I. PENDAHULUAN
1
kesamaan antara manusia dan hewan eksperimen dalam hal fungsional
dan biologis.1
Perkembangan dari model hewan pada penyakit psikiatri tetap
menjadi tantangan karena pemahaman kita yang masih buruk dari
etiopatogensis dan patofisiologi tentang gangguan tersebut. Hampir tidak
ada tujuan pengukuran dan ciri biologi yang dapat dipergunakan untuk
diagnosis psikiatri. Selain itu, sebagian besar gejala psikiatri (mis.,
halusinasi, obsesi, delusi, rasa bersalah) adalah tentang keunikan
manusia dan dapat disimpulkan dengan keterbatasan yang signifikan
pada model hewan. Bahwa, tidak penting secara nyata, sebagai patokan
bahwa perilaku tikus yang abnormal harus atau bisa sejalan dengan
perilaku manusia yang abnormal. Untuk semua alasan ini, saat ini ada
kepercayaan konsensual yang berkembang dari contoh yang meniru
seluruh sindrom psikiatri, seperti skizofrenia, gangguan bipolar atau
gangguan depresif mayor, yang hampir tidak mungkin pada hewan yang
lebih rendah. Bagaimanapun, kita harus berpikir dalam pikiran kita bahwa
tidak ada model hewan dari penyakit manusia yang dapat melakukan itu,
bahkan untuk penyakit organik seperti diabetes, dengan semua
komplikasinya.2
Model hewan kemudian dapat digunakan secara paralel untuk
menentukan bagaimana dampak neuropatologi atau patofisiologi yang
dipicu secara eksperimental. Meskipun model hewan sering dirancang
untuk memahami gejala penyakit (mis., psikosis atau kecemasan),
mungkin lebih bermanfaat untuk mempelajari faktor-faktor penentu
endophenotype.3
2
2.1. Animal Model
3
sarana untuk mengeksplorasi dimensi gangguan psikiatri untuk
mengidentifikasi sirkuit saraf dan mekanisme yang mendasari fenotipe
penyakit yang bersangkutan. Dengan demikian, penelitian genetik dari
penyakit psikiatri akan menghasilkan pengetahuan hebat jika upaya terus
berlanjut dalam mengidentifikasi dan menggunakan fenotipe yang secara
biologi sah pada seluruh spesies.8
Salah satu bidang penelitian yang dimulai pada model hewan dan
sejak itu telah menarik minat secara substansial dalam penelitian pada
manusia adalah peran yang disebut "sosial" neuropeptida, oksitosin dan
vasopresin, dan potensi peran mereka dalam perilaku sosial manusia. 8
4
Psychiatry. In : Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Tenth ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2017
5
Skizofrenia adalah gangguan yang merusak dengan onset yang
khas antara akhir tahun remaja dan awal tiga puluhan. Studi kembar dan
adopsi mengkonfirmasi bahwa skizofrenia sangat dipengaruhi secara
genetik, tetapi genetika telah terbukti sangat kompleks, dengan resiko
yang timbul dari interaksi berbagai variasi genetik dengan stokastik dan
faktor lingkungan. Tiga kelompok gejala utama - gejala positif, negatif, dan
kognitif telah di identifikasi dalam skizofrenia.4
Gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi dianggap sebagai
beberapa yang paling sulit di modelkan pada hewan. Perilaku hewan yang
sedikit mirip dengan perilaku manusia yang di modelkan dapat memiliki
construct validity dalam memodelkan patologi saraf yang mendasari gejala
perilaku. Skizofrenia, digunakan sebagai contoh dalam bagian ini,
didiagnosis dengan gejala positif (halusinasi dan delusi) dan negatif
(anhedonia, penarikan sosial, alogia), tetapi juga ditandai dengan defisit
kognitif.3
6
hipofungsi NMDA glutamate receptors yang dinyatakan oleh cortical
GABAergic interneurons. Pada tikus ini, reseptor NMDA subunit NR1
secara selektif telah dihilangkan disekitar setengah dari interneuron
kortikal di awal perkembangan postnatal. Tikus ini menunjukkan defisit
dalam perkawinan, membangun sarang, dan novelty-induced
hyperlocomotion. Tikus tidak diragukan lagi sebagai alat yang berguna
untuk memeriksa biologis dan konsekuensi perilaku dari hipofungsi
reseptor NMDA.4
Dopamine-Agonist Model
7
Dalam beberapa tahun terakhir, hipotesis dopamin dari skizofrenia
telah berkembang menjadi hipotesis yang lebih sempit bahwa sistem
dopamin mesolimbik, berbeda dari sistem dopamin nigrostriatal, paling
berhubungan dengan skizofrenia. Sistem dopamin nigrostriatal sekarang
dianggap paling berhubungan dengan efek samping diskinetik dari
pengobatan antipsikotik.5
Baik agonis dan antagonis dopamin telah dipelajari dalam contoh
tikus yang digunakan untuk menilai penghambatan laten. Sebagian besar
contoh ini menggunakan tiga tahap yang berbeda: prapaparan,
pengondisian, dan pengekspresian. Salah satu aspek yang paling menarik
dari contoh penghambatan laten adalah bahwa antipsikotik tipikal dan
atipikal benar-benar dapat meningkatkan penghambatan laten pada tikus
ketika parameter pengujian disesuaikan untuk menghasilkan tingkat
rendah hambatan laten pada hewan kontrol. Oleh karena itu, contoh
penghambatan laten berbeda dari sebagian besar model lain pada tikus
dalam hal ini memungkin untuk menilai efek dari obat antipsikotik diduga
contoh penghambatan laten tanpa terlebih dahulu harus mengganggu
kinerja dengan pemberian obat atau dengan manipulasi lain. 5
Serotonin-Agonist Model
Hipotesis ini ditimbulkan oleh kesamaan antara efek LSD (lysergic
acid diethylamide) pada persepsi dan afek yang labil dan gejala tahap
awal psikosis seperti skizofrenia. Studi terbaru yang secara sistematis
membandingkan keadaan psikotik yang diinduksi halusinogen dengan
tahap awal gangguan psikotik telah mengkonfirmasi tumpang tindih
substansial dalam kedua sindrom tersebut. Meskipun terdapat banyak
kesamaan yang jelas, mendorong dua perbedaan utama yang meragukan
meskipun pada kesimpulannya diterima secara luas bahwa kelas obat ini
tidak memberikan model yang berguna bagi skizofrenia. Dua pengamatan
ini melemahkan predictive validity model halusinogen dari sindrom
skizofrenia. Agonis 5-HT2A halusinogenik seperti LSD dan meskaline
menghasilkan defisit serupa yang mengejutkan pada kebiasaan tikus. 5
8
Construct validity model ini didasarkan pada bukti kuat bahwa
kedua gejala skizofrenia dan efek halusinogen mencerminkan respons
berlebihan terhadap rangsangan sensorik dan kognitif, secara teoritis
dihasilkan dari kegagalan dalam penyaringan normal atau proses gerbang
seperti habituasi, PPI (prepulse inhibition), atau penghambatan laten.5
Glutamatergic Model
Neurotransmisi glutamat disfungsional telah terlibat dalam
skizofrenia, terutama karena antagonis nonkompetitif dari subtipe reseptor
glutamat NMDA, termasuk PCP (phencyclidine) dan ketamin,
menghasilkan sindrom perilaku pada manusia sehat yang mirip dengan
gejala skizofrenia dan sering salah didiagnosis sebagai skizofrenia akut.
Pada tikus dan monyet, antagonis NMDA nonkompetitif, termasuk PCP
dan ketamin, menghasilkan berbagai kelainan perilaku yang memiliki
hubungan penting dengan simtomatologi skizofrenia. Obat-obatan ini
menghasilkan hiperaktif lokomotorik dan perilaku stereotipe. Meskipun
mereka juga meningkatkan neurotransmisi dopamin di daerah limbik, efek
aktivasi motorik mereka tampaknya tidak tergantung dopamin. 5
Juga seperti pada skizofrenia, tikus yang diobati dengan PCP
menunjukkan defisit yang nyata dalam perilaku sosial. Meskipun tipikal
antipsikotik tidak memiliki efek yang dapat diandalkan pada gangguan
yang diinduksi PCP dalam perilaku sosial pada tikus, antipsikotik atipikal
clozapine, sertindole dan olanzapine tampaknya membalikkan efek
sebagian.5
9
sebagai penentu utama dalam etiologi penyakit. Diperkirakan 40-50%
resiko untuk depresi ditentukan secara genetik. 6
Meskipun banyak yang telah dipelajari tentang sirkuit saraf dari
mood berdasarkan pada studi pencitraan otak, dan sejumlah gangguan
neurokimia dan neuroendokrin telah dijelaskan pada pasien yang
mengalami depresi, tidak ada kelainan yang terbukti cukup kuat atau
konsisten untuk mendiagnosis depresi pada manusia atau untuk
memvalidasi model hewan. Selain itu, depresi sering ditandai oleh
aktivitas berlebihan dari aksis hypothalamic pituitary-adrenal (HPA) yang
mengatur respons stres.4
Kelainan tersebut tidak secara universal diamati pada depresi
manusia, juga tidak cukup spesifik untuk memberikan kriteria diagnostik.
Meskipun demikian, mereka cukup kuat untuk dimanfaatkan secara
bermanfaat baik dalam memproduksi dan menguji model hewan. 4
Perilaku yang sering digunakan untuk membentuk model depresi
pada tikus antara lain:
Kognisi dan emosi.
Perilaku putus asa: Forced Swim Test (FST) dan Tail Suspension
Test (TST).
Keputusasaan.
Sindrom seperti ansietas.
Ansietas dan akitivitas lokomotor.
Anhedonia. 9
10
Beberapa contoh stres kronis telah digunakan, berusaha untuk
mencapai ukuran dari construct validity. Stres kronis ringan atau stres
kronis yang tidak dapat diprediksi, melibatkan subjek dari tikus normal ke
serangkaian stres fisik yang berulang (mis., menahan diri, goncangan
kaki, suhu dingin) selama beberapa minggu atau lebih. Pada akhir stres,
hewan menunjukkan tanda-tanda anhedonia (mis., pengurangan sukrosa)
(face validity), yang dapat terbalik dengan kronik, tapi tidak akut,
pemberian obat antidepresan (predictive validity).4
Chronic social defeat stress melibatkan tikus yang mengalami
serangan subordinasi sosial berulang-ulang, setelah itu tikus tersebut
menunjukkan sejumlah gejala seperti depresi, termasuk anhedonia dan
penarikan sosial, yang dapat dibalik dengan antidepresan kronis (bukan
akut).4
Chronic social defeat juga menginduksi sindrom metabolik pada
tikus yang ditandai dengan penambahan berat badan dan resistensi
insulin dan leptin, konsisten dengan kelainan homeostatis yang diamati
pada depresi.4
Studi terbaru juga menunjukkan bahwa paparan early life stress
dapat secara terus-menerus mengubah metilasi DNA pada otak tikus. 9
11
neuroimun, yang semuanya mungkin menyerupai perubahan pada pasien
yang mengalami depresi.10
12
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14
8. Donaldson ZR, Hen R, From Psychiatric Disorders to Animal Models:
a Bidirectional and Dimensional Approach. Biol Psychiatry : 2015
January 1; 77(1): 15-21.
9. Wang Q, Timberlake MA, Prall K, Dwivedi Y, The Recent Progress in
Animal Models of Depression. Progress in
Neuropsychopharmacology & Biological Psychiatry 77 Elsevier Inc.
(2017) 99–109.
10. Dedic N, Walser SM, Deussing JM, Mouse Models of Depression In :
Uehara T, Psychiatric Disorders – Trends and Developments. The
Author(s). Licensee IntechOpen; 2011; p 185-222.
15