Anda di halaman 1dari 8

MEMBANGUN PERADABAN BANGSA

DENGAN PENDIDIKAN BERKARAKTER


MORAL
Dr. M. Ghazali Bagus Ani Putra, psi*
author note: untuk pengembangan ilmu pengetahuan, silahkan bagian dari artikel ini boleh dikutip
dengan mencantumkan sumbernya.
 
I.       Pendahuluan
Dunia memang sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya fenomena perilaku amoral yang
melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan
NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru dan sesama murid
melalui facebook. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak
melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi tamparan keras bagi dunia
pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik dan beretika sekaligus menjadi
musuh utama fenomena-fenomena perilaku amoral tersebut.
Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh dunia, seperti Mahatma Gandhi
yang memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without
character”(pendidikan tanpa karakter). Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang pernah berkata:
“Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu
adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To
educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang
dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada
masyarakat). Bahkan pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter ini telah lama didengung-
dengungkan oleh pandita pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dengan pendidikan yang
berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan
pengetahuan (knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi
kepentingan ummat manusia.
Berdasarkan latar belakang fenomena dan pendapat para tokoh inilah, dunia pendidikan saat ini
mencoba mengevaluasi sistem pembelajarannya untuk menghasilkan manusia berkarakter. Proses
pencarian jati diri sistem pendidikan, khususnya di Indonesia inilah yang merupakan arah untuk
mencapai keseimbangan atau kondisi homeostatic yang relatif sebagaimana setiap manusia
mempunyai keinginan untuk mencapainya. Di sinilah peran sekolah dan guru sebagai institusi
pendidikan formal sebagai posisi yang ‘tertantang’ dalam menghadapi fenomena yang berkaitan
dengan globalisasi dan degradasi moral.
II.    Pemahaman Istilah
Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang awalnya
mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005).
Istilah ini selanjutnya lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu
dengan yang lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga menunjukkan sekumpulan kualitas atau
karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe,
2007).
Perkembangan berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu sosial.
Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk dimensi moral seseorang.
Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang sering menggunakan istilah ēthē untuk karakter
yang secara etimologis berkaitan dengan “ethics” dan “morality”. Adapun ahli psikologi pun banyak
yang mengajukan definisi karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan istilah
karakter pada area moral saja, ada juga yang memakainya pada domain moral dan nonmoral.
Menurut Hasting et al. (2007), karakter mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter
berdomain moral ialah semua perilaku yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan
dengan orang lain. Contohnya, kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain
(sifat-sifat feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang merujuk
kepada pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya, disiplin, jujur,
bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri (sifat-sifat maskulin). Baik karakter
berdomain moral maupun nonmoral tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk
kepribadian yang peka terhadap kepentingan sosial (prososial).
Karakter juga terkadang dipandang sebagai kepribadian dan/atau lebih bersifat perilaku. Banyak
ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka mengenai karakter,
namun ada juga yang lebih bersifat komprehensif. Bahkan ada ilmuwan yang menyatakan bahwa
karakter merupakan suatu konstruksi sosial. Menurut ahli konstruksi sosial, karakter seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam perkembangan
moral pada manusia.
Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yaitu sekumpulan
karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan membantu dirinya
untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan sifat karakter yang plural, maka beberapa ahli pun
membagi karakter itu ke dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004)
mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6 kelompok besar yang kemudian menurunkan 24
karakter, yaitu kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal
(humanity), hidup bersama (justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan
(temperance), dan spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang
bernama Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-
anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Megawangi
(dalam http://ihfkarakter.multiply.com/journal) menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan
dan kebenaran; bertanggung jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap
hormat dan santun; mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya
diri, kreatif, dan pantang menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan; baik dan
rendah hati; mempunyai toleransi dan cinta damai.
Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku
(code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat
universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk pengembangan ke arah
kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih
lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau
penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter
moral adalah:
(1)   Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan
yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh
lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri
kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai
integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan
amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh
oleh lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
(2)   Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan
kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai
atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan
orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau
mengutamakan kepentingan ummat.
(3)   Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis
antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas
pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman
terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap
mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan
dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya
mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang
berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-
temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk
menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.
Terminologi pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada
ranah yang ‘disentuh’ oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru
hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada muridnya.
Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan
(cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut sebenarnya
berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani) yang mempunyai prinsip soul & body
dualism, yaitu manusia hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh
karena itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan
dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk
atau benar-salah.
Berdasarkan paparan pemahaman istilah di atas maka pemakalah mencoba
mendefinisikan pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan,
penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga
peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan tersebut
dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan
yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga pendidikan berkarakter moral ini dapat membantu peserta
didik memahami kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love the
good, and do the good). Dengan demikian, karakter sebagai pembeda antara orang terdidik dengan
orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas dari tiga indikator output yang telah disebutkan. Oleh
karena itu, pemakalah mempunyai perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang
membedakan karakter moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah
menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang tidak dapat
dipisahkan ketika ingin mengetahui ciri manusia yang berkarakter moral.
 
III. Perkembangan Karakter Moral Pada Manusia
Dalam psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah-masalah nature dan nurture.
Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang berbeda tentang apakah aspek-aspek
pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dibawa sejak lahir atau terbentuk dari lingkungan,
mana yang lebih banyak mempengaruhi seorang individu, dan pertanyaan-pertanyaan serupa.
Begitu pula halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang, apakah karakter itu
merupakan sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan) ataukah dapat dibentuk melalui
didikan lingkungan. Perdebatan tersebut tidak pernah selesai dan mungkin tidak akan pernah
mendapatkan jawaban pasti. Satu hal yang jelas bahwa memang ada interaksi antara
aspek nature dan nurture dalam perkembangan karakter individu, yang dibuktikan dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli.
Faktor determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian-penelitian untuk
mengungkap pengaruh ini biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi serta bersifat
longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis yang cukup kuat terhadap
karakter anak (Deater-Deckard & O’Connor, 2000; Plomin and McGuffin, 2003). Beberapa dimensi
karakter seperti empati dan simpati juga banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih
mengarah kepada herediter (Caspi, dkk., 2003; Decety & Chaminade, 2003; Harris, 2003)
Di sisi lain, lingkungan keluarga membawa pengaruh yang cukup penting bagi pembentukan
karakter anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kelekatan antara orangtua dan anak
merupakan aspek yang sangat penting bagi awal perkembangan moral anak. Untuk selanjutnya,
pengasuhan orangtua secara menyeluruh, meliputi relasi antara orangtua dan anak yang hangat
dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta pemahaman akan membawa dampak terhadap
karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr & Stattin, 2000; Kochanska, 2002; Zhou, dkk., 2002). Di
samping itu, pola disiplin yang diterapkan orangtua juga merupakan hal yang penting (Kochanska,
dkk., 2003). Dalam hal ini, disiplin akan mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan dengan
konsekuensi negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling penting dari penegakkan
disiplin tersebut adalah konsekuensi yang logis terkait dengan pelanggaran yang dilakukan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible & Thompson (2000) bahwa disiplin yang menekankan
pada penalaran dan logika akan mempercepat terjadinya internalisasi nilai-nilai pada anak.
Sekolah, sebagai lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai,
kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas, dan sebagainya
(Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan komunitasnya, termasuk juga
kelekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan prososial dan moral anak. Hawkins,
dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak akan menerapkan sebuah standar atau norma bila
standar tersebut jelas dan disertai dengan adanya ikatan emosi, komitmen, dan kelekatan dengan
sekolah. Dalam hal ini, sekolah perlu memiliki atmosfir moral dalam rangka meningkatkan tanggung
jawab dan mengurangi pelanggaran di sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah, tentu
saja anak mengalami perluasan aktivitas. Relasi dengan teman sebaya pun akan membawa
dampak terhadap pembentukan karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain
merupakan mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn & Hughes, 2001;
Howe, dkk., 2002; Killen, dkk., 2001; Theimer, dkk., 2001).
Tidak kalah pentingnya adalah pengaruh komunitas terhadap karakter anak-anak dan remaja.
Televisi, sebagai salah satu bentuk media massa di dalam masyarakat, memberikan fasilitas
peniruan melalui program-programnya. Pada umumnya, anak-anak dan remaja akan lebih mudah
menerima informasi yang dilihat dan didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi
tertentu yang disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan, dan juga akibat dari reaksi
tersebut. Apabila anak dan remaja terus-menerus melihat adegan-adegan negatif, maka mereka
akan menganggap adegan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak
dan remaja akan melakukan adegan yang serupa. Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti,
dalam kaitannya dengan perilaku-perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan (Huesmann, dkk.,
2003; Robinson, dkk., 2001). Di sisi lain, televisi juga membentuk karakter positif anak, yaitu dalam
hal perilaku prososial dan altruis (Mares & Woodard, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan
sosial mempunyai andil dalam pembentukan moral dan karakter anak dan remaja. Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter moral seseorang akan dipengaruhi
oleh interaksi antara bawaan yang bersifat herediter dengan faktor-faktor yang ada di lingkungan.
 
IV. Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003).
Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan
motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam
pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter
adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada.
Ketika individu mempunyai integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self
efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.
Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes
(2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah
memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b).
Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap
berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam
pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan
pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan
berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan
demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam era global saat ini.
Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter
namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya
dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi peserta didik
menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, pemakalah memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun
manusia yang berkarakter moral sebagai berikut;
1. Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/
fenomena. Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata
laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial.
Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta didik.
Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai
manfaat yang diperoleh bagi manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama
Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan
Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam
ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya
beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi,
pemakalah mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama
yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal).
Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005)
menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah;
(a). Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, manusia
yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya
dalam kehidupan sehari-hari.
(b). Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama harus memiliki
pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap
proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan
hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai
sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
(c). Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta.
Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain,
mahluk ghaib dan alam semesta.
(d). Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius
terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam
kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang religius
menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang,
termasuk kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya
sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan
intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus-kasus
atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan nilai atau
moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based
learning).
2. Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model. Sebagaimana
definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap
fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam
menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik yang
dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu
memberikan keteladanan sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru
merupakan sosok digugu lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya
memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi
kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru
melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain
sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya
bermoral namun melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun
sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk
membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral, seperti
kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
3. Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten. Sekolah yang
mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya.
Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan
memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau
nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau
melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut
ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika
agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan
tentang penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan,
seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan.
Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik akan menjalankan
aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan
aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik
atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak
diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif).
4. Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi
antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di
lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka
pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter
moral merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah
tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada
hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan
kepada proses suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu
kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
5. Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler
sebagai hidden curriculum. Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata pelajaran
perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran
Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-
nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga
menyisipkan pesan moral yang rasional.  Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu
diperbanyak aktivitas yang membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter
Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin
Kejujuran” perlu diwujudkan.
6. Menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan peran sebagai role
model karakter moral. Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang tepat
untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model.
Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena
anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu,
disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan
kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story
telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau
parodi sehingga pesan moral tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada
peserta didik.
V.    Penutup
Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa
yang menjunjung tinggi integritas nilai dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter moral
adalah tercapainya keseimbangan antara pengetahuan dan moral. Salah satu pendekatan dalam
pendidikan berkarakter moral ialah dengan pendidikan moral agama yang diterapkan dalam setiap
kehidupan akademis. Jika pengetahuan dan moral agama dapat diintegrasikan maka
berkembanglah kesempurnaan ilmu berlandaskan moralitas (excellent with morality). “Ilmu tanpa
agama akan buta, agama tanpa ilmu akan lumpuh.”
Pendidikan berkarakter moral dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuan untuk menjadikan
manusia yang mempunyai karakter; kemampuan sosial (social skill), pengembangan kepribadian
(personal improvement) dan pemecahan masalah secara komprehensif (comprehensive problem
solving).
Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur teladan sebagai role model untuk menegakkan nilai
atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah peran pendidik, khususnya guru, orang tua,
masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar peserta didik mampu melakukan imitasi
terhadap perilaku moral. Oleh karena semua pihak dituntut untuk terlibat aktif maka perlu adanya
sinergisitas diantara elemen tersebut sehingga pendidikan berkarakter moral dapat terus dilakukan
secara berkelanjutan. Sinergi semua elemen inilah yang mengingatkan kita kepada kata-kata
bijak, “Tidak ada keberhasilan individu, yang ada adalah keberhasilan kolektif.”
~BK~
DAFTAR PUSTAKA
Berkowitz, Marvin W. (2002). The Science of Character Education. Dalam William Damon
(Editor), Bringing in a New Era in Character Education. USA: Hoover Institution Press Publication).
Berkowitz, M., & Bier, M. (2003). What works in character education. Presentation at the Character
Education Partnership National Forum.Washington, DC.
Bohlin, Karen, E. (2005). Teaching Character Education through Literature. New York: Routledge
Falmer.
Brugman, D., Podolskij, A. J., Heymans, P. G., Boom, J., Karabanova, O., & Idobaeva, O. (2003).
Perception of moral atmosphere in school and norm transgressive behavior in adolescents: An
intervention study. International Journal of Behavioral Development, 27, 289–300.
Caspi, A., Sugden, K., Moffitt, T. E., Taylor, A., Craig, I. W., Harrington, H., et al. (2003). Influence of
life stress on depression: Moderation by a polymorphism in the 5-HTT gene. Science, 301, 386–389.
Damon, W. (1988). Moral child: Nurturing children’s natural moral growth. New York: Free Press.
Decety, J., & Chaminade, T. (2003). Neural correlates of feeling sympathy. Neuropsychologia, 41,
127–138.
Dunn, J., & Hughes, C. (2001). “I got some swords and you’re dead!”: Violent fantasy, antisocial
behavior, friendship and moral sensibility in young children. Child Development, 72, 491–505.
Grusec, J. E., Goodnow, J. J., & Kuczynski, L. (2000). New directions in analyses of parenting
contributions to children’s acquisition of values. Child Development, 71, 205–211.
Hawkins, D. J., Guo, J., Hill, G., Battin-Pearson, S., & Abbott, R. D. (2001). Long-term effects of the
Seattle Social Development Project intervention on school bonding trajectories. Applied
Developmental Science, 5, 225–236.
Kerr, M., & Stattin, H. (2000).What parents know, how they know it, and several forms of adolescent
adjustment: Further support for a reinterpretation of monitoring. Child Development, 36, 366–380.
Killen, M., Pisacane, K., Lee-Kim, J., & Ardila-Rey, A. (2001). Fairness or stereotypes? Young
children’s priorities when evaluating group exclusion or inclusion. Developmental Psychology, 37,
587–596.
Kochanska, G., Aksan, N., & Nichols, K. E. (2003). Maternal power assertion in discipline and moral
discourse contexts: Commonalities, differences, and implications for children’s moral conduct and
cognition. Developmental Psychology, 39, 949–963.
Mares, M. L., & Woodard, E H. (2005). Positive effects of television on children’s social interactions:
A meta-analysis. Media Psychology, 7, 301–322.
Nucci, L.P., & Narvaez, D. (2008). Handbook of Moral and Character Education. New York:
Routledge.
Peterson, Christopher & Seligman, Martin E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A
Handbook and Classification. New York: Oxford University Press.
Sheldon, Lee. (2004). Character Development and Story Telling. Boston: Thomson.
Silberman, I. (2005). Religion as a meaning system: implications for the new millennium. Journal of
Social Issues 61(4): 641-663.
Timpe, Kevin. (2007). Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses 21 April 2010,
dari http://www.iep.utm.edu/moral-ch/#H3)
Wulandari, Primatia Yogi. (2010). Karakter Anak = Karakter TV, Peran Media Massa dalam
Pembentukan Karakter Anak. Makalah untuk Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jawa
Timur. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
* Penulis adalah kader Muhammadiyah dan pendidik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Surabaya
 

https://pks.psikologi.unair.ac.id/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-
moral/ 25maret 2019 7.20

Anda mungkin juga menyukai