Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGANTAR ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

“ASPEK HUKUM EUTHANASIA”


Digunakan untuk memenuhi sebagian dari salah satu tugas

Mata Kuliah Pengantar Etika dan Hukum Kesehatan

DOSEN :M. Hadyan Yunhas Purba., S.H.M.H

Disusun Oleh :

Dina Madani 181000041


Zulfa Hazra 181000042
Elida Sari N 181000043
Rizky Ari Gunawan Siregar 181000044
Risna Dewi Situmorang 181000045
Manisa 181000046
Zahira Fadhilah 181000047
Putri Fadhilah 181000049
Tasha Nadifa Goche 181000050
Tiara Hafifah Hasibuan 181000051

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek Hukum
Euthanasia”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi bahan bacaan pada perkuliahan Pengantar Etika dan
Hukum Kesehatan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak M. Hadyan Yunhas
Purba.,S.H.M.H, selaku dosen mata kuliah Pengantar Etika dan Hukum Kesehatan yang
membimbing dan mendukung kami dalam pengerjaan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami ucapkan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan
maupun informasi.

Medan, Maret 2020

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................3

1.3 Tujuan .......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Euthanasia……………................................................................4

2.2 Pengertian Euthanasia.........…..................................................................5

2.3 Jenis Euthanasia.........................................................................................6

2.4 Regulasi Euthanasia...................................................................................7

2.5 Kepatutan Euthanasia................................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................…………11

3.2 Saran...........................................................................................…………11

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah euthanasia bukan lagi masalah asing yang terdengar ditelinga. Euthanasia
diartikan sebagai perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk menghentikan
penderitaannya.
Secara umum perdebatan tentang setuju atau tidak setuju dengan euthanasia dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu:
a. Golongan pertama yang menyatakan tidak setuju dengan euthanasia dengan alasan
bahwa euthanasia pada hakekatnya tindakan bunuh diri yang secara tegas dilarang oleh
berbagai agama, dan atau dianggap sebagai suatu pembunuhan terselubung yang secara
tegas merupakan perbuatan melanggar hukum.
b. Golongan kedua yang setuju dengan euthanasia dengan alasan bahwa euthanasia adalah
hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia untuk menentukan hidupnya termasuk hak
untuk mati yang sejajar kedudukannya dengan hak untuk hidup. Dan diperkuat dengan
alasan bahwa keputusan euthanasia adalah keinginan dari diri sendiri pemohon
euthanasia.
Ditinjau dari aspek hak asasi manusia bahwa hak hidup merupakan hak fundamental yang
dimiliki oleh setiap manusia. Konsekuensi dari hak hidup ini adalah kewajiban bagi setiap
manusia untuk menjunjung tinggi kemuliaan hidup manusia. Dalam pasal 3 Deklarasi Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan
seseorang. Sedangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 9 ayat 1
menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf hidupnya. Pernyataan terhadap hak hidup dipertegas dalam Penjelasan Pasal 9 ayat 1 UU
No. 39 Tahun 1999 yaitu :
“Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau
orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi
kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan Pengadilan dalam kasus

1
pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut masih dapat
diizinkan”. Hanya pada dua hal tersebut inilah hak untuk hidup dapat dibatasi.
Secara yuridis berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, euthanasia belum
diatur secara jelas. Menurut pengertian kedokteran forensik, euthanasia adalah salah satu bentuk
pembunuhan, dimana seseorang dimatikan dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan orang
tadi. Pasal 344 KUHP menyebutkan bahwa “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang sangat tegas dan sungguh-sungguh, orang itu dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pasal 338, 340, 345 dan 359 KUHP dapat
juga dihubungkan dengan masalah euthanasia. Akan tetapi dalam pasal-pasal KUHP tersebut
masih belum memberikan batasan yang tegas mengenai pengaturan euthanasia.
Sejak tahun 1970-an, masalah euthanasia telah menjadi topik hangat yang diperdebatkan di
Belanda. Kasus berawal dari seorang dokter yang melakukan pembunuhan dengan niat
sebenarnya ‘mambantu pasien melepaskan diri dari derita berkepanjangan’, bahwa pasien
tersebut menderita sakit yang menbuatnya merasa sangat kesakitan dan tidak dapat disembuhkan.
Perbuatan ini dilakukan oleh dokter tersebut atas permintaan pasien, dan euthanasia dilakukan
dengan memberikan tablet dan suntikan. Kasus ini dihadapi olae Rb Utrecht, tanggal 11 Maret
1952, NJ 1952, 275. Rb Utrecht menjatuhkan pidana bersyarat 1 tahun. Vonis ini dikuatkan oleh
Hof. Rb yang menolak pembelaan yang diajukan terdakwa bahwa ia bertindak atas dorongan hati
nurani dengan mengargumentasikan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 293 Sr. (pasal 344
KUHP, pasal 556, 557, 558 Rancangan KUHP tahun 2004).
Kasus yang terjadi di Indonesia terkait dengan euthanasia yaitu kasus Siti Julaeha, seorang
pasien wanita yang telah koma selama setahun. Tidak sadarnya Siti Julaeha sejak manjalani
operasi kandungan di sebuah rumah sakit Jakarta Timur. Suaminya, Rudi Hartono mengajukan
permohonan euthanasia terhadap istrinya. Menurut pengakuan Rudi Hartono, pengambilan
keputusan euthanasia merupakan keputusan keluarga besarnya yang merasa tidak tega melihat
istrinya tersiksa terus. Keputusan ini semakin diperkuat setelah dia mendengar pernyataan
seorang dokter Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo yang menyatakan bahwa istrinya
telah mengalami keadaan vegetatif state, tipis kemungkinan harapan Siti Julaeha untuk sembuh
(Tempo Interaktif, 15 April 2005).
Menurut Farid Anfasal Moeloek selaku Ketua Hukum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia, euthanasia sampai saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang

2
berkembang dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan euthanasia tidak sesuai dengan
etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum pidana positif di Indonesia. Selama ini
Ikatan Dokter Indonesia telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk tidak
melakukan euthanasia di Indonesia. Memperhatikan kondisi riil di masyarakat, banyak pasien
yang dalam keadaan sangat menderita maupun keuangan tidak mampu ditanggung lagi oleh
keluarga pasien, maka sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
meringankan beban pengobatan bagi keluarga pasien. (Tempo Interaktif, 2004).
Beberapa realitas di atas menunjukkan adanya kasus-kasus euthanasia yang terjadi di
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Euthanasia adalah perdebatan klasik yang sampai
saat ini masih menjadi topik hangat yang membagi dunia dalam pro dan kontra. Indonesia adalah
salah satu negara yang secara eksplisit tidak memiliki pengaturan tentang euthanasia, padahal
beberapa kasus telah mencuat kepermukaan realitas sosial masyarakat. Masyarakat dan
khususnya aparat penegak hukum membutuhkan pengaturan yang tegas tentang euthanasia
sehingga terjamin kepastian hukum.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah euthanasia?
2. Apa pengertian euthanasia?
3. Apa jenis-jenis euthanasia?
4. Bagaimana regulasi euthanasia?
5. Bagaimana kepatutan euthanasia?

1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana sejarah euthanasia
2. Mengetahui apa pengertian euthanasia
3. Mengetahui apa jenis-jenis euthanasia
4. Mengetahui bagaimana regulasi euthanasia
5. Mengetahui bagaimana kepatutan euthanasia

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Euthanasia


Mengenai masalah euthanasia bila ditarik kebelakang boleh dikatakan sudah ada sejak
kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sementara pasien
sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian, tidak jarang pasien memohon
agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain
keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan
pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah
euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati
secara baik (mati enak) (Prakoso & Nirwanto, 1984).
Secara bahasa, Euthanasia berasal dari bahsa Yunani, yaitu eu yang berarti bagus, dan
terhormat, sedangkanthanatos yang berarti mati. Secara keseluruhan kata-kata tersebut dapat
diartikan sebagai kematian yang wajar dan senang (Halimy, 1990).Jadi secara
etimologis.Euthanasia dapat diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan
nyawa seseorang (Gunawan, 1992). Menurut Philo, Euthanasia berarti mati dengan baik dan
tenang, sedangkan Seutonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum
mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”. Sejak awal abad 19 terminologi
Euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang
sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter (Mariyanti, 1988).
Terkait persoalan kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan
membedakan kedalam tiga jenis kematian, yaitu: 1) Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi
karena suatu proses alamiah; 2) Dysthanasia, yaitu suatu proses kematian yang secara tidak
wajar; 3) Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter (Prakoso & Nirwanto, 1984).
Jenis kematian yang ketiga inilah yang menarik perhatian dunia dalam beberapa dekade
terakhir, terlebih setelah dilangsungkannya Konfrensi Hukum Sedunia yang diselenggarakan
oleh World Peace Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977.
Dalam konferensi Hukum sedunia tersebut, telah diadakan sidang Peradilan Semu (Sidang

4
Tiruan), mengenai “hak manusia untuk mati” atau “the right to die”. Yang berperan dalam
sidang tersebut adalah tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran dari berbagai Negara di
dunia, sehingga mendapat perhatian yang sangat besar. (Prakoso & Nirwanto, 1984).

2.2 Pengertian Euthanasia


Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat,
dan thanatos yang berarti mati atau mayat. Secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai
‘mati dengan baik’ atau ‘mati secara senang dan mudah tanpa mengalami penderitaan’.
Lengkapnya euthanasia diartikan sebagai perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk
menghentikan penderitaannya. Pada kalangan medis, euthanasia berarti perilaku dengan sengaja
dan sadar mengakhiri hayat seseorang secara lebih cepat untuk membebaskannya dari
penderitaan akibat penyakitnya. Jadi, secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai
suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Di Belanda, salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan
merumuskan definisi euthanasia oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda): Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memeperpendek hidup atau mengakhiri
hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) menggunakan euthanasia dalam 3 arti yaitu:
a) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman
dengan nama Allah dibibir.
b) Ketika hidup akan berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat
penenang.
c) Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian-pengertian diatas, maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya

5
2.3 Jenis Euthanasia
Secara garis besar, euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif dan berdasarkan kondisi pasien, euthanasia dibagi menjadi euthanasia
volunteer dan euthanasia involunteer.
1. Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri
hidup pasien yang dilakukan secara medis.
Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan dan
Euthanasia aktif dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat pembantu dalam
perawatan, sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti
berfungsi, atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan
menghentikan fungsi jantung.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis
yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi
tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yaitu cara yang menunjukkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa
risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen
atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, Dokter atau tenaga kesehatan
secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup
pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan
dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan
melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara
tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya
untuk bertahan hidup.
3. Euthanasia volunter (Euthanasia secara sukarela) adalah penghentian tindakan pengobatan
atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri. Adakalanya hal itu tidak harus
dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

6
4. Euthanasia involunter (Euthanasia secara tidak sukarela) adalah jenis euthanasia yang
dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan
keinginannya. Dalam hal ini dianggap keluarga pasien yang bertanggung jawab atas
penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.

Dr. R. Soeprono (dalam Prakoso, 1984:54) yang membagi euthanasia empat bentuk yaitu:
a. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia)
Pasien meminta, memberi ijin atau persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan
perawatan yang memperpanjang hidup.
b. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu)
Membiarkan pasien mati tanpa sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara
menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
c. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing)
Dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan
kematian.
d. Mercy Killing terpaksa (Involuntari Mercy Killing)
Tindakan sengaja di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.

2.4 Regulasi Aspek Hukum Euthanasia


Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia
hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu :
1. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri.
2. Euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/korban.

Bahwa dalam KUHP tidak diketemukan pasal yang secara eksplisit mengatur tentang
eutahanasia. Akan tetapi jika dicermati maka pasal yang digunakan untuk menunjukkan
pelarangan terhadap euthanasia adalah pasal 344 KUHP yaitu mengenai pembunuhan yang
dilakukan dengan permintaan sangat dan tegas oleh korban.
1. Pasal 344 KUHP: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, di hukum penjara
selama-lamanya 12 tahun

7
Pada rumusan pasal ini disyaratkan bahwa permintaan untuk membunuh harus disebutkan
dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika syarat ini tidak terpenuhi maka pelaku
akan dikenakan pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan biasa.
2. Pasal 304 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam
kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang
itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya 2 tahun 8 bulan.
3. Pasal 306 ayat 2 KUHP: Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut (pada pasal 304
KUHP) dikenakan pidana penjara maksimal 9 tahun.
Dari 2 pasal tersebut diatas, memberikan penegasan bahwa dalam konteks hukum positif di
Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasikan sebagai tindak
pidana. Juga bermakna melarang terjadinya eutahanasia pasif yang sering terjadi di
Indonesia
4. Pasal 340 KUHP: Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan, dengan
hukuman mati atau penjra seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
5. Pasal 345 KUHP: Barang siapa dengan sengaja mengahasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya kepadanya untuk itu, maka
jika orang itu jadi membunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya 4 bulan.
6. Pasal 359 KUHP: Barang siapa karena salah menyebabkan matinya orang yang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya 1 tahun.
7. Pasal 531 KUHP: Barang siapa menyaksikan sendiri ada orang didalam keadaan bahaya
maut, lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu
dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia sendiri atau
orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan.

Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengingatkan kepada setiap orang untuk berhati-hati
menghadapi kasus euthanasia. Berdasarkan pasal 345 KUHP memberi harapan atau menolong
untuk melakukan euthanasia dapat dikenakan ancaman pidana, apalagi jika melakukan
perbuatan euthanasia.

8
Dalam tinjauan hukum pidana, dengan alasan apapun dan sipapun yang menghilangkan
nyawa orang lain tanpa hak, kecuali oleh pihak-pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang
harus dianggap sebagai kejahatan (lihat pasal-pasal 48, 49,50 dan 51 KUHP). Sementara itu,
semua pihak yang mempunyai andil langsung, baik yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
yang turut melakukan,yang menggerakkan dan yang membantu harus dianggap sebagai pihak
yang bertanggungjawab (lihat pasal-pasal 55 dan 56 KUHP).
Secara umum hukum tidak memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang,
sehingga belum ada batasan yang tegas tentang euthanasia. Rumusan pasal dalam KUHP hanya
menyebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang. Jadi, secara formal hukum
berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia tindakan euthanasia adalah perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh siapaun termasuk oleh para dokter atau tenaga medis.

2.5 Kepatutan Euthanasia


Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Pengakuan dan pengukuhan ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan
sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam kaitannya
dengan euthanasia, selain persoalan hak hidup, hak atas pemeliharaan kesehatan juga menjadi
perhatian. Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas ini diakui umum sebagai hak sosial
karena hak ini memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam
kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan atau ditawarkan oleh pergaulan hidup. Hak
dasar sosial ini mengandung tanggung jawab dan salah satu tanggung jawabnya ialah ikhtiar
untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak untuk menentukan nasib sendiri.
Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan mempunyai jangkauan yang luas sekali jika
dibandingkan dengan hak atas pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang
sakit, setidak-tidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan.
Keputusan seseorang untuk melakukan tindakan euthanasia bukanlah didasari atas
pertimbangan dokter semata. Keputusan untuk melakukan euthanasia juga dibingkai dengan
persoalan hukum, yakni dengan keputusan pengadilan. Sehingga para dokter, rumah sakit, atau
keluarga pasien di kemudian hari tidak terkena persoalan hukum. Tindakan toleransi ini dapat
melindungi dokter yang melakukan eutanasia bila: (a) permintaan pasien harus bersifat sukarela;

9
(b) pasien berada dalam penderitaan yang tidak dapat ditolerir; (c) semua alternatif untuk
meringankan penderitaan yang bisa diterima oleh pasien telah dicoba; (d) pasien mempunyai
informasi lengkap/cukup; (e) dokter telah berkonsultasi dengan dokter kedua, yang penilaiannya
diharapkan independen.
Pengambilan keputusan atas permohonan euthanasia perlu dilakukan dengan hati-hati,
mengingat kemungkinan ada motif lain dibalik permohonan tersebut. Motif ini tidak menutup
kemungkinan bertentangan dengan hukum. Bila keputusan diambil secara gegabah, bisa jadi
keputusan tersebut akan menghilangkan nyawa manusia tidak berdosa. Dalam praktiknya,
tindakan euthanasia dilakukan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya yang
dilakukan dalam hukuman mati. Pemberian suntikan mati ini dilakukan setelah diagnosa dokter
dan pemeriksaan intensif menunjukkan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien. Sebagai
penghormatan kepada hak asasi manusia yang dilindungi undang-undang, pihak pengadilan
sepantasnya memberikan rekomendasi untuk melanjutkan perawatan pasien dengan bantuan
negara. Keputusan ini memiliki dasar hukum konstitusi dan undang-undang, yakni bahwa setiap
warga negara berhak untuk memiliki hak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Di samping
itu, negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara yang tidak berdaya dari
ancaman gangguan terhadap hak hidupnya, dalam hal ini dari tindakan euthanasia. Berdasarkan
pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas euthanasia seharusnya dilakukan secara hati-
hati. Walaupun sifatnya sukarela, euthanasia tetap terindikasi sebagai sebuah pembunuhan
terencana yang dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau pihak-pihak tertentu yang
menginginkannya. Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks kemanusiaan, tidak
hanya pada sisi medis. Hal ini layak dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban akibat
keputusan medis yang tergesa-gesa. Alasan bagi kemaslahatan umat manusia lain tidak serta
merta menjadi alasan untuk tindakan pembunuhan, karena kehilangan nyawa seseorang akan
berpengaruh terhadap kehidupan manusia lain. Sampai saat ini euthanasia di Indonesia tidak
dapat dilakukan karena bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan ideologi Pancasila.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Euthanasia sebagai cara yang dianggap untuk mengurangi penderitaan pasien yang
menghadapi penyakit yang sukar disembuhkan dalam berbagai ketentuan Hak Asasi Manusia di
Indonesia dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum, dikarenakan hak hidup merupakan hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan kondisi apapun, serta dalih apapun, sehingga
alasan demi kepentingan seseorang dan untuk mengurangi penderitaannya tidak dapat diterima
oleh hukum di Indonesia. Sejalan dengan itu Indonesia sudah punya piranti hukum yang cukup
mumpuni untuk menjerat pelaku euthanasia, dan dalam Rancangan KUHP juga tetap
dipertahankan eksistensi pasal terkait euthanasia yang diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP
yang secara jelas menjelaskan tentang pasal mengenai permasalahan yang identik dengan
euthanasia.
Konstitusi dan hukum Indonesia memberikan jaminan penuh terhadap hak hidup manusia
yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kedua sumber hukum ini, hak hidup dinyatakan sebagai
sebuah hak yang melekat pada setiap warga negara Indonesia. Sanksi hukum akan berlaku jika
hak tersebut dilanggar, sesuai dengan kriteria tindakan melanggar hukum yang ditetapkan dalam
sumber hukum materil tersebut.

3.2 Saran

1. Alasan sosial yang berkembang di masyarakat untuk melegalkan euthanasia adalah tidak
benar. Dengan perkembangan di masyarakat dewasa ini, dan dimungkinkan hakim
mengeluarkan penetapan euthanasia berdasar pada doktrin Sarjana Hukum dan persyaratan
medis yang sifatnya limitatif. Ada alasan pembenar atas perbuatan penghilangan nyawa,
tetapi harus dipandang secara kasuistis dan sifatnya limitatif.
2. Untuk para dokter itu diharapkan agar tetap berpegang pada kode etik kedokteran sehingga
tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Pradjonggo, T.S. 2016. “Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan: Th. 1, Nomor 1, Juni 2016
2. Yudaningsih, L.P. 2015. “Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum
Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum: Universitas Jambi.
3. Suparta, Endang. 2018. “Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau Dari
Perspektif Hak Asasi Manusia”. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum: Volume 5, Nomor 2,
Desember 2018
4. Priyanto, A. 2013. “Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis Dan Hukum Pidana Di
Indonesia” (Doctoral dissertation).
5. Pangemanan, E.G. 2019. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Pasien Euthanasia
Di Indonesia”. Lex Et Societatis: Volume 7, Nomor 6.
6. Sutarno & Ariyanto B. 2012. "Tindakan Hak Asasi Manusia Dalam Tindakan
Euthanasia”. Perspektif Hukum: Volume 12, Nomor 2, 42-52.
7. Soekanto. 1989. “Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan)”.IND-Hill-Co:
Jakarta.
8. Anggreni, I.A., Firmantyansyah. R., 2018. “Kajian Euthanasia (Mercy Killing) dari
Perspektif Hak Asasi Manusia Serta Perkembangannya Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana”. Universitas Pendidikan Ganesha : Volume 3

12

Anda mungkin juga menyukai