Anda di halaman 1dari 16

Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

ASAS-ASAS HUKUM ADAT


arti dan ruang lingkup hukum adat

arti

Hukum adat ialah terjemahan langsung dari adatrecht (Dutch) yang dikemukakan
Snouck Hurgonje. Sebelum istilah “adatrecht,” hukum adat istilahnya bermacam-
macam, ada Mohammadennesrecht, ada Hukum Kebiasaan-Kebiasaan Orang Jawa,
dsb. Snouk Hurgonje adalah seorang Orientalis asli Belanda yang ahli mempelajari
Hukum Islam, bahkan pernah menyamar menjadi Abdul Gaffar di Aceh.
Menurutnya, hukum asli orang Indonesia adalah adatrecht.

Secara harfiah, adat berasal dari Arab, dan recht dari Belanda. Dalam masyarakat
sendiri, hukum adat adalah hukum masyarakat, yaitu hukum yang muncul dan
berkembang di masyarakat, senantiasa bertumbuh dan berkembang sesuai dengan
keadaan masyarakat. Istilah “hukum adat” itself however is not present inside the
society.

“Tidak tahu adat” dan “tidak tahu hukum adat” memiliki pengertian yang berbeda.
Ada kebiasaan yang biasa saja dan ada yang memiliki dampak hukum. Melanggar
kebiasaan saja berarti hanya melanggar adat. Melanggar kebiasaan dengan hukum
adat berarti melanggar hukum adat. Walaupun “hukum adat” bukan istilah
Indonesia, tapi substansinya asli dari Indonesia.

terminologi

Hukum

“Seperangkat aturan yang mengatur mengenai tingkah laku manusia yang terhadap
penyimpangannya dikenai dengan sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan.”
Walaupun begitu, tidak ada definisi hukum yang benar-benar definitif. We’ll use that
one for simplicity.

Hukum berasal dari bahasa Arab, “ahkm.”

Sanksi —> akibat dari suatu perbuatan. Tidak selamanya sanksi berkonotasi
negatif; bisa punishment dan bisa reward.

1
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Perbuatan —> lihat delik komisi dan omisi, bisa berbuat dan tidak berbuat.
Perbautan tidak selamanya harus aktif; tidak berbuat juga dapat dikenakan sanksi
(contoh: kelalaian)

Adat
Diambil dari Bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Kebiasaan adalah perbuatan
yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama. Kebiasaan ini
diulang-ulang karena dianggap baik, benar, dan adil menurut nilai-nilai yang idanut
oleh masyarakatnya.

Adat juga berasal dari Sanskerta: “A” dan “Dato.” A berarti tidak, bukan, dan Dato
berarti materi atau kebendaan. Jadi, adat adalah “sesuatu yang tidak berkaitan
dengan dunia kebendaan, tidak terikat dengan materi; sebuah spiritualisme.” Suatu
hal/tindakan/perbuatan yang tidak berdasar melihat dari sudut-sudut kebendaan,
dan terhadap penyimpangannya dikenai sanksi.

Hukum adat adalah seperangkat aturan yang merupakan kebiasaan dari warga
masyarakat yang diulang-ulang, diakui kebenarannya,d an terhadap
penyimpangannya dikenai sanksi yang tegas dan memaksa.

doktrin (pandangan para sarjana)

Hukum adat bukanlah hukum negara, tapi hukum masyarakat. Hukum adat tidak
tertulis; yang tertulis ialah hukum negara. Hukum tertulis dibuat oleh lembaga
negara. Hukum adat tidak dibuat oleh lembaga negara, tapi oleh warga masyarakat
sendiri dan tidak memiliki kodifikasi.

Van Vollenhoven: hukum adat adalah seperangkat aturan yang mengatur mengenai
tingkah laku manusia yang tidak tertulis dan tidak dalam bentuk undang-undang
tapi memiliki sanksi yang tegas. Tidak tertulis, disebut adat. Ada sanksi, disebut
hukum.

[someone]: hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan [negara], tapi


bersumber pada nilai-nilai masyarakat.

Ter Haar: budaya hukum orang Belanda adalah budaya hukum tertulis, legisme.
Hukum adat timbul apabila ada Reaksi dari masyarakat. Hukum adat adalah seluruh
atau segenap adat istiadat yang menjelma dalam keputusan-keputusan kepala
adat, fungsionalis adat, atau dari warga masyarakat sendiri, dan keputusan ini harus
besifat spontan.

2
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Keputusan ini bersifat spontan karena didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Kalau sudah melalui keputusan itu, maka sudah bisa dikatakan sebagai
hukum adat. Apabila nilai-nilai dalam masyarakat berubah maka hukumnya pun
berubah.

Ter Haar menganggap adat istiadat belum tentu hukum adat, tetapi hukum adat
sudah pasti adat istiadat.

Apabila tidak ada keputusan, hanya menjadi adat istiadat saja, karena tidak
memiliki sanksi yang kuat. Tidak semua adat istiadat adalah hukum adat, tapi
seluruh hukum adat adalah adat istiadat. Demi kepastian hukum, harus ada
dikotomi yang jelas antara hukum adat dan adat istiadat.

Adat —> Reaksi —> Keputusan —> Sanksi Hukum —> Hukum Adat

Teori ini dkenal sebagai Teori Keputusan/Beslissingensleer.

Banyak yang tidak menyetujui pendapat Ter Haar, karena kita tidak mengenal
hukum adat, hanya adat. Tidak ada dikotomi antara adat dengan hukum adat.
“Hukum” itu sendiri bahkan bukan bahasa kita.

Kusmadi Pudjosoewojo: seluruh adat istiadat, seluruh tingkah laku manusia, pasti
memiliki sanksi, dan sanksi itu pasti ada ukurannya.

Hukum adat adalah seluruh adat istiadat yang telah/sedang/akan diadakan dan
setiap adat istiadat yang telah/sedang/akan diadakan pasti memiliki sanksi, dari
yang paling ringan sampai yang paling berat. Keputusan hanyalah formalitas
sebagai deklarasi saja. Adanya keputusan kepala adat hanyalah sebagai formalitas
bahwa sanksi itu ada, tetapi sanksi tidak lahir dari keputusan.

Kusmadi tidak memisahkan hukum adat dengan adat. “Hukum” itu bahasa Arab,
bukan Indonesia. Melanggar hukum, menurut Kusmadi, sama artinya dengan
melanggar adat. Ada adat yang memiliki nilai etis/kesopanan, ada yang memiliki
nilai hukum.

Hazairin: hukum semuanya berasal dari kaidah kesusilaan dan tidak ada
pertentangan antara keduanya, karena apabila kesusilaan menyuruh melakukan
sesuatu, maka hukum pun akan menyuruh melakukan sesuatu. Tidak ada hukum
membolehkan, kesusilaan melarang, atau sebaliknya. Jika ada, maka hukum itu
dzalim.

3
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Ada lima kaidah hukum menurut Islam:

1. Mubah: boleh dilakukan boleh tidak.

2. Makruh: dilakukan tidak apa-apa, ditinggalkan berpahala

3. Sunnah: dilakukan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa

4. Haram: dilakukan dosa, ditinggalkan pahala

5. Wajib: dilakukan pahala, ditinggalkan dosa.

Dalam hukum barat, kelima kaidah itu menjadi:

1. Mubah jatuhnya hukum kesusilaan pribadi.

2. Sunnah dan makruh termasuk hukum kesusilaan masyarakat.

3. Wajib dan haram Ialah nroma hukum, karena sanksinya tegas dan kuat.

Kalau kaidah kesusilaan tidak bisa mengatur masyarakat, maka kaidah kesusilaan
tersebut harus diubah menjadi kaidah hukum, ditambah sanksi yang memaksa.
Contoh: perda merokok memberikan sanksi terhadap kaidah kesusilaan merokok.

Hukum adat adalah hasil endapan dari kaidah-kaidah kesusilaan yang ditambahkan
sanksi.

proses dan unsur terbentuknya hukum adat

proses terbentuknya hukum adat

Hukum masyarakat bukanlah hukum negara dan bukan pula hukum tertulis (yang
dibuat oleh lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif). Hukum masyarakat
dibuat oleh masyarakat dan tumbuh dalam masyarakat. Masyarakat berubah, maka
hukum juga berubah.

1. Sosiologis

Manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa orang lain, karena
memang fitrahnya manusia tidak diciptakan dengan kelengkapan untuk hidup
sendiri. Manusia harus hidup dalam suatu komunitas, memiliki insting
gregariousness atau insting untuk selalu berkumpul dengan masyarakat. Dari
ini melahirkan interaksi, antarorang dengan orang atau orang dengan alam.
Interaksi ini akan melahirkan pengalaman. Pengalaman dapat bersifat positif
ataupun negatif, tergantung dari hasil interaksi. Pengalaman akan meningkat
menjadi sistem nilai, yaitu pandangan mengenai sesautu yang baik dan buruk,
positif dan negatif, adil dan tidak adil, benar dan salah. Sistem nilai akan
menimbulkan pola pikir mengenai apa yang baik dan apa yang tidak. Mengenai
mana yang lebih dulu ada (pola pikir atau pengalaman), itu tergantung dengan

4
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

jalan pikir masing-masing orang. Pola pikir akan melahirkan sikap, yaitu
kecenderungan untuk berbuat. Dari sikap muncul perilaku. Kalau perilaku
dilakukan secara berulang-ulang, maka perilaku akan menjadi norma. Norma
adalah abstraksi perilaku yang berulang-ulang. Tugas norma adalah membatasi
perilaku, memberikan perdoman dalam bersikap tindak.

Norma dibagi 4 dalam dua judul:

A. Norma Pribadi

1. Norma kepercayaan

2. Norma kesusilaan

B. Norma Antarpribadi

1. Norma kesopanan

2. Norma hukum

Gregariousness —> Interaction —> Experience —> Values —>


Mindset —> Attitude —> Behaviour —> Norm

Secara sosiologis, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum adat berasal


dari masyarakat melalui proses tersebut. Satu elemen berubah, maka semuanya
akan berubah pula. Jadi, apabila ada perubahan dalam masyarakat, maka
hukum masyarakatnya pun akan berubah pula.

Tiap daerah berbeda-beda hukum adatnya, karena masing-masing memiliki


interaksi, pengalaman, sistem nilai yang berbeda-beda.

Budaya pun berbeda-beda. Hukum adalah ciptaan budaya, budaya adalah hasil
cipta, rasa, dan karsa manusia.

2. Yuridis

Diambil dari perilaku. Kalau sisi sosiologis mengambil dari yang tidak ada
(invented). Kita melihat bentuk perilaku dari sanksinya:

1. Cara atau usage: bentuk konkret berperilaku. Sanksinya ringan, atau bahkan
tidak ada sanksi. In other words, “cara pribadi.”

2. Kebiasaan atau folksways: cara pribadi diikuti oleh orang banyak, karena
dianggap baik, benar, adil, disukai, dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
di masyarakat. Cara berubah menjadi kebiasaan. Sanksinya lebih kuat dari
cara, sudah ada orang lain yang mengukur.

3. Standar tata kelakuan atau mores: suatu sarana untuk mengkategorisasikan


apakah dia bagian dari suatu masyarakat atau tidak. Apakah ia ingroup atau
outgroup? Kalau ia bagian dari suatu masyarakat, maka cara yang

5
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

digunakan sama. Apabila ia bagian dari suatu masyarakat dan berbeda


caranya, maka sanksinya lebih kuat, bahkan mulai menyerupai hukum.

4. Adat atau custom: cara yang digunakan seseoreang dilakukan oleh suatu
masyarakat secara terus menerus. Sanksinya luar biasa. Sanksi hukum
negara? Dipenjara. Sanksi adat? Tidak dianggap ada oleh masyarakat adat;
dikucilkan.

unsur pembentuk hukum adat

Hukum adat terbentuk dari kaidah kebiasaan masyarakat dan kaidah agama. Demi
menentukan mana yang lebih dominan, maka harus melihat teori-teori di bawah ini:

1. Receptio in Complexu

Hukum adat adalah keseluruhan dari kaidah agama yang diterima oleh
masyarakat [Van den Berg]. Maksudnya, kalau suatu masyarakat menganut
agama tertentu, hukum adat akan bersumber dari agama tersebut. Hukum adat
diterima (resepsi) keselurhan dari kaidah agama.

Contoh: Bali, agama Hindu, hukum adat sesuai dengan agama Hindu.

2. Receptie

Teori ini menyangkal receptio in complexu. Kalau hukum adat mengadopsi


seluruh hukum agama, pasti semuanya, tetapi pada realitanya tidak begitu.
Kaidah agama hanya yang diteirma saja oleh masyarakat. Kalau ada hukum
agama masuk ke adat, masyarakat menerima yang baik-baik saja menurut
masyarakat, selebihnya tidak. Kalau diterima, akan disaring terlebih dahulu,
tidak semuanya. Yang diterima adalah yang formal-formal saja. [Snouck
Hurgonje]

Contoh: Orang Minangkabau Islam, tetapi sistem kekeluargaannya matrilineal,


sementara Islam partrilineal.

Orang Batak Kristen, tetapi warisan Batak hanya diberi kepada laki-
laki saja.

3. Receptio A Contrario

Teori ini menyangkal receptie, bahkan menyebutnya sebagai “teori iblis,” karena
bertentangan dengan kepercayaan orang-orang beragama. Apakah hukum
Islam lebih rendah dari adat? Apakah hukum Nasrani lebih rendah dari adat
Batak? Orang agamawan akan tersinggung. [Hazairin]

6
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Teori receptio in complexu dianggap berbahaya oleh orang Belnada, karena


menganggap ada kekuasaan yang lebih besar dari kekuasaan Belanda (which is
God’s).

Teori-teori ini ialah contoh politik Devide et Impera di bidang hukum, berusaha
memecah belah antara adat dan agama. Konsekuensinya terlihat dalam Perang
Padri antara kaum adat dan kaum padri (agama).

sistem hukum adat


Sistem adalah keseluruhan yang terangkai secara bulat yang masing-masing
unsurnya memiliki satu hubungan fungsional. Sistem hukum ditentukan oleh
budaya.

Hak kebendaan (zakelijk rechten) adalah hak yang bersifat mutlak yang dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga, contoh: hak atas tanah.

Hak perseorangan (persoonlijke rechten) adalah hak perseorangan atau relatif.


Berlaku untuk orang yang terikat perjanjian, misalnya: hubungan perhutangan —>
terbuat dari perjanjian.

Hukum adalah hasil budaya, dan budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa.
Budaya berbeda-beda, orang pantai dengan orang gunung budayanya berbeda.
Hukum adalah aspek budaya, budaya berbeda akan menghasilkan hukum yang
berbeda. Hukum tidak hanya berupa struktur dan infrastruktur, tetapi juga legal
culture. [Friedman]

Budaya barat yang individualistis akan melahirkan hukum yang individualistis.


Budaya kita yang komunal akan melahirkan hukum yang mementingkan
kepentingan bersama pula.

Mengapa sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum barat? Karena
budayanya berbeda; yang satu komunalistik, yang satu lagi individualistis.

Dalam hukum adat, tanah memiliki fungsi sosial, harus mendatangkan manfaat bagi
si pemilik dan orang-orang di sekeliling pemilik.

7
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Ada 3 perbedaan mendasar mengenai sistem hukum adat dan sistem hukum barat:

Hukum Adat Hukum Barat


Mengenal hak kebendaan dan hak Mengenal pertentangan hak yang
perorangan, namun tidak bersifat kebendaan
dipertentangkan seperti hukum (Zakenlijkrechten) absolut dengan
Barat. Kalo hukum Barat Absolut hak-hak perorangan
dan Relatif, hukum adat tidak ada (Persoonlijkrechten) relatif. Absolut
Absolut (fungsi sosial tanah) dan contohnya Hak Eigendom dan
Relatif (perjanjian kewajiban bisa Relatif misalnya perjanjian hutang
dijalankan oleh kerabat) piutang
Hukum adat tidak membedakan Hukum Barat membedakan tegas
secara tegas mana hukum publik antara hukum publik dengan hukum
mana hukum privat privat

Hukum Publik Mengatur hubungan


warga negara dengan negara, tidak
boleh warga negara menentukan

Hukum Privat Norma normanya


ditentukan oleh warga masyarakat
sendiri. Negara bisa bikin hukum,
tapi bisa disimpangi
Hanya ada satu hukum acara, yaitu Hukum acara publik dan privat
musyawarah mufakat untuk karena ada perbedaan hukum
menghasilkan win-win solution (dan materiil.
mengembalikan keadaan seperti
sebelum masalah terjadi) oleh
hakim adat.

corak, sifat, cara berpikir khas masyarakat hukum


adat
Masyarakat hukum adat ialah inlander; golongan Bumiputera, Pribumi, golongan
ketiga dalam Indische Staatsregeling. Golongan pertama (Eropa) di masa kini
sudah tidak ada; golongan kedua (Timur Asing) sebagian kembali ke negaranya,

8
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

dan sebagian menjadi WNI. Bumiputera menetap di Indonesia. Jadi, masyarakat


hukum ada adalah kita. (jawab utsnya kaya gini ya)

corak, sifat, dan cara berpikir

1. Komunalistik

Kita memiliki rasa kebersamaan yang kuat. Komunalistik berbicara mengenai


hubungan antarorang sebagai makhluk pribadi dan orang dalam
masyarakat.

Di dunia ada dua pandangan (isme) mengenai pertentangan hak antara individu
dan masyarakat (hubungan antara individu dengan masyarakat), yaitu:

• Individualisme/Liberalisme: lebih penting orang pribadi dari masyarakat


(kepentingan individu vs. masyarakat, masyarakat mengalah). Lebih
meninggikan kedudukan individu.

• Sosialisme: lebih peniting masyarakat, bukan warga negara. Individu tidak


memiliki hak milik; semua milik masyarakat. Kedudukan negara/masyarakat
lebih tinggi dari individu.

Indonesia tidak termasuk liberalisme ataupun sosialisme, dan bukan negara


agama maupun sekuler.

Masyarakat hukum adat bersifat komunalistik dan tidak mempertentangkan


individu dan masyarakat. Individu dan masyarakat, dalam masyarakat hukum
adat, ialah satu entitas. Hukum adat menyerasikan hak individu dan
masyarakat.

Hubungan antarindividu pada masa Orde Baru:

3S —> Serasi, Seimbang, Selaras

Tugas individu adalah mengabdi kepada masyarakat dan timbul hak-hak


kemasyarakatan. Individu dan masyarakat adalah dua entitas yang sama.
Masyarakat adalah kumpulan individu. Tidak mungkin ada masyarakat tanpa
individu; individu pun tidak mampu berdiri sendiri. Kalau individu dan
masyarakat berhadapan, maka akan diserasikan.

Hubungan orang dengan tanah dalam hukum adat bersifat abadi, selama NKRI
masih ada, maka selama itu pula WNI memiliki hak atas tanah.

9
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

2. Magis Religius

Masyarakat hukum adat meyakini betul akan keberadaan “hal-hal lain” yang
tidak terlihat, di luar alam kita, yang memengaruhi kehidupan kita. Ada dua
cosmos di dalam dunia ini: microcosmos (manusa) dan macrocosmos (di luar
manusia) dan saling mempengaruhi. Untuk menjaga keseimbangan, maka
diadakan upaara adat.

3. Kontan/Tunai

Suatu perbuatan dianggap telah selesai saat perbuatan itu benar-benar selesai.
Tunai itu adalah ada dua perbuatan hukum yang dilakukan secara serentak,
tidak ada perbedaan waktu.

Contoh: A menjual sebidang tanah kepada B, dalam hukum adat jual beli tanah
harus tunai atau kontan. Serentak, tanah disreahkan dan uang diserahkan.

Dibandingkan dengan BW, BW tidak tunai. Saat B membayar tidak Serta merta
menjadikan B pemilik tanah. Penguasaan fisik dan penguasaan yuridis
dibedakan dalam BW. B akan menjadi pemilik saat A sudah menyerahkan
secara yuridis (juridische revering), ketika B sudah balik nama di atas sertifikat
tanah milik A. Tidak tunai di sini karena saat bayar tidak serentak hak milik
berpindah.

4. Visual

Suatu perbuatan yang diharapkan terjadi di kemudian hari, hari ini sudah
diberikan tanda-tandanya.

Contoh: cincin pertunangan, bendera kuning.

10
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

struktur tradisional masyarakat hukum adat

struktur menurut hazairin dan soepomo

Hazairin:
Masyarakat Hukum Adat Tunggal
- Dalam 1 wilayah, hanya ada 1 bentuk masyarakat hukum adat.

- Semua orang yang tinggal di wilayah tersebut merasa ada dalam 1 kesatuan nilai,
pendangan hidup, dan kepercayaan yang sama.

- Ada 1 penguasa saja sebagai wakil dari masyarakat hukum adat, yng mengatur
ke dalam dan berhubungan dengn dunia luar.

- 1 wilayah dibagi-bagi ke dalam sub-wilayah, dan setiap sub-wilayah memiliki


pemimpin. Pemimpin itu hanyalah perpanjangan tangan si penugasa masyarakat
hukum adat itu.

- Tidak ada otonomi; pemimpin-pemimpin sub-wilayah tersebut bekerja atas nama


penguasa.

Contoh: Desa di Jawa.

11
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Masyarakat Hukum Adat Bertingkat

- Dalam 1 wilayah ada 2 atau lebih masyarakat hukum adat.

- Ada masyarakat hukum adat atasan dan bawahan.

- Kekuasaan dan ekwenangan ada dua, yaitu atasan dan bawahan.

- Masyarakat hukum adat bawahan terbentuk apabila ada 4 suku yang berbeda: 4
suku mendiami 1 wilayah. Sebelum menjadi nagari, ada tahapannya. Mulai dari
taratak (1 klan menggunakan tanah untuk berladang) ketika belum ada hak dan
kewajiban, lalu berkembang menjadi dusun (ketika suku-suku lain dan kemudian
nagari kemudian memilih wali nagari (penguasa)).

Ini contoh nagari di Minangkabau. Contoh lainnya antara lain dusun di
Palembang, huria di Batak.

- Kepala suku memiliki otoritas penuh untuk mengatur skunya (ekuasaan ke


dalam), tetapi dibatasi wali nagari untuk bertindak ke luar. Sebaliknya, wali nagari
dibatasi oleh kepala suku untuk bertindak ke dalam dan punya otoritas penuh
untuk bertindak ke luar (konsep negara federal). Kepala suku mengatur urusan-
urusan adat, tanah, perkawinan.

- Suku-suku tersebut hidup berdampingan, tidak ada batas yang jelas. Batasannya
hanya berdasarkan keefektifan penggunaannya (effective occupation) —> siapa
yang paling efektif dan menggunakan tanah —> hukum internasional mengenal
konsep effective occupation yang sama dengan hukum adat.

Masyarakat Hukum Adat Berangkai

- Ada 2 atau lebih masyarakat hukum adat setingkat yang melakukan kerja sama
(sama-sama bawahan lain atasan atau sama-sama atasan)

Contoh: Subak di Bali —> kerja sama di bidang pengairan sawah, di mana setiap
petak sawah dimiliki oleh banjar (desa) yang berbeda-beda. Ada kepala subak
dan pengurusnya, kekuasaannya terbatas hanya pada masalah subak saja. Ia
mengambil keputusan dalam masalah pengairan asal tidak bertentangna dengan
kepala banjar.

Soepomo:
Teritorial: berdasarkan wilayah. Jika sekelompok orang terikat oleh tempat
tinggalnya, maka mereka disebut sebagai masyarakat teritorial.

Contoh: KTP dasar pembuatnya adalah domisili. Orang yang tinggal di


kelurahan yang sama maka KTP akan ditandatangani oleh petugas yang
sama. Masyarakat adat yang teritorial contohnya Jawa. Ada hukum adat
desa yang merupakan masyarakat hukum adat teritorial karena dilihat
dari sistem hukum adatnya.

Genealogis: hubungan darah; matrilineal, patrilineal, bilateral.

12
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

a. Patrilineal: dalam menentukan hubungan darah, apakah ada


hubungan darah atau tidak, maka ditentukan hanya dengan
penghubung laki-laki saja, sampai keatas dan seterusnya. Kalau
misalnya seseorang ingin mengetahui dengan siapa saja ia Punya
hubungan darah, pertama ia menarik garis keturunan dari ayahnya,
kakeknya, dan seterusnya, dengan keyakinan bahwa hubungan
darah mereka itu berasal dari laki-laki yang sama di ujung.

b. Matrilineal: dalam menentukan hubungan darah, maka melalui


ibunya, lalu neneknya, dan selanjutnya. Jika penghubungnya ada
laki-laki, maka keturunan dari laki-laki tidak dianggap sebagai
saudaranya, karena tidak berhubungan darah. Contoh: masyarakat
Minangkabau.

c. Bilateral: dalam menentukan hubungan darah, menggunakan garis


ayah dan ibu. Jadi, seseorang berhubungan darah dengan semua
keluarga dari kedua sisi, tidak ada pemutusan hubungan darah.
Contoh: masyarakat Jawa.

Teritorial-Genealogis: gabungan antara keduanya.

Salah satu syarat keberadaan masyarakat hukum adat


adalah adanya suatu wilayah tempat tinggal bersama dari
anggota-anggotanya. Secara sosiologis, tidak semua orang
yang satu marga berdiam di satu tempat yang sama,
meskipun syarat masyarakat hukum adat adalah adanya
wilayah untuk tinggal bersama. Maka dari itu, dari
masyarakat yang berklan tidak hanya berhubungan darah,
tetapi juga terikat oleh tempat tinggal. Tidak semua orang
yang berasal dari klan yang sama berdiam di wilayah yang
sama.

kedudukan masyarakat hukum adat sebelum dan sesudah reformasi

Masyarakat hukum adat merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah,


ada penguasa, dan ada kesatuan hukum. Contoh masyarakat hukum adat: desa
(Jawa), nagari (Minangkabau), huta/huria (Batak), dsb. Sementara itu, masyarakat
adat adalah etnis/suku bangsa, yang memiliki nilai-nilai adat, budaya, hukum
sendiri. Kalau anggota masyarakat adat melanggar hukum, maka sanksi akan
dikenakan oleh masyarakat hukum adat (desanya). Masyarakat adat lebih luas
dari masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat memiliki kepala adat, yang
mengatur mengenai tanah ulayat, hutan ulayat, dan ada satu kesatuan hukum.

13
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Masyarakat hukum adat Punya hak dan kewajiban untuk mengatur wilayahnya dan
hubungan hukum Antar orang-orang yang ada dalam wilayah itu. Unsur-unsur
masyarakat hukum adat sama dengan unsur-unsur negara: wilayah, satu kesatuan
penguasa, warga masyarakat.

Aspek-aspek masyarakat hukum adat, dijabarkan:

1. Satu totalitas

Seluruh orang dalam satu desa atau masyarakat hukum adat termasuk kepala
adatnya dijumlahkan semua. Kepala adat dianggap sebagai satu individu yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat punya hak bersama atas tanah. Tanah ulayat dikuasai
oleh masyarakat hukum adat sebagai satu totalitas.


2. Penguasa

Kepala adat bertindak sebagai penguasa. Kepala adat adalah wakil dari
masyarakat hukum adat, punya kewajiban untuk mengatur tanah ulayat
(peruntukkan, perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah ulayat). Kepala
adat yang membuat peraturan, meninjau, dan melihat permohonan hak.


3. Badan hukum

Entitas hukum: masyarakat hukum adat adalah subyek hukum, memiliki hak dan
kewajiban; memilki harta kekayaan dsb. 

Berkaitan dengan kepala adat: prinsip Primus interpares yang mengangkat
kepala adat secara turun temurun, dan dari suatu marga tertentu.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 —> menghapuskan semua jenis masyarakat


hukum adat dan menyamakan semua jenis masyarakat hukum adat tersebut
sebagai sebuah desa di Jawa.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 —> perihal desentralisasi dan dekonsentrasi


(otonomi daerah); setiap daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat (8))

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 —> something about desa, Pasal 1 ayat (12):

Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan


kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan,
perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui
penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan
esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.

(I’m not sure if this matters but I have no idea what matters so)

14
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

keberlakuan hukum adat

Filosofis

Keberlakuan hukum adat secara filosofis dikaitkan dengan pandangan hidup


bangsa, yaitu Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Apakah hukum adat bertentangan dengan Pancasila?

Ruang lingkup berbeda:

- Pancasila: lingkup nasional

- Hukum adat: lingkup lokal/regional —> setiap daerah mempunyai nilai dan
budaya sendiri, thus norma hukum yang berbeda.

Apabila ada budaya lokal, kita tidak bisa langsung menilai bahwa budaya
tersebut tidak sesuai dengan Pancasila.

Sumber pembentukan sama:

- Pancasila: nilai-nilai luhur bangsa

- Hukum adat: nilai-nilai budaya yang luhur dari masing-masing daerah. Nilai-nilai
tersebut dianggap baik dan benar, serta diakui, sehingga diulang-ulang dan
menjadi adat. Apabila ada kebiasaan yang negatif, itu deviasi (penyimpangan)
dari adat, contoh: menyabung ayam.

Komunalistik (tidak membedakan kedudukan individu dan masyarakat):

- Pancasila: hubungan antara individu dan masyarakat secara serasi, seimbang,


selaras.

- Hukum adat: kedua-duanya diharmonisasikan. Hak bersama tidak


menghilangkan hak pribadi, begitupun sebaliknya. Contoh: tanah ulayat.

Yuridis

Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila 1) dibuat oleh pejabat atau lembaga
yang berwenang dan 2) tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.

Bagaimana dengan hukum adat?

Negara adalah organisasi kekuasaan dan kedaulatan tertinggi, berhak untuk


menentukan hukum nasional dan juga hukum-hukum di wilayah-wilayahnya.

Apakah ada landasan yuridis (undang-undang tertulis) yang mendasari keberlakuan


hukum adat di Indonesia? Jawabannya: tidak ada. Tidak ada pasal dalam UUD
1945 yang menyatakan bahwa hukum adat tidak berlaku atau tidak boleh berlaku.
Tidak ada satu pasal dalam UUD 1945 sebelum amandemen yang menyinggung
mengenai hukum adat.

15
Dyah Ayu Saraswati (FH UI 2018)

Di samping UUD 1945, terdapat pula hukum dasar yang tidak tertulis (hukum adat/
adat istiadat) yang berlaku dalam praktik-praktik kenegaraan atau penyelenggaraan
negara [Soepomo]. Contohnya: konvensi ketatanegaraan. Tidak tercantum dalam
UUD 1945, tetapi dalam praktik muncul.

Hukum adat merupakan hukum dasar yang dipertahankan dalam pergaulan hidup
sehari-hari. Hukum adat tersebut punya landasan konstitusional, dibuktikan dalam
penjelasan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945: “Perekonomian disusun …
atas asas kekeluargaan”, identik dengan asas komunalistik yang merupakan salah
satu corak masyarakat hukum adat.

Hukum adat merupakan hukum positif (ius constitutum).

Sosiologis

Hukum adat merupakan hukum yang dibentuk oleh masyarakat.

(sociological explanation has been explained far above)

Jadi, hukum adat sudah berlaku secara efektif karena memenuhi syarat keberlakuan
sebagai kaidah hukum.

16

Anda mungkin juga menyukai