kami bersepakat bahwa
pasien terkena apendisitis dengan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.
db. Hubungan diare dan demam dengan nyeri yang dirasakan
dc. Diare dapat bersamaan dengan keluarnya darah. Namun tidak semua
diare yang disebabkan oleh infeksi dapat menyebabkan perdarahan. Hal ini
bergantung pada dua hal yaitu
a. Jenis agen infeksi yang menyerang
dd. Tidak semua agen infeksi pada gastrointestinal dapat menyebabkan
diare berdarah. Beberapa agen infeksi yang menyebabkan perdarahan
seperti Salmonella, Shigella, Campylobacter, EHEC (Enterohemorrhagic
Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli), Clostridium
difficile, Entamoeba histolytica, dan cacing cambuk atau Trichuris
trichiura dapat menyebabkan diare dengan darah melalui jalur
mekanismenya masing-masing. Jika agen infeksi yang menyerang tidak
memiliki sifat invasi atau memiliki toksin maka tidak dapat menyebabkan
diare berdarah (disentri).
b. Stadium kerusakan
de. Pada skenario didapatkan nyeri pada regio iliaca dextra dimana salah
satu organ yang terdapat disitu adalah appendiks. Appendiks ini merupakan
saluran buntu yang sangat mudah mengalami infeksi jika terjadi obstruksi.
Obstruksi dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab diantaranya
karena faktor mekanis yang menyebabkan penumpukan fecalith, adanya
cacing atau bakteri, infeksi. Jika appendiks mengalami peradangan akut
oleh karena agen penyebab tersebut maka ukuran appendiks pun akan
membesar pula akibat dari sekret yang tetap dihasilkan oleh kelenjar
limfoid appendiks sebagai respon adanya infeksi. Karena obstruksi
sehingga sekret tidak bisa dikeluarkan. Jika ukuran appendiks sudah
mencapai batas maksimal maka appendiks akan mengalami ruptur.
Rupturnya organ ini akan menyebabkan perdarahan yang dapat keluar
bersama feses. (Adi P, 2007)
df.
dg. Demam
dh. Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat berasal dari
eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh sedangkan
pirogen endogen berasal dari dalam tubuh. Pirogen eksogen, dapat berupa
infeksi atau non-infeksi, akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit,
dan endotel untuk melepaskan interleukin (IL)-1, IL-6, Tumor Necrosing
Factor (TNF)-α, dan interferon (IFN)-γ yang selanjutnya akan disebut pirogen
endogen/sitokin. Pirogen endogen ini, setelah berikatan dengan reseptornya di
daerah preoptik hipotalamus akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi
fosfolipase-A2, yang selanjutnya melepas asam arakhidonat dari membran
fosfolipid, dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah
menjadi prostaglandin E2 (PGE2). Rangsangan prostaglandin inilah, baik
secara langsung maupun melalui pelepasan AMP siklik, menset termostat pada
suhu tubuh yang lebih tinggi. Hal ini merupakan awal dari berlangsungnya
reaksi terpadu sistem saraf autonom, sistem endokrin, dan perubahan perilaku
dalam terjadinya demam (peningkatan suhu).
di. Pusat panas di hipotalamus dan batang otak kemudian akan
mengirimkan sinyal agar terjadi peningkatan produksi dan konservasi panas
sehingga suhu tubuh naik sampai tingkat suhu baru yang ditetapkan. Hal
demikian dapat dicapai dengan vasokonstriksi pembuluh darah kulit, sehingga
darah yang menuju permukaan tubuh berkurang dan panas tubuh yang terjadi di
bagian inti akan memelihara suhu inti tubuh. Epinefrin yang dilepas akibat
rangsangan saraf simpatis akan meningkatkan metabolisme tubuh dan tonus
otot. Mungkin akan terjadi proses menggigil dan atau individu berusaha
mengenakan pakaian tebal serta berusaha melipat bagian-bagai tubuh tertentu
untuk mengurangi penguapan.
dj. Pada skenario ini zat pirogen berupa pirogen endogen yang disebabkan
adanya infeksi bakteri. Bakteri ini dapat mengeluarkan zat toksin yang disebut
endotoksin. Demam pada kasus apendisitis biasanya tidak terlalu tinggi (37.5 –
38.5 C). Apabila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
dk.
dl. Nyeri hilang timbul
dm. Nyeri pada kasus apendisitis bisa secara mendadak dimulai perut
sebelah atas (ulu hati) atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah.
Setelah beberapa jam rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan
bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita dapat merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan nyeri bisa bertambah tajam. Pada
bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh di semua bagian perut. Pada
orang tua dan wanita hamil, sering kali dirasakan nyerinya tidak terlalu berat
dan nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila apendiks pecah, nyeri bisa
menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
dn.
do. APENDISITIS
a. Gambaran Anatomi dan Fisiologi Apendiks
dp. Appendix merupakan organ berbentuk cacing, panjangnya
kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian,
pada bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak
dan geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
dq. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu
di belakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon
asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
dr. Jenis posisi apendiks:
i. Promontorik : ujung apendiks menunjuk ke arah promontorium
sacri
ii. Retrocolic : apendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal
iii. Antecaecal : apendiks berada di depan caecum
iv. Paracaecal : apendiks terletak horizontal di belakang caecum
v. Pelvic descenden : apendiks menggantung ke arah pelvis minor
vi. Retrocaecal : intraperitoneal / retroperitoneal; apendiks berputar ke
atas ke belakang caecum
ds. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang
mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.
dt. Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.
du. Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang
sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular
submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah
dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang
terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu
di mesoappendiks. Jika apendiks terletak retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.
i. Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki vilus
ii. Tunika submukosa : banyak folikel limfoid
iii. Tunika muscularis : stratum sirkulare sebelah dalam dan stratum
longitudinal (gabungan tiga tinea coli) sebelah luar
iv. Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal, asalnya dari
peritoneum viscerale
dv. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir kedalam
sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan
pada pathogenesis apendisitis.
dw. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh. (Guyton, 2007)
b. Epidemiologi Apendisitis
dx. Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di
Negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya turun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
dy. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada
anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden
lelaki lebih tinggi.
c. Etiologi Apendisitis
dz. Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
ea. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
d. Morfologi Apendisitis
eb. Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di
seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa
mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular
ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap
menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini
menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik
untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis
propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa
(Cotran et al, 2013)
e. Klasifikasi Apendisitis
ec. Apendisitis dapat dibedakan menjadi beberapa tipe sebagai berikut:
i. Apendisitis akut
ed. Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks.
Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang
selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
ee. Penyebab obstruksi dapat berupa: hiperplasia limfonodi sub
mukosa dinding apendiks, fekalith, benda asing, dan tumor
ef. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan
tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
eg. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke
dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang
menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
eh. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks
ii. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
ei. Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks
dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan
edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan
di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum
iii. Apendisitis Kronik
ej. Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika
dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
ek. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5
persen
iv. Apendisitis Rekurens
el. Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak pernah kembali ke
bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko
untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50 persen. Insidens
apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang
diperiksa secara patologik.
em. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi
karena sering penderita datang dalam serangan akut
v. Mukokel Apendiks
en. Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang
berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang
biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan
tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat
disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi
ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa
tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang
di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendektomi.
vi. Tumor Apendiks
eo. Adenokarsinoma apendiks
ep. Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan
sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa
metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan
yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding
hanya apendektomi
vii. Karsinoid Apendiks
eq. Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini
jarang didiagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan
diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena
spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin
yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
er. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan
opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan
karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang
reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
f. Patofisiologi Apendisitis
es. Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian
menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada
apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi
menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi
terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena
keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa.
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
et. Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan
terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks.
Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum
setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
eu. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark
dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah
mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam
keadaan perforasi.
ev. Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk
membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup
apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.
Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat. (Burkitt, Quick, Reed, 2007)
ew. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang
lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan
tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh
darah.
ex. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini
menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut
kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
g. Manifestasi Klinis Apendisitis
ey. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala
klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Terkadang, apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar
37.5 – 38.5 C.
ez. Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendisitis ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:
i. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya
terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke
arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena
kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
ii. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
fa. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum,
akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).
fb. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih karena
rangsangan dindingnya.
fc. Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada
waktunya sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak
khas:
i. Pada anak-anak
fd. Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.
Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa
jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi
lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90
% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
ii. Pada orang tua berusia lanjut
fe. Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih
dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi
perforasi.
iii. Pada wanita
ff. Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan
yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat
genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit
kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan
usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
h. Komplikasi Apendisitis
fg. Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis
meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke
rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi
komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang
tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis,
omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh
darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
i. Abses
fh. Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus.
Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis.
Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi
rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
ii. Perforasi
fi. Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga
bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12
jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24
jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas
lebih dari 38,5 C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
peritonitis
iii. Peritonitis
fj. Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan
komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan
hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit
perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis. (National Health Service, 2014)
i. Penatalaksanaan Apendisitis
fk. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
i. Penanggulangan konservatif
fl. Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita
yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi.
Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik
sistemik
ii. Operasi
fm. Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis
maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
fn. Terdapat dua metode dalam pembedahan:
a) Laparotomy atau open appendectomy
fo. Menggunakan insisi tunggal di kuadran kanan bawah
abdomen, di mana insisinya mulai kulit sampai ke dinding
abdomen juga, untuk mengambil appendiks.
b) Laparoscopic atau keyhole appendectomy : melakukan 3 insisi
kecil, untuk memasukkan alat serta mengambil appendiks.
Metode ini mengurangi risiko terkena komplikasi, seperti infeksi
nosokimial dan memiliki waktu penyembuhan lebih singkat.
Namun jika dalam laparoscopic appendectomy terjadi rupture
appendiks, maka ahli bedah perlu melakukan laparotomy untuk
mencegah penyebaran infeksi dari bakteri yang keluar saat
appendiks robek/rupture.
fp. Lapisan kulit yang dibuka pada apendektomi yaitu:
a) Kutis f) MOI
b) Subkutis g) M. Transversus
c) Fascia Scarpa h) Fascia transversalis
d) Fascia Campher i) Pre peritoneum
e) Aponeurosis MOE j) Peritoneum
k) Pasca operasi, dilakukan juga observasi tanda vital untuk
mengetahui terjadinya perdarahan, syok, hipertermia atau gangguan
pernafasan.
l) Setelah pembedahan, biasanya pasien bisa sembuh total. Di
mana dianjurkan bagi yang melakukan laparotomy untuk
mengurangi aktifitas fisiknya selama 10-14 hari setelah
pembedahan, sementara untuk laparoscopic 3-5 hari setelah
pembedahan.
m) Jika ahli bedah menemukan appendiks normal selama
pembedahan, banyak ahli bedah akan tetap melakukan
appendectomy untuk mengurangi kemungkinan buruk di kemudian
hari karena apendisitis. (National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Disease, 2010)
n) Edukasi untuk pasien pasca appendectomy :
a) Mengikuti saran diet makanan
b) Menggunakan laksatif ringan untuk beberapa hari awal
c) Minum air yang cukup, untuk mencegah terjadinya konstipasi
d) Istirahat cukup, untuk mempercepat penyembuhan
e) Menghindari mengangkat benda berat dan menaiki tangga, agar
tidak membuat otot abdomen tegang
f) Setelah beberapa hari istirahat, mulai kembali aktifitas normal
secara perlahan dengan beberapa olahraga ringan
iii. Pencegahan tersier
o) Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-
abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses
intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
(Pierce, 2007)
p)
q) Penatalaksanaan dapat juga didasarkan atas Skoring Alvarado
r) Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
s) Gejala dan tanda: Skor
t) Nyeri berpindah 1
u) Anoreksia 1
v) Mual-muntah 1
w) Nyeri fossa iliaka kanan 2
x) Nyeri lepas 1
0
y) Peningkatan suhu > 37,3 C 1
z) Jumlah leukosit > 10x103/L 2
aa) Jumlah neutrofil > 75% 1
ab) __________________________________________________

ac) Total skor: 10


ad)
ae) Keterangan:
af) Pasien dinyatakan apendisitis akut apabila skor Alvarado >7
ag) Penanganannya berdasarkan skor Alvarado dibedakan menjadi:
ah) Skor 0-3 : bukan apendisitis akut, namun perlu di observasi
ai) Skor 4-6 : dianjurkan untuk CT Scan untuk pemeriksaan lanjutan,
dapat diberikan antibiotik
aj) Skor 7-10 : dianjurkan untuk dilakukan pembedahan (Mansjoer, 2005)
j. Prognosis pada kasus Apendisitis
ak) Prognosis pada umumnya baik. Apabila terjadi perforasi, mortality rate
menjadi 0.2% sedangkan pada orang lanjut usia dapat menjadi 15%.
al) Pada pasien apendisitis setelah di operasi biasanya pasien bisa sembuh
total
k. Pasien Safety pada kasus Apendisitis
am) Pemeriksaan harus dilakukan dalam keadaan aseptic, dimana dokter
harus terlebih dahulu melakukan tindakan aseptik. Disamping itu, perlu
dilakukan tindakan drainase apendiks yang akan dioperasi dengan cairan
NaCl fisiologis dan antibiotik untuk menghindari risiko terjadinya ruptur
apendiks. Antibiotik yang dapat digunakan yaitu cefotetan/cefotixin,
ampicilin sulfabactam, dan ertapenem. (Subanda, 2007)
an)
ao) Inflamasi akut dan kronis
ap) Inflamasi akut berlangsung relatif singkat (beberapa menit – hari),
ditandai dengan eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi neutrofil
yang menonjol. Sedangkan pada inflamasi kronis berlangsung lama, ditandai
adanya limfosit dan makrofag disertai proliferasi pembuluh darah, fibrosis, dan
kerusakan jaringan.
aq) Pada Apendisitis akut yang telah lanjut, inflamasi dapat menjadi berat
dan terbentuk abses, lapisan mukosanya mengalami ulserasi dan dapat menjadi
supuratif dan menjadi gangren. Dan jika apendisitis mengalami ruptur apendiks,
dapat menyebabkan terjadinya peritonitis supuratif.
ar) Apendicitis kronis memiliki gejala klinis yang mirip dengan
apendisitis akut. Hanya pada apendisis kronis memiliki gejala yang lebih
ringan. Jika dinilai dengan skoring alvorado belum perlu dilakukan
pembedahan. Gejala pada apendisitis kronis dirasakan lebih lama dan pada
umumnya nyeri dirasakan hilang timbul. Jika gejala pada apendisitis kronis
memberat seperti gejala pada apendisitis akut, maka dapat berubah menjadi
apendisitis kronis eksaserbasi akut. Sebaliknya, apendisitis akut jika gejalanya
berkurang tapi tidak hilang sama sekali, berlangsung lama dan hilang timbul
dapat berubah menjadi apendisitis kronis (Cotran et al., 2013)
as)
at) DIVERTICULOSIS
au) Divertikulosis merupakan keadaan dimana terdapat herniasi mukosa
melalui tunika muskularis yang membentuk kantong berbentuk seperti botol.
Bila satu kantong atau lebih mengalami peradangan disebut divertikulitis.
av) Divertikulosis paling sering terjadi pada kolon sigmoid, jarang terjadi
dibawah usia 35 tahun, tapi insidensi meningkat seiring dengan pertambahan
usia. Pada bagian kolon yang mengalami diverticula, cenderung timbul
kontraksi kuat otot sirkular yang menimbulkan tekanan intralumen yang sangat
tinggi, sebagai akibatnya akan timbul herniasi mukosa melalui lapisan otot dan
menimbulkan divertikula. Divertikula biasanya terletak pada perlekatan kolon
dan mesenterium karena masuknya pembuluh darah dapat melemahkan
dinding. (Hadi, 2013)
aw) Faktor risiko terjadinya divertikulosis berkaitan erat dengan jumlah
serat dalam makanan. Divertikulosis jarang terjadi pada orang dengan diet
tinggi serat. Tegangan pada dinding organ berongga berkaitan erat dengan
tekanan dalam organ dan diameter organ. Bila sebuah saluran seperti kolon
sering dibiarkan menyempit akibat diet rendah serat, maka timbulnya tekanan
akan menyebabkan beban yang lebih besar pada dinding kolon tersebut bila
terisi feses.
ax) Gambaran klinis pada pasien divertikulosis pada umumnya
asimptomatik dan tetap tidak diketahui kecuali bila dilakukan pemeriksaan
barium enema untuk menyelidiki keadaan lain. Pemeriksaan barium enema
berbahaya bila dilakukan pada divertikulitis akut karena bisa menimbulkan
perforasi. Gejala pada divertikulosis biasanya bersifat ringan, terdiri atas
flatulen, diare atau konstipasi intermitten, sert rasa tidak enak pada kuadran kiri
bawah abdomen. Gejala ini digolongkan sebagai sindrom iritasi kolon yang
mendahului timbulnya divertikulosis pada beberapa pasien (Price, et al., 2006).
ay) Penyulit penyakit divertikula terjadi akibat divertikulitis akut atau
kronis yang dapat menyebabkan perdarahan, perforasi, peritonitis, abses, dan
pembentukan fistula, atau obstruksi usus akibat striktura. Secara lebih detail
dapat dilihat pada skema berikut.
az)
ba)
bb) Divertikulitis
bc)
bd)
be)
bf) Akut Kronis
bg)
bh)
bi)
Perdarahan Perforasi Abses Perikolik Striktura
bj)
bk)
bl)
Peritonitis umum
bm) Skema 1. Penyulit pada Divertikulitis (Price, et al., 2006). Obstruksi usus
bn) Fistula
bo) Pada divertikulitis akut, terdapat demam, leukositosis, nyeri, dan nyeri
tekan pada kuadran kiri bawah abdomen.
Supurasi Dapat
lokal terjadi juga perdarahan dari
jaringan granulasi vascular yang bersifat ringan, kadang perdarahan bisa terjadi
massif karena erosi menembus pembuluh darah besar didekat divertikula.
Perdarahan biasanya diobati secara konservatif, kadang perlu dilakukan reseksi
usus.
bp) Pada divertikulitis akut dapat mengalami rupture. Bila perforasi yang
terjadi kecil, dapat mengakibatkan pembentukan abses. Bila perforasi yang
terjadi besar, feses dapat masuk ke dalam peritoneum dan terjadi peritonitis
yang berbahaya dan mempunyai mortilitas tinggi. Gejala perforasi mirip
dengan tukak yang mengalami perforasi.
bq) Sedangkan pada diverticulitis kronis, terjadi perdangan berulang pada
kolon, akibatnya terjadi fibrosis dan perlekatan struktur yang ada di sekitarnya.
Terjadi penyempitan lumen, dapat terjadi obstruksi parsial kronis yang
menyebabkan gejala konstipasi, feses seperti pita, diare intermitten, dan
peregangan abdomen. Fistula juga bisa terbentuk sebagai penyulit abses
perikolon. Jenis yang paling sering adalah fistula vesikosigmoid yang
keluhannya berupa pneumaturia atau keluar gelembung udara dalam urin
(Price, et al., 2006)
br) Penatalaksanaan Diverticulosis
bs) Apabila diverticula ditemukan secara kebetulan dan gejalanya
asimptomatik, pada umumnya tidak diobati. Namun, penderita diverticulitis
ringan tanpa tanda perforasi diobati dengan pemberian cairan intravena,
pelunak feses, tirah baring, dan antibiotic spectrum luas. Sedangkan pada
pasien yang diduga mengalami perforasi atau abses perlu diberikan antibiotik
yang dapat melawan bakteri gram-negatif. Insisi dan drainase abses mungkin
diperlukan. Setelah fase akut, diindikasikan pemberian diet residu tinggi.
bt) Pembedahan berupa reseksi kolon yang sakit disertai anastomosis
hanya diperlukan pada diverticulitis berat, luas, atau pada komplikasi untuk
memulihkan kontinuitas. Pada kasus lain, dapat dilakukan kolostomi sementara
(mengalihkan kolon ke permukaan abdomen), anastomosis dan penutupan
dilakukan di kemudian hari (Price, et al., 2006)
bu)
bv) BAB III
bw) SIMPULAN
bx)
by) Pada skenario, pasien mengeluh nyeri di perut kanan
bawah yang awalnya dirasakan mulai dari ulu hati,
kemudian berpindah dan menetap di daerah perut kanan
bawah. Kami mendiagnosis pasien menderita apendisitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Nyeri pada pasien dapat
terjadi karena persarafan apendiks yang berasal dari N.
Thoracalis X yang menyebabkan nyeri visceral pertama kali
dirasakan di daerah umbilicus. Pada orang tua, seringkali
nyerinya tidak terlalu berat dan nyeri tumpulnya tidak
terasa. Namun bila apendiks pecah, nyeri dapat bertambah
berat.
bz) Pada pasien juga mengeluh adanya demam, mual dan
muntah serta diare tanpa darah. Hal ini dapat terjadi karena
adanya infeksi pada apendiks yang menyebabkan inflamasi.
Demam pada kasus apendisitis biasanya tidak terlalu tinggi,
apabila suda melebihi 38.5 C dapat kemungkinan terjadinya
perforasi. Mual dan muntah terjadi akibat nervus vagus
teraktivasi dan merangsang pusat mual muntah di medulla
oblongata.
ca) Dokter menanyakan mengenai riwayat BAB dan BAK,
menstruasi, penurunan berat badan, dan konsumsi buah serta
sayur ditujukan untuk mendapatkan diagnosis dari keluhan
pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan
suhu pasien mengalami kenaikan. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan tidak tampak adanya massa, bising
usus normal yang menadakan tidak adanya hiperperistaltik
usus. Nyeri tekan di perut kanan bawah yaitu pada titik
McBurney, sepertiga lateral SIAS dekstra yang menandakan
adanya kemungkinan apendisitis, teraba massa ukuran
3x4x5 cm, permukaan rata, konsistensi padat, terfiksir yang
menandakan massa tersebut masih berada di dalam kapsul,
dan nyeri tekan (+), perkusi redup (+) diatas massa
menadakan adanya sekresi mukus yang berlebihan sehingga
menimbulkan suara perkusi redup. Tidak ditemukan adanya
defens muscular menandakan belum terjadi peritonitis. Pada
colok dubur teraba massa dan nyeri di arah jam 9-11
semakin menguatkan diagnosis dikarenakan letak appendiks
berada pada arah tersebut.
cb) Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
abdomen, pasien dapat didiagnosis menderita apendisitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Apendisitis kronis dirasakan
lebih lama dan umumnya hilang timbul, namun jika
memberat bisa berubah menjadi apendisitis akut yang
disebut apendisitis kronis eksaserbasi akut. Dokter dalam
skenario menyarankan pasien untuk rawat inap serta
pemeriksaan fisik untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
serta untuk merencanakan tindakan berikutnya.
Kemungkinan tindakan yang diambil oleh dokter yaitu
appendectomy. Komplikasi yang dapat timbul yaitu abses,
perforasi dan peritonitis. Umumnya setelah dilakukan
operasi, pasien bisa sembuh, tetapi perlu diobservasi dengan
perawatan intensif dan juga pemberian antibiotik.
cc)
cd)
ce) BAB IV
cf) SARAN
cg)
ch) Untuk mahasiswa
ci) Sebaiknya mahasiswa lebih berusaha memahami
materi dan mengumpulkan materi dari sumber serta
melakukan pemahaman lebih lanjut dan mengkaji
sumber tersebut apakaah informasi yang diberikan
sumber tersebut memiliki keterkaitan dengan learning
objecive yang dibahas. Serta memperbanyak sumber
supaya ada masukan-masukan tambahan sehingga
materi yang di-share oleh mahasiswa menjadi lebih
padat dan lengkap
cj)
ck) Untuk tutor pembimbing:
cl) Tutor pembimbing sudah baik, kompeten, dapat
mengarahkan mahasiswa utuk menuju learning
objective yang hendak dicapai serta memberikan
masukan- masukan kekurangan dalam diskusi. Tutor
pembimbing juga mampu memberi dorongan kepada
para mahasiswa untuk saling berpartisipasi dalam
jalannya diskusi sehingga semakin banyak materi dari
sumber yang beragam, membuat materi yang diterima
oleh mahasiswa lebih beragam dan lengkap.
cm)
cn)
co)
cp)
cq)
cr)
cs) DAFTAR PUSTAKA

ct) Adi, P. 2007. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dalam
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
cu) Better Channel Health. 2012. Appendectomy.
http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Appendicectom
y?open - diakses Mei 2015
cv) Bickley, LS. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan
Bates. Jakarta: EGC. p: 164
cw) Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, & Management. Fourth Edition. London:
Elsevier, 389-398
cx) Cotran RS., Kumar V., Collins T., 2013. Robbins Pathologic Basis of Disease,
9th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.
cy) Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
cz) Hadi S. 2013. Gastroenterologi. Bandung: PT Alumni
da) Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., ed. 2005. Bedah
Digestif dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Jakarta: Media Aesculapius. pp 307-313.
db) National Health Service. 2014 Appendicitis-complications.
http://www.nhs.uk/Conditions/Appendicitis/Pages/Complications.aspx -diakses
Mei 2015.
dc) National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2010.
Appendicitis. http://www.niddk.nih.gov/health-information/health-
topics/digestive-diseases/appendicitis/Pages/treatment.aspx - diakses Mei 2015.
dd) Pierce, Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta: Penerbit Erlangga
de) Price, SA. Wilson, LM. 2006. Penyakit Divertikula pada Usus Besar.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta:
EGC. pp 459-461, 448-449
df) Sjamsuhidajat R., Jong, W.D., ed. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC. pp: 639-645.
dg) Subanda, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan
Gastrointestinal yang Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta : CV Sagung Seto
dh) Swartz, M. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai