Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SANKSI ADMINISTRASI NEGARA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara

Dosen Pengampu: Nur Jannani, S.HI., M.H.

Oleh Kelompok 8/A :

Rahmatullah 16230022

Muflichah Urbananda 17230029

Ulll Vaizatul V.M. 17230046

M. Adhien Nugroho 17230063

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-
Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan Makalah Sanksi Administrasi
Negara yang membahas bab ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membimbing dan mengarahkan
umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang sekarang ini.

Makalah ini diperlukan bagi para pengkaji pemula mengenai Sanksi


Administrasi Negara. Makalah ini menyajikan pengertian, jenis, persamaan dan
perbedaan Sanksi Administrasi Negara dengan Sanksi Pidana, serta kasus dan
analisis mengenai Sanksi Administrasi Negara.

Proses penyelesaian makalah yang diharapkan dapat dijadikan referensi


bagi pembaca. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih yang tak terhingga
kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini.

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Makalah Sanksi


Administrasi Negara ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran dan kritik dari
berbagai pihak dalam rangka meningkatkan kualitas penulisan makalah
berikutnya, sangat penulis harapkan.

Malang, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1


1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sanksi Administrasi Negara 3


2.2. Macam-Macam Sanksi Administrasi Negara 5
2.3. Persamaan dan Perbedaan Sanksi Administrasi Negara dengan Sanksi Pidana 9
2.4. Contoh Kasus dan Analisis Kasus Sanksi Administrasi Negara 10

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan 14

DAFTAR PUSTAKA 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak akan efektif apabila
tidak disertai dengan penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap suatu
peraturan perundangundangan bisa bermacam-macam bentuknya, salah
satunya dituangkan dalam ketentuan sanksi, yang dapat berupa sanksi
pidana, sanksi perdata, atau sanksi administratif. Namun, penegakan hukum
terhadap suatu peraturan perundangundangan tidak selalu harus diikuti
dengan adanya ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Sanksi bisa saja diatur dalam atau mengacu pada peraturan
perundang-undangan lain atau tanpa diatur pun kalau dalam suatu peraturan
perundang-undangan ditentukan bahwa kita harus memenuhi persyaratan
tertentu untuk memperoleh sesuatu (hak) tetapi syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka sanksinya adalah kita tidak akan memperoleh sesuatu (hak)
yang mestinya kita peroleh apabila syarat tersebut dipenuhi.
Sanksi administratif dapat diterapkan baik melalui jalur pengadilan
maupun jalur non pengadilan, yakni oleh pejabat administrasi. Sanksi
administratif yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
kebanyakan terkait dengan masalah perizinan dan dilaksanakan oleh pejabat
(badan) administrasi yang berwenang mengeluarkan perizinan tersebut.
Sanksi administratif yang dijatuhkan oleh pejabat administrasi sering
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap persyaratan perizinan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari Sanksi Administrasi Negara ?
2. Sebutkan macam-macam Sanksi Administrasi Negara ?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan Sanksi Administrasi Negara
dengan Sanksi Pidana ?
4. Bagaimana kasus dan analisisnya mengenai Sanksi Administrasi
Negara ?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Sanksi Administrasi Negara.

1
2. Mengetahui macam-macam Sanksi Administrasi Negara.
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan Sanksi Administrasi Negara
dengan Sanksi Pidana.
4. Mengetahui kasus dan analisisnya mengenai Sanksi Administrasi
Negara.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sanksi Administrasi Negara


Hukum menjadi dasar utama dalam melangsungkan kehidupan untuk
menjamin asas tertib dan disiplin agar berlangsung keteraturan, terjaminnya
rasa kemerdekaan, rasa aman-nyaman, dan tertib. Hukum menjadi payung
diantara segala jenis tindak dan perilaku manusia untuk mencapai asas
perlindungan manusia. Sejalan dengan pemikiran tersebut mengenai sanksi,
Philipus M. Hadjon, dkk menyatakan bahwa :
“Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum
administrasi memenuhi hukum pidana. Perbedaan antara sanksi
administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan
pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan
kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana
ditujukan kepada sipelanggar dengan memberi hukuman berupa
nestapa. Sanksi administrasi dimaksud agar perbuatan
pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah “reparatoir”
artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu
perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah
tindakan penegakan hukumnya. Sanksi administrasi diterapkan
oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur
peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh
hakim pidana melalui proses peradilan.”1

Sanksi Hukum Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge,


“sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi
diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi”. Menurut
P de Haan dkk, “dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi
merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana
kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan
tidak tertulis”. JJ. Oosternbrink berpendapat ”sanksi administratif
adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah–warga
negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan

1
[CITATION Iva14 \p 127-129 \l 1033 ]

3
peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh
administrasi sendiri”.
Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang
bersifat hukum public yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai
reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam
norma hukum administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak
ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat
kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik
(publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai
reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).
Sedangkan, menurut para ahli ada beberapa pengertian sanksi
administrasi Negara, antara lain :
J.B.J.M. ten Berge : Sanksi merupakan inti dari penegakan
hukum administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan
hukum administrasi.
P de Haan dkk : Dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi
merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana
kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan
tidak tertulis.
J.J. Oosternbrink : Sanksi administratif adalah sanksi yang
muncul dari hubungan antara pemerintah – warga negara dan yang
dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan),
tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.2
Pengertian Sanksi Administrasi Negara Sanksi (sanctio, Latin,
sanctie, Belanda) adalah ancaman hukuman, merupakan satu alat
pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, UU, norma-norma hukum.
Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum, yaitu sanksi
yang terdiri atas derita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.
derita kehilangan nyawa (hukuman mati), derita kehilangan kebebasan
(hukuman penjara dan kurungan), derita kehilangan sebagian kekayaa
(hukuman denda dan perampasan) dan derita kehilangan kehormatan

2
[CITATION Iva13 \p 34 \l 1033 ]

4
(pengumuman keputusan hakim. Penegakan hukum perdata
menghendaki sanksi juga yang terdiri atas derita dihadapkan dimuka
pengadilan dan derita kehilangan sebagian kekayaannya guna
memulihkan atau mengganti kerugian akibat pelanggaran yang
dilakukannya. Sanksi sebagai alat penegak hukum bisa juga terdiri
atas kebatalan perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum. Baik
batal demi hukum (van rechtwege) maupun batal setelah ini
dinyatakan oleh hakim. Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat
kekekuasaan yang bersifat hukum public yang dapat digunakan oleh
pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban
yang terdapat dalam norma hukum administrasi Negara.” Berdasarkan
definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi
Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik
(publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai
reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).3
2.2. Macam-Macam Sanksi Administrasi Negara
1. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang)
Berdasarkan UU Hukum administrasi belanda, Paksaan
pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ
pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan,
mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan
semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.4 Contoh Undang-Undang Nomor 51
Prp Tahun 1961 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa ijin yang
Berhak atau Kuasanya. Bestuursdwang merupakan Kewenangan Bebas,
artinya pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut
inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang atau tidak atau
bahkan menerapkan sanksi yang lainnya.

3
[CITATION Wic09 \p 610 \l 1033 ]
4
Ramadhan Syafruddin, http://ramadhansyafruddin.blogspot.com/2017/05/makalah-sanksi-
hukum-administrasi-negara_47.htm diakses pada tanggal 09 November 2019.

5
Paksaan pemerintahan harus memperhatikan ketentuan Hukum
yang berlaku baik Hukum tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas
pemerintahan yang layak seperti asas kecermatan, asas keseimbangan,
asas kepastian hukum dan lain-lain. Contoh Pelanggaran yang tidak
bersifat substansial seorang mendirikan rumah tinggal di daerah
pemukiman,tanpa IMB.
Pemerintah tidak sepatutnya langsung menggunakan paksaan
pemerintahan, dengan membongkar rumah tersebut, karena masih dapat
dilakukan legalisasi, dengan cara memerintahkan kepada pemilik rumah
untuk mengurus IMB. Jika perintah mengurus IMB tidak dilaksanakan
maka pemerintah dapat menerapkan bestuursdwang, yaitu
pembongkaran. 
Contoh Pelanggaran yang bersifat substansial, misalkan pada
pengusaha yang membangun industri di daerah pemukiman penduduk,
yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan RT/RW yang
ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dapat langsung menerapkan
bestuursdwang.
Contoh pelanggaran yang tida bersifat substansial, seseorang
mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman, tetapi orang tersebut
tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dalam hal
ini,pemerintah tidak secepatnya langsung menggunakan paksaan
pemerintah,dengan membongkar rumah tersebut. Terhadap pelanggaran
yang bersifat tidak substansial tersebut masih dapat dilakukan legalisasi
pemerintah harus memerintahkan kepada orang yang bersangkutan
untuk mengurus IMB setelah di perintahkan dengan baik orang tersebut
tidak mengurus izin, pemerintah dapan menerapkan beestuursdwang
yaitu pembongkaran.
Peringatan yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat
pada pelaksanaan bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu
peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan Tata
Usaha Negara. 

6
Isi peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai
berikut, Peringatan harus definitif, Organ yang berwenang harus
disebut, Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat, Ketentuan
yang dilanggar jelas, Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan
jelas, Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban jelas dan
seimbang, Pemberian beban tanpa syarat, Beban mengandung
pemberian alasannya, Peringatan memuat berita tentang pembebanan
biaya.
2. Penarikan Kembali Keputusan (Ketetapan) yang Menguntungkan
Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang
menguntungkan dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru
yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi
ketetapan yang terdahulu. Ini diterapkan dalam hal jika terjadi
pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada
penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran
undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si
pelanggar. Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan
yuridis, karena di dalam HAN terdapat asas het vermoeden van
rechtmatigheidatau presumtio justea causa, yaitu bahwa pada asasnya
setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dianggap benar menurut hukum. Oleh karena itu, Ketetapan
Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan itu pada dasarnya tidak
untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di
pengadilan.
Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut
Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan sebagai akibat dari
kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha Negara sehingga
pencabutannya merupakan sanksi baginya. Sebab-sebab Pencabutan
Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai Sanksi ini terjadi melingkupi
jika, yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan,
syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran. Jika yang

7
berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat
izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian
tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara
benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan misalnya penolakan
izin.
3. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)
N.E. Algra, mempunyai pendapat tentang pengenaan uang paksa
ini, menurutnya, bahwa uang paksa sebagai hukuman atau denda,
jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar
karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak
sesuai waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti
kerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga. Menurut Hukum
administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada
seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari
tindakan paksaan pemerintahan. 5
Pengenaan uang paksa merupakan alternative untuk tindakan
nyata, yang berarti sebagai sanksi subsidiaire dan di anggap sebagai
sanksi reparatoir. Persoalan hokum yang di hadapi dalam pengenaan
dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitanya
dengan KTUN yang menguntungkan seperti izin, biasanya pemohon
izin di syariatkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi
pelanggaran atau pelanggar (pemegang izin) tidak segera
mengakhirinya uang jaminan di potong sebagai dwangsom. Uang
jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuurdwang
sulit di lakukan.6
4. Pengenaan Denda Administratif
Menurut pendapat P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat
perbedaan dalam hal pengenaan denda administratif ini, yaitu bahwa
berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk
5
Philipus M Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 1994), hlm. 247
6
Valen Hoven, https://www.slideshare.net/VallenHoven/sanksi-dalam-han diakses pada tanggal
09 November 2019.

8
mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda
administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran
norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti.Dalam
pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas
Hukum Administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Pembuat Undang Undang dapat memberikan wewenang kepada
organ pemerintah untuk menjatuhkan hukuman yang berupa denda
(geldboete). Terhadap orang yang melakukan pelanggran peraturan
perundang undangan. Pemberian wewenang langsung mengenai sanksi
punitive ini dapat di temukan dalam peraturan perundang Undangan
sanksi ini biasanya terdapat dalam hukum pajak,jaminan social dan
hukum kepegawaian. Pada umumnya dalam berbagai peraturan
perundang Undangan,hokum yang berupa denda ini telah di tentukan
mengenai jumlah yang dapat dikenakan kepada pihak yang melanggar
ketentuan. Berkenaan dengan denda administrasi ini, didalam algemene
berpalingan van administratife recht disimpulkan bahwa,denda
administrative hanya dapat diterapkan atas dasar kekuatan wewenang
yang di atur dalam Undang-Undang dalam arti formal.
2.3. Persamaan dan Perbedaan Sanksi Administrasi Negara dengan Sanksi
Pidana
Menurut Philipus M Hadjon. Penerapan saksi secara bersama-sama
antara hukum administrasi negara dengan hukum lainnya dapat terjadi yakni
kumulasi internal dan kumulasi eksternal. Kumulasi eksternal merupakan
penerapan sanksi administrasi secara bersama-sama dengan sanksi lain,
seperti sanksi pidana atau sanksi perdata. Khusus untuk sanksi perdata,
pemerintah dapat menggunakannya dalam kapasistasnya sebagai badan
hukum untuk mempertahankan hak-hak keperdataannya. Sanksi pidana
diterapkan bersama-sama dengan sanksi administrasi, artinya tidak
diterapkan perinsip “ne bis in idem” (secara harfiah tidak dua kali mengenai
hal yang sama, mengenai perkara yang sama tidak boleh disandingkan untuk
keduakalinya) dalam hukum administrasi negara kerena antara sanksi
administrasi dengan sanksi pidana ada perbedaan sifat dan tujuan. Ada tiga

9
perbedaan antara sanksi admininistrasi dengan sanksi pidana. Dalam sanksi
administrasi, sasaran penerapannya di tujuakan pada perbuatan sedangkan
dalam saksi pidana di tunjukan kepada pelaku. Sifat sanksi afministrasi
adalah reparatoir-condemnatoir yaitu pemulihan kembali pada keadaan
semula dan memberikan hukuman, sansi pidana bersifat condemantoir
artinya hanya memberikan hukuman saja. Prosedur sanksi administrasi
dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah tanpa melalui peradilan
sedangkan penerapan sanksi pidana harus melalui proses peradilan.
Adapun kumulasi internal merupakan penerapan dua atau lebih sanksi
administrasi secara bersama sama, misalnya penghentian pelayanan
administrasi dan/atau pencabutan izin dan/atau pengadaan denda. Seiring
dengan dinamika perkembangan masyarakat, beberadaan sanksi
administratif ini semakin penting artinya apalagi di tengah masyarakat
perdagangan dan perindustrian. Menurut mochtar Kusumaatmadja dan Arief
Sidarta, di dalam kehidupan terlepas dari berbagai konsep yang di temukan
para sarjana, dalam buku ini di ambil asumsi bahwa negara sebagai suatu
institusi memiliki kedudukan hukum, yaitu sebagai badan hukum dan
sebagai kumpulan jabatan atau lingkungan pekerjaan tetap. Baik sebagai
badan hukum negara maupun kumpulan jabatan, perbuatan hukum negara
atau jabatan dilakukan melalui wakilnya yaitu pemerintah.
Dari sisi penerapannya, sanksi administratif lebih efektif ketimbang
sanksi pidana, karena sanksi administratif dapat dilakukan langsung oleh
pejabat administrasi tanpa menunggu putusan pengadilan terlebih dahulu,
asal persyaratan yang ditentukan tidak ditaati atau dilanggar. Sedangkan
sanksi pidana harus menunggu adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Sudah barang tentu proses penjatuhan
sanksi pidana akan memerlukan waktu yang cukup panjang.7
2.4. Contoh Kasus dan Analisis Kasus Sanksi Administrasi Negara

Dahlan Iskan ketika menjabat menteri BUMN di era Presiden SBY. Semua
aktivitasnya diliput oleh media, kemana Dahlan pergi, pasti ada wartawan yang
menemani. Dahlan Iskan jadi ikon berita media setiap hari, hanya dalam waktu
7
[ CITATION Yay19 \l 1033 ]

10
tiga bulan, Dahlan Iskan sudah mengalahkan presiden SBY dari intensitas dan
frekwensinya kehadirannya di media televis nasional,Rakyat semakin terkesan .
pencitraannya. Itulah yang mulai tampak di mata rakyat ketika Dahlan Iskan
mulai menunjukkan sifat dan karakternya.

Dulu dia dinila hebat, punya elektibilitas tertinggi dalam capres partai
demokrat, Kini semuanya seakan telah sirna yang dulunya menjabat pemerintah
sekarang menjadi pesakitan lepas dari jabatan banjir akan hukuman, mulai dari
gardu induk, mobil listrik serta sawah fiktif,  semua tiba-tiba menyasar Dahlan,
kejaksaan tinggi Jakarta telah menetapkan mantan Menteri BUMN dan direktur
PT. Perusahaan Listrik Negara(PT.PLN) Dahlan Iskan, sebagai tersangka kasus
dugaan Korupsi Pembangunan 21 Gardu Induk Jawa Bali dan Nusa Tenggara
pada 2013,  kejaksaan mengurus kasus ini sejak Juni 2014 setelsh menerima
laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan (BPKP) terhadap
proyek senilai Rp. 1,06 Triliun ini. 

BPKP dalam auditnya meneyebutkan bahwa proyek tersebut diduga


mereugikan Negara sebesar Rp 33 Miliar. Menurut kejaksaan, penyimpangan
ditemukan antara lain ketika penandatangan kontrak pembangunan Gardu induk
pada tahun 2011, tetapi lahannya belum dibeabaskan, hingga tenggak proyek
berakhir pada tahun 2013,.

Perlu disadari bahwa kesalahan administrasi  akan membuat persepsian


oleh penegak hukum  sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan yang
koruptif, menurut beberapa pakar hukum administrasi Negara yang diminta untuk
memberikan keterangan ahli di persidangan menyatakan bahwa keputusan pejabat
Negara baik dalam rangka “beleid” (“vrijsbestuur”) maupun “diskresi”
(kebijaksanaan” discretionary power) tidak dapat dilarikan ke area hukum pidana.
Meskipun dalam kebijakan terjadi suatu penyimpangan administratif, maka
penilaian terhadap penyimpangan itu adalah masuk dalam ranah hukum
administrasi Negara, yang tidak dapat dijadikan penilaian oleh hukum pidana,
khusunya dala konteks tindak pidan korupsi. Bahkan ada pejabat Negara yang
mengatakan bahwa kebijakan tidak dapat dikriminalisasi. 

11
Di kalangan penegak hukum sendiri terdapat persepsi yang berbeda dalam
memberikan batasan kapan kebijakan atau diskresi masuk dalam ranah pidana
atau sekedar pelanggaran administratif, khusunya dalam kaitannya dengan
kebijakan atau tindakan yang salah dari pejabat yang mengakibatkan kerugian
Negara. Memang pemahaman yang berkembang dalam praktek peradilan oleh
pengak hukum bisa berbeda dengan kajian akademik yang disampaikan oleh
pakar hukum dalam mkemberikan solusinya. 

Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, parameter yang membatasi


gerak bebas kewenangan aparatur Negara (discrinationary power) adalah
detournement de povouir(penyalahgunaan wewenang)  dan  abus droit
(sewenang-wenang), sedangkan dalam area Hukum Pidana pun memiliki pula
kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur Negara berupa unsur
“wederrechtelijkheid” (perbuatan melawan hukum pasal 2 UUTPK) dan
“menyalahgunakan kewenangan” (pasal 3 UUPTK). Permasalahannya adalah
aparatur Negara melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan
kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang akan dijadikan ujian bagi
penyimpangan aparatur Negara ini. Hukum admnistrasi Negara ataukah hukum
pidana, khusunya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi.

Saya sendiri berpendapat bahwa kebijakan publik yang dibuat dan


dijalankan dengan i’tikad baik, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya
kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan i’tikad buruk (melawan hukum dan
atau menyalahgunakan wewenang) yang disadarinya membawa dampak
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, adalah merupakan tidak
pidana korupsi. Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya. Karena dari
luarctindak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acap kali
berbentuk peraturan, keputusan dan lain-lain. Namun sesungguhnya akibatnya
sangta luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan Negara
kita

Namun bagaimana sebenarnya kebijakan atau tindakan pejabat itu dapat


dipidanakan atau tidak, kita mulai dari kewenangan. Menurut Philipus M. Hadjon,

12
kewenangan atau wewenang adalah konsep dalam hukum publik. Dalam konsep
hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata Negara
dan hukum administrasi Negara, wewenang (bavoeheid) dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum (teehttement). Jadi, dalam konsep hukum publik wewenang
berkaitan dengan kekuasaan. 

Oleh SF. Marbun dikemukakan : menurut hukum administrasi “


kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik
terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari keuasaan legislatif
atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengwrtian wewenang (competence,
bevoegheid) hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja.
Dengan demikian wewenang adalah kemapuan untuk melakukan suatu tindakan
hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum
tertentu.

Ditinjau dari sudut perolehan kewenangan dan peretanggungjawaban


pelaksanaan wewenang menurut hukum tata usaha Negara dapat dibedakan
sebagai berikut:

Pertama,Wewenang yang bersumber atau di poroleh dengan cara atribusi,


yaitu wewenang yang langsung diberikan oleh peraturan perundang-
undangan. Misalnya wewenang, Bupati, Bendahara.

Kedua, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara delegasi


yaitu wewenang yang diperoleh dari adanya pelimpahan atau penyerahan
wewenang dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi. Karena
wewenang telah didelegasikan maka delegans sudah tidak lagi mempunyai
wewenang tersebut dan tanggung jawab dari delegataris. Dalam delegaasi
tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepaada bawahan.

Ketiga, wewenang yang diperoleh dengan cara madat, yaitu wewenang


yang diperoleh penerima mandat yang hanya terbatas melaksanakan

13
wewenang tersebut atas nama pemberi mandat. Dalam manadat tanggung
jawab atas pelaksanaan wewenang masih tetap menjadi tanggung pemberi.

Setelah mendapat gambaran lebih jelas tentang apa itu kewenangan, cara
memperolehnya dan bagaiamana penerpannya, selanjutnya kita masuk kepada
poko inti yaitu: kapan suatu kebijakan yang dilekati wewenang kemudian menjadi
maslah hukum ? jawabannya adalah ketika terjadi tanggung jawab kewenangan.
Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan
kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:

 Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang


bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
 Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut dibrikan oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lain,
 Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosudur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapi tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Bentuk bentuk penyalahgunaan kewenangan inilah yang seringkali


dipergunakan penegak hukum untuk melakuakan kriminalisasi bentuk-bentuk
perbuatan dalam ranah kompetensi hukum administrasi Negara dan hukum
perdata sebagai koruptif. Namun apakah sederhana itu menyimpulkan bahwa
seorang pengambil kebijakan yang ketika mengambil kebijakan berdasarkan
jabatannya yang ternyata telah melanggar undang-undang atau peraturan atau
melanggar prosedur (SOP) yang telah ditetapkan dan akibatnya telah merugikan
negara telahh melakukan tindakk pidana korupsi?.

Hukum pidana menempatkan pelaksanaan perintah Undang-undang (pasal 50


KHUP), perintah jabatan (pasal 51 ayat 1 KUHP), dan melaksanakan perintah
jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (pasal 51 ayat 2 KUHP) Dalam

14
kualifikasi “tidak dapat dipidana” karena tergolong ke dalam kelompok dasar
peniadaan pidana. Artinya dalam hukum pidana, tanggung jawab jabatan dan
tanggung jawab pribadi juga dipisahkan. Pemisahan tersebut dikontruksikan
dalam bentuk : tidak dapat dipidananya perbuatan, sepanjang dalam kualifikasi
tanggung jawab jabatan.

Tanggung jawab pejabat dalam menjalankan fungsinya dibedakan antara


tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, perbedaan tersebut
membawa konsekuensi yang berbeda dalam kaitannya dengan tanggug jawab
pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha Negara (TUN).

 Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam tindak


pemerintahan tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan
dengan adanya maladministrasi yaitu perbuatan tercela pejabat dalam
bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang atau pejabat menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang teelah
diberikan kepad wewenang itu.
 Tanggung gugat perdata dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar
hukum oleh penguasa/pejabat
 Yanggung gugat TUN adalah tanggung jawab jabatan.

Penyalahgunaan wewenang dalam diskresi/kebijakan. Dalam bahasa Jerman


disebut Freis Ermessen. Menurut “Laica Marzuki” Freis Ermessenmerupakan
kebebasan yang  diberikan kepada tata usaha Negara dalam rangka
penyelenggraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan
publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan sosial ekonomi
warga yang kian komplek. Menurut “Sjachran Basah”, diperlukannya Freis
Ermessendalam administrasi Negara dimungkinkan oleh hukum agar pemerintah
dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian persoalan-
persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba, dalam jhal demikian, administrasi
Negara terpaksa bertindak cepat membuat keputusan-keputusan yang diambil itu
harus dapat dipertanggung jawabkan. 

15
Menurut “S.Pramudji Atmosudirdjo” mengatakan bahwa diskresi
diperlukan sebagai pelengkap dari asas  legalitas, sebab tidak mungkin undang-
undang untuk mengatur segala macam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab
itu lperlu adanya diskresi dari pejabat yang terdiri dari diskresi bebas dan diskresi
terikat. 

Pada diskresi bebas undang-udang hanya menetapkan batas-batas, dan


pejabat mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melaanggar
batas-batas tersebut (tidak bertentang dengan hukum yang berlaku baik tertulis
maupun tidak tertulis, penggunaannya hanya untuk kepentigan umum) diskresi
terikat, undang-undang menetapkan bebrapa alternatif dan pejabat bebas memilih
salah satu alternatif

Jadi pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertanggung


jawabkan secra pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja
dan disadari merugikan keuangan Negara dan dilakukan dengan memperkaya
/menguntungkan diri sendiri atau orang lain mak itu merupakan tempat/letak sifat
melawan hukumnya korupsi. 

16
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pengertian Sanksi Administrasi Negara menurut J.B.J.M. ten Berge
adalah Sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi
diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi.
Sanksi Administrasi Negara dibagi menjadi 4 macam, yakni :
a. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang)
b. Penarikan Kembali Keputusan (Ketetapan) yang Menguntungkan
c. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)
d. Pengenaan Denda Administratif
Dari sisi penerapannya, sanksi administratif lebih efektif ketimbang
sanksi pidana, karena sanksi administratif dapat dilakukan langsung oleh
pejabat administrasi tanpa menunggu putusan pengadilan terlebih dahulu,
asal persyaratan yang ditentukan tidak ditaati atau dilanggar. Sedangkan
sanksi pidana harus menunggu adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Sudah barang tentu proses penjatuhan
sanksi pidana akan memerlukan waktu yang cukup panjang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Yayat. "Sanksi Administratif." Makalah Sanksi Administratif.


http://sanksiadministratif.blogspot.com. diakses pada 9 November 2019.

Raharja, Ivan Fauzani. "PENEGAKAN HUKUM SANKSI ADMINISTRASI


TERHADAP PELANGGARAN PERIZINAN." Inovatif. VII. (2). 117-
138 (2014).

Setiadi, Wicipto. "SANKSI ADMINISTRATIF SEBAGAI SALAH SATU


INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN." Jurnal Legislasi Indonesia. VI. (4). 603-
614 (2009).

Raharja, Ivan Fauzani dan Ratna Dewi. "PENEGAKAN HUKUM SANKSI


ADMINISTRASI TERHADAP PELANGGARAN PERIZINAN."
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora. XV. (2). 31-40
(2013).

Ramadhan Syafruddin, http://ramadhansyafruddin.blogspot.com, diakses pada


tanggal 09 November 2019.
Philipus M Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
(Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994)
Valen Hoven, https://www.slideshare.net/VallenHoven/sanksi-dalam-han, diakses
pada tanggal 09 November 2019.

18

Anda mungkin juga menyukai