Anda di halaman 1dari 9

PATOFISIOLOGI CHRONIC LUNG DISEASE

Dosen : Ance M.Siallagan,S.Kep.Ns.M.Kep


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

Kelompok 5
Nama : Intan kasih butar butar (032017076)
Angelina Manurung (032017091)
Hot Retta Sinaga (032017100)
Besty Apriani Zega (032017115)

STIkes SANTA ELISABETH MEDAN


T.A 2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih
karuniaNya yang telah diberikanNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami ini. Materi yang kami bahas dalam diskusi ini adalah Patofisiologi
Chronic Lung Disease”. Makalah yang kami susun ini terambil dari beberapa
referensi, baik dari jurnal yang berhubungan mata kuliah, internet, dan buku-buku
yang berkaitan dengan materi ini.

Dalam Penyusunan makalah ini, kami banyak mengalami hambatan dan


kesulitan. Namun, berkat bimbingan dan motivasi moril dari berbagai pihak,
akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan. Sehubungan dengan hal tersebut,
perkenankanlah kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen
pembimbing dan teman-teman sekelompok.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami menyadari sepenuhnnya banyak
sekali kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan makalah. Maka kami sangat
membutuhkan kerjasama dengan memberikan saran dan kritik yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi tenaga keperawatan khususnya.

Medan, Agustus 2019

Kelompok 5

2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Menurut World Health Organitation (WHO) pada tahun 2012, jumlah
penderita PPOK mencapai 274 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 400
juta jiwa di tahun 2020 mendatang dan setengah dari angka tersebut terjadi di
negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Angka kejadian PPOK di
Indonesia menempati urutan kelima tertinggi di dunia yaitu 7,8 juta jiwa.
Penderita PPOK di Rumah Sakir Umum Daerah Pandan Arang Boyolali
berdasarkan data instalasi rekam medik pada tahun 2014 sebanyak 217 jiwa, pada
tahun 2015 sebanyak 84dan 47 jiwa diantaranya mengalami komplikasi dan tidak
menutup kemungkinan jumlah tersebut akan meningkat di tahun mendatang.
Jumlah penderita PPOK meningkat akibat faktor genetik, pola hidup yang tidak
sehat, asap rokok dan polusi udara. PPOK dianggap sebagai penyakit yang
berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Adapun faktor
penyebabnya adalah: merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor resiko penting
yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam
rentang lebih dari 2030 tahunan. (Smeltzer dan Bare. 2006). Penyakit ini juga
mengancam jiwa seseorang jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare, 2006

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas rumusan masalah
adalah bagaimana Perawatan Paliatif pada Pasien penyakit Paru Kronik

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah akan membahas tentang
Perawatan Paliatif pada Pasien penyakit Paru Kronik

3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Main Maiping Chronic Lung Disease

Pencetus
Riwayat Infeksi Saluran Nafas Bawah Rokok dan Polusi

(Asma, Bronkhitis Kronis,Emfisema


Dan Hipereaktiviti Bronkus)

Inflamasi Infeksi

PPOK

(Penyakit Paru Obsturktif Sputum Leukosit


Kronik)
meningkat meningkat

Perubahan anatomis parenkim Batuk => nafas berbunyi ( mengi, Imun menurun
paru
wheezing).

Kuman patogen
Pembesaran alveoli. dan endogen
difagosit makrofag.

Hyperatropi kelenjar mukosa. Bersihan jalan nafas


tidak efektif. Anoreksia

Penyempitan saluran udara secara


periodik
Gg.Nutrisi ; Kurang
dari kebutuhan
tubuh.
Ekspansi paru menurun. Kompensasi tubuh untuk
memenuhi kebutuhan oksigen
dengan meningkatkan frekuensi
Suplai oksigen tidak adekuat keseluruh pernafasan.
tubuh.
kelemahan
badan
Kontraksi otot pernafasan
Hipoksia
penggunaan energi untuk
pernafasan meningkat =>
Sesak => penggunaan otot bantu , Sesak penggunaan otot bantu.
nafas saat beraktivitas dan pernafasan.

Pola nafas tidak efektif, Intoleransi Aktivitas


4
Keterangan :

: Faktor Resiko

: Etiologi

: Topik

: Patofisiologi

: Manifestasi Klinis

: Diagnosa

2.2 Perawatan Paliatif pada Pasien penyakit Paru Kronik


2.2.1 Opioid
Opium didapatkan dari tanaman candu Papaver somniferum dan Papaver
album yang mengandung lebih dari 20 jenis alkaloid. Salah satu alkaloid adalah
morfin dengan konsentrasi sekitar 10%. Opioid adalah senyawa alami,
semisintetik, atau sintetik yang bekerja pada reseptor opioid dan menghasilkan
efek seperti morfin. Semua opioid bekerja dengan berikatan pada reseptor
opioid di sistem saraf pusat sehingga menghasilkan efek serupa dengan
neurotransmiter peptida endogen (endorfin, enkefalin, dinorfin).26-31 Terdapat
tiga reseptor opioid yang diketahui yaitu reseptor µ (mu), δ (delta), dan κ (kappa)
yang masing- masing memiliki fungsi dan afinitas berbeda terhadap peptida
endogen.29-31 Jumlah dan subtipe reseptor ini berbeda antar individu bergantung
kepada genetika. Opioid dapat diabsorpsi baik dengan pemberian subkutan,
intramuskular, dan oral.
Mekanisme Kerja Opioid dalam Dispnea Hipotesis mekanisme kerja
opioid dalam dispnea terfokus pada sistem saraf pusat, yaitu :
1. Menurunkan kebutuhan metabolisme dan ventilasi
2. Menurunkan sensitivitas meduler terhadap hiperkarbia atau hipoksia
3. Menumpulkan respons meduler terhadap hiperkarbia atau hipoksia
4. Perubahan neurotransmisi pada pusat pernapasan meduler
5. Sedasi kortikal (menurunkan kesadaran untuk bernapas)
6. Analgesia - mengurangi nyeri yang merangsang pernapasan
7. Efek ansiolitik

5
8. Menumpulkan transmisi aferen dari mekanoreseptor paru ke sistem saraf pusat
(SSP)
9. Vasodilatasi (meningkatkan fungsi jantung)

2.2.2 Efektifitas nafas dalam untuk meningkatkan arus puncak ekspirasi (APE)
pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Teknik relaksasi bahwa Slow deep breathing merupakan tindakan yang
disadari untuk mengatur pernafasan secara dalam dan lambat yang dapat
menimbulkan efek relaksasi (Perry, 2005). Relaksasi secara umum merupakan
keadaan menurunnya kognitif, fisiologis dan prilaku. Terapi relaksasi banyak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mengatasi berbagai masalah
misalnya stress, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, ganguan pernafasan dan lain-
lain. Sedangkan pengobatan penunjang yang disarankan yaitu latihan fi sik dan
latihan respirasi (PDPI, 2003) Maka dari itu peneliti merasakan bahwa metode
nafas dalam belum dapat dikategorikan melatih fisik apalagi melatih pernafasan
tetapi metode nafas dalam adalah metode relaksasi otot pernafasan, terbukti pada
penelitian ini bahwa nafas dalam tidak signifi kan meningkatkan APE.

2.2.3. Pengaruh breathing retraining terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru


pada asuhan keperawatan pasien PPOK
Breathing retraining adalah strategi yang digunakan dalam rehabilitasi
pulmonal untuk menurunkan sesak napas dengan cara relaksasi, diaphragm
breathing dan pursed-lip breathing. Pursed-lip breathing menimbulkan obstruksi
terhadap aliran udara ekshalasi dan meningkatkan tahanan udara, menurunkan
gradien tekanan transmural, dan mempertahankan kepatenan jalan napas yang
kolaps selama ekshalasi. Proses ini membantu menurunkan pengeluaran udara
yang terjebak sehingga dapat mengontrol ekspirasi dan memfasilitasi
pengosongan alveoli secara maksimal (Dechman & Wilson, 2004). Pursed-lip
breathing tidak secara langsung menurunkan kapasitas fungsional residu, tetapi
perbaikan sesak napas merupakan akibat restorasi diafragma terhadap posisi
toraks yang mengalami kontraksi Relaksasi pada otot dapat menurunkan
kontraksi, sedangkan relaksasi pada tendon dapat menstimulasi badan golgi dan

6
berdampak terhadap inhibisi neuron yang mengontrol otot. Efek ini dikenal
dengan refleks inverse myotatic (Abrosino, Foglio & Bianci, 1998). Teknik
relaksasi selain bertujuan untuk merelaksasi ketegangan otot bantu pernapasan,
menurunkan penggunaan energi dalam bernapas yang dapat meningkatkan kerja
pernapasan, juga untuk menurunkan kecemasan pasien PPOK akibat sesak napas
yang dialaminya Diaphragm breathing lebih berfokus pada penggunaan otot-otot
diafragma daripada otot-otot asesoris untuk mencapai inspirasi maksimal dan
menurunkan frekuensi pernapasan. Tujuan diaphragm breathing adalah
menguatkan otot diafragma, mengkoordinasikan pergerakan diafragma saat
bernapas, mengurangi usaha dalam bernapas, dan menurunkan penggunaan energi
dalam bernapas

7
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit
atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Dalam
perawatan Paliatif, perawat memiliki peran meningkatkan kualitas hidup pasien.
Peningkatan hidup dilakukan dengan cara pendekatan dari sisi psikologis,
psikososial, mental serta spiritual pasien, sehingga membuat pasien lebih tenang,
bahagia, serta nyaman ketika menjalani pengobatan. Sehingga kelompok kami
menerapkan 3 perawatan paliatif pada pasien penyakit paru kronik yaitu Opioid
,Efektifitas nafas dalam untuk meningkatkan arus puncak ekspirasi (APE) pada
pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ,Pengaruh breathing retraining
terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien
PPOK.

8
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati1, Riska A,. Rudy Putranto2.2016. Peran Opioid dalam Tata Laksana
Dispnea pada Pasien Paliatif .Jakarta.(JURNAL)

Endrian., Elsye Maria Rosa. Efektifitas Nafas Dalam Untuk Meningkatkan Arus
Puncak Ekspirasi (APE) Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).Yogyakarta. (JURNAL).

Faridah Aini,.dkk.2007. Pengaruh Breathing Retraining Terhadap Peningkatan


Fungsi Ventilasi Paru Pada Asuhan Keperawatan Pasien PPOK.Jakarta.
(JURNAL).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


( PPOK ) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia

Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara, Monica
Ester, Yasmin Asih, Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai