Anda di halaman 1dari 8

Makalah

Farmakovigilans

“Peraturan-peraturan Mengenai Farmakovigilans”

Kelompok IV

Chelsi Stelin     (16101105020)


Eufrasia R. Seru    (17101105002)
Nadhirah J. Mokoginta     (17101105009)
Agnes S. G. Sahuleka    (17101105011)
Christina R.Pangemanan     (17101105015)
Natalia Lutam     (17101105022)
Fadillah Djafar     (17101105029)
Ravael Kolibu    (17101105033)
Syahruni Abbas    (17101105036)
Syari Sekar Suryandari     (17101105037)

Farmakovigilans adalah terminologi yang didefinisikan oleh WHO


(World Health Organization) sebagai suatu keilmuan dan aktifitas deteksi,
assessment, pencegahan, pemahaman terkait efek samping obat, dan
permasalahan lain dalam penggunaan suatu obat. Sebelumnya program ini
dikenal dengan istilah monitoring efek samping obat (MESO).
Farmakovigilans merupakan salah satu bentuk program yang mempertegas
tugas Badan POM dalam mengawal keamanan obat post-market (BPOM RI,
2015).

Berdasarkan putusan Menteri kesehatan, selain Badan POM Industri


farmasi juga mempunyai peran dan tanggung jawab untuk menjamin
keamanan obat yang diedarkannya. Bentuk peran dan tanggung jawab
dimaksud tertera pada pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tanggal 16 Desember 2010,
bahwa Industri Farmasi wajib melakukan Farmakovigilans.

Pasal 9 menyatakan : 
1. Ayat 1 : Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.
2. Ayat 2 : Apabila dalam melakukan farmakovigilans sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Industri Farmasi menemukan obat dan/atau
bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri
Farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.

Setahun kemudian, PERMENKES tersebut kemudian diikuti dengan


dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
(PERKABADAN) RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang
Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Industri No


HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans
Bagi Industri Farmasi pasal 2 menyatakan Industri Farmasi wajib
melaksanakan Farmakovigilans. Pada pasal ini menyatakan bahwa
kegiatanya meliputi pemantauan dan pelaporan mengenai :
1. aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman,
dan pencegahan efek samping atau masalah lain terkait dengan
penggunaan;
2. perubahan profil manfaat-risiko obat; dan/atau
3. aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat.

Peraturan kepala BPOM No HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 bab III


khususnya pasal 3 dan 4 yang mengatur mengenai pelaporan dan
dokumentasi. Pasal 3 (1)  berisi pengaturan pelaporan atas obat atau bahan
obat yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu
kepada kepala badan. 
Pasal 3 (2) menjelaskan mengenai pelaporan-pelaporan yang dimaksud
pada ayat (1), yang terdiri dari:
 Pelaporan spontan (spontaneous reporting);
 Pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic safety update report); 
 Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran;
 Pelaporan publikasi/literatur ilmiah;
 Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain;
 Pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain; dan/atau 
 Pelaporan dari perencanaan manajemen risiko. 

Pada pasal 3 (3) menjelaskan mengenai pelaporan yang dimaksud


pada (2) dapat berupa kejadian tidak diinginkan serius dan non-serius pada
penggunaan obat termasuk vaksin. Pasal 3 (4) memaparkan kriteria-kriteria
kejadian tidak diinginkan serius yang dimaksud pada ayat 3, yaitu segala
kejadian medis yang menyebabkan: 
 Kematian;
 Keadaan yang mengancam jiwa; 
 Pasien memerlukan perawatan rumah sakit; 
 Perpanjangan waktu perawatan rumah sakit; 
 Cacat tetap; 
 Kelainan kongenital; dan/atau 
 Kejadian medis penting lainnya. 

Pada pasal 4 peraturan kepala BPOM No.HK.03.1.23.12.11.10690


tahun 2011 dinyatakan bahwa evaluasi pelaporan farmakovigilans dilakukan
oleh Kepala Badan. Evaluasi tersebut dapat dilakukan bersama dengan Tim
Ahli yang ditetapkan oleh Kepala Badan. Dan hasil dari evaluasi tersebut
disampaikan kepada Industri Farmasi untuk ditindak lanjuti. Pada Pasal 5
dinyatakan bahwa Industri Farmasi wajib mendokumentasikan semua data
dan pelaporan Farmakovigilans. Data tersebut wajib di perlihatkan kepada
petugas pemeriksa yang berwenang.

Sanksi administratif dapat diberikan kepada farmasi yang tidak


melaksanakan Farmakovigilans sebagaimana diatur dalam peraturan kepala
BPOM No.HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 Bab V pasal 7. Sanksi yang
diberikan berupa:
a. Peringatan secara tertulis;
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan / atau perintah
untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat
atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
dan/atau
d. Penghentian sementara kegiatan.

Pelaksanaan farmakovigilans di Apotek diatur dalam PERMENKES RI


Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Yaitu termasuk dalam kewajiban pelayanan farmasi klinik meliputi :
1. pengkajian resep
2. dispensing
3. pelayanan informasi obat (PIO)
4. konseling
5. pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
6. pemantauan terapi obat (PTO)
7. monitoring efek samping obat (MESO)

Pemberian obat dari apoteker kepada pasien merupakan salah satu


dari bentuk pelayanan kefarmasian, dalam pelaksaannya ada standar
pelayanan yang wajib dipatuhi oleh apoteker yang bersangkutan. Standar
pelayanan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (Permenkes, 35/2014). Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. 

     Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,


dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien yang membutuhkan. Apoteker harus memahami
dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta
mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah
farmakoekonomi, dan farmasi sosial (Permenkes, 2014).
Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 30 tahun 2014
tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas.untuk meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas yang berorientasi kepada pasien.
 Pasal 1 (1) menjelaskan mengenai tanggung jawab puskesmas sebagai
penyelenggara pembanggunan kesehatan disuatu wilayah kerja.
 Pasal 1 (2) mengenai tolak ukur bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
 pasal  1 (3) menjelaskan tanggung jjawab kepada pasien yang
berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud untuk mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. 
 pasal 1 (4) Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia. 
 pasal 1 (5) menjelaskan mengenai bahan medis abis pakai yang
merupakan alat kesehatan sekali pakai (single use).
 pasal 1 (6), (7),(8), menjelaskan mengenai apoteker, tenaga
kefarmasian dan peran menteri dalam menjalankan pemerintahan
dalam bidang kesehatan.

Pasal 2 menjelaskan mengenai tujuan penetapan standar pelayanan


kefarmasian di puskesmas, yaitu untuk: 
 meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian; 
 menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan 
 melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). 

    Pasal 3 (1) membahas standar pelayanan kefarmasian di puskesmas yang


meliputi:
 pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
 pelayanan farmasi klinik.

Pasal 3 (2) Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan; 
b. Permintaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan:
e. Pendistribusian; 
f. Pengendalian; 
g. Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan. 

Pasal 3 ayat (3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.

Pelaksanaan farmakovigilans di Rumah Sakit diatur dalam PERMENKES


58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
dimana pelayana farmasi klinik yang dilakukan meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan resep
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
3. Rekonsiliasi obat
4. Pelayanan informasi obat (PIO)
5. Konseling
6. Visite
7. Pemantauan terapi obat (PTO)
8. monitoring efek samping obat (MESO)
9. evaluasi penggunaan obat (EPO)
10. dispensing sediaan steril
11. pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)
Pelayanan farmasi klinik tersebut terdapat dalam pasal 3 ayat 3.

Berdasarkan peraturan menteri kesehatan menjelaskan bahwa


apoteker bertindak juga sebagai pelaku usaha dan pasien bertindak sebagai
konsumen, yakni pemakai jasa layanan kesehatan. Oleh karena itu,
hubungan hukum yang terjadi di antara keduanya adalah hubungan pelaku
usaha dan konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen, 1999).
Terkait peryataan di atas kelalaian dalam memberikan obat, sebagai pelaku
usaha, jika apoteker tidak memenuhi atau tidak melaksanakan sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan maka apoteker tersebut akan menerima sanksi. Jika terdapat 
pelanggaran dari pelaku usaha dalam hal ini apoteker pengelola apotek
maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (UU Perlindungan
Konsumen, 1999)

DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN KEPALA BPOM RI No HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 Tentang


penerapan farmakovigilans bagi industri farmasi.

PERMENKES Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Puskesmas

PERMENKES Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Apotek

PERMENKES Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Rumah Sakit

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1799/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Industri Farmasi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

Anda mungkin juga menyukai