Anda di halaman 1dari 8

masuk rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya yang di akibatkan oleh COPD

atau penggunaan obat kortikosteroid dan antibiotik untuk mengatasi keluhan selama
eksaserbasi tersebut. Selanjutnya kategori C dan D lalu dikelompokan lagi dalam sub
kategori C1, C2, C3, begitupun D1, D2, dan D3. Secara detail pengelompokan sub
kategori tersebut mengacu pada:

 C1 dan D1 bila nilai FEV1 < 50 % dan ekserbasi < 2 kali dalam satu tahun
terakhir.

 C2 dan D2 bila nilai FEV1 > 50 % dan eksaserbasi > 2 kali dalam satu tahun
terakhir.

 C3 dan D3 bila nilai FEV1 < 50 % dan eksaserbasi > 2 kali dalam satu tahun
terakhir (Lange, Marott, Vestbo, Olsen,dalam satu tahun terakhir. Ingebrigtsen,
Dahl & Nordestgaard, 2012).

Berhenti merokok merupakan salah satu strategi untuk mengurangi laju


perkembangan penyakit, komorbiditi dan kematian (Decramer & Janssens, 2013).

C. GAGAL HEPAR/HATI

Kegagalan hati merupakan suatu syndrome yang secara klinis dikarakteristikkan


sebagai jaundice, asites, hepatic encelopati, dan risiko perdarahan akibat penurunan
fungsi hepar (Sugawara, Nakayama & Mochida, 2012). Beberapa faktor penyebab
yang diIdentifikasi terjadinya kondisi tersebut seperti hepatitis virus, hepatitis
autoimun, kerusakan hati akibat penggunaan obat, penyakit metabolik, dan gangguan
metabolik.

Kegagalan hati di klasifikasikan menjadi 2 kelompok berdasar kan kondisi klinisnya


yaitu:

 Gagal Hati Akut


Secara umum seseorang di diagnosis menderita gagal hati akut bila mengalami
kerusakan fungsi hati berat yang ditetapkan berdasarkan gejala kinis, analisis
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Gagal hati akut dapat berlangsung dan
berkembang dalam waktu 24-36 minggu setelah hati mengalami trauma baik secara
fisik, kimiawi maupun biologi dan kondisi normalnya. Punzalan & Barry (2015)
menjelaskan bahwa gagal hati akut merupakan injuri pada hati yang sifatnya
mengancam jiwa yang mana dapat terjadi tanpa didahului oleh penyakit atau
gangguan hati sebelumnya. Lebih lanjut Punzalan & Banry menjelaskan bahwa gejala
awal akan muncul dan berkembang dalam waktu 25 minggu.

Sargent (2010) menglakisifikasikan gagal hati akut ke dalarn 3 kelompok yaitu:

Definisi Interval waktu Risiko Udem Prognosis untuk


(Jaundice- Serebral Dapat Bertahan
encelopati)

Hyperakut < 7 hari Umumnya > 70% Sedang 36%

Akut 8-28 hari Umumnya > 55% Jelek 7%

Subakut 5-12 hari < 15% Jelek 14%

Sumber: Sargent, S. (2010). An overview of acute liver failure: Managing rapid


deterioration. Gastrointestinal Nursing, 8(9). p.37

 Gagal hati kronis

Diagnosis gagal hati kronis di tetapkan bila pasien mengalami inflamasi dan injuri
pada hati yang menetap ditandai dengan adanya kerusakan pada fungsi hati setelah 6
bulan dari munculnya gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi hati.

Selain dua kelompok penyakit gagal hati yang disebutkan di atas, Rahimi & Rockey
(2016) menambahkan kondisi akut pada gagal hati kronis. Walaupun belum ada
definisi yang jelas mengenai kondisi akut pada gagal hati kronis, namun kondisi akut
tersebut biasanya akan diawali dengan sirosis dengan atau tanpa gagal hati kronis
yang selanjutnya terjadi kegagalan multi organ. Bernal, Jalan, Quaglia, Simpson,
Wendon & Burroughs (2015) menjelaskan bahwa kondisi akut pada gagal hati kronis
adalah kondisi dimana semakin memburuknya fungsi hati secara akut pada seseorang
yang telah menderita penyakit hati kronis dan terjadinya kegagalan organ hati dan
ekstrahepatik. yang kondisi tersebut berhubungan dengan risiko kematian dalam
waktu singkat.

Berikut ini beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan untuk penetapan kondisi
akut pada gagal hati kronis yaitu:

APASL EASL-CHC WGA


 Hepatic akut yang Grade 1  Terjadinya dekom
terjadi dalam waktu 4 pensasi hepatic akut.
 Terjadinya gagal ginjal
minggu bersama  Jaundice dan koagu
Disfungsi ginjal dengan
asites, dengan atau lapati
nilai kreatinin 1.5-1.9
tanpa hepatic ence  Terjadinya kegagalan
mg/dl dengar atau tanpa
palopati. pada >1 organ
hepatic encepalopati +
 Bilirubin >5 mg/dl ekstrahepatik.
1 or gan yang
atau INR> 1.5  Meningkatnya kejadi an
mengalami kegagalan.
 Risiko kematian kematian dalam waktu
meningkat dalam 28  Disfungsi ginjal dengan 28 hari hingga 3 bulan
hari kejadian nilai kreatinin 1.5-1.9 setelah gejala muncul.
mg/dl dengan atau
tanpa hepatic
encepalopati.

 Grade 2

 Terjadi kegagalan pada


> 2 organ tubuh.

Grade 3

 Terjadi kegagalan pada


>3 organ tubuh

Sumber: Rahimi, R. S., & Rockey, D. C. (2016). Acute on chronic liver failure:
definitions. treatments and outcomes. Current Opinion in Gastroenterology, 32(3), p.
173 APASL (Asian Pacific Association for the Study of the Liver), EASL-CHC
(European Association for the Study of the Liver-Chronic Liver Consortium), WGA
(World Gastroenterology Association).

Secara epidemiologi penyebab gagal hati dapat berbeda dari Negara yang satu dengan
Negara yang lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sugawara, Nakayama &
Mochid (2012) menemukan bahwa hepatitis akibat infeksi virus merupakan penyebab
paling sering terjadinya gagal hati akut di Jepang, sedangkan di Eropa dan Amerika
Serikat, Injuri hati yang di akibatkan oleh penggunaan obat-obatan seperti keracunan
acetaminopen menjadi penyebab utama kejadian gagal hati akut. Mohsenin (2013)
mengidentifikasi beberapa yang menjadi faktor penyebab gagal hati akut yaitu
hepatotoksik yang diakibatkan oleh obat-obatan seperti acetaminophen dan non-
acetaminopen, infeksi virus hepatitis B akut, infeksi virus lainnya, hepatitis autoimun,
hepatitis iskemik dan beberapa penyebab lainnya seperti Wilson disease, gagal hati
akut yang berhubungan dengan kehamilan, dan kelainan metabolisme.

Punzalan & Barry (2015) melaporkan bahwa sekitar 65% kasus gagal hati akut
diakibatkan oleh overdosis acetaminophen, dan usia rata-rata pasien dengan kasus
overdosis acetaminophen yaitu 33 tahun, sedangkan menurut Rahimi & Rockey
(2016 usia rata-rata penderita gagal hati akut 38 tahun dengan ma yoritas perempuan
yaitu sekitar 78% dari total penderita gagal hati akut.
Manifestasi klinis pada gagal hati akut dan gagal hati krois sangat sulit untuk
dibedakan. Namun ada beberapa data yang dapat digunakan untuk mengenali gagal
hati akut yaitu kor gulapati protrombin time > 15 detik atau berdasarkan acuan
international normalized ratio (INR) > 1.5, sekitar 30% pasien dengan gagal hati akut
akan mengalami asites, sekitar 18% pasien akan mengalami peritonitis bacterial
spontan, dan dapat disertai hepatic encelopati. Berdasarkan hasil pemindaian dapat
dilihat adanya nodular pada permukaan hati yang mana mengindikasikan sirosis,
asites, spenomegali, dan adanva formasi pembuluh darah kolateral. Terberituknya
nodular pada permukaan hati dan hipertensi portal sering ditemukan pada pasien
dengan gejala yang semakin berkembang dalamn wakts 1-4 minqgu. Nodular pada
hati menunjukkan bahwa sel-sel hati mengalami nekrosis secara massif.

Hipertensi intracranial diternukan pada 42%6 pasien dengan gagal hati akut. Dimana
hipertensi kranial ditegakkan bila tekan intracranial melebih 20 mmHg. Secara
etiologi gagal hati akut tidak memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi kranial
namun kejadian tersebut kemunakinan dipicu oleh demam tinggi, agitasi psikomotor,
dan hipertensi arterial.

Prognosis gagal hati akut sangat jelek, berdasarkan penelitiar rata-rata kematian
terjadi sekitar 40-64% dari total kasus gagal hati akut (Punzalan & Barry, 2015).
Beberapa komplikasi yang berkontribusi sebagai penyebab kematian pada gagal hati
akut yaitu udem serebral, herniasi serebral, sepsis, gagal ginjal, gagal jantung dan
sistem sirkulasi dan kegagalan multi organ (Rahimi & Rockey, 2016). Udem serebral
menyebabkan sekitar 71.4% kasus kematian pada gagal hati akut. Saat ini rasio
neutrophil limfosit dapat juga dijadikan acuan untuk menetapkan prognosis pasien
gagal hati akut. Peningkatan nilai rasio neutrophil-limfosit menunjukkan adanva
hubungan yang kuat dengan prognosis yang buruk terhadap kondisi pasien, sehingga
nilai neotrofil-lim fosit > 5 dapat menjadi prediktor indenpen yang potensial ter hadap
tingkat kematian pada pasien dengan kondisi akut pada gagal hati kronis (Chen, Lou,
Chen & Yang. 2014). Pasien gagal hati akut yang selamat dari kondisi udem serebral
akan mengalami deficit neurologis kronis. Namun bagaimana udem serebral dapat
mengakibatkan deficit neurologis kronis hingga saat ini be lum diketahui secara pasti
(Leventhal & Liu, 2015).

Hepatic Encepalopati

Hepatic encelopati merupakan status neuropsikiatrik yang bersifat reversible, hepatic


encepalopati adalah komplikasi yang dapat terjadi pada gagal hati akut maupun gagal
hati kronie (Fullwood& Sargent, 2014). Hepatic encepalopati dimanifestasikan
sebagai suatu sindrom dengan gangguan kesadarar sebagai akibat dari kondisi fungsi
otak yang semakin memburuk secara progresif (O'Neal, Olds & Webster, 2006).

Patofsiologi kejadian hepatic encepalopati belum sepenuhnya dipahami namun


dipercaya bahwa kejadiannya merupakan akibat multi faktor yang terjadi secara
alamiah. Namun Lee dan kolega (2011, dalam Fullwood & Sargent, 2014)
menyatakan bahwa kombinasi dari gangguan ostomtik pada otak, peningkatan aliran
darah otak, dan inflamasi merupakan faktor yang memiliki kemungkinan sebagai
penyebab hepatic encepalopati. Gangguan osmotic kemungkinan disebabkan oleh
peningkatan kadar ammonia dimana hal ini sering ditemukan pada pasien dengan
gagal hati akut. Ammonia diproduksi melalui proses pemecahan protein dan asam
amino, narnun ammonia juga dapat dihasilkan oleh flora pada sistem pencernaan
(Zafirova & O'Connor, 2010 dalam Fullwood & Sargent, 2014). Secara normal
ammonia akan di metabolism di hati menjadi urea yang selanjutnya akan dieksresikan
melalui ginjal, namun dengan adanya gangguan fungsi hati maka hal tersebut tidak
dapat berlangsung dengan baik. Peningkatan kadar ammonía dalam sirkulasi darah
otak akan memberikan peluang pada ammonia untuk berikatan dengan glutamate
sebagai neurotransmitter yang bersifat excitatory untuk membentuk glutamin.
Peningkatan kadar glutamin akan menyebabkan tekanan osmotic meningkat pada
lebih lanjut, pada saat yang sama otak kehilangan kemampuanastrosit, sehingga
terjadi perpindahan cairan ke astrosit otak, lebih lanjut, pada saat yang sama otak
kehlangan kemampuan secara untuk mengatur sendiri perfusi yang menuju ke otak.
Peningkatan perfusi akan memicu peningkatan aliran darah ke otak sehingga hal ini
akan menambah dan meningkatkan tekanan intracranial. Sitokin yang berperan dalam
proses inflamasi yang ditemukan dalam sirkulasi juga berkontribusi terhadap
peningkatan kerja ammonia melalui perlengketan pada sel endothelial otak yang
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas sel yang selanjutnya semakin
menyebabkan pem bengkakan atau udem.

D. PENYAKIT GINJAL KRONIS DAN GAGAL GINJAL

Penyakit ginjal kronis merupakan terminolgi yang secara umum digunakan untuk
menggambarkan berbagai gangguan yang diakibatkan oleh adanya perubahan struktur
dan fungsi ginjal yang disertai dengan hilangnya fungsi regulasi, ekskresi dan
endokrin pada ginjal (Frazão, Medeiros, e Silva, Batista, Sá & Lira, 2014; Levey &
Coresh, 2012). Selain itu penetapan penyakit ginjal kronis juga mengacu dan
berdasarkan pada adanya albuminuria, atau terjadinya penuruan fungsi ginjal dimana
laju filtrasi ginjal <60 mL/min per 1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dan beberapa
gejala klinis lainnya. Berdasarkan panduan praktik yang ditetapkan oleh the National
Kidney Foundation (KNF) menyatakan bahwa laju filtrasi glomerulus merupakan alat
ukur yang paling baik untuk mengetahui fungsi ginjal, lebih lan jut KNF menekankan
bahwa konsentrasi serum kreatinin tidak boleh digunakan secara tunggal untuk
menilai dan menetapkan status fungsi ginjal mengingat bahwa serum kreatinin sangat.
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia pasien, jenis kelamin, ras, massa otot, dan
diet (Cole, Masoumi, Triposkiadis, Giamouzis, Georgiopoulou, Kalogeropoulos &
Butler, 2012).

Anda mungkin juga menyukai