Anda di halaman 1dari 654

MDDUL 1

Organisasi dan Perilaku Organisasi


Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

anusia adalah makhluk hidup yang memiliki setumpuk keinginan dan


berbagai macam kebutuhan. Silih berganti, keinginan dan kebutuhan
merasuki alam pikiran dan kehidupan manusia. Ketika satu keinginan
menjelma menjadi kebutuhan dan dengan berbagai cara seseorang berhasil
memenuhi kebutuhan tersebut, muncul keinginan dan kebutuhan baru.
Demikian seterusnya seolah-olah manusia tidak pernah merasa puas meski
kebutuhan-kebutuhannya telah terpenuhi. Kondisi inilah yang barangkali
menyebabkan manusia sering dijuluki "the wanting creature". Julukan ini
menyiratkan bahwa keinginan, kebutuhan dan harapan untuk mencapai titik
kepuasan merupakan kodrat manusia yang selalu melekat pada diri
seseorang. Dorongan dan motivasi seseorang untuk melakukan berbagai
macam tindakan sering kali dilandasi oleh kodrat tersebut.
Untuk memenuhi semua keinginan, kebutuhan hingga tercapai titik
kepuasan seperti disebut di atas, di samping melakukan beberapa upaya/
tindakan, seseorang juga membutuhkan berbagai macam alat bantu.
Sayangnya meski telah diupayakan secara maksimal terkadang alat bantu
tersebut belum bisa sepenuhnya membantu manusia memenuhi kebutuhannya
sehingga ia pun membutuhkan alat bantu lain. Namun, secanggih apa pun
alat bantu yang digunakannya jika semuanya dilakukan sendiri tampaknya
sangat sulit bagi seseorang untuk memenuhi semua kebutuhannya. Dari
sinilah manusia mulai sadar bahwa dirinya sebagai makhluk individu -
individual being mempunyai beberapa keterbatasan. Oleh karenanya tidak
jarang ia berpaling kepada orang lain untuk meminta bantuan. Jika
katakanlah ada orang lain yang bersedia membantu bukan tidak mungkin
orang tersebut juga berpikiran sama yakni dengan membantu orang lain ia
pun bisa memenuhi kebutuhan individualnya. Jadi, ketika dua orang atau
lebih bersedia saling membantu maka terciptalah sebuah kerja sama yang
1.2 PERILAKU ORGANISASI e

tujuannya saling menolong dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-



mas1ng.
Kerja sama antara dua orang atau lebih boleh jadi dianggap sebagai
upaya yang bersifat natural karena manusia, selain sebagai makhluk individu,
pada dasamya adalah makhluk sosial (social being). Manusia menurut
pandangan ini tidak bisa melepaskan ketergantungannya pada orang lain.
Namun, harus diakui pula bahwa munculnya kerja sama tersebut tidak terjadi
semata-mata bersifat alamiah, tetapi juga karena keterbatasan masing-masing
individu. Oleh sebab itu, kerja sama antara dua orang atau lebih
sesungguhnya bertujuan agar di antara mereka bisa saling membantu untuk
mencapai tujuan (dalam hal ini memenuhi kebutuhan) meski tujuan mereka
mungkin berbeda. Gambaran ini menunjukkan bahwa meski terdapat
perbedaan tujuan, namun perbedaan ini sesungguhnya tidak menghalangi
mereka menjalin kerja sama selama di antara mereka bisa memenuhi
kebutuhan dan tujuan masing-masing. Jika katakanlah ikatan kerja sama ini
dianggap efektif, bukan tidak mungkin bentuk kerja sama yang semula
bersifat temporer kemudian diatur dengan pola kegiatan yang lebih tersistem,
terstruktur dan masing-masing memiliki tanggung jawab sesuai dengan peran
yang terlebih dahulu mereka sepakati. Pola kerja sama semacam ini sering
1
disebut sebagai organisasi .
Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa ketika
seseorang atau sekelompok orang mendirikan atau bergabung dengan
organisasi tujuan akhirnya bukan sekadar berdiri kokohnya organisasi
tersebut melainkan agar orang-orang yang terlibat di dalamnya bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dengan alasan tersebut, semakin
banyak dan semakin variatif kebutuhan seseorang, boleh jadi semakin ia
terlibat pada berbagai macam organisasi berbeda. Karena itu pula tidak
jarang seseorang terlibat dalam berbagai macam organisasi pada waktu
bersamaan. Menjadi anggota RT/RW di kampung, menjadi bagian dari
organisasi temp at kerj a, dan menj adi anggota organisasi so sial atau organisasi
politik pada saat yang sama merupakan hal yang biasa bagi seseorang.
Contoh di atas memberi gambaran betapa manusia sesungguhnya tidak
bisa lepas dari organisasi sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
manusia sejak dilahirkan hingga meninggal pun selalu membutuhkan dan

1
Achmad Sobirin. (2007). Budaya organisasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Hal. 5-7.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 3

berhubungan dengan organisasi. Akibat yang ditimbulkannya adalah


organisasi tumbuh menjamur di sekitar kita dan bahkan mempengaruhi
2
berbagai aspek kehidupan manusia . Semua itu karena manusia memang
sangat membutuhkan organisasi. Tumbuh dan berkembangnya organisasi di
sisi lain menyebabkan organisasi menjadi bidang kajian yang tidak pemah
habis untuk ditelaah. Berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, manajemen, melalui sudut pandang, dan disiplin masing-
masing terlibat dalam kajian organisasi. Bahkan tidak jarang teori dan konsep
dari dua atau tiga disiplin berbeda secara bersama-sama digunakan untuk
mengkaji organisasi. Kajian organisasi seperti ini sering disebut sebagai
kajian organisasi lintas disiplin atau multidisiplin.
Dari beragam kajian tentang organisasi, salah satunya menjadi tema
pokok modul ini, yaitu mengkaji organisasi dari aspek perilaku yang biasa
disebut sebagai Perilaku Organisasi. Seperti halnya disiplin lain yang
memberi perhatian terhadap dinamika organisasi, objek kajian perilaku
organisasi pada dasarnya juga tidak berbeda jauh, yaitu organisasi. Meski
demikian studi perilaku organisasi sedikit berbeda dengan bidang studi lain
karena fokus perhatiannya adalah perilaku manusia di dalam organisasi
maupun perilaku organisasi secara keseluruhan. Studi Perilaku Organisasi
dengan demikian lebih mencermati interaksi antarmanusia di dalam
organisasi baik dalam hal kedudukan manusia sebagai individu maupun
manusia sebagai kelompok, interaksi, dan saling pengaruh antara manusia
dengan organisasi, serta interaksi antara organisasi dengan lingkungannya.
Semua kajian ini tujuan akhirnya satu yaitu agar organisasi, sebagai alat
bantu, bisa secara efisien dan efektif membantu manusia mencapai tujuan-
tujuannya.
Dengan objek kajian semacam ini, studi tentang perilaku organisasi
banyak memanfaatkan teori dan konsep yang dikembangkan oleh disiplin
ilmu psikologi sebagai dasar kajiannya. Bahkan bisa dikatakan bahwa ilmu
psikologi sangat mewarnai studi perilaku organisasi. Namun, manusia bukan
merupakan objek kajian yang hanya bisa dipotret dari satu disiplin ilmu
tertentu (disiplin psikologi) melainkan sangat dimungkinkan untuk dipotret

2
Charles Perrow mengatakan bahwa organisasi bukan sekadar sebagai alat bantu
untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tetapi organisasi
sekarang menjadi kebutuhan tersendiri bagi manusia. Manusia sepertinya tidak bias
hidup tanpa organisasi. Lihat Charles Perrow. (1979). Complex Organization: a
Critical Essay. 2nd edition. Dallas, Tex.: Scott, Foresman and Company.
1.4 PERILAKU ORGANISASI e

dengan menggunakan disiplin lain selain psikologi maka keterlibatan disiplin


lain dalam studi perilaku organisasi juga tidak bisa dihindarkan. Oleh sebab
itu, dalam praktik meski ilmu psikologi masih tetap dominan, teori dan
konsep dari disiplin lain, seperti sosiologi, antropologi, dan manajemen juga
banyak digunakan dalam studi perilaku organisasi.
Modul 1 bermaksud menghantarkan Anda memahami ruang lingkup
studi perilaku organisasi. Latar belakang dan alasan mengapa perilaku
organisasi perlu dipelajari. Namun, mempelajari perilaku organisasi pada
dasamya juga mempelajari organisasi maka sebelum tema pokok ini
diuraikan secara detail, mahasiswa akan terlebih dahulu diberi gambaran
umum tentang organisasi. Oleh karena itu, setelah selesai mempelajari modul
satu, sangat diharapkan mahasiswa bisa memahami arti penting organisasi
bagi kehidupan manusia. Di samping itu, Anda diharapkan pula mengerti
landasan berpijak dalam mempelajari perilaku organisasi dan mengerti pula
mengapa perilaku organisasi perlu dipelajari.
Moduli dibagi menjadi dua kegiatan belajar (KB), yaitu sebagai berikut.
Kegiatan Belajar 1 : membahas gambaran umum tentang Organisasi,
khususnya dalam kaitannya dengan manusia dan
manajemen. Untuk selanjutnya, dibagi lagi menjadi
tiga subpokok bahasan, yaitu ( 1) bahasan ten tang
Organisasi yang meliputi pengertian organisasi,
karakteristik organisasi, dimensi -dimensi organisasi,
dan proses penciptaan nilai tambah; (2) bahasan
tentang Manfaat organisasi bagi manusia; serta
(3) bahasan tentang Peranan dan kemampuan yang
harus dimiliki oleh seseorang manajer dalam
mengelola organisasi.
Kegiatan Belajar 2 : membahas gambaran umum Perilaku Organisasi.
Topik yang akan dibahas, di antaranya Pengertian
perilaku organisasi; Tujuan mempelajari studi perilaku
organisasi; Kontribusi disiplin ilmu lain terhadap
bidang studi perilaku organisasi; Cara menganalisis
perilaku organisasi; serta Sej arah, trend
perkembangan dan tantangan bidang studi perilaku
organisasi di masa datang.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 5

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Manusia, Organisasi, dan Manajemen

ecara harfiah, kata organisasi berasal dari bahasa Yunani "organon" yang
3
berarti alat bantu atau instrumen . Dilihat dari asal katanya, dengan
demikian, organisasi pada dasarnya adalah alat bantu yang sengaja didirikan
atau diciptakan untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan-tujuannya. Universitas Terbuka (UT), misalnya sebuah
organisasi yang sengaja didirikan untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat pekerja, tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka,
memperoleh pendidikan tinggi bermutu. UT dengan demikian adalah alat
bantu. Meski bisa disebut sebagai alat bantu, dalam batas-batas tertentu
organisasi berbeda dengan alat bantu yang lain katakanlah dengan teknologi.
Perbedaan utamanya terletak pada keterlibatan manusia pada kedua alat
bantu tersebut. B agi organisasi manusia dianggap memiliki peran sentral.
Dikatakan demikian karena manusia merupakan penggerak utama di dalam
kehidupan organisasi. Namun, harus diakui pula bahwa manusia bukan
sekadar menjadi penggerak (subjek) yang menjalankan organisasi, tetapi juga
objek yang harus dikelola agar organisasi bisa berfungsi sebagaimana
mestinya. Sementara itu, manusia bagi alat bantu yang lain (teknologi
misalnya) melulu sebagai subjek yang menjalankan dan mengendalikan alat
bantu tersebut. Itulah sebabnya organisasi jauh lebih kompleks dan lebih sulit
dikendalikan dibanding alat bantu lainnya. Utamanya sekali lagi karena
setiap individu bisa menjadi subjek sekaligus objek. Di samping itu, setiap
individu yang terlibat dalam organisasi memiliki kebutuhan masing-masing
yang terkadang berbeda di antara mereka, namun dalam batas-batas tertentu
semuanya harus dipenuhi.
Oleh karena alasan itu pulalah mengelola organisasi dengan baik bukan
merupakan pilihan, tetapi sebuah keharusan. Dalam bahasa yang lebih
4
sederhana organisasi perlu manajemen agar bisa berfungsi sesuai tujuan
awal didirikannya organisasi yakni bisa memenuhi kebutuhan dan tujuan

3
Gareth Organ. (1997). The Image of Organization. London: SAGE Publication.
Hal. 15.
4
Wren. (1994). The Evolution of Management Thought. Joh Wiley and Son, Inc.
Hal. 9.
1.6 PERILAKU ORGANISASI e

seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, organisasi dan


manajemen seperti dua sisi dari satu mata uang, keduanya saling terkait dan
saling membutuhkan. Di sisi lain, baik organisasi maupun manajemen juga
membutuhkan kehadiran manusia dan menempatkan manusia pada posisi
sentral. Oleh sebab itu, organisasi, manajemen, dan manusia merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan (lihat Gambar 1.1 ), ketiganya saling
bergantung. Namun, organisasi dan manajemen hanyalah alat bantu maka
manusia dalam pertalian tersebut menempati posisi sentral di mana
keberadaan organisasi dan manajemen sengaja diciptakan manusia untuk
kepentingan manusia itu sendiri.

Manusia

Organisasi Manajemen

Gambar 1.1
Hubungan antara Organisasi, Manusia, dan Manajemen

Berdasarkan penjelasan ini maka Kegiatan Belajar 1 bermaksud


memperkenalkan mahasiswa gambaran umum organisasi dalam kaitannya
dengan manajemen dan manusia. Kegiatan Belajar 1 akan dibagi menjadi tiga
subpokok bahasan. Subpokok bahasan pertama, tentang organisasi, akan
terlebih dahulu diuraikan. Uraian meliputi definisi organisasi, dimensi-
dimensi organisasi, dan metafora organisasi. Uraian dilanjutkan dengan
subpokok bahasan kedua, yakni mengenai tujuan didirikannya organisasi dan
pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari organisasi. Subpokok bahasan
ketiga menjelaskan peran manajemen dan manajer dalam pengelolaan
organisasi. Termasuk dalam subpokok bahasan ini adalah keterampilan yang
harus dimiliki seorang manajer agar ia bisa mengelola organisasi secara
efisien dan efektif.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 7

A. ORGANISASI

Uraian tentang organisasi akan dititikberatkan pada beberapa aspek


penting organisasi berikut ini, yaitu sebagai berikut.
1. Definisi organisasi.
2. Karakteristik organisasi.
3. Dimensi-dimensi organisasi.
4. Metafora gunung es - aspek formal dan informal organisasi.
5. Jenis-jenis organisasi.
6. Mengukur efektivitas organisasi.

1. Definisi Organisasi
Organisasi sering didefinisikan sebagai sekelompok manusia (group of
people) yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama (common
5
goals) • Meski definisi ini cukup populer, tetapi banyak ahli mengatakan
bahwa definisi ini terlalu sederhana. Masih ada beberapa unsur penting yang
seharusnya menjadi bagian dari esensi dasar organisasi, tetapi belum
terungkap dalam definisi di atas. Definisi yang lebih komprehensif misalnya
6
diberikan oleh Stephen P. Robbins sebagai berikut:

Organisasi adalah unit sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu
yang relatif lama, beranggotakan dua orang atau lebih yang bekerja
bersama-sama dan terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang
terstruktur, dan didirikan untuk mencapai tujuan bersama atau satu set
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Sejalan dengan definisi di atas, David Cherrington (1989) juga


memberikan definisi organisasi yang kurang lebih sama, yakni:

Organisasi adalah sistem sosial yang mempunyai pola kerja yang teratur
yang didirikan oleh manusia dan beranggotakan sekelompok manusia
7
dalam rangka untuk mencapai satu set tujuan tertentu •

5
John R. Schermerhorn, Jr. (1996). Management. 5th edition. New York: John Wiley
and Sons, Inc. Hal. 7.
6
Stephen Robbins. (1996). Organizational Behavior: Concepts, Controversies and
Apllications. hal. 4.
7
David Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of
Individual and Organizational Performance, Boston: Allyn and Bacon. Hal. 12-13.
1.8 PERILAKU ORGANISASI e

Kedua definisi di atas pada dasarnya mempunyai kesamaan, kecuali satu


hal, yakni dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai organisasi.
Definisi yang diberikan Robbins masih terdapat istilah "tujuan bersama"
sebagai tujuan organisasi. Hal yang dimaksudkan dengan tujuan bersama di
sini adalah adanya anggapan bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh masing-
masing anggota organisasi tidak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh organisasi itu sendiri. Anggapan ini didasarkan pada suatu asumsi
bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah agar para anggotanya bisa
mencapai tujuan yang dikehendaki. Oleh karenanya selama mereka masih
mau bergabung dengan organisasi berarti mereka mau saling membantu
dalam mencapai tujuan masing-masing. Keinginan saling membantu dalam
mencapai tujuan itulah yang oleh Robbins disebut sebagai tujuan bersama.
Sementara itu, Cherrington tidak sependapat dengan istilah tujuan
bersama karena dianggap menyesatkan (misleading). Cherrington ber-
anggapan bahwa alasan seseorang mau menjadi anggota sebuah organisasi
bisa saja berbeda. Seseorang mau bergabung dengan sebuah organisasi
mungkin beralasan bahwa ia bisa memperoleh penghasilan yang cukup untuk
menghidupi keluarga. Hal yang lain mungkin beranggapan bahwa ia bisa
mengaktualisasikan dirinya ketimbang harus bergabung dengan organisasi
lain. Sementara itu, anggota yang lain lagi mungkin merasa bahwa organisasi
di mana ia terlibat akan memberi gengsi/kebanggaan baginya dan masih
banyak alasan lain mengapa seseorang mau bergabung dengan organisasi.
Dengan berbagai alasan seperti tersebut di atas, Cherrington
berkesimpulan bahwa tujuan yang ingin dicapai para anggota organisasi
belum tentu sama. Cherrington tidak membantah bahwa tujuan organisasi
tidak mungkin tercapai jika para anggotanya tidak mau memberi kontribusi
terhadap pencapaian tujuan organisasi. Demikian sebaliknya, para anggota
organisasi tidak akan mau memberi kontribusi terhadap pencapaian tujuan
organisasi manakala organisasi tersebut tidak membantu anggota mencapai
tujuannya. Cherrington lebih lanjut menegaskan bahwa saling membantu di
antara para anggota organisasi bukan berarti bahwa tujuan mereka sama.
Oleh karenanya Cherrington menegaskan bahwa istilah yang lebih tepat
untuk mendefinisikan tujuan organisasi adalah untuk mencapai satu set
8
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya .
Tentang adanya perbedaan tujuan - antara tujuan individu (tujuan para
anggota organisasi) dengan tujuan didirikannya organisasi ditegaskan oleh
Jeniffer M. George dan Gareth Jones yang menyatakan "Organisasi adalah

8
David Cherrington. (1989). Ibid. Hal. 12.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 9

kumpulan manusia yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan individu


9
dan tujuan organisasi" . Penjelasan ini sekali lagi menegaskan bahwa tujuan
individu dan tujuan organisasi boleh jadi berbeda. Sementara itu, Richard
Daft mendefinisikan organisasi dengan memberi tekanan pada karakter
organisasi. Definisi tersebut adalah sebagai berikut:

Organisasi adalah sebuah entitas sosial yang berorientasi pad a tuj uan
dengan suatu sistem kegiatan yang terstruktur dan mempunyai batas-
batas yang bisa teridentifikasi 10 •

Istilah "batas-batas yang bisa teridentifikasi" itulah yang bisa disebut


sebagai identitas diri organisasi. Batas-batas inilah yang membedakan satu
organisasi dengan organisasi lainnya, yang juga harus dipahami bersama di
sini adalah bahwa yang dimaksud dengan batas-batas organisasi bukanlah
batas geografis. Memang bagi sebuah organisasi yang dinamakan negara,
membedakan satu negara dengan negara lain biasa menggunakan batas
geografis, tetapi bagi jenis organisasi yang lain seperti perusahaan, misalnya
batas geografis bukanlah cara yang tepat untuk membedakan satu perusahaan
dengan perusahaan lain. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan
multinasional yang berlokasi di beberapa negara atau perusahaan domestik
yang berlokasi di beberapa wilayah maka batasan organisasi biasanya
dikaitkan dengan dimensi organisasi (uraian tentang identitas diri organisasi
akan dijelaskan pada bagian lain)
Dari beberapa definisi organisasi sebagaimana telah dijelaskan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa organisasi dapat didefinisikan sebagai
berikut:

"Organisasi adalah unit sosial atau entitas sosial yang didirikan oleh
manusia untuk jangka waktu yang relatif lama, beranggotakan
sekelompok manusia - minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang
terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan
tertentu dan mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas
11
dengan entitas lainnya "

9
Jennifer M. George and Gareth Jones. (1999). Understanding and Managing
Organizational Behavior. 2nd edition. Reading Mass: Addison Wesley. Hal. 3.
10
Richard L. Daft. (1992). Organization Theory and Design. 4th edition. Singapore:
Info Access Distribution, PTE LTD. Hal. 7.
11
Definisi ini bisa dikatakan bersifat temporer karena sesungguhnya masih banyak
lagi definisi lainnya sebagaimana diungkapkan oleh B. Czarniazwska- Joerge.
(1992). dalam bukunya Exploring complex Organization, Sage Publication.
1.1 Q PERILAKU ORGANISASI e

2. Karakteristik Organisasi
Definisi di atas juga menegaskan bahwa secara umum organisasi
mempunyai lima karakteristik utama, yakni (a) unit/entitas sosial,
(b) beranggotakan minimal dua orang, (c) berpola kerja yang terstruktur,
(d) mempunyai tujuan yang ingin dicapai dan (e) mempunyai identitas diri.
Penjelasan masing-masing karakteristik adalah sebagai berikut.

a. Unitlentitas sosial
12
Organisasi adalah rekayasa so sial basil karya manusia (man-made )
yang bersifat tidak kasat mata (intangible) dan abstrak sehingga organisasi
sering disebut sebagai artificial being. Oleh karena sifatnya tersebut,
organisasi dengan demikian lebih merupakan realitas sosial ketimbang
sebagai realitas fisik. Meski bukan sebagai realitas fisik, bukan berarti bahwa
organisasi tidak membutuhkan fasilitas fisik. Fasilitas fisik seperti gedung,
peralatan kantor maupun mesin-mesin masih tetap dibutuhkan (meski tidak
harus dimiliki) karena dengan fasilitas fisik inilah sebuah organisasi bisa
melakukan kegiatannya. Di samping itu, dari fasilitas fisik ini pula orang luar
mudah mengenali adanya entitas sosial.
Meski begitu tidak berarti pula bahwa hanya dengan semata-mata
merujuk pada keberadaan fasilitas fisik kita bisa mendefinisikan adanya
sebuah organisasi. Sebagai contoh, sebelum ditutup pemerintah, Bank BHS
bisa disebut sebagai organisasi karena merupakan realitas sosial. N amun,
setelah itu meski gedung-gedungnya masih berdiri megah dan logo BHS
masih menempel di gedung tersebut Bank BHS sebagai realitas sosial sudah
berakhir dan yang tinggal hanyalah realitas fisik yang tidak lagi bisa disebut
sebagai organisasi.
Sebagai entitas sosial, organisasi umumnya didirikan untukjangka waktu
yang relatif lama bisa berumur puluhan tahun atau ratusan tahun bahkan bisa
mencapai waktu yang tidak terbatas. Keberadaan sebuah organisasi tidak
terkait dengan masih ada/tidaknya pendiri organisasi tersebut. Sekalipun para
pendiri sudah tidak lagi terlibat dengan organisasi karena meninggal dunia
atau karena alasan lain, tidak menyebabkan organisasi tersebut dengan
sendirinya bubar. Sebagai contoh, Matsushita Electric Industrial (MEl) -
perusahaan elektronik terkenal dari Jepang yang didirikan pada tahun 1930-

12
Lihat Martin Albrow. (1997). Do Organizations have Feeling? London, Routledge.
Hal. 1.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.11

13
an sampai sekarang masih eksis meski pendirinya Kenosuke Matsushita
sudah lama meninggal dunia.
Organisasi kadang-kadang juga sengaja didirikan untuk jangka waktu
tertentu (bersifat ad hoc) dan dengan sendirinya bubar atau dibubarkan
setelah kegiatan yang berkaitan dengan pendirian organisasi tersebut
berakhir. Kegiatan sebuah proyek atau kepanitiaan misalnya merupakan
beberapa jenis organisasi yang mempunyai umur terbatas. Panitia Pesta
Pernikahan, Panitia Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) atau
Panitia Pembangunan Masjid segera dibubarkan manakala kegiatan
pernikahan, kegiatan olahraga atau kegiatan pembangunan masjid tersebut
selesai dikerj akan.

b. Beranggotakan minimal dua orang


Sebagai basil karya cipta manusia, organisasi bisa didirikan oleh
seseorang yang mempunyai kemampuan, pengetahuan, dan sarana lainnya.
Kadang-kadang juga didirikan oleh dua orang atau lebih yang sepakat dan
mempunyai ide yang sama untuk mendirikan organisasi. Tanpa melihat siapa
yang mendirikan atau berapa pun banyaknya pendiri sebuah organisasi, yang
pasti manusia dianggap sebagai unsur utama dari organisasi. Tanpa
keterlibatan manusia sebuah entitas sosial tidak bisa dikatakan sebagai
organisasi. Bahkan secara ekstrim bisa dikatakan bahwa tidak ada satu pun
organisasi yang tidak melibatkan manusia dalam kegiatannya. Artinya
keterlibatan manusia dalam organisasi adalah sebuah keharusan. lstilah
populernya adalah organization is by people for people - organisasi didirikan
oleh manusia untuk kepentingan manusia.
N amun, untuk dikatakan sebagai organisasi, seseorang tidak bisa bekerj a
sendirian, misalnya hanya dibantu mesin-mesin atau robot, tetapi harus
melibatkan orang lain - satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih yang
bekerja sama dalam satu ikatan, baik dalam ikatan fisik- tempat kerja yang
sama ataupun dalam satu j aringan kerj a. Dengan kata lain, salah satu
persyaratan agar sebuah entitas sosial disebut organisasi adalah harus
beranggotakan dua orang atau lebih agar kedua orang tersebut bisa saling
kerja sama, melakukan pembagian kerja dan agar terdapat spesialisasi dalam
pekerjaan.

13
Untuk penjelasan lebih lengkap tentang MEl, lihat misalnya John Kotter. (1997).
Matsushita Leadership: Lessons from the 20th Century's Most Remarkable
Entreprenuer. New York: The Free Press.
1.12 PERILAKU ORGANISASI e

c. Berpola kerja yang terstruktur


Prasyarat bahwa organisasi harus beranggotakan minimal dua orang
menegaskan bahwa berkumpulnya dua orang atau lebih belum dikatakan
sebagai organisasi manakala berkumpulnya dua orang atau lebih tersebut
tidak terkoordinasi dan tidak mempunyai pola kerja yang terstruktur. Sebagai
contoh, ketika terjadi kebakaran di sebuah kampung, biasanya para tetangga
secara sukarela membantu memadamkan kebakaran tersebut. Ada di antara
mereka yang mengambil air, menyelamatkan barang-barang dari amukan api,
menolong orang dari jebakan api, menyiramkan air ke tempat yang terbakar
atau bahkan ada sebagian orang yang hanya sekadar melihat kejadian dan
mungkin ada wartawan yang meliput kejadian tersebut. Berkumpulnya
beberapa orang tetangga dalam kaitannya dengan upaya mereka untuk
memadamkan kebakaran, belum cukup untuk mengatakan bahwa kegiatan
tersebut adalah organisasi paling tidak karena mereka sekadar bekerja
bersama-sama bukan bekerja sama dengan pola kerja yang terstruktur.

d. Mempunyai tujuan
Organisasi didirikan bukan untuk siapa-siapa dan bukan tanpa tujuan.
Manusia adalah pihak yang paling berkepentingan terhadap didirikannya
sebuah organisasi. Organisasi didirikan karena manusia sebagai makhluk
sosial, sukar untuk mencapai tujuan individualnya jika segala sesuatunya
harus dikerjakan sendiri. Kalau toh dengan bekerja sendiri tujuan individual
tersebut bisa dicapai, tetapi akan lebih efisien dan efektif jika cara
pencapaiannya dilakukan dengan bantuan orang lain melalui sebuah
organisasi. Artinya, tujuan didirikannya sebuah organisasi adalah agar
sekelompok manusia yang bekerja dalam satu ikatan kerja lebih mudah
mencapai tujuannya ketimbang mereka harus bekerja sendiri-sendiri.
Dalam hal ini harus dipahami bahwa meski ada kerja sama di antara
sekelompok orang dalam satu ikatan kerj a tetapi tidak bisa diinterpretasikan
bahwa tujuan mereka sama. Ada kemungkinan tujuan masing-masing
individu berbeda, tetapi kesediaan mereka berada dan bergabung dalam
sebuah organisasi menunjukkan atau dianggap bahwa mereka mempunyai
kesepakatan untuk saling membantu dalam mencapai satu set tujuan baik
tujuan masing-masing individu (tujuan anggota organisasi) maupun tujuan
organisasi itu sendiri (tujuan para pendiri organisasi).
e EKMA41 58/MODUL 1 1.13

e. Mempunyai identitas diri


Ketika sepotong besi dipadukan dengan besi lain maka perpaduan besi
tersebut bisa menjadi sebuah mesin yang berbeda dengan mesin lainnya. Jika
beberapa suara diaransir maka jadilah sebuah lagu yang berbeda dengan lagu
lainnya. Demikian juga jika sekelompok manusia diorganisir untuk
melakukan kegiatan maka jadilah sekelompok manusia tersebut entitas sosial
yang berbeda dengan entitas sosiallainnya.
Sebuah mesin mudah dibedakan dengan mesin lainnya melalui tampilan
fisiknya, sebuah lagu berbeda dengan lagu lainnya melalui nada suaranya,
namun tidak demikian dengan organisasi. Perbedaan satu entitas sosial
dengan entitas sosial lainnya sulit untuk ditengarai karena beberapa alasan.
Pertama sifat organisasi yang intangible dan abstrak menyulitkan seseorang
untuk melihat atau menyentuh organisasi. Kedua, organisasi sebagai
subsistem dari sistem sosial yang lebih besar memungkinkan para
anggotanya saling berinteraksi dengan anggota masyarakat di luar organisasi.
Bahkan ketiga, sering terjadi bahwa seseorang menjadi anggota lebih dari
satu organisasi sehingga batasan organisasi seolah-olah menjadi kabur kalau
batasan tersebut hanya dilihat dari keanggotaan seseorang.
Meski demikian bukan berarti sebuah organisasi tidak mempunyai
batasan dan identitas diri. Identitas diri sebuah organisasi secara formal
misalnya bisa diketahui melalui akte pendirian organisasi tersebut yang
menjelaskan siapa yang menjadi bagian dari organisasi dan siapa yang bukan,
kegiatan apa yang dilakukan, bagaimana organisasi tersebut diatur atau siapa
yang mengaturnya. Di samping itu, organisasi juga dapat diidentifikasikan
melalui variabel yang sifatnya informal dan sulit dipahami tetapi
keberadaannya tidak diragukan. V ariabel tersebut biasa disebut sebagai
14
budaya. Seorang anthropolog dari Filipina - F, Landa Jocano bahkan
menegaskan bahwa sekelompok orang yang bekerja sama tidak akan
dikatakan sebagai organisasi manakala kelompok tersebut tidak mempunyai
budaya. Jadi, budaya dalam hal ini dianggap sebagai variabel yang menjadi
karakteristik sebuah organisasi dan membedakan organisasi tersebut dengan
15
organisasi lainnya .

14
F. Landa Jocano. (1985). Toward Filipino Corporate Culture. Metro Manila:
Punlad Research House. Hal. 23.
15
Lihat misalnya Vijay Sathe. (1985). Culture and Related Corporate Realities.
Homewood Illinois: Richard D. Irwin Inc.
1.14 PERILAKU ORGANISASI e

3. Dimensi Organisasi
Seperti halnya manusia yang mempunyai kepribadian atau personality,
organisasi sebagai artificial being juga mempunyai sifat yang sama yang
16
bias a disebut sebagai karakter organisasi . Karakter ini mencerminkan sosok
sebuah organisasi, yakni bagaimana ia berperilaku dan mengapa ia beda
dengan organisasi lainnya. Secara umum, karakter sebuah organisasi dapat
dipahami melalui dimensi-dimensi organisasi yang dibedakan ke dalam dua
tipe, yaitu dimensi struktural dan dimensi kontektual. Dimensi struktural
adalah karakter organisasi yang bersumber pada sisi internal organisasi
seperti tingkat formalitas organisasi, standarisasi pekerj aan, kompleksitas
organisasi, hierarki organisasi dan sebagainya (lihat Tabel 1.1). Elemen-
elemen ini merupakan determinan karakteristik organisasi, dan menjadi dasar
untuk menilai sosok (construct) organisasi dan membandingkan satu
organisasi dengan organisasi lainnya.
Sementara itu, dimensi kontekstual merupakan karakteristik organisasi
secara menyeluruh yang ditentukan oleh ukuran (besar!kecilnya) organisasi,
teknologi yang digunakan, lingkungan organisasi, tujuan, dan budayanya.
Dimensi kedua (dimensi kontekstual) ini menjadi faktor penentu bagi
keberadaan sebuah organisasi secara menyeluruh dan berpengaruh terhadap
dimensi struktural organisasi. Kedua dimensi ini jika dipahami secara baik
dapat bermanfaat untuk memahami organisasi secara keseluruhan,
memahami perilaku organisasi, dan bisa menjadi dasar untuk menilai
keberhasilan organisasi.

Tabel 1.1.
Dimensi Struktural dan Kontekstual Organisasi

Dimensi Struktural Dimensi Kontekstual


Formalisasi organisasi Ukuran organisasi
Spesialisasi Teknologi yang digunakan
Standarisasi Lingkungan organisasi
Hierarki otoritas Tujuan organisasi
Kompleksitas Budaya organisasi
Sentralisasi
Profesionalisme
Rasia karyawan an ota or anisasi

16
Alan Wilkin. (1989). Creating Corporate Character. San Francisco: Jossey-Bass.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.15

a. Dimensi struktural
1) F ormalisasi organisasi. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa ban yak
sebuah organisasi membuat dan mendokumentasikan aturan. Termasuk
dalam aturan organisasi yang didokumentasikan, misalnya deskripsi
kerja, prosedur kerja, manual kerja, dan aturan-aturan tertulis lainnya.
Semakin banyak aturan yang dibuat dan ditetapkan organisasi maka
semakin formal pula organisasi tersebut, demikian sebaliknya - semakin
sedikit aturan yang dibuat, organisasi tersebut semakin tidak formal.
Dalam praktik ada kecenderungan bahwa semakin besar sebuah
organisasi semakin banyak pula aturan yang dibuat sehingga bisa
dikatakan organisasi yang lebih besar cenderung lebih formal. Organisasi
pemerintah, misalnya mempunyai aturan yang cukup banyak dan detail.
Sebaliknya perusahaan keluarga yang relatif masih kecil cenderung tidak
begitu banyak aturan yang dibuat sehingga semakin tidak formal.
2) Spesialisasi. Dimensi ini sering disebut sebagai division of labor atau
pembagian kerj a. Organisasi dengan tingkat spesialisasi yang tinggi
memberi arti bahwa karyawan hanya mengerjakan tugas yang sangat
spesifik. Contoh tentang perusahaan rokok sebagaimana disebutkan di
atas merupakan contoh perusahaan yang membagi pekerjaan secara ketat
yang berarti pula bahwa spesialisasi diterapkan di perusahaan tersebut.
Sebaliknya, bagi organisasi yang tingkat spesialisasinya rendah
menuntut para karyawan untuk mengerjakan tugas yang cukup
bervariasi. Perusahaan yang masih kecil (biasanya perusahaan keluarga)
di mana tidak ada pembagian kerja yang jelas merupakan contoh
organisasi yang rendah tingkat spesialisasinya. Dalam perusahaan
semacam ini, sering kali pemilik juga merangkap manajer dan sekaligus
sebagai karyawan.
3) Standarisasi kerja. Maksud dari standarisasi kerja adalah suatu ukuran
kerja atau cara kerja tertentu yang harus dipatuhi oleh karyawan dalam
melakukan kegiatan-kegiatan kerja khususnya untuk kegiatan-kegiatan
yang sejenis. Untuk menghasilkan produk dengan presisi yang tinggi
biasanya membutuhkan standarisasi kerj a yang tinggi pula. Itulah
sebabnya, apabila manusia sudah dianggap tidak mampu mengatasi
masalah standarisasi kerja, banyak perusahaan khususnya yang
berteknologi tinggi mengalihkan pekerjaannya kepada robot-robot yang
secara otomatis bisa menjaga irama kerja dan standar produk.
1.16 PERILAKU ORGANISASI e

4) Hierarki organisasi. Dimensi ini biasanya ditunjukkan dalam bentuk


struktur atau hierarki organisasi. Dalam struktur organisasi dijelaskan
siapa atasan siapa bawahan, kepada siapa seorang bawahan harus
bertanggung jawab dan melaporkan pekerjaannya, dan seberapa luas
masing-masing manajer memiliki kewenangan untuk mengawasi
bawahannya (span of control). Jika seorang manajer memiliki span of
control yang sempit umumnya organisasi tersebut menjadi hierarkis
sebab dengan semakin sedikit bawahan yang harus diawasi berarti butuh
banyakjenjang struktur.
5) Kompleksitas organisasi. Dimensi ini menunjukkan jumlah aktivitas atau
subsistem yang ada di dalam organisasi. Secara umum, tingkat
kompleksitas organisasi dapat diukur melalui tiga macam dimensi yaitu
kompleksitas vertikal, horizontal, dan spatiallruang. Kompleksitas
vertikal adalah jumlah tingkatan di dalam hierarki organisasi. Maksud
dari kompleksitas horizontal adalah jumlah departemen atau jenis
pekerj aan yang ada di dalam organisasi. Sementara itu, kompleksitas
ruang/spatial adalah jumlah lokasi di mana organisasi berada.
6) Sentralisasi. Maksud dari sentralisasi adalah hierarki pengambilan
keputusan di dalam organisasi. Jika semua keputusan berada pada
pimpinan puncak organisasi maka bisa dikatakan bahwa organisasi ini
adalah organisasi yang sentralistik. Sebaliknya, apabila pengambilan
keputusan didelegasikan kepada bawahan maka organisasi seperti ini
disebut sebagai organisasi yang terdesentralisasi.
7) Profesionalisme. Profesionalisme adalah tingkat pendidikan formal dan
latihan-latihan yang harus dimiliki karyawan untuk suatu posisi j abatan
tertentu. Jika untuk menduduki sebuah j abatan di dalam organisasi
seorang karyawan diharuskan memiliki pendidikan tertentu dan atau
mempunyai pengalaman pelatihan yang cukup lama maka organisasi
tersebut adalah organisasi profesional. Sebagai contoh, seseorang untuk
bisa dikatakan sebagai dokter harus melalui jenjang pendidikan tertentu
yang lamanya tidak kurang dari 18 tahun (terhitung sejak Sekolah
Dasar). Sebaliknya, kadang-kadang ada organisasi yang tidak
mensyaratkan pendidikan dan pelatihan tertentu karena tuntutan
pekerjaan memang tidak membutuhkannya.
8) Rasio personel. Dimensi ini merujuk pada penempatan karyawan pada
berbagai fungsi organisasi dan berbagai departemen dalam lingkungan
organisasi. Termasuk dalam rasio personel, misalnya rasio karyawan
e EKMA41 58/MODUL 1 1.17

administratif, rasio karyawan untuk pekerjaan-pekerjaan klerikal, rasio


untuk staf profesional, dan rasio tenaga kerj a langsung dan tenaga kerj a
tidak langsung.

b. Dimensi kontekstual
1) Ukuran atau besaran organisasi. Dimensi ini biasanya ditunjukkan
dengan jumlah karyawan yang bekerja pada sebuah organisasi. Untuk
mengetahui seberapa besar sebuah organisasi biasanya bisa dilihat dari
jumlah karyawan organisasi secara keseluruhan. Akan tetapi, bisa juga
dilihat dari jumlah karyawan untuk bagian-bagian tertentu, misalnya
seberapa banyak karyawan yang bekerja di pabrik. Selain menggunakan
jumlah karyawan, ukuran besaran organisasi juga bisa dilihat dari jumlah
penjualan atau jumlah aset yang dimiliki organisasi.
2) Teknologi yang digunakan. Teknologi adalah salah satu alat untuk
merubah input menjadi output. Oleh karenanya teknologi yang
digunakan oleh sebuah organisasi biasanya berkaitan dengan sistem
produksi organisasi tersebut. Semakin canggih teknologi yang digunakan
sering dikatakan bahwa perusahaan semakin maju, demikian sebaliknya.
3) Lingkungan organisasi. Lingkungan organisasi, meliputi semua elemen
di luar organisasi yang berpengaruh terhadap keberadaan organisasi.
Termasuk dalam lingkungan organisasi, misalnya industri, pemerintah,
pelanggan, pemasok, organisasi pesaing, komunitas penduduk, budaya,
politik, ekonomi dan teknologi, serta gaya hidup masyarakat.
Lingkungan tersebut disebut sebagai lingkungan luar. Di samping itu,
lingkungan dalam organisasi, seperti tenaga kerj a dan budaya organisasi
juga berpengaruh terhadap keberadaan organisasi.
4) Tujuan dan strategi organisasi. Dimensi ini menunjukkan tujuan dan
daya kompetitif sebuah organisasi. Tujuan organisasi biasanya
dinyatakan secara tertulis yang mengindikasikan keinginan yang hendak
dicapai oleh sebuah organisasi. Sementara itu, strategi organisasi adalah
rencana tindakan- dalam jangka panjang, yang menjelaskan bagaimana
sebuah organisasi mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya,
bagaimana organisasi akan melakukan tindakan-tindakan dalam
menghadapi perubahan lingkungan organisasi dan bagaimana tujuan
organisasi bisa tercapai. Tujuan dan strategi organisasi dengan demikian
mencerminkan skop/lingkup kegiatan organisasi dan hubungan
organisasi dengan karyawan, pelanggan, pemasok, dan kompetitor.
1.18 PERILAKU ORGANISASI e

5) Budaya organisasi. Budaya organisasi sering dipahami sebagai satu set


nilai, keyakinan, pemahaman, dan norma perilaku yang dipahami dan
dipraktikkan secara bersama-sama oleh karyawan. Budaya organisasi
biasanya tidak tertulis, tetapi keberadaannya di dalam organisasi tidak
bisa disangsikan. Budaya organisasi ini kadang-kadang muncul/
dinyatakan dalam bentuk slogan, upacara-upacara yang dilakukan oleh
organisasi, sejarah organisasi, cara berpakaian karyawan atau tata ruang
perkantoran.

Ketiga belas dimensi organisasi seperti tersebut di atas - dimensi


struktural dan kontekstual, masing-masing tidak berdiri sendiri melainkan
saling bergantung satu sama lain. Sebagai contoh, organisasi yang cukup
besar dengan teknologi yang cukup mapan dan didukung oleh lingkungan
yang stabil cenderung akan menciptakan organisasi yang formal,
tersentralisir dan mengarah pada spesialisasi. Dimensi-dimensi ini jika
dipahami lebih baik, bisa dijadikan dasar untuk memahami karakteristik dan
cara mengelola organisasi serta menilai keberhasilan organisasi tersebut
sebab secara tidak langsung dimensi-dimensi tersebut memberikan informasi
tentang organisasi secara keseluruhan.

4. Metafora Gunung Es-Aspek Formal Dan Informal Organisasi


Jika kita kembali ke dimensi-dimensi organisasi khususnya dimensi No.1
-tentang formalisasi organisasi, di sana dijelaskan bahwa semakin organisasi
memiliki banyak aturan, organisasi menjadi semakin formal. Demikian
sebaliknya semakin sedikit aturan, organisasi menj adi semakin informal.
Penjelasan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa baik aspek formal
maupun informal sesungguhnya merupakan bagian integral dari kehidupan
sehari-hari organisasi - keduanya saling berinteraksi dan saling memberi
pengaruh. Hanya saja kadang-kadang dijumpai sebuah organisasi yang aspek
formalnya jauh lebih dominan ketimbang aspek informalnya. Demikian
sebaliknya ada juga organisasi yang aspek informalnya sangat menonjol
seolah-olah organisasi tersebut tidak membutuhkan aspek formal meski pada
kenyataannya kehadiran aspek formal tidak bisa dihindarkan. Sebagai contoh,
organisasi bisnis yang dikelola oleh keluarga - sering disebut sebagai bisnis
keluarga cenderung mengedepankan aspek informal ketimbang formal.
Keberadaan aspek formal dan informal sebuah organisasi digambarkan
secara jelas oleh Richard J. Selfridge and Stanley L. Sokolik sebagaimana
e EKMA41 58/MODUL 1 1.19

17
dikutip oleh Donald Harvey and Donald Brown . Selfridge and Sokolik
mengumpamakan organisasi layaknya sebuah gunung es - ada bagian yang
muncul ke permukaan dan bagian lainnya berada di bawah permukaan laut.
Dari kedua bagian tersebut, bagian yang berada di bawah permukaan
biasanya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan bagian yang muncul ke
permukaan (lihat Gambar 1.2). Jika organisasi dimetaforakan dengan gunung
es maka bagian yang berada di bawah permukaan laut identik dengan aspek
informal organisasi, sedangkan bagian yang muncul ke permukaan
mencerminkan aspek formal organisasi.
Maksud dari aspek formal organisasi adalah elemen/komponen
organisasi yang mudah diakses orang luar, bersifat rasional, dan sangat
berkaitan dengan struktur organisasi. Komponen organisasi ini biasa disebut
sebagai overt component dan terkadang juga disebut hard component
(perangkat keras organisasi). Termasuk dalam komponen formal, misalnya
visi dan misi, tujuan dan sasaran, strategi, struktur, sistem, prosedur,
kebij akan, deskripsi kerj a, rentang kendali, serta pengukuran tingkat efisiensi
dan efektivitas organisasi. Maksud dari aspek informal organisasi atau covert
component atau soft component (perangkat lunak organisasi) adalah
komponen organisasi yang bersifat tersembunyi (hidden), afektif, berorientasi
sosial dan psikologikal, serta berkaitan dengan aspek keperilakuan, di
antaranya politik dan kekuasaan, pola hubungan antarpersonal dan kelompok,
sentimen dan norma kelompok, pandangan personal terhadap kompetensi
organisasi dan individu, persepsi karyawan terhadap kepercayaan
organisasional (organizational trust), persepsi karyawan terhadap
keterbukaan organisasi, orientasi nilai dan persepsi karyawan, kepuasan
karyawan, emotional intelligence, motivasi dan harapan karyawan, serta
masih banyak lagi aspek perilaku manusia yang bisa dikategorikan sebagai
covert component. Sederhananya, perangkat lunak organisasi merupakan
semua komponen yang berkaitan langsung dengan dan melekat pada diri
seseorang dan budaya yang melingkupinya.

17
Donald Harvey and Donald Brown. (1996). An Experiential Approach to
Organizational Development. Upper River Saddle: New Jersey, Prentice Hall
International edition. Hal. 207.
1.2Q PERILAKU ORGANISASI e

Komponen organisasi
yang bersifat terbuka
aspek formal dan mudah diakses
.._ pihak luar

Komponen organisasi
yang tersembunyi,
afektif dan berorientasi
social dan psikologikal
serta berkaitan dengan
aspek keprilakuan

Gambar 1.2.
Metafora Gunung Es- Aspek Formal dan Informal Organisasi

Dengan memahami organisasi layaknya sebuah gunung es di mana aspek


formal dan informal organisasi selalu hadir berdampingan bisa disimpulkan
bahwa kedua komponen ini seharusnya dikelola secara seimbang agar
organisasi bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Para pengelola organisasi
tidak bisa begitu saja mengabaikan salah satunya. Meski demikian, dalam
praktik, komponen kedua - perangkat lunak organisasi sering kali luput dari
perhatian. Para pengelola organisasi cenderung lebih memperhatikan
komponen pertama karena sifatnya yang mudah diobservasi pihak luar dan
ukuran keberhasilannya sangat jelas. Teori dan konsep dalam ilmu
manajemen pada dasarnya lebih berpihak pada cara pengelolaan organisasi
seperti ini. Sejak dikembangkan pertama kali oleh Frederick Taylor pada
awal tahun 1900-an, ilmu manajemen lebih menitikberatkan perhatiannya
pada aspek formal atau perangkat keras organisasi. Namun, menyadari bahwa
ilmu manajemen yang lebih berorientasi formal bukan tanpa kelemahan,
aspek informal organisasi mulai mendapat perhatian. Dimotori oleh disiplin
ilmu psikologi, peran manusia dalam kehidupan organisasi mulai dikaji dan
ditelaah untuk mendapat simpulan sejauh mana manusia baik dalam
kedudukannya sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok harus
dipahami, diarahkan dan bahkan dikendalikan perilakunya sehingga
kehadiran manusia di dalam organisasi memberi kontribusi terhadap kinerja
organisasi. Dari sinilah manusia sebagai perangkat lunak organisasi mulai
e EKMA41 58/MODUL 1 1.21

dikelola. Dari sini pula bidang kajian perilaku organisasi mulai mendapat
temp at.

5. Jenis-jenis Organisasi
Dilihat dari alasan mengapa sebuah organisasi didirikan, secara garis
besar organisasi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu organisasi
berorientasi ekonomi (biasa disebut sebagai organisasi berorientasi laba -
profit oriented organization) dan organisasi tidak berorientasi ekonomi
(disebut organisasi nirlaba - not-for-profit organization). Organisasi
berorientasi ekonomi adalah jenis organisasi yang sengaj a didirikan untuk
membantu manusia memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya kebutuhan
ekonomi para pendirinya atau pemilik organisasi tersebut. Masyarakat umum
mengenal organisasi seperti ini sebagai organisasi perusahaan atau secara
sederhana disebut perusahaan. Oleh karena berorientasi ekonomi maka
ukuran keberhasilan perusahaan adalah sejauh mana organisasi mampu
meningkatkan kesejahteraan ekonomi para pendiri yang diukur dengan
meningkatnya jumlah kekayaan (biasanya dinyatakan dalam satuan mata
uang) para pendiri. Sederhananya, organisasi perusahaan sejak awal memang
sengaja didirikan untuk menghasilkan uang. Sejak awal, mindset para pendiri
perusahaan adalah menggunakan uang untuk menghasilkan uang. Bahkan
para pekerjanya juga dituntut untuk memiliki mindset yang sama. Itulah
sebabnya laba menjadi salah satu ukuran penting dalam menilai keberhasilan
organisasi perusahaan (proses penciptaan nilai tambah akan diuraikan pada
bagian berikut).
Berbeda dengan perusahaan, organisasi nirlaba (not-for-profit
organization), seperti tersirat dari namanya, ukuran keberhasilan organisasi
seperti ini bukan laba melainkan ukuran-ukuran lain sesuai dengan tujuan
awal pendirian organisasi. Demikian juga orientasinya bukan kepada pemilik
tetapi kepada para konstituen yang dilayaninya. Artinya, organisasi nirlaba
lebih berorientasi kepada kesejahteraan para konstituen daripada
kesejahteraan para pendirinya. Sebagai contoh, ukuran keberhasilannya
organisasi politik yang biasa disebut sebagai partai politik adalah sejauh
mana partai politik mampu membuat keputusan yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan para konstituen terutama hak-hak sipil mereka
sebagai warga negara. Semakin banyak masyarakat yang mau bergabung
dengan partai politik tertentu berarti semakin tinggi dukungan masyarakat
kepada partai politik tersebut dan bertambah pula kekuasaan para
1.22 PERILAKU ORGANISASI e

pemimpinnya untuk membuat keputusan yang menyejahterakan mereka.


Sementara itu, Non Government Organization (NGO) yang di Indonesia
disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sejak awal didirikan
untuk mengontrollembaga-lembaga formal, terutama pemerintah. Tujuannya
agar sepak terjang pemerintah dalam melayani masyarakat bisa lebih baik
dan terus meningkat.

B. PERAN ORGANISASI BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

Seperti telah disebutkan di muka, organisasi didirikan manusia bukan


sebagai tujuan akhir melainkan hanya sebagai sarana dan bukan untuk siapa-
siapa, kecuali untuk kepentingan manusia itu sendiri. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa ada alasan-alasan tertentu mengapa seseorang atau
18
sekelompok orang mendirikan organisasi. Gareth Jones , misalnya
mengatakan bahwa seseorang mendirikan organisasi pada dasamya untuk
menciptakan nilai tambah yang berupa produk ataupun jasa dan berbagai
macam output yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan beberapa
kelompok orang yang berbeda kepentingan. Secara sistemik, proses
penciptaan nilai tambah dalam sebuah organisasi terjadi melalui tiga tahap,
yaitu masukan (input), proses transformasi (konversi) dan keluaran (output)
(lihat Gambar 1.3).
Gambar 1.3 menjelaskan bagaimana KFC sebuah perusahaan makanan
cepat saji, misalnya sebagai sebuah organisasi, membentuk nilai tambah.
Gambar ini sekaligus menunjukkan bagaimana proses pembentukan nilai
tambah tersebut terjadi. Tahap pertama dalam pembentukan nilai tambah
adalah diperolehnya input. Termasuk dalam kategori input, misalnya bahan
baku, sumber daya manusia, informasi dan pengetahuan, uang dan modal.
Bagi organisasi jasa (seperti pada contoh di atas), konsumen juga dianggap
sebagai input sebab tanpa keterlibatan konsumen organisasi tersebut tidak
bisa beroperasi. Bagi sebuah organisasi, input merupakan barang langka yang
harus diperoleh melalui lingkungan organisasi. Langkanya input
menyebabkan organisasi harus memilihnya secara selektif dan
menggunakannya secara efisien agar bisa menghasilkan nilai tambah yang

18
Gareth Jones. (1995). Organizational Theory: Text and Cases. Reading Mass,:
Addison Wesley Publishing Company. Hal. 19.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.23

terbaik. Ketepatan pemilihan input sangat menentukan kelangsungan hidup


organisasi di masa datang.
Tahap berikutnya, yakni tahap proses transformasi. Pada tahap ini input
diubah dan diolah menjadi output. Faktor yang menentukan keberhasilan
proses transformasi adalah teknologi yang digunakan seperti mesin-mesin
dan komputer; kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia, dan
fasilitas-fasilitas organisasi lainnya. Di sini bisa dikatakan bahwa kualitas
input, sebaik apa pun, tidak memberi jaminan bahwa basil outputnya baik
(optimal) jika tidak didukung oleh proses transformasi yang baik pula.
Dengan demikian, proses transformasi juga berpengaruh terhadap kualitas
output yang dihasilkan organisasi. Dengan kata lain, kualitas dari nilai
tambah yang dihasilkan organisasi bergantung pada kualitas teknologi,
kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia, termasuk kemampuan
sumber daya manusia untuk belajar dari lingkungan dan merespon
perubahan-perubahan lingkungan organisasi.

Masukan (input) yang diperoleh dari Proses transformasi terhadap input


lingkungan organisasi dalam rangka memberi nilai tam bah

• Bahan baku (daging sapi, ayam, kentang, • Mesin ( alat penggorengan, pemotong daging,
beras, dsb) pembakar roti, pembuat minuman, penanak
• Sumber daya manusia (manajer, tukang masak, nasi)


pramuniaga)
Uang dan modal (investasi yang dilakukan •• Komputer (cash register, komputerisasi
akuntansi, persediaan, pemesanan bahan
para investor) baku)
• Informasi dan pengetahuan (pelatihan, • Kernarnpuan dan ketrampilan SDM
pengetahuan tentang industri fast food) (karyawan yang terlatih untuk rnelayani
• Pelanggan pelanggan, pengawasan kualitas

Lingkungan organisasi: Output yang dihasilkan KFC


Menjual output ke pelanggan

• Kepuasan pelanggan • Makanan cepat saji


• Pelanggan potensial • Pelanggan yang puas
• Supplier daging, kentang, milk-skahe • Pemilik KFC yang puas
• Masyarakat ternpat karyawan direkrut
• Pemerintah
• kompetitor

Gambar 1.3.
Bagaimana Organisasi Menciptakan Nilai Tambah
1.24 PERILAKU ORGANISASI e

Tahapan terakhir dalam proses pembentukan nilai tambah adalah


dihasilkannya output yang berupa produklj as a. Di sini organisasi diuji apakah
penciptaan nilai yang dilakukannya diterima oleh lingkungan atau tidak. Jika
masyarakat mau membeli output tersebut maka bisa dikatakan bahwa
masyarakat mau menerima kehadiran organisasi. Selanjutnya, uang yang
diterima dari masyarakat/pelanggan (karena kesediaan mereka membeli
produk/jasa) bisa digunakan untuk membeli input baru dan investasi baru dan
seterusnya organisasi bisa bertahan hidup dan tumbuh berkembang.
Perkembangan organisasi merupakan indikator bahwa organisasi sebagai
sebuah alat mampu memenuhi kebutuhan manusia.
Proses pembentukan nilai tambah seperti tersebut di atas tentunya tidak
bisa dilakukan sendirian oleh organisasi melainkan harus melibatkan
berbagai pihak yang lain yang berbeda kepentingan. Gareth Jones
mengatakan bahwa kelompok yang berbeda kepentingan ini sering disebut
sebagai stakeholders (pemangku kepentingan). Stakeholders mempunyai
motivasi untuk ikut berpartisipasi dalam organisasi baik secara langsung
maupun tidak langsung karena mereka berharap akan memperoleh imbalan
yang lebih besar dibandingkan dengan kontribusi yang diberikannya. Imbalan
yang diharapkan stakeholder, misalnya uang, kekuasaan dan status dalam
organisasi. U ntuk kontribusi yang diberikannya berupa modal, keterampilan
(skill), pengetahuan dan keahlian.
Secara umum, stakeholder dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yakni kelompok yang berada di dalam organisasi (inside organization) dan
kelompok yang berada di luar organisasi (outside organization). Kontribusi
dan imbalan masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel1.2. Tabel ini
sekaligus menegaskan kembali pernyataan awal bahwa meski banyak pihak
mau bergabung dengan organisasi, namun tujuan keterlibatan mereka
berbeda-beda. Dalam hal organisasi yang berorientasi ekonomi seperti pada
contoh ini, pemilik modal yang berarti pemilik organisasi, misalnya sangat
berharap akan memperoleh dividen atau kenaikan harga saham, sedangkan
serikat buruh berharap karyawan memperoleh imbalan yang layak dan
kepastian mendapat pekerjaan.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.25

Tabel 1.2.
Pihak-pihak yang Berkepentingan dalam Organisasi

Stakeholders
(Pemangku Kontribusi yang Diberikan lnsentif yang Diharapkan
Kepentin an
PIHAK DALAM
1. Pemilik modal 1. Uang dan modal 1. Dividen dan apresiasi harga
sa ham
2. Manajer 2. Keterampilan dan ekspertis 2. Gaji, bonus, status, dan
kekuasaan
3. Karyawan 3. Keterampilan dan ekspertis 3. Upah, bonus, promosi, dan
pekerjaan yang mapan

PIHAK LUAR
1. Pelanggan 1. Pendapatan dari konsumen 1. Kualitas dan harga produk
2. Pemasok 2. Input yang berkualitas 2. Pendapatan dari pembelian
input
3. Pemerintah 3. Peraturan pemerintah 3. Kompetisi yang fair
4. Komunitas 4. lnfrastruktur sosial dan 4. Pendapatan, pajak dan
ekonomi pekerjaan
5. Serikat buruh 5. Perjanjian kerja yang fair 5. lmbalan yang pantas
dan bebas
6. Masyarakat 6. Loyatitas dan reputasi 6. Kebanggaan nasional
umum konsumen

C. MANAJEMEN ORGANISASI

Di muka telah dijelaskan bahwa setiap organisasi, tidak peduli apakah


organisasi tersebut adalah organisasi bisnis (berorientasi lab a) atau organisasi
tidak berorientasi laba, keduanya pasti membutuhkan manajemen. Kebutuhan
akan manajemen lebih dimaksudkan agar organisasi bisa berperan sebagai
alat bantu manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ada dua
ukuran penting yang biasa digunakan untuk mengukur keberhasilan
organisasi, yaitu efisiensi dan efektivitas organisasi. Untuk mencapai kedua
tujuan tersebut, kedudukan seorang manajer menjadi sangat penting. Para
manajer menempati peran penting di dalam organisasi karena mereka adalah
sekelompok orang yang diberi mandat oleh pemilik organisasi untuk
mengelola semua aset organisasi termasuk di dalamnya keuangan, teknologi,
sumber daya manusia dan aset nonfisik lainnya. Melihat peran penting
tersebut pada subpokok bahasan ini akan dibahas peranan manajer di dalam
organisasi dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang manajer.
1.26 PERILAKU ORGANISASI e

1. Peranan Manajer dalam Organisasi


Di atas telah disebutkan bahwa stakeholder yang berasal dari dalam
organisasi (inside stakeholders) terdiri dari tiga kelompok, yaitu pemilik
modal (stcokholders), manajer dan karyawan. Komposisi ketiga inside
stakeholders dan kedudukan masing-masing komponen akan membentuk
sebuah piramida seperti tampak pada Gambar 1.4 sebagai berikut:

Stockholder/pem ilik modal

•• •• •• •••••• •••• ••• ••••• •• ••

Para manajer

••••• •••• •••••••••••••••••• •• •••••• ••••••••••••••••

Karyawan

Gambar 1.4.
Komposisi Stakeholders yang Berada di Dalam Organisasi

Stockholders atau pemilik modal adalah sekelompok orang yang


memiliki organisasi yang dalam Tabel 1.2 menempati posisi paling atas.
Posisi paling atas menunjukkan bahwa pemilik modal mempunyai otoritas
paling tinggi di antara ketiga komponen stakeholders yang berada di dalam
organisasi, sedangkan ujud kepemilikannya dinyatakan dalam pemilikan
19
lembar saham (yang bisa dijual belikan) . Oleh karenanya, pemilik modal
belum tentu orang yang sejak semula ikut mendirikan organisasi. Meski
demikian merekalah yang menentukan arah tujuan organisasi. Itulah
sebabnya ketika terjadi perubahan kepemilikan organisasi, misalnya karena
likuidasi, akuisisi atau merger dengan organisasi lain; terjadi perubahan arah
20
tujuan organisasi. Gareth Jones menyatakan bahwa arah tujuan organisasi
yang ditetapkan oleh stockholder disebut sebagai tujuan ofisial organisasi dan

19
Dalam hal organisasi tersebut adalah organisasi nirlaba, ujud kepemilikan biasanya
tidak dinyatakan dalam bentuk saham yang bisa dijual belikan melainkan dalam
bentuk akte pendirian yang disahkan Notaris - khususnya yang berlaku di
Indonesia.
20
Jenniffer George and Gareth Jones. (1999). Understanding and Managing
Organizational Behavior. 2nd edition. Reading, Mass.: Addison-Wesley. Hal. 3- 5.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.27

biasanya dinyatakan dalam Pernyataan Misi Organisasi (Misssion


statement).
Meski sebagai otoritas tertinggi dalam organisasi, pemilik modal
biasanya tidak terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari organisasi.
Keberadaan mereka di dalam organisasi diwakili oleh sekelompok orang
yang disebut "Dewan Komisaris". Dewan Komisaris kemudian menunjukl
mengangkat Manajer Puncak yang diserahi tugas untuk menetapkan "Tujuan
operasional". Secara berturut-turut, melalui mekanisme yang ada, Manajer
Puncak kemudian mengangkat manajer lainnya dan karyawan organisasi.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa hubungan pemilik modal - manajer
adalah hubungan employer - employee di mana pemilik modal adalah
employernya (majikan) dan manajer adalah employeenya (buruh). Jadi,
seorang manajer pada dasamya sama dengan karyawan lainnya, yakni
mereka adalah buruh (dalam bahasa yang kasar) dari pemilik modal.
Barangkali membedakan manajer dari karyawan biasa adalah manajer
(khususnya manajer puncak) memperoleh mandat dari pemilik modal untuk
menjaga, mengelola, dan mengembangkan harta milik pemilik modal.
Mandat ini diberikan pemilik modal dalam bentuk keleluasaan para manajer
untuk mengambil keputusan yang menyangkut keberadaan organisasi,
sedangkan karyawan biasa umumnya tidak mempunyai akses untuk
pengambilan keputusan organisasi.
Oleh karena status dan otoritas yang dimiliki oleh para manajer maka
manajer mempunyai peranan yang sangat penting dalam sebuah organisasi.
Di antara peran penting yang dimiliki oleh seorang manajer adalah dalam
menentukan tujuan operasional organisasi di mana dasar penentuan tujuan
ini adalah tujuan official organisasi sebagaimana telah ditetapkan oleh
stockholders. Bisa dikatakan bahwa keberadaan manajer sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan organisasi. Untuk itu, seorang manajer harus memiliki
satu set perilaku (peran manajerial) sehingga organisasi bisa mencapai tujuan
seperti yang diharapkan (para pemilik modal). Dalam hal ini, Henry
21
Mintzberg mengidentifikasikan 10 peran penting yang harus dimiliki oleh
seorang manajer seperti tampak pada Gambar 1.5 berikut ini:

21
Henry Mintzberg. (1991). The Manager's Job: Folklore and Fact, in Barry M. Staw
(editor). Psychological Dimensions of Organizational Behavior. New York:
Macmillan Publishing Company. Hal. 424-437.
1.28 PERILAKU ORGANISASI e

Status dan otoritas formal



seorang manaJer

Peran desicional
• Enterprenur
Peran interpersonal Peran informasional
• Penyelesai
masalah
• Ketokohan • Monitor • Pengalokasi
• Kepemimpinan • Diseminator sumber daya
• penghubung • Negosiator

Sumber: Henry Minzberg.

Gam bar 1. 5.
Peran Manajer dalam Organisasi

a. Peran interpersonal
Peran interpersonal muncul karena status dan otoritas formal yang
dimiliki para manajer. Peran ini meliputi hubungan antarmanusia yang
berupa ketokohan, kepemimpinan dan kemampuan seorang manajer menjadi
penghubung. Dalam peran ketokohan seorang manajer menjadi representasi
organisasi dalam acara-acara seremonial dan kegiatan-kegiatan simbolik.
Seorang W alikota, misalnya melakukan pengguntingan pita sebagai tanda
dibukanya secara resmi beroperasinya sebuah perusahaan. Pengguntingan
pita yang dilakukan oleh Walikota mencerminkan bahwa keberadaan
perusahaan direstui oleh komunitas/masyarakat setempat; seorang pimpinan
cabang sebuah bank, ketika menduduki pos baru mengundang makan siang
klien yang dianggap besar sebagai tanda bahwa dia (bank tersebut) memberi
perhatian pada nasabahnya; dan seorang dekan harus memberikan wejangan
pada acara pernikahan stafnya sebagai tanda bahwa fakultas peduli terhadap
kesejahteraan karyawan.
Semua yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut tampaknya tidak penting
tetapi setiap manajer dituntut untuk bisa melakukan tugas tersebut karena hal
ini akan memberikan citra positif dan sebagai bibit keberhasilan organisasi.
Peran Kepemimpinan merupakan tanggung jawab seorang manajer
dalam mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan bawahannya
dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Selain itu, seorang manajer dalam
memainkan perannya sebagai seorang pemimpin harus bisa menciptakan visi
ke depan agar setiap karyawan bisa mengidentifikasi dirinya dengan
e EKMA41 58/MODUL 1 1.29

organisasi. Peran kepemimpinan juga berkaitan dengan bagaimana seorang


manajer merekrut, membina dan mempromosikan karyawan.
Dalam peran penghubung, seorang manajer adalah intermediary yang
menghubungkan organisasi dengan dewan komisaris (sebagai representasi
pemilik modal) dan juga menghubungkan organisasi dengan dunia luar
organisasi seperti pemerintah, supplier, konsumen dan klien. Peran ini
dilakukan seorang manajer agar mereka memberi dukungan terhadap
keberhasilan organisasi.

b. Peran informasional
Manajer sering dijuluki sebagai pusat syaraf bagi organisasi. Julukan ini
muncul karena dalam melakukan kegiatannya manajer selalu membuat
jaringan kerja (networking) dengan pihak lain dalam rangka berbagi
informasi dan membuat kontrak/kesepakatan. Kesepakatan ini kadang-
kadang dilakukan oleh seorang manajer pada saat dia melakukan peran
ketokohan atau sebagai penghubung. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
informasi harus dimonitor, disebarluaskan, dan disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan. Termasuk peran manajer dalam memonitor informasi,
misalnya mendapatkan, menerima, dan menyeleksi informasi masuk. Dalam
hal ini, ibarat radar yang memantau lingkungan, manajer juga memantau
lingkungan organisasi untuk mendapatkan informasi yang mungkin
berpengaruh terhadap keberadaan organisasi. Tentu saja tidak semua
informasi yang didapatkan manajer akan digunakan untuk kepentingan
organisasi. Informasi harus terlebih dahulu diseleksi mana yang diperlukan
mana yang tidak.
Peran manajer dalam penyebarluasan informasi dimaksudkan agar
manajer bisa berbagi pengalaman dengan bawahan dan anggota organisasi
lainnya. Akan tetapi, terkadang seorang manajer tidak menyebarluaskan
informasi ke semua bawahan atau semua anggota organisasi karena informasi
tersebut menjadi rahasia perusahaan. Dalam perusahaan rokok, misalnya
yang boleh mengetahui formula campuran rokok hanya kalangan terbatas.
Hal ini tidak lain karena formula tersebut sifatnya rahasia perusahaan.
Peran manajer sebagai juru bicara organisasi dimaksudkan agar manajer
dapat menyampaikan beberapa informasi tentang kondisi organisasi kepada
pihak luar. Media yang biasa digunakan untuk penyampaian informasi ini
misalnya laporan tahunan organisasi, melalui press release atau media-media
lain. Peran ini juga amat penting. Misalnya, ketika citra organisasi memburuk
1.30 PERILAKU ORGANISASI e

maka seorang manajer perlu turun tangan untuk menyampaikan bantahan dan
memperbaiki citra organisasi.

c. Peran pengambilan keputusan (decisional)


Setelah seorang manajer memperoleh informasi, ia kemudian
menggunakannya untuk mengambil keputusan organisasi, misalnya tentang
kapan dan bagaimana organisasi harus menetapkan tujuan, merubahnya dan
melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara
ketiga kategori peran manajer dalam organisasi, peran pengambilan
keputusan mungkin bisa dikatakan sebagai peran yang paling penting, sebab
dari keputusan manajerlah organisasi bisa berhasil atau sebaliknya. Dalam
hal ini manajer bisa disebut sebagai inti dari sistem pengambilan keputusan
organisasi. Dia bertindak sebagai entreprenur, arbriter, pengalokasi sumber
daya dan sebagai negosiator.
Dalam peranannya sebagai entreprenur, apa yang dilakukan manajer
termasuk merencanakan dan melakukan perubahan-perubahan organisasi
dalam rangka meneguhkan kedudukan organisasi dan meningkatkan daya
saingnya. Manajer memainkan peran ini ketika ia, misalnya memulai proyek
baru, melakukan survei, melakukan tes pasar atau memasuki bisnis baru. Bill
gates atau Kenesoke Matsushita barang kali contoh yang tepat untuk
menggambarkan peran seorang manajer dalam entreprenuership.
Ketika organisasi menghadapi berbagai masalah dan terjadinya
perubahan lingkungan organisasi yang berada di luar kendali mereka maka
dibutuhkan kehadiran seorang manajer yang bisa bertindak untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut. Berbagai persoalan yang biasa dihadapi oleh
sebuah organisasi, misalnya pemogokan tenaga kerja, bangkrutnya suppliers,
terputusnya kerja sama dengan pelanggan, perubahan peraturan pemerintah.
Di sinilah peran seorang manajer sebagai pemecah persoalan (disturbance
handler) sangat dibutuhkan. Persoalan-persoalan tersebut kadang terjadi
karena lemahnya manajemen yang mengabaikan perubahan lingkungan
sampai akhirnya terjadi krisis organisasi, tetapi bukan tidak mungkin bahwa
persoalan tersebut muncul pada organisasi yang dikelola secara baik.
Persoalan internal organisasi di mana masing-masing unit saling
memperebutkan sumber daya yang terbatas jumlahnya, merupakan hal biasa
dalam organisasi. Tentu saja kondisi ini tidak boleh menjadikan elemen-
elemen organisasi menj adi disintegrasi karena persoalan tersebut. ltu
sebabnya seorang manajer harus bertindak sebagai pengalokasi sumber daya
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 31

(resource allocator) yang adil yang mengalokasikan sumber daya sesuai


dengan kebutuhan dan arab tujuan organisasi. Untuk tujuan itu maka seorang
manajer harus memahami kondisi organisasi secara menyeluruh dan
memahami kebutuhan masing-masing unit. Untuk itu, kadang-kadang
manajer terpaksa harus menutup satu unit aktivitas dan di sisi lain membuka
aktivitas baru. Sekali lagi hal ini semata-mata ditujukan untuk kepentingan
• •
organ1sas1.
Terakhir, peran yang hampir sama dengan pengalokasi sumber daya
tetapi dalam perspektif yang lebih luas adalah peran manajer sebagai
negosiator. Dalam peran ini manajer mencoba memecahkan berbagai
persoalan khususnya perbedaan antara satu pihak dengan lain agar tercapai
sebuah kesepakatan. Perbedaan ini bisa muncul antarindividu tetapi juga bisa
terjadi antarkelompok. Secara umum, bisa dikatakan bahwa negosiasi
merupakan bagian integral dari pekerjaan seorang manajer karena tidak satu
organisasi pun yang selalu berjalan mulus.
Satu hal yang harus dipahami dari kesepuluh peran yang harus
dimainkan oleh seorang manajer adalah masing-masing peran tidak berdiri
sendiri melainkan saling terkait antara satu peran dengan peran lainnya.
Sebagai contoh, kepemimpinan seorang manajer akan berpengaruh terhadap
bagaimana dia mengatasi persoalan sumber daya, perbedaan antarunit dan
persolan lainnya dalam organisasi.

2. Keterampilan Manajerial
Agar bisa berperan sebagaimana disebutkan di atas, ada beberapa
persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang manajer, di antaranya seorang
manajer harus memiliki keterampilan manajerial (manajerial skills) yang
berupa keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan antara
22
manusia (human skill) dan keterampilan konseptual (conceptual skill) .
Apakah seorang manajer lebih dituntut untuk memiliki keterampilan
konseptual, hubungan antarmanusia atau teknikal, sangat bergantung pada
level manajerialnya. Seseorang yang berada di puncak organisasi tentu saja
dituntut untuk memiliki keterampilan konseptual lebih banyak ketimbang
keterampilan teknis. Demikian sebaliknya bagi manajer bawah seharusnya
lebih banyak memiliki keterampilan teknis. Sementara itu, baik manajer level

22
Robert Katz. (1974). Skills of an Effective Administrator, Harvard Business
Review. September-October. Hal. 90- 102.
1.32 PERILAKU ORGANISASI e

atas, menegah maupun bawah dituntut untuk memiliki kemampuan hubungan


antarmanusia yang sama sebagaimana dilukiskan pada Gambar 1.6 di bawah
• •
liD.

Manajer level Manajer level Manajer level


Bawah menengah atas

'II antar lllanusJa

Ketrampilan teknikal

Gambar 1.6.
Keterampilan yang Dibutuhkan untuk Masing-masing Level Manajerial

a. Keterampilan teknis
Keterampilan teknis adalah kemampuan seseorang untuk
mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya
pengetahuan yang sangat khusus atau spesialis. Akuntan, insinyur, dan dokter
adalah beberapa contoh profesi yang memerlukan keahlian khusus dan
keterampilan teknis. Keterampilan ini biasanya diperoleh melalui pendidikan
formal yang sangat intensif di bidangnya. Namun, tidak semua keterampilan
teknis diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, kadang-kadang
melalui pengalaman kerja yang panjang dan menekuni satu bidang pekerjaan
tertentu seseorang dapat memperoleh dan mengembangkan keterampilan
teknis. Seorang manajer tentunya dituntut untuk mempunyai keterampilan
teknis agar kegiatan organisasi bisa berj alan lebih efektif.

b. Keterampilan hubungan antarmanusia


Kemampuan untuk bekerja sama, memahami, dan memotivasi orang lain
merupakan keterampilan hubungan antarmanusia yang harus dimiliki oleh
seorang manajer. Meskipun seorang manajer mempunyai keterampilan teknis
yang tinggi tetapi tidak mempunyai keterampilan hubungan antarmanusia
yang baik, misalnya tidak bisa berkomunikasi dengan baik, tidak bisa
memotivasi orang lain, tidak bisa mendelegasikan pekerjaan-pekerjaannya,
tidak pernah bisa mendengarkan saran orang lain, tidak bisa mengatasi
e EKMA41 58/MODUL 1 1.33

konflik dan tidak bisa memahami kebutuhan orang lain maka manajer
tersebut diperkirakan akan gagal dalam menjalankan perannya sebagai

seorang manaJer.

c. Keterampilan konseptual
Seorang manajer harus mempunyai kesiapan dan kemampuan mental
untuk menganalisis dan mendiagnosis masalah-masalah yang bersifat
kompleks. Keterampilan manajer seperti ini disebut keterampilan konseptual.
Sebagai contoh, ketika seorang manajer hendak mengambil keputusan maka
ia harus bisa menemukan masalah yang tepat, menemukan beberapa alternatif
untuk memecahkan masalah tersebut, mengevaluasi alternatif-alternatif yang
ada dan memilih alternatif terbaik sehingga keputusan yang diambilnya
menguntungkan semua pihak, khususnya bagi organisasi yang berada di
bawah kendalinya. Dalam hal ini, keterampilan teknis dan keterampilan
hubungan antarmanusia saja dianggap tidak cukup jika manajer tersebut tidak
bisa secara konseptual mengambil keputusan yang tepat.

~· ..-;
t '
, ~-,-
...
_ .....-
~
LATIHAN
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

____= ...... =

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang organisasi dan bagaimana
hubungan antara organisasi dengan manusia dan manajemen?
2) Mengapa manusia membutuhkan organisasi?
3) Dalam hubungannya dengan pengelolaan organisasi, mengapa seorang
manajer, terlepas dari level manajerialnya, harus memiliki kemampuan
hubungan antarmanusia?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Organisasi secara harfiah adalah sebuah alat bantu yang sengaja


diciptakan manusia untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan. Meski demikian, organisasi bukan sembarang alat
bantu karena organisasi memiliki kekhasan dibandingkan alat bantu yang
lain. Kekhasan organisasi bisa dilihat dari kedudukan dan peran manusia.
Pertama, organisasi tidak akan pernah ada jika tidak ada manusia yang
1.34 PERILAKU ORGANISASI e

terlibat di dalamnya. Kedua, bagi alat bantu yang lain meski sama seperti
organisasi, yakni melibatkan manusia, namun manusia bertindak semata-
mata sebagai subjek yang menjalankan alat bantu tersebut. Sementara
bagi organisasi, manusia bukan semata-mata sebagai subjek yang
menjalankan organisasi tetapi juga sebagai objek yang harus dikelola.
Ketiga, penjelasan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa
organisasi harus dikelola, bahkan mengelola organisasi j auh lebih
kompleks dibandingkan dengan mengelola alat bantu lainnya karena
kedudukan ganda manusia - sebagai subjek dan objek. Dalam rangka
mengelola organisasi itulah kebutuhan akan manajemen organisasi
bukan merupakan pilihan, tetapi sebuah keharusan. Organisasi dan
manajemen dengan demikian sangat berperan terhadap tercapai tidaknya
kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai seseorang.
2) Manusia membutuhkan organisasi karena (a) manusia memiliki berbagai
macam kebutuhan yang jumlahnya tidak terhingga yang semuanya ingin
dipenuhi, (b) untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut sayangnya
tidak bisa dilakukan secara mandiri karena keterbatasan yang
dimilikinya, (c) manusia yang pada dasarnya adalah makhluk sosial
cenderung berpaling pada orang lain untuk membantunya atau jika
dimungkinkan diajak bekerja sama. Ketiga alasan inilah yang menjadi
dasar pertimbangan mengapa seseorang membutuhkan organisasi.
Dengan organisasi, manusia berharap sebagian besar kebutuhannya bisa
terpenuhi. Oleh karena alasan itu pula tidak jarang seseorang terlibat
dalam kegiatan organisasi yang berbeda pada saat bersamaan.
3) Manajer sebuah organisasi secara hierarkis pada dasarnya bisa dibedakan
menjadi 3 kelompok - manajer tingkat atas, tingkat menengah, dan
tingkat bawah. Pengelompokan ini membawa konsekuensi pada
keterampilan yang harus dimilikinya. Misalnya, manajer tingkat atas
karena skop yang di mana sangat luas dan bervariasi, dituntut lebih
banyak memiliki keterampilan konseptual. Demikian sebaliknya manajer
tingkat bawah dituntut lebih memiliki keterampilan teknikal karena
skopnya yang relatif sempit. Meski demikian, terlepas dari level
manajerialnya, setiap manajer dituntut memiliki keterampilan hubungan
antarmanusia yang sama. Hal ini disebabkan karena di mana pun posisi
seorang manajer dia pasti selalu berhubungan dengan manusia lain -
entah sebagai bawahan, atasan, ternan kerja ataupun relasi di luar
organisasi. Tingginya interaksi antarmanusia inilah yang menj adi alas an
e EKMA41 58/MODUL 1 1.35

mengapa seorang manajer dituntut memiliki keterampilan hubungan


antarmanusia mengingat sekali lagi manusia memiliki peran sentral
dalam kehidupan sebuah organisasi.

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 1 menjelaskan pengertian dan karakteristik


organisasi. Hal lain yang menjadi fokus perhatian Kegiatan Belajar 1
adalah dimensi -dimensi organisasi dan arti penting organisasi bagi
manusia. Di samping itu, Kegiatan Belajar 1 juga menjelaskan peranan
dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang manajer dalam
menjalankan kegiatan organisasi agar organisasi tersebut mencapai
tujuan-tujuannya. Secara umum, apa yang telah diuraikan di depan dapat
dirangkum dalam ringkasan sebagai berikut.
1. Organisasi adalah unit sosial atau entitas sosial yang didirikan oleh
manusia untuk jangka waktu yang relatif lama, beranggotakan
sekelompok manusia - minimal dua orang, mempunyai kegiatan
yang terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai
tujuan tertentu dan mempunyai identitas diri yang membedakan satu
entitas dengan entitas lainnya.
2. Berangkat dari pengertian tersebut, organisasi mempunyai
5 komponen utama, yaitu:
a. organisasi adalah sebuah entitas sosial;
b. organisasi beranggotakan dua orang atau lebih;
c. organisasi mempunyai kegiatan yang terstruktur dan tersistem;
d. organisasi mempunyai tujuan;
e. organisasi mempunyai batas-batas yang bisa teridentifikasi.
3. Secara umum, karakteristik organisasi bisa dibedakan menjadi dua
dimensi, yaitu dimensi struktural dan kontekstual.
4. Terlepas dari dimensi-dimensi organisasi, organisasi itu sendiri bisa
dipahami melalui sebuah metafora, yakni metafora gunung es yang
membedakan organisasi dari aspek formal dan informal.
5. Organisasi didirikan bukan tanpa tujuan. Tujuan terpenting dari
didirikannya organisasi adalah agar secara resources (sumber daya
langka) bisa diubah menjadi produk/jasa yang bernilai tambah
sehingga kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara optimal.
6. Proses penciptaan nilai tambah ditempuh melalui tiga tahap yakni
a. masukan (input),
b. proses transformasi, dan
c. keluaran (output).
1.36 PERILAKU ORGANISASI e

7. Pada umumnya tujuan sebuah organisasi dinyatakan di dalam


"pernyataan misi organisasi". Tujuan seperti ini biasanya disebut
sebagai tujuan offocial dan ditetapkan oleh stockholders. Tujuan
operasional adalah tujuan yang ditetapkan oleh manajer puncak
sebagai bentuk operasionalisasi dari tujuan official.
8. Agar organisasi bisa berjalan seperti yang dikehendaki, diperlukan
seorang atau beberapa orang manajer yang memiliki peran
interpersonal, informasional, dan peran decisional (pengambilan
keputusan)
9. Sesuai dengan kedudukannya dalam hierarki organisasi,
keterampilan yang dimiliki oleh seorang manajer bervariasi.
Manajer yang menduduki posisi tertinggi dituntut untuk memiliki
keterampilan konseptual, sedangkan manajer di bawahnya dituntut
memiliki keterampilan teknis lebih baik. Sementara itu, di mana pun
kedudukan seorang manajer, keterampilan hubungan antarmanusia
tampaknya tidak bisa dihindarkan.

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Organisasi mempunyai beberapa karakteristik, di bawah ini yang bukan


karakteristik organisasi adalah ....
A. sebuah entitas fisik
B. sekelompok orang yang bekerja bersama-sama
C. memiliki identitas diri
D. memiliki tujuan yang hendak dicapai

2) Berikut ini yang termasuk dalam dimensi kontekstual organisasi


adalah ....
A. tujuan dan strategi organisasi
B. hierarki organisasi
C. rasio personel
D. formalisasi organisasi

3) Untuk menciptakan nilai tambah, organisasi melakukan aktivitas mulai


dari input, proses, dan output. Di antara elemen yang bisa
dikelompokkan ke dalam input adalah ....
A. keterampilan sumber daya manusia
B. pelanggan
e EKMA41 58/MODUL 1 1.37

C. kepuasan pelanggan
D. teknologi

4) Komponen informal organisasi meliputi komponen yang berkaitan


dengan manusia sebagai individu dan kelompok, di antaranya ....
A. deskripsi kerja
B. kebijakan sumber daya manusia
C. rentang kendali
D. politik dan kekuasaan

5) Berikut ini adalah keterampilan umum yang harus dimiliki seorang


manajer, kecuali ....
A. keterampilan konseptual
B. keterampilan hubungan antarmanusia
C. keterampilan teknikal
D. pengambilan keputusan

Cocokkanlahjawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
1.38 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Ruang Lingkup Studi Perlaku Organisasi

etelah memperoleh gambaran tentang apa itu organisasi dan keterkaitan


organisasi dengan manusia dan manajemen sebagaimana dijelaskan pada
Kegiatan Belajar 1, selanjutnya pada Kegiatan Belajar 2 akan diberi
gambaran tentang ruang lingkup bidang studi perilaku organisasi. Termasuk
dalam pokok bahasan pada Kegiatan Belajar 2 adalah penjelasan tentang apa
itu perilaku organisasi dan mengapa kita perlu mempelajari bidang studi ini.
Uraian awal tentang kedua pokok bahasan tersebut dimaksudkan agar
mahasiswa memahami lingkup kajian studi perilaku organisasi dan
pentingnya mempelajari bidang studi ini khususnya dalam rangka
meningkatkan efektivitas organisasi dan kepuasan kerja karyawan.
Di samping kedua pokok bahasan di atas, Anda juga akan diperkenalkan
dengan aspek-aspek penting lain dalam memahami studi perilaku organisasi
mengingat bahwa perilaku organisasi merupakan bidang studi multidisiplin
yang dinamis yang selalu berinteraksi dengan perubahan lingkungan
eksternal. Di antaranya penjelasan tentang disiplin ilmu yang memberi
kontribusi terhadap bangunan (construct) hidang studi perilaku organisasi,
bagaimana melakukan analisis terhadap studi perilaku keorganisasian, dan
sejarah, trend perkembangan dan tantangan-tantangan yang dihadapi studi
perilaku organisasi di masa datang.
Secara ringkas topik-topik penting yang akan menjadi pokok bahasan
dalam Kegiatan Belajar 2 adalah sebagai berikut.
1. Pengertian perilaku keorganisasian. Pokok bahasan ini akan menjelaskan
apa itu perilaku keorganisasian dan ruang lingkupnya.
2. Tujuan mempelajari studi perilaku keorganisasian. Pokok bahasan ini
bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mempelajari
studi perilaku keorganisasian.
3. Kontribusi disiplin ilmu lain terhadap hidang studi perilaku
keorganisasian. Di sini akan dijelaskan beberapa disiplin ilmu yang
secara langsung membantu kita memahami studi perilaku
keorganisasian. Topik bahasan ini menjadi penting karena bidang studi
perilaku keorganisasian sebagai ilmu terapan yang interdisiplin.
4. Cara menganalisis perilaku keorganisasian. Dalam pokok bahasan ini
beberapa level analisis, seperti level individual, kelompok, organisasi,
e EKMA41 58/MODUL 1 1.39

dan lingkungan eksternal akan didiskusikan dengan tujuan agar kita tidak
terjebak dalam kesimpulan-kesimpulan sempit seolah-olah studi perilaku
keorganisasian hanya bisa dianalisis melalui satu perspektif saja.
5. Trend perkembangan dan tantangan bidang studi keorganisasian di mas a
datang. Perilaku keorganisasian adalah bidang studi yang dinamik yang
selalu berinteraksi dengan perubahan lingkungan organisasi. Oleh
karenanya, dengan topik bahasan ini kita bisa memahami pengaruh
faktor lingkungan terhadap perilaku manusia di dalam organisasi.

A. PENGERTIAN PERILAKU KEORGANISASIAN

Dalam bukunya Organizational Theory and Design (1992), Richard L.


Daft membedakan pengertian perilaku organisasi dari teori organisasi. Teori
organisasi adalah bidang studi yang membahas organisasi secara makro
sedangkan perilaku organisasi adalah bidang studi yang membahas organisasi
23
secara mikro . Meski tampak adanya perbedaan pengertian, bidang kajian
teori organisasi dan perilaku keorganisasian sebetulnya sama yakni organisasi
dan bahkan manusia di dalam organisasi. Namun, keduanya merupakan
bidang studi yang berbeda utamanya jika kita melihatnya dari cara mengkaji
organisasi. Dalam teori organisasi manusia hanya dibahas secara agregat
sebab dalam bidang studi ini unit analisisnya adalah organisasi secara
keseluruhan (analisis makro ). Dalam perilaku organisasi, manusia justru
menempati posisi sentral (analisis mikro). Di sini manusia akan diperlakukan
sebagai tempat berpijak untuk memahami organisasi secara keseluruhan.
Penjelasan yang hampir sama tentang perbedaan teori organisasi dan
perilaku organisasi juga dikemukakan oleh Keith Davis dan John Newstrom
(1989) dalam bukunya Human Behavior at Work. Kedua penulis ini
mengatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang studi yang mempelajari
24
bagaimana manusia berperilaku dan bertindak di dalam organisasi . Dalam
hal ini Davis dan Newstrom lebih tegas dalam mengartikan perilaku
organisasi, yakni perilaku dan tindakan manusia di dalam organisasi. Dalam
pandangan mereka, tanpa mengabaikan variabel-variabel lain yang ikut
mempengaruhinya, perilaku dan tindakan manusia merupakan variabel utama
yang mempengaruhi perilaku sebuah organisasi.

23
Richard Daft. (1992). Op cit. Hal. 26.
24
Keith Davis and John Newstorm. (1989). Human Behavior at York. gth edition. New
York: McGraw-Hill Inc. Hal. 5.
1.40 PERILAKU ORGANISASI e

Dari kedua penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa dalam bidang studi
perilaku organisasi, kita berupaya memahami organisasi dengan perspektif
manusia sebagai titik sentralnya. Penjelasan ini sekali lagi menegaskan
bahwa tema pokok dari perilaku organisasi adalah manusia. Namun, manusia
25
itu sendiri, sebagai objek studi, bersifat multiperspektif maka tidak semua
aspek yang berkaitan dengan manusia akan menjadi tema pokok dalam
bidang studi ini. Hanya aspek-aspek manusia yang relevan dan terkait dengan
organisasi saj a yang menj adi pusat perhatian bidang studi perilaku organisasi.
Secara umum, ada dua cara dalam memandang manusia di dalam
organisasi. Pertama, manusia dipandang sebagai individu, dan kedua,
manusia dipandang sebagai bagian dari kelompok. Sebagai individu, manusia
mempunyai sifat dan karakter yang unik yang berbeda antara satu individu
dengan individu yang lain. Sampai batas-batas tertentu, sifat dan karakter ini
tidak berubah meski seseorang telah bergabung dengan organisasi dalam
jangka waktu lama. Kalau toh mengalami perubahan, hal itu tidak terjadi
dalam waktu pendek melainkan secara gradual dan memakan waktu yang
relatif lama. Sulitnya perubahan sifat dan karakter manusia ini dikarenakan
26
dalam diri manusia sudah terbentuk mental programming atau lazim
disebut sebagai mind set, yakni pola pikir, perilaku, pola tindak, dan nilai-
nilai individu yang sebagiannya berasal dari faktor turunan (heredity) dan
sebagiannya lagi dibangun dari pengalaman masa lalu orang tersebut dan
lingkungan sebelum bergabung dengan organisasi. V ariabellingkungan yang
membentuk mind set seseorang, misalnya lingkungan keluarga, ternan
bergaul, dan tempat pendidikan.
Di sisi lain, ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam kurun
waktu yang cukup lama, mempunyai kegiatan sejenis dan mempunyai
orientasi yang sama sehingga mereka bisa saling berbagi pengalaman dan
harapan maka di antara mereka akan membentuk suatu sistem sosial yang
27
disebut kelompok . Sebuah kelompok, terbentuk karena masing-masing

25
Lihat James McConnell. (1986). Understanding Human Behavior. 5th edition. New
York: CBS Publishing. pp.12-14. McConnell, misalnya menjelaskan bahwa
perilaku manusia paling tidak bisa dilihat dari tiga sudut pandang: biologis,
intrapsychic dan sosial/behavioral.
26
Geert Hofstede. (1980). Culture's Consequences: International Differences in Work
Related Values. Beverly Hill, CA: Sage Publication. Hal. 15-16.
27
Prithtviral Chattopadhyay. (1999). Beyond Direct and Systematical Effects: The
Influence of Demographic Dissimirality on Organizational Citizenship Behavior,
Academy of Management Journal, pp. 273-287.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.41

individu mempunyai kepentingan, orientasi dan harapan yang sama. Oleh


karenanya mereka lambat laun membangun mental programming yang bisa
diterima oleh semua (atau paling tidak sebagian besar) anggota kelompok.
Mental programming yang terbentuk dalam sebuah kelompok inilah yang
28
disebut collective mental programming . Ujud dari collective mental
programming adalah terbentuknya norma perilaku kelompok. Sebagai
catatan, collective mental programming bukan merupakan penjumlahan atau
sekadar kumpulan dari individual mental programming sebab variabel yang
menentukan terbentuknya kedua mental programming berbeda.
Fungsi norma perilaku kelompok adalah sebagai pedoman berpikir,
berperilaku, dan bertindak di antara anggota kelompok. Fungsi lain adalah
sebagai faktor pembentuk karakteristik (identitas diri) kelompok yang
membedakan kelompok tersebut dengan kelompok lainnya. Dengan
terbentuknya norma perilaku kelompok berati jika ada seorang anggota
kelompok berperilaku atau bertindak di luar norma maka orang tersebut
dianggap mempunyai perilaku dan tindakan menyimpang. Konsekuensinya
adalah orang tersebut bisa diberi sangsi sosial oleh kelompoknya dan bahkan
kadang-kadang bisa dikeluarkan dari keanggotaannya dalam kelompok.
Dari penjelasan tentang kedudukan dan peranan manusia di dalam
organisasi baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, bisa dikatakan
bahwa perilaku sebuah organisasi sangat bergantung pada bagaimana
manusia di dalam organisasi berperilaku dan bertindak. Namun, perilaku
organisasi tidak semata-mata dipengaruhi oleh kedudukan manusia sebagai
individu dan kelompok melainkan dipengaruhi pula oleh dimensi-dimensi
organisasi seperti struktur, proses dan kultur organisasi. Di samping itu,
dimensi -dimensi organisasi ini, secara lang sung maupun tidak, juga bisa
dipengaruhi oleh perilaku manusianya.
Oleh karenanya yang menjadi titik sentral dalam pembahasan perilaku
organisasi bukan sekadar manusia sebagai individu, juga bukan sekadar
manusia dalam kedudukannya sebagai kelompok, tetapi termasuk saling
pengaruh antara manusia dengan aspek-aspek manusia yang relevan dengan
organisasi. Hal ini sej alan dengan pengertian perilaku keorganisasian seperti
dikemukakan oleh Stephen Robbins sebagai berikut:

28
Hofstede. Op. cit. Hal. 15-16.
1.42 PERILAKU ORGANISASI e

Organizational behavior is a field of study that investigates the impact


that individuals, groups, and structure have on behavior within
organization, for the purpose of applying such knowledge toward
29
improving an organization's effectiveness
(Perilaku keorganisasian adalah bidang studi yang menginvestigasi
individu, kelompok dan struktur organisasi, dan dampaknya terhadap
perilaku di dalam organisasi dengan harapan bahwa dengan menerapkan
pengetahuan tersebut efektivitas organisasi dapat ditingkatkan)

Untuk memperjelas apa yang disampaikan Stephens Robbins, elaborasi


lebih lanjut dari definisi di atas adalah sebagai berikut. Pertama, perilaku
keorganisasian adalah sebuah bidang studi. Hal ini mengandung pengertian
bahwa perilaku keorganisasian merupakan suatu area tersendiri dengan
common body of knowledge yang terpisah dari bidang studi lain. Seperti telah
dijelaskan di muka, misalnya perilaku organisasi berbeda dengan teori
organisasi meski keduanya menelaah manusia di dalam organisasi. Kedua,
sebagai bidang studi yang berdiri sendiri maka ruang lingkup bahasannya
juga sangat spesifik. Dalam hal ini, yang dipelajari bidang studi perilaku
keorganisasian adalah determinan perilaku manusia di dalam organisasi baik
perilaku individu maupun perilaku kelompok. Jennifer George dan Gareth
Jones bahkan secara lebih tegas mengatakan bahwa di samping mempelajari
faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang sebagai individu dan
sebagai anggota kelompok berperilaku dan bertindak, bidang studi perilaku
organisasi juga mempelajari bagaimana sebuah organisasi mengelola
30
lingkungannya .
Ketiga, dalam mempelajari perilaku manusia dan perilaku organisasi,
bidang studi ini merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat terapan (applied
science). Maksud dari ilmu terapan di sini adalah bidang studi ini mencoba
menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang ada - termasuk teori, konsep,
dan aplikasinya, khususnya pengetahuan tentang manusia sebagai individu,
kelompok dan semua aspek yang melingkupinya dalam rangka untuk
meningkatkan efektivitas organisasi dan meningkatkan kepuasan kerja
karyawan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa
perilaku organisasi adalah suatu bidang studi terapan yang mempelaj ari

29
Stephen P. Robbins. (2000). Organizational Behavior: Concepts, Controversies
and Applications. 8th edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall Inc. Hal. 8.
°
3
Charrington, D.J. (1989). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.43

perilaku manusia di dalam organisasi, baik manusia dalam kapasitasnya


sebagai individu maupun manusia sebagai kelompok, dan hubungan antara
manusia dengan variabel yang relevan dengan organisasi dalam rangka untuk
meningkatkan efektivitas organisasi dan kepuasan kerja karyawan. Variabel-
variabel tersebut adalah dimensi -dimensi organisasi dan lingkungan
• •
organ1sas1.

B. TUJUAN MEMPELAJARI PERILAKU ORGANISASI

Seperti telah dijelaskan pada Kegiatan Belajar sebelumnya, ketika


seseorang mendirikan sebuah organisasi, tujuan akhimya bukanlah sekadar
berdirinya organisasi tersebut melainkan agar ia bisa mencapai tujuan lain
lebih efisien dan efektif. Di sisi yang lain karena organisasi terdiri dari
sekelompok orang di mana tidak semua orang yang terlibat di dalam
organisasi tersebut ikut mendirikannya (atau dengan kata lain, mereka
semata-mata hanya sebagai anggota/karyawan), bisa jadi keterlibatan mereka
mempunyai alasan dan tujuan tersendiri, yang berbeda dengan alasan
didirikannya organisasi. Adanya perbedaan kepentingan yang terj adi di
dalam organisasi, antara kepentingan para pendiri/pemilik organisasi dengan
kepentingan para anggota organisasi, merupakan salah satu alasan - kalau
tidak bisa dikatakan sebagai alasan utama mengapa kita mempelajari perilaku
organisasi. Alasan lain, seperti telah diungkap dalam penjelasan tentang
metafora gunung es adalah untuk menutup kelemahan ilmu manajemen yang
cenderung lebih menitikberatkan perhatiannya pada aspek formal organisasi
namun mengabaikan aspek informal. Kalaulah dalam ilmu manajemen juga
dikenal manajemen sumber daya manusia tetap saja orientasinya lebih
bersifat formal. Dalam hal ini, manusia seolah-olah hanya bagian dari sistem
organisasi yang selalu taat dengan ketentuan manajemen. Padahal dalam
kenyataannya, terlepas bahwa manusia bisa menjadi subjek maupun objek
organisasi, setiap individu pasti punya kepentingan yang berbeda. Di sinilah
studi perilaku organisasi memainkan peranannya.
Dalam kegiatan sebuah organisasi, perbedaan kepentingan tersebut tidak
bisa dihilangkan begitu saja. Menghilangkan kepentingan salah satu pihak
justru bisa mengganggu jalannya organisasi dan salah satu atau bahkan kedua
belah pihak pasti menjadi korbannya. Sebagai contoh, apabila kepentingan
pemilik organisasi terganggu atau dihilangkan ( ditandai dengan buruknya
kinerja organisasi) dan akhirnya tujuan pendirian organisasi tidak tercapai,
1.44 PERILAKU ORGANISASI e

misalnya karena karyawan hanya sekadar memperkaya diri dan hanya


menjadi penumpang gratis (free riders), bukan tidak mungkin, cepat atau
lambat, organisasi tersebut akan mengalami kebangkrutan. Jika organisasi
harus menghentikan kegiatannya dan tidak bisa beroperasi lagi karena
bangkrut maka yang rugi bukan hanya pemilik organisasi, tetapi para
karyawan juga bisa kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan,
31
menjaga status sosialnya atau mendapatkan promosi jabatan .
Sebaliknya, apabila para pemilik organisasi hanya sekadar
mementingkan tujuannya dengan mengabaikan kepentingan para karyawan
(ditandai dengan menurunnya ketidakpuasan karyawan), misalnya karena
organisasi terlalu otoriter terhadap mereka atau reward sistemnya terlalu
rendah dibandingkan dengan organisasi sejenis maka dampak yang paling
sederhana adalah rendahnya tingkat motivasi karyawan. Untuk dampak yang
lebih luas, misalnya karyawan enggan berpartisipasi, tidak mempunyai rasa
memiliki terhadap organisasi, tidak memberi kontribusi bagaimana
seharusnya organisasi berbuat untuk masa depannya dan ujung-ujungnya
32
terjadilah kekeringan organisasi (organizational drift) . Semua itu secara
keseluruhan bisa mengakibatkan organisasi tidak optimal atau bahkan gagal
dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Pendek kata, menghilangkan atau mengabaikan salah satu kepentingan
dari orang-orang yang terlibat di dalam organisasi hanya akan menyebabkan
gagalnya organisasi tersebut dan tujuan orang-orang yang terlibat di
dalamnya tidak tercapai. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi jika kita
memahami dan mengelola perilaku manusia yang terlibat di dalam organisasi
serta mengendalikan semua variabel yang relevan dengannya.
Dengan demikian, tujuan mempelajari studi perilaku keorganisasian
adalah agar kita, khususnya para manajer yang diberi mandat para pemilik
organisasi, bisa mendeskripsikan, menjelaskan dan memprediksi, dan
mengendalikan perilaku manusia di dalam organisasi sehingga tujuan
didirikannya organisasi dan tujuan orang -orang yang terlibat di dalamnya
33
bisa tercapai secara optima1 .

31
Sumantra Ghoshal and Christopher Barlett. (1995). Changing the Role of Top
Management: Beyond Structure to Process. Harvard Business Review. Hal. 63-71.
32
Charrington, D.J. (1989). Op cit. Hal. 8-9.
33
Achmad Sobirin. (2000). Privatisasi: Implikasinya terhadap Perubahan
Perilaku Manusia dan Budaya Organisasi. Jurnal Siasat Bisnis. Voll, No.
5. Hal. 25-48.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.45

1. Mendeskripsikan Perilaku Manusia


Tujuan pertama mempelajari studi perilaku keorganisasian adalah agar
kita bisa mengenali, mendiagnosis, dan menjelaskan kejadian-kejadian, yang
secara teratur dan prediktabel terj adi dalam sebuah organisasi. Mengenali
kejadian seperti ini sangat bermanfaat bagi para manajer, sebab bisa
digunakan untuk mengidentifikasi masalah, menjelaskan apa yang sedang
terjadi dalam sebuah organisasi dan menjelaskan apa yang seharusnya
dilakukan para manajer. Sebagai contoh, katakanlah sebuah organisasi
membentuk komite gabungan yang anggota-anggotanya terdiri dari
kelompok pria dan wanita dan keduanya mempunyai kedudukan yang sama.
Namun, apabila usulan-usulan dari anggota wanita, usulan yang brilian
sekalipun, selalu ditolak dan diabaikan anggota pria maka bisa
diidentifikasikan dan dijelaskan apa sesungguhnya yang sedang terjadi di
dalam organisasi tersebut. Bisa jadi penolakan tersebut karena adanya bias
gender atau adanya ketidaksetaraan dalam memperlakukan karyawan.
Demikian juga, apabila kita mendapati bahwa sebuah kegiatan ternyata
lebih produktif jika dikerjakan secara berkelompok ketimbang dikerjakan
secara individual maka dari basil pengamatan tersebut kita bisa mengatakan
bahwa mendorong karyawan bersaing dengan sesama ternan kerja merupakan
upaya yang sia-sia. Sebaliknya, mendorong mereka bekerja sama, dalam
sebuah tim kerja, justru bisa meningkatkan kinerja organisasi. Contoh-contoh
ini sekali lagi mengindikasikan bahwa mendeskripsikan apa yang sedang
terj adi dalam organisasi sekaligus bisa digunakan untuk mengidentifikasi
masalah dan menjelaskan perilaku manusianya. Dengan demikian, para
manajer bisa mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan.

2. Menjelaskan dan Memprediksi Perilaku Manusia


Tujuan kedua mempelajari perilaku keorganisasian adalah untuk
menjelaskan apa yang sedang terjadi dalam organisasi dan apa kemungkinan
dan akibatnya di mas a datang. J adi, tujuan kedua ini adalah untuk
memprediksi masa depan organisasi dengan menggunakan kejadian masa
kini sebagai prediktornya. Sebagaimana kita ketahui, organisasi umumnya
didirikan bukan untuk jangka pendek melainkan untuk jangka panjang
bahkan kalau mungkin, untuk waktu yang tidak terbatas. Oleh karenanya,
dalam kehidupan organisasi tersebut pasti terjadi suatu pola aktivitas yang
sifatnya ajeg. Artinya, pola yang sama juga bisa terjadi dan akan berlanjut di
masa datang.
1.46 PERILAKU ORGANISASI e

Dengan demikian, tujuan mempelajari perilaku organisasi bukan sekadar


memahami dan menjelaskan apa yang sedang terjadi pada saat ini, tetapi juga
bisa mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan mengapa pola
aktivitas tersebut berjalan ajeg. Bagi para manajer, pemahaman seperti ini
dirasa sangat penting sebab dengan memahami apa yang sedang terjadi bisa
digunakan untuk mengantisipasi dan memprediksi hal-hal yang sama yang
mungkin terjadi di masa datang. Demikian pula dengan mengacu pada pola
kejadian sebelumnya, kita bisa mengambil keputusan-keputusan penting yang
berguna bagi organisasi di masa mendatang sehingga jalannya organisasi bisa
semakin stabil dan organisasi bisa hidup lebih lama. Sebagai contoh, apabila
kita terus-menerus memotivasi karyawan dengan uang sebagai alat
pemicunya maka bisa dipastikan bahwa tanpa pemicu uang, di masa datang
karyawan tidak akan mau berpartisipasi dalam meningkatkan kinerja
• •
organ1sas1.

3. Mengendalikan Perilaku Manusia


Tujuan ketiga adalah mengendalikan perilaku manusia di dalam
organisasi. Harus kita sadari bahwa tidak semua perilaku manusia di dalam
organisasi selaras dan cocok dengan kepentingan organisasi mengingat
berkumpulnya beberapa orang di dalam organisasi berasal dari beberapa latar
belakang keluarga, pendidikan dan karakter yang berbeda. Di samping itu,
mereka juga mempunyai kepentingan yang berbeda. Oleh karenanya perilaku
manusia di dalam organisasi harus dikendalikan dengan pengertian perilaku
yang disfungsional harus dihindarkan dan sebaliknya perilaku yang
diharapkan perlu didorong dan ditumbuh kembangkan dalam rangka
meningkatkan kinerj a organisasi.
Mengendalikan perilaku manusia bukan merupakan sesuatu yang tidak
mungkin mengingat bidang studi ini mempunyai berbagai macam teknik dan
bermacam-macam cara untuk melakukan intervensi terhadap perilaku
manusia. Demikian juga mengendalikan perilaku manusia bukan sekadar
mengawasi atau mengarahkannya, tetapi sekaligus jika diperlukan,
merubahnya manakala perilaku tersebut disfungsional. Sebagai contoh,
seorang karyawan yang biasa bekerja mandiri tentunya sangat baik bagi
pengembangan karier dirinya. Perilaku semacam ini juga memberi kontribusi
positif dalam pencapaian tujuan organisasi. ltu sebabnya dalam batas-batas
tertentu, perilaku ini juga sangat diharapkan dan mendapat dukungan dari
organisasi. Namun, apabila kebiasaan kerja mandiri kemudian
e EKMA41 58/MODUL 1 1.47

mengakibatkan orang tersebut enggan membantu orang lain yang sedang


menghadapi kesulitan dalam bekerja (karena orang yang biasa kerja mandiri
umumnya mengharapkan orang lain juga bekerja mandiri) maka perilaku
tersebut bisa dianggap disfungsional dan harus diubah atau paling tidak harus
dikendalikan. Lebih-lebih, perilaku semacam ini semakin tidak pas jika
organisasi tempat mereka bekerja sangat menjunjung nilai-nilai kebersamaan
(collectivism) bukan nilai-nilai individualisme.
Semua upaya mengendalikan perilaku manusia ini, sekali lagi tujuannya
agar kinerja organisasi dapat tercapai dan di sisi lain karyawan juga mencapai
tujuannya. Sayangnya upaya organisasi mengendalikan perilaku manusia
sering kali menghadapi kondisi-kondisi yang dilematis. Misalnya, dalam
batas-batas tertentu bekerja sambil merokok bisa menurunkan kinerja
(produktivitas karyawan) dan tentunya merugikan organisasi secara
keseluruhan. Organisasi seharusnya mengendalikan perilaku yang demikian,
namun melarang karyawan merokok bukan pekerjaan yang sederhana karena
karyawan juga mempunyai hak-hak asasi yang harus dijunjung. Hal yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah merokok termasuk hak asasi
karyawan atau bukan. Oleh karenanya mengendalikan perilaku karyawan
harus dilakukan secara hati -hati agar kedua belah pihak tidak merasa
dilanggar hak-haknya.

C. LEVEL ANALISIS DALAM STUDI PERILAKU ORGANISASI

Studi perilaku keorganisasian dapat dilakukan melalui tiga unit analisis


yang berbeda, yakni pada level individual, kelompok dan organisasi. Di
dalam sebuah organisasi, setiap kej adian bisa dianalisis melalui ketiga level
ini. Demikian juga, setiap perilaku yang kita amati dan jenis-jenis masalah
yang kita diagnosis sangat bergantung pada masing-masing level tersebut.
Sebagai contoh, apabila terjadi perselisihan antara manajer quality control
(QC) dengan manajer pabrikasi maka perselisihan ini bisa dianalisis dari
masing-masing level yang berbeda.
Pada level individual, misalnya terjadinya perselisihan tersebut mungkin
karena kedua manajer tersebut mempunyai kepribadian yang berbeda
akibatnya selalu terjadi miskomunikasi dan hubungan interpersonal keduanya
tidak berjalan lancar. Pada level kelompok, perselisihan tersebut mungkin
disebabkan karena masing-masing kelompok mempunyai sistem nilai dan
norma perilaku yang berbeda. Bagi departemen quality control kualitas
1.48 PERILAKU ORGANISASI e

adalah segalanya. Dalam pandangan mereka banyaknya jumlah produk tidak


ada, artinya jika kualitasnya rendah. Departemen pabrikasi mungkin
berpandangan sebaliknya, yang penting adalah jumlah produk yang
dihasilkan meski ada sedikit yang cacat, sebab banyaknya jumlah produk
yang dihasilkan akan mendorong efisiensi organisasi. Perbedaan orientasi
inilah yang bisa jadi menjadi penyebab perselisihan kedua belah pihak.
Pada level organisasi, perselisihan tersebut mungkin disebabkan karena
tidak sempurnanya hierarki dan sistem organisasi. Akibatnya, persaingan
antar departemen di mana masing-masing departemen berusaha menunjukkan
bahwa departemennya mempunyai peranan yang lebih penting dibandingkan
departemen lain sehingga masing-masing departemen merasa lebih superior
dibanding departemen lainnya. Akibat lanjutannya, kedua belah pihak tidak
pernah mencapai titik temu. Dalam konteks organisasi, dengan demikian
perselisihan ini bisa diatasi dengan mengubah struktur atau hierarki
• •
organ1sas1
Gambar 1.7 di bawah ini menunjukkan ketiga unit analisis sebagai dasar
untuk mendiagnosis perilaku manusia di dalam organisasi.

• •
organisasi
lingkungan
eksternal
kelompok

Individual

lingkungan
eksternal

Gam bar 1. 7.
Tiga Level sebagai Dasar untuk Menganalisis Perilaku Keorganisasian

1. Level Individual
Pada level individual, setiap kejadian akan didiagnosis berdasarkan
perilaku indi vidu. Sebagaimana telah kita ketahui, setiap orang yang
bergabung dengan organisasi, bersamanya dibawa pula kepribadian, sistem
e EKMA41 58/MODUL 1 1.49

nilai dan sikap yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya.
Perbedaan ini tentu saja akan menyebabkan perilaku seseorang berbeda
dengan orang yang lain. Akibatnya, apabila sebuah organisasi katakanlah
sebuah BUMN diprivatisasi maka reaksi karyawannya bermacam-macam.
Ada di antara mereka yang tidak peduli dengan perubahan status perusahaan
tersebut, tetapi ada juga yang mengalami stres berkepanjangan. Ada yang
bersikap positif dan ada yang negatif. Semua reaksi ini tidak lain karena
masing-masing individu mempunyai kepribadian, persepsi dan sikap yang
34
berbeda-beda .

2. Level Kelompok
Meskipun sebuah kelompok terdiri dari beberapa individu yang
mempunyai tugas dan pekerjaan yang sama/sejenis dan melaporkan
35
pekerj aan tersebut kepada atasan yang sama pula , bukan berarti perilaku
kelompok sama dengan kumpulan dari perilaku individu. Penyebabnya
karena setiap kelompok mempunyai norma perilaku tersendiri yang mereka
bangun bersama dan diterima oleh setiap orang atau sebagaimana besar
anggota kelompok. Oleh karenanya perilaku kelompok tersebut akan terus
dipertahankan - sebagai identitas diri mereka, dan disosialisasikan di antara
mereka selama kelompok tersebut masih eksis. Di sisi lain mereka akan
menolak perilaku kelompok lain utamanya demi menjaga dan melindungi
eksistensi mereka. Sebagai contoh, usulan tentang mekanisasi atau
komputerisasi pembuatan produk barangkali akan memecahkan masalah
buruknya kualitas produk. Namun, upaya yang baik ini belum tentu mendapat
dukungan semua pihak. Bagi bagian quality control, misalnya komputerisasi
ini sangat mereka dukung karena dengan demikian akan mempermudah
pekerjaan mereka. Namun, bagi kelompok pekerja pabrik, usulan ini
barangkali tidak bisa diterima begitu saja. Penyebabnya karena ada
kecenderungan bahwa mekanisasi/komputerisasi akan berakibat terhadap
pengurangan tenaga kerja dan jika hal ini terjadi maka biasanya karyawan
bagian pabrik yang pertama-tama akan dikurangi. Oleh karenanya mekanisasi
dianggap sebagai ancaman bagi kelompok pekerja pabrik.

34
Prithtviral Chattopadhyay. (1999). Op cit.
35
James McCornell. (1986). Op. cit. Hal. 20-21.
1.50 PERILAKU ORGANISASI e

3. Level Organisasi
Organisasi adalah kumpulan dari individu, namun seperti halnya dalam
perilaku kelompok, kumpulan perilaku individu bukan cerminan dari perilaku
organisasi. Pada level ini semua kej adian yang terj adi di dalam organisasi
akan dianalisis dalam konteks organisasi. Dalam hal ini, dimensi -dimensi
organisasi seperti struktur, desain dan kultur organisasi akan dipahami
sebagai determinan yang mempengaruhi perilaku individu dan perilaku
kelompok, serta secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap perilaku
organisasi. Sebagai contoh, apabila sebuah organisasi didesain sebagai
organisasi yang hierarkis dan tersentralisasi maka dalam kaitannya dengan
aliran informasi, misalnya bisa diperkirakan bahwa informasi akan mengalir
dari pimpinan puncak ke level organisasi paling bawah. Akibatnya,
pengambilan keputusan menjadi sangat lambat karena segala sesuatunya
harus diputuskan di atas. Demikian juga karena manajer level bawah tidak
pernah diberi kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan maka
manajer-manajer bagian bawah tersebut tidak pemah mengalami proses
pembelajaran sehingga kapabilitasnya rendah. Akibat lainnya, tingkat
partisipasi, rasa memiliki dan kontribusi terhadap organisasi pun menj adi
rendah pula.

4. Lingkungan Eksternal Organisasi


Di samping level individual, kelompok dan organisasi, lingkungan
eksternal organisasi juga menjadi variabel penting dalam menganalisis
perilaku keorganisasian. Penyebabnya karena manusia tidak bisa hidup dalam
lingkungan yang terisolasi. Mereka pasti berinteraksi baik dengan sesama
dalam lingkup organisasi maupun dengan mereka yang berada di luar
organisasi. Oleh karenanya kej adian-kej adian dalam organisasi juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari luar organisasi. Dengan
kata lain, faktor lingkungan eksternal merupakan variabel penting yang tidak
boleh diabaikan dalam memahami perilaku manusia dan perilaku organisasi.
Sebagai contoh, rendahnya produktivitas kerja karyawan, mungkin bukan
semata-mata karena karyawan tersebut tidak suka bekerja atau karena
karyawan tersebut sedang menghadapi masalah dengan karyawan lain atau
karena fasilitas organisasi yang tidak mencukupi, tetapi mungkin karena
karyawan mengetahui bahwa ternan kerja dari perusahaan lain dengan
pekerjaan yang sama memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Contoh lain,
tingginya turnover karyawan bisa diartikan berbeda ketika kondisi
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 51

perekonornian berbeda. Ketika perekonomian sedang born, tingginya


turnover bisa diartikan bahwa karyawan mempunyai banyak kesempatan
bekerja di tempat lain. Sebaliknya, ketika perekonornian sedang jatuh,
tingginya turnover mempunyai arti bahwa organisasi tidak bisa menjaga
stabilitas produksi sehingga jumlah karyawan pun ikut terpengaruhi. Contoh-
contoh ini sekali lagi menunjukkan bahwa lingkungan eksternal organisasi
bisa berpengaruh terhadap perilaku manusia di dalam organisasi.

D. KONTRIBUSI DISIPLIN ILMU LAIN

Bidang studi perilaku organisasi pada dasarnya adalah domain disiplin


ilmu psikologi. Namun, disiplin ilmu psikologi mempunyai keterbatasan
36
dalam memaharni dan menjelaskan perilaku manusia di dalam organisasi
maka kontribusi disiplin lain dalam memaharni perilaku manusia tampaknya
tidak bisa dihindarkan. ltulah sebabnya perilaku organisasi yang mulai
berkembang sejak tahun 1960-an menjadi bidang studi yang bersifat
interdisiplin. Di antara disiplin yang cukup dorninan dalam memberi
kontribusi terhadap perkembangan disiplin perilaku organisasi adalah:
psikologi, sosiologi dan antropologi. Selain itu, disiplin lain yang ikut
memberi kontribusi disiplin ini, di antaranya Ilmu Politik, Sej arab, dan Ilmu
Ekonorni.
Gambar 1.8 di bawah ini memberikan ilustrasi tentang disiplin ilmu yang
memberi kontribusi terhadap perkembangan disiplin perilaku keorganisasian.

36 36
Cherrington. (1989). Op cit. Hal. 7.
1.52 PERILAKU ORGANISASI e

Sosiologi
Psikologi
Anthropologi

Sosiologi
Psikologi • •
• • organtsast Buday a
organtsast • •
organtsast

Prilaku
keorganisasian

Teori
Kekuasaan keputusan
Sej arab organisasi
dan manajemen

Ilmu Ekonomi

Ilrnu Politik
Sejarah

Sumber: D.J. (harrington, (1989, 6).

Gambar 1. 8.
Disiplin llmu yang Memberi Kontribusi Perilaku Keorganisasian

1. Psikologi
Psikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang memberi kontribusi
dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan bidang
studi perilaku keorganisasian. Sebagai disiplin yang sudah cukup tua - sudah
berkembang sejak tahun 1800-an, perkembangan ilmu psikologi sudah
demikian maju dan menjadi semakin kompleks. Implikasinya, sejak tahun
1900-an disiplin psikologi dibagi menjadi beberapa subdisiplin, di antaranya
psikologi eksperimen, psikologi sosial, psikologi klinis, psikologi pendidikan
dan psikologi organisasi. Dari beberapa subdisiplin dalam ilmu psikologi,
subdisiplin psikologi organisasi inilah yang menjadi induk bidang studi
perilaku organisasi. Sebagai contoh, beberapa topik seperti rnoti vasi yang
menjadi salah satu bahasan utama dalam psikologi organisasi juga menjadi
perhatian pada bidang studi organisasi. Demikian juga topik-topik lain,
seperti persepsi, sikap, dan stres menjadi topik bahasan baik pada psikologi
organisasi maupun pada perilaku keorganisasian.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.53

Kalau dilihat dari perspektif sej arah, tulisan Hugo Munsterberg


"Psychology and Industrial Efficiency" yang ditulis pada tahun 1913
barangkali bisa dikatakan sebagai awal kontribusi psikologi terhadap
0

1
perkembangan disiplin perilaku keorganisasian • Saat itu Hugo Munsterberg,
misalnya menyarankan agar dalam menseleksi para insinyur (dalam bidang
perkerataapian) dan operator telepon hendaknya para manajer mem-
pertimbangkan perbedaan kemampuan dan kepribadian satu individu dengan
individu lainnya. Tulisan Munsterberg tersebut dengan demikian menjadi
titik awal penerapan psikologi organisasi dalam konteks manajerial. Sejak
saat itu hingga sekarang peranan ilmu psikologi semakin meningkatkan
pemahaman kita dalam memahami bagaimana seseorang berperilaku di
dalam organisasi.

2. Sosiologi
Tidak beda dengan ilmu psikologi, sosiologi juga mempunyai sejarah
panjang yang berawal pada abad ke-19. Adalah Auguste Comte - seorang
filsuf Perancis yang saat itu berupaya mendesain dan mengklasifikasikan
kembali ilmu pengetahuan dengan memasukkan istilah sosiologi sebagai
bagian darinya. Oleh karenanya Comte sering disebut sebagai Bapak
37
Sosiologi . Comte yakin bahwa fenomena sosial masyarakat bisa
diidentifikasi dan dijelaskan dengan ilmu pengetahuan sebab fenomena
tersebut tidak lepas dari hukum-hukum yang berlaku umum - bisa
digeneralisasi. Berdasarkan konsep dari Comte, sosiologi kemudian bisa
diartikan sebagai sebuah studi tentang sistem sosial dan hubungan
antarmanusia dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan pengembangan
disiplin perilaku keorganisasian, sosiologi bersama-sama dengan psikologi
organisasi juga memberi kontribusi yang sangat berarti khususnya yang
berkaitan dengan dinamika kelompok. Konsep tentang dinamika kelompok
yang akan dibahas pada Modul 5 sangat banyak dipengaruhi oleh teori sosial
dan hubungan sosial masyarakat dalam bidang studi sosiologi dan psikologi
• •
organ1sas1.

37
Gerald Lenski and Jean Lenski. (1987). Human Societies: An Introduction to
Macrosociology. 5th edition. New York: McGraw Hill Book Company. Hal. 24.
1.54 PERILAKU ORGANISASI e

3. Antropologi
Antropologi merupakan bidang studi yang mempelajari hubungan antara
manusia dengan lingkungannya. Sekelompok orang yang tinggal bersama
dalam kurun waktu yang cukup lama, di samping akan membentuk sistem
sosial tersendiri, juga akan berbagi pengalaman, pengetahuan, ide, keyakinan
dan sistem nilai yang akhirnya menjadi pandangan hidup bersama- common
way of life. Pandangan hidup inilah yang dijadikan tuntunan hidup yang
dianggap benar sebagai dasar untuk bertindak di antara mereka sehingga
perlu dipertahankan. Oleh karenanya pandangan hidup tersebut akan
diinternalisasikan di antara anggota komunitas dan disosialisasikan kepada
generasi berikutnya. Pandangan hidup seperti inilah yang disebut sebagai
budaya. Tidak berbeda dengan komunitas dalam sebuah masyarakat,
organisasi juga mempunyai pandangan hidup yang biasanya diungkapkan
dalam pernyataan visi dan misi organisasi. Pandangan hidup dalam konteks
organisasi seperti ini kemudian dikenal dengan istilah budaya organisasi atau
kadang-kadang disebut sebagai budaya korporat atau budaya perusahaan.
Sejak tahun 1970-an, budaya organisasi menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam literatur perilaku keorganisasian. Pada buku ini budaya
organisasi akan dibahas pada bagian ke-4.

4. Disiplin-disiplin Lain
Di samping psikologi, sosiologi, dan antropologi, disiplin lain yang
memberi kontribusi terhadap pengembangan disiplin perilaku organisasi,
antara lain ilmu politik, sejarah, dan ilmu ekonomi. Kontribusi Ilmu Politik
dalam studi perilaku organisasi, misalnya dapat dijumpai pada bahasan
tentang politik organisasi, kekuasaan, otoritas, dan konflik. Topik-topik
tersebut sangat populer dalam ilmu politik dan juga mendapat perhatian yang
sama dalam bidang studi perilaku organisasi. Demikian juga Ilmu Sejarah
sangat bermakna bagi studi perilaku organisasi terutama jika kita ingin
memahami perkembangan ilmu manajemen dan organisasi. Dengan
mempelajari sejarah manajemen dan organisasi, misalnya kita dapat belajar
mengenai pengalaman-pengalaman masa lalu dari seorang atau beberapa
orang yang berhasil atau gagal dalam mengelola sebuah organisasi. Terakhir,
dari ilmu Ekonomi kita bisa menerapkan beberapa model ekonomik dalam
pengambilan keputusan, khususnya ketika kita menghadapi beberapa
alternatif pilihan. Dewasa ini, behavioral science banyak menerapkan model-
model ekonomik sebagai cara untuk memahami perilaku manusia.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.55

E. SEJARAH, TREN PERKEMBANGAN, DAN TANTANGAN KE


DEPAN BIDANG STUDI PERILAKU ORGANISASI

Sejarah Singkat Perilaku Organisasi


Bisa dikatakan bahwa organisasi sesungguhnya sudah ada bersamaan
dengan kehadiran manusia di muka bumi. Ketika Nabi Adam diturunkan
Allah untuk menempati planet bumi, beliau tidak sendirian, lbu Hawa
mendampinginya. Mereka berdua, dalam bahasa sekarang adalah sebuah
keluarga yang melakukan kegiatan-kegiatannya secara terorganisir dalam
rangka mencapai tujuan hidup. Oleh karenanya keberadaan beliau berdua dan
apa yang dilakukannya sudah bisa disebut sebagai bentuk organisasi meski
hanya sebagai organisasi sederhana dan informal. Contoh ini membuktikan
bahwa organisasi bukan merupakan fenomena baru. Namun, sebagai bidang
studi, organisasi belum lama berkembang. Organisasi baru berkembang
38
setelah masyarakat Eropa tidak tabu lagi pada kegiatan bisnis . Sej ak saat itu
organisasi terus berkembang dan tingkat akselerasi perkembangannya mulai
memuncak pada pertengahan abad XVIII saat terjadi revolusi industri di
39
Inggris . ltu sebabnya revolusi industri sering dijadikan tonggak untuk
membedakan organisasi modern dari organisasi tradisional.
Jauh sebelum revolusi industri berlangsung, organisasi umumnya masih
dalam bentuk yang paling sederhana, yakni organisasi yang terkait dengan
kegiatan rumah tangga, suku-suku, kelompok keagamaan, militer maupun
pemerintahan. Kalau toh ketika itu manusia melakukan kegiatan ekonomi,
lingkupnya masih terbatas - lebih didominasi oleh sektor agraris dan sangat
sedikit yang bergerak di sektor industri. Demikian juga tujuannya hanya
sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak untuk menciptakan pasar.
Pada kegiatan belajar ini sejarah perkembangan organisasi pada periode
sebelum revolusi industri tidak disinggung, namun bagi yang berminat bisa

38
Setelah berabad-abad masyarakat Eropa menganggap bahwa bisnis adalah
pekerjaan yang kurang terhormat maka dengan munculnya paham baru yang
menganggap bahwa bekerja adalah ibadah, masyarakat Eropa mulai menekuni
kegiatan bisnis sebagai periode awal munculnya paham kapitalisme. Lihat buku-
buku dari Max Weber. (1864-1920). The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. Reprint by Roxbury Publishing Company. 2 nd edition. The Sociology
of Religion. (1993). Boston: Beacon Press; H.H. Gerth and C.W. Mills. (1946).
From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.
39
Gerald Lenski and Jean Lenksi. (1987 ). Op cit. Chapter 9.
1.56 PERILAKU ORGANISASI e

40
membaca secara lengkap pada tulisan Daniel Wren yang banyak mengulas
sejarah perkembangan organisasi sejak masa Babilonia, Mesir Kuno, Israel,
Yunani, Cina, dan Romawi.
Pada Kegiatan Belajar ini hanya akan disinggung perkembangan
organisasi pascarevolusi industri khususnya dalam kaitannya dengan
perkembangan studi perilaku organisasi. Dilihat dari sejarah
perkembangannya, awal mula studi perilaku organisasi terjadi pada saat Elton
Mayo - seorang psikolog dibantu tim peneliti dari Harvard University dan
Yayasan Rockefeller pada tahun 1927 dan 1932 melakukan penelitian di
Western Electric Hawthorne Plant yang berlokasi di Western Chicago dan
Cicero, Illinois - sebuah penelitian yang belakangan sangat populer dan
melahirkan satu pendekatan (mazhab) baru, yakni Human Relation
Approach. Intinya, hasil penelitian ini membantah mazhab yang berkembang
sebelumnya (yang dikembangkan Frederick Taylor) yang mengatakan bahwa
manusia hanyalah sebagai faktor produksi seperti halnya faktor produksi
yang lain di mana hubungan sosial manusia tidak boleh dibawa ke dalam
kehidupan organisasi. Mayo sebaliknya mengatakan bahwa justru hubungan
sosial manusia menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan
produktivitas.
Meski human relation approach sering disebut sebagai fondasi bagi
studi perilaku organisasi, embrio dari bidang studi ini sesungguhnya sudah
ada sejak tahun 1913 ketika Hugo Munsterberg menulis "Psychology and
41
Industrial Efficiency" . Saat itu Hugo Munsterberg menyarankan agar dalam
menseleksi para insinyur (dalam bidang perkeretaapian) dan operator telepon
hendaknya para manajer mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan
kepribadian masing-masing individu. Namun, tampaknya saran Muntersberg
tidak banyak ditanggapi karena pada saat itu masyarakat industri Amerika
sedang dilanda eforia terhadap pendekatan scientific management. Baru
setelah Elton Mayo melakukan studi di Hawthrone Plant para manajer mulai
yakin bahwa dengan memberi perhatian terhadap peran manusia bukan
berarti mengorbankan produktivitas sebagaimana diajarkan oleh Taylor.
Sebaliknya, memberi perhatian terhadap karyawan sebagai manusia,
menciptakan suasana kerja yang bersahabat dan membiarkan para karyawan

40
Bagian ini sebagian besar diambilkan dari tulisan Daniel Wren, tentunya dengan
tambahan disana sini. Lihat Daniel Wren. (1994). The Evolution of Management
Thought. 4th edition. New York: John Weley Inc. Hal. 13-68.
41
Cherrington. (1989). Op cit. Hal. 7.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.57

membangun kelompok informal justru bisa menaikkan produktivitas kerja.


Dari sinilah mulai terjadi perubahan praktik manajemen dan di sisi lain para
akademisi terus menyempurnakan dan mengembangkan konsep pendekatan
human relation mengingat konsep yang dibangun Mayo bukan tanpa
kelemahan.
Selain penelitian Mayo, paling tidak ada 4 bidang studi lain yang
berkembang pada sekitar Perang Dunia Kedua yang ikut membantu kita
memahami studi perilaku organisasi. Keempat bidang studi tersebut adalah:
studi kepemimpinan, teori pengambilan keputusan, teori manajemen terbuka
(open system theory) dan teori kontigensi (contingency theory).

a. Studi kepemimpinan
Studi kepemimpinan merupakan studi yang sudah cukup tua. Meski
demikian intensitas penelitian terhadap bidang kajian ini mulai intensif
setelah Amerika mengalami depresi ekonomi pada awal tahun 1930-an. Pada
mulanya kajian terhadap studi kepemimpinan lebih menekankan pada kaitan
antara kepemimpinan dengan kepribadian dan karakter seseorang. Namun,
memasuki tahun 1940-an, pemahaman terhadap konsep kepemimpinan mulai
bergeser. Pemimpin yang berhasil bukan semata-mata karena kepribadian
dan karakter yang dimiliki seseorang, tetapi juga karena hubungan baik
antarindi vidu dengan posisi seseorang di dalam organisasi.

b. Teori pengambilan keputusan


Menjelang Perang Dunia Kedua, bidang studi organisasi mulai
menerapkan teknik matematik dan statistik sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan manajemen. Teori sampling, teori antrian, analisis pulang pokok,
dan desain eksperimen adalah sebagian dari teori pengambilan keputusan
yang mulai banyak dikembangkan dan diterapkan pada studi organisasi dan
manajemen pada periode tersebut. Pengembangan teori ini berlanjut
menjelang dan sesudah berakhirnya Perang Dunia Kedua bersamaan dengan
semakin meningkatnya permintaan barang-barang konsumen. Pada kondisi
semacam ini perhatian para manajer bukan bagaimana mendorong konsumen
membeli barang-barang yang mereka produksi, melainkan bagaimana
memenuhi permintaan tersebut dengan cara-cara berproduksi secara efisien.
Itulah sebabnya konsep operation research yang sesungguhnya
dikembangkan untuk membantu kegiatan operasi Perang Dunia Kedua,
secara cepat diaplikasikan pada kegiatan industri. Beberapa metode
1.58 PERILAKU ORGANISASI e

kuantitatif yang banyak digunakan untuk membantu pengambilan keputusan


industri, antara lain game theory, pengendalian persediaan, linear
programming, probability theory, teori antrian dan sampling teori.

c. Open system theory


Mulai tahun 1960-an kembali terjadi pergeseran dalam cara memandang
organisasi. Cara pandang ini disebut open system theory karena organisasi
dipandang sebagai sebuah sistem terbuka di mana setiap individu yang
terlibat dengan organisasi, baik itu pekerj a maupun konsumen, bebas
menentukan pilihan apakah harus tetap berhubungan dengan organisasi atau
meninggalkannya. Demikian juga organisasi itu sendiri terbuka bagi
lingkungan dan dalam batas-batas tertentu eksistensinya akan dipengaruhi
oleh lingkungan eksternal.

d. Contingency theory
Beberapa tahun setelah Henri Fayol mengemukakan teori manajemen
yang belakangan dikenal sebagai teori manajemen klasik, masih ada
anggapan bahwa teori tersebut berlaku secara universal dan bebas nilai. Pada
tahun 1950-an prinsip universalitas dari teori manajemen klasik mulai
menjadi pertanyaan serius. Pada periode tersebut mulai muncul anggapan
bahwa universalitas prinsip manajemen sangat bergantung pada situasi yang
mempengaruhinya. Prinsip ini disebut sebagai contingency management yang
menyatakan bahwa situasi yang berlaku pada saat tertentu akan sangat
mempengaruhi diterapkannya prinsip-prinsip manajemen. Artinya,
manajemen sebuah organisasi tidak berlaku umum namun sangat bergantung
pada situasi di mana organisasi tersebut berada, bergantung pada siklus
kehidupan organisasi, dan bergantung pada orang-orang yang bekerja pada
organisasi. Berdasarkan prinsip kontingensi dan didukung oleh open sistem
theory maka pemahaman terhadap individu, organisasi dan lingkungannya
menj adi kebutuhan teramat penting yang tidak bisa diabaikan. Dari sinilah
studi tentang perilaku keorganisasian mulai mendapatkan tempat baik di
kalangan akademisi maupun praktisi.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.59

F. TREN PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN KE DEPAN


STUDI PERILAKU ORGANISASI

Turbulensi perubahan lingkungan eksternal yang begitu tinggi yang


terjadi dalam 20 tahun terakhir ini menyebabkan para manajer tidak bisa lagi
mengelola organisasi yang di pimpinannya secara tradisional layaknya
mengelola organisasi, seperti pada tahun 1950-an dan 1960-an, ketika
lingkungan eksternal organisasi relatif masih stabil. Di masa mendatang
peranan para manajer dalam mengelola organisasi banyak mengalami
perubahan. Para manajer dengan demikian dituntut lebih inovatif, kreatif, dan
harus lebih adaptif agar organisasi yang dipimpinnya bisa survive dan
mencapai tujuan-tujuannya. Oleh karenanya mereka dituntut untuk
melakukan desain ulang dalam mengelola organisasi yang dipimpinnya dan
orang-orang yang bekerja di dalamnya. Hal ini misalnya secara eksplisit
dikemukakan oleh Sumantra Ghoshal dan Christopher Barlett dalam tiga seri
42
tulisannya yang dimuat dalam Harvard Business Review . Ghoshal dan
Barlett mengatakan bahwa seorang pimpinan puncak tidak bisa lagi berkutat
dan memberi perhatiannya semata-mata kepada masalah strategi organisasi,
tetapi sudah harus beralih kepada masalah penetapan tujuan organisasi.
Demikian juga, proses untuk mencapai tujuan harus lebih diprioritaskan
ketimbang semata-mata mempersoalkan struktur organisasi dan terakhir,
memperhatikan persoalan manusia lebih bermakna ketimbang sekadar
persoalan sistem organisasi.
Akibat dari perubahan-perubahan di atas, persyaratan untuk menjadi
seorang manajer dan keterampilan (skill) yang harus dimilikinya juga
mengalami perubahan. Sebagai contoh, dari simposium yang diselenggarakan
oleh Board of Director of American Society for Training and Development
misalnya disimpulkan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang
eksekutif di masa datang berbeda jika dibandingkan dengan sifat-sifat
43
eksekutif di mas a lalu sebagaimana tampak pada Tabel 1.3 berikut ini :

42
Ghoshal and Barlett. (1995 ). Op cit.
43
Henry Lane and Joseph DiSteffano. (1992). International Management Behavior.
2nd edition. KENT Publishing Company. Hal. 50.
1.60 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 1.3
Sifat-sifat Eksekutif di Masa Lalu dan Masa Datang

Sifat-sifat Mana·er Masa Lalu Sifat-sifat Mana·er Masa De pan


1. Orang yang serba tahu 1. Pimpinan sebagai seorang pembelajar
2. Memiliki visi domestik 2. Memiliki visi global
3. Memprediksi masa depan berbasis 3. Memiliki intuisi untuk masa depan
• •
masa lalu or amsas1
4. Memperhatikan kepentingan orang per 4. Memperhatikan kepentingan institusi
oran dan kepentin an oran per oran~
5. Manajer adalah satu-satunya orang 5. Memfasilitasi orang lain memiliki visi
van~ memiliki visi
6. Semata-mata menggunakan 6. Menggunakan kekuasaan dan fasilitas
kekuasaan
7. Menetapkan tujuan dan cara-cara 7. Menitik beratkan terhadap proses
untuk menca Jainva Jenca Jaian tu·uan
8. Berada send irian di atas 8. Men'adi ba< ian dari tim eksekutif
9. Hanya sekadar mengikuti tata nilai 9. Bisa menerima hal-hal yang bersifat
yang ada paradoksal di tengah adanya keos
10. Monolin ual 10. Multikultural
11. Lebih ditujukan agar memperoleh 11. Lebih ditujukan agar memperoleh
kepercayaan dari komisaris dan kepercayaan pemilik, konsumen, dan
peme an1 saham karyawan

Perubahan-perubahan dalam cara mengelola organisasi seperti tersebut


di atas sekaligus mengakibatkan perubahan dalam cara memahami perilaku
organisasi. Hal ini terj adi mengingat organisasi dan manusia di dalam
organisasi merupakan bagian dari ruang lingkup perilaku keorganisasian. Ke
depan, dengan demikian studi perilaku organisasi akan menghadapi beberapa
tantangan yang tidak bisa dihindarkan. Sebagaimana dikemukakan Jennifer
44
George dan Gareth Jones , studi perilaku keorganisasian menghadapi
beberapa tantangan, di antaranya berikut ini.
1. Bagaimana mengelola sumber daya manusia sehingga organisasi
memperoleh keunggulan kompetitif?
2. Bagairnana mengembangkan etika dan tanggung jawab sosial organisasi
3. Bagairnana mengelola perbedaan?
4. Bagairnana mengelola perilaku keorganisasian rnanakala sebuah
organisasi beroperasi dalarn skala internasional?
5. Bagaimana mengelola perubahan teknologi yang kemungkinan
mempengaruhi tugas-tugas manajer dan para karyawannya?

44
George and Jones. (1999). Op cit. Chapter 2.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.61

1. Mengelola SDM demi Keunggulan Kompetitif


Kemampuan sebuah organisasi menghasilkan produk dan jasa yang
diinginkan para konsumen pada dasamya merupakan produk dari perilaku
seluruh anggota organisasi - perilaku pimpinan puncak organisasi (perilaku
sekelompok orang yang merencanakan strategi); perilaku manajer menengah
(perilaku sekelompok orang yang mengelola dan mengkoordinasikan sumber
daya organisasi dan sumber daya manusia); dan perilaku manajer lini dan
perilaku para pekerjanya (perilaku sekelompok orang yang secara langsung
menghasilkan produk/jasa).
Hampir dipastikan bahwa produk/jasa yang dihasilkan sebuah organisasi
tidak akan sampai ke tangan konsumen (konsumen tidak mau membeli
produk/jasa tersebut) jika produk/jasa tersebut tidak mampu bersaing dan
unggul dalam bersaing dengan produk/jasa sejenis lainnya. Jika hal ini terjadi
maka organisasi tersebut tidak bisa bertahan hidup dan apalagi berkembang.
Oleh karenanya organisasi harus memiliki keunggulan kompetitif, misalnya
kegiatan operasinya efisien, kualitas produknya lebih baik, karyawannya
inovatif, kreatif, dan memiliki respon yang tinggi terhadap kebutuhan
konsumen. Semua itu bisa dicapai jika para manajer memahami peran
sumber daya manusia. Dengan studi perilaku keorganisasian dengan
demikian para manajer tertantang untuk mendesain sumber daya manusia
yang mempunyai keunggulan kompetitif.

2. Mengembangkan Etika dan Kesejahteraan para Anggota Organisasi


Tantangan kedua adalah bagaimana seorang manajer bisa
mengembangkan etika organisasi demi meningkatkan kesejahteraan pada
anggotanya. Etika adalah aturan - tertulis maupun tidak, keyakinan dan nilai-
nilai yang menegaskan apa yang dianggap benar dan dianggap salah. Dengan
demikian, etika adalah tata nilai yang berlaku dalam sebuah organisasi.
Perilaku manusia dan cara-cara yang ditempuh oleh seorang manajer dan
para pekerj anya ketika menghadapi suatu situasi tertentu, misalnya dalam
mencapai tujuan organisasi sangat bergantung pada bagaimana sebuah
organisasi membangun etika/tata nilainya.
Oleh karena pentingnya etika organisasi, di masa yang akan datang
sebuah organisasi dituntut bukan sekadar bisa mencapai tujuan-tujuannya,
tetapi harus memperhatikan bagaimana tujuan-tujuan tersebut dicapai. Hal ini
berarti seorang manajer harus bisa menciptakan lingkungan kerja agar dalam
mencapai sesuatu tidak menggunakan pendekatan ends justify means - tujuan
1.62 PERILAKU ORGANISASI e

menghalalkan cara, sebaliknya para manajer harus menciptakan lingkungan


kerja agar means justify ends - cara menentukan tujuan. Penciptaan
lingkungan seperti ini menjadi penting karena dengan semakin ketatnya
persaingan bisnis boleh j adi masalah etika menj adi terabaikan. Dengan
membangun etika organisasi di sisi lain para manajer diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan semua konstituen yang terlibat dalam kegiatan
organisasi yang dengan demikian memenuhi tanggung jawab sosial
• •
organ1sas1.

3. Mengelola Perbedaan
Alasan didirikannya sebuah organisasi adalah untuk mencapai satu set
tujuan tertentu. Hal ini berarti tugas seorang manajer adalah mengarahkan
semua komponen organisasi agar tujuan organisasi yang telah ditetapkan
sebelumnya bisa tercapai. Di sisi lain, untuk mencapai tujuan tersebut para
manajer harus merekrut dan mempekerjakan beberapa karyawan yang pada
tingkatan tertentu memiliki berbagai latar belakang yang tidak sama -
pendidikan, keahlian, etnik, suku, agama atau ras yang tidak sama.
Perbedaan-perbedaan ini akan semakin terasa dengan semakin kompleks dan
variatifnya kegiatan organisasi. Itulah sebabnya organisasi sering dikatakan
sebagai tempat berkumpulnya banyak orang dengan berbagai latar
45
belakang .
Meski arah tujuan organisasi adalah satu bukan berarti perbedaan-
perbedaan yang ada di dalam organisasi harus dihilangkan. Sebaliknya,
seorang manajer harus bisa menyelaraskan dua kepentingan yang berbeda
sebab. Justru karena adanya perbedaan, organisasi menjadi semakin dinamik.
Itulah bentuk tantangan ketiga yang dihadapi oleh para manajer di masa
datang yakni bagaimana seorang manajer mengelola perbedaan (diversity)
yang terjadi dalam lingkungan kerja. Dengan memahami studi perilaku
keorganisasian dengan baik, para manajer diharapkan bisa mengatasi
tantangan di atas.

4. Mengelola Lingkungan Global


Sejak tahun 1980-an, bersamaan dengan perubahan tata lingkungan
bisnis dunia, para manajer dihadapkan pada tingkat persaingan yang begitu
tajam. Penyebabnya tidak lain karena setiap pelaku bisnis tidak hanya harus

45
lihat Jocano. (1985). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.63

bersaing dengan para pelaku bisnis dari dalam negeri, tetapi juga dengan para
pesaing dari luar negeri. Ayam Goreng Ny. Suharti, misalnya yang semula
hanya bersaing dengan Mbok Berek dan penjual ayam goreng lokal lainnya,
sekarang harus bersaing juga dengan KFC atau McDonald. Hal yang sama
juga terjadi pada perusahaan minuman ringan yang dulu dikenal dengan
nama "limun". Pada tahun 1970-an pasar minuman ringan dalam negeri
dikuasai oleh perusahaan limun lokal namun dengan datangnya Coca-cola
dan Pepsi cola - dua raksasa yang menguasai pasar dunia, hampir tidak ada
perusahaan lokal yang bisa bertahan hidup. Penyebabnya, sekali lagi karena
globalisasi.
Globalisasi dengan demikian tidak bisa dihindari dan tidak perlu
dipertentangkan lagi. Bagi para manajer, yang penting adalah mendesain
sumber daya manusia agar mereka sadar bahwa dalam menjalankan kegiatan
bisnis perilaku sebagai masyarakat global harus dimiliki oleh setiap anggota
organisasi. Inilah barangkali tantangan keempat yang dihadapi oleh studi
perilaku keorganisasian, yakni mengarahkan dan mengendalikan perilaku
manusia menuju ke masyarakat global.

5. Perubahan Teknologi
Tantangan kelima yang dihadapi studi perilaku keorganisasian adalah
perubahan teknologi yang terjadi sejak tahun 1980-an dari energy based ke
46
electronic based technology . Energy based technology yang dibangun sejak
revolusi industri menghasilkan mesin-mesin mekanistik yang mampu
menghasilkan mass produk dengan tingkat standarisasi yang tinggi. Dari sisi
sumber daya manusia, mesin-mesin yang mekanistik ini ternyata
membutuhkan operator dengan kualifikasi terlatih, mempunyai keterampilan
dan pengetahuan yang spesifik. Akibatnya, sifat manusia lebih mekanistik
dan terkotak-kotak.
Ketika teknologi berbasis energi digantikan oleh electronic based
technology, terjadilah perubahan dalam pengelolaan organisasi. teknologi
yang terakhir ini menghasilkan artificial intellegent machines dengan
sifatnya yang organik dan integrated, memungkinkan orang untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lebih leluasa tanpa mengenal batas

46
Wahyudi Prakarsa. (1994). Aspek Manajemen Umum dalam Pengelolaan
Perguruan Tinggi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Menuju
Manajemen Perguruan Tinggi yang Efisien, Malang, 27-28 Juli 1994.
1.64 PERILAKU ORGANISASI e

ruang dan waktu dan menjadikan dunia seolah-olah menjadi semakin kecil
dan terintegrasi. Dari sisi perilaku manusia, mudahnya akses informasi
menjadikan umat manusia makin terbuka, makin tahu, makin cerdas, dan
makin menuntut dan cerewet.
Penjelasan di atas, sekali lagi menegaskan bahwa perubahan lingkungan
organisasi baik internal maupun eksternal menjadikan cara pengelolaan
organisasi juga mengalami perubahan. Hal ini berarti para manajer juga harus
merubah gaya kepemimpinannya jika menghendaki organisasi yang
dipimpinnya bisa bertahan hidup dan terus berkembang. Di sisi lain, bidang
studi perilaku organisasi sebagai bidang studi yang dinamik juga mempunyai
tanggung jawab untuk meredesain ulang pola perilaku manusia di dalam
organisasi sehingga perubahan-perubahan di atas bisa diantisipasi dengan
baik.

.
.· .._-,... LA T I HAN
! I

. ...
~ - - ,.,.,

~

------------------------------------------
-·---~ ~ .

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang perilaku organisasi dan
mengapa studi perilaku organisasi perlu dipelaj ari dalam ilmu
manajemen?
2) Bagaimana seharusnya Anda mempelajari perilaku organisasi?
3) Uraikan tren perkembangan studi perilaku organisasi di masa yang akan
datang

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Perilaku organisasi adalah suatu bidang studi terapan yang mempelajari


perilaku manusia di dalam organisasi, baik manusia dalam kapasitasnya
sebagai individu maupun manusia sebagai kelompok; mempelajari
hubungan antara manusia dengan organisasi dan hubungan antara
organisasi dengan lingkungannya dalam rangka untuk meningkatkan
efektivitas organisasi dan kepuasan kerj a karyawan. B agi seorang
manajer, pemahaman terhadap hubungan-hubungan seperti ini bukan
merupakan pilihan melainkan sebuah keharusan karena berjalan atau
tidaknya kehidupan organisasi sangat ditentukan oleh manusia sebagai
e EKMA41 58/MODUL 1 1.65

pelaku dan penggerak utama organisasi. Dengan kata lain, jika para
manajer gagal memahami persoalan-persoalan di atas dikhawatirkan
organisasi tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
2) Perilaku organisasi dapat dipahami melalui tiga level analisis berbeda,
yakni level individual, kelompok, dan organisasi. Cara memahami
perilaku organisasi seperti ini bisa diartikan bahwa setiap kej adian yang
sama dalam sebuah organisasi bisa dianalisis dengan cara berbeda
bergantung pada level analisisnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa
setiap persoalan yang terjadi di dalam sebuah organisasi tidak selalu
menuntut cara penyelesaian yang sama. Sebagai contoh, konflik antara
departemen pemasaran dengan departemen produksi boleh jadi
bersumber pada persoalan individu masing-masing, norma perilaku
masing-masing departemen atau tidak cocoknya struktur organisasi yang
menyebabkan kedua departemen selalu berselisih paham.
3) Meski dari dulu sampai sekarang esensi studi perilaku organisasi tidak
mengalami perubahan, namun lingkungan yang melingkupi keberadaan
organisasi justru ban yak mengalami perubahan. Dewasa ini dan di masa
mendatang lingkungan organisasi sangat jauh berbeda dengan situasi
tahun 1960-an saat studi perilaku organisasi mulai dikembangkan.
Dewasa ini dan ke depan misalnya, teknologi informasi berkembang
pesat yang berakibat pada pola hubungan antarmanusia menjadi
demikian sederhana tidak harus melalui hubungan langsung seperti pada
era sebelumnya. Demikian juga diversity - keragaman tidak lagi menjadi
hal yang menakutkan, tetapi justru dianggap sebagai aset perusahaan.
Semua ini tentunya berdampak pada pola perilaku karyawan yang tidak
ditemui pada periode sebelumnya. Bagi para manajer, semua perubahan
ini tentunya merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi.
Konsekuensinya, manajerial skill mereka juga harus berubah.

RANGKUMAN

Secara umum, Kegiatan Belajar 2 menjelaskan ruang lingkup studi


perilaku organisasi. Hal-hal penting yang menjadi fokus perhatian
Kegiatan Belajar 2 adalah sebagai berikut.
1. Pengertian perilaku organisasi dan alasan mengapa perilaku
organisasi perlu dipelaj ari. Perilaku organisasi adalah bidang studi
terapan yang mengkaji hubungan antarmanusia di dalam organisasi
1.66 PERILAKU ORGANISASI e

baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok,


dan hubungan antara manusia dengan organisasi yang semua itu
diharapkan menjadikan organisasi semakin efektif dan kepuasan
kerja karyawan meningkat. Untuk itu, diharapkan perilaku
organisasi bisa mendeskripsikan, menjelaskan dan memprediksi, dan
mengendalikan perilaku manusia di dalam organisasi.
2. Level analisis dalam studi perilaku organisasi. Dalam studi perilaku
setiap kejadian dapat dianalisis melalui tiga unit analisis berbeda.
Demikian juga setiap perilaku yang kita amati dan masalah yang
kita hadapi sangat bergantung pada ketiga unit analisis tersebut. Unit
analisis yang dimaksud adalah unit analisis individual, kelompok
dan organisasi. Di samping ketiga unit analisis ini lingkungan
eksternal juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.
3. Perilaku organisasi adalah bidang studi multidisiplin dalam
pengertian bidang studi ini tidak bisa dianalisis hanya dengan
menggunakan satu bidang ilmu tertentu melainkan menggunakan
berbagai disiplin ilmu berbeda. Di antara bidang ilmu yang banyak
berkontribusi terhadap bidang studi perilaku organisasi adalah:
psikologi, sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dan sejarah.
4. Bidang studi perilaku organisasi adalah bidang studi yang dinamis
yang selalu mengalami perkembangan sejalan perubahan lingkungan
yang melingkupinya. Oleh karena itu, sifat-sifat seorang manajer
harus berubah di masa datang karena menghadapi lingkungan
berbeda. Ke depan para manajer menghadapi tantangan baru,
misalnya menjadikan SDM sebagai aset yang kompetitif,
meningkatnya tuntutan tanggung jawab sosial perusahaan, tuntutan
untuk mengakomodasi perbedaan, globalisasi, dan semakin
dinamisnya teknologi informasi.

TES FORMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Berikut ini adalah tujuan mempelajari perilaku organisasi, kecuali ....


A. mengendalikan perilaku manusia dalam kehidupan organisasi
B. menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia dalam organisasi
C. menempatkan manusia sebagai objek dalam kehidupan organisasi
D. memahami perilaku manusia agar tercipta efektivitas organisasi
e EKMA41 58/MODUL 1 1.67

2) Dalam mempelajari perilaku organisasi, manusia biasanya diperlakukan


sebagai ....
A. objek
B. individu
C. bagian dari anggota kelompok
D. sosok yang menempati peran sentral dalam kehidupan organisasi

3) Perilaku organisasi merupakan bidang studi multidisiplin. Berikut ini


adalah disiplin ilmu yang memberi kontribusi terhadap pengembangan
perilaku organisasi, yaitu ilmu ....
A. ekonomi
B. politik
C. antropologi
D. jawaban A, B, dan C benar

4) Konflik yang terjadi antara karyawan bagian penjualan dengan karyawan


bagian pengiriman barang sesungguhnya bisa diselesaikan dengan
menggunakan level analisis ....
A. individual
B. kelompok
C. organisasional
D. ketiga level analisis di atas bisa digunakan untuk menyelesaikan
masalah tersebut

5) Sifat-sifat seorang eksekutif di masa mendatang adalah ....


A. orang yang serba tahu
B. bisa menerima hal-hal yang bersifat paradoks
C. memperhatikan orang per orang
D. hanya sekadar mengikuti tata nilai yang ada

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal
1.68 PERILAKU ORGANISASI e

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/ MODUL 1 1.69

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) A 1) c
2) A 2) D
3) B 3) D
4) c 4) B
5) D 5) B
1. 70 PERILAKU ORGANISASI e

Daftar Pustaka

Achmad Sobirin. (2000). Privatisasi: Implikasinya terhadap Perubahan


Perilaku Manusia dan Budaya Organisasi. Jurnal Siasat Bisnis, Vol 1,
No. 5. Hal. 25-48.

Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM


YKPN. Hal. 5-7.

Alan Wilkin. (1989). Creating Corporate Character. San Francisco: Jossey-


Bass.

B. Czarniazwska-Joerge. (1992). Exploring complex Organization. Sage


Publication.

Charles Perrow. (1979). Complex Organization: a Critical Essay. 2nd edition.


Dallas, Tex.: Scott, Foresman and Company.

Daniel Wren. (1994). The Evolution of Management Thought. 4th edition.


New York: John Weley Inc. Hal. 13-68.

David Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of


Individual and Organizational Performance. Boston: Allyn and Bacon,
halaman 12-13.

Donald Harvey and Donald Brown. (1996). An Experiential Approach to


Organizational Development. Upper River Saddle: New Jersey, Prentice
Hall International edition. Hal. 207.

F. Landa Jocano. (1985). Toward Filipino Corporate Culture. Metro Manila,


Punlad Research House. Hal. 23.

Gareth Jones. (1995). Organizational Theory: Text and Cases, Reading


Mass. Addison Wesley Publishing Company. Hal. 19, 35.

Gareth Organ. (1997). The Image of Organization. London: SAGE


Publication. Hal. 15.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 71

Geert Hofstede. ( 1980). Culture's Consequences: International Differences


in Work Related Values. Beverly Hill, CA: Sage Publication. Hal. 15-16.

Gerald Lenski and Jean Lenski.( 1987). Human Societies: An Introduction to


Macrosociology. 5th edition. New York: McGraw Hill Book Company.
Hal. 24.

H.H. Gerth and C.W. Mills. (1946). From Max Weber: Essays in Sociology,
New York: Oxford University Press.

Henry Lane and Joseph DiSteffano. (1992). International Management


Behavior. 2nd edition. KENT Publishing Company. Hal. 50.

Henry Mintzberg. (1991). The Manager's Job: Folklore and Fact. in Barry M.
Staw (editor). Psychological Dimensions of Organizational Behavior.
New York: Macmillan Publishing Company. Hal. 424-437.

James McConnell. (1986). Understanding Human Behavior. 5th edition. New


York: CBS Publishing. Hal.12-14 dan 20-21.

Jennifer M. George and Gareth Jones. (1999). Understanding and Managing


Organizational Behavior. 2nd edition. Reading Mass: Addison Wesley.
Hal. 3-5.

John Kotter. (1997). Matsushita Leadership: Lessons from the 20th Century's
Most Remarkable Entreprenuer. New York: The Free Press.

John R. Schermerhorn, Jr. (1996). Management. 5th edition. New York: John
Wiley and Sons, Inc. Hal. 7.

Keith Davis and John Newstorm. (1989). Human Behavior at York. 8th
edition. New York: McGraw-Hill Inc. Hal. 5.

Martin Albrow. (1997). Do Organizations Have Feeling? London,


Routledge. Hal. 1.
1. 72 PERILAKU ORGANISASI e

Max Weber. (1864-1920). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
Reprint by Roxbury Publishing Company. 2nd edition. The sociology of
religion. (1993). Boston: Beacon Press.

Prithtviral Chattopadhyay. (1999). Beyond Direct and Systematical Effects:


The Influence of Demographic Dissimirality on Organizational
Citizenship Behavior, Academy of Management Journal, pp. 273-287.

Richard L. Daft. (1992). Organization Theory and Design. 4th edition.


Singapore: Info Access Distribution, PTE LTD. Hal. 7, 26.

Robert Katz. (1974). Skills of an Effective Administrator. Harvard Business


Review. September-October. Hal. 90-102.

Stephen P. Robbins. (2000). Organizational Behavior: Concepts,


Controversies and Applications. 8th edition. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice Hall Inc. Hal. 8.

Stephen Robbins. (1996). Organizational Behavior: Concepts, Controversies


and Apllications. Hal. 4.

Sumantra Ghoshal and Christopher Barlett. (1995). Changing the Role of


Top Management: Beyond Structure to Process. Harvard Business
Review. Hal. 63-71.

Vijay Sathe. (1985). Culture and Related Corporate Realities. Homewood


Illinois: Richard D. Irwin Inc.

Wahyudi Prakarsa. (1994). Aspek manajemen umum dalam pengelolaan


perguruan tinggi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Menuju
Manajemen Perguruan Tinggi yang Efisien. Malang, 27-28 Juli 1994.

Wren. (1994). The Evolution of Management Thought. Joh Wiley and Son,
Inc. Hal. 9.
MDDUL 2

Dasar-dasar Perilaku lndividu:


Hukum Perbedaan lndividu
Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

rganisasi adalah tempat berkumpulnya beberapa orang (baca:


karyawan) yang berasal dari berbagai macam latar belakang. Mereka
berasal dari lingkungan keluarga, sosial, pendidikan, etnik, ras, agama, dan
budaya berbeda. Bahkan tidak jarang mereka berasal dari negara berbeda.
Selain itu, keahlian, kapabilitas, karakter, kepribadian, tata nilai, dan sikap
mereka juga berbeda. Hal penting lain yang juga perlu kita cermati dari
kehidupan organisasi adalah alasan atau motivasi seseorang bekerja pada
sebuah organisasi juga bermacam-macam. Meski pada umumnya seseorang
bekerja karena alasan ekonomi - untuk memperoleh penghasilan demi
menghidupi keluarga, tidak jarang sebagian dari mereka bekerja karena
sekadar menjaga status sosial atau menjaga harga diri dan masih banyak
alasan lain mengapa seseorang bekerja pada sebuah organisasi.
Komposisi karyawan yang beragam seperti digambarkan di atas sering
kali ditanggapi secara berbeda oleh organisasi berbeda bergantung pada cara
pandang dan sikap masing-masing organisasi. Beberapa organisasi, terutama
pada masa lalu, menganggap perbedaan merupakan sumber persoalan
organisasi. Paling tidak ada kekhawatiran yang mendalam jika perbedaan
tersebut pada akhirnya akan mengganggu jalannya organisasi. Akibatnya,
tidak jarang, dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, para
manajer berupaya dengan segala cara untuk mengebiri perbedaan tersebut.
Beberapa organisasi lainnya, terutama yang beroperasi pada masa kini,
berpandangan sebaliknya. Perbedaan dianggap sebagai aset bagi organisasi.
Pandangan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa keberagaman dan
perbedaan individu karyawan justru bisa menciptakan kompetisi yang sehat
dan ujung-ujungnya organisasi menjadi semakin dinamis. Oleh karena itu,
bukannya mengebiri, para manajer justru berupaya untuk memahami dengan
2.2 PERILAKU ORGANISASI e

saksama dan mengakomodasi keragaman karyawan (employee diversity)


1
beserta perbedaan individual mereka (individual differences) •
Menyadari akan manfaat keberagaman dan perbedaan individual
karyawan, tampaknya tren ke depan lebih cenderung mengakomodasi
keberagaman karyawan daripada mengebirinya. Meski demikian harus
disadari pula bahwa mengelola keberagaman jauh lebih menantang dan lebih
banyak membutuhkan energi dan perhatian. Terlepas dari itu semua, paling
tidak ada dua alasan mengapa keberagaman menjadi tren. Pertama, para
manajer menyadari bahwa perbedaan individual karyawan sesungguhnya
bersifat alami. Setiap individu secara natural pasti memiliki kekhasan yang
membedakan dirinya dengan orang lain. Kekhasan seperti ini biasa disebut
sebagai hukum perbedaan individu (law of individual difference). Hukum
perbedaan individu juga berlaku bagi kehidupan organisasi. Artinya,
perbedaan individu akan selalu hadir di tengah-tengah kehidupan sebuah
organisasi. Sekeras apa pun upaya untuk menghilangkan perbedaan, dalam
kenyataannya para manajer tentu tidak akan mampu menghilangkan sama
sekali perbedaan tersebut. Oleh karena itu, daripada menghabiskan waktu dan
energi hanya untuk mengeliminasi perbedaan, namun hasilnya nihil, para
manajer dituntut berpikiran rasional, yakni lebih baik memanfaatkan
perbedaan tersebut untuk kepentingan organisasi.
Kedua, berbeda dengan masa lalu, dewasa ini lingkungan eksternal
organisasi cenderung mengalami gejolak/turbulensi yang sangat tinggi dan
mengalami perubahan setiap saat. Bahkan perubahannya terkadang sulit
diprediksi. Pendek kata, lingkungan eksternal organisasi pada mas a kini j auh
lebih kompleks dan dinamis dibandingkan masa lalu. Dalam lingkungan
organisasi seperti ini, tidak bisa tidak, organisasi juga dituntut untuk lebih
fleksibel dan dinamis agar kelak di kemudian hari organisasi bisa bertahan
hidup dan berkembang. lbarat sebuah musik, organisasi dituntut memainkan
irama jazz bukan orkestra. Sebagaimana kita ketahui orkestra merupakan
kelompok musik dengan jumlah pemain yang sangat banyak namun hanya
dipimpin oleh seorang dirigen. Dalam orkestra, dirigen menempati peran
penting. Tugasnya adalah mengatur, mengarahkan, dan memberi komando
kepada semua musisi kapan sekelompok musisi harus memainkan musiknya
dan kapan harus menunggu giliran bermain. W alhasil, para musisi hanya

1
L Yu. (2002). Does Diversity Drive Productivity?. MIT Sloan Management
Review. Hal. 17.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.3

menunggu perintah dan komando seorang dirigen. Sekecil apa pun, para
pemain musik tidak boleh melanggar komando sang dirigen karena hal ini
berarti merusak irama musik secara keseluruhan. Sebaliknya, model irama
jazz tampaknya cocok untuk lingkungan organisasi yang dinamis. Pada
musik jazz, semua pemain adalah dirigen. Masing-masing personal tahu
kapan dirinya harus main solo untuk menunjukkan talentanya dengan cara
berimprovisasi, kapan bermain secara grup dan kapan memberi kesempatan
pemusik lain menunjukkan kemampuannya. Semua itu dilakukan tanpa harus
menunggu komando dari pimpinan grup. Perumpamaan ini sekali lagi
menunjukkan bahwa pada lingkungan organisasi yang begitu dinamis,
dituntut sebuah organisasi yang dinamis pula. Dinamika organisasi seperti ini
hanya mungkin diraih jika orang-orangnya memiliki perbedaan dan juga
dinamis.
Mengingat bahwa perbedaan individu karyawan merupakan sebuah
keniscayaan dan dirasa akan memberi manfaat bagi organisasi maupun bagi
karyawannya maka yang harus dilakukan para manajer adalah pertama,
bagaimana mengelola perbedaan tersebut agar perbedaan tidak menjadikan
organisasi disfungsi melainkan memberi manfaat bagi organisasi itu sendiri
maupun bagi karyawannya. Kedua, para manajer juga harus menyadari
bahwa perbedaan individu karyawan akan berakibat pada perbedaan perilaku
mereka. Karyawan akan merespons dan bereaksi dengan cara berbeda
terhadap stimuli yang datang kepadanya. Ketiga, para manajer juga harus
menyadari bahwa perbedaan perilaku seperti ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung, pasti memberi dampak positif dan dampak negatif
bagi organisasi. Dampak positifnya, seperti dijelaskan di muka, organisasi
menjadi semakin dinamis dan dinamika organisasi merupakan syarat mutlak
untuk merespons lingkungan yang sering mengalami perubahan mendadak.
Sementara dampaknya negatifnya lingkungan internal organisasi menjadi
semakin kompleks dan bukan tidak mungkin mengarah terjadinya konflik
internal. Untuk menghindari dampak negatif tersebut tentunya sangat
bergantung pada kemampuan para manajer dalam mengelola perbedaan.
Barangkali inilah tantangan terbesar yang dihadapi para manajer untuk
mengubah dampak negatif dari perbedaan individu karyawan menjadi
keunggulan organisasi.
Perbedaan perilaku individu karyawan yang bersumber pada hukum
perbedaan individual akan dibahas secara detail bukan hanya pada Modul 2,
tetapi juga Modul 3 dan 4. Ketiga modul ini nantinya akan memotret
2.4 PERILAKU ORGANISASI e

organisasi dari perilaku individu karyawan. Manusia (dalam hal ini


karyawan) akan dipotret dalam kedudukannya sebagai individu bukan
sebagai bagian dari kelompok. Dengan kata lain, level analisisnya adalah
individual. Seperti tampak pada Gambar 2.1, bahasan pada ketiga modul
tersebut akan dimulai dari uraian tentang perbedaan individu karyawan yang
komponen-komponen dasarnya terdiri dari kepribadian dan kemampuan diri
karyawan, di samping nilai-nilai individu dan sikap karyawan. Modul 2 akan
memberi perhatian pada kedua komponen dasar ini beserta implikasinya,
sedangkan fokus perhatian Modul 3 adalah persepsi karyawan yang akan
dikaitkan dengan tingkat stres karyawan. Terakhir, Modul 4 akan difokuskan
pada teori dan konsep motivasi kerj a.

Perbedaan
individu:
Kepribadian Persepsi Perilaku
Kemampuan diri
Nilai-nilai • Pembelajaran • Individu
individu
Motivasi
Sikap

Gambar 2.1.
lmplikasi Perbedaan lndividu terhadap Perilaku lndividu Karyawan

Pokok bahasan pada Modul 2, seperti disebut di atas adalah perbedaan


individu karyawan. Dalam hal ini, manusia (karyawan) akan dipotret dalam
kedudukannya sebagai individu bukan sebagai bagian dari kelompok.
Sebagai individu, setiap orang diyakini memiliki properti dasar yang melekat
pada dirinya dan membedakan dirinya dari orang lain. Properti-properti
tersebut adalah kepribadian dan kemampuan diri, nilai-nilai indi vidu
(personal values), dan sikap seseorang. Akibat dari perbedaan tersebut setiap
orang memiliki perilaku yang berbeda meski ia telah berinteraksi dengan
orang lain dalam sebuah organisasi dalam kurun waktu lama. Perbedaan
perilaku tersebut dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap kinerja dan
kepuasan kerja masing-masing karyawan.
Dengan selesainya Modul 2 Anda diharapkan mampu memahami konsep
perbedaan individu karyawan dan sekaligus mampu menjelaskan implikasi-
ya terhadap perilaku individu karyawan dan kepuasan kerja mereka serta
e EKMA41 58/ MODUL 2 2.5

implikasinya terhadap kinerj a organisasi. Modul 2 dibagi menj adi dua


kegiatan belajar (KB), yaitu sebagai berikut.
Kegiatan Belajar 1 : membahas tentang Perbedaan lndividu Karyawan
terutama yang disebabkan karena perbedaan
kepribadian dan kemampuan diri.
Kegiatan Belajar 2 : membahas tentang Perbedaan Individu Karyawan
yang disebabkan karena perbedaan nilai personal dan
sikap mereka terhadap pekerj aan dan organisasi, serta
implikasi manajerialnya.
2.6 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Kepribadian dan
Kemampuan Diri Karyawan

ebut saja dua buah nama Ety dan Eny dan katakan juga bahwa keduanya
adalah saudara kembar. Seperti pada umumnya kembar-kembar yang
lain, mereka berdua seperti kata pepatah "bak pinang dibelah dua". Secara
fisik, keduanya sulit dibedakan. Postur tubuh, wama kulit, raut muka maupun
potongan rambut keduanya sangat mirip. Bukan hanya itu, atribut-atribut
yang disandangnya (cara berpakaian misalnya), tingkah laku, cara bertindak,
dan cara berjalan semakin memperkuat bahwa keduanya hampir tidak bisa
dibedakan. Oleh karenanya siapa pun yang tidak mengenal keduanya secara
dekat sering kali terkecoh. Misal ketika bermaksud menyapa Eny ternyata
yang disapa adalah Ety atau sebaliknya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah betul bahwa Ety dan Eny sama
sekali tidak bisa dibedakan? Ternyata tidak. Di samping harus diakui adanya
beberapa kesamaan, dalam batas-batas tertentu keduanya juga berbeda.
Bahkan, sesungguhnya keduanya lebih banyak perbedaannya ketimbang
kesamaannya. Jika kita tidak bisa membedakan mereka barangkali lebih
disebabkan karena kita tidak atau kurang mengenalnya. Sebaliknya,
seandainya kita adalah orang tua, suami, kakak, adik atau kerabat dekatnya,
hampir pasti kita bisa mengenali dan membedakan yang mana Ety dan yang
mana Eny baik secara fisik maupun dalam berperilaku. Boleh jadi Ety
memiliki ciri -ciri yang tidak dimiliki Eny. Misalnya, katakanlah Ety lebih
memiliki kemampuan verbal sementara Eny lebih kuat dalam kemampuan
numerik. Demikian juga dalam berperilaku, Ety barangkali lebih pendiam
dibandingkan Eny. Walhasil, sesedikit apa pun keduanya tetap saja berbeda.
llustrasi di atas memberi gambaran bahwa sekalipun dua orang terlahir
kembar dan dibesarkan dalam keluarga yang sama, tetap saja masing-masing
memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya satu dari yang lain.
Apalagi jika keduanya tidak kembar, berasal dari keluarga dan lingkungan
yang berbeda, serta masing-masing memiliki pengalaman hidup tersendiri,
boleh jadi akan lebih banyak ditemukan perbedaan dari kedua orang tersebut
ketimbang kesamaan-kesamaannya. Menyadari dan memahami kesamaan
atau sebaliknya perbedaan individual seseorang bukan hanya bermanfaat bagi
e EKMA41 58/MODUL 2 2.7

kehidupan kita sehari-hari, tetapi juga manakala kita terlibat dalam kegiatan
• •
organ1sas1.
Dalam kehidupan organisasi, memahami perbedaan-perbedaan tersebut
bisa jadi bermanfaat untuk memahami cara berpikir, cara mengungkapkan
perasaan atau keluh kesah (feelings) dan perilaku masing-masing karyawan.
Demikian juga perbedaan individual boleh jadi berpengaruh terhadap tingkat
kepuasan kerja, kinerja, tingkat stres, dan gaya kepemimpinan seseorang.
Selain itu, setiap hari para karya wan saling berinteraksi maka saling
memahami perbedaan masing-masing bukan saja berguna bagi masing-
masing karyawan, tetapi juga dapat digunakan para manajer untuk
meningkatkan efektivitas kerja organisasi.
Kegiatan Belajar 1 bermaksud menguraikan dan memberi penjelasan
terhadap dua pertanyaan pokok, yakni mengapa seseorang berbeda dan
mengapa seseorang sama dengan orang lain. Secara umum, perbedaan
individual seseorang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni
perbedaan karena kepribadian (personality) dan perbedaan karena
kemampuan diri (ability). Berdasarkan penjelasan ini Kegiatan Belajar 1
dibagi menjadi dua subpokok bahasan. Subpokok bahasan pertama
menjelaskan pengertian, makna, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kepribadian, serta bagaimana kepribadian dan lingkungan kerja
mempengaruhi cara berpikir, mengungkapkan perasaan dan perilaku seorang
karyawan. Sementara itu, subpokok bahasan kedua menguraikan perbedaan
kemampuan (ability) seseorang. Termasuk dalam pokok bahasan bagian
kedua adalah uraian tentang jenis-jenis kemampuan seseorang dan uraian
tentang bagaimana kemampuan tersebut harus dikelola secara baik agar
menghasilkan kinerj a yang optimal bagi organisasi.

A. KEPRIBADIAN (PERSONALITY)

Hukum perbedaan individu - law of individual differences mengatakan


bahwa secara hakiki setiap orang itu berbeda. Perbedaan ini secara kasat mata
bisa dilihat dari perbedaan perilaku masing-masing individu. Tentunya
banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut. Salah satunya, akan
menjadi fokus bahasan pada Kegiatan Belajar 1 ini adalah kepribadian
seseorang. Untuk memahami apa itu kepribadian dan bagaimana aplikasinya
dalam kehidupan organisasi, bahasan dimulai dari penjelasan tentang
pengertian kepribadian sebagai berikut.
2.8 PERILAKU ORGANISASI e

1. Pengertian Kepribadian
Kurt Lewin, salah seorang pioneer dalam bidang psikologi sosial,
mengatakan bahwa perilaku seseorang merupakan kombinasi dari
kepribadian dan lingkungan tempat orang tersebut tinggal dalam kurun waktu
lama. Secara matematis Kurt Lewin merumuskan teorinya ke dalam satu
formula:

B = f (P, E)
di mana: B adalah Behavior (Perilaku)
P adalah Personality (Kepribadian)
E adalah Environment (Lingkungan)

Dari formula ini bisa diinterpretasikan bahwa kepribadian seseorang


merupakan unsur penting pembentuk perilaku. Sebagai gambaran, kalau kita
mendapati orang yang selalu ingin sempurna dalam mengerjakan sesuatu
(seorang perfectionist) atau yang berperilaku sangat kritis yang selalu
mempersoalkan apa yang terjadi dalam organisasi atau orang yang tidak
saharan atau san gat cere wet atau sangat intens dalam bekerj a atau kadang-
kadang kita juga mempunyai ternan kerja yang pemalu dan pendiam, ternan
kerja yang susah diberi pengertian sementara ternan kerja yang lain cukup
mudah bergaul, serta sangat ceria dalam menghadapi pekerjaan, sangat boleh
jadi karena perilaku orang-orang tersebut dipengaruhi oleh kepribadian
masing-masing yang berbeda. Oleh karenanya agar kita bisa memahami
perilaku seseorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
organisasi, terlebih dahulu kita harus memahami kepribadiannya. Dapat juga
dikatakan bahwa hampir tidak mungkin memahami perilaku seseorang jika
kita tidak memahami kepribadiannya.
Secara definitif, kepribadian (personality) merupakan satu set
karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan seseorang yang bersifat
permanen (tidak mudah berubah dalam jangka pendek) yang menjadikan
orang tersebut berbeda atau sama dengan orang lain dalam cara berpikir,
2
mengungkapkan perasaan dan berperilaku . Definisi ini pada dasarnya
menegaskan tiga hal penting tentang kepribadian. Pertama, secara individual
seseorang bisa sama atau berbeda dari orang lain bergantung dari

2
Charrington. (1989). Op cit. pp. 99.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.9

3
karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan masing-masing individu .
Kedua, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Kurt Lewin, kesamaan atau
perbedaan ini muncul ke permukaan dalam bentuk tindakan dan perilaku
seseorang yang bersifat konsisten dan persisten. Ketiga, karakteristik dan
kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak mudah dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan sosial, biologis, situasi atau momen-momen tertentu.
4
Dalam menjelaskan kekhasan seseorang, Jaffnee menggunakan istilah
"the law of individual difference - pada dasarnya orang itu berbeda" dan
perbedaan ini cenderung konsisten dan persisten. Meski dalamjangka pendek
kepribadian seseorang tidak banyak mengalami perubahan, bukan berarti
kepribadian seseorang sama sekali tidak bisa berubah. Kepribadian seseorang
masih bisa berubah utamanya karena faktor lingkungan. Namun, harus
disadari pula bahwa perubahan kepribadian seseorang tidak terjadi dalam
jangka pendek. Sebaliknya, perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang
relatif lama. Sulitnya kepribadian seseorang berubah dalam waktu pendek
memberikan arti bahwa setiap orang memiliki kekhasan dan pola tersendiri
(mind set) dalam cara berpikir, cara mengungkapkan perasaan dan cara
5
pandang yang membedakannya dari orang lain . Jadi, kepribadian pada
dasarnya bersifat dinamis tidak statis dalam pengertian kepribadian seseorang
tetap mengalami perubahan meski perubahan tersebut terjadi secara gradual.
Uraian di bawah ini akan menjelaskan dinamika kepribadian seseorang yang
akan dimulai dari pembahasan tentang teori kepribadian.

2. Teori Kepribadian
Berbagai macam teori tentang kepribadian bisa dijumpai di berbagai
buku teks dan artikel-artikel ilmiah, baik yang dikembangkan oleh para filsuf
pada beberapa abad silam maupun oleh para psikolog pada awal-awal
abad XX. Dalam Kegiatan Belajar ini akan dikemukakan 3 teori kepribadian,
yaitu conflict theory, fulfillment theory, dan consistency theory. Ketiga teori
ini bisa digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku seseorang atau
paling tidak untuk memprediksi reaksi seseorang terhadap stimulan-stimulan
yang datang kepadanya. Dari ketiga teori ini, masing-masing memiliki

3
Lihat misalnya definisi kepribadian seperti dikemukakan David Cherrington. op cit.
p. 99.
4
Lihat Jaffnee.
5
Lihat Hofstede.
2.10 PERILAKU ORGANISASI e

kelebihan dan kelemahan tersendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan


bahwa teori yang satu lebih unggul ketimbang teori yang lain.

a. Conflict theory
Menurut teori konflik (conflict theory), manusia pada dasarnya tidak bisa
menghindarkan diri dan selalu berhadapan dengan dua kekuatan berlawanan
yang saling tarik menarik. Oleh karenanya agar tidak terjebak ke dalam salah
satu kekuatan, seseorang dalam kehidupan sehari-harinya selalu berupaya
untuk mengambil jalan tengah atau kompromi sehingga kedua kekuatan
tersebut bisa berj alan seimbang secara dinamik. Salah satu teori konflik yang
cukup populer dalam disiplin ilmu psikologi adalah "psychoanalytic theory"
yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Freud membagi kepribadian menjadi
tiga bagian atau sistem yang berbeda, yaitu "id", "ego", dan "superego".
Kata "id" yang berasal dari bahasa latin dan terjemahannya dalam bahasa
inggris adalah "it", diartikan sebagai energi psikis (sering disebut sebagai
libido) yang terletak jauh di dalam alam bawah sadar pikiran manusia
(unconscious mind). Sebagai sumber energi, "id" tidak memiliki struktur
yang jelas, bekerja bukan dengan cara yang logis dan hanya berupaya
memenuhi kenikmatan-kenikmatan biologis sehingga "id" sering disebut
sebagai "tempat membaranya kenikmatan - cauldron of seething
excitement". Menurut Freud, energi inilah yang berubah menjadi instinct atau
dorongan biologis yang secara tidak sadar (bersifat insting) dimanfaatkan
bayi yang baru lahir untuk memenuhi kebutuhan biologis, khususnya yang
berkaitan dengan pemenuhan fungsi tubuh manusia, seperti stimulus sensual,
agresi, eliminasi, dan haus. ltulah sebabnya bayi yang baru lahir bisa
bertahan hidup karena secara biologis telah terprogram untuk mengeluarkan
energi libido. Jika seseorang telah dewasa biasanya bisa mengendalikan
energi tersebut. Namun, apabila terjadi sebaliknya "id" mendominasi
kepribadian seseorang maka sesungguhnya ia memiliki kepribadian anak-
anak yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya dan
cenderung mementingkan diri sendiri (selfish).
Oleh karena "id" memberikan sifat kekanak-kanakan, mementingkan diri
sendiri dan impulsif maka "id" bisa membantu seseorang bertahan hidup
hanya pada bagian pertama siklus hidup manusia. Selanjutnya, ketika
menginjak dewasa, seseorang mulai sadar bahwa kebutuhan yang harus
dipenuhinya bukan hanya kebutuhan biologis dan tidak sekadar
mementingkan diri sendiri. Orang dewasa mulai sadar bahwa dalam
e EKMA41 58/MODUL 2 2.11

kehidupan yang sebenarnya ada kebutuhan lain berasal dari luar dirinya yang
juga harus dipenuhi. Artinya, orang yang telah menginjak dewasa mulai sadar
bahwa apa yang ia inginkan belum tentu sama dengan tuntutan lingkungan.
Dari sinilah muncul tarik menarik antara keinginan untuk memenuhi
kebutuhan dirinya dengan keinginan memenuhi kebutuhan yang berasal dari
lingkungan. Oleh karenanya seseorang mulai berupaya mengendalikan diri
dan membedakan siapa dirinya dan siapa orang lain di luar dirinya dengan
"ego" (consciuous self). Ego adalah fungsi mental yang memungkinkan
seseorang untuk menerima dan memberi alasan, membuat keputusan,
menyimpan memori, serta memecahkan berbagai macam persoalan. Ego
inilah yang menj adi bagian dari kepribadian seseorang setelah orang tersebut
mengenallingkungan di luar dirinya.
Jika "id" dan "ego" masing-masing mendorong seseorang untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan menyadari adanya realitas hidup yang
berbeda dengan dirinya maka ketika seseorang menjadi semakin dewasa
muncul kecenderungan lain, yakni berupaya untuk mengikuti aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan masyarakat dan sekaligus berupaya untuk tidak
melanggarnya. Kecenderungan ini oleh Freud disebut sebagai "superego"
personality yang pada dasarnya merupakan pecahan dari ego. Superego
berkembang secara unconscious dan perlahan sejalan dengan kemampuan
seseorang untuk mengimitasi pikiran dan tindakan orang lain. Upaya meniru
biasanya dimulai di dalam sebuah keluarga dan yang ditiru biasanya adalah
orang tuanya - ayah atau ibu atau keduanya. Kecenderungan meniru orang
lain akan semakin tinggi ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang
lebih dewasa di luar keluarganya. Dari sinilah seseorang tanpa sadar bisa
mengambil keputusan mana yang salah dan mana yang benar berdasarkan
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat sekitar.
Hal yang menarik dari penjelasan tentang teori konflik, khususnya yang
disampaikan Freud adalah adanya tarik menarik antara "id" yang bersifat
impulsive dengan ego dan superego yang membatasi keberadaan "id". Tarik
menarik ini terj adi karena biasanya perilaku impulsive tidak bisa diterima
oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, agar perilaku impulsive seseorang
bisa diterima orang lain (masyarakat) maka ia akan melakukan upaya untuk
mempertahankan diri (self defense mechanism). Menurut Freud bentuk dari
defense mechanism tersebut adalah sebagai berikut.
2.12 PERILAKU ORGANISASI e

1) Rasionalisasi (rationalization)
Untuk membenarkan perilaku yang dilakukannya, seseorang kadang-
kadang melakukan pembenaran dengan argumentasi yang rasional
dengan harapan perilakunya yang compulsive atau tidak rasional tersebut
bisa diterima orang lain.
2) Proyeksi (projection)
Untuk memproteksi diri sendiri dari tuduhan perilaku yang tidak
sepatutnya, seseorang kadang-kadang menimpakan bahwa perilaku
tersebut sesungguhnya bukan milik dirinya, tetapi milik orang lain
seolah-olah bukan dirinya yang menghendaki perilaku tersebut.
3) Represif (repression)
Maksud dari tindakan represif adalah melupakan apa-apa yang mungkin
bakal menyulitkan atau membuat malu dirinya. Semua kenangan yang
tidak menyenangkan serta merta dilupakan begitu saja.
4) ldentifikasi (identification)
Cara lain yang juga dilakukan seseorang adalah mengidentifikasikan
dirinya dengan orang lain, khususnya yang ia kagumi, dan menggunakan
citra positif orang lain tersebut sebagai dirinya.
5) Reaksi-Formasi (reaction-formation)
Maksud dari reaksi-formasi adalah menyembunyikan motif sesungguh-
nya dengan melakukan tindakan berlawanan. Sebagai contoh, apabila
kita pemah terkena kasus narkoba maka untuk menghilangkan citra
buruk tersebut kita giat terlibat dalam organisasi anti narkoba.
6) Sublimasi (sublimation)
Sublimasi adalah proses mengekspresikan motif yang tidak bisa diterima
masyarakat dalam bentuk kegiatan yang bisa diterima masyarakat.
Sebagai contoh, mengekspresikan dorongan seksual dalam bentuk surat-
surat cinta atau puisi-puisi cinta yang secara umum masyarakat bisa

mener1manya.
7) Kompensasi
Melakukan upaya-upaya nyata untuk menutup kekurangan atau
kelemahan di satu sisi dengan sungguh-sungguh menjadi excellent di
bidang lain.

b. Fulfillment theory
Tidak seperti conflict theory yang menganggap bahwa seseorang selalu
dihadapkan pada dua kekuatan yang saling berlawanan, fulfillment theory
e EKMA41 58/MODUL 2 2.13

beranggapan sebaliknya. Menurut teori ini setiap orang hanya memiliki satu
kekuatan yang secara terus menerus mendorong orang tersebut untuk
mencapai aktualisasi diri. Di antara penganut teori ini, yang paling populer
adalah dua orang psikolog klinis, yakni Carl Rogers ( 1902-1987) dan
Abraham Maslow (1908-1970). Sebagai psikolog klinis, keduanya memberi
perhatian terhadap perkembangan dan potensi diri yang dimiliki manusia.
Mereka yakin bahwa manusia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk
menjadi sehat dan dapat menyesuaikan diri. Demikian juga mereka yakin
terhadap konsep aktualisasi diri di mana setiap orang mampu memperbaiki
kehidupannya dan memiliki kebebasan serta memiliki kapasitas untuk
tumbuh dan berkembang.
Menurut fulfillment theory, kepribadian seseorang yang secara konsisten
berupaya untuk mengembangkan diri sesungguhnya sejalan dengan tuntutan
masyarakat yang menghendaki hal yang sama. Seseorang akan merasa
frustasi sehingga perilakunya pun menjadi destruktif dan mal-adaptif jika
kesempatan untuk berkembang dihalang-halangi. Demikian juga jika
seseorang merasa tidak berpengharapan, ia akan memperlakukan orang lain
dengan cara yang kurang baik. Sebaliknya, apabila ia diperlakukan dengan
baik maka ia akan memberi apresiasi orang lain dan memperlakukan hal yang
sama.

c. Consistency theory
Jika fulfillment theory menganggap bahwa setiap orang memiliki inner
capability untuk berkembang dan mencapai aktualisasi diri, consistency
theory tidak menganggap demikian. Teori ini mengatakan bahwa kepribadian
merupakan proses pembelajaran melalui pengalaman hidup seseorang
terhadap lingkungannya. Artinya, terbentuknya kepribadian karena seseorang
berinteraksi dengan lingkungan dalam kurun waktu yang relatif lama dan
mencoba mengadopsi keinginan lingkungan dengan cara mengembangkan
sikap dan perilaku yang sej alan dengan keinginan lingkungan tersebut.
Salah satu teori konsistensi (consistency theory) yang cukup populer
adalah "cognitive dissonance theory". Kognitif bisa diartikan sebagai pikiran,
harapan, sikap, pendapat, dan persepsi seseorang. Menurut teori ini, manusia
memiliki keinginan untuk mempertahankan sikap, harapan, dan perilaku
secara konsisten. Oleh karenanya jika terjadi penyimpangan, ia berusaha
untuk meminimalkan penyimpangan tersebut dengan cara merubah sikap,
harapan atau perilakunya sejalan dengan tuntutan lingkungan. Teori yang
2.14 PERILAKU ORGANISASI e

lain, cognitive theory - dikembangkan oleh George Kelly (1905-1966),


mengatakan bahwa manusia pada dasarnya seperti seorang ilmuwan yang
berupaya memahami dunia. Ia mengantisipasi kejadian, memprediksi dan
mengendalikannya dengan cara menginterpretasikan realitas yang ada.
Dengan analog ini Kelly mengatakan bahwa personal construct (konstruksi
diri manusia) digambarkan sebagai sebuah lensa yang digunakan untuk
melihat dunia. Perilaku seseorang, dengan demikian ditentukan oleh
bagaimana ia melihat kej adian di sekitarnya. Dari kej adian di sekitar inilah
seseorang membuat sintesis, memperbaiki diri dan mengkonstruksi diri untuk
menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Oleh karenanya menurut Kelly
harapan seseorang di masa datang jauh lebih penting dibanding pengalaman-
pengalaman masa lalu. Dengan kata lain, bagaimana pola seseorang
memandang masa depan akan menentukan kepribadian orang tersebut.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian


Jika perilaku seseorang ditentukan oleh kepribadian dan lingkungannya
maka kepribadian itu sendiri dibentuk oleh dua faktor utama, yaitu faktor
6
keturunan (nature) dan pengalaman hidup (nurture) . Di samping kedua
faktor tersebut, dewasa ini faktor ketiga, yaitu situasi juga mulai mendapat
perhatian.

a. Faktor keturunan
lstilah lain dari keturunan, khususnya yang biasa digunakan Etnis Jawa
adalah bibit. Istilah ini sering digunakan dalam pesan-pes an yang biasa
diberikan orang tua kepada anaknya, misal ketika Si Anak hendak mencari
pasangan hidup "kalau kamu hendak memilih pasangan hidupmu, lihat dulu
bibitnya apakah berasal dari keluarga dan keturunan yang baik." Ungkapan
lain yang sering kita dengar yang juga menggambarkan hubungan orang tua
dan anak adalah "like father like son- anak dan bapaknya sama saja". Kedua
ilustrasi di atas menggambarkan bahwa secara natural sesungguhnya
hubungan antara orang tua dengan anak tidak pernah terputus. Jalinan
hubungan ini secara biologis bisa dilacak melalui hubungan darah keduanya.
Setiap anak selalu membawa gen orang tuanya. Pewarisan gen ini secara
behavioral menyebabkan seorang anak cenderung memiliki karakter orang

6
Jennifer George and Gareth Jones. p 37.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.15

tuanya entah itu karakter bapak atau ibu bergantung gen mana yang lebih
dominan.
Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa faktor keturunan akan
berpengaruh terhadap karakter yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pula kepribadian seseorang. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa
sejak lahir seseorang sesungguhnya telah memiliki kepribadian. Sumbernya
tidak lain adalah kepribadian orang tuanya. Jika kita kembali pada contoh di
atas (berkaitan dengan etnis Jawa) meski orang Jawa tidak secara eksplisit
mengatakan bahwa keturunan yang baik adalah kepribadian yang baik, secara
implisit yang dimaksudkan dengan keturunan atau bibit adalah kepribadian.
Demikian juga dalam contoh dua saudara kembar - Ety dan Eny jika
keduanya memiliki kepribadian yang sama boleh jadi karena secara biologis
mereka memiliki gen yang sama yang berasal kedua orang tuanya, entah itu
gen Bapak atau lbu. Penjelasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa faktor
keturunan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
kepribadian seseorang.

b. Faktor pengalaman hidup


Faktor kedua yang mempengaruhi kepribadian adalah pengalaman hidup
(nurture) seseorang. Sebagaimana kita ketahui, tidak seorang pun bisa tinggal
dalam ruang isolasi. Sebaliknya, ia hidup dalam lingkungan terbuka, baik
dalam lingkungan keluarga, tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja.
Akibatnya, seseorang tidak bisa menghindar untuk tidak berinteraksi dengan
sesama. Dari situlah ia menimba pengalaman hidup dan pada gilirannya
pengalaman hidup tersebut secara gradual bisa mengubah kepribadian
seseorang. Kembali kepada contoh dua saudara kembar Ety dan Eny, ketika
keduanya masih anak-anak dan tinggal bersama kedua orang tuanya,
kepribadian mereka seperti telah disebutkan pada poin 1 (faktor keturunan)
boleh jadi pada mulanya sangat dipengaruhi faktor keturunan. Namun, bukan
berarti kepribadian keduanya semata-mata dipengaruhi oleh faktor tersebut.
Faktor lingkungan juga bisa mempengaruhi kepribadiannya. Hal ini misalnya
7
ditegaskan oleh George and Jones yang merujuk pada penelitian Tegellen,
dkk. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 50% dari sampel (sampelnya tidak
lain adalah dua orang kembar) yang sejak lahir sudah terpisah dan dibesarkan
pada keluarga yang berbeda, misalnya karena salah satunya diadopsi keluarga

7
Ibid. Hal. 39.
2.16 PERILAKU ORGANISASI e

lain, ternyata menunjukkan kepribadian yang berbeda. Perbedaan ini


disebabkan karena keduanya memiliki pengalaman hidup yang berbeda.

c. Faktor situasi
Faktor ketiga adalah situasi atau konteks. Berbeda dengan dua faktor
pertama yang dianggap sebagai sumber terbentuknya kepribadian seseorang,
situasi atau konteks justru sering kali menjadi tabir yang menutupi
kepribadian seseorang. Meski telah dikemukakan bahwa kepribadian
seseorang tidak mudah berubah, namun pada saat-saat tertentu kadang-
kadang seseorang tidak berperilaku sebagaimana biasanya. Kepribadian asli
yang menjadi dasar berperilaku seolah-olah tergantikan oleh kepribadian lain.
Penyimpangan kepribadian seperti ini, biasanya bersifat temporer,
disebabkan karena konteks atau situasinya memang menuntut orang tersebut
berperilaku demikian. Dengan kata lain, kepribadian seseorang terkadang
tertutupi oleh konteks atau situasi yang melingkupi perilaku seseorang.
Sebagai contoh, pada saat semangat atau gairah kerja (mood) seseorang
sedang tinggi sifat suka marah pada orang lain yang biasanya ditunjukkan
orang tersebut boleh jadi tidak muncul ke permukaan. Ia terkesan sangat
ramah dan bersahabat. Demikian juga ketika seseorang sedang diwawancarai
untuk suatu pekerjaan, ia akan menutupi perilaku yang sebenarnya karena
ada kekhawatiran jika menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya bisa jadi
dia tidak akan mendapat pekerj aan tersebut. Kedua contoh ini sekali lagi
memperkuat pemyataan bahwa kepribadian seseorang pada dasarnya bersifat
dinamis.

4. Dimensi Kepribadian
Di muka telah diuraikan bahwa kepribadian merupakan salah satu
determinan yang menentukan pola pikir seseorang, cara seseorang
mengungkapkan emosi (berkeluh kesah) dan pola perilakunya. Oleh
karenanya agar kita bisa mengidentifikasi kepribadian seseorang dan juga
bisa membedakannya dengan kepribadian orang lain maka kita perlu
memahami dimensi-dimensi kepribadian. Salah cara untuk memahami
kepribadian seseorang adalah dengan memahami watak, karakter atau sifat
bawaan orang tersebut. Dalam literatur-literatur psikologi khususnya yang
berbahasa Inggris, istilah watak, karakter atau sifat digunakan satu istilah
umum, yaitu traits. Traits diartikan sebagai komponen kepribadian yang
menjelaskan kecenderungan seseorang dalam cara berpikir, cara
e EKMA41 58/MODUL 2 2.17

8
mengungkapkan perasaan dan berperilaku • Penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan karakter manusia telah dilakukan berulang-ulang utamanya
karena jenis watak/karakter/sifat manusia jumlahnya cukup banyak. Salah
satu contohnya, dalam sebuah studi ditemukan tidak kurang dari 17.953 jenis
watak atau karakter manusia. Namun, hampir tidak mungkin menjelaskan
perilaku manusia berdasarkan sekian banyak karakter tersebut, upaya
penyederhanaan dan pengelompokan karakter tersebut dilakukan pada studi
lanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya ada 16 karakter utama yang
secara konsisten menjadi prediktor perilaku manusia, selebihnya hanya
bersifat artifisial. Keenam belas karakter tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut ini.

Tabel 2.1.
16 Sifat Manusia

1. Pendiam, tidak ramah vs. Ramah, mudah bergaul


2. Kurang cerdas vs. Cukup cerdas
3. Sangat berperasaan vs. Stabil secara emosional
4. Patuh vs. Dominan
5. Serius vs. Riang gembira
6. Bijaksana vs. Mendengarkan kata hati
7. Takut vs. Be rani, suka petualangan
8. Keras kepala vs. Sensitif
9. Mudah percaya vs. Mudah curiga
10. Praktis vs. lmaginatif
11. Terus terang, jujur vs. Licik
12. Percaya diri vs. Mudah khawatir
13. Konservatif vs. Suka mencoba-coba
14. Bergantung pada kelompoknya vs. Mandiri
15. Tidak terkendal i vs. Mengendalikan diri
16. Rileks vs. Bergejolak

5. The Big Five Model of Personality


Salah satu dimensi kepribadian yang konsepnya dibangun berdasarkan
keenam belas karakter utama manusia seperti tersebut di atas adalah "the big
five model of personality - lima besar model kepribadian manusia" yang
terdiri dari openness to experience, conscientiousness, extraversion,
agreebleness, dan neuroticism, biasa disingkat OCEAN. Kelima dimensi ini
masing-masing memiliki komponen yang spesifik. Extraversion, misalnya

8
Robbins. Hal. 91.
2.18 PERILAKU ORGANISASI e

terdiri dari komponen-komponen, seperti percaya diri (emosinya positif),


mudah bersosialisasi dan memiliki kehangatan (tidak menjemukan) ketika
berinteraksi dengan orang lain. Secara umum, komponen dari masing-masing
dimensi kepribadian di atas adalah sebagai berikut.

a. Openness to experience
Openness to experience merupakan dimensi kepribadian yang
menggambarkan perilaku seseorang yang cenderung terbuka, bisa menerima
berbagai macam stimuli, mempunyai keinginan yang luas, dan berani ambil
risiko. Agar perilaku seperti ini bisa menjadikan seseorang berhasil dalam
menjalankan kegiatannya maka organisasi atau perusahaan tempat mereka
bekerja harus bisa menghilangkan hambatan-hambatan yang mungkin
mengganggu upaya mereka. Itulah sebabnya seseorang dengan tingkat
openness to experience yang tinggi biasanya lebih suka mendirikan usaha
sendiri karena dengan usaha milik sendiri diyakini bahwa dirinya bisa
berinovasi, bisa mengambil risiko, dan mengurangi hambatan-hambatan yang
mungkin akan ditemui jika mereka bekerja pada perusahaan besar yang telah
map an.

b. Conscientiousness
Conscientiousness adalah dimensi kepribadian yang menggambarkan
sejauh mana seseorang bertanggung jawab, teguh, dapat dipercaya, dan
berorientasi pada basil. Seseorang dengan tingkat conscientiousness yang
tinggi pertanda bahwa orang tersebut sangat disiplin dalam menj alani
hidupnya. Kedisiplinan ini didasari oleh suatu keinginan agar kelak bisa
menghasilkan sesuatu. Sebaliknya, seseorang dengan tingkat
conscientiousness yang rendah pertanda bahwa orang tersebut tidak terarah
dan tidak disiplin. Conscientiousness merupakan dimensi kepribadian yang
cukup penting untuk memprediksi kinerja seseorang. Dengan tingkat
conscientiousness yang tinggi, seseorang diyakini memiliki kinerja yang baik
karena dalam upayanya untuk menghasilkan sesuatu ia akan terus melakukan
usaha tanpa mengenallelah.

c. Extraversion
Extraversion, sering juga disebut positive affectivity adalah dimensi
kepribadian yang menggambarkan seseorang yang percaya diri atau asertif
karena memiliki pengalaman emosional positif sehingga tidak berprasangka
e EKMA41 58/MODUL 2 2.19

jelek- baik terhadap dirinya, orang lain maupun terhadap lingkungan sekitar;
mudah bermasyarakat dan hangat dalam bergaul karena cenderung berbicara
aktif. Seseorang dengan tingkat extraversion yang tinggi dengan demikian
cenderung berpandangan positif baik terhadap dirinya maupun terhadap
orang lain dan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam bahasa sehari-hari,
orang seperti ini sering disebut sebagai extravert (atau kadang disebut
extrovert). Seorang extrovert biasanya ramah, menarik, dan mudah bergaul.
Sebaliknya, seorang introvert (memiliki tingkat extraversion yang rendah)
adalah orang yang hampir tidak pemah memiliki pengalaman baik dan oleh
karenanya cenderung menjaga jarak dengan orang lain (tidak mudah
bergaul). Dalam lingkungan organisasi tempat kerja, seorang extravert
biasanya memiliki semangat kerja yang baik, merasa puas dengan
pekerjaannya, berpandangan positif terhadap organisasi tempat kerja, dan
mudah bergaul dengan ternan kerja. Oleh karena sifat-sifatnya yang
demikian, seorang extravert cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
banyak berhubungan dengan orang lain. Pekerjaan tersebut, antara lain
bagian penjualan, customer relation, dan public relation.

d. Agreebleness
Agreebleness adalah dimensi kepribadian yang menggambarkan apakah
seseorang secara natural perilakunya baik, cukup mudah berteman dengan
orang lain (kooperatif), dan percaya kepada orang lain. Jika seseorang secara
umum sangat disukai orang lain, cenderung memiliki tingkat kepedulian yang
tinggi kepada orang lain dan berpengaruh terhadap orang lain, pertanda
bahwa orang tersebut memiliki tingkat agreebleness yang tinggi. Sebaliknya,
apabila seseorang cenderung antagonis, tidak mudah percaya kepada orang
lain dan tidak simpatik pertanda bahwa orang tersebut tergolong sebagai
orang yang memiliki tingkat agreebleness yang rendah. Meski terkesan
negatif, seseorang dengan tingkat agreebleness yang rendah sesungguhnya
cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kesan antagonis seperti
penagih utang (debt collector), sedangkan seseorang dengan tingkat
agreebleness yang tinggi cocok untuk pekerjaan yang menuntut kerja sama
dengan orang lain karena orang seperti ini tergolong sebagai "team player"
yang baik.
2.20 PERILAKU ORGANISASI e

e. Neuroticism
Tidak seperti pada extraversion, neuroticism (sering disebut negative
affectivity) menggambarkan kepribadian seseorang yang cenderung memiliki
pengalaman emosional negatif, merasa tidak aman, merasa tertekan, dan pada
umumnya memandang dirinya dan lingkungan di sekitar secara negatif.
Seseorang dengan tingkat neuroticism yang tinggi cenderung menunjukkan
emosi negatif dan setiap saat dan dalam situasi apa pun mudah stres
dibanding seseorang dengan tingkat neuroticism yang rendah. Seorang
dengan tingkat neuroticism yang tinggi sering disebut sebagai neurotic.
Dalam kehidupan sehari-hari seorang neurotic terkadang dianggap memiliki
masalah psikologis. Dalam bahasa psikologi, neurotic sesungguhnya
hanyalah karakter manusia yang dalam batas-batas tertentu dianggap wajar.
Di tempat kerja, seorang neurotic cenderung memiliki semangat kerja
yang rendah, gampang stres, dan cenderung berpandangan negatif terhadap
organisasi tempat kerja. Namun, kadang-kadang orang seperti ini juga sangat
kritis kepada dirinya dan pada kinerja yang dihasilkannya sehingga ada
kemungkinan orang tersebut terus memperbaiki diri dan kinerjanya. Oleh
karenanya seorang neurotic lebih cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan pemikiran kritis dan evaluasi diri seperti pada departemen
quality control. N amun, orang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi
kadang-kadang juga mengganggu khususnya dalam pengambilan keputusan
kelompok. Seorang neurotic biasanya menempatkan diri sebagai oposan dan
cenderung hanya melihat sisi negatif dari setiap usulan yang diajukan orang
lain atau kelompok lain.
Untuk mengukur tingkat dimensi big five personality seseorang bisa
digunakan kuesioner seperti tampak pada tabel berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.21

Kuesioner untuk Mengukur Dimensi Big Five Model of Personality

Petunjuk pengisian:
Berikut ini adalah 25 pernyataan tentang sifat manusia. Berilah tanda silang (X) pada skala 1- 5
yang berada pada kolom tengah yang betul-betul menggambarkan sifat Anda.
1 Antusias 5 4 3 2 1 Pendiam/Kalem
2 Suka berada di antara orang lain 5 4 3 2 1 Lebih menyukai sendirian
3 Pemimpi 5 4 3 2 1 Tidak membual
4 Sop an 5 4 3 2 1 Kasar
5 Rapi 5 4 3 2 1 Jorok/kotor
6 Hati-hati 5 4 3 2 1 Percaya diri
7 Optimistic 5 4 3 2 1 Pesimistik
8 Teoritik 5 4 3 2 1 Sangat praktikal
9 Dermawan 5 4 3 2 1 Mementingkan diri sendiri
10 Tegas 5 4 3 2 1 Terbuka
11 Menghambat 5 4 3 2 1 Tidak suka menghambat
12 Suka menunjukkan kemampuan 5 4 3 2 1 Menyukai privasi
13 Imaginative 5 4 3 2 1 Mengikuti aturan
14 Hangat 5 4 3 2 1 Tenang
15 F ocusltidak mudah terganggu 5 4 3 2 1 Mudah terganggu
16 Mudah merasa malu 5 4 3 2 1 Tidak peduli
17 Ramah 5 4 3 2 1 Dingin
18 Menyukai sesuatu yang baru 5 4 3 2 1 Menyukai rutinitas
19 Team player 5 4 3 2 1 Mandiri
20 Menyukai keteraturan 5 4 3 2 1 Tidak masalah dengan keos
21 Terbiasa dengan gangguan 5 4 3 2 1 Tidak dapat diganggu
22 Suka bercakap-cakap 5 4 3 2 1 Lebih suka berpikir
23 Nyaman dengan situasi ambigu 5 4 3 2 1 Menyukai sesuatu yang jelas
24 Mudah percaya pada orang lain 5 4 3 2 1 Skeptis pada orang lain
25 Tepat waktu 5 4 3 2 1 Suka mengulur waktu

f Cara menghitung skor


Kuesioner di atas dibagi ke dalam 5 kelompok. Kelompok I terdiri
pertanyaan No. 1-5, kelompok II pertanyaan No. 6-10, kelompok III
pertanyaan No. 11-15, kelompok IV pertanyaan No. 16-20 dan kelompok V
pertanyaan No. 21-25. Untuk memperoleh hasil akhir yakni mengetahui
kepribadian Anda berdasarkan big five personality, lakukan tahapan-tahapan
berikut.
T AHAP PERTAMA
1) Hitung jumlah angka yang Anda beri tanda silang pad a baris pertama
untuk masing-masing kelompok yaitu (Baris 1 + Baris 6 + Baris 11 +
Baris 16 + Baris 21 = ........ ) Jumlah tersebut adalah skor Anda untuk
NEUROTISM.
2) Hitung jumlah angka yang Anda beri tanda silang pada baris kedua
untuk masing-masing kelompok, yaitu (Baris 2 + Baris 7 + Baris 12 +
2.22 PERILAKU ORGANISASI e

Baris 17 + Baris 22 = ........ ) Jumlah tersebut adalah skor Anda untuk


EXTRAVERSION.
3) Hitung jumlah angka yang Anda beri tanda silang pada baris ketiga
untuk masing-masing kelompok, yaitu (Baris 3 + Baris 8 + Baris 13 +
Baris 18 + Baris 23 = ........ ) Jumlah tersebut adalah skor Anda untuk
OPENNESS.
4) Hitung jumlah angka yang Anda beri tanda silang pada baris keempat
untuk masing-masing kelompok, yaitu (Baris 4 + Baris 9 + Baris 14 +
Baris 19 + Baris 24 = . . . . . . . . ) J umlah tersebut adalah skor Anda untuk
AGREEBLENESS.
5) Hitung jumlah angka yang Anda beri tanda silang pada baris kelima
untuk masing-masing kelompok, yaitu (Baris 5 + Baris 10 + Baris 15 +
Baris 20 + Baris 25 = ........ ) Jumlah tersebut adalah skor Anda untuk
CONSCIENTIOUSNESS.

TAHAPKEDUA
Pindahkan basil skor Anda pada T AHAP PERTAMA ke kolom yang
sesuai dengan lembar konversi berikut ini dan berilah tanda silang.
Selanjutnya, hitung berapa NORMA SKOR yang diperoleh dengan cara
mencocokkannya dengan kolom paling kiri atau paling kanan. Sebagai
contoh, apabila skor untuk Neuroticism adalah 21 berarti norma skomya 73.

LEMBAR KONVERSI

Norma Neurotism Extraversion Openness Agreebleness Conscientiousness Norma


Skor Skor
80 - - - - - 80
79 - - 25 79
78 78
77 22 77
76 24 76
75 75
74 74
73 21 23 73
72 25 72
71 25 71
70 20 24 22 70
69 25 69
68 24 68
67 23 21 24 67
66 19 66
e EKMA41 58/ MODUL 2 2.23

Norma Neurotism Extraversion Openness Agreebleness Conscientiousness Norma


Skor Skor
65 22 23 23 65
64 20 64
63 22 63
62 18 21 19 22 62
61 21 61
60 20 60
59 17 18 21 20 59
58 58
57 19 57
56 17 56

55 16 18 20 19 55
54 16 19 54
53 53
52 17 18 52
51 15 51
50 16 15 18 17 50
49 49
48 14 15 16 48
47 14 17 47
46 14 15 46
45 13 45

44 13 16 14 44
43 13 43
42 12 42
41 15 13 41
40 12 12 11 40
39 39
38 14 12 38
37 11 10 37
36 11 36
35 10 13 11 35
34 9 34
33 10 9 10 33
32 12 32
31 8 31
30 8 9 30
29 9 11 29
28 7 7 8 28
27 10 27
26 6 7 26
25 8 6 25
24 9 6 24
23 23
22 5 22
21 7 5 21
20 8 20
2.24 PERILAKU ORGANISASI e

T AHAP KETIGA
Berdasarkan basil norma skor pada TAHAP KEDUA, cocokan basil skor
Anda (norma skor) dengan lembar interpretasi berikut ini. Misalnya, apabila
norma skor Anda pada kolom neuroticism adalah 73 yang berarti di atas 65
maka Anda adalah seorang yang sangat reaktif.

LEMBAR INTERPRETASI

Positive affectivity Tabah Responsive Reaktif Negative affectivity (neurotic)

35 45 55 65

Introversion Extraversion
Introvert Ambivert Extrovert
35 45 55 65
Low Openness High Openness
Preserver Moderate Explorer
35 45 55 65
Low Agreebleness High Agreebleness
Challenger Negotiator Adapter
35 45 55 65
Low Conscientiousness High Conscientiousness
Flexible Balanced Focused
35 45 55 65

6. Dimensi-dimensi Kepribadian Lainnya


Selain menggunakan "the big five model of personality", pola pikir, cara
mengungkapkan perasaan dan perilaku seseorang juga bisa diprediksi melalui
dimensi -dimensi kepribadian yang lain, di antaran ya:
a. Locus of control.
b. Kepribadian Tipe A dan Tipe B.
c. Machiavellianism.
d. Self-monitoring.
e. Self-esteem.

a. Locus of control
Locus of control, bisa diterjemahkan sebagai pusat atau tempat kendali
diri merupakan dimensi kepribadian yang menggambarkan keyakinan
seseorang terhadap siapa yang mengendalikan nasib dan jalan hidupnya atau
hal-hal lain yang terjadi pada dirinya. Secara umum, locus of control
e EKMA41 58/MODUL 2 2.25

dibedakan menjadi dua, yakni internal dan external locus of control.


Sebagian orang merasa yakin babwa nasib dan jalan bidupnya tidak
ditentukan orang lain melainkan oleb dirinya sendiri. Dengan kemampuan
yang dimilikinya, dengan usaba keras dan dengan tindakan nyata, orang
seperti ini yakin bisa menentukan jalan hidup dan merubab nasibnya. Bukan
banya itu, ia juga merasa yakin babwa lingkungan sekitar bisa
dikendalikannya selama prasyarat di atas dimilikinya. Dimensi kepribadian
ini disebut internal locus of control. Sebagian orang yang lain memiliki
keyakinan sebaliknya yang disebut external locus of control. Kelompok
orang ini merasa yakin babwa apa yang dilakukannya bampir tidak
berpengarub terbadap nasib danjalan bidupnya seolab-olab kemampuan yang
dimilikinya, usaba keras yang dilakukannya dan tindakan-tindakan nyata
yang ditempubnya tidak berakibat apa-apa terbadap jalan bidupnya.
Kelompok orang ini merasa yakin babwa yang bisa merubab nasib dan jalan
bidupnya bukan dirinya melainkan orang lain.
Di dalam sebuab organisasi, seorang karyawan dengan internal locus of
control yang tinggi jika kinerjanya baik, akan mengatakan babwa
keberbasilan tersebut lebib dikarenakan kemampuan dan usaba kerasnya.
Biasanya karyawan seperti ini memiliki motivasi tinggi untuk mengbasilkan
sesuatu dan tidak butub banyak araban dari atasan utamanya karena mereka
yakin babwa usaba kerasnya akan mempengarubi basil kerja, mengamankan
posisinya di dalam organisasi dan memungkinkan ia dipromosi ke level
organisasi yang lebib tinggi. Sebaliknya, bagi karyawan dengan external
locus of control, keberbasilan dalam pekerjaan dianggap semata-mata sebagai
sebuab kebetulan, sekadar nasib baik karena bantuan orang lain atau karena
pekerjaan tersebut sangat mudab dilaksanakan.
Untuk mengetabui apakab seseorang tergolong memiliki external locus
of control atau internal locus of control bisa menggunakan kuesioner berikut
• •
llli.
2.26 PERILAKU ORGANISASI e

Mengukur Locus of Control


(versi sederhana)

Petunjuk pengisian:
Lingkarilah pernyataan A atau B yang menurut Anda sesuai dengan keyakinan
Anda.
1. A. Orang yang dalam hidupnya tidak mendapatkan kebahagiaan
sesungguhnya lebih disebabkan karena nasib buruk mereka.
2. B. Orang yang tidak beruntung/tidak bahagia sesungguhnya lebih
disebabkan karena kesalahan diri sendiri.
3. A. Meski telah diupayakan dengan sekuat tenaga, sayangnya, banyak
orang yang tidak beruntung.
4. B. Dalam jangka panjang orang akan memperoleh respek yang memang
patut didapatkan.
5. A. Tanpa ada nasib baik, tidak mungkin seseorang bisa menjadi
pemimpin yang efektif.
6. B. Seorang yang mempunyai prasyarat, namun gagal menjadi pemimpin
berarti orang tersebut tidak bisa mengambil kesempatan.
7. A. Saya sering mendapat kenyataan bahwa apa yang akan terjadi maka
pasti terjadi.
8. B. Bagi saya, mengandalkan nasib baik tidak akan pernah mendatangkan
sebaik jika say a melakukan tindakan nyata.
9. A. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dalam batas-batas tertentu
kehidupannya ditentukan secara kebetulan.
10. B. Tidak beruntung merupakan akibat dari ketidakmampuan, kebodohan
dan kemalasan kita.
11. A. Dalam jangka panjang hal-hal buruk yang menimpa kita akan
diimbangi dengan hal baik.
12. B. Kebanyakan dari orang yang tidak beruntung lebih disebabkan karen a
tidak memiliki kemampuan, kebodohan, kemalasan atau ketiga sebab
tersebut.
13. A. Saya sering merasa bahwa saya sedikit pengaruhnya terhadap apa yang
terjadi pada diri saya.
14. B. Saya tidak percaya bahwa nasib baik memainkan peran penting dalam
hidup saya.

Petunjuk jawaban.
1. Setelah selesai menjawab semua pernyataan di atas, berilah nilai 0 untuk
jawaban A dan 1 untukjawaban B.
2. Jumlahkan nilainya.
3. Jika total nilai Anda antara 1- 3 maka Anda termasuk orang dengan external
locus of control jika nilainya = 4 Anda masuk dalam kategori di tengah
(seimbang antara external dan internal locus of control); dan jika nilainya
antara 5- 7 Anda termasuk orang dengan internal locus of control.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.27

b. Kepribadian type A dan type B


Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang kita menjumpai seseorang
yang terkesan sangat buru-buru, menganggap segala sesuatunya mendesak
untuk segera dilaksanakan, sangat tidak sabaran, mudah bergejolak dan
sangat kompetitif. Karakteristik ini merupakan pertanda bahwa orang
tersebut memiliki kepribadian "type A". Gambaran umum bahwa seseorang
memiliki kepribadian type A adalah sebagai berikut.
1) Selalu bergerak, berj alan, dan makan secara cepat.
2) Selalu merasa tidak sabar untuk segera menyelesaikan sesuatu.
3) Bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu bersamaan.
4) Tidak bisa berdiam diri meski saat istirahat sekalipun.
5) Selalu terobsesi dengan angka-menggunakan angka sebagai tolok ukur
dalam setiap tindakannya termasuk dalam melakukan pekerjaan, tingkat
keberhasilannya diukur dengan angka.

Menurut orang yang sangat santai, menganggap segala sesuatunya bisa


diselesaikan secara pelan-pelan dan bahkan kadang-kadang terkesan masa
bodoh dijuluki sebagai orang yang memiliki kepribadian "type B". Secara
umum, orang yang dengan kepribadian type B memiliki karakteristik sebagai
berikut.
1) Tidak pemah merasa dikejar waktu meski dalam kondisi yang mendesak
sekalipun.
2) Merasa tidak perlu mendiskusikan basil kerja, kecuali keadaan
menghendaki lain.
3) Bekerja sekadar untuk sebuah kegembiraan belaka tidak menganggap
penting untuk menunjukkan superioritasnya terhadap orang lain meski
dampaknya baik bagi dirinya.
4) Dapat bersantai tanpa meras a bersalah.

Dengan membandingkan kepribadian type A dan type B di atas,


pertanyaannya adalah apakah seseorang dengan kepribadian type A yang
terkesan sangat perhitungan dan kompetitif lebih berhasil dalam pekerjaan
dibanding dengan mereka yang memiliki kepribadian type B? Dalam banyak
hal seseorang dengan type B temyata lebih berhasil. Di antara penyebabnya
adalah mereka yang memiliki kepribadian type B ternyata lebih arif, tidak
tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaan dan lebih mempertimbangkan kualitas
2.28 PERILAKU ORGANISASI e

ketimbang kuantitas. Itulah sebabnya pimpinan puncak organisasi cenderung


memiliki kepribadian type B.

c. Machiavellianism
lstilah Machiavellianism diambil dari nama seorang pegawai pemerintah
yang hidup pada abad XVI di Florence Italia, Nicolo Machiavelli.
Machiavelli dikenal melalui dua buah bukunya The Discourses dan The
Prince. Secara umum, kedua buku tersebut menggambarkan kepribadian
seorang pemimpin yang sangat oportunis, mementingkan diri sendiri, dan
berupaya memperoleh dan memanfaatkan kekuasaan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuannya. Dari pandangan Machiavelli inilah dikenal istilah ends
justify means - tujuan menghalalkan cara. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan pemahaman tentang kepribadian, Machiavellianism diartikan sebagai
dimensi kepribadian yang menggambarkan tingkat pragmatisme seseorang.
Jika seseorang sangat pragmatis dengan prinsip "apa pun caranya bisa
dilakukan asal mendatangkan hasil" dan sangat impersonal maka pertanda
bahwa orang tersebut memiliki tingkat Machiavellianism yang tinggi.
Dari berbagai studi tentang kepribadian Machiavellianism menunjukkan
bahwa seseorang dengan tingkat Machiavellianism yang tinggi lebih banyak
melakukan manipulasi kekuasaan, melakukan persuasi terhadap orang lain
dan lebih banyak meneguk hasil. Namun, keberhasilan seorang
Machiavellian juga sangat bergantung pada variabel-variabel penunjang,
antara lain berikut ini.
1) Seorang Machiavellian akan berhasil jika interaksi dengan orang lain
dilakukan secara langsung.
2) Keberhasilan seorang Machiavellian akan semakin tinggi jika di dalam
sebuah organisasi terdapat sedikit aturan.
3) Seorang Machiavellian akan lebih keberhasilan jika dalam bertransaksi
menuntut keterlibatan emosi yang sangat minimal.

Untuk mengukur apakah seseorang tergolong menganut filosofi yang


dikembangkan oleh Machiavelli dapat digunakan kuesioner berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.29

Mengukur Tingkat Pragmatisme Seseorang

Petunjuk pengisian:
Di bawah ini terdapat 8 pemyataan tentang sifat manusia. Untuk masing-
masing pernyataan, berilah nilai 5 jika Anda sangat setuju, 4 jika setuju,
3 jika tidak memberi pendapat, 2 jika tidak setuju, dan 1 jika sangat tidak
setuju dengan pernyataan tersebut.
1. Cara terbaik untuk mengendalikan seseorang adalah dengan memberi
tahu yang bersangkutan tentang apa yang ia ingin den gar.
2. Jika Anda meminta seseorang untuk melakukan sesuatu untuk
kepentingan Anda, cara yang terbaik adalah memberikan alasan
sebenarnya mengapa Anda minta bantuan orang tersebut bukan
memberikan alasan yang dibuat-buat.
3. Siapa pun yang percaya sepenuhnya kepada orang lain berarti orang
tersebut sedang mencari masalah.
4. Sangat sulit untuk bisa maju jika kita tidak mau melanggar aturan.
5. Sangat baik beranggapan bahwa setiap orang mempunyai sifat jahat
dan sifat tersebut akan muncul ke permukaan jika diberi kesempatan
6. Berbohong kepada orang lain tidak pernah dianggap benar.
7. Setiap orang pada dasarnya baik.
8. Setiap orang hanya akan bekerja keras jika dipaksa untuk itu.

Skor:
1. Jumlahkan skor pada pemyataan No. 1, 3, 4, 5, dan 8.
2. Jumlahkan skor pada pernyataan 2, 6, dan 7 secara terbalik Uadi jika
skor masing-masing pernyataan semula adalah 5 maka nilainya sama
dengan 1, jika skor semula 4 = 2, jika nilai semula 2 = 4 dan jika nilai
semula 1 = 5).
3. Jumlahkan total skor dari kedelapan penyataan di atas. Semakin tinggi
skor Anda berarti Anda tergolong orang yang semakin memiliki
kepribadian Machiavelli.

d. Self esteem
Dalam kehidupan sehari-hari bisa dijumpai seseorang yang memiliki
tingkat kebanggaan diri yang tinggi atau sebaliknya seseorang yang tidak
memiliki kebanggaan diri bahkan kadang-kadang membenci dirinya. Rasa
bangga diri atau tidak bangga diri juga merupakan cermin kepribadian
seseorang. Dimensi kepribadian yang digambarkan oleh sejauh mana
seseorang menyukai atau tidak menyukai dirinya disebut self esteem
(kebanggaan diri). Seseorang dengan tingkat kebanggaan diri yang tinggi
2.30 PERILAKU ORGANISASI e

biasanya merasa bahwa dirinya adalah orang yang memiliki kapabilitas dan
orang berguna baik untuk dirinya maupun bagi orang lain. Sebaliknya,
seseorang dengan tingkat kebanggaan diri yang rendah merasa bahwa dirinya
tidak memiliki kapabilitas yang berarti dan dirinya adalah orang yang tidak
berguna.
Dalam sebuah organisasi, karyawan dengan tingkat kebanggaan diri
yang tinggi biasanya akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang menantang,
memilih pekerjaan yang sulit, menargetkan tingkat sasaran hasil yang tinggi,
dan ingin mencapai puncak karier. Dengan tingkat kebanggaan diri yang
tinggi, karyawan juga biasa lebih memiliki motivasi dan tingkat kepuasannya
tinggi. Dengan memperhatikan karakteristik seperti ini tidak bisa diartikan
bahwa seorang karyawan dengan tingkat kebanggaan diri yang rendah tidak
memiliki kapabilitas. Boleh jadi kapabilitas mereka sama, namun mereka
merasa bahwa dirinya tidak memiliki kapabilitas. Artinya, seorang karyawan
dengan tingkat kebanggaan diri yang rendah sesungguhnya bisa berhasil
dalam pekerjaan selama ada dorongan yang kuat dari orang lain atau
atasannya.

e. Self monitoring
Dimensi kepribadian yang pada akhir-akhir ini banyak mendapat
perhatian dari para behaviorist adalah self-monitoring. Dimensi kepribadian
ini mengungkap perilaku seseorang berdasarkan tingkat kemampuan orang
tersebut untuk menyesuaikan diri terhadap situasi lingkungan. Seseorang
dengan tingkat kemampuan menyesuaikan diri yang tinggi (high self-
monitoring) adalah orang yang mampu berperilaku berbeda pada situasi yang
berbeda. Artinya, perilaku orang tersebut sangat bergantung pada tuntutan
keadaan. Sebagai contoh, pada saat menonton sepak bola ia akan
meneriakkan yel-yel seperti dilakukan oleh penonton lain karena dalam
pertandingan sepak bola menuntut partisipasi penonton seperti itu.
Sebaliknya, pada saat menonton konser musik klasik ia bisa sangat sopan
selama orkestra berlangsung dan bertepuk tangan hanya pada saat sebuah
lagu usai.
Perilaku seperti tersebut di atas tidak ditemui pada orang yang memiliki
tingkat kemampuan penyesuaian diri yang rendah (low self-monitoring).
Perilaku orang-orang ini cenderung sama/konsisten pada situasi yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, pada situasi orang lain sedang menunjukkan
kegembiraannya, orang-orang ini boleh jadi tidak larut ke dalam kegembiraan
e EKMA41 58/MODUL 2 2.31

tersebut. Sebaliknya, pada saat orang lain sedang sedih, mereka berperilaku
biasa-biasa saja. Konsistensi ini disebabkan karena perilaku mereka
cenderung didasarkan pada sikap, keyakinan, perasaan, dan prinsip-prinsip
diri orang tersebut yang tidak begitu peduli dengan keinginan atau situasi
yang sedang dihadapi orang lain. ltulah sebabnya orang yang memiliki
tingkat kemampuan penyesuaian diri yang rendah akan berkata apa adanya
yang dianggap benar menurutnya tanpa mempedulikan reaksi orang lain.
Orang seperti ini tentunya cocok untuk organisasi yang anggota-anggota
terbuka, mau menerima saran dan kritik sekalipun saran atau kritik tersebut
terkadang menyakitkan. Sementara itu, orang-orang dengan high self
monitoring karena mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, cocok
untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat entertaintment, seperti layanan
publik (public relation) atau bagian penjualan.
Untuk mengukur apakah Anda termasuk orang yang memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, bisa digunakan
kuesioner berikut ini.

Kuesioner untuk mengukur tingkat kemampuan menyesuaikan diri

Petunjuk pengisian:
Untuk masing-masing pernyataan di bawah ini, tunjukkan apakah
pemyataan tersebut betul-betul menggambarkan diri Anda atau tidak. Jika
pemyataan tersebut betul-betul menggambarkan diri Anda beri jawaban B
(benar). Jika pernyataan tersebut tidak menggambarkan diri Anda beri
jawaban S (salah).
1. Saya kira saya telah menempatkan diri dalam suatu pertunjukan untuk
menarik perhatian atau untuk menyenangkan orang lain.
2. Dalam sebuah kerumunan orang saya sangat jarang menjadi pusat
perhatian.
3. Dalam situasi berbeda dan dengan orang berbeda saya selalu
bertindak layaknya sebagai orang lain.
4. Saya tidak akan mengubah cara berpikir saya atau cara saya
melakukan sesuatu hanya untuk menyenangkan orang lain.
5. Saya telah menyatakan diri sebagai seorang entertainer.
6. Saya menghadapi kesulitan merubah perilaku saya untuk
menyesuaikan diri dengan orang lain atau dengan situasi berbeda.
7. Dalam sebuah pesta biasanya saya membiarkan orang lain membuat
lelucon atau terus bercerita.
8. Saya merasa sering merasa kikuk ketika berada di hadapan publik dan
merasa tidak tenang.
2.32 PERILAKU ORGANISASI e

9. Saya bisa menatap mata orang lain dan berkata bohong langsung di
hadapan mukanya.
10. Meski saya tidak suka pada orang lain saya bisa berpura-pura seolah-
olah bersahabat.

Kunci jawaban:
1. Setelah menjawab semua pernyataan di atas, cocokan dengan kunci
jawaban berikut ini: 1.B, 2.S, 3.B, 4.S, 5.B, 6.S, 7.S, 8.S, 9.B, 10.B
2. Jika jawaban Anda yang cocok dengan kunci jawaban di atas lebih
dari 6 maka Anda tergolong orang yang mudah menyesuaikan diri.
Jika jawabannya kurang dari 4 maka Anda tergolong orang yang tidak
mudah menyesuaikan diri.

B. KEMAMPUAN DIRI

Di muka telah dijelaskan bahwa untuk memahami perilaku masing-


masing individu dapat dilakukan dengan membedakan atau sebaliknya
menyamakan kepribadian seseorang dengan orang lain. Di samping itu,
perilaku seseorang juga bisa dibedakan melalui kemampuan diri (ability)
masing-masing individu. Maksud dari kemampuan diri, sering juga disebut
sebagai aptittude atau skill (keterampilan) adalah kapabilitas seseorang untuk
9
mengerjakan berbagai macam pekerjaan . Pendapat lain menyatakan bahwa
ability berbeda dengan skill. Jika ability adalah kemampuan seseorang secara
umum, skill merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang secara khusus.
Sebagai contoh, ketika Anda hanya berdua naik sebuah mobil dan tiba-tiba Si
pengemudi kena serangan jantung sehingga mobil yang dikendarainya
menjadi oleng, mungkin Anda yang memang mempunyai kemampuan
bereaksi cepat akan berusaha membantu Si Pengemudi mengembalikan
kendaraan kepada jalurnya, namun hal itu hanya bisa dilakukan jika Anda
mempunyai keterampilan mengemudi kendaraan. Jika tidak, meski Anda
mempunyai kemampuan bereaksi cepat dan telah berusaha maksimal tetap
saja tidak ada maknanya karena Anda tidak memiliki keterampilan
mengemudi. Contoh ini memberi gambaran bahwa basil kerja seseorang akan
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kemampuan diri, us aha, dan keterampilan.
Pengertian ini memberi sinyal bahwa setiap orang sesungguhnya
memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, namun harus diakui pula

9
Robbins. Hal. 86.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.33

bahwa karena keterbatasan-keterbatasannya, tidak setiap orang bisa


mengerjakan semua pekerjaan. Kalau toh mereka bisa mengerjakan
semuanya, diperkirakan hasilnya tidak akan optimal. Kita bisa saja memiliki
rasa humor tetapi tidak seperti humornya Basuki. Demikian juga kita bisa
jenius tetapi tidak seperti Habibie. Semua itu tidak lain karena masing-
masing individu hanya memiliki kemampuan tertentu untuk setiap jenis
pekerjaan tertentu pula. Oleh karenanya kemampuan diri seseorang perlu
dipahami secara saksama di samping untuk memahami karakteristik orang
tersebut juga dalam rangka mengoptimalkan kinerja individual. Pemahaman
ini menjadi penting karena di dalam sebuah organisasi kinerja individual ini
akan berpengaruh terhadap kinerj a organisasi secara keseluruhan.
Secara umum, kemampuan diri seseorang bisa dibedakan menjadi dua,
yakni kemampuan mental (mental atau cognitive ability) dan kemampuan
fisik (physical ability). Seperti halnya kepribadian, kemampuan diri
seseorang juga bersumber dari dua hal yakni keturunan dan pengalaman
hidup seseorang.

1. Kemampuan Kognitif/Mental
Maksud dari kemampuan kognitif/mental adalah kemampuan intelektual
seseorang untuk berpikir, mengemukakan alasan dan mengambil keputusan.
Perbedaan individu yang disebabkan karena perbedaan kemampuan mental
atau sering disebut intelligence mulai mendapat perhatian sejak abad XIX.
Namun, baru pada tahun 1916, Louis Terman dari Stanford University
mengembangkan konsep tersebut dengan membuat alat ukur yang tujuannya
adalah untuk mengukur tingkat perkembangan mental/intelegensia seseorang.
Alat ukur ini kemudian dikenal sebagai /Q Test. Dalam perkembangannya
bidang studi psikologi mulai mendeteksi bahwa jenis kemampuan kognitif
yang dimiliki manusia sangat bervariasi. Oleh karenanya perlu
dikelompokkan dan disusun secara hierarki agar bisa digunakan untuk
membedakan kemampuan kognitif/mental seseorang dengan orang lain.
Gambar di bawah ini menunjukkan hierarki dan pengelompokan kemampuan
kognitif seseorang.
2.34 PERILAKU ORGANISASI e

Intelegensia

Kemampuan Kemampuan Kemampuan


Kamampuan memberikan melihat melihat Kemampuan
verbal alas an hubungan dimensi tata numerik
sebab akibat ruang

Kemampuan Kemampuan Kemampuan



deduktif untuk memperseps1
mengingat

Gambar 2.2.
Dimensi Kemampuan Mental

Seperti tampak pada gambar di atas, hierarki paling atas adalah


kemampuan intelegensi, diikuti oleh berbagai macam dimensi kemampuan
kognitif lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Kemampuan verbal
Kemampuan verbal adalah kemampuan untuk memahami dan
menggunakan bahasa tulis dan lisan. Contoh pekerjaan yang
memerlukan kemampuan jenis ini adalah penulis, guru/dosen, komedian
dan ahli hukum (pengacara).
b. Kemampuan memberi pertimbangan
Kemampuan memberi pertimbangan adalah kemampuan untuk
menyelesaikan berbagai macam persoalan dan memahami prinsip-
prinsip dasar bahwa persoalan berbeda membutuhkan solusi yang
berbeda pula. Desainer software komputer, desainer interior, mekanik
kendaraan bermotor, dan ahli terapi adalah beberapa contoh pekerjaan
yang membutuhkan kemampuan jenis ini.
c. Kemampuan melihat tata hubungan
Kemampuan melihat tata hubungan adalah kemampuan seseorang untuk
melihat saling hubungan antara sebuah benda dengan benda lain atau
antara suatu kejadian dengan kejadian lain. Dengan pengetahuan ini
seseorang dapat mengaplikasikannya untuk tata hubungan yang lain dan
sekaligus memberikan solusi pemecahannya. Seorang anthropolog, agen
perjalanan dan para konsultan biasanya memiliki kemampuanjenis ini.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.35

d. Kemampuan tata ruang


Kemampuan tata ruang adalah kemampuan untuk menentukan
tempatllokasi dan susunan sebuah objek dalam kaitannya dengan posisi
seseorang dalam sebuah ruangan. Di samping juga bisa membayangkan
bagaimana tampak dari objek tersebut manakala posisinya dalam sebuah
ruangan berubah. Pekerjaan yang membutuhkan kemampuan ini, di
antaranya arsitek, desainer baju, astronot, dan pengendali lalu lintas
udara.
e. Kemampuan numerik
Kemampuan numerik adalah kemampuan untuk memecahkan persoalan
aritmatik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan angka. Akuntan,
insinyur, banker adalah beberapa contoh pekerjaan yang berhubungan
kemampuan numerik.
f. Kemampuan deduktif
Kemampuan deduktif adalah kemampuan untuk membuat suatu
simpulan yang pas dari berbagai observasi yang telah dilakukannya atau
kemampuan untuk mengevaluasi berbagai implikasi dari berbagai fakta
yang berbeda. Contoh pekerjaan yang cocok untuk jenis kemampuan ini
adalah ilmuwan, detektif, peneliti medis, dan wartawan.
g. Kemampuan mengingat
Kemampuan mengingat adalah kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali pernyataan-pernyataan atau kalimat-kalimat mulai dari
komposisi yang paling sederhana sampai dengan komposisi yang sangat
kompleks. Pekerjaan yang cocok untuk kemampuan ini adalah orang
yang bekerja pada bagian penjualan, manajer peneliti dan penerjemah.
h. Kemampuan mempersepsi. Kemampuan mempersepsi adalah
kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan
di antara beberapa gambar visual. Fotografer, desainer lanskap, pilot
pesawat terbang dan kapten kapal adalah beberapa contoh pekerjaan
yang membutuhkan kemampuan mempersepsi.

Bagi seorang manajer, pemahaman tentang kemampuan mental seperti


tersebut di atas sangat berguna khususnya dalam kaitannya dengan
penempatan seorang karyawan pada satu pekerjaan tertentu. Penyebabnya
adalah tidak semua pekerjaan memerlukan tingkat intelektualitas yang tinggi.
Sebaliknya, beberapa pekerjaan justru menuntut tingkat kemampuan
intelektualitas yang tinggi. Sekadar untuk memberi gambaran, keterkaitan
2.36 PERILAKU ORGANISASI e

antara kemampuan intelektualitas seseorang dengan pekerj aan dapat dilihat


pada tabel berikut.

Tabel 2.2.
Kemampuan lntelektualitas, Penjelasan, dan Contoh Pekerjaan

ABILITY DESCRIPTION EXAMPLE OF JOB

Verbal Ability to understand and use written and Teacher, lawyer,


Ability spoken language writers

Numerical Ability to solve arithmetic problems and deal Waiters, investment


Ability with number bankers, engineers,
accountant

Reasoning Ability to come up with solution for problems Therapists, interior


Ability and understand the principles by which designers, car mechanics,
different problems can be solved comp. software designers

Deductive Ability to reach appropriate conclusions from Medical researchers,


Ability an array of observation detectives, scientists,

Ability to Ability to see how two things are related to Anthropologists, travel
see each other and apply this knowledge to other agents, consultants,
relationship relationship wedding planners

Ability to Ability to recall things ranging from simple Translators,


remember associations to complex groups of statements salespeople, managers,
or sentences researchers

Spatial Ability to determine the location of objects in Air traffic controllers,


Ability relation to one's own position and imagine architects, clothing
how an object would appear if its position in designers, astronauts
space were altered
Perceptual Ability to uncover visual patterns and see Prof. Photographers,
relationship within across patterns pilots, landscape
designers, captains

2. Emotional Intelligence
Jenis kedua dari tingkat intelegensia seseorang yang akhir-akhir ini
banyak mendapat perhatian adalah "emotional intelligence" sering disingkat
EI atau EQ. Maksud dari emotional intelligence di sini adalah a cluster of
e EKMA41 58/MODUL 2 2.37

abilities relating to the emotional or "feeling" side of life. Jika diterjemahkan


artinya kira-kira, seperti "seperangkat kemampuan diri yang berkaitan
dengan sisi kehidupan manusia yang menyentuh emosi atau perasaan".
Komponen-komponen kemampuan diri yang termasuk ke dalam EQ adalah
sebagai berikut.
a. Kemampuan untuk mengakui dan mengatur emosi diri sendiri
Manusia dengan tingkat EQ yang tinggi mampu mengakui, misalnya
bahwa dirinya termasuk orang yang mudah marah, namun ia juga
mampu mengendalikan temperamen tersebut.
b. Kemampuan untuk mengakui dan mempengaruhi emosi orang lain
Seseorang dengan tingkat EQ yang tinggi mampu untuk mengukur
ketertarikan orang lain, misalnya apa yang mereka ingin bicarakan dan
mempunyai kapasitas untuk membuat orang lain antusias terhadap ide-
idenya.
c. Motivasi diri
Seseorang dengan tingkat EQ yang tinggi mampu memotivasi diri untuk
bekerja dalam waktu lama tanpa kenai lelah untuk berbagai macam
pekerjaan dan bisa menjaga agar dirinya tidak mudah menyerah.
d. Mampu membangun dan menjaga hubungan jangka panjang dengan
orang lain
Seseorang dengan tingkat EQ yang tinggi mampu menjaga berbagai
bentuk hubungan jangka panjang meski terjadi berbagai macam
perubahan hidup. lndikatomya adalah ia memiliki kepandaian untuk
mengkoordinasi berbagai macam upaya dengan orang lain, mampu
menyelesaikan persoalan hubungan interpersonal yang kompleks
sekalipun dan sangat pintar untuk membuat orang lain menyukainya dan

mempercaya1nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, pertanyaan pentingnya adalah apakah


EQ bermakna bagi kehidupan organisasi? Jawabannya adalah "ya". Bukti-
bukti penelitian empiris menunjukkan bahwa orang yang mampu "membaca"
orang lain secara akurat terbukti ia menjadi enterprenur yang sukses.
Demikian juga ilmuwan yang lebih disukai oleh ilmuwan lain, dibanding
dengan ilmuwan yang tidak disukai ilmuwan lainnya biasanya lebih
produktif. B ukti -bukti ini sekali lagi menunjukkan bahwa emotional
intelligence, meski konsepnya relatif baru, sangat bermakna bagi kehidupan
organisasi. Oleh karena itu, tidak sedikit organisasi perusahaan yang
2.38 PERILAKU ORGANISASI e

mewajibkan karyawannya untuk mengikuti pelatihan EQ. Tujuannya tidak


lain agar kinerj a organisasi lebih meningkat.

3. Kemampuan Fisik
Perbedaan kemampuan seseorang tidak saja dilihat dari sisi kemampuan
kognitif, tetapi juga dari kemampuan fisiknya. Kemampuan fisik seseorang
dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan motorik dan kemampuan fisik.
Kemampuan motorik adalah kemampuan fisik seseorang untuk memanipulasi
objek yang berada dalam sebuah lingkungan. Sementara kemampuan fisik
adalah kebugaran dan kekuatan seseorang secara fisik. Penelitian yang
berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang telah dilakukan oleh
Fleishman. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan motorik dapat
dibedakan menjadi 11 macam sementara kemampuan fisik dibedakan
menjadi 9 macam. Kesembilan kemampuan fisik tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Kemampuan dinamik, yaitu kemampuan untuk menggunakan otot secara
berulang.
b. Kekuatan otot, yaitu kemampuan untuk menggunakan otot perut.
c. Kekuatan statis, yaitu kemampuan untuk menggunakan otot untuk
melawan kekuatan dari luar.
d. Kekuatan eksplosif, yaitu kemampuan untuk menggunakan energi secara
maksimal dalam melakukan tindakan eksplosif.
e. Tingkat kelenturan tubuh, yaitu kemampuan untuk menggerakkan atau
melenturkan otot tulang belakang.
f. Kelenturan dinamis, yaitu kemampuan untuk menggerahkan tubuh
secara dinamis.
g. Keseimbangan tubuh, yaitu kemampuan untuk menggerahkan bagian-
bagian tubuh secara dinamis dan berkoordinasi.
h. Keseimbangan, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan
badan.
i. Stamina, yaitu kemampuan untuk mempertahankan kekuatan dalam
waktu yang cukup lama.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.39

LATIHAN
-- ---.......;

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang hukum perbedaan individu?
2) Apa pendapat saudara ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa
kepribadian tidak bisa diubah?
3) Jelaskan perbedaan antara IQ dan EQ!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Pada dasarnya Hukum perbedaan individu beranggapan bahwa setiap


orang itu berbeda. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan latar
belakang, pengalaman, persepsi, dan ekspektasi masing-masing individu.
Perbedaan-perbedaan tersebut juga diwarnai oleh perbedaan ras, etnik,
dan jenis kelamin (gender). Implikasi organisasional akibat adanya
hukum perbedaan individu adalah manusia seolah-olah merupakan faktor
produksi yang heterogen meski di antara mereka memiliki kedudukan
yang sama dalam sebuah organisasi. Akibat lanjutannya adalah para
manajer tidak bisa memperlakukan dan mengendalikan perilaku
karyawan dengan cara yang sama karena masing-masing individu
memiliki keunikan tersendiri.
2) Jika kita melihat faktor pembentuk kepribadian yakni faktor keturunan
maka bisa dikatakan bahwa kepribadian seseorang tidak berubah. Sekali
seseorang berkepribadian Machivellianism, misalnya maka selama itu
pula dia akan berkepribadian Machivellianism. Hanya saja pembentuk
kepribadian seseorang bukan hanya faktor keturunan, tetapi juga faktor
lingkungan dan situasi. Oleh karena itu, kepribadian seseorang
sesungguhnya bisa berubah. Namun, harus disadari bahwa perubahan
tersebut tidak terjadi dalam waktu pendek. Sebaliknya, perubahannya
terjadi secara gradual dalam waktu lama dan bahkan kadang-kadang
tidak teramati. Penjelasan ini mengandung pengertian bahwa seorang
manajer sesungguhnya bisa merubah kepribadian seorang karyawan jika
memang menghendakinya dan perangkat-perangkat untuk merubah
kepribadian cukup tersedia dalam disiplin ilmu psikologi.
2.4Q PERILAKU ORGANISASI e

3. Intelectual Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ) memiliki


kesamaan, yaitu sebagai alat ukur intelegensia seseorang. Namun,
keduanya berbeda dalam hal IQ mengukur intelegensia seseorang dari
aspek kognitif atau mental, yaitu mengukur kemampuan intelektual
seseorang untuk berpikir, mengemukakan alasan dan mengambil
keputusan. Sementara itu, EQ adalah seperangkat kemampuan diri yang
berkaitan dengan sisi kehidupan manusia yang menyentuh emosi atau
perasaan. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengakui dan
mengatur emosi diri sendiri, kemampuan untuk mengakui dan
mempengaruhi emosi orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan kemampuan untuk menjaga hubungan dengan orang lain
dalam jangka panjang. Pada mulanya kemampuan intelegensia seseorang
diukur hanya dengan IQ, tetapi akhir-akhir ini pengukuran lebih
menggunakan EQ karena dianggap lebih representative.

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 1 menjelaskan dua pokok bahasan yang bersumber


pada hukum perbedaan individu. Kedua pokok bahasan tersebut adalah
kepribadian dan kemampuan diri seseorang. Secara umum, Kegiatan
Belajar 1 ada beberapa hal pokok sebagai berikut.
1. Paling tidak ada tiga teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan
kepribadian seseorang, yaitu conflict theory, fulfillment theory, dan
consistency theory.
2. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu keturunan,
lingkungan, dan situasi.
3. Untuk mengetahui kepribadian seseorang maka perlu dipahami
dimensi -dimensinya, di antaranya the big five model personality
yang terdiri dari openness to experience, conscientiousness,
extraversion, agreebleness, dan neuroticism.
4. Selain kelima dimensi di atas, dimensi-dimensi lainnya adalah
Locus of control, Kepribadian Tipe A dan Tipe B,
Machiavellianism, Self-monitoring, dan Self-esteem.
5. Perbedaan individu, selain disebabkan karena perbedaan
kepribadian juga disebabkan karena perbedaan kemampuan diri
(ability).
6. Kemampuan diri, selanjutnya dibedakan menjadi dua kemampuan
kognitif atau mental dan kemampuan emosional atau emotional
intelligence.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.41

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Dimensi kepribadian yang bisa dikelompokkan ke dalam the big five


personality adalah ....
A. locus of control
B. extraversion
C. self-esteem
D. machiavellianism

2) Mana di antara pemyataan berikut ini yang dianggap paling benar ....
A. kepribadian seseorang bisa diubah dengan mudah
B. hanya orang tua langsung yang bisa merubah kepribadian seseorang
C. kepribadian bisa diubah namun perubahannya memerlukan waktu
yang lama
D. kepribadian seseorang sama sekali tidak dapat diubah

3) Salah satu tipikal seseorang yang mempunyai kepribadian Tipe A


adalah ....
A. mampu melakukan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu bersamaan
B. merasa tidak perlu mendiskusikan hasil kerja, kecuali keadaan
menghendaki lain
C. tidak pernah merasa dikejar waktu meski dalam kondisi yang
mendesak sekalipun
D. dapat bersantai tanpa merasa bersalah

4) Jika Anda mempunyai kemampuan mengingat dengan baik, sebaiknya


Anda memilih pekerj aan sebagai ....
A. arsitek
B. tenaga penjualan
C. agen perjalanan
D. pilot

5) Berikut adalah komponen emotional intelegence, kecuali kemampuan ....


A. verbal
B. menghubungkan satu hal dengan hal lain
C. memotivasi diri
D. mengingat orang lain yang sudah lama tidak bertemu
2.42 PERILAKU ORGANISASI e

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.43

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Nilai-nilai lndividu dan Sikap Kerja

etelah menikmati libur akhir pekan - entah sehari atau dua hari
bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan atau libur panjang
(long weekend) karena bertepatan dengan libur nasional, para pegawai
mestinya memiliki kesegaran baru, semangat baru, dan gairah kerja baru
manakala mereka memulai hari kerjanya di hari Senin. Namun, sering terjadi
hal sebaliknya, tidak semua pegawai merasa senang ketika hari Senin datang
sehingga banyak di antara mereka justru semangat kerjanya mengendur
paling tidak di setengah hari pertama. Bahkan karena adanya perasaan tidak
senang terhadap hari Senin, tidak jarang sebelum berangkat kerja terkadang
mereka mengandai-andai seolah-olah sedang berbaring di rumah sakit sambil
membayangkan betapa enaknya kalau hari ini (Senin) tidak lagi bekerja
seperti hari kemarin. Itulah sindrom yang biasa menghinggapi para pekerj a.
Sindrom seperti ini biasa disebut sebagai "I don't like Monday" syndrome.
Ilustrasi di atas menggambarkan terjadinya penurunan semangat kerja
yang disebabkan karena sikap seseorang yang cenderung negatif terhadap
hari Senin. Seandainya kita bersikap wajar, sesungguhnya Senin tidak ada
bedanya dengan hari-hari lainnya. Namun, kita memulai hari Senin dengan
rasa malas karena sebelumnya ada perasaan nyaman tidak bekerja disertai
dengan bayangan pekerjaan yang menumpuk maka hari Senin menjadi hari
yang menakutkan dan kalau bisa tidak perlu mendekatinya. Perasaan dan
sikap semacam ini tidak hanya terj adi pada seseorang terhadap hari Senin
tetapi juga terhadap objek-objek yang lain. Misalnya, terhadap ternan, orang
tua, guru, dosen atau objek-objek lain di sekitar kita. Jika kita sejak semula
sudah tidak suka terhadap dosen tertentu, misalnya maka setiap kali ketemu
dosen tersebut semangat belajar menjadi menurun dan ujung-ujungnya
prestasi belajar kita menjadi jelek.
Sederhananya, ketika gairah kerja menurun bisa jadi kinerja individual
seorang pegawai juga mengalami hal yang sama. Untungnya penurunan
gairah kerja yang diikuti oleh penurunan kinerja individu tersebut biasanya
hanya bersifat temporer, tidak terjadi dalam kurun waktu lama sehingga tidak
mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan. Meski demikian, para
manajer perlu waspada terhadap meningkatnya penurunan gairah kerja
karena hal ini bisa jadi merupakan awal dari persoalan organisasi selanjutnya
2.44 PERILAKU ORGANISASI e

yang lebih bersifat jangka panjang, yakni menurunnya kepuasan kerja,


keterlibatan dalam pekerjaan dan ujung-ujungnya menurunnya kinerja
organisasi. Oleh karena itu, sebelum menjadi persoalan lebih jauh, para
manajer diharapkan memahami lebih baik pemicu menurunnya gairah kerja.
Sejauh ini diyakini ada dua penyebab utama menurunnya gairah kerja, yakni
nilai-nilai personal seseorang dan sikap karya wan terhadap lingkungan kerj a.
Termasuk di dalamnya terhadap pekerjaan, organisasi tempat kerja, dan
ternan kerj a.
Hubungan dan saling interaksi antara nilai-nilai personal, sikap
karyawan, dan gairah kerja dilukiskan pada Gambar 2.3 berikut ini.

Sikap Nilai-
nilai
kerja -·-·-·-·-·• individu


Gairah
kerja

Kepuasan Keterlibatan Kinerja


kerja kerja

Gambar 2.3.
Hubungan antara Nilai Personal, Sikap, dan Semangat Kerja

Berbeda dengan gairah kerja yang bersifat temporer, nilai-nilai personal


merupakan properti seseorang yang cenderung bersifat permanen tidak
mengalami perubahan dalam waktu pendek. Meski tidak sepermanen nilai-
nilai personal, sikap karyawan terhadap sebuah objek (sebuah pekerjaan,
misalnya) lebih stabil dibandingkan dengan gairah kerja yang bersifat
temporer. Artinya, apabila seseorang sej ak semula sudah bersikap negatif
terhadap suatu pekerj aan, hampir pasti kinerj anya tidak optimal. Pengaruhnya
e EKMA41 58/MODUL 2 2.45

terhadap kepuasan kerja, kurang lebih juga sama. Gairah kerja, sikap
karyawan terhadap pekerjaan dan nilai-nilai personal dengan demikian saling
berkaitan atau lebih tepatnya, nilai-nilai personal akan berpengaruh terhadap
sikap kerja dan selanjutnya sikap kerja akan berpengaruh pula terhadap dan
gairah kerja seseorang. Sebaliknya, pengaruh gairah kerja terhadap sikap
kerj a dan nilai-nilai personal relatif san gat kecil.
Kegiatan belajar ini akan menguraikan tiga subpokok bahasan yang
terkait satu sama lain, yakni nilai-nilai personal/individual, sikap karyawan
dan gairah atau semangat kerja. Dengan selesainya kegiatan belajar ini, Anda
diharapkan dapat memahami konsep nilai-nilai individu, sikap kerj a, dan
semangat kerja, dan pengaruhnya terhadap kinerja dan kepuasan kerja
karyawan.

A. NILAI-NILAI INDIVIDU

Dalam tatanan bahasa Indonesia, kata nilai (value) merupakan kata sifat
yang selalu terkait dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu yang
menyertai kata tersebut. Nilai mata uang misalnya dikaitkan dengan harga
sebuah mata uang. Jika dikatakan bahwa nilai rupiah turun bisa diartikan
bahwa daya beli rupiah kurang berharga dibandingkan dengan nilai rupiah
periode sebelumnya atau dengan mata uang yang lain. Nilai ekonomis barang
ini sudah habis bisa diartikan bahwa barang tersebut secara ekonomis sudah
tidak ada manfaatnya walaupun secara teknis masih bisa berfungsi dengan
baik. Jika dikatakan bahwa nilai tari barong sudah bergeser dari nilai budaya
ke nilai ekonomis mengandung pengertian bahwa tari barong secara kultural
maknanya sudah hilang tergantikan oleh manfaat ekonomi belaka utamanya
ketika tari barong menjadi komoditi turis ketimbang sebagai upacara sakral.
Walhasil, nilai adalah sebuah konsep yang abstrak yang hanya bisa
dipahami jika dikaitkan dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu.
Pengaitan nilai dengan hal-hal tertentu itulah yang menjadikan benda, barang
atau hal-hal tertentu dianggap memiliki makna atau manfaat. Benda
purbakala dianggap bernilai karena berguna bagi generasi penerus untuk
mengetahui sejarah masa lampau kita. Video tape recorder, meski secara
teknis kondisinya masih baik, dianggap manfaatnya sudah hilang karena
sudah susah mengoperasikannya mengingat kaset yang seharusnya menjadi
komplemen video tape tersebut tidak bisa lagi diperoleh di pasaran,
semuanya tergantikan oleh VCD. Dengan demikian, yang dimaksudkan
2.46 PERILAKU ORGANISASI e

dengan nilai adalah prinsip, tujuan atau standar sosial yang dipertahankan
oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) karena secara intrinsik
10
mengandung makna .
Definisi di atas yang terkesan generik bukanlah satu-satunya definisi
nilai karena setiap disiplin ilmu yang berkepentingan terhadap konsep nilai
11 12
memberikan definisi yang berbeda . Sebagai contoh, Milton Rokeach
mengatakan bahwa nilai (values) adalah keyakinan abadi (enduring belief)
yang dipilih oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar untuk
melakukan suatu kegiatan tertentu (mode of conduct) atau sebagai tujuan
akhir tindakannya (end state of existence). Dari pengertian ini Rokeach
kemudian membedakan nilai menjadi dua, yaitu Terminal values dan
instrumental values (komponen kedua nilai ini dapat dilihat pada Tabel 2.3).
13
Sementara itu, Robin Williams Jr. menjelaskan bahwa values bukan hanya
berfungsi sebagai kriteria atau standar untuk melakukan tindakan, tetapi juga
berfungsi sebagai kriteria atau standar untuk melakukan penilaian,
menentukan pilihan, bersikap, berargumentasi maupun menilai performance.
Kedua definisi ini menegaskan bahwa pilihan seseorang atau sekelompok
orang atas beberapa pilihan lainnya yang didasarkan pada suatu kriteria
tertentu akan menj adikan pilihan tersebut sebagai keyakinan abadi.
Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa nilai
cenderung bersifat permanen. Artinya, sekali seseorang telah menentukan
pilihan terhadap satu nilai tertentu - sesuatu yang dianggap benar maka orang
tersebut sulit mengubah pendiriannya. Kalaulah pendirian tersebut berubah
maka perubahannya tidak terjadi dalam waktu pendek melainkan terjadi
secara incremental. Hal ini sej alan dengan pendapat Hofstede yang
mengatakan bahwa setiap individu telah memiliki mental program yang
disebut individual mental programming.

10
Mary Jo Hatch. (1997). Organization theory. Oxford university press. Hal. 214.
11
Cathy Ain. (1986). Power and Shared Values in the Corporate Culture. Ann Arbor:
Michigan. UMI Research Press. Hal. 26.
12
Milton Rokeach. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free Press.
Hal. 5.
13
Robin William Jr. (1979). Change and Stability in Values and Value Systems: A
Sociological Perspective. in M. Rokeach (ed.) Understanding Human Values. The
Free Press. Hal. 15-46.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.47

Tabel 2.3.
Terminal dan Instrumental Value

Terminal Value Instrumental Value


(Nilai Tujuan) (Nilai Alat)
A comfortable life- hid up van nvaman Ambitious - ambisi
An excitin~ life- hid up 1an ber airah Broadminded- berpikiran terbuka
A sense of accomplishment - berprestasi Capable - kemampuan
A world of peace- dunia 'Jan~ damai Cheerful- rian~ embira
A world of beautv- keindahan dunia Clean- bersih
E~ ualitv- kesetaraan Coura yeous- berani
Familv securitv- keamanan keluan a Forgivinc y - memaafkan
Freedom - kebebasan Helpful- membantu
Happiness- kebahagiaan Honest- jujur
Inner harmon v- keselarasan hid up lma wination- ima inasi
Mature love- cinta 1an matan~ Independent- independen
National securit v- keamanan nasional lntlectual- cerdik
Pleasure - fO'Ja-fova Lof ical- lo~ is
Salvation - keselamatan Lovin y - cinta kasih
Self resoect- har a diri Obedient- patuh
Self recognition - keakuan Polite- so Jan

True friendship- ternan se'ati Responsible - tan un awab
Wisdom - kearifan Self-control- mengendalikan diri

Kriteria untuk menentukan nilai biasanya didasarkan pada pertimbangan


moralitas, yakni hal-hal yang seharusnya (ought to) atau sesuatu yang baik
(good). Nilai (value) dengan demikian merupakan sesuatu yang seharusnya
(bersifat ideal) yang biasa disebut espouse values dan bukan merupakan
14
sesuatu yang sesungguhnya (value in use) . Dalam batas-batas tertentu,
norma perilaku juga sering dianggap sama dengan values dan menjadi
pedoman untuk berperilaku. Konsep nilai seperti dikemukakan Rokeach dan
William Jr sering disebut sebagai personal atau individual values. Contoh
nilai berkaitan dengan personal/individual values, di antaranya disiplin diri
(self-discipline), pengendalian diri (self-control), kesalehan dan kebaikan hati
seseorang. Jika nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan pekerjaan, misalnya
seperti dikemukakan Hofstede maka akan diperoleh konsep nilai yang lain
yakni nilai-nilai kerja (work related values). Contoh nilai-nilai kerja,
misalnyajob involvement dan komitmen.

14
Cathy Enz. (1986). Op cit. Hal. 27.
2.48 PERILAKU ORGANISASI e

Bukan hanya setiap disiplin ilmu memahami konsep nilai dengan cara
berbeda, dalam bidang studi organisasi, termasuk studi perilaku organisasi,
istilah nilai juga dipahami secara bervariasi. Ada yang menganggap bahwa
konsep nilai lebih dekat dengan konsep filosofi atau ideologi dan ada juga
yang mengatakan bahwa konsep nilai lebih dekat dengan sikap (attitude)
15
seseorang . Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, bidang studi
organisasi pada awalnya hanya mengaitkan konsep nilai dengan pelaku
organisasi (aktornya) yang disebut nilai-nilai personal atau individual
(personal values atau individual values) dan dengan pekerjaan disebut nilai-
nilai kerja (work values atau work related values). Mengaitkan nilai dengan
organisasi secara keseluruhan baru muncul belakangan bersamaan dengan
semakin populernya konsep budaya organisasi khususnya setelah buku-buku
populer, seperti "In search of excellence" dan "The art of J apanaese
management" menyimpulkan pentingnya para karyawan dan siapa saja yang
terlibat di dalam perusahaan memahami nilai-nilai organisasi. Sejak saat itu
semakin banyak perusahaan yang merasa perlu membangun tata nilai
perusahaan dengan satu tujuan untuk memperbaiki kinerja. Dari situlah
konsep nilai-nilai organisasi (organizational values) mulai mendapat
perhatian serius para praktisi dan teoretisi organisasi. Belakangan bidang
studi organisasi juga mengadopsi konsep nilai yang jauh sebelumnya sudah
menjadi kajian yang intensif pada disiplin ilmu lain, seperti sosiologi dan
antropologi. Pada kedua disiplin ini dikenal istilah nilai yang disebut nilai-
16
nilai masyarakat (societal values) •
Oleh karena bidang studi perilaku organisasi banyak berinteraksi dengan
disiplin ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, serta
mengadopsi beberapa konsep darinya termasuk konsep nilai maka sangat
tidak mengherankan jika di dalam lingkup kehidupan sebuah organisasi bisa
dijumpai berbagai macam kategori nilai nilai-nilai masyarakat - societal
values (diadopsi dari disiplin antropologi dan sosiologi), nilai-nilai organisasi
(dikembangkan di dalam disiplin studi organisasi), serta nilai-nilai individual
dan nilai-nilai pekerjaan (keduanya diadopsi dari disiplin psikologi). Meski
demikian esensi dari setiap konsep nilai sesungguhnya sama, yakni nilai
adalah (1) sebuah konsep atau keyakinan; (2) tentang tujuan akhir atau

15
George England. (1967). Personal Value Systems of American Managers.
Academy of Management Jurnal. Hal. 53-68.
16
William Evan. (1993). Oganization Theory: Research and Design. Macmillan
publishing company. Hal. 297.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.49

sebuah perilaku yang patut dicapai; (3) yang bersifat transendental untuk
situasi tertentu; (4) menjadi pedoman untuk memilih atau mengevaluasi
perilaku atau sebuah kej adian; dan (5) tersusun sesuai dengan arti
pentingnyan. Jika komponen nilai di atas disederhanakan maka nilai terdiri
dari dua komponen utama (1) setiap definisi memfokuskan perhatiannya pada
dua jenis nilai, yaitu means (alat atau tindakan) dan ends (tujuan); dan
(2) nilai dipandang sebagai preferensi (preference) atau prioritas (priority)
bagi seseorang.

1. Peran Nilai
Dalam bidang studi perilaku organisasi memahami nilai-nilai personal
karyawan bukan merupakan pilihan melainkan menjadi keharusan bagi para
manajer karena nilai-nilai personal merupakan landasan untuk memahami
sikap dan perilaku karyawan. Ketika seseorang bergabung dengan sebuah
organisasi, ia juga membawa serta nilai-nilai personalnya. Artinya, seseorang
telah memiliki kriteria mana yang seharusnya dan mana yang tidak
seharusnya; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan
mana yang dianggap salah. Dengan kata lain, setiap orang yang bergabung
dengan sebuah organisasi pasti tidak pernah bebas nilai (value free) sehingga
dalam menjalankan pekerjaannya seseorang lebih memilih perilaku atau
outcome tertentu yang sesuai dengan tata nilainya dibandingkan dengan
perilaku atau outcome lainnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa dalam batas-
batas tertentu nilai personal seseorang sering kali membatasi seseorang untuk
bertindak objektif atau rasional. Sebagai contoh, apabila sejak semula
seseorang memandang bahwa pemberian reward berdasarkan kinerja
merupakan hal yang benar namun dalam kenyataan perusahaan memberi
reward berdasarkan senioritas maka hampir pasti orang tersebut akan merasa
kecewa yang sangat dalam.
Menghadapi kenyataan ini, barangkali ia akan mengatakan "percuma
saja kerja keras .... toh yang menerima gaji besar mereka-mereka yang senior
meski tidak berbuat apa-apa". Komentar ini merupakan reaksi seseorang
karena ketidakcocokan nilai personal mereka dengan realitas yang
dihadapinya. Tentunya reaksi seperti ini jika berkepanjangan, akan

17
Shalom H. Schwartz and Wolfgang Bilsky. (1987). Toward a Universal
Psychological Structure of Human Values, Journal of Personality and Social
Psychology. 53, 3. hal. 550-562.
2.50 PERILAKU ORGANISASI e

mempengaruhi sikap kerja dan selanjutnya terhadap kepuasan kerja dan


kinerja karyawan.

2. Somber dari Sistem Nilai


18
Hasil survei yang dilakukan penulis pada tahun 1997 menunjukkan
bahwa nilai-nilai keamanan keluarga (family security), kebahagiaan
(happiness) dan kehidupan yang harmonis (inner harmony) merupakan nilai-
nilai penting yang menjadi tujuan hidup kalangan dosen PTS di lingkungan
perguruan tinggi Islam dan Katolik di Indonesia. Pilihan nilai-nilai tersebut
tampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat Indonesia yang
memang cenderung menjunjung tinggi ketiga nilai -nilai di atas. Ketika kita
masih kecil, masih anak-anak, orang tua biasanya mengajari kita untuk selalu
rukun dengan saudara, menyambung tali silaturahmi dengan saudara atau
kerabat yang tinggal berj auhan. Perselisihan antarsaudara dianggap sesuatu
yang ditabukan. Demikian juga orang tua selalu menginginkan agar anaknya
hidup lebih bahagia dari dirinya. Ketika seseorang yang sudah lanjut usia
ditanya mengapa Bapak masih bekerja begitu keras, jawabannya sederhana
(demi anak). Jawaban yang ambigu ini bisa diinterpretasikan bahwa betapa
orang tua kita menginginkan anaknya hidup bahagia dan sekaligus
menunjukkan kecenderungan orang tua yang menginginkan keluarganya
aman. Ajaran-ajaran yang kita peroleh semasa masih anak-anak itulah yang
barangkali pada saat kita dewasa menjadi sebuah personal value yang
dijunjung tinggi dan bahkan dipertahankan meski lingkungan telah
mengalami banyak perubahan.
Harus diakui bahwa secara tradisional peranan orang tua dalam
membangun nilai personal sangat dominan. Meski demikian bukan berarti
nilai-nilai personal seseorang hanya datang dari keluarga - dalam hal ini
orang tua. Dewasa ini dalam lingkungan masyarakat yang serba terbuka di
mana interaksi antara anak dengan orang tua semakin rendah, seorang
cenderung mengadopsi nilai bukan dari orang tuanya melainkan dari
lingkungan di luar keluarga. Dalam hal ini, lingkungan sekolah (guru)
memiliki peranan penting karena jam belaj ar anak j auh lebih panj ang dari era
sebelumnya. Di samping itu, ternan bergaul dan sumber-sumber lain yang

18
Achmad Sobirin. (1997). Organizational Culture of Islamic and Catholics
Universitity in Indonesia; A Comparatrive Study. Disertasi Tidak Dipublikasikan,
University of Santo Tomas, Manila Philippines.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.51

dekat dengan kita juga rnernberi kontribusi terhadap pernbentukan nilai-nilai


personal. Bahkan dewasa ini ketika hubungan orang tua dengan anak
sernakin renggang nilai-nilai personal seseorang lebih dipengaruhi oleh faktor
lain di luar orang tua. Acara TV dan internet misalnya sekarang ini rnenjadi
pernbentuk nilai-nilai personal seseorang.

3. Tipe Nilai
Jika Rokeach rnernbedakan nilai rnenjadi dua - terminal dan
instrumental value, Allport dan ternan-ternan rnernbuat kategorisasi nilai
dengan cara berbeda, yaitu sebagai berikut.
a. Nilai teoretik. Nilai-nilai teoretik rnernberi ternpat yang sangat tinggi
terhadap upaya rnencari kebenaran (discovery of truth) rnelalui
pendekatan kritis dan rasional.
b. Nilai ekonomik. Menekankan pentingnya nilai guna dan kepraktisan.
c. Nilai estetika. Mernberi penghargaan yang tinggi terhadap bentuk dan
harrnoni.
d. Nilai sosial. Mernberi perhatian yang tinggi terhadap kepentingan
rnasyarakat.
e. Nilai politik. Mernperoleh kekuasaan (power) dan rnarnpu
rnernpengaruhi banyak orang rnerupakan indikator dari nilai politik.
f. Nilai religi. Menjunjung tinggi aturan-aturan agarna.

4. Konflik Nilai
Organisasi adalah ternpat berternunya berbagai rnacarn konsep nilai-nilai
rnasyarakat (societal values), nilai institusi (institutional values), nilai
organisasi (organizational values), nilai kerja (work values), nilai profesi
(professional values), dan nilai personal (personal values). Akibat langsung
dari berternunya konsep nilai tersebut adalah kernungkinan terjadinya
perbedaan antara satu konsep nilai dengan konsep nilai yang lain. Oleh
karena itu konflik nilai sering tidak bisa dihindarkan. Tiga di antaranya akan
rnendapat perhatian pada kegiatan belajar ini, yaitu intrapersonal conflict,
interpersonal conflict, dan konflik antara nilai individu dengan nilai
organisasi. Ketiga jenis konflik nilai ini rnasing-rnasing bersurnber pada diri
orang tersebut, hubungan antarrnanusia dan hubungan antara person dengan
• •
organ1sas1.
2.52 PERILAKU ORGANISASI e

a. Intrapersonal value conflict


Interpersonal value conflict pada dasarnya merupakan konflik nilai yang
terjadi pada diri seseorang. Konflik ini dalam batas-batas tertentu hampir
sama dengan role conflict (konflik peran). Bedanya adalah jika konflik peran
melibatkan pihak ekstemal yang mengharapkan seseorang di dalam
kehidupan organisasi memainkan suatu peran tertentu yang tidak sama
dengan peran yang dimainkannya, intrapersonal conflict hanya melibatkan
diri sendiri khususnya mengenai skala prioritas yang hendak dicapai. Sebagai
contoh, kadang-kadang tidak terhindarkan nilai-nilai alat (instrumental value)
dan nilai tujuan (terminal value) saling tarik-menarik menuju arah ber-
lawanan. Ketika seseorang menjunjung tinggi nilai-nilai harmoni sebagai
tujuan hidup, namun di saat yang sama pekerjaan kantor menuntut dirinya
harus bekerja keras dan bahkan harus memiliki ambisi tinggi untuk meraih
posisi tertentu maka hampir pasti konflik diri tidak bisa dihindarkan. Kadang-
kadang salah satu di antara kedua nilai tersebut harus dikorbankan. Seseorang
mungkin secara sederhana mengatakan (pada dasamya saya termasuk sosok
yang menjunjung tinggi harmoni, namun tuntutan pekerja memaksa saya
harus bertarung dan kompetisi dengan karyawan lain untuk menduduki
jabatan ini). Pernyataan ini sekali lagi menunjukkan adanya konflik nilai
yang dihadapi seorang karyawan.

b. Interpersonal value conflict


Jenis konflik ini biasanya bukan karena perang batin seseorang
melainkan antara dua orang yang berbeda kepribadian sehingga ketika
seseorang melakukan tindakan tertentu dianggap tidak logis oleh orang lain.
Sebagai contoh, ketika seseorang baru saja menerima gelar akuntan menolak
tawaran untuk bekerja pada perusahaan multinasional dengan gaji katakanlah
Rp120 juta per tahun, tetapi lebih memilih bekerja di lembaga sosial dengan
gaji yang tidak menentu, boleh jadi ia akan ditertawakan ternan dekatnya
yang memang sangat berorientasi material. Bagi ternan dekatnya boleh jadi
akuntan tersebut dianggap orang yang paling bodoh di dunia. Pemyataan
seorang ternan terhadap akuntan tersebut jika diekspos secara terbuka bukan
tidak mungkin menimbulkan konflik di antara keduanya di mana sumber
terjadinya konflik pada dasamya karena perbedaan nilai individu keduanya.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.53

c. Person - organization value conflict


Setiap organisasi hampir pasti memiliki tata nilai sendiri yang tercermin
pada budaya organisasi yang mereka bangun sebagai dasar untuk
menjalankan aktivitas mereka. Namun, tidak jarang seseorang yang bekerja
di organisasi memiliki tata nilai yang tidak sej alan dengan tata nilai tersebut.
Akibatnya sering terjadi konflik nilai. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
19
Martha Brown seperti tampak pada Gambar 2.4 berikut.

Societal Didesimenasi melalui Organizational


~---------------------·
values berbagai mekanisme values
#

Didesimenasi Didesimenasi
melalui keluarga, melalui berbagai
sekolah, agama mekanisme
• •
dsb. organ1sasi

• •
Employee's Manager's
##
values ~ • values

# kemungkinan timbul konflik


## kemungkinan timbulnya konflik sangat besar
Sumber: Martha Brown, (1976, 17).

Gambar 2.4.
Konflik Nilai

Martha Brown menegaskan bahwa nilai-nilai organisasi dipengaruhi oleh


nilai -nilai masyarakat karena organisasi sering disebut sebagai subsistem dari
sistem sosial yang lebih besar. Pengaruh ini kemungkinan bisa menimbulkan
konflik karena boleh j adi nilai-nilai organisasi belum tentu kompatibel
dengan nilai-nilai masyarakat. Penyebabnya karena faktor utama pembentuk
nilai-nilai organisasi adalah nilai-nilai individu para pendiri organisasi (tidak
tampak pada gambar) di samping, seperti tampak pada gambar nilai-nilai
masyarakat. Memang harus diakui bahwa nilai-nilai individu itu sendiri, baik

19
Martha Brown. (1976). Values- A Necessary but Neglected Ingredient of Motivation
on the Job. Academy of Management Review. Hal. 15-24.
2.54 PERILAKU ORGANISASI e

nilai-nilai karyawan biasa, nilai-nilai para manajer maupun nilai-nilai para


pendiri sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh nilai -nilai masyarakat temp at
mereka menggali pengalaman hidup. Namun, belum tentu nilai-nilai individu
para pendiri yang kemudian ditanamkan ke dalam organisasi cocok dengan
nilai-nilai masyarakat tempat organisasi tersebut menjalankan kegiatannya.
Ketidakcocokkan ini memungkinkan timbulnya konflik, kecuali organisasi
tersebut berupaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan nilai-
nilai masyarakat setempat.
Gambar di atas juga menunjukkan bahwa nilai-nilai organisasi secara
langsung mempengaruhi nilai-nilai para manajernya. Pengaruh ini sangat
dimungkinkan jika kita berasumsi bahwa manajer adalah sekelompok orang
yang diberi mandat para pemilik sehingga mereka harus tunduk kepada
ketentuan-ketentuan para pemilik termasuk tunduk pada nilai-nilai organisasi.
Dalam praktik, seorang manajer sebagai individu juga mempunyai nilai-nilai
tersendiri yang dalam batas-batas tertentu bel urn tentu cocok dengan nilai-
nilai para pemilik. Jika, katakanlah nilai-nilai para manajer selaras dengan
nilai-nilai organisasi dan karena kedudukannya ia harus menerapkan nilai-
nilai organisasi kepada para karyawan maka kemungkinan terjadinya konflik
sangat besar karena tata nilai kedua kelompok ini sering kali bertolak
belakang.

5. Mengatasi Konflik Nilai


U ntuk mengatasi konflik nilai, beberapa cara bisa dilakukan. U ntuk
20
mengatasi intrapersonal conflict, Barbara Moses , misalnya menyarankan
agar organisasi bisa menjadi tempat yang bersahabat dengan kehidupan (life-
friendly organization) yang memberi kesempatan kepada karyawan untuk
merefleksikan dirinya - bagaimana seorang karyawan menjalani hidup dan
menghabiskan waktunya untuk kehidupan. Refleksi diri tersebut bisa
dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut ini.
a. Apakah pekerjaan yang sedang Anda lakukan betul-betul bisa memenuhi
kebutuhan Anda yang paling penting?
b. Apakah Anda mendefinisikan dirinya semata-mata dalam rangka untuk
mencapai sesuatu?
c. Mengapa Anda begitu bekerja keras? Kebutuhan personal yang mana
yang akan Anda capai?

20
Barbara Moses. (1988). The Busyness Trap. Training. Hal. 38-42.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.55

d. Apakah Anda membuat pengorbanan yang begitu besar demi


kepentingan pekerjaan Anda?
e. Apakah skedul pekerjaan Anda mempengaruhi orang lain yang dianggap
penting dalam hidup Anda?

Sementara itu, untuk mengatasi interpersonal conflict, Thomas Behr


menyarankan agar para eksekutif menjadi value-centered leaders, yakni
21
menjadi seorang pemimpin yang berbasis pada nilai-nilai . Dengan
menempatkan diri seperti ini para eksekutif diharapkan bisa menjadi
mediator ketika terj adi konflik nilai, khususnya konflik yang disebabkan
karena hubungan antarpersonal maupun konflik nilai yang terjadi karena
perbedaan nilai-nilai personal karyawan dengan nilai-nilai organisasi.

B. SIKAP KERJA

Ketika Anda bertanya kepada seorang atau beberapa orang karyawan


sebuah perusahaan tentang pekerjaan mereka atau tempat mereka bekerja,
jawabannya bisa beragam. Bisa jadi ada karyawan yang mengatakan bahwa
pekerj aan tersebut sangat menarik dan ia sangat menyukainya - "...... wah
saya merasa cocok dengan pekerjaan ini dan inilah tempat kerja yang saya
idam-idamkan; sedikit pun tidak ada keinginan saya untuk meninggalkan
perusahaan dan pekerjaan ini". Karyawan yang lain mungkin mengatakan
sebaliknya, menganggap bahwa pekerjaan tersebut sangat membosankan -
"kalau ada pekerjaan lain sudah setahun yang lalu saya pindah kerja karena
bekerja di sini tidak ada yang membanggakan". Atau ada karyawan yang lain
lagi yang jawabannya agak ambigu - " .... sebetulnya saya merasa cocok
dengan lingkungan kerja di sini, orang-orangnya sangat baik dan
pimpinannya juga penuh perhatian, tetapi sayang gaji yang saya terima
sangat tidak memadai, tidak sebanding dengan besamya tantangan kerja".
Jawaban-jawaban di atas sesungguhnya merupakan bentuk ungkapan
perasaan seseorang terhadap pekerjaan, baik ungkapan bernada positif
maupun negatif. Ungkapan seperti ini dalam bidang studi perilaku organisasi
sering disebut sebagai sikap karyawan terhadap sebuah pekerjaan. Dalam
kehidupan organisasi, sikap karyawan tidak hanya ditujukan kepada
pekerjaan tetapi juga pada objek-objek yang lain seperti gaji yang diterima,

21
Thomas Behr. (1988). Acting from the Center. Management Review. Hal. 51-55.
2.56 PERILAKU ORGANISASI e

ternan kerja, atasan langsung, pimpinan perusahaan, bahkan terhadap


organisasi secara keseluruhan. Di samping itu, bukan hanya karyawan yang
bisa bersikap terhadap kehidupan sebuah organisasi, tetapi juga orang di luar
organisasi. Konsumen, misalnya sering mengutarakan sikapnya terhadap
kualitas produk dan layanan sebuah perusahaan. Sikap positif atau negatif
konsumen tentu berpengaruh terhadap kemauan atau ketidakmauan mereka
membeli produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan sehingga berpengaruh
pula terhadap kelangsungan hidup dan efektivitas perusahaan tersebut.
Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri jika dikatakan bahwa sikap seseorang
memainkan peran penting dalam studi perilaku organisasi dan oleh karenanya
para manajer patut memahami sikap tersebut.
Paling tidak ada 4 alasan mengapa seorang manajer perlu memahami
sikap karyawan. Pertama, pada situasi tertentu sikap seseorang berpengaruh
terhadap perilaku individu orang tersebut. Sebagai contoh, telah bertahun-
tahun para manajer beranggapan bahwa karyawan lebih produktif jika ia
merasa lebih bahagia dan bahkan akan terus meningkatkan produktivitasnya
demi kepuasan kerja mereka. Padahal basil riset menunjukkan bahwa
hubungan antara sikap dengan perilaku seseorang bukan merupakan
hubungan yang linier sederhana. Sikap dan perilaku seseorang merupakan
hubungan timbal balik (reciprocal) yang saling mempengaruhi. Boleh jadi
sikap dipengaruhi oleh perilaku individu seseorang atau sebaliknya perilaku
individu dipengaruhi oleh sikap seseorang. Oleh karena itu, para manajer
harus memahami hubungan yang kompleks ini. Kedua, dalam konteks
pekerjaan, membangun sikap kerja positif sangat berguna bagi alasan
kemanusiaan terlepas bahwa sikap tersebut akan meningkatkan produktivitas
seseorang atau tidak. Ketiga, banyak organisasi yang dengan sengaja
mendesain program untuk menciptakan sikap positif. Pelatihan kepemimpin-
an, konsultasi karier atau job enrichment adalah beberapa contoh program
perusahaan yang sengaja diciptakan untuk membangun sikap positif
karyawan. Demikian juga, banyak perusahaan yang sengaja membangun citra
(image) katakanlah melalui berbagai bentuk iklan agar konsumen memiliki
sikap positif terhadap perusahaan. Keempat, sikap seseorang memainkan
peran penting dalam studi perilaku organisasi khususnya teori motivasi yang
akan dibahas pada Modul 4.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.57

1. Definisi Sikap
Sikap adalah sebuah konstruk/konsep/bangunan yang bersifat hipotetik
(hypothetical construct). Dikatakan demikian karena secara riil sikap tidak
bisa dilihat dengan mata kepala, disentuh dengan tangan atau dirasakan
dengan lidah. Untuk memahami sikap seseorang, yang bisa kita lakukan
adalah mendefinisikan atau menginterpretasikan apa yang dikatakan atau
dilakukan seseorang. Dengan demikian, untuk memahami sikap seseorang
terhadap sebuah objek, pertama, kita perlu mencermati apa yang dikatakan
atau dilakukan seseorang terhadap sebuah objek tersebut. Kedua, meng-
interpretasikan maksud dari perkataan atau tindakan orang tersebut. Ketiga,
memahami perilaku orang bersangkutan. Sebagai contoh, ketika seseorang
bukan hanya sekali atau dua kali mengatakan bahwa ia sangat menyukai
pekerjaannya dan dalam kesehariannya ia tampak tekun bekerja, kita bisa
menginterpretasikan bahwa orang tersebut bersikap positif terhadap
pekerjaan yang dijalaninya. Demikian sebaliknya, ketika seorang sales
representative tidak tampak antusias melayani para konsumen, menyampai-
kan informasi tentang produk atau perusahaan hanya sekadamya bahkan ia
terus-menerus kelihatan cemberut dalam bekerja dan bahkan sering bolos
kerja, boleh jadi karena karyawan tersebut sesungguhnya tidak menyukai
pekerjaan sebagai sales representative sehingga bersikap negatif terhadap
pekerj aan tersebut.
Dari contoh-contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa sikap merupakan
ungkapan perasaan seseorang yang persisten (ajeg) terhadap sebuah objek,
22
baik ungkapan yang bemada positif atau negatif . Objek dalam hal ini
bersifat generik dan bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu objek fisik dan
nonfisik. Oleh karena itu, objek bisa berupa orang, temp at kerja (organisasi),
gaji, pekerjaan, kejadian atau segala hal di mana seseorang bisa meng-
ungkapkan perasaannya. Jadi, ketika seseorang mengatakan bahwa ia
mempunyai sikap positif terhadap pekerjaan berarti ia mempunyai perasaan
senang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Hanya saja perlu disadari pula
bahwa seseorang terkadang mempunyai perasaan positif terhadap beberapa
aspek pekerjaan, namun di saat yang sama juga mempunyai perasaan negatif
terhadap beberapa aspek pekerj aan yang lain. Sebagai contoh, seorang
karyawan mungkin mengatakan bahwa ia sangat menyukai pekerjaannya
(sikap positif), tetapi tidak menyukai sistem penggajian di perusahaan

22
Cherrington. (1989).
2.58 PERILAKU ORGANISASI e

tersebut (sikap negatif). Sikap berbeda terhadap dua objek berbeda meski
masih dalam satu rangkaian pekerjaan seperti dicontohkan di muka, secara
tidak langsung menegaskan bahwa sikap tertentu seseorang hanya ditujukan
pada satu objek tertentu. Dengan kata lain, objek yang disikapi sesungguhnya
sangat spesifik. Objek yang berbeda dan bahkan pada situasi berbeda boleh
j adi akan direspons dengan sikap berbeda.
Penjelasan di atas mengaskan bahwa sikap, seperti halnya nilai-nilai
individu (lihat penjelasan tentang peran nilai), berpengaruh terhadap perilaku
seseorang. Bedanya adalah jika nilai-nilai individu mempengaruhi perilaku
seseorang secara keseluruhan bahkan pada situasi berbeda, sikap hanya
mempengaruhi perilaku seseorang terhadap objek, orang atau situasi yang
spesifik. Meski demikian, tidak selalu nilai-nilai individu dan sikap seseorang
biasanya berjalan seiring. Sebagai contoh, seorang manajer yang sangat
menghargai seseorang yang suka membantu orang lain mungkin akan
bersikap negatif terhadap seseorang yang membantu orang lain, tetapi cara
membantunya tanpa mempertimbangkan etika. Selanjutnya, perbedaan antara
nilai-nilai individu dengan sikap akan tampak semakin jelas jika memahami
komponen-komponen sikap yang akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

2. Komponen Sikap
Sikap seseorang terhadap sebuah objek, orang lain atau situasi secara
umum bisa dipahami melalui 3 komponen berbeda pembentuk sikap, yaitu
cognitive, affective, dan behavioral component. Cognitive component adalah
informasi yang dimiliki seseorang tentang objek yang disikapi. Informasi ini
meliputi data deskriptif, seperti fakta, gambar atau pengetahuan lain yang
spesifik. Affective component adalah perasaan dan emosi seseorang terhadap
objek yang disikapi. Komponen ini melibatkan aspek penilaian dan emosi,
dan sering kali diekspresikan dalam bentuk suka atau tidak suka terhadap
sebuah objek. Behavioral tendency component merupakan cara seseorang
menunjukkan perilakunya terhadap sebuah objek. Sebagai contoh, ketika ada
seorang pengendara sepeda motor yang melaju kencang, namun kemudian
terjatuh dan terluka parah maka perilaku kita terhadap pengendara tersebut
bisa bervariasi, seperti ingin menolong karena unsur kemanusiaan,
membiarkan karena kita menganggap hal itu terjadi karena ulahnya atau
hanya sekadar merasa kasihan namun tidak melakukan apa-apa.
Dalam kehidupan organisasi, sikap seseorang bisa dipahami dengan baik
berdasarkan kombinasi antara cognitive dan affective component. Sebagai
e EKMA41 58/MODUL 2 2.59

contoh, ketika Anda diminta oleh Bos untuk kerja lembur maka sikap Anda
terhadap permintaan tersebut dipengaruhi oleh informasi yang bersifat
kognitif, seperti sejauh mana Anda mengetahui bahwa dengan kerja lembur
Anda akan mendapatkan uang tambahan dan Anda juga mengetahui bahwa
pekerjaan tersebut begitu penting bagi perusahaan sehingga pekerjaan
tersebut harus segera diselesaikan me ski harus kerj a lembur. Pengetahuan
Anda tersebut pada akhirnya akan dipengaruhi juga oleh affective component,
yakni perasaan Anda tentang kerja lembur, seperti keinginan Anda untuk
mendapat uang tambahan atau keengganan Anda bercapai-capai. Kedua
komponen ini pada akhirnya akan menentukan sikap Anda terhadap
permintaan kerja lembur tersebut. Sementara itu, behavioral tendency
component tidak secara langsung terkait dengan kedua komponen pertama
karena behavioral tendency component merupakan construct yang terpisah.
Meski Anda memiliki sikap positif terhadap kerja lembur bukan berarti
secara otomatis Anda mau mengerjakan kerja lembur tersebut. Anda
mungkin mengatakan kepada Bos "pada dasarnya saya mau membantu Anda
kerja lembur, tetapi sayang say a sudah janji mau mengantar anak les piano"

3. Hubungan antara Sikap dan Perilaku


Sering kali kita beranggapan bahwa sikap seseorang akan mempengaruhi
perilakunya. Oleh karena itu, apabila Anda hendak mengubah perilaku
seseorang terlebih dahulu Anda harus mengubah sikapnya. Namun, dalam
kenyataannya hubungan antara sikap dan perilaku seseorang ternyata tidak
sesederhana itu. Hubungan keduanya sangat kompleks dan merupakan
hubungan resiprokal (saling mempengaruhi) - sikap bisa mempengaruhi
perilaku, sebaliknya perilaku juga bisa mempengaruhi sikap seperti tampak
pada gambar berikut.
1

.....
3
..•
lr

2 5

4 ......

Gambar 2.5.
Hubungan antara Sikap dan Perilaku
2.60 PERILAKU ORGANISASI e

Keterangan:
1. Kekuatan-kekuatan yang bersifat situasional
2. Sikap atau nilai-nilai individu
3. Motif berperilaku
4. Pembenaran berperilaku
5. Perilaku

Gambar di atas menunjukkan bahwa sikap mempengaruhi perilaku


dengan terlebih dahulu mempengaruhi motif berperilaku, sedangkan perilaku
mempengaruhi sikap melalui proses yang menuntut agar seseorang
menyesuaikan perilakunya.

a. Motif berperilaku (behavior intention)


Sebagian besar sikap seseorang sesungguhnya tidak secara langsung
berdampak terhadap perilaku orang tersebut. Demikian juga hanya sebagian
kecil dari sikap seseorang yang jumlahnya banyak sekali yang kemudian
berubah menjadi perilaku. Sebagian sikap yang lain tetap hanya berupa sikap
tetapi tidak berlanjut sampai menjadi perilaku. Perubahan sikap yang pada
akhirnya menjadi perilaku tersebut biasanya terjadi secara tidak langsung
melainkan melalui proses antara yang disebut motif berperilaku. Maksud dari
motif berperilaku adalah sej auh mana kita tertarik untuk bertindak. J adi
seperti dijelaskan pada gambar di atas, sikap akan mempengaruhi perilaku
sebatas jika sikap tersebut mempengaruhi keinginan seseorang untuk
bertindak. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi yang menuntut tingkat
keselamatan yang tinggi seperti pada perusahaan pertambangan minyak
misalnya, perusahaan biasanya melakukan berbagai upaya katakanlah melalui
program K3 (Keamanan dan Kesehatan Kerja) termasuk menyediakan buku
panduan K3, memberi pelatihan karyawan dan berbagai upaya lainnya.
Karyawan yang dibombardir dengan program tersebut akhirnya meyakini
bahwa program K3 tersebut sangat penting. Bahkan laporan dari perusahaan
pun menunjukkan bahwa dengan program K3 tingkat kecelakaan kerja
menurun. Sederhananya karyawan telah memiliki sikap positif terhadap
program K3. Meski demikian, karyawan terkadang enggan untuk membuat
laporan mingguan yang menyangkut K3. Anggapan tersebut boleh jadi
karena ada tanggung jawab lain yang menuntut karyawan harus segera
menyelesaikannya. Contoh lain, meski Anda yakin bahwa memakai sabuk
pengaman saat berkendara bisa menyelamatkan jiwa Anda, namun
e EKMA41 58/MODUL 2 2.61

kenyataannya tidak setiap kali berkendara Anda mau menggunakan sabuk


pengaman tersebut.
Pertanyaan sekarang adalah mengapa seseorang yang telah bersikap
positif terhadap sebuah objek tidak secara otomatis melakukan tindakan
nyata? Jawabannya menurut gambar di atas karena motif berperilaku
seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh sikap orang tersebut, tetapi juga
karena ada faktor dari luar yang juga mempengaruhinya yang kadang-kadang
dianggap lebih penting seperti adanya kekuatan lain yang secara spesifik
memberikan imbalan atau hukuman yang lebih besar; adanya tekanan dari
kelompoknya yang menghendaki Anda berperilaku lain dan adanya situasi
lain yang memungkinkan Anda bisa memilih perilaku alternatif. Bisa
dikatakan bahwa karena adanya faktor lain tersebut menyebabkan hubungan
antara sikap dengan motif berperilaku tidak begitu kuat. Sebaliknya,
pengaruh motif berperilaku terhadap perilaku justru lebih kuat utamanya jika
motifnya sangat spesifik dan tidak terhalang oleh faktor-faktor eksternal
lainnya. Jadi, manusia memang biasanya berusaha keras untuk melakukan
sesuatu terhadap apa yang ingin lakukan.

b. Motif khusus
Penetapan tujuan (goal setting) dan ekspektasi terhadap imbalan
memberikan infak yang sangat besar terhadap motif berperilaku dan
membantu seseorang membangun motif khusus untuk bertindak. Sekali motif
khusus terbentuk biasanya terkait langsung perilaku tertentu. Tingkat
kekhususan tersebut ditentukan oleh empat faktor berikut.
1) Seberapa baik perilaku tertentu telah divisualisasikan secara jelas dan
detail.
2) Apakah objeknya sudah ditentukan sehingga seseorang bisa
mengarahkan perilakunya ke objek tersebut.
3) Bagaimana dengan konteks yang melingkupi seseorang berperilaku
sudah didefinisikan dengan jelas.
4) Untuk berperilaku secara spesifik, apakah waktunya sudah ditentukan
dengan j elas?

c. Pembenaran perilaku (behavioral justifications)


Hubungan resiprokal antara sikap dan perilaku seperti tampak pada
gambar di atas menekankan dampak perilaku terhadap sikap. Dampak ini
terj adi secara tidak langsung tetapi diintervensi oleh pembenaran perilaku
2.62 PERILAKU ORGANISASI e

(behavior modification). Maksud dari behavior modification adalah upaya


seseorang untuk menginterpretasi dan memaknai perilakunya. Berdasarkan
penjelasan ini, dampak perilaku terhadap sikap merupakan kebutuhan
seseorang untuk membenarkan perilakunya. Oleh karenanya besarnya
perubahan sikap seseorang sangat tergantung pada besamya kebutuhan
seseorang untuk membenarkan perilakunya. Hal ini terjadi jika (1) seseorang
diminta untuk menjelaskan perilakunya; (2) ketika seseorang menyatakannya
secara terbuka; (3) jika ada alternatif perilaku; dan (4) jika ada kebebasan
berperilaku.

4. Merubah Sikap
Jika seorang karyawan ditengarai memiliki sikap negatif terhadap satu
atau beberapa aspek dalam kehidupan organisasi biasanya manajer berusaha
untuk merubah sikap negatif tersebut menjadi sikap yang positif. Sayangnya
karyawan cenderung resisten terhadap perubahan. Oleh karena itu, sebelum
melakukan perubahan sikap karyawan harus terlebih dahulu diketahui
bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan dan kemungkinan
tingkat keberhasilannya. Perubahan sikap dapat dilakukan dengan
menambah, menghilangkan atau memodifikasi keyakinan atau komponen
afektif lainnya, di antaranya berikut ini.

a. Memberi informasi baru


Cara paling populer untuk merubah sikap seseorang adalah dengan
memberikan informasi baru yang bisa merubah keyakinan seseorang. Cara ini
penting untuk dipertimbangkan karena sikap terdiri dari perasaan dan
keyakinan sehingga dengan memberi informasi baru karyawan memiliki
keyakinan baru atau paling tidak mengubah keyakinan sekarang. Namun,
apakah pemberian informasi baru itu efektif, sangat tergantung pada persepsi
seseorang terhadap informasi baru tersebut. Jika informasinya kredibel dan
dapat dipercaya maka tingkat efektivitasnya tinggi. Sumber informasi yang
dianggap kredibel adalah seorang expert, tidak bias, dan disukai orang lain.
Sebagai contoh, sikap Anda terhadap makna pelatihan yang dianjurkan oleh
perusahaan lebih mudah dibentuk oleh ternan dekat Anda yang telah
mengikuti program tersebut ketimbang oleh konsultan yang pengelola
program.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.63

b. Menambah atau mengurangi rasa takut


Memberi rasa takut juga merupakan salah satu cara untuk merubah sikap
seseorang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa memberi rasa takut yang
moderat menghasilkan keinginan berubah dibandingkan memberi rasa takut
berlebihan. Hal ini disebabkan karena pemberian rasa takut yang moderat
akan lebih menarik perhatian dan keinginan untuk berubah.

c. Menambah atau mengurangi keraguan


Menurut cognitive dissonance theory, seseorang akan terus berusaha
untuk mempertahankan keyakinan, sikap, dan perilakunya secara konsisten.
Oleh karena itu, apabila perilaku seseorang tidak konsisten dengan keyakinan
dan sikapnya maka terjadi ketegangan dan orang tersebut akan berusaha
untuk mengurangi ketegangan tersebut dengan cara merubah sikapnya.

d. Partisipasi dalam diskusi kelompok


Cara lain untuk merubah sikap adalah dengan melibatkan seseorang
dalam diskusi kelompok. Jika seseorang sedang mempertimbangkan untuk
merubah sikap atau perilakunya, pertimbangan tersebut akan semakin kuat
ketika orang lain dalam kelompok melakukan perubahan perilaku dan
sikapnya. Lebih dari itu jika seseorang berpartisipasi dalam diskusi kelompok
ia dipaksa untuk mengambil keputusan dan memiliki komitmen terhadap
keputusan tersebut.

5. Sikap Kerja
Uraian-uraian di atas menegaskan bahwa seorang manajer perlu
memahami dengan baik sikap kerja karyawan mengingat sikap positif atau
sebaliknya sikap negatif tentu akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Pada bagian ini akan diuraikan tiga bentuk sikap kerja yang diyakini
berpengaruh terhadap kinerja, yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi,
dan keterlibatan kerja. Namun, sebelum semua itu diuraikan secara detail
perlu terlebih dahulu memahami anggapan dasar dan sikap kerja seperti
23
dikemukakan oleh T. Ndraha sebagai berikut.

23
T. Ndraha, Teori Budaya Organisasi. (1999). Bidang Kajian Utama Ilmu-Ilmu
Pemerintahan. Kerjasama IIP-UNPAD.
2.64 PERILAKU ORGANISASI e

a. Kerja adalah hukuman


Sebagian orang merasa bahwa kerja adalah sebuah hukuman. Hal ini
misalnya terjadi pada orang-orang terpidana yang harus menjalani kerja
sosial atau tepatnya kerja paksa.
b. Kerj a adalah upeti
Pada masyarakat kuno pada masa kerjaan, rakyat dianggap sebagai milik
raja. Oleh karena itu, di satu sisi raja menuntut pengabdian dan loyalitas
sepenuhnya dari rakyat dan di sisi lain, rakyat wajib mempersembahkan
diri dan keluarganya kepada Sang raja yang bersangkutan.
c. Kerja adalah beban
Bagi orang malas, kerja adalah beban. ltulah sebabnya banyak orang
yang lebih suka minta-minta daripada bekerja. Demikian juga bagi
pekerj a yang berada pad a posisi terpaksa a tau dipaksa, kerj a adalah
beban. Lebih-lebih bagi pekerja yang bekerja tanpa imbalan.
d. Kerja adalah kewajiban
Dalam sistem birokrasi atau sistem kontrak, kerja adalah kewajiban guna
menjalankan sistem atau memenuhi kewajiban sesuai kontrak.
e. Kerja adalah sumber penghasilan
Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa kerja adalah sumber
penghasilan. Dengan bekerja seseorang berharap mendapat imbalan
untuk menghidupi keluarga. Dalam batas-batas tertentu anggapan dasar
ini menjadi pangkal profesionalisme.
f. Kerja adalah kesenangan
Oleh karena hobi atau cocok dengan pekerjaan, sebagian orang
menganggap kerja adalah sebuah kesenangan utamanya untuk mengisi
waktu luang.
g. Kerj a adalah status
Orang bekerja kadang-kadang bukan ingin mendapatkan apa-apa tetapi
hanya sekadar untuk mendapat status sebagai pekerja.
h. Kerj a adalah prestise atau gengsi
Bagi sebagian orang, bekerja tidak bisa sebarangan karena hal itu
menyangkut gengsi dirinya.
i. Kerj a adalah harga diri
Harga diri seseorang dapat dilihat dari pekerj aan dan cara mereka kerj a.
Menepati janji, rajin bekerja atau bisa kerja boleh jadi bukan sekadar
cara seseorang bekerj a melainkan sebagai harga diri orang tersebut.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.65

j. Kerj a adalah aktualisasi diri


Alasan seseorang bekerja boleh jadi terkait dengan cita-cita atau
ambisinya. Dalam hal ini, bekerja merupakan wahana untuk aktualisasi
diri.
k. Kerja adalah panggilan jiwa
Guru meski gajinya tidak banyak sering menjadi pilihan seseorang
karena dianggap sebagai panggilan jiwa untuk mencerdaskan bangsa.
1. Kerj a adalah pengabdian
Bagi sebagian orang, khususnya yang sudah memiliki harta kekayaan
melimpah, bekerja yang tidak mendatangkan uang seperti bekerja di
yayasan biasanya tetap dijalani karena kepeduliannya terhadap sesama.
m. Kerja adalah hidup
Dalam hal ini, orang bekerja karena menganggap bekerja adalah hak

asas1.
n. Kerja adalah ibadah
Kerj a merupakan pernyataan syukur kepada Yang Kuasa karena diberi
kesempatan hidup.
o. Kerja itu (adalah) suci
Kerj a harus dihormati dan dihargai, tidak boleh dikotori, dicemari
dengan hal-hal yang menyebabkan aib.

Dampak dari anggapan kerj a seperti tersebut di atas terhadap sikap kerj a
dan perilaku kerj a adalah sebagai berikut.

Tabel 2.4.
Anggapan Kerja dan lmplikasinya terhadap Sikap Kerja

An apan Ker·a Sikap Ker·a Perilaku Ker"a


Kerja adalah hukuman Negatif, tidak ikhlas, ragu- Menderita, pasif, menyesal,
ra u prates
Ker·a adalah upeti Ne atif, pasrah Ketakutan, kehilan1 an, terpaksa
Kerja adalah beban Negatif, tidak ikhlas Keberatan, ingin cepat lepas
dari ker'a
Kerja adalah kewajiban Positif jika haknya Aktif
dipenuhi
Kerja adalah sumber Positif jika bisa berhasil Aktif, sangat aktif
pen hasilan
Kerja adalah kesenangan Positif Aktif tetapi sekadarnya
Ne atif
Kerja adalah status Positif Aktif
Kerja adalah prestise Positif Aktif, bangga, negatif
Negatif,
2.66 PERILAKU ORGANISASI e

An apan Ker·a Sikap Ker·a Perilaku Ker·a


Ker'a adalah har a diri Positif Aktif
Kerja adalah aktualisasi Positif Sangat aktif, rela berkorban
diri
Kerja adalah panggilan Positif, selektif Sangat aktif, rela berkorban
..
JIWa
Kerja adalah pen abdian Positif, tanpa pamrih San at aktif rei a berkorban
Kerja adalah hidup Positif, resilient Sanf at aktif,
Kerja adalah ibadah Positif, Sangat aktif, ritual
Kerja adalah suci Positif, Aktif
Pas if

6. Kepuasan Kerja
Secara umum, telah dikemukakan bahwa tugas seorang manajer adalah
meningkat kinerja organisasi dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan -
dua variabel yang bisa saling memengaruhi, tetapi bisa juga independen satu
sama lain. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kinerja yang tinggi tidak
selalu diikuti oleh kepuasan kerja karyawan. Demikian juga kepuasan kerja
yang tinggi tidak selalu menyebabkan kinerja organisasi tinggi. Hal yang
paling ideal adalah kepuasan kerja karyawan diikuti oleh kinerja organisasi.
Inilah harapan para manajer pada umumnya. Oleh karena itu, berbagai
macam studi dilakukan untuk menciptakan kondisi ideal tersebut. Kepuasan
kerja itu sendiri dalam beberapa hal dipengaruhi oleh sikap kerja karyawan
dan selanjutnya berdampak pada keterlibatan kerja, komitmen organisasi, dan
tingkat kesehatan fisik dan mental karyawan. Sebaliknya, ketidakpuasan
dalam bekerja bisa meningkatkan tingkat absensi, kegersangan organisasi
(organizational drift), iklim kerja yang tidak kondusif, dan persoalan-
persoalan ketenagakerjaan lainnya. Oleh karena itu, dalam praktik para
manajer biasanya secara reguler melakukan survei untuk mengetahui sikap
karyawan dan dampaknya terhadap kepuasan kerja. Berikut ini contoh survei
terhadap karyawan berkaitan dengan sikap kerja dan implikasinya terhadap
kepuasan kerj a.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.67

INDEK KEPUASAN KERJA

1. Apakah Anda ketika sedang bekerja sering menanyakan kepada


ternan kerja atau melihat arloji untuk melihat sekarang jam berapa?
a. Selalu.
b. Pada saat waktu luang.
c. Tidak pernah.

2. Apakah setiap Senin pagi, Anda ...


a. merasa siap untuk kembali bekerja?
b. berpikiran bahwa Anda sedang berbaring di rumah sakit dengan
kaki patah?
c. merasa enggan untuk memulai kerja, tetapi setelah satu dua jam
merasa senang untuk kembali mulai kerja?

3. Bagaimana perasaan Anda setelah selesainya hari kerja?


a. Merasa capai luar biasa.
b. Merasa senang bahwa Anda bisa memulai hidup lagi.
c. Kadang-kadang merasa capai tetapi sangat puas.

4. Apakah Anda merasa takut akan pekerjaan Anda?


a. Kadang-kadang.
b. Tidak pernah.
c. Sering.

5. Apakah Anda akan mengatakan bahwa pekerjaan Anda?


a. Di bawah kemampuan Anda?
b. Melebihi kemampuan Anda?
c. Membuat Anda bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya?

6. Mana di antara pernyataan di bawah ini yang Anda anggap benar?


a. Saya tidak pernah bosan dengan pekerjaan saya.
b. Saya merasa tertarik terhadap pekerjaan saya, tetapi kadang
merasa bosanjuga.
c. Setiap saat saya merasa bosan dengan pekerjaan saya.

7. Seberapa banyak waktu kerja Anda dihabiskan untuk melakukan


pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan tugas Anda,
seperti ngobrol, baca Koran, sering menelepon, dsb?
a. Sangat sedikit.
b. Kadang-kadang, khususnya jika saya menghadapi persoalan
2.68 PERILAKU ORGANISASI e

pribadi.
c. Sering sekali.

8. Apakah Anda bermimpi untuk memperoleh pekerjaan lain yang


berbeda?
a. Jarang sekali.
b. Bukan pekerj aan yang berbeda tetapi posisi yang lebih baik.
c. Ya.

9. Apakah Anda akan mengatakan bahwa Anda merasa ...


a. sangat mampu mengerjakan pekerjaan Anda setiap waktu?
b. kadang-kadang mampu?
c. sering panik dan sering merasa tidak mampu?

10. Apakah Anda ...


a. senang dan menghormati ternan kerja Anda?
b. Tidak senang terhadap ternan kerja Anda?
c. Tidak bisa memberi komentar terhadap ternan kerja?

11. Mana dari pernyataan di bawah ini yang Anda anggap paling benar?
a. Saya tidak ingin belajar lebih banyak tentang pekerjaan saya.
b. Saya sangat menyukai untuk belajar tentang pekerjaan saya
ketika pertama kali menerima pekerj aan ini.
c. Saya ingin belajar sebanyak mungkin tentang pekerjaan saya.

12. Pilihlah di antara kualitas hidup berikut ini yang paling berharga bagi
Anda ...
a. simpati
b. berpikiran jernih
c. tenang
d. ingatan yang baik
e. konsentrasi
f. stamina fisik
g. daya temu
h. expertise (kepakaran)
i. daya tarik (pesona)
j. humor

13. Sekarang tandailah kualitas di atas yang dibutuhkan untuk pekerjaan


Anda?
e EKMA41 58/MODUL 2 2.69

14. Mana di antara pernyataan berikut ini yang paling Anda setujui?
a. Pekerjaan hanyalah sebuah jalan untuk rnendapatkan uang agar
saya bisa hidup.
b. Pekerjaan hanyalah jalan untuk rnendapatkan uang, tetapi harus
rnernuaskan jika rnungkin.
c. Pekerjaan adalah bagian hidup saya.

15. Apakah Anda sering kerja lernbur?


a. Hanya jika dibayar.
b. Tidak pemah.
c. Sering rneski tidak dibayar.

16. Apakah Anda pemah bolos kerja tahun lalu?


a. Tidak pernah.
b. Hanya beberapa hari.
c. Sering.

17. Bagairnana penilaian Anda tentang diri Anda sendiri?


a. Sangat arnbisius.
b. Sarna sekali tidak arnbisius.
c. Sedang-sedang saja.

18. Apakah Anda rnenganggap bahwa ternan kerja Anda ...


a. Menyukai Anda, rnenikrnati kebersarnaan anda, dan secara urnurn
sangat baik?
b. Tidak rnenyukai Anda?
c. Bukannya tidak rnenyukai Anda, tetapi kadang-kadang tidak
bersahabat?

19. Apakah Anda rnernbicarakan pekerjaan Anda?


a. Hanya kepada ternan kerja.
b. Kepada ternan dan keluarga.
c. Tidak jika dapat dihindari.

20. Apakah Anda rnenderita penyakit yang tidak bisa dijelaskan atau
keluhan-keluhan tertentu?
a. Jarang.
b. Tidak terlalu sering.
c. Sering sekali.
2. 70 PERILAKU ORGANISASI e

21. Bagaimana awal mulanya sehingga Anda memilih pekerjaan Anda


sekarang ini?
a. Orang tua atau guru yang memilihkannya untuk saya.
b. Hanya inilah yang dapat saya temukan.
c. Tampaknya karena pekerjaan inilah yang cocok untuk saya.

22. Ketika terjadi konflik antara kepentingan pekerjaan dan rumah,


misalnya karena ada keluarganya yang sakit, mana yang Anda
menangkan?
a. Selalu kepentingan keluarga.
b. Selalu kepentingan pekerjaan.
c. Ketika kondisi kritikal, keluarga yang dimenangkan, tetapi
biasanya pekerjaan yang dimenangkan.

23. Apakah Anda akan senang melakukan pekerjaan yang sama jika
bayarannya hanya dua pertiganya?
a. Ya.
b. Saya akan senang tetapi tidak dapat melakukannya.
c. Tidak.

24. Jika dalam hal-hal tertentu Anda merasa berlebihan, mana yang akan
Anda kurangi?
a. Uang.
b. Pekerjaan itu sendiri.
c. Kebersamaan dengan ternan kerja Anda.

25. Apakah Anda akan ambil cuti kerja hanya untuk sekadar bergembira
menghabiskan waktu?
a. Ya.
b. Tidak.
c. Mungkin jika tidak ada pekerjaan yang terlalu penting untuk
dikerj akan.

26. Apakah Anda merasa pekerjaan Anda tidak dihargai?


a. Kadang-kadang.
b. Sering.
c. Jarang.

27. Apa yang paling Anda tidak sukai dari pekerjaan Anda?
a. Tidak bisa sepenuhnya memiliki waktu.
b. Jenuh.
c. Tidak bisa mengerjakan sesuatu seperti yang Anda kehendaki.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.71

28. Apakah Anda memisahkan kehidupan pribadi dengan pekerjaan?


a. Sangat ketat.
b. Setiap kali, tetapi kadang-kadang ada tumpang tindih.
c. Tidak sama sekali.

29. Apakah Anda akan menyarankan anak Anda untuk mengambil


pekerjaan nantinya seperti apa yang Anda kerjakan sekarang?
a. Y a, jika dia mempunyai kemampuan dan temperamennya cocok.
b. Tidak, Anda akan mengingatkannya untuk tidak memilih
pekerj aan ini.
c. Anda tidak akan memaksanya, tetapi tidak juga menghalanginya.

30. Jika tiba-tiba Anda mendapatkan sejumlah uang yang cukup besar,
apakah Anda ...
a. akan berhenti bekerj a
b. akan mengambil pekerjaan yang selama ini Anda inginkan
c. memutuskan untuk meneruskan pekerjaan seperti yang Anda
kerj akan sekarang

KOLOM JAWABAN
1. a .......... b ......... c ........... .
2. a .......... b ......... c ............ .
3. a .......... b ......... c ........... .
4. a .......... b ......... c ............ .
5. a .......... b ......... c ........... .
6. a .......... b ......... c ............ .
7. a .......... b ......... c ........... .
8. a .......... b ......... c ............ .
9. a .......... b ......... c ........... .
10. a .......... b ......... c ............ .
11. a .......... b ......... c ........... .
12. a .......... b ......... c ......... d .......... e ......... f ........ .
. .
g . . . . . . . . .. h . . . . . . . . . 1 . . . . . . . . . . J .......... .
13. a ......... b ......... c ............ .
14. a .......... b ......... c ............ .
15. a .......... b ......... c ........... .
16. a .......... b ......... c ............ .
17. a .......... b ......... c ........... .
18. a .......... b ......... c ............ .
19. a .......... b ......... c ........... .
20. a . . . . . . . . . . b . . . . . . . . . c ............ .
2.72 PERILAKU ORGANISASI e

21. a .......... b ......... c ........... .


22. a .......... b ......... c ............ .
23. a .......... b . . . . . . . . . c ........... .
24. a . . ... . . . . . b . . .. . . . . . c ............ .
25. a .......... b . . . . . . . . . c ........... .
26. a . . . . . ... . . b . . .. . . . . . c ............ .
27. a .......... b ......... c ........... .
28. a .......... b ......... c ............ .
29. a .......... b ......... c ........... .
30. a .......... b ......... c ............ .

SKOR JAW ABAN


1. A. 1 B. 3 C. 5
2. A. 5 B. 1 C. 3
3. A. 3 B. 1 C. 5
4. A. 5 B. 3 C. 1
5. A. 1 B. 3 C. 5
6. A. 5 B. 3 C. 1
7. A. 5 B. 3 C. 1
8. A. 5 B. 3 C. 1
9. A. 5 B. 3 C. 1
11. A. 1 B. 3 C. 5
10. A. 5 B. 3 C. 1
13. A. 1 B. 5 C. 3
14. A. 1 B. 3 C. 5
15. A. 3 B. 1 C. 5
16. A. 5 B. 3 C. 1
17. A. 5 B. 1 C. 3
18. A. 5 B. 1 C. 3
20. A. 5 B. 3 C. 1
21. A. 3 B. 1 C. 5
22. A. 1 B. 5 C. 3
23. A. 5 B. 3 C. 1
24. A. 1 B. 5 C. 3
25. A. 1 B. 5 C. 3
26. A. 1 B. 5 C. 3
27. A. 3 B. 1 C. 5
28. A. 1 B. 3 C. 5
29. A. 5 B. 1 C. 3
30. A. 1 B. 3 C. 5
e EKMA41 58/MODUL 2 2.73

12 DAN 13 SKOR 5 JIKA KEDUANYA COCOK

INTERPRESTASI TERHADAP HASIL SKOR

SKOR28-80
Menunjukkan bahwa Anda tidak puas dengan pekerja Anda sekarang.

7. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi adalah nilai-nilai personal yang kadang-kadang
disebut sebagai loyalitas atau komitmen terhadap perusahaan. Maksud dari
komitmen organisasi adalah tingkat identifikasi diri dan keterlibatan
karyawan terhadap organisasi. Ada tiga karakteristik penting berkaitan
dengan komitmen organisasi, yaitu (a) keyakinan yang sangat kuat terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi, (b) mau berupaya lebih keras demi
organisasi, serta (c) mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi
bagian dari organisasi. Ketiga karakteristik ini menunjukkan bahwa
komitmen organisasi bukan sekadar loyal kepada organisasi secara pasif
melainkan berpartisipasi aktif dengan memberi kontribusi personal agar
organisasi berhasil.
Komitmen karyawan terhadap organisasi, disebabkan karena beberapa
faktor berikut ini.
a. Faktor personal
Karyawan yang lebih tua biasanya memiliki komitmen yang lebih tinggi
dibanding karyawan muda. Demikian juga karyawan perempuan lebih
berkomitmen dibandingkan karyawan laki-laki, sedangkan karyawan
berpendidikan rendah akan menunjukkan komitmennya dibandingkan
karyawan berpendidikan lebih tinggi.
b. Karakteristik yang terkait dengan peran karyawan
Komitmen organisasi akan lebih kuat jika konflik peran dan ambigu
relatif lebih kecil.
c. Karakteristik struktural
Organisasi yang terdesentralisasi menghasilkan komitmen yang lebih
tinggi dibandingkan organisasi yang sentralistik. Dengan desentralisasi
organisasi berarti karyawan bisa berpartisipasi langsung dalam
mengambil keputusan yang berkaitan pekerjaannya.
d. Pengalaman kerja
Karyawan dengan pengalaman kerja yang cukup lama dan lebih-lebih
karyawan tersebut merasa memperoleh keuntungan dari perusahaan
cenderung memiliki komitmen yang lebih tinggi.
2. 74 PERILAKU ORGANISASI e

8. Keterlibatan Kerja (Job Involement)


Keterlibatan kerja bisa disebut sebagai nilai-nilai kerja. Secara umum,
keterlibatan kerja didefinisikan sebagai kekuatan hubungan antara konsep diri
dan kerja individual seseorang. Seseorang dikatakan keterlibatannya dalam
kerja sangat tinggi jika (a) berpartisipasi secara aktif, (b) memandang kerja
sebagai bagian dari bidup yang sangat penting, serta (c) melibat pekerj aan
dan seberapa baik ia bekerja sebagai bagian penting dari konsep diri mereka.
Seseorang yang keterlibatannya dalam pekerjaan sangat tinggi cenderung
menyatu dengan pekerjaan - memiliki ego yang tinggi terhadap pekerjaan. Ia
bisa mengbabiskan waktu berjam-jam untuk bekerja dan manakala jaub dari
tempat kerja ia selalu memikirkannya. Jika gagal mengerjakan proyek ia
merasa frustrasi. Jika basil kerjanya jelek ia merasa malu. Bagi orang-orang
semacam ini, pekerjaan adalab aspek penting dalam bidupnya.
Job involvement merupakan basil dari kombinasi antara karakteristik
seseorang dengan faktor-faktor organisasi. Seseorang akan menunjukkan
keterlibatan kerja yang lebib tinggi jika orang tersebut berkomitmen terbadap
etika kerja atau jika ia memiliki konsep diri yang sejalan dengan kinerjanya.
Keterlibatan kerja yang lebih tinggi juga terkait dengan sejaub mana
pekerjaan tersebut memberi kesempatan bagi dirinya untuk berpartisipasi
dalam membuat keputusan penting tentang pekerjaan tersebut. Akibatnya,
keterlibatan kerja merupakan basil dari kombinasi antara orientasi nilai si
pekerja dengan karakteristik pekerjaan yang diharapkan yang memungkinkan
ia terlibat dalam pekerjaan.

-~
~ -- ·a LATIHAN
.. --
1 •

- ---~
..
- .
...,.,.,.

~
~
-----------------------------------------

Untuk memperdalam pemabaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlab latihan berikut!

1) Jelaskan perbedaan esensial antara nilai, sikap, dan gairab kerja!


2) Jika Anda seorang manajer yang pekerjaannya begitu luas dan kompleks,
masih perlukah Anda memahami sikap seorang karyawan?
3) Jelaskan bagaimana cara mengubah sikap seseorang?
e EKMA41 58/MODUL 2 2.75

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Nilai, khususnya nilai personal atau nilai individual, sikap, dan gairah
kerja pada dasamya adalah atribut atau karakteristik yang membentuk
perilaku individu seseorang. Artinya, ketiga komponen ini melekat pada
diri seseorang dan menjadikan seseorang berbeda dengan orang lain.
Tanpa mengingkari bahwa ketiga komponen tersebut memiliki kesamaan
namun harus diakui pula bahwa ketiga komponen tersebut berbeda
bahkan perbedaannya lebih menonjol ketimbang kesamaannya. Letak
perbedaan ketiganya terletak pada tingkat persistensi masing-masing
komponen. Nilai merupakan properti individual yang sangat persisten
(ajeg) tidak mudah berubah dalam waktu pendek. Sikap merupakan
properti individual yang relatif stabil meski tidak sepersisten nilai,
sedangkan gairah kerja merupakan properti yang relatif labil mudah
berubah dalam waktu pendek. Secara hierarkis dengan demikian nilai
menjadi fondasi bagi sikap dan sikap merupakan terbentuknya gairah
kerja.
2) Sesibuk apa pun tugas seorang manajer, memahami sikap karyawan
merupakan tugas seorang manajer yang tidak bisa ditinggalkan, bahkan
tidak bisa didelegasikan karena sikap kerja karyawan akan mem-
pengaruhi kinerja dan kepuasan kerja mereka. Paling tidak ada empat
alasan mengapa sikap karyawan harus dipahami dengan baik, (a) pada
situasi tertentu sikap seseorang berpengaruh terhadap perilaku individu
orang tersebut; (b) dalam konteks pekerj aan, membangun sikap kerj a
positif sangat berguna bagi alasan kemanusiaan; (c) banyak organisasi
yang dengan sengaja mendesain program untuk menciptakan sikap
positif untuk membangun citra organisasi; dan (d) sikap seseorang
memainkan peran penting dalam studi perilaku organisasi khususnya
teori motivasi.
3) Sikap karyawan terhadap pekerjaan atau perusahaan tidak selamanya
positif. Sikap seperti ini tentunya tidak baik bagi kepentingan organisasi.
Oleh karenanya sikap negatif diubah menjadi sikap positif. Caranya bisa
dilakukan dengan mengubah keyakinan atau komponen yang bersifat
afektif, misalnya dengan memberi informasi baru, meningkatkan atau
mengurangi rasa takut, menambah atau mengurangi keraguan karyawan
dan mengajak karyawan berpartisipasi lebih intens.
2.76 PERILAKU ORGANISASI e

RANGKUMAN
------------------------------------

Secara umum, Kegiatan Belajar 2 menjelaskan peranan nilai-nilai


individu dan sikap kerja terhadap kinerja organisasi dan kepuasan kerja
karyawan. Hal-hal penting yang menjadi fokus perhatian Kegiatan
Belajar 2 disajikan dalam rangkuman sebagai berikut.
1. Nilai adalah sebuah konsep atau keyakinan tentang tujuan akhir atau
sebuah perilaku yang patut dicapai yang bersifat transendental untuk
situasi tertentu, menjadi pedoman untuk memilih atau mengevaluasi
perilaku atau sebuah kej adian dan tersusun sesuai dengan arti
pentingnya.
2. Nilai-nilai personal merupakan landasan atau pedoman bagi
seseorang untuk bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai tersebut
biasanya telah diadopsi sebelum seseorang bergabung dengan
sebuah organisasi. Oleh karena itu, kadang-kadang nilai menjadi
pembatas bagi seseorang dalam bertindak atau melakukan
pekerjaan.
3. Milton Rokeach membedakan nilai menjadi dua, yaitu terminal
values- nilai tujuan dan instrumental values- nilai alat. Sementara
itu Allport membedakan nilai menjadi nilai teoretik, nilai ekonomik,
nilai estetika, nilai sosial, nilai politik, dan nilai religi.
4. Oleh karena organisasi merupakan tempat bertemunya berbagai
konsep nilai maka tidak terhindarkan akan terjadinya konflik nilai,
di antaranya konflik interpersonal, konflik interpersonal, dan konflik
antara nilai individu dan nilai organisasi.
5. Untuk mengatasi konflik nilai maka organisasi sebaiknya menjadi
tempat yang bersahabat dengan kehidupan (life-friendly
organization) yang memberi kesempatan kepada karyawan untuk
merefleksikan dirinya - bagaimana seorang karyawan menjalani
hidup dan menghabiskan waktunya untuk kehidupan. Di samping
itu, para pemimpin juga diharapkan menjadi value based leader.
6. Sikap adalah construct yang bersifat hipotetik yang tidak bisa dilihat
dengan mata kepala, disentuh dengan tangan atau dirasakan dengan
lidah. Kita bisa memahami sikap seseorang jika kita bisa
menginterpretasikan apa yang dilakukan atau dikatakan orang
tersebut.
7. Secara teoretik sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu cognitive,
affective, dan behavioral component. Ketiga komponen inilah yang
secara timbal balik mempengaruhi perilaku seseorang. Artinya,
untuk mengubah perilaku seseorang bisa dilakukan dengan
e EKMA41 58/MODUL 2 2.77

mengubah sikapnya, misalnya dengan memberi informasi baru,


mengurangi rasa takut, mengurangi keragu-raguan atau
melibatkannya dalam kegiatan organisasi.
8. Sikap kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kepuasan
kerja, keterlibatan dalam pekerjaan dan komitmen organisasional

TES FORMATIF 2
-------------------------------
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Berikut ini yang bukan karakteristik dari nilai atau value adalah ....
A. nilai merupakan preferensi seseorang
B. nilai merupakan standar untuk berperilaku
C. nilai yang dimiliki seseorang memiliki peringkat penting yang sama
D. nilai merupakan property individu yang tidak mudah berubah

2) Berikut ini yang tidak termasuk ke dalam nilai tujuan adalah ....
A. kesetaraan
B. independen
C. kebahagiaan
D. kearifan

3) Pernyataan yang salah tentang hubungan antara nilai, sikap, dan


semangat kerj a adalah ....
A. sikap memiliki pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya nilai
personal
B. sikap memiliki pengaruh yang kuat terhadap semangat kerja
seseorang
C. nilai memiliki pengaruh yang kuat terhadap semangat kerja
seseorang
D. nilai memiliki pengaruh yang kuat terhadap semangat kerja
seseorang

4) Secara tidak langsung sikap kerj a akan tampak dalam bentuk ....
A. kinerj a organisasi
B. kepuasan kerja
C. keterlibatan kerj a
D. komitmen organisasional
2.78 PERILAKU ORGANISASI e

5) Jika seorang eksekutif ingin mengubah sikap seorang karyawan, ia bisa


melakukan dengan cara-cara berikut ini ....
A. menghilangkan rasa takut karyawan
B. memberi informasi baru
C. memendam keyakinan diri karyawan
D. tidak melakukan apa-apa karena sikap bias berubah dengan
sendirinya

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/ MODUL 2 2.79

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) B 1) c
2) c 2) B
3) A 3) A
4) B 4) A
5) A 5) B
2.80 PERILAKU ORGANISASI e

Daftar Pustaka

Achmad Sobirin. (1997). Organizational Culture of Islamic and Catholics


University in Indonesia; A Comparatrive Study. Disertasi tidak
dipublikasikan. Manila Philippines: University of Santo Tomas.

Barbara Moses. (1988). The Busyness Trap. Training. Hal. 38-42.

Cathy Enz. (1986). Power and Shared Values in the Corporate Culture. Ann
Arbor: Michigan, UMI Research Press. Hal. 26.

D. Charrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of


Individual and Organizational Performance. Boston: Allyn and Bacon.
Hal. 99.

David Jaffnee. (2001). Organization theory: Tension and Change. Singapore:


McGraw Hilal.

Geert Hofstede. (1997). Cultures and Organizations: Software of Mind. New


York: McGraw Hilal. Hal. 5.

George England. (1967). Personal Value Systems of American Managers.


Academy of Management Jurnal. Hal. 53-68.

Jennifer George and Gareth Jones. (1999 ). Understanding and Managing


Organizational Behavior. 2nd edition. Reading Mass: Addison Wesley.
Hal. 37.

L Yu. (2002). Does Diversity Drive Productivity? MIT Sloan Management


Review. Hal.17.

Martha Brown. (1976). Values - A Necessary but Neglected Ingredient of


Motivation on the Job. Academy of Management Review. Hal. 15-24.

Mary Jo Hatch. (1997). Organization Theory. Oxford University Press.


Hal. 214.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.81

Milton Rokeach. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free
Press. Hal. 5.

Robbins. (1996). Organizational Behavior: Concepts, Controversies and


Applications. 5th edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall Inc.
Hal. 91.

Robin William Jr. (1979). Change and Stability in Values and Value
Systems: A Sociological Perspective. in M. Rokeach (ed.)
Understanding Human Values. The Free Press. Hal. 15-46.

Shalom H. Schwartz and Wolfgang Bilsky. (1987). Toward a Universal


Psychological Structure of Human Values. Journal of Personality and
Social Psychology. 53, 3. Hal. 550-562.

T. Ndraha. (1999). Teori Budaya Organisasi. Bidang kajian utama Ilmu-ilmu


Pemerintahan. Kerja Sarna liP -UNPAD.

Thomas Behr. (1988). Acting from the Center. Management Review.


Hal. 51-55.

William Evan. (1993). Oganization Theory: Research and Design.


Macmillan Publishing Company. Hal. 297.
MDDUL 3

Persepsi dan Stres


di Lingkungan Kerja
Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

eknologi informasi yang pada dekade tahun 1990-an mengalami


kemajuan begitu pesat menyebabkan dunia seolah-olah menjadi semakin
kecil. Batas-batas wilayah negara yang selama ini dianggap menjadi tembok
pemisah antara satu bangsa dengan bangsa lain sepertinya sekarang tidak ada
lagi. Komunikasi visual antarumat manusia dari dua tempat yang sangat
berjauhan yang dahulu dianggap tidak mungkin sekarang menjadi hal yang
lumrah. Sebagai contoh sederhana, ketika kita duduk diam di rumah sendirian
sekalipun, melalui teknologi informasi-TV, internet atau telepon genggam,
kita bisa berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang jauhnya beribu-ribu
mil. Walhasil, dengan teknologi informasi setiap kelompok masyarakat dan
bahkan setiap individu bisa dengan mudah berinteraksi dengan kelompok
masyarakat lain sehingga mereka pun bisa dengan cepat memperoleh
informasi baru dan saling meniru perilaku masing-masing. Oleh karenanya
tidak perlu kaget jika kita mendapatkan pemandangan yang hampir sama di
mana-mana. Dunia seolah-olah hanya diwamai oleh satu macam perilaku,
1
yakni perilaku global .
Kemampuan dan keinginan seseorang meniru perilaku orang lain
sesungguhnya bukan hal baru, khususnya dalam bidang studi psikologi.
2
Bandura, misalnya melalui social cognitive theory yang dikembangkannya
mengatakan bahwa manusia pada dasamya mempunyai kemampuan untuk
belajar dari orang lain melalui proses observasi (observational learning),
modeling, dan imitasi. Proses pembelajaran tersebut dilakukan melalui
beberapa tahapan mulai dari memberi perhatian (attention), melakukan

1
Untuk memperoleh penjelasan tentang terjadinya perilaku global - global behavior,
baca buku Mcdonalization of Society yang ditulis Ritzer.
2
Bandura. (1977). Social Cognitive Theory.
3.2 PERILAKU ORGANISASI e

pengulangan (retention), mempraktikkan kembali (reproduction), dan


memperkuat yang telah dipelajari (motivation). Melihat proses tersebut, bisa
dikatakan bahwa meniru perilaku orang lain bukan merupakan proses
sederhana melainkan proses yang begitu kompleks yang secara kognitif
dilakukan dengan merespons stimulus. Persoalannya adalah dalam era
informasi seperti sekarang ini stimulus jumlahnya terkadang tidak terhingga
namun indra yang dimiliki manusia jumlahnya terbatas sehingga tidak semua
stimulus bisa direspons dengan baik. Oleh karena itu, manusia akan
menyaring dan hanya akan merespons stimulus yang sekiranya memberi
informasi baru dan berdampak bagi dirinya.
Layaknya sebuah komputer yang bisa memproses berbagai macam
informasi, manusia juga sering disebut sebagai human information processor.
Meski demikian, dalam perspektif perilaku organisasi komputer sering
dianggap sebagai unit prosesor yang sederhana dibandingkan proses kognitif
yang dilakukan manusia dalam memproses informasi. Penyebabnya tidak lain
karena komputer bisa bertindak netral, sedangkan manusia tidak demikian.
Dengan segala kekhasannya (kepribadian, nilai-nilai individu, dan sikap)
manusia akan merespons setiap stimulus yang datang kepadanya dengan cara
berbeda bergantung pada karakteristik individual masing-masing. Akibatnya
meski stimulus yang direspons masih tetap sama tanggapan terhadap stimulus
tersebut bergantung persepsi masing-masing indi vidu. Dengan kata lain,
dunia nyata akan selalu berbeda dengan dunia persepsi. Belum lagi kalau
objek yang akan respons adalah manusia yang kadang-kadang bisa berubah
dan tidak sama antara satu manusia dengan manusia lainnya, hampir pasti
proses kognitif akan semakin kompleks.
Persoalan yang serius adalah bagaimana jika seseorang menghadapi
berbagai macam stimulus sementara dirinya tidak bisa memilah-milah mana
stimulus yang harus segera direspons mana yang bisa ditunda.
Ketidakmampuan untuk memilah respons, salah satunya disebabkan karena
ada anggapan semua stimulus tersebut penting bagi dirinya. Anggapan seperti
ini jika terus-menerus menekan diri kita sementara daya respons kita baik
secara fisik, kognitif, dan mental sangat terbatas maka tidak bisa dihindarkan
jika kita akan mengalami suatu situasi yang disebut stres. Sebagai gambaran,
ketika penulis harus segera menyelesaikan modul perilaku organisasi karena
batas waktu kontrak menjelang habis sementara di saat yang sama tugas-
tugas pokok sebagai do sen masih tetap harus dij alani maka terj adi
ketidakseimbangan antara kemampuan untuk menyelesaikan semua tugas
e EKMA41 58/MODUL 3 3.3

tersebut dengan jumlah tekanan pekerjaan yang harus diselesaikan. Jika


situasi seperti ini berjalan berlarut-larut bukan hanya kemampuan kognitif
seseorang tidak mampu meresponsnya, tetapi juga daya tahan fisik dan
mental sering kali mengalami penurunan tajam karena mengalami kelelahan
fisik dan psikis-kecemasan meningkat, sulit tidur, mudah marah, serta
kesehatan mental dan fisik menurun drastis. Meski tidak selalu, stres lebih
sering berdampak negatif baik bagi orang yang mengalaminya maupun bagi
organisasi tempat kerja. Oleh karena itu, baik sebagai individu maupun
sebagai manajer kita perlu memahami sebab musabab terjadinya stres dan
lebih penting dari itu kita juga harus bisa mengelolanya.
Menyadari pentingnya kedua topik bahasan di atas maka Modul 3
bermaksud membahas kedua topik tersebut yang masih terkait satu sama lain
yang basisnya adalah perilaku individual. Dengan selesainya modul ini, Anda
diharapkan mampu memahami semua hal ihwal berkaitan dengan persepsi
terutama faktor-faktor yang menjadi penyebab persepsi agar selanjutnya bisa
meminimalisasi kesalahan berpresesi. Lebih dari itu, Anda juga mampu
mengelola impresi. Di samping itu, Anda juga sangat diharapkan mampu
mengelola stres utama dampak stres terhadap kinerja individu dan kinerja
• •
organ1sas1.
3.4 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Persepsi

alam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada kenyataan


bahwa sebuah fenomena sering kali dimaknai secara berbeda oleh orang
berbeda. Sebagai contoh, hampir semua orang tabu dan boleh jadi mengiakan
bahwa istilah "jam karet" selalu berkonotasi buruk- tidak tepat waktu, tidak
menghargai waktu atau suka mengulur-ulur waktu. Meski demikian, ada
sebagian orang yang melihat sisi positif dari jam karet. Seorang mahasiswa
Jepang yang melakukan studi tentang jam karet di Indonesia menganggap
bahwa jam karet adalah sebuah kenyataan bahwa orang Indonesia sangat
fleksibel. Contoh ini memberi gambaran bahwa fenomena yang sama
dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Perbedaan pemaknaan ini
salah satunya disebabkan karena sudut pandang dalam melihat fenomena
tersebut berbeda sehingga persepsi masing-masing juga berbeda. Contoh ini
juga sekaligus mempertegas sebuah postulat bahwa dunia persepsi tidak sama
dengan dunia riil.
Kegiatan Belajar 1 dengan topik persepsi diharapkan bisa memberi
pengetahuan Anda akan pentingnya persepsi di dalam kehidupan organisasi.
Di samping itu, Anda juga diharapkan memiliki bekal untuk menghindari
kesalahan-kesalahan dalam bepersepsi dan sekaligus bisa mengubah persepsi
negatif menjadi persepsi positif. Sederhananya Anda mampu menerapkan
manajemen persepsi sekaligus manajemen impresi. Untuk itu, topik-topik
yang akan dibahas pada Kegiatan Belajar 1, di antaranya pengertian persepsi,
proses terjadinya persepsi, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi,
bentuk-bentuk kesalahan dalam mempersepsi, dan manajemen impresi.

A. DEFINISI PERSEPSI

Persepsi sering didefinisikan sebagai proses kognitif yang


memungkinkan seseorang menerima, menyeleksi, menginterpretasikan,
3
memahami, dan memaknai stimulus yang berasal dari lingkungan sekitar .
Pengertian ini menegaskan bahwa persepsi merupakan sebuah proses, yaitu

3
Definisi ini disarikan dari beberapa sumber berbeda.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.5

4
sebuah proses kognitif. Luthan bahkan lebih tegas lagi mengatakan bahwa
persepsi adalah sebuah proses kognitif yang tidak sederhana. Dikatakan
sebagai proses kognitif karena ( 1) persepsi bukan merupakan snapshot-potret
sesaat terhadap stimulus melainkan sebuah aktivitas berj alan yang
berkelanjutan dan (2) dalam mempersepsi, seseorang memerlukan pengetahu-
an untuk memproses informasi yang terkandung dalam setiap stimulus yang
hadir dan bisa ditangkap seseorang.
Oleh karena manusia bisa memproses informasi maka tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa manusia adalah pemroses informasi, sama seperti
halnya komputer. Bedanya, komputer masih dianggap sebagai alat pemroses
yang sederhana betapapun canggihnya komputer tersebut dan kompleksnya
informasi yang diproses. Sementara itu, manusia bisa dikatakan sebagai
pemroses informasi yang kompleks. Dikatakan demikian karena prosesnya
itu sendiri melalui beberapa tahapan panjang-mulai dari menangkap stimulus
sampai dengan membuat simpulan berkaitan dengan kandungan informasi
dari stimulus yang dipersepsi. Selain itu, faktor-faktor lain juga ikut
mempengaruhi pemrosesan informasi. Faktor-faktor yang dimaksud adalah
(1) orang yang mempersepsi, (2) objek yang dipersepsi, dan (3) situasi atau
konteks saat proses mempersepsi berlangsung.
Ketiga faktor di atas akan diuraikan secara detail pada subpokok bahasan
proses persepsi. Namun, sebelum sampai ke subpokok bahasan tersebut
marilah kita cermati uraian berikut ini. Manusia sering dikatakan sebagai
makhluk hidup yang tidak bebas nilai, memiliki kepribadian yang khas, dan
memiliki sikap positif atau negatif terhadap sebuah objek. Karakteristik atau
konsep diri manusia yang khas seperti ini menyebabkan setiap orang
cenderung menginterpretasikan objek yang dipersepsi sesuai dengan latar
belakang psikologis masing-masing individu. Akibatnya, objek yang
dipersepsi tidak berubah-masih tetap sama, bisa dikatakan tidak ada dua
orang yang menginterpretasikan objek yang sama dengan hasil yang sama.
Objek yang sama tersebut akan diinterpretasikan sesuai dengan pemahaman,
pengetahuan dan daya memori masing-masing sehingga hasil interpretasinya
adalah sebuah bentuk visual atau gambar yang unik/khas. Jelasnya, masing-
masing individu akan menyajikan gambar yang tidak sama meski sekali lagi
objeknya adalah sama. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai
interpretasi berbeda untuk sebuah objek yang sama. Oleh karena itu, sering

4
Lihat Fred Luthan. (1998). Organizational Behavior. Hal. 101.
3.6 PERILAKU ORGANISASI e

dikatakan pula bahwa realitas ( dunia nyata) tidak selalu sama dengan dunia

perseps1.
Dalam konteks organisasi, misalnya ada anggapan di kalangan para
manajer bahwa bawahan selalu menginginkan promosi jabatan walaupun
realitanya bawahan terkadang merasa tertekan ketika ditawari jabatan yang
lebih tinggi. Contoh ini sekali lagi memberi gambaran bahwa dunia persepsi
di kalangan para manajer berbeda dengan dunia persepsi bawahan dan
keduanya bisa jadi berbeda juga dengan realitasnya. Jika masalahnya
demikian maka pertanyaannya adalah bagaimana kita melihat persepsi dari
kacamata organisasi dan manajemen? Jawabannya adalah para manajer harus
memahami proses persepsi dengan baik agar tidak terjadi kesalahan
mempersepsi yang berakibat pada ketidakefektifan kinerja organisasi.

B. PROSES PERSEPSI

Seperti telah diutarakan sebelumnya, persepsi merupakan proses kognitif


yang panjang. Jika disederhanakan (lihat Gambar 3.1), proses tersebut
bermula dari datangnya berbagai macam stimulus. Oleh karena stimulus
jumlahnya begitu banyak sementara kapasitas manusia untuk menangkap
stimulus tersebut sangat terbatas maka langkah pertama yang dilakukan
seseorang adalah menyaringnya dengan alat sensor - biasa disebut sebagai
indra penyaring (sensory filters). Dengan menggunakan indra penyaring
maka hanya stimulus yang mendatangkan sensasi yang akan kita tangkap dan
diproses lebih lanjut. Meski demikian tidak semua sensasi bisa menarik
perhatian. Oleh sebab itu, sensasi yang ditangkap oleh tubuh dikirim ke otak
untuk diproses lebih lanjut. Otak manusia yang berfungsi sebagai alat
"penyaring perhatian - attention filters" menyeleksi beberapa sensasi yang
perlu mendapat perhatian. Hasilnya, hanya beberapa sensasi yang diproses
lebih lanjut menjadi informasi. Pada tahap ini informasi masih acak. Oleh
karena itu, tahap selanjutnya, tahap terakhir, informasi dikategorisasikan,
serta ditata ( diseleksi ulan g) untuk diinterpretasi, dipahami, dan dimaknai.
Dari sinilah dilakukan penilaian terhadap stimulus yang datang kepada kita
dan untuk selanjutnya dibuat keputusan-keputusan yang benar menurut
kriteria kita.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.7

Stimulus _ _ ___.., •
sensas1 IJJ atensi _ _ ___.., persepsi

~
.. =
0
.. / ......
·~
r:/J
~ ro
//~
1-< ...... N
Q,) .........
...... ·~

~ . .........
·~
4-i
;;;.-...
·~
4-i
s::
=
ro
b1)
1-<
0
~ 1-<
0 ......
·~
s::
0
.........
r:/J ro
=
Q,)
Q,)
......
...... E
!. ~
.
Cl:l <t: fr
()
1-<
Q,)
~

Gambar 3.1.
Proses Persepsi

Dari penjelasan ini, bisa dikatakan bahwa proses persepsi terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu menangkap sensasi, memberi atensi, dan
mengorganisasi persepsi. Masing-masing komponen akan diuraikan secara
lebih detail sebagai berikut.

1. Sensasi
Dalam lingkungan yang serba terbuka, manusia bisa berinteraksi kapan
saj a, dengan siapa saj a dan dengan apa saj a, dikehendaki atau tidak. Di
kantor, misalnya karyawan berinteraksi dengan karyawan lain, dengan
pimpinan perusahaan atau dengan konsumen. Di luar kantor, katakanlah di
j alan, kita berinteraksi dengan berbagai mac am peristi wa - billboard, umbul-
umbul, lampu pengatur lalu lintas, sepeda motor yang melaju kencang. Juga
dengan berbagai macam objek atau kejadian-kejadian lain. Pada saat interaksi
berlangsung, otomatis manusia selalu dihadapkan, dikelilingi, bahkan
dibombardir oleh berbagai macam stimulus, baik berupa objek fisik maupun
nonfisik, berbagai macam kejadian dan orang lain. Meski demikian sering
kali kita tidak menyadari apa yang terjadi di sekeliling kita. Atau sekadar
mengabaikannya, entah karena kita memiliki mekanisme untuk
mengabaikannya atau karena indra kita tidak mampu menangkap semua
stimulus tersebut. Ambillah contoh seorang guru TK. Hampir setiap hari ia
menghadapi suasana riuh rendah karena anak didiknya suka ribut sendiri,
berbicara sendiri, dan main sendiri dengan sesama ternan meski pelajaran
terus berlangsung. Namun, apa yang terjadi? Si Guru tersebut seolah-olah
tidak terganggu, bahkan tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi di
sekelilingnya. Demikian juga ketika kita sedang bekerja di kantor, sepanjang
3.8 PERILAKU ORGANISASI e

hari kita terbiasa dengan bunyi mesin ketik - kalau masih ada; terbiasa
mendengar obrolan seorang customer service dengan para pelanggan atau
bahkan terbiasa mendengar lagu-lagu dari compact disc yang sengaja diputar
untuk menghilangkan rasa sunyi. Meski stimulus-stimulus tersebut bisa
ditangkap oleh tubuh kita namun sering kali kita mengabaikan kehadirannya
seolah-olah stimulus tersebut tidak pernah ada.
Sebagaimana kita ketahui, manusia hanya memiliki lima indra yang
disebut pancaindra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba
(touch), dan perasa (taste). Memang sering dikatakan bahwa sebagian orang
memiliki indra keenam- manusia supernormal (supernormal people), hanya
saja indra keenam belum diakui sebagai kajian dalam ilmu psikologi
sehingga sekali lagi, manusia normal dianggap paling banyak memiliki lima
indra. Dengan hanya lima indra, tentunya tidak semua stimulus bisa kita
tangkap. Demikian juga, indra kita juga memiliki keterbatasan. Sebagai
contoh, indra pendengar hanya mampu menangkap suara dengan frekuensi
tertentu. Lebih rendah dari itu mungkin hanya binatang-binatang tertentu,
seperti anjing atau binatang-binatang lain yang sangat sensitif yang bisa
menangkapnya. Meski demikian, dalam batas-batas tertentu, beberapa orang
mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi ketimbang orang lain.
Orang buta, misalnya memiliki daya dengar dan daya raba yang lebih tinggi
dibanding orang berpenglihatan normal. Demikian juga orang yang terkena
diabetes memiliki kemampuan yang lebih tinggi terhadap naik turunnya gula
darah dibanding orang normallainnya.
Pancaindra dengan demikian adalah alat sensor pertama yang berfungsi
untuk menangkap berbagai macam stimulus yang berasal dari lingkungan.
Artinya, apakah tubuh kita, melalui pancaindra, bisa menangkap berbagai
macam stimulus yang jumlahnya luar biasa banyak sangat tergantung pada
sensitivitas indra tersebut. Untuk indra tertentu, sebagian orang secara alami
memiliki sensitivitas yang tinggi. Sebagian yang lain tingkat sensitivitasnya
biasa-biasa saja, namun ada orang yang lain lagi yang berusaha
mengembangkan daya sensitivitas indra tertentu. Dengan daya sensitivitas,
sekali lagi manusia mampu menangkap dan menerima berbagai macam
stimuli. N amun, apakah seseorang bereaksi terhadap sensasi tersebut sang at
tergantung pada tahap pemrosesan persepsi berikutnya, yaitu atensi.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.9

2. Atensi
Meski tubuh kita, melalui pancaindra, bisa menangkap berbagai macam
stimulus, kita hanya bisa memberi perhatian pada sebagian dari stimulus-
stimulus tersebut dan mengabaikan yang sebagainya. Sebagai contoh, apabila
setiap hari kita pergi ke kantor melalui jalan yang sama barangkali kita sudah
tidak lagi memperhatikan keadaan kanan kiri di sepanjang jalan, fokus lebih
ditujukan pada kendaraan yang kita kemudikan. Jadi, setiap hari kita
melewati Jalan Malioboro kita mungkin tidak hafal nama-nama toko yang
berada di sepanjang jalan tersebut, kecuali misalnya ada toko baru yang hari-
hari sebelumnya belum ada barulah kita mungkin memberi perhatian pada
toko baru tersebut. Tidak teperhatikannya keadaan di sepanjang jalan seperti
contoh di atas, di samping karena tidak memberi informasi baru bagi kita
juga karena manusia memiliki kapasitas mental (kemampuan otak) yang
terbatas. Manusia akan memproses sensasi hanya jika sensasi tersebut
diyakini akan memberi informasi. Di sinilah atensilperhatian memainkan
peranannya. Atensi adalah sebuah proses yang menjadikan seseorang
memiliki kesadaran secara mendalam terhadap sebuah objek, kejadian atau
5
orang lain. Seperti dikatakan oleh Kreitner dan Kinicki stimulus akan
mendapat atensi/perhatian jika stimulus tersebut dianggap mencolok (salient
stimuli) dibandingkan stimulus-stimulus lainnya. Shaq O'Neil seorang
pemain basket NBA misalnya, di samping karena kemampuannya
memasukkan bola juga karena tubuhnya yang tinggi besar - terkesan lebih
mencolok dibandingkan pemain basket lainnya.
Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan stimulus dianggap
mencolok sehingga mendapat perhatian, bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
6
faktor ekstemal dan faktor internal . Seperti tersirat dari namanya, faktor
eksternal berasal dari lingkungan luar yakni bersumber dari stimulus yang
akan diberi perhatian. Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.

a. Ukuran
Stimulus yang ukurannya sangat besar dibandingkan stimulus lain yang
lebih kecil tentunya akan lebih mendapat perhatian. Sebagai contoh, iklan di
surat kabar sehalaman penuh tentu lebih mudah ditangkap oleh indra
penglihatan pembaca dan akan mendapat perhatian lebih. Oleh karenanya

5
Lihat Kreitner and Kinicki. (2004). Organizational Behavior. 6th edition. Hal. 226.
6
Luthan. Op cit. Hal. 104-113.
3.10 PERILAKU ORGANISASI e

ketika pembaca membolak-balik halaman surat kabar untuk mencari berita


yang menarik biasanya akan berhenti terlebih dahulu dan memperhatikan
iklan yang sehalaman penuh tersebut, utamanya untuk mencermati
kandungan informasinya. Demikian juga manakala Anda presentasi di
hadapan audience, biasanya ide-ide pokok yang Anda presentasikan ditulis
dalam huruf berukuran lebih besar untuk menarik perhatian para audience.
N amun, bisa juga terj adi hal sebaliknya, yakni stimulus yang berukuran lebih
kecil dari stimulus lainnya bukan tidak mungkin akan mendapat perhatian
lebih. Penyebabnya karena ukuran yang lebih kecil sering kali membuat kita
penasaran untuk mencermatinya lebih saksama.

b. Intensitas
Semakin besar intensitas dari stimulus semakin besar pula stimulus
tersebut memperoleh perhatian. Sebagai contoh, suara yang keras akan jauh
mendapat perhatian dibandingkan suara yang lembut. Bau yang sangat
menyengat tentu lebih mudah dicium ketimbang bau yang biasa-biasa saja.
Demikian juga, sinar yang terang benderang akan lebih mudah dilihat
daripada sinar temaram. Dalam praktik, intensitas sebagai unsur penarik
perhatian biasanya digunakan para mandor, misalnya dengan berteriak keras-
keras untuk menarik perhatian para karyawan agar mereka mendengarkan
pengumuman yang akan disampaikannya. Bagi seorang mandor berteriak
keras sangat diperlukan untuk mengatasi bisingnya suara mesin. Meski
demikian dewasa ini banyak pabrik yang dilengkapi juga dengan pengeras
suara (loud speaker) yang tujuannya agar para mandor lebih mudah menarik
perhatian para karyawan tanpa harus menghabiskan energi dengan berteriak-
teriak.

c. Frekuensi
Frekuensi pada dasamya adalah prinsip pengulangan (repetisi). Artinya,
semakin sering sebuah stimulus disajikan secara berulang-ulang semakin
besar pula kesempatannya untuk mendapat perhatian. Sebagai contoh, sebuah
iklan di televisi yang ditayangkan dalam sehari, misalnya 10 kali tayangan
tentunya akan memperoleh perhatian lebih besar ketimbang iklan yang
ditayangkan hanya sekali sehari. Demikian juga dalam kehidupan sebuah
organisasi, seorang pimpinan yang tanpa jemu-jemunya mengingatkan
karyawan agar tidak terlambat datang tentu saja lama-kelamaan akan dipatuhi
oleh para karyawan. Meski demikian jika pengulangan tersebut terlalu sering,
e EKMA41 58/MODUL 3 3.11

tidak hanya tidak mendapat perhatian, memberikan sensasi pun tidak. Hal ini
misalnya dikemukakan oleh Effendi Ghozali - seorang pakar komunikasi
dari Universitas Indonesia dalam menyikapi munculnya iklan tokoh politik di
TV yang terlalu gencar, tetapi pesan yang disampaikannya tidak berubah.
Menurutnya, iklan semacam ini hanya menghambur-hamburkan uang saja
tetapi tidak kena sasaran.

d. Kontras
Stimulus yang berbeda secara mencolok dibandingkan lingkungannya,
kemungkinan besar akan dipilih untuk mendapat perhatian dibandingkan
dengan stimulus yang membaur dengan lingkungan. Kondisi yang kontras ini
bisa diciptakan berdasarkan perbedaan warna, ukuran atau faktor lain yang
membedakan stimulus tersebut dengan lingkungannya. Sebagai contoh,
seorang berkulit hitam yang berpakaian warna cerah, hijau muda misalnya,
akan tampak sangat mencolok dan hampir pasti akan mendapat perhatian dari
khalayak meski orang tersebut sedang dalam kerumunan orang banyak -
dalam pesta misalnya.

e. Gerakan
Mengingat gerakan cenderung lebih menarik perhatian maka stimulus
yang bergerak akan mendapat perhatian lebih ketimbang stimulus yang statik.
Dalam sebuah perkuliahan misalnya, dosen yang mengajar hanya duduk di
kursi atau berdiri tegak sambil membacakan bahan kuliah terasa lebih
menjemukan sehingga bukan tidak mungkin banyak mahasiswa yang
mengantuk. Berbeda jika dosen tersebut terus bergerak, menghampiri
mahasiswa, dan bahan kuliahnya pun disajikan dalam tayangan bergerak
tentunya akan lebih menarik dan mendorong mahasiswa untuk berinteraksi,
mengajukan pertanyaan, dan mengajak berdiskusi, bahkan berargumentasi.

f Berubah-ubah
Objek cenderung akan mendapat perhatian jika objek tersebut
menunjukkan beberapa bentuk perubahan. Sebagai contoh, sebuah iklan atau
billboard dengan lampu berkedip-kedip (hidup dan mati secara bergantian)
tentu akan lebih menarik perhatian ketimbang billboard yang lampunya
menyala secara ajeg.
3.12 PERILAKU ORGANISASI e

g. Hal-hal baru
Stimulus baru dan khas tentu akan segera menarik perhatian ketimbang
stimulus yang konvensional dan terkesan kuno. Dalam hal ini, tidak jarang
perusahaan mengeluarkan produk dan diberi embel-embel baru. Tujuannya
tidak lain agar para konsumen tertarik dengan produk tersebut meski kadang-
kadang yang baru dari produk tersebut sesungguhnya kurang dari 5% dari
total produk. Sebuah iklan "inovasi tiada henti" secara tidak langsung ingin
memberi tahu konsumen bahwa perusahaan tersebut selalu menyajikan
produk-produk baru.
Sementara itu, faktor internal juga tidak kalah penting dibandingkan
faktor eksternal. Faktor internal berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan
perhatian (attention-getting) dan biasanya dipengaruhi oleh latar belakang
psikologis seseorang. Dalam hal ini, seseorang akan menyeleksi stimulus
untuk diberi perhatian tentunya jika stimulus tersebut memiliki daya tarik dan
cocok dengan kepribadian, motivasi, dan unsur pembelajaran orang tersebut.
Sebagai contoh, apabila seorang guru berteriak keras untuk menenangkan
murid-muridnya yang ribut sendiri, sesungguhnya bukan semata-mata karena
intensitas suaranya yang ditinggikan agar menarik perhatian para murid,
tetapi boleh jadi karena guru tersebut memang memiliki kepribadian yang
suka marah. Dari contoh ini bisa dikatakan bahwa baik faktor eksternal
maupun internal, secara bersama-sama mempengaruhi proses pemberian
atensi/perhatian. Faktor internal akan diuraikan lebih lanjut pada bagian
faktor pemersepsi.

3. Organisasi Persepsi
Setelah melalui tahap kedua, yakni menyeleksi stimulus agar bisa diberi
perhatian maka tahap terakhir dari proses persepsi adalah melakukan
tindakan segera setelah menerima informasi. Tahapan ini sering disebut
sebagai mengorganisasi persepsi (perceptual organization). Maksud dari
mengorganisasi persepsi tidak lain adalah proses mengorganisasi dan
menginterpretasi sensasi-sensasi, yang telah diubah menjadi informasi,
menjadi pola yang mudah dipahami sehingga bisa memberi makna bagi
orang yang mempersepsi (perceiver). Suara, aroma atau bentuk gambar
visual (visual image) sering kali datang kepada kita masih bercampur baur.
Oleh karena itu, kita mampu menangkapnya selanjutnya kita mulai mencoba
mengubahnya menjadi informasi. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah
mengorganisasi dan mengategorisasikannya ke dalam kelompok-kelompok
e EKMA41 58/MODUL 3 3.13

persepsi yang diharapkan bisa memberi makna. Sayangnya informasi yang


kita tangkap kadang-kadang tidak dalam bentuk yang sempurna. Meski
demikian kita toh tidak bisa menunggu sampai informasi tersebut betul-betul
lengkap. Dalam kondisi seperti ini kita tetap dituntut untuk mengorganisasi
dan mengelompokkan informasi tersebut untuk dimaknai. Oleh karena itu,
yang bisa dilakukan adalah membuat simpulan (inference) dari informasi
yang tidak lengkap tersebut. Sebagai contoh, apabila Anda adalah seorang
konselor di sebuah perguruan tinggi dan didatangi seorang mahasiswa yang
minta nasihat maka Anda tidak bisa berharap bahwa Si mahasiswa
memberikan informasi lengkap. Toh pada kondisi seperti ini tetap saja Anda
harus memberi nasihat meski sekali lagi, informasi yang didapat tidak
lengkap.
Beberapa prinsip penting dalam pengorganisasian persepsi (perceptual
organization) sehingga kita bisa mengelompokkan informasi adalah sebagai
berikut.

a. Latar belakang- gambar (figure ground)


Figure ground sering dianggap sebagai bentuk paling dasar dalam
memahami pengorganisasian persepsi. Maksud dari figure ground adalah
mempersepsi objek secara terpisah dari latar belakangnya. Sebagai contoh,
sederhana, ketika Anda membaca buku teks ini, khususnya pada paragraf ini,
biasanya Anda mengatakan sedang membaca buku teks yang ditulis dengan
tinta wama hitam dengan latar belakang kertas putih. Contoh ini sekali lagi
menggambarkan bahwa manusia cenderung mempersepsi sebuah objek
terpisah dari latar belakangnya. Untuk selanjutnya, cobalah Anda perhatikan
Gambar 3.2 (a) dan (b) berikut ini.

(a)

Gambar 3.2(a).
Contoh Figure-Ground
3.14 PERILAKU ORGANISASI e

(b)

Gambar 3.2(b).
Contoh Figure-Ground

Sepintas Anda akan melihat bahwa gambar pertama, Gambar 3.2 (a) dan
(b) adalah beberapa potong kotak dan satu anak panah warna hitam yang
tidak beraturan dengan latar belakang warna putih. Cara melihat seperti ini
disebabkan karena pada saat membaca modul ini Anda sedang membaca teks
dengan tinta hitam dan latar belakang kertas putih. Padahal jika Anda
mencermati dengan saksama, mengorganisasi kembali cara pandang Anda
dengan cara melihat sebaliknya yakni memperlakukan kotak dan anak panah
warna hitam yang tidak beraturan sebagai latar belakang maka akan tampak
tulisan warna putih. Pada Gambar 3.2 (a) akan terbaca tulisan "FLY" dan
Gambar 3.2 (b) terbaca "TIE". Demikian juga pada gambar kedua
(Gambar 3.3), mungkin Anda akan melihat sebagai gelas anggur jika
menjadikan warna hitam sebagai latar belakangnya. Namun, melihat
sebaliknya, wama putih sebagai latar belakang maka akan menemukan
gambar dua orang sedang berhadapan. Contoh ini menunjukkan bahwa cara
berbeda dalam memberi perhatian akan menghasilkan persepsi berbeda.
Kedua gambar di atas sering disebut "hubungan gambar dan latar belakang
yang ambigu - ambigous figure ground relationship".
Hal menarik lainnya dalam hubungan gambar dan latar belakang yang
ambigu adalah adanya kesan lebih menonjol dari gambar ketimbang latar
belakangnya. Pada saat Anda memperlakukan tulisan "fly" dan "tie" maupun
gambar gelas sebagai gambar maka ketiganya akan tampak lebih dekat
dengan Anda. Demikian sebaliknya, apabila ketiga gambar tadi diperlakukan
sebagai latar belakang maka akan tampak lebih jauh. Perlakuan gambar dan
latar belakang yang bisa bergantian tempat ini disebut reversible perspective.
Sekarang sekali lagi perhatikan Gambar 3.3 di bawah ini.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.15

Gambar 3.3.
Tangga Ajaib (Magic Stair)

Cermati gambar di atas. Tangga dalam gambar menuju ke arah bawah


atau ke atas? Atau kedua-duanya? Sekarang, menurut saudara mana pijakan
tangga yang lebih tinggi - yang sebelah kanan atau sebelah kiri? Anda
mungkin menamakan gambar di atas sebagai "tangga ajaib" karena
jawabannya serba mungkin. Inilah sebuah perspektif gambar yang bisa
memanipulasi mata Anda. Untuk selanjutnya, cermati pula beberapa gambar
di bawah ini.
3.16 PERILAKU ORGANISASI e

Gambar 3.4.
Manipulasi Gambar

Hubungan gambar dan latar belakang seperti ditunjukkan pada


Gambar 3.4 (a) sampai (g) di atas kembali bisa memanipulasi indra
penglihatan Anda. Pada gambar (a) dan (b) lingkaran warna hitam yang
berada di tengah-tengah lingkaran lainnya sesungguhnya besarnya sama
e EKMA41 58/MODUL 3 3.17

tetapi karena lingkungannya berbeda, gambar (a) dikelilingi oleh lingkaran


yang lebih besar dan gambar (b) dikelilingi oleh lingkaran yang lebih kecil
pada akhirnya memberi kesan jika ukuran kedua lingkaran yang berwarna
hitam seolah-olah menjadi berbeda. Hal yang sama juga terjadi pada gambar
(c) dan (d). Pada gambar (e) dan (f) kedua garis vertikal sesungguhnya sejajar
tetapi sekali lagi penglihatan kita mengatakan lain seolah-olah gambar (e)
tampak cekung dan gambar (f) tampak cembung. Demikian juga pada
gambar terakhir - gambar (g), garis-garis horizontal tidak tampak sejajar
meski sesungguhnya demikian. Semua itu karena pengaruh latar belakang
terhadap persepsi kita.

b. Kesamaan (similarity)
Prinsip kesamaan atau similarity menegaskan bahwa semakin stimulus
memiliki kesamaan semakin besar pula stimulus tersebut dimasukkan ke
dalam kelompok yang sama dan dipersepsi sebagai satu kesatuan. Sebagai
contoh, karyawan yang memakai baju seragam berkerah putih (white collar)
mungkin akan dipersepsi sebagai sekelompok eksekutif yang memiliki
perilaku sama walaupun kenyataannya secara individual masing-masing
memiliki perilaku berbeda. Prinsip kesamaan ini kadang-kadang mengarah
terjadinya stereotype (dibicarakan berikutnya).

c. Kedekatan (proximity)
Seperti halnya prinsip kesamaan jika dua buah stimulus memiliki
kedekatan atau kemiripan maka keduanya akan dikelompokkan menjadi satu
seolah-olah keduanya adalah sama dan satu. Sebagai contoh, apabila dua
orang selalu bersama kita akan bepersepsi bahwa keduanya miliki kesamaan
perilaku walaupun kenyataan mungkin tidak.

d. Menutup kekurangan (closure)


Dalam realitas hidup sering kali kita tidak mendapatkan informasi secara
lengkap. Meski demikian kita dituntut untuk membuat simpulan dari
informasi yang tidak lengkap tersebut. Caranya dengan menutup ketidak-
lengkapan informasi tersebut, misalnya dengan membuat ekstrapolasi atau
memproyeksikan informasi yang tidak lengkap ke dalam satu gambar yang
lengkap. Sebagai contoh lihat tulisan berikut ini.
3.18 PERILAKU ORGANISASI e

Gambar 3.5.
Gam bar Tidak Lengkap 1

Saya yakin Anda sepakat dengan saya untuk dua hal. Pertama tulisan di
atas tidak lengkap karena banyak garis yang terpotong. Kedua saya yakin
bahwa Anda bisa membaca tulisan tersebut meski banyak garis yang tidak
lengkap. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena Anda bisa
melengkapi (menutup kekurangan) garis-garis yang hilang tersebut dengan
memori Anda sehingga terbaca shadow. Perhatikan juga gambar berikut ini.

Gambar 3.6.
Gambar Tidak Lengkap 2

Ada berapa segitiga yang Anda lihat? Satu atau dua? Hampir pasti
jawaban Anda adalah dua. Meski gambar segitiga kedua tidak lengkap
namun karena bantuan dari tiga lingkaran berwarna hitam maka Anda bisa
melihat segitiga tanpa garis. Inilah prinsip closure- menutup kekurangan.

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI

Di muka telah dikatakan bahwa meski beberapa orang melihat benda


yang sama, namun persepsi masing-masing individu tidak tentu sama.
Perbedaan ini terletak pada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu
individu yang melakukan persepsi, objek yang dipersepsi, dan konteks yang
melingkupi terjadinya persepsi (lihat Gambar 3.7). Ketiga faktor ini akan
dij elaskan secara detail sebagai berikut.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.19

Orang yang

memperseps1

F aktor si tuasi
saat terj adi Persepsi

perseps1

Target yang
dipersepsi

Gam bar 3. 7.
Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

D. ORANG YANG MEMPERSEPSI (PERCEIVER)

Ketika seseorang melihat sebuah objek yang disebut target untuk


dipersepsi dan mencoba menginterpretasikan apa yang ia lihat maka basil
interpretasinya sangat tergantung pada dan dipengaruhi oleh karakteristik
personal orang tersebut. Sebagai contoh, katakanlah Anda pergi ke sebuah
butik untuk membeli baju baru. Ketika Anda telah memilih sebuah model dan
merasa cocok dengan model baju tersebut, namun sesaat sebelum
memutuskan untuk membeli tiba-tiba ada orang lain yang memakai baju
dengan model dan warna yang sama seperti yang Anda akan beli, kira-kira
bagaimana respons Anda? Boleh jadi Anda tidak jadi membeli karena Anda
merasa baju yang akan dibeli tidak eksklusif. Padahal dengan pergi ke butik
Anda berharap akan menjadi orang yang eksklusif, yakni tidak ada satu orang
lain pun yang memakai baju yang akan Anda beli. Contoh ini memberi
gambaran bagaimana faktor-faktor yang berkaitan dengan persepsi
mempengaruhi seseorang bepersepsi. Secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi orang bepersepsi adalah faktor psikologis orang tersebut.
Termasuk di dalamnya kepribadian dan sikap, motivasi, interest dan
pengalaman masa lalu, serta harapan seseorang.
3.20 PERILAKU ORGANISASI e

1. Kepribadian dan Sikap


Meski harus diakui bahwa kepribadian dan sikap seseorang adalah dua
konsep yang berbeda, dalam uraian ini keduanya diperlakukan sebagai
perilaku individu yang menjadikan seseorang memiliki keunikan sehingga
dalam kaitannya dengan persepsi, keduanya (yang disebut konsep diri - self
concept) diyakini mempengaruhi seseorang dalam bepersepsi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa seseorang biasanya menginterpretasikan stimulus
berdasarkan norma atau standar yang dianggap benar menurut dirinya.
Artinya, ketika seseorang mempersepsi dan menilai orang lain norma atau
standar itulah yang digunakan. Beberapa studi menghasilkan temuan sebagai
berikut.
a. Jika kita bisa memahami diri sendiri dan jika kita bisa menjelaskan
karakteristik diri kita secara akurat maka kita akan lebih akurat
mempersepsi orang lain.
b. Karakteristik diri kita berpengaruh terhadap cara kita melihat
karakteristik orang lain. Sebagai contoh, seseorang dengan kepribadian
yang otoriter cenderung melihat orang lain dari status dan kekuasaannya,
dan orang tersebut cenderung tidak sensitif terhadap kepribadian orang
lain.

2. Motivasi
Ketika seseorang mempersepsi sebuah objek, tidak jarang ia dipengaruhi
oleh motif atau kebutuhan dan emosi orang tersebut dalam bepersepsi.
Sebagai contoh, saat Anda bepergian dan tiba-tiba merasa lapar maka
billboard bertanda garpu dan sendok akan lebih mendapat perhatian meski
ukuran billboardnya relatif kecil, ketimbang billboard yang lebih besar yang
menawarkan pengisian bahan bakar. Demikian juga ketika kita sedang marah
atau sedang tidak berkenan secara emosional, komentar orang lain meski
sesungguhnya tidak ditujukan kepada diri kita dan sesungguhnya biasa-biasa
saja bisa disalahinterpretasikan.

3. Ketertarikan dan Pengalaman Masa Lalu


Setiap individu mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap sebuah
objek. Ketertarikan ini, biasanya dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu,
juga mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi. Perhatikan gambar
berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.21

Cobalah Anda perhatikan gambar


di atas dengan cermat. Ketika gambar
--. di atas saya tunjukkan kepada tiga anak
laki-laki saya, ketiganya mengatakan
bahwa gambar di atas adalah gambar
perempuan muda yang sedang
menengok ke kanan. Namun, ketika
gambar tersebut saya tunjukkan kepada
orang setengah baya komentarnya
berbeda. Gambar tersebut adalah
seorang nenek tua yang memakai
mantel bulu. Perbedaan cara
Gambar 3.8.
mempersepsi dari kedua kelompok
Wanita Tua atau Gadis Remaja? umur yang berbeda tersebut boleh jadi
karena ketertarikan atau pengalaman
sehari-hari mereka bergaul berbeda. Anak-anak yang sehari-hari bergaul
dengan ternan sebaya sehingga pengalamannya lebih banyak dengan orang
sebaya, lebih melihat gambar di atas sebagai perempuan muda. Demikian
sebaliknya orang yang setengah baya. Jika gambar di atas diurai maka
tampak menjadi dua gambar berikut ini.

Gam bar 3. 9.
Wanita Tua vs. Gadis Remaja
3.22 PERILAKU ORGANISASI e

4. Harapan
Dalam kehidupan sehari -hari sering dikatakan, seseorang in gin melihat
sesuatu yang memang ingin dilihat bukan sesuatu yang ingin diperlihatkan
orang lain; ingin mendengar sesuatu yang memang ingin didengar bukan
sesuatu yang ingin diomongkan orang lain. Jika Anda berharap bahwa
seorang dosen rajin membaca, seorang anak muda tidak ambisius, seorang
tua lebih santun, dan manajer SDM menyukai orang lain maka Anda pun
akan mempersepsi orang-orang tersebut seperti itu. Nah sekarang perhatikan
gambar di bawah ini tentang papan nama sebuah warung soto. Sepintas Anda
mendapati papan nama tersebut tidak ada yang ganjil. Semua jenis soto yang
ditawarkan warung soto komplit adalah jenis-jenis soto yang biasa Anda
makan. Namun, cobalah sekali dicermati dengan saksama. Setelah beberapa
detik mencermatinya Anda mungkin mendapati sesuatu yang keliru. Jika
Anda tidak melihat kekeliruan tersebut lebih disebabkan karena Anda
berharap bahwa jenis-jenis soto tersebut adalah jenis soto yang biasa Anda
makan.

So~oK:o
s eka

- So~oBe~a~
- So~o:IYiad a
- So~o I> =: Sapi

Gam bar 3.1 0.


Gambar dengan Kesalahan yang Bisa Dimaklumi
e EKMA41 58/MODUL 3 3.23

E. OBJEK YANG DIPERSEPSI (TARGET)

Faktor kedua yang mempengaruhi persepsi adalah objek atau target


persepsi. Dalam hal ini, perhatian terhadap objek atau target persepsi akan
difokuskan pada objek manusia atau kegiatan sosial yang melibatkan
manusia. Kedua objek ini menjadi fokus perhatian karena mempersepsi
manusia dan kegiatan sosial yang melibatkan manusia jauh lebih sulit dan
lebih menantang ketimbang mempersepsi objek yang bersifat fisik. Sebagai
contoh, apabila ada dua orang yang tidak sependapat dengan luas tanah yang
akan dijual maka solusinya mudah, tinggal mengambil alat pengukur
(meteran) dan luas tanah tersebut diukur bersama-sama. Namun, ketika dua
orang karyawan dimintai pendapat mengapa atasan mereka gampang marah,
mungkin pendapat mereka berbeda. Meski demikian kita tidak akan mudah
untuk menilai argumentasi yang benar dari dua karyawan tersebut.
Oleh karena manusia sebagai objek yang dipersepsi sering kali tidak
memberi informasi yang lengkap yang disebabkan karena perilaku masing-
masing individu berbeda maka tidak jarang kita mempersepsi orang lain
berdasarkan simpulan (inference) dari basil observasi perilaku mereka. Di
samping itu, persepsi yang kita tujukan pada orang lain sering kali juga
dipengaruhi oleh berbagai macam karakteristik fisik dan atribut yang mereka
sandang. Tiga di antaranya tampilan, komunikasi, dan status.

1. Tampilan
Tampilan seseorang terkadang mengelabuhi perilaku sebenamya dari
orang tersebut. Ambillah contoh dua orang yang perilakunya hampir sama,
namun tampilan fisiknya berbeda - katakanlah yang satu berambut panjang
dan tidak tersisir rapi, sedangkan orang yang satunya lagi berambut pendek
dan tertata rapi. Boleh jadi kita akan mempersepsi kedua orang tersebut
bukan berdasarkan perilaku sebenarnya, tetapi lebih didasarkan pada
tampilan fisik tersebut.

2. Cara Berkomunikasi
Faktor kedua yang mempengaruhi persepsi terhadap objek yang
dipersepsi adalah cara seseorang berkomunikasi. Pada saat kita mendengar
orang berbicara biasanya kita langsung bisa menilai bagaimana latar
belakang orang tersebut, kepribadiannya dan motivasi yang terkandung dari
pembicaraannya. Demikian juga ketika kita mendengar nada bicara seseorang
3.24 PERILAKU ORGANISASI e

kita akan mendeteksi apakah orang tersebut sedang bergembira, sedih, marah
atau sedang gundah.

3. Status
Maksud dari status adalah tingkat harga diri seseorang. Biasanya status
seseorang dipengaruhi posisi yang ditempati dalam sebuah organisasi. Dalam
konteks persepsi, status seseorang sering kali berpengaruh terhadap respons
dan persepsi yang kita berikan pada orang tersebut. Sebagai contoh, meski
dua orang memberi perintah yang sama terhadap beberapa karyawan, boleh
jadi karyawan-karyawan tersebut akan meresponsnya dengan cara berbeda
karena perbedaan status kedua orang tadi. Karyawan akan mudah merespons
jika yang memerintah adalah pimpinan puncak perusahaan ketimbang
diperintah supervisor level bawah.

F. KONTEKS ATAU SITUASI

Proses mempersepsi sering kali tidak bisa dipisahkan dari konteks atau
situasi pada saat persepsi tersebut berlangsung. Konteks atau situasi, bahkan
memainkan peran penting dalam proses mempersepsi. Di satu sisi konteks
terkadang bisa menambah informasi tentang objek yang dipersepsi. Di sisi
lain, konteks juga sering berperan sebagai filter yang menghalangi proses
mempersepsi. Secara umum, konteks yang mempengaruhi persepsi adalah
budaya organisasi dan lingkungan tempat kerja.

1. Budaya Organisasi
Persepsi seseorang terhadap objek yang dipersepsi, di samping
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang telah disebutkan di muka juga
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dari sebuah organisasi. Di antaranya yang
cukup berpengaruh adalah budaya dari organisasi bersangkutan yang secara
singkat disebut "budaya organisasi". Secara detail topik tentang budaya
organisasi akan diulas tersendiri pada Modul 8. Di sini hanya akan
disinggung sedikit bagaimana budaya organisasi mempengaruhi persepsi.
Intinya, budaya organisasi adalah sebuah keyakinan (belief) yang dipahami
bersama oleh anggota organisasi tentang bagaimana seharusnya bertindak
dalam organisasi tersebut. Budaya juga menegaskan hal-hal yang penting
yang seharusnya dijalankan organisasi di samping menegaskan pula hal-hal
yang ditabukan. Sederhananya, budaya organisasi merupakan pedoman tidak
e EKMA41 58/MODUL 3 3.25

tertulis bagi anggota organisasi untuk melakukan suatu tindakan. Hal ini bisa
diartikan pula bahwa persepsi seorang karyawan juga dipengaruhi oleh
budaya organisasi. Sebagai contoh, apabila budaya kooperatif merupakan
pedoman berperilaku ketimbang budaya kompetitif maka seorang yang
sangat ambisius akan dipersepsi sebagai karyawan yang bukan dari bagian
mereka dan biasanya karyawan ini akan dikucilkan.

2. Lingkungan Tempat Kerja


Selain budaya organisasi, lingkungan kerja khususnya yang menyangkut
struktur organisasi juga mempengaruhi seorang karyawan mempersepsi. Bisa
dikatakan kultur dan struktur merupakan sebuah tandem yang mempengaruhi
seseorang bepersepsi. Sebagaimana kita ketahui, secara formal organisasi
biasanya dibagi ke dalam beberapa departemen fungsional di mana masing-
masing departemen menjalankan tugas yang spesifik sesuai spesifikasi
pekerjaan. Dalam praktik, masing-masing manajer departemen terkadang
merasa bahwa departemen dikelolanya merupakan yang paling penting
dibanding departemen lain. Akibatnya, mereka merasa bahwa departemennya
merupakan departemen yang mempengaruhi departemen lainnya.
Departemen pemasaran, misalnya merasa bahwa departemennya harus
memperoleh prioritas perhatian karena mempengaruhi departemen lainnya.
Sayangnya departemen lain juga memiliki perasaan yang sama. Hal inilah
tantangan yang dihadapi pimpinan puncak untuk mengeliminir perbedaan
persepsi subj ektif dari masing-masing departemen.

G. KESALAHAN DALAM PERSEPSI

Di muka telah disebutkan bahwa dunia persepsi sering kali berbeda


dengan dunia nyata. Dengan kata lain, dalam bepersepsi bukan tidak
mungkin kita melakukan kesalahan. Bisa dikatakan bahwa kesalahan dalam
bepersepsi bahkan bisa terj adi setiap hari. Ketiga komponen di atas, orang
yang mempersepsi, objek yang dipersepsi dan situasi yang melingkupi
persepsi bisa menjadi kontributor dalam kesalahan mempersepsi. Secara
umum jenis-jenis kesalahan dalam mempersepsi, di antaranya stereotype,
halo effect, mempertahankan persepsi, mempersepsi sebagian, kepribadian,
proyeksi, dan kesan.
3.26 PERILAKU ORGANISASI e

1. Stereotype
Maksud dari stereotype adalah kecenderungan melihat orang bukan
berdasarkan perilaku individual orang tersebut, tetapi berdasarkan perilaku
kelompoknya. Stereotype biasanya didasarkan pada jenis kelamin, ras, umur,
agama, kewarganegaraan atau pekerjaan. Sebagai contoh, apabila Anda orang
Jawa maka seolah-olah perilaku Anda sama dengan pada umumnya orang
Jawa. Jika Anda pegawai asuransi maka Anda seolah-olah memiliki perilaku
yang gigih, agresif, pantang menyerah, banyak bicara.
Meski stereotype sesungguhnya bisa membantu kita untuk
menginterpretasikan informasi lebih cepat, namun stereotype sering
menyebabkan kesalahan mempersepsi yang serius yang bisa merusak diri kita
sendiri dan orang lain yang dipersepsi. Oleh karena itu, masalah stereotype
banyak mendapat perhatian dari para akademisi. Salah satu penelitian
misalnya survei terhadap para manajer berkelamin pria dan wanita yang
meminta mereka untuk mendeskripsikan karakteristik, sikap, dan
temperamen manajer yang sukses. Hasilnya menunjukkan baik manajer pria
maupun wanita mengatakan bahwa manajer yang sukses adalah stereotype
seorang pria yang berkepribadian maskulin. Di samping para akademisi,
masalah stereotype juga mendapat perhatian masyarakat umum, khususnya
pemerintah. Untuk mencegah diskriminasi yang berbasis stereotype banyak
negara yang mengeluarkan Undang-undang Anti Diskriminasi.

2. Halo Effect
Halo effect hampir sama dengan stereotype. Bedanya adalah dalam halo
effect orang yang mempersepsi mempergunakan satu kepribadian seseorang
sebagai dasar untuk menilai orang tersebut secara keseluruhan. Sebagai
contoh, ketika kita melihat seseorang tersenyum dan berwajah
menyenangkan mungkin kita berkesimpulan bahwa orang tersebut
merupakan orang jujur dibandingkan orang yang sedangkan mengerutkan
dahi meski sesungguhnya tidak ada korelasi antara orang yang tersenyum
dengan kejujuran. Persoalan halo effect juga bisa terjadi dalam kehidupan
organisasi. Sebagai contoh, apabila sebuah perusahaan sedang dalam
pengawasan pemerintah, misalnya karena menghadapi problem keuangan
biasanya kondisi perusahaan seperti ini akan digeneralisasi utamanya
berkaitan dengan pemberian gaji yang rendah. Kenyataan sesungguhnya
belum tentu demikian. Boleh jadi perusahaan yang sedang dalam pengawasan
e EKMA41 58/MODUL 3 3.27

tersebut justru memberikan gaji yang relatif lebih tinggi dibanding


perusahaan lain yang tidak dalam pengawasan.
Salah satu aplikasi penting dalam kesalahan mempersepsi yang
disebabkan karena halo effect adalah ketika seorang supervisor menilai
kinerja bawahan. Jika misalnya salah satu atribut dari orang yang dinilai
kinerjanya mempengaruhi persepsi Sang Supervisor dan sang Supervisor
mengaitkannya dengan atribut lain yang tidak relevan dengan penilaian
kinerja, bukan tidak mungkin penilaian kinerja yang dilakukan supervisor
tidakfair dan menyesatkan.

3. Perceptual Defence
Kadang-kadang kita berhadapan dengan stimulus yang membuat kita
sendiri merasa malu atau mengancam diri kita. Oleh karena itu, bukan tidak
mungkin kita enggan menghadapinya. Kondisi semacam ini disebut
perceptual defence. Informasi yang secara personal akan mengancam
kedudukan kita atau secara kultural tidak bisa diterima biasanya cenderung
diabaikan kecuali informasi tersebut datang bertubi-tubi. Pada saat kita
menghadapi stimulus semacam itu, biasanya respons kita adalah sebagai
berikut.
a. Kita mengingkari keberadaan persepsi tersebut dan mengabaikannya.
b. Kita memodifikasi persepsi tersebut agar bisa diterima dengan keyakinan
kita.
c. Kita menerimanya dan kita membuat beberapa perubahan yang relevan
agar sesuai dengan keyakinan kita.
d. Kita memahami stimulus yang mengancam tersebut, tetapi enggan
membuat perubahan.

4. Mempersepsi secara Selektif


Maksud dari mempersepsi secara selektif adalah proses menyaring
informasi secara sistematis untuk hal-hal yang tidak ingin kita dengar. Proses
ini biasanya terjadi sebagai respons atas hal-hal yang tidak menyenangkan
yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Seorang dosen, misalnya
yang sudah bertahun-tahun mengajar mata kuliah yang sama biasanya akan
mengabaikan kritik dari para mahasiswa seolah-olah dirinya adalah orang
yang paling memahami mata kuliah tersebut dan merasa cara mengajamya
pun yang paling baik.
3.28 PERILAKU ORGANISASI e

5. Membuat Teori Kepribadian Sendiri


Oleh karena kita sering berinteraksi dengan beberapa kelompok orang,
misalnya dengan orang-orang akuntansi, asuransi, seniman atau pegawai
negeri, kita biasanya kenyang pengalaman dan paham betul dengan perilaku
kelompok-kelompok orang tersebut. Oleh karena itu, kita cenderung
membuat teori sendiri mengenai profil kepribadian kelompok-kelompok
orang tersebut. Misalnya, akuntan adalah orang yang pemalu, jujur, patuh,
tidak asertif, dan berkata lembut. Sementara orang-orang asuransi memiliki
kepribadian sebaliknya. Dalam batas-batas tertentu boleh jadi profil yang kita
buat cukup akurat, tidak banyak keliru. Berdasarkan pengalaman ini pula
tidak jarang kita bisa secara cepat dan akurat mempersepsi kelompok orang
tersebut. Meski demikian kita tidak boleh lupa bahwa setiap orang
mempunyai kekhasan tersendiri sehingga teori yang kita buat sesungguhnya
hanya sebagai ancar-ancar saja agar bisa mengategorikan kelompok orang.
Jika mencermati lebih detail boleh jadi situasinya berbeda. Misalnya, tidak
selalu orang yang merasa bahagia dalam pekerjaannya, pasti orang yang lebih
produktif. Seorang pekerja keras belum tentu orang yang juru meski teori
yang kita buat mengatakan bahwa pekerja keras orangnya pasti jujur.

6. Menggunakan Karakteristik Diri Sendiri untuk Menilai Orang Lain


Sering kali ketika menilai orang lain menggunakan karakteristik yang
kita miliki. Bahasa simboliknya mengukur sepatu orang dengan ukuran
sepatu kita. Cara penilaian seperti ini biasa disebut sebagai projection.
Seperti halnya kesalahan dam mempersepsi, projection juga bisa menjadi
cara yang efisien untuk mempersepsi orang lain. Sebagai contoh, apabila kita
termasuk orang yang tidak suka dikritik, dipermalukan, dan diancam maka
kita menganggap orang lain juga memiliki karakteristik yang sama dengan
diri kita. Permasalahan yang berkaitan dengan projection adalah bukan
sekadar menilai orang lain dengan karakteristik diri sendiri, tetapi lebih dari
itu yakni menilai secara negatif perilaku orang lain meski orang lain tersebut
sesungguhnya tidak berperilaku demikian. Penilaian negatif kepada orang
lain tersebut lebih disebabkan karena diri kita sendiri yang sesungguhnya
berperilaku negatif, namun kita tidak mau mengakuinya sehingga ditimpakan
kepada orang lain. Dalam bahasa Sigmund Freud upaya ini disebut
mekanisme mempertahankan diri sendiri (self defense mechanism) yang
tujuannya adalah untuk memproteksi diri sendiri dan seolah-olah kita mampu
menghadapi orang lain yang dianggap tidak sempurna.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.29

7. Kesan Pertama
Tidak jarang ketika kita bertemu pertama kali dengan orang lain kita
mempunyai kesan tertentu, entah kesan baik atau buruk. Namun, sering kali
kita terpengaruh terhadap kesan pertama tersebut dan dijadikan dasar untuk
memberi penilaian berikutnya. Jika kesan pertamanya adalah baik seolah-
olah orang tersebut seterusnya juga baik. Dengan demikian, kesan pertama
merupakan salah satu kesalahan dalam mempersepsi yang harus dihindari
agar tidak terjadi kesalahan lebih lanjut dalam menilai seseorang. Masalah
kesan pertama biasanya berkaitan dengan rekrutmen karyawan baru. Dewasa
ini misalnya banyak lembaga pendidikan nonformal yang mengajari calon
karyawan yang akan menghadapi wawancara untuk menata diri agar
memberi kesan positif saat wawancara berlangsung. Hal ini, misalnya
dibuktikan oleh seorang lulusan Magister Manajemen yang diwawancarai
untuk suatu pekerjaan di bank milik pemerintah. Pada saat diwawancarai ia
begitu meyakinkan dan asertif sehingga si pewawancara terkesan seolah-olah
calon karyawan tersebut adalah orang memiliki kemampuan meski
sesungguhnya tidak demikian.

H. MANAJEMEN IMPRESI

Uraian terakhir yang berkaitan dengan kesalahan mempersepsi adalah


persoalan kesan pertama (first impression). Seperti dijelaskan di muka, kesan
pertama sering kali mengecoh orang lain. Oleh karena itu, untuk menghindari
hal tersebut, agar tidak terkecoh, pihak lawan juga perlu melakukan hal yang
7
sama yang disebut manajemen impresi. Seperti dikatakan Luthan yang
dimaksud dengan manajemen impresi (impression management) adalah
sebuah proses sebagai bentuk upaya untuk memanaj atau mengendalikan
impresi yang dilakukan orang lain kepada diri kita. Sederhananya,
manajemen impresi merupakan upaya untuk mengcounter tindakan
manipulatif yang dilakukan orang lain melalui pembentukan kesan pertama.
Secara umum, proses manajemen impresi melibatkan dua komponen
utama, yaitu (1) motivasi yang melandasi seseorang melakukan impresi, dan
(2) konstruksi impresi. Dalam hubungan kepegawaian misalnya, seorang
bawahan biasanya termotivasi untuk tampak impresif di mata atasan. Oleh
karena itu, ia akan berusaha untuk mengontrol atasan dalam mempersepsi

7
Luthan. Ibid. Hal. 121.
3.30 PERILAKU ORGANISASI e

dirinya. Namun, apakah seorang bawahan akan melakukan hal ini sangat
tergantung pada tingkat motivasi yang melatarbelakanginya. Di antara faktor
yang mempengaruhi tingkat motivasi tersebut adalah (1) relevansi melakukan
tindakan impresi terhadap tujuan individual bawahan, (2) seberapa penting
tujuan individual tersebut bagi seorang bawahan, dan (3) sejauh mana
keyakinan bahwa terhadap terjadinya perbedaan antara citra yang
diinginkannya dengan pandangan orang lain (atasan) tentang dirinya.
Sementara itu, konstruksi impresi berkaitan dengan tipe impresi yang
diinginkan seseorang dan bagaimana tindakan impresi tersebut dilakukan.
Sejauh ini diyakini ada 5 faktor yang dianggap relevan berkaitan dengan
keinginan seseorang mengkonstruksi impresi. Kelima faktor tersebut adalah:
( 1) konsep diri (self-consept), (2) citra diri yang diinginkan atau tidak
diinginkan, (3) keterbatasan peran seseorang (role constraint), (4) pentingnya
sebuah target yang ingin dicapai (target's values), dan (5) citra diri seseorang
yang beredar di masyarakat.

Strategi Manajemen Impresi


Ada dua strategi yang bisa dilakukan seorang karyawan dalam penerapan
manajemen impresi. Jika seorang karyawan ingin meminimalkan tanggung
jawab terhadap kejadian yang tidak menguntungkan atau keluar dari masalah
yang selama ini mengganggu dirinya, bisa dilakukan strategi preventif
(demotion-preventive strategy). Jika ia menginginkan tanggung jawab
maksimal terhadap sebuah basil kegiatan yang dinilai positif bagi dirinya atau
paling tidak dirinya tampak lebih baik, ia bisa melakukan strategi promosi
diri (promotion-enhancing strategy). Karakteristik kedua strategi tersebut
adalah sebagai berikut.

a. Strategi preventif
1) Penjelasan
Dalam hal ini, seseorang berusaha memberi penjelasan khususnya
penjelasan yang menghindarkan dirinya dari kejadian atau perbuatan
yang tidak seharusnya. Misalnya, ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan
tepat waktu lebih disebabkan karena sedang sakit atau karena ada
pekerjaan lain yang harus diprioritaskan.
2) Apologi
Jika seorang karyawan tidak lagi memiliki jalan keluar, cara tepat yang
bisa dilakukannya adalah meminta maaf kepada atasan atas kejadian
e EKMA41 58/MODUL 3 3.31

yang tidak seharusnya. Permintaan maaf ini bukan hanya sekadar


menciptakan impresi, tetapi juga sebuah bentuk janji bahwa kejadian
tersebut tidak akan terulang lagi.
3) Tidak mengaitkan diri
Jika seorang karyawan secara tidak langsung terkait kejadian yang tidak
seharusnya - misalnya ia bagian dari sebuah Tim, ia bisa secara
sembunyi-sembunyi memberi tahu atasan bahwa dirinya telah berusaha
maksimal mengatasi hal tersebut, tetapi kalah dari mayoritas anggota tim
lainnya. Dalam hal ini, karyawan tersebut berusaha menjauhkan diri dari
Tim yang bermasalah.

b. Strategi promosi diri


1) Memperoleh kesempatan
Dengan pendekatan ini karyawan berargumentasi bahwa dirinya tidak
memperoleh kesempatan untuk melakukan hal yang positif. Karyawan
misalnya menegaskan bahwa secara formal semua orang tabu jika
dirinya tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Demikian juga secara
informal dirinya memberi tahu atasan bahwa dirinya sangat senang dan
akan bekerja keras jika memperoleh kesempatan.
2) Strategi peningkatan
Dalam hal ini, karyawan telah memperoleh penghargaan meski tidak
seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, biasanya ia mengatakan bahwa
dirinya telah melakukan yang terbaik dan bahkan apa yang dilakukannya
telah memberikan dampak yang sangat besar dibandingkan ide awal
pekerjaan. Sebagai contoh, karyawan akan mengatakan bahwa
gagasannya tidak saja bisa diterapkan di perusahaan ini, tetapi juga
seluruh industri bisa melakukannya.
3) Penelusuran kendala
Dalam strategi ini karyawan akan mengatakan bahwa dirinya patut
mendapat penghargaan yang layak jika mengingat kendala yang dihadapi
perusahaan begitu besar, namun toh pekerjaan bisa selesai dan bahkan
selesai dengan sempurna.
4) Mengaitkan diri
Dalam hal ini, karyawan berusaha agar kelihatan memiliki hubungan
dekat dengan orang-orang yang sukses melakukan pekerjaan seolah-olah
dirinya juga terlibat dalam pekerjaan tersebut.
3.32 PERILAKU ORGANISASI e

I. SELF-FULFILLING PROPHECY

Salah satu aplikasi penting dari pemahaman kita tentang proses persepsi
dalam perilaku organisasi adalah sebuah konsep yang disebut self-fulfilling
prophecy. Maksud dari self-fulfilling prophecy adalah sebuah proses yang
menjelaskan bagaimana harapan yang berada pada pikiran seseorang,
misalnya seorang guru atau peneliti, mempengaruhi perilaku orang lain,
seperti murid atau objek lain sehingga orang yang dipikirkan pada akhirnya
bisa memenuhi harapan orang pertama yang memikirkan. Fenomena ini
bermula dari mitos zaman Yunani kuno di mana ketika itu ada seorang
pematung yang sangat membenci seorang wanita namun ia sendiri membuat
patung wanita yang begitu cantik sehingga si pematung jatuh cinta pada
patung tersebut. Saking j atuh cintanya ia berdoa agar patung tersebut betul-
betul menjadi manusia dan ternyata doanya dikabulkan. Berdasarkan mitos
tersebut fen omena ini sering disebut sebagai "pygmalion effect".
Fenomena ini pertama kali digunakan oleh Robert Merton tahun 1948
untuk menjelaskan mengapa bank yang sesungguhnya sehat pada saat
Amerika mengalami depresi keuangan, tetapi bisa mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalannya adalah adanya keyakinan masyarakat yang keliru
yang menganggap bahwa bank tersebut tidak sehat. Keyakinan yang keliru
tersebut akhimya menjadi kenyataan setelah para investor beramai-ramai
menarik uangnya dari bank. Sementara itu, dalam konteks akademik, self-
fulfilling prophecy pertama kali diterapkan pada tes potensi akademik murid
SD kelas 1 sampai dengan kelas 6. Peneliti memberi tahu guru sekolah
bahwa beberapa murid memiliki potensi yang luar biasa. Hasilnya
menunjukkan bahwa murid yang dinyatakan memiliki potensi yang tinggi
temyata hasil tes IQ juga semakin meningkat. Peningkatan ini tidak dari
harapan sang guru dan upaya mereka dengan memberi tugas-tugas yang lebih
8
keras dan umpan balik dari beberapa pihak .
Berdasarkan penjelasan di atas, self-fulfilling prophecy sesungguhnya
bisa berjalan dengan baikjika melibatkan lebih dari satu orang yang memiliki
harapan kuat yang mempengaruhi perilaku orang lain. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah (1) bahwa ekspektasi memiliki efek tertentu terhadap
perilaku orang yang memiliki harapan tersebut, (2) bahwa harapan tersebut
selanjutnya mempengaruhi perilaku orang lain, (3) perilaku orang lain

8
Lihat Kreitner and Kinicki. Hal. 239.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.33

menegaskan harapan orang pertama, dan (4) bahwa orang pertama


memandang perilaku tersebut sebagai bukti yang belum terkumpulkan yang
menunjukkan bahwa harapan tersebut tidak berlebihan. Keempat prasyarat
ini dan hubungan antara orang yang mempersepsi dan target yang dipersepsi
dilukiskan pada gambar berikut ini.
Orang yang mempersepsi Target yang dipersepsi

1 2

4 5

6 7

Gambar 3.11.
Hubungan antara Pemersepsi dengan Target Persepsi dalam
Self-Fulfilling Prophecy

Keterangan:
1. Harapan yang bersifat tentatif (misalnya saya diberitahu bahwa ia orang
baik)
2. Perilaku yang ambigu (tampak kelihatan baik)
3. Harapannya ditegaskan oleh persepsi (Ia betul-betul tampak baik)
4. Menawarkan persahabatan (link antara harapan dengan perilaku)
5. Respons terhadap persahabatan (link antara perilaku dengan perilaku)
6. Harapan lebih lanjut diperkuat dengan penegasan perilaku (saya ternyata
benar bahwa dia orang yang baik)
7. Terjadi perubahan konsep diri (saya betul-betul orang yang baik)

J. TEORI ATRIBUSI

Salah satu elemen penting dalam mempersepsi kejadian-kejadian di


masyarakat adalah tanggung jawab seseorang terhadap perilakunya.
Pertanyaannya adalah apakah seseorang bertanggung jawab terhadap
perilakunya lebih disebabkan karena kepribadian orang tersebut atau karena
3.34 PERILAKU ORGANISASI e

dituntut oleh lingkungan untuk berperilaku demikian. Pertanyaan ini muncul


karena Fritz Heider mengatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh
kombinasi antara faktor eksternal (seperti sedang beruntung, ada kesempatan,
dan dukungan lingkungan) dengan faktor internal (kemampuan diri, upaya
atau pengetahuan orang bersangkutan). Heider lebih lanjut menegaskan
bahwa tidak penting mempersoalkan penentu perilaku yang sesungguhnya.
Hal yang lebih penting adalah memahami persepsi orang tentang penentu
perilaku tersebut. Oleh sebab itu, ketika kita mempersepsi orang lain,
pertanyaannya adalah apakah kita mempersepsi bahwa perilaku orang lain
lebih disebabkan karena faktor internal atau faktor eksternal.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab dengan teori atribusi. Pada
intinya, teori atribusi menjelaskan tentang siapa yang harus tanggung jawab
terhadap proses kognitif berkaitan dengan perilaku seseorang-apakah
perilaku tersebut disebabkan karena kepribadiannya atau karena dorongan
lingkungan. Secara umum, simpulan dari teori atribusi adalah sebagai
berikut.
1. Ketika kita mengobservasi perilaku orang lain, kita cenderung
mengatakan bahwa perilaku orang lain tersebut lebih disebabkan karena
kepribadiannya dan faktor lingkungan sangat sedikit pengaruhnya.
2. Ketika kita menjelaskan perilaku kita, kita cenderung mengatakan bahwa
perilaku tersebut lebih disebabkan karena dorongan lingkungan bukan
karena kepribadian.
3. Dalam hubungan sebab akibat, ketika mengobservasi keberhasilan atau
kegagalan orang lain kita cenderung mengaitkan keberhasilan dengan
kepribadiannya dan kegagalan dengan faktor lingkungan.
4. Dalam menilai kinerja karyawan, kinerja yang jelek biasanya dikaitkan
dengan faktor internal karyawan, khususnya jika dampak dari buruknya
kinerja tersebut sangat serius.
5. Karyawan cenderung mengaitkan keberhasilannya dengan faktor internal
dan kegagalannya dengan faktor eksternal.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.35

~'.. ~
I'
.=;-
•- ~
.
-··,J~
LATI HAN
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

- - - - "--i -

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan perbedaan esensial antara sensasi, atensi, dan persepsi!
2) Mengapa seseorang bisa salah dalam mempersepsi?
3) Berikan contoh implementasi konsep persepsi dalam kehidupan
organisasi!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Perbedaan antara sensasi, atensi, dan persepsi sesungguhnya berangkat


dari persoalan konsep persepsi yang secara psikologis prosesnya begitu
panjang dan kompleks meski dalam praktik keseharian proses persepsi
seolah-olah hanya memerlukan waktu beberapa saat. Proses yang
panjang tersebut bermula dari datangnya berbagai macam stimulus
kepada seseorang. Sebelum stimulus tersebut bisa diinterpretasi dan
dimaknai melalui kapasitas mental kita, salah satu atau beberapa indra
kita menangkap stimulus untuk dipilah-pilah. Proses inilah yang disebut
sensasi sebagai tahap awal proses persepsi. Sensasi dengan demikian
merupakan proses menangkap stimulus dengan pancaindra. Dari sekian
banyak stimulus yang bisa ditangkap hanya sebagiannya yang menarik
perhatian entah karena sifatnya yang baru, ukurannya yang besar, terus
bergerak atau terus-menerus muncul. Di sinilah atensi memegang
peranan. Selanjutnya, sebagian stimulus menarik perhatian kita, namun
karena daya memori dan pengetahuan kita terbatas maka hanya sedikit
stimulus yang bisa kita maknai. Proses pemaknaan sehingga seseorang
memperoleh infomasi inilah yang disebut persepsi.
2) Persepsi berarti proses memaknai stimulus untuk memperoleh informasi
yang terkandung pada objek yang dipersepsi. Namun, kemampuan
kognitif atau mental seseorang sangat terbatas boleh jadi ia melakukan
kesalahan dalam mempersepsi. Selain itu, faktor psikologis orang
tersebut, termasuk di dalamnya kepribadian dan sikap, motivasi, interest
dan pengalaman masa lalu, serta harapan seseorang juga menjadi
penyebab kesalahan dalam mempersepsi. Selain orang yang
3.36 PERILAKU ORGANISASI e

mempersepsi, objek yang dipersepsi, dan situasi yang melingkupi


persepsi juga bisa menjadi kontributor dalam kesalahan mempersepsi
3) Meski dunia persepsi tidak sama dengan dunia nyata yang berarti setiap
orang bisa melakukan kesalahan dalam mempersepsi bukan berarti tidak
ada manfaat yang bisa kita peroleh dengan mempelajari persepsi. Dalam
praktik seorang manajer bisa merubah realitas kehidupan organisasi yang
sebetulnya biasa-biasa saja menjadi kehidupan yang terkesan menarik
melalui manajemen impresi. Melalui manajemen impresi pula seorang
calon karya wan bisa dipersepsi sebagai orang yang sangat potensial.
Demikian juga seorang manajer yang berharap perusahaan yang
dipimpinnya menjadi perusahaan yang excellence bisa tercapai melalui
penerapan konsep persepsi yang dikenal dengan istilah self-fulfilling
prophecy. Harapan-harapan itulah yang diinterpretasi para karyawan
agar mereka bekerja sungguh-sungguh.

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 1 menjelaskan pengertian dan proses terjadinya


persepsi. Hal lain yang menjadi fokus perhatian Kegiatan Belajar 1
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan kesalahan-
kesalahan yang biasa terjadi dalam mempersepsi. Di samping itu,
Kegiatan Belajar 1 juga menjelaskan manajemen impresi dan penerapan
konsep persepsi dalam kehidupan organisasi, yakni self-fulfillment
prophecy dan teori atribusi. Secara umum, apa yang telah diuraikan di
depan dapat dirangkum dalam ringkasan sebagai berikut.
1. Persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan seseorang
menerima, menyeleksi, menginterpretasikan, memahami, dan
memaknai stimulus yang berasal dari lingkungan sekitar.
2. Persepsi bermula dari datangnya berbagai macam stimulus yang
berasal dari lingkungan sekitar yang disaring melalui alat sensor
(sensory filter), diproses lebih lanjut untuk mendapat perhatian
(attention filter), dan hanya stimulus yang memberi informasi yang
akan dipersepsi.
3. Oleh karena stimulus jumlahnya banyak sementara pancaindra kita
kemampuannya terbatas maka hanya stimulus yang memiliki
karakteristik tertentu yaitu stimulus yang mencolok yang diberi
atensi. Kemencolokan tersebut disebabkan karena ukuran, frekuensi,
intensitas, gerakan, berubah-ubah, kontras, dan hal-hal baru.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.37

4. Tahap terakhir dalam persepsi adalah mengorganisasi persepsi, yaitu


menginterpretasi sensasi untuk diberi makna. Faktor yang mem-
pengaruhi organisasi persepsi adalah latar belakang-gambar,
kedekatan, kesamaan, dan kemampuan menutup kekurangan.
5. Secara faktor yang mempengaruhi persepsi adalah orang yang
mempersepsi, objek yang dipersepsi, dan lingkungan.
6. Oleh karena dunia persepsi tidak selalu sama dengan dunia nyata,
kesalahan dalam mempersepsi selalu mungkin terjadi. Secara
umum, jenis-jenis kesalahan dalam mempersepsi, di antaranya
adalah stereotype, halo effect, mempertahankan persepsi, mem-
persepsi sebagian, kepribadian, proyeksi, dan kesan pertama.
7. Manajemen impresi merupakan upaya untuk mengcounter tindakan
manipulatif yang dilakukan orang lain melalui pembentukan kesan
pertama.
8. Salah satu aplikasi dari konsep persepsi muncul dalam bentuk self-
.fulfillment prophecy. Self-fulfilling prophecy adalah sebuah proses
yang menjelaskan bagaimana harapan yang berada pada pikiran
seseorang, misalnya seorang guru atau peneliti, mempengaruhi
perilaku orang lain, seperti murid atau objek lain sehingga orang
yang dipikirkan pada akhirnya bisa memenuhi harapan orang
pertama yang memikirkan.
9. Teori atribusi menjelaskan tentang siapa yang harus tanggung jawab
terhadap proses kognitif berkaitan dengan perilaku seseorang -
apakah perilaku tersebut disebabkan karena kepribadiannya atau
karena dorongan lingkungan.

T E S F 0 R MAT IF 1_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __

Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!

1) Maksud dari persepsi adalah ....


A. proses kognitif yang digunakan seseorang untuk menafsirkan dan
memaknai dunia sekitar
B. proses formal yang digunakan seseorang untuk merumuskan,
menelaah dan memecahkan masalah
C. proses yang menjelaskan sifat bawaan seseorang yang
memungkinkan orang tersebut bisa menyelesaikan pekerjaannya
D. proses formal yang menjelaskan perbedaan individu dan
pengaruhnya terhadap kinerja
3.38 PERILAKU ORGANISASI e

2) Pernyataan yang salah berkaitan dengan persepsi adalah ....


A. persepsi adalah proses pemberian makna terhadap stimulus
B. persepsi tidak selalu sama dengan realita
C. persepsi karyawan terhadap kebijakan perusahaan akan mem-
pengaruhi kinerja karyawan tersebut
D. persepsi tidak berpengaruh terhadap perilaku karyawan tetapi
berpengaruh terhadap kinerjanya

3) Kesalahan dalam mempersepsi disebabkan karena faktor-faktor berikut


ini, kecuali ....
A. menggunakan satu kepribadian seseorang untuk menilai orang
tersebut secara keseluruhan
B. menilai seseorang berdasarkan perilaku kelompoknya
C. menggunakan karakteristik diri sendiri untuk menilai orang lain
D. menggunakan teori atribusi untuk menilai orang lain

4) Strategi preventif dalam manajemen impresi bisa dilakukan dengan


cara memberi ....
A. penjelasan bahwa dirinya tidak terlibat dalam suatu persoalan
B. penjelasan bahwa dirinya terkait dengan kegiatan organisasi
C. penjelasan bahwa dirinya seharusnya memperoleh penghargaan
lebih
D. penjelasan bahwa dirinya telah melakukan yang terbaik bagi
• •
organ1sas1

5) Pernyataan yang salah berkaitan dengan teori atribusi adalah ....


A. karyawan akan mengaitkan keberhasilan dirinya dengan faktor
eksternal
B. ketika mengobservasi perilaku seseorang, kita cenderung
mengaitkan dengan faktor internal
C. ketika menilai kinerja karyawan, manajer cenderung mengaitkan
kinerj a yang j elek dengan faktor internal
D. ketika menjelaskan perilaku dirinya, kita cenderung mengaitkannya
dengan dorongan lingkungan
e EKMA41 58/MODUL 3 3.39

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
3.40 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Stres di Tempat Kerja

ada Kegiatan Belaj ar 1 telah diuraikan berbagai hal yang berkaitan


L...-

dengan persepsi. Di sana dikatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh tiga


faktor utama, yakni objek yang dipersepsi, orang yang mempersepsi, dan
situasi yang melingkupi saat persepsi berlangsung. Sementara itu, proses
terjadinya persepsi dimulai dari datangnya berbagai macam stimulus yang
sebagian di antaranya menimbulkan sensasi dan sebagian yang lain tidak.
Stimulus yang menimbulkan sensasi pun kadang-kadang tidak membawa
informasi baru sehingga berhenti hanya sebatas sebagai sensasi-tidak
mendapat atensi. Penyebabnya karena hanya sensasi yang memberi informasi
baru yang akan mendapat atensi. Selanjutnya, stimulus yang mengandung
informasi baru tersebut dipilah-pilah sesuai dengan tingkat urgensinya
sebagai stimulus yang bisa diinterpretasikan, dipahami, dan dimaknai. Di
sinilah proses persepsi berakhir dan basil akhirnya adalah respons dan opini
seseorang terhadap objek yang dipersepsi.
Bisa dikatakan proses persepsi seperti tersebut di atas adalah proses yang
berjalan normal. Dikatakan demikian karena setiap orang yang mempersepsi
mampu memilah-milah stimulus menjadi informasi dan mampu memilih
informasi yang dibutuhkan sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang
tepat. Meski demikian, dalam praktik khususnya dalam kehidupan organisasi,
seseorang apakah itu seorang manajer, supervisor atau karyawan biasa sering
kali harus menghadapi kenyataan jika dirinya tidak bisa memilah dan
memilih stimulus yang jumlahnya begitu banyak dan datangnya bertubi-tubi
secara bersamaan. Semuanya dianggap mempunyai tingkat urgensi yang
relatif sama. Mereka seolah-olah dipaksa untuk menerima semuanya dan
mengambil keputusan yang saling bertentangan meski tidak semuanya
dikehendaki. Sebagai contoh, dewasa ini karyawan dituntut untuk bekerja
lebih lama-kerja lembur tanpa tambahan income, mengerjakan pekerjaan
orang lain yang mengundurkan diri/dipecat, memenuhi tenggat waktu yang
semakin pendek, dan meningkatkan kualitas tanpa menaikkan biaya. Pada
saat kegiatan kantor menuntut begitu banyak, di saat yang sama kehidupan
rumah tangganya juga membutuhkan perhatian yang kurang lebih sama. Pada
saat ia harus kerja lembur, ia pun masih harus memikirkan anak-anaknya
yang di rumah tanpa ada orang lain yang menjaga sementara sang istri juga
e EKMA41 58/MODUL 3 3.41

harus kerja keluar rumah sekadar untuk menutup biaya keluarga; harus
memikirkan siapa yang menjemput anaknya dari sekolah; dan persoalan-
persoalan keluarga lainnya.
Akibat dari semua tekanan seperti contoh di atas sering terj adi
ketidakseimbangan antara kemampuan untuk merespons dengan jumlah
tekanan yang harus direspons. Jika situasi seperti ini berjalan berlarut-larut
bukan hanya kemampuan kognitif seseorang tidak mampu meresponsnya,
tetapi juga daya tahan fisik dan mental sering kali mengalami penurunan
tajam karena mengalami kelelahan fisik dan psikis - kecemasan meningkat,
sulit tidur, mudah marah, serta kesehatan mental dan fisik menurun drastis.
Dalam bahasa sehari-hari seseorang yang mengalami tekanan seperti ini
sering disebut sebagai orang yang sedang mengalami stres. Meski tidak
selalu, stres bisa berdampak negatif baik bagi orang yang mengalaminya
maupun bagi organisasi temp at kerj a.
Menindaklanjuti Kegiatan Belajar 1, pada Kegiatan Belajar 2 Anda
diajak untuk memahami sebuah topik yang dialami oleh hampir setiap orang,
yaitu stres yang salah satu penyebabnya adalah tekanan lingkungan eksternal
(stimulus) berlebihan terhadap diri seseorang. Meski stres merupakan hal
yang lumrah dialami oleh setiap orang, pemahaman topik ini dalam
kehidupan organisasi menjadi penting karena dampaknya terhadap kinerja
individu, kepuasan kerja, dan kinerja organisasi sangat signifikan. Stres bisa
berdampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, cara terbaik menghadapi
stres adalah mengelola stres itu sendiri paling tidak untuk meminimalisir
dampak negatifnya. Berdasarkan pemahaman awal ini, dengan selesainya
Kegiatan Belajar 2 Anda sangat diharapkan bisa memahami dan
mempraktikkan cara-cara mengelola stres. Untuk itu, topik-topik yang akan
dibahas dalam Kegiatan Belajar 2, di antaranya faktor-faktor penyebab
timbulnya stres; dampak stres terhadap masing-masing individu yang
mengalaminya dan terhadap organisasi khususnya kinerja organisasi; dan
yang paling penting adalah bagaimana stres dikelola.

A. PENGERTIAN STRES

Kata stres berasal dari bahasa Latin stringer yang berarti menarik secara
kencang. Dalam ilmu fisika dan teknik telah diketahui secara luas bahwa
tekanan akan menghasilkan ketegangan dan akhirnya menyebabkan sesuatu
bisa patah/retak. Sebagai contoh, tali yang ditarik dari dua ujungnya (misal
3.42 PERILAKU ORGANISASI e

dalam lomba tarik tambang) akan mengalami tekanan dan bisa putus.
Demikian juga dalam ilmu kedokteran kita sering mendengar istilah orang
yang sarafnya putus yang disebabkan karena ketegangan berlebihan. Konsep
inilah yang kemudian diadopsi oleh para behavioral scientist untuk
menjelaskan konsep stres. lvancevich and Matteson, misalnya secara
sederhana menyatakan bahwa stres merupakan interaksi antara individu
dengan lingkungan. Stres juga sering didefinisikan sebagai respons tidak
9
spesifik dari tubuh manusia terhadap lingkungan eksternal . Dua pernyataan
ini menegaskan bahwa sebab musabab munculnya stres karena adanya
interaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang ditindaklanjuti oleh
respons individual terhadap interaksi tersebut. Penjelasan ini sekaligus
menandaskan bahwa stres merupakan fenomena individual, bukan fenomena
kelompok atau organisasional meski kelompok dan organisasi merupakan
penyebab terjadinya stres.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang stres,
Ivancevich and Matteson memberikan definisi operasional tentang stres
sebagai berikut:

"Stress is an adaptive response, mediated by individual differences


and/or psychological processes, that is a consequence of any external
(environmental) action, situation, or event that places excessive
10
psychological and/ or physical demands upon a person" •

(Stres adalah res pons adaptif, yang di mediasi oleh perbedaan individu
dan/ atau proses psikologis, sebagai akibat dari tindakan, situasi atau
kejadian eksternal yang memberi tekanan berlebihan baik secara
psikologis maupun fisik terhadap diri seseorang).

Interpretasi dari definisi di atas adalah ketika seseorang berinteraksi


dengan lingkungan dan menganggap lingkungan tersebut memberikan
tekanan berlebihan pada dirinya sehingga mengganggu keseimbangan
psikologis maupun fisiologis maka orang tersebut akan melakukan reaksi
atau respons guna menyeimbangkan kembali aspek psikologis dan fisiologis
yang terganggu. Respons adaptif inilah yang dipahami sebagai stres. Dengan

9
Jams V. McConnell. (1986). Understanding Human Behavior. 5th edition. CBS
College Publish. Hal. 24.
10
Pengertian motivasi menurut bahasa kamus, lihat misalnya Encarta electronic
dictionary.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.43

demikian, stres sesungguhnya bersifat generik, bisa terj adi kapan saj a, di
mana saj a, dan menimpa siapa saj a selama ada interaksi antara seseorang
dengan lingkungannya. Tinggal di kota besar seperti Jakarta, misalnya sangat
potensial menjadi penyebab stres karena lingkungan hidup yang teramat
kompleks. Demikian juga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa lingkungan
organisasi khususnya organisasi perusahaan juga menjadi ajang munculnya
stres di kalangan karyawan karena tuntutan berlebihan sering kali datang dari
organisasi atau dunia kerja terhadap karyawan. Oleh karena itu, tidak sedikit
yang mengaitkan stres secara spesifik dengan kehidupan organisasi atau
dunia kerja sehingga tidak jarang pula definisi stres serta merta dikaitkan
11
dengan kehidupan organisasi. Greenberg and Baron , misalnya
mendefinisikan stres sebagai pola emosi dan reaksi fisik yang terj adi sebagai
respons terhadap tuntutan yang berasal dari dalam maupun dari luar
organisasi. Beehr and Newman yang juga mengaitkannya dengan kehidupan
organisasi mendefinisikan stres sebagai sebuah kondisi yang timbul karena
12
interaksi antara individu dengan pekerjaannya . Dari definisi-definisi yang
telah dikemukakan sebelumnya, Luthan kemudian menyimpulkan bahwa
stres adalah:

"An adaptive response to an external situation that results in physical,


psychological and I or behavioral deviations for organizational
participants".

(Sebuah respons adaptif terhadap situasi eksternal yang berakibat pada


penyimpangan I deviasi fisik, psikologis dan I atau perilaku bagi pelaku
organisasi).

Apabila disimak lebih saksama, sesungguhnya tidak ada perbedaan yang


esensial antara definisi stres yang bersifat generik maupun definisi stres yang
serta merta dikaitkan dengan organisasi atau dunia kerj a. Kedua definisi di
atas menjelaskan hal-hal penting tentang stres sebagai berikut.
1. Stres bermula dari tekanan lingkungan eksternal yang berlebihan
terhadap diri seseorang. Faktor lingkungan eksternal inilah yang disebut
sebagai stressor - penyebab stres. Stressor membombardir diri seseorang
dalam berbagai bentuk - pekerjaan, keluarga, tugas sekolah, kebutuhan
ekonomi atau tekanan-tekanan lain yang semuanya berasal dari

11
Mitchell.
12
Luthan. Hal. 161.
3.44 PERILAKU ORGANISASI e

lingkungan eksternal. Walhasil semua kejadian, situasi dan/atau tindakan


lingkungan eksternal terhadap diri seseorang merupakan faktor potensial
penyebab stres. Termasuk di dalamnya tuntutan organisasi terhadap
individu masing-masing karyawanjuga merupakan stressor.
2. Meski secara normatif stressor menjadi penyebab stres, bukan berarti
setiap orang akan mengalami stres manakala berhadapan dengan tekanan
lingkungan yang sama. Dengan kata lain, tekanan lingkungan hanya
berpotensi menimbulkan stres. Namun, apakah tekanan lingkungan
benar-benar menimbulkan stres bagi seseorang sangat tergantung pada
persepsi dan respons masing-masing indi vidu. Sebagian orang tidak
menganggap tekanan lingkungan sebagai stressor, namun sebagian yang
lain menganggapnya demikian. Sebagai contoh, bagi sebagian besar
orang berbicara di hadapan banyak orang adalah pengalaman yang
menakutkan dan menyebabkan stres, tetapi bagi sebagian yang lain hal
yang demikian dianggap sebagai peluang langka yang menyenangkan
meski terkadang sedikit nervous.
3. Perbedaan res pons tersebut lebih disebabkan karena perbedaan latar
belakang masing-masing individu. Setiap orang seperti dijelaskan pada
Modul 2 memiliki latar belakang psikologis masing-masing sehingga
persepsi mereka terhadap tekanan lingkungan eksternal juga tidak sama.
Artinya, apabila seseorang secara psikologis mempersepsi bahwa
tekanan lingkungan merupakan sebuah stressor maka sangat mungkin
bahwa orang tersebut akan mengalami stres. Sebaliknya, apabila tekanan
lingkungan dianggap sebagai sebuah kewajaran maka kemungkinan kecil
orang tersebut akan mengalami stres.
4. Pertanda bahwa stressor menyebabkan seseorang mengalami stres dapat
dilihat dari ketidakseimbangan atau guncangan psikologis, fisiologis,
dan/atau perilaku seseorang. Sederhananya, setiap perubahan dalam
hidup seseorang merupakan pertanda atau gejala-gejala awal bahwa
seseorang sedang mengalami stres meski tingkat stresnya berbeda-beda.
Cherrington, misalnya mengatakan bahwa perubahan hidup yang paling
menimbulkan stres, di antaranya meninggalnya pasangan hidup,
perceraian, pisah ranj ang, menikah, dipecat dari pekerj aan, dan
13
perubahan-perubahan penting lainnya . Sementara itu, tanda-tanda
bahwa seseorang mengalami stres secara umum dapat dilihat pada tanda-

13
McComnell. Op cit. Hal. 264.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.45

tanda fisik, emosi, mental, relasional, spiritual dan behavioral seperti


14
tampak tabel berikut ini :

Tabel 3.1
Tanda-tanda Stres

Tanda-tanda Tanda-tanda Tanda-tanda Tanda-tanda Tanda-tanda Tanda-tanda


Fisik Emosi Mental Relasional Spiritual Perilaku
Perubahan Mudah naik Hilang rasa Mengisolasi Merasa hampa Jalannya
selera makan darah humor diri Apatis gontai
Sa kit kepala Cern as Tidak mudah Defensif Tidak bisa Sumpah
tanggap memaafkan serapah
Lelah Mimpi buruk Lesu Tidak toleran Sin is Sangat kasar
Sulit tidur Gam pang Jemu Dendam pada Kehilangan Menggigit-gigit
marah orang lain arah kuku
Gangguan Depresi Ragu-ragu Kesepian Merasa ragu- Kampungan
pencernaan ragu
Menggigil Frustrasi Mudah lupa Suka Tidak bisa
Terlalu sensitif mengomel Kebutuhan santai
untuk
Penurunan Perubahan Tidak bisa Agresif membuktikan Menghindari
berat badan gairah konsentrasi diri sendiri risiko
Ketegangan Ketakutan Perubahan Berlaku kasar Berpandangan Makan tidak
syaraf kepribadian negatif teratur
Murung Sakit kepala
Sumber: De Janasz, et al., (2002, 72).

Selain keempat benang merah di atas, beberapa catatan penting berkaitan


dengan stres adalah sebagai berikut.
1. Stres bukan semata-mata kecemasan
Bahwa kecemasan merupakan tanda-tanda bahwa seseorang mengalami
stres, tetapi kecemasan itu sendiri bukan stres. Kecemasan hanya
melibatkan aspek emosi dan psikologis seseorang. Sementara itu, stres di
samping melibatkan emosi dan psikologis juga terkait dengan aspek
fisiologis. J adi, sekali lagi stres mungkin menyebabkan kecemasan,
tetapi kedua istilah tersebut harus dibedakan.
2. Stres bukan semata-mata ketegangan syaraf
Seperti halnya kecemasan, ketegangan syaraf juga bisa disebabkan
karena stres, tetapi kedua hal tersebut harus dibedakan. Sebagian orang
meski mengalami stres, tetapi bisa menjaga diri. Stres tidak sampai
muncul ke permukaan dalam bentuk ketegangan. Sebagian lain

14
Lihat tulisan Abraham Maslow yang dimuat di Psychological Review. (1943). Hal.
370-396.
3.46 PERILAKU ORGANISASI e

menunjukkan gejala sebaliknya, yakni manakala mengalami stres


tampak bahwa syarafnya menegang.
3. Stres tidak selamanya berakibat buruk atau merusak
Meski stres cenderung berkonotasi negatif - menyebabkan seseorang
mengalami distress, sesungguhnya dampak dari stres tidak selalu
demikian. Stres juga bisa berdampak positif bagi orang yang
mengalaminya. Stres seperti ini disebut eustress (kata eu berasal dari
bahasa Yunani yang berarti "good atau baik"). Eustress dengan demikian
sangat bermanfaat bagi diri seseorang untuk mengembangkan diri,
meningkatkan kinerja, dan kepuasan kerja. Contoh sederhana tentang
eustress, misalnya jika Anda memperoleh kesempatan untuk
memaparkan buah pikiran Anda di hadapan para direksi, hampir pasti
Anda akan mengalami stres. Namun, stres semacam ini bukan
merupakan stres yang merugikan. Hal yang sama jika Anda berhasil
mengerjakan tugas yang sangat sulit, Anda juga akan mengalami
eustress. Hal yang juga mengejutkan adalah orang yang tidak mengalami
stres bukan berarti kinerjanya selalu baik. Boleh jadi kinerjanya sama
15
buruknya dengan orang yang mengalami distress . Hubungan antara
stres dengan kinerja dapat dilihat pada Gambar 3.12 berikut ini.

eustress
T

distress

R Stress T

Gambar 3.12.
Hubungan antara Stres dengan Kinerja

4. Stres bukan suatu kejadian yang harus dihindari


Stres adalah hal yang lumrah yang dialami setiap orang. Bisa dikatakan
bahwa stres merupakan "bumbu" dalam hidup. Bukan hanya orang

15
Lihat Orlando Behling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Science of
Organization. Academy of Management Review. Pp. 193-201.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.47

dewasa yang akan mengalarni stres, anak-anak pun bisa mengalami hal
yang sama. Anak Anda mungkin tampak sangat gelisah pada hari
pertama hendak masuk TK atau SD. Stres dengan dernikian tidak perlu
dihindari. Hal yang perlu kita lakukan adalah mengelolanya dengan baik
agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi diri kita. Lebih-lebih
dalam kehidupan sebuah organisasi, para manajer harus cermat dalam
memaharni stres jangan sampai hanya karena para karyawannya
mengalarni distress tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi menjadi
terganggu.
5. Sederhananya, setiap orang tidak akan pernah terhindar sama sekali dari
stres, hanya orang yang sudah meninggal dunia yang bisa terhindarkan.
Ungkapan ini sekali menunjukkan bahwa kita tidak perlu cemas akan
mengalarni stres karena kecemasan itu sendiri merupakan tanda-tanda
Anda mengalarni stres.

B. STRES DI TEMPAT KERJA

Meski stres bisa terj adi di luar kehidupan organisasi namun stres yang
terkait dengan kehidupan kerja (occupanitional stress) banyak mendapat
perhatian baik dari kalangan para manajer maupun para akadernisi. Bagi para
manajer, pengetahuan tentang stres akan bermanfaat untuk mengantisipasi
semua kejadian yang potensial menimbulkan stres mengingat dampak negatif
stres bisa merugikan organisasi yang dikelolanya. Dernikian juga
pengetahuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan stres
yang dialarni karyawan agar stres bisa berubah menjadi eustress. Sementara
itu, sesuai dengan bidang kerjanya, yakni memproduksi ilmu pengetahuan,
akadernisi bisa mengembangkan teori dan konsep baru tentang stres yang
bisa dimanfaatkan para praktisi.
Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang sebab
dan akibat dari stres, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang,
pada bagian ini akan diuraikan model stres di tempat kerja. Kreitner and
16
Kinicki , rnisalnya membuat model stres di tempat kerja sebagaimana
tampak pada Gambar 3.13. Secara umum, model stres di tempat kerja
melibatkan stressor potensial (keterangan Gambar 3.1-3.4), proses terjadinya

16
Lihat, Achmad Sobirin.
3.48 PERILAKU ORGANISASI e

stres (keterangan Gambar 3.5-3.7) dan basil atau akibat dari stres
(keterangan Gambar 3. 8-3 .11).
Stressor Hasil

1 8

2 9
5 7
3 10

4 6 11

Sumber: Kreitner and Kinicki, (Hal. 693).

Gambar 3.13.
Model Stres di Tempat Kerja

Keterangan:
1. Level indi vidu 7. Strategi mengatasi stres
2. Level kelompok 8. Sikap kerja
3. Level organisasi 9. Keperilakuan
4. Level di luar organisasi 10. Kognitif
5. Penilaian kognitif 11. Fisik
6. Moderator

Dalam gambar ditunjukkan bahwa faktor-faktor yang potensial


menyebabkan stres (stressor) dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu level
individu, kelompok, organisasi, dan faktor di luar organisasi. Seseorang yang
berhadapan dengan salah satu atau keempat faktor ini akan mempersepsi dan
menilai apakah faktor-faktor tersebut betul-betul menekan dirinya atau tidak.
Penilaian seseorang terhadap stressor tentunya dipengaruhi atau dimoderatori
latar belakang individu masing-masing. Selanjutnya, apabila menurut dirinya
stressor benar-benar menekan dirinya maka orang bersangkutan akan
meresponsnya dengan berbagai strategi untuk mengatasi stres. Berhasil
tidaknya orang tersebut mengatasi stres pada akhirnya akan berpengaruh
e EKMA41 58/MODUL 3 3.49

terhadap aspek-aspek psikologis atau sikap orang bersangkutan, perilaku,


aspek kognitif dan/atau aspek fisiknya. Uraian berikut akan menjelaskan
secara lebih detail masing-masing komponen.

C. STRESSOR

Maksud dari stressor adalah semua faktor lingkungan yang berada di luar
diri seseorang yang berdampak pada timbulnya stres. Seperti dikatakan
Greenberg and Baron, stressor adalah semua bentuk tuntutan, baik fisiologis
maupun psikologis, yang dihadapi seseorang dalam menjalani kehidupan-
nya17. Dengan kata lain, stressor adalah sebuah prasyarat terjadinya stres.
Untuk mengetahui tingkat stres yang dialami seseorang yang disebabkan
karena kejadian-kejadian di luar diri seseorang, Thomas H. Holmes and
Richard R. Rahe pada tahun 1967, seperti dimuat pada Journal of
Psychomatic Research volume II, membuat daftar kejadian yang
menimbulkan stres. Daftar ini kemudian dikenal sebagai Holmes Rahe Stress
Scale (lihat Tabel 3.2).

Tabel 3.2.
Holmes and Rahe Stress Scale

Nilai X# kejadian =skor


Ranking Stressor Nilai # Kejadian Total
pertahun skor
1. Meninggalnya pasangan hidup 100
2. Perceraian 73
3. Berpisah dengan istri/suami 65
4. Dipenjara 63
5. Meninggalnya keluarga dekat 63
6. Sakit berat atau kecelakaan berat 53
7. Perkawinan 50
8. Dipecat dari pekerjaan 47
9. Rujuk dengan suami/istri 45
10. Perubahan tingkat kesehatan anggota
keluarga 45
11. Pensiun 44
12. Hamil 40
13 Kesulitan seksual 39

17
Sebagai contoh, lihat misalnya McClelland and David Burnham. (1976). Power is
the Great Motivator.
3.50 PERILAKU ORGANISASI e

Nilai X# kejadian =skor


Ranking Stressor Nilai # Kejadian Total
pertahun skor
14. Mendapat anggota keluarga baru 39
15. Penyesuaian kegiatan bisnis 39
16. Perubahan besar pada kondisi keuangan 38
17. Meninggalnya ternan dekat 37
18. Perubahan pekerjaan 36
19. Jumlah pertengkaran dengan pasangan
hidup 35
20. Mempunyai pinjaman dalam jumlah besar 31
21. Harta miliknya disita 30
22. Perubahan tanggung jawab pekerjaan 29
23. Anaknya meninggalkan rumah 29
24. Bermasalah dengan keluarga suamilistri 29
25. Pencapaian kinerja luar biasa 28
26. Suami/istri mulai!berhenti kerja 26
27. Memulai!selesai sekolah 26
28. Perubahan besar kondisi hidup 25
29. Merubah kebiasaan 24
30. Bermasalah dengan bos 23
31 . Perubahan jam kerja atau kondisi kerja 20
32. Pindah rumah/sekolah 20
33. Perubahan pada cara rekreasi 19
34. Perubahan aktivitas keagamaan 19
35. Perubahan aktivitas sosial 18
36. Miliki pinjaman tidak terlalu besar 17
37. Perubahan kebiasaan tidak 16
38. Perubahan pertemuan keluarga 15
39. Perubahan kebiasaan makan 14
40. Vakasi 13
41 . Menghadapi hari raya keagamaan 12
42. Melan1 ar hukum kecil-kecilan 11

SKOR
Skor di atas 300 maka kemungkinan mengalami sakit sebesar 80%.
Skor antara 150-299 kemungkinan mengalami sakit 50%.
Skor kurang dari 150 kemungkinan mengalami sakit 30%.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.51

Pada Gambar 3.13, sesuai dengan sumbernya, stressor dikelompokkan


menjadi 4, yaitu individual, kelompok, organisasi, dan di luar organisasi.

1. Level Individual
Stressor yang berasal dari level individual adalah semua faktor
lingkungan yang terkait langsung dengan pekerjaan seseorang. Contoh yang
banyak ditemui dalam kehidupan kerja misalnya tuntutan pekerjaan yang
tidak seimbang dengan kapabilitas seseorang; terlalu banyak pekerjaan (work
overload) atau sebaliknya terlalu sering menganggur (work underload);
pekerjaan yang monoton tidak variatif; pekerjaan yang menimbulkan role
conflict - tuntutan pekerjaan yang berbeda-beda pada saat bersamaan atau
role ambiguity - karyawan tidak tabu apa yang harus dikerjakan karena
perintah yang berbeda-beda dari atasan; sering cekcok dengan ternan kerja
a tau atasan a tau karakteristik pekerj aan yang secara natural memiliki tingkat
stres yang tinggi. Dow Jones & Company, misalnya melakukan survei untuk
mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan stres. Di antaranya
pekerjaan yang paling menimbulkan stres adalah menjadi presiden Amerika,
diikuti oleh petugas pemadam kebakaran dan eksekutif senior. Sementara
pekerjaan yang kurang atau sedikit menimbulkan stres adalah aktuaria dan
18
teknisi pen yiaran .
Selain contoh-contoh di atas, tidak adanya jaminan bahwa seseorang
akan tetap dipekerjakan juga merupakan stressor yang bersifat individual.
Situasi seperti ini biasanya terjadi ketika sebuah organisasi melakukan
perombakan besar-besaran dalam rangka melakukan efisiensi, apakah
perombakan tersebut dalam bentuk restrukturisasi, reorganisasi,
reengineering, dowsizing, rightsizing atau resizing. Demikian juga ketika
sebuah organisasi dimerger atau diakuisisi organisasi lain atau perusahaan
negara yang diprivatisasi biasanya akan menyebabkan tidak adanya kepastian
bahwa seseorang akan tetap dipekerjakan. Akibatnya, tidak jarang seorang
karyawan mengalami stres karena tidak ada jaminan dirinya tetap
dipekerjakan. Bahkan karyawan yang tidak diberhentikan sekalipun tidak
19
terhindarkan untuk tidak mengalami stres utamanya karena work overload.

18
Edwin Locke. (1982). The Ideas of Frederick Taylor: An Evaluation. Academy of
Management Review. pp.14-24.
19
Locke and Latham. (2002). Building a Practically useful Theory of Goal Setting
and Task Motivation: A 35-year Odyssey. American Psychologist. Vol. 57, No. 9.
pp. 705-717.
3.52 PERILAKU ORGANISASI e

2. Level Kelompok
Dinamika kelompok dan perilaku manajerial merupakan bentuk stressor
yang bersumber pada level kelompok. Sebagai contoh, hubungan
interpersonal yang tidak harmonis antara atasan dan bawahan merupakan
salah satu sebab timbulnya stres di kalangan bawahan. Di samping itu,
manajer secara umumjuga menjadi sumber stres bagi karyawan terutamajika
manajer (a) menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, (b) tidak memberi
dukungan kepada karyawan, (c) menunjukkan ketidakpeduliannya pada
karyawan, (d) tidak memberi araban yang cukup, (e) menciptakan suasana
kerja yang hyper competitive, atau (f) hanya peduli pada hal-hal buruk tetapi
mengabaikan kinerj a yang baik. Selain itu, stres yang bersumber pada level
kelompok juga bisa disebabkan karena pelecehan baik pelecehan seksual
maupun bentuk-bentuk pelecehan lainnya. Hal yang pasti pelecehan bisa
menyebabkan seseorang merasa tertekan dan mengalami distress.

3. Level Organisasi
Stressor yang bersumber pada level organisasional, boleh jadi tidak
hanya menyebabkan stres pada satu atau dua orang karyawan, tetapi tidak
tertutup kemungkinan melibatkan sebagian besar karyawan. Secara umum,
dimensi-dimensi organisasi yang menjadi sumber stres dapat dibedakan
menjadi 4, yaitu kebijakan dan strategi organisasi, struktur dan desain
organisasi, serta proses organisasi dan kondisi lingkungan kerj a. Salah satu
contoh yang cocok untuk menjelaskan hal ini adalah budaya yang
dikembangkan pada sebuah organisasi. Sebagai gambaran, Cameron and
20
Quinn membedakan budaya organisasi menjadi 4 macam tipe, yaitu support
culture, ad hoc culture, market culture, dan hierarchical culture. Keempat
tipe budaya ini masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dan tentunya
memberikan tuntutan yang berbeda terhadap karyawan. Market culture,
misalnya tipikal budaya organisasi yang menuntut karyawannya bekerja
keras, memiliki kemampuan bersaing baik secara internal maupun eksternal,
dan memiliki target kinerj a yang tinggi. Dengan tuntutan seperti ini hampir
pasti sesama karyawan pun harus saling bersaing sehingga tidak bisa
dipungkiri jika kehidupan organisasi juga sangat menegangkan.
Sederhananya, market culture merupakan karakteristik budaya organisasi
yang sangat potensial menjadi stressor.

20
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •• • • • • • • •• • • • • • • • • • • • •
e EKMA41 58/MODUL 3 3.53

4. Level di Luar Organisasi (Extra Organizational)


Terakhir stressor yang berada di luar organisasi adalah semua faktor
yang terkait dengan kehidupan seseorang namun tidak terkait secara langsung
dengan kehidupan organisasi, tetapi sangat potensial menimbulkan stres.
Sebagai contoh, para karyawan yang tinggal dan bekerja di kota besar seperti
Jakarta boleh jadi akan mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibanding
dengan para pekerja yang tinggal di kota yang lebih kecil. Penyebabnya
karena kompleksitas hidup yang harus dihadapi para karyawan seperti
mahalnya biaya hidup (Jakarta adalah kota termahal nomor 2 di ASEAN),
kemacetan lalu lintas dan persoalan-persoalan hidup lain. Lebih-lebih jika
karyawan tersebut adalah seorang wanita. Di samping harus menghadapi
kompleksitas hidup, karyawan wanita juga sering menghadapi dilema antara
tuntutan karier dengan harmoni kehidupan keluarga - dua situasi yang saling
berlawanan yang kadang-kadang sulit dipadukan. Situasi seperti ini tentunya
sangat potensial menciptakan stres. Di samping itu, stres yang bersumber di
luar organisasi juga bisa disebabkan karena status sosial ekonomi seseorang.
Seseorang dengan status sosial ekonomi yang rendah biasanya lebih mudah
terkena stres ketimbang mereka dengan status sosial ekonomi yang lebih
baik. Status sosial ekonomi yang rendah biasanya ditandai oleh rendahnya
tingkat pendapatan, pendidikan, dan kedudukan di dalam organisasi.
Kelompok masyarakat ini biasanya rentan terhadap stres.

D. PENILAIAN SESEORANG TERHADAP STRESSOR

Di muka telah dijelaskan bahwa stressor merupakan faktor yang


potensial menciptakan stres. N amun, apakah stressor akan benar-benar
menciptakan stres sangat bergantung pada penilaian dan persepsi seseorang
terhadap stressor tersebut. Meski dua orang menghadapi tuntutan yang sama
belum tentu keduanya akan mengalami stres. Penyebabnya karena masing-
masing orang mempersepsi dan menginterpretasi stressor dengan cara
berbeda. Sebagai contoh, meski budaya sebuah organisasi adalah market
culture yang secara umum mendorong setiap karyawan untuk saling
berkompetisi dan hal ini berarti sangat potensial menciptakan stres belum
tentu setiap karyawan menganggapnya demikian. Boleh jadi ada satu atau
dua karyawan yang menganggap kompetisi adalah sebuah tantangan namun
tidak sampai menimbulkan stres.
3.54 PERILAKU ORGANISASI e

Secara umum, penilaian terhadap stressor dibedakan menjadi dua, yaitu


primary appraisal dan secondary appraisal. Maksud dari primary appraisal
adalah penilaian seseorang terhadap stressor yang menghasilkan tiga
kemungkinan hasil, yakni stressor dianggap tidak relevan, stressor dianggap
positif atau stressor dianggap penyebab stres. Bagi seseorang yang
menganggap stressor tidak relevan berarti dia sama sekali tidak terpengaruh
oleh stressor. Sementara itu, mereka yang beranggapan bahwa stressor
merupakan tuntutan yang positif justru akan menyambut gembira tuntutan
tersebut. Bagi kelompok orang ini stres justru memberi kesempatan bagi
dirinya untuk berkinerja lebih baik. Terakhir, mereka yang beranggapan
bahwa stres memberi dampak negatif bagi dirinya merupakan kelompok yang
akan meresponsnya dan mencoba mengatasi stres tersebut.
Jenis penilaian kedua adalah secondary appraisal, yaitu penilaian
lanjutan setelah dilakukan penilaian tahap pertama. Meski demikian
secondary appraisal tidak akan dilakukan jika pada tahap awal stressor
dianggap tidak relevan atau positif. Dengan kata lain, secondary appraisal
akan dilakukan jika dan hanya jika stressor dianggap sebagai penyebab stres.
Dengan demikian, pada secondary appraisal dilakukan penilaian terhadap
berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mengurangi tingkat stres.
Hal yang pertama akan dilakukan adalah mengevaluasi ketersediaan
perangkat-perangkat yang sekiranya bisa membantu seseorang mengatasi
stres. Berdasarkan pilihan perangkat tersebut dan tindakan yang akan
dilakukan merupakan dasar pemilihan strategi mengatasi stres (coping
strategy).

E. STRATEGI MENGATASI STRES (COPING STRATEGY)

Strategi mengatasi stres (coping strategy) adalah semua bentuk perilaku


dan/atau pengetahuan seseorang yang bisa digunakan untuk mengatasi situasi
yang menimbulkan stres. Secara umum, strategi mengatasi stres bisa
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu (1) strategi mengendalikan stres
(control strategy), yaitu upaya yang dilakukan secara langsung untuk
mengantisipasi atau mengatasi persoalan stres. Sebagai contoh, apabila
organisasi tempat Anda bekerja merubah kebijakannya dengan mengadopsi
market culture yang berarti Anda dituntut lebih kompetitif sementara Anda
sendiri adalah tipikal orang yang kooperatif, tentunya perubahan ini akan
menyebabkan Anda merasa tertekan dan ujung-ujungnya boleh jadi Anda
e EKMA41 58/MODUL 3 3.55

mengalami stres. Jika Anda merasa tidak bisa menyesuaikan diri dengan
budaya baru dan Anda lebih memilih pindah kerja ke tempat kerja atau
organisasi yang lebih kondusif maka Anda menerapkan control strategy;
(2) strategi menghindari stres (escape strategy), yakni menghindari atau
mengabaikan masalah yang menimbulkan stres. Jika Anda secara pasif mau
menerima situasi yang menimbulkan stres atau Anda menghindari
konfrontasi secara langsung misalnya dengan karyawan yang sangat
menjengkelkan maka upaya Anda disebut sebagai escape strategy;
(3) strategi mengelola gejala stres (symptom management strategy) adalah
upaya mengatasi stres dengan cara melakukan relaksasi, meditasi atau
olahraga.

F. MODERATOR

Moderator adalah variabel yang bisa memperkuat atau sebaliknya


memperlemah hubungan antara stressor, stres, dan dampak dari stres. Seperti
telah dijelaskan di muka, terjadi atau tidaknya stres sangat bergantung
penilaian seseorang terhadap stressor. Artinya, stresssor yang sama pada
waktu berlainan boleh jadi akan direspons dengan cara yang berbeda oleh
orang yang sama. Perbedaan dalam cara merespons stressor tersebut
disebabkan karena adanya variabel-variabel lain yang mendukung atau
menghambat cara seseorang merespons stresssor. Kalau memang demikian
maka pemahaman seorang manajer terhadap variabel-variabel yang bisa
memperkuat atau memperlemah terjadinya stres menjadi sangat penting
karena dengan pemahaman ini seorang manajer bisa mengidentifikasikan
variabel-variabel tersebut terutama variabel pendorong terjadinya stres.
Tujuan akhimya agar mereka para manajer bisa memformulasikan dan
menyusun desain program yang digunakan untuk mengurangi stres atau
paling tidak agar karyawan-karyawan yang berisiko mengalami distress bisa
mengelola stres dan ujung-ujungnya mereka para karyawan bisa bekerja
kembali dengan suasana yang lebih nyaman dan produktivitasnya meningkat.
Tipikal moderator yang bisa menjembatani hubungan antara stressor, stres,
dan dampaknya, di antaranya berikut ini.

1. Dukungan Sosial
Maksud dari dukungan sosial adalah anggapan seorang karyawan bahwa
dirinya memperoleh bantuan - moral dan sosial dalam mengatasi berbagai
3.56 PERILAKU ORGANISASI e

macam persoalan pekerjaan. Sebagai contoh, pada saat seorang karyawan


tertimpa persoalan keluarga, misalnya keretakan hubungan rumah tangga,
yang berakibat pada terganggunya pekerjaan kantor maka mengajak ngobrol
sekadar untuk menerima keluh kesahnya apalagi bisa memberi nasihat
merupakan bentuk dukungan sosial yang bisa mengurangi perasaan sendirian,
takut dan stres. Persoalan yang biasanya menghambat para manajer atau
karyawan lain untuk memberi dukungan sosial pada seorang karyawan
adalah hubungan sosial karyawan yang bersangkutan. Jika seorang karyawan
selama terlibat dalam kehidupan organisasi cenderung menjadi seorang yang
individual - rendah hubungan sosialnya baik secara kuantitatif maupun
kualitatif maka sulit rasanya bagi karyawan lain untuk memberi dukungan
sosial manakala karyawan yang bersangkutan tertimpa masalah. Ada
beberapa bentuk dukungan sosial yang bisa diberikan kepada seorang
karyawan, yaitu sebagai berikut.
a. Dukungan untuk meningkatkan kepercayaan diri
Dukungan ini biasanya diberikan untuk menegaskan bahwa dirinya
masih diterima lingkungan terlepas bahwa dirinya menghadapi masalah.
b. Dukungan informasi
Dalam hal ini, karyawan yang menghadapi masalah diberi petunjuk
bagaimana memahami, mengartikan, dan mengatasi masalah.
c. Dukungan berupa rasa senasib
Dukungan diberikan dalam bentuk kebersamaan, misalnya
menghabiskan waktu bersama di kala waktu senggang atau mengajak
rekreasi bersama.
d. Dukungan yang bersifat instrumental
Dukungan yang memberi dukungan finansial, kebutuhan material lain,
dan layanan yang dibutuhkan.

2. Ketabahan atau Keteguhan Hati


Stres karena pekerjaan sesungguhnya bisa dinetralisir dengan
sekumpulan kepribadian yang disebut hardiness - keteguhan atau ketabahan.
Keteguhan atau ketabahan adalah kemampuan seseorang untuk mengubah
persepsi atau perilaku terhadap negative stressor menjadi positive stressor
atau mengubah lingkungan penyebab stres menjadi lingkungan yang
memberi peluang untuk berkembang. Dimensi-dimensi kepribadian yang
terkait dengan hardiness adalah komitmen, internal locus of control, dan
kemauan menerima tantangan. Komitmen merefleksikan keteguhan
e EKMA41 58/MODUL 3 3.57

seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan tidak peduli apakah dia sedang
mengbadapi masalab pribadi. Bagi seseorang yang memiliki komitmen,
persoalan pribadi seperti ini meski menekan, tidak mengbalanginya untuk
menyelesaikan pekerjaan karena yang lebib dipedulikannya adalab basil akhir
dari pekerjaan tersebut; sedangkan seseorang yang memiliki kepribadian
internal locus of control (pusat kendali diri dari dalam) diyakini mampu
mempengaruhi semua kejadian yang menimpa dirinya. Dengan demikian,
orang seperti ini bisa mengatasi negative stressor atau paling tidak
meminimalisirnya. Terakhir, seseorang yang mau menerima tantangan
biasanya menganggap babwa perubaban adalab sesuatu yang wajar terjadi
dalam kebidupan manusia. Oleb karena itu, perubaban lebib dianggap
sebagai tantangan yang barus dibadapi ketimbang sebagai ancaman.

3. Kepribadian Tipe A vs. Tipe B


Karakteristik manusia dengan kepribadian Tipe A dan Tipe B telab
diuraikan secara detail pada Modul 2. Kalau boleb diulang secara singkat,
seseorang dengan kepribadian Tipe A adalab tipikal orang yang memiliki
"penyakit segera - hurry sickness" - segera ingin menyelesaikan pekerjaan,
segera ingin mengerjakan pekerjaan lain dan kalau perlu dua atau tiga
pekerjaan dikerjakan sekaligus, segera ingin melibat basil kerjanya dan
segera lainnya. Sebaliknya, orang yang tidak terburu-buru, sedikit agak
santai, dan tidak ambisius dikategorikan sebagai orang dengan kepribadian
Tipe B. Meski secara umum sangat relevan untuk mengaitkan kepribadian
seseorang dengan stres, namun mengaitkan stres dengan kepribadian
cenderung difokuskan pada orang yang berkepribadian Tipe A.
Kecenderungan ini tidak lepas dari basil penelitian Friedman and Rosenman
pada tabun 1960-an yang menemukan korelasi yang sangat kuat antara
kepribadian Tipe A dengan stres dan konsekuensinya terbadap babaya fisik.
Penyebabnya karena orang berkepribadian Tipe A biasanya seperti berikut.
a. Jam kerjanya sangat panjang melebibi batas jam kerja normal, terus
menerus dikejar deadline dan kerja overload.
b. Sering membawa pulang pekerjaan dan mengerjakannya baik pada
malam bari maupun bari libur.
c. Sering bersaing dengan diri sendiri dengan cara menetapkan standar
kinerj a yang sangat tinggi.
3.58 PERILAKU ORGANISASI e

d. Cenderung mer as a frustrasi (tidak puas) dengan lingkungan kerj a,


gampang jengkel dengan usaha orang lain, dan orang berkepribadian
Tipe A biasanya sulit dimengerti oleh atasan.

Meski pada awalnya temuan Friedman and Rosenman diyakini


kebenarannya, namun belakangan ada bantahan. Hal yang menyebabkan
seseorang mudah terkena serangan jantung bukan kepribadiannya yang Tipe
A, tetapi lebih karena orang tersebut mudah marah dan mudah bergejolak.

G. HASIL/KONSEKUENSI STRES

Meski bisa berdampak positif, namun dalam banyak kasus stres lebih
banyak mengakibatkan dampak negatif. Bahkan ada ungkapan "jika Anda
memikirkan stres maka Anda akan mengalaminya". Artinya, apabila Anda
takut menghadapi stres justru Anda sesungguhnya sedang mengalami stres.
Ungkapan ini sekaligus menunjukkan dampak negatif dari stres. Dalam
konteks kehidupan kerja, stres berkorelasi negatif dengan kepuasan kerja,
komitmen organisasi, kinerja, dan emosi positif. Di samping itu, stres juga
mengakibatkan depresi dan burnout. Secara behavioral, stres berkaitan
dengan perilaku negatif, seperti berteriak-teriak, melakukan kekerasan
terhadap orang lain, dan perilaku menyimpang lainnya. Secara mental,
seseorang yang tidak biasanya membuat keputusan yang jelek, tidak bisa
berkonsentrasi dan gampang lupa merupakan pertanda sedang mengalami
stres. Dampak stres terhadap kesehatan fisik juga banyak mendapat sorotan.
Misalnya, tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, sakit tulang
belakang, sembelit, dan gangguan fisik lainnya.

H. MANAJEMEN STRES

Dampak negatif stres seperti telah dijelaskan di muka sangat bervariasi,


mulai dari dampak psikologis, behavior, mental, dan fisik. Dalam kehidupan
organisasi, dampak tersebut pada akhirnya akan berdampak pula pada diri
karyawan dan organisasi. Bagi karyawan, dampak paling sederhana adalah
menurunnya produktivitas dan kepuasan kerja, sedangkan dampak yang lebih
jauh adalah sakit fisik berkepanjangan karena stroke, misalnya atau sakit
psikis karena depresi. Keduanya- stroke dan depresi boleh jadi tidak hanya
menimpa karyawan yang bersangkutan, tetapi juga menimpa keluarganya.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.59

Jika seseorang sakit berkepanjangan dan tidak bisa bekerja lagi atau harus
mengambil cuti dalam waktu cukup lama, akan berakibat pada berkurangnya
income yang berarti pula keluarga harus ikut menderita, syukur kalau tidak
sampai ikut mengalami stres. Sementara itu bagi organisasi, persoalan stres
yang dihadapi karyawan secara langsung maupun tidak pada akhirnya juga
mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Jika karyawan sakit,
misalnya dan perusahaan harus menanggungnya maka biaya kesehatan
perusahaan tentunya akan meningkat.
Mengingat dampak negatif stres sangat besar namun di saat yang sama
stres sesungguhnya tidak perlu dihindari atau ditakuti maka langkah terbaik
berkaitan dengan stres adalah mengelola stres itu sendiri yang disebut sebagai
manajemen stres. Pada dasarnya manajemen stres merupakan upaya
sistematis baik upaya yang bersifat proactive maupun reactive untuk
mengurangi negative stress. Upaya tersebut bisa dilakukan secara individual
maupun organisasional.

1. Manajemen Stres secara Individual


Sebagai orang yang telah dewasa, seseorang sesungguhnya memiliki
tanggung jawab terhadap dirinya atau paling tidak tahu bahwa dia seharusnya
memiliki tanggung jawab kepada dirinya untuk hidup lebih sehat. Dia tidak
perlu harus menunggu orang lain untuk meyakinkan dirinya akan nilai
tanggung jawab, apalagi jika orang lain yang harus mengambil alih tanggung
jawab dirinya. Demikian juga berkaitan dengan stres. Pada dasarnya stres
adalah properti individual dalam pengertian apakah seseorang akan
mengalami stres atau tidak sangat bergantung diri orang bersangkutan.
Dengan demikian, manajemen stres bisa dilakukan secara individual.
Beberapa teknik khusus yang bisa dilakukan seseorang untuk
mengeliminasi atau mengelola stres panjang yang tidak terhindarkan adalah
sebagai berikut.

a. Manajemen waktu
Waktu yang kita miliki jumlahnya terbatas hanya 24 jam sehari dan kita
tidak bisa merubahnya. W aktu yang terbatas tersebut tentunya harus dikelola
dengan baik agar tidak muncul perasaan seolah-olah kita tidak memiliki
cukup waktu, misalnya sekadar untuk bemapas, untuk memikirkan masa
depan diri sendiri atau bercengkerama dengan keluarga hanya karena
pekerjaan yang "dianggap" menumpuk. Untuk menghindari anggapan yang
3.60 PERILAKU ORGANISASI e

salah tersebut yang dibutuhkan adalah manajemen waktu. Maksud dari


manajemen waktu adalah kemampuan untuk mengalokasikan waktu dan
sumber daya berkaitan dengan pencapaian tujuan yang diharapkan.
Untuk mencapai tujuan, seseorang sesungguhnya tidak harus bekerja
lebih keras tetapi lebih dibutuhkan kecerdasan. lstilah populernya adalah
"work smarter, not harder - bekerjalah lebih cerdas, bukan lebih keras".
Termasuk kecerdasan seseorang dalam bekerja, salah satunya bisa diukur
dengan cara mengelola waktu. Kemampuan untuk mengelola waktu menjadi
semakin penting karena beberapa alasan berikut ini.
1) Dengan mengelola waktu memungkinkan kita bisa membuat skala
prioritas dan mencapai lebih banyak tujuan dalam hidup.
2) Manajemen waktu juga memungkinkan seseorang memiliki kesempatan
untuk menyeimbangkan antara kerja dan kehidupan pribadinya dalam
rangka mencapai titik kepuasan yang optimal. Hidup bukan semata-mata
untuk kerja, tetapi juga untuk diri sendiri, keluarga, ternan, dan
komunitas yang semuanya juga membutuhkan waktu
3) Hal yang lebih penting lagi, manajemen waktu merupakan salah satu
teknik untuk mengurangi tingkat stres. Taking control of our time means
taking control of our life - mengendalikan atau mengelola waktu berarti
mengelola diri kita utama mengelola untuk menghindari stres.

Dalam konteks manajemen waktu, dua dimensi aktivitas patut dijadikan


pertimbangan, yaitu tingkat urgensi akti vitas tersebut dan dimensi kedua
sejauh mana aktivitas tersebut dianggap penting. Berdasarkan dua dimensi ini
dapat dibuat matriks manajemen waktu yang terdiri dari 4 kuadran seperti
tampak pada Gambar 3.14. Kuadran 1 adalah aktivitas dianggap penting dan
urgen/mendesak untuk segera dilakukan. Aktivitas yang mendekati tanggap
waktu (deadline) adalah salah satu contohnya. Kuadran 2 adalah aktivitas
yang tidak penting, tetapi mendesak untuk segera dilakukan seperti menerima
telepon masuk atau membuka email. Kuadran 3 adalah aktivitas yang sangat
penting, tetapi pengerj aannya bisa ditunda sementara karena tidak begitu
mendesak. Contohnya, membaca buku-buku referensi yang menunjang
pekerjaan yang sedang dilakukan. Membaca buku adalah penting, tetapi bisa
ditunda utamanya jika ada pekerjaan lain yang lebih mendesak. Terakhir
kuadran 4 adalah pekerjaan yang tidak penting dan bahkan tidak mendesak
dilakukan. Terus-menerus merasa cemas atau nonton TV berlebihan adalah
contohnya. Kedua contoh ini adalah jenis pekerjaan yang tidak perlu
e EKMA41 58/MODUL 3 3.61

dilakukan. Hanya saja kita sering kali tidak menyadarinya jika pekerjaan
tersebut sesungguhnya tidak perlu.

T Aktivitas Dianggap Penting R

o Aktivitas yang segera o Menjawab telepon masuk


T membutuhkan penyelesaian o Membuka surat elektronik
o Aktivitas yang mendekati (email) dan surat-surat
tenggat waktu (deadline) lainnya
o Menulis laporan yang o Melayani orang lain yang
dibutuhkan satu jam lagi membutuhkan bantuan
o Berolahraga

o Membaca buku yang o Cemas atau marah-marah


berkaitan dengan prioritas o Nonton TV melewati batas
kegiatan yang sedang toleransi waktu
berjalan o Membuka internet yang
o Menyiapkan event yang berkaitan dengan pekerjaan
akan segera berlangsung dan sekedar membuang-
o Meluangkan waktu untuk buang waktu
ternan dan keluarga

Catatan: T =Tinggi
R = Rendah
Gam bar 3. 14.
Matriks Manajemen Waktu

b. Relaksasi dan olahraga


Teknik kedua yang bisa dilakukan seseorang untuk mengatasi stres
adalah relaksasi (perenggangan) untuk mengendurkan ketegangan syaraf dan
otot-otot tubuh dan olahraga untuk memperkuat daya tahan otot-otot tubuh.
Salah satu bentuk relaksasi yang paling sederhana dan murah adalah pij at
badan. Pij at bisa dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain. Di sela-
sela kerja, misalnya seseorang bisa memijat-mijat sendiri bagian-bagian
tubuh, seperti kaki, tangan atau punggung bagian atas untuk mengurangi
ketegangan otot tubuh. Jika dibantu orang lain, memijat biasanya dimulai dari
kepala secara pelan-pelan bergerak ke bawah menuju leher, bagian belakang
badan, tangan, dan kaki. Cara lain yang dew as a ini menj adi tren bisa
ditemukan di mana-mana, seperti di airport adalah pijat refleksi. Pijat cara ini
biasanya dilakukan hanya di kaki atau tangan yang secara biologis dipahami
3.62 PERILAKU ORGANISASI e

sebagai pusat-pusat syaraf. Relaksasi juga bisa dilakukan melalui meditasi -


cara lama yang biasa dipraktikkan oleh masyarakat India. Relaksasi yang
menerapkan cara lebih modem dengan dibantu peralatan canggih adalah
biofeedback. Dengan biofeedback seseorang bisa mengobservasi proses tubuh
untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, temperatur tubuh, dan
gelombang otak manusia.
Jika relaksasi lebih ditujukan untuk mengurangi ketegangan fisik dan
mental, berolahraga secara teratur dan tidak berlebihan lebih dimaksudkan
untuk memperkuat daya tahan fisik dan memperlancar sirkulasi aliran darah.
Secara umum, manfaat berolahraga adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan kekuatan dan daya tahan tubuh.
2) Bisa menggunakan energi secara efisien bahkan ketika harus
mengerjakan tugas yang membutuhkan kemampuan mental.
3) Mempertahankan sirkulasi aliran darah.
4) Meningkatkan tampilan, gaya, dan ketenangan.
5) Meningkatkan postur tubuh dan kekuatan otot.
6) Mengurangi rasa capai secara kronis.
7) Menjaga berat badan.
8) Mengurangi rasa kaku di badan, rasa sakit, dan sakit kepala.
9) Mengurangi risiko degeneratif.

Manfaat khusus, yang berkaitan dengan kerja jantung yaitu sebagai


berikut.
1) Mengurangi kerja jantung-jantung tidak harus bekerja terlalu keras untuk
menggerakkan sirkulasi dari ke tubuh.
2) Pada saat mengalami stres jantung tetap bisa mendistribusikan darah
dengan lancar.
3) Jumlah darah merah meningkat sehingga lebih banyak oksigen bisa
dihirup.
4) Meningkatkan elastisitas urat nadi.
5) Menurunkan kolesterol dan triglyceride.
6) Menjaga adrenalin pada saat mengalami stres.
7) Asam laktat penyebab kecapaian bisa dikurangi.
8) Memperkuat otot-otot jantung.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.63

2. Manajemen Stres secara Organisasional


Di samping secara individual, manajemen stres juga bisa dilakukan
secara organisasional. Dengan demikian, upaya-upaya untuk mengurangi
stres di tempat kerja dilakukan oleh pihak manajemen melalui program-
program yang sengaja didesain untuk mengurangi stres. Di muka telah
dijelaskan bahwa salah satu penyebab stres adalah organizational stressor -
stres yang berasal dari organisasi. Oleh karena itu, pihak manajemen juga
bertanggung jawab untuk menata organisasi agar tingkat stres karyawan bisa
berkurang sampai pada titik terendah. Beberapa program atau tindakan
manajemen untuk mengurangi organizational stressor yang pada akhirnya
bisa juga untuk mengurangi individual stressor adalah sebagai berikut.

a. Membangun budaya dan iklim kerja yang kondusif


Meski disadari bahwa persaingan bisnis dewasa ini semakin ketat yang
secara berturut-turut pada akhirnya juga menuntut karyawan untuk mampu
bersaing- dengan dirinya, ternan kerja maupun dengan perusahaan lain, dan
menuntut karyawan berbuat lebih banyak dengan biaya lebih sedikit bukan
berarti karyawan bisa dibiarkan untuk mengatasi persoalan tersebut sendirian.
Paling tidak pihak manajemen juga harus bertanggung jawab untuk
menyiapkan budaya dan iklim kerja yang kondusif untuk mengurangi stres
karena tuntutan kerja tersebut. Penciptaan budaya dan iklim kerja seperti ini
misalnya bisa dilakukan dengan mengubah struktur dan proses organisasi
yang memungkinkan karyawan memiliki keleluasaan dalam bekerja.

b. Membangun quality of work life (QWL) atau kualitas kehidupan kerja


Maksud dari dengan QWL adalah lingkungan kerja yang menyenangkan
21
atau tidak menyenangkan bagi karyawan . Berdasarkan definisi ini, yang
dimaksudkan dengan membangun QWL adalah menciptakan program,
membuat kebijakan atau mendesain organisasi untuk meningkatkan derajat
kesehatan karyawan baik kesehatan fisik, mental maupun ekonomi.
Sederhananya, tujuan meningkatkan QWL adalah untuk membangun
lingkungan kerja yang lebih manusiawi (humanized work environment)
dengan harapan karyawan merasa nyaman dalam bekerja dan ujung-ujungnya
sekali lagi berkurangnya tingkat stres. Lingkungan kerja seperti ini akan bisa

21
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
3.64 PERILAKU ORGANISASI e

tercapai apabila terjadi kecocokan (best fit) antara karyawan, pekerjaan,


teknologi dan lingkungan. Untuk mencapai kondisi seperti itu, salah satu
upaya yang bisa dilakukan pihak manajemen adalah dengan memperkaya
pekerjaan (job enrichment) yang komponen-komponennya terdiri dari job
contents dan job characteristics. Maksud dari job content (kandungan
pekerjaan) adalah kondisi yang mengaitkan langsung pekerjaan dengan
kinerja yang dicapai seseorang. Termasuk dalam job content, misalnya
tanggung jawab karyawan, pengakuan terhadap karyawan dan kesempatan
karyawan untuk mencapai basil, tumbuh, dan berkembang. Termasuk dalam
job characteristics (karakteristik pekerjaan) adalah keragaman skill, identitas
tugas, arti penting tugas, otonomi, dan umpan balik. Dengan memperkaya
pekerj aan seperti tersebut di atas diharapkan karya wan, dalam konteks
pekerjaan, akan merasa bahwa dirinya lebih bermakna dan dengan demikian
diharapkan pula moti vasi kerj anya meningkat serta yang lebih penting lagi
tingkat stres menjadi berkurang.

c. Mengurangi konflik dan memperjelas peran karyawan dalam organisasi


Seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, salah satu faktor yang
menjadi penyebab stres adalah kebingungan karyawan dalam menjalankan
tugas karena ketidakjelasan beban tugas, tidak adanya informasi yang jelas
mengenai tugas tersebut dan/atau tidak adanya dukungan dari atasan dalam
menjalankan tugas. Semua persoalan tersebut disebut role conflict (konflik
peran) atau role ambiguity (ambiguitas peran). Untuk menghindari semua
persoalan tersebut tentunya pihak manajemen harus menetapkan peran-peran
apa yang harus dijalankan seorang karyawan. Salah satu caranya dengan
membuat daftar tugas yang seharusnya dijalankan seorang karyawan dan
selanjutnya daftar tugas tersebut diperbandingkan dengan harapan karyawan
berkaitan dengan tugas yang akan dijalankannya. Jika ada perbedaan yang
signifikan maka perbedaan tersebut bisa didiskusikan bersama (antara
karyawan dan pemberi tugas) untuk menghindari kemungkinan timbulnya
konflik di belakang hari.

d. Membuat perencanaan karier dan memberi konseling


Selama ini ada anggapan bahwa karier seorang karyawan akan
ditentukan oleh karyawan itu sendiri tanpa campur tangan pihak manajemen.
Boleh jadi anggapan ini tidak seluruhnya keliru karena seharusnya memang
karyawan itu sendiri yang menentukan masa depannya. Namun, tidak jarang
e EKMA41 58/MODUL 3 3.65

seorang karyawan tidak tabu bagaimana harus menyongsong masa depannya,


apalagi jika jenjang karier di organisasi tempat kerja tidak jelas dan lebib
ditentukan oleb pertimbangan politik ketimbang pertimbangan prestasi kerja.
Situasi semacam ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian dan ujung-
ujungnya stres. Oleh karena itu, pibak manajemen seharusnya terlibat dalam
menyelesaikan persoalan karier tersebut, misalnya dengan memberikan
bimbingan dan konseling dan memberi araban bagaimana seorang karyawan
menentukan masa depannya. Kalau memang karyawan dianggap tidak bisa
menapak ke atas karena keterbatasan kemampuan dirinya maka karyawan
pun barus mengetabuinya sebingga dirinya bisa memperbaiki diri atau kalau
tidak bisanya naik ke atas bukan karena kemampuan, tetapi karena sebab
lain, misal karena antrian yang panjang maka karyawan mungkin bisa
dipersilakan untuk berkarier di organisasi lain. Kejelasan seperti ini tentunya
tidak menjadikan karyawan frustrasi dan pada akhirnya bisa bekerja lebib
baik, sebuab situasi yang baik bagi karya wan dan juga baik bagi organisasi.
Dengan bahasa yang lebih sederbana, kejelasan karier seorang karyawan, dan
bantuan konseling dari pibak organisasi akan membantu karyawan
mengurangi stres.

LATIHAN
-- - - -.....;:

Untuk memperdalam pemabaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlab latiban berikut!
1) J elaskan perbedaan antara stres, stressor, dan distress?
2) Jelaskan 4 sumber yang potensial menimbulkan stres? Mana di antara
keempat sumber stres tersebut yang bisa dikendalikan manajemen?
3) Apa yang bisa dilakukan oleh organisasi untuk mengurangi stres?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Stres dan stressor merupakan dua istilab yang saling terkait. Stres
dipabami sebagai respons adaptif yang dilakukan seseorang guna
menyeimbangkan kembali aspek psikologis dan fisiologis yang
terganggu karena tekanan bertubi-tubi dari lingkungan sekitar.
Sementara itu, stressor merupakan faktor pengganggu (lingkungan) yang
menyebabkan seseorang berpotensi mengalami stres. Ditilik dari
3.66 PERILAKU ORGANISASI e

penjelasan ini, stres sesungguhnya kejadian yang normal yang bisa


dialarni setiap orang karena interaksi antara seseorang dengan
lingkungannya. Hanya saja jika upaya merespons gangguan tersebut
menyebabkan guncangan berlebihan dan ketidakseimbangan psikologis,
fisiologis dan/atau perilaku seseorang maka orang tersebut mengalarni
distress.
2. Pada dasarnya semua kej adian yang berasal dari luar diri seseorang
sangat potensial menimbulkan stres. Secara sistematis semua kej adian
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu stressor yang
bersifat individual, yakni semua faktor lingkungan yang mempengaruhi
seseorang secara langsung dalam melakukan pekerj aan, stressor karena
dinarnika kelompok, rnisalnya hubungan atasan bawahan, stressor yang
bersumber pada organisasi dan menyebabkan sebagian besar karyawan
mengalarni stres, seperti kebijakan organisasi dan stressor yang
disebabkan karena kejadian di luar organisasi, rnisalnya biaya hidup
yang terus meningkat. Dari keempat stressor tersebut secara logika pihak
manajemen hanya bisa mengendalikan stressor yang bersifat
organisasional karena sumber stres ini disebabkan karena faktor
• •
orgamsas1.
3. Untuk mengurangi stres yang dialarni karyawan, organisasi dalam hal ini
pihak manajemen bisa melakukan beberapa hal, rnisalnya membuat
program untuk menjadikan lingkungan kerja bisa lebih kondusif,
menyusun jenjang karier karyawan, mengurangi tingkat konflik dengan
memperjelas peran masing-masing karyawan dan membangun kualitas
kehidupan kerja (quality of work life).

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 2 menjelaskan pengertian stres proses terjadinya


stres. Hal lain yang menjadi fokus perhatian Kegiatan Belajar 2 adalah
stres di tempat kerja dan strategi mengatasi stres. Di samping itu,
Kegiatan Belajar 2 juga menjelaskan manajemen stres baik manajemen
secara individual maupun organisasional. Secara umum, apa yang telah
diuraikan di depan dapat dirangkum dalam ringkasan sebagai berikut.
1. Stres adalah respons adaptif, yang di mediasi oleh perbedaan
individu dan/atau proses psikologis, sebagai akibat dari tindakan,
situasi atau kej adian eksternal yang memberi tekanan berlebihan
e EKMA41 58/MODUL 3 3.67

baik secara psikologis maupun fisik terhadap diri seseorang. Jadi,


secara umum bisa dikatakan bahwa:
a. stres bermula dari tekanan lingkungan ekstemal yang berlebihan
terhadap diri seseorang;
b. tidak setiap orang akan mengalami stres meski mendapat
tekanan yang sama;
c. respons yang berbeda disebabkan karena perbedaan latar
belakang masing-masing individu;
d. pertanda bahwa seseorang mengalami stres adalah terjadinya
ketidakseimbangan fisiologis, psikologis atau perilaku
seseorang.
2. Untuk menghindari kesalahan dalam memahami stres, beberapa hal
penting yang harus diperhatikan tentang stres adalah sebagai
berikut.
a. Stres bukan sekadar kecemasan.
b. Stres bukan sekadar ketegangan syaraf.
c. Stres tidak selamanya berakibat buruk.
d. Stres bukan sesuatu yang harus dihindari.
e. Setiap orang pasti akan mengalami stres.
3. Stres di temp at kerj a seperti digambarkan Kreitner and Kinicki,
bermula dari faktor-faktor potensial penyebab stres (stressor) baik
yang bersifat individual, kelompok, organisasional maupun ekstra
organisasional. Faktor-faktor ini kemudian direspons dengan
menilai apakah faktor-faktor tersebut betul-betul menekan dirinya
atau tidak. Penilaian dimoderatori latar belakang masing-masing
individu. Hasil dari respons tersebut adalah terjadi atau tidaknya
stres yang berdampak pada aspek-aspek psikologis atau sikap orang
bersangkutan, perilaku, aspek kognitif, dan/atau aspek fisiknya.
4. Oleh karena stres merupakan kejadian yang wajar, namun
dampaknya bisa buruk maka stres perlu dikelola untuk
menghasilkan eustress. Manajemen stres bisa dilakukan secara
individual maupun organisasional.
3.68 PERILAKU ORGANISASI e

TES FORMATIF 2
--------------------------------
Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!

1) Salah satu pernyataan yang salah tentang stres adalah ....


A. stres disebabkan karena tekanan lingkungan berlebihan terhadap
seseorang
B. setiap orang akan mengalami stres ketika menghadapi tekanan
lingkungan yang sama
C. karena latar belakang masing-masing individu berbeda, tidak setiap
orang akan mengalami stres meski tekanannya sama
D. pertanda seseorang mengalami stres adalah jika ia mengalami
guncangan fisiologis, psikologis atau perilaku

2) Tanda-tanda fisiologis seseorang mengalami stres adalah ....


A. sinis
B. suka sumpah serapah
C. sulit tidur
D. tidak mudah konsentrasi

3) Pernyataan yang benar tentang stres adalah sebagai berikut adalah ....
A. stres selalu berakibat buruk
B. stres adalah fenomena organisasi yang harus dihindari
C. jika seorang karyawan tidak mengalami stres kinerja baik
D. stres tidak semata-mata ketegangan syaraf

4) Faktor yang bisa memoderasi stres adalah ....


A. kepribadian seseorang
B. stressor
C. sikap kerja
D. kekuatan fisik

5) Manajemen stres yang bisa dilakukan secara individu adalah ....


A. manajemen karier seseorang
B. membangun budaya kerja
C. membangun kualitas kehidupan kerja
D. manajemen waktu
e EKMA41 58/MODUL 3 3.69

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
3.70 PERILAKU ORGANISASI e

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) A 1) B
2) D 2) c
3) D 3) c
4) A 4) A
5) A 5) D
e EKMA41 58/MODUL 3 3.71

Daftar Pustaka

Achmad Sobirin. (2000). Privatisasi: Implikasinya terhadap Perubahan


Perilaku Karyawan dan Budaya Organisasi. Jurnal siasat bisnis. Vol. 1
No. 5. hal. 25-48.

Albert Bandura. (1977). Social Cognitive Theory. Engglewood Cliffs, N.J.


Prentice Hall.

D. Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of


Individual and Organizational Performance. Boston: Allyn and Bacon.
Hal. 356, 360.

David E. Nadler and Edward E. Lawlwer III. (1983). Quality of Work Life:
Perspectives and Directions. Organizational Dyinamics, Winter.
pp. 20-30.

De Janasz, S.C., K.O. Dowd, and B.Z. Schneider. (2002). Interpersonal Skill
in Organizations. McGraw Hill. Hal. 72, 73.

Fred Luthan. (1998). Organizational Behavior. 8th edition. Boston Mss.:


McGraw Hill. Hal. 101, 104-113, 121.

George Ritzer. (2000). Untuk Memperoleh Penjelasan tentang Terjadinya


Perilaku Global-global Behavior. Mcdonalization of Society. Boston,
Mass.: Fine Forge Press.

J. Greenberg and R. A. Baron. (2003). Behavior in Organization. Prentice


Hall. Hal. 122, 123.

J.M. lvancevich and M.T. Matteson. (1987). Organizational Behavior and


Management. 3rd edition. Homewood, Ill.: Irwin. 244.

Kim Cameron and Robert Quinn. (1999). Diagnosing and Changing


Organizational Culture Based on Competing Value Framework,
Reading. Mass.: Addison Wesley Inc.
3.72 PERILAKU ORGANISASI e

Robert Kreitner and Angelo Kinicki. (2004). Organizational Behavior. 6th

edition. Boston: McGraw Hill. Hal. 226, 239, 692.

T.A. Beehr and J.E. Newman. (1978). Job Stress, Employee Health and
Organizational Effectiveness: A Facet Analysis, Model and Literature
Review. Personel Psychology, Winter. Hal. 665-699.
MDDUL 4

Motivasi: Teori dan Penerapannya

Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

ntuk mengawali Modul 4, marilah kita buka kembali Modul 1. Di sana


dikatakan bahwa manusia sering dijuluki sebagai "the wanting
creature" - sebuah julukan yang mengisyaratkan bahwa manusia secara
kodrati memiliki berbagai macam keinginan dan kebutuhan yang tidak akan
pernah habis. Kalaulah sebuah kebutuhan pada hari ini bisa terpenuhi, besok
mungkin akan muncul kebutuhan yang sama, dernikian seterusnya. Demikian
juga, kalaulah satu kebutuhan telah terpenuhi, bukan tidak mungkin pada saat
bersamaan muncul kebutuhan lain. Nab sekarang cobalah Anda hitung secara
jujur ada berapa macam keinginan dan kebutuhan, pada detik ini, jam ini atau
hari ini yang harus Anda penuhi. Mungkin jumlahnya puluhan, ratusan atau
ribuan. Bahkan semakin Anda merasa punya kemampuan untuk
memenuhinya semakin banyak pula keinginan dan kebutuhan yang ingin
Anda penuhi. Sebaliknya, kalaulah Anda merasa tidak mempunyai
kemampuan, bukan berarti Anda akan berhenti berupaya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut melainkan Anda akan berpaling kepada orang lain.
Tujuannya untuk meminta bantuan orang lain tersebut membantu Anda
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sekali lagi, itulah kodrat manusia.
Walhasil tindakan demi tindakan yang dilakukan manusia umumnya
tidak lepas dari upaya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan. Ambillah
contoh sederhana seperti telah dijelaskan pada Modul 2 subpokok bahasan
sikap kerja. Paling tidak ada 15 alasan mengapa seseorang bekerja. Wujud
tindakannya sama yakni bekerja tetapi alasannya atau tujuannya bermacam-
macam. Seseorang bekerja bukan semata-mata karena bekerja sebuah
kehidupan, bukan pula sekadar ingin mencari nafkah untuk menghidupi
keluarga. Boleh jadi seseorang bekerja untuk memenuhi panggilan jiwanya
atau untuk menjaga status sosialnya sebagai seorang pekerja. Contoh-contoh
di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa setiap tindakan dilakukan
seseorang pasti ada faktor penggeraknya. Dalam hal ini, keinginan dan
4.2 PERILAKU ORGANISASI e

kebutuhan seseorang bisa disebut sebagai salah satu faktor penggerak yang
menyebabkan seseorang melakukan sebuah tindakan.
Proses tergeraknya seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan
tindakan dalam rangka memenuhi keinginan dan kebutuhan disebut proses
motivasi. Dalam bidang studi perilaku organisasi, di samping persepsi dan
kepemimpinan, motivasi merupakan topik yang paling banyak mendapat
perhatian, baik dari para akademisi maupun praktisi. Para akademisi,
misalnya mengembangkan berbagai macam teori untuk menjawab sebuah
pertanyaan pokok: Mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan?
Apa sebabnya dan apa tujuannya? Sementara itu, para praktisi bisnis,
khususnya para manajer, tertarik untuk memahami teori dan konsep motivasi
sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan mereka dan tahu bagaimana
memotivasi karyawan agar bekerja lebih baik dan lebih produktif yang ujung-
ujungnya tujuan organisasi bisa segera tercapai.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa motivasi penting bagi manajemen.
Pertama, perusahaan pada umumnya berusaha untuk merekrut karyawan-
karyawan yang memiliki talenta yang dibutuhkan. Namun, tidak bisa
dipungkiri jika sebagian besar perusahaan memiliki karyawan dengan
kualifikasi rata-rata. Dengan kondisi karyawan seperti ini, memotivasi
karyawan bukan sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan bagi para manajer
jika menginginkan perusahaan yang dikelolanya terus berkembang. Kedua,
memotivasi berarti melakukan perubahan, khususnya perubahan perilaku.
Oleh karena itu, memotivasi karyawan bukan pekerjaan mudah. Berbagai
macam upaya, rekayasa dan intervensi terkadang dilakukan semata-mata agar
karyawan mau melakukan perubahan perilaku. Toh hasilnya sering kali tidak
seperti yang diharapkan. Bahkan tidak jarang para manajer harus berhadapan
dengan resistensi yang begitu kuat. Berkaitan dengan semua itu maka ketiga,
sering dikatakan bahwa memotivasi menjadi semakin mudah jika yang
dimotivasi mau mencoba. Artinya, peran pihak lain dalam motivasi
sesungguhnya hanya sebatas upaya agar orang yang dimotivasi mau
melakukan tindakan, namun apakah orang tersebut mau melakukan tindakan
atau tidak semuanya dikembalikan pada orang yang bersangkutan karena
hanya orang bersangkutan yang mampu mengontrol dirinya.
Melalui Modul4 Anda diajak untuk memahami berbagai macam konsep
dan teori motivasi. Dengan pemahaman ini, Anda diharapkan bisa
mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing konsep sehingga
ketika mengaplikasikannya dalam kehidupan riil organisasi Anda mampu
e EKMA41 58/MODUL 4 4.3

memilah-milah teori mana yang seharusnya digunakan. Di samping itu,


motivasi memiliki keterkaitan erat dengan kinerja, Anda juga diharapkan
dapat memanfaatkan konsep dan teori motivasi untuk selanjutnya diterapkan
dalam penilaian kinerj a baik untuk penilaian kinerj a indi vidu maupun kinerj a
• •
organ1sas1.
4.4 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Teori Motivasi

alam kehidupan sehari-hari, ketika ada orang yang melakukan tindakan


di luar logika umum, misalnya berenang menyeberangi selat Sunda,
bersepeda keliling dunia atau jalan mundur dari Yogya ke Jakarta, orang lain
yang tidak tahu sebab musabab tindakan tersebut biasanya ribut mem-
pertanyakan motivasi dibalik tindakan mereka. Demikian juga ketika
seseorang sedang berada di puncak karier, katakanlah menjadi CEO di
perusahaan multinasional dengan take home pay 7 digit per tahun, namun
tiba-tiba mengundurkan diri dan lebih suka mendirikan perusahaan sendiri
meski harus merangkak dari nol, pertanyaan yang sama juga tidak terelakkan.
Apa sih motivasinya? Kedua contoh ini memberi gambaran bahwa
pertanyaan demi pertanyaan selalu muncul ketika seseorang melakukan
sebuah tindakan. Pertanyaannya sederhana, apa sih motivasi dibalik tindakan
tersebut?
Kegiatan Belajar 1 bermaksud menjelaskan berbagai hal yang berkaitan
dengan motivasi. Khusus untuk Kegiatan Belajar 1, bahasan lebih difokuskan
pada berbagai macam teori motivasi - logika, proses, kelebihan dan
kelemahan masing-masing teori. Dengan demikian, dengan selesainya
Kegiatan Belajar 1 Anda diharapkan bias memahami esensi motivasi
termasuk kelebihan dan kelemahan masing-masing teori. Selain itu,
mahasiswa juga diharapkan dapat memanfaatkannya dalam praktik, yakni
memotivasi ternan kerja, bawahan, bahkan atasan sekalipun.

A. PENGERTIAN MOTIVASI

Mengaitkan tindakan seseorang dengan motivasi merupakan hal yang


lumrah, khususnya bagi Anda yang sedang belajar perilaku organisasi karena
motivasi memang terkait erat dengan tindakan seseorang. Kata motivasi itu
sendiri secara harfiah berasal dari bahasa latin movere atau motivere yang
1
berati to move • Dalam bahasa Indonesia kata to move bisa diartikan sebagai
bertindak, bergerak atau membuat seseorang bergerak. Menurut kamus

1
Pengertian motivasi menurut bahasa kamus, lihat misalnya Encarta electronic
dictionary.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.5

Encarta Encyclopedia, kata motivasi diartikan sebagai rasa ketertarikan atau


antusiasme yang membuat seseorang tergerak dan selanjutnya mau
2
melakukan sebuah tindakan • Jadi, motivasi pada dasarnya adalah sebuah
tindakan. Berdasarkan pengertian harfiah tersebut, selanjutnya yang
dimaksud dengan motivasi dalam konteks perilaku organisasi adalah:

"the psychological process that cause the arousal, direction, and


persistence of voluntary actions that are goal oriented"

(sebuah proses psikologis yang menyebabkan tergeraknya,


terarahkannya dan terpeliharanya secara terus-menerus tindakan-
3
tindakan sukarela yang berorientasi pad a satu tujuan tertentu) •

4
Sementara itu, Luthan mengatakan bahwa motivasi adalah sebuah
proses yang dimulai dari tidak terpenuhinya (deficiency) kebutuhan fisiologis
atau psikologis yang memicu perilaku atau dorongan untuk menggapai tujuan
atau memperoleh insentif.
Kedua definisi di atas merupakan sebagian dari definisi motivasi yang
bisa dijumpai pada buku-buku teks dan literatur perilaku organisasi. N amun,
harus disadari bahwa tidak semua definisi bisa dipaparkan pada modul ini.
Oleh karena itu, kedua definisi di atas diharapkan bisa mewakili definisi-
definisi yang ada. Jika kedua definisi tersebut diperbandingkan, termasuk
memperbandingkannya dengan definisi -definisi lain (yang tidak disebutkan
di modul ini), ada kesan seolah-olah motivasi didefinisikan secara berbeda
bergantung pada pemahaman masing-masing penulis. Kesan ini muncul
karena penyusunan kalimat dan gaya bahasa masing-masing penulis berbeda.
Namun, apabila dicermati lebih saksama, sesungguhnya tidak terdapat
perbedaan yang esensial. Kalaulah ada perbedaan, boleh jadi hanya
perbedaan redaksional saj a.

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang esens1
dari konsep motivasi, kedua definisi di atas akan dielaborasi lebih lanjut.
Pertama, motivasi pada dasamya merupakan studi tentang tindakan di mana
tindakan tersebut melibatkan proses psikologis. Hal ini bisa diartikan bahwa

2
McCornnell.Op cit. Hal. 264.
3
Lihat Orlando Beling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Science of
Organization. Academy of Management Review. pp. 193-201.
4
Lihat, Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
4.6 PERILAKU ORGANISASI e

yang menggerakkan seseorang untuk bertindak tidak hanya melibatkan aspek


5
fisik (biologis), tetapi juga nonbiologis (psikis dan sosial). McCornnell
misalnya mengatakan bahwa motivasi melibatkan aspek biologis, sosial, dan
intrapsychic. Ketiga faktor inilah yang mempengaruhi proses motivasi.
Kedua, dilihat dari proses terbentuknya, motivasi biasanya berangkat dari
terjadinya ketidakseimbangan fisiologis maupun psikologis yang membutuh-
kan tindakan untuk menyeimbangkannya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari
komponen-komponen pembentuk motivasi, motivasi melibatkan tiga
komponen utama, yaitu kebutuhan, dorongan, dan insentif/tujuan. Ketiga
komponen tersebut seperti tampak pada Gambar 4.1 terjadi secara berurutan
(sequential) dalam pengertian kebutuhan akan terlebih dahulu muncul
sebelum seseorang terdorong untuk melakukan tindakan. Semua tindakan
tersebut (proses motivasi) baru akan berakhir manakala seseorang bisa
memenuhi apa yang dibutuhkan atau diinginkannya.

Kebutuhan Dorongan/motif/ Tujuan


prilaku

Gambar 4.1.
Proses Motivasi

1. Kebutuhan
Kebutuhan ialah kekurangan yang dirasakan seseorang pada suatu waktu
tertentu. Kebutuhan akan selalu muncul manakala seseorang mengalami
ketidakseimbangan fisiologis atau psikologis. Sebagai contoh, kebutuhan
akan minuman atau makanan akan muncul ketika sel-sel tubuh kita
kekurangan cairan atau makanan. Artinya, pada saat itu tubuh kita
mengalami ketidakseimbangan fisiologis. Manakala Anda merasa
kesepian berarti Anda mengalami ketidakseimbangan psikologis dan
Anda membutuhkan seorang ternan.
2. Dorongan
Dorongan, sering juga disebut motif adalah energi yang dikeluarkan dan
diarahkan untuk mengembalikan keseimbangan fisiologis dan psikologis.
Dengan kata lain, dorongan adalah tindakan untuk memenuhi kebutuhan.

5
McClelland and David Burnham. (1976). Power is the Great Motivator.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.7

Hal ini bisa diartikan babwa ketika kita merasa ada yang kurang (terjadi
deficiency kebutuban) atau terjadi ketidakseimbangan tubub, dorongan
dengan sendirinya akan muncul dalam bentuk perilaku yang diarabkan
pada suatu tujuan tertentu. Sebagai contob, ketika tubub kita
membutuhkan makanan dan minuman maka wujud dari keduanya adalab
perilaku yang menunjukkan rasa lapar dan baus. Dengan kata lain, lapar
dan baus adalab dorongan untuk memenubi makanan dan minuman.
Demikian juga ketika Anda kesepian maka Anda terdorong untuk
mencari ternan.
3. Insentif
lnsentif atau tujuan merupakan akbir dari sebuab siklus motivasi.
Maksud dari tujuan adalab segala sesuatu yang bisa memenubi
kebutuban dan mengurangi dorongan. Artinya, ketika Anda telab bisa
memenubi tujuan maka akan diperoleb kembali keseimbangan fisiologis
dan psikologis, serta dengan sendirinya motif Anda untuk mencapai
tujuan akan berkurang. Makan, minum, dan mendapatkan ternan seperti
dicontohkan di atas adalab insentif. Jadi, apabila Anda telab his a
memenubinya akan tercipta kembali keseimbangan fisiologis dan
psikologis dan dengan sendirinya dorongan untuk mendapatkan
makanan, minuman, dan ternan berkurang.

Ketiga, utamanya jika kita merujuk pada definisi pertama, bisa dikatakan
babwa inti dari proses motivasi adalab dorongan, motif atau tindakan yang
wujudnya adalah perilaku. Sederbananya, basil dari proses motivasi adalab
perilaku, khususnya perilaku yang berorientasi tujuan. Oleb karena itu, tidak
berlebiban jika dikatakan babwa motivasi pada akhirnya mempengarubi
tindakan dan perilaku seseorang. Meski demikian, tidak semua perilaku
berorientasi tujuan. Hal ini bisa diartikan pula babwa tidak semua perilaku
terkait dengan motivasi. Hanya perilaku-perilaku yang memenubi
karakteristik tertentu yang dianggap berorientasi tujuan. Karakteristik
tersebut adalab intensitas tindakan, arab atau piliban perilaku, dan persistensi
atau keajegan perilaku.
1. Intensitas tindakan
Karakteristik pertama menunjukkan sejaub mana seseorang mau
mengerabkan energi atau upaya untuk memperoleb basil (memenubi
tujuan). Semakin besar upaya seseorang berarti semakin besar pula
motivasi orang tersebut untuk mencapai basil. Perilaku kerja keras yang
4.8 PERILAKU ORGANISASI e

membutuhkan banyak energi adalah salah satu contoh intensitas


perilaku. Demikian juga berkonsentrasi mengerjakan skripsi dengan
mengabaikan pekerjaan kantor, termasuk dalam kategori intensitas
perilaku.
2. Arah perilaku
Ketika terjadi ketidakseimbangan fisiologis maupun psikologis dan
seseorang telah mengerahkan energinya, karakteristik penting lain adalah
apakah energi yang besar tersebut merupakan pilihan yang tepat dan
diarahkan atau difokuskan pada perilaku tertentu sejalan dengan tujuan
yang diinginkan. Sebagai contoh, ketika sedang berkendara dan tiba-tiba
merasa lapar maka Anda akan mengupayakan dan mengarahkan
usahanya untuk mencari rumah makan terdekat dalam rangka memenuhi
kebutuhan rasa lapar.
3. Persistensi perilaku
Maksud dari persistensi perilaku di sini adalah upaya yang terus-menerus
dilakukan dalam kurun waktu lama untuk mencapai tujuan. Tindakan
tersebut belum akan berhenti sebelum tujuannya tercapai. Jika misalnya
sudah sekian lama Anda tidak menemukan rumah makan yang
representatif, apakah kemudian Anda menyerah dan cukup makan mi
rebus yang kebetulan Anda temui di pinggir jalan atau Anda akan terus
berusaha sampai ketemu rumah makan yang dianggap layak. Inilah
pertanyaan tentang persistensi perilaku Anda.

Berdasarkan penjelasan tentang esensi motivasi seperti disebutkan di


atas, ada beberapa simpulan yang perlu mendapat perhatian. Pertama,
motivasi bisa saja terjadi dalam kehidupan kelompok, tetapi secara
tradisional motivasi adalah fenomena individual. Artinya, setiap orang sesuai
dengan kekhasan masing-masing memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga
perilaku dan motivasinya juga berbeda. Kedua, motivasi sering disebut
sebagai intensi, yakni kemauan seseorang untuk melakukan tindakan dan
berperilaku sesuai dengan tindakan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
motivasi sesungguhnya berada di bawah kendali orang yang bersangkutan.
Kemauan seseorang mengerahkan energi dan pilihan-pilihan perilaku, tidak
ditentukan orang lain melainkan oleh diri sendiri. Kalaulah orang lain ikut
terlibat, sifatnya hanya sugesti untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya
perlu melakukan tindakan. Ketiga, motivasi merupakan fenomena bersegi
banyak - multifaceted. Dikatakan demikian karena motivasi atau tindakan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.9

seseorang tidak banya dipengarubi oleb kebutuban individu tetapi juga


banyak faktor lain yang mempengarubinya. Di samping itu, motivasi atau
tindakan seseorang paling tidak melibatkan dua faktor penting, yakni
intensitas dan arab atau piliban perilaku. Faktor ketiga - persistensi sering
dianggap sebagai faktor ikutan. Alasannya adalab sekali seseorang telab
mengerabkan energi dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan maka
persoalan persistensi banya sebagai penegasan terbadap kedua faktor
pertama.

B. TEORIMOTIVASI

Di muka telab dijelaskan babwa basil dari proses motivasi adalab


perilaku, khususnya perilaku yang berorientasi basil atau tujuan. Oleb karena
itu, perlu dipabami babwa teori-teori motivasi yang akan kita diskusikan pada
dasarnya bertujuan sama, yakni untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku
berorientasi tujuan di mana perilaku-perilaku tersebut merupakan akibat dari
proses motivasi. Meski demikian karena masing-masing teoretisi berangkat
dari asumsi yang berbeda, khususnya ketika menjelaskan faktor-faktor yang
menjadi penyebab terjadinya perilaku maka teori yang dikembangkannya
juga berbeda. Terlepas dari semua perbedaan teori yang ada, tujuan akhirnya
tetap sama, yaitu dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi dan
kepuasan kerja karyawan.
Secara umum, teori motivasi dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu teori kebutuban, teori proses, dan teori pembelajaran.
Pengelompokan ini tentunya bukan satu-satunya cara mengelompokkan teori
motivasi karena beberapa buku teks mengelompokkannya dengan cara
berbeda.

1. Teori Kebutuhan
Teori kebutuban (need theory) sering disebut juga content theory. Teori
ini berangkat dari satu asumsi babwa setiap orang pasti mempunyai
kebutuban dan secara natural manusia akan berusaba dan melakukan
berbagai macam tindakan jika ada sebagian atau keseluruban kebutuban
tersebut belum terpenuhi. Seperti tampak pada Gambar 4.2, setiap muncul
perasaan kurang, pasti akan muncul pula kebutuban. Perasaan kurang akan
direspon dengan mencari jalan untuk memenubi kebutuban sebingga timbul
perilaku berorientasi tujuan. Berdasarkan perilaku tersebut pada akhirnya
4.10 PERILAKU ORGANISASI e

kebutuhan akan terpenuhi. Proses ini akan berulang mengikuti siklus yang
sama untuk memenuhi kebutuhan lain.

Perasaan kurang akan


------• menimbulkan kebutuhan


Pemenuhan kebutuhan Mencari j alan untuk
memenuhi kebutuhan


Prilaku berorientasi
tujuan ·-------'
Gambar 4.2.
Siklus Motivasi Berbasis Kebutuhan

Berdasarkan uraian di atas, bisa dikatakan bahwa teori kebutuhan


mencoba menelaah motivasi dari sisi kondisi internal seseorang, yakni
memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor dalam diri individu yang
menggerakkan, mengarahkan, mendukung, dan/atau menghentikan perilaku.
Jadi, teori ini mencoba menentukan kebutuhan khusus yang memotivasi
orang. ltulah sebabnya teori kebutuhan sering disebut sebagai teori motivasi
yang bersifat statis karena hanya mendasarkan diri pada satu atau beberapa
faktor yang terj adi saat itu dan hanya berorientasi pada mas a kini a tau bahkan
masa lalu. Akibatnya, teori kebutuhan sulit, kalau tidak dikatakan tidak bisa,
digunakan untuk memprediksi motivasi kerja seseorang. Hal ini bukan berarti
teori kebutuhan tidak penting. Dengan memahami teori kebutuhan, paling
tidak kita bisa memahami faktor-faktor apa saja yang memotivasi seseorang.
Teori kebutuhan pertama kali dikembangkan oleh Henry A. Murray pada
tahun 1930-an. Murray berpendapat bahwa kebutuhan bukan faktor turunan
melainkan sesuatu yang bisa dipelajari (learned needs). Artinya, timbul
kebutuhan lebih disebabkan karena faktor lingkungan luar. Dengan demikian,
kebutuhan seseorang akan semakin menjadi kenyataan jika lingkungan
mendukungnya. Sebagai contoh, seorang karyawan yang membutuhkan
ternan tentunya akan berusaha mencari ternan, namun hal itu hanya mungkin
dilakukan jika kondisinya memungkinkan, yakni jika ada orang lain yang
e EKMA41 58/MODUL 4 4.11

meresponsnya dan mau dijadikan ternan. Berdasarkan hasil observasi dan uji
klinis (bukan berdasarkan penelitian empiris), pada awalnya Murray mendata
adanya 15 kebutuhan. Selanjutnya, kelima belas kebutuhan tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan primer (primary needs) dan
kebutuhan sekunder (secondary needs). Termasuk ke dalam kebutuhan
primer, misalnya makanan, minuman, seks, huang air besar, huang air kecil,
dan menyusu bagi anak-anak yang semuanya berkaitan dengan fungsi
fisiologis. Kebutuhan sekunder, meliputi otonomi, prestasi, afiliasi, dominasi,
kekuasaan, rasa hormat, agresi, dan rendah diri. Dalam perkembangannya
Murray, sejalan dengan perjalanan kariernya, menambahkan jenis-jenis
kebutuhan lain.

a. Hierarki kebutuhan menurut Maslow


Salah satu teori kebutuhan yang sampai saat ini masih populer adalah
6
teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Abraham Maslow . Maslow
mengembangkan teori kebutuhan berdasarkan asumsi bahwa kebutuhan
manusia bersifat hierarkis mulai dari kebutuhan paling dasar, yakni
kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia bisa hidup sampai pada
kebutuhan paling tinggi, yakni kebutuhan untuk bisa mengembangkan diri.
Dalam mengembangkan teorinya Maslow berasumsi bahwa manusia akan
terlebih dahulu berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih pokok.
Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi barulah ia mengarahkan perilaku dan
tindakannya untuk memenuhi kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi.
Demikian seterusnya sampai terpenuhinya kebutuhan yang paling tinggi,
yakni mengaktualisasikan dirinya. Berkaitan dengan hal itu maka asumsi
kedua adalah manusia pada dasarnya adalah sosok yang ingin maju dan
berkembang.
Seperti tampak pada Gambar 4.3, Maslow membagi kebutuhan menjadi
5 jenis yang tersusun secara hierarkis, yaitu sebagai berikut.
1) Kebutuhan fisiologis
Dalam hierarki kebutuhan yang dibuat Maslow, kebutuhan fisiologis
merupakan kebutuhan manusia paling dasar dan termasuk kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang agar bisa bertahan hidup.

6
Edwin Locke. (1982). The Ideas of Frederick Taylor: An Evaluation. Academy of
Management Review. pp. 14-24.
4.12 PERILAKU ORGANISASI e

Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, oksigen, tidur dan


kebutuhan seks, serta kebutuhan fisik lainnya.
2) Kebutuhan rasa aman
Jika kebutuhan fisiologis secara relatif bisa terpenuhi maka akan muncul
kebutuhan tahap kedua, yaitu kebutuhan rasa aman. Termasuk dalam
jenis kebutuhan ini adalah keamanan, perlindungan, bebas dari rasa takut
atau cemas, dan memperoleh kepastian hukum
3) Kebutuhan sosial
Dalam teks asli, Maslow tidak menggunakan istilah kebutuhan sosial
melainkan needs for belongingness and love - kebutuhan untuk bisa
diterima oleh lingkungan dan mencintai. lstilah ini kemudian
disederhanakan menjadi kebutuhan sosial karena esensinya sama.
Termasuk dalam kebutuhan sosial adalah persahabatan dan hubungan
baik dengan orang lain, menyayangi dan disayangi.
4) Kebutuhan akan penghargaan (esteem)
Jenis kebutuhan ini bisa dibedakan menjadi dua, yakni kebutuhan
penghargaan yang terfokus pada diri sendiri (disebut penghargaan
internal atau harga diri - self-esteem) dan penghargaan yang terfokus
pada orang lain (penghargaan eksternal). Termasuk ke dalam harga diri
internal adalah kekuatan, kemandirian, kebebasan, prestasi, menguasai
dan percaya diri. Harga diri eksternal termasuk reputasi, gengsi, status,
dominasi, pengakuan, martabat, apresiasi, perhatian, dan terkenal.
5) Kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualization)
Terakhir, kebutuhan paling tinggi dalam hierarki kebutuhan adalah
kebutuhan akan aktualisasi diri, yakni kebutuhan untuk memanfaatkan
dan menunjukkan potensi diri. Termasuk di dalamnya adalah kebutuhan
untuk bisa merealisasi keinginannya secara mandiri dan mengembang-
kan diri secara berkelanjutan.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.13

Kebutuhan Aktualisasi
diri
Kebutuhan Harga diri

Kebutuhan sosial

RuaAman

Gambar 4.3.
Hierarki Kebutuhan menurut Maslow

Hierarki kebutuhannya Maslow seperti tersebut di atas, sesungguhnya


bisa diklasifikasikan dengan cara berbeda, yakni dengan melihat dari mana
kebutuhan tersebut dipenuhi. Dengan klasifikasi seperti ini, kebutuhan
man usia bisa dibedakan menj adi dua, yaitu sebagai berikut.
1) Kebutuhan order tinggi
Maksud dari kebutuhan order tinggi adalah kebutuhan-kebutuhan yang
bisa dipenuhi dari sumber internal, yakni kebutuhan-kebutuhan yang bisa
dipenuhi oleh orang bersangkutan, seperti kebutuhan sosial, kebutuhan
penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
2) Kebutuhan order rendah
Maksud dari kebutuhan order rendah adalah kebutuhan-kebutuhan yang
tidak bisa dipenuhi secara mandiri oleh orang bersangkutan melainkan
harus melibatkan pihak eksternal, seperti kebutuhan akan rasa aman dan
kebutuhan fisiklfaali.

b. ERG Theory
Maslow menyadari bahwa teori hierarki kebutuhan yang
dikembangkannya masih jauh dari sempurna. ltulah sebabnya Maslow sangat
mendambakan peneliti lain yang menyempurnakannya. Clayton Alderfer
yang kemudian menyempurnakan teori hierarkinya Maslow. Dari berbagai
basil studi yang dilakukannya, Alderfer lantas mengajukan teori kebutuhan
yang dikenal sebagai "ERG Theory". Oleh karena berpijak pada teorinya
Maslow, dalam beberapa hal Alderfer sependapat dengan Maslow dan
4.14 PERILAKU ORGANISASI e

beberapa hal lainnya tidak sependapat. Alderfer, misalnya sependapat bahwa


setiap orang cenderung beranjak dari kebutuhan dasar menuju ke kebutuhan
level di atasnya. Meski demikian, Alderfer tidak sependapat jika seseorang
harus merasa puas terlebih dahulu sebelum mengalihkan perhatiannya pada
kebutuhan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Alderfer berpendapat bahwa
kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa datang dalam waktu bersamaan tanpa
harus menunggu terpuaskannya satu kebutuhan tertentu. Di samping itu,
Alderfer juga berkesimpulan bahwa lima hierarki kebutuhan yang
dikemukakan Maslow dapat dikemas menjadi hanya tiga tingkatan yaitu:
existence, relatedness dan growth needs. Oleh karenanya teori ini disebut
"ERG Theory". Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut.
1) Existence needs
Maksud dari existence needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa
bertahan hidup - kebutuhan untuk bisa eksis. Oleh karena itu, kebutuhan
jenis ini meliputi semua faktor fisiologis dan material lainnya yang
dibutuhkan manusia untuk bisa bertahan hidup. Kebutuhan ini identik
dengan kebutuhan tingkat pertama dan kedua dalam hierarki
kebutuhannya Maslow, yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa
aman.
2) Relatedness needs
Maksud dari relatedness needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa
berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain sehingga dirinya bisa
diterima dan menjadi bagian dari masyarakat. Kebutuhan jenis ini
meliputi semua kebutuhan yang berorientasi sosial. J enis kebutuhan ini
sama dengan kebutuhan sosialnya Maslow
3) Growth needs
Maksud dari growth needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa
tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya.
Jadi, growth needs sama dengan aktualisasi diri seperti dikemukakan
Maslow. Di samping itu, termasuk dalam growth needs adalah sebagian
dari kebutuhan harga diri khususnya yang berkaitan dengan harga diri
yang berorientasi internal.

c. Teori Kebutuhan Menurut McClelland


Teori kebutuhan yang juga sangat populer sampai saat ini adalah teori
kebutuhan yang dikembangkan oleh David McClelland dan tim peneliti yang
mendampinginya. McClelland menyebut teorinya sebagai "learned needs
e EKMA41 58/MODUL 4 4.15

theory". Dikatakan demikian karena McClelland, seperti halnya Murray,


beranggapan bahwa kebutuhan bukan merupakan faktor bawaan yang
melekat pada diri seseorang melainkan sesuatu yang bisa dipelajari dari
lingkungan. Untuk mengembangkan teorinya, McClelland banyak belajar
dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam membesarkan anak-anak
7
mereka . Kebiasaan orang tua membimbing anak-anaknya sangat
berpengaruh terhadap cara masing-masing individu (anak yang dibimbing)
dalam mempersepsi situasi lingkungan yang pada akhirnya memotivasi
mereka untuk menentukan pilihan dan menggapai suatu tujuan. McClelland
selanjutnya mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kebutuhan tertentu
perilakunya berbeda dengan mereka yang tidak memiliki kebutuhan. Dari sini
McClelland kemudian mencoba menelaah daftar kebutuhan yang
dikemukakan oleh Murray dan menyimpulkan bahwa manusia memiliki tiga
macam kebutuhan, yakni kebutuhan berprestasi (need for achievement -
disingkat nAch), kebutuhan berafiliasi (need for affiliation - nAff) dan
kebutuhan untuk berkuasa (need for power - nPow). Ketiganya akan
diuraikan secara singkat sebagai berikut.
1) Kebutuhan berprestasi - nAch
Maksud dari kebutuhan berprestasi, sering disebut motif berprestasi,
adalah perilaku yang mengarah pada kesediaan seseorang untuk
berkompetisi dengan standar yang cukup tinggi. Untuk mengukur apakah
seseorang mempunyai kebutuhan berprestasi, McClelland mengembang-
kan metode pengukuran yang disebut Thematic Apperception Test -
TAT. Cara kerj anya adalah pertama, seseorang ditunjukkan beberapa
gambar untuk dicermati. Kedua, berdasarkan gambar tersebut, ia diminta
untuk menceritakan secara tertulis gambar-gambar yang telah dilihat.
Selanjutnya, berdasarkan cerita yang telah ditulis peserta tes, dilakukan
penghitungan untuk mengetahui seberapa banyak peserta tes
menceritakan atau mengemukakan ide-idenya tentang prestasi. Semakin
banyak peserta tes bercerita atau tepatnya berfantasi tentang pencapaian
tujuan dan cara untuk melakukannya, semakin tinggi pula kebutuhannya
untuk berprestasi. Jika peserta tes lebih banyak bercerita tentang
hubungan sosial dengan orang lain, ia dikategorikan sebagai orang yang

7
Locke and Latham. (2002). Building a Practically Useful Theory of Goal Setting
and Task Motivation: A 35-year Odyssey. American Psychologist. Vol. 57, No. 9,
pp. 705-717.
4.16 PERILAKU ORGANISASI e

mempunyai kebutuhan berafiliasi. Namun, kalau dalam cerita tersebut ia


banyak menekankan pentingnya mengendalikan, memengaruhi, dan
mendominasi orang lain, ia tergolong sebagai orang yang memiliki
kebutuhan untuk berkuasa.
Berdasarkan hasil riset tersebut, karakteristik individu yang memiliki
kebutuhan yang tinggi untuk berprestasi adalah sebagai berikut.
a) Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berprestasi
cenderung memiliki tanggung jawab personal yang tinggi dalam hal
mengerjakan tugas atau menyelesaikan masalah. Akibatnya, orang
seperti ini cenderung bekerj a mandiri ketimbang dengan orang lain.
Kalau terpaksa ia harus bekerja dengan orang lain maka ia akan
memilih orang yang memiliki kompetensi ketimbang pertimbangan
pertemanan.
b) Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berprestasi
cenderung memilih tujuan yang tidak terlalu sulit untuk
mencapainya. Sementara orang yang memiliki kebutuhan
berprestasi rendah cenderung memilih tujuan yang sulit dicapai atau
sebaliknya tujuan yang paling mudah dicapai.
c) Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berprestasi
cenderung meminta umpan balik terhadap apa-apa yang telah
dilakukannya. Orang semacam ini ingin tahu apakah kinerja baik
atau jelek meski ia sesungguhnya memiliki rasa was-was ketika
menerima umpan balik tersebut.
2) Kebutuhan berafiliasi- nAff
Kebutuhan berafiliasi diartikan sebagai keinginan yang sangat kuat
untuk menjalin dan menjaga hubungan persahabatan, serta menjaga
kehangatan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dalam banyak
hal, kebutuhan berafiliasi sama dengan kebutuhan sosialnya Maslow.
Seseorang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berafiliasi
memiliki karakteristik sebagai berikut.
a) Memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memperoleh persetujuan
dan kepastian dari orang lain.
b) Mereka cenderung patuh terhadap kemauan dan norma-norma orang
lain jika mereka sedikit ditekan oleh orang yang dianggap sebagai
sahabatnya.
c) Mereka dengan sungguh-sungguh menjaga perasaan orang lain.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.17

Berdasarkan karakteristik di atas, orang yang memiliki kebutuhan


berafiliasi tinggi cenderung lebih menyukai bekerja dengan orang lain
ketimbang kerja sendirian. Oleh karena itu, ia pun rajin datang ke tempat
kerj a agar bisa berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, mereka
biasanya kinerjanya akan lebih baik jika mendapat dukungan dan
persetujuan dari orang lain (ternan kerja).
3) Kebutuhan untuk berkuasa- nPow
Kebutuhan untuk berkuasa diartikan sebagai kebutuhan untuk
mengendalikan orang lain, mempengaruhi perilaku orang lain, dan
bertanggung jawab terhadap mereka. Topik ini banyak memperoleh
perhatian dalam bidang studi psikologi. Mereka yang sepaham dengan
pentingnya kekuasaan beranggapan bahwa tujuan manusia hidup adalah
agar ia bisa berkuasa. Mereka berargumentasi bahwa perkembangan
manusia merupakan sebuah proses yang diukur dari kemampuannya
untuk menjalankan fungsi kontrol yang tentunya membutuhkan
kekuasaan. Pandangan ini sangat relevan dengan masyarakat Barat yang
8
cenderung ingin menguasai alam bukan pasrah pada alam . McClelland
9
sendiri dan koleganya banyak mengupas arti penting kekuasaan . Jurnal
Harvard business review, misalnya banyak memuat tulisan McClelland
10
tentang kekuasaan . Karakteristik orang yang memiliki nPow tinggi
adalah sebagai berikut.
a) Keinginan yang sangat kuat untuk mempengaruhi dan mengarahkan
orang lain.
b) Keinginan yang sangat kuat untuk menjalankan fungsi kontrol.
c) Memberi perhatian yang tinggi terhadap kelanggengan hubungan
pimp in an-pengikut.
Berdasarkan karakteristik di atas, seseorang dengan nPow tinggi
cenderung lebih banyak memberi saran, memberi pendapat dan
mengevaluasi orang lain- termasuk hasil kerja mereka. Orang semacam
ini sering kali juga mengajak orang lain terlibat ke dalam pikirannya.

8
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •• • • • • • • •• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •• • • • • • • •• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •

•• •••• •• ••• •••• • ••• •••• •• •• ••••• ••• ••••• ••• ••••• ••• ••• •• •• •••• •• •• •••• ••• • ••••• ••• •••
9
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •••

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
10
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

•• •••• •• •••• ••• • •••• ••• •• ••• • ••• ••••• ••• •••• • ••• •••• •• •• •• •••• •• •• •••• ••• • ••• •• ••• ••• •• ••• ••• •• ••• •••• • ••• •••• •• • •••• ••• •• ••• •• ••
4.18 PERILAKU ORGANISASI e

Dalam kehidupan organisasi, orang ini cenderung ingin menempati


posisi pimpinan atau paling tidak memiliki pengaruh dalam kelompok;
dan biasanya sangat banyak bicara, lancar menyampaikan pendapat dan
kadang-kadang sangat argumentative.

d. Teori duafaktor
Di samping ketiga teori kebutuhan yang telah diuraikan di atas, teori lain
yang berbasis kebutuhan adalah teori dua faktor yang dikembangkan oleh
Frederick Herzberg. Teori ini sering disebut "Motivator-Hygiene Theory".
Esensi dari teori ini adalah faktor yang menyebabkan seseorang merasa puas
dan faktor yang menyebabkan seseorang merasa tidak puas temyata berbeda.
Simpulan ini didasarkan pada wawancara yang dilakukan oleh Herzberg
terhadap 203 responden - akuntan dan insinyur. Ketika mereka ditanya faktor
apa saja yang menyebabkan mereka merasa tidak nyaman, tidak senang dan
tidak puas, jawabannya ternyata, meliputi faktor-faktor yang melingkupi
pekerjaan, bukan pekerjaannya itu sendiri, seperti masalah administrasi dan
kebijakan organisasi, gaji, para supervisor, hubungan antarteman kerja, dan
kondisi tempat kerja. Faktor-faktor ini disebut sebagai dissatisfiers -
penyebab ketidakpuasan karena menciptakan potensi ketidakpuasan
karyawan, tetapi tidak menjadikan karyawan merasa puas. Artinya, apabila
organisasi membenahi faktor-faktor ini dampaknya hanya mengurangi
ketidakpuasan namun tidak sampai menciptakan kepuasan. Oleh karena itu,
yang bisa dilakukan para manajer adalah menjaga faktor-faktor tersebut.
Itulah sebabnya faktor ini disebut "hygiene" untuk menunjukkan
karakteristiknya yang bersifat preventif.
Ketika mereka ditanya faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka
merasa senang, nyaman, dan puas dalam pekerjaan, jawabannya cenderung
terkait dengan pekerj aannya itu sendiri, seperti prestasi kerj a, pengakuan
terhadap basil kerja, sejauh mana pekerjaan tersebut memberi tantangan bagi
dirinya, tanggung jawab yang diemban terhadap pekerjaan dan kemungkinan
dirinya bisa berkembang melalui pekerj aan tersebut. Semua faktor ini terkait
langsung dengan tugas seseorang dalam pekerjaan atau sederhananya terkait
langsung dengan isi kandungan pekerjaan. Oleh karena itu, Herzberg
menyebutnya sebagai "satisfier"- penyebab kepuasan kerja atau "motivator"
- pemoti vasi kerj a.
Hal yang menarik dari basil penelitian Herzberg, namun sampai saat ini
masih menimbulkan kontroversi adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa
e EKMA41 58/MODUL 4 4.19

faktor yang menyebabkan ketidakpuasan dan kepuasan adalah dua faktor


berbeda, bukan dua faktor yang saling berlawanan - keduanya disebutkan di
atas adalah hyegine factor dan motivator factor. Jika keduanya digambarkan
akan tampak seperti terlihat pada Gambar 4.4 sebagai berikut.

Hyegine factors:
Kebijakan perusahaan
Gaji
Lingkungan kerj a

Tidak ada
ketidakpuasan
ketidakpuasan
Tidak ada
kepuasan kepuasan

Motivator factors:
Prestasi kerj a
Pengakuan basil kerj a
Sifat pekerjaan

Gambar 4.4.
Faktor Penyebab Ketidakpuasan dan Kepuasan

Seperti tampak pada gambar di atas hygiene factor dan motivator factor
keduanya tidak pernah bertemu dalam satu titik. Hygiene factor akan
bergerak dari "ketidakpuasan" menuju ke "tidak ada ketidakpuasan".
Sementara motivator faktor akan bergerak dari "kepuasan" menuju ke "tidak
ada kepuasan". Penjelasan ini bisa diartikan pula bahwa kepuasan tidak sama
dengan tidak ada ketidakpuasan. Demikian juga ketidakpuasan tidak sama
tidak ada kepuasan. Gambar di atas secara tidak langsung juga mengatakan
bahwa "hygiene faktor" bukan merupakan faktor yang menciptakan kepuasan
kerja. Artinya, kalau kondisi lingkungan kerja diperbaiki tetap saja tidak akan
menyebabkan seorang karyawan merasa puas. Meski demikian, perbaikan
lingkungan kerja atau perbaikan gaji masih tetap diperlukan karena bisa
menjaga agar ketidakpuasan tidak meningkat. Sebaliknya, para manajer perlu
memberi perhatian pada "motivator faktor" karena dengan memperbaiki sifat
kerja atau memberi pengakuan terhadap hasil kerja karyawan, misalnya bisa
meningkatkan kepuasan karyawan.
4.20 PERILAKU ORGANISASI e

2. Teori Proses
Berbeda dengan teori kebutuhan yang menekankan arti penting
kebutuhan sebagai landasan berpijak bagi seseorang untuk bertindak dan
berperilaku, teori proses yang sering disebut juga teori kognitif (cognitive
theory) merupakan teori motivasi yang menyoroti proses terjadinya motivasi.
Teori Proses dengan demikian mencoba menguraikan dan menganalisis
bagaimana perilaku itu digerakkan, diarahkan, didukung, dan dihentikan.
Asumsi yang melandasi teori proses adalah motivasi tidak terjadi dalam
situasi statis seperti diasumsikan pada teori kebutuhan, melainkan terj adi
pada situasi dinamis dan kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor
penyebab timbulnya motivasi. Artinya, perilaku seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh kebutuhan orang tersebut, tetapi juga oleh faktor lain di luar
kebutuhan, misalnya persepsi tentang basil yang akan diperoleh jika
melakukan suatu tindakan, tingkat keadilan terhadap imbalan yang menjadi
haknya dan tingkat kesulitan pekerjaan yang akan dihadapi. Di samping itu,
teori proses juga beranggapan bahwa manusia merupakan sosok yang
berpikiran rasional dalam memilih berbagai altematif tindakan. Secara
rasional manusia cenderung akan memilih tindakan yang memaksimalkan
keuntungan dan meminimalkan kerugian. Itulah sebabnya teori proses
disebut sebagai cognitive theory karena untuk mengambil keputusan terhadap
pilihan-pilihan tindakan dan perilaku rasional memerlukan informasi yang
berada di luar dirinya.
Pada bagian ini akan dibahas lebih detail tiga teori proses, yaitu
expectancy theory (teori pengharapan), equity theory (teori keadilan atau
kewajaran), dan goal setting theory (teori penetapan tujuan).

a. Teori pengharapan ( expentancy theory)


Teori ini pertama kali digagas oleh Kurt Lewin dan Edward Tolman
pada tahun 1930-an dan 1940-an. Namun, baru pada tahun 1960-an teori
pengharapan diformulasikan secara sistematis dan komprehensif. Victor
Vroom melalui bukunya "Work and Motivation" yang diterbitkan tahun 1964
bisa disebut sebagai orang pertama yang memformulasikan teori pengharapan
secara matematis. Vroom mengajukan teori pengharapan sebagai alternatif
terhadap teori kebutuhan yang dianggap memiliki banyak kelemahan. Dalam
pandangan Vroom motivasi merupakan proses yang kompleks yang
melibatkan faktor internal maupun eksternal. Oleh karena itu, motivasi tidak
e EKMA41 58/MODUL 4 4.21

bisa dijelaskan banya dengan teori kebutuban yang statis yang banya
melibatkan faktor internal.
Teori pengbarapan didasarkan pada suatu asumsi babwa motivasi
ditentukan oleb basil (outcomes) yang betul-betul dibarapkan akan terwujud
sebagai akibat dari usaba yang dilakukan seseorang. Pertanyaannya adalab
faktor apa saja yang mempengarubi seseorang sebingga ia mau mengerahkan
energinya atau melakukan berbagai macam usaba dalam rangka mencapai
basil? Menurut teori ini, faktor-faktor yang mempengarubi usaba seseorang
adalab ( 1) persepsi tentang bubungan antara usaba dengan tingkat
keberbasilan usaba atau kinerja (ekspektasi), (2) persepsi tentang bubungan
antara kinerj a dengan keseluruban basil (outcomes) yang akan diperoleb
(instrumen perantara), dan (3) nilai manfaat dari basil (valensi). Sebagai
contob, apabila Anda sedang mengerjakan tugas akhir - misalnya menulis
skripsi dan meluangkan waktu selama satu jam sebari (usaba) maka
diharapkan dalam sebari Anda bisa mengbasilkan 3 balaman ketikan
(kinerja). Dengan 3 balaman ketikan sebari maka dalam sebulan Anda bisa
menyelesaikan draf skripsi (basil keseluruban atau outcomes). Pertanyaannya
adalab apakab menyelesaikan skripsi dengan segera menjadi penting atau
tidak bagi Anda sangat tergantung dari cara pandang Anda terbadap nilai
manfaat dari skripsi tersebut. Jika Anda merasa babwa menyelesaikan skripsi
bisa memperbaiki karier maka Anda akan termotivasi untuk meluangkan
waktu satu jam per bari untuk menulis skripsi. Sebaliknya, apabila Anda
merasa babwa menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan studi S-1 tidak
berpengarub terbadap kebidupan Anda boleb jadi Anda tidak mau
meluangkan waktu untuk menulis skripsi.
Berdasarkan ketiga variabel tersebut, bisa dikatakan babwa teori
pengbarapan yang diajukan Vroom melibatkan 3 variabel kunci, yaitu
valensi, instrumen perantara, dan ekspektasi. Oleb karenanya teori
pengbarapan sering disebut juga VIE theory. Determinan yang
mempengaruhi usaba seseorang dapat dilibat pada Gambar 4.5a yang
dilanjutkan dengan diagram prosesnya - Gambar 4.5b.
4.22 PERILAKU ORGANISASI e

E -7 p
Ekspektasi: Persepsi tentang probabilitas
U saha mempengarubi kinerja

p -7 0
Usaha
Instrumentalitas/Perantara: Persepsi tentang
Hubungan antara kinerja dengan basil


Valensi: Nilai dari basil

di mana: E adalah usaha


P adalah kinerj a
0 adalah hasil

Gam bar 4. 5a.


Determinan yang Mempengaruhi Usaha

. --~- ) Kinerj a .,._~ > Basil

~EkHpektasi Instrumentalitas/
- - ..
Perantara Va:tensi

Gam bar 4. 5b.


Proses Motivasi menurut Vroom

1) Ekspektasi
Menurut Vroom yang dimaksud dengan ekspektasi atau harapan adalah
keyakinan seseorang bahwa kinerja merupakan akibat dari kegiatan
usaha yang dilakukan seseorang. Jika seseorang melakukan usaha
dengan derajat tertentu maka diharapkan akan dihasilkan kinerja dengan
derajat tertentu pula. Dengan kata lain, usaha -------~ harapan terhadap
suatu kinerja. Berkaitan dengan hal ini, ada satu catatan penting yang
perlu diperhatikan, yakni harapan terhadap suatu hasil merupakan
harapan yang bersifat subjektif. Artinya, bisa saja semua harapan
tersebut tercapai atau sebaliknya sama sekali tidak tercapai. Atau apakah
harapan tersebut hanya tercapai sebagian, katakanlah hanya 20%, 35%
atau 80% tentunya sangat bergantung pada keyakinan subjektif Anda.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.23

Jika harapan-harapan ini dinotasikan dalam bentuk statistik maka


kemungkinan (probabilitas) tercapainya sebuah kinerja bergerak dari
0-1. Jika harapan tercapainya kinerja adalah nol (0) berarti usaha yang
akan dilakukannya sama sekali tidak berpengaruh terhadap capaian
kinerja. Sebagai contoh, apabila Anda seorang tukang ketik namun tidak
hafal susunan huruf di keyboard maka probabilitas untuk tidak membuat
salah ketik bisa jadi sangat rendah, katakanlah hanya 10%. Bahkan
mungkin saj a probabilitasnya adalah nol yang berarti Anda pasti
membuat kesalahan.
2) Instrumen perantara
Maksud dari instrumen perantara adalah keyakinan seseorang bahwa
keseluruhan hasil dari sebuah aktivitas sangat bergantung pada
keberhasilan dalam melakukan sebuah aktivitas (kinerja). Artinya,
kinerja akan menjadi instrumen untuk menciptakan keseluruhan hasil.
Pada contoh di atas, misalnya menyelesaikan skripsi merupakan
instrumen untuk lulus sarjana. Tanpa skripsi bisa dikatakan bahwa Anda
tidak mungkin lulus sarj ana. Menurut teori ini, instrumen perantara
dinotasikan dalam kisaran antara -1,0 sampai + 1,0. N otasi ini
mengindikasikan bahwa jika keseluruhan hasil sepenuhnya tergantung
pada kinerja maka derajat perantara = +1.0. Derajat -1,0 menunjukkan
bahwa keseluruhan hasil sama sekali tidak bergantung pada kinerja
bahkan sebaliknya. Sebagai contoh, apabila Anda meluangkan banyak
waktu bahkan ketika di kantor sekalipun untuk menulis skripsi boleh jadi
karier Anda malah bermasalah karena tugas-tugas kantor tidak
terselesaikan.
3) Valensi
Seperti yang dimaksudkan Vroom, valensi adalah nilai manfaat yang
diperoleh dari keseluruhan hasil. Nilai manfaat ini tentunya sangat
bergantung pada preferensi seseorang. Artinya, keseluruhan hasil yang
akan diperoleh boleh jadi dipandang sebagai bermanfaat bagi dirinya
(valensi positif) atau sebaliknya sangat tidak bermanfaat bagi dirinya
(valensi negatif). Sebagai contoh, apabila dengan lulus sarjana Anda
akan mendapat promosi jabatan maka Anda memandang lulus sarjana
dengan valensi positif. Sebaliknya, apabila lulus sarjana Anda malah
akan ditempatkan di daerah terpencil yang tidak disukai maka Anda akan
menganggap bahwa lulus tidak memiliki nilai manfaat atau valensi
negatif. Valensi dengan demikian berkaitan erat dengan kebutuhan
4.24 PERILAKU ORGANISASI e

seseorang. Apakab keseluruban basil tersebut sesuai dengan yang selama


ini dibutubkannya atau tidak. Dalam notasi, valensi bisa nyatakan dalam
sebuab skala, misalnya an tara -10 sampai dengan + 10. Valensi +10
berarti keseluruban basil sangat cocok dengan kebutubannya, valensi 0
berarti netral dan valensi -10 berarti bertolak belakang dengan
kebutubannya.
Dari keseluruban penjelasan di atas, akhirnya teori pengbarapannya
Vroom dapat dibuatkan formula perbitungan sebagai berikut:

Effort (U saba) = exp L. (1. V)

di mana: exp = ekspektasi atau barapan


I = Instrumen perantara
V = valensi
Contoh perhitungan berdasarkan teori pengharapan
Berikut akan diberikan ilustrasi untuk memberi gambaran bagaimana
mengbitung usaba dan perilaku seseorang sesuai dengan teori
pengbarapannya Vroom. Misal Anda diberi batas waktu oleb Fakultas
Ekonomi Universitas Terbuka untuk menyerabkan tugas penulisan paper
paling lambat hari Jumat minggu ini. Dalam pikiran Anda "ah .... dua bari
cukup untuk memperbaiki dan melengkapi semua kekurangan yang ada".
Namun, tanpa diduga bari Selasa sebelum pulang kantor tiba-tiba Bos
meminta Anda menemaninya main golf keesokan barinya. Bagi Anda, situasi
ini tentu sangat dilematis. Meski demikian Anda tetap barus memutuskan
apakab mengikuti permintaan Bos (piliban I) atau menolak permintaan Bos
dan memilib melanjutkan menulis paper (piliban II). Setelab berpikir sejenak,
sebelum menjatubkan piliban tindakan, Anda mencoba mengbitung untung
rugi untuk masing-masing piliban tindakan.
Pilihan I
Jika Anda memutuskan menemani Bos, misalnya keseluruban basil
(outcomes) yang dianggap relevan dengan piliban Anda adalab (1) Anda akan
tampak sebagai bawahan yang loyal dan loyalitas Anda tentunya sangat
penting bagi perkembangan karier di masa mendatang; (2) Anda akan
mendapat pengalaman baru, yakni berkenalan dengan orang-orang penting
kolega Bos, dan (3) menemani Bos main golf tentunya berdampak pada nilai
akhir ujian.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.25

Pilihan II
Seandainya Anda memutuskan tidak menemani main golf dan lebib
memilib menulis paper, 3 kemungkinan outcomes adalab (1) mengecewakan
Bos, (2) mengalami stres selama menulis paper, dan (3) basil ujian lebih baik.
Setelab memperbitungkan ketiga konsekuensi dari masing-masing
piliban Anda, langkab berikutnya yang perlu ditempub adalab melakukan
kalkulasi yang bisa dijadikan dasar untuk bertindak, yaitu mengbitung
probabilitas menemani Bos untuk piliban I dan probabilitas menulis paper
untuk pilihan II. Di samping itu, untuk masing-masing pilihan Anda diminta
menghitung nilai manfaatnya (valensi) dan menghitung derajat hubungan
antara basil kegiatan (kinerja) dengan keseluruban basil (instrumen
perantara).
Berdasarkan data di atas, kalkulasi masing-masing piliban adalab sebagai
berikut.

Pilihan I
Probabilitas Anda bisa menemani Bos main golf, katakanlab sebesar
90%. Angka sebesar ini menunjukkan babwa Anda memiliki keyakinan yang
tinggi untuk menemani Bos main golf. Satu-satunya faktor yang bisa
menggagalkan menemani Bos banyalab jika si Bos tiba-tiba ada acara lain
yang bersifat mendadak dan kemungkinan ini sangat kecil. Jadi, ekspektasi
Anda benar-benar bisa pergi ke lapangan golf= 0.9; sedangkan nilai manfaat
(valensi) bagi saudara jika menamani Bos adalab (dibitung dengan skala -10
sampai + 10):
1. Outcomes 1, katakan sebesar +9 karena karier Anda ke depan cerab.
2. Outcomes 2, katakan sebesar +3 karena meski menemani Bos Anda
belum banyak dikenal ternan-ternan Bos.
3. Outcomes 3, katakana sebesar +8, meski menemani Bos Anda yakin nilai
akhir ujian Anda tidak begitu terpengarub.

Terakhir adalab menilai instrumen perantara. Katakanlab Anda


memberi nilai 0.9 untuk kaitan antara menemani main golf dengan karier
Anda. Oleh karena Anda bukan tipe orang mudab bergaul, boleh jadi kaitan
antara menemani main golf dengan mendapat ternan baru banya 0.6;
sedangkan dampak menemani main golf terbadap nilai ujian adalab -7 karena
dengan menemani main golf paper Anda tidak sempurna atau Anda barus
kerja lembur sampai pagi.
4.26 PERILAKU ORGANISASI e

Pilihan II
Jika Anda memutuskan meneruskan menulis paper, ekspektasi benar-
benar bisa menulis paper juga tinggi katakanlah 0.8; namun sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan ekspektasi menemani main golf. Penyebabnya
karena Anda merasa sedikit kesulitan mendapatkan referensi terbaru. Dengan
cara perhitungan yang sama seperti pada pilihan I, valensi dari ketiga
outcomes pilihan II adalah: -7 karena mengecewakan Bos; -3 untuk stres
yang akan Anda alami selama menulis paper; dan +8 karena nilai ujian lebih
baik. Terakhir, hubungan antara menulis paper dengan memperoleh nilai baik
katakanlah 0.8 karena penilaiannya masih tergantung orang lain (dosen
Anda) yang perpectionist. Sementara itu, hubungan antara menulis paper
dengan stres sebut saja 0.5 karena sebagian data sudah dikumpulkan.
Hubungan antara menulis paper dengan kekecewaan Bos, misal 0.2 karena
Anda masih berharap Bos mau mengerti posisi Anda yang sulit.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas maka nilai masing-masing pilihan
adalah sebagai berikut:

Ekspektasi Instrumentalitas Valensi


Memutuskan +9 1. Loyal +9
Menemani Bos
untuk menemani 0.9 +6 2. Ternan baru +3
main golf
Bos main golf -7 3. Nilai ujian +8

Memutuskan +2 1. Bos kecewa -7


Meneruskan
untuk meneruskan 0.8 +5 2. Stres -3
menulis paper
menulis paper +8 3. Nilai ujian +8

Pilihan pertama (menemani Bos main golf) hasilnya adalah:


0.9[(0.9)( 9) + (0.6)(3) + (-0.7)(8) = 3.87
Pilihan kedua (meneruskan menulis paper) hasilnya adalah:
0.8[(0.2)(-7) + (0.5)(-3) + (0.8)(8) = 2.80

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa menemani Bos main golf adalah


3.87; sedangkan jika Anda meneruskan menulis paper skornya hanya 2.80.
Kesimpulannya Anda lebih memilih menemani Bos main golf. Dalam hal ini,
boleh jadi Anda berpikiran bahwa mendapat nilai baik juga penting tetapi
lebih penting menamani Bos main golf karena akan berdampak langsung
pada karier Anda. Mungkin Anda berpikiran kalau toh mendapat nilai ujian
e EKMA41 58/MODUL 4 4.27

lebih baik toh pada akhirnya gelar sarjana yang diperoleh juga dalam rangka
untuk menunjang karier.

Teori Ekspektasi menurut Porter dan Lawler III


Teori pengharapan yang dikemukakan Vroom seperti tersebut di atas
kemudian diperbaharui oleh dua orang peneliti perilaku organisasi, yaitu
Lyman Porter dan Edward Lawlwer III. Kedua peneliti ini mengembangkan
teori perharapannya Vroom untuk (a) mengidentifikasi sumber-sumber
valensi dan ekspektasi dan (b) menjelaskan keterkaitan antara usaha dengan
kinerja dan kepuasan kerja. Secara umum, hubungan antara motivasi dengan
kinerja dan kepuasan kerja digambarkan pada Gambar 4.6 berikut ini.

r-----------------------------------------------------------------
1

1 4 ----------------
I
I
8
I
I
I
I

7A
3 6 9

2 5 88

I
L----------------------------------
Gambar 4.6.
Teori Pengharapan menurut Porter and Lawler Ill

Keterangan:
1. Nilai imbalan/balas jasa (reward)
2. Persepsi tentang probabilitas usaha -7 imbalanlreward
3. Usaha
4. Kapabilitas dan Kepribadian seseorang
5. Persepsi tentang peran seseorang (role perception)
6. Kinerja
7. A. Intrinsic reward
B. Extrinsic reward
8. Persepsi tentang kewajaran/keadilan imbalan
9. Kepuasan
4.28 PERILAKU ORGANISASI e

Gambar di atas menunjukkan bahwa sebuah usaha yang akan dilakukan


(kotak No. 3) dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu nilai imbalan yang
diharapkan (kotak No. 1) dan persepsi tentang kemungkinan usaha tersebut
menghasilkan imbalan (kotak No. 2). Dengan kata lain, usaha adalah fungsi
dari imbalan yang diharapkan dan probabilitas mendapatkan imbalan.
Sementara itu, kinerja tidak dipengaruhi semata-mata oleh usaha seseorang
tetapi juga oleh keterampilan dan kepribadian orang tersebut (kotak No. 4)
dan persepsi terhadap peranan orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan
(kotak No. 5). Hal ini bisa diartikan bahwa dengan tingkat usaha tertentu,
seseorang dengan kemampuan yang baik akan menghasilkan kinerja yang
baik pula dibandingkan dengan orang yang kemampuannya lebih rendah.
Demikianjuga, sebuah usaha akan menghasilkan kinerja yang baikjika orang
yang bersangkutan memahami dan menyenangi pekerjaan tersebut.
Terakhir, gambar di atas juga menjelaskan bahwa seseorang akan
menerima dua macam imbalan- intrinsic (kotak No. 7 A) dan extrinsic (kotak
No. 7B) sebagai akibat dari kinerjanya. lmbalan yang bersifat intrinsic adalah
jenis imbalan yang diterima seseorang terkait dengan perasaan senang
terhadap pekerjaan yang dijalaninya. Imbalan seperti ini umumnya berupa
imbalan psikologis, seperti pekerjaan tersebut sangat penting dan bermakna;
orang yang melakukan kegiatan mempunyai kebebasan untuk menggunakan
keahliannya; perasaan senang karen a pekerj aan yang telah diselesaikannya
hasilnya masuk pada high quality; perasaan senang karena pekerjaan yang
telah diselesaikannya sesuai dengan harapan. lmbalan extrinsic adalah
imbalan yang diperoleh bukan karena pekerj aan tersebut, tetapi karena
diberikan orang lain, seperti gaji, bonus, promosi jabatan, dan penghargaan.
Kedua jenis imbalan tersebut jika dianggap fair (kotak No. 8), akan
berpengaruh terhadap kepuasan kerja (kotak No. 9). Selanjutnya, siklus ini
akan berulang untuk usaha-usaha lain dan sangat dipengaruhi oleh tingkat
kepuasan yang diperoleh saat ini.

b. Equity theory
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan sering kali
dianggap sebagai hubungan yang bersifat transaksional. Karyawan dan
perusahaan seolah-olah merupakan dua belah pihak yang sedang melakukan
transaksi atau pertukaran. Karyawan merupakan pihak yang menjual sumber
daya (labor power) kepada pihak perusahaan. Sumber daya yang dijual
karyawan, di antaranya pendidikan, tenaga kerja, pengalaman, keterampilan,
e EKMA41 58/MODUL 4 4.29

dan us aha. Perusahaan di sisi lain, sebagai pihak yang membeli j as a


karyawan mempunyai kewajiban untuk membayar karyawan, katakanlah
berupa gaji, bonus, kompensasi, promosi jabatan. Hubungan pertukaran
antara karyawan dengan perusahaan seperti ini sering disebut sebagai
"hubungan saling menerima dan memberi" atau sederhananya disebut
hubungan pertukaran sosial. Dalam pertukaran sosial seperti ini, kedua belah
pihak seharusnya memiliki kedudukan setara. Namun, dalam praktik
karyawan sering kali berada pada posisi lemah sehingga tidak jarang
karyawan merasa diperlakukan tidak adil. Akibatnya, tidak jarang pula
karyawan membalas ketidakadilan tersebut, yang paling ekstrem misalnya
mencuri atau merusak aset perusahaan dan yang paling sederhana sekadar
menunjukkan sikap dan perilaku negatif terhadap perusahaan dan
menurunnya motivasinya.
Gambaran di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa persepsi
karyawan terhadap rasa keadilan/ketidakadilan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja. Teori motivasi yang
menjelaskan hal ini disebut equity theory. Teori yang pertama kali digagas
oleh J. Stacy Adams ini pada dasarnya berasumsi bahwa dalam pertukaran
sosial, karyawan akan mempertanyakan apakah hubungan kedua belah pihak
merupakan hubungan yang setara atau sebaliknya karyawan diperlakukan
secara tidak adil. Karyawan mengukur tingkat kesetaraan tersebut dengan
mengukur apakah input yang dikeluarkannya sebanding dengan basil atau
outcome yang akan diterima. Perbandingan input-output ini kemudian
diperbandingkan dengan input-output dari orang lain yang dikenalnya,
misalnya yang melakukan pekerjaan yang sama, memiliki pendidikan sama,
atau jenis kelamin sama atau dengan pengalaman diri untuk pekerjaan yang
sama sebelumnya. Maksud dari input adalah semua pengorbanan yang
memungkinkan seorang karyawan melaksanakan pekerjaan, termasuk di
dalamnya pendidikan, pengalaman, keterampilan dan usaha. Maksud dari
output adalah berbagai macam bentuk imbalan yang diberikan perusahaan
kepada karyawan, di antaranya gaji, penghargaan, kesempatan untuk
mengembangkan diri. Gambaran umum tentang inputs dan outputs yang
mempengaruhi rasa keadilan/ketidakadilan dapat dilihat pada Tabel 4.1
berikut ini.
4.30 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 4.1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Keadilan

Inputs Outcomes
Waktu Gaji/Bonus
Pengalaman Benefit
Pendidikan/Pelatihan Tugas yang menantang
Pengalaman masa lalu Cuti
Kemampuan diri dan Keterampilan Kepastian mendapat pekerjaan
Kreati vitas Kemajuan karier/promosi jabatan
Senioritas Status
Loyalitas kepada Perusahaan Lingkungan Kerj a yang Kondusif
Umur Kesempatan untuk mengembangkan diri
Kepribadian Dukungan dari Atasan
Usaha Pengakuan
Tampilan Pribadi Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan

Secara umum, tingkat kesetaraan dalam pertukaran sosial dapat terj adi
dalam tiga bentuk, yaitu ( 1) pertukaran so sial yang setara (equity situation);
(2) pertukaran tidak setara, tetapi tidak menguntungkan karyawan (negative
inequity); dan (3) pertukaran tidak setara yang menguntungkan karyawan
(positive inequity). Gambar 4.7 menggambarkan ketiga situasi ini.

Diri sendiri Orang lain


Diri sendiri Orang lain

Rp 5000
Satuj am
Rp 5000 Rp 10000
Satujam Dua jam

A B

Diri sendiri Orang lain

Rp 5000
Satuj am
Rp 7500
Satu jam

Gambar 4.7.
Persepsi tentang Kesetaraan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.31

Melalui Gambar 4.7, anggaplah ada dua orang - diri sendiri


merepresentasikan diri karyawan dan orang lain merepresentasikan
pembanding untuk masing-masing hubungan kesetaraan. Katakanlah kedua
orang tersebut memiliki latar belakang yang sama (misalnya pendidikan,
senioritas, posisi) dan melakukan tugas yang kurang lebih sama. Hal yang
membedakan keduanya hanyalah tarif upah per jam. Pada Gambar 4.7 A,
terjadi kesetaraan/keadilan karena rasio antara output dengan input untuk diri
sendiri setara dengan rasio output dengan input untuk orang lain. Sementara
itu, Gambar 4.7B terjadi negative inequality karena orang lain memperoleh
imbalan yang lebih besar untuk input yang sama, sebaliknya Gambar 4.7C
diri sendiri merasa diuntungkan karena memperoleh imbalan yang lebih besar
untuk input yang sama jika dibandingkan dengan orang lain. Dalam hal ini
maka terj adi positive inequality.
Berdasarkan equity theory seperti di atas, karyawan akan memilih
beberapa macam tindakan jika merasa dirinya diperlakukan tidak adil.
Tindakan tersebut, di antaranya berikut ini.
1) Mengubah input, misalnya tidak melakukan usaha sungguh-sungguh.
2) Mengubah output, misalnya karyawan yang dibayar berdasarkan jumlah
unit yang dihasilkan akan meningkatkan usahanya agar pendapatannya
naik dengan menambah jumlah kuantitas unit yang dihasilkan tanpa
memperhatikan kualitas hasil produksinya.
3) Mengubah persepsi diri, misalnya dengan mengatakan "selama ini saya
pikir saya bekerja tidak terlalu keras, sekarang saya menyadari bahwa
saya bekerj a terlalu keras".
4) Mengubah persepsi orang lain, misal dengan mengatakan "ternyata
Bagyo tidak bekerja sebaik yang selama ini saya duga".
5) Memilih pembanding yang lain, misalnya dengan mengatakan "hasil
pekerjaan saya memang tidak sebaik hasil kerja ternan saya J oni, tetapi
jauh lebih baik dari hasil kerja Bos saat dia menduduki jabatan seperti
saya".
6) Pindah kerj a.

Equity theory sekali lagi menegaskan bahwa seorang karyawan tidak


hanya memberi perhatian terhadap nilai absolute gaji yang diterima
dibandingkan dengan usaha yang dilakukannya, tetapi juga hubungan antara
gaji yang diterima dengan gaji yang diterima pihak lain. Jika karyawan
menganggap bahwa gaji yang diterima tidak sebanding dengan gaji orang
4.32 PERILAKU ORGANISASI e

lain (bisa lebih tinggi atau lebih rendah) maka akan muncul ketegangan dan
karyawan akan berusaha untuk menyeimbangkannya menuju situasi yang
setara dan adil. Hal ini bias diartikan bahwa ketidaksetaraan akan mendorong
seseorang untuk berperilaku dan bertindak. Dengan kata lain, motivasi akan
tercipta jika terjadi ketidakadilan. Empat situasi terkait dengan
ketidaksetaraan adalah sebagai berikut.
1) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jam kerja, karyawan yang
dibayar lebih akan menghasilkan output lebih banyak dibandingkan
karyawan yang dibayar setara. Karyawan yang dibayar lebih akan
berupaya menghasilkan produk lebih banyak baik secara kuantitas
maupun kualitas sebagai bagian dari upayanya untuk menambah jumlah
input sehingga tercapai keseimbangan.
2) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jumlah produk yang
dihasilkan, karyawan yang dibayar lebih akan menurunkan jumlah
produk yang dihasilkan, tetapi meningkatkan kualitasnya dibandingkan
dengan karyawan yang dibayar setara.
3) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jam kerja, karyawan yang
dibayar kurang akan menghasilkan output lebih sedikit baik secara
kuantitas maupun kualitas dibandingkan karyawan yang dibayar setara.
4) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jumlah produk yang
dihasilkan, karyawan yang dibayar kurang akan menambah jumlah
produk yang dihasilkan dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan karyawan yang dibayar setara.

c. Goal setting theory


Sebagai makhluk hidup, manusia pasti memiliki tujuan yang ingin
dicapai. Sebagian orang menginginkan harmoni kehidupan. Sebagiannya lagi
menginginkan hidup yang sejahtera dan sebagiannya lagi memiliki tujuan
hidup yang lain (lihat Modul 2 tentang nilai-nilai individu). Hanya saja
tujuan hidup tersebut terkadang tidak mudah digapai. Penyebabnya bukan
karena tidak mampu menggapainya, tetapi lebih disebabkan karena seseorang
kadang-kadang diliputi keraguan dalam menentukan tujuan hidupnya.
Misalnya, apakah harmoni kehidupan atau mencapai puncak prestasi yang
sesungguhnya menjadi tujuan hidupnya sering kali tidak bisa ditetapkan
secara tegas. Keraguan dalam menetapkan tujuan secara berturut-turut
menjadi penyebab tidak fokusnya upaya untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebaliknya, apabila seseorang sejak semula telah memiliki dan menetapkan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.33

tujuan yang spesifik, hampir pasti intensitas, pilihan dan persistensi tindakan
akan difokuskan dan diorientasikan ke arah tujuan tersebut. Akibatnya,
tujuan akanjauh lebih mudah dicapai.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam kehidupan sebuah
organisasi. Seorang karyawan yang bekerja serabutan tanpa tugas, beban
kerja dan target yang jelas, jangankan kinerjanya baik, ia malah sering
mengalami frustasi karena tidak ada pedoman dalam melakukan pekerjaan.
Akibatnya, pada saat-saat tertentu ia merasa beban kerj anya berlebihan -
overload dan pada waktu yang lain ia merasa sebaliknya underload. Ujung-
ujungnya kinerjanya bahkan semakin memburuk karena terjadi demotivasi.
Sebaliknya, apabila sejak semula karyawan tersebut diberi tugas, beban kerja
dan target yang jelas dan ia pun memahami dan menyadari akan beban tugas
tersebut sebagai beban tugas yang harus diselesaikannya, karyawan tersebut
dapat mengonsentrasikan energi dan upayanya untuk menyelesaikan tugas
yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan bukan tidak mungkin semua target
bisa diselesaikannya dalam waktu yang lebih singkat dari yang diharapkan.
Semua ini bisa terjadi karena kejelasan tugas akan mendorong dan
memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik dan lebih produktif. Dengan
kata lain, penetapan tujuan (goal setting) yang jelas akan mempengaruhi
motivasi seseorang untuk mencapai tujuan tersebut dan meningkatkan
kinerjanya. Sebagai contoh, ketika Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka
menegaskan bahwa modul "Perilaku Organisasi" harus diselesaikan dalam
waktu 8 bulan atau kontrak kerja akan dibatalkan, penulis pun sadar bahwa
semua energi harus dikerahkan untuk menyelesaikan modul tersebut atau
pekerjaan menjadi sia-sia.
Teori motivasi yang berkaitan dengan penetapan tujuan dan dampaknya
terhadap kinerja disebut goal setting theory. Teori ini digagas oleh Edwin
Locke pada tahun 1968. Meski sering disebut sebagai orang pertama yang
menggagas goal setting theory, Locke sendiri mengacu pada mazhab
scientific management yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Menurut
Locke meski Taylor tidak berbicara goal setting, tetapi cara Taylor
mendorong karyawan untuk bekerja lebih produktif, yang ditandai dengan
menetapkan standar pencapaian kinerj a, tidak lain adalah sebuah moti vasi
berbasis goal setting. Hanya saja, pada waktu itu Taylor menggunakan studi
4.34 PERILAKU ORGANISASI e

waktu dan gerak (time and motion study) sebagai dasar untuk menetapkan
11
tujuan dan kinerja karyawan .
Seperti tercermin dari namanya, goal setting theory merupakan teori
motivasi berbasis tujuan. Dengan demikian, tujuan dengan segala variasinya
seperti target dan sasaran merupakan kata kunci untuk memahami goal
setting theory. Teori ini menyatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit,
jika bisa diterima dan dipahami karyawan, akan meningkatkan kinerja
karyawan ketimbang tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik, mudah
12
dicapai dan tidak ada tujuan . Dalam hal ini, peningkatan kinerja yang
disebabkan karena tingkat kekhususan dan kesulitan tujuan disebut goal
setting effect - dampak penetapan tujuan, sedangkan prosedur penetapan
tujuan disebut goal setting technique - teknik penetapan tujuan. Bangunan
dari goal setting theory dan komponen-komponen yang terkait dengan proses
motivasi dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut ini.

Moderator:
Komitmen terhadap tujuan
Pentingnya tujuan Komitmen dan

Self-efficacy mau mennma
Umpan balik tantangan baru
Kompleksitas tugas

Tujuan: Kinerja Kepuasan kerja


Spesifik (misal: tingkat terhadap kinerja
Sulit produktivitas, dan imbalan
penurunan biaya)

Mekanisme:
Pilihanlarab prilaku
Usaha
Persistensi
Strategi

Gambar 4.8.
Komponen Goal Setting

11
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

•• •••• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• ••• • •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• ••• • •••• •• •• ••• ••• •• ••• •• ••
12
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •••
e EKMA41 58/MODUL 4 4.35

Gambar di atas menunjukkan bahwa kinerja yang direpresentasikan


misalnya oleh naiknya tingkat produktivitas atau efisiensi biaya, dipicu oleh
tujuan yang spesifik dan sulit. Hubungan antara spesifikasi dan tingkat
kesulitan tujuan dengan kinerja bersifat linear dalam pengertian semakin
spesifik dan sulit semakin tinggi pula kinerjanya. Meski demikian pernyataan
ini harus disikapi secara hati-hati karena adanya faktor-faktor lain yang ikut
berpengaruh terhadap hubungan tersebut. Faktor-faktor dimaksud disebut
sebagai faktor pemoderasi (moderating factors), di antaranya:
1) karyawan memiliki komitmen terhadap tujuan tersebut;
2) tujuan tersebut dianggap penting bagi karyawan;
3) karyawan memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat melakukan pekerjaan
tersebut (self-efficacy);
4) karyawan memperoleh umpan balik dari organisasi mengenai tugas yang
dij alankan;
5) kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks sebuah tugas efek goal
setting terhadap kinerja biasanya semakin lemah demikian sebaliknya.
Meski demikian, pekerjaan semakin kompleks karyawan biasanya akan
mempersiapkan diri dengan saksama. Oleh karena ketika tugas menjadi
semakin kompleks biasanya karyawan justru mempertimbangkan untuk
menggunakan strategi yang tepat agar pekerjaan bisa dilakukan secara
efisien dan efektif.

Di muka telah disebutkan bahwa titik tolak dari teori ini adalah tujuan,
khususnya tujuan yang spesifik dan sulit. sebagai dasar untuk menjelaskan
motivasi seseorang. Secara konseptual, yang dimaksud dengan goal adalah
standar kinerja yang harus dicapai oleh seorang karyawan. Dalam skala yang
lebih sempit, goal bisa berupa sasaran atau target yang membutuhkan
tindakan untuk mencapainya. Berdasarkan penjelasan ini maka goal setting
atau penetapan tujuan adalah proses menentukan standar kinerja yang harus
dicapai oleh seorang karyawan.
Meski beberapa studi telah membuktikan bahwa goal setting bisa
meningkatkan kinerja, bukan berarti teori ini tidak mendapat kritik. Beberapa
kritik terhadap goal setting adalah sebagai berikut.
1) Goal setting theory bisa diterapkan dengan baik hanya untuk pekerjaan-
pekerj aan yang relatif sederhana, tetapi tidak untuk pekerj aan yang
sangat kompleks. Goal setting sangat sulit diterapkan jika hasil
pekerjaan ujudnya bukan produk secara fisik. Demikian juga goal setting
4.36 PERILAKU ORGANISASI e

tidak cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang waktu pengerjaannya cukup


lama dalam ukuran bulan atau tahun.
2) Goal setting sering mendorong karyawan bertindak manipulatif dan
berbohong atau melakukan pemalsuan. Karyawan, misalnya cenderung
menetapkan target basil yang rendah agar mudah dicapai sehingga
kinerjanya kelihatan baik. Sebaliknya, manajer cenderung menetapkan
target pencapaian yang tinggi jika agar kenaikan kinerja karyawan
tampak rendah sehingga bonus yang dibayarkannya juga rendah.
3) Goal setting terkadang mendorong karyawan dan manajer berpikiran
sempit hanya terfokus pada tujuan yang terukur sementara tujuan lain
yang lebih penting, tetapi sulit diukur cenderung diabaikan.
4) Goal setting kadang-kadang sulit dipertahankan kelanggengannya
khususnya jika tidak dikombinasi dengan bentuk-bentuk penegakan
lainnya.
5) Goal setting merupakan bentuk lain dari upaya para manajer untuk
mengendalikan dan memonitor perilaku karyawan. Mengontrol dan
memonitor perilaku karyawan bukannya tindakan yang tidak etis, tetapi
cenderung menuntut karyawan berperilaku seragam yang mudah
diprediksi.

3. Kelebihan dan Kelemahan


Sejauh ini telah diuraikan dua teori motivasi, yaitu teori kebutuhan dan
teori proses masing-masing dengan semua variannya. Meski tujuan kedua
teori tersebut sama, yaitu untuk meningkatkan kinerj a organisasi dan
kepuasan kerja karyawan, namun keduanya berangkat dari asumsi berbeda.
Teori kebutuhan berasumsi bahwa seseorang termotivasi untuk melakukan
tindakan karena ada kebutuhan yang belum atau tidak terpenuhi. Alasan
untuk memenuhi kebutuhan inilah yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu dan berperilaku untuk memenuhi tujuan. Teori
ini dengan demikian menganggap bahwa kebutuhan yang bersumber dari
dalam diri masing-masing individu (bersifat internal) merupakan satu-
satunya faktor yang menggerakkan, mengarahkan, mendukung atau
menghentikan perilaku seseorang. Sisi baik dari teori ini adalah teori ini
mudah dipahami karena relatif sederhana. Oleh karenanya seorang manajer
sepertinya bisa dengan mudah memotivasi karyawan. Hal yang dibutuhkan
hanya pengetahuan manajer tentang keinginan dan kebutuhan karyawan.
Meski demikian, dalam praktik memahami kebutuhan karyawan bukan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.37

pekerjaan mudah, terutama karena masing-masing karyawan memiliki


keunikan tersendiri yang berarti pula masing-masing karyawan memiliki
kebutuhan berbeda. Selain itu, seperti dijelaskan pada Modul 1, kebutuhan
setiap orang tidak pemah habis, manakala satu kebutuhan telah terpenuhi
akan muncul kebutuhan baru demikian seterusnya. Hal ini bisa diartikan pula
bahwa manajer tidak bisa terus-menerus mengikuti kebutuhan karyawan yang
terus berkembang hanya sekadar untuk memotivasi mereka. Di samping
persoalan praktis, teori kebutuhan juga banyak dikritik karena terlalu
menyederhanakan persoalan. Oleh karena itu, teori kebutuhan sering
dianggap sebagai teori yang statis.
Teori proses beranggapan bahwa kebutuhan bukan satu-satunya faktor
yang menyebabkan seseorang termotivasi untuk melakukan tindakan. Banyak
faktor lain yang menyebabkan seseorang mau bertindak terutama faktor yang
datangnya di luar diri seseorang. Menurut teori ini seseorang mau melakukan
tindakan lebih disebabkan karena pertimbangan-pertimbangan rasional bukan
semata-mata pertimbangan emosional dan hedonistik seperti pada teori
kebutuhan. Oleh karena banyaknya faktor yang mempengaruhi motivasi
seseorang, bisa dikatakan bahwa teori proses jauh lebih kompleks dan
dinamis. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan seorang manajer adalah
menganalisis, menguraikan, dan menjelaskan bagaimana perilaku
digerakkan, didukung, dan dihentikan. Kelebihan teori proses adalah
banyaknya pilihan bagi seorang manajer untuk memotivasi karyawan.
Seorang manajer dengan demikian tinggal memahami bagaimana proses
motivasi berlangsung. Hal yang mungkin menjadi sedikit persoalan dengan
teori ini adalah kapabilitas dan pengetahuan manajer itu sendiri untuk
memahami sikap karyawan dan bagaimana karyawan membuat pilihan-
pilihan rasional.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan pemahaman saudara tentang peran penting motivasi dalam
lingkup studi perilaku organisasi!
2) Salah satu teori kebutuhan yang banyak mendapat perhatian dari
kalangan akademisi maupun praktisi adalah Teori Hierarki Kebutuhan
4.38 PERILAKU ORGANISASI e

yang dikembangkan oleh Abraham Maslow. Coba jelaskan bagaimana


bekerj anya teori tersebut dan asumsi -asumsi yang melandasi teori
tersebut!
3) J elaskan bagaimana saudara mengaplikasikan teori kesetaraan (equity
theory) ke dalam praktik?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Motivasi merupakan salah satu topik dalam bidang studi perilaku


organisasi yang banyak mendapat perhatian. Penyebabnya karena
motivasi terkait langsung dengan perilaku dan secara tidak langsung
dengan kinerja organisasi. Oleh karena itu, para teoretisi banyak
mengembangkan teori motivasi untuk membantu para manajer
memotivasi para karyawannya agar mereka bekerja lebih baik dan lebih
produktif dan ujung-ujungnya tujuan organisasi bisa tercapai. Secara
umum, ada tiga alasan mengapa motivasi penting bagi manajemen.
Pertama, memotivasi karyawan bukan sebuah pilihan, tetapi keharusan
bagi para manajer terutama karena kapabilitas karyawan pada umumnya
hanya rata-rata sehingga perlu dorongan agar mereka bekerja optimal.
Kedua, memotivasi berarti melakukan perubahan, khususnya perubahan
perilaku. Artinya, para manajer harus melakukan berbagai macam upaya,
rekayasa dan intervensi agar perubahan tersebut menjadi kenyataan.
Ketiga, barangkali yang terpenting, motivasi sesungguhnya hanya
sebatas upaya agar orang yang dimotivasi mau melakukan tindakan,
namun apakah orang tersebut mau melakukan tindakan, semuanya
dikembalikan pada orang yang bersangkutan karena hanya orang
bersangkutan yang mampu mengontrol dirinya. Artinya, memotivasi
jauh lebih mudah jika yang dimotivasi mau mencoba.
2) Teori Hierarki Kebutuhan yang dikembangkan Abraham Maslow
menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang bersifat hierarkis
mulai dari kebutuhan paling dasar sampai kebutuhan tingkat tinggi.
Secara natural manusia berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar
sebelum mengarahkan perilakunya untuk memenuhi kebutuhan di
atasnya. Asumsi kedua, manusia pada dasamya adalah sosok yang ingin
berkembang sehingga ia akan terus berupaya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan lainnya bukan sekadar kebutuhan fisik.
Berdasarkan asumsi ini, Maslow mengidentifikasikan 5 kebutuhan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.39

manusia yang bersifat hierarkis, yaitu kebutuhan fisik, rasa aman, sosial,
harga diri, dan aktualisasi diri. Bagi seorang manajer mengetahui tingkat
kebutuhan seorang karyawan menjadi amat penting agar bisa memotivasi
mereka dengan tepat.
3) Teori kesetaraan (equity theory) berangkat dari satu asumsi bahwa
karyawan dan perusahaan adalah dua pihak yang sedang melakukan
pertukaran. Karyawan menjual tenaga dan perusahaan membeli jasa
karyawan. Pertukaran ini akan berjalan wajar jika kedua belah pihak
berkedudukan setara. Kesetaraan inilah landasan berpikir teori ini.
N amun, kesetaraan tersebut lebih banyak dilihat dari perspektif
karyawan. Artinya, apakah pertukaran tersebut dianggap setara atau
tidak sangat bergantung pada persepsi karyawan. Jika terjadi
ketidaksetaraan maka karyawan akan mengalami demotivasi. Oleh
karena itu, dalam memberikan penghargaan kepada karyawan
perusahaan harus mempertimbangkan faktor-faktor pembanding untuk
memastikan bahwa yang diberikan kepada karyawan betul-betul adil
sehingga moti vasi karyawan terus terj aga.

RANGKUMAN
------------------------------------

Fokus perhatian Kegiatan Belajar 1 adalah perilaku individu yang


terkait langsung dengan perilaku manusia di dalam organisasi yaitu
motivasi. Hal-hal penting tentang teori motivasi disajikan secara ringkas
sebagai berikut.
1. Motivasi adalah sebuah proses yang dimulai dari tidak terpenuhinya
(deficiency) kebutuhan fisiologis atau psikologis yang memicu
perilaku atau dorongan untuk menggapai tujuan atau memperoleh
insentif.
2. Hasil dari proses motivasi adalah perilaku. Namun, harus dipahami
pula bahwa tidak semua perilaku merupakan akibat dari motivasi.
Hanya perilaku yang berorientasi tujuan yang disebabkan oleh
motivasi. Karakteristik perilaku berorientasi tujuan dapat dilihat dari
intensitas tindakan, arah perilaku dan persistensi tindakannya.
3. Secara umum, teori motivasi dikelompokkan menjadi 3 kelompok
besar, yaitu teori kebutuhan, teori proses, serta teori pembelajaran
dan penguatan.
4. Teori kebutuhan berasumsi bahwa motivasi bermula dari tidak
terpenuhinya kebutuhan sehingga mendorong seseorang untuk
4.4Q PERILAKU ORGANISASI e

berperilaku dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Di


antara teori kebutuhan yang banyak mendapat perhatian adalah
Teori Hierarki Kebutuhan yang dikembangkan Maslow, ERG
Theory yang digagas oleh Aldelfer, Teori Dua Faktor (Motivator-
Hyegine Theory) yang digagas oleh Herzberg dan Tiga Teori
kebutuhan (Three Need Theory) yang dibangun McClelland
5. Teori Proses merupakan teori motivasi yang menyoroti proses
terjadinya motivasi. Teori ini berasumsi bahwa motivasi tidak hanya
disebabkan karena kebutuhan seseorang, tetapi disebabkan oleh
faktor-faktor lain di luar kebutuhan. Artinya, seseorang mau
melakukan tindakan bukan karena kebutuhan, tetapi karena
pertimbangan-pertimbangan rasional lainnya. Di antara teori proses
yang banyak mendapat perhatian adalah Teori Pengharapan
(Expectancy Theory), Teori Kesetaraan (Equity Theory), dan Teori
Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory).
6. Hal penting terkait dengan teori motivasi adalah tidak ada satu teori
motivasi pun yang lebih superior dibandingkan teori lainnya.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Hal
ini bias diartikan bahwa para manajer harus bersikap hati-hati ketika
hendak menerapkan teori motivasi ke dalam praktik.

TES FDRMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Hal yang tidak tepat untuk menjelaskan motivasi adalah ....


A. motivasi secara harfiah berarti menggerakkan orang
B. motivasi bermula dari tidak terpenuhinya kebutuhan fisiologis atau
psikologis
C. inti dari proses motivasi adalah dorongan, motif atau tindakan yang
wujudnya adalah perilaku
D. semua perilaku adalah motivasi

2) Menurut Abraham Maslow ....


A. setelah seseorang bisa memenuhi suatu kebutuhan tertentu, dia tidak
lagi membutuhkannya
B. setelah seseorang bisa memenuhi suatu kebutuhan tertentu, dia tetap
akan mengerahkan upayanya untuk mempertahankan kebutuhan
tersebut
e EKMA41 58/MODUL 4 4.41

C. setelah seseorang bisa memenuhi suatu kebutuhan tertentu, dia akan


mengerahkan upayanya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih
tinggi
D. setiap orang mampu mengerahkan upayanya untuk memenuhi dua
kebutuhan dalam waktu bersamaan

3) Salah satu kelemahan dari teori kebutuhan adalah ....


A. teori kebutuhan sangat kompleks
B. teori kebutuhan cenderung statis
C. menggunakan kebutuhan sebagai dasar untuk memotivasi
D. manajer bisa menduga kebutuhan karyawan

4) Berikut ini merupakan kritik terhadap goal setting theory, kecuali ....
A. goal setting mendorong karyawan melakukan tindakan manipulatif
B. goal setting mudah diterapkan untuk pekerjaan yang sederhana,
tetapi sulit diterapkan untuk pekerjaan yang sangat kompleks
C. semakin sulit sebuah tujuan semakin karyawan termotivasi
D. karyawan cenderung hanya berpikiran untuk memfokuskan diri pada
tujuan yang terukur dan mengabaikan tujuan lain

5) Mana dari pernyataan berikut ini yang berkaitan dengan Teori


Kesetaraan yang salah ....
A. untuk mengukur apakah dirinya diperlakukan adil, karyawan akan
membandingkan input - output dengan pembanding standar baku
B. ketika karyawan dibayar di bawah standar dia akan menaikkan
jumlah output tanpa mempedulikan kualitas output
C. karyawan merasa diperlakukan adil jika input-ouput dirinya
sebanding dengan input-output ternan sejawat
D. karyawan yang dibayar lebih, dia merasa bersalah dan merasa tidak
puas sehingga termotivasi untuk menyeimbangkannya

Cocokkanlahjawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal
4.42 PERILAKU ORGANISASI e

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.43

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Motivasi Kerja:
Evaluasi dan Penghargaan Kinerja

etelah mempelaj ari beberapa teori moti vasi, sekarang sampai pada
gilirannya untuk menerapkan teori tersebut ke dalam praktik. Di muka
telah dikatakan bahwa wujud dari teori motivasi adalah tergeraknya
karyawan untuk mengerahkan segala energinya demi mencapai tujuan
organisasi dan kepuasan kerj a karya wan. Sederhanan ya, akhir dari proses
motivasi adalah pencapaian kinerja baik kinerja individu maupun kinerja
organisasi. Untuk mengetahui sejauh mana karyawan termotivasi, perlu
dilakukan evaluasi kinerja dan ditindaklanjuti dengan pemberian
penghargaan agar moti vasi karyawan terus terj aga.
Kegiatan Belajar 2 bermaksud menindaklanjuti uraian Kegiatan
Belajar 1 khususnya yang terkait dengan proses penilaian kinerja dan
pemberian penghargaan kepada karyawan. Namun, sebelum semua itu
didiskusikan terlebih dahulu dibahas hubungan antara motivasi, perilaku, dan
kinerja. Dengan selesainya Kegiatan Belajar 2, Anda sangat diharapkan bisa
mengimplementasikan konsep dan teori motivasi ke dalam praktik sehingga
mampu menjaga tingkat motivasi karyawan.

A. HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI, PERILAKU, DAN KINERJA

Setelah memperoleh penjelasan tentang teori motivasi, pertanyaan


penting yang masih tersisa adalah bagaimana hubungan antara motivasi,
perilaku, dan kinerja. Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena tujuan
akhir dari mempelajari motivasi adalah agar masing-masing individu mau
mengerahkan energi dan bisa bekerja lebih baik serta tingkat produktivitas-
nya meningkat. Jika semua upaya ini berhasil dilakukan maka ujung-
ujungnya kinerja individual meningkat dan demikian juga kinerja organisasi.
Dari penjelasan ini tampak bahwa motivasi tidak sama dengan perilaku.
N amun, dalam praktik sering terj adi salah pengertian seolah-olah kedua
istilah tersebut adalah sama. Bahkan tidak jarang motivasi dan perilaku juga
disamakan dengan kinerja. Salah pengertian ini pada akhirnya bisa
menyebabkan kesalahan dalam menganalisis, menginterpretasikan, dan
4.44 PERILAKU ORGANISASI e

mengaplikasikan ketiga konsep tersebut dalam kehidupan organisasi. Untuk


itu, perlu dilakukan klarifikasi untuk menjelaskan perbedaan ketiga istilah
tersebut dan keterkaitan di antara ketiganya.
Pertama, motivasi berbeda dengan perilaku. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, motivasi merupakan proses psikologis yang menghasilkan
perilaku tertentu. Dalam konteks motivasi, yang dimaksudkan dengan
perilaku tertentu tidak lain adalah perilaku yang berorientasi tujuan, yakni
perilaku yang tujuannya menutup perasaan kurang yang menghinggapi
seseorang. Perilaku itu sendiri merupakan suatu cerminan dari tindakan
seseorang. Ketika kita melihat seseorang bertindak atau sekadar mendengar
seseorang berbuat sesuatu, berarti kita bisa paham mengapa orang tersebut
berperilaku demikian. Hasil dari sebuah motivasi pada umumnya bisa dinilai
berdasarkan perilaku nyata yang ditunjukkan seseorang, besaran usaha yang
dilakukan dan pilihan-pilihan tindakan untuk mencapai tujuan. Sementara itu,
basil langsung dari motivasi akan tampak pada upaya nyata dan keteguhan
seseorang dalam berperilaku. Kedua, motivasi mempengaruhi perilaku,
bukan berarti motivasi hanya satu-satunya faktor yang mempengaruhi
perilaku. Perilaku seseorang dipengaruhi berbagai macam faktor. Termasuk,
di antaranya latar belakang indi vidu yang berperilaku, moti vasi, dan
lingkungan - termasuk lingkungan kerja.
Ketiga, perilaku berbeda dengan kinerja. Kinerja merupakan akumulasi
dari perilaku yang terjadi dalam waktu lama dan dalam konteks berbeda serta
melibatkan orang-orang berbeda. Kinerja merupakan ukuran standar yang
biasanya ditetapkan pihak lain bukan oleh diri orang bersangkutan. Dalam
konteks organisasi, misalnya kinerj a ditentukan oleh organisasi bersangkutan
dan pihak yang melakukan penilaian adalah manajer sebagai wakil dari
pemilik organisasi. Keempat, motivasi merupakan faktor penting dan sangat
dibutuhkan organisasi. Bagi sebuah organisasi mencapai tujuan- yang diukur
dengan kinerja organisasi adalah sebuah kebutuhan. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dengan demikian para karyawan sebagai pelaku
organisasi harus mempunyai motivasi dan berperilaku yang berorientasi
tujuan. Oleh karena itu, berbagai rekayasa dilakukan organisasi agar
karyawan memiliki motivasi kerja. Namun, harus disadari pula bahwa
motivasi bukan satu-satunya faktor yang menentukan kinerja.
Ringkasan dari uraian di atas dapat dilihat pada Gambar 4.9. Gambar
tersebut menunjukkan hubungan antara motivasi, perilaku, dan kinerja di
mana perilaku seseorang tidak semata-mata dipengaruhi motivasi, tetapi juga
e EKMA41 58/MODUL 4 4.45

dua variabel lain, yakni latar belakang individu seseorang, seperti


keterampilan, kepribadian, dan persepsi, serta lingkungan organisasi-
termasuk di dalamnya lingkungan kerja.

Latar belakang
individu

Motivasi • Prilaku Kinerja


Lingkungan
• •
organ1sas1

Gam bar 4. 9.
Hubungan antara Motivasi, Perilaku, dan Kinerja

Tampak pada gambar bahwa basil akhir dari proses motivasi adalah
kinerja. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa ketika seorang manajer
memotivasi karyawan tujuannya tidak lain agar organisasi bisa mencapai
kinerja yang diharapkan. Dengan bahasa berbeda bisa dikatakan bahwa untuk
memotivasi karyawan maka kinerja harus terlebih dahulu ditetapkan. Dengan
demikian, kinerja sesungguhnya berfungsi sebagai alat ukur, pedoman atau
standar untuk mengetahui apakah seorang karyawan termotivasi dan
menunjukkan perilaku kerja yang diharapkan. Proses mengevaluasi sejauh
mana seorang karyawan menunjukkan perilaku kerja biasa disebut sebagai
pengukuran kinerja. Berkaitan dengan pengukuran kinerja, ada dua persoalan
yang biasanya dihadapi para manajer dan persoalan ini sesungguhnya juga
tercermin dari Gambar 4.9. Kedua persoalan tersebut adalah pertama
karakteristik kinerja yang bersifat multidimensional dan kedua motif
seseorang berperilaku juga sangat variatif. Kedua persoalan ini akan
diuraikan lebih detail sebagai berikut.

1. Multidimensi Kinerja
Memotivasi karyawan merupakan salah satu tugas penting seorang
manajer dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja karyawan dan
kinerja organisasi secara keseluruhan. Memotivasi, apa pun teori dan
4.46 PERILAKU ORGANISASI e

konsepnya, berarti mendorong seseorang atau seorang karyawan untuk


bertindak di mana wujud dari tindakan tersebut akan tampak dari perilaku
orang tersebut. Jadi, basil dari sebuah motivasi pada umumnya bisa dinilai
berdasarkan perilaku nyata yang ditunjukkan seseorang, besaran usaha yang
dilakukan, dan pilihan-pilihan tindakan untuk mencapai tujuan. Sementara
itu, basil langsung dari motivasi akan tampak pada upaya nyata dan
keteguhan seseorang dalam berperilaku. Penjelasan ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa ketika seseorang termotivasi berarti ia akan berperilaku
untuk mencapai tujuan, yakni menghasilkan kinerja. Jika motivasinya
berubah maka perilaku dan tujuan atau kinerjanya juga berubah. Oleh karena
itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja sesungguhnya berdimensi
banyak (multidimensional). Namun, bagi organisasi orientasinya jelas, yakni
motivasi dan perilaku karyawan yang dimaksud adalah motivasi dan perilaku
yang mengarah tercapainya kinerj a organisasi secara menyeluruh.
Masalahnya adalah para manajer sendiri justru sering membuat
kesalahan ketika menjelaskan kepada karyawan tentang perilaku yang
diharapkan. Misalnya, perilaku kerja sering diterjemahkan terlalu sederhana
hanya mengaitkannya dengan produktivitas kerja-tinggi atau rendah, padahal
banyak dimensi lain yang bisa digunakan untuk mengukur kuantitas atau
kualitas kinerja. Sebaliknya, manajer terkadang menuntut karyawan
berperilaku secara berlebihan padahal perilaku tersebut terkadang tidak
terkait dengan efektivitas organisasi. Sebagai contoh, manajer menuntut
karyawan menunjukkan loyalitas atau komitmen padahal loyalitas dan
komitmen tersebut belum tentu relevan dengan kegiatan operasional
organisasi. Demikian juga manajer sering menuntut karyawan memakai pola
pakaian tertentu meski cara berpakaian tersebut terkadang tidak berhubungan
lang sung dengan kinerj a organisasi.
Pertanyaannya sekarang adalah perilaku kerja seperti apa yang dianggap
perlu untuk membantu organisasi bekerja secara efektif? Menurut Katz and
Kahn, tiga perilaku esensial untuk mencapai efekti vitas organisasi, meliputi
tiga jenis perilaku, yaitu (a) karyawan harus dibujuk untuk bergabung dan
tetap bersama organisasi, (b) karyawan harus bisa diandalkan untuk
menjalankan tugas yang telah dibebankan kepadanya, serta (c) karyawan
harus memiliki perilaku kerja spontan dan inovatif, di luar deskripsi kerja
formal yang telah ditetapkan, sebagai bagian untuk memberi kontribusi
terhadap efektivitas organisasi.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.47

a. Menarik dan mempertahankan karyawan


Prasyarat pertama bagi setiap organisasi untuk bisa eksis adalah menarik
sejumlah karyawan ke dalam organisasi dan membujuk mereka untuk tetap
bersama organisasi dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, bisa dikatakan
bahwa eksistensi dan keberlangsungan hidup sebuah organisasi sangat
bergantung pada kemampuan organisasi tersebut menarik karyawan untuk
bergabung dengan organisasi. Jika organisasi gagal melakukan hal itu
efektivitas kerja organisasi akan terganggu bahkan bukan tidak mungkin
organisasi tersebut akan mati. Demikian juga, tingkat perputaran karyawan
atau tingkat absensi karyawan yang tinggi akan sangat membebani
• •
organ1sas1.

b. Karyawan bisa diandalkan


Setelah direkrut, karyawan ditugasi untuk menjalankan tugas tertentu
yang menjadi tanggung jawabnya. Secara formal tugas dan tanggung jawab
karyawan biasanya telah jelas dinyatakan pada deskripsi pekerjaan. Selain
berfungsi sebagai pedoman wewenang dan tanggung jawab, deskripsi
pekerjaan juga menjadi petunjuk prasyarat kemampuan minimum yang harus
dimiliki seorang karyawan. Secara umum, bisa dikatakan bahwa organisasi
akan semakin efektif jika karyawan termotivasi untuk mengerjakan tugas
yang telah dibebankan kepadanya dan mereka melakukannya dengan baik.

c. Perilaku spontan dan inovatif


Di samping dituntut untuk menjalankan tugas-tugas formal seperti
tersebut di atas, organisasi juga akan semakin efektif jika karyawan juga
berperilaku layaknya seorang warga negara yang baik (organizational
citizenship behavior), yakni perilaku spontan dan inovatif meski perilaku-
perilaku tersebut tidak tercantum dalam deskripsi kerja. Artinya, di luar
ketentuan formal pekerjaan, karyawan juga diharapkan mau membantu
organisasi dan karyawan lainnya manakala dibutuhkan. Beberapa perilaku
spontan dan inovatif yang sang at penting bagi efekti vitas organisasi, di
antaranya berikut ini.
1) Perilaku kooperatif
Seorang karyawan mau membantu karyawan lain dalam rangka
mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan.
4.48 PERILAKU ORGANISASI e

2) Bertindak protektif
Karyawan akan menjaga organisasi dari bencana dan bertindak all out
jika organisasi mendapat ancaman.
3) Ide konstruktif
Karyawan ikut memberikan ide yang konstruktif dan kreatif untuk
meningkatkan efektivitas organisasi.
4) Self-training
Karyawan akan melatih diri (terus belajar mandiri) dalam rangka
membantu organisasi dalam program pelatihan yang sangat dibutuhkan.
5) Bersikap positif
Karyawan akan menunjukkan sikap positif baik terhadap organisasi,
pelanggan, dan masyarakat pada umumnya sehingga memudahkan
organisasi membangun citra positif.

2. Pola Motivasi
Di samping harus menyadari bahwa kinerja bersifat multidimensional,
para manajer juga harus memahami bahwa perilaku bersumber pada motivasi
di mana setiap orang memiliki motivasi berbeda. Akibat dari perbedaan
motivasi maka perilaku masing-masing karyawan juga berbeda. Sederhana-
nya, setiap motivasi akan menghasilkan perilaku dan tujuan tertentu. Bahasa
populernya "bagaimana seseorang berperilaku dan apa hasilnya sangat
tergantung dari niat/moti vasi orang tersebut". Ambillah contoh, karya wan
yang mau bergabung dengan organisasi dan tidak keberatan untuk tinggal
bersama organisasi dalam waktu lama boleh jadi alasan dan tujuannya tidak
sama. Demikian juga tujuan yang berbeda-beda tersebut mungkin juga
berbeda dengan yang diharapkan organisasi. Bagi Sang Manajer, karyawan
yang bergabung dengan organisasi diharapkan memiliki motivasi yang bisa
diandalkan untuk berkinerja dengan baik, namun bagi Si karyawan motivasi
untuk bergabung mungkin karena dia bisa bekerja sambil menunggu orang
tuanya yang tinggal sendirian. Oleh karena itu, mencapai kinerja menyeluruh,
para manajer perlu memberi perhatian terhadap 6 macam pola motivasi yang
dianggap esensial, yaitu sebagai berikut.

a. Penegakan peraturan
Pada umumnya masyarakat kita sadar dan telah menjadi budaya kita,
bahwa setiap orang yang terlibat dalam kehidupan sosial termasuk kehidupan
organisasi harus patuh kepada aturan yang berlaku. Oleh karena itu, agar
e EKMA41 58/MODUL 4 4.49

kesadaran dan budaya taat aturan terjaga, pihak perusahaan juga harus ikut
menjaga aturan tersebut. Caranya setiap aturan yang akan diberlakukan harus
secara jelas diungkapkan pada kebijakan dan prosedur perusahaan sehingga
semua karyawan mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Setelah itu, perusahaan juga harus menegakkan aturan tersebut.

b. Sistem penghargaan
Penghargaan yang diberikan kepada setiap karyawan karena
keanggotaannya di dalam organisasi disebut sistem penghargaan. Semua
karyawan sesuai dengan klasifikasinya di dalam perusahaan akan
memperoleh penghargaan yang sama tanpa mempedulikan kinerja mereka.

c. Sistem penghargaan berbasis individu


Penghargaan yang diberikan kepada seorang karyawan bukan karena dia
sebagai anggota organisasi, tetapi karena kinerj any a disebut individual
reward- penghargaan berbasis kinerja individu.

d. Kepuasan intrinsik
Kepuasan seorang karyawan tidak selamanya diukur dari reward yang
diterimanya seperti dibicarakan pada poin 2 dan 3 di atas, tetapi kadang-
kadang juga datang dari pekerjaannya itu sendiri. Seorang karyawan yang
merasa cocok dengan pekerjaan, misalnya karena diberi kebebasan untuk
berinovasi boleh jadi akan merasa puas. Kepuasan seperti ini disebut
kepuasan intrinsik.

e. Internalisasi nilai
Beberapa karyawan termotivasi untuk melakukan berbagai macam
kegiatan bukan karena berharap memperoleh imbalan, tetapi karena mereka
setuju dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan. Jadi, mereka bekerja
karena komitmen dan loyalitasnya untuk membantu perusahaan mencapai
tujuan.

f Hubungan antarkelompok
Kepuasan juga bisa terjadi karena hubungan baik antarkaryawan.
Hubungan baik menjadi sumber gratifikasi karyawan untuk tetap berada di
dalam kelompok tersebut. Misalnya, karyawan merasa perlu berada di dalam
kelompoknya karena kelompok tersebut memberinya suasana nyaman,
4.50 PERILAKU ORGANISASI e

persahabatan sejati, karyawan lain bisa memberi dukungan bagi dirinya atau
memberinya suasana emosional.

3. Evaluasi Kinerja
Wujud dari teori motivasi seperti dijelaskan di muka tercermin dalam
bentuk program penilaian kinerja. Proses penilaiannya itu sendiri dapat
dilakukan melalui dua sisi berbeda, yaitu positive reinforcement dan negative
reinforcement dari pelaksanaan kegiatan karyawan. Maksud dari positive
reinforcement adalah membuat perilaku seseorang lebih sering muncul
dengan menunjukkan sesuatu bernada positif atau menyenangkan, sedangkan
negative reinforcement adalah membuat perilaku seseorang lebih sering
muncul dengan cara menjauhkan sesuatu bernada negatif atau tidak
menyenangkan. Sejauh mana seorang memiliki kinerja yang baik sangat
tergantung pada ketepatan penilaian kinerjanya dan penghargaan yang
diberikan kepadanya.

4. Peranan Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja merupakan bagian penting dari hubungan kerja antara
karyawan (buruh) dengan pemberi kerja (majikan). Dalam hubungan ini, bisa
dikatakan bahwa pemberi kerja setuju untuk memberi pekerjaan kepada
karyawan dan memberinya kompensasi untuk pekerjaan yang dilakukan
karyawan. Sebaliknya, karyawan setuju untuk bekerja sebagai imbalan atas
kompensasi dan imbalan-imbalan lain yang ia terima. Kesepakatan kedua
belah pihak dalam hubungan kerj a seperti ini disebut sebagai kontrak
13
psikologis (psychological contract) • Konsekuensi logisnya adalah masing-
masing pihak memiliki hak dan kewajiban serta kedua-duanya harus
mematuhi hak dan kewajiban tersebut jika masih menghendaki hubungan
kerja terus berlangsung. Sang Majikan diharapkan mampu memberikan
kompensasi yang layak dan para karyawan di sisi lain mempunyai hak untuk
menilai kelayakan kompensasi dan imbalan lainnya untuk memutuskan
apakah mereka perlu meneruskan hubungan kerja atau tidak. Sebaliknya,
karyawan diharapkan mampu melakukan unjuk kinerja dan Sang Majikan
berhak menilai basil kerja karyawan tersebut. Jika diyakini bahwa kinerja
karyawan berada di bawah standar yang ditetapkan organisasi (Majikan)

13
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •••
e EKMA41 58/MODUL 4 4.51

maka perlu dilakukan tindakan korektif. Demikian juga biasanya sebagian


besar karyawan setuju untuk mengakhiri hubungan kerja jika kinerjanya
buruk dan layak memperoleh penghargaanjika kinerjanya baik.
Dalam kaitannya dengan hubungan kerja seperti tersebut di atas maka
peranan penilaian kinerj a menj adi sang at esensial. Secara umum, penilaian
kinerja mempunyai 5 fungsi utama. Pertama, penilaian kinerja berfungsi
sebagai dasar untuk memberi imbalan dan memberi pengakuan terhadap
kinerja karyawan. Sebagai contoh, pemberian imbalan berbasis jasa (merit
pay system) adalah sistem pemberian jasa berbasis kinerja. Oleh karena itu,
apabila tidak ada data tentang kinerja karyawan maka penilaian tersebut
sangat subjektif- sesuatu yang tidak sejalan dengan konsep merit pay system.
Kedua, penilaian kinerja bisa dijadikan pedoman untuk merekrut, memPHK
atau mempromosikan karyawan. Dalam hal ini, informasi tentang kinerja
karyawan menjadi unsur penting untuk membuat keputusan rasional,
misalnya siapa yang harus dipromosikan dan siapa yang tidak. Ketiga,
penilaian kinerja bisa memberi informasi bagi karyawan untuk mengetahui
perkembangan dirinya. Bagi karyawan penilaian kinerja berarti umpan balik
bagi dirinya untuk meningkatkan kinerja jika dianggap perlu. Lebih dari itu
umpan balik yang akurat memungkinkan karyawan memiliki proses
pembelajaran terhadap perilaku baru yang diharapkan. Keempat, penilaian
kinerja bisa digunakan untuk mengetahui kebutuhan pelatihan yang
diperlukan seorang karyawan. Sistem penilaian kinerja yang didesain dengan
baik bisa membantu manajemen untuk memperoleh informasi karyawan
mana yang membutuhkan peningkatan keterampilan. Terakhir, kelima,
penilaian kinerja bisa digunakan untuk mengintegrasikan fungsi perancangan
manajemen SDM dan koordinasi fungsi SDM lainnya. Misalnya, informasi
yang bersumber pada penilaian kinerja sangat bermanfaat bagi seorang
karyawan untuk merencanakan karier masa depannya dan bagi organisasi itu
sendiri menjadi dasar untuk memilih karyawan yang tepat. Demikian juga,
penilaian kinerja berfungsi untuk mengidentifikasi karyawan-karyawan yang
potensial masih bisa dikembangkan.

5. Kritik terhadap Penilaian Kinerja


Terlepas dari pentingnya penilaian kinerja, proses penilaian kinerja
sering mendapat kritik tajam karena dianggap sebagai praktik yang tidak
banyak manfaatnya. ltulah sebabnya tidak sedikit para manajer enggan
melaksanakan program penilaian kinerja. Di sisi lain, kebanyakan karyawan,
4.52 PERILAKU ORGANISASI e

khususnya karyawan yang kinerjanya rendah atau tidak menyukai kerja,


menganggap penilaian kinerja baik formal maupun informal merupakan
tindakan yang mengancam masa depan hidupnya. Sementara itu, penilaian
kinerja juga menjadikan kedudukan seorang supervisor merasa terjepit meski
salah satu tug as seorang supervisor adalah menilai kinerj a bawahan.
Supervisor yang tidak memiliki skill atau tidak bisa memberi umpan balik
kepada bawahan akan dinilai atasan mereka sebagai supervisor yang jelek.
Meski seorang mempunyai kemampuan untuk menilai, terkadang mereka
enggan menilai bawahan karena mereka tidak mau menghadapi konflik,
khususnya role conflict, sebab dengan menilai bawahan berarti pada saat
bersamaan seorang supervisor harus bertindak sebagai seorang penilai yang
seolah-olah memiliki kekuasaan penuh, sebagai seorang coach yang bertugas
membimbing dan sebagai seorang ternan.
Kritik lain terhadap penilaian kinerj a adalah tidak semua kegiatan bisa
dinilai secara objektif. Sebagai contoh, aktivitas yang tidak menghasilkan
produk secara fisik (misalnya aktivitas layanan), biasanya sulit diukur
kinerjanya secara objektif. Tugas seorang engineer adalah menghasilkan
kreasi atau ide baru, seorang trainer menghasilkan informasi baru dan
seorang manajer menunjukkan keteladanannya. Namun, output dari semua
kegiatan tersebut sangat sulit dihitung secara kuantitatif. Memang ada dua
pendapat terkait dengan intangible product (produk jasa yang tidak berujud).
Kelompok pertama menganggap bagaimanapun sulitnya setiap aktivitas
harus bisa diukur walaupun cara pengukurannya dengan menggunakan skala
yang subjektif. Sementara kelompok lain menganggap sebaliknya, kalau
memang sulit diukur tentunya tidak perlu diukur kinerjanya. Terlepas dari
sulit tidaknya atau bisa tidaknya sebuah aktivitas diukur kinerjanya, yang
pasti penilaian kinerja dan memberi penilaian merupakan pekerjaan sulit
karena sering menimbulkan perasaan khawatir yang mendalam baik bagi
yang menilai maupun yang dinilai. Kritik terhadap penilaian kinerj a terutama
disebabkan karena beberapa faktor sebagai berikut.
a. Halo effect
Maksud dari halo effect adalah karakteristik seseorang baik positif
maupun negatif mempengaruhi keseluruhan sikap orang tersebut.
b. Leniency-strictly effect
Sebagian evaluator memberikan penilaian yang terlalu longgar (leniency)
sehingga menguntungkan pihak yang dinilai dan sebagian evaluator
e EKMA41 58/MODUL 4 4.53

memberi penilaian yang terlalu ketat (strict) sehingga merugikan pihak


yang dinilai.
c. Central tendency effect
Kebiasaan lain adalah evaluator hanya memberi nilai rata-rata kepada
setiap orang tanpa mempedulikan kinerja sesungguhnya dari setiap
karyawan.
d. Interrater reliability
Dua orang penilai meski melihat perilaku yang sama dari seorang
karyawan, namun kedua memberi penilaian yang berbeda.
e. Contrast effect
Evaluasi terhadap kinerja seorang karyawan dipengaruhi oleh basil
kinerja orang yang telah dinilai sebelumnya.
f. Zero-sum problem
Beberapa sistem penilaian kinerja sering kali menghendaki agar terjadi
keseimbangan dalam penilaian kinerja karyawan, misalnya dengan
memberikan sebagian nilai karyawan yang nilainya tinggi kepada
karyawan yang nilainya rendah.
g. Numbers fetish
Penilaian kinerja karyawan sering kali terjebak pada angka seolah-olah
angka tersebut memiliki tingkat akurasi yang tinggi tanpa
mempertimbangkan konteks.
h. Recency effect
Penilaian kinerja sering kali hanya mempertimbangkan apa yang terjadi
sekarang tanpa melihat kaitannya dengan penilaian kinerj a mas a lalu.

6. Metode Penilaian Kinerja


Me ski kritik terhadap penilaian kinerj a datang dari berbagai kalangan,
manajer dan atau supervisor sesungguhnya selalu melakukan penilaian
kinerja. Memang, proses penilaian kinerja terkadang sangat tidak mudah
dilakukan dan tidak selalu dilakukan secara formal. Penilaian kinerja secara
informal sering kali tidak bisa dihindarkan. Sebagai contoh, ketika
melakukan peninjauan lapangan, seorang supervisor, misalnya sangat
terkesan dengan basil pekerjaan bawahan dan memujinya dengan
mengatakan kinerja bawahannya sangat impresif. Memuji kinerja bawahan
seperti ini merupakan salah satu contoh penilaian kinerj a secara informal.
Penilaian kinerja seperti ini, meski bersifat subjektif. cukup mudah dilakukan
tanpa perlu melakukan proses administratif yang rumit. Meski demikian,
4.54 PERILAKU ORGANISASI e

penilaian kinerj a secara formal dianggap j auh lebih baik karena tidak bias,
bisa diandalkan dan memungkinkan untuk dievaluasi orang lain.
Program penilaian yang baik tentunya tidak semata-mata mengandalkan
teknik penilaian yang digunakan, tetapi tergantung juga pada kemampuan
seseorang untuk menilai. Meski demikian, beberapa teknik penilaian kinerj a
diyakini memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan beberapa
yang lain. Keberhasilan dalam penilaian kinerj a sangat bergantung pada dua
hal, yaitu tujuan penilaian dan sifat pekerjaan yang dinilai. Di antara teknik
penilaian yang telah dikembangkan dan banyak digunakan beberapa
perusahaan adalah sebagai berikut.

a. Penilaian berdasarkan ranking (procedure ranking)


Tujuan penilaian berdasarkan ranking adalah untuk menentukan urutan
karyawan yang memiliki kinerja dengan ranking paling tinggi sampai yang
paling rendah. Metode ini biasanya digunakan untuk menentukan siapa yang
perlu dipromosikan dan kadang-kadang digunakan sebagai dasar untuk
memberikan kompensasi kepada karyawan yang patut memperoleh bonus
lebih banyak dibandingkan karyawan lain. Kelemahannya adalah penilaian
kinerja berdasarkan ranking tidak mampu membantu karyawan untuk
memberikan umpan balik.

b. Penilaian berdasarkan klasifikasi (classification ranking)


Metode ini sekadar mengelompokkan karyawan ke dalam salah satu
kategori tertentu, misalnya luar biasa, sangat baik, baik, cukup, sedang, dan
kurang. Metode ini umumnya digunakan untuk menilai kinerja karyawan
secara keseluruhan meski bisa digunakan juga untuk menilai kinerja
karyawan secara spesifik, misalnya jumlah produk yang dihasilkan, kualitas
pekerjaan atau tingkat kerja sama karyawan. Contoh penilaian kinerja
berdasarkan klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.10 berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.55

Nama---------------------------------------------- Jab atan---------------------------


Tanggal penilaian------------------------------- Lama atau bulan dalam posisi

Berikan penilaian terhadap keseluruhan kinerja karyawan yang namanya


tercantum dalam lembar ini dengan mempertimbangkan faktor yang
dinilai sebagai berikut: tingkat akurasi kinerja, tingkat absensi, kemauan
membantu, kepedulian terhadap keselamatan kerj a, efisiensi, sikap
terhadap pekerjaan, dan kemampuan menjalankan tugas.

Keseluruhan penilaian kinerja


( ) Luar biasa - Kinerjanya sangat tinggi (masuk ranking 2-5 % dari
keseluruhan karyawan)
( ) Sangat baik - Secara signifikan melebihi standar kinerj a ( ranking
10-15%)
( ) Baik- Melebihi standar kinerja (ranking 20-40%)
( ) Cukup- Memenuhi standar kinerja
( ) Kurang - perlu peningkatan
( ) Jelek- sangat tidak memuaskan, perlu perbaikan yang sangat besar

Gam bar 2. 10.


Contoh Penilaian Kinerja Berbasis Pengelompokan

c. Penilaian kinerja menggunakan skala (graphic rating scales)


Metode ini paling banyak digunakan untuk menilai kinerja karyawan,
khususnya karyawan bukan manajer. Kinerja yang paling banyak diukur
dengan skala, misalnya hasil kuantitas pekerjaan, hasil kualitas pekerjaan,
tingkat kerja sama karyawan, pengetahuan tentang pekerjaan, kemandirian
dalam bekerja, inisiatif, kreativitas atau keseluruhan kinerja. Skala yang
digunakan untuk mengukur kinerja karyawan biasanya menggunakan skala 7
angka (1 2 3 4 5 6 7) atau skala 10 angka (1 2 3 4 5 6 7 8 9 10). Misalnya,
untuk skala 7 angka- skala 1 untuk nilai paling rendah (kinerja amat buruk)
dan skala 7 untuk nilai paling tinggi (kinerja luar biasa). Untuk skala
10 angka, skala 1 untuk pekerjaan paling memerlukan peningkatan dan skala
10 untuk pekerjaan melebihi standar. Tingkat akurasi penggunaan skala dan
tingkat objektivitasnya akan semakin tinggi jika angka-angka yang digunakan
untuk menilai kinerja menggunakan terminologi keperilakuan secara tegas,
misalnya sangat buruk, buruk, sedang, rata-rata, baik, sangat baik, dan luar
biasa. Metode ini bisa digunakan untuk mengukur kinerja secara keseluruhan
4.56 PERILAKU ORGANISASI e

atau hanya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya kerja sama tim,


kreativitas, inisiatif, kualitas, dan kuantitas.

d. Behaviorally anchored rating scales (BARS)


Metode ini hampir sama dengan metode penilaian kinerja dengan
menggunakan skala. Bedanya, pada BARS angka-angka yang menjadi
ukuran penilaian dideskripsikan secara jelas maksud angka tersebut.
Misalnya, angka 1 sikap karyawan amat buruk - karyawan sering melawan
dan berperilaku bermusuhan terhadap atasan. BARS dianggap lebih baik
dibanding hanya menggunakan skala biasa, tetapi kelemahannya adalah
membutuhkan waktu cukup lama untuk mengembangkan metode ini.
Istilah kooperatif dan dapat diandalkan mengandung pengertian bahwa
perilaku karyawan sangat spontan dan inovatif, bukan hanya berperilaku
seperti yang dicantumkan dalam deskripsi kerja sehingga memberi kontribusi
yang sangat signifikan terhadap efektivitas perusahaan. Perilaku-perilaku
tersebut, misalnya dapat diandalkan, mau menerima tugas meski berat
sekalipun, bias bekerja sama dengan karyawan lain, berinisiatif terhadap apa
yang seharusnya dilakukan, dan mau melakukannya dengan baik

Sikap yang luar biasa baik 7 -Bersikap positif dan antusias terhadap
pekerjaan. Selalu menyenangkan, suka
membantu, dan kooperatif. Seorang yang
bias memulai pekerjaan secara mandiri.
Sikap yang baik 6 -Seorang pekerja yang antusias dan
excellent, mau melakukan sesuatu melebihi
yang diharapkan. Selalu menyenangkan dan
mampu bekerja sama, kecuali jika dirinya
dikritik atau diperlakukan tidak pada
tempatnya.
Sikapnya agak baik 5 -Mengejakan pekerjaan yang dibebankan
kepadanya, tetapi sikapnya tidak
memungkinkan untuk diminta kerja yang
spesial.
Sikapnya rata-rata 4 -Pekerja yang lumayan, tetapi persoalan
pribadi sering mempengaruhi pekerjaan dan
hal ini terjadi hampir setiap hari.
Sikapnya agak buruk 3 -Kadang-kadang agak resisten bahkan sering
tidak mau mengejakan pekerjaan yang
sifatnya biasa-biasa saja.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.57

Sikap yang buruk 2 -Kadang-kadang agak resisten bahkan sering


tidak mau mengejakan pekerjaan yang
sifatnya biasa-biasa saja. Bahkan sangat
argumentatif dan sikap buruk terhadap
karyawan lain.
Sikap yang amat buruk 1 -Sering kali bersikap bermusuhan kepada
• •
p1mp1nan.

Gambar 2. 11.
Penilaian Kinerja Berbasis BARS

e. Deskriptif
Penilaian kinerja kadang-kadang hanya digunakan lembar kosong dan
penilai kinerja diminta menyimpulkan kinerja karyawan yang dinilai. Metode
ini cukup sederhana, tetapi bagi penilai baru yang belum banyak pengalaman
metode ini sering menyulitkan. Sebaliknya, bagi penilai yang sudah
berpengalaman metode ini bias digunakan secara efektif. Penilaian secara
deskriptif pada umumnya menjelaskan tugas dan tanggung jawab karyawan
di satu sisi dan di sisi lain menjelaskan sejauh mana tugas tersebut telah
dilaksanakan dengan baik. Salah satu keunggulan metode ini adalah bisa
memberikan umpan balik kepada karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
Sayangnya metode ini tidak bisa digunakan untuk membandingkan kinerja
seorang karyawan dengan karyawan lain.

7. Management by Objective
Salah satu bentuk evaluasi kinerja yang cukup populer terutama setelah
Peter Drucker menulis buku "the practice of management" (1954) adalah
Management by Objective (MBO). Jika diterjemahkan, MBO bisa berarti
manajemen berbasis sasaran/tujuan. Pada prinsipnya MBO menekankan
pentingnya setiap individu, baik manajer maupun karyawan biasa, baik
manajer tingkat atas maupun manajer bawah, bertanggung jawab terhadap
basil kerja ketimbang semata-mata melakukan aktivitas pekerjaan. Oleh
karena dituntut untuk bertanggung jawab terhadap hasil kerja maka semua
level manajer juga dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam menetapkan
tujuan. Tujuan yang telah ditetapkan masing-masing manajer berfungsi
sebagai alat kendali diri (self-control) terhadap kinerja masing-masing.
Artinya, masing-masing manajer diminta untuk memonitor sejauh mana
upaya dan tindakan yang mereka lakukan sejalan dengan tujuan yang telah
4.58 PERILAKU ORGANISASI e

ditetapkan sebelumnya dan jika dianggap perlu manajer tersebut bisa


melakukan tindakan korektif tanpa harus menunggu intervensi atasan.
Meski pada awalnya MBO lebih dimaksudkan untuk menilai kinerja
manajer, dalam perkembangannya MBO juga menjadi cara berpikir dalam
manajemen (menjadi sebuah filosofi dalam manajemen) yang merefleksikan
cara mengelola organisasi yang proaktif dan positif bukan sebaliknya reaktif.
Oleh karena itu, secara filosofis, fokus perhatian MBO adalah
(a) memprediksi dan menetapkan masa depan organisasi dengan cara
mengembangkan tujuan jangka panjang organisasi dan membuat
perencanaan-perencanaan strategik, (b) mencapai basil kerja ketimbang
sekadar melakukan kegiatan kerja, (c) meningkatkan kompetensi individu
dan efektivitas organisasi, dan (d) meningkatkan partisipasi karyawan dalam
segala aspek kehidupan organisasi. Selain itu, harus dipahami pula bahwa
MBO adalah sebuah proses yang melibatkan fungsi-fungsi manajemen yang
terintegrasi mulai dari (a) menetapkan tujuan organisasi yang jelas dan tepat,
(b) mengoordinasikan tujuan masing-masing individu dengan tujuan
organisasi secara keseluruhan, (c) pengukuran dan penilaian kinerj a secara
sistematik, dan (d) melakukan tindakan korektif yang dianggap perlu untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip MBO seperti disebut di
atas, kunci utamanya terletak pada koordinasi dan perencanaan organisasi
yang sepadan. Tanpa kedua perangkat organisasi ini mustahil keseluruhan
tujuan organisasi bisa tercapai mengingat masing-masing manajer diberi
kesempatan untuk menetapkan tujuannya sehingga sangat potensial
terjadinya tujuan yang salah arah dan bahkan tujuan yang terlalu sempit
hanya berorientasi pada tujuan masing-masing manajer bukan tujuan
organisasi secara keseluruhan. Untuk meminimalisir persoalan ini maka
implementasi program MBO dapat dilakukan melalui 3 fase berbeda. Fase
pertama fokus utamanya pada bagaimana mengevaluasi kinerja manajer.
Pada fase ini titik tekan diberikan pada penentuan tujuan yang terukur untuk
masing-masing manajer dan mengevaluasi sejauh mana para manajer pada
akhir periode mencapai tujuan tersebut. Fase kedua, program MBO
diintegrasikan ke dalam proses perencanaan dan pengawasan organisasi.
Pada fase ini diperlukan dukungan dari pimpinan puncak dan manajer untuk
memastikan bahwa tujuan masing-masing manajer selaras dengan tujuan
organisasi yang telah ditetapkan melalui mekanisme perencanaan dan
penganggaran. Di samping itu, pada fase ini juga ditekankan pentingnya pada
e EKMA41 58/MODUL 4 4.59

karyawan atau bawahan lainnya untuk mendapat pelatihan dan


pengembangan diri sebagai dasar untuk mengimplementasikan program
MBO. Fase ketiga adalah implementasi program MBO secara penuh.
Artinya, pada fase ini seluruh fungsi organisasi diintegrasikan untuk
mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan.

B. PENEGAKAN ATURAN DAN DISIPLIN

Penegakan aturan dan pemberian hukuman merupakan bagian integral


dari program penilaian kinerj a. Kedua instrumen ini banyak dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari organisasi sebagai media untuk memotivasi
karyawan, namun secara teoritik kedua instrumen ini sering luput dari
perhatian para teoretisi perilaku organisasi. Teori motivasi misalnya sejauh
ini lebih menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan karyawan sebagai
landasan untuk memotivasi mereka. Terlepas minimnya kajian teoritik
tentang penegakan aturan dan pemberian ancaman hukuman, kedua
instrumen ini secara umum bisa digunakan untuk menjaga agar karyawan
terhindar dari perilaku yang tidak dikehendaki yang bisa menghambat
pencapaian tujuan organisasi.

1. Taat Aturan
Setiap organisasi pasti memiliki aturan tidak peduli apakah aturan
tersebut ditetapkan secara formal atau informal. Dengan aturan, misalnya
seorang karyawan tahu tindakan dan perilaku yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
perilaku seorang karyawan merupakan cerminan dari aturan yang diterapkan
sebuah organisasi. Dalam konteks organisasi, pentingnya aturan telah
dibicarakan sejak Max Weber menggagas idenya tentang birokrasi. Menurut
Max Weber, aturan legal berfungsi sebagai landasan perilaku bagi sebuah
organisasi. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang rasional dan memiliki
legitimasi untuk berfungsinya sebuah organisasi. Konsep Max Weber inilah
yang menjadi dasar berlakunya sistem birokrasi yang masih populer sampai
sekarang.
Menyadari pentingnya penegakan aturan dalam kehidupan organisasi,
dalam batas-batas tertentu karyawan harus dipaksa untuk mematuhi peraturan
organisasi meski kepatuhan itu sendiri sesungguhnya merupakan fungsi dari
kebiasaan dan sikap seseorang terhadap simbol-simbol pemegang otoritas.
4.60 PERILAKU ORGANISASI e

Mengharuskan karyawan mematuhi aturan jika memang terpaksa harus


dilakukan, bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menerapkan disiplin
dan memberi ancaman hukuman. Tanpa harus dipaksa pun sebagian besar
masyarakat sesungguhnya meyakini bahwa mengikuti dan menjalankan
aturan yang sah merupakan bagian dari nilai sosial masyarakat. Artinya, kita
tidak perlu memaksa atau mempertanyakan mengapa seseorang mau
mengikuti aturan yang berlaku.
Uraian di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa penegakan
aturan pada akhirnya bisa menjelaskan perilaku seseorang meski intensitas
pengaruhnya masih sangat terbatas. Sebagai contoh, kepatuhan terhadap
aturan hukum secara efektif berpengaruh terhadap perilaku seseorang meski
dengan mematuhi peraturan bahkan berarti karyawan bisa menghasilkan
kinerja yang excellent. Dengan menetapkan peraturan, kinerja seorang
karyawan mungkin biasa-biasa saja, tetapi paling tidak ada dampak positif
lain yang diperoleh, misalnya tingkat absensi karyawan menjadi rendah, tidak
malas, dan mampu memenuhi standar kinerja minimal. Berkaitan dengan
kepatuhan pada aturan hukum, aturan umumnya adalah patuh pada aturan
sangat bermanfaat jika sifat pekerjaan tidak banyak membutuhkan inovasi
dan tidak memerlukan personal judgement, tetapi bersifat rutin dan semua
atau sebagian aktivitas pekerjaan dikendalikan dengan sistem mekanik.
Sebaliknya, patuh terhadap aturan hukum tidak banyak manfaatnya untuk
memotivasi karyawan jika sifat pekerjaan memerlukan kreativitas dan
inovasi, serta karyawan dituntut untuk menggunakan expert judgment
(keputusan berdasarkan kearifan intelektualitasnya).

2. Hukuman
Memberi hukuman dalam batas-batas tertentu sesungguhnya bukan cara
yang tepat untuk memotivasi karyawan. Ada yang berpendapat hukuman
menyalahi aturan moral. Namun, pemberian hukuman sering kali tidak bisa
dihindarkan. Hukuman biasanya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
hukuman yang bersifat alami (natural cosequences), bersifat logis (logical
consequences) dan yang disengaj a dibuat (contrived consequences).
Hukuman yang bersifat alami akan terjadi, misalnya jika seorang karyawan
mengalami kecelakaan kerja yang disebabkan karena dirinya tidak mematuhi
ketentuan kerja seperti tidak memakai helm ketika berada di pabrik.
Demikian juga Anda akan diasingkan karena bau badan yang menyengat.
Hukuman karena alasan logis terjadi dalam hubungannya dengan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.61

pelanggaran aturan. Misalnya, konsumen harus menunggu berjam-jam untuk


mendapat layanan hanya karena petugas yang seharusnya melayani membuat
kekeliruan jam untuk bertemu, sedangkan hukuman yang disengaja
disebabkan kesalahan bertindak di mana hukumannya tidak terkait dengan
kesalahan tersebut. Sebagai contoh, seseorang didenda sebesar Rp 100.000,00
karena menempati area parkir yang disediakan untuk kendaraan direktur
perusahaan. Salah parkir dan denda RplOO.OOO,OO sesungguhnya bersifat
arbitrer.
Secara umum, ada tujuh kondisi yang bias dipertimbangkan untuk
menentukan efekti vitas hukuman, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman akan lebih efektif jika segera diproses tidak lama setelah
pelanggaran dilakukan. Semakin lama jeda antara pelanggaran dengan
proses pelaksanaan hukuman semakin hukuman tidak efektif.
b. Hukuman sebaiknya menjadikan orang yang dihukum menjadi tidak
nyaman, tetapi tidak terlalu keras. Hukuman yang terlalu ringan
berakibat diabaikannya hukuman tersebut. Sebaliknya, hukuman yang
terlalu berat bias berakibat resistensi berlebihan tetapi tidak mencapai
sasaran, yakni merubah perilaku menuju perilaku lebih baik.
c. Hukuman sebaiknya difokuskan pada tindakan spesifik yang melanggar
aturan bukan kepada orang tersebut secara keseluruhan.
d. Hukuman sebaiknya bersifat konsisten terhadap setiap orang dan pada
waktu berbeda.
e. Hukuman sebaiknya bias menjelaskan apa yang salah dan bagaimana
seharusnya.
f. Hukuman yang paling efektif akan terjadi jika hukuman tersebut masih
dalam konteks hubungan yang saling menyayangi dan melindungi bukan
mematikan karakter seseorang.
g. Hukuman sebaiknya tidak ditindaklanjuti dengan pemberian imbalan
yang tidak yang mengakibatkan seseorang akan mengulangi tindakan
tersebut.

3. Disiplin yang Progresif


Disiplin adalah penggunaan berbagai bentuk hukuman atau sangsi ketika
seorang karyawan menyalahi aturan. Tujuan umum dari penegakan disiplin
adalah untuk mengembalikan dan membantu karyawan bisa diterima kembali
di lingkungan kerj a. Meski berbagai bentuk disiplin bisa diterapkan, tetapi
secara umum ada dua bentuk disiplin, yaitu "due process" dan "due cause".
4.62 PERILAKU ORGANISASI e

Maksud dari due process adalah pemberian disiplin harus mengikuti prosedur
yang bisa diterima yang melindungi karyawan dari perlakuan tidakfair, tidak
adil dan arbitrer. Due process biasanya dilakukan dengan terlebih dahulu
memberi tabu secara tertulis tuduhan yang diberikan kepada seseorang dan
alasan mengapa orang tersebut diberi hukuman. Dengan cara ini, karyawan
tertuduh memperoleh kesempatan untuk membela diri, misalnya dengan
diberi kesempatan untuk melakukan dengar pendapat yang tujuannya adalah
karyawan bisa menjelaskan mengapa tindakan yang salah tersebut bisa
terjadi. Sementara dari pihak manajemen sendiri harus memiliki bukti-bukti
yang menguatkan mengapa tindakan disiplin perlu diterapkan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan due cause adalah pemberian
sangsi disiplin kepada seorang karyawan demi kebaikan orang tersebut dan
karena alasan-alasan yang cukup kuat. Sebaliknya, pemberian disiplin
seharusnya tidak diterapkan untuk hal-hal yang sepele. Meski demikian
setiap karyawan harus diberi tabu perilaku-perilaku yang sama sekali tidak
diperkenankan, seperti pelecehan seksual, memakai obat terlarang, minum
minuman beralkohol, mencuri atau tindakan kekerasan dalam perusahaan.
Prosedur penegakan disiplin biasanya mengikuti sebuah proses yang
disebut "progressive discipline - disiplin secara progresif'. Pemberian
disiplin seperti ini dimulai dari pemberian disiplin ringan dan secara bertahap
diberikan disiplin yang semakin berat. Prosedur progressive discipline adalah
sebagai berikut.
a. Verbal warning - pemberian peringatan awal secara verbal, biasanya
dilakukan oleh atasan langsung, yang memperingatkan karyawan bahwa
tindakan yang dilakukannya tidak bisa diterima.
b. Verbal reprimand- pemberitahuan dan diskusi dengan karyawan yang
dianggap melakukan tindakan tidak benar, biasanya dilakukan oleh
atasan langsung, tentang tidak baiknya tindakan tersebut dan perlunya
upaya perbaikan. Dalam hal ini, verbal reprimand bukan sekadar
memberi komentar tentang tindakan seseorang, tetapi lebih dari itu, yaitu
menunjukkan tidak yang salah dengan segala akibatnya dan meminta
karyawan untuk memperbaiki tindakan tersebut agar tidak terulang.
c. Written reprimand - jika melakukan upaya perbaikan secara lisan maka
bias dilakukan prosedur selanjutnya tuduhan secara tertulis dengan
menjelaskan tuntutan peristiwa yang dilakukan karyawan (yang
dianggap salah) dan permintaan untuk merubah tindakan tersebut beserta
konsekuensi yang akan dihadapi karyawan jika tidak mau mematuhinya.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.63

Langkah ini bias dikatakan merupakan langkah formal dibandingkan


dengan dua langkah sebelumnya. Tujuan ditempuhnya langkah ini agar
nantinya perusahaan memiliki dokumen untuk membela diri mengapa
tindakan disiplin diberikan kepada karyawan.
d. Suspension - jika seseorang tidak bisa memperbaiki diri dari tindakan
yang salah ada kemungkinan dirinya akan diberhentikan sementara dari
pekerjaan agar dirinya bisa berpikir apakah mau merubah perilakunya
dan masih bisa bekerja atau sebaliknya.
e. Discharge. Pemutusan hubungan kerja dilakukan jika memang karyawan
yang bersangkutan tidak biasa memperbaiki diri.

Demotion (menurunkan jabatan seseorang) dan memindahkan tempat


kerja biasanya digunakan untuk mendisiplinkan karyawan yang bermasalah
meski cara tersebut tidak sepenuhnya bisa direkomendasikan. Sebagai
contoh, apabila persoalan karyawan adalah persoalan pribadi seperti suka
minum minuman beralkohol atau pemalas maka menurunkan jabatan atau
memindahkan karyawan ke tempat kerja lain bukan merupakan cara yang
tepat karena persoalan ini akan berulang pada tempat kerja yang baru.
Namun, apabila persoalannya adalah karena kinerja yang tidak baik misalnya
setelah menempati jabatan baru maka demotion dan memindahkan tempat
kerja boleh jadi bias menjadi solusi yang tepat. Hanya saja harus dipikirkan
juga dampaknya terhadap stigma - citra buruk bagi karyawan yang
diturunkan j abatannya.

C. SISTEM PENGHARGAAN

Sistem penghargaan adalah penghargaan yang diberikan kepada


seseorang karena keanggotaan atau keterlibatan orang tersebut di dalam
organisasi. Pada umumnya, setiap karyawan memperoleh hak yang sama
dalam sistem reward. Berbagai bentuk reward yang diberikan kepada
karyawan, misalnya benefit atau tambahan gaji, pemberian fasilitas rekreasi
kesehatan kenaikan biaya hidup. Tujuan dari system penghargaan adalah
untuk menarik dan mendorong karyawan tetap bersama dengan organisasi.
Biasanya semakin lama seorang karyawan bekerja di perusahaan akan
semakin besar pula penghargaan yang diperolehnya. Namun, apabila sistem
penghargaan ini diberikan kepada setiap karyawan karena lamanya tinggal
dan bekerja di perusahaan, penghargaan ini pada akhirnya tidak memotivasi
4.64 PERILAKU ORGANISASI e

karyawan bekerja lebih baik karena yang dilakukan karyawan hanya tinggal
selama mungkin dengan perusahaan meski kinerjanya minimal.
Beberapa bentuk penghargaan yang banyak diberikan kepada karyawan,
di antaranya benefit, stock option, dan stock ownership.

1. Benefit
Benefit atau sering juga disebut "fringe benefit" adalah pemberian
fasilitas atau tambahan gaji kepada karyawan karena karyawan terlibat dalam
kehidupan perusahaan. Benefit tidak selamanya berupa uang, tetapi bias
berupa berbagai fasilitas yang diterima karyawan yang secara tidak langsung
bisa dikonversi dalam bentuk uang. Sebagai contoh, karyawan memperoleh
jaminan kesehatan. Hal ini bukan berarti karyawan setiap bulannya
memperoleh tambahan gaji berupa uang untuk biaya berobat, tetapi manakala
karyawan sakit maka biaya rumah sakit, katakanlah dalam jumlah tertentu
atau keseluruhan biaya, akan ditanggung oleh perusahaan. Melihat cara
pemberian fasilitas seperti ini, perusahaan kadang-kadang harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan karyawan. Oleh
karena itu, pemberian benefit bias dikatakan sebagai bentuk sistem
penghargaan yang sangat memberatkan perusahaan. Hanya saja perusahaan
karena aturan pemerintah, harus memberikan sejumlah penghargaan tertentu
kepada karyawan. Penghargaan yang wajib diberikan kepada karyawan,
misalnya jaminan sosial, pesangon ketika ada pemutusan hubungan kerja,
dan kompensasi. Penghargaan lain sifatnya optimal - tidak harus, seperti
berikut.
a. Asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan kerj a.
b. Asuransi jiwa.
c. Memperoleh gaji selama cuti.
d. Fasilitas rekreasi, penitipan anak, dan bantuan hukum.
e. Pensiun.

2. Stock Option
Maksud dari stock option adalah kesempatan yang diberikan kepada
karyawan untuk memberi saham milik perusahaan dengan harga lebih rendah
dari harga pasar. Cara ini memungkinkan karyawan yang memiliki uang
untuk investasi bisa membeli saham perusahaan tempatnya bekerja dengan
harga murah dan dengan demikian ia akan memperoleh keuntungan jika hari
nanti harga saham terus meningkat naik. Bagi perusahaan sendiri pemberian
e EKMA41 58/MODUL 4 4.65

stock option diyakini akan memberi keuntungan karena dengan dimilikinya


saham oleh karyawan berarti secara tidak langsung memotivasi karyawan
untuk bekerja lebih baik dan kinerjanya terus meningkat sebab meningkatnya
kinerja berarti harga saham yang dimiliki karyawan juga akan terus
membaik. Boleh dikatakan program pemberian stock option merupakan
program yang saling menguntungkan baik bagi perusahaan maupun bagi
karyawan.

3. Employee Ownership
Seperti halnya stock option, employee ownership pada dasarnya adalah
melibatkan karyawan untuk memiliki saham perusahaan tempat kerja
karyawan. Bedanya, apabila stock option adalah memberi kesempatan
karyawan membeli saham perusahaan dengan harga lebih murah dari harga
pasar, employee ownership memberi kesempatan karyawan memiliki saham
perusahaan dengan cara perusahaan mendirikan lembaga atau yayasan atau
koperasi di mana setiap tahun atau secara reguler perusahaan menyumbang
yayasan tersebut sehingga pada suatu saat bias membeli saham perusahaan.
Tentunya yang memiliki yayasan atau koperasi tersebut adalah karyawan.
Dengan demikian, secara tidak langsung secara bertahap karyawan juga ikut
memiliki perusahaan. Beberapa alasan diterapkannya employee ownership
sebagai bentuk penghargaan kepada karyawan adalah sebagai berikut.
a. Melibatkan karyawan secara demokratis dalam manajemen perusahaan.
b. Sebagai upaya berbagi kesejahteraan dengan karyawan.
c. Sebagai upaya untuk membeli kembali saham perusahaan dari pasar
saham.
d. Memberikan insentif keuangan bagi karyawan.
e. Untuk membiayai karyawan jika suatu ketika perusahaan terancam akan
diambil alih perusahaan lain.

4. lnsentif
Insentif adalah pemberian penghargaan berbasis kinerj a. Insentif berbeda
dengan sistem penghargaan yang telah dibahas sebelumnya. Jika dasar dari
sistem penghargaan adalah keterlibatan karyawan dengan perusahaan tanpa
melihat apakah karyawan tersebut kinerjanya baik atau tidak, insentif hanya
akan diberikan kepada karyawan sesuai dengan kinerja karyawan tersebut.
Tujuan dari pemberian insentif adalah agar karyawan mau mengerahkan
energinya untuk menghasilkan kinerja yang terbaik. Secara umum, bentuk
4.66 PERILAKU ORGANISASI e

insentif bisa dibedakan menj adi dua, yaitu insentif berupa uang (financial
incentive) dan insentif tidak berupa uang melainkan berupa pengakuan.

a. Insentif berupa uang (financial incentive)


Asumsi yang melandasi bentuk insentif ini adalah uang akan memotivasi
karyawan. Oleh karena itu, karyawan yang kinerjanya baik akan memperoleh
insentif berupa uang sesuai dengan kinerj a tersebut. Persoalannya adalah
sangat jarang ditemui dalam praktik bahwa perusahaan memberi insentif
yang didasarkan pada kinerja individu karyawan. Kalaulah seorang
karyawan, katakanlah kinerjanya dua kali lipat dari yang seharusnya tetap
saja karyawan tersebut tidak akan memperoleh insentif dua kali lipat. Hal
yang sering terjadi adalah karyawan akan dipuji oleh atasannya dan kalaulah
memperoleh tambahan pendapatan jumlahnya tidak dua kali lipat. Secara
umum, insentif dapat diberikan kepada karyawan berdasarkan kinerja
individu, kinerja kelompok atau kinerja organisasi secara keseluruhan.
lnsentif yang diberikan kepada karyawan berdasarkan kinerja individu
karyawan bisa berupa merit pay, piece rate, dan komisi. Maksud dari merit
pay adalah insentif yang didasarkan pada kinerja individu karyawan di mana
dasar penilaiannya adalah penilaian subjektif atasan. Merit pay diberikan
dalam bentuk tambahan gaji pokok untuk tahun berikutnya. Artinya, apabila
seorang karyawan kinerjanya sangat memuaskan maka tahun berikutnya akan
memperoleh tambahan gaji pokok, sedangkan piece rate atau gaji sepotong-
sepotong adalah pemberian insentif yang didasarkan pada jumlah unit produk
yang dihasilkan. Semakin banyak produk yang dihasilkan semakin banyak
pula insentif yang diterima. Cara ini pertama kali digagas oleh Frederick
taylor pada awal abad XX di mana karyawan digaji berdasarkan jumlah
produk yang dihasilkan. Terakhir komisi adalah insentif yang diberikan
kepada karyawan karena karyawan tersebut berhasil menyelesaikan
pekerjaannya atau menggolkan tujuan perusahaan. Komisi biasanya
ditetapkan berdasarkan bagian tertentu atau persentase tertentu dari produk
yang dihasilkan karyawan atau dari jumlah pendapatan perusahaan.
Misalnya, apabila perusahaan berhasil menjual minimal 1 juta unit produk
maka karyawan akan memperoleh komisi sebesar 5% dari pendapatan bersih.
Walaupun piece rate biasanya didasarkan pada kinerja individu tetapi
bukan tidak mungkin piece rate juga diberikan berdasarkan kinerja
kelompok. Ketika dasarnya adalah kinerja kelompok berarti semua karyawan
yang menjadi bagian dari kelompok akan memperoleh bagian insentif yang
e EKMA41 58/MODUL 4 4.67

sama. Sisi baik dari penilaian kinerja ini adalah terciptanya kerja sama
kelompok yang baik. Iklim kerja sama secara tidak langsung akan
mengurangi kebutuhan untuk pengawasan. Sisi buruknya adalah jika jenis
pekerjaan bersifat mandiri maka setiap karyawan hanya bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya. Pada kondisi seperti ini pemberian insentif berbasis
kelompok tidak begitu bermanfaat.
Sementara itu, tidak jarang juga insentif diberikan berdasarkan kinerja
organisasi secara keseluruhan. Bentuk insentifnya berupa profit sharing
(pembagian laba) dan/atau Scanlon Plans. Profit sharing adalah bagian laba
dalam jumlah atau persentase tertentu yang dialokasikan dan dibagikan
kepada karyawan. Profit sharing merupakan bentuk insentif yang paling
populer, oleh karenanya banyak perusahaan yang menerapkan model ini.
Bagi karyawan sendiri sistem profit sharing dan biasanya disikapi dengan
antusias karena mereka berharap akan memperoleh pembagian laba yang
lebih besar jika kinerja mereka semakin meningkat. Profit sharing sangat
bermanfaat untuk mengurangi konflik antara pihak manajemen dengan
pekerja bagian produksi. Scanlon Plans adalah persentase tertentu yang
besarnya tetap sebagai dasar untuk mengalokasikan pendapatan yang akan
digunakan untuk membayar gaji karyawan. Artinya, semakin tinggi
pendapatan perusahaan semakin tinggi pula insentif yang akan diterima
karyawan. Sebagai contoh, apabila tahun ini pendapatannya Rpl miliar dan
persentase yang akan dialokasikan untuk membayar gaji adalah 10% maka
secara keseluruhan karyawan akan menerima insentif sebesar RplOO juta.
Jika pendapatannya naik menjadi Rpl,S miliar maka karyawan akan
menerima insentif sebesar Rp150 juta atau meningkat 50%.
Selain ketiga bentuk insentif di atas, tidak jarang pula insentif diberikan
dalam bentuk bonus dan diberikan khusus kepada para eksekutif dan para
manajer. Filosofi atau alasan dibalik pemberian bonus adalah memberi
penghargaan kepada para eksekutif yang telah berhasil mengelola perusahaan
dengan baik. Jika bonus dikaitkan dengan kinerja perusahaan secara
keseluruhan, diharapkan bonus tersebut bisa meningkatkan kreativitas dan
kerja sama yang semakin baik. Biasanya semakin tinggi posisi seorang
manajer semakin tinggi pula bonus yang akan diterimanya. Misalnya, top
manajer memperoleh bonus sebesar 50-80o/o dari total gaji sedangkan
manajer menengah memperoleh sekitar 15-40%.
4.68 PERILAKU ORGANISASI e

b. Insentif yang bersifat non-moneter


Tidak jarang penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang
kinerjanya baik bukan berupa uang, tetapi penghargaan yang bersifat
nonmoneter. Sebagai contoh, apabila Anda sesekali pergi ke restoran cepat
saji dan mendapati sebuah foto yang dipajang di ruangan tempat para
konsumen menikmati sajian makanan tidak lain adalah bentuk penghargaan
yang fotonya dipajang. Di bawah foto biasanya disebutkan nama karyawan
yang bersangkutan dan prestasinya, misalnya "karyawan paling produktif
bulan ini". Demikian juga seorang karyawan yang telah bekerja di
perusahaan selama 20 tahun, misalnya akan memperoleh penghargaan yang
sifatnya nonmoneter. Secara teoretik boleh dikatakan bahwa pemberian
penghargaan berupa insentif nonmoneter tidak memberi kepuasan secara
psikologis. Meski demikian, pemberian insentif seperti ini dapat memberikan
kebanggaan bagi orang yang menerimanya khususnya masyarakat juga
memberi pengakuan atas prestasi tersebut.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan perbedaan dan sekaligus hubungan antara motivasi, perilaku,
dan kinerja!
2) Sebagian orang menganggap bahwa penilaian kinerja dianggap tidak
perlu. Mengapa ada anggapan demikian? Jelaskan!
3) Sistem penghargaan dan insentif adalah dua hal berbeda meski keduanya
berkaitan dengan kinerja. Benarkah demikian? Jelaskan!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Motivasi, perilaku, dan kinerja adalah tiga istilah dalam bidang studi
perilaku organisasi yang sering disalahartikan seolah-olah mempunyai
pengertian yang sama. Sesungguhnya ketiganya mempunyai pengertian
berbeda meski secara konsep saling terkait. Secara definitif, motivasi
adalah proses psikologis yang menyebabkan tergerak, terarahkan dan
terpeliharanya secara terus-menerus tindakan-tindakan sukarela yang
berorientasi pada satu tujuan tertentu. Definisi ini jelas menegaskan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.69

bahwa wujud dari proses motivasi adalah tindakan yang tidak lain
perilaku berorientasi tujuan. Penjelasan ini sekaligus menegaskan pula
bahwa motivasi tidak sama dengan perilaku, bahkan tidak semua
perilaku diakibatkan oleh motivasi. Hanya perilaku yang berorientasi
tujuan yang terkait dengan motivasi. Selanjutnya, apabila perilaku
tersebut terakumulasi dalam jangka waktu lama - tercermin dari
persistensi atau keajegan perilaku maka hasilnya adalah kinerja. Dengan
kata lain, kinerja hanyalah hasil akhir dari perilaku yang bersumber pada
motivasi. Keterkaitan inilah yang menyebabkan kajian tentang pengaruh
motivasi terhadap kinerja begitu banyak karena kinerja merupakan topik
yang sangat diperhatikan para manajer.
2) Penilaian kinerja dianggap tidak perlu. Anggapan ini pada umumnya
datang dari kalangan karyawan. Toh tidak semua karyawan enggan
dinilai kinerjanya, hanya karyawan yang kinerjanya buruk atau memang
secara natural tidak menyukai kerja meski tetap harus bekerja yang
enggan dinilai kinerjanya karena dengan penilaian kinerja dirinya dan
masa depannya merasa terancam. Sebaliknya, para manajer sebagai
wakil organisasi justru sangat peduli terhadap penilaian kinerja. Seperti
dijelaskan pada Modul 1, pada dasarnya organisasi merekrut karyawan
dengan tujuan agar karyawan bisa membantu organisasi mencapai
tujuannya. Jadi, penilaian kinerja tidak lain adalah alat untuk mengetahui
sejauh mana perilaku karyawan sejalan dengan keinginan organisasi.
Bagi para manajer itu sendiri, kinerja karyawan yang baik merupakan
cermin bahwa dirinya bisa memimpin orang lain dengan baik yang
secara tidak langsung juga menunjukkan kinerjanya. Hanya saja bagi
manajer atau supervisor yang tidak memiliki kemampuan cukup menilai
kinerja karyawan juga bukan pekerjaan mudah karena buruknya kinerja
karyawan juga menjadi cerminan buruknya kinerja manajer.
3. Memang betul bahwa sistem penghargaan dan insentif merupakan dua
konsep berbeda. Sistem penghargaan merupakan konsekuensi logis dari
hubungan transaksional (kontrak psikologis) antara karyawan dengan
organisasi. Artinya, organisasi bertanggung jawab untuk memberi
kompensasi kepada karyawan karena melibatkan karyawan dengan
organisasi tanpa melihat apakah karya wan berkinerj a baik atau tidak.
Dengan kata lain, penghargaan tidak berhubungan langsung dengan baik
buruknya kinerja karyawan. Sementara itu, insentif justru berhubungan
langsung dengan kinerja karyawan. Insentif sengaja diberikan kepada
4.70 PERILAKU ORGANISASI e

karyawan jika kinerja mereka baik. Lebih dari itu, insentif sesungguhnya
diberikan kepada karyawan untuk mendorong mereka terus berkinerja
baik dan lebih baik agar tujuan organisasi yang telah dicanangkan
sebelumnya bisa segera tercapai.

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 2 menjelaskan berbagai hal tentang motivasi kerja,


khususnya yang berkaitan dengan hasil akhir dari motivasi, yaitu kinerja.
Untuk mengetahui apakah karyawan menunjukkan perilaku kerja,
Kegiatan Belajar 2 secara sistematis menguraikan pentingnya penilaian
kinerja dan pemberian penghargaan dan insentif. Secara umum, apa yang
telah diuraikan di depan dapat dirangkum dalam ringkasan sebagai
berikut.
1. Hubungan antara motivasi, perilaku, dan kinerja. Pada dasarnya
kinerja merupakan akumulasi perilaku yang terjadi dalam kurun
waktu lama, dalam konteks berbeda dan melibatkan banyak pihak.
Perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh motivasi dan dua faktor lain,
yaitu latar belakang individu dan lingkungan organisasi.
2. Evaluasi kinerja. Untuk mengetahui apakah karyawan telah
berkinerja dengan baik maka evaluasi terhadap kinerja karyawan
merupakan sebuah keharusan. Dalam hal ini, penilaian kinerja
berperan sebagai (a) standar untuk memberi imbalan; (b) pedoman
untuk merekrut, memPHK atau mempromosikan karyawan;
(c) informasi bagi karyawan untuk mengetahui perkembangan
dirinya; (d) dasar untuk mengetahui kebutuhan pelatihan yang
diperlukan seorang karyawan; dan (e) dasar untuk mengintegrasikan
fungsi perancangan manajemen SDM dan koordinasi fungsi SDM
lainnya.
3. Meski menjadi keharusan, evaluasi kinerja sering mendapat kritik
karena dianggap tidak memberi manfaat karyawan dan mengganggu
masa depannya. Bagi manajer itu sendiri, evaluasi kinerja sering
menempatkan manajer pada posisi yang serba susah karena ditekan
dari atas dan ditekan dari karyawan.
4. Beberapa m.etode bisa digunakan untuk menilai kinerja karyawan, di
antaranya penilaian berdasarkan ranking (procedure ranking),
penilaian berdasarkan klasifikasi (classification ranking), penilaian
kinerja menggunakan skala (graphic rating scales), Behaviorally
anchored rating scales (BARS), dan deskriptif.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.71

5. Salah satu bentuk penilaian kinerja yang sistematis dan menyatu


dengan kegiatan karyawan adalah Management by Objective
(MBO). MBO adalah program penilaian kinerja yang mendasarkan
tujuan sebagai landasannya di mana tujuan itu sendiri ditentukan
oleh karyawan yang mengaitkannya dengan tujuan organisasi secara
keseluruhan.
6. Agar tujuan penilaian kinerja bisa dicapai maka penilaian kinerja
harus dibarengi dengan penegakan aturan dan disiplin.
7. Sis tern penghargaan adalah penghargaan yang diberikan kepada
seseorang karena keanggotaan atau keterlibatan orang tersebut di
dalam organisasi yang bertujuan untuk menarik dan mendorong
karyawan tetap bersama dengan organisasi. Beberapa bentuk
penghargaan yang banyak diberikan kepada karyawan, di antaranya
adalah benefit, stock option, dan stock ownership.
8. Insentif adalah pemberian penghargaan berbasis kinerja, tujuannya
agar karyawan mau mengerahkan energinya untuk menghasilkan
kinerja yang terbaik. Secara umum, bentuk insentif bisa dibedakan
menj adi dua, yaitu insentif berupa uang (financial incentive) dan
insentif tidak berupa uang melainkan berupa pengakuan.

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Pernyataan yang benar tentang hubungan antara motivasi, perilaku, dan


kinerj a adalah ....
A. motivasi sama dengan perilaku, demikian juga perilaku sarna dengan
kinerj a, dan ketiganya saling berhubungan
B. motivasi sama dengan perilaku, tetapi tidak sama dengan kinerja
meski ketiganya saling berhubungan
C. motivasi tidak sama dengan perilaku, tetapi sama dengan kinerja
meski ketiganya saling berhubungan
D. motivasi tidak sama dengan perilaku dan tidak sama dengan kinerja
meski ketiganya saling berhubungan

2) Berikut ini merupakan perilaku esensial yang membantu efektivitas


organisasi, kecuali ....
A. karyawan adalah sosok yang berperilaku layaknya warga Negara
yang baik yang spontan, inovatif, dan suka membantu
B. karyawan adalah sosok yang bisa diandalkan
4.72 PERILAKU ORGANISASI e

C. karyawan adalah sosok yang harus terus dimotivasi agar bekerja


dengan baik
D. karyawan harus mau bergabung dan tetap bersama organisasi dalam
kurun waktu lama

3) Peranan penilaian kinerja dalam konteks hubungan karyawan -


organisasi adalah ....
A. sebagai dasar untuk mengetahui karyawan mana yang perlu diPHK
B. sebagai dasar untuk menetapkan tujuan organisasi
C. sebagai dasar untuk membangun kerja sama antarkaryawan
D. sekadar pekerjaan rutin para manajer

4) Pemberian sangsi disiplin yang diberikan kepada karyawan karena due


cause dapat dilakukan dengan ....
A. ditindak kenaikan pangkatnya
B. menurunkan j abatan
C. memindahkan tempat kerja
D. sebaiknya langsung dipecat karena perilakunya tidak bias diperbaiki

5) Pemberian insentif bias dilakukan dengan ....


A. stock option - memberi kesempatan memiliki saham perusahaan
B. memberi pengakuan misalnya sebagai karyawan paling produktif
C. employee ownership
D. benefit

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
e EKMA41 58/MODUL 4 4.73

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
4.74 PERILAKU ORGANISASI e

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) D 1) D
2) c 2) c
3) B 3) A
4) c 4) A
5) A 5) B
e EKMA41 58/MODUL 4 4.75

Daftar Pustaka

Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM


YKPN.

Edwin Locke. (1982). The Ideas of Frederick Taylor: An Evaluation,


Academy of Management Review. pp. 14-24.

Gigi Sutton and Mark A. Griffin. (2004 ). Integrating Expectations,


Experienriences and Psychological Contract's Violations: A
Longitudinal Study of New Professionals. Journal of Accupational and
Organizational Psychology. 77, 493-514.

Locke and Latham. (2002). Building a Practically Useful Theory of Goal


Setting and Task Motivation: A 35-year Odyssey. American
Psychologist. Vol. 57, No.9, pp. 705-717.

McClelland and David Burnham. (1976). Power is the Great Motivator.


Hal. 264.

Orlando Beling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Science of


Organization. Academy of Management Review. pp. 193-201.

William H Turnley; Mark C Bolino; Scott W Lester; James M Bloodgood.


(2004). The Effects of Psychological Contract Breach on Union
Commitment. Journal of Accupational and Organizational Psychology.
77, 421-428.
MDDUL 5

Dinamika Kelompok

Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

odul-modul sebelumnya, khususnya Modul 2-4, menguraikan secara


detail perilaku manusia di dalam organisasi dalam perspektif manusia
sebagai individu. Salah satu poin penting dalam uraian tersebut adalah
berlakunya hukum perbedaan individu - law of individual differences.
Hukum ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki ciri, kekhasan,
karakteristik atau keunikan tersendiri yang berbeda dengan individu lain.
Selain itu, dikatakan pula bahwa karakteristik individual seseorang sulit
mengalami perubahan. Kalaulah harus berubah maka perubahannya tidak
terjadi dalam waktu singkat melainkan membutuhkan waktu lama. Akibat
dari perbedaan tersebut, cara pandang, cara berpikir, dan cara bertindak
masing-masing individu juga berbeda.
Terlepas dari kenyataan bahwa setiap individu akan selalu membawa dan
menjaga karakteristik individual masing-masing, namun tidak juga bisa
dipungkiri jika seseorang tidak bisa hidup sendiri karena selain sebagai
makhluk individu manusia juga sebagai makhluk sosial yang selalu
membutuhkan orang lain. Kebutuhan kepada orang lain atau "terpaksa
membutuhkan orang lain" akan semakin tampak jika konteks pembicaraan,
secara spesifik dibatasi pada kehidupan sebuah organisasi. Sebagaimana kita
ketahui bersama, dalam kehidupan organisasi, sej ak pertama kali direkrut dan
bergabung dengan organisasi seorang karyawan harus selalu berinteraksi
dengan karyawan lain yang "terpaksa menjadi ternan kerja" meski tidak
pemah mengenal sebelumnya dan tidak mengetahui latar belakangnya. Meski
interaksi semacam ini terkadang dilandasi oleh keterpaksaan, namun karena
dirinya sadar bahwa interaksi yang sama bahkan dengan intensitas yang lebih
sering akan terjadi pada hari-hari mendatang maka saling mengenal
antarsesama menjadi unsur penting demi lancarnya interaksi tersebut.
Saling mengenal, boleh jadi dimulai dari saling mengetahui pekerjaan
masing-masing mengingat secara formal kehadiran mereka di dalam
5.2 PERILAKU ORGANISASI e

organisasi utamanya adalah untuk bekerja dalam rangka membantu


organisasi menyelesaikan persoalan-persoalan organisasi agar tujuan
organisasi bisa tercapai. N amun, tidak j arang kalau tidak dikatakan hampir
pasti, saling mengenal berlanjut sampai pada hal-hal yang bersifat pribadi
untuk mengetahui lebih jauh latar belakang kehidupan masing-masing.
Dengan semakin meluasnya pengetahuan seseorang terhadap orang lain, dari
semula hanya pengetahuan tentang pekerjaan tetapi kemudian berlanjut pada
pengetahuan tentang latar belakang masing-masing maka sifat interaksinya
juga bukan hanya interaksi karena pekerjaan, tetapi juga interaksi berkaitan
dengan kehidupan sosial. Artinya, hubungan kerja pun pada akhirnya bisa
menjadi hubungan sosial dengan segala pernak-perniknya baik yang bersifat
positif maupun negatif.
Sebagai contoh, hubungan sosial yang pada mulanya mereka bangun
dalam konteks pekerjaan, namun pada akhirnya berkembang semakin intensif
menyerupai sebuah keluarga menyebabkan di antara mereka tidak sungkan
untuk mengatakan "kita" sekadar untuk menegaskan bahwa keberadaan
mereka bukan sekadar hubungan kerja melainkan sebuah entitas sosial yang
disebut kelompok. Sebagai keluarga mereka merasa bahwa kelompoknya
berbeda dengan entitas sosial atau kelompok lain. Perbedaan tersebut bukan
hanya dirasakan ketika membandingkannya dengan kelompok lain di luar
organisasi, tetapi juga dengan kelompok lain di dalam organisasi. Penjelasan
ini sekaligus menegaskan bahwa bukan hal yang tidak biasa jika di dalam
sebuah organisasi terdapat beberapa kelompok. Untuk memperlancar
jalannya kegiatan organisasi, secara formal, misalnya organisasi sengaja
dibagi menjadi beberapa kelompok kerja (division of labor). Akibatnya,
terbentuklah kelompok-kelompok formal dengan segala keunikan karakter
dan perilakunya. Di samping itu, karyawan sendiri, secara informal, sering
mengelompokkan diri sesuai dengan kepentingan masing-masing. Walhasil,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan kelompok di dalam sebuah
organisasi patut mendapat perhatian karena keberhasilan organisasi dalam
batas-batas tertentu tidak lepas dari dinamika kelompok.
Bidang studi perilaku organisasi, seperti dijelaskan pada Modul 1, tidak
hanya memberi perhatian pad a perilaku indi vidu, tetapi juga pada perilaku
kelompok- sebuah bidang kajian yang pada mulanya menjadi domain bidang
studi sosiologi. Banyak hal yang bisa dikaji dari dinamika kelompok dan
perilakunya. Di antaranya tim kerja, komunikasi interpersonal, pengambilan
keputusan kelompok, kepemimpinan, kekuasaan, konflik, dan negosiasi. Oleh
e EKMA41 58/MODUL 5 5.3

karena itu, Modul 5 dan dua modul berikutnya akan membahas topik-topik
yang berbasis perilaku kelompok seperti dicontohkan di atas. Khusus untuk
Modul 5, bahasan akan ditekankan pada dasar-dasar perilaku kelompok dan
tim kerja dan diikuti oleh bahasan tentang pengambilan keputusan dalam
kelompok.
Dengan selesainya modul ini, Anda diharapkan bisa memahami mengapa
studi tentang dinamika kelompok perlu dilakukan. Sekumpulan orang disebut
kelompok bukan semata-mata karena jumlahnya dua orang atau lebih, tetapi
karena ada tali pengikat yang menjadikan sekumpulan orang tersebut menjadi
kelompok. Salah satunya adalah norma kelompok yang mereka bangun
bersama. J adi, kelompok adalah sebuah entitas sosial yang mandiri dengan
segala pemak-pemiknya layaknya entitas sosial lainnya. Artinya, di dalam
kelompok juga sangat mungkin terjadi persoalan kelompok. Di sinilah peran
mahasiswa untuk mengetahui dan mampu mendiagnosis persoalan kelompok
menjadi penting. Di samping itu, Anda juga diharapkan mampu menjelaskan
perbedaan antara kelompok dengan sekumpulan orang, mirip dengan
kelompok, tetapi mempunyai pengertian berbeda, yang disebut tim.
Pemahaman ini menjadi penting karena banyak perusahaan akhir-akhir ini
memilih membentuk untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sulit. Oleh
karena Anda diharapkan mampu membentuk tim yang berhasil.
5.4 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Dasar-dasar Perilaku Kelompok dan


Tim Kerja

ebagai makhluk sosial manusia tidak pernah bisa hidup sendirian.


Disadari atau tidak, manusia merupakan bagian dari sebuah kelompok.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya manusia paling tidak merupakan
bagian integral dari sebuah keluarga. Namun, tidak jarang pula manusia
menjadi bagian dari beberapa kelompok berbeda pada waktu bersamaan. Di
samping menjadi anggota keluarga, seseorang juga menjadi anggota
kelompok lain, seperti remaja masjid, ikatan pelajar (osis), kelompok
pencinta buku, kelompok kesenian, komite sekolah, dan kelompok-kelompok
lainnya. Walhasil, menjadi bagian dari kelompok merupakan karakteristik
manusia yang bersifat alamiah. Lebih-lebih bagi masyarakat Timur, seperti
Indonesia yang cenderung kolektif, menjadi bagian dari kelompok dianggap
jauh lebih penting dibandingkan menjadi bagian dari diri sendiri. Oleh karena
itu, kita perlu memahami dinamika kelompok untuk memahami pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia.
1
Sementara itu, dalam konteks organisasi Orlando Behling , misalnya
mengatakan bahwa kelompok dengan segala dinamikanya bisa berpengaruh
baik terhadap perilaku indi vidu maupun perilaku organisasi secara
keseluruhan, bahkan terhadap masyarakat sekalipun. Oleh karena itu, seperti
dikatakan Cherrington, paling tidak ada tiga alasan mengapa dinamika
2
kelompok perlu dipelajari . Pertama, kelompok memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap perilaku individu. Nilai-nilai personal, sikap, dan
perilaku seseorang dalam banyak hal dipengaruhi oleh interaksi seseorang
dengan anggota kelompok lainnya. Demikian juga seseorang cenderung
menyandarkan diri pada kelompok agar dia bisa belajar memahami dirinya-
who I am. Kedua, kelompok juga memiliki pengaruh yang sangat kuat
terhadap kelompok-kelompok lain dan terhadap organisasi. Sebagian besar
pekerjaan-pekerjaan organisasi sesungguhnya dilakukan oleh kelompok,

1
0. Beling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Sciene of Organization,
Academy of Management Review. 3 ,2. Hal. 193-201.
2
D. Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of Individual
and Organizational Performance. Boston: Allyn and Bacon. Hal. 385.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.5

demikian juga keberhasilan sebuah organisasi ditentukan oleh efektivitas


kelompoknya. Dalam hal ini, tindakan kolektif yang dilakukan individu-
individu di dalam kelompokjauh lebih efektif dibandingkan dengan tindakan
individu-individu yang dilakukan secara perseorangan. Ketiga, dengan
memahami dinamika kelompok bisa membantu kita memahami perilakunya.
Setiap kelompok, layaknya sebuah keluarga, juga memiliki kekhasan yang
berbeda dengan kelompok lain. Perilaku-perilaku mereka hanya bisa
dipahami jika kita memahami proses yang terjadi di dalam kelompok
tersebut. Sebagai contoh, anggota-anggota kelompok pada umumnya hanya
akan menjalankan tugasnya berdasarkan peran dan norma kelompok. Dengan
demikian, memahami dinamika kelompok sangat penting untuk menganalisis
interaksi antarmanusia di dalam kelompok dan untuk mendiagnosis
persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

A. PENGERTIAN KELOMPOK

Secara sederhana, kelompok didefinisikan sebagai dua orang atau lebih


yang melakukan interaksi secara langsung dan merasa saling bergantung,
3
dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama . Berdasarkan pengertian ini,
sebuah kelompok terdiri dari tiga komponen utama, yaitu dua orang atau
lebih, melakukan interaksi dan saling bergantung, dan paling tidak ada satu
tujuan yang hendak dicapai. Untuk memberi gambaran tentang esensi sebuah
kelompok, perhatikan contoh berikut ini. Katakanlah ada sekumpulan orang
yang menggunakan satu mesin foto kopi secara bersama-sama. Menurut
definisi di atas, sekumpulan orang tersebut belum bisa disebut sebagai
kelompok karena di antara mereka tidak saling bergantung meski mereka
saling berinteraksi. Adanya unsur saling bergantung ini sesungguhnya
menunjukkan bahwa anggota-anggota kelompok merasa saling memiliki
sehingga mereka juga merasa bahwa di antara mereka merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan (single unit entity). Perasaan seperti ini
muncul karena para anggota kelompok umumnya membentuk mental
bersama. Oleh Hofstede pembentukan mental bersama ini disebut "collective
4
mental programming" yang tujuannya untuk menandai bahwa mereka

3
Cherrington. (1989). Ibid. Hal. 385.
4
Hofstede Cultures and Organizations: Software of Mind. New York: McGraw Hill.
Hal. 5.
5.6 PERILAKU ORGANISASI e

memiliki keyakinan, identitas, dan sikap yang sama yang kesemuanya itu
bersumber pada norma kelompok (group norm) yang mereka bangun
bersama.
Penjelasan di atas sejalan dengan pengertian kelompok yang lebih kental
dengan disiplin ilmu sosiologi. D. Horton Smith sebagaimana dikutip oleh
5
Kreitner and Kinicki mengatakan bahwa kelompok adalah dua orang atau
lebih yang saling berinteraksi secara bebas dan saling berbagi norma dan
tujuan bersama serta memiliki identitas diri. Definisi kedua ini menegaskan
bahwa ketika dua orang atau lebih membangun suatu ikatan sosial (social
entity) sehingga mereka bisa saling berinteraksi dan di antara mereka terj adi
saling kebergantungan maka saat itulah mulai terbentuk sebuah kelompok.
Namun, hanya saling berinteraksi dan saling bergantung belum cukup untuk
mengatakan dua orang atau lebih sebagai kelompok jika di antara mereka
tidak memiliki norma kelompok, tujuan bersama, dan identitas diri. Oleh
karena itu, secara lengkap unsur-unsur pembentuk kelompok adalah:
1. sekumpulan orang (minimal dua orang);
2. saling berinteraksi dan saling bergantung;
3. memiliki norma kelompok;
4. memiliki tujuan bersama;
5. memiliki identitas diri (collective identity).

B. TIPE KELOMPOK

Seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, kelompok pada


dasarnya adalah sekumpulan orang yang memiliki karakteristik tertentu.
Dalam konteks organisasi, sebuah kelompok kadang-kadang sengaja
dibentuk oleh otoritas pengelola organisasi atau otomatis terbentuk karena
aturan-aturan yang berlaku di dalam organisasi. Kelompok seperti ini disebut
sebagai kelompok formal (formal group). Di samping itu, sebuah kelompok
kadang-kadang dibentuk bukan karena dorongan pihak manajemen atau
mengikuti aturan formal organisasi, tetapi berdasarkan inisiatif para
karyawan sesuai dengan kepentingan mereka. Oleh karena dibentuk di luar
alur formal organisasi maka kelompok seperti ini disebut kelompok informal

5
Kreitner and Kinicki. (2004). Organizational Behavior. 6th edition. Boston: McGraw
Hill. Hal. 41 0.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.7

(informal group). Kedua tipe kelompok ini dan derivasi masing-masing tipe
dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut ini.

Kelompok

Kelompok Formal

Kelompok Informal



Kelompok

Kelompok

Kelompok

Kelompok
Koman do Tugas Kepentingan Pertemanan

Gambar 5.1.
Tipe Kelompok

Seperti tampak pada Gambar 5.1, secara umum kelompok dibedakan


menjadi kelompok formal dan informal. Maksud dari kelompok formal
adalah kelompok yang sengaja dibentuk oleh organisasi, baik melalui aturan
yang dibuat oleh pengelola organisasi maupun karena hierarki organisasi,
sebagai bagian untuk membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Hal
ini bisa diartikan bahwa eksistensi kelompok formal akan berjalan seiring
dengan eksistensi organisasi. Oleh karenanya secara formal, kelompok bisa
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Kelompok Komando (Command Group)
dan Kelompok Tug as (Task Group). Kelompok yang dibentuk mengikuti alur
hierarki organisasi disebut command group. Dengan demikian, anggota-
anggota command group terdiri dari supersivor dan anak buahnya yang
secara hierarkis melaporkan semua akti vitasnya kepada supervisor sebagai
atasan. Departemen SDM yang terdiri dari Kepala Departemen dan anak
buahnya adalah salah satu contoh command group.
Tipe kedua adalah Kelompok Tugas (Task group). Sesuai dengan
namanya kelompok ini sengaja dibentuk secara formal bertujuan untuk
mengerjakan tugas-tugas tertentu di mana anggota-anggotanya terdiri dari
orang-orang yang berasal dari departemen berbeda. Di Indonesia tipe
kelompok ini biasa dikenal dengan istilah Satgas - Satuan Tugas. Sebagai
contoh, sebuah perusahaan yang tidak membentuk departemen tersendiri
5.8 PERILAKU ORGANISASI e

untuk menangani masalah Environment, Health and Safety - EHS, tetapi


lebih memilih melibatkan banyak orang dari departemen berbeda untuk
menangani isu tersebut, disebut sebagai task group.
Kelompok informal adalah sebuah kelompok yang dibentuk atas inisiatif
karyawan, bukan atas gagasan formal organisasi. Alasan dibentuknya
kelompok informal karena di antara mereka memiliki perhatian yang sama
atau kepentingan yang sama di mana kepentingan tersebut biasanya tidak
tertampung di dalam struktur formal organisasi. Dua tipe kelompok yang bisa
dikategorikan sebagai kelompok informal adalah Kelompok Pertemanan
(Friendship Group) dan Kelompok Kepentingan (Interest Group). Individu-
individu yang berasal dari departemen berbeda boleh jadi memiliki perhatian
yang sama terhadap kehidupan sosial mereka. Orang-orang yang memiliki
keyakinan agama yang sama, menganut politik yang sama atau berasal dari
lulusan perguruan tinggi yang sama boleh j adi memiliki perasaan sosial yang
sama sehingga tidak jarang di antara mereka membentuk kelompok yang
disebut friendship group. Kelompok informal yang dibentuk oleh orang-
orang dari departemen berbeda atau bahkan dari organisasi berbeda, tetapi
memiliki kepentingan yang sama, misalnya untuk menyelesaikan persoalan
polusi udara, untuk memprotes kenaikan BBM atau untuk membahas
kenakalan remaja bisa disebut sebagai Kelompok Kepentingan (interest
group). Keanggotaan interest group tentunya bersifat sukarela.
Meski kelompok informal dibentuk tidak atas dorongan resmi pihak
manajemen, tetapi keberadaannya merupakan bagian penting bagi kehidupan
formal organisasi. Sebagaimana dijelaskan pada Modul 2 tentang sikap kerja,
seseorang bekerja bukan semata-mata demi memperoleh penghasilan, tetapi
ada alasan-alasan di luar itu, khususnya untuk memenuhi kebutuhan sosial
mereka. Kadang-kadang kebutuhan sosial tersebut hanya bisa dipenuhi jika ia
bergabung dengan kelompok informal. Oleh karena itu, terlepas bahwa
kelompok informal berada di luar jalur resmi organisasi, pihak manajemen
perlu memberi perhatian yang seimbang karena bukan tidak mungkin tujuan-
tujuan organisasi bisa lebih mudah dicapai melalui pintu masuk jalur
informal tersebut.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.9

C. ALASAN SESEORANG BERGABUNG DENGAN KELOMPOK

Ketika seseorang bergabung dengan sebuah kelompok, mereka biasanya


mau secara sukarela melepaskan sebagian kebebasan individualnya dengan
menerima aturan-aturan dan norma kelompok dan berperilaku sesuai dengan
perilaku kelompok yang tidak jarang membatasi dirinya. Sebut saja Anda
dengan sukarela menjadi anggota bela diri taekwondo. Sebelum bergabung
Anda mungkin akan disodori beberapa ketentuan yang harus Anda taati dan
tidak bisa ditawar-tawar. Misalnya, Anda harus datang latihan secara teratur,
mau tampil pada acara pertandingan jika memang dikehendaki, patuh pada
guru dan berperilaku tidak sombong meski Anda berada di luar kelompok.
Meski aturan-aturan semacam ini tidak sama antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya, tetapi yang pasti bahwa seseorang harus melepaskan
sebagian kebebasan individualnya bagi kepentingan kelompok tidak bisa
dipertanyakan lagi. Pertanyaannya adalah mengapa seseorang mau bergabung
dengan sebuah kelompok? Beberapa literatur menyebutkan beberapa alasan
mengapa seseorang mau bergabung dengan kelompok adalah sebagai berikut.

1. Mempermudah Mencapai Tujuan


Dalam batas-batas tertentu meski seseorang bisa memenuhi
kebutuhannya secara mandiri, tetapi pemenuhan kebutuhan tersebut akan
lebih efisien dan efektif jika dibantu orang lain dalam sebuah kelompok.
Dengan kata lain, kerja individu-individu dalam kelompok jauh lebih efektif
jika dibandingkan dengan kerja individu-individu yang dilakukan secara
perseorangan. Di samping itu, memang ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak
bisa dilakukan secara individual, misalnya bermain bola basket, membangun
gedung, memadamkan kebakaran. Bahkan kadang-kadang pekerjaan yang
membutuhkan kemampuan intelektualitas juga tidak bisa dilakukan sendirian.

2. Sekadar Berafiliasi
Tidak jarang seseorang bergabung dengan sebuah kelompok karena
alasan kesamaan. Misalnya, sama-sama berasal dari Y ogya, sama-sama
lulusan Universitas Terbuka atau sama-sama dari desa. Sekelompok orang
yang berasal dari lingkungan sosial yang sama biasanya merasa ada hal-hal
yang bisa dibicarakan bersama sehingga sekadar kehadiran fisik mereka akan
memberikan rasa persaudaraan, memperoleh dukungan sosial, dan mereka
merasa bisa diterima dalam lingkungan tersebut.
5.1 Q PERILAKU ORGANISASI e

3. Memperoleh Dukungan Emosional


Ketika seseorang merasa dirinya terancam atau ada situasi yang tidak
menentu biasanya orang tersebut akan menyandarkan diri pada orang lain
sekadar untuk memperoleh dukungan emosional. Sebagai contoh,
sekumpulan perempuan yang pemah diperlakukan sebagai budak nafsu
tentara Jepang membentuk kelompok Jugun ianfu bukan sekadar agar
pemerintah Jepang meminta maaf atas perbuatan warganya dan memberikan
kompensasi yang layak, tetapi di antara mereka juga bisa saling mencurahkan
perasaan atas nasib yang pemah mereka derita. Bahkan tanpa melakukan atau
berkata sepatah kata pun, kehadiran orang-orang senasib bisa memberikan
dukungan emosional di antara mereka.

4. Memperoleh Status Sosial


Di Indonesia, olahraga golf masih dianggap sebagai olahraga mahal dan
hanya orang-orang elit berduit yang bisa melakukannya. Seseorang yang bisa
bergabung dengan kelompok ini meski mungkin bukan orang elit berduit,
tentu akan merasa status sosialnya naik sehingga dia juga berharap agar
orang lain tahu siapa dirinya. Intinya, tujuan seseorang bergabung dengan
kelompok ini adalah untuk menunjukkan identitas dirinya (self-identity)
bahwa dirinya tidak seperti kebanyakan orang. Sisi baiknya dengan demikian
akan meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri seseorang meski hal yang
demikian terkadang bersifat semu. Sebagai contoh, seseorang kadang-kadang
lebih memilih bekerja pada perusahaan besar yang sangat dikenal masyarakat
meski kedudukan dan gajinya di perusahaan tersebut tidak terlalu baik jika
dibandingkan dengan bekerja di perusahaan lain yang lebih kecil dan kurang
populer. Namun, dengan bekerja di perusahaan besar dia ingin mencitrakan
bahwa dirinya bukan orang sembarangan yang patut disepelekan.

5. Alasan Keamanan
Dalam batas-batas tertentu seseorang bergabung dengan sebuah
kelompok karena demi keamanan dirinya atau orang-orang dekatnya
dibandingkan dengan tidak bergabung dengan kelompok. Situasi seperti ini
sering dijumpai, misalnya pada anak-anak sekolah yang terpaksa bergabung
dengan geng sekolah. Alasannya, mereka terpaksa bergabung sebab kalau
tidak boleh jadi dia akan terus diganggu, dimintai uang atau alasan keamanan
lainnya.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.11

6. Faktor Kedekatan
Tidak jarang seseorang bergabung dengan sebuah kelompok hanya
karena faktor kedekatan secara fisik. Jika faktor kedekatan fisik ini
berlangsung dalam kurun waktu lama, bukan tidak mungkin seseorang yang
pada mulanya tidak mempunyai kedekatan sosial maupun emosional lama
kelamaan mereka merasa ada yang sama di antara mereka. Akibatnya,
mereka merasa bisa berteman dan berafiliasi. Istilah dalam bahasa Jawa
"tresno jalaran kulino" - awal dari cinta karena terus-menerus berdekatan,
barangkali sangat cocok untuk menjelaskan bahwa seseorang bergabung
dengan kelompok lebih disebabkan karena kedekatan fisik.

D. PROSES PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN


KELOMPOK

Telah dikatakan bahwa sebagian besar pekerjaan organisasi


sesungguhnya dilakukan dalam kegiatan kelompok. Artinya, keberhasilan
organisasi dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada efektivitas
kerja kelompok. Meski demikian harus diakui pula bahwa ada sebagian
kelompok yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan kelompok yang lain.
6
Douglas McGregor , misalnya hampir setengah abad yang lalu telah
mengidentifikasikan 11 dimensi fungsi kelompok. Selain itu, dikatakan pula
bahwa kesebelas dimensi inilah yang membedakan kelompok yang sangat
efektif dan kelompok yang tidak efektif. Seperti tampak pada Tabel 5.1,
karakteristik kelompok yang efektif adalah anggota-anggotanya sangat dekat
dan bersahabat; berpartisipasi secara merata; anggota kelompok memiliki
komitmen; mau saling mendengar dan memberi informasi; keputusan
berdasar konsensus; konflik diselesaikan secara terbuka; anggota kelompok
memperoleh umpan balik; pembagian kerja yang dilakukan dengan shared
leadership; dan para anggota peduli dengan kegiatan mereka dan mau ikut
memonitor kegiatan tersebut.

6
Douglas McGregor. (1960). The Human Side of Enterprise. New York: McGraw
Hill. Hal. 232-235.
5.12 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 5.1.
Karakteristik Efektivitas Kelompok

Tidak Efektif Efektif


Formal dan jaga jarak 1. Atmosfer dan hubungan antaranggota. Jenis Hubungannya
hubungan seperti apa yang terjadi di antara sangatdekatdan
anflf ota kelom pok? bersahabat
Sebagian anggota 2. Partisipasi anggota. Apakah setiap anggota Partisipasi secara
lebih berpartisipasi berpartisipasi? merata
ketimban 'ian lain
3. Pemahaman dan penerimaan tujuan.
Tidak ada komitmen Sejauh mana para anggota mau menerima Komitmen secara
di antara anggota tujuan kelompok dan memiliki komitmen menyeluruh
kelompok?
Tidak ada anggota 4. Mendengarkan dan berbagi informasi. Para anggota
yang mendengar dan Apakah setiap anggota mau saling mau mendengar
berbagi rasa mendengarkan atau mereka takut kelihatan dan saling
bodoh 'ika harus memberi saran ide kreatif? berba i
5. Menangani konflik dan ketidaksetujuan.
Apakah konflik dan ketidaksetujuan
Jika tidak diabaikan, ditoleransi dan digunakan sebagai alat Ditangani dan
hasilnya bergejolak meningkatkan kinerja kelompok atau diselesaikan
sekadar diabaikan, dipangkas atau justru secara baik
menimbulkan konflik?
Diputuskan secara 6. Pengambilan keputusan. Bagaimana Diputuskan
otoriter keputusan dibuat. Apakah setiap anggota dengan
mem3unvai kesempatan memberikan input? konsensus
Selalu dikritik dan 7. Menilai kinerja anggota. Jenis umpan balik Terbuka, sering
serangan ditujuan seperti apa yang diterima anggota dan umpan balik
kepada pribadi men< enai kiner·a mereka? van< ob'ektif
Perasaan yang 8. Menyatakan perasaan. Apakah anggota Bisa menyatakan
sesungguhnya selalu merasa bebas menyampaikan perasaannya secara terbuka
disembunyikan secara terbuka bukan terhadap isu-isu dan tidak
kerja? dihalangi
Pembagian tugas 9. Pembagian kerja. Apakah tugas telah dibagi Spesialisasi
tidak tertata dengan secara jelas dan bisa diterima? pekerjaan secara
baik efektif
Tidak ada 10. Kepemimpinan. Bagaimana seorang Kepemimpinan
kepemimpinan dan pemimpin dipilih dan apakah fungsi dibagi dan sangat
hanya didominasi kepemimpinan dishared? efektif
oleh seseoran
Tidak peduli terhadap 11. Atensi terhadap proses. Apakah kelompok Peduli terhadap
kegiatan kelompok sadar terhadap kegiatan mereka dan kegiatan
apakah prosesnya dapat dimonitor dan kelompok dan
ditinf katkan? selalu memonitor
e EKMA41 58/MODUL 5 5.13

Hampir pasti, efektivitas kelompok seperti di atas tidak bisa dicapai


seketika, tetapi memerlukan waktu bahkan terkadang perlu waktu panjang
sejalan dengan proses perkembangan kelompok tersebut. Untuk menjadi
kelompok yang efektif, rintangan-rintangan yang menyertai perkembangan
kelompok tentunya harus segera diatasi jika tidak menghendaki terjadi
kondisi sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui, kelompok seperti halnya
organisasi juga mengalami siklus hidup mulai dari lahir, menginj ak mas a
remaja, tumbuh dewasa, mencapai tahap kemapanan dan tidak jarang
7
mengalami masa penurunan . Secara normatif para akademisi sepakat bahwa
setiap kelompok mengalami siklus hidup, hanya saja sejauh ini tidak ada
kesepakatan apakah siklus hidupnya melalui urut-urutan tahapan seperti
tersebut di atas, seberapa lama setiap tahapan harus dilalui, seberapa banyak
jumlah tahapannya dan apakah sifat tahapannya sama.
Meski sejauh ini belum ada kesepakatan tentang bagaimana sebuah
kelompok terbentuk dan berkembang, namun ada dua model yang sering
dijadikan acuan. Kedua model tersebut adalah five-stage model dan
punctuated-equilibrium model. Uraian masing-masing model adalah sebagai
berikut.

1. The Five-Stage Model


Model perkembangan lima tahap (the five-stage model) pertama kali
digagas oleh Bruce W. Tuckman pada tahun 1965. Pada awalnya Tuckman
hanya menyatakan bahwa kelompok berkembang melalui empat tahap, yaitu
forming, storming, norming, dan performing. Namun, belakangan mahasiswa
doktoral counseling psychology yang dibimbing Tuckman- MAC Jensen
8
menambahkan satu tahapan lanjutan, yaitu adjourning • Dengan tambahan
satu tahapan perkembangan, sampai sekarang model tersebut lebih dikenal
sebagai model lima tahap perkembangan kelompok - the five stage model.
Kelima tahapan tersebut seperti tampak pada Gambar 5 .2, meliputi tahap
pembentukan (forming), tahap pertengkaran (storming), tahap pembentukan
norma kesepemahaman (norming), tahap melakukan tindakan (performing),
dan terakhir tahap pengalihan orientasi (adjourning).

7
Lihat Achmad Sobirin. (1997). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Hal. 214.
8
Tuckman, B.W and M.A.C. Jensen. (1977). Stage of Small-Group Development
Revisited. Group & Organization studies. December. Vol. 2, No.4. hal. 419-427.
5.14 PERILAKU ORGANISASI e

Adjourning
Performing

""'== ~
kembali
Norming )
keindependence
L~
Strorming I
)eoendence/
interdependence

Forming
.....____...,

Independence

lsu-isu dalam Bagaimana Apa peran Apa yang Bagaimana Apa tindakan
Level individu saya bisa saya di sini? orang lain saya bisa berikutnya?
mencocokkan harapkan menjalankan
diri? pada diri peran saya?
saya?

lsu-isu dalam Mengapa Mengapa kita Apakah kita Apakah kita Apakah kita
Level kita ada bertengkar bisa sepakat bisa bisa
kelompok di sini? soal siapa soal peran mengerjakan membantu

yang mas1ng- tug as anggota yang
• •
mem1mp1n masing dan sebagaimana lain untuk
dan siapa bekerja mestinya? melakukan
mengerjakan sebagai tim? masa
apa? transisi?

Sumber: Kreitner and Kinicki,( 2004, 414).

Gambar 5.2.
Model Lima Tahap Perkembangan Kelompok

Tahap 1: Forming. Pada tahap pertama, yaitu tahap pembentukan kelompok,


para anggota kelompok biasanya masih mengalami kebingungan
dan ketidakpastian tentang bagaimana harus berperilaku dan
bertindak. Semuanya serba belum pasti apa tujuan dibentuknya
kelompok, bagaimana strukturnya, tugas apa yang akan diemban,
dan siapa yang akan memimpin. Setelah sedikit menemukan
e EKMA41 58/MODUL 5 5.15

kejelasan dan mulai berpikir bahwa dirinya adalah anggota sebuah


kelompok maka proses pembentukan kelompok selesai.
Tahap 2: Storming. Meski kelompok sudah terbentuk, namun bukan berarti
semuanya bisa berjalan lancar karena segera setelah kelompok
terbentuk sering kali justru muncul konflik internal bahkan pada
dataran yang relatif tinggi. Itulah sebabnya pada tahap ini disebut
storming - tahap perselisihan. Salah satu bentuk perselisihan
misalnya, para anggota sering kali menolak dipimpin seseorang
dengan alasan kurang kapabel. Oleh karenanya tidak jarang terjadi
perselisihan antara yang mendukung dan menolak kepemimpinan
seseorang. Jika perselisihan demi perselisihan ini tidak teratasi
bukan tidak mungkin kelompok yang sudah terbentuk akan bubar.
Sebaliknya, apabila konflik bisa diatasi maka berakhirnya tahap
perselisihan ini.
Tahap 3: Norming. Pada tahap ini bisa dikatakan tidak ada lagi perselisihan.
Kalaulah masih ada sifatnya minor dan manageable. Suasana yang
muncul pada tahap ini adalah kebersamaan. Tingkat kohesivitas di
antara anggota jauh lebih baik; hubungan antaranggota juga
semakin dekat sehingga di antara mereka bisa berbagi pengalaman
dan perasaan. Para anggota juga mau mengidentifikasikan dirinya
kepada kelompok sehingga masing-masing anggota merasa
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kehidupan
kelompok. Bisa dikatakan bahwa pada tahap ini tidak ada lagi kata
"saya" melainkan berganti menjadi "kita" sebagai petunjuk bahwa
para anggota sudah bisa menerima eksistensi kelompok beserta apa
yang akan dicapai dan cara mencapainya.
Tahap 4: Performing. Pada tahap ini bisa dikatakan semua persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan eksistensi kelompok sudah
berakhir dan inilah saatnya untuk bekerja, mengerjakan tugas-tugas
yang menjadi tujuan didirikannya kelompok. Iklim kerja sudah
kondusif ditandai dengan sistem komunikasi terbuka, saling
bekerja sama antara anggota dan perilaku membantu sangat
menonjol. Demikian juga konflik ditangani secara konstruktif dan
efisien tidak sampai menimbulkan konflik turunan. Kohesivitas
dan komitmen para anggota mencapai titik tertinggi sehingga kerja
kelompok benar-benar nyata ketimbang kumpulan individu yang
bekerj a perorangan.
5.16 PERILAKU ORGANISASI e

Tahap 5: Adjourning. Setelah semua tugas telah diselesaikan dengan baik


dan tujuan didirikannya kelompok sudah tercapai, biasanya tahap
berikutnya adalah alih orientasi. Setelah bekerja keras dan
mencapai tujuan serta semuanya berakhir, para anggota kelompok
sering kali merasa ada sesuatu yang hilang seolah-olah tidak ada
lagi yang bisa diperbuat. Nah pada saat inilah kelompok
melakukan selebrasi untuk mengakhiri semua pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab bersama dan memulai sesuatu yang baru
dengan segala aturan-aturan dan perilaku yang baru. Pada tahap ini
dengan demikian masing-masing anggota kembali ke siklus awal
yakni tahap independen.

2. The Punctuated-Equilibrium Model


Meski model perkembangan kelompok yang dibangun oleh Tuckman
dan kemudian diperbaiki Jensen sampai saat ini banyak menjadi rujukan
namun tidak semua akademisi sependapat dengan model tersebut. Salah
9
satunya adalah Connie J.G. Gersick . Gersick mengembangkan model
tersendiri yang disebut "Punctuated-equilibrium Model". Model ini tidak
mengakui bahwa perkembangan kelompok terjadi secara sequential
(berurutan) seperti dikatakan Tuckman and Jensen melainkan berkembang
melalui pola keseimbangan yang tersela (punctuated equilibrium) (lihat
Gambar 5.3). Pola ini menjelaskan bahwa terbentuknya sebuah kelompok
bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang dibatasi oleh waktu. Periode
waktu tersebut kemudian dibagi menj adi dua, yaitu fase 1 (tidak
menggunakan istilah tahap untuk menunjukkan periode waktu) dan fase 2. Di
antara kedua fase tersebut ada waktu sela (oleh karenanya disebut
punctuated- disela-sela) yang merupakan masa transisi.

9
Gersick, C.J.G. (1988). Time and Transition in Work Teams: Toward a New Model
of Group Development. Academy of management Jumal. 31, 1. Hal. 9-41.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.17

Tinggi
Masa transisi
Penyelesaian akhir

Fase 2
Pertemuan
pertama

Fase 1
Rendah
~--------.&- _ _ _ _ _ __,_ Waktu
A (A+B)/2 B

Gambar 5.3.
Punctuated Equilibrium Model

Pada fase 1, yaitu bagian pertama dari mas a tug as, para anggota
kelompok mulai mendefinisikan tugas-tugas yang akan dikerjakan,
dilanjutkan dengan menetapkan misi kelompok yang hampir tidak berubah
sampai dengan fase kedua siklus hidup kelompok tersebut. Bisa dikatakan
pada fase ini terjadi keseimbangan awal yang kesemuanya berjalan agak
lamban. Keseimbangan inilah yang justru menjadikan kelompok tetap bisa
eksis. Sampai pada saat tertentu dalam perjalanan waktu (pada titik tengah
perjalanan) anggota-anggota kelompok mulai menyadari ada sesuatu yang
terjadi yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Sederhananya saat itu
terjadi krisis yang memaksa cara mereka menyelesaikan tugas harus berubah
jika menghendaki tugas-tugasnya bisa selesai sesuai skedul. Krisis inilah
yang disebut masa transisi (punctuated). Krisis bisa terjadi hanya beberapa
saat- dalam hitungan jam atau hari misalnya, tetapi juga bisa lebih lama dari
itu. Memasuki fase kedua, yakni saat di mana anggota-anggota kelompok
meninggalkan cara berpikir lama dan mengadopsi perspektif baru untuk
membentuk keseimbangan baru. Pada fase 2 cara kerja mereka sudah berbeda
dengan cara kerja pada fase 1 di mana pada fase kedua mereka dihadapkan
pada aktivitas-aktivitas menggunung yang segera harus diselesaikan.
5.18 PERILAKU ORGANISASI e

E. HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KELOMPOK DENGAN


KINERJA DAN KEPUASAN KERJA

Sebagaimana kita ketahui, kelompok merupakan subsistem dari sistem


yang lebih besar. Sederhananya, kelompok merupakan bagian integral dari
sebuah organisasi sehingga dalam batas-batas tertentu perilaku dan kinerj a
kelompok tidak hanya ditentukan oleh kelompoknya itu sendiri melainkan
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain yang melingkupi kelompok tersebut.
Sebagai contoh, keberadaan sebuah kelompok dan bagaimana kinerja
kelompok tersebut tentunya tidak bisa lepas dari strategi organisasi dan
faktor-faktor lain yang berada di luar kelompok, tetapi pengaruhnya cukup
signifikan terhadap kelompok, seperti aturan-aturan organisasi, budaya
organisasi, dan struktur organisasi. Secara umum, bisa dikatakan bahwa
kinerja kelompok ditentukan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Untuk
memperoleh gambaran secara lengkap tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku kelompok dan kinerjanya, kita dapat merujuk pada
model perilaku kelompok yang dibangun oleh Robbins sebagai berikut:

T ugas
Sumber daya kelompok
anggota
• kelompok

Faktor Proses Kinerja dan


eksternal • kelompok • kepuasan
Struktur kerja
• kelompok

Gambar 5.4.
Model Perilaku Kelompok

Tampak pada gambar bahwa kinerja dan kepuasan kerja kelompok


dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. P ertama, faktor eksternal, yaitu
semua faktor yang berasal dari luar kelompok, khususnya yang bersumber
pada organisasi, namun memberi pengaruh kuat terhadap kehidupan
kelompok. Termasuk dalam faktor eksternal adalah strategi organisasi;
struktur organisasi; aturan formal organisasi; sumber daya organisasi; sistem
rekrutmen karyawan; evaluasi kinerja dan sistem imbalan; budaya organisasi
e EKMA41 58/MODUL 5 5.19

dan lingkungan tempat kerja. Bagi sebuah kelompok, pengaruh faktor


eksternal merupakan konsekuensi logis yang tidak bisa dihindarkan karena
kelompok itu sendiri merupakan bagian integral dari organisasi. Faktor
eksternal akan memberi dua kemungkinan pengaruh, yaitu memberi peluang
bagi kelompok untuk berkinerja lebih baik atau sebaliknya membatasi
kelompok. Sebagai contoh, budaya organisasi sering dianggap sebagai tali
pengingat antarkaryawan dalam organisasi tanpa melihat kedudukan
karyawan atau dari bagian mana mereka berasal. Ujud nyata dari budaya
organisasi adalah nilai-nilai organisasi yang menjadi pedoman untuk
bertindak dan berperilaku. Meski demikian tidak jarang sebuah kelompok
memiliki budaya kerja tersendiri yang tidak sama, kalau tidak dikatakan
bertolak belakang dengan budaya organisasinya. Jika terjadi hal demikian
maka bisa dipastikan bahwa budaya organisasi menjadi faktor pengganggu
bagi kinerj a kelompok.
Selain faktor eksternal, kinerj a dan kepuasan kerj a kelompok
dipengaruhi juga oleh faktor internal, yaitu semua faktor yang bersumber dari
dalam kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah sumber daya kelompok;
struktur kelompok, proses aktivitas yang berjalan di dalam kelompok dan
tugas yang diemban kelompok. Bagian berikut akan menguraikan lebih detail
faktor-faktor internal yang mempengaruhi perilaku kelompok dan kinerja
serta kepuasan kerj anya.

1. Somber Daya Kelompok (Group Resources)


Sebuah kelompok tidak akan bisa berfungsi dengan baik jika tidak
memiliki sumber daya yang memadai. Pernyataan ini adalah sebuah postulat
yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Artinya, untuk melihat kinerja
kelompok harus terlebih dahulu dievaluasi sumber dayanya, apakah sebuah
kelompok memiliki sumber daya yang cukup atau tidak. Kecukupan yang
dimaksud bukan hanya dilihat dari sisi jumlah, tetapi juga kualitasnya. Di
antara sumber daya kelompok yang paling menonjol dan pengaruhnya
terhadap kinerja kelompok cukup kuat adalah sumber daya manusia
mengingat dalam kehidupan kelompok manusia memegang peranan yang
sangat penting. Dengan demikian, sumber daya manusia merupakan penentu
kinerja kelompok. Berkaitan dengan hal ini, harus disadari bahwa manusia
secara individual memiliki karakteristik atau kekhasan yang tidak mudah
berubah meski orang bersangkutan telah bergabung dengan sebuah kelompok
dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, harus dipahami pula
5.20 PERILAKU ORGANISASI e

bahwa ada beberapa karakteristik individu yang sejalan dengan atau cocok
dengan perilaku kelompok sehingga pengaruhnya terhadap kinerja kelompok
sangat positif dan sebaliknya ada beberapa karakteristik yang tidak. Dari
berbagai literatur diketahui bahwa dua karakteristik penting yang
mempengaruhi kinerja kelompok adalah kepribadian dan kemampuan diri
seseorang.

a. Kepribadian
Seperti telah diuraikan pada modul sebelumnya, ada beberapa
karakteristik atau sifat manusia yang cocok untuk bekerja secara individual
dan beberapa sifat lainnya lebih cocok bekerja secara kelompok. Seseorang
yang dianggap cocok untuk bekerja secara kelompok adalah orang yang
mudah bergaul (sociable), memiliki kepercayaan diri (self-reliance) dan
independen. Jika orang-orang seperti ini bekerja secara kelompok maka
hubungan antar personal dengan anggota kelompok lain diyakini sangat baik
sehingga diyakini pula bahwa dampaknya terhadap produktivitas, semangat
dan kehesivitas kelompok juga yang sangat tinggi. Meski demikian, harus
dipahami bahwa tidak ada satu dimensi kepribadian pun yang secara
individual bisa menjadi prediktor perilaku kelompok. Artinya, seseorang
yang memiliki kepercayaan diri tinggi tidak akan menjadi penentu efektivitas
perilaku kelompok jika ia tidak independen dan mudah bergaul. Berdasarkan
penjelasan ini maka bisa disimpulkan bahwa beberapa karakteristik
kepribadian anggota-anggota kelompok menjadi penentu perilaku kelompok.

b. Kemampuan diri
Di samping kepribadian, perilaku kelompok juga ditentukan oleh
kemampuan diri masing-masing anggota kelompok, khususnya kemampuan
yang relevan dengan tugas-tugas kelompok dan kemampuan
intelektualitasnya. Namun, harus disadari bahwa kinerja kelompok
merupakan akumulasi perilaku kelompok yang tidak ditentukan semata-mata
oleh kumpulan individu yang mempunyai kemampuan, namun tidak bisa
bekerja sama. Hanya saja kemampuan individu para anggotanya merupakan
parameter yang paling tidak menunjukkan bahwa anggota kelompok tahu dan
bisa melakukan kerja kelompok secara efektif. Beberapa fakta menunjukkan
bahwa (1) anggota-anggota kelompok yang memiliki kemampuan diri dan
kemampuan diri tersebut sangat penting untuk mengerjakan tugas-tugas
kelompok, cenderung lebih banyak terlibat dalam aktivitas kelompok,
e EKMA41 58/MODUL 5 5.21

berpotensi untuk menjadi pemimpin kelompok dan akan merasa lebih puas
jika kemampuannya dimanfaatkan untuk kerja kelompok; (2) fakta kedua
menunjukkan bahwa kemampuan intelektual dan kemampuan yang relevan
dengan pekerjaan memiliki hubungan dengan kinerja kelompok secara
keseluruhan meski hubungan tersebut tidak terlalu kuat karena kinerja
kelompokjuga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

2. Struktur Kelompok
Pada saat sebuah kelompok relatif masih kecil dengan jumlah anggota
yang tidak terlalu banyak - beranggotakan hanya dua atau tiga orang dan
aktivitas-aktivitasnya juga masih terbatas, kedudukan masing-masing
anggota kelompok boleh jadi masih sepadan, belum ada pemimpin kelompok
walaupun tanda-tanda munculnya pemimpin sudah ada. Dalam situasi seperti
ini masing-masing anggota mengerjakan apa yang memang bisa mereka
kerjakan tanpa harus menunggu perintah anggota kelompok lainnya.
Sederhananya, pada saat kelompok masih kecil, pola hubungan antaranggota
kelompok biasanya tidak diatur secara baku karena aturan baku memang
belum mendesak untuk diterapkan. Namun, sejalan dengan perkembangan
dan pertumbuhan kelompok, kondisi seperti ini justru dikhawatirkan akan
menghambat pencapaian kinerja kelompok. Oleh karena itu, pada saat
kelompok sudah berkembang semakin besar, kehidupan kelompok perlu
ditata lebih terstruktur, memiliki pola hubungan antaranggota kelompok yang
lebih jelas, memiliki norma-norma aturan yang harus ditaati bersama dan
bahkan cenderung lebih formal. W alhasil, semakin besar sebuah kelompok
semakin dibutuhkan tata kelola yang lebih formal.
Secara umum, faktor-faktor yang menentukan struktur kehidupan
kelompok adalah (1) peran masing-masing anggota kelompok (group roles),
(2) norma kelompok (group norms), dan (3) status keanggotaan kelompok.
Di samping itu, faktor lingkungan, seperti besaran kelompok, kedekatan
antaranggota (social density), dan sifat pekerjaan kelompok juga menjadi
faktor penentu struktur kelompok.

3. Group Roles
Peran (role) adalah satu set pola perilaku yang harus dis andang oleh
seseorang (expected behavior) karena kedudukannya dalam lingkup unit
so sial atau karena tuntutan pekerj aan. Peran ini biasanya dikomunikasikan
kepada seseorang melalui proses yang disebut role episode, yaitu proses
5.22 PERILAKU ORGANISASI e

interaksi antara pemberi peran (role sender) dengan seorang penerima peran.
Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut ini.

Pemberi peran Penerima peran

• Role

expectations
Peran yang
diberikan
Peran yang
diterima
Prilaku yang
diperankan


.... • •
,.~ ....,
• •
.... •
.... . , . •
' • •
I

.... ,• \
• •
I

Role ~illbiguity role ~onflict

Gambar 5.5.
Role Episode

Gambar di atas menjelaskan bahwa seorang pemberi peran (role sender)


berusaha mengubah perilaku orang lain (focal person) dengan memberi peran
kepadanya. Peran seorang karyawan dalam sebuah organisasi (role
incumbent) biasanya secara jelas ditunjukkan dalam bentuk titel jabatan yang
disandangnya dan dielaborasi lebih detail dalam bentuk deskripsi jabatan.
Dalam bahasa perilaku organisasi, titel, dan deskripsi j abatan merupakan
peran yang diharapkan dilakukan oleh seseorang (role expectation).
Seseorang dengan jabatan direktur pemasaran, misalnya harus memiliki
perilaku yang sesuai dengan jabatan tersebut dan semua perilaku yang
diharapkan tersebut biasanya sudah ditentukan sebelumnya sehingga ketika
seseorang diangkat menjadi direktur pemasaran cara berperilakunya harus
menyesuaikan dengan jabatan barunya. Contoh ini menunjukkan bahwa
dalam sebuah kelompok ada kecenderungan setiap anggota kelompok
dituntut untuk memainkan peran yang berbeda.
Secara umum, ada tiga peran yang biasanya dibebankan kepada seorang
anggota kelompok, yaitu work roles, maintenance roles atau blocking roles
(lihat Tabel 5.2). Work roles atau sering disebut task-oriented roles adalah
peran yang dimainkan seorang anggota kelompok yang serta merta bertujuan
membantu kelompok mencapai tujuannya. Maintenance roles atau relation-
oriented roles adalah peran seorang anggota kelompok yang ditujukan untuk
menjaga dan menyemangati anggota kelompok lain agar semua anggota
merasa nyaman dalam bekerja. Terakhir, blocking role atau self-oriented role
adalah anggota kelompok yang lebih mementingkan dirinya dan bahkan tidak
e EKMA41 58/ MODUL 5 5.23

jarang orientasi diri tersebut dilakukan dengan mengorbankan anggota


kelompok lain semata-mata agar dirinya mencapai suatu tujuan tertentu.

Tabel 5.2.
Peran Anggota Kelompok dalam Kegiatan Kelompok

Work Roles Maintenance Role Blocking Roles


1. Initiator. mengusulkan tugas 1. Harmonizer. berusaha 1. Agressor. menggembosi
atau tindakan; mendefinisi- merekonsiliasi ketidak- status orang lain;
kan persoalan kelompok; sepakatan; mengurangi menyerang kelompok lain
menyarankan prosedur ketegangan; mendorong atau nilai-nilainya;
anggota kelompok bergurau yang
menvampaikan perbedaan men vakitkan
2. Informer: menyajikan fakta, 2. Gatekeeper: membantu 2. Blocker. Tidak setuju
mengekspresikan saluran komunikasi tetap tanpa alasan;
perasaan; memberikan terbuka; memfasilitasi menghalangi dengan
pendapat partisipasi pihak lain; keras keinginan kelompok
menyarankan prosedur lain mengajukan alasan
yang memungkinkan bisa personal; menggunakan
saling berbagi agenda tersembunyi untuk
merintan i kelompok lain
3. Clarifier. menginterpretasi 3. Consensus tester: 3. Dominator. menggunakan
ide-ide atau saran; menanyakan apakah otoritasnya untuk
mendefinisikan istilah; kelompok sudah dekat memanipulasi kelompok
mengklarifikasi isu di dengan keputusan; atau anggotanya;
hadapan kelompok mencoba memaparkan menginterupsi kontribusi
hasil untuk menguji apakah orang lain; mengendalikan
bisa dibuat simpulan perilaku kelom pok lain
4. Summarizer. menyamakan 4. Encourager. sangat 4. Comedian: menunjukkan
ide-ide yang terkait; bersahabat, hangat dan mimik lucu pertanda tidak
memulai saran; responsif pada orang lain; ikutan; mengabaikan
menawarkan keputusan menunjukkan ekspresi kelompok meski secara
atau simpulan untuk wajah pertanda menerima fisik masih berada di situ;
dipertimbangkan kelompok kontribusi orang lain mencari pengakuan yang
tidak terkait dengan tugas
kelompok
5. Reality tester. membuat 5. Compromizer: jika idenya 5. Avoidance behavior.
anal isis kritis terhadap ide; mendatangkan konflik menuju kepentingan
menguji sebuah ide dengan maka ditawarkan khusus yang tidak terkait
membandingkannya kompromi untuk menjaga dengan tugas; keluar dari
dengan data untuk status; mengakui subjek untuk menghindari
mengetahui apakah ide kesalahan; memodifikasi komitmen; mencegah
tersebut bisa berjalan kepentingan sebuah kelompok untuk
kelompok men had a ~i kontroversi
5.24 PERILAKU ORGANISASI e

Jika kelompok formal seperti dicontohkan di atas bisa lebih tegas dalam
menetapkan peran yang harus dimainkan seorang anggota kelompok, tidak
demikian bagi kelompok informal. Bagi sebuah kelompok yang bersifat
informal, apalagi jika skalanya masih relatif kecil, satu set perilaku yang
seharusnya diperankan seseorang biasanya tidak ditetapkan secara tegas.
Ketidaktegasan ini disebabkan karena seorang anggota kelompok terkadang
harus melakukan pekerjaan yang berbeda-beda dalam kisaran waktu yang
sangat pendek. Padahal di sisi lain, seperti disebutkan di atas, setiap
pekerjaan memerlukan peran dan perilaku yang spesifik. Akibatnya, tidak
jarang seseorang harus berperilaku dan memainkan peran secara berbeda
karena tugas yang diembannya juga berbeda-beda. Jika situasi demikian terus
berlanjut bukan tidak mungkin muncul persoalan baru, yakni anggota
kelompok merasa bingung terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Lebih-
lebih jika mereka tidak mendapat arahan dari pimpinan kelompok atau belum
sempat mempelajari situasi lingkungan internal kelompok. Situasi semacam
ini disebut sebagai role ambiguity. Akibat lanjutan dari persoalan di atas
adalah timbulnya konflik peran (role conflict) terutama jika satu peran
dengan peran lainnya saling berlawanan.
Hal ini bisa diartikan bahwa setiap pekerjaan menuntut sikap dan
perilaku spesifik yang konsisten dengan peran seseorang yang mengemban
pekerj aan tersebut. Konsistensi antara sikap dan perilaku dengan peran
seseorang disebut role identity. Sebagai contoh, ketika seseorang
dipromosikan menjadi manajer level atas maka dirinya harus mengubah sikap
dan perilakunya dari semula menekankan pentingnya technical skill ke
conceptual skill karena pekerjaan seorang manajer level atas memang
menuntut demikian.

4. Norma Kelompok (Group Norms)


Untuk memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan norma
kelompok, para mahasiswa terlebih dahulu saya ajak untuk membandingkan
dua pertunjukan musik, yaitu musik dangdut dengan konser musik klasik.
Jika nonton musik dangdut, secara tidak langsung Anda diajak untuk
berpartisipasi, misalnya dengan ikut berjoget sambil menirukan bait-bait lagu
yang sedang dilantunkan Sang Penyanyi sehingga suasanya hiruk-pikuk. Hal
yang sangat bertolak belakang bisa ditemui jika Anda nonton konser musik
klasik. Selama konser berlangsung, suasana begitu hening karena semua
hadirin yang duduk teratur seolah-olah sedang mendengarkan sambil
e EKMA41 58/MODUL 5 5.25

mencermati musik yang sedang dimainkan. Tepuk tangan baru terdengar


setelah satu lagu berakhir. J adi, pada saat Anda nonton musik klasik,
jangankan berjoget, berbicara atau berisik sekalipun Anda tidak
diperkenankan selama musik sedang dimainkan. Anda dianggap orang yang
tidak mengerti musik dan yang lebih parah lagi Anda dianggap "kampungan"
jika melakukan tindakan-tindakan tersebut. Dua contoh pertunjukan musik
ini memberi gambaran bahwa setiap kelompok (dalam hal ini kelompok
musik dangdut dan musik klasik) memiliki ketentuan-ketentuan standar yang
menjadi pedoman berperilaku dan harus dipatuhi oleh siapa pun yang terlibat
dalam kelompok tersebut. Pedoman berperilaku inilah kadang-kadang tidak
dinyatakan secara tertulis, yang disebut norma kelompok (group norm).
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa setiap kelompok
hampir pasti memiliki norma perilaku yang menjadi pedoman berperilaku
bagi setiap anggota kelompoknya. Artinya, tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa, dalam batas-batas tertentu, perilaku seseorang dipengaruhi oleh
norma perilaku sebuah kelompok. Padahal sudah menjadi rahasia umum jika
seseorang pada waktu bersamaan tidak hanya menjadi anggota sebuah
kelompok melainkan menjadi anggota beberapa kelompok yang berbeda. Hal
ini bisa diartikan pula bahwa seseorang harus bisa menyesuaikan perilakunya
ketika mereka bergabung kelompok berbeda karena sekali lagi, masing-
masing kelompok memiliki norma perilaku tersendiri yang harus dipatuhi.
Beberapa norma perilaku yang secara umum bisa diterima oleh masyarakat
luas adalah sebagai berikut.

a. Norma bertindak dalam lingkup sosial (social conduct norm)


Norma ini sengaja didesain untuk menciptakan atmosfir hubungan sosial
yang menyenangkan. Sebagai contoh, apabila sedang berjalan dan
berpapasan dengan seorang ternan normanya adalah menunjukkan wajah
bersahabat sambil mengumbar senyum; apabila memperkenalkan diri
normanya adalah berjabat tangan sambil mengatakan "senang berkenalan
dengan Anda"; apabila ditanya orang "apa kabar" norma untuk menjawabnya
adalah "baik" tanpa harus menjelaskan secara detail persoalan kesehatan
Anda; "konsumen selalu benar" adalah norma sosial sebagai upaya
mengurangi konflik dalam hubungan sosial dengan masyarakat.
5.26 PERILAKU ORGANISASI e

b. Dress codes
Salah satu upaya untuk menunjukkan jati diri sebuah kelompok bisa
dilakukan dengan menerapkan aturan berpakaian (dress codes) yang harus
dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Beberapa organisasi, seperti militer,
polisi, rumah sakit, restoran atau hotel bahkan sering menentukan aturan
yang cukup ketat dalam cara berpakaian. Bagi sebuah kelompok, dengan
demikian, pakaian bukan sekadar penutup tubuh melainkan sebuah artefak
yang diharapkan bisa memberikan citra positif bagi kelompoknya.

c. Norma kinerja
Isu penting yang biasanya muncul dalam kehidupan kelompok adalah
seberapa cepat anggota kelompok bisa melakukan pekerjaan dan seberapa
banyak mereka bisa menghasilkan produk. Berkaitan dengan persoalan inilah
biasanya norma kinerja disusun untuk memberi pedoman berperilaku bagi
para anggotanya. Namun, harus disadari bahwa norma seperti ini sering
membuat anggota kelompok merasa frustasi jika tidak sejalan dengan
kepentingan mereka.

d. Peraturan pemberian imbalan (reward allocation norm)


Sebuah kelompok biasanya membuat aturan atau norma untuk
menentukan cara pemberian imbalan bagi anggota kelompoknya. Tiga cara
yang banyak digunakan adalah sebagai berikut.
1) Norm of equality
Norma ini menekankan pentingnya perlakuan yang sama terhadap setiap
anggota kelompok. Oleh karenanya imbalan yang diterima kelompok
harus didistribusikan secara merata kepada semua anggota tanpa melihat
kontribusi dan kedudukan mereka.
2) Norm of equity
Distribusi imbalan menurut norma ini ditentukan berdasarkan kontribusi
masing-masing anggota. Mereka yang memberi kontribusi terbesar harus
mendapat imbalan yang lebih besar ketimbang mereka yang
kontribusinya kecil.
3) Norm of social responsibility
Berbeda dengan norma pertama dan kedua, norma ketiga menekankan
pentingnya tanggung jawab sosial dalam pemberian imbalan. Para
anggota kelompok yang paling membutuhkan seharusnya memperoleh
imbalan yang lebih besar ketimbang mereka yang tidak membutuhkan.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.27

e. Norma imbal balik (norm of reciprocity)


Sederhananya norma ini menegaskan bahwa jika orang lain berusaha
membantu Anda maka sebaliknya Anda harus merasa memiliki kewajiban
untuk membantunya pada waktu yang lain jika yang bersangkutan
membutuhkan bantuan. Bagi masyarakat Indonesia, norma ini identik dengan
prinsip balas budi, yakni kita tidak boleh melupakan orang yang telah
membesarkan kita. Meski norma imbal balik ini kadang-kadang bersifat
subjektif dalam memberikan layanan kepada orang lain, tetapi intinya norma
ini bertujuan untuk menjaga harmoni dalam hubungan sosial masyarakat.

Berbagai macam norma perilaku yang disebutkan di atas jika dicermati,


tujuan intinya adalah agar para anggota kelompok berperilaku sebagaimana
mestinya dalam rangka menjaga eksistensi kelompok. Namun, apabila esensi
tersebut dij abarkan lebih detail, paling tidak ada empat alas an mengapa
sebuah kelompok membuat norma perilaku dan mengharuskan setiap orang
mematuhi norma tersebut. Keempat alasan tersebut adalah (a) untuk
memfasilitasi keberlangsungan hidup kelompok, (b) untuk menyederhanakan
tuntutan terhadap perilaku dan agar perilaku anggota kelompok mudah
diprediksi, (c) untuk membantu anggota kelompok menghindari situasi-
situasi yang memalukan, dan (d) untuk menunjukkan nilai-nilai inti
kelompok dan menunjukkan identitas dirinya yang berbeda dengan kelompok
10
lain .

5. Pelanggaran dan Kepatuhan terhadap Norma


Pada umumnya norma yang menjadi standar perilaku bagi sebuah
kelompok adalah produk bersama yang dibuat oleh anggota kelompok. Atau
paling tidak sebagian besar anggota kelompok terlibat dalam proses
penyusunan norma. Meski demikian, tidak ada jaminan jika norma kelompok
tersebut bisa memuaskan semua kebutuhan dan keinginan anggota kelompok.
Oleh karena itu, tidak jarang terjadi perbedaan tingkat penerimaan terhadap
norma perilaku tersebut di kalangan para anggota kelompok. Ada norma
perilaku yang sepenuhnya bisa diterima dan dipatuhi oleh sebagian besar
anggota kelompok, tetapi bukan tidak mungkin ada norma kelompok yang
tingkat penerimaannya di kalangan anggota kelompok relatif rendah. Tingkat

10
Daniel C. Friedman. (1984). The Development and Enforcement of Group Norms.
Academy of Management Review. Vol. 9. hal. 47-53.
5.28 PERILAKU ORGANISASI e

kepatuhan seorang anggota kelompok terhadap norma perilaku sangat


bergantung pada motivasi mereka untuk patuh. Tingkat kepatuhan tersebut
mulai dari yang paling rendah - sekadar patuh (compliance), agak tinggi -
mengidentifikasikan diri dengan kelompok sampai pada yang paling tinggi -
intemalisasi norma ke dalam karakter individu.

a. Compliance
Sekadar patuh bisa dikategorikan sebagai tingkat kepatuhan yang paling
rendah. Tekanan yang bertubi-tubi dari rekan kerja atau takut jika dirinya
dilecehkan atau dikritik bisa menyebabkan seseorang patuh terhadap norma
perilaku. Namun, sekadar patuh biasanya bertujuan hanya sekadar ingin
memperoleh imbalan atau menghindari hukuman. Oleh karena itu, kepatuhan
seperti ini biasanya tidak langgeng dan hanya untuk hal-hal tertentu. Sebagai
contoh, apabila denda keterlambatan mengembalikan buku perpustakaan
sangat tinggi, boleh jadi mahasiswa akan segera mengembalikan buku yang
dipinjamnya tepat waktu sekadar menghindari denda yang tidak diharapkan.

b. ldentifikasi diri
Tingkat kepatuhan kedua disebut identifikasi diri. Maksud dari
mengidentifikasikan diri adalah proses berperilaku seperti yang dilakukan
oleh sebagian besar orang lain dan mengadopsi karakteristik dan atribut
personal mereka. Sederhananya, identifikasi diri adalah sebuah upaya agar
dirinya sama dengan lainnya dalam kelompok dengan tujuan agar dirinya
bisa diterima oleh anggota kelompok lain dan/atau diterima oleh orang-orang
yang dihormati. Di samping itu, dengan identifikasi diri seseorang juga
berharap bahwa orang lain menganggap dirinya sama baiknya dengan mereka
dan mereka mau menerima sikap dan tindakan dirinya. Jika sebagian besar
anggota kelompok bekerja secara mandiri maka dirinya juga melakukan hal
yang sama agar terlihat sama dengan mereka.

c. Internalisasi
Tingkat tertinggi dalam kepatuhan adalah bukan sekadar patuh atau mau
mengidentifikasikan dirinya dengan anggota kelompok lain, tetapi lebih dari
itu, yakni mau mengintemalisasi norma perilaku ke dalam karakteristik
masing-masing individu. Pada tingkatan ini, kepatuhan ditandai dengan
kesediaan seorang anggota kelompok untuk menerima keyakinan, nilai-nilai,
dan sikap yang terkandung dalam norma perilaku kelompok. Bahkan mereka
e EKMA41 58/MODUL 5 5.29

juga menganggap bahwa norma kelompok merupakan pranata yang


kebenarannya tidak diragukan. Pada dataran ini alasan seseorang
mengembalikan buku perpustakaan tepat waktu bukan karena takut didenda
atau sekadar meniru orang lain, tetapi itulah hal yang benar yang seharusnya
dilakukan setiap orang.
Bagi mereka yang tidak mau menerima norma perilaku atau
menerimanya hanya setengah hati atau "terpaksa menerima", boleh jadi
mereka beranggapan bahwa norma kelompok tersebut membatasi gerak
langkah dirinya atau membatasi kreativitas dan otonomi dirinya. Pendek kata,
norma perilaku dianggap tidak cocok dengan keyakinan dirinya. Akibatnya,
di sana sini sering terjadi pelanggaran norma. Jika pelanggaran ini dibiarkan
dan terus berlanjut maka dampak yang paling nyata adalah tergerogotinya
norma tersebut dan bahkan mengancam eksistensi kelompok. Oleh karena
itu, berbagai bentuk sangsi perlu diberikan kepada para pelanggar mulai dari
sangsi yang paling ringan, misalnya diabaikan keberadaannya dan dianggap
bukan bagian dari "kita" sampai sangsi paling berat dikeluarkan dari
keanggotaan kelompok.
Selain memberikan sangsi bagi pelanggar, tindakan yang bersifat
preventif untuk menjaga keberlangsungan norma dan eksistensi kelompok
adalah memberi tekanan-tekanan agar anggota kelompok patuh (conform)
terhadap norma yang berlaku. Tidak mungkin sebuah norma bisa secara
efektif menjaga eksistensi kelompok dan membantu kelompok mencapai
tujuan-tujuannya jika para anggotanya tidak menghormati dan mematuhi
keberadaannya. Meski demikian, bukan berarti pula bahwa sebuah norma
harus dipertahankan selamanya. Bisa saja sebuah norma diubah jika norma
tersebut tidak lagi efektif dan lingkungan memang menghendaki perubahan.
Hanya saja perlu disadari pula bahwa sekali norma eksis maka perubahannya
membutuhkan waktu yang cukup lama. Demikian juga karena yang membuat
norma adalah kelompok maka hanya kelompoklah yang bisa melakukan
perubahan bukan pimpinan kelompok. Kalau memang pimpinan kelompok
terlibat dalam perubahan - dan memang bisanya demikian, fungsinya hanya
mengomunikasikan dan mempersuasi standar perilaku baru yang dibutuhkan
kelompok.
Jika untuk sementara kita mengabaikan perubahan norma dan kembali
berupaya mempertahankan norma yang sudah ada, ada dua cara yang bisa
dilakukan kelompok untuk memberi tekanan kepada anggota kelompok agar
5.30 PERILAKU ORGANISASI e

mereka mau mematuhi norma kelompok. Kedua cara tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Memberikan imbalan
Sebuah kelompok sesungguhnya memiliki kapasitas untuk
mempengaruhi anggota kelompoknya sebab kelompok tersebut mampu
menciptakan berbagai bentuk imbalan baik berupa penghargaan maupun
hukuman. Tentunya dampak dari pemberian imbalan tersebut bagi
perilaku anggota bisa positif, tetapi juga bisa negatif. Seorang atasan
misalnya secara formal bisa memberi berbagai macam iming-iming agar
bawahan mau mematuhi norma perilaku, seperti promosi jabatan,
meningkatkan standar gaji, memberi tugas baru atau memberi penilaian
kinerja. Secara informal pemberian imbalan bisa dilakukan dengan cara
misalnya pengakuan terhadap keberhasilan seseorang (recognition),
memberi pujian atau pengakuan secara sosial bahwa seseorang
merupakan bagian dari "kita". Bentuk hukuman secara informal bagi
penyimpangan perilaku, misalnya memberi kritik, mencemooh,
mengejek atau melecehkan.
2) Memberi atau menahan informasi (information dependence)
Cara kedua untuk menekan anggota kelompok agar mau mematuhi
norma adalah membuat mereka memiliki ketergantungan informasi.
Pada era yang cepat berubah seperti sekarang ini hal-hal baru selalu
muncul bergantian dalam waktu yang relatif pendek yang berakibat kita
sering terlambat memperoleh informasi tentang hal-hal baru tersebut.
Artinya, kebutuhan seseorang terhadap informasi begitu tinggi. Hanya
saja untuk memperoleh informasi tersebut seseorang terpaksa harus
bergantung pada orang lain, dalam hal ini anggota kelompok lainnya.
Jadi, dengan membuat seseorang bergantung terhadap informasi
sehingga cara berpikir atau cara bertindak dan perilakunya sama seperti
anggota kelompok lain yang telah menyesuaikannya dengan informasi
baru, orang tersebut pada akhirnya mau patuh pada norma kelompok.

Meski kedua cara di atas bisa dilakukan untuk memaksa anggota


kelompok patuh pada norma perilaku kelompok, belum tentu cara tersebut
bisa sepenuhnya berhasil karena ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi seseorang mau mematuhi norma perilaku. Faktor lain
tersebut, di antaranya berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.31

1) Ukuran kelompok
Secara umum, bisa dikatakan bahwa tekanan terhadap seseorang untuk
mematuhi norma kelompok akan semakin meningkat sejalan dengan
semakin banyaknya anggota kelompok lain yang berseberangan dengan
orang tersebut. Meski demikian efektivitas tekanan tidak akan bertambah
jika kelompok penekan mencapai jumlah tertentu karena di samping
jumlah orang, efektivitas tekanan juga dipengaruhi oleh usaha yang
dilakukan oleh kelompok tersebut.
2) Komposisi kelompok
Kualifikasi anggota kelompok lain akan mempengaruhi kepatuhan
terhadap norma kelompok. Dalam hal ini, sebuah kelompok yang
anggota-anggotanya dianggap memilih kemampuan lebih atau dianggap
berkualifikasi tinggi atau mempunyai pengalaman banyak akan memberi
tekanan yang lebih besar kepada siapa pun untuk mematuhi norma
kelompok. Demikian juga anggota-anggota kelompok minoritas
cenderung lebih patuh terhadap tekanan kelompok mayoritas.
3) Konsensus dalam kelompok
Kelompok yang anggota-anggotanya lebih menyatu akan memberi
tekanan lebih dibanding kelompok yang anggota-anggotanya saling
berselisih.
4) Ambigu
Pengaruh kelompok menjadi semakin kuat ketika situasi semakin
ambigu atau membingungkan utamanya ketika kelompok tersebut
memegang kendali informasi atau menjadikan orang lain bergantung
kepada kelompok tersebut. Situasi yang ambigu sesungguhnya bisa
terjadi kapan saja namun sebuah kelompok secara sengaja bisa
menciptakan situasi menjadi semakin ambigu dengan tujuan agar orang
lain patuh. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan membuat
pertanyaan yang tidak relevan atau membuat situasi semakin
membingungkan.
5) Pencapaian tujuan
Tekanan untuk mematuhi norma kelompok menjadi semakin tinggi
manakala kebutuhan untuk kerja sama dengan kelompok untuk mencapai
basil semakin tinggi. Ketika sebuah kelompok mendekati tingkat
keberhasilan, tekanan untuk mematuhi norma kelompok semakin tinggi
sehingga membuat mereka yang tidak mau patuh tersingkirkan.
5.32 PERILAKU ORGANISASI e

6) Kepercayaan diri anggota kelompok


Anggota-anggota kelompok yang memiliki kemampuan dan
keterampilan tinggi cenderung tidak mudah mendapat tekanan dari
anggota kelompok lainnya. Jika anggota-anggota kelompok harus
berdebat dengan anggota-anggota kelompok lain, mereka cenderung
menyalahkan kelompok lain yang dianggap kurang memahami
persoalan.

6. Status Keanggotaan Kelompok


Di muka telah dijelaskan bahwa siklus hidup kelompok sering kali
membawa dampak perubahan pada status keanggotaan kelompok. Di muka
telah dijelaskan bahwa ketika sebuah kelompok masih relatif kecil semua
anggota kelompok memiliki kedudukan yang setara dan kemauan mereka
untuk berpartisipasi juga sangat tinggi. Akan tetapi, sering terj adi ketika
kelompok tersebut menjadi semakin besar, status anggota kelompok mulai
dibeda-bedakan sehingga berakibat partisipasi mereka rendah maka
efektivitas kelompok mulai menurun. Oleh karena itu, pengakuan terhadap
status keanggotaan kelompok juga menjadi sangat penting. Dalam konteks
organisasi, pengakuan terhadap status anggota kelompok dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu pengakuan secara formal dan informal.
Maksud dari status formal adalah kedudukan seseorang di dalam
kelompok yang berbeda dengan orang lain karena memiliki otoritas formal.
Orang seperti ini biasanya memiliki status simbol misalnya dalam bentuk
pemberian preferensi untuk menggunakan titel jabatan, kesempatan
mengerjakan tugas bergengsi, memiliki tempat parkir khusus. Salah satu
manfaat status formal adalah untuk mengingatkan anggota kelompok lainnya
akan peran seseorang di dalam kelompok terutama untuk mengurangi
ketidakpastian dan menjamin stabilitas kelompok. Sementara itu, yang
dimaksud dengan status informal adalah prestise yang dimiliki seseorang
karena memiliki karakteristik khusus, namun tidak diakui kelompok secara
formal. Seseorang yang memiliki keahlian khusus, memiliki pengalaman
lebih atau orang yang dituakan biasanya memiliki status lebih tinggi
dibanding yang lain. Bagi masyarakat Indonesia yang cenderung kolektif dan
informal, status informal kadang-kadang lebih penting dibandingkan status
formal.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.33

7. Proses Kegiatan di Dalam Kelompok (Group Processes)


Komponen berikutnya yang mempengaruhi kinerja kelompok seperti
tampak pada model perilaku kelompok adalah proses kegiatan di dalam
kelompok. Salah satu arti penting dari group process adalah adanya
kenyataan bahwa di dalam kegiatan kelompok tidak selalu satu ditambah satu
ditambah satu sama dengan tiga. Bisa jadi jumlahnya sama dengan dua atau
sama dengan empat. Jika satu ditambah satu ditambah satu hasilnya dua
berarti di dalam proses kelompok terjadi process loses atau hasilnya negatif.
Hal ini bisa terjadi apabila anggota kelompok dalam menjalankan proses
aktivitasnya memberikan kontribusi minimal meski jumlah orangnya sama.
Situasi ini disebut social loafting (uraian lebih detail akan diberikan pada
bagian lain). Sebaliknya, apabila hasilnya empat, bisa diartikan bahwa basil
yang diperoleh kelompok lebih besar dari inputnya atau terjadi process gains.
Situasi ini disebut sinergi.

8. Togas Kelompok
Komponen terakhir yang mempengaruhi kinerja kelompok adalah tugas
kelompok (group task). Bisa dikatakan bahwa fungsi dari tugas kelompok
dalam model perilaku kelompok adalah memoderasi semua variabel yang
mempengaruhi kinerja kelompok. Hal ini bisa diartikan bahwa kompleks
tidaknya tugas kelompok akan berpengaruh terhadap kinerja kelompok.
Tugas yang kompleks biasanya adalah tugas-tugas yang relatif baru dan
bersifat nonrutin. Tugas yang sederhana adalah tugas-tugas rutin yang sudah
memiliki standar kerja. Berkaitan dengan kompleksitas tugas kelompok,
diduga bahwa semakin kompleks sebuah tugas maka semakin baik kinerja
kelompok, demikian sebaliknya. Argumentasi yang melatarbelakangi dugaan
ini adalah tugas yang kompleks menuntut para anggota kelompok untuk lebih
intens mendiskusikan tugas tersebut, mencari informasi tambahan dan
mencari altematif solusi terbaik. Untuk tugas-tugas rutin karena sudah
terstandar, tidak perlu banyak diskusi dan hanya mengandalkan standar
operasi belaka sehingga basil kinerja kelompok juga bersifat standar.

F. DAMPAK KELOMPOK TERHADAP PERILAKU INDIVIDU

Pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan hubungan antara kelompok


dengan perilaku individu adalah apakah kehadiran kelompok akan
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu? Jika jawabannya "ya" lantas
5.34 PERILAKU ORGANISASI e

bentuk pengeruhnya seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu
menyimak kembali penjelasan Orlando Behling yang mengatakan bahwa
kehadiran kelompok bukan saja mempengaruhi kinerja organisasi, tetapi juga
perilaku dan kinerja individu. Penjelasan ini memberi penegasan bahwa
perilaku individu meski tidak gampang berubah, tetapi bisa juga dipengaruhi
faktor lingkungan yang dalam hal ini faktor kelompok. Pengaruh kelompok
terhadap perilaku dan kinerja individu bisa terjadi dalam tiga bentuk, yaitu
social facilitation effect, socialloafting, dan de individuation.

1. Social Facilitation
Bidang studi psikologi sosial sejak mula telah mendeteksi bahwa
seseorang akan memiliki kinerja lebih baik jika ia menjadi bagian dari
kelompok daripada jika bekerja sendirian. Sebagai contoh, pelari jarak
pendek tercepat di dunia Usai Bolt dari Jamaica dengan catatan waktu kurang
dari 9,72 detik, boleh jadi dia tidak akan bisa mencapainya jika dalam berlari
tidak ada lawan tanding. Dengan lawan tanding seolah-olah Bolt mempunyai
energi tambahan untuk berlari lebih cepat. Demikian juga dalam kehidupan
kelompok. Ketika seseorang melakukan pekerjaan yang tidak terlalu sulit
yang sudah dipahami dan sebelumnya telah dikuasai dengan baik, seperti
melakukan penjumlahan, kinerjanya akan lebih baik jika dalam melakukan
pekerjaan tersebut didampingi rekan kerja walaupun keberadaan rekan kerja
tersebut tidak memberi bantuan apa-apa. Proses bertambah baiknya kinerja
seperti ini disebut social facilitation effect - efek dukungan sosial. Meski
demikian kehadiran orang lain selama seseorang melakukan aktivitas, tidak
selamanya berdampak positif seperti dicontohkan di atas, tetapi juga bisa
berdampak negatif. Jika aktivitas yang dilakukan seseorang sebelumnya telah
dikuasai dengan baik maka kehadiran orang lain akan berdampak positif.
Penyebabnya karena kehadiran mereka akan memberi motivasi untuk bekerja
lebih baik agar dirinya tampak sebagai pekerja yang baik. Proses ini disebut
evaluation apprehension. Sebaliknya, apabila aktivitas yang dilakukan
seseorang masih relatif baru seperti tugas-tugas yang belum dikuasai dengan
baik maka kehadiran orang lain justru akan menurunkan kinerja orang
tersebut. Proses ini disebut social inhibition effect. Berdasarkan uraian dan
contoh-contoh ini bisa disimpulkan bahwa manakala seseorang sedang
melakukan tugas baru yang sangat kompleks dan belum dikuasai sepenuhnya
sebaiknya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Sebaliknya, apabila ia
e EKMA41 58/MODUL 5 5.35

melakukan pekerjaan yang sudah sangat dikuasainya, kehadiran orang lain


justru memfasilitasinya untuk bekerja lebih baik.

2. Social Loafting
Selain berdampak positif seperti dijelaskan pada social facilitation effect,
eksistensi kelompok terhadap kinerja dan perilaku individual juga bisa
berdampak negatif. Seseorang yang bekerja sebagai bagian dari kelompok
kadang-kadang enggan untuk mengeluarkan semua kemampuan atau
kapabilitas yang dimilikinya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan
kelompok. Keengganan seperti ini disebut social loafting. Jadi, bisa
dikatakan bahwa social loafting merupakan kebalikan dari social facilitation
effect. Banyak alasan yang menyebabkan terjadinya social loafting, di
antaranya merasa sudah ada orang lain yang mengerjakannya, merasa
kontribusinya tidak akan banyak berpengaruh terhadap kinerja kelompok,
merasa kontribusinya tidak akan dihargai, merasa kemerdekaan individunya
hilang atau merasa tidak akan dihukum jika kinerjanya buruk. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa terjadinya social loafting bukan karena
menurunnya kemampuan individu, tetapi lebih disebabkan karena
menurunnya motivasi kerja individu.

3. Deindividuation
Implikasi lain dari eksistensi kelompok terhadap perilaku individu
adalah terjadinya deindividuation. Maksud dari deindividuation adalah proses
hilangnya j ati diri atau kepribadian seseorang ketika dirinya bergabung
dengan sebuah kelompok. Ketika seseorang kehilangan jati dirinya karena
bergabung dengan kelompok, ia bisa melakukan tindakan-tindakan yang
tidak mungkin dilakukannya jika yang bersangkutan sendirian. Kasus seperti
ini akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Beberapa pertandingan sepak
bola di tanah air, misalnya banyak diwamai kerusuhan yang dilakukan oleh
para supporter khususnya ketika klub yang dijagokannya mengalami
kekalahan. Supporter yang melakukan kerusuhan tersebut boleh jadi secara
individual mempunyai kepribadian yang baik, namun ketika bergabung
dengan kelompok terjadilah apa yang disebut collective mind (cara berpikir
kolektif) yang bersifat tidak rasional. Penyebab tindakan tidak rasional
semacam ini disebabkan karena (a) secara individual tidak orang yang tahu
siapa dirinya dan dia menjadi bukan siapa-siapa karena telah kehilangan
tanggung jawab pribadinya, (b) pengaruh buruk kelompok menyebabkan
5.36 PERILAKU ORGANISASI e

seseorang bisa bertindak secara berbeda dan berupaya melakukan tindakan


seperti yang dilakukan anggota kelompok lain, serta (c) dalam sebuah
kelompok, seseorang biasanya tersugesti untuk melakukan tindakan seperti
yang dilakukan orang lain ketika dirinya merasa mendapat tekanan dari
anggota kelompok lainnya.
Meski deindividuation pada umumnya bisa menciptakan perilaku yang
tidak dikehendaki, sesungguhnya deindividuation juga bisa menciptakan
perilaku yang positif. Banyak aktivitas yang bertujuan mulia, tetapi sering
kali tidak bisa dilakukan sendirian. Akti vitas seperti ini justru bisa dilakukan
hanya jika seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok. Lembaga-
lembaga sosial, lembaga keagamaan atau sekolah sering kali bisa mengubah
perilaku seseorang yang kehilangan jati dirinya untuk bersama-sama
berpartisipasi dalam meningkatkan kehidupan mereka dan anggota
masyarakat yang lain. Artinya, meski deindividuation sering kali bersifat
destruktif, tetapi tidak selamanya demikian.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Seberapa penting keberadaan kelompok dalam kehidupan organisasi?
2) Jelaskan secara singkat pengaruh kelompok terhadap kinerja dan
kepuasan kerja karyawan!
3) Jelaskan bagaimana dampak kelompok terhadap perilaku individu
seorang karyawan?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Dalam kehidupan organisasi beberapa orang karyawan direkrut untuk


membantu melakukan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Mereka kemudian diberi tugas untuk mengerjakan suatu
pekerjaan tertentu dan dikelompok-kelompokkan agar pekerjaan bisa
dilakukan lebih efektif. Meski ketika seorang karyawan bergabung
dengan organisasi telah membawa serta kemampuan dan karakteristik
yang berbeda-beda dan perbedaan ini tidak mudah berubah dalam waktu
pendek, dalam menjalankan aktivitasnya seorang karyawan tidak bisa
e EKMA41 58/MODUL 5 5.37

mandiri melainkan karena sifat pekerjaannya harus berinteraksi dan


kadang-kadang bergantung pada karyawan lain. Dari proses interaksi dan
saling kebergantungan inilah, juga didukung oleh kesengajaan organisasi
mengelompokkan mereka maka terbentuk kelompok-kelompok dalam
organisasi dengan segala peran dan normanya. Mengingat keberadaan
kelompok dalam organisasi merupakan suatu keniscayaan maka
keberhasilan organisasi menjalankan aktivitasnya sangat tergantung
bagaimana seorang manajer mengelola kelompok-kelompok tersebut.
2) Secara singkat pengaruh kelompok terhadap kinerja dan kepuasan kerja
karyawan dapat dijelaskan sebagai berikut. Kelompok adalah subsistem
dari sis tern yang lebih besar, yaitu organisasi. Hal ini bisa diartikan
bahwa efektivitas kerja kelompok sangat bergantung beberapa faktor
yang berada di sekitar kelompok, di samping faktor internal kelompok
tersebut. Faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja kelompok
misalnya strategi, struktur, budaya organisasi, dan aturan-aturan yang
berlaku di organisasi tersebut. Di samping itu, faktor internal yang juga
menjadi penentu kinerja dan kepuasan kerja adalah sumber daya
kelompok, struktur kelompok, tugas yang diemban kelompok dan proses
berlangsungnya kegiatan kelompok.
3) Kehadiran kelompok dalam kehidupan organisasi sering kali
mempengaruhi perilaku individu karyawan. Hal ini misalnya secara
tegas dikemukakan Orlando Behling. Secara umum, pengaruh kelompok
terhadap perilaku individu karyawan baik pengaruh positif maupun
pengaruh negatif dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (a) social
facilitation, (b) social loafting, dan (c) de individuation. Social
facilitation merupakan pengaruh positif karena dengan kehadiran
kelompok seorang karyawan yang secara individual tidak bisa bekerja
dengan baik justru kinerjanya menjadi positif setelah bergabung dengan
kelompok. Social loafting merupakan pengaruh sebaliknya. Terkadang
dengan kehadiran kelompok seorang yang semula produktif misalnya
bisa menj adi tidak produktif karena pengaruh kelompok, hal ini terj adi
terutama karena orang tersebut menjadi bergantung pada anggota
kelompok lainnya kurang menunjukkan usaha kerasnya. Terakhir
de individuation merupakan penghilangan j ati diri seseorang karena
bergabung dengan kelompok.
5.38 PERILAKU ORGANISASI e

RANGKUMAN
------------------------------------
Pemisahan!pemilahan dilakukan dengan menggunakan beberapa
cara Kegiatan Belajar 1 merupakan landasan bagi topik-topik berikutnya
yang berhubungan dengan perilaku kelompok. Secara umum, Kegiatan
Belajar 1 membahas dasar-dasar perilaku kelompok dengan topik
bahasan pengertian kelompok, alasan seseorang bergabung dengan
kelompok, tipe kelompok, proses terbentuknya kelompok, keterkaitan
kelompok dengan kinerja dan kepuasan kerja, serta pengaruh kelompok
terhadap perilaku individu karyawan. Hal-hal penting tersebut disajikan
secara ringkas sebagai berikut.
1. Kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang
melakukan interaksi secara langsung dan merasa saling bergantung,
dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Pengertian secara
umum menunjukkan bahwa kelompok memiliki unsur-unsur sebagai
(a) sekumpulan orang (minimal dua orang), (b) saling berinteraksi
dan saling bergantung, (c) memiliki norma kelompok, (d) memiliki
tujuan bersama, serta (e) memiliki identitas diri (collective identity).
2. Secara garis besar kelompok dibedakan menjadi dua, yaitu
kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal
dibedakan lebih lanjut menjadi kelompok komando dan kelompok
tugas. Untuk kelompok informal dibedakan menjadi kelompok
kepentingan dan kelompok pertemanan.
3. Ada beberapa alas an mengapa seseorang bergabung dengan
kelompok (a) mempermudah pencapaian tujuan, (b) sekadar
berafiliasi, (c) memperoleh dukungan emosional, (d) memperoleh
status so sial, (e) alas an keamanan, dan (f) faktor kedekatan.
4. Secara teoretik ada dua model bagaimana sebuah kelompok
terbentuk. Model pertama disebut Model Lima Tahap, model kedua
Model Keseimbangan Bersela. Menurut model pertama, sebuah
kelompok terbentuk melalui tahap-tahap, seperti forming, storming,
norming, performing, dan adjourning. Model kedua, pembentukan
kelompok melalui fase keseimbangan pertama selain masa transisi
dan dilanjutkan dengan fase keseimbangan kedua.
5. Secara umum, kelompok adalah bagian integral dari organisasi.
Oleh karenanya kinerja kelompok dalam batas tertentu juga
dipengaruhi oleh kondisi organisasi, seperti strategi, struktur,
budaya, dan aturan-aturan organisasi. Di samping itu, secara internal
kelompok juga dipengaruhi oleh sumber daya kelompok, struktur,
proses, dan tugas yang diemban kelompok.
6. Pengaruh kelompok terhadap perilaku individu terjadi dalam tiga
bentuk, yaitu social facilitation, socialloafting, dan de individuation.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.39

TES FORMATIF 1
-------------------------------
Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!

1) Berikut ini adalah unsur pernbentuk kelompok, kecuali ....


A. rnerniliki anggaran sendiri
B. rnerniliki tujuan bersarna
C. rnerniliki struktur organisasi formal
D. terdiri dari dua orang atau lebih

2) Manakah persarnaan atau perbedaan antara kelompok komando dengan


kelornpok tug as ....
A. pembentukannya berdasarkan kesamaan pribadi para anggota
B. keduanya merupakan kelompok informal
C. anggota-anggotanya berkurnpul atas dasar rninat yang sarna
D. kelornpok kornando dibatasi pada pirnpinan dan bawahan langsung,
sedangkan kelompok tugas tidak dibatasi hierarki organisasi, tetapi
kesarnaan tugas

3) Faktor ekstemal yang tidak rnempengaruhi kelompok adalah sebagai ....


A. iklirn organisasi
B. strategi organisasi
C. aturan berpakaian
D. aturan hukum organisasi

4) Salah satu peran anggota kelompok dalam kegiatan kelornpok adalah ....
A. blocking roles
B. role identity
C. role ambiguity
D. role encumbent

5) Darnpak positif kelompok terhadap perilaku individu tercerrnin pada ....


A. terciptanya sinergi
B. terciptanya kebergantungan pada orang lain
C. perubahan perilaku individu
D. terciptanya budaya kelompok
5.40 PERILAKU ORGANISASI e

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.41

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Tim Kerja

alam kehidupan organisasi, seperti telah dijelaskan di muka, sebagian


besar pekerjaan tidak dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
karyawan. Meski kontribusinya mungkin serba sedikit, keterlibatan orang
lain hampir pasti tidak bisa dihindarkan. Lebih dari itu, dalam batas-batas
tertentu sebuah pekerjaan hasilnya akan lebih efektif jika dikerjakan dalam
sebuah kelompok. ltulah sebabnya setiap organisasi secara formal menyusun
struktur organisasi dalam rangka melakukan pembagian kerja (division of
labor). Dengan struktur organisasi maka secara formal terbentuk kelompok-
kelompok kerja. Nama kelompoknya bermacam-macam mulai dari divisi,
departemen, bagian atau bentuk-bentuk lainnya. Semua itu dimaksudkan agar
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang sifatnya berulang-ulang bisa dikerjakan
lebih efektif. Sebuah departemen, katakanlah departemen produksi yang
terdiri dari beberapa orang karyawan, semua anggotanya memiliki tanggung
jawab individual untuk menjalankan tugas pokok departemen, yaitu
menghasilkan produk sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan
perusahaan. Secara rutin, departemen produksi mengerjakan tugas yang sama
dari waktu ke waktu. Sementara itu, pekerjaan lanjutannya, yakni menjual
produk menjadi tanggung jawab departemen lain, yaitu departemen
pemasaran. Seperti halnya departemen produksi, menjual produk juga
menjadi tugas rutin departemen pemasaran. Departemen-departemen yang
lain atau kelompok-kelompok lain juga mengerjakan tugas yang sama secara
berulang-ulang.
Meski demikian, tidak jarang sebuah pekerjaan khususnya yang bersifat
kompleks dan cara mengerjakannya memerlukan beberapa orang dengan
keahlian berbeda-beda tidak cukup hanya dikerjakan oleh satu departemen
tertentu melainkan harus melibatkan beberapa orang dengan keahlian khusus
yang berasal dari lintas departemen. Sebagai contoh, untuk menangani
implikasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh semburan lumpur
panas dan menyebabkan tergenangnya ratusan rumah dan ribuan hektar
tanah, PT Lapindo Brantas tidak bisa hanya menunjuk satu departemen
tertentu yang sudah ada, misalnya departemen pengeboran yang menjadi
penyebab munculnya semburan lumpur, departemen komunikasi yang tugas
pokoknya menangani hubungan masyarakat atau legal council yang dalam
5.42 PERILAKU ORGANISASI e

kesehariannya menangani persoalan hukum perusahaan. Oleh karena


persoalannya begitu kompleks dan perlu dikaji dari sudut pandang berbeda,
PT Lapindo mau tidak mau harus menunjuk beberapa orang ahli yang berasal
dari beberapa departemen berbeda, khusus untuk menangani persoalan
semburan lumpur dan implikasinya. Jika suatu ketika penanganan masalah
tersebut bisa diselesaikan dengan baik dan PT lapindo Brantas masih
diizinkan meneruskan kegiatan operasinya, tentunya orang -orang tersebut
akan dikembalikan ke unit asal karena mereka sebelumnya sudah terikat
dengan unit kegiatan masing-masing.
Kumpulan orang dengan keahlian khusus yang berasal dari beberapa
departemen berbeda dan keberadaannya sengaja dibentuk untuk mengerjakan
pekerj aan tertentu inilah yang belakangan disebut sebagai tim a tau tim kerj a
(work team). Jika penjelasan singkat tentang tim kerja ini kita perbandingkan
dengan penjelasan sebelumnya tentang kelompok kerja tampak ada kesan
bahwa tim atau tim kerj a a tau sering juga disebut "panitia" tidak beda dengan
pengertian kelompok, apalagi jika perbandingan tersebut dipersempit lagi
antara kelompok tugas (task groups) dengan tim. Menyamakan istilah tim
dengan kelompok tugas memang tidak sepenuhnya keliru karena keduanya
memiliki karakteristik yang hampir sama. Meski demikian, keduanya tetap
saja berbeda, tidak semua kelompok kerja adalah sebuah tim karena tim kerja
memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh task group.
Untuk memahami apa itu sesungguhnya tim, bentuk-bentuknya,
manfaatnya dan bagaimana membentuk tim yang efektif, semuanya akan
diuraikan secara detail pada Kegiatan Belajar 2 berikut ini. Dengan
selesainya Kegiatan Belajar 2 Anda diharapkan mampu menjelaskan mana
kelompok kerja yang disebut tim dan mana yang bukan. Hal yang lebih
penting lagi, Anda juga diharapkan mampu memanfaatkan pengetahuannya
tentang tim untuk membentuk tim yang efektif mengingat tim dianggap
sebagai altematif pilihan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
• •
organ1sas1.

A. PENGERTIAN TIM

Dalam konteks organisasi, istilah tim atau tim kerja sesungguhnya bukan
istilah baru. Mahaguru bidang kualitas Joseph Juran, pada tahun 1950-an,
sudah menggunakan istilah tersebut pada saat memperkenalkan pentingnya
konsep kualitas kepada masyarakat Jepang. Istilah tim kemudian dibawa
e EKMA41 58/MODUL 5 5.43

11
masuk ke Amerika pada tahun 1980-an dan mulai populer setelah
perusahaan-perusahaan besar yang peduli terhadap masalah kualitas, seperti
Toyota, General Electric, dan Motorola, memanfaatkan konsep tim untuk
menghasilkan produk-produknya. Hanya saja ketika itu istilah tim masih
didefinisikan sangat longgar. lstilah tim dan kelompok sering digunakan
secara bergantian seolah-olah setiap kelompok adalah tim sehingga keduanya
12
dianggap mempunyai pengertian yang sama . Memasuki tahun 1990-an para
akademisi mulai mendefinisikan istilah tim secara tegas dan mereka secara
tegas pula membedakannya dengan istilah kelompok (group). Kazenbach and
13
Smith , misalnya mendefinisikan tim sebagai:

"A small number of people with complementary skills who are


committed to a cpmmon purposes, set the performance goals, and
approach for which they hold themselves mutually accountable".

"Sekelompok orang dalam jumlah kecil, masing-masing dengan


keterampilannya, yang memiliki komitmen untuk mencapai tujuan
bersama, menetapkan satu set tujuan dan memiliki akuntabilitas
bersama untuk semua tindakan yang mereka gunakan".

Pengertian di atas menunjukkan bahwa sebuah tim adalah sekelompok


orang dalam jumlah kecil. Memang tidak ada ukuran yang pasti untuk
menyebut bahwa suatu jumlah disebut besar atau kecil, tetapi dalam
kaitannya dengan tim yang dimaksud dengan jumlah kecil adalah berkisar
14
antara 8-10 orang . Jumlah ini dianggap ideal untuk sebuah tim. Hal ini
sangat berbeda dengan anggota kelompok yang jumlahnya bisa mencapai
ratusan anggota atau lebih. Dengan jumlah yang kecil tersebut diharapkan
interaksi dan komunikasi antaranggota tim bisa efektif sehingga tujuan
dibentuknya tim bisa tercapai. Selain jumlah anggotanya yang kecil, sebuah
tim akan bisa berfungsi dengan baik jika memenuhi beberapa syarat sebagai
(1) orang-orang yang ditunjuk menjadi anggota sebuah tim adalah orang-
orang pilihan yang memiliki kemampuan khusus, (2) anggota tim memiliki
komitmen untuk mencapai tujuan bersama, (3) anggota tim mampu

11
Yarborough, M.H. (1993). A Team Approach. HR Focus. August. Hal. 17.
12
Greenberg and Baron. Behavior in Organization. Prentice Hall. Hal. 293.
13
Kazenbach, J.R. and D.K. Smith. (2005). The Discipline of Teams. Harvard
Business Review. July-August. Hal. 162-170.
14
Anonymous. (1995). A Team's-Eye View of Team. Training. Hal. 16.
5.44 PERILAKU ORGANISASI e

menetapkan tujuan yang hendak dicapai, dan (4) tanggung jawab tim
bukanlah tanggung jawab individu anggota tim melainkan tanggung jawab
bersama. Keempat elemen inilah yang pada akhimya membedakan tim
dengan kelompok kerja lainnya. Secara umum, perbedaan antara tim dan
15
kelompok seperti dikatakan Kazenbach and Smith dapat dilihat pada
Tabel 5. 3 berikut ini.

Tabel 5.3.
Perbedaan antara Kelompok dan Tim

Kelompok Tim
1. Kepemimpinan dalam kelompok biasanya 1. Anggota tim memiliki kedudukan yang
dipegang oleh seseorang yang sama. Oleh karena itu, kepemimpinan
berpengaruh di dalam kelompok tidak didominasi oleh seseorang
melainkan dishared di antara mereka
2. Masing-masing anggota bertanggung 2. Semua anggota tim secara bersama-
jawab secara individual terhadap sama bertanggung jawab terhadap
kehidupan kelompok keberadaan dan kinerja tim
3. Tujuan kelompok biasanya sama atau 3. Tim memiliki kebebasan untuk
sejalan dengan tujuan umum organisasi menetapkan tujuan yang hendak dicapai
oleh tim tersebut
4. Produk yang dihasilkan merupakan hasil 4. Produk yang dihasilkan merupakan hasil
kerja individu per individu kerja tim bukan hasil kerja individual
an ~ ota tim
5. Pertemuan atau rapat-rapat kelompok, 5. Dalam setiap pertemuan, diskusi
lebih mementingkan efisiensi rapat yang biasanya dilakukan lebih terbuka agar
tidak bertele-tele setiap masalah bisa dipecahkan dengan
baik
6. Tingkat efektivitas kelompok diukur secara 6. Kinerja tim diukur secara langsung
tidak langsung, yakni sejauh mana dengan menilai produk atau output yang
kelompok bisa mempengaruhi anggota dihasilkan tim
kelompok lain
7. Kelompok mendiskusikan persoalan, 7. Tim mendiskusikan, memutuskan, dan
memutuskan, dan mendelegasikannya melakukan kerja bersama
ke ~ada an lf ota kelom ~ok

15
Kazenbach, J.R. and D.K. Smith. (2005). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.45

B. ORGANISASI MEMERLUKAN TIM

Di muka telah dijelaskan bahwa sejak tahun 1980-an kata "tim" seolah-
olah menjadi bahasa sehari-hari para manajer. Mereka seakan-akan merasa
ada yang kurang jika pada suatu hari belum menyebut kata tim. Pertanyaan
mendasar adalah mengapa para manajer dan organisasi memerlukan
keberadaan tim? Popularitas tim di kalangan para manajer terutama
disebabkan karena mereka mendapat tantangan baru dalam mengelola bisnis
yang semakin kompleks. Di antaranya, kebutuhan memberi layanan terbaik
kepada para pelanggan, semakin tingginya kompetisi bisnis, munculnya era
baru bidang informasi, dan terjadinya globalisasi.

1. Fokus pada Layanan Konsumen


Tantangan pertama yang dihadapi para manajer adalah layanan
konsumen. Dewasa ini terjadi pergeseran dalam praktik bisnis khususnya
yang berkaitan dengan layanan kepada konsumen. Selama ini hubungan
antara perusahaan dengan konsumen cenderung bersifat transaksional di
mana konsumen dianggap semata-mata sebagai sumber ekonomi bagi
perusahaan. Akibatnya, hubungan antara perusahaan dengan konsumen lebih
bersifat j angka pendek dan interaksi di an tara keduanya sangat minimal. Pola
hubungan seperti ini mulai bergeser menj adi pola hubungan relasional di
mana hubungan antara kedua berlangsung dalam kurun waktu lama, semakin
intensif, dan dibangun atas dasar kepercayaan di antara orang-orang yang
terlibat dalam hubungan tersebut. Salah satu alasan mengapa terjadi
pergeseran pola hubungan seperti ini adalah adanya fakta bahwa 85%
konsumen yang berhenti membeli dari sebuah perusahaan karena mereka
16
yakin bahwa perusahaan tidak peduli terhadap konsumen . Di samping itu,
biaya untuk mendapatkan konsumen baru berkisar 10 kali lip at dibandingkan
dengan membuat senang konsumen lama. Oleh karena alasan inilah
membentuk tim yang bisa menjaga hubungan dengan konsumen menjadi
teramat penting. Sebagai contoh, peningkatan laba perusahaan bisa mencapai
85% jika perusahaan bisa mengurangi konsumen yang berhenti membeli
hanya sebesar 5%.

16
S. Carder and 1. Gunter. (2001). Can You Hear Me? Corporate American's
Communication with Dissatified Customers. Journal of Amreican Culture.
Hal. 109-112.
5.46 PERILAKU ORGANISASI e

2. Kompetisi
Tantangan kedua adalah semakin meningkatnya persaingan bisnis.
Dewasa ini persaingan bisnis yang semakin meningkat pasti dirasakan oleh
setiap pelaku bisnis. Meski demikian, di antara mereka ada juga pemain
dominan yang menguasai bagian pasar yang sangat besar dan tentunya
menghasilkan laba yang juga sangat besar. Sementara pemain lain ditinggal
sendirian untuk melayani pasar yang tidak seberapa. Ambillah contoh
Microsoft. Sistem operasi Windows dan produk-produk Office lainnya,
seperti Word, Excel, Power Point, Outlook, dan Access menguasai pasar
dunia. Microsoft mempekerjakan ribuan orang karyawan untuk menghasilkan
produk-produk tersebut yang dikoordinasikan oleh tim-tim kerja. Di sini
menunjukkan betapa peranan tim sangat penting dalam lingkungan bisnis
yang sangat kompetitif yang memiliki filosofi "winner-take-all battle for
market share". Hal ini bisa diartikan bahwa karyawan diharapkan memiliki
spesialisasi agar menjadi ekspert di satu bidang tertentu sehingga orang lain
atau perusahaan lain sangat bergantung kepadanya. Harapan ini sejalan
dengan inti dari sebuah tim, yaitu masing-masing anggota memiliki keahlian
tertentu.

3. Era Informasi
Faktor ketiga yang menjadi tantangan para manajer adalah munculnya
era infomasi. Dengan semakin canggihnya teknologi informasi sehingga
informasi bisa mengalir begitu cepat menyebabkan karyawan menjadi tidak
bermakna jika mereka tidak memiliki pengetahuan. Karyawan dituntut
menjadi knowledge worker sementara tim berfungsi sebagai integrator
pengetahuan. Di sisi lain, dengan bantuan teknologi informasi yang berfungsi
sebagai katalisator bagi kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge
economy), peran seorang manajer bisa dikatakan berubah total. Manajer tidak
lagi sebagai penanggung jawab utama untuk mengumpulkan informasi dari
yang pekerja di bawahnya dan membuat komando dalam pembuatan
keputusan, tetapi lebih penting dari itu, tugas penting para manajer adalah
mengidentifikasikan sumber daya-sumber daya kunci yang bisa dimanfaatkan
untuk mencapai tujuan tim dan selanjutnya mengoordinasikan pemanfaatan
sumber daya tersebut untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan.
Berkaitan dengan perubahan di atas, pekerjaan anggota tim juga berubah
total. Kehadiran teknologi informasi bagi sebuah tim bisa dianggap sebagai
ancaman dan sekaligus sebagai tantangan tersendiri. Dewasa ini ribuan jenis
e EKMA41 58/MODUL 5 5.47

pekerjaan tidak lagi dikerjakan oleh manusia, tetapi telah tergantikan oleh
komputer. Akibatnya, banyak pekerjaan yang hilang. Di saat yang sama
seseorang bisa bekerja di rumah dengan bantuan komputer. Demikian juga
keputusan-keputusan penting bahkan dilakukan oleh kontraktor yang
notabenenya bukan pegawai langsung sebuah perusahaan. Perubahan-
perubahan dramatis seperti ini tentunya menuntut organisasi untuk
melakukan penilaian dan penataan kembali lingkungan kerjanya.

4. Globalisasi
Tantangan keempat yang dihadapi para manajer adalah globalisasi.
Dewasa ini seolah-olah tidak ada lagi batas negara ketika urusannya adalah
ekonomi. Aliran dana bisa berpindah dari negara ke negara lain dalam
hitungan detik. Demikian juga pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan
lain, restrukturisasi dan outsourcing menjadi fenomena sehari-hari dunia
bisnis. Akibatnya, dibutuhkan seseorang yang ahli di bidang tertentu -
seorang spesialis untuk menangani fenomena-fenomena baru dunia bisnis
yang sebelumnya tidak pemah terjadi. Bukan hanya itu, keahlian tersebut
juga harus didukung oleh kemampuan bekerja sama dengan orang lain yang
juga memiliki spesialisasi tertentu di bidang berbeda. W alhasil, globalisasi
pada akhirnya merubah tatanan organisasi dengan batasan-batasan baru yang
berbeda dengan era sebelumnya. Batasan baru tersebut mengakibatkan
terpisahnya anggota organisasi dari anggota lainnya namun sekaligus
menuntut mereka untuk saling berhubungan karena adanya saling
ketergantungan. Artinya, anggota tim harus terintegrasi melalui koordinasi
dan sinkronisasi dengan berbagai pihak. Tim juga dituntut untuk memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik karena anggota-anggotanya boleh jadi
terpisah oleh jarak yang jauh yang tidak memungkinkan mereka selalu
bertemu muka. Jika semua prasyarat ini dipenuhi maka terciptalah apa yang
disebut virtual tim, yaitu sebuah tim kerja yang tidak pemah bertemu muka
tetapi mereka bisa bekerja sama seolah-olah mereka berada pada gedung
yang sama.
5.48 PERILAKU ORGANISASI e

C. MANFAAT TIM

Jika sebuah tim bisa berjalan dengan efektif, manfaatnya tidak saja bisa
dinikmati oleh tim itu sendiri, tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan.
Beberapa manfaat yang bisa diperoleh berkaitan dengan dibentuknya sebuah
tim adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan Kreativitas, Inovasi, dan Pemecahan Masalah


Membawa masuk beberapa orang yang memiliki ide, cara padang,
pengetahuan, keterampilan yang sangat bervariasi ke dalam sebuah tim, tidak
saja bisa menghasilkan sinergi tetapi juga sangat bermanfaat bagi pemecahan
masalah yang hampir tidak mungkin dilakukan secara individual atau dalam
sebuah kelompok yang mengerjakan pekerjaan rutin. Sebagai contoh, sebuah
tim pemasaran terdiri dari beberapa orang, yakni orang yang kaya ide, orang
yang menyukai hal-hal detail dan orang yang memiliki kemampuan grafis.
Orang yang kaya dengan ide bisa memimpin untuk menciptakan ide-ide baru,
sedangkan yang sangat handal dan menyukai hal-hal bersifat detail bisa
perinisiatif untuk melakukan penelitian agar ide-ide tersebut bisa operasional
dan orang ketiga yang memiliki kemampuan grafis bisa merangkumnya
menjadi presentasi pemasaran yang sangat menarik.

2. Meningkatkan Kualitas Pengambilan Keputusan


Seperti dikatakan sebelumnya, tim kerja biasanya melibatkan beberapa
orang berkualitas yang memiliki latar belakang dan sudut pandang berbeda.
Dengan komposisi anggota tim seperti ini, tentunya akan bermunculan ide-
ide baru dan altematif pemecahan masalah yang lebih variatif sehingga bisa
diyakini bahwa kualitas pengambilan keputusannya juga semakin baik.

3. Memperbaiki Proses
Dalam sebuah tim hampir semua kegiatan selalu dilakukan dengan
berkoordinasi di antara anggota tim sehingga masing-masing anggota bisa
saling memberi masukan dan saling belajar dari anggota lainnya. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan jika kegiatan tim selalu terorgansir dan tersistem
dengan baik. Sebagai contoh, tim kerja sebelum memulai pekerjaan biasanya
terlebih dahulu berkoordinasi untuk membuat sistem perencanaan agar semua
anggota tim bisa memberi kontribusi terhadap pekerjaan yang akan
dilaksanakan. Demikian juga, setiap pekerjaan biasanya didistribusikan
e EKMA41 58/MODUL 5 5.49

secara merata kepada semua anggota tim sehingga proses penyelesaian


pekerjaan menjadi semakin efisien. Sederhananya, kehadiran tim
dimanfaatkan untuk memperbaiki proses yang lebih sistematis.

4. Meningkatkan Kompetisi secara Global


Tidak dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan multinasional sebelum
memasuki pasar dunia biasanya didahului oleh sebuah riset pasar untuk
mengetahui aspek-aspek pemasaran penting yang harus mendapat perhatian.
Riset pasar seperti ini sebaiknya, kalau tidak dikatakan harus, melibatkan tim
peneliti lokal yang mengetahui kondisi masyarakat setempat. Keberhasilan
perusahaan J epang di Indonesia tidak lain karena riset pasar yang melibatkan
peneliti Indonesia sebagai bagian dari tim peneliti.

5. Meningkatkan Kualitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang
aktivitasnya sangat kompleks dan menjalankan bisnisnya pada skala global,
standar kualitasnya meningkat setelah perusahaan tersebut mengadopsi tim
kerja. Peningkatan kualitas ini disebabkan karena peningkatan produktivitas,
rasa memiliki terhadap pekerjaan, peningkatan akuntabilitas, efisiensi, dan
customer service.

6. Meningkatkan Komunikasi
Manfaat lain dari tim kerja adalah semakin baiknya komunikasi antar
karyawan. Hal ini tidak lepas dari pola komunikasi dalam tim kerja yang
serta merta top down dan one way communication. Tim cenderung
mengadopsi pola komunikasi segala arah - lateral, komunikasi ke atas,
komunikasi ke bawah, bahkan komunikasi dengan pihak-pihak di luar
organisasi. Kebutuhan komunikasi seperti ini menjadi sangat mendesak
karena dalam tim setiap tindakan harus terlebih dahulu dikomunikasikan
sehingga di antara anggota bisa berbagi informasi dan ide serta bisa saling
belajar.

7. Mengurangi Perputaran Karyawan dan Tingkat Absensi, serta


Meningkatkan Semangat Kerja Karyawan
Secara behavioral, tim kerj a bisa merubah perilaku dan sikap kerj a
karyawan yang sebelumnya negatif menjadi positif. Semua ini dicapai karena
munculnya perasaan bahwa semua anggota tim adalah ternan yang bisa saling
5.50 PERILAKU ORGANISASI e

memberi masukan, bisa menikmati basil bersama dan sama-sama memiliki


perasaan bahwa semua anggota tim memberi pengaruh terhadap basil kerja
tim. Perasaan seperti ini mengakibatkan anggota merasa lebih bahagia, lebih
memiliki komitmen dan lebih loyal kepada tim dan organisasi tempat kerja.
Dampak lanjutannya bisa diduga, yakni kemauan karyawan untuk bersama
organisasi, menurunnya tingkat absensi karyawan, dan lebih penting lagi
semangat kerja karyawan meningkat.

D. KETERBATASAN TIM

Hampir semua organisasi yang membentuk tim tujuannya adalah untuk


mencapai tujuan yang lebih baik di masa yang akan datang. Istilah umumnya
adalah team is the wave of the future. Meski demikian, seperti halnya
fenomena-fenomena lainnya, kita perlu menyadari bahwa sebuah tim juga
memiliki kelebihan dan kekurangan. Tim memiliki kelebihan seperti telah
disebutkan di atas, namun tidak semua persoalan organisasi bisa diselesaikan
di dalam tim karena dalam beberapa hal tim juga memiliki keterbatasan.
Beberapa keterbatasan tim adalah sebagai berikut.

1. Group Think
Maksud dari group think adalah menyetujui keputusan tim meski tidak
sepenuh hati. Dalam banyak kasus kendala yang dihadapi oleh sebuah tim
adalah keterbatasan waktu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi tim.
Kendala ini sering menyebabkan tim harus segera mengambil keputusan
walaupun persoalannya belum begitu jelas. Akibat lanjutannya, anggota tim
yang paling idealis sekalipun kadang-kadang harus mengikuti kemauan
anggota lainnya, apalagi jika di dalam tim ada anggota yang cukup dominan
atau merasa yakin bahwa keputusannya adalah yang terbaik bagi semua.

2. Social Loafting
Seperti halnya persoalan dinamika kelompok, tim juga sering
menghadapi persoalan social loafting terutama jika kemampuan masing-
masing anggota kelompok tidak setara. Akibatnya, ada anggota yang bekerja
lebih banyak dan ada anggota lain yang sekadar menjadi pengikut - free
riders.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.51

3. Persoalan Kualitas
Meski banyak bukti telah menunjukkan bahwa tim bisa meningkatkan
kualitas, namun ironisnya sering didapati bahwa tim justru menghambat
kemampuan individual anggota tim. Akibatnya, anggota tim yang baik
sekalipun bisa terbawa oleh semangat tim lainnya sehingga kualitas yang
diharapkan j auh dari kenyataan.

4. Ketepatan W aktu
Kadang-kadang seseorang bisa membuat keputusan lebih cepat
ketimbang keputusan yang dibuat tim sebab dalam tim semua masukan
biasanya menjadi pertimbangan tim dalam membuat keputusan. Oleh karena
itu, tidak jarang basil kerja tim tidak sesuai dengan jadwal waktu yang telah
ditentukan sebelumnya.

5. Keragaman Anggota Tim


Salah satu keuntungan dari ragam anggota tim, masing-masing dengan
latar belakang dan pemikiran berbeda adalah semakin baiknya keputusan
yang diambil. Hanya saja tidak jarang karena mendesaknya waktu atau
pimpinan organisasi menghendaki suatu tindakan tertentu dari tim,
keragaman justru menjadi hambatan. Dalam situasi semacam ini homogenitas
anggota tim justru lebih menguntungkan. Demikian juga, dengan latar
belakang dan pemikiran serta keahlian masing-masing anggota tim, tidak
jarang ego masing-masing anggota juga tetap tinggi sehingga untuk
membawa tim kepada satu tujuan sering mendapat hambatan.

E. TIPOLOGI TIM

Meski pada awalnya sebuah tim tidak lebih dari kelompok tugas, namun
seiring dengan perjalanan waktu dan bukti empiris tentang efektivitas sebuah
tim, istilah tim juga menjadi semakin populer. Akibatnya, banyak aktivitas
organisasi yang sebelumnya hanya dilakukan di dalam kelompok formal baik
command group maupun task group, belakangan dilakukan dengan terlebih
dahulu membentuk tim kerja. Konsekuensinya adalah bentuk atau tipe tim
juga mengalami perkembangan. Sesuai dengan tujuan pembentukan dan
5.52 PERILAKU ORGANISASI e

dimensinya, tim his a diklasifikasikan menj adi 5 tipe seperti tampak pada
17
Gambar 5.5 berikut ini .

Work teams Improvement teams


(menghasilkan produk
danjasa) ~
Misi atau tujuan
.. ( meningkatkan
efektivitas proses)

Temporary teams Permanent teams


(eksis hanya untuk
sementara waktu)
~
waktu
.. (tetap eksis selama
masih ada organisasi)

Work groups Self-managed teams


(keputusan dibuat oleh
pemimpin) ~
Tingkat otonomi
.. (tim bebas membuat
keputusan sendiri)

Intact teams Cross-functional teams


(anggota tim berasal dari
satu departemen)
~
Otoritas s truktur
.. (anggota tim berasal dari
berbagai fungsi berbeda)

Physical teams Virtual teams


(tim bertemu secara
fisik) ~
Kehadiran secara
fisik .. (tim bertemu melalui
media elektronik)

Sumber: Greenberg and Baron, (Hal. 297).

Gambar 5.5.
Tipologi Tim Berdasarkan Dimensinya

1. Misi atau Tujuan


Dimensi pertama adalah misi atau tujuan mengapa sebuah tim perlu
dibentuk. Berkaitan dengan hal ini, beberapa tim sengaja dibentuk untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan organisasi yang tujuannya adalah untuk
menghasilkan produk atau jasa secara nyata. Tim seperti ini disebut work
teams (tim kerja) yang fokus perhatiannya adalah bagaimana menggunakan
sumber daya organisasi secara efektif. Sebaliknya, tim yang sengaja dibentuk
untuk meningkatkan atau memperbaiki efektivitas proses disebut
improvement teams. Dalam hal ini, tugas improvement teams lebih banyak
memberi saran untuk memperbaiki kinerja organisasi. Sebagai contoh, tim

17
Susan A. Mohrman. (1993). Integrating Roles and Structure in the Lateral
Organization. Sebagaimana dikutip oleh Greenberg and Baron. Hal. 295.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.53

yang ditunjuk untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas, tugas


utamanya adalab memberi informasi baru dan saran-saran bagaimana para
pekerja bisa meningkatkan kualitas kerja. Tidak seperti work teams yang
dituntut untuk memiliki kemampuan teknis yang tinggi, improvement teams
biasanya lebib dituntut memiliki pengetabuan yang luas bukan kemampuan
teknis.

2. Berkaitan dengan W aktu


Dimensi kedua berkaitan dengan waktu, dilibat dari sisi waktu ada
beberapa tim yang sengaja dibentuk untuk sementara waktu, disebut
temporary teams dan beberapa tim lainnya untuk jangka waktu yang lama
(permanent teams). Tim yang dibentuk untuk sementara waktu akan segera
dibubarkan dan anggota-anggotanya dikembalikan ke organisasi induk jika
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya telab selesai dikerjakan. Sebagai
contob, tim restrukturisasi organisasi dengan sendirinya dibubarkan jika
struktur baru sudab bisa berjalan dengan baik. Sementara itu, permanent
teams akan terus eksis selama organisasi yang menaunginya tidak
dibubarkan. Sebagai contob, tim yang bekerja untuk menangani layanan
konsumen biasanya akan tetap dipertabankan selama perusabaan masib ada
karena persoalan konsumen akan terus muncul.

3. Tingkat Otonomi Tim


Dimensi ini berkaitan dengan otonomi yang dimiliki tim untuk membuat
keputusan berkaitan dengan basil kerja tim. Jika di dalam tim semua
keputusan ada di tangan pimpinan yang mengatasnamakan anggota tim maka
tim tersebut tidak lain adalab kelompok kerja (work groups). Anggota tim
banya sekadar menunggu perintab dari pimpinan. Dengan demikian pimpinan
bertanggung jawab terbadap semua aspek kebidupan tim. Lawan dari work
groups adalab self-managed teams atau sering disebut juga self-directed
teams. Di sini anggota tim memiliki kewenangan untuk membuat keputusan-
keputusan kunci yang menyangkut kerja tim dan semua anggota bertanggung
jawab terbadap basil kerja tim. Jumlab anggota self-managed teams biasanya
relatif kecil berkisar 10 orang atau kurang. Mereka sering kali melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang sebarusnya dikerjakan atasan mereka. Oleb atasan,
mereka diberi kewenangan penub misalnya untuk menentukan siapa yang
layak menj adi anggota tim, menentukan kualitas basil kerj a atau
kewenangan-kewenangan lain yang dianggap perlu.
5.54 PERILAKU ORGANISASI e

4. Hubungan antara Tim dengan Struktur Organisasi secara


Keseluruhan
Dimensi keempat berkaitan dengan hubungan antara tim dengan struktur
organisasi secara keseluruhan. Ada beberapa tim yang sengaja dibentuk
namun keberadaan tim bisa dipisahkan dengan struktur organisasi formal.
Dalam hal ini, anggota tim masih terikat dengan induk organisasi yang
melingkupinya. Mereka hanya melakukan pekerjaan sesuai tugas pokok
induk organisasi (fungsi organisasi) dan sesuai dengan perintah atasan. Tim
seperti ini disebut intact teams. Sebagai contoh, departemen produksi yang
sedang berusaha untuk meningkatkan efisiensi membentuk sebuah tim kerja
yang semua anggotanya berasal dari departemen tersebut dan manfaatnya
lebih banyak dinikmati departemen bersangkutan.
Di sisi lain ada juga tim yang anggota-anggotanya tidak hanya berasal
dari satu departemen melainkan berasal dari beberapa departemen berbeda.
Tim seperti ini disebut cross-functional teams - tim lintas fungsi. Berbeda
dengan intact teams yang tujuan pembentukannya untuk kepentingan
departemen tertentu, cross-functional teams dibentuk bukan untuk
kepentingan satu departemen tertentu melainkan untuk mengatasi persoalan
organisasi secara keseluruhan. Itulah sebabnya pekerj aan yang ditangani
cross-functional teams biasanya berskala besar. Demikian juga orang-orang
yang terlibat dalam tim umumnya memiliki kedudukan setara yang berasal
dari level organisasi tingkat atas dan masing-masing anggota memiliki
keahlian yang spesifik. Sebagai contoh, perusahaan otomotif yang akan
merancang mobil model baru, tuntunnya tidak hanya melibatkan para ahli di
bidang produksi, tetapi juga melibatkan orang-orang di bagian pemasaran
untuk mengetahui apakah desain baru tersebut layak jual, melibatkan orang-
orang keuangan untuk meneliti kelayakan proyek, dan orang-orang dari
departemen lain yang relevan.

5. Kehadiran Anggota-anggota Tim secara Fisik


Dimensi kelima, kehadiran anggota -anggota tim secara fisik. Sej auh ini
pembicaraan kita tentang tim berasumsi bahwa anggota-anggota tim selalu
hadir secara fisik (disebut physical teams) untuk mengadakan rap at,
membahas dan memecahkan persoalan dan mengerjakan tugas. Namun,
sejalan dengan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, tim tidak
harus selamanya hadir bersama. Mereka bisa saja mengadakan rapat,
memecahkan persoalan dan melakukan tugasnya tanpa harus hadir secara
e EKMA41 58/MODUL 5 5.55

bersama-sama. Bisa saja mereka tetap saling berjauhan secara fisik tetapi
tugas-tugasnya tetap bisa diselesaikan. Tim semacam ini disebut virtual
teams. Praktik seperti ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar lintas negara yang para expertisenya sulit untuk kumpul bersama untuk
melakukan tugas tim.

F. MEMBANGUN TIM YANG BERHASIL

Proses pembentukan sebuah tim berbeda dengan proses pembentukan


kelompok. Pembentukan tim biasanya tidak mengikuti urutan-urutan seperti
disarankan Tuckman and Jensen dalam pembentukan sebuah kelompok,
yakni mulai dari tahap pembentukan (forming), pertengkaran (storming),
pembentukan norma kesepemahaman (norming), melakukan tindakan
(performing) dan terakhir tahap pengalihan orientasi (adjourning). Tanpa
melalui tahap storming dan norming, pembentukan tim biasanya mulai dari
tahap pembentukan (forming) langsung ke tahap performing dan adjourning
jika memang tujuan pembentukan tim hanya bersifat temporer. Proses seperti
ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa anggota-anggota tim adalah orang-
orang pilihan yang sebelumnya sudah saling kenai, dianggap memiliki
kemampuan individu dan berasal dari level manajerial yang baik. Bahkan
tidakjarang merekajuga telah sering melakukan kerja sama sebelumnya.
Seperti disebutkan di atas, sebuah tim biasanya langsung bekerja
menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya segera setelah terbentuk.
Meski demikian, merujuk pada prasyarat-prasyarat sebuah tim, membangun
tim apalagi tim yang berhasil, tentunya bukan pekerjaan mudah. Tidak secara
otomatis tim yang sudah terbentuk dan melakukan pekerjaan menjadi tim
yang berhasil. Sering dikatakan bahwa tim layaknya mobil balap, kinerjanya
tinggi, tetapi harus terus dipelihara dan membutuhkan biaya pemeliharaan
yang tinggi. Artinya, sebuah tim harus selalu dijaga agar anggota-anggota tim
menyadari bahwa meski masing-masing memiliki keunggulan tersendiri,
kedudukan mereka adalah sama. Egosentris yang biasanya muncul pada
orang-orang yang memiliki keunggulan harus ditekan seminimal mungkin
jika sebuah tim ingin berhasil. Hal ini bisa diartikan pula bahwa beberapa
faktor kunci perlu mendapat perhatian agar sebuah tim bisa menjalankan
tugasnya dengan baik. Faktor-faktor kunci tersebut adalah sebagai berikut.
5.56 PERILAKU ORGANISASI e

1. Memilih Anggota Tim berdasarkan Potensi dan Keterampilannya


Mengingat bahwa tugas tim sangat bervariasi dan menuntut anggota-
anggotanya untuk bisa bekerja sama secara intensif maka memiliki
keterampilan (skill) yang dibutuhkan tim menjadi sebuah keharusan setiap
anggota tim. Dalam hal ini, bukan sekadar keterampilan yang berkaitan
dengan kerj a tim, tetapi termasuk keterampilan hubungan interpersonal.
Demikian juga, keterampilan yang dimaksud bukan sekadar keterampilan
yang dibutuhkan tim saat ini, tetapi juga keterampilan yang dibutuhkan pada
masa mendatang. Untuk itu, tidak jarang tim tersebut diberi keleluasaan
untuk merekrut dan memilih sendiri orang-orang atau anggota-anggota baru
yang memiliki keterampilan sesuai dengan kebutuhan tim. Di samping itu,
tim juga berkewajiban menjaga agar keterampilan tim terus terjaga dan
terbarukan. Untuk kepentingan yang terakhir- menjaga dan memperbaharui
keterampilan, tidak saja anggota tim perlu secara reguler memahami fakta-
fakta baru dan informasi baru, tetapi juga harus inovatif.

2. Memberi Pelatihan untuk Meningkatkan Keterampilan Tim


Ada istilah populer terkait dengan efektivitas kerja tim, yaitu "good team
members are trained, not born - anggota yang baik adalah mereka yang
terlatih bukan terlahir". Ungkapan ini memberi penegasan bahwa untuk
menjadi tim yang efektif, tidak cukup hanya mengandalkan anggota-anggota
tim yang sudah terpilih dan mengharapkan mereka langsung bekerja dengan
kemampuan seadanya. Sebaliknya, anggota tim harus terlebih dahulu
mendapat pelatihan yang sepadan untuk menegaskan bahwa anggota tim bisa
saling bekerja sama dan mampu menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
Upaya formal yang diarahkan untuk membentuk tim yang efektif disebut
team building. Dewasa ini dengan semakin banyaknya organisasi yang
mengandalkan tim untuk menyelesaikan tugas-tugas penting semakin banyak
pula uang yang dikeluarkan untuk membangun tim yang efektif. Salah satu
bentuk team building yang akhir-akhir ini sangat populer adalah outbound
training, yakni training luar ruang dengan pendekatan deduktif di mana
pelatih lebih memerankan dirinya sebagai fasilitator.
Upaya formal yang diarahkan untuk membentuk tim yang efektif pada
umumnya ditekankan pada dua area kunci, yaitu pelatihan untuk menjadi
bagian tim dan pelatihan untuk menjalankan manajemen secara mandiri (self-
management). Menjadi bagian tim meski tampaknya mudah, tetapi kenyataan
tidak demikian karena sebagai anggota tim, seseorang harus bisa menjaga
e EKMA41 58/MODUL 5 5.57

keharmonisan tim dan memiliki tenggang rasa dengan anggota tim lainnya.
Untuk itu, setiap anggota dituntut untuk memiliki interpersonal skill yang
cukup. Jika tidak maka pelatihan interpersonal skill adalah sebuah keharusan.
Selain interpersonal skill, anggota tim juga harus bisa mengelola diri sendiri
jika menghendaki keseluruhan anggota tim secara bersama-sama bisa
mencapai tujuan. Mengelola diri sendiri menjadi penting karena pada
umumnya seseorang terbiasa diberitahu apa yang harus dan boleh dikerjakan
dan apa yang tidak boleh, namun sangat jarang seseorang tahu bagaimana
seharusnya mengelola diri sendiri dan perilakunya. Beberapa keterampilan
yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola diri sendiri adalah (a) mampu
mengobservasi dan mengevaluasi diri sendiri, (b) mengharapkan kinerja yang
tinggi baik dari diri sendiri maupun anggota tim lainnya, (c) menetapkan
tujuan, (d) mempraktikkan keterampilan dan tug as baru, serta
(e) mengorganisasi dirinya secara objektif.

3. Memberi Kompensasi atas Kinerja Tim


Bagi masyarakat individual seperti masyarakat Amerika, kompensasi
biasanya diberikan kepada seseorang berdasarkan kinerja individual orang
tersebut. Dalam tim, cara pemberian kompensasi seperti ini boleh j adi kurang
pada tempatnya karena bisa merusak harmoni tim. Dalam tim, kinerja tidak
ditentukan oleh seorang anggota tim melainkan karena kontribusi semua
anggota tim. Oleh karena itu, selayaknya kompensasi diberikan berdasarkan
kinerja tim bukan kinerja individual. Semakin organisasi memberi imbalan
berdasarkan keberhasilan semakin semangat meningkat. Bentuk kompensasi
berbasis tim, di antaranya gain-sharing plans - bagi hasil keuntungan.
Namun, apabila di dalam tim mengaruskan anggotanya memiliki skill
berbeda-beda boleh kompensasi didasarkan pada kontribusi skill tersebut ada
keseluruhan tim. Kompensasi seperti ini disebut skill based pay.

4. Memberikan Dukungan terhadap Tim


Keberlangsungan sebuah tim tidak semata-mata ditentukan oleh tim itu
sendiri, tetapi juga membutuhkan dukungan dari otoritas yang lebih tinggi.
Tanpa adanya dukungan pihak manajemen, dikhawatirkan legitimasi tim
menjadi pertanyaan. Selain dukungan manajemen, tim juga harus
memperoleh dukungan, bisa dipahami dan diterima oleh anggota tim itu
sendiri. Masalah demi masalah akan terus bermunculan jika anggota tim
tidak memahami dan menyadari pentingnya kerja sama di antara mereka.
5.58 PERILAKU ORGANISASI e

5. Mengomunikasikan Hal-hal yang Mendesak


Salah satu alasan mengapa sebuah tim dibentuk adalah ada satu atau
beberapa kegiatan yang menuntut standar kinerja yang tinggi sehingga sulit
kalau tidak dikatakan tidak bisa, dilakukan secara individual atau dalam
aktivitas organisasi secara reguler. Tuntutan ini secara tidak langsung
mengharap agar tim memiliki energi yang maksimal. Selain itu, tuntutan
tersebut juga harus dipahami dan dimengerti oleh setiap anggota tim. Oleh
karenanya mengomunikasikan hal-hal yang mendesak kepada semua anggota
tim merupakan sebuah keharusan.

6. Mempromosikan Kerja Sarna Tim


Seperti telah diulang-ulang pada bagian sebelumnya, kerja sama
merupakan esensi dari sebuah tim. Tanpa ada kerja sama bisa dikatakan
bahwa sesungguhnya tim tidak pernah eksis. Dalam hal ini, sebuah tim tidak
hanya dituntut untuk melakukan kerja internal, tetapi juga kerja sama
eksternal. Artinya, bukan hanya individu-individu anggota tim yang harus
bekerja sama, tetapi kerja sama antartim juga harus dilakukan. Alasannya,
keberadaan tim sesungguhnya merupakan integral dari eksistensi organisasi
dan tujuan dibentuknya tim tidak lain untuk memudahkan organisasi
mencapai tujuannya. Oleh karena itu, kerja sama antartim dalam batas-batas
tertentu juga harus dilakukan guna mempermudah kerja tim dan sekaligus
membatu kelancaran organisasi.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan perbedaan antara tim dengan kelompok tugas!
2) Mengapa sebuah organisasi memerlukan kehadiran sebuah tim?
3) Apa upaya yang bisa dilakukan untuk membangun tim yang efektif?
Jelaskan!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Dalam batas-batas tertentu tim dan kelompok tug as sesungguhnya


memiliki kesamaan. Keduanya merupakan bentukan formal sebuah
e EKMA41 58/MODUL 5 5.59

organisasi. Lepas dari itu tim memiliki karakteristik yang berbeda


dengan kelompok tugas. Perbedaan tersebut, di antaranya tidak seperti
kelompok, kepemimpinan dalam tim tidak didominasi oleh seseorang
melainkan dishared di antara mereka, semua anggota tim secara
bersama-sama bertanggung jawab terhadap keberadaan dan kinerja tim,
tim memiliki kebebasan untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai,
basil kerja tim bukan basil kerja individual anggota tim, diskusi biasanya
dilakukan lebih terbuka agar setiap masalah bisa dipecahkan dengan
baik, kinerja tim diukur secara langsung dengan menilai produk atau
output yang dihasilkan tim, serta tim mendiskusikan, memutuskan, dan
melakukan kerj a bersama.
2) Paling tidak ada empat alasan mengapa sebuah organisasi memerlukan
kehadiran tim. Keempat alasan tersebut adalah kebutuhan memberi
layanan terbaik kepada para pelanggan, semakin tingginya kompetisi
bisnis, munculnya era baru bidang informasi, dan terjadinya globalisasi.
3) Anggota tim adalah orang-orang pilihan yang masing-masing memiliki
keahlian yang tidak dimiliki anggota tim lainnya. Meski demikian tidak
secara otomatis tim yang sudah terbentuk dan melakukan pekerjaan
menjadi tim yang berhasil. Sebuah tim harus selalu dijaga agar anggota-
anggota tim menyadari bahwa meski untuk itu pihak manajemen perlu
memperhatikan beberapa faktor kunci agar eksistensi dan kinerja sebuah
tim terus terpelihara. Faktor-faktor kunci terse but adalah anggota tim
harus dipilih berdasarkan potensi dan keterampilannya, anggota tim
harus terus diberi pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tim,
memberi kompensasi atas kinerja tim, memberikan dukungan terhadap
tim, mengomunikasikan hal-hal yang mendesak, mempromosikan kerja
sama tim.

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 2 merupakan kelanjutan Kegiatan Belajar 1 yang


khusus membahas dinamika tim dan tim kerja. Topik-topik yang dibahas
pada Kegiatan Belajar 1, di antaranya pengertian tim - termasuk di
dalamnya perbedaan antara tim dengan kelompok; alasan mengapa
organisasi membutuhkan tim; manfaat dan keterbatasan tim; tipologi
tim; serta terakhir membangun tim yang berhasil. Inti dari topik bahasan
tersebut dapat dilihat dari ringkasan berikut ini.
5.6Q PERILAKU ORGANISASI e

1. Tim adalah sekelompok orang dalam jumlah kecil, masing-masing


dengan keterampilannya, yang memiliki komitmen untuk mencapai
tujuan bersama, menetapkan satu set tujuan, dan memiliki
akuntabilitas bersama untuk semua tindakan yang mereka gunakan
2. Meski tim dalam batas-batas tertentu memiliki karakteristik yang
sama dengan kelompok, khususnya kelompok tugas atau satuan
tugas, namun tim berbeda dengan satuan tugas. Perbedaan keduanya
terletak pada model kepemimpinan, tanggung jawab, tujuan yang
hendak dicapai, basil kerja, proses memecahkan masalah, dan
pengukuran kinerj a.
3. Paling tidak ada empat alasan mengapa sebuah organisasi
membutuhkan tim, yaitu kebutuhan untuk memberi layanan terbaik
kepada konsumen, semakin meningkatnya kompetisi, semakin
kompleksnya kegiatan bisnis karena era informasi, dan globalisasi
dunia bisnis.
4. Beberapa manfaat tim adalah meningkatkan kreativitas,
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, memperbaiki
proses, meningkatkan kompetisi secara global, meningkatkan
kualitas, meningkatkan komunikasi, mengurangi tingkat absensi dan
perputaran karyawan, serta meningkatkan kepuasan kerja.
5. Sementara itu, tim memiliki beberapa keterbatasan adalah
munculnya group think, social loafting, persoalan kualitas,
ketepatan waktu, dan keragaman anggota tim.
6. Tim bisa diklasifikasikan menurut 5 tipe berbeda, yaitu berdasarkan
misi atau tujuan, permanen tidaknya keanggotaan tim, tingkat
otonomi, otoritas struktur, dan kehadiran secara fisik anggota tim.
7. Beberapa faktor kunci perlu mendapat perhatian agar sebuah tim
bisa menjalankan tugasnya dengan baik adalah anggota tim harus
dipilih berdasarkan potensi dan keterampilannya; anggota tim perlu
diberi pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tim; memberi
kompensasi atas kinerja tim, memberi dukungan terhadap tim; dan
mengomunikasikan hal-hal yang mendesak.

TES FDRMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!

1) Karakteristik tim kerj a adalah sebagai berikut ....


A. kepemimpinan tim pada umumnya dishared dengan anggota lain
B. hasil kerj a tim merupakan hasil kerj a individual
e EKMA41 58/MODUL 5 5.61

C. tujuan yang hendak dicapai tim ditentukan pihak manajemen


D. tim melakukan kerja individu dan hasilnya digabung

2) Perbedaan antara tim dengan kelompok adalah ....


A. anggota tim bertanggung jawab secara individu, anggota kelompok
bertanggung jawab secara bersama
B. efektivitas tim diukur dari hasil kerja tim, sedangkan efektivitas
kelompok diukur secara langsung
C. hasil kerja tim merupakan hasil kerja bersama, hasil kerja kelompok
merupakan hasil kerja individu
D. keputusan tim dilakukan oleh anggota tim, sedangkan keputusan
kelompok dilakukan ketua kelompok

3) Manfaat tim, di antaranya berikut ini, kecuali ....


A. meningkatkan kualitas pengambilan keputusan
B. meningkatkan tingkat absensi
C. meningkatkan kompetisi global
D. mengurangi perputaran karyawan

4) Mana di antara pernyataan berikut ini yang salah?


A. Dilihat dari tingkat otonominya, tim dibedakan menjadi self-
managed team dan work team.
B. Dilihat dari kehadiran anggota, tim dibedakan menj adi virtual team
dan physical team.
C. Dilihat dari struktur keanggotaan, tim dibedakan menjadi intact
team dan cross-functional team
D. Dilihat dari sudut waktu, tim dibedakan menjadi permanent team
dan temporary team.

5) Faktor yang membantu keberhasilan tim adalah ....


A. tim harus mendapatkan pelatihan
B. tim sebaiknya memperoleh penghargaan
C. tim harus mendapat dukungan manajemen
D. tim beranggotakan orang-orang yang keterampilannya sama

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
5.62 PERILAKU ORGANISASI e

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.63

KEGIATAN BELAL.JAR 3

Pengambilan Keputusan Kelompok

alau kita merujuk kembali Modul 1 Kegiatan Belajar 1 tentang peran


seorang manajer, di sana dikatakan bahwa salah satu peran seorang
manajer di antara tiga kelompok peran manajer adalah mengambil keputusan.
Bisa dikatakan bahwa seorang manajer baru betul-betul disebut sebagai
seorang manajer jika dia mampu mengambil keputusan dengan baik. Hal ini
menunjukkan pentingnya peran pengambilan keputusan dalam kehidupan
organisasi. Semua fungsi manajemen mulai dari perencanaan sampai ke
pengendalian selalu terkait dengan pengambilan keputusan. Lebih dari itu,
hampir semua tindakan seorang manajer bermula dan berujung pada
pengambilan keputusan. Sebagai contoh, perlu tidaknya membuka outlet
baru, perlu tidaknya mengeluarkan produk baru, siapa yang harus direkrut
sebagai pegawai baru, dan bagaimana cara merekrut pegawai baru adalah
beberapa contoh pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seorang
manajer. Contoh ini memberi gambaran bahwa keberhasilan atau kegagalan
sebuah organisasi sangat tergantung pada kualitas keputusan yang dilakukan
manajer. Selain itu, kualitas pengambilan keputusan secara langsung akan
mempengaruhi karier seorang manajer di masa datang.
Meski seorang manajer memegang peran kunci dalam pengambilan
keputusan, namun dalam kehidupan organisasi yang semakin demokratis,
masa depan organisasi tidak diputuskan sendirian oleh seorang manajer.
Paling tidak proses pembuatannya melibatkan banyak orang bukan saja
mereka yang menduduki posisi manajerial, tetapi kadang-kadang juga
melibatkan karyawan nonmanajerial. Semua ini dimaksudkan agar kualitas
keputusan bisa lebih baik. Di satu sisi karyawan merasa puas karena mereka
terlibat aktif dalam menentukan masa depan dirinya dan organisasi dan di sisi
lain komitmen karyawan juga semakin baik sehingga kinerja organisasi pun
lebih mudah dicapai. ltulah sebabnya ada kecenderungan akhir-akhir ini
pembuatan keputusan dilakukan secara kelompok ketimbang secara
individual. Berkaitan dengan hal ini, berbagai aspek tentang pengambilan
keputusan, khususnya keputusan kelompok akan menjadi pokok bahasan
pada Kegiatan Belajar 3, dengan harapan selesainya Kegiatan Belajar 3 Anda
mengetahui bagaimana pengambilan keputusan berbasis kelompok
5.64 PERILAKU ORGANISASI e

seharusnya dilakukan. Lebih dari itu, Anda juga diharapkan dapat


mengimplementasikannya ke dalam praktik kehidupan sehari-hari.

A. DOMAIN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Maksud dari pengambilan keputusan adalah proses mengidentifikasi


masalah dan memilih berbagai alternatif tindakan untuk mendapatkan solusi
terbaik bagi kepentingan organisasi secara keseluruhan. Beberapa catatan
penting dari pengertian ini adalah (1) pengambilan keputusan merupakan
sebuah proses yang ada awal dan akhir; (2) pengambilan keputusan dilakukan
karena ada masalah yang harus diselesaikan, apakah masalah tersebut
berkaitan dengan input, misalnya untuk mendapatkan input terbaik; berkaitan
dengan proses - memberi layanan paling baik kepada konsumen atau bahkan
masalah dengan pihak luar organisasi, misalnya mengatasi persaingan;
(3) untuk mendapat solusi terbaik, beberapa alternatif tindakan dipilih.
Pemilihan alternatif biasanya didasarkan pada ketersediaan informasi; serta
(4) akhir dari proses pengambilan keputusan adalah ketika pengambil
keputusan berhasil memilih satu alternatif terbaik dari sekian banyak
alternatif yang tersedia.
Secara umum, elemen-elemen dalam proses pengambilan keputusan
dapat dilihat pada Gambar 5.6. Seperti tampak pada Gambar 5.6, proses
pengambilan keputusan dimulai dari penetapan tujuan dan sasaran. Setiap
pengambil keputusan harus terlebih dahulu menetapkan tujuan sebagai dasar
untuk membuat keputusan tidak peduli apakah tujuan tersebut bersifat
spesifik, dapat diukur secara objektif atau tujuan yang agak longgar. Tanpa
ada tujuan dan sasaran, pengambil keputusan tidak memiliki kriteria untuk
mengevaluasi alternatif pengambilan keputusan atau tindakan yang harus
dilakukan. Sederhananya, apabila tidak ada tujuan dan sasaran yang hendak
dicapai apa pun keputusan yang dibuat sesungguhnya tidak ada bedanya.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.65

Menetapkan tujuan dan


sasaran

Identifikasi rnasalah

u
M Mengernbangkan beberapa
p altematif solusi
A
N
Evaluasi alternatif
B
A
L
Mernilih satu altematif
I
k

Mengirnplernentasi keputusan

Evaluasi dan kontrol terhadap


keputusan

Gambar 5.6.
Proses Pengambilan Keputusan

Langkah kedua setelah tujuan dan sasaran ditetapkan adalah identifikasi


masalah. Dalarn pengarnbilan keputusan bisa dikatakan bahwa proses
pengarnbilan keputusan baru dirnulai setelah rnasalah atau beberapa rnasalah
bisa diidentifikasi. Pada urnurnnya, sebuah rnasalah akan rnuncul jika terjadi
penyirnpangan antara kondisi berjalan dengan kondisi yang diharapkan.
Masalah tersebut bisa berupa tujuan yang tidak tercapai, tingkat produktivitas
karyawan yang rendah atau kontlik antarkelornpok dalam organisasi. Agar
pengarnbilan keputusan berjalan efektif maka akar masalah harus benar-benar
5.66 PERILAKU ORGANISASI e

teridentifikasi dengan jelas bukan hanya gejalanya saja. Hanya saja sering
terj adi masalah tidak terselesaikan dengan baik karena tidak ditemukan
masalah yang sesungguhnya.
Langkah ketiga adalah menemukan beberapa alternatif solusi. Jika
masalah bisa diidentifikasikan dengan jelas berarti pengambil keputusan bisa
melakukan upaya untuk mencari informasi untuk mengklarifikasikan sifat
masalah tersebut dan mengidentifikasi beberapa alternatif pemecahannya.
Dalam hal ini, beberapa kebiasaan (rule of thumb) yang biasa dilakukan para
pengambil keputusan adalah melihat kembali apa yang pemah dilakukan di
masa lalu ketika menghadapi masalah yang sama atau mencoba melihat apa
yang paling cocok pada saat ini untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika
pendekatan ini dianggap bisa menyelesaikan masalah maka upaya untuk
mencari alternatif lain tidak lagi dilakukan. Cara-cara baru yang kreatif
sekalipun biasanya akan diabaikan. Rule of thumb lainnya adalah mencontoh
atau belajar dari organisasi lain bagaimana mereka menyelesaikan masalah
ketika menghadapi persoalan yang sama. J ika organisasi lain berhasil
menyelesaikannya maka cara akan ditiru. Terlepas dari kebiasaan-kebiasaan
tersebut, proses pengambilan keputusan yang baik seharusnya mem-
pertimbangkan semua alternatif solusi sekecil apa pun alternatif tersebut bisa
diterapkan. Tujuannya agar tidak salah dalam pengambilan keputusan. Hanya
saja karena keputusan harus segera diambil, dalam praktik mengembangkan
beberapa altematif solusi yang memerlukan waktu lama biasanya tidak
dilakukan.
Langkah keempat adalah mengevaluasi alternatif solusi dilanjutkan
dengan memilih solusi terbaik. Mengevaluasi alternatif adalah langkah yang
diambil setelah beberapa alternatif bisa diidentifikasikan. Tujuan evaluasi
adalah untuk mendapatkan solusi terbaik. Bisa dikatakan bahwa akhir dari
sebuah proses pengambilan keputusan adalah memilih altematif yang
"dianggap" terbaik. Apakah altematif tersebut betul-betul yang terbaik
sesungguhnya belum bisa diketahui saat keputusan itu dibuat. Oleh karena
itu, Pfeffer mengingatkan kita akan adanya tiga hal penting berkaitan dengan
pengambilan keputusan. Pertama, keputusan pada dasarnya tidak merubah
apa-apa. Jika seorang manajer memutuskan untuk merubah sistem penilaian
kinerja, misalnya keputusan tersebut tidak akan mengubahnya, kecuali ada
tindakan lebih lanjut, yaitu implementasi. Kedua, pada saat keputusan dibuat
kita tidak pernah tahu apakah keputusan tersebut baik atau buruk. Kualitas
keputusan jika diukur dengan basil, baru akan ketahuan jika konsekuensi
e EKMA41 58/MODUL 5 5.67

keputusan sudab diketabui. Ketiga, yang lebib penting keseluruban


kebidupan organisasi adalab akibat dari sebuab keputusan dan setiap orang
menanggung akibat tersebut jaub lebib lama ketimbang proses pengambilan
keputusannya itu sendiri.
Berdasarkan peringatan Pfeffer maka langkab lanjutan setelab keputusan
dibuat adalab mengimplementasikan keputusan tersebut. Sekali lagi, tanpa
implementasi, sebaik apa pun keputusannya sama sekali tidak ada
dampaknya bagi organisasi. Dengan demikian, implementasi merupakan
bagian krusial dalam proses pengambilan keputusan. Meski demikian, ada
beberapa faktor yang menyebabkan implementasi pengambilan keputusan
tidak berjalan sempurna, di antaranya manajer yang membuat keputusan
biasanya bukan orang yang mengimplementasikannya. Demikian juga
pembuat kebijakan pada umumnya tidak memabami kegiatan sebari-bari
sebingga tidak mengetabui tingkat kesulitan yang bakal mereka badapi ketika
mengimplementasikan keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan banya
tampak baik di atas kertas, tetapi menjadi persoalan ketika di implementasi-
kan.
Langkab terakhir dalam proses pengambilan keputusan adalab evaluasi
dan pengawasan terbadap implementasi pengambilan keputusan. Tabap ini
dimaksudkan agar keseluruban proses pengambilan keputusan mencapai basil
seperti yang dibarapkan. Proses evaluasi dan pengawasan biasanya dibantu
sistem evaluasi dan pengendalian sebagai alat untuk menegaskan babwa basil
sesunggubnya konsisten dengan barapan ketika keputusan dibuat. Pada tabap
ini tujuan-tujuan yang ditetapkan saat keputusan dibuat juga dievaluasi ulan g.
Sementara itu, berdasarkan tujuan-tujuan yang dibuat secara terukur bisa
segera diketabui apakab tujuan yang dibarapkan sudab tercapai atau belum.
Jika terjadi penyimpangan berarti masib terjadi persoalan dan dengan
demikian pembuat keputusan barus kembali mengulangi proses pembuatan
keputusan. Dalam proses penelaaban ulang ini setiap tabap barus ditelaab
secara bati-bati. Misalnya, apakab tidak tercapainya tujuan karena penetapan
tujuan tersebut yang tidak realistik.

B. MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Menyadari babwa pengambilan keputusan akan mempengarubi masa


depan organisasi, para teoretisi organisasi mengembangkan berbagai model
pengambilan keputusan. Secara umum, model tersebut dapat dibedakan
5.68 PERILAKU ORGANISASI e

menjadi dua, yaitu model rasional dan model alternatif. Dalam bahasa
psikologi, keputusan rasional adalah pengambilan keputusan yang
menggunakan otak kiri manusia. Sementara itu, Bass membedakan keputusan
rasional ke dalam dua bentuk, yaitu economic approach maupun behavioral
approach. Pendekatan ekonomik dalam pengambilan keputusan didasarkan
pada beberapa asumsi, antara lain (1) perusahaan dianggap mempunyai
tujuan, (2) untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan cara-cara
rasional, (3) fungsi perusahaan adalah untuk mentransformasi input menjadi
output, (4) lingkungan organisasi dianggap sebagai faktor eksternal dan
bersifat given, serta (5) perubahan harga dan kuantitas terhadap input dan
output merupakan landasan berpikir dalam teori ini. Jika pendekatan ini
diterjemahkan ke dalam bahasa organisasi maka organisasi dipahami sebagai
alat untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu, organisasi juga
dianggap sebagai sebuah entitas yang terpisah dari lingkungannya (closed
system), sedangkan manusia diperlakukan sebagai faktor produksi yang
berorientasi ekonomi dan berpikiran rasional sehingga mudah diarahkan
untuk memaksimumkan tujuan ekonomik organisasi. Sedangkan model
pengambilan keputusan behavioral, di antaranya model keputusan carnegie,
garbage can, dan incremental.
Selain model pengambilan keputusan rasional, model lain yang jarang
didiskusikan meski embrionya sudah lama ada dan kini kembali mulai
mendapat perhatian para akademisi adalah model pengambilan keputusan
"nonlogical" sebagai model keputusan altematif. Simon, misalnya
mengatakan bahwa Chester Barnard ketika menulis buku "The Functions of
Executive" pada tahun 1937 telah menyinggung model pengambilan
keputusan ini. Menurut Barnard proses pengambilan keputusan nonlogical
adalah pengambilan keputusan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
atau dengan alasan tertentu melainkan sebuah proses yang menggunakan
judgment. Dalam bahasa psikologi, pengambilan keputusan semacam ini
tidak lain adalah model pengambilan keputusan yang menggunakan otak
kanan manusia berbeda dengan pengambilan keputusan rasional yang
menggunakan otak kiri.
Holloman membedakan model pengambilan keputusan nonlogical
menjadi dua, yaitu "non-rational" (intuisi, berbasis pengalaman) dan
"irrational" (berbasis pada preferensi pribadi). Maksud dari pengambilan
keputusan nonrasional adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada
pengalaman masa lalu danlatau pengetahuan-pengetahuan yang telah
e EKMA41 58/MODUL 5 5.69

diperoleh sebelumnya bukan didasarkan pada analisis rasional. Argumentasi


yang umumnya diberikan untuk membenarkan penggunaan model
pengambilan keputusan ini adalah keterbatasan seseorang untuk berpikiran
rasional (bounded rationality) di samping karena model pengambilan
keputusan rasional juga memiliki beberapa keterbatasan sebagaimana telah
dijelaskan di muka. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan pengambilan
keputusan irrational adalah model pengambilan keputusan yang didasarkan
pada perasaan (feeling) dan harapan seseorang sehingga sangat subjektif.

C. DINAMIKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Dilihat dari masalah yang biasa dihadapi para manajer, semua masalah
organisasi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu masalah
rutin dan nonrutin. Terkait dengan risiko yang mungkin ditimbulkan, setiap
masalah ada yang memiliki risiko tinggi dan sebaliknya berisiko rendah.
Sementara itu, dilihat dari siapa yang membuat keputusan, pengambilan
keputusan bisa dilakukan oleh pimpinan puncak atau dilakukan level bawah.

1. Keputusan Terprogram vs. Tidak Terprogram


Seorang manajer sering kali membuat keputusan untuk persoalan yang
sama yang terjadi secara berulang-ulang. Menghadapi persoalan seperti ini,
manajer biasanya tidak begitu kesulitan untuk membuat keputusan karena
peraturan maupun prosedur operasi standar biasanya telah dibuat secara
formal mendahului datangnya persoalan. Keputusan seperti ini disebut
sebagai keputusan terprogram. Oleh karena sifatnya yang rutin, keputusan
terprogram biasanya tidak perlu melibatkan manajemen level atas, tetapi
diserahkan pada manajer level bawah. Sebagai contoh, seorang supervisor
restoran cepat saji, misalnya akan segera memutuskan untuk memesan bahan
pembuat hamburger karena cadangan di gudang sudah menitis.
Berbeda dengan keputusan terprogram, keputusan tidak terprogram
adalah pengambilan keputusan yang harus dibuat seorang manajer atau
beberapa manajer untuk persoalan-persoalan yang solusinya belum tersedia.
Persoalan tersebut bersifat khas dan belum pernah dialami sebelumnya. Oleh
karena itu, aturan maupun prosedur operasi standar tidak bisa meng-
akomodasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Akibatnya, seorang
manajer kadang-kadang tidak bisa sendirian untuk membuat keputusan
tersebut sehingga suka atau tidak manajer-manajer lain pun harus dilibatkan
5.70 PERILAKU ORGANISASI e

dalam proses pembuatan keputusan. Secara umum, perbedaan antara


keputusan terprogram dengan keputusan tidak terprogram dapat dilihat pada
Tabel 5.4 berikut ini.

Tabel 5.4.
Perbedaan antara Keputusan Terprogram vs Tidak Terprogram

Ti :>e Pen ambilan Ke :>utusan


Variabel
Terpro ram Tidak Ter pro ram
a. Jenis tugas Sederhana, rutin Kompleks, kreatif
b. Kebergantungannya Menggunakan tuntunan dari Tidak ada pedoman dari
pada kebijakan keputusan masa lalu masa lalu
• •
orgamsas1
c. Tipikal pembuat Karyawan level bawah Manajer level atas
keputusan (biasanya diputuskan sendiri) (biasanya diputuskan
bersama

Salah satu bentuk pengambilan keputusan tidak terprogram yang


dampaknya sangat jangka panjang adalah pengambilan keputusan strategik
(strategic decision). Bentuk pengambilan keputusan ini merupakan keputusan
yang dilakukan secara bersama-sama oleh manajer puncak untuk kepentingan
jangka panjang perusahaan. Pengambilan keputusan strategik biasanya
dilandasi oleh filosofi atau misi perusahaan sebagai pij akannya. Artinya,
pengambilan keputusan tidak akan dibuat kecuali sejalan dengan visi, misi,
dan tujuan jangka panjang perusahaan. Pengambilan keputusan seperti ini
biasanya dilakukan pada saat kondisi kritis yang mempengaruhi masa depan
perusahaan. Sebagai contoh, Johnson & Johnson pada tahun 1982 memutus-
kan untuk menarik kembali produk Tylenol dari seluruh rak toko di dunia
karena sebelumnya ditemukan sebagian dari produk tersebut terkontaminasi
racun berbahaya. Sono, misalnya memutuskan untuk memperkenalkan
produk Walkman setelah menyadari bahwa anak-anak muda selalu ingin
menikmati musik ke mana pun dan di mana pun mereka berada.

2. Keputusan yang Pasti dan Tidak Pasti


Hampir semua organisasi pasti menghendaki semuanya serba pasti.
Sebab dengan sesuatu yang serba pasti dan masa depan bisa diprediksi
dengan akurat akan mempermudah para manajer untuk membuat keputusan
dan memperlancar jalannya organisasi. Membeli saham di pasar bursa saham
sepertinya tidak memilih saham mana yang akan dibeli jika semuanya bisa
e EKMA41 58/MODUL 5 5.71

diprediksi dengan tepat. Para manajer tidak perlu susab payab membuat
analisis SWOT jika lingkungan bisa sangat stabil dan semuanya bisa
diprediksi dengan tepat. Sayangnya semua itu tidak bisa kita temui dalam
lingkungan bisnis yang sangat kompleks dan serba tidak pasti. Dalam
kaitannya dengan pengambilan keputusan, tingkat kepastian dan
ketidakpastian pengambilan keputusan biasanya dinyatakan dalam bentuk
risiko. Artinya, dalam batas-batas tertentu pengambilan keputusan selalu
berbadapan dengan risiko mulai dari risiko paling kecil - tidak ada risiko
sama sekali yang berarti semuanya serba pasti sampai kepada risiko paling
tinggi - dibadapkan pada sesuatu yang semuanya serba tidak pasti. Oleb
karena itu, untuk mengbasilkan keputusan yang terbaik, para manajer barus
bisa mengelola risiko tersebut dengan cara mendapatkan informasi relevan
untuk pengambilan keputusan.
Apakab sebuab basil pengambilan keputusan mengandung risiko atau
tidak sangat bergantung pada tingkat probabilitas untuk mendapatkan basil
keputusan. Jika probabilitas basilnya kecil berarti keputusan tersebut
mengandung risiko yang tinggi, sebaliknya jika probabilitasnya besar berarti
risikonya kecil. Mengingat babwa basil keputusan yang tidak pasti sangat
tidak dikebendaki para manajer, mereka biasanya berupaya untuk
mengurangi ketidakpastian tersebut, caranya sekali lagi, dengan mengakses
informasi. Dewasa ini dengan semakin canggibnya teknologi informasi,
informasi sepertinya tersebar di depan mata tinggal bagaimana kita
memilibnya. Meski demikian, pengambilan keputusan pada situasi yang tidak
menentu tidak serta merta barus didasarkan pada informasi yang tersebar
pada teknologi informasi. Kadang-kadang para manajer membuat keputusan
berdasarkan pengalaman mas a lalu atau intuisi seperti yang telab dij elaskan
di muka.

3. Keputusan Dibuat Pimpinan Puncak vs. Manajer Bawah


Secara tradisional dan dalam banyak kasus, pengambilan keputusan
biasanya dibuat oleb para eksekutif level atas. Manajer level paling bawab
diminta mengumpulkan informasi yang dibutubkan, selanjutnya secara
bierarkis informasi tersebut disampaikan ke level di atasnya sebagai dasar
pengambilan keputusan yang dilakukan oleb manajer puncak. Cara
pengambilan keputusan seperti ini disebut sebagai top-down decision making.
Dengan cara ini, kekuasan ada di tangan para eksekutif puncak, sedangkan
manajer level bawab meski katakanlab memiliki informasi lengkap tidak
5.72 PERILAKU ORGANISASI e

memiliki kesempatan untuk membuat keputusan. Cara pengambilan


keputusan seperti ini biasanya terjadi pada organisasi yang sangat birokratis.
Meski cara ini telah berlangsung bertahun-tahun dan seolah-olah merupakan
cara terbaik dipandang dari kepentingan organisasi secara keseluruhan,
namun dalam banyak kasus khususnya dalam lingkungan bisnis yang sangat
kompleks cara ini dianggap kedaluwarsa. Dewasa ini mulai berkembang cara
pengambilan keputusan, sebaliknya manajer bawah diberi kesempatan untuk
membuat keputusan yang menyangkut kegiatan mereka tanpa harus
menunggu persetujuan atasan, cara ini disebut empowered decision making.
Alasan logis mengapa bawahan diberi kesempatan membuat keputusan
adalah mereka (bawahan) adalah pihak yang paling tahu apa yang terbaik
bagi mereka. Oleh karena itu, keputusan dibuat oleh orang lain boleh jadi
hasilnya malah sangat buruk. Di samping itu, keputusan yang dibuat sendiri
oleh mereka membuat mereka bisa menerima konsekuensi yang ditimbulkan
dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka putuskan. Jika keputusan-
nya baik maka mereka akan semakin antusias dalam bekerja. Jika tidak,
mereka bisa belajar untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang.
Intinya adalah keputusan yang dibuat bawahan akan menciptakan komitmen
di antara mereka untuk menjalankan apa yang telah mereka putuskan.
• • •
Komitmen ini sangat penting untuk menJ aga agar organ1sas1 secara
menyeluruh berfungsi dengan baik.

4. Pengambilan Keputusan dalam Kelompok


Meski pengambilan keputusan bisa dilakukan pada level individual,
kelompok maupun organisasi, sesuai dengan tema pokok Kegiatan Belajar 3
bahasan akan difokuskan pada level kelompok. Hal ini bukan berarti bahasan
tentang pengambilan keputusan pada levellainnya tidak penting. Fokus pada
level kelompok lebih dimaksudkan agar Anda lebih familier dengan model
keputusan ini mengingat masyarakat Indonesia yang cenderung kolektif di
mana pengambilan keputusan pada umumnya dilakukan secara musyawarah.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pengambilan
keputusan kelompok, tampaknya tidak bisa dihindarkan untuk tidak
menyinggung pengambilan keputusan individual. Tujuannya paling tidak,
untuk melihat kelebihan dan kekurangan pengambilan keputusan kelompok.
Dewas a ini, sej alan dengan demokratisasi kehidupan organisasi,
kelompok yang dalam hal ini diterjemahkan lebih luwes, yakni bisa berupa
komite, satuan tugas atau tim, memegang peran kunci dalam proses
e EKMA41 58/MODUL 5 5.73

pengambilan keputusan. Asumsi yang melandasi perlunya keterlibatan


kelompok dalam pengambilan keputusan adalab "dua kepala atau lebib akan
lebih baik dari banya satu kepala". Asumsi ini menegaskan babwa semakin
banyak orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan basil keputusan
akan semakin baik. Pertanyaannya adalab apakab pemyataan ini sepenubnya
benar? Belum tentu. Namun, barus diakui babwa pengambilan keputusan
berbasis kelompok dalam batas-batas tertentu lebib baik dibandingkan
pengambilan keputusan individual. Beberapa kelebiban dan kelemaban
pengambilan keputusan berbasis kelompok adalab sebagai berikut.

a. Kelebihan pengambilan keputusan berbasis kelompok


1) Lebib banyak informasi
Seperti kita ketabui, peran informasi dalam pengambilan keputusan
menjadi sangat penting terutama untuk mengurangi risiko ketidak-
pastian. Dengan semakin banyak orang yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan berarti semakin banyak pula mereka membawa
informasi baru yang bisa membantu mengidentifikasi masalab lebib
akurat dan menyelesaikan persoalan lebib baik ketimbang keputusan
yang banya diambil oleb seseorang.
2) Perspektif dalam pengambilan keputusan semakin luas
Orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan pada umumnya
akan membawa serta pengalaman mereka. Hal ini tentu membantu
kelompok untuk melibat persoalan bukan banya dari satu sudut pandang
saja. Berbagai perspektif baru, dengan demikian bisa dikembangkan
sejalan dengan pengalaman mereka.
3) Lebib komprebensif
Para anggota kelompok yang membawa serta pengalaman masing-
masing dan mau berbagi dalam mendiskusikan alternatif tindakan untuk
menyelesaikan masalab biasanya bisa lebib mengerti mengapa keputusan
akhir dibuat demikian.
4) Meningkatkan tingkat akseptasi keputusan
Anggota-anggota kelompok yang terlibat aktif dalam proses pembuatan
keputusan dan ikut memutuskan basil akhir dari sebuab keputusan
biasanya akan mengakui babwa keputusan tersebut adalab mereka yang
membuat bukan pihak lain.
5.74 PERILAKU ORGANISASI e

5) Sebagai tempat berlatih


Mereka-mereka yang belum berpengalaman pun akan memperoleh
manfaat karena keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan
kelompok. Paling tidak mereka bisa belajar bagaimana dinamika
kelompok berjalan dan bisa belajar pula cara mengatasi persoalan yang
dalam dinamika kelompok tersebut.

b. Kelemahan pengambilan keputusan kelompok


1) Menghabiskan banyak waktu
Proses pengambilan keputusan kelompok biasanya tidak sederhana
karena banyak hal yang harus didiskusikan. Akibatnya, untuk hal-hal
yang harus segera diputuskan, tampaknya tidak cocok untuk melibatkan
banyak orang dalam pengambilan keputusan karena menghabiskan
banyak waktu.
2) Tekanan untuk kompromi
Untuk menghindari proses diskusi berkepanjangan yang menghabiskan
waktu dan energi dan agar tidak sampai "menenggelamkan kapal
organisasi - rock the boat", tidak j arang anggota-anggota kelompok
yang semula tidak setuju dengan keputusan akhir biasanya dipaksa untuk
kompromi. Akibatnya, kualitas keputusan menjadi semakin rendah.
3) Dominasi sekelompok orang
Dalam sebuah pengambilan keputusan kelompok sering terjadi
keputusan hanya ditentukan oleh segelintir orang yang sangat vokal
dalam berbicara dan memaksakan kehendaknya sementara anggota
kelompok lain hanya diam karena memang tidak mempunyai inisiatif
atau karena kalah posisi. Akibatnya, kualitas keputusan menjadi semakin
rendah.
4) Politik balas jasa
Politik di dalam organisasi maupun kelompok sesungguhnya merupakan
sesuatu yang wajar. Dengan politik kegiatan organisasi maupun
kelompok bisa berjalan dibandingkan tanpa politik. Meski demikian,
politik sering membawa ekses, yaitu keputusan-keputusan yang rasional
sering kali justru tidak diterima karena ada kepentingan politik di
dalamnya, yakni demi melindungi kepentingan anggota kelompok
tertentu.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.75

5) Mengalihkan tujuan
Dalam sebuah perdebatan untuk menyelesaikan masalah, tidak jarang
mereka yang pandai bicara atau memiliki argumentasi yang seolah-olah
rasional merupakan pihak yang memenangkan perdebatan meski
argumentasi tersebut menyimpang dari tujuan semula. Akibatnya, tidak
jarang pula tugas utama untuk menyelesaikan masalah tidak lagi
dominan, yang ada masing-masing kelompok hanya berupaya
memenangkan perdebatan.
6) Groupthink
Kalau diterjemahkan, yang dimaksud dengan groupthink adalah
sekelompok orang yang mempunyai pikiran sama atau sederhananya
groupthink adalah pikiran kelompok. Cara berpikir seperti ini muncul
karena tingkat kohesivitas kelompok yang relatif tinggi. Akibatnya,
pikiran seseorang anggota kelompok seolah-olah mewakili pikiran
kelompok. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, groupthink
sering mengalahkan pengambilan keputusan yang baik yang didasarkan
pada fakta-fakta yang ada. Akibatnya, his a diduga jika kualitas
pengambilan keputusan tidak lebih baik.

Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan pengambilan


keputusan berbasis kelompok seperti tersebut di atas, dalam praktik manajer
seharusnya bisa memanfaatkan kelebihan tersebut untuk menutup
kekurangannya. Demikian juga manajer harus secara jeli bisa memutuskan
keputusan mana yang sebaiknya dilakukan secara kelompok dan mana yang
perlu dilakukan secara individual. Sekadar pedoman, berikut ini beberapa
pertimbangan yang bisa diambil seorang manajer untuk memutuskan apakah
kelompok perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
a. Jika tambahan informasi bisa meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan, seorang manajer sebaiknya melibatkan orang lain yang bisa
memberi tambahan informasi yang dibutuhkan.
b. Jika manajer berharap bahwa keputusan tersebut bisa diterima banyak
orang, dia seharusnya melibatkan orang lain yang akseptasi dan
komitmennya terhadap keputusan sangat penting bagi organisasi.
c. Jika orang lain bisa dikembangkan melalui partisipasi dalam
pengambilan keputusan, para manajer mungkin perlu melibatkan orang-
orang tersebut yang memang perlu dikembangkan.
5.76 PERILAKU ORGANISASI e

Meski ketiga pedoman di atas bisa dijadikan pertimbangan untuk


memutuskan perlu tidaknya melibatkan banyak orang dalam pengambilan
keputusan, pertimbangan lain yang jauh lebih penting adalah sejauh mana
kinerja kelompok lebih baik ketimbang kinerja individual. Secara umum, bisa
dikatakan bahwa kinerja kelompok memang betullebih baik. Demikian juga
penelitian-penelitian lain pada kelompok kecil juga membuktikan hal yang
sama. Lepas dari itu, paling tidak ada 5 isu yang perlu mendapat perhatian
ketika menggunakan kelompok untuk mengambil keputusan.
a. Efisiensi
Tidak bisa dipungkiri bahwa kelompok kurang efisien dibandingkan
individu terutama dilihat dari sisi waktu. Hal ini bisa diartikan bahwa
terbatasnya waktu harus menjadi pertimbangan manakala seorang
manajer hendak melibatkan kelompok dalam pengambilan keputusan.
b. Percaya diri
Kelompok biasanya lebih percaya diri dalam pembuatan keputusan
dibandingkan individu. Meski demikian kepercayaan diri yang
berlebihan sering kali justru menyebabkan munculnya groupthink dan
resistensi terhadap usulan-usulan baru yang datang dari seseorang di luar
kelompok.
c. Ukuran kelompok
Besaran kelompok juga harus menjadi pertimbangan karena berpengaruh
terhadap kualitas basil keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kualitas pengambilan keputusan berhubungan secara negatif dengan
besaran anggota kelompok.
d. Akurasi pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan akan semakin akurat apabila (1) kelompok
memahami secara detail isu-isu yang akan diputuskan; (2) pimpinan
kelompok memiliki kemampuan untuk mengevaluasi proses
pengambilan keputusan yang dilakukan kelompoknya.
e. Komposisi anggota kelompok
Komposisi anggota kelompok berpengaruh terhadap proses pengambilan
keputusan dan kinerja kelompok. Kelompok yang anggota-anggotanya
sudah saling mengenal sebelumnya dan mau berbagi informasi di antara
mereka akan menghasilkan keputusan yang lebih baik. Sementara
kelompok yang anggota-anggotanya belum saling mengenal, kinerja
akan lebih baik jika mereka memiliki pengetahuan yang sama.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.77

D. TEKNIK PENGAMBILAN KEPUTUSAN KELOMPOK

Seperti telab disebut di muka, basil akhir dari proses pengambilan


keputusan adalab dipilibnya altematif sebagai sebuab keputusan. Oleb karena
pengambilan keputusan tersebut melibatkan banyak orang, tidak jarang
keputusan ditentukan melalui voting atau konsensus. Voting - membuat
keputusan dengan suara terbanyak karena tidak ada kesepakatan, kadang-
kadang terpaksa dilakukan karena anggota-anggota kelompok tidak sepakat
terbadap keputusan akhir. Artinya, dalam pengambilan keputusan ada pibak
yang merasa menang dan ada pibak lain yang merasa kalab. Cara ini dengan
demikian, bisa memecab belab anggota kelompok dan oleb karena itu voting
sesunggubnya sangat tidak disarankan. Keputusan yang bisa diterima banyak
orang adalab keputusan yang dibuat berdasarkan konsensus atau kesepakatan.
Proses pengambilan keputusan akan mencapai konsensus apabila semua
anggota setuju dengan basil keputusan atau paling tidak, tidak ada piliban
lain karena sebagian anggota kelompok tidak berbasil meyakinkan anggota
kelompok lain babwa sesunggubnya masib ada alternatif yang bisa diambil.
Penjelasan ini secara tidak langsung mengatakan babwa konsensus bukan
berarti semua anggota setuju dengan basil akhir. Konsensus bisa berarti ada
sebagai anggota yang tidak setuju, tetapi tidak menolak dengan keputusan
akhir. Dengan kata lain, ada sebagian anggota tidak setuju, konsensus tidak
memecah belah anggota kelompok karena dengan konsensus semua anggota
mendukung basil keputusan.
Untuk mencapai konsensus, beberapa teknik pengambilan keputusan
kelompok bisa digunakan, di antaranya interaktif, brainsorming, normative
group technique, dan delphi technique.

1. Interaktif
Bentuk paling umum dalam pengambilan keputusan kelompok adalab
dengan berinteraksi langsung antaranggota kelompok. Para anggota
kelompok saling berdialog untuk memecahkan persoalan dan akhirnya
mengambil keputusan. Meski cara ini bisa menciptakan kobesivitas dan
komitmen anggota kelompok, serta dalam batas-batas tertentu meningkatkan
komitmen mereka, pengambilan keputusan secara interaktif juga memiliki
beberapa keterbatasan. Misalnya, tekanan untuk berkompromi biasanya
sangat tinggi. Di samping itu, jumlab dan kualitas ide, dan orientasi mereka
untuk menyelesaikan tugas biasanya rendab.
5.78 PERILAKU ORGANISASI e

2. Brainstorming
Secara sederhana brainstorming bisa disebut sebagai mimbar bebas bagi
masing-masing anggota kelompok untuk menyampaikan ide dan pendapatnya
berkaitan dengan persoalan yang sedang mereka hadapi. Brainstorming
dianggap efektif karena setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan
untuk menyampaikan ide-idenya atau gagasan lain tanpa perlu merasa
khawatir akan diintervensi dan dikritik oleh anggota kelompok lainnya.
Dengan ide-ide tersebut berarti semakin banyak alternatif pilihan dan
semakin luas sudut pandang untuk memecahkan persoalan. Beberapa aturan
yang perlu diperhatikan dalam penggunaan teknik ini adalah sebagai berikut.
a. Lebih mementingkan jumlah ide ketimbang kualitas ide
Manajer sebaiknya mendorong anggota kelompok menyampaikan ide-
idenya sebanyak mungkin. Dengan dorongan ini, diharapkan anggota
kelompok bisa menyampaikan ide-idenya yang tidak biasa.
b. Kebebasan, bukan pembatasan, berpendapat harus ditingkatkan
Anggota-anggota kelompok disarankan untuk mengemukakan ide-idenya
yang mereka miliki. Semakin banyak ide semakin baik.
c. Jangan mengkritik penyampai ide
Sebaiknya, jangan terburu-buru mengkritik atau mencela anggota
kelompok yang menyampaikan ide-idenya. Sebaiknya, kalimat berikut
tidak digunakan ketika seseorang menyampaikan idenya. "Bos tidak
akan senang dengan ide terse but", Wah cara itu tidak bisa diterapkan"
atau "idemu terlalu mahal untuk diterapkan".
d. Lupakan senioritas
Dalam menyampaikan ide-idenya, anggota kelompok sebaiknya tidak
menyampaikan ide tersebut hanya untuk menyenangkan bosnya atau ada
tujuan terselubung dibalik ide tersebut. Fasilitator yang memandu sesi
brainstorming sebaiknya menekankan dan sejak awal mengingatkan
semua anggota kelompok bahwa dalam sesi tersebut tidak ada istilah
senior dan yunior.

3. Nominal Group Technique (NGT)


Maksud dari NGT adalah proses pengambilan keputusan kelompok di
mana anggota-anggota kelompok bertemu secara fisik (face to face) seperti
halnya pada metode interaktif, tetapi mereka tidak berinteraksi secara
langsung. Masing-masing anggota kelompok menyampaikan idenya secara
tertulis. Oleh karena itu, pada saat penyampaian ide tidak ada anggota lain
e EKMA41 58/MODUL 5 5.79

yang mengkritiknya. Selanjutnya, semua ide tersebut dikumpulkan untuk


didiskusikan bersama. Pada saat diskusi inilah masing-masing penggagas ide
diminta untuk mengklarifikasi ide-idenya dan jika dianggap perlu
mempertahankan ide tersebut manakala ada anggota lain yang tidak setuju
atau mengkritiknya. Dari hasil diskusi ini masing-masing ide diberi bobot
dan selanjutnya dibuat ranking mulai dari ide yang mendapatkan dukungan
paling banyak sampai ide yang kurang mendapat dukungan. Berdasarkan
ranking tersebut ide yang paling banyak mendapat dukungan dijadikan acuan
untuk menyelesaikan masalah, demikian selanjutnya ide yang menempati
ranking kedua dan ketiga menjadi alternatif penyelesaian masalah. Metode
NGT dianggap efektif karena bisa mengatasi hambatan dalam proses
pengambilan keputusan kelompok, di antaranya (a) NGT memisahkan
brainstorming yang sangat liberal dari model evaluasi yang agak kaku,
(b) NGT secara berimbang mendorong setiap anggota kelompok untuk
berpartisipasi, dan (c) NGT menggunakan matematika pada saat melakukan
voting dan dengan voting ini diharapkan bisa dicapai konsensus dalam
pengambilan keputusan kelompok.

4. Delphi Technique
Delphi technique adalah metode pengambilan keputusan kelompok di
mana masing-masing anggota kelompok, bertindak secara individual, dan
independen, secara sistematik memberikan penilaian terhadap suatu masalah.
Bisa dikatakan Delphi Technique merupakan model pengambilan keputusan
kelompok yang sangat kompleks dan membutuhkan banyak waktu. Pada
dasarnya Delphi Technique sama dengan NGT. Bedanya, apabila pada NGT
anggota-anggotanya bertemu muka secara langsung, Delphi Technique tidak.
Bahkan pada Delphi anggota-anggota kelompok yang akan mengambil
keputusan tidak diperbolehkan saling bertemu muka. Mereka dianggap
sebagai seorang ekspertis yang mempunyai banyak pengetahuan untuk
menyelesaikan masalah. Tahapan dalam Delphi adalah sebagai berikut.
a. Setelah masalah bisa diidentifikasikan para anggota kelompok, melalui
daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, diminta untuk
memberikan solusi.
b. masing-masing anggota secara tertutup dan mandiri mengisi jawaban
atas daftar pertanyaan yang diajukan kepadanya.
c. Hasil jawaban dari kuesioner tahap pertama dikumpulkan di tempat
pengumpulanjawaban untuk ditulis ulang dan direproduksi.
5.80 PERILAKU ORGANISASI e

d. Masing-masing anggota menerima salinan basil reproduksi tersebut.


e. Setelab menelaab basil yang dibuat oleb semua anggota, masing-masing
anggota kembali diminta untuk menyelesaikan masalab tersebut.
Berdasarkan basil telaab tabap pertama dibarapkan masing-masing
anggota mempunyai pandangan baru dan bukan tidak mungkin
pandangan baru tersebut berbeda sama sekali dengan penyelesaian tabap
pertama.
f. Tabap keempat dan kelima diulang-ulang sesering mungkin sesuai
kebutuban sampai dicapai konsensus.

Ringkasan dari keempat teknik pengambilan keputusan kelompok


masing-masing dengan kelebiban dan kekurangannya dapat dilibat pada
Tabel5.5 berikut ini.

Tabel 5.5.
Tingkat Efektivitas Pengambilan Keputusan Kelompok

Tipe Kelompok
Kriteria Efektivitas
lnteraktif Brainstormin ' Nominal Delphi
a. Jumlah ide Rendah Moderat Tinggi Tinggi
b. Kual itas ide Rendah Moderat Tinggi Tinggi
c. Tekanan terhadap Tinggi Rendah Mode rat Rendah
anggota kelompok
d. Besaran biaya Moderat Rendah Rendah Tinggi
e. Orientasi terhadap Rendah Tinggi Tinggi Tinggi
tug as
f. Potensi konflik Tinggi Rendah Moderat Rendah
interpersonal
g. Anggapan Tinggi-rendah Tinggi Tinggi Mode rat
terhadap hasil
h. Komitmen Tinggi - Moderat Rendah

I. Kohesivitas Tinggi Tinggi Moderat Rendah
kelompok
e EKMA41 58/MODUL 5 5.81

~'.. ~
I'
.=;-
•- -··,J
~
.
~
LATI HAN
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

- - - - "--i -

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jelaskan secara ringkas proses pengambilan keputusan! Apakah setiap
keputusan harus melalui proses demikian?
2) Jelaskan prasyarat agar keputusan kelompok lebih efektif!
3) Secara umum, sebutkan teknik-teknik pengambilan keputusan
kelompok!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Secara umum, pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang


dilakukan seorang manajer ketika organisasi menghadapi masalah.
Maksud dari masalah di sini adalah segala sesuatu yang tidak sama
dengan harapan awal. Oleh karena itu, pengambilan keputusan biasanya
dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran dilanjutkan dengan
mengidentifikasikan masalah. Setelah itu, mencoba menginventarisasi
beberapa alternatif yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah dan
mengevaluasi alternatif tersebut sebelum akhirnya diambil alternatif
terbaik sebagai keputusan. Meski demikian, tidak semua proses
pengambilan keputusan harus mengikuti proses di atas karena bias saja
seorang manajer harus mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan
alternatif yang ada karena sifat keputusan tersebut sebuah keharusan.
Sebagai contoh, ketika peraturan pemerintah berubah dan setiap
organisasi harus mengikuti aturan yang barn mau tidak mau seorang
manajer harus mengadopsi aturan baru tersebut tanpa adanya altematif
lain yang bisa dipertimbangkan.
2) Agar keputusan kelompok lebih efektif, ada beberapa faktor perlu
mendapat perhatian, di antaranya (a) pertimbangan waktu mengingat
pengambilan keputusan kelompok biasanya memerlukan waktu yang
lama, (b) tingkat kepercayaan diri anggota kelompok yang bias
menimbulkan groupthink, (c) ukuran kelompok, (d) akurasi pengambilan
keputusan, dan (5) komposisi anggota kelompok.
3) Secara umum, ada empat macam teknik pengambilan keputusan
kelompok, yaitu interaktif, brainstorming, nominal, group technique,
5.82 PERILAKU ORGANISASI e

dan Delphi technique. Keempat teknik tersebut masing-masing memiliki


kelebihan dan kekurangan sendiri. Sebagai contoh, pada teknik interaktif
potensi konflik antaranggota kelompok sangat tinggi dibandingkan
teknik nominal group dan Delphi. Demikian juga Delphi sangat baik
dalam hal independensi anggota, namun komitmen anggota kelompok
relatif sangat rendah.

RANGKUMAN- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Kegiatan Belajar 3 secara spesifik membahas pengambilan


keputusan kelompok. Hal-hal penting yang dibahas pada Kegiatan
Belajar 3 adalah pengertian pengambilan keputusan termasuk prosesnya;
model pengambilan keputusan; dinamika pengambilan keputusan;
pengambilan keputusan kelompok; dan teknik pengambilan keputusan
kelompok. Ringkasan dari topik tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pengambilan keputusan adalah proses mengidentifikasi masalah dan
memilih berbagai altematif tindakan untuk mendapatkan solusi
terbaik bagi kepentingan organisasi secara keseluruhan. Berdasarkan
pengertian ini proses pengambilan keputusan biasanya melalui
beberapa tahapan mulai dari menetapkan tujuan dan sasaran;
mengidentifikasikan masalah; mengembangkan alternatif solusi;
mengevaluasi dan memilih satu alternatif; mengimplementasikan
keputusan; serta mengevaluasi dan mengawasi implementasi
keputusan.
2. Model pengambilan keputusan bisa dibedakan menjadi dua, yaitu
model pengambilan keputusan rasional dan alternatif.
3. Keputusan yang dilakukan manajer dapat dilihat masalah, risiko,
dan subjek pembuat keputusan. Dilihat dari masalah yang biasa
dihadapi para manajer, keputusan dibendakan menjadi dua
keputusan terprogram dan tidak terprogram; dilihat dari risiko
keputusan dibedakan menjadi keputusan dengan kepastian serta
keputusan tidak menentu dan dilihat dari siapa yang membuat
keputusan, keputusan dibuat oleh pimpinan puncak dan pimpinan
bawah.
4. Pada dasarnya keputusan bisa dibuat secara individual, kelompok
dan organisasi. Keputusan kelompok adalah pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kelebihan pengambilan
keputusan berbasis kelompok adalah lebih banyak memperoleh
informasi, perspektif dalam pengambilan keputusan semakin luas,
lebih komprehensif, meningkatkan tingkat akseptasi keputusan, serta
e EKMA41 58/MODUL 5 5.83

sebagai tempat berlatih. Kelemahan pengambilan keputusan


kelompok adalah menghabiskan banyak waktu, tekanan untuk
kompromi, dominasi sekelompok orang, adanya politik balas jasa,
mengalihkan tujuan dan Groupthink.
5. Teknik pengambilan keputusan kelompok dapat dibedakan menjadi
4 macam teknik berbeda, yaitu model interaktif, brainstorming,
nominal, group technique, dan Delphi technique.

TES FDRMATIF 3- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Keputusan tidak terprogram tercermin dari pemyataan berikut ini ....


A. keputusan strategik adalah salah satu wujud dari keputusan
terprogram
B. keputusan tidak terprogram sebaiknya dilakukan manajer tingkat
atas sendirian karena sifatnya yang sulit
C. keputusan tidak terprogram sebaiknya dilakukan oleh beberapa
orang manajer tingkat atas karena sifatnya yang khas
D. frekuensi terjadinya keputusan tidak terprogram sangat tinggi
sehingga tidak perlu melibatkan ban yak orang

2) Pernyataan yang salah berkaitan dengan pengambilan keputusan


adalah ....
A. keputusan bisa dilakukan terlepas tersedia tidaknya informasi untuk
membuat keputusan
B. keputusan bisa dibuat meski hanya ada satu alternatif solusi
C. semakin banyak informasi yang tersedia semakin sulit keputusan
dibuat
D. keputusan bisa dibuat tidak peduli apakah keputusan tersebut
rasional atau tidak

3) Salah satu kelemahan dari pengambilan keputusan kelompok adalah ....


A. hanya sebagian kecil anggota kelompok yang terlibat aktif dalam
proses pengambilan keputusan
B. banyaknya informasi yang tersedia sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan
C. anggota kelompok bisa berlatih untuk membuat keputusan
D. anggota kelompok pada umumnya membawa serta pengalaman
• •
mas1ng-mastng
5.84 PERILAKU ORGANISASI e

4) Berikut ini yang bukan karakteristik teknik pengambilan keputusan


dengan brainstorming adalah ....
A. lebih mementingkan kualitas ide daripada kuantitas ide
B. kebebasan setiap anggota kelompok untuk menyampaikan ide
C. setiap anggota kelompok bisa mengkritik usulan anggota kelompok
lain
D. senioritas penyampai ide tidak terlalu penting

5) Teknik pengambilan keputusan dengan NGT memiliki kesamaan dengan


Delphi dalam hal ....
A. keduanya membutuhkan biaya yang tinggi
B. keduanya berpotensi menimbulkan konflik yang sangat tinggi
C. kohesivitas keduanya sangat tinggi
D. keduanya bisa melakukan keputusan secara individual dan
independen

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah j a waban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.85

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2 Tes Formatif 3


1) A 1) D 1) c
2) c 2) c 2) c
3) B 3) A 3) A
4) c 4) A 4) A
5) A 5) B 5) D
5.86 PERILAKU ORGANISASI e

Daftar Pustaka

Achmad Sobirin. (1997). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM


YKPN. Hal. 214.

Anonymous. (1995). A Team's-Eye View of Team. Training. Hal. 16.

Bass, B. M. (1983). Organizational Decision Making. Richard D. Irwin, Inc.:


Homewood Hill. Hal. 27-28.

D. Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of


Individual and Organizational Performance. Boston: Allyn and Bacon.
Hal. 385.

Daniel C. Friedman. (1984). The Development and Enforcement of Group


Norms. Academy of Management Review. Vol. 9. Hal. 47-53.

Douglas McGregor. (1960). The Human Side of Enterprise. New York:


McGraw Hill. Hal. 232-235.

Gersick, C.J.G. (1988). Time and Transition in Work Teams: Toward a New
Model of Group Development. Academy of management Journal. 31, 1.
Hal. 9-41.

Greenberg and Baron. ( ). Behavior in Organization. Prentice Hall.


Hal. 293.

Hofstede. ( ). Cultures and Organizations: Software of Mind. New York:


McGraw Hill. Hal. 5.

Holloman, C. R. (1992). Using Both Head and Heart in Managerial Decision


Making. Industrial Management. pp. 7-11.

Jeffrey Pfeffer. (1992). Managing with Power: Politics and Influence in


Organizations. Boston Mass.: Harvard Business Press. Hal. 18-19.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.87

Kazenbach, J.R. and D.K. Smith. (2005). The Discipline of Teams. Harvard
Business Review. July-August. Hal. 162-70.

Kreitner and Kinicki. (2004). Organizational Behavior. 6th edition. Boston:


McGraw Hill. Hal. 410.

0. Beling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Sciene of


Organization. Academy of Management Review. 3,2. Hal. 193-201.

S. Carder and 1. Gunter. (2001). Can You Hear Me? Corporate American's
Communication with Dissatified Customers. Journal of American
Culture. Hal. 109-112.

Simon, H.A. (1987). Making Management Decisions: the Role of Intuition


and Emotion. Academy of Management Executive. pp. 57-64.

Susan A. Mohrman. (1993). Integrating Roles and Structure in the Lateral


Organization. Sebagaimana dikutip oleh Greenberg and Baron. Hal. 295.

Tuckman, B.W and M.A.C. Jensen. (1977). Stage of Small-Group


Development Revisited. Group & Organization Studies. December,
Vol. 2, No.4. Hal. 419-427.

Yarborough, M.H. (1993). A Team Approach. HR Focus. August. Hal. 17.


MDDUL 6

Hubungan Antarmanusia dalam


Organisasi: Komunikasi, Konflik, dan
Negosiasi
Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

raian-uraian pada bab sebelumnya menegaskan bahwa tanpa kehadiran


manusia mustahil organisasi bisa eksis. Manusia dengan demikian
merupakan pemain kunci (key player) yang menjadikan organisasi bisa
1
menjalankan aktivitas-aktivitasnya dalam rangka mencapai tujuan • Segala
bentuk perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian, serta
semua proses organisasi lainnya- tidak ada pihak lain yang menjalankannya
kecuali manusia sebagai pelakunya. Kalaulah teknologi ikut berperan dalam
proses tersebut tetap saja manusia bertindak sebagai inisiator dan pengendali
utama. Teknologi hanya sekadar alat bantu untuk memperlancar proses
organisasi. Sudah barang tentu manusia tidak sendirian ketika menjalankan
semua aktivitas tersebut. Paling tidak ia ditemani orang lain sebagai mitra
kerja. Konsekuensi logis dari kehadiran orang lain dalam organisasi, tidak
terelakkan mereka saling berinteraksi. Bahkan interaksi akan semakin intens
dan semakin kompleks ketika jumlah orang yang terlibat dalam aktivitas
organisasi semakin banyak. Interaksi antarmanusia ini pula yang menjadikan
2
organisasi memiliki kehidupan - layaknya makhluk hidup dan semakin
dinamis.
Pada saat seseorang melakukan interaksi, sesungguhnya secara
bersamaan ada hal lain yang secara implisit juga dilakukannya, yaitu
berkomunikasi. Bisa dikatakan, interaksi dan komunikasi bagaikan dua sisi

1
Untuk penjelasan lebih lengkap silakan Anda buka kembali modul satu khususnya
penjelasan tentang keterkaitan manusia, organisasi, dan manajemen.
2
Untuk penjelasan mengenai metafora organisasi sebagai makhluk hidup, lihat
misalnya Gareth Morgan dalam bukunya Images of Organization.
6.2 PERILAKU ORGANISASI e

dari satu mata uang. Setiap kali berinteraksi sudah pasti selalu disertai dengan
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Demikian sebaliknya
ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara otomatis akan
terjadi interaksi baik langsung maupun tidak langsung. Dengan kalimat
sebaliknya bisa dikatakan bahwa pada saat terjadi kemandekan komunikasi
pada saat itulah interaksi terhenti. Bahkan kalau kemandekan komunikasi
tersebut lantas menyebabkan masing-masing pihak merasa terganggu, tidak
puas dan dirugikan bukan tidak mungkin muncul persoalan lebih lanjut,
yakni timbul konflik di antara mereka baik konflik tersembunyi (latent
conflict) maupun konflik terbuka (overt conflict). Secara berturut-turut tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa komunikasi merupakan salah satu penyebab
tidak tercapainya tujuan organisasi.
Secara tidak langsung, penjelasan ini merupakan dukungan terhadap
mereka yang mengklaim bahwa komunikasi merupakan prasyarat bagi
3
organisasi untuk mencapai tujuannya . Sederhananya, klaim ini mengatakan
bahwa keberhasilan organisasi sangat tergantung dari kualitas
4
komunikasinya. Hal senada juga ditegaskan Mangaliso . Dengan bahasa
berbeda Mangaliso mengatakan bahwa komunikasi memegang peran penting
dalam menciptakan efektivitas fungsi managerial dan efektivitas organisasi.
Sebaliknya, buruknya kualitas komunikasi bukan hanya menjadi penyebab
gagalnya organisasi mencapai tujuannya, tetapi juga menjadi akar dari
permasalahan lain yang lebih luas mulai dari hal-hal kecil, seperti
pertengkaran antara dua orang yang semula saling mengasihi sampai ke hal-
hal yang besar seperti perang antarnegara. W alhasil, bagi seorang manajer
pengetahuan dan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif merupakan
prasyarat bagi dirinya untuk bisa mengelola organisasi secara efektif. Dewasa
ini pengetahuan tersebut menjadi semakin penting karena dengan semakin
canggihnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sifat komunikasi
menjadi semakin kompleks.
Di atas telah dikatakan bahwa miskomunikasi bisa menyebabkan
konflik. Namun, harus disadari bahwa miskomunikasi hanyalah salah satu
penyebabnya. Masih banyak penyebab lain yang harus dipahami oleh seorang
manajer. Seperti halnya komunikasi, setiap interaksi yang dilakukan dua

3
A. Merrryman. (1996). The Link to Business Objectives. HR focus. Hal. 13.
4
M. P. Mangaliso. (1995). The Strategic Usefulness of Management Information as
Perceived by Middle Manager. Journal of Management. 12/2, hal. 231-250.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.3

belah pihak sangat potensial menimbulkan konflik. Artinya, konflik


merupakan fenomena organisasi yang tidak bisa dihindari. Konflik selalu
hadir bersamaan dengan eksistensi organisasi. Meski demikian, kehadiran
konflik dalam kehidupan organisasi sering dianggap sebagai berita buruk
sebab selama ini ada konotasi bahwa konflik selalu berdampak buruk bagi
organisasi. Dalam kenyataannya tidak selalu demikian karena dalam batas-
batas tertentu konflik juga bisa berdampak positif bagi organisasi. Konflik
terkadang juga menggairahkan dan bisa menciptakan kompetisi yang sehat
dan menciptakan inovasi baru. Hanya saja seorang manajer harus tetap
waspada karena perbedaan antara konflik yang tidak sehat dan konflik yang
sehat sangat tipis. ltulah sebabnya konflik harus selalu dikelola.
Menyadari bahwa interaksi antarindividu di dalam organisasi bisa
menimbulkan dua hal yang sangat krusial bagi proses organisasi dan
pencapaian tujuan organisasi maka modul ini hendak mendiskusikan
keduanya dengan harapan setelah mempelajari modul ini mahasiswa bisa
memahami konsep komunikasi dan konflik, selanjutnya bisa menganalisis
efektivitas komunikasi dan cara penanganan konflik yang efektif. Di samping
itu, komunikasi dan manajemen konflik mensyaratkan seseorang memiliki
skill agar bisa mempraktikkannya dalam kehidupan riil maka dengan
memahami kedua konsep tersebut Anda juga diharapkan mampu mengambil
pelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam nerkomunikasi dan
mengelola konflik.
6.4 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Komunikasi

A. DEFINISI KOMUNIKASI

Kata komunikasi secara harfiah berasal dari bahasa Latin "communis"


5
yang berarti "common" atau kesamaan pemahaman . Arti kata ini menunjuk-
kan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain, pihak-pihak
yang terlibat dalam komunikasi berharap adanya saling pemahaman (common
understanding) di antara mereka terhadap pesan atau informasi yang
dikornunikasikan. Dari asal kata tersebut secara sederhana kornunikasi
kemudian didefinisikan sebagai pertukaran informasi antara pengirim dan
penerima informasi.
Pengertian-pengertian di atas memberi kesan seolah-olah komunikasi
hanya melibatkan dua orang. Orang pertama bertindak sebagai pengirim
pesan, baik pesan secara verbal maupun pesan tertulis, sedangkan orang
kedua adalah pihak yang menerima pesan. Kesan tersebut tidak sepenuhnya
keliru. Hanya saja dalam konteks kehidupan organisasi, komunikasi tidak
hanya terjadi antardua orang dan bukan hanya pesan yang bersifat verbal dan
tertulis saja yang dikomunikasikan. Komunikasi juga bisa melibatkan lebih
dari dua orang. Kampanye pilkada, misalnya merupakan bentuk komunikasi
massa yang melibatkan banyak orang. Sebaliknya, kadang-kadang ada kesan
kornunikasi seolah-olah dilakukan secara tunggal. Hal ini terjadi jika
komunikasi dilakukan dengan nonhuman, misalnya dengan buku, manual
atau mesin komputer. Sebagai contoh, seorang pilot pesawat terbang boleh
jadi melakukan komunikasi bukan hanya dengan copilot atau petugas menara
pengawas, tetapi juga dengan panel-panel instrumen pesawat terbang yang
berada di sekelilingnya. Jika salah satu panel misalnya mengirimkan sinyal
(pesan) bahwa salah satu mesin pesawat tidak berfungsi dengan baik, pesan
tersebut sesungguhnya ditujukan kepada Sang Pilot sebagai penerima pesan.
Pesan tersebut secara tidak langsung memberi perintah kepada Sang Pilot
agar segera melakukan tindakan, yaitu memperbaiki mesin yang rusak atau
segera kembali ke landasan karena penerbangan tidak aman. Situasi yang
kurang lebih sama juga terjadi pada gedung-gedung pencakar langit yang

5
Lihat Cherrington.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.5

memiliki smoke detector (alat pendeteksi asap). Smoke detector akan


mengirimkan pesan jika di dalam gedung terjadi kebakaran atau ada kepulan
asap pertanda bahwa kemungkinan terjadi kebakaran. Para petugas keamanan
gedung atau petugas pemadam kebakaran (sebagai penerima pesan) akan
merespons pesan tersebut dengan cara melakukan tindakan pencegahan agar
kebakaran bisa dilokalisir sehingga tidak menimbulkan kerugian lebih lanjut.
Kedua contoh terakhir memberi gambaran bahwa komunikasi di dalam
organisasi bukan hanya melibatkan dua orang yang saling mengirim dan
menerima pesan, tetapi juga melibatkan teknologi. Keterlibatan teknologi di
dalam komunikasi menyebabkan proses komunikasi terkadang menjadi
semakin kompleks karena komunikasi terjadi secara tidak langsung. Meski
demikian bukan tidak mungkin dengan bantuan teknologi komunikasi juga
bisa lebih efisien. Dewasa ini, misalnya alat komunikasi nirkabel (hand
phone) yang berteknologi digital memungkinkan seseorang mengirimkan
pesan singkat (SMS) yang berbiaya murah, cepat, dan efektif. Dengan
bantuan teknologi tersebut pihak-pihak yang berkomunikasi tidak harus
bertatap muka seperti terjadi pada era sebelumnya. Selain melibatkan
teknologi, pesan yang dikomunikasikan juga kadang-kadang tidak bersifat
verbal atau tertulis melainkan bersifat nonverbal yang menggunakan simbol-
simbol tertentu. Sebagai contoh, jika Anda pernah pergi ke restoran cepat saji
- katakanlah restoran McDonald dan katakan pula Anda akan memesan
makanan tertentu, tetapi tidak tahu nama makanan tersebut. Anda tidak perlu
bingung dan malu karena di situ sudah terpampang beberapa gambar menu
makanan sehingga Anda tinggal menunjuk salah satunya. Gambar-gambar
tersebut merupakan simbol yang merepresentasikan menu makanan sehingga
jika Anda memesan "Pahe 5" maka si Pelayan sudah tabu apa yang Anda
pes an.
Terlepas dari bagaimana cara yang digunakan dan bentuk pesan yang
ingin disampaikan, komunikasi memegang peran penting dalam kehidupan
organisasi. Komunikasi menjadi prasyarat keberhasilan organisasi.
Komunikasi juga sering disebut sebagai darahnya organisasi. Semua fungsi
manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian tidak akan membantu organisasi mencapai tujuannya jika
semua fungsi tersebut tidak dikomunikasikan dengan baik kepada pihak-
pihak yang terlibat dalam kegiatan organisasi. Bisa dikatakan komunikasi
merupakan perekat antara satu orang dengan orang lain, antara satu bagian
dengan bagian lain, dan antara sebuah organisasi dengan konstituennya.
6.6 PERILAKU ORGANISASI e

Tanpa komunikasi bisa jadi proses organisasi akan berhenti bekerja dan
dengan demikian tujuan didirikannya organisasi tidak pernah tercapai. Peran
penting komunikasi, misalnya dapat dilihat dari alokasi waktu yang
digunakan para manajer dalam berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seorang supervisor mengalokasikan waktunya sebanyak 20-50%
untuk berkomunikasi secara verbal. Jumlah ini akan semakin meningkat jika
komunikasi tertulis masuk di dalamnya. Demikian juga semakin tinggi posisi
seseorang di dalam organisasi semakin banyak pula waktu yang harus
dialokasikan untuk berkomunikasi.
Dalam kehidupan organisasi, proses komunikasi dapat dianalisis melalui
3 level berbeda, yaitu komunikasi antarindividu (interpersonal
communication), komunikasi di dalam kelompok (communication in groups),
dan komunikasi organisasi (organizational communication). Mengingat
masing-masing level memiliki permasalahan tersendiri dan melibatkan
mekanisme berbeda maka seorang manajer perlu memahami masing-masing
karakteristik proses komunikasi tersebut. Sederhananya, proses komunikasi
organisasi bukan sekadar penjumlahan dari beberapa interpersonal
commucation. Karakteristik dari ketiga level komunikasi tersebut akan
dij elaskan secara lengkap pada bagian berikut.

B. PROSES KOMUNIKASI

Komunikasi adalah sebuah proses yang melibatkan dua belah pihak.


Salah satu model yang secara tradisional digunakan untuk menggambarkan
berlangsungnya proses tersebut disebut conduit model. Sesuai dengan
namanya - conduit yang berarti pipa, model komunikasi ini menggambarkan
suatu proses komunikasi yang dilakukan dua pelaku komunikasi seolah-olah
menggunakan pipa sebagai sarananya. Model komunikasi ini berasumsi
bahwa informasi yang dikirim pihak pertama bisa diterima pihak kedua
secara utuh tanpa ada kekhawatiran akan terjadi distorsi. Alasannya karena
saluran komunikasi yang digunakan tidak memberi hambatan apa pun dan
informasi yang dikirim bersifat netral tidak mengandung makna yang
membutuhkan persepsi dan interpretasi. Jika asumsi ini benar maka dalam
proses komunikasi tidak akan terjadi miskomunikasi dan tidak akan terjadi
pula salah paham di antara kedua orang yang melakukan komunikasi.
Sayangnya, dalam kenyataan asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar
karena setiap informasi yang ingin disampaikan kepada pihak lain di
e EKMA41 58/MODUL 6 6.7

dalamnya terdapat unsur makna yang melekat pada informasi tersebut.


Dengan kata lain, pada saat seseorang mengirim informasi kepada pihak
kedua sesungguhnya yang dikirimkan bukan sekadar informasi belaka, tetapi
termasuk di dalamnya makna yang terkandung dalam informasi tersebut
sehingga bisa dikatakan bahwa informasi sesungguhnya tidak bersifat netral.
Oleh karena itu, bisa jadi informasinya sama, tetapi pemanfaatnya berbeda.
Sebagai contoh, apabila seseorang mengatakan sesuatu kepada orang lain
dengan kalimat berikut: "silakan jika Anda ingin mencobanya". Kalimat
tersebut akan memiliki makna berbeda tergantung bagaimana kalimat
tersebut disampaikan. Jika kalimat tersebut disampaikan dengan nada tinggi,
hal itu berarti Anda tidak dikehendaki untuk melakukannya (kalimat tersebut
justru bernada ancaman). Sebaliknya, apabila kalimat tersebut disampai
dengan nada datar, berarti Anda betul-betul diizinkan untuk melakukannya.
Contoh di atas memberi gambaran bahwa komunikasi sesungguhnya
sarat dengan makna dan oleh karenanya membutuhkan persepsi dan
interpretasi. Kenyataan ini menunjukkan pula bahwa informasi yang ingin
disampaikan seseorang belum tentu bisa sepenuhnya ditangkap oleh orang
lain sebagaimana yang diharapkan orang pertama. Penyebabnya karena pihak
yang menerima informasi akan terlebih dahulu mempersepsi, meng-
interpretasi, dan memaknai informasi sesuai dengan pemahaman dirinya.
Walhasil, dengan kenyataan ini miskomunikasi dan salah pengertian sangat
mungkin terjadi dalam proses komunikasi utamanya jika apa yang diinginkan
Si Pengirim informasi tidak sepenuhnya dipahami oleh Si Penerima
informasi. Berdasarkan alasan inilah maka dikembangkan sebuah model
komunikasi yang disebut "percetual model of communication - model
komunikasi berbasis persepsi". Model tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.1
berikut ini.
6.8 PERILAKU ORGANISASI e

PENGIRJM PENERlMA

Menerje
Dildrim melalui mahk.an
Mencip media pesan Mencipta
mkan dalam kan
pesan bentuk. malrna
symbol sy1nbon
(encode) (decode)
..-.......
...... ........
-·-
IV1en~...tjs........~~------ ~ ~lenyusun
··m~alifGm
....... ____... . ... --~ ............... ..
respon/
pesan Mencipta
umpan
--1 dalam kanpesam dalann . .,. .,. . _. .......
bentuk Dilcirim melalui
- media simbol
snmbol (encode)
(deoce)

Sumber: Keitner and Kinicki. (2004, 521).

Gambar 6.1.
Model Komunikasi Berbasis Persepsi

Secara umum, gambar di atas menjelaskan proses komunikasi yang


dilakukan oleh dua orang, yaitu pengirim dan penerima pesan/informasi
melalui sebuah media komunikasi. Berbeda dengan conduit model yang
beranggapan tidak terjadi gangguan dalam proses komunikasi, model
komunikasi berbasis persepsi beranggapan sebaliknya, yakni media
komunikasi potensial mengandung unsur gangguan. Demikian juga, model
komunikasi ini menganggap bahwa pengirim dan penerima pesan tidak hanya
mengirim dan menerima pesan, tetapi juga memproses pesan/informasi
menjadi makna. Artinya, yang dikirim pihak pertama ke pihak kedua atau
sebaliknya sesungguhnya adalah makna bukan sekadar pesan. Berdasarkan
penjelasan ini maka unsur-unsur penting dalam proses komunikasi adalah
sebagai berikut.

1. Pengirim pesan (sender)


Pengirim pesan adalah seseorang yang berusaha melakukan komunikasi
dengan pihak lain. Dalam konteks komunikasi di dalam kelompok atau
e EKMA41 58/MODUL 6 6.9

komunikasi organisasi maka pengirim pesan bukan hanya individu tetapi


juga kelompok dan organisasi. Demikian juga penerima pesan bisa juga
kelompok dan organisasi. Selain itu, dalam hal komunikasi berbasis
teknologi, pengirim pesan juga bisa nonhuman. Sebagai contoh, ketika
Anda mengendarai mobil tiba-tiba gambar pompa bensin menyala
kuning berarti Anda diinformasikan bahwa cadangan bahan bakar sudah
menipis dan harus segera diisi kembali. Pada saat Anda tidak sedang
berkomunikasi dengan orang lain melainkan dengan teknologi dan
teknologi inilah sebagai pengirim pesannya.
2. Menyusun ide/pikiran dalam bentuk simbol (encode)
Agar seseorang bisa berkomunikasi maka semua ide atau buah
pikirannya harus dituangkan dalam bentuk symbol atau code Bisa
dikatakan proses komunikasi dimulai saat pengirim pesan (sender)
menuangkan ide atau pikirannya dalam bentuk code atau symbol yang
diharapkan bisa dimengerti pihak lain. Simbol bisa berupa kata-kata,
angka, bahasa tubuh (gestures) atau simbol yang bersifat nonverbal
seperti gambar atau ekspresi wajah dan simbol-simbol lain yang bisa
dipahami pihak lain.
3. Pesan (message)
Hasil dari proses simbolisasi ide atau pikiran seseorang adalah sebuah
pesan. Berkaitan dengan hal ini, ada dua hal yang patut mendapat
perhatian. Pertama, pesan bukan sekadar kata-kata yang disampaikan
kepada pihak kedua untuk memenuhi kebutuhan mereka tetapi kadang-
kadang di dalamnya terkandung pula agenda tersembunyi (hidden
agenda). Di samping itu, pesan tidak jarang menyebabkan dorongan
reaksi afektif dan emosional. Sebagai contoh, pada saat seorang
supervisor memberikan brifing kepada anak buah dengan menunjukkan
kinerja mereka dan membandingkannya dengan kinerja karyawan lain
yang lebih baik, sesungguhnya tersirat di dalamnya rasa frustasi Sang
Supervisor dan keingintahuannya mengapa kinerja mereka jelek. Bagi
para anak buah, brifing tersebut boleh jadi merupakan bentuk peringatan
yang harus direspons secara hati-hati dan bukan sekadar memberi alasan
pembenar. Hal kedua yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pesan
adalah kecocokan antara pesan dan media yang digunakan untuk
mentransmisikan pesan. Sebagai contoh, pada saat Anda sedang berduka
karena saudara kandung meninggal tiba-tiba ada seorang karyawan
tempat Anda bekerja menghampiri dan menyodori sebuah amplop,
6.10 PERILAKU ORGANISASI e

namun isinya bukan ucapan belasungkawa tetapi sebuah Surat keputusan


(SK) yang menyatakan bahwa Anda dipecat dari pekerjaan, bagaimana
kira-kira reaksi anda? Tentunya Anda tidak bisa menerima situasi seperti
ini terjadi meski Anda sadar bahwa perusahaan tempat Anda bekerja
sedang dilanda krisis. Contoh ini sekali lagi menunjukkan ketidaktepatan
media yang digunakan untuk mengirim pesan.
4. Memilih media
Seseorang bisa berkomunikasi melalui berbagai macam media. Pilihan
media yang bisa digunakan, di antaranya pembicaraan langsung face-to-
face, pembicaraan melalui telepon, SMS, email, video conference, surat,
memo tertulis, foto atau gambar, rapat, buletin, hasil olahan komputer,
dan tabel atau grafik. Meski media-media tersebut semuanya bisa
digunakan, namun memilih media yang tepat untuk mengirimkan pesan
sangat tergantung beberapa faktor, di antaranya sifat dari pesan itu
sendiri, tujuan yang ingin dicapai, tipe dari audience yang menerima
pesan, kedekatan dengan audience, waktu untuk menyampaikan pesan
dan preferen individu. Sebagai sarana untuk menyampaikan pesan,
masing-masing media tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Sebagai contoh, pembicaraan langsung face-to-face sangat
cocok untuk menyampaikan infomasi yang sangat penting atau sensitif
dan membutuhkan umpan balik dan interaksi yang intensif. Sementara
itu komunikasi melalui telepon, di samping mudah dan cepat, khususnya
ketika jarak menjadi pertimbangan, juga bersifat pribadi. Sayangnya,
komunikasi melalui telepon tidak bisa memperoleh informasi yang
bersifat nonverbal. Meski membutuhkan sedikit waktu, menulis memo
atau surat merupakan media yang baik jika kita sulit menjangkau orang
lain jika komunikasi bersifat formal jika dalam berkomunikasi
membutuhkan bukti fisik, dan jikaface-to-face sebaiknya dihindarkan.
5. Menerjemahkan pesan dalam bentuk simbol (decode)
Bagi penerima pesan, pesan yang berasal dari sender biasanya tidak bisa
begitu saja dipahami melainkan perlu diterjemahkan terlebih dahulu ke
dalam bahasa Si Penerima pesan. Menerjemahkan pesan seperti ini
disebut decode. Sederhananya, decode adalah menerjemahkan aspek
verbal, oral atau visual dari sebuah pesan ke dalam bentuk yang bisa
interpretasikan. Sebagai contoh, apabila Anda hendak bepergian ke suatu
tempat di kota yang belum Anda kenai dan jauh-jauh hari Anda minta
tolong seorang ternan yang tinggal di kota tersebut untuk menjemputnya
e EKMA41 58/MODUL 6 6.11

agar tidak tersesat, mungkin pada hari H ternan Anda akan mengirim
pesan singkat berikut: "jk sdh smp kt 7an sgr br th, kt ktm di bts kt".
Pesan seperti ini tentu tidak bisa segera dipahami kecuali Anda mencoba
men-decode/menerjemahkan pesan tersebut ke dalam bahasa yang Anda
mengerti. Jika Anda salah menerjemahkan pesan tersebut bukan tidak
mungkin terjadi miskomunikasi atau salah paham. Dengan kata lain,
decode merupakan kontributor terjadinya miskomunikasi dan salah
paham dalam komunikasi khususnya jika terjadi kesenjangan antara
pengirim dan penerima pesan. Hal ini kerap terjadi ketika kesenjangan
tersebut bersumber pada budaya atau tata nilai kedua belah pihak.
Sebagai contoh, menyanyikan lagu "walang kekek" di Filipina mungkin
bisa berakibat fatal dan kita dituduh melakukan pelecehan seksual karena
dalam bahasa Tagalog walang berarti tidak ada dan keke berarti alat vital
perempuan.
6. Menciptakan makna
Salah satu pembeda penting antara conduit model dengan perceptual
model of communication adalah unsur makna dalam komunikasi.
Menurut conduit model, informasi beserta maknanya secara langsung
ditransmit dari pengirim ke penerima informasi. Menurut perceptual
model, penerima informasi akan memaknai informasi tersebut sesuai
dengan interpretasi dirinya. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin
interpretasi tersebut tidak sama dengan yang diinginkan oleh pengirim
informasi. Sebagai contoh, apabila seorang manajer menyampaikan
sesuatu kepada anak buahnya dengan kalimat berikut "silakan jika Anda
berani ambil risiko, lakukan pekerjaan tersebut". Kalimat tersebut adalah
kalimat bersayap yang bersifat multiinterpretasi. Bagi anak buah yang
agresif, pernyataan di atas merupakan sinyal bahwa dirinya diizinkan
untuk mengerjakan pekerjaan yang penuh risiko meski bagi Sang
manajer yang dikehendaki adalah sebaliknya. Oleh karena itu, untuk
menghindari salah interpretasi terhadap sebuah pesan sebaiknya
digunakan beberapa media untuk menegaskan esensi dari pesan yang
dikehendaki.
7. Umpan balik
Setelah penerima pesan menerjemahkan pesan ke dalam bahasa yang ia
pahami dan menginterpretasikan pesan tersebut untuk dipahami
maknanya, selanjutnya penerima pesan akan mengirim balik pesan
tersebut kepada pengirim pesan awal. Dengan demikian, penerima pesan
6.12 PERILAKU ORGANISASI e

kedudukannya berubah menjadi pengirim pesan. Proses ini akan berjalan


berulang-ulang sejauh memang dibutuhkan dalam komunikasi. Dalam
proses komunikasi dengan demikian umpan balik berfungsi sebagai alat
kontrol untuk mengecek apakah pesan yang disampaikan bisa dipahami
oleh pihak lain secara akurat.
8. Gangguan
Proses komunikasi sesungguhnya tidak pernah lepas dari faktor
pengganggu. Faktor pengganggu adalah segala sesuatu yang
mengintervensi transmisi dan pemahaman terhadap sebuah pesan.
Tentunya faktor pengganggu ini akan mempengaruhi kualitas
komunikasi. Termasuk dalam faktor pengganggu adalah ucapan yang
tidak jelas, hubungan telepon yang terputus-putus, tulisan yang sulit
dibaca, data statistik yang tidak akurat ketika menyampaikan memo,
pendengaran atau penglihatan yang buruk, dan jarak yang berjauhan
antara pengirim dan penerima pesan.

1. Karakteristik Komunikasi yang Efektif


Seperti telah disebutkan di muka, tujuan dari komunikasi adalah agar
kedua belah yang berkomunikasi memiliki kesamaan pemahaman terutama
terhadap persoalan yang sedang dikomunikasikan dalam rangka mencapai
tujuan yang lebih luas. Hal ini bisa diartikan bahwa sebelum komunikasi
berlangsung ada kemungkinan kedua belah pihak belum memiliki
pemahaman yang sama. Untuk memperoleh pemahaman bersama tersebut
kadang-kadang komunikasi harus dilakukan secara persuasif atau sering
disebut komunikasi persuasif (persuaasive communication). Tujuan utama
komunikasi seperti ini adalah untuk mengubah sikap pihak lain atau
mempengaruhi opini publik. Bentuk komunikasi seperti ini biasanya
dilakukan oleh Partai Politik atau perusahaan yang sedang mengalami citra
buruk. Ambillah contoh produk Oreo yang terkena isu bahwa produk tersebut
mengandung unsur melamin yang membahayakan kesehatan. Oleh karena isu
tersebut, produsen Oreo serta merta memasang iklan besar-besaran bertujuan
untuk mempengaruhi opini publik bahwa produk Oreo aman untuk
dikonsumsi.
Contoh di atas menggambarkan upaya sebuah perusahaan untuk
mempengaruhi opini publik dalam rangka mengembalikan citranya melalui
komunikasi persuasif. Secara umum, pertanyaannya adalah faktor-faktor apa
saja yang perlu mendapat perhatian agar komunikasi persuasif tersebut bisa
e EKMA41 58/MODUL 6 6.13

berjalan efektif? Menurut Cherrington efektivitas komunikasi persuasif


sangat tergantung pada tiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu sumber
informasi, pesan yang disampaikan, dan audience yang akan menerima
pes an.

a. Karakteristik sumber informasi


Untuk bisa mengubah sikap atau opini penerima pesan, paling ada dua
faktor penentu, yaitu kredibilitas sumber informasi dan kesamaan antara
sumber informasi dengan penerima pesan. Semakin pengirim informasi
kredibel dan bisa dipercaya semakin efektif pula proses komunikasi
berlangsung. Demikian juga jika pengirim pesan memiliki kedekatan dengan
penerima pesan, misalnya karena latar belakangnya sama atau
kepribadiannya sama maka proses komunikasi akan berjalan efektif.

b. Karakteristik pesan
Berkaitan dengan pesan, komunikasi yang dianggap paling persuasif
adalah komunikasi yang menggunakan pesan yang logis dan beralasan.
Meski demikian pesan yang menyentuh emosi seseorang kadang-kadang juga
tidak kalah efektif. Selain itu, pesan yang membuat pendengarnya merasa
senang dianggap lebih efektif me ski dalam hal-hal tertentu pes an yang
menakutkan seperti menakut-nakuti dampak negatif dari pemakaian jarum
suntik yang tidak steril juga sama efektifnya.

c. Karakteristik penerima pesan (receiver)


Efektivitas komunikasi persuasif juga sangat bergantung pada
kemampuan penerima pesan dalam memahami pesan yang diterima.
Komunikasi persuasif biasanya tidak berjalan efektif jika tingkat intelegensi
penerima pesan relatif rendah. Sebaliknya, apabila tingkat intelegensi
penerima pesan relatif tinggi biasanya lebih mudah memahami pesan
walaupun belum tentu mau menerima pesan tersebut. Oleh karena itu, tingkat
intelegensi ini menj adi pertimbangan maka orang yang tingkat intelegensinya
moderat mungkin lebih bisa menerima pesan ketimbang yang intelegensinya
tinggi atau rendah. Selain intelegensi, sikap dasar penerima pesan juga
menjadi faktor penentu efektivitas komunikasi persuasif. Jika sikap antara
pengirim dan penerima pesan berbeda jauh ada kemungkinan komunikasi
persuasif tidak efektif.
6.14 PERILAKU ORGANISASI e

Jika komunikasi persuasif sengaja didesain untuk mengubah sikap dan


opini publik, bentuk komunikasi lain bertujuan untuk membangun saling
pengertian dan menciptakan hubungan interpersonal yang kompatibel.
Bentuk komunikasi seperti ini disebut supportive communication. Bentuk
komunikasi ini diperlukan jika pihak lain begitu kukuh dalam upayanya
untuk mempertahankan diri terhadap pendapat dan pandangan mereka. Bisa
dikatakan bahwa upaya masing-masing pihak (pengirim dan penerima
informasi) untuk mempertahankan pendapatnya akan menyebabkan
efektivitas komunikasi menjadi pertanyaan besar. Untuk menghindari
persoalan ini maka komunikasi sebaiknya (a) bersifat deskriptif dan spesifik
bukan bersifat umum dan evaluatif, (b) berorientasi masalah bukan
berorientasi kepribadian, (c) fleksibel tidak rigid, dan (d) pihak komunikator
bertanggung jawab terhadap pesan yang disampaikan bukan berbasis katanya
atau yang didengar dari orang lain.

2. Kemampuan Mendengar
Dalam proses komunikasi, di samping bentuk-bentuk komunikasi seperti
disebut di atas, mendengar juga menjadi faktor penting. Hanya saja faktor ini
sering diabaikan. Padahal dalam kenyataan kebanyakan orang sering
menghadapi kesulitan ketika tiba gilirannya untuk mendengar orang lain.
Boleh saja seseorang pandai menulis dan berbicara namun sering kali begitu
buruk pada saat harus mendengar. Hasil studi menunjukkan bahwa seseorang
hanya mengingat 50% dari apa yang baru saja didengar. Bahkan setelah
melewati dua bulan, yang masih diingat kurang dari 25% dari apa yang telah
dikatakan orang lain. Data ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
efektivitas komunikasi, faktor kemampuan mendengar perlu mendapat
perhatian, dan tidak boleh lagi diabaikan. Dengan mendengar bukan sekadar
haring, tetapi lebih penting dari itu, yakni listening. Hearing dan listening
adalah dua kata dalam bahasa Inggris yang mempunyai pengertian sama
tetapi konotasi dan konteksnya berbeda. Hearing adalah komponen fisik dari
listening, sedangkan listening itu sendiri merupakan proses aktif untuk men-
decode dan menginterpretasikan pes an. J adi, listening menuntut seseorang
untuk memberi atensi dan memproses informasi sedangkan hearing tidak
menuntut hal itu. Sederhananya, perbedaan antara hearing dan listening
adalah hearing hanya sekadar mendengar, sedangkan listening mendengar
dengan saksama dan memberi perhatian terhadap pihak yang menyampaikan
pes an.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.15

Dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan


mendengar, berikut akan dijelaskan beberapa faktor kunci, di antaranya
empati dalam komunikasi, kemampuan mendengar yang efektif, dan
menyampaikan respons yang tepat.

a. Empati
Pendengar yang efektif sering disebut sebagai pendengar aktif,
pendengar reflektif atau pendengar empatik. Semua istilah tersebut
menegaskan bahwa seorang pendengar harus mempunyai kemampuan untuk
mendengarkan pesan orang lain secara empatik. Empati adalah kapasitas
seseorang untuk berpartisipasi ke dalam perasaan atau ide orang lain. Hal ini
bisa diartikan bahwa jika Anda adalah seorang pendengar empatik maka
Anda bukan sekadar mendengarkan pesan dari seorang komunikator secara
akurat, tetapi juga memahami komponen emosi dari pesan tersebut dan
makna yang terkandung di dalam pesan, tetapi tidak terungkap.

b. Keterampilan mendengar yang efektif


Seseorang tentunya tidak bisa begitu saja menjadi pendengar yang baik.
Pendengar yang baik adalah sebuah keterampilan (skill) yang membutuhkan
upaya dan kerja keras. Menjadi pendengar yang baik adalah sebuah
keharusan karena setiap situasi berbeda membutuhkan cara mendengar
berbeda. Misalnya, cara mendengar di kelas akan sangat berbeda dengan cara
mendengar di debat politik atau di pengadilan. Di kelas, mahasis wa lebih
terkonsentrasi kepada kandungan informasi dan hal-hal penting berkaitan
dengan sebuah konsep. Di debat politik, lawan politik akan memperhatikan
pernyataan-pernyataan yang mungkin bertolak belakang dengan pernyataan
yang pernah disampaikan sebelumnya. Di pengadilan, seorang pengacara
akan selalu mencermati testimoni yang dianggap keliru, lemah, dan
kontradiksi. Dalam membangun hubungan baik, seorang pendengar empatik
mencoba memahami pesan beserta makna yang terkandung di dalamnya agar
kedua belah pihak (komunikator dan pendengar) sama-sama merasa dihargai.
Berikut ini prinsip-prinsip yang bisa dijadikan pedoman untuk menjadi
pendengar yang baik.
6.16 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 6.1.
Karakteristik Pendengar yang Baik

Prinsip Penden aryan Baik ..... Penden ar uan Jelek ..... .


1. Mencoba mencari Mencari pencerahan diri Mengabaikan pokok
bidang yang dan/atau informasi untuk pembicaraan yang kering (tidak
menarik pengembangan diri menarik). Subjek yang menarik
hanya didefinisikan secara
sem~it
2. Abaikan Fokus pada makna dan isi Mengabaikan jika cara
kesalahan dalam informasi. Mengabaikan penyampaian dianggap buruk;

penyampa1an kesalahan penyampaian sambil kehilangan informasi karena
informasi memperhatikan pesan yang menganggap sebelah mata
terkandun di dalamnva pen 'ampai informasi
3. Jangan terlalu Menghindari penilaian terlalu Terlalu cepat mengevaluasi dan
cepat memberi cepat. Menunggu sampai pesan memberi penilaian; terlalu kaku
penilaian disampaikan secara lengkap terhadap pesan yang dianggap
kontroversial
4. Dengar ide-idenya Mendengarkan ide-ide dan tema Mendengarkan hanya pada fakta
yang dibicarakan. Meng- dan hal-hal yang bersifat detail
identifikasi poin-poin Jentin
5. Buatlah catatan- Membuat catatan-catatan Membuat catatan yang tidak
catatan penting penting dan menggunakan lengkap dan hanya
berbagai macam media untuk menggunakan satu media
membuat catatan
6. Berikan respons Memberikan respons secara aktif Berperilaku pasif; sangat sedikit
secara aktif dengan menegakkan kepala; merespons dan menggunakan
menunjukkan gerak tubuh yang sedikit energi
aktif; dan bekerja sambil
menden arkan
7. Jangan mudah Tidak mudah terganggu; lebih Mudah terganggu; fokus hanya
terganggu berkonsentrasi dan menempat- pada kata-kata yang emosional
kan kata-kata dalam perspektif dan rentang konsentrasi yang
van1 tepat sempit
8. Terbiasa dengan Menggunakan topik-topik sulit Menghindari topik-topik sui it;
tantangan untuk menstimulus pikiran dan tidak berupaya untuk
mem ~erluas )emahaman mem ~erluas )en~ etahuan
9. Manfaatkan Menggunakan waktu saat Berangan-angan dengan
kecepatan berpikir mendengarkan untuk membuat pembicara yang lambat; pikiran-
simpulan; memperhatikan pesan nya terisi dengan pikiran lain
implisit dan eksplisit
1O.Bantu dan dorong Bertanya untuk mengklarifikasi Menginterupsi; menanyakan
Si pembicara informasi; menggunakan pada hal-hal sepele; dan
ungkapan yang reflektif; memberi komentar yang
membantu pembicara meng- mengganggu
ungkapkan kembali ide-idenya
e EKMA41 58/MODUL 6 6.17

c. Membuat respons yang tepat


Elemen penting lain untuk menjaga agar menjadi pendengar efektif
adalah dengan memberikan respons secara tepat kepada komunikator.
Respons yang tepat adalah sebuah respons yang memungkinkan komunikator
terdorong untuk mendiskusikan lebih lanjut dan memperluas topik yang
sedang didiskusikan bukan, sebaliknya diskusi menjadi mandeg. Ketepatan
dalam merespons sangat tergantung pada tujuan dari komunikasi dan
interaksi. Misalnya, apabila tujuan dari komunikasi adalah untuk meng-
evaluasi kinerja maka respons yang bersifat evaluatif dianggap sebagai
respons yang terbaik. Sementara itu, apabila tujuan komunikasi adalah untuk
membantu orang lain menyelesaikan masalah maka respons yang bersifat
reflektif dianggap tepat. Secara umum, bentuk-bentuk respons dalam
komunikasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.2.
Bentuk Respons dalam Komunikasi

1. Respons bersifat evaluatif. Memberikan penilaian, menyampai-


kan persetujuan atau ketidaksetujuan atau memberikan saran.
Respons evaluatif sangat berguna jika topik bahasan telah
dipaparkan secara mendalam. Bentuk respons ini cocok bagi
responden yang ingin menyampaikan opininya.
2. Respons bersifat konfrontatif. Respons ini merupakan tantangan
bagi pihak lain untuk mengklarifikasi pesan dan menunjukkan
hal-hal yang tidak konsisten dan kontradiktif. Bentuk respons ini
bermanfaat untuk membantu seseorang mengklarifikasi pikiran
dan perasaannya atau untuk memberikan pemikiran yang lebih
luas terhadap sebuah isu.
3. Respons bersifat membelokkan. Mengalihkan pokok persoalan
yang dikemukakan komunikator ke persoalan yang dikehendaki
responden. Bentuk respons ini sering kali bukan hanya
membelokkan, tetapi merubah objek pembicaraan. Bentuk
respons ini bisa membantu komunikator jika topik pembanding
dianggap perlu. Bagi komunikator, respons ini diperlukan agar
dirinya tabu bahwa ada orang lain yang punya pengalaman
tentang hal yang sama.
4. Respons bersifat penyelidikan. Meminta komunikator untuk
mengklarifikasi apa yang pemah dikatakan sebelumnya atau
sekadar memberi tambahan informasi dan/atau ilustrasi. Respons
ini bermanfaat jika responden memerlukan informasi khusus
6.18 PERILAKU ORGANISASI e

untuk memahami pesan yang sedang disampaikan atau jika


komunikator perlu merespons topik untuk memperjelas
informasi.
5. Respons bersifat interpretasi ulan g. Berusaha untuk menyatakan
kembali pesan yang disampaikannya dalam rangka untuk
mengkaji penyebab, makna atau interpretasi dari pesan tersebut.
Respons ini bisa membantu mengklarifikasi pesan bagi kedua
belah pihak. Demikian juga pesan ini mendorong komunikator
untuk menguraikan pesan lebih mendalam.
6. Respons bersifat menenangkan. Mengurangi intensitas emosi
yang terkait dengan sebuah pesan dan membantu komunikator
lebih kalem. Respons ini bermanfaat jika komunikator perlu
diyakinkan bahwa mendiskusikan pesan itu bisa dimengerti atau
jika emosi komunikator bisa menghalangi efektivitas komunikasi.
7. Respons bersifat reflektif. Merefleksikan kembali apa yang
pemah didengar komunikator dengan bahasa atau kata-kata
berbeda. Respons reflektif bukan hanya mimiknya atau
menyatakan kembali secara langsung apa yang telah didengar,
namun respons ini seharusnya memberi kontribusi terhadap
pemahaman, pemaknaan, dan penerimaan pembicara.

3. Hambatan terhadap Terciptanya Komunikasi yang Efektif


Gangguan terhadap komunikasi sering kali tidak dapat dihindarkan.
Ambillah contoh sederhana gangguan sinyal saat Anda menelepon dengan
telepon seluler. Gangguan seperti ini tentunya akan berpengaruh terhadap
efektivitas dan kualitas komunikasi karena pesan yang dikomunikasikan tidak
sepenuhnya bisa dipahami pihak kedua. Semakin tinggi gangguan semakin
komunikasi tidak efektif, demikian juga kualitas komunikasinya juga
semakin rendah. Secara umum, ada empat bentuk hambatan yang
mempengaruhi efektivitas komunikasi, yaitu hambatan yang disebabkan
karena (a) proses komunikasi, (b) pelaku komunikasi, (c) faktor fisik, dan
(d) semantik.

a. Hambatan karena proses komunikasi


Seperti tampak pada Gambar 5.1, setiap elemen dalam proses
komunikasi sangat potensial akan menjadi faktor penghambat dalam
berkomunikasi. Elemen-elemen penghambat tersebut, misalnya berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.19

1) Pengirim pesan
Karyawan baru yang belum punya pengalaman meski sebelumnya sudah
menjalani proses pelatihan, sering kali salah dalam menjelaskan hal-hal
penting kepada pelanggan sehingga bukan tidak mungkin pelanggan
mendapatkan informasi yang keliru. Akibatnya, tidak jarang pula
pelanggan merasa dirugikan.
2) Encode
Seperti dijelaskan di atas, encode adalah ide atau buah pikiran yang
dituangkan dalam bentuk simbol sebelum seseorang bisa menyampaikan
pesan. Namun, hambatan sering kali muncul karena pengirim pesan tidak
bisa menuangkan buah pikirannya bentuk simbol. Katakanlah ia tabu apa
yang harus disampaikan, tetapi tidak tabu bagaimana menuangkannya
karena buah pikiran tersebut harus dituangkan dalam bahasa Inggris
yang tidak ia kuasai. Akibatnya, sekali lagi pesan tidak pernah terwujud.
3) Pesan
Seseorang katakanlah tidak menghadiri sebuah pertemuan penting.
Penyebabnya bukan karena ia mengabaikan pertemuan tersebut, tetapi
karena ia merasa tidak pernah diundang. Padahal tiga hari sebelumnya
undangan sesungguhnya telah dikirim melalui email, namun karena
email tidak pernah dibuka jadinya pesan tidak pernah sampai.
4) Media
Komunikasi melalui surat sangat baik untuk menghindari konflik pribadi
namun menjadi tidak efektif jika persoalan yang dikomunikasikan begitu
krusial dan pengirim pesan membutuhkan umpan balik segera. Media
dengan demikian menjadi salah satu faktor yang boleh jadi menjadi
penghambat efektivitas komunikasi.
5) Decode
Seperti halnya encode pada pengirim pesan, decode adalah upaya
penerima pesan untuk menerjemahkan pesan ke dalam simbol sebelum
merespons pesan. Permasalahan yang dihadapi dalam mendecode
sesungguhnya sama dengan permasalahan encode.
6) Penerima pesan
Tingkat intelegensi penerima pes an sering kali menj adi salah satu faktor
yang menghambat efektivitas komunikasi. Dalam perkuliahan, misalnya
seorang mahasiswa menanyakan hal yang sama padahal pertanyaan
tersebut baru saja dijelaskan seorang dosen. Contoh ini paling tidak
6.20 PERILAKU ORGANISASI e

menggambarkan tingkat intelegensi mahasiswa yang rendah sehingga


meski sudah diterangkan dengan jelas tetap saja daya terimanya rendah.
7) Umpan balik
Dalam proses wawancara, katakanlah saat seseorang melamar pekerjaan,
pewawancara mengangguk-angguk sambil tersenyum mendengar
jawaban calon karyawan. Boleh jadi calon karyawan merasa jawabannya
memuaskan padahal yang terjadi sebaliknya. Anggukan pewawancara
seolah-olah menjadi umpan balik positif bagi calon karyawan sehingga
ia merasa telah melakukan yang terbaik dalam wawancara.

b. Hambatan karena faktor individu pelaku komunikasi


Di samping karena proses komunikasi, hambatan terciptanya komunikasi
yang efektif bisa datang dari individu pelaku komunikasi. Beberapa bentuk
hambatan karena faktor ini, di antaranya berikut ini.
1) Kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif.
2) Cara seseorang memproses dan menginterpretasikan informasi.
3) Tingkat kepercayaan antara pihak-pihak yang berkomunikasi.
4) Menyamaratakan (stereotype) dan berprasangka buruk (prejudice)
terhadap pihak lain.
5) Tingkat egoisme seorang pelaku komunikasi.
6) Kemampuan mendengar yang buruk.
7) Kecenderungan untuk memberi penilaian terhadap pesan yang dikirim.
8) Ketidakmampuan seseorang untuk mendengar sambil memahami yang
didengar.

c. Hambatan karena faktor fisik


Faktor ketiga yang bisa menghambat efektivitas komunikasi berkaitan
dengan faktor fisik. Komunikasi, misalnya bisa terdistorsi jika lokasi tempat
kerja karyawan saling berjauhan atau sebaliknya jika lokasi kerja karyawan
justru terlalu berdekatan. Perbedaan zona waktu di Indonesia yang dibagi
menjadi tiga zona waktu berbeda, masing-masing berselisih satu jam -
Waktu Indonesia Timur, Waktu Indonesia Tengah, dan Waktu Indonesia
Barat merupakan representasi dari hambatan fisik. Jika katakanlah seorang
karyawan yang berlokasi di Papua pada jam 9 pagi hendak menghubungi
kantor pusat di Jakarta (dua jam lebih lambat dibanding waktu Papua)
tentunya akan menghadapi hambatan karena kantor pusat pada jam tersebut
belum buka. Namun, pentingnya persoalan Si karyawan tersebut berinisiatif
e EKMA41 58/MODUL 6 6.21

menghubungi seseorang via handphone seseorang di kantor pusat belum


tentu upaya tersebut juga berhasil jika karena jarak terlalu jauh, sinyal
telepon kualitasnya juga buruk. Sebaliknya, ruang kantor yang berhimpit-
himpitan juga menjadi penghambat komunikasi karena saat kita berinteraksi
bukan tidak mungkin akan terganggu oleh orang yang mungkin sedang
melakukan pembicaraan telepon. Apa jadinya jika ternan sebelah kita
berbicara ditelepon dengan nada tinggi sementara kita sedang melayani
konsumen penting?

d. Hambatan karena faktor semantik


Semantik berarti sesuatu yang berhubungan "kata" atau studi tentang
kata. J adi, hambatan komunikasi yang disebabkan karena semantik akan
terjadi jika seseorang melakukan kesalahan dalam melakukan encode atau
decode karena kedua aktivitas ini, masing-masing merupakan proses
menuangkan ide dan menerima pesan dalam bentuk kata-kata atau simbol.
Sebagai contoh, seorang warga negara asing yang bahasa lndonesianya pas-
pasan mengomentari perilaku seorang ternan yang berjenis kelamin
perempuan yang memang orangnya supel dan mudah bergaul. "Wah Si A itu
orangnya mudah digauli ya? Dengan saya yang baru kenai saja sudah akrab".
Bagi kita kesalahan tata bahasa ini tentunya sangat fatal karena apa yang
disampaikan warga asing tersebut dengan apa yang dimaksud artinya menjadi
lain. Kesalahan semantik ini akan lebih parah jika dalam menyusun pesan
digunakan jargon atau kata-kata yang tidak dimengerti orang lain. Perhatikan
contoh tulisan dalam SMS berikut: "ebez mn coz aq bth fls tuk byr kul".
Untuk memahami pesan tersebut Anda yang tidak terbiasa dengan bahasa
gaul seperti ini mungkin membutuhkan waktu dan harus mengulang-ulang
pesan tersebut. ltu pun belum tentu Anda memahaminya.

C. KOMUNIKASI VERBAL VS NONVERBAL

Secara umum komunikasi bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu


komunikasi dengan menggunakan kata-kata, disebut komunikasi verbal dan
komunikasi menggunakan simbol selain kata-kata, disebut komunikasi
nonverbal. Masing-masing bentuk komunikasi akan dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut.
6.22 PERILAKU ORGANISASI e

1. Komunikasi Verbal
Ketika Anda membaca modul ini berarti Anda sedang melakukan
komunikasi. Hanya saja sifat komunikasinya tidak langsung karena pengirim
informasi (penulis modul) mengirim pesannya menggunakan kata-kata yang
dituangkan dalam bentuk tulisan. Berkomunikasi menggunakan kata disebut
komunikasi verbal. Selain dituangkan dalam bentuk tulisan, komunikasi
verbal juga bisa diucapkan secara langsung (face-to-face), disampaikan
melalui telepon, faksimile, email, SMS atau media lainnya. Secara umum,
komunikasi verbal bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu (a) secara oral -
diucapkan secara langsung dan (b) secara tertulis dengan bantuan media.
Selanjutnya, bentuk komunikasi verbal yang dilakukan secara oral bisa
dibedakan menjadi dua, yaitu berbicara langsung tanpa media (face-to-face
discussion) dan percakapan melalui media telepon atau teleconference
dengan bantuan teknologi informasi. Dilihat dari kemampuan menyampaikan
pes an, komunikasi oral secara langsung (face-to-face) bisa dikatakan sebagai
komunikasi yang paling "kaya", bukan semata-mata karena banyaknya
informasi yang bisa disampaikan, tetapi juga sifatnya yang sangat pribadi dan
tingginya kesempatan memperoleh umpan balik. Sementara itu percakapan
melalui telepon, dibandingkanface-to-face, relatif "kurang kaya".
Komunikasi tulis, khususnya dalam konteks organisasi, bisa berupa
memo (pesan tertulis yang digunakan untuk berkomunikasi dalam
lingkungan internal organisasi), surat (pes an tertulis yang digunakan
komunikasi eksternal), pamlet dan buletin, newsletter dan panduan bagi
karyawan (employee handbook). Seperti halnya memo, pamlet, dan buletin
merupakan komunikasi internal. Bedanya, memo ditujukan untuk seseorang
atau sekelompok karyawan tertentu sehingga lebih personal sedangkan
pamplet dan buletin ditujukan untuk semua karyawan sehingga sangat
impersonal. Di sisi lain, newsletter merupakan publikasi organisasi ditujukan
untuk kalangan internal yang menginformasikan berbagai isu aktual berkaitan
dengan keadaan organisasi yang menjadi perhatian para karyawan, misalnya
berita tentang kenaikan gaji, penggantian pejabat. Terakhir employee
handbook, seperti halnya newsletter, merupakan dokumen internal yang
menginformasikan hal-hal mendasar berkaitan dengan organisasi. Employee
handbook biasanya berisi informasi tentang (a) kebijakan dasar organisasi,
(b) harapan organisasi terhadap para karyawan, dan (c) filosofi atau visi/misi
• •
organ1sas1.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.23

Berdasarkan penjelasan, komunikasi tulis memiliki ciri-ciri sebagai


berikut (a) cenderung bersifat satu arah tidak interaktif dan (b) media yang
digunakan lebih statik karena minimnya umpan balik. Dibandingkan
komunikasi oral, dengan demikian bisa dikatakan bahwa komunikasi tulis
relatif lebih kering. Di antaranya, yang dianggap "paling kering" adalah
pamlet dan buletin. Meski komunikasi tulis memiliki beberapa keterbatasan,
dalam batas-batas tertentu organisasi masih memerlukan komunikasi jenis ini
utamanya karena tidak semua komunikasi organisasi memerlukan umpan
balik. Sebagai contoh, untuk menetapkan libur lebaran, manajer tidak perlu
minta umpan balik dari karyawan apakah liburnya cukup satu minggu,
sepuluh hari atau dua minggu. Oleh karenanya manajer cukup membuat
pengumuman libur lebaran di buletin perusahaan. impersonal Daya informasi
bentuk komunikasi verbal dapat dilukiskan seperti tampak pada Gambar 6.2
berikut.

Oral

Tertulis

Gambar 6.2

2. Komunikasi Nonverbal
Terlepas bahwa komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang
paling banyak digunakan untuk mengirim informasi, namun harus disadari
bahwa kata-kata hanya sebagian kecil dari keseluruhan pesan yang ingin
dikomunikasikan. Dibalik kata-kata sesungguhnya ada elemen tersembunyi
yang menjadikan pesan menunjukkan makna sesungguhnya. Elemen
tersembunyi dimaksud adalah elemen yang bersifat nonverbal, seperti
intonasi dalam menyampaikan pesan, penyampaian kalimat yang tidak patut
(inflection), tingkat kecepatan/kelambatan dalam menyampaikan pesan,
6.24 PERILAKU ORGANISASI e

bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan elemen nonverbal lainnya. Oleh karena
tersembunyi, elemen nonverbal sering disebut sebagai the silent language -
bahasa diam. Berdasarkan penjelasan ini maka yang dimaksud dengan
komunikasi nonverbal adalah sebuah komunikasi di mana segala bentuk
pesan yang dikirim atau diterima tidak menggunakan kata-kata verbal baik
tertulis maupun lisan melainkan bahasa isyarat yang bersifat nonverbal,
seperti bahasa tubuh, ekspresi waj ah, dan elemen nonverbal lainnya.
Penjelasan ini secara tidak langsung mengatakan bahwa komunikasi verbal
terkadang tidak efektif jika tidak dibarengi dengan komunikasi nonverbal.
Meski demikian, bukan berarti komunikasi nonverbal hanya sekadar
pendukung komunikasi verbal. Tidak jarang jika komunikasi verbal tidak
bisa digunakan maka suka atau tidak suka komunikasi nonverbal sebagai
jalan keluarnya. Ambillah contoh ketika Anda sedang berada pada diskotek
dengan hingar-bingar musik yang memekakan telinga. Hampir tidak mungkin
dalam situasi seperti ini Anda menggunakan komunikasi verbal, misalnya
untuk memesan segelas minuman. Hal yang mungkin Anda lakukan adalah
memesan minuman dengan komunikasi nonverbal.
Bagi seorang manajer, memahami komunikasi nonverbal bukan tidak
ada gunanya malah justru sebaliknya komunikasi nonverbal sering
menyiratkan efektivitas komunikasi. Ambillah contoh bagaimana mantan
Presiden Soeharto (alm.) ketika berjabat tangan dengan orang lain. Beliau
selalu berdiri tegak dengan menjulurkan tangannya agak ke depan, namun
pada posisi tangan lurus dengan pusar. Dengan posisi tubuh dan tangan
seperti ini berakibat orang yang bersalaman harus sedikit menundukkan diri
(membungkuk) lebih rendah dari Pak Harto. Contoh ini memberi gambaran
bagaimana Pak Harto menempatkan diri di hadapan orang lain sehingga
beliau terkesan selalu berkedudukan lebih tinggi. Hal ini berbeda ketika
warga Jogja bersalaman dengan Sri Sultan HB pada saat halal bilhalal. Para
warga sadar bahwa mereka akan bersalaman dengan seorang raja sehingga
sebelum menjulurkan tangannya untuk bersalaman para warga mengatupkan
tangannya dengan kedua ibu jari tepat di hadapan hidung pertanda bahwa dia
menghormati atau memberi respek kepada Sang Raja.
Dua contoh di atas merupakan sebagian kecil dari beberapa contoh
komunikasi nonverbal. Secara umum, studi tentang komunikasi nonverbal
mengidentifikasikan lima variabel komunikasi nonverbal, yaitu bahasa tubuh,
ekspresi waj ah, j arak fisik, nada suara, dan tampilan.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.25

a. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh atau gerak tubuh adalah salah satu dari berbagai macam
bentuk komunikasi nonverbal yang paling banyak digunakan dalam
berkomunikasi. Studi tentang bahasa tubuh atau gerak tubuh, yang disebut
kinetics, menjelaskan bahwa body language atau gerak tubuh bisa digunakan
untuk menunjukkan berbagai hal termasuk status sosial seseorang atau sikap
seseorang terhadap orang lain. Jika kita merasa tidak ada jarak dengan orang
yang berada di hadapan kita atau kita menyukai orang tersebut maka gerak
tubuh kita cenderung lebih rileks, bisa menyandarkan tubuh, berani bertatap
muka, dan tangan lebih terbuka. Sebaliknya, apabila berhadapan dengan
orang yang statusnya lebih tinggi atau merasa terancam hampir pasti tubuh
kita terasa lebih kaku dan rasanya tubuh susah digerakkan. Penjelasan ini
sekali lagi menunjukkan peran bahasa tubuh saat seseorang berinteraksi
dengan orang lain yang secara tidak langsung juga menjelaskan perannya
dalam berkomunikasi. Saat mempertahankan diri, misalnya seseorang akan
melipat tangan - bersedekap, menyilangkan tangan atau melipat kaki. Orang
yang mencondongkan badannya ke depan pertanda bahwa orang tersebut
lebih terbuka, lebih dekat dengan orang yang diaj ak bicara dan lebih bersedia
untuk berkomunikasi.

b. Ekspresi wajah
Seperti halnya dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah juga memberi
siratan dalam berkomunikasi. Tersenyum secara umum menandakan bahwa
seseorang lebih bersahabat, lebih hang at dan bersikap terbuka terhadap lawan
bicara. Sementara menguap pertanda bahwa orang tersebut tidak puas dalam
berkomunikasi atau bahkan menunjukkan sikap marah.

c. Jarakfisik
Jarak fisik antara dua orang yang berkomunikasi secara tidak langsung
juga mengomunikasikan pesan itu sendiri. Dua orang yang duduk berjauhan
menandakan bahwa keduanya ada jarak, boleh jadi karena keduanya tidak
akur atau belum saling kenai. Sebaliknya, apabila jarak kedua orang begitu
dekat pertanda bahwa keduanya bisa saling menerima atau saling kenai. J arak
fisik juga menunjukkan status sosial dua orang yang berkomunikasi. Seperti
dicontohkan di muka, mantan Presiden Soeharto cenderung menjaga jarak
saat bersalaman dengan orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya
menyandang status sosial yang lebih tinggi.
6.26 PERILAKU ORGANISASI e

d. Nada suara
Nada suara merupakan salah satu indikator penting ketika seseorang
melakukan komunikasi verbal. Nada suara tinggi pertanda bahwa orang
tersebut marah. Sebaliknya, orang dengan nada suara lembut dengan tingkat
kecepatan bicara sedang menandakan kesediaan berkomunikasi dengan orang
lain. Sementara itu, orang yang punya intensitas dan antusiasme tinggi dalam
berkomunikasi biasanya akan ditunjukkan dengan nada suara yang keras dan
cepat dengan intonasi moderat.

e. Tampilan
Tampilan fisik seperti cara berpakaian juga merupakan media
komunikasi nonverbal yang tidak boleh diabaikan. Tidak luput cara ber-
pakaian bisa menunjukkan kedudukan seseorang dalam organisasi. Pelatihan
yang diorientasikan untuk membangun kepribadian, misalnya biasa
menekankan pentingnya cara berpakaian sebagai salah satu syarat agar
seseorang tampak impresif.
Berdasarkan uraian di atas maka bentuk komunikasi verbal dan
nonverbal beserta turunnya bisa digambarkan secara diagramatik seperti
tampak pada Gambar 6.3 berikut ini.

Komunikasi

t t
Verbal Non-verbal

t t
Oral Tertulis Bahasa tubuh

t
Ekspresi wajah
Face-toface Telepon •
Jarak fisik
• • • • •
Memo Surat Pamletdan News- Employee
Nada suara
buletin letter handbook

Tampilan

Gambar 6.3.
Hierarki Komunikasi
e EKMA41 58/MODUL 6 6.27

D. KOMUNIKASI ANTARINDIVIDU (INTERPERSONAL


COMMUNICATION)

Pada dasamya titik tekan pada komunikasi antarindividu (interpersonal


communication) adalah menyampaikan informasi dari seseorang ke orang
lain. Namun, harus disadari bahwa komunikasi antarindividu bukan hanya
sekadar pertukaran informasi karena selama proses pertukaran informasi,
tidak terhindarkan, terjadi hubungan interpersonal, dan pertukaran perilaku.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika komunikasi antarindividu bisa
mempengaruhi perubahan perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi dan melibatkan proses psikologi, seperti persepsi, pembelajaran,
dan motivasi. Berkaitan dengan hal ini, demi menjaga efektivitas komunikasi
maka masing-masing pihak perlu menyadari dan memperhatikan gaya
komunikasi masing-masing dan gaya komunikasi lawan bicara. McCallister
6
sebagaimana dikutip Greenberg and Baron membedakan gaya komunikasi
seseorang menjadi 5 macam, yaitu gaya seorang ningrat, socrates, reflektif,
hakim, kandidat, dan senator.

1. Gaya Ningrat
Seseorang dengan gaya ningrat cenderung mengatakan apa adanya, tanpa
disaring, terhadap apa yang ada di pikirannya. Orang seperti ini biasanya
hanya sedikit mengeluarkan kata-kata, tetapi apa yang dikatakannya langsung
pada pokok persoalan yang mendasar.

2. Gaya Socrates
Orang ini lebih suka mendiskusikannya terlebih dahulu dengan lawan
bicara sebelum membuat keputusan. Bagi seorang socrates, ia sangat
menikmati berbebat dengan lawan bicara meski harus berdiskusi dalam
waktu yang cukup lama. Ia suka pada hal-hal yang detail.

3. Gaya Reflektif
Seseorang dengan gaya reflektif sangat peduli terhadap aspek
interpersonal dalam berkomunikasi. Biasanya orang ini tidak suka menyerang
pihak lain dan cenderung menjadi pendengar yang baik. Pada akhirnya orang

6
Lihat Greenberg and Baron. Hal. 329-330.
6.28 PERILAKU ORGANISASI e

ini kadang tidak mengatakan sesuatu, kecuali yang ingin didengar oleh lawan
bicara bukan yang ingin dibicarakan. Tujuannya untuk menghindari konflik.

4. Gaya Seorang Hakim


Gaya seorang hakim adalah gaya komunikasi yang memadukan gaya
ningrat dengan gaya socrates. Seorang hakim menyampaikan apa yang dia
pikirkan dan menjelaskannya secara detail kepada pihak lawan bicara.
Seorang hakim cenderung sering merasa dirinya lebih superior dan
cenderung mendominasi dalam komunikasi.

5. Gaya Seorang Kandidat


Gaya seorang kandidat merupakan perpaduan antara gaya socrates
dengan gaya reflektif. Oleh karenanya seorang kandidat biasa sangat hangat
dan sportif dalam berkomunikasi, namun di saat yang sama dia juga suka
berlama-lama mengobrol dalam rangka menganalisis semua pembicaraan.

6. Gaya Senator
Seorang senator biasanya mengembangkan gaya ningrat dan gaya
reflektif. Meski demikian, dia tidak menggabungkan kedua gaya tersebut
seperti halnya pada gaya seorang hakim atau seorang kandidat, melainkan
menggunakan kedua gaya tersebut secara bergantian sesuai dengan
kebutuhan. Kadang-kadang kalau dianggap perlu, digunakan gaya ningrat
namun pada saat lain digunakan gaya refleksi.

Berkaitan dengan gaya komunikasi di atas, satu hal yang perlu diingat
adalah masing-masing gaya komunikasi memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Hal ini penting untuk diketahui karena meski semua gaya bisa
digunakan untuk berkomunikasi, namun seseorang cenderung lebih sering
menggunakan satu gaya tertentu ketimbang gaya-gaya yang lain. Artinya,
apabila masing-masing pihak terlalu kaku menggunakan gaya komunikasinya
dan enggan menyesuaikan diri dengan gaya komunikasi lawan bicara, bukan
tidak mungkin proses komunikasi akan terganggu mengingat tujuan
komunikasi sejak semula adalah untuk memperoleh pemahaman bersama
(common understanding) yang menuntut kedua belah pihak saling berbagi
informasi. Kecuali tujuan komunikasi tersebut adalah memberi instruksi yang
tidak membutuhkan umpan balik dari pihak lain maka komunikasi satu arah
dengan mempertahankan gaya masing-masing boleh jadi tidak masalah. Oleh
e EKMA41 58/MODUL 6 6.29

karena itu, sangat disarankan agar setiap komunikator terlebih dahulu harus
memahami gaya komunikasi dirinya dan setelah itu mencoba memahami
gaya komunikasi lawan bicara. Upaya ini sangat diperlukan agar proses
komunikasi bisa berj alan seperti yang diharapkan.
Selain perlu memperhatikan gaya komunikasi, efektivitas komunikasi
antarindi vidu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti kemampuan
mendengar, kandungan aspek nonverbal dalam komunikasi, aspek psikologis,
seperti kepercayaan, harapan, status dan nilai-nilai individu pelaku
komunikasi, serta umpan balik dalam komunikasi. Dalam komunikasi dua
arah (two-way communication), umpan balik memegang peran penting
karena efektivitas komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor ini. Pengirim
pesan bisa mengetahui apakah pesan yang disampaikan bisa diterima
penerima pesan bisa diketahui dari umpan balik yang diberikan lawan bicara.
7
Manuel London, dkk. bahkan mengatakan bahwa umpan balik bukan
sekadar memperbaiki proses komunikasi, tetapi juga meningkatkan kinerja
8
manajer dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Sementara itu, Luthan
mengidentifikasikan karakteristik umpan balik yang efektif dan tidak efektif
seperti tampak pada tabel berikut.

Tabel 6.3.
Karakteristik Umpan Balik

Urn pan Balik ,,an Efektif Umpan Balik 1anl Tidak Efektif
1. lntensi untuk membantu kinerja 1. Tidak dimaksudkan untuk membantu
karyawan. karyawan.
2. Spesifik. 2. Umum.
3. Deskriptif. 3. Evaluatif.
4. Memiliki kegunaan. 4. Tidak tepat.
5. Tepat waktu. 5. Tidak tepat waktu.
6. Mempertimbangkan kesiapan 6. Menjadikan karyawan justru berusaha
karyawan menerima umpan balik. mempertahankan diri.
7. Jelas. 7. Tidak mudah dimengerti.
8. Valid. 8. Tidak akurat.

7
M. London, et al. (1995). An Examination of the Effect of an Upward Feedback
Program Over Time. Personnel Psychology. Vol. 48.
8
Fred Luthan. (1998). Organizational Behavior. 8th edition. Hal. 475.
6.30 PERILAKU ORGANISASI e

1. Intensi
Umpan balik dikatakan efektif hanya jika umpan balik tersebut
diarahkan untuk meningkatkan kinerja karyawan dan karyawan merasa
dirinya dihargai. Komunikasi yang efektif bukan merupakan serangan
terhadap pribadi karyawan atau mempertimbangkan citranya. Umpan
balik yang efektif berkaitan dengan aspek pekerj aan.
2. Spesifik
Umpan balik yang efektif terjadi jika sengaja didesain untuk memberi
informasi spesifik kepada karyawan sehingga mereka tabu apa yang
harus dikerjakan, sedangkan umpan balik yang tidak efektif terjadi jika
umpan balik tersebut terlalu umum dan menyisakan pertanyaan di dalam
pikiran Si penerima informasi.
3. Deskriptif
Efektif umpan balik juga ditandai dengan sifatnya yang deskriptif yang
menjelaskan secara objektif apa yang telah dilakukan karyawan
ketimbang memberi penilaian secara subjektif.
4. Berguna
Jika umpan balik bisa digunakan karyawan untuk memperbaiki
kinerjanya maka umpan balik tersebut dikatakan efektif. Umpan balik
tidak dimaksudkan untuk mencemooh bahwa karyawan tidak
mempunyai keterampilan.
5. Tepat waktu
Umpan balik yang efektif juga harus mempertimbangkan waktu yang
tepat. Aturan umumnya adalah semakin cepat umpan balik diberikan
kepada karyawan akan semakin efektif sebab dengan demikian karyawan
bisa segera memperbaiki diri.
6. Kesiapan menerima umpan balik
Belum tentu seseorang siap menerima umpan balik. Oleh karenanya
karyawan harus siap untuk menerima umpan balik.
7. Kej elasan
Umpan balik harus dimengerti oleh penerima informasi, apabila tidak
maka umpan balik menjadi tidak efektif. Untuk mengetahui apakah
umpan balik tersebut dimengerti salah cara yang bisa digunakan adalah
meminta pihak lain untuk mengulang umpan balik tersebut.
8. Validitas
Agar umpan balik efektif maka umpan balik tersebut harus reliabel dan
valid. Tentu saja jika informasinya tidak benar karyawan akan merasa
e EKMA41 58/MODUL 6 6.31

bahwa sang manajer bias dalam memberikan umpan balik atau tindakan
korektif yang dilakukan karyawan tidak seperti yang diharapkan.

E. KOMUNIKASI ORGANISASI

Pada bagian ini komunikasi akan dibahas dalam perspektif yang lebih
luas, yaitu dalam konteks organisasi secara keseluruhan. Pada level
organisasi, komunikasi memiliki peran yang sangat strategis, yakni sebagai
alat untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai elemen dan
kegiatan organisasi. Baik melalui jaringan formal maupun informal,
komunikasi akan mengalirkan informasi ke segala penjuru organisasi sebagai
penggerak kehidupan organisasi. Oleh karenanya tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa seluruh kegiatan organisasi akan terhenti manakala terjadi
kemandekan komunikasi. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang komunikasi organisasi berikut ini akan dibahas ( 1) pengaruh struktur
organisasi terhadap komunikasi, dan (2) bentuk-bentuk aliran komunikasi
• •
orgamsas1.

1. Pengaruh Struktur Organisasi


Selama ini ada anggapan yang salah tentang persoalan komunikasi di
dalam organisasi. Kebanyakan orang beranggapan bahwa sebagian besar
persoalan komunikasi disebabkan karena adanya keterbatasan atau
pembatasan komunikasi. Anggapan yang salah ini sering disebut sebagai "the
myth of free communication - mitos kebebasan komunikasi". Secara
sederhana mitos ini berasumsi bahwa efektivitas komunikasi bisa dicapai jika
informasi mengalir secara bebas tanpa restriksi. Ada kesan seolah-olah
anggapan ini masuk akal karena setiap orang dan setiap unit organisasi
membutuhkan informasi, bahkan selengkap mungkin sebagai landasan agar
organisasi bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan tujuan organisasi bisa
tercapai. Untuk itu, informasi harus mengalir secara bebas. Namun, yang
benar justru sebaliknya, komunikasi akan menjadi efektif jika informasi
diatur dan dibatasi. Alasannya karena kebebasan informasi menyebabkan
timbulnya information overload- informasi berlebihan yang tidak diperlukan
bagi seseorang atau unit organisasi tertentu. Lebih dari itu, information
overload justru menyebabkan kebingungan karena penerima informasi tidak
mudah untuk menentukan informasi yang dibutuhkan dan yang tidak
dibutuhkan.
6.32 PERILAKU ORGANISASI e

Berkaitan dengan pengaturan informasi, organisasi sesungguhnya sudah


memiliki perangkat yang dibutuhkan, yakni struktur organisasi. Sebagaimana
kita ketahui struktur organisasi merupakan cetak biru (blue print) atau
'rerangka bangunan' formal tentang pembagian kerja (division of work) dan
pembagian kekuasaan (division of authority) serta koordinasi kerja yang
memungkinkan terjadinya aliran informasi dan komunikasi yang efisien dan
9
proses pengambilan keputusan yang cepat . Penjelasan ini menegaskan
bahwa salah satu fungsi struktur organisasi adalah untuk mengatur aliran
informasi dan komunikasi yang efisien. dengan kata lain, information
overload bisa diatasi dengan memanfaatkan keberadaan struktur organisasi
formal. Melalui struktur organisasi, informasi dikumpulkan, diproses,
dianalisis, dan dialirkan ke seluruh unit organisasi sesuai dengan kebutuhan
karena masing-masing unit organisasi membutuhkan informasi berbeda.
Itulah sebabnya informasi harus diatur dan dialirkan untuk menghindari
information overload. Sederhananya, persoalan organisasi tidak bisa diatasi
dengan meningkatkan informasi melainkan dengan membatasi aliran
informasi.
Sebagai ilustrasi, dalam sebuah pertunjukan musik orkestra yang
beranggotakan 60 orang dan sebelum pertunjukan dimulai keenam puluh
musisi tersebut mencoba alat musik masing-masing tanpa di pandu seorang
dirjen. Saat itu yang terdengar adalah suara bising tidak beraturan bukan
musik yang indah. Namun, ketika Sang Dirjen mulai tampil memimpin dan
mengatur para musisi serta menentukan kapan seorang musisi harus
memainkan musiknya maka saat itu terdengar alunan musik yang indah. Hal
yang sama juga berlaku bagi pola komunikasi di dalam organisasi. Untuk
beralih dari situasi yang tidak terorganisir ke situasi yang terorganisir dituntut
adanya pembatasan aliran informasi. Masing-masing individu diharuskan
menggunakan rantai komunikasi yang tepat dan hanya informasi yang
relevan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang akan dialirkan ke masing-
masing unit organisasi. Sebaliknya, informasi yang tidak dibatasi hanya akan
menimbulkan kebisingan dan kebingungan di dalam organisasi. Seperti
halnya para musisi yang tanpa koordinasi memainkan alat musiknya, hasilnya
adalah suara alat musik yang gaduh bukan musik yang indah jika tidak ada
pengaturan. Demikian juga dengan organisasi jika tidak ada struktur dan

9
Mintzberg. (1979). Restructuring Organization. Hal. 2 atau Andersen. (2002).
e EKMA41 58/MODUL 6 6.33

regulasi yang mengatur komunikasi maka setiap orang bisa melakukan


obrolan, tetapi obrolan tersebut tidak ada maknanya.

2. Aliran Komunikasi Organisasi


Di atas telah dijelaskan bahwa salah satu fungsi struktur organisasi
adalah untuk mengatur aliran komunikasi - siapa harus berkomunikasi
dengan siapa dan bagaimana aliran komunikasinya. Secara umum,
komunikasi yang diatur melalui struktur organisasi dapat dibedakan melalui
tiga bentuk, yaitu komunikasi dari atas ke bawah (downward
communication), komunikasi dari bawah ke atas (upward communication),
dan terakhir komunikasi menyamping (horizontal communication).

a. Downward communication
Komunikasi dari atas ke bawah mengalir mengikuti hierarki organisasi.
Dengan demikian, seseorang dengan posisi lebih tinggi mengalirkan
informasi ke orang lain dengan posisi lebih rendah. Pada umumnya
downward commmunication, meliputi prosedur organisasi, instruksi kerja -
menjelaskan bagaimana sebuah pekerjaan harus dilakukan, penjelasan, dan
alasan rasional mengapa sebuah pekerjaan harus dikerjakan, umpan balik
kepada bawahan yang menjelaskan kinerja mereka, dan penjelasan tentang
visi, misi, dan tujuan organisasi. Semua ragam komunikasi ini intinya adalah
untuk mendidik bawahan agar mereka mengerjakan pekerjaan dengan benar
dan merasa sebagai bagian integral dari organisasi.
Persoalan krusial dalam downward communication adalah klaim para
bawahan yang merasa bahwa informasi yang mereka terima tidak akurat dan
tidak mencukupi kebutuhan mereka. Bawahan, misalnya merasa bahwa
bahasa yang digunakan oleh atasan hanya dimengerti kalangan mereka bukan
untuk karyawan level bawah. Meski instruksi kerja sudah dibuat sedemikian
jelas kadang-kadang karyawan bahwa tidak mengerti maksudnya. Kondisi ini
akan semakin parah jika karyawan bawah mencoba menginterpretasi
instruksi kerja tersebut sesuai dengan daya nalar mereka. Di sinilah distorsi
informasi sering kali tidak bisa dihindarkan.

b. Upward communication
Jenis komunikasi kedua adalah upward communication, yakni
komunikasi yang mengalir dari level bawah ke level atas. Tujuan utama dari
jenis komunikasi ini adalah untuk memberi umpan balik atasan tentang
6.34 PERILAKU ORGANISASI e

berfungsi tidaknya organisasi tempat kerja. Dengan upward communication


karyawan level bawah diharapkan bisa memberi informasi tentang kinerja
mereka dan memberi masukan bagi atasan mereka tentang kebijakan dan
praktik organisasi. Pada umumnya, yang termasuk dalam upward
communication, misalnya memo, laporan tertulis, saran tertutup (dimasukkan
kotak saran), pertemuan kelompok, bahkan dengan menggunakan jaringan
komunikasi langsung, misalnya dengan cara mengeluh.
Salah persoalan penting dalam upward communication adalah bias
informasi dan banyaknya informasi yang difilter atau disaring. Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, salah satu tujuan upward communication adalah
untuk memonitor kinerja karyawan sehingga atasan bisa melakukan tindakan
perbaikan jika kinerja jelek. Hanya saja bawahan biasanya enggan
melaporkan hal-hal yang sekiranya akan menjadikan dirinya tampak jelek di
mata atasan. Itulah sebabnya bawahan cenderung melaporkan apa yang ingin
didengar bukan yang ingin diketahui atasan. Di Indonesia, hal ini biasa
dikenal dengan istilah AB S - asal bapak senang. Persoalan lainnya adalah
atasan cenderung meminta bawahan untuk berinisiatif untuk memberi laporan
terhadap hal-hal yang sebagaimana mestinya bukan secara aktif
mengumpulkan informasi yang diperlukan. Padahal kita tahu bahwa bawahan
sering kali enggan secara sukarela membuat laporan ke atasan jika tidak
diminta.

c. Horizontal communication
Bentuk komunikasi organisasi yang ketiga adalah komunikasi mendatar
(horizontal communication). Seperti tersirat dari namanya, komunikasi ini
tidak terjadi antara atasan dan bawahan melainkan antara seorang manajer
dengan manajer lain atau antara unit organisasi dengan unit organisasi lain
yang kedudukannya dalam organisasi setara. Komunikasi ini berfungsi
sebagai media koordinasi kerja antar ternan sejawat. Di samping itu, secara
psikologis, komunikasi ini juga memberi dukungan sejawat secara sosial
maupun emosional. Oleh karena itu, tidak jarang dengan komunikasi
mendatar muncul rasa setia kawan dan terciptalah kelompok kerja informal.
Berbeda dengan dua jenis komunikasi sebelumnya, horizontal
communication sering kali tidak mengikuti alur formal. Penyebabnya boleh
jadi karena struktur organisasi yang ada tidak memfasilitasinya. Akibatnya,
dua orang manajer setara yang hendak bertukar informasi terpaksa harus
melibatkan atasan masing-masing. Jika ini terjadi maka komunikasi menjadi
e EKMA41 58/MODUL 6 6.35

tidak efisien dan tidak realistik. B ahkan bukan tidak mungkin atasan akan
menghadapi information overload. Oleh karena itu, tidak jarang dua manajer
setara harus menempuh jalur informal untuk saling bertukar informasi.
Dengan cara ini, berarti ada kemungkinan terj adi aliran informasi tidak
terbatas yang dikhawatirkan justru akan merugikan organisasi secara
keseluruhan. U ntuk mengatasi hal ini, organisasi harus mendesain struktur
organisasi yang memungkinkan terj adinya aliran informasi secara lateral
sehingga kebutuhan informasi yang bersumber dari ternan sejawat bisa
dipenuhi, namun tidak mengakibatkan mengalirnya informasi yang tidak
perlu.

F. KOMUNIKASI INFORMAL DI DALAM ORGANISASI

Komunikasi organisasi seperti yang telah didiskusikan sebelumnya bisa


berjalan karena memanfaatkan struktur organisasi sebagai jaring untuk
mengalirkan informasi dari sumber informasi ke penerima informasi.
Komunikasi semacam ini sering disebut sebagai komunikasi formal.
Seharusnya, di dalam organisasi semua aliran informasi mengikuti pola ini
untuk menghindari bias informasi. Namun, dalam praktik tidak semua
informasi mengalir mengikuti jalur formal. Proses komunikasi kadang-
kadang memiliki pola tersendiri di luar jalur formal dan bahkan
efektivitasnya tidak jarang melebihi komunikasi formal. Komunikasi yang
mengalir di luar jalur formal disebut komunikasi informal. Terbentuknya
komunikasi formal disebabkan karena karyawan merasa tidak puas dengan
komunikasi formal. Karyawan kadang-kadang lebih percaya dengan
informasi yang beredar di luar jalur resmi. Dengan kata lain, komunikasi
formal kadang dianggap tidak cukup dan perlu didukung oleh komunikasi
informal. Hal ini bisa diartikan pula bahwa para manajer tidak boleh
mengabaikan kehadiran komunikasi informal. Paling tidak ada dua jenis
komunikasi informal yang patut mendapat perhatian, yaitu grapevine
(selentingan) dan rumor (desas-desus).

1. Grapevine (Selentingan)
Grapevine atau selentingan dalam bahasa Indonesia merupakan sistem
komunikasi informal. Artinya, informasi yang dihasilkan dari proses
komunikasi ini dan beredar dalam lingkungan organisasi bukan informasi
resmi yang bisa dipertanggungjawabkan pihak manajemen. Boleh jadi
6.36 PERILAKU ORGANISASI e

sumber informasinya resmi dari pihak manajemen perusahaan, tetapi bukan


tidak mungkin sumbernya tidak resmi. Oleh karena itu, tingkat akurasinya
masih diragukan. Namun, terlepas masih adanya keraguan terhadap tingkat
akurasi grapevine, pihak manajemen perusahaan tidak bisa mengabaikan
begitu saja kehadiran grapevine karena dilihat dari sisi positifnya grapevine
merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan persoalan lebih besar yang
harus segera ditindaklanjuti manajemen. Di samping itu, bagi pihak
karyawan itu sendiri, grapevine merupakan sumber informasi yang paling
banyak digunakan karena dianggap bisa lebih dipercaya. Oleh karena itu,
grapevine bisa dimanfaatkan sebagai pendamping informasi formal. Sebagai
contoh, apabila sebuah perusahaan hendak melakukan perubahan sistem
penggajian maka sebelum keputusan resmi dikeluarkan ada baiknya pihak
manajemen merilis isu tersebut dalam bentuk grapevine utamanya untuk
memperoleh gambaran apakah karyawan bisa menerima perubahan tersebut
atau sebaliknya.
Grapevine memiliki pola berbeda, yaitu pola untai (single strand), gosip,
random, dan klaster. Keempat pola ini bisa dilihat pada Gambar 6.4. Bentuk
pertama pola untai, yakni satu orang memberi informasi kepada orang lain
dilanjutkan dengan orang kedua memberi informasi kepada orang ketiga,
demikian seterusnya. Gosip, yakni seseorang memegang peran kunci. Dia
memberi informasi kepada semua orang. Random atau acak, yakni seseorang
secara acak memberi informasi kepada orang lain. Klaster, seseorang secara
selektif memilih orang lain untuk diberi informasi dengan harapan orang
kedua akan membocorkan informasi tersebut kepada orang lain lagi. Dari
keempat pola ini, paling banyak digunakan adalah klaster.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.37

--

Untai Gosjp Randlom (Acak) Klaster

Gambar 6.4.
Pola Aliran lnformasi Grapevine

2. Rumor (Desas-desus)
Dalam bahasa sehari-hari desas-desus dan selentingan boleh jadi
memiliki pengertian yang sama. Kedua istilah ini sering digunakan secara
bergantian untuk menjelaskan hal-hal yang belum pasti. Namun, dalam
konteks komunikasi rumor memiliki pengertian berbeda dengan grapevine.
Rumor adalah informasi yang mengalir secara tidak resmi di dalam
lingkungan organisasi dan tidak berdasarkan fakta yang bisa di verifikasi
kebenarannya. Meski tidak berdasarkan fakta, kebanyakan khalayak justru
menganggap sebaliknya, rumor merupakan informasi yang bisa dipercaya
kebenarannya. Bagi mereka informasi tersebut merupakan respons terhadap
situasi yang dianggap penting, masih bersifat ambigu, dan menimbulkan
khawatirkan. Itulah sebabnya banyak karyawan yang lebih mengandalkan
rumor ketimbang informasi resmi sebagai informasi yang lebih benar. Secara
umum, rumor mempunyai empat tujuan, yaitu untuk mengurangi
kekhawatiran, menjadikan informasi yang terbatas tersebut masuk akal,
sebagai sarana untuk mengorganisasi sekelompok orang membentuk
kelompok atau koalisi, dan untuk menunjukkan status pemicu rumor di dalam
kehidupan organisasi.
Seperti halnya grapevine, rumor merupakan bagian tidak terpisahkan
dari informasi resmi yang dirilis manajemen. Hampir bisa dipastikan,
6.38 PERILAKU ORGANISASI e

manajemen tidak bisa menghilangkan sama sekali beredamya rumor karena


rumor akan terus eksis sampai kekhawatiran dan keresahan karyawan
tereduksi atau sampai keinginan karyawan yang menjadi isu di dalam rumor
terpenuhi. Hal yang bisa dilakukan pihak manajemen hanyalah menjaga agar
rumor tidak berdampak negatif terhadap kehidupan organisasi dengan cara
membatasi peredaran dan dampak negatif rumor. Beberapa cara yang bisa
gunakan untuk meminimalisasi dampak negatif rumor adalah sebagai berikut.
a. Umumkan skedul untuk membuat keputusan penting.
b. Uraikan lebih detail terhadap keputusan-keputusan yang dianggap
inkonsisten dan rahasia.
c. Jelaskan beberapa risiko yang mungkin dihadapi terhadap keputusan
yang telah dibuat dan dampaknya di masa yang akan datang.
d. Diskusikan secara terbuka kemungkinan terburuk yang dihadapi
perusahaan daripada menimbulkan kekhawatiran yang tidak beralasan.

-
~ ._ ~ __._, ..,.

- .
~-
'
$

0 -
..
_...,... LATIHAN
t

,e -
- :.
........

'(
L

----~

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Ada sebagian pihak yang mendefinisikan komunikasi sebagai
"perpindahan makna di antara anggota kelompok". Cobalah saudara
cermati secara saksama dan diskusikan pengertian tersebut. Dari
pengamatan saudara tunjukkan bahwa pengertian tersebut tidak lengkap
sehingga menghilangkan esensi komunikasi.
2) Setujukah saudara dengan pernyataan "efektivitas komunikasi organisasi
bisa dicapai jika informasi mengalir secara bebas tanpa restriksi"?
J elaskan pendapat saudara.
3) Sejauh mana komunikasi informal diperlukan di dalam kehidupan
organisasi? J elaskan!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Secara sepintas sepertinya definisi tersebut tidak ada yang perlu


dipersoalkan. Kesan pertama menunjukkan semua unsur komunikasi
sudah terakomodasi dari definisi tersebut - ada unsur pengirim pesan,
ada makna atau informasi dan ada pihak yang menerima informasi.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.39

Namun sekali lagi jika dicermati lebih saksama harus diakui masih
adanya kekurangan dari definisi tersebut. Komunikasi yang berasal dari
kata communis mengandung pengertian saling memahami di antara
pihak-pihak yang berinteraksi. Komponen saling pengertian inilah yang
tidak tercakup dari definisi di atas. Akibatnya esensi komunikasi menjadi
hilang meski definisi tersebut memasukkan "makna yang dipindahkan"
sebagai unsur penting komunikasi.
2) Mitos "kebebasan berkomunikasi" sesungguhnya bukan persoalan yang
perlu diperdebatkan karena memperoleh informasi adalah hak setiap
orang. Persoalan menjadi berbeda jika komunikasi tersebut terjadi dalam
lingkup organisasi. Dalam kehidupan organisasi, komunikasi justru akan
menjadi semakin efektif jika ada pembatasan dalam komunikasi. Logika
yang melatarbelakangi pendapat ini adalah kebebasan informasi
menyebabkan timbulnya information overload - informasi berlebihan
yang tidak diperlukan bagi seseorang atau unit organisasi tertentu. Lebih
dari itu, information overload justru menyebabkan kebingungan karena
penerima informasi tidak mudah untuk menentukan informasi yang
dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan.
3) Untuk menghindari bias informasi, seharusnya aliran informasi
mengikuti j alur formal sej alan dengan struktur organisasi yang ada.
Namun dalam praktik tidak semua informasi mengalir mengikuti jalur
formal. Proses komunikasi kadang-kadang memiliki pola tersendiri di
luar jalur formal dan bahkan efektivitasnya tidak jarang melebihi
efektivitas komunikasi formal. Komunikasi yang mengalir di luar jalur
formal disebut komunikasi informal. Terbentuknya komunikasi informal
disebabkan karena karyawan merasa tidak puas dengan komunikasi
formal. Karyawan kadang-kadang lebih percaya dengan informasi yang
beredar di luar j alur res mi. Atau dengan kata lain, komunikasi formal
kadang dianggap tidak cukup dan perlu didukung oleh komunikasi
informal. Hal ini bisa diartikan pula bahwa para manajer tidak boleh
mengabaikan kehadiran komunikasi informal.
6.40 PERILAKU ORGANISASI e

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 1 menguraikan implikasi hubungan interpersonal


di dalam organisasi utamanya yang berhubungan dengan komunikasi.
Topik-topik penting yang dibahas pada KB 1 di antaranya adalah
pengertian komunikasi, proses komunikasi termasuk faktor yang
mempengaruhi efektivitas dan hambatan komunikasi, komunikasi verbal
vs, nonverbal, komunikasi antar individu, komunikasi organisasi dan
komunikasi informal. Topik-topik penting tersebut kemudian disajikan
secara ringkas sebagai berikut.
1. Komunikasi didefinisikan sebagai pertukaran informasi antara
pengirim dan penerima informasi sehingga pihak-pihak yang terlibat
dalam komunikasi bisa saling memahami (common understanding)
terhadap pesan atau informasi yang dikomunikasikan.
2. Proses komunikasi bisa dijelaskan melalui dua model berbeda yaitu
conduit model dan percetual model of communication - model
komunikasi berbasis persepsi. Conduit model berasumsi bahwa
komunikasi bisa dilakukan secara langsung tanpa hambatan apapun
di mana semua pesan bisa diterima secara utuh. Sedangkan
percetual model of communication menganggap bahwa setiap pesan
selalu mengandung makna yang perlu diinterpretasikan agar makna
yang terkandung dalam informasi bisa dimengerti pihak penerima
pesan. Oleh karena itu model kedua juga menganggap bahwa setiap
komunikasi sangat potensial menghadapi gangguan.
3. Berdasarkan model kedua maka unsur-unsur penting dalam proses
komunikasi adalah: pengirim pesan (sender), ide/pikiran dalam
bentuk simbol (encode), pesan (message), media, menerjemahkan
pesan dalam bentuk simbol (decode), makna, umpan balik, dan
gangguan.
4. Efektivitas komunikasi sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu tujuan berkomunikasi yang dibedakan menjadi dua yaitu
komunikasi persivasif dan supportive communication, dan
kemampuan mendengar. Termasuk dalam kemampuan mendengar
adalah: empati dalam berkomunikasi, kemampuan mendengar yang
efektif dan menyampaikan respon yang tepat.
5. Sementara itu bentuk hambatan yang mempengaruhi efektivitas
komunikasi, yaitu hambatan yang disebabkan karena: (1) proses
komunikasi, (2) pelaku komunikasi, (3) faktor fisik dan (4)
semantik.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.41

6. Berkomunikasi bisa dilakukan menggunakan kata disebut


komunikasi verbal. Komunikasi verbal bisa dilakukan melalui dua
cara yaitu: (1) secara oral - diucapkan secara langsung dan (2)
secara tertulis dengan bantuan media. Dibalik kata-kata
sesungguhnya ada elemen tersembunyi yang menjadikan pesan
menunjukkan makna sesungguhnya. Elemen tersembunyi dimaksud
adalah elemen yang bersifat nonverbal seperti: intonasi dalam
menyampaikan pesan, penyampaian kalimat yang tidak patut
(inflection), tingkat kecepatan/kelambatan dalam menyampaikan
pesan, bahasa tubuh, ekspresi waj ah dan elemen nonverbal lainnya.
Jadi komunikasi bisa dilakukan secara verbal dan nonverbal.
7. Komunikasi antar individu adalah komunikasi yang dilalukan orang
perorang. Setiap individu biasanya memiliki gaya tersendiri dalam
berkomunikasi. Gaya komunikasi seseorang bisa menjadi 5 macam
yaitu: gaya seorang ningrat, socrates, reflektif, hakim, kandidat dan
senator.
8. Selain antar individu, komunikasi juga terjadi pada level organisasi
Pada level organisasi, komunikasi memiliki peran yang sangat
strategis, yakni sebagai alat untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan berbagai elemen dan kegiatan organisasi. Baik
melalui jaringan formal maupun informal, komunikasi akan
mengalirkan informasi ke segala penjuru organisasi sebagai
penggerak kehidupan organisasi. Ada dua faktor yang
mempengaruhi komunikasi organisasi yaitu struktur organisasi dan
aliran informasi. Unsur pertama menjadi pembatas aliran informasi
untuk menghindari information overload dan unsur kedua,
bentuknya bisa berupa downward, upward dan horizontal.
9. Jika komunikasi formal tidak berjalan efektif maka akan terbentuk
alur informasi informal yaitu informasi yang mengalir melalui j alur
di luar jalur formal. Ujudnya berupa selentingan (grapevein) dan
desas-desus (rumors).

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Berikut ini adalah pernyataan yang benar tentang komunikasi, kecuali ....
A. komunikasi dimaksudkan agar kedua belah pihak bisa saling
memahami
B. komunikasi tidak harus dilalukan dengan orang lain melainkan bisa
dengan teknologi mesin
6.42 PERILAKU ORGANISASI e

C. struktur organisasi merupakan faktor penghambat efektivitas


komunikasi
D. kebebasan aliran informasi menjadi faktor penyebab efektivitas
komunikasi

2) Jika komunikasi formal tidak berjalan efektif maka ....


A. sangat potensial terj adi konflik
B. karyawan akan menggunakan jalur komunikasi informal
C. boleh jadi tujuan organisasi tidak tercapai
D. semuajawaban di atas benar

3) Salah satu gaya komunikasi yang bisa dilalukan seseorang adalah ....
A. Gaya komunikasi nonverbal
B. Gaya socrates
C. Gaya komunikasi langsung
D. Conduit model

4) Hambatan terciptanya komunikasi yang efektif yang disebabkan karena


proses komunikasi bisa berupa ....
A. kesalahan dalam memberikan umpan balik
B. egoisme pelaku komunikasi dalam menginterpretasikan pes an
C. jarak yang berkomunikasi terlalu jauh
D. hambatan karena semantik

5) Contoh dari komunikasi nonverbal adalah sebagai berikut ....


A. Tampilan fisik komunikator
B. Teleconference
C. Newsletter
D. Komunikasi tertulis

Cocokkanlahjawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal
e EKMA41 58/MODUL 6 6.43

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
6.44 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Konflik dan Negosiasi

onflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sebuah


organisasi. Artinya, selama ada organisasi dan di dalamnya terjadi
interaksi, baik interaksi internal, yakni interaksi antarindividu atau interaksi
antarkelompok/departemen/unit organisasi maupun interaksi ekstemal, yakni
interaksi antarorganisasi, selama itu pula konflik tidak bisa dihindarkan.
Konflik dengan demikian merupakan fenomena organisasi yang selalu hadir
menyertai kehidupan organisasi. Oleh karena itu, konflik sesungguhnya tidak
perlu dihindari, apalagi konflik tidak selamanya berdampak buruk bagi
organisasi. Hal yang perlu dilakukan para manajer sebagai penanggung jawab
organisasi adalah mengelola konflik utamanya untuk menghindari atau paling
tidak meminimalisasi dampak buruknya dan di saat yang sama mendorong
terjadinya konflik yang sehat (fungsional). Di samping itu, mengelola konflik
juga dimaksudkan untuk mencari penyelesaian agar tercapai win-win solution
sehingga tidak timbul tersembunyi (latent conflict) yang berkepanjangan.
Untuk itu, seorang manajer dituntut memiliki kemampuan negosiasi meski
kadang-kadang melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik tidak
bisa dihindarkan
Menyadari akan pentingnya memahami konflik dan upaya
penyelesaiannya maka pada Kegiatan Belajar 2 akan dibahas berbagai
persoalan yang berkaitan dengan konflik mulai dari sifat dasar konflik, tipe-
tipenya dan manajemen konflik. Di samping itu, akan dibahas pula konsep
negosiasi sebagai bagian dari upaya mengatasi konflik. Namun, sebelum
kedua topik penting tersebut dibahas terlebih dahulu akan dibahas secara
singkat dinamika hubungan interpersonal yang mengarah terjadinya konflik.
Dengan selesainya topik bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan konsep tentang konflik - sebab dan implikasinya dan cara-cara
penyelesaiannya. Di samping itu, Anda diharapkan juga mampu menganalisis
dan memilah-milah konflik serta mampu menciptakan konflik yang
fungsional.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.45

A. DINAMIKA HUBUNGAN INTERPERSONAL

Organisasi merupakan berkumpulnya beberapa orang dengan berbagai


macam latar belakang. Mereka berasal dari latar belakang pendidikan,
budaya, etnik, status sosial, dan pengalaman berbeda. Dengan keragaman
seperti ini bukan hal yang tidak biasa jika organisasi diperlakukan bukan
sekadar alat untuk mencapai tujuan tetapi menyerupai sebuah masyarakat
dengan segala ragam kehidupan sosial yang melekat di dalamnya. Layaknya
sebuah masyarakat, anggota organisasi memiliki perilaku beragam. Oleh
karena itu, ketika mereka berinteraksi dengan anggota organisasi lain, ada
anggota organisasi yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain
(berperilaku prososial atau altruism), ada yang berperilaku kooperatif, dan
kompetitif. Bahkan tidakjarang mereka yang lebih mementingkan diri sendiri
sehingga bukan mustahil sering memicu timbulnya konflik. Jika perilaku-
perilaku tersebut dikontraskan maka akan tampak seperti gambar berikut ini.

Menper-
hatikan 1\tlerren-
kepen- tingkan
tingan Altruism Kooperatif Konpettitf konflik diri
orang serrliri
lain

Gambar 6.5.
Kontinum Perilaku Interpersonal di Dalam Organisasi

Seperti tampak pada gambar di atas, hubungan interpersonal dapat


dibedakan menjadi empat macam perilaku, yaitu altruism, kooperatif,
kompetitif, dan konflik.

1. Alturism
Sering juga disebut perilaku prososial atau dalam konteks organisasi
disebut organizational citizenship behavior-perilaku kewargaan organisasi
adalah perilaku yang dimotivasi untuk mendahulukan kepentingan orang lain
ketimbang dirinya sendiri. Orang yang bertindak untuk kepentingan orang
lain biasanya mau berkorban, apakah dalam bentuk fisik, mental atau emosi
tanpa berharap dapat kompensasi dari siapa pun. Termasuk dalam perilaku
altruism untuk hal-hal kecil, misalnya memegangi pintu agar tetap terbuka
6.46 PERILAKU ORGANISASI e

sehingga orang berikutnya tidak perlu bersusah payah membuka pintu.


Perilaku altruism untuk hal-hal besar yang bisa mengorbankan nyawa,
misalnya menolong orang yang terseret ombak besar tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya.

2. Kooperatif
Perilaku kooperatif hampir sama dengan perilaku altruistik sehingga
banyak yang salah paham seolah-olah pengertian keduanya sama. Padahal
perilaku altruistik dan kooperatif sesungguhnya berbeda. Perbedaan
keduanya terletak pada dampak bagi orang yang membantu orang lain. Jika
Anda membantu orang lain dan tidak berharap apa-apa maka perilaku
menolong tersebut adalah perilaku altruistik. Namun, Anda membantu orang
lain dan dengan membantu orang lain tersebut sesungguhnya Anda
membantu diri sendiri maka perilaku seperti ini disebut perilaku kooperatif.
Sebagai contoh, Anda dan seorang ternan kerja hendak membawa barang
berukuran besar ke lantai 5 sehingga mau tidak mau harus menggunakan lift.
Untuk memasukkan barang ke lift kedua orang ini harus bekerja sama di
mana orang pertama mendorong barang masuk ke lift dan yang satunya
menj aga pintu lift tetap terbuka agar barang tersebut bisa masuk lift. Perilaku
kerja sama kedua orang ini adalah perilaku kooperatif karena keduanya
sesungguhnya saling membantu.

3. Kompetitif
Istilah kompetisi sangat familier di telinga kita. Hampir setiap hari kita
disuguhi kegiatan-kegiatan yang bersifat kompetitif mulai dari kompetisi
sepak bola Liga Super Indonesia (LSI) sampai ke Olimpiade Sains Nasional
(OSN). Semua orang tabu dan karena aturannya demikian bahwa dalam
kegiatan yang bersifat kompetisi hanya akan menghasilkan satu orang atau
satu klub menjadi pemenang tidak peduli apakah itu LSI atau OSN. Contoh
ini memberi gambaran bahwa secara umum kompetisi merupakan interaksi
antara dua orang atau lebih atau antara dua pihak atau lebih di mana tidak
semua orang atau semua pihak bisa secara bersama-sama memenuhi
tujuannya. Keberhasilan seseorang atau satu pihak akan menghalangi orang
lain atau pihak lain untuk mencapai tujuannya. Kompetisi his a terj adi
antarkelompok, di dalam kelompok atau antarindividu. Berkaitan dengan hal
ini, yang dimaksud dengan perilaku kompetitif adalah perilaku yang berusaha
mengalahkan orang lain atau pihak lain demi mencapai tujuan.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.47

4. Konflik
Berbeda dengan kompetisi yang merupakan tindakan mengalahkan pihak
lain, konflik akan muncul jika seseorang atau satu pihak "menganggap"
orang lain atau pihak lain menghalangi dirinya untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki. Penjelasan ini menyiratkan bahwa konflik terjadi apabila dua
pihak memiliki tujuan yang bersifat mutually exclusive dan interaksi di antara
keduanya sengaja dimaksudkan untuk mengalahkan, menekan atau
mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Sebagai contoh, mandeknya
negosiasi antara serikat buruh dengan manajemen tentang kenaikan upah
sering kali menyebabkan pihak serikat buruh memutuskan untuk mogok
kerja. Tujuannya tidak lain agar pihak manajemen menuruti keinginan pihak
serikat kerja. Meski demikian kedua belah pihak tidak jarang bertahan pada
posisi masing-masing untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat di antara
keduanya. Konflik perburuhan ini merupakan salah satu contoh konflik
antarkelompok. Penjelasan lebih detail tentang persoalan konflik akan
dibahas pada bagian berikut ini.

B. HAL IHWAL KONFLIK

Penjelasan di atas menegaskan bahwa konflik merupakan bagian integral


dari kehidupan organisasi yang tidak bisa dihindari. Hal ini bisa diartikan
bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan. Dalam lingkup organisasi, konflik
bukan hanya terjadi antarindividu, antarkelompok atau di dalam kehidupan
kelompok, tetapi juga antarorganisasi. Dalam lingkup yang lebih makro,
konflik bahkan bisa terjadi antara negara dengan negara lain. Konflik tidak
berkesudahan antara Palestina dan Israel adalah contohnya. Selain itu,
definisi di atas juga menyiratkan bahwa sumber konflik tidak selamanya riil.
Kata "menganggap" pada definisi konflik bisa diartikan bahwa sumber
konflik bisa bersifat imajiner (tidak riil). Dalam hal ini, konflik lebih
disebabkan karena persepsi bahwa dirinya mendapat ancaman atau tekanan
yang belum tentu benar bahwa pihak lain betul-betul mengancam atau
menekan. Artinya, konflik bisa jadi karena anggapan sepihak. Terlepas
apakah sumbemya riil atau hanya sekadar anggapan (persepsi), toh akibatnya
sama. Hal yang paling sering konflik mengganggu jalannya proses organisasi
meski tidak jarang konflik juga memiliki nilai manfaat. Perhatian situasi-
situasi organisasi berikut ini yang menjadikan konflik organisasi merupakan
sebuah keniscayaan.
6.48 PERILAKU ORGANISASI e

1. Terus-menerus terj adi perubahan.


2. Semakin beragamnya komposisi karyawan.
3. Semakin banyak aktivitas organisasi yang dikerjakan berbasis tim kerja
baik yang bersifat virtual maupun self-managed team.
4. Semakin seringnya digunakan komunikasi tidak langsung, khususnya
komunikasi melalui internet.
5. Semakin tingginya globalisasi yang mengakibatkan terj adinya transaksi
lintas budaya.

Untuk menegaskan bahwa konflik merupakan sebuah keniscayaan, Dean


Tjosvold dalam bukunya "Learning to manage conflict", misalnya
mengatakan bahwa "change begets conclict, conflict begets change -
perubahan akan menurunkan konflik dan konflik akan rnenurunkan
perubahan". Pernyataan ini secara tidak lang sung rnenj adi tantangan bagi
para rnanajer agar rnengelola konflik bukan menghindarinya karena alat dan
berbagai rnacam solusi untuk rnenyelesaikan konflik tersedia melirnpah.
Sernua pilihan tersebut berada di tangan para manajer: Menjadi rnanajer yang
rnengelola konflik atau rnenjadi rnanajer yang dikelola konflik. Hal yang
pasti agar tidak terjebak di dalam konflik, para manajer dianjurkan untuk
rnengelola konflik dan dengan dernikian dituntut rnemiliki skill untuk
keperluan tersebut. Lebih-lebih di rnasa yang akan datang dengan semakin
kornpleksnya kehidupan organisasi kemungkinan eskalasi konflik juga
sernakin tinggi. Sederhananya, para rnanajer di rnasa kini dan rnendatang
perlu memahami dinamika konflik dan tahu cara untuk menanganinya.

1. Konflik Fungsional dan Disfungsional


Pada mulanya ada anggapan bahwa konflik selalu berdarnpak negatif.
Sarnpai tahun 1970-an banyak yang beranggapan seperti ini, yakni konflik
rnengganggu harrnoni kehidupan organisasi sehingga harus dihindari
dan/atau segera diselesaikan. Setelahnya pandangan rnulai berubah. Para
teoretisi perilaku organisasi mulai meyakini bahwa konflik bisa berdampak
positif rnaupun negatif bergantung pada sifat dan intensitasnya. Pandangan
yang baru secara revolusioner rnenyatakan bahwa konflik yang terlalu rendah
justru berdarnpak negatif bagi organisasi. Hal yang juga berlaku bagi
organisasi yang tingkat konfliknya terlalu tinggi, sedangkan konflik yang
rnoderat berdarnpak positif. Kelornpok kerj a, departernen atau organisasi
dengan tingkat konflik yang terlalu rendah cenderung apatis, tidak kreatif,
e EKMA41 58/MODUL 6 6.49

ragu-ragu, dan sulit memenuhi batas waktu. Sebaliknya, konflik berlebihan


menyebabkan terganggunya kinerja organisasi karena tingginya ketegangan
politik organisasi, ketidakpuasan karyawan, lemahnya tim kerja, dan
tingginya perputaran karyawan. Berbeda dengan situasi konflik di atas,
konflik moderat justru berdampak positif, seolah-olah memberi energi baru
bagi karyawan untuk menatap masa depan organisasi secara konstruktif. Oleh
karena itu, belakangan banyak manajer yang dalam batas-batas tertentu justru
sengaja menciptakan konflik, terutama konflik moderat, untuk menciptakan
dinamika organisasi. Secara umum, tingkat intensitas konflik dan dampak
yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Gambar 6.6 berikut ini .

•• ••
Positif •• ••
•• ••
0 •• ••
u •• ••
•• ••
T •• ••
c • •
•-. -· !\Clt}fl.i~.Y~!lll. m<l~~J2-!_.- ·-· .. -·-.-.-.-·-
0
Netral ·-·-·-·-·-·-· •• .•
•• ••
M •• ••
E Kon . ik ter- •• •• Kon•
terlalu
•• •• tmgg1
• •

s lalu rendah ••
••
••
••
Negatif •• ••

Rendah Sedang Tinggi

INTENSITAS

Gambar 6.6.
Hubungan antara lntensitas Konflik dan Hasilnya

Tampak pada Gambar 6.6 bahwa konflik yang moderat justru akan
menciptakan kinerja paling optimal. Konflik semacam ini oleh Tjosvold
10
disebut sebagai konflik yang konstruktif atau kooperatif dan secara umum
11
disebut sebagai functional conflict (konflik fungsional) karena berdampak

10
Lihat Dean Tjosvold. Learning to Manage Conflict.
11
A.C. Amason. (1996). Distinguishing the Effect of Functional and Dysfunctional
Conflict on Strategic Decision Making: Resolving a Paradox for Top Management
Teams. Academy of Management Journal. Hal. 33-52.
6.50 PERILAKU ORGANISASI e

positif bagi organisasi. Tjosvold lebih lanjut mengatakan bahwa dampak


yang diharapkan dari konflik yang konstruktif adalah sebagai berikut.
a. Tercapai kesepakatan (agreement) yang setara dan fair
Namun, kesepakatan ini meninggalkan perasaan kecewa atau salah satu
pihak merasa dikalahkan maka akan menimbulkan konflik lebih lanjut.
b. Terjadi hubungan yang lebih kuat
Jika telah tercapai kesepakan yang baik maka pihak-pihak yang
berkonflik bisa saling percaya untuk membangun masa depan bersama.
c. Tercipta proses pembelajaran
Konflik yang fungsional pada akhirnya akan mendorong masing-masing
pihak menyadari kelebihan dan kekurangannya dirinya. Kesadaran diri
semacam ini menjadi landasan yang untuk mencapai tujuan organisasi
yang lebih besar. Di samping itu, konflik fungsional juga menjadi dasar
untuk menyelesaikan persoalan secara kreatif.

Sementara itu, tidak ada atau rendahnya konflik dan konflik berlebihan
sangat potensial merugikan semua pihak yang terlibat dalam konflik di
samping merugikan organisasi secara keseluruhan. Konflik semacam ini
disebut sebagai konflik yang bersifat disfungsi (dysfunctional conflict) -
konflik yang tidak sehat. Jenis konflik inilah yang segera harus diatasi agar
tidak menjalar ke mana-mana.

2. Anteseden Timbulnya Konflik


Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya konflik. Satu situasi
tertentu akan menyebabkan konflik lebih tinggi dibandingkan situasi yang
lain. Oleh karena itu, dengan mengetahui anteseden timbulnya konflik,
seorang manajer bisa mengantisipasi lebih dini untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan agar terhindar dari timbulnya konflik yang tidak
sehat (dysfunctional conflict). Di antara situasi yang bisa menimbulkan
konflik baik konflik fungsional maupun konflik disfungsional adalah sebagai
berikut.
a. Kepribadian atau sistem nilai yang tidak cocok.
b. Deskripsi kerja yang tumpang tindih atau tidak jelas.
c. Bersaing untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas jumlahnya.
d. Kompetisi antardepartemen atau antarkelompok.
e. Kemandekan komunikasi.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.51

f. Tugas yang saling tergantung (yakni seseorang tidak bisa merampung-


kan tugasnya sampai orang lain menyelesaikannya).
g. Kompleksitas organisasi.
h. Standard, kebijakan atau aturan yang tidak jelas atau tidak masuk akal
i. Batas waktu penyelesaian tugas yang terlalu pendek.
j. Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan semakin tinggi potensi
terjadinya konflik).
k. Pengambilan keputusan berdasarkan konsensus.
1. Tidak terpenuhinya sebuah harapan (karyawan terlalu berharap).
m. Konflik yang tidak terselesaikan.

3. Proses Terjadinya Konflik


Secara umum, konflik adalah suatu proses yang tidak terj adi seketika.
Sebelum benar-benar menjadi konflik, ada beberapa kejadian yang
mendahuluinya. Bisa dikatakan konflik bermula dari interaksi antar dua pihak
yang bersifat wajar. Tanda-tanda konflik baru muncul jika dalam interaksi
tersebut ada kej adian yang sedikit mengganggu. Di sinilah potensi konflik
mulai muncul. Gangguan kecil ini sesungguhnya tidak akan menimbulkan
apa-apa jika pihak-pihak yang berinteraksi tidak menganggapnya sebagai
gejala konflik dan tidak memasukkannya ke dalam hati. Namun, proses ini
berlanjut maka konflik menjadi nyata dan akan berdampak baik positif
maupun negatif. Proses terj adinya konflik tersebut dapat dilihat pada
Gambar 6.7 berikut ini.
Tahapl Tahap II Tahap III Tahap IV
Potensi kontlik Kognisi& --•Ill Prilaku konflik _ _ _....,.Ill Hasil konflik
pesonalisasi

Persepsi
tentang Hasil positif
konflik
Anteseden:
Ko rrunikasi
Struktur organis asi Kontlik
terbuka
Kepribadian
Merasakan
adanya
konflik Hasil negatif

Gam bar 6. 7.
Proses Terjadinya Konflik
6.52 PERILAKU ORGANISASI e

Tahap I: anteseden munculnya konflik


Konflik sering kali dipicu oleh hal-hal atau kejadian yang tidak secara
langsung menyebabkan konflik. Kejadian tersebut terkadang hanya
menimbulkan perbedaan pendapat atau menyebabkan terjadinya oposisi
antara dua pihak yang berinteraksi. Contoh sederhana untuk meng-
gambarkan hal ini, misalnya ketika dua orang saling berkomunikasi maka
potensi munculnya sering kali tidak bisa dihindarkan. Komunikasinya itu
sendiri bukan penyebab konflik, tetapi kesalahpahaman atau gangguan
selama komunikasi berlangsung itulah yang sesungguhnya menjadi pemicu
timbulnya konflik. Gangguan tersebut bisa menyebabkan komunikasi yang
semula berjalan lancar bisa berubah menjadi ajang perdebatan yang
mengarah pada situasi yang argumentatif dan saling berseberangan. Di
sinilah bibit konflik mulai muncul. Selain komunikasi banyak kej adian lain
seperti yang telah disebut di atas yang menjadi anteseden timbulnya konflik.

Tahap II: kognisi dan personalisasi


Jika situasi atau kejadian yang dijelaskan pada tahap I menyebabkan
salah satu pihak merasa frustrasi maka potensi atau bibit konflik berlanjut
menjadi sebuah kesadaran akan adanya aroma konflik. Selanjutnya, bukan
hanya kesadaran yang berbicara, tetapi juga sisi emosi mulai terlibat. Artinya,
situasi atau kejadian yang berpotensi menimbulkan konflik akan benar-benar
menjadi konflikjika salah satu dari mereka menyadari bahwa potensi tersebut
pada saatnya akan benar-benar menjadi konflik. Kesadaran ini menunjukkan
bahwa di antara dua pihak yang berinteraksi sesungguhnya sudah memiliki
persepsi tentang adanya konflik. Situasi ini disebut perceived conflict, yaitu
kesadaran dari salah satu atau kedua belah pihak terhadap kondisi yang
memungkinkan timbulnya konflik. Jika kesadaran tersebut berkembang,
dirasakan dan terintemalisasi ke dalam diri masing-rna sing pihak maka
perceived conflict berubah menjadi felt conflict, yaitu keterlibatan emosi,
seperti frustrasi, kekhawatiran, ketegangan atau permusuhan dalam proses
penciptaan konflik.

Tahap III: perilaku konflik


Konflik pada awalnya hanya potensi dan berubah menjadi kesadaran.
Jika situasi ini berlanjut, yakni masing-masing pihak menginternalisasi ke
dalam diri masing-masing berarti hanya tinggal menunggu kapan konflik
muncul ke permukaan menjadi konflik terbuka. Sebuah konflik dikatakan
e EKMA41 58/MODUL 6 6.53

sebagai konflik terbuka jika salah satu pihak dengan sengaja melakukan
tindakan nyata untuk membuat pihak lain frustrasi atau untuk menghalang-
halangi pihak lain mencapai tujuannya. Perilaku konflik ini muncul dalam
berbagai ragam mulai dari perilaku yang halus, tidak langsung sampai
perilaku yang sangat terbuka yang sengaja untuk mengintervensi pihak lain.

Tahap IV: dampak konflik


Munculnya konflik secara terbuka secara otomatis akan menimbulkan
berbagai macam konsekuensi. Secara umum, konsekuensi-konsekuensi
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu konflik yang menghasilkan
peningkatan kinerja disebut konflik fungsional dan konflik yang menghambat
kinerja disebut konflik disfungsional. Penjelasan detail tentang kedua
dampak konflik ini telah dilakukan pada bagian sebelumnya.

C. TIPE KONFLIK

Berdasarkan anteseden atau awal mula terjadinya konflik seperti telah


diuraikan di atas, secara umum konflik dapat dibedakan menjadi tiga macam
tipe konflik, yaitu konflik kepribadian, konflik antarkelompok, dan konflik
lintas budaya. Masing-masing tipe akan diuraikan lebih detail sebagai
berikut.

1. Konflik Kepribadian
Topik tentang kepribadian telah dibahas pada modul dua. Di sana
dikatakan bahwa setiap individu pasti memiliki kekhasan yang tidak mudah
berubah. Karakteristik individu yang tidak mudah berubah ini sering kali
menjadi salah satu sebab ketidakharmonisan dalam berinteraksi. Ambillah
contoh Anda seorang manajer dengan kepribadian "Tipe A" yang
menghadapi anak buah dengan Tipe B. Seperti dijelaskan sebelumnya
seseorang dengan kepribadian Tipe A adalah tipikal orang yang tidak sabar,
serba ingin cepat, tensinya tinggi dan kalau berbicara cenderung dengan
bahasa yang pragmatis. Sementara orang dengan Tipe B adalah tipikal orang
sebaliknya. Jika keduanya berinteraksi boleh jadi Si Anak buah akan selalu
"merasa tertekan" dan menganggap tuntutan Sang Manajer tidak masuk akal
dan berlebihan. Perasaan seperti inilah yang mengakibatkan kedua belah
pihak pada awalnya saling tidak suka dan seterusnya merembet ke persoalan
6.54 PERILAKU ORGANISASI e

personal - Sang Manajer menganggap anak buah terlalu lamban sebaliknya


Si Anak buah merasa Sang Manajer terlalu cerewet.
J adi, konflik kepribadian secara umum adalah saling beroposisi
antarindi vidu yang didasarkan pada perasaan tidak suka, tidak sependapat,
danlatau perbedaan gaya masing-masing. Persoalan seperti ini bukan hanya
terjadi antara atasan dan bawahan, tetapi juga bisa terjadi antar ternan kerja.
Bahkan menyebabkan kadang-kadang bermula dari hal-hal sepele.
Katakanlah Anda satu ruangan dengan ternan kerja yang lebih senior yang
kalau bekerja selalu diiringi sedang suara musik "dangdut" yang tidak Anda
sukai. Pada mulanya Anda mungkin hanya diam tetapi lama kelamaan mulai
menggerutu karena merasa terganggu. Sebelum berani berkonfrontasi secara
langsung, Anda mungkin mencari dukungan dari ternan kerja lain dengan
mengatakan ternan senior Anda tidak beradab, kampungan atau mengatakan
"apa kata dunia hari gini masih memutar musik dangdut". Jika merasa
mendapat dukungan, Anda mungkin akan menyuarakan langsung keluhan
tersebut, namun jangan berharap hasilnya positif karena bagi ternan senior
tadi musik dangdut adalah bagian dari hidupnya. Pada saat inilah konflik
menjadi semakin terbuka karena masing-masing pihak bersikukuh
mempertahankan posisinya.
Konflik kepribadian seperti tersebut di atas cenderung mengarah pada
konflik tidak sehat yang merugikan organisasi. Oleh karena itu, bukan hanya
pihak-pihak yang terlibat konflik yang harus menghindarinya atau
menyelesaikannya dengan segera, pihak manajemen juga harus segera turun
tangan menangani persoalan ini. Kalau tidak secara keseluruhan kinerja
organisasi akan terganggu. Dua cara sederhana untuk menangani konflik
kepribadian, yakni mengakibatkannya atau memindahkan salah seorang yang
berkonflik ke unit kerja lain. Namun, dua cara ini hanya akan menimbulkan
latent conflict - konflik terpendam yang sewaktu-waktu akan muncul
kembali. Cara yang komprehensip adalah dengan melibatkan semua pihak
yang berkonflik yang dipandu manajemen dan kalau perlu dimediasi pihak
ketiga. Tips untuk menyelesaikan konflik kepribadian dapat dilihat pada tabel
berikut.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.55

Tabel 6.4.
Tips untuk Menyelesaikan Konflik Kepribadian

Tips bagi Pihak Ketiga Tips bagi Manajer yang


Tips bagi Karyawan yang
Pemantau Konflik Karyawannya Terlibat
Terlibat Konflik Kepribadian
Kepribadian Konflik Kepribadian
1. Komunikasikan secara 1. Jangan memihak salah 1. Lakukan investigasi
langsung dengan pihak satu pihak yang dan buatlah catatan
lain untuk menyelesaikan berkonflik berkaitan dengan
persepsi konflik (tekan- konflik
kan pembicaraan pada 2. Jika dianggap perlu
pokok persoalan bukan lakukan tindakan
pada kepribadian korektif
2. Hindari untuk menarik 2. Berilah saran pihak- 3. Jika dianggap perlu
ternan kerja ke dalam pihak yang berkonflik selesaikan secara
konflik berupaya mencari jalan informal
untuk menyelesaikan
konflik secara
konstruktif dan positif
3. Jika konflik disfungsi terus 3. Jika konflik disfungsi 4. Untuk konflik yang
berlanjut, segeralah minta terus berlanjut, bawalah sangat sulit, bawalah
bantuan atasan langsung persoalan tersebut ke persoalan ini ke
atau manajer SDM atasan masing-masing manajer SDM atau
~ihak konsultan

2. Konflik Antarkelompok
Konflik tidak hanya terjadi antarindividu, tetapi juga antarkelompok.
Konflik antarkelompok kerja, tim kerja atau antardepartemen kadang-kadang
tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga mengancam daya kompetisi
organisasi. Di antara penyebabnya adalah rebutan sumber daya yang terbatas
jumlahnya. Di samping itu, bibit konflik yang paling sering justru tingkat
kohesivitas kelompok atau tim. Sebagaimana kita ketahui, kohesivitas
kelompok atau tim sangat baik bagi mulusnya kerja kelompok atau tim.
Namun, perasaan "kekaitan" yang berlebihan menyebabkan timbulnya
groupthink -pikiran kelompok yang menganggap bahwa kelompoknya yang
paling benar, paling hebat, dan paling segalanya sehingga tidak sensitif
terhadap kelompok lain. Akibatnya, kelompok tersebut juga cenderung
resisten ketika kelompok lain mengkritiknya. Cara berpikir kelompok seperti
inilah yang menyebabkan konflik antarkelompok semakin merebak karena
semakin kohesif sebuah kelompok semakin menganggap kelompok lain
kurang bermakna. Secara umum, semakin kohesif sebuah kelompok perilaku
kelompok berikut akan muncul:
6.56 PERILAKU ORGANISASI e

a. Anggota kelompok memandang dirinya sebagai kelompok yang


memiliki karakter sementara kelompok lain dianggap biasa-biasa saja.
b. Anggota kelompok memandang dirinya secara positif dan benar secara
moral dan memandang anggota kelompok lain secara negatif dan
immoral.
c. Sebuah kelompok menganggap kelompok lain sebagai ancaman.
d. Anggota kelompok biasanya membesar-besarkan perbedaan antara
kelompoknya dengan kelompok lain meski kenyataan belum tentu
demikian. Semua ini karena adanya persepsi terdistorsi.

Berbeda dengan konflik kepribadian yang dampaknya terhadap


organisasi lebih mudah dilokalisir, konflik antarkelompok yang melibatkan
lebih banyak individu akan lebih nyata dampaknya terhadap daya kompetitif
organisasi. Oleh karena itu, para manajer harus memberi perhatian ekstra
terhadap masalah ini sebab kalau tidak kinerj a organisasi hampir pasti
terganggu. Bahwa manajer tidak bisa menghilangkan sama sekali cara
berpikir kelompok boleh jadi benar, tetapi seorang manajer tidak boleh
mengabaikan cara berpikir kelompok ketika sedang menangani konflik
antarkelompok. Salah satu cara untuk menangani konflik antarkelompok
adalah dengan memperbanyak interaksi antarkelompok. Cara ini disebut
12
contact hypothesis . Cara ini menjelaskan bahwa semakin kelompok
berinteraksi dengan kelompok lain semakin rendah kemungkinan terjadinya
konflik antarkelompok. Dengan tingginya interaksi tersebut diharapkan
masing-masing kelompok semakin memahami kelompok lain dan terjalin
saling percaya sehingga anggapan-anggapan negatif terhadap kelompok lain
semakin berkurang. Jadi, inti dari contact hypothesis adalah meminimalisasi
persepsi negatif terhadap kelompok lain. Bagi manajer yang menangani
konflik antarkelompok, prioritas utamanya adalah mengidentifikasi akar
penyebab hubungan negatif kedua kelompok sebab konflik antarkelompok
tidak jarang disebabkan karena hubungan negatif antardua individu dari dua
kelompok berbeda yang kemudian mereka menjadi konflik antarkelompok.

12
G. Labianca, D.J. Brass and B. Gray. (1998). Social Networks and Perceptions of
Intergroup Conflict: The Role of Negative Relationships and Third Parties.
Academy of Management Journal. Hal. 55-57.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.57

3. Konflik Lintas Budaya


Tipe ketiga adalah konflik lebih disebabkan karena perbedaan budaya
kedua belah pihak yang berinteraksi. Pada umumnya, konflik semacam ini
muncul ketika dua belah pihak yang berbeda latar belakang budaya saling
berinteraksi, misalnya melakukan transaksi bisnis antamegara baik dalam
bentuk Joint Venture, aliansi strategis, merger maupun akuisisi. Perbedaan
budaya sangat potensial menimbulkan konflik baik dalam skala menengah
maupun besar karena sejak awal mereka yang berinteraksi berbeda dalam
cara berpikir dan bertindak. Itulah sebabnya banyak kasus merger dan
akuisisi yang gagal mencapai tujuannya bukan karena salah dalam
mengantisipasi risiko finansial, tetapi lebih disebabkan karena budaya kedua
13
perusahaan tidak kompatibel • Oleh karena itu, sebelum melakukan transaksi
bisnis lintas negara terutama untuk menghindari dysfucntional conflict, para
manajer disarankan untuk memahami budaya pihak lain bukan untuk
memahami baik atau buruknya budaya tersebut, tetapi lebih dimaksudkan
untuk bisa mengakomodasi perbedaan budaya demi suksesnya transaksi
bisnis yang melibatkan jumlah uang yang tidak sedikit. Untuk itu, tidak
jarang para manajer menyewa konsultan khusus untuk menangani persoalan
budaya.

D. MANAJEMEN KONFLIK

Sej auh ini telah dibahas esensi konflik baik konflik fungsional maupun
disfungsional. Seorang manajer yang bertanggung jawab terhadap pencapaian
tujuan organisasi tentunya tidak boleh membiarkan konflik bergulir liar tanpa
arah. Membiarkan konflik berarti membiarkan dirinya terperangkap ke dalam
konflik. Sekalipun konflik fungsional tetap harus dikelola sebab perbedaan
antara konflik fungsional dengan disfungsional begitu tipis. Sebuah konflik
yang semula dianggap fungsional tiba-tiba bisa berubah menjadi
disfungsional, misalnya karena ada sebagian pihak yang merasa lelah, tidak
lagi punya energi untuk terus-menerus bersaing dengan pihak lain. Di sinilah
peran seorang manajer sangat diperlukan untuk terus-menerus mengelola,
menciptakan konflik fungsional, dan di saat yang menjaganya agar tidak
terjerumus ke arah konflik disfungsional. Hal ini perlu mendapat perhatian

13
Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi.
6.58 PERILAKU ORGANISASI e

karena konflik biasanya melibatkan emosi sehingga menyelesaikan konflik


disfungsional j auh lebih sulit ketimbang menciptakan konflik fungsional.
Salah satu cara untuk mendorong terciptanya konflik fungsional adalah
dengan membuat konflik terprogram - upaya disengaja untuk menciptakan
konflik fungsional. Upaya tersebut dilakukan dengan cara memberi
kesempatan berbagai pihak untuk mengemukakan pendapat yang berbeda
sekalipun tanpa harus merasa ewuh pekewuh atau mempertimbangkan
14
perasaan pribadi masing-masing pihak . Tujuan dari konflik terprogram
adalah untuk memperoleh berbagai macam masukan, mempertahankan
pendapat atau mengkritisi pendapat pihak lain, yang didasarkan pada fakta
bukan berdasarkan interes pribadi atau kepentingan politik. Dua pendekatan
his a digunakan untuk menciptakan konflik terprogram, yaitu devil' s
advocacy dan dialectical method.
Devil's advocacy adalah menunjuk seseorang untuk memposisikan diri
sebagai pengkritik terhadap pendapat, usulan atau proposal pihak lain.
Tujuannya agar seseorang terbiasa dengan pikiran kritis dan menguji sejauh
mana usulan pihak lain bisa diterima dan logis. Cara ini juga menjadi media
berlatih bagi seseorang untuk meningkatkan kemampuan analitik dan
komunikasi serta meningkatkan emosional intelegence. Berdasarkan sisi
positif dari devil' advocacy tersebut maka setiap orang di dalam organisasi
perlu diberi kesempatan secara bergilir untuk memainkan peran sebagai
devil' s advocate terutama untuk mengurangi reputasi negatif seseorang.
Pendekatan kedua - dialectic method, seperti tersirat dari namanya, lebih
menekankan pentingnya perdebatan dua arab yang terstruktur sebelum dibuat
keputusan final. Hanya saja, dengan dialectic method, kita harus
mengantisipasi kelemahan pendekatan ini, yakni memenangkan perdebatan
bukan berarti menyelesaikan semua persoalan dan kadang-kadang tidak
menciptakan konflik fungsional. Utamanya jika isu pokok yang
diperdebatkan bergeser sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang
berdebat. Perbedaan antara devil' s advocacy dan dialectic method dapat
dilihat pada gambar berikut.

14
R.A. Cosier and C.R. Schwenk. (1990). Agreement and Thinking Alike: Ingredient
for Poor Decision. Academy of Management Executive. Hal. ...
e EKMA41 58/MODUL 6 6.59

Maengajukan usulan Maengajukan usulan


tindakan tindakan


Menunjuk seseorang I

Mengidentiflkasi as umsi-
sekelompok orang untuk asumsi yang melatar-
mengkritisi proposal belakangi propos al


Kritik dis ampaikan kepada

M engajukan propos allain
pengambil keputus an yang berlawanan dengan
as urns i berbeda


M engumpulkan informasi

Masing-maing mempresentasikan dan
tambahan yang relevan memperdebatkan proposal untuk
dengan isu mendapatkan keputus an yang terbaik


Mengambil keputus an untuk

Mengambil keptus an untuk
mengadop si, memodif ikasi mengadopsi s alah s atu atau
atau menghentikan u sulan sebagian dari kedua propo sal

Memonitor keputus an yang Memonitor keputu s an yang


telah dibuat telah dibuat

Gam bar 6. 7.
Teknik untuk Menciptakan Konflik Fungsional

1. Mengatasi Konflik Disfungsional


Konflik disfungsional merupakan konflik yang tidak diharapkan karena
bisa mengganggu jalannya proses organisasi dan ujung-ujungnya juga
mengganggu kinerja organisasi. Oleh karena itu, siapa pun yang menempati
posisi manajer berkewajiban untuk menangani konflik ini dengan saksama.
Untuk memahami bagaimana cara menangani konflik bisa merujuk sebuah
model yang dikemukakan Afzalur Rahim, seorang spesialis konflik, seperti
tampak pada Gambar 6.8. Dalam model ini, dimensi yang menjadi
pertimbangan utama adalah sejauh mana seseorang lebih memperhatikan
kepentingan dirinya - garis mendatar dan sejauh mana ia memberi perhatian
6.60 PERILAKU ORGANISASI e

pada kepentingan orang lain - garis vertikal. Berdasarkan kombinasi kedua


dimensi ini diperoleh 5 gaya dalam menangani konflik, yaitu integrasi,
akomodasi, menghindari, dominasi, dan kompromi.

§
~ Tinggi lntegrasi Akomodasi
·-~ ~c
~ • ....-4

..e-
l-i bO
Q.) c Komprorni
p.,~
8 1-<
0
a.> Rendah
~ Dominasi Mengindari

Tinggi Rendah

Memperhatikan diri sendiri

Gambar 6.8.
Model Manajemen Konflik

a. Integrasi
Gaya ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki kepentingan yang
tinggi untuk memenuhi tujuannya, tetapi pada saat bersamaan ia juga
bersedia membantu orang lain memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, ia
bersedia secara kooperatif untuk mengidentifikasi dan mendiskusikan
masalah, menemukan dan mengajukan alternatif solusi, serta memilih solusi
terbaik. Gaya integrasi sangat cocok untuk menangani masalah yang sangat
kompleks yang disebabkan karena misunderstanding. Kelebihan gaya ini
adalah persoalan bisa diselesaikan secara tuntas tanpa ada kekha watiran akan
berulang karena yang diselesaikan bukan hanya gejalanya saja, tetapi
persoalan sebenarnya. Meski demikian, untuk menyelesaikan masalah
dengan gaya integrasi biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.

b. Akomodasi
Seperti tampak pada gambar, akomodasi berarti seseorang mengabaikan
kepentingan dirinya demi untuk memenuhi kepentingan pihak lain. Jika
konflik diselesaikan dengan pendekatan ini mau tidak mau seseorang harus
mau bekerja sama dengan pihak lain. Semua perbedaan harus dikesamping-
kan dan perhatian harus difokuskan pada hal-hal yang memiliki kesamaan.
Kemauan bekerja sama merupakan kelebihan dari gaya ini, sedangkan
kelemahannya adalah penyelesaian masalah hanya bersifat temporer karena
e EKMA41 58/MODUL 6 6.61

cara penyelesaian dengan gaya ini kadang-kadang tidak menyentuh persoalan


sebenarnya.

c. Dominasi
Gaya ketiga sering disebut "win-lose solution" atau kadang-kadang
disebut gaya menekan. Disebut demikian karena lebih mempedulikan
kepentingan dirinya dan mengabaikan kepentingan pihak lain. Oleh sebab itu,
dengan gaya dominasi ada pihak yang merasa menang dan pihak lain merasa
kalah. Memanfaatkan otoritas formal biasanya digunakan dalam gaya ini
utamanya untuk menekan pihak lain agar mau mengikuti keinginan pihak
pertama. Gaya ini sangat cocok untuk mengimplementasikan penyelesaian
masalah yang tidak populer, isu yang dibahas hanya bersifat minor atau
penyelesaian masalah harus segera dilakukan. Jika sebuah persoalan
membutuhkan penyelesaian segera maka cocok menggunakan gaya ini.
Sayangnya gaya ini sering menimbulkan balas dendam bagi pihak yang
kalah.

d. Menghindar
Jika Anda tidak memberi perhatian pada kepentingan diri sendiri, namun
juga tidak memberi perhatian pihak lain untuk memenuhi tujuannya maka
taktik yang bisa Anda lakukan adalah menghindari konflik, baik dengan cara
menarik diri dari semua persoalan secara pasif maupun dengan cara menekan
isu secara aktif. Cara ini cukup efektif untuk mengatasi isu-isu sepele atau
jika berkonfrontasi langsung persoalan malah menjadi semakin buruk. Cara
ini tidak cocok untuk persoalan-persoalan sulit. Kelebihan dari cara ini
adalah persoalan diharapkan bisa selesai dengan berjalannya waktu. Hanya
saja, cara ini biasanya tidak menuntaskan pokok persoalan.

e. Kompromi
Sering disebut sebagai take-and-give approach karena kedua belah pihak
hanya secara moderat mempedulikan dirinya dan mempedulikan pihak. Cara
ini cocok digunakan jika kedua belah pihak memiliki kekuatan yang
seimbang atau memiliki tujuan yang saling berlawanan, tetapi tidak cocok
untuk digunakan terus-menerus jika hal ini justru mengakibatkan tindakan
yang tidak konklusif. Kelebihan pendekatan ini adalah tidak ada yang merasa
kalah meski penyelesaian persoalan hanya bersifat temporer.
6.62 PERILAKU ORGANISASI e

E. NEGOSIASI

Ketika Anda membeli sesuatu di pasar, sebelum membayar, biasanya


Anda melakukan penawaran terlebih dahulu untuk mendapatkan harga yang
pas menurut ukuran saudara. Bagi Si Penjual yang tabu persis berapa harga
beli barang tersebut tidak begitu saja mengiyakan tawaran Anda. Nah di
sinilah terjadi tarik ulur antara pembeli dan penjual sampai diperoleh
kesepakatan harga. Tawar-menawar seperti ini tidak lain adalah proses
negosiasi. Dengan demikian, negosiasi sesungguhnya tidak hanya terj adi
ketika dua pihak melakukan transaksi jual beli, tetapi dalam aspek kehidupan
lain negosiasi juga sering tidak bisa dihindari - dalam konteks organisasi dan
bahkan dalam konteks diplomasi. Antara dosen dan mahasiswa juga bisa
melakukan negosiasi untuk menentukan standar nilai kelulusan. Dalam
organisasi, manajemen, dan serikat kerja juga melakukan hal yang sama
untuk menentukan tingkat kenaikan upah, jam kerja, dan hubungan
perburuhan lainnya. Walhasil negosiasi bisa terjadi di mana-mana dan setiap
orang sangat potensial untuk terlibat dalam proses negosiasi. Hanya saja
kadang-kadang ada orang yang selalu gagal dalam bernegosiasi, tetapi ada
juga yang selalu berhasil. Semua ini tergantung pada skill yang dimilikinya.
Dengan kata lain, bagi seorang manajer khususnya, memiliki kemampuan
bernegosiasi dalam kehidupan organisasi yang semakin kompleks bukan
hanya penting, tetapi sebuah keharusan.
Negosiasi sering didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan
dengan cara saling menerima dan memberi (take-and-give) antara pihak-
pihak yang saling bergantung, tetapi masing-masing pihak memiliki
preferensi berbeda. Dalam bahasa yang lebih sederhana, inti dari negosiasi
adalah tarik ulur atau tawar-menawar menuju sebuah kesepakatan meski
dalam dunia politik sering didengar istilah kesepakatannya adalah tidak
sepakat. Penjelasan ini memberi kesan seolah-olah negosiasi tidak beda
dengan resolusi konflik atau manajemen konflik seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Pada umumnya, pandangan kebanyakan orang memang
demikian meski sesungguhnya negosiasi bukan sekadar resolusi konflik.
Negosiasi lebih luas dari sekadar resolusi konflik. Contoh paling sederhana
adalah perselisihan antara serikat buruh dan manajemen, misalnya berkaitan
dengan persoalan jam kerja, upah kerja atau kondisi kerja. Kedua belah pihak
sesungguhnya menginginkan persoalan ini segera terselesaikan karena bagi
manajemen berlarut-larutnya persoalan akan mengganggu jalannya
e EKMA41 58/MODUL 6 6.63

perusahaan dan bagi serikat buruh ketidakpastian masalah ini akan


mengurangi kesejahteraan mereka. Itulah sebabnya kedua belah pihak
mengadakan negosiasi meski kadang-kadang tidak tercapai kesepakatan -
semuanya kalah lose-lose situation.

Tipe Negosiasi
Secara tradisional ada dua tipe negosiasi, yaitu tipe distributif dan
integratif. Tipe pertama - distributif adalah mekanisme pengambilan
keputusan dalam negosiasi yang tujuannya untuk memenangkan tawar-
menawar. Dalam hal ini, salah satu pihak berusaha untuk memenangkan
tawar-menawar tanpa mempedulikan apakah pihak lawan merasa menang
atau kalah. Oleh karena itu, tidak jarang negosiator bersikukuh pada
pendirian awal (sebelum negosiasi) dan bergeming terhadap alternatif
penyelesaian. Akibatnya, proses negosiasi biasanya tidak bertele-tele dan
pihak lain dipaksa untuk kalah (win-lose) atau jika pihak lain juga bersikukuh
pada pendiriannya bukan tidak mungkin terjadi situasi di mana kedua-duanya
kalah (lose-lose) atau tidak terjadi kesepakatan. Tipe ini, layaknya dua orang
rebutan kue, satu pihak menginginkan bagian yang lebih besar dari pihak lain
atau jika tidak mungkin kuenya justru yang dihancurkan agar keduanya tidak
menikmati apa-apa. Oleh karena itu, salah satu pihak jika harapannya tidak
terpenuhi, tidak sungkan untuk meninggalkan proses negosiasi atau walk out.
Tipe kedua adalah integratif. Berbeda tipe pertama, dalam tipe ini
negosiator berusaha secara optimal untuk mencapai kesepakatan. Untuk itu,
tidak jarang kedua belah pihak mau berkolaborasi untuk mencapai
kesempatan yang sesungguhnya bukan kesepakatan semu seperti pada tipe
distributif. Layaknya dalam rebutan kue, kalau perlu kuenya yang diperbesar
agar kedua belah pihak mendapat porsi yang besar dan kedua-duanya tidak
ada yang merasa rugi. Dengan kata lain, tipe integratif merupakan tipikal
negosiasi di mana kedua belah pihak merasa menang (win-win). Untuk
mencapai tujuan tersebut maka seorang negosiator dituntut untuk memiliki
dan menggunakan skill sebagai (a) bisa menetapkan tujuan yang tidak biasa
(superordinate goals), (b) memisahkan orang dari persoalan, (c) fokus pada
pokok persoalan bukan pada posisi masing-masing, (d) menemukan opsi
pilihan untuk keuntungan bersama, dan (e) menggunakan kriteria yang
objektif. Jika kelima skill tersebut dikelompokkan lebih lanjut maka proses
negosiasi dapat dibedakan menjadi dua teknik negosiasi yang efektif, yaitu
sebagai berikut.
6.64 PERILAKU ORGANISASI e

a. Teknik negosiasi dengan risiko rendah


1) Memberi pujian berlebihan
Memberi pujian yang halus biasanya bisa membantu proses
negosiasi dengan baik, kalau tidak dikatakan yang terbaik. Namun,
harus memperhatikan aspek demografis pihak lawan - umur, jenis
kelamin atau aspek kultural.
2) Membahas hal-hal yang ringan terlebih dahulu
Tujuannya agar kedua belah pihak bisa saling percaya dan
mendapatkan momentum untuk menyelesaikan persoalan yang lebih
berat.
3) Berdiam diri sementara
Hal ini kadang-kadang bisa sangat efektif untuk memperoleh
konsesi me ski harus hati -hati agar diamnya seseorang tidak
menjadikan orang lain justru merasa disepelekan, membuatnya
marah atau merasa frustrasi.
4) Membuka negosiasi dengan melambungkan posisi awal
Tujuannya untuk memperoleh gambaran tentang posisi pihak lawan
dan reaksi mereka atau untuk mengalihkan hal-hal yang perlu
dikompromikan.
5) Merendahkan diri
Tujuannya untuk memperoleh simpati pihak lawan meski kadang-
kadang menjadi senjata pihak lawan untuk menyerang.
b. Teknik negosiasi dengan risiko tinggi
1) Menunjukkan rasa marah seolah-olah kehilangan kendali
Meledak dalam kemarahan kadang-kadang bisa memutus jalan
buntu namun cara ini juga sering dianggap sebagai bentuk
manipulasi pihak lain sehingga bisa jadi memperkuat pihak lawan
untuk mempertahankan posisinya.
2) Mempercepat proses
Cara ini digunakan untuk memperoleh kepercayaan pihak lawan
dengan menunjukkan keberpihakan pada posisi mereka.
3) Take it or leave it - silakan diterima atau tidak ada kesepakatan
sama sekali
Cara ini menggunakan cara yang pemah dilakukan oleh W akil
Presiden GE saat bemegosiasi dengan serikat pekerja. Dia hanya
menawarkan satu pilihan yang jika tidak disepakati dipersilakan
untuk meninggalkan perusahaan.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.65

4) Menunggu sampai detik terakhir


Jika negosiasi mencapai jalan buntu dan batas waktu negosiasi
mendekati berakhir, ditawarkan alternatif yang menarik dan sangat
masuk akal sehingga tidak memberi kesempatan pihak lawan untuk
berpikir atau memiliki pilihan lain.

Secara umum, perbedaan kedua tipe negosiasi di atas dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 6.5.
Perbedaan antara Tipe lntegratif dan Distributif

lnte ratif Distributif


Kemun kinan hasil Win-win Win-lose atau lose-lose
Pentingnya meneruskan Tinggi Rendah
hubungan den~ an partner
Tujuan Berkolaborasi dan Pemenang mengambil
menghasilkan banyak pili han keuntungan
atau solusi
lklim bernegosiasi Terbuka, komunikatif, kreatif, Berusaha menang dengan
mau melakukan perubahan segala cara, tidak keberatan
walk out
Waktu ''an dibutuhkan San atbanyak Sedikit waktu
Dimensi waktu Sekaran dan mendatan Sementara sa·a

LATI HAN

---- ~ - .

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Di dalam memahami konflik sering dikatakan bahwa antara mitos dan
yang benar tentang konflik tidak selalu sama. 1elaskan apa yang
dimaksud dengan pernyataan tersebut.
2) Jelaskan langkah-langkah yang saudara bisa lakukan untuk mengatasi
konflik disfungsional.
3) Jelaskan perbedaan antara manajemen konflik dan negosiasi dan
sebutkan tipe-tipe negosiasi!
6.66 PERILAKU ORGANISASI e

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Konflik merupakan fenomena organisasi yang selalu hadir sebagai


bagian dari kehidupan organisasi. Meski demikian banyak anggapan
bahwa konflik merupakan kejadian yang tidak biasa, tidak dikehendaki
dan harus dihindari berapa pun biayanya. Walhasil, konflik seolah-olah
layaknya sebuah monster bagi organisasi yang harus segera disingkarkan
jika menghendaki organisasi berjalan normal. Dalam kenyataan konflik
tidak seburuk itu. Dalam batas-batas tertentu konflik bahkan sangat
diharapkan kehadirannya demi menjaga dinamika organisasi.
Menghentikan terjadinya konflik merupakan pekerjaan sia-sia dan
dianggap sebagai kesalahan serius manajemen. Secara umum
konsensusnya adalah konflik bukan merupakan fenomena yang tidak
dikehendaki, namun konflik itu sendiri bisa konstruktif dan bisa
des truktif.
2) Harus diakui bahwa konflik sering kali menimbulkan dampak negatif
bagi pihak yang terlibat konflik dan tidak jarang merembet ke sendi-
sendi organisasi lain termasuk mengganggu jalannya organisasi dan
kinerj a organisasi. Konflik seperti ini disebut konflik disfungsional yang
harus segera diatasi agar tidak merembet ke mana-mana dan merusak
kehidupan organisasi. Ada lima cara untuk mengatasi jenis konflik ini
yaitu integrasi, akomodasi, dominasi, menghindar dan kompromi.
Kelima cara ini didasarkan pada dua pertimbangan utama: sejauh mana
seseorang mempertimbangkan kepentingan diri sendiri dan sejauh mana
dia mempertimbangkan untuk memenuhi kepentingan orang lain.
3) N egosiasi sering didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan
dengan cara saling menerima dan memberi (take-and-give) antara pihak-
pihak yang saling bergantung tetapi masing-masing pihak memiliki
preferensi berbeda. Oleh karena itu negosiasi sering disebut sebagai
proses tank ulur atau tawar menawar menuju sebuah kesepakatan.
Sementara itu manajemen konflik adalah upaya untuk mengelola konflik
baik konflik fungsional mau pun disfungsional. J adi bisa dikatakan
bahwa negosiasi lebih luas dari sekedar resolusi konflik. Negosiasi bisa
dibedalkan menjadi dua yaitu tipe distributif dan integratif. Tipe pertama
- distributif adalah mekanisme pengambilan keputusan dalam negosiasi
yang tujuannya untuk memenangkan tawar-menawar. Sedangkan tipe
kedua negosiator berusaha secara optimal untuk mencapai kesepakatan.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.67

RANGKUMAN
------------------------------------

Kegiatan Belajar 2 membahas topik yang tidak kalah penting -


konflik dan negosiasi. Topik bahasan ini merupakan konsekuensi dari
dinamika hubungan interpersonal di dalam organisasi. Secara umum
topik-topik yang dibahas pada KB 2 adalah: dinamika hubungan
interpersonal; hal ihwal konflik termasuk di dalamnya konflik fungsional
dan disfungsional, anteseden konflik, dan proses terjadinya konflik; tipe
konflik - konflik kepribadian, intergroup dan konflik lintas budaya;
manajemen konflik dan negosiasi. Hal-hal penting tersebut selanjutnya
dirangkum pada ringkasan berikut ini.
1. Prilaku manusia akibat dinamika hubungan interpersonal dapat
dikelompokkan menjadi empat macam prilaku yaitu prilaku pro-
sosial (altruism), prilaku kooperatif, prilaku kompetitif dan prilaku
konflik.
2. Konflik merupakan prilaku yang muncul ke permukaan (overt
behavior) yang disebabkan karena seseorang atau sekelompok orang
menganggap upayanya untuk mencapai tujuan dihalangi oleh orang
lain atau sekelompok orang lain.
3. Situasi organisasi yang menjadikan konflik organisasi merupakan
sebuah keniscayaan di antaranya adalah: terus menerus terjadi
perubahan; semakin beragamnya komposisi karyawan; semakin
banyak aktivitas organisasi yang dikerjakan berbasis tim kerja;
semakin seringnya digunakan komunikasi tidak langsung; dan
semakin tingginya globalisasi yang mengakibatkan terjadinya
transaksi lintas budaya.
4. Pada mulanya ada anggapan bahwa konflik selalu bersifat
disfungsional. Namun belakangan anggapan tersebut berubah.
Konflik bisa fungsional dan bisa juga disfungsional.
5. Proses terjadinya konflik bermula dari faktor-faktor yang potensial
menimbulkan konflik, diikuti oleh pemahaman dan personalisasi
faktor tersebut. Dan sinilah kemudian konflik muncul ke permukaan
yang hasilnya bisa positif tetapi juga bisa negatif.
6. Secara umum konflik dapat dibedakan menjadi tiga macam tipe
konflik yaitu: konflik kepribadian, konflik antar kelompok, dan
konflik lintas budaya.
7. Dua pendekatan bisa digunakan untuk menciptakan konflik
terprogram yaitu: devil's advocacy dan dialectical method.
6.68 PERILAKU ORGANISASI e

8. Konflik disfungsional dapat dikelola melalui 5 pendekatan berbeda


yaitu: integrasi, akomodasi, dorninasi, menghindarkan dan
komprorni.
9. N egosiasi sering didefinisikan sebagai proses pengambilan
keputusan dengan cara saling menerima dan memberi (take-and-
give) antara pihak-pihak yang saling bergantung tetapi masing-
masing pihak merniliki preferensi berbeda.
10. Negosiasi dibedakan menjadi dua yaitu distributif dan integratif.

TES FORMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Dinamika hubungan interpersonal menyebabkan munculnya prilaku


berikut ini, kecuali ....
A. prilaku altruism
B. prilaku bersahaj a
C. prilaku bersahabat
D. prilaku bekerja sama

2) Pernyataan yang benar tentang konflik adalah sebagai berikut ....


A. semua konflik adalah destruktif
B. jika tingkat konflik di dalam organisasi relatif rendah maka
kinerjanyajuga rendah
C. jika tingkat konflik di dalam organisasi relatif rendah maka
kinerj anya tinggi
D. jika tingkat konflik di dalam organisasi relatif tinggi maka
kinerjanya rendah

3) Anteseden terjadinya konflik adalah sebagai berikut, kecuali ....


A. pengambilan keputusan berdasarkan konsensus
B. peraturan yang tidak j elas
C. kemandegan komunikasi
D. pekerjaan yang independen

4) Konflik disfungsional bisa diatasi dengan ....


A. Mendorninasi pihak lain
B. Devil's advocacy
C. Negosiasi
D. Diacletical method
e EKMA41 58/MODUL 6 6.69

5) Menghindari konflik akan sangat efektif bila ....


A. kedua belah pihak memiliki kekuatan seimbang
B. terjadi kesalahpahaman karena masalahnya sangat kompleks
C. kepentingan diri dan mementingkan pihak lain sangat tinggi
D. berkonfrontasi langsung masalahnya menjadi semakin buruk

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 1OOo/o = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
6.70 PERILAKU ORGANISASI e

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) c 1) B
2) D 2) c
3) B 3) D
4) A 4) A
5) A 5) D
e EKMA41 58/MODUL 6 6.71

Daftar Pustaka

A. Merrryman. (1996). The Link to Business Objectives. HR focus. Hal. 13.

A.C. Amason. (1996). Distinguishing the Effect of Functional and


Dysfunctional Conflict on Strategic Decision Making: Resolving a
Paradox for Top Management Teams. Academy of Management Journal.
Hal. 33-52.

Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi.

Fred Luthan. (1998). Organizational Behavior. 8th edition. Hal. 475.

G. Labianca, D.J. Brass and B. Gray. (1998). Social Networks and


Perceptions of Intergroup Conflict: The Role of Negative Relationships
and Third Parties. Academy of Management Journal. Hal. 55-57.

M. London, et al. (1995). An Examination of the Effect of an Upward


Feedback Program Over Time. Personnel Psychology. Vol. 48.

M. P. Mangaliso. (1995). The Strategic Usefulness of Management


Information as Perceived by Middle Manager. Journal of Management.
12/2, hal. 231-250.

Mintzberg. (1979). Restructuring Organization. Hal. 2.

R.A. Cosier and C.R. Schwenk. (1990). Agreement and Thinking Alike:
Ingredient for Poor Decision. Academy of Management Executive.
MDDUL 7

Kepemimpinan dan Kekuasaan


Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

epemimpinan merupakan salah satu topik penting dalam bidang studi


perilaku organisasi. Dalam banyak hal keberhasilan atau kegagalan
suatu organisasi mencapai tujuan yang ditetapkan biasanya tidak bisa
dipisahkan dari kualitas pimpinan dan sangat tergantung pada kemampuan
Sang Pemimpin memainkan perannya. Keberhasilan tim sepak bola, misalnya
bukan semata-mata karena kemampuan dan talenta para pemainnya, tetapi
juga kehandalan Sang Pelatih dalam membimbing tim tersebut. Begitu pula
untuk menghasilkan kelompok kerja yang produktif tidak bisa lepas dari
seorang supervisor yang kompeten. Begitu pentingnya masalah kepemimpin-
an ini menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus atribusi terhadap
keberhasilan atau kegagalan organisasi. Jika sebuah tim sepak bola gagal
memenangkan pertandingan bergengsi bukan tirnnya yang dibubarkan atau
pernainnya yang dipecat, tetapi pelatihnya yang biasanya menjadi korban.
1 2
Schein (1992) dan Kouzes & Posner (1987; 1993), misalnya rnenyatakan
bahwa pemirnpin rnernpunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
keberhasilan dan kegagalan organisasi dalarn rnenghadapi tantangan yang
rnuncul. Hal itu menjadikan pemimpin mernegang peranan kunci dalarn
rnernforrnulasikan dan mengirnplernentasikan strategi organisasi sehingga
peranannya akan rnempengaruhi keberhasilan organisasi (Szilagyi &
3
Wallace, 1980, Nahavandi & Malekzadeh , 1993, dan Sims & Lorenzi,
1992).

1
Edgar Sein. (1992). Organizational Culture and Leadership. 2nd edition. San
Francisco. CA: Jossey-Bass Publishers.
2
Kouzes, James M and Barry, Z. Posner. (1987). The Leadership Challenge. San
Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers; Kouzes, James M and Barry, Z. Posner.
(1993). Credibility. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
3
Nahavandi and Malekzadeh. (1993). Leader Style in Strategi and Organizational
Performance: An Integrative Framework. Journal of Management Studies, 30, 3, hal.
405-425.
7.2 PERILAKU ORGANISASI e

Sukses seorang pemimpin biasanya harus didukung oleh kemampuan


untuk melaksanakan aktivitas manajerial yang efektif serta pengorganisasian
seluruh sumber daya organisasi guna mewujudkan tujuan organisasi. Jadi,
pekerjaan seorang pemimpin sering kali tidak berbeda dengan pekerjaan
seorang manajer. Oleh karenanya istilah pemimpin dan manajer sering kali
digunakan secara bergantian. Namun, harus disadari bahwa pemimpin tidak
sama dengan manajer. Modul 1 secara tegas membedakan hal ini. Manajer
yang efektif harus menjadi pemimpin yang baik. Sebaliknya, tidak semua
pemimpin adalah manajer yang baik. Demikian juga meski kepemimpinan
identik dengan mempengaruhi orang lain, tetapi tidak semua tindakan
mempengaruhi adalah tindakan kepemimpinan. Hal yang pasti untuk bisa
mempengaruhi oleh lain, seseorang harus memiliki kemampuan dan dalam
batas-batas tertentu juga harus memiliki kekuasaan. Itulah sebabnya
pembicaraan tentang kepemimpinan biasanya tidak bisa dipisahkan dengan
pembicaraan tentang kekuasaan atau power.
Selanjutnya, modul ini akan mendiskusikan dua topik yang saling terkait,
yaitu kepemimpinan dan kekuasaan. Kegiatan Belajar 1 membahas
kepemimpinan dan Kegiatan Belajar 2 membahas kekuasaan. Dengan
selesainya modul ini, Anda diharapkan dapat memahami teori dan konsep
kepemimpinan dan kekuasaan. Di samping itu, Anda juga diharapkan dapat
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari organisasi.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.3

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Kepemimpinan

A. PENGERTIAN PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN

Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua kata yang saling terkait,


masing-masing dengan kata dasar pimpin. Dengan awalan pe kata pimpin
menjadi pemimpin yang berarti orang yang memimpin dan kepemimpinan
adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemimpin. Memimpin berarti "to
lead" dalam bahasa Inggris. Kata to lead itu sendiri berasal dari kata laedere
4
yang berarti people on journey - orang dalam perjalanan . Dari asal kata
tersebut bisa dikatakan bahwa memimpin berarti membuat orang lain
bergerak. Namun, dalam keseharian istilah kepemimpinan sering digunakan
untuk tujuan berbeda pada situasi berbeda. Istilah kepemimpinan, misalnya
digunakan untuk menunjukkan posisi seseorang di dalam organisasi. "Semua
orang yang mempunyai posisi kepemimpinan diharap datang pada seminar
yang akan kami selenggarakan besok pagi" adalah satu contoh yang
menunjukkan bahwa posisi seseorang di dalam organisasi identik dengan
pemimpin. Kepemimpinan juga digunakan untuk menjelaskan karakteristik
seseorang "Supervisor kita yang baru tidak memiliki jiwa kepemimpinan
seperti supervisor kita sebelumnya". Kata jiwa kepemimpinan seolah-olah
menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan sifat seseorang. Meski kedua
contoh di atas berkaitan dengan kepemimpinan, keduanya belum memberi
pemahaman umum tentang pemimpin dan kepemimpinan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mendefinisikan kepemimpinan bukan
pekerjaan mudah karena masing-masing pakar memberi tekanan berbeda
5
untuk kata yang sama - kepemimpinan. Bass , misalnya mengidentifikasi
beragam definisi kepemimpinan sebagai berikut.

4
A.D. Chandler, Jr. (1977). The Visible Hand: The Manajerial Revolution in
American Business. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
5
Bernard M. Bass. (1990). Bass and Stogdill's Handbook of Leadership. 3rd edition.
New York: The Free Press. Hal. 11-18.
7.4 PERILAKU ORGANISASI e

1. Pemimpin sebagai fokus atau titik sentral dari proses kelompok


Definisi-definisi awal tentang pemimpin dan kepemimpinan menunjuk-
kan adanya kecenderungan dalam melihat pemimpin sebagai seseorang
yang berada di tengah-tengah kelompok dan menjadi pusat perubahan,
pergerakan dan aktivitas kelompok.
2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berdampak pada orang lain
Para teoretis kepribadian cenderung menganggap bahwa seorang
pemimpin adalah orang yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan
kepribadian para pengikutnya sehingga ia bisa menggerakkan orang lain.
6
J. Steven Ott , misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses
hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi
sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain.
3. Kepemimpinan sebagai tindakan yang menyebabkan orang lain patuh
Pemimpin adalah seorang yang secara sepihak mampu mengendalikan
orang lain untuk memenuhi keinginan Sang Pemimpin.
4. Kepemimpinan sebagai pelaksanaan mempengaruhi
Kepemimpinan menurut pandangan ini tidak lain adalah proses
mempengaruhi aktivitas kelompok dalam upayanya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
5. Kepemimpinan sebagai sebuah tindakan atau perilaku
7
Dengan perilaku kepemimpinan seperti dikatakan Fiedler adalah sebuah
tindakan tertentu yang dilakukan seorang pemimpin dalam mengarahkan
dan mengoordinasikan kerja kelompok. Termasuk dalam tindakan ini,
misalnya membuat struktur hubungan kerja, memuji, dan mengkritik
anggota kelompok, serta menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan
dan perasaan anggota kelompok. Sementara itu, Katz and Khan
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah bentuk perilaku yang
8
menyebabkan seseorang bisa mempengaruhi orang lain .
6. Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memutuskan apa yang harus
dikerjakan dan meminta orang lain agar mau mengerjakan hal tersebut.

6
Ott, Steven J. (1996). Classic Readings in Organizational Behavior. Belmont, CA:
Wadworth Publishing Company.
7
F.E. Fiedler. (1967). A theory of Leadership Effectiveness. New York: McGraw Hill.
8
Daniel Katz and Robert Khan. (1978). The Social Psychology of Organization. 2nd
edition. New York: Willey and Sons. pp. 530-535.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.5

J adi, kepemimpinan adalah seni berhubungan dengan orang lain, yakni


seni untuk mempengaruhi orang lain dengan persuasi atau contoh, bukan
9
paksaan, agar orang lain mau melakukan sebuah tindakan. Locke, et al. ,
misalnya mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mem-
bujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran
bersama.
7. Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan
Dalam hal ini, kepemimpinan dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki
seseorang sehingga dengan kekuasaan tersebut seseorang bisa
mengendalikan tindakan orang lain.
8. Kepemimpinan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
Menurut pandangan ini kepemimpinan hanyalah salah satu instrumen
yang kemungkinan tujuan bisa dicapai dan kebutuhan bisa terpenuhi.
9. Kepemimpinan sebagai dampak dari sebuah interaksi
Munculnya kepemimpinan disebabkan karena terjadinya interaksi di
dalam kelompok. Artinya, seseorang belum dianggap sebagai pemimpin
sebelum dirinya berinteraksi dengan orang lain dan diakui oleh orang
lain bahwa dirinya adalah seorang pemimpin.
10. Kepemimpinan sebagai bentuk peran yang berbeda
Dalam sebuah masyarakat termasuk dalam sebuah organisasi setiap
individu menempati posisi tertentu dan memainkan peran tertentu pula.
Jika seseorang bisa memberi kontribusi yang diperlukan kelompoknya
maka orang tersebut bisa dianggap sebagai pemimpin. Demikian juga
jika orang tersebut bisa diandalkan dalam memberi kontribusi kepada
kelompoknya maka dialah serang pemimpin.
11. Kepemimpinan sebagai proses terciptanya struktur
Pandangan ini mengatakan bahwa kepemimpinan tidak disebabkan
karena seseorang semata-mata menempati sebuah posisi di dalam
organisasi atau karena dia memperoleh peran tertentu, tetapi karena dia
bisa menginisiasi dan mempertahankan pola hubungan yang diperankan
orang lain.

9
Locke, Edwin A; Kirkpatrick, Shelley; Wheeler, Jillk., Schneider; Niles, Kathryn;
Goldstein, Harold; Welsh, Kurt; Chah, Dong-Ok. (1991). The Essence of Leadership:
The Four Keys to Leading Successfully. New York: Lexintong Books.
7.6 PERILAKU ORGANISASI e

Dari beragam pandangan tentang kepemimpinan seperti tersebut di atas,


pada akhirnya dapat diambil inti sari dari kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan merupakan sebuah fenomena kelompok. Seorang pemimpin
tidak akan pemah ada jika tidak ada pengikut. Oleh karena itu,
kepemimpinan selalu melibatkan persuasi atau pengaruh. Meski demikian,
bukan berarti setiap proses mempengaruhi orang lain adalah sebuah proses
kepemimpinan. Kepemimpinan hanya akan terjadi jika orang yang
dipengaruhi mau melakukan tindakan yang bersifat sukarela, bukan karena
diminta, terpaksa atau karena takut terhadap konsekuensi yang akan dihadapi
jika mereka tidak melakukannya. Kemauan orang lain untuk melakukan
tindakan sukarela inilah yang membedakan kepemimpinan dengan proses
mempengaruhi lainnya, seperti kekuasaan dan otoritas. Dengan kekuasaan
atau otoritas, misalnya seseorang bisa mempengaruhi orang lain, tetapi orang
yang dipengaruhi mau melakukan tindakan tersebut karena takut atau karena
terpaksa harus melakukannya. Agar orang lain mau melakukan tindakan
sukarela, proses mempengaruhinya kadang-kadang tidak bisa dilakukan
seketika melainkan melalui proses incremental- setahap demi setahap di luar
proses keseharian yang bersifat mekanik dan direktif.
Kedua, pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk menuntun orang
lain atau anggota kelompok melakukan tindakan tertentu dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pemimpin mempengaruhi para
pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang
memiliki legitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), menetapkan
sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi, dan
mengomunikasikan sebuah visi. Seorang pemimpin dapat dipandang efektif
apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan
pribadi mereka demi keberhasilan organisasi (Bass, 1995; Locke, et al.,
10
1991) . Ketiga, sering kali tidak bisa dihindari jika kehadiran seorang
pemimpin karena kedudukan seseorang di dalam hierarki organisasi.
Pemimpin biasanya berada puncak hierarki organisasi. Meski demikian,
harus disadari pula bahwa proses kepemimpinan lebih dari sekadar
menduduki suatu jabatan tertentu di dalam organisasi melainkan harus
melakukan sesuatu agar orang lain terpengaruh dan mau melakukan tindakan
secara sukarela. Sekadar menduduki posisi itu saja dipandang tidak cukup
memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Artinya, tidak

10
Locke, et al. (1991). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.7

selamanya seorang yang menduduki posisi tertentu di dalam organisasi


adalah seorang pemimpin. Sebaliknya, kalaulah seseorang tidak menduduki
11
jabatan tertentu bukan berarti dia bukan pemimpin. Menurut Bums (1978),
untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi
pengikut secara terus-menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi
responsif.

B. PERBEDAAN ANTARA KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

Uraian di atas secara tidak langsung mengindikasikan bahwa setiap


orang di dalam organisasi sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi
pemimpin tanpa harus orang yang bersangkutan menempati posisi formal.
Seorang pemimpin boleh j adi berasal dari orang di luar j abatan resmi
organisasi. Pemimpin ini biasa disebut sebagai pemimpin informal. Dengan
penjelasan ini, bisa dikatakan bahwa manajer - seseorang yang menempati
posisi formal di dalam perusahaan tidak selamanya adalah seorang
pemimpin. ltulah sebabnya istilah kepemimpinan sering dibedakan dengan
manajemen. Meski mendikotomikan kedua konsep tersebut sering menuai
kontroversi karena sebagian kalangan beranggapan bahwa manajemen dan
kepemimpinan adalah sama. Sebagian definisi di atas menegaskan kesamaan
antara manajemen dan kepemimpinan. Namun, sebagian yang lain meng-
anggap keduanya memang berbeda. Perdebatan ini sampai sekarang masih
terus berlangsung dan masih dianggap aktual. Di antara mereka yang
membedakan manajemen dengan kepemimpinan adalah sebagai berikut.

1. Pandangan Zaleznik
12
Zaleznik (1977) berpendapat bahwa pemimpin dan manajer sangat
berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, cara berpikir, serta
bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap
impersonal, pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap
pribadi (personal) dan aktif terhadap tujuan. Manajer cenderung memandang
kerja sebagai suatu proses yang memungkinkan, mencakup suatu kombinasi
dari orang dan gagasan yang berinteraksi untuk menetapkan strategi dan

11 .
· Burns, MacGregor J. (1978). Leadershlp. New York: Harper & Row ..
12
Zaleznik. (1977). Manager and Leader, Are They Different? The Harvard Business
Review. May-June.
7.8 PERILAKU ORGANISASI e

mengambil keputusan. Pemimpin bekerj a dari posisi berisiko tinggi, sering


memang secara temperamental ingin mencari risiko dan bahaya, teristimewa
hila kesempatan dan ganjaran tampak tinggi. Manajer lebih suka bekerja
dengan orang, mereka menghindari aktivitas sendirian (soliter) karena
aktivitas itu membuat mereka cemas. Mereka berhubungan dengan orang-
orang menurut peran yang mereka mainkan dalam suatu urutan peristiwa atau
dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin, memperhatikan gagasan,
berhubungan dengan orang-orang dalam cara yang lebih intuitif dan empatik.

2. Pandangan Kotter
13
Dengan alasan yang berbeda Kotter (1990) juga berpendapat bahwa
kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen menyangkut upaya
mengatasi kerumitan (complexity). Manajemen yang baik menghasilkan tata
tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang
struktur organisasi yang ketat, dan memantau basil melalui pembandingan
dengan rencana. Kepemimpinan sebaliknya, menyangkut mengatasi
perubahan. Pemimpin menetapkan arah tujuan dengan mengembangkan suatu
visi masa depan, kemudian mereka mempersekutukan orang dengan
mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi
rintangan-rintangan. Kotter menganggap baik kepemimpinan yang kuat
maupun manajemen yang kuat sebagai faktor penting bagi efektivitas
organisasi yang optimum.

3. Pandangan Bennis
14
Bennis (1994) memandang perbedaan antara pemimpin dan manajer
sebagai perbedaan antara mereka yang menguasai lingkungan dan mereka
yang menyerah kepadanya.
Ada perbedaan-perbedaan lain yang patut mendapat perhatian.
Perbedaan-perbedaan ini sangat besar dan penting, seperti tercantum pada
Tabel 7.1.

13
Kotter, John, P. (1988). The Leadership Factor. New York: The Free Press.
14
Bennis, Waren. (1994). On Becoming A Leader. Terjemahan. Jakarta: Elex Media
Komputinda.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.9

Tabel 7.1.
Perbedaan antara Manajer dan Pemimpin/ Leader

Mana·er Leader
a. Mengelola (administers) a. Menemukan (innovates)
b. Meniru (a copy) b. Orisinal (origina~
c. Mempertahankan c. Mengembangkan
d. Berfokus pada sistem dan struktur d. Berfokus pada orang
e. Bergantung pada pengawasan e. Membangkitkan kepercayaan
f. Berorientasi jangka pendek f. Memiliki perspektif yang jauh ke de pan
g. Bertanya bagaimana dan kapan g. Bertanya apa dan mengapa
h. Berorientasi pada hasil akhir h. Berorientasi ke masa depan
• •
I. Meniru (imitates) I. Memulai (originates)
j. Menerima status quo j. Menerima tantangan (challenges it)
k. Melakukan hal-hal dengan benar (The k. Melakukan hal-hal yang benar (The
mana ver does thin vs riqhts leader does ri h tthinqs
Sumber: Bennis, (1994).

C. PERLUNYA KEPEMIMPINAN

Berkaitan dengan kehidupan sebuah organisasi, pertanyaan dasamya


adalah mengapa kepemimpinan masih diperlukan padahal organisasi itu
sendiri telah tertata dengan baik - telah memiliki struktur organisasi yang
menjelaskan siapa harus melakukan apa, memiliki tujuan yang harus dicapai
yang telah dinyatakan secara jelas dan memiliki momentum untuk
menjalankan itu semua. Mengapa orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi dengan aturan yang jelas dan dengan wewenang dan tanggung
jawab yang jelas masih harus dipengaruhi di luar araban rutin yang bersifat
formal dan ketentuan-ketentuan formal lainnya? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini Katz and Khan mengajukan empat alasan mengapa
kepemimpinan masih diperlukan.
Pertama, meski telah memiliki struktur organisasi yang menjelaskan
kedudukan masing-masing individu di dalam organisasi dan pembagian kerja
di antara mereka, namun harus diakui bahwa dalam batas tertentu desain
organisasi sering tidak lengkap. Sederhananya, organisasi tidak bisa didesain,
seperti mesin yang bisa dengan mudah dihidupkan lantas semuanya bisa
berj alan secara otomatis, organisasi terdiri dari orang -orang yang
membutuhkan sentuhan, memerlukan inspirasi, dorongan, dan motivasi.
Untuk tujuan inilah seorang pemimpin dibutuhkan kehadirannya. Seorang
pemimpin dengan demikian dituntut untuk menggerakkan semua orang di
7.10 PERILAKU ORGANISASI e

dalam organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Termasuk di


dalamnya mengatur tugas, memutuskan siapa mengerjakan apa, dan
mendelegasikan pekerj aan. Kedua, organisasi tidak hidup dalam ruang isolasi
yang terbebas dari pengeruh lingkungan luar. Oleh karena itu, lingkungan
luar berubah organisasi juga harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut.
Kehadiran seorang pemimpin dengan demikian diperlukan untuk
mengidentifikasikan strategi baru yang mungkin bisa dijalankan untuk
menyikapi perubahan lingkungan tersebut.
Ketiga, sebagai implikasi dari perubahan lingkungan eksternal, sering
kali tidak bisa dihindarkan lingkungan internal pun harus mengalami
perubahan. Demikian juga, tanpa harus menunggu perubahan lingkungan
eksternal, lingkungan internal sering mengalami perubahan misal karena
pertumbuhan atau karena siklus hidup organisasi lainnya yang menyebabkan
organisasi menjadi semakin dinamik. Akibatnya, tidak jarang arah organisasi
menjadi melenceng dari tujuan semula karena masing-masing unit organisasi
menginterpretasi perubahan tersebut dengan bahasa masing-masing sehingga
tidak jarang pula timbul konflik di antara mereka. Pada situasi seperti inilah
peran seorang pemimpin menjadi penting untuk melakukan koordinasi dan
menyelesaikan konflik. Keempat, kehadiran seorang pemimpin sangat
diperlukan terutama untuk memberi motivasi, menginspirasi, dan menjaga
agar karyawan mau terus terlibat dalam kehidupan organisasi. Perlu disadari
bahwa karyawan tidak selamanya hidup dengan organisasi. Mereka datang
dan pergi. Mereka juga memiliki kehidupannya sendiri yang kadang-kadang
tidak sejalan dengan keinginan organisasi. Oleh karena itu, mereka hadir dan
bekerja untuk organisasi keinginan dan perhatiannya bukan tidak mungkin
selalu mengalami perubahan. Padahal bagi organisasi itu sendiri, kehadiran
mereka tidak lain untuk membantu organisasi menyelesaikan masalah dan
mencapai tujuan organisasi. Ketika terjadi diskrepansi antara karyawan
dengan organisasi inilah dibutuhkan seorang pemimpin guna menginspirasi
dan memotivasi serta mengubah mereka menjadi orang yang memiliki
komitmen dan berkontribusi terhadap kepentingan organisasi.

D. POLA KEPEMIMPINAN ORGANISASI

Jenis pengaruh yang diharapkan dari seorang pemimpin agar organisasi


berjalan efektif tidak sama untuk semua pemimpin. Masing-masing
pemimpin dituntut untuk memainkan peran dan kemampuan berbeda
e EKMA41 58/MODUL 7 7.11

tergantung pada level organisasi yang ditempati. Sebagai contoh, kemampuan


kognitif dan afektif seorang pemimpin pada level atas berbeda dengan
mereka yang berada pada level bawah. Tiga jenis peran yang biasanya
dimainkan seorang pemimpin adalah peletak dasar, interpolasi, dan
administrasi. Sebagai peletak dasar (origanization) seorang pemimpin
dituntut untuk membuat keputusan strategik berkaitan dengan formulasi dan
perubahan struktur organisasi. Keputusan ini sangat penting karena akan
menentukan misi dan budaya organisasi; sedangkan interpolasi berkaitan
dengan upaya untuk menginterpretasikan keputusan strategi dan mendesain
metode untuk mengimplementasikan keputusan tersebut. Termasuk ke dalam
interpolasi adalah melakukan adaptasi terhadap kebij akan baru organisasi.
Selain itu menutup kekurangan struktur organisasi berjalan juga merupakan
bagian dari interpolasi. Terakhir administrasi adalah mengimplementasikan
kebijakan dan prosedur yang telah dibuat sebelumnya untuk menjaga agar
organisasi bisa beroperasi secara efisien. Gambar 7.1 memberikan gambaran
terkait dengan tiga peran dimainkan seorang pemimpin di dalam organisasi.

Kemampuan dan Keterampilan yang


Proses Level Organisasi Dibutuhkan
Kepemimpinan Kognitif Afektif
Peletak dasar: eselon puncak perspektif sistem Karis rna
merubah,
membangun dan ~
dan mengeliminasi
struktur
lnterpolasi: level menengah: perspektif Meng integ rasi kan
menambah atau :>e yang san lrlt subsistem: hubungan primer dan
men uran i struktur :>en tin ~~rientasi dua arah sekunder
Administrasi: level bawah pengetahuan Memberi perhatian
menggunakan teknis: terhadap
struktur berjalan ~61 hami -keseimbangan antara
peraturan yang reward dan
berlaku punishment

Gambar 7.1.
Pola Kepemimpinan Organisasi

Seperti tampak pada gambar di atas ketiga peran seorang pemimpin


dimainkan pada level organisasi berbeda dan membutuhkan kemampuan dan
keterampilan berbeda. Sebagai contoh, menetapkan program dan kebijakan
7.12 PERILAKU ORGANISASI e

baru yang memungkinkan terjadinya perubahan struktur organisasi dan/atau


interpretasi ulang terhadap misi organisasi akan terjadi pada level atas. Oleh
karena itu, seorang pemimpin yang menempati posisi ini harus memiliki
pemahaman terhadap keseluruhan organisasi dan cara organisasi tersebut
berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Bisa dikatakan bahwa pimpinan
puncak merupakan simbol yang merepresentasikan organisasi secara
keseluruhan. Pimpinan pada level menengah melakukan interpolasi, yakni
menginterpretasikan kebijakan dan menerapkannya pada organisasi berjalan.
Inisiasi perubahan dengan demikian bukan merupakan peran yang harus
dimainkan oleh pimpinan level menengah. Sebaliknya, pimpinan level
menengah lebih dituntut untuk menjaga keseimbangan antara arahan dari atas
dan mengakomodasi tuntutan dari bawah, sedangkan pimpinan level bawah
lebih dituntut untuk menjalankan kebijakan dan prosedur organisasi. Oleh
karena itu, manajer level bawah dituntut untuk memiliki kemampuan teknis
sekaligus memahami aturan yang berlaku karena merekalah yang secara
langsung berhubungan dengan karyawan nonmanajer. ltulah sebabnya
pimpinan level bawah harus memberi perhatian pada aspek penghargaan dan
hukuman.

E. TEORI KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan bisa dikatakan sudah dipraktikkan sejak manusia hadir di


dunia. Eksodus besar-besaran dari Mesir menuju Palestina yang dipimpin
Nabi Musa, misalnya merupakan contoh praktik kepemimpinan yang terjadi
pada zaman prehistorik. Sementara itu, Arthur Shriberg, dkk. dalam bukunya
"practicing leadership" mengutarakan berbagai macam paradigma
kepemimpinan pada era sebelum industrialisasi. Pada zaman Yunani kuno
pemimpin adalah seorang guru dan pencinta kehidupan yang harmoni. Bagi
Thomas Aquinas (1225-1274), pemimpin adalah seorang penyedia sumber
daya dan penuntun bagi orang lain. Pandangan yang bertolak belakang
dengan Thomas Aquinas diberikan oleh Machiavelli yang menganggap
15
bahwa pemimpin adalah orang yang mengendalikan nasib orang lain .

15
Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David Shriberg and Mary Lynn Williamson. (1997).
Practicing Leadership: Principles and Applications. New York: John Wiley & Son
Inc. Chapter 3, hal. 39-53.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.13

Meski seperti disebutkan di atas kepemimpinan telah dipraktikkan


berabad-abad lamanya, sebagai bidang studi kepemimpinan baru dimulai
sejak akhir abad XIX. Hal ini, misalnya dikemukakan oleh Nahavandi yang
merujuk pada tulisan Thomas Carlyle (1841) Heroes and Hero Worship,
tulisan William James tentang sejarah orang besar (1880) dan tulisan Galton
tentang peran dari keturunan (1869). Menurut Nahavandi tulisan-tulisan
tersebut merupakan bagian dari era yang menandai dimulainya studi
16
kepemimpinan . Sampai sekarang meski studi kepemimpinan sudah relatif
mapan bukan berarti studi tentang kepemimpinan tidak dilakukan lagi.
Intensitas studi kepemimpinan boleh dikatakan tidak pemah surut.
Akibatnya, berbagai macam teori kepemimpinan terus bermunculan silih
berganti. Teori demi teori bermunculan untuk menutup kekurangan atau
mengembangkan teori yang sudah ada sebelumnya.
Pada mulanya untuk mengetahui apakah seseorang bisa menjadi
pemimpin yang efektif, perhatian ditujukan kepada sifat-sifat orang tersebut.
Teori ini dikenal sebagai teori sifat (trait theory). Perkembangan selanjutnya,
faktor yang dianggap penting sebagai penentu kepemimpinan bukan lagi sifat
seseorang melainkan perilakunya, yakni bagaimana seseorang berinteraksi
dan mempengaruhi orang lain. Dari sini kemudian dikenal teori perilaku
(behavior theory). Selain kedua teori tersebut berkembang pula teori
kontingensi (contingency theory). Jika kedua teori yang disebutkan terdahulu
level analisisnya masing-masing adalah individu dan kelompok, level analisis
teori kontingensi adalah organisasi. Hal ini bisa diartikan bahwa keberhasilan
seorang pemimpin bukan semata-mata ditentukan oleh sifat seseorang atau
interaksi seseorang dengan orang lain melainkan juga dipengaruhi situasi
yang melingkupi proses terjadinya kepemimpinan. Ketiga teori ini dengan
segala variasinya akan dibahas lebih detail pada uraian berikut ini.

1. Teori Sifat (Traits Theory)


Pada mulanya para teoretisi perilaku organisasi berkeyakinan bahwa
faktor pembeda antara seorang pemimpin dengan mereka yang bukan
pemimpin terletak pada sifat bawaan sejak lahir (innate qualities) yang
melekat pada diri seorang. Seseorang, menurut pandangan ini diasumsikan

16
Untuk memperoleh gambaran tentang Sejarah Perkembangan Studi Kepemimpinan,
lihat Afsaneh Nahavandi. (1997). The Art and Science of Leadership, Upper Saddle
River. New Jersey: Prentice Hall International.
7.14 PERILAKU ORGANISASI e

mempunyai sifat-sifat bawaan sejak lahir yang memungkinkan orang tersebut


mampu memimpin orang lain. Sifat-sifat tersebut berbeda dengan sifat-sifat
yang dimiliki seseorang yang bukan pemimpin. Pandangan ini secara tidak
langsung menegaskan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan
(leaders are born, not made). Jika ditelusuri ke belakang, pandangan ini
sejalan dengan pandangan masyarakat Yunani Kuno atau Roma yang
meyakini bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin ia akan
menjadi pemimpin karena secara alamiah memiliki sifat-sifat sebagai seorang
pemimpin. Pandangan ini dikenal dengan teori "the great man". Berangkat
dari pemahaman tersebut, teori sifat kemudian berupaya mengidentifikasikan
sifat-sifat seseorang yang menjadi penentu kepemimpinan yang efektif.
Dengan kata lain, level analisis teori sifat adalah individual.
Untuk mengetahui sifat kepemimpinan seseorang, berbagai macam studi
dengan dukungan beragam metode telah dilakukan. Namun, keragaman ini
justru menyebabkan hasil studi teori sifat (trait theory) tidak konklusif dan
dianggap lemah. Penyebabnya, di antaranya karena metode yang digunakan
tidak konsisten. Sebagian studi, misalnya menggunakan observer dari luar
untuk mengidentifikasi sifat pemimpin; lagi menggunakan anggota kelompok
sebagai sumbernya; dan sebagian yang lain menganggap seseorang sebagai
pemimpin karena jabatan atau posisinya di dalam organisasi. Demikian juga
cara mengukur sifat seseorang yang dianggap sebagai pemimpin sering tidak
konsisten. Misalnya, sifat seseorang diukur dengan tes psikologi, diukur
secara subjektif oleh orang luar, atau dengan self-asssessment.
Meski teori sifat memiliki banyak kelemahan, bukan berarti teori ini
tidak ada manfaatnya. Harus diakui bahwa pemimpin yang efektif memiliki
sifat-sifat tertentu yang tidak dimiliki oleh pemimpin yang tidak efektif atau
seseorang bukan pemimpin. Hanya saja harus diakui pula bahwa efektivitas
kepemimpinan tersebut tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat seseorang
melainkan juga oleh faktor lain, seperti situasi yang melingkupi proses
terjadinya kepemimpinan. Simpulan umum menunjukkan bahwa beberapa
sifat memiliki korelasi positif dan kuat terhadap efektivitas kepemimpinan
dan sifat-sifat lainnya berkorelasi positif meski korelasinya lemah seperti
tampak pada Tabel 7.2 berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.15

Tabel 7.2.
Ringkasan Hasil Studi Teori Sifat

Sifat-sifat yang Berkorelasi Positif dan Sifat-sifat yang Berkorelasi Positif,


Korelasinya Kuat, dengan namun Korelasinya Lemah, dengan
Kepemimpinan Kepemimpinan
a. Orisinalitas a. Umur
b. Popularitas b. Tinggi badan
c. Kemampuan bermasyarakat c. Berat badan
d. Kemampuan memberi penilaian d. Postur tubuh
e. Agresivitas e. Energi
f. Rasa humor f. Tampilan
g. Keinginan untuk unggul g. Dominasi
h. Daya kooperatif h. Kemampuan mengendalikan gairah
i. Tingkat berkehidupan atau semangat
·. Kemampuan atletik

2. Teori Perilaku (Behavior Theory)


Oleh karena teori sifat tidak menunjukkan basil yang konsisten dan di
saat yang sama kebutuhan akan seorang pemimpin yang terlatih sangat
tinggi, sej ak pertengahan tahun 1940-an para peneliti mengalihkan
perhatiannya dari sifat seorang pemimpin ke perilaku sebagai sumber
efektivitas kepemimpinan. Pergeseran ini di satu sisi dipicu oleh kelemahan-
kelemahan dari teori sifat dan di sisi lain karena sangat dominannya para
teoretisi keperilakuan (behaviorist theories) di Amerika dan Inggris pada
periode tersebut. Dalam hal ini, para teoretisi keperilakuan tidak lagi
mempertanyakan siapa yang akan menjadi pemimpin melainkan mencoba
mengidentifikasi perilaku yang memungkinkan seseorang menjadi pemimpin
yang efektif. J adi, pertanyaan utama yang diajukan para teoretisi
keperilakuan adalah apakah perilaku atau gaya kepemimpinan tertentu
menjadikan pemimpin lebih efektif dibandingkan dengan perilaku atau gaya
kepemimpinan yang lain.
Dibandingkan teori sifat, pendekatan keperilakuan memberi beberapa
keuntungan. Pertama, perilaku dapat diamati dan ditelaah secara objektif.
Kedua, perilaku dapat diukur secara cermat dan tepat. Ketiga, tidak seperti
sifat seseorang yang dibawa sej ak lahir atau bisa dikembangkan pada saat
seseorang masih di bawah umur, perilaku sesungguhnya bisa dipelajari.
Dengan pendekatan ini, sebuah organisasi tidak harus menunggu sampai
seseorang muncul menjadi pemimpin, tetapi bisa secara proaktif untuk
melatih seseorang menjadi pemimpin.
7.16 PERILAKU ORGANISASI e

Studi kepemimpinan berbasis perilaku diawali oleh serangkaian


penelitian yang dilakukan Kurt Lewin dan kawan-kawan pada akhir tahun
1930-an. Penelitian tersebut menghasilkan tiga bentuk kepemimpinan, yaitu
otokratik, demokratik, dan laissez-faire. Dari ketiga bentuk kepemimpinan
tersebut sayangnya tidak bisa diketahui bentuk kepemimpinan yang paling
efektif. Kepemimpinan otokratik, misalnya justru menjadikan para pengikut
bersikap pasrah atau cenderung tunduk pada pimpinan karena para pengikut
hanya sekadar menjalankan aktivitas, semuanya ditentukan oleh pimpinan-
nya. Di sisi lain, kepemimpinan demokratik yang memberi kesempatan pada
para pengikut untuk terlibat dalam pengambilan keputusan hanya
menghasilkan kohesivitas kelompok dan mereka cenderung rileks. Sementara
itu, kepemimpinan laissez-faire yang menyerahkan sepenuhnya dan memberi
kebebasan kepada para pengikut untuk berkiprah justru membuat para
pengikut merasa frustasi karena mereka tidak terorganisir dengan baik dan
akibat lanjutannya adalah menyebabkan kualitas kerja yang rendah.
Menyadari adanya beberapa kelemahan dari penelitian Lewin, dkk., para
peneliti lain mulai mengembangkan teori perilaku kepemimpinan yang lain.
Di antaranya yang paling terkenal adalah penelitian yang dilakukan oleh
Ohio State University. Para peneliti Ohio State University mencoba membuat
daftar perilaku kepemimpinan yang jumlahnya mendekati angka 2000.
N amun, setelah berkali-kali ditelaah ulang, daftar tersebut bisa
disederhanakan menjadi sebuah daftar pertanyaan yang dikenal sebagai
"Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ)" dan sampai sekarang
pun kuesioner tersebut masih banyak digunakan. Secara umum, LBDQ terdiri
dari dua dimensi, yaitu consideration (pertimbangan) dan initiation structure
(menginisiasi s truktur).
Maksud dari consideration adalah perhatian dan tingkat sensitivitas
seorang pemimpin terhadap kepentingan, perasaan, dan ide-ide para
pengikut. Pemimpin yang memiliki tingkat consideration yang tinggi adalah
tipikal pemimpin yang bersahabat, menyukai komunikasi terbuka, memberi
perhatian pada teamwork dan memperhatikan kesejahteraan para pengikut.
Sementara itu, yang dimaksud dengan initiating structure adalah perilaku
pemimpin yang lebih memperhatikan tugas yang harus dilakukan para
pengikut dan tujuan yang hendak dicapai. Pemimpin yang memiliki tingkat
initiating structure yang tinggi adalah tipikal pemimpin yang lebih suka
memberi instruksi, memperhatikan hal-hal yang detail, dan menetapkan
waktu yang tegas dalam penyelesaian tugas.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.17

Oleh karena kedua dimensi perilaku tersebut bersifat independen, para


peneliti mencoba menguji efektivitas kepemimpinan dengan mengombinasi-
kan kedua dimensi tersebut sehingga diperoleh empat bentuk perilaku
pemimpin, yaitu tingkat inisiasi struktur tinggi dan tingkat pertimbangan
rendah - high initiating strukture and low consideration (HIS-LC); tingkat
inisiasi struktur tinggi dan tingkat pertimbangan tinggi - high initiating
strukture and high consideration (HIS-HC); tingkat inisiasi struktur rendah
dan tingkat pertimbangan rendah - low initiating strukture and low
consideration (LIS-LC); tingkat inisiasi struktur rendah dan tingkat
pertimbangan tinggi - low initiating strukture and high consideration (LIS-
HC). Dari keempat perilaku pemimpin di atas, HIS-HL adalah bentuk
perilaku yang terkait dengan pencapaian kinerja dan di saat yang sama
memberi kepuasan kepada para pengikut. Dengan kata lain, HIS-HC adalah
pemimpin yang paling efektif.
Pada waktu hampir bersamaan dengan penelitian yang dilakukan
kelompok Ohio State University, peneliti dari The University of Michigan
juga melakukan penelitian tentang perilaku kepemimpinan. Hal yang
mengejutkan adalah basil penelitian The Michigan University mirip dengan
basil penelitian Ohio State University meski kedua kelompok peneliti
tersebut tidak melakukan kolaborasi. Tim peneliti The University of
Michigan juga menghasilkan dua dimensi perilaku yaitu: perilaku
berorientasi pekerjaan (job oriented behavior) dan perilaku berorientasi
karyawan (employee oriented behavior). Pemimpin berorientasi pekerjaan
adalah sosok pimpinan yang mengarahkan aktivitas para pengikut menuju
tercapainya efisiensi, pemotongan biaya, dan penyusunan skedul kerj a.
Mencapai tujuan dan memfasilitasi pekerjaan merupakan dimensi dari job
oriented behavior yang mirip dengan initiating structure. Sementara itu,
pimpinan berorientasi karyawan adalah sosok pimpinan yang menunjukkan
fokus perhatiannya pada kebutuhan para karyawan. Dua dimensi penting dari
employee oriented behavior adalah dukungan pemimpin dan interaksi dengan
karyawan. Kedua dimensi ini identik dengan consideration pada penelitian
Ohio State University. Meski penelitian The University of Michigan hampir
sama dengan penelitian Ohio State University, para peneliti Michigan
menganggap bahwa employee oriented dan job oriented leader adalah dua
gaya berbeda yang saling berlawanan. Artinya, kepemimpinan seseorang
dapat diidentifikasikan dari salah satu dari kedua gaya tersebut bukan
keduanya.
7.18 PERILAKU ORGANISASI e

Kedua penelitian tersebut kemudian dilanjutkan oleh Robert Blake dan


Jane Mouton dari University of Texas. Dengan memanfaatkan basil kerja tim
peneliti Ohio State University dan University of Michigan, Blake and
Mouton membuat desain model kepemimpinan yang disebut "The Leadership
Grid". Model ini disusun berdasarkan dua kriteria yaitu: memberi perhatian
pada manusia dan memberi perhatian pada produksi. Berdasarkan kriteria
tersebut, Blake and Mouton menyusun sembilan skala mulai dari satu sampai
sembilan. Hasil skor kemudian ditempatkan pada masing-masing kisi (grid)
sesuai dengan kedua kriteria model - memberi perhatian pada manusia dan
memberi perhatian pada produksi. Hasilnya seperti tampak pada Gambar 7.2
terdapat 5 bentuk kepemimpinan, yaitu country club (grid 1.9), team
(grid 9.9), impoverished (grid 1.1), authority compliance (grid 9.1), dan
middle-of-the-road (5 .5).
Grid 1.1 disebut impoverished management - manajemen yang miskin
usaha. Disebut demikian karena usaha yang dilakukan manajer untuk
memikirkan orang-orang yang bekerja sama dengannya dan produksi yang
seharusnya dihasilkan organisasi sangat sedikit kalau tidak dikatakan tidak
ada sama sekali. Dalam menjalankan tugas manajer menganggap dirinya
hanya sebagai perantara yang mengkomunikasikan informasi dari atasan
kepada bawahan.
Grid 9.9 adalah tipikal pemimpin yang ideal karena manajer mempunyai
rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi maupun
orang-orang yang bekerja dengannya. Dia mencoba merencanakan semua
usaha-usahanya dengan senantiasa memikirkan dedikasinya pada produksi
dan nasib orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Manajer yang
termasuk grid ini dapat dikatakan sebagai "manajer tim" yang riil (the real
team manager). Dia mampu untuk memadukan kebutuhan-kebutuhan
produksi dengan kebutuhan-kebutuhan orang-orang secara individu.
Grid 1.9 disebut country club management. Seperti tersirat dari
namanya, manajer seperti halnya petinggi negara lebih memikirkan atau
mendahulukan orang-orang yang bekerja di dalam organisasi ketimbang basil
produksinya. Manajer semacam ini berusaha menciptakan suasana
lingkungan kerja sehingga semua orang bisa bekerja dengan suasana yang
tidak menegangkan, lebih bersahabat, dan membahagiakan. Dalam suasana
seperti ini tidak ada satu orang pun yang mau memikirkan tentang usaha-
usaha koordinasi guna mencapai tujuan organisasi.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.19

Grid 9.1 adalah tipikal manajer yang otokratik sehingga sering disebut
sebagai authority compliance management. Manajer semacam ini lebih
mengedepankan usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja dan mencapai
tujuan organisasi, namun cenderung mengesampingkan atau hanya sedikit
rasa tanggung jawabnya pada orang-orang yang bekerja dalam organisasi.
Lebih dari itu gaya kepemimpinannya lebih menonjolkan sifat otokratis.
Selain empat gaya yang ekstrem di atas, ada satu gaya yang berada di
tengah-tengah yang disebut middle-of-the-road management- kepemimpinan
j alan tengah. Tipikal pemimpin seperti ini digambarkan dengan posisi
grid 5.5. Dalam hal ini, manajer mempunyai pemikiran yang medium baik
pada produksi maupun pada orang-orang. Dia berusaha mencoba
menciptakan dan membina moral orang-orang yang bekerja dalam organisasi
yang dipimpinnya, produksi dalam tingkat yang memadai, tidak terlampau
tinggi sehingga sulit dicapai, serta terbaik hati mendorong orang -orang untuk
bekerja lebih baik.

9. 9 Team management 9
1. 9 Country club management
8

6
5.5 Middle-of-the-road management

3
1.1 Impoveris hed management 9.1 Authority compliance management
2

1
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Memberi perhatian pada produksi

Gambar 7.2.
Leadership Grid
7.20 PERILAKU ORGANISASI e

3. Teori Kontingensi (Contingency Theory)


Kegagalan para teoretisi menemukan sifat atau perilaku universal
sebagai penentu efektivitas kepemimpinan menyebabkan para peneliti
mencoba mencari arab baru teori kepemimpinan. Meski sebagian peneliti
masih terus mengembangkan teori perilaku kepemimpinan, namun harus
diakui bahwa keberhasilan seseorang memimpin orang lain tidak semata-
mata ditentukan oleh sifat atau perilaku orang yang memimpin, tetapi juga
ditentukan oleh faktor lain, seperti kesediaan para pengikut untuk dipimpin
dan situasi yang melingkupi terjadinya proses kepemimpinan. Asumsi yang
melandasi teori baru ini adalah perilaku seseorang dalam memimpin mungkin
cocok untuk situasi tertentu, tetapi tidak cocok untuk situasi yang lain. Oleh
karena itu, efektivitas perilaku kepemimpinan seseorang sesungguhnya
sangat tergantung pada situasi yang melingkupinya. Teori kepemimpinan
yang mempertimbangkan situasi sebagai penentu keberhasilan kepemimpinan
disebut "Teori Kontingensi" (Contingency Theory) . Secara umum, perbedaan
antara pendekatan universal dan kontingensi dapat dilihat pada Gambar 7. 3.

Pendekatan Sifat/Prilaku Hasil


Universal kepemimp inan Kinerja dan Kepuasan kelja

Pemimpin

Gay a
Sifat
Pendekatan Prilaku
Kontingensi Posisi

Kebutuhan Tugas
Pengikut Kamatangan Struktur Situasi Hasil
Pelatihan System Kinerja dan Kepuasan kelja
Kohesivitas Lingkungan

Sumber: Richart Daft, (2005, 81 ).

Gambar 7.3.
Perbedaan antara Pendekatan Universal dan Kontingensi
e EKMA41 58/MODUL 7 7.21

Seperti tampak pada gambar di atas, pendekatan universal beranggapan


bahwa sifat atau perilaku seorang pemimpin dapat mempengaruhi
keberhasilan organisasi tanpa memperhatikan situasi yang melingkupi proses
kepemimpinan. Sementara itu, pendekatan kontingensi tidak beranggapan
demikian. Menurut teori ini keberhasilan seseorang memimpin di samping
karena sifat atau perilakunya juga ditentukan oleh situasi yang ada. Artinya,
sifat atau perilaku tertentu hanya cocok untuk situasi tertentu pula. J adi,
bertolak belakang dengan pandangan universal, teori kontingensi berasumsi
bahwa tidak ada satu cara terbaik (no one best way) untuk model
kepemimpinan, semuanya tergantung pada kecocokan situasi. Gambar 7.3
secara tidak langsung juga menegaskan bahwa faktor penting dalam teori
kontingensi adalah situasi dan pengikut. Situasi yang mempengaruhi
efektivitas kepemimpinan di antaranya tugas, struktur, konteks, dan
lingkungan. Sementara itu, hal-hal berkaitan dengan para pengikut
(followers) yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan adalah kebutuhan,
kematangan, dan kohesivitas mereka.
Teori kontingensi berkembang dalam berbagai macam versi, di
antaranya teori kontingensi yang dikembangkan oleh Fred E. Fiedler; Paul
Hersey and Kenneth Blanchard; Robert House, Vroom and Jago. Model-
model ini akan diuraikan lebih detail sebagai berikut.

Teori kontingensi menurut Fred E. Fiedler


Fred E. Fiedler dan ternan-ternan sekelompoknya adalah orang pertama
yang mencoba mengaitkan gaya kepemimpinan dengan situasi organisasi.
Belakangan upaya itulah yang melahirkan teori kontingensi. Ide dasar teori
ini sangat sederhana, yakni harus ada kecocokkan antara gaya kepemimpinan
dengan situasi yang paling menguntungkan. Jika prasyarat tersebut terpenuhi,
ujung-ujungnya adalah proses kepemimpinan memberikan basil seperti yang
diharapkan. Sebaliknya, prasyarat tersebut tidak terpenuhi - kedua elemen
tidak sinkron maka basil yang diharapkan sulit tercapai. Meski demikian,
ketidaksinkronan kedua elemen tersebut masih mungkin diperbaiki karena
sesungguhnya masih ada kesempatan bagi pemimpin untuk menelaah ulang
gaya kepemimpinannya dan sekaligus menelaah situasi organisasi agar
keduanya bisa menjadi sinkron kembali dan mencapai basil yang diharapkan.
Gaya kepemimpinan. Untuk mengukur gaya kepemimpinan, Fiedler berpijak
pada konsep yang dibangun Ohio State Diversity, yakni pemimpin yang
berorientasi orang dan pemimpin yang berorientasi tugas. Untuk mengetahui
7.22 PERILAKU ORGANISASI e

apakah gaya kepemimpinan seseorang mengarah ke salah satu dimensi di


atas, Fiedler, selanjutnya menyusun 16 kuesioner bipolar dengan skala 8 yang
dikenal dengan nama Least Preferred Coworker (LPC). Kuesioner tersebut
tampak pada Tabel 7.3.

Tabel 7.3.
Skala LPC

Pikirkan seseorang di mana Anda tidak dapat bekerja sama dengannya dengan baik. Boleh
jadi seseorang tersebut adalah orang yang masih bekerja sama dengan anda, atau
seseorang yang pernah bekerja sama dengan Anda sebelumnya. Tidak harus orang tersebut
adalah orang yang Anda kurang sukai tetapi orang yang paling sulit ketika diminta
men''elesaikan :>eker'aan. Menu rut Anda oran~ terse but adalah oran~ van~ ............ .
Menyenangkan 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak menyenangkan
Bersahabat 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak bersahabat
Menolak 1 2 3 4 5 6 7 8 Menerima
Membantu 8 7 6 5 4 3 2 1 Frustasi
Tidak antusias 1 2 3 4 5 6 7 8 Antusias
Tegang 1 2 3 4 5 6 7 8 Relaks
Berjarak 1 2 3 4 5 6 7 8 Dekat
Dingin 1 2 3 4 5 6 7 8 Hangat
Kooperatif 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak kooperatif
Mendukung 8 7 6 5 4 3 2 1 Bermusuhan
Membosankan 1 2 3 4 5 6 7 8 Menarik
Suka bertengkar 1 2 3 4 5 6 7 8 Harmoni
Yakin 8 7 6 5 4 3 2 1 Ragu-ragu
Efisien 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak efisien
Pemurung 1 2 3 4 5 6 7 8 Riang gembira
Terbuka 8 7 6 5 4 3 2 1 Berhati-hati

Cara kerj a kuesioner ini adalah sebagai berikut. Seseorang diminta untuk
menunjuk atau mengingat orang lain yang pernah atau sedang bekerja
dengannya yang dianggap sebagai ternan kerja yang paling tidak disukai
(least preferred co-worker). Selanjutnya, gambarkan atau berilah penilaian
terhadap orang lain tersebut menggunakan keenam belas pertanyaan di atas.
Jika secara keseluruhan orang lain tersebut digambarkan secara positif (nilai
LPCnya tinggi) maka gaya kepemimpinan seseorang lebih berorientasi pada
orang. Sebaliknya, apabila nilai LPCnya rendah yang berarti menggambarkan
ternan kerja secara negatif, menunjukkan gaya kepemimpinan berorientasi
tugas. Sebagai contoh, Ponijo memiliki ternan kerja Walimin dan Ponijo
menilai W alimin sebagai orang yang menyenangkan, bersahabat, suka
membantu, dan nilai-nilai positif lain meski Walimin merupakan orang yang
e EKMA41 58/MODUL 7 7.23

kurang disukai Ponijo maka gaya kepemimpinan Ponijo adalah berorientasi


orang. Demikian sebaliknya.

Situasi
Berdasarkan penilaian LPC seperti tersebut di atas, Fiedler selanjutnya
mencocokkannya dengan situasi yang paling menguntungkan. Menurut
Fiedler apakah pemimpin dengan nilai LPC tinggi atau pemimpin dengan
nilai LPC rendah lebih efektif sangat tergantung pada situasi yang paling
menguntungkan. Pada situasi tertentu pemimpin dengan LPC tinggi lebih
efektif, tetapi pada situasi lain justru pemimpin dengan LPC rendah yang
lebih efektif. Situasi yang menguntungkan tersebut ditentukan oleh tiga
variabel, yaitu (1) apakah hubungan antara pimpinan dengan pengikutnya
relatif baik atau buruk, (2) apakah tugas yang harus dikerjakan lebih
terstruktur atau tidak terstruktur, dan (3) apakah posisi kekuasaan pemimpin
relatif kuat atau lemah.
Untuk menguji model yang dikembangkannya, Fiedler dan ternan-ternan
sekelompoknya mengembangkan instrumen untuk mengukur ketiga variabel
di atas. Selanjutnya, Fiedler mengelompokkan masing-masing kelompok ke
dalam salah satu dari delapan kategori sesuai dengan kriteria yang digunakan,
yaitu skala situasi paling menguntungkan pada satu ekstrim dan skala situasi
paling tidak menguntungkan pada ekstrim yang lain. Hasilnya seperti tampak
pada Gambar 7 .4, situasi yang paling menguntungkan terjadi ketika
hubungan pemimpin dengan bawahan sangat baik, tugas-tugas sangat
terstruktur dan posisi kekuasaan sangat kuat. Sebaliknya, situasi yang paling
tidak menguntungkan terjadi apabila hubungan pemimpin dengan bawahan
sangat buruk, tugas-tugas tidak terstruktur, dan posisi pemimpin sangat
lemah.
Sang at Sangat tidak
menuntungkan menuntungkan

r
~------------------------------------------------------------~

I II ill N v VI Vll VIII


-
Hu bung an Pi mpi nan
dengan Anggota Baik Baik Baik Baik Buruk Buruk Buruk Buruk

Struktur Togas Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah

Posisi kekuasaan Kuat Lemah Kuat Lemah Kuat Lemah Ku at Lemah

Gambar 7.4.
Situasi Paling Menguntungkan Diukur dari Tiga Variabel
7.24 PERILAKU ORGANISASI e

Fiedler juga menguji hubungan antara skor LPC dengan efektivitas


dalam berbagai situasi berbeda. Hasilnya seperti tampak pada Gambar 7.5
menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki nilai LPC tinggi adalah paling
efektif jika situasinya moderat. Namun, apabila situasinya sangat
menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, pemimpin dengan nilai
LPC rendah justru akan sangat efektif.

Baik ··-·~·~·~·~·~·~·~·~·~·~·, p·-·~·-·-·~·-·-·-·-·-·-~


• •
I
'•,

•I

' • •

I
K '•




I
N I~
I
• •
E '• '•

R '
• •
I
'•

I
J • •
~·~·~·~·~·~·~·~·~·~J
A
M ennguntungkan Mode rat Tidak menguntungkan

Buruk
2 : 5 7
- L. 6
SITUASI

CATATAN: - . - . - . - . - . - . - . - . - . Pimpinan berorientasi tug as


Pimpinan berorientasi orang

Gambar 7.5.
Kecocokan antara Pemimpin dengan Situasi

Teori kontingensi yang dibangun oleh Fiedler memberikan implikasi


yang sangat menarik khususnya untuk kepentingan seleksi dan training
kepemimpinan di dalam organisasi. Seseorang yang hendak menempati
posisi kepemimpinan di dalam organisasi sebaiknya terlebih dahulu dinilai
orientasi kepemimpinannya agar bisa ditempatkan pada posisi pekerjaan yang
sesuai dengan orientasinya. Di samping itu, sebelum menyeleksi dan
menempatkan seorang pemimpin terlebih dahulu harus dinilai situasi yang
paling menguntungkan. Pemimpin yang bersusah payah dengan situasi yang
ada sebaiknya dipindahkan ke tempat lain yang situasinya cocok. Kalau tidak
mungkin, situasinya yang harus diubah. Fiedler tidak menyarankan untuk
mengubah orientasi kepemimpinan seseorang karena hal itu sangat sulit
dilakukan. Saran Fiedler adalah melakukan job reengineering, misalnya
dengan merubah struktur tugas.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.25

4. Teori Situasional
Paul Hersey and Ken Blanchard mengembangkan model kepemimpinan
situasional yang mengkombinasikan tiga variabel, yaitu (a) Task behavior -
perilaku berorientasi tugas; menunjukkan sejauh mana pemimpin
memberikan tugas individu/kelompok, kegiatan, dan tanggung jawab kepada
bawahan sebagai bagian untuk mencapai tujuan, pengorganisasian,
penjadwalan, serta pengarahan dan pengendalian, (b) Relationship behavior;
menunjukkan pada perilaku pemimpin dalam berkomunikasi dengan para
pengikut, seperti mendengarkan, memberi support, memfasilitasi interaksi,
memberi feedback, dan mendukung indi vidu dan kelompok, serta (c) tingkat
kesiapan atau kematangan para pengikut/karyawan dalam menjalankan
fungsi organisasi dan/atau mengerjakan tugas tertentu.
Variabel pertama dan kedua - task behavior dan relationship behavior
pada dasarnya merupakan dimensi hubungan antara pemimpin dengan
bawahan seperti telah dibahas pada teori perilaku. Oleh karena itu, teori
kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey and Blanchard
sejatinya merupakan pengembangan teori kepemimpinan berbasis perilaku.
Hanya saja Hersey and Blanchard tidak semata-mata fokus pada perilaku
pemimpin, tetapi juga kesiapan atau kematangan para pengikut atau bawahan
sebagai penentu perilaku pemimpin. Maksud dari kesiapan para pengikut
adalah kemampuan dan kemauan para pengikut bertanggung jawab untuk
mengarahkan perilakunya terkait dengan tugas yang dikerjakannya. Oleh
karena masing-masing individu memiliki kesiapan berbeda untuk tugas
berbeda maka kepemimpinan yang efektif menuntut para pimpinannya untuk
menyesuaikan perilaku masing-masing agar cocok dengan kesiapan para
pengikut. Kesiapan para pengikut ditentukan oleh dua faktor, yaitu job
maturity dan psychological maturity. Job maturiy adalah kemampuan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu dan merupakan fungsi dari
pengetahuan dan keterampilan. Sementara itu, yang dimaksud dengan
psychological maturity adalah kemauan seseorang untuk mengerjakan
sesuatu dan merupakan fungsi dari komitmen dan kepercayaan diri.
Berdasar kesiapan para pengikut di atas dan dua dimensi perilaku
kepemimpinan pada akhirnya dihasilkan empat gaya kepemimpinan (lihat
Gambar 7 .6) yaitu sebagai berikut.
a. S 1: Telling
Pemimpin mengatakan pada pengikutnya mengenai apa, di mana dan
kapan tugas harus dilakukan. Gaya kepemimpinan ini cocok jika para
7.26 PERILAKU ORGANISASI e

pengikut tingkat kesiapannya rendah yang ditandai rendahnya


kemampuan dan kemauan.
b. S2: Selling
Pemimpin menyampaikan keputusan yang dibuat dan memberi
kesempatan kepada para pengikut untuk mengklarifikasi keputusan
tersebut. Gaya ini cocok untuk pengikut yang memiliki kemauan, tetapi
tidak mempunyai kemampuan.
c. S3: Participating
Pemimpin dan pengikut saling berbagi dalam pengambilan keputusan
dan implementasinya. Gaya kepemimpinan ini cocok untuk para
pengikut yang memiliki kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan.
d. S4: Delegating
Pemimpin menyediakan sedikit pengarahan secara saksama, spesifik
atau dukungan pribadi terhadap pengikut-pengikutnya. Keputusan dan
implementasinya diserahkan sepenuhnya kepada para pengikut. Gaya
kepemimpinan ini cocok untuk para pengikut yang memiliki kemampuan
dan kemauan.

Tin gg i R e la s i tinggi Tugas tin ggi


tuga s r e ndah R elasi tinggi

S3 S2

s4 s1

Tuga s tinggi
R e la s i r e ndah R e la s i r e ndah
R e ndah
Tu g a s rendah

R e ndah T in gg i
Prilaku b e rori e nta s i tuga s
e EKMA41 58/MODUL 7 7.27

Sangat tinggi Tinggi Moderat endah


M4 M3 M2 M1
Tingkat Kesiapan Pengikut

4- Ban~ak 3- cuku1 2 -se< ang 1 sedikit


Kemampua .... ....
Job Maturity

4 - pada 3 - sering 2 - terka ~ang 1 - ~ arang


Kemauan ....
....
umumny2 .....
Psychological maturity

Gambar 7.6.
Model Kepemimpinan Situasional

5. Path-Goal Theory
Teori kepernimpinan situasional selain dikembangkan Hersey and
Blanchard, juga dikembangkan Robert House yang disebut Path-Goal
Theory. Teori ini cukup populer karena didasarkan pada teori motivasi -
expectancy theory (teori pengharapan). Path-Goal Theory menjelaskan
bagaimana seorang pemimpin dapat memfasilitasi pelaksanaan tugas dengan
menunjukkan kepada bawahan bahwa kinerja mereka bisa menjadi sarana
untuk memperoleh penghargaan yang diharapkan. Seperti halnya dengan
expectancy theory, pada dasarnya path-goal theory menjelaskan apa yang
bisa dilakukan seorang pemimpin untuk mempengaruhi persepsi bawahan
tentang pekerjaan mereka, tujuan individu bawahan, dan berbagai macam
jalan (path) untuk mencapai tujuan.
Menurut path-goal theory, fungsi kepemimpinan ada dua, yaitu
(a) menjelaskan kepada bawahan dan membantu mereka memaharni perilaku
yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerj aan, dan (b) meningkatkan
jumlah penghargaan yang disediakan untuk mereka dengan cara memberi
dukungan kepada bawahan dan memberi perhatian terhadap kebutuhan
personal mereka. Untuk menjalankan fungsi tersebut, seorang pernimpin
dapat menerapkan salah satu dari empat gaya kepernimpinan, yaitu sebagai
berikut.
7.28 PERILAKU ORGANISASI e

a. Kepemimpinan direktif
Pimpinan memberitahu bawahan apa yang diharapkan dari mereka. Di
samping itu, pimpinan juga memberi petunjuk, standar kerja, dan skedul
kerja.
b. Kepemimpinan suportif
Pemimpin memperlakukan bawahan dengan kedudukan setara, dan
menunjukkan perhatiannya terhadap kesejahteraan, status, dan
kebutuhan personal mereka. Selain itu, pemimpin juga berusaha
membangun hubungan interpersonal yang menyenangkan.
c. Kepemimpinan partisipatif
Pemimpin bersedia berkonsultasi kepada bawahan dan menggunakan
saran dan ide mereka dalam pengambilan keputusan.
d. Kepemimpinan berorientasi prestasi
Pemimpin menciptakan tantangan-tantangan yang menarik bawahan,
mengharapkan bawahan untuk mengeluarkan segala kemampuannya,
dan terus-menerus mengupayakan agar kinerja semakin membaik.

Satu hal yang patut mendapat perhatian terkait dengan path-goal theory
adalah adanya asumsi bahwa keempat gaya kepemimpinan di atas dapat
dilakukan oleh seorang manajer pada waktu berbeda dan pada situasi
berbeda. Artinya, apabila suatu ketika seorang manajer menerapkan gaya
kepemimpinan direktif, tetapi tiba-tiba situasinya berubah dan menuntut,
misalnya, manajer untuk merupakan gaya kepemimpinan partisipatif maka
sangat dimungkinkan bagi manajer tersebut untuk merubah gaya
kepemimpinannya. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa gaya
kepemimpinan seseorang sangat tergantung pada situasi yang melingkupinya.
Secara umum, faktor situasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu karakteristik
bawahan/pengikut dan faktor lingkungan. Karakteristik bawahan yang dapat
mempengaruhi gaya kepemimpinan adalah sebagai berikut.
a. Locus of control
Seperti telah dijelaskan pada modul kepribadian, locus of control adalah
keyakinan seseorang berkaitan dengan faktor yang menentukan
penghargaan. Seseorang dengan internal locus of control meyakini
bahwa penghargaan akan diperoleh atas usaha sendiri. Sedangkan
seseorang dengan external locus of control beranggapan bahwa
penghargaan ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya. Seseorang dengan
internal locus of control dengan demikian lebih suka dengan
e EKMA41 58/MODUL 7 7.29

kepernimpinan partisipatif, Sedangkan seseorang dengan external locus


of controllebih menyukai kepernimpinan direktif.
b. Authoritarianism
Maksud dari authoritarianism adalah kemauan seseorang menerima
pengaruh dari orang lain. Seorang bawahan dengan tingkat
authoritarianism tinggi cenderung lebih responsif terhadap
kepernimpinan direktif.
c. Kemampuan
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah
mereka mampu bekerja lebih baik jika mereka di bawah kepemimpinan
berorientasi hasil yang biasanya menetapkan tujuan yang menantang,
atau pernimpin yang suportif yang cenderung mendorong dan memberi
instruksi dengan sabar.

Sementara itu, faktor lingkungan yang memoderasi efek dari gaya


kepernimpinan situasional adalah (a) sifat dari tugas, (b) sistem otoritas
formal yang berlaku dalam organisasi, dan (c) norma dan dinarnika
kelompok. Ketiga faktor lingkungan ini bisa mempengaruhi efektivitas
kepernimpinan dalam beragam variasi. Sebagai contoh, kepernimpinan
direktif akan efektif jika organisasi dikelola sangat formal. Secara umum,
model kepemimpinan dengan pendekatan path-goal theory dapat dilihat pada
Gambar 7.7 berikut ini.

Karakteristik Pengikut
1. Locus of control
2. Authoritarianism
3. Kemampuan

Gaya Kepemimpinan ~
Pengikut Hasil
1, Direktif \ 1. Kepuasan kerj a
2. Supportif Motivasi
\ 2. Kinerja
3. Partisipatif .............
-v Persepsi -v 3.Pengakuanterhadap
• •
4. Berorientasi basil OeffilffiDlll

Faktor lingkungan
l.Tugas
2. Sistem otoritas
3. Kelompok kerj a

Gam bar 7. 7.
Model Kepemimpinan Path-Goal Theory
7.30 PERILAKU ORGANISASI e

F. KEPEMIMPINAN BEORIENTASI PERUBAHAN

17
Teori-teori kepemimpinan seperti yang telah dibahas sebelumnya
sering disebut teori klasik. Dalam perkembangannya meski teori -teori
tersebut masih banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena
kepemimpinan, muncul teori-teori kontemporer yang lebih berorientasi
perubahan. Dua di antaranya akan dibahas di sini, yakni kepemimpinan
kharismatik dan kepemimpinan transformational.

1. Kepemimpinan Kharismatik
lstilah karisma sesungguhnya bukan istilah baru. lstilah ini sudah
digunakan oleh Max Weber ketika menjelaskan pentingnya teori birokrasi.
Meski demikian, istilah karisma khususnya ketika dikaitkan dengan konsep
kepemimpinan, baru muncul pada tahun 1970-an. Salah satu dasar
pemahaman tentang kepemimpinan kharismatik adalah konsep hubungan
antara pemimpin dengan para pengikutnya, bukan sekadar sifat pemimpin
dan karakteristik pribadi pemimpin. Pemimpin karismatik didefinisikan
sebagai pemimpin yang memberikan efek emosional secara mendalam
kepada para pengikutnya. Pemimpin dipersepsi bukan semata-mata sebagai
bos, tetapi lebih sebagai role model dan pahlawan yang memiliki kehidupan
luar biasa ketimbang kehidupan sehari-hari mereka.
Pada umumnya, pemimpin karismatik muncul sebagai pemimpin bukan
sengaja ditunjuk secara formal sebagai pemimpin. Kalaulah pemimpin
karismatik ditunjuk secara formal, dia sebelumnya sudah diakui sebagai
pemimpin. Artinya, ditunjuk atau tidak ditunjuk secara formal, pemimpin
karismatik dengan sendirinya adalah seorang pemimpin. Penunjukan secara
formal hanyalah tahap akhir untuk mengukuhkan bahwa seorang pemimpin
karismatik diakui secara formal sebagai pemimpin. Pertanyaannya adalah
bagaimana seseorang bisa diakui sebagai pemimpin karismatik? Salah satu
komponen penting pemimpin karismatik adalah para pengikut merasa tidak
cocok dengan kepemimpinan yang sedang berjalan sehingga mereka
berupaya untuk mencari pengganti pemimpin lain sebab kalau tidak mereka
yakin bahwa organisasi akan mengalami krisis berkepanjangan. Selain alasan
krisis kepemimpinan, seorang pemimpin karismatik akan muncul ke

17
Untuk memperoleh gambaran tentang Sejarah Perkembangan Studi Kepemimpinan,
Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David Shriberg and Mary Lynn Williamson. (1997).
e EKMA41 58/MODUL 7 7.31

permukaan jika ia menunjukkan kompetensi dan loyalitasnya kepada


kelompok dan tujuan yang mereka hendak capai. Komitmen inilah yang
menjadikan seseorang dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan orang lain
dan oleh karenanya dianggap layak sebagai seorang pemimpin. Karakteristik
pemimpin kharismatik. Pemimpin karismatik secara umum mempunyai
beberapa karakteristik seperti tampak pada Tabel 7 .4. Meski beberapa
karakteristik ini juga menjadi karakteristik bentuk kepemimpinan lainnya,
namun kombinasi dari karakteristik inilah yang menjadikan seorang
pemimpin disebut sebagai pemimpin karismatik.

Tabel 7.4.
Karakteristik Pemimpin Karismatik

Karakteristik Pemim ::>in Kharismatik


1. Percaya diri. Mereka benar-benar percaya akan penilaian dan kemampuan mereka.
2. Memiliki misi. lni merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa depan yang
lebih baik daripada status quo. Makin besar kemungkinan bahwa para pengikut akan
menghubungkan visi yang luar biasa itu pada si pemimpin.
3. Kemampuan untuk mengungkap visi sejelas mungkin. Mereka mampu memperjelas
dan menyatakan visi dalam kata-kata yang dapat dipahami orang lain. Artikulasi ini
menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan para pengikut, dan karenanya,
bertindak sebagai suatu kekuatan motivasi.
4. Keyakinan kuat mengenai visi. Pemimpin kharismatik mempunyai komitmen kuat dan
bersedia menanggung risiko yang tinggi, mengeluarkan biaya yang tinggi, dan
melibatkan diri dalam pengorbanan untuk mencapai visi tersebut.
5. Perilaku yang di luar aturan. Mereka dengan kharisma ikut serta dalam perilaku yang
dipahami sebagai baru, tidak konvensional, dan berlawanan dengan norma-norma.
Bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan kekaguman para pengikut.
6. Sebagai seorang agen perubahan. Pemimpin kharismatik dipahami sebagai agen
perubahan yang radikal bukannya sebagai pengasuh status quo.
7. Kepekaan lingkungan. Pemimpin ini mampu membuat penilaian yang realistis
terhadap kendala lingkungan dan sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan
Jerubahan.
Sumber: (Burn, 1978; Bass, 1985).

Karakteristik para pengikut


Oleh karena pemimpin karismatik selalu berinteraksi dengan para
pengikutnya, para pengikut pemimpin karismatik juga memiliki karakteristik
tertentu. Tanpa karakteristik keduanya - pemimpin dan pengikut bisa
dikatakan tidak akan pemah tercipta pemimpin karismatik. Beberapa
karakteristik para pengikut, di antaranya para pengikut memiliki rasa hormat
yang tinggi dan menganggap pemimpinnya memiliki harga diri yang tinggi
7.32 PERILAKU ORGANISASI e

pula; para pengikut memiliki loyalitas dan rasa taat yang tinggi; para
pengikut menyayangi pemimpinnya; para pengikut memiliki ekspektasi
kinerja yang tinggi; dan para pengikut sangat patuh.

2. Kepemimpinan Transaksional-Transformasional
Konsep kepemimpinan transformational pertama kali dikembangkan
oleh Burns pada tahun 1978. Dalam hal ini, Burns membedakan antara
kepemimpinan transaksional dengan kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transaksional adalah tipikal kepemimpinan yang lebih
menekankan pada transaksi interpersonal antara pemimpin dan karyawan
yang melibatkan hubungan pertukaran (exchange). Karyawan memperoleh
imbalan segera (immediate) dan nyata (tangible) apabila memenuhi perintah
18
pemimpin . Menurut Burns (1978), pemimpin transaksional memotivasi
bawahannya melalui pemberian imbalan kontingen (contingent reward) dan
manajemen perkecualian (management by exception). Sementara itu,
kepemimpinan transformasional adalah seseorang yang memiliki kharisma
yang mampu melakukan stimulasi intelektual para bawahannya sehingga
bawahan mampu menggunakan cara baru dalam menghadapi masalah-
masalah organisasi. Karakteristik kepemimpinan transformasional ditujukan
melalui empat faktor perilaku, yaitu inspirational motivation, konsiderasi
individual, stimulasi intelektual, serta idealized influence kharismatik.
(Bassm 1985; 1990 b).
Konsep kepemimpinan transformasional-transaksional dapat dijelaskan
dalam Tabel 7.5.

Tabel 7.5.
Karakteristik Pemimpin Transformasional dan Pemimpin Transaksional

Pemimpin Transformasional
1. Kharisma: memberi visi, misi, menanamkan rasa gangga, mendapatkan rasa hormat,
dan kepercayaan dari bawahan.
2. lnspirasi: mengkomunikasikan ekspektasi tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk
memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara-cara yang
sederhana.
3. Simulasi intelektual: menghargai kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah
secara hari-hari.
4. Konsiderasi yang bersifat individual: memberikan perhatian secara personal,
memperlakukan karyawan secara individual, melatih, memberi bimbin~ an.

18
Burns, MacGregor J. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.33

Pemimpin Transaksional
1. lmbalan kontingen: kontrak pertukaran imbalan atas usaha, menjanjikan imbalan bagi
kinerja yang baik, dan menghargai prestasi kerja.
2. Management by exception (aktif): mengawasi dan mencermati penyimpangan dari
berbagai aturan dan standar, melakukan tindakan perbaikan.
3. Management by exception (pasiD: melakukan intervensi hanya bila standar tidak
terpenuhi.
4. Laissez faire: mele:>askan tan~~~ un~ ·awab, men~ hindari pen~ ambilan ke:>utusan.
Sumber: Bass, (1990).

3. Kredibilitas Pemimpin (Kouzes & Posner, 1993)


Akar kata kredibilitas (credibility) adalah "credo" yang berarti percaya.
Kredibilitas dibangun dari sejumlah kepercayaan atau nilai. Untuk menjadi
pemimpin yang dipercaya harus mempunyai nilai yang jelas. Nilai (values)
adalah hal-hal yang prinsip bagi kita. (Kouzes & Posner, 1991)
Kredibilitas merupakan basil penelitian yang mengidentifikasi kualitas
yang dicari orang dalam diri individu yang dengan suka rela akan mengikuti
pemimpin mereka. Kredibilitas merupakan landasan kepemimpinan dan
semua hubungan antara yang benar (true north). Prinsip tidak tercipta oleh
perseorangan atau masyarakat. Prinsip adalah hukum alam yang berkenaan
dengan hukum manusia dan organisasi manusia. Prinsip merupakan bagian
dari kondisi, kesadaran, dan suara hati manusia. Sej auh mana orang
mengenal dan hidup selaras dengan prinsip-prinsip dasar seperti keterbukaan,
kesamaan hak, keadilan, integritas, kejujuran, dan kepercayaan, akan
menentukan apakah mereka akan mampu bertahan hidup dan mapan atau
rontok dan hancur pada sisi yang lain.

4. Pandangan Pitcher (1997)


Dalam buku The Drama of Leaders, Pitcher mengemukakan basil
penelitiannya, bahwa keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh tipe
kepemimpinan yang dimiliki pemimpin. Ia menemukan tiga karakter
pemimpin, yaitu artis, craftman, dan technocrat. Tim kepemimpinan akan
sukses apabila di dalamnya terdapat tiga karakter tersebut.
7.34 PERILAKU ORGANISASI e

Ciri-ciri karakter pernimpin dapat dirangkum dalam Tabel 7.6.

Tabel 7.6.
Ciri-ciri Karakter Pemimpin

Artist Crafsman Technocrat


Unpredictable Well-balanced Cerebral
Funny Helpful Difficult
Imaginative Honest Uncompromising
Daring Sensible Stiff
Intuitive Responsible Intense
Exciting Trustworthy Detail-oriented
Emotional Realistic Determined
Visionary Steady Fastidious
Entrepreneurial Reasonable Heard headed
Inspiring Predictable No-nonsense
Sumber: Pitcher, (1997).

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Ada yang berpendapat bahwa pada setiap organisasi, para eksekutif yang
menj alankan kegiatan organisasi, baik eksekutif level alas maupun level
bawah, sebagian harus ada yang bertindak sebagai manajer dan
sebagainya lagi sebagai pernimpin. Apakah Anda setuju dengan
pendapat ini? J elaskan!
2) Jelaskan secara umum perbedaan antara pendekatan universal dan
pendekatan kontingensi dalam kepemimpinan!
3) Meski model kepemimpinan karismatik dalam batas-batas tertentu jauh
lebih baik daripada teori klasik, namun bukan berarti teori ini tanpa
kelemahan. Jelaskan kelemahan-kelemahan model pendekatan
kepernimpinan karismatik!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Penggunaan istilah manajer dan pernimpin memang sering


membingungkan. Dalam bahasa populer dan dalam kehidupan sehari-
hari kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian seolah-
e EKMA41 58/MODUL 7 7.35

olah mengandung pengertian yang sama. Di sisi lain, para akademisi


justru mendikotomikan kedua istilah tersebut yang memberi kesan
seolah-olah manajer dan pemimpin adalah dua orang berbeda.
Pandangan seharusnya adalah manajer dan pemimpin merupakan orang
yang sama. Hal yang perlu ditegaskan adalah kapan seorang eksekutif
bertindak sebagai manajer dan kapan sebagai pemimpin. Penegasan ini
menjadi penting karena menjadi pemimpin hanyalah salah sate peran

yang harus dimainkan oleh seorang manajer di samp1ng peran-peran
lainnya (lihat Modul 1).
2) Pertanyaan ini sesungguhnya berkaitan dengan efektivitas
kepemimpinan. Kalau pertanyaan ini sedikit dimodifikasi maka
pertanyaannya menjadi "faktor apa saja yang menjadikan seorang
pemimpin berhasil menggerakkan para pengikutnya sehingga kinerja
organisasi dan kepuasan kerja meningkat?" Dalam konteks
kepemimpinan, pendekatan universal menganggap bahwa kinerja dan
kepuasan kerja karyawan semata-mata ditentukan oleh sifat dan/atau
perilaku pimpinannya sementara para pengikut hanya bertindak pasif.
Pandangan ini tentu banyak kelemahannya. Oleh karena itu, muncul
pandangan baru, yaitu pendekatan kontingensi. Seperti nama yang
tersirat di dalamnya, pandangan kontingensi tidak menampik sifat atau
perilaku seorang pemimpin sebagai faktor yang mempengaruhi kinerja
dan kepuasan kerj a. Akan tetapi, menurut pandangan ini, ada faktor lain
yang juga ikut memengaruhi, yaitu peran para pengikut dan situasi yang
melingkupi proses kepemimpinan. Pendekatan ini menegaskan bahwa
kepemimpinan merupakan proses dinamik yang tidak bisa dijelaskan
secara sederhana.
3) Pemimpin yang memiliki karisma tentu berdampak pada aspek emosi
bagi para pengikutnya. Para pengikut boleh jadi secara sukarela mau
melakukan sesuatu karena rasa cinta dan kebanggaannya terhadap
pimpinan mereka. Jelas ini dampak positif. Namun, beberapa kelemahan
juga terkait dengan kepemimpinan karismatik. Misalnya, pimpinan
karismatik merasa tidak membutuhkan para pengikut sehingga dia sering
bertindak impulsif dan cenderung mengultuskan dirinya. Akibatnya,
pemimpin karismatik tidak langgeng karena tidak mudah orang lain
menggantikannya. Dalam banyak hal pemimpin karismatik juga lemah
secara manajerial dan administratif. Oleh karenanya sulit untuk
melakukan pengawasan terhadap jalannya organisasi.
7.36 PERILAKU ORGANISASI e

RANGKUMAN

Kegiatan Belajar 1 menguraikan berbagai aspek tentang


kepemimpinan mulai dari pengertian pemimpin dan kepemimpinan,
perbedaan antara pemimpin dan manajer, alasan mengapa organisasi
membutuhkan kepemimpinan, pola kepemimpinan sampai ke teori
kepemimpinan. Teori kepemimpinan itu sendiri kemudian dibedakan
menjadi beberapa teori-teori sifat, teori perilaku, teori kontingensi, dan
teori kepemimpinan berorientasi perubahan. Semua pokok bahasan
tersebut selanjut dibuat ringkasan sebagai berikut.
1. Kepemimpinan secara harfiah bisa dikatakan sebagai proses yang
membuat orang lain bertindak. Dari penjelasan sederhana ini
kemudian muncul beberapa macam definisi yang intinya
kepemimpinan merupakan fenomena kelompok; kepemimpinan
menuntun orang lain melakukan tindakan untuk mencapai tujuan
dan meski tidak harus, pemimpin biasanya terkait dengan
kedudukan seseorang di dalam organisasi.
2. Pemimpin berbeda dengan manajer dalam hal: motivasi, sejarah
pribadi, cara berpikir serta cara bertindak.
3. Paling tidak ada empat alasan mengapa kepemimpinan itu perlu,
yaitu (a) dalam batas tertentu desain organisasi sering tidak lengkap
sementara organisasi terdiri dari orang-orang yang membutuhkan
sentuhan, memerlukan inspirasi, dorongan, dan motivasi;
(b) seorang pemimpin diperlukan untuk mengidentifikasikan strategi
baru yang mungkin bisa dijalankan untuk menyikapi perubahan
lingkungan eksternal; (c) peran seorang pemimpin menjadi penting
untuk melakukan koordinasi dan menyelesaikan konflik; serta
(d) seorang pemimpin sangat diperlukan untuk memberi motivasi,
menginspirasi dan menjaga agar karyawan mau terus terlibat dalam
kehidupan organisasi.
4. Pola kepemimpinan biasanya tidak sama untuk setiap level
organisasi. Pimpinan level pada umumnya sebagai peletak dasar,
sedangkan pimpinan level menengah sebagai interpolasi dan
pimpinan level bawah sebagai orang yang menjalankan fungsi
administras i.
5. Banyak teori yang dikembangkan untuk menjelaskan proses
kepemimpinan, di antaranya teori sifat, teori perilaku, teori
kontingensi, dan teori kontemporer.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.37

6. Secara sederhana teori sifat mengatakan bahwa pemimpin itu


dilahirkan, bukan diciptakan. Keberhasilan proses kepemimpinan
sangat tergantung pada sifat para pemimpinnya.
7. Teori perilaku secara sederhana mengatakan bahwa gaya
kepemimpinan tertentu menjadikan pemimpin lebih efektif
dibandingkan dengan perilaku atau gaya kepemimpinan yang lain.
Beberapa teori perilaku, di antaranya teori yang dibangun oleh Ohio
State university dan The University of Michigan, di samping
leadership grid yang dibangun Blake and Mouton.
8. Pada dasarnya teori kontingensi mengatakan bahwa keberhasilan
kepemimpinan ditentukan secara bersama-sama oleh tiga faktor,
yaitu pemimpin, orang yang dipimpin dan situasi yang melingkupi
proses kepemimpinan. Teori kontingensi, di antaranya teori yang
dikembangkan Fred E. Fiedler (least preferred coworker - LPC);
Paul Hersey and Kenneth Blanchard (teori situasional); dan Robert
House (path-goal theory).
9. Teori kepemimpinan kontemporer merupakan teori kepemimpinan
yang berorientasi perubahan. Dua teori yang masuk dalam kategori
ini adalah teori kepemimpinan karismatik dan teori kepemimpinan
tranformasional-transaksional.

TES FDRMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Pemimpin berbeda dengan manajer dalam hal ....


A. manajer berorientasi pada basil akhir, pemimpin berorientasi pada
masa depan
B. manajer bertanya apa dan mengapa, pemimpin bertanya bagaimana
dan kapan
C. manajer mengembangkan, pemimpin mempertahankan
D. pemimpin fokus pada struktur, manajer fokus pada orang

2) Kesamaan antara model kepemimpinan Ohio State University (OSU)


dengan The University of Michigan (UM) dapat dilihat pada situasi
berikut ini ....
A. initiating structure pada OSU identik dengan orientasi pada
karyawan pada UM
B. initiating structure pada OSU identik dengan orientasi pada
pekerjaan pada UM
7.38 PERILAKU ORGANISASI e

C. consideration pada OSU identik dengan orientasi pada pekerjaan


pada UM
D. consideration pada OSU identik dengan orientasi pada karyawan
pada UM

3) Menurut teori situasional, karyawan sebaiknya diajak untuk


berpartisipasi jika memenuhi situasi berikut ini ....
A. perilaku berorientasi tugas rendah dan perilaku berorientasi relasi
tinggi
B. perilaku berorientasi tug as rendah dan perilaku berorientasi relasi
rendah
C. perilaku berorientasi tugas tinggi dan perilaku berorientasi relasi
rendah
D. perilaku berorientasi tug as tinggi dan perilaku berorientasi relasi
tinggi

4) Faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan pada path-goal theory


adalah ....
A. kepribadian tipe A pemimpin
B. faktor situasi yang diwakili kemauan seseorang menerima pengaruh
dari orang lain
C. faktor situasi yang diwakili oleh kemampuan dan kemauan untuk
dip imp in
D. keyakinan bawahan bagaimana ia mendapat penghargaan

5) Pernyataan yang benar tentang kepemimpinan transformasional -


transaksional adalah ....
A. pemimpin transformasional berupaya mendukung organisasi
menjaga kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin
B. pemimpin transformasional berupaya melakukan intervensi jika
standar tidak terpenuhi
C. pemimpin transaksional berusaha menjaga kesehatan organisasi
D. pemimpin transaksional berusaha menjaga rasa hormat dan
kepercayaan bawahan
e EKMA41 58/MODUL 7 7.39

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
7.40 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Kekuasaan
areth Morgan dalam bukunya yang sangat terkenal "Images of
Organization" mengungkapkan berbagai cara untuk memahami
organisasi. Salah satunya yang terkait Kegiatan Belajar 2 ini adalah
organisasi sebagai arena politik - organization as political arena. Dengan
cara pandang seperti ini fokus perhatian orang-orang yang terlibat di dalam
kehidupan organisasi bukan efekti vitas atau rasionalitas dalam mencapai
tujuan organisasi melainkan bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan
(power) sehingga dirinya bisa berpengaruh terhadap orang lain atau bahkan
organisasi secara keseluruhan. Di samping itu, cara pandang ini juga
berasumsi bahwa kekuasaan bukan merupakan hadiah atau anugerah yang
diberikan orang lain secara cuma-Cuma, tetapi sesuatu yang harus
diperjuangkan dan diperebutkan untuk mendapatkannya. Sebagai contoh,
ketika seorang direktur keuangan membagi anggaran untuk masing-masing
unit organisasi, sebagian orang menganggap bahwa proses pembagian
anggaran hanyalah pekerjaan rutin direktur keuangan. Namun, sebagian yang
lain mungkin memaknainya dengan cara berbeda, yakni menganggap bahwa
direktur keuangan memiliki kekuasaan lebih sehingga bisa menentukan siapa
yang harus mendapat anggaran lebih banyak dan siapa yang cukup
sekadarnya. Oleh karena itu, dalam kacamata politik dan kekuasaan,
anggaran bukan semata urusan finansial, tetapi juga arena untuk
memperebutkan sumber daya yang jumlahnya terbatas. Dengan kata lain,
setiap jengkal organisasi merupakan arena politik di mana setiap orang bisa
memperebutkan kekuasaan.
Membicarakan kekuasaan dan politik dalam konteks perilaku organisasi
dengan demikian merupakan topik pembicaraan yang wajar dan tidak bisa
terhindarkan. Kedua topik ini sesungguhnya merupakan bagian integral dari
proses organisasi yang harus dipahami oleh setiap orang dalam kehidupan
organisasi. Hanya saja topik ini sering menimbulkan rasa tidak nyaman
karena kekuasaan dan politik organisasi memiliki konotasi negatif. Ketika
seseorang menggunakan kekuasaannya dan memainkan peran politiknya di
dalam organisasi utamanya ketika mereka mencoba mencapai suatu tujuan,
kadang-kadang kita secara cepat menuduhnya tidak bermoral atau tidak etis.
Meski harus diakui bahwa penggunaan kekuasaan berlebihan sering berakibat
e EKMA41 58/MODUL 7 7.41

buruk, misalnya bisa menciptakan korupsi, tetapi kekuasaan dan politik


dalam batas-batas tertentu diperlukan untuk menggerakkan organisasi agar
organisasi berjalan efektif. Oleh karena dengan selesainya Kegiatan Belajar 2
diharapkan Anda dapat memanfaatkan pengetahuannya tentang kekuasaan
dan politik untuk tujuan pencapaian organisasi secara efektif.

A. SUMBER DAN KONSEKUENSI KEKUASAAN

Istilah kekuasaan, otoritas, dan pengaruh sering digunakan secara


bergantian seolah-olah ketiganya memiliki pengertian yang sama. Untuk
kepentingan analisis, ketiga istilah tersebut dan istilah-istilah lain yang masih
terkait akan diberikan pengertian secara spesifik seperti tampak pada
Tabel 7. 7 berikut ini.

Tabel 7. 7.
Definisi lstilah

lstilah Definisi
Kapasitas seseorang mempengaruhi perilaku orang lain;
Kekuasan kemampuan satu pihak untuk mengatasi resistensi pihak lain
dalam mencapai tu'uan or~ anisasi.
Menjalankan kekuasaan secara sah yakni seseorang memiliki
legitimasi untuk menjalankan kekuasaan karena peran yang
Otoritas
dimainkan relevan dengan kedudukan seseorang di dalam
• •
or amsas1.
Kapasitas seseorang untuk menentukan perilaku yang bisa

Control diterima dan menJaga seseorang agar tidak berperilaku
menvimpan<
Pengaruh inkremental, yakni kemampuan seseorang menjadikan
Kepemimpinan orang lain secara sukarela mematuhi keinginan-keinginannya
karena terinspirasi dan termotivasi orang tersebut.
Penggunaan kekuasaan di dalam organisasi untuk memperoleh
Politik
hasil 'an lebih disukai.

1. Kekuasaan
Definisi kekuasaan seperti tampak pada Tabel 7.7 tidak jauh berbeda
dengan definisi kekuasaan yang dikemukakan Sosiolog Jerman Max Weber:
power is the probability that one actor within social relationship would be in
the position to carry out his own will despite resistance - kekuasaan adalah
sebuah kemungkinan yang menjadikan seorang aktor, dalam hubungan sosial
kemasyarakatan, berada dalam posisi untuk melaksanakan keinginannya
7.42 PERILAKU ORGANISASI e

tanpa mempedulikan resistensi dari pihak lain. Secara tidak langsung, definisi
ini menegaskan bahwa setiap individu sesungguhnya memiliki kekuasaan
tidak peduli apakah dia seorang manajer atau bukan; tidak peduli apakah dia
seorang pemimpin atau bukan. Selama seseorang mampu mempengaruhi
orang lain untuk melakukan tindakan yang sesungguhnya tidak dikehendaki,
selama itu pula dia memiliki kekuasaan. Dalam konteks organisasi misalnya,
bahkan seorang konsumen sekalipun bisa memiliki kekuasaan. Konsumen
bisa memaksa organisasi melakukan tindakan bagi kepentingan dirinya.
Sederhananya, kekuasaan adalah suatu kekuatan yang menghasilkan
perubahan perilaku di mana perubahan tersebut tidak akan terjadi jika tidak
ada kekuatan yang memaksanya. Dari penjelasan ini bisa dikatakan bahwa
kekuasaan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut.
a. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dan
setiap orang sesungguhnya memiliki kekuasaan terlepas bahwa dia
menggunakan kekuasaan tersebut atau tidak. Kekuasaan yang belum
digunakan disebut kekuasaan potensial (potential power).
b. Kekuasaan hanya ada bergantung bagaimana orang lain memandangnya.
Apakah seseorang dianggap memiliki kekuasaan atau tidak bergantung
pada penilaian orang lain apakah orang tersebut memang memiliki
kekuasaan.
c. Kekuasaan di dalam organisasi bukan suatu anugerah atau pemberian
orang lain, tetapi sesuatu yang diperjuangkan. Setiap individu pada
dasarnya memiliki potensi untuk meningkatkan atau mengurangi
kekuasaan yang dimilikinya.

Meski istilah kekuasaan cenderung berkonotasi negatif, mungkin karena


ada terminologi yang menakutkan, yakni "memaksa", tetapi sesungguhnya
kekuasaan tidak selalu berdampak buruk. Ambillah contoh Teori X dan
Teori Y yang dikembangkan Douglas McGregor, khususnya tipologi orang
yang tergolong Tipe X. Menurut McGregor orang Tipe X tidak bisa biarkan
untuk mengambil inisiatif untuk melakukan sesuatu karena orang tipe ini
memang tidak memiliki inisiatif. Oleh karena itu, suka tidak suka, tipikal
karyawan seperti ini kadang-kadang harus dipaksa, dan mereka tidak
memiliki pilihan, untuk mengerjakan sesuatu. Jadi, bagi seorang manajer
khususnya, memiliki kekuasaan jauh lebih menguntungkan ketimbang tidak
memiliki kekuasaan sama sekali selama kekuasaan tersebut digunakan sesuai
dengan proporsi yang selayaknya karena jika kita melihat kembali teori-teori
e EKMA41 58/MODUL 7 7.43

kepemimpinan yang dijelaskan pada Kegiatan Belajar 1, kekuasaan


merupakan salah satu aspek penting dalam kepemimpinan.

2. Otoritas
Sebagaimana definisi di atas mensinyalkan, otoritas berbeda dengan
kekuasaan. Di satu sisi, kekuasaan merepresentasikan kapasitas seseorang
atau sekelompok orang untuk membuat orang lain atau kelompok lain patuh.
Meski dengan kekuasaan seseorang bisa membuat orang lain patuh, tetapi dia
tidak mempunyai hak, kecuali kemampuan, untuk membuat orang lain patuh.
Di sisi lain, otoritas menunjukkan hak yang dimiliki seseorang untuk
menjadikan orang lain patuh. Dengan demikian, otoritas merupakan
kekuasaan yang sah (legitimate) atau legitimate power. Di dalam organisasi,
otoritas terkait dengan hierarki organisasi. Misalnya, seorang supervisor
memiliki otoritas untuk mempengaruhi perilaku bawahannya. Namun, di saat
yang sama supervisor tersebut juga harus patuh pada atasan. Secara tidak
langsung, hierarki organisasi menunjukkan struktur otoritas di dalam
• •
organ1sas1.

3. Control
Control adalah bentuk akhir dari pengaruh. Dengan control perilaku-
perilaku yang bisa diterima ditetapkan dan setiap individu atau kelompok
dij aga agar tidak berperilaku selain yang telah ditetapkan. Kamera
tersembunyi dan perlengkapan keamanan lainnya didesain untuk mengawasi
aliran barang dan menghindari terjadinya pencurian. Demikian juga lampu
pengatur lalu lintas (traffic light), batas kecepatan dan barikade sengaja
dipasang untuk mengawasi pengendara kendaraan dan menjaga keselamatan
mereka.

4. Politik
Pada dasarnya politik terkait dengan kekuasaan. Dalam hal ini, politik
adalah menggunakan kekuasaan di dalam organisasi. Ketika seseorang secara
sadar berupaya untuk memperoleh, mengembangkan, dan menggunakan
kekuasaan dalam rangka mencapai tujuannya maka orang tersebut sedang
melakukan akti vitas politik. Penggunaan politik sesungguhnya tidak
diperlukan jika tidak ada pihak lain yang berseberangan atau resisten.
Dengan kata lain, akti vitas politik hanya diperlukan untuk mengatasi
resistensi atau jika ada pihak lain yang tidak sependapat. Seperti halnya
7.44 PERILAKU ORGANISASI e

kekuasaan, politik tidak selamanya buruk. Dalam praktik, banyak manajer


yang secara jujur menggunakan politik untuk kepentingan organisasi secara
keseluruhan. Tanpa politik kadang-kadang sebuah program tidak bisa
berjalan. Sebaliknya, dengan politik seorang manajer justru bisa merubah
misi ke arah masa depan organisasi atau bisa membantu manajer
mengadaptasi perubahan lingkungan.
Otoritas, control, politik, dan topik yang telah dibahas pada Kegiatan
Belajar 1 sebelumnya, semuanya terkait dengan kekuasaan. Namun, harus
disadari pula, dan sebelumnya telah dibahas secara sekilas, tidak semua
aktivitas memerlukan kekuasaan. Menurut Jeffrey Pfeffer seperti
diungkapkan dalam bukunya "Power in organization" chapter 3, ada tiga
kondisi yang melandasi penggunaan kekuasaan, yaitu saling bergantung,
19
kelangkaan, dan tujuan yang heterogen .

a. Saling bergantung
lnterdependen atau saling bergantung antara satu pihak dengan pihak
lainnya merupakan faktor potensial yang bisa menimbulkan konflik, dan oleh
karenanya muncul kebutuhan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Saling
bergantung muncul karena adanya kerja sama antara satu pihak dengan pihak
lain di mana pekerjaan satu pihak mempengaruhi pekerjaan pihak lain. Oleh
karena kebergantungan itulah masing-masing pihak mencoba memperhatikan
pekerj aan dan basil kerj a pihak lain. Di sinilah munculnya bibit konflik
karena bukan tidak mungkin salah satu pihak berusaha dengan kekuasaannya
untuk mempengaruhi pihak lain.

b. Kelangkaan
Ketika sumber daya organisasi melimpah dan setiap orang atau setiap
kelompok dapat memperoleh sumber daya yang diinginkan, hampir bisa
dipastikan tidak akan terj adi konflik dan tidak ada alas an bagi seseorang atau
sekelompok orang untuk menggunakan pengaruhnya terhadap pihak lain.
Sebaliknya, apabila terjadi kelangkaan sumber daya pilihan-pilihan alokasi
harus dilakukan. Semakin sumber daya langka semakin besar pula kekuasaan
dan pengaruh digunakan.

19
Jeffrey Pfeffer. (1981). Power in Organization. Marshfield, Mass.: Pitman
Publishing Inc. Chapter 3.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.45

c. Tujuan yang heterogen


Ketika setiap orang setuju dengan tujuan yang hendak dicapai organisasi
dan juga setuju dengan cara-cara untuk mencapainya, kemungkinan
terjadinya konflik dan main politik sangat kecil. Hal ini akan berbeda jika
sebagian besar orang tidak setuju. Hal yang menjadi persoalan adalah dengan
semakin kompleksnya kegiatan organisasi, kesepakatan biasanya sulit
dicapai. Penyebabnya, organisasi sering kali memiliki tujuan yang tidak
konsisten, dan keyakinan masing-masing individu tentang bagaimana tujuan
seharusnya dicapai sering tidak kompatibel. Para manajer juga sering tidak
sepakat terhadap produk mana yang harus dipromosikan atau bagaimana
inovasi harus dikembangkan. Demikian juga banyak manajer yang tidak
sepakat, misalnya terhadap efek jangka panjang kebijakan organisasi atau
praktik MSDM. Semua ketidaksepakatan ini yang dipicu oleh tujuan
organisasi yang heterogen merupakan awal terjadinya konflik dan memberi
kesempatan masing-masing pihak untuk melakukan aktivitas politik.
Jika ketiga kondisi seperti tersebut di atas muncul ke permukaan, yang
terjadi adalah kemungkinan besar kekuasaan ikut berbicara. Dengan tiga
kondisi seperti ini Pfeffer menegaskan bahwa penggunaan kekuasaan tidak
bisa dihindari dan bahkan kekuasaan menjadi satu-satunya cara untuk
mencapai basil yang diharapkan. Pengaruh ketiga kondisi di atas terhadap
konflik dan politik sehingga perlu melibatkan kekuasaan dapat dilihat pada
Gambar 7. 8 sebagai berikut:

Langka
Saling Tujuan yang
bergantung heterogen

Konflik

Meng-
gunakan
kekuasa-
an

Politik
Gambar 7.8.
Tiga Kondisi yang Menimbulkan Konflik dan Politik
7.46 PERILAKU ORGANISASI e

1. Somber Kekoasaan
Setelah memahami bahwa seseorang atau sekelompok orang bisa
memiliki kekuasaan lebih ketimbang orang lain atau kelompok lain,
pertanyaannya adalah dari mana mereka memperoleh kekuasaan? Untuk
menjawab pertanyaan ini bahasan akan dibagi dua, yaitu sumber kekuasaan
individu dan sumber kekuasaan kelompok atau organisasi.

2. Somber Kekoasaan Individo


Hampir setiap literatur yang membahas sumber kekuasaan selalu
merujuk pada hasil penelitian John R.P. French Jr. and Bertram Raven.
Menurut kedua peneliti ini kekuasaan yang dimiliki seseorang bersumber
pada lima hal, yaitu ligitimate, reward, coercion, expert, dan refferent power.

Tabel 7.8.
Sumber Kekuasaan

lstilah Definisi
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia menempati posisi
Legitimate power
formal di dalam organisasi. Orang lain mau patuh kepadanya
karena mereka vakin terhadap le itimasi peme an' kekuasaan.
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia memiliki akses untuk
menentukan penghargaan kepada orang lain. Jadi, orang lain
Reward power patuh karena berharap memperoleh penghargaan yang
diharapkan.
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia memiliki kemampuan
Coercive power untuk menghukum orang lain. Jadi, kepatuhan orang lain
kepadanya karena takut mendapat hukuman.
Seseorang memiliki kekuasaan karena ahli di satu bidang tertentu.
Expert power
Oranc lain :)atuh karen a ke :)akarann 'a.
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia menarik bagi orang
Referent power lain. Jadi, kepatuhan orang lain kepadanya karena mereka
menghormatinya atau menyukainya.

Dari kelima sumber kekuasaan di atas, tiga sumber kekuasaan pertama


disebabkan karena kedudukan seseorang di dalam organisasi. Artinya,
apabila suatu ketika seseorang lepas dari kedudukannya maka kekuasaannya
akan hilang. Sebagai contoh, ketika seseorang menjadi manajer, dia bisa
mempengaruhi dan memaksa bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan
karena dia secara sah dapat memerintah mereka. Namun, manakala dia
pensiun atau kedudukannya diganti orang lain, jangankan memerintah disapa
pun kadang-kadang tidak. Hal yang sama juga berlaku bagi reward dan
e EKMA41 58/MODUL 7 7.47

coercion power. Seseorang bisa memiliki kekuasaan untuk memberi


penghargaan atau menghukum orang lain jika dia dapat mengakses sumber
daya. Kemampuan seseorang mengakses sumber daya tentu saja tidak lepas
dari kedudukannya di dalam organisasi.
Berbeda dengan ketiga sumber kekuasaan di atas, dua sumber kekuasaan
terakhir - expert dan referent power bersifat personal. Artinya, untuk
memperoleh kekuasaan seseorang tidak harus memiliki kedudukan tertentu di
dalam hierarki organisasi. Dalam expert power, misalnya seseorang bisa
berpengaruh terhadap orang lain karena dia memiliki keahlian khusus,
pengetahuan, atau informasi yang dibutuhkan orang lain. Oleh karena itu,
orang lain mau mendengar ucapannya, mengikuti nasihatnya, dan menerima
rekomendasinya semata-mata karena keahliannya. Oleh karena dalam banyak
kasus para ahli (expertise) tidak terkait dengan struktur organisasi maka para
karyawan terkadang harus memotong jalur formal organisasi jika hendak
berhubungan dengan apra expertise. Hal yang sama juga berlaku bagi
referent power. Mereka memiliki kekuasaan karena dihormati atau disukai
dan menjadi role model bagi orang lain. Oleh karena dalam kasus expert dan
referent power pengaruh orang yang berkuasa bisa diterima dengan baik dan
bahkan kehadirannya sangat dinantikan, karyawan cenderung bereaksi positif
terhadap kehadiran mereka dengan menunjukkan komitmen dan kepatuhan
sungguh-sungguh. Sebaliknya, kehadiran penguasa lain yang berbasis
legitimasi, reward atau coercion cenderung ditolak atau paling tidak direspon
dengan resistensi.

3. Somber Kekuasaan Organisasional


Harus diakui bahwa membedakan sumber kekuasaan individu dengan
sumber kekuasaan organisasi bukan pekerjaan mudah karena sumber
kekuasaan organisasi sering kali juga menjadi sumber kekuasaan individu
dan demikian sebaliknya. Sebagai contoh, sebuah tim yang sengaja dibentuk
untuk menyelesaikan tugas krusial organisasi pada umumnya memiliki
kekuasaan lebih besar dibandingkan unit organisasi lainnya. Pertanyaannya
adalah mengapa tim tersebut memiliki kekuasaan lebih besar? Apakah karena
tim bisa menyelesaikan tugas penting? Boleh jadi jawabannya "ya". Namun,
yang tidak boleh dilupakan adalah kemampuan tim juga tidak lepas dari
kemampuan individu-individu anggota tim. Artinya, sumber kekuasaan tim
juga bersumber dari kapabilitas individu-individu anggota tim.
7.48 PERILAKU ORGANISASI e

Meski sumber kekuasaan individu sering kali tumpang tindih dengan


sumber kekuasaan organisasi, Pfeffer berhasil mengidentifikasikan lima
faktor yang menjadi sumber kekuasaan organisasi atau tepatnya sumber
20
kekuasaan unit-unit organisasi . Kelima sumber kekuasaan tersebut adalah:
kemampuan unit organisasi mengontrol sumber daya, mengontrol strategi
kontingensi, kemampuan mengatasi ketidakpastian, kedudukan unit
organisasi yang tidak tergantikan, dan posisi sentral unit organisasi.

a. Mengontrol sumber daya


Bisa dikatakan bahwa unit organisasi yang paling berkuasa adalah unit
organisasi yang bisa mengendalikan atau memiliki kapasitas untuk
menyediakan sumber daya esensial dan kritikal bagi keseluruhan organisasi.
Kondisi seperti ini sering disebut sebagai "golden rule of power" - siapa
yang memiliki emas merekalah yang bisa mengatur". Bagi unit organisasi
yang bisa mengontrol sumber daya berarti unit organisasi ini bisa
mempengaruhi unit organisasi lain. Semua tindakan dan arahannya ditunggu
dan direspon unit organisasi lain sebagai acuan. Termasuk dalam sumber
daya kritikal adalah segala sesuatu yang berharga bagi organisasi, seperti
uang, waktu, kepakaran, informasi pasar, dan bahan baku atau hak paten.
Kekuasaan unit organisasi akan semakin tampak menonjol jika sumber daya
yang dikuasai merupakan sumber daya langka. Sebaliknya jika sumber daya
tersebut melimpah unit-unit organisasi akan sedikit menggunakan waktunya
untuk membuat manuver demi memperoleh keuntungan politis.

b. Mengontrol strategi kontingensi


Maksud dari mengontrol strategi kontingensi adalah mengontrol akti vitas
atau fungsi organisasi yang menyebabkan unit organisasi lain sangat
bergantung kepadanya. Dalam hal ini, satu departemen misalnya tidak bisa
menjalankan fungsinya sampai departemen lain menyelesaikan pekerjaan
tersebut maka aktivitas pertama menjadi kontingen bagi aktivitas kedua.
Sebagai contoh, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi yang
membuat produk-produk teknologi berkualitas biasanya dipenuhi orang-
orang dengan latar belakang pendidikan di bidangnya. Sayangnya semua itu
menjadi kurang berarti jika untuk menjual produk tersebut mereka harus
bergantung pada bagian penjualan yang latar belakang pendidikan dan

20
Ibid. ch 4.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.49

pengetahuannya di bidang teknologi jauh di bawah para ahli teknik tersebut.


Dalam contoh ini, bagian penjualan justru memiliki posisi strategis lebih baik
dibanding para ahli teknik yang notabenenya adalah motor utama perusahaan.
Dari contoh ini, bisa dikatakan bahwa kontingensi merupakan sumber
ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan kontingensi menjadi
sangat strategis jika bisa merubah keseimbangan kekuasan sehingga satu unit
aktivitas bergantung pada unit aktivitas lainnya.

c. Mengatasi ketidakpastian
Sebuah unit organisasi akan memperoleh kekuasaan jika unit tersebut
memiliki kapasitas untuk membantu unit organisasi lain mengatasi ketidak-
pastian atau meminimalisir konsekuensi yang ditimbulkannya. Sebagai
contoh, apabila departemen A bisa membantu departemen B mengatasi
ketidakpastian maka departemen A memiliki kekuasaan lebih dibandingkan
departemen B. Ketidakpastian itu sendiri bukan sumber kekuasaan.
Kekuasaan tersebut datang dari kemampuan membantu unit lain. Beberapa
cara untuk membantu mengatasi ketidakpastian, di antaranya dengan
memasok informasi sehingga unit yang dibantu bisa memprediksi masa
depannya atau mempersiapkan diri menghadapi perubahan, mencegah
ketidakpastian dengan cara mencegah terjadinya situasi-situasi yang tidak
diinginkan atau membantu unit lain mengatasi persoalan yang sudah terjadi.

d. Tidak tergantikan
Seseorang atau sebuah departemen yang bisa menyediakan sumber daya
penting atau menjalankan fungsi penting bagi organisasi dan mereka tidak
mudah diganti oleh orang lain atau departemen lain, mereka memiliki
kekuasaan yang lebih besar. Basis kekuasaan ini sering disebut sebagai peran
substitusi di mana unit organisasi lain bisa mengerjakan pekerjaan unit
organisasi tertentu. Jika organisasi bisa menyediakan alternatif sumber daya,
informasi atau keterampilan yang dibutuhkan sebuah unit organisasi maka
kekuasaan unit organisasi tersebut berkurang. Sebagai contoh, bagian
pelatihan dan pengembangan SDM akan kehilangan kekuasaannya jika
masing-masing fungsi organisasi bisa melakukan pelatihan secara mandiri
bagi karyawan yang berada di departemennya. Demikian juga bagian
teknologi informasi menjadi berkurang pengaruhnya jika bagian akuntansi
memiliki pengetahuan pemrograman komputer yang memadai untuk
mengatasi persoalan sistem infomasi teknologi. Sebaliknya, semakin sebuah
7.50 PERILAKU ORGANISASI e

unit organisasi tidak tergantikan semakin unit tersebut memiliki kekuasaan


yang lebih besar. Contoh klasik untuk menggambarkan situasi ini bisa dilihat
dari peran departemen teknologi informasi. Dengan semakin bergantungnya
organisasi pada teknologi informasi semakin banyak pengambilan keputusan
yang bergantung pada informasi yang disediakan oleh unit organisasi
tersebut. Akibatnya, tidak jarang unit teknologi infomasi membuat berbagai
macam manuver agar unitnya dianggap semakin berpengaruh dan tidak
tergantikan. Strategi politik yang biasa digunakan untuk mempertahankan
posisi tidak tergantikan dari sebuah unit organisasi, misalnya memonitor
sistem rekrutmen SDM agar departemen SDM tidak merekrut karyawan baru
yang memiliki keterampilan yang sama. Sederhananya, memonopoli keahlian
atau kapabilitas merupakan bentuk upaya untuk mempertahankan kekuasan
dan meningkatkan posisi tidak tergantikan di dalam kehidupan organisasi.

e. Posisi sentral
Dalam realitas bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada satu aktivitas pun
yang proses pengerjaannya dilakukan secara mandiri. Ketergantungan pada
pihak atau unit lain sepertinya menjadi ketentuan umum yang berlaku bagi
semua organisasi. Meski demikian, harus diakui pula bahwa satu unit
organisasi terkadang memberi kontribusi langsung terhadap basil akhir
sebuah organisasi sehingga menempatkan unit organisasi tersebut memiliki
posisi sentral. Ambillah contoh posisi dosen dalam kehidupan perguruan
tinggi. Meski banyak pihak berkontribusi terhadap keberhasilan anak didik
dan kinerja perguruan tinggi namun dosen sering dianggap dan mengklaim
dirinya memiliki posisi sentral sehingga dosen memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan kelompok lainnya seperti tenaga administratif.

B. KEKUASAAN DAN PENGARUH

Meski kekuasaan dan pengaruh merupakan dua konsep yang sangat erat,
banyak peneliti mencoba membedakan kedua konsep tersebut. Seorang
pemimpin yang berkuasa kadang-kadang tidak juga bisa mempengaruhi
perilaku para pengikutnya. Sebaliknya, tidak jarang orang terpengaruh tidak
disebabkan karena sebuah kekuatan atau kekuasaan tertentu. Berdasarkan
21
kenyataan ini beberapa peneliti, di antaranya Gary Yuk, dkk. mencoba

21
Gary Yuk. (1994).op cit. Hal. 229-231.
e EKMA41 58/ MODUL 7 7.51

mengidentifikasikan taktik mempengaruhi dan konsekuensinya terhadap


efektivitas dan komitmen, basil dari penelitian tersebut bisa dilihat pada tabel
berikut ini.

Tabel 7. 9.
Taktik Pengaruh dan Konsekuensinya

Efektivitas dan
Taktik Sumber Kekuasaan Ketepatan Situasi
Komitmen
1. Persuasi 1. Ekspertis dan 1. Supervisor 1. Moderat
rasional informasi
2. Saran yang 2. Referen 2. Bawahan dan 2. Tinggi
• • •
mengmsp1ras1 kolega
3. Konsultansi 3. Semua sumber 3. Bawahan dan 3. Tinggi
kolega
4. lntegrasi 4. Referen 4. Semua level 4. Moderat menuju
rendah
5. Saran personal 5. Referen 5. Kolega 5. Mode rat
6. Pertukaran 6. Reward dan 6. Bawahan dan 6. Mode rat
informasi kolega
7. Membangun 7. Semua sumber 7. Bawahan dan 7. Rendah
koalisi kolega
8. Taktik yang sah 8. Legitimasi 8. Bawahan dan 8. Rendah
kolega
9. Tekanan 9. Ancaman 9. Bawahan 9. Rendah

Tabel di atas menunjukkan bahwa masing-masing taktik menggunakan


satu atau beberapa sumber kekuasaan berbeda yang telah didiskusikan pada
bahasan sebelumnya. Masing-masing taktik juga berpengaruh terhadap
komitmen orang yang dipengaruhi walaupun dengan kadar berbeda-beda.
Sebagai contoh, taktik mempengaruhi dengan inspirational appeal (saran
yang menginspirasi) sangat mengena jika menggunakan referent power dan
untuk kepentingan bawahan dan kolega kerja. Hasilnya, orang yang
dipengaruhi memiliki komitmen yang tinggi. Sebaliknya, taktik
mempengaruhi dengan tekanan yang bersumber pada ancaman hanya akan
menghasilkan komitmen yang rendah di antara para bawahan.

1. Sisi Gelap dari Kekuasaan


Memiliki kekuasaan merupakan mimpi, harapan, dan keinginan sebagian
besar, kalau tidak dikatakan semua manajer. Dengan kekuasaan mereka dapat
mempengaruhi dan membantu tim kerja, departemen, unit organisasi dan
7.52 PERILAKU ORGANISASI e

organisasi secara keseluruhan mencapai tujuannya. Memiliki kekuasaan


dengan demikian bukan suatu tindakan yang keliru, ditabukan atau harus
dihindari. Bahkan dalam batas-batas tertentu seorang manajer sangat
dianjurkan untuk mendapatkan kekuasaan. Seorang manajer tanpa kekuasaan
bagaikan seorang prajurit tanpa senjata, Ia kelihatan gagah, tetapi tidak
banyak yang bisa dilakukan. Itulah sebabnya, dengan berbagai cara, seorang
manajer berupaya mengakumulasi kekuasaan sampai-sampai tanpa disadari-
nya ia telah memiliki kekuasaan secara berlebihan. Jika terjadi situasi seperti
ini tentunya dampak negatif kekuasaan lebih banyak dibandingkan dampak
positifnya.
Tanpa melihat dampak positif maupun negatif, setiap orang atau setiap
manajer yang memiliki kekuasaan bisanya memiliki hak istimewa (privilege)
entah karena dirinya atau sistem organisasi sengaja menciptakan hak
istimewa tersebut atau lingkungan organisasi yang menjadikan seorang
manajer memiliki hak istimewa. Contoh kecil tentang hak istimewa, misalnya
tempat parkir. Dalam banyak kasus, organisasi biasanya menyediakan tempat
parkir khusus bagi para eksekutif. Tujuannya memberi kemudahan bagi
mereka agar mereka tidak mengalami kesulitan manakala mereka hendak
memarkir kendaraannya meski katakanlah mereka terlambat datang ke
kantor. Bagi sebagian orang hak istimewa seperti ini dianggap sebuah
kewajaran, tetapi bagi sebagian yang lain menganggapnya berlebihan, tidak
realistik, bahkan dalam batas-batas tertentu dianggap tidak adil. Hal yang
pasti, pada akhimya hak istimewa menciptakan jarak antara orang yang
berkuasa, dalam hal ini pemimpin atau para manajer, dengan para karyawan
lain yang tidak memiliki kekuasaan. Dampak lanjutannya boleh jadi
hubungan antara manajer dengan karyawan semakin renggang dan kerja
sama, di antaranya menj adi semakin sulit dilakukan.
Uraian di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa kekuasaan
berlebihan cenderung merugikan ketimbang memberi manfaat bagi
organisasi. Dalam hal ini, kekuasaan berlebihan hanya akan menciptakan
kelas sosial yang tidak relevan dengan kepentingan organisasi. Bahkan
22
seperti dikatakan Nahavandi kekuasaan berlebihan bisa menciptakan
korupsi kekuasaan (power corruption). Seperti tampak pada Gambar 7.9,
korupsi kekuasaan tidak semata-mata bersumber pada diri pemimpin atau
manajer, tetapi juga disebabkan karena struktur organisasi dan perilaku para

22
Afsaneh Nahavandi. (1997). Op cit. Hal. 86.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.53

pengikutnya. Pertama, ketika seseorang memiliki kekuasaan berarti orang


lain akan mematuhinya. Dalam banyak hal bawahan akan mengikuti
kemauan pemimpin karena mereka (bawahan) memiliki komitmen dan
mengakui keberadaan pemimpin dan keputusan-keputusannya atau mereka
betul-betul menghormati kemampuan dan integritas sang pemimpin. Dalam
hal-hal yang lain, kepatuhan semata-mata karena takut. Namun, terlepas dari
alasan mengapa bawahan patuh kepada pimpinan, kepatuhan bawahan yang
terus berlanjut menyebabkan muncul keyakinan bagi pemimpin bahwa
keputusan-keputusannya tidak pernah keliru.
Selain kepatuhan, bawahan juga sering menerapkan cara-cara lain yang
menjadikan pemimpin merasa selalu benar. Cara-cara ini, misalnya memberi
pujian berlebihan kepada sang pemimpin atau bahkan "menjilat" sang
pemimpin demi kebutuhan dirinya atau kelompoknya terpenuhi. Dengan
perilaku karyawan seperti ini jarang di antara mereka yang berani
mengatakan tidak atau berargumentasi dengan pimpinannya. Kalaulah
terpaksa mereka tidak setuju, ketidaksetujuannya biasanya disampaikan
secara halus dengan terlebih dahulu mengatakan bahwa yang diperbuat
pimpinannya benar hanya sedikit yang perlu disesuaikan. Perilaku bawahan
seperti ini sekali lagi bisa menjadikan pimpinan menjadi sosok sentral yang
selalu benar.
Faktor lain yang memberi kontribusi terhadap sikap diri yang merasa
hebat (inflated view) di kalangan pemimpin adalah jarak antara pemimpin
dengan bawahannya. Seperti dicontohkan di atas, sistem dan struktur
organisasi sering menjadikan pimpinan terpisah dari bawahannya. Ruang
kantor yang beda lantai, parkir khusus, ruang makan terpisah, dan
berkomunikasi hanya dengan pemegang kekuasaan lainnya merupakan
simbol-simbol yang sengaja diciptakan untuk memperbesar kekuasaan
pemimpin dan meningkatkan legitimasinya. Simbol-simbol seperti ini sekali
lagi hanya akan mencitakan pemimpin yang korup. Terakhir, kemampuan
pemimpin untuk mengakses sumber daya tanpa pertanggungjawaban yang
jelas juga akan memperkuat pandangan bahwa dirinya adalah orang spesial,
patut mendapat perlakuan khusus dan berada di luar jangkauan aturan yang
ada.
7.54 PERILAKU ORGANISASI e

Konsekuensi
Penyebab korupsi kekuasaan
• Pengambilan keputusan jelek
Menganggap dirinya hebat karena: • Menggunakan ancaman bukan peruassi
• Kepatuhan para bawahan • Prilaku bawahan yang dibuat-buat
• Memberi pujian berlebihan • Memandang rendah bawahan
• Merniliki jarak dengan bawahan • Berkembangnya moralitas mernisahkan diri
• Akses sumberdaya tanpa • Mengurangi kesempatan bernegosiasi secara
tanggungjawab yang jelas ramah
• Resistensi karyawan dan prilaku reaktif

Gambar 7.10.
Penyebab dan Konsekuensi Korupsi Kekuasaan

Seperti tampak pada gambar di atas, kekuasaan berlebihan yang


dibarengi dengan korupsi kekuasaan memberikan dampak serius bagi
kehidupan organisasi. Salah satu contoh, hubungan yang renggang atau j arak
kekuasaan antara pemimpin dengan bawahan bisa menyebabkan
pengambilan keputusan yang keliru dan hal ini tentunya merugikan
organisasi. Dengan adanya jarak kekuasaan bisa dipastikan bahwa pimpinan
tidak akan memperoleh informasi akurat dari bawahan karena bawahan tidak
akan pernah menyampaikan berita buruk dan menutup-nutupi kesalahan
mereka; bawahan hanya memberi gambaran yang baik tentang kondisi
organisasi. Semua itu akan berakibat pada keputusan yang salah dan
pimpinan kehilangan sentuhannya terhadap organisasi dan para
konsumennya. Meski secara umum korupsi kekuasaan sangat tidak
menguntungkan organisasi, sayangnya mengatasi hal ini bukan pekerjaan
mudah. Meski agak sulit dilakukan, secara umum mengurangi kebergantung-
an bawahan terhadap pimpinannya adalah salah satu solusinya. Jika gaji,
promosi dan/atau karier para bawahan bisa diukur secara objektif maka
keterlibatan pimpinan dalam menentukan ketiga hal tersebut menjadi
berkurang. Hal ini akan berarti pula pimpinan tidak mudah mengintervensi
dan memaksakan kehendaknya kepada bawahan. Selain itu, sekali lagi sulit
dilakukan dan memerlukan waktu lama, merubah budaya dan struktur
organisasi merupakan solusi jangka panjang. Perubahan ini dimaksudkan
agar orientasi organisasi bukan lagi kepada individu para pimpinan, tetapi
kepada kinerja, produktivitas, dan layanan konsumen yang lebih baik.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.55

~' ~
1'
t
~-
7
... _-
- ~
.. ~
LATI HAN
------------------------------------------

----~ - '

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Ketika kita membicarakan seseorang yang memiliki kekuasaan, biasanya
kita menuduhnya bahwa orang tersebut tidak bermoral atau tidak
mempunyai etika. Mengapa tuduhan seperti ini muncul dan apakah
memang kenyataannya demikian? Jelaskan!
2) Sebagian mengatakan bahwa jika Anda ingin memiliki kekuasaan maka
Anda harus menduduki jabatan struktural di dalam organisasi. Apakah
harus selalu demikian?
3) Bagaimana saudara menjelaskan maraknya demonstrasi buruh di
Indonesia dalam perspektif kekuasaan? Jelaskan pendapat saudara.

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Banyak orang memang sering salah paham tentang kekuasaan.


Kesalahpahaman ini sesungguhnya lebih disebabkan karena dalam
realita orang yang berkuasa cenderung memanfaatkan kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Praktik seperti ini barangkali dipengaruhi oleh pendapat Niccolo
Machiavelli yang sangat populer "tujuan menghalalkan cars". Bagi
machiavelli, cara itu tidak penting yang penting adalah tujuan bisa
tercapai. Pandangan inilah yang sesungguhnya mendistorsi konsep
kekuasaan yang sesungguhnya bersifat netral. Bahkan dalam batas-batas
tertentu kekuasaan sangat dibutuhkan oleh seorang manajer atau
pemimpin. Tanpa kekuasaan seorang manajer tidak mungkin bisa
mempengaruhi orang lain untuk secara bersama-sama mencapai tujuan
yang diharapkan. Jadi, sederhananya kekuasaan tidak selalu berkonotasi
negatif Namun, apabila seseorang memiliki kekuasaan di luar harus
kewajaran, barulah kekuasaan tersebut bisa merugikan orang lain.
2) Kekuasaan pada umumnya terkait langsung dengan kedudukan
seseorang di dalam organisasi. Bendaharawan proyek misalnya menjadi
orang yang sangat berkuasa selama dia menjadi bendaharawan karena
bisa menentukan kapan uang proyek harus dibayarkan. Namun, pada saat
yang bersangkutan tidak lagi menjadi bendaharawan belum tentu dia
7.56 PERILAKU ORGANISASI e

masih memiliki kekuasaan. Meski demikian, tidak semua kekuasaan


terkait dengan kedudukan atau jabatan formal seseorang di dalam
organisasi. Seorang pakar misalnya bisa mempengaruhi orang lain meski
dirinya bukan pejabat. Dia didengar dan dipatuhi orang lain karena
kepakarannya.
3) Dalam bahasa kekuasaan, demonstrasi adalah akti vitas politik yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menunjukkan
kekuasaan mereka kepada manajemen organisasi. Demonstrasi pada
umumnya dilakukan karena ketidakpuasan karyawan terhadap praktik
manajemen. Meski demikian, demonstrasi merupakan bentuk perilaku
kekuasaan yang tidak sah.

RANGKUMAN
------------------------------------

Kegiatan Belajar 2 membahas topik yang sering menjadi bahan


cemoohan bagi pelakunya namun selalu dipraktikkan oleh siapa pun -
kekuasaan dan politik di dalam organisasi. Topik bahasan ini terkait erat
dengan topik pada Kegiatan Belajar 1 kepemimpinan karena untuk bisa
memimpin,seseorang harus mempunyai kekuasaan. Secara umum, topik-
topik yang dibahas pada Kegiatan Belajar 2 adalah pengertian kekuasaan
dan istilah lain yang terkait, sumber dan konsekuensi kekuasaan,
Kekuasaan dan pengaruh, Koalisi: kekuasaan dalam kelompok, Politik:
wujud kekuasaan dalam praktik, serta sisi gelap dari kekuasaan. Hal-hal
penting tersebut selanjutnya dirangkum pada ringkasan berikut ini.
1. Pada dasarnya kekuasaan adalah kapasitas seseorang mempengaruhi
perilaku orang lain sehingga orang lain tersebut mau melakukan
tindakan yang semestinya tidak mau dilakukannya. Jadi, kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain; hanya ada
bergantung bagaimana orang lain memandangnya; dan kekuasaan
bukan suatu anugerah atau pemberian orang lain, tetapi sesuatu yang
diperjuangkan.
2. Tidak semua aktivitas memerlukan kekuasaan. Paling tidak ada tiga
kondisi yang melandasi kapan sebuah kekuasaan diperlukan, yaitu
saling bergantung, kelangkaan, dan tujuan yang heterogen.
3. Pada dasarnya sumber kekuasaan dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sumber kekuasaan individu dan sumber kekuasaan
organisasional.
4. Sumber kekuasaan individual adalah ligitimate, reward, coercion,
expert, dan referent power.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.57

5. Sumber kekuasaan organisasional adalah kemampuan unit


organisasi mengontrol sumber daya, mengontrol strategi
kontingensi, kemampuan mengatasi ketidakpastian, kedudukan unit
organisasi yang tidak tergantikan, dan posisi sentral unit organisasi.
6. Seorang pemimpin yang berkuasa kadang tidak bisa mempengaruhi
perilaku para pengikutnya. Sebaliknya, tidak jarang seseorang
terpengaruh tidak disebabkan karena sebuah kekuatan atau
kekuasaan tertentu. Sebuah model hubungan antara kekuasaan dan
pengaruh dapat dilihat pada model yang dibangun Gary Yolk.
7. Jika seseorang atau seorang manajer tidak memiliki kekuasaan jalan
keluar untuk tetap mendapatkan kekuasaan adalah dengan berkoalisi
dengan dua orang mau lebih. Dengan berkoalisi berarti mereka
dapat menggabungkan sumber daya menjadi sumber daya yang
lebih besar sehingga kekuatan dan kekuasaan mereka juga
meningkat.
8. Ketika orang yang berkuasa menjalankan kekuasaannya, yakni
melakukan tindakan berbasis kekuasaan tersebut maka dampaknya
akan tampak. Menjalankan kekuasaan dalam bentuk tindakan dalam
rangka untuk mempengaruhi orang lain disebut melakukan tindakan
politik.
9. Perilaku politik adalah aktivitas-aktivitas yang tidak diprasyaratkan
agar seseorang bisa menempati posisi J abatan tertentu, namun
aktivitas-aktivitas tersebut bisa mempengaruhi atau terkait dengan
upaya untuk mempengaruhi distribusi yang menguntungkan dan
tidak menguntungkan di dalam organisasi. Dimensi perilaku politik
dapat dikelompokkan menjadi 3 dimensi pokok, yaitu (a) dimensi
internal - eksternal, (b) dimensi vertikal - lateral, dan (c) dimensi
legitimate - illegitimate.
10. Kekuasaan berlebihan cenderung merugikan ketimbang memberi
manfaat bagi organisasi. Dalam hal ini, kekuasaan berlebihan hanya
akan menciptakan kelas sosial yang tidak relevan dengan
kepentingan organisasi. Bahkan kekuasaan berlebihan bisa
menciptakan korupsi kekuasaan (power corruption). Namun,
korupsi kekuasaan tidak semata-mata bersumber pada diri pemimpin
atau manajer, tetapi juga disebabkan karena struktur organisasi dan
perilaku para pengikutnya.
7.58 PERILAKU ORGANISASI e

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Mana di antara penyataan di bawah ini yang dianggap paling benar ....
A. kekuasaan sering dianggap buruk meski setiap orang melakukannya
B. kekuasaan selalu berkonotasi negatif
C. kekuasaan sama denganjabatan seseorang di dalam organisasi
D. lebih disukai manajer yang tidak memiliki kekuasaan ketimbang
manajer yang memiliki kekuasaan

2) Pertanda bahwa seseorang menerapkan kekuasaan yang dipaksakan akan


tampak pada situasi berikut ini ....
A. manajer bisa mengontrol imbalan sehingga karyawan takut tidak
mendapatkannya
B. karyawan takut tidak menjalankan perintahnya karena pengetahuan
yang dimiliki atasan
C. karyawan takut tidak menjalankan perintahnya karena takut akan
hukuman yang akan diterima
D. karyawan takut tidak menjalankan perintahnya karena pimpinan
memiliki kedudukan yang sah dalam hierarki organisasi

3) Seorang manajer dikatakan menjalankan perilaku politik tidak sah dan


berorientasi keluar jika ....
A. dia mengajukan perusahaan tempat kerja tuntutan hukum kepada
pihak berwenang
B. dia mengadu kepada atasan
C. dia membuka aib perusahaan kepada pihak luar perusahaan
D. dia melakukan sabotase kegiatan produksi

4) Seseorang dianggap melakukan korupsi kekuasaan jika ....


A. karyawan merasa takut sehingga menganggap keputusan pimpinan
selalu benar
B. karyawan suka menjilat atasan
C. pimpinan memperoleh fasilitas-fasilitas khusus
D. jawaban A, B, dan C benar
e EKMA41 58/MODUL 7 7.59

5) Cara yang bisa ditempuh untuk mengurangi korupsi kekuasaan adalah ....
A. mengukur kinerja bawahan secara objektif
B. mengubah budaya dan struktur organisasi
C. memperkecil kesempatan pimpinan mengintervensi bawahan
D. jawaban A, B, dan C benar

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 1OOo/o = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
7.60 PERILAKU ORGANISASI e

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) A 1) A
2) B 2) c
3) A 3) c
4) D 4) D
5) c 5) D
e EKMA41 58/MODUL 7 7.61

Daftar Pustaka

Afsaneh Nahavandi. (1997). The Art and Science of Leadership, Upper


Saddle River. New Jersey: Prentice Hall International. Hal. 86.

A.D. Chandler, Jr. (1977). The Visible Hand: The Manajerial Revolution in
American Business. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David Shriberg and Mary Lynn Williamson.
(1997). Practicing Leadership: Principles and Applications. New York:
John Wiley & Son Inc. Chapter 3, hal. 39-53.

Bennis, Waren. (1994). On Becoming A Leader. Terjemahan. Jakarta: Elex


Media Komputinda.

Bernard M. Bass. (1990). Bass and Stogdill's Handbook of Leadership. 3rd


edition. New York: The Free Press. Hal. 11-18.

Burns, MacGregor J. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.

Daniel Katz and Robert Khan. (1978). The Social Psychology of


Organization. 2nd edition. New York: Willey and Sons. pp. 530-535.

Edgar Sein. (1992). Organizational Culture and Leadership. 2nd edition. San
Francisco. CA: Jossey-Bass Publishers.

F.E. Fiedler. (1967). A theory of Leadership Effectiveness. New York:


McGraw Hill.

Gary Yuk. ( 1994) ........... Hal. 229-231.

Jeffrey Pfeffer. (1981). Power in Organization. Marshfield, Mass.: Pitman


Publishing Inc. Chapter 3.

Kotter, John, P. (1988). The Leadership Factor. New York: The Free Press.
7.62 PERILAKU ORGANISASI e

Kouzes, James M and Barry, Z. Posner. (1987). The Leadership Challenge.


San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.

Kouzes, James M and Barry, Z. Posner. (1993). Credibility. San Francisco,


CA: Jossey-Bass Publishers.

Locke, Edwin A; Kirkpatrick, Shelley; Wheeler, Jillk., Schneider; Niles,


Kathryn; Goldstein, Harold; Welsh, Kurt; Chah, Dong-Ok. (1991). The
Essence of Leadership: The Four Keys to Leading Successfully. New
York: Lexintong Books.

Nahavandi and Malekzadeh. (1993). Leader Style in Strategi and


Organizational Performance: An Integrative Framework. Journal of
Management Studies. 30, 3, hal. 405-425.

Ott, Steven J. (1996). Classic Readings in Organizational Behavior.


Belmont, CA: Wadworth Publishing Company.

Zaleznik. (1977). Manager and Leader, Are They Different? The Harvard
Business Review. May-June.
MDDUL B

Proses Organisasi: Struktur dan Kultur


Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

alah satu tujuan mempelajari perilaku organisasi, seperti telah dijelaskan


pada Modul 2 untuk mengendalikan perilaku karyawan. Meski sebagian
orang menganggap bahwa mengendalikan perilaku karyawan merupakan
tindakan manajer yang tidak seharusnya - tidak etis karena bisa merusak
otonomi dan jati diri seseorang, namun mengendalikan perilaku manusia di
dalam organisasi agaknya tidak bisa dihindari, kalau tidak dikatakan sebuah
keharusan, terutama pada organisasi yang sangat kompleks. Bisa
dibayangkan bagaimana keos dan semrawutnya organisasi besar jika setiap
orang, tanpa ada mekanisme pengendalian, berperilaku sesuai dengan
kehendak masing-masing. Pada situasi yang keos seperti ini jangankan
organisasi bisa mencapai tujuan yang diharapkan, bisa bertahan hidup saja
masih menjadi tanda tanya besar.
Perbedaan antara organisasi yang ditata dan diorganisir dengan baik di
mana orang-orangnya mempunyai pola perilaku tertentu dengan organisasi
yang tidak ditata dengan baik bisa diumpamakan seperti sebuah orkestra yang
begitu indah memainkan simfoni versus kebisingan yang dibuat para musisi
ketika mereka melakukan pemanasan di mana setiap musisi mencoba
peralatan musik masing-masing tanpa koordinasi. Perumpamaan ini memberi
gambaran bahwa ketidakteraturan perilaku manusia di dalam organisasi akan
membuat kehidupan organisasi menjadi tidak terarah, semrawut dan tidak
nyaman. Oleh karena itu, situasi seperti ini harus dikurangi secara maksimal
agar mereka berperilaku sesuai dengan pola tertentu yang terarah. Meski
masing-masing organisasi memiliki cara berbeda dalam mengendalikan
perilaku manusia, demikian juga tingkat keketatan dalam pengendalian
berbeda, hampir bisa dipastikan bahwa setiap organisasi mengendalikan
karyawannya karena setiap organisasi secara inheren memiliki mekanisme
untuk melakukan hal itu.
8.2 PERILAKU ORGANISASI e

Mengendalikan perilaku manusia berarti sekaligus mengendalikan


aktivitas yang mereka lakukan baik aktivitas yang dilakukan secara individu
maupun secara kelompok. Mengendalikan perilaku manusia dan aktivitas
yang dilakukannya menjadi semakin penting karena dalam kehidupan
organisasi hampir sebagian besar, kalau tidak dikatakan semua, aktivitas
organisasi selalu berhubungan antara satu bagian dengan bagian lain.
Mengendalikan perilaku manusia bisa dilakukan dengan dua pendekatan
berbeda yaitu formal dan informal. Dua pendekatan ini sejalan dengan
metafora gunung es yang telah dijelaskan pada Modul 1 bahwa organisasi
terdiri dari komponen utama yang tidak terpisahkan - formal dan informal.
Komponen formal secara umum direpresentasikan oleh struktur organisasi
dan komponen informal direpresentasikan oleh budaya organisasi.
Uraian kedua pokok bahasan pada modul ini sesungguhnya tidak
dimaksudkan hanya untuk mengendalikan perilaku karyawan. Lebih dari itu,
kedua pokok bahasan ini ditujukan untuk memahami sejauh mana koordinasi
antar karyawan perlu dilakukan, siapa yang seharusnya mengambil keputusan
dan bagaimana informasi mengalir dari bagian ke bagian lainnya.
e EKMA41 58/MODUL B 8.3

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Struktur Organisasi

ada saat organisasi masih relatif kecil dan aktivitas-aktivitasnya relatif


L...-

masih sederhana, manajemen organisasi juga tampak sederhana. Akan


tetapi, ketika organisasi semakin besar dan kompleks, manajemen organisasi
menjadi tidak sesederhana seperti pada kondisi sebelumnya. Meski demikian,
satu hal yang harus selalu dijaga adalah organisasi harus tetap tampak
sederhana (simple) sehingga semua aktivitas berjalan teratur dan tidak
tumpang tindih, arus informasi dan komunikasi berj alan lancar, serta semua
sumber daya bisa dimanfaatkan secara optimal. Menata organisasi agar
tampak sederhana dengan demikian dianggap perlu dan merupakan
keharusan. Jika kondisi-kondisi di atas tidak terpenuhi maka tanggung jawab
seorang manajer adalah menata ulang organisasi agar kembali tampak
sederhana. Menata organisasi mempunyai dua tujuan, yaitu untuk
mengendalikan perilaku manusia di dalam organisasi dan kedua agar
aktivitas organisasi yang dijalankan oleh individu atau kelompok memiliki
pola tertentu sehingga mudah diprediksi dan dimonitor, serta ujung-ujungnya
tujuan organisasi lebih mudah tercapai. Penataan organisasi untuk
menciptakan pola hubungan kerja yang relatif tetap inilah yang secara umum
disebut struktur organisasi dan proses menciptakan struktur dengan memilih
berbagai pola hubungan yang tepat disebut desain organisasi.

A. LANDASAN FILOSOFI STRUKTUR ORGANISASI

Secara filosofis, struktur organisasi merupakan kebutuhan pokok bagi


semua organisasi baik organisasi kecil maupun organisasi besar. Bagi
organisasi kecil meski kegiatannya belum begitu kompleks, tetap
membutuhkan struktur organisasi walaupun bentuknya masih informal. Bagi
organisasi besar yang cenderung memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi
baik dari sisi aktivitas maupun jumlah orang yang terlibat di dalamnya
memiliki struktur organisasi formal menjadi sebuah keharusan karena
dinamika dan kompleksnya persoalan organisasi akan bisa diatasi jika
dilakukan pembagian kerja (division of work). Hal yang menjadi paradoks
adalah ketika division of work tidak terhindarkan, koordinasi kerja juga
menjadi keharusan - mandatory. Koordinasi kerja berarti memberi
8.4 PERILAKU ORGANISASI e

wewenang (power) dan tanggung jawab (responsibility) kepada seseorang


untuk mengatur dan mengoordinasi pekerjaan. Pada saat koordinasi kerja
telah dilaksanakan berarti ada seseorang menjadi lebih berkuasa dan
bertanggung jawab dibandingkan orang lain. Pada saat itulah di dalam
organisasi terjadi pembagian kekuasaan/kewenangan (division of authority).
Secara ringkas, dalam setiap pekerjaan akan muncul pembagian kerja.
Setiap pembagian kerja akan muncul koordinasi kerja dan setiap koordinasi
kerja akan timbul pembagian kekuasaan. Dengan demikian, secara filosofis
struktur organisasi tidak lain adalah 'cetak biru' atau 'rerangka bangunan'
formal tentang pembagian kerja (division of work) dan pembagian kekuasaan
(division of authority) serta koordinasi kerja yang memungkinkan terjadinya
aliran informasi dan komunikasi yang efisien dan proses pengambilan
keputusan yang cepat (Mintzberg, 1979, 2; Andersen, 2002). Selain itu,
struktur organisasi menggambarkan pula pola hubungan antarpihak internal
(eksekutif, manajer, dan pekerja) dan pola hubungan antara pihak internal
dengan pihak eksternal (para konstituen organisasi) (Bolman and Deal, 1997,
38). Di dalam pola hubungan antarpihak internal selalu disertai dengan
munculnya hierarki organisasi (Andersen, 2000). Oleh karena itu, hierarki
organisasi seperti halnya pembagian kerj a, merupakan bagian dari struktur
organisasi yang tidak bisa dihindarkan. B arangkali harus disadari adalah
hierarki harus dibedakan dengan birokrasi karena keduanya memiliki
pengertian yang berbeda. Tidak selamanya yang hierarkis selalu birokratis

B. TAKSONOMI STRUKTUR ORGANISASI

Struktur organisasi biasanya direfleksikan ke dalam peta organisasi


(organization chart) yang secara visual digambarkan dalam bentuk kotak dan
garis. Meski terkesan sangat sederhana - hanya kotak dan garis, Richard Daft
(1992, 179) mengatakan bahwa organization chart merupakan representasi
kasat mata yang menggambarkan semua kegiatan organisasi dan proses
aktivitas yang terjadi di dalam sebuah organisasi. Dari penjelasan ini secara
umum dapat dikatakan bahwa struktur organisasi terdiri dari tiga komponen
utama yaitu sebagai berikut.
1. Struktur organisasi merupakan bentuk hubungan pelaporan secara
formal, termasuk di dalamnya jumlah tingkatan dalam hierarki organisasi
dan rentang kendali yang dilakukan oleh para manajer dan supervisor.
e EKMA41 58/MODUL B 8.5

2. Struktur organisasi mengelompokkan individu-individu ke dalam


kelompok atau departemen dan mengelompokkan departemen ke dalam
organisasi keseluruhan.
3. Termasuk dalam struktur organisasi adalah desain sis tern untuk
memastikan terciptanya komunikasi yang efektif, koordinasi, interaksi
lintas departemen.

Ketiga komponen kunci di atas berlaku baik bagi penataan organisasi


secara vertikal maupun horizontal. Sebagai contoh, dua komponen pertama
merupakan kerangka struktural, yakni sebuah hierarki vertikal yang tampak
pada peta organisasi. Komponen ketiga merupakan pola interaksi antar
karyawan organisasi. Struktur organisasi yang ideal dengan demikian harus
bisa mendorong karyawan untuk saling bertukar informasi dan melakukan
koordinasi saat keduanya betul-betul diperlukan. Tipikal peta organisasi yang
menggambarkan semua itu dapat dilihat pada Gambar 8.1 berikut ini.

Komisaris Komisaris Komisaris Komisaris


1 2 3 4

CEO/ Pres Dir

Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres


Marketing SDM Produksi R&D
I I I I

Gambar 8.1.
Peta Organisasi
8.6 PERILAKU ORGANISASI e

Seperti tampak pada gambar di atas, tipikal peta organisasi yang terdiri
dari kotak dan garis menggambarkan pembagian kerja (division of work)
yang ditunjukkan oleh pengelompokan individu ke dalam departemen seperti
Departemen Marketing, SDM, Produksi dan R & D. Di sisi lain pembagian
kerja juga membutuhkan koordinasi yang pada gambar ditunjukkan oleh
kotak-kotak yang berada di atas kotak-kotak lain yang dihubungkan dengan
sebuah garis vertikal. Dalam hal ini, CEO/Presiden Direktur menjadi
koordinator bagi para Wakil Presiden dan selanjutnya para Wakil Presiden
menjadi koordinator unit-unit organisasi yang ada di bawahnya. Konsekuensi
logisnya adalah CEO/Presiden Direktur memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan para W akil Presiden dan W akil Presiden memiliki kekuasaan
lebih dibandingkan unit organisasi di bawahnya. Selain itu, kotak dan garis
dalam peta organisasi juga menggambarkan pula aliran informasi sebagai
sumber pengambilan keputusan dan rantai komando (chain of command)
yang menunjukkan siapa harus melapor kepada siapa.
Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa secara taksonomis peta
organisasi menggambarkan 3 hal pokok, yaitu ( 1) tingkat spesialisasi atau
kompleksitas organisasi, (2) tingkat formalisasi organisasi, dan (3) tingkat
sentralisasi/desentralisasi organisasi. Berdasarkan penjelasan ini, secara
ringkas, taksonomi organisasi dapat dilihat pada Gambar 8.2 di bawah ini.

Spesialisasi Horizontal differentiation 1. Banyaknya pekerjaan


2. Kebutuhan profesi dan
spesialisasi pekerjaan
3. Training dan pendidikan
4. Departementalisasi
Vertical differentiation 5. Jumlah level organisasi
6. Rentang kendali
Spatial differentiation 7. Banyaknya lokasi kegiatan yang
terpisah
Formalisasi Standarisasi peke~aan 1. Banyaknya pekerjaan yang harus
dilakukan berdasarkan regulasi,
aturan dan prosedur kerja.
2. Banyaknya pekerjaan yang
dikerjakan secara rutin.
Sentralisasi/ Level pengambilan 1. Siapa yang berhak mengambil
desentralisasi keputusan keputusan.
2. Pada level mana keputusan
dibuat.

Gambar 8.2.
Taksonomi Organisasi
e EKMA41 58/MODUL B 8.7

1. Spesialisasi atau Kompleksitas Organisasi


Peta organisasi seperti digambarkan di atas secara jelas menggambarkan
banyaknya tugas atau pekerjaan di dalam organisasi yang harus dibagi-bagi
ke dalam pekerjaan-pekerjaan khusus. Proses ini disebut sebagai pembagian
kerja (division of labor). Semakin aktivitas organisasi dibagi ke dalam
pekerjaan-pekerjaan terpisah atau semakin banyak pembagian kerja semakin
tinggi tingkat spesialisasi organisasi. Sebaliknya, semakin sedikit aktivitas
organisasi dibagi-bagi ke dalam kelompok kerja, organisasi menjadi semakin
generik. Secara teoretik semakin sedikit tug as yang dikerj akan seseorang, dia
akan semakin baik dalam mengerjakan tugas tersebut karena dengan semakin
sedikit tugas yang dikerjakan berarti dia semakin ahli di bidangnya.
Spesialisasi dengan demikian memberi kesempatan orang lain untuk
mengerjakan tugasnya yang terbaik.
Spesialisasi organisasi dibedakan lebih lanjut menjadi tiga bagian yakni:
horizontal differentiation, vertical differentiation, dan spatial differentiation.
Horizontal differentiation menjelaskan seberapa banyak pekerjaan harus
dilakukan oleh karyawan, tingkat kebutuhan akan profesi dan spesialisasi
karyawan, kebutuhan akan pelatihan dan pendidikan karyawan dalam
kaitannya dengan tugas dan pekerjaan yang harus dilaksanakannya dan
tingkat departementalisasi organisasi. Semakin banyak pekerjaan, profesi dan
spesialisasi, semakin banyak kebutuhan akan training khusus dan semakin
banyak departementalisasi maka akan semakin kompleks organisasi tersebut.
Vertical differentiation berkaitan dengan banyaknya level/tingkatan di
dalam organisasi. Semakin sedikit level organisasi maka semakin Iebar
rentang kendali yang harus dijalankan seorang manajer. Sebaliknya, semakin
banyak level organisasi semakin sempit rentang kendalinya. Untuk spatial
differentiation berkaitan dengan lokasi organisasi. Semakin jauh jarak antar
unit organisasi, departemen dan orang-orang yang bekerja di dalamnya,
organisasi tersebut menjadi semakin kompleks.

2. Formalisasi Organisasi
Formalisasi organisasi berkaitan dengan tingkat standarisasi pekerjaan,
yakni sej auh mana akti vitas organisasi dikerj akan berdasarkan regulasi,
aturan dan prosedur kerja. Demikian juga formalisasi menjelaskan sejauh
mana rutinitas sebuah pekerjaan. Sederhananya, formalisasi organisasi
menjelaskan apakah sebagian besar pekerjaan harus distandarisasi atau tidak.
Semakin pekerjaan distandarisasi berarti prasyarat untuk mengerjakan tugas
8.8 PERILAKU ORGANISASI e

tersebut semakin ketat, memerlukan keahlian khusus, dan kadang-kadang


pendidikan khusus pula. Pekerjaan dokter adalah salah satu contoh yang
bersifat formal dan memerlukan keahlian dan pendidikan khusus. Untuk
menjadi dokter, misalnya seseorang menempuh pendidikan yang cukup
panjang. Seseorang tidak bisa sembarangan memberi resep untuk suatu
penyakit tertentu kalau dirinya bukan dokter karena profesi dokter termasuk
pekerjaan yang sangat diatur bahkan dengan berbagai lapisan aturan
termasuk kode etik dokter. Sebaliknya, ada beberapa pekerjaan lain yang
proses pengerjaannya sama sekali tidak memerlukan pendidikan formal
seperti bagian linting rokok. Hal yang diperlukan hanyalah pengalaman kerja.
Semakin lama pengalamannya semakin dia menguasai pekerjaan tersebut.
W alhasil, ide dasar formalisasi organisasi adalah sejauh mana sebuah
pekerjaan bisa dikelola dan dikendalikan aturan-aturan baku atau tidak.

3. Sentralisasi/Desentralisasi
Sentralisasi menjelaskan kepada kita pada level mana keputusan
organisasi akan diambil, siapa yang memiliki otorisasi pengambilan
keputusan, siapa yang memiliki kekuasaan, dan pada posisi mana keputusan
akan dibuat. Pada 50 tahun pertama abad XX ketika perusahaan menjadi
semakin besar dan semakin besar, pengambilan keputusan justru semakin
tersentralisasi. Kekuasaan dan otoritas bergeser ke eselon atas dengan sedikit
orang, tetapi keputusannya memengaruhi kehidupan perusahaan secara
keseluruhan. Model pengambilan keputusan yang tersentralisasi ini tidak
lepas dari ide Alfred P. Sloan - Presiden General Motors yang
memperkenalkan "Kantor Pusat" sebagai tempat yang dihuni sedikit orang,
tetapi merupakan tempat strategis karena semua kebijakan perusahaan
digodok dan diputuskan di tempat ini
Meski demikian, akhir-akhir ini terjadi tren sebaliknya. Keputusan lebih
banyak dilakukan pada level organisasi lebih bawah. Kondisi seperti ini
disebut sebagai desentralisasi pengambilan keputusan. Perubahan ini
dimaksudkan agar terjadi efisiensi manajerial dan meningkatkan kepuasan
para karyawan. Dengan desentralisasi dengan demikian memberi kesempatan
karyawan level bawah ikut bertanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukannya. Hanya saja tidak selamanya desentralisasi pengambilan
keputusan itu dikehendaki semua karyawan. Ada sebagian unit organisasi dan
karyawan yang bekerja di dalamnya merasa puas dengan desentralisasi
karena mereka bisa berinovasi tanpa adanya hambatan dari level organisasi
atas. Situasi ini misalnya cocok untuk unit organisasi R & D, akan tetapi
e EKMA41 58/ MODUL B 8.9

sebagian karyawan yang lain justru tidak tertarik untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan karena rutinitas pekerjaan sehari-hari seperti
karyawan yang melakukan pekerjaan produksi. Penjelasan ini menegaskan
bahwa desentralisasi tidak selalu cocok untuk semua unit organisasi. Kapan
desentralisasi dianggap lebih menguntungkan dan kapan dianggap merugikan
dapat diringkas seperti tampak pada Tabel 8.1 berikut ini.

Tabel 8.1.
Keuntungan Desentralisasi

Desentralisasi Rendah Desentralisasi Tinggi


(Sentralisasi Tinggi) (Sentralisasi Rendah)
a. Mengeliminasi tambahan tanggung a. Dapat mengurangi level manajemen
jawab yang tidak dikehendaki oleh dan membuat organisasi menjadi
orang yang melakukan pekerjaan rutin. semakin ramping.
b. Memungkinkan keputusan yang krusial b. Memberi kesempatan kepada
dibuat oleh mereka yang mempunyai karyawan yang berhadapan
pandangan luas (big picture). langsung dengan masalah
membuat keputusan sendiri.

4. Departementalisasi
Uraian-uraian yang berkaitan dengan struktur organisasi yang
direpresentasikan oleh peta organisasi seperti telah disebutkan di atas
menjelaskan pengelompokan individu ke dalam kelompok dan kelompok ke
dalam departemen, selanjutnya departemen ke dalam organisasi.
Pengelompokan-pengelompokan ini disebut departementalisasi. Karyawan
bisa dikelompokkan dengan berbagai cara, yaitu berdasarkan akti vitas,
output, pengguna atau konsumen dan beberapa kombinasi di antaranya.
Pengelompokan berdasar aktivitas menempatkan karyawan dalam satu
kelompok bagi mereka yang melakukan fungsi atau proses kerja yang sama
atau memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sama. Sebagai contoh,
karyawan yang mengerjakan tugas pemasaran dengan segala variasinya
dikelompokkan ke dalam departemen pemasaran di bawah supervisor yang
sama, yaitu manajer pemasaran. Hal yang sama juga berlaku bagi karyawan
bagian produksi.
Pengelompokan berdasarkan output adalah pengelompokan karyawan
berdasarkan apa yang dihasilkan organisasi. Sebagai contoh, semua karyawan
yang menghasilkan sabun mandi termasuk mereka yang bekerja untuk bagian
pemasaran, produksi, dan penjualan, dikelompokkan ke dalam satu unit
departemen di bawah kendali seorang eksekutif. Cara lain mengelompokkan
karyawan adalah berdasarkan pengguna!konsumen. Dalam hal ini, karyawan
dikelompokkan berdasarkan sumber daya yang digunakan untuk melayani
8.10 PERILAKU ORGANISASI e

konsumen atau pengguna akhir atau klien. Konsumen itu sendiri bisa
dibedakan berdasarkan wilayah geografis, segmen pasar atau berdasarkan
karakteristik konsumen lainnya yang relevan. Terakhir, karyawan bisa
dikelompokkan berdasarkan kombinasi antara dua cara pengelompokan
sebelumnya yang disebut pengelompokan multifokus. Dengan
pengelompokan ini berarti organisasi menjalankan dua cara pengelompokan
secara simultan. Bentuk pengelompokan ini sering disebut matriks atau
hybrid.
Bentuk-bentuk organisasi berdasarkan pengelompokan karyawan seperti
tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 8.3 sebagai berikut.
CEO
Pengelomp Fungsi
okkan
berdasar Proses kerj a
SDM Produksi Marketing
aktivitas Pengeathuan,
ketrampilan dan
disiolin

CEO
Pengelomp Produk
okkan Layan an I I
berdasar
Proyek Lini Lini Lini
output
Produk 1 Produk 2 Produk 3
Pusat laba/business

CEO
Pengelomp Geografi
okkan I I
berdasar Penggunalkustomer
Wilayah Wilayah Wilayah
konsumen Segmen pasar Jateng Jabar Jatim

CEO
Pengelomp
Matriks
okkan
multifokus
-•• hybrid, Marketing Produksi

Produk 1

Produk 2

Gambar 8.3.
Alternatif Pengelompokan Karyawan
e EKMA41 58/MODUL B 8.11

C. BENTUK-BENTUK STRUKTUR ORGANISASI

Berdasarkan berbagai macam cara mengelompokkan karyawan beserta


aktivitas yang dilakukannya dan sumber daya organisasi maka struktur
organisasi bisa dikategorikan ke dalam berbagai bentuk, yaitu struktur
organisasi fungsional, divisional, hybrid, dan matriks.

1. Struktur Organisasi Fungsional


Pada struktur organisasi fungsional semua aktivitas mulai dari level
bawah sampai level atas dikelompokkan ke dalam fungsi yang sama. Semua
orang yang menjalankan aktivitas pemasaran misalnya dikelompokkan ke
dalam departemen pemasaran. Di sini W akil Presiden Pemasaran
bertanggung jawab terhadap semua aktivitas pemasaran. Hal yang sama juga
berlaku bagi R & D, Produksi, SDM, Engineering. Karakteristik umum
struktur organisasi fungsional dapat dilihat pada Gambar 8.1 berikut ini.

Konteks
Struktur •
• fungsional.
Lingkungan •
• stabil; ketidakpastian rendah.
Teknologi •
• rutin, tidak saling tergantung .
Ukuran organisasi •
• kecil menengah.
Tujuan •
• efisiensi internal; kualitas teknis .
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada tujuan fungsional.
Perencanaan dan penganggaran : cost basis - anggaran, laporan statistik
Otoritas formal : manajer fungsional.
Kekuatan
a. Memungkinkan terciptanya skala ekonomi di dalam departemen
fungsional.
b. Memungkinkan pengembangan keterampilan secara mendalam.
c. Memungkinkan organisasi mencapai tujuan fungsional.
d. Sangat cocok untuk organisasi kecil menengah.
e. Sangat cocok untuk organisasi yang menghasilkan satu macam
produk atau variasi produk sangat sedikit.
Kelemahan
a. Jika terjadi perubahan lingkungan responsnya sangat lamban.
b. Menyebabkan pengambilan keputusan menumpuk di atas dan terjadi
overload hierarki.
c. Koordinasi horizontal antardepartemen sangat lemah.
d. Menghasilkan sedikit inovasi.
e. Tujuan organisasi dipahami secara terbatas.
8.12 PERILAKU ORGANISASI e

2. Struktur Organisasi Divisional


Struktur organisasi divisional sering kali disebut pula sebagai product
structure atau self-contained structure. Disebut demikian karena cara
pengelompokan aktivitas dan orang-orangnya tidak didasarkan pada
kesamaan fungsi melainkan berdasarkan kesamaan output yang dihasilkan
organisasi. Divisi bisa berupa produk tunggal, layanan, kelompok produk,
proyek atau program, bisnis atau pusat laba. Sebagai gambaran, perbedaan
antara struktur organisasi fungsional dengan struktur organisasi divisional
dapat diligat pada Gambar 8.4 berikut ini.

CEO

SDM Produksi Marketing R&D

CEO

Lini Lini Lini


Produk 1 Produk 2 Produk 3

Mkt SD Prod Mkt SD Prod Mkt SD Prod


M M M

Catatan: Gambar atas adalah tipikal struktur organisasi fungsional dan


gambar bawah adalah tipikal struktur organisasi divisional

Gambar 8.4.
Perbedaan antara Struktur Organisasi Fungsional dengan Divisional

Seperti tampak pada gambar di atas, struktur organisasi fungsional dapat


didesain ulang menjadi struktur organisasi divisional, yakni struktur
organisasi berbasis produk - lini produk 1, lini produk 2, lini produk 3, dan
seterusnya. Masing-masing lini produk terdiri dari fungsi-fungsi organisasi
seperti pada struktur organisasi fungsional. Dengan demikian, masing-masing
lini produk memiliki fungsi pemasaran, R & D, dan produksi tersendiri.
Dengan desain struktur organisasi seperti ini koordinasi lintas fungsi untuk
masing-masing lini bisa dilakukan secara maksimal. Demikian juga struktur
e EKMA41 58/MODUL B 8.13

ini lebih fleksibel dan mudah dilakukan perubahan jika dianggap perlu karena
masing-masing unit relatif lebih kecil dan mudah mengadaptasi perubahan
lingkungan. Selain itu, pengambilan keputusan bisa dilakukan pada masing-
masing lini produk. Hal ini berarti terj adi desentralisasi pengambilan
keputusan karena secara hierarkis lini produk tidak berada pada level atas.
Secara umum, karakteristik struktur organisasi berbasis produk dapat dilihat
pada Gambar 8.5 di bawah ini.

Konteks
Struktur : produk.
Lingkungan : ketidakpastian moderat-tinggi, lingkungan berubah.
Teknologi : nonrutin, tingkat kebergantungan antardepartemen
sangat tinggi.
Ukuran organisasi : besar.
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan
konsumen.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk.
Perencanaan dan penganggaran : berbasis pusat laba - pendapatan dan
biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk.
Kekuatan
a. Cocok untuk lingkungan yang tidak stabil dan mudah berubah.
b. Memungkinkan terciptanya kepuasan konsumen sebab penanggung
jawab produk sangat jelas-manajer lini produk.
c. Melibatkan koordinasi lintas fungsi yang sangat tinggi.
d. Memungkinkan setiap unit untuk beradaptasi sesuai dengan
kepentingan produk, wilayah, dan klien.
e. Cocok untuk perusahaan besar yang menghasilkan bermacam-macam
produk.
f. Pengambilan keputusan yang terdesentralisasi.
Kelemahan
a. Tidak menciptakan skala ekonomi pada masing-masing fungsi
• •
organ1sas1.
b. Koordinasi lintas produk lini relatif jelek.
c. Tidak menciptakan kompetensi yang mendalam dan spesialisasi
teknis.
d. Sulit melakukan integrasi dan standarisasi lintas produk lini.

Gambar 8.5.
Karakteristik Struktur Organisasi Divisional
8.14 PERILAKU ORGANISASI e

3. Struktur Organisasi Berbasis Wilayah Geografis


Cara lain untuk mengelompokkan aktivitas dan orang-orang yang
bekerja di dalamnya adalah berbasis wilayah geografis. Dasar pemikirannya
adalah masing-masing wilayah dalam satu negara biasanya memiliki
kebutuhan, cita rasa atau budaya berbeda sehingga masing-masing wilayah
perlu manajer tersendiri. Bentuk lain dari struktur organisasi berbasis wilayah
geografis adalah pengelompokan aktivitas berdasarkan kepentingan
pengguna atau customer. Kedua bentuk ini - struktur berbasis wilayah
geografis dan struktur berbasis pengguna sesungguhnya merupakan variasi
dari struktur organisasi divisional. Oleh karena itu, desain dan karakteristik
kedua bentuk struktur ini tidak berbeda dengan desain dan karakteristik
organisasi divisional.

4. Struktur Organisasi Hybrid


Dalam realitas sesungguhnya hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada
organisasi yang murni menerapkan struktur organisasi fungsional atau
divisional. Pada waktu bersamaan, organisasi kadang-kadang harus memberi
perhatian yang seimbang misalnya antara produk dan fungsi organisasi atau
antara produk dan wilayah geografis. Struktur organisasi yang didesain
dengan memperhatikan kedua kondisi di atas disebut struktur organisasi
multifokus. Salah satu tipe struktur organisasi multifokus adalah struktur
organisasi hybrid yang bentuknya dapat dilihat pada Gambar 8.6. Struktur
organisasi hybrid biasanya didesain untuk mengatasi kelemahan struktur
fungsional dan divisional. Fungsi-fungsi yang sangat penting bagi produk
berada di bawah masing-masing lini produk, sedangkan fungsi-fungsi lain
yang memengaruhi seluruh kehidupan organisasi ditempatkan di Kantor
Pusat. Dengan kombinasi seperti ini diharapkan organisasi memperoleh
keuntungan dari masing-masing kekuatan bentuk struktur. Karakteristik
umum struktur organisasi hybrid dapat dilihat pada Gambar 8.7.
e EKMA41 58/MODUL B 8.15

CEO

Kepala Bidang Direktur Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Senior
Hukum SDM Teknonolgi Keuangan Sumberdaya
dan Strategi

Dir.
Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Hubungan
Fuels Olie Produk Kimia Fasilitas Publik

Marketing Marketing Marketing Marketing Wkl Pres


Bahan baku

Peren anaan Peren anaan Peren< anaan Peren anaan Dir.


dan ekonomi dan ekonorni dan ekonorni dan ekonorni Perencaaan
dan
Lingkungan

Sup Jly dan Sup Jly dan Sup!)ly dan Sup, ly dan
distribusi distribusi distribusi di stribusi

Prcduksi Pre duksi Prcduksi Prcduksi

Gambar 8.6.
Struktur Organisasi Hybrid
8.16 PERILAKU ORGANISASI e

Konteks
Struktur : hybrid.
Lingkungan : ketidakpastian moderat - tinggi, perubahan
permintaan konsumen.
Teknologi : rutin dan nonrutin, beberapa bagian memiliki
kebergantungan lintas fungsi.
Ukuran organisasi : besar.
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan
konsumen di samping menekankan pentingnya
efisiensi internal.
Sistem internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk dan fungsi
• •
orgarusas1.
Perencanaan dan penganggaran : untuk divisional berbasis pusat lab a,
untuk fungsi berbasis pusat biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk; tanggung jawab
koordinasi berada pada manajer
fungsional.
Kekuatan
a. Memungkinkan organisasi bisa beradaptasi dan melakukan koordinasi
pada divisi produk dan melakukan efisiensi pada departemen
fungsional.
b. Menciptakan hubungan yang harmoni antara level corpoarte dengan
level divisi.
c. Memungkinkan dilakukan koordinasi baik di dalam maupun antarlini
produk.
Kelemahan
a. Biaya overhead boleh jadi membengkak.
b. Bisa memunculkan konflik antara divisi dengan departemen.

Gam bar 8. 7.
Karakteristik Struktur Organisasi Hybrid

5. Struktur Organisasi Matriks


Dalam upayanya untuk mendapatkan cara terbaik dan tercepat untuk
mengembangkan produk dan merespons kebutuhan konsumen, mendorong
organisasi untuk mengadopsi struktur organisasi matriks. Struktur organisasi
matriks mengelompokkan karyawan dan sumber daya secara simultan. Peta
organisasi yang menggambarkan struktur organisasi matriks dapat dilihat
pada Gambar 8.8 berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL B 8.17

CEO

Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres
Marketing Pembelian Keuangan R&D Engineering

Manajer
1--------l
Produk A

Manajer
1--------l Produk B +---..._

Manajer
1--------l Produk C +----

Manajer
1....------l Produk D ,...._ _

Gambar 8.8.
Struktur Organisasi Matriks

Seperti tampak pada gambar di atas, struktur organisasi matriks


merupakan bentuk segi empat di mana garis vertikal menunjukkan tanggung
jawab fungsional dan garis horizontal menunjukkan tanggung jawab produk.
Gambar di atas juga menunjukkan sederet kotak yang membujur ke samping
- berada pada bagian atas gambar, merepresentasikan pengelompokan tugas
berdasarkan fungsi. Untuk sederet kotak yang berjejer secara vertikal -
berada pada bagian samping gambar merepresentasikan pengelompokan
tugas berdasarkan produk. Berdasarkan gambar ini, karyawan fungsional
melaporkan kegiatannya kepada kepala bagian masing-masing. Misalnya,
karyawan bagian pemasaran melaporkan kegiatannya kepada kepala bagian
pemasaran. Meski demikian, pekerjaan sehari-hari karyawan bagian
pemasaran tidak disupervisi oleh kepala bagian pemasaran melainkan oleh
seorang manajer produk, misalnya manajer produk B. Dengan struktur
organisasi matriks dengan demikian seorang karyawan - dalam contoh ini
karyawan pemasaran memiliki dua orang atasan/bos-kepala bagian
pemasaran dan manajer produk B. Meski seseorang harus melaporkan
kegiatannya kepada dua orang atasan berbeda-sesuatu yang tidak biasa
8.18 PERILAKU ORGANISASI e

dalam kaidah sistem pelaporan, struktur organisasi matriks dianggap tepat


jika kondisi-kondisi berikut terpenuhi.
Kondisi 1. Terdapat tekanan yang sangat kuat untuk berbagi sumber
daya langka untuk dimanfaatkan pada lintas produk. Tekanan ini biasanya
muncul karena ukuran organisasi tidak terlalu besar namun menghasilkan
beberapa macam produk. Akibatnya, organisasi sering kekurangan sumber
daya. Sebagai contoh, sebuah perusahaan hanya memiliki seorang akuntan
sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi menangani satu macam produk
melainkan harus berbagi waktu untuk menangani produk-produk lainnya
yang juga membutuhkan perhatian yang sama.
Kondisi 2. Terdapat tekanan dari lingkungan yang menuntut
diperhatikannya dua atau lebih output yang dihasilkan organisasi. Sebagai
contoh, lingkungan menghendaki agar organisasi terus menerus memperbaiki
kualitas teknis dan pada saat bersamaan juga dituntut untuk selalu
menghasilkan produk baru. Tekanan ganda ini bisa diartikan bahwa
organisasi harus bisa menyeimbangkan kekuasaannya untuk memberi
perhatian pada sisi fungsi organisasi dan sisi produk.
Kondisi 3. Ada semacam postulat bahwa lingkungan organisasi bukan
hanya kompleks tetapi juga penuh ketidakpastian. Di satu sisi, seringnya
terj adi perubahan lingkungan dan tingginya saling kebergantungan antar
departemen di sisi lain menuntut tingginya koordinasi dan pemrosesan
informasi baik secara vertikal maupun secara horizontal

Secara umum, ketiga kondisi di atas menuntut adanya otoritas yang bisa
menyeimbangkan kekuasaan berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik
otoritas secara vertikal maupun horizontal. Karena alasan itulah, struktur
organisasi matriks menjadi kebutuhan. Karakteristik struktur organisasi dapat
dilihat pada Gambar 8. 9 sebagai berikut.
e EKMA41 58/MODUL B 8.19

Konteks
Struktur •
• matriks .
Lingkungan •
• ketidakpastian tinggi.
Teknologi •
• nonrutin, memiliki ban yak kebergantungan .
Ukuran organisasi •
• medium, banyak lini produk.
Tujuan •
• ganda-inovasi produk dan spesialisasi teknis.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan keseimbangan pada lini
produk dan fungsi organisasi.
Perencanaan dan penganggaran : sistem ganda - berbasis fungsi dan lini
produk.
Otoritas formal : kerja sama antara manajer lini produk
dengan manajer fungsional.
Kekuatan
a. Bisa memenuhi kebutuhan koordinasi yang diperlukan dalam rangka
memenuhi permintaan ganda dari lingkungan.
b. Bisa berbagi SDM lintas produk secara fleksibel.
c. Cocok untuk pengambilan keputusan yang sangat kompleks dan
sering terj adi perubahan lingkungan.
d. Memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan baik
fungsional maupun produk.
e. Cocok untuk organisasi dengan ukuran medium yang memiliki
banyak produk.
Kelemahan
a. Adanya otoritas ganda sering menyebabkan karyawan merasa
kebingungan dan frustasi.
b. Mengharuskan karyawan harus memiliki interpersonal skill yang baik
dan harus banyak mengikuti pelatihan.
c. Banyak waktu terbuang hanya untuk rapat dan mengatasi konflik.
d. Struktur organisasi ini tidak bisa berjalan dengan baik jika orang-
orang yang terlibat di dalamnya tidak memahami konsepnya dengan
baik. Mereka juga dituntut untuk menerapkan hubungan kolegial
bukan hubungan vertikal.
e. Harus ada tekanan ganda dari lingkungan agar terjadi keseimbangan
kekuasaan.

Gam bar 8. 9.
Karakteristik Organisasi Matriks
8.20 PERILAKU ORGANISASI e

D. DESAIN STRUKTUR ORGANISASI

Oleh karena struktur organisasi merupakan sebuah keharusan maka yang


perlu dipertanyakan adalah bagaimana struktur organisasi harus didesain agar
tujuan didirikannya organisasi, yaitu efisiensi, efektivitas, dan meningkatnya
moral para pegawai bisa tercapai. Desain organisasi adalah proses
mengoordinasi elemen-elemen struktur organisasi dalam rangka untuk
mendapatkan struktur organisasi yang paling tepat. Meski structure of five-
nya Mintzberg bisa disebut sebagai konsep umum desain struktur, namun
dalam realitas tidak ada satu desain pun yang cocok untuk semua organisasi.
Penyebabnya tidak lain karena desain struktur dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang bersifat kontekstual. Akibatnya, setiap organisasi memiliki
konfigurasi struktur yang berbeda. Bahkan dua organisasi yang bergerak pada
bidang bisnis yang sama belum tentu konfigurasinya sama sehingga cara
pembagian kerja, distribusi kewenangan, dan cara koordinasinya juga
berbeda.
Dalam kaitannya dengan desain struktur organisasi, berikut ini akan
diuraikan faktor-faktor yang memengaruhi struktur, konsep umum struktur
organisasi mulai dari pandangan klasik sampai pada pandangan paling kini.

1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Desain Struktur


Ada 5 faktor penting yang perlu dipertimbangkan ketika hendak memilih
desain struktur organisasi (Richard Daft, 1992).

a. Tujuan dan strategi organisasi


Tujuan didirikannya organisasi tidak lain agar organisasi tersebut bisa
mencapai tujuannya yang sangat bervariasi yang semuanya itu bisa dicapai
lebih mudah jika dimulai dengan formulasi strategi yang tepat. Hal ini bisa
diartikan bahwa strategi merupakan kunci utama dalam mencapai tujuan
organisasi sehingga elemen-elemen organisasi yang lain, termasuk struktur
organisasi harus menyesuaikan diri dengan strategi dan tujuan organisasi.

b. Human process
Desain struktur organisasi juga dipengaruhi oleh tata nilai dan budaya
organisasi serta gaya kepemimpinan para top executive yang biasa disebut
human process. Jika pimpinan organisasi ditempati oleh orang-orang yang
e EKMA41 58/MODUL B 8.21

formalistik dan birokratik hampir pasti struktur organisasi juga didesain


dengan format yang sama.

c. Lingkungan organisasi
Dalam batas-batas tertentu lingkungan ekstemal organisasi merupakan
variabel yang susah dikendalikan pihak manajemen. Oleh karenanya desain
dan struktur organisasi juga harus menyesuaikan variabel tersebut.

d. Teknologi yang digunakan


Teknologi merupakan alat bantu yang bisa menggantikan peran manusia.
Oleh karenanya semakin canggih teknologi yang digunakan semakin banyak
pekerjaan manual yang bisa dikurangi. Dalam kaitannya dengan struktur
organisasi, penggunaan teknologi, dengan demikian memungkinkan semakin
lebarnya span of control dan keputusan-keputusan organisasi bisa dilakukan
secara sentralistik. Namun, penggunaan teknologi terkadang menyebabkan
organisasi menjadi semakin birokratik dan mekanik.

e. Ukuran/besaran organisasi
Ukuran organisasi merupakan salah satu faktor penting yang
memengaruhi struktur. Secara umum, bisa dikatakan bahwa semakin besar
sebuah organisasi cenderung semakin kompleks. Oleh karenanya organisasi
besar cenderung semakin birokratik karena dalam operasionalisasinya
bertumpu pada mekanisme formal organisasi. Meski demikian, bukan berarti
organisasi besar secara otomatis menggunakan pola pengambilan keputusan
yang sentralistik. Justru sebaliknya organisasi besar semestinya lebih
desentralistik karena adanya hambatan aliran informasi.

2. Pandangan Klasik dan Neoklasik


Para teoretisi yang hidup pada awal-awal sampai dengan pertengahan
abad XX termasuk di dalamnya Max Weber, Frederick Taylor, dan Heri
Fayol berkeyakinan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang
memiliki hierarki formal, memiliki aturan yang jelas, karyawan memiliki
spesialisasi, tugas bersifat rutin, dan lingkungan organisasi yang impersonal.
Weber menyebut organisasi seperti ini sebagai "birokrasi". Berdasarkan
keyakinan ini mereka memilih desain organisasi yang paling ideal meski
yang ideal tersebut belum tentu realistik. Asumsinya, hanya dengan cara ini
organisasi bisa mencapai tujuannya karena perilaku manusia di dalam
8.22 PERILAKU ORGANISASI e

organisasi bisa dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan kehendak mereka.


Sederhananya, pandangan awal tentang desain organisasi adalah hanya ada
satu cara terbaik - one best way dalam mendesain organisasi, yakni desain
yang bersifat universal dengan ciri-ciri seperti tersebut di atas. Pandangan
inilah yang dikenal sebagai pandangan klasik.
Beberapa peneliti lain, terinspirasi oleh penelitian Elton Mayo yang
dikenal dengan Hawthrone studies, mulai mendesain organisasi yang lebih
berorientasi pada manusia. Di antara peneliti ini adalah Douglas McGregor,
Chris Argyris, dan Rensis Likert. Mereka tidak meninggalkan pendekatan
klasik, tetapi mengembangkannya sehingga mereka disebut teoretisi
neoklasik. Pandangannya adalah efekti vitas organisasi tidak hanya ditentukan
oleh efektivitas ekonomi seperti pandangan klasik, tetapi ditentukan juga oleh
kepuasan karyawan. McGregor menolak teori klasik dengan alasan para
teoretisi klasik memandang manusia dari sisi negatifnya sehingga perlu diberi
ancaman. Sementara itu, argumentasi Argyris adalah dominasi manajer
terhadap karyawan membelenggu kebutuhan dasar manusia untuk
mengekspresikan dirinya dan menyelesaikan tugas dengan baik. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Likert. Menurut Likert, kinerja organisasi tidak
dicapai dengan mengendalikan tindakan karyawan secara ketat, tetapi dengan
memberi sentuhan terhadap perasaan agar karyawan merasa sebagai orang
yang berguna dan menjadi bagian penting bagi organisasi. Likert lebih lanjut
mengatakan bahwa efektivitas organisasi akan tercapai jika karyawan ikut
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pandangan Likert dikenal
dengan "organisasi sistem 4 - system 4 organization". Implikasi pandangan
neoklasik terhadap desain organisasi adalah organisasi harus didesain dengan
hierarki yang pendek dan memberi kesempatan kepada karyawan bawah
untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan - desentralisasi
• •
organ1sas1

3. Pendekatan Kontingensi
Jika pendekatan klasik dan neoklasik berpedoman bahwa desain
organisasi harus yang paling ideal, universal, dan "the one best approach",
pendekatan kontingensi lebih realistik karena faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam mendesain organisasi tidak hanya faktor internal
organisasi tetapi juga faktor eksternal. Dengan mempertimbangkan kedua
faktor ini berarti tidak ada satu desain pun yang cocok untuk semua situasi.
Semuanya tergantung kecocokan antara faktor internal, misalnya tingkat
e EKMA41 58/MODUL B 8.23

kompleksitas pekerjaan, ketersediaan karyawan terlatih, dengan tekanan dari


lingkungan eksternal. Mendesain organisasi dengan mempertimbangkan
faktor-faktor ini disebut pendekatan kontingensi.
Pada pendekatan kontingensi dengan demikian faktor lingkungan
khususnya lingkungan eksternal merupakan faktor penentu desain struktur
organisasi. Secara umum, lingkungan eksternal dapat dikategorikan menj adi
dua, yaitu lingkungan yang stabil serta lingkungan yang berubah dan
bergejolak. Lingkungan yang stabil bisa diartikan bahwa tekanan dari
lingkungan arahnya mudah diprediksi sehingga karyawan sebuah organisasi
bisa menjalankan tugas dengan cara yang sama dalam waktu lama dan pihak
manajemen sendiri pada akhimya bisa memiliki jalur otoritas yang jelas
untuk membantu karyawan mengerjakan tugasnya. Sebaliknya, lingkungan
yang berubah dan bergejolak adalah perubahan lingkungan terjadi hampir
setiap periodik dan bahkan setiap hari dan perubahannya kadang-kadang
tidak bisa diprediksi dengan tepat. Akibatnya, pihak manaj emen sering kali
kesulitan bagaimana harus mendefinisikan pekerj aan karena setiap kali cara
mengerjakan tugas harus selalu berubah dan struktur organisasi yang baku
juga sulit ditetapkan.
Berdasarkan pertimbangan tingkat stabilitas lingkungan tersebut, desain
organisasi bisa dibedakan menj adi dua, yaitu organisasi mekanik dan
organisasi organik. Organisasi mekanik adalah desain struktur organisasi di
mana lingkungan eksternal diasumsikan stabil sehingga tidak banyak
mengakibatkan perubahan pada produk, permintaan pasar, dan penggunaan
teknologi. Oleh karena lingkungan tidak banyak berubah, implikasi ke dalam
adalah karyawan bisa mengerjakan tugas dengan tingkat spesialisasi yang
tinggi. Untuk itu, manajemen juga bisa membuat aturan-aturan yang jelas dan
kadang jumlahnya banyak, untuk mengatur perilaku karyawan. Dengan kata
lain, organisasi cenderung sentralistik karena otoritas dan kekuasaan berada
pada segelintir orang yang berada pada level atas organisasi.
Kondisi sebaliknya, berlaku pada lingkungan eksternal yang serba
berubah dan bergejolak. Pada kondisi lingkungan seperti ini desain organisasi
yang cocok adalah desain yang bersifat organik. Dengan desain organisasi
organik karyawan tidak lagi bisa memiliki spesialisasi kerja. Sebaliknya,
karyawan dituntut untuk selalu belajar agar bisa menyesuaikan diri dengan
cara-cara kerja baru yang dituntut lingkungan. Demikian juga aturan harus
dibuat fleksibel agar sewaktu-waktu terjadi perubahan lingkungan, aturan
tersebut bisa dengan mudah menyesuaikan diri. Implikasinya adalah pada
8.24 PERILAKU ORGANISASI e

lingkungan yang serba berubah pengambilan keputusan bisa tersentral hanya


pada orang-orang tertentu di level atas organisasi tetapi harus di distribusi
merata pada level organisasi di bawahnya.
Secara umum, perbedaan antara struktur organisasi mekanik dan
organisasi dapat dilihat pada Tabel 8.2; sedangkan Gambar 8.10
membedakan dimensi struktur organisasi mekanik dan struktur organisasi
organik.

Tabel 8.2.
Karakteristik Struktur Organisasi Mekanik vs. Organik

Mekanik Organik
a. Spesialisasi pekerjaan. a. Generalisasi pekerjaan.
b. Tugas-tugas didefinisikan secara jelas b. Tugas-tugas tidak didefinisikan secara
dan kaku khusus - tugas-tugas mung kin
c. Hierarki otoritas ditetapkan secara disesuaikan melalui interaksi
tegas dan didukung oleh banyak karyawan.
aturan. c. Hierarki dilakukan secara informal
d. Pengetahuan dan pengendalian dengan sedikit aturan.
terhadap tugas dilakukan di pusat d. Pengetahuan dan pengendalian tidak
kekuasaan (sentralisasi) dan semua terpusat, tetapi terdistribusi kepada
tugas diatur dari atas. semua orang.
e. Komunikasi dilakukan secara vertikal e. Komunikasi berjalan secara
melalui jalur formal. horizontal. Karyawan bisa
berkomunikasi kepada siapa saja
1an dian' ap perlu.
e EKMA41 58/MODUL B 8.25

spesialisasi
Pembagian kerja Tinggi Rendah

Departementaslisasi Kesamaan pekerjaan

Homogen Heterogen
Mekanik
Jumlah Organik
Rentang kendali
Formal
Sedikit Banyak Informal
Terstruktur Delegasi
otoritas Tidak
Birokrasi Sentralisasi Desentralisasi terstruktur

Diskresi personal System4


Mekanisme
Supervisi saling
koordinasi
langsung menyesuaikan
dan aturan diri

Gam bar 8. 10.


Perbedaan Struktur Organisasi Mekanik dan Organik

4. Desain Struktur menurut Mintzberg


Mintzberg secara umum membagi organisasi menjadi 5 bagian seperti
tampak pada Gambar 8.10, yaitu sebagai berikut.

a. Operating core
Operating core terdiri dari para karyawan yang mengerjakan pekerjaan
inti, yaitu orang-orang menghasilkan produk dan j as a. Secara umum,
karyawan pada bagian ini melakukan empat fungsi kegiatan, yaitu
mendapatkan input, mentransformasi input menjadi output, mendistribusikan
output dan membantu kelancaran proses input, serta transformasi dan output.

b. Strategic apex
Bagian ini ditempati orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
keseluruhan j alannya organisasi. Orang -orang yang menempati posisi ini
biasanya disebut sebagai manajer, Presiden Direktur atau CEO. Tugas utama
mereka adalah menegaskan bahwa visi dan misi organisasi berjalan secara
efektif dan merekrut orang-orang untuk melakukan pengendalian organisasi.
Secara umum, Presiden Direktur melakukan tiga tugas pokok, yaitu tugas ke
dalam - tugas pengendalian, tugas keluar - berkomunikasi dengan pihak
eksternal organisasi dan ketiga, tugas pengembangan organisasi melalui
perencanaan strategik.
8.26 PERILAKU ORGANISASI e

c. Middle line
Bagian ini ditempati orang-orang yang berfungsi sebagai intermediary
antara strategic apex dan operating core. Bagi organisasi yang cukup besar,
middle line manager (manajer menengah) biasanya sangat diperlukan karena
tindakan pengawasan biasanya memerlukan kontak personal. Secara umum,
peran dari manajer menengah adalah menjalankan pekerjaan pimpinan
puncak organisasi untuk masing-masing unit yang menjadi tanggung
jawabnya.

d. Technostructure
Bagian ini ditempati para analis yang pekerjaannya bukan untuk
kepentingan unit yang dikelolanya melainkan untuk unit-unit lain, yakni agar
unit-unit tersebut bisa bekerja lebih efektif. Salah satu contoh pekerjaan para
analis adalah mendesain proses belajar mengajar yang spesifik untuk mata
kuliah tertentu.

e. Support staff
Hampir sama seperti technostructure, bagian ini ditempati para pekerj a
yang tugas pokoknya adalah mendukung kelancaran unit lain dalam
organisasi. B agi perguruan tinggi, penyediaan fasilitas toko buku, penerbitan,
kelompok dosen pengajar, bagian kebersihan kampus (janitorial) adalah
sebagian dari contoh support staff. Fasilitas-fasilitas ini biasanya bisa dengan
mudah diperoleh dari pihak ketiga (outsourcing), namun dengan alasan-
alasan tertentu organisasi menyediakan sendiri fasilitas-fasilitas tersebut
secara mandiri.
e EKMA41 58/MODUL B 8.27

Strategic
Aoex

upport Staff

Operating Core

Gambar 8. 11.
Bagian-bagian Struktur Organisasi

5. Konfigurasi Organisasi
Bagi organisasi besar, kelima bagian struktur organisasi seperti tampak
pada Gambar 8.3 tampaknya merupakan sebuah keharusan. Meski demikian,
konfigurasinya bisa berbeda untuk organisasi yang berbeda. Perbedaan ini
disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan organisasi, ukuran
organisasi, strategi, tata nilai organisasi dan teknologi yang digunakan.
Secara umum, Mintzberg membedakan konfigurasi struktur organisasi
menjadi 5 macam, yakni simple structure, machine bureaucracy,
professional bureaucracy, divisional form, dan adhocracy. Masing-masing
konfigurasi dan implikasinya terhadap mekanisme koordinasi, bagian kunci
organisasi dan bentuk sentralisasi/desentralisasi organisasi diringkas seperti
tampak pada Gambar 8.12. berikut ini.
8.28 PERILAKU ORGANISASI e

Konfigurasi Mekanisme Bagian Organisasi Bentuk


Struktur Koordinasi Utama Kunci Desentralisasi
Sentralisasi
Simple Structure Supervisi Langsung Strategic Apex Verti kal dan
Horizontal

Machine Desentralisasi
Standarisasi Proses Technostructure
Bureaucracy Horizontal Terbatas

Desentralisasi
Professional
Standarisasi Skill Operating Core Verti kal dan
Bureaucracy
Horizontal

Desentralisasi
Divisional Form Standarisasi Output Middle Line
Vertikal Terbatas

Desentralisasi
Adhocracy Mutual Adjustment Supporl Staff
Selektif

Gambar 8. 12.
Konfigurasi Struktur Organisasi

Gambar tersebut menunjukkan bahwa perbedaan konfigurasi struktur


organisasi akan memengaruhi pola manajemen sebuah organisasi. Sebagai
contoh, apabila sebuah organisasi menetapkan bentuk strukturnya adalah
struktur organisasi sederhana (simple structure) maka mekanisme utama
untuk melakukan koordinasi organisasi adalah dengan supervisi langsung.
Oleh karenanya peranan strategic apex menjadi sangat penting sebagai center
of activity dan center of authority. Dengan kata lain, simple structure akan
menjadikan organisasi cenderung lebih sentralistik baik vertikal maupun
horizontal. Bagian organisasi kunci akan bergeser dari strategic apex ke
operating core jika sebuah organisasi memilih struktur organisasi
professional bureaucracy. Bentuk struktur organisasi ini menuntut
desentralisasi baik vertikal maupun horizontal dengan standardisasi skill
sebagai alat koordinasinya. Demikian juga jika sebuah organisasi memilih
bentuk struktur organisasi yang lain maka kecenderungan akti vitas
manajerialnya juga berbeda.
e EKMA41 58/MODUL B 8.29

6. Struktur Organisasi Jejaring (Network Structure)


Dewasa ini bentuk desain organisasi baru yang mulai marak digunakan
oleh perusahaan-perusahaan besar adalah struktur organisasi berbasis jejaring
(network structure). Network structure adalah sekelompok organisasi berbeda
yang tindakan-tindakannya dikoordinasikan melalui mekanisme kontrak dan
kesepakatan bukan melalui otoritas hierarkis yang bersifat formal. Biasanya
salah satu dari kelompok organisasi tersebut yang sedang berupaya
meningkatkan efektivitas organisasi bertindak sebagai pemimpin yang
menginisiasi terbentuknya jejaring. Sebagai contoh, PT Krakatau Steel dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan, serta di sisi lain
harus melayani angkutan karyawan pada saat berangkat dan pulang kerja,
mestinya harus menyediakan armada bus yang jumlahnya bisa mencapai
puluhan. Namun, apabila semuanya dilakukan sendiri yang terjadi justru
inefisiensi karena dengan membeli bus dan mengoperasikannya sendiri
berarti perusahaan harus merekrut sejumlah karyawan sebagai sopir,
karyawan bagian pemeliharaan dan harus menyediakan pula lahan untuk
pool. Oleh karena itu, ketimbang melakukan semua itu, PT Krakatau Steel
lebih memilih melakukan kerja sama dengan perusahaan lain dalam rangka
penyediaan armada bus. Sederhananya, PT Krakatau Steel melakukan
outsourcing.
Pada kasus PT Krakatau Steel, jejaring masih relatif sederhana hanya
melibatkan satu aspek dalam kegiatan perusahaan. Namun, tidak jarang
jejaring struktur juga lebih kompleks dibandingkan dengan apa yang
dilakukan PT Krakatau Steel. Hal ini terjadi jika sebagian besar aktivitas
organisasi dilakukan secara outsourcing. Contoh perusahaan yang melakukan
hal ini adalah Perusahaan sepatu Nike. Nike yang berkantor pusat di
Beaverton, Oregon Amerika Serikat, pada mulanya menjalankan aktivitasnya
secara mandiri mulai dari mendesain, memproduksi dan memasarkan hasil
produksinya. Namun, demi efisiensi dan efektivitas perusahaan, Nike
menyerahkan produksi dan pemasarannya ke perusahaan lain di seluruh
dunia termasuk perusahaan di Indonesia sebagai mitra kerja. Nike sendiri
sekarang hanya melakukan desain dan riset untuk mendapatkan model sepatu
yang terbaik.
Tentu saja struktur organisasi jejaring seperti yang diterapkan Nike
memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kelebihannya pertama,
apabila perusahaan bisa menemukan partner yang bisa diandalkan untuk
mengerjakan aktivitas-aktivitas fungsional dan dengan biaya yang lebih
8.30 PERILAKU ORGANISASI e

murah maka secara keseluruhan biaya produksi akan semakin berkurang.


Semua pekerjaan pembuatan sepatu Nike misalnya dilakukan di Asia
khususnya Asia Tenggara yang biaya tenaga kerjanya jauh lebih murah.
Kedua, dengan menyerahkan sebagian atau sebagian besar pekerjaan kepada
pihak lain, memungkinkan perusahaan menghindari terjadinya birokrasi yang
menyebabkan naiknya biaya. Ketiga, dengan struktur organisasi jejaring
memungkinkan organisasi bertindak secara organik bukan mekanik sehingga
jika lingkungan eksternal mengalami perubahan, organisasi bisa dengan cepat
melakukan tindakan alternatif. Sebagai contoh, apabila teknologi tiba-tiba
berubah dan perusahaan mitra tidak memiliki kapabilitas untuk mengadopsi
teknologi baru maka perusahaan bisa dengan mudah mencari mitra baru yang
memiliki kapasitas tersebut. Keempat, apabila partner gagal memenuhi
kualifikasi produk seperti yang diharapkan maka perusahaan akan mencari
mitra baru. Kelima, alasan terpenting dibentuk struktur jejaring adalah
perusahaan bisa mendapatkan akses untuk mendapatkan input yang lebih
murah dari sumber luar negeri dan para ekspertis yang sangat dibutuhkan
pada lingkungan yang serba berubah seperti sekarang ini.
Di samping kelebihan-kelebihan seperti tersebut di atas, beberapa
kelemahan struktur organisasi jejaring juga terdeteksi. Pertama, persoalan
yang dihadapi oleh struktur organisasi jejaring adalah masalah kompatibilitas
produk yang dihasilkan kedua organisasi. Produk akhir yang memiliki presisi
tinggi yang bagian-bagiannya dikerjakan perusahaan berbeda biasanya
mengalami masalah kompatibilitas meski untuk mengerjakan produk tersebut
telah disertai instruksi dan manual secara detail. Untuk mengatasi hal ini,
interaksi dan saling menyesuaikan diri antara pihak-pihak terkait harus
dilakukan agar keduanya bisa saling belajar untuk memperbaiki basil produk
akhir terbaik. Di samping itu, kehadiran masing-masing manajer juga sangat
diperlukan dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan mengoordinasikan
aktivitas-aktivitas terkait. Saling percaya juga menjadi prasyarat bias
bekerjanya network structure.
Masalah kedua, kemampuan perusahaan pemimpin mengendalikan
perusahaan partner karena masing-masing perusahaan memiliki otoritas
tersendiri yang tidak bisa dengan mudah diintervensi perusahaan lain. Hal ini
menjadi semakin bermasalah jika perusahaan partner merupakan perusahaan
yang tidak tergantikan. Pada contoh di atas Nike misalnya bisa dengan
mudah mencari partner baru jika partner lama tidak berkinerja dengan baik
tetapi tidak demikian dengan perusahaan berbasis teknologi. Secara umum,
e EKMA41 58/MODUL B 8.31

bias dikatakan bahwa semakin kompleks relasi antar partner semakin sulit
untuk menerapkan network structure.

7. Struktur Organisasi Tanpa Batas (Boundaryless Organization)


Sejalan dengan perkembangan network structure, berkembang pula
bentuk struktur organisasi yang lebih virtual, yakni organisasi tanpa batas
(boundaryless organization). Seperti tersirat dari namanya, organisasi tanpa
batas melibatkan beberapa orang untuk bekerja sama, tetapi tidak pernah
bertemu muka secara langsung. Untuk melakukan koordinasi dan kerja sama,
mereka dihubungkan dengan perangkat teknologi informasi, seperti
komputer, telepon, faksimile, computer-aided design system, internet, video
teleconferencing, dan semua teknologi informasi lainnya. Itulah sebabnya
tidakjarang mereka bekerja dari rumah masing-masing karena sesungguhnya
mereka bukan anggota formal sebuah organisasi. Mereka hanya datang dan
pergi sesuai kebutuhan. Setelah satu pekerjaan selesai mereka boleh jadi
bekerja untuk perusahaan lain dengan cara yang sama. Perusahaan Film
animasi, misalnya banyak melakukan kegiatannya dengan cara seperti ini

-~ ~:
. _.·- :_.: ~
LATIHAN
------------------------------------------
1 •

.. : ·· ~

-- -- .....
~ ~

- '

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) J elaskan apa yang Anda ketahui tentang taksonomi struktur organisasi?
2) Kapan sebaiknya sebuah organisasi mengharapkan struktur organisasi
matriks? J elaskan!
3) Faktor apa raja yang perlu saudara pertimbangkan ketika hendak
membuat desain struktur organisasi?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Sederhananya, taksonomi dalam kaitannya dengan struktur organisasi


adalah mengelompokkan bagian-bagian organisasi yang memungkinkan
terjadinya pembagian kerja (division of work), koordinasi kerja dan
pembagian wewenang (power) dan tanggung jawab (responsibility).
Hasil dari pengelompokan tersebut adalah peta organisasi
menggambarkan 3 hal pokok, yaitu (a) tingkat spesialisasi atau
8.32 PERILAKU ORGANISASI e

kompleksitas organisasi; (b) tingkat formalisasi organisasi; dan


(c) tingkat sentralisasi/desentralisasi organisasi.
2) Struktur organisasi matriks adalah pengelompokan karyawan dan sumber
daya secara simultan. Dengan demikian, bentuk struktur organisasi
matriks merupakan gabungan struktur organisasi fungsional dengan
divisional. Penggabungan ini bertujuan untuk mendapatkan cara terbaik
dan tercepat untuk mengembangkan produk dan merespons kebutuhan
konsumen. Meski demikian, tidak setiap organisasi bisa mengadopsi
struktur organisasi matriks. Hanya organisasi yang memenuhi kondisi
tertentu yang sebaiknya mengadopsi struktur organisasi matriks. Kondisi
tersebut adalah tekanan yang sangat kuat untuk berbagi sumber daya
langka untuk dimanfaatkan pada lintas produk; tekanan dari lingkungan
yang menuntut diperhatikannya dua atau lebih output yang dihasilkan
organisasi; serta adanya tuntutan yang tinggi untuk melakukan
koordinasi dan pemrosesan informasi baik secara vertikal maupun
horizontal.
3) Mendesain struktur organisasi berarti mengoordinasikan elemen-elemen
struktur organisasi dalam rangka untuk mendapatkan struktur organisasi
yang paling tepat. Berdasarkan penjelasan ini maka faktor-faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam mendesain organisasi adalah tujuan dan
strategi organisasi; tata nilai dan budaya organisasi; serta gaya
kepemimpinan para top executive; lingkungan organisasi; teknologi yang
digunakan dan ukuranlbesaran organisasi.

RANGKUMAN
------------------------------------

Kegiatan Belajar 1 menguraikan komponen utama organisasi yang


bersifat formal, yaitu struktur organisasi. Uraian ini dimaksudkan agar
kita bisa mengetahui implikasi struktur terhadap perilaku manusia di
dalam organisasi. Oleh karena itu, topik-topik yang dibahas dalam
Kegiatan Belajar 1, meliputi filosofi struktur organisasi, taksonomi
struktur organisasi, departementalisasi dan bentuk-bentuk struktur
organisasi, desain struktur organisasi, sering terakhir dampak struktur
terhadap perilaku manusia di dalam organisasi. Semua pokok bahasan
tersebut kemudian disederhanakan dalam bentuk ringkasan sebagai
berikut:
e EKMA41 58/MODUL B 8.33

1. Secara filosofis struktur organisasi adalah 'cetak biru' atau


'rerangka bangunan' formal tentang pembagian kerja (division of
work) dan pembagian kekuasaan (division of authority), serta
koordinasi kerja yang memungkinkan terjadinya aliran informasi
dan komunikasi yang efisien dan proses pengambilan keputusan
yang cepat.
2. Struktur organisasi biasanya direfleksikan ke dalam peta organisasi
(organization chart) yang menggambarkan semua kegiatan
organisasi dan proses aktivitas yang terjadi di dalam sebuah
organisasi. Peta organisasi tersebut menggambarkan 3 hal pokok,
yaitu (a) tingkat spesialisasi atau kompleksitas organisasi;
(b) tingkat formalisasi organisasi; dan (c) tingkat sentralisasi/
desentralisasi organisasi.
3. Karyawan bisa dikelompokkan dengan berbagai cara, yaitu
berdasarkan aktivitas output, pengguna atau konsumen dan beberapa
kombinasi di antaranya. Berdasarkan pengelompokan ini. struktur
organisasi bisa dibedakan menj adi struktur organisasi fungsional,
divisional, hybrid, dan matriks.
4. Desain organisasi adalah proses mengoordinasi elemen-elemen
struktur organisasi dalam rangka untuk mendapatkan struktur
organisasi yang paling tepat.
5. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain struktur
organisasi adalah tujuan dan strategi organisasi, human process,
lingkungan organisasi, teknologi yang digunakan dan ukuran/
besaran organisasi.
6. Ada tiga pandangan dalam mendesain struktur organisasi yaitu
pandangan klasik, neoklasik, dan kontingensi. Pandangan klasik
menegaskan bahwa struktur harus yang paling ideal. Pandangan
neoklasik mengatakan bahwa struktur organisasi di samping harus
ideal juga harus mempertimbangkan faktor manusia. Pandangan
kontingensi mengatakan bahwa mendesain struktur harus
mempertimbangkan faktor internal sekaligus faktor eksternal.
7. Berdasarkan pertimbangan kontingensi. desain struktur dibedakan
menjadi dua, yaitu mekanik dan organik.
8. Menurut Minzberg, desain organisasi terdiri dari lima komponen
utama, yaitu strategic apex, operating core, middle line,
technostructure, dan support staff.
9. Network structure adalah sekelompok organisasi berbeda yang
tindakan-tindakannya dikoordinasikan melalui mekanisme kontrak
dan kesepakatan bukan melalui otoritas hierarkis yang bersifat
formal.
8.34 PERILAKU ORGANISASI e

10. Organisasi tanpa batas (boundaryless organization) adalah


organisasi yang melibatkan beberapa orang untuk bekerja sama
tetapi tidak pemah bertemu muka secara langsung.
11. Pandangan konvensional mengatakan bahwa struktur organisasi
memengaruhi perilaku manusia di dalam organisasi. Sementara itu,
pandangan kontemporer mengatakan bahwa hubungan antara
struktur organisasi dan perilaku manusia adalah hubungan
resiprokal.

TES FORMATIF 1- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Tingkap formalisasi sebuah organisasi dapat dilihat pada ....


A. kebutuhan profesi dan spesialisasi pekerj aan
B. di mana keputusan biasanya diambil
C. banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan berdasarkan regulasi,
aturan, dan prosedur kerj a
D. jumlah level organisasi

2) Berikut ini merupakan kelemahan struktur organisasi fungsional ....


A. memungkinkan terciptanya skala ekonomi di dalam departemen
fungsional
B. memungkinkan terciptanya keputusan konsumen sebab penanggung
jawab produk sangat jelas manajer lini produk
C. memungkinkan organisasi mencapai tujuan fungsional
D. memungkinkan pengembangan keterampilan secara mendalam

3) Menurut pandangan kontingensi, desain struktur organisasi organik


biasanya ditandai dengan ....
A. karyawan bisa mengerjakan tugas dengan tingkat spesialisasi yang
tinggi
B. lingkungan eksternal yang sangat bergejolak
C. manajemen bisa membuat aturan-aturan yang jelas
D. organisasi cenderung sentralistik

4) Struktur organisasi yang menerapkan konfigurasi birokrasi mesin


biasanya ditandai dengan ....
A. tingkat standarisasi berdasarkan skill (keterampilan karyawan)
B. tingkat standarisasi berdasarkan output (hasil keluaran)
e EKMA41 58/MODUL B 8.35

C. tingkat standarisasi berdasarkan supervisi langsung


D. tingkat standarisasi berdasarkan proses kegiatan

5) Membeberkan keburukan praktik organisasi kepada pihak luar sering


disebut sebagai ....
A. perilaku responsif yang menguntungkan
B. perilaku responsif yang merugikan
C. perilaku formatif yang menguntungkan
D. perilaku formatif yang merugikan

Cocokkanlahjawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
8.36 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Budaya Organisasi

udaya yang pada mulanya hanya menjadi kajian bidang studi


antropologi belakangan juga menjadi kajian bidang-bidang studi lain
seperti psikologi, sosiologi, komunikasi, organisasi, dan manajemen. Kajian
budaya dalam bidang studi organisasi bermula ketika terjadi perubahan
paradigma (sekitar tahun 1970-an) dalam cara memandang organisasi.
Organisasi tidak lagi dipandang semata-mata sebagai instrumen yang bersifat
formal dan rasional yang sengaja dibentuk sekadar untuk membantu manusia
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tetapi organisasi dipandang seolah-olah
sebagai makhluk hidup (living systems) dan sebagai sebuah masyarakat di
mana aspek kehidupan organisasi dan lingkungannya lebih mendapat
perhatian ketimbang menempatkan organisasi sekadar sebagai alat.
Memahami organisasi sebagai living systems dan sebagai masyarakat
membawa konsekuensi tersendiri, di antaranya organisasi mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; organisasi tidak bebas nilai
(value bouand); dan seperti halnya masyarakat organisasi memiliki budaya.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa sejak awal, organisasi tidak terhindarkan
untuk tidak melakukan interaksi dengan lingkungan eksternal. Akibat dari
interaksi tersebut kehidupan internal organisasi dalam batas-batas tertentu
juga dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Sebagai contoh, organisasi yang
notabene-nya adalah sebuah masyarakat dengan sendirinya memiliki budaya.
Namun, terbentuknya budaya di dalam organisasi tidak terjadi seketika
melainkan melalui proses panjang yang salah satu sumber pembentuknya
adalah budaya masyarakat (baik budaya etnik, budaya nasional, dan budaya-
budaya lainnya). Budaya-budaya ini secara gradual dibawa masuk baik oleh
para pendiri organisasi, para pengelola maupun anggota organisasi lainnya.
Selanjutnya, setelah terjadi proses kristalisasi dan internalisasi di dalam
organisasi, budaya masyarakat yang pada mulanya di luar jangkauan
organisasi (bersifat tidak terkendali) pada akhimya menjadi bagian formal
• •
organ1sas1.
Pemahaman tentang organisasi seperti penjelasan di atas mulai marak
sejak pertengahan tahun 1970-an. Sejak itulah, para teoretisi organisasi mulai
secara intensif mengkaji aspek kehidupan internal organisasi. Salah satu
aspek yang banyak didiskusikan adalah aspek "budaya di dalam organisasi"
e EKMA41 58/MODUL B 8.37

atau secara umum disebut "budaya organisasi" yang konsepnya akan menjadi
pokok bahasan pada Kegiatan Belajar 2 ini. Pembahasan tentang konsep
budaya organisasi akan diawali dengan penjelasan tentang pengertian budaya
organisasi, dilanjutkan dengan bahasan mengenai perdebatan antara
multikultur vs monokultur, perbedaan antara konsep budaya dan iklim
organisasi dan diakhiri dengan penjelasan tentang dimensi dan tipe budaya
• •
organ1sas1.

A. PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI

Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru, yakni baru
berkembang sekitar awal tahun 1980-an. Konsep ini, seperti diakui para
teoretisi organisasi, diadopsi dari konsep budaya yang terlebih dahulu
berkembang pada disiplin antropologi. Oleh karenanya, keragaman
pengertian budaya pada disiplin antropologi juga akan berpengaruh terhadap
keragaman pengertian budaya pada disiplin organisasi. Hal ini misalnya
ditegaskan oleh Linda Smircich yang mengingatkan agar kita tidak kaget jika
1
mendapatkan aneka pengertian budaya organisasi . Dari beragam pengertian
budaya, berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian budaya yang sering
menjadi rujukan utama dalam memahami konsep budaya organisasi.
Edgar Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut:

"culture is a pattern of shared basic assumptions that the group


learned as it solved its problems of external adaptation and internal
integration, that has work well enough to be considered valid and,
therefore, to be taught to new members as the correct way to
perceive, think and feel in relation to these problems"

"budaya adalah pola asumsi dasar yang di-shared oleh sekelompok


orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran
pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi
internal sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk bepersepsi,
berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan
persoalan-persoalan organisasi.

1
L. Smircich. (1983). Concept of Culture and Organizational Analysis.
Administrative Science Quarterly._28, hal. 339- 358.
8.38 PERILAKU ORGANISASI e

Harus diakui bahwa definisi di atas susah dipahami karena menggunakan


kalimat yang cukup panjang. Oleh karena itu, perlu dielaborasi lebih lanjut
agar pesan yang ingin disampaikan definisi tersebut bisa ditangkap dengan
jelas.

1. Asumsi Dasar
Schien menegaskan bahwa inti dari budaya tidak lain adalah asumsi
dasar yang di-shared oleh sekelompok orang. Asumsi dasar sering disebut
sebagai the core of culture atau the true culture - budaya yang sesungguhnya
yang menjadi sumber inspirasi, panutan dan alasan pembenar untuk
bepersepsi, serta mengemukakan pikiran dan melakukan tindakan. Asumsi
dasar cenderung tidak banyak diperdebatkan dan diterima apa adanya oleh
sekelompok orang.

2. Proses Pembelajaran
Sebagai sumber inspirasi dan alasan pembenar, asumsi dasar tidak
datang tiba-tiba melainkan terjadi melalui proses panjang yang memerlukan
waktu cukup lama bukan dalam ukuran hari atau bulan, tetapi bisa dalam
ukuran tahun dan bahkan bisa terjadi bertahun-tahun. Proses ini bermula
ketika sekelompok orang mencoba mengatasi persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. Ketika
cara, resep atau metode yang mereka gunakan berhasil mengatasi persoalan-
persoalan tersebut maka pola yang sama juga akan digunakan untuk
mengatasi persoalan-persoalan sejenis berikutnya. Lambat laun pola yang
sama menjadi pedoman untuk mengatasi setiap persoalan kelompok/
organisasi dan akhirnya tanpa disadari, pola tersebut menj adi postulat atau
asumsi dasar dan diajarkan kepada semua pendatang baru sebagai cara yang
benar.

3. Perilaku Sehari-hari
Ketika asumsi dasar telah menjadi bagian hidup para anggota kelompok/
organisasi sebagai landasan untuk berpikir, bertindak atau mengemukakan
pendapat, secara perlahan-lahan para anggota organisasi sesungguhnya mulai
membentuk nilai-nilai baru atau collective mental programming baru yang
pengejawantahannya tampak pada perilaku sehari-hari para anggota
kelompok. Jadi, perilaku sehari-hari anggota kelompok merupakan bagian
tidak terpisahkan dari budaya yang sesungguhnya telah mereka bangun
e EKMA41 58/MODUL B 8.39

sebelumnya. Demikian juga, nilai-nilai baru akan berpengaruh terhadap cara


mereka mendesain organisasi, mendesain tata ruang, cara berkomunikasi, dan
cara berpakaian yang semuanya itu merupakan ujud riil budaya yang bisa
dengan mudah diobservasi orang di luar kelompoklorganisasi.
Sementara itu, Ogbonna and Harris mendefinisikan budaya organisasi
sebagai "the collective sum of beliefs, values, meanings and assumptions that
are shared by a social group and that help to shape the ways in which they
respond to each other and to their external environment - budaya adalah
keyakinan, tata nilai, makna, dan asumsi -asumsi yang secara kolektif di
shared oleh sebuah kelompok sosial guna membantu mempertegas cara
mereka saling berinteraksi dan mempertegas mereka dalam merespons
lingkungan.''
Kedua definisi di atas menegaskan bahwa budaya organisasi dalam
pandangan Edgar Schein dan Ogbonna and Harris merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan antara elemen yang bersifat idealistik dan
behavioral, artinya budaya tidak bisa semata-mata dipahami dari aspek yang
paling dalam - asumsi dasar, demikian juga sangat keliru jika memahami
budaya hanya dari perilaku manusia. Secara bersama-sama kedua elemen
tersebut harus dipahami sebagai unsur pembentuk budaya.

B. ELEMEN BUDAYA ORGANISASI

Definisi budaya organisasi seperti telah dijelaskan di atas membawa kita


pada satu kesimpulan bahwa budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen
berbeda. Masing-masing elemen memerlukan pengetahuan tersendiri agar
kita bisa memahami budaya secara utuh. Secara sederhana ada yang
menyebut bahwa budaya organisasi terdiri dari dua elemen. Hal yang lain
menyebutkan bahwa budaya organisasi terdiri dari tiga elemen, bahkan ada
yang menyebut lima elemen. Terlepas dari adanya ketidaksepakatan terhadap
seberapa banyak elemen budaya organisasi, secara umum dapat disimpulkan
bahwa elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok, yaitu elemen
yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat behavioral. Masing-masing
elemen kemudian bisa diurai ke dalam elemen-elemen yang lebih spesifik
seperti tampak pada Tabel 8.3 sebagai berikut.
8.40 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 8.3.
Elemen Budaya Organisasi menurut Berbagai Sumber

Sumber Elemen Budaya Or anisasi


F. Landa ldealistik Behavioral
Jocano
1988, 1990
Stanley Guiding belief Daily belief
Davis 1984
Geert Nilai-nilai organisasi Praktik-praktik

Hofstede manaJemen
1980, 1997
Edgar Asumsi Nilai-nilai Artefak
Schein Dasar Organisasi
1985, 1997
Denise Asumsi Nilai-nilai Norma Perilaku Artefak
Rousseau Dasar Organisasi Perilaku Organisasi
1990
Bath Motivational Emotional Mindset Perilaku Artefak
Consulting roots ground Organisasi
Group
(1996)

1. Elemen yang ldealistik


2
F. Landa Jocano seperti tampak pada tabel di atas menyatakan bahwa
budaya organisasi terdiri dari dua elemen utama, yaitu elemen yang bersifat
idealistik dan elemen yang bersifat behavioral. Dikatakan idealistik karena
elemen ini menjadi ideologi organisasi yang tidak mudah berubah walaupun
di sisi lain organisasi secara natural harus selalu berubah dan beradaptasi
dengan lingkungannya. Elemen ini juga bersifat terselubung (elusive), tidak
tampak ke permukaan (hidden) dan hanya orang-orang tertentu saja (biasanya
elit organisasi) yang tabu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa
organisasi tersebut didirikan.
Disadari atau tidak sesungguhnya setiap organisasi pasti memiliki
ideologi. Hanya saja tidak setiap organisasi mau menyatakan ideologi
tersebut secara terbuka. B agi organisasi yang baru berdiri dan masih relatif
kecil di mana seorang pemilik biasanya menjadi penguasa tunggal dan

2
F. Landa Jocano. (1988). Toward Filipino Corporate Culture. Metro Manila:
Punlad Research House. Hal. 23. Lihat juga Jocano. (1990). Management by
Culture. Metro Manila: Pun lad research house. Hal. 22.
e EKMA41 58/MODUL B 8.41

sekaligus juga merangkap menjadi manajer dan pegawai, elemen yang


idealistik ini umumnya tidak tertulis. Sebaliknya, elemen tersebut melekat
pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup atau nilai-nilai
individual para pendiri atau pemilik organisasi. Bagi organisasi semacam ini,
doktrin, falsafah hidup atau nilai-nilai individual tersebut menjadi pedoman
untuk menentukan arab tujuan dan menjalankan kehidupan sehari-hari
organisasi. Itulah sebabnya, bagi organisasi yang masih kecil, figur seorang
pendiri atau pemilik organisasi sangat sentral dan menentukan. Hidup
matinya organisasi dan keberhasilan organisasi di masa datang bergantung
pada karakter, inisiatif, dan semangat para pemiliknya. Para karyawan
sepertinya hanya sekadar menjadi pengikut yang menjalankan aktivitas sesuai
dengan j alan pikiran pemilik organisasi.
Berbeda dengan organisasi yang relatif masih kecil, bagi organisasi yang
sudah cukup lama berdiri dan sudah cukup besar, para pendiri organisasi
biasanya tidak lagi terlibat secara langsung dalam kegiatan sehari -hari
organisasi. N amun, bukan berarti ketidakterlibatan para pendiri bisa secara
otomatis menyebabkan organisasi kehilangan ideologinya. ldeologi
organisasi berupa doktrin, falsafah, dan nilai -nilai organisasi yang dibangun
jauh sebelumnya oleh para pendiri, dalam batas-batas tertentu akan tetap
dipertahankan generasi penerus, baik generasi penerus tersebut adalah
keturunan langsung para pendiri/pemilik atau manajer profesional yang diberi
kepercayaan untuk mengelola organisasi. Bahkan karena organisasi yang
telah lama berdiri umumnya telah memiliki perangkat-perangkat formal
organisasi maka elemen yang idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal
dalam bentuk pernyataan visi atau misi organisasi. Tujuannya tidak lain agar
ideologi organisasi tetap lestari. Memang tidak ada jaminan kalau generasi
penerus akan sepenuhnya mempertahankan ideologi lama. Tidak jarang
generasi penerus memodifikasi atau paling tidak menginterpretasi ulang
ideologi lama dengan bahasa yang lebih cocok dengan situasi lingkungan
berjalan. Meski demikian "ruh" ideologi lama biasanya masih tetap
3
dipertahankan. Collins and Porras , misalnya menggambarkan pernyataan
formal ideologi organisasi/perusahaan - yang tidak lain adalah elemen
idealistik budaya organisasi, menggunakan filosofi Cina "Yin Yang" seperti
tampak pada Gambar 8.13 berikut ini.

3
Collins and Porras. (1994). Built to Last: Successful Habits of Visionary
Companies. Random House UK: Century Business. Hal. 73.
8.42 PERILAKU ORGANISASI e

Core ideology:
- Core value
- Core purpose
Envision future

Sumber: Collins and Porras, ( 1994: 73).

Gambar 8.13.
ldeologi Organisasi Dianalogikan dalam Falsafah Yin Yang

Dalam terminologi masyarakat Cina, Yin menggambarkan karakter


seorang wanita yang memiliki sifat-sifat, seperti lembut, mengayomi, pasif,
tenang, lemah, dan lebih berorientasi ke dalam. Sebaliknya, menggambarkan
karakter seorang laki-laki yang memiliki sifat-sifat, seperti keras, kompetitif,
4
aktif, agresif, kuat dan lebih berorientasi ke luar • Dalam kaitannya dengan
budaya organisasi, Yin menggambarkan elemen organisasi yang bersifat
idealistik yang tidak mudah berubah. Collins and Porras menyebutnya
sebagai ideologi inti organisasi yang terdiri dari dua komponen yaitu nilai-
nilai inti (core values) dan tujuan inti (core purpose) organisasi. Dalam
bahasa Collins and Porras, nilai-nilai inti (core values) adalah company's
essential tenets - keyakinan dasar atau doktrin perusahaan yang menjadi
pedoman bagi seluruh orang yang terlibat dalam kehidupan perusahaan.
Bahkan orang luar sekalipun diharapkan menghormati doktrin tersebut. Hal
ini misalnya ditegaskan oleh Robert Hass yang menyatakan bahwa Levi
Strauss & Co., melalui visinya "aspirations statement", tidak akan
5
bertransaksi dengan mitra usaha yang tidak menjunjung etika bisnis . Tujuan
inti (core purpose) organisasi adalah company's reason for being - alas an
mengapa perusahaan tersebut didirikan. Setiap organisasi atau perusahaan
pasti mempunyai alasan mengapa organisasi atau perusahaan tersebut

4
Tony Fang. (2003). A Critique of Hofstede's Fifth National Culture Dimension.
Cross Cultural Management. Hal. 347-368.
5
Robert Howard. (1990). Values Make The Company: An Interview with Robert
Hass. Hervard Business Review. September-October. hal. 133-144
e EKMA41 58/MODUL B 8.43

didirikan. Sebagai contoh, 3M menyatakan alasan mengapa didirikan 3M


adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan
perusahaan lain dengan cara penyelesaian yang inovati:f.
7
Stanley Davis dalam bahasa yang agak berbeda menyebut elemen yang
idealistik ini sebagai "guiding belief" - keyakinan yang menjadi penuntun
kehidupan sehari-hari sebuah organisasi dan Hofstede menyebutnya sebagai
nilai-nilai organisasi (organizational values). Sementara itu, Schein dan
Rousseau mengatakan bahwa elemen yang idealistik tidak hanya terdiri dari
nilai-nilai organisasi, tetapi masih ada komponen yang lebih esensial, yakni
asumsi dasar (basic assumption) yang bersifat taken for granted (diterima apa
adanya) dan unconscious (dilakukan di luar kesadaran). Oleh karenanya
asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahannya.
Bisa dikatakan bahwa asumsi dasar ini merupakan "postulate" bagi sebuah
organisasi sehingga ketika seorang atau beberapa orang anggota organisasi
melakukan suatu aktivitas dan kemudian ditanya mengapa cara
melakukannya demikian belum tentu mereka bisa memberikan jawaban
secara pasti karena apa yang mereka lakukan seakan-akan sudah di luar
kesadarannya. Itulah sebabnya Schein dan Rousseau menganggap bahwa
akar dari budaya organisasi bukan terletak pada nilai-nilai organisasi tetapi
pada asumsi dasarnya.
Hal senada namun dengan bahasa berbeda diungkapkan oleh Bath
Consulting Group. Diwakili oleh salah seorang konsultannya - Peter
Hawkins, Bath Consulting Group, dengan merujuk dan mengembangkan
konsep budaya organisasi yang dibangun oleh Edgar Schein, mengatakan
bahwa komponen budaya organisasi yang ideal terdiri dari tiga unsur, yakni
8
mindset, emotional ground, dan motivational roots • Mindset yang identik
dengan nilai-nilai organisasi adalah organizational "world view", yakni cara
pandang organisasi terhadap lingkungan yang menentukan apa yang
dianggap benar dan apa yang dianggap keliru. Cara pandang ini pada
akhirnya memengaruhi "ways of thinking" orang-orang yang bekerja pada
organisasi tersebut dan sekaligus membatasi perilaku mereka. Menurut Bath
Consulting Group, organizational world view berakar pada dua landasan

6
Collins and Porras. (1994). Op Cit. Hal. 73.
7
Stanley Davis. (1984). Managing corporate culture. Cambridge MA: Ballinger
Publishing Company. Hal. 3.
8
Hawkins. (1997). Organizational Culture: Sailing Between Evangelism and
Complexity. Human Relations. Hal. 417-440.
8.44 PERILAKU ORGANISASI e

yaitu emotional ground dan motivational roots. Emotional ground diartikan,


sebagai alam bawah sadar yang berkaitan dengan emosi dan kebutuhan
organisasi (unconscious emotional states and needs). Alam bawah sadar ini
menjadi landasan bagi organisasi dalam mempersepsi setiap kejadian.
Motivational roots adalah akar yang menghubungkan tujuan dan motivasi
masing-masing individu di dalam organisasi dengan organisasi secara
keseluruhan.
Meski masing-masing teoretisi organisasi mempunyai pendapat yang
berbeda tentang komponen idealistik budaya organisasi, mereka pada
dasarnya sepakat bahwa elemen yang bersifat idealistik ini merupakan
ruhnya organisasi (the soul of the organization) karena karakteristik sebuah
organisasi sangat bergantung pada elemen ini. Itulah sebabnya elemen ini
sering disebut pula sebagai inti dari budaya organisasi (core of culture) dan
karena ini pulalah budaya organisasi sering juga disebut sebagai ruhnya
• •
organ1sas1.

2. Elemen Behavioral
Elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan
bentuk-bentuk lain, seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang luar
organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya
sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami, dan
diinterpretasikan meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan
interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam organisasi. Itu
sebabnya ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasi dan
memahami budaya sebuah organisasi, cara yang paling mudah yang bisa
mereka lakukan adalah dengan mengamati bagaimana para anggota
organisasi berperilaku dan kebiasaan-kebiasaan lain yang mereka lakukan.
Davis menyebutnya sebagai daily belief - praktik sehari-hari sebuah
9
organisasi. Dalam bahasa Hofstede , kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk
praktik-praktik manajemen - apakah sebuah organisasi lebih berorientasi
pada proses atau basil; lebih peduli pada kepentingan karyawan atau
pekerjaan; lebih parochial atau profesional; lebih terbuka atau tertutup dan
lebih pragmatis atau normatif. Collins and Porras, seperti tampak pada

9
Hofstede. (1997). Cultures and Organizations: Sofware of the Mind. New York:
McGraw Hill. Hal. 188-192.
e EKMA41 58/MODUL B 8.45

Gambar 8.12 menyebutnya sebagai orientasi organisasi ke depan (envision


future) atau yang dalam terminologi masyarakat Cina. Sementara itu, dua
sumber terakhir (Schein dan Rousseau) mengatakan bahwa kebiasaan sehari-
hari muncul dalam bentuk artefak termasuk di dalamnya adalah perilaku para
anggota organisasi. Artefak bisa berupa bentuk/arsitektur bangunan, logo
atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang
bisa dipahami oleh orang luar organisasi.

3. Keterkaitan antara Elemen Idealistik dan Behavioral


Secara umum, bisa dikatakan bahwa kedua elemen budaya organisasi
tersebut (elemen yang idealistik dan behavioral) bukan elemen yang terpisah
satu sama lain, sama seperti halnya Yin dan Yang. Seperti dikatakan oleh
Jocano keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebab
keterkaitan kedua elemen itulah yang membentuk budaya. Hanya saja elemen
kedua (yang bersifat behavioral), lebih rentan terhadap perubahan dibanding
elemen pertama. Penyebabnya tidak lain karena elemen kedua bersinggungan
langsung dengan lingkungan eksternal organisasi sehingga ketika budaya
sebuah organisasi terpaksa harus berubah, misalnya karena desakan
lingkungan maka biasanya yang pertama kali berubah adalah elemen kedua,
sedangkan elemen pertama jarang mengalami perubahan di samping karena
menjadi falsafah hidup organisasi juga karena letaknya yang terselubung.
Gambaran tentang tingkat sensitivitas masing-masing elemen budaya
organisasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan diberikan oleh
Rousseau seperti tampak pada Gambar 8.14 sebagai berikut.

Sumber: Rousseau.

Gambar 8.14.
Lapisan Budaya Organisasi
8.46 PERILAKU ORGANISASI e

Rousseau menggambarkan elemen budaya organisasi layaknya sebuah


bawang. Sebagaimana kita ketahui bawang mempunyai kulit yang berlapis-
lapis. Kulit paling luar sangat mudah mengelupas, semakin ke dalam semakin
tidak mudah mengelupas, dan isinya hampir tidak pernah mengelupas. Pada
gambar di atas, lingkaran paling luar - tidak diarsir menggambarkan kulit
luar sebuah bawang yang mudah mengelupas. Dalam hal budaya organisasi,
kulit luar sebuah bawang menggambarkan elemen budaya yang bersifat
behavioral yang mudah berubah. Semakin ke dalam dengan arsiran semakin
menebal (semakin hitam) seperti tampak pada gambar di atas meng-
gambarkan kulit bawang yang tidak mudah mengelupas, sedangkan lingkaran
di tengah dengan warna hitam menggambarkan inti budaya (core of culture)
yang hampir tidak mengalami perubahan. Hal ini bisa diartikan bahwa
artefak sebagai komponen budaya paling luar merupakan komponen yang
paling mudah berubah sedangkan asumsi dasar merupakan komponen yang
paling tidak mudah berubah.
Meski kulit luarnya mudah mengelupas sedangkan isinya tidak mudah
berubah, keduanya merupakan komponen yang saling terkait. Keterkaitan
antara elemen yang idealistik dan elemen yang behavioral ini digambarkan
oleh Schein seperti tampak pada Gambar 8.15. Schein menegaskan bahwa
asumsi dasar merupakan elemen budaya organisasi yang diterima apa adanya
oleh para anggota organisasi, tidak kasat mata dan bersifat preconscious.
Keberadaan elemen ini, seperti dilukiskan pada garis vertikal dua arah pada
gambar sebelah kiri (lihat Gambar 8.15) secara berturut-turut akan
memengaruhi nilai -nilai organisasi yang lebih bisa diterima baik oleh
lingkungan internal maupun lingkungan ekstemal organisasi. Selanjutnya,
nilai-nilai organisasi akan memengaruhi artefak dan kreasi manusia dalam
lingkungan internal organisasi. Sebaliknya, artefak dan kreasi manusia juga
akan memengaruhi nilai-nilai organisasi yang secara tidak langsung akan
memengaruhi asumsi dasarnya.
e EKMA41 58/MODUL B 8.47

Artefak dan Kreasi Manusia


Kasat mata tetapi sering kali
Teknologi orang luar tidak bisa memahami
Seni arti yang sesungguhnya
Pola Perilaku Manusia

Memperoleh Perhatian
Values (Nilai-nilai) yang lebih besar

Asumsi Dasar
- Hubungan Manusia dengan
alam
- Hubungan Manusia dengan Diterima apa adanya, Tidak kasat mata
Realitas, Waktu dan Ruang dan Preconscious
- Hubungan Manusia dengan
Sifat Dasamya
- Hubungan Manusia dengan
Aktivitasnya
- Hubungan antar Manusia

Sumber: Schein.

Gambar 8.15.
Keterkaitan Antarelemen Budaya

Keterkaitan antar elemen budaya organisasi, seperti digambarkan oleh


10
Schein, oleh penulis lain - Mary J o Hatch dianggap sebagai keterkaitan
antar elemen budaya yang bersifat statis. Mary J o Hatch, selanjutnya
mengembangkan konsep keterkaitan elemen budaya yang lebih dinamis
seperti tampak pada Gambar 8.16 sebagai berikut.

10
Mary Jo Hatch. (1993). The Dynamics of Organizational Culture. Academy of
Management Review. halaman 657-693.
8.48 PERILAKU ORGANISASI e

values

1 2

Asumsi Artefak

3 4

symbols

Sumber: Mary Jo Hatch, (1993: 660).


Keterangan:
Legend: 1 = manifestasi 2 = realisasi 3 = simbolisasi 4 = interpretasi

Gambar 8.16.
Hubungan Dinamis Antarelemen Budaya

Mary Jo Hatch menegaskan bahwa hubungan antarelemen budaya


organisasi bersifat dinamis melalui sebuah proses yang bersifat timbal balik
mulai dari proses manifestasi, realisasi, simbolisasi, dan interpretasi.
Berdasarkan Gambar 8.16 bisa dijelaskan bahwa nilai-nilai organisasi
merupakan manifestasi dari asumsi dasar, sebaliknya bisa dikatakan pula
bahwa asumsi dasar merupakan manifestasi dari nilai-nilai organisasi.
Demikian seterusnya proses ini terus berjalan menuju ke titik keseimbangan
antara stabilitas dan perubahan elemen budaya organisasi. Mary Jo Hatch
mengakui bahwa konsep yang dinamis ini tidak mengecilkan arti konsepnya
Schein. Hanya saja Hatch menegaskan bahwa konsepnya ini lebih didasarkan
pada pemahaman bahwa konsep budaya organisasi semakin kompleks
sehingga harus dipahami secara berbeda, yakni budaya organisasi terdiri dari
empat komponen yang saling terkait dan keterkaitan tersebut merupakan
sebuah proses yang terus berj alan.

C. TIPOLOGI BUDAYA ORGANISASI

Dalam konteks kehidupan organisasi atau perusahaan, para manajer, dan


orang-orang yang bekerja di dalamnya biasanya ingin mengetahui tipologi
budaya pada organisasi atau perusahaan tempat mereka berkiprah di
e EKMA41 58/MODUL B 8.49

dalamnya. Pertanyaan kecil berikut ini biasanya muncul: "sesungguhnya


budaya organisasi kita itu seperti apa toh"? atau pertanyaan lain: "perusahaan
kita itu punya budaya atau tidak?" Pertanyaan kedua sebetulnya tidak begitu
relevan karena setiap organisasi atau perusahaan pasti memiliki budaya.
Terlepas apakah budaya sebuah organisasi sangat lemah sehingga tidak
menjadikan karyawan memiliki semangat kerja dan berkinerja tetap saja
itulah budayanya. Nah sekarang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, berikut ini akan dipaparkan pendekatan pragmatis dalam
memetakan budaya sebuah organisasi. Berdasarkan pendekatan ini maka
11
budaya sebuah organisasi dapat dipahami berdasarkan tipologi budaya •
Perlu diketahui bahwa penentuan tipologi budaya pada umumnya tidak
didasarkan pada studi empiris tetapi lebih didasarkan pada kehendak
12
subjektif para penentunya yang bersifat arbriter. Hawkins , misalnya
merangkum berbagai tipe budaya organisasi yang dikemukakan oleh berbagai
sumber seperti tampak pada Tabel 8.4 berikut ini.

Tabel 8.4.
Berbagai Macam Tipe Budaya Organisasi

O'Toole Quinn & Hirsh Schneider Deal& Harrison Bennis &


1985 McGrath 1985 1994 Kennedy 1972 Nan us
1985 1982 (Handy 1985
1976)
Meritocracy Rational Intuition Competence Tough-Guy Task Collegial
Thinking {NT) Macho
Egalitarian Nonsensual Sensation Collaboration York Hard Collegial
Feeling (SF) Plat Hard
Humanism Ideological lntution Cultivation Person Personalistic
Feeling NF) diocysus)
Behaviourism Hierarchical Sensation Control Bet your Role
Thinking (ST) company (apollo)
Formalistic
Process Power
Zeus
Sumber: Hawkins, (1997: 423).

Seperti tampak pada Tabel 8.4, para peneliti sesuai dengan latar
belakang dan preferensi masing-masing menentukan tipe budaya organisasi

11
Untuk memperoleh gambaran tentang Tipologi Budaya, baca buku Budaya
Organisasi. (1997). yang ditulis oleh Achmad Sobirin. Bah 8.
12
Peter Hawkins. (1997). Organizational Culture: Sailing between Evangelism and
Complexity. Human Relations. 30: 4. hal. 417--440.
8.50 PERILAKU ORGANISASI e

13
yang berbeda-beda. Hirsh , misalnya dengan menggunakan konsepnya
Meyer and Biggs tentang tipologi kepribadian, membedakan tipe budaya
menjadi Intituition Thinking (NT), Sensation Feeling (SF), Intituition Feeling
(IF), dan Sensation Thinking (ST). Berikut secara selektif akan diuraikan
masing-masing tipe budaya organisasi dengan kemungkinan implikasinya
terhadap kehidupan organisasi.

1. Tipologi Budaya menurut Roger Harrison


14
Bisa dikatakan bahwa Harrison adalah orang pertama yang
mempromosikan penggunaan tipe budaya meski pada waktu itu istilah tipe
budaya belum banyak dikenal. Tipologi budaya organisasi seperti
dikemukakan oleh Harrison pada awalnya digunakan untuk menjelaskan
karakter dan ideologi sebuah organisasi. Harrison baru menggunakan istilah
tipe budaya setelah popularitas budaya organisasi mencuat ke permukaan. Ia
15
kemudian bersama Herb Stokes menyusun instrumen untuk mendiagnosis
budaya organisasi. Menurut Harrison karakter dan ideologi sebuah organisasi
dapat dilihat dari orientasi organisasi tersebut yang dibedakan menjadi 4
macam orientasi, yaitu orientasi kepada kekuasaan (power orientation),
orientasi kepada peran masing-masing pejabat (role orientation), orientasi
kepada tugas (task orientation), dan orientasi kepada orang (people
orientation). Keempat orientasi ini ditentukan dengan terlebih dahulu
memperhatikan perbedaan kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan
organisasi, khususnya antara kepentingan individu (anggota organisasi) dan
kepentingan organisasi itu sendiri. Cara membedakan kepentingan seperti ini
sebelumnya pernah dilakukan oleh Blake and Mouton yang menghasilkan
konsep yang sangat terkenal dalam literatur manajemen, yaitu "managerial
16
grid" .
Harrison membedakan kepentingan individu menjadi 3, yaitu
(a) memperoleh keamanan terhadap aspek ekonomi, politik, dan psikologis;
(b) memperoleh kesempatan untuk secara sukarela berkomitmen terhadap

13
Hirsh, S. (1985). Using the Meyer-Biggs Type Indicator in Organizations. Palo
Alto, CA: Consulting Psychologist Press.
14
Roger Harrison. (1972). Understanding your Organization's Character. Harvard
Business Review. 50, hal. 119- 128.
15
R. Horrison and H. Stokes. (1992). Diagnosing Organizational Culture. San
Francisco: Jossey bass- Pfeiffer.
16
Robert Blake and Jane Mouton. (1985). The Managerial Grid III. Houston: Gulf
Publishing Company.
e EKMA41 58/MODUL B 8.51

pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan; dan (c) memperoleh


kesempatan agar dirinya bisa tumbuh dan berkembang. Kepentingan
organisasi dibedakan juga menjadi tiga, yaitu (a) efektivitas respons terhadap
ancaman dan bahaya yang datang dari lingkungan organisasi; (b) mengatasi
secara cepat dan efektif terhadap kompleksitas dan perubahan lingkungan;
dan (c) mengintegrasikan dan mengoordinasikan upaya-upaya internal
organisasi yang, jika dianggap perlu, dengan mengorbankan kepentingan
individu. Pengaruh keempat tipologi budaya di atas terhadap kepentingan
masing-masing - kepentingan individu dan organisasi, digambarkan oleh
Harrison pada Tabel 8.5 sebagai berikut.

Tabel 8.5.
Pengaruh Tipe Budaya terhadap lndividu dan Organisasi

a. Kepentingan individu
Keamanan Kesempatan untuk Kesempatan agar
terhadap Aspek Berkomitmen Dirinya bisa Tumbuh
ekonomi, Politik, terhadap dan Berkembang
dan Psikologis Pencapaian Tujuan
Or anisasi
Power Rendah: Rendah: Rendah:
Orientation Karena kuatnya Kecuali seseorang Kecuali seseorang
peran autokrasi memiliki jabatan memiliki jabatan tinggi
tinggi sehingga bisa sehingga bisa
menentukan tujuan menentukan tujuan
or~ anisasi or~ anisasi
Role Tinggi: Rendah: Rendah:
Orientation Karena diamankan Meski seseorang Karena tujuan organisasi
oleh berlakunya memiliki jabatan cenderung kaku dan
ketentuan hukum, tinggi setiap kegiatan sudah
aturan dan prosedur ditetapkan ketentuannya
ber'alan
Task Moderat: Tinggi: Rendah:
Orientation Persoalan psikologis Karena menjadi Seseorang tidak layak
bisa jika kontribusi dasarbagiseseorang berada di dalam
individual redanden untuk berinteraksi organisasi jika ia tidak
dengan organisasi menyesuaikan tujuannya
den an or~ anisasi
Person Tinggi: Tinggi: Tinggi:
Orientation Karena perhatian Khususnya jika Karena tujuan organisasi
utamanya adalah seseorang mampu disesuaikan dengan
kesejahteraan menciptakan tujuan individu
individual tujuannya
8.52 PERILAKU ORGANISASI e

B. Kepentingan organisasi
Efektivitas Respons Mengatasi secara Mengintegrasikan dan
terhadap Ancaman Cepat dan Efektif Mengoordinasikan
dan Bahaya dari terhadap Upaya-upaya Internal
Lingkungan Kompleksitas dan Organisasi
Organisasi Perubahan
Lin kun an
Power Tinggi: Moderat ke rendah: Tinggi:
Orientation Organisasi Bergantung pada Kontrol cukup efektif
cenderung siap untuk ukuran organisasi, karena dukungan dari
bersaing namun model atas
komunikasi yang
piramidal sangat
mudah overload
Role Moderat ke rendah: Rendah: Tinggi:
Orientation Organisasi Lam bat dalam Menggambarkan sistem
cenderung lambat merubah prosedur kerja yang rasional yang
dalam merespons yang ada; dan model dirancang dengan sangat
ancaman yang terus komunikasi yang hati-hati
meningkat piramidal sangat
mudah overload
Task Moderat ke tinggi: Tinggi: Moderat:
Orientation Boleh jadi organisasi Fleksibilitas dalam Terintegrasi melalui
lam bat dalam penugasan dan tujuan bersama, namun
mengambil komunikasi yang adanya fleksibilitas, dan
keputusan, tetapi pendek sangat pergeseran struktur
menghasilkan memudahkan untuk memungkinkan sulitnya
respons yang beradaptasi untuk koordinasi
komJeten
Person Rendah: Tinggi: Rendah:
Orientation Organisasi lambat Res pons sangat tidak Tujuan bersama sui it
menyadari adanya menentu; penempatan dicapai dan berbagai
ancaman dan lambat sumber daya untuk aktivitas bisa saja
pula dalam mengatasi masalah bergeser bergantung
mengatasinya sangat bergantung interes masing-masing
pada kebutuhan dan individu
ketertarikan masing-
masing individu

2. Tipologi Budaya menurut Para Pengikut Harrison


Model tipologi budaya yang dikemukakan oleh Harrison seperti tersebut
diatas menjadi dasar bagi penulis lain, seperti Diana Pheysey, Charles Handy,
dan Kim Cameron & Robert Quinn untuk mengklasifikasikan tipologi
budaya sebuah organisasi yang sejenis dengan tipologinya Harrison, namun
e EKMA41 58/MODUL B 8.53

dengan bahasa berbeda. Seperti tampak pada Tabel 8.6, misalnya power
culture identik dengan Zeus dan adhocracy; task culture identik dengan
achievement culture, Athena dan market culture. Apollo dan Hierarchy
identik dengan role culture. Demikian juga person culture dengan support
culture, Dionysus dan clan culture.

Tabel 8.6.
Perbandingan Tipe Budaya:
Harrison, Pheysey, Handy dan Cameron & Quinn

Tipe Buda ta
Ro er Harrison Power culture Role culture Task culture Person culture
Diana Pheysey Power culture Role culture Achievement Support culture
culture
Charles Hand'' Zeus A:>ollo Athena Dionvsus
Kim Cameron & Adhocracy Hierarchy Market Clan
Robert Quinn

17
Diana Pheysey dengan menggunakan 4-dimensional modelnya
Hofstede menyebutkan adanya empat tipe budaya organisasi, yaitu power
culture, role culture, achievement culture, dan support culture. Power culture
adalah budaya organisasi di mana kekuasan mempunyai peranan penting
dalam mewarnai kehidupan organisasi. Organisasi mafia adalah salah satu
contoh klasik dari power culture. Role culture adalah tipikal organisasi yang
menuntut individu-individu yang ada di dalam organisasi, sesuai dengan
posisi masing-masing, berperan dalam pencapaian tujuan organisasi. Di sini
organisasi dipandang sebagai "bounded rational instrument for the
achievement of specified goals - instrumen yang rasional untuk mencapai
tujuan organisasi". Perusahaan besar atau lembaga-lembaga pemerintah
umumnya masuk dalam kategori ini. Achievement culture digunakan untuk
mengelompokkan organisasi yang lebih menekankan atau berorientasi pada
basil yang harus dicapai. Perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam
kelompok budaya ini menuntut karyawannya memiliki energi dan waktu
yang cukup yang didedikasikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
perusahaan. Contoh perusahaan yang masuk dalam kelompok ini adalah
perusahaan R & D dan perusahaan yang tingkat persaingannya sangat tajam.

17
Diana Pheysey. (1993). Organizational Culture: Types and Transformation.
London: Routledge. hal. 15- 7.
8.54 PERILAKU ORGANISASI e

Terakhir support culture adalah budaya organisasi di mana hubungan antar


individu di dalam organisasi dan partisipasi mereka dalam pengambilan
keputusan dianggap penting. Asumsi yang melatarbelakangi tipe budaya ini
adalah setiap orang mau terlibat di dalam organisasi jika mereka benar-benar
merasa menj adi anggota organisasi, dan mendapat perhatian dari organisasi.
Organisasi Kibbutz di Israel atau koperasi bisa dijadikan contoh sebagai
organisasi yang mempunyai support culture.

D. PROSES PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI

Bisa dikatakan bahwa budaya sebuah organisasi akan segera terbentuk


segera setelah organisasi tersebut didirikan. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
Schein yang mengatakan bahwa pembentukan budaya organisasi tidak bisa
dipisahkan dari peran para pendiri organisasi. Prosesnya mengikuti alur
sebagai berikut.
1. Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar,
nilai-nilai, perspektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya
kepada para karyawan.
2. Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama
lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni
masalah inte grasi internal dan adaptasi eksternal.
3. Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi
menjadi seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan
mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan individual, seperti persoalan identitas diri, control, dan
pemenuhan kebutuhan, serta bagaimana agar bisa diterima oleh
lingkungan organisasi yang diajarkan kepada generasi penerus.

Alur di atas menegaskan bahwa para pendiri di samping menuangkan ide


untuk membentuk organisasi, menyediakan dana, serta semua sarana dan
prasarana yang dibutuhkan, juga bertindak sebagai peletak dasar ideologi
organisasi. Para pendiri, ketika mendirikan organisasi, tidak sekadar
menginginkan agar organisasi tersebut berdiri kokoh melainkan agar cita-
citanya bisa dicapai melalui organisasi tersebut. ltulah yang disebut alasan
mengapa organisasi didirikan (biasa disebut core purpose). Di samping
memiliki cita-cita, pada saat yang sama para pendiri juga meletakkan
landasan filosofi sebagai pedoman moral dan pedoman bertindak dalam
e EKMA41 58/MODUL B 8.55

menjalankan semua aktivitas dalam rangka meraih cita-cita. Pedoman inilah


yang biasa disebut core values.
Pada awalnya, dalam banyak kasus, ideologi organisasi seperti
disebutkan di atas tidak dinyatakan secara eksplisit dalam bentuk pernyataan
tertulis, bahkan hanya orang-orang tertentu khususnya para pendiri itu sendiri
yang memahami ideologi tersebut. Di luar mereka meski masih berada di
dalam lingkungan internal organisasi, tidak banyak yang mengetahuinya.
Ketidaktahuan mereka bolehjadi karena para pendiri yang biasanya sekaligus
bertindak sebagai manajer dan pekerja tidak secara eksplisit
mengomunikasikan ideologi tersebut kepada anggota-anggota baru
organisasi. Bentuk komunikasi yang digunakan para pendiri, di antaranya
dengan memberi contoh dalam bentuk perilaku sehari-hari bagaimana
seharusnya melakukan segala aktivitas organisasi. Kalaulah para pendiri
menyampaikannya secara verbal, yang mereka sampaikan paling-paling
norma perilaku sebagai dasar untuk bertindak, untuk mengemukakan
pendapat, untuk berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya. ltu pun
biasanya disampaikan secara samar-samar, misalnya saya paling tidak suka
jika ada orang yang tidak jujur ..... , di sini karyawan tidak boleh malu
bertanya bahkan kepada saya sekalipun .... , karyawan harus bisa ini itu .... ,
tidak boleh ini itu ..... , tabu untuk melakukan itu ..... , seharusnya begini
begitu ....... dan seterusnya.
Ungkapan yang samar-samar tersebut oleh para karyawan ditangkap dan
diinterpretasikan sebagai pesan moral yang harus diikuti tanpa harus
mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi pesan moral tersebut.
Pesan-pesan moral inilah disebut sebagai nilai -nilai organisasi (organization
values). ltulah sebabnya para karyawan jauh lebih memahami dan menyadari
arti penting nilai -nilai organisasi ketimbang asumsi dasar atau ideologi
organisasi karena sekali lagi nilai-nilai organisasi inilah yang hampir setiap
hari, setiap minggu, setiap bulan, dan sepanjang tahun ditunjukkan oleh para
pendiri sebagai pedoman untuk menyelesaikan berbagai masalah organisasi
baik masalah adaptasi eksternal maupun integrasi internal. Meski pada
awalnya tidak tertulis, sekadar sebagai konvensi, pada akhirnya pesan moral
ini menj adi tuntunan bagi para anggota organisasi sebagai cara untuk
menyikapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi organisasi, cara
berperilaku, dan cara bertindak. W alhasil, pesan moral tersebut secara
gradual akhirnya menjadi tuntunan mereka dalam perilaku sehari-hari.
8.56 PERILAKU ORGANISASI e

Setelah tuntunan tersebut terinternalisasi dan terkristalisasi ke dalam diri


masing-masing anggota organisasi dan secara keseluruhan tersistem ke dalam
organisasi, dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan bersama oleh sebagian besar
anggota organisasi maka akhimya terbentuklah budaya organisasi. J adi,
18
seperti dikatakan oleh Schein , peran para pendiri dalam proses
pembentukan budaya, khususnya bagi organisasi yang baru pertama kali
berdiri, sangat besar. Bisa dikatakan bahwa para pendiri menjadi satu-satunya
sumber pembentukan budaya dalam sebuah organisasi, sementara para
anggota organisasi hanya menerima apa adanya yang disampaikan para
pendiri. Oleh karena pembentukan budaya berasal dari satu sumber - para
pendiri maka tidak terhindarkan jika budaya yang terbentuk lebih bersifat
monolitik. Untuk memberikan ilustrasi bagaimana proses terbentuknya
19
budaya, digambarkan oleh Sathe sebagai berikut.

Content of Manifestation of culture Inferring the


culture (cultural communications, culture
justification and behavior)

CULTURE
INTERPRET
important
Infer meanings
shared
assumption objects

talk

Sh~reo ~~v1n ~~ RECEIVE

Generate behavior Ask


observe
read
feel
emotion

Sumber: Sathe, (p.17).

Gambar 8.17.
Proses Terbentuknya Budaya

18
Edgar Schein. (1983). The Role of the Founder in Creating Crganizational
Culture. Organizational Dynamics.:. 12 (1), pp13-28.
19
Sathe. (1985). Culture and Related Corporate Ceality. Homewood, Ill: Richard D.
Irwin.
e EKMA41 58/MODUL B 8.57

Gambar di atas secara jelas menunjukkan bahwa proses terbentuknya


budaya berasal dari asumsi-asumsi dasar yang dianggap penting. Dalam hal
organisasi masih relatif kecil asumsi -asumsi dasar tersebut biasanya
bersumber atau melekat pada diri para pendirinya. Asumsi-asumsi dasar
dikomunikasikan dan di-shared oleh sebagian besar anggota organisasi dalam
berbagai bentuk- shared feelings (emosi atau perasaan yang sama), shared
doings (perilaku yang sama), shared sayings (bahasa yang sama), dan shared
things (memahami objek dengan cara pandang yang sama). Sebagai contoh,
apabila setiap kali terjadi krisis lantas para pejabat teras kemudian terjun
langsung menangani krisis tersebut, bisa diartikan bahwa para pimpinan dan
anggota organisasi memiliki emosi dan perasaan yang sama - krisis tersebut
harus segera diselesaikan dan bukan semata-mata tanggung jawab anggota
organisasi. Para anggota organisasi dengan demikian merasa aman dan tidak
perlu khawatir jika sewaktu-waktu terjadi krisis pasti akan segera ditangani
oleh para pejabat terasnya. ltulah anggapan mereka. Anggapan ini akan terus
bergulir. Pada awalnya sekadar sebagai kenyataan namun lama kelamaan
setelah diamati, dipelajari, dirasakan, dan diterjemahkan oleh sebagian besar
anggota organisasi, selanjutnya apa yang awalnya hanya sekadar kenyataan
akhirnya menjadi pola perilaku yang harus dijalani dan akhirnya menjadi
kebiasaan dan dari sinilah tercipta budaya.
Uraian di muka menjelaskan proses terbentuknya budaya khususnya
pada organisasi yang masih kecil (start up organization). Namun, ketika
organisasi berkembang menjadi semakin besar, kegiatannya menjadi semakin
kompleks, dan mulai terjadi proses pembelajaran bagi orang-orang yang
selama ini hanya menjadi pengikut, proses pembentukan budaya tidak lagi
berada di tangan para pendiri karena secara bertahap para pendiri biasanya
mulai melepaskan sebagian kekuasaannya kepada orang-orang yang
dipercaya yang dianggap memiliki mind set yang sama. Estafeta
kepemimpinan pada umumnya diserahkan kepada salah seorang anggota
keluarga yang memang sudah lama dipersiapkan untuk itu. Bagi etnik Cina
pemindahan kekuasaan ini biasanya diserahkan kepada generasi kedua yang
20
diangkat sebagai putra mahkota. Sementara itu, para pendiri tidak lagi
terlibat secara langsung dalam kehidupan organisasi. Mereka lebih
menempatkan diri sebagai tetua (godfather) yang menyediakan seluruh

20
Lihat misalnya Walter W C Chung and Karina P K Yuen. (2003). Management
Succession: a Case for Chinese Family-Own Business. Management decision. pp.
643-655.
8.58 PERILAKU ORGANISASI e

waktunya untuk dijadikan rujukan dan mentor bagi penerusnya. Semua ini
bertujuan agar budaya yang telah dibangun dengan susah payah tidak punah
begitu saja. Kondisi seperti ini banyak dijumpai di Indonesia seperti yang
terjadi pada PT HM Sampurna, PT Gudang Garam, Bakri Brothers. Meski
praktik semacam ini dianggap sebagai sebuah kewajaran khususnya bagi
masyarakat yang lebih kolektif (collectism society) di mana fungsi seorang
anak adalah sebagai penerus generasi, namun bukan tidak mungkin para
pendiri menyerahkan estafeta kepemimpinan kepada manajer profesional,
sementara para pendiri itu sendiri secara formal bertindak sebagai
komisaris/pengawas yang di antara tugasnya tetap sama, yakni menjaga
keutuhan nilai-nilai yang telah dibangunnya.
Dengan beralihnya estafeta kepemimpinan, berarti kendali organisasi,
termasuk proses pembentukan dan mempertahankan budaya organisasi,
bergeser dari para pendiri ke putra mahkota atau para manajer profesional.
Meski pergantian kepemimpinan ini mungkin tidak berdampak terhadap
perubahan asumsi dasar dan landasan filosofis organisasi, bukan tidak
mungkin pimpinan yang baru (baik putra mahkota maupun manajer
profesional) melakukan interpretasi ulang terhadap asumsi dasar dan filosofi
21
organisasi . Hal ini bisa saja terjadi utamanya jika terjadi perubahan
lingkungan eksternal yang memaksa organisasi harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan tersebut. lnterpretasi ulang terhadap filosofi organisasi
juga bisa terjadi karena perubahan gaya kepemimpinan para penerusnya. Hal
ini sering terjadi utamanya jika penerusnya adalah seorang manajer
profesional. Jika para penerus atau manajer profesional berhasil
menginterpretasi ulang filosofi organisasi dan menjadikan organisasi sukses,
selanjutnya nilai-nilai baru ini dikomunikasikan kepada seluruh anggota
organisasi, di-shared dan dipertahankan untuk menjadi nilai-nilai bersama.

E. MELEST ARIKAN BUDAYA ORGANISASI

Oleh karena budaya organisasi merupakan fenomena kolektif maka


eksistensi dan kelestarian budaya tidak bergantung semata-mata pada
individu per individu, misalnya hanya bergantung pada pendiri atau pimpinan
organisasi, melainkan pada keseluruhan anggota organisasi. Oleh karena itu,

21
Harris and Ogbonna. (1988). Employee Responses to Cultural Change Efforts.
Human Resource Management Journal. Vol. 8 No.2, hal. 78-92.
e EKMA41 58/MODUL B 8.59

untuk menghindari terjadinya deviasi budaya, sangat diperlukan sharing dan


kesadaran sosial (social conscience) anggota organisasi akan pentingnya
memelihara dan mempertahankan budaya. Upaya ini bisa dilakukan melalui
pemahaman yang baik terhadap elemen-elemen pembentuk budaya seperti
keyakinan, tata nilai atau adat kebiasaan. Semakin anggota organisasi
memahami, mengakui, menjiwai dan mempraktikkan keyakinan, tata nilai
atau adat kebiasaan tersebut dan semakin tinggi tingkat kesadaran mereka,
budaya organisasi akan semakin eksis dan lestari, demikian sebaliknya. Itulah
sebabnya jika ada seorang pendatang baru yang hendak bergabung dan
menjadi anggota organisasi maka ia dituntut untuk melakukan proses
pembudayaan (akulturasi). Dalam realita proses ini kadang-kadang harus
dilakukan secara paksa, dengan ancaman atau yang lebih halus dengan
persuasi bukan semata-mata bersifat sukarela atas kesadaran individual
22
pendatang baru tersebut .
Upaya untuk melestarikan budaya organisasi dimulai pada saat
perusahaan akan merekrut karyawan baru. Para pimpinan organisasi atau para
manajernya tentu tidak mau mengambil risiko dan berspekulasi untuk
merekrut karyawan yang tidak mereka ketahui asal usul dan latar
belakangnya. Demikian juga mereka tidak mau merekrut karyawan yang
dianggap tidak cocok dengan kondisi dan budaya perusahaan. Rekrutmen
dengan demikian bukan sekadar memasukkan orang baru ke dalam
perusahaan melainkan juga mengawinkan latar belakang nilai-nilai individual
dan kepribadian orang tersebut dengan nilai-nilai dan budaya sebuah
23
organisasi (person - culture fit) . Semua ini dilakukan dalam rangka
mempermudah organisasi mengelola para karyawan dan menjaga kelestarian
budaya yang telah dibangun dengan susah payah. Itulah sebabnya saling
mengerti di antara kedua belah pihak - antara calon karyawan dan calon
majikan sangat diperlukan. Dengan pemahaman sejak awal di antara kedua

22
Bar-Tal. (2000). Share Beliefs in a Society: A Social Psychological Analysis.
London, Sage Publication,
23
Charles O'Reilley. (1989). Corporation, Culture and Commitment: Motivation and
Social Control in Organizations., California Management Review 31, Summer.
J.

pp. 9 - 25. Untuk memperoleh penjelasan tambahan tentang kecocokan antara


individu dengan organisasi, baik kecocokan budaya, tata nilai dan kecocokan
antara individu dan pekerjaan, para pembaca bisa membaca artikel terkait yang
ada pada referensi buku ini.
8.60 PERILAKU ORGANISASI e

belah pihak memungkinkan pencari kerja dan calon pemberi kerja melakukan
24
kontrak psikologis (psychological contract) .
Secara sederhana yang dimaksudkan dengan kontrak psikologis adalah
satu set kewajiban bersama dan janji tidak tertulis antara pencari kerja
(employees) dan pemberi kerja (employer) yang dipersepsi oleh pencari
25
kerja . Kontrak psikologis dengan demikian merupakan harapan masing-
masing pihak yang sedapat mungkin bisa terpenuhi saat kedua belah menjalin
kontrak kerja secara formal. Meski kontrak tersebut tidak tertulis dampaknya
terhadap proses akulturasi sangat besar karena pengingkaran atau tidak
dipenuhinya janji akan menyebabkan salah satu pihak, khususnya karyawan
baru, hanya akan berupaya memenuhi kepentingan dirinya bukan organisasi
26
secara keseluruhan .
Pada perusahaan yang relatif lebih besar dan secara organisasional lebih
mapan karena telah memiliki perangkat-perangkat organisasi, pola
rekruitmen pada umumnya sudah lebih terbuka dalam pengertian tidak
diperlukan lagi prasyarat bahwa orang yang direkrut harus sudah dikenal
sebelumnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa karyawan baru tidak harus
berasal dari keluarga dekat para petinggi organisasi atau keluarga dekat,
tetangga atau ternan dekat karyawan yang telah lebih dahulu bekerja. Calon
karyawan yang tidak dikenal sebelumnya dengan demikian bisa saja direkrut
selama orang tersebut memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan
perusahaan. Kriteria-kriteria ini tidak hanya didasarkan pada aspek perilaku
seperti pada perusahaan keluarga akan tetapi juga pada aspek-aspek lain,
seperti aspek keterampilan, kompetensi, pengalaman dan pengetahuan calon
karyawan.

24
Untuk penjelasan mengenai Psychological Contract, lihat misalnya Robinson.
( 1996). Trust and Breach of the Psychological Contract. Administrative Science
Quarterly, 41. hal. 574- 599. Atau Chrobot-Mason.(2003). Keeping the Promise:
Psychological Contract Violations for Minority Employees. Journal of
Managerial Psychology. Hal. 22-45.
25
Denise Rousseau. New Hire Perceptions of their Own and their Employer's
Obligations: A Study of Psychological Contract. Journal of Organizational
Behavior. Hal. 389 - 400.
26
Masalah penyimpangan terhadap kontrak psikologis dan dampaknya terhadap
suasana psikologis karyawan, lihat misalnya Chrobot-Mason. (2003). op cit.;
Robinson and Morrison. (2000). The Development Of Psychological Contract
Breach and Violation: A Longitudinal Study. Journal of Organizational Behavior.
halaman 525-546. Atau tulisan-tulisan Robinson yang lain.
e EKMA41 58/MODUL B 8.61

Oleh karena model rekrutmen lebih terbuka dan calon karyawan belum
dikenal sebelumnya maka proses rekrutmen pada umumnya dilakukan
melalui beberapa tahap mulai dari tahap seleksi awal sampai pada tahap
sosialisasi dan pelatihan. Sederhananya merekrut calon karyawan layaknya
seseorang melamar calon istri. Pada saat meminang kita tidak boleh hanya
mengandalkan pada kesan pertama bahwa calon karyawan tersebut adalah
orang baik dan bisa diajak kerja sama, tetapi harus lebih saksama mengetahui
latar belakang mereka melalui bukti-bukti tertulis tentang latar belakang
keluarga, pendidikan, asal sekolah, dan pengalaman kerja jika ada. Semua ini
dilakukan agar pihak perusahaan bisa meyakini bahwa calon karyawan
adalah orang yang cocok untuk direkrut dan layak untuk bergabung dengan
perusahaan. Meski demikian, mengetahui calon karyawan hanya melalui
bukti tertulis dianggap tidak cukup karena masih ada beberapa aspek yang
belum terungkap, misalnya perilaku dan kepribadian calon karyawan. Kedua
aspek ini karena sifatnya yang tidak serta-merta tampak ke permukaan
melainkan cenderung tersembunyi, tidak bisa diketahui kecuali kita
mengenalnya lebih dekat. Oleh karena itu, dalam rekrutmen karyawan perlu
dilakukan interviu untuk mengungkap aspek-aspek tersebut. Di samping itu,
tes kesehatan dalam batas-batas tertentu juga dianggap perlu.
Setelah tahap rekrutmen selesai, tahap berikutnya adalah
menyosialisasikan karyawan baru ke dalam kehidupan riil perusahaan.
Sosialiasi ini dimaksudkan agar karyawan baru "learn the ropes" -
memahami tata aturan dan budaya yang berkembang di perusahaan tersebut,
seperti apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang dianjurkan dan apa
yang perlu dihindarkan, serta apa yang sakral dan apa yang tabu. Upaya ini
bagi perusahaan, sekali lagi, merupakan langkah yang perlu ditempuh dengan
tujuan untuk melestarikan budaya berjalan. Berdasarkan uraian di atas proses
sosialisasi bisa dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti tampak pada
27
Gambar 8.18 berikut ini.

27
Richard Pascale. (1985). The Paradox of "Corporate Culture": Reconciling
Ourselves to Socialization. California Management Review. Hal. 26-41.
8.62 PERILAKU ORGANISASI e

Ditolak
Seleksi awal calon
karyawan baru

Role models yang Orientasi awal yang baik


akan membuka pikiran Training yang
konsisten
karyawan baru untuk mendalam untuk
menerima norma dan nilai- menguasai kemam-
nilai organisasi puan inti

Diperkuat dengan
folklore
Patuh pada niai-
nilai organisasi
akan mendorong System imbalan dan
seseorang rela kontrol yang tepat bisa
berkorban
membentuk prilaku

yang sesua1

Sumber: Pascale, (p. 38).

Gambar 8. 18.
Proses Sosialisasi Karyawan

F. BUDAYA DAN PERILAKU INDIVIDUAL

28
Edgar Schein mengatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai bagian
dari sebuah masyarakat, manusia secara individual pada dasarnya memiliki
tiga kebutuhan pokok. Pertama, manusia ingin menjadi bagian dari sebuah
kelompok (masyarakat) dan ingin mengetahui perannya dalam kelompok
tersebut. Kedua, manusia ingin tampak berpengaruh dalam sebuah kelompok
dan tidak ingin tampak bergantung pada kelompoknya meski pada saat yang
sama ingin tetap menjadi bagian dari kelompok dan ketiga, secara individu
manusia ingin bisa diterima dan intim dengan anggota kelompok yang lain

28
Edgar Schein. (1985). Organizational Culture and Leadership.
e EKMA41 58/MODUL B 8.63

yang sifat penerimaannya bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar


manusia. Secara natural, manusia akan berusaha secara maksimal untuk
memenuhi ketiga kebutuhan dasar tersebut. Namun, manusia juga sadar
bahwa kebutuhan tersebut hanya bisa dipenuhi jika melibatkan orang lain
maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melibatkan diri di
tempat kerja karena tempat kerja bukan sekadar tempat untuk mencari nafkah
tetapi juga memiliki potensi untuk memenuhi sebagian atau seluruh
kebutuhan dasar di atas.
Pertanyaannya adalah dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, bagaimana seseorang memilih tempat kerja yang jumlahnya jutaan?
29
Jung seperti dikutip oleh Rod Gray mengatakan bahwa untuk mengambil
keputusan dalam menentukan pilihan tempat kerja atau pilihan-pilihan
lainnya bisanya seseorang berpedoman pada nilai-nilai personal (personal
values) orang tersebut. Artinya, setiap orang hampir pasti akan memilih
pekerjaan dan tempat kerja yang cocok dengan kompetensi dan nilai-nilai
personalnya. Dalam bahasa perilaku organisasi, kesesuaian antara
kompetensi dan nilai-nilai personal dengan pekerjaan dan tempat kerja
disebut sebagai kesesuaian antara seseorang dengan pekerjaan (person-job
30
fit). Seperti dikatakan oleh Daniel Cable dkk , seseorang bukan sekadar aktif
mencari informasi tentang tempat kerja yang cocok untuk dirinya, tetapi juga
aktif mencari informasi tentang budaya yang berkembang pada organisasi
tersebut.
Di sisi lain, organisasi tempat kerja juga tidak sembarangan mau
menerima seseorang menjadi bagiannya jika diyakini bahwa orang tersebut
tidak memberi kontribusi terhadap keinginan dan tujuan organisasi. Oleh
karena itu, dalam memilih dan menentukan seseorang untuk menjadi
karyawan atau bagiannya, organisasi menggunakan berbagai macam
ketentuan dan pertimbangan sebagai dasar untuk menentukan pilihannya.
Salah satunya, dengan mempertimbangkan kecocokan antara nilai-nilai
individu (personal value) calon karyawan dengan nilai-nilai organisasi
(organizational value) atau antara perilaku calon karyawan dengan budaya
organisasi. Bagi organisasi, kecocokan ini dianggap penting karena akan
mempermudah organisasi mengelola dan mengarahkan orang-orang tersebut

29
Rod Gram. (1998). Op Cit.
30
Daniel Cable, et al. (2000). The Sources and accuracy of Job Applicants' Belief
about Organizational Culture. Academy of Management Journal. 4316, pp.
1076-1085.
8.64 PERILAKU ORGANISASI e

untuk mencapai tujuan organisasi. Bagi calon karyawan itu sendiri,


kecocokan ini diharapkan bisa mempermudah proses sosialisasi dengan
lingkungan yang baru dan mempercepat pengakuan organisasi terhadap
dirinya sebagai bagian dari organisasi. Secara konseptual kesesuaian antara
seseorang dengan organisasi (person-organization fit) terjadi jika (1) paling
tidak salah satu pihak menawarkan sesuatu yang dibutuhkan pihak lain; atau
(2) kedua belah pihak memiliki karakteristik yang hampir sama; atau
31
(3) gabungan antara poin 1 dan poin 2.
Beberapa artikel dan penelitian yang berkaitan dengan keterkaitan antara
budaya organisasi dan perilaku individual telah banyak dibahas oleh para ahli
psikologi maupun organisasi. Sebagai contoh, tidak lama setelah istilah
budaya organisasi menj adi pembicaraan banyak ahli organisasi, Ellen
32
Wallach, seorang konsultan pengembangan karier, menyuarakan
pentingnya motivasi seseorang dikaitkan dengan budaya organisasi tempat
kerja. Menurutnya pekerjaan seorang karyawan akan jauh lebih efektif jika
terdapat kecocokan antara motivasi karyawan dan budaya organisasi berjalan.
Demikian juga karyawan tersebut akan lebih diakui keberadaannya dan akan
memperoleh kesempatan lebih baik untuk dipromosikan perusahaan.
33
Sementara itu, O'Really, Chatman and Cadwell , dengan menggunakan
metode "Q-sort", menyatakan bahwa kecocokan antara seseorang dengan
tempat kerja akan meningkatkan kepuasan kerja dan setahun kemudian
komitmen seseorang dalam pekerjaan juga meningkat. Temuan ini
membuktikan pentingnya memahami kecocokan antara seseorang dengan
nilai-nilai/budaya organisasi temp at kerj a.
Berdasarkan temuan di atas, penelitian-penelitian lanjutan yang
34
mengikuti pola pikir O'Relly, dkk. mulai bermunculan. Barry Posner yang
menggunakan tiga dimensi kecocokan - clarity, consensus dan intensity

31
Amy Kristof. (1996). Person-Organization fit: an Integrative Review of its
Conceptualizations, Measurement and Implications. Personnel Psychology. 49, pp.
1-49.
32
Ellen Wallach. (1983). Individuals and Organization: the Cultural Match. Training
and Development Journal. pp. 29-36.
33
Charles O'Reilly, Jeniffer Chatman and David Cadwell. (1991). People and
Organizational Culture: a Profile Comparison Approach to Assessing Person-
Organization Fit. Academy of Management Journal. 24/3, pp. 487-516.
34
Barry Posner. (1992). Person-Organization Values Congruence: no Support for
Individual Differences as a Moderating Influence. Human relation. 4514,
pp.351-361.
e EKMA41 58/MODUL B 8.65

misalnya menegaskan bahwa kecocokan nilai-nilai personal seseorang


dengan nilai-nilai organisasi akan menghasilkan sikap positif karyawan. Jika
salah satu dari dimensi tersebut cocok maka dua dimensi yang lain juga
mengalami hal yang sama, sedangkan faktor demografik yang oleh Posner
dijadikan sebagai moderating variable temyata tidak berpengaruh terhadap
35
kecocokan tersebut. Sementara itu, Vandenberghe yang melakukan
replikasi penelitian O'Relly, dkk. pada industri kesehatan di Belgia
menemukan bahwa karyawan (para perawat) yang nilai-nilai individualnya
selaras dengan nilai-nilai rumah sakit tempat kerja cenderung tidak akan
pindah kerj a dan tetap bekerj a di rumah sakit lebih lama. Penelitian ini
dianggap cukup penting karena bagi organisasi rumah sakit yang kebanyakan
karyawannya adalah tenaga profesional, pindah kerja (turnover) karyawan
biasanya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi lain seperti
perusahaan manufaktur.
Penelitian tentang kecocokan antara perilaku seseorang dengan budaya
36
organisasi terus berkembang. Annelies Van Vianen , misalnya mengatakan
bahwa preferensi yang sama antara recruiter dan calon karyawan terhadap
budaya organisasi merupakan pintu masuk yang penting sebelum seseorang
yakin bahwa dirinya cocok dengan organisasi tempat kerja. Sementara itu,
37
Werbel and Johnson yang menyatakan bahwa di samping kecocokan antara
seseorang dengan organisasi temp at kerj a, kecocokan antara seseorang
dengan kelompok kerjanya juga harus menjadi perhatian para manajer
sumber daya manusia dalam merekrut seseorang. Alasannya karena sebelum
terlibat secara umum dengan kegiatan organisasi, orang tersebut dalam
kesehariannya akan terlibat intens dengan tim atau kelompok kerjanya.

35
Vandenberghe. (1999). Organizational Culture, Person-Culture Fit, and Turnover:
a Replication in the Health Care Industry. Journal of Organizational Behavior. 20,
pp. 175-184.
36
Annelies Van Vianen. (2000). Person-Organization fit: the Match Between
Newcomers' and Recruiters' Preferences for Organizational Cultures. Personnel
Psychology. 53/l, pp.113-149.
37
James Werbel and Danny Johnson. (2001). The Use of Person-Group Fit for
Employment Selection: a Missing Link in Person-Environment Fit. Human
Resource Management. 4013, pp. 227-240.
8.66 PERILAKU ORGANISASI e

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Seorang karyawan mengeluh "Wah tempat kerja kami tidak memiliki
budaya maka kinerjanya tidak pernah baik". Cobalah Anda tanggapi
keluhan karyawan tersebut!
2) Jika Anda adalah seorang pimpinan puncak sebuah organisasi,
bagaimana cara Anda melestarikan budaya yang sudah terbentuk di
dalam organisasi?
3) Jelaskan pengaruh budaya terhadap perilaku manusia di dalam
organisasi !

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Memang sering terjadi salah pengertian tentang budaya organisasi


khususnya ketika kinerja organisasi memburuk Banyak orang
mengklaim bahwa buruknya kinerja organisasi karena ketiadaan budaya
dalam organisasi tersebut. Klaim seperti ini tentunya tidak tepat karena
sesungguhnya setiap organisasi pasti memiliki budaya. Hal ini misalnya
dipertegas oleh pengertian organisasi yang salah satu elemen pentingnya
adalah budaya organisasi. Sekumpulan orang akan disebut sebagai
organisasi hanya jika kumpulan orang tersebut memiliki budaya tidak
peduli apakah budayanya bisa membantu organisasi memperbaiki kinerja
atau sebaliknya menghambat kinerja. Sekumpulan orang hanya akan
disebut sebagai kumpulan individu jika mereka tidak memiliki. Jadi,
buruknya kinerja dalam kasus ini bukan tidak adanya budaya, tetapi
lebih tepat dikatakan jika budaya yang ada menghambat atau tidak
mendukung penciptaan kinerja yang baik.
2) Melestarikan budaya berarti menjaga agar budaya berjalan bisa tetap
eksis dan lestari. Memang budaya organisasi sulit berubah namun bukan
berarti tidak bisa mengalami perubahan. Hal yang menjadi masalah
adalah perubahan budaya biasanya berjalan sangat lambat, sangat tidak
kentara. Oleh karena itu, setiap manajer harus berusaha melakukan
pencegahan secara dini agar budaya yang sudah terbentuk dan membantu
organisasi mencapai kinerj anya tidak tergerogoti. Salah satu upaya
e EKMA41 58/MODUL B 8.67

paling awal yang bisa dilakukan seorang manajer adalah pada saat
merekrut orang baru sebagai bagian dari anggota organisasi harus
memilih orang-orang yang nilai-nilai individualnya cocok dengan nilai-
nilai organisasi. Langkah selanjutnya, melakukan sosialisasi agar
anggota baru tersebut betul-betul memahami, menjiwai, dan
mempraktikkan budaya berjalan.
3) Meski budaya organisasi merupakan komponen yang tidak kasat mata
(intangible) dan informal namun pengaruhnya terhadap perilaku manusia
di dalam organisasi tidak perlu disangsikan. Sebagai contoh, ketika
sebuah seorang manajer mengadopsi role culture - budaya organisasi
yang berorientasi birokrasi sebagai nilai-nilai dominan organisasi,
hampir pasti seluruh karyawan atau paling tidak sebagian besar
karyawan akan menggunakan aturan sebagai pedoman berperilaku.
Artinya, karyawan yang tidak taat aturan dianggap bukan kelompok
mereka dan bukan tidak mungkin akan dikucilkan.

RANGKUMAN

Budaya organisasi yang menjadi fokus bahasan Kegiatan Belajar 2


merupakan bagian integral dari komponen organisasi yang bersifat
informal dan tidak kasat mata. Meski demikian kehadirannya tidak bisa
dihindarkan dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia di dalam
organisasi tidak pernah disangsikan. Secara umum, topik-topik yang
dibahas pada Kegiatan Belajar 2 adalah pengertian budaya organisasi;
elemen-elemen pembentuk budaya termasuk elemen idealistis dan
behavioral; tipologi budaya organisasi; proses terbentuknya budaya dan
upaya-upaya untuk melestarikannya. Terakhir adalah keterkaitan budaya
dengan perilaku manusia di dalam organisasi. Kesemua topik penting
tersebut selanjutnya akan dirangkum dalam bentuk ringkasan berikut ini.
1. Sesungguhnya tidak ada definisi baku yang bisa digunakan untuk
menjelaskan apa itu budaya organisasi. Meski demikian definisi
yang diberikan Edgar Schein pada umumnya bisa diterima sebagai
pengertian umum tentang budaya organisasi. Schein mengatakan
bahwa budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang di-shared
oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan
meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi
eksternal dan integrasi internal sehingga pola asumsi dasar tersebut
8.68 PERILAKU ORGANISASI e

perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang


benar untuk bepersepsi, berpikir, dan mengungkapkan perasaannya
dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
2. Budaya organisasi terdiri dari dua elemen utama yaitu elemen yang
bersifat ideal dan elemen yang bersifat behavioral. Kedua elemen
tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait. Dari kedua
elemen tersebut, Schein selanjutnya membedakan elemen budaya
organisasi menjadi tiga, yaitu asumsi dasar, nilai-nilai organisasi,
dan artefak.
3. Cara pragmatis untuk memahami tipe budaya sebuah organisasi
adalah dengan membuat tipologi budaya. Cara ini banyak dilakukan
para akademisi yang terlibat dalam kajian budaya organisasi. Salah
satu tipologi, misalnya budaya organisasi dibedakan menjadi 4 tipe
yaitu power culture, role culture, task culture, dan person culture.
4. Menurut pengertian organisasi, setiap organisasi pasti memiliki
budaya. Artinya, segera setelah organisasi terbentuk saat itu pula
terbentuk budaya organisasi. Pendiri organisasi adalah sumber dan
orang pertama yang membentuk budaya organisasi. Selanjutnya,
secara estafeta budaya tersebut ditransmisikan melalui pimpinan
organisasi kepada semua pihak yang terlibat dalam kehidupan
organisasi termasuk orang-orang di luar organisasi.
5. Budaya yang sudah terbentuk jika dianggap fungsional, perlu
dilestarikan untuk menghindari deviasi budaya. Berbagai cara bisa
dilakukan termasuk pada saat melakukan rekruitmen pendatang haru
sebagai titik awal pelestarian budaya.
6. Bisa dikatakan bahwa budaya dan perilaku organisasi memiliki
hubungan timbal balik. Di satu sisi budaya memengaruhi perilaku
dan di sisi lain perilaku memperkuat eksistensi budaya. Oleh karena
itu, kecocokan antara nilai-nilai individu dengan nilai-nilai
organisasi menjadi variabel yang sangat paling untuk diperhatikan.

TES FORMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Mana di antara penyataan di bawah ini yang dianggap paling benar ....
A. budaya organisasi bersifat statis dan tidak bisa diubah
B. inti dari budaya organisasi terletak pada perilaku manusia yang
mempraktikkan budaya
e EKMA41 58/MODUL B 8.69

C. budaya organisasi identik dengan individual mental programming


para anggota organisasi
D. struktur organisasi sesungguhnya merupakan cerminan dari budaya
sebuah organisasi

2) Visi dan misi organisasi bisa dikatakan sebagai elemen budaya yang
bersifat ....
A. ideal
B. behavioral
C. ideal dan behavioral
D. bukan elemen budaya organisasi

3) Achievement culture sangat cocok untuk organisasi ....


A. yang lingkungannya sangat stabil
B. yang menghadapi persaingan yang sangat ketat
C. yang lingkungannya stabil maupun menghadapi persaingan
D. jawaban A, B, dan C salah

4) Dalam kaitannya dengan pembentukan budaya ....


A. para pendiri adalah satu-satunya sumber pembentukan budaya
B. pimpinan organisasi adalah satu-satunya sumber pembentukan
budaya
C. karyawan secara bersama-sama bisa membentuk budaya baru
D. seorang karyawan dapat membawa budaya baru

5) Dalam kaitannya dengan keterkaitan antara budaya dan perilaku manusia


di dalam organisasi ....
A. budaya organisasi membentuk perilaku manusia di dalam organisasi
B. secara timbal balik. perilaku manusiajuga bisa membentuk budaya
C. budaya organisasi dan perilaku manusia merupakan hubungan yang
saling memengaruhi
D. jawaban A, B, dan C benar

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal
8.70 PERILAKU ORGANISASI e

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/ MODUL B 8.71

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) c 1) D
2) B 2) A
3) B 3) B
4) A 4) c
5) c 5) D
8.72 PERILAKU ORGANISASI e

Daftar Pustaka

Achmad Sobirin. (1997). Buaya Organisasi. Bab 8.

Bar-Tal. (2000). Share Beliefs in a Society: A Social Psychological Analysis.


London, Sage Publication.

Charles O'Reilley. (1989). Corporation, Culture and Commitment:


Motivation and Social Control in Organizations. California Management
Review. 31, Summer, pp. 9-25.

Chrobot-Mason. (2003). Keeping the Promise: Psychological Contract


Violations for Minority Employees. Journal of Managerial Psychology.
Hal. 22-45.

Collins and Porras. (1994 ). Built to Last: Successful Habits of Visionary


Companies. Random House UK: Century Business.

Denise Rousseau. New Hire Perceptions of their Own and their Employer's
Obligations: A Study of Psychological Contract. Journal of
organizational behavior. Hal. 389-400.

Diana Pheysey. (1993). Organizational Culture: Types and Transformation.


London: Routledge.

Edgar Schein. (1983). The Role of the Founder in Creating Crganizational


Culture. Organizational Dynamics. 12 (1), pp13-28.

Edgar Schein. (1985). Organizational Culture and Leadership.

F. Landa Jocano. (1988). Toward Filipino Corporate Culture. Metro Manila:


Punlad Research House.

F. Landa Jocano. (1990). Management by Culture. Metro Manila: Punlad


Research House.
e EKMA41 58/MODUL B 8.73

Harris and Ogbonna. (1988). Employee Responses to Cultural Change


Efforts. Human Resource Management Journal. Vol. 8 No. 2, Hal.
78-92.

Hawkins. (1997). Organizational Culture: Sailing between Evangelism and


Complexity. Human Relations.

Hirsh, S. (1985). Using the Meyer-Biggs Type Indicator in Organizations.


Palo Alto, CA: Consulting Psychologist Press.

Hofstede. (1997). Cultures and Organizations: Sofware of the Mind. New


York: McGraw Hill.

L. Smircich. (1983). Concept of Culture and Organizational Analysis.


Administrative Science Quarterly. 28, hal. 339-358.

Mary Jo Hatch. (1993). The Dynamics of Organizational Culture. Academy


of Management Review. Hal. 657-693.

Peter Hawkins. ( 1997). Organizational Culture: Sailing between Evangelism


and Complexity. Human Relations. 30: 4, hal. 417-440.

R. Horrison and H. Stokes. (1992). Diagnosing Organizational Culture. San


Francisco: J ossey bass - Pfeiffer.

Richard Pascale. (1985). The Paradox of "Corporate Culture": Reconciling


Ourselves To Socialization. California Management Review. Hal. 26-41.

Robert Blake and Jane Mouton. (1985). The Managerial Grid Ill. Houston:
Gulf Publishing Company.

Robert Howard. (1990). Values make the Company: An Interview with


Robert Hass, Hervard Business Review. September- October. Hal. 133-
144.
8.74 PERILAKU ORGANISASI e

Robinson and Morrison. (2000). The Development of Psychological Contract


Breach and Violation: A Longitudinal Study. Journal of Organizational
Behavior. Hal. 525-546.

Robinson. (1996). Trust and Breach of the Psychological Contract.


Administrative Science Quarterly. 41, halaman 574-599.

Roger Harrison. (1972). Understanding your Organization's Character.


Harvard Business Review. 50, hal. 119-128.

Sathe. (1985). Culture and Related Corporate Ceality. Homewood, Ill:


Richard D. Irwin.

Stanley Davis. (1984). Managing Corporate Culture. Cambridge MA:


Ballinger Publishing Company.

Tony Fang. (2003). A Critique of Hofstede's Fifth National Culture


Dimension. Cross Cultural Management.

Walter W C Chung and Karina P K Yuen. (2003). Management Succession: a


Case for Chinese Family-Own Business. Management Decision. pp.
643-655.
MDDUL 9

Perilaku Organisasi Lintas Budaya


Dr. Achmad Sobirin

PENDAHULUAN

raian-uraian pada modul sebelumnya meski tidak dinyatakan secara


eksplisit, berasumsi bahwa semua teori dan konsep tentang perilaku
manusia di dalam organisasi bisa diterapkan secara universal. Asumsi ini
tentunya perlu direvisi jika kita menyadari dan mengakui bahwa setiap
masyarakat memiliki budaya yang khas yang berlaku hanya untuk
masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak bisa dihindari
adanya perbedaan perilaku manusia pada masyarakat yang berbeda budaya.
Dengan kata lain, anggapan bahwa perilaku manusia dan perilaku organisasi
bersifat universal sesungguhnya tidak tepat. Situasi ini misalnya tercermin
dari banyaknya perusahaan multinasional (MNC) yang gagal menerapkan
konsep dan praktik manajemen yang sebelumnya berhasil mereka terapkan di
negara asal (perusahaan induk), tetapi gagal dipraktikkan di anak perusahaan
yang berlokasi di negara berbeda. Penelusuran lebih jauh menunjukkan
bahwa kegagalan ini bukan karena konsep manajemennya keliru, tetapi lebih
disebabkan karena pola manajemen yang telah diterapkan di perusahaan
induk tidak bisa sepenuhnya diterapkan di negara lain (perusahaan anak).
Artinya, praktik manajemen di satu negara ternyata tidak selalu kompatibel
dengan praktik manajemen di negara lain meski kegiatan bisnis dan
pengelolanya sama. Inkompatibilitas ini terjadi utamanya karena adanya
perbedaan cara pandang, pola pikir, dan budaya masyarakat pada masing-
masing negara yang ujung-ujungnya memengaruhi perilaku manusia dan

gaya manaJemen.
Menyadari akan banyaknya perusahaan multinasional yang gagal
menjalankan bisnisnya di negara lain, para teoretisi organisasi dan
manajemen lantas melakukan kajian yang kesimpulannya adalah teori
organisasi dan/atau manajemen yang dikembangkan di satu negara belum
tentu bisa diaplikasikan di negara lain karena pengembangan teori tersebut
lebih banyak didasarkan pada pengalaman empirik di negara-negara tertentu.
9.2 PERILAKU ORGANISASI e

Artinya, teori tersebut sesungguhnya lebih tepat diterapkan di negara-negara


di mana teori tersebut dikembangkan. Kesimpulan ini, misalnya didukung
1
oleh Erez and Early yang mengatakan bahwa 1255 dari 1699 artikel yang
dimuat 13 jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang terbit antara tahun 1982-
1989 ditulis oleh orang Amerika. Sementara itu, Hofstede mengatakan bahwa
hampir 75% studi perilaku organisasi dilakukan di Amerika, oleh orang
2
Amerika dengan sampel juga orang Amerika. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan konsep motivasi, kepemimpinan, dan organisasi, Hosftede
mengajukan pertanyaan "Do American theory apply abroad?" Pertanyaan ini
muncul karena dalam pandangan Hofstede teori-teori tersebut sesungguhnya
lebih cocok diterapkan di Amerika dan/atau negara-negara lain yang
memiliki karakteristik (latar belakang budaya) yang sama dengan Amerika
dan boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara lain yang
mempunyai karakteristik berbeda. Dengan demikian, budaya merupakan
variabel kunci yang menjadikan praktik manajemen di masing-masing negara
berbeda.
Sekadar untuk memberikan ilustrasi yang menggambarkan adanya
perbedaan budaya lintas negara, misalnya dalam hal penggunaan nama
keluarga. Bagi masyarakat Barat nama keluarga selalu diletakkan di belakang
setelah namanya sendiri, tetapi bagi masyarakat Jepang mungkin karena
keluarga dianggap datang lebih dahulu sebelum dirinya maka nama keluarga
diletakkan di depan sebelum namanya dicantumkan. Demikian juga ketika
kita memberi alamat, misalnya kepada sopir taksi di Tokyo atau Beijing,
pertama yang disebut adalah nama kota atau distriknya, diikuti oleh nama
jalan, nama gedung yang dituju dan terakhir nomor apartemen atau alamat
3
yang dikehendaki. Contoh-contoh ini sekali lagi memberi gambaran tentang
perbedaan cara pandang dan pola pikir sekelompok masyarakat yang tinggal
di satu negara dengan negara lain. Pada gilirannya perbedaan tersebut akan
memengaruhi perbedaan perilaku dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4
termasuk misalnya dalam mengelola organisasi .

1
Erez, M. and P.C. Early. (1993). Culture, Self Identity and York. Oxford
University Press. Hal. 3.
2
Hofstede, G. (1992). Motivation, Leadership and Organization: Do American
Theories Apply Abroad? Hal. 99.
3
Lihat misalnya Hampden-Turner and Tromprenaar. (2000). Building Cross
Cultural Competence. Hal. 2.
4
Dalam aplikasinya ke dalam praktik-praktik manajemen, bisa dilihat pada Nancy
Adler. (2000). International Dimension of Organizational Behavior atau
Schneider and Louis Barsoux. (1997). Managing Cross Cultures.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.3

Dari penjelasan di atas, Modul 9 berupaya membahas beberapa aspek


perilaku organisasi lintas negara atau sering disebut juga sebagai perilaku
organisasi lintas budaya atau perilaku organisasi internasional. Disebut
perilaku organisasi lintas budaya karena dalam banyak hal perbedaan praktik
perilaku organisasi disebabkan karena perbedaan budaya khususnya budaya
masyarakat. Oleh karena itu, pada Modul 9 akan dibahas pengaruh budaya
terhadap perilaku organisasi sebagai Kegiatan Belajar 1 dan 2 membahas
beberapa topik khusus, seperti tim kerj a lintas negara. Dengan selesainya
modul sembilan dengan demikian mahasiswa diharapkan bisa mem-
pertimbangkan aspek budaya sebagai salah satu variabel moderasi ketika
hendak mempraktikkan teori dan konsep perilaku organisasi.
9.4 PERILAKU ORGANISASI e

KEGIATAN BELAL.JAR 1

Pengaruh Budaya Masyarakat terhadap


Praktik Perilaku Organisasi

ebagaimana telah kita ketahui bersama, sejak awal tahun 1970-an pelaku
bisnis lintas negara atau yang biasa dikenal sebagai perusahaan
multinasional (MNC) tidak lagi sekadar mengekspor produknya, tidak pula
sekadar memiliki saham perusahaan di luar negeri melalui Joint Venture atau
aliansi strategis, tetapi juga melakukan investasi langsung (direct foreign
invetment) ke negara lain. Investasi langsung adalah mendirikan perusahaan
di negara lain (biasa disebut anak perusahaan) oleh sebuah perusahaan yang
berlokasi di negara berbeda (biasa disebut sebagai perusahaan induk). Secara
manajerial, konsekuensi logisnya adalah perusahaan induk (parent company)
memiliki otoritas untuk mengelola seluruh sumber daya yang ditanamkannya
(istilah umumnya adalah perusahaan induk melakukan active management),
termasuk di dalamnya menetapkan strategi bisnis, menyusun perencanaan,
pengendalian, pengambilan keputusan manajerial dan semua pengelolaan
5
sehari-hari kegiatan perusahaan .
Meski investasi langsung bertujuan agar pengelolaan sumber daya lebih
efisien, dengan demikian memperoleh laba lebih baik, sayangnya tidak
semua perusahaan multinasional berhasil seperti harapan semula karena
dalam praktik ternyata banyak perusahaan multinasional yang gagal.
Penyebab kegagalan perusahaan multinasional mengoperasikan anak
perusahaan di luar negeri salah satunya berkaitan dengan persoalan
manajemen dan perilaku manusia di dalam organisasi. Pada umumnya,
perusahaan induk di samping menempatkan orang-orangnya di perusahaan
anak juga membawa serta pola manajemen perusahaan induk. Asumsi yang
biasa digunakan untuk membenarkan praktik ini adalah orang-orang tersebut
telah berpengalaman dan pola manajemennya telah berhasil diterapkan
dengan baik di perusahaan induk. Sayangnya tidak semua asumsi tersebut
benar terutama karena adanya perbedaan budaya yang menyebabkan
perbedaan perilaku manusia pada masing-masing negara. Oleh sebab itu,

5
Lihat pengertian MNC seperti dikemukakan oleh Christopher Barlett and Sumatra
Ghoshal. (2000). Transnational Management: Text, Cases, and Reading in Cross-
Border Management. 3 rd edition. McGraw-Hill International Editions.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.5

pertimbangan budaya baik budaya masyarakat atau budaya nasional harus


menj adi prioritas manakala sebuah perusahaan beroperasi secara global.
Kegiatan Belajar 1 mencoba membahas pengaruh perbedaan budaya
masyarakat terhadap perilaku organisasi dan perilaku kerj a sebagai langkah
awal untuk memahami praktik-praktik perilaku organisasi lintas budaya.
Dengan selesainya Kegiatan Belajar 1 Anda diharapkan memahami landasan
filosofis mengapa konsep-konsep perilaku organisasi tidak bisa diterapkan
secara universal.

A. MANAJEMEN DAN ORGANISASI LINTAS BUDAYA

Dewasa ini batas negara sepertinya hanya menjadi batas wilayah sebuah
negara, tetapi tidak lagi menjadi batas wilayah perekonomian sebuah negara.
Para pelaku bisnis, entah dari mana asalnya, bisa dengan mudah keluar
masuk sebuah negara untuk melakukan kegiatan bisnis dan mendulang
keuntungan dari negara berbeda. Bukan hanya itu, mereka bahkan secara
simultan melakukan bisnis di beberapa negara berbeda dan dari sana pula
keuntungan lebih banyak diperoleh ketimbang keuntungan dari pasar
domestik seperti yang dialami Coca cola dan Pepsicola. Akibatnya,
kebutuhan akan global manager yang memiliki kemampuan untuk bekerja
sama dengan orang-orang dari negara berbeda dengan budaya berbeda sangat
dibutuhkan. Selain itu, praktik manajemen yang selama ini menjadi andalan
ketika perusahaan masih beroperasi pada lingkup domestik sudah seharusnya
berganti menjadi manajemen lintas budaya karena isu-isu yang dihadapi para
manajer jauh lebih kompleks - bukan hanya aspek manajerial, tetapi juga
aspek kultural. Dengan menerapkan manajemen lintas budaya yang dipimpin
oleh manajer global berarti perhatian para manajer bukan hanya tertuju pada
isu-isu manajemen lokal, tetapi juga pada perilaku manusia lintas negara dan
lintas budaya. Para manajer juga dituntut untuk bisa membandingkan dan
mengadaptasi perilaku organisasi lintas negara dan budaya, serta yang lebih
penting lagi para manajer harus memahami dan meningkatkan kemampuan
berinteraksi dengan ternan kerja, manajer, eksekutif, klien, supplier, dan
partner seantero dunia. Walhasil, lingkup perhatian manajemen lintas budaya
jauh lebih luas dan kompleks yang meliputi segala macam isu dalam skala
intemasional dan multikultural yang begitu dinamis.
Uraian di atas secara tidak langsung menegaskan perbedaan antara
organisasi berskala domestik dengan organisasi berskala global. Perbedaan
9.6 PERILAKU ORGANISASI e

ini ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu penyebaran wilayah geografis dan
aspek multikultural. Sebuah organisasi disebut sebagai organisasi global jika
wilayah operasinya, meliputi berbagai negara secara bersamaan. Akibat
luasnya jangkauan operasi ini, organisasi global selalu dihadapkan pada
masalah fluktuasi nilai tukar mata uang, biaya transportasi dan komunikasi
yang begitu besar, perbedaan aturan keuangan dan perpajakan, serta
perbedaan-perbedaan lain yang sangat kompleks yang disebabkan karena
j arak dan batas negara.
Sementara itu, tidak kalah penting dari penyebaran wilayah geografis
adalah persoalan multikultur yang dihadapi organisasi global. Persoalan ini
muncul karena berbagai karyawan dari berbagai latar belakang budaya yang
berasal dari negara berbeda berinteraksi setiap hari secara reguler.
Konsekuensi logisnya adalah manajer yang ditempatkan pada organisasi
global, jika ingin berhasil, harus memiliki global mindset sebagai landasan
berpikir. Cara pikir ini menuntut para manajer untuk selalu berpikir di luar
batas negara dan menempatkan organisasi yang dipimpinnya sebagai entitas
yang berada di tengah-tengah kompleksitas multikultur yang kadang-kadang
bertabrakan antara satu budaya dengan budaya lain. Itulah sebabnya seorang
manajer global juga dituntut untuk secara kognitif membuat trade-off dan
keputusan yang tepat di antara berbagai kepentingan yang saling berlawanan.

B. PERBEDAAN BUDAYA

Pengertian budaya pertama kali dikemukakan oleh Edward Tylor. Tylor


menyatakan bahwa budaya adalah basil karya manusia dalam kedudukannya
sebagai anggota masyarakat. Pengertian budaya seperti yang dikemukakan
6
Edward B. Tylor adalah sebagai berikut :

"Culture or civilization is that complex whole which includes


knowledges, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities
and habits acquired by man as a member of society".

(Kultur atau peradaban adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri


dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan
berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh
seorang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat).

6
E.B. Tylor. (1958). The OriginofCulture. HaLl.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.7

7
atau seperti yang dikemukakan Bronislaw Malinowski berikut ini:

..... It (culture) obviously is the integral whole consisting of implements


and consumers· goods, the constitutional charters for various social
groupings, of human ideas and crafts, beliefs and customs

(kultur adalah keseluruhan kehidupan manusia yang integral yang terdiri


dari berbagai peralatan dan barang-barang konsumen, berbagai
peraturan untuk kehidupan masyarakat, ide-ide dan hasil karya
manusia, keyakinan dan kebiasaan manusia).

Pengertian budaya yang semula bersifat generik seperti disebutkan di


atas, selanjutnya mulai bergeser sejalan dengan terjadinya evolusi kehidupan
manusia yang terus mengalami perkembangan. Dalam hal ini, budaya tidak
lagi dikaitkan semata-mata dengan aspek kehidupan manusia secara umum,
tetapi mulai dikaitkan dengan manusia sesuai dengan orientasi masing-
masing kelompok. Pergeseran orientasi ini dapat dilihat dari pengertian
8
budaya seperti yang diberikan oleh Melville Herskovits sebagai berikut:

"....... is a construct describing the total body of belief, behavior,


knowledge, sanctions, values, goals that make up the way of life of a
people"

(budaya adalah sebuah kerangka pikir (construct) yang menjelaskan


tentang keyakinan, perilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan,
nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandangan hidup
(way of life) sekelompok orang)

Pengertian budaya dalam disiplin antropologi seperti tersebut di atas


menegaskan bahwa budaya adalah fenomena dan miliki kelompok. Skala
sebuah kelompok his a j adi kecil seperti keluarga atau organisasi, atau
berskala besar seperti negara dan masyarakat. Tidak seperti Modul 8 yang
menjelaskan budaya dalam konteks organisasi, Kegiatan Belajar 2 ini
mendefinisikan budaya dalam konteks yang lebih luas yaitu negara atau
masyarakat. Asumsi ini memberi arti, sesuai dengan definisi di atas bahwa
setiap masyarakat atau negara memiliki orientasi budaya berbeda. Seperti

7
Malinowski sebagaimana dikutip oleh William M. Evan hal. 267.
8
Melville Herskovits sebagaimana dikutip oleh Mary Jo Hatch. (1997).
Organization Theory. New York: Oxford University Press. Hal. 204.
9.8 PERILAKU ORGANISASI e

9
dikatakan oleh Nancy Adler orientasi kultural sebuah masyarakat
merefleksikan interaksi yang sangat kompleks antara nilai-nilai, sikap, dan
perilaku yang ditunjukkan oleh para anggota masyarakat. Seperti tampak
pada Gambar 9.1 , individu-individu anggota masyarakat mengekspresikan
budaya melalui nilai-nilai yang mereka yakini tentang kehidupan dan dunia
di sekitarnya. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut akan memengaruhi cara mereka
bersikap dan bentuk perilaku yang dianggap tepat dan efektif pada situasi
tertentu. Sebaliknya, perubahan pola perilaku indi vidu dan kelompok pada
akhirnya akan memengaruhi pula budaya masyarakat. Proses ini akan terus
bergulir tanpa henti meski prosesnya itu sendiri kadang-kadang begitu
lamb at.

Prilalru Budaya

Sikap Nilai-
nilai

Gambar 9.1.
Pengaruh Budaya terhadap Perilaku dan Perilaku terhadap Budaya

Untuk memperoleh gambaran lebih jauh tentang landasan filosofis


mengapa budaya setiap masyarakat berbeda, ada baiknya kita merujuk pada
tulisan Kluckhohn and Strodtbeck. Kluckhohn and Strodtbeck dalam
10
bukunya Variation in value orientation , mengatakan:

"value orientations are complex but definitely patterned (rank ordered)


principles, resulting from the transactional interplay of three
analytically distinguishable elements of the evaluative process - the
cognitive, the affective, and the directive elements - which give order

9
Lihat Nancy Adler, 2002, International dimensions of organizational
behavior, 4th edition, South Western, halaman 17-18
°
1
Kluckhohn, F.R. and F.L. Strodtbeck, 1961, Variation in value orientation,
Evanston, Illinois: Row, Peterson and company, halaman 4
e EKMA41 58/MODUL 9 9.9

and direction to the ever-flowing stream of human acts and thoughts as


these relate to the solution of common human problems"

"orientasi nilai adalah sesuatu yang kompleks yang secara definitif


merupakan prinsip-prinsip yang terpola (berurutan) hasH dari saling
peran antara tiga elemen proses evaluatif yang berbeda - elemen
kognitif, afektif dan direktif, di mana ketiga elemen yang saling
berinteraksi tersebut menjadikan cara bertindak dan cara berpikir
seseorang dalam mengatasi masalah-masalah umum yang dihadapinya
cenderung berurutan dan terarah"

Tercakup dari pemahaman tentang orientasi nilai seperti tersebut di atas,


bisa dikatakan bahwa masalah umum yang dihadapi seseorang atau
sekelompok orang sesungguhnya sangat kompleks. Meski demikian masalah
yang kompleks tersebut bisa ditata dan dibuat urutan sesuai dengan tingkat
urgensinya. ltulah sebabnya masalah yang tadinya begitu kompleks akhimya
terkesan menjadi sangat terbatas. Kluckhohn and Strodtbeck mengidentifikasi
lima masalah umum yang dianggap mendesak, yakni:
1. masalah yang berkaitan dengan karakter atau sifat dasar manusia;
2. masalah yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam;
3. masalah yang berkaitan dengan orientasi manusia terhadap ruang dan
waktu;
4. masalah yang berkaitan dengan orientasi manusia dalam menjalankan
akti vitas hidupnya;
5. masalah yang berkaitan dengan orientasi manusia dalam hubungannya
dengan manusia lain.

Kluckhohn and Strodtbeck lebih lanjut mengatakan karena masalah yang


dihadapi manusia sangat terbatas maka cara penyelesaiannya juga sama
terbatasnya. Cara penyelesaian tersebut sangat bergantung pada nilai-nilai
yang dominan serta variasi dari nilai-nilai tersebut. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di bagian barat daya Amerika Serikat, Kluckhohn and
Strodtbeck menyimpulkan bahwa orientasi nilai seseorang atau sekelompok
orang bisa dibedakan menjadi 6 kategori dan masing-masing kategori
memiliki 3 macam variasi seperti tampak pada Tabel9.1.
9.10 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 9.1.
Orientasi Nilai dan Variasinya

ISSUE . .__
VARIATIONS
,--- r

RELATION TO Subjugation to Harmony to Mastery over


NATURE nature Nature Nature

TIME ORIENTATI0~ 1 Past Present Future


BASIC HUMAN Evil Neutral Good
NATURE

ACTIVITY Being Controlling Doing

RELATIONSHIPS Hierarchical Group Individualistic

SPACE Private Mixed Public

Sumber: Kluckhohn and Strodtbeck.

Seperti tampak pada Tabel 9.1, isu-isu penting yang dihadapi seseorang
atau sekelompok orang bisa dibedakan menjadi 5 macam isu pokok atau 6 isu
jika isu yang berkaitan dengan ruang (space) dan waktu (time) dipisahkan.
Setiap isu bisa diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai dominan yang diyakini
kebenarannya oleh seseorang atau sekelompok orang yang terdiri dari
3 macam variasi nilai. Hal ini bisa diartikan bahwa setiap isu hanya ada tiga
kemungkinan cara penyelesaian. Dalam kaitannya dengan hubungan manusia
dengan alam misalnya, manusia pada dasarnya memiliki preferensi yang
sangat terbatas, yakni ada sekelompok manusia yang cenderung pasrah
terhadap alam, ada yang lebih memilih menyatu atau harmoni dengan alam
dan ada yang mencoba menguasai alam. Sebagai contoh, seandainya seorang
pendiri atau para pendiri organisasi dan jajaran manajemennya cenderung
lebih condong ke harmoni dengan alam maka dalam menjalankan
kegiatannya mereka lebih memilih beradaptasi dengan lingkungan ketimbang
mencoba mengendalikan lingkungan seperti yang akan terjadi bagi para
pendiri dan jajaran manajemen yang orientasi nilainya mencoba menguasai
alam. Adaptasi dengan lingkungan dengan demikian merupakan asumsi dasar
yang dijadikan pedoman bagi organisasi tersebut dalam mengatasi persoalan-
persoalan organisasi termasuk di dalamnya yang berhubungan dengan
masalah lingkungan organisasi. Dalam skala yang lebih luas masyarakat
Indonesia, misalnya cenderung pasrah pada alam sedangkan masyarakat
Amerika cenderung ingin menguasai alam. Pada persoalan yang sama,
e EKMA41 58/MODUL 9 9.11

misalnya gagal panen maka cara penyelesaian antara masyarakat Indonesia


berbeda dengan masyarakat Amerika. Bagi masyarakat Indonesia gagal
panen akan disikapi dengan pasrah karena dianggap semua itu karena
kehendak Yang Kuasa. Akan tetapi, bagi masyarakat Amerika mereka harus
tahu apa penyebab gagal panen dan bagaimana agar di lain waktu tidak
terjadi lagi.
11
Lane and DiStefano memberikan contoh (lihat Tabel 9.2) bagaimana
orientasi nilai seseorang atau sekelompok orang dalam kaitannya dengan
hubungan manusia dengan alam memengaruhi praktik-praktik manajemen.
Lane and DiStefano dalam hal ini mencontohkan dua praktik manajemen:
penentuan tujuan organisasi (goal setting) dan penyusunan anggaran
(budgeting). Bagi sekelompok orang yang meyakini bahwa hidupnya
ditentukan oleh alam maka mereka akan menentukan tujuan secara samar-
samar dengan satu asumsi bahwa keberhasilan mereka mencapai tujuan
tersebut sangat bergantung pada pengaruh lingkungan terhadap eksistensi
organisasi. Kalau kebetulan lingkungan sedang kondusif untuk menjalankan
aktivitas maka bukan tidak mungkin tujuan tersebut bisa tercapai, tetapi
sebaliknya jika lingkungan sedang tidak mendukung maka tidak tercapainya
tujuan bukan suatu masalah yang perlu diributkan. Bagi sekelompok orang
yang lebih memilih harmoni dengan alam akan selalu memperhatikan kondisi
lingkungan sebelum tujuan tersebut ditentukan. Artinya, kecocokan antara
tujuan dengan lingkungannya menjadi prasyarat agar tujuan organisasi bisa
tercapai. Sebaliknya, bagi sekelompok orang yang cenderung menguasai
alam akan secara spesifik dan tegas dalam menentukan tujuannya. Ketegasan
ini didasarkan pada keyakinan bahwa lingkungan bisa diatasi jika kita secara
tegas pula menetapkan keinginan atau tujuannya.

11
Lane and DiStefano. (1992). International Management Behavior. Hal. 31.
9.12 PERILAKU ORGANISASI e

Tabel 9.2.
Variasi Hubungan Manusia dengan Alam dan
lmplikasinya terhadap Praktik-praktik Manajemen

Issue Variasi Nilai


Hubungan manusia Pasrah pada Harmoni dengan alam Menguasai alam
den~ an alam alam
Dampak Manajerial
Aspek mana· erial Variasi
Penetapan tujuan Ragu-ragu, Konti ngen, mode rat Spesifik,
samar-samar convidence, tidak
ambi u
Penyusunan Dianggap Riil adalah yang Riil, relevan, dan
• •
anggaran s1a-s1a sesungguhnya memiliki nilai guna

Sumber: Lane and DiSteffano, (hal. 31 ).

C. PENGARUH PERBEDAAN BUDAYA TERHADAP PERILAKU


KERJA

Sekarang sampailah pada pertanyaan pokok: bagaimana perbedaan


budaya bisa memengaruhi perilaku organisasi dan perilaku kerja? Untuk
12
menjawab pertanyaan ini Andre Laurent - seorang profesor dari INSEAD
Prancis melakukan studi tentang filosofi dan perilaku manajer di sembilan
negara Eropa Barat, Amerika Serikat, dan tiga negara Asia (Indonesia,
Jepang, dan Cina). Laurent misalnya mengajukan pemyataan sebagai berikut:
"Alas an utama hierarki organisasi adalah agar setiap orang tabu siapa yang
memiliki otoritas terhadap siapa". Pernyataan ini temyata di respons secara
beragam. 83 % manajer Indonesia setuju dengan penyataan tersebut
sedangkan manajer Amerika yang setuju hanya 17%. Temuan ini
menunjukkan bahwa manajer Indonesia lebih berorientasi hubungan
(relationship oreintation) sedangkan para manajer Amerika lebih berorientasi
tugas (task orientation). Implikasi dari temuan ini adalah manajer Amerika
barangkali akan mengalami kesulitan ketika bekerja di Indonesia karena
masyarakat Indonesia lebih mengedepankan orang sedangkan manajer
Amerika lebih mengedepankan tugas. Bagi masyarakat Indonesia yang

12
Andre Laurent. (1983). The Cultural Diversity of Western Conception of
Management. International Studies of Management and Organization. Vol13 , No.
1-2. Hal. 75- 96.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.13

penting siapa orangnya dulu bukan tugasnya, tetapi bagi masyarakat Amerika
yang penting tugasnya telah dinyatakan dengan jelas dan orangnya menyusul.
Tentang peran seorang manajer apakah dia sebagai seorang expert atau
problem-solver, Laurent mengajukan pernyataan: "sangat penting bagi
seorang manajer untuk memberi jawaban yang pasti ketika anak buah
mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan mereka." 73% manajer Indonesia
setuju dengan pernyataan tersebut yang artinya setiap manajer harus memberi
jawaban pasti kepada anak buahnya ketika ditanya sesuatu. Manajer tidak
boleh mengatakan tidak tabu atau merujuk kepada orang lain yang lebih tahu.
Jika melakukan hal itu maka seorang manajer dianggap tidak kompeten.
Dengan kata lain, manajer Indonesia lebih menempatkan diri sebagai seorang
expert. Sementara itu, manajer Amerika hanya 18% yang setuju yang
menandakan bahwa mereka lebih sebagai problem solver.
Temuan-temuan di atas tidak jauh berbeda dengan basil penelitian
Hofstede yang sangat fenomenal tentang sikap kerja dalam lingkup
perbedaaan budaya. Hasil temuan Hofstede belakang dikenal dengan istilah
budaya nasional. Hasil penelitian Hofstede dituangkan dalam sebuah buku
berjudul "culture consequences: International differences in work related
values" yang diterbitkan pada tahun 1980 dan buku dan/atau artikel lain
sesudahnya. Hofstede boleh jadi bukan orang pertama yang menggunakan
istilah budaya nasional karena embrio konsep tersebut sudah diperkenalkan
13
oleh penulis sebelumnya seperti Haire, Ghiselli and Porter . Namun, dalam
berbagai literatur, khususnya yang mengkaji aspek kehidupan dan kegiatan
manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan Hofstede hampir selalu
menjadi rujukan utama dibandingkan misalnya dengan karya-karya
14
Trompenaars meski keduanya sesungguhnya melakukan kajian yang sama
yakni budaya nasional. Dalam melakukan kajian tersebut, keduanya juga
menggunakan basis atau konsep dasar yang sama yakni konsep nilai yang
dikemukakan Kluckhohn and Strodtbeck yang tertuang dalam buku
"Variation in value orientation". N amun, sekali lagi konsep yang
dikembangkan oleh Hofstede lebih banyak digunakan termasuk uraian pada
bab ini juga lebih banyak menggunakan konsepnya Hofstede.

13
Lihat misalnya M. Haire, E.E. Ghiselli and L.W. Porter. (1997). Cultural Patterns in
the Role of the Manager. in Malcolm Warner (ed.) Compaative Management:
Critical Perspective on Business and Manaegement. Vol. 1., London: Routledge.
Hal.154-175.
14
Trompenaars, F. (1993). Riding the Waves of Culture. London: Nicholas Brealey.
9.14 PERILAKU ORGANISASI e

Hofstede memberikan pengertian budaya nasional sebagai budaya yang


tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah
(negara). Pengertian ini menunjukkan bahwa sekelompok orang (masyarakat)
yang tinggal di sebuah negara dianggap memiliki kesamaan-kesamaan dan
tujuan publik yang sama. Oleh karenanya di dalam masyarakat tersebut
tumbuh dan berkembang sebuah budaya yang disebut budaya nasional.

D. DIMENSI-DIMENSI BUDAYA NASIONAL

Untuk sampai pada kesimpulan bahwa budaya nasional adalah budaya


yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah negara, Hofstede terlebih dahulu
melakukan penelitian yang melibatkan tidak kurang dari 117.000 responden
yang tersebar pada 40 negara. Hofstede sendiri pada mulanya tidak
bermaksud meneliti budaya nasional, tetapi lebih kepada nilai-nilai yang
berkaitan dengan pekerjaan (work related values) dengan objek penelitian
perusahaan multinasional IBM dan anak-anak perusahaannya yang tersebar
di seluruh dunia (pada awalnya hanya melibatkan perusahaan IBM di
40 negara, tetapi kemudian diperluas menjadi 50 negara dan 3 region) dan
respondennya karyawan perusahaan tersebut. N amun, dari hasil penelitian ini
kemudian muncul istilah budaya nasional. Metode yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah metode survei di mana para responden diminta
mengisi kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. lsi dari kuesioner
antara lain berbagai aspek tentang pengalaman kerj a dan nilai-nilai kerj a.
Oleh karena tujuan Hofstede dalam penelitian ini adalah untuk
membandingkan perbedaan tata nilai para pekerja di suatu negara dengan tata
nilai para pekerja di negara lain maka besaran sampel penelitian bukannya
117.000 ribu melainkan 40 negara. A tau dengan kata lain, level of analysis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah negara. Meski demikian, skor
rata-rata yang digunakan untuk membedakan tata nilai tersebut didasarkan
pada rata-rata nilai yang diperoleh pada masing-masing negara. Dari hasil
olah data yang dilakukan dua kali, yakni tahun 1967 dan tahun 1973,
didukung analisis statistik yang begitu kompleks dan dibarengi penggunaan
analisis faktor, seperti umur, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbedaan nilai-nilai kerja salah satunya
disebabkan karena perbedaan budaya pada masing-masing negara (budaya
nasional).
e EKMA41 58/MODUL 9 9.15

Secara umum, perbedaan nilai-nilai kerja tersebut dibedakan menjadi


4 dimensi, yakni "power distance - jarak kekuasaan"; "individualism -
collectivism"; "masculinity - femininity"; dan "uncertainty avoidance -
menghindari ketidakmenentuan." Belakangan, berdasarkan penelitian
lanjutan ten tang sistem nilai masyarakat keturunan Cina (Chinese Value
15
Survey) yang dilakukan oleh Hofstede and Bond , ditemukan satu dimensi
baru, yaitu "short-term -long term orientation."
Tabel 9.3 memberikan gambaran tentang kuesioner dan respons yang
diberikan oleh para responden. Sementara itu, basil skor dan ranking untuk
masing-masing negara/region dapat dilihat pada Tabel 9.4.

Tabel 9.3.
Cuplikan Kuesioner dan Jawabannya

Value Item Pertan,,aan Res pons


Power Seberapa sering, dalam pengalaman saudara, Sangat sering
distance persoalan-persoalan berikut ini muncul: takut untuk
menyampaikan ketidaksetujuannya kepada para
manajer?
Uncerlainty Aturan-aturan perusahaan tidak boleh dilanggar Sangat setuju
avoidance walaupun karyawan yakin bahwa pelanggaran tersebut
sesungguhnya demi kepentingan perusahaan
Individualism Sampai kapan saudara akan bekerja pada perusahaan Sampaipensiun
ini?
Femininity Bagi saudara, seberapa penting memiliki pekerjaan Sangat penting
yang memberi waktu yang cukup untuk kehidupan
personal dan keluarga saudara?
Masculinity Bagi saudara, seberapa penting memiliki keleluasaan Sangat penting
untuk menyelesaikan pekerjaan?
Bagi saudara, seberapa penting memiliki hubungan Sangat penting
kerja yang baik dengan manajer atasan?
Bagi saudara, seberapa penting bekerja dengan orang- Sangat penting
orang yang bisa bekerja sama satu sama lain?
Bagi saudara, seberapa penting memperoleh Sangat penting
kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih
tinggi?
Bagi saudara, seberapa penting memperoleh Sangat penting
:>en akuan oran1 lain ketika beker'a den an baik?

15
Hofstede and Bond. (1988). The Confucius Connection: from Cultural Roots to
Economic Growth, Organization Dynamics. 16, 4, Hal. 4-12.
Tabel 9.4.
Skor untuk Masing-masing Dimensi

Power Distance Uncertainty Avoidance Individualism Masculinity


Negara/Region
Ranking Index Ranking Index Ranking Index Ranking Index
Afrika Selatan 36-37 49 39-40 49 16 65 13-14 63
Argentina 35-36 49 10-15 86 22-23 46 20-21 56
Australia 41 36 37 51 2 90 16 61
Austria 53 11 24-25 70 18 55 2 79
Belgia 20 65 5-6 94 8 75 22 54
Brasil 14 69 21-22 76 26-27 38 27 49
Canada 39 39 41-42 48 4-5 80 24 52
Chile 24-25 63 10-15 86 38 23 46 28
Colombia 17 67 20 80 49 13 11-12 64
Costa Rica 42-44 35 10-15 86 46 15 48-49 21
Denmark 51 18 51 23 9 74 50 16
El Salvador 18-19 66 5-6 94 42 19 40 40
Ekuador 8-9 78 28 67 52 8 13-14 63
Finlandia 46 33 31-32 59 17 63 47 26 1l
1"1
Guatemala 2-3 95 3 101 53 6 43 37 ;:c
-r
Hong Kong 15-16 68 49-50 29 37 25 18-19 57 )>
i\
Indonesia 8-9 78 41-42 48 47-48 14 30-31 46 c
[J
lnggris 42-44 35 47-48 35 3 89 9-10 66 ;:c
[;I
India 10-11 77 45 40 21 48 20-21 56 )>
z-
Iran 19-20 58 31-32 59 24 41 35-36 43 U1
)>

-
U1


Negara/Region
Power Distance Uncertainty Avoidance Individualism Masculinity •
1"1
Ranking Index Ranking Index Ranking Index Ranking Index i\
I
lrlandia 49 28 47-48 35 12 70 7-8 68 )>
~
Israel 52 13 19 81 19 54 29 47 ...
U1
ltalia 34 50 23 75 7 76 4-5 70 ro
.........
Jamaika 37 45 52 13 25 39 7-8 68 I
0
Jepang 33 54 7 93 22-23 46 1 95 0
Jerman (Barat) 42-44 35 29 65 15 67 66 c
9-10 r
Korea (Selatan) 27-28 60 16-17 85 43 18 41 39 \()

Malaysia 1 104 46 36 36 26 25-26 50


Mexico 5-6 81 18 82 32 30 6 69
Netherlands 40 38 35 53 4-5 80 51 14
Norwegia 47-48 31 38 50 13 69 52 8
New Zealand 50 22 39-40 49 6 79 17 58
Pakistan 32 55 24-25 70 47-48 14 25-26 50
Panama 2-3 95 10-15 86 51 11 34 44
Perancis 15-16 68 10-15 86 10-11 71 35-36 43
Peru 21-23 64 9 87 45 16 37-38 42
Filipina 4 94 44 44 31 32 11-12 64
Portugal 24-25 63 2 104 33-35 27 45 31
Singapura 13 74 53 8 39-41 20 28 48
Spanyol 31 57 10-15 86 20 51 37-38 42
Swedia 47-48 31 49-50 29 10-11 71 52 5
Swiss 45 34 33 58 14 68 4-5 70
Taiwan 29-30 58 26 69 44 17 32-33 45 ~

'-'>

Power Distance Uncertainty Avoidance Individualism Masculinity


Negara/Region
Ranking Index Ranking Index Ranking Index Ranking Index
Thailand 21-23 64 30 64 39-41 20 44 34
Turki 18-19 66 16-17 85 28 37 31-33 45
USA 38 40 43 46 1 91 15 62
Uruguay 26 61 4 100 29 36 42 38
Venezuela 5-6 81 21-22 76 50 12 3 73
Yugoslavia 12 76 8 88 33-35 27 48-49 21
Yunani 27-28 60 1 112 30 35 18-19 57
Wilayah Afrika Timur 21-23 64 36 52 33-35 27 39 41
Wilayah Afrika Barat 10-11 77 34 54 39-41 20 30-31 46
Wilayah Jazirah Arab 7 80 27 27 26-27 38 23 53

1J
1"1
;u
-r
)>
7'
c
[J
;u
G1
)>
z-
[I)
)>
[I)
-

e EKMA41 58/MODUL 9 9.19

1. Power Distance
Power distance didefinisikan sebagai "the extent to which the less
powerful members of institutions and organization within a country expect
and accept that power is distributed unequally - sejauh mana anggota-
anggota biasa (yang tidak memiliki kekuasaan) sebuah institusi dan/atau
organisasi berharap dan mau menerima kenyataan bahwa kekuasaan tidak
didistribusikan secara merata". Maksud dari institusi di sini adalah elemen-
elemen utama sebuah masyarakat, seperti keluarga, sekolah, dan komunitas.
Organisasi adalah tempat seseorang melakukan pekerjaan.
Berdasarkan definisi ini, dengan demikian power distance merupakan
dimensi budaya nasional yang mengungkap jarak hubungan (tingkat
ketidaksetaraan) antara bawahan dengan atasan, antara seseorang dengan
status sosial lebih rendah dengan seseorang yang memiliki status sosial lebih
tinggi, dan/atau antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan orang
yang berkuasa. Oleh Hofstede, ketidaksetaraan hubungan tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu large power distance dan small power distance.

a. Large power distance


Dalam batas-batas tertentu ada sekelompok masyarakat yang menyadari
bahwa dirinya adalah orang kecil, tidak memiliki wewenang, tidak memiliki
kekuasaan, dan tidak memiliki pengaruh sehingga menyerahkan segala
urusan yang menyangkut nasib dirinya dan kelompoknya kepada orang lain
yang dianggap memiliki apa yang mereka tidak miliki yakni menyerahkan-
nya kepada orang yang memiliki kedudukan dan berkuasa. Oleh karenanya
mereka rela diberi petunjuk, diarahkan diperintah, bahkan dimarahi
sekalipun. Araban, petunjuk, dan perintah dari para penguasa kepada orang
yang tidak memiliki kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat dinanti dan
diharapkan. Kelompok masyarakat ini hampir tidak pernah mengeluh kepada
atasan karena dianggap tidak patut. Keluhan, kalau itu terjadi hanya terbatas
pada kalangan mereka sendiri. Demikian juga, kalaulah mereka terpaksa -
atas keinginan orang yang berkuasa, harus menyampaikan pendapat,
kegundahan atau unek-uneknya, biasanya diiringi dengan sebuah perkataan
"yah ..... .inilah unek-unek orang kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa".
Kecenderungan lain dari kelompok masyarakat ini adalah suka memberi
hormat yang berlebihan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan
sehingga orang yang memiliki kedudukan tersebut seolah-olah seperti raja
yang tidak pernah berbuat salah. Jika mereka (orang yang dihormati)
9.20 PERILAKU ORGANISASI e

melakukan kesalahan, dianggap hal yang lumrah. Sebaliknya, apabila orang


kecil (yang tidak memiliki kekuasaan) berbuat salah lebih disebabkan
karenanya kebodohannya. Demikian juga ketika orang yang tidak berkuasa
terkena amarah dari yang berkuasa, dianggap karena nasib sedang jelek.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki
kekuasaan cenderung bergantung kepada orang yang memiliki kekuasaan.
Hubungan mereka memiliki jarak yang cukup lebar dan hierarkis, namun
dianggap sesuatu yang normal. Setiap kelompok, baik yang tidak memiliki
kekuasaan maupun yang berkuasa, menyadari bahwa kedudukan masing-
masing berbeda sehingga seolah-olah peran mereka juga berbeda. Kekuasaan
hanya milik orang tertentu yang memiliki kedudukan sehingga distribusinya
kepada orang yang tidak berkuasa sangat bergantung kepada kemurahan hati
para penguasa.

b. Small power distance


Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan
sebaliknya disebut masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan yang sempit
(small power distance). Oleh karenajarak hubungan yang relatif sempit maka
kedudukan antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan orang yang
berkuasa relatif setara. Tidak seperti large power distance di mana tingkat
ketergantungan orang yang tidak memiliki kekuasaan kepada yang memiliki
kekuasaan begitu tinggi, pada small power distance tingkat ketergantungan
mereka cenderung rendah, sekali lagi karena mereka merasa hubungan antar
keduanya adalah setara. Dengan kata lain, pada masyarakat small power
distance baik kelompok yang berkuasa maupun tidak berkuasa sesungguhnya
saling tergantung. Oleh karenanya bagi orang berkuasa tidak bisa sesuka hati
memonopoli kekuasaan dan mendistribusikan kekuasaannya hanya kepada
orang-orang yang disukainya, sebaliknya kekuasaan cenderung di distribusi-
kan secara lebih merata.
Di antara negara-negara yang masuk dalam kelompok large power
distance dan small power distance dapat dilihat pada Tabel 9.5. Sementara
itu, manifestasi dari masyarakat large dan small power distance baik yang
terjadi di dalam keluarga, lembaga pendidikan, di tempat kerja maupun di
pemerintahan, dapat dilihat pada Tabel 9.6.
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.21

Tabel 9.5.
Negara-negara yang Masuk dalam Large dan Small Power Distance

Lar e Power Distance Small Power Distance


a. Malaysia a. Austria
b. Guatemala b. Israel
c. Philippines c. Denmark
d. Mexico d. New Zealand
e. Venezuela e. Rep. lrlandia
f. Negara-negara Arab f. Swedia
g. Equador g. Norwegia
h. Indonesia h. Jerman
• •
I. India I. Swiss
• •
• Afrika Barat • Amerika Serikat

Tabel 9.6.
Perbedaan antara Masyarakat dengan Large dan Small Power Distance

Small Power Distance Lar e Power Distance


Karakteristik Umum Karakteristik Umum
a. Ketidaksetaraan di antara anggota a. Ketidaksetaraan di antara anggota
masyarakat harus terjadi pada skala masyarakat merupakan hal yang wajar
yang kecil (sangat minimal). bahkan sangat diharapkan.
b. Terjadi saling kebergantungan antara b. Orang-orang yang tidak memiliki
orang yang tidak memiliki kekuasaan kekuasaan sangat bergantung pada
dengan orang yang memiliki orang-orang yang memiliki kekuasaan .
kekuasaan.

Dalam Keluarga Dalam Keluarga


a. Orang tua memperlakukan anak- a. Orang tua mengajari anak-anaknya
anaknya dengan kedudukan setara untuk patuh.
b. Anak-anak memperlakukan orang b. Anak-anak memperlakukan orang
tuanya dengan kedudukan setara tuanya dengan hormat.

Dalam Lingkungan Sekolah Dalam Lingkungan Sekolah


a. Guru adalah seorang eksper yang a. Di kelas seorang guru diharapkan
mentransfer kebenaran. mengambil inisiatif untuk seluruh
b. Murid-murid memperlakukan guru kegiatan.
dengan kedudukan setara. b. Guru tidak mentransfer kebenaran,
c. Orang-orang yang berpendidikan tetapi kearifan pribadi
cenderung tidak otoriter ketimbang c. Murid-murid memperlakukan guru
yang kurang berpendidikan. dengan hormat.
d. Baik orang-orang yang berpendidikan
maupun yang kurang pendidikannya
cenderung otoriter.
9.22 PERILAKU ORGANISASI e

Small Power Distance Lar• e Power Distance


Dalam Lingkungan Organisasi Dalam Lingkungan Organisasi
a. Hierarki organisasi sekadar untuk a. Hierarki organisasi menunjukkan
membedakan peran masing-masing secara riil perbedaan kedudukan
dan untuk kemudahan semata. antara level atas dengan level bawah.
b. Desentralisasi sangat disukai. b. Organisasi cenderung sentralistik.
c. Perbedaan gaji antara top level c. Perbedaan gaji antara pimpinan
dengan low level manajemen sangat puncak dengan bawahan cukup tinggi.
kecil. d. Bawahan berharap untuk diberi tahu
d. Anak buah biasa berharap untuk apa yang seharusnya dikerjakan.
diajak konsultasi dalam pengambilan
keputusan.

2. Individualism vs. Collectivism


Jika pada dimensi pertama, perbedaan antara satu negara dengan negara
lain, secara kultural, disebabkan karena perbedaan tingkat kesetaraan
masyarakat, yakni apakah masyarakat di negara tersebut cenderung tidak
setara (memiliki jarak kekuasaan yang tinggi) atau sebaliknya. Pada dimensi
kedua, negara akan diidentifikasi melalui struktur sosialnya yakni apakah
masyarakat yang tinggal di negara tersebut cenderung lebih individual atau
kolektif.
Hofstede memberikan pengertian masyarakat yang individual dan
kolektif sebagai berikut:

"Individualism pertains to societies in which the ties between


individuals are loose; every is expected to look after himself or herself
and his or her immidiate family. Collectivism as its opposite pertains to
societies in which people from birth onwards are integrated into strong,
cohesive ingroups, which throughout people's lifetime continue to
protect them in exchange for unquestioning loyalty"

"istilah individualism berkaitan dengan masyarakat dimana


hubungan antar individual begitu renggang; setiap orang lebih peduli
pada dirinya dan keluarga dekatnya. Sementara itu istilah collectivism,
kebalikan dari individualism, berkaitan dengan masyarakat dimana
seseorang sejak dilahirkan merupakan bagian integral dari kelompok
masyarakat

Definisi di atas menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya memiliki


struktur sosial yang berbeda. Ada sekelompok masyarakat yang cenderung
lebih individual, sementara kelompok masyarakat yang lain lebih kolektif.
Perbedaan antara masyarakat individualism dan collectivism ini tidak saja
e EKMA41 58/MODUL 9 9.23

terjadi pada masyarakat tradisional, tetapi juga pada masyarakat modern,


bahkan berbeda antara masyarakat yang tinggal di satu negara dengan negara
lain. Gambaran perbedaan struktur so sial yang secara tradisional terj adi
antara masyarakat kota dan masyarakat desa yang merefleksikan perbedaan
antara masyarakat individualism dan collectivism dapat dilihat pada uraian
berikut ini.
Di kalangan masyarakat desa (biasanya cenderung lebih kolektif),
misalnya ada sebuah pepatah yang sangat populer, yakni "sedekat-dekat
saudara kandung namun tinggal di tempat jauh tetap masih lebih dekat
tetangga". Pepatah ini menggambarkan kedekatan hubungan so sial
antarwarga masyarakat dan sekaligus menunjukkan pula betapa pentingnya
peran seorang tetangga dalam kehidupan masyarakat desa. Di desa, hampir
tidak mungkin seorang warga tidak membutuhkan dan tidak bergantung
kepada tetangga (warga lain) karena hampir setiap urusan yang melibatkan
banyak orang, mulai dari hajatan pernikahan, kenduri sampai pada upacara
kematian pasti melibatkan tetangga. Dalam hal bantu membantu, para
tetangga biasanya melakukannya dengan suka rela dengan satu pertimbangan
mereka suatu ketika juga membutuhkan bantuan tetangga yang lain. Itulah
sebabnya mereka berupaya menjaga hubungan baik (harmoni) di antara
sesama warga. Bahkan hubungan baik antarwarga bisa membuahkan
sentimen seolah-olah mereka merupakan sebuah keluarga besar yang
memiliki tali persaudaraan.
Sebagai sebuah keluarga besar yang saling bergantung, dengan demikian
seorang warga atau anggota masyarakat tidak bisa mengutamakan
kepentingan dirinya atau keluarganya di atas kepentingan masyarakat.
Bahkan dalam batas-batas tertentu hak-hak individu terkadang harus
dikorbankan demi kepentingan masyarakat banyak. Hal ini misalnya sangat
dirasakan betul ketika ada persoalan yang melibatkan antarwarga. Hampir
semua persoalan tersebut diselesaikan bersama secara kekeluargaan,
misalnya melalui musyawarah, rembuk desa atau melalui acara-acara
informal seperti kenduri dan upacara-upacara lain. Hal yang lebih penting
lagi adalah semua persoalan tersebut diputuskan dengan mengacu pada
norma perilaku masyarakat yang secara konvensional mereka bangun
bersama. Dengan demikian, norma perilaku masyarakat menjadi elemen
penting dalam bermasyarakat yang harus dipatuhi semua warga dan
diharapkan bisa melindungi semua warga sebagai imbalan atas loyalitas
warga kepada masyarakat.
9.24 PERILAKU ORGANISASI e

Berbeda dengan kehidupan pedesaan yang begitu akrab, komunal dan


kolektif di mana struktur sosial berpusat pada masyarakat banyak (extended
family), masyarakat perkotaan biasanya memiliki tata nilai yang sangat
kontras. Antarsesama warga meski tempat tinggal mereka berdampingan,
terkadang tidak saling men genal. Apalagi silsilah keluarga dan pekerj aan,
bahkan nama tetangga sekalipun terkadang mereka tidak tahu. Jika di
pedesaan saling memberi nasihat merupakan hal yang lumrah bahkan sangat
dibutuhkan, di perkotaan memberi nasihat kepada warga lain yang bukan
kerabat dekatnya atau orang tersebut tidak memintanya bisa berakibat fatal
karena dianggap ikut campur dalam urusan keluarga lain. Oleh karenanya
seorang warga biasanya tidak peduli dengan persoalan-persoalan yang terjadi
di tetangga sebelah. Ketidakpedualian mereka terhadap tetangga tersebut
bukan berarti mereka tidak acuh, tetapi lebih bertujuan agar ia tidak dianggap
menganggu privacy kehidupan mereka.
Dari gambaran kehidupan sosial masyarakat perkotaan bisa dikatakan
bahwa struktur sosial kehidupan masyarakat kota tidak berpusat pada
masyarakat banyak seperti pada kehidupan desa, melainkan pada masing-
masing individu dan keluarga dekatnya. Kalaulah di masyarakat tersebut ada
aturan yang mengatur kehidupan mereka, peraturan itu sebatas aturan formal
untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walhasil
masyarakat perkotaan cenderung lebih individual dibanding masyarakat desa.
Oleh karena masyarakat yang lebih individual biasanya menempatkan
dirinya dan keluarga dekatnya sebagai pusat kehidupan dalam bermasyarakat
maka interaksi antarindividu dalam masyarakat biasanya sangat renggang
kecuali dengan orang-orang yang sudah dikenalnya. Meski masyarakat yang
demikian lebih peduli terhadap dirinya, pada saat yang sama mereka juga
sangat menghormati hak-hak individual orang lain dengan satu harapan orang
lain juga menghormati hak-hak individualnya.
Kehidupan yang kontras antara masyarakat yang begitu komunal/kolektif
dengan masyarakat yang sangat individual sesungguhnya tidak hanya terjadi
antara masyarakat desa dengan masyarakat kota saja, tetapi secara umum
juga bisa terjadi antara masyarakat yang tinggal di satu negara dengan negara
lain. Meski satu wilayah negara kehidupan masyarakatnya begitu dinamika di
mana setiap orang atau setiap kelompok memiliki pengalaman hidup dan
gaya hidup yang beragam, bahkan seperti digambarkan di atas ada perbedaan
kecenderungan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota, namun
secara umum ada negara yang masyarakatnya cenderung lebih individual,
e EKMA41 58/MODUL 9 9.25

sebaliknya ada negara lain yang masyarakatnya cenderung lebih kolektif.


Perbedaan kecenderungan ini tidak lain merupakan cerminan perbedaan
budaya dan tata nilai masing-masing negara.
Negara-negara yang masyarakatnya cenderung lebih individual dan lebih
kolektif dapat dilihat pada Tabel 9.7. Sementara itu, Tabel 9.8
menggambarkan bentuk manifestasi dari masyarakat yang cenderung lebih
individual dan kolektif baik pada kehidupan rumah tangga, tempat
pendidikan, tempat kerja maupun di pemerintahan.

Tabel 9. 7.
Negara-negara yang Masuk dalam Individualism dan Collectivism

lnvidualism Collectivism
a. USA a. Guatemala
b. Australia b. Ekuador
c. lnggris Raya c. Panama
d. Canada d. Venezuela
e. Netherlands e. Colombia
f. New Zealand f. Indonesia
g. ltalia g. Pakistan
h. Belgia h. Costa Rica
• •
I. Denmark I. Peru
• •
• Swedia • Taiwan

Tabel 9.8.
Perbedaan antara Masyarakat yang Cenderung Lebih Individual
dan Lebih Kolektif

Individualism Collectivism
Secara Umum Secara Umum
a. ldentitas diri seseorang melekat pada a. ldentitas diri seseorang melekat pada
diri orang tersebut. kelompok/masyarakat di mana orang
b. Setiap orang tumbuh dan berkembang tersebut menjadi bagiannya.
untuk bisa menjadi diri sendiri dan b. Setiap orang dilahirkan sebagai
melindungi dirinya dan keluarga penerus keluarga dan kelompoknya.
dekatnya. Sebagai konsekuensi, keluarga dan
kelompok tersebut berusaha
melindunginya sebagai imbalan atas
loyalitas orang tersebut.

Dalam Keluarga Dalam Keluarga


a. Anak-anak diajari untuk berpikir "siapa a. Anak-anak diajari untuk berpikir "siapa
saya". kita ".
9.26 PERILAKU ORGANISASI e

Individualism Collectivism
b. Mengemukakan pendapatnya b. Harmoni harus selalu dijaga dan
merupakan karakteristik orang bijak. konfrontasi langsung harus
c. Berbuat kesalahan merugikan diri dihindarkan.
sendiri dan harga dirinya. c. Berbuat kesalahan merupakan
perbuatan yang memalukan dan
menjadikan diri sendiri dan
kelompoknya kehilangan muka.

Dalam Lingkungan Sekolah Dalam Lingkungan Sekolah


a. Pendidikan ditujukan agar seseorang a. Pendidikan ditujukan agar seseorang
bisa memiliki kapasitas untuk belajar bisa belajar mengerjakan sesuatu
(learning to learn). (learning to do).
b. Memiliki ijazah/diploma berarti b. Memiliki ijazah/diploma merupakan
meningkatkan kesejahteraan entry point untuk meningkatkan status
ekonomik dan/atau harga diri. seseorang di dalam kelompoknya.

Dalam Lingkungan Organisasi Dalam Lingkungan Organisasi


a. Hubungan kerja antara majikan dan a. Hubungan kerja antara majikan dan
karyawan merupakan hubungan yang karyawan memiliki ikatan moral
didasarkan pada kontrak dan saling layaknya dalam sebuah keluarga.
menguntungkan kedua belah pihak. b. Keputusan untuk merekrut dan
b. Keputusan untuk merekrut dan mempromosikan seseorang melibat-
mempromosikan seseorang semata- kan anggota kelompoknya.
mata didasarkan pada kemampuan c. Manajemen lebih ditekankan pada
dan aturan yang berlaku. manajemen kelompok
c. Manajemen lebih ditekankan pada d. Hubungan antarmanusia lebih penting
manajemen individual. ketimbang tugas pekerjaan.
d. Tugas yang harus dikerjakan lebih
penting ketimbang memperhatikan
hubun an antarmanusia.

3. Uncertainty Avoidance
Setiap orang hampir pasti menyadari bahwa masa datang merupakan
sesuatu yang tidak diketahui (unkown), tidak bisa diprediksi (unpredictable)
dan tidak menentu/tidak pasti (uncertain). Meski kesadaran mereka sama,
reaksi masing-masing individu terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian
tersebut ternyata bermacam-macam. Ada yang beranggapan bahwa
ketidakpastian itu bagian dari hidup yang tidak perlu dicemaskan. Toleransi
mereka terhadap ketidakpastian dengan demikian sangat tinggi. Akibatnya,
kelompok orang ini tidak menganggap perlu untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu yang bertujuan hanya sekadar untuk menghindari
ketidakpastian. Sebaliknya, ada juga sekelompok orang yang sama sekali
e EKMA41 58/MODUL 9 9.27

tidak toleran dan merasa sangat takut terhadap ketidakpastian. Mereka


menganggap ketidakpastian merupakan sebuah ancaman dan oleh karenanya
perlu diupayakan dan diantisipasi sedini mungkin tindakan pencegahannya
agar kelak tidak terj adi hal-hal buruk. B agi mereka serba pasti merupakan
kenyamanan hidup.
Toleransi yang berbeda terhadap ketidakpastian menunjukkan bahwa
reaksi terhadap ketidakpastian (uncertainty) sesungguhnya sangat subjektif
dan tidak sama antara satu orang dengan orang lain. Oleh karena bersifat
subjektif, reaksi tersebut sangat bergantung pada pengalaman, tata nilai dan
kepribadian masing-masing orang. Namun, subjektivitas ini juga dituturkan
dan diajarkan kepada banyak orang melalui institusi formal maupun informal
boleh jadi reaksi yang pada awalnya subjektif lama kelamaan bisa menjadi
reaksi bersama. Artinya, reaksi terhadap ketidakpastian juga bersifat kultural.
Berdasarkan alasan ini temuan Hofstede menunjukkan bahwa upaya
menghindari ketidakpastian/ketidakmenentuan (uncertainty avoidance)
16
merupakan salah satu dimensi budaya nasional. Hofstede selanjutnya
mendefinisikan upaya menghindari ketidakpastianlketidakmenentuan
(uncertainty avoidance) sebagai "the extent to which the members of a
culture feel threatened by uncertain or unknown situation" - sejauh mana
anggota masyarakat merasa terancam oleh situasi yang tidak menentu atau
tidak diketahui sebelumnya.
Definisi di atas menunjukkan bahwa reaksi yang timbul akibat situasi
yang tidak menentu bergantung pada sejauh mana seseorang/sekelompok
orang merasa terancam. Semakin seseorang/sekelompok orang merasa
terancam oleh situasi yang tidak menentu semakin ia bereaksi untuk
menghindarinya. Sebaliknya, reaksi untuk menghindari ketidakpastian relatif
rendah jika mereka tidak memiliki perasaan terancam. Dengan demikian,
uncertainty avoidance merupakan dimensi budaya nasional yang
menjelaskan toleransi atau tingkat keterancaman seseorang atau masyarakat
terhadap situasi yang tidak menentu dan reaksinya terhadap situasi tersebut.
Secara umum, uncertainty avoidance dibedakan menjadi dua, yakni strong
uncertainty avoidance dan weak uncertainty avoidance.

16
Hofstede. (1980). Hal. 161.
9.28 PERILAKU ORGANISASI e

a. Strong uncertainty avoidance


Maksud dari strong uncertainty avoidance adalah toleransi yang relatif
rendah terhadap situasi ketidakpastian. Rendahnya toleransi ini mendorong
munculnya upaya-upaya yang sangat kuat untuk menghindarinya. Sebagai
contoh, bagi beberapa orang atau beberapa kelompok orang pemutusan
hubungan kerja (PHK) merupakan sebuah ancaman. Bagi mereka PHK
adalah pertanda tidak adanya kepastian masa depan. Oleh karenanya PHK
sering kali disikapi dengan sebuah tindakan (bahkan tindakan bersama)
misalnya dalam bentuk ramai-ramai melakukan unjuk rasa dengan satu
tujuan memperjuangkan agar para karyawan tidak di PHK. Di mata mereka
PHK adalah salah satu bentuk ancaman yang harus dihindari sehingga apa
pun caranya mereka tempuh. Selain tindakan bersama seperti contoh di atas,
pada umumnya upaya menghindari dan mengendalikan ketidakpastian bisa
dilakukan melalui tiga cara, yaitu menciptakan teknologi, membuat peraturan
hukum dan kembali ke agama. Teknologi biasanya digunakan untuk
menghindari ketidakpastian yang berhubungan dengan alam. Peraturan
hukum digunakan untuk mengendalikan perilaku manusia, sedangkan agama
merupakan alat transendental untuk keamanan masa datang.

b. Weak uncertainty avoidance


Jika masyarakat dengan strong uncertainty avoidance cenderung
berupaya untuk menghindari ketidakpastian, sebaliknya masyarakat dengan
weak uncertainty avoidance cenderung toleran terhadap ketidakpastian.
Tingginya toleransi masyarakat weak uncertainty avoidance menunjukkan
bahwa ketidakpastian bukan sebuah ancaman. Dalam kasus PHK seperti
disebutkan di atas, kelompok orang ini beranggapan bahwa PHK meski
menimbulkan ketidakpastian merupakan kejadian yang wajar sehingga tidak
perlu diributkan. Mereka barangkali beranggapan bahwa bangkrutnya sebuah
perusahaan yang mengakibatkan PHK bisa terjadi di mana-mana dan kali ini
kebetulan menimpa mereka.
Tabel 9.9 memberi gambaran tentang beberapa contoh negara yang
tergolong ke dalam kelompok strong dan weak uncertainty avoidance.
Sementara itu, manifestasi dari strong dan weak uncertainty avoidance baik
yang terjadi di dalam keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja maupun di
pemerintahan, dapat dilihat pada Tabel 9.10 berikut ini.
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.29

Tabel9.9.
Negara-negara yang Masuk dalam Strong dan Weak Uncertainty Avodance

Strong Uncertainty Weak Uncertainty


Avoidance Avoidance
a. Singapura
a. Yunani
b. Jamaika
b. Portugal
c. Denmark
c. Guatemala
d. Swedia
d. Uruguay
e. Hong Kong
e. Belgia
f. Republik lrlandia
f. Salvador
g. lnggris Raya
g. Jepang
h. Malaysia
• h. Yugoslavia
I. India •
• I. Peru
J. Filipina •
J. Perancis

Tabel 9. 10.
Perbedaan antara Masyarakat dengan Strong dan
Weak Uncertainty Avoidance

Stron Uncertaint 1 Avoidance Weak Uncertaint, Avoidance


Secara Umum Secara Umum
a. Ketidakpastian dianggap sebagai a. Ketidakpastian merupakan hal yang
ancaman sehingga harus diperangi. normal dalam hidup yang harus
b. Perilaku agresif dan emosional pada diterima apa adanya.
waktu-waktu tertentu dianggap b. Seseorang tidak perlu menunjukkan
lumrah. perilaku agresif dan emosional.
c. Hanya risiko yang moderat yang bisa c. Terbiasa berhadapan dengan risiko
diterima, sedangkan risiko besar dan situasi yang ambigu.
sangat dihindari demikian juga situasi
yang ambigu.

Dalam Keluarga Dalam Keluarga


a. Orang tua menerapkan peraturan a. Orang tua tidak begitu menerapkan
yang ketat kepada anak-anaknya peraturan yang ketat terhadap apa
terhadap apa yang dianggap kotor yang dianggap kotor dan tabu.
dan tabu . b. Perbedaan justru bisa menarik
b. Perbedaan merupakan hal yang perhatian.
membahayakan.

Dalam Lingkungan Sekolah Dalam Lingkungan Sekolah


a. Seorang guru harus bisa menjawab a. Kepada murid-muridnya, seorang guru
semua pertanyaan murid-muridnya. boleh mengatakan "saya tidak tahu".
b. Murid-murid lebih menyukai situasi b. Murid-murid lebih menyukai situasi
bela'ar van~ terstruktur dan berupava bela'ar terbuka dan diskusi untuk
9.30 PERILAKU ORGANISASI e

Stron~Uncertaint·1 Avoidance Weak Uncertaint,, Avoidance


menjawab pertanyaan secara benar. memecahkan persoalan.

Dalam Lingkungan Organisasi Dalam Lingkungan Organisasi


a. Secara emosional, ada kebutuhan a. Jika tidak perlu, peraturan sebaiknya
akan peraturan meski peraturan dihindarkan.
terse but kadang tidak bisa jalan. b. Waktu adalah rerangka agar
b. Waktu adalah uang. seseorang bisa melakukan orientasi.
c. Ada kebutuhan secara emosional c. Pada saat sedang malas, ada
untuk tampak sibuk dan ada dorongan kebutuhan akan perasaan nyaman
dari dalam untuk kerja keras. dan kerja keras hanya perlu saat
d. Presisi dan tepat waktu dianggap dibutuhkan.
sebagai sesuatu yang bersifat alami. d. Presisi dan tepat waktu adalah
e. Ada tekanan untuk tidak menyimpang sesuatu yang harus dibiasakan.
baik dalam ide-ide maupun perilaku. e. Toleransi terhadap penyimpangan
Akibatnya, tingkat resistensi dalam cukup tinggi baik dalam ide-ide
inovasi relatif tinggi. maupun perilaku.
f. Motivasi akan tercipta jika seseorang f. Motivasi akan tercipta jika seseorang
merasa aman dan memiliki self ingin mencapai sesuatu atau memiliki
esteem atau rasa memiliki. self esteem dan rasa memiliki.

4. Masculinity dan Femininity


Meski dewasa ini banyak bermunculan organisasi -organisasi nirlaba
(LSM) yang menyuarakan persamaan hak kaum wanita, namun harus diakui
bahwa kaum wanita dalam batas-batas tertentu berbeda dengan kaum pria.
Secara biologis pria biasanya lebih kekar dibandingkan seorang wanita atau
sebaliknya, seorang wanita biasanya lebih lemah gemulai. Postur tubuh kaum
pria biasanya juga lebih tinggi. Di sisi lain wanita biasanya lebih cepat pulih
dari kelelahan karena metabolisme wanita lebih cepat ketimbang pria. Di
samping perbedaan secara biologis, pria dan wanita juga berbeda secara
behavioral. W anita biasanya lebih feminin - lebih peduli, sensitif, statis, dan
lebih perhatian serta lebih ngemong. Untuk pria lebih maskulin - lebih
kompetitif, macho, dinamik dan lebih asertif. Meski kecenderungan ini
berlaku umum, bukan berarti tidak ada wanita yang lebih kekar atau lebih
tinggi dari pria atau tidak ada pria yang lebih lemah gemulai. Demikian juga
bukan berarti tidak ada pria yang lebih feminin atau sebaliknya wanita lebih
maskulin. Pengecualian pasti terjadi, namun kecenderungan umum seperti
tersebut di atas tampaknya tidak bisa dielakkan.
Perbedaan antara pria dan wanita bahkan bisa dikatakan bersifat kodrati
atau alami utamanya jika ditilik dari kedudukan masing-masing dalam hal
regenerasi. Secara kodrati yang memiliki fungsi regenerasi adalah wanita
e EKMA41 58/MODUL 9 9.31

karena hanya kaum wanita yang bisa hamil dan melahirkan anak, demikian
juga hanya kaum wanita yang menyusui anak-anaknya. Semuanya itu tidak
bisa dilakukan oleh kaum pria. Dengan kata lain, pria dan wanita
sesungguhnya memiliki perbedaan peran gender.
Akibat dari perbedaan peran gender seperti digambarkan di atas, peran
masing-masing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga berbeda.
Namun, harus diakui pula bahwa peran tersebut tidak semata-mata ditentukan
oleh perbedaan biologis atau keperilakuan saja, tetapi juga ditentukan oleh
tata nilai masyarakat yang berangkutan. Sebagai gambaran, setiap masyarakat
pasti mengakui bahwa beberapa perilaku tertentu lebih cocok untuk kaum
wanita dan perilaku lainnya lebih cocok kaum pria. Akibatnya, pekerjaan
atau profesi tertentu dianggap lebih cocok untuk dikerj akan kaum pria,
sementara pekerjaan/profesi lainnya dianggap lebih cocok untuk dikerjakan
kaum wanita. Persoalannya sekarang adalah perilaku mana yang cocok untuk
pekerjaan apa sangat bergantung pada preferensi masyarakat yang bersumber
pada tata nilai mereka. Dengan kata lain, perbedaan tata nilai masyarakat
pada akhirnya berakibat pada perbedaan preferensi mereka terhadap perilaku
anggota masyarakatnya. Sebagai contoh, di Indonesia guru Taman Kanak-
kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) cenderung didominasi oleh guru wanita
karena wanita dianggap lebih mempunyai kemampuan untuk ngemong anak-
anak ketimbang guru pria. Sebaliknya, pada level pendidikan tinggi, staf
dosen lebih didominasi kaum pria karena pekerjaan pada level ini dianggap
lebih kompetitif dan menantang. Selain itu, di Indonesia jumlah dokter gigi
lebih banyak wanita dibanding pria. Demikian juga meski di Indonesia
jumlah kaum wanita sedikit lebih banyak dibanding pria, jumlah anggota
de wan legislatif masih didominasi pria.
Oleh karena preferensi dan tata nilai masyarakat berbeda maka
pekerjaan-pekerjaan yang di Indonesia didominasi oleh kaum pria belum
tentu di negara lain juga didominasi kaum pria, demikian sebaliknya. Di
Pakistan misalnya, juru ketik lebih didominasi kaum pria, demikian juga
kaum pria mendominasi pekerjaan perawat di Belanda. Seperti halnya di
Indonesia, di Belgia dokter gigi di dominasi kaum wanita. Sementara itu,
manajer berjenis kelamin wanita sangat banyak ditemui di Filipina dan
Thailand, tetapi sangat jarang atau hampir tidak ada di Jepang.
Semua contoh di atas menunjukkan perbedaan preferensi masyarakat
terhadap peran gender. Namun, terlepas dari semua perbedaan tersebut
distribusi peran gender memiliki kecenderungan yang sama, yakni kaum pria
9.32 PERILAKU ORGANISASI e

cenderung dituntut untuk menunjukkan prestasinya melalui aktivitas di luar


rumah sedangkan kaum wanita dituntut untuk melakukan aktivitasnya di
seputar rumah. Tuntutan tersebut berakibat pada perilaku kaum pria yang
cenderung asertif, kompetitif, tegas, dan macho. Sementara kaum wanita
lebih dituntut untuk berperilaku sebaliknya, yakni memberi perhatian dan
memelihara anak-anak serta menjalin hubungan antarmanusia lebih baik.
Bagi kaum wanita tuntutan seperti ini sangat wajar karena kaum wanita,
sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk memberi keturunan,
cenderung tinggal di rumah lebih lama paling tidak selama hamil,
melahirkan, dan menyusui. Perbedaan pola perilaku ini digambarkan dalam
sebuah falsafah Cina yang sangat populer, yakni "Yin dan Yang." Yin
merepresentasikan kaum wanita yang berorientasi ke dalam dan lebih statis
sedangkan Yang merepresentasikan kaum pria yang berorientasi keluar dan
lebih dinamis. Meski keduanya berbeda tetapi saling membutuhkan.
Jika dalam sebuah keluarga - katakan seorang Bapak dan lbu secara
konsisten membagi peran masing-masing seperti digambarkan di atas, yakni
Bapak lebih berorientasi keluar dan lbu lebih berorientasi ke dalam maka
sangat tidak mengherankan jika pola pikir ini akan merembes dan tertularkan
kepada pola pikir anak-anak mereka sehingga secara berturut-turut pola pikir
tersebut boleh jadi menjadi pola pikir masyarakat umum.
Berdasarkan uraian di atas, bisa dikatakan bahwa budaya yang
berkembang pada masyarakat pada umumnya dan masyarakat yang tinggal di
satu wilayah negara bisa dilihat dari perbedaan peran gender yang
direpresentasikan oleh tingkat masculinity dan femininity masyarakat
tersebut. Dalam hal ini, istilah masculinity seperti dikatakan oleh Hofstede
berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang membedakan secara tegas peran
gender di mana kaum pria diharapkan lebih asertif, kompetitif, tegas, dan
macho, sementara kaum wanita diharapkan lebih lunak, memperhatikan
kualitas hidup, memberi perhatian pada anak-anak dan keluarga serta lebih
peduli. Sementara itu, yang dimaksud dengan femininity adalah pola pikir
masyarakat yang tidak secara tegas membedakan peran masing-masing
gender di mana baik pria maupun wanita dituntut kompetitif, namun di saat
yang sama juga diharapkan kooperatif; keduanya dituntut lebih tegas namun
juga harus bisa mengemong. Demikian seterusnya.
Negara-negara yang masyarakatnya masuk dalam kelompok masculinity
dan femininity dapat dilihat pada Tabel 9 .11. Sementara itu, bentuk
manifestasi dari masculinity dan femininity dalam kehidupan keluarga,
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.33

lembaga pendidikan, tempat kerja maupun di pemerintahan, dapat dilihat


pada Tabel 9.12.

Tabel 9. 11 .
Negara-negara yang Masuk dalam Masculinity dan Femininity

Masculine Feminine
a. Jepang a. Swedia
b. Austria b. Norwegia
c. Venezuela c. Belanda
d. ltalia d. Denmark
e. Swiss e. Costa Rica
f. Meksiko f. Yugoslavia
g. Republik lrlandia g. Finlandia
h. Jamaika h. Cili
• •
I. lnggris Raya I. Thailand
• •
• Jerman • Guatemala

Tabel 9.12.
Perbedaan antara Masyarakat yang Masculine dan Feminin

Masculine Feminine
Secara Umum Secara Umum
a. Nilai-nilai masyarakat yang sangat a. Nilai-nilai masyarakat yang sangat
dominan adalah keberhasilan dan dominan adalah peduli dan menjaga
kemajuan ekonomi. hubungan dengan orang lain.
b. Uang dan harta benda lainnya b. Manusia jauh lebih penting ketimbang
dianggap sangat penting. harta benda, demikian juga hubungan
c. Seorang pria diharapkan sebagai baik antar man usia.
orang yang asertif, ambisius dan c. Setiap orang diharapkan berperilaku

tegas. waJar.
d. Seorang wanita diharapkan sebagai d. Baik laki-laki maupun perempuan
orang yang sensitif, mencintai, dan diharapkan memiliki peran yang sama.
ngemong.

Dalam Keluarga Dalam Keluarga


a. Dalam kehidupan keluarga, seorang a. Dalam keluarga, baik bapak maupun
Bapak yang banyak berhubungan ibu diharapkan lebih memperhatikan
dengan fakta dan realita, sedang lbu fakta sekaligus perasaan.
dengan perasaan. b. Baik anak laki-laki maupun
b. Anak laki-laki tidak boleh menangis, perempuan boleh menangis, tetapi
hanya anak perempuan yang boleh. tidak boleh bertengkar.
Jika anak laki-laki diserang hanya c. Lebih bersimpati kepada orang yang
mempertahankan diri dan menyerang lemah.
balik, sedan~ anak Jerem puan tidak
9.34 PERILAKU ORGANISASI e

Masculine Feminine
boleh.
c. Lebih bersimpati kepada orang yang
kuat.

Dalam Lingkungan Sekolah Dalam Lingkungan Sekolah


a. Seorang murid harus menjadi yang a. Di kelas, norma yang berlaku adalah
paling pandai di sekolah. seorang siswa harus setara dengan
b. Gagal dalam sekolah berarti bencana. yang lain.
c. Guru akan memberi apresiasi kepada b. Gagal dalam sekolah hanyalah
anak yang paling brilian. kecelakaan kecil.
d. Anak laki-laki dan anak perempuan c. Persahabatan sejati akan memperoleh
• •
harus memilih bidang keahlian yang apres1as1.
berbeda. d. Baik siswa laki-laki dan perempuan
mengambil bidang studi yang sama.

Dalam Lingkungan Organisasi Dalam Lingkungan Organisasi


a. Orang hidup untuk kerja. a. Orang bekerja agar bisa hid up.
b. Manajer diharapkan seorang yang b. Manajer adalah orang yang intuitif dan
tegas dalam pengambilan keputusan mengambil keputusan berdasarkan
dan asertif. konsensus.
c. Menekankan pentingnya harta milik, c. Menekankan pentingnya kesetaraan,
kompetisi dan kinerja. solidaritas, kualitas kehidupan kerja.
d. Cara menyelesaikan konflik dengan d. Cara menyelesaikan konflik dengan
adu ar umentasi. kompromi dan ne osiasi.

5. Short-term vs Long-term Orientation


Dimensi terakhir atau dimensi kelima adalah short-term vs long-term
orientation. Sesuai dengan namanya, pada dimensi ini masyarakat dibedakan
berdasarkan orientasi mereka terhadap waktu, yakni masyarakat yang
berorientasi jangka pendek dan masyarakat yang berorientasi jangka panjang.
Pada mulanya Hofstede tidak memasukkan short-term vs long-term
orientation sebagai dimensi budaya nasional. Short-term vs long-term
orientation baru diakui sebagai dimensi budaya nasional setelah Michael
Bond, seorang warga negara Kanada yang sejak tahun 1971 tinggal dan
bekerja di Timur Jauh serta banyak berinteraksi dengan masyarakat Cina,
melakukan penelitian dengan menggunakan model penelitian seperti yang
telah dilakukan oleh Milton Rockeah yang dikenal sebagai Rockeah Value
Survey (RVS). Jika Rockeah mengidentifikasi nilai-nilai manusia
berdasarkan dua kriteria umum, yaitu nilai tujuan dan nilai alat, Michael
Bond mengidentifikasi nilai-nilai manusia berdasarkan basil derivasi ajaran
Confucius. Nilai-nilai ini didapat setelah Michael Bond berdialog dengan
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.35

beberapa ilmuwan sosial Hong Kong dan Taiwan. Dari hasil dialog tersebut
ditemukan 40 tata nilai yang berasal ajaran Confucius seperti tampak pada
Tabel 9.13 berikut ini.

Tabel9 . 13.
Tata Nilai yang Berasal dari Ajaran Confucius

Nilai-nilai Confucius Deskri psi


1. Xiao Patuh, menghormati pada orang tua, menghormati leluhur.
2. Qinlao Kerja keras.
3. Rongren Toleransi kepada orang lain.
4. Sui he Rukun/harmoni dengan orang lain.
5. Qianxu Bersahaja.
6. Zhongyu shangci Loyal kepada atasan.
7. Liyi Menjaga tata cara adat.
8. Li shang wang lai Saling memberi salam dan hadiah.
9. Renai (Xu, renqing) Baik hati dan pemaaf.
10. Xueshi Berpengetahuan.
11. Tuanjie Solidaritas terhadap orang lain.
12. Zhongyong zhidao Tidak menonjolkan diri.
13. Xiuyang Kemampuan diri untuk memanen hasil.
14. Zun bei you xu Menata dan menjaga hubungan berdasarkan status
seseorang.
15. Zhenyigan Bermoral.
16. Ein wei bing shi Otoritas yang berpihak pada orang lain.
17. Bu zhang jing zheng Nonkompetitif.
18. Wenzhing Keseriusan dan stabilitas personal.
19. Lianjie Tidak korup.
20. Ai guo Patriotisme.
21. Chengken Tulus.
22. Qinggao Tidak pamrih.
23. Jian Hemat.
24. Naili Teguh.
25. Naixin Sabar.
26. Baoen yu baochue Membayar kembali kepada orang lain terlepas yang
dilakukan orang lain tersebut baik atau jahat.
27. Wenchua youyuegan Memiliki superioritas budaya.
28. Shiying huanjing Memiliki daya adaptasi.
29. Xiaoxin Berhati-hati.
30. Xinyong Dapat dipercaya.
31. Zhi chi Memiliki rasa malu.
32. You limao Rasa hormat.
33. An fen shou ji Tantangan hidup.
34. Baoshou Konservatif.
35. Yao mianzi Melindun~ i har~ a diri.
9.36 PERILAKU ORGANISASI e

Nilai-nilai Confucius Deskripsi


36. Zhiji zhijiao Kedekatan dalam pertemanan.
37. Zhenjie Kesucian bagi seorang wanita.
38. Guayu Memiliki banyak tujuan.
39. Zunjing chuantong Menghormati tradisi.
40. Caifu Kese·ahteraa n.

Keempat puluh tata nilai di atas dijadikan instrumen penelitian yang


belakangan dikenal sebagai Chinese Value Survey (CVS). Dengan
menggunakan skala Likert 1- 9, Bond menyebar kuesioner kepada responden
terpilih, yakni 100 orang mahasiswa S-1 (50 pria dan 50 wanita). Oleh karena
keseratus responden tersebut tersebar di 22 negara maka CVS harus
diterjemahkan dari bahasa Cina ke bahasa Inggris dan 8 bahasa lain yang
sesuai. Setelah melalui berbagai uji statistik dan analisis faktor, disimpulkan
bahwa masyarakat yang berorientasi jangka pendek memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan masyarakat yang berorientasi jangka panjang seperti tampak
pada Tabel9.14 berikut ini.

Table 9.14
Short-term vs. Long-term Orientation

Short-term Orientation Lon -term Orientation


1. Menghormati tradisi. 1. Mengadaptasikan tradisi ke dalam
konteks modernisme.
2. Menghormati tanggung jawab dan 2. Menghormati status sosial dalam
status sosial tanpa memperhatikan batas-batas yang wajar.
biaya yang harus dikeluarkannya.
3. Tekanan untuk menjaga hubungan 3. Hemat.
baik dengan ternan walaupun harus
menambah biaya.
4. Hanya sedikit uang untuk investasi. 4. Menyediakan cukup dana untuk
investasi.
5. Mengharapkan hasil yang cepat. 5. Tidak buru-buru untuk segera
memperoleh hasil.
6. Memerhatikan harga diri. 6. Memiliki kemauan untuk menjadi
tampak kecil dalam rangka
memperoleh hasil yang besar.
7. Memperhatikan proses untuk mencari 7. Lebih menekankan dan menghormati
kebenaran. syarat-syarat untuk memperoleh
kebajikan.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.37

LATIHAN
-- - - -.....;:

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Dalam banyak kasus sering terjadi perusahaan yang telah berhasil
menerapkan pola manajemen dan praktik perilaku organisasi di negara
asal, tetapi gagal menerapkannya di perusahaan anak yang berlokasi di
negara lain. Apakah kegagalan ini disebabkan karena konsep manajemen
dan perilaku organisasinya yang keliru? J elaskan!
2) Mengapa budaya berbeda dan apa pengaruhnya terhadap perilaku kerja?
Jelaskan!
3) Jelaskan dimensi-dimensi budaya nasional menurut teorinya Hofstede!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Jawabannya tegas, tidak. Di Indonesia banyak dijumpai perusahaan


asing, seperti Exxon Mobile, Vico, Beyond Petrolium (BP), Petrol China
untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan
P&G dan Unilever untuk barang-barang konsumen dan masih banyak
lagi perusahaan-perusahaan lain yang dikategorikan Perusahaan
Multinasional. Sebelum beroperasi di Indonesia tentunya sudah
beroperasi di negara asal dan berhasil. Meski demikian, ketika
menjalankan bisnisnya di Indonesia perusahaan-perusahaan tersebut
tidak serta merta menggunakan pola manajemen dan perilaku organisasi
yang sama seperti di negara asal. Alasannya, bukan karena pola
manajemennya keliru, tetapi karena pola manajemen praktik perilaku
organisasi tersebut tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia yang
memiliki budaya berbeda. Boleh jadi prinsip-prinsipnya sama, tetapi
penerapannya harus disesuaikan dengan budaya setempat.
2) Budaya masyarakat sesungguhnya tidak lepas dari orientasi nilai
masyarakat tersebut. Masing-masing masyarakat mempunyai orientasi
nilai yang berbeda. Sebagai contoh, ketika berhadapan dengan isu
lingkungan alam, sekelompok masyarakat cenderung lebih pasrah pada
alam, yaitu kelompok yang lain memilih berharmoni dengan alam dan
kelompok yang lain lagi, bahkan cenderung ingin menguasai alam.
Kecenderungan seperti ini pada umumnya tidak terjadi hanya dalam
9.38 PERILAKU ORGANISASI e

waktu pendek, tetapi berlangsung dalam waktu lama dan persisten. Itulah
sebabnya cara berpikir masyarakat tertentu berbeda dengan cara berpikir
masyarakat lainnya yang berakibat budaya mereka pun berbeda. Akibat
dan perbedaan tersebut misalnya masyarakat Indonesia cenderung
memilih struktur organisasi yang layernya tinggi berjenjang ketimbang
masyarakat Amerika karena masyarakat Indonesia lebih berorientasi
hubungan dibandingkan masyarakat Amerika yang berorientasi tugas.
3) Holstede bisa dikatakan orang pertama yang mencoba menjelaskan
budaya masyarakat atau lebih tepatnya budaya nasional berdasarkan
dimensi-dimensi budaya. Pengelompokan ini berdasarkan penelitian
yang dilakukan di beberapa negara dengan sampel kurang lebih 117.000
responden. Hasilnya menunjukkan bahwa budaya nasional bisa
dibedakan menjadi 4 dimensi, yaitu masyarakat yang individualis vs.
masyarakat collective; masyarakat yang mempunyai power distance
tinggi vs. masyarakat yang mempunyai power distance rendah;
masyarakat yang sangat menghindari uncertainty avoidance dan
masyarakat yang bisa menerima uncertainty avoidance dan masyarakat
yang masculine vs. masyarakat yang feminine. Beberapa tahun
kemudian. Hotsstede menambahkan satu dimensi lagi, yaitu masyarakat
yang berorientasi jangka pendek vs. masyarakat yang berorientasi jangka

panJang.

RANGKUMAN- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Pada dasarnya level analisis Kegiatan Belajar 1 adalah di luar


organisasi (extra organizational) yang mencoba memahami implikasi
dari faktor lingkungan terhadap praktik perilaku organisasi. Oleh karena
itu, topik-topik penting yang dibahas dalam Kegiatan Belajar 1 meliputi
manajemen dan organisasi lintas budaya; pertanyaan mengapa budaya
berbeda; pengaruh perbedaan budaya terhadap perilaku kerja; serta
terakhir dimensi-dimensi budaya nasional. Semua pokok bahasan
tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk ringkasan sebagai berikut.
1. Meski prinsip manajemen dan organisasi dalam batas-batas tertentu
bersifat universal, tetapi operasionalisasinya menyesuaikan dengan
budaya setempat. Akibatnya, tidak setiap prinsip manajemen dan
organisasi bisa diterapkan secara generik.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.39

2. Setiap masyarakat bisa dikatakan memiliki budaya yang khas yang


berbeda dengan budaya masyarakat lain. Perbedaan ini disebabkan
karena orientasi nilai masing-masing masyarakat berbeda.
3. Akibat dari perbedaan budaya masyarakat, praktik perilaku
organisasi menjadi pada masyarakat berbeda. Boleh jadi prinsipnya
sama karena prinsip-prinsip tersebut telah diuji secara akademik,
namun praktiknya sekali lagi berbeda. Indonesia misalnya memiliki
kecenderungan menggunakan struktur organisasi yang tinggi
dibandingkan organisasi di Amerika.
4. Seperti dikernukakan Hofstede, budaya nasional bisa dibedakan
berdasarkan dimensi-dimensi budaya. Dimensi-dimensi budaya
tersebut adalah individualism vs. collectivism; large power distance
vs. small power distance; high uncertainty avoidance vs. low
uncertainty avoidance; masculinity vs. femininity; dan short term
orientation vs. long term orientation.

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Pada masyarakat yang hidup dalam lingkungan global, berakibat ....


A. tidak ada lagi batas wilayah negara terutama berkaitan dengan aspek
kegiatan ekonomi
B. di dunia hanya ada satu budaya yaitu budaya global
C. setiap masyarakat bisa meniru perilaku masyarakat lain sehingga
budaya sendiri tergantikan budaya masyarakat lain
D. setiap masyarakat wajib menolak budaya asing yang masuk

2) Berikut ini adalah penyebab terjadinya perbedaan budaya, kecuali ....


A. masing-masing masyarakat mempunyai orientasi nilai yang berbeda
B. orientasi kultural sebuah masyarakat merefleksikan interaksi yang
sangat kompleks antara nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang
ditunjukkan oleh para anggota masyarakat
C. sehingga budaya masing-masing berbeda nilai-nilai yang dominan
serta variasi dari nilai-nilai masyarakat berbeda
D. jawaban A, B, dan C benar
9.40 PERILAKU ORGANISASI e

3) Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia


cenderung ....
A. lebih menyukai struktur organisasi berjenjang karena lebih
berorientasi tugas
B. lebih menyukai struktur organisasi berjenjang karena lebih
berorientasi manusia
C. lebih menyukai struktur yang pendek karena lebih berorientasi tugas
D. lebih menyukai struktur yang pendek karena lebih berorientasi

manus1a

4) Menurut Hofstede masyarakat Indonesia cenderung ....


A. individual
B. feminine
C. laurge power ditance
D. low uncertainty avoidance

5) Ciri-ciri large power distance adalah ....


A. pengambilan keputusan biasanya tersentralisasi
B. hierarki organisasi sekadar membedakan peran masing-masing
C. pengambilan keputusan biasanya melibatkan bawahan
D. perbedaan skala gaji relatif rendah

Cocokkanlahjawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.41

KEGIATAN BELAL.JAR 2

Praktik Perilaku Organisasi dalam


Keragaman Budaya Masyarakat

raian pada Kegiatan Belajar 1 menjelaskan pengaruh budaya terhadap


perilaku organisasi yang titik beratnya pada identifikasi perbedaan
budaya nasional. Dengan memahami budaya nasional berarti seorang
manajer bagaimana seharusnya mereka beraksi dengan partner dan rekan
kerja dengan latar belakang budaya berbeda. Namun, kembali pertanyaannya
adalah ketika sebuah perusahaan sudah menjadi perusahaan multinasional,
apakah masih perlu mempersoalkan perbedaan budaya mengingat dunia
bisnis hanya mengenal satu bahasa - laba? Pertanyaan ini tentunya harus
disikapi secara hati-hati karena masih adanya silang pendapat tentang
keuntungan dan kerugian mempertimbangkan aspek kultural dalam kegiatan
bisnis lintas negara dan lintas budaya. Pada Kegiatan Belajar 2 ini akan
dibahas keuntungan dan kerugian keragaman budaya dan strategi mengelola
keragaman budaya. Selain kedua topik pembuka tersebut akan didiskusikan
pula dua topik lainnya sebagai representasi praktik perilaku organisasi lintas
budaya.
Dengan selesainya Kegiatan Belajar 2 Anda sangat diharapkan bisa
memahami bahwa perilaku organisasi tidak bebas nilai sehingga manakala
Anda mengimplementasikan konsep tersebut dalam dunia nyata bisa secara
bijak mempertimbangkan faktor kontekstual khususnya budaya masyarakat.

A. KERAGAMAN BUDA YA: KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Ketika Anda ditanya apakah pernah melihat budaya? Jawabannya pasti


belum atau tidak pernah. Akan tetapi, ketika ditanya kembali apakah anda
pernah merasakan bahwa budaya benar-benar eksis? Jawabannya bisa
mendua - bisa ya bisa tidak. Ketika Anda hidup di lingkungan tempat Anda
dibesarkan sejak kanak-kanak sampai dewasa, Anda mungkin telah
terkondisikan dengan lingkungan tersebut sehingga tidak merasakan
kehadiran sosok budaya. Jika telah terinternalisasi, budaya akan menjadi
bagian dari hidup Anda sehingga kehadirannya tidak pernah dirasakan dan
dipersoalkan. Akibatnya, Anda sulit menggambarkan sesungguhnya budaya
9.42 PERILAKU ORGANISASI e

itu seperti apa. Semuanya seolah-olah berjalan secara linier sampai suatu
ketika ada orang asing yang berperilaku tidak seperti pada umumnya
masyarakat setempat berperilaku. Saat itu barulah Anda merasakan adanya
dua perilaku dan dua budaya berbeda. Hal yang sama juga terjadi ketika
Anda misalnya baru pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Filipina.
Seketika mungkin Anda akan merasakan keanehan. Cara masyarakat Filipina
berperilaku jika dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat yang telah Anda
kenai sebelumnya berperilaku sangat berbeda. Perasaan aneh itulah bagian
dari pengakuan akan eksistensi perbedaan budaya.
Gambaran di atas mempertegas eksistensi perbedaan budaya - meski
tidak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan. Sekarang, seandainya Anda seorang
manajer dan ditempatkan di sebuah negara yang sebelumnya tidak Anda
kenai, serta Anda harus bekerja sama dengan manajer lokal serta memimpin
sekian banyak karyawan lokal yang perilaku dan budayanya sama sekali
berbeda dengan pengalaman Anda sebelumnya, mungkin Anda akan
mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock). Di saat yang
sama, sebagai seorang manajer, Anda sesungguhnya memiliki kapasitas dan
kekuasaan untuk merubah semua itu jika sekiranya perilaku dan budaya
setempat tidak sejalan dengan kepentingan organisasi yang Anda pimpin.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Anda akan menutup mata atau
sebaliknya mengakui adanya perbedaan budaya?
Pertanyaan ini memang sulit dijawab jika Anda seperti pada umumnya
manajer Amerika yang cenderung melihat orang lain sebagai individu bukan
sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat, Anda akan menutup mata
terhadap perbedaan budaya (culture blind). Pada umumnya, manajer Amerika
tidak pernah mempersoalkan jenis kelamin, ras atau etnik. Bagi mereka,
seorang karyawan harus profesional, sejalan dengan kepentingan organisasi.
Kalaulah mereka melihat perbedaan budaya, tetap saja tidak mau melihatnya,
atau paling tidak, tidak berusaha melihatnya. Semua orang dianggap sama,
memiliki kebutuhan dan aspirasi yang sama. Sayangnya pendekatan ini tidak
selamanya menguntungkan. Menutup mata terhadap perbedaan budaya justru
akan merugikan diri sendiri karena dengan menutup mata berarti seorang
manajer membatasi kemampuan dirinya untuk mengambil keuntungan dari
keragaman tersebut. Seorang manajer tidak bisa meminimalkan masalah yang
disebabkan keragaman budaya danlatau memaksimalkan keuntungan
potensial yang ditawarkan keragaman budaya.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.43

Pandangan kedua adalah mengakui eksistensi perbedaan budaya. Para


manajer mengakui perbedaan budaya ketika mereka menyadari bahwa orang-
orang yang berasal dari budaya berbeda menunjukkan berperilaku berbeda
dan perbedaan perilaku tersebut pada akhimya memengaruhi cara kerja
fungsi-fungsi organisasi. Dalam lingkungan masyarakat yang serba beda,
pengakuan terhadap perbedaan budaya merupakan langkah penting yang
harus ditempuh seorang manajer untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Meski demikian pengakuan terhadap perbedaan budaya tidak bisa disamakan
dengan penilaian terhadap perbedaan budaya. Keduanya merupakan
terminologi yang berbeda. Menilai budaya berarti menganggap bahwa
budaya sebuah masyarakat lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan
budaya masyarakat lain. Dalam kenyataan bisa dikatakan tidak ada budaya
yang lebih atau lebih buruk dari budaya lain. Jika seorang manajer
melakukan penilaian budaya, misalnya menilai ternan kerja atau karyawan
berdasarkan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok budaya tertentu,
dia bisa dianggap melakukan tindakan immoral, berprasangka buruk
(prejudice) dan mengarah pada tindakan menyerang pihak lain, rasial, bias
gender, dan etnosentrik.
Dengan mengakui eksistensi perbedaan budaya, sejak awal
sesungguhnya seorang manajer mengakui bahwa perbedaan budaya bisa
memberi keuntungan dan sekaligus menimbulkan masalah bagi organisasi.
Dengan pengakuan ini pula, seorang manajer bisa meminimalisir persoalan
yang ditimbulkan perbedaan budaya dan memaksimalkan keuntungan yang
ditawarkan oleh perbedaan tersebut. Beberapa keuntungan dan masalah yang
ditimbulkan perbedaan budaya dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Keuntungan
Sebuah organisasi akan memperoleh keuntungan karena keragaman
budaya ketika organisasi tersebut mengarah pada proses organisasi yang
bersifat divergen. Bagi organisasi yang bermaksud memperluas
perspektifnya, strategi, taktik atau pendekatan baru maka keragaman budaya
menjadi sumber kekuatan organisasi. Demikian juga ketika organisasi
bermaksud mereposisi eksistensinya atau mereposisi strateginya, misalnya
dari bricks-and-mortar business (bisnis konvensional) ke click-and-mortar
business (bisnis berbasis internet), para manajer sangat disarankan untuk
memanfaatkan keragaman budaya. Jika keragaman budaya dikelola secara
baik, organisasi akan mendapat dua keuntungan sekaligus, yakni keuntungan
9.44 PERILAKU ORGANISASI e

karena bisa menciptakan sinergi (synergestic advantages) dan keuntungan


karena bisa bekerja dengan budaya lokal (culture-specific advantages).
Keuntungan yang bersifat sinergis bisa tercipta karena para manajer bisa
menghadapi masalah dengan memaknai persoalan tersebut menggunakan
perspektif lebih luas. Akibatnya, bukan tidak mungkin muncul ide-ide baru,
interpretasi dan perspektif baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Demikian juga dengan keragaman budaya para manajer memiliki alternatif-
alternatif baru sehingga bisa meningkatkan kreativitas, fleksibilitas dan
kemampuan untuk memecahkan berbagai ancam persoalan. Sementara itu,
manajer yang bekerja dengan budaya lokal (culture-specific) memungkinkan
mereka memahami situasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan
setempat lebih. Pemahaman seperti ini sangat penting bagi seorang manajer
global, misalnya yang ingin memasuki pasar domestik. Sebagai contoh,
perusahaan-perusahaan Jepang berhasil menguasai pasar Indonesia karena
para manajernya memahami budaya masyarakat Indonesia yang khas.
Misalnya, sebagian besar keputusan membeli untuk produk-produk untuk
kepentingan rumah tangga, seperti mobil, sepeda motor, televisi, dan alat-alat
elektronik lainnya tidak berada di tangan para bapak, tetapi di tangan para
ibu. Dari sanalah kemudian desain promosi dikembangkan.

2. Kerugian
Jika keuntungan karena keragaman budaya disebabkan karena proses
organisasi yang bersifat divergen, sebaliknya keragaman budaya akan
menyebabkan masalah manakala proses organisasi bersifat konvergen, yakni
ketika semua karyawan dituntut untuk berpikiran dan melakukan tindakan
dengan cara yang sama. Komunikasi dan integrasi menjadi semakin sulit
ketika keragaman budaya eksis karena masing-masing menuntut pemaknaan
dan tindakan yang konvergen. Padahal keragaman budaya sering kali
menyebabkan dua belah pihak gagal memperoleh pemahaman bersama -
sebuah prasyarat bagi komunikasi yang efektif; mereka juga tidak bekerja
dengan cara yang sama atau irama yang sama - sebuah prasyarat bagi
berhasilnya integrasi. Demikian juga, tidak jarang keragaman budaya
meningkatkan ambiguitas, kompleksitas, dan kebingungan di kalangan
karyawan karena semuanya serba tidak jelas. Persoalan yang lebih krusial
yang dihadapi oleh para manajer berkaitan dengan culture-specific adalah
arogansi organisasi yang mengabaikan budaya lokal. Persoalan akan muncul
manakala seorang manajer menggeneralisasi semua strategi, kebijakan,
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.45

prosedur, dan praktik organisasi seolah-olah apa yang telah berhasil


diterapkan akan berhasil pula diterapkan pada situasi lain tanpa
mempedulikan variabel budaya lokal.
Secara umum keuntungan dan kerugian karena keragaman budaya dapat
dilihat pada Tabel 9.15 berikut ini.

Tabel9.15.
Keuntungan dan Kerugian Akibat Keragaman Budaya

Keuntungan Kerugian/Masalah
Keragaman budaya menciptakan Keragaman budaya menimbulkan kerugian
keuntungan karena terciptanya sinergi: karena biaya organisasi meningkat:
a. Pemaknaan yang lebih luas a. Keragaman meningkatkan:
1) Lebih terbuka terhadap ide baru 1) Ambigu
2) Banyak interpretasi 2) Kompleksitas
3) Banyak perspektif 3) Kebingungan
b. Memperluas alternatif b. Sulitnya menyatukan makna:
1) Meningkatkan kreativitas 1) Miskomunikasi
2) Meningkatkan fleksibilitas 2) Lebih sulit mencapai kesepakatan
3) Meningkatkan kemampuan c. Sulitnya menyatukan tindakan
memecahkan masalah Lebih sulit mencapai kesepakatan
untuk melakukan tindakan khusus

Keuntungan kultur spesifik: Manfaat dari Kerugian kultur spesifik: kerugian yang
bekerja dengan budaya tertentu melekat akibat bekerja dengan budaya lokal
a. Memahami karyawan lokallebih baik a. Cenderung membuat generalisasi
b. Mampu bekerja lebih efektif dengan berlebihan
klien lokal 1) Kebijakan organisasi
c. Mampu memasarkan produk ke 2) Strategi organisasi
pasar lokallebih baik 3) Praktik organisasi
d. Meningkatkan pemahaman lebih baik 4) Prosedur organisasi
terhadap politik, sosial, hukum, b. Ethnocentrism
ekonomi dan budava setem pat.

B. STRATEGI MENGELOLA KERAGAMAN BUDAYA

Kemampuan manajer untuk mengakui keragaman budaya beserta potensi


keuntungan dan kerugiannya merupakan pertanda bahwa para manajer
mencoba mengelola keragaman budaya bukan mengabaikan perbedaan.
Tabel 9.16 menggambarkan berbagai macam respons manajer terhadap
keragaman budaya. Respons yang paling umum adalah parochial. Dengan
respons seperti ini manajer memilih tidak mengakui keragaman budaya atau
dampaknya terhadap organisasi. Penyebabnya karena para manajer merasa
9.46 PERILAKU ORGANISASI e

yakin bahwa manajemen dan cara mereka mengelola organisasi adalah satu-
satunya cara untuk mengelola organisasi, tidak ada cara lain yang bisa
digunakan selain cara tersebut - our way is the only way. Urutan respons
kedua adalah etnosentrik. Dalam hal ini, para manajer mengakui adanya
keragaman budaya, tetapi keragaman tersebut hanya dianggap sebagai
sumber masalah. Pada tipikal organisasi etnosentrik, para manajer merasa
yakin bahwa cara-cara mereka mengelola organisasi adalah cara yang terbaik
-our way is the best way. Kalaulah ada cara lain yang bisa digunakan untuk
mengelola organisasi, cara tersebut dianggap lebih inferior. Bentuk respons
ketiga meski sangat jarang tetapi adalah yang baik, para manajer secara
eksplisit mengakui bahwa keragaman budaya sekaligus bisa berdampak
positif dan negatif terhadap organisasi. Dengan pengakuan seperti ini para
manajer menyadari bahwa cara kita dan cara mereka berbeda, dan kedua cara
tersebut tidak ada yang lebih superior - masing-masing memiliki kelebihan
dan kelemahan tersendiri. Oleh karena itu, kedua cara tersebut digabungkan
dan diambil yang terbaik bukan tidak mungkin menghasilkan cara yang
terbaik. Pendekatan inilah yang disebut pendekatan sinergik.

Tabel 9.16.
Organisasi Mana yang Mendapat Keuntungan Keragaman Budaya?

Tipe Frekuensi
Persepsi Strategi Konsekuensi
On anisasi Ke"adian
Persepsi Bagaimana dampak Konsekuensi Seberapa
dampak keragaman harus yang mungkin umum

keragaman dikelola terjadi menurut perseps1
budaya persepsi dan dan
terhadap strategi ini strategi ini
• •
on amsas1
Parochial Tidak Mengabaikan Masalah: Sang at
Hanya ada berdampak: perbedaan: masalah muncul urn urn
satu cara keragaman mengabaikan tetapi tidak
budaya tidak dampak keragaman dikaitkan
berdampak terhadap organisasi dengan
pada organisasi keragaman
budaya, tetapi
faktor organisasi
lain
Etnosentrik Dampak Meminimalkan Ban yak Hal biasa
Cara kita negatif: perbedaan: masalah dan
yang terbaik keragaman meminimalkan sedikit
budaya sumber dan keuntungan:

menyebabkan dampak keragaman manaJer
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.47

Tipe Frekuensi
Persepsi Strategi Konsekuensi
Or anisasi Ke"adian

masalah bagi budaya terhadap mengurang1
• •
organ1sas1 organisasi. Jika masalah dengan

mung kin mengurang1
menggunakan satu keragaman;
budaya mengabaikan
potensi
keuntun an
Bersinergi Berpotensi Mengelola Beberapa Sang at

Menggabung memberi perbedaan: melatih masalah dan Jarang
kan cara kita dampak positif manajer untuk banyak
dan cara dan negatif: mengakui dan keuntungan:

mereka bisa keragaman memanfaatkan manaJer
menghasilkan berpotensi perbedaan budaya mengakui dan
yang terbaik menciptakan untuk menciptakan mengambil
keuntungan keuntungan bagi keuntungan
• •
dan kerugian orgamsas1 karen a
perbedaan.
Masalah lainnya
perlu dikelola

Dari ketiga pendekatan seperti yang digambarkan pada tabel di atas,


masing-masing pendekatan akan memberikan implikasi berbeda. Pada
organisasi parochial yang menganggap bahwa keragaman budaya tidak
berdampak pada organisasi, para manajer akan memilih strategi yang
mengabaikan keragaman budaya. Bagi mereka keragaman budaya dianggap
tidak relevan dan tidak penting. Strategi ini tentunya tidak akan membantu
manajer meminimalkan dampak buruk keragaman terhadap organisasi
dan/atau memaksimalkan keuntungan yang ditawarkan keragaman budaya.
Sementara itu, apabila manajer menganggap bahwa keragaman budaya hanya
akan memberi dampak negatif bagi organisasi, seperti pada tipikal organisasi
etnosentrik maka dia akan memilih strategi yang meminimalisir sumber
keragaman dan dampaknya. Dengan strategi seperti ini para manajer biasanya
akan memilih salah satu dari dua cara, yaitu berusaha memilih karyawan
yang memiliki budaya homogen atau berusaha memilih budaya yang
dominan dan mengajak semua karyawan untuk berperilaku sesuai dengan
budaya tersebut.
Terakhir, para manajer yang menyadari dampak keragaman budaya dan
mengakui keragaman budaya berpotensi mendatangkan keuntungan dan
kerugian sekaligus cenderung akan memilih strategi yang bisa mengelola
9.48 PERILAKU ORGANISASI e

dampak dari keragaman budaya bukan hanya mengelola keragaman itu


sendiri. Artinya, para manajer berusaha meminimalisir dampak potensial dari
keragaman budaya dan membiarkan keragaman tersebut tetap eksis serta
memaksimalkan potensi keuntungan dari dampak keragaman budaya. ltulah
sebabnya yang biasa dilakukan para manajer adalah memberi pelatihan
kepada karyawan agar mereka mengakui eksistensi keragaman dan
memanfaatkan keragaman tersebut untuk keuntungan organisasi.

C. MEMECAHKAN MASALAH DENGAN SINERGI BUDAYA

Setelah memperoleh gambaran tentang strategi mengatasi keragaman


budaya, sekarang akan diuraikan bagaimana memecahkan masalah dengan
memanfaatkan keragaman budaya. Seperti tampak pada Tabel 9.16, situasi
yang terbaik bagi organisasi yang menghadapi keragaman budaya adalah
memanfaatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif
keragaman. Organisasi yang menerapkan strategi ini disebut organisasi
bersinergi secara kultural (culturally sinergistic organization). Maksud dari
sinergi adalah perilaku keseluruhan sistem yang tidak dapat diprediksi dari
perilaku subsistem secara terpisah. Berdasarkan pengertian ini maka yang
dimaksud dengan culturally sinergistic organization adalah organisasi yang
mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan budaya sebagai bagian untuk
membangun keseluruhan sistem organisasi. Oleh karena itu, manajer yang
memimpin sinergistic organization secara reguler memanfaatkan keragaman
budaya sebagai sumber kekuatan untuk memecahkan persoalan organisasi.
Proses pemecahan masalah pada culturally sinergistic organization dapat
dilihat pada Gambar 9 .2.

Langkah 1: Menjelaskan Situasi yang Sedang Dihadapi


Untuk menciptakan sinergi kultural dan memecahkan persoalan yang
ditimbulkan karena keragaman budaya, langkah pertama yang harus
ditempuh para manajer adalah mengakui bahwa persoalan kultural benar-
benar eksis. Pengakuan ini menjadi kunci apakah sebuah persoalan kultural
bisa diselesaikan atau tidak. N amun, harus disadari bahwa pengakuan ini
tidak hanya datang dari satu pihak sementara pihak lain tidak mau
mengakuinya. Kedua belah pihak harus memberikan pengakuan bahwa
persoalan kultural adalah persoalan mereka berdua. Hanya saja untuk
menyatakan bahwa mereka sedang menghadapi masalah bukan pekerjaan
e EKMA41 58/MODUL 9 9.49

mudah. Masyarakat Jepang misalnya tipikal masyarakat yang tidak mudah


mengatakan bahwa mereka menghadapi masalah karena filosofi hidup
mereka menganggap bahwa kehidupan adalah sesuatu yang harus bisa
diterima bukan dipersoalkan. Artinya, bagi masyarakat J epang persoalan
budaya boleh jadi dianggap sebagai persoalan minor yang tidak berarti apa-
apa. Sebaliknya, bagi masyarakat lain menganggap sebaliknya. Persoalan
tersebut adalah masalah serius yang harus segera diselesaikan. Oleh karena
itu, sekali lagi kedua belah pihak yang sedang mengalami persoalan budaya
harus duduk bersama untuk menyampaikan perspektif masing-masing
tentang persoalan tersebut, sekecil apa pun persoalannya. Tujuannya agar
persoalan tersebut tidak melebar dan membesar.

Langkah 2: Menginterpretasikan Situasi Kultural


Setelah masing-masing pihak mengakui adanya perbedaan dan persoalan
kultural, proses selanjutnya mengidentifikasi dan menginterpretasi kesamaan
dan perbedaan dalam cara berpikir, cara mengungkapkan perasaan, dan cara
bertindak di antara pihak-pihak yang secara kultural berselisih. Sebagaimana
kita ketahui, dari perspektif orang yang berperilaku, setiap perilaku dianggap
rasional dan dapat dipahami. Meski demikian, tidak jarang apa yang
dianggap rasional dan bisa dipahami oleh diri kita tidak selamanya bisa
dipahami dan dibenarkan pihak lain yang berbeda landasan budayanya. Bagi
manajer Amerika misalnya perilaku manajer Jepang yang lambat dalam
pengambilan keputusan dianggap tidak rasional. Oleh karena itu, agar salah
interpretasi ini tidak berkelanjutan dan dalam rangka untuk memecahkan
persoalan kultural dan mencapai sinergi kultural, perspektif masing-masing
pihak harus diubah saat keduanya menginterpretasikan situasi kultural.
Manajer dari masing-masing budaya harus memahami asumsi dasar yang
melatarbelakangi perilaku dan budaya pihak lain. Artinya, manajer Amerika
harus tabu alasan dibalik kelambatan manajer Jepang mengambil keputusan.
Namun, apabila manajer Amerika tetap menggunakan standar budayanya
yang cenderung pragmatis, titik temu tidak pemah bisa dicapai.

Langkah 3: Meningkatkan Kreativitas Kultural


Organisasi menciptakan alternatif sinergi dengan cara mencari cara
terbaik untuk memecahkan persoalan yang melibatkan orang-orang dari
kultur berbeda. Pertanyaan awal, "apa yang seseorang (dari satu budaya)
dapat pelajari dari orang lain (yang berasal dari budaya lain)?" -fokus pada
9.50 PERILAKU ORGANISASI e

pembelajaran. Pertanyaan kedua, barangkali yang lebih penting "bagaimana


kita bisa mengombinasikan, dan mengambil yang terbaik, cara kerja dari
beragam budaya?" - fokus pada sinergi. Kedua jawaban tersebut harus
kompatibel dengan asumsi dasar masing-masing budaya. Solusi yang
berbasis sinergi kultural merupakan solusi baru yang melewati batas-batas
perilaku masing-masing budaya. Memilih solusi terbaik - evaluasi hanya
mungkin setelah situasi bisa dijelaskan dengan baik dan diinterpretasikan dari
berbagai sudut pandang budaya berbeda.

Langkah 1:
Menjelaskan situasi yang dihadapi
Dari perspektif budaya
Menjelaskan anda dan dari perspektif
situasi budaya mereka, bagaimana
. .
s1tuasmya.
')

Langkah 2:
Menginterpretasi budaya Menentukan Asumsi budaya seperti apa yang
asumsi dasar ... menjelaskan perspektif dan
budaya r

prilaku anda? Yang menjelaskan


yang lain

Lakukan penilaian
terhadap .... ldentifikasi kesamaan dan
overlapping budaya perbedaan budaya yang
Langkah 3 terlibat dalam proses
Meningkat kreativitas kultural

Ciptakan
alternatif Ciptakan alternatif dengan
.
smerg1
. .... mengambil yang terbaik
budaya dari berbagai kultur yang
terti bat

Cek apakah solusi yang


Pilih
alternatif .... diharapkan cocok dengan
asumsi semua budaya. Apakah
ini sesuatu yang baru?
Menciptakan sinergi kutural

Implementasikan solusi sambil


Implementasikan
solusi berbasis .... mengamati reaksi masing-
masing budaya. Perbaiki
~inP.ro-i knltnr::tl
solusinya bedasarkan feedback

Gambar 9.2.
Proses Menciptakan Sinergi Kultural
e EKMA41 58/MODUL 9 9.51

D. IMPLEMENTASI STRATEGI YANG MELIBATKAN SINERGI


KULTURAL

Setelah semua desain dan strategi memecahkan masalah berbasis sinergi


kultural ditetapkan, kini giliran untuk mengimplementasikannya. Namun,
implementasi itu sendiri harus direncanakan dengan baik. Misalnya, sebelum
masing-masing anggota organisasi harus merubah cara pandangnya, terlebih
dahulu mereka harus menyadari orientasi budaya masing-masing. Artinya,
mereka harus memahami asumsi dasar budaya dan pola perilakunya dan pada
saat yang sama juga memahami asumsi dasar budaya dan pola perilaku yang
digunakan pihak lain. Tanpa adanya kesepemahaman ini mustahil usulan
perubahan bisa dilaksanakan. Berdasarkan kesepahaman ini maka manajer
global bisa mengimplementasikan lima opsi seperti tampak pada Gambar 9.3.

• •
Budaya ki dominasi s1nerg1

kompromi

pengindaran akomodasi

budaya mereka

Gambar 9.3.
Opsi Strategi Global

1. Dominasi Kultural
Opsi pertama adalah dominasi kultural yakni menggunakan pendekatan
yang telah digunakan di negara asal. Bagi perusahaan yang merasa memiliki
kekuasaan lebih besar dibandingkan counterpart - misalnya karena ukuran
perusahaan lebih besar, teknologinya lebih canggih atau sumber dana
finansialnya lebih kuat, biasanya menggunakan pendekatan dominasi
kultural. Seorang manajer kadang-kadang memilih menggunakan pendekatan
dominasi kultural jika dia merasa yakin bahwa cara yang dia tempuh
merupakan satu-satunya cara yang harus diterapkan. Situasi ini biasanya
berkaitan dengan standar etika. Misalnya, dalam hal standar keselamatan
9.52 PERILAKU ORGANISASI e

kerja, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia pada umumnya tidak


mau kompromosi mengenai hal itu meski di Indonesia mungkin persoalan
standar keselamatan kerja belum begitu diperhatikan.

2. Akomodasi Kultural
Opsi kedua, akomodasi kultural adalah kebalikan dari dominasi kultural.
Ketimbang mempertahankan praktik yang selama ini dijalankan di negara
asal, manajer global cenderung melebur ke dalam budaya lokal. Mereka
menerapkan prinsip "jika berada di Roma lakukanlah seperti yang dilakukan
orang Roma". Sayangnya upaya manajer ini sering kali mendapat tentangan
dari perusahaan induk di negara asal khawatir manajer tersebut tidak lagi
mewakili prinsipannya. Bentuk dari akomodasi kultural, misalnya sang
manajer mempelajari dan menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari atau kontrak-kontrak dagang dilakukan dengan mata
uang lokal. Opsi ini memungkinkan manajer lokal merasa nyaman dalam
bekerja dan bisa menjalankan kegiatan bisnisnya secara normal.

3. Kompromi Kultural
Pendekatan ketiga, kompromi kultural merupakan kombinasi dari
pendekatan pertama dan kedua. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti
kedua belah pihak mengakui eksistensi masing-masing. Tujuannya hanya
satu demi keberhasilan kerja sama mereka. Untuk itu, masing-masing pihak
harus belajar budaya pihak lain demikian sebaliknya. Pendekatan ini juga
mengindikasikan bahwa partner yang lebih kuat harus merelakan sebagian
kekuasaannya kepada partner yang kurang kuat. Meski demikian, kedua
belah pihak harus membuat konsesi agar hubungan bisnis mereka tetap
sukses. Masalahnya, manajer yang terlalu banyak menyerahkan kekuasaan
kepada pihak yang lebih lemah dianggap sebagai manajer yang lemah dan
bahkan kadang-kadang mereka dijuluki sebagai manajer yang kalah (caving
in).

4. Penghindaran Kultural
Pendekatan keempat, penghindaran kultural (cultural avoidance) adalah
pilihan bertindak yang seolah-olah tidak ada perbedaan kultural atau tidak
ada konflik kultural. Pendekatan ini banyak diterapkan oleh manajer Asia
ketimbang manajer-manajer dari dunia Barat. Penyebabnya karena para
manajer Asia cenderung mengadopsi budaya tidak konfrontatif sehingga
e EKMA41 58/MODUL 9 9.53

ketika menghadapi persoalan cenderung menghindar seolah-olah tidak terjadi


apa-apa. Penghindaran tersebut dimaksudkan agar orang lain tidak
"kehilangan muka". Pendekatan ini pada umumnya diterapkan ketika isu-isu
yang dipersoalkan tidak begitu penting.

5. Sinergi Kultural
Seperti disebutkan sebelumnya, sinergi kultural mengembangkan solusi
baru untuk menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan perbedaan kultural
di antara pihak-pihak yang terlibat tanpa harus menghilangkan keunikan
masing-masing budaya. Solusi berbasis sinergi tidak hanya menyelesaikan
masalah yang berbasis domestik, tetapi lebih dari itu menyelesaikan masalah
yang berskala global. Penggunaan bahasa adalah salah contoh menarik yang
bisa digunakan untuk membahas pendekatan sinergi kultural. Jika pembisnis
dari Belanda bertemu dengan pembisnis dari Indonesia untuk membahas
masalah kerja sama keduanya, pertanyaannya adalah bahasa apa yang akan
mereka gunakan untuk berkomunikasi? Jika pertemuannya di Jakarta dan
pembisnis Belanda menghendaki penggunaan bahasa Belanda maka
pembisnis Belanda menunjukkan dominasinya (cultural dominance) terhadap
pembisnis Indonesia. Sebaliknya, apabila pembisnis Belanda mau
menggunakan bahasa Indonesia, berarti pembisnis Belanda mengakomodasi
partner dari Indonesia. Jika mereka menggunakan bahasa masing-masing
dengan bantuan penerjemah maka hal ini menunjukkan kompromi. Akan
tetapi, mereka sepakat menggunakan bahasa Inggris- maka terjadilah sinergi
kultural.

LATIHAN
---- ...._ ~ .

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerj akanlah latihan berikut!
1) Jika Anda seorang manajer dan menghadapi keragaman budaya
bagaimana seharusnya Anda menyingkapinya dan apa implikasinya?
2) Jelaskan berbagai bentuk strategi untuk mengelola keragaman budaya!
3) Kapan sebaiknya Anda menggunakan dominasi budaya? Jelaskan!
9.54 PERILAKU ORGANISASI e

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Jika seorang manajer menghadapi keragaman budaya. Sesungguhnya ada


dua pendekatan yang bisa Anda lakukan, yakni menutup mata terhadap
perbedaan budaya (culture blind) dan kedua mengakui adanya perbedaan
budaya. Pandangan pertama, menganggap bahwa seorang karyawan
harus profesional, sej alan dengan kepentingan organisasi. Semua orang
dianggap sama, memiliki kebutuhan dan aspirasi yang sama. Sayangnya
menutup mata terhadap perbedaan budaya justru akan merugikan karena
kemampuan dirinya untuk mengambil keuntungan dari keragaman
tersebut. Pandangan kedua, menganggap bahwa dalam lingkungan
masyarakat yang serba beda, pengakuan terhadap perbedaan budaya
merupakan langkah penting. Dengan mengakui perbedaan budaya,
seorang manajer bisa meminimalisir persoalan yang ditimbulkan
perbedaan budaya dan memaksimalkan keuntungan yang ditawarkan
oleh perbedaan tersebut.
2) Berbagai bentuk strategi untuk mengelola keragaman budaya, di
antaranya strategi pertama, parochial - tidak mengakui keragaman
budaya atau dampaknya terhadap organisasi. Strategi kedua, etnosentrik
- manajer mengakui adanya keragaman budaya, tetapi keragaman
tersebut hanya dianggap sebagai sumber masalah. Strategi ketiga,
manajer secara eksplisit mengakui bahwa keagamaan budaya sekaligus
bisa berdampak positif dan negatif terhadap organisasi.
3) Untuk melakukan sinergi kultural sebetulnya ada berbagai cara bisa
dilakukan. Salah satunya dominasi kultural, yakni menggunakan
pendekatan yang telah digunakan di negara asal. Seorang manajer bisa
menggunakan cara ini apabila dia merasa yakin bahwa cara yang dia
tempuh merupakan satu-satunya cara yang harus diterapkan. Situasi ini
biasanya berkaitan dengan standar etika. Misalnya, dalam hal standar
keselamatan kerj a, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia pada
umumnya tidak mau kompromosi mengenai hal itu meski di Indonesia
mungkin persoalan standar keselamatan kerja belum begitu diperhatikan.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.55

RANGKUMAN
------------------------------------

Kegiatan Belajar 2 merupakan bagian integral dari Modul 9 yang


mencoba menjelaskan pengaruh keragaman budaya terhadap praktik
perilaku organisasi. Kegiatan Belajar 2 diawali dengan bahasan tentang
keuntungan dan kerugian adanya keragaman budaya; dilanjutkan dengan
strategi mengelola keragaman budaya; dan cara-cara memecahkan
masalah dengan sinergi budaya. Dua topik terakhir komunikasi lintas
budaya dan tim kerja lintas budaya adalah dua isu paling banyak ditemui
pada organisasi yang beroperasi lintas budaya. Kesemua topik penting
tersebut selanjutnya akan dirangkum dalam bentuk ringkasan berikut ini.
1. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan ketika berhadapan dengan
keragaman budaya, yaitu mengabaikan keragaman budaya dan
mengakui adanya keragaman budaya. Keduanya memiliki
keuntungan dan kerugian tersendiri.
2. Strategi untuk mengelola keragaman budaya bisa dilakukan dengan
(a) pendekatan parochial- mengabaikan keragaman; (b) etnosentrik
- sekadar mengakui keragaman; dan (c) sinergi - memanfaatkan
keragaman
3. Situasi yang terbaik bagi organisasi yang menghadapi keragaman
budaya adalah memanfaatkan dampak positif dan meminimalkan
dampak negatif keragaman. Organisasi yang menerapkan strategi ini
disebut organisasi bersinergi secara kultural (culturally sinergistic
organization). langkah-langkahnya adalah (a) menjelaskan situasi
yang sedang dihadapi; (b) melakukan interpretasi budaya; dan
(c) meningkatkan kreativitas kultural
4. Mengimplementasikan strategi yang melibatkan sinergi kultural bisa
dilakukan dengan lima opsi, yaitu menghindar, mendominasi,
mengakomodasi, bersinergi, dan kompromi.
5. Salah satu isu penting dalam menghadapi keragaman budaya adalah
komunikasi lintas budaya. Isu utamanya adalah sering terjadinya
miskomunikasi karena masalah bahasa dan perbedaan budaya.
6. Isu lain tentang keragaman budaya adalah tim kerja lintas budaya
utamanya karena efektivitas tim sangat bergantung bagaimana
anggota tim menangani masalah keragaman budaya.
9.56 PERILAKU ORGANISASI e

TES FORMATIF 2
-------------------------------
Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!

1) Ketika seorang manajer menghadapi keragaman budaya maka yang


terbaik adalah dengan cara ....
A. mengabaikan keragaman budaya
B. mengakomodasi keragaman budaya
C. mengabaikan dan juga bisa mengakomodasi bergantung pada
keyakinan Anda dan konsekuensinya
D. menolak budaya asing masuk

2) Keuntungan dari kultur spesifik adalah ....


A. mampu bekerja lebih baik dengan klien lokal
B. etnosentrik
C. memperluas perspektif
D. bisa bersinergi

3) Strategi mengelola keragaman budaya dengan etnosentrik berarti ....


A. mengabaikan keragaman
B. meminimalkan keragaman
C. mengelola keragaman
D. menolak keragaman

4) Mengimplementasikan strategi pengelolaan keragaman budaya dengan


akomodasi sebaiknya dilakukan jika ....
A. manajer tidak menghendaki konfrontasi frontal dengan budaya lokal
B. manajer merasa seolah-olah tidak ada perbedaan budaya
C. secara kultural manajer berada di bawah rekanan budaya lokal
D. secara kultural manajer merasa lebih kuat dibanding dengan budaya
lokal

5) Efektivitas keragaman tim akan tercapai apabila ....


A. tugas tim bersifat rutin
B. tahap pembentukan tim bersifat konvergen
C. kondisi tim bersifat etnosentris
D. kedudukan anggota tim setara
e EKMA41 58/MODUL 9 9.57

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = - - - - - - - - - - - x 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Selamat! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
9.58 PERILAKU ORGANISASI e

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif2


1) A 1) c
2) D 2) A
3) B 3) B
4) c 4) c
5) A 5) D
e EKMA41 58/MODUL 9 9.59

Daftar Pustaka

Andre Laurent. (1983). The Cultural Diversity of Western Conception of


Management. International Studies of Management and Organization.
Vol. 13, No. 1-2, hal. 75-96.

Christopher Barlett and Sumatra Ghoshal. (2000). Transnational


Management: Text, Cases, and Reading in Cross-Border Management.
3rd edition. McGraw-Hill International Editions.

E.B. Tylor. (1958). The Origin of Culture.

Erez, M. and P.C. Early. (1993). Culture, Self Identity and York. Oxford
University Press.

Hampden-Turner and Tromprenaar. (2000). Building Cross Cultural


Competence.

Hofstede and Bond. (1988). The Confucius Connection: from Cultural Roots
to Economic Growth. Organization Dynamics. 16, 4, hal. 4-12.

Hofstede, G. (1992). Motivation, Leadership and Organization: Do


American Theories Apply Abroad.

Kluckhohn, F.R. and F.L. Strodtbeck. (1961). Variation in Value Orientation.


Evanston, Illinois: Row, Peterson and Company.

Lane and DiStefano. (1992). International Management Behavior.

M. Haire, E.E. Ghiselli and L. W. Porter. 1997. Cultural Patterns in the Role
of the Manager, in Malcolm Warner (ed.) Compaative Management:
Critical Perspective on Business and Management. Vol. 1., London:
Routledge, halaman 154-175.

Mary Jo Hatch. (1997). Organization Theory. New York: Oxford University


Press.
9.60 PERILAKU ORGANISASI e

Nancy Adler. (2000). International Dimension of Organizational Behavior.

_____ . (2002). International Dimensions of Organizational Behavior.


4th edition. South Western.

Schneider and Louis Barsoux. (1997). Managing Cross Cultures.

Trompenaars, F. (1993). Riding the Waves of Culture. London: Nicholas


Brealey.

Anda mungkin juga menyukai