Anda di halaman 1dari 15

TUGAS HUKUM

INTERNASIONAL 2

Disusun oleh :

Nama : Salsabilawati Santoso

NIM : 19/438897/HK/21889

Kelas : Hukum Internasional A

The Trail Smelter Arbitration, 1941


Trail Smelter Case 1941 ( Kasus Trail Smelter 1941 ), kasus ini merupakan kasus
pencemaran udara lintas batas yang terjadi antara Kanada dan Amerika Serikat. Sebuah
pabrik pupuk yang dimiliki oleh sebuah perusahaan yang bernama Consolidated Mining
&Smelting Co. Dari Canada Ltd. Tahun 1925 & 1927, 2 cerobong asap setinggi 400 kaki
dibangun yang kemudian menimbulkan naiknya jumlah sulfur yang dibuang ke udara. Jumlah
sulfur yang terbuang ke udara terus bertambah jumlahnya seiring berjalannya waktu. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya usaha peleburan besi dan logam. Dengan terus
meningkatnya jumlah sulfur yang dibuang ke udara maka dari itu akhirnya pabrik Trail yang
melakukan peleburan besi dan logam mendapat perhatian dari negara bagian Washington,
Amerika Serikat.
Kemudian pada tahun 1928 sampai 1935 pemerintah Amerika memberikan keluhan
kepada pemerintah Kanada karena asap sulfur dioksida yang disebabkan oleh pabrik
pelebufran Trail ini telah merusak Columbia River Valley. Masalah ini kemudian dibawa
kepada tingkat internasional yaitu International Joint Commision oleh pihak Amerika dan
Kanada ( IJC – UC ) pada tanggal 7 Agustus 1928. Pada tanggal 28 Februari 1931 IJC – UC
menyatakan bahwa pabrik peleburan Trail tersebut harus mengurangi jumlah sulfur yang
dikeluarkan dan untuk pemerintah Kanada harus membayar ganti rugi atas kerusakan yang
terjadi diwilayah Amerika sebesar US$ 350,00. Dengan adanya putusan dari IJC – UC ini
diharapkan oleh kedua belah pihak agar terjadi perubahan yang tidak lagi menimbulkan
kerusakan dan kerugian.
Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Pabrik peleburan rail tersebut
tidaklah mengalami perubahan dalam melakukan pembuangan sulfur dioksida ke udara. Hal
ini tetaplah menimbulkan kerusakan di negara bagian Washington, Amerika Serikat. Hal ini
kemudian mengakibatkan pemerintah Amerika kembali mengambil tindakan dengan
mengajukan kembali keluhan kepada pemerintah Kanada pada bulan Februari 1933. Dengan
adanya keluhan yang terjadi berulang kali maka lahirlah konvensi tentang asap buangan yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 April 1935. Konvensi ini menyatakan
perlu dibentuknya suatu Tribunal atau suatu Mahkamah Arbitrase yang bertugas menjawab
empat pertanyaan ini :
1) Apakah pabrik Trail telah menimbulkan kerugian bagi negara bagian Washington mulai
tanggal 1 Januari 1932?

2) Apabila pabrik Trail terbukti telah menimbulkan kerugian tersebut, apakah dimasa
mendatang pabrik ini akan dilarang untuk melakukan hal tersebut lagi ?
3) Apakah pabrik Trail harus beroperasi dibawah syarat – syarat tertentu ?

4) Apakah harus dibayarkan suatu bentuk kompensasi sehubungan dengan pertanyaan nomor
2 dan 3 ?
Kemudian, kedua belah pihak mengajukan bukti – bukti dihadapan Tribunal pada
bulan Januari 1938 yang dimana Tribunal memberitahu kedua belah pihak bahwa pihak
Tribunal telah dapat menjawab pertanyaan pertama, namun masih memerlukan waktu untuk
menjawab pertanyaan yang lainnya. Tribunal juga menghimbau kepada pabrik Trail untuk
membatasi peleburan agar dapat mempelajari akibat yang timbul dari gas sulfur yang
dikeluarkan.
Untuk keputusan Tribunal pada pertanyaan yang pertama adalah bahwa pemerintah
Kanada harus membayar ganti rugi atas kerusakan yang terjadi di negara bagian Washington
sejak 1932 hingga 1 Oktober 1937 yang ditimbulkan oleh pabrik Trail dengan jumlah US$
78,000. Biaya ini dipakai untuk mengganti rugi atas kerusakan tanah yang ditimbulkan oleh
asap sulfur dioksida di sepanjang Columbia River Valley. Kemudian, pada tanggal 11 Maret
1941 Tribunal memberikan jawabannya terhadap tiga pertanyaan lainnya. Tribunal
memberikan keputusan kepada pabrik Trail untuk tidak lagi menimbulkan kerusakan dengan
asap sulfur dioksida yang dibuangnya.
Untuk memastikan keputusan yang telah dikeluarkan Tribunal kepada pabrik
Trail.Maka dari itu, Tribunal mengeluarkan mandat bahwa pabrik Trail harus memakai
peralatan untuk mengukur arah dan kecepatan angin, turbulansi, tekanan atmosfer, tekanan
barometer, dan konsentran sulfur dioksida di pabrik. Hasil ukur dari alat – alat ini akan
digunakan oleh pabrik untuk menjaga agar asap sulfur dioksida yang dikeluarkannya sesuai
atau dibawah jumlah yang akan ditentukan oleh Tribunal. Setelah itu salinan hasil ukur
tersebut diberikan kepada kedua belah pihak pemerintahan pada setiap bulannya untuk
memeriksa apakah pabrik Trail sudah bekerja dengan sesuai yang ditentukan atau tidak.
Apabila terbukti pabrik Trail tidak dapat menjaga pembuangan sulfur dioksidanya sesuai
dengan jumlah yang telah ditentukan, maka pemerintah Amerika Serikat akan mendapatkan
kompensasi sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Tribunal dan pemerintah Kanada.
Tribunal sebelum memberi putusan dalam perkara ini berpegang pada pendapat Profesor
Eagleton, yaitu “A state owes at all time of duty to protect other state agaism’t injurious acts
by individuals from within its jurisdiction”.  
Analisis putusan :
            Setelah mempertimbangkan keadaan yang berhubungan dengan kasus ini, badan
arbitrase memutuskan bahwa negara kanada bertanggungjawab menurut hukum internasional
terhadap tindakannya di pabrik pelabuhan Trail. Putusan pengadilan arbitrase ini sebenarnya
menguatkan prinsip tanggungjawab negara untuk tidak melakukan kegiatan yang dapat
menyebabkan kerugian atau kerusakan lingkungan di wilayah negara lain atau di luar
yurisdiksi wilayahnya. Tanggung jawab ini lahir karena adanya kewajiban negara-negara
untuk menghormati hak-hak negara lain baik dalam keadaan damai maupun perang.
Formulasi keputusan pengadilan arbitrasi terhadap kasus Trail Smelter ini oleh banyak ahli
hukum telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Kasus ini berkontribusi dalam
prinsip “Polluter Pays Principle” dan menjadi yurisprudensi bagi para hakim untuk memutus
sengketa pencemaran udara.
            Sehingga Jawaban atas pertanyaan apakah Negara bertanggung jawab atas Negara
lain secara individual di dalam yurisdiksi Negara lain adalah ya, karena Negara harus
melindungi Negara lain dari bahaya dalam yurisdikdinya. Tidak ada satupun Negara yang
berhak menggunakan wilayah yurisdiksinya untuk membuat seseorang dalam keadaaan
bahaya dalam yurisdiksinya asalkan sesuai dengan prinsip dan asas hukum
internasional.  Kasus ini diselesaiakan dengan arbitrasi antara pihak Amerika serikat sebagai
penggugat dan Kanada sebagai tergugat. Dalam arbitrasi diputus bahwa perusahaan Trail
Smelter dari Kanada terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan di Washington akibat asap
polusi pabriknya. kewajiban Pemerintah Kanada untuk mengawasi agar tingkah laku tersebut
sejalan dengan kewajiban-kewajiban Kanada berdasarkan hukum internasional. Hal ini
menegaskan bahwa secara eksplisit pencemaran mengakibatkan kerugian lingkungan atau
setidaknya merugikan atas kepemilikan yang terdapat di wilayah teritorial negara korban
(injured state) itu sendiri.

Pendapat saya :

1. Kebakaran hutan yang menyebabkan banyak dampak negatif, hendaknya dilakukan


pencegahan dan pengendalian secepat mungkin, karena hutan adalah sumber daya alam yang
berpotensi menunjang proses kehidupan, karena keadaan semakin memburuk akibat dari
kabut asap kebakaran hutan maka disarankan untuk lebih meningkatkan kesadaran akan
kelestarian lingkungan. 2. Dampak buruk yang mengakibatkan banyak kerugian bagi
Indonesia maupun negara tetangga, harusnya menjadi acuan Pemerintah Indonesia untuk
lebih meningkatkan pengawasan dalam hal pengelolaan hutan baik itu dengan memberikan
sanksi yang lebih berat bagi pelaku pembakar hutan
Sumber :

https://media.neliti.com/media/publications/15005-ID-pengaturan-hukum-internasional-
tentang-tanggungjawab-negara-dalam-pencemaran-uda.pdf

http://aswansidraplawyer.blogspot.com/2018/05/analisis-kasus-trail-smelter.html

The Corfu Channel Case, 1949

Ringkasan Kasus :

“Kasus ini merupakan sengketa antara Albania dan Inggris yang cara pengajuannya melalui
pengadilan yaitu ke Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Peristiwanya terjadi pada
tanggal 15 Mei 1946 pada saat kapal-kapal Inggris berlayar memasuki selat Chorfu wilayah
Albania. Ketika memasuki laut teritorial Albania kapal-kapal tersebut ditembaki dengan
meriam-meriam yang ada di pantai Albania. Albania ketika itu sedang dalam keadaan perang
dengan Yunani. Tanggal 22 Oktober 1949 sebuah kapal Inggris telah menabrak ranjau yang
berada di selat tersebut yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Atas kejadian tersebut
Inggris kemudain melakukan pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang ada di selat tersebut
tanpa adanya izin dari pemerintah Albania. Kemudian sengketa timbul dan diajukan ke
Mahkamah Internasional. Keputusan mahkamah Internasional menyatakan bahwa Albania
bertenggungjawab atas kerusakan kapal Inggris dan Inggris telah melanggar kedaulatan
Albania karena tindakannya menyapu ranjau. Persoalan ini sebenarnya tidak berkaitan
dengan masalah lingkungan hidup secara langsung. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup
internasiona antara Inggris dan Albania didasarkan pada Prinsip 26 Deklarasi Rio 1992.
Prosedur dan mekanisme mengenai penyelesaian sengketa secara umum diatur oleh Pasal 33
Piagam PBB. Pasal ini mengidentifikasi beberapa metode atau cara diantaranya negosiasi,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian pengadilan, upaya badan atau aturan
regional, atau pilihan para pihak.”

Fakta Hukum

– Pihak yang bersengketa adalah Inggris dan Albania.


– selat Corfu berada dalam wilayah perairan Albania.

– Insiden pertama yaitu pada 15 mei 1946, 2 kapal Inggris, HMS Orion dan HMSSuperb
menyeberangi selat Corfu.

– Ketika sedang menyeberangi selat, keluar api dari daerah pertahanan yang terletak di pantai
Albania.

– Meskipun tidak menderita kerugian, Pihak Inggris meminta Albania untuk menyatakan
permintaan maaf, namun Albania mengklaim bahwa Pihak Inggrismemasuki wilayah
territorial Albania tanpa ijin.

– Kemudian, pada 22 Oktober 1946, kapal Inggris, Saumarez dan Volage kembalimelintas di
Selat Corfu dan menabrak ranjau-ranjau laut yang tersebar di sepanjangSelat Corfu.

– Hal ini menyebabkan kapal Inggris tersebut rusak, 44 orang tewas, 42 orang luka-luka.
Antara 42 atau 43 yang tewas adalah awak kapal Saumarez.

– Inggris meminta ganti kerugian kepada Albania, namun Albania


menghiraukannya.Akhirnya kasus ini dibawa ke ICJ

Permasalahan Hukum

1. Apakah Albania bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak Inggris?

2. Apakah Albania wajib mengganti kerugian yang diderita pihak Inggris?

3. Apakah Inggris bersalah telah melanggar hukum internasional dengan tindakannya


padahari terjdinya ledakan pada bulan Oktober dan pada bulan November saat
Inggrismembersihkan selat Corfu tersebut dari ranjau.?

Putusan

1. Ya, Albania bertanggung jawab terhadap Kerugian yang diderita pihak Inggris.

2. Ya, Albania wajib mengganti kerugian yang diderita pihak Inggris. Dan
pengadilanmemutuskan Albania wajib membayar ganti rugi atas rusaknya saumarez dan
rusaknyakapal Volage, serta atas kematian awak kapal Inggris, dengan total kompensasi
sebesar 843,947 .

3. Untuk tindakan pada bulan Oktober, Inggris tidak melanggar kedaulatan dari
Albania,tetapi untuk tindakan pada Inggris pada bulan November dinyatakan bahwa Inggris
bersalah telah melanggar kedaulatan Albania.
Pertimbangan Putusan

Albania dinyatakan bersalah karena telah menyebarkan ranjau-ranjau laut di sepanjang


SelatCorfu tanpa memberitahukan pihak Inggris. Hal ini karena Inggris mempunyai hak lintas
damai untuk melintasi wilayah territorial Albania..

Analisis

Putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa Albania bersalah dan bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita Inggris serta diwajibkan membayar kompensasi kepada
pihak Inggris. Dalam putusan kasus Corfu Channel di atas, Mahkamah Internasional
menggunakan Teori Kesalahan dalam Tanggung Jawab Negara. Teori Kesalahan ada
2macam yaitu :

1. Teori Subyektif.

Menurut teori ini, tanggung jawab Negara ditentukan oleh adanya unsure keinginan
ataumaksud untuk melakukan suatu perbuatan (kesengajaan atau dolus) atau kelalaian (culpa)
pada pejabat atau agen Negara yang bersangkutan.

2. Teori Obyektif

Menurut teori ini, tanggung jawab Negara adalah selalu mutlak (strict). Manakala suatu
pejabat atau agen Negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka
Negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah
tindakantersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian.

Dalam kasus Corfu Channel, Mahkamah Internasional menggunakan teori Obyektif


dalammemutuskan sengketa tersebut karena tidak adanya upaya dari pejabat Albania untuk
mencegah kecelakaan terhadap 2 kapal Inggris, Saumarez dan Volage. Seharusnya,
Albaniamemberi peringatan akan adanya ranjau terhadap kapal Inggris yang akan melintasi
wilayahteritorialnya karena Inggris mempunyai hak lintas damai untuk melewati perairan
territorialAlbania.Berdasarkan hukum intenasional suatu negara dapat diminta
pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang menyalahgunakan kedaulatannya.
Tidak ada satu negara punyang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak
negara lain.Dalam kasus selat Corfu ini, Albania walaupun memiliki kedulatan atas selat
Corfu, namundalam hal ini tetap bertanggung Jawab untuk memastikan bahwa kapal asing
yang melintasi perairan teritorialnya dengan damai dapat melintasi perairannya dengan aman.
Karakteristik tanggung jawab negara tergantung dari:

± Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negaratertentu;

± Adanya suatu perbuatan melanggar hukum atau kelalaian yang melanggar kewajiban
tersebut dan melahirkan tanggung jawab negara;

± Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan melanggar hukum ataukelalaian

Dalam kasus selat Corfu terdapat kelalaian dari Albania untuk memastikan bahwa
perairannya aman untuk dilewati ataupun kelalaian untuk memberi peringatan kepada
Inggrismengenai kondisi perairannya sehingga hal ini dapat mengakibatkan timbulnya
tanggungJawab dari Albania atas kerusakan dan kerugian yang diderita Inggris atas kapalnya
dan ataskematian para awak kapalnya.

PENDAPAT SAYA :

Kasus ini merupakan sengketa antara Albania dan Inggris yang cara pengajuannya melalui
pengadilan yaitu ke Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Peristiwanya terjadi pada
tanggal 15 Mei 1946 pada saat kapal-kapal Inggris berlayar memasuki selat Chorfu wilayah
Albania. Ketika memasuki laut teritorial Albania kapal-kapal tersebut ditembaki dengan
meriam-meriam yang ada di pantai Albania. Albania ketika itu sedang dalam keadaan perang
dengan Yunani.

Tanggal 22 Oktober 1949 sebuah kapal Inggris telah menabrak ranjau yang berada di selat
tersebut yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Atas kejadian tersebut Inggris kemudian
melakukan pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang ada di selat tersebut tanpa adanya izin
dari pemerintah Albania. Kemudian sengketa timbul dan diajukan ke Mahkamah
Internasional. Keputusan mahkamah Internasional menyatakan bahwa Albania
bertenggungjawab atas kerusakan kapal Inggris dan Inggris telah melanggar kedaulatan
Albania karena tindakannya menyapu ranjau. Persoalan ini sebenarnya tidak berkaitan
dengan masalah lingkungan hidup secara langsung. Namun dalam kasus ini telah diterapkan
suatu prinsip yang mirip dengan Prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 yaitu dalam salah satu
keputusannya menyatakan bahwa setiap negara tidak diperbolehkan melakukan tindakan-
tindakan yang mengganggu atau merugikan negara lainnya.

Penyelesaiannya dengan cara negosiasi, mediasi, dan munkin melakukan genjatan


senjata/perang. Perang merupakan jalan terakhir yang dilakukan jika kedua pihak tidak
menemukan jalan keluar.
Tanggapan kelompok kami penyelesaian maslah dengan jalan damai merupakan jalan yang
bijak untuk penyelesaian masalah, sebab jalan damai tidak membutukan banyak biaya .

Kasus selat Corfu timbul dari insiden yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di selat
Corfu,

dimana dua Kapal perusak Inggris membentur ranjau di perairan Albania dan menderita
kerusakan,

termasuk adanya korban jiwa. Inggris mengacu kepada Resolusi 9 April 1947 dari Dewan
Keamanan

yang merekomendasikan kedua pemerintah untuk menyerahkan kasus mereka ke Mahkamah.


Inggris

kemudian menyerahkan perkara dimana Albania berkeberatan atas yurisdiksi Mahkamah,


namun

keberatan ini ditolak lewat keputusan 25 Maret 1948, Mahkamah menyatakan bahwa dirinya
memiliki

Yurisdiksi.

B. Fakta:

1. Pada 22 Oktober 1946, dua kapal penjelajah (cruiser) Mauritius dan Leander serta dua
kapal

perusak (destroyer) Saumarez dan Volage Inggris memasuki selat Corfu dari arah selatan.

Selat Corfu merupakan bagian dari wilayah perairan Albania.

2. Pada tahun 1944 dan 1945 pernah dilakukan penyapuan ranjau di sekitar wilayah Selat
Corfu,

hingga tahun 1946 ketika insiden ini terjadi Selat Corfu dinyatakan “aman”.

3. Salah satu kapal perusak Inggris (Saumarez) menabrak ranjau hingga mengalami
kerusakan

yang parah. Kapal perusak lain (Volage) dikirim untuk memberikan bantuan,
ketika

menderek Saumarez, Volage juga membentur ranjau dan mengalami kerusakan yang lebih

parah. Empat puluh lima perwira dan pelaut Inggris gugur dan empat puluh dua lainnya
terluka.

4. Sebuah insiden pernah terjadi di perairan ini, pada bulan Mei tahun 1946, pos jaga Albania

menembak 2 kapal penjelajah Inggris (Orion dan Superb). Pemerintah Inggris memprotes,

menyatakan bahwa hak lintas damai (innocent passage) melalui selat adalah hak yang dikenal

dalam hukum Internasional. Pemerintah Albania menyatakan bahwa kapal perang asing dan

kapal dagang dilarang masuk laut teritorial Albania tanpa izin sebelumnya; dan pada Agustus

1946, pemerintah Inggris telah menyatakan bahwa, apabila di masa mendatang tembakan

dilepaskan kepada Kapal Perang Inggris yang melintasi selat, maka Kapal Inggris akan

membalasnya.

5. Setelah ledakan tanggal 22 Oktober Pemerintah Inggris mengirimkan nota ke Tirana


perihal

niatannya untuk melakukan operasi penyapuan ranjau di sekitar Selat Corfu.

6. Albania tidak memberikan izin kecuali operasi penyapuan ranjaunya berada di luar laut

teritorial Albania dan menegaskan bahwa penyapuan yang dilakukan di perairan Albania

merupakan pelanggaran kedaulatan Albania.

7. Penyapuan ranjau dilakukan oleh angkatan laut Inggris pada tanggal 12 dan 13 November

1946, di laut teritorial Albania dan berada di wilayah selat yang sebelumnya disapu. Hasilnya

22 ranjau dapat dijinakkan, ranjau-ranjau tersebut adalah tipe GY buatan Jerman;

8. Ketika insiden ini terjadi, Albania dan Yunani sedang menghadapi sengketa perbatasan.

C. Permasalahan Hukum:

Melalui Special Agreement, kedua belah pihak meminta putusan

Analisa singkat:
1. Pertanggungjawaban negara berhubungan erat dengan suatu keadaan bahwa terhadap
prinsip
fundamental dari hukum internasional, negara atau suatu pihak yang dirugikan menjadi
berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Karena itu,
pertanggungjawaban negara akan berkenaan dengan ketentuan tentang atas dasar apa dan
situasi bagaimana negara dapat dianggap telah melakukan tindakan yang salah secara
internasional;
2. Apabila suatu negara melanggar kewajiban yang telah ditetapkan dalam hukum
internasional,
terhadapnya dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian;
3. Mahkamah Internasional dalam kasus Corfu Channel 1949 ini menyatakan bahwa
kewajiban
negara pantai untuk menjaga jalur pelayaran di wilayahnya, apabila tidak dilaksanakan dapat
dinyatakan telah melakukan pelanggaran internasional dan pada akhirnya mengakibatkan
tanggung jawab. Dalam kasus ini Albania dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti
rugi
terhadap Inggris

SUMBER :

https://ardanurdihansyah.wordpress.com/2011/05/19/corfu-channel-case/

https://ekaayutrisnaputri.wordpress.com/2012/02/16/corfu-channel-case/

The Lake Lanoux Arbitration, 1957

A. Kasus Posisi

Kasus Lake Lanoux bermula dari rencana Perancis memanfaatkan potensi


danau Lanoux untuk keperluan pendirian hydroelectric. Spanyol berkeberatan

terhadap rencana itu, karena khawatir sungai-sungai Spanyol yang besumber pada

danau itu mengalami pencemaran akibat limbah kimia dan perubahan suhu yang

dihasilkan oleh teknologi yang digunakan, yang membahayakan kekayaan hayati

sungai tersebut. Atas pertimbangan tersebut Spanyol mengajukan keberatan terhadap

rencana Perancis. Dengan demikian terjadilah sengketa kepentingan antara kedua

negara bersangkutan.

Arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa itu menggunakan asas good

faith untuk menyelesaikan kasus tersebut. Arbitrase dalam keputusannya menyatakan

antara lain : according to the rule of good faith, the state is under the obligation to

take into consideration the various interest involved, to seek to give them every

satisfaction compatible with the pursuit of its own interst..

Bahwa Negara hulu mempunyai kewajiban untuk mempertimbangan seluruh

kepentingan yang terkait dengan setiap kegiatan yang ia lakukan didalam

wilayahnya. Pertimbangan itu dimaksudkan untuk untuk menjamin tercapainya

tujuan-tujuan kegiatan tersebut secara baik. Dalam perspektif prinsip good faith,

setiap negara hendaknya hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan

juga baik bagi dirinya. Apa yang bermanfaat dan baik bagi dirinya, hendaknya juga

dirasakan sama oleh negara lain, dan apa yang dirasakan merugikan oleh negara lain

hendaknya juga dirasakan merugikan oleh negara pelaku kegiatan. Dengan demikian

suatu negara hendaknya tidak mengerjakan kegiatan yang hanya menguntungkan

dirinya dan merugikan negara lain, atau setiap negara hendaknya mengerjakan

kegiatan-kegiatan yang tidak merugikan semua pihak.

Prinsip diatas mengandung 2 (dua) makna, yang pertama, negara hulu wajib

mepertimbangkan kepentingan negara hilir, yang kedua, negara hulu dalam

menetapkan rencana-rencananya, atau bertindak didalam wilayahnya tidaklah perlu

menunggu persetujuan-persetujuan negara hilir, namun demikian adalah wajib bagi


negara hulu untuk mempertimbangkan kepentingan negara hilir, agar tindakan yang

dilakukan tidak menimbulkan kerugian terhadap negara hilir.

Arbitrase ini menyangkut penggunaan perairan Danau Lanoux, di Pyrenees. Pemerintah Perancis
mengusulkan untuk melakukan pekerjaan tertentu untuk pemanfaatan perairan danau dan
Pemerintah Spanyol khawatir bahwa pekerjaan ini akan berdampak buruk pada hak dan kepentingan
Spanyol, bertentangan dengan Perjanjian Bayonne tanggal 26 Mei 1866, antara Prancis dan Spanyol.
dan Undang-Undang Tambahan pada tanggal yang sama. Dalam hal apa pun, diklaim bahwa, di
bawah Perjanjian, pekerjaan seperti itu tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan kedua belah pihak
sebelumnya. Danau Lanoux terletak di lereng selatan Pyrenees, di wilayah Prancis. Itu diberi makan
oleh sungai yang memiliki sumber mereka di wilayah Perancis dan yang sepenuhnya berjalan melalui
wilayah Perancis saja. Perairannya hanya muncul oleh aliran Font-Vive, yang membentuk salah satu
hulu Sungai Carol. Sungai itu, setelah mengalir sekitar 25 kilometer dari Danau Lanoux melalui
wilayah Prancis, melintasi perbatasan Spanyol di Puigcerda dan terus mengalir melalui Spanyol
sekitar 6 kilometer sebelum bergabung dengan sungai Segre, yang akhirnya mengalir ke Ebro.
Sebelum memasuki wilayah Spanyol, perairan Carol memberi makan Kanal Puigcerda yang
merupakan milik pribadi kota itu. Pada 21 September 1950, Electricité de France melamar ke
Kementerian Industri Perancis untuk konsesi, berdasarkan skema yang melibatkan pengalihan
perairan Danau Lanoux ke arah Sungai Ariège. Air yang begitu dialihkan harus sepenuhnya
dikembalikan ke Sungai Carol melalui terowongan yang mengarah dari hulu Ariège di titik di atas
Carol di atas saluran keluar ke Kanal Puigcerda. Namun, Pemerintah Perancis, ketika menerima
prinsip bahwa air yang diambil harus dikembalikan, menganggap dirinya terikat hanya untuk
mengembalikan sejumlah air yang sesuai dengan kebutuhan aktual pengguna Spanyol. Akibatnya,
Prancis akan melanjutkan untuk mengembangkan Danau Lanoux dengan mengalihkan airnya ke arah
Ariege, tetapi aliran air tertentu yang sesuai dengan kebutuhan aktual dari para pelopor Spanyol
akan terjamin pada tingkat outlet ke Kanal Puigcerda. Spanyol menentang pengalihan air Danau
Lanoux. Pengadilan memeriksa Perjanjian Bayonne tanggal 26 Mei 1866 dan Undang-Undang
Tambahan, serta argumen yang diajukan oleh kedua Pemerintah. Mengenai pertanyaan apakah
Perancis telah mempertimbangkan kepentingan Spanyol, Tribunal menekankan bahwa dalam
menentukan cara di mana skema mempertimbangkan kepentingan yang terlibat, cara di mana
negosiasi telah berkembang, jumlah total kepentingan yang telah disajikan, harga yang telah dibayar
oleh masing-masing Pihak untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu, merupakan faktor-faktor
penting dalam penetapan, sehubungan dengan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang Tambahan, manfaat dari skema itu. Sebagai kesimpulan, Pengadilan berpendapat
bahwa skema Perancis mematuhi kewajiban Pasal 11 dari UU Tambahan. Tribunal memutuskan
bahwa dalam melaksanakan, tanpa persetujuan sebelumnya antara kedua Pemerintah, bekerja
untuk pemanfaatan perairan Danau Lanoux dalam kondisi yang disebutkan dalam Skema
Pemanfaatan Perairan Danau Lanoux, Pemerintah Prancis tidak melakukan pelanggaran ketentuan
Perjanjian Bayonne tanggal 26 Mei 1866, dan Undang-Undang Tambahan pada tanggal yang sama.

https://dokumen.tips/documents/kasus-lake-lanoux-tahun-1957-antara-perancis-vs-
spanyol.html https://ciils.wordpress.com/2008/04/06/lake-lanoux-case/
The Nuclear Test Case, 1957

http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/03/nuclear-tests-case-kasus-percobaan.html

https://media.neliti.com/media/publications/19198-ID-tanggung-jawab-dewan-keamanan-
pbb-dalam-menyikapi-kasus-senjata-nuklir-korea-uta.pdf
The Cosmos, 1979

http://minartyplace.blogspot.com/2010/12/cosmos-954-case-1978-1981.html

Anda mungkin juga menyukai