Rangkuman Asas-Asas Hukum Adat - Uts PDF
Rangkuman Asas-Asas Hukum Adat - Uts PDF
Kemudian, Snouck Hurgronje membahas mengenai masyarakat Aceh dalam bukunya "Orang
Orang Aceh". Bahwa orang Aceh dan orang Indonesia lainnya dapat hidup secara teratur dan
mereka mematuhi suatu pedoman dalam segala sendi kehidupan mereka, sehingga ada aturan
atau norma yang dimana norma ini tidak ada bukunya atau tidak dikodifikasi. Dia menyebutnya
Adat Recht (Recht: Bahasa Belanda; Adat: Bahasa Arab) yang kemudian diterjemahkan
kedalam istilah Indonesia, yaitu "Hukum Adat". Hukum adat adalah norma-norma hukum yang
terbentuk dari adat istiadat/kebiasaan yang hidup dalam masyarakat asli Indonesia. Apa yang
dimaksud dengan kebiasaan?
Kebiasaan (dari sudut pandang sosiologi) adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-
ulang untuk jangka waktu yang lama dalam menghadapi peristiwa yang sama, maka orang-
orang akan berbuat yang sama.
Hukum adat bersumber dari kebiasaan, tetapi tidak semua kebiasaan adalah norma hukum.
Kebiasaan mana yang hukum dan mana yang bukan dilihat dari sanksi. Kalau kebiasaan itu
mengandung sanksi yang memaksa, maka itu adalah hukum. Kalau kebiasaan itu tidak
mengandung sanksi yang memaksa, maka kebiasaan itu bukan hukum.
dan dilakukan dalam waktu yang panjang dan dalam bentuk yang sama. Perbuatan ini
diulang-ulang karena dianggap baik, benar, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Dengan ini, maka kebiasaan itu tidak ajeg dan bisa berubah
sesuai perkembangan. Jika dilihat bahwa Adat itu adalah sebuah kebiasaan, maka
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, tidak dibuat oleh lembaga yang berwenang
dan tidak dikodifikasikan. Ada kebiasaan yang memiliki nilai etis, dimana jika tidak
dijalani akan memiliki sanksi. Seperti contohnya tidak sopan kepada dosen yang sedang
memberi perkuliahan, tidak mengembalikan barang pinjaman, membangkang dengan
orangtua, dan lain sebagainya.
ii. Sansekerta: Tapi ada yang mengatakan bahwa Adat berasal dari bahasa Sansekarta,
dan memiliki dua penggalan, yaitu: A yang berarti Tidak, dan Dato yang berarti
Kekayaan atau Kebendaan. Tapi sebenarnya tidak hanya tentang kebendaan, tapi juga
menyangkut spiritualitas dan kepercayaan. Karena biasanya, didalam benda terdapat
nilai-nilai magis didalamnya, dan nilai-nilai magis itu memiliki pembenaran yang
irasional. Namun mereka mempercayai itu, dan jika Adat dilanggar, akan mendapatkan
sanksi sesuai Adatnya masing-masing.
secara tegas. Karena sebenarnya apa-apa yang dilarang kaedah kesusilaan adalah apa yang
dilarang kaedah hukum, begitu pula apa yang dianjurkan. Menurut Hazairin, semua
kebiasaan dan norma hukum adat berasal dari kesusilaan. Sanksinya bersifat pribadi, dan
bersifat tidak memaksa, baik tidaknya sesuatu ditentukan pribadi itu Cerita kepada
orang lain pengalamannya masyarakat mengetahui perbuatan itu baik atau tidak baik
Masyarakat akhirnya akan menilai perbuatan itu dan apabila itu menyimpang,
masyarakat akan memberi sanksi anjuran: perbuatan tersebut dianjurkan untuk
dilakukan atau tidak dilakukan, dan sanksinya masih tidak memaksa karena masih berupa
anjuran karena perbuatan tersebut dinilai sangat baik, maka pada akhirnya masyarakat
akan mengatakan bahwa perbuatan itu harus dilakukan, dan bagi yang tidak baik akan
dikatakan tidak boleh dilakukan sanksi memaksa menjadi norma hukum. Contoh:
tidak boleh mengambil barang orang lain.
d. Van Hollenhoven: Seperangkat kaedah atau aturan yang tidak tertulis. Karena tidak
tertulis, disebut adat. Tapi, bagi pelanggarnya memiliki sanksi yang tegas, karena ada
sanksi yang tegas, maka adat disebut juga hukum.
e. Soepomo: Hukum adat adalah norma hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat
Indonesia asli. Walaupun aturan-aturan hukum yang hidup berbeda antar masyarakat,
sumber hukum adat tersebut adalah sama, yaitu pola pikir masyarakat Indonesia. Pola yang
sama ini dikatakan sebagai CORAK HUKUM ADAT. Hanya pengembangannya saja yang
berbeda.
interaksi, Soerjono mengatakan, timbullah yang disebut pola berpikir. Setelah berpikir,
maka manusia akan membuat keputusan, ya atau tidak. Keputusan tersebut dinamakan
sikap. Setelah berpikir, maka orang pasti akan mengambil sikap. Sikap adalah berbuat atau
tidak berbuat, melakukan atau tidak melakukan. Jika sikap ini diwujudkan/dilaksanakan,
maka dinamakan perilaku. Perilaku yang diulang ulang, itulah yang dinamakan kebiasaan.
Jika kebiasaan itu hanya dilakukan oleh pribadi pribadi saja, dan tidak diikuti orang lain, maka
disebut dengan kebiasaan pribadi. Jika kemudian, kebiasaan pribadi itu diikuti orang lain,
masyarakat, karena memang sangat menguntungkan, maka jadilah kebiasaan antar pribadi.
Hukum adat itu adalah kebiasaan antar pribadi. Yang menjadi norma hukum adalah yang
memiliki sanksi memaksa, kalau tidak memaksa, itu hanya kebiasaan.
Kalau tinjauannya sosiologis, maka sistem nilai dulu baru pola berpikir.
Kalau tinjauannya yuridis, maka pola berpikir membentuk sistem nilai.
Jika seseorang mengatakan suatu masyarakat berubah, yang berubah dan berkembang adalah
pola berpikir. Kalau pola berpikir berubah, maka nilai juga berubah. Kalau nilai berubah, maka
sikap berubah. Kalau sikap berubah, perilaku berubah. Kalau perilaku berubah, kebiasaan
berubah. Kalau kebiasaan berubah, maka hukumnya (bisa) berubah.
suami fungsinya adalah sebagai tamu di rumah istrinya. Perannya hanyalah sebagai
pembangkit keturunan. Dengan berubahnya pola berpikir, maka kebiasaan juga berubah. Yang
awalnya suami tidak bertanggungjawab atas istri dan anaknya, sekarang suami
bertanggungjawab dan anak juga merupakan ahli waris. Dengan merubah pola pergaulan dan
pola berpikir, maka dapat merubah hukum yang hidup dalam masyarakat.
Hal itulah mengapa hukum adat bersifat dinamis.
Hukum tertulis adalah aturan-aturan hukum yang dibuat melalui suatu proses yang sudah
ditentukan oleh UU oleh badan-badan dan lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan
untuk membuat UU. Hukum adat tidak melalui proses seperti itu, karena berawal atau
bersumber dari kebiasaan, dan prosesnya berada di dalam masyarakat. Jadi hukum adat adalah
aturan hukum yang tidak dibuat oleh badan-badan yang berwenang. Karena itu dinamakan
hukum tidak tertulis. Kalau ditanya mengenai kenapa hukum adat tidak tertulis dan mengapa
hukum adat dinamis, maka jawabnya dengan proses pembentukannya. Hukum adat walaupun
ada yang bentuknya tertulis, tapi tetap dianggap sebagai hukum tidak tertulis, karena bukan
dilihat dari bentuknya, tapi dilihat dari proses terbentuknya aturan hukum adat itu.
Contoh: putusan hakim; setiap putusan hakim harus menyebutkan dasar putusannya. Hakim A
memutus menghukum seseorang 10 tahun berdasarkan KUHP. Hakim B memutus bahwa si X
didenda 10 ekor kerbau karena telah melanggar adat istiadat berdasarkan nilai-nilai yang hidup
di dalam masyarakat.
- Putusan hakim itu tertulis
- Jika dasar putusannya mengatakan berdasarkan hukum adat, maka dia termasuk hukum
tidak tertulis walaupun putusannya tertulis.
Indonesia sepenuhnya berasal dari agama masing masing, kecuali jika bisa dibuktikan
sebaliknya. Hal ini supaya lebih gampang menundukkan orang Indonesia. Teori Receptie
(Snouck Hurgonje), menepatkan hukum agama dibawah hukum adat. Sehingga pada toeri
ini dianggap masyarakat adat dapat menggunakan hukum atau unsur agama sesuai dengan
pilihannya. Hukum agama berlaku jika ada penerimaan di masyarakat.
Pendapat ini kemudian ditentang oleh Van Vollenhoven.
2. Van Vollenhoven
Sepanjang menyangkut bidang hukum publik, itu adalah asli dari kebiasaan hukum orang
Indonesia asli. Yang dipengaruhi oleh agama adalah bidang hukum privat/perdata. Dan
pendapat itu ditentang oleh Ter Haar.
3. Ter Haar
Menurutnya, memang bidang publik asli Indonesia tapi tidak semua bidang private dari
agama. Menurut Ter Haar yang dipengaruhi oleh agama adalah hukum perkawinan. Hukum
perkawinan pun hanya segi formal dari perkawinan. Tapi segala akibat hukum dari
perkawinan itu adalah asli dari kebiasaan. Sehingga hanya sebagian kecil dari hukum adat
yang terbentuk dari agama, dan sebagian besarnya tetap berasal dari kebiasaan. Sepanjang
mengangkut sahnya perkawinan, syarat-syarat perkawinan, larangan-larangan perkawinan,
dan segi formal dari perkawinan berasal dari agama. Segi materiil dari perkawinan seperti
akibat hukum dari perkawinan adalah kebiasaan.
Contoh: Orang minangkabau. Adat minangkabau bersendi pada al-Quran. Tetapi, tidak
semua adat minangkabau sejalan dengan Al-Qur'an, contohnya adalah anak tidak mendapat
warisan dari ayahnya. Hal ini sangat bertentangan dengan al-quran.
Bagaimana kalau terjadi pertentangan antara adat dengan agama?
Pada waktu pemerintahan hindia belanda, berlaku suatu asas, yaitu hukum agama baru bisa
berlaku bila sudah diterima sebagai hukum adat. Teori inilah yang dikenal sebagai Teori
Receptie. Jadi selama hukum agama belum diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat,
maka agama tidak berlaku. Kalau terjadi pertentangan antara agama dan adat, maka yang
berlaku adalah hukum adat. Ada pengecualian yaitu pada masyarakat Bali. Di Bali, agama
dan adat tidak dapat dipisahkan. Hukum adat Bali adalah hukum agamanya.
Yuridis:
Aspek yuridis diambil dari perilaku. Perilaku ini memiliki tingkatan, yaitu:
Yang khas dari hukum adat adalah kita tidak tahu kapan hukum adat berubah dan tidak bisa
dilihat. Cara melihat hukum adat berubah atau tidak adalah melihatnya dari perspektif orang
lain atau masyarakat lain. Masyarakat berubah, hukum adat berubah. Masyarakat akan berubah
jika interaksi berubah, interaksi berubah karena banyak faktor seperti pendidikan, teknologi,
demokrasi, keadilan dan sebagainya.
teritorial adalah faktor tempat tinggal. Yang lahir dari sistem hukum adat itu sangat
dipengaruhi oleh faktor geneologis dan faktor teritorial adat ini. Segala sesuatu norma yang
berkaitan dengan masalah-masalah publik, seperti sistem pemerintahan, sistem kekuasaan,
kepala adat, dan seterusnya, sangat dipengaruhi oleh faktor teritorial. Sedangkat bidang
hukum privat, seperti hak-hak pribadi, hak-hak kemasyarakatan yang sifatnya privat, dll,
sangat dipengaruhi oleh faktor geneologis.
2. Fungsi yang utama dari norma hukum adat adalah untuk menyerasikan serta menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban masyarakat.
Contoh:
- Hak masyarakat adalah mempertahankan keberadaan dan kemurnian klan.
Perkawinan adalah hak yang sifatnya pribadi, tetapi ada hukumnya. Misalnya dilarang
kawin dengan orang yang memiliki marga yang sama.
- Setiap orang diberikan hak atas tanah, akan tetapi penggunaan hak tidak boleh
melanggar hak masyarakat. Aturan hukum itu adalah dalam rangka menyeimbangkan
hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban masyarakat.
3. Norma-norma hukum adat itu merupakan refleksi atau pencerminan dari harapan
masyarakat. Pencerminan ini didasarkan pada nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat
itu. Hal ini dilihat dari proses terbentuknya hukum adat. Karena dari proses terbentuknya
hukum adat dapat dilihat bahwa yang akan menjadi norma hukum adat apa yang menurut
masyarakat sesuatu yang harus dipertahankan. Jadi, dilihat dari pendapatnya Hazairin
maupun Ter Haar.
4. Hukum adat merupakan sistem hukum yang tidak tertulis.
5. Sanksi negatif hanya tujuan mencapai harmoni internal dan eksternal. Hukuman menurut
hukum adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan didalam masyarakat yang sudah
terganggu dengan adanya perbuatan melawan hukum. Hukum adat berorientasi pada
kedudukan seseorang. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin besar
pertanggungjawabannya. Jadi kalau orang yang berkedudukan tinggi melanggar suatu
aturan, maka hukumannya harus lebih berat. Dalam menemukan hukum adat itu,
pemikiran yang dipakai adalah induktif. Maksudnya adalah dari berbagai fakta di
lapangan, ditarik kesimpulan bahwa seperti inilah hukum adat itu. Ini berkaitan dengan
metode penemuan norma-norma hukum adat.
Dasar dari poin satu sampai tiga itu adalah proses terbentuknya hukum adat.
benda bergerak yang dapat dipertahankan tanah, dan A tidak punya kebebasan mutlak
dari siapapun juga. Dalam BW, pemilik atas tanah tersebut. A harus membuat tanah
tanah dapat melakukan apapun yang ia itu produktif bagi dia dan orang lain. Apabila
kehendaki untuk menggunakan tanahnya, tanah itu dibiarkan kosong, maka diambil
entah mengolahnya atau membiarkannya alih kembali oleh masyarakat adat dan
sehingga bersifat individualistis. Untuk dijadikan tanah ulayat (tanah bersama) dan
mengambil alih tanah, harus ada ganti ditetapkan oleh kepala adat, karena pada
untung. Kegiatan jual beli tanah di hukum dasarnya A mendapat tanah karena ia
Barat termasuk perikatan. Dalam BW, anggota masyarakat setempat. A kehilangan
perikatan bersifat kepribadian (hanya antara hak milik atas tanah. Tanah menurut hukum
orang-orang yang terikat dalam perjanjian). adat harus memiliki fungsi sosial. Saat tanah
tidak berfungsi sosial, tanah bisa diambil alih
tanpa memberikan ganti apapun kepada
pemilik tanah. Apabila A ingin menyuruh B
untuk menggarap tanahnya, B harus
merupakan orang dari masyarakat setempat
pula (orang dalam kampung yang sama
dengan si A). Saat panen, hasil panen dibagi
dua antara A dan B. Apabila B orang luar,
maka B akan diupah, dan B menjadi buruh
tani si A.
Hak perorangan bersifat relatif / nisbi, yaitu Hak perorangan di hukum adat menjadi hak
hanya dapat dipertahankan terhadap orang- mutlak, karena dapat dipertahankan kepada
orang tertentu saja. Contohnya, A dan B orang lain di luar perjanjian. Contoh: A
melakukan kegiatan pinjam meminjam. B meminjam uang kepada B. Apabila A tidak
memiliki hak untuk menuntut A saja. B mampu bayar, maka B bisa meminta bayaran
hanya dapat mempertahankan haknya kepada klan / keluarga besar A, karena
terhadap A saja. A dan B sama-sama keluarga besar A dan B terkait dalam
memiliki hak perorangan satu sama lain. perjanjian tersebut, yang disebut perjanjian
pertanggungan kerabat. Tanggung jawab A
juga merupakan tanggung jawab keluarga
besar A.
Jual beli tanah di hukum Barat termasuk ke Jual beli tanah di hukum adat bukan
dalam perikatan. termasuk kedalam perikatan.
Hukum Barat mengenal pembedaan hukum Mengenal pembidangan hukum publik dan
publik dengan hukum perdata / privat. privat, namun tidak ada batasan yang jelas.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur Kasus pidana dalam hukum adat dapat
hubungan antara negara dan warga negara. diselesaikan dengan cara kekeluargaan. A
Norma-normanya sudah ditentukan oleh membunuh B, apabila keluarga besar B
negara, karena negara merupakan organisasi memaafkan dan menerima ganti rugi dari A
kedaulatan yang paling tinggi. dan mengadakan upacara adat, maka kasus
Contoh: A membunuh B yang termasuk tersebut selesai. Hal ini dikarenakan sifat
peristiwa pidana. Aturan mengenai hal hukum adat yang mengembalikan ke kondisi
tersebut sudah diatur oleh negara, orang lain semula.
tidak boleh mengganggu gugat (warga Perkawinan (bidang hukum privat): kepala
negara lain tidak boleh ikut campur) A adat juga punya kewenangan untuk mengatur
diancam hukuman pidana. Perkataan ‘maaf’ masalah perkawinan.
tidak termasuk alasan penghapus pidana. Pembuktian hak (bidang hukum privat):
Norma dibuat oleh negara untuk melindungi dalam hukum adat, pembuktian hak ada di
seluruh masyarakat. tangan kepala adat.
Jual beli tanah: harus dilakukan di depan
Hukum privat mengatur hubungan antara kepala adat, jika tidak, maka jual beli itu
warga negara dengan warga negara lainnya. dianggap tidak pernah ada. Pembuktian hak
Hukum dibuat oleh orang-orang yang terikat, milik pribadi juga ada di tangan kepala adat.
contohnya: perkawinan, waris, hutang Jadi walaupun secara praktiknya ada yang
piutang. Kesepakatan menjadi hukum bagi publik dan privat, tetapi secara teoritis,
masing-masing pihak. Apabila terjadi hukum adat tidak memisahkan hal itu.
pertentangan memakai UU yang dibuat oleh
negara, yang menunjukkan campur tangan
negara dalam kehidupan warga negara.
Memiliki hukum acara publik dan privat Hanya ada satu hukum acara, yang diadili
karena ada perbedaan materiil. oleh hakim adat.
Perbedaan hukum acara, misalnya hukum Putusan hakim adat mengembalikan ke
acara pidana menggunakan KUHAP, hukum keadaan semula. Putusan yang dihasilkan
privat dengan HIR / RBG, di mana dalam bersifat win-win solution.
kasus perdata, tidak ada jaksa, namun ada Hukum acara yang digunakan adalah
pengacara tergugat dan penggugat. Ada musyawarah mufakat dan upacara adat.
hakim, dan pembuktian secara formil.
terikat kepada hukum adatnya masing-masing. Jadi, mereka tetap kembali ke hukum
adatnya walaupun sudah berlakunya UU Perkawinan. UU mengenai Perkawinan ini
mencakup dua bidang; bidang formil dan bidang materiil. Bidang formil mengandung
hal yang berkaitan dengan administrasi, sahnya perkawinan, larangan-larangan
perkawinan, dan syarat-syarat perkawinan. Sebagian besar yang ada di UU Perkawinan
ini, seperti larangan perkawinan, sama dengan apa yang ada di hukum adat. Ada hal-
hal yang berada dan diatur di masyarakat adat, tetapi tidak diatur dalam UU
Perkawinan. Contoh:
Menurut hukum adat, pada masyarakat yang berklan, perkawinan tidak boleh didalam
klan. Hal ini tidak ada didalam UU Perkawinan. UU Perkawinan mengatakan dalam
salah satu pasalnya bahwa hukum perkawinan BW, hukum perkawinan campuran,
hukum perkawinan bagi orang kristen, dan peraturan lainnya tidak berlaku sepanjang
sudah diatur oleh UU Perkawinan. Artinya, BW dan semua peraturan perkawinan
dalam hukum barat tidak berlaku lagi, sepanjang sudah diatur. Tetapi, undang-undang
ini tidak menyebut hukum islam dan hukum adat secara jelas dan eksplisit. Jadi, kalau
sudah diatur, maka hanya UU ini yang berlaku. Menurut hukum adat, perkawinan sah
apabila dilakukan menurut agama masing-masing. Hal ini sama dengan perundang-
undangan barat. Masyarakat adat mengatakan bahwa dengan datangnya agama,
perkawinan sah menurut agama. Kemudian, masyarakat adat juga melarang
perkawinan yang sedarah, perkawinan yang sebelumnya sudah terikat hubungan
(seperti, menikah dengan mertua, dll). Untuk masyarakat yang berklan, mereka tetap
mengikuti dan terikat hukum adatnya dengan prinsip tetap dilarang perkawinan dalam
klan.
UU Perkawinan mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa. Hukum adat mengartikan perkawinan bukan sebagai ikatan lahir batin antara dua
orang (pria dan wanita), tetapi ikatan kekeluargaan antar dua keluarga dan dua
masyarakat. Tidak menyangkut pribadi, tetapi menyangkut keluarga.
Dalam UU Perkawinan, apabila perkawinan telah terjadi, maka seorang istri berada
dalam ikatan hak dan kewajiban yang sama. Sedangkan dalam hukum adat, perkawinan
itu urusan keluarga dan urusan masyarakat, jadi suami istri tetap terpisah dalam ikatan
dua keluarga, tidak menjadi satu. Yang mengikat mereka adalah perkawinan atau ijab
kabul dalam islam. Diluar itu, mereka masing-masing. Pada kenyataan sekarang ini,
secara umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia
(kecuali orang Jawa; orang Jawa sama persis dengan UU Perkawinan):
- Patrilineal
Istri setelah menikah harus ikut keluarga suami, hak dan kewajibannya terikat pada
hak dan kewajiban suami, dan ia putus hubungan dengan keluarganya
- Matrilineal
Secara sosiologis memang tidak terlihat, tetapi dari segi hukumnya, tetap saja
suami istri terpisah dalam keluarga masing-masing.
Jadi, tidak sepenuhnya orang Indonesia asli tunduk kepada UU Perkawinan. Mereka
tidak bisa dihukum karena hal ini merupakan bidang hukum privat, dimana mereka
sendiri yang memilih mau mengikuti yang mana.
Hukum perkawinan dan seluruh bidang hukum adat sangat dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan. Ada tiga sistem kekeluargaan:
A. Patrilineal
Anak hanya berhubungan dengan ayahnya. Dalam adat Batak, marga anak pasti
marga ayahnya. Kalau orang Bali, pura ayahnya pasti pura anaknya. Dalam adat
Batak, apabila ingin menikah, maka keluarga laki-laki wajib membayar sinamot
kepada keluarga perempuan. Fungsi dari membayar sinamot ini adalah menentukan
terjadi atau tidaknya perkawinan. Pada kenyataannya, hingga saat ini membayar
sinamot ini masih terjadi.
Dalam hal ini, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kewenangannya
juga lebih kecil dari suaminya. Dalam rumah tangga, yang berkuasa adalah
suaminya. Perempuan pada patrilineal tidak berhak menerima warisan karena
perempuan bukan ahli waris.
B. Matrilineal
Dalam matrilineal, anak hanya berhubungan dengan ibu dan keluarga ibunya.
C. Bilateral
Ciri pertama dari bilateral adalah bahwa setiap orang akan punya hubungan hukum
dan hubungan keluarga dengan ayah dan ibunya. Hubungan anak dengan ayah dan
ibunya sama, dan dua duanya sama sama bertanggungjawab terhadap anak. Semua
hukum perkawinan pasti merujuk kepada sistem bilateral. UU No. 1 Tahun 1974
tidak ada satu pasal pun yang menyebut tentang istilah bilateral. Tetapi, pada
dasarnya UU Perkawinan itu, jika dilihat dari sistem kekeluargaan menurut hukum
adat, maka UU Perkawinan ini menganut sistem bilateral. Hal ini dilihat dari
kedudukan anak, yaitu anak tanggungjawab dua orang tua, mempunyai hubungan
dengan ayah maupun ibu. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut hukum adat
perkawinan orang jawa, maka ada kesamaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan
hukum perkawinan orang Jawa.
Yang berbeda hanyalah kedudukan suami istri. UU No. 1 Tahun 1974, suami istri
berada dalam ikatan hak dan kewajiban yang sama. Sedangkan dalam hukum adat,
suami istri tetap terpisah dalam keluarga masing-masing. Hal ini karena dalam
hubungan keluarga, hubungan darah menjadi dasar bagi hukum adat. Kalau orang
tidak punya hubungan darah, berarti tidak sekeluarga. Suami istri pasti tidak
memiliki hubungan darah, karena itu mereka tetap berada dalam hubungan keluarga
yang berbeda. Diluar kedudukan suami istri, maka norma-norma perkawinan orang
Jawa sama dengan UU Perkawinan.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Benda yang paling kompleks saat ini adalah tanah. Apakah dengan adanya UUPA
hukum adat yang mengatur tentang tanah menjadi tidak berlaku?
UUPA disusun dengan berpedoman kepada hukum adat. Dengan demikian, hukum adat
menjadi tidak berlaku. Prinsip dasar dan asas dasar tentang hak atas tanah, maka UUPA
dengan hukum adat sama. Karena baik UUPA maupun hukum adat, prinsip dasar yang
dianut adalah prinsip kebersamaan dimana kebersamaan ini diambil dari hukum adat.
Dalam hukum adat, hak setiap orang atas tanah terikat kepada hak masyarakat. Oleh
karena itu jika seseorang mempunyai tanah atau hak atas tanah, maka orang itu harus
memanfaatkan tanahnya, bukan hanya untuk kepentingannya tetapi juga kepentingan
masyarakat hukum adat. Seseorang yang memiliki tanah tidak boleh menelantarkan
tanahnya sehingga harus digunakan tanah itu. Jika sudah melalui proses tertentu tanah
tetap tidak diusahakan, maka hak orang itu akan dicabut. Dalam UUPA pasal 6
mengatakan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial. Maksudnya adalah tanah tidak
hanya bermanfaat bagi pemiliknya, tetapi harus memberikan manfaat untuk orang lain.
Pasal 9 UUPA, yang boleh mempunyai hak milik paling kuat hanyalah warga negara
Indonesia, jadi WNA tidak boleh. Hal ini juga sama dengan hukum adat, yaitu yang
boleh memiliki tanah di suatu wilayah hukum adat, hanya anggota masyarakat tersebut.
Dengan demikian, ternyata norma-norma hukum adat tidak bisa berlaku. Kalau
berpedoman pada UUPA, maka hukum tanah adat bisa dikatakan tidak bisa berlaku
lagi. Ada suatu prinsip yang mengatakan bahwa suatu prinsip hukum dapat melahirkan
berbagai macam norma hukum. Pada tanah ini, prinsipnya sama yaitu asas
kebersamaan, akan tetapi pasal pasal yang ada di UUPA dan norma-norma hukum tanah
adat yang lahir dari prinsip kebersamaan, saling bertentangan. Ruang lingkup berlaku
prinsip itu berbeda. Hukum tanah adat prinsip kebersamaannya bersama dalam
masyarakat hukum adat. Sementara UUPA, kebersamaan itu didalam bangsa Indonesia.
Contoh: Tidak boleh ada jual beli tanah diantara orang-orang yang berbeda masyarakat
hukum adatnya. Hal ini tidak bisa berlaku di UUPA, karena di UUPA ruang lingkupnya
adalah bangsa Indonesia, yang merupakan gabungan dari seluruh masyarakat hukum
adat di Indonesia. Semua warga negara Indonesia berhak memiliki tanah dimanapun di
wilayah Indonesia. Oleh karena itu, norma-norma hukum adat tidak bisa berlaku karena
ruang lingkupnya berbeda. Masyarakat hukum adat masing-masing mempunyai satu
wilayah tempat tinggal.
Dengan berlakunya UUPA, Hukum tanah adat menjadi tidak berlaku. tetapi,
masyarakat di luar Jawa mengenal hak wilayah. Hak wilayah ini diakui oleh UUPA
pasal 33, yaitu hak wilayah hukum adat diakui sepanjang kenyataannya masih ada. Dan
ini harus memenuhi banyak syarat. Aturan-aturan yang ada ini bertujuan untuk
menghapuskan hak-hak dari masyarakat hukum adat di Indonesia. Karena, kepentingan
tanah terbentur dengan masalah hak wilayah. Secara yuridis, hukum tanah adat tidak
berlaku, tetapi secara sosiologis masih berlaku.
3. UU No. 14 tahun 1970
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah UU yang isinya memberikan
kedudukan kepada keberadaan hukum adat. Ada dua pasal yang salah satunya
menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengetahui, memahami nilai nilai yang
hidup dalam masyarakat. Jika membicarakan nilai ini, maka berarti membicarakan
hukum adat.
Pasal yang kedua menyatakan bahwa jika hakim memutuskan suatu perkara, dan
putusan itu isinya hukuman, maka hakim harus menyebutkan dasar dari keputusannya.
Jadi harus menyebutkan Undang-Undang mana yang menjadi dasar keputusannya.
Seandainya tidak ditemukan, maka dicari didalam hukum tidak tertulis (hukum adat).
Artinya, dalam keputusan hakim harus disebutkan dasar hukumnya, jika tidak ada
UUnya, maka dicari dalam hukum tidak tertulis, seperti hukum kebiasaan atau hukum
adat. Hukum adat bisa dijadikan dasar putusan.
Contoh:
Masyarakat Lombok adalah masyarakat yang patrilineal. Perkawinan terjadi kalau
pihak laki-laki mampu membayar barang jujur. Makin tinggi status sosialnya, makin
tinggi nilai magisnya. Jika lelaki tidak mampu membayar barang jujur, maka jalan
keluarnya adalah kawin lari. Kalau sudah dibawa lari, maka harus dinikahkan, kalau
tidak dinikahkan maka melawan adat. Tiba-tiba, laki lakinya kabur, tidak jadi menikahi
perempuannya. Keluarga perempuan pun mengadu kepada pengadilan. Begitu
diperiksa oleh hakim, hakimnya bingung karena dasar hukumnya tidak ditemukan di
perundangundangan. Akhirnya, pihak laki-laki dikenakan denda dengan dasar
hukumnya hukum adat. UU ini pada dasarnya memberikan kedudukan kepada hukum
adat, karena masih bisa dipakai sepanjang belum diatur dalam UU.
pada saat itu adalah RR. RR pasal 75 mengatakan bahwa didalam perkara-perkara
perdata dan datang bagi orang Indonesia asli dan timur asing, hakim harus memakai
hukum adat mereka. Jadi, dasar yuridis berlakunya hukum adat adalah Pasal 75 RR
yang mulai berlaku pada tahun 1854. Sementara pasal 131 ayat 2 Sub B IS, bukanlah
perintah kepada badanperadilan, tetapi perintah kepada pembuat undang-undang.
Jika suatu sistem hukum memenuhi ketiga dasar ini, maka itu adalah suatu sistem hukum yang
baik. Sebelum tahun 1854, hukum adat tidak memiliki dasar hukum. Tetapi, itu tidak berarti
hukum adat tidak berlaku. Yang menjadi dasarnya hanyalah dasar sosiologis. Kalau filosofis
sejak 18 Agustus 1945, yaitu saat lahirnya pancasila.
Masyarakat hukum adat juga adalah semua orang yang masuk golongan ke-3 dalam Pasal 131
dan 163 IS, yaitu inlander / bumiputera yang mematuhi hukum adat mereka dan akhirnya
menjadi bangsa Indonesia.
Masyarakat hukum adat merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah, ada
penguasa, dan ada kesatuan hukum. Contoh masyarakat hukum adat: desa (di Jawa), nagari (Di
Minangkabau), Huta/Huria (Batak), dan sebagainya. Sementara, masyarakat adat adalah etnis
/ suku bangsa, yang memiliki nilai-nilai adat, budaya, hukum sendiri. Kalau anggota
masyarakat adat melanggar hukum, maka sanksi akan dikenakan oleh Masyarakat Hukum Adat
(desanya). Masyarakat adat lebih luas dari masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat
memiliki kepala adat, yang mengatur mengenai tanah ulayat, hutan ulayat, dan ada 1 kesatuan
hukum.
MHA Tunggal
MHA Berangkai
Masyarakat
Hukum Adat
Teritorial
Genealogis-Teritorial
Penjelasan:
- Suku-suku tersebut hidup berdampingan, tidak ada batas yang jelas. Batasannya hanya
berdasarkan keefektifan penggunaannya (effective occupation) siapa yang paling
efektif menguasai dan menggunakan tanah. Hukum internasional mengenal konsep
effective occupation, konsepnya sama dengan hukum adat.
Atasan
dari ayah dan ibu. Tidak ada pemutusan hubungan darah. Jadi selanjutnya keatas melalui
penghubung laki-laki dan perempuan. Masyarakat ini disebut masyarakat bilateral.
Contoh: Jawa
6. Teritorial-Genealogis
Salah satu syarat dari keberadaan masyarakat hukum adat adalah adanya suatu wilayah
tempat tinggal bersama dari anggota-anggotanya. Secara sosiologis, tidak semua orang yang
satu klan atau marga berdiam di satu wilayah yang sama, padahal syarat masyarakat hukum
adat adalah ada wilayah untuk tinggal bersama. Maka dari itu, dari masyarakat yang berklan,
tidak hanya berhubungan darah, tetapi juga terikat oleh tempat tinggal. Tidak semua orang
yang berasal dari klan yang sama berdiam di wilayah yang sama.