PENDAHULUAN
1
Achmad Sobirin. (2007). Budaya organisasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Hal. 5-7.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 3
2
Charles Perrow mengatakan bahwa organisasi bukan sekadar sebagai alat bantu
untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tetapi organisasi
sekarang menjadi kebutuhan tersendiri bagi manusia. Manusia sepertinya tidak bias
hidup tanpa organisasi. Lihat Charles Perrow. (1979). Complex Organization: a
Critical Essay. 2nd edition. Dallas, Tex.: Scott, Foresman and Company.
1.4 PERILAKU ORGANISASI e
KEGIATAN BELAL.JAR 1
ecara harfiah, kata organisasi berasal dari bahasa Yunani "organon" yang
3
berarti alat bantu atau instrumen . Dilihat dari asal katanya, dengan
demikian, organisasi pada dasarnya adalah alat bantu yang sengaja didirikan
atau diciptakan untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan-tujuannya. Universitas Terbuka (UT), misalnya sebuah
organisasi yang sengaja didirikan untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat pekerja, tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka,
memperoleh pendidikan tinggi bermutu. UT dengan demikian adalah alat
bantu. Meski bisa disebut sebagai alat bantu, dalam batas-batas tertentu
organisasi berbeda dengan alat bantu yang lain katakanlah dengan teknologi.
Perbedaan utamanya terletak pada keterlibatan manusia pada kedua alat
bantu tersebut. B agi organisasi manusia dianggap memiliki peran sentral.
Dikatakan demikian karena manusia merupakan penggerak utama di dalam
kehidupan organisasi. Namun, harus diakui pula bahwa manusia bukan
sekadar menjadi penggerak (subjek) yang menjalankan organisasi, tetapi juga
objek yang harus dikelola agar organisasi bisa berfungsi sebagaimana
mestinya. Sementara itu, manusia bagi alat bantu yang lain (teknologi
misalnya) melulu sebagai subjek yang menjalankan dan mengendalikan alat
bantu tersebut. Itulah sebabnya organisasi jauh lebih kompleks dan lebih sulit
dikendalikan dibanding alat bantu lainnya. Utamanya sekali lagi karena
setiap individu bisa menjadi subjek sekaligus objek. Di samping itu, setiap
individu yang terlibat dalam organisasi memiliki kebutuhan masing-masing
yang terkadang berbeda di antara mereka, namun dalam batas-batas tertentu
semuanya harus dipenuhi.
Oleh karena alasan itu pulalah mengelola organisasi dengan baik bukan
merupakan pilihan, tetapi sebuah keharusan. Dalam bahasa yang lebih
4
sederhana organisasi perlu manajemen agar bisa berfungsi sesuai tujuan
awal didirikannya organisasi yakni bisa memenuhi kebutuhan dan tujuan
3
Gareth Organ. (1997). The Image of Organization. London: SAGE Publication.
Hal. 15.
4
Wren. (1994). The Evolution of Management Thought. Joh Wiley and Son, Inc.
Hal. 9.
1.6 PERILAKU ORGANISASI e
Manusia
Organisasi Manajemen
Gambar 1.1
Hubungan antara Organisasi, Manusia, dan Manajemen
A. ORGANISASI
1. Definisi Organisasi
Organisasi sering didefinisikan sebagai sekelompok manusia (group of
people) yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama (common
5
goals) • Meski definisi ini cukup populer, tetapi banyak ahli mengatakan
bahwa definisi ini terlalu sederhana. Masih ada beberapa unsur penting yang
seharusnya menjadi bagian dari esensi dasar organisasi, tetapi belum
terungkap dalam definisi di atas. Definisi yang lebih komprehensif misalnya
6
diberikan oleh Stephen P. Robbins sebagai berikut:
Organisasi adalah unit sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu
yang relatif lama, beranggotakan dua orang atau lebih yang bekerja
bersama-sama dan terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang
terstruktur, dan didirikan untuk mencapai tujuan bersama atau satu set
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Organisasi adalah sistem sosial yang mempunyai pola kerja yang teratur
yang didirikan oleh manusia dan beranggotakan sekelompok manusia
7
dalam rangka untuk mencapai satu set tujuan tertentu •
5
John R. Schermerhorn, Jr. (1996). Management. 5th edition. New York: John Wiley
and Sons, Inc. Hal. 7.
6
Stephen Robbins. (1996). Organizational Behavior: Concepts, Controversies and
Apllications. hal. 4.
7
David Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of
Individual and Organizational Performance, Boston: Allyn and Bacon. Hal. 12-13.
1.8 PERILAKU ORGANISASI e
8
David Cherrington. (1989). Ibid. Hal. 12.
e EKMA41 58/MODUL 1 1. 9
Organisasi adalah sebuah entitas sosial yang berorientasi pad a tuj uan
dengan suatu sistem kegiatan yang terstruktur dan mempunyai batas-
batas yang bisa teridentifikasi 10 •
"Organisasi adalah unit sosial atau entitas sosial yang didirikan oleh
manusia untuk jangka waktu yang relatif lama, beranggotakan
sekelompok manusia - minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang
terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan
tertentu dan mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas
11
dengan entitas lainnya "
9
Jennifer M. George and Gareth Jones. (1999). Understanding and Managing
Organizational Behavior. 2nd edition. Reading Mass: Addison Wesley. Hal. 3.
10
Richard L. Daft. (1992). Organization Theory and Design. 4th edition. Singapore:
Info Access Distribution, PTE LTD. Hal. 7.
11
Definisi ini bisa dikatakan bersifat temporer karena sesungguhnya masih banyak
lagi definisi lainnya sebagaimana diungkapkan oleh B. Czarniazwska- Joerge.
(1992). dalam bukunya Exploring complex Organization, Sage Publication.
1.1 Q PERILAKU ORGANISASI e
2. Karakteristik Organisasi
Definisi di atas juga menegaskan bahwa secara umum organisasi
mempunyai lima karakteristik utama, yakni (a) unit/entitas sosial,
(b) beranggotakan minimal dua orang, (c) berpola kerja yang terstruktur,
(d) mempunyai tujuan yang ingin dicapai dan (e) mempunyai identitas diri.
Penjelasan masing-masing karakteristik adalah sebagai berikut.
a. Unitlentitas sosial
12
Organisasi adalah rekayasa so sial basil karya manusia (man-made )
yang bersifat tidak kasat mata (intangible) dan abstrak sehingga organisasi
sering disebut sebagai artificial being. Oleh karena sifatnya tersebut,
organisasi dengan demikian lebih merupakan realitas sosial ketimbang
sebagai realitas fisik. Meski bukan sebagai realitas fisik, bukan berarti bahwa
organisasi tidak membutuhkan fasilitas fisik. Fasilitas fisik seperti gedung,
peralatan kantor maupun mesin-mesin masih tetap dibutuhkan (meski tidak
harus dimiliki) karena dengan fasilitas fisik inilah sebuah organisasi bisa
melakukan kegiatannya. Di samping itu, dari fasilitas fisik ini pula orang luar
mudah mengenali adanya entitas sosial.
Meski begitu tidak berarti pula bahwa hanya dengan semata-mata
merujuk pada keberadaan fasilitas fisik kita bisa mendefinisikan adanya
sebuah organisasi. Sebagai contoh, sebelum ditutup pemerintah, Bank BHS
bisa disebut sebagai organisasi karena merupakan realitas sosial. N amun,
setelah itu meski gedung-gedungnya masih berdiri megah dan logo BHS
masih menempel di gedung tersebut Bank BHS sebagai realitas sosial sudah
berakhir dan yang tinggal hanyalah realitas fisik yang tidak lagi bisa disebut
sebagai organisasi.
Sebagai entitas sosial, organisasi umumnya didirikan untukjangka waktu
yang relatif lama bisa berumur puluhan tahun atau ratusan tahun bahkan bisa
mencapai waktu yang tidak terbatas. Keberadaan sebuah organisasi tidak
terkait dengan masih ada/tidaknya pendiri organisasi tersebut. Sekalipun para
pendiri sudah tidak lagi terlibat dengan organisasi karena meninggal dunia
atau karena alasan lain, tidak menyebabkan organisasi tersebut dengan
sendirinya bubar. Sebagai contoh, Matsushita Electric Industrial (MEl) -
perusahaan elektronik terkenal dari Jepang yang didirikan pada tahun 1930-
12
Lihat Martin Albrow. (1997). Do Organizations have Feeling? London, Routledge.
Hal. 1.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.11
13
an sampai sekarang masih eksis meski pendirinya Kenosuke Matsushita
sudah lama meninggal dunia.
Organisasi kadang-kadang juga sengaja didirikan untuk jangka waktu
tertentu (bersifat ad hoc) dan dengan sendirinya bubar atau dibubarkan
setelah kegiatan yang berkaitan dengan pendirian organisasi tersebut
berakhir. Kegiatan sebuah proyek atau kepanitiaan misalnya merupakan
beberapa jenis organisasi yang mempunyai umur terbatas. Panitia Pesta
Pernikahan, Panitia Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) atau
Panitia Pembangunan Masjid segera dibubarkan manakala kegiatan
pernikahan, kegiatan olahraga atau kegiatan pembangunan masjid tersebut
selesai dikerj akan.
13
Untuk penjelasan lebih lengkap tentang MEl, lihat misalnya John Kotter. (1997).
Matsushita Leadership: Lessons from the 20th Century's Most Remarkable
Entreprenuer. New York: The Free Press.
1.12 PERILAKU ORGANISASI e
d. Mempunyai tujuan
Organisasi didirikan bukan untuk siapa-siapa dan bukan tanpa tujuan.
Manusia adalah pihak yang paling berkepentingan terhadap didirikannya
sebuah organisasi. Organisasi didirikan karena manusia sebagai makhluk
sosial, sukar untuk mencapai tujuan individualnya jika segala sesuatunya
harus dikerjakan sendiri. Kalau toh dengan bekerja sendiri tujuan individual
tersebut bisa dicapai, tetapi akan lebih efisien dan efektif jika cara
pencapaiannya dilakukan dengan bantuan orang lain melalui sebuah
organisasi. Artinya, tujuan didirikannya sebuah organisasi adalah agar
sekelompok manusia yang bekerja dalam satu ikatan kerja lebih mudah
mencapai tujuannya ketimbang mereka harus bekerja sendiri-sendiri.
Dalam hal ini harus dipahami bahwa meski ada kerja sama di antara
sekelompok orang dalam satu ikatan kerj a tetapi tidak bisa diinterpretasikan
bahwa tujuan mereka sama. Ada kemungkinan tujuan masing-masing
individu berbeda, tetapi kesediaan mereka berada dan bergabung dalam
sebuah organisasi menunjukkan atau dianggap bahwa mereka mempunyai
kesepakatan untuk saling membantu dalam mencapai satu set tujuan baik
tujuan masing-masing individu (tujuan anggota organisasi) maupun tujuan
organisasi itu sendiri (tujuan para pendiri organisasi).
e EKMA41 58/MODUL 1 1.13
14
F. Landa Jocano. (1985). Toward Filipino Corporate Culture. Metro Manila:
Punlad Research House. Hal. 23.
15
Lihat misalnya Vijay Sathe. (1985). Culture and Related Corporate Realities.
Homewood Illinois: Richard D. Irwin Inc.
1.14 PERILAKU ORGANISASI e
3. Dimensi Organisasi
Seperti halnya manusia yang mempunyai kepribadian atau personality,
organisasi sebagai artificial being juga mempunyai sifat yang sama yang
16
bias a disebut sebagai karakter organisasi . Karakter ini mencerminkan sosok
sebuah organisasi, yakni bagaimana ia berperilaku dan mengapa ia beda
dengan organisasi lainnya. Secara umum, karakter sebuah organisasi dapat
dipahami melalui dimensi-dimensi organisasi yang dibedakan ke dalam dua
tipe, yaitu dimensi struktural dan dimensi kontektual. Dimensi struktural
adalah karakter organisasi yang bersumber pada sisi internal organisasi
seperti tingkat formalitas organisasi, standarisasi pekerj aan, kompleksitas
organisasi, hierarki organisasi dan sebagainya (lihat Tabel 1.1). Elemen-
elemen ini merupakan determinan karakteristik organisasi, dan menjadi dasar
untuk menilai sosok (construct) organisasi dan membandingkan satu
organisasi dengan organisasi lainnya.
Sementara itu, dimensi kontekstual merupakan karakteristik organisasi
secara menyeluruh yang ditentukan oleh ukuran (besar!kecilnya) organisasi,
teknologi yang digunakan, lingkungan organisasi, tujuan, dan budayanya.
Dimensi kedua (dimensi kontekstual) ini menjadi faktor penentu bagi
keberadaan sebuah organisasi secara menyeluruh dan berpengaruh terhadap
dimensi struktural organisasi. Kedua dimensi ini jika dipahami secara baik
dapat bermanfaat untuk memahami organisasi secara keseluruhan,
memahami perilaku organisasi, dan bisa menjadi dasar untuk menilai
keberhasilan organisasi.
Tabel 1.1.
Dimensi Struktural dan Kontekstual Organisasi
16
Alan Wilkin. (1989). Creating Corporate Character. San Francisco: Jossey-Bass.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.15
a. Dimensi struktural
1) F ormalisasi organisasi. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa ban yak
sebuah organisasi membuat dan mendokumentasikan aturan. Termasuk
dalam aturan organisasi yang didokumentasikan, misalnya deskripsi
kerja, prosedur kerja, manual kerja, dan aturan-aturan tertulis lainnya.
Semakin banyak aturan yang dibuat dan ditetapkan organisasi maka
semakin formal pula organisasi tersebut, demikian sebaliknya - semakin
sedikit aturan yang dibuat, organisasi tersebut semakin tidak formal.
Dalam praktik ada kecenderungan bahwa semakin besar sebuah
organisasi semakin banyak pula aturan yang dibuat sehingga bisa
dikatakan organisasi yang lebih besar cenderung lebih formal. Organisasi
pemerintah, misalnya mempunyai aturan yang cukup banyak dan detail.
Sebaliknya perusahaan keluarga yang relatif masih kecil cenderung tidak
begitu banyak aturan yang dibuat sehingga semakin tidak formal.
2) Spesialisasi. Dimensi ini sering disebut sebagai division of labor atau
pembagian kerj a. Organisasi dengan tingkat spesialisasi yang tinggi
memberi arti bahwa karyawan hanya mengerjakan tugas yang sangat
spesifik. Contoh tentang perusahaan rokok sebagaimana disebutkan di
atas merupakan contoh perusahaan yang membagi pekerjaan secara ketat
yang berarti pula bahwa spesialisasi diterapkan di perusahaan tersebut.
Sebaliknya, bagi organisasi yang tingkat spesialisasinya rendah
menuntut para karyawan untuk mengerjakan tugas yang cukup
bervariasi. Perusahaan yang masih kecil (biasanya perusahaan keluarga)
di mana tidak ada pembagian kerja yang jelas merupakan contoh
organisasi yang rendah tingkat spesialisasinya. Dalam perusahaan
semacam ini, sering kali pemilik juga merangkap manajer dan sekaligus
sebagai karyawan.
3) Standarisasi kerja. Maksud dari standarisasi kerja adalah suatu ukuran
kerja atau cara kerja tertentu yang harus dipatuhi oleh karyawan dalam
melakukan kegiatan-kegiatan kerja khususnya untuk kegiatan-kegiatan
yang sejenis. Untuk menghasilkan produk dengan presisi yang tinggi
biasanya membutuhkan standarisasi kerj a yang tinggi pula. Itulah
sebabnya, apabila manusia sudah dianggap tidak mampu mengatasi
masalah standarisasi kerja, banyak perusahaan khususnya yang
berteknologi tinggi mengalihkan pekerjaannya kepada robot-robot yang
secara otomatis bisa menjaga irama kerja dan standar produk.
1.16 PERILAKU ORGANISASI e
b. Dimensi kontekstual
1) Ukuran atau besaran organisasi. Dimensi ini biasanya ditunjukkan
dengan jumlah karyawan yang bekerja pada sebuah organisasi. Untuk
mengetahui seberapa besar sebuah organisasi biasanya bisa dilihat dari
jumlah karyawan organisasi secara keseluruhan. Akan tetapi, bisa juga
dilihat dari jumlah karyawan untuk bagian-bagian tertentu, misalnya
seberapa banyak karyawan yang bekerja di pabrik. Selain menggunakan
jumlah karyawan, ukuran besaran organisasi juga bisa dilihat dari jumlah
penjualan atau jumlah aset yang dimiliki organisasi.
2) Teknologi yang digunakan. Teknologi adalah salah satu alat untuk
merubah input menjadi output. Oleh karenanya teknologi yang
digunakan oleh sebuah organisasi biasanya berkaitan dengan sistem
produksi organisasi tersebut. Semakin canggih teknologi yang digunakan
sering dikatakan bahwa perusahaan semakin maju, demikian sebaliknya.
3) Lingkungan organisasi. Lingkungan organisasi, meliputi semua elemen
di luar organisasi yang berpengaruh terhadap keberadaan organisasi.
Termasuk dalam lingkungan organisasi, misalnya industri, pemerintah,
pelanggan, pemasok, organisasi pesaing, komunitas penduduk, budaya,
politik, ekonomi dan teknologi, serta gaya hidup masyarakat.
Lingkungan tersebut disebut sebagai lingkungan luar. Di samping itu,
lingkungan dalam organisasi, seperti tenaga kerj a dan budaya organisasi
juga berpengaruh terhadap keberadaan organisasi.
4) Tujuan dan strategi organisasi. Dimensi ini menunjukkan tujuan dan
daya kompetitif sebuah organisasi. Tujuan organisasi biasanya
dinyatakan secara tertulis yang mengindikasikan keinginan yang hendak
dicapai oleh sebuah organisasi. Sementara itu, strategi organisasi adalah
rencana tindakan- dalam jangka panjang, yang menjelaskan bagaimana
sebuah organisasi mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya,
bagaimana organisasi akan melakukan tindakan-tindakan dalam
menghadapi perubahan lingkungan organisasi dan bagaimana tujuan
organisasi bisa tercapai. Tujuan dan strategi organisasi dengan demikian
mencerminkan skop/lingkup kegiatan organisasi dan hubungan
organisasi dengan karyawan, pelanggan, pemasok, dan kompetitor.
1.18 PERILAKU ORGANISASI e
17
dikutip oleh Donald Harvey and Donald Brown . Selfridge and Sokolik
mengumpamakan organisasi layaknya sebuah gunung es - ada bagian yang
muncul ke permukaan dan bagian lainnya berada di bawah permukaan laut.
Dari kedua bagian tersebut, bagian yang berada di bawah permukaan
biasanya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan bagian yang muncul ke
permukaan (lihat Gambar 1.2). Jika organisasi dimetaforakan dengan gunung
es maka bagian yang berada di bawah permukaan laut identik dengan aspek
informal organisasi, sedangkan bagian yang muncul ke permukaan
mencerminkan aspek formal organisasi.
Maksud dari aspek formal organisasi adalah elemen/komponen
organisasi yang mudah diakses orang luar, bersifat rasional, dan sangat
berkaitan dengan struktur organisasi. Komponen organisasi ini biasa disebut
sebagai overt component dan terkadang juga disebut hard component
(perangkat keras organisasi). Termasuk dalam komponen formal, misalnya
visi dan misi, tujuan dan sasaran, strategi, struktur, sistem, prosedur,
kebij akan, deskripsi kerj a, rentang kendali, serta pengukuran tingkat efisiensi
dan efektivitas organisasi. Maksud dari aspek informal organisasi atau covert
component atau soft component (perangkat lunak organisasi) adalah
komponen organisasi yang bersifat tersembunyi (hidden), afektif, berorientasi
sosial dan psikologikal, serta berkaitan dengan aspek keperilakuan, di
antaranya politik dan kekuasaan, pola hubungan antarpersonal dan kelompok,
sentimen dan norma kelompok, pandangan personal terhadap kompetensi
organisasi dan individu, persepsi karyawan terhadap kepercayaan
organisasional (organizational trust), persepsi karyawan terhadap
keterbukaan organisasi, orientasi nilai dan persepsi karyawan, kepuasan
karyawan, emotional intelligence, motivasi dan harapan karyawan, serta
masih banyak lagi aspek perilaku manusia yang bisa dikategorikan sebagai
covert component. Sederhananya, perangkat lunak organisasi merupakan
semua komponen yang berkaitan langsung dengan dan melekat pada diri
seseorang dan budaya yang melingkupinya.
17
Donald Harvey and Donald Brown. (1996). An Experiential Approach to
Organizational Development. Upper River Saddle: New Jersey, Prentice Hall
International edition. Hal. 207.
1.2Q PERILAKU ORGANISASI e
Komponen organisasi
yang bersifat terbuka
aspek formal dan mudah diakses
.._ pihak luar
Komponen organisasi
yang tersembunyi,
afektif dan berorientasi
social dan psikologikal
serta berkaitan dengan
aspek keprilakuan
Gambar 1.2.
Metafora Gunung Es- Aspek Formal dan Informal Organisasi
dikelola. Dari sini pula bidang kajian perilaku organisasi mulai mendapat
temp at.
5. Jenis-jenis Organisasi
Dilihat dari alasan mengapa sebuah organisasi didirikan, secara garis
besar organisasi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu organisasi
berorientasi ekonomi (biasa disebut sebagai organisasi berorientasi laba -
profit oriented organization) dan organisasi tidak berorientasi ekonomi
(disebut organisasi nirlaba - not-for-profit organization). Organisasi
berorientasi ekonomi adalah jenis organisasi yang sengaj a didirikan untuk
membantu manusia memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya kebutuhan
ekonomi para pendirinya atau pemilik organisasi tersebut. Masyarakat umum
mengenal organisasi seperti ini sebagai organisasi perusahaan atau secara
sederhana disebut perusahaan. Oleh karena berorientasi ekonomi maka
ukuran keberhasilan perusahaan adalah sejauh mana organisasi mampu
meningkatkan kesejahteraan ekonomi para pendiri yang diukur dengan
meningkatnya jumlah kekayaan (biasanya dinyatakan dalam satuan mata
uang) para pendiri. Sederhananya, organisasi perusahaan sejak awal memang
sengaja didirikan untuk menghasilkan uang. Sejak awal, mindset para pendiri
perusahaan adalah menggunakan uang untuk menghasilkan uang. Bahkan
para pekerjanya juga dituntut untuk memiliki mindset yang sama. Itulah
sebabnya laba menjadi salah satu ukuran penting dalam menilai keberhasilan
organisasi perusahaan (proses penciptaan nilai tambah akan diuraikan pada
bagian berikut).
Berbeda dengan perusahaan, organisasi nirlaba (not-for-profit
organization), seperti tersirat dari namanya, ukuran keberhasilan organisasi
seperti ini bukan laba melainkan ukuran-ukuran lain sesuai dengan tujuan
awal pendirian organisasi. Demikian juga orientasinya bukan kepada pemilik
tetapi kepada para konstituen yang dilayaninya. Artinya, organisasi nirlaba
lebih berorientasi kepada kesejahteraan para konstituen daripada
kesejahteraan para pendirinya. Sebagai contoh, ukuran keberhasilannya
organisasi politik yang biasa disebut sebagai partai politik adalah sejauh
mana partai politik mampu membuat keputusan yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan para konstituen terutama hak-hak sipil mereka
sebagai warga negara. Semakin banyak masyarakat yang mau bergabung
dengan partai politik tertentu berarti semakin tinggi dukungan masyarakat
kepada partai politik tersebut dan bertambah pula kekuasaan para
1.22 PERILAKU ORGANISASI e
18
Gareth Jones. (1995). Organizational Theory: Text and Cases. Reading Mass,:
Addison Wesley Publishing Company. Hal. 19.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.23
• Bahan baku (daging sapi, ayam, kentang, • Mesin ( alat penggorengan, pemotong daging,
beras, dsb) pembakar roti, pembuat minuman, penanak
• Sumber daya manusia (manajer, tukang masak, nasi)
•
pramuniaga)
Uang dan modal (investasi yang dilakukan •• Komputer (cash register, komputerisasi
akuntansi, persediaan, pemesanan bahan
para investor) baku)
• Informasi dan pengetahuan (pelatihan, • Kernarnpuan dan ketrampilan SDM
pengetahuan tentang industri fast food) (karyawan yang terlatih untuk rnelayani
• Pelanggan pelanggan, pengawasan kualitas
Gambar 1.3.
Bagaimana Organisasi Menciptakan Nilai Tambah
1.24 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 1.2.
Pihak-pihak yang Berkepentingan dalam Organisasi
Stakeholders
(Pemangku Kontribusi yang Diberikan lnsentif yang Diharapkan
Kepentin an
PIHAK DALAM
1. Pemilik modal 1. Uang dan modal 1. Dividen dan apresiasi harga
sa ham
2. Manajer 2. Keterampilan dan ekspertis 2. Gaji, bonus, status, dan
kekuasaan
3. Karyawan 3. Keterampilan dan ekspertis 3. Upah, bonus, promosi, dan
pekerjaan yang mapan
PIHAK LUAR
1. Pelanggan 1. Pendapatan dari konsumen 1. Kualitas dan harga produk
2. Pemasok 2. Input yang berkualitas 2. Pendapatan dari pembelian
input
3. Pemerintah 3. Peraturan pemerintah 3. Kompetisi yang fair
4. Komunitas 4. lnfrastruktur sosial dan 4. Pendapatan, pajak dan
ekonomi pekerjaan
5. Serikat buruh 5. Perjanjian kerja yang fair 5. lmbalan yang pantas
dan bebas
6. Masyarakat 6. Loyatitas dan reputasi 6. Kebanggaan nasional
umum konsumen
C. MANAJEMEN ORGANISASI
Para manajer
Karyawan
Gambar 1.4.
Komposisi Stakeholders yang Berada di Dalam Organisasi
19
Dalam hal organisasi tersebut adalah organisasi nirlaba, ujud kepemilikan biasanya
tidak dinyatakan dalam bentuk saham yang bisa dijual belikan melainkan dalam
bentuk akte pendirian yang disahkan Notaris - khususnya yang berlaku di
Indonesia.
20
Jenniffer George and Gareth Jones. (1999). Understanding and Managing
Organizational Behavior. 2nd edition. Reading, Mass.: Addison-Wesley. Hal. 3- 5.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.27
21
Henry Mintzberg. (1991). The Manager's Job: Folklore and Fact, in Barry M. Staw
(editor). Psychological Dimensions of Organizational Behavior. New York:
Macmillan Publishing Company. Hal. 424-437.
1.28 PERILAKU ORGANISASI e
Peran desicional
• Enterprenur
Peran interpersonal Peran informasional
• Penyelesai
masalah
• Ketokohan • Monitor • Pengalokasi
• Kepemimpinan • Diseminator sumber daya
• penghubung • Negosiator
Gam bar 1. 5.
Peran Manajer dalam Organisasi
a. Peran interpersonal
Peran interpersonal muncul karena status dan otoritas formal yang
dimiliki para manajer. Peran ini meliputi hubungan antarmanusia yang
berupa ketokohan, kepemimpinan dan kemampuan seorang manajer menjadi
penghubung. Dalam peran ketokohan seorang manajer menjadi representasi
organisasi dalam acara-acara seremonial dan kegiatan-kegiatan simbolik.
Seorang W alikota, misalnya melakukan pengguntingan pita sebagai tanda
dibukanya secara resmi beroperasinya sebuah perusahaan. Pengguntingan
pita yang dilakukan oleh Walikota mencerminkan bahwa keberadaan
perusahaan direstui oleh komunitas/masyarakat setempat; seorang pimpinan
cabang sebuah bank, ketika menduduki pos baru mengundang makan siang
klien yang dianggap besar sebagai tanda bahwa dia (bank tersebut) memberi
perhatian pada nasabahnya; dan seorang dekan harus memberikan wejangan
pada acara pernikahan stafnya sebagai tanda bahwa fakultas peduli terhadap
kesejahteraan karyawan.
Semua yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut tampaknya tidak penting
tetapi setiap manajer dituntut untuk bisa melakukan tugas tersebut karena hal
ini akan memberikan citra positif dan sebagai bibit keberhasilan organisasi.
Peran Kepemimpinan merupakan tanggung jawab seorang manajer
dalam mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan bawahannya
dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Selain itu, seorang manajer dalam
memainkan perannya sebagai seorang pemimpin harus bisa menciptakan visi
ke depan agar setiap karyawan bisa mengidentifikasi dirinya dengan
e EKMA41 58/MODUL 1 1.29
b. Peran informasional
Manajer sering dijuluki sebagai pusat syaraf bagi organisasi. Julukan ini
muncul karena dalam melakukan kegiatannya manajer selalu membuat
jaringan kerja (networking) dengan pihak lain dalam rangka berbagi
informasi dan membuat kontrak/kesepakatan. Kesepakatan ini kadang-
kadang dilakukan oleh seorang manajer pada saat dia melakukan peran
ketokohan atau sebagai penghubung. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
informasi harus dimonitor, disebarluaskan, dan disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan. Termasuk peran manajer dalam memonitor informasi,
misalnya mendapatkan, menerima, dan menyeleksi informasi masuk. Dalam
hal ini, ibarat radar yang memantau lingkungan, manajer juga memantau
lingkungan organisasi untuk mendapatkan informasi yang mungkin
berpengaruh terhadap keberadaan organisasi. Tentu saja tidak semua
informasi yang didapatkan manajer akan digunakan untuk kepentingan
organisasi. Informasi harus terlebih dahulu diseleksi mana yang diperlukan
mana yang tidak.
Peran manajer dalam penyebarluasan informasi dimaksudkan agar
manajer bisa berbagi pengalaman dengan bawahan dan anggota organisasi
lainnya. Akan tetapi, terkadang seorang manajer tidak menyebarluaskan
informasi ke semua bawahan atau semua anggota organisasi karena informasi
tersebut menjadi rahasia perusahaan. Dalam perusahaan rokok, misalnya
yang boleh mengetahui formula campuran rokok hanya kalangan terbatas.
Hal ini tidak lain karena formula tersebut sifatnya rahasia perusahaan.
Peran manajer sebagai juru bicara organisasi dimaksudkan agar manajer
dapat menyampaikan beberapa informasi tentang kondisi organisasi kepada
pihak luar. Media yang biasa digunakan untuk penyampaian informasi ini
misalnya laporan tahunan organisasi, melalui press release atau media-media
lain. Peran ini juga amat penting. Misalnya, ketika citra organisasi memburuk
1.30 PERILAKU ORGANISASI e
maka seorang manajer perlu turun tangan untuk menyampaikan bantahan dan
memperbaiki citra organisasi.
2. Keterampilan Manajerial
Agar bisa berperan sebagaimana disebutkan di atas, ada beberapa
persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang manajer, di antaranya seorang
manajer harus memiliki keterampilan manajerial (manajerial skills) yang
berupa keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan antara
22
manusia (human skill) dan keterampilan konseptual (conceptual skill) .
Apakah seorang manajer lebih dituntut untuk memiliki keterampilan
konseptual, hubungan antarmanusia atau teknikal, sangat bergantung pada
level manajerialnya. Seseorang yang berada di puncak organisasi tentu saja
dituntut untuk memiliki keterampilan konseptual lebih banyak ketimbang
keterampilan teknis. Demikian sebaliknya bagi manajer bawah seharusnya
lebih banyak memiliki keterampilan teknis. Sementara itu, baik manajer level
22
Robert Katz. (1974). Skills of an Effective Administrator, Harvard Business
Review. September-October. Hal. 90- 102.
1.32 PERILAKU ORGANISASI e
Ketrampilan teknikal
Gambar 1.6.
Keterampilan yang Dibutuhkan untuk Masing-masing Level Manajerial
a. Keterampilan teknis
Keterampilan teknis adalah kemampuan seseorang untuk
mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya
pengetahuan yang sangat khusus atau spesialis. Akuntan, insinyur, dan dokter
adalah beberapa contoh profesi yang memerlukan keahlian khusus dan
keterampilan teknis. Keterampilan ini biasanya diperoleh melalui pendidikan
formal yang sangat intensif di bidangnya. Namun, tidak semua keterampilan
teknis diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, kadang-kadang
melalui pengalaman kerja yang panjang dan menekuni satu bidang pekerjaan
tertentu seseorang dapat memperoleh dan mengembangkan keterampilan
teknis. Seorang manajer tentunya dituntut untuk mempunyai keterampilan
teknis agar kegiatan organisasi bisa berj alan lebih efektif.
konflik dan tidak bisa memahami kebutuhan orang lain maka manajer
tersebut diperkirakan akan gagal dalam menjalankan perannya sebagai
•
seorang manaJer.
c. Keterampilan konseptual
Seorang manajer harus mempunyai kesiapan dan kemampuan mental
untuk menganalisis dan mendiagnosis masalah-masalah yang bersifat
kompleks. Keterampilan manajer seperti ini disebut keterampilan konseptual.
Sebagai contoh, ketika seorang manajer hendak mengambil keputusan maka
ia harus bisa menemukan masalah yang tepat, menemukan beberapa alternatif
untuk memecahkan masalah tersebut, mengevaluasi alternatif-alternatif yang
ada dan memilih alternatif terbaik sehingga keputusan yang diambilnya
menguntungkan semua pihak, khususnya bagi organisasi yang berada di
bawah kendalinya. Dalam hal ini, keterampilan teknis dan keterampilan
hubungan antarmanusia saja dianggap tidak cukup jika manajer tersebut tidak
bisa secara konseptual mengambil keputusan yang tepat.
~· ..-;
t '
, ~-,-
...
_ .....-
~
LATIHAN
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
____= ...... =
terlibat di dalamnya. Kedua, bagi alat bantu yang lain meski sama seperti
organisasi, yakni melibatkan manusia, namun manusia bertindak semata-
mata sebagai subjek yang menjalankan alat bantu tersebut. Sementara
bagi organisasi, manusia bukan semata-mata sebagai subjek yang
menjalankan organisasi tetapi juga sebagai objek yang harus dikelola.
Ketiga, penjelasan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa
organisasi harus dikelola, bahkan mengelola organisasi j auh lebih
kompleks dibandingkan dengan mengelola alat bantu lainnya karena
kedudukan ganda manusia - sebagai subjek dan objek. Dalam rangka
mengelola organisasi itulah kebutuhan akan manajemen organisasi
bukan merupakan pilihan, tetapi sebuah keharusan. Organisasi dan
manajemen dengan demikian sangat berperan terhadap tercapai tidaknya
kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai seseorang.
2) Manusia membutuhkan organisasi karena (a) manusia memiliki berbagai
macam kebutuhan yang jumlahnya tidak terhingga yang semuanya ingin
dipenuhi, (b) untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut sayangnya
tidak bisa dilakukan secara mandiri karena keterbatasan yang
dimilikinya, (c) manusia yang pada dasarnya adalah makhluk sosial
cenderung berpaling pada orang lain untuk membantunya atau jika
dimungkinkan diajak bekerja sama. Ketiga alasan inilah yang menjadi
dasar pertimbangan mengapa seseorang membutuhkan organisasi.
Dengan organisasi, manusia berharap sebagian besar kebutuhannya bisa
terpenuhi. Oleh karena alasan itu pula tidak jarang seseorang terlibat
dalam kegiatan organisasi yang berbeda pada saat bersamaan.
3) Manajer sebuah organisasi secara hierarkis pada dasarnya bisa dibedakan
menjadi 3 kelompok - manajer tingkat atas, tingkat menengah, dan
tingkat bawah. Pengelompokan ini membawa konsekuensi pada
keterampilan yang harus dimilikinya. Misalnya, manajer tingkat atas
karena skop yang di mana sangat luas dan bervariasi, dituntut lebih
banyak memiliki keterampilan konseptual. Demikian sebaliknya manajer
tingkat bawah dituntut lebih memiliki keterampilan teknikal karena
skopnya yang relatif sempit. Meski demikian, terlepas dari level
manajerialnya, setiap manajer dituntut memiliki keterampilan hubungan
antarmanusia yang sama. Hal ini disebabkan karena di mana pun posisi
seorang manajer dia pasti selalu berhubungan dengan manusia lain -
entah sebagai bawahan, atasan, ternan kerja ataupun relasi di luar
organisasi. Tingginya interaksi antarmanusia inilah yang menj adi alas an
e EKMA41 58/MODUL 1 1.35
RANGKUMAN
TES FORMATIF 1
C. kepuasan pelanggan
D. teknologi
KEGIATAN BELAL.JAR 2
dan lingkungan eksternal akan didiskusikan dengan tujuan agar kita tidak
terjebak dalam kesimpulan-kesimpulan sempit seolah-olah studi perilaku
keorganisasian hanya bisa dianalisis melalui satu perspektif saja.
5. Trend perkembangan dan tantangan bidang studi keorganisasian di mas a
datang. Perilaku keorganisasian adalah bidang studi yang dinamik yang
selalu berinteraksi dengan perubahan lingkungan organisasi. Oleh
karenanya, dengan topik bahasan ini kita bisa memahami pengaruh
faktor lingkungan terhadap perilaku manusia di dalam organisasi.
23
Richard Daft. (1992). Op cit. Hal. 26.
24
Keith Davis and John Newstorm. (1989). Human Behavior at York. gth edition. New
York: McGraw-Hill Inc. Hal. 5.
1.40 PERILAKU ORGANISASI e
Dari kedua penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa dalam bidang studi
perilaku organisasi, kita berupaya memahami organisasi dengan perspektif
manusia sebagai titik sentralnya. Penjelasan ini sekali lagi menegaskan
bahwa tema pokok dari perilaku organisasi adalah manusia. Namun, manusia
25
itu sendiri, sebagai objek studi, bersifat multiperspektif maka tidak semua
aspek yang berkaitan dengan manusia akan menjadi tema pokok dalam
bidang studi ini. Hanya aspek-aspek manusia yang relevan dan terkait dengan
organisasi saj a yang menj adi pusat perhatian bidang studi perilaku organisasi.
Secara umum, ada dua cara dalam memandang manusia di dalam
organisasi. Pertama, manusia dipandang sebagai individu, dan kedua,
manusia dipandang sebagai bagian dari kelompok. Sebagai individu, manusia
mempunyai sifat dan karakter yang unik yang berbeda antara satu individu
dengan individu yang lain. Sampai batas-batas tertentu, sifat dan karakter ini
tidak berubah meski seseorang telah bergabung dengan organisasi dalam
jangka waktu lama. Kalau toh mengalami perubahan, hal itu tidak terjadi
dalam waktu pendek melainkan secara gradual dan memakan waktu yang
relatif lama. Sulitnya perubahan sifat dan karakter manusia ini dikarenakan
26
dalam diri manusia sudah terbentuk mental programming atau lazim
disebut sebagai mind set, yakni pola pikir, perilaku, pola tindak, dan nilai-
nilai individu yang sebagiannya berasal dari faktor turunan (heredity) dan
sebagiannya lagi dibangun dari pengalaman masa lalu orang tersebut dan
lingkungan sebelum bergabung dengan organisasi. V ariabellingkungan yang
membentuk mind set seseorang, misalnya lingkungan keluarga, ternan
bergaul, dan tempat pendidikan.
Di sisi lain, ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam kurun
waktu yang cukup lama, mempunyai kegiatan sejenis dan mempunyai
orientasi yang sama sehingga mereka bisa saling berbagi pengalaman dan
harapan maka di antara mereka akan membentuk suatu sistem sosial yang
27
disebut kelompok . Sebuah kelompok, terbentuk karena masing-masing
25
Lihat James McConnell. (1986). Understanding Human Behavior. 5th edition. New
York: CBS Publishing. pp.12-14. McConnell, misalnya menjelaskan bahwa
perilaku manusia paling tidak bisa dilihat dari tiga sudut pandang: biologis,
intrapsychic dan sosial/behavioral.
26
Geert Hofstede. (1980). Culture's Consequences: International Differences in Work
Related Values. Beverly Hill, CA: Sage Publication. Hal. 15-16.
27
Prithtviral Chattopadhyay. (1999). Beyond Direct and Systematical Effects: The
Influence of Demographic Dissimirality on Organizational Citizenship Behavior,
Academy of Management Journal, pp. 273-287.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.41
28
Hofstede. Op. cit. Hal. 15-16.
1.42 PERILAKU ORGANISASI e
29
Stephen P. Robbins. (2000). Organizational Behavior: Concepts, Controversies
and Applications. 8th edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall Inc. Hal. 8.
°
3
Charrington, D.J. (1989). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.43
31
Sumantra Ghoshal and Christopher Barlett. (1995). Changing the Role of Top
Management: Beyond Structure to Process. Harvard Business Review. Hal. 63-71.
32
Charrington, D.J. (1989). Op cit. Hal. 8-9.
33
Achmad Sobirin. (2000). Privatisasi: Implikasinya terhadap Perubahan
Perilaku Manusia dan Budaya Organisasi. Jurnal Siasat Bisnis. Voll, No.
5. Hal. 25-48.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.45
• •
organisasi
lingkungan
eksternal
kelompok
Individual
lingkungan
eksternal
Gam bar 1. 7.
Tiga Level sebagai Dasar untuk Menganalisis Perilaku Keorganisasian
1. Level Individual
Pada level individual, setiap kejadian akan didiagnosis berdasarkan
perilaku indi vidu. Sebagaimana telah kita ketahui, setiap orang yang
bergabung dengan organisasi, bersamanya dibawa pula kepribadian, sistem
e EKMA41 58/MODUL 1 1.49
nilai dan sikap yang berbeda antara satu individu dengan individu lainnya.
Perbedaan ini tentu saja akan menyebabkan perilaku seseorang berbeda
dengan orang yang lain. Akibatnya, apabila sebuah organisasi katakanlah
sebuah BUMN diprivatisasi maka reaksi karyawannya bermacam-macam.
Ada di antara mereka yang tidak peduli dengan perubahan status perusahaan
tersebut, tetapi ada juga yang mengalami stres berkepanjangan. Ada yang
bersikap positif dan ada yang negatif. Semua reaksi ini tidak lain karena
masing-masing individu mempunyai kepribadian, persepsi dan sikap yang
34
berbeda-beda .
2. Level Kelompok
Meskipun sebuah kelompok terdiri dari beberapa individu yang
mempunyai tugas dan pekerjaan yang sama/sejenis dan melaporkan
35
pekerj aan tersebut kepada atasan yang sama pula , bukan berarti perilaku
kelompok sama dengan kumpulan dari perilaku individu. Penyebabnya
karena setiap kelompok mempunyai norma perilaku tersendiri yang mereka
bangun bersama dan diterima oleh setiap orang atau sebagaimana besar
anggota kelompok. Oleh karenanya perilaku kelompok tersebut akan terus
dipertahankan - sebagai identitas diri mereka, dan disosialisasikan di antara
mereka selama kelompok tersebut masih eksis. Di sisi lain mereka akan
menolak perilaku kelompok lain utamanya demi menjaga dan melindungi
eksistensi mereka. Sebagai contoh, usulan tentang mekanisasi atau
komputerisasi pembuatan produk barangkali akan memecahkan masalah
buruknya kualitas produk. Namun, upaya yang baik ini belum tentu mendapat
dukungan semua pihak. Bagi bagian quality control, misalnya komputerisasi
ini sangat mereka dukung karena dengan demikian akan mempermudah
pekerjaan mereka. Namun, bagi kelompok pekerja pabrik, usulan ini
barangkali tidak bisa diterima begitu saja. Penyebabnya karena ada
kecenderungan bahwa mekanisasi/komputerisasi akan berakibat terhadap
pengurangan tenaga kerja dan jika hal ini terjadi maka biasanya karyawan
bagian pabrik yang pertama-tama akan dikurangi. Oleh karenanya mekanisasi
dianggap sebagai ancaman bagi kelompok pekerja pabrik.
34
Prithtviral Chattopadhyay. (1999). Op cit.
35
James McCornell. (1986). Op. cit. Hal. 20-21.
1.50 PERILAKU ORGANISASI e
3. Level Organisasi
Organisasi adalah kumpulan dari individu, namun seperti halnya dalam
perilaku kelompok, kumpulan perilaku individu bukan cerminan dari perilaku
organisasi. Pada level ini semua kej adian yang terj adi di dalam organisasi
akan dianalisis dalam konteks organisasi. Dalam hal ini, dimensi -dimensi
organisasi seperti struktur, desain dan kultur organisasi akan dipahami
sebagai determinan yang mempengaruhi perilaku individu dan perilaku
kelompok, serta secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap perilaku
organisasi. Sebagai contoh, apabila sebuah organisasi didesain sebagai
organisasi yang hierarkis dan tersentralisasi maka dalam kaitannya dengan
aliran informasi, misalnya bisa diperkirakan bahwa informasi akan mengalir
dari pimpinan puncak ke level organisasi paling bawah. Akibatnya,
pengambilan keputusan menjadi sangat lambat karena segala sesuatunya
harus diputuskan di atas. Demikian juga karena manajer level bawah tidak
pernah diberi kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan maka
manajer-manajer bagian bawah tersebut tidak pemah mengalami proses
pembelajaran sehingga kapabilitasnya rendah. Akibat lainnya, tingkat
partisipasi, rasa memiliki dan kontribusi terhadap organisasi pun menj adi
rendah pula.
36 36
Cherrington. (1989). Op cit. Hal. 7.
1.52 PERILAKU ORGANISASI e
Sosiologi
Psikologi
Anthropologi
Sosiologi
Psikologi • •
• • organtsast Buday a
organtsast • •
organtsast
Prilaku
keorganisasian
Teori
Kekuasaan keputusan
Sej arab organisasi
dan manajemen
Ilmu Ekonomi
Ilrnu Politik
Sejarah
Gambar 1. 8.
Disiplin llmu yang Memberi Kontribusi Perilaku Keorganisasian
1. Psikologi
Psikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang memberi kontribusi
dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan bidang
studi perilaku keorganisasian. Sebagai disiplin yang sudah cukup tua - sudah
berkembang sejak tahun 1800-an, perkembangan ilmu psikologi sudah
demikian maju dan menjadi semakin kompleks. Implikasinya, sejak tahun
1900-an disiplin psikologi dibagi menjadi beberapa subdisiplin, di antaranya
psikologi eksperimen, psikologi sosial, psikologi klinis, psikologi pendidikan
dan psikologi organisasi. Dari beberapa subdisiplin dalam ilmu psikologi,
subdisiplin psikologi organisasi inilah yang menjadi induk bidang studi
perilaku organisasi. Sebagai contoh, beberapa topik seperti rnoti vasi yang
menjadi salah satu bahasan utama dalam psikologi organisasi juga menjadi
perhatian pada bidang studi organisasi. Demikian juga topik-topik lain,
seperti persepsi, sikap, dan stres menjadi topik bahasan baik pada psikologi
organisasi maupun pada perilaku keorganisasian.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.53
1
perkembangan disiplin perilaku keorganisasian • Saat itu Hugo Munsterberg,
misalnya menyarankan agar dalam menseleksi para insinyur (dalam bidang
perkerataapian) dan operator telepon hendaknya para manajer mem-
pertimbangkan perbedaan kemampuan dan kepribadian satu individu dengan
individu lainnya. Tulisan Munsterberg tersebut dengan demikian menjadi
titik awal penerapan psikologi organisasi dalam konteks manajerial. Sejak
saat itu hingga sekarang peranan ilmu psikologi semakin meningkatkan
pemahaman kita dalam memahami bagaimana seseorang berperilaku di
dalam organisasi.
2. Sosiologi
Tidak beda dengan ilmu psikologi, sosiologi juga mempunyai sejarah
panjang yang berawal pada abad ke-19. Adalah Auguste Comte - seorang
filsuf Perancis yang saat itu berupaya mendesain dan mengklasifikasikan
kembali ilmu pengetahuan dengan memasukkan istilah sosiologi sebagai
bagian darinya. Oleh karenanya Comte sering disebut sebagai Bapak
37
Sosiologi . Comte yakin bahwa fenomena sosial masyarakat bisa
diidentifikasi dan dijelaskan dengan ilmu pengetahuan sebab fenomena
tersebut tidak lepas dari hukum-hukum yang berlaku umum - bisa
digeneralisasi. Berdasarkan konsep dari Comte, sosiologi kemudian bisa
diartikan sebagai sebuah studi tentang sistem sosial dan hubungan
antarmanusia dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan pengembangan
disiplin perilaku keorganisasian, sosiologi bersama-sama dengan psikologi
organisasi juga memberi kontribusi yang sangat berarti khususnya yang
berkaitan dengan dinamika kelompok. Konsep tentang dinamika kelompok
yang akan dibahas pada Modul 5 sangat banyak dipengaruhi oleh teori sosial
dan hubungan sosial masyarakat dalam bidang studi sosiologi dan psikologi
• •
organ1sas1.
37
Gerald Lenski and Jean Lenski. (1987). Human Societies: An Introduction to
Macrosociology. 5th edition. New York: McGraw Hill Book Company. Hal. 24.
1.54 PERILAKU ORGANISASI e
3. Antropologi
Antropologi merupakan bidang studi yang mempelajari hubungan antara
manusia dengan lingkungannya. Sekelompok orang yang tinggal bersama
dalam kurun waktu yang cukup lama, di samping akan membentuk sistem
sosial tersendiri, juga akan berbagi pengalaman, pengetahuan, ide, keyakinan
dan sistem nilai yang akhirnya menjadi pandangan hidup bersama- common
way of life. Pandangan hidup inilah yang dijadikan tuntunan hidup yang
dianggap benar sebagai dasar untuk bertindak di antara mereka sehingga
perlu dipertahankan. Oleh karenanya pandangan hidup tersebut akan
diinternalisasikan di antara anggota komunitas dan disosialisasikan kepada
generasi berikutnya. Pandangan hidup seperti inilah yang disebut sebagai
budaya. Tidak berbeda dengan komunitas dalam sebuah masyarakat,
organisasi juga mempunyai pandangan hidup yang biasanya diungkapkan
dalam pernyataan visi dan misi organisasi. Pandangan hidup dalam konteks
organisasi seperti ini kemudian dikenal dengan istilah budaya organisasi atau
kadang-kadang disebut sebagai budaya korporat atau budaya perusahaan.
Sejak tahun 1970-an, budaya organisasi menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam literatur perilaku keorganisasian. Pada buku ini budaya
organisasi akan dibahas pada bagian ke-4.
4. Disiplin-disiplin Lain
Di samping psikologi, sosiologi, dan antropologi, disiplin lain yang
memberi kontribusi terhadap pengembangan disiplin perilaku organisasi,
antara lain ilmu politik, sejarah, dan ilmu ekonomi. Kontribusi Ilmu Politik
dalam studi perilaku organisasi, misalnya dapat dijumpai pada bahasan
tentang politik organisasi, kekuasaan, otoritas, dan konflik. Topik-topik
tersebut sangat populer dalam ilmu politik dan juga mendapat perhatian yang
sama dalam bidang studi perilaku organisasi. Demikian juga Ilmu Sejarah
sangat bermakna bagi studi perilaku organisasi terutama jika kita ingin
memahami perkembangan ilmu manajemen dan organisasi. Dengan
mempelajari sejarah manajemen dan organisasi, misalnya kita dapat belajar
mengenai pengalaman-pengalaman masa lalu dari seorang atau beberapa
orang yang berhasil atau gagal dalam mengelola sebuah organisasi. Terakhir,
dari ilmu Ekonomi kita bisa menerapkan beberapa model ekonomik dalam
pengambilan keputusan, khususnya ketika kita menghadapi beberapa
alternatif pilihan. Dewasa ini, behavioral science banyak menerapkan model-
model ekonomik sebagai cara untuk memahami perilaku manusia.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.55
38
Setelah berabad-abad masyarakat Eropa menganggap bahwa bisnis adalah
pekerjaan yang kurang terhormat maka dengan munculnya paham baru yang
menganggap bahwa bekerja adalah ibadah, masyarakat Eropa mulai menekuni
kegiatan bisnis sebagai periode awal munculnya paham kapitalisme. Lihat buku-
buku dari Max Weber. (1864-1920). The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. Reprint by Roxbury Publishing Company. 2 nd edition. The Sociology
of Religion. (1993). Boston: Beacon Press; H.H. Gerth and C.W. Mills. (1946).
From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.
39
Gerald Lenski and Jean Lenksi. (1987 ). Op cit. Chapter 9.
1.56 PERILAKU ORGANISASI e
40
membaca secara lengkap pada tulisan Daniel Wren yang banyak mengulas
sejarah perkembangan organisasi sejak masa Babilonia, Mesir Kuno, Israel,
Yunani, Cina, dan Romawi.
Pada Kegiatan Belajar ini hanya akan disinggung perkembangan
organisasi pascarevolusi industri khususnya dalam kaitannya dengan
perkembangan studi perilaku organisasi. Dilihat dari sejarah
perkembangannya, awal mula studi perilaku organisasi terjadi pada saat Elton
Mayo - seorang psikolog dibantu tim peneliti dari Harvard University dan
Yayasan Rockefeller pada tahun 1927 dan 1932 melakukan penelitian di
Western Electric Hawthorne Plant yang berlokasi di Western Chicago dan
Cicero, Illinois - sebuah penelitian yang belakangan sangat populer dan
melahirkan satu pendekatan (mazhab) baru, yakni Human Relation
Approach. Intinya, hasil penelitian ini membantah mazhab yang berkembang
sebelumnya (yang dikembangkan Frederick Taylor) yang mengatakan bahwa
manusia hanyalah sebagai faktor produksi seperti halnya faktor produksi
yang lain di mana hubungan sosial manusia tidak boleh dibawa ke dalam
kehidupan organisasi. Mayo sebaliknya mengatakan bahwa justru hubungan
sosial manusia menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan
produktivitas.
Meski human relation approach sering disebut sebagai fondasi bagi
studi perilaku organisasi, embrio dari bidang studi ini sesungguhnya sudah
ada sejak tahun 1913 ketika Hugo Munsterberg menulis "Psychology and
41
Industrial Efficiency" . Saat itu Hugo Munsterberg menyarankan agar dalam
menseleksi para insinyur (dalam bidang perkeretaapian) dan operator telepon
hendaknya para manajer mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan
kepribadian masing-masing individu. Namun, tampaknya saran Muntersberg
tidak banyak ditanggapi karena pada saat itu masyarakat industri Amerika
sedang dilanda eforia terhadap pendekatan scientific management. Baru
setelah Elton Mayo melakukan studi di Hawthrone Plant para manajer mulai
yakin bahwa dengan memberi perhatian terhadap peran manusia bukan
berarti mengorbankan produktivitas sebagaimana diajarkan oleh Taylor.
Sebaliknya, memberi perhatian terhadap karyawan sebagai manusia,
menciptakan suasana kerja yang bersahabat dan membiarkan para karyawan
40
Bagian ini sebagian besar diambilkan dari tulisan Daniel Wren, tentunya dengan
tambahan disana sini. Lihat Daniel Wren. (1994). The Evolution of Management
Thought. 4th edition. New York: John Weley Inc. Hal. 13-68.
41
Cherrington. (1989). Op cit. Hal. 7.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.57
a. Studi kepemimpinan
Studi kepemimpinan merupakan studi yang sudah cukup tua. Meski
demikian intensitas penelitian terhadap bidang kajian ini mulai intensif
setelah Amerika mengalami depresi ekonomi pada awal tahun 1930-an. Pada
mulanya kajian terhadap studi kepemimpinan lebih menekankan pada kaitan
antara kepemimpinan dengan kepribadian dan karakter seseorang. Namun,
memasuki tahun 1940-an, pemahaman terhadap konsep kepemimpinan mulai
bergeser. Pemimpin yang berhasil bukan semata-mata karena kepribadian
dan karakter yang dimiliki seseorang, tetapi juga karena hubungan baik
antarindi vidu dengan posisi seseorang di dalam organisasi.
d. Contingency theory
Beberapa tahun setelah Henri Fayol mengemukakan teori manajemen
yang belakangan dikenal sebagai teori manajemen klasik, masih ada
anggapan bahwa teori tersebut berlaku secara universal dan bebas nilai. Pada
tahun 1950-an prinsip universalitas dari teori manajemen klasik mulai
menjadi pertanyaan serius. Pada periode tersebut mulai muncul anggapan
bahwa universalitas prinsip manajemen sangat bergantung pada situasi yang
mempengaruhinya. Prinsip ini disebut sebagai contingency management yang
menyatakan bahwa situasi yang berlaku pada saat tertentu akan sangat
mempengaruhi diterapkannya prinsip-prinsip manajemen. Artinya,
manajemen sebuah organisasi tidak berlaku umum namun sangat bergantung
pada situasi di mana organisasi tersebut berada, bergantung pada siklus
kehidupan organisasi, dan bergantung pada orang-orang yang bekerja pada
organisasi. Berdasarkan prinsip kontingensi dan didukung oleh open sistem
theory maka pemahaman terhadap individu, organisasi dan lingkungannya
menj adi kebutuhan teramat penting yang tidak bisa diabaikan. Dari sinilah
studi tentang perilaku keorganisasian mulai mendapatkan tempat baik di
kalangan akademisi maupun praktisi.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.59
42
Ghoshal and Barlett. (1995 ). Op cit.
43
Henry Lane and Joseph DiSteffano. (1992). International Management Behavior.
2nd edition. KENT Publishing Company. Hal. 50.
1.60 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 1.3
Sifat-sifat Eksekutif di Masa Lalu dan Masa Datang
44
George and Jones. (1999). Op cit. Chapter 2.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.61
3. Mengelola Perbedaan
Alasan didirikannya sebuah organisasi adalah untuk mencapai satu set
tujuan tertentu. Hal ini berarti tugas seorang manajer adalah mengarahkan
semua komponen organisasi agar tujuan organisasi yang telah ditetapkan
sebelumnya bisa tercapai. Di sisi lain, untuk mencapai tujuan tersebut para
manajer harus merekrut dan mempekerjakan beberapa karyawan yang pada
tingkatan tertentu memiliki berbagai latar belakang yang tidak sama -
pendidikan, keahlian, etnik, suku, agama atau ras yang tidak sama.
Perbedaan-perbedaan ini akan semakin terasa dengan semakin kompleks dan
variatifnya kegiatan organisasi. Itulah sebabnya organisasi sering dikatakan
sebagai tempat berkumpulnya banyak orang dengan berbagai latar
45
belakang .
Meski arah tujuan organisasi adalah satu bukan berarti perbedaan-
perbedaan yang ada di dalam organisasi harus dihilangkan. Sebaliknya,
seorang manajer harus bisa menyelaraskan dua kepentingan yang berbeda
sebab. Justru karena adanya perbedaan, organisasi menjadi semakin dinamik.
Itulah bentuk tantangan ketiga yang dihadapi oleh para manajer di masa
datang yakni bagaimana seorang manajer mengelola perbedaan (diversity)
yang terjadi dalam lingkungan kerja. Dengan memahami studi perilaku
keorganisasian dengan baik, para manajer diharapkan bisa mengatasi
tantangan di atas.
45
lihat Jocano. (1985). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 1 1.63
bersaing dengan para pelaku bisnis dari dalam negeri, tetapi juga dengan para
pesaing dari luar negeri. Ayam Goreng Ny. Suharti, misalnya yang semula
hanya bersaing dengan Mbok Berek dan penjual ayam goreng lokal lainnya,
sekarang harus bersaing juga dengan KFC atau McDonald. Hal yang sama
juga terjadi pada perusahaan minuman ringan yang dulu dikenal dengan
nama "limun". Pada tahun 1970-an pasar minuman ringan dalam negeri
dikuasai oleh perusahaan limun lokal namun dengan datangnya Coca-cola
dan Pepsi cola - dua raksasa yang menguasai pasar dunia, hampir tidak ada
perusahaan lokal yang bisa bertahan hidup. Penyebabnya, sekali lagi karena
globalisasi.
Globalisasi dengan demikian tidak bisa dihindari dan tidak perlu
dipertentangkan lagi. Bagi para manajer, yang penting adalah mendesain
sumber daya manusia agar mereka sadar bahwa dalam menjalankan kegiatan
bisnis perilaku sebagai masyarakat global harus dimiliki oleh setiap anggota
organisasi. Inilah barangkali tantangan keempat yang dihadapi oleh studi
perilaku keorganisasian, yakni mengarahkan dan mengendalikan perilaku
manusia menuju ke masyarakat global.
5. Perubahan Teknologi
Tantangan kelima yang dihadapi studi perilaku keorganisasian adalah
perubahan teknologi yang terjadi sejak tahun 1980-an dari energy based ke
46
electronic based technology . Energy based technology yang dibangun sejak
revolusi industri menghasilkan mesin-mesin mekanistik yang mampu
menghasilkan mass produk dengan tingkat standarisasi yang tinggi. Dari sisi
sumber daya manusia, mesin-mesin yang mekanistik ini ternyata
membutuhkan operator dengan kualifikasi terlatih, mempunyai keterampilan
dan pengetahuan yang spesifik. Akibatnya, sifat manusia lebih mekanistik
dan terkotak-kotak.
Ketika teknologi berbasis energi digantikan oleh electronic based
technology, terjadilah perubahan dalam pengelolaan organisasi. teknologi
yang terakhir ini menghasilkan artificial intellegent machines dengan
sifatnya yang organik dan integrated, memungkinkan orang untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lebih leluasa tanpa mengenal batas
46
Wahyudi Prakarsa. (1994). Aspek Manajemen Umum dalam Pengelolaan
Perguruan Tinggi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Menuju
Manajemen Perguruan Tinggi yang Efisien, Malang, 27-28 Juli 1994.
1.64 PERILAKU ORGANISASI e
ruang dan waktu dan menjadikan dunia seolah-olah menjadi semakin kecil
dan terintegrasi. Dari sisi perilaku manusia, mudahnya akses informasi
menjadikan umat manusia makin terbuka, makin tahu, makin cerdas, dan
makin menuntut dan cerewet.
Penjelasan di atas, sekali lagi menegaskan bahwa perubahan lingkungan
organisasi baik internal maupun eksternal menjadikan cara pengelolaan
organisasi juga mengalami perubahan. Hal ini berarti para manajer juga harus
merubah gaya kepemimpinannya jika menghendaki organisasi yang
dipimpinnya bisa bertahan hidup dan terus berkembang. Di sisi lain, bidang
studi perilaku organisasi sebagai bidang studi yang dinamik juga mempunyai
tanggung jawab untuk meredesain ulang pola perilaku manusia di dalam
organisasi sehingga perubahan-perubahan di atas bisa diantisipasi dengan
baik.
.
.· .._-,... LA T I HAN
! I
. ...
~ - - ,.,.,
~
•
------------------------------------------
-·---~ ~ .
pelaku dan penggerak utama organisasi. Dengan kata lain, jika para
manajer gagal memahami persoalan-persoalan di atas dikhawatirkan
organisasi tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
2) Perilaku organisasi dapat dipahami melalui tiga level analisis berbeda,
yakni level individual, kelompok, dan organisasi. Cara memahami
perilaku organisasi seperti ini bisa diartikan bahwa setiap kej adian yang
sama dalam sebuah organisasi bisa dianalisis dengan cara berbeda
bergantung pada level analisisnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa
setiap persoalan yang terjadi di dalam sebuah organisasi tidak selalu
menuntut cara penyelesaian yang sama. Sebagai contoh, konflik antara
departemen pemasaran dengan departemen produksi boleh jadi
bersumber pada persoalan individu masing-masing, norma perilaku
masing-masing departemen atau tidak cocoknya struktur organisasi yang
menyebabkan kedua departemen selalu berselisih paham.
3) Meski dari dulu sampai sekarang esensi studi perilaku organisasi tidak
mengalami perubahan, namun lingkungan yang melingkupi keberadaan
organisasi justru ban yak mengalami perubahan. Dewasa ini dan di masa
mendatang lingkungan organisasi sangat jauh berbeda dengan situasi
tahun 1960-an saat studi perilaku organisasi mulai dikembangkan.
Dewasa ini dan ke depan misalnya, teknologi informasi berkembang
pesat yang berakibat pada pola hubungan antarmanusia menjadi
demikian sederhana tidak harus melalui hubungan langsung seperti pada
era sebelumnya. Demikian juga diversity - keragaman tidak lagi menjadi
hal yang menakutkan, tetapi justru dianggap sebagai aset perusahaan.
Semua ini tentunya berdampak pada pola perilaku karyawan yang tidak
ditemui pada periode sebelumnya. Bagi para manajer, semua perubahan
ini tentunya merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi.
Konsekuensinya, manajerial skill mereka juga harus berubah.
RANGKUMAN
TES FORMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Daftar Pustaka
H.H. Gerth and C.W. Mills. (1946). From Max Weber: Essays in Sociology,
New York: Oxford University Press.
Henry Mintzberg. (1991). The Manager's Job: Folklore and Fact. in Barry M.
Staw (editor). Psychological Dimensions of Organizational Behavior.
New York: Macmillan Publishing Company. Hal. 424-437.
John Kotter. (1997). Matsushita Leadership: Lessons from the 20th Century's
Most Remarkable Entreprenuer. New York: The Free Press.
John R. Schermerhorn, Jr. (1996). Management. 5th edition. New York: John
Wiley and Sons, Inc. Hal. 7.
Keith Davis and John Newstorm. (1989). Human Behavior at York. 8th
edition. New York: McGraw-Hill Inc. Hal. 5.
Max Weber. (1864-1920). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
Reprint by Roxbury Publishing Company. 2nd edition. The sociology of
religion. (1993). Boston: Beacon Press.
Wren. (1994). The Evolution of Management Thought. Joh Wiley and Son,
Inc. Hal. 9.
MDDUL 2
PENDAHULUAN
1
L Yu. (2002). Does Diversity Drive Productivity?. MIT Sloan Management
Review. Hal. 17.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.3
menunggu perintah dan komando seorang dirigen. Sekecil apa pun, para
pemain musik tidak boleh melanggar komando sang dirigen karena hal ini
berarti merusak irama musik secara keseluruhan. Sebaliknya, model irama
jazz tampaknya cocok untuk lingkungan organisasi yang dinamis. Pada
musik jazz, semua pemain adalah dirigen. Masing-masing personal tahu
kapan dirinya harus main solo untuk menunjukkan talentanya dengan cara
berimprovisasi, kapan bermain secara grup dan kapan memberi kesempatan
pemusik lain menunjukkan kemampuannya. Semua itu dilakukan tanpa harus
menunggu komando dari pimpinan grup. Perumpamaan ini sekali lagi
menunjukkan bahwa pada lingkungan organisasi yang begitu dinamis,
dituntut sebuah organisasi yang dinamis pula. Dinamika organisasi seperti ini
hanya mungkin diraih jika orang-orangnya memiliki perbedaan dan juga
dinamis.
Mengingat bahwa perbedaan individu karyawan merupakan sebuah
keniscayaan dan dirasa akan memberi manfaat bagi organisasi maupun bagi
karyawannya maka yang harus dilakukan para manajer adalah pertama,
bagaimana mengelola perbedaan tersebut agar perbedaan tidak menjadikan
organisasi disfungsi melainkan memberi manfaat bagi organisasi itu sendiri
maupun bagi karyawannya. Kedua, para manajer juga harus menyadari
bahwa perbedaan individu karyawan akan berakibat pada perbedaan perilaku
mereka. Karyawan akan merespons dan bereaksi dengan cara berbeda
terhadap stimuli yang datang kepadanya. Ketiga, para manajer juga harus
menyadari bahwa perbedaan perilaku seperti ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung, pasti memberi dampak positif dan dampak negatif
bagi organisasi. Dampak positifnya, seperti dijelaskan di muka, organisasi
menjadi semakin dinamis dan dinamika organisasi merupakan syarat mutlak
untuk merespons lingkungan yang sering mengalami perubahan mendadak.
Sementara dampaknya negatifnya lingkungan internal organisasi menjadi
semakin kompleks dan bukan tidak mungkin mengarah terjadinya konflik
internal. Untuk menghindari dampak negatif tersebut tentunya sangat
bergantung pada kemampuan para manajer dalam mengelola perbedaan.
Barangkali inilah tantangan terbesar yang dihadapi para manajer untuk
mengubah dampak negatif dari perbedaan individu karyawan menjadi
keunggulan organisasi.
Perbedaan perilaku individu karyawan yang bersumber pada hukum
perbedaan individual akan dibahas secara detail bukan hanya pada Modul 2,
tetapi juga Modul 3 dan 4. Ketiga modul ini nantinya akan memotret
2.4 PERILAKU ORGANISASI e
Perbedaan
individu:
Kepribadian Persepsi Perilaku
Kemampuan diri
Nilai-nilai • Pembelajaran • Individu
individu
Motivasi
Sikap
Gambar 2.1.
lmplikasi Perbedaan lndividu terhadap Perilaku lndividu Karyawan
KEGIATAN BELAL.JAR 1
Kepribadian dan
Kemampuan Diri Karyawan
ebut saja dua buah nama Ety dan Eny dan katakan juga bahwa keduanya
adalah saudara kembar. Seperti pada umumnya kembar-kembar yang
lain, mereka berdua seperti kata pepatah "bak pinang dibelah dua". Secara
fisik, keduanya sulit dibedakan. Postur tubuh, wama kulit, raut muka maupun
potongan rambut keduanya sangat mirip. Bukan hanya itu, atribut-atribut
yang disandangnya (cara berpakaian misalnya), tingkah laku, cara bertindak,
dan cara berjalan semakin memperkuat bahwa keduanya hampir tidak bisa
dibedakan. Oleh karenanya siapa pun yang tidak mengenal keduanya secara
dekat sering kali terkecoh. Misal ketika bermaksud menyapa Eny ternyata
yang disapa adalah Ety atau sebaliknya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah betul bahwa Ety dan Eny sama
sekali tidak bisa dibedakan? Ternyata tidak. Di samping harus diakui adanya
beberapa kesamaan, dalam batas-batas tertentu keduanya juga berbeda.
Bahkan, sesungguhnya keduanya lebih banyak perbedaannya ketimbang
kesamaannya. Jika kita tidak bisa membedakan mereka barangkali lebih
disebabkan karena kita tidak atau kurang mengenalnya. Sebaliknya,
seandainya kita adalah orang tua, suami, kakak, adik atau kerabat dekatnya,
hampir pasti kita bisa mengenali dan membedakan yang mana Ety dan yang
mana Eny baik secara fisik maupun dalam berperilaku. Boleh jadi Ety
memiliki ciri -ciri yang tidak dimiliki Eny. Misalnya, katakanlah Ety lebih
memiliki kemampuan verbal sementara Eny lebih kuat dalam kemampuan
numerik. Demikian juga dalam berperilaku, Ety barangkali lebih pendiam
dibandingkan Eny. Walhasil, sesedikit apa pun keduanya tetap saja berbeda.
llustrasi di atas memberi gambaran bahwa sekalipun dua orang terlahir
kembar dan dibesarkan dalam keluarga yang sama, tetap saja masing-masing
memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya satu dari yang lain.
Apalagi jika keduanya tidak kembar, berasal dari keluarga dan lingkungan
yang berbeda, serta masing-masing memiliki pengalaman hidup tersendiri,
boleh jadi akan lebih banyak ditemukan perbedaan dari kedua orang tersebut
ketimbang kesamaan-kesamaannya. Menyadari dan memahami kesamaan
atau sebaliknya perbedaan individual seseorang bukan hanya bermanfaat bagi
e EKMA41 58/MODUL 2 2.7
kehidupan kita sehari-hari, tetapi juga manakala kita terlibat dalam kegiatan
• •
organ1sas1.
Dalam kehidupan organisasi, memahami perbedaan-perbedaan tersebut
bisa jadi bermanfaat untuk memahami cara berpikir, cara mengungkapkan
perasaan atau keluh kesah (feelings) dan perilaku masing-masing karyawan.
Demikian juga perbedaan individual boleh jadi berpengaruh terhadap tingkat
kepuasan kerja, kinerja, tingkat stres, dan gaya kepemimpinan seseorang.
Selain itu, setiap hari para karya wan saling berinteraksi maka saling
memahami perbedaan masing-masing bukan saja berguna bagi masing-
masing karyawan, tetapi juga dapat digunakan para manajer untuk
meningkatkan efektivitas kerja organisasi.
Kegiatan Belajar 1 bermaksud menguraikan dan memberi penjelasan
terhadap dua pertanyaan pokok, yakni mengapa seseorang berbeda dan
mengapa seseorang sama dengan orang lain. Secara umum, perbedaan
individual seseorang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni
perbedaan karena kepribadian (personality) dan perbedaan karena
kemampuan diri (ability). Berdasarkan penjelasan ini Kegiatan Belajar 1
dibagi menjadi dua subpokok bahasan. Subpokok bahasan pertama
menjelaskan pengertian, makna, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kepribadian, serta bagaimana kepribadian dan lingkungan kerja
mempengaruhi cara berpikir, mengungkapkan perasaan dan perilaku seorang
karyawan. Sementara itu, subpokok bahasan kedua menguraikan perbedaan
kemampuan (ability) seseorang. Termasuk dalam pokok bahasan bagian
kedua adalah uraian tentang jenis-jenis kemampuan seseorang dan uraian
tentang bagaimana kemampuan tersebut harus dikelola secara baik agar
menghasilkan kinerj a yang optimal bagi organisasi.
A. KEPRIBADIAN (PERSONALITY)
1. Pengertian Kepribadian
Kurt Lewin, salah seorang pioneer dalam bidang psikologi sosial,
mengatakan bahwa perilaku seseorang merupakan kombinasi dari
kepribadian dan lingkungan tempat orang tersebut tinggal dalam kurun waktu
lama. Secara matematis Kurt Lewin merumuskan teorinya ke dalam satu
formula:
B = f (P, E)
di mana: B adalah Behavior (Perilaku)
P adalah Personality (Kepribadian)
E adalah Environment (Lingkungan)
2
Charrington. (1989). Op cit. pp. 99.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.9
3
karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan masing-masing individu .
Kedua, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Kurt Lewin, kesamaan atau
perbedaan ini muncul ke permukaan dalam bentuk tindakan dan perilaku
seseorang yang bersifat konsisten dan persisten. Ketiga, karakteristik dan
kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak mudah dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan sosial, biologis, situasi atau momen-momen tertentu.
4
Dalam menjelaskan kekhasan seseorang, Jaffnee menggunakan istilah
"the law of individual difference - pada dasarnya orang itu berbeda" dan
perbedaan ini cenderung konsisten dan persisten. Meski dalamjangka pendek
kepribadian seseorang tidak banyak mengalami perubahan, bukan berarti
kepribadian seseorang sama sekali tidak bisa berubah. Kepribadian seseorang
masih bisa berubah utamanya karena faktor lingkungan. Namun, harus
disadari pula bahwa perubahan kepribadian seseorang tidak terjadi dalam
jangka pendek. Sebaliknya, perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang
relatif lama. Sulitnya kepribadian seseorang berubah dalam waktu pendek
memberikan arti bahwa setiap orang memiliki kekhasan dan pola tersendiri
(mind set) dalam cara berpikir, cara mengungkapkan perasaan dan cara
5
pandang yang membedakannya dari orang lain . Jadi, kepribadian pada
dasarnya bersifat dinamis tidak statis dalam pengertian kepribadian seseorang
tetap mengalami perubahan meski perubahan tersebut terjadi secara gradual.
Uraian di bawah ini akan menjelaskan dinamika kepribadian seseorang yang
akan dimulai dari pembahasan tentang teori kepribadian.
2. Teori Kepribadian
Berbagai macam teori tentang kepribadian bisa dijumpai di berbagai
buku teks dan artikel-artikel ilmiah, baik yang dikembangkan oleh para filsuf
pada beberapa abad silam maupun oleh para psikolog pada awal-awal
abad XX. Dalam Kegiatan Belajar ini akan dikemukakan 3 teori kepribadian,
yaitu conflict theory, fulfillment theory, dan consistency theory. Ketiga teori
ini bisa digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku seseorang atau
paling tidak untuk memprediksi reaksi seseorang terhadap stimulan-stimulan
yang datang kepadanya. Dari ketiga teori ini, masing-masing memiliki
3
Lihat misalnya definisi kepribadian seperti dikemukakan David Cherrington. op cit.
p. 99.
4
Lihat Jaffnee.
5
Lihat Hofstede.
2.10 PERILAKU ORGANISASI e
a. Conflict theory
Menurut teori konflik (conflict theory), manusia pada dasarnya tidak bisa
menghindarkan diri dan selalu berhadapan dengan dua kekuatan berlawanan
yang saling tarik menarik. Oleh karenanya agar tidak terjebak ke dalam salah
satu kekuatan, seseorang dalam kehidupan sehari-harinya selalu berupaya
untuk mengambil jalan tengah atau kompromi sehingga kedua kekuatan
tersebut bisa berj alan seimbang secara dinamik. Salah satu teori konflik yang
cukup populer dalam disiplin ilmu psikologi adalah "psychoanalytic theory"
yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Freud membagi kepribadian menjadi
tiga bagian atau sistem yang berbeda, yaitu "id", "ego", dan "superego".
Kata "id" yang berasal dari bahasa latin dan terjemahannya dalam bahasa
inggris adalah "it", diartikan sebagai energi psikis (sering disebut sebagai
libido) yang terletak jauh di dalam alam bawah sadar pikiran manusia
(unconscious mind). Sebagai sumber energi, "id" tidak memiliki struktur
yang jelas, bekerja bukan dengan cara yang logis dan hanya berupaya
memenuhi kenikmatan-kenikmatan biologis sehingga "id" sering disebut
sebagai "tempat membaranya kenikmatan - cauldron of seething
excitement". Menurut Freud, energi inilah yang berubah menjadi instinct atau
dorongan biologis yang secara tidak sadar (bersifat insting) dimanfaatkan
bayi yang baru lahir untuk memenuhi kebutuhan biologis, khususnya yang
berkaitan dengan pemenuhan fungsi tubuh manusia, seperti stimulus sensual,
agresi, eliminasi, dan haus. ltulah sebabnya bayi yang baru lahir bisa
bertahan hidup karena secara biologis telah terprogram untuk mengeluarkan
energi libido. Jika seseorang telah dewasa biasanya bisa mengendalikan
energi tersebut. Namun, apabila terjadi sebaliknya "id" mendominasi
kepribadian seseorang maka sesungguhnya ia memiliki kepribadian anak-
anak yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya dan
cenderung mementingkan diri sendiri (selfish).
Oleh karena "id" memberikan sifat kekanak-kanakan, mementingkan diri
sendiri dan impulsif maka "id" bisa membantu seseorang bertahan hidup
hanya pada bagian pertama siklus hidup manusia. Selanjutnya, ketika
menginjak dewasa, seseorang mulai sadar bahwa kebutuhan yang harus
dipenuhinya bukan hanya kebutuhan biologis dan tidak sekadar
mementingkan diri sendiri. Orang dewasa mulai sadar bahwa dalam
e EKMA41 58/MODUL 2 2.11
kehidupan yang sebenarnya ada kebutuhan lain berasal dari luar dirinya yang
juga harus dipenuhi. Artinya, orang yang telah menginjak dewasa mulai sadar
bahwa apa yang ia inginkan belum tentu sama dengan tuntutan lingkungan.
Dari sinilah muncul tarik menarik antara keinginan untuk memenuhi
kebutuhan dirinya dengan keinginan memenuhi kebutuhan yang berasal dari
lingkungan. Oleh karenanya seseorang mulai berupaya mengendalikan diri
dan membedakan siapa dirinya dan siapa orang lain di luar dirinya dengan
"ego" (consciuous self). Ego adalah fungsi mental yang memungkinkan
seseorang untuk menerima dan memberi alasan, membuat keputusan,
menyimpan memori, serta memecahkan berbagai macam persoalan. Ego
inilah yang menj adi bagian dari kepribadian seseorang setelah orang tersebut
mengenallingkungan di luar dirinya.
Jika "id" dan "ego" masing-masing mendorong seseorang untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan menyadari adanya realitas hidup yang
berbeda dengan dirinya maka ketika seseorang menjadi semakin dewasa
muncul kecenderungan lain, yakni berupaya untuk mengikuti aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan masyarakat dan sekaligus berupaya untuk tidak
melanggarnya. Kecenderungan ini oleh Freud disebut sebagai "superego"
personality yang pada dasarnya merupakan pecahan dari ego. Superego
berkembang secara unconscious dan perlahan sejalan dengan kemampuan
seseorang untuk mengimitasi pikiran dan tindakan orang lain. Upaya meniru
biasanya dimulai di dalam sebuah keluarga dan yang ditiru biasanya adalah
orang tuanya - ayah atau ibu atau keduanya. Kecenderungan meniru orang
lain akan semakin tinggi ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang
lebih dewasa di luar keluarganya. Dari sinilah seseorang tanpa sadar bisa
mengambil keputusan mana yang salah dan mana yang benar berdasarkan
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat sekitar.
Hal yang menarik dari penjelasan tentang teori konflik, khususnya yang
disampaikan Freud adalah adanya tarik menarik antara "id" yang bersifat
impulsive dengan ego dan superego yang membatasi keberadaan "id". Tarik
menarik ini terj adi karena biasanya perilaku impulsive tidak bisa diterima
oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, agar perilaku impulsive seseorang
bisa diterima orang lain (masyarakat) maka ia akan melakukan upaya untuk
mempertahankan diri (self defense mechanism). Menurut Freud bentuk dari
defense mechanism tersebut adalah sebagai berikut.
2.12 PERILAKU ORGANISASI e
1) Rasionalisasi (rationalization)
Untuk membenarkan perilaku yang dilakukannya, seseorang kadang-
kadang melakukan pembenaran dengan argumentasi yang rasional
dengan harapan perilakunya yang compulsive atau tidak rasional tersebut
bisa diterima orang lain.
2) Proyeksi (projection)
Untuk memproteksi diri sendiri dari tuduhan perilaku yang tidak
sepatutnya, seseorang kadang-kadang menimpakan bahwa perilaku
tersebut sesungguhnya bukan milik dirinya, tetapi milik orang lain
seolah-olah bukan dirinya yang menghendaki perilaku tersebut.
3) Represif (repression)
Maksud dari tindakan represif adalah melupakan apa-apa yang mungkin
bakal menyulitkan atau membuat malu dirinya. Semua kenangan yang
tidak menyenangkan serta merta dilupakan begitu saja.
4) ldentifikasi (identification)
Cara lain yang juga dilakukan seseorang adalah mengidentifikasikan
dirinya dengan orang lain, khususnya yang ia kagumi, dan menggunakan
citra positif orang lain tersebut sebagai dirinya.
5) Reaksi-Formasi (reaction-formation)
Maksud dari reaksi-formasi adalah menyembunyikan motif sesungguh-
nya dengan melakukan tindakan berlawanan. Sebagai contoh, apabila
kita pemah terkena kasus narkoba maka untuk menghilangkan citra
buruk tersebut kita giat terlibat dalam organisasi anti narkoba.
6) Sublimasi (sublimation)
Sublimasi adalah proses mengekspresikan motif yang tidak bisa diterima
masyarakat dalam bentuk kegiatan yang bisa diterima masyarakat.
Sebagai contoh, mengekspresikan dorongan seksual dalam bentuk surat-
surat cinta atau puisi-puisi cinta yang secara umum masyarakat bisa
•
mener1manya.
7) Kompensasi
Melakukan upaya-upaya nyata untuk menutup kekurangan atau
kelemahan di satu sisi dengan sungguh-sungguh menjadi excellent di
bidang lain.
b. Fulfillment theory
Tidak seperti conflict theory yang menganggap bahwa seseorang selalu
dihadapkan pada dua kekuatan yang saling berlawanan, fulfillment theory
e EKMA41 58/MODUL 2 2.13
beranggapan sebaliknya. Menurut teori ini setiap orang hanya memiliki satu
kekuatan yang secara terus menerus mendorong orang tersebut untuk
mencapai aktualisasi diri. Di antara penganut teori ini, yang paling populer
adalah dua orang psikolog klinis, yakni Carl Rogers ( 1902-1987) dan
Abraham Maslow (1908-1970). Sebagai psikolog klinis, keduanya memberi
perhatian terhadap perkembangan dan potensi diri yang dimiliki manusia.
Mereka yakin bahwa manusia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk
menjadi sehat dan dapat menyesuaikan diri. Demikian juga mereka yakin
terhadap konsep aktualisasi diri di mana setiap orang mampu memperbaiki
kehidupannya dan memiliki kebebasan serta memiliki kapasitas untuk
tumbuh dan berkembang.
Menurut fulfillment theory, kepribadian seseorang yang secara konsisten
berupaya untuk mengembangkan diri sesungguhnya sejalan dengan tuntutan
masyarakat yang menghendaki hal yang sama. Seseorang akan merasa
frustasi sehingga perilakunya pun menjadi destruktif dan mal-adaptif jika
kesempatan untuk berkembang dihalang-halangi. Demikian juga jika
seseorang merasa tidak berpengharapan, ia akan memperlakukan orang lain
dengan cara yang kurang baik. Sebaliknya, apabila ia diperlakukan dengan
baik maka ia akan memberi apresiasi orang lain dan memperlakukan hal yang
sama.
c. Consistency theory
Jika fulfillment theory menganggap bahwa setiap orang memiliki inner
capability untuk berkembang dan mencapai aktualisasi diri, consistency
theory tidak menganggap demikian. Teori ini mengatakan bahwa kepribadian
merupakan proses pembelajaran melalui pengalaman hidup seseorang
terhadap lingkungannya. Artinya, terbentuknya kepribadian karena seseorang
berinteraksi dengan lingkungan dalam kurun waktu yang relatif lama dan
mencoba mengadopsi keinginan lingkungan dengan cara mengembangkan
sikap dan perilaku yang sej alan dengan keinginan lingkungan tersebut.
Salah satu teori konsistensi (consistency theory) yang cukup populer
adalah "cognitive dissonance theory". Kognitif bisa diartikan sebagai pikiran,
harapan, sikap, pendapat, dan persepsi seseorang. Menurut teori ini, manusia
memiliki keinginan untuk mempertahankan sikap, harapan, dan perilaku
secara konsisten. Oleh karenanya jika terjadi penyimpangan, ia berusaha
untuk meminimalkan penyimpangan tersebut dengan cara merubah sikap,
harapan atau perilakunya sejalan dengan tuntutan lingkungan. Teori yang
2.14 PERILAKU ORGANISASI e
a. Faktor keturunan
lstilah lain dari keturunan, khususnya yang biasa digunakan Etnis Jawa
adalah bibit. Istilah ini sering digunakan dalam pesan-pes an yang biasa
diberikan orang tua kepada anaknya, misal ketika Si Anak hendak mencari
pasangan hidup "kalau kamu hendak memilih pasangan hidupmu, lihat dulu
bibitnya apakah berasal dari keluarga dan keturunan yang baik." Ungkapan
lain yang sering kita dengar yang juga menggambarkan hubungan orang tua
dan anak adalah "like father like son- anak dan bapaknya sama saja". Kedua
ilustrasi di atas menggambarkan bahwa secara natural sesungguhnya
hubungan antara orang tua dengan anak tidak pernah terputus. Jalinan
hubungan ini secara biologis bisa dilacak melalui hubungan darah keduanya.
Setiap anak selalu membawa gen orang tuanya. Pewarisan gen ini secara
behavioral menyebabkan seorang anak cenderung memiliki karakter orang
6
Jennifer George and Gareth Jones. p 37.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.15
tuanya entah itu karakter bapak atau ibu bergantung gen mana yang lebih
dominan.
Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa faktor keturunan akan
berpengaruh terhadap karakter yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pula kepribadian seseorang. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa
sejak lahir seseorang sesungguhnya telah memiliki kepribadian. Sumbernya
tidak lain adalah kepribadian orang tuanya. Jika kita kembali pada contoh di
atas (berkaitan dengan etnis Jawa) meski orang Jawa tidak secara eksplisit
mengatakan bahwa keturunan yang baik adalah kepribadian yang baik, secara
implisit yang dimaksudkan dengan keturunan atau bibit adalah kepribadian.
Demikian juga dalam contoh dua saudara kembar - Ety dan Eny jika
keduanya memiliki kepribadian yang sama boleh jadi karena secara biologis
mereka memiliki gen yang sama yang berasal kedua orang tuanya, entah itu
gen Bapak atau lbu. Penjelasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa faktor
keturunan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
kepribadian seseorang.
7
Ibid. Hal. 39.
2.16 PERILAKU ORGANISASI e
c. Faktor situasi
Faktor ketiga adalah situasi atau konteks. Berbeda dengan dua faktor
pertama yang dianggap sebagai sumber terbentuknya kepribadian seseorang,
situasi atau konteks justru sering kali menjadi tabir yang menutupi
kepribadian seseorang. Meski telah dikemukakan bahwa kepribadian
seseorang tidak mudah berubah, namun pada saat-saat tertentu kadang-
kadang seseorang tidak berperilaku sebagaimana biasanya. Kepribadian asli
yang menjadi dasar berperilaku seolah-olah tergantikan oleh kepribadian lain.
Penyimpangan kepribadian seperti ini, biasanya bersifat temporer,
disebabkan karena konteks atau situasinya memang menuntut orang tersebut
berperilaku demikian. Dengan kata lain, kepribadian seseorang terkadang
tertutupi oleh konteks atau situasi yang melingkupi perilaku seseorang.
Sebagai contoh, pada saat semangat atau gairah kerja (mood) seseorang
sedang tinggi sifat suka marah pada orang lain yang biasanya ditunjukkan
orang tersebut boleh jadi tidak muncul ke permukaan. Ia terkesan sangat
ramah dan bersahabat. Demikian juga ketika seseorang sedang diwawancarai
untuk suatu pekerjaan, ia akan menutupi perilaku yang sebenarnya karena
ada kekhawatiran jika menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya bisa jadi
dia tidak akan mendapat pekerj aan tersebut. Kedua contoh ini sekali lagi
memperkuat pemyataan bahwa kepribadian seseorang pada dasarnya bersifat
dinamis.
4. Dimensi Kepribadian
Di muka telah diuraikan bahwa kepribadian merupakan salah satu
determinan yang menentukan pola pikir seseorang, cara seseorang
mengungkapkan emosi (berkeluh kesah) dan pola perilakunya. Oleh
karenanya agar kita bisa mengidentifikasi kepribadian seseorang dan juga
bisa membedakannya dengan kepribadian orang lain maka kita perlu
memahami dimensi-dimensi kepribadian. Salah cara untuk memahami
kepribadian seseorang adalah dengan memahami watak, karakter atau sifat
bawaan orang tersebut. Dalam literatur-literatur psikologi khususnya yang
berbahasa Inggris, istilah watak, karakter atau sifat digunakan satu istilah
umum, yaitu traits. Traits diartikan sebagai komponen kepribadian yang
menjelaskan kecenderungan seseorang dalam cara berpikir, cara
e EKMA41 58/MODUL 2 2.17
8
mengungkapkan perasaan dan berperilaku • Penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan karakter manusia telah dilakukan berulang-ulang utamanya
karena jenis watak/karakter/sifat manusia jumlahnya cukup banyak. Salah
satu contohnya, dalam sebuah studi ditemukan tidak kurang dari 17.953 jenis
watak atau karakter manusia. Namun, hampir tidak mungkin menjelaskan
perilaku manusia berdasarkan sekian banyak karakter tersebut, upaya
penyederhanaan dan pengelompokan karakter tersebut dilakukan pada studi
lanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya ada 16 karakter utama yang
secara konsisten menjadi prediktor perilaku manusia, selebihnya hanya
bersifat artifisial. Keenam belas karakter tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut ini.
Tabel 2.1.
16 Sifat Manusia
8
Robbins. Hal. 91.
2.18 PERILAKU ORGANISASI e
a. Openness to experience
Openness to experience merupakan dimensi kepribadian yang
menggambarkan perilaku seseorang yang cenderung terbuka, bisa menerima
berbagai macam stimuli, mempunyai keinginan yang luas, dan berani ambil
risiko. Agar perilaku seperti ini bisa menjadikan seseorang berhasil dalam
menjalankan kegiatannya maka organisasi atau perusahaan tempat mereka
bekerja harus bisa menghilangkan hambatan-hambatan yang mungkin
mengganggu upaya mereka. Itulah sebabnya seseorang dengan tingkat
openness to experience yang tinggi biasanya lebih suka mendirikan usaha
sendiri karena dengan usaha milik sendiri diyakini bahwa dirinya bisa
berinovasi, bisa mengambil risiko, dan mengurangi hambatan-hambatan yang
mungkin akan ditemui jika mereka bekerja pada perusahaan besar yang telah
map an.
b. Conscientiousness
Conscientiousness adalah dimensi kepribadian yang menggambarkan
sejauh mana seseorang bertanggung jawab, teguh, dapat dipercaya, dan
berorientasi pada basil. Seseorang dengan tingkat conscientiousness yang
tinggi pertanda bahwa orang tersebut sangat disiplin dalam menj alani
hidupnya. Kedisiplinan ini didasari oleh suatu keinginan agar kelak bisa
menghasilkan sesuatu. Sebaliknya, seseorang dengan tingkat
conscientiousness yang rendah pertanda bahwa orang tersebut tidak terarah
dan tidak disiplin. Conscientiousness merupakan dimensi kepribadian yang
cukup penting untuk memprediksi kinerja seseorang. Dengan tingkat
conscientiousness yang tinggi, seseorang diyakini memiliki kinerja yang baik
karena dalam upayanya untuk menghasilkan sesuatu ia akan terus melakukan
usaha tanpa mengenallelah.
c. Extraversion
Extraversion, sering juga disebut positive affectivity adalah dimensi
kepribadian yang menggambarkan seseorang yang percaya diri atau asertif
karena memiliki pengalaman emosional positif sehingga tidak berprasangka
e EKMA41 58/MODUL 2 2.19
jelek- baik terhadap dirinya, orang lain maupun terhadap lingkungan sekitar;
mudah bermasyarakat dan hangat dalam bergaul karena cenderung berbicara
aktif. Seseorang dengan tingkat extraversion yang tinggi dengan demikian
cenderung berpandangan positif baik terhadap dirinya maupun terhadap
orang lain dan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam bahasa sehari-hari,
orang seperti ini sering disebut sebagai extravert (atau kadang disebut
extrovert). Seorang extrovert biasanya ramah, menarik, dan mudah bergaul.
Sebaliknya, seorang introvert (memiliki tingkat extraversion yang rendah)
adalah orang yang hampir tidak pemah memiliki pengalaman baik dan oleh
karenanya cenderung menjaga jarak dengan orang lain (tidak mudah
bergaul). Dalam lingkungan organisasi tempat kerja, seorang extravert
biasanya memiliki semangat kerja yang baik, merasa puas dengan
pekerjaannya, berpandangan positif terhadap organisasi tempat kerja, dan
mudah bergaul dengan ternan kerja. Oleh karena sifat-sifatnya yang
demikian, seorang extravert cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
banyak berhubungan dengan orang lain. Pekerjaan tersebut, antara lain
bagian penjualan, customer relation, dan public relation.
d. Agreebleness
Agreebleness adalah dimensi kepribadian yang menggambarkan apakah
seseorang secara natural perilakunya baik, cukup mudah berteman dengan
orang lain (kooperatif), dan percaya kepada orang lain. Jika seseorang secara
umum sangat disukai orang lain, cenderung memiliki tingkat kepedulian yang
tinggi kepada orang lain dan berpengaruh terhadap orang lain, pertanda
bahwa orang tersebut memiliki tingkat agreebleness yang tinggi. Sebaliknya,
apabila seseorang cenderung antagonis, tidak mudah percaya kepada orang
lain dan tidak simpatik pertanda bahwa orang tersebut tergolong sebagai
orang yang memiliki tingkat agreebleness yang rendah. Meski terkesan
negatif, seseorang dengan tingkat agreebleness yang rendah sesungguhnya
cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kesan antagonis seperti
penagih utang (debt collector), sedangkan seseorang dengan tingkat
agreebleness yang tinggi cocok untuk pekerjaan yang menuntut kerja sama
dengan orang lain karena orang seperti ini tergolong sebagai "team player"
yang baik.
2.20 PERILAKU ORGANISASI e
e. Neuroticism
Tidak seperti pada extraversion, neuroticism (sering disebut negative
affectivity) menggambarkan kepribadian seseorang yang cenderung memiliki
pengalaman emosional negatif, merasa tidak aman, merasa tertekan, dan pada
umumnya memandang dirinya dan lingkungan di sekitar secara negatif.
Seseorang dengan tingkat neuroticism yang tinggi cenderung menunjukkan
emosi negatif dan setiap saat dan dalam situasi apa pun mudah stres
dibanding seseorang dengan tingkat neuroticism yang rendah. Seorang
dengan tingkat neuroticism yang tinggi sering disebut sebagai neurotic.
Dalam kehidupan sehari-hari seorang neurotic terkadang dianggap memiliki
masalah psikologis. Dalam bahasa psikologi, neurotic sesungguhnya
hanyalah karakter manusia yang dalam batas-batas tertentu dianggap wajar.
Di tempat kerja, seorang neurotic cenderung memiliki semangat kerja
yang rendah, gampang stres, dan cenderung berpandangan negatif terhadap
organisasi tempat kerja. Namun, kadang-kadang orang seperti ini juga sangat
kritis kepada dirinya dan pada kinerja yang dihasilkannya sehingga ada
kemungkinan orang tersebut terus memperbaiki diri dan kinerjanya. Oleh
karenanya seorang neurotic lebih cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan pemikiran kritis dan evaluasi diri seperti pada departemen
quality control. N amun, orang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi
kadang-kadang juga mengganggu khususnya dalam pengambilan keputusan
kelompok. Seorang neurotic biasanya menempatkan diri sebagai oposan dan
cenderung hanya melihat sisi negatif dari setiap usulan yang diajukan orang
lain atau kelompok lain.
Untuk mengukur tingkat dimensi big five personality seseorang bisa
digunakan kuesioner seperti tampak pada tabel berikut ini.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.21
Petunjuk pengisian:
Berikut ini adalah 25 pernyataan tentang sifat manusia. Berilah tanda silang (X) pada skala 1- 5
yang berada pada kolom tengah yang betul-betul menggambarkan sifat Anda.
1 Antusias 5 4 3 2 1 Pendiam/Kalem
2 Suka berada di antara orang lain 5 4 3 2 1 Lebih menyukai sendirian
3 Pemimpi 5 4 3 2 1 Tidak membual
4 Sop an 5 4 3 2 1 Kasar
5 Rapi 5 4 3 2 1 Jorok/kotor
6 Hati-hati 5 4 3 2 1 Percaya diri
7 Optimistic 5 4 3 2 1 Pesimistik
8 Teoritik 5 4 3 2 1 Sangat praktikal
9 Dermawan 5 4 3 2 1 Mementingkan diri sendiri
10 Tegas 5 4 3 2 1 Terbuka
11 Menghambat 5 4 3 2 1 Tidak suka menghambat
12 Suka menunjukkan kemampuan 5 4 3 2 1 Menyukai privasi
13 Imaginative 5 4 3 2 1 Mengikuti aturan
14 Hangat 5 4 3 2 1 Tenang
15 F ocusltidak mudah terganggu 5 4 3 2 1 Mudah terganggu
16 Mudah merasa malu 5 4 3 2 1 Tidak peduli
17 Ramah 5 4 3 2 1 Dingin
18 Menyukai sesuatu yang baru 5 4 3 2 1 Menyukai rutinitas
19 Team player 5 4 3 2 1 Mandiri
20 Menyukai keteraturan 5 4 3 2 1 Tidak masalah dengan keos
21 Terbiasa dengan gangguan 5 4 3 2 1 Tidak dapat diganggu
22 Suka bercakap-cakap 5 4 3 2 1 Lebih suka berpikir
23 Nyaman dengan situasi ambigu 5 4 3 2 1 Menyukai sesuatu yang jelas
24 Mudah percaya pada orang lain 5 4 3 2 1 Skeptis pada orang lain
25 Tepat waktu 5 4 3 2 1 Suka mengulur waktu
TAHAPKEDUA
Pindahkan basil skor Anda pada T AHAP PERTAMA ke kolom yang
sesuai dengan lembar konversi berikut ini dan berilah tanda silang.
Selanjutnya, hitung berapa NORMA SKOR yang diperoleh dengan cara
mencocokkannya dengan kolom paling kiri atau paling kanan. Sebagai
contoh, apabila skor untuk Neuroticism adalah 21 berarti norma skomya 73.
LEMBAR KONVERSI
55 16 18 20 19 55
54 16 19 54
53 53
52 17 18 52
51 15 51
50 16 15 18 17 50
49 49
48 14 15 16 48
47 14 17 47
46 14 15 46
45 13 45
44 13 16 14 44
43 13 43
42 12 42
41 15 13 41
40 12 12 11 40
39 39
38 14 12 38
37 11 10 37
36 11 36
35 10 13 11 35
34 9 34
33 10 9 10 33
32 12 32
31 8 31
30 8 9 30
29 9 11 29
28 7 7 8 28
27 10 27
26 6 7 26
25 8 6 25
24 9 6 24
23 23
22 5 22
21 7 5 21
20 8 20
2.24 PERILAKU ORGANISASI e
T AHAP KETIGA
Berdasarkan basil norma skor pada TAHAP KEDUA, cocokan basil skor
Anda (norma skor) dengan lembar interpretasi berikut ini. Misalnya, apabila
norma skor Anda pada kolom neuroticism adalah 73 yang berarti di atas 65
maka Anda adalah seorang yang sangat reaktif.
LEMBAR INTERPRETASI
35 45 55 65
Introversion Extraversion
Introvert Ambivert Extrovert
35 45 55 65
Low Openness High Openness
Preserver Moderate Explorer
35 45 55 65
Low Agreebleness High Agreebleness
Challenger Negotiator Adapter
35 45 55 65
Low Conscientiousness High Conscientiousness
Flexible Balanced Focused
35 45 55 65
a. Locus of control
Locus of control, bisa diterjemahkan sebagai pusat atau tempat kendali
diri merupakan dimensi kepribadian yang menggambarkan keyakinan
seseorang terhadap siapa yang mengendalikan nasib dan jalan hidupnya atau
hal-hal lain yang terjadi pada dirinya. Secara umum, locus of control
e EKMA41 58/MODUL 2 2.25
Petunjuk pengisian:
Lingkarilah pernyataan A atau B yang menurut Anda sesuai dengan keyakinan
Anda.
1. A. Orang yang dalam hidupnya tidak mendapatkan kebahagiaan
sesungguhnya lebih disebabkan karena nasib buruk mereka.
2. B. Orang yang tidak beruntung/tidak bahagia sesungguhnya lebih
disebabkan karena kesalahan diri sendiri.
3. A. Meski telah diupayakan dengan sekuat tenaga, sayangnya, banyak
orang yang tidak beruntung.
4. B. Dalam jangka panjang orang akan memperoleh respek yang memang
patut didapatkan.
5. A. Tanpa ada nasib baik, tidak mungkin seseorang bisa menjadi
pemimpin yang efektif.
6. B. Seorang yang mempunyai prasyarat, namun gagal menjadi pemimpin
berarti orang tersebut tidak bisa mengambil kesempatan.
7. A. Saya sering mendapat kenyataan bahwa apa yang akan terjadi maka
pasti terjadi.
8. B. Bagi saya, mengandalkan nasib baik tidak akan pernah mendatangkan
sebaik jika say a melakukan tindakan nyata.
9. A. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dalam batas-batas tertentu
kehidupannya ditentukan secara kebetulan.
10. B. Tidak beruntung merupakan akibat dari ketidakmampuan, kebodohan
dan kemalasan kita.
11. A. Dalam jangka panjang hal-hal buruk yang menimpa kita akan
diimbangi dengan hal baik.
12. B. Kebanyakan dari orang yang tidak beruntung lebih disebabkan karen a
tidak memiliki kemampuan, kebodohan, kemalasan atau ketiga sebab
tersebut.
13. A. Saya sering merasa bahwa saya sedikit pengaruhnya terhadap apa yang
terjadi pada diri saya.
14. B. Saya tidak percaya bahwa nasib baik memainkan peran penting dalam
hidup saya.
Petunjuk jawaban.
1. Setelah selesai menjawab semua pernyataan di atas, berilah nilai 0 untuk
jawaban A dan 1 untukjawaban B.
2. Jumlahkan nilainya.
3. Jika total nilai Anda antara 1- 3 maka Anda termasuk orang dengan external
locus of control jika nilainya = 4 Anda masuk dalam kategori di tengah
(seimbang antara external dan internal locus of control); dan jika nilainya
antara 5- 7 Anda termasuk orang dengan internal locus of control.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.27
c. Machiavellianism
lstilah Machiavellianism diambil dari nama seorang pegawai pemerintah
yang hidup pada abad XVI di Florence Italia, Nicolo Machiavelli.
Machiavelli dikenal melalui dua buah bukunya The Discourses dan The
Prince. Secara umum, kedua buku tersebut menggambarkan kepribadian
seorang pemimpin yang sangat oportunis, mementingkan diri sendiri, dan
berupaya memperoleh dan memanfaatkan kekuasaan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuannya. Dari pandangan Machiavelli inilah dikenal istilah ends
justify means - tujuan menghalalkan cara. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan pemahaman tentang kepribadian, Machiavellianism diartikan sebagai
dimensi kepribadian yang menggambarkan tingkat pragmatisme seseorang.
Jika seseorang sangat pragmatis dengan prinsip "apa pun caranya bisa
dilakukan asal mendatangkan hasil" dan sangat impersonal maka pertanda
bahwa orang tersebut memiliki tingkat Machiavellianism yang tinggi.
Dari berbagai studi tentang kepribadian Machiavellianism menunjukkan
bahwa seseorang dengan tingkat Machiavellianism yang tinggi lebih banyak
melakukan manipulasi kekuasaan, melakukan persuasi terhadap orang lain
dan lebih banyak meneguk hasil. Namun, keberhasilan seorang
Machiavellian juga sangat bergantung pada variabel-variabel penunjang,
antara lain berikut ini.
1) Seorang Machiavellian akan berhasil jika interaksi dengan orang lain
dilakukan secara langsung.
2) Keberhasilan seorang Machiavellian akan semakin tinggi jika di dalam
sebuah organisasi terdapat sedikit aturan.
3) Seorang Machiavellian akan lebih keberhasilan jika dalam bertransaksi
menuntut keterlibatan emosi yang sangat minimal.
Petunjuk pengisian:
Di bawah ini terdapat 8 pemyataan tentang sifat manusia. Untuk masing-
masing pernyataan, berilah nilai 5 jika Anda sangat setuju, 4 jika setuju,
3 jika tidak memberi pendapat, 2 jika tidak setuju, dan 1 jika sangat tidak
setuju dengan pernyataan tersebut.
1. Cara terbaik untuk mengendalikan seseorang adalah dengan memberi
tahu yang bersangkutan tentang apa yang ia ingin den gar.
2. Jika Anda meminta seseorang untuk melakukan sesuatu untuk
kepentingan Anda, cara yang terbaik adalah memberikan alasan
sebenarnya mengapa Anda minta bantuan orang tersebut bukan
memberikan alasan yang dibuat-buat.
3. Siapa pun yang percaya sepenuhnya kepada orang lain berarti orang
tersebut sedang mencari masalah.
4. Sangat sulit untuk bisa maju jika kita tidak mau melanggar aturan.
5. Sangat baik beranggapan bahwa setiap orang mempunyai sifat jahat
dan sifat tersebut akan muncul ke permukaan jika diberi kesempatan
6. Berbohong kepada orang lain tidak pernah dianggap benar.
7. Setiap orang pada dasarnya baik.
8. Setiap orang hanya akan bekerja keras jika dipaksa untuk itu.
Skor:
1. Jumlahkan skor pada pemyataan No. 1, 3, 4, 5, dan 8.
2. Jumlahkan skor pada pernyataan 2, 6, dan 7 secara terbalik Uadi jika
skor masing-masing pernyataan semula adalah 5 maka nilainya sama
dengan 1, jika skor semula 4 = 2, jika nilai semula 2 = 4 dan jika nilai
semula 1 = 5).
3. Jumlahkan total skor dari kedelapan penyataan di atas. Semakin tinggi
skor Anda berarti Anda tergolong orang yang semakin memiliki
kepribadian Machiavelli.
d. Self esteem
Dalam kehidupan sehari-hari bisa dijumpai seseorang yang memiliki
tingkat kebanggaan diri yang tinggi atau sebaliknya seseorang yang tidak
memiliki kebanggaan diri bahkan kadang-kadang membenci dirinya. Rasa
bangga diri atau tidak bangga diri juga merupakan cermin kepribadian
seseorang. Dimensi kepribadian yang digambarkan oleh sejauh mana
seseorang menyukai atau tidak menyukai dirinya disebut self esteem
(kebanggaan diri). Seseorang dengan tingkat kebanggaan diri yang tinggi
2.30 PERILAKU ORGANISASI e
biasanya merasa bahwa dirinya adalah orang yang memiliki kapabilitas dan
orang berguna baik untuk dirinya maupun bagi orang lain. Sebaliknya,
seseorang dengan tingkat kebanggaan diri yang rendah merasa bahwa dirinya
tidak memiliki kapabilitas yang berarti dan dirinya adalah orang yang tidak
berguna.
Dalam sebuah organisasi, karyawan dengan tingkat kebanggaan diri
yang tinggi biasanya akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang menantang,
memilih pekerjaan yang sulit, menargetkan tingkat sasaran hasil yang tinggi,
dan ingin mencapai puncak karier. Dengan tingkat kebanggaan diri yang
tinggi, karyawan juga biasa lebih memiliki motivasi dan tingkat kepuasannya
tinggi. Dengan memperhatikan karakteristik seperti ini tidak bisa diartikan
bahwa seorang karyawan dengan tingkat kebanggaan diri yang rendah tidak
memiliki kapabilitas. Boleh jadi kapabilitas mereka sama, namun mereka
merasa bahwa dirinya tidak memiliki kapabilitas. Artinya, seorang karyawan
dengan tingkat kebanggaan diri yang rendah sesungguhnya bisa berhasil
dalam pekerjaan selama ada dorongan yang kuat dari orang lain atau
atasannya.
e. Self monitoring
Dimensi kepribadian yang pada akhir-akhir ini banyak mendapat
perhatian dari para behaviorist adalah self-monitoring. Dimensi kepribadian
ini mengungkap perilaku seseorang berdasarkan tingkat kemampuan orang
tersebut untuk menyesuaikan diri terhadap situasi lingkungan. Seseorang
dengan tingkat kemampuan menyesuaikan diri yang tinggi (high self-
monitoring) adalah orang yang mampu berperilaku berbeda pada situasi yang
berbeda. Artinya, perilaku orang tersebut sangat bergantung pada tuntutan
keadaan. Sebagai contoh, pada saat menonton sepak bola ia akan
meneriakkan yel-yel seperti dilakukan oleh penonton lain karena dalam
pertandingan sepak bola menuntut partisipasi penonton seperti itu.
Sebaliknya, pada saat menonton konser musik klasik ia bisa sangat sopan
selama orkestra berlangsung dan bertepuk tangan hanya pada saat sebuah
lagu usai.
Perilaku seperti tersebut di atas tidak ditemui pada orang yang memiliki
tingkat kemampuan penyesuaian diri yang rendah (low self-monitoring).
Perilaku orang-orang ini cenderung sama/konsisten pada situasi yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, pada situasi orang lain sedang menunjukkan
kegembiraannya, orang-orang ini boleh jadi tidak larut ke dalam kegembiraan
e EKMA41 58/MODUL 2 2.31
tersebut. Sebaliknya, pada saat orang lain sedang sedih, mereka berperilaku
biasa-biasa saja. Konsistensi ini disebabkan karena perilaku mereka
cenderung didasarkan pada sikap, keyakinan, perasaan, dan prinsip-prinsip
diri orang tersebut yang tidak begitu peduli dengan keinginan atau situasi
yang sedang dihadapi orang lain. ltulah sebabnya orang yang memiliki
tingkat kemampuan penyesuaian diri yang rendah akan berkata apa adanya
yang dianggap benar menurutnya tanpa mempedulikan reaksi orang lain.
Orang seperti ini tentunya cocok untuk organisasi yang anggota-anggota
terbuka, mau menerima saran dan kritik sekalipun saran atau kritik tersebut
terkadang menyakitkan. Sementara itu, orang-orang dengan high self
monitoring karena mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, cocok
untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat entertaintment, seperti layanan
publik (public relation) atau bagian penjualan.
Untuk mengukur apakah Anda termasuk orang yang memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, bisa digunakan
kuesioner berikut ini.
Petunjuk pengisian:
Untuk masing-masing pernyataan di bawah ini, tunjukkan apakah
pemyataan tersebut betul-betul menggambarkan diri Anda atau tidak. Jika
pemyataan tersebut betul-betul menggambarkan diri Anda beri jawaban B
(benar). Jika pernyataan tersebut tidak menggambarkan diri Anda beri
jawaban S (salah).
1. Saya kira saya telah menempatkan diri dalam suatu pertunjukan untuk
menarik perhatian atau untuk menyenangkan orang lain.
2. Dalam sebuah kerumunan orang saya sangat jarang menjadi pusat
perhatian.
3. Dalam situasi berbeda dan dengan orang berbeda saya selalu
bertindak layaknya sebagai orang lain.
4. Saya tidak akan mengubah cara berpikir saya atau cara saya
melakukan sesuatu hanya untuk menyenangkan orang lain.
5. Saya telah menyatakan diri sebagai seorang entertainer.
6. Saya menghadapi kesulitan merubah perilaku saya untuk
menyesuaikan diri dengan orang lain atau dengan situasi berbeda.
7. Dalam sebuah pesta biasanya saya membiarkan orang lain membuat
lelucon atau terus bercerita.
8. Saya merasa sering merasa kikuk ketika berada di hadapan publik dan
merasa tidak tenang.
2.32 PERILAKU ORGANISASI e
9. Saya bisa menatap mata orang lain dan berkata bohong langsung di
hadapan mukanya.
10. Meski saya tidak suka pada orang lain saya bisa berpura-pura seolah-
olah bersahabat.
Kunci jawaban:
1. Setelah menjawab semua pernyataan di atas, cocokan dengan kunci
jawaban berikut ini: 1.B, 2.S, 3.B, 4.S, 5.B, 6.S, 7.S, 8.S, 9.B, 10.B
2. Jika jawaban Anda yang cocok dengan kunci jawaban di atas lebih
dari 6 maka Anda tergolong orang yang mudah menyesuaikan diri.
Jika jawabannya kurang dari 4 maka Anda tergolong orang yang tidak
mudah menyesuaikan diri.
B. KEMAMPUAN DIRI
9
Robbins. Hal. 86.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.33
1. Kemampuan Kognitif/Mental
Maksud dari kemampuan kognitif/mental adalah kemampuan intelektual
seseorang untuk berpikir, mengemukakan alasan dan mengambil keputusan.
Perbedaan individu yang disebabkan karena perbedaan kemampuan mental
atau sering disebut intelligence mulai mendapat perhatian sejak abad XIX.
Namun, baru pada tahun 1916, Louis Terman dari Stanford University
mengembangkan konsep tersebut dengan membuat alat ukur yang tujuannya
adalah untuk mengukur tingkat perkembangan mental/intelegensia seseorang.
Alat ukur ini kemudian dikenal sebagai /Q Test. Dalam perkembangannya
bidang studi psikologi mulai mendeteksi bahwa jenis kemampuan kognitif
yang dimiliki manusia sangat bervariasi. Oleh karenanya perlu
dikelompokkan dan disusun secara hierarki agar bisa digunakan untuk
membedakan kemampuan kognitif/mental seseorang dengan orang lain.
Gambar di bawah ini menunjukkan hierarki dan pengelompokan kemampuan
kognitif seseorang.
2.34 PERILAKU ORGANISASI e
Intelegensia
Gambar 2.2.
Dimensi Kemampuan Mental
Tabel 2.2.
Kemampuan lntelektualitas, Penjelasan, dan Contoh Pekerjaan
Ability to Ability to see how two things are related to Anthropologists, travel
see each other and apply this knowledge to other agents, consultants,
relationship relationship wedding planners
2. Emotional Intelligence
Jenis kedua dari tingkat intelegensia seseorang yang akhir-akhir ini
banyak mendapat perhatian adalah "emotional intelligence" sering disingkat
EI atau EQ. Maksud dari emotional intelligence di sini adalah a cluster of
e EKMA41 58/MODUL 2 2.37
3. Kemampuan Fisik
Perbedaan kemampuan seseorang tidak saja dilihat dari sisi kemampuan
kognitif, tetapi juga dari kemampuan fisiknya. Kemampuan fisik seseorang
dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan motorik dan kemampuan fisik.
Kemampuan motorik adalah kemampuan fisik seseorang untuk memanipulasi
objek yang berada dalam sebuah lingkungan. Sementara kemampuan fisik
adalah kebugaran dan kekuatan seseorang secara fisik. Penelitian yang
berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang telah dilakukan oleh
Fleishman. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan motorik dapat
dibedakan menjadi 11 macam sementara kemampuan fisik dibedakan
menjadi 9 macam. Kesembilan kemampuan fisik tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Kemampuan dinamik, yaitu kemampuan untuk menggunakan otot secara
berulang.
b. Kekuatan otot, yaitu kemampuan untuk menggunakan otot perut.
c. Kekuatan statis, yaitu kemampuan untuk menggunakan otot untuk
melawan kekuatan dari luar.
d. Kekuatan eksplosif, yaitu kemampuan untuk menggunakan energi secara
maksimal dalam melakukan tindakan eksplosif.
e. Tingkat kelenturan tubuh, yaitu kemampuan untuk menggerakkan atau
melenturkan otot tulang belakang.
f. Kelenturan dinamis, yaitu kemampuan untuk menggerahkan tubuh
secara dinamis.
g. Keseimbangan tubuh, yaitu kemampuan untuk menggerahkan bagian-
bagian tubuh secara dinamis dan berkoordinasi.
h. Keseimbangan, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan
badan.
i. Stamina, yaitu kemampuan untuk mempertahankan kekuatan dalam
waktu yang cukup lama.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.39
LATIHAN
-- ---.......;
RANGKUMAN
TES FORMATIF 1
2) Mana di antara pemyataan berikut ini yang dianggap paling benar ....
A. kepribadian seseorang bisa diubah dengan mudah
B. hanya orang tua langsung yang bisa merubah kepribadian seseorang
C. kepribadian bisa diubah namun perubahannya memerlukan waktu
yang lama
D. kepribadian seseorang sama sekali tidak dapat diubah
KEGIATAN BELAL.JAR 2
etelah menikmati libur akhir pekan - entah sehari atau dua hari
bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan atau libur panjang
(long weekend) karena bertepatan dengan libur nasional, para pegawai
mestinya memiliki kesegaran baru, semangat baru, dan gairah kerja baru
manakala mereka memulai hari kerjanya di hari Senin. Namun, sering terjadi
hal sebaliknya, tidak semua pegawai merasa senang ketika hari Senin datang
sehingga banyak di antara mereka justru semangat kerjanya mengendur
paling tidak di setengah hari pertama. Bahkan karena adanya perasaan tidak
senang terhadap hari Senin, tidak jarang sebelum berangkat kerja terkadang
mereka mengandai-andai seolah-olah sedang berbaring di rumah sakit sambil
membayangkan betapa enaknya kalau hari ini (Senin) tidak lagi bekerja
seperti hari kemarin. Itulah sindrom yang biasa menghinggapi para pekerj a.
Sindrom seperti ini biasa disebut sebagai "I don't like Monday" syndrome.
Ilustrasi di atas menggambarkan terjadinya penurunan semangat kerja
yang disebabkan karena sikap seseorang yang cenderung negatif terhadap
hari Senin. Seandainya kita bersikap wajar, sesungguhnya Senin tidak ada
bedanya dengan hari-hari lainnya. Namun, kita memulai hari Senin dengan
rasa malas karena sebelumnya ada perasaan nyaman tidak bekerja disertai
dengan bayangan pekerjaan yang menumpuk maka hari Senin menjadi hari
yang menakutkan dan kalau bisa tidak perlu mendekatinya. Perasaan dan
sikap semacam ini tidak hanya terj adi pada seseorang terhadap hari Senin
tetapi juga terhadap objek-objek yang lain. Misalnya, terhadap ternan, orang
tua, guru, dosen atau objek-objek lain di sekitar kita. Jika kita sejak semula
sudah tidak suka terhadap dosen tertentu, misalnya maka setiap kali ketemu
dosen tersebut semangat belajar menjadi menurun dan ujung-ujungnya
prestasi belajar kita menjadi jelek.
Sederhananya, ketika gairah kerja menurun bisa jadi kinerja individual
seorang pegawai juga mengalami hal yang sama. Untungnya penurunan
gairah kerja yang diikuti oleh penurunan kinerja individu tersebut biasanya
hanya bersifat temporer, tidak terjadi dalam kurun waktu lama sehingga tidak
mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan. Meski demikian, para
manajer perlu waspada terhadap meningkatnya penurunan gairah kerja
karena hal ini bisa jadi merupakan awal dari persoalan organisasi selanjutnya
2.44 PERILAKU ORGANISASI e
Sikap Nilai-
nilai
kerja -·-·-·-·-·• individu
•
•
Gairah
kerja
Gambar 2.3.
Hubungan antara Nilai Personal, Sikap, dan Semangat Kerja
terhadap kepuasan kerja, kurang lebih juga sama. Gairah kerja, sikap
karyawan terhadap pekerjaan dan nilai-nilai personal dengan demikian saling
berkaitan atau lebih tepatnya, nilai-nilai personal akan berpengaruh terhadap
sikap kerja dan selanjutnya sikap kerja akan berpengaruh pula terhadap dan
gairah kerja seseorang. Sebaliknya, pengaruh gairah kerja terhadap sikap
kerj a dan nilai-nilai personal relatif san gat kecil.
Kegiatan belajar ini akan menguraikan tiga subpokok bahasan yang
terkait satu sama lain, yakni nilai-nilai personal/individual, sikap karyawan
dan gairah atau semangat kerja. Dengan selesainya kegiatan belajar ini, Anda
diharapkan dapat memahami konsep nilai-nilai individu, sikap kerj a, dan
semangat kerja, dan pengaruhnya terhadap kinerja dan kepuasan kerja
karyawan.
A. NILAI-NILAI INDIVIDU
Dalam tatanan bahasa Indonesia, kata nilai (value) merupakan kata sifat
yang selalu terkait dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu yang
menyertai kata tersebut. Nilai mata uang misalnya dikaitkan dengan harga
sebuah mata uang. Jika dikatakan bahwa nilai rupiah turun bisa diartikan
bahwa daya beli rupiah kurang berharga dibandingkan dengan nilai rupiah
periode sebelumnya atau dengan mata uang yang lain. Nilai ekonomis barang
ini sudah habis bisa diartikan bahwa barang tersebut secara ekonomis sudah
tidak ada manfaatnya walaupun secara teknis masih bisa berfungsi dengan
baik. Jika dikatakan bahwa nilai tari barong sudah bergeser dari nilai budaya
ke nilai ekonomis mengandung pengertian bahwa tari barong secara kultural
maknanya sudah hilang tergantikan oleh manfaat ekonomi belaka utamanya
ketika tari barong menjadi komoditi turis ketimbang sebagai upacara sakral.
Walhasil, nilai adalah sebuah konsep yang abstrak yang hanya bisa
dipahami jika dikaitkan dengan benda, barang, orang atau hal-hal tertentu.
Pengaitan nilai dengan hal-hal tertentu itulah yang menjadikan benda, barang
atau hal-hal tertentu dianggap memiliki makna atau manfaat. Benda
purbakala dianggap bernilai karena berguna bagi generasi penerus untuk
mengetahui sejarah masa lampau kita. Video tape recorder, meski secara
teknis kondisinya masih baik, dianggap manfaatnya sudah hilang karena
sudah susah mengoperasikannya mengingat kaset yang seharusnya menjadi
komplemen video tape tersebut tidak bisa lagi diperoleh di pasaran,
semuanya tergantikan oleh VCD. Dengan demikian, yang dimaksudkan
2.46 PERILAKU ORGANISASI e
dengan nilai adalah prinsip, tujuan atau standar sosial yang dipertahankan
oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) karena secara intrinsik
10
mengandung makna .
Definisi di atas yang terkesan generik bukanlah satu-satunya definisi
nilai karena setiap disiplin ilmu yang berkepentingan terhadap konsep nilai
11 12
memberikan definisi yang berbeda . Sebagai contoh, Milton Rokeach
mengatakan bahwa nilai (values) adalah keyakinan abadi (enduring belief)
yang dipilih oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar untuk
melakukan suatu kegiatan tertentu (mode of conduct) atau sebagai tujuan
akhir tindakannya (end state of existence). Dari pengertian ini Rokeach
kemudian membedakan nilai menjadi dua, yaitu Terminal values dan
instrumental values (komponen kedua nilai ini dapat dilihat pada Tabel 2.3).
13
Sementara itu, Robin Williams Jr. menjelaskan bahwa values bukan hanya
berfungsi sebagai kriteria atau standar untuk melakukan tindakan, tetapi juga
berfungsi sebagai kriteria atau standar untuk melakukan penilaian,
menentukan pilihan, bersikap, berargumentasi maupun menilai performance.
Kedua definisi ini menegaskan bahwa pilihan seseorang atau sekelompok
orang atas beberapa pilihan lainnya yang didasarkan pada suatu kriteria
tertentu akan menj adikan pilihan tersebut sebagai keyakinan abadi.
Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa nilai
cenderung bersifat permanen. Artinya, sekali seseorang telah menentukan
pilihan terhadap satu nilai tertentu - sesuatu yang dianggap benar maka orang
tersebut sulit mengubah pendiriannya. Kalaulah pendirian tersebut berubah
maka perubahannya tidak terjadi dalam waktu pendek melainkan terjadi
secara incremental. Hal ini sej alan dengan pendapat Hofstede yang
mengatakan bahwa setiap individu telah memiliki mental program yang
disebut individual mental programming.
10
Mary Jo Hatch. (1997). Organization theory. Oxford university press. Hal. 214.
11
Cathy Ain. (1986). Power and Shared Values in the Corporate Culture. Ann Arbor:
Michigan. UMI Research Press. Hal. 26.
12
Milton Rokeach. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free Press.
Hal. 5.
13
Robin William Jr. (1979). Change and Stability in Values and Value Systems: A
Sociological Perspective. in M. Rokeach (ed.) Understanding Human Values. The
Free Press. Hal. 15-46.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.47
Tabel 2.3.
Terminal dan Instrumental Value
14
Cathy Enz. (1986). Op cit. Hal. 27.
2.48 PERILAKU ORGANISASI e
Bukan hanya setiap disiplin ilmu memahami konsep nilai dengan cara
berbeda, dalam bidang studi organisasi, termasuk studi perilaku organisasi,
istilah nilai juga dipahami secara bervariasi. Ada yang menganggap bahwa
konsep nilai lebih dekat dengan konsep filosofi atau ideologi dan ada juga
yang mengatakan bahwa konsep nilai lebih dekat dengan sikap (attitude)
15
seseorang . Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, bidang studi
organisasi pada awalnya hanya mengaitkan konsep nilai dengan pelaku
organisasi (aktornya) yang disebut nilai-nilai personal atau individual
(personal values atau individual values) dan dengan pekerjaan disebut nilai-
nilai kerja (work values atau work related values). Mengaitkan nilai dengan
organisasi secara keseluruhan baru muncul belakangan bersamaan dengan
semakin populernya konsep budaya organisasi khususnya setelah buku-buku
populer, seperti "In search of excellence" dan "The art of J apanaese
management" menyimpulkan pentingnya para karyawan dan siapa saja yang
terlibat di dalam perusahaan memahami nilai-nilai organisasi. Sejak saat itu
semakin banyak perusahaan yang merasa perlu membangun tata nilai
perusahaan dengan satu tujuan untuk memperbaiki kinerja. Dari situlah
konsep nilai-nilai organisasi (organizational values) mulai mendapat
perhatian serius para praktisi dan teoretisi organisasi. Belakangan bidang
studi organisasi juga mengadopsi konsep nilai yang jauh sebelumnya sudah
menjadi kajian yang intensif pada disiplin ilmu lain, seperti sosiologi dan
antropologi. Pada kedua disiplin ini dikenal istilah nilai yang disebut nilai-
16
nilai masyarakat (societal values) •
Oleh karena bidang studi perilaku organisasi banyak berinteraksi dengan
disiplin ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, serta
mengadopsi beberapa konsep darinya termasuk konsep nilai maka sangat
tidak mengherankan jika di dalam lingkup kehidupan sebuah organisasi bisa
dijumpai berbagai macam kategori nilai nilai-nilai masyarakat - societal
values (diadopsi dari disiplin antropologi dan sosiologi), nilai-nilai organisasi
(dikembangkan di dalam disiplin studi organisasi), serta nilai-nilai individual
dan nilai-nilai pekerjaan (keduanya diadopsi dari disiplin psikologi). Meski
demikian esensi dari setiap konsep nilai sesungguhnya sama, yakni nilai
adalah (1) sebuah konsep atau keyakinan; (2) tentang tujuan akhir atau
15
George England. (1967). Personal Value Systems of American Managers.
Academy of Management Jurnal. Hal. 53-68.
16
William Evan. (1993). Oganization Theory: Research and Design. Macmillan
publishing company. Hal. 297.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.49
sebuah perilaku yang patut dicapai; (3) yang bersifat transendental untuk
situasi tertentu; (4) menjadi pedoman untuk memilih atau mengevaluasi
perilaku atau sebuah kej adian; dan (5) tersusun sesuai dengan arti
pentingnyan. Jika komponen nilai di atas disederhanakan maka nilai terdiri
dari dua komponen utama (1) setiap definisi memfokuskan perhatiannya pada
dua jenis nilai, yaitu means (alat atau tindakan) dan ends (tujuan); dan
(2) nilai dipandang sebagai preferensi (preference) atau prioritas (priority)
bagi seseorang.
1. Peran Nilai
Dalam bidang studi perilaku organisasi memahami nilai-nilai personal
karyawan bukan merupakan pilihan melainkan menjadi keharusan bagi para
manajer karena nilai-nilai personal merupakan landasan untuk memahami
sikap dan perilaku karyawan. Ketika seseorang bergabung dengan sebuah
organisasi, ia juga membawa serta nilai-nilai personalnya. Artinya, seseorang
telah memiliki kriteria mana yang seharusnya dan mana yang tidak
seharusnya; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan
mana yang dianggap salah. Dengan kata lain, setiap orang yang bergabung
dengan sebuah organisasi pasti tidak pernah bebas nilai (value free) sehingga
dalam menjalankan pekerjaannya seseorang lebih memilih perilaku atau
outcome tertentu yang sesuai dengan tata nilainya dibandingkan dengan
perilaku atau outcome lainnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa dalam batas-
batas tertentu nilai personal seseorang sering kali membatasi seseorang untuk
bertindak objektif atau rasional. Sebagai contoh, apabila sejak semula
seseorang memandang bahwa pemberian reward berdasarkan kinerja
merupakan hal yang benar namun dalam kenyataan perusahaan memberi
reward berdasarkan senioritas maka hampir pasti orang tersebut akan merasa
kecewa yang sangat dalam.
Menghadapi kenyataan ini, barangkali ia akan mengatakan "percuma
saja kerja keras .... toh yang menerima gaji besar mereka-mereka yang senior
meski tidak berbuat apa-apa". Komentar ini merupakan reaksi seseorang
karena ketidakcocokan nilai personal mereka dengan realitas yang
dihadapinya. Tentunya reaksi seperti ini jika berkepanjangan, akan
17
Shalom H. Schwartz and Wolfgang Bilsky. (1987). Toward a Universal
Psychological Structure of Human Values, Journal of Personality and Social
Psychology. 53, 3. hal. 550-562.
2.50 PERILAKU ORGANISASI e
18
Achmad Sobirin. (1997). Organizational Culture of Islamic and Catholics
Universitity in Indonesia; A Comparatrive Study. Disertasi Tidak Dipublikasikan,
University of Santo Tomas, Manila Philippines.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.51
3. Tipe Nilai
Jika Rokeach rnernbedakan nilai rnenjadi dua - terminal dan
instrumental value, Allport dan ternan-ternan rnernbuat kategorisasi nilai
dengan cara berbeda, yaitu sebagai berikut.
a. Nilai teoretik. Nilai-nilai teoretik rnernberi ternpat yang sangat tinggi
terhadap upaya rnencari kebenaran (discovery of truth) rnelalui
pendekatan kritis dan rasional.
b. Nilai ekonomik. Menekankan pentingnya nilai guna dan kepraktisan.
c. Nilai estetika. Mernberi penghargaan yang tinggi terhadap bentuk dan
harrnoni.
d. Nilai sosial. Mernberi perhatian yang tinggi terhadap kepentingan
rnasyarakat.
e. Nilai politik. Mernperoleh kekuasaan (power) dan rnarnpu
rnernpengaruhi banyak orang rnerupakan indikator dari nilai politik.
f. Nilai religi. Menjunjung tinggi aturan-aturan agarna.
4. Konflik Nilai
Organisasi adalah ternpat berternunya berbagai rnacarn konsep nilai-nilai
rnasyarakat (societal values), nilai institusi (institutional values), nilai
organisasi (organizational values), nilai kerja (work values), nilai profesi
(professional values), dan nilai personal (personal values). Akibat langsung
dari berternunya konsep nilai tersebut adalah kernungkinan terjadinya
perbedaan antara satu konsep nilai dengan konsep nilai yang lain. Oleh
karena itu konflik nilai sering tidak bisa dihindarkan. Tiga di antaranya akan
rnendapat perhatian pada kegiatan belajar ini, yaitu intrapersonal conflict,
interpersonal conflict, dan konflik antara nilai individu dengan nilai
organisasi. Ketiga jenis konflik nilai ini rnasing-rnasing bersurnber pada diri
orang tersebut, hubungan antarrnanusia dan hubungan antara person dengan
• •
organ1sas1.
2.52 PERILAKU ORGANISASI e
Didesimenasi Didesimenasi
melalui keluarga, melalui berbagai
sekolah, agama mekanisme
• •
dsb. organ1sasi
• •
Employee's Manager's
##
values ~ • values
Gambar 2.4.
Konflik Nilai
19
Martha Brown. (1976). Values- A Necessary but Neglected Ingredient of Motivation
on the Job. Academy of Management Review. Hal. 15-24.
2.54 PERILAKU ORGANISASI e
20
Barbara Moses. (1988). The Busyness Trap. Training. Hal. 38-42.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.55
B. SIKAP KERJA
21
Thomas Behr. (1988). Acting from the Center. Management Review. Hal. 51-55.
2.56 PERILAKU ORGANISASI e
1. Definisi Sikap
Sikap adalah sebuah konstruk/konsep/bangunan yang bersifat hipotetik
(hypothetical construct). Dikatakan demikian karena secara riil sikap tidak
bisa dilihat dengan mata kepala, disentuh dengan tangan atau dirasakan
dengan lidah. Untuk memahami sikap seseorang, yang bisa kita lakukan
adalah mendefinisikan atau menginterpretasikan apa yang dikatakan atau
dilakukan seseorang. Dengan demikian, untuk memahami sikap seseorang
terhadap sebuah objek, pertama, kita perlu mencermati apa yang dikatakan
atau dilakukan seseorang terhadap sebuah objek tersebut. Kedua, meng-
interpretasikan maksud dari perkataan atau tindakan orang tersebut. Ketiga,
memahami perilaku orang bersangkutan. Sebagai contoh, ketika seseorang
bukan hanya sekali atau dua kali mengatakan bahwa ia sangat menyukai
pekerjaannya dan dalam kesehariannya ia tampak tekun bekerja, kita bisa
menginterpretasikan bahwa orang tersebut bersikap positif terhadap
pekerjaan yang dijalaninya. Demikian sebaliknya, ketika seorang sales
representative tidak tampak antusias melayani para konsumen, menyampai-
kan informasi tentang produk atau perusahaan hanya sekadamya bahkan ia
terus-menerus kelihatan cemberut dalam bekerja dan bahkan sering bolos
kerja, boleh jadi karena karyawan tersebut sesungguhnya tidak menyukai
pekerjaan sebagai sales representative sehingga bersikap negatif terhadap
pekerj aan tersebut.
Dari contoh-contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa sikap merupakan
ungkapan perasaan seseorang yang persisten (ajeg) terhadap sebuah objek,
22
baik ungkapan yang bemada positif atau negatif . Objek dalam hal ini
bersifat generik dan bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu objek fisik dan
nonfisik. Oleh karena itu, objek bisa berupa orang, temp at kerja (organisasi),
gaji, pekerjaan, kejadian atau segala hal di mana seseorang bisa meng-
ungkapkan perasaannya. Jadi, ketika seseorang mengatakan bahwa ia
mempunyai sikap positif terhadap pekerjaan berarti ia mempunyai perasaan
senang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Hanya saja perlu disadari pula
bahwa seseorang terkadang mempunyai perasaan positif terhadap beberapa
aspek pekerjaan, namun di saat yang sama juga mempunyai perasaan negatif
terhadap beberapa aspek pekerj aan yang lain. Sebagai contoh, seorang
karyawan mungkin mengatakan bahwa ia sangat menyukai pekerjaannya
(sikap positif), tetapi tidak menyukai sistem penggajian di perusahaan
22
Cherrington. (1989).
2.58 PERILAKU ORGANISASI e
tersebut (sikap negatif). Sikap berbeda terhadap dua objek berbeda meski
masih dalam satu rangkaian pekerjaan seperti dicontohkan di muka, secara
tidak langsung menegaskan bahwa sikap tertentu seseorang hanya ditujukan
pada satu objek tertentu. Dengan kata lain, objek yang disikapi sesungguhnya
sangat spesifik. Objek yang berbeda dan bahkan pada situasi berbeda boleh
j adi akan direspons dengan sikap berbeda.
Penjelasan di atas mengaskan bahwa sikap, seperti halnya nilai-nilai
individu (lihat penjelasan tentang peran nilai), berpengaruh terhadap perilaku
seseorang. Bedanya adalah jika nilai-nilai individu mempengaruhi perilaku
seseorang secara keseluruhan bahkan pada situasi berbeda, sikap hanya
mempengaruhi perilaku seseorang terhadap objek, orang atau situasi yang
spesifik. Meski demikian, tidak selalu nilai-nilai individu dan sikap seseorang
biasanya berjalan seiring. Sebagai contoh, seorang manajer yang sangat
menghargai seseorang yang suka membantu orang lain mungkin akan
bersikap negatif terhadap seseorang yang membantu orang lain, tetapi cara
membantunya tanpa mempertimbangkan etika. Selanjutnya, perbedaan antara
nilai-nilai individu dengan sikap akan tampak semakin jelas jika memahami
komponen-komponen sikap yang akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
2. Komponen Sikap
Sikap seseorang terhadap sebuah objek, orang lain atau situasi secara
umum bisa dipahami melalui 3 komponen berbeda pembentuk sikap, yaitu
cognitive, affective, dan behavioral component. Cognitive component adalah
informasi yang dimiliki seseorang tentang objek yang disikapi. Informasi ini
meliputi data deskriptif, seperti fakta, gambar atau pengetahuan lain yang
spesifik. Affective component adalah perasaan dan emosi seseorang terhadap
objek yang disikapi. Komponen ini melibatkan aspek penilaian dan emosi,
dan sering kali diekspresikan dalam bentuk suka atau tidak suka terhadap
sebuah objek. Behavioral tendency component merupakan cara seseorang
menunjukkan perilakunya terhadap sebuah objek. Sebagai contoh, ketika ada
seorang pengendara sepeda motor yang melaju kencang, namun kemudian
terjatuh dan terluka parah maka perilaku kita terhadap pengendara tersebut
bisa bervariasi, seperti ingin menolong karena unsur kemanusiaan,
membiarkan karena kita menganggap hal itu terjadi karena ulahnya atau
hanya sekadar merasa kasihan namun tidak melakukan apa-apa.
Dalam kehidupan organisasi, sikap seseorang bisa dipahami dengan baik
berdasarkan kombinasi antara cognitive dan affective component. Sebagai
e EKMA41 58/MODUL 2 2.59
contoh, ketika Anda diminta oleh Bos untuk kerja lembur maka sikap Anda
terhadap permintaan tersebut dipengaruhi oleh informasi yang bersifat
kognitif, seperti sejauh mana Anda mengetahui bahwa dengan kerja lembur
Anda akan mendapatkan uang tambahan dan Anda juga mengetahui bahwa
pekerjaan tersebut begitu penting bagi perusahaan sehingga pekerjaan
tersebut harus segera diselesaikan me ski harus kerj a lembur. Pengetahuan
Anda tersebut pada akhirnya akan dipengaruhi juga oleh affective component,
yakni perasaan Anda tentang kerja lembur, seperti keinginan Anda untuk
mendapat uang tambahan atau keengganan Anda bercapai-capai. Kedua
komponen ini pada akhirnya akan menentukan sikap Anda terhadap
permintaan kerja lembur tersebut. Sementara itu, behavioral tendency
component tidak secara langsung terkait dengan kedua komponen pertama
karena behavioral tendency component merupakan construct yang terpisah.
Meski Anda memiliki sikap positif terhadap kerja lembur bukan berarti
secara otomatis Anda mau mengerjakan kerja lembur tersebut. Anda
mungkin mengatakan kepada Bos "pada dasarnya saya mau membantu Anda
kerja lembur, tetapi sayang say a sudah janji mau mengantar anak les piano"
.....
3
..•
lr
2 5
4 ......
Gambar 2.5.
Hubungan antara Sikap dan Perilaku
2.60 PERILAKU ORGANISASI e
Keterangan:
1. Kekuatan-kekuatan yang bersifat situasional
2. Sikap atau nilai-nilai individu
3. Motif berperilaku
4. Pembenaran berperilaku
5. Perilaku
b. Motif khusus
Penetapan tujuan (goal setting) dan ekspektasi terhadap imbalan
memberikan infak yang sangat besar terhadap motif berperilaku dan
membantu seseorang membangun motif khusus untuk bertindak. Sekali motif
khusus terbentuk biasanya terkait langsung perilaku tertentu. Tingkat
kekhususan tersebut ditentukan oleh empat faktor berikut.
1) Seberapa baik perilaku tertentu telah divisualisasikan secara jelas dan
detail.
2) Apakah objeknya sudah ditentukan sehingga seseorang bisa
mengarahkan perilakunya ke objek tersebut.
3) Bagaimana dengan konteks yang melingkupi seseorang berperilaku
sudah didefinisikan dengan jelas.
4) Untuk berperilaku secara spesifik, apakah waktunya sudah ditentukan
dengan j elas?
4. Merubah Sikap
Jika seorang karyawan ditengarai memiliki sikap negatif terhadap satu
atau beberapa aspek dalam kehidupan organisasi biasanya manajer berusaha
untuk merubah sikap negatif tersebut menjadi sikap yang positif. Sayangnya
karyawan cenderung resisten terhadap perubahan. Oleh karena itu, sebelum
melakukan perubahan sikap karyawan harus terlebih dahulu diketahui
bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan dan kemungkinan
tingkat keberhasilannya. Perubahan sikap dapat dilakukan dengan
menambah, menghilangkan atau memodifikasi keyakinan atau komponen
afektif lainnya, di antaranya berikut ini.
5. Sikap Kerja
Uraian-uraian di atas menegaskan bahwa seorang manajer perlu
memahami dengan baik sikap kerja karyawan mengingat sikap positif atau
sebaliknya sikap negatif tentu akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Pada bagian ini akan diuraikan tiga bentuk sikap kerja yang diyakini
berpengaruh terhadap kinerja, yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi,
dan keterlibatan kerja. Namun, sebelum semua itu diuraikan secara detail
perlu terlebih dahulu memahami anggapan dasar dan sikap kerja seperti
23
dikemukakan oleh T. Ndraha sebagai berikut.
23
T. Ndraha, Teori Budaya Organisasi. (1999). Bidang Kajian Utama Ilmu-Ilmu
Pemerintahan. Kerjasama IIP-UNPAD.
2.64 PERILAKU ORGANISASI e
Dampak dari anggapan kerj a seperti tersebut di atas terhadap sikap kerj a
dan perilaku kerj a adalah sebagai berikut.
Tabel 2.4.
Anggapan Kerja dan lmplikasinya terhadap Sikap Kerja
6. Kepuasan Kerja
Secara umum, telah dikemukakan bahwa tugas seorang manajer adalah
meningkat kinerja organisasi dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan -
dua variabel yang bisa saling memengaruhi, tetapi bisa juga independen satu
sama lain. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kinerja yang tinggi tidak
selalu diikuti oleh kepuasan kerja karyawan. Demikian juga kepuasan kerja
yang tinggi tidak selalu menyebabkan kinerja organisasi tinggi. Hal yang
paling ideal adalah kepuasan kerja karyawan diikuti oleh kinerja organisasi.
Inilah harapan para manajer pada umumnya. Oleh karena itu, berbagai
macam studi dilakukan untuk menciptakan kondisi ideal tersebut. Kepuasan
kerja itu sendiri dalam beberapa hal dipengaruhi oleh sikap kerja karyawan
dan selanjutnya berdampak pada keterlibatan kerja, komitmen organisasi, dan
tingkat kesehatan fisik dan mental karyawan. Sebaliknya, ketidakpuasan
dalam bekerja bisa meningkatkan tingkat absensi, kegersangan organisasi
(organizational drift), iklim kerja yang tidak kondusif, dan persoalan-
persoalan ketenagakerjaan lainnya. Oleh karena itu, dalam praktik para
manajer biasanya secara reguler melakukan survei untuk mengetahui sikap
karyawan dan dampaknya terhadap kepuasan kerja. Berikut ini contoh survei
terhadap karyawan berkaitan dengan sikap kerja dan implikasinya terhadap
kepuasan kerj a.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.67
pribadi.
c. Sering sekali.
11. Mana dari pernyataan di bawah ini yang Anda anggap paling benar?
a. Saya tidak ingin belajar lebih banyak tentang pekerjaan saya.
b. Saya sangat menyukai untuk belajar tentang pekerjaan saya
ketika pertama kali menerima pekerj aan ini.
c. Saya ingin belajar sebanyak mungkin tentang pekerjaan saya.
12. Pilihlah di antara kualitas hidup berikut ini yang paling berharga bagi
Anda ...
a. simpati
b. berpikiran jernih
c. tenang
d. ingatan yang baik
e. konsentrasi
f. stamina fisik
g. daya temu
h. expertise (kepakaran)
i. daya tarik (pesona)
j. humor
14. Mana di antara pernyataan berikut ini yang paling Anda setujui?
a. Pekerjaan hanyalah sebuah jalan untuk rnendapatkan uang agar
saya bisa hidup.
b. Pekerjaan hanyalah jalan untuk rnendapatkan uang, tetapi harus
rnernuaskan jika rnungkin.
c. Pekerjaan adalah bagian hidup saya.
20. Apakah Anda rnenderita penyakit yang tidak bisa dijelaskan atau
keluhan-keluhan tertentu?
a. Jarang.
b. Tidak terlalu sering.
c. Sering sekali.
2. 70 PERILAKU ORGANISASI e
23. Apakah Anda akan senang melakukan pekerjaan yang sama jika
bayarannya hanya dua pertiganya?
a. Ya.
b. Saya akan senang tetapi tidak dapat melakukannya.
c. Tidak.
24. Jika dalam hal-hal tertentu Anda merasa berlebihan, mana yang akan
Anda kurangi?
a. Uang.
b. Pekerjaan itu sendiri.
c. Kebersamaan dengan ternan kerja Anda.
25. Apakah Anda akan ambil cuti kerja hanya untuk sekadar bergembira
menghabiskan waktu?
a. Ya.
b. Tidak.
c. Mungkin jika tidak ada pekerjaan yang terlalu penting untuk
dikerj akan.
27. Apa yang paling Anda tidak sukai dari pekerjaan Anda?
a. Tidak bisa sepenuhnya memiliki waktu.
b. Jenuh.
c. Tidak bisa mengerjakan sesuatu seperti yang Anda kehendaki.
e EKMA41 58/MODUL 2 2.71
30. Jika tiba-tiba Anda mendapatkan sejumlah uang yang cukup besar,
apakah Anda ...
a. akan berhenti bekerj a
b. akan mengambil pekerjaan yang selama ini Anda inginkan
c. memutuskan untuk meneruskan pekerjaan seperti yang Anda
kerj akan sekarang
KOLOM JAWABAN
1. a .......... b ......... c ........... .
2. a .......... b ......... c ............ .
3. a .......... b ......... c ........... .
4. a .......... b ......... c ............ .
5. a .......... b ......... c ........... .
6. a .......... b ......... c ............ .
7. a .......... b ......... c ........... .
8. a .......... b ......... c ............ .
9. a .......... b ......... c ........... .
10. a .......... b ......... c ............ .
11. a .......... b ......... c ........... .
12. a .......... b ......... c ......... d .......... e ......... f ........ .
. .
g . . . . . . . . .. h . . . . . . . . . 1 . . . . . . . . . . J .......... .
13. a ......... b ......... c ............ .
14. a .......... b ......... c ............ .
15. a .......... b ......... c ........... .
16. a .......... b ......... c ............ .
17. a .......... b ......... c ........... .
18. a .......... b ......... c ............ .
19. a .......... b ......... c ........... .
20. a . . . . . . . . . . b . . . . . . . . . c ............ .
2.72 PERILAKU ORGANISASI e
SKOR28-80
Menunjukkan bahwa Anda tidak puas dengan pekerja Anda sekarang.
7. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi adalah nilai-nilai personal yang kadang-kadang
disebut sebagai loyalitas atau komitmen terhadap perusahaan. Maksud dari
komitmen organisasi adalah tingkat identifikasi diri dan keterlibatan
karyawan terhadap organisasi. Ada tiga karakteristik penting berkaitan
dengan komitmen organisasi, yaitu (a) keyakinan yang sangat kuat terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi, (b) mau berupaya lebih keras demi
organisasi, serta (c) mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi
bagian dari organisasi. Ketiga karakteristik ini menunjukkan bahwa
komitmen organisasi bukan sekadar loyal kepada organisasi secara pasif
melainkan berpartisipasi aktif dengan memberi kontribusi personal agar
organisasi berhasil.
Komitmen karyawan terhadap organisasi, disebabkan karena beberapa
faktor berikut ini.
a. Faktor personal
Karyawan yang lebih tua biasanya memiliki komitmen yang lebih tinggi
dibanding karyawan muda. Demikian juga karyawan perempuan lebih
berkomitmen dibandingkan karyawan laki-laki, sedangkan karyawan
berpendidikan rendah akan menunjukkan komitmennya dibandingkan
karyawan berpendidikan lebih tinggi.
b. Karakteristik yang terkait dengan peran karyawan
Komitmen organisasi akan lebih kuat jika konflik peran dan ambigu
relatif lebih kecil.
c. Karakteristik struktural
Organisasi yang terdesentralisasi menghasilkan komitmen yang lebih
tinggi dibandingkan organisasi yang sentralistik. Dengan desentralisasi
organisasi berarti karyawan bisa berpartisipasi langsung dalam
mengambil keputusan yang berkaitan pekerjaannya.
d. Pengalaman kerja
Karyawan dengan pengalaman kerja yang cukup lama dan lebih-lebih
karyawan tersebut merasa memperoleh keuntungan dari perusahaan
cenderung memiliki komitmen yang lebih tinggi.
2. 74 PERILAKU ORGANISASI e
-~
~ -- ·a LATIHAN
.. --
1 •
- ---~
..
- .
...,.,.,.
~
~
-----------------------------------------
1) Nilai, khususnya nilai personal atau nilai individual, sikap, dan gairah
kerja pada dasamya adalah atribut atau karakteristik yang membentuk
perilaku individu seseorang. Artinya, ketiga komponen ini melekat pada
diri seseorang dan menjadikan seseorang berbeda dengan orang lain.
Tanpa mengingkari bahwa ketiga komponen tersebut memiliki kesamaan
namun harus diakui pula bahwa ketiga komponen tersebut berbeda
bahkan perbedaannya lebih menonjol ketimbang kesamaannya. Letak
perbedaan ketiganya terletak pada tingkat persistensi masing-masing
komponen. Nilai merupakan properti individual yang sangat persisten
(ajeg) tidak mudah berubah dalam waktu pendek. Sikap merupakan
properti individual yang relatif stabil meski tidak sepersisten nilai,
sedangkan gairah kerja merupakan properti yang relatif labil mudah
berubah dalam waktu pendek. Secara hierarkis dengan demikian nilai
menjadi fondasi bagi sikap dan sikap merupakan terbentuknya gairah
kerja.
2) Sesibuk apa pun tugas seorang manajer, memahami sikap karyawan
merupakan tugas seorang manajer yang tidak bisa ditinggalkan, bahkan
tidak bisa didelegasikan karena sikap kerja karyawan akan mem-
pengaruhi kinerja dan kepuasan kerja mereka. Paling tidak ada empat
alasan mengapa sikap karyawan harus dipahami dengan baik, (a) pada
situasi tertentu sikap seseorang berpengaruh terhadap perilaku individu
orang tersebut; (b) dalam konteks pekerj aan, membangun sikap kerj a
positif sangat berguna bagi alasan kemanusiaan; (c) banyak organisasi
yang dengan sengaja mendesain program untuk menciptakan sikap
positif untuk membangun citra organisasi; dan (d) sikap seseorang
memainkan peran penting dalam studi perilaku organisasi khususnya
teori motivasi.
3) Sikap karyawan terhadap pekerjaan atau perusahaan tidak selamanya
positif. Sikap seperti ini tentunya tidak baik bagi kepentingan organisasi.
Oleh karenanya sikap negatif diubah menjadi sikap positif. Caranya bisa
dilakukan dengan mengubah keyakinan atau komponen yang bersifat
afektif, misalnya dengan memberi informasi baru, meningkatkan atau
mengurangi rasa takut, menambah atau mengurangi keraguan karyawan
dan mengajak karyawan berpartisipasi lebih intens.
2.76 PERILAKU ORGANISASI e
RANGKUMAN
------------------------------------
TES FORMATIF 2
-------------------------------
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1) Berikut ini yang bukan karakteristik dari nilai atau value adalah ....
A. nilai merupakan preferensi seseorang
B. nilai merupakan standar untuk berperilaku
C. nilai yang dimiliki seseorang memiliki peringkat penting yang sama
D. nilai merupakan property individu yang tidak mudah berubah
2) Berikut ini yang tidak termasuk ke dalam nilai tujuan adalah ....
A. kesetaraan
B. independen
C. kebahagiaan
D. kearifan
4) Secara tidak langsung sikap kerj a akan tampak dalam bentuk ....
A. kinerj a organisasi
B. kepuasan kerja
C. keterlibatan kerj a
D. komitmen organisasional
2.78 PERILAKU ORGANISASI e
Daftar Pustaka
Cathy Enz. (1986). Power and Shared Values in the Corporate Culture. Ann
Arbor: Michigan, UMI Research Press. Hal. 26.
Milton Rokeach. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free
Press. Hal. 5.
Robin William Jr. (1979). Change and Stability in Values and Value
Systems: A Sociological Perspective. in M. Rokeach (ed.)
Understanding Human Values. The Free Press. Hal. 15-46.
PENDAHULUAN
1
Untuk memperoleh penjelasan tentang terjadinya perilaku global - global behavior,
baca buku Mcdonalization of Society yang ditulis Ritzer.
2
Bandura. (1977). Social Cognitive Theory.
3.2 PERILAKU ORGANISASI e
KEGIATAN BELAL.JAR 1
Persepsi
A. DEFINISI PERSEPSI
3
Definisi ini disarikan dari beberapa sumber berbeda.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.5
4
sebuah proses kognitif. Luthan bahkan lebih tegas lagi mengatakan bahwa
persepsi adalah sebuah proses kognitif yang tidak sederhana. Dikatakan
sebagai proses kognitif karena ( 1) persepsi bukan merupakan snapshot-potret
sesaat terhadap stimulus melainkan sebuah aktivitas berj alan yang
berkelanjutan dan (2) dalam mempersepsi, seseorang memerlukan pengetahu-
an untuk memproses informasi yang terkandung dalam setiap stimulus yang
hadir dan bisa ditangkap seseorang.
Oleh karena manusia bisa memproses informasi maka tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa manusia adalah pemroses informasi, sama seperti
halnya komputer. Bedanya, komputer masih dianggap sebagai alat pemroses
yang sederhana betapapun canggihnya komputer tersebut dan kompleksnya
informasi yang diproses. Sementara itu, manusia bisa dikatakan sebagai
pemroses informasi yang kompleks. Dikatakan demikian karena prosesnya
itu sendiri melalui beberapa tahapan panjang-mulai dari menangkap stimulus
sampai dengan membuat simpulan berkaitan dengan kandungan informasi
dari stimulus yang dipersepsi. Selain itu, faktor-faktor lain juga ikut
mempengaruhi pemrosesan informasi. Faktor-faktor yang dimaksud adalah
(1) orang yang mempersepsi, (2) objek yang dipersepsi, dan (3) situasi atau
konteks saat proses mempersepsi berlangsung.
Ketiga faktor di atas akan diuraikan secara detail pada subpokok bahasan
proses persepsi. Namun, sebelum sampai ke subpokok bahasan tersebut
marilah kita cermati uraian berikut ini. Manusia sering dikatakan sebagai
makhluk hidup yang tidak bebas nilai, memiliki kepribadian yang khas, dan
memiliki sikap positif atau negatif terhadap sebuah objek. Karakteristik atau
konsep diri manusia yang khas seperti ini menyebabkan setiap orang
cenderung menginterpretasikan objek yang dipersepsi sesuai dengan latar
belakang psikologis masing-masing individu. Akibatnya, objek yang
dipersepsi tidak berubah-masih tetap sama, bisa dikatakan tidak ada dua
orang yang menginterpretasikan objek yang sama dengan hasil yang sama.
Objek yang sama tersebut akan diinterpretasikan sesuai dengan pemahaman,
pengetahuan dan daya memori masing-masing sehingga hasil interpretasinya
adalah sebuah bentuk visual atau gambar yang unik/khas. Jelasnya, masing-
masing individu akan menyajikan gambar yang tidak sama meski sekali lagi
objeknya adalah sama. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai
interpretasi berbeda untuk sebuah objek yang sama. Oleh karena itu, sering
4
Lihat Fred Luthan. (1998). Organizational Behavior. Hal. 101.
3.6 PERILAKU ORGANISASI e
dikatakan pula bahwa realitas ( dunia nyata) tidak selalu sama dengan dunia
•
perseps1.
Dalam konteks organisasi, misalnya ada anggapan di kalangan para
manajer bahwa bawahan selalu menginginkan promosi jabatan walaupun
realitanya bawahan terkadang merasa tertekan ketika ditawari jabatan yang
lebih tinggi. Contoh ini sekali lagi memberi gambaran bahwa dunia persepsi
di kalangan para manajer berbeda dengan dunia persepsi bawahan dan
keduanya bisa jadi berbeda juga dengan realitasnya. Jika masalahnya
demikian maka pertanyaannya adalah bagaimana kita melihat persepsi dari
kacamata organisasi dan manajemen? Jawabannya adalah para manajer harus
memahami proses persepsi dengan baik agar tidak terjadi kesalahan
mempersepsi yang berakibat pada ketidakefektifan kinerja organisasi.
B. PROSES PERSEPSI
Stimulus _ _ ___.., •
sensas1 IJJ atensi _ _ ___.., persepsi
~
.. =
0
.. / ......
·~
r:/J
~ ro
//~
1-< ...... N
Q,) .........
...... ·~
~ . .........
·~
4-i
;;;.-...
·~
4-i
s::
=
ro
b1)
1-<
0
~ 1-<
0 ......
·~
s::
0
.........
r:/J ro
=
Q,)
Q,)
......
...... E
!. ~
.
Cl:l <t: fr
()
1-<
Q,)
~
Gambar 3.1.
Proses Persepsi
Dari penjelasan ini, bisa dikatakan bahwa proses persepsi terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu menangkap sensasi, memberi atensi, dan
mengorganisasi persepsi. Masing-masing komponen akan diuraikan secara
lebih detail sebagai berikut.
1. Sensasi
Dalam lingkungan yang serba terbuka, manusia bisa berinteraksi kapan
saj a, dengan siapa saj a dan dengan apa saj a, dikehendaki atau tidak. Di
kantor, misalnya karyawan berinteraksi dengan karyawan lain, dengan
pimpinan perusahaan atau dengan konsumen. Di luar kantor, katakanlah di
j alan, kita berinteraksi dengan berbagai mac am peristi wa - billboard, umbul-
umbul, lampu pengatur lalu lintas, sepeda motor yang melaju kencang. Juga
dengan berbagai macam objek atau kejadian-kejadian lain. Pada saat interaksi
berlangsung, otomatis manusia selalu dihadapkan, dikelilingi, bahkan
dibombardir oleh berbagai macam stimulus, baik berupa objek fisik maupun
nonfisik, berbagai macam kejadian dan orang lain. Meski demikian sering
kali kita tidak menyadari apa yang terjadi di sekeliling kita. Atau sekadar
mengabaikannya, entah karena kita memiliki mekanisme untuk
mengabaikannya atau karena indra kita tidak mampu menangkap semua
stimulus tersebut. Ambillah contoh seorang guru TK. Hampir setiap hari ia
menghadapi suasana riuh rendah karena anak didiknya suka ribut sendiri,
berbicara sendiri, dan main sendiri dengan sesama ternan meski pelajaran
terus berlangsung. Namun, apa yang terjadi? Si Guru tersebut seolah-olah
tidak terganggu, bahkan tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi di
sekelilingnya. Demikian juga ketika kita sedang bekerja di kantor, sepanjang
3.8 PERILAKU ORGANISASI e
hari kita terbiasa dengan bunyi mesin ketik - kalau masih ada; terbiasa
mendengar obrolan seorang customer service dengan para pelanggan atau
bahkan terbiasa mendengar lagu-lagu dari compact disc yang sengaja diputar
untuk menghilangkan rasa sunyi. Meski stimulus-stimulus tersebut bisa
ditangkap oleh tubuh kita namun sering kali kita mengabaikan kehadirannya
seolah-olah stimulus tersebut tidak pernah ada.
Sebagaimana kita ketahui, manusia hanya memiliki lima indra yang
disebut pancaindra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba
(touch), dan perasa (taste). Memang sering dikatakan bahwa sebagian orang
memiliki indra keenam- manusia supernormal (supernormal people), hanya
saja indra keenam belum diakui sebagai kajian dalam ilmu psikologi
sehingga sekali lagi, manusia normal dianggap paling banyak memiliki lima
indra. Dengan hanya lima indra, tentunya tidak semua stimulus bisa kita
tangkap. Demikian juga, indra kita juga memiliki keterbatasan. Sebagai
contoh, indra pendengar hanya mampu menangkap suara dengan frekuensi
tertentu. Lebih rendah dari itu mungkin hanya binatang-binatang tertentu,
seperti anjing atau binatang-binatang lain yang sangat sensitif yang bisa
menangkapnya. Meski demikian, dalam batas-batas tertentu, beberapa orang
mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi ketimbang orang lain.
Orang buta, misalnya memiliki daya dengar dan daya raba yang lebih tinggi
dibanding orang berpenglihatan normal. Demikian juga orang yang terkena
diabetes memiliki kemampuan yang lebih tinggi terhadap naik turunnya gula
darah dibanding orang normallainnya.
Pancaindra dengan demikian adalah alat sensor pertama yang berfungsi
untuk menangkap berbagai macam stimulus yang berasal dari lingkungan.
Artinya, apakah tubuh kita, melalui pancaindra, bisa menangkap berbagai
macam stimulus yang jumlahnya luar biasa banyak sangat tergantung pada
sensitivitas indra tersebut. Untuk indra tertentu, sebagian orang secara alami
memiliki sensitivitas yang tinggi. Sebagian yang lain tingkat sensitivitasnya
biasa-biasa saja, namun ada orang yang lain lagi yang berusaha
mengembangkan daya sensitivitas indra tertentu. Dengan daya sensitivitas,
sekali lagi manusia mampu menangkap dan menerima berbagai macam
stimuli. N amun, apakah seseorang bereaksi terhadap sensasi tersebut sang at
tergantung pada tahap pemrosesan persepsi berikutnya, yaitu atensi.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.9
2. Atensi
Meski tubuh kita, melalui pancaindra, bisa menangkap berbagai macam
stimulus, kita hanya bisa memberi perhatian pada sebagian dari stimulus-
stimulus tersebut dan mengabaikan yang sebagainya. Sebagai contoh, apabila
setiap hari kita pergi ke kantor melalui jalan yang sama barangkali kita sudah
tidak lagi memperhatikan keadaan kanan kiri di sepanjang jalan, fokus lebih
ditujukan pada kendaraan yang kita kemudikan. Jadi, setiap hari kita
melewati Jalan Malioboro kita mungkin tidak hafal nama-nama toko yang
berada di sepanjang jalan tersebut, kecuali misalnya ada toko baru yang hari-
hari sebelumnya belum ada barulah kita mungkin memberi perhatian pada
toko baru tersebut. Tidak teperhatikannya keadaan di sepanjang jalan seperti
contoh di atas, di samping karena tidak memberi informasi baru bagi kita
juga karena manusia memiliki kapasitas mental (kemampuan otak) yang
terbatas. Manusia akan memproses sensasi hanya jika sensasi tersebut
diyakini akan memberi informasi. Di sinilah atensilperhatian memainkan
peranannya. Atensi adalah sebuah proses yang menjadikan seseorang
memiliki kesadaran secara mendalam terhadap sebuah objek, kejadian atau
5
orang lain. Seperti dikatakan oleh Kreitner dan Kinicki stimulus akan
mendapat atensi/perhatian jika stimulus tersebut dianggap mencolok (salient
stimuli) dibandingkan stimulus-stimulus lainnya. Shaq O'Neil seorang
pemain basket NBA misalnya, di samping karena kemampuannya
memasukkan bola juga karena tubuhnya yang tinggi besar - terkesan lebih
mencolok dibandingkan pemain basket lainnya.
Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan stimulus dianggap
mencolok sehingga mendapat perhatian, bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
6
faktor ekstemal dan faktor internal . Seperti tersirat dari namanya, faktor
eksternal berasal dari lingkungan luar yakni bersumber dari stimulus yang
akan diberi perhatian. Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
a. Ukuran
Stimulus yang ukurannya sangat besar dibandingkan stimulus lain yang
lebih kecil tentunya akan lebih mendapat perhatian. Sebagai contoh, iklan di
surat kabar sehalaman penuh tentu lebih mudah ditangkap oleh indra
penglihatan pembaca dan akan mendapat perhatian lebih. Oleh karenanya
5
Lihat Kreitner and Kinicki. (2004). Organizational Behavior. 6th edition. Hal. 226.
6
Luthan. Op cit. Hal. 104-113.
3.10 PERILAKU ORGANISASI e
b. Intensitas
Semakin besar intensitas dari stimulus semakin besar pula stimulus
tersebut memperoleh perhatian. Sebagai contoh, suara yang keras akan jauh
mendapat perhatian dibandingkan suara yang lembut. Bau yang sangat
menyengat tentu lebih mudah dicium ketimbang bau yang biasa-biasa saja.
Demikian juga, sinar yang terang benderang akan lebih mudah dilihat
daripada sinar temaram. Dalam praktik, intensitas sebagai unsur penarik
perhatian biasanya digunakan para mandor, misalnya dengan berteriak keras-
keras untuk menarik perhatian para karyawan agar mereka mendengarkan
pengumuman yang akan disampaikannya. Bagi seorang mandor berteriak
keras sangat diperlukan untuk mengatasi bisingnya suara mesin. Meski
demikian dewasa ini banyak pabrik yang dilengkapi juga dengan pengeras
suara (loud speaker) yang tujuannya agar para mandor lebih mudah menarik
perhatian para karyawan tanpa harus menghabiskan energi dengan berteriak-
teriak.
c. Frekuensi
Frekuensi pada dasamya adalah prinsip pengulangan (repetisi). Artinya,
semakin sering sebuah stimulus disajikan secara berulang-ulang semakin
besar pula kesempatannya untuk mendapat perhatian. Sebagai contoh, sebuah
iklan di televisi yang ditayangkan dalam sehari, misalnya 10 kali tayangan
tentunya akan memperoleh perhatian lebih besar ketimbang iklan yang
ditayangkan hanya sekali sehari. Demikian juga dalam kehidupan sebuah
organisasi, seorang pimpinan yang tanpa jemu-jemunya mengingatkan
karyawan agar tidak terlambat datang tentu saja lama-kelamaan akan dipatuhi
oleh para karyawan. Meski demikian jika pengulangan tersebut terlalu sering,
e EKMA41 58/MODUL 3 3.11
tidak hanya tidak mendapat perhatian, memberikan sensasi pun tidak. Hal ini
misalnya dikemukakan oleh Effendi Ghozali - seorang pakar komunikasi
dari Universitas Indonesia dalam menyikapi munculnya iklan tokoh politik di
TV yang terlalu gencar, tetapi pesan yang disampaikannya tidak berubah.
Menurutnya, iklan semacam ini hanya menghambur-hamburkan uang saja
tetapi tidak kena sasaran.
d. Kontras
Stimulus yang berbeda secara mencolok dibandingkan lingkungannya,
kemungkinan besar akan dipilih untuk mendapat perhatian dibandingkan
dengan stimulus yang membaur dengan lingkungan. Kondisi yang kontras ini
bisa diciptakan berdasarkan perbedaan warna, ukuran atau faktor lain yang
membedakan stimulus tersebut dengan lingkungannya. Sebagai contoh,
seorang berkulit hitam yang berpakaian warna cerah, hijau muda misalnya,
akan tampak sangat mencolok dan hampir pasti akan mendapat perhatian dari
khalayak meski orang tersebut sedang dalam kerumunan orang banyak -
dalam pesta misalnya.
e. Gerakan
Mengingat gerakan cenderung lebih menarik perhatian maka stimulus
yang bergerak akan mendapat perhatian lebih ketimbang stimulus yang statik.
Dalam sebuah perkuliahan misalnya, dosen yang mengajar hanya duduk di
kursi atau berdiri tegak sambil membacakan bahan kuliah terasa lebih
menjemukan sehingga bukan tidak mungkin banyak mahasiswa yang
mengantuk. Berbeda jika dosen tersebut terus bergerak, menghampiri
mahasiswa, dan bahan kuliahnya pun disajikan dalam tayangan bergerak
tentunya akan lebih menarik dan mendorong mahasiswa untuk berinteraksi,
mengajukan pertanyaan, dan mengajak berdiskusi, bahkan berargumentasi.
f Berubah-ubah
Objek cenderung akan mendapat perhatian jika objek tersebut
menunjukkan beberapa bentuk perubahan. Sebagai contoh, sebuah iklan atau
billboard dengan lampu berkedip-kedip (hidup dan mati secara bergantian)
tentu akan lebih menarik perhatian ketimbang billboard yang lampunya
menyala secara ajeg.
3.12 PERILAKU ORGANISASI e
g. Hal-hal baru
Stimulus baru dan khas tentu akan segera menarik perhatian ketimbang
stimulus yang konvensional dan terkesan kuno. Dalam hal ini, tidak jarang
perusahaan mengeluarkan produk dan diberi embel-embel baru. Tujuannya
tidak lain agar para konsumen tertarik dengan produk tersebut meski kadang-
kadang yang baru dari produk tersebut sesungguhnya kurang dari 5% dari
total produk. Sebuah iklan "inovasi tiada henti" secara tidak langsung ingin
memberi tahu konsumen bahwa perusahaan tersebut selalu menyajikan
produk-produk baru.
Sementara itu, faktor internal juga tidak kalah penting dibandingkan
faktor eksternal. Faktor internal berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan
perhatian (attention-getting) dan biasanya dipengaruhi oleh latar belakang
psikologis seseorang. Dalam hal ini, seseorang akan menyeleksi stimulus
untuk diberi perhatian tentunya jika stimulus tersebut memiliki daya tarik dan
cocok dengan kepribadian, motivasi, dan unsur pembelajaran orang tersebut.
Sebagai contoh, apabila seorang guru berteriak keras untuk menenangkan
murid-muridnya yang ribut sendiri, sesungguhnya bukan semata-mata karena
intensitas suaranya yang ditinggikan agar menarik perhatian para murid,
tetapi boleh jadi karena guru tersebut memang memiliki kepribadian yang
suka marah. Dari contoh ini bisa dikatakan bahwa baik faktor eksternal
maupun internal, secara bersama-sama mempengaruhi proses pemberian
atensi/perhatian. Faktor internal akan diuraikan lebih lanjut pada bagian
faktor pemersepsi.
3. Organisasi Persepsi
Setelah melalui tahap kedua, yakni menyeleksi stimulus agar bisa diberi
perhatian maka tahap terakhir dari proses persepsi adalah melakukan
tindakan segera setelah menerima informasi. Tahapan ini sering disebut
sebagai mengorganisasi persepsi (perceptual organization). Maksud dari
mengorganisasi persepsi tidak lain adalah proses mengorganisasi dan
menginterpretasi sensasi-sensasi, yang telah diubah menjadi informasi,
menjadi pola yang mudah dipahami sehingga bisa memberi makna bagi
orang yang mempersepsi (perceiver). Suara, aroma atau bentuk gambar
visual (visual image) sering kali datang kepada kita masih bercampur baur.
Oleh karena itu, kita mampu menangkapnya selanjutnya kita mulai mencoba
mengubahnya menjadi informasi. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah
mengorganisasi dan mengategorisasikannya ke dalam kelompok-kelompok
e EKMA41 58/MODUL 3 3.13
(a)
Gambar 3.2(a).
Contoh Figure-Ground
3.14 PERILAKU ORGANISASI e
(b)
Gambar 3.2(b).
Contoh Figure-Ground
Sepintas Anda akan melihat bahwa gambar pertama, Gambar 3.2 (a) dan
(b) adalah beberapa potong kotak dan satu anak panah warna hitam yang
tidak beraturan dengan latar belakang warna putih. Cara melihat seperti ini
disebabkan karena pada saat membaca modul ini Anda sedang membaca teks
dengan tinta hitam dan latar belakang kertas putih. Padahal jika Anda
mencermati dengan saksama, mengorganisasi kembali cara pandang Anda
dengan cara melihat sebaliknya yakni memperlakukan kotak dan anak panah
warna hitam yang tidak beraturan sebagai latar belakang maka akan tampak
tulisan warna putih. Pada Gambar 3.2 (a) akan terbaca tulisan "FLY" dan
Gambar 3.2 (b) terbaca "TIE". Demikian juga pada gambar kedua
(Gambar 3.3), mungkin Anda akan melihat sebagai gelas anggur jika
menjadikan warna hitam sebagai latar belakangnya. Namun, melihat
sebaliknya, wama putih sebagai latar belakang maka akan menemukan
gambar dua orang sedang berhadapan. Contoh ini menunjukkan bahwa cara
berbeda dalam memberi perhatian akan menghasilkan persepsi berbeda.
Kedua gambar di atas sering disebut "hubungan gambar dan latar belakang
yang ambigu - ambigous figure ground relationship".
Hal menarik lainnya dalam hubungan gambar dan latar belakang yang
ambigu adalah adanya kesan lebih menonjol dari gambar ketimbang latar
belakangnya. Pada saat Anda memperlakukan tulisan "fly" dan "tie" maupun
gambar gelas sebagai gambar maka ketiganya akan tampak lebih dekat
dengan Anda. Demikian sebaliknya, apabila ketiga gambar tadi diperlakukan
sebagai latar belakang maka akan tampak lebih jauh. Perlakuan gambar dan
latar belakang yang bisa bergantian tempat ini disebut reversible perspective.
Sekarang sekali lagi perhatikan Gambar 3.3 di bawah ini.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.15
Gambar 3.3.
Tangga Ajaib (Magic Stair)
Gambar 3.4.
Manipulasi Gambar
b. Kesamaan (similarity)
Prinsip kesamaan atau similarity menegaskan bahwa semakin stimulus
memiliki kesamaan semakin besar pula stimulus tersebut dimasukkan ke
dalam kelompok yang sama dan dipersepsi sebagai satu kesatuan. Sebagai
contoh, karyawan yang memakai baju seragam berkerah putih (white collar)
mungkin akan dipersepsi sebagai sekelompok eksekutif yang memiliki
perilaku sama walaupun kenyataannya secara individual masing-masing
memiliki perilaku berbeda. Prinsip kesamaan ini kadang-kadang mengarah
terjadinya stereotype (dibicarakan berikutnya).
c. Kedekatan (proximity)
Seperti halnya prinsip kesamaan jika dua buah stimulus memiliki
kedekatan atau kemiripan maka keduanya akan dikelompokkan menjadi satu
seolah-olah keduanya adalah sama dan satu. Sebagai contoh, apabila dua
orang selalu bersama kita akan bepersepsi bahwa keduanya miliki kesamaan
perilaku walaupun kenyataan mungkin tidak.
Gambar 3.5.
Gam bar Tidak Lengkap 1
Saya yakin Anda sepakat dengan saya untuk dua hal. Pertama tulisan di
atas tidak lengkap karena banyak garis yang terpotong. Kedua saya yakin
bahwa Anda bisa membaca tulisan tersebut meski banyak garis yang tidak
lengkap. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena Anda bisa
melengkapi (menutup kekurangan) garis-garis yang hilang tersebut dengan
memori Anda sehingga terbaca shadow. Perhatikan juga gambar berikut ini.
Gambar 3.6.
Gambar Tidak Lengkap 2
Ada berapa segitiga yang Anda lihat? Satu atau dua? Hampir pasti
jawaban Anda adalah dua. Meski gambar segitiga kedua tidak lengkap
namun karena bantuan dari tiga lingkaran berwarna hitam maka Anda bisa
melihat segitiga tanpa garis. Inilah prinsip closure- menutup kekurangan.
Orang yang
•
memperseps1
F aktor si tuasi
saat terj adi Persepsi
•
perseps1
Target yang
dipersepsi
Gam bar 3. 7.
Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
2. Motivasi
Ketika seseorang mempersepsi sebuah objek, tidak jarang ia dipengaruhi
oleh motif atau kebutuhan dan emosi orang tersebut dalam bepersepsi.
Sebagai contoh, saat Anda bepergian dan tiba-tiba merasa lapar maka
billboard bertanda garpu dan sendok akan lebih mendapat perhatian meski
ukuran billboardnya relatif kecil, ketimbang billboard yang lebih besar yang
menawarkan pengisian bahan bakar. Demikian juga ketika kita sedang marah
atau sedang tidak berkenan secara emosional, komentar orang lain meski
sesungguhnya tidak ditujukan kepada diri kita dan sesungguhnya biasa-biasa
saja bisa disalahinterpretasikan.
Gam bar 3. 9.
Wanita Tua vs. Gadis Remaja
3.22 PERILAKU ORGANISASI e
4. Harapan
Dalam kehidupan sehari -hari sering dikatakan, seseorang in gin melihat
sesuatu yang memang ingin dilihat bukan sesuatu yang ingin diperlihatkan
orang lain; ingin mendengar sesuatu yang memang ingin didengar bukan
sesuatu yang ingin diomongkan orang lain. Jika Anda berharap bahwa
seorang dosen rajin membaca, seorang anak muda tidak ambisius, seorang
tua lebih santun, dan manajer SDM menyukai orang lain maka Anda pun
akan mempersepsi orang-orang tersebut seperti itu. Nah sekarang perhatikan
gambar di bawah ini tentang papan nama sebuah warung soto. Sepintas Anda
mendapati papan nama tersebut tidak ada yang ganjil. Semua jenis soto yang
ditawarkan warung soto komplit adalah jenis-jenis soto yang biasa Anda
makan. Namun, cobalah sekali dicermati dengan saksama. Setelah beberapa
detik mencermatinya Anda mungkin mendapati sesuatu yang keliru. Jika
Anda tidak melihat kekeliruan tersebut lebih disebabkan karena Anda
berharap bahwa jenis-jenis soto tersebut adalah jenis soto yang biasa Anda
makan.
So~oK:o
s eka
- So~oBe~a~
- So~o:IYiad a
- So~o I> =: Sapi
1. Tampilan
Tampilan seseorang terkadang mengelabuhi perilaku sebenamya dari
orang tersebut. Ambillah contoh dua orang yang perilakunya hampir sama,
namun tampilan fisiknya berbeda - katakanlah yang satu berambut panjang
dan tidak tersisir rapi, sedangkan orang yang satunya lagi berambut pendek
dan tertata rapi. Boleh jadi kita akan mempersepsi kedua orang tersebut
bukan berdasarkan perilaku sebenarnya, tetapi lebih didasarkan pada
tampilan fisik tersebut.
2. Cara Berkomunikasi
Faktor kedua yang mempengaruhi persepsi terhadap objek yang
dipersepsi adalah cara seseorang berkomunikasi. Pada saat kita mendengar
orang berbicara biasanya kita langsung bisa menilai bagaimana latar
belakang orang tersebut, kepribadiannya dan motivasi yang terkandung dari
pembicaraannya. Demikian juga ketika kita mendengar nada bicara seseorang
3.24 PERILAKU ORGANISASI e
kita akan mendeteksi apakah orang tersebut sedang bergembira, sedih, marah
atau sedang gundah.
3. Status
Maksud dari status adalah tingkat harga diri seseorang. Biasanya status
seseorang dipengaruhi posisi yang ditempati dalam sebuah organisasi. Dalam
konteks persepsi, status seseorang sering kali berpengaruh terhadap respons
dan persepsi yang kita berikan pada orang tersebut. Sebagai contoh, meski
dua orang memberi perintah yang sama terhadap beberapa karyawan, boleh
jadi karyawan-karyawan tersebut akan meresponsnya dengan cara berbeda
karena perbedaan status kedua orang tadi. Karyawan akan mudah merespons
jika yang memerintah adalah pimpinan puncak perusahaan ketimbang
diperintah supervisor level bawah.
Proses mempersepsi sering kali tidak bisa dipisahkan dari konteks atau
situasi pada saat persepsi tersebut berlangsung. Konteks atau situasi, bahkan
memainkan peran penting dalam proses mempersepsi. Di satu sisi konteks
terkadang bisa menambah informasi tentang objek yang dipersepsi. Di sisi
lain, konteks juga sering berperan sebagai filter yang menghalangi proses
mempersepsi. Secara umum, konteks yang mempengaruhi persepsi adalah
budaya organisasi dan lingkungan tempat kerja.
1. Budaya Organisasi
Persepsi seseorang terhadap objek yang dipersepsi, di samping
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang telah disebutkan di muka juga
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dari sebuah organisasi. Di antaranya yang
cukup berpengaruh adalah budaya dari organisasi bersangkutan yang secara
singkat disebut "budaya organisasi". Secara detail topik tentang budaya
organisasi akan diulas tersendiri pada Modul 8. Di sini hanya akan
disinggung sedikit bagaimana budaya organisasi mempengaruhi persepsi.
Intinya, budaya organisasi adalah sebuah keyakinan (belief) yang dipahami
bersama oleh anggota organisasi tentang bagaimana seharusnya bertindak
dalam organisasi tersebut. Budaya juga menegaskan hal-hal yang penting
yang seharusnya dijalankan organisasi di samping menegaskan pula hal-hal
yang ditabukan. Sederhananya, budaya organisasi merupakan pedoman tidak
e EKMA41 58/MODUL 3 3.25
tertulis bagi anggota organisasi untuk melakukan suatu tindakan. Hal ini bisa
diartikan pula bahwa persepsi seorang karyawan juga dipengaruhi oleh
budaya organisasi. Sebagai contoh, apabila budaya kooperatif merupakan
pedoman berperilaku ketimbang budaya kompetitif maka seorang yang
sangat ambisius akan dipersepsi sebagai karyawan yang bukan dari bagian
mereka dan biasanya karyawan ini akan dikucilkan.
1. Stereotype
Maksud dari stereotype adalah kecenderungan melihat orang bukan
berdasarkan perilaku individual orang tersebut, tetapi berdasarkan perilaku
kelompoknya. Stereotype biasanya didasarkan pada jenis kelamin, ras, umur,
agama, kewarganegaraan atau pekerjaan. Sebagai contoh, apabila Anda orang
Jawa maka seolah-olah perilaku Anda sama dengan pada umumnya orang
Jawa. Jika Anda pegawai asuransi maka Anda seolah-olah memiliki perilaku
yang gigih, agresif, pantang menyerah, banyak bicara.
Meski stereotype sesungguhnya bisa membantu kita untuk
menginterpretasikan informasi lebih cepat, namun stereotype sering
menyebabkan kesalahan mempersepsi yang serius yang bisa merusak diri kita
sendiri dan orang lain yang dipersepsi. Oleh karena itu, masalah stereotype
banyak mendapat perhatian dari para akademisi. Salah satu penelitian
misalnya survei terhadap para manajer berkelamin pria dan wanita yang
meminta mereka untuk mendeskripsikan karakteristik, sikap, dan
temperamen manajer yang sukses. Hasilnya menunjukkan baik manajer pria
maupun wanita mengatakan bahwa manajer yang sukses adalah stereotype
seorang pria yang berkepribadian maskulin. Di samping para akademisi,
masalah stereotype juga mendapat perhatian masyarakat umum, khususnya
pemerintah. Untuk mencegah diskriminasi yang berbasis stereotype banyak
negara yang mengeluarkan Undang-undang Anti Diskriminasi.
2. Halo Effect
Halo effect hampir sama dengan stereotype. Bedanya adalah dalam halo
effect orang yang mempersepsi mempergunakan satu kepribadian seseorang
sebagai dasar untuk menilai orang tersebut secara keseluruhan. Sebagai
contoh, ketika kita melihat seseorang tersenyum dan berwajah
menyenangkan mungkin kita berkesimpulan bahwa orang tersebut
merupakan orang jujur dibandingkan orang yang sedangkan mengerutkan
dahi meski sesungguhnya tidak ada korelasi antara orang yang tersenyum
dengan kejujuran. Persoalan halo effect juga bisa terjadi dalam kehidupan
organisasi. Sebagai contoh, apabila sebuah perusahaan sedang dalam
pengawasan pemerintah, misalnya karena menghadapi problem keuangan
biasanya kondisi perusahaan seperti ini akan digeneralisasi utamanya
berkaitan dengan pemberian gaji yang rendah. Kenyataan sesungguhnya
belum tentu demikian. Boleh jadi perusahaan yang sedang dalam pengawasan
e EKMA41 58/MODUL 3 3.27
3. Perceptual Defence
Kadang-kadang kita berhadapan dengan stimulus yang membuat kita
sendiri merasa malu atau mengancam diri kita. Oleh karena itu, bukan tidak
mungkin kita enggan menghadapinya. Kondisi semacam ini disebut
perceptual defence. Informasi yang secara personal akan mengancam
kedudukan kita atau secara kultural tidak bisa diterima biasanya cenderung
diabaikan kecuali informasi tersebut datang bertubi-tubi. Pada saat kita
menghadapi stimulus semacam itu, biasanya respons kita adalah sebagai
berikut.
a. Kita mengingkari keberadaan persepsi tersebut dan mengabaikannya.
b. Kita memodifikasi persepsi tersebut agar bisa diterima dengan keyakinan
kita.
c. Kita menerimanya dan kita membuat beberapa perubahan yang relevan
agar sesuai dengan keyakinan kita.
d. Kita memahami stimulus yang mengancam tersebut, tetapi enggan
membuat perubahan.
7. Kesan Pertama
Tidak jarang ketika kita bertemu pertama kali dengan orang lain kita
mempunyai kesan tertentu, entah kesan baik atau buruk. Namun, sering kali
kita terpengaruh terhadap kesan pertama tersebut dan dijadikan dasar untuk
memberi penilaian berikutnya. Jika kesan pertamanya adalah baik seolah-
olah orang tersebut seterusnya juga baik. Dengan demikian, kesan pertama
merupakan salah satu kesalahan dalam mempersepsi yang harus dihindari
agar tidak terjadi kesalahan lebih lanjut dalam menilai seseorang. Masalah
kesan pertama biasanya berkaitan dengan rekrutmen karyawan baru. Dewasa
ini misalnya banyak lembaga pendidikan nonformal yang mengajari calon
karyawan yang akan menghadapi wawancara untuk menata diri agar
memberi kesan positif saat wawancara berlangsung. Hal ini, misalnya
dibuktikan oleh seorang lulusan Magister Manajemen yang diwawancarai
untuk suatu pekerjaan di bank milik pemerintah. Pada saat diwawancarai ia
begitu meyakinkan dan asertif sehingga si pewawancara terkesan seolah-olah
calon karyawan tersebut adalah orang memiliki kemampuan meski
sesungguhnya tidak demikian.
H. MANAJEMEN IMPRESI
7
Luthan. Ibid. Hal. 121.
3.30 PERILAKU ORGANISASI e
dirinya. Namun, apakah seorang bawahan akan melakukan hal ini sangat
tergantung pada tingkat motivasi yang melatarbelakanginya. Di antara faktor
yang mempengaruhi tingkat motivasi tersebut adalah (1) relevansi melakukan
tindakan impresi terhadap tujuan individual bawahan, (2) seberapa penting
tujuan individual tersebut bagi seorang bawahan, dan (3) sejauh mana
keyakinan bahwa terhadap terjadinya perbedaan antara citra yang
diinginkannya dengan pandangan orang lain (atasan) tentang dirinya.
Sementara itu, konstruksi impresi berkaitan dengan tipe impresi yang
diinginkan seseorang dan bagaimana tindakan impresi tersebut dilakukan.
Sejauh ini diyakini ada 5 faktor yang dianggap relevan berkaitan dengan
keinginan seseorang mengkonstruksi impresi. Kelima faktor tersebut adalah:
( 1) konsep diri (self-consept), (2) citra diri yang diinginkan atau tidak
diinginkan, (3) keterbatasan peran seseorang (role constraint), (4) pentingnya
sebuah target yang ingin dicapai (target's values), dan (5) citra diri seseorang
yang beredar di masyarakat.
a. Strategi preventif
1) Penjelasan
Dalam hal ini, seseorang berusaha memberi penjelasan khususnya
penjelasan yang menghindarkan dirinya dari kejadian atau perbuatan
yang tidak seharusnya. Misalnya, ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan
tepat waktu lebih disebabkan karena sedang sakit atau karena ada
pekerjaan lain yang harus diprioritaskan.
2) Apologi
Jika seorang karyawan tidak lagi memiliki jalan keluar, cara tepat yang
bisa dilakukannya adalah meminta maaf kepada atasan atas kejadian
e EKMA41 58/MODUL 3 3.31
I. SELF-FULFILLING PROPHECY
Salah satu aplikasi penting dari pemahaman kita tentang proses persepsi
dalam perilaku organisasi adalah sebuah konsep yang disebut self-fulfilling
prophecy. Maksud dari self-fulfilling prophecy adalah sebuah proses yang
menjelaskan bagaimana harapan yang berada pada pikiran seseorang,
misalnya seorang guru atau peneliti, mempengaruhi perilaku orang lain,
seperti murid atau objek lain sehingga orang yang dipikirkan pada akhirnya
bisa memenuhi harapan orang pertama yang memikirkan. Fenomena ini
bermula dari mitos zaman Yunani kuno di mana ketika itu ada seorang
pematung yang sangat membenci seorang wanita namun ia sendiri membuat
patung wanita yang begitu cantik sehingga si pematung jatuh cinta pada
patung tersebut. Saking j atuh cintanya ia berdoa agar patung tersebut betul-
betul menjadi manusia dan ternyata doanya dikabulkan. Berdasarkan mitos
tersebut fen omena ini sering disebut sebagai "pygmalion effect".
Fenomena ini pertama kali digunakan oleh Robert Merton tahun 1948
untuk menjelaskan mengapa bank yang sesungguhnya sehat pada saat
Amerika mengalami depresi keuangan, tetapi bisa mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalannya adalah adanya keyakinan masyarakat yang keliru
yang menganggap bahwa bank tersebut tidak sehat. Keyakinan yang keliru
tersebut akhimya menjadi kenyataan setelah para investor beramai-ramai
menarik uangnya dari bank. Sementara itu, dalam konteks akademik, self-
fulfilling prophecy pertama kali diterapkan pada tes potensi akademik murid
SD kelas 1 sampai dengan kelas 6. Peneliti memberi tahu guru sekolah
bahwa beberapa murid memiliki potensi yang luar biasa. Hasilnya
menunjukkan bahwa murid yang dinyatakan memiliki potensi yang tinggi
temyata hasil tes IQ juga semakin meningkat. Peningkatan ini tidak dari
harapan sang guru dan upaya mereka dengan memberi tugas-tugas yang lebih
8
keras dan umpan balik dari beberapa pihak .
Berdasarkan penjelasan di atas, self-fulfilling prophecy sesungguhnya
bisa berjalan dengan baikjika melibatkan lebih dari satu orang yang memiliki
harapan kuat yang mempengaruhi perilaku orang lain. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah (1) bahwa ekspektasi memiliki efek tertentu terhadap
perilaku orang yang memiliki harapan tersebut, (2) bahwa harapan tersebut
selanjutnya mempengaruhi perilaku orang lain, (3) perilaku orang lain
8
Lihat Kreitner and Kinicki. Hal. 239.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.33
1 2
4 5
6 7
Gambar 3.11.
Hubungan antara Pemersepsi dengan Target Persepsi dalam
Self-Fulfilling Prophecy
Keterangan:
1. Harapan yang bersifat tentatif (misalnya saya diberitahu bahwa ia orang
baik)
2. Perilaku yang ambigu (tampak kelihatan baik)
3. Harapannya ditegaskan oleh persepsi (Ia betul-betul tampak baik)
4. Menawarkan persahabatan (link antara harapan dengan perilaku)
5. Respons terhadap persahabatan (link antara perilaku dengan perilaku)
6. Harapan lebih lanjut diperkuat dengan penegasan perilaku (saya ternyata
benar bahwa dia orang yang baik)
7. Terjadi perubahan konsep diri (saya betul-betul orang yang baik)
J. TEORI ATRIBUSI
~'.. ~
I'
.=;-
•- ~
.
-··,J~
LATI HAN
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - "--i -
RANGKUMAN
T E S F 0 R MAT IF 1_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __
KEGIATAN BELAL.JAR 2
harus kerja keluar rumah sekadar untuk menutup biaya keluarga; harus
memikirkan siapa yang menjemput anaknya dari sekolah; dan persoalan-
persoalan keluarga lainnya.
Akibat dari semua tekanan seperti contoh di atas sering terj adi
ketidakseimbangan antara kemampuan untuk merespons dengan jumlah
tekanan yang harus direspons. Jika situasi seperti ini berjalan berlarut-larut
bukan hanya kemampuan kognitif seseorang tidak mampu meresponsnya,
tetapi juga daya tahan fisik dan mental sering kali mengalami penurunan
tajam karena mengalami kelelahan fisik dan psikis - kecemasan meningkat,
sulit tidur, mudah marah, serta kesehatan mental dan fisik menurun drastis.
Dalam bahasa sehari-hari seseorang yang mengalami tekanan seperti ini
sering disebut sebagai orang yang sedang mengalami stres. Meski tidak
selalu, stres bisa berdampak negatif baik bagi orang yang mengalaminya
maupun bagi organisasi temp at kerj a.
Menindaklanjuti Kegiatan Belajar 1, pada Kegiatan Belajar 2 Anda
diajak untuk memahami sebuah topik yang dialami oleh hampir setiap orang,
yaitu stres yang salah satu penyebabnya adalah tekanan lingkungan eksternal
(stimulus) berlebihan terhadap diri seseorang. Meski stres merupakan hal
yang lumrah dialami oleh setiap orang, pemahaman topik ini dalam
kehidupan organisasi menjadi penting karena dampaknya terhadap kinerja
individu, kepuasan kerja, dan kinerja organisasi sangat signifikan. Stres bisa
berdampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, cara terbaik menghadapi
stres adalah mengelola stres itu sendiri paling tidak untuk meminimalisir
dampak negatifnya. Berdasarkan pemahaman awal ini, dengan selesainya
Kegiatan Belajar 2 Anda sangat diharapkan bisa memahami dan
mempraktikkan cara-cara mengelola stres. Untuk itu, topik-topik yang akan
dibahas dalam Kegiatan Belajar 2, di antaranya faktor-faktor penyebab
timbulnya stres; dampak stres terhadap masing-masing individu yang
mengalaminya dan terhadap organisasi khususnya kinerja organisasi; dan
yang paling penting adalah bagaimana stres dikelola.
A. PENGERTIAN STRES
Kata stres berasal dari bahasa Latin stringer yang berarti menarik secara
kencang. Dalam ilmu fisika dan teknik telah diketahui secara luas bahwa
tekanan akan menghasilkan ketegangan dan akhirnya menyebabkan sesuatu
bisa patah/retak. Sebagai contoh, tali yang ditarik dari dua ujungnya (misal
3.42 PERILAKU ORGANISASI e
dalam lomba tarik tambang) akan mengalami tekanan dan bisa putus.
Demikian juga dalam ilmu kedokteran kita sering mendengar istilah orang
yang sarafnya putus yang disebabkan karena ketegangan berlebihan. Konsep
inilah yang kemudian diadopsi oleh para behavioral scientist untuk
menjelaskan konsep stres. lvancevich and Matteson, misalnya secara
sederhana menyatakan bahwa stres merupakan interaksi antara individu
dengan lingkungan. Stres juga sering didefinisikan sebagai respons tidak
9
spesifik dari tubuh manusia terhadap lingkungan eksternal . Dua pernyataan
ini menegaskan bahwa sebab musabab munculnya stres karena adanya
interaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang ditindaklanjuti oleh
respons individual terhadap interaksi tersebut. Penjelasan ini sekaligus
menandaskan bahwa stres merupakan fenomena individual, bukan fenomena
kelompok atau organisasional meski kelompok dan organisasi merupakan
penyebab terjadinya stres.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang stres,
Ivancevich and Matteson memberikan definisi operasional tentang stres
sebagai berikut:
(Stres adalah res pons adaptif, yang di mediasi oleh perbedaan individu
dan/ atau proses psikologis, sebagai akibat dari tindakan, situasi atau
kejadian eksternal yang memberi tekanan berlebihan baik secara
psikologis maupun fisik terhadap diri seseorang).
9
Jams V. McConnell. (1986). Understanding Human Behavior. 5th edition. CBS
College Publish. Hal. 24.
10
Pengertian motivasi menurut bahasa kamus, lihat misalnya Encarta electronic
dictionary.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.43
demikian, stres sesungguhnya bersifat generik, bisa terj adi kapan saj a, di
mana saj a, dan menimpa siapa saj a selama ada interaksi antara seseorang
dengan lingkungannya. Tinggal di kota besar seperti Jakarta, misalnya sangat
potensial menjadi penyebab stres karena lingkungan hidup yang teramat
kompleks. Demikian juga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa lingkungan
organisasi khususnya organisasi perusahaan juga menjadi ajang munculnya
stres di kalangan karyawan karena tuntutan berlebihan sering kali datang dari
organisasi atau dunia kerja terhadap karyawan. Oleh karena itu, tidak sedikit
yang mengaitkan stres secara spesifik dengan kehidupan organisasi atau
dunia kerja sehingga tidak jarang pula definisi stres serta merta dikaitkan
11
dengan kehidupan organisasi. Greenberg and Baron , misalnya
mendefinisikan stres sebagai pola emosi dan reaksi fisik yang terj adi sebagai
respons terhadap tuntutan yang berasal dari dalam maupun dari luar
organisasi. Beehr and Newman yang juga mengaitkannya dengan kehidupan
organisasi mendefinisikan stres sebagai sebuah kondisi yang timbul karena
12
interaksi antara individu dengan pekerjaannya . Dari definisi-definisi yang
telah dikemukakan sebelumnya, Luthan kemudian menyimpulkan bahwa
stres adalah:
11
Mitchell.
12
Luthan. Hal. 161.
3.44 PERILAKU ORGANISASI e
13
McComnell. Op cit. Hal. 264.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.45
Tabel 3.1
Tanda-tanda Stres
14
Lihat tulisan Abraham Maslow yang dimuat di Psychological Review. (1943). Hal.
370-396.
3.46 PERILAKU ORGANISASI e
eustress
T
distress
R Stress T
Gambar 3.12.
Hubungan antara Stres dengan Kinerja
15
Lihat Orlando Behling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Science of
Organization. Academy of Management Review. Pp. 193-201.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.47
dewasa yang akan mengalarni stres, anak-anak pun bisa mengalami hal
yang sama. Anak Anda mungkin tampak sangat gelisah pada hari
pertama hendak masuk TK atau SD. Stres dengan dernikian tidak perlu
dihindari. Hal yang perlu kita lakukan adalah mengelolanya dengan baik
agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi diri kita. Lebih-lebih
dalam kehidupan sebuah organisasi, para manajer harus cermat dalam
memaharni stres jangan sampai hanya karena para karyawannya
mengalarni distress tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi menjadi
terganggu.
5. Sederhananya, setiap orang tidak akan pernah terhindar sama sekali dari
stres, hanya orang yang sudah meninggal dunia yang bisa terhindarkan.
Ungkapan ini sekali menunjukkan bahwa kita tidak perlu cemas akan
mengalarni stres karena kecemasan itu sendiri merupakan tanda-tanda
Anda mengalarni stres.
Meski stres bisa terj adi di luar kehidupan organisasi namun stres yang
terkait dengan kehidupan kerja (occupanitional stress) banyak mendapat
perhatian baik dari kalangan para manajer maupun para akadernisi. Bagi para
manajer, pengetahuan tentang stres akan bermanfaat untuk mengantisipasi
semua kejadian yang potensial menimbulkan stres mengingat dampak negatif
stres bisa merugikan organisasi yang dikelolanya. Dernikian juga
pengetahuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan stres
yang dialarni karyawan agar stres bisa berubah menjadi eustress. Sementara
itu, sesuai dengan bidang kerjanya, yakni memproduksi ilmu pengetahuan,
akadernisi bisa mengembangkan teori dan konsep baru tentang stres yang
bisa dimanfaatkan para praktisi.
Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang sebab
dan akibat dari stres, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang,
pada bagian ini akan diuraikan model stres di tempat kerja. Kreitner and
16
Kinicki , rnisalnya membuat model stres di tempat kerja sebagaimana
tampak pada Gambar 3.13. Secara umum, model stres di tempat kerja
melibatkan stressor potensial (keterangan Gambar 3.1-3.4), proses terjadinya
16
Lihat, Achmad Sobirin.
3.48 PERILAKU ORGANISASI e
stres (keterangan Gambar 3.5-3.7) dan basil atau akibat dari stres
(keterangan Gambar 3. 8-3 .11).
Stressor Hasil
1 8
2 9
5 7
3 10
4 6 11
Gambar 3.13.
Model Stres di Tempat Kerja
Keterangan:
1. Level indi vidu 7. Strategi mengatasi stres
2. Level kelompok 8. Sikap kerja
3. Level organisasi 9. Keperilakuan
4. Level di luar organisasi 10. Kognitif
5. Penilaian kognitif 11. Fisik
6. Moderator
C. STRESSOR
Maksud dari stressor adalah semua faktor lingkungan yang berada di luar
diri seseorang yang berdampak pada timbulnya stres. Seperti dikatakan
Greenberg and Baron, stressor adalah semua bentuk tuntutan, baik fisiologis
maupun psikologis, yang dihadapi seseorang dalam menjalani kehidupan-
nya17. Dengan kata lain, stressor adalah sebuah prasyarat terjadinya stres.
Untuk mengetahui tingkat stres yang dialami seseorang yang disebabkan
karena kejadian-kejadian di luar diri seseorang, Thomas H. Holmes and
Richard R. Rahe pada tahun 1967, seperti dimuat pada Journal of
Psychomatic Research volume II, membuat daftar kejadian yang
menimbulkan stres. Daftar ini kemudian dikenal sebagai Holmes Rahe Stress
Scale (lihat Tabel 3.2).
Tabel 3.2.
Holmes and Rahe Stress Scale
17
Sebagai contoh, lihat misalnya McClelland and David Burnham. (1976). Power is
the Great Motivator.
3.50 PERILAKU ORGANISASI e
SKOR
Skor di atas 300 maka kemungkinan mengalami sakit sebesar 80%.
Skor antara 150-299 kemungkinan mengalami sakit 50%.
Skor kurang dari 150 kemungkinan mengalami sakit 30%.
e EKMA41 58/MODUL 3 3.51
1. Level Individual
Stressor yang berasal dari level individual adalah semua faktor
lingkungan yang terkait langsung dengan pekerjaan seseorang. Contoh yang
banyak ditemui dalam kehidupan kerja misalnya tuntutan pekerjaan yang
tidak seimbang dengan kapabilitas seseorang; terlalu banyak pekerjaan (work
overload) atau sebaliknya terlalu sering menganggur (work underload);
pekerjaan yang monoton tidak variatif; pekerjaan yang menimbulkan role
conflict - tuntutan pekerjaan yang berbeda-beda pada saat bersamaan atau
role ambiguity - karyawan tidak tabu apa yang harus dikerjakan karena
perintah yang berbeda-beda dari atasan; sering cekcok dengan ternan kerja
a tau atasan a tau karakteristik pekerj aan yang secara natural memiliki tingkat
stres yang tinggi. Dow Jones & Company, misalnya melakukan survei untuk
mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan stres. Di antaranya
pekerjaan yang paling menimbulkan stres adalah menjadi presiden Amerika,
diikuti oleh petugas pemadam kebakaran dan eksekutif senior. Sementara
pekerjaan yang kurang atau sedikit menimbulkan stres adalah aktuaria dan
18
teknisi pen yiaran .
Selain contoh-contoh di atas, tidak adanya jaminan bahwa seseorang
akan tetap dipekerjakan juga merupakan stressor yang bersifat individual.
Situasi seperti ini biasanya terjadi ketika sebuah organisasi melakukan
perombakan besar-besaran dalam rangka melakukan efisiensi, apakah
perombakan tersebut dalam bentuk restrukturisasi, reorganisasi,
reengineering, dowsizing, rightsizing atau resizing. Demikian juga ketika
sebuah organisasi dimerger atau diakuisisi organisasi lain atau perusahaan
negara yang diprivatisasi biasanya akan menyebabkan tidak adanya kepastian
bahwa seseorang akan tetap dipekerjakan. Akibatnya, tidak jarang seorang
karyawan mengalami stres karena tidak ada jaminan dirinya tetap
dipekerjakan. Bahkan karyawan yang tidak diberhentikan sekalipun tidak
19
terhindarkan untuk tidak mengalami stres utamanya karena work overload.
18
Edwin Locke. (1982). The Ideas of Frederick Taylor: An Evaluation. Academy of
Management Review. pp.14-24.
19
Locke and Latham. (2002). Building a Practically useful Theory of Goal Setting
and Task Motivation: A 35-year Odyssey. American Psychologist. Vol. 57, No. 9.
pp. 705-717.
3.52 PERILAKU ORGANISASI e
2. Level Kelompok
Dinamika kelompok dan perilaku manajerial merupakan bentuk stressor
yang bersumber pada level kelompok. Sebagai contoh, hubungan
interpersonal yang tidak harmonis antara atasan dan bawahan merupakan
salah satu sebab timbulnya stres di kalangan bawahan. Di samping itu,
manajer secara umumjuga menjadi sumber stres bagi karyawan terutamajika
manajer (a) menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, (b) tidak memberi
dukungan kepada karyawan, (c) menunjukkan ketidakpeduliannya pada
karyawan, (d) tidak memberi araban yang cukup, (e) menciptakan suasana
kerja yang hyper competitive, atau (f) hanya peduli pada hal-hal buruk tetapi
mengabaikan kinerj a yang baik. Selain itu, stres yang bersumber pada level
kelompok juga bisa disebabkan karena pelecehan baik pelecehan seksual
maupun bentuk-bentuk pelecehan lainnya. Hal yang pasti pelecehan bisa
menyebabkan seseorang merasa tertekan dan mengalami distress.
3. Level Organisasi
Stressor yang bersumber pada level organisasional, boleh jadi tidak
hanya menyebabkan stres pada satu atau dua orang karyawan, tetapi tidak
tertutup kemungkinan melibatkan sebagian besar karyawan. Secara umum,
dimensi-dimensi organisasi yang menjadi sumber stres dapat dibedakan
menjadi 4, yaitu kebijakan dan strategi organisasi, struktur dan desain
organisasi, serta proses organisasi dan kondisi lingkungan kerj a. Salah satu
contoh yang cocok untuk menjelaskan hal ini adalah budaya yang
dikembangkan pada sebuah organisasi. Sebagai gambaran, Cameron and
20
Quinn membedakan budaya organisasi menjadi 4 macam tipe, yaitu support
culture, ad hoc culture, market culture, dan hierarchical culture. Keempat
tipe budaya ini masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dan tentunya
memberikan tuntutan yang berbeda terhadap karyawan. Market culture,
misalnya tipikal budaya organisasi yang menuntut karyawannya bekerja
keras, memiliki kemampuan bersaing baik secara internal maupun eksternal,
dan memiliki target kinerj a yang tinggi. Dengan tuntutan seperti ini hampir
pasti sesama karyawan pun harus saling bersaing sehingga tidak bisa
dipungkiri jika kehidupan organisasi juga sangat menegangkan.
Sederhananya, market culture merupakan karakteristik budaya organisasi
yang sangat potensial menjadi stressor.
20
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •• • • • • • • •• • • • • • • • • • • • •
e EKMA41 58/MODUL 3 3.53
mengalami stres. Jika Anda merasa tidak bisa menyesuaikan diri dengan
budaya baru dan Anda lebih memilih pindah kerja ke tempat kerja atau
organisasi yang lebih kondusif maka Anda menerapkan control strategy;
(2) strategi menghindari stres (escape strategy), yakni menghindari atau
mengabaikan masalah yang menimbulkan stres. Jika Anda secara pasif mau
menerima situasi yang menimbulkan stres atau Anda menghindari
konfrontasi secara langsung misalnya dengan karyawan yang sangat
menjengkelkan maka upaya Anda disebut sebagai escape strategy;
(3) strategi mengelola gejala stres (symptom management strategy) adalah
upaya mengatasi stres dengan cara melakukan relaksasi, meditasi atau
olahraga.
F. MODERATOR
1. Dukungan Sosial
Maksud dari dukungan sosial adalah anggapan seorang karyawan bahwa
dirinya memperoleh bantuan - moral dan sosial dalam mengatasi berbagai
3.56 PERILAKU ORGANISASI e
seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan tidak peduli apakah dia sedang
mengbadapi masalab pribadi. Bagi seseorang yang memiliki komitmen,
persoalan pribadi seperti ini meski menekan, tidak mengbalanginya untuk
menyelesaikan pekerjaan karena yang lebib dipedulikannya adalab basil akhir
dari pekerjaan tersebut; sedangkan seseorang yang memiliki kepribadian
internal locus of control (pusat kendali diri dari dalam) diyakini mampu
mempengaruhi semua kejadian yang menimpa dirinya. Dengan demikian,
orang seperti ini bisa mengatasi negative stressor atau paling tidak
meminimalisirnya. Terakhir, seseorang yang mau menerima tantangan
biasanya menganggap babwa perubaban adalab sesuatu yang wajar terjadi
dalam kebidupan manusia. Oleb karena itu, perubaban lebib dianggap
sebagai tantangan yang barus dibadapi ketimbang sebagai ancaman.
G. HASIL/KONSEKUENSI STRES
Meski bisa berdampak positif, namun dalam banyak kasus stres lebih
banyak mengakibatkan dampak negatif. Bahkan ada ungkapan "jika Anda
memikirkan stres maka Anda akan mengalaminya". Artinya, apabila Anda
takut menghadapi stres justru Anda sesungguhnya sedang mengalami stres.
Ungkapan ini sekaligus menunjukkan dampak negatif dari stres. Dalam
konteks kehidupan kerja, stres berkorelasi negatif dengan kepuasan kerja,
komitmen organisasi, kinerja, dan emosi positif. Di samping itu, stres juga
mengakibatkan depresi dan burnout. Secara behavioral, stres berkaitan
dengan perilaku negatif, seperti berteriak-teriak, melakukan kekerasan
terhadap orang lain, dan perilaku menyimpang lainnya. Secara mental,
seseorang yang tidak biasanya membuat keputusan yang jelek, tidak bisa
berkonsentrasi dan gampang lupa merupakan pertanda sedang mengalami
stres. Dampak stres terhadap kesehatan fisik juga banyak mendapat sorotan.
Misalnya, tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, sakit tulang
belakang, sembelit, dan gangguan fisik lainnya.
H. MANAJEMEN STRES
Jika seseorang sakit berkepanjangan dan tidak bisa bekerja lagi atau harus
mengambil cuti dalam waktu cukup lama, akan berakibat pada berkurangnya
income yang berarti pula keluarga harus ikut menderita, syukur kalau tidak
sampai ikut mengalami stres. Sementara itu bagi organisasi, persoalan stres
yang dihadapi karyawan secara langsung maupun tidak pada akhirnya juga
mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Jika karyawan sakit,
misalnya dan perusahaan harus menanggungnya maka biaya kesehatan
perusahaan tentunya akan meningkat.
Mengingat dampak negatif stres sangat besar namun di saat yang sama
stres sesungguhnya tidak perlu dihindari atau ditakuti maka langkah terbaik
berkaitan dengan stres adalah mengelola stres itu sendiri yang disebut sebagai
manajemen stres. Pada dasarnya manajemen stres merupakan upaya
sistematis baik upaya yang bersifat proactive maupun reactive untuk
mengurangi negative stress. Upaya tersebut bisa dilakukan secara individual
maupun organisasional.
a. Manajemen waktu
Waktu yang kita miliki jumlahnya terbatas hanya 24 jam sehari dan kita
tidak bisa merubahnya. W aktu yang terbatas tersebut tentunya harus dikelola
dengan baik agar tidak muncul perasaan seolah-olah kita tidak memiliki
cukup waktu, misalnya sekadar untuk bemapas, untuk memikirkan masa
depan diri sendiri atau bercengkerama dengan keluarga hanya karena
pekerjaan yang "dianggap" menumpuk. Untuk menghindari anggapan yang
3.60 PERILAKU ORGANISASI e
dilakukan. Hanya saja kita sering kali tidak menyadarinya jika pekerjaan
tersebut sesungguhnya tidak perlu.
Catatan: T =Tinggi
R = Rendah
Gam bar 3. 14.
Matriks Manajemen Waktu
21
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
3.64 PERILAKU ORGANISASI e
LATIHAN
-- - - -.....;:
1) Stres dan stressor merupakan dua istilab yang saling terkait. Stres
dipabami sebagai respons adaptif yang dilakukan seseorang guna
menyeimbangkan kembali aspek psikologis dan fisiologis yang
terganggu karena tekanan bertubi-tubi dari lingkungan sekitar.
Sementara itu, stressor merupakan faktor pengganggu (lingkungan) yang
menyebabkan seseorang berpotensi mengalami stres. Ditilik dari
3.66 PERILAKU ORGANISASI e
RANGKUMAN
TES FORMATIF 2
--------------------------------
Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!
3) Pernyataan yang benar tentang stres adalah sebagai berikut adalah ....
A. stres selalu berakibat buruk
B. stres adalah fenomena organisasi yang harus dihindari
C. jika seorang karyawan tidak mengalami stres kinerja baik
D. stres tidak semata-mata ketegangan syaraf
Daftar Pustaka
David E. Nadler and Edward E. Lawlwer III. (1983). Quality of Work Life:
Perspectives and Directions. Organizational Dyinamics, Winter.
pp. 20-30.
De Janasz, S.C., K.O. Dowd, and B.Z. Schneider. (2002). Interpersonal Skill
in Organizations. McGraw Hill. Hal. 72, 73.
T.A. Beehr and J.E. Newman. (1978). Job Stress, Employee Health and
Organizational Effectiveness: A Facet Analysis, Model and Literature
Review. Personel Psychology, Winter. Hal. 665-699.
MDDUL 4
PENDAHULUAN
kebutuhan seseorang bisa disebut sebagai salah satu faktor penggerak yang
menyebabkan seseorang melakukan sebuah tindakan.
Proses tergeraknya seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan
tindakan dalam rangka memenuhi keinginan dan kebutuhan disebut proses
motivasi. Dalam bidang studi perilaku organisasi, di samping persepsi dan
kepemimpinan, motivasi merupakan topik yang paling banyak mendapat
perhatian, baik dari para akademisi maupun praktisi. Para akademisi,
misalnya mengembangkan berbagai macam teori untuk menjawab sebuah
pertanyaan pokok: Mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan?
Apa sebabnya dan apa tujuannya? Sementara itu, para praktisi bisnis,
khususnya para manajer, tertarik untuk memahami teori dan konsep motivasi
sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan mereka dan tahu bagaimana
memotivasi karyawan agar bekerja lebih baik dan lebih produktif yang ujung-
ujungnya tujuan organisasi bisa segera tercapai.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa motivasi penting bagi manajemen.
Pertama, perusahaan pada umumnya berusaha untuk merekrut karyawan-
karyawan yang memiliki talenta yang dibutuhkan. Namun, tidak bisa
dipungkiri jika sebagian besar perusahaan memiliki karyawan dengan
kualifikasi rata-rata. Dengan kondisi karyawan seperti ini, memotivasi
karyawan bukan sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan bagi para manajer
jika menginginkan perusahaan yang dikelolanya terus berkembang. Kedua,
memotivasi berarti melakukan perubahan, khususnya perubahan perilaku.
Oleh karena itu, memotivasi karyawan bukan pekerjaan mudah. Berbagai
macam upaya, rekayasa dan intervensi terkadang dilakukan semata-mata agar
karyawan mau melakukan perubahan perilaku. Toh hasilnya sering kali tidak
seperti yang diharapkan. Bahkan tidak jarang para manajer harus berhadapan
dengan resistensi yang begitu kuat. Berkaitan dengan semua itu maka ketiga,
sering dikatakan bahwa memotivasi menjadi semakin mudah jika yang
dimotivasi mau mencoba. Artinya, peran pihak lain dalam motivasi
sesungguhnya hanya sebatas upaya agar orang yang dimotivasi mau
melakukan tindakan, namun apakah orang tersebut mau melakukan tindakan
atau tidak semuanya dikembalikan pada orang yang bersangkutan karena
hanya orang bersangkutan yang mampu mengontrol dirinya.
Melalui Modul4 Anda diajak untuk memahami berbagai macam konsep
dan teori motivasi. Dengan pemahaman ini, Anda diharapkan bisa
mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing konsep sehingga
ketika mengaplikasikannya dalam kehidupan riil organisasi Anda mampu
e EKMA41 58/MODUL 4 4.3
KEGIATAN BELAL.JAR 1
Teori Motivasi
A. PENGERTIAN MOTIVASI
1
Pengertian motivasi menurut bahasa kamus, lihat misalnya Encarta electronic
dictionary.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.5
4
Sementara itu, Luthan mengatakan bahwa motivasi adalah sebuah
proses yang dimulai dari tidak terpenuhinya (deficiency) kebutuhan fisiologis
atau psikologis yang memicu perilaku atau dorongan untuk menggapai tujuan
atau memperoleh insentif.
Kedua definisi di atas merupakan sebagian dari definisi motivasi yang
bisa dijumpai pada buku-buku teks dan literatur perilaku organisasi. N amun,
harus disadari bahwa tidak semua definisi bisa dipaparkan pada modul ini.
Oleh karena itu, kedua definisi di atas diharapkan bisa mewakili definisi-
definisi yang ada. Jika kedua definisi tersebut diperbandingkan, termasuk
memperbandingkannya dengan definisi -definisi lain (yang tidak disebutkan
di modul ini), ada kesan seolah-olah motivasi didefinisikan secara berbeda
bergantung pada pemahaman masing-masing penulis. Kesan ini muncul
karena penyusunan kalimat dan gaya bahasa masing-masing penulis berbeda.
Namun, apabila dicermati lebih saksama, sesungguhnya tidak terdapat
perbedaan yang esensial. Kalaulah ada perbedaan, boleh jadi hanya
perbedaan redaksional saj a.
•
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang esens1
dari konsep motivasi, kedua definisi di atas akan dielaborasi lebih lanjut.
Pertama, motivasi pada dasamya merupakan studi tentang tindakan di mana
tindakan tersebut melibatkan proses psikologis. Hal ini bisa diartikan bahwa
2
McCornnell.Op cit. Hal. 264.
3
Lihat Orlando Beling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Science of
Organization. Academy of Management Review. pp. 193-201.
4
Lihat, Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
4.6 PERILAKU ORGANISASI e
Gambar 4.1.
Proses Motivasi
1. Kebutuhan
Kebutuhan ialah kekurangan yang dirasakan seseorang pada suatu waktu
tertentu. Kebutuhan akan selalu muncul manakala seseorang mengalami
ketidakseimbangan fisiologis atau psikologis. Sebagai contoh, kebutuhan
akan minuman atau makanan akan muncul ketika sel-sel tubuh kita
kekurangan cairan atau makanan. Artinya, pada saat itu tubuh kita
mengalami ketidakseimbangan fisiologis. Manakala Anda merasa
kesepian berarti Anda mengalami ketidakseimbangan psikologis dan
Anda membutuhkan seorang ternan.
2. Dorongan
Dorongan, sering juga disebut motif adalah energi yang dikeluarkan dan
diarahkan untuk mengembalikan keseimbangan fisiologis dan psikologis.
Dengan kata lain, dorongan adalah tindakan untuk memenuhi kebutuhan.
5
McClelland and David Burnham. (1976). Power is the Great Motivator.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.7
Hal ini bisa diartikan babwa ketika kita merasa ada yang kurang (terjadi
deficiency kebutuban) atau terjadi ketidakseimbangan tubub, dorongan
dengan sendirinya akan muncul dalam bentuk perilaku yang diarabkan
pada suatu tujuan tertentu. Sebagai contob, ketika tubub kita
membutuhkan makanan dan minuman maka wujud dari keduanya adalab
perilaku yang menunjukkan rasa lapar dan baus. Dengan kata lain, lapar
dan baus adalab dorongan untuk memenubi makanan dan minuman.
Demikian juga ketika Anda kesepian maka Anda terdorong untuk
mencari ternan.
3. Insentif
lnsentif atau tujuan merupakan akbir dari sebuab siklus motivasi.
Maksud dari tujuan adalab segala sesuatu yang bisa memenubi
kebutuban dan mengurangi dorongan. Artinya, ketika Anda telab bisa
memenubi tujuan maka akan diperoleb kembali keseimbangan fisiologis
dan psikologis, serta dengan sendirinya motif Anda untuk mencapai
tujuan akan berkurang. Makan, minum, dan mendapatkan ternan seperti
dicontohkan di atas adalab insentif. Jadi, apabila Anda telab his a
memenubinya akan tercipta kembali keseimbangan fisiologis dan
psikologis dan dengan sendirinya dorongan untuk mendapatkan
makanan, minuman, dan ternan berkurang.
Ketiga, utamanya jika kita merujuk pada definisi pertama, bisa dikatakan
babwa inti dari proses motivasi adalab dorongan, motif atau tindakan yang
wujudnya adalah perilaku. Sederbananya, basil dari proses motivasi adalab
perilaku, khususnya perilaku yang berorientasi tujuan. Oleb karena itu, tidak
berlebiban jika dikatakan babwa motivasi pada akhirnya mempengarubi
tindakan dan perilaku seseorang. Meski demikian, tidak semua perilaku
berorientasi tujuan. Hal ini bisa diartikan pula babwa tidak semua perilaku
terkait dengan motivasi. Hanya perilaku-perilaku yang memenubi
karakteristik tertentu yang dianggap berorientasi tujuan. Karakteristik
tersebut adalab intensitas tindakan, arab atau piliban perilaku, dan persistensi
atau keajegan perilaku.
1. Intensitas tindakan
Karakteristik pertama menunjukkan sejaub mana seseorang mau
mengerabkan energi atau upaya untuk memperoleb basil (memenubi
tujuan). Semakin besar upaya seseorang berarti semakin besar pula
motivasi orang tersebut untuk mencapai basil. Perilaku kerja keras yang
4.8 PERILAKU ORGANISASI e
B. TEORIMOTIVASI
1. Teori Kebutuhan
Teori kebutuban (need theory) sering disebut juga content theory. Teori
ini berangkat dari satu asumsi babwa setiap orang pasti mempunyai
kebutuban dan secara natural manusia akan berusaba dan melakukan
berbagai macam tindakan jika ada sebagian atau keseluruban kebutuban
tersebut belum terpenuhi. Seperti tampak pada Gambar 4.2, setiap muncul
perasaan kurang, pasti akan muncul pula kebutuban. Perasaan kurang akan
direspon dengan mencari jalan untuk memenubi kebutuban sebingga timbul
perilaku berorientasi tujuan. Berdasarkan perilaku tersebut pada akhirnya
4.10 PERILAKU ORGANISASI e
kebutuhan akan terpenuhi. Proses ini akan berulang mengikuti siklus yang
sama untuk memenuhi kebutuhan lain.
•
Pemenuhan kebutuhan Mencari j alan untuk
memenuhi kebutuhan
•
Prilaku berorientasi
tujuan ·-------'
Gambar 4.2.
Siklus Motivasi Berbasis Kebutuhan
meresponsnya dan mau dijadikan ternan. Berdasarkan hasil observasi dan uji
klinis (bukan berdasarkan penelitian empiris), pada awalnya Murray mendata
adanya 15 kebutuhan. Selanjutnya, kelima belas kebutuhan tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan primer (primary needs) dan
kebutuhan sekunder (secondary needs). Termasuk ke dalam kebutuhan
primer, misalnya makanan, minuman, seks, huang air besar, huang air kecil,
dan menyusu bagi anak-anak yang semuanya berkaitan dengan fungsi
fisiologis. Kebutuhan sekunder, meliputi otonomi, prestasi, afiliasi, dominasi,
kekuasaan, rasa hormat, agresi, dan rendah diri. Dalam perkembangannya
Murray, sejalan dengan perjalanan kariernya, menambahkan jenis-jenis
kebutuhan lain.
6
Edwin Locke. (1982). The Ideas of Frederick Taylor: An Evaluation. Academy of
Management Review. pp. 14-24.
4.12 PERILAKU ORGANISASI e
Kebutuhan Aktualisasi
diri
Kebutuhan Harga diri
Kebutuhan sosial
RuaAman
Gambar 4.3.
Hierarki Kebutuhan menurut Maslow
b. ERG Theory
Maslow menyadari bahwa teori hierarki kebutuhan yang
dikembangkannya masih jauh dari sempurna. ltulah sebabnya Maslow sangat
mendambakan peneliti lain yang menyempurnakannya. Clayton Alderfer
yang kemudian menyempurnakan teori hierarkinya Maslow. Dari berbagai
basil studi yang dilakukannya, Alderfer lantas mengajukan teori kebutuhan
yang dikenal sebagai "ERG Theory". Oleh karena berpijak pada teorinya
Maslow, dalam beberapa hal Alderfer sependapat dengan Maslow dan
4.14 PERILAKU ORGANISASI e
7
Locke and Latham. (2002). Building a Practically Useful Theory of Goal Setting
and Task Motivation: A 35-year Odyssey. American Psychologist. Vol. 57, No. 9,
pp. 705-717.
4.16 PERILAKU ORGANISASI e
8
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •• • • • • • • •• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •• • • • • • • •• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
•• •••• •• ••• •••• • ••• •••• •• •• ••••• ••• ••••• ••• ••••• ••• ••• •• •• •••• •• •• •••• ••• • ••••• ••• •••
9
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •••
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
10
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
•• •••• •• •••• ••• • •••• ••• •• ••• • ••• ••••• ••• •••• • ••• •••• •• •• •• •••• •• •• •••• ••• • ••• •• ••• ••• •• ••• ••• •• ••• •••• • ••• •••• •• • •••• ••• •• ••• •• ••
4.18 PERILAKU ORGANISASI e
d. Teori duafaktor
Di samping ketiga teori kebutuhan yang telah diuraikan di atas, teori lain
yang berbasis kebutuhan adalah teori dua faktor yang dikembangkan oleh
Frederick Herzberg. Teori ini sering disebut "Motivator-Hygiene Theory".
Esensi dari teori ini adalah faktor yang menyebabkan seseorang merasa puas
dan faktor yang menyebabkan seseorang merasa tidak puas temyata berbeda.
Simpulan ini didasarkan pada wawancara yang dilakukan oleh Herzberg
terhadap 203 responden - akuntan dan insinyur. Ketika mereka ditanya faktor
apa saja yang menyebabkan mereka merasa tidak nyaman, tidak senang dan
tidak puas, jawabannya ternyata, meliputi faktor-faktor yang melingkupi
pekerjaan, bukan pekerjaannya itu sendiri, seperti masalah administrasi dan
kebijakan organisasi, gaji, para supervisor, hubungan antarteman kerja, dan
kondisi tempat kerja. Faktor-faktor ini disebut sebagai dissatisfiers -
penyebab ketidakpuasan karena menciptakan potensi ketidakpuasan
karyawan, tetapi tidak menjadikan karyawan merasa puas. Artinya, apabila
organisasi membenahi faktor-faktor ini dampaknya hanya mengurangi
ketidakpuasan namun tidak sampai menciptakan kepuasan. Oleh karena itu,
yang bisa dilakukan para manajer adalah menjaga faktor-faktor tersebut.
Itulah sebabnya faktor ini disebut "hygiene" untuk menunjukkan
karakteristiknya yang bersifat preventif.
Ketika mereka ditanya faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka
merasa senang, nyaman, dan puas dalam pekerjaan, jawabannya cenderung
terkait dengan pekerj aannya itu sendiri, seperti prestasi kerj a, pengakuan
terhadap basil kerja, sejauh mana pekerjaan tersebut memberi tantangan bagi
dirinya, tanggung jawab yang diemban terhadap pekerjaan dan kemungkinan
dirinya bisa berkembang melalui pekerj aan tersebut. Semua faktor ini terkait
langsung dengan tugas seseorang dalam pekerjaan atau sederhananya terkait
langsung dengan isi kandungan pekerjaan. Oleh karena itu, Herzberg
menyebutnya sebagai "satisfier"- penyebab kepuasan kerja atau "motivator"
- pemoti vasi kerj a.
Hal yang menarik dari basil penelitian Herzberg, namun sampai saat ini
masih menimbulkan kontroversi adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa
e EKMA41 58/MODUL 4 4.19
Hyegine factors:
Kebijakan perusahaan
Gaji
Lingkungan kerj a
Tidak ada
ketidakpuasan
ketidakpuasan
Tidak ada
kepuasan kepuasan
Motivator factors:
Prestasi kerj a
Pengakuan basil kerj a
Sifat pekerjaan
Gambar 4.4.
Faktor Penyebab Ketidakpuasan dan Kepuasan
Seperti tampak pada gambar di atas hygiene factor dan motivator factor
keduanya tidak pernah bertemu dalam satu titik. Hygiene factor akan
bergerak dari "ketidakpuasan" menuju ke "tidak ada ketidakpuasan".
Sementara motivator faktor akan bergerak dari "kepuasan" menuju ke "tidak
ada kepuasan". Penjelasan ini bisa diartikan pula bahwa kepuasan tidak sama
dengan tidak ada ketidakpuasan. Demikian juga ketidakpuasan tidak sama
tidak ada kepuasan. Gambar di atas secara tidak langsung juga mengatakan
bahwa "hygiene faktor" bukan merupakan faktor yang menciptakan kepuasan
kerja. Artinya, kalau kondisi lingkungan kerja diperbaiki tetap saja tidak akan
menyebabkan seorang karyawan merasa puas. Meski demikian, perbaikan
lingkungan kerja atau perbaikan gaji masih tetap diperlukan karena bisa
menjaga agar ketidakpuasan tidak meningkat. Sebaliknya, para manajer perlu
memberi perhatian pada "motivator faktor" karena dengan memperbaiki sifat
kerja atau memberi pengakuan terhadap hasil kerja karyawan, misalnya bisa
meningkatkan kepuasan karyawan.
4.20 PERILAKU ORGANISASI e
2. Teori Proses
Berbeda dengan teori kebutuhan yang menekankan arti penting
kebutuhan sebagai landasan berpijak bagi seseorang untuk bertindak dan
berperilaku, teori proses yang sering disebut juga teori kognitif (cognitive
theory) merupakan teori motivasi yang menyoroti proses terjadinya motivasi.
Teori Proses dengan demikian mencoba menguraikan dan menganalisis
bagaimana perilaku itu digerakkan, diarahkan, didukung, dan dihentikan.
Asumsi yang melandasi teori proses adalah motivasi tidak terjadi dalam
situasi statis seperti diasumsikan pada teori kebutuhan, melainkan terj adi
pada situasi dinamis dan kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor
penyebab timbulnya motivasi. Artinya, perilaku seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh kebutuhan orang tersebut, tetapi juga oleh faktor lain di luar
kebutuhan, misalnya persepsi tentang basil yang akan diperoleh jika
melakukan suatu tindakan, tingkat keadilan terhadap imbalan yang menjadi
haknya dan tingkat kesulitan pekerjaan yang akan dihadapi. Di samping itu,
teori proses juga beranggapan bahwa manusia merupakan sosok yang
berpikiran rasional dalam memilih berbagai altematif tindakan. Secara
rasional manusia cenderung akan memilih tindakan yang memaksimalkan
keuntungan dan meminimalkan kerugian. Itulah sebabnya teori proses
disebut sebagai cognitive theory karena untuk mengambil keputusan terhadap
pilihan-pilihan tindakan dan perilaku rasional memerlukan informasi yang
berada di luar dirinya.
Pada bagian ini akan dibahas lebih detail tiga teori proses, yaitu
expectancy theory (teori pengharapan), equity theory (teori keadilan atau
kewajaran), dan goal setting theory (teori penetapan tujuan).
bisa dijelaskan banya dengan teori kebutuban yang statis yang banya
melibatkan faktor internal.
Teori pengbarapan didasarkan pada suatu asumsi babwa motivasi
ditentukan oleb basil (outcomes) yang betul-betul dibarapkan akan terwujud
sebagai akibat dari usaba yang dilakukan seseorang. Pertanyaannya adalab
faktor apa saja yang mempengarubi seseorang sebingga ia mau mengerahkan
energinya atau melakukan berbagai macam usaba dalam rangka mencapai
basil? Menurut teori ini, faktor-faktor yang mempengarubi usaba seseorang
adalab ( 1) persepsi tentang bubungan antara usaba dengan tingkat
keberbasilan usaba atau kinerja (ekspektasi), (2) persepsi tentang bubungan
antara kinerj a dengan keseluruban basil (outcomes) yang akan diperoleb
(instrumen perantara), dan (3) nilai manfaat dari basil (valensi). Sebagai
contob, apabila Anda sedang mengerjakan tugas akhir - misalnya menulis
skripsi dan meluangkan waktu selama satu jam sebari (usaba) maka
diharapkan dalam sebari Anda bisa mengbasilkan 3 balaman ketikan
(kinerja). Dengan 3 balaman ketikan sebari maka dalam sebulan Anda bisa
menyelesaikan draf skripsi (basil keseluruban atau outcomes). Pertanyaannya
adalab apakab menyelesaikan skripsi dengan segera menjadi penting atau
tidak bagi Anda sangat tergantung dari cara pandang Anda terbadap nilai
manfaat dari skripsi tersebut. Jika Anda merasa babwa menyelesaikan skripsi
bisa memperbaiki karier maka Anda akan termotivasi untuk meluangkan
waktu satu jam per bari untuk menulis skripsi. Sebaliknya, apabila Anda
merasa babwa menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan studi S-1 tidak
berpengarub terbadap kebidupan Anda boleb jadi Anda tidak mau
meluangkan waktu untuk menulis skripsi.
Berdasarkan ketiga variabel tersebut, bisa dikatakan babwa teori
pengbarapan yang diajukan Vroom melibatkan 3 variabel kunci, yaitu
valensi, instrumen perantara, dan ekspektasi. Oleb karenanya teori
pengbarapan sering disebut juga VIE theory. Determinan yang
mempengaruhi usaba seseorang dapat dilibat pada Gambar 4.5a yang
dilanjutkan dengan diagram prosesnya - Gambar 4.5b.
4.22 PERILAKU ORGANISASI e
E -7 p
Ekspektasi: Persepsi tentang probabilitas
U saha mempengarubi kinerja
p -7 0
Usaha
Instrumentalitas/Perantara: Persepsi tentang
Hubungan antara kinerja dengan basil
0±
Valensi: Nilai dari basil
~EkHpektasi Instrumentalitas/
- - ..
Perantara Va:tensi
1) Ekspektasi
Menurut Vroom yang dimaksud dengan ekspektasi atau harapan adalah
keyakinan seseorang bahwa kinerja merupakan akibat dari kegiatan
usaha yang dilakukan seseorang. Jika seseorang melakukan usaha
dengan derajat tertentu maka diharapkan akan dihasilkan kinerja dengan
derajat tertentu pula. Dengan kata lain, usaha -------~ harapan terhadap
suatu kinerja. Berkaitan dengan hal ini, ada satu catatan penting yang
perlu diperhatikan, yakni harapan terhadap suatu hasil merupakan
harapan yang bersifat subjektif. Artinya, bisa saja semua harapan
tersebut tercapai atau sebaliknya sama sekali tidak tercapai. Atau apakah
harapan tersebut hanya tercapai sebagian, katakanlah hanya 20%, 35%
atau 80% tentunya sangat bergantung pada keyakinan subjektif Anda.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.23
Pilihan II
Seandainya Anda memutuskan tidak menemani main golf dan lebib
memilib menulis paper, 3 kemungkinan outcomes adalab (1) mengecewakan
Bos, (2) mengalami stres selama menulis paper, dan (3) basil ujian lebih baik.
Setelab memperbitungkan ketiga konsekuensi dari masing-masing
piliban Anda, langkab berikutnya yang perlu ditempub adalab melakukan
kalkulasi yang bisa dijadikan dasar untuk bertindak, yaitu mengbitung
probabilitas menemani Bos untuk piliban I dan probabilitas menulis paper
untuk pilihan II. Di samping itu, untuk masing-masing pilihan Anda diminta
menghitung nilai manfaatnya (valensi) dan menghitung derajat hubungan
antara basil kegiatan (kinerja) dengan keseluruban basil (instrumen
perantara).
Berdasarkan data di atas, kalkulasi masing-masing piliban adalab sebagai
berikut.
Pilihan I
Probabilitas Anda bisa menemani Bos main golf, katakanlab sebesar
90%. Angka sebesar ini menunjukkan babwa Anda memiliki keyakinan yang
tinggi untuk menemani Bos main golf. Satu-satunya faktor yang bisa
menggagalkan menemani Bos banyalab jika si Bos tiba-tiba ada acara lain
yang bersifat mendadak dan kemungkinan ini sangat kecil. Jadi, ekspektasi
Anda benar-benar bisa pergi ke lapangan golf= 0.9; sedangkan nilai manfaat
(valensi) bagi saudara jika menamani Bos adalab (dibitung dengan skala -10
sampai + 10):
1. Outcomes 1, katakan sebesar +9 karena karier Anda ke depan cerab.
2. Outcomes 2, katakan sebesar +3 karena meski menemani Bos Anda
belum banyak dikenal ternan-ternan Bos.
3. Outcomes 3, katakana sebesar +8, meski menemani Bos Anda yakin nilai
akhir ujian Anda tidak begitu terpengarub.
Pilihan II
Jika Anda memutuskan meneruskan menulis paper, ekspektasi benar-
benar bisa menulis paper juga tinggi katakanlah 0.8; namun sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan ekspektasi menemani main golf. Penyebabnya
karena Anda merasa sedikit kesulitan mendapatkan referensi terbaru. Dengan
cara perhitungan yang sama seperti pada pilihan I, valensi dari ketiga
outcomes pilihan II adalah: -7 karena mengecewakan Bos; -3 untuk stres
yang akan Anda alami selama menulis paper; dan +8 karena nilai ujian lebih
baik. Terakhir, hubungan antara menulis paper dengan memperoleh nilai baik
katakanlah 0.8 karena penilaiannya masih tergantung orang lain (dosen
Anda) yang perpectionist. Sementara itu, hubungan antara menulis paper
dengan stres sebut saja 0.5 karena sebagian data sudah dikumpulkan.
Hubungan antara menulis paper dengan kekecewaan Bos, misal 0.2 karena
Anda masih berharap Bos mau mengerti posisi Anda yang sulit.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas maka nilai masing-masing pilihan
adalah sebagai berikut:
lebih baik toh pada akhirnya gelar sarjana yang diperoleh juga dalam rangka
untuk menunjang karier.
r-----------------------------------------------------------------
1
1 4 ----------------
I
I
8
I
I
I
I
7A
3 6 9
2 5 88
I
L----------------------------------
Gambar 4.6.
Teori Pengharapan menurut Porter and Lawler Ill
Keterangan:
1. Nilai imbalan/balas jasa (reward)
2. Persepsi tentang probabilitas usaha -7 imbalanlreward
3. Usaha
4. Kapabilitas dan Kepribadian seseorang
5. Persepsi tentang peran seseorang (role perception)
6. Kinerja
7. A. Intrinsic reward
B. Extrinsic reward
8. Persepsi tentang kewajaran/keadilan imbalan
9. Kepuasan
4.28 PERILAKU ORGANISASI e
b. Equity theory
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan sering kali
dianggap sebagai hubungan yang bersifat transaksional. Karyawan dan
perusahaan seolah-olah merupakan dua belah pihak yang sedang melakukan
transaksi atau pertukaran. Karyawan merupakan pihak yang menjual sumber
daya (labor power) kepada pihak perusahaan. Sumber daya yang dijual
karyawan, di antaranya pendidikan, tenaga kerja, pengalaman, keterampilan,
e EKMA41 58/MODUL 4 4.29
Tabel 4.1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Keadilan
Inputs Outcomes
Waktu Gaji/Bonus
Pengalaman Benefit
Pendidikan/Pelatihan Tugas yang menantang
Pengalaman masa lalu Cuti
Kemampuan diri dan Keterampilan Kepastian mendapat pekerjaan
Kreati vitas Kemajuan karier/promosi jabatan
Senioritas Status
Loyalitas kepada Perusahaan Lingkungan Kerj a yang Kondusif
Umur Kesempatan untuk mengembangkan diri
Kepribadian Dukungan dari Atasan
Usaha Pengakuan
Tampilan Pribadi Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan
Secara umum, tingkat kesetaraan dalam pertukaran sosial dapat terj adi
dalam tiga bentuk, yaitu ( 1) pertukaran so sial yang setara (equity situation);
(2) pertukaran tidak setara, tetapi tidak menguntungkan karyawan (negative
inequity); dan (3) pertukaran tidak setara yang menguntungkan karyawan
(positive inequity). Gambar 4.7 menggambarkan ketiga situasi ini.
Rp 5000
Satuj am
Rp 5000 Rp 10000
Satujam Dua jam
A B
Rp 5000
Satuj am
Rp 7500
Satu jam
Gambar 4.7.
Persepsi tentang Kesetaraan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.31
lain (bisa lebih tinggi atau lebih rendah) maka akan muncul ketegangan dan
karyawan akan berusaha untuk menyeimbangkannya menuju situasi yang
setara dan adil. Hal ini bias diartikan bahwa ketidaksetaraan akan mendorong
seseorang untuk berperilaku dan bertindak. Dengan kata lain, motivasi akan
tercipta jika terjadi ketidakadilan. Empat situasi terkait dengan
ketidaksetaraan adalah sebagai berikut.
1) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jam kerja, karyawan yang
dibayar lebih akan menghasilkan output lebih banyak dibandingkan
karyawan yang dibayar setara. Karyawan yang dibayar lebih akan
berupaya menghasilkan produk lebih banyak baik secara kuantitas
maupun kualitas sebagai bagian dari upayanya untuk menambah jumlah
input sehingga tercapai keseimbangan.
2) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jumlah produk yang
dihasilkan, karyawan yang dibayar lebih akan menurunkan jumlah
produk yang dihasilkan, tetapi meningkatkan kualitasnya dibandingkan
dengan karyawan yang dibayar setara.
3) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jam kerja, karyawan yang
dibayar kurang akan menghasilkan output lebih sedikit baik secara
kuantitas maupun kualitas dibandingkan karyawan yang dibayar setara.
4) Jika sistem penggajian adalah berdasarkan jumlah produk yang
dihasilkan, karyawan yang dibayar kurang akan menambah jumlah
produk yang dihasilkan dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan karyawan yang dibayar setara.
tujuan yang spesifik, hampir pasti intensitas, pilihan dan persistensi tindakan
akan difokuskan dan diorientasikan ke arah tujuan tersebut. Akibatnya,
tujuan akanjauh lebih mudah dicapai.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam kehidupan sebuah
organisasi. Seorang karyawan yang bekerja serabutan tanpa tugas, beban
kerja dan target yang jelas, jangankan kinerjanya baik, ia malah sering
mengalami frustasi karena tidak ada pedoman dalam melakukan pekerjaan.
Akibatnya, pada saat-saat tertentu ia merasa beban kerj anya berlebihan -
overload dan pada waktu yang lain ia merasa sebaliknya underload. Ujung-
ujungnya kinerjanya bahkan semakin memburuk karena terjadi demotivasi.
Sebaliknya, apabila sejak semula karyawan tersebut diberi tugas, beban kerja
dan target yang jelas dan ia pun memahami dan menyadari akan beban tugas
tersebut sebagai beban tugas yang harus diselesaikannya, karyawan tersebut
dapat mengonsentrasikan energi dan upayanya untuk menyelesaikan tugas
yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan bukan tidak mungkin semua target
bisa diselesaikannya dalam waktu yang lebih singkat dari yang diharapkan.
Semua ini bisa terjadi karena kejelasan tugas akan mendorong dan
memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik dan lebih produktif. Dengan
kata lain, penetapan tujuan (goal setting) yang jelas akan mempengaruhi
motivasi seseorang untuk mencapai tujuan tersebut dan meningkatkan
kinerjanya. Sebagai contoh, ketika Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka
menegaskan bahwa modul "Perilaku Organisasi" harus diselesaikan dalam
waktu 8 bulan atau kontrak kerja akan dibatalkan, penulis pun sadar bahwa
semua energi harus dikerahkan untuk menyelesaikan modul tersebut atau
pekerjaan menjadi sia-sia.
Teori motivasi yang berkaitan dengan penetapan tujuan dan dampaknya
terhadap kinerja disebut goal setting theory. Teori ini digagas oleh Edwin
Locke pada tahun 1968. Meski sering disebut sebagai orang pertama yang
menggagas goal setting theory, Locke sendiri mengacu pada mazhab
scientific management yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Menurut
Locke meski Taylor tidak berbicara goal setting, tetapi cara Taylor
mendorong karyawan untuk bekerja lebih produktif, yang ditandai dengan
menetapkan standar pencapaian kinerj a, tidak lain adalah sebuah moti vasi
berbasis goal setting. Hanya saja, pada waktu itu Taylor menggunakan studi
4.34 PERILAKU ORGANISASI e
waktu dan gerak (time and motion study) sebagai dasar untuk menetapkan
11
tujuan dan kinerja karyawan .
Seperti tercermin dari namanya, goal setting theory merupakan teori
motivasi berbasis tujuan. Dengan demikian, tujuan dengan segala variasinya
seperti target dan sasaran merupakan kata kunci untuk memahami goal
setting theory. Teori ini menyatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit,
jika bisa diterima dan dipahami karyawan, akan meningkatkan kinerja
karyawan ketimbang tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik, mudah
12
dicapai dan tidak ada tujuan . Dalam hal ini, peningkatan kinerja yang
disebabkan karena tingkat kekhususan dan kesulitan tujuan disebut goal
setting effect - dampak penetapan tujuan, sedangkan prosedur penetapan
tujuan disebut goal setting technique - teknik penetapan tujuan. Bangunan
dari goal setting theory dan komponen-komponen yang terkait dengan proses
motivasi dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut ini.
Moderator:
Komitmen terhadap tujuan
Pentingnya tujuan Komitmen dan
•
Self-efficacy mau mennma
Umpan balik tantangan baru
Kompleksitas tugas
Mekanisme:
Pilihanlarab prilaku
Usaha
Persistensi
Strategi
Gambar 4.8.
Komponen Goal Setting
11
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
•• •••• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• ••• • •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• •• •• •••• ••• • •••• •• •• ••• ••• •• ••• •• ••
12
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •••
e EKMA41 58/MODUL 4 4.35
Di muka telah disebutkan bahwa titik tolak dari teori ini adalah tujuan,
khususnya tujuan yang spesifik dan sulit. sebagai dasar untuk menjelaskan
motivasi seseorang. Secara konseptual, yang dimaksud dengan goal adalah
standar kinerja yang harus dicapai oleh seorang karyawan. Dalam skala yang
lebih sempit, goal bisa berupa sasaran atau target yang membutuhkan
tindakan untuk mencapainya. Berdasarkan penjelasan ini maka goal setting
atau penetapan tujuan adalah proses menentukan standar kinerja yang harus
dicapai oleh seorang karyawan.
Meski beberapa studi telah membuktikan bahwa goal setting bisa
meningkatkan kinerja, bukan berarti teori ini tidak mendapat kritik. Beberapa
kritik terhadap goal setting adalah sebagai berikut.
1) Goal setting theory bisa diterapkan dengan baik hanya untuk pekerjaan-
pekerj aan yang relatif sederhana, tetapi tidak untuk pekerj aan yang
sangat kompleks. Goal setting sangat sulit diterapkan jika hasil
pekerjaan ujudnya bukan produk secara fisik. Demikian juga goal setting
4.36 PERILAKU ORGANISASI e
LATIHAN
manusia yang bersifat hierarkis, yaitu kebutuhan fisik, rasa aman, sosial,
harga diri, dan aktualisasi diri. Bagi seorang manajer mengetahui tingkat
kebutuhan seorang karyawan menjadi amat penting agar bisa memotivasi
mereka dengan tepat.
3) Teori kesetaraan (equity theory) berangkat dari satu asumsi bahwa
karyawan dan perusahaan adalah dua pihak yang sedang melakukan
pertukaran. Karyawan menjual tenaga dan perusahaan membeli jasa
karyawan. Pertukaran ini akan berjalan wajar jika kedua belah pihak
berkedudukan setara. Kesetaraan inilah landasan berpikir teori ini.
N amun, kesetaraan tersebut lebih banyak dilihat dari perspektif
karyawan. Artinya, apakah pertukaran tersebut dianggap setara atau
tidak sangat bergantung pada persepsi karyawan. Jika terjadi
ketidaksetaraan maka karyawan akan mengalami demotivasi. Oleh
karena itu, dalam memberikan penghargaan kepada karyawan
perusahaan harus mempertimbangkan faktor-faktor pembanding untuk
memastikan bahwa yang diberikan kepada karyawan betul-betul adil
sehingga moti vasi karyawan terus terj aga.
RANGKUMAN
------------------------------------
TES FDRMATIF 1
4) Berikut ini merupakan kritik terhadap goal setting theory, kecuali ....
A. goal setting mendorong karyawan melakukan tindakan manipulatif
B. goal setting mudah diterapkan untuk pekerjaan yang sederhana,
tetapi sulit diterapkan untuk pekerjaan yang sangat kompleks
C. semakin sulit sebuah tujuan semakin karyawan termotivasi
D. karyawan cenderung hanya berpikiran untuk memfokuskan diri pada
tujuan yang terukur dan mengabaikan tujuan lain
KEGIATAN BELAL.JAR 2
Motivasi Kerja:
Evaluasi dan Penghargaan Kinerja
etelah mempelaj ari beberapa teori moti vasi, sekarang sampai pada
gilirannya untuk menerapkan teori tersebut ke dalam praktik. Di muka
telah dikatakan bahwa wujud dari teori motivasi adalah tergeraknya
karyawan untuk mengerahkan segala energinya demi mencapai tujuan
organisasi dan kepuasan kerj a karya wan. Sederhanan ya, akhir dari proses
motivasi adalah pencapaian kinerja baik kinerja individu maupun kinerja
organisasi. Untuk mengetahui sejauh mana karyawan termotivasi, perlu
dilakukan evaluasi kinerja dan ditindaklanjuti dengan pemberian
penghargaan agar moti vasi karyawan terus terj aga.
Kegiatan Belajar 2 bermaksud menindaklanjuti uraian Kegiatan
Belajar 1 khususnya yang terkait dengan proses penilaian kinerja dan
pemberian penghargaan kepada karyawan. Namun, sebelum semua itu
didiskusikan terlebih dahulu dibahas hubungan antara motivasi, perilaku, dan
kinerja. Dengan selesainya Kegiatan Belajar 2, Anda sangat diharapkan bisa
mengimplementasikan konsep dan teori motivasi ke dalam praktik sehingga
mampu menjaga tingkat motivasi karyawan.
Latar belakang
individu
•
Lingkungan
• •
organ1sas1
Gam bar 4. 9.
Hubungan antara Motivasi, Perilaku, dan Kinerja
Tampak pada gambar bahwa basil akhir dari proses motivasi adalah
kinerja. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa ketika seorang manajer
memotivasi karyawan tujuannya tidak lain agar organisasi bisa mencapai
kinerja yang diharapkan. Dengan bahasa berbeda bisa dikatakan bahwa untuk
memotivasi karyawan maka kinerja harus terlebih dahulu ditetapkan. Dengan
demikian, kinerja sesungguhnya berfungsi sebagai alat ukur, pedoman atau
standar untuk mengetahui apakah seorang karyawan termotivasi dan
menunjukkan perilaku kerja yang diharapkan. Proses mengevaluasi sejauh
mana seorang karyawan menunjukkan perilaku kerja biasa disebut sebagai
pengukuran kinerja. Berkaitan dengan pengukuran kinerja, ada dua persoalan
yang biasanya dihadapi para manajer dan persoalan ini sesungguhnya juga
tercermin dari Gambar 4.9. Kedua persoalan tersebut adalah pertama
karakteristik kinerja yang bersifat multidimensional dan kedua motif
seseorang berperilaku juga sangat variatif. Kedua persoalan ini akan
diuraikan lebih detail sebagai berikut.
1. Multidimensi Kinerja
Memotivasi karyawan merupakan salah satu tugas penting seorang
manajer dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja karyawan dan
kinerja organisasi secara keseluruhan. Memotivasi, apa pun teori dan
4.46 PERILAKU ORGANISASI e
2) Bertindak protektif
Karyawan akan menjaga organisasi dari bencana dan bertindak all out
jika organisasi mendapat ancaman.
3) Ide konstruktif
Karyawan ikut memberikan ide yang konstruktif dan kreatif untuk
meningkatkan efektivitas organisasi.
4) Self-training
Karyawan akan melatih diri (terus belajar mandiri) dalam rangka
membantu organisasi dalam program pelatihan yang sangat dibutuhkan.
5) Bersikap positif
Karyawan akan menunjukkan sikap positif baik terhadap organisasi,
pelanggan, dan masyarakat pada umumnya sehingga memudahkan
organisasi membangun citra positif.
2. Pola Motivasi
Di samping harus menyadari bahwa kinerja bersifat multidimensional,
para manajer juga harus memahami bahwa perilaku bersumber pada motivasi
di mana setiap orang memiliki motivasi berbeda. Akibat dari perbedaan
motivasi maka perilaku masing-masing karyawan juga berbeda. Sederhana-
nya, setiap motivasi akan menghasilkan perilaku dan tujuan tertentu. Bahasa
populernya "bagaimana seseorang berperilaku dan apa hasilnya sangat
tergantung dari niat/moti vasi orang tersebut". Ambillah contoh, karya wan
yang mau bergabung dengan organisasi dan tidak keberatan untuk tinggal
bersama organisasi dalam waktu lama boleh jadi alasan dan tujuannya tidak
sama. Demikian juga tujuan yang berbeda-beda tersebut mungkin juga
berbeda dengan yang diharapkan organisasi. Bagi Sang Manajer, karyawan
yang bergabung dengan organisasi diharapkan memiliki motivasi yang bisa
diandalkan untuk berkinerja dengan baik, namun bagi Si karyawan motivasi
untuk bergabung mungkin karena dia bisa bekerja sambil menunggu orang
tuanya yang tinggal sendirian. Oleh karena itu, mencapai kinerja menyeluruh,
para manajer perlu memberi perhatian terhadap 6 macam pola motivasi yang
dianggap esensial, yaitu sebagai berikut.
a. Penegakan peraturan
Pada umumnya masyarakat kita sadar dan telah menjadi budaya kita,
bahwa setiap orang yang terlibat dalam kehidupan sosial termasuk kehidupan
organisasi harus patuh kepada aturan yang berlaku. Oleh karena itu, agar
e EKMA41 58/MODUL 4 4.49
kesadaran dan budaya taat aturan terjaga, pihak perusahaan juga harus ikut
menjaga aturan tersebut. Caranya setiap aturan yang akan diberlakukan harus
secara jelas diungkapkan pada kebijakan dan prosedur perusahaan sehingga
semua karyawan mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Setelah itu, perusahaan juga harus menegakkan aturan tersebut.
b. Sistem penghargaan
Penghargaan yang diberikan kepada setiap karyawan karena
keanggotaannya di dalam organisasi disebut sistem penghargaan. Semua
karyawan sesuai dengan klasifikasinya di dalam perusahaan akan
memperoleh penghargaan yang sama tanpa mempedulikan kinerja mereka.
d. Kepuasan intrinsik
Kepuasan seorang karyawan tidak selamanya diukur dari reward yang
diterimanya seperti dibicarakan pada poin 2 dan 3 di atas, tetapi kadang-
kadang juga datang dari pekerjaannya itu sendiri. Seorang karyawan yang
merasa cocok dengan pekerjaan, misalnya karena diberi kebebasan untuk
berinovasi boleh jadi akan merasa puas. Kepuasan seperti ini disebut
kepuasan intrinsik.
e. Internalisasi nilai
Beberapa karyawan termotivasi untuk melakukan berbagai macam
kegiatan bukan karena berharap memperoleh imbalan, tetapi karena mereka
setuju dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan. Jadi, mereka bekerja
karena komitmen dan loyalitasnya untuk membantu perusahaan mencapai
tujuan.
f Hubungan antarkelompok
Kepuasan juga bisa terjadi karena hubungan baik antarkaryawan.
Hubungan baik menjadi sumber gratifikasi karyawan untuk tetap berada di
dalam kelompok tersebut. Misalnya, karyawan merasa perlu berada di dalam
kelompoknya karena kelompok tersebut memberinya suasana nyaman,
4.50 PERILAKU ORGANISASI e
persahabatan sejati, karyawan lain bisa memberi dukungan bagi dirinya atau
memberinya suasana emosional.
3. Evaluasi Kinerja
Wujud dari teori motivasi seperti dijelaskan di muka tercermin dalam
bentuk program penilaian kinerja. Proses penilaiannya itu sendiri dapat
dilakukan melalui dua sisi berbeda, yaitu positive reinforcement dan negative
reinforcement dari pelaksanaan kegiatan karyawan. Maksud dari positive
reinforcement adalah membuat perilaku seseorang lebih sering muncul
dengan menunjukkan sesuatu bernada positif atau menyenangkan, sedangkan
negative reinforcement adalah membuat perilaku seseorang lebih sering
muncul dengan cara menjauhkan sesuatu bernada negatif atau tidak
menyenangkan. Sejauh mana seorang memiliki kinerja yang baik sangat
tergantung pada ketepatan penilaian kinerjanya dan penghargaan yang
diberikan kepadanya.
13
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • ••
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •••
e EKMA41 58/MODUL 4 4.51
penilaian kinerj a secara formal dianggap j auh lebih baik karena tidak bias,
bisa diandalkan dan memungkinkan untuk dievaluasi orang lain.
Program penilaian yang baik tentunya tidak semata-mata mengandalkan
teknik penilaian yang digunakan, tetapi tergantung juga pada kemampuan
seseorang untuk menilai. Meski demikian, beberapa teknik penilaian kinerj a
diyakini memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan beberapa
yang lain. Keberhasilan dalam penilaian kinerj a sangat bergantung pada dua
hal, yaitu tujuan penilaian dan sifat pekerjaan yang dinilai. Di antara teknik
penilaian yang telah dikembangkan dan banyak digunakan beberapa
perusahaan adalah sebagai berikut.
Sikap yang luar biasa baik 7 -Bersikap positif dan antusias terhadap
pekerjaan. Selalu menyenangkan, suka
membantu, dan kooperatif. Seorang yang
bias memulai pekerjaan secara mandiri.
Sikap yang baik 6 -Seorang pekerja yang antusias dan
excellent, mau melakukan sesuatu melebihi
yang diharapkan. Selalu menyenangkan dan
mampu bekerja sama, kecuali jika dirinya
dikritik atau diperlakukan tidak pada
tempatnya.
Sikapnya agak baik 5 -Mengejakan pekerjaan yang dibebankan
kepadanya, tetapi sikapnya tidak
memungkinkan untuk diminta kerja yang
spesial.
Sikapnya rata-rata 4 -Pekerja yang lumayan, tetapi persoalan
pribadi sering mempengaruhi pekerjaan dan
hal ini terjadi hampir setiap hari.
Sikapnya agak buruk 3 -Kadang-kadang agak resisten bahkan sering
tidak mau mengejakan pekerjaan yang
sifatnya biasa-biasa saja.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.57
Gambar 2. 11.
Penilaian Kinerja Berbasis BARS
e. Deskriptif
Penilaian kinerja kadang-kadang hanya digunakan lembar kosong dan
penilai kinerja diminta menyimpulkan kinerja karyawan yang dinilai. Metode
ini cukup sederhana, tetapi bagi penilai baru yang belum banyak pengalaman
metode ini sering menyulitkan. Sebaliknya, bagi penilai yang sudah
berpengalaman metode ini bias digunakan secara efektif. Penilaian secara
deskriptif pada umumnya menjelaskan tugas dan tanggung jawab karyawan
di satu sisi dan di sisi lain menjelaskan sejauh mana tugas tersebut telah
dilaksanakan dengan baik. Salah satu keunggulan metode ini adalah bisa
memberikan umpan balik kepada karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
Sayangnya metode ini tidak bisa digunakan untuk membandingkan kinerja
seorang karyawan dengan karyawan lain.
7. Management by Objective
Salah satu bentuk evaluasi kinerja yang cukup populer terutama setelah
Peter Drucker menulis buku "the practice of management" (1954) adalah
Management by Objective (MBO). Jika diterjemahkan, MBO bisa berarti
manajemen berbasis sasaran/tujuan. Pada prinsipnya MBO menekankan
pentingnya setiap individu, baik manajer maupun karyawan biasa, baik
manajer tingkat atas maupun manajer bawah, bertanggung jawab terhadap
basil kerja ketimbang semata-mata melakukan aktivitas pekerjaan. Oleh
karena dituntut untuk bertanggung jawab terhadap hasil kerja maka semua
level manajer juga dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam menetapkan
tujuan. Tujuan yang telah ditetapkan masing-masing manajer berfungsi
sebagai alat kendali diri (self-control) terhadap kinerja masing-masing.
Artinya, masing-masing manajer diminta untuk memonitor sejauh mana
upaya dan tindakan yang mereka lakukan sejalan dengan tujuan yang telah
4.58 PERILAKU ORGANISASI e
1. Taat Aturan
Setiap organisasi pasti memiliki aturan tidak peduli apakah aturan
tersebut ditetapkan secara formal atau informal. Dengan aturan, misalnya
seorang karyawan tahu tindakan dan perilaku yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
perilaku seorang karyawan merupakan cerminan dari aturan yang diterapkan
sebuah organisasi. Dalam konteks organisasi, pentingnya aturan telah
dibicarakan sejak Max Weber menggagas idenya tentang birokrasi. Menurut
Max Weber, aturan legal berfungsi sebagai landasan perilaku bagi sebuah
organisasi. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang rasional dan memiliki
legitimasi untuk berfungsinya sebuah organisasi. Konsep Max Weber inilah
yang menjadi dasar berlakunya sistem birokrasi yang masih populer sampai
sekarang.
Menyadari pentingnya penegakan aturan dalam kehidupan organisasi,
dalam batas-batas tertentu karyawan harus dipaksa untuk mematuhi peraturan
organisasi meski kepatuhan itu sendiri sesungguhnya merupakan fungsi dari
kebiasaan dan sikap seseorang terhadap simbol-simbol pemegang otoritas.
4.60 PERILAKU ORGANISASI e
2. Hukuman
Memberi hukuman dalam batas-batas tertentu sesungguhnya bukan cara
yang tepat untuk memotivasi karyawan. Ada yang berpendapat hukuman
menyalahi aturan moral. Namun, pemberian hukuman sering kali tidak bisa
dihindarkan. Hukuman biasanya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
hukuman yang bersifat alami (natural cosequences), bersifat logis (logical
consequences) dan yang disengaj a dibuat (contrived consequences).
Hukuman yang bersifat alami akan terjadi, misalnya jika seorang karyawan
mengalami kecelakaan kerja yang disebabkan karena dirinya tidak mematuhi
ketentuan kerja seperti tidak memakai helm ketika berada di pabrik.
Demikian juga Anda akan diasingkan karena bau badan yang menyengat.
Hukuman karena alasan logis terjadi dalam hubungannya dengan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.61
Maksud dari due process adalah pemberian disiplin harus mengikuti prosedur
yang bisa diterima yang melindungi karyawan dari perlakuan tidakfair, tidak
adil dan arbitrer. Due process biasanya dilakukan dengan terlebih dahulu
memberi tabu secara tertulis tuduhan yang diberikan kepada seseorang dan
alasan mengapa orang tersebut diberi hukuman. Dengan cara ini, karyawan
tertuduh memperoleh kesempatan untuk membela diri, misalnya dengan
diberi kesempatan untuk melakukan dengar pendapat yang tujuannya adalah
karyawan bisa menjelaskan mengapa tindakan yang salah tersebut bisa
terjadi. Sementara dari pihak manajemen sendiri harus memiliki bukti-bukti
yang menguatkan mengapa tindakan disiplin perlu diterapkan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan due cause adalah pemberian
sangsi disiplin kepada seorang karyawan demi kebaikan orang tersebut dan
karena alasan-alasan yang cukup kuat. Sebaliknya, pemberian disiplin
seharusnya tidak diterapkan untuk hal-hal yang sepele. Meski demikian
setiap karyawan harus diberi tabu perilaku-perilaku yang sama sekali tidak
diperkenankan, seperti pelecehan seksual, memakai obat terlarang, minum
minuman beralkohol, mencuri atau tindakan kekerasan dalam perusahaan.
Prosedur penegakan disiplin biasanya mengikuti sebuah proses yang
disebut "progressive discipline - disiplin secara progresif'. Pemberian
disiplin seperti ini dimulai dari pemberian disiplin ringan dan secara bertahap
diberikan disiplin yang semakin berat. Prosedur progressive discipline adalah
sebagai berikut.
a. Verbal warning - pemberian peringatan awal secara verbal, biasanya
dilakukan oleh atasan langsung, yang memperingatkan karyawan bahwa
tindakan yang dilakukannya tidak bisa diterima.
b. Verbal reprimand- pemberitahuan dan diskusi dengan karyawan yang
dianggap melakukan tindakan tidak benar, biasanya dilakukan oleh
atasan langsung, tentang tidak baiknya tindakan tersebut dan perlunya
upaya perbaikan. Dalam hal ini, verbal reprimand bukan sekadar
memberi komentar tentang tindakan seseorang, tetapi lebih dari itu, yaitu
menunjukkan tidak yang salah dengan segala akibatnya dan meminta
karyawan untuk memperbaiki tindakan tersebut agar tidak terulang.
c. Written reprimand - jika melakukan upaya perbaikan secara lisan maka
bias dilakukan prosedur selanjutnya tuduhan secara tertulis dengan
menjelaskan tuntutan peristiwa yang dilakukan karyawan (yang
dianggap salah) dan permintaan untuk merubah tindakan tersebut beserta
konsekuensi yang akan dihadapi karyawan jika tidak mau mematuhinya.
e EKMA41 58/MODUL 4 4.63
C. SISTEM PENGHARGAAN
karyawan bekerja lebih baik karena yang dilakukan karyawan hanya tinggal
selama mungkin dengan perusahaan meski kinerjanya minimal.
Beberapa bentuk penghargaan yang banyak diberikan kepada karyawan,
di antaranya benefit, stock option, dan stock ownership.
1. Benefit
Benefit atau sering juga disebut "fringe benefit" adalah pemberian
fasilitas atau tambahan gaji kepada karyawan karena karyawan terlibat dalam
kehidupan perusahaan. Benefit tidak selamanya berupa uang, tetapi bias
berupa berbagai fasilitas yang diterima karyawan yang secara tidak langsung
bisa dikonversi dalam bentuk uang. Sebagai contoh, karyawan memperoleh
jaminan kesehatan. Hal ini bukan berarti karyawan setiap bulannya
memperoleh tambahan gaji berupa uang untuk biaya berobat, tetapi manakala
karyawan sakit maka biaya rumah sakit, katakanlah dalam jumlah tertentu
atau keseluruhan biaya, akan ditanggung oleh perusahaan. Melihat cara
pemberian fasilitas seperti ini, perusahaan kadang-kadang harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan karyawan. Oleh
karena itu, pemberian benefit bias dikatakan sebagai bentuk sistem
penghargaan yang sangat memberatkan perusahaan. Hanya saja perusahaan
karena aturan pemerintah, harus memberikan sejumlah penghargaan tertentu
kepada karyawan. Penghargaan yang wajib diberikan kepada karyawan,
misalnya jaminan sosial, pesangon ketika ada pemutusan hubungan kerja,
dan kompensasi. Penghargaan lain sifatnya optimal - tidak harus, seperti
berikut.
a. Asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan kerj a.
b. Asuransi jiwa.
c. Memperoleh gaji selama cuti.
d. Fasilitas rekreasi, penitipan anak, dan bantuan hukum.
e. Pensiun.
2. Stock Option
Maksud dari stock option adalah kesempatan yang diberikan kepada
karyawan untuk memberi saham milik perusahaan dengan harga lebih rendah
dari harga pasar. Cara ini memungkinkan karyawan yang memiliki uang
untuk investasi bisa membeli saham perusahaan tempatnya bekerja dengan
harga murah dan dengan demikian ia akan memperoleh keuntungan jika hari
nanti harga saham terus meningkat naik. Bagi perusahaan sendiri pemberian
e EKMA41 58/MODUL 4 4.65
3. Employee Ownership
Seperti halnya stock option, employee ownership pada dasarnya adalah
melibatkan karyawan untuk memiliki saham perusahaan tempat kerja
karyawan. Bedanya, apabila stock option adalah memberi kesempatan
karyawan membeli saham perusahaan dengan harga lebih murah dari harga
pasar, employee ownership memberi kesempatan karyawan memiliki saham
perusahaan dengan cara perusahaan mendirikan lembaga atau yayasan atau
koperasi di mana setiap tahun atau secara reguler perusahaan menyumbang
yayasan tersebut sehingga pada suatu saat bias membeli saham perusahaan.
Tentunya yang memiliki yayasan atau koperasi tersebut adalah karyawan.
Dengan demikian, secara tidak langsung secara bertahap karyawan juga ikut
memiliki perusahaan. Beberapa alasan diterapkannya employee ownership
sebagai bentuk penghargaan kepada karyawan adalah sebagai berikut.
a. Melibatkan karyawan secara demokratis dalam manajemen perusahaan.
b. Sebagai upaya berbagi kesejahteraan dengan karyawan.
c. Sebagai upaya untuk membeli kembali saham perusahaan dari pasar
saham.
d. Memberikan insentif keuangan bagi karyawan.
e. Untuk membiayai karyawan jika suatu ketika perusahaan terancam akan
diambil alih perusahaan lain.
4. lnsentif
Insentif adalah pemberian penghargaan berbasis kinerj a. Insentif berbeda
dengan sistem penghargaan yang telah dibahas sebelumnya. Jika dasar dari
sistem penghargaan adalah keterlibatan karyawan dengan perusahaan tanpa
melihat apakah karyawan tersebut kinerjanya baik atau tidak, insentif hanya
akan diberikan kepada karyawan sesuai dengan kinerja karyawan tersebut.
Tujuan dari pemberian insentif adalah agar karyawan mau mengerahkan
energinya untuk menghasilkan kinerja yang terbaik. Secara umum, bentuk
4.66 PERILAKU ORGANISASI e
insentif bisa dibedakan menj adi dua, yaitu insentif berupa uang (financial
incentive) dan insentif tidak berupa uang melainkan berupa pengakuan.
sama. Sisi baik dari penilaian kinerja ini adalah terciptanya kerja sama
kelompok yang baik. Iklim kerja sama secara tidak langsung akan
mengurangi kebutuhan untuk pengawasan. Sisi buruknya adalah jika jenis
pekerjaan bersifat mandiri maka setiap karyawan hanya bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya. Pada kondisi seperti ini pemberian insentif berbasis
kelompok tidak begitu bermanfaat.
Sementara itu, tidak jarang juga insentif diberikan berdasarkan kinerja
organisasi secara keseluruhan. Bentuk insentifnya berupa profit sharing
(pembagian laba) dan/atau Scanlon Plans. Profit sharing adalah bagian laba
dalam jumlah atau persentase tertentu yang dialokasikan dan dibagikan
kepada karyawan. Profit sharing merupakan bentuk insentif yang paling
populer, oleh karenanya banyak perusahaan yang menerapkan model ini.
Bagi karyawan sendiri sistem profit sharing dan biasanya disikapi dengan
antusias karena mereka berharap akan memperoleh pembagian laba yang
lebih besar jika kinerja mereka semakin meningkat. Profit sharing sangat
bermanfaat untuk mengurangi konflik antara pihak manajemen dengan
pekerja bagian produksi. Scanlon Plans adalah persentase tertentu yang
besarnya tetap sebagai dasar untuk mengalokasikan pendapatan yang akan
digunakan untuk membayar gaji karyawan. Artinya, semakin tinggi
pendapatan perusahaan semakin tinggi pula insentif yang akan diterima
karyawan. Sebagai contoh, apabila tahun ini pendapatannya Rpl miliar dan
persentase yang akan dialokasikan untuk membayar gaji adalah 10% maka
secara keseluruhan karyawan akan menerima insentif sebesar RplOO juta.
Jika pendapatannya naik menjadi Rpl,S miliar maka karyawan akan
menerima insentif sebesar Rp150 juta atau meningkat 50%.
Selain ketiga bentuk insentif di atas, tidak jarang pula insentif diberikan
dalam bentuk bonus dan diberikan khusus kepada para eksekutif dan para
manajer. Filosofi atau alasan dibalik pemberian bonus adalah memberi
penghargaan kepada para eksekutif yang telah berhasil mengelola perusahaan
dengan baik. Jika bonus dikaitkan dengan kinerja perusahaan secara
keseluruhan, diharapkan bonus tersebut bisa meningkatkan kreativitas dan
kerja sama yang semakin baik. Biasanya semakin tinggi posisi seorang
manajer semakin tinggi pula bonus yang akan diterimanya. Misalnya, top
manajer memperoleh bonus sebesar 50-80o/o dari total gaji sedangkan
manajer menengah memperoleh sekitar 15-40%.
4.68 PERILAKU ORGANISASI e
LATIHAN
1) Motivasi, perilaku, dan kinerja adalah tiga istilah dalam bidang studi
perilaku organisasi yang sering disalahartikan seolah-olah mempunyai
pengertian yang sama. Sesungguhnya ketiganya mempunyai pengertian
berbeda meski secara konsep saling terkait. Secara definitif, motivasi
adalah proses psikologis yang menyebabkan tergerak, terarahkan dan
terpeliharanya secara terus-menerus tindakan-tindakan sukarela yang
berorientasi pada satu tujuan tertentu. Definisi ini jelas menegaskan
e EKMA41 58/MODUL 4 4.69
bahwa wujud dari proses motivasi adalah tindakan yang tidak lain
perilaku berorientasi tujuan. Penjelasan ini sekaligus menegaskan pula
bahwa motivasi tidak sama dengan perilaku, bahkan tidak semua
perilaku diakibatkan oleh motivasi. Hanya perilaku yang berorientasi
tujuan yang terkait dengan motivasi. Selanjutnya, apabila perilaku
tersebut terakumulasi dalam jangka waktu lama - tercermin dari
persistensi atau keajegan perilaku maka hasilnya adalah kinerja. Dengan
kata lain, kinerja hanyalah hasil akhir dari perilaku yang bersumber pada
motivasi. Keterkaitan inilah yang menyebabkan kajian tentang pengaruh
motivasi terhadap kinerja begitu banyak karena kinerja merupakan topik
yang sangat diperhatikan para manajer.
2) Penilaian kinerja dianggap tidak perlu. Anggapan ini pada umumnya
datang dari kalangan karyawan. Toh tidak semua karyawan enggan
dinilai kinerjanya, hanya karyawan yang kinerjanya buruk atau memang
secara natural tidak menyukai kerja meski tetap harus bekerja yang
enggan dinilai kinerjanya karena dengan penilaian kinerja dirinya dan
masa depannya merasa terancam. Sebaliknya, para manajer sebagai
wakil organisasi justru sangat peduli terhadap penilaian kinerja. Seperti
dijelaskan pada Modul 1, pada dasarnya organisasi merekrut karyawan
dengan tujuan agar karyawan bisa membantu organisasi mencapai
tujuannya. Jadi, penilaian kinerja tidak lain adalah alat untuk mengetahui
sejauh mana perilaku karyawan sejalan dengan keinginan organisasi.
Bagi para manajer itu sendiri, kinerja karyawan yang baik merupakan
cermin bahwa dirinya bisa memimpin orang lain dengan baik yang
secara tidak langsung juga menunjukkan kinerjanya. Hanya saja bagi
manajer atau supervisor yang tidak memiliki kemampuan cukup menilai
kinerja karyawan juga bukan pekerjaan mudah karena buruknya kinerja
karyawan juga menjadi cerminan buruknya kinerja manajer.
3. Memang betul bahwa sistem penghargaan dan insentif merupakan dua
konsep berbeda. Sistem penghargaan merupakan konsekuensi logis dari
hubungan transaksional (kontrak psikologis) antara karyawan dengan
organisasi. Artinya, organisasi bertanggung jawab untuk memberi
kompensasi kepada karyawan karena melibatkan karyawan dengan
organisasi tanpa melihat apakah karya wan berkinerj a baik atau tidak.
Dengan kata lain, penghargaan tidak berhubungan langsung dengan baik
buruknya kinerja karyawan. Sementara itu, insentif justru berhubungan
langsung dengan kinerja karyawan. Insentif sengaja diberikan kepada
4.70 PERILAKU ORGANISASI e
karyawan jika kinerja mereka baik. Lebih dari itu, insentif sesungguhnya
diberikan kepada karyawan untuk mendorong mereka terus berkinerja
baik dan lebih baik agar tujuan organisasi yang telah dicanangkan
sebelumnya bisa segera tercapai.
RANGKUMAN
TES FORMATIF 2
Daftar Pustaka
Dinamika Kelompok
PENDAHULUAN
karena itu, Modul 5 dan dua modul berikutnya akan membahas topik-topik
yang berbasis perilaku kelompok seperti dicontohkan di atas. Khusus untuk
Modul 5, bahasan akan ditekankan pada dasar-dasar perilaku kelompok dan
tim kerja dan diikuti oleh bahasan tentang pengambilan keputusan dalam
kelompok.
Dengan selesainya modul ini, Anda diharapkan bisa memahami mengapa
studi tentang dinamika kelompok perlu dilakukan. Sekumpulan orang disebut
kelompok bukan semata-mata karena jumlahnya dua orang atau lebih, tetapi
karena ada tali pengikat yang menjadikan sekumpulan orang tersebut menjadi
kelompok. Salah satunya adalah norma kelompok yang mereka bangun
bersama. J adi, kelompok adalah sebuah entitas sosial yang mandiri dengan
segala pemak-pemiknya layaknya entitas sosial lainnya. Artinya, di dalam
kelompok juga sangat mungkin terjadi persoalan kelompok. Di sinilah peran
mahasiswa untuk mengetahui dan mampu mendiagnosis persoalan kelompok
menjadi penting. Di samping itu, Anda juga diharapkan mampu menjelaskan
perbedaan antara kelompok dengan sekumpulan orang, mirip dengan
kelompok, tetapi mempunyai pengertian berbeda, yang disebut tim.
Pemahaman ini menjadi penting karena banyak perusahaan akhir-akhir ini
memilih membentuk untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sulit. Oleh
karena Anda diharapkan mampu membentuk tim yang berhasil.
5.4 PERILAKU ORGANISASI e
KEGIATAN BELAL.JAR 1
1
0. Beling. (1978). Some Problems in the Philosophy of Sciene of Organization,
Academy of Management Review. 3 ,2. Hal. 193-201.
2
D. Cherrington. (1989). Organizational Behavior: The Management of Individual
and Organizational Performance. Boston: Allyn and Bacon. Hal. 385.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.5
A. PENGERTIAN KELOMPOK
3
Cherrington. (1989). Ibid. Hal. 385.
4
Hofstede Cultures and Organizations: Software of Mind. New York: McGraw Hill.
Hal. 5.
5.6 PERILAKU ORGANISASI e
memiliki keyakinan, identitas, dan sikap yang sama yang kesemuanya itu
bersumber pada norma kelompok (group norm) yang mereka bangun
bersama.
Penjelasan di atas sejalan dengan pengertian kelompok yang lebih kental
dengan disiplin ilmu sosiologi. D. Horton Smith sebagaimana dikutip oleh
5
Kreitner and Kinicki mengatakan bahwa kelompok adalah dua orang atau
lebih yang saling berinteraksi secara bebas dan saling berbagi norma dan
tujuan bersama serta memiliki identitas diri. Definisi kedua ini menegaskan
bahwa ketika dua orang atau lebih membangun suatu ikatan sosial (social
entity) sehingga mereka bisa saling berinteraksi dan di antara mereka terj adi
saling kebergantungan maka saat itulah mulai terbentuk sebuah kelompok.
Namun, hanya saling berinteraksi dan saling bergantung belum cukup untuk
mengatakan dua orang atau lebih sebagai kelompok jika di antara mereka
tidak memiliki norma kelompok, tujuan bersama, dan identitas diri. Oleh
karena itu, secara lengkap unsur-unsur pembentuk kelompok adalah:
1. sekumpulan orang (minimal dua orang);
2. saling berinteraksi dan saling bergantung;
3. memiliki norma kelompok;
4. memiliki tujuan bersama;
5. memiliki identitas diri (collective identity).
B. TIPE KELOMPOK
5
Kreitner and Kinicki. (2004). Organizational Behavior. 6th edition. Boston: McGraw
Hill. Hal. 41 0.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.7
(informal group). Kedua tipe kelompok ini dan derivasi masing-masing tipe
dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut ini.
Kelompok
Kelompok Formal
•
Kelompok Informal
•
•
Kelompok
•
Kelompok
•
Kelompok
•
Kelompok
Koman do Tugas Kepentingan Pertemanan
Gambar 5.1.
Tipe Kelompok
2. Sekadar Berafiliasi
Tidak jarang seseorang bergabung dengan sebuah kelompok karena
alasan kesamaan. Misalnya, sama-sama berasal dari Y ogya, sama-sama
lulusan Universitas Terbuka atau sama-sama dari desa. Sekelompok orang
yang berasal dari lingkungan sosial yang sama biasanya merasa ada hal-hal
yang bisa dibicarakan bersama sehingga sekadar kehadiran fisik mereka akan
memberikan rasa persaudaraan, memperoleh dukungan sosial, dan mereka
merasa bisa diterima dalam lingkungan tersebut.
5.1 Q PERILAKU ORGANISASI e
5. Alasan Keamanan
Dalam batas-batas tertentu seseorang bergabung dengan sebuah
kelompok karena demi keamanan dirinya atau orang-orang dekatnya
dibandingkan dengan tidak bergabung dengan kelompok. Situasi seperti ini
sering dijumpai, misalnya pada anak-anak sekolah yang terpaksa bergabung
dengan geng sekolah. Alasannya, mereka terpaksa bergabung sebab kalau
tidak boleh jadi dia akan terus diganggu, dimintai uang atau alasan keamanan
lainnya.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.11
6. Faktor Kedekatan
Tidak jarang seseorang bergabung dengan sebuah kelompok hanya
karena faktor kedekatan secara fisik. Jika faktor kedekatan fisik ini
berlangsung dalam kurun waktu lama, bukan tidak mungkin seseorang yang
pada mulanya tidak mempunyai kedekatan sosial maupun emosional lama
kelamaan mereka merasa ada yang sama di antara mereka. Akibatnya,
mereka merasa bisa berteman dan berafiliasi. Istilah dalam bahasa Jawa
"tresno jalaran kulino" - awal dari cinta karena terus-menerus berdekatan,
barangkali sangat cocok untuk menjelaskan bahwa seseorang bergabung
dengan kelompok lebih disebabkan karena kedekatan fisik.
6
Douglas McGregor. (1960). The Human Side of Enterprise. New York: McGraw
Hill. Hal. 232-235.
5.12 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 5.1.
Karakteristik Efektivitas Kelompok
7
Lihat Achmad Sobirin. (1997). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Hal. 214.
8
Tuckman, B.W and M.A.C. Jensen. (1977). Stage of Small-Group Development
Revisited. Group & Organization studies. December. Vol. 2, No.4. hal. 419-427.
5.14 PERILAKU ORGANISASI e
Adjourning
Performing
""'== ~
kembali
Norming )
keindependence
L~
Strorming I
)eoendence/
interdependence
Forming
.....____...,
Independence
lsu-isu dalam Bagaimana Apa peran Apa yang Bagaimana Apa tindakan
Level individu saya bisa saya di sini? orang lain saya bisa berikutnya?
mencocokkan harapkan menjalankan
diri? pada diri peran saya?
saya?
lsu-isu dalam Mengapa Mengapa kita Apakah kita Apakah kita Apakah kita
Level kita ada bertengkar bisa sepakat bisa bisa
kelompok di sini? soal siapa soal peran mengerjakan membantu
•
yang mas1ng- tug as anggota yang
• •
mem1mp1n masing dan sebagaimana lain untuk
dan siapa bekerja mestinya? melakukan
mengerjakan sebagai tim? masa
apa? transisi?
Gambar 5.2.
Model Lima Tahap Perkembangan Kelompok
9
Gersick, C.J.G. (1988). Time and Transition in Work Teams: Toward a New Model
of Group Development. Academy of management Jumal. 31, 1. Hal. 9-41.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.17
Tinggi
Masa transisi
Penyelesaian akhir
Fase 2
Pertemuan
pertama
Fase 1
Rendah
~--------.&- _ _ _ _ _ __,_ Waktu
A (A+B)/2 B
Gambar 5.3.
Punctuated Equilibrium Model
Pada fase 1, yaitu bagian pertama dari mas a tug as, para anggota
kelompok mulai mendefinisikan tugas-tugas yang akan dikerjakan,
dilanjutkan dengan menetapkan misi kelompok yang hampir tidak berubah
sampai dengan fase kedua siklus hidup kelompok tersebut. Bisa dikatakan
pada fase ini terjadi keseimbangan awal yang kesemuanya berjalan agak
lamban. Keseimbangan inilah yang justru menjadikan kelompok tetap bisa
eksis. Sampai pada saat tertentu dalam perjalanan waktu (pada titik tengah
perjalanan) anggota-anggota kelompok mulai menyadari ada sesuatu yang
terjadi yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Sederhananya saat itu
terjadi krisis yang memaksa cara mereka menyelesaikan tugas harus berubah
jika menghendaki tugas-tugasnya bisa selesai sesuai skedul. Krisis inilah
yang disebut masa transisi (punctuated). Krisis bisa terjadi hanya beberapa
saat- dalam hitungan jam atau hari misalnya, tetapi juga bisa lebih lama dari
itu. Memasuki fase kedua, yakni saat di mana anggota-anggota kelompok
meninggalkan cara berpikir lama dan mengadopsi perspektif baru untuk
membentuk keseimbangan baru. Pada fase 2 cara kerja mereka sudah berbeda
dengan cara kerja pada fase 1 di mana pada fase kedua mereka dihadapkan
pada aktivitas-aktivitas menggunung yang segera harus diselesaikan.
5.18 PERILAKU ORGANISASI e
T ugas
Sumber daya kelompok
anggota
• kelompok
Gambar 5.4.
Model Perilaku Kelompok
bahwa ada beberapa karakteristik individu yang sejalan dengan atau cocok
dengan perilaku kelompok sehingga pengaruhnya terhadap kinerja kelompok
sangat positif dan sebaliknya ada beberapa karakteristik yang tidak. Dari
berbagai literatur diketahui bahwa dua karakteristik penting yang
mempengaruhi kinerja kelompok adalah kepribadian dan kemampuan diri
seseorang.
a. Kepribadian
Seperti telah diuraikan pada modul sebelumnya, ada beberapa
karakteristik atau sifat manusia yang cocok untuk bekerja secara individual
dan beberapa sifat lainnya lebih cocok bekerja secara kelompok. Seseorang
yang dianggap cocok untuk bekerja secara kelompok adalah orang yang
mudah bergaul (sociable), memiliki kepercayaan diri (self-reliance) dan
independen. Jika orang-orang seperti ini bekerja secara kelompok maka
hubungan antar personal dengan anggota kelompok lain diyakini sangat baik
sehingga diyakini pula bahwa dampaknya terhadap produktivitas, semangat
dan kehesivitas kelompok juga yang sangat tinggi. Meski demikian, harus
dipahami bahwa tidak ada satu dimensi kepribadian pun yang secara
individual bisa menjadi prediktor perilaku kelompok. Artinya, seseorang
yang memiliki kepercayaan diri tinggi tidak akan menjadi penentu efektivitas
perilaku kelompok jika ia tidak independen dan mudah bergaul. Berdasarkan
penjelasan ini maka bisa disimpulkan bahwa beberapa karakteristik
kepribadian anggota-anggota kelompok menjadi penentu perilaku kelompok.
b. Kemampuan diri
Di samping kepribadian, perilaku kelompok juga ditentukan oleh
kemampuan diri masing-masing anggota kelompok, khususnya kemampuan
yang relevan dengan tugas-tugas kelompok dan kemampuan
intelektualitasnya. Namun, harus disadari bahwa kinerja kelompok
merupakan akumulasi perilaku kelompok yang tidak ditentukan semata-mata
oleh kumpulan individu yang mempunyai kemampuan, namun tidak bisa
bekerja sama. Hanya saja kemampuan individu para anggotanya merupakan
parameter yang paling tidak menunjukkan bahwa anggota kelompok tahu dan
bisa melakukan kerja kelompok secara efektif. Beberapa fakta menunjukkan
bahwa (1) anggota-anggota kelompok yang memiliki kemampuan diri dan
kemampuan diri tersebut sangat penting untuk mengerjakan tugas-tugas
kelompok, cenderung lebih banyak terlibat dalam aktivitas kelompok,
e EKMA41 58/MODUL 5 5.21
berpotensi untuk menjadi pemimpin kelompok dan akan merasa lebih puas
jika kemampuannya dimanfaatkan untuk kerja kelompok; (2) fakta kedua
menunjukkan bahwa kemampuan intelektual dan kemampuan yang relevan
dengan pekerjaan memiliki hubungan dengan kinerja kelompok secara
keseluruhan meski hubungan tersebut tidak terlalu kuat karena kinerja
kelompokjuga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
2. Struktur Kelompok
Pada saat sebuah kelompok relatif masih kecil dengan jumlah anggota
yang tidak terlalu banyak - beranggotakan hanya dua atau tiga orang dan
aktivitas-aktivitasnya juga masih terbatas, kedudukan masing-masing
anggota kelompok boleh jadi masih sepadan, belum ada pemimpin kelompok
walaupun tanda-tanda munculnya pemimpin sudah ada. Dalam situasi seperti
ini masing-masing anggota mengerjakan apa yang memang bisa mereka
kerjakan tanpa harus menunggu perintah anggota kelompok lainnya.
Sederhananya, pada saat kelompok masih kecil, pola hubungan antaranggota
kelompok biasanya tidak diatur secara baku karena aturan baku memang
belum mendesak untuk diterapkan. Namun, sejalan dengan perkembangan
dan pertumbuhan kelompok, kondisi seperti ini justru dikhawatirkan akan
menghambat pencapaian kinerja kelompok. Oleh karena itu, pada saat
kelompok sudah berkembang semakin besar, kehidupan kelompok perlu
ditata lebih terstruktur, memiliki pola hubungan antaranggota kelompok yang
lebih jelas, memiliki norma-norma aturan yang harus ditaati bersama dan
bahkan cenderung lebih formal. W alhasil, semakin besar sebuah kelompok
semakin dibutuhkan tata kelola yang lebih formal.
Secara umum, faktor-faktor yang menentukan struktur kehidupan
kelompok adalah (1) peran masing-masing anggota kelompok (group roles),
(2) norma kelompok (group norms), dan (3) status keanggotaan kelompok.
Di samping itu, faktor lingkungan, seperti besaran kelompok, kedekatan
antaranggota (social density), dan sifat pekerjaan kelompok juga menjadi
faktor penentu struktur kelompok.
3. Group Roles
Peran (role) adalah satu set pola perilaku yang harus dis andang oleh
seseorang (expected behavior) karena kedudukannya dalam lingkup unit
so sial atau karena tuntutan pekerj aan. Peran ini biasanya dikomunikasikan
kepada seseorang melalui proses yang disebut role episode, yaitu proses
5.22 PERILAKU ORGANISASI e
interaksi antara pemberi peran (role sender) dengan seorang penerima peran.
Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut ini.
• Role
•
expectations
Peran yang
diberikan
Peran yang
diterima
Prilaku yang
diperankan
•
.... • •
,.~ ....,
• •
.... •
.... . , . •
' • •
I
.... ,• \
• •
I
Gambar 5.5.
Role Episode
Tabel 5.2.
Peran Anggota Kelompok dalam Kegiatan Kelompok
Jika kelompok formal seperti dicontohkan di atas bisa lebih tegas dalam
menetapkan peran yang harus dimainkan seorang anggota kelompok, tidak
demikian bagi kelompok informal. Bagi sebuah kelompok yang bersifat
informal, apalagi jika skalanya masih relatif kecil, satu set perilaku yang
seharusnya diperankan seseorang biasanya tidak ditetapkan secara tegas.
Ketidaktegasan ini disebabkan karena seorang anggota kelompok terkadang
harus melakukan pekerjaan yang berbeda-beda dalam kisaran waktu yang
sangat pendek. Padahal di sisi lain, seperti disebutkan di atas, setiap
pekerjaan memerlukan peran dan perilaku yang spesifik. Akibatnya, tidak
jarang seseorang harus berperilaku dan memainkan peran secara berbeda
karena tugas yang diembannya juga berbeda-beda. Jika situasi demikian terus
berlanjut bukan tidak mungkin muncul persoalan baru, yakni anggota
kelompok merasa bingung terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Lebih-
lebih jika mereka tidak mendapat arahan dari pimpinan kelompok atau belum
sempat mempelajari situasi lingkungan internal kelompok. Situasi semacam
ini disebut sebagai role ambiguity. Akibat lanjutan dari persoalan di atas
adalah timbulnya konflik peran (role conflict) terutama jika satu peran
dengan peran lainnya saling berlawanan.
Hal ini bisa diartikan bahwa setiap pekerjaan menuntut sikap dan
perilaku spesifik yang konsisten dengan peran seseorang yang mengemban
pekerj aan tersebut. Konsistensi antara sikap dan perilaku dengan peran
seseorang disebut role identity. Sebagai contoh, ketika seseorang
dipromosikan menjadi manajer level atas maka dirinya harus mengubah sikap
dan perilakunya dari semula menekankan pentingnya technical skill ke
conceptual skill karena pekerjaan seorang manajer level atas memang
menuntut demikian.
b. Dress codes
Salah satu upaya untuk menunjukkan jati diri sebuah kelompok bisa
dilakukan dengan menerapkan aturan berpakaian (dress codes) yang harus
dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Beberapa organisasi, seperti militer,
polisi, rumah sakit, restoran atau hotel bahkan sering menentukan aturan
yang cukup ketat dalam cara berpakaian. Bagi sebuah kelompok, dengan
demikian, pakaian bukan sekadar penutup tubuh melainkan sebuah artefak
yang diharapkan bisa memberikan citra positif bagi kelompoknya.
c. Norma kinerja
Isu penting yang biasanya muncul dalam kehidupan kelompok adalah
seberapa cepat anggota kelompok bisa melakukan pekerjaan dan seberapa
banyak mereka bisa menghasilkan produk. Berkaitan dengan persoalan inilah
biasanya norma kinerja disusun untuk memberi pedoman berperilaku bagi
para anggotanya. Namun, harus disadari bahwa norma seperti ini sering
membuat anggota kelompok merasa frustasi jika tidak sejalan dengan
kepentingan mereka.
10
Daniel C. Friedman. (1984). The Development and Enforcement of Group Norms.
Academy of Management Review. Vol. 9. hal. 47-53.
5.28 PERILAKU ORGANISASI e
a. Compliance
Sekadar patuh bisa dikategorikan sebagai tingkat kepatuhan yang paling
rendah. Tekanan yang bertubi-tubi dari rekan kerja atau takut jika dirinya
dilecehkan atau dikritik bisa menyebabkan seseorang patuh terhadap norma
perilaku. Namun, sekadar patuh biasanya bertujuan hanya sekadar ingin
memperoleh imbalan atau menghindari hukuman. Oleh karena itu, kepatuhan
seperti ini biasanya tidak langgeng dan hanya untuk hal-hal tertentu. Sebagai
contoh, apabila denda keterlambatan mengembalikan buku perpustakaan
sangat tinggi, boleh jadi mahasiswa akan segera mengembalikan buku yang
dipinjamnya tepat waktu sekadar menghindari denda yang tidak diharapkan.
b. ldentifikasi diri
Tingkat kepatuhan kedua disebut identifikasi diri. Maksud dari
mengidentifikasikan diri adalah proses berperilaku seperti yang dilakukan
oleh sebagian besar orang lain dan mengadopsi karakteristik dan atribut
personal mereka. Sederhananya, identifikasi diri adalah sebuah upaya agar
dirinya sama dengan lainnya dalam kelompok dengan tujuan agar dirinya
bisa diterima oleh anggota kelompok lain dan/atau diterima oleh orang-orang
yang dihormati. Di samping itu, dengan identifikasi diri seseorang juga
berharap bahwa orang lain menganggap dirinya sama baiknya dengan mereka
dan mereka mau menerima sikap dan tindakan dirinya. Jika sebagian besar
anggota kelompok bekerja secara mandiri maka dirinya juga melakukan hal
yang sama agar terlihat sama dengan mereka.
c. Internalisasi
Tingkat tertinggi dalam kepatuhan adalah bukan sekadar patuh atau mau
mengidentifikasikan dirinya dengan anggota kelompok lain, tetapi lebih dari
itu, yakni mau mengintemalisasi norma perilaku ke dalam karakteristik
masing-masing individu. Pada tingkatan ini, kepatuhan ditandai dengan
kesediaan seorang anggota kelompok untuk menerima keyakinan, nilai-nilai,
dan sikap yang terkandung dalam norma perilaku kelompok. Bahkan mereka
e EKMA41 58/MODUL 5 5.29
mereka mau mematuhi norma kelompok. Kedua cara tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Memberikan imbalan
Sebuah kelompok sesungguhnya memiliki kapasitas untuk
mempengaruhi anggota kelompoknya sebab kelompok tersebut mampu
menciptakan berbagai bentuk imbalan baik berupa penghargaan maupun
hukuman. Tentunya dampak dari pemberian imbalan tersebut bagi
perilaku anggota bisa positif, tetapi juga bisa negatif. Seorang atasan
misalnya secara formal bisa memberi berbagai macam iming-iming agar
bawahan mau mematuhi norma perilaku, seperti promosi jabatan,
meningkatkan standar gaji, memberi tugas baru atau memberi penilaian
kinerja. Secara informal pemberian imbalan bisa dilakukan dengan cara
misalnya pengakuan terhadap keberhasilan seseorang (recognition),
memberi pujian atau pengakuan secara sosial bahwa seseorang
merupakan bagian dari "kita". Bentuk hukuman secara informal bagi
penyimpangan perilaku, misalnya memberi kritik, mencemooh,
mengejek atau melecehkan.
2) Memberi atau menahan informasi (information dependence)
Cara kedua untuk menekan anggota kelompok agar mau mematuhi
norma adalah membuat mereka memiliki ketergantungan informasi.
Pada era yang cepat berubah seperti sekarang ini hal-hal baru selalu
muncul bergantian dalam waktu yang relatif pendek yang berakibat kita
sering terlambat memperoleh informasi tentang hal-hal baru tersebut.
Artinya, kebutuhan seseorang terhadap informasi begitu tinggi. Hanya
saja untuk memperoleh informasi tersebut seseorang terpaksa harus
bergantung pada orang lain, dalam hal ini anggota kelompok lainnya.
Jadi, dengan membuat seseorang bergantung terhadap informasi
sehingga cara berpikir atau cara bertindak dan perilakunya sama seperti
anggota kelompok lain yang telah menyesuaikannya dengan informasi
baru, orang tersebut pada akhirnya mau patuh pada norma kelompok.
1) Ukuran kelompok
Secara umum, bisa dikatakan bahwa tekanan terhadap seseorang untuk
mematuhi norma kelompok akan semakin meningkat sejalan dengan
semakin banyaknya anggota kelompok lain yang berseberangan dengan
orang tersebut. Meski demikian efektivitas tekanan tidak akan bertambah
jika kelompok penekan mencapai jumlah tertentu karena di samping
jumlah orang, efektivitas tekanan juga dipengaruhi oleh usaha yang
dilakukan oleh kelompok tersebut.
2) Komposisi kelompok
Kualifikasi anggota kelompok lain akan mempengaruhi kepatuhan
terhadap norma kelompok. Dalam hal ini, sebuah kelompok yang
anggota-anggotanya dianggap memilih kemampuan lebih atau dianggap
berkualifikasi tinggi atau mempunyai pengalaman banyak akan memberi
tekanan yang lebih besar kepada siapa pun untuk mematuhi norma
kelompok. Demikian juga anggota-anggota kelompok minoritas
cenderung lebih patuh terhadap tekanan kelompok mayoritas.
3) Konsensus dalam kelompok
Kelompok yang anggota-anggotanya lebih menyatu akan memberi
tekanan lebih dibanding kelompok yang anggota-anggotanya saling
berselisih.
4) Ambigu
Pengaruh kelompok menjadi semakin kuat ketika situasi semakin
ambigu atau membingungkan utamanya ketika kelompok tersebut
memegang kendali informasi atau menjadikan orang lain bergantung
kepada kelompok tersebut. Situasi yang ambigu sesungguhnya bisa
terjadi kapan saja namun sebuah kelompok secara sengaja bisa
menciptakan situasi menjadi semakin ambigu dengan tujuan agar orang
lain patuh. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan membuat
pertanyaan yang tidak relevan atau membuat situasi semakin
membingungkan.
5) Pencapaian tujuan
Tekanan untuk mematuhi norma kelompok menjadi semakin tinggi
manakala kebutuhan untuk kerja sama dengan kelompok untuk mencapai
basil semakin tinggi. Ketika sebuah kelompok mendekati tingkat
keberhasilan, tekanan untuk mematuhi norma kelompok semakin tinggi
sehingga membuat mereka yang tidak mau patuh tersingkirkan.
5.32 PERILAKU ORGANISASI e
8. Togas Kelompok
Komponen terakhir yang mempengaruhi kinerja kelompok adalah tugas
kelompok (group task). Bisa dikatakan bahwa fungsi dari tugas kelompok
dalam model perilaku kelompok adalah memoderasi semua variabel yang
mempengaruhi kinerja kelompok. Hal ini bisa diartikan bahwa kompleks
tidaknya tugas kelompok akan berpengaruh terhadap kinerja kelompok.
Tugas yang kompleks biasanya adalah tugas-tugas yang relatif baru dan
bersifat nonrutin. Tugas yang sederhana adalah tugas-tugas rutin yang sudah
memiliki standar kerja. Berkaitan dengan kompleksitas tugas kelompok,
diduga bahwa semakin kompleks sebuah tugas maka semakin baik kinerja
kelompok, demikian sebaliknya. Argumentasi yang melatarbelakangi dugaan
ini adalah tugas yang kompleks menuntut para anggota kelompok untuk lebih
intens mendiskusikan tugas tersebut, mencari informasi tambahan dan
mencari altematif solusi terbaik. Untuk tugas-tugas rutin karena sudah
terstandar, tidak perlu banyak diskusi dan hanya mengandalkan standar
operasi belaka sehingga basil kinerja kelompok juga bersifat standar.
bentuk pengeruhnya seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu
menyimak kembali penjelasan Orlando Behling yang mengatakan bahwa
kehadiran kelompok bukan saja mempengaruhi kinerja organisasi, tetapi juga
perilaku dan kinerja individu. Penjelasan ini memberi penegasan bahwa
perilaku individu meski tidak gampang berubah, tetapi bisa juga dipengaruhi
faktor lingkungan yang dalam hal ini faktor kelompok. Pengaruh kelompok
terhadap perilaku dan kinerja individu bisa terjadi dalam tiga bentuk, yaitu
social facilitation effect, socialloafting, dan de individuation.
1. Social Facilitation
Bidang studi psikologi sosial sejak mula telah mendeteksi bahwa
seseorang akan memiliki kinerja lebih baik jika ia menjadi bagian dari
kelompok daripada jika bekerja sendirian. Sebagai contoh, pelari jarak
pendek tercepat di dunia Usai Bolt dari Jamaica dengan catatan waktu kurang
dari 9,72 detik, boleh jadi dia tidak akan bisa mencapainya jika dalam berlari
tidak ada lawan tanding. Dengan lawan tanding seolah-olah Bolt mempunyai
energi tambahan untuk berlari lebih cepat. Demikian juga dalam kehidupan
kelompok. Ketika seseorang melakukan pekerjaan yang tidak terlalu sulit
yang sudah dipahami dan sebelumnya telah dikuasai dengan baik, seperti
melakukan penjumlahan, kinerjanya akan lebih baik jika dalam melakukan
pekerjaan tersebut didampingi rekan kerja walaupun keberadaan rekan kerja
tersebut tidak memberi bantuan apa-apa. Proses bertambah baiknya kinerja
seperti ini disebut social facilitation effect - efek dukungan sosial. Meski
demikian kehadiran orang lain selama seseorang melakukan aktivitas, tidak
selamanya berdampak positif seperti dicontohkan di atas, tetapi juga bisa
berdampak negatif. Jika aktivitas yang dilakukan seseorang sebelumnya telah
dikuasai dengan baik maka kehadiran orang lain akan berdampak positif.
Penyebabnya karena kehadiran mereka akan memberi motivasi untuk bekerja
lebih baik agar dirinya tampak sebagai pekerja yang baik. Proses ini disebut
evaluation apprehension. Sebaliknya, apabila aktivitas yang dilakukan
seseorang masih relatif baru seperti tugas-tugas yang belum dikuasai dengan
baik maka kehadiran orang lain justru akan menurunkan kinerja orang
tersebut. Proses ini disebut social inhibition effect. Berdasarkan uraian dan
contoh-contoh ini bisa disimpulkan bahwa manakala seseorang sedang
melakukan tugas baru yang sangat kompleks dan belum dikuasai sepenuhnya
sebaiknya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Sebaliknya, apabila ia
e EKMA41 58/MODUL 5 5.35
2. Social Loafting
Selain berdampak positif seperti dijelaskan pada social facilitation effect,
eksistensi kelompok terhadap kinerja dan perilaku individual juga bisa
berdampak negatif. Seseorang yang bekerja sebagai bagian dari kelompok
kadang-kadang enggan untuk mengeluarkan semua kemampuan atau
kapabilitas yang dimilikinya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan
kelompok. Keengganan seperti ini disebut social loafting. Jadi, bisa
dikatakan bahwa social loafting merupakan kebalikan dari social facilitation
effect. Banyak alasan yang menyebabkan terjadinya social loafting, di
antaranya merasa sudah ada orang lain yang mengerjakannya, merasa
kontribusinya tidak akan banyak berpengaruh terhadap kinerja kelompok,
merasa kontribusinya tidak akan dihargai, merasa kemerdekaan individunya
hilang atau merasa tidak akan dihukum jika kinerjanya buruk. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa terjadinya social loafting bukan karena
menurunnya kemampuan individu, tetapi lebih disebabkan karena
menurunnya motivasi kerja individu.
3. Deindividuation
Implikasi lain dari eksistensi kelompok terhadap perilaku individu
adalah terjadinya deindividuation. Maksud dari deindividuation adalah proses
hilangnya j ati diri atau kepribadian seseorang ketika dirinya bergabung
dengan sebuah kelompok. Ketika seseorang kehilangan jati dirinya karena
bergabung dengan kelompok, ia bisa melakukan tindakan-tindakan yang
tidak mungkin dilakukannya jika yang bersangkutan sendirian. Kasus seperti
ini akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Beberapa pertandingan sepak
bola di tanah air, misalnya banyak diwamai kerusuhan yang dilakukan oleh
para supporter khususnya ketika klub yang dijagokannya mengalami
kekalahan. Supporter yang melakukan kerusuhan tersebut boleh jadi secara
individual mempunyai kepribadian yang baik, namun ketika bergabung
dengan kelompok terjadilah apa yang disebut collective mind (cara berpikir
kolektif) yang bersifat tidak rasional. Penyebab tindakan tidak rasional
semacam ini disebabkan karena (a) secara individual tidak orang yang tahu
siapa dirinya dan dia menjadi bukan siapa-siapa karena telah kehilangan
tanggung jawab pribadinya, (b) pengaruh buruk kelompok menyebabkan
5.36 PERILAKU ORGANISASI e
LATIHAN
RANGKUMAN
------------------------------------
Pemisahan!pemilahan dilakukan dengan menggunakan beberapa
cara Kegiatan Belajar 1 merupakan landasan bagi topik-topik berikutnya
yang berhubungan dengan perilaku kelompok. Secara umum, Kegiatan
Belajar 1 membahas dasar-dasar perilaku kelompok dengan topik
bahasan pengertian kelompok, alasan seseorang bergabung dengan
kelompok, tipe kelompok, proses terbentuknya kelompok, keterkaitan
kelompok dengan kinerja dan kepuasan kerja, serta pengaruh kelompok
terhadap perilaku individu karyawan. Hal-hal penting tersebut disajikan
secara ringkas sebagai berikut.
1. Kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang
melakukan interaksi secara langsung dan merasa saling bergantung,
dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Pengertian secara
umum menunjukkan bahwa kelompok memiliki unsur-unsur sebagai
(a) sekumpulan orang (minimal dua orang), (b) saling berinteraksi
dan saling bergantung, (c) memiliki norma kelompok, (d) memiliki
tujuan bersama, serta (e) memiliki identitas diri (collective identity).
2. Secara garis besar kelompok dibedakan menjadi dua, yaitu
kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal
dibedakan lebih lanjut menjadi kelompok komando dan kelompok
tugas. Untuk kelompok informal dibedakan menjadi kelompok
kepentingan dan kelompok pertemanan.
3. Ada beberapa alas an mengapa seseorang bergabung dengan
kelompok (a) mempermudah pencapaian tujuan, (b) sekadar
berafiliasi, (c) memperoleh dukungan emosional, (d) memperoleh
status so sial, (e) alas an keamanan, dan (f) faktor kedekatan.
4. Secara teoretik ada dua model bagaimana sebuah kelompok
terbentuk. Model pertama disebut Model Lima Tahap, model kedua
Model Keseimbangan Bersela. Menurut model pertama, sebuah
kelompok terbentuk melalui tahap-tahap, seperti forming, storming,
norming, performing, dan adjourning. Model kedua, pembentukan
kelompok melalui fase keseimbangan pertama selain masa transisi
dan dilanjutkan dengan fase keseimbangan kedua.
5. Secara umum, kelompok adalah bagian integral dari organisasi.
Oleh karenanya kinerja kelompok dalam batas tertentu juga
dipengaruhi oleh kondisi organisasi, seperti strategi, struktur,
budaya, dan aturan-aturan organisasi. Di samping itu, secara internal
kelompok juga dipengaruhi oleh sumber daya kelompok, struktur,
proses, dan tugas yang diemban kelompok.
6. Pengaruh kelompok terhadap perilaku individu terjadi dalam tiga
bentuk, yaitu social facilitation, socialloafting, dan de individuation.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.39
TES FORMATIF 1
-------------------------------
Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!
4) Salah satu peran anggota kelompok dalam kegiatan kelornpok adalah ....
A. blocking roles
B. role identity
C. role ambiguity
D. role encumbent
KEGIATAN BELAL.JAR 2
Tim Kerja
A. PENGERTIAN TIM
Dalam konteks organisasi, istilah tim atau tim kerja sesungguhnya bukan
istilah baru. Mahaguru bidang kualitas Joseph Juran, pada tahun 1950-an,
sudah menggunakan istilah tersebut pada saat memperkenalkan pentingnya
konsep kualitas kepada masyarakat Jepang. Istilah tim kemudian dibawa
e EKMA41 58/MODUL 5 5.43
11
masuk ke Amerika pada tahun 1980-an dan mulai populer setelah
perusahaan-perusahaan besar yang peduli terhadap masalah kualitas, seperti
Toyota, General Electric, dan Motorola, memanfaatkan konsep tim untuk
menghasilkan produk-produknya. Hanya saja ketika itu istilah tim masih
didefinisikan sangat longgar. lstilah tim dan kelompok sering digunakan
secara bergantian seolah-olah setiap kelompok adalah tim sehingga keduanya
12
dianggap mempunyai pengertian yang sama . Memasuki tahun 1990-an para
akademisi mulai mendefinisikan istilah tim secara tegas dan mereka secara
tegas pula membedakannya dengan istilah kelompok (group). Kazenbach and
13
Smith , misalnya mendefinisikan tim sebagai:
11
Yarborough, M.H. (1993). A Team Approach. HR Focus. August. Hal. 17.
12
Greenberg and Baron. Behavior in Organization. Prentice Hall. Hal. 293.
13
Kazenbach, J.R. and D.K. Smith. (2005). The Discipline of Teams. Harvard
Business Review. July-August. Hal. 162-170.
14
Anonymous. (1995). A Team's-Eye View of Team. Training. Hal. 16.
5.44 PERILAKU ORGANISASI e
menetapkan tujuan yang hendak dicapai, dan (4) tanggung jawab tim
bukanlah tanggung jawab individu anggota tim melainkan tanggung jawab
bersama. Keempat elemen inilah yang pada akhimya membedakan tim
dengan kelompok kerja lainnya. Secara umum, perbedaan antara tim dan
15
kelompok seperti dikatakan Kazenbach and Smith dapat dilihat pada
Tabel 5. 3 berikut ini.
Tabel 5.3.
Perbedaan antara Kelompok dan Tim
Kelompok Tim
1. Kepemimpinan dalam kelompok biasanya 1. Anggota tim memiliki kedudukan yang
dipegang oleh seseorang yang sama. Oleh karena itu, kepemimpinan
berpengaruh di dalam kelompok tidak didominasi oleh seseorang
melainkan dishared di antara mereka
2. Masing-masing anggota bertanggung 2. Semua anggota tim secara bersama-
jawab secara individual terhadap sama bertanggung jawab terhadap
kehidupan kelompok keberadaan dan kinerja tim
3. Tujuan kelompok biasanya sama atau 3. Tim memiliki kebebasan untuk
sejalan dengan tujuan umum organisasi menetapkan tujuan yang hendak dicapai
oleh tim tersebut
4. Produk yang dihasilkan merupakan hasil 4. Produk yang dihasilkan merupakan hasil
kerja individu per individu kerja tim bukan hasil kerja individual
an ~ ota tim
5. Pertemuan atau rapat-rapat kelompok, 5. Dalam setiap pertemuan, diskusi
lebih mementingkan efisiensi rapat yang biasanya dilakukan lebih terbuka agar
tidak bertele-tele setiap masalah bisa dipecahkan dengan
baik
6. Tingkat efektivitas kelompok diukur secara 6. Kinerja tim diukur secara langsung
tidak langsung, yakni sejauh mana dengan menilai produk atau output yang
kelompok bisa mempengaruhi anggota dihasilkan tim
kelompok lain
7. Kelompok mendiskusikan persoalan, 7. Tim mendiskusikan, memutuskan, dan
memutuskan, dan mendelegasikannya melakukan kerja bersama
ke ~ada an lf ota kelom ~ok
15
Kazenbach, J.R. and D.K. Smith. (2005). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.45
Di muka telah dijelaskan bahwa sejak tahun 1980-an kata "tim" seolah-
olah menjadi bahasa sehari-hari para manajer. Mereka seakan-akan merasa
ada yang kurang jika pada suatu hari belum menyebut kata tim. Pertanyaan
mendasar adalah mengapa para manajer dan organisasi memerlukan
keberadaan tim? Popularitas tim di kalangan para manajer terutama
disebabkan karena mereka mendapat tantangan baru dalam mengelola bisnis
yang semakin kompleks. Di antaranya, kebutuhan memberi layanan terbaik
kepada para pelanggan, semakin tingginya kompetisi bisnis, munculnya era
baru bidang informasi, dan terjadinya globalisasi.
16
S. Carder and 1. Gunter. (2001). Can You Hear Me? Corporate American's
Communication with Dissatified Customers. Journal of Amreican Culture.
Hal. 109-112.
5.46 PERILAKU ORGANISASI e
2. Kompetisi
Tantangan kedua adalah semakin meningkatnya persaingan bisnis.
Dewasa ini persaingan bisnis yang semakin meningkat pasti dirasakan oleh
setiap pelaku bisnis. Meski demikian, di antara mereka ada juga pemain
dominan yang menguasai bagian pasar yang sangat besar dan tentunya
menghasilkan laba yang juga sangat besar. Sementara pemain lain ditinggal
sendirian untuk melayani pasar yang tidak seberapa. Ambillah contoh
Microsoft. Sistem operasi Windows dan produk-produk Office lainnya,
seperti Word, Excel, Power Point, Outlook, dan Access menguasai pasar
dunia. Microsoft mempekerjakan ribuan orang karyawan untuk menghasilkan
produk-produk tersebut yang dikoordinasikan oleh tim-tim kerja. Di sini
menunjukkan betapa peranan tim sangat penting dalam lingkungan bisnis
yang sangat kompetitif yang memiliki filosofi "winner-take-all battle for
market share". Hal ini bisa diartikan bahwa karyawan diharapkan memiliki
spesialisasi agar menjadi ekspert di satu bidang tertentu sehingga orang lain
atau perusahaan lain sangat bergantung kepadanya. Harapan ini sejalan
dengan inti dari sebuah tim, yaitu masing-masing anggota memiliki keahlian
tertentu.
3. Era Informasi
Faktor ketiga yang menjadi tantangan para manajer adalah munculnya
era infomasi. Dengan semakin canggihnya teknologi informasi sehingga
informasi bisa mengalir begitu cepat menyebabkan karyawan menjadi tidak
bermakna jika mereka tidak memiliki pengetahuan. Karyawan dituntut
menjadi knowledge worker sementara tim berfungsi sebagai integrator
pengetahuan. Di sisi lain, dengan bantuan teknologi informasi yang berfungsi
sebagai katalisator bagi kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge
economy), peran seorang manajer bisa dikatakan berubah total. Manajer tidak
lagi sebagai penanggung jawab utama untuk mengumpulkan informasi dari
yang pekerja di bawahnya dan membuat komando dalam pembuatan
keputusan, tetapi lebih penting dari itu, tugas penting para manajer adalah
mengidentifikasikan sumber daya-sumber daya kunci yang bisa dimanfaatkan
untuk mencapai tujuan tim dan selanjutnya mengoordinasikan pemanfaatan
sumber daya tersebut untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan.
Berkaitan dengan perubahan di atas, pekerjaan anggota tim juga berubah
total. Kehadiran teknologi informasi bagi sebuah tim bisa dianggap sebagai
ancaman dan sekaligus sebagai tantangan tersendiri. Dewasa ini ribuan jenis
e EKMA41 58/MODUL 5 5.47
pekerjaan tidak lagi dikerjakan oleh manusia, tetapi telah tergantikan oleh
komputer. Akibatnya, banyak pekerjaan yang hilang. Di saat yang sama
seseorang bisa bekerja di rumah dengan bantuan komputer. Demikian juga
keputusan-keputusan penting bahkan dilakukan oleh kontraktor yang
notabenenya bukan pegawai langsung sebuah perusahaan. Perubahan-
perubahan dramatis seperti ini tentunya menuntut organisasi untuk
melakukan penilaian dan penataan kembali lingkungan kerjanya.
4. Globalisasi
Tantangan keempat yang dihadapi para manajer adalah globalisasi.
Dewasa ini seolah-olah tidak ada lagi batas negara ketika urusannya adalah
ekonomi. Aliran dana bisa berpindah dari negara ke negara lain dalam
hitungan detik. Demikian juga pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan
lain, restrukturisasi dan outsourcing menjadi fenomena sehari-hari dunia
bisnis. Akibatnya, dibutuhkan seseorang yang ahli di bidang tertentu -
seorang spesialis untuk menangani fenomena-fenomena baru dunia bisnis
yang sebelumnya tidak pemah terjadi. Bukan hanya itu, keahlian tersebut
juga harus didukung oleh kemampuan bekerja sama dengan orang lain yang
juga memiliki spesialisasi tertentu di bidang berbeda. W alhasil, globalisasi
pada akhirnya merubah tatanan organisasi dengan batasan-batasan baru yang
berbeda dengan era sebelumnya. Batasan baru tersebut mengakibatkan
terpisahnya anggota organisasi dari anggota lainnya namun sekaligus
menuntut mereka untuk saling berhubungan karena adanya saling
ketergantungan. Artinya, anggota tim harus terintegrasi melalui koordinasi
dan sinkronisasi dengan berbagai pihak. Tim juga dituntut untuk memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik karena anggota-anggotanya boleh jadi
terpisah oleh jarak yang jauh yang tidak memungkinkan mereka selalu
bertemu muka. Jika semua prasyarat ini dipenuhi maka terciptalah apa yang
disebut virtual tim, yaitu sebuah tim kerja yang tidak pemah bertemu muka
tetapi mereka bisa bekerja sama seolah-olah mereka berada pada gedung
yang sama.
5.48 PERILAKU ORGANISASI e
C. MANFAAT TIM
Jika sebuah tim bisa berjalan dengan efektif, manfaatnya tidak saja bisa
dinikmati oleh tim itu sendiri, tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan.
Beberapa manfaat yang bisa diperoleh berkaitan dengan dibentuknya sebuah
tim adalah sebagai berikut.
3. Memperbaiki Proses
Dalam sebuah tim hampir semua kegiatan selalu dilakukan dengan
berkoordinasi di antara anggota tim sehingga masing-masing anggota bisa
saling memberi masukan dan saling belajar dari anggota lainnya. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan jika kegiatan tim selalu terorgansir dan tersistem
dengan baik. Sebagai contoh, tim kerja sebelum memulai pekerjaan biasanya
terlebih dahulu berkoordinasi untuk membuat sistem perencanaan agar semua
anggota tim bisa memberi kontribusi terhadap pekerjaan yang akan
dilaksanakan. Demikian juga, setiap pekerjaan biasanya didistribusikan
e EKMA41 58/MODUL 5 5.49
5. Meningkatkan Kualitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang
aktivitasnya sangat kompleks dan menjalankan bisnisnya pada skala global,
standar kualitasnya meningkat setelah perusahaan tersebut mengadopsi tim
kerja. Peningkatan kualitas ini disebabkan karena peningkatan produktivitas,
rasa memiliki terhadap pekerjaan, peningkatan akuntabilitas, efisiensi, dan
customer service.
6. Meningkatkan Komunikasi
Manfaat lain dari tim kerja adalah semakin baiknya komunikasi antar
karyawan. Hal ini tidak lepas dari pola komunikasi dalam tim kerja yang
serta merta top down dan one way communication. Tim cenderung
mengadopsi pola komunikasi segala arah - lateral, komunikasi ke atas,
komunikasi ke bawah, bahkan komunikasi dengan pihak-pihak di luar
organisasi. Kebutuhan komunikasi seperti ini menjadi sangat mendesak
karena dalam tim setiap tindakan harus terlebih dahulu dikomunikasikan
sehingga di antara anggota bisa berbagi informasi dan ide serta bisa saling
belajar.
D. KETERBATASAN TIM
1. Group Think
Maksud dari group think adalah menyetujui keputusan tim meski tidak
sepenuh hati. Dalam banyak kasus kendala yang dihadapi oleh sebuah tim
adalah keterbatasan waktu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi tim.
Kendala ini sering menyebabkan tim harus segera mengambil keputusan
walaupun persoalannya belum begitu jelas. Akibat lanjutannya, anggota tim
yang paling idealis sekalipun kadang-kadang harus mengikuti kemauan
anggota lainnya, apalagi jika di dalam tim ada anggota yang cukup dominan
atau merasa yakin bahwa keputusannya adalah yang terbaik bagi semua.
2. Social Loafting
Seperti halnya persoalan dinamika kelompok, tim juga sering
menghadapi persoalan social loafting terutama jika kemampuan masing-
masing anggota kelompok tidak setara. Akibatnya, ada anggota yang bekerja
lebih banyak dan ada anggota lain yang sekadar menjadi pengikut - free
riders.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.51
3. Persoalan Kualitas
Meski banyak bukti telah menunjukkan bahwa tim bisa meningkatkan
kualitas, namun ironisnya sering didapati bahwa tim justru menghambat
kemampuan individual anggota tim. Akibatnya, anggota tim yang baik
sekalipun bisa terbawa oleh semangat tim lainnya sehingga kualitas yang
diharapkan j auh dari kenyataan.
4. Ketepatan W aktu
Kadang-kadang seseorang bisa membuat keputusan lebih cepat
ketimbang keputusan yang dibuat tim sebab dalam tim semua masukan
biasanya menjadi pertimbangan tim dalam membuat keputusan. Oleh karena
itu, tidak jarang basil kerja tim tidak sesuai dengan jadwal waktu yang telah
ditentukan sebelumnya.
E. TIPOLOGI TIM
Meski pada awalnya sebuah tim tidak lebih dari kelompok tugas, namun
seiring dengan perjalanan waktu dan bukti empiris tentang efektivitas sebuah
tim, istilah tim juga menjadi semakin populer. Akibatnya, banyak aktivitas
organisasi yang sebelumnya hanya dilakukan di dalam kelompok formal baik
command group maupun task group, belakangan dilakukan dengan terlebih
dahulu membentuk tim kerja. Konsekuensinya adalah bentuk atau tipe tim
juga mengalami perkembangan. Sesuai dengan tujuan pembentukan dan
5.52 PERILAKU ORGANISASI e
dimensinya, tim his a diklasifikasikan menj adi 5 tipe seperti tampak pada
17
Gambar 5.5 berikut ini .
Gambar 5.5.
Tipologi Tim Berdasarkan Dimensinya
17
Susan A. Mohrman. (1993). Integrating Roles and Structure in the Lateral
Organization. Sebagaimana dikutip oleh Greenberg and Baron. Hal. 295.
e EKMA41 58/MODUL 5 5.53
bersama-sama. Bisa saja mereka tetap saling berjauhan secara fisik tetapi
tugas-tugasnya tetap bisa diselesaikan. Tim semacam ini disebut virtual
teams. Praktik seperti ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar lintas negara yang para expertisenya sulit untuk kumpul bersama untuk
melakukan tugas tim.
keharmonisan tim dan memiliki tenggang rasa dengan anggota tim lainnya.
Untuk itu, setiap anggota dituntut untuk memiliki interpersonal skill yang
cukup. Jika tidak maka pelatihan interpersonal skill adalah sebuah keharusan.
Selain interpersonal skill, anggota tim juga harus bisa mengelola diri sendiri
jika menghendaki keseluruhan anggota tim secara bersama-sama bisa
mencapai tujuan. Mengelola diri sendiri menjadi penting karena pada
umumnya seseorang terbiasa diberitahu apa yang harus dan boleh dikerjakan
dan apa yang tidak boleh, namun sangat jarang seseorang tahu bagaimana
seharusnya mengelola diri sendiri dan perilakunya. Beberapa keterampilan
yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola diri sendiri adalah (a) mampu
mengobservasi dan mengevaluasi diri sendiri, (b) mengharapkan kinerja yang
tinggi baik dari diri sendiri maupun anggota tim lainnya, (c) menetapkan
tujuan, (d) mempraktikkan keterampilan dan tug as baru, serta
(e) mengorganisasi dirinya secara objektif.
LATIHAN
RANGKUMAN
TES FDRMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
KEGIATAN BELAL.JAR 3
Identifikasi rnasalah
u
M Mengernbangkan beberapa
p altematif solusi
A
N
Evaluasi alternatif
B
A
L
Mernilih satu altematif
I
k
Mengirnplernentasi keputusan
Gambar 5.6.
Proses Pengambilan Keputusan
teridentifikasi dengan jelas bukan hanya gejalanya saja. Hanya saja sering
terj adi masalah tidak terselesaikan dengan baik karena tidak ditemukan
masalah yang sesungguhnya.
Langkah ketiga adalah menemukan beberapa alternatif solusi. Jika
masalah bisa diidentifikasikan dengan jelas berarti pengambil keputusan bisa
melakukan upaya untuk mencari informasi untuk mengklarifikasikan sifat
masalah tersebut dan mengidentifikasi beberapa alternatif pemecahannya.
Dalam hal ini, beberapa kebiasaan (rule of thumb) yang biasa dilakukan para
pengambil keputusan adalah melihat kembali apa yang pemah dilakukan di
masa lalu ketika menghadapi masalah yang sama atau mencoba melihat apa
yang paling cocok pada saat ini untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika
pendekatan ini dianggap bisa menyelesaikan masalah maka upaya untuk
mencari alternatif lain tidak lagi dilakukan. Cara-cara baru yang kreatif
sekalipun biasanya akan diabaikan. Rule of thumb lainnya adalah mencontoh
atau belajar dari organisasi lain bagaimana mereka menyelesaikan masalah
ketika menghadapi persoalan yang sama. J ika organisasi lain berhasil
menyelesaikannya maka cara akan ditiru. Terlepas dari kebiasaan-kebiasaan
tersebut, proses pengambilan keputusan yang baik seharusnya mem-
pertimbangkan semua alternatif solusi sekecil apa pun alternatif tersebut bisa
diterapkan. Tujuannya agar tidak salah dalam pengambilan keputusan. Hanya
saja karena keputusan harus segera diambil, dalam praktik mengembangkan
beberapa altematif solusi yang memerlukan waktu lama biasanya tidak
dilakukan.
Langkah keempat adalah mengevaluasi alternatif solusi dilanjutkan
dengan memilih solusi terbaik. Mengevaluasi alternatif adalah langkah yang
diambil setelah beberapa alternatif bisa diidentifikasikan. Tujuan evaluasi
adalah untuk mendapatkan solusi terbaik. Bisa dikatakan bahwa akhir dari
sebuah proses pengambilan keputusan adalah memilih altematif yang
"dianggap" terbaik. Apakah altematif tersebut betul-betul yang terbaik
sesungguhnya belum bisa diketahui saat keputusan itu dibuat. Oleh karena
itu, Pfeffer mengingatkan kita akan adanya tiga hal penting berkaitan dengan
pengambilan keputusan. Pertama, keputusan pada dasarnya tidak merubah
apa-apa. Jika seorang manajer memutuskan untuk merubah sistem penilaian
kinerja, misalnya keputusan tersebut tidak akan mengubahnya, kecuali ada
tindakan lebih lanjut, yaitu implementasi. Kedua, pada saat keputusan dibuat
kita tidak pernah tahu apakah keputusan tersebut baik atau buruk. Kualitas
keputusan jika diukur dengan basil, baru akan ketahuan jika konsekuensi
e EKMA41 58/MODUL 5 5.67
menjadi dua, yaitu model rasional dan model alternatif. Dalam bahasa
psikologi, keputusan rasional adalah pengambilan keputusan yang
menggunakan otak kiri manusia. Sementara itu, Bass membedakan keputusan
rasional ke dalam dua bentuk, yaitu economic approach maupun behavioral
approach. Pendekatan ekonomik dalam pengambilan keputusan didasarkan
pada beberapa asumsi, antara lain (1) perusahaan dianggap mempunyai
tujuan, (2) untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan cara-cara
rasional, (3) fungsi perusahaan adalah untuk mentransformasi input menjadi
output, (4) lingkungan organisasi dianggap sebagai faktor eksternal dan
bersifat given, serta (5) perubahan harga dan kuantitas terhadap input dan
output merupakan landasan berpikir dalam teori ini. Jika pendekatan ini
diterjemahkan ke dalam bahasa organisasi maka organisasi dipahami sebagai
alat untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu, organisasi juga
dianggap sebagai sebuah entitas yang terpisah dari lingkungannya (closed
system), sedangkan manusia diperlakukan sebagai faktor produksi yang
berorientasi ekonomi dan berpikiran rasional sehingga mudah diarahkan
untuk memaksimumkan tujuan ekonomik organisasi. Sedangkan model
pengambilan keputusan behavioral, di antaranya model keputusan carnegie,
garbage can, dan incremental.
Selain model pengambilan keputusan rasional, model lain yang jarang
didiskusikan meski embrionya sudah lama ada dan kini kembali mulai
mendapat perhatian para akademisi adalah model pengambilan keputusan
"nonlogical" sebagai model keputusan altematif. Simon, misalnya
mengatakan bahwa Chester Barnard ketika menulis buku "The Functions of
Executive" pada tahun 1937 telah menyinggung model pengambilan
keputusan ini. Menurut Barnard proses pengambilan keputusan nonlogical
adalah pengambilan keputusan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
atau dengan alasan tertentu melainkan sebuah proses yang menggunakan
judgment. Dalam bahasa psikologi, pengambilan keputusan semacam ini
tidak lain adalah model pengambilan keputusan yang menggunakan otak
kanan manusia berbeda dengan pengambilan keputusan rasional yang
menggunakan otak kiri.
Holloman membedakan model pengambilan keputusan nonlogical
menjadi dua, yaitu "non-rational" (intuisi, berbasis pengalaman) dan
"irrational" (berbasis pada preferensi pribadi). Maksud dari pengambilan
keputusan nonrasional adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada
pengalaman masa lalu danlatau pengetahuan-pengetahuan yang telah
e EKMA41 58/MODUL 5 5.69
Dilihat dari masalah yang biasa dihadapi para manajer, semua masalah
organisasi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu masalah
rutin dan nonrutin. Terkait dengan risiko yang mungkin ditimbulkan, setiap
masalah ada yang memiliki risiko tinggi dan sebaliknya berisiko rendah.
Sementara itu, dilihat dari siapa yang membuat keputusan, pengambilan
keputusan bisa dilakukan oleh pimpinan puncak atau dilakukan level bawah.
Tabel 5.4.
Perbedaan antara Keputusan Terprogram vs Tidak Terprogram
diprediksi dengan tepat. Para manajer tidak perlu susab payab membuat
analisis SWOT jika lingkungan bisa sangat stabil dan semuanya bisa
diprediksi dengan tepat. Sayangnya semua itu tidak bisa kita temui dalam
lingkungan bisnis yang sangat kompleks dan serba tidak pasti. Dalam
kaitannya dengan pengambilan keputusan, tingkat kepastian dan
ketidakpastian pengambilan keputusan biasanya dinyatakan dalam bentuk
risiko. Artinya, dalam batas-batas tertentu pengambilan keputusan selalu
berbadapan dengan risiko mulai dari risiko paling kecil - tidak ada risiko
sama sekali yang berarti semuanya serba pasti sampai kepada risiko paling
tinggi - dibadapkan pada sesuatu yang semuanya serba tidak pasti. Oleb
karena itu, untuk mengbasilkan keputusan yang terbaik, para manajer barus
bisa mengelola risiko tersebut dengan cara mendapatkan informasi relevan
untuk pengambilan keputusan.
Apakab sebuab basil pengambilan keputusan mengandung risiko atau
tidak sangat bergantung pada tingkat probabilitas untuk mendapatkan basil
keputusan. Jika probabilitas basilnya kecil berarti keputusan tersebut
mengandung risiko yang tinggi, sebaliknya jika probabilitasnya besar berarti
risikonya kecil. Mengingat babwa basil keputusan yang tidak pasti sangat
tidak dikebendaki para manajer, mereka biasanya berupaya untuk
mengurangi ketidakpastian tersebut, caranya sekali lagi, dengan mengakses
informasi. Dewasa ini dengan semakin canggibnya teknologi informasi,
informasi sepertinya tersebar di depan mata tinggal bagaimana kita
memilibnya. Meski demikian, pengambilan keputusan pada situasi yang tidak
menentu tidak serta merta barus didasarkan pada informasi yang tersebar
pada teknologi informasi. Kadang-kadang para manajer membuat keputusan
berdasarkan pengalaman mas a lalu atau intuisi seperti yang telab dij elaskan
di muka.
5) Mengalihkan tujuan
Dalam sebuah perdebatan untuk menyelesaikan masalah, tidak jarang
mereka yang pandai bicara atau memiliki argumentasi yang seolah-olah
rasional merupakan pihak yang memenangkan perdebatan meski
argumentasi tersebut menyimpang dari tujuan semula. Akibatnya, tidak
jarang pula tugas utama untuk menyelesaikan masalah tidak lagi
dominan, yang ada masing-masing kelompok hanya berupaya
memenangkan perdebatan.
6) Groupthink
Kalau diterjemahkan, yang dimaksud dengan groupthink adalah
sekelompok orang yang mempunyai pikiran sama atau sederhananya
groupthink adalah pikiran kelompok. Cara berpikir seperti ini muncul
karena tingkat kohesivitas kelompok yang relatif tinggi. Akibatnya,
pikiran seseorang anggota kelompok seolah-olah mewakili pikiran
kelompok. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, groupthink
sering mengalahkan pengambilan keputusan yang baik yang didasarkan
pada fakta-fakta yang ada. Akibatnya, his a diduga jika kualitas
pengambilan keputusan tidak lebih baik.
1. Interaktif
Bentuk paling umum dalam pengambilan keputusan kelompok adalab
dengan berinteraksi langsung antaranggota kelompok. Para anggota
kelompok saling berdialog untuk memecahkan persoalan dan akhirnya
mengambil keputusan. Meski cara ini bisa menciptakan kobesivitas dan
komitmen anggota kelompok, serta dalam batas-batas tertentu meningkatkan
komitmen mereka, pengambilan keputusan secara interaktif juga memiliki
beberapa keterbatasan. Misalnya, tekanan untuk berkompromi biasanya
sangat tinggi. Di samping itu, jumlab dan kualitas ide, dan orientasi mereka
untuk menyelesaikan tugas biasanya rendab.
5.78 PERILAKU ORGANISASI e
2. Brainstorming
Secara sederhana brainstorming bisa disebut sebagai mimbar bebas bagi
masing-masing anggota kelompok untuk menyampaikan ide dan pendapatnya
berkaitan dengan persoalan yang sedang mereka hadapi. Brainstorming
dianggap efektif karena setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan
untuk menyampaikan ide-idenya atau gagasan lain tanpa perlu merasa
khawatir akan diintervensi dan dikritik oleh anggota kelompok lainnya.
Dengan ide-ide tersebut berarti semakin banyak alternatif pilihan dan
semakin luas sudut pandang untuk memecahkan persoalan. Beberapa aturan
yang perlu diperhatikan dalam penggunaan teknik ini adalah sebagai berikut.
a. Lebih mementingkan jumlah ide ketimbang kualitas ide
Manajer sebaiknya mendorong anggota kelompok menyampaikan ide-
idenya sebanyak mungkin. Dengan dorongan ini, diharapkan anggota
kelompok bisa menyampaikan ide-idenya yang tidak biasa.
b. Kebebasan, bukan pembatasan, berpendapat harus ditingkatkan
Anggota-anggota kelompok disarankan untuk mengemukakan ide-idenya
yang mereka miliki. Semakin banyak ide semakin baik.
c. Jangan mengkritik penyampai ide
Sebaiknya, jangan terburu-buru mengkritik atau mencela anggota
kelompok yang menyampaikan ide-idenya. Sebaiknya, kalimat berikut
tidak digunakan ketika seseorang menyampaikan idenya. "Bos tidak
akan senang dengan ide terse but", Wah cara itu tidak bisa diterapkan"
atau "idemu terlalu mahal untuk diterapkan".
d. Lupakan senioritas
Dalam menyampaikan ide-idenya, anggota kelompok sebaiknya tidak
menyampaikan ide tersebut hanya untuk menyenangkan bosnya atau ada
tujuan terselubung dibalik ide tersebut. Fasilitator yang memandu sesi
brainstorming sebaiknya menekankan dan sejak awal mengingatkan
semua anggota kelompok bahwa dalam sesi tersebut tidak ada istilah
senior dan yunior.
4. Delphi Technique
Delphi technique adalah metode pengambilan keputusan kelompok di
mana masing-masing anggota kelompok, bertindak secara individual, dan
independen, secara sistematik memberikan penilaian terhadap suatu masalah.
Bisa dikatakan Delphi Technique merupakan model pengambilan keputusan
kelompok yang sangat kompleks dan membutuhkan banyak waktu. Pada
dasarnya Delphi Technique sama dengan NGT. Bedanya, apabila pada NGT
anggota-anggotanya bertemu muka secara langsung, Delphi Technique tidak.
Bahkan pada Delphi anggota-anggota kelompok yang akan mengambil
keputusan tidak diperbolehkan saling bertemu muka. Mereka dianggap
sebagai seorang ekspertis yang mempunyai banyak pengetahuan untuk
menyelesaikan masalah. Tahapan dalam Delphi adalah sebagai berikut.
a. Setelah masalah bisa diidentifikasikan para anggota kelompok, melalui
daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, diminta untuk
memberikan solusi.
b. masing-masing anggota secara tertutup dan mandiri mengisi jawaban
atas daftar pertanyaan yang diajukan kepadanya.
c. Hasil jawaban dari kuesioner tahap pertama dikumpulkan di tempat
pengumpulanjawaban untuk ditulis ulang dan direproduksi.
5.80 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 5.5.
Tingkat Efektivitas Pengambilan Keputusan Kelompok
Tipe Kelompok
Kriteria Efektivitas
lnteraktif Brainstormin ' Nominal Delphi
a. Jumlah ide Rendah Moderat Tinggi Tinggi
b. Kual itas ide Rendah Moderat Tinggi Tinggi
c. Tekanan terhadap Tinggi Rendah Mode rat Rendah
anggota kelompok
d. Besaran biaya Moderat Rendah Rendah Tinggi
e. Orientasi terhadap Rendah Tinggi Tinggi Tinggi
tug as
f. Potensi konflik Tinggi Rendah Moderat Rendah
interpersonal
g. Anggapan Tinggi-rendah Tinggi Tinggi Mode rat
terhadap hasil
h. Komitmen Tinggi - Moderat Rendah
•
I. Kohesivitas Tinggi Tinggi Moderat Rendah
kelompok
e EKMA41 58/MODUL 5 5.81
~'.. ~
I'
.=;-
•- -··,J
~
.
~
LATI HAN
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - "--i -
RANGKUMAN- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
TES FDRMATIF 3- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Daftar Pustaka
Gersick, C.J.G. (1988). Time and Transition in Work Teams: Toward a New
Model of Group Development. Academy of management Journal. 31, 1.
Hal. 9-41.
Kazenbach, J.R. and D.K. Smith. (2005). The Discipline of Teams. Harvard
Business Review. July-August. Hal. 162-70.
S. Carder and 1. Gunter. (2001). Can You Hear Me? Corporate American's
Communication with Dissatified Customers. Journal of American
Culture. Hal. 109-112.
PENDAHULUAN
1
Untuk penjelasan lebih lengkap silakan Anda buka kembali modul satu khususnya
penjelasan tentang keterkaitan manusia, organisasi, dan manajemen.
2
Untuk penjelasan mengenai metafora organisasi sebagai makhluk hidup, lihat
misalnya Gareth Morgan dalam bukunya Images of Organization.
6.2 PERILAKU ORGANISASI e
dari satu mata uang. Setiap kali berinteraksi sudah pasti selalu disertai dengan
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Demikian sebaliknya
ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara otomatis akan
terjadi interaksi baik langsung maupun tidak langsung. Dengan kalimat
sebaliknya bisa dikatakan bahwa pada saat terjadi kemandekan komunikasi
pada saat itulah interaksi terhenti. Bahkan kalau kemandekan komunikasi
tersebut lantas menyebabkan masing-masing pihak merasa terganggu, tidak
puas dan dirugikan bukan tidak mungkin muncul persoalan lebih lanjut,
yakni timbul konflik di antara mereka baik konflik tersembunyi (latent
conflict) maupun konflik terbuka (overt conflict). Secara berturut-turut tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa komunikasi merupakan salah satu penyebab
tidak tercapainya tujuan organisasi.
Secara tidak langsung, penjelasan ini merupakan dukungan terhadap
mereka yang mengklaim bahwa komunikasi merupakan prasyarat bagi
3
organisasi untuk mencapai tujuannya . Sederhananya, klaim ini mengatakan
bahwa keberhasilan organisasi sangat tergantung dari kualitas
4
komunikasinya. Hal senada juga ditegaskan Mangaliso . Dengan bahasa
berbeda Mangaliso mengatakan bahwa komunikasi memegang peran penting
dalam menciptakan efektivitas fungsi managerial dan efektivitas organisasi.
Sebaliknya, buruknya kualitas komunikasi bukan hanya menjadi penyebab
gagalnya organisasi mencapai tujuannya, tetapi juga menjadi akar dari
permasalahan lain yang lebih luas mulai dari hal-hal kecil, seperti
pertengkaran antara dua orang yang semula saling mengasihi sampai ke hal-
hal yang besar seperti perang antarnegara. W alhasil, bagi seorang manajer
pengetahuan dan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif merupakan
prasyarat bagi dirinya untuk bisa mengelola organisasi secara efektif. Dewasa
ini pengetahuan tersebut menjadi semakin penting karena dengan semakin
canggihnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sifat komunikasi
menjadi semakin kompleks.
Di atas telah dikatakan bahwa miskomunikasi bisa menyebabkan
konflik. Namun, harus disadari bahwa miskomunikasi hanyalah salah satu
penyebabnya. Masih banyak penyebab lain yang harus dipahami oleh seorang
manajer. Seperti halnya komunikasi, setiap interaksi yang dilakukan dua
3
A. Merrryman. (1996). The Link to Business Objectives. HR focus. Hal. 13.
4
M. P. Mangaliso. (1995). The Strategic Usefulness of Management Information as
Perceived by Middle Manager. Journal of Management. 12/2, hal. 231-250.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.3
KEGIATAN BELAL.JAR 1
Komunikasi
A. DEFINISI KOMUNIKASI
5
Lihat Cherrington.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.5
Tanpa komunikasi bisa jadi proses organisasi akan berhenti bekerja dan
dengan demikian tujuan didirikannya organisasi tidak pernah tercapai. Peran
penting komunikasi, misalnya dapat dilihat dari alokasi waktu yang
digunakan para manajer dalam berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seorang supervisor mengalokasikan waktunya sebanyak 20-50%
untuk berkomunikasi secara verbal. Jumlah ini akan semakin meningkat jika
komunikasi tertulis masuk di dalamnya. Demikian juga semakin tinggi posisi
seseorang di dalam organisasi semakin banyak pula waktu yang harus
dialokasikan untuk berkomunikasi.
Dalam kehidupan organisasi, proses komunikasi dapat dianalisis melalui
3 level berbeda, yaitu komunikasi antarindividu (interpersonal
communication), komunikasi di dalam kelompok (communication in groups),
dan komunikasi organisasi (organizational communication). Mengingat
masing-masing level memiliki permasalahan tersendiri dan melibatkan
mekanisme berbeda maka seorang manajer perlu memahami masing-masing
karakteristik proses komunikasi tersebut. Sederhananya, proses komunikasi
organisasi bukan sekadar penjumlahan dari beberapa interpersonal
commucation. Karakteristik dari ketiga level komunikasi tersebut akan
dij elaskan secara lengkap pada bagian berikut.
B. PROSES KOMUNIKASI
PENGIRJM PENERlMA
Menerje
Dildrim melalui mahk.an
Mencip media pesan Mencipta
mkan dalam kan
pesan bentuk. malrna
symbol sy1nbon
(encode) (decode)
..-.......
...... ........
-·-
IV1en~...tjs........~~------ ~ ~lenyusun
··m~alifGm
....... ____... . ... --~ ............... ..
respon/
pesan Mencipta
umpan
--1 dalam kanpesam dalann . .,. .,. . _. .......
bentuk Dilcirim melalui
- media simbol
snmbol (encode)
(deoce)
Gambar 6.1.
Model Komunikasi Berbasis Persepsi
agar tidak tersesat, mungkin pada hari H ternan Anda akan mengirim
pesan singkat berikut: "jk sdh smp kt 7an sgr br th, kt ktm di bts kt".
Pesan seperti ini tentu tidak bisa segera dipahami kecuali Anda mencoba
men-decode/menerjemahkan pesan tersebut ke dalam bahasa yang Anda
mengerti. Jika Anda salah menerjemahkan pesan tersebut bukan tidak
mungkin terjadi miskomunikasi atau salah paham. Dengan kata lain,
decode merupakan kontributor terjadinya miskomunikasi dan salah
paham dalam komunikasi khususnya jika terjadi kesenjangan antara
pengirim dan penerima pesan. Hal ini kerap terjadi ketika kesenjangan
tersebut bersumber pada budaya atau tata nilai kedua belah pihak.
Sebagai contoh, menyanyikan lagu "walang kekek" di Filipina mungkin
bisa berakibat fatal dan kita dituduh melakukan pelecehan seksual karena
dalam bahasa Tagalog walang berarti tidak ada dan keke berarti alat vital
perempuan.
6. Menciptakan makna
Salah satu pembeda penting antara conduit model dengan perceptual
model of communication adalah unsur makna dalam komunikasi.
Menurut conduit model, informasi beserta maknanya secara langsung
ditransmit dari pengirim ke penerima informasi. Menurut perceptual
model, penerima informasi akan memaknai informasi tersebut sesuai
dengan interpretasi dirinya. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin
interpretasi tersebut tidak sama dengan yang diinginkan oleh pengirim
informasi. Sebagai contoh, apabila seorang manajer menyampaikan
sesuatu kepada anak buahnya dengan kalimat berikut "silakan jika Anda
berani ambil risiko, lakukan pekerjaan tersebut". Kalimat tersebut adalah
kalimat bersayap yang bersifat multiinterpretasi. Bagi anak buah yang
agresif, pernyataan di atas merupakan sinyal bahwa dirinya diizinkan
untuk mengerjakan pekerjaan yang penuh risiko meski bagi Sang
manajer yang dikehendaki adalah sebaliknya. Oleh karena itu, untuk
menghindari salah interpretasi terhadap sebuah pesan sebaiknya
digunakan beberapa media untuk menegaskan esensi dari pesan yang
dikehendaki.
7. Umpan balik
Setelah penerima pesan menerjemahkan pesan ke dalam bahasa yang ia
pahami dan menginterpretasikan pesan tersebut untuk dipahami
maknanya, selanjutnya penerima pesan akan mengirim balik pesan
tersebut kepada pengirim pesan awal. Dengan demikian, penerima pesan
6.12 PERILAKU ORGANISASI e
b. Karakteristik pesan
Berkaitan dengan pesan, komunikasi yang dianggap paling persuasif
adalah komunikasi yang menggunakan pesan yang logis dan beralasan.
Meski demikian pesan yang menyentuh emosi seseorang kadang-kadang juga
tidak kalah efektif. Selain itu, pesan yang membuat pendengarnya merasa
senang dianggap lebih efektif me ski dalam hal-hal tertentu pes an yang
menakutkan seperti menakut-nakuti dampak negatif dari pemakaian jarum
suntik yang tidak steril juga sama efektifnya.
2. Kemampuan Mendengar
Dalam proses komunikasi, di samping bentuk-bentuk komunikasi seperti
disebut di atas, mendengar juga menjadi faktor penting. Hanya saja faktor ini
sering diabaikan. Padahal dalam kenyataan kebanyakan orang sering
menghadapi kesulitan ketika tiba gilirannya untuk mendengar orang lain.
Boleh saja seseorang pandai menulis dan berbicara namun sering kali begitu
buruk pada saat harus mendengar. Hasil studi menunjukkan bahwa seseorang
hanya mengingat 50% dari apa yang baru saja didengar. Bahkan setelah
melewati dua bulan, yang masih diingat kurang dari 25% dari apa yang telah
dikatakan orang lain. Data ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
efektivitas komunikasi, faktor kemampuan mendengar perlu mendapat
perhatian, dan tidak boleh lagi diabaikan. Dengan mendengar bukan sekadar
haring, tetapi lebih penting dari itu, yakni listening. Hearing dan listening
adalah dua kata dalam bahasa Inggris yang mempunyai pengertian sama
tetapi konotasi dan konteksnya berbeda. Hearing adalah komponen fisik dari
listening, sedangkan listening itu sendiri merupakan proses aktif untuk men-
decode dan menginterpretasikan pes an. J adi, listening menuntut seseorang
untuk memberi atensi dan memproses informasi sedangkan hearing tidak
menuntut hal itu. Sederhananya, perbedaan antara hearing dan listening
adalah hearing hanya sekadar mendengar, sedangkan listening mendengar
dengan saksama dan memberi perhatian terhadap pihak yang menyampaikan
pes an.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.15
a. Empati
Pendengar yang efektif sering disebut sebagai pendengar aktif,
pendengar reflektif atau pendengar empatik. Semua istilah tersebut
menegaskan bahwa seorang pendengar harus mempunyai kemampuan untuk
mendengarkan pesan orang lain secara empatik. Empati adalah kapasitas
seseorang untuk berpartisipasi ke dalam perasaan atau ide orang lain. Hal ini
bisa diartikan bahwa jika Anda adalah seorang pendengar empatik maka
Anda bukan sekadar mendengarkan pesan dari seorang komunikator secara
akurat, tetapi juga memahami komponen emosi dari pesan tersebut dan
makna yang terkandung di dalam pesan, tetapi tidak terungkap.
Tabel 6.1.
Karakteristik Pendengar yang Baik
Tabel 6.2.
Bentuk Respons dalam Komunikasi
1) Pengirim pesan
Karyawan baru yang belum punya pengalaman meski sebelumnya sudah
menjalani proses pelatihan, sering kali salah dalam menjelaskan hal-hal
penting kepada pelanggan sehingga bukan tidak mungkin pelanggan
mendapatkan informasi yang keliru. Akibatnya, tidak jarang pula
pelanggan merasa dirugikan.
2) Encode
Seperti dijelaskan di atas, encode adalah ide atau buah pikiran yang
dituangkan dalam bentuk simbol sebelum seseorang bisa menyampaikan
pesan. Namun, hambatan sering kali muncul karena pengirim pesan tidak
bisa menuangkan buah pikirannya bentuk simbol. Katakanlah ia tabu apa
yang harus disampaikan, tetapi tidak tabu bagaimana menuangkannya
karena buah pikiran tersebut harus dituangkan dalam bahasa Inggris
yang tidak ia kuasai. Akibatnya, sekali lagi pesan tidak pernah terwujud.
3) Pesan
Seseorang katakanlah tidak menghadiri sebuah pertemuan penting.
Penyebabnya bukan karena ia mengabaikan pertemuan tersebut, tetapi
karena ia merasa tidak pernah diundang. Padahal tiga hari sebelumnya
undangan sesungguhnya telah dikirim melalui email, namun karena
email tidak pernah dibuka jadinya pesan tidak pernah sampai.
4) Media
Komunikasi melalui surat sangat baik untuk menghindari konflik pribadi
namun menjadi tidak efektif jika persoalan yang dikomunikasikan begitu
krusial dan pengirim pesan membutuhkan umpan balik segera. Media
dengan demikian menjadi salah satu faktor yang boleh jadi menjadi
penghambat efektivitas komunikasi.
5) Decode
Seperti halnya encode pada pengirim pesan, decode adalah upaya
penerima pesan untuk menerjemahkan pesan ke dalam simbol sebelum
merespons pesan. Permasalahan yang dihadapi dalam mendecode
sesungguhnya sama dengan permasalahan encode.
6) Penerima pesan
Tingkat intelegensi penerima pes an sering kali menj adi salah satu faktor
yang menghambat efektivitas komunikasi. Dalam perkuliahan, misalnya
seorang mahasiswa menanyakan hal yang sama padahal pertanyaan
tersebut baru saja dijelaskan seorang dosen. Contoh ini paling tidak
6.20 PERILAKU ORGANISASI e
1. Komunikasi Verbal
Ketika Anda membaca modul ini berarti Anda sedang melakukan
komunikasi. Hanya saja sifat komunikasinya tidak langsung karena pengirim
informasi (penulis modul) mengirim pesannya menggunakan kata-kata yang
dituangkan dalam bentuk tulisan. Berkomunikasi menggunakan kata disebut
komunikasi verbal. Selain dituangkan dalam bentuk tulisan, komunikasi
verbal juga bisa diucapkan secara langsung (face-to-face), disampaikan
melalui telepon, faksimile, email, SMS atau media lainnya. Secara umum,
komunikasi verbal bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu (a) secara oral -
diucapkan secara langsung dan (b) secara tertulis dengan bantuan media.
Selanjutnya, bentuk komunikasi verbal yang dilakukan secara oral bisa
dibedakan menjadi dua, yaitu berbicara langsung tanpa media (face-to-face
discussion) dan percakapan melalui media telepon atau teleconference
dengan bantuan teknologi informasi. Dilihat dari kemampuan menyampaikan
pes an, komunikasi oral secara langsung (face-to-face) bisa dikatakan sebagai
komunikasi yang paling "kaya", bukan semata-mata karena banyaknya
informasi yang bisa disampaikan, tetapi juga sifatnya yang sangat pribadi dan
tingginya kesempatan memperoleh umpan balik. Sementara itu percakapan
melalui telepon, dibandingkanface-to-face, relatif "kurang kaya".
Komunikasi tulis, khususnya dalam konteks organisasi, bisa berupa
memo (pesan tertulis yang digunakan untuk berkomunikasi dalam
lingkungan internal organisasi), surat (pes an tertulis yang digunakan
komunikasi eksternal), pamlet dan buletin, newsletter dan panduan bagi
karyawan (employee handbook). Seperti halnya memo, pamlet, dan buletin
merupakan komunikasi internal. Bedanya, memo ditujukan untuk seseorang
atau sekelompok karyawan tertentu sehingga lebih personal sedangkan
pamplet dan buletin ditujukan untuk semua karyawan sehingga sangat
impersonal. Di sisi lain, newsletter merupakan publikasi organisasi ditujukan
untuk kalangan internal yang menginformasikan berbagai isu aktual berkaitan
dengan keadaan organisasi yang menjadi perhatian para karyawan, misalnya
berita tentang kenaikan gaji, penggantian pejabat. Terakhir employee
handbook, seperti halnya newsletter, merupakan dokumen internal yang
menginformasikan hal-hal mendasar berkaitan dengan organisasi. Employee
handbook biasanya berisi informasi tentang (a) kebijakan dasar organisasi,
(b) harapan organisasi terhadap para karyawan, dan (c) filosofi atau visi/misi
• •
organ1sas1.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.23
Oral
Tertulis
Gambar 6.2
2. Komunikasi Nonverbal
Terlepas bahwa komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang
paling banyak digunakan untuk mengirim informasi, namun harus disadari
bahwa kata-kata hanya sebagian kecil dari keseluruhan pesan yang ingin
dikomunikasikan. Dibalik kata-kata sesungguhnya ada elemen tersembunyi
yang menjadikan pesan menunjukkan makna sesungguhnya. Elemen
tersembunyi dimaksud adalah elemen yang bersifat nonverbal, seperti
intonasi dalam menyampaikan pesan, penyampaian kalimat yang tidak patut
(inflection), tingkat kecepatan/kelambatan dalam menyampaikan pesan,
6.24 PERILAKU ORGANISASI e
bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan elemen nonverbal lainnya. Oleh karena
tersembunyi, elemen nonverbal sering disebut sebagai the silent language -
bahasa diam. Berdasarkan penjelasan ini maka yang dimaksud dengan
komunikasi nonverbal adalah sebuah komunikasi di mana segala bentuk
pesan yang dikirim atau diterima tidak menggunakan kata-kata verbal baik
tertulis maupun lisan melainkan bahasa isyarat yang bersifat nonverbal,
seperti bahasa tubuh, ekspresi waj ah, dan elemen nonverbal lainnya.
Penjelasan ini secara tidak langsung mengatakan bahwa komunikasi verbal
terkadang tidak efektif jika tidak dibarengi dengan komunikasi nonverbal.
Meski demikian, bukan berarti komunikasi nonverbal hanya sekadar
pendukung komunikasi verbal. Tidak jarang jika komunikasi verbal tidak
bisa digunakan maka suka atau tidak suka komunikasi nonverbal sebagai
jalan keluarnya. Ambillah contoh ketika Anda sedang berada pada diskotek
dengan hingar-bingar musik yang memekakan telinga. Hampir tidak mungkin
dalam situasi seperti ini Anda menggunakan komunikasi verbal, misalnya
untuk memesan segelas minuman. Hal yang mungkin Anda lakukan adalah
memesan minuman dengan komunikasi nonverbal.
Bagi seorang manajer, memahami komunikasi nonverbal bukan tidak
ada gunanya malah justru sebaliknya komunikasi nonverbal sering
menyiratkan efektivitas komunikasi. Ambillah contoh bagaimana mantan
Presiden Soeharto (alm.) ketika berjabat tangan dengan orang lain. Beliau
selalu berdiri tegak dengan menjulurkan tangannya agak ke depan, namun
pada posisi tangan lurus dengan pusar. Dengan posisi tubuh dan tangan
seperti ini berakibat orang yang bersalaman harus sedikit menundukkan diri
(membungkuk) lebih rendah dari Pak Harto. Contoh ini memberi gambaran
bagaimana Pak Harto menempatkan diri di hadapan orang lain sehingga
beliau terkesan selalu berkedudukan lebih tinggi. Hal ini berbeda ketika
warga Jogja bersalaman dengan Sri Sultan HB pada saat halal bilhalal. Para
warga sadar bahwa mereka akan bersalaman dengan seorang raja sehingga
sebelum menjulurkan tangannya untuk bersalaman para warga mengatupkan
tangannya dengan kedua ibu jari tepat di hadapan hidung pertanda bahwa dia
menghormati atau memberi respek kepada Sang Raja.
Dua contoh di atas merupakan sebagian kecil dari beberapa contoh
komunikasi nonverbal. Secara umum, studi tentang komunikasi nonverbal
mengidentifikasikan lima variabel komunikasi nonverbal, yaitu bahasa tubuh,
ekspresi waj ah, j arak fisik, nada suara, dan tampilan.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.25
a. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh atau gerak tubuh adalah salah satu dari berbagai macam
bentuk komunikasi nonverbal yang paling banyak digunakan dalam
berkomunikasi. Studi tentang bahasa tubuh atau gerak tubuh, yang disebut
kinetics, menjelaskan bahwa body language atau gerak tubuh bisa digunakan
untuk menunjukkan berbagai hal termasuk status sosial seseorang atau sikap
seseorang terhadap orang lain. Jika kita merasa tidak ada jarak dengan orang
yang berada di hadapan kita atau kita menyukai orang tersebut maka gerak
tubuh kita cenderung lebih rileks, bisa menyandarkan tubuh, berani bertatap
muka, dan tangan lebih terbuka. Sebaliknya, apabila berhadapan dengan
orang yang statusnya lebih tinggi atau merasa terancam hampir pasti tubuh
kita terasa lebih kaku dan rasanya tubuh susah digerakkan. Penjelasan ini
sekali lagi menunjukkan peran bahasa tubuh saat seseorang berinteraksi
dengan orang lain yang secara tidak langsung juga menjelaskan perannya
dalam berkomunikasi. Saat mempertahankan diri, misalnya seseorang akan
melipat tangan - bersedekap, menyilangkan tangan atau melipat kaki. Orang
yang mencondongkan badannya ke depan pertanda bahwa orang tersebut
lebih terbuka, lebih dekat dengan orang yang diaj ak bicara dan lebih bersedia
untuk berkomunikasi.
b. Ekspresi wajah
Seperti halnya dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah juga memberi
siratan dalam berkomunikasi. Tersenyum secara umum menandakan bahwa
seseorang lebih bersahabat, lebih hang at dan bersikap terbuka terhadap lawan
bicara. Sementara menguap pertanda bahwa orang tersebut tidak puas dalam
berkomunikasi atau bahkan menunjukkan sikap marah.
c. Jarakfisik
Jarak fisik antara dua orang yang berkomunikasi secara tidak langsung
juga mengomunikasikan pesan itu sendiri. Dua orang yang duduk berjauhan
menandakan bahwa keduanya ada jarak, boleh jadi karena keduanya tidak
akur atau belum saling kenai. Sebaliknya, apabila jarak kedua orang begitu
dekat pertanda bahwa keduanya bisa saling menerima atau saling kenai. J arak
fisik juga menunjukkan status sosial dua orang yang berkomunikasi. Seperti
dicontohkan di muka, mantan Presiden Soeharto cenderung menjaga jarak
saat bersalaman dengan orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya
menyandang status sosial yang lebih tinggi.
6.26 PERILAKU ORGANISASI e
d. Nada suara
Nada suara merupakan salah satu indikator penting ketika seseorang
melakukan komunikasi verbal. Nada suara tinggi pertanda bahwa orang
tersebut marah. Sebaliknya, orang dengan nada suara lembut dengan tingkat
kecepatan bicara sedang menandakan kesediaan berkomunikasi dengan orang
lain. Sementara itu, orang yang punya intensitas dan antusiasme tinggi dalam
berkomunikasi biasanya akan ditunjukkan dengan nada suara yang keras dan
cepat dengan intonasi moderat.
e. Tampilan
Tampilan fisik seperti cara berpakaian juga merupakan media
komunikasi nonverbal yang tidak boleh diabaikan. Tidak luput cara ber-
pakaian bisa menunjukkan kedudukan seseorang dalam organisasi. Pelatihan
yang diorientasikan untuk membangun kepribadian, misalnya biasa
menekankan pentingnya cara berpakaian sebagai salah satu syarat agar
seseorang tampak impresif.
Berdasarkan uraian di atas maka bentuk komunikasi verbal dan
nonverbal beserta turunnya bisa digambarkan secara diagramatik seperti
tampak pada Gambar 6.3 berikut ini.
Komunikasi
t t
Verbal Non-verbal
t t
Oral Tertulis Bahasa tubuh
•
t
Ekspresi wajah
Face-toface Telepon •
Jarak fisik
• • • • •
Memo Surat Pamletdan News- Employee
Nada suara
buletin letter handbook
•
Tampilan
•
Gambar 6.3.
Hierarki Komunikasi
e EKMA41 58/MODUL 6 6.27
1. Gaya Ningrat
Seseorang dengan gaya ningrat cenderung mengatakan apa adanya, tanpa
disaring, terhadap apa yang ada di pikirannya. Orang seperti ini biasanya
hanya sedikit mengeluarkan kata-kata, tetapi apa yang dikatakannya langsung
pada pokok persoalan yang mendasar.
2. Gaya Socrates
Orang ini lebih suka mendiskusikannya terlebih dahulu dengan lawan
bicara sebelum membuat keputusan. Bagi seorang socrates, ia sangat
menikmati berbebat dengan lawan bicara meski harus berdiskusi dalam
waktu yang cukup lama. Ia suka pada hal-hal yang detail.
3. Gaya Reflektif
Seseorang dengan gaya reflektif sangat peduli terhadap aspek
interpersonal dalam berkomunikasi. Biasanya orang ini tidak suka menyerang
pihak lain dan cenderung menjadi pendengar yang baik. Pada akhirnya orang
6
Lihat Greenberg and Baron. Hal. 329-330.
6.28 PERILAKU ORGANISASI e
ini kadang tidak mengatakan sesuatu, kecuali yang ingin didengar oleh lawan
bicara bukan yang ingin dibicarakan. Tujuannya untuk menghindari konflik.
6. Gaya Senator
Seorang senator biasanya mengembangkan gaya ningrat dan gaya
reflektif. Meski demikian, dia tidak menggabungkan kedua gaya tersebut
seperti halnya pada gaya seorang hakim atau seorang kandidat, melainkan
menggunakan kedua gaya tersebut secara bergantian sesuai dengan
kebutuhan. Kadang-kadang kalau dianggap perlu, digunakan gaya ningrat
namun pada saat lain digunakan gaya refleksi.
Berkaitan dengan gaya komunikasi di atas, satu hal yang perlu diingat
adalah masing-masing gaya komunikasi memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Hal ini penting untuk diketahui karena meski semua gaya bisa
digunakan untuk berkomunikasi, namun seseorang cenderung lebih sering
menggunakan satu gaya tertentu ketimbang gaya-gaya yang lain. Artinya,
apabila masing-masing pihak terlalu kaku menggunakan gaya komunikasinya
dan enggan menyesuaikan diri dengan gaya komunikasi lawan bicara, bukan
tidak mungkin proses komunikasi akan terganggu mengingat tujuan
komunikasi sejak semula adalah untuk memperoleh pemahaman bersama
(common understanding) yang menuntut kedua belah pihak saling berbagi
informasi. Kecuali tujuan komunikasi tersebut adalah memberi instruksi yang
tidak membutuhkan umpan balik dari pihak lain maka komunikasi satu arah
dengan mempertahankan gaya masing-masing boleh jadi tidak masalah. Oleh
e EKMA41 58/MODUL 6 6.29
karena itu, sangat disarankan agar setiap komunikator terlebih dahulu harus
memahami gaya komunikasi dirinya dan setelah itu mencoba memahami
gaya komunikasi lawan bicara. Upaya ini sangat diperlukan agar proses
komunikasi bisa berj alan seperti yang diharapkan.
Selain perlu memperhatikan gaya komunikasi, efektivitas komunikasi
antarindi vidu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti kemampuan
mendengar, kandungan aspek nonverbal dalam komunikasi, aspek psikologis,
seperti kepercayaan, harapan, status dan nilai-nilai individu pelaku
komunikasi, serta umpan balik dalam komunikasi. Dalam komunikasi dua
arah (two-way communication), umpan balik memegang peran penting
karena efektivitas komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor ini. Pengirim
pesan bisa mengetahui apakah pesan yang disampaikan bisa diterima
penerima pesan bisa diketahui dari umpan balik yang diberikan lawan bicara.
7
Manuel London, dkk. bahkan mengatakan bahwa umpan balik bukan
sekadar memperbaiki proses komunikasi, tetapi juga meningkatkan kinerja
8
manajer dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Sementara itu, Luthan
mengidentifikasikan karakteristik umpan balik yang efektif dan tidak efektif
seperti tampak pada tabel berikut.
Tabel 6.3.
Karakteristik Umpan Balik
Urn pan Balik ,,an Efektif Umpan Balik 1anl Tidak Efektif
1. lntensi untuk membantu kinerja 1. Tidak dimaksudkan untuk membantu
karyawan. karyawan.
2. Spesifik. 2. Umum.
3. Deskriptif. 3. Evaluatif.
4. Memiliki kegunaan. 4. Tidak tepat.
5. Tepat waktu. 5. Tidak tepat waktu.
6. Mempertimbangkan kesiapan 6. Menjadikan karyawan justru berusaha
karyawan menerima umpan balik. mempertahankan diri.
7. Jelas. 7. Tidak mudah dimengerti.
8. Valid. 8. Tidak akurat.
7
M. London, et al. (1995). An Examination of the Effect of an Upward Feedback
Program Over Time. Personnel Psychology. Vol. 48.
8
Fred Luthan. (1998). Organizational Behavior. 8th edition. Hal. 475.
6.30 PERILAKU ORGANISASI e
1. Intensi
Umpan balik dikatakan efektif hanya jika umpan balik tersebut
diarahkan untuk meningkatkan kinerja karyawan dan karyawan merasa
dirinya dihargai. Komunikasi yang efektif bukan merupakan serangan
terhadap pribadi karyawan atau mempertimbangkan citranya. Umpan
balik yang efektif berkaitan dengan aspek pekerj aan.
2. Spesifik
Umpan balik yang efektif terjadi jika sengaja didesain untuk memberi
informasi spesifik kepada karyawan sehingga mereka tabu apa yang
harus dikerjakan, sedangkan umpan balik yang tidak efektif terjadi jika
umpan balik tersebut terlalu umum dan menyisakan pertanyaan di dalam
pikiran Si penerima informasi.
3. Deskriptif
Efektif umpan balik juga ditandai dengan sifatnya yang deskriptif yang
menjelaskan secara objektif apa yang telah dilakukan karyawan
ketimbang memberi penilaian secara subjektif.
4. Berguna
Jika umpan balik bisa digunakan karyawan untuk memperbaiki
kinerjanya maka umpan balik tersebut dikatakan efektif. Umpan balik
tidak dimaksudkan untuk mencemooh bahwa karyawan tidak
mempunyai keterampilan.
5. Tepat waktu
Umpan balik yang efektif juga harus mempertimbangkan waktu yang
tepat. Aturan umumnya adalah semakin cepat umpan balik diberikan
kepada karyawan akan semakin efektif sebab dengan demikian karyawan
bisa segera memperbaiki diri.
6. Kesiapan menerima umpan balik
Belum tentu seseorang siap menerima umpan balik. Oleh karenanya
karyawan harus siap untuk menerima umpan balik.
7. Kej elasan
Umpan balik harus dimengerti oleh penerima informasi, apabila tidak
maka umpan balik menjadi tidak efektif. Untuk mengetahui apakah
umpan balik tersebut dimengerti salah cara yang bisa digunakan adalah
meminta pihak lain untuk mengulang umpan balik tersebut.
8. Validitas
Agar umpan balik efektif maka umpan balik tersebut harus reliabel dan
valid. Tentu saja jika informasinya tidak benar karyawan akan merasa
e EKMA41 58/MODUL 6 6.31
bahwa sang manajer bias dalam memberikan umpan balik atau tindakan
korektif yang dilakukan karyawan tidak seperti yang diharapkan.
E. KOMUNIKASI ORGANISASI
Pada bagian ini komunikasi akan dibahas dalam perspektif yang lebih
luas, yaitu dalam konteks organisasi secara keseluruhan. Pada level
organisasi, komunikasi memiliki peran yang sangat strategis, yakni sebagai
alat untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai elemen dan
kegiatan organisasi. Baik melalui jaringan formal maupun informal,
komunikasi akan mengalirkan informasi ke segala penjuru organisasi sebagai
penggerak kehidupan organisasi. Oleh karenanya tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa seluruh kegiatan organisasi akan terhenti manakala terjadi
kemandekan komunikasi. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang komunikasi organisasi berikut ini akan dibahas ( 1) pengaruh struktur
organisasi terhadap komunikasi, dan (2) bentuk-bentuk aliran komunikasi
• •
orgamsas1.
9
Mintzberg. (1979). Restructuring Organization. Hal. 2 atau Andersen. (2002).
e EKMA41 58/MODUL 6 6.33
a. Downward communication
Komunikasi dari atas ke bawah mengalir mengikuti hierarki organisasi.
Dengan demikian, seseorang dengan posisi lebih tinggi mengalirkan
informasi ke orang lain dengan posisi lebih rendah. Pada umumnya
downward commmunication, meliputi prosedur organisasi, instruksi kerja -
menjelaskan bagaimana sebuah pekerjaan harus dilakukan, penjelasan, dan
alasan rasional mengapa sebuah pekerjaan harus dikerjakan, umpan balik
kepada bawahan yang menjelaskan kinerja mereka, dan penjelasan tentang
visi, misi, dan tujuan organisasi. Semua ragam komunikasi ini intinya adalah
untuk mendidik bawahan agar mereka mengerjakan pekerjaan dengan benar
dan merasa sebagai bagian integral dari organisasi.
Persoalan krusial dalam downward communication adalah klaim para
bawahan yang merasa bahwa informasi yang mereka terima tidak akurat dan
tidak mencukupi kebutuhan mereka. Bawahan, misalnya merasa bahwa
bahasa yang digunakan oleh atasan hanya dimengerti kalangan mereka bukan
untuk karyawan level bawah. Meski instruksi kerja sudah dibuat sedemikian
jelas kadang-kadang karyawan bahwa tidak mengerti maksudnya. Kondisi ini
akan semakin parah jika karyawan bawah mencoba menginterpretasi
instruksi kerja tersebut sesuai dengan daya nalar mereka. Di sinilah distorsi
informasi sering kali tidak bisa dihindarkan.
b. Upward communication
Jenis komunikasi kedua adalah upward communication, yakni
komunikasi yang mengalir dari level bawah ke level atas. Tujuan utama dari
jenis komunikasi ini adalah untuk memberi umpan balik atasan tentang
6.34 PERILAKU ORGANISASI e
c. Horizontal communication
Bentuk komunikasi organisasi yang ketiga adalah komunikasi mendatar
(horizontal communication). Seperti tersirat dari namanya, komunikasi ini
tidak terjadi antara atasan dan bawahan melainkan antara seorang manajer
dengan manajer lain atau antara unit organisasi dengan unit organisasi lain
yang kedudukannya dalam organisasi setara. Komunikasi ini berfungsi
sebagai media koordinasi kerja antar ternan sejawat. Di samping itu, secara
psikologis, komunikasi ini juga memberi dukungan sejawat secara sosial
maupun emosional. Oleh karena itu, tidak jarang dengan komunikasi
mendatar muncul rasa setia kawan dan terciptalah kelompok kerja informal.
Berbeda dengan dua jenis komunikasi sebelumnya, horizontal
communication sering kali tidak mengikuti alur formal. Penyebabnya boleh
jadi karena struktur organisasi yang ada tidak memfasilitasinya. Akibatnya,
dua orang manajer setara yang hendak bertukar informasi terpaksa harus
melibatkan atasan masing-masing. Jika ini terjadi maka komunikasi menjadi
e EKMA41 58/MODUL 6 6.35
tidak efisien dan tidak realistik. B ahkan bukan tidak mungkin atasan akan
menghadapi information overload. Oleh karena itu, tidak jarang dua manajer
setara harus menempuh jalur informal untuk saling bertukar informasi.
Dengan cara ini, berarti ada kemungkinan terj adi aliran informasi tidak
terbatas yang dikhawatirkan justru akan merugikan organisasi secara
keseluruhan. U ntuk mengatasi hal ini, organisasi harus mendesain struktur
organisasi yang memungkinkan terj adinya aliran informasi secara lateral
sehingga kebutuhan informasi yang bersumber dari ternan sejawat bisa
dipenuhi, namun tidak mengakibatkan mengalirnya informasi yang tidak
perlu.
1. Grapevine (Selentingan)
Grapevine atau selentingan dalam bahasa Indonesia merupakan sistem
komunikasi informal. Artinya, informasi yang dihasilkan dari proses
komunikasi ini dan beredar dalam lingkungan organisasi bukan informasi
resmi yang bisa dipertanggungjawabkan pihak manajemen. Boleh jadi
6.36 PERILAKU ORGANISASI e
--
Gambar 6.4.
Pola Aliran lnformasi Grapevine
2. Rumor (Desas-desus)
Dalam bahasa sehari-hari desas-desus dan selentingan boleh jadi
memiliki pengertian yang sama. Kedua istilah ini sering digunakan secara
bergantian untuk menjelaskan hal-hal yang belum pasti. Namun, dalam
konteks komunikasi rumor memiliki pengertian berbeda dengan grapevine.
Rumor adalah informasi yang mengalir secara tidak resmi di dalam
lingkungan organisasi dan tidak berdasarkan fakta yang bisa di verifikasi
kebenarannya. Meski tidak berdasarkan fakta, kebanyakan khalayak justru
menganggap sebaliknya, rumor merupakan informasi yang bisa dipercaya
kebenarannya. Bagi mereka informasi tersebut merupakan respons terhadap
situasi yang dianggap penting, masih bersifat ambigu, dan menimbulkan
khawatirkan. Itulah sebabnya banyak karyawan yang lebih mengandalkan
rumor ketimbang informasi resmi sebagai informasi yang lebih benar. Secara
umum, rumor mempunyai empat tujuan, yaitu untuk mengurangi
kekhawatiran, menjadikan informasi yang terbatas tersebut masuk akal,
sebagai sarana untuk mengorganisasi sekelompok orang membentuk
kelompok atau koalisi, dan untuk menunjukkan status pemicu rumor di dalam
kehidupan organisasi.
Seperti halnya grapevine, rumor merupakan bagian tidak terpisahkan
dari informasi resmi yang dirilis manajemen. Hampir bisa dipastikan,
6.38 PERILAKU ORGANISASI e
-
~ ._ ~ __._, ..,.
- .
~-
'
$
0 -
..
_...,... LATIHAN
t
,e -
- :.
........
'(
L
----~
Namun sekali lagi jika dicermati lebih saksama harus diakui masih
adanya kekurangan dari definisi tersebut. Komunikasi yang berasal dari
kata communis mengandung pengertian saling memahami di antara
pihak-pihak yang berinteraksi. Komponen saling pengertian inilah yang
tidak tercakup dari definisi di atas. Akibatnya esensi komunikasi menjadi
hilang meski definisi tersebut memasukkan "makna yang dipindahkan"
sebagai unsur penting komunikasi.
2) Mitos "kebebasan berkomunikasi" sesungguhnya bukan persoalan yang
perlu diperdebatkan karena memperoleh informasi adalah hak setiap
orang. Persoalan menjadi berbeda jika komunikasi tersebut terjadi dalam
lingkup organisasi. Dalam kehidupan organisasi, komunikasi justru akan
menjadi semakin efektif jika ada pembatasan dalam komunikasi. Logika
yang melatarbelakangi pendapat ini adalah kebebasan informasi
menyebabkan timbulnya information overload - informasi berlebihan
yang tidak diperlukan bagi seseorang atau unit organisasi tertentu. Lebih
dari itu, information overload justru menyebabkan kebingungan karena
penerima informasi tidak mudah untuk menentukan informasi yang
dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan.
3) Untuk menghindari bias informasi, seharusnya aliran informasi
mengikuti j alur formal sej alan dengan struktur organisasi yang ada.
Namun dalam praktik tidak semua informasi mengalir mengikuti jalur
formal. Proses komunikasi kadang-kadang memiliki pola tersendiri di
luar jalur formal dan bahkan efektivitasnya tidak jarang melebihi
efektivitas komunikasi formal. Komunikasi yang mengalir di luar jalur
formal disebut komunikasi informal. Terbentuknya komunikasi informal
disebabkan karena karyawan merasa tidak puas dengan komunikasi
formal. Karyawan kadang-kadang lebih percaya dengan informasi yang
beredar di luar j alur res mi. Atau dengan kata lain, komunikasi formal
kadang dianggap tidak cukup dan perlu didukung oleh komunikasi
informal. Hal ini bisa diartikan pula bahwa para manajer tidak boleh
mengabaikan kehadiran komunikasi informal.
6.40 PERILAKU ORGANISASI e
RANGKUMAN
TES FORMATIF 1
1) Berikut ini adalah pernyataan yang benar tentang komunikasi, kecuali ....
A. komunikasi dimaksudkan agar kedua belah pihak bisa saling
memahami
B. komunikasi tidak harus dilalukan dengan orang lain melainkan bisa
dengan teknologi mesin
6.42 PERILAKU ORGANISASI e
3) Salah satu gaya komunikasi yang bisa dilalukan seseorang adalah ....
A. Gaya komunikasi nonverbal
B. Gaya socrates
C. Gaya komunikasi langsung
D. Conduit model
KEGIATAN BELAL.JAR 2
Menper-
hatikan 1\tlerren-
kepen- tingkan
tingan Altruism Kooperatif Konpettitf konflik diri
orang serrliri
lain
Gambar 6.5.
Kontinum Perilaku Interpersonal di Dalam Organisasi
1. Alturism
Sering juga disebut perilaku prososial atau dalam konteks organisasi
disebut organizational citizenship behavior-perilaku kewargaan organisasi
adalah perilaku yang dimotivasi untuk mendahulukan kepentingan orang lain
ketimbang dirinya sendiri. Orang yang bertindak untuk kepentingan orang
lain biasanya mau berkorban, apakah dalam bentuk fisik, mental atau emosi
tanpa berharap dapat kompensasi dari siapa pun. Termasuk dalam perilaku
altruism untuk hal-hal kecil, misalnya memegangi pintu agar tetap terbuka
6.46 PERILAKU ORGANISASI e
2. Kooperatif
Perilaku kooperatif hampir sama dengan perilaku altruistik sehingga
banyak yang salah paham seolah-olah pengertian keduanya sama. Padahal
perilaku altruistik dan kooperatif sesungguhnya berbeda. Perbedaan
keduanya terletak pada dampak bagi orang yang membantu orang lain. Jika
Anda membantu orang lain dan tidak berharap apa-apa maka perilaku
menolong tersebut adalah perilaku altruistik. Namun, Anda membantu orang
lain dan dengan membantu orang lain tersebut sesungguhnya Anda
membantu diri sendiri maka perilaku seperti ini disebut perilaku kooperatif.
Sebagai contoh, Anda dan seorang ternan kerja hendak membawa barang
berukuran besar ke lantai 5 sehingga mau tidak mau harus menggunakan lift.
Untuk memasukkan barang ke lift kedua orang ini harus bekerja sama di
mana orang pertama mendorong barang masuk ke lift dan yang satunya
menj aga pintu lift tetap terbuka agar barang tersebut bisa masuk lift. Perilaku
kerja sama kedua orang ini adalah perilaku kooperatif karena keduanya
sesungguhnya saling membantu.
3. Kompetitif
Istilah kompetisi sangat familier di telinga kita. Hampir setiap hari kita
disuguhi kegiatan-kegiatan yang bersifat kompetitif mulai dari kompetisi
sepak bola Liga Super Indonesia (LSI) sampai ke Olimpiade Sains Nasional
(OSN). Semua orang tabu dan karena aturannya demikian bahwa dalam
kegiatan yang bersifat kompetisi hanya akan menghasilkan satu orang atau
satu klub menjadi pemenang tidak peduli apakah itu LSI atau OSN. Contoh
ini memberi gambaran bahwa secara umum kompetisi merupakan interaksi
antara dua orang atau lebih atau antara dua pihak atau lebih di mana tidak
semua orang atau semua pihak bisa secara bersama-sama memenuhi
tujuannya. Keberhasilan seseorang atau satu pihak akan menghalangi orang
lain atau pihak lain untuk mencapai tujuannya. Kompetisi his a terj adi
antarkelompok, di dalam kelompok atau antarindividu. Berkaitan dengan hal
ini, yang dimaksud dengan perilaku kompetitif adalah perilaku yang berusaha
mengalahkan orang lain atau pihak lain demi mencapai tujuan.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.47
4. Konflik
Berbeda dengan kompetisi yang merupakan tindakan mengalahkan pihak
lain, konflik akan muncul jika seseorang atau satu pihak "menganggap"
orang lain atau pihak lain menghalangi dirinya untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki. Penjelasan ini menyiratkan bahwa konflik terjadi apabila dua
pihak memiliki tujuan yang bersifat mutually exclusive dan interaksi di antara
keduanya sengaja dimaksudkan untuk mengalahkan, menekan atau
mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Sebagai contoh, mandeknya
negosiasi antara serikat buruh dengan manajemen tentang kenaikan upah
sering kali menyebabkan pihak serikat buruh memutuskan untuk mogok
kerja. Tujuannya tidak lain agar pihak manajemen menuruti keinginan pihak
serikat kerja. Meski demikian kedua belah pihak tidak jarang bertahan pada
posisi masing-masing untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat di antara
keduanya. Konflik perburuhan ini merupakan salah satu contoh konflik
antarkelompok. Penjelasan lebih detail tentang persoalan konflik akan
dibahas pada bagian berikut ini.
•• ••
Positif •• ••
•• ••
0 •• ••
u •• ••
•• ••
T •• ••
c • •
•-. -· !\Clt}fl.i~.Y~!lll. m<l~~J2-!_.- ·-· .. -·-.-.-.-·-
0
Netral ·-·-·-·-·-·-· •• .•
•• ••
M •• ••
E Kon . ik ter- •• •• Kon•
terlalu
•• •• tmgg1
• •
s lalu rendah ••
••
••
••
Negatif •• ••
INTENSITAS
Gambar 6.6.
Hubungan antara lntensitas Konflik dan Hasilnya
Tampak pada Gambar 6.6 bahwa konflik yang moderat justru akan
menciptakan kinerja paling optimal. Konflik semacam ini oleh Tjosvold
10
disebut sebagai konflik yang konstruktif atau kooperatif dan secara umum
11
disebut sebagai functional conflict (konflik fungsional) karena berdampak
10
Lihat Dean Tjosvold. Learning to Manage Conflict.
11
A.C. Amason. (1996). Distinguishing the Effect of Functional and Dysfunctional
Conflict on Strategic Decision Making: Resolving a Paradox for Top Management
Teams. Academy of Management Journal. Hal. 33-52.
6.50 PERILAKU ORGANISASI e
Sementara itu, tidak ada atau rendahnya konflik dan konflik berlebihan
sangat potensial merugikan semua pihak yang terlibat dalam konflik di
samping merugikan organisasi secara keseluruhan. Konflik semacam ini
disebut sebagai konflik yang bersifat disfungsi (dysfunctional conflict) -
konflik yang tidak sehat. Jenis konflik inilah yang segera harus diatasi agar
tidak menjalar ke mana-mana.
Persepsi
tentang Hasil positif
konflik
Anteseden:
Ko rrunikasi
Struktur organis asi Kontlik
terbuka
Kepribadian
Merasakan
adanya
konflik Hasil negatif
Gam bar 6. 7.
Proses Terjadinya Konflik
6.52 PERILAKU ORGANISASI e
sebagai konflik terbuka jika salah satu pihak dengan sengaja melakukan
tindakan nyata untuk membuat pihak lain frustrasi atau untuk menghalang-
halangi pihak lain mencapai tujuannya. Perilaku konflik ini muncul dalam
berbagai ragam mulai dari perilaku yang halus, tidak langsung sampai
perilaku yang sangat terbuka yang sengaja untuk mengintervensi pihak lain.
C. TIPE KONFLIK
1. Konflik Kepribadian
Topik tentang kepribadian telah dibahas pada modul dua. Di sana
dikatakan bahwa setiap individu pasti memiliki kekhasan yang tidak mudah
berubah. Karakteristik individu yang tidak mudah berubah ini sering kali
menjadi salah satu sebab ketidakharmonisan dalam berinteraksi. Ambillah
contoh Anda seorang manajer dengan kepribadian "Tipe A" yang
menghadapi anak buah dengan Tipe B. Seperti dijelaskan sebelumnya
seseorang dengan kepribadian Tipe A adalah tipikal orang yang tidak sabar,
serba ingin cepat, tensinya tinggi dan kalau berbicara cenderung dengan
bahasa yang pragmatis. Sementara orang dengan Tipe B adalah tipikal orang
sebaliknya. Jika keduanya berinteraksi boleh jadi Si Anak buah akan selalu
"merasa tertekan" dan menganggap tuntutan Sang Manajer tidak masuk akal
dan berlebihan. Perasaan seperti inilah yang mengakibatkan kedua belah
pihak pada awalnya saling tidak suka dan seterusnya merembet ke persoalan
6.54 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 6.4.
Tips untuk Menyelesaikan Konflik Kepribadian
2. Konflik Antarkelompok
Konflik tidak hanya terjadi antarindividu, tetapi juga antarkelompok.
Konflik antarkelompok kerja, tim kerja atau antardepartemen kadang-kadang
tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga mengancam daya kompetisi
organisasi. Di antara penyebabnya adalah rebutan sumber daya yang terbatas
jumlahnya. Di samping itu, bibit konflik yang paling sering justru tingkat
kohesivitas kelompok atau tim. Sebagaimana kita ketahui, kohesivitas
kelompok atau tim sangat baik bagi mulusnya kerja kelompok atau tim.
Namun, perasaan "kekaitan" yang berlebihan menyebabkan timbulnya
groupthink -pikiran kelompok yang menganggap bahwa kelompoknya yang
paling benar, paling hebat, dan paling segalanya sehingga tidak sensitif
terhadap kelompok lain. Akibatnya, kelompok tersebut juga cenderung
resisten ketika kelompok lain mengkritiknya. Cara berpikir kelompok seperti
inilah yang menyebabkan konflik antarkelompok semakin merebak karena
semakin kohesif sebuah kelompok semakin menganggap kelompok lain
kurang bermakna. Secara umum, semakin kohesif sebuah kelompok perilaku
kelompok berikut akan muncul:
6.56 PERILAKU ORGANISASI e
12
G. Labianca, D.J. Brass and B. Gray. (1998). Social Networks and Perceptions of
Intergroup Conflict: The Role of Negative Relationships and Third Parties.
Academy of Management Journal. Hal. 55-57.
e EKMA41 58/MODUL 6 6.57
D. MANAJEMEN KONFLIK
Sej auh ini telah dibahas esensi konflik baik konflik fungsional maupun
disfungsional. Seorang manajer yang bertanggung jawab terhadap pencapaian
tujuan organisasi tentunya tidak boleh membiarkan konflik bergulir liar tanpa
arah. Membiarkan konflik berarti membiarkan dirinya terperangkap ke dalam
konflik. Sekalipun konflik fungsional tetap harus dikelola sebab perbedaan
antara konflik fungsional dengan disfungsional begitu tipis. Sebuah konflik
yang semula dianggap fungsional tiba-tiba bisa berubah menjadi
disfungsional, misalnya karena ada sebagian pihak yang merasa lelah, tidak
lagi punya energi untuk terus-menerus bersaing dengan pihak lain. Di sinilah
peran seorang manajer sangat diperlukan untuk terus-menerus mengelola,
menciptakan konflik fungsional, dan di saat yang menjaganya agar tidak
terjerumus ke arah konflik disfungsional. Hal ini perlu mendapat perhatian
13
Achmad Sobirin. (2007). Budaya Organisasi.
6.58 PERILAKU ORGANISASI e
14
R.A. Cosier and C.R. Schwenk. (1990). Agreement and Thinking Alike: Ingredient
for Poor Decision. Academy of Management Executive. Hal. ...
e EKMA41 58/MODUL 6 6.59
•
Menunjuk seseorang I
•
Mengidentiflkasi as umsi-
sekelompok orang untuk asumsi yang melatar-
mengkritisi proposal belakangi propos al
•
Kritik dis ampaikan kepada
•
M engajukan propos allain
pengambil keputus an yang berlawanan dengan
as urns i berbeda
•
M engumpulkan informasi
•
Masing-maing mempresentasikan dan
tambahan yang relevan memperdebatkan proposal untuk
dengan isu mendapatkan keputus an yang terbaik
•
Mengambil keputus an untuk
•
Mengambil keptus an untuk
mengadop si, memodif ikasi mengadopsi s alah s atu atau
atau menghentikan u sulan sebagian dari kedua propo sal
Gam bar 6. 7.
Teknik untuk Menciptakan Konflik Fungsional
§
~ Tinggi lntegrasi Akomodasi
·-~ ~c
~ • ....-4
..e-
l-i bO
Q.) c Komprorni
p.,~
8 1-<
0
a.> Rendah
~ Dominasi Mengindari
Tinggi Rendah
Gambar 6.8.
Model Manajemen Konflik
a. Integrasi
Gaya ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki kepentingan yang
tinggi untuk memenuhi tujuannya, tetapi pada saat bersamaan ia juga
bersedia membantu orang lain memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, ia
bersedia secara kooperatif untuk mengidentifikasi dan mendiskusikan
masalah, menemukan dan mengajukan alternatif solusi, serta memilih solusi
terbaik. Gaya integrasi sangat cocok untuk menangani masalah yang sangat
kompleks yang disebabkan karena misunderstanding. Kelebihan gaya ini
adalah persoalan bisa diselesaikan secara tuntas tanpa ada kekha watiran akan
berulang karena yang diselesaikan bukan hanya gejalanya saja, tetapi
persoalan sebenarnya. Meski demikian, untuk menyelesaikan masalah
dengan gaya integrasi biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.
b. Akomodasi
Seperti tampak pada gambar, akomodasi berarti seseorang mengabaikan
kepentingan dirinya demi untuk memenuhi kepentingan pihak lain. Jika
konflik diselesaikan dengan pendekatan ini mau tidak mau seseorang harus
mau bekerja sama dengan pihak lain. Semua perbedaan harus dikesamping-
kan dan perhatian harus difokuskan pada hal-hal yang memiliki kesamaan.
Kemauan bekerja sama merupakan kelebihan dari gaya ini, sedangkan
kelemahannya adalah penyelesaian masalah hanya bersifat temporer karena
e EKMA41 58/MODUL 6 6.61
c. Dominasi
Gaya ketiga sering disebut "win-lose solution" atau kadang-kadang
disebut gaya menekan. Disebut demikian karena lebih mempedulikan
kepentingan dirinya dan mengabaikan kepentingan pihak lain. Oleh sebab itu,
dengan gaya dominasi ada pihak yang merasa menang dan pihak lain merasa
kalah. Memanfaatkan otoritas formal biasanya digunakan dalam gaya ini
utamanya untuk menekan pihak lain agar mau mengikuti keinginan pihak
pertama. Gaya ini sangat cocok untuk mengimplementasikan penyelesaian
masalah yang tidak populer, isu yang dibahas hanya bersifat minor atau
penyelesaian masalah harus segera dilakukan. Jika sebuah persoalan
membutuhkan penyelesaian segera maka cocok menggunakan gaya ini.
Sayangnya gaya ini sering menimbulkan balas dendam bagi pihak yang
kalah.
d. Menghindar
Jika Anda tidak memberi perhatian pada kepentingan diri sendiri, namun
juga tidak memberi perhatian pihak lain untuk memenuhi tujuannya maka
taktik yang bisa Anda lakukan adalah menghindari konflik, baik dengan cara
menarik diri dari semua persoalan secara pasif maupun dengan cara menekan
isu secara aktif. Cara ini cukup efektif untuk mengatasi isu-isu sepele atau
jika berkonfrontasi langsung persoalan malah menjadi semakin buruk. Cara
ini tidak cocok untuk persoalan-persoalan sulit. Kelebihan dari cara ini
adalah persoalan diharapkan bisa selesai dengan berjalannya waktu. Hanya
saja, cara ini biasanya tidak menuntaskan pokok persoalan.
e. Kompromi
Sering disebut sebagai take-and-give approach karena kedua belah pihak
hanya secara moderat mempedulikan dirinya dan mempedulikan pihak. Cara
ini cocok digunakan jika kedua belah pihak memiliki kekuatan yang
seimbang atau memiliki tujuan yang saling berlawanan, tetapi tidak cocok
untuk digunakan terus-menerus jika hal ini justru mengakibatkan tindakan
yang tidak konklusif. Kelebihan pendekatan ini adalah tidak ada yang merasa
kalah meski penyelesaian persoalan hanya bersifat temporer.
6.62 PERILAKU ORGANISASI e
E. NEGOSIASI
Tipe Negosiasi
Secara tradisional ada dua tipe negosiasi, yaitu tipe distributif dan
integratif. Tipe pertama - distributif adalah mekanisme pengambilan
keputusan dalam negosiasi yang tujuannya untuk memenangkan tawar-
menawar. Dalam hal ini, salah satu pihak berusaha untuk memenangkan
tawar-menawar tanpa mempedulikan apakah pihak lawan merasa menang
atau kalah. Oleh karena itu, tidak jarang negosiator bersikukuh pada
pendirian awal (sebelum negosiasi) dan bergeming terhadap alternatif
penyelesaian. Akibatnya, proses negosiasi biasanya tidak bertele-tele dan
pihak lain dipaksa untuk kalah (win-lose) atau jika pihak lain juga bersikukuh
pada pendiriannya bukan tidak mungkin terjadi situasi di mana kedua-duanya
kalah (lose-lose) atau tidak terjadi kesepakatan. Tipe ini, layaknya dua orang
rebutan kue, satu pihak menginginkan bagian yang lebih besar dari pihak lain
atau jika tidak mungkin kuenya justru yang dihancurkan agar keduanya tidak
menikmati apa-apa. Oleh karena itu, salah satu pihak jika harapannya tidak
terpenuhi, tidak sungkan untuk meninggalkan proses negosiasi atau walk out.
Tipe kedua adalah integratif. Berbeda tipe pertama, dalam tipe ini
negosiator berusaha secara optimal untuk mencapai kesepakatan. Untuk itu,
tidak jarang kedua belah pihak mau berkolaborasi untuk mencapai
kesempatan yang sesungguhnya bukan kesepakatan semu seperti pada tipe
distributif. Layaknya dalam rebutan kue, kalau perlu kuenya yang diperbesar
agar kedua belah pihak mendapat porsi yang besar dan kedua-duanya tidak
ada yang merasa rugi. Dengan kata lain, tipe integratif merupakan tipikal
negosiasi di mana kedua belah pihak merasa menang (win-win). Untuk
mencapai tujuan tersebut maka seorang negosiator dituntut untuk memiliki
dan menggunakan skill sebagai (a) bisa menetapkan tujuan yang tidak biasa
(superordinate goals), (b) memisahkan orang dari persoalan, (c) fokus pada
pokok persoalan bukan pada posisi masing-masing, (d) menemukan opsi
pilihan untuk keuntungan bersama, dan (e) menggunakan kriteria yang
objektif. Jika kelima skill tersebut dikelompokkan lebih lanjut maka proses
negosiasi dapat dibedakan menjadi dua teknik negosiasi yang efektif, yaitu
sebagai berikut.
6.64 PERILAKU ORGANISASI e
Secara umum, perbedaan kedua tipe negosiasi di atas dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 6.5.
Perbedaan antara Tipe lntegratif dan Distributif
LATI HAN
•
---- ~ - .
RANGKUMAN
------------------------------------
TES FORMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Daftar Pustaka
R.A. Cosier and C.R. Schwenk. (1990). Agreement and Thinking Alike:
Ingredient for Poor Decision. Academy of Management Executive.
MDDUL 7
PENDAHULUAN
1
Edgar Sein. (1992). Organizational Culture and Leadership. 2nd edition. San
Francisco. CA: Jossey-Bass Publishers.
2
Kouzes, James M and Barry, Z. Posner. (1987). The Leadership Challenge. San
Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers; Kouzes, James M and Barry, Z. Posner.
(1993). Credibility. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
3
Nahavandi and Malekzadeh. (1993). Leader Style in Strategi and Organizational
Performance: An Integrative Framework. Journal of Management Studies, 30, 3, hal.
405-425.
7.2 PERILAKU ORGANISASI e
KEGIATAN BELAL.JAR 1
Kepemimpinan
4
A.D. Chandler, Jr. (1977). The Visible Hand: The Manajerial Revolution in
American Business. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
5
Bernard M. Bass. (1990). Bass and Stogdill's Handbook of Leadership. 3rd edition.
New York: The Free Press. Hal. 11-18.
7.4 PERILAKU ORGANISASI e
6
Ott, Steven J. (1996). Classic Readings in Organizational Behavior. Belmont, CA:
Wadworth Publishing Company.
7
F.E. Fiedler. (1967). A theory of Leadership Effectiveness. New York: McGraw Hill.
8
Daniel Katz and Robert Khan. (1978). The Social Psychology of Organization. 2nd
edition. New York: Willey and Sons. pp. 530-535.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.5
9
Locke, Edwin A; Kirkpatrick, Shelley; Wheeler, Jillk., Schneider; Niles, Kathryn;
Goldstein, Harold; Welsh, Kurt; Chah, Dong-Ok. (1991). The Essence of Leadership:
The Four Keys to Leading Successfully. New York: Lexintong Books.
7.6 PERILAKU ORGANISASI e
10
Locke, et al. (1991). Op cit.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.7
1. Pandangan Zaleznik
12
Zaleznik (1977) berpendapat bahwa pemimpin dan manajer sangat
berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, cara berpikir, serta
bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap
impersonal, pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap
pribadi (personal) dan aktif terhadap tujuan. Manajer cenderung memandang
kerja sebagai suatu proses yang memungkinkan, mencakup suatu kombinasi
dari orang dan gagasan yang berinteraksi untuk menetapkan strategi dan
11 .
· Burns, MacGregor J. (1978). Leadershlp. New York: Harper & Row ..
12
Zaleznik. (1977). Manager and Leader, Are They Different? The Harvard Business
Review. May-June.
7.8 PERILAKU ORGANISASI e
2. Pandangan Kotter
13
Dengan alasan yang berbeda Kotter (1990) juga berpendapat bahwa
kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen menyangkut upaya
mengatasi kerumitan (complexity). Manajemen yang baik menghasilkan tata
tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang
struktur organisasi yang ketat, dan memantau basil melalui pembandingan
dengan rencana. Kepemimpinan sebaliknya, menyangkut mengatasi
perubahan. Pemimpin menetapkan arah tujuan dengan mengembangkan suatu
visi masa depan, kemudian mereka mempersekutukan orang dengan
mengkomunikasikan visi ini dan mengilhami mereka untuk mengatasi
rintangan-rintangan. Kotter menganggap baik kepemimpinan yang kuat
maupun manajemen yang kuat sebagai faktor penting bagi efektivitas
organisasi yang optimum.
3. Pandangan Bennis
14
Bennis (1994) memandang perbedaan antara pemimpin dan manajer
sebagai perbedaan antara mereka yang menguasai lingkungan dan mereka
yang menyerah kepadanya.
Ada perbedaan-perbedaan lain yang patut mendapat perhatian.
Perbedaan-perbedaan ini sangat besar dan penting, seperti tercantum pada
Tabel 7.1.
13
Kotter, John, P. (1988). The Leadership Factor. New York: The Free Press.
14
Bennis, Waren. (1994). On Becoming A Leader. Terjemahan. Jakarta: Elex Media
Komputinda.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.9
Tabel 7.1.
Perbedaan antara Manajer dan Pemimpin/ Leader
Mana·er Leader
a. Mengelola (administers) a. Menemukan (innovates)
b. Meniru (a copy) b. Orisinal (origina~
c. Mempertahankan c. Mengembangkan
d. Berfokus pada sistem dan struktur d. Berfokus pada orang
e. Bergantung pada pengawasan e. Membangkitkan kepercayaan
f. Berorientasi jangka pendek f. Memiliki perspektif yang jauh ke de pan
g. Bertanya bagaimana dan kapan g. Bertanya apa dan mengapa
h. Berorientasi pada hasil akhir h. Berorientasi ke masa depan
• •
I. Meniru (imitates) I. Memulai (originates)
j. Menerima status quo j. Menerima tantangan (challenges it)
k. Melakukan hal-hal dengan benar (The k. Melakukan hal-hal yang benar (The
mana ver does thin vs riqhts leader does ri h tthinqs
Sumber: Bennis, (1994).
C. PERLUNYA KEPEMIMPINAN
Gambar 7.1.
Pola Kepemimpinan Organisasi
E. TEORI KEPEMIMPINAN
15
Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David Shriberg and Mary Lynn Williamson. (1997).
Practicing Leadership: Principles and Applications. New York: John Wiley & Son
Inc. Chapter 3, hal. 39-53.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.13
16
Untuk memperoleh gambaran tentang Sejarah Perkembangan Studi Kepemimpinan,
lihat Afsaneh Nahavandi. (1997). The Art and Science of Leadership, Upper Saddle
River. New Jersey: Prentice Hall International.
7.14 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 7.2.
Ringkasan Hasil Studi Teori Sifat
Grid 9.1 adalah tipikal manajer yang otokratik sehingga sering disebut
sebagai authority compliance management. Manajer semacam ini lebih
mengedepankan usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja dan mencapai
tujuan organisasi, namun cenderung mengesampingkan atau hanya sedikit
rasa tanggung jawabnya pada orang-orang yang bekerja dalam organisasi.
Lebih dari itu gaya kepemimpinannya lebih menonjolkan sifat otokratis.
Selain empat gaya yang ekstrem di atas, ada satu gaya yang berada di
tengah-tengah yang disebut middle-of-the-road management- kepemimpinan
j alan tengah. Tipikal pemimpin seperti ini digambarkan dengan posisi
grid 5.5. Dalam hal ini, manajer mempunyai pemikiran yang medium baik
pada produksi maupun pada orang-orang. Dia berusaha mencoba
menciptakan dan membina moral orang-orang yang bekerja dalam organisasi
yang dipimpinnya, produksi dalam tingkat yang memadai, tidak terlampau
tinggi sehingga sulit dicapai, serta terbaik hati mendorong orang -orang untuk
bekerja lebih baik.
9. 9 Team management 9
1. 9 Country club management
8
6
5.5 Middle-of-the-road management
3
1.1 Impoveris hed management 9.1 Authority compliance management
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 7.2.
Leadership Grid
7.20 PERILAKU ORGANISASI e
Pemimpin
Gay a
Sifat
Pendekatan Prilaku
Kontingensi Posisi
Kebutuhan Tugas
Pengikut Kamatangan Struktur Situasi Hasil
Pelatihan System Kinerja dan Kepuasan kelja
Kohesivitas Lingkungan
Gambar 7.3.
Perbedaan antara Pendekatan Universal dan Kontingensi
e EKMA41 58/MODUL 7 7.21
Tabel 7.3.
Skala LPC
Pikirkan seseorang di mana Anda tidak dapat bekerja sama dengannya dengan baik. Boleh
jadi seseorang tersebut adalah orang yang masih bekerja sama dengan anda, atau
seseorang yang pernah bekerja sama dengan Anda sebelumnya. Tidak harus orang tersebut
adalah orang yang Anda kurang sukai tetapi orang yang paling sulit ketika diminta
men''elesaikan :>eker'aan. Menu rut Anda oran~ terse but adalah oran~ van~ ............ .
Menyenangkan 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak menyenangkan
Bersahabat 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak bersahabat
Menolak 1 2 3 4 5 6 7 8 Menerima
Membantu 8 7 6 5 4 3 2 1 Frustasi
Tidak antusias 1 2 3 4 5 6 7 8 Antusias
Tegang 1 2 3 4 5 6 7 8 Relaks
Berjarak 1 2 3 4 5 6 7 8 Dekat
Dingin 1 2 3 4 5 6 7 8 Hangat
Kooperatif 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak kooperatif
Mendukung 8 7 6 5 4 3 2 1 Bermusuhan
Membosankan 1 2 3 4 5 6 7 8 Menarik
Suka bertengkar 1 2 3 4 5 6 7 8 Harmoni
Yakin 8 7 6 5 4 3 2 1 Ragu-ragu
Efisien 8 7 6 5 4 3 2 1 Tidak efisien
Pemurung 1 2 3 4 5 6 7 8 Riang gembira
Terbuka 8 7 6 5 4 3 2 1 Berhati-hati
Cara kerj a kuesioner ini adalah sebagai berikut. Seseorang diminta untuk
menunjuk atau mengingat orang lain yang pernah atau sedang bekerja
dengannya yang dianggap sebagai ternan kerja yang paling tidak disukai
(least preferred co-worker). Selanjutnya, gambarkan atau berilah penilaian
terhadap orang lain tersebut menggunakan keenam belas pertanyaan di atas.
Jika secara keseluruhan orang lain tersebut digambarkan secara positif (nilai
LPCnya tinggi) maka gaya kepemimpinan seseorang lebih berorientasi pada
orang. Sebaliknya, apabila nilai LPCnya rendah yang berarti menggambarkan
ternan kerja secara negatif, menunjukkan gaya kepemimpinan berorientasi
tugas. Sebagai contoh, Ponijo memiliki ternan kerja Walimin dan Ponijo
menilai W alimin sebagai orang yang menyenangkan, bersahabat, suka
membantu, dan nilai-nilai positif lain meski Walimin merupakan orang yang
e EKMA41 58/MODUL 7 7.23
Situasi
Berdasarkan penilaian LPC seperti tersebut di atas, Fiedler selanjutnya
mencocokkannya dengan situasi yang paling menguntungkan. Menurut
Fiedler apakah pemimpin dengan nilai LPC tinggi atau pemimpin dengan
nilai LPC rendah lebih efektif sangat tergantung pada situasi yang paling
menguntungkan. Pada situasi tertentu pemimpin dengan LPC tinggi lebih
efektif, tetapi pada situasi lain justru pemimpin dengan LPC rendah yang
lebih efektif. Situasi yang menguntungkan tersebut ditentukan oleh tiga
variabel, yaitu (1) apakah hubungan antara pimpinan dengan pengikutnya
relatif baik atau buruk, (2) apakah tugas yang harus dikerjakan lebih
terstruktur atau tidak terstruktur, dan (3) apakah posisi kekuasaan pemimpin
relatif kuat atau lemah.
Untuk menguji model yang dikembangkannya, Fiedler dan ternan-ternan
sekelompoknya mengembangkan instrumen untuk mengukur ketiga variabel
di atas. Selanjutnya, Fiedler mengelompokkan masing-masing kelompok ke
dalam salah satu dari delapan kategori sesuai dengan kriteria yang digunakan,
yaitu skala situasi paling menguntungkan pada satu ekstrim dan skala situasi
paling tidak menguntungkan pada ekstrim yang lain. Hasilnya seperti tampak
pada Gambar 7 .4, situasi yang paling menguntungkan terjadi ketika
hubungan pemimpin dengan bawahan sangat baik, tugas-tugas sangat
terstruktur dan posisi kekuasaan sangat kuat. Sebaliknya, situasi yang paling
tidak menguntungkan terjadi apabila hubungan pemimpin dengan bawahan
sangat buruk, tugas-tugas tidak terstruktur, dan posisi pemimpin sangat
lemah.
Sang at Sangat tidak
menuntungkan menuntungkan
r
~------------------------------------------------------------~
Struktur Togas Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah
Gambar 7.4.
Situasi Paling Menguntungkan Diukur dari Tiga Variabel
7.24 PERILAKU ORGANISASI e
I
K '•
•
•
•
•
I
N I~
I
• •
E '• '•
•
R '
• •
I
'•
•
I
J • •
~·~·~·~·~·~·~·~·~·~J
A
M ennguntungkan Mode rat Tidak menguntungkan
Buruk
2 : 5 7
- L. 6
SITUASI
Gambar 7.5.
Kecocokan antara Pemimpin dengan Situasi
4. Teori Situasional
Paul Hersey and Ken Blanchard mengembangkan model kepemimpinan
situasional yang mengkombinasikan tiga variabel, yaitu (a) Task behavior -
perilaku berorientasi tugas; menunjukkan sejauh mana pemimpin
memberikan tugas individu/kelompok, kegiatan, dan tanggung jawab kepada
bawahan sebagai bagian untuk mencapai tujuan, pengorganisasian,
penjadwalan, serta pengarahan dan pengendalian, (b) Relationship behavior;
menunjukkan pada perilaku pemimpin dalam berkomunikasi dengan para
pengikut, seperti mendengarkan, memberi support, memfasilitasi interaksi,
memberi feedback, dan mendukung indi vidu dan kelompok, serta (c) tingkat
kesiapan atau kematangan para pengikut/karyawan dalam menjalankan
fungsi organisasi dan/atau mengerjakan tugas tertentu.
Variabel pertama dan kedua - task behavior dan relationship behavior
pada dasarnya merupakan dimensi hubungan antara pemimpin dengan
bawahan seperti telah dibahas pada teori perilaku. Oleh karena itu, teori
kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey and Blanchard
sejatinya merupakan pengembangan teori kepemimpinan berbasis perilaku.
Hanya saja Hersey and Blanchard tidak semata-mata fokus pada perilaku
pemimpin, tetapi juga kesiapan atau kematangan para pengikut atau bawahan
sebagai penentu perilaku pemimpin. Maksud dari kesiapan para pengikut
adalah kemampuan dan kemauan para pengikut bertanggung jawab untuk
mengarahkan perilakunya terkait dengan tugas yang dikerjakannya. Oleh
karena masing-masing individu memiliki kesiapan berbeda untuk tugas
berbeda maka kepemimpinan yang efektif menuntut para pimpinannya untuk
menyesuaikan perilaku masing-masing agar cocok dengan kesiapan para
pengikut. Kesiapan para pengikut ditentukan oleh dua faktor, yaitu job
maturity dan psychological maturity. Job maturiy adalah kemampuan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu dan merupakan fungsi dari
pengetahuan dan keterampilan. Sementara itu, yang dimaksud dengan
psychological maturity adalah kemauan seseorang untuk mengerjakan
sesuatu dan merupakan fungsi dari komitmen dan kepercayaan diri.
Berdasar kesiapan para pengikut di atas dan dua dimensi perilaku
kepemimpinan pada akhirnya dihasilkan empat gaya kepemimpinan (lihat
Gambar 7 .6) yaitu sebagai berikut.
a. S 1: Telling
Pemimpin mengatakan pada pengikutnya mengenai apa, di mana dan
kapan tugas harus dilakukan. Gaya kepemimpinan ini cocok jika para
7.26 PERILAKU ORGANISASI e
S3 S2
s4 s1
Tuga s tinggi
R e la s i r e ndah R e la s i r e ndah
R e ndah
Tu g a s rendah
R e ndah T in gg i
Prilaku b e rori e nta s i tuga s
e EKMA41 58/MODUL 7 7.27
Gambar 7.6.
Model Kepemimpinan Situasional
5. Path-Goal Theory
Teori kepernimpinan situasional selain dikembangkan Hersey and
Blanchard, juga dikembangkan Robert House yang disebut Path-Goal
Theory. Teori ini cukup populer karena didasarkan pada teori motivasi -
expectancy theory (teori pengharapan). Path-Goal Theory menjelaskan
bagaimana seorang pemimpin dapat memfasilitasi pelaksanaan tugas dengan
menunjukkan kepada bawahan bahwa kinerja mereka bisa menjadi sarana
untuk memperoleh penghargaan yang diharapkan. Seperti halnya dengan
expectancy theory, pada dasarnya path-goal theory menjelaskan apa yang
bisa dilakukan seorang pemimpin untuk mempengaruhi persepsi bawahan
tentang pekerjaan mereka, tujuan individu bawahan, dan berbagai macam
jalan (path) untuk mencapai tujuan.
Menurut path-goal theory, fungsi kepemimpinan ada dua, yaitu
(a) menjelaskan kepada bawahan dan membantu mereka memaharni perilaku
yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerj aan, dan (b) meningkatkan
jumlah penghargaan yang disediakan untuk mereka dengan cara memberi
dukungan kepada bawahan dan memberi perhatian terhadap kebutuhan
personal mereka. Untuk menjalankan fungsi tersebut, seorang pernimpin
dapat menerapkan salah satu dari empat gaya kepernimpinan, yaitu sebagai
berikut.
7.28 PERILAKU ORGANISASI e
a. Kepemimpinan direktif
Pimpinan memberitahu bawahan apa yang diharapkan dari mereka. Di
samping itu, pimpinan juga memberi petunjuk, standar kerja, dan skedul
kerja.
b. Kepemimpinan suportif
Pemimpin memperlakukan bawahan dengan kedudukan setara, dan
menunjukkan perhatiannya terhadap kesejahteraan, status, dan
kebutuhan personal mereka. Selain itu, pemimpin juga berusaha
membangun hubungan interpersonal yang menyenangkan.
c. Kepemimpinan partisipatif
Pemimpin bersedia berkonsultasi kepada bawahan dan menggunakan
saran dan ide mereka dalam pengambilan keputusan.
d. Kepemimpinan berorientasi prestasi
Pemimpin menciptakan tantangan-tantangan yang menarik bawahan,
mengharapkan bawahan untuk mengeluarkan segala kemampuannya,
dan terus-menerus mengupayakan agar kinerja semakin membaik.
Satu hal yang patut mendapat perhatian terkait dengan path-goal theory
adalah adanya asumsi bahwa keempat gaya kepemimpinan di atas dapat
dilakukan oleh seorang manajer pada waktu berbeda dan pada situasi
berbeda. Artinya, apabila suatu ketika seorang manajer menerapkan gaya
kepemimpinan direktif, tetapi tiba-tiba situasinya berubah dan menuntut,
misalnya, manajer untuk merupakan gaya kepemimpinan partisipatif maka
sangat dimungkinkan bagi manajer tersebut untuk merubah gaya
kepemimpinannya. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa gaya
kepemimpinan seseorang sangat tergantung pada situasi yang melingkupinya.
Secara umum, faktor situasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu karakteristik
bawahan/pengikut dan faktor lingkungan. Karakteristik bawahan yang dapat
mempengaruhi gaya kepemimpinan adalah sebagai berikut.
a. Locus of control
Seperti telah dijelaskan pada modul kepribadian, locus of control adalah
keyakinan seseorang berkaitan dengan faktor yang menentukan
penghargaan. Seseorang dengan internal locus of control meyakini
bahwa penghargaan akan diperoleh atas usaha sendiri. Sedangkan
seseorang dengan external locus of control beranggapan bahwa
penghargaan ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya. Seseorang dengan
internal locus of control dengan demikian lebih suka dengan
e EKMA41 58/MODUL 7 7.29
Karakteristik Pengikut
1. Locus of control
2. Authoritarianism
3. Kemampuan
Gaya Kepemimpinan ~
Pengikut Hasil
1, Direktif \ 1. Kepuasan kerj a
2. Supportif Motivasi
\ 2. Kinerja
3. Partisipatif .............
-v Persepsi -v 3.Pengakuanterhadap
• •
4. Berorientasi basil OeffilffiDlll
Faktor lingkungan
l.Tugas
2. Sistem otoritas
3. Kelompok kerj a
Gam bar 7. 7.
Model Kepemimpinan Path-Goal Theory
7.30 PERILAKU ORGANISASI e
17
Teori-teori kepemimpinan seperti yang telah dibahas sebelumnya
sering disebut teori klasik. Dalam perkembangannya meski teori -teori
tersebut masih banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena
kepemimpinan, muncul teori-teori kontemporer yang lebih berorientasi
perubahan. Dua di antaranya akan dibahas di sini, yakni kepemimpinan
kharismatik dan kepemimpinan transformational.
1. Kepemimpinan Kharismatik
lstilah karisma sesungguhnya bukan istilah baru. lstilah ini sudah
digunakan oleh Max Weber ketika menjelaskan pentingnya teori birokrasi.
Meski demikian, istilah karisma khususnya ketika dikaitkan dengan konsep
kepemimpinan, baru muncul pada tahun 1970-an. Salah satu dasar
pemahaman tentang kepemimpinan kharismatik adalah konsep hubungan
antara pemimpin dengan para pengikutnya, bukan sekadar sifat pemimpin
dan karakteristik pribadi pemimpin. Pemimpin karismatik didefinisikan
sebagai pemimpin yang memberikan efek emosional secara mendalam
kepada para pengikutnya. Pemimpin dipersepsi bukan semata-mata sebagai
bos, tetapi lebih sebagai role model dan pahlawan yang memiliki kehidupan
luar biasa ketimbang kehidupan sehari-hari mereka.
Pada umumnya, pemimpin karismatik muncul sebagai pemimpin bukan
sengaja ditunjuk secara formal sebagai pemimpin. Kalaulah pemimpin
karismatik ditunjuk secara formal, dia sebelumnya sudah diakui sebagai
pemimpin. Artinya, ditunjuk atau tidak ditunjuk secara formal, pemimpin
karismatik dengan sendirinya adalah seorang pemimpin. Penunjukan secara
formal hanyalah tahap akhir untuk mengukuhkan bahwa seorang pemimpin
karismatik diakui secara formal sebagai pemimpin. Pertanyaannya adalah
bagaimana seseorang bisa diakui sebagai pemimpin karismatik? Salah satu
komponen penting pemimpin karismatik adalah para pengikut merasa tidak
cocok dengan kepemimpinan yang sedang berjalan sehingga mereka
berupaya untuk mencari pengganti pemimpin lain sebab kalau tidak mereka
yakin bahwa organisasi akan mengalami krisis berkepanjangan. Selain alasan
krisis kepemimpinan, seorang pemimpin karismatik akan muncul ke
17
Untuk memperoleh gambaran tentang Sejarah Perkembangan Studi Kepemimpinan,
Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David Shriberg and Mary Lynn Williamson. (1997).
e EKMA41 58/MODUL 7 7.31
Tabel 7.4.
Karakteristik Pemimpin Karismatik
pula; para pengikut memiliki loyalitas dan rasa taat yang tinggi; para
pengikut menyayangi pemimpinnya; para pengikut memiliki ekspektasi
kinerja yang tinggi; dan para pengikut sangat patuh.
2. Kepemimpinan Transaksional-Transformasional
Konsep kepemimpinan transformational pertama kali dikembangkan
oleh Burns pada tahun 1978. Dalam hal ini, Burns membedakan antara
kepemimpinan transaksional dengan kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transaksional adalah tipikal kepemimpinan yang lebih
menekankan pada transaksi interpersonal antara pemimpin dan karyawan
yang melibatkan hubungan pertukaran (exchange). Karyawan memperoleh
imbalan segera (immediate) dan nyata (tangible) apabila memenuhi perintah
18
pemimpin . Menurut Burns (1978), pemimpin transaksional memotivasi
bawahannya melalui pemberian imbalan kontingen (contingent reward) dan
manajemen perkecualian (management by exception). Sementara itu,
kepemimpinan transformasional adalah seseorang yang memiliki kharisma
yang mampu melakukan stimulasi intelektual para bawahannya sehingga
bawahan mampu menggunakan cara baru dalam menghadapi masalah-
masalah organisasi. Karakteristik kepemimpinan transformasional ditujukan
melalui empat faktor perilaku, yaitu inspirational motivation, konsiderasi
individual, stimulasi intelektual, serta idealized influence kharismatik.
(Bassm 1985; 1990 b).
Konsep kepemimpinan transformasional-transaksional dapat dijelaskan
dalam Tabel 7.5.
Tabel 7.5.
Karakteristik Pemimpin Transformasional dan Pemimpin Transaksional
Pemimpin Transformasional
1. Kharisma: memberi visi, misi, menanamkan rasa gangga, mendapatkan rasa hormat,
dan kepercayaan dari bawahan.
2. lnspirasi: mengkomunikasikan ekspektasi tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk
memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara-cara yang
sederhana.
3. Simulasi intelektual: menghargai kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah
secara hari-hari.
4. Konsiderasi yang bersifat individual: memberikan perhatian secara personal,
memperlakukan karyawan secara individual, melatih, memberi bimbin~ an.
18
Burns, MacGregor J. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.33
Pemimpin Transaksional
1. lmbalan kontingen: kontrak pertukaran imbalan atas usaha, menjanjikan imbalan bagi
kinerja yang baik, dan menghargai prestasi kerja.
2. Management by exception (aktif): mengawasi dan mencermati penyimpangan dari
berbagai aturan dan standar, melakukan tindakan perbaikan.
3. Management by exception (pasiD: melakukan intervensi hanya bila standar tidak
terpenuhi.
4. Laissez faire: mele:>askan tan~~~ un~ ·awab, men~ hindari pen~ ambilan ke:>utusan.
Sumber: Bass, (1990).
Tabel 7.6.
Ciri-ciri Karakter Pemimpin
LATIHAN
RANGKUMAN
TES FDRMATIF 1
KEGIATAN BELAL.JAR 2
Kekuasaan
areth Morgan dalam bukunya yang sangat terkenal "Images of
Organization" mengungkapkan berbagai cara untuk memahami
organisasi. Salah satunya yang terkait Kegiatan Belajar 2 ini adalah
organisasi sebagai arena politik - organization as political arena. Dengan
cara pandang seperti ini fokus perhatian orang-orang yang terlibat di dalam
kehidupan organisasi bukan efekti vitas atau rasionalitas dalam mencapai
tujuan organisasi melainkan bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan
(power) sehingga dirinya bisa berpengaruh terhadap orang lain atau bahkan
organisasi secara keseluruhan. Di samping itu, cara pandang ini juga
berasumsi bahwa kekuasaan bukan merupakan hadiah atau anugerah yang
diberikan orang lain secara cuma-Cuma, tetapi sesuatu yang harus
diperjuangkan dan diperebutkan untuk mendapatkannya. Sebagai contoh,
ketika seorang direktur keuangan membagi anggaran untuk masing-masing
unit organisasi, sebagian orang menganggap bahwa proses pembagian
anggaran hanyalah pekerjaan rutin direktur keuangan. Namun, sebagian yang
lain mungkin memaknainya dengan cara berbeda, yakni menganggap bahwa
direktur keuangan memiliki kekuasaan lebih sehingga bisa menentukan siapa
yang harus mendapat anggaran lebih banyak dan siapa yang cukup
sekadarnya. Oleh karena itu, dalam kacamata politik dan kekuasaan,
anggaran bukan semata urusan finansial, tetapi juga arena untuk
memperebutkan sumber daya yang jumlahnya terbatas. Dengan kata lain,
setiap jengkal organisasi merupakan arena politik di mana setiap orang bisa
memperebutkan kekuasaan.
Membicarakan kekuasaan dan politik dalam konteks perilaku organisasi
dengan demikian merupakan topik pembicaraan yang wajar dan tidak bisa
terhindarkan. Kedua topik ini sesungguhnya merupakan bagian integral dari
proses organisasi yang harus dipahami oleh setiap orang dalam kehidupan
organisasi. Hanya saja topik ini sering menimbulkan rasa tidak nyaman
karena kekuasaan dan politik organisasi memiliki konotasi negatif. Ketika
seseorang menggunakan kekuasaannya dan memainkan peran politiknya di
dalam organisasi utamanya ketika mereka mencoba mencapai suatu tujuan,
kadang-kadang kita secara cepat menuduhnya tidak bermoral atau tidak etis.
Meski harus diakui bahwa penggunaan kekuasaan berlebihan sering berakibat
e EKMA41 58/MODUL 7 7.41
Tabel 7. 7.
Definisi lstilah
lstilah Definisi
Kapasitas seseorang mempengaruhi perilaku orang lain;
Kekuasan kemampuan satu pihak untuk mengatasi resistensi pihak lain
dalam mencapai tu'uan or~ anisasi.
Menjalankan kekuasaan secara sah yakni seseorang memiliki
legitimasi untuk menjalankan kekuasaan karena peran yang
Otoritas
dimainkan relevan dengan kedudukan seseorang di dalam
• •
or amsas1.
Kapasitas seseorang untuk menentukan perilaku yang bisa
•
Control diterima dan menJaga seseorang agar tidak berperilaku
menvimpan<
Pengaruh inkremental, yakni kemampuan seseorang menjadikan
Kepemimpinan orang lain secara sukarela mematuhi keinginan-keinginannya
karena terinspirasi dan termotivasi orang tersebut.
Penggunaan kekuasaan di dalam organisasi untuk memperoleh
Politik
hasil 'an lebih disukai.
1. Kekuasaan
Definisi kekuasaan seperti tampak pada Tabel 7.7 tidak jauh berbeda
dengan definisi kekuasaan yang dikemukakan Sosiolog Jerman Max Weber:
power is the probability that one actor within social relationship would be in
the position to carry out his own will despite resistance - kekuasaan adalah
sebuah kemungkinan yang menjadikan seorang aktor, dalam hubungan sosial
kemasyarakatan, berada dalam posisi untuk melaksanakan keinginannya
7.42 PERILAKU ORGANISASI e
tanpa mempedulikan resistensi dari pihak lain. Secara tidak langsung, definisi
ini menegaskan bahwa setiap individu sesungguhnya memiliki kekuasaan
tidak peduli apakah dia seorang manajer atau bukan; tidak peduli apakah dia
seorang pemimpin atau bukan. Selama seseorang mampu mempengaruhi
orang lain untuk melakukan tindakan yang sesungguhnya tidak dikehendaki,
selama itu pula dia memiliki kekuasaan. Dalam konteks organisasi misalnya,
bahkan seorang konsumen sekalipun bisa memiliki kekuasaan. Konsumen
bisa memaksa organisasi melakukan tindakan bagi kepentingan dirinya.
Sederhananya, kekuasaan adalah suatu kekuatan yang menghasilkan
perubahan perilaku di mana perubahan tersebut tidak akan terjadi jika tidak
ada kekuatan yang memaksanya. Dari penjelasan ini bisa dikatakan bahwa
kekuasaan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut.
a. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dan
setiap orang sesungguhnya memiliki kekuasaan terlepas bahwa dia
menggunakan kekuasaan tersebut atau tidak. Kekuasaan yang belum
digunakan disebut kekuasaan potensial (potential power).
b. Kekuasaan hanya ada bergantung bagaimana orang lain memandangnya.
Apakah seseorang dianggap memiliki kekuasaan atau tidak bergantung
pada penilaian orang lain apakah orang tersebut memang memiliki
kekuasaan.
c. Kekuasaan di dalam organisasi bukan suatu anugerah atau pemberian
orang lain, tetapi sesuatu yang diperjuangkan. Setiap individu pada
dasarnya memiliki potensi untuk meningkatkan atau mengurangi
kekuasaan yang dimilikinya.
2. Otoritas
Sebagaimana definisi di atas mensinyalkan, otoritas berbeda dengan
kekuasaan. Di satu sisi, kekuasaan merepresentasikan kapasitas seseorang
atau sekelompok orang untuk membuat orang lain atau kelompok lain patuh.
Meski dengan kekuasaan seseorang bisa membuat orang lain patuh, tetapi dia
tidak mempunyai hak, kecuali kemampuan, untuk membuat orang lain patuh.
Di sisi lain, otoritas menunjukkan hak yang dimiliki seseorang untuk
menjadikan orang lain patuh. Dengan demikian, otoritas merupakan
kekuasaan yang sah (legitimate) atau legitimate power. Di dalam organisasi,
otoritas terkait dengan hierarki organisasi. Misalnya, seorang supervisor
memiliki otoritas untuk mempengaruhi perilaku bawahannya. Namun, di saat
yang sama supervisor tersebut juga harus patuh pada atasan. Secara tidak
langsung, hierarki organisasi menunjukkan struktur otoritas di dalam
• •
organ1sas1.
3. Control
Control adalah bentuk akhir dari pengaruh. Dengan control perilaku-
perilaku yang bisa diterima ditetapkan dan setiap individu atau kelompok
dij aga agar tidak berperilaku selain yang telah ditetapkan. Kamera
tersembunyi dan perlengkapan keamanan lainnya didesain untuk mengawasi
aliran barang dan menghindari terjadinya pencurian. Demikian juga lampu
pengatur lalu lintas (traffic light), batas kecepatan dan barikade sengaja
dipasang untuk mengawasi pengendara kendaraan dan menjaga keselamatan
mereka.
4. Politik
Pada dasarnya politik terkait dengan kekuasaan. Dalam hal ini, politik
adalah menggunakan kekuasaan di dalam organisasi. Ketika seseorang secara
sadar berupaya untuk memperoleh, mengembangkan, dan menggunakan
kekuasaan dalam rangka mencapai tujuannya maka orang tersebut sedang
melakukan akti vitas politik. Penggunaan politik sesungguhnya tidak
diperlukan jika tidak ada pihak lain yang berseberangan atau resisten.
Dengan kata lain, akti vitas politik hanya diperlukan untuk mengatasi
resistensi atau jika ada pihak lain yang tidak sependapat. Seperti halnya
7.44 PERILAKU ORGANISASI e
a. Saling bergantung
lnterdependen atau saling bergantung antara satu pihak dengan pihak
lainnya merupakan faktor potensial yang bisa menimbulkan konflik, dan oleh
karenanya muncul kebutuhan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Saling
bergantung muncul karena adanya kerja sama antara satu pihak dengan pihak
lain di mana pekerjaan satu pihak mempengaruhi pekerjaan pihak lain. Oleh
karena kebergantungan itulah masing-masing pihak mencoba memperhatikan
pekerj aan dan basil kerj a pihak lain. Di sinilah munculnya bibit konflik
karena bukan tidak mungkin salah satu pihak berusaha dengan kekuasaannya
untuk mempengaruhi pihak lain.
b. Kelangkaan
Ketika sumber daya organisasi melimpah dan setiap orang atau setiap
kelompok dapat memperoleh sumber daya yang diinginkan, hampir bisa
dipastikan tidak akan terj adi konflik dan tidak ada alas an bagi seseorang atau
sekelompok orang untuk menggunakan pengaruhnya terhadap pihak lain.
Sebaliknya, apabila terjadi kelangkaan sumber daya pilihan-pilihan alokasi
harus dilakukan. Semakin sumber daya langka semakin besar pula kekuasaan
dan pengaruh digunakan.
19
Jeffrey Pfeffer. (1981). Power in Organization. Marshfield, Mass.: Pitman
Publishing Inc. Chapter 3.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.45
Langka
Saling Tujuan yang
bergantung heterogen
Konflik
Meng-
gunakan
kekuasa-
an
Politik
Gambar 7.8.
Tiga Kondisi yang Menimbulkan Konflik dan Politik
7.46 PERILAKU ORGANISASI e
1. Somber Kekoasaan
Setelah memahami bahwa seseorang atau sekelompok orang bisa
memiliki kekuasaan lebih ketimbang orang lain atau kelompok lain,
pertanyaannya adalah dari mana mereka memperoleh kekuasaan? Untuk
menjawab pertanyaan ini bahasan akan dibagi dua, yaitu sumber kekuasaan
individu dan sumber kekuasaan kelompok atau organisasi.
Tabel 7.8.
Sumber Kekuasaan
lstilah Definisi
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia menempati posisi
Legitimate power
formal di dalam organisasi. Orang lain mau patuh kepadanya
karena mereka vakin terhadap le itimasi peme an' kekuasaan.
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia memiliki akses untuk
menentukan penghargaan kepada orang lain. Jadi, orang lain
Reward power patuh karena berharap memperoleh penghargaan yang
diharapkan.
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia memiliki kemampuan
Coercive power untuk menghukum orang lain. Jadi, kepatuhan orang lain
kepadanya karena takut mendapat hukuman.
Seseorang memiliki kekuasaan karena ahli di satu bidang tertentu.
Expert power
Oranc lain :)atuh karen a ke :)akarann 'a.
Seseorang memiliki kekuasaan karena dia menarik bagi orang
Referent power lain. Jadi, kepatuhan orang lain kepadanya karena mereka
menghormatinya atau menyukainya.
20
Ibid. ch 4.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.49
c. Mengatasi ketidakpastian
Sebuah unit organisasi akan memperoleh kekuasaan jika unit tersebut
memiliki kapasitas untuk membantu unit organisasi lain mengatasi ketidak-
pastian atau meminimalisir konsekuensi yang ditimbulkannya. Sebagai
contoh, apabila departemen A bisa membantu departemen B mengatasi
ketidakpastian maka departemen A memiliki kekuasaan lebih dibandingkan
departemen B. Ketidakpastian itu sendiri bukan sumber kekuasaan.
Kekuasaan tersebut datang dari kemampuan membantu unit lain. Beberapa
cara untuk membantu mengatasi ketidakpastian, di antaranya dengan
memasok informasi sehingga unit yang dibantu bisa memprediksi masa
depannya atau mempersiapkan diri menghadapi perubahan, mencegah
ketidakpastian dengan cara mencegah terjadinya situasi-situasi yang tidak
diinginkan atau membantu unit lain mengatasi persoalan yang sudah terjadi.
d. Tidak tergantikan
Seseorang atau sebuah departemen yang bisa menyediakan sumber daya
penting atau menjalankan fungsi penting bagi organisasi dan mereka tidak
mudah diganti oleh orang lain atau departemen lain, mereka memiliki
kekuasaan yang lebih besar. Basis kekuasaan ini sering disebut sebagai peran
substitusi di mana unit organisasi lain bisa mengerjakan pekerjaan unit
organisasi tertentu. Jika organisasi bisa menyediakan alternatif sumber daya,
informasi atau keterampilan yang dibutuhkan sebuah unit organisasi maka
kekuasaan unit organisasi tersebut berkurang. Sebagai contoh, bagian
pelatihan dan pengembangan SDM akan kehilangan kekuasaannya jika
masing-masing fungsi organisasi bisa melakukan pelatihan secara mandiri
bagi karyawan yang berada di departemennya. Demikian juga bagian
teknologi informasi menjadi berkurang pengaruhnya jika bagian akuntansi
memiliki pengetahuan pemrograman komputer yang memadai untuk
mengatasi persoalan sistem infomasi teknologi. Sebaliknya, semakin sebuah
7.50 PERILAKU ORGANISASI e
e. Posisi sentral
Dalam realitas bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada satu aktivitas pun
yang proses pengerjaannya dilakukan secara mandiri. Ketergantungan pada
pihak atau unit lain sepertinya menjadi ketentuan umum yang berlaku bagi
semua organisasi. Meski demikian, harus diakui pula bahwa satu unit
organisasi terkadang memberi kontribusi langsung terhadap basil akhir
sebuah organisasi sehingga menempatkan unit organisasi tersebut memiliki
posisi sentral. Ambillah contoh posisi dosen dalam kehidupan perguruan
tinggi. Meski banyak pihak berkontribusi terhadap keberhasilan anak didik
dan kinerja perguruan tinggi namun dosen sering dianggap dan mengklaim
dirinya memiliki posisi sentral sehingga dosen memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan kelompok lainnya seperti tenaga administratif.
Meski kekuasaan dan pengaruh merupakan dua konsep yang sangat erat,
banyak peneliti mencoba membedakan kedua konsep tersebut. Seorang
pemimpin yang berkuasa kadang-kadang tidak juga bisa mempengaruhi
perilaku para pengikutnya. Sebaliknya, tidak jarang orang terpengaruh tidak
disebabkan karena sebuah kekuatan atau kekuasaan tertentu. Berdasarkan
21
kenyataan ini beberapa peneliti, di antaranya Gary Yuk, dkk. mencoba
21
Gary Yuk. (1994).op cit. Hal. 229-231.
e EKMA41 58/ MODUL 7 7.51
Tabel 7. 9.
Taktik Pengaruh dan Konsekuensinya
Efektivitas dan
Taktik Sumber Kekuasaan Ketepatan Situasi
Komitmen
1. Persuasi 1. Ekspertis dan 1. Supervisor 1. Moderat
rasional informasi
2. Saran yang 2. Referen 2. Bawahan dan 2. Tinggi
• • •
mengmsp1ras1 kolega
3. Konsultansi 3. Semua sumber 3. Bawahan dan 3. Tinggi
kolega
4. lntegrasi 4. Referen 4. Semua level 4. Moderat menuju
rendah
5. Saran personal 5. Referen 5. Kolega 5. Mode rat
6. Pertukaran 6. Reward dan 6. Bawahan dan 6. Mode rat
informasi kolega
7. Membangun 7. Semua sumber 7. Bawahan dan 7. Rendah
koalisi kolega
8. Taktik yang sah 8. Legitimasi 8. Bawahan dan 8. Rendah
kolega
9. Tekanan 9. Ancaman 9. Bawahan 9. Rendah
22
Afsaneh Nahavandi. (1997). Op cit. Hal. 86.
e EKMA41 58/MODUL 7 7.53
Konsekuensi
Penyebab korupsi kekuasaan
• Pengambilan keputusan jelek
Menganggap dirinya hebat karena: • Menggunakan ancaman bukan peruassi
• Kepatuhan para bawahan • Prilaku bawahan yang dibuat-buat
• Memberi pujian berlebihan • Memandang rendah bawahan
• Merniliki jarak dengan bawahan • Berkembangnya moralitas mernisahkan diri
• Akses sumberdaya tanpa • Mengurangi kesempatan bernegosiasi secara
tanggungjawab yang jelas ramah
• Resistensi karyawan dan prilaku reaktif
Gambar 7.10.
Penyebab dan Konsekuensi Korupsi Kekuasaan
~' ~
1'
t
~-
7
... _-
- ~
.. ~
LATI HAN
------------------------------------------
----~ - '
RANGKUMAN
------------------------------------
TES FORMATIF 2
1) Mana di antara penyataan di bawah ini yang dianggap paling benar ....
A. kekuasaan sering dianggap buruk meski setiap orang melakukannya
B. kekuasaan selalu berkonotasi negatif
C. kekuasaan sama denganjabatan seseorang di dalam organisasi
D. lebih disukai manajer yang tidak memiliki kekuasaan ketimbang
manajer yang memiliki kekuasaan
5) Cara yang bisa ditempuh untuk mengurangi korupsi kekuasaan adalah ....
A. mengukur kinerja bawahan secara objektif
B. mengubah budaya dan struktur organisasi
C. memperkecil kesempatan pimpinan mengintervensi bawahan
D. jawaban A, B, dan C benar
Daftar Pustaka
A.D. Chandler, Jr. (1977). The Visible Hand: The Manajerial Revolution in
American Business. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Arthur Shriberg, Carol Lloyd, David Shriberg and Mary Lynn Williamson.
(1997). Practicing Leadership: Principles and Applications. New York:
John Wiley & Son Inc. Chapter 3, hal. 39-53.
Edgar Sein. (1992). Organizational Culture and Leadership. 2nd edition. San
Francisco. CA: Jossey-Bass Publishers.
Kotter, John, P. (1988). The Leadership Factor. New York: The Free Press.
7.62 PERILAKU ORGANISASI e
Zaleznik. (1977). Manager and Leader, Are They Different? The Harvard
Business Review. May-June.
MDDUL B
PENDAHULUAN
KEGIATAN BELAL.JAR 1
Struktur Organisasi
Gambar 8.1.
Peta Organisasi
8.6 PERILAKU ORGANISASI e
Seperti tampak pada gambar di atas, tipikal peta organisasi yang terdiri
dari kotak dan garis menggambarkan pembagian kerja (division of work)
yang ditunjukkan oleh pengelompokan individu ke dalam departemen seperti
Departemen Marketing, SDM, Produksi dan R & D. Di sisi lain pembagian
kerja juga membutuhkan koordinasi yang pada gambar ditunjukkan oleh
kotak-kotak yang berada di atas kotak-kotak lain yang dihubungkan dengan
sebuah garis vertikal. Dalam hal ini, CEO/Presiden Direktur menjadi
koordinator bagi para Wakil Presiden dan selanjutnya para Wakil Presiden
menjadi koordinator unit-unit organisasi yang ada di bawahnya. Konsekuensi
logisnya adalah CEO/Presiden Direktur memiliki kekuasaan lebih
dibandingkan para W akil Presiden dan W akil Presiden memiliki kekuasaan
lebih dibandingkan unit organisasi di bawahnya. Selain itu, kotak dan garis
dalam peta organisasi juga menggambarkan pula aliran informasi sebagai
sumber pengambilan keputusan dan rantai komando (chain of command)
yang menunjukkan siapa harus melapor kepada siapa.
Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa secara taksonomis peta
organisasi menggambarkan 3 hal pokok, yaitu ( 1) tingkat spesialisasi atau
kompleksitas organisasi, (2) tingkat formalisasi organisasi, dan (3) tingkat
sentralisasi/desentralisasi organisasi. Berdasarkan penjelasan ini, secara
ringkas, taksonomi organisasi dapat dilihat pada Gambar 8.2 di bawah ini.
Gambar 8.2.
Taksonomi Organisasi
e EKMA41 58/MODUL B 8.7
2. Formalisasi Organisasi
Formalisasi organisasi berkaitan dengan tingkat standarisasi pekerjaan,
yakni sej auh mana akti vitas organisasi dikerj akan berdasarkan regulasi,
aturan dan prosedur kerja. Demikian juga formalisasi menjelaskan sejauh
mana rutinitas sebuah pekerjaan. Sederhananya, formalisasi organisasi
menjelaskan apakah sebagian besar pekerjaan harus distandarisasi atau tidak.
Semakin pekerjaan distandarisasi berarti prasyarat untuk mengerjakan tugas
8.8 PERILAKU ORGANISASI e
3. Sentralisasi/Desentralisasi
Sentralisasi menjelaskan kepada kita pada level mana keputusan
organisasi akan diambil, siapa yang memiliki otorisasi pengambilan
keputusan, siapa yang memiliki kekuasaan, dan pada posisi mana keputusan
akan dibuat. Pada 50 tahun pertama abad XX ketika perusahaan menjadi
semakin besar dan semakin besar, pengambilan keputusan justru semakin
tersentralisasi. Kekuasaan dan otoritas bergeser ke eselon atas dengan sedikit
orang, tetapi keputusannya memengaruhi kehidupan perusahaan secara
keseluruhan. Model pengambilan keputusan yang tersentralisasi ini tidak
lepas dari ide Alfred P. Sloan - Presiden General Motors yang
memperkenalkan "Kantor Pusat" sebagai tempat yang dihuni sedikit orang,
tetapi merupakan tempat strategis karena semua kebijakan perusahaan
digodok dan diputuskan di tempat ini
Meski demikian, akhir-akhir ini terjadi tren sebaliknya. Keputusan lebih
banyak dilakukan pada level organisasi lebih bawah. Kondisi seperti ini
disebut sebagai desentralisasi pengambilan keputusan. Perubahan ini
dimaksudkan agar terjadi efisiensi manajerial dan meningkatkan kepuasan
para karyawan. Dengan desentralisasi dengan demikian memberi kesempatan
karyawan level bawah ikut bertanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukannya. Hanya saja tidak selamanya desentralisasi pengambilan
keputusan itu dikehendaki semua karyawan. Ada sebagian unit organisasi dan
karyawan yang bekerja di dalamnya merasa puas dengan desentralisasi
karena mereka bisa berinovasi tanpa adanya hambatan dari level organisasi
atas. Situasi ini misalnya cocok untuk unit organisasi R & D, akan tetapi
e EKMA41 58/ MODUL B 8.9
sebagian karyawan yang lain justru tidak tertarik untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan karena rutinitas pekerjaan sehari-hari seperti
karyawan yang melakukan pekerjaan produksi. Penjelasan ini menegaskan
bahwa desentralisasi tidak selalu cocok untuk semua unit organisasi. Kapan
desentralisasi dianggap lebih menguntungkan dan kapan dianggap merugikan
dapat diringkas seperti tampak pada Tabel 8.1 berikut ini.
Tabel 8.1.
Keuntungan Desentralisasi
4. Departementalisasi
Uraian-uraian yang berkaitan dengan struktur organisasi yang
direpresentasikan oleh peta organisasi seperti telah disebutkan di atas
menjelaskan pengelompokan individu ke dalam kelompok dan kelompok ke
dalam departemen, selanjutnya departemen ke dalam organisasi.
Pengelompokan-pengelompokan ini disebut departementalisasi. Karyawan
bisa dikelompokkan dengan berbagai cara, yaitu berdasarkan akti vitas,
output, pengguna atau konsumen dan beberapa kombinasi di antaranya.
Pengelompokan berdasar aktivitas menempatkan karyawan dalam satu
kelompok bagi mereka yang melakukan fungsi atau proses kerja yang sama
atau memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sama. Sebagai contoh,
karyawan yang mengerjakan tugas pemasaran dengan segala variasinya
dikelompokkan ke dalam departemen pemasaran di bawah supervisor yang
sama, yaitu manajer pemasaran. Hal yang sama juga berlaku bagi karyawan
bagian produksi.
Pengelompokan berdasarkan output adalah pengelompokan karyawan
berdasarkan apa yang dihasilkan organisasi. Sebagai contoh, semua karyawan
yang menghasilkan sabun mandi termasuk mereka yang bekerja untuk bagian
pemasaran, produksi, dan penjualan, dikelompokkan ke dalam satu unit
departemen di bawah kendali seorang eksekutif. Cara lain mengelompokkan
karyawan adalah berdasarkan pengguna!konsumen. Dalam hal ini, karyawan
dikelompokkan berdasarkan sumber daya yang digunakan untuk melayani
8.10 PERILAKU ORGANISASI e
konsumen atau pengguna akhir atau klien. Konsumen itu sendiri bisa
dibedakan berdasarkan wilayah geografis, segmen pasar atau berdasarkan
karakteristik konsumen lainnya yang relevan. Terakhir, karyawan bisa
dikelompokkan berdasarkan kombinasi antara dua cara pengelompokan
sebelumnya yang disebut pengelompokan multifokus. Dengan
pengelompokan ini berarti organisasi menjalankan dua cara pengelompokan
secara simultan. Bentuk pengelompokan ini sering disebut matriks atau
hybrid.
Bentuk-bentuk organisasi berdasarkan pengelompokan karyawan seperti
tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 8.3 sebagai berikut.
CEO
Pengelomp Fungsi
okkan
berdasar Proses kerj a
SDM Produksi Marketing
aktivitas Pengeathuan,
ketrampilan dan
disiolin
CEO
Pengelomp Produk
okkan Layan an I I
berdasar
Proyek Lini Lini Lini
output
Produk 1 Produk 2 Produk 3
Pusat laba/business
CEO
Pengelomp Geografi
okkan I I
berdasar Penggunalkustomer
Wilayah Wilayah Wilayah
konsumen Segmen pasar Jateng Jabar Jatim
CEO
Pengelomp
Matriks
okkan
multifokus
-•• hybrid, Marketing Produksi
Produk 1
Produk 2
Gambar 8.3.
Alternatif Pengelompokan Karyawan
e EKMA41 58/MODUL B 8.11
Konteks
Struktur •
• fungsional.
Lingkungan •
• stabil; ketidakpastian rendah.
Teknologi •
• rutin, tidak saling tergantung .
Ukuran organisasi •
• kecil menengah.
Tujuan •
• efisiensi internal; kualitas teknis .
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada tujuan fungsional.
Perencanaan dan penganggaran : cost basis - anggaran, laporan statistik
Otoritas formal : manajer fungsional.
Kekuatan
a. Memungkinkan terciptanya skala ekonomi di dalam departemen
fungsional.
b. Memungkinkan pengembangan keterampilan secara mendalam.
c. Memungkinkan organisasi mencapai tujuan fungsional.
d. Sangat cocok untuk organisasi kecil menengah.
e. Sangat cocok untuk organisasi yang menghasilkan satu macam
produk atau variasi produk sangat sedikit.
Kelemahan
a. Jika terjadi perubahan lingkungan responsnya sangat lamban.
b. Menyebabkan pengambilan keputusan menumpuk di atas dan terjadi
overload hierarki.
c. Koordinasi horizontal antardepartemen sangat lemah.
d. Menghasilkan sedikit inovasi.
e. Tujuan organisasi dipahami secara terbatas.
8.12 PERILAKU ORGANISASI e
CEO
CEO
Gambar 8.4.
Perbedaan antara Struktur Organisasi Fungsional dengan Divisional
ini lebih fleksibel dan mudah dilakukan perubahan jika dianggap perlu karena
masing-masing unit relatif lebih kecil dan mudah mengadaptasi perubahan
lingkungan. Selain itu, pengambilan keputusan bisa dilakukan pada masing-
masing lini produk. Hal ini berarti terj adi desentralisasi pengambilan
keputusan karena secara hierarkis lini produk tidak berada pada level atas.
Secara umum, karakteristik struktur organisasi berbasis produk dapat dilihat
pada Gambar 8.5 di bawah ini.
Konteks
Struktur : produk.
Lingkungan : ketidakpastian moderat-tinggi, lingkungan berubah.
Teknologi : nonrutin, tingkat kebergantungan antardepartemen
sangat tinggi.
Ukuran organisasi : besar.
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan
konsumen.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk.
Perencanaan dan penganggaran : berbasis pusat laba - pendapatan dan
biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk.
Kekuatan
a. Cocok untuk lingkungan yang tidak stabil dan mudah berubah.
b. Memungkinkan terciptanya kepuasan konsumen sebab penanggung
jawab produk sangat jelas-manajer lini produk.
c. Melibatkan koordinasi lintas fungsi yang sangat tinggi.
d. Memungkinkan setiap unit untuk beradaptasi sesuai dengan
kepentingan produk, wilayah, dan klien.
e. Cocok untuk perusahaan besar yang menghasilkan bermacam-macam
produk.
f. Pengambilan keputusan yang terdesentralisasi.
Kelemahan
a. Tidak menciptakan skala ekonomi pada masing-masing fungsi
• •
organ1sas1.
b. Koordinasi lintas produk lini relatif jelek.
c. Tidak menciptakan kompetensi yang mendalam dan spesialisasi
teknis.
d. Sulit melakukan integrasi dan standarisasi lintas produk lini.
Gambar 8.5.
Karakteristik Struktur Organisasi Divisional
8.14 PERILAKU ORGANISASI e
CEO
Kepala Bidang Direktur Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Senior
Hukum SDM Teknonolgi Keuangan Sumberdaya
dan Strategi
Dir.
Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Hubungan
Fuels Olie Produk Kimia Fasilitas Publik
Sup Jly dan Sup Jly dan Sup!)ly dan Sup, ly dan
distribusi distribusi distribusi di stribusi
Gambar 8.6.
Struktur Organisasi Hybrid
8.16 PERILAKU ORGANISASI e
Konteks
Struktur : hybrid.
Lingkungan : ketidakpastian moderat - tinggi, perubahan
permintaan konsumen.
Teknologi : rutin dan nonrutin, beberapa bagian memiliki
kebergantungan lintas fungsi.
Ukuran organisasi : besar.
Tujuan : efektivitas eksternal, adaptasi dan kepuasan
konsumen di samping menekankan pentingnya
efisiensi internal.
Sistem internal
Tujuan operasional : penekanan pada lini produk dan fungsi
• •
orgarusas1.
Perencanaan dan penganggaran : untuk divisional berbasis pusat lab a,
untuk fungsi berbasis pusat biaya.
Otoritas formal : manajer lini produk; tanggung jawab
koordinasi berada pada manajer
fungsional.
Kekuatan
a. Memungkinkan organisasi bisa beradaptasi dan melakukan koordinasi
pada divisi produk dan melakukan efisiensi pada departemen
fungsional.
b. Menciptakan hubungan yang harmoni antara level corpoarte dengan
level divisi.
c. Memungkinkan dilakukan koordinasi baik di dalam maupun antarlini
produk.
Kelemahan
a. Biaya overhead boleh jadi membengkak.
b. Bisa memunculkan konflik antara divisi dengan departemen.
Gam bar 8. 7.
Karakteristik Struktur Organisasi Hybrid
CEO
Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres Wkl Pres
Marketing Pembelian Keuangan R&D Engineering
Manajer
1--------l
Produk A
Manajer
1--------l Produk B +---..._
Manajer
1--------l Produk C +----
Manajer
1....------l Produk D ,...._ _
Gambar 8.8.
Struktur Organisasi Matriks
Secara umum, ketiga kondisi di atas menuntut adanya otoritas yang bisa
menyeimbangkan kekuasaan berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik
otoritas secara vertikal maupun horizontal. Karena alasan itulah, struktur
organisasi matriks menjadi kebutuhan. Karakteristik struktur organisasi dapat
dilihat pada Gambar 8. 9 sebagai berikut.
e EKMA41 58/MODUL B 8.19
Konteks
Struktur •
• matriks .
Lingkungan •
• ketidakpastian tinggi.
Teknologi •
• nonrutin, memiliki ban yak kebergantungan .
Ukuran organisasi •
• medium, banyak lini produk.
Tujuan •
• ganda-inovasi produk dan spesialisasi teknis.
Sistem Internal
Tujuan operasional : penekanan keseimbangan pada lini
produk dan fungsi organisasi.
Perencanaan dan penganggaran : sistem ganda - berbasis fungsi dan lini
produk.
Otoritas formal : kerja sama antara manajer lini produk
dengan manajer fungsional.
Kekuatan
a. Bisa memenuhi kebutuhan koordinasi yang diperlukan dalam rangka
memenuhi permintaan ganda dari lingkungan.
b. Bisa berbagi SDM lintas produk secara fleksibel.
c. Cocok untuk pengambilan keputusan yang sangat kompleks dan
sering terj adi perubahan lingkungan.
d. Memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan baik
fungsional maupun produk.
e. Cocok untuk organisasi dengan ukuran medium yang memiliki
banyak produk.
Kelemahan
a. Adanya otoritas ganda sering menyebabkan karyawan merasa
kebingungan dan frustasi.
b. Mengharuskan karyawan harus memiliki interpersonal skill yang baik
dan harus banyak mengikuti pelatihan.
c. Banyak waktu terbuang hanya untuk rapat dan mengatasi konflik.
d. Struktur organisasi ini tidak bisa berjalan dengan baik jika orang-
orang yang terlibat di dalamnya tidak memahami konsepnya dengan
baik. Mereka juga dituntut untuk menerapkan hubungan kolegial
bukan hubungan vertikal.
e. Harus ada tekanan ganda dari lingkungan agar terjadi keseimbangan
kekuasaan.
Gam bar 8. 9.
Karakteristik Organisasi Matriks
8.20 PERILAKU ORGANISASI e
b. Human process
Desain struktur organisasi juga dipengaruhi oleh tata nilai dan budaya
organisasi serta gaya kepemimpinan para top executive yang biasa disebut
human process. Jika pimpinan organisasi ditempati oleh orang-orang yang
e EKMA41 58/MODUL B 8.21
c. Lingkungan organisasi
Dalam batas-batas tertentu lingkungan ekstemal organisasi merupakan
variabel yang susah dikendalikan pihak manajemen. Oleh karenanya desain
dan struktur organisasi juga harus menyesuaikan variabel tersebut.
e. Ukuran/besaran organisasi
Ukuran organisasi merupakan salah satu faktor penting yang
memengaruhi struktur. Secara umum, bisa dikatakan bahwa semakin besar
sebuah organisasi cenderung semakin kompleks. Oleh karenanya organisasi
besar cenderung semakin birokratik karena dalam operasionalisasinya
bertumpu pada mekanisme formal organisasi. Meski demikian, bukan berarti
organisasi besar secara otomatis menggunakan pola pengambilan keputusan
yang sentralistik. Justru sebaliknya organisasi besar semestinya lebih
desentralistik karena adanya hambatan aliran informasi.
3. Pendekatan Kontingensi
Jika pendekatan klasik dan neoklasik berpedoman bahwa desain
organisasi harus yang paling ideal, universal, dan "the one best approach",
pendekatan kontingensi lebih realistik karena faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam mendesain organisasi tidak hanya faktor internal
organisasi tetapi juga faktor eksternal. Dengan mempertimbangkan kedua
faktor ini berarti tidak ada satu desain pun yang cocok untuk semua situasi.
Semuanya tergantung kecocokan antara faktor internal, misalnya tingkat
e EKMA41 58/MODUL B 8.23
Tabel 8.2.
Karakteristik Struktur Organisasi Mekanik vs. Organik
Mekanik Organik
a. Spesialisasi pekerjaan. a. Generalisasi pekerjaan.
b. Tugas-tugas didefinisikan secara jelas b. Tugas-tugas tidak didefinisikan secara
dan kaku khusus - tugas-tugas mung kin
c. Hierarki otoritas ditetapkan secara disesuaikan melalui interaksi
tegas dan didukung oleh banyak karyawan.
aturan. c. Hierarki dilakukan secara informal
d. Pengetahuan dan pengendalian dengan sedikit aturan.
terhadap tugas dilakukan di pusat d. Pengetahuan dan pengendalian tidak
kekuasaan (sentralisasi) dan semua terpusat, tetapi terdistribusi kepada
tugas diatur dari atas. semua orang.
e. Komunikasi dilakukan secara vertikal e. Komunikasi berjalan secara
melalui jalur formal. horizontal. Karyawan bisa
berkomunikasi kepada siapa saja
1an dian' ap perlu.
e EKMA41 58/MODUL B 8.25
spesialisasi
Pembagian kerja Tinggi Rendah
Homogen Heterogen
Mekanik
Jumlah Organik
Rentang kendali
Formal
Sedikit Banyak Informal
Terstruktur Delegasi
otoritas Tidak
Birokrasi Sentralisasi Desentralisasi terstruktur
a. Operating core
Operating core terdiri dari para karyawan yang mengerjakan pekerjaan
inti, yaitu orang-orang menghasilkan produk dan j as a. Secara umum,
karyawan pada bagian ini melakukan empat fungsi kegiatan, yaitu
mendapatkan input, mentransformasi input menjadi output, mendistribusikan
output dan membantu kelancaran proses input, serta transformasi dan output.
b. Strategic apex
Bagian ini ditempati orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
keseluruhan j alannya organisasi. Orang -orang yang menempati posisi ini
biasanya disebut sebagai manajer, Presiden Direktur atau CEO. Tugas utama
mereka adalah menegaskan bahwa visi dan misi organisasi berjalan secara
efektif dan merekrut orang-orang untuk melakukan pengendalian organisasi.
Secara umum, Presiden Direktur melakukan tiga tugas pokok, yaitu tugas ke
dalam - tugas pengendalian, tugas keluar - berkomunikasi dengan pihak
eksternal organisasi dan ketiga, tugas pengembangan organisasi melalui
perencanaan strategik.
8.26 PERILAKU ORGANISASI e
c. Middle line
Bagian ini ditempati orang-orang yang berfungsi sebagai intermediary
antara strategic apex dan operating core. Bagi organisasi yang cukup besar,
middle line manager (manajer menengah) biasanya sangat diperlukan karena
tindakan pengawasan biasanya memerlukan kontak personal. Secara umum,
peran dari manajer menengah adalah menjalankan pekerjaan pimpinan
puncak organisasi untuk masing-masing unit yang menjadi tanggung
jawabnya.
d. Technostructure
Bagian ini ditempati para analis yang pekerjaannya bukan untuk
kepentingan unit yang dikelolanya melainkan untuk unit-unit lain, yakni agar
unit-unit tersebut bisa bekerja lebih efektif. Salah satu contoh pekerjaan para
analis adalah mendesain proses belajar mengajar yang spesifik untuk mata
kuliah tertentu.
e. Support staff
Hampir sama seperti technostructure, bagian ini ditempati para pekerj a
yang tugas pokoknya adalah mendukung kelancaran unit lain dalam
organisasi. B agi perguruan tinggi, penyediaan fasilitas toko buku, penerbitan,
kelompok dosen pengajar, bagian kebersihan kampus (janitorial) adalah
sebagian dari contoh support staff. Fasilitas-fasilitas ini biasanya bisa dengan
mudah diperoleh dari pihak ketiga (outsourcing), namun dengan alasan-
alasan tertentu organisasi menyediakan sendiri fasilitas-fasilitas tersebut
secara mandiri.
e EKMA41 58/MODUL B 8.27
Strategic
Aoex
upport Staff
Operating Core
Gambar 8. 11.
Bagian-bagian Struktur Organisasi
5. Konfigurasi Organisasi
Bagi organisasi besar, kelima bagian struktur organisasi seperti tampak
pada Gambar 8.3 tampaknya merupakan sebuah keharusan. Meski demikian,
konfigurasinya bisa berbeda untuk organisasi yang berbeda. Perbedaan ini
disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan organisasi, ukuran
organisasi, strategi, tata nilai organisasi dan teknologi yang digunakan.
Secara umum, Mintzberg membedakan konfigurasi struktur organisasi
menjadi 5 macam, yakni simple structure, machine bureaucracy,
professional bureaucracy, divisional form, dan adhocracy. Masing-masing
konfigurasi dan implikasinya terhadap mekanisme koordinasi, bagian kunci
organisasi dan bentuk sentralisasi/desentralisasi organisasi diringkas seperti
tampak pada Gambar 8.12. berikut ini.
8.28 PERILAKU ORGANISASI e
Machine Desentralisasi
Standarisasi Proses Technostructure
Bureaucracy Horizontal Terbatas
Desentralisasi
Professional
Standarisasi Skill Operating Core Verti kal dan
Bureaucracy
Horizontal
Desentralisasi
Divisional Form Standarisasi Output Middle Line
Vertikal Terbatas
Desentralisasi
Adhocracy Mutual Adjustment Supporl Staff
Selektif
Gambar 8. 12.
Konfigurasi Struktur Organisasi
bias dikatakan bahwa semakin kompleks relasi antar partner semakin sulit
untuk menerapkan network structure.
-~ ~:
. _.·- :_.: ~
LATIHAN
------------------------------------------
1 •
.. : ·· ~
-- -- .....
~ ~
- '
RANGKUMAN
------------------------------------
TES FORMATIF 1- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
KEGIATAN BELAL.JAR 2
Budaya Organisasi
atau secara umum disebut "budaya organisasi" yang konsepnya akan menjadi
pokok bahasan pada Kegiatan Belajar 2 ini. Pembahasan tentang konsep
budaya organisasi akan diawali dengan penjelasan tentang pengertian budaya
organisasi, dilanjutkan dengan bahasan mengenai perdebatan antara
multikultur vs monokultur, perbedaan antara konsep budaya dan iklim
organisasi dan diakhiri dengan penjelasan tentang dimensi dan tipe budaya
• •
organ1sas1.
Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru, yakni baru
berkembang sekitar awal tahun 1980-an. Konsep ini, seperti diakui para
teoretisi organisasi, diadopsi dari konsep budaya yang terlebih dahulu
berkembang pada disiplin antropologi. Oleh karenanya, keragaman
pengertian budaya pada disiplin antropologi juga akan berpengaruh terhadap
keragaman pengertian budaya pada disiplin organisasi. Hal ini misalnya
ditegaskan oleh Linda Smircich yang mengingatkan agar kita tidak kaget jika
1
mendapatkan aneka pengertian budaya organisasi . Dari beragam pengertian
budaya, berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian budaya yang sering
menjadi rujukan utama dalam memahami konsep budaya organisasi.
Edgar Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut:
1
L. Smircich. (1983). Concept of Culture and Organizational Analysis.
Administrative Science Quarterly._28, hal. 339- 358.
8.38 PERILAKU ORGANISASI e
1. Asumsi Dasar
Schien menegaskan bahwa inti dari budaya tidak lain adalah asumsi
dasar yang di-shared oleh sekelompok orang. Asumsi dasar sering disebut
sebagai the core of culture atau the true culture - budaya yang sesungguhnya
yang menjadi sumber inspirasi, panutan dan alasan pembenar untuk
bepersepsi, serta mengemukakan pikiran dan melakukan tindakan. Asumsi
dasar cenderung tidak banyak diperdebatkan dan diterima apa adanya oleh
sekelompok orang.
2. Proses Pembelajaran
Sebagai sumber inspirasi dan alasan pembenar, asumsi dasar tidak
datang tiba-tiba melainkan terjadi melalui proses panjang yang memerlukan
waktu cukup lama bukan dalam ukuran hari atau bulan, tetapi bisa dalam
ukuran tahun dan bahkan bisa terjadi bertahun-tahun. Proses ini bermula
ketika sekelompok orang mencoba mengatasi persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. Ketika
cara, resep atau metode yang mereka gunakan berhasil mengatasi persoalan-
persoalan tersebut maka pola yang sama juga akan digunakan untuk
mengatasi persoalan-persoalan sejenis berikutnya. Lambat laun pola yang
sama menjadi pedoman untuk mengatasi setiap persoalan kelompok/
organisasi dan akhirnya tanpa disadari, pola tersebut menj adi postulat atau
asumsi dasar dan diajarkan kepada semua pendatang baru sebagai cara yang
benar.
3. Perilaku Sehari-hari
Ketika asumsi dasar telah menjadi bagian hidup para anggota kelompok/
organisasi sebagai landasan untuk berpikir, bertindak atau mengemukakan
pendapat, secara perlahan-lahan para anggota organisasi sesungguhnya mulai
membentuk nilai-nilai baru atau collective mental programming baru yang
pengejawantahannya tampak pada perilaku sehari-hari para anggota
kelompok. Jadi, perilaku sehari-hari anggota kelompok merupakan bagian
tidak terpisahkan dari budaya yang sesungguhnya telah mereka bangun
e EKMA41 58/MODUL B 8.39
Tabel 8.3.
Elemen Budaya Organisasi menurut Berbagai Sumber
2
F. Landa Jocano. (1988). Toward Filipino Corporate Culture. Metro Manila:
Punlad Research House. Hal. 23. Lihat juga Jocano. (1990). Management by
Culture. Metro Manila: Pun lad research house. Hal. 22.
e EKMA41 58/MODUL B 8.41
3
Collins and Porras. (1994). Built to Last: Successful Habits of Visionary
Companies. Random House UK: Century Business. Hal. 73.
8.42 PERILAKU ORGANISASI e
Core ideology:
- Core value
- Core purpose
Envision future
Gambar 8.13.
ldeologi Organisasi Dianalogikan dalam Falsafah Yin Yang
4
Tony Fang. (2003). A Critique of Hofstede's Fifth National Culture Dimension.
Cross Cultural Management. Hal. 347-368.
5
Robert Howard. (1990). Values Make The Company: An Interview with Robert
Hass. Hervard Business Review. September-October. hal. 133-144
e EKMA41 58/MODUL B 8.43
6
Collins and Porras. (1994). Op Cit. Hal. 73.
7
Stanley Davis. (1984). Managing corporate culture. Cambridge MA: Ballinger
Publishing Company. Hal. 3.
8
Hawkins. (1997). Organizational Culture: Sailing Between Evangelism and
Complexity. Human Relations. Hal. 417-440.
8.44 PERILAKU ORGANISASI e
2. Elemen Behavioral
Elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan
bentuk-bentuk lain, seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang luar
organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya
sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami, dan
diinterpretasikan meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan
interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam organisasi. Itu
sebabnya ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasi dan
memahami budaya sebuah organisasi, cara yang paling mudah yang bisa
mereka lakukan adalah dengan mengamati bagaimana para anggota
organisasi berperilaku dan kebiasaan-kebiasaan lain yang mereka lakukan.
Davis menyebutnya sebagai daily belief - praktik sehari-hari sebuah
9
organisasi. Dalam bahasa Hofstede , kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk
praktik-praktik manajemen - apakah sebuah organisasi lebih berorientasi
pada proses atau basil; lebih peduli pada kepentingan karyawan atau
pekerjaan; lebih parochial atau profesional; lebih terbuka atau tertutup dan
lebih pragmatis atau normatif. Collins and Porras, seperti tampak pada
9
Hofstede. (1997). Cultures and Organizations: Sofware of the Mind. New York:
McGraw Hill. Hal. 188-192.
e EKMA41 58/MODUL B 8.45
Sumber: Rousseau.
Gambar 8.14.
Lapisan Budaya Organisasi
8.46 PERILAKU ORGANISASI e
Memperoleh Perhatian
Values (Nilai-nilai) yang lebih besar
Asumsi Dasar
- Hubungan Manusia dengan
alam
- Hubungan Manusia dengan Diterima apa adanya, Tidak kasat mata
Realitas, Waktu dan Ruang dan Preconscious
- Hubungan Manusia dengan
Sifat Dasamya
- Hubungan Manusia dengan
Aktivitasnya
- Hubungan antar Manusia
Sumber: Schein.
Gambar 8.15.
Keterkaitan Antarelemen Budaya
10
Mary Jo Hatch. (1993). The Dynamics of Organizational Culture. Academy of
Management Review. halaman 657-693.
8.48 PERILAKU ORGANISASI e
values
1 2
Asumsi Artefak
3 4
symbols
Gambar 8.16.
Hubungan Dinamis Antarelemen Budaya
Tabel 8.4.
Berbagai Macam Tipe Budaya Organisasi
Seperti tampak pada Tabel 8.4, para peneliti sesuai dengan latar
belakang dan preferensi masing-masing menentukan tipe budaya organisasi
11
Untuk memperoleh gambaran tentang Tipologi Budaya, baca buku Budaya
Organisasi. (1997). yang ditulis oleh Achmad Sobirin. Bah 8.
12
Peter Hawkins. (1997). Organizational Culture: Sailing between Evangelism and
Complexity. Human Relations. 30: 4. hal. 417--440.
8.50 PERILAKU ORGANISASI e
13
yang berbeda-beda. Hirsh , misalnya dengan menggunakan konsepnya
Meyer and Biggs tentang tipologi kepribadian, membedakan tipe budaya
menjadi Intituition Thinking (NT), Sensation Feeling (SF), Intituition Feeling
(IF), dan Sensation Thinking (ST). Berikut secara selektif akan diuraikan
masing-masing tipe budaya organisasi dengan kemungkinan implikasinya
terhadap kehidupan organisasi.
13
Hirsh, S. (1985). Using the Meyer-Biggs Type Indicator in Organizations. Palo
Alto, CA: Consulting Psychologist Press.
14
Roger Harrison. (1972). Understanding your Organization's Character. Harvard
Business Review. 50, hal. 119- 128.
15
R. Horrison and H. Stokes. (1992). Diagnosing Organizational Culture. San
Francisco: Jossey bass- Pfeiffer.
16
Robert Blake and Jane Mouton. (1985). The Managerial Grid III. Houston: Gulf
Publishing Company.
e EKMA41 58/MODUL B 8.51
Tabel 8.5.
Pengaruh Tipe Budaya terhadap lndividu dan Organisasi
a. Kepentingan individu
Keamanan Kesempatan untuk Kesempatan agar
terhadap Aspek Berkomitmen Dirinya bisa Tumbuh
ekonomi, Politik, terhadap dan Berkembang
dan Psikologis Pencapaian Tujuan
Or anisasi
Power Rendah: Rendah: Rendah:
Orientation Karena kuatnya Kecuali seseorang Kecuali seseorang
peran autokrasi memiliki jabatan memiliki jabatan tinggi
tinggi sehingga bisa sehingga bisa
menentukan tujuan menentukan tujuan
or~ anisasi or~ anisasi
Role Tinggi: Rendah: Rendah:
Orientation Karena diamankan Meski seseorang Karena tujuan organisasi
oleh berlakunya memiliki jabatan cenderung kaku dan
ketentuan hukum, tinggi setiap kegiatan sudah
aturan dan prosedur ditetapkan ketentuannya
ber'alan
Task Moderat: Tinggi: Rendah:
Orientation Persoalan psikologis Karena menjadi Seseorang tidak layak
bisa jika kontribusi dasarbagiseseorang berada di dalam
individual redanden untuk berinteraksi organisasi jika ia tidak
dengan organisasi menyesuaikan tujuannya
den an or~ anisasi
Person Tinggi: Tinggi: Tinggi:
Orientation Karena perhatian Khususnya jika Karena tujuan organisasi
utamanya adalah seseorang mampu disesuaikan dengan
kesejahteraan menciptakan tujuan individu
individual tujuannya
8.52 PERILAKU ORGANISASI e
B. Kepentingan organisasi
Efektivitas Respons Mengatasi secara Mengintegrasikan dan
terhadap Ancaman Cepat dan Efektif Mengoordinasikan
dan Bahaya dari terhadap Upaya-upaya Internal
Lingkungan Kompleksitas dan Organisasi
Organisasi Perubahan
Lin kun an
Power Tinggi: Moderat ke rendah: Tinggi:
Orientation Organisasi Bergantung pada Kontrol cukup efektif
cenderung siap untuk ukuran organisasi, karena dukungan dari
bersaing namun model atas
komunikasi yang
piramidal sangat
mudah overload
Role Moderat ke rendah: Rendah: Tinggi:
Orientation Organisasi Lam bat dalam Menggambarkan sistem
cenderung lambat merubah prosedur kerja yang rasional yang
dalam merespons yang ada; dan model dirancang dengan sangat
ancaman yang terus komunikasi yang hati-hati
meningkat piramidal sangat
mudah overload
Task Moderat ke tinggi: Tinggi: Moderat:
Orientation Boleh jadi organisasi Fleksibilitas dalam Terintegrasi melalui
lam bat dalam penugasan dan tujuan bersama, namun
mengambil komunikasi yang adanya fleksibilitas, dan
keputusan, tetapi pendek sangat pergeseran struktur
menghasilkan memudahkan untuk memungkinkan sulitnya
respons yang beradaptasi untuk koordinasi
komJeten
Person Rendah: Tinggi: Rendah:
Orientation Organisasi lambat Res pons sangat tidak Tujuan bersama sui it
menyadari adanya menentu; penempatan dicapai dan berbagai
ancaman dan lambat sumber daya untuk aktivitas bisa saja
pula dalam mengatasi masalah bergeser bergantung
mengatasinya sangat bergantung interes masing-masing
pada kebutuhan dan individu
ketertarikan masing-
masing individu
dengan bahasa berbeda. Seperti tampak pada Tabel 8.6, misalnya power
culture identik dengan Zeus dan adhocracy; task culture identik dengan
achievement culture, Athena dan market culture. Apollo dan Hierarchy
identik dengan role culture. Demikian juga person culture dengan support
culture, Dionysus dan clan culture.
Tabel 8.6.
Perbandingan Tipe Budaya:
Harrison, Pheysey, Handy dan Cameron & Quinn
Tipe Buda ta
Ro er Harrison Power culture Role culture Task culture Person culture
Diana Pheysey Power culture Role culture Achievement Support culture
culture
Charles Hand'' Zeus A:>ollo Athena Dionvsus
Kim Cameron & Adhocracy Hierarchy Market Clan
Robert Quinn
17
Diana Pheysey dengan menggunakan 4-dimensional modelnya
Hofstede menyebutkan adanya empat tipe budaya organisasi, yaitu power
culture, role culture, achievement culture, dan support culture. Power culture
adalah budaya organisasi di mana kekuasan mempunyai peranan penting
dalam mewarnai kehidupan organisasi. Organisasi mafia adalah salah satu
contoh klasik dari power culture. Role culture adalah tipikal organisasi yang
menuntut individu-individu yang ada di dalam organisasi, sesuai dengan
posisi masing-masing, berperan dalam pencapaian tujuan organisasi. Di sini
organisasi dipandang sebagai "bounded rational instrument for the
achievement of specified goals - instrumen yang rasional untuk mencapai
tujuan organisasi". Perusahaan besar atau lembaga-lembaga pemerintah
umumnya masuk dalam kategori ini. Achievement culture digunakan untuk
mengelompokkan organisasi yang lebih menekankan atau berorientasi pada
basil yang harus dicapai. Perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam
kelompok budaya ini menuntut karyawannya memiliki energi dan waktu
yang cukup yang didedikasikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
perusahaan. Contoh perusahaan yang masuk dalam kelompok ini adalah
perusahaan R & D dan perusahaan yang tingkat persaingannya sangat tajam.
17
Diana Pheysey. (1993). Organizational Culture: Types and Transformation.
London: Routledge. hal. 15- 7.
8.54 PERILAKU ORGANISASI e
CULTURE
INTERPRET
important
Infer meanings
shared
assumption objects
talk
Gambar 8.17.
Proses Terbentuknya Budaya
18
Edgar Schein. (1983). The Role of the Founder in Creating Crganizational
Culture. Organizational Dynamics.:. 12 (1), pp13-28.
19
Sathe. (1985). Culture and Related Corporate Ceality. Homewood, Ill: Richard D.
Irwin.
e EKMA41 58/MODUL B 8.57
20
Lihat misalnya Walter W C Chung and Karina P K Yuen. (2003). Management
Succession: a Case for Chinese Family-Own Business. Management decision. pp.
643-655.
8.58 PERILAKU ORGANISASI e
waktunya untuk dijadikan rujukan dan mentor bagi penerusnya. Semua ini
bertujuan agar budaya yang telah dibangun dengan susah payah tidak punah
begitu saja. Kondisi seperti ini banyak dijumpai di Indonesia seperti yang
terjadi pada PT HM Sampurna, PT Gudang Garam, Bakri Brothers. Meski
praktik semacam ini dianggap sebagai sebuah kewajaran khususnya bagi
masyarakat yang lebih kolektif (collectism society) di mana fungsi seorang
anak adalah sebagai penerus generasi, namun bukan tidak mungkin para
pendiri menyerahkan estafeta kepemimpinan kepada manajer profesional,
sementara para pendiri itu sendiri secara formal bertindak sebagai
komisaris/pengawas yang di antara tugasnya tetap sama, yakni menjaga
keutuhan nilai-nilai yang telah dibangunnya.
Dengan beralihnya estafeta kepemimpinan, berarti kendali organisasi,
termasuk proses pembentukan dan mempertahankan budaya organisasi,
bergeser dari para pendiri ke putra mahkota atau para manajer profesional.
Meski pergantian kepemimpinan ini mungkin tidak berdampak terhadap
perubahan asumsi dasar dan landasan filosofis organisasi, bukan tidak
mungkin pimpinan yang baru (baik putra mahkota maupun manajer
profesional) melakukan interpretasi ulang terhadap asumsi dasar dan filosofi
21
organisasi . Hal ini bisa saja terjadi utamanya jika terjadi perubahan
lingkungan eksternal yang memaksa organisasi harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan tersebut. lnterpretasi ulang terhadap filosofi organisasi
juga bisa terjadi karena perubahan gaya kepemimpinan para penerusnya. Hal
ini sering terjadi utamanya jika penerusnya adalah seorang manajer
profesional. Jika para penerus atau manajer profesional berhasil
menginterpretasi ulang filosofi organisasi dan menjadikan organisasi sukses,
selanjutnya nilai-nilai baru ini dikomunikasikan kepada seluruh anggota
organisasi, di-shared dan dipertahankan untuk menjadi nilai-nilai bersama.
21
Harris and Ogbonna. (1988). Employee Responses to Cultural Change Efforts.
Human Resource Management Journal. Vol. 8 No.2, hal. 78-92.
e EKMA41 58/MODUL B 8.59
22
Bar-Tal. (2000). Share Beliefs in a Society: A Social Psychological Analysis.
London, Sage Publication,
23
Charles O'Reilley. (1989). Corporation, Culture and Commitment: Motivation and
Social Control in Organizations., California Management Review 31, Summer.
J.
belah pihak memungkinkan pencari kerja dan calon pemberi kerja melakukan
24
kontrak psikologis (psychological contract) .
Secara sederhana yang dimaksudkan dengan kontrak psikologis adalah
satu set kewajiban bersama dan janji tidak tertulis antara pencari kerja
(employees) dan pemberi kerja (employer) yang dipersepsi oleh pencari
25
kerja . Kontrak psikologis dengan demikian merupakan harapan masing-
masing pihak yang sedapat mungkin bisa terpenuhi saat kedua belah menjalin
kontrak kerja secara formal. Meski kontrak tersebut tidak tertulis dampaknya
terhadap proses akulturasi sangat besar karena pengingkaran atau tidak
dipenuhinya janji akan menyebabkan salah satu pihak, khususnya karyawan
baru, hanya akan berupaya memenuhi kepentingan dirinya bukan organisasi
26
secara keseluruhan .
Pada perusahaan yang relatif lebih besar dan secara organisasional lebih
mapan karena telah memiliki perangkat-perangkat organisasi, pola
rekruitmen pada umumnya sudah lebih terbuka dalam pengertian tidak
diperlukan lagi prasyarat bahwa orang yang direkrut harus sudah dikenal
sebelumnya. Hal ini bisa diartikan pula bahwa karyawan baru tidak harus
berasal dari keluarga dekat para petinggi organisasi atau keluarga dekat,
tetangga atau ternan dekat karyawan yang telah lebih dahulu bekerja. Calon
karyawan yang tidak dikenal sebelumnya dengan demikian bisa saja direkrut
selama orang tersebut memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan
perusahaan. Kriteria-kriteria ini tidak hanya didasarkan pada aspek perilaku
seperti pada perusahaan keluarga akan tetapi juga pada aspek-aspek lain,
seperti aspek keterampilan, kompetensi, pengalaman dan pengetahuan calon
karyawan.
24
Untuk penjelasan mengenai Psychological Contract, lihat misalnya Robinson.
( 1996). Trust and Breach of the Psychological Contract. Administrative Science
Quarterly, 41. hal. 574- 599. Atau Chrobot-Mason.(2003). Keeping the Promise:
Psychological Contract Violations for Minority Employees. Journal of
Managerial Psychology. Hal. 22-45.
25
Denise Rousseau. New Hire Perceptions of their Own and their Employer's
Obligations: A Study of Psychological Contract. Journal of Organizational
Behavior. Hal. 389 - 400.
26
Masalah penyimpangan terhadap kontrak psikologis dan dampaknya terhadap
suasana psikologis karyawan, lihat misalnya Chrobot-Mason. (2003). op cit.;
Robinson and Morrison. (2000). The Development Of Psychological Contract
Breach and Violation: A Longitudinal Study. Journal of Organizational Behavior.
halaman 525-546. Atau tulisan-tulisan Robinson yang lain.
e EKMA41 58/MODUL B 8.61
Oleh karena model rekrutmen lebih terbuka dan calon karyawan belum
dikenal sebelumnya maka proses rekrutmen pada umumnya dilakukan
melalui beberapa tahap mulai dari tahap seleksi awal sampai pada tahap
sosialisasi dan pelatihan. Sederhananya merekrut calon karyawan layaknya
seseorang melamar calon istri. Pada saat meminang kita tidak boleh hanya
mengandalkan pada kesan pertama bahwa calon karyawan tersebut adalah
orang baik dan bisa diajak kerja sama, tetapi harus lebih saksama mengetahui
latar belakang mereka melalui bukti-bukti tertulis tentang latar belakang
keluarga, pendidikan, asal sekolah, dan pengalaman kerja jika ada. Semua ini
dilakukan agar pihak perusahaan bisa meyakini bahwa calon karyawan
adalah orang yang cocok untuk direkrut dan layak untuk bergabung dengan
perusahaan. Meski demikian, mengetahui calon karyawan hanya melalui
bukti tertulis dianggap tidak cukup karena masih ada beberapa aspek yang
belum terungkap, misalnya perilaku dan kepribadian calon karyawan. Kedua
aspek ini karena sifatnya yang tidak serta-merta tampak ke permukaan
melainkan cenderung tersembunyi, tidak bisa diketahui kecuali kita
mengenalnya lebih dekat. Oleh karena itu, dalam rekrutmen karyawan perlu
dilakukan interviu untuk mengungkap aspek-aspek tersebut. Di samping itu,
tes kesehatan dalam batas-batas tertentu juga dianggap perlu.
Setelah tahap rekrutmen selesai, tahap berikutnya adalah
menyosialisasikan karyawan baru ke dalam kehidupan riil perusahaan.
Sosialiasi ini dimaksudkan agar karyawan baru "learn the ropes" -
memahami tata aturan dan budaya yang berkembang di perusahaan tersebut,
seperti apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang dianjurkan dan apa
yang perlu dihindarkan, serta apa yang sakral dan apa yang tabu. Upaya ini
bagi perusahaan, sekali lagi, merupakan langkah yang perlu ditempuh dengan
tujuan untuk melestarikan budaya berjalan. Berdasarkan uraian di atas proses
sosialisasi bisa dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti tampak pada
27
Gambar 8.18 berikut ini.
27
Richard Pascale. (1985). The Paradox of "Corporate Culture": Reconciling
Ourselves to Socialization. California Management Review. Hal. 26-41.
8.62 PERILAKU ORGANISASI e
Ditolak
Seleksi awal calon
karyawan baru
Diperkuat dengan
folklore
Patuh pada niai-
nilai organisasi
akan mendorong System imbalan dan
seseorang rela kontrol yang tepat bisa
berkorban
membentuk prilaku
•
yang sesua1
Gambar 8. 18.
Proses Sosialisasi Karyawan
28
Edgar Schein mengatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai bagian
dari sebuah masyarakat, manusia secara individual pada dasarnya memiliki
tiga kebutuhan pokok. Pertama, manusia ingin menjadi bagian dari sebuah
kelompok (masyarakat) dan ingin mengetahui perannya dalam kelompok
tersebut. Kedua, manusia ingin tampak berpengaruh dalam sebuah kelompok
dan tidak ingin tampak bergantung pada kelompoknya meski pada saat yang
sama ingin tetap menjadi bagian dari kelompok dan ketiga, secara individu
manusia ingin bisa diterima dan intim dengan anggota kelompok yang lain
28
Edgar Schein. (1985). Organizational Culture and Leadership.
e EKMA41 58/MODUL B 8.63
29
Rod Gram. (1998). Op Cit.
30
Daniel Cable, et al. (2000). The Sources and accuracy of Job Applicants' Belief
about Organizational Culture. Academy of Management Journal. 4316, pp.
1076-1085.
8.64 PERILAKU ORGANISASI e
31
Amy Kristof. (1996). Person-Organization fit: an Integrative Review of its
Conceptualizations, Measurement and Implications. Personnel Psychology. 49, pp.
1-49.
32
Ellen Wallach. (1983). Individuals and Organization: the Cultural Match. Training
and Development Journal. pp. 29-36.
33
Charles O'Reilly, Jeniffer Chatman and David Cadwell. (1991). People and
Organizational Culture: a Profile Comparison Approach to Assessing Person-
Organization Fit. Academy of Management Journal. 24/3, pp. 487-516.
34
Barry Posner. (1992). Person-Organization Values Congruence: no Support for
Individual Differences as a Moderating Influence. Human relation. 4514,
pp.351-361.
e EKMA41 58/MODUL B 8.65
35
Vandenberghe. (1999). Organizational Culture, Person-Culture Fit, and Turnover:
a Replication in the Health Care Industry. Journal of Organizational Behavior. 20,
pp. 175-184.
36
Annelies Van Vianen. (2000). Person-Organization fit: the Match Between
Newcomers' and Recruiters' Preferences for Organizational Cultures. Personnel
Psychology. 53/l, pp.113-149.
37
James Werbel and Danny Johnson. (2001). The Use of Person-Group Fit for
Employment Selection: a Missing Link in Person-Environment Fit. Human
Resource Management. 4013, pp. 227-240.
8.66 PERILAKU ORGANISASI e
LATIHAN
paling awal yang bisa dilakukan seorang manajer adalah pada saat
merekrut orang baru sebagai bagian dari anggota organisasi harus
memilih orang-orang yang nilai-nilai individualnya cocok dengan nilai-
nilai organisasi. Langkah selanjutnya, melakukan sosialisasi agar
anggota baru tersebut betul-betul memahami, menjiwai, dan
mempraktikkan budaya berjalan.
3) Meski budaya organisasi merupakan komponen yang tidak kasat mata
(intangible) dan informal namun pengaruhnya terhadap perilaku manusia
di dalam organisasi tidak perlu disangsikan. Sebagai contoh, ketika
sebuah seorang manajer mengadopsi role culture - budaya organisasi
yang berorientasi birokrasi sebagai nilai-nilai dominan organisasi,
hampir pasti seluruh karyawan atau paling tidak sebagian besar
karyawan akan menggunakan aturan sebagai pedoman berperilaku.
Artinya, karyawan yang tidak taat aturan dianggap bukan kelompok
mereka dan bukan tidak mungkin akan dikucilkan.
RANGKUMAN
TES FORMATIF 2- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
1) Mana di antara penyataan di bawah ini yang dianggap paling benar ....
A. budaya organisasi bersifat statis dan tidak bisa diubah
B. inti dari budaya organisasi terletak pada perilaku manusia yang
mempraktikkan budaya
e EKMA41 58/MODUL B 8.69
2) Visi dan misi organisasi bisa dikatakan sebagai elemen budaya yang
bersifat ....
A. ideal
B. behavioral
C. ideal dan behavioral
D. bukan elemen budaya organisasi
Daftar Pustaka
Denise Rousseau. New Hire Perceptions of their Own and their Employer's
Obligations: A Study of Psychological Contract. Journal of
organizational behavior. Hal. 389-400.
Robert Blake and Jane Mouton. (1985). The Managerial Grid Ill. Houston:
Gulf Publishing Company.
PENDAHULUAN
1
Erez, M. and P.C. Early. (1993). Culture, Self Identity and York. Oxford
University Press. Hal. 3.
2
Hofstede, G. (1992). Motivation, Leadership and Organization: Do American
Theories Apply Abroad? Hal. 99.
3
Lihat misalnya Hampden-Turner and Tromprenaar. (2000). Building Cross
Cultural Competence. Hal. 2.
4
Dalam aplikasinya ke dalam praktik-praktik manajemen, bisa dilihat pada Nancy
Adler. (2000). International Dimension of Organizational Behavior atau
Schneider and Louis Barsoux. (1997). Managing Cross Cultures.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.3
KEGIATAN BELAL.JAR 1
ebagaimana telah kita ketahui bersama, sejak awal tahun 1970-an pelaku
bisnis lintas negara atau yang biasa dikenal sebagai perusahaan
multinasional (MNC) tidak lagi sekadar mengekspor produknya, tidak pula
sekadar memiliki saham perusahaan di luar negeri melalui Joint Venture atau
aliansi strategis, tetapi juga melakukan investasi langsung (direct foreign
invetment) ke negara lain. Investasi langsung adalah mendirikan perusahaan
di negara lain (biasa disebut anak perusahaan) oleh sebuah perusahaan yang
berlokasi di negara berbeda (biasa disebut sebagai perusahaan induk). Secara
manajerial, konsekuensi logisnya adalah perusahaan induk (parent company)
memiliki otoritas untuk mengelola seluruh sumber daya yang ditanamkannya
(istilah umumnya adalah perusahaan induk melakukan active management),
termasuk di dalamnya menetapkan strategi bisnis, menyusun perencanaan,
pengendalian, pengambilan keputusan manajerial dan semua pengelolaan
5
sehari-hari kegiatan perusahaan .
Meski investasi langsung bertujuan agar pengelolaan sumber daya lebih
efisien, dengan demikian memperoleh laba lebih baik, sayangnya tidak
semua perusahaan multinasional berhasil seperti harapan semula karena
dalam praktik ternyata banyak perusahaan multinasional yang gagal.
Penyebab kegagalan perusahaan multinasional mengoperasikan anak
perusahaan di luar negeri salah satunya berkaitan dengan persoalan
manajemen dan perilaku manusia di dalam organisasi. Pada umumnya,
perusahaan induk di samping menempatkan orang-orangnya di perusahaan
anak juga membawa serta pola manajemen perusahaan induk. Asumsi yang
biasa digunakan untuk membenarkan praktik ini adalah orang-orang tersebut
telah berpengalaman dan pola manajemennya telah berhasil diterapkan
dengan baik di perusahaan induk. Sayangnya tidak semua asumsi tersebut
benar terutama karena adanya perbedaan budaya yang menyebabkan
perbedaan perilaku manusia pada masing-masing negara. Oleh sebab itu,
5
Lihat pengertian MNC seperti dikemukakan oleh Christopher Barlett and Sumatra
Ghoshal. (2000). Transnational Management: Text, Cases, and Reading in Cross-
Border Management. 3 rd edition. McGraw-Hill International Editions.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.5
Dewasa ini batas negara sepertinya hanya menjadi batas wilayah sebuah
negara, tetapi tidak lagi menjadi batas wilayah perekonomian sebuah negara.
Para pelaku bisnis, entah dari mana asalnya, bisa dengan mudah keluar
masuk sebuah negara untuk melakukan kegiatan bisnis dan mendulang
keuntungan dari negara berbeda. Bukan hanya itu, mereka bahkan secara
simultan melakukan bisnis di beberapa negara berbeda dan dari sana pula
keuntungan lebih banyak diperoleh ketimbang keuntungan dari pasar
domestik seperti yang dialami Coca cola dan Pepsicola. Akibatnya,
kebutuhan akan global manager yang memiliki kemampuan untuk bekerja
sama dengan orang-orang dari negara berbeda dengan budaya berbeda sangat
dibutuhkan. Selain itu, praktik manajemen yang selama ini menjadi andalan
ketika perusahaan masih beroperasi pada lingkup domestik sudah seharusnya
berganti menjadi manajemen lintas budaya karena isu-isu yang dihadapi para
manajer jauh lebih kompleks - bukan hanya aspek manajerial, tetapi juga
aspek kultural. Dengan menerapkan manajemen lintas budaya yang dipimpin
oleh manajer global berarti perhatian para manajer bukan hanya tertuju pada
isu-isu manajemen lokal, tetapi juga pada perilaku manusia lintas negara dan
lintas budaya. Para manajer juga dituntut untuk bisa membandingkan dan
mengadaptasi perilaku organisasi lintas negara dan budaya, serta yang lebih
penting lagi para manajer harus memahami dan meningkatkan kemampuan
berinteraksi dengan ternan kerja, manajer, eksekutif, klien, supplier, dan
partner seantero dunia. Walhasil, lingkup perhatian manajemen lintas budaya
jauh lebih luas dan kompleks yang meliputi segala macam isu dalam skala
intemasional dan multikultural yang begitu dinamis.
Uraian di atas secara tidak langsung menegaskan perbedaan antara
organisasi berskala domestik dengan organisasi berskala global. Perbedaan
9.6 PERILAKU ORGANISASI e
ini ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu penyebaran wilayah geografis dan
aspek multikultural. Sebuah organisasi disebut sebagai organisasi global jika
wilayah operasinya, meliputi berbagai negara secara bersamaan. Akibat
luasnya jangkauan operasi ini, organisasi global selalu dihadapkan pada
masalah fluktuasi nilai tukar mata uang, biaya transportasi dan komunikasi
yang begitu besar, perbedaan aturan keuangan dan perpajakan, serta
perbedaan-perbedaan lain yang sangat kompleks yang disebabkan karena
j arak dan batas negara.
Sementara itu, tidak kalah penting dari penyebaran wilayah geografis
adalah persoalan multikultur yang dihadapi organisasi global. Persoalan ini
muncul karena berbagai karyawan dari berbagai latar belakang budaya yang
berasal dari negara berbeda berinteraksi setiap hari secara reguler.
Konsekuensi logisnya adalah manajer yang ditempatkan pada organisasi
global, jika ingin berhasil, harus memiliki global mindset sebagai landasan
berpikir. Cara pikir ini menuntut para manajer untuk selalu berpikir di luar
batas negara dan menempatkan organisasi yang dipimpinnya sebagai entitas
yang berada di tengah-tengah kompleksitas multikultur yang kadang-kadang
bertabrakan antara satu budaya dengan budaya lain. Itulah sebabnya seorang
manajer global juga dituntut untuk secara kognitif membuat trade-off dan
keputusan yang tepat di antara berbagai kepentingan yang saling berlawanan.
B. PERBEDAAN BUDAYA
6
E.B. Tylor. (1958). The OriginofCulture. HaLl.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.7
7
atau seperti yang dikemukakan Bronislaw Malinowski berikut ini:
7
Malinowski sebagaimana dikutip oleh William M. Evan hal. 267.
8
Melville Herskovits sebagaimana dikutip oleh Mary Jo Hatch. (1997).
Organization Theory. New York: Oxford University Press. Hal. 204.
9.8 PERILAKU ORGANISASI e
9
dikatakan oleh Nancy Adler orientasi kultural sebuah masyarakat
merefleksikan interaksi yang sangat kompleks antara nilai-nilai, sikap, dan
perilaku yang ditunjukkan oleh para anggota masyarakat. Seperti tampak
pada Gambar 9.1 , individu-individu anggota masyarakat mengekspresikan
budaya melalui nilai-nilai yang mereka yakini tentang kehidupan dan dunia
di sekitarnya. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut akan memengaruhi cara mereka
bersikap dan bentuk perilaku yang dianggap tepat dan efektif pada situasi
tertentu. Sebaliknya, perubahan pola perilaku indi vidu dan kelompok pada
akhirnya akan memengaruhi pula budaya masyarakat. Proses ini akan terus
bergulir tanpa henti meski prosesnya itu sendiri kadang-kadang begitu
lamb at.
Prilalru Budaya
Sikap Nilai-
nilai
Gambar 9.1.
Pengaruh Budaya terhadap Perilaku dan Perilaku terhadap Budaya
9
Lihat Nancy Adler, 2002, International dimensions of organizational
behavior, 4th edition, South Western, halaman 17-18
°
1
Kluckhohn, F.R. and F.L. Strodtbeck, 1961, Variation in value orientation,
Evanston, Illinois: Row, Peterson and company, halaman 4
e EKMA41 58/MODUL 9 9.9
Tabel 9.1.
Orientasi Nilai dan Variasinya
ISSUE . .__
VARIATIONS
,--- r
Seperti tampak pada Tabel 9.1, isu-isu penting yang dihadapi seseorang
atau sekelompok orang bisa dibedakan menjadi 5 macam isu pokok atau 6 isu
jika isu yang berkaitan dengan ruang (space) dan waktu (time) dipisahkan.
Setiap isu bisa diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai dominan yang diyakini
kebenarannya oleh seseorang atau sekelompok orang yang terdiri dari
3 macam variasi nilai. Hal ini bisa diartikan bahwa setiap isu hanya ada tiga
kemungkinan cara penyelesaian. Dalam kaitannya dengan hubungan manusia
dengan alam misalnya, manusia pada dasarnya memiliki preferensi yang
sangat terbatas, yakni ada sekelompok manusia yang cenderung pasrah
terhadap alam, ada yang lebih memilih menyatu atau harmoni dengan alam
dan ada yang mencoba menguasai alam. Sebagai contoh, seandainya seorang
pendiri atau para pendiri organisasi dan jajaran manajemennya cenderung
lebih condong ke harmoni dengan alam maka dalam menjalankan
kegiatannya mereka lebih memilih beradaptasi dengan lingkungan ketimbang
mencoba mengendalikan lingkungan seperti yang akan terjadi bagi para
pendiri dan jajaran manajemen yang orientasi nilainya mencoba menguasai
alam. Adaptasi dengan lingkungan dengan demikian merupakan asumsi dasar
yang dijadikan pedoman bagi organisasi tersebut dalam mengatasi persoalan-
persoalan organisasi termasuk di dalamnya yang berhubungan dengan
masalah lingkungan organisasi. Dalam skala yang lebih luas masyarakat
Indonesia, misalnya cenderung pasrah pada alam sedangkan masyarakat
Amerika cenderung ingin menguasai alam. Pada persoalan yang sama,
e EKMA41 58/MODUL 9 9.11
11
Lane and DiStefano. (1992). International Management Behavior. Hal. 31.
9.12 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 9.2.
Variasi Hubungan Manusia dengan Alam dan
lmplikasinya terhadap Praktik-praktik Manajemen
12
Andre Laurent. (1983). The Cultural Diversity of Western Conception of
Management. International Studies of Management and Organization. Vol13 , No.
1-2. Hal. 75- 96.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.13
penting siapa orangnya dulu bukan tugasnya, tetapi bagi masyarakat Amerika
yang penting tugasnya telah dinyatakan dengan jelas dan orangnya menyusul.
Tentang peran seorang manajer apakah dia sebagai seorang expert atau
problem-solver, Laurent mengajukan pernyataan: "sangat penting bagi
seorang manajer untuk memberi jawaban yang pasti ketika anak buah
mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan mereka." 73% manajer Indonesia
setuju dengan pernyataan tersebut yang artinya setiap manajer harus memberi
jawaban pasti kepada anak buahnya ketika ditanya sesuatu. Manajer tidak
boleh mengatakan tidak tabu atau merujuk kepada orang lain yang lebih tahu.
Jika melakukan hal itu maka seorang manajer dianggap tidak kompeten.
Dengan kata lain, manajer Indonesia lebih menempatkan diri sebagai seorang
expert. Sementara itu, manajer Amerika hanya 18% yang setuju yang
menandakan bahwa mereka lebih sebagai problem solver.
Temuan-temuan di atas tidak jauh berbeda dengan basil penelitian
Hofstede yang sangat fenomenal tentang sikap kerja dalam lingkup
perbedaaan budaya. Hasil temuan Hofstede belakang dikenal dengan istilah
budaya nasional. Hasil penelitian Hofstede dituangkan dalam sebuah buku
berjudul "culture consequences: International differences in work related
values" yang diterbitkan pada tahun 1980 dan buku dan/atau artikel lain
sesudahnya. Hofstede boleh jadi bukan orang pertama yang menggunakan
istilah budaya nasional karena embrio konsep tersebut sudah diperkenalkan
13
oleh penulis sebelumnya seperti Haire, Ghiselli and Porter . Namun, dalam
berbagai literatur, khususnya yang mengkaji aspek kehidupan dan kegiatan
manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan Hofstede hampir selalu
menjadi rujukan utama dibandingkan misalnya dengan karya-karya
14
Trompenaars meski keduanya sesungguhnya melakukan kajian yang sama
yakni budaya nasional. Dalam melakukan kajian tersebut, keduanya juga
menggunakan basis atau konsep dasar yang sama yakni konsep nilai yang
dikemukakan Kluckhohn and Strodtbeck yang tertuang dalam buku
"Variation in value orientation". N amun, sekali lagi konsep yang
dikembangkan oleh Hofstede lebih banyak digunakan termasuk uraian pada
bab ini juga lebih banyak menggunakan konsepnya Hofstede.
13
Lihat misalnya M. Haire, E.E. Ghiselli and L.W. Porter. (1997). Cultural Patterns in
the Role of the Manager. in Malcolm Warner (ed.) Compaative Management:
Critical Perspective on Business and Manaegement. Vol. 1., London: Routledge.
Hal.154-175.
14
Trompenaars, F. (1993). Riding the Waves of Culture. London: Nicholas Brealey.
9.14 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 9.3.
Cuplikan Kuesioner dan Jawabannya
15
Hofstede and Bond. (1988). The Confucius Connection: from Cultural Roots to
Economic Growth, Organization Dynamics. 16, 4, Hal. 4-12.
Tabel 9.4.
Skor untuk Masing-masing Dimensi
-
U1
•
Negara/Region
Power Distance Uncertainty Avoidance Individualism Masculinity •
1"1
Ranking Index Ranking Index Ranking Index Ranking Index i\
I
lrlandia 49 28 47-48 35 12 70 7-8 68 )>
~
Israel 52 13 19 81 19 54 29 47 ...
U1
ltalia 34 50 23 75 7 76 4-5 70 ro
.........
Jamaika 37 45 52 13 25 39 7-8 68 I
0
Jepang 33 54 7 93 22-23 46 1 95 0
Jerman (Barat) 42-44 35 29 65 15 67 66 c
9-10 r
Korea (Selatan) 27-28 60 16-17 85 43 18 41 39 \()
1J
1"1
;u
-r
)>
7'
c
[J
;u
G1
)>
z-
[I)
)>
[I)
-
•
e EKMA41 58/MODUL 9 9.19
1. Power Distance
Power distance didefinisikan sebagai "the extent to which the less
powerful members of institutions and organization within a country expect
and accept that power is distributed unequally - sejauh mana anggota-
anggota biasa (yang tidak memiliki kekuasaan) sebuah institusi dan/atau
organisasi berharap dan mau menerima kenyataan bahwa kekuasaan tidak
didistribusikan secara merata". Maksud dari institusi di sini adalah elemen-
elemen utama sebuah masyarakat, seperti keluarga, sekolah, dan komunitas.
Organisasi adalah tempat seseorang melakukan pekerjaan.
Berdasarkan definisi ini, dengan demikian power distance merupakan
dimensi budaya nasional yang mengungkap jarak hubungan (tingkat
ketidaksetaraan) antara bawahan dengan atasan, antara seseorang dengan
status sosial lebih rendah dengan seseorang yang memiliki status sosial lebih
tinggi, dan/atau antara orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan orang
yang berkuasa. Oleh Hofstede, ketidaksetaraan hubungan tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu large power distance dan small power distance.
Tabel 9.5.
Negara-negara yang Masuk dalam Large dan Small Power Distance
Tabel 9.6.
Perbedaan antara Masyarakat dengan Large dan Small Power Distance
Tabel 9. 7.
Negara-negara yang Masuk dalam Individualism dan Collectivism
lnvidualism Collectivism
a. USA a. Guatemala
b. Australia b. Ekuador
c. lnggris Raya c. Panama
d. Canada d. Venezuela
e. Netherlands e. Colombia
f. New Zealand f. Indonesia
g. ltalia g. Pakistan
h. Belgia h. Costa Rica
• •
I. Denmark I. Peru
• •
• Swedia • Taiwan
Tabel 9.8.
Perbedaan antara Masyarakat yang Cenderung Lebih Individual
dan Lebih Kolektif
Individualism Collectivism
Secara Umum Secara Umum
a. ldentitas diri seseorang melekat pada a. ldentitas diri seseorang melekat pada
diri orang tersebut. kelompok/masyarakat di mana orang
b. Setiap orang tumbuh dan berkembang tersebut menjadi bagiannya.
untuk bisa menjadi diri sendiri dan b. Setiap orang dilahirkan sebagai
melindungi dirinya dan keluarga penerus keluarga dan kelompoknya.
dekatnya. Sebagai konsekuensi, keluarga dan
kelompok tersebut berusaha
melindunginya sebagai imbalan atas
loyalitas orang tersebut.
Individualism Collectivism
b. Mengemukakan pendapatnya b. Harmoni harus selalu dijaga dan
merupakan karakteristik orang bijak. konfrontasi langsung harus
c. Berbuat kesalahan merugikan diri dihindarkan.
sendiri dan harga dirinya. c. Berbuat kesalahan merupakan
perbuatan yang memalukan dan
menjadikan diri sendiri dan
kelompoknya kehilangan muka.
3. Uncertainty Avoidance
Setiap orang hampir pasti menyadari bahwa masa datang merupakan
sesuatu yang tidak diketahui (unkown), tidak bisa diprediksi (unpredictable)
dan tidak menentu/tidak pasti (uncertain). Meski kesadaran mereka sama,
reaksi masing-masing individu terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian
tersebut ternyata bermacam-macam. Ada yang beranggapan bahwa
ketidakpastian itu bagian dari hidup yang tidak perlu dicemaskan. Toleransi
mereka terhadap ketidakpastian dengan demikian sangat tinggi. Akibatnya,
kelompok orang ini tidak menganggap perlu untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu yang bertujuan hanya sekadar untuk menghindari
ketidakpastian. Sebaliknya, ada juga sekelompok orang yang sama sekali
e EKMA41 58/MODUL 9 9.27
16
Hofstede. (1980). Hal. 161.
9.28 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel9.9.
Negara-negara yang Masuk dalam Strong dan Weak Uncertainty Avodance
Tabel 9. 10.
Perbedaan antara Masyarakat dengan Strong dan
Weak Uncertainty Avoidance
karena hanya kaum wanita yang bisa hamil dan melahirkan anak, demikian
juga hanya kaum wanita yang menyusui anak-anaknya. Semuanya itu tidak
bisa dilakukan oleh kaum pria. Dengan kata lain, pria dan wanita
sesungguhnya memiliki perbedaan peran gender.
Akibat dari perbedaan peran gender seperti digambarkan di atas, peran
masing-masing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga berbeda.
Namun, harus diakui pula bahwa peran tersebut tidak semata-mata ditentukan
oleh perbedaan biologis atau keperilakuan saja, tetapi juga ditentukan oleh
tata nilai masyarakat yang berangkutan. Sebagai gambaran, setiap masyarakat
pasti mengakui bahwa beberapa perilaku tertentu lebih cocok untuk kaum
wanita dan perilaku lainnya lebih cocok kaum pria. Akibatnya, pekerjaan
atau profesi tertentu dianggap lebih cocok untuk dikerj akan kaum pria,
sementara pekerjaan/profesi lainnya dianggap lebih cocok untuk dikerjakan
kaum wanita. Persoalannya sekarang adalah perilaku mana yang cocok untuk
pekerjaan apa sangat bergantung pada preferensi masyarakat yang bersumber
pada tata nilai mereka. Dengan kata lain, perbedaan tata nilai masyarakat
pada akhirnya berakibat pada perbedaan preferensi mereka terhadap perilaku
anggota masyarakatnya. Sebagai contoh, di Indonesia guru Taman Kanak-
kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) cenderung didominasi oleh guru wanita
karena wanita dianggap lebih mempunyai kemampuan untuk ngemong anak-
anak ketimbang guru pria. Sebaliknya, pada level pendidikan tinggi, staf
dosen lebih didominasi kaum pria karena pekerjaan pada level ini dianggap
lebih kompetitif dan menantang. Selain itu, di Indonesia jumlah dokter gigi
lebih banyak wanita dibanding pria. Demikian juga meski di Indonesia
jumlah kaum wanita sedikit lebih banyak dibanding pria, jumlah anggota
de wan legislatif masih didominasi pria.
Oleh karena preferensi dan tata nilai masyarakat berbeda maka
pekerjaan-pekerjaan yang di Indonesia didominasi oleh kaum pria belum
tentu di negara lain juga didominasi kaum pria, demikian sebaliknya. Di
Pakistan misalnya, juru ketik lebih didominasi kaum pria, demikian juga
kaum pria mendominasi pekerjaan perawat di Belanda. Seperti halnya di
Indonesia, di Belgia dokter gigi di dominasi kaum wanita. Sementara itu,
manajer berjenis kelamin wanita sangat banyak ditemui di Filipina dan
Thailand, tetapi sangat jarang atau hampir tidak ada di Jepang.
Semua contoh di atas menunjukkan perbedaan preferensi masyarakat
terhadap peran gender. Namun, terlepas dari semua perbedaan tersebut
distribusi peran gender memiliki kecenderungan yang sama, yakni kaum pria
9.32 PERILAKU ORGANISASI e
Tabel 9. 11 .
Negara-negara yang Masuk dalam Masculinity dan Femininity
Masculine Feminine
a. Jepang a. Swedia
b. Austria b. Norwegia
c. Venezuela c. Belanda
d. ltalia d. Denmark
e. Swiss e. Costa Rica
f. Meksiko f. Yugoslavia
g. Republik lrlandia g. Finlandia
h. Jamaika h. Cili
• •
I. lnggris Raya I. Thailand
• •
• Jerman • Guatemala
Tabel 9.12.
Perbedaan antara Masyarakat yang Masculine dan Feminin
Masculine Feminine
Secara Umum Secara Umum
a. Nilai-nilai masyarakat yang sangat a. Nilai-nilai masyarakat yang sangat
dominan adalah keberhasilan dan dominan adalah peduli dan menjaga
kemajuan ekonomi. hubungan dengan orang lain.
b. Uang dan harta benda lainnya b. Manusia jauh lebih penting ketimbang
dianggap sangat penting. harta benda, demikian juga hubungan
c. Seorang pria diharapkan sebagai baik antar man usia.
orang yang asertif, ambisius dan c. Setiap orang diharapkan berperilaku
•
tegas. waJar.
d. Seorang wanita diharapkan sebagai d. Baik laki-laki maupun perempuan
orang yang sensitif, mencintai, dan diharapkan memiliki peran yang sama.
ngemong.
Masculine Feminine
boleh.
c. Lebih bersimpati kepada orang yang
kuat.
beberapa ilmuwan sosial Hong Kong dan Taiwan. Dari hasil dialog tersebut
ditemukan 40 tata nilai yang berasal ajaran Confucius seperti tampak pada
Tabel 9.13 berikut ini.
Tabel9 . 13.
Tata Nilai yang Berasal dari Ajaran Confucius
Table 9.14
Short-term vs. Long-term Orientation
LATIHAN
-- - - -.....;:
waktu pendek, tetapi berlangsung dalam waktu lama dan persisten. Itulah
sebabnya cara berpikir masyarakat tertentu berbeda dengan cara berpikir
masyarakat lainnya yang berakibat budaya mereka pun berbeda. Akibat
dan perbedaan tersebut misalnya masyarakat Indonesia cenderung
memilih struktur organisasi yang layernya tinggi berjenjang ketimbang
masyarakat Amerika karena masyarakat Indonesia lebih berorientasi
hubungan dibandingkan masyarakat Amerika yang berorientasi tugas.
3) Holstede bisa dikatakan orang pertama yang mencoba menjelaskan
budaya masyarakat atau lebih tepatnya budaya nasional berdasarkan
dimensi-dimensi budaya. Pengelompokan ini berdasarkan penelitian
yang dilakukan di beberapa negara dengan sampel kurang lebih 117.000
responden. Hasilnya menunjukkan bahwa budaya nasional bisa
dibedakan menjadi 4 dimensi, yaitu masyarakat yang individualis vs.
masyarakat collective; masyarakat yang mempunyai power distance
tinggi vs. masyarakat yang mempunyai power distance rendah;
masyarakat yang sangat menghindari uncertainty avoidance dan
masyarakat yang bisa menerima uncertainty avoidance dan masyarakat
yang masculine vs. masyarakat yang feminine. Beberapa tahun
kemudian. Hotsstede menambahkan satu dimensi lagi, yaitu masyarakat
yang berorientasi jangka pendek vs. masyarakat yang berorientasi jangka
•
panJang.
RANGKUMAN- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
TES FORMATIF 1
KEGIATAN BELAL.JAR 2
itu seperti apa. Semuanya seolah-olah berjalan secara linier sampai suatu
ketika ada orang asing yang berperilaku tidak seperti pada umumnya
masyarakat setempat berperilaku. Saat itu barulah Anda merasakan adanya
dua perilaku dan dua budaya berbeda. Hal yang sama juga terjadi ketika
Anda misalnya baru pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Filipina.
Seketika mungkin Anda akan merasakan keanehan. Cara masyarakat Filipina
berperilaku jika dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat yang telah Anda
kenai sebelumnya berperilaku sangat berbeda. Perasaan aneh itulah bagian
dari pengakuan akan eksistensi perbedaan budaya.
Gambaran di atas mempertegas eksistensi perbedaan budaya - meski
tidak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan. Sekarang, seandainya Anda seorang
manajer dan ditempatkan di sebuah negara yang sebelumnya tidak Anda
kenai, serta Anda harus bekerja sama dengan manajer lokal serta memimpin
sekian banyak karyawan lokal yang perilaku dan budayanya sama sekali
berbeda dengan pengalaman Anda sebelumnya, mungkin Anda akan
mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock). Di saat yang
sama, sebagai seorang manajer, Anda sesungguhnya memiliki kapasitas dan
kekuasaan untuk merubah semua itu jika sekiranya perilaku dan budaya
setempat tidak sejalan dengan kepentingan organisasi yang Anda pimpin.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Anda akan menutup mata atau
sebaliknya mengakui adanya perbedaan budaya?
Pertanyaan ini memang sulit dijawab jika Anda seperti pada umumnya
manajer Amerika yang cenderung melihat orang lain sebagai individu bukan
sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat, Anda akan menutup mata
terhadap perbedaan budaya (culture blind). Pada umumnya, manajer Amerika
tidak pernah mempersoalkan jenis kelamin, ras atau etnik. Bagi mereka,
seorang karyawan harus profesional, sejalan dengan kepentingan organisasi.
Kalaulah mereka melihat perbedaan budaya, tetap saja tidak mau melihatnya,
atau paling tidak, tidak berusaha melihatnya. Semua orang dianggap sama,
memiliki kebutuhan dan aspirasi yang sama. Sayangnya pendekatan ini tidak
selamanya menguntungkan. Menutup mata terhadap perbedaan budaya justru
akan merugikan diri sendiri karena dengan menutup mata berarti seorang
manajer membatasi kemampuan dirinya untuk mengambil keuntungan dari
keragaman tersebut. Seorang manajer tidak bisa meminimalkan masalah yang
disebabkan keragaman budaya danlatau memaksimalkan keuntungan
potensial yang ditawarkan keragaman budaya.
e EKMA41 58/MODUL 9 9.43
1. Keuntungan
Sebuah organisasi akan memperoleh keuntungan karena keragaman
budaya ketika organisasi tersebut mengarah pada proses organisasi yang
bersifat divergen. Bagi organisasi yang bermaksud memperluas
perspektifnya, strategi, taktik atau pendekatan baru maka keragaman budaya
menjadi sumber kekuatan organisasi. Demikian juga ketika organisasi
bermaksud mereposisi eksistensinya atau mereposisi strateginya, misalnya
dari bricks-and-mortar business (bisnis konvensional) ke click-and-mortar
business (bisnis berbasis internet), para manajer sangat disarankan untuk
memanfaatkan keragaman budaya. Jika keragaman budaya dikelola secara
baik, organisasi akan mendapat dua keuntungan sekaligus, yakni keuntungan
9.44 PERILAKU ORGANISASI e
2. Kerugian
Jika keuntungan karena keragaman budaya disebabkan karena proses
organisasi yang bersifat divergen, sebaliknya keragaman budaya akan
menyebabkan masalah manakala proses organisasi bersifat konvergen, yakni
ketika semua karyawan dituntut untuk berpikiran dan melakukan tindakan
dengan cara yang sama. Komunikasi dan integrasi menjadi semakin sulit
ketika keragaman budaya eksis karena masing-masing menuntut pemaknaan
dan tindakan yang konvergen. Padahal keragaman budaya sering kali
menyebabkan dua belah pihak gagal memperoleh pemahaman bersama -
sebuah prasyarat bagi komunikasi yang efektif; mereka juga tidak bekerja
dengan cara yang sama atau irama yang sama - sebuah prasyarat bagi
berhasilnya integrasi. Demikian juga, tidak jarang keragaman budaya
meningkatkan ambiguitas, kompleksitas, dan kebingungan di kalangan
karyawan karena semuanya serba tidak jelas. Persoalan yang lebih krusial
yang dihadapi oleh para manajer berkaitan dengan culture-specific adalah
arogansi organisasi yang mengabaikan budaya lokal. Persoalan akan muncul
manakala seorang manajer menggeneralisasi semua strategi, kebijakan,
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.45
Tabel9.15.
Keuntungan dan Kerugian Akibat Keragaman Budaya
Keuntungan Kerugian/Masalah
Keragaman budaya menciptakan Keragaman budaya menimbulkan kerugian
keuntungan karena terciptanya sinergi: karena biaya organisasi meningkat:
a. Pemaknaan yang lebih luas a. Keragaman meningkatkan:
1) Lebih terbuka terhadap ide baru 1) Ambigu
2) Banyak interpretasi 2) Kompleksitas
3) Banyak perspektif 3) Kebingungan
b. Memperluas alternatif b. Sulitnya menyatukan makna:
1) Meningkatkan kreativitas 1) Miskomunikasi
2) Meningkatkan fleksibilitas 2) Lebih sulit mencapai kesepakatan
3) Meningkatkan kemampuan c. Sulitnya menyatukan tindakan
memecahkan masalah Lebih sulit mencapai kesepakatan
untuk melakukan tindakan khusus
Keuntungan kultur spesifik: Manfaat dari Kerugian kultur spesifik: kerugian yang
bekerja dengan budaya tertentu melekat akibat bekerja dengan budaya lokal
a. Memahami karyawan lokallebih baik a. Cenderung membuat generalisasi
b. Mampu bekerja lebih efektif dengan berlebihan
klien lokal 1) Kebijakan organisasi
c. Mampu memasarkan produk ke 2) Strategi organisasi
pasar lokallebih baik 3) Praktik organisasi
d. Meningkatkan pemahaman lebih baik 4) Prosedur organisasi
terhadap politik, sosial, hukum, b. Ethnocentrism
ekonomi dan budava setem pat.
yakin bahwa manajemen dan cara mereka mengelola organisasi adalah satu-
satunya cara untuk mengelola organisasi, tidak ada cara lain yang bisa
digunakan selain cara tersebut - our way is the only way. Urutan respons
kedua adalah etnosentrik. Dalam hal ini, para manajer mengakui adanya
keragaman budaya, tetapi keragaman tersebut hanya dianggap sebagai
sumber masalah. Pada tipikal organisasi etnosentrik, para manajer merasa
yakin bahwa cara-cara mereka mengelola organisasi adalah cara yang terbaik
-our way is the best way. Kalaulah ada cara lain yang bisa digunakan untuk
mengelola organisasi, cara tersebut dianggap lebih inferior. Bentuk respons
ketiga meski sangat jarang tetapi adalah yang baik, para manajer secara
eksplisit mengakui bahwa keragaman budaya sekaligus bisa berdampak
positif dan negatif terhadap organisasi. Dengan pengakuan seperti ini para
manajer menyadari bahwa cara kita dan cara mereka berbeda, dan kedua cara
tersebut tidak ada yang lebih superior - masing-masing memiliki kelebihan
dan kelemahan tersendiri. Oleh karena itu, kedua cara tersebut digabungkan
dan diambil yang terbaik bukan tidak mungkin menghasilkan cara yang
terbaik. Pendekatan inilah yang disebut pendekatan sinergik.
Tabel 9.16.
Organisasi Mana yang Mendapat Keuntungan Keragaman Budaya?
Tipe Frekuensi
Persepsi Strategi Konsekuensi
On anisasi Ke"adian
Persepsi Bagaimana dampak Konsekuensi Seberapa
dampak keragaman harus yang mungkin umum
•
keragaman dikelola terjadi menurut perseps1
budaya persepsi dan dan
terhadap strategi ini strategi ini
• •
on amsas1
Parochial Tidak Mengabaikan Masalah: Sang at
Hanya ada berdampak: perbedaan: masalah muncul urn urn
satu cara keragaman mengabaikan tetapi tidak
budaya tidak dampak keragaman dikaitkan
berdampak terhadap organisasi dengan
pada organisasi keragaman
budaya, tetapi
faktor organisasi
lain
Etnosentrik Dampak Meminimalkan Ban yak Hal biasa
Cara kita negatif: perbedaan: masalah dan
yang terbaik keragaman meminimalkan sedikit
budaya sumber dan keuntungan:
•
menyebabkan dampak keragaman manaJer
e EKMA41 58/ MODUL 9 9.47
Tipe Frekuensi
Persepsi Strategi Konsekuensi
Or anisasi Ke"adian
•
masalah bagi budaya terhadap mengurang1
• •
organ1sas1 organisasi. Jika masalah dengan
•
mung kin mengurang1
menggunakan satu keragaman;
budaya mengabaikan
potensi
keuntun an
Bersinergi Berpotensi Mengelola Beberapa Sang at
•
Menggabung memberi perbedaan: melatih masalah dan Jarang
kan cara kita dampak positif manajer untuk banyak
dan cara dan negatif: mengakui dan keuntungan:
•
mereka bisa keragaman memanfaatkan manaJer
menghasilkan berpotensi perbedaan budaya mengakui dan
yang terbaik menciptakan untuk menciptakan mengambil
keuntungan keuntungan bagi keuntungan
• •
dan kerugian orgamsas1 karen a
perbedaan.
Masalah lainnya
perlu dikelola
Langkah 1:
Menjelaskan situasi yang dihadapi
Dari perspektif budaya
Menjelaskan anda dan dari perspektif
situasi budaya mereka, bagaimana
. .
s1tuasmya.
')
Langkah 2:
Menginterpretasi budaya Menentukan Asumsi budaya seperti apa yang
asumsi dasar ... menjelaskan perspektif dan
budaya r
Lakukan penilaian
terhadap .... ldentifikasi kesamaan dan
overlapping budaya perbedaan budaya yang
Langkah 3 terlibat dalam proses
Meningkat kreativitas kultural
Ciptakan
alternatif Ciptakan alternatif dengan
.
smerg1
. .... mengambil yang terbaik
budaya dari berbagai kultur yang
terti bat
Gambar 9.2.
Proses Menciptakan Sinergi Kultural
e EKMA41 58/MODUL 9 9.51
• •
Budaya ki dominasi s1nerg1
kompromi
pengindaran akomodasi
budaya mereka
Gambar 9.3.
Opsi Strategi Global
1. Dominasi Kultural
Opsi pertama adalah dominasi kultural yakni menggunakan pendekatan
yang telah digunakan di negara asal. Bagi perusahaan yang merasa memiliki
kekuasaan lebih besar dibandingkan counterpart - misalnya karena ukuran
perusahaan lebih besar, teknologinya lebih canggih atau sumber dana
finansialnya lebih kuat, biasanya menggunakan pendekatan dominasi
kultural. Seorang manajer kadang-kadang memilih menggunakan pendekatan
dominasi kultural jika dia merasa yakin bahwa cara yang dia tempuh
merupakan satu-satunya cara yang harus diterapkan. Situasi ini biasanya
berkaitan dengan standar etika. Misalnya, dalam hal standar keselamatan
9.52 PERILAKU ORGANISASI e
2. Akomodasi Kultural
Opsi kedua, akomodasi kultural adalah kebalikan dari dominasi kultural.
Ketimbang mempertahankan praktik yang selama ini dijalankan di negara
asal, manajer global cenderung melebur ke dalam budaya lokal. Mereka
menerapkan prinsip "jika berada di Roma lakukanlah seperti yang dilakukan
orang Roma". Sayangnya upaya manajer ini sering kali mendapat tentangan
dari perusahaan induk di negara asal khawatir manajer tersebut tidak lagi
mewakili prinsipannya. Bentuk dari akomodasi kultural, misalnya sang
manajer mempelajari dan menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari atau kontrak-kontrak dagang dilakukan dengan mata
uang lokal. Opsi ini memungkinkan manajer lokal merasa nyaman dalam
bekerja dan bisa menjalankan kegiatan bisnisnya secara normal.
3. Kompromi Kultural
Pendekatan ketiga, kompromi kultural merupakan kombinasi dari
pendekatan pertama dan kedua. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti
kedua belah pihak mengakui eksistensi masing-masing. Tujuannya hanya
satu demi keberhasilan kerja sama mereka. Untuk itu, masing-masing pihak
harus belajar budaya pihak lain demikian sebaliknya. Pendekatan ini juga
mengindikasikan bahwa partner yang lebih kuat harus merelakan sebagian
kekuasaannya kepada partner yang kurang kuat. Meski demikian, kedua
belah pihak harus membuat konsesi agar hubungan bisnis mereka tetap
sukses. Masalahnya, manajer yang terlalu banyak menyerahkan kekuasaan
kepada pihak yang lebih lemah dianggap sebagai manajer yang lemah dan
bahkan kadang-kadang mereka dijuluki sebagai manajer yang kalah (caving
in).
4. Penghindaran Kultural
Pendekatan keempat, penghindaran kultural (cultural avoidance) adalah
pilihan bertindak yang seolah-olah tidak ada perbedaan kultural atau tidak
ada konflik kultural. Pendekatan ini banyak diterapkan oleh manajer Asia
ketimbang manajer-manajer dari dunia Barat. Penyebabnya karena para
manajer Asia cenderung mengadopsi budaya tidak konfrontatif sehingga
e EKMA41 58/MODUL 9 9.53
5. Sinergi Kultural
Seperti disebutkan sebelumnya, sinergi kultural mengembangkan solusi
baru untuk menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan perbedaan kultural
di antara pihak-pihak yang terlibat tanpa harus menghilangkan keunikan
masing-masing budaya. Solusi berbasis sinergi tidak hanya menyelesaikan
masalah yang berbasis domestik, tetapi lebih dari itu menyelesaikan masalah
yang berskala global. Penggunaan bahasa adalah salah contoh menarik yang
bisa digunakan untuk membahas pendekatan sinergi kultural. Jika pembisnis
dari Belanda bertemu dengan pembisnis dari Indonesia untuk membahas
masalah kerja sama keduanya, pertanyaannya adalah bahasa apa yang akan
mereka gunakan untuk berkomunikasi? Jika pertemuannya di Jakarta dan
pembisnis Belanda menghendaki penggunaan bahasa Belanda maka
pembisnis Belanda menunjukkan dominasinya (cultural dominance) terhadap
pembisnis Indonesia. Sebaliknya, apabila pembisnis Belanda mau
menggunakan bahasa Indonesia, berarti pembisnis Belanda mengakomodasi
partner dari Indonesia. Jika mereka menggunakan bahasa masing-masing
dengan bantuan penerjemah maka hal ini menunjukkan kompromi. Akan
tetapi, mereka sepakat menggunakan bahasa Inggris- maka terjadilah sinergi
kultural.
LATIHAN
---- ...._ ~ .
RANGKUMAN
------------------------------------
TES FORMATIF 2
-------------------------------
Pilihlah satu j a waban yang paling tepat!
Daftar Pustaka
Erez, M. and P.C. Early. (1993). Culture, Self Identity and York. Oxford
University Press.
Hofstede and Bond. (1988). The Confucius Connection: from Cultural Roots
to Economic Growth. Organization Dynamics. 16, 4, hal. 4-12.
M. Haire, E.E. Ghiselli and L. W. Porter. 1997. Cultural Patterns in the Role
of the Manager, in Malcolm Warner (ed.) Compaative Management:
Critical Perspective on Business and Management. Vol. 1., London:
Routledge, halaman 154-175.