Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki luas lautan kurang lebih dari 3.273.810 km2 atau sebagian
besar wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan maka Indonesia
disebut dengan Negara maritim. Oleh sebab itu, transportasi laut salah
satu pilihan untuk berpindah tempat baik manusia maupun barang dari
satu pulau ke pulau yang lain. Namun tingginya permintaan akan
transportasi laut ini menyebabkan rendahnya kesadaran akan pentingnya
keselamatan di atas kapal karena terfokus dalam memenuhi permintaan
yang ada. Sehingga alasan itulah mengakibatkan tingginya angka
kecelakaan pada kapal. Menurut data Komite Keselamatan Transportasi
(KNKT) sejak 2010 hingga 2016 per November 2016 menyatakan bahwa
terdapat total kecelakaan kapal sejumlah 54 kecelakaan. Sebesar 35
persen disebabkan oleh kebakaran kapal, selanjutnya tubrukan kapal
menjadi kasus kedua yang paling banyak terjadi yaitu sebesar 31

persen.1 Faktor penyebab kecelakaan kapal selain karena masih


rendahnya aspek kedisiplinan dan pengawasan, kurangnya pemahaman
dari awak kapal, serta tidak tersedianya fasilitas pemadam kebakaran.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
menyebutkan bahwa keamanan dan keselamatan pelayaran adalah suatu
keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang
menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhan, dan lingkungan maritim.2
Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM
25 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai,
Danau, dan Penyeberangan.3 Selain aturan nasional juga terdapat aturan
internasional terkait keselamatan pelayaran. Dalam suatu aturan
internasional yang disebut dengan International Convention Safety of Life
at Sea (SOLAS) yaitu salah satu konvensi internasional di bawah produk
International Maritime Organization (IMO). SOLAS terdiri dari 14 bab yang
mengatur mengenai keselamatan kapal secara umum. Berdasarkan

1
hal tersebut, keselamatan pelayaran merupakan unsur yang sangat
penting dan harus menjadi prioritas dalam penyelenggaraan transportasi
laut.4
Berdasarkan permasalahan tersebut penulis tertarik untuk meneliti
terkait sistem proteksi penanggulangan kebakaran pada KMP Siginjai
yang memiliki potensi bahaya besar terhadap terjadinya kebakaran pada
kapal yang akan menimbulkan kerugian dalam jumlah yang cukup besar.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, peneliti hendak melakukan penelitian
terhadap sistem proteksi penanggulangan kebakaran berdasarkan
Standar Internasional Safety of Life at Sea (SOLAS), Standar Biro
Klasifikasi Indonesia (BKI) Rules For The Classification and Construction
Seagoing Ships, dan National Fire Protection Association (NFPA) pada
Kapal Motor Penumpang
1. Sumber potensi kebakaran yang menyebabkan terjadinya
kebakaran pada Kapal Motor Penumpang Siginjai
2. Proses manajemen kebakaran pada Kapal Motor Penumpang
Siginjai

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis sistem proteksi penanggulangan kebakaran
berdasarkan Standar Internasional Safety of Life at Sea (SOLAS),
Standar Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Rules For The Classification
and Construction Seagoing Ships, dan National Fire Protection
Association (NFPA) pada Kapal Motor Penumpang Siginjai.

2
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi sumber potensi bahaya yang dapat
menyebabkan terjadinya kebakaran di Kapal Motor Penumpang
Siginjai
b. Mengetahui manajemen kebakaran di Kapal Motor Penumpang
Siginjai

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah
didapatkan dalam perkuliahan dan memperdalam serta
mengembangkan pengetahuan di bidang safety kapal, mengenai
keselamatan kapal dalam upaya penanggulangan kebakaran.
2. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan diharapkan dapat menjadi sebuah
wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan baru mengenai
keselamatan kapal dalam upaya penanggulangan kebakaran.
3. Bagi Perusahaan
Sebagai bahan masukan kepada perusahaan agar meningkatnya
penerapan yang dilakukan sebagai upaya penanggulangan
kebakaran sesuai dengan standar yang berlaku.

E. Ruang Lingkup Penelitian


1. Lingkup Keilmuan
Termasuk dalam Teknik Perkapalan dengan kajian bidang
.Keselamatan pada Kapal khususnya tentang penanggulangan
kebakaran kapal
2. Lingkup Sasaran
Sasaran dalam penelitian ini adalah penerapan sistem proteksi
kebakaran, fasilitas keselamatan jiwa, dan rancangan tanggap darurat
kebakaran.
3. Lingkup Lokasi
Lokasi penelitian di Kapal motor Penumpang Siginjai milik PT.
ASDP Ferry (Persero)
4. Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada Mei 2018

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kebakaran
Menurut National Fire Protection Association (NFPA), kebakaran
dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa oksidasi yang harus
melibatkan tiga unsur yaitu oksigen, sumber panas, dan bahan bakar
yang berakibat menimbulkan kerugian berupa cidera, kerusakan harta
benda, dan kematian.5 Kebakaran merupakan suatu kejadian yang
bersumber dari api yang tidak terkendali dan tidak diinginkan, sebagai
hasil dari suatu proses kimiawi antara uap bahan bakar, oksigen dan
bantuan panas sehingga menghasilkan reaksi pembakaran. Proses
pembakaran secara umum merupakan suatu reaksi kimia yang terjadi
antara bahan bakar dan suatu oksidan disertai dengan produksi panas
dalam bentuk api atau cahaya.6,7
1. Teori Api
Api merupakan reaksi kimia yang bersifat eksotermis yang
disertai dengan adanya panas, asap, cahaya (nyala), bara dari suatu
bahan yang terbakar.8 Jika ada sumber panas yang berpotensi untuk
menyalakan bahan bakar yang telah bercampur dengan oksigen
maka akan menimbulkan api. Nyala api merupakan suatu fenomena
yang ditimbulkan dari gas hasil reaksi dengan panas dan cahaya dari
bahan yang terbakar.
a. Segitiga Api (Triangle of Fire)
Tiga komponen berupa oksigen, panas, dan bahan mudah
terbakar yang saling bereaksi dikenal dengan segitiga api.
Proses pembakaran akan terjadi jika ketiga komponen tersebut
berada dalam keadaan keseimbangannya.6 Artinya api akan
menyala bila jumlah bahan bakar berada dalam jumlah yang
cukup, oksigen dalam jumlah yang sama, dan sumber panas
cukup untuk menimbulkan api. Keterangan dari tiga komponen
segitiga api penyebab terjadinya kebakaran sebagai berikut.7

4
.
b. Piramida Bidang Empat Api (Tetrahedron of Fire)
Penyebab kebakaran tidak hanya disebabkan oleh tiga
komponen yang terdapat pada teori segitiga api, tetapi ada juga
yang dikenal dengan komponen tambahan berupa reaksi rantai
kimia pada pembakaran yang disebut dengan piramida bidang
empat api (tetrahedron of fire).6
2. Klasifikasi Kebakaran
Bertujuan agar memudahkan usaha pencegahan dan
pemadaman kebakaran. Selain itu, untuk menentukan menentukan
media pemadaman kebakaran yang tepat san sesuai dengan suau
kelas kebakaran. Klasifikasi kebakaran yang dikenal saat ini antara
lain sebagai berikut.6
a. Klasifikasi NFPA (National Fire Protection Association)
Suatu lembaga swasta Amerika Serikat yang berada
dibidang penggulangan bahaya terjadinya kebakaran. Menurut
NFPA, kebakaran diklasifikasi sebagai berikut. Tabel 2. 4 Kelas
Kebakaran NFPA

Kelas Jenis Contoh


Kelas A Bahan padat Kebakaran dengan bahan bakar
padat biasa (ordinary)
Kelas B Bahan cair Kebakaran dengan bahan bakar
cair atau bahan yang sejenis
(flammable liquids)
Kelas C Listrik Kebakaran listrik (energized
electrical equipment)
Kelas D Bahan Magnesium, potassium, titanium
logam

b. Klasifikasi US Coast Guard (Satuan Penjaga Laut USA)


Menurut Satuan Penjaga Laut USA, kebakaran diklasifikasi
sebagai berikut.
Tabel 2. 5 Kelas Kebakaran US Coast Guard

Kelas Jenis Contoh


Kelas A Bahan padat Kebakaran dengan bahan bakar padat
biasa
Kelas B Bahan cair Kebakaran dengan bahan bakar cairan
dengan titik nyala lebih kecil 170˚F dan
tidak larut dalam air (contoh : bensin,
benzene)
Kelas C Bahan cair Kebakaran dengan bahan bakar cairan
dengan titik nyala lebih kecil 170˚F dan
larut dalam air (contoh : aseton, etanol)
Kelas D Bahan cair Kebakaran dengan bahan bakar cairan
dengan titik nyala sama dengan 170˚F
atau yang lebih tinggi dan tidak larut

5
dalam air (contoh : minyak kelapa,
minyak ikan paus, minyak trafo)
Kelas E Bahan cair Kebakaran dengan bahan bakar cairan
dengan titik nyala sama dengan 170˚F
atau yang lebih tinggi dan larut dalam
air (contoh : gliserin, etilen glikol)
Kelas F Logam Kebakaran dengan bahan bakar logam
(contoh : magnesium, aluminium,
titanium)

c. Klasifikasi Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Per-04/Men/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan
Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan, kebakaran
diklasifikasi sebagai berikut.10
Tabel 2. 6 Kelas Kebakaran Indonesia

Kelas Jenis Contoh


Kelas A Bahan padat Kebakaran dengan bahan bakar
padat bukan logam
Kelas B Bahancair Kebakaran dengan bahan bakar
dan gas cair atau gas mudah terbakar
Kelas C Listrik Kebakaran instalasi listrik
bertegangan
Kelas D Bahan logam Kebakaran dengan bahan bakar
logam
B. Standar Keselamatan Pelayaran
Keselamatan kapal merupakan keadaan kapal yang memenuhi
persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan,
stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat
penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat
setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.2 Manajemen Keselamatan
Kapal adalah manajemen keselamatan dalam pengoperasian kapal yang
aman serta upaya pencegahan pencemaran lingkungan yang diterapkan
di perusahaan dan di kapal.11 Standar keselamatan kapal secara
internasional telah diatur dalam peraturan (konvensi) yang dikeluarkan
International Maritime Organization (IMO) yang berlaku bagi Negara-
negara yang termasuk anggotanya termasuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Regulasi pelayaran di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi
2 bagian yaitu sebagai berikut.
1. Regulasi Nasional
Regulasi ini bersifat nasional artinya berlaku untuk pelayaran di
wilayah Indonesia dan untuk kapal berbendera Indonesia yang
berada di luar perairan Indonesia. Berikut ini merupakan beberapa
regulasi terkait kapal.
a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

6
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002
tentang Perkapalan
c. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 45 Tahun 2012
tentang Manajemen Keselamatan Kapal
d. Aturan untuk klasifikasi dan konstruksi kapal yang berlayar di laut
(Rules For The Classification And Construction Of Seagoing
Ships) yang dikeluarkan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI)

2. Regulasi Internasional
Regulasi ini bersifat internasional artinya berlaku bagi Negara-
negara yang menjadi anggota dari konvensi internasional tentang
keselamatan jiwa di laut tahun 1974 yang diselenggarakan oleh
International Maritime Organization (IMO) yang merupakan hasil dari
Konvensi Internasional yang berupa Standar Safety of Life at Sea
(SOLAS). Selanjutnya standar tersebut diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 65
Tahun 1980.

C. Konvensi Internasional Tentang Keselamatan Jiwa di Laut


Berlakunya Konvensi Internasional untuk Keselamatan Kehidupan di
Laut (SOLAS) 1974, diadopsi pada 1 November 1974 oleh Konferensi
Internasional tentang Keselamatan Kehidupan di Laut yang
diselenggarakan oleh Organisasi Maritim Internasional (lMO), dan mulai
berlaku pada 25 Mei 1980. Sejak itu telah diubah dua kali yaitu pertama
oleh Protokol yang diadopsi pada 17 Februari 1978 pada Konferensi
Internasional tentang Keamanan Tanker dan Pencegahan Polusi (Protokol
1978 SOLAS) yang mulai berlaku pada 1 Mei 1981. Dan kedua oleh
Protokol yang diadopsi pada 11 November 1988 pada Konferensi
Internasional tentang Sistem Harmonisasi Survei dan Sertifikasi (Protokol
1988 SOLAS) yang mulai berlaku pada 3 Februari 2000 dan

menggantikan Protokol 1978, antara Para Partai dengan Protokol 1988.4


Selain itu, Konvensi SOLAS 1974 telah diubah dengan cara resolusi
yang diadopsi baik oleh Komite Keselamatan Maritim IMO (MSC) dalam
bentuknya yang diperluas dan ditentukan dalam artikel Vlll SOLAS atau
oleh Konferensi Pemerintah Kontraktor SOLAS, juga ditentukan dalam
pasal VIll. Selanjutnya, Konvensi SOLAS 1974 baru-baru ini telah diubah
dengan resolusi MSC.350 (92) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari

7
2015, MSC.365 (93) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2016 dan
MSC.366 (93) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2016.
Selain amandemen yang disebutkan di atas, Protokol SOLAS 1978
telah diubah pertama oleh amandemen 1981 yang diadopsi oleh resolusi
MSC.2 (XLV) dan mulai berlaku pada 1 September 1984. Dan kedua oleh

8
amandemen 1988 yang diadopsi oleh resolusi pertama Konferensi
Pemerintah Kontraktor SOLAS 1974 tentang Sistem Ketahanan dan
Keselamatan Maritim Global dan mulai berlaku pada 1 Februari 1992 dan
ketiga oleh amandemen 2012 yang diadopsi oleh resolusi MSC.343 (91)
dan mulai berlaku pada 1 Juli 2014.

Konvensi SOLAS bertujuan untuk menetapkan standar minimum


konstruksi, peralatan dan pengoperasian kapal yang sesuai dengan
keselamatan mereka. Bendera Negara-negara yang bertanggung jawab
untuk memastikan kapal-kapal di bawah bendera mereka mematuhi
persyaratannya, dan memiliki bukti sejumlah sertifikat yang telah ditentukan
dalam Konvensi. Kemudian adanya sistem kontrol negara pelabuhan dari
negara peserta lainnya. SOLAS pada edisi 2014 memiliki 14 (empat belas)
Bab

D. Pencegahan dan Penganggulangan Kebakaran


Upaya pencegahan kebakaran dapat menerapkan kosep tiga dari
segi tiga api sebagai landasannya. Pertama dengan mengendalikan atau
mengelola semua bahan yang mudah terbakar. Kedua dengan
mengendalikan atau menegelola sumber api agar tidak membakar bahan
yang mudah terbakar.
1. Konsep Pohon Kebakaran (Fire Tree Consepts)
Konsep inilah mulai dikembangkan sehingga menghasilkan
berbagai bentuk salah satunya yaitu konsep pohon kebakaran (Fire
Tree Consepts). Pada konsep ini menjelaskan secara komprehensif
bahwa strategi pengelolaan kebakaran dengan efektif dan
menyeluruh. Dimulai dengan menetapkan objektif untuk mencegah
terjadinyanya keadaan darurat kebakaran melalui 2 (dua) pendekatan

9
yaitu mengelola dampak atau akibat dari suatu kebakaran (manage
fire impact) dan mencegah terjadinya penyalaan (ignition). Berikut ini
merupakan langkah-langkah yang dikembangkan dari konsep pohon
kebakaran.6,20
a. Objektif Kebakaran dan Keselamatan
Tujuan dalam menetapkan objektif kebakaran dan
keselamatan untuk mencegah kebakaran dan perlindungan
terhadap manusia.
b. Mencegah Penyalaan Api
Dengan mencegah dan menghindarkan terjadinya penyalaan
maka sangat efektif dalam pencegahan terjadinya kebakaran. Hal
ini dapat dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu
mengendalikan sumber energi panas, mengendalikan sumber
interaksi bahan bakar, dan mengendalikan bahan bakar.
c. Mengelola Dampak Kebakaran
Dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu mengelola
kebakaran (manage fire) bila terjadi kebakaran dan mengelola
paparannya (manage exposure) agar api tidak bertambah luas.

2. Pendekatan Administratif6
Pendekatan ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan
regulasi (mandatory) dan pendekatan sukarela (voluntary). Pedoman
atau ketentuan pelaksanaan yang didasari regulasi atau
perundangan merupakan salah satu upaya dalam mencegah dan
menanggulangi kebakaran. Langkah dalam pendekatan regulasi
dapat dilakukan melalui pedoman atau rancangan teknis dan melalui
pendekatan manusia. Sedangkan pendekatan sukarela merupaka
upaya dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran melalui
peran serta masyarakat dan kesadaran masyarakat dalam
pencegahan bahaya kebakaran.

E. Fasilitas Keselamatan Jiwa


Menurut Peraturan Menteri PU Nomor 26 Tahun 2008 menjelaskan
bahwa sarana penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk

10
dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam kebakaran
dalam upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi
kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan.13 Mencegah
terjadinya luka atau kecelakaan pada proses evakuasi saat terjadi
keadaan darurat terjadi merupakan tujuan dari fasilitas keselamatan jiwa.
Sarana jalan keluar, tanda petunjuk arah, tangga darurat, pintu darurat,
tempat berkumpul (assembly point), dan penerangan darurat merupakan
fasilitas penyelamatan.13
Menurut SOLAS, peralatan keselamatan yang wajib berada di atas
kapal penumpang meliputi lifebuoys, lifejackets, lifejacket light, immersion
suits and anti-exposure suits, lifeboat, line throwing rocket, inflatable life
raft, survival craft.
1. Lifebuoys (Pelampung)
Menurut SOLAS lifebuoys harus ditempatkan di kedua sisi kapal
dan satu ditempatkan disekitar buritan. Merupakan pelampung
penolong untuk membuat seseorang terapung yang penggunaannya
diatas air. Setiap lifebuoy harus ditandai dengan huruf besar alfabet
Romawi dengan nama dan nomer registrasi dari kapal yang dibawa.
Berat lifebuoy sendiri tidak boleh melebihi 6,15 kg dan tidak kurang
dari 2,5 kg. harus terbua dari bahan gabus atau busa (cork) dan
mamou mengapung minimal selama 24 jam jika diberi beban 14,5 kg.
Lifebuoy tidak boleh meleleh atau terbakar jika dibakar selama 2
detik. Memiliki diameter luar tidak lebih dari 800 mm dan diameter
dalam tidak kurang dari 400 mm. Dibangun untuk menahan setetes
air dari ketinggian di mana lifebuoy disimpan di atas permukaan air
dalam kondisi laut teringan atau 30 m lebih besar, tanpa merusak
kemampuan operasinya atau komponen terlampirnya. Tahan
terhadap pengaruh minyak, keliling pelampung dilengkapi dengan
lampu yang menyala secara otomatis, berwarna menyolok dan diberi
tali pegangan, serta ditempatkan pada dinding atau pagar yang

mudah terlihat dan mudah dijangkau.21

11
2. Lifejackets (Rompi Penyelamat)
Alat keselamatan yang digunakan individu yang berada di atas
kapal berfungsi untuk menjaga individu tersebut akan tetap terapung
di laut pada saat keadaan darurat. Lifejacket terdiri dari empat bagian
yaitu penahan dada, punggung, kepala, dan bagian samping. Harus
ditempatkan sedemikian rupa agar mudah terlihat dan terjangkau
atau tempat berkumpul.
Menurut standar yang dijelaskan pada SOLAS, kapal
penumpang yang perjalanannya kurang dari 24 jam, maka perlu
disediakan sejumlah lifejacket untuk bayi sama dengan setidaknya
2,5% dari jumlah penumpang di kapal. Sedangkan untuk kapal
penumpang yang perjalanannya lebih dari 24 jam, maka harus
menyiapkan lifejacket untuk setiap bayi yang berada di atas kapal.
Jumlah lifejacket yang perlu disediakan diatas kapal untuk digunakan
anak-anak minimal 10% dari jumlah penumpang diatas kapal. Setiap
kapal penumpang harus membawa lifejacket tidak kurang dari 5%dari
jumlah penumpang diatas kapal. Lifejacket tidak boleh meleleh atau
terbakar jika dibakar selama 2 detik. Standar waktu pakai (durability)
lifejacket untuk semua ukuran yaitu 7x24 jam. Setiap lifejacket harus
terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar berwarna orange
mencolok dan harus dilengkapi dengan lampu, peluit, pita pemantul
cahaya (retro reflector tape), dan nama kapal berserta nama
pelabuhan pendaftaran. Lifejacket harus mampu membalikkan tubuh
penggunanya dalam waktu kurang dari 5 detik dengan posisi
telentang dan ketinggian mulut pengguna dari permukaan air minimal

155 mm.4

12
3. Immersion Suits and Anti-Exposure Suits
Immersion suits (pakaian penyelamat) berfungsi untuk
melindungi atau mencegah suhu tubuh yang hilang akibat dinginnya
air laut. Umumnya terbuat dari neoprene, sejenis karet yang benar-
benar tahan air dan memiliki kemampuan untuk menahan suhu air
dan api yang ekstrim. Pakaian ini juga memiliki tudung pelindung
untuk menutupi kepala dan dilengkapi dengan sarung tangan
pelindung. Pakaian ini dirancang terutama dalam dua warna yaitu
merah dan oranye. Kedua warna tetap terang sehingga pakaian bisa
menarik perhatian paramedic atau bantuan penyelamatan untuk

datang.22 Pada pakaian ini harus terpasang pita retro-reflektif.


Pemakai pakain ini dengan atau tanpa lifejacket harus dapat berbalik
dari posisi menghadap bawah ke posisi terlentang dalam waktu tidak
lebih dari 5 detik. Jika lifejacket diperlukan bersama dengan pakaian

ini, maka harus dikenakan di atas pakaian ini.4


Sedangkan anti-exposure suits (pakaian anti paparan) terbuat
dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tahan air. Berwarna
oranye internasional dalam warna yang sangat terlihat. Meliputi
seluruh tubuh kecuali kepala dan tangan. Sarung tangan dan tudung
harus disediakan untuk penggunaan dengan pakaian ini. Dilengkapi
dengan kantong untuk menempatkan transceiver VHF genggam.
Memiliki bidang lateral penglihatan 120 derajat. Pemakainya harus
mampu naik dan turun tangga vertikal setidaknya 5 meter
panjangnya. Pemakainya harus dapat berenang melalui air
setidaknya 25 meter dan naik ke perahu penyelamat. Pemakai pakain
ini dengan atau tanpa lifejacket harus dapat berbalik dari posisi
menghadap bawah ke posisi terlentang dalam waktu tidak lebih dari 5

detik.4

13
4. Survival Craft
Sekoci yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan jiwa
orang dalam keadaan darurat yang telah meninggalkan kapal
merupakan survival craft. Berfungsi untuk menyelamatkan orang
yang berada di laut karena telah meninggalkan kapal akibat keadaan
darurat.
a. Life Boat (Sekoci)
Merupakan salah satu alat keselamatan yang sangat penting
diatas kapal berbentuk perahu kecil yang akan digunakan untuk
meniggalkan kapal pada saat keadaan darurat. Sekoci dapat
diluncurkan dari sisi kapal dengan minimal waktu karena
dilengkapi dengan davits (dewi-dewi / alat penurunnya). Sesuai
dengan standar SOLAS dan LSA Code, sekoci ditempatkan bisa
diatas kapal, mobile offshore drilling unit (MODU), maupun di
offshore. Pada kapal penumpang dapat menampung setidaknya
cukup 50% dari jumlah seluruh penumpang. Tidak diperbolehkan
menampung lebih dari 150 penumpang dalam satu sekoci.

Sekoci harus diberi nama seperti nama kapalnya. 4 Terdapat tiga


jenis lifeboat yang dapat digunakan yaitu fully enclosed lifeboat
(sekoci tertutup), semi enclosed lifeboat / open lifeboat (sekoci

terbuka), dan free-fall lifeboat (sekoci jatuh bebas).21


b. Rescue Boat
Sekoci yang dirancang untuk tindakan penyelamatan orang
dalam keadaan darurat merupakan rescue boat. Setiap kapal
penumpang harus memiliki minimal 2 buat rescue boat.
Ditempatkan pada setiap sisi kapal dengan jumlah masing-
masing satu buah. Panjang dari rescue boat antara 3,8 – 8,5
meter dan dapat mengangkut penumpang paling sedikit 5 orang
dan satu diantaranya dalam keadaan berbaring. Rescue boat
harus dilengkapi dengan motor tempel atau permanen sebagai
penggeraknya dan suatu tempat yang kedap terhadap air yang
berguna untuk menyimpan perlengkapan kecil. Rescue boat ini
dapat mempertahankan kecepatan selama 4 jam dengan minimal
kecepatan 6 knot.

14
Jika sekoci ini tidak memiliki sheer yang cukup, maka harus
di lengkapi dengan penutup yang mencakup tidak kurang dari 15
% panjang sekoci.4, 21
c. Inflatable Life Raft
Rakit kehidupan adalah peralatan yang diperlukan di atas
kapal, kapal pesiar, atau perahu dari sudut pandang keselamatan
laut. Rakit kehidupan adalah bentuk rakit kehidupan yang
memungkinkan orang melipat dan menyimpannya ketika tidak
digunakan, atau mengembangnya pada saat keadaan darurat.
Selain itu, rakit kehidupan atau bentuk peralatan keselamatan
serupa wajib di atas kapal yang terikat di laut (kecuali kapal

rekreasi berukuran kecil).4


d. Marshalling of liferaft
Jumlah sekoci dan perahu penyelamat yang dibawa di kapal
penumpang harus cukup untuk memastikan apabila kapal
ditinggalkan oleh total orang yang diatas kapal tidak boleh lebih
dari enam liferafts yang harus dikemudikan oleh setiap sekoci
atau perahu penyelamat.

5. Line Throwing Rocket (Pelempar Tali Penolong)


Berfungsi untuk menghubungkan kapal yang membutuhkan
pertolongan (survivor) dengan penolong. Alat ini dapat digunakan
untuk keperluan lainnya sehingga tipenya telah mendapatkan
persetujuan dari Syahbandar dengan harus memiliki 4 (empat) gulung
tali dan 4 (empat) buah projectile yang harus diganti setiap empat

tahun sekali, dan dapat melempar tali paling dekat sejauh 230 meter.4

6. Escape
Menurut SOLAS Bab II sarana untuk melarikan diri perlu
disediakan. Tujuan peraturan ini adalah menyediakan sarana untuk
melarikan diri sehingga orang-orang di dalamnya dapat dengan aman
dan cepat melarikan diri ke dek kapal pesiar dan embarkasi liferaft.
Ketentuan-ketentuannya yaitu rute pelarian yang aman harus
disediakan; rute pelarian harus dijaga dalam kondisi aman, bersih

15
dari rintangan; dan bantuan tambahan untuk melarikan diri harus
diberikan seperlunya untuk memastikan aksesibilitas, penandaan
yang jelas, dan desain yang memadai untuk situasi darurat.4
a. Sarana Jalan Keluar23
Pada saat kebakaran jalan keluar tidak boleh terhalangi oleh
perlengkapan, dekorasi, cermin yang terpasang pada pintu
keluar atau benda lain agar dapat memperlancar jalannya
evakuasi ke tempat yang lebih aman. Sarana jalan keluar harus
dilengkapi dengan tanda petunjuk yang memberitahukan arah ke
pintu darurat atau pintu kebakaran, tidak licin, dan memiliki lebar
minimum 2 meter.
b. Tangga Darurat
Menurut Peraturan Menteri PU Nomor 26 Tahun 2008
menjelaskan bahwa tangga yang direncanakan khusus untuk
penyelamatan jika terjadi kebakaran merupakan tangga
kebakaran. Sedangkan tangga yang dilindungi oleh saf tahan api
dan termasuk didalamnya lantai dan atap atau ujung atas struktur

penutup merupakan tangga kebakaran terlindung.13 Tangga dan


anak tangga harus diatur sedemikian rupa untuk menyediakan
sarana siap untuk melarikan diri ke dek kapal pesiar dan liferaft
dari ruang akomodasi penumpang dan kru dan dari ruang di

mana awak biasanya dipekerjakan, selain ruang mesin.4

c. Tanda Petunjuk Arah


Penandaan harus memungkinkan penumpang untuk
mengidentifikasi rute pelarian dan mudah mengidentifikasi jalan
keluar. Tanda yang mengarahkan ke arah jalan keluar harus
mudah terbaca dan terlihat, berbentuk tanda gambar atau tulisan
yang memberikan petunjuk arah jalan keluar dari lokasi
kebakaran. Penempatan tanda petunjuk arah dekat dengan pintu

keluar atau pintu kebakaran.13 Sarana jalan keluar, termasuk


tangga dan pintu keluar, harus ditandai dengan lampu atau
indikator strip photoluminescent yang ditempatkan tidak lebih dari
300 mm di atas dek di semua titik dari rute pelarian, termasuk

16
sudut dan persimpangan.4 Untuk kapal penumpang lebih dari 36
orang harus disediakan di area akomodasi kru.
d. Pintu Darurat
Pintu darurat kebakaran adalah pintu-pintu yang langsung
menuju tangga kebakaran dan hanya digunakan jika terjadi
kebakaran.13 Pintu-pintu di rute pelarian akan secara umum,
terbuka ke arah luar jalan keluar, kecuali jika pintu kabin individu
dapat terbuka ke kabin untuk menghindari cedera pada orang-
orang di koridor ketika pintu dibuka atau pintu di bagasi pelarian
darurat vertikal dapat terbuka dari bagasi untuk memungkinkan
bagasi digunakan baik untuk akses melarikan diri.4 Pintu darurat
ini harus langsung terhubung dengan jalan penghubung, tangga,
atau halaman luar.

7. Muster Station
Merupakan tempat di area sekitar atau diluar lokasi yang
dijadikan sebagai tempat berkumpul setalah proses evakuasi dan
dilakukan perhitungan saat terjadi kebakaran. Setiap kapal
penumpang harus memiliki stasiun pertemuan penumpang (titik
kumpul) yang harus berada di sekitar dan memungkinkan akses
untuk penumpang siap ke stasiun embarkasi kecuali bila berada di
lokasi yang sama dan memiliki banyak ruang tetapi setidaknya 0,35

m2 per penumpang untuk menginstruksikan penumpang.

8. Emergency Lighting (Penerangan Darurat)


Penerangan untuk menerangi sepanjang jalur evakuasi bila
penerangan utama tidak berfungsi pada saat terjadinya kebakaran,
sehingga dapat memudahkan upaya penyelamatan merupakan
definisi dari penerangan darurat.4 Berdasarkan Peraturan Menteri PU
Nomor 26 Tahun 2008 menjelaskan bahwa fasilitas pencahayan
darurat untuk sarana jalan keluar harus tersedia dan harus dilakukan
pengujian sistem pencahayaan yang meliputi sebagai berikut.13
a. Pengujian fungsi harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari
untuk sekurang-kurangnya 30 detik.

17
b. Pengujian fungsi harus dilakukan tahunan untuk sekurang-
kurangnya
1,5 jam jika sistem pencahayaan darurat menggunakan tenaga
baterai.
c. Peralatan pencahayaan darurat harus sepenuhnya beroperasi
untuk jangka waktu pengujian dan adanya rekaman tertulis dari
inspeksi visual serta pengujian harus disimpan oleh pemilik
bangunan gedung untuk pemeriksaan oleh OBS.

9. Emergency Power Supply


Merupakan sumber listrik cadangan yang harus dimiliki kapal
untuk kepentingan pasokan listrik darurat. Setiap kapal harus
memiliki sumber listrik darurat berupa accumulator battery dan
generator darurat (emergency generator) yang secara otomatis
menyala ketika adanya penurunan daya listrik atau pemadaman
(blackout). Sehingga dapat menyuplai semua peralatan untuk

kepentingan pelayaran.4

10. Fire Doors


Pintu tahan api merupakan salah satu pemisahan ruangan atau
kompartemenisasi disamping fire dumper. Digunakan untuk
menghubungkan dengan main control station yang dapat selalu
terkontrol dan dikendalikan secara otomatis dari jarak jauh. Namun
ada juga yang dilengkapi dengan tombol pengoreasian secara

manual yang terdapat disisi pintu.4

18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Studi Literatur


Berdasarkan permasalahan yang diambil dalam tugas akhir ini maka perlu
dilakukan studi literatur agar dapat lebih memahami permasalahan yang terjadi
sehingga dapat mengetahui mengapa permasalahan ini dapat terjadi selanjutnya
kita dapat meletakkan dasar teori yang dapat mendukung penyelesaian penelitian
ini. Studi literatur itu sendiri diperoleh dari buku-buku referensi,jurnal penelitian,
dan kumpulan artikel baik dari media cetak maupun media elektronik.
III.1.1 Dasar Teori dan Reffrensi Penelitian
1. Konsep Dasar Bunyi
2. Konsep Dasar Kebisingan
3. Pengukuran Kebisingan
4. Peredam Kebisingan
5. Actran Software

III.2 Pengumpulan Data


Sebelum melakukan pengambilan data pada kapal, penulis melakukan survey
terlebih dahulu, termasuk mengurus surat perizinan dalam melakukan penelitian
dan pengambilan data-data untuk tugas akhir ini. Perizinan ditunjukkan kepada
pemilik kapal Dinas Perhubungan untuk mendapatkan izin berlayar dan
pengambilan data-data. Serta dilakukan perizinan untuk peminjaman alat
pengukur kebisingan, yaitu sound level meter di Laboratorium Teknik Lingkungan
Universitas Diponegoro. Setelah perizinan diperoleh dari dinas terkait dan data-
data telah diperoleh maka selanjutnya peneliti akan melakukan proses Analisa
Kebisingan pada Kapal KMP. Ferri Siginjai.
Data-data tersebut di antaranya :
1. Data Primer
1) Data berupa angka dalam satuan dB pada hasil proses pengukuran
kebisingan pada kapa KMP. Ferri Siginjai
2) Sumber kebisingan yang paling dominan pada KMP. Ferri Siginjai
Pada pengambilan data primer ini, metode yang digunakan adalah pengukuran
tingkat kebisingan pada kamar mesin dan ruang akomodasi KMP. Ferri Siginjai
2. Data Sekunder

19
1) Gambar rencana umum dari kapal
2) Dimensi atau ukuran ruang-ruang akomodasi dan kamar mesin
3) Spesifikasi mesin dan peralatannya
4) Data pendukung lainnya

III.3 Pengukuran Kebisingan


Pengolahan data dimulai setelah semua data yang dibutuhkan diperoleh,
kemudian data tersebut dikumpulkan dan diolah agar dapat mempermudah dalam
proses pengerjaan Tugas Akhir ini. Pengolahan data dimulai dengan tahapan
sebagi berikut

20
21
22
23
24

Anda mungkin juga menyukai