Anda di halaman 1dari 39

I.

PENDAHULUAN
Kematian maternal merupakan suatu fenomena puncak gunung es karena
kasusnya cukup banyak namun yang nampak di permukaan hanya sebagian kecil.
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa ada 500.000 kematian
ibu melahirkan di seluruh dunia setiap tahunnya, 99 persen diantaranya terjadi di
negara berkembang. Dari angka tersebut diperkirakan bahwa hampir satu orang
ibu setiap menit meninggal akibat kehamilan dan persalinan. Angka kematian
maternal di negara berkembang diperkirakan mencapai 100 sampai 1000 lebih per
100.000 kelahiran hidup, sedang di negara maju berkisar antara tujuh sampai 15
per 100.000 kelahiran hidup. Ini berarti bahwa di negara berkembang risiko
kematian maternal satu diantara 29 persalinan sedangkan di negara maju satu
diantara 29.000 persalinan.1
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara
tiba-tiba seringkali merupakan kejadian yang berbahaya.1,2
Kegawatdaruratan obstetri merupakan kondisi kesehatan yang mengancam
jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang
mengancam keselamatan ibu dan bayinya.1,2
Secara umum terdapat 3 penyebab utama kematian ibu, yaitu (1)
perdarahan (2) infeksi sepsis (3) hipertensi, preeklampsia, eklampsia. Mengenal
kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang
cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat klinis kasus kegawatdaruratan obstetri
yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut tidak
selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya pikir
dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun
kelambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam prinsisp, pada
saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap gawat darurat atau
setidaknya dianggap gawatdarurat, sampai setelah pemeriksaan selesai kasus itu
ternyata bukan kasus gawatdarurat. Dalam menangani kasus kegawatdaruratan,
penentuan permasalahan utama (diagnosis) dan tindakan pertolongan harus
dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik. Semuanya dilakukan
dengan cepat, cermat, dan terarah.

1
II. ANATOMI ORGAN REPRODUKSI INTERNA SERVIKS
Serviks adalah bagian dari rahim yang paling sempit, terhubung ke fundus
uteri oleh isthmus uteri. Serviks berasal dari bahasa latin yang berarti leher.
Bentuknya silinder atau lebih tepatnya kerucut. Batas atas serviks adalah ostium
interna. Serviks letaknya menonjol melalui dinding vagina anterior atas. Bagian
yang memproyeksikan ke dalam vagina disebut sebagai portio vaginalis. Rata-rata
ukurannya adalah 3 cm panjang dan 2,5 cm lebar portio vaginalis. Ukuran dan
bentuk serviks bervariasi sesuai usia, hormon, dan paritas. Sebelum melahirkan,
ostium eksternal masih sempit, hanya berbentuk lingkaran kecil di tengah serviks.
Bagian luar dari serviks menuju ostium eksternal disebut ektoserviks. Lorong
antara ostium eksterna ke rongga endometrium disebut sebagai kanalis
endoservikalis.
Pasokan darah dari sekviks berasal dari arteri iliaka internal, yang
membentuk uterine arteri. Serviks dan cabang arteri vagina dari uterus mensuplai
bagian vagina bagian atas.

UTERUS
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak
di atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur
silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri.
Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm,
lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah
ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum
tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik.
Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan
anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian
atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina
disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan
dengan korpus oleh ismus. Sebelum masa pubertas, rasio perbandingan panjang
serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah pubertas, rasio
perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1.

2
Gambar 1. Gambaran uterus pada wanita normal. Anterior (A), lateral kanan (B),
dan posterior (C). a = tuba fallopi, b = round ligament, c = uteroovarian ligament,
Ur = ureter1

MIOMETRIUM DAN ENDOMETRIUM


Uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang ditunjukkan pada gambar:
1. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.
2. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di
uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan serat
elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak berbatas
tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun
memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah
mengandung pembuluh darah yang lebih besar.
3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang
mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel – sel epitel pelapisnya merupakan
gabungan selapis sel – sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat
lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar.
Serat jaringan ikatnya terutana berasal dari kolagen tipe III.

3
Gambar 2. Uterus5
Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona, (1) Lapisan
fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini akan
luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang paling dalam
dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia dan
bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan regenerasi dari
lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase menstruasi. Endometrium
adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita usia reproduksi. Perubahan pada
endometrium terus menerus terjadi sehubungan dengan respon terhadap
perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar nanitnya
uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi
estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium,
sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah ovulasi
mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga perubahan
predesidual di stroma.

PLASENTA
Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis
yakni:
1. Ekstravili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
invasif yang menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri
spiralis (trofoblas endovaskuler) miometrium.

4
2. Vili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel
sinsisiotrofoblas multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta
janin.
Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan
berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses
pembentukan struktur dan jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan
hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada
lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu setelah
nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah desidua basalis
yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus intertrofoblastik
yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan.
Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di
mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili
korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3
cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada
kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang amnion telah mengisi seluruh
rongga rahim. Letak plasenta yang normal umumnya pada corpus uteri bagian
depan atau belakang agak kearah fundus uteri. Plasenta normal menanamkan diri
sampai ke batas atas lapisan otot rahim.
Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :
1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan
vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :
 Vili korialis
 Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler
berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistole, darah
dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg kedalam ruang interviler sampai
lempeng korionik (chorionic plate) pangkal dari kotiledon-kotiledon. Darah
tersebut membanjiri vili korialis dan kembali perlahan ke vena di desidua
dengan tekanan 8 mmHg.

5
 Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah
lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali
pusat akan berinsersi pada uri bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang
terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis
pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi utero-
plasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya
terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly wharton.

Gambar 3. Struktur plasenta3


Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran
darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.
Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu :
a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar
100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.
b. Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
c. Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
d. Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon
e. Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin
f. Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati plasenta

6
III.JENIS-JENIS KEGAWATDARURATAN OBSTETRI
A. ABORTUS
a. Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang
dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda kehamilan, perdarahan hebat per
vaginam, pengeluaran jaringan plasenta dan kemungkinan kematian janin.
b. Etiologi
 Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling umum
menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur kehamilan 8 minggu.
Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain : kelainan
kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil pembuahan yang
tidak bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat zat yang berbahaya bagi
janin seperti radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus.
 Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan
pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh karena penyakit darah
tinggi yang menahun.
 Faktor ibu seperti penyakit penyakit kronis yang diderita oleh sang ibu seperti
radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi virus toxoplasma.
 Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut
rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang lengkungannya ke
belakang (secara umum rahim melengkung ke depan), mioma uteri, dan
kelainan bawaan pada rahim.
c. Klasifikasi dan Penatalaksanaan
1. Abortus Spontan
 Abortus Imminens
Pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu, hasil
konsepsi masih di dalam uterus dan tidak ada dilatasi serviks. Pasien akan
atau tidak mengeluh mules-mules, uterus membesar, terjadi pendarahan
sedikit seperti bercak-bercak darah menstruasi tanpa riwayat keluarnya
jaringan terutama pada trimester pertama kehamilan. Pada pemeriksaan

7
obstetrik dijumpai tes kehamilan positif dan serviks belum membuka. Pada
inspekulo dijumpai bercak darah di sekitar dinding vagina, porsio tertutup,
tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Tirah baring total, tidur berbaring merupakan unsur
penting dalam pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan
mekanis dan menambah aliran darah ke rahim.
 Abortus Insipiens
Perdarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi serviks uteri meningkat
dan hasil konsepsi masih dalam uterus. Pasien akan mengeluhkan mules
yang sering dan kuat, keluar darah dari kemaluan tanpa riwayat keluarnya
jaringan, pendarahan biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan,
darah berupa darah segar menglair. Pada inspekulo, ditemukan darah segar
di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Dilakukan tindakan kuretase bila umur kehamilan
kurang dari 12 minggu yang disertai dengan perdarahan.
 Abortus Inkomplit
Pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih terdapat sisa hasil konsepsi tertinggal dalam uterus. Pada
anamnesis, pasien akan mengeluhkan pendarahan berupa darah segar
mengalir terutama pada trimester pertama dan ada riwayat keluarnya
jaringan dari jalan lahir.
Penatalaksanaan : Bila disertai dengan syok akibat perdarahan maka
pasien diinfus dan dilanjutkan transfusi darah. Setelah syok teratasi,
dilakukan kuretase, bila perlu pasien dianjurkan untuk rawat inap.

Gambar 4. Abortus Inkomplit4

8
 Abortus Komplit
Keadaan di mana semua hasil konsepsi telah dikeluarkan. Pada penderita
terjadi perdarahan yang sedikit, ostium uteri telah menutup dan uterus
mulai mengecil. Apabila hasil konsepsi saat diperiksa dan dapat
dinyatakan bahwa semua sudah keluar dengan lengkap. Pendarahan
biasanya tinggal bercak-bercak dan anamnesis di sini berperan penting
dalam menentukan ada tidaknya riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir
Pada inspekulo, ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina, portio
terbuka, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Tidak memerlukan penanganan penanganan khusus,
hanya apabila menderita anemia ringan perlu diberikan tablet besi dan
dianjurkan supaya makan makanan yang mengandung banyak protein,
vitamin dan mineral.

Gambar 5. Abortus Komplit4


2. Abortus Habitualis
Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut-turut atau lebih. Pada
anamnesis akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda abortus, riwayat
menggunakan IUD atau percobaan aborsi sendiri, dan adanya demam.
3. Abortus Infeksius
Abortus yang disertai infeksi organ genitalia.
4. Abortus Septik
Ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritonium.
Hasil diagnosis ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret yang bau dari
vagina, uterus besar dan ada nyeri tekan dan bila sampai sepsis dan syok
(lelah, panas, menggigil)

9
5. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan kematian embrio atau fetus dalam
kandungan >8 minggu sebelum minggu ke-20. Pada anamnesis akan
ditemukan uterus berkembang lebih rendah dibanding usia kehamilannya,
bisa tidak ditemukan pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada
riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan
bercak darah di sekitar dinding vagina, portio tertutup, tidak ditemukan
jaringan.
Dari beberapa jenis abortus, abortus inkomplit dapat menimbulkan banyak
perdarahan yang membahayakan bagi tubuh ibu. Oleh karena itu, perlu
penatalaksanaan yang benar untuk menghindari perdarahan yang berlebihan.
Abortus inkomplit ditatalaksana dengan rawat ekspektatif, pembedahan, maupun
medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif berkisar antara 52%-81% setelah
follow up 2 minggu. Perbaiki keadaan umum yaitu volume intravaskuler efektif
harus dipertahankan untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Terapi
medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80% ke atas.

B. MOLA HIDATIDOSA
a. Definisi
Mola Hidatidosa (hamil anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan di
dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa merupakan
kehamilan abnormal, dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan
hidrofobik. Mola hidatidosa juga dihubungkan dengan edema vesikular dari vili
khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologist,
ditemukan proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan
displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit
pembuluh darah.
b. Etiologi
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang
mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara lain:
1. Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati,
tetapi terlambat dikeluarkan

10
2. Imunoselektif dari trofoblast
3. Keadaan sosioekonomi yang rendah
4. Paritas tinggi
5. Kekurangan protein
6. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
c. Klasifikasi
1. Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel – vesikel jernih.
Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai
beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung
pada tangkai kecil.
2. Mola Hidatidosa Parsial
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan
mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan hidatidosa
yang berlangsung lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskular,
sementara villi-villi berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin plasenta
yang masih berfungsi tidak terkena.
d. Manifestasi Klinik
 Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
 Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. merupakan
gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama
berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi.
 Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
 Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement.
 Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
 Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
 Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti
 Gejala Tirotoksikosis

11
Pada mola hidatidosa yang sempurna terdapat tanda dan gejala klasik
yakni:
a. Perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan
perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang
banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat
dalam 97% kasus.
b. Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat.
Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.
c. Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi,
tremor dan kulit yang hangat.
e. Penatalaksanaan
Secara medis pasien distabilkan dahulu, dilakukan transfusi bila terjadi
anemia, koreksi koagulopati dan hipertensi diobati. Evakuasi uterus dilakukan
dengan dilatasi dan kuretase.
Induksi dengan oksitosin dan prostaglandin tidak disarankan karena resiko
peningkatan perdarahan dan sekuele malignansi. Pada saat dilatasi infus oksitosin
harus segera dipasang dan dilanjutkan pasca evakuasi untuk mengurangi
kecenderungan perdarahan. Uterotonika seperti metergin juga dapat diberikan.
Respiratori distres harus selalu diwaspadai pada saat evakuasi. Hal ini
terjadi karena embolisasi dari trofoblastik, anemia yang menyebabkan CHF, dan
iatrogenik overload. Distres harus segera ditangani dengan ventilator.
Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 – 6 minggu
dan penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan. Diperlukan
kontrasepsi yang adekuat selama periode ini. Pasien dianjurkan untuk memakai
kontrasepsi oral, sistemik atau barier selama waktu monitoring. Pemberian pil
kontrasepsi berguna dalam 2 hal yaitu mencegah kehamilan dan menekan
pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar
HCG. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan terapi sulih hormon dianjurkan
setelah kadar hCG kembali normal.
Tindak lanjut setelah evakuasi mola adalah pemeriksaan HCG yang
dilakukan secara berkala sampai didapatkan kadar HCG normal selama 6 bulan.
Kadar HCG diperiksa pasca 48 jam evakuasi mola, kemudian di monitor setiap

12
minggu sampai dengan terdeteksi dalam 3 minggu berturut-turut. Kemudian
diikuti dengan monitoring tiap bulan sampai dengan tdak terdeteksi dalam 6 bulan
berturut – turut. Waktu rata-rata yang dibutuhkan sampai dengan kadar HCG tidak
terdeteksi setelah evakuasi kehamilan komplit maupun parsial adalah 9 – 11
minggu. Setelah monitoring selesai maka pasien dapat periksa HCG tanpa terikat
oleh waktu.
Secara teknis, penatalaksanaan pasien yang dicurigai mola hidatidosa
adalah sebagai berikut :

13
C. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
a. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar
rongga uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya
implantasi kehamilan ektopik, sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba,
jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri,
tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus. Kehamilan ektopik
dapat dibagi dalam beberapa golongan :
 Tuba Fallopii
 Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
 Ovarium
 Intraligamenter
 Abdominal
 Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

Gambar 6 : Lokasi terjadinya Kehamilan Ektopik9


b. Etiologi1,5,6,7,9
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor penyebab yang terjadi pada
tuba yang dapat mendukung terjadinya kehamilan ektopik :
1. Faktor dalam lumen tuba :

14
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia
uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping.
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan
sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan
telur yang dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain : `
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau
sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
prematur.
b) Fertilisasi in vitro.
c. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri
abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi
sangat penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan
kehamilan di trimester pertama. Namun, hanya 50% pasien dengan kehamilan
ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain
mungkin muncul gejala-gejala yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal
termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenu
baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu, seperti
tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas sampai tidak khas sehingga
sukar untuk mendiagnosisnya.

15
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral
(abortus tuba), hebat dan akut (ruptur tuba), ada nyeri tekan abdomen yang jelas
dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan sensitive terhadap tekanan. Jika ada
perdarahan intra-abdominal, gejalanya sebagai berikut:
1. Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada
abdomen bagian atas.
2. Abdomen tegang.
3. Mual.
4. Nyeri bahu.
5. Membran mukosa anemis.
Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di
bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama
hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin terjadi
gangguan kesadaran.
d. Penatalaksanaan
Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
1. Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
2. Pada laparotomi, perdarahan sesegera mungkin dihentikan dengan
menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
3. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut
sebanyak mungkin dikeluarkan.

Gambar 7. Gambaran laparaskopi kehalimal ektopik di bagian ampulla.9

16
Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan :
1. Kondisi penderita pada saat itu,
2. Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
3. Lokasi kehamilan ektopik.
4. Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan
bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan
terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang
berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum
terangkat.
Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan :
1. Transfusi, infus, oksigen.
2. Jika dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi.
Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya
penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit.

D.PLASENTA PREVIA
a. Definisi
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir.
b. Klasifikasi
1. Plasenta Previa Totalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan
Plasenta.
2. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh
jaringan Plasenta.
3. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada
pinggir pembukaan.
4. Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen
bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.

17
Gambar 8. Plasenta Letak Rendah (A), Plasenta Previa Marginalis (B),
Plasenta Previa Parsialis (C), Plasenta Previa Totalis (D).5
c. Diagnosis
1. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung
tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat
dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.
2. Pemeriksaan Luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi
kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul
mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
3. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari
osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta
previa harus dicurigai.
4. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi,
radioisotop, dan ultrasonografi. Ultrasonografi penentuan letak plasenta
dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi
bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
5. Pemeriksaan Ultrasonografi

18
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak
tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak
rendah.
6. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan melakukan perabaan secara langsung melalui
pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu
dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan ini sebagai
upaya menetukan diagnosis.
d. Penatalaksanaan
1. Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin,
memberi oksigen, memasang infuse, memberi ekspander plasma atau
serum yang diawetkan. Usahakan pemberian darah lengkap yang telah
diawetkan dalam jumlah mencukupi.
2. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan
setelah pengobatan syok dimulai.
3. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa
totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta letak
rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm),
pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse oksitosin; jika perdarahan
tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan forsep atau ekstraksi
vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.
4. Tindakan setelah melahirkan.
 Cegah syok (syok hemoragik)
 Pantau urin dengan kateter menetap
 Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
 Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.

19
E.ATONIA UTERI
a. Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
b. Etiologi
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri antara :
 Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik uterus.
 Partus lama : kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang
keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
 Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar dengan
BB > 4000 gr).
 Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja
tidak efisien dalam semua kala persalinan.
 Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi
dan retraksi miometrium.
 Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi miometrium
yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri
dan perdarahan postpartum.
 Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba mempercepat kala
III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis
pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang
mengakibatkan perdarahan.
c. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang selalu ada :
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek

20
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan primer)
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada : Syok (tekanan darah
rendah,denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual,dan lain-
lain).
d. Diagnosis
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi
dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun.
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: sisa plasenta atau selaput
ketuban, robekan rahim, plasenta suksenturiata.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal
 Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal
yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-
tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
 Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang
akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya
plasenta (maksimal 15 detik).
 Uterotonika
Oksitosin menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring
dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan

21
lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Metilergometrin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan kontraksi uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan
secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25
mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau
IV bolus 0,125 mg.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal,
transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau
IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg.
Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5
tablet 200 µg = 1 g). Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin
efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan
angka kesuksesan 84%-96%.
Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pasca persalinan :
1. Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan : massage
merangsang kontraksi uterus. Sambil melakukan massage sekaligus dapat
dilakukan penilaian kontraksi uterus.
2. Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah : selaput
ketuban atau gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi
kontraksi uterus secara baik.
3. Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi
keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi
teruskan kompresi bimanual interna hingga 5 menit : sebagian besar atonia
uteri akan teratasi dengan tindakan ini. Jika kompresi bimannual tidak
berhasil setelah 5 menit, dilakukan tindakan lain.

22
Gambar 9. Kompresi bimanual interna1

4. Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna : Bila penolong


hanya seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual
secara eksternal selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.
5. Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena : metilergometrin
yang diberikan secara intramuskuler akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan
akan menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena bila sudah
terpasang infuse sebelumnya.
6. Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20 IU/500 ml : anda
telah memberikan oksitoksin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan
metil ergometrin intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera
untuk menyebabkan uterus berkontraksi. Ringer laktat akan membantu
memulihkan volume cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita
belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia
mengalami perdarahan postpartum dan memerlukan penggantian darah yang
hilang secara cepat.
7. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon uterovagina : jika
atonia uteri tidak teratasi setelah 7 langkah pertama, mungkin ibu mengalami
masalah serius lainnya. Tampon utero vagina dapat dilakukan bila penolong
telah terlatih. Segera siapkan proses pembedahan..
8. Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.
9. Lakukan laparotomi : pertimbangkan antara tindakan mempertahankan uterus
dengan ligasi arteri uterine/hipogastrika atau histerektomi. : pertimbangan
antara lain paritas, kondisi ibu, jumlah perdarahan.

23
F.RETENSIO PLASENTA
a. Definisi
Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit` setelah bayi
lahir.  Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan
tidak yakin apakah plasenta lengkap.
b. Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan.
Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :
 His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi belum
keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (ostium
uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta
keluar (plasenta inkarserata).

Gambar 11. Gambaran plasenta terlepas dari uterus namun tidak dapat
dikeluarkan karena konstriksi pada bagian bawah rahim12
 Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang
sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab ini disebut plasenta
adhesiva. Plasenta adhesiva ialah jika terjadi implantasi yang kuat dari jonjot
korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan
fisiologis.
c. Klasifikasi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi :

24
 Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada miometrium.
 Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi tidak
menembus serosa uterus.
 Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya
melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika
hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding
rahim. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.
d. Penatalaksanaan
1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau
NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi
manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400
cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan
yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan
untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.

25
Gambar 12. Pelepasan plasenta secara manual12
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada
umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase
harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif
tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder.

G.RUPTUR UTERI
a. Definisi
Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh
dinding uterus dan isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplit), atau
dapat pula ruptur hanya meluas ke endometrium dan miometrium, tetapi
peritoneum di sekitar uterus tetap utuh (inkomplit).
b. Manifestasi Klinik
1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa sakit yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
 Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.

26
 Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
 Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur
 Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak,
lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan
menyumbat jalan lahir.
 Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah
dan dibahu.
 Kontraksi uterus biasanya hilang.
 Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis khusus).
2. Jika dipalpasi, maka akan teraba :
 Pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen
bawah rahim.
 Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP
 Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut,
maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di
sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras
sebesar kelapa.
 Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
 Pada ruptur uteri iminens dikenal dengan ring van Bandl yang semakin
tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis.
3. Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
kerongga perut.
4. Jika dilakukan pemeriksaan dalam :
 Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah
dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam
yang agak banyak.
 Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin.

27
 Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada
kandung kemih.
c. Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum
penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika,
antibiotika, dsb. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah
melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi:
1. Histerektomi baik total maupun sub total
2. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya
3. Konservatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang
cukup.
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya
adalah :
1. Keadaan umum penderita
2. Jenis ruptur inkomplit atau komplit
3. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan
sudah banyak nekrosis
4. Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
5. Perdarahan dari luka : sedikit, banyak
6. Umur dan jumlah anak hidup
7. Kemampuan dan ketrampilan penolong.

H.PREEKLAMPSIA BERAT DAN EKLAMPSIA


a. Definisi
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan
yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, edema disertai proteinuria
akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit
trofoblastik.

28
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Sebelumnya wanita
tersebut menunjukkan gejala-gejala preeklampsia.
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban
yang memuaskan tentang penyebabnya. Teori yang dapat diterima harus dapat
menerangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, dan
mola hidatidosa.
2. Bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.
3. Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
intrauterin.
4. Jarangnya ditemukan kejadian preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
5. Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.
c. Manifestasi Klinik
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan
proteinuria, merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil.
Pada waktu keluhan seperti oedema, sakit kepala, gangguan penglihatan atau
nyeri epigastrium mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah berat.
Pada eklampsia umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperefleksia.
d. Klasifikasi
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya
hipertensi dan proteinuria. Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Kriteria preeklampsia ringan :
1. Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam jam
pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
2. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
3. Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.

29
Preeklampsia berat dibagi menjadi : preeklampsia berat tanpa impending
eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Kriteria preeklampsia berat :
1. Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada
dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil
sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah baring.
2. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang
dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
3. Oliguria < 400 ml / 24 jam.
a. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
4. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten,
skotoma, dan pandangan kabur.
5. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya
kapsula glisson.
6. Edema paru dan sianosis.
7. Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase.
8. Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
9. Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta.
a. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST.
Sedangkan tanda eklampsia sendiri dapat dilihat dari kejang yang dialami.
Konvulsi pada eklampsia dibagi menjadi 4:
1. Tingkat awal atau aura. Berlangsung 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala diputar
ke kanan atau ke kiri.
2. Kejang tonik yang berlangsung 30 detik. Pada saat ini otot jadi kaku, wajah
kelihatan kaku, tangan menggenggam, kaki membengkok kedalam.pernapasan
berhenti, muka menjadi sianotik, lidah dapt tergigit.
3. Kejang klonik berlangsung 1-2 menit. Semua otot berkontraksi dan berulang-
ulang dalam tempo yang cepat.
4. Tingkatan koma.

30
e. Penatalaksanaan
Pre-eklampsia
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada
ibu maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan hidup
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau
diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah
mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk
menurunkan risiko kematian neonatus.
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan
terdiri daripenanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Adapun terapi
medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah:
a. Tirah baring, pengawasan kesadaran, observasi tana vital dan denyut jantung
janin.
b. Oksigen.
c. Kateter menetap dan ukur jumlah urin.
d. Cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa
kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan
berpedoman pada diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure
(CVP). Balance cairan ini harus selalu diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 10 ml (4 gr)
MgSO4 40% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 15 ml (6 gr) dalam 500 cc ringer
laktat (RL) selama 6 jam. Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa
syarat, yaitu:
 Refleks patella normal
 Frekuensi respirasi >16x per menit
 Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgbb/jam
 Disiapkannya kalsium glukonas 1 gr (20 ml dalam larutan 10%) IV
sebagai antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi

31
maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit secara
perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.
Untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan MgSO4 40% 1 g/jam melalui infus
RL yang diberikan sampai 24 jam postpartum/ kejang yang terakhir.
f. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg oral yang dapat
diulang sampai 8 kali/24 jam. Jika respons tidak membaik setelah 10 menit,
berikan tambahan 5 mg nifedipin sublingual.
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien
dengan PEB.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegawatdaruratan pada Neonatus


1)      Faktor Kehamilan
a)      Kehamilan kurang bulan
b)      Kehamilan dengan penyakit DM
c)      Kehamilan dengn gawat janin
d)     Kehamilan dengan penyakit kronis ibu
e)      Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat
f)       Infertilitas

a.       Faktor pada Partus


1.    Partus dengan infeksi intrapartum
2.    Partus dengan penggunaan obat sedative

b.      Faktor pada Bayi


1.      Skor apgar yang rendah
2.      BBLR
3.      Bayi kurang bulan
4.      Berat lahir lebih dari 4000gr
5.      Cacat bawaan

32
6.      Frekuensi pernafasan dengan 2x observasi lebih dari 60/menit

c.       Kondisi-Kondisi Yang Menyebabkan Kegawatdaruratan Neonatus


1.        Hipotermia
Hipotermia adalah kondisi dimana suhu tubuh < 36 0C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin.
Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran
rendah (low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu
gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan
kematian.
Akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia),
terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan
menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya
kalori tampak dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan
meningkatkan intake kalori.
Etiologi dan factor presipitasi dari hipotermia antara lain : prematuritas,
asfiksia, sepsis, kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan
cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran dan eksposure
suhu lingkungan yang dingin.
Penanganan hipotermia ditujukan pada:
1)      Mencegah hipotermia,
2)      Mengenal bayi dengan hipotermia,
3)      Mengenal resiko hipotermia,
4)      Tindakan pada hipotermia.

Tanda-tanda klinis hipotermia:


a.       Hipotermia sedang (suhu tubuh 320C - <360C ), tanda-tandanya antara
lain : kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah, tangisan lemah dan
kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata.
b.      Hipotermia berat (suhu tubuh < 320C ), tanda-tandanya antara lain :
sama dengan hipotermia sedang, dan disertai dengan pernafasan lambat tidak

33
teratur, bunyi jantung lambat, terkadang disertai hipoglikemi dan asidosisi
metabolik.
c.       Stadium lanjut hipotermia, tanda-tandanya antara lain : muka, ujung
kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat, kulit
mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan
(sklerema)

2.        Hipertermia
Hipertermia adalah kondisi suhu tubuh tinggi karena kegagalan
termoregulasi. Hipertermia terjadi ketika tubuh menghasilkan atau menyerap
lebih banyak panas daripada mengeluarkan panas. Ketika suhu tubuh cukup
tinggi, hipertermia menjadi keadaan darurat medis dan membutuhkan
perawatan segera untuk mencegah kecacatan dan kematian.
Penyebab paling umum adalah heat stroke dan reaksi negatif obat. Heat
stroke adalah kondisi akut hipertermia yang disebabkan oleh kontak yang
terlalu lama dengan benda yang mempunyai panas berlebihan. Sehingga
mekanisme penganturan panas tubuh menjadi tidak terkendali dan
menyebabkan suhu tubuh naik tak terkendali. Hipertermia karena reaksi
negative obat jarang terjadi. Salah satu hipertermia karena reaksi negatif obat
yaitu hipertensi maligna yang merupakan komplikasi yang terjadi karena
beberapa jenis anestesi umum.
Tanda dan gejala : panas, kulit kering, kulit menjadi merah dan teraba panas,
pelebaran pembuluh darah dalam upaya untuk meningkatkan pembuangan
panas, bibir bengkak. Tanda-tanda dan gejala bervariasi tergantung pada
penyebabnya. Dehidrasi yang terkait dengan serangan panas dapat
menghasilkan mual, muntah, sakit kepala, dan tekanan darah rendah. Hal ini
dapat menyebabkan pingsan atau pusing, terutama jika orang berdiri tiba-tiba.
Tachycardia dan tachypnea dapat juga muncul sebagai akibat penurunan
tekanan darah dan jantung. Penurunan tekanan darah dapat menyebabkan
pembuluh darah menyempit, mengakibatkan kulit pucat atau warna kebiru-
biruan dalam kasus-kasus lanjutan stroke panas. Beberapa korban, terutama

34
anak-anak kecil, mungkin kejang-kejang. Akhirnya, sebagai organ tubuh
mulai gagal, ketidaksadaran dan koma akan menghasilkan.

3.        Hiperglikemia
Hiperglikemia atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi dimana jumlah
glukosa dalam plasma darah berlebihan.
Hiperglikemia disebabkan oleh diabetes mellitus. Pada diabetes melitus,
hiperglikemia biasanya disebabkan karena kadar insulin yang rendah dan /
atau oleh resistensi insulin pada sel. Kadar insulin rendah dan / atau resistensi
insulin tubuh disebabkan karena kegagalan tubuh mengkonversi glukosa
menjadi glikogen, pada akhirnyanya membuat sulit atau tidak mungkin untuk
menghilangkan kelebihan glukosa dari darah.
Gejala hiperglikemia antara lain : polifagi (sering kelaparan), polidipsi (sering
haus), poliuri (sering buang air kecil), penglihatan kabur, kelelahan, berat
badan menurun, sulit terjadi penyembuhan luka, mulut kering, kulit kering
atau gatal, impotensi (pria), infeksi berulang, kussmaul hiperventilasi,
arrhythmia, pingsan, koma.

4.        Tetanus neonaturum


Tetanus neonaturum adalah penyakit tetanus yang diderita oleh bayi baru
lahir yang disebabkan karena basil klostridium tetani.
Tanda-tanda klinis antara laian : bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum,
mulut mencucu seperti mulut ikan, mudah terangsang, gelisah (kadang-
kadang menangis) dan sering kejang disertai sianosis, kaku kuduk sampai
opistotonus, ekstremitas terulur dan kaku, dahi berkerut, alis mata terangkat,
sudut mulut tertarik ke bawah, muka rhisus sardonikus.

Penatalaksanaan yang dapat diberikan :


a.       bersihkan jalan napas,
b.      longgarkan atau buka pakaian bayi,
c.       masukkan sendok atau tong spatel yang dibungkus kasa ke dalam mulut
bayi,

35
d.      ciptakan lingkungan yang tenang dan
e.       berikan ASI sedikit demi sedikit saat bayi tidak kejang.

5.        Penyakit-penyakit pada ibu hamil


Kehamilan Trimester I dan II, yaitu : anemia kehamilan, hiperemesis
gravidarum, abortus, kehamilan ektopik terganggu (implantasi diluar rongga
uterus), molahidatidosa (proliferasi abnormal dari vili khorialis).
Kehamilan Trimester III, yaitu : kehamilan dengan hipertensi (hipertensi
essensial, pre eklampsi, eklampsi), perdarahan antepartum (solusio plasenta
(lepasnya plasenta dari tempat implantasi), plasenta previa (implantasi
plasenta terletak antara atau pada daerah serviks), insertio velamentosa, ruptur
sinus marginalis, plasenta sirkumvalata).

6.        Sindrom Gawat Nafas Neonatus


Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per
menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium,
interkostal pada saat inspirasi
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung
dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi
pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999).
Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi
kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem
kardiovaskuler. kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat
menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera
sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997).
Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis
yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat
membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada

36
situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien
kritis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L, et all. Williams Obstetric.


Twenty-Fourth Edition. McGraw-Hill Education. United States of
America. 2014
2. Edmonds K. Dewhurst Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Seventh
Edition. Blackwell Publishing. United Kingdom. 2007
3. Palmer C, D’Angelo R, Paech MJ. Handbook of Obstetrics Anesthiesia.
BIOS Scientific Publisher. United States of America. 2007
4. Pernoll, Martin. Benson & Pernoll’s Handbook of Obstetric &
Gynaecology. Tenth Edition. Mc-Graw Hill Medical Publishing. United
States of America. 2001

37
5. Hamilton Diana, Fairley. Lecture Notes Obstetrics an Gyneacology.
Second Edition. Blackwell Publishing. United Kingdom. 2004
6. Norwitz Errol, Schorge John. Obstetrics and Gynaecology at a Glance.
Blackwell Science. United States of America. 2005
7. Rayburn, William. Obstetrics and Gynaecology Clinics of North America.
Elsevier Saunders. United States of America. 2007
8. Nienke E, Massuger F, Schiif P, et all. Early Identification of Resistance to
First-Line Single-Agent Methotrexate in Patients With Persistent
Trophoblastic Disease. Journal of Clinical Oncology. American Society of
Clinical Oncology. 2006
9. Gibs R, Karlan B, Haney A, et all. Danforth’s Obstetrics and Gynecology.
Lippincott Williams & Wilkins. United Kingdom. 2008
10. Reece Albert, Hobbins John. Clinical Obstetrics The Fetus & Mother.
Third Edition. Blackwell Publishing. United Kingdom. 2007
11. Pei San Lim. Atony Uterine : Management Strategies. Universitas
Kebangsaan Malaysia Medical Center. Malaysia. 2012
12. Hanretty, Kevin P. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Churchill
Livingstone. 2004
13. Datta, Sanjay. Anesthetic and Obstetrics Management of High Risk
Pregnancy. Third Edition. Springer. 2004
14. Duley L, Meher S, Abalos E. Management of Pre-eclampsia. Nuffield
Department of Medicine John Radcliffe Hospital Oxford. 2006
15. Clarke J, Cleary B, Dunlevy F, et all. The Diagnosis and Management of
Pre-eclampsia and Eclampsia. Institute of Obstetricians & Gynaecologist
Royal College of Physicians of Ireland. 2012
16. Gibson P, Smith V. Hypertension and Pregnancy. Diunduh dari :
http://www.medscape.com/hypertensionandpregnancy. 25 Desember 2014

38
39

Anda mungkin juga menyukai