Di Susun Oleh :
Kelompok 4
1. Harmita Boky 17101105055
2. Debora Tumundo 17101105083
3. Imanuela Z. Rompas 17101105066
4. Priskila F. Sumual 17101105068
5. Deva D. Jusuf 17101105072
6. Stelly Kaehe 17101105093
7. Putri Puspitasari 17101105053
8. Agata M.H Kinanti 17101105071
9. Eunike Pelealu 17101105065
10. Redford Denny 17101105074
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah mencatat kejadian yang sangat menyedihkan akibat penggunaan obat oleh
Ibu-Ibu hamil pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, yaitu penggunaan
Thalidomide untuk mengatasi gangguan mual dan muntah selama kehamilan. Sekitar 10 ribu
bayi terlahir cacat, yaitu mengalami phocomelia, yaitu tangan dan kaki yang tumbuh tidak
normal. Diketahui juga bahwa Thalidomide ini menyebabkan terjadinya gangguan bawaan
pada jantung, malformasi telinga dan gangguan pada mata. Tragedi Thalidomide inilah yang
menjadi pemicu untuk meningkatkan evaluasi keamanan obat sebelum izin edar diberikan,
dan tragedi ini juga yang menjadi cikal bakal berkembangnya Farmakovigilans.
Termasuk dalam kegiatan Farmakovigilans adalah pengumpulan laporan dugaan efek
yang tidak diinginkan (suspected adverse reaction). Adverse reaction adalah respons terhadap
produk pengobatan (medical products) yang berbahaya dan tidak diinginkan, termasuk yang
ditimbulkan pada kondisi penggunaan sesuai izin edar yang disetujui, penggunaan di luar izin
yang disetujui termasuk penggunaan dalam dosis berlebih, penggunaan di luar indikasi (off-
label use), penggunaan yang tidak tepat (misuse), penyalahgunaan (abuse) dan kesalahan
pengobatan (medication error), serta paparan akibat pekerjaan (occupational exposure).
Secara khusus Farmakovigilans diharapkan dapat meningkatkan keamanan dan kesehatan
masyarakat terhadap risiko akibat penggunaan obat.
1.3 Tujuan
BAB II
ISI
Permenkes No.1799 tahun 2010 tentang Indstri Farmasi. BAB II tentang izin industri Farmasi
Pasal 9
(1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.
(2) Apabila dalam melakukan farmakovigilans sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan
mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur oleh Kepala Badan.
2. APOTEK
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG “STANDAR PELAYANAN
KEFARMASIAN DI APOTEK”
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
3. RUMAH SAKIT
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan