Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOEKONOMI

KELOMPOK 6
“COST EFFECTIVENESS ANALYSIS (CEA)”
Analisis Efektifitas Biaya Penggunaan Antibiotik Sefiksim dan Sefotaksim Pasien
Diare di Rumah Sakit X Tahun 2017

Disusun Oleh :
1. Yuli Maulani Safitri (19340201)
2. Yanuar Prasetyo (19340221)
3. Endang Rina Aeni (19340223)
4. Wiwit Murti Aprilia (19340224)
5. Bayu Aji Prasetiyo (19340225)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL JAKARTA


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“Cost Effectiveness Analysis (CEA)” Diharapkan Makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang Cost Effectiveness Analysis (CEA). Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Tuhan senantiasa melindungi segala usaha kita. Aamiin.

Jakarta,19 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 4
1.3 Tujuan.............................................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 5
2.1 Pengertian Cost Effectiveness Analysis (Cea).................................. 5
2.2 Tujuan Cea....................................................................................... 6
2.3 Manfaat Cea..................................................................................... 6
2.4 Prinsip Dasar Cost Effectiveness Analysis...................................... 6
2.5 Kelebihan Dan Kelemahan Cost Effectiveness Analysis................. 9
2.6 Perhitungan Dalam Cea.................................................................... 10
2.7 Biaya Pelayanan Kesehatan............................................................. 11
2.8 Diare................................................................................................. 12
BAB 3 PEMBAHASAN....................................................................................... 16
3.1 Data Karakteristik............................................................................ 16
3.2 Data Penggunaan Obat..................................................................... 17
3.3 Analisis Efektivitas Biaya................................................................ 17
3.4 Perhitungan Efektivitas Biaya Berdasarkan ACER......................... 19
BAB IV KESIMPULAN....................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Biaya pelayanan kesehatan khususnya biaya obat telah meningkat tajam
dalam beberapa dekade terakhir dan kecenderungan ini tampaknya akan terus
berlanjut. Hal ini disebabkan karena populasi pasien yang terus meningkat dengan
konsekuesi meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang lebih
mahal, dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain sumber daya yang dapat
digunakan terbatas, sehingga harus dicari cara agar pelayanan kesehatan menjadi
lebih efisien dan ekonomis (Trisna, 2007).
Dalam menjawab berbagai tantangan tersebut diperlukan pemikiran-
pemikiran khusus dalam peningkatan efisiensi atau penggunaan dana secara lebih
rasional. Ekonomi kesehatan sebagai suatu alat untuk menemukan cara dalam
peningkatan efisiensi dan memobilisasi sumber dana dapat dipergunakan untuk
membantu mengembangkan pemikiran-pemikiran khusus tanpa mengabaikan
aspek-aspek sosial dari sektor kesehatan itu sendiri (Bootman et al., 2005).
Secara umum di bidang kesehatan, biaya merupakan hal yang penting
untuk dipertimbangkan. Pelaku di bidang kesehatan dituntut untuk menyediakan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya serendah mungkin (cost
containment) (Watcha, 1997).
Konsep yang menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk pelayanan
kesehatan sangat besar, bukanlah merupakan hal yang baru. Diseluruh dunia,
pemerintahnya selalu berusaha untuk mengendalikan biaya yang dihabiskan oleh
pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan biaya rumah sakit, biaya penggunaan
obat-obatan serta pembayaran staf medis dan paramedis perlu dievaluasi dengan
seksama (Bevan, 2002).
Karena pembiayaan kesehatan secara langsung oleh pasien (out of pocket)
dianggap lebih mahal,maka berkembanglah sistem pembayaran kesehatan yang
lebih baru, antara lain dengan diagnosis-related group (DRG), managed care
program dan sistem pembayaran kapitasi dalam pelayanan kesehatan. Pada
managed care system terdapat integrasi dalam keuangan dan pelayanan kesehatan,

1
sedangkan pada sistem kapitasi pembayaran diberikan dalam jumlah yang tetap
untuk semua pelayanan kesehatan (Watcha, 1997).
Indonesia telah memasuki era pelayanan kesehatan dengan managed care
system melalui BPJS kesehatan (Ekahospital, Evaluasi Mutu Pelayanan Kesehatan
dalam Managed Care).Menurut PT Askes dalam persiapan BPJS,managed care
system adalah suatu sistem dimana pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan
diselenggarakan secara tersinkronisasi dalam kerangka kendali mutu dan biaya,
sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dengan biaya yang
efisien. Pelaksanaan BPJS menggunakan konsep “gatekeeper”, quality assurance,
dengan sistem rujukan yang komprehensif (PT. Askes Persiapan BPJS).
Di dalam sebuah rumah sakit, evaluasi pembiayaan ini juga meliputi biaya
di ruang operasi, karena merupakan komponen yang menggunakan obat-obatan dan
komponen dari sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang dahulu melihat kamar
operasi sebagai “profit centers” sekarang melihat mereka sebagai “cost centers” dan
berusaha mencari cara untuk mengurangi biaya perioperative (Sitzman, 2000).
Hal ini menyebabkan pemberi layanan anesthesia harus familiar dengan
prinsip dasar ekonomi medis dan ikut berperan serta secara aktif dalam
mengendalikan biaya dari segi obat, alat, personel untuk tindakan anesthesia.
Pemberi layanan anesthesia memiliki banyak kesempatan untuk mengurangi biaya
ini, tentu saja dengan tujuan tetap menjaga keseimbangan antara keuntungan,
keamanan dan biaya, bukan sekedar untuk menghemat uang (Sitzman, 2000). Fred
Orkin pada sebuah jurnal di tahun 1993, mendeskripsikan hal ini sebagai suatu
usaha untuk memberikan outcome terbaik bagi pasien, dengan biaya yang
reasonable (Johnstone, 1999).
Meskipun data di Indonesia belum dapat diperoleh, tetapi pengeluaran
yang dikontrol oleh pemberi layanan anesthesia mencakup 3-5 % dari seluruh
pelayanan kesehatan di Amerika Serikat (Johnstone, 1993). Sedangkan apabila
dilihat dari seluruh biaya rumah sakit, anesthesia memberikan kontribusi sebanyak
6% dengan hampir separuhnya merupakan biaya langsung atau variabel. Sehingga
hampir sebanyak 3% dari seluruh biaya rumah sakit merupakan subyek dari
keputusan ahli anestesi dan merupakan hal yang potensial untuk dihemat.Selama 4
tahun proyek peningkatan kualitas di ruang operasi University of Michigan Medical

2
Center mampu mencapai penghematan hingga 2,2% dari total biaya rumah sakit
(Orkin, 1995).
Farmakoekonomi adalah deskripsi yang digunakan untuk menggambarkan
analisa biaya yang ditimbulkan oleh penggunaan obat-obatan pada suatu sistem
pelayanan kesehatan. Terdiri dari tiga area analisis yaitu membandingkan berbagai
modalitas terapi, membandingkan efektifitas biaya dari berbagai modalitas terapi,
memberikan metoda dan prosedur untuk meningkatkan efektifitas biaya (Bevan
2002). Secara spesifik, tools yang dapat digunakan untuk analisa farmakoekonomi
adalah : cost benefits analysis, cost effectiveness analysis, cost of illness analysis,
cost minimization analysis, cost utility analysis (Muenning, 2008).
Cost effectiveness analysis dapat digunakan untuk melakukan penilaian
obyektif tentang biaya dari pelayanan anesthesia, meliputi obat-obatan, peralatan,
staf. Menurut WHO cost effectiveness analysis mampu memberikan informasi pada
pembuat keputusan, untuk menentukan pilihan tindakan pada pelayanan kesehatan
tertentu. Selain itu juga mampu memberikan informasi umum tentang biaya dan
keuntungan dari teknik kesehatan tertentu (Rascati, 2009). Cost effectiveness
analysis adalah evaluasi ekonomi yang menilai efektifitas dari sejumlah cost (input)
dan outcome kesehatan spesifik (output) yang dihasilkan. Cost dinilai dalam ukuran
moneter sedangkan outcome dinilai dalam ukuran outcome kesehatan yang umum
digunakan (Elliot, 2005).
Diare merupakan penyakit simptomatik yang seringkali menyebabkan kejadian
luar biasa (KLB). Diare menempati posisi ke lima dalam daftar penyakit yang
menyebabkan timbulnya kematian. Diare seringkali dianggap sebagai penyakit yang
sepele, padahal di tingkat global dan nasional menunjukkan fakta yang sebaliknya.
Menurut catatan WHO, diare membunuh dua juta anak di dunia setiap tahun (Amiruddin,
2007). Hasil survey di Indonesia menunjukkan bahwa angka kesakitan diare untuk seluruh
golongan umur berkisar antara 120-360 per 1000 penduduk dan untuk balita menderita satu
atau dua kali episode diare setiap tahunnya atau 60% dari semua kematian diare (Sunoto,
1990).
Diare merupakan suatu gejala klinis dan gangguan saluran pencernaan
yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi, disertai dengan perubahan
konsistensi feses menjadi lebih cair/lembek (Yuliana, 2001). Salah satu dari efek
samping terjadinya diare adalah dehidrasi. Hal ini disebabkan, pada saat diare

3
terjadi kehilangan cairan dan elektrolit, sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi.
Jika keadaan ini tidak tertanggulangi dengan segera, dapat menyebabkan kematian
(Soegijanto, 2004).

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana perbedaan efektifitas biaya penggunaan antibiotik sefiksim dan
sefotaksim pasien diare?
2. Bagaimana perbedaan biaya penggunaan antibiotik sefiksim dan sefotaksim
pasien diare?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui perbedaan efektifitas biaya penggunaan antibiotik sefiksim dan
sefotaksim pasien diare?
2. Mengetahui perbedaan biaya penggunaan antibiotik sefiksim dan sefotaksim
pasien diare?

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Cost Effectiveness Analysis (CEA)


Cost-Effectiveness Analysis (CEA) adalah tipe analisis yang membandingkan
biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, dimana pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis efektivitas biaya membandingkan
berbagai cara untuk mencapai tujuan yang sama.
CEA merupakan metode yang paling sering digunakan. Metode ini cocok
untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat
dibandingkan (Trisna, 2010). Pada analisis cost-effectiveness, hasil pengobatan
tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit
alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat
(Newby dan Hill, 2003).
Menurut Henry M. Levin, analisis efektifitas biaya adalah evaluasi yang
mempertimbangkan aspek biaya dan konsekuensi dari sebuah alternatif pemecahan
masalah. Ini adalah sebuah alat bantu pembuat keputusan yang dirancang agar
pembuat keputusan mengetahui dengan pasti alternatif pemecahan mana yang
paling efisien.
Menurut Diana B. Petitti, analisis efektifitas biaya adalah model yang
digunakan untuk menilai alternatif keputusan yang paling tepat dengan cara
membandingkan alternatif tersebut dalam hubungannya dengan keuangan yang
harus dikorbankan.
Menurut Shepard (1979) dalam First Principles Of Cost-Effectiveness
Analysis in Health, CEA adalah suatu metode untuk menentukan program mana
yang dapat menyelesaikan tujuan tertentu dengan biaya minimum.
Cost effectiveness analysis atau CEA merupakan suatu metoda yang didesain
untuk membandingkan antara outcome kesehatan dan biaya yang digunakan untuk
melaksanakan program tersebut atau intervensi dengan alternatif lain yang
menghasilkan outcome yang sama (Vogenberg, 2001). Outcome kesehatan
diekspresikan dalam terminologi yang obyektif dan terukur seperti jumlah kasus

5
yang diobati, penurunan tekanan darah yang dinyatakan dalam mmHg, dan lain-lain
dan bukan dalam terminologi moneter (Vogenbeg, 2001).
Analisis cost-effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan
menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan
tujuan yang sama tersedia untuk dipilih

2.2. Tujuan CEA


Tujuan dari metode Cost Effectiveness Analysis yaitu :
a. Menentukan apakah suatu proyek merupakan suatu investasi yang baik.
b. Menentukan jika nilai suatu intervensi sangat ditentukan oleh biayanya. Tidak
hanya meliputi penentuan biaya, tapi juga penentuan nilai dari outcome.
c. Memastikan program atau kombinasi dari program dapat mencapai tujuan
tertentu pada biaya terendah.

2.3. Manfaat CEA


Manfaat Cost Effectiveness Analysis yaitu membantu penentuan prioritas dari
sumber daya yang terbatas. CEA merupakan alat bantuan pengambilan keputusan
yang paling efisien untuk memenuhi tujuan. Bidang kesehatan sering menggunakan
CEA terutama dalam menganalisisbiaya intervensi kesehatan seperti pencegahan
penyakit. Hal ini ditujukan untuk memecahkan berbagai masalah pada populasi
target.

2.4. Prinsip Dasar Cost Effectiveness Analysis


Prinsip dasar CEA meliputi beberapa langkah (Trask, 2011), yaitu:
a. Mengidentifikasi tujuan dan obyektivitas penelitian
b. Mengidentifikasi perspektif penelitian
c. Mengidentifikasi metode farmakoekonomi yang digunakan
d. Mengidentifikasi desain penelitian yang digunakan
e. Melakukan pemilihan intervensi
f. Mengidentifikasi biaya dan luaran penelitian
g. Melakukan perhitungan diskonto (untuk data yang lebih dari satu tahun)
h. Menginterpretasikan hasil penelitian

6
i. Menggunakan analisis sensitivitas
j. Membuat rekomendasi dan kesimpulan penelitian

Menurut Gani (1994) dalam Nursyafrisda (2012), karakteristik dari Cost


Effectiveness Analysis adalah:
- Mempunyai tujuan yang sama
- Setiap alternatif harus dapat dibandingkan
- Biaya dan efek atau hasil dari setiap alternatif harus dapat diukur

Beberapa ciri pokok CEA menurut Azwar, A (1989) adalah sebagai berikut :
a. Bermanfaat untuk mengambil keputusan.
CEA berguna untuk membantu pengambilan keputusan dalam
menetapkan program terbaik yang akan dilaksanakan. Dengan ciri ini
jelaslah bahwa CEA terutama diterapkan sebelum suatu program dilaksanakan,
jadi masuk dalam tahap perencanaan.
b. Berlaku jika tersedia dua atau lebih program.
CEA merupakan suatu metode analisis biaya dimana didalam metode
tersebut tidak dapat hanya menggunakan satu program dalam pelaksanaannya,
namun harus lebih dari satu program. Sehingga program tersebut dapat menjadi
pembanding yang kemudian dapat dilihat mana yang lebih efektif untuk
digunakan didalam suatu organisasi dengan pengeluaran biaya yang sama di
tiap program. Misalnya program A butuh biaya Rp 1.000.000,- yang apabila
dilaksanakan akan berhasil menyembuhkan 300 pasien. Program B butuh
biaya Rp 1.000.000,- yang apabila dilaksanakan akan berhail menyembuhkan
500 pasien. Dengan adanya program B sebagai pembanding akan tampak
bahwa program B lebih tepat dari program A karena dengan biaya yang sama
berhasil menyembuhkan pasien lebih banyak.
c. Mengutamakan unsur input (masukan) dan unsur output (keluaran).
Pada CEA yang diutamakan hanya unsur masukan yang dibutuhkan
oleh program serta unsur keluaran yang dihasilkan oleh program. Unsur
lainnya, seperti proses, umpan balik dan lingkungan agak diabaikan.

7
d. CEA terdiri dari tiga proses, yaitu :
1. Analisis biaya dari setiap alternatif atau program.
2. Analisis efektifitas dari tiap alternatif atau program.
3. Analisis hubungan atau ratio antara biaya dan efektifitas alternatif atau
program.

Untuk melaksanakan CEA, harus ada satu atau beberapa kondisi di bawah ini:
a. Ada satu tujuan intervensi yang tidak ambigu, sehingga ada ukuran yang jelas
dimana efektifitas dapat diukur.
Contohnya adalah dua jenis terapi bisa dibandingkan dalam hal biayanya per
year of life yang diperoleh, atau, katakanlah, dua prosedur screening dapat
dibandingkan dari segi biaya per kasus yang ditemukan. Atau;
b. Ada banyak tujuan, tetapi intervensi alternatif diperkirakan memberikan hasil
yang sama.
Contohnya adalah dua intervensi bedah memberikan hasil yang sama dalam
hal komplikasi dan kekambuhan.

Dalam evaluasi ekonomi, pengertian efektivitas berbeda dengan


penghematan biaya, dimana penghematan biaya mengacu pada persaingan
alternatif program yang memberikan biaya yang lebih murah, sedangkan
efektivitas biaya tidak semata-mata mempertimbangkan aspek biaya yang lebih
rendah (Grosse, 2000).
CEA membantu memberikan alternatif yang optimal yang tidak selalu
berarti biayanya lebih murah. CEA membantu mengidentifikasi dan
mempromosikan terapi pengobatan yang paling efisien (Grosse, 2000). CEA
sangat berguna bila membandingkan alternatif program atau alternatif intervensi
dimana aspek yang berbeda tidak hanya program atau intervensinya, tetapi juga
outcome klinisnya ataupun terapinya. Dengan melakukan perhitungan terhadap
ukuran-ukuran efisiensi (cost effectiveness ratio), alternatif dengan perbedaan
biaya, rate efikasi dan rate keamanan yang berbeda, maka perbandingan akan
dilakukan secara berimbang (Grosse, 2000).

8
2.5. Kelebihan dan Kelemahan Cost Effectiveness Analysis
A. Kelebihan
1. Mengatasi kekurangan dalam Cost Benefit Analysis saat benefit sulit
ditransformasikan dalam bentuk uang sebab dalam CEA dilakukan
perhitungan perbandingan outcome kesehatan dan biaya yang digunakan
jadi tetap dapat memilih program yang lebih efektif untuk dilaksanakan
meskipun benefitnya sulit untuk diukur.
2. Hemat waktu dan sumber daya intensif
CEA memiliki tahap perhitungan yang lebih sederhana sehingga lebih
dapat menghemat waktu dan tidak memerlukan banyak sumber daya untuk
melakukan analisis.
3. Lebih mudah untuk memahami perhitungan unsur biaya dalam CEA lebih
sederhana sehingga lebih mudah untuk dipahami. Meskipun demikian
CEA masih cukup peka sebagai salah satu alat pengambil keputusan.
4. Cocok untuk pengambilan keputusan dalam pemilihan program. CEA
merupakan cara memilih program yang terbaik bila beberapa program
yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Sebab,
CEA memberikan penilaian alternatif program mana yang paling tepat dan
murah dalam menghasilkan output tertentu. Dalam hal ini CEA membantu
penentuan prioritas dari sumber daya yang terbatas.
5. Membantu penentuan prioritas dari sumber daya
B. Kelemahan
1. Alternatif tidak dapat dibandingkan dengan tepat
Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sulitnya ditemui CEA yang
ideal, dimana tiap-tiap alternatif identik pada semua kriteria, sehingga
analisis dalam mendesain suatu CEA, harus sedapat mungkin
membandingkan alternatif- alternatif tersebut.
2. CEA terkadang terlalu disederhanakan.
Pada umumnya CEA berdasarkan dari analisis suatu biaya dan suatu
pengaruh misalnya rupiah/anak yang diimunisasi. Padahal banyak
program-program yang mempunyai efek berganda. Apabila CEA hanya

9
berdasarkan pada satu ukuran keefektifan (satu biaya dan satu pengaruh)
mungkin menghasilkan satu kesimpulan yang tidak lengkap.
3. Belum adanya pembobotan terhadap tujuan dari setiap program.
Akibat belum adanya pembobotan pada tujuan dari setiap program
sehingga muncul pertanyaan “biaya dan pengaruh mana yang harus
diukur?”. Pertanyaan ini timbul mengingat belum adanya kesepakatan
diantara para analis atau ahli. Disatu pihak menghendaki semua biaya dan
pengaruh diukur, sedangkan yang lainnya sepakat hanya mengukur biaya
dan pengaruh-pengaruh tertentu saja. Seharusnya ada pembobotan
terhadap tujuan dari setiap proyek karena beberapa tujuan harus
diprioritaskan.

2.6. Perhitungan dalam CEA


Hasil dari CEA dinyatakan dalam bentuk rasio, yaitu average cost-
effectiveness ratio (ACER) atau rasio efektivitas-biaya (REB) dan incremental cost-
effectiveness ratio (ICER) atau rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB). ACER
sebagai pembanding independen merupakan perhitungan unuk setiap intervensi,
yaitu total biaya dari suatu program atau alternatif (berupa mata uang) dibagi
dengan total luaran klinis. Berikut rumus ACER (Trask, 2011):

total biaya pengobatan


ACER=
total luaran klinis

Incremental cost-effectiveness ratio (ICER) adalah rasio atau perbedaan


biaya antara dua alternatif terhadap perbedaan efektivitas antara dua alternative
yang sama. Rumus ICER berikut akan menghasilkan biaya tambahan yang
dibutuhkan untuk mendapatkan biaya tambahan yang diperoleh dengan beralih dari
terapi A ke terapi B (Trask, 2011).

Biaya A−Biaya B
ICER=
Efek A−Efek B

10
2.7. Biaya Pelayanan kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokan menjadi enam kategori


(Vogenberg, 2001) yaitu :
a. Biaya langsung medis (direct medical cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait
dengan jasa pelayana medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi
suatau penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama
perawatan.
b. Biaya langsung non-medis (direct non-medical cost )
Biaya lansung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak
terkait lansung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah
sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.
c. Biaya tidak langsung (indirect cost )
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas
pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang.
d. Biaya tak terwujud (intangible cost)
Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil
tindakan medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur
seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya
psikologis, sukar dikonversikan dalam nilai mata uang.
e. Opportunity Cost
Jenis biaya ini mewakili manfaat ekonomi bila menggunakan suatu terapi
pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik berikutnya. Oleh karena itu, jika
sumber telah digunakan untk membeli program atau alternatif pengobatan,
maka Opportunity Cost menunjukan hilangnya kesempatan untuk
menggunakannya pada tujuan yang lain.
f. Incremental Cost
Disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan atas alternatif
atau perawatan kesehatan dibandingkan dengan pertambahan manfaat, efek
ataupun hasil (outcome) yang ditawarkan. Incremental Cost adalah biaya
tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan efek tambahan dari suatu

11
alternatif dan menyediakan cara lain untu menilai dampak farmakoekonomi
dari layanan kesehatan ataupun pillihan pengobatan dalam suatu populasi.

2.8. DIARE
a. Definisi
Diare merupakan suatu gejala klinis dan gangguan saluran pencernaan
yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi, disertai dengan
perubahan konsistensi feses menjadi lebih cair/lembek (Yuliana, 2001). Diare
dapat menyerang semua kalangan umur namun kasus terbesar terdapat pada
balita1. Diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri memerlukan adanya terapi
antibiotik sebagai lini pertama penanganan diare pada anak-anak.
b. Jenis-jenis Diare
1. Diare Akut
Merupakan diare yang disebabkan oleh virus yang disebut Rotaviru yang
ditandai dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja
yang frekuensinya biasanya (3kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung
kurang dari 14 hari. Diare Rotavirus ini merupakan virus usus patogen yang
menduduki urutan pertama sebagai penyebab diare akut pada anak-anak.
2. Diare Bermasalah
Merupakan yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit,
intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi. Penularan secara fecal-oral,
kontak dari orang ke orang atau kontak orang dengan alat rumah tangga.
Diarae ini umumnya diawali oleh diare cair kemudian pada hari kedua atau
ketiga baru muncul darah, dengan maupun tanpa lendir, sakit perut yang
diikuti munculnya tenesmus panas disertai hilangnya nafsu makan dan badan
terasa lemah.
3. Diare Persisten
Merupakan diare akut yang menetap, dimana titik sentral patogenesis
diare persisten adalah keruskan mukosa usus. Penyebab diare persisten sama
dengan diare akut.
c. Penyebab
Penyebab diare dapat diklasifikasikan menjadi enam golongan:
1. Infeksi yang disebabkan bakteri, virus atau parasit.

12
2. Adanya gangguan penyerapan makanan atau disebut malabsorbsi.
3. Alergi
4. Keracunan bahan kimia atau racun yang terkandung dalam makanan.
5. Imunodefisiensi yaitu kekebalan tubuh yang menurun.
6. Penyebab lain.
d. Patofisiologi
Penyakit ini dapat terjadi karena kontak dengan tinja yang terinfeksi secara
langsung, seperti:
1. Makan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari
oleh serangga atau terkontaminasi oleh tangan kotor.
2. Bermain dengan mainan terkontaminasi apalagi pada bayi sering
memasukkan tangan/mainan/apapun kedalam mulut. Karena virus ini dapat
bertahan dipermukaan udara sampai beberapa hari.
3. Penggunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan
air yang benar.
4. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar.
e. Tanda dan Gejala
Gejala diare adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4kali atau lebih
dalam sehari, yang kadang disertai:
1. Muntah
2. Badan lesu atau lemah
3. Panas
4. Tidak nafsu makan
5. Darah dan lendir dalam kotoran
f. Akibat
Diare yang berlangsung terus selama berhari-hari dapat membuat tubuh
penderita mengalami kekurangan cairan atau dehidrasi. Jika dehidrasi yang
dialami tergolong berat, misalnya karena diarenya disertai muntah-muntah,
risiko kematian dapat mengancam. Orang bisa meninggal dalam beberapa jam
setelah diare dan muntah yang terus-menerus. Dehidrasi akut terjadi akibat
penderita diare terlambat ditangani.

13
g. Pencegahan
Pencegahan muntaber bisa dilakukan dengan mengusahakan lingkungan
yang bersih dan sehat.
1. Usahakan untuk selalu mencuci tangan sebelum menyentuh makanan.
2. Usahakan pula menjaga kebersihan alat-alat makan.
3. Sebaiknya air yang diminum memenuhi kebutuhan sanitasi standar di
lingkungan tempst tinggal. Air dimasak benar-benar mendidih, bersih, tidak
berbau, tidak berwarna dan tidak berasa.
4. Tutup makanan dan minuman yang disediakan di meja.
5. Setiap kali habis pergi usahakan selalu mencuci tangan, kaki, dan muka.
6. Biasakan anak untuk makan di rumah dan tidak jajan di sembarangan
tempat. Kalau bisa membawa makanan sendiri saat ke sekolah
7. Buatlah sarana sanitasi dasar yang sehat di lingkungan tempat tinggal,
seperti air bersih dan jamban/WC yang memadai.
8. Pembuatan jamban harus sesuai persyaratan sanitasi standar. Misalnya,
jarak antara jamban (juga jamban tetangga) dengan sumur atau sumber air
sedikitnya 10 meter agar air tidak terkontaminasi. Dengan demikian, warga
bisa menggunakan air bersih untuk keperluan sehari-hari, untuk memasak,
mandi, dan sebagainya.
h. Pertolongan Pertama
Bila sudah terlanjur terserang diare, upaya pertolongan pertama yang
perlu segera dilakukan:
1. Minumkan cairan oralit sebanyak mungkin penderita mau dan dapat
meminumnya. Tidak usah sekaligus, sedikit demi sedikit asal sering lebih
bagus dilakukan. Satu bungkus kecil oralit dilarutkan ke dalam 1 gelas air
masak (200 cc). Jika oralit tidak tersedia, buatlah larutan gula garam. Ambil
air masak satu gelas. Masukkan dua sendok teh gula pasir, dan seujung
sendok teh garam dapur. Aduk rata dan berikan kepada penderita sebanyak
mungkin ia mau minum.
2. Penderita sebaiknya diberikan makanan yang lunak dan tidak merangsang
lambung, serta makanan ekstra yang bergizi sesudah muntaber.

14
3. Penderita muntaber sebaiknya dibawa ke dokter apabila muntaber tidak
berhenti dalam sehari atau keadaannya parah, rasa haus yang berlebihan,
tidak dapat minum atau makan, demam tinggi, penderita lemas sekali serta
terdapat darah dalam tinja.

15
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Instalasi Rekam Medik


dan bagian Mobilisasi Dana rumah sakit X, ditemukan data sebanyak 276 pasien diare
pada periode Januari – Desember 2017. Dari data rekam medis, jumlah pasien balita
dengan diagnosa diare tanpa penyakit penyerta dan menerima terapi antibiotik Sefiksim
atau Sefotaksim oleh dokter dengan status pasien mandiri ada 42 pasien. Sehingga data
yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 42 data rekam medik.
3.1. Data Karakteristik
a. Usia
Berdasarkan (Tabel I) ditemukan bahwa pasien pada kelompok usia 2
– 5 tahun lebih rentan terjadi atau beresiko mengalami diare. Hal ini sejalan
dengan penelitian penelitian yang dilakukan oleh Korompis (2012), yang
menjelaskan bahwa pada rentang usia 2 - 5 tahun adalah usia dimana anak
mulai aktif bermain dan sistem imunitas anak belum sempurna. Sistem imunitas
yang belum sempurna menyebabkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
menjadi berkurang, sehingga anak mudah terinfeksi bakteri penyebab diare
pada saat bermain di lingkungan yang kotor serta melalui cara hidup yang
kurang bersih. Selain itu pada rentang usia tersebut sistem imunologi dan
kemampuan cadangan regenerasi sel epitel usus terbatas, sehingga mukosa usus
lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan mukosa usus membutuhkan waktu
yang lama untuk dapat pulih kembali (Numlil, K.T, 2012).

b. Jenis Kelamin
Berdasarkan (Tabel II), pasien diare terbesar yaitu laki-laki,
dikarenakan anak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan perempuan
sehingga mudah terpapar dengan agen penyebab diare, hal ini sejalan dengan

16
penelitian Sari (2016), yang menyatakan bahwa resiko kesakitan diare pada
perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki karena pengaruh aktivitas.
Selain itu terdapat adanya perbedaan dalam sistem pertahanan tubuh anak laki-
laki dan perempuan yang disebabkan oleh gen yang terdapat di dalam tubuh.
Pada Perempuan terdapat dua kromosom X, dan pada laki-laki terdapat satu
kromosom X dan satu kromosom Y. Kromosom X berisi lebih banyak gen
kekebalan tubuh sehingga, perempuan memproduksi lebih banyak antibodi,
khususnya yang disebut IgM, yaitu molekul antibodi terbesar yang diproduksi
tubuh dan yang pertama merespon infeksi. Hal ini menyebabkan perempuan
tidak rentan terkena infeksi dari bakteri ataupun virus.
3.2. Data Penggunaan Obat
Dari data rekam medis, jumlah pasien diare yang menggunakan terapi
antibotik Sefiksim adalah sebanyak 21 pasien dengan rata-rata lama rawat inap
sampai pasien dikatakan boleh pulang yaitu 3,9 hari. Sedangkan jumlah pasien
diare yang menggunakan antibotik Sefotaksim adalah sebanyak 21 pasien dengan
rata-rata lama rawat inap sampai pasien dikatakan boleh pulang yaitu 4,3 hari.
Terapi antibiotik yang digunakan pada pengobatan diare ini ialah terapi antibiotik
tunggal (sefiksim atau sefotaksim) dengan terapi obat tambahan Paracetamol,
Domperidon, Oralit atau Zinc.
3.3. Analisis Efektivitas Biaya
Perhitungan Biaya Medik Langsung Sefiksim dan Sefotaksim
Perhitungan biaya medik langsung pada pasien diare yang menjalani rawat
inap di rumah sakit X berdasarkan (Tabel III dan Tabel IV), terdapat 3 komponen
biaya yaitu biaya perawatan, biaya pengobatan dan biaya uji laboratorium.
Biaya perawatan meliputi biaya pelayanan kamar, biaya tindakan medis,
biaya visit dokter dan biaya administrasi. Biaya pengobatan meliputi biaya
antibiotik dan obat penunjang lain serta alat medis yang digunakan pasien. Biaya
uji laboratorium merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pasien meliputi biaya
laboratorium klinik dan biaya mikrobiologi.
Perhitungan biaya medik langsung pada pasien Diare yang menjalani
rawat inap di rumah sakit X periode Januari – Desember 2017 yang menggunakan
terapi Sefiksim dan Sefotaksim (Tabel III dan Tabel IV).

17
Tabel III total biaya medik langsung dengan biaya terkecil yaitu
Rp.1.116.163, dan total biaya medik langsung terbesar yaitu Rp.1.828.443.
Perbedaan biaya medik langsung dari masing-masing pasien dikarenakan lamanya
pasien dirawat di rumah sakit, karena semakin lama pasien dirawat di rumah sakit
maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan pasien. Menurut Kereh
(2018) 15, lama rawat pasien dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat
keparahan penyakit, efek samping obat dan kemungkinan pasien sudah
mengkonsumsi obat sebelum masuk rumah sakit. Total direct medical cost atau
biaya yang dikeluarkan pasien secara langsung untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan menggunakan antibiotik Sefiksim untuk ke-21 pasien yaitu
sebesar Rp.29.205.559, dengan direct medical cost per pasien Rp.1.390.741.

18
Tabel IV menggambarkan total biaya medik langsung untuk terapi
penggunaan antibiotik Sefotaksim, dan total biaya medik langsung terkecil yaitu
Rp.1.499.007, serta total biaya medik langsung terbesar yaitu Rp.2.478.360.
Perbedaan biaya medik langsung dari masing-masing pasien juga masih
dikarenakan lamanya pasien dirawat di rumah sakit. Total direct medical cost atau
biaya yang dikeluarkan pasien secara langsung untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan menggunakan antibiotik Sefotaksim untuk ke-21 pasien yaitu
sebesar Rp.39.081.069, dengan direct medical cost per pasien yaitu Rp.1.861.003.

3.4. Perhitungan Efektivitas Biaya Berdasarkan ACER


Penilaian analisis efektivitas biaya menggunakan metode ACER bertujuan
untuk membandingkan total biaya suatu program atau alternatif pengobatan dibagi
dengan keluaran klinis untuk menghasilkan perbandingan yang mewakili biaya tiap
hasil klinis yang spesifik dan independen dari pembanding, dengan perbandingan

19
ini, maka dapat dipilih alternatif dengan biaya lebih rendah untuk setiap outcome
yang diperoleh.
Perhitungan ACER penggunaan antibiotik pada pasien Diare yang
menjalani rawat inap di rumah sakit X periode Januari – Desember 2017 (Tabel V).
Nilai ACER menunjukan bahwa setiap peningkatan 1 unit efektivitas dibutuhkan
biaya sebesar ACER. Berdasarkan (Tabel V) nilai ACER paling tinggi ditunjukan
oleh antibiotik Sefotaksim yaitu sebesar Rp. 477.180,26 dengan rata-rata lama hari
rawat 3,9 hari dan nilai ACER yang paling rendah yaitu antibiotik Sefiksim yaitu
sebesar Rp. 323.428,14 dengan rata-rata lama hari rawat 4,3 hari. Maksud dari
angka-angka dalam ACER adalah setiap peningkatan outcome dibutuhkan biaya
sebesar ACER 16. Dilihat dari nilai ACER Sefiksim yang lebih kecil dari nilai
ACER Sefotaksim, dapat diartikan bahwa Sefiksim lebih cost-effective
dibandingkan Sefotaksim pada pasien Diare yang dirawat inap di rumah sakit X.
Semakin rendah biaya dan semakin tinggi efektivitas maka semakin cost-
effective terapi antibiotik tersebut, sehingga pilihan terapi tersebut merupakan
pilihan yang terbaik.

ICER merupakan rasio perbedaan biaya antara 2 alternatif dengan


perbedaan efektivitas antara alternatif untuk mengetahui besarnya biaya tambahan
dari setiap perubahan satu unit efektivitas biaya dan untuk mempermudah
pengambilan kesimpulan alternatif pengobatan mana yang lebih cost-effective.

20
Berdasarkan (Tabel VI) diperoleh nilai ICER terkecil pada antibiotik diatas sebesar
Rp.–50565,8.
Nilai ICER yang diperoleh merupakan besarnya biaya tambahan yang
diperlukan untuk memperoleh perubahan satu unit efektivitas pada pasien diare.
Jika perhitungan ICER menunjukkan hasil negatif atau semakin kecil, maka suatu
alternatif obat tersebut lebih efektif dan lebih murah, sehingga pilihan terapi
tersebut merupakan pilihan yang terbaik4. Pengobatan diare menggunakan
antibiotik sefiksim menunjukan hasil negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa
Sefiksim adalah obat yang paling cost-effective untuk terapi pengobatan pasien
diare rawat inap di rumah sakit X.

21
BAB IV
KESIMPULAN

1. Diare merupakan suatu gejala klinis dan gangguan saluran pencernaan yang
ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi, disertai dengan perubahan
konsistensi feses menjadi lebih cair/lembek.
2. Konsep yang menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan
sangat besar, bukanlah merupakan hal yang baru. Diseluruh dunia, pemerintahnya
selalu berusaha untuk mengendalikan biaya yang dihabiskan oleh pelayanan
kesehatan. Hal ini menyebabkan biaya rumah sakit, biaya penggunaan obat-obatan
serta pembayaran staf medis dan paramedis perlu dievaluasi dengan seksama.
3. CEA merupakan suatu metode farmakoekonomi untuk memilih dan menilai
program atau obat yang terbaik pada beberapa pilihan terapi dengan tujuan yang
sama, sehingga perlu dilakukan perhitungan ACER dan ICER.
4. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Instalasi Rekam Medik dan
bagian Mobilisasi Dana rumah sakit X, ditemukan data sebanyak 276 pasien diare
pada periode Januari – Desember 2017. Dari data rekam medis, jumlah pasien
balita dengan diagnosa diare tanpa penyakit penyerta dan menerima terapi
antibiotik Sefiksim atau Sefotaksim oleh dokter dengan status pasien mandiri ada
42 pasien. Sehingga data yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 42 data rekam
medik.
5. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi yang lebih cost-effective
antara penggunaan antibiotik Sefiksim dan Sefotaksim pada pengobatan Diare di
rumah sakit X. yaitu terapi dengan pemberian antibiotik Sefiksim yang dapat dilihat
dari nilai ACER Sefiksim sebesar Rp. 323.428,14 / hari dibandingkan dengan nilai
ACER Sefotaksim sebesar Rp. 477.180,26 / hari untuk setiap peningkatan
efektifitas. Nilai ICER terkecil pada antibiotik Sefiksim yaitu Rp.-50.565,8.-

22
DAFTAR PUSTAKA

Setiawan I, Ani LS. Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tembuku
Kabupaten Bangli Tahun 2016. E-Jurnal Med. 2017;6(5):12-20.
Trisnowati KE, Irawati S, Setiawan E. Kajian Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Diare
Akut Di Bangsal Rawat Inap Anak. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi.
2017;7(1):16-23.
Dinkes Sulut. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara 2016. Manado: Dinas
Kesehatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara; 2017.
Ruru,R.I., Citraningtyas, G., Uneputty,J.P., Analisis Efektifitas Biaya Pengobatan ISK
Menggunakan Antibiotik Seftriakson Dan Siprofloksasin Di RSUP Prof. Dr. R.D.
X Manado, Pharmacon, 2018; ISSN:2302-2493. 7(3) :42-51.
Septiani,S. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Balita Terkena Diare Pada Pasien
Rawat Inap Di Rumah sakit X Tahun 2014, Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2015.
Trisnowati, K.E., Irawati S., Setiawan E. Kajian Penggunaan Antibiotik Pada Pasien
Diare Akut Di Bangsal Rawat Inap Anak, Jurnal Manajemen Dan Pelayanan
Farmasi, 2017; e-ISSN:2443-2946. 7(1) : 15-23
Khoirunnisa, S.M., Andayani, T.M., Inayati. Analisis Efektivitas Dan Biaya
Penggunaan Zink Pada Anak Dengan Diare Akut Di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2011, Jurnal Manajemen Dan Pelayanan
Farmasi, 2012; e-ISSN:2088-8137. 2(4) : 250-257.
Okafor, C.E., Ekwunife, O.I. Cost-Effectiveness Analysis Of Diarrhoea Management
Approaches In Nigeria : A Decision Analytical Model, PLOS Neglected Tropical
Diseases, 2017; DOI:0006124. 11(12) : 1-14.
Nalang,A., Citraningtyas,G., Lolo,W.A., Analisis Efektifitas Biaya Pengobatan
Pneumonia Menggunakan Antibiotik Seftriakson Dan Sefotaksim Di RSUP Prof.,
Dr. R. D. X Manado, Pharmacon, 2018; ISSN:2302-2493. 7(3) : 321-329.
Salamah,U. Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia
Pediatrik Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2016.
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2017.
Wulandari. Penanganan Diare di Rumah Tangga Merupakan Upaya Menekan Angka
Kesakitan Diare Pada Balita, Universitas Negeri Gorontalo;2012.
Numlil, K. T., Betti G., Wulandari A. Evaluasi Penggunaan Obat Diare Terhadap
Kesesuaian Obat dan Dosis Pada Pasien Anak Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Budhi Asih Jakarta, Farmasains UHAMKA, 2012,; 5(1): 241-
242.
Sari, A., dan Rahmawati,E.Evaluasi Pemberian Antibiotik Pada Pasien Anak Diare
Spesifik Di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Prosiding
Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan, 2016; e-ISSN:2541-0474.
Sugiharto, B. Kromosom Manusia. Yogyakarta: UGM; 2010.
Kereh, M.J.B. Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Pasien Pediatrik Demam Tifoid
Menggunakan Cefixime Dan Cefotaxime Di RSU Pancaran Kasih GMIM
Manado. Jurnal Pharmacon. 2018;7 (2):17-27.
Lorensia, A., dan Doddy D.Q. Farmakoekonomi, Edisi Kedua, Surabaya: Ubaya Press ;
2016.
Vongenberg, FR. (2001). Introduction To Applied Pharmacoeconomics. Editior: Zollo
S. McGraw-Hill Companies, USA.

Anda mungkin juga menyukai