Anda di halaman 1dari 19

PEREKONOMIAN INDONESIA

KEMISKINAN DI INDONESIA
DOSEN PENGAMPU :
MAHMUDAH HASANAH, M.Pd

KELOMPOK 5
DISUSUN OLEH :
1. IKHSANUL AMAL 1910113210021
2. NANDA FACTUR RISA 1910113220017
3. ROSYIDA ARIANI 1910113320004
4. NUR ANNIA 1910113220018
5. RUSYDA ILHAMI 1910113220035
6. DEWI KARTIKA 1910113320026
7. AKHMAD ASPHIHANI 1910113210030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Karena berkat Rahmat, Taufik
dan Hinayahnya maka penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan
judul“ Kemiskinan Di Indonesia”.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 08 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ..................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi kemiskinan .............................................................................................. 2
2.2. Data Kemiskinan ................................................................................................... 3
2.3. Indikator Kemiskinan di Indonesia ....................................................................... 7
2.4. Distribusi Pendapatan ........................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan ............................................................................................................ 15
3.2.Saran ...................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.3. Latar Belakang


Kemiskinan merupakan masalah yang sangat serius di dalam sebuah Negara
dan menjadi masalah yang terus menerus ada dalam sepanjang sejarah negara
dimana sejarah mengenai kesalahan dalam memandang dan mengurus kemiskinan.
Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain
persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah menyebabkan masalah-masalah baru yang
semakin menjalar kemana-mana. Seperti, jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam
pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan
dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya
lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga,
menguatnya arus urbanisasi ke kota. Kemiskinan juga menyebabkan jutaan rakyat
tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan.
1.4. Tujuan
1.4.1. Mengetahui apa itu kemiskinan.
1.4.2. Mengetahui data kemiskinan dalam kurun waktu tertentu yang ada di
Indonesia.
1.4.3. Mengetahui indikator kemiskinan di Indonesia.
1.4.4. Dapat mengetahui masalah distribusi pendapatan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Kemiskinan


Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Definisi kemiskinan menurut beberapa ahli
1. Menurut Sallatang (1986) kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan
pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau
ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial.
2. Menurut Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan
sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak.
Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
3. Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan
serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang,
pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya.
4. Menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola
konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan.
5. Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan ketidakterjaminan
pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas
perumahan dan aset-aset produktif, ketidakmampuan memelihara kesehatan
yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial
(anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan
kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta
ketidakmampuan dan keterpisahan.
6. Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga
mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan,

2
tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang,
baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin.
7. SPECKER (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup beberapa hal
yaitu :
a. kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal
b. gangguan dan tingginya risiko kesehatan,
c. risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan
lingkungannya,
d. kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan
e. kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh
ketersisihan sosial,
3.3. Data Kemiskinan
Persoalan kemiskinan selalu saja menjadi momok yang menakutkan di
Indonesia. Bahkan setelah 60 tahun Indonesia merdeka, kemiskinan masih saja
menjadi masalah yang belum terselesaikan secara tuntas. Perbedaan kemiskinan
pada masa lalu dan masa sekarang adalah situasinya dulu hampir semua penduduk
Indonesia miskin atau dikenal sebagai share poverty, Sedangkan sekarang terjadi
kemiskinan di jaman modern dan di tengah-tengah sebagian masyarakat yang
berlimpah. Kemiskinaan yang terjadi saat ini di sebabkan kesengajaan pendapatan
dalam masyarkat sehingga ada perbedaan akses untuk terlibat dalam aktivitas
ekonomi. Berbagai kebijakan dan sistem ekonomi yang dinterapkan selama ini
tidak mampu menjawab persoalan tersebut yang tercermin dari makin besarnya
angka kemiskinan.
Masalah kemiskinan yang tiada habisnya menurut Ragnar Nurkse di
sebabkan lingkaran setan kemiskinan

Investasi rendah Kekurangan modal Produktifitas rendah

Tabungan rendah Pendapatan rendah

3
Dari gambar di atas bisa di liat dari bentuk hubungan yang tidak berujung
pangkal, tidak jelas mana sebab dan mana akibat lingkaran inilah yang membuat
kita sulit menangulangi kemiskinan secara tuntas.
Berdasarkan catatan BPS (Badan Pusat Statistik) secara umum, tingkat
kemiskinan mutlak di Indonesia sudah menurun drastis, terutama dalam dua
dasawarsa sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Jumlah
penduduk miskin pada tahun 1976 mencapai 54,2 juta jiwa (40’1%), yang menurun
menjadi 40,6 juta jiwa (26,9%) pada tahun 1981, 35 juta jiwa (21,64%), pada tahun
1984, 27,2 juta jiwa (15,1%) pada tahun 1990, dan akhirnya menjadi 22,5 juta jiwa
(11,3%) pada tahun 1996.
Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan
peningkatan jumlah penduduk miskin menjadi sebanyak 49,5 juta jiwa (24,13%).
Dari jumlah tersebut, 17,6 juta jiwa (35,5%) penduduk miskin tinggal di perkotaan
dan 31,9 juta jiwa (64,5%) tinggal di pedesaan. Kondisi kemiskinan pada tahun
1998 ini mendekati tahun 1981 dan tahun 1984.
Secara umum, perkembangan kemiskinan di Indonesia menunjukkan
penurunan hingga tahun 1996 dan meningkat kembali tahun 1997 hingga 2000,
baik ditinjau dari jumlah penduduk miskin ataupun relatif terhadap jumlah
penduduk Indonesia. kondisi yang berbeda adalah pada tahun 2000 hingga 2003, di
mana jumlah penduduk miskin secara absolut meningkat,namun secara relatif
mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk non-miskin
mengalami peningkatan lebih cepat daripada penduduk miskin. Dengan kata lain,
jumlah penduduk miskin bertambah banyak namun jumlah penduduk non-miskin
bertambah lebih banyak lagi, dan ini bisa menandakan adanya peningkatan tingkat
kesenjangan pendapatan masyarakat.

4
Gambar 1.1.
Perkembangan Penduduk Miskin Indonesia Tahun 1976-2005

Tabel 1.1.
jumlah penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia tahun 1999-2015
JUMLAH PENDUDUK MISKIN (000 JIWA)
PROVINSI
1999 2000 2005 2010 2015
NAD 602,10 595,10 758,60 1.199,90 1.254,20
Sumatera Utara 1.972,70 1.491,80 1.359,70 1.883,89 1.883.60
Sumatera Barat 601,50 482,50 643,30 496,36 501,10
Riau 589,70 485,60 491,60 722,41 751,30
Jambi 677,00 504,90 480,40 326,91 327,30
Sumatera selatan 1.813,70 1.338,00 1.113,80 1.600,60 1.397,10
Bengkulu 302,30 249,00 308,50 372,42 344,20
Lampung 2.037,20 2.017,80 1.674,10 1.756,78 1.666,20
DKI Jakarta 379,60 416,10 247,50 286,88 294,10
Jawa Barat 8.393,40 6.658,40 5.532,30 5.724,89 5.754,80
Jawa Tengah 8.755,40 6.513,60 6.856,70 7.308,33 6.980,00
DIY 789,10 1.035,80 797,60 635,66 636,80
Jawa Timur 10.286,50 7.845,40 7.508,30 7.701,15 7.758,40
Bali 257,80 176,80 248,40 221,76 246,10
Nusa Tenggara
1.276.80 1.070.50 1.175.50 1,145.81 1.054.50
Barat
Nusa Tenggara
1.779,00 1.425.90 1.317,50 1.206,49 1.166.00
Timur
Kalimantan Barat 1.016.20 1.095,00 728,50 544,20 583,70
Kalimantan
251,70 213,70 215,40 231,39 207,70
Tengah
Kalimantan
440,20 355,30 357,50 259,80 259,00
Selatan
Kalmantan Timur 509,20 393,60 349,70 313,04 328,00
Sulawesi Utara 504,90 365,90 213,30 229,32 191,50
Sulawesi Tengah 559,40 503,20 530,50 554,60 509,10

5
Sulawesi Selatan 1.452,00 1.198,00 1.296,30 1.039,23 1.301,80
Sulawesi
504,90 419,80 457,50 711,52 666,10
Tenggara
Maluku 1.013,90 991,70 418,80 528,90 518,70
Papua 1.148,70 970,90 900,80 907,60 917,00
Indonesia 47.974,60 38.743,70 35.952,00 38.349,00 37.335,40

Keterangan:
Untuk tahun 2010 dan 2015 Provinsi Lampung termasuk Bangka Belitung, Jawa
Barat termasuk Banten, Sulawesi Tenggara termasuk Gorontalo dan Malulu
termasuk Maluku Utara. Sumber: Data dam Informasi Kemiskinan, Badan Pusat
Statistik, 2016
Angka kemiskinan pada tahun 2010 yang mencapai 38,5 juta tersebut secara
obsolut merupakan bilangan cukup besar karena setara dengan dua kali lipat di
bandingkan totol penduduk Malaysia dan Australia atau lebih dari 12 kali lebih
banyak dari pada penduduk Singapura. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun
1997 memberikan sumbangan pada peningkatan anka kemiskinan. Melesunya
kegiatan perekonomian telah menurunkan pula peluang memperoleh pendapatan,
banyak orang kehilangan pekerjaaan, angkatan kerja baru yang makin banyak tidak
terserap di pasar kerja sehingga terjadi pegangguran. Namun demikian pegangguran
bukanlah memberi sumbangan terbesar pada tingkat kemiskinan sebagai gambaran
studi di Yogyakarta yang di adakan FE-UII pada tahun 1999 menunjukan bahwa
pengangguran hanya memberikan sumbangan sebanyak 3,32 persen saja dari total
kemiskinan ini mengindikasikan bahwa masyarakat miskin tersebut sebagian besar
memiliki pekerjaan, namun pendapatannya sangat kecil, atau bekerja dengan waktu
di bawah jam normal.
Pegangguran hanyalah salah satu masalah penyebab kemiskinan. Penyebab
lain adalah keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat baik sumber
daya alam maupun sumber daya manusia. Namun dalam kasus di Indonesia sumber
daya alam bukanlah masalah yang berarti. Ketidakmampuan masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya alam yang kurang optimal dan kebijakan pengelolaan
yang kelirulah yang menjadi masalah. Faktor lain karena keterbatasan kepemilikan
alat-alat produksi seperti tanah dan modal; sarana dan prasarana; kebijakan yang
bisa sektor modern/perkotaan/usaha besar; rendahnya Pendidikan, dan

6
keterampilan; atau faktor budaya yang membuat masyarakat terjebak dalam kultur
kemiskinan.
3.4. Indikator Kemiskinan di Indonesia
Belum ada indikator yang benar-benar tepat dan sesuai untuk digunakan
untuk menggambarkan kondisi kemiskinan yang dapat diberlakukan secara umum
dan baku terhadap semua komunitas. Menurut emil salim (1982), penentuan batas
minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok (yang
kemudian disebut sebagai garis kemiskinan), dapat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu :
1. Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
2. Posisi manusia dalam lingkungan sekitar
3. Kebutuhan obyetif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi
Pendapat ini menunjukkan bahwa memang tidak ada standar yang bisa
digeneralisir terhadap semua kelompok masyarakat untuk menetapkan suatu kondisi
dan situasi sebagai masalah kemiskinan. Oleh karena itu, indikator-indikator
kemiskinan yang masih berlaku dan digunakan untuk menetapkan suatu kondisi
sebagai masalah kemiskinan masih menggunakan indikator-indikator kemiskinan
sebagai berikut :
2.3.1. Metode pengukuran jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari
Metode ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Standar
kebutuhan minimum per orang per hari menurut BPS adalah 2100 kalori.
Pemenuhan jumlah kalori tersebut sudah diperhitungkan dari 52 jenis
komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk. Pemenuhan
kebutuhan lainnya (non makanan) diperhitungkan dari 45 jenis komoditi non
makanan dengan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Jumlah pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang
disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku di masing-masing wilayah
kemudian ditetapkan sebagai garis kemiskinan penduduk di suatu wilayah.
2.3.2. Metode pengukuran pendapatan yang disetarakan dengan nilai tukar beras per
kapita per tahun
Metode ini dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo (1980) untuk
mengukur tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah
pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar beras, yaitu :

7
1. Kelompok paling miskin : bila pendapatannya kurang dari nilai tukar
beras sebesar 240 kg/kapita/tahun.
2. Kelompok miskin sekali : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai
tukar beras sebesar 240 kg sampai dengan 360 kg per kapita/tahun.
3. Kelompok miskin : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar
beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per kapita/tahun.
4. Kelompok cukup : bila pendapatannya setara dengan nilai tukar beras
sebesar 480 kg sampai dengan 960 kg per kapita/tahun.
5. Kelompok kaya : bila pendapatannya sama atau lebih dari nilai tukar
beras sebesar 960 kg per kapita/tahun.
2.3.3. Metode pengukuran berdasarkan kriteria kesejahteraan keluarga
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004
menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur kemiskinan.
Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN adalah
sebagai berikut :
1. Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama,
pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera I
Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat
mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Indikator yang digunakan, yaitu :
a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut.
b. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau
lebih.
c. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di
rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
d. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
e. Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/
petugas kesehatan.
3. Keluarga Sejahtera II

8
Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya
dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat
memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri
dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan
indikator sebagai berikut :
a. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama
yang dianut masing-masing.
b. Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging
atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.
c. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
baru setahun terakhir.
d. Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.
e. Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam
keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-
masing.
f. Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke
atas mempunyai penghasilan tetap.
g. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca
tulisan latin.
h. Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.
i. Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS,
saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).
4. Keluarga Sejahtera III
Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan
kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan
pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di
lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan
indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator
sebagai berikut :
a. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
b. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan
keluarga.

9
c. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan
ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota keluarga.
d. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
e. Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam
enam bulan.
f. Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah,
mendengarkan radio atau menonton televisi.
g. Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi.
5. Keluarga Sejahtera III Plus
Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi
kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut
menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan
semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi
syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan ditambah
dua syarat berikut :
a. Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan
bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.
b. Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.
2.3.4. Metode pengukuran jumlah pendapatan
Bank Dunia menggunakan metode pengukuran jumlah pendapatan
minimal per hari per orang untuk menentukan garis kemiskinan. Menurut
Bank Dunia, pendapatan minimal per orang per hari adalah U$ 1. Penetapan
pengukuran pendapatan ini tidak disertai dengan pengukuran pengeluaran per
orang per hari dengan asumsi bahwa selain kebutuhan makanan pokok,
pengeluaran untuk jenis kebutuhan lain (non makanan) tidak selalu dilakukan
setiap hari. Apabila disetarakan dengan pendapatan per bulan maka seseorang
dikatakan miskin apabila penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp.
600.000,-.

10
2.3.5. Metode pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar
Indikator kemiskinan dengan menggunakan pengukuran pemenuhan
kebutuhan sesuai hak-hak dasar ini dikemukakan oleh BAPPENAS. Masing-
masing indikator tersebut adalah :
1. Terbatasnya kecukupan pangan, yaitu kurang dari 2.100 kkal/orang/hari.
2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan yang
disebabkan oleh kesulitan mendapat layanan kesehatan dasar, rendahnya
mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku
hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas
layanan kesehatan yang jauh serta biaya perawatan dan pengobatan yang
mahal.
3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang
disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang
terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh
pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya
langsung maupun biaya tidak langsung.
4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha, perbedaan upah dan lemahnya perlindungan kerja
terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
5. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
6. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air
bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan
menurunnya mutu sumber air.
7. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat
miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan
kepemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan
lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh
aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya
untuk bekerja di atas tanah pertanian.
8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam serta
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat
miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah

11
pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber
daya alam sebagai sumber penghasilan.
9. Lemahnya jaminan rasa aman.
10. Lemahnya partisipasi.
11. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong
terjadinya migrasi.
Seringkali kondisi kemiskinan yang dialami suatu komunitas tidak memenuhi
semua unsur indikator yang telah disebutkan. Indikator-indikator yang terlihat jelas
dan berlaku pada komunitas secara umum adalah :
1. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,
2. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha
3. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi
4. Terbatasnya akses terhadap air bersih
5. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah
6. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam
7. Lemahnya partisipasi.
Perbedaan kemampuan anggota komunitas dalam memenuhi kebutuhan dasar
dan kepemilikan aset/lahan secara tidak langsung telah membuat stratifikasi sosial
dalam komunitas. Stratifikasi sosial ini tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan
tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang dan pengukuran komunitas terhadap
tingkat ekonomi warganya.
2.4. Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan adalah konsep yang lebih luas dibandingkan
kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisa populasi yang berada
dibawah garis kemiskinan.Kebanyakan dari ukuran dan indikator yang mengukur
tingkat distribusi pendapatan tidak tergantung pada rata-rata distribusi, dan
karenanya membuat ukuran distribusi pendapatan dipertimbangkan lemah dalam
menggambarkan tingkat kesejahteraan.
Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan
distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang
dimiliki oleh setiap individu dimana satu individu/kelompok mempunyai

12
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan individu/kelompok lain. Tidak
meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang
merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah
tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang
menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik. Ketimpangan
distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan sebuah realita yang ada di tengah-
tengah masyarakat dunia ini baik di negara maju maupun negaraberkembang,
Perbedaannya terletak pada proporsi tingkat ketimpangan dan angka kemiskinan
yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas
wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Distribusi pendapatan nasional yang
tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum.
Sistem distribusi yang tidak pro hanya akan menciptakan kemakmuran bagi
golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi sesuatu yang penting untuk disikapi
dalam hal kemiskinan .
Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat
kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi adalah masalah yang saling
berkaitan dan terjadi hamper semua Negara berkembang. Sebagai dasar dari
kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan
kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalaha salah satu metode statik yang umum
digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam
distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses
pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.
Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan
(pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar
antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di
kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Untuk
negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling
merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
Selain koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering
dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokan menjadi tiga
kelompok; yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari

13
jumlah penduduk, penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan
40% dari jumlah penduduk, dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang
merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidak merataan pendapatan
disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40%
penduduk dengan pendapatan rendah.

14
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Menangani hal kemiskinan yang menjadi masalah yang sangat penting dan
harus disikapi dalam suatu negara, ada banyak hal yang perlu dianalisis. Beberapa
faktor adanya kemiskinan harus di pahami betul dan denar-benar mencari solusi
terbaik dengan sedikit kemungkinan kegagalan.
Melakukan pendataan kemiskinan dengan berbagai indikator adalah hal yang
benar-benar perlu di perhatikan oleh pemerintah. Banyaknya indicator setiap
komunitas menjadi perdebatan. Berikut beberapa indikator-indikator yang terlihat
jelas dan berlaku pada komunitas secara umum adalah :
1. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,
2. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha
3. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi
4. Terbatasnya akses terhadap air bersih
5. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah
6. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam
7. Lemahnya partisipasi.
Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat
kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi adalah masalah yang saling
berkaitan dan terjadi hampir semua Negara berkembang. Hal ini berkaitan dengan
distribusi pendapatan dimana terjadinya ketidak seimbangan pendapat.
3.2.Saran
Upaya pemerintah saja tak akan berhasil jika rakyatnya tak mau berusaha
untuk mengikuti anjuran dari pemerintah melalui program-program yang telah
dibuat. Selain dari pada itu daam hal pengadaan pendataan lebih teliti dan lebih
selektif, sehingga pendataan berjalan sesuai keinginan yaitu hasil yang benar-benar
sesuai dengan keadaan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Suandi Hamid, Ady. Perekonomian Indonesia. 2018. Universitas Terbuka. Banten.


https://id.scribd.com/doc/250247454/MAKALAH-Distribusi-Pendapatan
https://oceannaz.wordpress.com/2010/07/29/kemiskinan-pengertian-dimensi-indikator-
dan-karakteristiknya/
https://toshare15.blogspot.com/2017/06/contoh-makalah-distribusi-pendapatan.html
http://stimbedua.blogspot.com/2015/11/teori-distribusi-pendapatan-dan.html
http://deanisa-catatan-kuliahku.blogspot.com/2016/06/distribusi-pendapatan-dan-
kemiskinan.html

16

Anda mungkin juga menyukai