Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan
dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di
negara Asia Tenggara. Meskipun, Millenium Development Goals (MDGs)
menargetkan penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015, namun pada tahun 2012 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu dari 228 menjadi 359
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. 1
Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab
obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/eklampsi 24 %, infeksi 11
%, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 % dan lain – lain
11 %.2
Perdarahan postpartum adalah salah satu penyebab paling penting dari
kematian ibu.Kematian maternal di Amerika sekitar 7-10 wanita /100.000
kelahiran hidup. Statistik nasional mendeteksi 8% kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan post partum. American college of Obstetricians and
Gynecologists memperkirakan 140.000 kematian maternal pertahun ataupun 1
perempuan meninggal tiap 4 menitnya.2
Berdasarkan SDKI survey terakhir tahun 2007 Angka Kematian Ibu
Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipun demikian angka
tersebut masih tertinggi di Asia.Tiga faktor utama penyebab kematian ibu
melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi.
Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu yaitu 28%.3
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak dari perdarahan post partum
primer yaitu sekitar 90%.Atonia uteri adalah ketidakmampuan miometrium untuk
berkontraksi secara efektif.Otot dari uterus biasanya berkontraksi untuk
menghentikan pendarahan sesaat setelah bayi dan plasenta lahir.Otot bekerja
untuk menutup pembuluh darah yang terbuka, menghentikan aliran darah dan

1
memperbaiki dinding uterus.Atonia uteri menyebabkan uterus dalam kondisi yang
relaksasi dan membuat otot berhenti untuk berkontraksi secara teratur. Pembuluh
darah yang tidak tertutup dapat mengeluarkan aliran darah dalam volume yang
banyak, yang menyebabkan perdarahan yang berat dan hipotensi.4,5
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari : 1) Partus lama, 2)
pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar,
hidramnion atau janin besar, 3) multiparitas, 4) anestesi yang dalam, 5) anestesi
lumbal. Atonia uteri juga dapat timbul karena adanya kesalahan penanganan kala
III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sementara plasenta belum terlepas dari uterus.5.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI UTERUS

Uterus terbentuk seperti buah avokad atau buah peer yang sedikit gepeng,
ke arah antefleksi (depan belakang): ukurannya sebesar telur ayam dan
mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang
uterus 7-7,5 cm, lebar sekitar 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25
cm. letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks
ke depan dan membentuk sudut dengan vagina, demikian pula korpus uteri
ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri).5

Gambar 1 : Anatomi Uterus5

Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, dan serviks uteri.Fundus
uteri adalah bagian uterus proksimal.Korpus uteri merupakan bagian uterus
yang terbesar sebagai tempat janin berkembang, rongga yang terdapat di
korpus uteri disebut kavum uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas
pars vaginalis serviks uteri yang dinamakan porsio, pars supravaginalis
serviks uteri yaitu bagian serviks yang berada diatas vagina.5
Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis terbentuk
sebagai saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Pintu saluran serviks

3
sebelah dalam disebut ostium uteri internum, dan pintu di vagina disebut
ostium uteri eksternum. Secara histologi uterus terdiri atas endometrium di
korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri, otot-otot polos, lapisan serosa
yakni peritoneum viserale.5
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan
dengan banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk. Endometrium
melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid
pada seorang wanita dalam masa reproduksi. Pada masa haid, endometrium
sebagian besar dilepaskan, untuk kemudian tumbuh lagi pada fase
proliferasi dan selanjutnya ke fase sekretorik.5
Lapisan otot-otot polos dibagian dalam berbentuk sirkuler, dan disebelah
luar berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot
oblik, berbentuk anyaman, dan lapisan ini paling penting pada persalinan
oleh karena sesudah plasenta lahir, uterus berkontraksi kuat dan menjepit
pembuluh-pembuluh darah yang terbuka.5
Uterus dalam rongga pelviks disokong oleh jaringan ikat dan ligament
yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Adapun ligament
yang memfiksasi uterus adalah :3
1. Ligamentum kardinal (Mackenrodt) kiri dan kanan, yakni
ligamentum yang ter- penting yang mencegah uterus tidak turun.
Terdiri atas jaringan ikat tebal yang berjalan dari serviks dan
puncak vagina ke arah lateral dinding pelvis. Di dalamnya
ditemukan banyak pembuluh darah, anrara lain vena dan arteria
uterina.
2. Ligamentum sakro-uterina kiri dan kanan, yakni ligamenrum yang
menahan uterus supaya tidak banyak bergerak. Berjalan dari
serviks bagian belakang kiri dan kanan, ke arah os sakrum kiri dan
kanan.
3. Ligamentum rotundum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang
menahan uterus dalam antefleksi. Berjalan dari sudut fundus uteri
kiri dan kanan, ke daerah inguinal kiri dan kanan. Pada kehamilan

4
kadang-kadang terasa sakit di daerah inguinal waktu berdiri cepat,
karena uterus berkontraksi kuat dan ligamentum rotundum menjadi
kencang serta mengadakan tarikan pada daerah inguinal. Pada
persalinan pun teraba kencang dan terasa sakit bila dipegang.
4. Ligamentum latum kiri dan kanan, yakni ligamenrum yang
meliputi tuba. Berjalan dari uterus ke arah lateral. Tidak banyak
mengandung jaringan ikat. Sebenarnya ligamentum ini adalah
bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba
dan terbentuk sebagai lipatan. Di bagian dorsal ligamentum ini
ditemukan in- dung telur (ovarium sinistrum et dekstrum). Untuk
menfiksasi uterus, ligamentum latum ini tidak banyak ardnya.
5. Ligamentum infundibulo-pelvikum kiri dan kanan, yakni
ligamentum yang menahan tuba Falloppii. Berjalan dari arah
infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat-urat
saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.

Isthmus adalah bagian uterus antara serviks dan korpus uteri, yang
diliputi oleh peritoneum viserale. Di tempat inilah dinding uterus dibuka
saat seksio sesarea transperitonealis profunda. Dinding belakang uterus
seluruhnya diliputi oleh peritoneum viserale yang membentuk suatu rongga
yang disebut kavum Douglasi yang menonjol jika ada cairan (darah atau
asites) atau ada tumor di daerah tersebut.5

Vaskularisasi uterus diberikan oleh arteria uterine sinistra et dekstra yang


terdiri dari ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini
berasal dari a.iliaka interna (a.hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum
latum, masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 dari forniks
vagina.5

Vaskularisasi uterus yang lain ialah arteri ovarika sinistra et dekstra.


Vaskularisasi ini berjalan dari lateral dinding pelvis, melalui ligamentum
infundibulo-pelvikum mengikuti tuba Falloppi, beranastomosis dengan

5
ramus ascendens arteri uterine disebelah lateral, kanan dan kiri uterus.
Bersama-sama dengan arteri-arteri tersebut diatas terdapat vena-vena yang
kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika.5

Gambar 2 :
Vaskularisasi Uterus5

2.2 DEFINISI

Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi


setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar,
lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat
dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan.Perdarahan pada atonia uteri
ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya
plasenta yang lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri
menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan juga shock hypovolemik.
Dari semua kasus perdarahan postpartum sebesar 70% disebabkan oleh atonia
uteri.5

Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya atau gagalnya tonus/kontraksi otot


rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka
dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.6

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini


(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi

6
peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini.7

Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri saat plasenta telah lahir.
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi
dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara
fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang
berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat
perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika miometrium tidak dapat
berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lunak
pada palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan.8

Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian
yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan
postpartum, lapisan tengah miometrium tersusun sebagai anyaman dan
ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah
lengkungan sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk angka
delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot
berkontraksi akan menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium
untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum.
Kekuatan kontraksi dari miometrium yang efektif sangat penting untuk
menghentikan kehilangan darah setelah persalinan. Kompresi yang dihasilkan
dari vaskular uterus adalah untuk mengganggu aliran darah 800 ml / menit
pada bantalan plasenta (placentabed).9

2.3 EPIDEMIOLOGI
Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum.
Sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan postpartum disebabkan oleh
atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan postpartum akibat atonia uteri

7
harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko
terjadinya atonia uteri. Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-
kondisi yang berisiko tersebut, maka penting bagi penolong untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun
demikian, sekitar 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada ibu tanpa
faktor resiko tersebut.10

2.4 ETIOLOGI/FAKTOR RESIKO


Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah
yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.8
Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri adalah:8
 Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik
uterus.
 Partus lama : Kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang
lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga
ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
 Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar
dengan BB > 4000 gr).
 Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung
bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
 Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu
kontraksi dan retraksi miometrium.
 Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi
miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi
menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.
 Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba
mempercepat kala III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu

8
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan
pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

2.5 PATOFISIOLOGI11,12,13
Pada awal persalinan estrogen akan meningkat dalam darah, hal ini
menyebabkan uterus menjadi lebih mudah terangsang, meningkatnya jumlah
taut-celah antar sel-sel miometrium, dan pembentukan prostaglandin lebih
banyak lagi, yang kemudian menyebabkan kontraksi uterus.
Jumlah reseptor oksitosin di miometrium dan desidua (endometrium
kehamilan) meningkat lebih dari 100 kali selama kehamilan dan mencapai
puncaknya selama awal persalinan. Estrogen meningkatkan jumlah reseptor
oksitosin, dan peregangan uterus pada akhir kehamilan juga dapat
meningkatkan pembentukan reseptor tersebut. Pada awal kehamilan
konsentrasi oksitosin dalam plasma ibu tidak lebih tinggi dari kadar
prapersalinan yaitu sekitar 25pg/mL. Peningkatan mencolok reseptor
oksitosin dapat menyebabkan uterus berespon terhadap konsentrasi oksitosin
plasma yang normal. Begitu persalinan dimulai, kontraksi uterus
menyebabkan dilatasi serviks, dilatasi ini selanjutnya menimbulkan sinyal
pada saraf aferen yang dipancarkan ke nukleus supraoptik dan paraventrikel
meningkatkan sekresi oksitosin. Kadar oksitosin plasma meningkat dan lebih
banyak oksitosin tersedia untuk bekerja pada uterus. Dengan demikian, terjadi
umpan balik positif yang membantu persalinan dan berakhir setelah hasil
konsepsi dikeluarkan. Oksitosin meningkatkan uterus dengan dua cara:1)
bekerja langsung pada sel otot polos uterus untuk membuatnya berkontraksi,
dan 2) merangsang pembentukan prostaglandin di desidua.
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana. Setelah persalinan, kontraksi uterus
merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan.

9
Gambar 3 : kontraksi miometrium uteri menutup pembuluh setelah persalinan

Adanya peregangan yang berlebih atau berkurangnya kerja reseptor


oksitosin di miometrium pasca persalinan menyebabkan kontraksi uterus
menurun atau disebut hipotonia uteri yang jika tidak tertangani akan jatuh
menjadi atonia uteri. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila
serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.

2.6 GEJALA KLINIS14


Gejala dan tanda yang selalu ada :
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan
primer)
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada :
Syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas
dingin, gelisah, mual,dan lain-lain)

10
Gambar 4. Gejala Klinis Atonia Uteri

Atonia uteri ditandai dengan adanya perdarahan masif pervaginam


yang diakibatkan kurangnya tonus miometrium tanpa disertai akibat
lainnya. Pada palpasi uterus ditemukan fundus uterus lembek atau
mengembang tanpa adanya kontraksi.
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan
darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar
disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak
mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3) Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri
dan menggumpal
4) Terdapat tanda-tanda syok
Hipotensi, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah,
mual dan lain-lain.

11
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.
Nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun.15
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :15
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta atau
selaput ketuban, Robekan rahim, Plasenta suksenturiata
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises
yang pecah
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), dll

2.8 PENATALAKSANAAN16,17,18,19

Perdarahan biasanya disebabkan oleh tonus, tissue, trauma atau thrombin.


Bila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus. Bila kausa
perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa plasenta.
Lakukan penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi faktor
pembekuan bila terdapat gangguan pada thrombin. Penatalaksanaan
dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu:

a. Ask for HELP

Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila


persalinan di bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi,
dan hematologis menjadi sangat penting. Pendekatan multidisipliner
dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan. Monitoring
elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting untuk
penentuan tahap tindakan berikutnya.

12
b. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate

Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat


mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran,
nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen
harus dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G,
harus segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin,
profil pembekuan darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta
crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan
umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach).
Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu
hasil crossmatch.14

c. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics


(Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya
menentukan etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan
bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus
buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada
jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta
dan selaput plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan
terjadi akibat morbidly adherent placentae saat seksio sesarea dapat
diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan
embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi
pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini
sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan Queen Charlotte
Hospital (Labour ward course) menyarankan untuk tidak berupaya
melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian
dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus

13
kehamilan abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi
setelah persalinan pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus
sementara menunggu kesiapan operasi/laparotomi.

d. Massage the uterus


Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera
ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan
uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi
bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan di dalam untuk
menekan forniks anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak
tangan di luar melakukan penekanan pada fundus belakang sehingga
uterus terkompresi.

e. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/


intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc
normal salin dengan kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan
karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang
pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal
ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan
oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan
sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat
diberikan secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg
(secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih
diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih
diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis per hari.
Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu preeklampsia,
vitiumcordis, dan hipertensi (peringkat bukti IA, rekomendasi A). Bila
PPS masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per
rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi

14
darah, bahkan juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP)
untuk menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang.
Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit
darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan
transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC
yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L) .

f. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/


bimanual compression (konservatif; non-pembedahan)

Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien


ke ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya
sisa plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan,
segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan
selama ibu dibawa ke ruang operasi.

Gambar 5. Kompresi Bimanual Internal

g. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-


pembedahan) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan
adanya koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade
uterus dapat membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga
dapat memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat

15
dilakukan tamponade test dengan menggunakan Tube Sengstaken
yang mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai
keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut mampu
menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan
bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,
perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan
bedah. Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon
relatif mudah dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa
menit. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan mencegah
koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah.
Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi
medis. Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS
baloon dan tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-
400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga
perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk
membaca tekanan intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai
tekanan mendekati tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan.
Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan
hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.

Gambar 6. Cara pemasangan tampon uterovagina


sumber gambar : JNPKR Asuhan Persalinan Normal

16
h. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan
konservatif)

Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan


antara mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan
fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus
dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang
keluar, perdarahan yang masih berlangsung, keadaan hemodinamik,
dan paritasnya. Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat
setelah melakukan informed consent terhadap segala kemungkinan
tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi. Penting sekali kerja
sama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan pasien
bertahan lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah upaya
konservatif gagal. Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil,
dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi. Ikatan kompresi yang
dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali
diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Benang yang dapat dipakai
adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan
PDS 0 tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
tindakan B-Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya
menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual
uterus secara langsung di meja operasi. Teknik penjahitan uterus
metode B-lynch& B-lynch Modifikasi (Metode Surabaya) dapat
dilihat pada Lampiran 1. Prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya
dan Lampiran 2. Prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya
prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya.

17
Sumber gambar : PNPK Persatuan Obstetrik Ginekologi Indonesia 2016

i. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal


iliac (pembedahan konservatif)

1. Ligasi arteri uterina

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka


keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan
disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC,
ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan
ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan
menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri
uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu
dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

2. Ligasi arteri Iliaka Interna.

Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk


melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian

18
dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem
dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable
dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka
interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka
yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien. Teknik B-Lynch. Teknik B-Lynch
dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997,
sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum
akibat atonia uteri.

3. Histerektomi.

Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi


perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi
mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal.

1. Persatuan Obsteri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran: Perdarahan Pasca Persalinan. 2016:5-20
Banyaknya darah yang keluar mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai menjadi syok
hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 cc atau 1500 cc (20-25%
volume darah) akan menimbulkan gangguan vascular hingga terjadi syok
hemoragik sehingga transfuse darah diperlukan segera. Tindakan pertama yang
dilakukan tergantung pada keadaan klinisnya. Pada umumnya dilakukan secara
simultan.
No. Langkah Keterangan
1. Lakukan masase fundus uteri Massase merangsang kontraksi uterus.
segera setelah plasenta dilahirkan Sambil melakukan masase sekaligus
selama 15 detik. dapat dilakukan penilaian kontraksi
uterus.
2. Bersihkan kavum uteri dari Selaput ketuban atau gumpalan darah

19
selaput ketuban dan gumpalan dalam kavum uteri akan dapat meng-
darah. halangi kontraksi uterus secara baik.
3. Mulai lakukan kompresi bimanual Sebagian besar atonia uteri akan teratasi
interna. Jika uterus berkontraksi dengan tindakan ini. Jika kompresi
keluarkan tangan setelah 1- 2 bimanual tidak berhasil setelah 5 menit,
menit. Jika uterus tetap tidak diperlukan tindakan lain.
berkontraksi teruskan KBI hingga
5 menit.
4. Minta keluarga untuk melakukan Bila penolong hanya seorang diri,
kompresi bimanual eksterna. keluarga dapat meneruskan proses
kompresi bimanual secara eksternal
selama anda melakukan langkah
selanjutnya.
5. Berikan metil ergometrin 0,2 mg Metil ergometrin yang diberikan secara
intramuskular/ intravena intramuskular akan mulai bekerja dalam
5-7 menit dan menyebabkan kontraksi
uterus. Pemberian intravena bila sudah
terpasang infus sebelumnya.
6. Berikan infus cairan larutan Anda telah memberikan oksitosin pada
ringger laktat dan oksitosin 20 waktu penatalaksanaan aktif kala tiga
unit dalam 500cc RL dan metergin intramuskuler. Oksitosin
intravena akan bekerja segera untuk
menyebabkan uterus berkontraksi.
Ringger laktat akan membantu
memulihkan volume cairan yang hilang
selama atoni. Jika uterus wanita belum
berkontraksi selama 6 langkah pertama,
sangat mungkin bahwa ia mengalami
perdarahan postpartum dan memer-
lukan penggantian darah yang hilang
secara cepat.
7. Mulai lagi kompresi bimanual  Jika atoni tidak teratasi setelah 7

20
interna atau pasang tampon langkah pertama, mungkin ibu
uterovagina. mengalami masalah serius lainnya.
 Tampon uterovagina dapat dilakukan
apabila penolong telah terlatih.
 Rujuk segera ke rumah sakit.
8. Buat persiapan untuk merujuk Atoni bukan merupakan hal yang
segera sederhana dan memerlukan perawatan
gawat darurat di fasilitas dimana dapat
di fasilitas dimana dapat dilaksanakan
bedah dan pemberian darah.
9. Teruskan cairan intravena hingga Berikan infus 500cc cairan pertama
ibu mencapai tempat rujukan dalam waktu 10 menit. Kemudian ibu
memerlukan cairan tambahan, setidak-
tidaknya 500cc/jam pada jam pertama,
dan 500cc/jam pada jam-jam
berikutnya. Jika tidak menpunyai cukup
persediaan cairan intravena, berikan
cairan 500 cc yang ketiga tersebut
secara perlahan, hingga cukup untuk
sampai di tempat rujukan. Berikan ibu
minum untuk tambahan rehidrasi.
10. Lakukan laparotomi : Pertimbangan antara lain paritas,
pertimbangan antara tindakan kondisi ibu, jumlah perdarahan.
mempertahankan uterus dengan
ligasi arteri uterin/ hipogastrika
dengan histerektomi.(3)

Manajemen Atonia Uteri


1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penanganan
awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan intravena

21
cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan
monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan
crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus
yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera
setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik).
a. Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus
berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
b. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan
lubang serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah
kosong.Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
 Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.

Gambar 7 : Kompresi Bimanual


Interna
 Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk
mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan
tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan
diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum
ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin.
Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI.

22
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala
empat. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.

3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus
posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi
dan meningkatkan frekuensi, tetapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan
tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan
aktif diberikan lewat infus RL, sebanyak 20 IU, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IM). Efek samping
pemberian oksitosin sangat sedikit, biasa ditemukan nausea dan vomitus.
Jika oksitosin tidak mampu untuk menghasilkan tonus uterus yang
adekuat maka terapi lini kedua harus diberikan. Pilihan terapi lini kedua
bergantung pada efek samping dan kontraindikasi agen uterotonik
tersebut. Methylergonovine (Methergine) adalah agen uteretonik yang
efektif namun memiliki kegunaan terbatas karena dapat memperberat
hipertensi pasien yang memang memiliki riwayat hipertensi sebelumya.
(10)

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang


dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat
diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis
maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung jika diperlukan (IM)
atau IV bolus 0,125 mg. Obat ini dikenal dapat menyebabkan
vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan
vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit

23
sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai
untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus,
diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan
kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral,
sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat,
dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini
menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan
disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan
dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus
penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten
yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 8%-96%.
Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri
maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk
mengatasi perdarahan masif.
Agen uterotonik terakhir adalah misoprostol (cytotec) yang
merupakan analog Prostaglandin E1 sintetik. Misoprostol dapat
mencegah maupun menangani perdarahan postpartum. Tidak seperti
formula prostaglandin lainnya, misoprostol sangat efekif dan tidak
memiliki kontraindikasi terhadap penggunaannya. Beberapa efek
samping yang dapat ditimbulakan misoprostol adalah takikardi dan
demam.
Jika atonia uteri disebabkan oleh terapi tokolitik seperti magnesium
sulfat dan nifedipin, yang mencegah masuknya kalsium kedalam sel,
maka kalsium glukanoat dapat diberikan sebagai terapi adjuvan. Dosis 1
gram (1ampul) kalsium glukanoat dapat meningkatkan tonus uterus dan
mengurangi perdarahan akibat atonia uteri.
Tabel 1. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya (DepKes RI 2007)
JENIS DAN OKSITOSIN ERGOMETRI MISOPROSTO

24
CARA N L
IV : 20 IU dalam 1
Oral atau rektal
liter larutan garam IM atau IV
Dosis dan cara 400 mcg dapat
fisiologis dengan (lambat) : 0,2
pemberiannya diulang sampai
tetesan cepat IM : 10 mg
1200 mcg
IU
IV : 20 IU dalam 1
Ulangi 0,2 mg 400 mcg 2 – 4
liter larutan garam
Dosis lanjutan IM setelah 15 jam setelah dosis
fisiologis dengan
menit awal
tetesan 40 tetes/menit
Dosis Tidak lebih dari 3
Total 1 atau 5 Total 1200 mcg
Maksimal per liter larutan dengan
mg dosis atau 3 dosis
hari oksitosi
Preeclampsia,
Pemberian IV secara Nyeri, kontraksi,
Kontraindikasi vitium cordis,
cepat atau bolus asma
hipertensi

4. Pemasangan tampon (packing) kassa uterovaginal


Tamponade uterus sangatlah aman, sederhana, dan efektif
untuk mengontrol perdarahan post partum dengan menggunakan
tampon pada permukaan uterus yang perdarahan. Meskipun tampon ini
mempunyai banyak variasi teknik, beberapa prinsip dasar harus diikuti.
Letakkan kain kasa diantara plastik bag steril ataupun sarung tangan
yang dapat memindahkan tampon. Balutan kain kasa seharusnya
diletakkan diatas fundus untuk mencegah adanya spasi yang tertinggal
yang dapat menyebabkan adanya akumulasi dari darah.
Alternative dari pemberian tampon selain kassa, juga dipakai
beberapa cara yaitu dengan menggunakan: Sengstaken-blakemore
tube, Rusch urologic hydrostatic balloon catheter (folley catheter) atau
SOS Bakri temponade balloon catheter.
Pada tahun 2003, Sayeba Akhter, dkk, mengaukan alternative baru
dengan pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari

25
penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%, kondom
dilepas 24-48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang
berat. Cara ini kemudian disebut metode Sayeba. Cara pemasangannya
adalah secara aseptic kondom yang telah diikatkan pada kateter
dimasukkan ke dalam cavum uteri. Kondom diiisi dengan cairan garam
fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi
perdarahan dan pengisisan kondom dihentikan ketika perdarahan
sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum uteri,
dipasang tampon kasa gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut
tampon kassa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina.
Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin sampai
dengan 6 jam kemudian. Diberikan kateter lepas 24-48 jam kemudian,
pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih
lama
5. Operatif
a. Ligasi Arteri Uterina
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah
rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan
segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum
atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri
dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial
vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular
ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi,
hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang
asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-
3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah
rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan
bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3- cm dibawah ligasi vasa

26
uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri
uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang
menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu
dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
b. Ligasi Arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum
lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter
ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang
arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan
dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka
interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter
harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Gambar 8: Anatomi Arteri Iliaka Interna

27
Gambar 9 : Tempat Ligasi A. Iliaka Interna

c. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternatif untuk
mengatasi perdarahan postpartum dan sejak itu banyak  publikasi tentang
kesuksesan penerapan teknik ini telah  muncul di berbagai jurnal.
Modifikasi asli  teknik ini muncul seperti jahitan Square Cho (Cho,
2000)  dan Teknik modifikasi Hayman's B-Lynch 
Sejak diperkenalkannya teknik jahitan B-Lynch pada tahun 1997,
telah ada 10 pelaporan dan lebih dari 46 kasus. Publikasi asli B-
Lynch  melaporkan 5 kasus yang berhasil , 4 dengan perdarahan
postpartum primer (2 kasus setelah persalinan spontan pervaginam, 1
kasus elektif dan 1 kasus setelah operasi emergensi Sectio Caesaria),
yang kelima  adalah kasus perdarahan postpartum sekunder 11.  Metode
Operasi berhasil pada semua kasus tanpa komplikasi, dan 4 dari 5 pasien
dapat hamil kembali. Dua. Pemeriksaan uterus pada bekas seksio sesarea
tidak menunjukkan  kelainan.
Dalam review yang dilakukan Christopher B Lynch, dinyatakan
bahwa teknik B-lynch untuk perdarahan postpartum seharusnya menjadi
pilihan bagi setiap gynecologist. Wohlmith,dkk mempublikasikan hasil

28
dari penelitian teknik B-lynch dengan tingkat kesuksesan mencapai 91
%. Sedangkan Sukses kumulatif didunia mencapai 98%.
Di Indonesia khususnya di Rumah Sakit Dr.Soetomo Surabaya
diperkenalkan teknik kompresi uterus yang simple dan cepat yang diberi
nama metode modifikasi Surabaya. Penjahitan uterus modifikasi
Surabaya dengan menggunakan 3 jahitan vertical uterus yang memakai
catgut krom no. 2 dan jarum bundar. Oleh Agus Sulistiyono dkk tahun
2010 diperoleh kesimpulan bahwa teknik kompresi uterus modifikasi
Surabaya lebih efektif, sederhana dan mudah untuk dilakukan, waktu
pengerjaan yang dibutuhkan juga lebih cepat. Dari 8 kasus yang
dikerjakan menggunakan metode ini angka keberhasilan mencapai 100
% yang dimana pada akhirnya 2 dari 8 kasus tersebut pasien meninggal
dunia dikarenakan penyakit yang mendasarinya sejak awal masuk rumah
sakit.13

Gambar 4 : Ilustrasi modifikasi surabaya

29
Gambar 9 : Teknik B-Lynch pada penanganan Atonia Uteri

d. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan
jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan
operatif. Insidensi mencapai 7-4 per 10.000 kelahiran, dan lebih
banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan persalinan
pervaginam.

30
Masase fundu uteri segera
setelah plasenta lahir
(maksimal 15 detik)

Tidak
Uterus kontraksi ? Ya
Evaluasi rutin

Tidak
Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
Kompresi bimanual interna (KBI) : maks. 5 menit

Uterus kontraksi ? Ya
Pertahankan KBI selama 1-2 menit
Keluarkan tangan secara hati-hati
Lakukan pengawasan kala IV

Tidak

Ajarkan keluarga melakukan KBI


Keluarkan tangan secara hati-hati
Suntikkan Methylergometrin 0,2 mg IM
Pasang IVFD RL + 20 IU oxytocin, guyur
Lakukan kembali KBI

Tidak
Ya
Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV

Tidak

Rujuk, siapkan laparatomi


Lanjutkan pemberian infuse + 20 IU oksitosin minimal 500 cc/jamhingga mencapai tempat
rujukan
Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBI

Ligasi arteriuterina dan atau hipogastrika


B-Lynch method

Perdarahan

Histerektomi

31
2.7 KOMPLIKASI

Di samping menyebabkan kematian, syok, HPP memperbesar


kemungkinan terjadinya infeksi purpuralis karena daya tahan tubuh
penderita berkurang. Perdarahan banyak dapat menyebabkan sindroma
Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga
terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah hipotensi,
anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kaheksia, penurunan
fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan
ketiak, penurunan metabolisme dan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi.20

2.8 PROGNOSIS
Bergantung pada jumlah darah yang hilang (sesuai dengan rasio berat
badan pasien), komplikasi yang terjadi, dan keberhasilan terapi.10

2.9 PENCEGAHAN
Antenatal care yang baik dan mencegah terjadinya anemia dalam
kehamilan merupakan hal yang paling penting. Karena pada persalinan nanti,
kehilangan darah dalam jumlah normal dapat membahayakan ibu yang
menderita anemia.21
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan
obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya
yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi
uterus seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk
mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian
oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit
IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.21

32
BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah :

1. Perdarahan post partum merupakan penyebab utama kematian maternal

2. Perdarahan post partum adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui

jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III

3. Atonia uteri ialah lemahnya tonus atau lemahnya kontraksi rahim, yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir

4. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum dini

5. Faktor predisposisi yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi

normal seperti pada polihidroamnion, kehamilan kembar, makrosomia,

persalinan lama, persalinan terlalu cepat, persalinan dengan induksi atau

akselerasi oksitosin, infeksi intrapartum.

6. Kontrksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol

perdarahan setelah melahirkan

7. Atonia uteri ditandai dengan adanya perdarahan massif pervaginam yang

diakibatkan kurangnya tonus miometrium tanpa disertai akibat lainnya

8. Terdapat berbagai Jenis tindakan operatif untuk menangani atonia uteri

seperti laparatomi, teknik B-Lynch dan modifikasinya, ligasi arteri iliaka

interna, histerektomi.

33
9. Prognosis pasien pada atonia uteri bergantung pda jumlah darah yang

hilang (disesuaikan dengan rasio berat badan pasien), komplikasi yang

terjadi, dan keberhasilan terapi.

34
DAFTAR PUSTKA

1. POGI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran : Diagnosis dan


Tatalaksana Preeklampsia. Jakarta: POGI; 2016.
2. Institute of Obstetricians and Gynaecologists. The diagnosis and
management of preeklampsia dan eklampsia. Irlandia: RCPI; 2013.
3. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
4. Lim Shan Pei. Uterine Atony: Management Strategies. University
Kebangsaan Malaysia Medical center. Available in URL:
www.intechopen.com
5. Foley MR, Strong TH, Garite JT. PostPartum Hemorrhage. In : Obstetric
Intensive. 2014
6. Brandon J. The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics 2nd
Edition. 2012
7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, GillstrapLC. Hauth JC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics. 23rd., New York: McGraw Hill, 2015
8. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H.
Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 2017.
9. Anderson J, Etches D, Smith D. Postpartum haemorrhage. In Damos JR,
Eisinger SH, eds. Advanced Life Support in Obstetrics (ALSO) provider
course manual. Kansas: American Academy of Family Physicians, 2014:1–
15

10. Karkata K. Made. Perdahan Pascapersalinan. In: Ilmu Kebidanan. Edisi


Keempat. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 2014.
11. Guyton C.Arthur, Hall E.John. Buku Ajar fisiologi Kedokteran. Jakarta:
ECG. 2016
12. Joan Pitkin, Alison B.Peattie.Obstetrics and Gynaecology An Ilustrated
Colour Text. UK: Elsievier Science. 2014
13. Brandon J. The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics 2nd
Edition. 2014

35
14. De Cherney AH. Nathan L. Third Trimester Bleeding in Current Obstetrics
and Gynecologic Diagnosis and Treatment. McGraw Hill Companies, 2015
15. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana. Jakarta: EGC, 2014
16. Paily, V.P. Initial Interventionts to Combat Haemorrhage during Cesarean
Section and Internal Iliac Artery Ligation.A Comprehensive Textbook of
Postpartum Hemorrhage an Essential Clinical Reference for Effective
Management 2nd Ed. Chapter 538Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi
Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri dan Ginekologi.
17. Albert E.Reece, John C.Hobbins. Clinical Obstetrics the Fetus & Mother.
Blackwell Publishing. 2017
18. Williams Obstetric. 22nd Ed. 2015
19. Keith Edmonds. Dewhurst’s Texbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th
edition. Blackwell Publishing. 2017
20. Febrianto H.N. Perdarahan Pasca Persalinan. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sriwijaya. 2017.
21. JNPKR, Asuhan Persalinan Normal. Departemen Kesehatan RI. Jakarta:
2014.

36

Anda mungkin juga menyukai