Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIK

MODUL 5
KINETIKA DAN STABILITAS OBAT
Dosen : Ferri Widodo ,S.Si.,Apt.

Oleh Kelompok 4A
Anggota Kelompok:
Monica Andika Putri (155070501111031)
Yuniati Elisabeth (155070501111035)
Iswa Rossariza (155070501111039)
Ni Putu Ayu Meldayani (155070507111005)
Jovana Avioleza (155070501111037)
Doya Fitri Anggraini (155070507111007)
Dian Nugra N F (155070507111001)
Dariin Herryanti S (155070507111003)
Dewi Mutiah (155070501111033)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN - UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2016
I. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum Kinetika dan Stabilitas Obat ini adalah dapat
melakukan uji stabilitas obat, dapat menentukan orde reaksi penguraian obat,
dapat menentukan laju penguraian obat dan dapat menggunakan data kinetika
reaksi penguraian obat untuk menentukan waktu paruh dan waktu kadaluarsa.

II. Teori Dasar


Stabilitas obat didefinisikan sebagai kapasitas suatu zat aktif atau sediaan
dalam mempertahankan spesifikasi yang telah ditentukan yang mencakup
identitas zat aktif, kekuatan sediaan, kualitas dan kemurniannya sampai batas
waktu yang ditetapkan sebagai waktu kadaluarsa. Terdapat lima jenis stabilitas
yaitu stabilitas kimia, stabilitas fisika, stabilitas mikrobiologi, stabilitas terapi dan
stabilitas toksikologi. Ketidakstabilan secara kimia melibatkan beberapa proses
yaitu hidrolisis, oksidasi, isomerisasi, dekomposisi fotokimia, dan polimerisasi.
Sedangkan yang tergolong ketidakstabilan secara fisika adalah polimorfisme,
pecahnya emulsi, pengurangan atau peningkatan laju disintegrasi sediaan solida,
pengendapan pada sediaan likuida. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kestabilan suatu zat antara lain panas, cahaya, kelembapan, oksigen, pH,
mikroorganisme dan bahan tambahan yang dipergunakan dalam formulasi obat.
Sebagai contoh adalah vitamin C yang mudah mengalami oksidasi, kloramfenikol
yang mudah mengalami hidrolisis karena memiliki gugus amida atau aspirin yang
memiliki gugus ester. Kestabilan suatu zat dapat ditentukan secara kimia dengan
cara menghitung konstanta kecepatan reaksi (Lachman L,1986)

Kecepatan reaksi didefinisikan sebagai besarnya perubahan konsentrasi zat


pereaksi dan hasil reaksi per satuan waktu (± dC/dt). Artinya terjadi penambahan
(+) atau pengurangan (-) konsentrasi C dalam selang waktu dt.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi pada sediaan


berbentuk likuid adalah suhu, pelarut, pH, dan cahaya. Faktor suhu dalam
mempengarui kecepatan rekasi sediaan likuid sesuai dengan persamaan
Arrhenius: k = A.e-Ea/RT , dimana k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah
faktor frekuensi, Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas, dan T adalah
suhu mutlak.
1. Pelarut memiliki polaritas, kekuatan ionik dan nilai konstanta dielektrik
yang akan memberikan pengaruh terhadap kecepatan rekasi suatu zat
dalam sediaan likuid mengingat ketiga hal tersebut mempengaruhi
kelarutan.
2. pH. Reaksi penguraian beberapa larutan obat dapat dipercepat oleh
penambahan asam (H+) atau basa (OH-). Katalisator semacam ini disebut
katalisator basa khusus.
3. Cahaya. Energi radiasi cahaya dapat diabsorpsi oleh beberapa molekul zat
sehingga menyebabkan molekul berada pada kondisi tereksitasi dan
menjadi tidak stabil. Cahaya denganpanjang gelombang pendek (UV)
lebih potensial menyebabkan degradasi dibanding panjang gelombang
yang lebih panjang. (Ansel H,1985)

Orde atau tingkat reaksi adalah banyaknya faktor konsentrasi yang turut
berperan dalam menentukan kecepatan reaksi. Berdasarkan hukum aksi massa,
suatu garis lurus diperoleh jika kecepatan reaksi diplot sebagai fungsi dari
konsentrasi reaktan dipangkatkan dengan bilangan tertentu.
1. Orde Reaksi Nol. Hal ini terjadi apabila kecepatan reaksi tidak tergantung
kepada konsentrasi reaktan, sehingga pada tingkat reaksi ini akan terjadi
perubahan konsentrasi yang konstan setiap waktu. Hal ini dijelaskan pada
persamaan berikut ini:
−𝑑𝐶𝑑𝑡 = ko. C …………………………………………(1)
−𝑑𝐶𝑑𝑡 = ko …………………………………………….(2)

-dC = ko. d t ……………………………………….(3)


dC = - (ko. d t) …………………………………….(4)
Jika (4) diintegralkan terhadap t, maka dihasilkan:
∫𝑑𝐶𝐶𝑡𝐶𝑜 = -ko ∫𝑑𝑡𝑡𝑜 ………………………………….(5)
Ct – C0 = -ko. T …………………………………...(6)
t= Co−Ctko atau k0 (mol/liter.detik) = Co−Ctt .…(7)
Saat Ct = ½ Co, maka waktu paruh (t½) = 12 𝐶𝑜𝑘𝑜 ……………….(8)
dimana t½ adalah waktu paruh (half life), yaitu waktu (t) yang dibutuhkan
suatu zat untuk terurai menjadi setengah dari konsentrai semula (C0).
Kemudian, usia guna atau shelf life atau waktu kadaluarsa (t90%) adalah
konsentrasi obat pada waktu tertentu (Ct) adalah 90% dari konsentrasi
awal (C0), ini dapat diperhitungkan menggunakan persamaan:
t90% = 0.1𝐶𝑜𝑘𝑜 ………………………………….(10)
2. Orde Reaksi Satu. Tingkat reaksi ini terjadi apabila kecepatan reaksi
tergantung pada konsentrasi suatu pereaksi, digambarkan persamaan
berikut:
−dCdt⁄ = k1. C ………………………………….(11)
dCdt⁄ = - (k1. C) ………………………………..(12)
Jika diintegralkan masing-masing terhadap c dan t (pada suatu waktu
tertentu), maka:
∫dC/CtCtCo = -k1 . C ………………………………....(13)
ln Ct – ln C0 = -k1 . t ..………………………..…..(14)
log Ct – lg C0 = −k1 . t2.303 ……………………….…....(15)
logCtCo = −k1 . t2.303 ………………………………….…….(16)
logCoCt = k1 . t2.303 …………………………………………(17)
t = logCoCt 2.303k1 atau k1 (detik-1) = logCoCt 2.303t ….(18)
Saat Ct = ½ C0, maka waktu paruh (t½) = 2.303log2k1 = 0.693. k1-1
……..(19) dan waktu kadaluarsanya adalah t 90% =log Co0.9 Co 2.303k1
= 0.1k1 ……………………(20)

3. Orde Reaksi Dua (Bimolekular). Tingkat reaksi ini terjadi jika kecepatan
reaksi tergantung pada konsentrasi dua jenis reaktan: A + B → P.
-dC/dt = k2 (A) (B) ……………………………….(21)
Bila kadar awal reaktan A dan B sama, maka:
−dAdt = −dBdt ………………………………………………………(22)
(Y + Z
-dC/dt = k2 (A)Y (B)Z ……………………………………..…(23) →
= 2)

-dC/dt = k2 C2 ……………………………………………......(24)
Jika diintegralkan terhadap c dan t, maka:
−∫dCCtCo/C2 = k2 ∫dtt0 ………………………………………..(25)
1Ct - 1Co = k2 t …………………………………..………………..(26)
Co−CtCt . Co = k2 t …………………………………………………....(27)
t = Co−CtCt . Co . k2 dan k2 (liter/mol.detik) = Co−CtCt . Co . t
…………..(28)
Saat Ct = ½ C0, maka waktu paruh (t½) = Co−CtCt . Co . t = C0-1 . k -1
…….(29) dan waktu kadaluarsanya adalah t90% = Co−CtCt . Co . t = 1/9
C0-1 . k-1 ……….(30)

Secara garis besar analisis hasil uji stabilitas obat dilakukan sebagai
berikut:
1. Penentuan konsentrasi sampel
Berdasarkan masing-masing monografi zat
2. Penentuan tingkat reaksi
Dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu:
 Ditentukan dengan cara mensubstitusikan konsentrasi zat yang
diperoleh dalam persamaan tingkat reaksi. Jika diperoleh harga yang
relatif konstan, maka reaksi berlangsung pada tingkat reaksi tersebut.

 Dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara konsentrasi zat


yang diperoleh terhadap waktu.

 Dilakukan dengan menentukan waktu paruh. Secara umum, t ½ = 1 /


(C) n-1. Jika dilakukan dua percobaan dengan konsentrasi yang
berbeda, maka dibandingkan sebagai berikut:
(t1/2)1 = (C2)-1 = C2 n-1
(t 1/2)2 = (C1)n-1 = C1
log (t1/2)1 = (n-1) log C2
(t 1/2)2 C1
n = log (t ½)1 / (t ½)2 + 1 log C2 / C1
3. Menentukan harga k suhu percobaan

Harga k ditentukan menggunakan persamaan yang sesuai dengan orde


reaksi yang telah ditentukan. Harga k yang digunakan untuk tahap
perhitungan selanjutnya adalah harga k rata-rata dari setiap waktu
pengujian.
4. Menentukan nilai Ea (energi aktivasi)

Nilai Ea diperoleh dengan menghitung slope dari grafik hubungan


antara 1/T (T adalah suhu percobaan dalam Kelvin) terhadap log k atau
ln k.
Untuk grafik 1/T vs log k, maka slope = -Ea/2.303. R.
Untuk grafik 1/T vs ln k, maka slope = -Ea/R
5. Menentukan harga k25 (k pada suhu 25o C)

Sesuai dengan persamaan Arhenius maka harga k25 didapat dengan


membandingkan dua nilai k pada dua suhu yang berbeda.
log (k2/k25) = Ea . (T2−T25)2.303 . R T2 T25
Keterangan: T2 adalah suhu percobaan (Kelvin), dan T25 adalah suhu
kamar (Kelvin).
6. Menentukan usia guna dan waktu paruh
Usia guna dan waktu paruh ditentukan sesuai dengan rumus untuk
masing-masing orde. Konsentrasi saat waktu paruh adalah setengah dari
konsentrasi awal sedangkan konsentrasi pada saat waktu kadaluarsa
adalah 90% dari konsentrasi awal.
Uji satibilitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas zat aktif
ataupun sediaan selama periode tertentu dimana terpapar oleh berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi stabilitas zat tersebut seperti suhu, kelembapan dan
cahaya. Karena suatu sediaan umumnya diproduksi dalam skala yang besar dan
membutuhkan proses yang panjang untuk sampai di tangan konsumen, maka perlu
dipastikan stabilitas obat tersebut memenuhi syarat atau tidak. Jika tidak maka
penyimpanan obat dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan dosis zat
aktif berkurang ataupun terurai menjadi toksik. Oleh karena itu maka penentuan
waktu kadaluarsa dan kondisi penyimpanan sediaan yang tepat harus ditentukan
berdasarkan hasil uji stabilitas yang telah dilakukan (Susanti dra,2001)
Pada umumnya uji stabilitas terdiri dari tiga macam sesuai dengan kondisi
serta lama pengujiannya. Pertama adalah uji stabilitas jangka panjang (real
time/ongoing/long term stability testing) yang dilakukan pada kondisi pengujian
(berdasarkan ICH) adalah 25o C ± 2o C dengan RH 60% ± 5% atau 30o C ± 2o C
dengan RH 65% ± 5% dengan minimum waktu pengujian adalah 12 bulan.
Sampel diambil pada waktu kw 0, 3,6, 12, 18, 24, dan 36 jika memang dilakukan
sampai tahun ke 3. Yang kedua adalah uji stabilitas jangka pendek (accelerated
stability testing) yang dilakukan pada kondisi pengujian (berdasarkan ICH) 40o C
± 2o C dengan RH 75% ± 5% selama minimum 6 bulan. Sedangkan yang ketiga
adalah stress test yaitu uji stabilitas dengan memberikan paparan kondisi yang
ekstrim untuk zat yang akan diuji. Kondisi pengujian disesuaikan dengan
sensitivitas sediaan yang akan diuji. Kondisi pengujian yang disebutkan diatas
adalah kondisi pengujian yang ditetapkan oleh ICH dan berlakuk secara umum
utnuk semua negara di dunia sedangkan kondisi pengujian khusus negara-negara
ASEAN sesuai dengan Asean tability Testing Guidelines ditunjukkan pada Tabel
1.

Type Condition
Product in primary containers 30 oC ± 2 oC / 75% ± 5% RH
permeable to water vapour
Product in primary containers 30 oC ± 2 oC / RH not specified
impermeable to water vapour
Accelerated studies 40 oC ± 2 oC / 75% ± 5% RH
Stress studies Unnecessary if accelerated studies at
above conditions are available

Aspirin (asetosal) mengandung tidak kurang dari 99,5% C9H8O4 , dihitung


terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian: hablur tidak berwarna atau serbuk
hablur putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau; rasa asam. Kelarutan: agak
sukar larut dalam air,mudah larut dalam etanol (95%); larut dalam kloroform P
dan dalam eter (Depkes RI, 1979).

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum adalah labu takar 100 ml, oven,
labu takar 50 ml, pipet volume 1 ml, pipet volume 5 ml, pipet ukur 15 ml, tabung
reaksi, dan stopwatch. Bahan yang digunakan adalah aspirin 200 mg, asam
salisilat 5 mg, etanol 90 % , dan aquades.

IV. Prosedur Kerja


4.1 Menentukan Persamaan Kurva Baku
Asam salisilat 5 mg
Dilarutkan dalam etanol secukupnya
Ditambahkan aquadest sampai volume larutan 10 ml
Dilarutkan pengenceran sehingga menghasilkan larutan standard dgn
konsentrasi 10,20,25,30,35,40 ppm. Masing-masing larutan standard
buat 10 ml
Dilakukan pemeriksaan panjang gelombang maksimum larutan asam
salisilat dan dibandingkan dengan λ maksimal pada literatur
Ukur absorbansi masing-masing larutan standard sesuai dengan
panjang gelombang maksimum yang telah didapatkan.
Dibuat kurva antara konsentrasi dan absorbansi serta ditentukan
persamaan kurva baku
Hasil

4.2 Hidrolisis Aspirin (ASA)


Aspirin
Ditimbang 200 mg lalu dilarutkan dalam 2 ml etanol
Dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml lalu ditambahkan aquadest
hingga tanda batas
Dipipet 10 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setiap uji suhu
sampe yg diperlukan adalah untuk pengambilan pada titik waktu ke
0,15,3,0,45,60 menit.
Dimasukkan masing-masing sampel ke dalam oven yang telah diatur
suhunya sesuai dengan percobaan yaitu 60°C,70°C dan 80°C
Pada saat titik waktu (t) ke: 0,15,30,45,60 menit diambil masing-masing
tabung reaksi yg sesuai lalu masukkan ke dalam kulkas selama 10 menit
Ditambahkan 14 ml aquadest ke dalam tabung reaksi dan
dihomogenkan
Diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 296 nm
Dilakukan prosedur yang sama hingga titik waktu 60
Ditentukan konsentrasi Salicylic Acid (SA) dalam setiap sampel
menggunakan persamaan kurva baku.
Dihitung jumlah ASA terdegradasi pada setiap sampel
Dihitung jumlah ASA yang masih utuh dalam sampel
(mg ASA utuh = bobot awal ASA – bobot ASA terdegradasi)
Dilakukan percobaan data untuk masing-masing
Ditentukan orde reaksi dengan membuat plot antara data yang sesuai
hingga sesua garis linear
Dihitung kecepatan reaksi (k) pada setiap suhu
Dibuat grafik antara 1/T vs log k
Dihitung harga K25 (k pada suhu kamar)
Dihitung waktu paruh
Dihitung waktu kaldaluarsa
Hasil

V. Perhitungan Khusus
5.1 Kecepatan Reaksi
V= k(A)a x (B)b
5.2 Persamaan Arhenius
K = A.e –Ea/RT
K = konstanta
A = Faktor frekuensi
Ea = Energi Aktivasi
R = Konstanta Gas
T = suhu mutlak
5.3 Waktu paruh (t1/2)
a) Orde 0
1/2C 0
t1/2 =
k
b) Orde 1
0,693
t1/2 = k
c) Orde 2
C o−C t
t1/2 = C . C . t = C o−1 .k −1
t o

5.4 Waktu Kadaluarsa


a) Orde 0
0,1C 0
t90 =
k
b) Orde 1
0,105
t90 = k
c) Orde 2
C −C 1 −1 −1
t1/2 = C . C . t = 9 C o . k
o t

t o

5.5 Menetukan nilai Ea


Grafik 1/T vs log k:
−Ea
Slope =
2,303. R
5.6 Menentukan k25
Ea(T 2 −T 25 )
Log (k2/k25) =
2,303. R . T 2 .T 25
5.7 Pengenceran Larutan Induk Asam Salisilat
a. 10 ppm  M1.V1 = M2.V2
10.10 = 500. V2 , V2 = 0.2 ml
b. 15 ppm  M1.V1 = M2.V2
15.10 = 500. V2 , V2 = 0.3 ml
c. 20 ppm  M1.V1 = M2.V2
20.10 = 500. V2 , V2 = 0.4 ml
d. 25 ppm  M1.V1 = M2.V2
25.10 = 500. V2 , V2 = 0.5 ml
e. 30 ppm  M1.V1 = M2.V2
30.10 = 500. V2 , V2 = 0.6 ml
f. 35 ppm  M1.V1 = M2.V2
35.10 = 500. V2 , V2 = 0.7 ml
g. 40 ppm  M1.V1 = M2.V2
40.10 = 500. V2 , V2 = 0.8 ml
VI. Tabel Data Pengamatan

6.1 Persamaan Kurva Baku

6.1.1 Gambar di atas merupakan kurva baku asam salisilat

6.1.2 Gambar di atas merupakan kurva Hidrolisis Aspirin suhu 60°C

6.1.3 Gambar di atas merupakan Kurva Hidrolisis Aspirin suhu 70°C


6.1.4 Gambar di atas merupakan Kurva Hidrolisis Aspirin 80°C

6.2 Hidrolisis Aspirin (ASA)


Suhu 1 = 60oC
Wakt Abs Konsentrasi SA ASA Terdegradasi ASA Utuh (ppm)
u (ppm) (ppm)
0 0,181 6.26 8,16 142,88

15 0,268 10,04 13,09 147,64


30 0,443 17,65 23,02 107,92
45 0,613 25,07 32,66 69,36
60 0,693 28,52 37,19 51,8

Suhu 2 = 70oC
Wakt Abs Konsentrasi SA ASA Terdegradasi ASA Utuh (ppm)
u (ppm) (ppm)
0 0,236 8,65 11,28 92,08
15 0,204 7,26 9,47 67,42
30 0,148 4,83 6,30 111,8
45 0,197 6,96 9,08 72,88
60 0,262 9,78 12,76 21,36

Suhu 3 = 80oC
Wakt Abs Konsentrasi SA ASA Terdegradasi ASA Utuh (ppm)
u (ppm) (ppm)
0 0,092 2,6 3,38 152,68
15 0,228 8,3 10,79 48,94
30 0,312 11,96 15,54 -17,56
45 0,324 12,48 16,28 -27,92
60 0,593 24,17 31,53 -241,42

6.3 Orde Reaksi


- suhu 60oC
Orde 0
Wakt Ct y = bx + a
u y = -1,74x+ 156,12
0 142,88 r = - 0,96
15 147,64
30 107,92 R2 = 0,92
45 69,36
60 51,24

Orde 1
Wakt Log Ct y = bx +a
u y = -8,13. 10 -3x +2,225
0 2,155 r = -0,96
15 2,17
30 2,03 R2 = 0,92
45 1,84
60 1,72
Orde 2
Wakt 1/Ct y = bx +a
u y = -2,08.10 -4x + 4,9.10-3
0 6,99.10^-3 r = 0,993
15 6,77.10^-3
30 9,26.10^-3 R2 = 0,89
45 0,014
60 0,019

-Suhu 70oC
Orde 0
Wakt Ct y = bx + a
u y =-0,24x+70,3
0 42,08 r = - 0,36
15 67,42
30 111,8 R2 = 0,13
45 72,88
60 21,30

Orde 1
Wakt Log Ct y = bx +a
u y = 3.10^-4x+0,013
0 1,62 r = 0,047
15 1,83
30 2,03 R2 = 0,22
45 1,86
60 1,33
Orde 2
Wakt 1/Ct y = bx +a
u y = 3.10^-4x+0,013
0 0,024 r = 0,047
15 0,015
R2 = 0,22
30 8,94. 10-3

45 0,014
60 0,047

-Suhu 80oC
Orde 0
Wakt Ct y = bx + a
u y =-5,77x + 155,96
0 152,68 r = - 0,946
15 48,94
30 -17,56 R2 = 0,894
45 -27,92
60 -241,42

Orde 1
Wakt Log Ct y = bx +a
u y = -0,04x + 1,989
0 2,18 r = -0,89
15 1,69
30 - R2 = 0,79
45 -
60 -
Orde 2
Wakt 1/Ct y = bx +a
u y =-6,82.10^-4x + 8,8.10^-3
0 0,019 r = -0,47
R2 = 0,225
15 0,062
30 -0,057

45 -0,036

60 4,14. 10-3
o
Suhu C Orde reaksi Persamaan Garis R2
60 0 y = -1,74x+ 156,12 0,922

1 y = -8,13. 10 -3x +2,225 0,277

2 y = -2,08.10 -4x + 4,9.10-3 0,89

70 0 y =-0,24x+70,3 0,92

1 y =-2,52.10^-3x+1,85 0,13

2 y = 3.10^-4x+0,013 0,79
80 0 y =-5,77x + 155,96 0,89

1 y = -0,04x + 1,989 0,22

2 y =-6,82.10^-4x + 8,8.10^-3 0,225

6.4 konstanta kecepatan reaksi (k) tiap suhu


Suhu oC Suhu K 1/K k Log k
60 333 3,003 x 10-3 -1,74 0,24
70 343 2,915 x 10-3 0,24 -1,77
80 353 2,833 x 10-3 5,77 -0,38

6.5 Grafik 1/T vs Log k


1/T (x) Log k (y) y = bx + a
0,57 0,24 y = -0,066x +0,43
4,167 -1,77
0,17 -0,38 r = - 0,92
R2 = 0,85

−Ea
Slope =
2,303. R
−Ea
b =
2,303.−0,92
Ea = 0,91

6.6 Harga k25


Ea(T 60−T 25)
Log (k60/k25) =
2,303. 0,92 .T 60 .T 25
0,074(333−296)
log k60 – log k25 =
2,303. 0,92. 333 .296
- log k25 = -1,3
k25 = 0,049liter/mol.s

6.7 Waktu Paruh


Orde 0 = 14,286
0rde 1 = 0.033
Orde 2 = 0,0175
6.8 Waktu kadaluarsa
orde 0 = 5,71
orde 1 = 2,45.10^-3
orde 2 = 6,56

VII. Pembahasan

Praktikum farmasi fisik mengenai stabilitas obat ini bahan yang digunakan
adalah aspirin/asetosal yang dilarutkan dengan akuades dan etanol 96% yang diuji
pada tiga suhu yang berbeda, yaitu 60oC, 70oC, dan 80oC. Sementara itu, masing
masing suhu mendapat 5 perlakuan waktu, yaitu titik waktu ke-0, 15, 30, 45 dan
60 menit. Selanjutnya dilakukan penentuan stabilitas obat aspirin menggunakan
metode substitusi berdasarkan nilai konstanta kecepatan reaksi, k 25 dan T90 (waktu
kadaluarsa) serta T1/2 (waktu paruh) dengan menggunakan instrument
spektrofotometer panjang gelombang 296,0 nm sebagai instrumennya.

Proses yang harus dilakukan pertama dalam praktikum ini yaitu


menentukan kurva baku dari asam salisilat yang ditimbang sebanyak 5 mg,
kemudian dilarutkan dengan etanol sampai 10mL. Larutan tersebut selanjutnya
diencerkan dalam labu takar 100mL menjadi konsentrasi 10, 15, 20, 25, 30, 35,
dan 50 ppm. Diuji absorbansinya dengan spektrofotometri pada panjang
gelombang 296,0 nm. Absorbansi yang didapatkan yaitu pada larutan konsentrasi
1 konsentrasi 10 ppm memiliki absorbansi 0,252. Larutan 2 memiliki konsentrasi
15 dengan absorbansi sebesar 0,378. Larutan 3 memiliki konsentrasi 20ppm
dengan absorbansi sebesar 0,470. Larutan 4 memiliki konsentrasi 25 ppm dengan
absorbansi sebesar 0,628. Larutan 5 memiliki konsnetrasi 30 ppm dengan
absorbansi sebesar 0,745. Larutan 6 memiliki konsentrasi 45 ppm dan memiliki
absorbansi 0,845. Sedangkan untuk larutan 7 dengan konsentrasi 40 ppm memiliki
nilai absorbansi sebesar 0,907. Dari hasil ini dibuat plot Beer’s Law dari data
absorbansi vs konsentrasi larutan standard dan ditentukan niai slope yaitu sebesar
0,023, nilai intersept 0,037 dan R sebesar 0,995. Pada hasil pembuatan plot
diperoleh kurva yang terbentuk linear. Hal ini membuktikan praktikum benar,
tidak terjadi kesalahan cara pengenceran ataupun saat pengukuran absorbansi.

Proses kedua yaitu hidrolisis aspirin (ASA). Langkah adalah ditimbang


aspirin/asetosal 200 mg, lalu dilarutkan dalam 30 ml etanol, dimasukkan labu
takar 100 ml , ditambah akuades hingga tanda batas dan dikocok hingga encer
sempurna. Kemudian dipipet 1 ml ke dalam 15 tabung reaksi dan diberi label tiga
macam suhu perlakuan 60oC, 70oC, 80oC. Dari masing masing suhu diberikan
lima perlakuan waktu, yaitu menit ke-0, 15, 30, 45 dan 60. Setelah itu dimasukkan
seluruh tabung reaksi ke dalam oven, setelah mencapai suhu dan waktu yang
diinginkan, tabung reaksi diambil dan dimasukkan ke dalam kulkas selama 10
menit. Kemudian ditambahkan 14 ml ke dalam tabung reaksi dan dihomogenkan.
Setelah homogen diukur absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 296,0 nm dan dilakukan prosedur yang sama hingga titik waktu 60
menit. Dengan menggunakan kurva baku dari asam salisilat dengan regresi
y=0,023x+0,037. Dimana, nilai absorbansi masing-masing sampel dimasukkan
sebagai x, sehingga diperoleh nilai x sebagai konsentrasi SA. ASA terdegradasi

didapatkan dari berat jenis ASA:berat jenis SA

. Sedangkan untuk mencari ASA utuh dihitung


dengan cara ppm larutan induk (2000 ppm) dikurangi dengan ASA terdegradasi
(ppm). Tahap perhitungan selanjutnya yaitu menentukan orde reaksi yang paling
baik pada pencatatan data di masing-masing suhu. Orde reaksi yang digunakan
yaitu orde reaksi 0, 1, dan 2, dimana untuk menentukan orde reaksi yang paling
baik adalah ketika nilai R2 mendekati 1. Dalam praktikum ini dapat ditentukan
orde reaksi yang paling baik yaitu orde reaksi 0 dengan rincian R 2 yang
didapatkan yaitu pada suhu 60oC sebesar 0, 53; pada suhu 70oC sebesar 0,027; dan
pada suhu 80oC sebesar 0,894. Langkah selanjutnya yaitu menghitung konstanta
kecepatan reaksi (k) pada tiap suhu yang diperoleh yaitu dengan rumus untuk orde

0 b=-ko, orde 1 b= , orde 2 b=ko. Karena didapatkan orde 0 yang paling


baik maka k pada suhu 60oC sebesar -8517, pada suhu 70oC sbesar 0,016, dan
pada suhu 80oC sebesar 0,412. Jadi, untuk orde 0 suhu 60 oC y =
-8517x+2990,736; k= -8517. Untuk orde 0 suhu 70oC y =-0,0171x+2990,736;
k=0,0171. Untuk orde 0 suhu 80oC y = -0,412x + 2996,254; k= 0,412. Kemudian
dicari nilai log k, sementara suhu dirubah menjadi Kelvin, yaitu 333 K, 343 K,
dan 353 K Kemudian dibuat grafik antara 1/T vs log K, 1/T sebagai x dan log k

sebagai y. diperoleh nilai Ea dari , yaitu sebesar 6,6413


kal/mol. Selanjutnya dapat ditentukan harga k25 yaitu sebesar 0,999 liter/mol.s.
Sedangkan waktu paruh sebesar 700 menit dan waktu kadaluarsa 104,14 menit.

Stabilitas suatu senyawa diketahui dari laju degradasinya yang ditentukan


berdasarkan studi kinetika reaksi. Degradasi berlangsung melalui beberapa jalur,
tetapi mekanisme yang paling umum adalah hidrolisis (Ratna and Edwards, 2006).
Asam salisilat merupakan kelompok senyawa obat yang telah dipergunakan secara
luas karena memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi.
Reaksi  yang  paling  berkontribusi  dalam  degradasi  aspirin  adalah
hidrolisis yang menghasilkan produk asam salisilat dan asam asetat.

Apabila dibandingkan dengan literatur orde yang dipakai pada praktikum


adalah orde 0, dimana orde 0 dianggap tidak baik karena dalam literatur orde
pertamamenyatakan orde semu. artinya tidak sesuai, karena pada
literaturemenggunakan orde pertama semu. Reaksi hidrolisis dalam praktikum ini
berlangsung dalam berbagai pH dan laju reaksinya mengikuti kinetika order
pertama semu (Marr, 2004) tetapi dalam suasana yang lebih basa aspirin
terhidrolisis lebih cepat (Reynolds, 1982). Perbedaan ini terjadi karena suhu yang
tidak stabil, sampel yang telah dipanaskan pada suhu tertentu dan menit yang telah
ditentukan tidak dapat langsung dimasukkan ke dalam kulkas. Dalam
penyimpanan, senyawa obat harus tidak mudah terdegradasi atau berubah menjadi
senyawa lain yang tidak berkhasiat atau bahkan bersifat toksik. Hal tersebut dapat
mempengaruhi nilai orde reaksi yang paling baik. Dari data t vs Ct dapat
dikatakan bahwa semakin lama pemanasan semakin sedikit Ct (konsentrasi ASA
utuh) yang tersisa. Dari grafik kurva baku juga dapat dikatakan makin banyak
konsentrasi asam salisilat, makin tinggi absorbansi yang didapatkan. Namun,
beberapa data menunjukkan adanya penurunan nilai absorbansi pada waktu yang
semakin lama. Hal tersebut dapat disebabkan dari banyak faktor salah satunya
adalah lamanya penyimpanan dan suhu yang tidak stabil.
VIII. Kesimpulan
Uji disolusi dilakukan dengan cara mearutkan tablet sampel kedalam
larutan dapar yang bertugas sebagai media disolusi. Lalu alat uji disolusi diatur
dengan keceoatan tertentu dan sample diambil dalam waktu yang ditentukan.
Percobaan ini dibuat sedemikian rupa, agar dapat mengetahui bagaimana obat
terdisolusi di dalam tubuh.

Hasil percobaan yang telah dilakukan keenam tablet setelah suhu 30c nilai
persen disolusi diatas 100% dan persamaan garis yang didapatkan dari data hasil
percobaan adalah y = 1,69 . 10 -3 x + (-0,003). Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil percobaan ini adalah Suhu larutan disolusi , ada tidaknya
kontaminasi pada larutan sampel, ketepatan jumlah dari media disolusi,
keakuratan pengukuran, pengadukan dan waktu
REFERENSI/ DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1985. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI EDISI IV.


UI press. Jakarta.
Dra. Susanti dan Dra. Yeanny wenas.2001. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif.
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Jilid III. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 – 1587
Marr,S.2004. Remingto’s Pharmaceutical Sciensces . Edisi 18th. Marck Publishing
Company, Easton, Pensylvania, 591.
Ratna and Edwards,G.2006. PHARMACEUTICAL TECHNOLOGY. Burgess
Pubhlising Company. USA
Reynolds.1982.DRUG INFORMATION HANDBOOK. 18th Edition. American
Pharmacists Association

Anda mungkin juga menyukai