Anda di halaman 1dari 97

A.

KONSEP DIRI
1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian
yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain, termasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nila-nilai
yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya
(Dalami. 2009:3). Menurut Boch, William dan Rawlin (dalam
Dalami.2009:3), konsep diri adalah cara memandang dirinya secara utuh,
fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.
Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan
pengalamannya dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri dipelajari melalui
pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain dan
interaksi dengan dunia di luar dirinya. Konsep diri berkembang dari bayi
hingga usia tua. (Suliswati. 20005:89).
Menurut Riyadi & Purwanto (2009:72), peran keluarga dalam
pembentukan konsep diri anak meliputi:
a. Perasaan mampu atau tidak mampu
b. Perasaan diterima atau ditolak
c. Kesempatan untuk identifikasi
d. Penghargaan yang pantas tentang tujuan, perilaku, dan nilai.
Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku
individu. Individu dengan konsep diri positif dapat berfungsi lebih efektif
yang dapat dilihat dari hubungan interpersonal, kemampuan intelektual
dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari
hubungan individu dan sosial yang maladaptif (Riyadi & Purwanto,
2009:72).

1
Rentang Respons Konsep Diri

Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep Harga Diri Rendah Kerancuan


DepersonalisasiDiri Diri Positif Identitas
Gambar 2.1 Rentang respons konsep diri (Sumber:Townsend, 1996 (dalam
Suliswati, dkk. 2005)

2. Komponen Konsep Diri


Konsep diri terdiri dari 5 komponen yaitu :
1. Gambaran diri (body image)
2. Ideal diri (self ideal)
3. Harga diri (self esteem)
4. Peran diri (self role)
5. Identitas diri (self identity) (Riyadi&Purwanto, 2009:73).
Gambaran diri atau citra tubuh adalah sikap, persepsi, keyakinan
dan pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya
yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang
kontak secara terus menerus (anting, make-up, kontak lensa, pakaian, kursi
roda) baik masa lalu maupun sekarang (Dalami, dkk. 2009:7). Citra tubuh
adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak disadari
meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk,
fungsi penampilan dan potensi tubuh (Suliswati,dkk. 2005:92). Gambaran
diri dapat dimodifikasi atau diubah secara berksinambungan dengan
persepsi dan pengalaman baru (Riyadi&Purwanto, 2009:73).
Ideal diri (self ideal) adalah persepsi individu tentang bagaimana ia
seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat
berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan/disukainya atau sejumlah
aspirasi, tujuan, nilai yang ingin diraih (Suliswati, dkk, 2005:92).

2
Menurut Riyadi & Purwanto (2009:74), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi individu dalam membentuk ideal diri, yaitu:
a. Kecenderungan individu menetapkan ideal diri dari batas
kemampuannya.
b. Faktor budaya, pembentukan standar ini dibaningkan dengan standar
kelompok teman dan norma yang ada di masyarakat.
c. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang
realistis, keinginan untuk mengindari kegagalan, perasaan cemas, dan
rendah diri.
Ideal diri harus cukup tinggi untuk mendukung respek terhdap diri
dan tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut, samar-samr atau kabur, ideal diri
akan melahirkan harapan individu terhadap dirinya saat berada di tengah
masyarakat dengan norma tertentu. Ideal diri mempertahankan
kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung,
ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
mental (Dalami, dkk. 2009:9-10).
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri rendah atau
tinggi. Jika individu sukses, maka cenderung harga diri tinggi tetapi
apabila individu sering gagal maka cenderung memiliki harga diri rendah
(Riyadi & Purwanto, 2009:75). Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan
orang lain yaitu dicintai, dihormati, dan dihargai (Suliswati, dkk. 2005:93).
Menurut Coopersmith dalam buku Stuart dan Sundeen (dalam
Dalami, dkk. 2009: 11), ada 4 hal yang dapat meningkatkan harga diri
anak yaitu:
a. Memberi kesempatan untuk berhasil
b. Menanamkan idealism
c. Mendukung aspirasi atau ide
d. Membantu membentuk koping

3
Menurut Stuart (dalam Riyadi & Purwanto, 2009:76), peran (role)
adala serangkaian pola perilaku ang diharapkan oleh lingkungan sosial
berhubungan dengan fungsi-fungsi individu di berbagai kelompok sosial.
Peran dibutuhkan setiap individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Stuart & Sundeen (dalam Riyadi & Purwaanto, 2009:76),
faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang
harus dilakukan yaitu:
a. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran
b. Konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan
c. Kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban
d. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran
e. Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku
peran
Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat
diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya,
menyadari individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain (Suliswati,
dkk. 2005:94). Menurut Dalami, dkk (2009:14), dalam identitas diri ada
otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu
menguasai diri, mengatur diri, dan menerima diri.
Enam ciri identitas ego menurut Stuart & Sundeen (dalam Riyadi &
Purwanto, 2009: 78):
a. Mengenal diri sendiri sebagai organisme utuh dan terpisah dari orang
lain
b. Mengakui jenis kelamin diri sendiri
c. Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan
d. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
e. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang
f. Mempunyai tujuan yang bernilai yang dapat direalisasikan

4
3. Faktor Pendukung (Predisposisi) Konsep Diri
a. Faktor Predisposisi yang Mempengaruhi Harga Diri
Menurut Dalami, dkk (2009:18:18), faktor predisposisi harga diri
yaitu:
1) Penolakan
2) Kurang penghargaan
3) Pola asuh overprotektif, otorter, tidakkonsisten, terlalu dituruti,
terlalu dituntut
4) Persaingan antar saudara
5) Kesalahan dan kegagalan berulang
6) Tidak mampu mencapai standar

b. Faktor Predisposisi yang Mempengaruhi Cira Tubuh


Menurut Suliswati, dkk (2005:95), faktor predisposisi gangguan citra
tubuh adalah sebagai berikut:
1) Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)
2) Perubahan ukuran, bentuk, dan penamilan tubuh (akibat
pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit)
3) Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktus
maupun fungsi tubuh
4) Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi

c. Faktor Predisposisi yang Mempengaruhi Peran


Menurut Dalami, dkk (2009:19), faktor predisposisi yang
mempengaruhi peran yaitu:
1) Sterotipik peran seks
2) Tuntutan peraran kerja

5
3) Harapan peran cultural

d. Faktor Predisposisi yang Mempengaruhi Identitas Diri


Menurut Suliswati, dkk (2005:96), faktor predisposisi gangguan
identitas diri yaitu:
1) Ketidakpercayaan orangtua pada anak
2) Tekanan dari teman sebaya
3) Perubahan struktur social

e. Faktor Pencetus (Presipitasi) Konsep Diri


Faktor presipitasi pada gangguan konsep diri antara lain yaitu
trauma, ketegangan peran, perubahan perilaku, mekanisme koping,
Menurut Dalami, dkk (2009:19), trauma emosi seperti
penganiayaan seksual dan psikologis pada masa anak-anak atau
merasa terancam atau menyaksikan kejadian yang mengancam
kehidupan dapat membuat masalah yang spesifik dengan konsep diri.
Ketegangan peran adalah perasaan frustasi ketika individu merasa
tidak adekuat melakukan peran atau melakukan peran yang
bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa cocok dalam
melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat
terjadi konflik peran, keraguan peran, dan terlalu banyak peran
(Suliswati, dkk. 2005:96-97).
Menurut Stuart & Sundeen (Dalam Riyadi & Purwanto. 2009:
83), perilaku berhubungan harga diri rendah dapat dilihat dari:
1. Mengejek dan mengkritik diri sendiri
2. Merendahkan dan mengurangi martabat
3. Rasa bersalah dan khawatir
4. Manifestasi fisik
5. Menunda keputusan
6. Gangguan berhubungan menarik diri dari realitas
7. Merusak diri

6
8. Merusak atau menciderai orang lain

Menurut Dalami (2009:21), kerancuan identitas dapat dilihat


dari perilaku berikut ini:
1) Tidak ada kode moral
2) Kepribadian yang bertentangan
3) Hubungan interpersonal yang eksploriatif
4) Perasaan hampa
5) Perasaan mengambang tentang diri
6) Kehancuran gender
7) Tingkat ansietas tinggi
8) Tidak mampu empati pada orang lain
9) Masalah estimasi
Mekanisme koping untuk melindungi diri sendiri dalam
menghadapi persepsi yang menyakitkan meliputi koping jangka
pendek atau jangka panjang dan pertahanan ego. Koping jangka
pendek meliputi aktifitas pelarian sementara dari krisis, aktifitas
sebagai pengganti identitas, aktifitas member kekuatan atau dukungan
sementara terhadap konsep diri yang kabur, aktifitas yang memberi
arti dari kehidupan (Riyadi & Purwanto, 2009:81). Koping jangka
panjang meliputi penutupan identitas dan identitas negatif (Dalami,
dkk. 2009:23). Mekanisme pertahanan ego yang sering dipakai adalah
fantasi, disosiasi, isolasi, projeksi, dan displacement (Suliswati, dkk.
2005:100).

7
4. Upaya Memperbaiki Konsep Diri
Menurut Suliswati, dkk (2005), prinsip asuhan yang diberikan
adalah pemecahan masalah yang terlihat dari peningkatan kemampuan
yang terdiri dari 5 tingkat yaitu
1) Memperluas kesadaran diri (expanded self awareness)
Dalam mengembangkan kesadaran diri, klien perlu melihat ke dalam
serta melihat secara realistik terhadap lingkungan. Cara
mengembangkan kesadaran diri dengan:
a. Membangun keterbukaan dan hubungan saling percaya dengan
cara
- Tawarkan penerimaan tak bersyarat/tidak kaku
- Dengarkan klien
- Dorong klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaan
- Berespons pada klien dengan tidak menghakimi
- Tunjukkan pada klien bahwa dia individu yang berharga dan
bertanggungjawab terhadap dirinya dan dapat membantu diri
sendiri
b. Bekerja pada klien pada tingkat kemampuan yang dimilikinya,
dengan cara:
- Identifikasi kemampuan yang dimiliki klien
- Pedoman asuhan untuk klien yang kemampuan terbatas
- Mulai dengan penegasan identitasnya
- Memberikan tindakan yang mendukung utnuk menurunkan
tingkat kecemasannya
- Dekati klien dengan cara tanpa diminta
- Terima dan usahakan untuk klarifikasi komunikasi verbal dan
non-verbal
- Cegah klien untuk mengisolasi diri
- Ciptakan kegiatan rutin yang sederhana pada klien
- Buat batasan pada perilaku yang tidak sesuai
- Orientasikan pasien ke realita

8
- Dorong untuk melakukan perilaku yang tepat dan beri pujian
dan pengakuan
- Bantu dalam meakukan kebersihan perseorangan dan
penampilan diri
- Dorong klien untuk merawat diri sendiri
c. Memaksimalkan peran serta klien dalam hubungan terpeutik
dengan cara
- Tingkatkan secara bertahap partisipasi klien dalam mengambil
keputusan yang berhubungan dengan asuhan keperawatannya
- Tunjukkan bahwa klien adalah orang yang bertanggung jawab
2) Menyelidiki/eksplorasi diri (self exploration)
Tindakan ini dilakukan dengan cara
a. Membantu klien menerima pikiran dan perasaannya
- Dorong klien untuk mengeksplorasikan emosi, keyakinan,
perilaku dan pikiran secara verbal dan non-verbal
- Gunakan keterampilan komunikasi terapeutik dan respons
empati
- Observasi dan catat pikiran yang logs dan tidak logis serta
repons emosionalnya
b. Membantu klien mengklarifikasi konsep dirinya dan hubungannya
dengan orang lain melalui keterbukaan
- Dapatkan persepsinya tentang kekuatan dan kelemahannya
- Bantu klien untuk menggambarkan ideal dirinya
- Identifikasi kritik tentang dirinya
- Bantu klien untuk menggambarkan hubungannya dengan orang
lain
c. Menyadari dan memiliki kendali terhadap perasaan Anda (perawat)
- Terbuka pada perasaan sendiri
- Gunakan diri secara terapeutik
 Berbagi perasaan dengan klien
 Verbalisasi bagaimana perasaan orang lain

9
 Bercermin pada persepsi dan perasaan klien
d. Berespons empati bukan simpati dan tekankan bahwa kekuatan
untuk berubah ada pada klien
- Gunakan respons empati, evaluasi diri tentang simpati
- Menguatkan klien bahwa ia mempunyai kekuatan dalam
memecahkan masalahnya
- Beritahukan pada klien bahwa ia bertangungjawab terhadap
perilakunya termasuk respons koping adaptif dan maldaptif
- Diskusikan cakupan piliha, area kekuatan dan sumber-sumber
koping yang tersedia untuk klien
- Gunakan sistem pendukung dari keluarga dan kelompok untuk
memfasilitasi penyelidikan dari klien
- Bantu klien untuk mengenali sifat dari konflik dan cara
maladaptif yang dilakukan klien untuk mengatasinya
3) Mengevaluasi diri (self evaluation)
Tindakan ini dilakukan dengan cara
a. Bantu klien untuk menjabarkan masalahnya secara jelas
- Identifikasi stressor yang relevan dengan klien dan bagaimana
penilaian klien
- Klarifikasi pada klien bahwa keyakinannya mempengaruhi
perasaannya dan perilakunya
- Bersama-sama identifikasi keyakinan yang salah, ilusi, persepsi
yang salah dan tujuan yang tidak realistis
- Bersama-sama identifikasi kekuatan klien dan tempatkan
kesuksesan dan kegagalan dalam persepsi yang sesuai
- Gali sumber koping yang dimiliki klien
b. Gali respons koping adaptif dan maladaptif klien terhadap masalah
yang diharapkan
- Gambarkan pada klien bahwa koping bebas dipilih dan
memiliki konsekuensi positif dan negatif
- Bedakan respons adaptif dan maladaptif

10
- Bersama-sama mengidentifikasi kerugian dan respons
maladaptif klien
- Diskusikan akibat respons klien yang maladaptif
- Gunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik yang
bervariasi:
 Fasilitasi, adalah membantu klien dengan cara
mendengarkan aktif, memberikan respons, menerima
dan mau memahami sehingga mendorong klien untuk
berbicara secara terbuka tentang dirinya
 Konfrontasi
 Klarifikasi
 Psikodrama, adalah metode drama khusus yang
menggali hubungan-hubungan anta individu, konflik-
konflik dan masalah-masalah emosional yang
digunakan untuk memperbaiki kepribadian seseorang
 Analissi proses interaksi, adalah kegiatan menganalisis
diri sendiri dan orang lain meliputi verbal, non-verbal
serta perasaan selama proses interaksi interpersonal
berlangsung

4) Perencanaan yang realistik (realistic planning)


a. Bantu klien untuk mengidentifikasi alternatif pemecahan yang
dapat mengubah dirinya bukan orang lain
- Jika klien mempunyai persepsi yang tidak konsisten, bantu dia
melihat bahwa ia dapat berubah, sebagai berikut:
 Keyakinan dan idealnya dapat membawa ia pada kenyataan
 Lingkungan untuk membuat konsisten dengan
keyakinannya
- Jika konsep diri tidak konsisten dengan perilakunya, ia dapat
berubah
 Perilakunya disesuaikan dengan konsep dirinya

11
 Keyakinan yang mendasari konsep dirinya disesuaikan pada
perilakunya
 Ideal dirinya
- Bersama-sama mengulas bagaimana sumber koping dapat lebih
baik digunakan klien
b. Bantu klien mengembangkan tujuan yang realistis
- Dorong klien untuk merumuskan tujuannya sendiri (bukan
tujuan perawat)
- Bersama-sama mendiskusikan konsekuensi emosi, praktiknya
dan berdasarkan realitas dari setiap tujuan
- Bantu klien untuk menetapkan perubahan konkret yang
diharapkan
- Dorong klien untuk emmulai pengalaman baru untuk
berkembang secara potensial
- Gunakan bermain peran, model peran, dan visualisasi, bila
perlu
5) Pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan (commitment to
action)
Bantu klien melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengubah
respons kopng maladaptif dan mempertahankan respons koping yang
adaptif
- Fasilitasi kesempatan untuk sukses
- Kuatkan dan beri pengakuan pada kekuatan, keterampilan, dan
aspek yang sehat dari kepribadian klien
- Pakai kelompok yang dapat memberi harga diri pada klien
- Tingkatkanpembedaan diri pada klien di dalam keluarga., klien
merasakan sebagai individu yang unik
- Sediakan waktu yang cukup untuk berubah
- Sediakan dukungan yang cukup dan “reinforcement positive”
pada klien untuk membantu klien mempertahankan
kemampuannya.

12
B. KESEHATAN SPIRITUAL
Dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik, seorang perawat
harus mempertimbangkan berbagai aspek baik aspek fisik, sosial, emosional,
kultural maupun spiritual dalam rangka pemenuhan kebutuhan klien. Profesi
keperawatan yang terdahulu telah memandang individu secara holistik.
Meskipun istilah holistic belum ada di dalam literatur keperawatan hingga
tahun 1980an oleh Roger, Parse, Neuman dan yang lainnya.
Kebutuhan akan spirit sebagai hal yang penting untuk tetap terjaganya
kesehatan pada semua individu. Perawat dapat mengobservasi bahwa kondisi
fisik dapat mempengaruhi mind dan spirit. Selain itu, kita juga bias
memperhatikan jika seseorang mengalami goncangan emosional ataupun
spiritual lambat laun bisa memunculkan gejala/gangguan secara fisik.
Kebutuhan spiritual dan psikososial kurang menjadi hal yang prioritas daripada
kebutuhan fisik karena kebutuhan tersebut seringkali abstrak, komplek dan
lebih sulit untuk diukur.
Perawatan spiritual menjadi bagian dari perawatan secara menyeluruh
yang cukup mudah diterapkan dalam proses keperawatan dari mulai
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Kebutuhan dan perawatan spiritual di dalam kerangka kerja proses
keperawatan ini telah terbukti sangat membantu baik dari segi filosofis maupun
praktis.
Sebuah studi di Amerika menyebutkan bahwa dari beberapa pasien yang
telah dikunjungi, 34% mengalami penyakit kronik dan 21% berada dalam
kondisi terminal. Separuh lebih dari pasien membutuhkan perawatan spiritual
mengenai rasa ketakutan atau cemas, koping terhadap nyeri atau gejala fisik
yang lain, hubungan dengan orang tuanya atau antar orang tuanya. Sejumlah
orang tua pasien 60% sampai 80% diperkirakan mempunyai rasa ketakutan
atau cemas, mengalami kesulitan dalam menghadapi anaknya yang nyeri,
membutuhkan lebih banyak informasi medis tentang penyakit anaknya,
bertanya tentang makna dari penderitaan yang dialaminya dan rasa bersalah.

13
Banyak perawat menyetujui bahwa perawatan spiritual merupakan hal yang
penting tetapi sebagian besar tidak mampu untuk memberikan perawatan
spiritual secara tepat.
1. Aplikasi dalam Praktek Keperawatan
Perawatan dan pengkajian spiritual menjadi hal yang sensitif dan
seharusnya didasarkan pada hubungan salling percaya diantar klien dan
perawat.2 Pengkajian yang akurat pada klien sangat penting untuk
membantu menentukan intervensi yang yang akan digunakan. Pengkajian
kebutuhan spiritual seharusnya dilakukan dengan pendekatan secara
sistematik dimana perawat melakukan pendekatan pengakajian di semua
aspek. Pengkajian yang efektif tergantung pada terciptanya hubungan
saling percaya dan penghormatan terhadap nilai dan kepercayaan yang ada
pada klien. Observasi keperawatan meliputi lingkungan disekitar klien,
perasaan, kemampuan fungsi tubuh dan observasi data keperawatan.
Pendekatan holistik untuk melakukan pengkajian spiritual
diperlukan untuk lebih memahami kesehatan spiritual klien dan
mengidentifikasi kebutuhan spiritualnya. Spiritualitas merupakan faktor
yang terintegrasi di dalam diri individu. Hal ini dipengaruhi oleh proses
fisiologis dan psikologis, latar belakang budaya, lingkungan dan faktor
yang lain. Semua area dari pengkajian keperawatan akan
didapatkan data yang diperlukan untuk merumuskan diagnosa
keperawatan.

2. Petunjuk Pengkajian Kesehatan Spiritual


Tanyakan pada klien tentang hal-hal dibawah ini: Kepercayaan
terhadap Tuhan Pentingnya ibadah pada klien, “Apakah ada perubahan di
dalam kepercayaan atau ibadahnya akhir-akhir ini?” “Apakah
kepercayaan/agam yang dimiliki memberikan adanya harapan, ketenangan
atau rasa bersalah, malu takut atau marah?” “Apakah dengan kondisi sakit
berpengaruh terhadap kepercayaan/ibadah Apakah cara yang digunakan
untuk mengekspresikan perasaan?”

14
Ada sebuah konsep yang menjelaskan bahwa kebutuhan perawatan
spiritual dapat dilihat dari beberapa domain. Domain yang pertama yaitu
domain fisik, contohnya dengan adanya pengalaman terhadap nyeri dapat
menyebabkan individu lebih berfokus pada spiritualitasnya jika berpikir
tentang makna penderitaan atau rasa sakit yang dihadapinya. Sama halnya
dengan harapan, rasa takut, permasalahan yang diakibatkan oleh hubungan
di dalam keluarga atau teman sekolah, masalah financial, stigma adat dan
perawatan medis merupakan contoh dari pengalaman yang biasa dijumpai
dan dapat dihubungkan dengan konsep spiritulitas (bagian dari
transcendent concern).

Fig. 1 A model of spiritual, religious, or other beliefs, activities, and


relationships mediating between domains of ordinary experience and
transcendent concerns

3. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA Nursing Diagnosis 2005-2006 ada 3 diagnosa
keperawatan yang berkaitan masalah spiritual yang masing-masing
merupakan 1 diagnosa keperawatan aktual, 1 diagnosa risiko dan 1
diagnosa keperawatan wellness atau kesejahteraan. antar lain distress

15
spiritual, risiko distress spiritual dan potensial peningkatan spiritual yang
lebih baik.
Hubungan perawat–klien dibangun berdasarkan rasa percaya,
proses perawatan, komitmen serta menunjukkan rasa hormat merupakan
hal yang penting untuk memberikan intervensi spiritual yang efektif.
Pengembangan spiritualitas perawat merupakan hal yang penting
dalam memberikan perawatan spiritual. Untuk memahami spiritualitas
klien, perawat harus melakukan pengkajian secara personal perkembangan
spiritualitas dirinya. Perawat harus mengembangkan identitas spiritualnya
supaya lebih sensitif terhadap kebutuhan spiritual klien. Hubungan
terapeutik terjalin seiring dengan pemberian perawatan spiritual yang
tepat.
Kesimpulan
Perawat berada dalam posisi terbaik dalam memberikan asuhan
keperawatan, terutama ketika merawat klien yang mengalami penyakit
yang mengancam jiwa, penyakit kronis dan kondisi terminal. Perawat
belajar sejak dini untuk menjadi komunikator dan pendengar yang baik.
Dengan membantu klien mengekspresikan kepercayaannya dan hadir
secara fisik di dekat klien selama proses penyakitnya maka perawat sedang
memberikan perawatan spiritual.
Perawatan spiritual pada klien merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan dari praktek keperawatan jika kita memandang klien sebagai
individu secara komprehensif. Oleh karena itu, Perawat harus
mengembangkan identitas spiritualnya supaya lebih sensitif terhadap
kebutuhan spiritual klien.
Tantangan bagi perawat adalah menerapkan pandangan secara
holistik pada kehidupan dan dirinya. Selanjutnya, ide ini diterapkan dalam
pemberian perawatan pada orang lain secara nyata menggunakan
pendekatan yang sistematik dengan menggunakan proses keperawatan
mulai dari tahap pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan yang tepat,
perencanaan, implementasi dan evaluasi yang berkesinambungan.

16
C. KONSEP SEKSUALITAS
1. Pengertian Seksualitas
Seks merupakan kegiatan fisik, sedangkan seksualitas bersifat total,
multi-determined dan multi-dimensi. Oleh karena itu, seksualitas bersifat
holistik yang melibatkan aspek biopsikososial kultural dan spiritual.
Identitas seksual adalah pengenalan dasar tentang seks diri sendiri secara
anatomis yang sangat berhubungan dengan kondisi biologis, yaitu kondisi
anatomis dan fisiologis, organ seks, hormon dan otak dan saraf pusat.
Seorang anak dapat menafsirkan secara jelas perilaku orang lain yang sesuai
dengan identitas seksualnya, yang bagaimana seorang memutuskan untuk
menafsirkan identitas seksual untuk dirinya sendiri atau citra diri seksual
(sexual self-image) dan konsep diri.
Peran jender berhubungan dengan bagaimana identitas jender
seseorang diekspresikan secara sosial dalam perilaku jenis seks yang sama
atau berbeda. Identitas jender mulai berkembang sejak usia 2 hingga 3
tahun yang dipengaruhi oleh faktor biologis (embrionik dan sistem saraf
pusat), anatomi genital dan pola orang tua terhadap anak. Dengan demikian,
sebenarnya peran jender terbina melalui pengamatan.
Dalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya seksualitas
tidak terbatas hanya di tempat tidur atau bagian tubuh saja, tetapi
merupakan ekspresi kepribadian, perasaan fisik dan simbolik tentang
kemesraan, menghargai dan saling memperhatikan secara timbal balik.
Perilaku seksual seseorang sangat ditentukan oleh berbagai kebutuhan,
antara lain kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, rasa aman psikologis,
serta harga diri sebagai wanita atau pria. Pada kondisi dimana kesehatannya
mengalami gangguan, seseorang kemungkinan besar akan mengalami
gangguan pemenuhan kemenuhan kebutuhan seksualitasnya, yang dapat
ditampilkan melalui berbagai perilaku seksual.

17
a. Tinjauan seksual dari beberapa aspek
Makna seksual dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya:
1) Aspek Biologis
Aspek ini memandang dari segi biologi seperti pandangan anatomi
dan fisiologi dari sistem reproduksi (seksual), kemampuan organ
seks, dan adanya hormonal serta sistem saraf yang berfungsi atau
berhubungan dengan kebutuhan seksual.
2) Aspek Psikologis
Aspek ini merupakan pandangan terhadap identitas jenis
kelamin,sebuah perasaan dari diri sendiri terhadap kesadaran
identirasnya, serta memandang gambaran seksual atau bentuk
konsep diri yang lain.
3) Aspek Sosial Budaya
Aspek ini merupakan pandangan budaya atau keyakinan yang
berlaku di masyarakat terhadap kebutuhan seksual serta perilaku di
masyarakat.

2. Perkembangan Seksualitas
Perkembangan seksualitas diawali dari masa pranatal dan bayi, kanak-
kanak, masa pubertas, masa dewasa muda dan pertengahan umur, serta
dewasa.
a. Masa Prenatal dan Bayi
Pada masa ini komponen fisik atau biologis sudah mulai berkembang.
Berkembangnya organ seksual mampu merespon rangsangan, seperti
adanya ereksi penis pada laki-laki dan adanya pelumas vagina pada
wanita. Perilaku ini terjadi ketika mandi, bayi merasakan adanya
perasaan senang. Menurut Sigmund Freud, tahap perkembangan
psikoseksual pada masa ini adalah:
1) Tahap oral, terjadi pada umur 0-1 tahun. Kepuasaan, kesenangan, atau
kenikmatan dapat dicapai dengan cara menghisap, menggigit,
mengunyah, atau uk mendapat bersuara. Anak memiliki

18
ketergantungan sangat tinggi dan selalu minta dilindungi untuk
mendapat rasa aman. Masalah yang diperoleh pada tahap ini adalah
masalah menyapih dan makan.
2) Tahap anal, terjadi pada umur 1-3 tahun. Kepuasan pada tahap ini
terjadi pada saat pengeluaran feses. Anak mulai menunjukkan
keakuannya, sikapnya sangat narsistik (cinta terhadap diri sendiri),
dan egois. Anak juga mulai mempelajari struktur tubuhnya. Pada
tahap ini anak sudah dapat dilatih dalam hal kebersihan.

b. Masa Kanak-Kanak
Masa ini dibagi dalam usia toddler, prasekolah, dan sekolah.
Perkembangan seksual pada masa ini diawali secara biologis atau fisik,
sedangkan perkembangan psikoseksual pada masa ini adalah:
1) Tahap oedipal/phalik, terjadi pada umur 3-5 tahun. Kepuasan anak
terletak pada rangsangan otoerotis, yaitu meraba-raba, merasakan
kenikmatan dari beberapa daerah erogennya. Anak juga mulai
menyukai lain jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya
daripada ayahnya, sebaliknya anak perempuan lebih suka pada
ayahnya. Anak mulai dapat mengidentifikasikan jenis kelamin dirinya,
apakah laki-laki atau perempuan, belajar malalui interaksi dengan
figur orang tua, serta mulai mengembangkan peran sesuai dengan
jenis kelamin.
2) Tahap laten, terjadi pada umur 5-12 tahun. Kepuasan anak mulai
terintegrasi, mereka memasuki masa pubertas dan berhadapan
langsung pada tuntutan sosial, seperti suka hubungan dengan
kelompoknya atau teman sebaya, dorongan libido mulai mereda. Pada
masa sekolah ini, anak sudah banyak bertanya tentang hal seksual
melalui intetraksi dengan orang dewasa, membaca, atau berfantasi.

19
c. Masa Pubertas
Pada masa ini sudah terjadi kematangan fisik dari aspek seksual
dan akan terjadi kematangan secara psikososial. Terjadinya perubahan
secara psikologis ini ditandai dengan adanya perubahan citra tubuh (body
image), perhatian yang cukup besar terhadap perubahan fungsi tubuh,
pemelajaran tentang perilaku, kondisi sosial, dan perubahan lain, seperti
perubahan berat badan, tinggi badan, perkembangan otot, bulu di pubis,
buah dada, atau menstruasi bagi wanita. Tahap yang disebut Freud
sebagai tahap genital ini terjadi pada umur lebih dari 12 tahun.
Kepuasaan anak pada tahp ini akan kembali bangkit dan mengarah pada
perasaan cinta yang matang terhadap lawan jenis.

d. Masa Dewasa Muda dan Pertengahan Umur


Pada tahap ini perkembangan secara fisik sudah cukup dan ciri
seks sekunder mencapai puncaknya, yaitu antara umur 18-30 tahun.
Pada masa pertengahan umur terjadi perubahan hormonal, pada wanita
ditandai dengan penurunan esterogen, pengecilan payudara dan jaringan
vagina, penurunan cairan vagina, selanjutnya akan terjadi penurunan
reaksi, pada pria ditandai dengan penurunan ukuran penis serta
penurunan semen. Dari perkembangan psikososial, sudah mulai terjadi
hubungan intim antara lawan jenis, proses pernikahan dan memiliki
anak, sehingga terjadi perubahan peran.

e. Masa Dewasa Tua


Perubahan yang terjadi pada tahap ini pada wanita di antaranya
adalah atropi pada vagina dan jaringan payudara, penurunan cairan
vagina, dan penurunan intensitas orgasme pada wanita ; sedangkan pada
pria akan mengalami penurunan jumlah sperma, berkurangnya intensitas
orgasme, terlambatnya pencapaian ereksi, dan pembesaran kelenjar
prostat.

20
3. Dimensi Agama Dan Etik
Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksannan agama dan
etik. Ide tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan
dengan seksualitas membentuk dasar untuk pembuatan keputusan seksual.
Spektrum sikap yang ditujukan pada seksualitas direntang dari pandangan
tradisional tentang hubungan seks hanya dalam perkawinan sampai sikap
yang memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi dirinya.
Keputusan seksual yang melewati batas kode etik individu dapat
mengakibatkan konflik internal.
Beberapa pendekatan umum terhadap pembuatan keputusan
seksual etik disarankan oleh Masters, Johnson, dan Kolodny, (1982). Dalam
suatu pendekatan, keputusan seksual didasarkan terutama pada agama. Apa
yang dianggap seseorang sebagai benar dan salah secara seksual sangat
berkaitan dengnan sikap dan keyakinan agama. Keyakinan agama
kontemporer memandang secara berbeda terhadap nilai, perilaku dan
ekspresi seksual yang dapat diterima (Zawid, 1994). Beberapa badan gereja
besar di Amerika Serikat telah mengeluarkan kertas pernyataan tentang
seksualitas untuk menunjukkan posisi atzu keyakinan mereka. Seseorang
juga dapat menyatakan pada public bahwa ia menyakini system seksual
tetentu tetapi berperilaku cukup berbeda secaa pribadi. Pendekatan kedua
memandang setiap tindakan seksual antara orang dewasa yang cukup umur
dalam kehidupan pribadinya sebagai moral. Sebagian orang percaya bahwa
moral seksualitas meningkatkan pertumbuhhan pribadi dna hubungan
interpersonal. Sedangkan oaranglain percaya bahwa morallitas tentang
tindakan seksual harus diputuskan dengan dasar situasi di mana hal tersebut
terjadi.
Akibatnya individu mempunyai perbedaan keyakinan dan nilai
seksual mereka. Michael et al (1994)membagi responden menhjadi 3
kategori dengan dasar sikap dan keyakinan. Individu yang masuk ked dalam
kategori “tradisional” mengatakan bahwa keyakinan keagamaan mereka
selalu memberikan pedoman perilaku seksual mereka, dan bahwa

21
homoseksualitas, aborsi, dan hubungan seks pranikah dan di luar nikah
selalu di anggap salah. Kategori “relasional” berkeyakinan bahwa seks harus
menjadi bagian dari hubungan salaing mencintai tetapii tidak harus terjadi
dalam perkawinan.
Moralitas yang bersifat lebih individualistic meluas pada tahun
1960-1970. Banyak orang mengevluasi kembali kode moral mereka dan
mulai melihat seksualitas sebagai suatu cara ekspresi diri. Wanita
mengajukan hak-hak mereka untuk mengontrol reproduksi dan ekspresi
perasaan seksual mereka. Moralitas baru ini menekankan kepemilikan tubuh
dan perasaan seseorang, pikiran bebas dan aktualisasi diri. Perjuangan dari
tahun 1990-an tampak sebagaimana menggabungkan moralitas
individualitas ini (tanpa kehilangan apa yang telah dicapai) dengan ekspansi
seksualitas yang lebih monogamy. Peningkatan angka penyakit seperti
gonorea, klamidia, human papiloma virus (HPV), dan HIV telah
mempengarui penekanan kembali pada hubungan monogami.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Seksualitas


a. Pertimbangan perkembangan
Proses perkembangan manusia mempengaruhi aspek psikososial,
emosianal dan biologi kehidupan yang selanjutnya akan mempengaruhi
seksualitas individu. Sejak lahir, gender, atau seks mempengaruhi
perilaku individu sepanjang kehidupannya.
b. Kebisaan hidup sehat dan kondisi kesehatan
Tubuh, jiwa da emosi yang sehat merupakan persyaratan utama
untuk dapat mencapai kepuasan seksual. Trauma atau stres dapat
mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan kegiatan atau
fungsi kehidupan sehari-hari yang tentunya juga mempengaruhi ekspresi
seksualitasnya, termasuk penyakit. Kebiasaan tidur, istirahat, gizi yang
adekuat dan pandangan hidup yang positif mengkontribusi pada
kehidupan seksual yang membahagiakan.

22
c. Peran dan hubungan
Kualitas hubungan seseorang dengan pasangan hidupnya sangat
mempengaruhi kualitas hubungan seksualnya. Cinta dan rasa percaya
merupakan kunci utama yang memfasilitasi rasa nyaman seseorang
terhadap seksualitas dan hubungan seksualnya dengan seseorang yang
dicintai dan dipercayainya.
d. Konsep diri
Pandangan individu terhadap dirinya sendiri mempunyai dampak
langsung terhadap seksualitas.
e. Budaya, nilai dan keyakinan
Faktor budaya termasuk pandangan masyarakat tentang seksualitas
dapat mempengaruhi individu. Tiap budaya mempuyai norma-norma
tertentu tentang identitas dan perilaku seksual. Budaya turut menentukan
lama hubungan seksual, cara stimulasi seksual, dan hal lain terkait
dengan kegiatan seksual.
f. Agama
Pandangan agama tertentu diajarkan, ternyata berpengaruh
terhadap ekspresi seksuallitas seseorang. Konsep tentang keperawanan,
dapat diartikan sebagai kesucian dan kegiatan seksual dianggap dosa,
untuk agama tertentu.
g. Etik
Seksualitas yang sehat menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997)
tergantung pada terbebasnya individu dari rasa bersalah dan ansietas.
Sebenarnya yang penting dipertimbangkan adalah rasa nyaman terhadap
pilihan ekspresi seksual yang sesuai, yang hanya bisa dicapai apabila
bebas dari rasa bersalah dan perasaan cemas.

23
D. KONSEP STRESS ADAPTASI
1) Stress dan Adaptasi
a. Stress
Stres merupakan reaksi tertentu yang muncul pada tubuh
yang bisa disebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya ketika
manusia menghadapi tantangan yang penting, ketika
dihadapkan pada ancaman, atau ketika harus berusaha
mengatasi harapan-harapan yang tidak realistis dari
lingkungannya (Nasir dan Muhith,2011).
Faktor yang menimbulkan stres dapat berasal dari sumber
internal maupun eksternal, yaitu (Hidayat, 2006).
a) Internal merupakan faktor stres yang bersumber dari diri sendiri.
Stresor individual dapat muncul dari pekerjaan, ketidak puasan
dengan kondisi fisik tubuh, penyakit yang dialami, pubertas, dan
sebagainya.
b) Eksterna merupakan faktor stres yang bersumber dari dari keluarga,
masyarakat dan lingkungan.
Ditinjau dari penyebabnya stres dapat dibedakan kedalam
beberapa jenis (Hidayat, 2006).
1) Stres kimiawi, merupakan stres yang disebabkan oleh
pengaruh senyawa kimia yang terdapat dalam obat-obatan,
zat beracun asam, basa, faktor hormon, gas, dan lain-lain.
2) Stres mikrobiologi, merupakan stres yang disebabkan oleh
kuman, seperti virus, bakteri atau parasit.
3) Stres fisiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh
gangguan fungsi organ tubuh, yaitu gangguan struktur
tubuh,fungsi jaringan, organ, dan lain-lain.
4) Stres proses tumbuh kembang, merupakan stres yang
disebabkan oleh proses tumbuh kembang seperti pada masa
pubertas, pernikahan, dan pertambahan usia.
5) Stres psikologis dan emosional, merupakan stres yang

24
disebabkan oleh gangguan situasi psikologis untuk
menyesuaikan diri, misalnya dalam hubungan interpersonal,
sosial budaya, atau keagamaan.
Menurut Nasir dan Muhith, (2011) stres dapat
menghasilkan berbagai respon. Respons stres dapat terlihat
dalam berbagai aspek yaitu :
1) Respon psikologis yang ditandai dengan meningkatnya
tekanan darah, nadi, jantung, dan pernapasan.
2) Respon kognitif dilihat dari terganggunya proses kognitif
individu, seperti fikiran kacau, menurunnya daya kosentrasi,
dan fikiran tidak wajar.
3) Respon emosi berkaitan dengan emosi yang mungkin
dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan
sebagainya.
4) Respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight yaitu
melawan situasi yang menekan, sedangkan flight yaitu
menghindari situasi yang menekan.
b. Stress pada Mahasiswa
Mahasiswa merupakan seseorang yang sedang dalam
proses menimba ilmu ataupun belajar dan menjalani
pendidikan pada salah satu Perguruan Tinggi (PT) yang terdiri
dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan
universitas (Hartaji, 2012). Penyebab kesulitan pada
mahasiswa baru adalah perbedaan sifat pendidikan SMA
dengan PT, yaitu sistem belajar dan kurikulum yang digunakan
pada saat PT (Gunarsa 2007).
Kurikulum kesehatan cenderung lebih ketat dibandingkan
dengan non kesehatan (Gunarsa, 2007). Berdasarkan penelitian
Saputri (2007) cit Indra (2012) ditemukan hasil pada
mahasiswa FK UI menunjukkan bahwa faktor terbesar yang
menimbulkan stres pada mahasiswa baru adalah tugas kuliah,

25
ujian, nilai, dan pertengkaran antara sesama teman. Mahasiswa
juga merasakan perbedaan metode pembelajaran di SMA dan
di Fakultas Kedokteran dalam hal konsep belajar mandiri,
tutorial, banyaknya materi yang dipelajari, sehingga mahasiswa
mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian karena masih
menggunakan cara belajar SMA (Rossi,2014).
Penyebab stres pada mahasiswa yaitu banyaknya jam
ganti perkuliahan menjelang ujian, sehingga jadwal
perkuliahan menjadi padat dan berantakan (Bingku, 2014).
Stresor terkait jadwal kuliah merupakan salah satu dari lima
penyebab stres yang sering dialami mahasiswa Calaguas
(2011) cit Dayfiventy (2012). Stresor terkait kelas yang terlalu
penuh juga merupakan salah satu penyebab stres pada
mahasiswa, dikarenakan jumlah mahasiswa yang banyak dalam
satu kelas sehingga membuat kelas menjadi tidak kondusif
pada saat proses pembelajaran (Bingku, 2014).

c. Adaptasi
Adaptasi merupakan suatu proses perubahan yang
menyertai individu dalam merespon terhadap perubahan yang
ada dilingkungan dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh
baik secara fisiogis maupun psikologis yang akan
menghasilkan perilaku adaptif.
a) Adaptasi Fisiologis
Menurut Hidayat (2008) adaptasi fisiologis merupakan
proses penyesuaian tubuh srcara alamiah atau secara
fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dari
berbagai faktor yang menimbulkan atau mempengaruhi
keadaan menjadi tidak seimbangan.
b) Adaptasi Psikologis
Menurut Hidayat (2008) adaptasi psikologis merupakan suatu

26
proses penyesuaian secara psikologis akibat adanya stresor, dengan
cara memberikan mekanisme pertahanan diri dengan harapan dapat
melindungi dan bertahan dari serangan yang tidak menyenangkan.
Indikator Terdapat dua cara untuk dapat mempertahankan diri dari
berbagai stresor yaitu dengan cara:
- Ask Oriented Reaction (reaksi berorientasi pada tugas)
Reaksi ini merupakan koping yang digunakan untuk
mengatasi masalah yang berorientasi pada pross
penyelesaian masalah, meliputi afektif, kognitif, dan
psikomotor. Contoh reaksi yang bisa dilakukan yaitu
berbicara dengan orang lain, mencari informasi tentang
keadaan yang dialami, melakukan latihan yang dapat
mengurangi stres, serta dapat membuat alternatif
pemecahan masalah.
- Ego Oriented Reaction ( reaksi berorientasi dengan ego):
(1)Rasionalisasi: usaha untuk menghindari masalah
psikologis dengan memberikan alasan yang rasional,
sehingga masalah dapatteratasi.
(2)Displacement: suatu upaya yang dilakukan untuk mengatasi
masalah psikologis dengan cara memindahkan tingkah laku
pada objek lain, sebagai contoh jika seseorang terganggu
dengan kondisi ramai, maka teman yang disalahkan.
(3)Kompensasi: upaya untuk mengatasi masalah dengan
mencari kepuasan pada situasi yang lain, seperti
seseorang yang memiliki masalah penurunan daya
ingat maka akan menonjolkan kemampuan yang
dimilikinya.
(4)Proyeksi: merupakan mekanisme pertahanan diri
dengan memposisikan sifat batin diri sediri kedalam
sifat batin orang lain, seperti ketika membenci orang
lain kemudian mengatakan pada orang bahwa orang

27
lain membencinya.
(5)Represi: upaya yang dilakukan untuk mengatasi
masalah dengan cara menghilangkan fikiran masa lalu
yang buruk dengan melupakan dan sengajadilupakan.
(6)Supresi: upaya yang dilakukan untuk mengatasi
masalah dengan menekan masalah yang tidak diterima
dengan sadar serta individu tidak mau memikirkan hal
yang kurang menyenangkan.
(7)Denial: upaya pertahanan diri dengan cara penolakan
terhadap masalah yang sedang dihadapi atau tidak mau
menerima kenyataan yang dihadapinya.

c) Adaptasi Perkembangan
Pada setiap tahap, seseorang biasanya menghadapi
tugas perkembangan dengan menunjukkkan karekteristik
perilaku dari tahap perkembangan dengan menunjukkan
karekteristik perilaku dari tahap perkembangan tersebut.
Stres yang berkepanjangan dapat menganggu atau
menghambat kelancaran menyelesaikan tahap
perkembangan dalam bentuk yang ekstrem, stres yang
berkepanjangan dapat mengarah pada krisis pendewasaan
kritik.

2) Mekanisme Koping
a. Definisi Mekanisme Koping
Koping merupakan suatu tindakan merubah kognitif
secara konstan dan usaha tingkah laku untuk mengatasi
tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau
melebihi sumberdaya yang dimiliki individu. Mekanisme
diartikan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh individu
dalam meyelesaikan maslah, menyesuaikan diri dengan

28
perubahan, serta respon terhadap sesuatu yang mengancam
(Nasir dan Muhith,2011).
Mekanisme koping merupakan setiap upaya yang
diarahkan pada penatalaksanaan stres, yaitu cara dalam
penyelesaian masalah dengan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. Mekanisme koping pada
dasarnya adalah mekanisme pertahanan diri terhadap
perubahan bahan yang terjadi baik dalam diri maupun dari luar
diri (Stuart,2009).

E. KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN BERDUKA


1. Konsep Kehilangan
a. Definisi kehilangan
Kehilangan adalah penarikan sesuatu atau seseorang atau situasi
yang berharga atau bernilai, baik sebagai pemisahan yang nyata maupun
yang diantisipasi.
Kehilangan adalah situasi actual dan potensial ketika sesuatu (orang
atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak lagi ada atau menghilang.
Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan
sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan atau sense of self-
baik sebagian maupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi
secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatic.
Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi kritis, baik kritis situasional
ataupun kritis perkembangan. Dalam hal ini persepsi individu, tahap
perkembangan, mekanisme koping dan sistem pendukungnya sangatlah
berpengaruh terhadap respon individu dalam mengahdapi proses
kehilangan tersebut. Apabila proses kehilangan tidak dibarengi dengan
koping yang positif atau penanganan yang baik, pada akhirnya akan
berpengaruh pada perkembangan individu.
Menurut Lambert dan Lambert (1985) Kehilangan adalah suatu
individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian

29
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan
dapat bersifat actual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual
dapat dengan mudah didentifikasi, misalnya seorang anak yang teman
supermainannya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan
pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan
dapat disalah artikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
Makin dalam makna kata yang hilang, maka makin besar rasa kehilangan
tersebut.

b. Faktor yang Memengaruhi Kehilangan


Ada beberapa faktor yang memengaruhi kehilangan antara lain
sebagai berikut :
1. Perkembangan. Misal anak-anak, belum mengerti seperti orang dewasa,
belum bisa merasakan, belum menghambat perkembangan, bisa
mengalami regresi. Sementara orang dewasa, kehilangan bisa membuat
orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup, menyiapkan diri
bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
2. Keluarga. Keluarga memengaruhi respons dan ekspresi kesedihan.
Anak terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan
sikap sedih secara terbuka.
3. Faktor sosial ekonomi. Apabila yang meninggal merupakan
penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang
dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Hal ini mengganggu
kelangsungan hidup.
4. Pengaruh Kultural. Kultur memengaruhi manifestasi fisik dan emosi.
Kultur “barat” menganggap kesedihan adalah sesuatu yang bersifat
pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak
ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis
keras-keras.

30
5. Agama. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada di konsep dasar agama.
Akan tetapi ada juga yang menyalahkan tuhan akan kematian.
6. Penyebab Kematian. Seseorang yang ditinggal anggota keluarga
dengan tiba-tiba akan menyebabkan syok dan tahapan kehilangan
yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat
kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.

c. Bentuk-Bentuk Kehilangan
Adapun bentuk-bentuk dari kehilangan, sebagai berikut :
1 Fisik atau actual. Jenis ini sifatnya nyata dan dapat dikenali oleh orang
lain. Dengan kata lain, orang lain dapat juga merasakan apa yang
terjadi pada orang tersebut.
2 Psikologis. Jenis kehilangan ini sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat
oleh orang lain, hanya yang mengalaminya yang bisa merasakannya.
Bebannya beban yang dirasakan bergantung pada beratnya kehilangan
atau berartinya objek yang hilang.

d. Sifat Kehilangan
Adapun sifat-sifat kehilangan, sebagai berikut :
1. Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada
pemulihan berduka yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan,
bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2. Berangsur-angsur (dapat diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan dan menyebabkan
yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional. Klien yang
mengalami sakit selama enam bulan atau kurang mempunyai
kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak dan mempunyai peningkatan
perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk menyelesaikan

31
proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi
sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan memengaruhi
apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas
kehilangan memengaruhi dukungan yang diterima. Durasi perubahan
(missal apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan
kembali ekuilibrum fisik, psikologis dan sosial.

e. Tipe Kehilangan
Adapun tipe-tipe kehilangan, sebagai berikut :
1. Actual loss. Kehilangan yang dapat dikenal atau didentifikasi oleh
orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2. Perceived loss (psikologis). Perasaan individual, tetapi menyangkut
hal-hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory loss. Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan
terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan atau berduka
untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada
keluarga dengan klien atau anggota yang menderita sakit terminal.

f. Lima Kategori Kehilangan


Lima kategori tersebut antara lain:
1 Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang, berpindah tempat, dicuri atau dirusak karena bencana
alam. Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri
atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman
berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda
yang dimilikinya dan kegunaan dari benda tersebut.

32
2 Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat
dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu
satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya ketika
seseorang lansia pindah ke ruang perawatan, atau situasi situasional,
kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau
penyakit.
3 Kehilangan orang terdekat atau orang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang
yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan
mengganggu dari tipe-tipe kehilangan, yang mana harus ditanggung
oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi
orang yng dicintai. Oleh karena keintiman, intensitas dan
ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan
suami istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar
biasa dan tidak dapat ditutupi. Orang terdekat mencakup orang tua,
pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman,
tetangga, dan rekan kerja. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan,
pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja dan kematian.
4 Kehilangan aspek diri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan
tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap
keaktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam
kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek  diri mungkin
sementara atau menetap, sebagian atau komplet. Beberapa aspek lain
yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh. Kehilangan aspek diri dapat
mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, payudara. Kehilangan
fungsi fisiologis mencakup kehilangan control kandung kemih atau
usus, mobilitas, kekuatan atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi
psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri,

33
percaya diri, kekuatan, respek atau cinta, perkembangan atau situasi.
Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu.
Porang tersebut tidak hanya mengalami perubahan permanen dalam
citra tubuh dan konsep diri.
5 Kehilangan hidup
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan
respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian
yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang
kematian. Doak (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit
yang mengancam hidup kedalam empat fase. Fase prediagnostik
terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit.
Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.. klien dihadapkan pada
serangkaian keputusan, termasuk medis interpersonal, psikologis
seperti halnya cara menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase
kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang
sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkannya. Akhirnya
terjadilah pemulihan. Klien yang mengalami fase terminal ketika
kematian bukan lagi halnya kemungkinan, tetapi itu sudah pasti
terjadi. Pada setiap hal dari penyakit ini klien dan keluarga
dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah. 

2. Fase Atau Tahapan Kehilangan


Adapun fase atau tahapan kehilangan antara lain :
a. Fase Pengingkaran (denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu
memang benar terjdi, dengan mengatakan “tidak, aku tidak percaya itu
terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Reaksi fisik yang terjadi
pada fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernapasan,
detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat

34
apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam bebrapa menit atau beberapa
tahun.
b. Fase Marah (anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang
meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang lain atau pada
dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh perawat atau doketr
yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain : muka
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal.
c. Fase Tawar-Menawar (bargaining)
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan pada tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata
“kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”.
Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar
adalah “kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.
d. Fase Depresi (depression)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sifat menarik diri, kadang
sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan untuk bunuh diri
dan sebagainya. Gajala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak
makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
e. Fase Penerimaan (acceptance)
Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Fase ini
biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya
tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan
agar cepat sembuh?”. Apabila individu dapat memulai fase ini dan
menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses
berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Akan

35
tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan memengaruhi
kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

3.Konsep Berduka 
a. Berduka                                                                                       
Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa
kehilangan, biasanya akibat perpisahan yang dimanifestasikan dalam
bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Respons klien selama fase berduka
meliputi :
a) Perilaku bersedih, yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang
biasanya dapat menimbulkan masalah kesehatan.
b) Berkabung, yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan
dan berduka serta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan
kebiasaan.

Berduka adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial dan


fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan (Rando,1991). NANDA
merumuskan dua tipe dari berduka yaitu, berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang
merupakan pengalaman individu dalam merespons kehilangan yang
actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan atau kedekatan,
objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan.
Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu
status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesarkan-
besarkan saat individu kehilangan secara actual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-
kadang menjurus ke tipikal, abnormal, kesalahan atau kekacauan.
Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas berduka yang
memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan. Herper
(1987) merancang tugas dalam akronim “TEAR” sebagai berikut :

36
  T- untuk menerima realita dari kehilangan.
E- mengalami kepedihan akibat kehilangan
A-menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau
aspek diri yang hilang.
R-memberdayakan kembalienergi emosional kedalam hubungan yang
baru.
Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada
kenyataannya orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas
tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi
prioritas.
a) Engel’s Theoryi
Menurut engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase
yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka
maupun menjelang ajal.
- Fase I (shock dan tidak percaya): seseorang menolak kenyataan
atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas atau pergi
tanpa tujuan. Mencoba untuk membutakan perasaan, mungkin
karena orang tersebut tidak menyadari implikasi dari kehilangan.
Biasanya seseorang dapat menerima secara intelektual, tetapi
menolak secara emosional. Reaksi secara fisik termasuk pingsan,
diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bias istirahat,
insomnia, dan kelelahan.
- Fase II (berkembangnya kesadaran): seseorang mulai merasakan
kehilangan secara nyata/actual dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan
jiwa tiba-tiba terjadi. Marah biasanya akan ditujukan kepada rumah
sakit, perawat, dan lain-lain. Menyalahkan diri sendiri dan
menangis adalah cara yang tipikal sebagai individu yang terikat
dengan kehilangan. Menangis sepertinya mencakup baik
pengetahuan tentang kehilangan sebagai suatu regresi yang tidak
tertolong atau seperti seorang anak.

37
- Fase III (restitusi/resolving the loss): seseorang dengan
keinginannya untuk menghargai akan seseorang yang
meninggalkannya, berupaya untuk juga mengikuti ritual berkabung,
misalnya pemakaman. Berusaha mencoba untuk sepakat/berdamai
dengan perasaan yang hampa atau kosong, karena kehilangan.
Masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang ynag bertujuan untuk mengalihkan kehilangan
seseorang.
- Fase IV: menciptakan kesan orang meninggal yang hamper tidak
memiliki harapan dimasa yang akan datang. Menekan seluruh
perasaan yang negative dan permusuhan terhadap almarhum. Bias
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurangnya
perhatiannya dan perilakunya yang tidak mengenakkan dimasa lalu
terhadap almarhum.
- Fase V: kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai
diketahui atau disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan
seseorang sudah dapat meneriam kondisinya. Kemarahan atau
depresi tidak lagi diperlukan. Kehilangan jelas terjadi pada
seseorang, yang mulai mengatur kehidupannya kembali dengan
meyakini fase ini, seseorang bergerak dari level terendah ke yang
lebih tinggi tentang integrasi empati dan intelektual. Kesadaran
baru telah berkembang.

b) Fase berduka menurut Martocchio (1985)


Martocchio (1985) menggambarkan 5 phase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat
diharapkan. Durasi kesedihan berfariasi dan bergantung pada factor
yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang
terus-menerus dari kesedihan biasanya reda dalam waktu 6-16
bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3
hingga 5 tahun.Peri bahasa mengatakan “sekali berduka, selamanya

38
berduka” masih dianggap benar.Untuk mengharapkan klien untuk
bias membuat kemajuan waktu yang ditetapkan adalah salah, tidak
tepat dan mungkin membahayakan. 
        
c) Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori:
- Penghindaran (shock, menyangkal dan tidak percaya)
- Konfrontasi (luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
- Akomodasi (terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social dunia
sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.

b) Duka Cita yang Tidak Teratasi


1. Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi
kronis atau depresi subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih
dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri yang rendah dan rasa bersalah
cenderung menonjol.
2. Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan
itu terjadi berisiko mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri
secara social, gangguan cemas, serangan panic, perilaku merusak diri
yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom
psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional
yang jelas, atau hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat
muncul. Duka cita yang tidak teratasi mungkin merupakan penyebab
tidak terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus- karenanya
perlu selalu menanyakan riwayat masa lalu tentang kehilangan-
kehilangan yang bermakna.

39
3. Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh,
histerikal, euforik dan gejala seperti psikosis) muncul pada sebagian
kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses duka cita yang normal.
Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri
atau “perilaku penyakiy kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan
dengan masalah medis pimer.

4. Konsep Kematian
a. Definisi Kematian
Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara
menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen.  Kematian
merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Pemahaman akan kematian memengaruhi sikap dan tingkah laku
seorang terhadap kematian. Dying dan death (menjelang ajal dan
mati), dua istilah yang sulit untuk dipisahkan satu dan yang lain,
serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih kearah suatu
proses. Sedangkan death merupakan akhir dari hidup.Terdapat
kontroversi kecil tentang arti dari death. Kebanyakan orang lebih
menerima bahwa berhentinya pernapasan dan denyut jantung serta
ketidak mampuan reflex corneal merupakan data/tanda yang cukup
bagi death. Tetapi tidak selamanya demikian.Sekarang lebih
mungkin untuk memperhatikan respirasi dan sirkulasi seseorang
dengan menggunakan obat-obatan, mesin, organ tiruan, dan
transplantasi.

Beberapa konsep tentang kematian sebagai berikut :


a) Mati sebagai terhentinya darah yang mengalir. Konsep ini
bertolak dari criteria mati berupa terhentinya jantung. Dalam PP
Nomor 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah
ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, tekhnologi

40
resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang
semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b) Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini
menimbulkan keraguan karena, misalnya pada tindakan resusitasi
yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
dapat ditarik kembali.
c) Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. Konsep inipun
dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa
terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral
tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih
berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
d) Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan
melakukan interaksi sosial. Bila dibandingkan dengan manusia
sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai
kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat,
mengambil keputusan dan sebagainya, maka penggerak dari otak,
baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan.
Pusat pengendali ini terletak dalam bidang otak. Oleh karena itu,
jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu
secara fisik dan sosial telah mati. Dalam keadaan sperti ini,
kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan
resusitasi, DNR (do not resusciation).

b. Perkembangan persepsi tentang kematian                      


No Umur Keyakinan
1 Bayi-5 tahun Tidak mengerti tentang kematian,
keyakinan bahwa mati adalah tidur/pergi
yang temporer.
2 5-9 tahun Mengerti bahwa mati adalah titik akhir
orang yang mati dapat dihindari.
3 9-12 tahun Menerti bahwa mati adalah akhir dari

41
kehidupan dan tidak dapat dihindari,
dapat mengekspresikan ide-ide tentang
kematian yang diperoleh dari orang
tua/dewasa lainnya.
4 12-18 tahun Merasa takut tentang kematian yang
menetap, kadang-kadang memikirkan
tentang kematian yang dikaitkan dengan
sikap religi.
5 18-45 tahun Memiliki sikap terhadap kematian yang
dipengaruhi oleh religi dan keyakinan.
6 45-65 tahun Menerima tentang kematian terhadap
dirinya. Kematian merupakan puncak
kecemasan.
7 65 tahun keatas Takut kesakitan yang lama.
Kematian mengandung beberapa makna:
         Terbebasnya dari rasa sakit
         Reuni dengan anggota keluarga
yang telah meninggal.

c. Perkembangan Tentang Pandangan Hidup dalam Proses Kematian


Pandangan hidup seseorang pasien dan lingkungannya dapat
terjadi suatu pengaruh cukup besar terhadap cara individu menghadapi
kematian. Dari beberapa penelitian ditunjukkan bahwa beragama atau
tidak beragama tidak berpengaruh terhadap ketakutan yang dihadapi oleh
seseorang yang akan mati.
Pendapat lain tentang proses berduka adalah dari Sporken dan
Michels yang terdapat dalam bukunya “De Laatsthe Levensfase.
Sterversbege Leiding En Euthanaise”.Terdapat tujuh fase dalam proses-
proses kematian.

Ketujuh fase tersebut secara berturut-turut adalah:

42
1. Ketidaktahuan
Tidak adanya kejelasan bagi seorang klien bahwa akhir
kehidupannya sudah semakin dekat.Selain itu, ketidak tahuan tentang
prognosa penyakit dan juga seberapa berat penyakitnya. Klien yng
berada pada fase ini seharusnya diberikan support dengan selalu
mendampingi. Hal ini penting untuk meletakkan dasar kepercayaan
yang kuat bahwa ia mendapatkan dukungan dari siapapun dalam
masalah ini.
2. Ketidakpastian
Suatu kondisi dimana individu tidak mendapatkan gambaran yang
jelas tentang bagimana masalahnya. Individu akan mencoba mencari-
cari alasan supaya masalah tersebut segera berakhir. Klien yang
berada pada fase ini akan lebih mudah melaluinya bila ia memiliki
pengharapan / harapan. Sehingga klien dapat bertahan untuk
selanjutnya masuk ke fase berikutnya.
3. Penyangkalan
Sebagai salah satu upaya pertahanan diri, akibat ketidakmampuan
seseorang untuk menerima situasi yang harus dihadapinya. Pada
umumnya reaksi seseorang dalam fase ini adalah tidak menerima
keseriusan dari situasi yang dihadapinya, dan seolah olah sama sekali
tidak mengerti. Kondisi ini perlu dipahami oleh perawat, sehingga
perlu member waktu merenungkan untuk kemudian menyadari.Selain
itu jangan terus-menerus mengkonfrontasi dengan situasi serius dari
masalahnya.
4. Perlawanan
Merupakan akibat logis dari fase sebelumnya dan mulai
mengembangkan kesadaran bahwa ajal sudah dekat.Wujud dari fase
ini adalah dengan agresi dan biasanya disebut juga fase yang penuh
kemarahan dan agresi.Perlawanan ini lebih ditujukan kepada system
pelayanan yang diterimanya. Sehingga individu ini akan mencari-cari
jalan penyelesaian sendiri yang bertujuan untuk menolong dirinya

43
sendiri ataupun keutuhannya. Hal yang paling diinginkannya adalah
keamanan dan perlindungan diri.Implikasi keperawatannya adalah
perawat menyediakan diri untuk mendengarkan dan menemani
melewati perjalanan menuju akhir kehidupannya.
c) Penyelesaian(perundingan)
Bila individu merasakan ketidak bergunaan penyangkalan dan
kemarahan maka ia akan merundingkan penyelesaian dengan orang-
orang yang memiliki pengaruh dengan sisa hidupnya. Reaksi yang
dimunculkan biasanya dengan menyampaikan janji-janji bila nanti
kematiannya dapat ditunda.Implikasi perawatannya adalah
memberikan dukungan dan selalu dekat dengan klien.Jangan
mengoreksi, rahasiakan setiap pembicaraan dengan nya.Beriakan
kasih saying untuk menunjukkan empati.

d) Depresi
Individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam,
kesendirian dan ketakutan. Sedih atas apapun yang akan
ditinggalkannya. Belum siap dengan kesendiriannya, karena
meninggal berarti seorang diri.
e) Penerimaan
Tidak setiap individu mampu mencapainya. Respon yang
diperlihatkan oleh individu adalah sikap yang tenang, karena ia sadar
bahwa ia tidak dapat mengatasi perjuangan ini. Tujuan dari
perawatannya adalah untuk member kesempatan padanya untuk
memenuhi permintaan dan keinginan pribadinya, selama sisa
hidupnya.

d. Sikap Menghadapi Kematian


Sikap menghadapi kematian adalah kecenderungan perbuatan manusia
dalam menghadapi kematian yang diyakininya bakal terjadi.Sikapnya
bermacam-macam sesuai dengan keyakinannya dan kesadarannya.

44
a) Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik
karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai makna
rohaniah
b) Orang yang mengabaikan peristiwa kematian, yang menganggap
kematian sebagai peristiwa alamiah yang tidak ada makna rohaniahnya.
c) Orang yang merasa takut atau keberatan untuk mati karena terpukau
oleh dunia materi
d) Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap
bahwa kematian itu merupakan bencana yang merugikan, mungkin
karena banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi
keharusan menyiapkan diri untuk mati.

e. Perawatan Pendampingan Terhadap Pasien Kehilangan, Berduka


Dan Kematian
Pada tahap yang terdapat dalam fase atau tahap kehilangan, peran
perawat didalamnya berbeda-beda, yaitu :
a) Fase megingkari : memberikan kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan perasaannya secara verbal, tidak membantah
pengingkaran pasien, duduk intens bersama pasien, menggunakan
teknik komunikasi, sentuhan serta memperhatikan kebutuhan dasar
pasien.
b) Fase marah : mendorong dan memberikan waktu pada pasien untuk
mengungkapkan kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan
kemarahan, memfasilitasi kebutuhan pasien akibat reaksi
kemarahannya, serta memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa
marah merupakan sebuah proses yang normal.
c) Fase tawar-menawar : membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah
dan perasaan takutnya dengan memberkan perhatian penuh dan tulus,
mengajak pasien berbicara untuk mengurangi rasa bersalah serta
memberikan dukungan spiritual.

45
d) Fase depresi : mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu
mengurangi rasa bersalah dengan memberikan kesempatan kepada
pasien untuk mengekspresikan kesedihannya, memberikan dukungan
non verbal, membahas pikiran negatif dan melatih mengidentifikasi hal
negatif tersebut.
e) Fase penerimaan : membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan
yang akan dilakukan dan membantu keluarga untuk bisa mengerti
penyebab rasa kehilangan. (Putri, Rosiana, 2013).

F. KEBUDAYAAN
a) Konsep Budaya
Kebudayaan berasal dari bahasa Latin colere yang berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari konsep ini
berkembanglah pengertian kebudayaan yaitu segala daya dan aktivitas
manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Ditinjau dari sudut bahasa
Indonesia, kebudayaan berasal dari Bahasa Sansekerta buddhayah yaitu
bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian
kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat dan
kemampuan yang lain yang di dapat manusia sebagai anggota masyarakat
(Tylor dalam Wiranata, 2002). Menurut Koentjaningrat kebudayaan
adalah seluruh system gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan bermasyarakat yang didapat dengan belajar dan
dijadikan milik manusia sendiri (Syafrudin, 2009).

b) Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga
yaitu pertama, gagasan wujud ideal yaitu berbentuk kumpulan ide, nilai,
norma dan peraturan aktivitas, dan artefak. Kedua, aktivitas atau disebut
juga dengan sistem sosial yaitu terdiri dari aktivitas, interaksi, yang

46
mempunyai pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Ketiga, artefak (karya) yaitu wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil
dari aktivitas, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat
(Syafrudin, 2009). Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara
wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud
kebudayaan yang lain. Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat
digolongkan atas dua komponen utama yaitu kebudayaan material dan
kebudayaan non material. Kebudayaan material mengacu pada semua
ciptaan masyarakat yang nyata dan konkrit. Termasuk dalam kebudayaan
material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian
arkeologi yaitu mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi,
pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan
mesin cuci. Kebudayaan non material adalah ciptaan-ciptaan abstrak
yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng,
cerita rakyat, lagu dan tarian tradisional (Syafrudin. 2009).

c) Ciri-Ciri Kebudayaan
Ciri-ciri khas kebudayaan yaitu pertama, bersifat historis yaitu manusia
membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan
secara turun-temurun (Syafrudin, 2009). Kedua, bersifat geografis yaitu
kebudayaan manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang berkembang
pesat dan ada yang lamban, serta ada pula yang mandeg (stagnan) yang
nyaris berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan lingkungan,
kebudayaan tersebut berkembang pada komunitas tertentu lalu meluas
dalam kesukuan dan kebangsaan/ras, selanjutnya kebudayaan itu meluas
dan mencakup wilayah/regional, serta makin meluas ke seluruh penjuru
belahan bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era
informasi di mana terjadi saling melebur dan berinteraksinya
kebudayaan-kebudayaan. Ketiga, bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu

47
yaitu dalam perjalanan kebudayaan, manusia selalu berusaha melampaui
(batas) keterbatasannya.

d) Aspek Budaya dalam Keperawatan


Menurut Leininger (Tomey & Alligood, 2006) transcultural
nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar
dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit
didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan
ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budaya kepada manusia.
Menurut Giger dan Davidhizar (1995) keperawatan transcultural
dipandang sebagai bahan untuk melatih secara kompeten menilai budaya
yang berpusat pada klien. Meskipun keperawatan transcultural dipandang
sebagai berpusat pada klien, penting bagi perawat untuk mengingat
budaya yang dapat dan tidak mempengaruhi bagaimana klien dilihat dan
perawatan yang diberikan. Perawat harus berhati-hati untuk menghindari
memproyeksikan pada klien mereka sendiri keunikan budaya dan
pandangan dunia, sehingga culture care harus disediakan. Dalam
memberikan culture care, perawat harus ingat bahwa setiap individu
adalah unik dan produk dari pengalaman masa lalu, keyakinan, dan nilai-
nilai yang telah dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Teori keperawatan kultural menurut Leininger yaitu cultur care diversity
dan cultural care universality (Tomey & Alligood, 2006).
 Cultur care diversity (perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan)
merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan
keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya
yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan

48
termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang
dan individu yang mungkin kembali lagi.
 Cultural care universality (kesatuan perawatan kultural) mengacu
kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun
pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup
atau simbol-simbol yang dimanifestasikan diantara banyak
kebudayaan serta mereflesikan pemberian bantuan, dukungan,
fasilitas atau memperoleh suatu cara yang memungkinkan untuk
menolong orang lain (terminology universality) tidak digunakan
pada suatu cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang
signifikan.

1. PERSEPSI SEHAT SAKIT


1. Definisi Persepsi Sehat Sakit
Pertama-tama saya akan membahas definisi persepsi menurut ahli.
Menurut Suranto Aw (2010) persepsi adalah proses internal yang mana
telah diakui oleh individu ketika menyeleksi dan mengatur stimuli yang
berasal dari luar. Stimuli ini ditangkap oleh indera yang dimiliki
seseorang, kemudian secara spontan perasaan dan pikiran individu akan
memberikan makna dari stimuli yang ada tersebut. Secara sederhana, dapat
dikatakan jika persepsi adalah proses individu dalam memahami hubungan
atau kontak dengan dunia yang ada di sekelilingnya.
Lalu ada beberapa definisi sehat menurut para ahli. Menurut WHO
sehat adalah keadaan utuh secara fisik, jasmani, metal, dan sosial dan
bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit cacat dan kelemahan.
Sedangkan sehat menurut UU No.23/1992 tantang Kesehatan, kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan sosial
yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dan
menurut Zaidin Ali (2002) sehat adalah suatu kondisi keseimbangan antara
status kesehatan biologis (jasmani), psikologis (mental), sosial, dan

49
spiritual yang memungkinkan orang tersebut hidup secara mandiri dan
produktif.
Kemudian ada beberapa definisi sakit menurut para ahli. Menurut
Parson (1975) sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu
sebagai totalitas, termasuk keadaan organisme sebagai system biologis dan
penyesuaian sosialnya. Sedangkan menurut Bauman (2001) seseorang
menggunakan tiga criteria untuk menentukan apakah mereka sakit yaitu
adanya gejala, persepsi tentang bagaimana mereka merasakan,
kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Dan menurut
Zaidin Ali (2002) sakit adalah suatu keadaan yang mengganggu
keseimbangan status kesehatan biologis (jasmani), psikologis (mental),
sosial, dan spiritual yang mengakibatkan gangguan fungsi tubuh,
produktifitas dan kemandirian individu baik secara keseluruhan maupun
sebagian.

2. Perilaku Sehat Sakit


a. Perilaku Sehat
Menurut Becker (1979) perilaku kesehatan (health behavior)
adalah perilaku individu yang ada kaitannya dengan health promotion,
health prevention, personal hygiene, pemilihan makanan dan sanitasi.
Sedangkan Solita Sarwono (1993) perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, dan
penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi.
Adapaun model paradigma hidup sehat yang merupakan
keadaan derajad kesehatan masyarakat yang menyatakan tingkat
derajad atau tingkat baiknya status kesehatan masyarakat. Keadaan
sehat menurut Hendrik L Blum adalah keadaan baik (well being) dari

50
unsur somatik sosial, dan psikis. Menurut WHO (1947) keadaan sehat
adalah suatu keadaan tubuh manusia yang menggambarkan
berfungsinya tubuh secara memuaskan dalam lingkungan dan sifat
keturunan tertentu. Keadaan masyarakat yang berada dalam kesehatan
optimum sampai masyarakat yang sakit berat dan menjelang kematian,
dapat dikategorikan dalam empat spectrum diantaranya stage of
optimum health (tahap sehat optimum), yaitu kondisi kesehatan yang
optimum, dimana terdapatnya fungsi-fungsi unsur somatik, psikis, dan
sosial secara optimum. Lalu stage of Sub-optimum health atau incipient
illness ( tahap sehat suboptimum atau sakit ringan), yaitu kondisi
kesehatan yang menurun dan terdapat gangguan fungsi yang ringan dari
somatik, psikis dan sosial. Kemudian stage of over
illness atau disability ( tahap sakit atau terganggu), yaitu kondisi
kesehatan yang menurun dan terdapat gangguan fungsi yang jelas serta
menunjukkan gejala ketidakmampuan atauu gangguan kegiatan dan
kecakapan sehari-hari. Dan stage of very serious
illness atau approaching death (tahap sakit berat dekat kematian, yaitu
kondisi kesehatan yang sangat menurun dan telah mengancam
eksistensi kehidupan atau vitalitas seseorang.
Menurut Hendrik L (1974) Blum ada faktor-faktor yang
mempengaruhi derajad kesehatan individu diantaranya faktor
lingkungan, yang terdiri atas lingkungan sosial, ekonomi, fisik, dan
politik. Lalu ada faktor perilaku (gaya hidup atau life style) dari
individu atau kelompok masyarakat. Kemudian ada faktor pelayanan
kesehatan yang meliputi jenis, cakupan dan kualitasnya. Dan terakhir
faktor genetik (keturunan).

b. Perilaku Sakit
Menurut Becker (1979) perilaku sakit (illness behavior), yaitu
semua aktivitas yang dilakukan oleh individu yang merasa sakit untuk
mengenal keadaan kesehatan atau rasa sakitnya, pengetahuan dan

51
kemampuan individu untuk mengenal penyakit, pengetahuan dan
kemampuan individu tentang penyebab penyakit, dan usaha-usaha
untuk mencegah penyakit. Sedangkan menurut Solita Sarwono (1993)
perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh
individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan.
Menurut Solita Sarwono (1993) bahwa penyebab perilaku sakit
ialah dikenal dan dirasakannya tanda dan gejala yang menyimpang dari
keadaan normal, anggapan adanya gejala serius yang dapat
menimbulkan bahaya, gejala penyakit yang dirasakan akan
menimbulkan dampak terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan
kerja, dan kegiatan kemasyarakatan, frekuensi dan persisten (terus
menerus, menetap) tanda dan gejala dapat dilihat. Selain itu juga ada
kemungkinan individu untuk terserang penyakit, adanya informasi,
pengetahuan, dan anggapan budaya tentang penyakit, adanya
perbedaan interpretasi tentang gejala penyakit, tersedianya berbagai
sarana pelayanan kesehatan, seperti fasilitas, tenaga, obat-obatan,
biaya, dan transportasi. Menurut Sri Kusmiyati dan Desmaniarti
(1990), terdapat 7 perilaku orang sakit yang dapat diamati, yaitu
fearfulness (merasa ketakutan, regresi (menarik diri), egosentris,
terlalu memperhatikan persoalan kecil, reaksi emosional tinggi,
perubahan persepsi terhadap orang lain, berkurangnya minat.
3. Peran Perawat Terhadap Sehat Sakit
Menurut CHS (1989) peran perawat adalah tingkah laku yang
diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain (dalam hal ini adalah
perawat) untuk berproses dalam system yang terdiri atas pemberi asuhan
keperawatan, pembela pasien, pendidik tenaga keperawatan masyarakat,
koordinator dalam pelayanan masyarakat, kolaborator dalam membina
kerja sama dengan profesi lain dan sejawat, konsultan atau penasihat pada
tenaga kerja dan klien. Sedangkan menurut Lokakarya Nasonal (1983)
peran perawat terdiri atas pelaksanaan pelayanan keperawatan, pengelola

52
pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan, pendidik dalam
keperawatan, peneliti dan pengembang keperawatan.
Selain itu peran yang dijalani seseorang juga bergantung pada
status kesehatannya. Peran yang dijalani sewaktu sehat tentu berbeda
dengan peran yang dijalani individu. Tidak mengherankan jika klien di
rumah sakit mengalami perubahan peran. Perubahan yang terjadi akibat
hospitalisasi ini tidak hanya berpengaruh pada individu, tetapi juga pada
keluarga. Perubahan tersebut antara lain perubahan peran, sebagai contoh
jika yang sakit adalah ayah, peran sebagai kepala keluarga akan dijalankan
oleh ibu. Kemudian masalah keuangan keluarga akan terpengaruh oleh
hospitalisasi keuangan yang sedianya ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan untuk keperluan klien
dirawat. Lalu suasana rumah akan berubah jika ada salah seorang anggota
keluarga yang dirawat. Keseharian keluarga yang bisaanya dihiasi dengan
keceriaan, kegembiraan dan senda gurau anggotanya, tiba-tiba diliputi oleh
kesedihan. Dan perubahan kebiasaan sosial, sewaktu sehat, keluarga
mampu berperan serta dalam lingkungan sosial. Akan tetapi, saat salah
seorang anggota keluarga sakit, keterlibatan keluarga dalam aktivitas
sosial di masyarakat pun mengalami perubahan.
Peran perawat dalam konteks sehat / sakit tujuannya adalah
membantu individu meraih kesehatan yang optimal dan tingkat fungsi
maksimal yang mungkin diraih setiap individu. Peran perawat dalam
konteks sehat atau sakit adalah meningkatkan kesehatan dan mencegah
penyakit. Kaitannya dengan hal tersebut, promosi kesehatan merupakan
suatu upaya mengarahkan sejumlah kegiatan guna membantu klien
mempertahankan atau meraih derajat kesehatan dan tingkat fungsi
setinggi-tingginya serta menikmati kenyamanan.
 
4. Peranan sakit
Berbagai macam pendapat para ahli mengenai peranan sakit,
diantaranya menurut Parson dan Sudibyo Supardi. Menurut Parson (1975)

53
peranan sakit memiliki empat peranan. Peranan tersebut ialah orang sakit
dibebaskan dari peran,sosial normatif,pembebasan ini sebenarnya
relatif,tergantung pada sifat dan tingkat keparahan keadaan sakit tersebut.
Lalu orang sakit tidak bertanggung jawab atas keadaannya.keadaan sakit
seseorang dianggap di luar kendali, orang sakit harus berusaha untuk
sembuh, dan orang sakit harus mencari pengobatan dan pekerja sama
dengannya( NAKES) selama proses penyembuhan.
Sedangkan menurut Sudibyo Supardi (2013) enam peranan sakit.
Peranan tersebut ialah upaya untuk menghindari tekanan, kondisi sakit
dapat menghindarkan konflik atau ketegangan. Kemudian sakit sebagai
upaya untuk mendapakan perhatian, anggapan masyarakat bahwa sakit
harus mendapatkan perhatian khusus. Lalu sakit sebagai kesempatan untuk
istirahat sakit dapat mengurangi ketegangan dalam pekerjaan. Selain itu
sakit sebagai alasan kegagalan pribadi sakit dapat dijadikan pembenaran
diri dari tanggung jawab sehingga mendapat pemakluman, sebagai
penghapus dosa, anggapan bahwa sakit merupakan hukuman tuhan dan
penghapus dosa. Dan juga sakit untuk mendapatkan alat tukar seseorang
yang memiliki asuransi kesehatan akan memilih dirawat lebih lama.
5. Contoh Kasus Perilaku Sehat Sakit
Contoh kasus perilaku sehat sakit yang saya ambil yaitu budaya
sunda. Sebelum membahas contoh kasus budaya sunda kita harus mengerti
pengertian budaya. Menurut Tylor (1974) budaya yaitu  budaya yaitu
suatu keseluruhan yang bersifat kompleks. Keseluruhan tersebut meliputi
kepercayaan, kesusilaan, adat istiadat, hukum, seni, kesanggupan dan juga
semua kebiasaan yang dipelajari oleh manusia yang merupakan bagian
dari suatu masyarakat.
Menurut orang sunda, orang sehat adalah mereka yang makan
terasa enak walaupun dengan lauk seadanya, dapat tidur nyenyak dan tidak
ada yang dikeluhkan, sedangkan sakit adalah apabila badan terasa sakit,
panas atau makan terasa pahit, kalau anak kecil sakit biasanya rewel,

54
sering menangis, dan serba salah / gelisah. Dalam bahasa sunda orang
sehat disebut cageur, sedangkan orang sakit disebut gering.
Ada beberapa perbedaan antara sakit ringan dan sakit berat. Orang
disebut sakit ringan apabila masih dapat berjalan kaki, masih dapat
bekerja, masih dapat makan-minum dan dapat sembuh dengan minum obat
atau obat tradisional yang dibeli di warung. Orang disebut sakit berat,
apabila badan terasa lemas, tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari,
sulit tidur, berat badan menurun, harus berobat ke dokter/puskesmas,
apabila menjalani rawat inap memerlukan biaya mahal. Konsep sakit
ringan dan sakit berat bertitik tolak pada keadaan fisik penderita
melakukan kegiatan sehari-hari, dan sumber pengobatan yang digunakan.
Berikut beberapa contoh sakit dengan penyebab, pencegahan dan
pengobatan sendiri.
Contohnya jika masyarakat sakit kepala harus menghindari
paparan sinar matahari dan jangan stress serta dapat diobati dengan obat
warung yaitu paramek atau puyer bintang tujuh nomor 16. Kemudian jika
masyarakat sunda mengalami demam dapat dicegah dengan menjaga
kebersihan udara yang dihisap, makan teratur, olahraga cukup, tidur
cukup, minum cukup, kalau badan masih panas/berkeringat jangan
langsung mandi, jangan kehujanan dan banyak makan sayuran atau buah
dan diobati dengan obat tradisional, yaitu kompres badan dengan
tumbukan daun melinjo, daun cabe atau daun singkong, atau dapat juga
dengan obat warung yaitu Paramek atau Puyer bintang tujuh nomor 16.
Lalu jika masyarakat sunda terkena batuk dapat dengan menjaga badan
agar jangan kedinganan, jangan makan makanan basi, tidak kebanyakan
minum es, menghindari makanan yang merangsang tenggorokan, atau
menyebabkan alergi dan diobati dengan obat warung misalnya konidin
atau oikadryl . Bila batuk ringan dapat minum obat tradisional yaitu air
perasan jeruk nipis dicampur kecap, daun sirih 5 lembar diseduh dengan
air hangat setengah gelas atau rebusan jahe dengan gula merah. Dan jika
masyarakat sunda terserang pilek dapat dicegah jangan hujan-hujanan,

55
kalau badan berkeringat jangan langsung mandi, apabila muka terasa
panas (bahasa sunda = singhareab), jangan mandi langsung minum obat,
banyak minum air dan istirahat dan diobati dengan obat warung yaitu
mixagrib diminum 3x sehari sampai keluhannya hilang. Dapat juga
digunakan obat tradisional untuk mengurangi keluhan, misalnya minyak
kelapa dioleskan di kanan dan kiri hidung.

K. RESPON SAKIT/NYERI PASIEN


1. Pengertian nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. (M.
Judha, 2012)
Nyeri adalah sesuatu hal yang bersifat subjektif, tidak ada dua orang
sekalipun yang mengalami kesamaan nyeri dan tidak ada dua kejadian
menyakitkan yang mengakibatkan respons atau perasaan yang sama pada
individu. (Potter&Perry, 2010)

2. Klasifikasi nyeri
Menurut M.judha, dkk (2012), nyeri dibagi menjadi 2, antara lain:
a. Nyeri akut
1) Awitannya mendadak
2) Letaknya superfisial, pada permukaan kulit, bersifat lokal
3) Durasinya singkat (beberapa detik-6 bulan)
4) Berkaitan dengan trauma atau pembedahan dan mungkin menyertai
kecemasan atau distres emosional
b. Nyeri kronis
1) Awitannya terus-menerus
2) Letaknya dapat superfisial maupun dalam, pada permukaan kulit,
dapat berasal dari organ-organ dalam mulai dari otot, dan bagian
lain.
3) Durasinya lama (>6 bulan)

56
4) Berkaitan dengan nyeri kanker, neuralgia trigeminal.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri


Menurut perry & potter (2005) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi nyeri, yaitu sebagai berikut:
a. Usia
Usia merupakan variabel yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada
anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara
kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia
bereaksi terhadap nyeri.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam
respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang
merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan suatu nyeri. Toleransi
nyeri sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria
dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-
faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu
tanpa memperhatikan jenis kelamin.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka.
d. Makna nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal
ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang
berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu
kehilangan, hukuman dan tantangan.
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat
sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang

57
menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi pasien pada
stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran
yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu
meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama
waktu pengalihan.
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas.
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang
menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai
kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika
mengalami suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang.
h. Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode
nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan muncul, dan juga
sebaliknya. Akibatnya pasien akan lebih siap untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
i. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat
merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka
terhadap pasien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang yang
bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.

58
Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri
membuat pasien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang
yang memberi dukungan sangatlah berguna karena akan membuat
seseorang merasa lebih nyaman. Kehadiran orang tua sangat penting
bagi anak-anak yang mengalami nyeri.

4. Faktor penyebab nyeri


a. Afterpains / kram perut
Hal ini disebabkan kontraksi dalam relaksasi yang terus menerus pada
uterus setelah melahirkan.
b. Pembengkakan payudara
Hal ini terjadi karena adanya gangguan antara akumulasi air susu dan
meningkatnya vaskularisasi dan kongesti sehingga menyebabkan
penyumbatan saluran limfa dan vena.
c. Nyeri perineum
Hal ini disebabkan adanya peregangan saat proses melahirkan. Namun
beberapa ibu juga mengalami robekan perineum/episiotomi setelah
melahirkan.
d. Konstipasi
Sistem pencernaan dan pola makan pada ibu post partum biasanya
membutuhkan waktu untuk defekasi, hal ini akan menyebabkan
konstipasi pada ibu postpartum. Akan tetapi konstipasi juga dapat
dipengaruhi oleh kekhawatiran lukanya akan terbuka bila buang air
besar.
e. Hemoroid
Pada saat mengejan tak jarang menimbulkan hemoroid, keluar dari
dubur dan terasa nyeri.

5. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi


a. Supervicial atau kutaneus

59
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.
Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri
biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter dan Perry, 2006
dalam Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka
potong kecil atau laserasi.
b. Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ
internal (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini
bersifat difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini
menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan
gejala-gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti
angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.
c. Nyeri Alih (Referred pain)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna
banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat
terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa
dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo,
2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang
menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang
mengalihkan nyeri ke selangkangan.
d. Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal
cedera ke bagian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam
Sulistyo, 2013). Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke bagian
tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh nyeri punggung
bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang ruptur disertai nyeri
yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.

6. Patofisiologi Nyeri

60
Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri
terdapatempat proses tersendiri yaitu: transduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi. Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu
sehinggamenimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri
melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi
melewati saraf perifer sampai keterminal di medulla spinalis dan jaringan
neuron-neuron pemancar yang naik darimedulla spinalis ke otak. Modulasi
nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur- jalur saraf desendens dari
otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggimedulla spinalis.
Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimia yangmenimbulkan atau
meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer.Akhirnya, persepsi
nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga
dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.
Ada tiga tingkatan tempat informasi saraf yang dapat dimodifikasi
sebagai respon terhadap nyeri yaitu luas dan durasi respon terhadap
stimulus nyeri disumbernya dapat dimodifikasi. perubahan kimiawi dapat
terjadi di dalam setiap neuron atau bahkan dapat menyebabkan perubahan
pada karakteristik anatomi neuron-neuron di sepanjang jalur penghantar
nyeri, dan pemanjangan stimulus dapat menyebabkan modulasi
neurotransmitter yang mengendalikan arus informasidari neuron ke
reseptornyaFenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system
saraf untuk mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris
menjadi potensial aksiyang dijalarkan ke system saraf pusat.

7. Respon Fisiologis Terhadap Nyeri


a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
1)Peningkatan heart rate
2)Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
3)Peningkatan nilai gula darah
4)Diaphoresis

61
5)Peningkatan kekuatan otot
6)Dilatasi pupil
7)Penurunan motilitas GI
b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
1) Muka pucat
2) Otot mengeras
3) Penurunan HR dan BP
4) Nafas cepat dan irreguler
5) Nausea dan vomitus
6) Kelelahan dan keletihan

8. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri


Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
a. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,
Mendengkur)
b. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
c. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan)
d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari
percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang
perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat


bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa
menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan
membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat
tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat
dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian
terhadap nyeri.
Meinhart & Mc Caffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

62
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting,
karena  fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinnkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
Contoh: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat
menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca
pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi lebih siap dengan
nyeri yang nanti akan dihadapi.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu
bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu
orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah
mencari upay pencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus
yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan
endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit
endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan,
mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan  gerakan tubuh. Ekspresi
yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali
pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan
nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri

63
itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya
membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c. Fase akibat (aftermath)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada
fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri
bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa
pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat ((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang
berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
9. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan sensivitas
Nyeri
Menurut Smeltzer, (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi
respon nyeri adalah :
a. Pengalaman masa lalu
Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan
berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih
toleran terhadap nyeri dibanding dengan orang yang hanya mengalami
sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun,hal ini tidak
selalu benar. Sering kali, lebih berpengalaman individu dengan nyeri
yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa yang
menyakitkan yang akan diakibatkan.
b. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom
adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit untuk memisahkan suatu
sensasi. Paice (2009) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri
mengaktifkan bagian limbik yang diyanikini mengendalikan emosi

64
seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi
emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan
dengan nyeri diberbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang
nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam
merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang
mengalami nyeri (Potter, 2015).
d. Usia
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan, yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak-nak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang
masih kecil mempunyai kesulitan mengungkapkan dan
mengekspresikan nyeri.
e. Efek Plasebo
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam
bentuk tablet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya. Plasebo
umumnya terdiri atas gula,larutan salin normal, dan atau air biasa.
Karena plasebo tidak memiliki efek farmakologis, obat ini hanya
memberikan efek dikeluarkannya produk ilmiah (endogen) endorfin
dalam sistem kontrol desenden, sehingga menimbulkan efek
penurunan nyeri (Tamsuri, 2016).

10. Pengukuran Nyeri


Menurut uliyah (2012) penilaian klinis dari nyeri dapat dilakukan
dengan Skala Pendeskripsi Verbal ( verbal Descriptor Scale-VDS),

65
penilaian Numerik (Numerical Ratng Scale-NRS), dan Skala Analog
Visual (visual Analog Scale-VAS).
c. Skala Pendeskripsi Verbal ( Verbal Deskriptor Scale-VDS)
VDS merupakan sebuah garis yang terdiri atas tiga sampai lima
kata pendiskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama
disepanjang garis. Pendiskripsi ini dirangking dari tidak terasa nyeri
sampai sangat nyeri (nyeri yang tidak tertahankan). Pengukur
menunjukan kepada pasien skala tersebut dan memintanya untuk
memilih intensitas nyeri yang dirasakannya.
Gambar 2.1 Skala Pendiskripsi Verbal (Verbal Descriptor Scale-
VDS)

Tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri tidak
tertahankan

d. Skala Penilaian Numerik (Numbering Rating Scale-NRS)


NRS lebih digunakan sebagai pengganti atau pendamping VDS.
Dalam hal ini pasien memberikan penilaian nyeri dengan
menggunakan skala 0 sampai 10. Penggunaan skala NSR biasanya
dipakai patokan 10 cm untuk menilai nyeri pasien. Nyeri ringan (1-3)
secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik. Nyeri sedang
(4-6) secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah
dengan baik. Nyeri berat (7-9) secara objektif pasien terkadang tidak
dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, serta tidak

66
diatasi dengan alih posisi napas panjang dan distraksi. Nyeri hebat
(10) pasien sudah tidak mampu berkomunikasi atau memukul.
Gambar 2.2 Skala penilaian Numerik (Numerical Rating Scale-
NRS)

Nyeri ringan Nyeri berat

L. GLOBALISASI DAN PERSPEKTIF TRANSKULTURAL


Kultur adalah kesatuan dari nilai, kepercayaan, norma, dan jalan hidup
yang menjadi pedoman dalam berpikir dan berperilaku (Purnell & Paulanka,
1998 ; Leininger, 2002a). Keperawatan transkultural melintasi batas-batas
kebudayaan untuk mencari esensi. Keperawatan transcultural merupakan
campuran dari antropologi dan keperawatan dalam teori dan praktik.
Antropologi mengacu pada manusia, termasuk asal, perilaku, status sosial,
fisik, mental, dan perkembangan zaman.
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan seni, maka keperawatan
transkultural memungkinkan untuk melihat profesi ini dengan perspektif
yang berbeda. Keperawatan transkultural adalah keperawatan yang berfokus
pada studi komparatif dan analisa pada perbedaan budaya. Keperawatan ini
berhubungan dengan kepedulian akan perilaku, keperawatan, dan nilai sehat-
sakit, serta kepercayaan mereka. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan untuk memberikan keperawatan dalam
kebudayaan khusus dan kebudayaan universal.
Keperawatan transkultural memerlukan kemampuan dan keterampilan
untuk menilai dan mengabalisa untuk menyusun rencana, implementasi, dan
evaluasi keperawatan.
Menurut Leininger (1995), keperawatan transkultural penting karena
beberapa faktor, yaitu :
1. Terjadi peningkatan imigrasi

67
2. Terjadi peningkatan idealitas multikultural dalam pemahaman dan
penghargaan pada perawat dan tenaga kesehatan lain
3. Peningkatan teknologi kesehatan
4. Konflik budaya yang terjadi berdampak pada interaksi budaya lain
5. Terjadi peningkatan jumlah orang yang bekerja atau berwisata kenegara
lain
6. Terjadi peningkatan konflik budaya yang dihasilkan oleh praktik
kesehatan
7. Adanya emansipasi wanita dan gender
8. Peningkatan permintaan untuk komunitas dan latar belakang budaya dalam
konteks lingkungan
Keperawatan transkultural adalah teori dasar sebagai panduan perawat
sebagai ketentuan dalam kompetensi keperawatan. Keperawatan transkultural
dibagi menjadi :
1. Keperawatan transkultural dalam sejarah kesehatan
Untuk mengetahui aspek positif dan negatif sejarah kesehatan klien,
mencakup :
a. Data biografi : informasi dasar
b. Alasan : apa yang dikeluhkan oleh klien
c. Riwayat kesehatan : sebagai penilaian dan evaluasi
tentang riwayat kesehatan klien
d. Budaya : untuk mengantisipasi gangguan
keterbatasan budaya
e. Pengobatan saat ini : persepsi klien dan masyarakat terhadap
obat
f. Sejarah : silsilah dalam keluarga dan status social

2. Keperawatan transkultural dalam pemeriksaan fisik


Untuk mengidentifikasi variasi biokultural yang dibutuhkan klien,
mencakup :
a. Variasi ukuran (tinggi, proporsi, dan berat badan)

68
b. Variasi tanda-tanda vital (ras dan gender)
c. Variasi penampilan (tubuh secara keseluruhan)
d. Variasi kulit
e. Variasi sistem sekresi tubuh
f. Variasi wajah, mata, telinga, dan mulut
g. Variasi pleksus vena susu
h. Variasi sistem musculoskeletal
i. Variasi penyakit

Beberapa model sebagai pedoman putusan, penilaian, dan tindakan


keperawatan, menurut Leininger (1991), yaitu :

a. Budaya pemeliharaan (budaya untuk memelihara nilai kepedulian)


b. Budaya negosiasi (budaya untuk beradaptasi)
c. Budaya penyusunan kembali (budaya untuk membantu klien untuk
mengubah gaya hidup)

Beberapa penilaian mengenai keperawatan transkultural, yaitu :

1) Menurut budaya
1) Model non-keperawatan
Meskipun teori keperawatan transkultural muncul dalam
literatur (Alfonso, 1979 : Leininger, 1985a, 1985b), metode
keperawatan transkultural tidak selalu sesuai dengan teori tersebut.
2) Model keperawatan spesifik
Tujuan utamanya sebagai pengetahuan yang relevan untuk
mengetahui budaya keperawatan yang sesuai untuk masyarakat.
3) Analisis model dan alat spesifik budaya
Tripp-Reimer, Brink dan Saunders (1984) menganalisa model dan
alat dalam kebudayaan untuk menentukan perbedaan signifikan
yang ada dalam model.
4) Diagnosa keperawatan

69
Perawat harus memperhatikan budaya klien dalam merumuskan
diagnos keperawatan.
2) Menurut Giger dan Davidhizar
1) Definisi keperawatan transklutural : Merupakan kompetensi yang
fokus pada klien.
2) Perbedaan budaya keperawatan
Variasi dalam pendekatan keperawatan dibutuhkan untuk
menyesuaikan budaya.
3) Budaya individu yang unik
Masing-masing individu mempunyai budaya yang unik yang
dibentuk dari pengalaman, budaya, kepercayaan, dan norma.
4) Budaya lingkungan
Budaya dalam lingkungan sangat berpengaruh dalam proses
keperawatan.

M. DIVERSITY DALAM MASYARAKAT


1. Makna Diversity (Keragaman)
Keragaman berasal dari kata ragam yang menurut kamus besar
bahasa indonesia artinya tingkah laku, macam jenis, lagu musik langgan,
warna corak ragi, laras. Sehingga kergaman berarti perihal beraga-ragam
berjenis-jenis;perihal ragam hal jeniskergaman yang di maksud di sini
suatu kondisi dalam masyarakat dimana terdapat perbedaaa-perbedaan
dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa dan ras, agama dan
keyakinan,ideologi,adat kesoponan serta situasi ekonomi.

2. Unsur-unsur Keragaman Dalam Masyarakat Indonesia


a. Suku Bangsa dan Ras
Suku bangsa yang menempati wilayah indonesia dari sabang
sampai merauke sangat beragam.sedangkan perbedaan ras muncul
karena adanya pengelompokkan besar manusia yang memiliki ciri-ciri

70
biologis lahiriyah yamg sama seperti rambut, warna kulit, ukuran
tubuh, mata, ukuran kepala dan lain sebagainya.
Di indonesia, terutama bagian barat mulai dari sulawesi adalah
termasuk ras mongoloid melayu muda. Kecuali batak dan toraja yang
termasuk mongoloid melayu tua sebelah timur indonesia termasuk ras
austroloid, termasuk bagian NTT. Sedangkan kelompokterbesar yang
tidak termasuk kelompok pribumi adalah golongan chinayang
termasuk atratic mongooid

3. Agama dan Keyakinan


Agama mengandung arti ikatan yang harus di pegang dan di patuhi
manusia. Ikatan yang di maksud berasal dari kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia sebagai kekuatan gaibyang tak dapat di tangkap dengan
panca indra. Namun mempunyai pengaruh besar yang besar sekali
terhadap kehidupan manusia sehari-hari ( Haru nasution: 10).
Agama sebagai keyakinan memang sulit di ukur secara tepat dan
rinci.Hal ini pula yang barang kali menyulitkan para ahli untuk
memberikan definisi yang tepat tentang agama. Namun apapun bentuknya
kepercayaan yang di anggap sebagai agama, tampaknya memang memilki
ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama pitif maupun agama
monoteisma. Menurut Robert H. Thouless, fakta menunjukkan bahwa
agama berpusat pada tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang
menentukan yang tak boleh di abaikan ( psikologi agama:14)
Masalah agama tak akan mungkin dapat di pisahkan dari
kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat
antara lain adalah :
a. Berfungsi edukatif: ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh
dan melarang
b. Berfungsi penyelamat
c. Berfungsi sebagai perdamaian
d. Berfungsi sebagai sosial kontrol

71
e. Berfungsi sebagai pemupuk ras dan solidaritas
f. Berfungsi tranformatif
g. Berfungsi kreatif
h. Berfungsi sublimatif
Pada dasarnya agama dan keyakinan merupkan unsur penting
dalam keragaman bangsa indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya agama
yang di akui di indonesia.

4. Tata Krama
Tata krama yang di anggap sebagai dari bahasa jawa yang berarti
“adat sopan santun, basa basi” pada dasarnya ialah segala tindakan,
prilaku, adat istiadat, tegur sapa,ucap dan cakap sesuai kaidah atau norma
tertentu. Tata krama di bentuk dan di kembangkan oleh masyarakat yang
terdiri dari aturan-aturan yang kalo di patuhi di harapkan akan tercipta
interaksi sosial yang tertib dan efektif di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Indonesia memiliki keragaman suku bangsa dimanadi setiap
suku bangsa memiliki adat tersendiri meskipun kerena adanya sosialisasi
nila-nilai dan norma secara turun menurun dan berkisenambungan dari
generasi ke generasi menyebabkan suatu masyarakat yang ada dalam
suatuisuku bangsa yang sama akan memiliki adat dan kesopanan yang
relatif sama.

5. Kesenjangan Ekonomi
Bagi sebagian negara, perkonomian akan menjadi salah satu
perhatian yang harus di tingkatkan namun umumnya, masyarakat kita
berada di golongan tingkat ekonomi menengah kebawah. Hal ini tentu saja
menjadi sebuah pemicu adanya kesenjangan yang tak dapat di hindari lagi

6. Kesenjangan Sosial

72
Masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang majemmuk
dengan bermacam tingkat pangkat, dan seterata sosial yang hierarkis.hal
ini, dapat terlihat dan di rasakan dengan jelas dengan adanya penggologan
orang berdasarkan kasta.Hal ini yang dapat menimbulkan kesenjangan
sosialyang tidak saja dapat menyakitkan, namun juga membahayakan bagi
kerukunan masyarakat.Tak hanya itu bahkan menjadi sebuah pemicu
perang antara etnis atau suku.

N. TEORI KEPERAWATAN CULTURE CARE LEININGER


1. Pengertian
Teori keperawatan Leininger dicetuskan oleh Madeline Leininger
seorang pelopor keperawatan transkultural serta teori asuhan keperawatan
yang berfokus pada manusia. Ia adalah perawat professional pertama yang
meraih pendidikan doktor dalam ilmu antropologi sosial dan budaya.
Leininger lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir keperawatannya
setelah tamat dari program diploma di “St. Anthony’s School of Nursing”
di Denver. Teori culture care Leininger dikenal dengan teori transkultural
nursing dan merupakan suatu acuan untuk menemukan budaya dalam
perawatan. Sunrise enbler berfungsi sebagai peta kognitif dan membantu
menemukan pengaruh aktual dan potensial untuk menjelaskan fenomena
perawatan dan kesejahteraan berkaitan dengan sejarah, budaya, agama,
dan faktor struktur sosial lainnya termasuk pandangan ekonomi,
lingkungan, dan perawatan holistik lainnya (Leininger, 2002)
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana
perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan
kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi.
Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada
penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.
2. Asumsi Dasar

73
Asumsi mendasar dari teori ini adalah perilaku caring. Caring
adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta
mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan caring dikatakan sebagai
tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu
secara utuh. Perilaku caring semestinya diberikan kepada manusia sejak
lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai
dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum dikatakan
sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan
pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang
universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur
satu tempat dengan tempat lainnya.
3. Konsep Teori Culture Care
Leininger mengembangkan istilah yang relevan dengan teori
culture care. Istilah konsep dari culture care adalah:
a. Human Care and Caring
Fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya
kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial
untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
Tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,mendukung
dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan
yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan manusia.
b. Culture
Kebudayaan merupakan suatu pembelajaran, pembagian dan
transmisis nilai, keyakinan, norma-norma, dan gaya hidup dalam suatu
kelompok tertentu yang memberikan arahan kepada cara berfikir
mereka, pengambilan keputusan, dan tindakkan dalam pola hidup.
c. Culture Care
Perawatan kultural mengacu kepada pembelajaran subjektif dan
objektif dan transmisi nilai, keyakinan, pola hidup yang membantu,

74
mendukung, memfasilitasi atau memungkinkan ndividu lain maupun
kelompok untuk mempertahankan kesjahteraan mereka, kesehatan,
serta untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia atau untuk
memampukan manusia dalam menghadapi penyakit, rintangan dan
juga kematian.
d. Culture Care Diversity
Keragaman perawatan kultural mengacu kepada variabel-variabel,
perbedaan-perbedaan, pola, nilai, gaya hidup, ataupun simbol
perawatan di dalam maupun diantara suatu perkumpulan yang
dihubungkan terhadap pemberian bantuan, dukungan atau
memampukan manusia dalam melakukan suatu perawatan.
e. Culture Care Universality
Kesatuan perawatan kultural mengacu kepada suatu pengertian
umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling
dominan, pola-pola, nilai - nilai, gaya hidup atau symbol - simbol
yang dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta mereflesikan
pemberian bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara
yang memungkinkan untuk menolong orang lain tidak digunakan pada
suatu cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang signifikan.
f. Worldview
Pandangan dunia mengacu kepada cara pandang manusia dalam
memelihara dunia atau alam semesta untuk menampilkan suatu
gambaran atau nilai yang ditegakkan tentang hidup mereka atau
lingkungan di sekitarnya.
g. Cultural and Social Structure Dimensions
Dimensi struktur sosial dan budaya mengacu pada suatu pola
dinamis dan gambaran hubungan struktural serta faktor-faktor
organisasi dari suatu bentuk kebudayaan yang meliputi keagamaan,
kebudayaan, politik, ekonomi, pendidikan, teknologi, nilai budaya dan
faktor-faktor etnohistory serta bagaimana faktor-faktor ini

75
dihubungkan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia
dalam lingkungan yang berbeda.

h. Environmental Context
Konteks lingkungan mengacu pada totalitas suatu lingkungan
(fisik, geografis, dan sosial budaya), situasi, atau peristiwa dengan
pengalaman terkait yang memberikan makna interpretasi untuk
membuat ekspresi dan keputusan manusia dengan merujuk pada
lingkungan atau situasi tertentu.
i. Ethnohistory
Ethnohistory mengacu pada urutan fakta, peristiwa, atau
perkembangan dari waktu ke waktu sebagaimana diketahui,
disaksikan, atau didokumentasikan tentang orang-orang yang ditunjuk
dari suatu budaya.
j. Emic
Emic mengacu pada pandangan dan nilai lokal, asli, atau orang
dalam tentang suatu fenomena
k. Etic
Etic mengacu pada pandangan orang luar atau lebih universal dan
nilai-nilai tentang suatu fenomena.
l. Health
Kesehatan mengacu pada keadaan kesejahteraan atau keadaan
restoratif yang secara budaya dibentuk, didefinisikan, dinilai dan
dipraktikkan oleh individu atau kelompok dan yang memungkinkan
mereka berfungsi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
4. Transcultural Nursing
Keperawatan transkultural mengacu pada bidang formal pengetahuan dan
praktik humanistik dan ilmiah yang berfokus pada fenomena dan
kompetensi culture care yang holistik untuk membantu individu atau
kelompok mempertahankan atau mendapatkan kembali kesehatan mereka

76
dan untuk menangani cacat, sekarat, atau lainnya. Kondisi manusia dengan
cara-cara yang kongruen dan bermanfaat secara budaya.
5. Culture Care Preservation or Maintenance
Mempertahankan perawatan kultural mengacu kepada semua bantuan,
dukungan, fasilitas atau pengambilan keputusan dan tindakan profesional
yang memungkinkan yang dapat menolong orang lain dalam suatu
kebudayaan tertentu dan mempertahankan nilai perawatan sehingga mereka
dapat memperthanakan kesejahteraannya, pulih dari penyakit atau
menghadapi rintangan mapun kematian.
6. Culture Care Accommodation or Negotiation
Teknik negosiasi atau akomodasi perawatan kultural mengacu pada semua
bantuan, dukungan, fasilitas, atau pembuatan keputusan dan tindakan
kreatifitas profesional yang memungkinkan yang menolong masyarakat
sesuai dengan adaptasi kebudayaan mereka atau untuk bernegosiasi dengan
fihak lain untuk mencapai hasil kesehatan yang menguntungkan dan
memuaskan melalui petugas perawatan yang professional
7. Culture Care Repatterning or Restructuring
Restrukturisasi perawatan transkultural mengacu pada seluruh bantuan,
dukungan, fasilitas atau keputusan dan tindakan profesional yang dapat
menolong klien untuk mengubah atau memodifikasi cara hidup mereka agar
lebih baik dan memperoleh pola perawatan yang lebih menguntungkan
dengan menghargai keyakinan dan nilai yang dimiliki klien sesuai dengan
budayanya.
8. Culturally Competent Nursing Care
Perawatan keperawatan yang kompeten secara budaya mengacu pada
penggunaan eksplisit perawatan berbasis budaya dan pengetahuan kesehatan
dalam cara yang sensitif, kreatif, dan bermakna agar sesuai dengan
kehidupan dan kebutuhan umum individu atau kelompok untuk kesehatan
dan kesejahteraan yang bermanfaat dan bermakna, atau untuk menghadapi
penyakit, cacat , atau kematian.
9. Paradigma Keperawatan

77
a. Manusia
Manusia adalah individu atau kelompok yamg memiliki nilai-nilai
dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menentukan pilihan
serta melakukan tindakan. Menurut Leininger, manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat
dimanapun ia berada.
b. Kesehatan
Kesehatan mengacu pada keadaan kesejahteraan yang didefinisikan
secara kultural memiliki nilai dan praktek serta merefleksikan
kemampuan individu maupun kelompok untuk menampilkan kegiatan
budaya mereka sehari-hari, keuntungan dan pola hidup.

c. Lingkungan
Lingkungan mengacu pada totalitas dari suatu keadaan, situasi,
atau pengalaman-pengalaman yang memberikan arti bagi perilaku
manusia, interpretasi, dan interaksi sosial dalam lingkungan fisik,
ekologi, sosial politik, dan atau susunan kebudayaan.
d. Keperawatan
Keperawatan mengacu kepada suatu pembelajaran humanistik dan
profesi keilmuan serta disiplin yang difokuskan pada aktivitas dan
fenomena perawatan manusia yang bertujuan untuk membantu,
memberikan dukungan, menfasilitasi, atau memampukan individu
maupun kelompok untuk memperoleh kesehatan mereka dalam cara
yang menguntungkan yang berdasarkan pada kebudayaan atau untuk
menolong orang-orang agar mampu menghadapi rintangan dan
kematian. Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian
kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai
dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan
memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang
digunakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Leininger, 2002)
adalah :

78
- Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya Berolah raga
setiap pagi
- Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang
lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat
memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani yang lainnya.
- Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi
gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok.
Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan
dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
10. Proses Keperawatan Transkultural.
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam
menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan
dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model) seperti yang terdapat pada
gambar.

79
Pengkajian dirancang berdasarkan komponen yang ada pada “Sunrise Model”
yaitu :
1) Faktor teknologi (tecnologicals factor)
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan maka perawat perlu
mengkaji berupa: persepsi pasien tentang penggunaan dan pemanfaatan
teknologi untuk mengatasi permasalah kesehatan saat ini, dan alasan
mencari bantuan kesehatan.
2) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yangamat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawatadalah :
agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap

80
penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak
positif terhadap kesehatan.
3) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : namalengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin,status, tipe
keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, danhubungan klien
dengan kepala keluarga.
4) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkanoleh
penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya
adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada
penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :posisi dan
jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan,
kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi
sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan
diri.
5) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segalasesuatu
yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhankeperawatan lintas
budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikajipada tahap ini adalah :
peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah
anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.
- Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan
klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor
atau patungan antar anggota keluarga.
- Faktor pendidikan (educational factors)

81
Tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. Latar
belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh
jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan
klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah
yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap
budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta
kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
Tindakan dalam model keperawatan ini terdiri dari 3 yaitu
maintenance, negosiaasi, dan restructuring.
11. Contoh Aplikasi Teori Culture Care
Kasus:
Luka post op Tn. X tidak kunjung sembuh, padahal operasi sudah 2 minggu
yang lalu. Setelah dilakukan pengkajian, ternyata selama ini pola makan
pasien tidak bagus dan rendah protein, yaitu pasien tidak mau makan ikan
karena percaya kalau makan ikan nanti lukanya gatal dan bila minum
banyak lukanya basah sehingga lama sembuh.
Tindakan keperawatan
Sebelum mengambil tindakan, maka terlebih dahulu perawat harus
melakukan pengkajian. Berdasarkan teori model Leininger, maka ada 3
tingkatan pengkajian yang harus dilakukan oleh perawat.
Tingkat 1: Perawat mengumpulkan data tentang konteks bahasa dan
lingkungan, teknologi, filosofi/agama, hubungan keluarga, struktur sosial,
nilai budaya, politik, sistem hukum, ekonomi, dan pendidikan.
Tingkat 2: Perawat melakukan pengkajian tentang apakah pasien hidup
sendiri, bersama keluarga, kelompok, atau lembaga.
Tingkat 3: Perawat melakukan pengkajian tentang nilai kesehatan, sistem
kesehatan, kepercayaan, perilaku kelompok, dan peran perawat.
Langkah selanjutnya melakukan tindakan keperawatan, karena pasien
memiliki perilaku dan budaya yang salah atau bertentangan dengan
kesehatan yaitu percaya jika makan protein dan minum banyak lukanya

82
akan sulit sembuh, maka perawat harus mengambil tindakan
“restructuring/rekonstruksi asuhan kultural”, yaitu membantu pasien
merubah perilaku kesehatannya atau pola hidupnya. Perawat memberikan
penjelasan kepada pasien bahwa alasanya tersebut tidak benar, sehingga
kemudian pasien akan merubah perilakunya

83
O. Pengkajian Asuhan keperawatan Budaya
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
klien sesuai dengn latar belakang budaya klien (Goger and Davidhizar, 1995).
Tujuan dari pengkajian budaya adalah untuk menghasilkan informasi
signifikan dari klien dan pemahaman yang memungkinkan perawat untuk
menerapakan asuhan keperawatan yang sesuai (Leininger and McFarland).
Selain itu, pengkajian asuhan keperawatan budaya memiliki tujuan lain,
diantaranya :
1) untuk menemukan budaya keperawatan klien, pola kesehatan serta
makan yang berkaitan dengan pandangan klien cara hidup, nilai-nilai
budaya, kepercayaan dan faktor struktur sosial.
2) untuk mendapatakan informasi budaya keperawatan secara menyeluruh
sebagai dasar kuat untuk penentuan keputusan dan tindakan asuhan
keperawatan.
3) untuk menemukan pola-pola keperawatan budaya tertentu yang dapat
digunakan untuk membuat keputusan keperawatan yang sesuai dengan
nilai-nilai klien, cara hidup, dan untuk menemukan pengetahuan apa
yang dapat membantu klien.
4) Untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi mengalami konflik
budaya, bentrokan dan daerah yang terasingkan aibat perbedaan nilai
emik dan etik antara klien dan tenaga kesehatan profesional.
5) untuk mengidentifikasi perbandingan informasi keperawatan budaya
antar klien mengenai perbedaan atau persamaan budaya, yang dapat
dibagi dan digunakan dalam praktek kinis, pengajaran dan penelitian.

Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise


Model" yaitu :

a) Faktor teknologi (tecnological factors)


Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan.
Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau

84
mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan
klien memilih pengobatan alternative dan persepsi klien tentang
penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan
kesehatan saat ini.
b) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan
yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan
motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas
segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama
yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status
pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara
pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap
kesehatan.
c) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor :
nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
d) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan
ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau
buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang
mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait.
Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang
dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan
makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi
sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan
diri.
e) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah
segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam

85
asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995).
Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan
kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota
keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.
f) Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-
sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar
segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat
diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya
asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota
keluarga.
g) Faktor pendidikan (educational factors)
klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh
keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian
biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
h) Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh
buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan
klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara
aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang
kembali.
Perlu diingat, ada beberapa prinsip-prinsip pengkajian budaya yan
dikemukakan oleh Efy Afifah, S.Kp, M.Kes, yaitu:
 Jangan berasumsi

86
 Jangan membuat stereotip
 Menerima dan memahami metode komunikasi
 Menghargai perbedaan
 Menghargai kebutuhan individual
 Tidak membeda-bedakan keyakinan klien
 Menyediakan privacy terkait kebutuhan klien

87
88

P. Aplikasi keperawatan transcultural sepanjang daur kehidupan manusia


1. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial
dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu,
fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering
ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok
masyarakat (Jordan, 2016).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek
kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu
merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan
masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang
makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil
makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung
pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir
dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia
kehamilan tujuh bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita
hamil tersebut selamat dalam proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir
pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya
sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya
dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos
tersebut dinamakan ulos parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini
masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam
menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan
bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan,
bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan
yang optimal bagi klien dan keluarga.
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat
yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari
peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat

88
89

adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk
menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan
brokohan.
Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan
dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang
menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh
perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu
oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya
adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun
bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut
balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat
digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan,
sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh
diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi
bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui
proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula
yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi
budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata
berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun
harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian,
sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur
unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang
sesuai keperluan itu.
Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya
banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan
itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan-bahan lainnya yang
diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.
Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan
dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja,
melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-

89
90

hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran,


persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah
tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan
ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat
kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta
perawatan bayi dan ibunya.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami
kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut
untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan
komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat
etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta
pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang
dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi
waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap
warisan budaya keluarganya.
2. Perawatan dan Pengasuhan Anak
Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa
transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut
serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan
budaya, perawat harus paham dan bias mengaplikasikan pengetahuannya
pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi
transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan
simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar
kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu
dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak
sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.
Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima)
sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu:

90
91

Pertama,sistem mikro yang terkait dengan setting individual di


mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman
sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.
Kedua,sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di
dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan
teman sebaya.
Ketiga,sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh
dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki
pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang
tua dan media massa. Keempat,sistem makro yang merupakan budaya di
mana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata
sosial masyarakat.
Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis
transisional (kondisi sosio-historik).
Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara
sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan
pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan
media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling
mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase,
yaitu:
a. Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum
terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri
sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase
ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini
masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”.
b. Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal
lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari
lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi,karena
anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan
orangtuanya.

91
92

c. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam


sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas
rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki
maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu
untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
d. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi
hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan
penghargaan,tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu
dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah
mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di
sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam
tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh
budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan
pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku
perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan
kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan
membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat
juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses
perkembangan. Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan
sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas
perkembngan.
Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara
kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang
budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan
psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan
sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang
intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang
berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak

92
93

yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan


anak.
Pada umumnya aplikasi teori keperawatan transkultural dalam
keperawatan diharapkan adanya kesadaran dan apresiasi terhadap
perbedaan kultur. Hal ini berarti perawat yang professional memiliki
pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur secara konsep
petencanaan dan untuk praktik keperawatan. Tujuan penggunaan
keperawatan transkultural adalah untuk mengembangkan sains dan pohon
keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur
yang spesifik dan universal kultur yang spesifik adalah kultur dengan
nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh kelompok lain. Kultur
yang universal adalah nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan
dilakukan hampir semua kultur seperti budaya minum teh yang dapat
membuat tubuh sehat.
Q. Aplikasi keperawatan transcultural dalam permasalahan kesehatan
pasien
1. Aplikasi dalam konteks penyakit Diabetes Militus
Laki-laki berusia 50 tahun, pingsan saat rapat di kantornya, kadar
gula mencapai 450 mg/dL, dua tahun didiagnosis menderita diabetes
mellitus, dan kesulitan mengatur pola makan dan aktivitas karena
kebiasaan budaya jawanya. Analisis Kasusnya adalah,pasien mengidap
diabetes mellitus tipe II dimana diabetes mellitus tipe ini kebanyakan
diderita pada klien dengan usia di atas 40 tahun. Penderita diabetes
mellitua tipe II biasanya dapat terkendali dengan mennurunkan obesitas.
Namun dalam menangani kasus ini, terdapat beberapa kendala berupa
kebiasaan budaya Jawa yang menyukai makanan manis serta pola hidup
yang kurang aktivitas fisik. Seharusnya, seseorang yang menderita
diabetes mellitus tipe II, perilaku mengurangi makanan manis dan
dianjurkan melakukan banyak latihan fisik agar dapat menurunkan
obesitas.

93
94

Aplikasi transkutural yang dilakukan Perawat adalah memberikan


pendidikan kesehatan mengenai deskripsi diabetes mellitus, metode diet
serta bahaya diabetus mellitus, mengkaji jenis makanan yang akan
dikonsumsi serta menghimbau pola makan yang sesuai untuk diet yang
tentunya diterima oleh buadaya pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan
mennganti gula yang di tolelir oleh poeb deriata diabetes mellitus. Selain
itu, dapat dianjurkan pula diet diabetes dengan memvariasikan makanan
dengan protein rendah lemak, seperti kacang kedelai, tahu ataupun ikan
panggang. Memberikan penyuluhan begi penderita untuk melakukan
aktivitas fisik berupa olahraga, dan memberikan asuhan kesehatan selama
masa medikasi untuk menjaga kondisi kesehatan pasien agar terjadi
peningkatan kesehatan. Seorang perawat profesional perlu memperhatikan
perbedaan nilai budaya sang klien serta mengaplikasikan keperawatan
transkultural dalam memberikan asuhan keperawatan. Keperawatan
transkultural dapat direvitalisasi dalam penanganan penyakit kronis
misalnya diabetes mellitus. 

2. Herbal dan Kesehatan Reproduksi Wanita


Saat ini di masyarakat pada umumnya semakin sadar akan
pentingnya kembali ke alam untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Alam dari dulu sebenarnya telah menyediakan berbagai macam obat yang
selama ribuan tahun yang lalu, dimana oleh nenek moyang dimanfaatkan
manusia secara turun-temurun.
Semakin meningkatnya kesadaran tersebut, riset-riset ilmiah pun
kini semakin banyak diarahkan pada bahan-bahan alami. Obat-obatan dari
tanaman disebut dengan herbal atau jamu yang diproses secara modern
dan didukung hasil riset semakin banyak tersedia. Salah satu tujuan dari
pengobatan herbal adalah membantu tubuh mengembalikan keharmonisan
atau keseimbangan tubuh. Pada kesehatan reproduksi perempuan herbal
juga sudah digunakan sebagai salah satu baik sebagai pencegahan maupun

94
95

pengobatan penyakit misalnya pada penyakit kanker reproduksi, masalah


menstruasi, menyusui dan lain sebagainya.
Keperawatan maternitas melihat penggunaan herbal sebagai
alternative dalam tindakan keperawatan Kaena herbal merupakan hasil
kekayaan alam dan biasanya dalam penggunaanya berkaitan dengan
budaya/kultur setempat maka dapat dilakukan dengan pendekatan
transkultural.
Masalah kesehatan perempuan dan anak yang semakin kompleks
menuntut penyelesaian yang komprehensif dan membutuhkan
penatalaksanaan perawat yang berpengalaman dan kompeten sehingga
mampu berespons dengan tepat terhadap permasalahan kesehatan yang
ada.
Implementasi keperawatan maternitas yang profesional
memerlukan dasar yang kokoh dalam aplikasinya. Pelayanan ini akan
kokoh apabila didasari konsep kuat dan relevan sehingga pelayanan yang
diberikan dapat menyelesaikan masalah dan berkualitas. Salah satu
konsep yang dapat dipakai dalam mendasari pelayanan keperawatan
maternitas profesional sesuai dengan kompetensi adalah : Caring, Family
Centered Care, konsep adaptasi, bonding attatchmen, ekslusif breast
feading, self care, hospitalisasi, konsep kehilangan, safety and injury
prevention dan trunscultur dalam praktik keperawatan.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1109 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pengobatan
komplementer sebagai alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut
aturan itu, pelayanan komplementer-alternatif dapat dilaksanakan secara
sinergi, terintegrasi, dan mandiri di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengobatan itu harus aman, bermanfaat, bermutu, dan dikaji institusi
berwenang sesuai dengan ketentuan berlaku.
Di dalam salah satu pasal dari Permenkes tersebut menyebutkan
bahwa pengobatan tradisional dapat dilaksanakan dan diterapkan pada
sarana pelayanan kesehatan sebagai pengobatan alternatif di samping

95
96

pelayanan kesehatan pada umumnya. Di dalam pasal lain disebutkan


bahwa pengobatan tradisional komplementer dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki keahlian/keterampilan di bidang terapi
radisional atau oleh tenaga lain yang telah memperoleh pendidikan dan
pelatihan. Sementara pendidikan dan pelatihan dilakukan sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku.
Penggunaan obat tradisional (herbal) merupakan bagian dari
pengelolaan pelayanan keperawatan komunitas dalam rangka
meningkatkan kesehatan individu, kelompok dan komunitas (Stoner, 1982
dalam Mulyadi, 2005; Stanhope Lancaster, 1996). Termasuk didalamnya
pelayanan keperawatan maternitas di komunitas. Misalnya kesehatan ibu
hamil, ibu menyusui dll yang membutuhkan peningkatan kesehatan
dengan menggunakan obat-obatan dari tanaman disekitarnya, yang
teentunya harga murah, mudah dan lebih terjangkau oleh lapisan
masyarakat. Atau kebutuhan masyarakat untuk menggunakan terapi
komplementer misalnya obat tradisionil yang sudah diracik.
Jenis metode dalam terapi komplementer lainya seperti akupuntur,
chiropractic, pijat refleksi, yoga, homeopati, terapi polaritas atau reiki,
teknik-teknik relaksasi, termasuk hipnoterapi, meditasi, visualisasi,
tanaman obat herbal dan sebagainya. Obat- obat yang digunakan bersifat
natural/ mengambil bahan dari alam, seperti jamu-jamuan, rempah yang
sudah dikenal (jahe, kunyit, temu lawak dan sebagainya).
Dengan pendekatan teori trunskultural perawat dapat
memanfaatkan terapi ini dalam melaksanakan praktiknya. Tetapi dalam
pelaksanaanya harus dilakukan oleh seorang dibawah lisensi (telah
mempunyai sertifikat resmi). Sebagaimana yang dirumuskan oleh
Cushman dan Hoffman, 2001 ‖The authors provide an overview of
complementary and alternative medicine and three modalities
commonly encountered and occasionally practiced by nurses and other
licensed health care professionals: acupuncture, Reiki, and botanical
healing. (Cushman,Hoffman, 2001).

96
97

Pelayanan keperawatan yang profesional harus dapat dibuktikan


dan disarakan dampak positifnya oleh klien. Dampak dari pelayanan
keperawatan tervalidasi dengan indikator yang jelas dan terukur. Indikator
dalam memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas adalah
sebagai berikut:
a. Jaminan keamanan dan perlindungan klien dari tindakan perawat
(Patient safety)
b. Kenyamanan
c. Penambahan Pengetahuan
d. Kepuasan akan pelayanan keperawatan
e. Memberdayakan klien sesuai potensi yang dimiliki (Self care)
f. Jaminan terhadap intervensi keperawatan yang diberikan sehingga
mengurangi kecemasan

97

Anda mungkin juga menyukai