Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Analisis Kebutuhan dan Masalah Sosial,
Dosen Pengampu : Dadan Darmawan, M.Pd.
Disusun Oleh :
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Apa faktor – faktor yang menjadi penyebab kemiskinan?
4. Bagaimana tingkat perkembangan kemiskinan di Indonesia?
5. Bagaimana solusi kebijakan dan program penuntasan kemiskinan di
Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui arti kemiskinan.
2. Untuk mengetahui indikator penyebab terjadinya kemiskinan.
3. Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab kemiskinan.
4. Untuk mengetahui tingkat perkembangan kemiskinan di Indonesia.
5. Untuk mengetahui solusi kebijakan dan program yang dapat dilakukan
untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.
2
Pada bab ini, penulis menjelaskan tentang latar belakang penulisan karya tulis,
tujuan penulisan karya tulis, pembatasan masalah, metode pengumpulan data,
dan sistematika penulisan karya tulis.
b. Bab II Pembahasan
Pada bab ini, penulis akan membahas lebih lanjut tentang tema dan judul karya
tulis, yakni pengertian masalah sosial, pengertian disorganisasi keluarga, dan
pengaruh disorganisasi keluarga terhadap perkembangan sosial anak.
Pembahasan pada bab ini bersumber dari teori yang dikemukan oleh berbagai
tokoh dari berbagai sumber yang telah didapatkan oleh penulis.
c. Bab III
Pada bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan yang telah
disampaikan pada bab 2 karya tulis ini. Selain itu, penulis akan menyampaikan
saran terkait permasalahan yang dijelaskan dan menjadikan sebagai referensi
untuk pembaca.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
multidimensional yang memuncak pada periode 1997 – 1999. Setelah dalam
kurun waktu 1976 – 1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler
dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan
tajam, terutama selama krisis ekoomi. Studi yang dilakukan BPS. UNDIP dan
UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996 –
1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta
jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa.”
Sementaea itu, menurut INDEF tahun 2009 yang memproyeksikan jumlah
penduduk miskin mencapai 40 juta (16,8%) sedangkan data BPS pada Maret 2008
menyatakan bahwa penduduk miskin sebantak 35 juta jiwa (15,4%).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tahun 2006, mencapai 60 juta
jiwa dan total penduduk atau sekitae 25%. Dengan asumsi pendapatan perbulan
hanya Rp. 150.000 perbulan. Padahal standar Bank Dunia orang miskin memiliki
pendapatan US$2 perkapita per hari. Maka jika standar ini digunakan maka jumlah
keluarga miskin di Indonesia lebih fantastis lagi. Kemiskinan sebuah kondisi
kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Kemiskinan telah menjadi
masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran.
Walaupun kemiskinan dapat dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi sampai
saat ini belum ditemukan strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah
kemiskinan, sementara jumlah penduduk miskin tiap tahunnya meningkat.
Walaupun kemiskinan dapat dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi
sampai saat ini belum ditemukan strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah
kemiskinan dan merumuskan kebijakan anti kemiskinan, sementara jumlah
penduduk miskin tiap tahunnya meningkat. Ketidakberhasilan itu kiranya
bersumber dari cara pemahaman dan penanggulangan kemiskinan diartikan sebagai
sebuah kondisi ekonomi semata – mata.
Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan
orang miskin untuk dapat mandiri, baik dalam pengertian ekonomi, budaya dan
politik. Penanggulangan kemiskinan tidak hanya dengan pemberdayaan ekonomi,
5
akan tetapi juga dengan pemberdayaan politik bagi lapisan miskin merupakan
sesuatu yang tidak dapat terelakan kalua pemerataan ekonomi dan terwujudnya
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial seperti yang dikehendaki.
Eko Suharto (2009: 15) mengemukakan bahwa “Kemiskinan dipahami
dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan
pangansehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang
ekonomi.
3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang
memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik danekonomi di seluruh dunia.”
6
3. Kemiskinan Struktural. Kemiskinan struktural lebih menuju kepada
orang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin
karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak
menguntungkan bagi golongan yang lemah. Ketidaktepatan kebijakan
pemerintah juga bisa menyebabkan kemiskinan struktural,
4. Kemiskinan Situsional atau kemiskinan natural. Kemiskinan
situsional terjadi di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan
oleh karenanya menjadi miskin.
5. Kemiskinan kultural. Kemiskinan penduduk terjadi karena kultur
atau budaya masyarakatnya yang sudah turun temurun yang
membuat mereka menjadi miski.”
Beberapa Indikator Kemiskinan, antara lain :
1. Penduduk Miskin. Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-
rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Jumlah
Penduduk miskin suatu wilayah, diartikan banyaknya penduduk miskin
yang terdapat di wilayah tersebut.
2. Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan representasi dari jumlah
rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pook
minuman dan makanan yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari
dan kebutuhan pokok bukan makanan. Garis kemiskinan (GK) = Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) + Garis Kemiskinan Non-Makanan
(GKNM).
3. Persentase Kemiskinan (Tingkat Kemiskinan). Secara sederhana Persentase
Kemiskinan yang juga disebut Tingkat Kemiskinan menggambarkan
proporsi penduduk miskin di suatu wilayah. Perhitungan dilakukan dengan
rumus tertentu yang menggambarkan prosentase jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan di suatu wilayah dibandingkan jumlah
penduduk di wilayah terrsebut.
7
4. Biasanya BPS mengadakan pengukuran Jumlah dan persentase penduduk
miskin dengan survey Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) dan
mengeluarkan data pada maret dan sepetember tahun yang bersangkutan
(Sumber: BPS, Eknsiklopedia BPS).
5. Merujuk definis tersebut, adalah sangat berbeda antara jumlah penduduk
miskin dan persentase penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin sangat
berkorelasi dengan jumlah penduduk. Sebagai misal Provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah dan DKI karena merupakan Provinsi terpadat dengan jumlah
penduduk paling banyak otomatis jumlah penduduk miskinnya juga banyak
dan jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan Papua, NTB misalnya.
Sehingga jumlah penduduk miskinnya jika dirangking maka langsung
ketiga Provinsi itu menempati urutan teratas. Tetapi, jika jumlah penduduk
miskin tersebut dipersentase dengan perhitungan BPS tadi hasilnya
berbeda, Provinsi yang paling tinggi persentase kemiskinan adalah bisa jadi
provinsi lain.
Iwan Setyawan (2016: 11) mengemukakan bahwa “Untuk menuju solusi
kemiskinan penting bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-
indikator kemiskinan tersebut. Adapun indikator-indikator kemiskinan,
antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang,
pangan dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya
(kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun
massa.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber
daya alam.
8
6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak
terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin,
kelompok marginal dan terpencil).”
Kemiskinan itu kompleks, menyikapinya harus dengan komprehensif dan
didasarkan situasi yang ada. Semua pihak harus berjuang memberantas
kemiskinan, masyarakat selaku kelompok dan individu harus berjuang memerangi
kemiskinan dirinya. Pemerintah harus memikirkan strategi, program dan aksi
nyata penanggulangan kemiskinan yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan
(sudah sangat banyak ya aksi, program tinggal penajaman dan dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh).
Swasta, perusahaan, CSR juga ada perannya. Adalah tidak mungkin kita hanya
berkutat pada angka jumlah penduduk miskin yang berada di bawah garis
kemiskinan saja karena sesungguhnya kemiskinan itu seperti fenomena gungung
es juga, Banyak penduduk yang sebetulnya rentan miskin/hampir miskin yang jika
terjadi inflasi, harga sembako naik maka mereka yang tadinya masih berada di atas
garis kemiskinan akan jatuh ambruk di bawah garis kemiskinan.
9
timbulnya pola-pola berpikir tertentu pada warga masyarakat terutama
warga miskin. pola-pola berpikir ini kemudian mempengaruhi tindakan dan
kelakuan masyarakat, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam
membuat keputusan-keputusan yang penting dalam hidup.”
10
memperoleh pendapatan yang tinggi diperlukan tingkat pendidikan yang
tinggi pula atau minimal mempunyai memiliki ketrampilan yang memadai
dehingga dapat memp[eroleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan
dehari-hari sehingga kemakmuran penduduk dapat terlaksana dengan baik
dan kemiskinan dpat di tanggulangi.
Salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah keluarga dan pendidikan,
semakin banyak anggota keluarga yang memiliki pendidikan yang rendah maka
semakin sempit pula kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan
dari situ lah penyebab kemiskinan. Hal ini senada dengan pendapat dari Ikhsan
(1999: 65) “Faktor – faktor determinan kemiskinan menjadi empat
kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human capital), modal fisik
produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik
desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan
mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh
pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan
adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala
keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi
pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan
keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih
tinggi.”
Fajrus Sodiq (2012: 9) menyatakan bahwa “Ada dua kondisi yang
menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan alami dan
kemiskinan buatan. Kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam
(SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang
berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang
tersedia, sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut
kemiskinan tersebut. Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik
11
kebijakan pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ketimbang
dari pemerataan.”
Karimah Kuraiyyim (2016: 78) menyatakan bahwa “Di bawah ini
beberapa penyebab kemiskinan menurut pendapat Karimah Kuraiyyim,
yang antara lain adalah :
Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang penting digaris bawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-
kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem.
Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita
pun akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut
maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan. Berikut beberapa
faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan pendapatan
per-kapita :
a) Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
b) Politik ekonomi yang tidak sehat.
Faktor-faktor luar negeri, diantaranya:
1. Rusaknya syarat-syarat perdagangan
2. Beban hutang
3. Kurangnya bantuan luar negeri, dan
4. Perang.”
Darmadi (2009: 179) menyatakan bahwa “Limbah adalah produk akhir yang
berupa material bangunan dari sebuah proses pencucian, dekontaminasi atau
proses metabolisme tubuh, yang dapat berbentuk cairan atau setengah padat.”
12
diduga karena pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan
meningkatnya Gross Domestic Product (GDP) dan atau disebabkan semakin
luasnya kesenjangan social.
13
penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta
(17,75%) berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).”
Menurut Tambunan (2006: 112) “Paling tidak terdapat tiga alasan untuk
menjalaskan fenomena ini, yakni (i) pertumbuhan output sektor pertanian
menyebabkan meningkatnya pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di
sektor pertanian; (ii) meningkatnya penyerapan tenaga kerja pada aktivitas-
aktivitas nonpertanian di perdesaan, seperti agro-industri, perdagangan,
jasa-jasa dan transportasi di daerah perdesaan sebagai hasil dari
peningkatan infrastruktur dan koneksi desa-kota; (iii) banyak tenaga kerja
takterlatih, yang tidak terserap oleh petumbuhan di sektor pertanian dan
aktifitas-aktifitas nonpertanian di perdesaan, bermigrasi ke daerah
perkotaan dan bekerja pada industri manufaktur padat karya seperti
industri makanan dan minuman, tekstil dan garmen, produk-produk kulit,
elektronik dan alas kaki, konstruksi, transporatsi dan jasa-jasa.”
14
hingga mencapai 48,99 juta orang atau sekitar 23,4 persen dari total
penduduk Indonesia. Sementara itu, tingkat kemiskinan di daerah perkotaan
dan perdesaan melonjak hingga mencapai dua kali lipat, yakni masing-
masing sebesar 17,6 juta orang (21,92 persen) dan 31,39 juta orang (25,72
persen). Kondisi kemiskinan pada tahun 1998 ini mendekati kondisi
kemiskinan pada tahun 1978 dan tahun 1980, atau dengan kata lain, krisis
ekonomi tahun 1997 menjadikan capain pembangunan terkait pengurangan
kemiskinan mengalami kemunduran lebih dari 15 tahun.”
15
senada dengan pendapat dari Huraerah (2005: 67) menyatakan bahwa “Karena
kemiskinan bersifat multidimensional, maka program pengentasan
kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi
tapi memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan
pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target
mengatasi kemiskinan nonekonomik.”
16
c) Beasiswa siswa miskin jenjang SMA.
d) Pengembangan pendidikan untuk dapat membaca.
17
acuan bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pembangunan tahunan.
18
2. jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di
puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Sri Hery Susilowati (2010: 18) menyatakan bahwa “Sangat sulit untuk
untuk memberantas kemiskinan secara utuh,tetapi setidaknya mengurangi
angka kemiskinan. Berbagai cara yang di lakukan oleh pemerintah namun
pada kenyataanya kemiskinan masih sangat memperihatinkan.
Pengembangan dan perbaikan daerah terpencil Pemberian Bantuan
Langsung tunai (BLT) yang di tujukan kepada masyarakat yang kurang
mampu, dan pendidikan gratis sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Namun pada kenyataanya berjalan berjalan dengan maksimal.”
Kartasasmita (1996: 40) menyebutkan “Kebijakan penanggulangan
kemiskinan dapat tertuang dalam tiga arah kebijakan. Pertama, kebijakan
tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin
kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan; kedua, kebijakan
langsung yang ditujukan kepada golongan masyarakat berpenghasilan
rendah; dan ketiga, kebijakan khusus yang dimaksudkan untuk
mempersiapkan masyarakat miskin itu sendiri dan apparat yang
bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program dan sekaligus
memacu dan memperluas upaya penanggulangan kemiskinan.Salah satu
program yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah Program Keluarga
Harapan (PKH).”
Gatot Sumarjo (2007: 10) mengatakan bahwa "Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan
atau PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM)— merupakan salah satu
mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM
Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan
perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. PNPM Mandiri
Perdesaan mengadopsi sepenuhnya mekanisme dan prosedur Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998.
19
PNPM Mandiri sendiri dikukuhkan secara resmi oleh Presiden RI pada 30
April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah.”
Mochamad Syawie (2012: 35) mengemukkan bahwa “Permasalahan
mendasar yang dihadapi petani adalah kurangnya akses kepada sumber
permodalan, pasar dan teknologi serta organisasi tani yang masih lemah.
Oleh karena itu program penanggulangan kemiskinan merupakan bagian
dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan
kesepakatan global untuk mencapai Tujuan Millenium. Kementerian
Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di bawah koordinasi Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan
berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat.
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) adalah bagian dari
pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bantuan modal usaha
Gabungan Kelompoktani dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis
sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran.”
Yemim Krenhazia (2016: 184) menyatakan bahwa “Perdesaan atau yang
lebih dikenal sebagai PPIP, dicanangkan oleh Pemerintah melalui Direktorat
Jendral Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2007. PPIP
merupakan program yang dilaksanakan untuk mendukung kebijakan
pemerintah dalam pengentasan kemiskinan khususnya di wilayah perdesaan.
Pelaksanaan PPIP berbasis pada pemberdayaan masyarakat yang dalam
kegiatannya meliputi fasilitasi dan mobilisasi masyarakat sehingga
masyarakat mampu melakukan identifikasi permasalahan ketersediaan
akses ke infrastruktur dasar, menyusun perencanaan dan melaksanakan
pembangunan Infrastruktur yang akan dibangun bergantung pada
kemampuan masyarakat dalam memilih infrastruktur yang tepat, dengan
mempertimbangkan bahwa masing-masing karakteristik infrastruktur
memberikan dampak berbeda terhadap kawasan yang dibangun. PPIP
20
dilaksanakan dengan menggunakan dana Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
merupakan dana stimulan sebesar Rp 250 juta, untuk membiayai upaya
peningkatan kualitas dan akses pelayanan infrastruktur dasar dan
pengembangan ekonomi kawasan.”
Kusriyah (2015: 327) mengatakan bahwa “CSR atau Corporate Social
Responsibility adalah merupakan komitmen perusahaan untuk bertanggung
jawab secara social dan lingkungan terhadap dampak yang timbul akibat
beroperasinya perusahaan disuatu daerah. Tanggung jawab sosial
perusahaan saat ini telah menjadi istilah yang kerap kita dengar dalam suatu
perusahaan, walaupun banyak perdebatan tentang definisinya di antara para
ilmuan, prktisi maupun akademisi. Hal ini disebabkan karena CST adalah
konsep atau istilah yang berasal dari luar, permasalaha utamanya memang
adalah memberikan pemaknaan atau arti yang sesuai dengan pemahaman
orang Indonesia, karena kebanyakan hal atau istilah dari luar biasanya
disalah artikan oleh masyarakat indonesia, sehingga tujuan konsep yang
seharusnya malah melenceng dan berbeda dengan tujuan awalnya.”
Darmadi (2009: 180) mengemukakan bahwa “DPRD memiliki fungsi
budgeting, legislating dan controlling. Dalam menjalankan fungsi tersebut,
dipertegas dalam undang-undang bahwa fungsi tersebut dijalankan dalam
kerangka representasi rakyat yang diwakilinya di kabupaten/ kota (pasal 343
ayat 2). Dapat dikatakan, bila anggota DPRD memandang bahwa
masyarakat di daerahnya banyak yang hidup serba kekurangan, gizi buruk,
penyakit mewabah, kelaparan masih ada di antara penduduk di daerahnya,
maka anggota DPRD dengan fungsifungsi DPRD yang dimiliki mampu
mengambil langkah-langkah strategis untuk penanganannya. Bisa melalui
PERDA dalam penanganannya, kebijakan pemerintah lainnya yang harus
didorong oleh anggota DPRD dan sebagainya. Banyak hal yang dapat
dilakukan oleh anggota DPRD terkait dengan keberadaannya sebagai wakil
21
rakyat untuk membantu masyarakat miskin keluar dari kehidupan yang
selama ini melilitnya.”
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah yang telah diuraikan di atas,
dapat disimpulkan bahwa masalah dasar pengentasan kemiskinan bermula dari
sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang
alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak.
Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah,
melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas
dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
3.2 Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Sumber jurnal :
Rizqi, Ahmad. (2015). Kemiskinan Di Indonesia. Jurnal Masalah Sosial
Universitas Gunadarma, 1(1), 1-35. Retrieved from www.neliti.com on
September 2019.
Anil, Azmil. (2018). Faktor – Faktor Penghambat Perkembangan Potensi Sosial
Masyarakat Lokal Di Daerah Miskin. Jurnal Universitas Airlangga, 4(1), 1-
17. Retrieved from journal.unair.ac.id on September 2019.
Putri, Dwiandana Arya. (2013). Pengaruh Pendapatan, Jumlah Anggota Keluarga,
dan Pendidikan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin di
Kecamatan Gi Anyar. 56-121. Retrieved from www.neliti.com
Warto. (2011). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Upaya Penanggulangan
Kemiskinan. Jurnal Universitas Gajah Mada, 1(5), 17-62. Retrieved from
https://www.academia.edu on September 2019.
Suharto, Eko. (2009). Kemiskinan Dan Perlindungan Sosial Di Indonesia
Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. Jurnal
Pendidikan Masyarakat Bandung, 1(3), 1-70. Retrieved from
www.neliti.com on September 2019.
Mardimin. (1996). Indikator Kemiskinan Yang Harus Dipahami Oleh Orang
Awam. Jurnal Universitas Gajah Mada, 10(2), 13-58. Retrieved from
https://jurnal.ugm.ac.id on September 2019.
Setyawan, Iwan. (2016). Kemiskinan Dan Ketimpangan Sosial. Jurnal
Universitas Semarang, 1(6), 5-19. Retrieved from journals.usm.ac.id on
September 2019.
Rejekiningsih, Tri Wahyu. (2011). Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan Di
Kota Semarang Dari Dimensi Kultural. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
1(72), 2-66. Retrieved from https://www.academia.edu on September
2019.
Ikhsan. (1999). Pengaruh Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Indeks Pembangunan Manusia Di Provinsi Riau, Jurnal JOM Fekon,
1(4), 39-78. Retrieved from www.neliti.com on September 2019.
Sodiq, Fajrus. (2012). Permasalahan Dan Upaya Pengentasan Kemiskinan Di
Pedesaan. Jurnal Masalah Sosial Kemiskinan, 1(9), 5-33. Retrieved from
www.neliti.com on September 2019.
24
Kuraiyyim, Karimah. (2016). Dimensi Struktural Kemiskinan. Jurnal
Universitas Sebelas Maret, 3(4), 69-88. Retrieved from
https://jurnal.uns.ac.id on September 2019.
Jasmine, Sherly. (2016). Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Partisipasi
Masyarakat Di Provinsi Bali. Jurnal Masalah Sosial Universitas Sebeleas
Maret, 2(9), https://jurnal.uns.ac.id on September 2019.
Firdaus, Nur. (2013). Analisis Pengaruh Pendidikan, PDRB Perkapita dan Tingkat
Pengangguran Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Bali. Jurnal
Ekonomi Dan Pembangunan, 9(2), 3-44. Retrieved from
https://www.academia.edu on September 2019.
Tambunan. (2016). Keserakahan, Kemiskinan, Dan Kerusakan Lingkungan. 95-
119. Retrieved from www.neliti.com on September 2019.
Jumadi. (2014). Dinamika Kemiskinan dan Pengukuran Kerentanan Kemiskinan
dalam Upaya Melindungi Anak-anak dari Dampak Kemiskinan. Jurnal
Universitas Gajah Mada, 5(9), 1-22. Retrieved from
https://jurnal.ugm.ac.id on September 2019.
Prawoto, Nano. (2009). Memahami Kemiskinan Dan Strategi
Penanggulangannya. Jurnal Ekonomi Dan Studi Pembangunan, 1(2), 3- 15.
Retrieved from www.neliti.com on September 2019.
Huraerah. (2005). Dinamika Kemiskinan Rumah Tangga dan Hubungannya
dengan Penguasaan Lahan pada Berbagai Ekosistem. Jurnal Pendidikan
Dan Teknologi, 1(11), 54-78. Retrieved from www.neliti.com on September
2019.
Sayyidah, Rini. (2014). Perubahan Angka Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur
pada PRA dan Era Otonomi Daerah. Jurnal Penelitian Masalah Sosial,
11(3), 201-298. Retrieved from www.neliti.com on September 2019.
Susilowati, Sri Hery. (2018). Pendekatan Skala Ekivalensi Untuk Mengukur
Kemiskinan. Jurnal Penelitian Masalah Sosial Masyarakat, 1(4), 5-22.
Retrieved from www.neliti.com on September 2019.
Kartasasmita. (1996). Evaluasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal
Agribisnis Fakultas Pertanian Unita, 1(1), 39-55. Retrieved from
www.neliti.com on September 2019.
25
Sumarjo, Gatot. (2007). Peran Partisipasi Masyarakat Dalam Program
Pengentasan Kemiskinan. Jurnal FISIP Problematika Sosial, 4(5), 4-23.
Retrieved from www.neliti.com on September 2019.
Syawie Mochamad. (2012). Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. Jurnal Bulletin
Penelitian, 1(28), 30-66. Retrieved from https://www.academia.edu on
September 2019.
Krenhazia, Yemim. (2016). Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan
(PPIP) Terhadap Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Kecamatan Lembo
Kabupaten Morowali Utara. Jurnal Katalogis, 1(4), 184-196. Retrieved from
www.neliti.com on September 2019.
Kusriyah. (2015). Kebijakan Daerah Dalam Program Pengentasan Kemiskinan
Dalam. Rangka Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Jurnal Pembaharuan
Hukum, 1(3), 319-328. Retrieved from www.neliti.com on September
2019.
Darmadi. (2009). Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pilihan Investasi untuk
Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Problematika
Sosial Dan Cara Mengatasinya, 1(5), 179-232. Retrieved from
www.neliti.com on September 2019.
26
27