Anda di halaman 1dari 15

REFERAT I

ANIMAL MODELS IN PSYCHIATRY

Penyaji : Julius Martin Siagian


Pembimbing : dr. Mustafa M. Amin, M. Ked., M.Sc., Sp.KJ. (K)
Moderator : dr. M. Surya Husada, M. Ked., Sp.KJ.
Hari / Tgl. : Selasa / 26 Februari 2019
Pukul : 08.15 WIB
Tempat : Ruang Pertemuan Dept. Psikiatri Lt. 3 RS-USU

I. PENDAHULUAN

Penelitian pada hewan memungkinkan para peneliti untuk


memanipulasi dan mengukur perilaku dan proses biologis yang
berhubungan dengan psikiatri. Dalam psikiatri penelitian pada hewan
terbagi dalam dua kategori besar. Pertama, dasar penelitian adalah
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang psikologis dan proses
persarafan saat ini, dalam konteks spesies yang spesifik dengan
menggunakan teknik pendekatan yang baru dan menjanjikan. Kedua,
guna penelitian yaitu pada eksperimen hewan yang digunakan sebagai
contoh manusia dalam psikiatri, baik untuk membantu mengidentifikasi
target yang baru dalam pengembangan pengobatan atau untuk menjaga
efektivitas tes praklinis tentang gabungan tingkah laku yang dianggap
berhubungan dengan gangguan kejiwaan. 1
Jelas ada perbedaan substansial antara manusia dan manusia
yang bukan primata dan tikus, dimana spesies jenis ini yang paling sering
digunakan dalam penelitian dengan hewan. Perbedaan biologis mungkin
mendasari perbedaan ini, termasuk korteks yang lebih berkembang dan
prefrontal korteks dibandingkan dengan manusia yang bukan primata dan
terutama tikus. Meskipun perbedaan-perbedaan ini, ada banyak

1
kesamaan antara manusia dan hewan eksperimen dalam hal fungsional
dan biologis.1
Perkembangan dari model hewan pada penyakit psikiatri tetap
menjadi tantangan karena pemahaman kita yang masih buruk dari
etiopatogensis dan patofisiologi tentang gangguan tersebut. Hampir tidak
ada tujuan pengukuran dan ciri biologi yang dapat dipergunakan untuk
diagnosis psikiatri. Selain itu, sebagian besar gejala psikiatri (mis.,
halusinasi, obsesi, delusi, rasa bersalah) adalah tentang keunikan
manusia dan dapat disimpulkan dengan keterbatasan yang signifikan
pada model hewan. Bahwa, tidak penting secara nyata, sebagai patokan
bahwa perilaku tikus yang abnormal harus atau bisa sejalan dengan
perilaku manusia yang abnormal. Untuk semua alasan ini, saat ini ada
kepercayaan konsensual yang berkembang dari contoh yang meniru
seluruh sindrom psikiatri, seperti skizofrenia, gangguan bipolar atau
gangguan depresif mayor, yang hampir tidak mungkin pada hewan yang
lebih rendah. Bagaimanapun, kita harus berpikir dalam pikiran kita bahwa
tidak ada model hewan dari penyakit manusia yang dapat melakukan itu,
bahkan untuk penyakit organik seperti diabetes, dengan semua
komplikasinya.2
Model hewan kemudian dapat digunakan secara paralel untuk
menentukan bagaimana dampak neuropatologi atau patofisiologi yang
dipicu secara eksperimental. Meskipun model hewan sering dirancang
untuk memahami gejala penyakit (mis., psikosis atau kecemasan),
mungkin lebih bermanfaat untuk mempelajari faktor-faktor penentu
endophenotype.3

Pada referat ini akan dibahas mengenai animal model,


penerapan animal model dalam penelitian psikiatri, animal model
pada skizofrenia dan depresi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1. Animal Model

Model hewan banyak dipergunakan dalam penelitian biomedis


karena kemampuannya untuk meniru beberapa proses fisiologis dan
patologis manusia. Model ini dapat memberikan pengetahuan secara
signifikan ke dalam dasar molekuler dan seluler penyakit manusia, yang
berkontribusi pada perkembangan terapi baru dan menggabungkan studi
farmakologis praklinis.7
Contohnya, sejak paruh pertama abad ke-20, eksperimental
autoimun ensefalomielitis (EAE) menggunakan model hewan untuk
multiple sclerosis, penyakit demielinasi inflamasi autoimun sistem saraf
pusat. Eksperimen dilakukan pertama kali pada monyet dan kemudian
pada spesies lain, termasuk tikus, dengan menggunakan peptida
ensefalitogenik yang berbeda. Namun, model gangguan psikiatri jauh
lebih kompleks daripada penyakit lain seperti multiple sklerosis, yang
terutama ditandai dengan gejala motorik dan sensorik. 7
Sebaliknya, ciri bersangkutan lainnya dapat dimodelkan, membuat
model hewan sangat berguna dalam psikiatri. Contohnya, tikus yang biasa
berhubungan dengan kecemasan termasuk eksplorasi dan konflik pola
pikir baik penghindaran pendekatan yang menunjukkan face validity dan
predictive validity untuk gangguan kecemasan pada manusia.7
Penelitian genetika psikiatri adalah sifatnya dua arah, pada studi
manusia dan hewan menjadi lebih erat dihubungkan sebagai teknik untuk
memanipulasi genetik memungkinkan untuk mengeksplorasi lebih halus
fenotipe dari penyakit. Bagaimanapun sinergi ini, menyoroti pentingnya
mempertimbangkan cara pendekatan kita dalam hubungan genotipe-
fenotipe. Secara khusus, membagi nosologis dari penyakit psikiatri, yang
secara klinis berhubungan, secara tidak langsung dapat diwujudkan pada
model hewan. Contohnya, pada kriteria yang luas untuk banyak gangguan
psikiatri, tikus tidak akan pernah sepenuhnya menyerah; dan juga tikus
akan mempunyai rasa merenung dan bersalah, berpikir bunuh diri, atau
berbicara cepat. Bahkan, model hewan telah dan terus memberikan

3
sarana untuk mengeksplorasi dimensi gangguan psikiatri untuk
mengidentifikasi sirkuit saraf dan mekanisme yang mendasari fenotipe
penyakit yang bersangkutan. Dengan demikian, penelitian genetik dari
penyakit psikiatri akan menghasilkan pengetahuan hebat jika upaya terus
berlanjut dalam mengidentifikasi dan menggunakan fenotipe yang secara
biologi sah pada seluruh spesies.8
Salah satu bidang penelitian yang dimulai pada model hewan dan
sejak itu telah menarik minat secara substansial dalam penelitian pada
manusia adalah peran yang disebut "sosial" neuropeptida, oksitosin dan
vasopresin, dan potensi peran mereka dalam perilaku sosial manusia. 8

2.2 Penerapan Animal Models dalam Penelitian Psikiatri

Secara umum, fungsi dari model hewan dalam aspek dari


gangguan psikiatri pada manusia dapat dinilai dengan tiga kriteria.
 Face validity mengacu pada sejauh mana suatu perilaku yang
dipelajari pada hewan, yang mirip perilaku pada manusia yang
dimaksudkan untuk dimodelkan.
 Predictive validity mengacu pada sejauh mana efek obat dalam
model hewan dalam memprediksi efektifitas klinis pada pasien
psikiatri, dan model yang ideal akan memiliki tingkat positif palsu
dan negatif palsu yang rendah.
 Construct validity mengacu pada sejauh mana model hewan
1
menghasilkan etiologi pada gangguan psikiatri manusia
Gambar 1. Dikutip dari: Jonkman S, Kenny PJ, Animal
Model in

4
Psychiatry. In : Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Tenth ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2017

Mengikuti pedoman terbaru dari NIMH (National Institute of Mental


Health), pada bab ini disusun oleh deskripsi model hewan yang tersedia
dalam lima kelas gejala, yang dapat diamati di seluruh gangguan psikiatri. 1
 Negative Valence.
- Perilaku defensif.
- Perilaku depresif.
 Positive Valence.
- Mania.
- Impulsif.
- Perilaku kompulsif.
- Makan tidak normal.
- Penyalahgunaan zat.
- Pemberian obat sendiri.
 Cognition.
 Social Functioning.
 Sleep and Aurosal. 1

Strategi yang lebih inklusif, menggunakan temuan klinis dan


epidemiologis untuk mengembangkan model hewan yang menyediakan
titik masuk untuk menyelidiki dasar neurobiologis dari gangguan psikiatri.
Tujuan dari model hewan dalam penelitian psikiatris adalah untuk
menyederhanakan masalah yang tidak dapat dipecahkan karena banyak
faktor yang perlu diselidiki untuk sepenuhnya memahami gangguan.
Etiologi dan simtomatologi gangguan seperti skizofrenia, depresi, dan
kecemasan sangat kompleks. Namun, model komponen spesifik dari
masing-masing gangguan ini dapat ditetapkan pada hewan percobaan
dan dapat mencapai empat tujuan. 3

2.3. Animal Model pada Skizofrenia

5
Skizofrenia adalah gangguan yang merusak dengan onset yang
khas antara akhir tahun remaja dan awal tiga puluhan. Studi kembar dan
adopsi mengkonfirmasi bahwa skizofrenia sangat dipengaruhi secara
genetik, tetapi genetika telah terbukti sangat kompleks, dengan resiko
yang timbul dari interaksi berbagai variasi genetik dengan stokastik dan
faktor lingkungan. Tiga kelompok gejala utama - gejala positif, negatif, dan
kognitif telah di identifikasi dalam skizofrenia.4
Gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi dianggap sebagai
beberapa yang paling sulit di modelkan pada hewan. Perilaku hewan yang
sedikit mirip dengan perilaku manusia yang di modelkan dapat memiliki
construct validity dalam memodelkan patologi saraf yang mendasari gejala
perilaku. Skizofrenia, digunakan sebagai contoh dalam bagian ini,
didiagnosis dengan gejala positif (halusinasi dan delusi) dan negatif
(anhedonia, penarikan sosial, alogia), tetapi juga ditandai dengan defisit
kognitif.3

2.3.1. Generalisasi Animal Model pada Skizofrenia

Boleh dikatakan model hewan genetik dikembangkan dari mutasi


manusia dengan penetrasi tinggi, kandidat yang baik dalam memuaskan
construct validity. Sebagai contoh, kromosom 22q11.2 mikrodelesi yang
menghasilkan velocardiofacial syndrome dikaitkan dengan sindrom seperti
skizofrenia pada sekitar 30% kasus. Tikus yang kekurangan gen sesuai
wilayah daerah genomnya tikus tersebut sudah dihasilkan. Namun, disini
kehati-hatian diperlukan, karena banyak pasien dengan penghilangan
diagnosa, bukan dengan skizofrenia, tetapi dengan gangguan bipolar atau
salah satu dari beberapa sindrom psikiatri lainnya, dan pekerjaan, sedang
dilakukan untuk mengidentifikasi gen yang dihapus yang menghasilkan
kelainan perilaku yang berkelanjutan dengan model tikus. 4
Sebagai contoh, tikus transgenik baru-baru ini dikembangkan untuk
menguji hipotesis bahwa beberapa gejala dari skizofrenia terjadi akibat

6
hipofungsi NMDA glutamate receptors yang dinyatakan oleh cortical
GABAergic interneurons. Pada tikus ini, reseptor NMDA subunit NR1
secara selektif telah dihilangkan disekitar setengah dari interneuron
kortikal di awal perkembangan postnatal. Tikus ini menunjukkan defisit
dalam perkawinan, membangun sarang, dan novelty-induced
hyperlocomotion. Tikus tidak diragukan lagi sebagai alat yang berguna
untuk memeriksa biologis dan konsekuensi perilaku dari hipofungsi
reseptor NMDA.4

2.3.2. Model Farmakologi

Pendekatan yang paling umum untuk mengembangkan model


hewan telah mengeksploitasi pengobatan farmakologis atau keadaan
yang diinduksi obat yang menghasilkan gejala seperti skizofrenia di
manusia non skizofrenia. Model ini umumnya memiliki beberapa prediksi
atau membangun validitas dan telah berperan dalam menetapkan tiga
teori yang paling menonjol skizofrenia: hipotesis dopamin, serotonin (atau
hipotesis serotonin-dopamin), dan hipotesis glutamat. 5
Upaya lain telah menggunakan farmakologi, alat genetik, atau lesi
untuk merekapitulasi gejala skizofrenia. Kemanjuran obat antagonis
reseptor dopamin D2 dalam mengobati gejala positif skizofrenia secara
historis memunculkan berbagai "hipotesis dopamin". Selanjutnya,
pengamatan itu adalah NMDA glutamate receptor antagonists, seperti
pensiklidin (PCP) dan ketamin, menghasilkan gejala psikotik dan
gangguan kognitif mengingatkan pada skizofrenia memunculkan
"hipotesis glutamat." Beragam model hewan dengan demikian didasarkan
pada manipulasi fungsi dopamin atau glutamat. Contruct validity dari
model ini membutuhkan argumen yang kuat, namun, karena diduga
adanya kelainan dopaminergik atau glutamatergik pada skizofrenia
sehingga tidak dibentuk dengan tepat. 4

 Dopamine-Agonist Model

7
Dalam beberapa tahun terakhir, hipotesis dopamin dari skizofrenia
telah berkembang menjadi hipotesis yang lebih sempit bahwa sistem
dopamin mesolimbik, berbeda dari sistem dopamin nigrostriatal, paling
berhubungan dengan skizofrenia. Sistem dopamin nigrostriatal sekarang
dianggap paling berhubungan dengan efek samping diskinetik dari
pengobatan antipsikotik.5
Baik agonis dan antagonis dopamin telah dipelajari dalam contoh
tikus yang digunakan untuk menilai penghambatan laten. Sebagian besar
contoh ini menggunakan tiga tahap yang berbeda: prapaparan,
pengondisian, dan pengekspresian. Salah satu aspek yang paling menarik
dari contoh penghambatan laten adalah bahwa antipsikotik tipikal dan
atipikal benar-benar dapat meningkatkan penghambatan laten pada tikus
ketika parameter pengujian disesuaikan untuk menghasilkan tingkat
rendah hambatan laten pada hewan kontrol. Oleh karena itu, contoh
penghambatan laten berbeda dari sebagian besar model lain pada tikus
dalam hal ini memungkin untuk menilai efek dari obat antipsikotik diduga
contoh penghambatan laten tanpa terlebih dahulu harus mengganggu
kinerja dengan pemberian obat atau dengan manipulasi lain. 5

 Serotonin-Agonist Model
Hipotesis ini ditimbulkan oleh kesamaan antara efek LSD (lysergic
acid diethylamide) pada persepsi dan afek yang labil dan gejala tahap
awal psikosis seperti skizofrenia. Studi terbaru yang secara sistematis
membandingkan keadaan psikotik yang diinduksi halusinogen dengan
tahap awal gangguan psikotik telah mengkonfirmasi tumpang tindih
substansial dalam kedua sindrom tersebut. Meskipun terdapat banyak
kesamaan yang jelas, mendorong dua perbedaan utama yang meragukan
meskipun pada kesimpulannya diterima secara luas bahwa kelas obat ini
tidak memberikan model yang berguna bagi skizofrenia. Dua pengamatan
ini melemahkan predictive validity model halusinogen dari sindrom
skizofrenia. Agonis 5-HT2A halusinogenik seperti LSD dan meskaline
menghasilkan defisit serupa yang mengejutkan pada kebiasaan tikus. 5

8
Construct validity model ini didasarkan pada bukti kuat bahwa
kedua gejala skizofrenia dan efek halusinogen mencerminkan respons
berlebihan terhadap rangsangan sensorik dan kognitif, secara teoritis
dihasilkan dari kegagalan dalam penyaringan normal atau proses gerbang
seperti habituasi, PPI (prepulse inhibition), atau penghambatan laten.5

 Glutamatergic Model
Neurotransmisi glutamat disfungsional telah terlibat dalam
skizofrenia, terutama karena antagonis nonkompetitif dari subtipe reseptor
glutamat NMDA, termasuk PCP (phencyclidine) dan ketamin,
menghasilkan sindrom perilaku pada manusia sehat yang mirip dengan
gejala skizofrenia dan sering salah didiagnosis sebagai skizofrenia akut.
Pada tikus dan monyet, antagonis NMDA nonkompetitif, termasuk PCP
dan ketamin, menghasilkan berbagai kelainan perilaku yang memiliki
hubungan penting dengan simtomatologi skizofrenia. Obat-obatan ini
menghasilkan hiperaktif lokomotorik dan perilaku stereotipe. Meskipun
mereka juga meningkatkan neurotransmisi dopamin di daerah limbik, efek
aktivasi motorik mereka tampaknya tidak tergantung dopamin. 5
Juga seperti pada skizofrenia, tikus yang diobati dengan PCP
menunjukkan defisit yang nyata dalam perilaku sosial. Meskipun tipikal
antipsikotik tidak memiliki efek yang dapat diandalkan pada gangguan
yang diinduksi PCP dalam perilaku sosial pada tikus, antipsikotik atipikal
clozapine, sertindole dan olanzapine tampaknya membalikkan efek
sebagian.5

2.4. Animal Model pada Depresi

Depresi adalah penyebab utama kecacatan seumur hidup


prevalensi sekitar 15-20%. Menurut World Health Organization, depresi
unipolar diproyeksikan untuk mencapai tempat kedua sebagai kontributor
utama beban penyakit global pada tahun 2020. Depresi dianggap
berhubungan dengan stress gangguan menggaris bawahi peran stres

9
sebagai penentu utama dalam etiologi penyakit. Diperkirakan 40-50%
resiko untuk depresi ditentukan secara genetik. 6
Meskipun banyak yang telah dipelajari tentang sirkuit saraf dari
mood berdasarkan pada studi pencitraan otak, dan sejumlah gangguan
neurokimia dan neuroendokrin telah dijelaskan pada pasien yang
mengalami depresi, tidak ada kelainan yang terbukti cukup kuat atau
konsisten untuk mendiagnosis depresi pada manusia atau untuk
memvalidasi model hewan. Selain itu, depresi sering ditandai oleh
aktivitas berlebihan dari aksis hypothalamic pituitary-adrenal (HPA) yang
mengatur respons stres.4
Kelainan tersebut tidak secara universal diamati pada depresi
manusia, juga tidak cukup spesifik untuk memberikan kriteria diagnostik.
Meskipun demikian, mereka cukup kuat untuk dimanfaatkan secara
bermanfaat baik dalam memproduksi dan menguji model hewan. 4
Perilaku yang sering digunakan untuk membentuk model depresi
pada tikus antara lain:
 Kognisi dan emosi.
 Perilaku putus asa: Forced Swim Test (FST) dan Tail Suspension
Test (TST).
 Keputusasaan.
 Sindrom seperti ansietas.
 Ansietas dan akitivitas lokomotor.
 Anhedonia. 9

2.4.1. Generalisasi Animal Model pada Depresi

Awalnya, model hewan pada depresi telah dirancang sebagai tes


skrining untuk menilai efikasi dari obat antidepresan. Tes-tes ini
mengabaikan face validity tetapi memiliki predictive validity yang kuat
mengenai identifikasi zat antidepresan yang efisien. Model hewan pada
depresi telah ditetapkan dalam berbagai spesies. 6

10
Beberapa contoh stres kronis telah digunakan, berusaha untuk
mencapai ukuran dari construct validity. Stres kronis ringan atau stres
kronis yang tidak dapat diprediksi, melibatkan subjek dari tikus normal ke
serangkaian stres fisik yang berulang (mis., menahan diri, goncangan
kaki, suhu dingin) selama beberapa minggu atau lebih. Pada akhir stres,
hewan menunjukkan tanda-tanda anhedonia (mis., pengurangan sukrosa)
(face validity), yang dapat terbalik dengan kronik, tapi tidak akut,
pemberian obat antidepresan (predictive validity).4
Chronic social defeat stress melibatkan tikus yang mengalami
serangan subordinasi sosial berulang-ulang, setelah itu tikus tersebut
menunjukkan sejumlah gejala seperti depresi, termasuk anhedonia dan
penarikan sosial, yang dapat dibalik dengan antidepresan kronis (bukan
akut).4
Chronic social defeat juga menginduksi sindrom metabolik pada
tikus yang ditandai dengan penambahan berat badan dan resistensi
insulin dan leptin, konsisten dengan kelainan homeostatis yang diamati
pada depresi.4
Studi terbaru juga menunjukkan bahwa paparan early life stress
dapat secara terus-menerus mengubah metilasi DNA pada otak tikus. 9

2.4.2. Lesion Model

Pasien yang menunjukkan depresi atau sindrom kejiwaan lainnya


sering menunjukkan perubahan pada struktur yang terkait dengan fungsi
penciuman. Kinerja penciuman terbukti berkurang pada pasien depresi
bersama-sama dengan perbedaan morfologis di daerah proyeksi
penciuman, terlihat di amigdala. Dengan demikian, tikus yang telah
mengalami bulbektomi telah dianggap sebagai model depresi yang
gelisah. Setelah ablasi dari olfactory bulbectomy, tikus menunjukkan
hilangnya bau khas tetapi juga gangguan aksis limbic-hyphotalamic
dengan konsekuensi perubahan perilaku, neurokimia, neuroendokrin dan

11
neuroimun, yang semuanya mungkin menyerupai perubahan pada pasien
yang mengalami depresi.10

2.4.3. Model Farmakologi

Model farmakologis awal seperti aktivitas antidepresan memiliki


dampak signifikan pada pembentukan teori depresi monoamina, yang
mengasumsikan peningkatan kadar serotonin dan norepinefrin akan
meningkatkan gejala depresi. Model memberikan predictive validity yang
baik dalam hal aktivitas antidepresan berbasis monoamine meskipun
mereka tidak memodelkan gejala inti dari depresi. Reserpin, obat
antihipertensi dan antipsikotik, adalah mampu menipiskan monoamina
otak secara nonselektif dan dengan demikian menginduksi sindrom
hipomotoritas alat gerak dan mengurangi suhu tubuh pada tikus. Model
reserpin adalah berdasarkan kemampuan antidepresan untuk
membalikkan efek penghambatan reserpin pada motilitas pada tikus. 6
Model farmakologis ditunjukkan tidak hanya responsif untuk
antidepresan tetapi juga gejala khas depresi adalah contoh penarikan
psikostimulan. Pada manusia, penarikan dari psikostimulan kronis
menghasilkan gejala yang memiliki perilaku dan fisiologis yang kuat sama
dengan depresi termasuk berkurangnya minat atau kesenangan. Oleh
karena itu, pemeriksaan efek perilaku penarikan amphetamin pada tikus
dapat memberikan pengetahuan tentang mekanisme neurobiologis yang
mendasarinya dan membantu pada perkembangan dari model hewan
pada depresi yang sensitif untuk agen antidepresan. Setelah penarikan
obat-obatan seperti amfetamin atau kokain, tikus menunjukkan perubahan
perilaku yang sangat analog dengan beberapa aspek depresi pada
manusia, seperti defisit reward (yaitu peningkatan ambang reward otak)
dan perilaku yang berlawanan dengan yang terlihat setelah pengobatan
dengan obat antidepresan, seperti penurunan imobilitas di FST dan TST. 6

12
KESIMPULAN

1. Penelitian pada hewan memungkinkan para peneliti untuk mengukur


perilaku dan proses biologis yang berhubungan dengan psikiatri.
2. Model hewan dapat memberikan pengetahuan secara signifikan ke
dalam dasar molekuler dan seluler penyakit manusia, yang
berkontribusi pada perkembangan terapi baru dan menggabungkan
studi farmakologis praklinis.
3. Model hewan dalam penelitian psikiatri adalah bertujuan untuk
menyederhanakan masalah yang tidak dapat dipecahkan karena
banyak faktor yang perlu diselidiki untuk sepenuhnya memahami
gangguan.
4. Pada skizofrenia, model hewan ini umumnya memiliki beberapa
prediksi atau membangun validitas dan telah berperan dalam
menetapkan tiga teori yang paling menonjol skizofrenia: hipotesis
dopamin, serotonin (atau hipotesis serotonin-dopamin), dan hipotesis
glutamat.
5. Pada depresi, model hewan telah dirancang sebagai tes skrining
untuk menilai efikasi dari obat antidepresan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Jonkman S, Kenny PJ, Animal Model in Psychiatry. In : Kaplan &


Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Tenth ed.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2017 ; p. 889-905.
2. Salgado JV, Sandner G, A Critical Overview of Animal Models of
Psychiatric Disorder : Challenge and Perspectives. In : Revista
Brasileira de Psiquiatria. Associacao Brasileira de Psiquiatria. 2013 ;
35: S77-S81.
3. Moore H, Robbins TW, Modeling Psychiatric Disorders in
Experimental Animals. In : Tasman A, Kay J, Lieberman JA, First MB,
Riba MB, Psychiatry Fourth ed. Vol.1. John Wiley & Son, Ltd; 2015 ;
p.276-289.
4. Nestler EJ, Hyman SE, Animal Models of Neuropsychiatric Disorders.
Nat Neurosci, 2010 October ; 13(10); 116-1169.
5. Geyer MA, Moghaddam B, Chapter 50: Animal Models Relevant to
Schizophrenia Disorders. In : Davis KL, Charney D, Coyle JT,
Nemeroff C, Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of
Progress. American College of Neuropsychopharmacology. 2002 ;
p.689-701.
6. Deussing JM, Animal Models of Depression. Tornell J, McCulloch A,
Drug Discovery Today: Disease Models Disorders of The Central
Nervous System. 3(4), Elsevier Ltd ; 2006 ; p.375-383.
7. Teixeira AL, Quevedo J, Animal Models in Psychiatry. In : Revista
Brasileira de Psiquiatria. Associacao Brasileira de Psiquiatria. 2013 ;
35: S73-S74.

14
8. Donaldson ZR, Hen R, From Psychiatric Disorders to Animal Models:
a Bidirectional and Dimensional Approach. Biol Psychiatry : 2015
January 1; 77(1): 15-21.
9. Wang Q, Timberlake MA, Prall K, Dwivedi Y, The Recent Progress in
Animal Models of Depression. Progress in
Neuropsychopharmacology & Biological Psychiatry 77 Elsevier Inc.
(2017) 99–109.
10. Dedic N, Walser SM, Deussing JM, Mouse Models of Depression In :
Uehara T, Psychiatric Disorders – Trends and Developments. The
Author(s). Licensee IntechOpen; 2011; p 185-222.

15

Anda mungkin juga menyukai