Tugas Bimbingan Pre Kompre SKDI 3 - Hanung
Tugas Bimbingan Pre Kompre SKDI 3 - Hanung
SKDI 3
Disusun Oleh :
Hanung Choiri Rohmawan
H2A014057P
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2020
SISTEM SARAF
1. Meniere Disease
Level SKDI 3A
Sistem Saraf
a. Pengertian Suatu penyakit pada telinga dalam yang bisa
mempengaruhi pendengaran dan keseimbangan.
Penyakit ini ditandai dengan keluhan berulang berupa
vertigo, tinnitus, dan pendengaran yang berkurang
ssecara progresif, biasanya pada satu telinga. Penyakit
ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan
dari endolimfe pada telinga dalam.
b. Prevalensi Angka kejadian Laki laki = Perempuan.
Lebih sering pada orang dewasa, dengan rata-rata
usia awitan pada usia 40 tahun.
c. Etiologi Penyebab pasti Meniere belum diketahui. Namun
terdapat berbagai teori termasuk pengaruh neurokimia
dan hormonal abnormal pada aliran darah yang menuju
labirin dan terjadi gangguan elektrolit dalam cairan
labirin, reaksi alergi dan autoimun.
Penyakit Meniere dianggap sebagai keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan cairan telinga yang abnormal
dan diduga disebabkan oleh terjadinya malabsorbsi
dalam sakus endolimfatikus. Selain itu para ahli juga
mengatakan terjadinya suatu robekan endolimfa dan
perilimfa bercampur.
d. Faktor resiko Faktor lingkungan seperti suara bising, infeksi virus
HSV, penekanan pembuluh darah terhadap saraf
(microvascular compression syndrome). Selain itu gejala
dari penyakit Meniere dapat ditimbulkan oleh trauma
kepala, infeksi saluran pernapasan atas, aspirin,
merokok, alkohol, atau konsumsi garam berlebihan.
e. Gejala Gejala-gejala klinis dari penyakit Meniere yang khas
sering disebut trias Meniere yaitu:
Vertigo
Tinnitus
Tuli saraf sensorineural fluktuatif terutama nada
rendah.
f. Tanda Pemeriksaan garpu tala - Penilaian pemeriksaan ini akan
memberikan hasil pendengaran berkurang, Rinne negatif
dan Weber berlateralisasi ketelinga yang tuli bagi tuli
saraf
1) Terapi farmakologi :
a) Diuretic : hidrochlorotiazid 50 mg/hari
Untuk mengurangi volume dan tekanan endolimfe.
b) Vasodilator :
Agonis histamin : betahistine (anti vertigo)
dosis awal pemakaian adalah 8-16 mg, 3 kali
sehari. Dosis pemakaian selanjutnya (dosis
pemeliharaan) adalah 24-48 mg per hari.
Ca agonis : Verapamil dosis 80mg diberikan 3
kali sehari
c) Steroid : Prednisone 40 mg satu kali sehari selama
5-10 hari, deksametason dosis Awal, 0,75-9 mg/hr
PO, terbagi dalam 2-4 dosis.
2) Terapi non farmakologik :
a) Diet rendah garam
b) Hindari faktor pencetus
j. Referensi 1) Soetirto I, Hendamin H, Bashiruddin J. Ganguan
Pendengaran. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidunng, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi ke-6. Editor : Soepardi EA, Iskandar N.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. 10-16.
2) Becker W, Naumann HH, Pfalfz CR. A Pocket
Reference Ear, Nose, and Throat Disease. Second
Revised Edition. New York : Thiemes; 2004. 100-
101.
2. Carpal Tunnel Syndrome
Level SKDI 3A
Sistem Saraf
a. Pengertian Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus
medianus adalah neuropati tekanan / jebakan
(entrapment neuropathy). Di pergelangan tangan, nervus
medianus berjalan melalui terowongan karpal (carpal
tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan
punggung tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah
dan setengah sisi radial jari manis. Pada saat berjalan
melalui terowongan inilah nervus medianus paling
sering mengalami tekanan yang menyebabkan terjadinya
neuropati tekanan yang dikenal dengan istilah Sindroma
Terowongan Karpal / STK (Carpal Tunnel
Syndrome/CTS).
b. Prevalensi CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan
usia berkisar 25-64 tahun, prevalensi tertinggi pada
wanita usia >55 tahun, biasanya antara 40-60 tahun.
Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus (29%
kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral
c. Etiologi Adanya kompresi N. Medianus di dalam carpal tunnel
d. Faktor resiko Herediter: neuropati herediter yang cenderung
menjadi pressure palsy, misalnya Hereditary Motor
and Sensory Neuropathies (HMSN) tipe III
Trauma pekerjaan : Infeksi: tenosinovitis,
tuberkulosis, sarkoidosis.
Metabolik: amiloidosis, gout.
Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen,
diabetes mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi
metastase, mieloma.
Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid,
polimialgia reumatika, skleroderma, lupus
eritematosus sistemik.
Degeneratif: osteoartritis.
Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt
vaskular untuk dialisis, hematoma, komplikasi dari
terapi anti koagulan.
Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e. Gejala Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa
(numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik
(tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4
sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus
walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh
jari-jari.
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam
hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga
dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga sering
membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini
umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau
menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan
tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan
berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan
tangannya.
Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar
(oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-
otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus.
f. Tanda Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara
maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala
seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa
Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan
torniquet dengan menggunakan tensimeter di atas
siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik.
Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnose.
Tinel’s sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia
atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus
jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi
Flick’s Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau
menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan
berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa
Thenor Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya
atrofi otot-otot thenar
Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua
tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60
detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini
menyokong diagnosa
Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal
dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu
kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes
ini menyokong diagnose
Luthy's Sign (Bottle's sign
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan
penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan
rapat, tes dinyatakan positif
Tes Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm
di daerah nervus medianus, tes dianggap positif
g. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan EMG
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya
fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan
berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar
Sinar X
h. Diagnosis Banding Cervical radiculopati
Pronator teres syndrome
Inoraric outlet syndrome
De quervein syndrome
Radial neuropathy
i. Terapi 1) Bidai pergelangan tangan
2) Bila tidak membaik, diberikan R/ Deksametason 1-
4mg/ prednisolon 20 mg/ 40mg di injeksi kedalam
terowongan karpal diulang 7-10 hari, total 4 kali
3) Diberikan juga R/ vit B6 100-300 mg/ hari selama 3
bulan
4) Bila tidak membaik juga, bisa dilakukan pembedahan
5) Fisioterapi
j. Referensi 1) American Academy of Orthopaedic Surgeons.
Clinical Practice Guideline on the Treatment of
Carpal Tunnel Syndrome. 2008.
2) George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al.
Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. 2009.
3) Gorsché, R. Carpal Tunnel Syndrome. The Canadian
Journal of CME. 2001
SISTEM PSIKIATRI
1. Hipersomnia
Level SKDI 3A
Sistem Psikiatri
a. Pengertian Hipersomnia adalah tidur yang berkelebihan terutama
pada siang hari yang terjadi secara teratur atau rekuren
untuk waktu singkat dan menyebabkan gangguan fungsi
sosial dan pekerjaan.
b. Prevalensi -
c. Etiologi Stress
Obat obatan : anti depresan, obat jantung dan tekanan
darah, alergi stimulan dan kortikosteroid
Kafein, nikotin, dan alkohol
Kondisi medis
Kelelahan berlebih
Kecemasan dan depresi
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kondisi kejiwaan tertentu
d. Faktor resiko Stress
Obat obatan : anti depresan, obat jantung dan tekanan
darah, alergi stimulan dan kortikosteroid
Kafein, nikotin, dan alkohol
Kondisi medis
Kelelahan berlebih
Kecemasan dan depresi
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kondisi kejiwaan tertentu
e. Gejala dan Tanda Hasil anamnesis:
Keadaan ini ditandai dengan kesulitan berlebihan
untuk tetap terjaga
Kecenderungan untuk tetap berada ditempat tidur
dalam periode waktu yang sangat lama
Sering kembali ke tempat tidur untuk tidur siang
hari
Pada kondisi kelelahan/ jatuh tertidur lebih awal
dari biasanya
Kesulitan bangun di pagi hari
Merasa lelah yang hebat sepanjang hari
Merasa tetap mengantuk meskipun telah tidur
malam dan tidur siang
Sulit berpikir dan membuat keputusan, pikiran
tidak jernih
Apatis (kurang emosi, motivasi, atau antusiasme)
Sulit berkonsentrasi atau mengingat
Penongkatan risiko kecelakaan, terutama
kecelakaan kenderaan bermotor
Berdasarkan Diagnostic And Statictical Manual of
Mental Disorders edisi ke empat (DSM-IV) terdapat:
Hipersomnia Non-organik
a) Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial
untuk diagnosis pasti:
- Rasa kantuk pada siang hari yang
berlebihan atau adanya serangan tidur/sleep
attacks (tidak disebabkan oleh jumlah tidur
yang kurang), dan atau transisi yang
memanjang dari saat mulai bangun tidur
sampai sadar sepenuhnya (sleep
drunkenness)
- Gangguan tidur terjadi setiap hari selama
lebih dari 1 bulan atau berulang dengan
kurun waktu yang lebih pendek,
menyebabkan penderitaan yang cukup
berat dan mempengaruhi fungsi dalam
sosial dan pekerjaan
- Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy”
(catapelxy, sleep paralysis, hypnagonic
hallucination) atau bukti klinis untuk “sleep
apnoe” (nocturnal breath cessatin, typical
intermittent snoring sounds,etc)
- Tidak ada kondisi neurologis atau medis
yang menunjukkan gejala rasa kantuk pada
sang hari.
b) Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu
gejala dari gangguan jiwa lain, misalnya
gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai
dengan gangguan yang mendasarinya.
Diagnosis hiersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan
keluhan yang dominan dari penderitaan
dengan gangguan jiwa lainnya.
Hipersomnia Primer Hipersomnia primer terdapat
pada 5% populasi dewasa, pria dan wanita
mempunyai kemungkinan sakit yang sama. Yang
dimaksud dengan hipersomnia primer adalah
tidur yang berlebihan atau terjadi serangan
tidur ataupun perlambatan waktu bangun.
Hipersomnia mungkin merupakan akibat dari
penyakit mental, penyakit organik (termasuk obat-
obatan) atau idiopatik. Gangguan ini merupakan
kebalikan dari insomnia. Seringkali penderita
dianggap memiliki gangguan jiwa atau malas.
Penderita hipersomnia membutuhkan waktu tidur
lebih dari ukuran normal. Pasien biasanya akan
tidur siang sebanyak 1-2 kali per hari, dimana
setiap waktu tidurnya melebihi 1 jam. Meski
banyak tidur, mereka selalu merasa letih dan
lesu sepanjang hari. Gangguan ini tidak terlalu
serius dan dapat diatasi sendiri oleh penderita
dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
diri. Polysomnography memperlihatkan
penurunan gelombang delta peningka-tan
kesadaran, dan pengurangan masa laten REM
pada pasien dengan hipersomnia primer.
Kriteria Diagnostik untuk Hipersomnia Primer
menurur DSM-IV-TR yaitu:
a) Keluhan yang menonjol adalah mengantuk
berlebihan di siang hari selama sekurangnya
satu bulan (atau lebih singkat jika rekuren)
seperti yang ditunjukkan oleh episode tidur
yang memanjang atau episode tidur siang hari
yang terjadi hampir setiap hari.
b) Mengantuk berlebihan di siang hari
menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
c) Mengantuk berlebihan di siang hari tidak
dapat diterangkan oleh Insomnia dan tidak
terjadi semata-mata selam perjalan gangguan
tidur lain (misalnya, narkolepsi, gangguan
tidur berhubungan pernafasan, gangguan tidur
irama sirkadian, atau parasomnia) dan tidak
dapat diterangkan oleh jumlah tidur yang
tidak adekuat.
d) Gangguan tidak terjadi semata-mata selama
perjalanan gangguan lain.
e) Gangguan bukan karena efek fisiologis
langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi
medis umum.
f. Pemeriksaan Penunjang a) Polysomnography adalah tes semalam di mana
perangkat pemantauan terhubung ke individu
untuk menilai berbagai tahapan tidur untuk aktivitas
muatan listrik otak (electroencephalogram, atau
EEG), jantung (elektrokardiogram), gerakan otot-
otot (electromyogram) dan mata (elektro-
oculogram).
b) Kadar oksigen dalam darah dan perubahan dalam
pernapasan juga dipantau. Beberapa tes latensi tidur
(MSLT) mengukur waktu yang dibutuhkan untuk
jatuh tidur siang hari dalam ruangan yangtenang. Tes-
tes lain mungkin termasuk pemeliharaan uji terjaga
dan skala kantuk Epworth.
g. Diagnosis Banding Hipersomnia non organik
Hipersomnia episodik
Narkolepsi
Delayed Sleep Phase Syndrome
Long sleeper
Obstruktive Sleep Apneu (OSA)
h. Terapi Medikamentosa
- Diberikan obat-obatan simultan seperti amfetamin
yang diberikan pagi atau sore hari
- Obat antidepresan non sedasi seperti bupropion
(wellbutrin)
- Stimulan baru seperti modafinil (provigil)
Edukasi dan Konseling
- Penyelesaian permasalahan/ stres
- Perubahan gaya hidup, seperti:
a) Hindari rokok, alkohol, dan minuman
berkafein sebelum tidur
b) Relaksasi secara rutin untuk mencegah
kecemasan di malam hari
c) Berolahraga secara teratur dan menjaga berat
badan
d) Diet seimbang untuk mencegah kekurangan
gizi
e) Hindari gangguan di ruang tidur
f) Atur tempat tidur senyaman mungkin
g) Terapkan jadwal tidur dan patuhi
i. Referensi 1) Sadock BJ and Virginia Alcott Sadock. 2007. Kaplan
& Sadock’s, Synopsis of psychiatry, Behavioral
Sciences/ Clinical Psychiatry. Tenth Edition.
Philadelphia USA: Lippincott Williams & Wilkins.
2) Maslim Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis
Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta.
3) Japari I. 2002. Gangguan Tidur. USU Digital Library.
Pp 1-4.
4) American Psychiatric Association. 2013.
Diagnostic and StatisticalManual of Mental
Disorders DSM-V. Washington, DC:
AmericanPsychiatric Publishing.
5) Puri B, Laking P, Treasaden.2011. Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta : EGC
2. Gangguan Psikotik
Level SKDI 3A
Sistem Psikiatri
a. Pengertian Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai
dengan adanya halusinasi, waham, perilaku kataton,
perilaku kacau, pembicaraan kacau yang pada umumnya
disertai tilikan yang buruk.
b. Prevalensi Paling banyak terjadi pada usia 25-40 tahun.
c. Etiologi Penyebab dari gangguan psikotik masih belum diketahui
(ideopatik).
d. Faktor resiko Faktor genetic
Faktor psikologis
Faktor social ekonomi
e. Gejala Biasanya pasien sulit untuk diajak berkomunikasi, mulai
terdapat hendaya
f. Tanda Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang
dibayangkan : misalnya, mendengar suara yang tak
ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak ada
bendanya),
Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah
dan tidak dapat diterima oleh kelompok sosial pasien,
misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni oleh
tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa
diamati/diawasi oleh orang lain),
Agitasi atau perilaku aneh (bizar),
Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi),
Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel).
g. Pemeriksaan Penunjang -
h. Diagnosis Banding Gangguan psikotik polimorfik akut
Skizofrenia
Gangguan psikotik lir-skizofrenia
Gangguan waham
i. Terapi
Standard:
Mid Axillar Line
ICS 5, 6, 7
dari Pleural Effusion
d. Pleurodesis
j. Referensi 1) Sjamsuhidajat R, Wim de Jong; Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2004: 840.
2) Wibowo Suryatenggara. Pneumotoraks Dalam:
Simposium Darurat Gawat Paru. Jakarta, 1983: 1322.
3) Webber. Pneumothorax. In: Murray JF &Nadel JA
(eds). Textbook of Respiratory Medicine.
Philadelphia: WB Saunders Co. 1998:174.
4) Alagaff, Hood, dkk. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press. 2005.
SISTEM KARDIOVASKULER
1. Infark Miokard
Level SKDI 3B
Sistem Kardiovaskuler
a. Pengertian Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis
otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
b. Prevalensi Laki – laki > Perempuan
Laki – laki 45 tahun, Perempuan 55 tahun
c. Etiologi Nekrosis otot jantung akibat sumbatan arteri otot
miokardium
d. Faktor resiko Mayor
- Peningkatan lipid serum
- Hipertensi
- Merokok
- Konsumsi alkohol
- Diabetes Melitus
- Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori
Minor
- Aktivitas fisik kurang
- Stress psikologik
- Tipe kepribadian
e. Gejala Nyeri dada retrosternum seperti tertekan atau
tertindih benda berat.
Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, punggung, dan
epigastrium. Penjalaran ke tangan kiri lebih sering
terjadi.
Disertai gejala tambahan berupa sesak, mual, muntah,
nyeri epigastrium, keringat dingin, dan cemas.
f. Tanda Pasien biasanya terbaring dengan gelisah dan
kelihatan pucat
Hipertensi/hipotensi
Dapat terdengar suara murmur dan gallop S3
Ronki basah disertai peningkatan vena jugularis dapat
ditemukan pada AMI yang disertai edema paru
Dapat ditemukan aritmia
g. Pemeriksaan Penunjang EKG:
- Pada ST Elevation Myocardial infarct (STEMI),
terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan
perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian
muncul peningkatan gelombang Q minimal di dua
sadapan.
- Pada Non ST Elevation Myocardial infarct
(NSTEMI), EKG yg ditemukan dpt berupa depresi
segmen ST dan inversi gelombang T,atau EKG
yang normal.
- Peningkatan enzim jantung
h. Diagnosis Banding Angina pektoris prinzmetal,
Unstable angina pectoris,
Dispepsia,
Miokarditis,
Pneumothoraks,
Emboli paru
i. Terapi Penatalaksanaan Segera rujuk setelah pemberian :
- Oksigen 2-4 liter/menit
- Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3 kali
- Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis
pemeliharaan 1 x 160 mg
- Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
j. Referensi 1) Fenton, Drew. 2009. Myocardial Infarction. Diakses
tanggal 15 Mei dari http://emedicine.medscape.com.
2. Cardio Respiratory Arrest
Level SKDI 3B
Sistem Kardiovaskuler
a. Pengertian Adalah kondisi kegawatdaruratan karena berhentinya
aktivitas jantung paru secara mendadak yang
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini
disebabkan oleh malfungsi mekanik jantung paru atau
elektrik jantung.
b. Prevalensi Laki – laki > Perempuan
Pada usia antara 75 – 84 tahun
c. Etiologi Fibrilasi ventrikel atau takikardia tanpa denyut (80–
90%)
Ventrikel asistol (+10%)
Disosiasi elektromekanik (+5%)
Dua jenis henti jantung yang lebih sulit ditanggulangi
karena akibat gangguan peacemaker jantung
d. Faktor resiko Usia
Jenis kelamin
Merokok
Hipertensi
Diabetes Mellitus
Hiperkolesterolemia
Obesitas
Riwayat CHD dalam keluarga
e. Gejala Tidak ada respon
Tidak bergerak
Tidak sadar
f. Tanda Tidak adanya pulsasi terutama pada arteri karotis
g. Pemeriksaan Penunjang 1. Defibrillator
2. EKG
h. Diagnosis Banding Angina Pectoris
Aortic Stenosis
Coronary Artery Atherosclerosis
Dilated Cardiomyopathy
Hypertrophic Cardiomyopathy
i. Terapi
Marsupialisasi
Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi
hanya digunakan pada kista bartholin.Namun sekarang
digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena
memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi
adalah suatu tehnik membuat muara saluran kelenjar
bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari
pemasangan word kateter. Komplikasi berupa
dispareuni, hematoma, infeksi.
Cara:
• Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan
menggunakan betadine.
• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan
lidokain 1 %.
• Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam
0,5cm (insisi sampai diantara jaringan kulit dan
kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar
dengan dasar selaput himen.
• Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista
dijepit dengan klem pada 4 sisi, sehingga rongga
kista terbuka dan kemudian dinding kista
diirigasi dengan cairan salin.
• Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan
atraumatik catgut. Jika memungkinkan muara
baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2 jari
tangan), dan dalam waktu 1 minggu muara baru
akan mengecil separuhnya, dan dalam waktu 4
minggu muara baru akan mempunyai ukuran
sama dengan muara saluran kelenjar bartholin
sesungguhnya.
Penggunaan antibiotik
• Antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang
diketahui secara pasti dari hasil pengecatan gram
maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin
• Infeksi Neisseria gonorrhoe:
- Ciprofloxacin 500 mg single dose
- Ofloxacin 400 mg single dose
- Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan
bumil)
- Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan
bumil)
• Infeksi Chlamidia trachomatis:
- Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po
- Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po
• Infeksi Escherichia coli:
- Ciprofoxacin 500 mg oral single dose
- Ofloxacin 400 mg oral single dose
- Cefixime 400 mg single dose
• Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :
- Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2
x hari
- Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po.
- Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.
i. Referensi 1) Ashari, M.A. (2010). Materi Kuliah Tumor Jinak
Ginekologi. Yogyakarta : SMF Ilmu Kebidanan dan
Kandungan RSD Panembahan Senopati Bantul.
2) Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Bina Pustaka.
2. Endometritis
Level SKDI 3B
Sistem Reproduksi
a. Pengertian Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di
endometrium yang disebabkan oleh infeksi pada
jaringan, dan merupakan komplikasi pascapartum,
biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan.
b. Prevalensi Pada wanita dan meningkat di usia reproduksi (25-40
tahun)
c. Etiologi Belum diketahui secara pasti
d. Faktor resiko Retrograde menstruasi
Gangguan sistem kekebalan tubuh
Usia
Nulipara
Fertile
Genetik
Siklus menstruasi yang singkat
Mengalami menopause pada usia yang lebih tua
Konsumsi alkohol
e. Gejala Bercak saat pre/ pasca menstruasi
Dysmenorrhea (nyeri saat haid)
Dysparenuia (nyeri saat senggama)
Dyschezia (nyeri saat buang air besar)
Infertilitas
f. Tanda Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan
melakukan inspeksi pada vagina menggunakan
spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan
bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari
uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk
mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum
rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul
endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat
meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis
dan juga menilai nyeri.
g. Pemeriksaan Penunjang 1) USG Transvaginal
2) Pemeriksaan marker biokimiawi
Sitoki, interlukin, TNF – α : terdapat peningkatan
sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan
endometriosis
IL – 6 : untuk membedakan wanita dengan atau tanpa
endometriosis dan untuk mengidentifikas derajat
endomtriosis
h. Diagnosis Banding Penyakit radang panggul menahun
Salpingitus akut berulang
Neoplasma ovarium jinak/ ganas
Kehamilan ektopik
i. Terapi Farmakologi
- NSAID (ibuprofen/ asam mefenamat)
- GnRH agonis atau Danazol
- Dosis 600-800 mg/ hari (selama 6-9 bulan)
- Kontrasepsi oral dan medroksiprogesteron acetat
(efektif untuk endometriosis dengan nyeri
Pembedahan
Indikasi pembedahan:
- Ukuran endometrioma mencapai 3 cm
- Distorsi anatomi yang luas
- Menyangkut usus/ kandung kemih
- Perlekatan hebat
j. Referensi 1) Konsensus Endometriosis. Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia. 2013.
SISTEM ENDOKRIN METABOLIK DAN NUTRISI
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Level SKDI 3B
Sistem Endokrin Metabolik Dan Nutrisi
a. Pengertian Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan
dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
b. Prevalensi Pada semua kelompok umur, namun sering pada anak
dibawah 4 tahun.
c. Etiologi Semua kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan
oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
yang berkembang dalam beberapa jam atau hari. Pada
pasien DM yang telah diketahui sebelumnya disebabkan
oleh kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen
atau karena peningkatan kebutuhan insulin akibat
keadaan atau stres tertentu.
d. Faktor resiko Infeksi
Kelainan vaskuler (infark miokard akut)
Kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma
chusing)
Trauma
Kehamilan
Stres emosional
Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin,
kortisol, glukagon)
e. Gejala Pernafasan cepat dan dalam (kussmaul)
Dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering)
Syok
Bau aseton dari hawa nafas
Mual muntah
Nyeri perut dan berhubungan dengan gastroparesis-
dilatasi lambung
f. Tanda Penurunan kesadaran
Riwayat berhenti menyuntik insulin
Demam
Infeksi saluran kemih
Pneumonia
Nyeri abdomen
g. Pemeriksaan Penunjang
h. Diagnosis Banding Hipoglikemia
Hipokalemia
Asidosis persisten
Edema serebri
i. Terapi Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat
multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan
terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas.
Prinsip-prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetik ialah :
1) Penggantian cairan dan garam yang hilang
2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan
glukoeogenesis sel hati dengan pemberian insulin
3) Mengatasi stres sebagai pncetus ketoasidosis
diabetik
4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan
menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
5) Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis
diabetik adalah terapi cairan Terapi insulin hanya
efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi
dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat
ketoasidosis diabetikar gula darah menjadi lebih
rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat
jam pertama, lebih dari 80% penurunan ketoasidosis
diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi.Oleh
karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami
adalah penentuan difisit cairan yang terjadi.
6) Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah
diagnosis ketoasidosis diabetik dan rehidrasi yang
memadai .Sumber lain menyebutkan pemberian
insulin dimulai setelah diagnosis ketoasidosis
diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah
dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan
ketoasidosis diabetikar hormon glukagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan
asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan
asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan .
j. Referensi 1) Simandibrata M, Setiati S, Alwi A, Oemardi M, Gani
RA, Mansjoer A. Pedoman Diagnosis dan Terapi Di
Bidang Penyakit Dalam, Pusat Informasi Dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
Jakarta. 2004
2) Sjaifoellah, Noer., Waspadji S, Rahman AM. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, edisi III, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta. 2006
2. Hipoglikemia Berat
Level SKDI 3A
Sistem Endokrin Metabolik Dan Nutrisi
a. Pengertian Hipoglikemi adalah suatu kondisi kegawatdaruratan
dimana kadar glukosa darah yang abnormal rendah)
terjadi kalau kadar glukosa turun di bawah 35 mg/dl.
b. Prevalensi Terjadi paling sering pada usia lebih dari 40 tahun.
c. Etiologi 1) Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa
menyebakan hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada
tumor sel penghasil insulin di pankreas (insulinoma).
Kadang tumor diluar pankreas yang menghasilkan
hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan
hipoglikemia.
2) Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi
Hipoglikemia paling sering terjadi disebabkan oleh
insulin atau obat lain (sulfonilurea) yang diberikan
kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar
gula darahnya. Jika dosis obat ini lebih tinggi dari
makanan yang dimakan maka obat ini bisa bereaksi
menurunkan kadar gula darah terlalu banyak. Hal ini
terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak
membentuk glukagon secara normal dan kelanjar
adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara
normal.
3) Asupan karbohidrat kurang
a) Makan tertunda atau lupa,
b) Porsi makan kurang karena Diet
c) Anorexia nervosa
d) Muntah, gastroparesis
e) Menyusui
4) Lain-lain
a) Absorbsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
b) Alkohol, pemakaian alkohol dalam jumlah banyak
tanpa makan dalam waktu yang lama bisa
menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat
sehingga menyebabkan stupor.
d. Faktor resiko Faktor Genetic
Faktor usia
Konsumsi alcohol
Faktor diet
Faktor konsumsi obat tertentu
e. Gejala
f. Tanda
2) Hemoglobin menurun,
3) Hct menurun,
4) Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC).
MCV > Normal
MCH = Normal
MCHC= Normal
5) Pemeriksaan sumsum tulang
6) Pemeriksaan retikulosit
h. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi vitamin B12/penisiosa
Anemia Defisiensi asam folat
Anemia makrositik non megaloblastik (penyakit
hepar, myelodisplasia)
Anemia mikrositik hipokromik
i. Terapi Defisiensi vitamin B12/penisiosa
Pemberian vitamin B12 1000 mg/hari IM selama 5-7
hari 1x/ bulan.
Defisiensi asam folat
Asam folat oral 1mg/hari.
j. Referensi 1) Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia.
Hematology in Clinical Practice. A Guide to
Diagnosis and Management. New York; McGraw
Hill, 1995 : 72-85.
2) Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric
Hematologyand Oncology. Edisi ke-2. New York;
Churchill Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3) Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia.
Hematology of Infancy and Childhood. Edisi ke
Philadelphia; Saunders, 1974: 103-25
2. Demam Reumatik
Level SKDI 3A
Sistem Hematologi Dan Imunologi
Pengertian Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang
menyerang multisistem akibat infeksi dari Streptokokus
β hemolitikus grup A pada faring (faringitis) yang
biasanya menyerang anak dan dewasa muda.
Prevalensi Paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun.
Etiologi Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen
multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus
grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit
ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
Faktor resiko Beberapa faktor yang diduga berperan terhadap serangan
Demam Reumatik berulang yaitu usia saat pertama
serangan, adanya Penyakit Jantung reumatik, jarak
waktu serangan berulang dari serangan sebelumnya,
jumlah serangan demam sebelumnya, derajat
kekumuhan pada lingkungan pasien, riwayat keluarga
dengan Demam Reumatik atau Penyakit Jantung
Reumatik, risiko infeksi streptokokus di area tempat
tinggal.
Gejala Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah
mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu sebelum
muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak
menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan.
Demam,
Sakit kepala,
Penurunan berat badan,
Epistaksis,
Malaise,
Diaforesis dan pucat.
Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
Ortopnea atau sakit perut,dan
Muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri
sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas
dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan
infeksi Streptococcus, difungsi motorik.
Tanda
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin, ASTO, CRP, dan kultur ulasan
tenggorokan. Dilakukannya pemeriksaan EKG dan
echocardiografi untuk melihat apakah terdapat kelainan
pada katup-katup jantung dan otot jantung.
Diagnosis Banding Artritis reumatoid
Lupus eritomatosus sistemik
Karditis
Tuberkulosis
Terapi Terapi Antibiotik
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium
3x125 mg oral, dan amoxicilin oral 3x500 mg adalah
obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta
hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat
alergi terhadap penisilin.
Terapi anti inflamasi
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya
menunggu sampai diagnosis rheumatic fever
ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-
125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil
selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-
70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang
alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-
20 mg/kg/hari.
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama
adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari,
maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1
kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis
diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang
mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone
dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti
inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.
Tirah Baring
Referensi 1) Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In:
Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst The
Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001: 1657-65.
2) Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris:
Lancet. 2012: 953–64
3) Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of
Rheumatic Fever and Diagnosis and Treatment of
Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam Physician.
2010: 346-359.
4) Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever &
Rheumatic Heart Disease: The last 50 years. Indian J
Med Res. 2013: 137.
SISTEM MUSKULO SKELETAL
1. Artritis, Osteoartritis
Level SKDI 3A
Sistem Muskuloskeletal
a. Pengertian Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi. Pasien sering datang berobat
pada saat sudah ada deformitas sendi yang permanen.
b. Prevalensi Wanita > laki-laki
Pada usia ≥ 50 tahun
c. Etiologi Pertambahan usia sehingga terjadi kerusakan kartilago
d. Faktor resiko Usia > 60 tahun
Wanita, usia > 50 tahun atau menopause
Obesitas
Pekerja berat dengan penggunaan satu sendi terus
menerus.
e. Gejala Nyeri sendi
Hambatan gerak sendi
Kaku dipagi hari
Krepitasi
Pembesaran sendi
Perubahan gaya berjalan
f. Tanda Hambatan gerak
Krepitasi
Pembengkakan sendi yang seringkali tidak simetris
Tanda-tanda peradangan sendi : merah, perabaan
hangat, bengkak, dll
Deformitas sendi yang permanen
Perubahan gaya berjalan.
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium
2) USG
3) Foto rongten
Bouchard
Hebeiden nodes (osteofit keras)
h. Diagnosis Banding Artritis gout
Rheumatoid artritis
Osteoporosis
Polimialgia rematik
i. Terapi 1) Pengelolaan OA berdasarkan distribusinya (sendi
yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena
2) Pengobatan untuk mencegah progesifitas dan
meringankan gejala yang dikeluhkan
3) Modifikasi gaya hidup : menurunkan berat badan,
melatih untuk tetap menggunakan sendinya dan
melindungi sendi yang sakit
4) Farmakoterapi
Analgesik topikal
NSAID oral :
- Non selektif COX1: Ibuprofen
R/ Ibu prfen tab 400mg No.X11
S 3 dd 1 tab pc
- Selektif COX2 : Meloksikam
R/ Meloksikam tab 15 mg No.X
S 1 dd 1 tab pc
5) Non farmakotreapi :
Fisioterapi
j. Referensi 1) Sjamsuhidayat, R dan Wim de Jong.. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 2010.
2) Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamEdisi V,
Jakarta, Interna Publishing; 2014.
2. Osteomielitis
Level SKDI 3A
Sistem Muskuloskeletal
a. Pengertian Infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk
dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang berasal
dari dalam tubuh).
b. Prevalensi Lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan.
Sering terjadi pada usia 30- 60 tahun keatas karena
penyakit ini berhubungan dengan penuaan..
c. Etiologi Penyebab paling banyak adalah staphylococcus aerus
(70% - 80%). Organisme penyebab yang lain adalah
salmonela streptococcus dan pneumococcus.
d. Faktor resiko Faktor usia, kebiasaan merokok dan minum alkohol,
penyakit diabetes militus, penggunaan steroid jangka
panjang, penurunan kekebalan tubuh.
e. Gejala Gejala umum akut seperti demam, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, dapat teraba
pembengkakan dan kulit tampak kemerahan
f. Tanda Dapat ditemukan adanya pembengkakan pada sendi yang
terinfeksi, terlihat kulit kemerahan (tanda radang).
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium
Peningkatan laju endap eritrosit.
Lukosit dan LED meningkat.
2) Pemeriksaan radiologi
3) CT-Scan tulang
4) Biopsi tulang, mengidentifikasi organisme penyebab.
h. Diagnosis Banding Artheritis,
Septik arthritis,
Celulitis,
Acut rheumatism.
i. Terapi Imobilisasi area yang sakit : lakukan rendam salin
noral hangat selama 20 menit beberapa kali sehari.
Kultur darah : lakukan smear cairan abses untuk
mengindentifikasi organisme dan memilih antibiotik.
Terapi antibiotik intravena sepanjang waktu.
Berikan antibiotik peroral jika infeksi tampak dapat
terkontrol : teruskan selama 3 bulan. Dapat diberikan
amoxicilin 3x500 mg atau cefadroksil 2x500mg.
Bedah debridement tulang jika tidak berespon
terhadap antibiotik pertahankan terapi antibiotik
tambahan.
j. Referensi 1) Michno A, Nowak A, Królicki K. Review of
contemporary knowledge of osteomyelitis diagnosis.
World Sci News. 2018: 272-82.
2) Riise RO, Kirkhus E, Handelan KS, Flato B. Reiseter
T, Cvancarova M. Childhood osteomyelitis-incidence
and differentiation from other acute onset
musculoskeletal features in a population-based study.
BMC Pediatr. 2008: 45.
SISTEM INTEGUMEN
1. Dermatitis Kontak Alergi
Level SKDI 3A
Sistem Integumen
a. Pengertian Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis
(peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan
alergen melalui proses sensitisasi
b. Prevalensi -
c. Etiologi Eksogen
- Bahan kimia: detergen, asam basa, oli, semen
- Fisik: sinar dan suhu
- Mikroorganisme: bakteri dan jamur
Endogen Dermatitis Atopik
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia
sederhana dengan berat molekul kurang dari 1000
dalton, merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat
menembus stratum korneum sehingga mencapai sel
epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak
alergi, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan,
oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum
dan ph. Faktor individu misalnya keadaan kulit pada
lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis) dan status imunologik (misalnya sedang
menderita sakit, terpajan sinar matahari).
d. Faktor resiko Terpajan bahan alergen
Riwayat terpajan bahan alergen pada waktu tertentu
Riwayat dermatitis atopik
Riwayat keluarga atopi
e. Gejala Gatal pada kulit
Kulit kemerahan
Riwayat kontak dengan bahan alergen
Riwayat alergi pada keluarga
f. Tanda Tanda dermatitis : eritema, papul vesikel halus,
eksudatifa, krusta
g. Pemeriksaan Penunjang 1) Uji Tempel
Kelainan kulit dermatitis kontak alergi sering tidak
menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik atau psoriasis. Diagnosis banding
yang utama adalah dengan dermatitis kontak iritan.
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah
dermatitis tersebut kontak alergi.
Medikamentosa
Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu chlorpheniramine maleat
(CTM) sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali
untuk dewasa dan 0.09 mg/dosis, sehari 3 kali
untuk anak-anak untuk menghilangkan rasa gatal.
Sistemik
- kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg,
sehari 3 kali
- cetirizine tablet 1 x 10 mg/hari
- bila terdapat infeksi sekunder diberikan
antibiotik (amoksisilin atau eritromisin) dengan
dosis 3 x 500 mg/hari, selama 5-7 hari
Topikal
Krim deksametason 0,25 %, 2 kali sehari
Dietari Program :
- Vitamin B-kompleks, penting untuk multiplikasi
sel
- Vitamin C, antiviral
- L-Cystein, suplai sulfur, sebagai preventasi dan
perawatan kutil
- Vitamin A, menormalkan kulit dan epitel
membrane
- Vitamin E, meningkatkan aliran darah dan
membantu perbaikan jaringan
- Zinc, meningkatkan imunitas tubuh melawan
virus
i. Referensi 1) Handoko, RP. Penyakit Virus. Dalam : Djuanda Prof.
Dr. dr. Adhi, Utama Hendra dr, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007
2) Siregar, R.S. Prof. Dr, Sp. KK (K). 2004. Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Ed. 2. EGC :
Jakarta