Anda di halaman 1dari 54

KEPERWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN

OBSTETRI

DISUSUN OLEH :

MASTANG

NIM : 201701073

3 B KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

WIDYA NUSANTARA PALU

2020
TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI ORGAN REPRODUKSI INTERNA


1. SERVIKS
Serviks adalah bagian dari rahim yang paling sempit, terhubung ke
fundus uteri oleh isthmus uteri. Serviks berasal dari bahasa latin yang
berarti leher. Bentuknya silinder atau lebih tepatnya kerucut. Batas atas
serviks adalah ostium interna. Serviks letaknya menonjol melalui dinding
vagina anterior atas. Bagian yang memproyeksikan ke dalam vagina
disebut sebagai portio vaginalis. Rata-rata ukurannya adalah 3 cm panjang
dan 2,5 cm lebar portio vaginalis. Ukuran dan bentuk serviks bervariasi
sesuai usia, hormon, dan paritas. Sebelum melahirkan, ostium eksternal
masih sempit, hanya berbentuk lingkaran kecil di tengah serviks. Bagian
luar dari serviks menuju ostium eksternal disebut ektoserviks. Lorong
antara ostium eksterna ke rongga endometrium disebut sebagai kanalis
endoservikalis.
Pasokan darah dari sekviks berasal dari arteri iliaka internal, yang
membentuk uterine arteri. Serviks dan cabang arteri vagina dari uterus
mensuplai bagian vagina bagian atas.

2. UTERUS
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang
terletak di atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan
suatu struktur silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah
orifisium internum uteri. Uterus adalah organ yang memiliki otot yang
kuat dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Pada
setiap sisi dari uterus terdapat dua buah ligamentum broad yang terletak
diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum tersebut menyangga
uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik. Bagian korpus
atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan anterior,
dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian
atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba
uterina disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan
dipisahkan dengan korpus oleh ismus. Sebelum masa pubertas, rasio
perbandingan panjang serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun
setelah pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1.

Gambar 1. Gambaran uterus pada wanita normal. Anterior (A), lateral


kanan (B), dan posterior (C). a = tuba fallopi, b = round ligament, c =
uteroovarian ligament, Ur = ureter

3. MIOMETRIUM DAN ENDOMETRIUM


Uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang ditunjukkan pada gambar:
a. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.
b. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling
tebal di uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh
kolagen dan serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat
lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat
terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar
dengan sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh
darah yang lebih besar.
c. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang
mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel – sel epitel pelapisnya
merupakan gabungan selapis sel – sel silindris sekretorus dan sel
bersilia. Jaringan ikat lamina propia kaya akan fibroblas dan
mengandung banyak substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutana
berasal dari kolagen tipe III.

Gambar 2. Uterus
Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona, (1) Lapisan
fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian ini
akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang
paling dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini
mengandung lamina propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini
berperan sebagai bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap
bertahan pada fase menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat
dinamis pada wanita usia reproduksi. Perubahan pada endometrium terus
menerus terjadi sehubungan dengan respon terhadap perubahan hormon,
stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar nanitnya uterus sudah siap
saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi estrogen
dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium,
sedangkan progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah ovulasi
mengahmbat proliferasi dan menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga
perubahan predesidual di stroma.
4. PLASENTA
Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2
jenis yakni:
a. Ekstravili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel invasif yang menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal
dan arteri spiralis (trofoblas endovaskuler) miometrium.
b. Vili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel
sinsisiotrofoblas multinukleus yang membentuk permukaan luar vili
plasenta janin.
Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan
berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah
proses pembentukan struktur dan jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama
perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi
ke arteri spiralis pada lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8
minggu (6 minggu setelah nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri
spiralis di daerah desidua basalis yang menjadi tempat implantasi plasenta.
Lalu terbentuklah sinus intertrofoblastik yaitu ruangan yang berisi darah
maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan. Pertumbuhan ini berjalan
terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di mana vili korialis
seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili korialis ini
akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm,
tebal 2-3 cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan
berbentuk lengkap pada kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang
amnion telah mengisi seluruh rongga rahim. Letak plasenta yang normal
umumnya pada corpus uteri bagian depan atau belakang agak kearah
fundus uteri. Plasenta normal menanamkan diri sampai ke batas atas
lapisan otot rahim.
Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :
a. Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum
dan vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :
1) Vili korialis
2) Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang
interviler berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua basalis.
Pada sistole, darah dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg kedalam
ruang interviler sampai lempeng korionik (chorionic plate) pangkal
dari kotiledon-kotiledon. Darah tersebut membanjiri vili korialis
dan kembali perlahan ke vena di desidua dengan tekanan 8 mmHg.
3) Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin,
dibawah lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh
darah tali pusat. Tali pusat akan berinsersi pada uri bagian
permukaan janin.
b. Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang
terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua
basalis pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana
sirkulasi utero-plasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali
pusat.
c. Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm),
strukturnya terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta
jelly wharton.
Gambar 3. Struktur plasenta3
Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran
darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.
Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu :
a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari
sekitar 100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng
basal.
b. Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
c. Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
d. Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon
e. Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin
f. Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati
plasenta

B. JENIS-JENIS KEGAWATDARURATAN OBSTETRI


1. ABORTUS
a. Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya
kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda
kehamilan, perdarahan hebat per vaginam, pengeluaran jaringan
plasenta dan kemungkinan kematian janin.

b. Etiologi
1) Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling
umum menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur
kehamilan 8 minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan
ini antara lain : kelainan kromoson/genetik, lingkungan tempat
menempelnya hasil pembuahan yang tidak bagus atau kurang
sempurna dan pengaruh zat zat yang berbahaya bagi janin seperti
radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus.
2) Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan
pembentukan pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh
karena penyakit darah tinggi yang menahun.
3) Faktor ibu seperti penyakit penyakit kronis yang diderita oleh sang
ibu seperti radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan
infeksi virus toxoplasma.
4) Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan
pada mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang
lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke
depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.

c. Klasifikasi dan Penatalaksanaan


1) Abortus Spontan
a) Abortus Imminens
Pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari 20
minggu, hasil konsepsi masih di dalam uterus dan tidak ada
dilatasi serviks. Pasien akan atau tidak mengeluh mules-mules,
uterus membesar, terjadi pendarahan sedikit seperti bercak-
bercak darah menstruasi tanpa riwayat keluarnya jaringan
terutama pada trimester pertama kehamilan. Pada pemeriksaan
obstetrik dijumpai tes kehamilan positif dan serviks belum
membuka. Pada inspekulo dijumpai bercak darah di sekitar
dinding vagina, porsio tertutup, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Tirah baring total, tidur berbaring
merupakan unsur penting dalam pengobatan karena cara ini
akan mengurangi rangsangan mekanis dan menambah aliran
darah ke rahim.
b) Abortus Insipiens
Perdarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi serviks
uteri meningkat dan hasil konsepsi masih dalam uterus. Pasien
akan mengeluhkan mules yang sering dan kuat, keluar darah
dari kemaluan tanpa riwayat keluarnya jaringan, pendarahan
biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan, darah
berupa darah segar menglair. Pada inspekulo, ditemukan darah
segar di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan
jaringan.
Penatalaksanaan : Dilakukan tindakan kuretase bila umur
kehamilan kurang dari 12 minggu yang disertai dengan
perdarahan.
c) Abortus Inkomplit
Pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih terdapat sisa hasil konsepsi tertinggal
dalam uterus. Pada anamnesis, pasien akan mengeluhkan
pendarahan berupa darah segar mengalir terutama pada
trimester pertama dan ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan
lahir.
Penatalaksanaan : Bila disertai dengan syok akibat
perdarahan maka pasien diinfus dan dilanjutkan transfusi darah.
Setelah syok teratasi, dilakukan kuretase, bila perlu pasien
dianjurkan untuk rawat inap.
Gambar 4. Abortus Inkomplit
d) Abortus Komplit
Keadaan di mana semua hasil konsepsi telah dikeluarkan.
Pada penderita terjadi perdarahan yang sedikit, ostium uteri
telah menutup dan uterus mulai mengecil. Apabila hasil
konsepsi saat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semua
sudah keluar dengan lengkap. Pendarahan biasanya tinggal
bercak-bercak dan anamnesis di sini berperan penting dalam
menentukan ada tidaknya riwayat keluarnya jaringan dari jalan
lahir Pada inspekulo, ditemukan darah segar di sekitar dinding
vagina, portio terbuka, tidak ditemukan jaringan.
Penatalaksanaan : Tidak memerlukan penanganan
penanganan khusus, hanya apabila menderita anemia ringan
perlu diberikan tablet besi dan dianjurkan supaya makan
makanan yang mengandung banyak protein, vitamin dan
mineral.

Gambar 5. Abortus Komplit


2) Abortus Habitualis
Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut-turut atau
lebih. Pada anamnesis akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda
abortus, riwayat menggunakan IUD atau percobaan aborsi sendiri,
dan adanya demam.
3) Abortus Infeksius
Abortus yang disertai infeksi organ genitalia.
4) Abortus Septik
Ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh
atau peritonium. Hasil diagnosis ditemukan: panas, lemah,
takikardia, sekret yang bau dari vagina, uterus besar dan ada nyeri
tekan dan bila sampai sepsis dan syok (lelah, panas, menggigil)
5) Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan kematian embrio atau fetus
dalam kandungan >8 minggu sebelum minggu ke-20. Pada
anamnesis akan ditemukan uterus berkembang lebih rendah
dibanding usia kehamilannya, bisa tidak ditemukan pendarahan
atau hanya bercak-bercak, tidak ada riwayat keluarnya jaringan
dari jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan bercak darah di
sekitar dinding vagina, portio tertutup, tidak ditemukan jaringan.
Dari beberapa jenis abortus, abortus inkomplit dapat
menimbulkan banyak perdarahan yang membahayakan bagi tubuh
ibu. Oleh karena itu, perlu penatalaksanaan yang benar untuk
menghindari perdarahan yang berlebihan. Abortus inkomplit
ditatalaksana dengan rawat ekspektatif, pembedahan, maupun
medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif berkisar antara 52%-
81% setelah follow up 2 minggu. Perbaiki keadaan umum yaitu
volume intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk
memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Terapi medikamentosa
dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80% ke atas.
2. MOLA HIDATIDOSA
a. Definisi
Mola Hidatidosa (hamil anggur) adalah suatu massa atau
pertumbuhan di dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan. Mola
Hidatidosa merupakan kehamilan abnormal, dimana seluruh villi
korialisnya mengalami perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa juga
dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan
biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologist, ditemukan
proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan
displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat
sedikit pembuluh darah.

b. Etiologi
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor
yang mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola,
antara lain:
1) Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga
mati, tetapi terlambat dikeluarkan
2) Imunoselektif dari trofoblast
3) Keadaan sosioekonomi yang rendah
4) Paritas tinggi
5) Kekurangan protein
6) Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas

c. Klasifikasi
1) Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel –
vesikel jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat,
berdiameter sampai beberapa sentimeter dan sering berkelompok-
kelompok menggantung pada tangkai kecil.
2) Mola Hidatidosa Parsial
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang
berkembang, dan mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi
perkembangan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian
villi yang biasanya avaskular, sementara villi-villi berpembuluh
lainnya dengan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak
terkena.

d. Manifestasi Klinik
1) Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
2) Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat.
merupakan
gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten
selama
berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat
menyebabkan
anemia defisiensi besi.
3) Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai
dengan usia kehamilan.
4) Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun
ballottement.
5) Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup
berat.
6) Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
7) Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan
diagnosa pasti
8) Gejala Tirotoksikosis
Pada mola hidatidosa yang sempurna terdapat tanda dan gejala
klasik yakni:
1) Perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua,
menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena
jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui
vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.
2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang
berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam
hormon β-HCG.
3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti
takikardi, tremor dan kulit yang hangat.

e. Penatalaksanaan
Secara medis pasien distabilkan dahulu, dilakukan transfusi bila
terjadi anemia, koreksi koagulopati dan hipertensi diobati. Evakuasi
uterus dilakukan dengan dilatasi dan kuretase.
Induksi dengan oksitosin dan prostaglandin tidak disarankan
karena resiko peningkatan perdarahan dan sekuele malignansi. Pada
saat dilatasi infus oksitosin harus segera dipasang dan dilanjutkan
pasca evakuasi untuk mengurangi kecenderungan perdarahan.
Uterotonika seperti metergin juga dapat diberikan.
Respiratori distres harus selalu diwaspadai pada saat evakuasi. Hal
ini terjadi karena embolisasi dari trofoblastik, anemia yang
menyebabkan CHF, dan iatrogenik overload. Distres harus segera
ditangani dengan ventilator.
Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 – 6
minggu dan penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan.
Diperlukan kontrasepsi yang adekuat selama periode ini. Pasien
dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik atau barier
selama waktu monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2
hal yaitu mencegah kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh
hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar HCG.
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan terapi sulih hormon
dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal.
Tindak lanjut setelah evakuasi mola adalah pemeriksaan HCG
yang dilakukan secara berkala sampai didapatkan kadar HCG normal
selama 6 bulan. Kadar HCG diperiksa pasca 48 jam evakuasi mola,
kemudian di monitor setiap minggu sampai dengan terdeteksi dalam 3
minggu berturut-turut. Kemudian diikuti dengan monitoring tiap bulan
sampai dengan tdak terdeteksi dalam 6 bulan berturut – turut. Waktu
rata-rata yang dibutuhkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi
setelah evakuasi kehamilan komplit maupun parsial adalah 9 – 11
minggu. Setelah monitoring selesai maka pasien dapat periksa HCG
tanpa terikat oleh waktu.
Secara teknis, penatalaksanaan pasien yang dicurigai mola
hidatidosa adalah sebagai berikut :
3. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
a. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi
diluar rongga uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk
terjadinya implantasi kehamilan ektopik, sebagian besar kehamilan
ektopik berlokasi di tuba, jarang terjadi implantasi pada ovarium,
rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter
dan divertikel pada uterus. Kehamilan ektopik dapat dibagi dalam
beberapa golongan :

1) Tuba Fallopii
2) Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
3) Ovarium
4) Intraligamenter
5) Abdominal
6) Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

Gambar 6 : Lokasi terjadinya Kehamilan Ektopik9


b. Etiologi
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor penyebab yang
terjadi pada tuba yang dapat mendukung terjadinya kehamilan ektopik:
1) Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping,
sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong
buntu.
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada
hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia
endosalping.
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba
dan sterilisasi yang tidak sempurna.
2) Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang
dibuahi dalam tuba
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat
menahan telur yang dibuahi ditempat itu.
3) Faktor diluar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat
menghambat perjalanan telur.
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen
tuba.
4) Faktor lain : `
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba
kiri- atau sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur
yang dibuahi ke uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat
dapat menyebabkan implantasi prematur.
b) Fertilisasi in vitro.

c. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri
abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut
menjadi sangat penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang
datang dengan kehamilan di trimester pertama. Namun, hanya 50%
pasien dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala
tersebut secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala
yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual,
lelah, nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenu baru-
baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu,
seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas sampai
tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering
unilateral (abortus tuba), hebat dan akut (ruptur tuba), ada nyeri tekan
abdomen yang jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan
sensitive terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal,
gejalanya sebagai berikut:
1) Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada
abdomen bagian atas.
2) Abdomen tegang.
3) Mual.
4) Nyeri bahu.
5) Membran mukosa anemis.

Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan
darah di bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya
menonjol-terutama hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku
kebiruan, dan mungkin terjadi gangguan kesadaran.

d. Penatalaksanaan
Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
1) Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
2) Pada laparotomi, perdarahan sesegera mungkin dihentikan dengan
menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
3) Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga
perut sebanyak mungkin dikeluarkan.

Gambar 7. Gambaran laparaskopi kehalimal ektopik di bagian ampulla.


Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan :
1) Kondisi penderita pada saat itu,
2) Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
3) Lokasi kehamilan ektopik.
4) Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi
(pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba.
Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian
kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya
jaringan ektopik yang belum terangkat.
Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan :
1) Transfusi, infus, oksigen.
2) Jika dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi.
Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya
penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit.

4. PLASENTA PREVIA
a. Definisi
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir.

b. Klasifikasi
1) Plasenta Previa Totalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh
jaringan Plasenta.
2) Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup
oleh jaringan Plasenta.
3) Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat
pada pinggir pembukaan.
4) Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada
segmen bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan
jalan lahir.
Gambar 8. Plasenta Letak Rendah (A), Plasenta Previa Marginalis (B),
Plasenta Previa Parsialis (C), Plasenta Previa Totalis (D).5

c. Diagnosis
1) Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya
perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada
pemeriksaan hematokrit.
2) Pemeriksaan Luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas
panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas
pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke
dalam pintu atas panggul.
3) Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium
uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4) Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat
dilakukan radiografi, radioisotop, dan ultrasonografi.
Ultrasonografi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata
sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan
janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
5) Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi
plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5
cm disebut plasenta letak rendah.
6) Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan melakukan perabaan secara langsung
melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak
dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan ini sebagai upaya menetukan diagnosis.

d. Penatalaksanaan
1) Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan
hemoglobin, memberi oksigen, memasang infuse, memberi
ekspander plasma atau serum yang diawetkan. Usahakan
pemberian darah lengkap yang telah diawetkan dalam jumlah
mencukupi.
2) Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera
dilakukan setelah pengobatan syok dimulai.
3) Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta
previa totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena
plasenta letak rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut
serviks sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan
infuse oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan
pervagina dengan forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan
tidak berhenti lakukan seksio sesaria.
4) Tindakan setelah melahirkan.
a) Cegah syok (syok hemoragik)
b) Pantau urin dengan kateter menetap
c) Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
d) Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit.

5. ATONIA UTERI
a. Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak
berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri
(plasenta telah lahir).

b. Etiologi
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh
darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri
terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri antara :
1) Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi
intrinsik uterus.
2) Partus lama : kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim
yang lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan,
tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap
kehilangan darah.
3) Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak
besar dengan BB > 4000 gr).
4) Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
5) Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan
mengganggu kontraksi dan retraksi miometrium.
6) Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi
miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi
menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.
7) Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba
mempercepat kala III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan
pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

c. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang selalu ada :
1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2) Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan
primer)
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada : Syok (tekanan darah
rendah,denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah,
mual,dan lain-lain).

d. Diagnosis
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan
banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam
waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah
sebelum ia tampak pucat. Nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan
tekanan darah menurun.
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :
1) Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.
2) Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3) Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: sisa plasenta atau
selaput ketuban, robekan rahim, plasenta suksenturiata.
4) Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises
yang pecah.
5) Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal
1) Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka
penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan
pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring
jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan
transfusi darah.
2) Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi
kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan
fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik).
3) Uterotonika
Oksitosin menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan
timbulnya reseptor oksitosin. Oksitosin dapat diberikan secara IM
atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan
ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Metilergometrin maleat merupakan golongan ergot alkaloid
yang dapat menyebabkan kontraksi uteri setelah 5 menit
pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang
setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga
diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau
IV bolus 0,125 mg.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15
metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara
intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25
mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2
mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi
perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Dari beberapa
laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi
perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka
kesuksesan 84%-96%.
Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pasca
persalinan :
a) Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta
dilahirkan : massage merangsang kontraksi uterus. Sambil
melakukan massage sekaligus dapat dilakukan penilaian
kontraksi uterus.
b) Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan
darah : selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum
uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara baik.
c) Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus
berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus
tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi bimanual interna
hingga 5 menit : sebagian besar atonia uteri akan teratasi
dengan tindakan ini. Jika kompresi bimannual tidak berhasil
setelah 5 menit, dilakukan tindakan lain.
Gambar 9. Kompresi bimanual interna1

d) Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual


eksterna : Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat
meneruskan proses kompresi bimanual secara eksternal
selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.
e) Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena :
metilergometrin yang diberikan secara intramuskuler akan
mulai bekerja dalam 5-7 menit dan akan menyebabkan
kontraksi uterus. Pemberian intravena bila sudah terpasang
infuse sebelumnya.
f) Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20
IU/500 ml : anda telah memberikan oksitoksin pada waktu
penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil ergometrin
intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera
untuk menyebabkan uterus berkontraksi. Ringer laktat akan
membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama
atoni. Jika uterus wanita belum berkontraksi selama 6
langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia mengalami
perdarahan postpartum dan memerlukan penggantian darah
yang hilang secara cepat.
g) Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon
uterovagina : jika atonia uteri tidak teratasi setelah 7 langkah
pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius lainnya.
Tampon utero vagina dapat dilakukan bila penolong telah
terlatih. Segera siapkan proses pembedahan..
h) Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.
i) Lakukan laparotomi : pertimbangkan antara tindakan
mempertahankan uterus dengan ligasi arteri
uterine/hipogastrika atau histerektomi. : pertimbangan antara
lain paritas, kondisi ibu, jumlah perdarahan.

6. SOLUSIO PLASENTA
a. Definisi
Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan
plasenta yang berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu
dan sebelum anak lahir.

b. Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti.
Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
nya, antara lain:
1) Penyakit hipertensi menahun
2) Pre-eklampsia
3) Tali pusat yang pendek
4) Trauma
5) Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
6) Uterus yang sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban
pecah, kehamilan ganda pada waktu anak pertama lahir.
Di samping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari:10
1) Umur lanjut
2) Multiparitas
3) Ketuban pecah sebelum waktunya
4) Defisiensi asam folat
5) Merokok, alkohol, kokain
6) Mioma uteri

c. Klasifikasi
Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :
1) Solusio plasenta ringan
2) Solusio plasenta sedang
3) Solusio plasenta berat
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda klinisnya, sesuai
derajat terlepasnya plasenta. Pada solusio plasenta, darah dari
tempat pelepasan mencari jalan keluar antara selaput janin dan
dinding rahim dan akhirnya keluar dari serviks dan terjadilah
solusio plasenta dengan perdarahan keluar / tampak. Kadang-
kadang darah tidak keluar tapi berkumpul di belakang plasenta
membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan ini disebut
perdarahan ke dalam/ tersembunyi. Kadang- kadang darah masuk
ke dalam ruang amnion sehingga perdarahan tetap tersembunyi.

Gambar 10. Gambaran jenis pelepasan plasenta : preplasenta atau


subamnion (antara amnion dan korion), marginal atau subkorion (antara plasenta
dan membrane), dan retroplasenta (antara plasenta dan miometrium)

d. Manifestasi Klinis
1) Solusio Plasenta Ringan
Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi
keadaan ibu ataupun janinnya. Apabila terjadi perdarahan
pervaginam, warnanya akan kehitaman dan jumlahnya sedikit
sekali. Perut mungkin terasa agak sakit atau terus menerus agak
tegang. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus
apakah akan menjadi lebih tegang karena perdarahan terus
menerus. Bagian bagian janin masih mudah teraba.
2) Solusio Plasenta Sedang
Plasenta telah lepas lebih dari seperempatnya tapi belum
sampai duapertiga luas permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat
timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, atau
mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang disusul
dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam
tampak sedikit, mungkin perdarahan telah mencapai 1000ml.
Dinding uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri tekan
sehingga bagian-bagian janin sukar diraba. Bila janin masih hidup,
bunyi jantungnya sukar didengar dengan stetoskop biasa, harus
dengan stetoskop ultrasonic. Tanda-tanda persalinan biasanya
telah ada dan akan selesai dalam waktu 2 jam. Kelainan
pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,
walaupun biasanya terjadi pada solusio plasenta berat.
3) Solusio Plasenta Berat
Plasenta telah lepas lebih dari dua pertiga permukaannya.
Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam syok dan
janin telah meninggal. Uterus sangat tegang seperti papan, sangat
nyeri, perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan keadaan syok
ibu, malahan mungkin, perdarahan pervaginam belum sempat
terjadi. Besar kemungkinan telah terjadi kelainan pembekuan
darah dan kelainan ginjal.
e. Penatalaksanaan
Secara umum :
1) Transfusi darah : Transfusi darah harus segera diberikan tidak
peduli bagaimana keadaan umum penderita waktu itu. Karena jika
diagnosis solusio placenta dapat ditegakkan itu berarti perdarahan
telah terjadi sekurang-kurangnya 1000ml.
2) Pemberian O2
3) Pemberian antibiotik.
4) Pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.
a) Solusio Plasenta Ringan
Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu,
perdarahannya kemudian berhenti, perutnya tidak menjadi
sakit, uterusnya tidak menjadi tegang maka penderita dapat
dirawat secara konservatif di rumah sakit dengan observasi
ketat.
b) Solusio Plasenta Sedang dan Berat
Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala
solusio plasenta bertambah jelas, atau dalam pemantauan
USG daerah solusio plasenta bertambah luas, maka
pengakhiran kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi. Apabila
janin hidup, dilakukan sectio caesaria. Sectio caesaria
dilakukan bila serviks panjang dan tertutup, setelah
pemecahan ketuban dan pemberian oksitosin dalam 2 jam
belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban segera
dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus
disusul dengan pemberian infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc
glukosa 5% untuk mempercepat persalinan.
7. RETENSIO PLASENTA
a. Definisi
Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit`
setelah bayi lahir.  Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta
tidak lahir spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.

b. Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum
tindakan. Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :
1) His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi
belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi
pada bagian bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan
penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar
(plasenta inkarserata).

G
ambar 11. Gambaran plasenta terlepas dari uterus namun tidak
dapat dikeluarkan karena konstriksi pada bagian bawah rahim12
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan
ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas
karena penyebab ini disebut plasenta adhesiva. Plasenta adhesiva
ialah jika terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan
fisiologis.
c. Klasifikasi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi :
1) Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua
basalis dan Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat
langsung pada miometrium.
2) Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi
tidak menembus serosa uterus.
3) Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau
perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh
permukaannya melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta
akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari
permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding rahim. Plasenta
akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.

d. Penatalaksanaan
1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan
kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid
(sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat,
apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan
saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang
dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan
Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus
berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.
Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga
persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit
anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep
tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi
jalan lahir, tali pusat putus.

Gambar 12. Pelepasan plasenta secara manual


5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan
dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret
sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan
dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan
hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan
kuretase pada abortus.
6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk
pencegahan infeksi sekunder.

8. RUPTUR UTERI
a. Definisi
Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh
dinding uterus dan isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen
(komplit), atau dapat pula ruptur hanya meluas ke endometrium dan
miometrium, tetapi peritoneum di sekitar uterus tetap utuh (inkomplit).

b. Manifestasi Klinik
1) Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa sakit yang luar
biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi
gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
a) Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
b) Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
c) Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak
teratur
d) Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu
banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah
jauh turun dan menyumbat jalan lahir.
e) Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai
bawah dan dibahu.
f) Kontraksi uterus biasanya hilang.
g) Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis khusus).
2) Jika dipalpasi, maka akan teraba :
a) Pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di
segmen bawah rahim.
b) Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP
c) Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga
perut, maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit
perut, dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai
suatu bola keras sebesar kelapa.
d) Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
e) Pada ruptur uteri iminens dikenal dengan ring van Bandl yang
semakin tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis.
3) Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi
beberapa menit setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut
terlepas dan masuk kerongga perut.
4) Jika dilakukan pemeriksaan dalam :
a) Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan
mudah dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah
pervaginam yang agak banyak.
b) Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada
dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan
tadi maka dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin.
c) Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada
kandung kemih.

c. Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan
umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah,
kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan
selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis
operasi:
1) Histerektomi baik total maupun sub total
2) Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-
baiknya
3) Konservatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika
yang cukup.
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya adalah :
1) Keadaan umum penderita
2) Jenis ruptur inkomplit atau komplit
3) Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak
rata dan sudah banyak nekrosis
4) Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
5) Perdarahan dari luka : sedikit, banyak
6) Umur dan jumlah anak hidup
7) Kemampuan dan ketrampilan penolong.

9. PREEKLAMPSIA BERAT DAN EKLAMPSIA


a. Definisi
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi
kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, edema disertai
proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu
bila terjadi penyakit trofoblastik.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam
persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau
koma. Sebelumnya wanita tersebut menunjukkan gejala-gejala
preeklampsia.

b. Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui
dengan pasti. Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang
mampu memberi jawaban yang memuaskan tentang penyebabnya.
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal sebagai
berikut:
1) Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion, dan mola hidatidosa.
2) Bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.
3) Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian
janin intrauterin.
4) Jarangnya ditemukan kejadian preeklampsia pada kehamilan
berikutnya.
5) Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.

c. Manifestasi Klinik
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi
dan proteinuria, merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh
wanita hamil. Pada waktu keluhan seperti oedema, sakit kepala,
gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium mulai timbul, kelainan
tersebut biasanya sudah berat.
Pada eklampsia umumnya kejang didahului oleh makin
memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala di
daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium,
dan hiperefleksia.

d. Klasifikasi
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah
adanya hipertensi dan proteinuria. Dari berbagai gejala, preeklampsia
dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
1) Kriteria preeklampsia ringan :
a) Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg,
sedikitnya enam jam pada dua kali pemeriksaan tanpa
kerusakan organ.
b) Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
c) Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.
d) Preeklampsia berat dibagi menjadi : preeklampsia berat tanpa
impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan
impending eclampsia.
2) Kriteria preeklampsia berat :
a) Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya
enam jam pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak
menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit
dan telah menjalani tirah baring.
b) Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel
urin sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam
sekali.
c) Oliguria < 400 ml / 24 jam.
Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
d) Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri
kepala persisten, skotoma, dan pandangan kabur.
e) Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat
teregangnya kapsula glisson.
f) Edema paru dan sianosis.
g) Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat
dehidrogenase.
h) Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
i) Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan
abrupsio plasenta.
j) Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT
dan AST.
Sedangkan tanda eklampsia sendiri dapat dilihat dari kejang
yang dialami. Konvulsi pada eklampsia dibagi menjadi 4:
a) Tingkat awal atau aura. Berlangsung 30 detik. Mata penderita
terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula
tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
b) Kejang tonik yang berlangsung 30 detik. Pada saat ini otot
jadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam, kaki
membengkok kedalam.pernapasan berhenti, muka menjadi
sianotik, lidah dapt tergigit.
c) Kejang klonik berlangsung 1-2 menit. Semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat.
d) Tingkatan koma.
e. Penatalaksanaan
Pre-eklampsia
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :
1) Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat
trauma pada ibu maupun janin
2) Kelahiran bayi yang dapat bertahan hidup
3) Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika
diketahui atau diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm,
kecenderungannya adalah mempertahankan sementara janin di
dalam uterus selama beberapa minggu untuk menurunkan risiko
kematian neonatus.
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB),
penanganan terdiri daripenanganan aktif dan penanganan ekspektatif.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan
PEB antara lain adalah:
1) Tirah baring, pengawasan kesadaran, observasi tana vital dan
denyut jantung janin.
2) Oksigen.
3) Kateter menetap dan ukur jumlah urin.
4) Cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat
berupa kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500
ml/24 jam dan berpedoman pada diuresis, insensible water loss,
dan central venous pressure (CVP). Balance cairan ini harus selalu
diawasi.
5) Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 10 ml
(4 gr) MgSO4 40% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit.
Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 15 ml (6 gr)
dalam 500 cc ringer laktat (RL) selama 6 jam. Magnesium sulfat
ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
a) Refleks patella normal
b) Frekuensi respirasi >16x per menit
c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5
cc/kgbb/jam
d) Disiapkannya kalsium glukonas 1 gr (20 ml dalam larutan
10%) IV sebagai antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala
dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut
diberikan dalam tiga menit secara perlahan-lahan sampai
pernapasan mulai lagi.
Untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan MgSO4 40% 1
g/jam melalui infus RL yang diberikan sampai 24 jam postpartum/
kejang yang terakhir.
a) Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110
mmHg. Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah
nifedipin 10 mg oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24 jam.
Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan tambahan
5 mg nifedipin sublingual.
b) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua
wanita usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan
prematur, termasuk pasien dengan PEB.
Eklampsia
Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan
berulangnya kejang dan mengahiri kehamilan secepatnya dengan cara
yang aman setelah ibu mengijinkan. Pengawasan dan perawatan
intensif sangat penting.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. USG
2. CT Scan
3. Pemeriksaan laboratorium
4. Pemeriksaan ultrasonografi
5. Pemeriksaan histologis
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi
menjadi 2 yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi yaitu
identitas yang   melekat pada pribadi pasien ( termasuk ciri-cirinya)
misalnya Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat, Status
Perkawinan dan lain-lain termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi
identitas yang menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien
misalnya, agama, pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas
penanggung jawab pembayaran dan lain-lain.
2. Pengkajian Primer (Primary Survey)
a. Airway (Jalan napas) dengan control cervical
Kaji ada tidaknya sumbatan jalan napas
1) Sumbatan jalan napas total :
a) Pasien sadar : memegang leher, gelisah, sianosis
b) Pasien tidak sadar : tidak terdengar suara napas, mendengkur

2) Sumbatan jalan napas parsial :


a) Tampak kesulitan bernapas
b) Retraksi supra sterna
c) Masih terdengar suara sursling, snoring, atau stridor

Distress pernapasan

1) Kemungkinan fraktur cervical


b. Breathing ( Pernapasan)
1) Kaji frekuensi napas
2) Suara napas
3) Adanya udara keluar dari jalan napas
Cara pengkajian : look (lihat pergerakan dada, kedalaman, simetris
atau tidak), listen (suara napas dengan atau tanpa stetoskop), feel
(rasakan hembusan napas, atau dengan perkusi dan palpasi)

c. Circulation (Sirkulasi)
1) ada tidaknya denyut nadi karotis
2) Ada tidaknya tanda-tanda syok
3) Ada tidaknya perdarahan eksternal
d. Disability (Tingkat Kesadaran)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital
sign. GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk
menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma
atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang
diberikan.

Tabel 2.1 Tingkat Kesadaran Glasglow Coma Scale

e. Exposure ( control pada kasus trauma, dengan membuka pakaian pasien


tetapi cegah hipotermi)
[ CITATION HIP14 \l 1033 ].
3. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary
survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian
tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalanI pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :

a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat


nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
e. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan
nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas,
saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b/d agen cedera


2. Konstipasi berhubungan dengan kehamilan
3. Keletihan berhubungan dengan kehamilan
4. Ansietas b/d lingkungan yang tidak familier, nyeri, atau kurang
pengetahuan tentang proses persalinan.
C. INTERVENSI

N DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
O KEPERAWATAN
1 Nyeri akut Goal: Klien akan terbebas dari 1. Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien. 1. Untuk mengetahui jenis dan
berhubungan nyeri akut. 2. Bantu pasien untuk mendapatkan tingkatan nyeri klien akut atau
dengan agen Objective: Klien akan terhindar posisi yang nyaman dan gunakan kronis. Untuk menghindari
cedera (biologis) : dari agen cedera biologis selama bantal untuk membebat atau interpretasi subjektif.
kontraksi uterus dalam perawatan Outcomes: menyokong daerah yang sakit bila 2. Untuk menurunkan ketegangan
Dalam 1x24 jam perawatan, klien: diperlukan. atay spasme otot dan untuk
1. Melaporkan nyeri berkurang 3. Rencanakan aktivitas distraksi. mendistribusikan kembali
secara verbal 4. Pada saat tingkat nyeri klien tidak tekanan pada bagian tubuh.
2. Tidak tampak meringis dan terlalu kentara, implementasikan 3. Membantu klien memfokuskan
diaforesis teknik mengendalikan nyeri pada masalah yang tidak
3. Tekanan darah, nadi dan alternatif. berhubungan dengan nyeri.
pernapasan dalam batas 5. Berikan obat yang dianjurkan untuk 4. Teknik nonfarmakologis
normal mengurangi nyeri, bergantung pada pengurangan nyeri akan efektif
gambaran nyeri pasien. bila nyeri pasien berada pada
tingkat yang dapat ditoleransi.
5. Untuk menentukan keefektifan
obat.
2 Konstipasi Goal : Klien tidak mengalami 1. Berikan penjelasan pada klien dan 1. Klien dan keluarga akan
berhubungan kopnstipasi keluarga tentang penyebab mengerti tentang penyebab
dengan kehamilan Objective : konstipasi obstipasi
outcome 2. Auskultasi bising usus 2. Bising usu menandakan sifat
1. Klien dapat defekasi secara 3. Anjurkan pada klien untuk makan aktivitas peristaltik
spontan dan lancar tanpa maknanan yang mengandung serat 3. Diet seimbang tinggi
menggunakan obat 4. Berikan intake cairan yang cukup (2 kandungan serat merangsang
2. Konsistensifses lunak liter perhari) jika tidak ada peristaltik dan eliminasi reguler
3. Tidak teraba masa pada kolon kontraindikasi 4. Masukan cairan adekuat
( scibala ) 5. Lakukan mobilisasi sesuai dengan membantu mempertahankan
4. Bising usus normal ( 15-30 keadaan klien konsistensi feses yang sesuai
kali permenit ) 6. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pada usus dan membantu
pemberian pelunak feses (laxatif, eliminasi reguler
suppositoria, enema) 5. Aktivitas fisik reguler
membantu eliminasi dengan
memperbaiki tonus oto
abdomen dan merangsang nafsu
makan dan peristaltik
6. Pelunak feses meningkatkan
efisiensi pembasahan air usus,
yang melunakkan massa feses
dan membantu eliminasi
3 Keletihan Goal : klien mengalami 1. Anjurkan pasien untuk makan 1. tindakan tersebut dapat
berhubungan keletihan selama perawatan makanan yang kaya zat besi dan membantu menghindari anemia
dengan kehamilan Objective : klien dapat mineral, jika tidak dan demineralisasi
beradaptasi dengan kehamilannya dikontraindikasikan 2. agar kondisi pasien tidak
Outcomes : dalam 1x24 jam 2. Anjurkan pasien untuk tunda memburuk
perawatan, klien : makan bila pasien mengalami 3. penjadwalan periode istirahat
1. Tidak terjadi peningkatan keletihan yang teratur dapat membantu
keluhan fisik 3. Anjurkan pasien untuk menyelingi menurunkan keletihan dan
2. Tidak terjadi kekurangan aktivitas dengan periode istirahat meningkatkan stamina
energi, letargi, letih. Lesu dan 4. Tetapkan pola tidur yang teratur 4. tidur di malam hari 8 sam pai
lelah 5. Hindari situasi yang penuh 10 jam dapat membantu
3. Mampu memulihkan energy emosional mengurangi keletihan
setelah tidur 5. situasi yang emosional dapat
4. Mampu melakukan aktifitas memperburuk keletihan pasien.
fisik pada tingkat yang biasa
4 Ansietas Goal: klien akan menurunkan 1. Ajarkan kepada pasien teknik 1. Untuk memperbaiki
berhubungan tingkat kecemasan selama dalam relaksasi untuk dilakukan sekurang- keseimbangan fisik dan
dengan perubahan perawatan. kurangnya 4 jam ketika terjaga psikologi
dalam : status Objective: klien dapat beradaptasi 2. Kurangi stressor (termasuk 2. Seminimal mungkin jika
kesehatan dengan status kesehatannya. membatasi akses individu pada memungkinkan untuk
Outcomes: Dalam waktu 1 x 24 pasien jika sesuai) dan usahakan menciptakan iklim tenang dan
jam perawatan klien akan : menuntut pasien teraupetik.
1. Tidak gelisah 3. Berikan kesempatan kepada pasien 3. Untuk menghilangkan keraguan
2. Tidak mengekspresikan untuk mendiskusikan perasaanya dan meningkatkan dukungan
kekhawatiran karena dengan orang lain yang memiliki 4. Untuk menciptakan
perubahan dalam peristiwa masalah kesehatan yang sama kesejahteraan dan meyakinkan
hidup. 4. Secara seksama perhatiakan pasien bahwa kebutuhannya
3. Ada kontak mata kebutuhan fisik pasien. Berikan akan terpenuhi.
4. Tidak ketakuatan makanan bergizi dan tingkatkan 5. Klien mungkin tidak
5. Wajah tidak tegang, tangan kualitas tidur disertai langkah- menunjukan keluhansecara
tidak tremor langkah yang memberikan rasa langsung tetapi kecemasan
6. Tidak ada peningkatan nyaman. dapat dinilai dari perilaku
ketegangan 5. Pantau respon verbal dan non verbal verbal dan non verbal yang
7. Tidak ada peningkatan yang menunjukan kecemasan klien dapat menunjukan adanya
keringat 6. Kolaborasi pemberian obat sesuai kegelisahan, kemarahan,
8. Tekanan darah nadi dan yang diresepkan. penolakan dan sebagainya.
frekuensi pernapasan dalam 6. Untuk membantu pasien rileks
batas normalBerkonsentrasi selama periode ansietas berat
9. Tidak ada blocking pikiran.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L, et all. Williams Obstetric. Twenty-
Fourth Edition. McGraw-Hill Education. United States of America. 2014

Edmonds K. Dewhurst Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Seventh Edition.


Blackwell Publishing. United Kingdom. 2007

Palmer C, D’Angelo R, Paech MJ. Handbook of Obstetrics Anesthiesia. BIOS


Scientific Publisher. United States of America. 2007

Pernoll, Martin. Benson & Pernoll’s Handbook of Obstetric & Gynaecology.


Tenth Edition. Mc-Graw Hill Medical Publishing. United States of
America. 2001

Hamilton Diana, Fairley. Lecture Notes Obstetrics an Gyneacology. Second


Edition. Blackwell Publishing. United Kingdom. 2004

Norwitz Errol, Schorge John. Obstetrics and Gynaecology at a Glance. Blackwell


Science. United States of America. 2005

Rayburn, William. Obstetrics and Gynaecology Clinics of North America.


Elsevier Saunders. United States of America. 2007

Nienke E, Massuger F, Schiif P, et all. Early Identification of Resistance to First-


Line Single-Agent Methotrexate in Patients With Persistent Trophoblastic
Disease. Journal of Clinical Oncology. American Society of Clinical
Oncology. 2006

Gibs R, Karlan B, Haney A, et all. Danforth’s Obstetrics and Gynecology.


Lippincott Williams & Wilkins. United Kingdom. 2008
Reece Albert, Hobbins John. Clinical Obstetrics The Fetus & Mother. Third
Edition. Blackwell Publishing. United Kingdom. 2007

Pei San Lim. Atony Uterine : Management Strategies. Universitas Kebangsaan


Malaysia Medical Center. Malaysia. 2012

Hanretty, Kevin P. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Churchill Livingstone.


2004

Datta, Sanjay. Anesthetic and Obstetrics Management of High Risk Pregnancy.


Third Edition. Springer. 2004

Duley L, Meher S, Abalos E. Management of Pre-eclampsia. Nuffield


Department of Medicine John Radcliffe Hospital Oxford. 2006

Clarke J, Cleary B, Dunlevy F, et all. The Diagnosis and Management of Pre-


eclampsia and Eclampsia. Institute of Obstetricians & Gynaecologist
Royal College of Physicians of Ireland. 2012

Gibson P, Smith V. Hypertension and Pregnancy. Diunduh dari :


http://www.medscape.com/hypertensionandpregnancy. 25 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai