atau penggunaan obat kortikosteroid dan antibiotik untuk mengatasi keluhan selama
eksaserbasi tersebut. Selanjutnya kategori C dan D lalu dikelompokan lagi dalam sub
kategori C1, C2, C3, begitupun D1, D2, dan D3. Secara detail pengelompokan sub
kategori tersebut mengacu pada:
C1 dan D1 bila nilai FEV1 < 50 % dan ekserbasi < 2 kali dalam satu tahun
terakhir.
C2 dan D2 bila nilai FEV1 > 50 % dan eksaserbasi > 2 kali dalam satu tahun
terakhir.
C3 dan D3 bila nilai FEV1 < 50 % dan eksaserbasi > 2 kali dalam satu tahun
terakhir (Lange, Marott, Vestbo, Olsen,dalam satu tahun terakhir. Ingebrigtsen,
Dahl & Nordestgaard, 2012).
C. GAGAL HEPAR/HATI
Diagnosis gagal hati kronis di tetapkan bila pasien mengalami inflamasi dan injuri
pada hati yang menetap ditandai dengan adanya kerusakan pada fungsi hati setelah 6
bulan dari munculnya gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi hati.
Selain dua kelompok penyakit gagal hati yang disebutkan di atas, Rahimi & Rockey
(2016) menambahkan kondisi akut pada gagal hati kronis. Walaupun belum ada
definisi yang jelas mengenai kondisi akut pada gagal hati kronis, namun kondisi akut
tersebut biasanya akan diawali dengan sirosis dengan atau tanpa gagal hati kronis
yang selanjutnya terjadi kegagalan multi organ. Bernal, Jalan, Quaglia, Simpson,
Wendon & Burroughs (2015) menjelaskan bahwa kondisi akut pada gagal hati kronis
adalah kondisi dimana semakin memburuknya fungsi hati secara akut pada seseorang
yang telah menderita penyakit hati kronis dan terjadinya kegagalan organ hati dan
ekstrahepatik. yang kondisi tersebut berhubungan dengan risiko kematian dalam
waktu singkat.
Berikut ini beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan untuk penetapan kondisi
akut pada gagal hati kronis yaitu:
Grade 2
Grade 3
Sumber: Rahimi, R. S., & Rockey, D. C. (2016). Acute on chronic liver failure:
definitions. treatments and outcomes. Current Opinion in Gastroenterology, 32(3), p.
173 APASL (Asian Pacific Association for the Study of the Liver), EASL-CHC
(European Association for the Study of the Liver-Chronic Liver Consortium), WGA
(World Gastroenterology Association).
Secara epidemiologi penyebab gagal hati dapat berbeda dari Negara yang satu dengan
Negara yang lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sugawara, Nakayama &
Mochid (2012) menemukan bahwa hepatitis akibat infeksi virus merupakan penyebab
paling sering terjadinya gagal hati akut di Jepang, sedangkan di Eropa dan Amerika
Serikat, Injuri hati yang di akibatkan oleh penggunaan obat-obatan seperti keracunan
acetaminopen menjadi penyebab utama kejadian gagal hati akut. Mohsenin (2013)
mengidentifikasi beberapa yang menjadi faktor penyebab gagal hati akut yaitu
hepatotoksik yang diakibatkan oleh obat-obatan seperti acetaminophen dan non-
acetaminopen, infeksi virus hepatitis B akut, infeksi virus lainnya, hepatitis autoimun,
hepatitis iskemik dan beberapa penyebab lainnya seperti Wilson disease, gagal hati
akut yang berhubungan dengan kehamilan, dan kelainan metabolisme.
Punzalan & Barry (2015) melaporkan bahwa sekitar 65% kasus gagal hati akut
diakibatkan oleh overdosis acetaminophen, dan usia rata-rata pasien dengan kasus
overdosis acetaminophen yaitu 33 tahun, sedangkan menurut Rahimi & Rockey
(2016 usia rata-rata penderita gagal hati akut 38 tahun dengan ma yoritas perempuan
yaitu sekitar 78% dari total penderita gagal hati akut.
Manifestasi klinis pada gagal hati akut dan gagal hati krois sangat sulit untuk
dibedakan. Namun ada beberapa data yang dapat digunakan untuk mengenali gagal
hati akut yaitu kor gulapati protrombin time > 15 detik atau berdasarkan acuan
international normalized ratio (INR) > 1.5, sekitar 30% pasien dengan gagal hati akut
akan mengalami asites, sekitar 18% pasien akan mengalami peritonitis bacterial
spontan, dan dapat disertai hepatic encelopati. Berdasarkan hasil pemindaian dapat
dilihat adanya nodular pada permukaan hati yang mana mengindikasikan sirosis,
asites, spenomegali, dan adanva formasi pembuluh darah kolateral. Terberituknya
nodular pada permukaan hati dan hipertensi portal sering ditemukan pada pasien
dengan gejala yang semakin berkembang dalamn wakts 1-4 minqgu. Nodular pada
hati menunjukkan bahwa sel-sel hati mengalami nekrosis secara massif.
Hipertensi intracranial diternukan pada 42%6 pasien dengan gagal hati akut. Dimana
hipertensi kranial ditegakkan bila tekan intracranial melebih 20 mmHg. Secara
etiologi gagal hati akut tidak memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi kranial
namun kejadian tersebut kemunakinan dipicu oleh demam tinggi, agitasi psikomotor,
dan hipertensi arterial.
Prognosis gagal hati akut sangat jelek, berdasarkan penelitiar rata-rata kematian
terjadi sekitar 40-64% dari total kasus gagal hati akut (Punzalan & Barry, 2015).
Beberapa komplikasi yang berkontribusi sebagai penyebab kematian pada gagal hati
akut yaitu udem serebral, herniasi serebral, sepsis, gagal ginjal, gagal jantung dan
sistem sirkulasi dan kegagalan multi organ (Rahimi & Rockey, 2016). Udem serebral
menyebabkan sekitar 71.4% kasus kematian pada gagal hati akut. Saat ini rasio
neutrophil limfosit dapat juga dijadikan acuan untuk menetapkan prognosis pasien
gagal hati akut. Peningkatan nilai rasio neutrophil-limfosit menunjukkan adanva
hubungan yang kuat dengan prognosis yang buruk terhadap kondisi pasien, sehingga
nilai neotrofil-lim fosit > 5 dapat menjadi prediktor indenpen yang potensial ter hadap
tingkat kematian pada pasien dengan kondisi akut pada gagal hati kronis (Chen, Lou,
Chen & Yang. 2014). Pasien gagal hati akut yang selamat dari kondisi udem serebral
akan mengalami deficit neurologis kronis. Namun bagaimana udem serebral dapat
mengakibatkan deficit neurologis kronis hingga saat ini be lum diketahui secara pasti
(Leventhal & Liu, 2015).
Hepatic Encepalopati
Penyakit ginjal kronis merupakan terminolgi yang secara umum digunakan untuk
menggambarkan berbagai gangguan yang diakibatkan oleh adanya perubahan struktur
dan fungsi ginjal yang disertai dengan hilangnya fungsi regulasi, ekskresi dan
endokrin pada ginjal (Frazão, Medeiros, e Silva, Batista, Sá & Lira, 2014; Levey &
Coresh, 2012). Selain itu penetapan penyakit ginjal kronis juga mengacu dan
berdasarkan pada adanya albuminuria, atau terjadinya penuruan fungsi ginjal dimana
laju filtrasi ginjal <60 mL/min per 1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dan beberapa
gejala klinis lainnya. Berdasarkan panduan praktik yang ditetapkan oleh the National
Kidney Foundation (KNF) menyatakan bahwa laju filtrasi glomerulus merupakan alat
ukur yang paling baik untuk mengetahui fungsi ginjal, lebih lan jut KNF menekankan
bahwa konsentrasi serum kreatinin tidak boleh digunakan secara tunggal untuk
menilai dan menetapkan status fungsi ginjal mengingat bahwa serum kreatinin sangat.
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia pasien, jenis kelamin, ras, massa otot, dan
diet (Cole, Masoumi, Triposkiadis, Giamouzis, Georgiopoulou, Kalogeropoulos &
Butler, 2012).