Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SIKAP SISWA DAN EMPATI GURU

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Psikologi Pendidikan
Dosen : Ihsan Rijali, S.Psi,. M.Pd

Disusun Oleh :
Dimas Andyka Putra
Nim : 1985010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN PURWAKARTA
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan judul
“Sikap Siswa dan Empati Guru”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada orangtua
yang selalu memberi semangat saat mengerjakan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Purwakarta, 23 Oktober 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................................

KATA PENGANTAR..........................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4
 A. Latar Belakang......................................................................................................4
 B. Rumusan Masalah.................................................................................................4
 C. Tujuan Penulisan...................................................................................................4
 D. Manfaat Penulisan.................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................5
 A. Guru dan Empati...................................................................................................5
 B. Beberapa Istilah.....................................................................................................7
 C. Perkembangan Empati...........................................................................................8
 D. Empati dan Simpati...............................................................................................10
 E. Perilaku keliru.......................................................................................................12

BAB III PENUTUP..............................................................................................................14


 A. Simpulan...............................................................................................................14
 B. Saran......................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar
terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu
perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Minat,
bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa
bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual.
Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing dan
membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia
(SDM).

Pada konteks guru, kata empati umumnya didefinisikan sebagai kemampuan guru
menerima, mempersepsi, dan merasakan secara langsung emosi siswanya. Tetapi, empati
tidak berarti guru menerima siswa seperti apa adanya, meski tidak juga bermakna bahwa apa
adanya dari siswa itu melahirkan “empati kepasrahan” dari guru. Empati memang
kemampuan guru memposisikan diri pada diri siswa, namun tetap harus mengemban misi
pedagogis, sehingga posisi itu bisa meningkatkan dinamika proses pembelajaran berbasis
empati. Empati guru pada siswa tidak identik dengan pasrah pada keadaan. Keadaan siswa
harus diubah dengan cara berempati kepada mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian empati ?
2. Bagaimana empati guru terhadap siswa ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi
Pendidikan.

D. Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian empati.
2. Dapat mengetahui bagaimana empati guru terhadap siswa.
E.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Guru dan Empati

Dalam konteks hubungan guru dan siswa empati bermakna afeksi fisikal atau parsialitas guru
terhadap siswanya. Afeksi fisikal bermakna penampakan fisik atau aura guru terkait langsung
atau tidak langsung dengan fenomena yang dihadapi oleh siswanya. Kata parsialitas
bermakna guru mengarsirkan atau menyentuhkan diri pada sisi siswanya, dalam konteks
akademik dan pedagogis. Empati dikonsepsikan sebagai kemampuan guru dalam “membaca”
siswa. Secara harfiah, empati bermakna kemampuan seorang guru merasakan emosi siswa
atau pribadi-pribadi di luar dirinya, khususnya komunitas sekolah.

Pada konteks guru, kata empati umumnya didefinisikan sebagai kemampuan guru
menerima, mempersepsi, dan merasakan secara langsung emosi siswanya. Tetapi, empati
tidak berarti guru menerima siswa seperti apa adanya, meski tidak juga bermakna bahwa apa
adanya dari siswa itu melahirkan “empati kepasrahan” dari guru. Empati memang
kemampuan guru memposisikan diri pada diri siswa, namun tetap harus mengemban misi
pedagogis, sehingga posisi itu bisa meningkatkan dinamika proses pembelajaran berbasis
empati. Empati guru pada siswa tidak identik dengan pasrah pada keadaan. Keadaan siswa
harus diubah dengan cara berempati kepada mereka.

Menurut Wikipedia, konteks hubungan guru dan siswa, kata empati didefinisikan
sebagai kemampuan guru mengenali, mempersepsi dan merasakan secara langsung emosi
siswanya. Di sini, inti emppati adalah kemampuan guru memposisikan diri ke dalam diri
siswanya tanpa larut dengan keadaan siswanya itu. Dalam konteks hubungan antara guru
dengan siswa, empati dapat didefinisikan seperti berikut.

1. Empati merupakan pengalaman kesadaran guru pada umumnya.


2. Empati adalah kapasitas guru dalam berpikir dan merasakan diri sendiri kedalam
kehidupan siswa.
3. Empati merupakan respon afektif yang muncul dalam diri guru atas dasar keprihatinan
atau pemahaman suasana emosional atau kondisi siswanya, dan dengan itu muncul
kesamaan rasa terhadap apa yang siswa sedang merasakan atau akan diharapkan oleh
siswa untuk merasakan.

5
4. Empati melibatkan pengalaman internal guru untuk berbagi ke dalam diri atas
pemahaman momentum suasana psikologis siswanya.
5. Empati merupakan kapasitas guru mengetahui secara emosional apa yang siswa alami
sebagai bentuk kerangka referensi bahwa siswa sebagai diri sendiri, kapasitas mencontoh
perasaan siswa untuk ditempatkan pada diri sendiri dalam “sepatu” siswa.
6. Berempati (to empathize) bermakna bahwa guru berbagi, merasakan perasaan atau
pengalaman siswa.
7. Empati adalah rasa kebersamaan dalam perasaan yan g dialami oleh diri guru dan yang
lain, tanpa membingungkan hubungan di antara dia dengan siswanya.
8. Empati adalah respon afektif yang tepat dari guru terhadap siswa selayaknya situasi yang
dihadapi sendiri.
9. Empati sering pula dimaknai sebagai kemampuan guru menempatkan diri sendiri ke
dalam “sepatu siswa”, atau cara pengalaman guru memandang keluar atau emosi siswa ke
dalam diri sendiri, sebuah sortir resonansi.
10. Empati merupakan perasaan dimana guru ikut merasakan dan memahami siswa.
11. Empati juga bermakna kemampuan guru menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti
siswanya.
12. Empati menjadi salah satu ciri manusia, karena secara naluriah guru sudah
mengembangakan empati sejak masih bayi. Empati yang dimiliki oleh bayi sangat
sederhana, yakni empati emosi.

Empati guru terhadap siswa berkaitan dengan banyak hal, seperti pikiran,
kepercayaan, dan keinginan guru berhubungan dengan perasaan siswanya. Guru yang
berempati akan mampu mengetahui pikiran dan keadaan jiwa atau suasana hati (mood)
siswanya. Karenanya, empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan. Dari
perspektif lain dapat durumuskan definisi sebagai berikut ini. Pertama, empati adalah
kemampuan guru menyelami perasaan siswanya tanpa harus tenggelan ke dalam diri siswa
itu. Kedua, empati adalah kemampuan guru mendengarkan perasaan siswanya tanpa harus
larut pada kondisi siswanya. Ketiga, empati adalah kemampuan guru melakukan respon atas
keinginan siswanya yang tidak terucap.

6
B. Beberapa Istilah

Guru harus hati-hati agar tidak bingung memaknai empati dalam kaitannya dengan makna
yang terkandung dalam terminologi lain, seperti sympathy, pty, emotional contagion, apathy,
atau telepathy. Beberapa contoh statemen untuk menjelaskan istilah-istilah ini disajikan pada
bagian tersendiri.

1. Sympathy: Simpati guru terhadap siswa bermakna perasaan kasihan dari guru (feeling of
compassion) kepada siswanya, dimana guru secara bijaksana memandang siswa mereka
pada kondisi kurang baik atau kurang bahagia, sering dijelaskan sebagai “rasa maaf”
(feeling sorry) guru bagi siswanya. Karena siswanya bersalah dia katakan: saya maafkan
kesalahanmu.
2. Pity: Dalam konteks hubungan guru dengan siswa, pity bermakna perasaan siswa dalam
keadaan bermasalah dan memerlukan bantuan (someone have a trouble and in need of
help) guru, sepertinya mereka tidak cukup daya (cannot fix) mengelola masalahnya
sendiri. Misalnya, guru mengatakan kepada siswanya: Anda agaknya sedang bermasalah,
barangkali anda memerlukan bantuan.
3. Emotional contagion: Dalam konteks hubungan guru dan siswa, emotional contagion
bermakna suatu kondisi ketika guru sedang menyaksikan siswa menampakkan kondisi
emosi tertentu, guru pun merasakan sesuatu yang sedang terjadi. Misalnya, siswa merasa
gundah karena prestasi belajarnya melorot, guru pun gundah, karena dia merasa sudah
mengajar secara sungguh-sungguh.
4. Apathy adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak peduli atau tidak mau tahu suasana
emosi atau perasaan orang lain. Tidak peduli atau tidak mau tahu ini adalah respon atau
sikap nyata, meski sangat mungkin seseorang memahami apa yang sedang dirasakan oleh
orang lain. Dalam konteks hubungan guru dan siswa, apatis ini mestinya tidak pernah
muncul. Tindakan apatis guru terhadap siswa tidak dapat dibenarkan oleh aliran
pendidikan apa pun. Guru yang apatis tidak pernah akan tumbuh menjadi Guru
professional.
5. Telepathy, awalnya merupakan fenomena kehidupan paranormal yang kontroversial,
semacam penggunaan energi jarak jauh. Secara definisi telepati merupakan suasana emosi
atau keadaan mental dapat terbaca secara langsung (read directly), tanpa perlu penjelasan
langsungatau meminta orang lain itu mengekspresikannya. Guru yang profesional dengan
pengalamannya yang panjang dan beragam, biasanya mudah menangkap sinyal-sinyal

7
permasalahan yang dihadapi oleh siswanya. Tanpa penjelasan khusus dari siswa, dia
mengambil tindakan untuk memecahkan aneka masalah anak didiknya itu.

F. Perkembangan Empati

Pada tahun 1997, Douglas Olsen mendefinisikan maturitas atau kematangan empatik
(empathetic maturity) sebagai struktur kognitif yang menentukan apakah seseorang dapat
merasa atau tidak merasa berempati, orang tertentu merasakannya untuk dan bagaimana
besaran anggota kelompok yang ada. Perbedaan maturitas empatik adalah perbedaan dalam
cara seseorang mengaitkan pemaknaan relasi diri dalam mempersepsi yang lain.

Maturitas empati berarti dapat mengkonseptualisasikan pengalaman apakah


seseorang “seperti saya” atau “berbeda dengan saya”. Ini penting, jangan sampai seorang
guru “mau” berempati dengan siswa, tapi salah persepsi, malah melahirkan ketersinggungan.
Menurut olsen (2001) ada tiga tahap maturitas empatik.

A. Tahap 1. Ini pola paling primitif dan tidak umum bagi orang dewasa (most primitive
pattern and not common in different) dengan dirinya. Alasan-alasan bagi orang lain
bertindak, merasakan atau berpikir dipandangannya benar-benar tidak relevan dan tidak
sealur pengalaman dengan dirinya. Pada fase ini seseorang melihat dan mempersepsi apa
yang dilakukan oleh orang lain benar-benar konkrit dan tidak sejalan dengan apa yang
dipersepsi atau dialaminya.
B. Tahap 2. Pada fase ini dia mengembangkan pola pikir rasional atas perilaku adalah
relevan bagi semua orang. Penalarannya atas perilaku dan perfasaan adalah legitimasi
untuk tingkat koinsidensi mereka dengan orang lain. Pada fase ini seorang telah
menyadari, bahwa ketika orang sakit memerlukan transfusi darah, dia merasa berempati
kepada pasien itu karena rasa tanggungjawab melakukan pencegahan.
C. Tahap 3. Pada fase ini rasa saling membutuhkan (mutuality) muncul sebagai sebuah
pertimbangan atas perilaku orang. Orang lain depersepsi sebagai manusia pada cara yang
sama dengan dirinya, untuk kemudian mengkreasi makna ketimbang isi dari makna itu.
Persepsi atas orang lain melahirkan perubahan psikologi pada diri, kemudian lahirlah
pengembangan empati (development of empathy). Seseorang dapat secara empatik
mempersepsi orang lain sepanjang pemahamannya simultan dan tanpa kontradiksi
persepsi bahwa orang lain bertanggungjawab atas perilaku problematiknya. Berikut ini
disajikan statemen yang terkait dengan istilah-istilah tersebut di atas.

8
No Istilah Contoh
.
1 Sympathy atau  Saya mohon maaf atas kesedihan Anda, saya sudi
simpati membantu.
 Terima kasih Anda telah mengundang saya, saya
akan hadir kecuali ada keadaan emergensi.
 Mohon maaf, saya terlambat menghubungi Anda,
tapi saya tidak akan lupa atas komitmen terdahulu.
2 Pity atau kasihan  Barang ini jelek untuk Anda, Anda rasa-rasanya
atau saying sedang berpikir memerlukan bantuan.
 Buku bacaan Anda telah ketinggalan zaman,
agaknya Anda memerlukan informasi mutakhir
tentang itu.
 Program computer Anda sudah ketinggalan satu
generasi program, Anda agaknya sedang berpikir
menemukan program yang lebih canggih dari yang
Anda miliki sekarang.
3 Emotional Contagion  Anda merasa sedih dan saya merasa sedih.
atau pengaruh buruk  Anda merasa gembira dan saya merasa gembira.
emosi atau penularan  Lama studi Anda delapan semester, saya juga
emosi begitu.
4 Empathy atau empati  Saya merasakan kesedihan Anda.
 Saya sedang merasakan sebagai Anda.
 Saya siapa yang Anda lihat pada saya.
 Anda adalah apa yang saya lihat sebagai saya.
5 Apathy atau apatis  Saya tidak mau tahu apa yang Anda rasakan.
atau tidak peduli  Tidak ada gunanya persoalan itu Anda ungkapkan,
karena itu bukan urusan saya.
 Saya adalah saya sendiri, Anda adalah Anda
sendiri.
6 Telepathy atau  Saya dapat membaca kesedihan Anda, tanpa Anda
telepati mengungkapkannya kepada saya dengan cara yang
normal.
 Saya dapat mencandra kesulitan Anda menjalani
bimbingan skripsi dengan tuan A, meski Anda

9
merahasiakannya kepada saya.
 Saya dapat membaca kesimpulan akhir yang Anda
kehendaki, meski Anda tidak cukup terbuka kepada
saya.

D. Empati dan Simpati

Kata empati dan simpati telah mendapat tempat khusus dalam literatur psikologi, dalam
proses interaksi antarmanusia organisasi, bahkan di masyarakat. Pembedaan keduanya dapat
dijelaskan tidak hanya dengan definisi, melainkan tidak kalah pentingnya melalui aksi atau
melihat respon yang muncul. Respon dengan simpati dan empai disajikan berikut ini.

Respon dengan simpati

 Saya simpati dengan keyakinan Anda


 Saya setuju dengan rencana pendekatan berprestasi dalam sistem penggajian
 Kita berada pada alur berpikir yang sama sekarang

Respon dengan empati

 Saya paham keyakinan Anda dan saya akan membantu memperlancar Anda
mewujudkannya, meski saya berbeda pendapat dalam hal itu.
 Saya ikut merasakan keluhanAnda atas rencana penerapan pendekatan berprestasi dalam
penggajian. Ketika Anda berusaha menolaknya, saya akan ikut berargumentasi, namun
kalau Anda sendiri mengalami kesulitan mengikuti kebijakan itu, saya pun akan
membantu Anda menjelaskannya.
 Saya tidak cukup memahami alur berpikir Anda. Barangkali Anda bisa menjawab
pertanyaan saya; mengapa anda menggunakan alur berpikir semacam itu.

Di dalam Encyclopaedia Britannica (1999) empati didefinisikan sebagai “kemampuan


untuk mengimajinasi diri sendiri pada tempat dan pemahaman perasaan, keinginan, cita-cita,
dan tindakan orang lain. Empati dibangun melalui elemen-elemen berikut ini:

1. Imajinasi yang bebas pada kemampuan untuk berimajinasi.


2. Eksistensi diri yang dapat diakses, seperti kesadaran hati dan kesadaran pikiran atau self-
awareness dan self-consciousness.

10
3. Eksistensi yang diperoleh dari kesadaran orang lain atau kesadaran yang didapat dari
dunia di luar diri sendiri.
4. Eksistensi yang dapat diakses dari perasaan, keinginan, cita-cita, dan representasi yang
dimiliki bersama antara diri sendiri dengan subjek empati.
5. Kesamaan kerangka referensi estetik.

Menurut Sholehhudin (2006), dalam http://sholehhudin.blogsome.com


mengemukakan beberapa cara yang dapat membantu seseorang untuk menumbuhkan rasa
empati itu.

1. Jangan selalu berpikir “mengapa kita harus berempati?” tapi kita harus berpikir “mengapa
tidak kita harus berempati, karena hal in tidak merugikan”
2. Jangan merasa derajat kita lebih tinggi dari orang lain, melainkan selalu ingat bahwa
kehidupan itu seperti roda, kadang kita di atas, kadang kita di bawah.
3. Jangan kita memberikan perhatian atau bantuan hanya kepada orang yang menurut kita
akan menguntungkan kita saja.
4. Jangan selalu jalan-jalan ke mal, cobalah jalan-jalan ke tempat dimana banyak orang
susah yang berkumpul di sana. Dengan itu kita akan melihat ada sisi lain dari kehidupan
manusia. Kehidupan manusia tidak selalu menyenangkan, glamour, melainkan banyak
juga yang susah memperoleh pakaian yang bagus, bahkan susah makan dan tempat
berteduh.
5. Selalu tebarkan senyum kepada orang lain tapi jangan kebanyakan.

Menurut sholehhudin, rasa empati pada seseorang harus diasah. Bila dibiarkan rasa empati
tersebut sedikit demi sedikit akan terkikis walau tidak sepenuhnya hilang, tergantung dari
lingkungan yang membentuknya. Banyak segi positif bila kita berempati, karena dengan itu
kita akan agresif dan senang membantu orang lain. Tapi, saking banyak orang yang tidak
peduli akan maknanya. Merasakan perasaan orang lain secara ikhlas dan spontan akan
bernilai posiitif bagi diri sendiri dan orang lain.

11
E. Perilaku Keliru
Di sekolah, hubungan antara guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, guru dengan
siswa, dan guru dengan tata usaha sering kali dirasakan sebagai barang-barang yang gampang
pecah (teacher relationship are like fragile things). Setiap saat guru membangun hubungan,
namun hamper setiap saat usaha itu dihancurkan oleh tindakan sendiri. Nyaris setiap saat kata
“kebersamaan” diutarakan, hamper setiap saat pula memunculkan keinginan “kamu” harus
sama dengan “saya”. Kreatifitas guru pun dirangsang hanya pada tingkat lisan, dalam praktik
birokrasi pendidikan dan kepala ssekolah seseringnya sangat tidak toleran terhadap perbedaan
cara kerja.
Demikian juga hubungan guru dengan siswa. Apa pun yang dilakukan guru, idealnya
bermuara pada bagaimana siswa dapat belajar dengan baik. Namun demikian, masih
ditemukan perilaku guru yang hanya dimaksudkan memudahkan dirinya bekerja, bukan
menyederhanakan tindakan untuk membuat siswa dapat belajar efektif. Guru pun harus
menjadi pembelajar sepanjang hayat dan belajar dari proses pembelajaran. Berikut disajikan
perilaku yang masih umum dilakukan oleh guru-guru di sekolah, juga dosen.

Seharusnya vs Kenyataan
Siswa diminta kreatif dalam proses vs Guru tidak mentoleransi perbedaan
belajar dan mengerjakan tugas-tugas. cara belajar dan mengerjakan tugas.
Pembelajaran berorientasi proses vs Guru tidak sabar ingin memperoleh
dikedepankan. hasil akhir.
Siswa diminta belajar di rumah secara vs Guru tidak memberikan tugas secara
rutin dan bermakna. berstruktur.
Siswa diberi tugas-tugas belajar di vs Guru tidak memberi umpan balik yang
rumah. cukup kepada siswanya.
Siswa didorong terampil berbicara. vs Komunikasi guru dan siswa cenderung
satu arah dan siswa dituntut menjadi
pendengar yang baik.
Siswa didorong terampil menulis. vs Tes esay dan tugas-tugas mengarang
atau mengungkapkan pengalaman
secara tertulis jarang dilakukan.
Siswa didorong untuk tumbuh percaya vs Guru tidak mentoleransi siswa yang
diri. berbjuat “salah” dalam proses
pembelajaran.
Siswa didorong memiliki kemampuan vs Guru mengembangkan sikap “instan”
dan keterampilan memecahkan dan “pragmatis”, serta tidak sabar

12
masalah. ingin mencapai hasil akhir.
Guru bekerja untuk memudahkan siswa vs Guru bekerja untuk memudahkan
belajar. dirinya.
Guru dan siswa sama-sama subjek vs Guru memposisikan siswa sebagai objek
belajar. belajar.

13
BAB III
PENUTUPAN
A. Simpulan

Empati adalah kemampuan memahami dan turut merasakan perasaan orang lain. Empati itu
adalah perwujudan kasih sayang sesama manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
empati berarti perasaan dimana kita ikut merasakan dan memahami orang lain. Atau lebih
gampangnya empati berarti menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain.

B. Saran

Hendaknya bagi seorang guru haruslah dapat menjadi contoh yang baik bagi para siswanya.
Sebab sikap dan tingkah laku guru menjadi perhatian khusus bagi para siswanya di sekolah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Buku referensi psikologi pendidikan ( dalam perspektif baru ) /18/


sikap_siswa_dan_empati_guru / www.cvalfabeta.com

15

Anda mungkin juga menyukai