Anda di halaman 1dari 81

TUGAS BIMBINGAN PRE-KOMPRE

SKDI 3

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kompre

Disusun Oleh :
Hanung Choiri Rohmawan
H2A014057P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2020
SISTEM SARAF
1. Meniere Disease
Level SKDI 3A
Sistem Saraf
a. Pengertian Suatu penyakit pada telinga dalam yang bisa
mempengaruhi pendengaran dan keseimbangan.
Penyakit ini ditandai dengan keluhan berulang berupa
vertigo, tinnitus, dan pendengaran yang berkurang
ssecara progresif, biasanya pada satu telinga. Penyakit
ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan
dari endolimfe pada telinga dalam.
b. Prevalensi  Angka kejadian Laki laki = Perempuan.
 Lebih sering pada orang dewasa, dengan rata-rata
usia awitan pada usia 40 tahun.
c. Etiologi Penyebab pasti Meniere belum diketahui. Namun
terdapat berbagai teori termasuk pengaruh neurokimia
dan hormonal abnormal pada aliran darah yang menuju
labirin dan terjadi gangguan elektrolit dalam cairan
labirin, reaksi alergi dan autoimun.
Penyakit Meniere dianggap sebagai keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan cairan telinga yang abnormal
dan diduga disebabkan oleh terjadinya malabsorbsi
dalam sakus endolimfatikus. Selain itu para ahli juga
mengatakan terjadinya suatu robekan endolimfa dan
perilimfa bercampur.
d. Faktor resiko Faktor lingkungan seperti suara bising, infeksi virus
HSV, penekanan pembuluh darah terhadap saraf
(microvascular compression syndrome). Selain itu gejala
dari penyakit Meniere dapat ditimbulkan oleh trauma
kepala, infeksi saluran pernapasan atas, aspirin,
merokok, alkohol, atau konsumsi garam berlebihan.
e. Gejala Gejala-gejala klinis dari penyakit Meniere yang khas
sering disebut trias Meniere yaitu:
 Vertigo
 Tinnitus
 Tuli saraf sensorineural fluktuatif terutama nada
rendah.
f. Tanda Pemeriksaan garpu tala - Penilaian pemeriksaan ini akan
memberikan hasil pendengaran berkurang, Rinne negatif
dan Weber berlateralisasi ketelinga yang tuli bagi tuli
saraf

g. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan audiometri

2) Elektronistagmografi (ENG) dan tes keseimbangan,


untuk mengetahui secara objektif kuantitas dari
gangguan keseimbangan pada pasien. Pada sebagian
besar pasien dengan penyakit Meniere mengalami
penurunan respons nistagmus terhadap stimulasi
dengan air panas dan air dingin yag digunakan pada
tes ini.
3) Elektrokokleografi (ECOG), mengukur akumulasi
cairan di telinga dalam dengan cara merekam
potensial aksi neuron auditoris melalui elektroda yang
di tempatkan dekat dengan kokhlea. Pada pasien
dengan penyakit Meniere, tes ini juga menunjukkan
peningkatan tekanan yang disebabkan oleh cairan
yang berlebihan pada telinga dalam yang ditunjukkan
dengan adanya pelebaran bentuk gelombang bentuk
gelombang dengan puncak yang multipel.
4) Brain Evoked Response Audiometry (BERA),
biasanya normal pada pasien dengan penyakit
Meniere, walaupun terkadang terdapat penurunan
pendengaran ringan pada pasien dengan kelainan
pada sistem saraf pusat.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras
yang disebut gadolinium spesifik memvisualisasikan
n.VII. Jika ada bagian serabut saraf yang tidak terisi
kontras menunjukkan adanya neuroma akustik. Selain
itu pemeriksaan MRI juga dapat memvisualisasikan
kokhlea dan kanalis semisirkularis.
Pemeriksaan lab seperti pemeriksaan darah lengkap,
tes immunologi dan tes elektrolit.
h. Diagnosis Banding  Tumor nervus akustikus
 Labirintitis
 Neuritis vestibularis
 Vertigo posisionil benigna
i. Terapi

1) Terapi farmakologi :
a) Diuretic : hidrochlorotiazid 50 mg/hari
Untuk mengurangi volume dan tekanan endolimfe.
b) Vasodilator :
 Agonis histamin : betahistine (anti vertigo)
dosis awal pemakaian adalah 8-16 mg, 3 kali
sehari. Dosis pemakaian selanjutnya (dosis
pemeliharaan) adalah 24-48 mg per hari.
 Ca agonis : Verapamil dosis 80mg diberikan 3
kali sehari
c) Steroid : Prednisone 40 mg satu kali sehari selama
5-10 hari, deksametason dosis Awal, 0,75-9 mg/hr
PO, terbagi dalam 2-4 dosis.
2) Terapi non farmakologik :
a) Diet rendah garam
b) Hindari faktor pencetus
j. Referensi 1) Soetirto I, Hendamin H, Bashiruddin J. Ganguan
Pendengaran. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidunng, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi ke-6. Editor : Soepardi EA, Iskandar N.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. 10-16.
2) Becker W, Naumann HH, Pfalfz CR. A Pocket
Reference Ear, Nose, and Throat Disease. Second
Revised Edition. New York : Thiemes; 2004. 100-
101.
2. Carpal Tunnel Syndrome
Level SKDI 3A
Sistem Saraf
a. Pengertian Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus
medianus adalah neuropati tekanan / jebakan
(entrapment neuropathy). Di pergelangan tangan, nervus
medianus berjalan melalui terowongan karpal (carpal
tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan
punggung tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah
dan setengah sisi radial jari manis. Pada saat berjalan
melalui terowongan inilah nervus medianus paling
sering mengalami tekanan yang menyebabkan terjadinya
neuropati tekanan yang dikenal dengan istilah Sindroma
Terowongan Karpal / STK (Carpal Tunnel
Syndrome/CTS).
b. Prevalensi CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan
usia berkisar 25-64 tahun, prevalensi tertinggi pada
wanita usia >55 tahun, biasanya antara 40-60 tahun.
Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus (29%
kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral
c. Etiologi Adanya kompresi N. Medianus di dalam carpal tunnel
d. Faktor resiko  Herediter: neuropati herediter yang cenderung
menjadi pressure palsy, misalnya Hereditary Motor
and Sensory Neuropathies (HMSN) tipe III
 Trauma pekerjaan : Infeksi: tenosinovitis,
tuberkulosis, sarkoidosis.
 Metabolik: amiloidosis, gout.
 Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen,
diabetes mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
 Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi
metastase, mieloma.
 Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid,
polimialgia reumatika, skleroderma, lupus
eritematosus sistemik.
 Degeneratif: osteoartritis.
 Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt
vaskular untuk dialisis, hematoma, komplikasi dari
terapi anti koagulan.
 Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e. Gejala Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa
(numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik
(tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4
sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus
walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh
jari-jari.
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam
hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga
dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga sering
membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini
umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau
menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan
tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan
berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan
tangannya.
Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar
(oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-
otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus.
f. Tanda  Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara
maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala
seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa
 Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan
torniquet dengan menggunakan tensimeter di atas
siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik.
Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnose.
 Tinel’s sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia
atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus
jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi

 Flick’s Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau
menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan
berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa
 Thenor Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya
atrofi otot-otot thenar
 Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua
tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60
detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini
menyokong diagnosa
 Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal
dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu
kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes
ini menyokong diagnose
 Luthy's Sign (Bottle's sign
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan
penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan
rapat, tes dinyatakan positif
 Tes Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm
di daerah nervus medianus, tes dianggap positif
g. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan EMG
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya
fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan
berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar
 Sinar X
h. Diagnosis Banding  Cervical radiculopati
 Pronator teres syndrome
 Inoraric outlet syndrome
 De quervein syndrome
 Radial neuropathy
i. Terapi 1) Bidai pergelangan tangan
2) Bila tidak membaik, diberikan R/ Deksametason 1-
4mg/ prednisolon 20 mg/ 40mg di injeksi kedalam
terowongan karpal diulang 7-10 hari, total 4 kali
3) Diberikan juga R/ vit B6 100-300 mg/ hari selama 3
bulan
4) Bila tidak membaik juga, bisa dilakukan pembedahan
5) Fisioterapi
j. Referensi 1) American Academy of Orthopaedic Surgeons.
Clinical Practice Guideline on the Treatment of
Carpal Tunnel Syndrome. 2008.
2) George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al.
Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. 2009.
3) Gorsché, R. Carpal Tunnel Syndrome. The Canadian
Journal of CME. 2001
SISTEM PSIKIATRI
1. Hipersomnia
Level SKDI 3A
Sistem Psikiatri
a. Pengertian Hipersomnia adalah tidur yang berkelebihan terutama
pada siang hari yang terjadi secara teratur atau rekuren
untuk waktu singkat dan menyebabkan gangguan fungsi
sosial dan pekerjaan.

b. Prevalensi -
c. Etiologi  Stress
 Obat obatan : anti depresan, obat jantung dan tekanan
darah, alergi stimulan dan kortikosteroid
 Kafein, nikotin, dan alkohol
 Kondisi medis
 Kelelahan berlebih
 Kecemasan dan depresi
 Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
 Kondisi kejiwaan tertentu
d. Faktor resiko  Stress
 Obat obatan : anti depresan, obat jantung dan tekanan
darah, alergi stimulan dan kortikosteroid
 Kafein, nikotin, dan alkohol
 Kondisi medis
 Kelelahan berlebih
 Kecemasan dan depresi
 Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
 Kondisi kejiwaan tertentu
e. Gejala dan Tanda  Hasil anamnesis:
 Keadaan ini ditandai dengan kesulitan berlebihan
untuk tetap terjaga
 Kecenderungan untuk tetap berada ditempat tidur
dalam periode waktu yang sangat lama
 Sering kembali ke tempat tidur untuk tidur siang
hari
 Pada kondisi kelelahan/ jatuh tertidur lebih awal
dari biasanya
 Kesulitan bangun di pagi hari
 Merasa lelah yang hebat sepanjang hari
 Merasa tetap mengantuk meskipun telah tidur
malam dan tidur siang
 Sulit berpikir dan membuat keputusan, pikiran
tidak jernih
 Apatis (kurang emosi, motivasi, atau antusiasme)
 Sulit berkonsentrasi atau mengingat
 Penongkatan risiko kecelakaan, terutama
kecelakaan kenderaan bermotor
 Berdasarkan Diagnostic And Statictical Manual of
Mental Disorders edisi ke empat (DSM-IV) terdapat:
 Hipersomnia Non-organik
a) Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial
untuk diagnosis pasti:
- Rasa kantuk pada siang hari yang
berlebihan atau adanya serangan tidur/sleep
attacks (tidak disebabkan oleh jumlah tidur
yang kurang), dan atau transisi yang
memanjang dari saat mulai bangun tidur
sampai sadar sepenuhnya (sleep
drunkenness)
- Gangguan tidur terjadi setiap hari selama
lebih dari 1 bulan atau berulang dengan
kurun waktu yang lebih pendek,
menyebabkan penderitaan yang cukup
berat dan mempengaruhi fungsi dalam
sosial dan pekerjaan
- Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy”
(catapelxy, sleep paralysis, hypnagonic
hallucination) atau bukti klinis untuk “sleep
apnoe” (nocturnal breath cessatin, typical
intermittent snoring sounds,etc)
- Tidak ada kondisi neurologis atau medis
yang menunjukkan gejala rasa kantuk pada
sang hari.
b) Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu
gejala dari gangguan jiwa lain, misalnya
gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai
dengan gangguan yang mendasarinya.
Diagnosis hiersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan
keluhan yang dominan dari penderitaan
dengan gangguan jiwa lainnya.
 Hipersomnia Primer Hipersomnia primer terdapat
pada 5% populasi dewasa, pria dan wanita
mempunyai kemungkinan sakit yang sama. Yang
dimaksud dengan hipersomnia primer adalah
tidur yang berlebihan atau terjadi serangan
tidur ataupun perlambatan waktu bangun.
Hipersomnia mungkin merupakan akibat dari
penyakit mental, penyakit organik (termasuk obat-
obatan) atau idiopatik. Gangguan ini merupakan
kebalikan dari insomnia. Seringkali penderita
dianggap memiliki gangguan jiwa atau malas.
Penderita hipersomnia membutuhkan waktu tidur
lebih dari ukuran normal. Pasien biasanya akan
tidur siang sebanyak 1-2 kali per hari, dimana
setiap waktu tidurnya melebihi 1 jam. Meski
banyak tidur, mereka selalu merasa letih dan
lesu sepanjang hari. Gangguan ini tidak terlalu
serius dan dapat diatasi sendiri oleh penderita
dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
diri. Polysomnography memperlihatkan
penurunan gelombang delta peningka-tan
kesadaran, dan pengurangan masa laten REM
pada pasien dengan hipersomnia primer.
Kriteria Diagnostik untuk Hipersomnia Primer
menurur DSM-IV-TR yaitu:
a) Keluhan yang menonjol adalah mengantuk
berlebihan di siang hari selama sekurangnya
satu bulan (atau lebih singkat jika rekuren)
seperti yang ditunjukkan oleh episode tidur
yang memanjang atau episode tidur siang hari
yang terjadi hampir setiap hari.
b) Mengantuk berlebihan di siang hari
menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
c) Mengantuk berlebihan di siang hari tidak
dapat diterangkan oleh Insomnia dan tidak
terjadi semata-mata selam perjalan gangguan
tidur lain (misalnya, narkolepsi, gangguan
tidur berhubungan pernafasan, gangguan tidur
irama sirkadian, atau parasomnia) dan tidak
dapat diterangkan oleh jumlah tidur yang
tidak adekuat.
d) Gangguan tidak terjadi semata-mata selama
perjalanan gangguan lain.
e) Gangguan bukan karena efek fisiologis
langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi
medis umum.
f. Pemeriksaan Penunjang a) Polysomnography adalah tes semalam di mana
perangkat pemantauan terhubung ke individu
untuk menilai berbagai tahapan tidur untuk aktivitas
muatan listrik otak (electroencephalogram, atau
EEG), jantung (elektrokardiogram), gerakan otot-
otot (electromyogram) dan mata (elektro-
oculogram).
b) Kadar oksigen dalam darah dan perubahan dalam
pernapasan juga dipantau. Beberapa tes latensi tidur
(MSLT) mengukur waktu yang dibutuhkan untuk
jatuh tidur siang hari dalam ruangan yangtenang. Tes-
tes lain mungkin termasuk pemeliharaan uji terjaga
dan skala kantuk Epworth.
g. Diagnosis Banding  Hipersomnia non organik
 Hipersomnia episodik
 Narkolepsi
 Delayed Sleep Phase Syndrome
 Long sleeper
 Obstruktive Sleep Apneu (OSA)
h. Terapi  Medikamentosa
- Diberikan obat-obatan simultan seperti amfetamin
yang diberikan pagi atau sore hari
- Obat antidepresan non sedasi seperti bupropion
(wellbutrin)
- Stimulan baru seperti modafinil (provigil)
 Edukasi dan Konseling
- Penyelesaian permasalahan/ stres
- Perubahan gaya hidup, seperti:
a) Hindari rokok, alkohol, dan minuman
berkafein sebelum tidur
b) Relaksasi secara rutin untuk mencegah
kecemasan di malam hari
c) Berolahraga secara teratur dan menjaga berat
badan
d) Diet seimbang untuk mencegah kekurangan
gizi
e) Hindari gangguan di ruang tidur
f) Atur tempat tidur senyaman mungkin
g) Terapkan jadwal tidur dan patuhi
i. Referensi 1) Sadock BJ and Virginia Alcott Sadock. 2007. Kaplan
& Sadock’s, Synopsis of psychiatry, Behavioral
Sciences/ Clinical Psychiatry. Tenth Edition.
Philadelphia USA: Lippincott Williams & Wilkins.
2) Maslim Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis
Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta.
3) Japari I. 2002. Gangguan Tidur. USU Digital Library.
Pp 1-4.
4) American Psychiatric Association. 2013.
Diagnostic and StatisticalManual of Mental
Disorders DSM-V. Washington, DC:
AmericanPsychiatric Publishing.
5) Puri B, Laking P, Treasaden.2011. Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta : EGC
2. Gangguan Psikotik
Level SKDI 3A
Sistem Psikiatri
a. Pengertian Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai
dengan adanya halusinasi, waham, perilaku kataton,
perilaku kacau, pembicaraan kacau yang pada umumnya
disertai tilikan yang buruk.
b. Prevalensi Paling banyak terjadi pada usia 25-40 tahun.
c. Etiologi Penyebab dari gangguan psikotik masih belum diketahui
(ideopatik).
d. Faktor resiko  Faktor genetic
 Faktor psikologis
 Faktor social ekonomi
e. Gejala Biasanya pasien sulit untuk diajak berkomunikasi, mulai
terdapat hendaya
f. Tanda  Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang
dibayangkan : misalnya, mendengar suara yang tak
ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak ada
bendanya),
 Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah
dan tidak dapat diterima oleh kelompok sosial pasien,
misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni oleh
tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa
diamati/diawasi oleh orang lain),
 Agitasi atau perilaku aneh (bizar),
 Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi),
 Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel).
g. Pemeriksaan Penunjang -
h. Diagnosis Banding  Gangguan psikotik polimorfik akut
 Skizofrenia
 Gangguan psikotik lir-skizofrenia
 Gangguan waham
i. Terapi

j. Referensi 1) Muslim, Rusdi. Buku saku diagnosis gangguan jiwa


rujukan ringkasan dari PPDGJ-III dan DSM-5. 2013:
53-5.
SISTEM INDRA
1. Rhinitis Medikamentosa
Level SKDI 3A
Sistem THT-KL
a. Pengertian Suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons
normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari
pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes
hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan
berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung
yang menetap
b. Prevalensi -
c. Etiologi  Pemakaian obat sistemis yang bersifat sebagai
antagonis adreno-reseptor alfa
 Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan
anti cholinesterasi yang digunakan secara
berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan
hidung.
 Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik
dengan sekret hidung yang normal, dengan pH
antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih
dari satu minggu

d. Faktor resiko  Pemakaian obat topical vasokonstriktor dalam


jangka waktu yang lama
e. Gejala dan Tanda  Anamnesis : Keluhan utama pasien adalah hidung
tersumbat secara terus menerus tanpa mengeluarkan
sekret
 Pemeriksaan Fisik :
 Mukosa hidung kelihatan kemerahan (
beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan
sekret yang minimal atau udem.
 Mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga
bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan
penggunaan dekongestan hidung dalan jangka
waktu yang lama.
 Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa
adalah :
 Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal
seperti obat tetes hidung atau obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
 Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik )
tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
 Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada
pemeriksaan fisis
f. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan laboratorium:
- Smear hidung
- Ig E total
- CBC
- Laju Endap Darah
- Tes Kulit alergi
 Pemeriksaan Radiologis
- CT Scan
- Rhinostereometri
g. Diagnosis Banding  Rinitis Alergi
 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Rhinitis
 Polip Nasi
 Rinitis Non-Alergi
 Rhinosinusitis
h. Terapi  Edukasi
- Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat
penggunaan dekongentan topikal, maka pasien
harus dinasihatkan agar segera dihentikan
penggunaannya.
- Pasien juga harus diberi edukasi mengenai
keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan
alternatif lainnya bagi menggantikan obat yang
menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada
pasien.
 Farmakologi
- Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi
masalah ini yaitu dengan menggunakan
Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan
hidung yang menggunakan larutan saline.
Adenosin trifosfat oral, obat tetes
deksametason dan obat tetes triamcinolon
juga membantu dalam usaha menyembuhkan
pasien.
- Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral
dengan dekongestan bersama penggunaan
deksametason intranasal juga direkomendasikan
buat pengobatan rhinitis medikamentosa. Pada
penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid
(triamsinolone asetat 20 mg pada turbinasi
anterior juga mampu mengurangkan kongesti
hidung. Glukokortikosteroid intranasal
(semprotan deksametason sodium fosfat /
budesonide)
i. Referensi 1) Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
2) Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis
Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011 October
25 ]. Available from URL:
http://www.medscape.com
2. Presbiakusis
Level SKDI 3A
Sistem THT-KL
a. Pengertian Presbiakusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi
yang terjadi secara progresif, umumnya sangat
dipengaruhi faktor usia dan dimulai usia 65 tahun
bersifat simetris pada telinga kanan dan kiri
b. Prevalensi  Wanita = laki-laki
 Usia > 40 tahun
c. Etiologi  Akumulasi efek dan dipengaruhi oleh paparan suara
keras,
 Penyakit sistemik,
 Pengobatan dan
 Kerentanan genetik, walaupun penyebab secara
mekanisme patofisiologi yang pasti tidak diketahui
 Stress
d. Faktor resiko  Usia lanjut > 40 tahun
 Paparan bising
 Riwayat : DM, HT, Hiperkolesterolnemia
 Merokok
 Obat salisilat
e. Gejala  Kesulitan memahami percakapan
 Tinnitus
f. Tanda  Pada pemeriksaan otoskopik akan dijumpai
penampakan membran timpani yang suram, serta
kekakuan / berkurangnya mobilitas dari membran
timpani pada tuli konduktif
 Berdasarkan perubahan patologi yang terjadi,
Schuknecht menggolongkan prebikusis menjadi 4
jenis, yaitu:
 Sensorik: Pada presbikusis jenis ini dapat dijumpai
lesi yang terbatas pada koklea. Dijumpai adanya
atrofi pada organ corti, serta berkurangnya jumlah
sel-sel rambut dan sel-sel penunjang di koklea.
 Neural: Pada jenis neural, dijumpai berkurangnya
sel-sel neuron pada koklea serta pada jaras
auditorik.
 Metabolik (strial prebycusis) Presbikusis dengan
jenis metabolik dapat terjadi sebagai akibat
terjadinya atrofi stria vaskularis yang akhirnya
menyebabkan terganggunya fungsi sel serta
keseimbangan biokimia / bioelektrik pada koklea.
 Mekanik (cochlear presbycusis): Presbikusis
koklear terjadi akibat perubahan gerakan mekanik
pada duktus koklearis. Selain itu, dijumpai pula
atrofi ligamen spiralis serta kekakuan pada
membran basalis. simetris pada telinga kanan dan
kiri.
g. Pemeriksaan Penunjang  Audiometri nada murni
 Audiometri tutur
 Pemeriksaan BERA
h. Diagnosis Banding  Tuli akibat bising
 Penyakit meniere
i. Terapi  Memperbaiki kemampuan pendengaran dengan alat
bantu dengar
 Latihan membaca, mendengar dengan ahli terapi
wicara
j. Referensi 1) Dewi, Y A. Presbiakusis. Pekan Ilmiah Tahunan
THT-KL 2009. Bandung. Indonesia: UNPAD; 2009.
2) uyassaroh. Faktor Risiko Presbikusis. J Indon Med
Assoc. 2012. 62(4):155-8.
3) Rolland PS, Kutz Jr JW, Isaacson B. Aging and the
Auditory and Vestibular System. Dalam: Bailey BJ,
penyunting. Head & Neck Surgery-Otolaryngology.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2014.
hlm. 2615-23
SISTEM RESPIRASI
1. Status Asmatikus
Level SKDI 3B
Sistem Respirasi
a. Pengertian Status Asmatikus  adalah  asma yang berat  dan  peristen
yang tidak merespons  terapi konvensional.Serangan 
dapat berlangsung 24 jam.
b. Prevalensi  Semua jenis kelamin memiliki resiko yang sama
 Prevalensi terjadinya status asmatikus tertinggi
terjadi pada usia 25-45 tahun.
c. Etiologi Status asmatikus adalah suatu obstruktif jalan nafas yang
reversibel yang disebabkan oleh :
 Kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi
penyempitan jalan nafas.
 Pembengkakan membran bronkus.
 Terisinya bronkus oleh mukus yang kental.
d. Faktor resiko

e. Gejala  Bising mengi dan sesak napas berat sehingga tidak


mampu menyelesaikan satu    kalimat dengan sekali
napas, atau kesulitan dalam bergerak.
 Usaha bernapas dengan keras
 Batuk
 Sering berkeringat
f. Tanda 1) Frekuensi napas lebih dari 25 x / menit.Denyut nadi
lebih dari 110x/menit.
2) Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai
dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai atau
kurang dari 120 lt/menit
3) Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu
inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari 10 mmHg.
4) Menurut Brunner & Suddart. 2002.hal 614.
a. Asma hebat
b. Perpanjangan ekhalansi
c. Pembesaran vena leher
d. Mengi
5) Menurut Hudak & gallo 1997. hal 566 adalah:
a. Asietas akut
b. Usaha bernapas dengan keras
c. Takikardi
d. Berkeringat
6) Menurut Corwin 2001. hal 431. adalah:
a. Dipsnea berat
b. Retraksi dada
c. Napas cupin hidung
d. Whizzing
e. Pernapasan dangkal dan cepat

g. Pemeriksaan Penunjang 1) Spirometri (pengukuran kapasitas udara paru) :


Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
2) Tes provokasi :
Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
3) Tes kulit :
Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E
(kependekan immunoglobulin, protein penting dalam
mekanisme imunologis) yang spesifik dalam tubuh.
4) Pemeriksaan darah
a) Analisa gas darah pada umumnya normal akan
tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari
SGOT dan LDH.
c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di
atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya
suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi
peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.
5) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada
normal.
6) Pemeriksaan sputum.
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan
degranulasi dari Kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell
(sel cetakan) dari cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel
bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum,
umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang
tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
7) Arus puncak ekspirasi APE mudah diperiksa dengan
alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data
yang objektif dalam menentukan derajat beratnya
penyakit.
8) Elektrokardiografi
Tanda-tanda abnormalitas sementara dan refersible
setelah terjadi perbaikanklinis adalah gelombang P
meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa
aritmea supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi
ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan. 
h. Diagnosis Banding  Obstruksi saluran napas atas
 Benda asing di saluran napas
 PPOK
 Penyakit paru parenkimal
i. Terapi 1) Pemberian terapi oksigen
2) Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1
dosis tiap jam, kemudian dapat diperjarang
pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan
klinis. Bila terjadi perburukan, diberikan drips
salbutamol atau terbutalin.
3) Aminofilin
Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9
mg/kg BB / jam.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap
2 – 8 jam tergantung beratnya keadaan serta
kecepatan respon. Preparat pilihan adalah
hidrokortison 200 – 400 mg dengan dosis
keseluruhan 1 – 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain
dapat juga diberikan sebagai alternative adalah
triamsiolon 40 – 80 mg, dexamethason /
betamethason 5 – 10 mg. bila tidak tersedia
kortikosteroid intravena dapat diberikan
kortikosteroid per oral yaitu predmison atau
predmisolon 30 – 60 mg/ hari.
5) Antikolinergik
Iptropium bromide dapat diberikan baik sendiri
maupun dalam kombinasi dengan agonis β2 secara
inhalasi nebulisasi terutama penambahan –
penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian
agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.

j. Referensi 1) Kepmenkes RI. You can control your asma. Info


Datin. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2015.
2) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI.
Jakarta. 2004.
3) Global Initiative For Asthma. Global strategy for
asthma management and prevention. GINA. 2012.
2. Pneumothorax
Level SKDI 3A
Sistem Respirasi
a. Pengertian Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di
dalam kavum atau rongga pleura.
b. Prevalensi  Perbandingan pada laki-laki dan wanita yaitu 6:1.
 Biasanya terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun.
c. Etiologi  Pneumotoraks Spontan (primer dan sekunder)
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa disertai
penyakit paru yang mendasarinya,
 Sedangkan pneumotoraks spontan sekunder
merupakan komplikasi dari penyakit paru yang
mendahuluinya.
 Tension Pneumotoraks Disebabkan trauma tajam,
infeksi paru, resusitasi kardiopulmoner.
d. Faktor resiko  Usia
 Jenis kelamin
 Aktivitas merokok
 Trauma tembus (luka,tusuk,peluru atau tumpul
(benturan pada kecelakaan bermotor).
 Penyakit paru yang mendasari atau terjadi
sebelumnya.
e. Gejala  Sesak nafas
 Nyeri dada
 Batuk
 Gelisah
 Keringat dingin
f. Tanda  Tampak sianosis
 Suara amforik
 Hipotensi
 Dispnea
 Takikardi
 Tampak sisi yang terkena berbentuk menonjol da
tertinggal dalam inspirasi.
 Pergeseran dada berkurang dan terhambat pada
bagian yang terkena
 Perkusi hipersonar diatas paru-paru yang kolaps
 Suara napas yang berkurang pada sisi yang terkena
 Vokal Fremitus dan raba berkurang
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi konvensional dengan pasien
diposisikan terlentang akan memberikan gambaran
siklus kostofrenik radiolusen yang abnormal.
2) Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan)
Diperlukan apabila pemeriksaan foto dada diagnosis
belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih
spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan
cairan intra dan ekstrapulmonal serta untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan dengan
pneumotoraks sekunder.

3) Pemeriksaan Endoskopi (torakoskopi)


Merupakan pemeriksaan invasive, tetapi memilki
sensivitas yang lebih besar dibandingkan
pemeriksaan CT-Scan.
4) Pemeriksaan Laboratorium
GDA : Variable tergantung dari derajat paru yang
dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan
kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-
kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau
menurun; saturasi oksigen biasanya menurun. Analisa
gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia.
Hb : Menurun, menunjukan kehilangan darah.
Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero
sanguinosa.
h. Diagnosis Banding  Infark miokard
 Emboli paru
 Pneumonia
 Kavitas yang besar (Giant cavity)
 Kista Paru
i. Terapi 1) Operatif
Torakotomi (Fistulorafi)
Indikasi
- Pneumotoraks berulang
- Fistula bronko-pleural menetap
- Pneumotoraks bilateral
- Adanya bleb yang besar
- Hemo-pneumotoraks :
- Darah > 1500 cc
- Perdarahan terus
- penebalan pleura
2) Non operatif
a. Observasi
- Tanpa keluhan/ ringan
- Luas pneumotorak < 20%
- Normal absorbsi pneumotorak 1,25 %/ hari
- Terapi dengan oksigen
- Ro ulang beberapa hari
- Hati-hati terjadinya tension pneumotoraks
b. Aspirasi
c. Water sealed drainage (WSD)

Standard:
Mid Axillar Line
ICS 5, 6, 7
dari Pleural Effusion
d. Pleurodesis
j. Referensi 1) Sjamsuhidajat R, Wim de Jong; Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2004: 840.
2) Wibowo Suryatenggara. Pneumotoraks Dalam:
Simposium Darurat Gawat Paru. Jakarta, 1983: 1322.
3) Webber. Pneumothorax. In: Murray JF &Nadel JA
(eds). Textbook of Respiratory Medicine.
Philadelphia: WB Saunders Co. 1998:174.
4) Alagaff, Hood, dkk. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press. 2005.

SISTEM KARDIOVASKULER
1. Infark Miokard
Level SKDI 3B
Sistem Kardiovaskuler
a. Pengertian Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis
otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
b. Prevalensi  Laki – laki > Perempuan
 Laki – laki 45 tahun, Perempuan 55 tahun
c. Etiologi Nekrosis otot jantung akibat sumbatan arteri otot
miokardium
d. Faktor resiko  Mayor
- Peningkatan lipid serum
- Hipertensi
- Merokok
- Konsumsi alkohol
- Diabetes Melitus
- Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori
 Minor
- Aktivitas fisik kurang
- Stress psikologik
- Tipe kepribadian
e. Gejala  Nyeri dada retrosternum seperti tertekan atau
tertindih benda berat.
 Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, punggung, dan
epigastrium. Penjalaran ke tangan kiri lebih sering
terjadi.
 Disertai gejala tambahan berupa sesak, mual, muntah,
nyeri epigastrium, keringat dingin, dan cemas.
f. Tanda  Pasien biasanya terbaring dengan gelisah dan
kelihatan pucat
 Hipertensi/hipotensi
 Dapat terdengar suara murmur dan gallop S3
 Ronki basah disertai peningkatan vena jugularis dapat
ditemukan pada AMI yang disertai edema paru
 Dapat ditemukan aritmia
g. Pemeriksaan Penunjang  EKG:
- Pada ST Elevation Myocardial infarct (STEMI),
terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan
perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian
muncul peningkatan gelombang Q minimal di dua
sadapan.
- Pada Non ST Elevation Myocardial infarct
(NSTEMI), EKG yg ditemukan dpt berupa depresi
segmen ST dan inversi gelombang T,atau EKG
yang normal.
- Peningkatan enzim jantung
h. Diagnosis Banding  Angina pektoris prinzmetal,
 Unstable angina pectoris,
 Dispepsia,
 Miokarditis,
 Pneumothoraks,
 Emboli paru
i. Terapi Penatalaksanaan Segera rujuk setelah pemberian :
- Oksigen 2-4 liter/menit
- Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3 kali
- Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis
pemeliharaan 1 x 160 mg
- Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
j. Referensi 1) Fenton, Drew. 2009. Myocardial Infarction. Diakses
tanggal 15 Mei dari http://emedicine.medscape.com.
2. Cardio Respiratory Arrest
Level SKDI 3B
Sistem Kardiovaskuler
a. Pengertian Adalah kondisi kegawatdaruratan karena berhentinya
aktivitas jantung paru secara mendadak yang
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini
disebabkan oleh malfungsi mekanik jantung paru atau
elektrik jantung.
b. Prevalensi  Laki – laki > Perempuan
 Pada usia antara 75 – 84 tahun
c. Etiologi  Fibrilasi ventrikel atau takikardia tanpa denyut (80–
90%)
 Ventrikel asistol (+10%)
 Disosiasi elektromekanik (+5%)
 Dua jenis henti jantung yang lebih sulit ditanggulangi
karena akibat gangguan peacemaker jantung
d. Faktor resiko  Usia
 Jenis kelamin
 Merokok
 Hipertensi
 Diabetes Mellitus
 Hiperkolesterolemia
 Obesitas
 Riwayat CHD dalam keluarga
e. Gejala  Tidak ada respon
 Tidak bergerak
 Tidak sadar
f. Tanda Tidak adanya pulsasi terutama pada arteri karotis
g. Pemeriksaan Penunjang 1. Defibrillator
2. EKG
h. Diagnosis Banding  Angina Pectoris
 Aortic Stenosis
 Coronary Artery Atherosclerosis
 Dilated Cardiomyopathy
 Hypertrophic Cardiomyopathy
i. Terapi

Dosis epinefrin iv/io 0,01 mg /kg bb


Amiodarone iv/io 5 mg/kgbb
Bb 50 kg
R/ epinefrin 0,5 mg inj Amp No. I
S. imm
R/ amiodarone 250 mg inj Amp No. 1
S. imm
j. Referensi 1) Adabag, A Selcuk et al. “Sudden cardiac death:
epidemiology and risk factors”Nature reviews.
Cardiology vol. 7,4 (2010): 216-25.
2) American Heart association, Guidelines for CPR and
ECC Comparison Chart of Key Changes. 2010
3) Cayley, JR., M.D.,M.DIV,William E. Practice
Guidelines :2005 AHA guidelines for CPR and
emergency cardiac carea
4) Sudden Cardiac Death Differential Diagnoses.ali A
sovari.2014 available at
https://emedicine.medscape.com/article/151907-
differential
SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER DAN PANKREAS
1. Hernia Umbilikalis
Level SKDI 3A
Sistem Sistem Gastrointestinal, Hepatobilier Dan Pankreas
a. Pengertian Berupa penonjolan yang mengandung isi rongga perut
yang masuk melalui cincin umbilikus.
b. Prevalensi  Terjadi paling banyak pada bayi.
 Pada bayi prevalensi jenis kelamin Bayi laki-laki =
perempuan. Pada dewasa laki-laki : wanita yaitu 1:3.
karena peningkatan tekanan abdominal. Ini biasanya
terjadi pada klien gemuk dan wanita multipara.
c. Etiologi  Kongenital
Terjadi sejak lahir.
 Didapat (acquired)
Terjadi setelah dewasa atau pada usia lanjut.
Disebabkan adanya tekanan intraabdominal yang
meningkat dan dalam waktu yang lama misalnya
batuk kronis, konstipasi kronis, gangguan proses
kencing (hipertropi prostat, striktur uretra), ascites
dan sebagainya.
d. Faktor resiko  Keturunan atau genetik
 Obesitas
 Kehamilan
 Faktor pekerjaan yang berat
 Adanya riwayat operasi pada abdomen
e. Gejala  Terlihat adanya penonjolan pada umbilikus pada bayi
biasanya terlihat ketika bayi menangis.
 Hernia umbilikalis pada anak biasanya tidak
menimbulkan rasa sakit/nyeri
 Adanya mual, muntah dan perut kembung.
f. Tanda  Pada anak biasanya tampak rewel,
 Dapat disertai demam,
 Ditemukan adanya benjolan disekitar umbilikus,
 Bila dilakukan auskultasi pada benjolan akan
ditemukan peristaltik usus biasanya ditemukan
hiperperistaltik.
g. Pemeriksaan Penunjang  Herniografi
 X-ray
 USG (Ultrasonografi)
 CT-Scan
 MRI
h. Diagnosis Banding  Hernia paraumbilikalis
 Kista epidermoid
 Fistula umbilikalis
 Tumor intra abdomen
i. Terapi Bila cincin hernia kurang dari 2 cm, umumnya regresi
spontan akan terjadi sebelum bayi berumur 6 bulan,
kadang cincin baru tertutup setelah satu tahun. Usaha
untuk mempercepat penutupan dapat dikerjakan dengan
mendekatkan tepi kiri dan kanan, kemudian
memancangnya dengan pita perekat (plester) untuk 2 – 3
minggu. Dapat pula digunakan uang logam yang
dipancangkan di umbilicus untuk mencegah penonjolan
isi rongga perut. Bila samapai usia satu setengah tahun
hernia masih menonjol, umumnya diperlukan koreksi
operasi. Pada cincin hernia yang melebihi 2 cm jarang
terjadi regresi spontan dan lebih sukar diperoleh
penutupan dengan tindakan konservatif.
j. Referensi 1) R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC.
Jakarta. 1997. Hal 700-18.
2) C. Palanivelu. Operative Manual of Laparoscopic
Hernia Surgery. Edisi I. Penerbit GEM Foundation.
2004. Hal 39-58.
2. Hepatitis B
Level SKDI 3A
Sistem Sistem Gastrointestinal, Hepatobilier Dan Pankreas
a. Pengertian Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus
yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau
menahun yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau
kanker hati.
b. Prevalensi Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi adalah
terutama Asia yaitu Cina, Vietnam, Korea, dimana 50–
70 % dari penduduk berusia antara 30 –40 tahun pernah
kontak dengan HBV, dan sekitar 10 –15 % menjadi
pengidap Hepatitis B Surfase Antigen (HbsAg) .Menurut
WHO Indonesia termasuk kelompok daerah dengan
endemisitas sedang dan berat (3,5 –20%)
c. Etiologi  Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV)
Virus hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80
hari, rata-rata 80-90 hari
 Penularannya: Darah, Saliva, kontak dengan mukosa
penderita virus hepatitis B, feses, urin,

d. Faktor resiko  Mempunyai hubungan kelamin yang tidak aman


dengan orang yang sudah terinfeksi hepatitis B.
 Memakai jarum suntik secara bergantian terutama
kepada penyalahgunaan obat suntik.
 Menggunakan alat-alat yang biasa melukai bersama-
sama dengan penderita hepatitis B.
 Orang yang bekerja pada tempat-tempat yang
terpapar dengan darah manusia.
 Orang yang pernah mendapat transfusi darah sebelum
dilakukan pemilahan terhadap donor.
 Penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
 Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita
hepatitis B.
e. Gejala 1) Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama pada
anak-anak.
2) Gejala timbul apabila seseorang telah terinfeksi
selama 6 minggu, antara lain:
- gangguan gastrointestinal, seperti: malaise,
anoreksia, mual dan muntah;
- gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, mialgia.
3) Gejala prodromal seperti diatas akan menghilang
pada saat timbul kuning, tetapi keluhan anoreksia,
malaise, dan kelemahan dapat menetap.
4) Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna
gelap. Pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat
timbul ketika ikterus meningkat. Pada saat badan
kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang
diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut
kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase
resolusi.
f. Tanda  Konjungtiva ikterik
 Hepatomegali dan nyeri tekan
 Splenomegali
 Limfadenopati
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium :
LFT Akut Kronik
Bilirubin ↑↑ ↑
direk
Bilirubin ↑ ↑
indir
AST/ALT <1, >1
ALT ↑ AST ↑
2) Serologis :
Penanda Keterangan
HbsAg Infeksi HBV atau
pembawa sehat
Anti-HBs Sembuh dan imun
HBeAg Replikasi anktif HBV
Anti-HBe Replikasi tidak aktif
atau integrasi
Anti-HBc Riwayat kontak
IgG dengan HBV
HBV DNA Replikasi aktif HBV
DNA- Replikasi aktif HBV
polymerase
 Akut
HbsAg (+), Anti HBs (-), IgM Anti-HBc (+), Anti
HBc (+)
 Window period
HbsAg (-), Anti-HBc (+), Anti-HBs (-)
 Sembuh
HbsAg (-), Anti-HBs (+), Anti-HBc (+), Anti-Hbe (+)
 Kronik
HbsAg (+), HbeAg (+), IgG Anti-HBc (+), Anti-Hbe
(-), IgM Anti-HBc(-), Anti-HBs (-)
 Carrier
HbsAg (+), HbeAg (+), Anti-HBc (+), Anti-Hbe (+),
Anti-HBs (-)
 Imunisasi
Anti-HBs (+), Anti-HBc (-), Anti-Hbe (-)
3) Urin :
Bilirubinuria (+)
h. Diagnosis Banding  Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena obat atau
toksin
 Hepatitis autoimun
 Hepatitis alkoholik
 Obstruksi akut traktus biliaris
i. Terapi 1) Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2) Tirah baring
3) Pengobatan simptomatik
 Demam: Ibuprofen 2x400mg/hari.
 Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3x10
mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari.
 Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin
3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari) atau
Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20
mg/hari).
4) Kriteria Rujukan
 Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan
penunjang laboratorium di pelayanan kesehatan
sekunder
 Penderita hepatitis B dengan keluhan ikterik yang
menetap disertai keluhan yang lain.
5) Konseling dan Edukasi
 Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut
mendukung pasien agar teratur minum obat karena
pengobatan jangka panjang.
 Pada fase akut, keluarga ikut menjaga asupan
kalori dan cairan yang adekuat, dan membatasi
aktivitas fisik pasien.
 Pencegahan penularan pada anggota keluarga
dengan modifikasi pola hidup untuk pencegahan
transmisi dan imunisasi.
j. Referensi 1) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Kesehatan
Primer. Edisi Revisi. Jakarta. 2014. Halaman 133-136
2) Sulaiman, Akbar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Jakarta : Jayabai. 2007.
3) Budihusodo. 1984. Naskah Lengkap KOPADI VI.
Persatuan Ahli Penyakit dalam Indonesia. Jakarta.
4) Edison, dkk. 1989. Infeksi Virus Hepatitis B Pada Ibu
Hamil di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Laboratorium Obstetri dan Ginekologi. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
5) Fisher, MM. 1983. Pediatric Liver Disease. Plenum
Press New York and London.
6) Irene Winata, Rima Melati Harjono. 1993.
Immunisasi Hepatitis B (Immunisation Against
Hepatitis B), Hak Cipta British Medical Association.
Terjemahan Indonesia. Hipokrates. Jakarta.
SISTEM GINJAL DAN SALURAN KEMIH
1. Glomerulonefritis Kronik
Level SKDI 3A
Sistem Ginjal Dan Saluran Kemih
a. Pengertian Glomerolusnefritis Kronis adalah suatu kondisi
peradangan yang lama dari sel-sel glomerolus. Kelainan
ini dapat terjadi akibat glomerolonefritis akut yg tidak
membaik atau timbul secara spontan.
b. Prevalensi Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan
terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
c. Etiologi  Penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri (primer)
 Penyakit sistemik (sekunder)
d. Faktor resiko  Riwayat penyakit sistemik (DM, LSE)
 Genetik
 Lingkungan : obat-obatan, zat kimia dan agen
infeksius
e. Gejala  Kencing darah
 Bengkak
 Nyeri panggul
 Demam
 Mual, muntah
 Tidak nafsu makan
f. Tanda  Edema dari wajah dipagi hari, menyebar ke abdomen
dan ekstremitas disiang hari
 Suhu tubuh meningkat
 Nyeri ketok ginjal
 TD tinggi
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium :
a. LED maningkat
b. Hb menurun sebagai akibat hipervolemia
c. Ht menurun
d. Analisa gas darah : asidosis metabolik, Ph < 7,2
2) Urinalisis :
a. Warna abnormal warna urin keruh
b. Volume urin <400ml/24jam
c. Berat jenis urin <1,010
d. Osmolaritas < 350 mOsm/kg
e. Hematuria > 5/LPB
f. Ditemukan satu atau lebih kelainan : akantosist,
cast sel darah merah, atau cast sel darah putih
g. Penurunan LFG oliguria atau anuria, serum
ureum & kreatinin meningkat
h. Proteinuria
i. Hipoalbunemia
3) USG Ginjal
4) IVP BNO
5) CT Scan
h. Diagnosis Banding  Gagal ginjal kronik
 Sindrom nefritik
 Hematuria
 SLE
i. Terapi 1) Tirah baring 10-14 hari
2) Pemberian penisilin pada fase akut
Antibiotik ini tidak mempengaruhi beratnya
glomerulonefritis, melainakan mengurangi
penyebaran infeksi streptococcus yang mungkin
masih ada. Pemberian penisilin dianjurkan hanya 10
hari. Pemberian profilaksis yang lama sesudah
nefritis sembuh terhadap kuman penyebab tidak
dianjurkan, karena imunitas yang menetap.
3) Pengaturan pemberian cairan (perlu diperhatikan
kesimbangan cairan dan elektrolit). Pemberian diet
rendahprotein (1 gram/kgBB/hari) dan rendah garam
(1 gram/hari). Makanan lunak diberikan pada pasien
dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu
normal kembali. Bila ada anuria/muntah diberikan
IVFD dengan larutan glukosa 10%. Komplikasi
seperti gagal ginjal, edem, hipertensi, dan oliguria
maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
4) Pengobatan hipertensi
5) Bila anuri belangsung lama 5-7 hari, maka ureum
harus dikeluarkan dari dalam darah. Dapat dengan
cara peritoneum dialisis, hemodialisis, transfusi tukar
dan sebagainya.
6) Furosemid (lasix) secara IV 1mg/kgBB/kali dalam 5-
10 menit
j. Referensi 1) Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Ikatan Kedokteran Anak
Indonesia. 2010.

2) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam


Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid: I. Edisi: IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
3) Price,Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2002.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit. Volume: 2. Edisi: 6. Jakarta: ECG.
2. Chanchroid
Level SKDI 3A
Sistem Ginjal Dan Saluran Kemih
a. Pengertian Infeksi pada alat kelamin akut, setempat disebabkan oleh
streptobacillus ducrey (Haemophilus ducreyi) dengan
gejala klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri
pada tempat inokulasi dan sering disertai pernanahan
kelenjar getah being regional. Biasanya disebut soft
chanere, ulkus mole, soft sore.
b. Prevalensi Pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan 10 : 1
c. Etiologi Bakteri gram negatif streptobacillus ducrey
(Haemophilus ducreyi)
d. Faktor resiko  Laki- laki heteroseksual
 Wanita pekerja seks
e. Gejala  Pada wanita asimtomatik
 Nyeri pada laki- laki
 Kadang terdapat keluhan disuria, dispareunia, sekret
vagina, nyeri defekasi atau perdarahan rektal pada
perempuan
 gejala klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang
nyeri pada tempat inokulasi dan sering disertai
pernanahan kelenjar getah being regional.
 Gejala sistemik jarang timbul, kalau ada hanya
demam sedikit atau malaise ringan.
f. Tanda  Lesi multipel
 Mula-mula kelainan kulit papul, kemudian menjadi
vesiko-pustul pada tempat inokulasi, cepat pecah
menjadi ulkus.
 Ulkus: kecil lunak pada perabaan, tidak terdapat
indurasi, berbentuk cawan, pinngir tidak rata, sering
bbergaung dan dikelilingi halo yang eritematosa dan
mengalami ulserasi dalam 24 jam.
 Ulkus sering ditutupi oleh eksudat abu-abu kuning
berserat yang purulen dan limpadenopati dan
perabaan terasa nyeri, biasanya lebih nyeri pada laki-
laki daripada perempuan.
g. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan sediaan hapus
 Biakan kuman
 Teknik imunofluoresens untuk menemukan antibodi
 Biopsi
 Tes kulit ito-reenstierna
 Autoinokulasi
h. Diagnosis Banding  Herpes genetalia
 Sifilis stadium I
 Limfogranuloma venerium (L.G.V)
 Granuloma inguinale
i. Terapi Sistemik:
 Sulfonamida (sulfatiazol, sulfadiazine atau
sulfadimin) diberikan dengan dosis pertama 2-4
gram dilanjutkan dengan 1 gram tiap 4 jam sampai
sembuh sempurna (kurang lebih 10-14 hari). Tablet
kotriksazol ialah kombinasi sulfametoksazol 400mg
dengan trimetroprim 80 mg, diberikan dengan dosis
2x2 tablet selama 10 hari.
 Bila pengobatan berhasil , perlu dilakukan drainase,
dorsmsisi pada preputium
 Penisilin sedikit efektif
 Kanamisin: disuntikkan IM 2x500mg selama 6-14
hari
 Tetrasiklin dan oksietrasiklin, efektif diberikan
dengan dosis 4x500mg/hari selama 10-20 hari
 Eritromisin 4x500mg sehari selama 1 minggu
 Kuinolon: ofloksasin, dosis tunggal 400 mg
 Azitromisin dosis tunggal 1 gr
 Ceftriakson dosis tunggal 250 mg
 Ciprofloksasin dosis tunggal 500 mg atau 2x500mg,
3 hari.
 Spektinomisin. Dosis tunggal 2 grm
j. Referensi 1) Djuanda A. 2009. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI
2) Rekomendasi terapi pada ulkus mole berdasarkan
World Health Organization (WHO), Centers for
Disease Controland Prevention (CDC), United
Kingdom Clinical Effectiveness Group (CEG)
SISTEM REPRODUKSI
1. Abses dan Kista Bartolini
Level SKDI 3A
Sistem Reproduksi
a. Pengertian Kista barhtolini adalah tersumbatnya saluran lubrikasi
pada vagina atau membesarnya muara saluran lubrikasi,
yang berakibat tidak keluarnya cairan lubrikasi yang
mestinya keluar (perempuan yang belum 40 tahun).
b. Prevalensi Pada wanita usia reproduksi antara (20-30 tahun)
c. Etiologi Kuman gram negatif (staphylococcus & gonococcus)
d. Faktor resiko -
e. Gejala dan Tanda  Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan,
nyeri, dan dispareunia. Penyakit ini cukup sering
rekurens.
 Pada Bartholinitis akut:
- Kelenjar membesar, merah, nyeri, dan lebih panas
dari daerah sekitarnya
- Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar
melalui duktusnya, atau jika duktusnya tersumbat,
mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang
kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek.
 Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkembang
menjadi abses Bartholini dengan gejala klinik berupa:
- Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau
berhubungan seksual.
- Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika
terinfeksi dengan mikroorganisme yang ditularkan
melalui hubungan seksual atau ditandai dengan
adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal.
- Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari.
- Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5
hari pasca pembengkakan, terutama jika infeksi
yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan
melalui hubungan seksual.
- Dapat terjadi ruptur spontan.
- Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar
telur ayam, lembut, dan berfluktuasi, atau
terkadang tegang dan keras.
f. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk
mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan
untuk mengetahui ada tidaknya infeksi akibat
penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan
Chlamydia.
g. Diagnosis Banding  Hidradenoma papiliferum
 Kista duktus bartolini
 Kista mukus vestibule
 Kista kelenjar skene
 Fibroma
 Lipoma
h. Terapi Insisi dan drainage abses
• Tindakan ini dilakukan bila terjadi symptomatic
Bartholin's gland abscesses .
• Sering terjadi rekurensi
Cara:
• Disinfeksi abses dengan betadine
• Dilakukan anastesi lokal( khlor etil)
• Insisi abses dengan skapel pada titik maksimum
fluktuasi
• Dilakukan penjahitan

Definitive drainage menggunakan Word catheter.


Word catheter biasanya digunakan ada penyembuhan
kista duktus bartholin dan abses bartholin. Panjang
tangkai catheter 1 inch dan mempunyai diameter seperti
foley catheter no 10. Balon Catheter hanya bias
menampung 3 ml normal saline.
Cara:
• Disinfeksi dinding abses sampai labia dengan
menggunakan betadine.
• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan
lidokain 1 %
• Fiksasi abses dengan menggunakan forsep kecil
sebelum dilakukan tindakan insisi.
• Insisi diatas abses dengan menggunakan mass no
11
• Insisi dilakukan vertikal di dalam introitus
eksternal terletak bagian luar ring himen. Jika
insisi terlalu lebar, word catheter akan kembali
keluar.
• Selipkan word kateter ke dalam lubang insisi
• Pompa balon word kateter dengan injeksi normal
salin sebanyak 2-3 cc
• Ujung Word kateter diletakkan pada vagina.
Proses epithelisasi pada tindakan bedah terjadi setelah 4-
6 minggu, word catheter akan dilepas setelah 4-
6mgg,meskipun epithelisasa bias terbentuk pada 3-4
minggu. Bedrest selama 2-3 hari mempercepat
penyembuhan. Meskipun dapat menimbulkan terjadinya
selulitis, antibiotic tidak diperlukan. Antibiotik diberikan
bila terjadi selulitis (jarang)

Marsupialisasi
Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi
hanya digunakan pada kista bartholin.Namun sekarang
digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena
memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi
adalah suatu tehnik membuat muara saluran kelenjar
bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari
pemasangan word kateter. Komplikasi berupa
dispareuni, hematoma, infeksi.
Cara:
• Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan
menggunakan betadine.
• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan
lidokain 1 %.
• Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam
0,5cm (insisi sampai diantara jaringan kulit dan
kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar
dengan dasar selaput himen.
• Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista
dijepit dengan klem pada 4 sisi, sehingga rongga
kista terbuka dan kemudian dinding kista
diirigasi dengan cairan salin.
• Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan
atraumatik catgut. Jika memungkinkan muara
baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2 jari
tangan), dan dalam waktu 1 minggu muara baru
akan mengecil separuhnya, dan dalam waktu 4
minggu muara baru akan mempunyai ukuran
sama dengan muara saluran kelenjar bartholin
sesungguhnya.

Penggunaan antibiotik
• Antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang
diketahui secara pasti dari hasil pengecatan gram
maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin
• Infeksi Neisseria gonorrhoe:
- Ciprofloxacin 500 mg single dose
- Ofloxacin 400 mg single dose
- Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan
bumil)
- Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan
bumil)
• Infeksi Chlamidia trachomatis:
- Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po
- Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po
• Infeksi Escherichia coli:
- Ciprofoxacin 500 mg oral single dose
- Ofloxacin 400 mg oral single dose
- Cefixime 400 mg single dose
• Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :
- Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2
x hari
- Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po.
- Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.
i. Referensi 1) Ashari, M.A. (2010). Materi Kuliah Tumor Jinak
Ginekologi. Yogyakarta : SMF Ilmu Kebidanan dan
Kandungan RSD Panembahan Senopati Bantul.
2) Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Bina Pustaka.
2. Endometritis
Level SKDI 3B
Sistem Reproduksi
a. Pengertian Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di
endometrium yang disebabkan oleh infeksi pada
jaringan, dan merupakan komplikasi pascapartum,
biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan.
b. Prevalensi Pada wanita dan meningkat di usia reproduksi (25-40
tahun)
c. Etiologi Belum diketahui secara pasti
d. Faktor resiko  Retrograde menstruasi
 Gangguan sistem kekebalan tubuh
 Usia
 Nulipara
 Fertile
 Genetik
 Siklus menstruasi yang singkat
 Mengalami menopause pada usia yang lebih tua
 Konsumsi alkohol
e. Gejala  Bercak saat pre/ pasca menstruasi
 Dysmenorrhea (nyeri saat haid)
 Dysparenuia (nyeri saat senggama)
 Dyschezia (nyeri saat buang air besar)
 Infertilitas
f. Tanda Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan
melakukan inspeksi pada vagina menggunakan
spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan
bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari
uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk
mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum
rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul
endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat
meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis
dan juga menilai nyeri.
g. Pemeriksaan Penunjang 1) USG Transvaginal
2) Pemeriksaan marker biokimiawi
Sitoki, interlukin, TNF – α : terdapat peningkatan
sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan
endometriosis
IL – 6 : untuk membedakan wanita dengan atau tanpa
endometriosis dan untuk mengidentifikas derajat
endomtriosis
h. Diagnosis Banding  Penyakit radang panggul menahun
 Salpingitus akut berulang
 Neoplasma ovarium jinak/ ganas
 Kehamilan ektopik
i. Terapi  Farmakologi
- NSAID (ibuprofen/ asam mefenamat)
- GnRH agonis atau Danazol
- Dosis 600-800 mg/ hari (selama 6-9 bulan)
- Kontrasepsi oral dan medroksiprogesteron acetat
(efektif untuk endometriosis dengan nyeri
 Pembedahan
Indikasi pembedahan:
- Ukuran endometrioma mencapai 3 cm
- Distorsi anatomi yang luas
- Menyangkut usus/ kandung kemih
- Perlekatan hebat
j. Referensi 1) Konsensus Endometriosis. Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia. 2013.
SISTEM ENDOKRIN METABOLIK DAN NUTRISI
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Level SKDI 3B
Sistem Endokrin Metabolik Dan Nutrisi
a. Pengertian Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan
dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
b. Prevalensi Pada semua kelompok umur, namun sering pada anak
dibawah 4 tahun.
c. Etiologi Semua kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan
oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
yang berkembang dalam beberapa jam atau hari. Pada
pasien DM yang telah diketahui sebelumnya disebabkan
oleh kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen
atau karena peningkatan kebutuhan insulin akibat
keadaan atau stres tertentu.
d. Faktor resiko  Infeksi
 Kelainan vaskuler (infark miokard akut)
 Kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma
chusing)
 Trauma
 Kehamilan
 Stres emosional
 Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin,
kortisol, glukagon)
e. Gejala  Pernafasan cepat dan dalam (kussmaul)
 Dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering)
 Syok
 Bau aseton dari hawa nafas
 Mual muntah
 Nyeri perut dan berhubungan dengan gastroparesis-
dilatasi lambung
f. Tanda  Penurunan kesadaran
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam
 Infeksi saluran kemih
 Pneumonia
 Nyeri abdomen
g. Pemeriksaan Penunjang
h. Diagnosis Banding  Hipoglikemia
 Hipokalemia
 Asidosis persisten
 Edema serebri
i. Terapi Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat
multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan
terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas.
Prinsip-prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetik ialah :
1) Penggantian cairan dan garam yang hilang
2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan
glukoeogenesis sel hati dengan pemberian insulin
3) Mengatasi stres sebagai pncetus ketoasidosis
diabetik
4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan
menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
5) Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis
diabetik adalah terapi cairan Terapi insulin hanya
efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi
dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat
ketoasidosis diabetikar gula darah menjadi lebih
rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat
jam pertama, lebih dari 80% penurunan ketoasidosis
diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi.Oleh
karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami
adalah penentuan difisit cairan yang terjadi.
6) Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah
diagnosis ketoasidosis diabetik dan rehidrasi yang
memadai .Sumber lain menyebutkan pemberian
insulin dimulai setelah diagnosis ketoasidosis
diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah
dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan
ketoasidosis diabetikar hormon glukagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan
asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan
asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan .
j. Referensi 1) Simandibrata M, Setiati S, Alwi A, Oemardi M, Gani
RA, Mansjoer A. Pedoman Diagnosis dan Terapi Di
Bidang Penyakit Dalam, Pusat Informasi Dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
Jakarta. 2004
2) Sjaifoellah, Noer., Waspadji S, Rahman AM. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, edisi III, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta. 2006
2. Hipoglikemia Berat
Level SKDI 3A
Sistem Endokrin Metabolik Dan Nutrisi
a. Pengertian Hipoglikemi adalah suatu kondisi kegawatdaruratan
dimana kadar glukosa darah yang abnormal rendah)
terjadi kalau kadar glukosa turun di bawah 35 mg/dl. 
b. Prevalensi Terjadi paling sering pada usia lebih dari 40 tahun.
c. Etiologi 1) Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa
menyebakan hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada
tumor sel penghasil insulin di pankreas (insulinoma).
Kadang tumor diluar pankreas yang menghasilkan
hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan
hipoglikemia.
2) Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi
Hipoglikemia paling sering terjadi disebabkan oleh
insulin atau obat lain (sulfonilurea) yang diberikan
kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar
gula darahnya. Jika dosis obat ini lebih tinggi dari
makanan yang dimakan maka obat ini bisa bereaksi
menurunkan kadar gula darah terlalu banyak. Hal ini
terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak
membentuk glukagon secara normal dan kelanjar
adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara
normal. 
3) Asupan karbohidrat kurang
a) Makan tertunda atau lupa,
b) Porsi makan kurang karena Diet
c) Anorexia nervosa
d) Muntah, gastroparesis
e) Menyusui
4) Lain-lain
a) Absorbsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
b) Alkohol, pemakaian alkohol dalam jumlah banyak
tanpa makan dalam waktu yang lama bisa
menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat
sehingga menyebabkan stupor.
d. Faktor resiko  Faktor Genetic
 Faktor usia
 Konsumsi alcohol
 Faktor diet
 Faktor konsumsi obat tertentu
e. Gejala
f. Tanda

g. Pemeriksaan Penunjang 1) Gula darah sewaktu


2) Gula darah puasa
3) Gula darah 2 jam post prandial
4) HBA1c
5) Elektrolit
h. Diagnosis Banding  Hiperglikemia
 Syok
 Hiperinsulinisme endogen ; insulinoma ,kelainan sel
B jenis lain ,sekretagogue (sulfonylurea ), autoimun,
sekresi insulin ektopik
 Penyakit kritis: gagal hati ,gagal ginjal ,sepsis.
 Defisiensi endokrin; kortisol,growth hormone,
glukagon, epnefrin
i. Terapi Bila pasien tidak sadar segera lakukan airway breathing
circulation disability exposure. Segera periksa gula
darah pasien dan pasang Iv line berikan terapi segera
sampai pasien sadar, berupa:

j. Referensi 1) Cryer PE. The Barrier of hypoglycemia in diabetes.


Diabetes. 2008: 3169 -75.
2) American Diabetes Association Workgroup on
Hypoglycemia. Defining and reporting hypoglycemia
in diabetes. Diabetes Care. 2005: 1245 – 9
SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI
1. Anemia Makrositik
Level SKDI 3A
Sistem Hematologi Dan Imunologi
a. Pengertian Makrositik adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan sel-sel darah merah (eritrosit) yang
lebih besar dari ukuran biasanya. Sedangkan anemia
adalah kekurangan jumlah sel darah merah. Maka,
anemia makrositik adalah suatu kondisi di mana tubuh
Anda memiliki sel-sel darah merah yang ukurannya
sangat besar tapi tidak memiliki sel darah merah yang
berukuran normal dalam jumlah yang cukup. Normalnya
ukuran sel darah merah berkisar antara 80-100 fL
(femoliters, satuan ukuran sel darah merah). Orang yang
mengalami anemia makrositik memiliki ukuran sel darah
merah lebih besar dari 100 fL.
b. Prevalensi  Lebih sering terjadi pada wanita terutama pada
wanita hamil.
 Paling sering terjadi pada usia 20-35 tahun.
c. Etiologi Anemia makrositik kebanyakan disebabkan oleh
kurangnya asam folat (vitamin B9) atau vitamin B12.
Kurangnya asam folat atau vitamin B12 bisa terjadi
karena penyerapan dalam tubuh yang terhambat akibat
kondisi penyakit tertentu, atau bisa juga karena memang
kurang asupan makanan yang mengandung vitamin B12
atau folat. Akibatnya, pembentukan sel darah merah
tidak terjadi sebagaimana mestinya. Selain kurangnya
folat dan vitamin B12, anemia makrositik juga bisa
disebabkan oleh penyebab lain. Penyebab lain anemia
ini bisa meliputi: Karena obat-obatan, termasuk obat
HIV, kanker, dan lainnya yang menekan sistem
kekebalan tubuh dan adanya faktor ideopatik.
d. Faktor resiko  Faktor genetic
 Konsumsi alkohol
e. Gejala  Defisiensi vitamin B12/penisiosa
- Anoreksia
- Diare
- Dispepsia
- Lidah yang licin
- Pucat, dan
- Terlihat ikterik
 Defisiensi asam folat
- Neurologi,
- Hilangnya daya ingat
- Gangguan kepribadian
f. Tanda  Anemis,
 Organomegali dan limphadenopati
 Stomatitis angularis,
 Atrofi papil lidah
 Takikardi,
 Murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran
jantung
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium darah
Sediaan apusan darah tepi

2) Hemoglobin menurun,
3) Hct menurun,
4) Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC).
MCV > Normal
MCH = Normal
MCHC= Normal
5) Pemeriksaan sumsum tulang
6) Pemeriksaan retikulosit
h. Diagnosis Banding  Anemia Defisiensi vitamin B12/penisiosa
 Anemia Defisiensi asam folat
 Anemia makrositik non megaloblastik (penyakit
hepar, myelodisplasia)
 Anemia mikrositik hipokromik
i. Terapi  Defisiensi vitamin B12/penisiosa
Pemberian vitamin B12 1000 mg/hari IM selama 5-7
hari 1x/ bulan.
 Defisiensi asam folat
Asam folat oral 1mg/hari.
j. Referensi 1) Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia.
Hematology in Clinical Practice. A Guide to
Diagnosis and Management. New York; McGraw
Hill, 1995 : 72-85.
2) Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric
Hematologyand Oncology. Edisi ke-2. New York;
Churchill Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3) Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia.
Hematology of Infancy and Childhood. Edisi ke
Philadelphia; Saunders, 1974: 103-25
2. Demam Reumatik
Level SKDI 3A
Sistem Hematologi Dan Imunologi
 Pengertian Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang
menyerang multisistem akibat infeksi dari Streptokokus
β hemolitikus grup A pada faring (faringitis) yang
biasanya menyerang anak dan dewasa muda.
 Prevalensi Paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun.
 Etiologi Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen
multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus
grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit
ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
 Faktor resiko Beberapa faktor yang diduga berperan terhadap serangan
Demam Reumatik berulang yaitu usia saat pertama
serangan, adanya Penyakit Jantung reumatik, jarak
waktu serangan berulang dari serangan sebelumnya,
jumlah serangan demam sebelumnya, derajat
kekumuhan pada lingkungan pasien, riwayat keluarga
dengan Demam Reumatik atau Penyakit Jantung
Reumatik, risiko infeksi streptokokus di area tempat
tinggal.
 Gejala  Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah
mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu sebelum
muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak
menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan.
 Demam,
 Sakit kepala,
 Penurunan berat badan,
 Epistaksis,
 Malaise,
 Diaforesis dan pucat.
 Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
 Ortopnea atau sakit perut,dan
 Muntah.
 Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri
sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas
dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan
infeksi Streptococcus, difungsi motorik.
 Tanda

 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin, ASTO, CRP, dan kultur ulasan
tenggorokan. Dilakukannya pemeriksaan EKG dan
echocardiografi untuk melihat apakah terdapat kelainan
pada katup-katup jantung dan otot jantung.
 Diagnosis Banding  Artritis reumatoid
 Lupus eritomatosus sistemik
 Karditis
 Tuberkulosis
 Terapi  Terapi Antibiotik
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium
3x125 mg oral, dan amoxicilin oral 3x500 mg adalah
obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta
hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat
alergi terhadap penisilin.
 Terapi anti inflamasi
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya
menunggu sampai diagnosis rheumatic fever
ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-
125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil
selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-
70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang
alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-
20 mg/kg/hari.
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama
adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari,
maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1
kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis
diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang
mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone
dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti
inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.
 Tirah Baring
 Referensi 1) Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In:
Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst The
Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001: 1657-65.
2) Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris:
Lancet. 2012: 953–64
3) Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of
Rheumatic Fever and Diagnosis and Treatment of
Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam Physician.
2010: 346-359.
4) Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever &
Rheumatic Heart Disease: The last 50 years. Indian J
Med Res. 2013: 137.
SISTEM MUSKULO SKELETAL
1. Artritis, Osteoartritis
Level SKDI 3A
Sistem Muskuloskeletal
a. Pengertian Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi. Pasien sering datang berobat
pada saat sudah ada deformitas sendi yang permanen.
b. Prevalensi  Wanita > laki-laki
 Pada usia ≥ 50 tahun
c. Etiologi Pertambahan usia sehingga terjadi kerusakan kartilago
d. Faktor resiko  Usia > 60 tahun
 Wanita, usia > 50 tahun atau menopause
 Obesitas
 Pekerja berat dengan penggunaan satu sendi terus
menerus.
e. Gejala  Nyeri sendi
 Hambatan gerak sendi
 Kaku dipagi hari
 Krepitasi
 Pembesaran sendi
 Perubahan gaya berjalan
f. Tanda  Hambatan gerak
 Krepitasi
 Pembengkakan sendi yang seringkali tidak simetris
 Tanda-tanda peradangan sendi : merah, perabaan
hangat, bengkak, dll
 Deformitas sendi yang permanen
 Perubahan gaya berjalan.
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium
2) USG
3) Foto rongten
 Bouchard
 Hebeiden nodes (osteofit keras)
h. Diagnosis Banding  Artritis gout
 Rheumatoid artritis
 Osteoporosis
 Polimialgia rematik
i. Terapi 1) Pengelolaan OA berdasarkan distribusinya (sendi
yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena
2) Pengobatan untuk mencegah progesifitas dan
meringankan gejala yang dikeluhkan
3) Modifikasi gaya hidup : menurunkan berat badan,
melatih untuk tetap menggunakan sendinya dan
melindungi sendi yang sakit
4) Farmakoterapi
 Analgesik topikal
 NSAID oral :
- Non selektif COX1: Ibuprofen
R/ Ibu prfen tab 400mg No.X11
S 3 dd 1 tab pc
- Selektif COX2 : Meloksikam
R/ Meloksikam tab 15 mg No.X
S 1 dd 1 tab pc
5) Non farmakotreapi :
 Fisioterapi
j. Referensi 1) Sjamsuhidayat, R dan Wim de Jong.. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 2010.
2) Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamEdisi V,
Jakarta, Interna Publishing; 2014.
2. Osteomielitis
Level SKDI 3A
Sistem Muskuloskeletal
a. Pengertian Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk
dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang berasal
dari dalam tubuh).
b. Prevalensi  Lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan.
 Sering terjadi pada usia 30- 60 tahun keatas karena
penyakit ini berhubungan dengan penuaan..
c. Etiologi Penyebab paling banyak adalah staphylococcus aerus
(70% - 80%). Organisme penyebab yang lain adalah
salmonela streptococcus dan pneumococcus.
d. Faktor resiko Faktor usia, kebiasaan merokok dan minum alkohol,
penyakit diabetes militus, penggunaan steroid jangka
panjang, penurunan kekebalan tubuh.
e. Gejala Gejala umum akut seperti demam, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, dapat teraba
pembengkakan dan kulit tampak kemerahan
f. Tanda Dapat ditemukan adanya pembengkakan pada sendi yang
terinfeksi, terlihat kulit kemerahan (tanda radang).
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium
 Peningkatan laju endap eritrosit.
 Lukosit dan LED meningkat.
2) Pemeriksaan radiologi

3) CT-Scan tulang
4) Biopsi tulang, mengidentifikasi organisme penyebab.
h. Diagnosis Banding  Artheritis,
 Septik arthritis,
 Celulitis,
 Acut rheumatism.
i. Terapi  Imobilisasi area yang sakit : lakukan rendam salin
noral hangat selama 20 menit beberapa kali sehari.
 Kultur darah : lakukan smear cairan abses untuk
mengindentifikasi organisme dan memilih antibiotik.
 Terapi antibiotik intravena sepanjang waktu.
 Berikan antibiotik peroral jika infeksi tampak dapat
terkontrol : teruskan selama 3 bulan. Dapat diberikan
amoxicilin 3x500 mg atau cefadroksil 2x500mg.
 Bedah debridement tulang jika tidak berespon
terhadap antibiotik pertahankan terapi antibiotik
tambahan.
j. Referensi 1) Michno A, Nowak A, Królicki K. Review of
contemporary knowledge of osteomyelitis diagnosis.
World Sci News. 2018: 272-82.
2) Riise RO, Kirkhus E, Handelan KS, Flato B. Reiseter
T, Cvancarova M. Childhood osteomyelitis-incidence
and differentiation from other acute onset
musculoskeletal features in a population-based study.
BMC Pediatr. 2008: 45.
SISTEM INTEGUMEN
1. Dermatitis Kontak Alergi
Level SKDI 3A
Sistem Integumen
a. Pengertian Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis
(peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan
alergen melalui proses sensitisasi
b. Prevalensi -
c. Etiologi  Eksogen
- Bahan kimia: detergen, asam basa, oli, semen
- Fisik: sinar dan suhu
- Mikroorganisme: bakteri dan jamur
 Endogen  Dermatitis Atopik
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia
sederhana dengan berat molekul kurang dari 1000
dalton, merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat
menembus stratum korneum sehingga mencapai sel
epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak
alergi, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan,
oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum
dan ph. Faktor individu misalnya keadaan kulit pada
lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis) dan status imunologik (misalnya sedang
menderita sakit, terpajan sinar matahari).
d. Faktor resiko  Terpajan bahan alergen
 Riwayat terpajan bahan alergen pada waktu tertentu
 Riwayat dermatitis atopik
 Riwayat keluarga atopi
e. Gejala  Gatal pada kulit
 Kulit kemerahan
 Riwayat kontak dengan bahan alergen
 Riwayat alergi pada keluarga
f. Tanda  Tanda dermatitis : eritema, papul vesikel halus,
eksudatifa, krusta
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Uji Tempel
Kelainan kulit dermatitis kontak alergi sering tidak
menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik atau psoriasis. Diagnosis banding
yang utama adalah dengan dermatitis kontak iritan.
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah
dermatitis tersebut kontak alergi.

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam


pelaksanaan uji tempel :
- Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila
masih dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi
reaksi “angry back” atau “excited skin” reaksi
positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit
yang sedang dideritanya semakin memburuk.
- Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu
setelah pemakaian kortikostiroid sistemik
dihentikan (walaupun dikatan bahwa uji tempel
dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang
dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid
lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negtaif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena
urtikaria kontak.
- Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian
dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3
sampai ke-7 setelah aplikasi.
- Penderita dilarang melakukan aktivitas yang
menyebakan uji tempel menjadi longgar (tidak
menempel dengan baik), karena memberikan hasil
negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga
agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya sampai pembacaan terakhie selesai.
- Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakuakn
terhadap penderita yang mempunyai riwayat tipe
urtikaria dadakan (imediate urticaria type), karena
dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahakn
reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini
dilakukan tes denga prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji
tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-
30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan
yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicata seperti berikut:
1. = reaksi lemah (non vesikuler): eritema,
infiltrat,papul (+)
2. = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)
3. = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus
(+++)
4. = meragukan: hanya makula eritematosa
5. = iritasi: seperti terbakar, pustule atau purpura
6. = reaksi negatif (-)
7. = excited skin
h. Diagnosis Banding  Dermatitis kontak iritan
 Dermatitis atopik
 Dermatitis numularis
 Fix Drug Eruption
i. Terapi  Non Medikamentosa
- Memotong kuku jari tangan dan jaga tetap bersih
serta tidak menggaruk lesi karena dapat
menimbulkan infeksi.
- Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko
untuk terkena dermatitis kontak alergi
- Gunakan perlengkapan atau pakaian pelindung
saat melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan
alergen.
- Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak
mengenakan perhiasan, aksesoris, pakaian atau
sandal yang merupakan penyebab alergi

 Medikamentosa
 Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu chlorpheniramine maleat
(CTM) sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali
untuk dewasa dan 0.09 mg/dosis, sehari 3 kali
untuk anak-anak untuk menghilangkan rasa gatal.
 Sistemik
- kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg,
sehari 3 kali
- cetirizine tablet 1 x 10 mg/hari
- bila terdapat infeksi sekunder diberikan
antibiotik (amoksisilin atau eritromisin) dengan
dosis 3 x 500 mg/hari, selama 5-7 hari
 Topikal
Krim deksametason 0,25 %, 2 kali sehari

j. Referensi 1) Wolff K. Dermatitis. In: Goldsmith, Lowell A.,


Stephen Katz, Barbara G., K.Wolff, Amy Paller.
Fitzpatrick
2) Color Atlas & Dermatology in General Medicine 8
ed. Singapore; 2012.
3) Bourke J, Coulson I, English J. Guideline for the
Contact Dermatitis: an Update. British Journal of
Dermatology. England; 2008. p. 946-55.
2. Kondiloma Akuminata
Level SKDI 3A
Sistem Integumen
a. Pengertian Kondiloma adalah kutil yang berlokasi di area genital
(uretra, genital dan rektum). Kondiloma merupakan
penyakit menular seksual. Kondiloma akuminatum ialah
vegetasi oleh human papilloma virus tipe tertentu,
bertangkai dan permukaannya berjonjol
b. Prevalensi Merupakan penyakit akibat hubungan seksual. Frekuensi
pada pria dan wanita sama. Tersebar dan transmisi
melalui kontak kulit langsung.
c. Etiologi Virus penyebabnya adalah Virus Papilloma Humanus
(HPV), merupakan virus DNA yang tergolong dalam
keluarga virus papova. Sampai saat ini telah dikenal
sekitar 70 tipe VPH, namun tidak seluruhnya dapat
menyebabkan kondiloma akuminatum. Tipe yang pernah
ditemui pada kondiloma akuminatum adalah tipe 6, 11,
16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 40, 41, 42, 44, 51, 52, 56
Beberapa tipe VPH tertentu mempunyai potensi
onkogenik yang tinggi, yaitu tipe 16 dan 18. Tipe ini
merupakan jenis virus yang paling sering dijumpai pada
kanker serviks. Sedangkan tipe 6 dan 11 lebih sering
dijumpai pada kondiloma akuminatum dan neoplasia
intraepithelial serviks derajat ringan.
d. Faktor resiko  Aktvitas seksual
 Penggunaan kontrasepsi oral
 Merokok
 Kehamilan
 Imunitas rendah
e. Gejala dan Tanda  Kondiloma akuminata sering muncul di daerah yang
lembab, biasanya pada penis, vulva, dinding vagina
dan dinding serviks dan dapat menyebar sampai
daerah perianal.
 Berbau busuk.
 Warts/kutil memberi gambaran merah muda, flat,
gambaran bunga kol.
 Pada pria dapat menyerang penis, uretra dan daerah
rektal.
 Infeksi dapat dormant atau tidak dapat dideteksi,
karena sebagian lesi tersembunyi didalam folikel
rambut atau dalam lingkaran dalam penis yang tidak
disirkumsisi.
 Pada wanita condiloma akuminata menyerang daerah
yang lembab dari labia minora dan vagina. Sebagian
besar lesi timbul tanpa simptom. Pada sebagian kasus
biasanya terjadi perdarahan setelah coitus, gatal atau
vaginal discharge
 Ukuran tiap kutil biasanya 1-2 mm, namun bila
berkumpul sampai berdiameter 10 cm dan bertangkai.
Dan biasanya ada yang sangat kecil sampai tidak
diperhatikan.
 Terkadang muncul lebih dari satu daerah. Pada kasus
yang jarang, perdarahan dan obstruksi saluran kemih
jika virus mencapai saluran uretra.
 Memiliki riwayat kehidupan seksual aktif dengan
banyak pasangan.

Kondiloma Akuminata pada pria

Kondiloma Akuminata pada wanita


f. Pemeriksaan Penunjang 1) HPV-DNA
2) Perlu dilakukan pemeriksaan darah serologis (untuk
membedakan dengan kondiloma lata pada sifilis).
3) Wanita yang memiliki kutil di leher rahimnya, harus
menjalani pemeriksaan Pap-smear secara rutin.
4) Histopatologi.
g. Diagnosis Banding  Veruka vulgaris
 Kondiloma latu
 Karsinoma sel skuamosa
 Moluskum kontaginosum
h. Terapi  Kemoterapi
 Podofilin
Tingtur podofilin 25%. Kulit disekitarnya dilindungi
dengan vaselin atau pasta agat tidak terjadi iritasi,
setelah 4-6 jam kemudian dicuci. Jika belum ada
penyembuhan dapat diulangi setelah 3 hari. Setiap
kali pemberian jangan melebihi 0.3 cc karena akan
diserap dan bersifat toksik. Gejala toksisitas ialah
mual, muntah, nyeri abdomen, gangguan alat napas,
dan keringat yang disertai kulit dingin. Dapat pula
terjadi supresi sumsum tulang yang disertai
trombositopenia dan leukopenia. Pada wanita hamil
sebaiknya jangan diberikan karena dapat terjadi
kematian fetus. Juga jangan dipakai untuk
pengobatan lesi dalam vagina dan serviks karena obai
ini dapat diabsorbsi sehingga bersifat toksik dan
dapat menyebabkan karsinoma.
Podofilotoksin 0.5 %. Bahan ini merupakan zat aktif
yang terdapat di dalam podofilin. Setelah pemakaian
podofiloks, dalam beberapa hari akan terjadi
destruksi pada jaringan KA. Reaksi iritasi pada
pemakaian podofiloks lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan podofilin dan reaksi sistemik
belum pernah dilaporkan. Obat ini dapat dioleskan
sendiri oleh penderita sebanyak dua kali sehari
selama tiga hari berturut-turut.
Cara pengobatan dengan podofilin ini sering dipakai.
Hasilnya baik pada lesi yang baru, namun kurang
memuaskan pada lesi yang lama atau yang berbentuk
pipih
 Asam Triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50%,
dioleskan setiap minggu. Pemberiannya harus
berhati-hati karena dapat menimbulkan ulkus yang
dalam. Dapat diberikan pada wanita hamil
 5-Fluorourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai
terutama pada lesi di meatus uretra. Pemberiannya
setiap hari sampai lesi hilang. Sebaiknya penderita
tidak miksi selam 2 jam setelah pengobatan
 Diet
Tidak ada restriksi, namun sebaiknya mengkonsumsi
nutrisi yang seimbang pada program dietari untuk
memastikan pasien mendapatkan sistem imun yang
optimal.

Dietari Program :
- Vitamin B-kompleks, penting untuk multiplikasi
sel
- Vitamin C, antiviral
- L-Cystein, suplai sulfur, sebagai preventasi dan
perawatan kutil
- Vitamin A, menormalkan kulit dan epitel
membrane
- Vitamin E, meningkatkan aliran darah dan
membantu perbaikan jaringan
- Zinc, meningkatkan imunitas tubuh melawan
virus
i. Referensi 1) Handoko, RP. Penyakit Virus. Dalam : Djuanda Prof.
Dr. dr. Adhi, Utama Hendra dr, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007
2) Siregar, R.S. Prof. Dr, Sp. KK (K). 2004. Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Ed. 2. EGC :
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai