Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN III


ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Disusun Oleh :
1. Ayu Khodijah Ida Kusuma (180302047)
2. Nabilah (180302103)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2018 - 2019
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2

1.3 Tujuan.....................................................................................................................3

BAB II PEMBHASAN...........................................................................................4

2.1 Pengertian Dikotomisme Ilmu Di Dalam Islam.................................................4

2.2 Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan...........................................................4

2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Dikotomi Ilmu........................4

2.4 Dampak Dikotomi Ilmu Pengetahuan.................................................................8

2.5 Pembagian Ilmu Di Dalam Islam.......................................................................10

2.6 Prinsip-Prinsip Islam Dalam Perkembangan Iptek..........................................13

2.6.1 Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek.............................................15

BAB III PENUTUP..............................................................................................17

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah. Dialah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa,
pengatur segala urusan dan takdir. Oleh karena itu, sangat beralasan jika puncak
segala pujian tercurah kepada Engkau atas segala nikmat yang diberikan. Dengan
kucuran nikmat-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan.

Dalam makalah ini, kami menjelaskan “Islam Dan Ilmu Pengetahuan”


secara umum dan ringkas.

Kami menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan


kekurangan, yang disebabkan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan
pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca
umumnya.

Gresik , 17 Maret 2020

Penyusun

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama yang menghargai dan meninggikan derajat orang yang
berilmu. Dalam islam sendiri terkandung ilmu pengetahuan yang tidak terbatas
dan terpisah-pisah seperti halnya masyarakat barat membagi dan memisahkan
ilmu menjadi beberapa cabang. Ilmu pengetahuan dalam islam tersusun dalam
kesatuan dan bahkan dalam Alqur’an sendiri terkandung ilmu pengetahuan di
dalamnya. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam Alqur’an tentang orang-orang
yang berilmu, berpikir dan berakal
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-
kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang
tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian
tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Kata ilmu berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm yang berarti
pengetahuan dan kemudian arti tersebut berkembang menjadi ilmu pengetahuan.
Kata ilm itu sendiri diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata ilmu atau yang
merujuk pada ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang Islam, ilmu sendiri
diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh berdasarkan ijtihad atau hasil
pemilkiran mendalam para ulama dan ilmuwan muslim yang didasarkan pada
Alqur’an dan hadits. Alqur’an dan hadits adalah pedoman hidup manusia dan di
dalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang universal. Allah bahkan menurunkan
ayat pertama yang berbunyi “Bacalah” sedangkan kita mengetahui bahwa
membaca adalah aktifitas utama dalam kegiatan ilmiah. Kata ilmu itu sendiri

1
disebut sebanyak 105 kali dalam alQur’ān dan kata asalnya disebut sebanyak 744
kali.
Pemisahan ilmu dalam dunia pendidikan, menjadi ilmu umum dan ilmu
agama, telah mengantar dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu pendidikan
yang mandul dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak bertanggungjawab
terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan. Demikian pula pendidikan
agama yang terlalu memisah dari dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora, telah
melahirkan ahli-ahli agama yang tidak peka terhadap kehidupan sosial, dan gagap
tehadap perkembangan dunia modern. Agama seakan terlepas dari realitas sosial.
Apalagi studi Islam yang ada selama ini cenderung menampakkan tumpang tindih
yang tidak menguntungkan baik bagi pengajar maupun yang diajar (Azyumardi
Azra, 1999: 201-216).
Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua
bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Ada juga yang mendefinisikan
dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara
terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang
kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti
dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan
bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Bagi al- Faruqi,
dikotomi adalah dulaisme religius dan kultural. ebagai contoh, ketika filsafat
sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences) mengalami pembidangan
dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan
pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan,
psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang
ilmu pendidikan tersebut pecah lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan
pendidikan, perencanaan kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak
pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian
jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi
keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-
masing.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengaruh dikotomi ilmu terhadap kehidupan manusia?

2
2. Apa faktor penyebab dikotomi ilmu?
3. Bagaimana pembagian pembagian ilmu di dalam islam?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih
lanjut mnegenai pengertian dikotomi ilmu, faktor penyebab dikotomi ilmu agama
dan ilmu pengetahuan, dampak dikotomi imu agama dan ilmu pengetahuan,
khususnya dalam pendidikan agama islam saat ini.

3
BAB II

PEMABAHASAN

2.1 Pengertian Dikotomisme Ilmu Di Dalam Islam.


Secara harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu “dichotomy”
yang artinya membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata
yang dalam bahasa Inggrisnya “dichotomy” tersebut, digunakan sebagai serapan
ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling
bertentangan. Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu
secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling
bertentangan serta sulit untuk diintegralkan. Sehingga secara umum timbul istilah
“ilmu umum (non agama) dan ilmu agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu
hitam dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada
pembagian yang sangat ekstrim dalam pembagian ilmu pengetahuan dengan
istilah seperti ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu
syar’iyyah.

2.2 Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan


Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai
pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan
nilai-nilai. Al-Qur’an menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan
dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmmu
pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran menegaskan bahwa
tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak
berpengetahuan. Dari ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa
ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama.
Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai
suatu yang totalitas dan integral.

4
2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Dikotomi Ilmu
Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal.
Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak
demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak
cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara
ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu
wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of
knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara
mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan
klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan
sampai ke anak cabang. Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu
(mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap
saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang
ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi
pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah
lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan
kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya. Tak pelak lagi hal ini
menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak
cabang ilmu. Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana
pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.
Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa
stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang
pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini
disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini,
dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi
kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban
individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.
Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila
dibandingkan dengan umat dan negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang
mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya
problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan

5
negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Sehinggga, dalam lembaga pendidikan
Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya, asumsi
mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan
sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan
umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam
Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun
dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir dikotomik,
yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu,
Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga mau
tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi dikotomi tersebut.Bahkan hal
ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem politik,
budaya, hukum, dan seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang
dialami pendidikan Islam.

Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab


pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:
1)       Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang
non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M.,
yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para
pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri
sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka
mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas
dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk
inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat
itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan
syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka menyatakan
bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak
disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah
harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan
Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa

6
Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan
tindakan-tindakan konservatif tersebut.
2)       Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah
pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk
mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah
laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar
berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan
untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam. Pada waktu yang
bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits,
guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum
profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya
dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua
orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat
keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para pemimpin politik
dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran,
tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan
mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik
merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk mempertahankan
posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak
dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari
keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan
mereka dalam mengutuk otoritas politik.
Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata,
karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi
pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam
kelesuan politik dan budaya. Mereka cenderung menengok ke belakang ke
romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan
bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para
sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana
Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim

7
akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.
Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem
pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi
mencari solusi dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus
diIslamisasikan, sambil menghindari perangkap dan kekurangan metodologi
tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang
merupakan esensi Islam. Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah
kerangka Islam berarti membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk
kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan
kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia.
2.4 Dampak Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua penyebab utama terjadinya
dikotomi pendidikan dalam dunia Islam, yaitu:
1)        Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang
non-Muslim kepada umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M.,
yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para
pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri
sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka
mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas
dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk
inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat
itu mereka meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan penutupan pintu ijtihad. Mereka memperlakukan
syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan
bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak
disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah
harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan
Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa
Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan
tindakan-tindakan konservatif tersebut. 

8
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang
ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah
dunia Islam, kecuali Turki karena disini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara
Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan.
Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan
merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon
terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam
dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India
mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya
dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.
Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak
berdaya. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak
upaya-upaya yang dilakukan Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern
Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama
dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara upaya untuk mengintegrasikan ilmu
agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, yang terjadi
justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler.
2)   Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah
pemimpin. Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk
mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.
Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam. Setiap Muslim yang sadar
berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan
untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam,
mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani
atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-
orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi
kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah. Saat
keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik
dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran,

9
tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan
mereka. Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik
merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan
posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak
dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari
keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan
mereka dalam mengutuk otoritas politik.
Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan
Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas
keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang
menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila
tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat
mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.
Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian merupakan simbol
jatuhnya umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat
mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan
pengetahuan; kedua, kesatuan hidup; dan ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi
keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam sudah
berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad
stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak negatif
terhadap kemajuan Islam.
2.5 Pembagian Ilmu Di Dalam Islam

Kata Ilmu di dalam Islam tidaklah selalu sama pengertiannya dengan ilmu
(Science /Knowledge) di “barat”, sehingga pengertian ilmiah (memenuhi standar
ilmu) nya pun berbeda. Bagi “barat”, sesuatu yang tidak teruji secara empiris
bukanlah ilmu. Maka megertilah kita kenapa lahir ucapan : Iman/agama tanpa
ilmu, lumpuh. Dan Ilmu tanpa Iman/agama, buta. Karena iman berbeda dengan
ilmu. Iman adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah (baca empiris),
karena ia merupakan keyakinan. Di dalam Islam Ilmu bisa mencakup seluruh
pengetahuan, baik yang diupayakan maupun yang diwahyukan ALLAH
Subhaanahu wa ta’alaa kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Termasuk juga, apakah
yang disebut di dalam Islam Ilmu Dhorury (sesuatu yang dapat diketahui tanpa

10
harus belajar, seperti tahunya kita bahwa air itu basah atau asap itu menyesakkan),
atau Ilmu Nadhory (yang diketahui hanya dengan belajar, seperti air itu H2O atau
asap itu CO2). Ilmu juga kerap diungkapkan dengan kata hikmah. Kata ilmu
adakalanya juga dimaksudkan iman seperti penjelasan Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimiin rahimahullah. dan juga selain beliau tentang kata
amanuu di dalam Surat Al Ashr, karena mustahil seorang beramal jika tidak
dilandasi ilmu. Maka iman di sini adalah ilmu. Bahkan adakalanya ilmu diartikan
sebagai agama, sebagaimana ucapan Muhammad ibn Siriin radhiallahu anhu:

)‫ فانظروا عمن تأخذون دينكم (رواه مسلم‬.‫إن هذا العلم دين‬

(Sesungguhnya Ilmu itu adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian
mengambil agama kalian.)

Dan sesungguhnya para ulama (Islam / Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah) telah


menjelaskan pembagian ilmu dari berbagai sudut. Adakalanya pembagian tersebut
kemudian bersifat dikotomis, adakalanya sebagai pengkhususan satu disiplin ilmu
atas yang lain. Maka mengingkari (secara mutlak) adanya dikotomi ilmu dalam
Islam adalah keliru. Sementara mendikotomikan ilmu secara serampangan juga
keliru. Dari sisi sumber atau dasar pengambilannya ilmu di dalam Islam terbagi
dua, Ilmu Syar’iy dan Ilmu Ghairu Syar’iy.

Ilmu Syar’iy adalah ilmu yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah
serta berkaitan langsung dengan pengamalan syari’at Islam. Atau sebagaimana
yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimiin –
rahimahullah-. di dalam :

“Ilmu Syar’iy adalah ilmu yang berkaitan tentang apa-apa yang


diturunkan ALLAH kepada Rasul-Nya berupa petunjuk dan penjelasannya.”

Selainnya adalah Ilmu Ghairu Syar’iy, yaitu ilmu-ilmu peradaban dan


yang berkaitan dengannya. Dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam suatu
kali mengungkapkan dengan kata Ilmu Dunia, sebagaiman ucapannya :

(”Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” – HR: Muslim).

11
Juga di dalam do’anya:

(”…Ya, ALLAH. Aku mohon kepada Mu kemaafan dan keselamatan di dalam


urusan agamaku dan duniaku…”- HR: Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tampak dari sisi ini kata agama dihadapkan dengan kata dunia. Jadi Ilmu
Syar’iy itu ilmu agama, sedangkan Ilmu Ghairu Syar’iy itu ilmu dunia. Dari sisi
manfa’at atau tidaknya, ilmu juga terbagi menjadi: Ilmu Yang Bermanfa’at (-bagi
dunia dan akhirat-) dan Ilmu Yang Tidak Bermanfa’at (-bagi dunia dan akhirat-).
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam do’anya berucap:

‫ وعلمني ما‬،‫((اللهم! انفعني بما علمتني‬: ‫ كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬-:‫عن أبي هريرة؛ قال‬
.))‫ وزدني علما‬،‫ينفعني‬

(Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam senantiasa


berdo’a, ALLAHUMMA, Berikan manfa’at dari ilmu yang telah Engkau ajarkan
kepadaku, ajarkan pula aku ilmu yang bermanfa’at bagiku. Dan tambahkan aku
ilmu.”) (HR: At-Tirmidzi dan Ibnu Majah -dishahihkan oleh Syaikh Al Albaany)

Dari sisi hukum mempelajarinya, yakni tingkat kewajibannya atas setiap


muslim untuk mengetahuinya, ilmu terbagi menjadi dua. Pertama, Ilmu Fardlu
‘Ain (wajib atas setiap pribadi). Ke-dua, Ilmu Fardlu Kifayah (tidak wajib atas
setiap pribadi). Ilmu Fardlu ‘Ain adalah ilmu tentang sesuatu yang setiap pribadi
-tidak bisa diwakilkan- harus mengetahui dan memilikinya, seperti;
Pengetahuan/pengenalan seseorang akan rabb (Pencipta)-nya berkaitan tentang
Kekuasaan, Hak Peribadatan, serta Nama dan Sifat-Nya. Pengetahuan/pengenalan
seseorang akan nabinya berkaitan tentang nama dan nasab, perjalanan hidup, misi
risalah, serta sunnah-sunnahnya yang wajib diamalkan-. Pengetahuan/pengenalan
seseorang akan agamanya berkaitan tentang bagian-bagian, rukun-rukun, hukum-
hukum (yang wajib secara pribadi diketahui, seperti perkara halal dan
haram-),serta pembatal-pembatalnya.

Sedangkan Ilmu Fardlu Kifayah adalah ilmu-ilmu yang bekaitan dengan


kemaslahatan diri dan orang lain, yang jika telah dipenuhi (ada sebagian orang
yang telah mempelajari dan menguasainya) maka terbebaslah sebagian yang lain

12
dari kewajiban akannya. Adakalanya Ilmu Fardlu Kifayah ini berbentuk Ilmu
Syar’iy, seperti Ilmu Fara’id (ilmu waris) dan Ilmu Tajwid. Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahumahullah:”Mencari Ilmu Syar’iy hukumnya fardlu
kifayah, kecuali dalam perkara-perkara tertentu seperti mencari ilmu tentang
perkara-perkara yang diwajibkan atau diharamkan atas seseorang. Maka di
dalam perkara-perkara semacam ini hukumnya menjadi fardlu ‘ain.” (Majmu’ ul
Fatawa)

Adapun semua bentuk Ilmu Ghairu Syar’iy atau Ilmu Dunia hukum
mempelajarinya adalah Fardlu Kifayah. Dan ini bukan berarti mengecilkan
peranan ilmu-ilmu peradaban, tetapi justru menunjukkan bagaimana Islam dapat
mendudukkan setiap perkara secara proporsional. Bukankah kita tidak menuntut
seluruh manusia untuk menjadi dokter atau insinyur, misalnya. Dan apa jadinya
kalau di suatu negeri antara lain disebabkan karena tidak pernah diarahkan untuk
mengetahui perkara-perkara semacam ini semua belajar satu macam ilmu dan
semua berharap untuk menjadi seorang ahli di bidang ilmu tersebut. Seharusnya
sejak awal negara sudah mengatur bidang-bidang apa saja di dalam Ilmu Ilmu
Dunia / Ilmu Peradaban yang masih terbuka untuk dipelajari dan mengarahkan
bangsanya untuk mengisi kekosongan. Dengan begitu tidak terjadi kelebihan
tenaga professional di satu bidang sehingga menimbulkan pengangguran, atau
kekosongan di profesi / keahlian yang lain dokter wanita ahli kandungan,
misalnya yang menyebabkan seluruh negeri ikut berdosa karena meninggalkan
fardlu kifayah tadi.

2.6 Prinsip-Prinsip Islam Dalam Perkembangan Iptek


Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah
Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma
Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Paradigma Islam
inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma
sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah
terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya;
dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan.
Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam

13
sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis
yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu
menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan
dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan
sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam.

Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan


fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler
yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam
(bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia. Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa
ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek
harus bersumber dari Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep
iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur AlQur`an dan Al-
Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya. Jika kita menjadikan
Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi,
geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis
tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah
bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat QS. An-Nisaa`
[4]:126 dan QS AthThalaq [65]:12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber
pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang
menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (QS Nuh [71]:
16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-
galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (QS. Fushshilat [41]:
11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam Al-Qur`an yang semacam
ini.17 Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi
segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa
konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu. Jadi, yang dimaksud
menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek
wajib bersumber kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa
iptek wajib berstandar pada Al-Qur`an dan Al-Hadits.

Ringkasnya, Al-Qur`an dan Al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan


bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang

14
dikembangkan, harus sesuai dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, dan tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur`an dan AlHadits itu. Jika suatu konsep iptek
bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka konsep itu berarti harus
ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah
hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi
melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi
manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia
pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini
bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah
manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam
AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin .

Firman Allah SWT (artinya): “(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan


manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari sari pati air
yang hina (mani).” (QS AsSajdah [32]: 7).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS Al-Hujuraat [49]: 13).

Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadits hanyalah
standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi
iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi SAW menerapkan
penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari
tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi SAW juga pernah
memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman,
padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin
Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas
Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum
kafir.

2.6.1 Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek


Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah
Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-

15
hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek,
bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan,
adalah yang telah diharamkan syariah Islam. Keharusan tolok ukur syariah ini
didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam
menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan
hukum Allah dan Rasul-Nya.

Antara lain firman Allah (artinya): “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (QS An-Nisaa` [4] :
65).

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah


kamu mengikuti pemimpin pemimpin selain-Nya…” (QS Al-A’raaf [7].

Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang


tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim)
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-negeri
muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar
pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan
pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat
memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk
dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.

Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa


orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak
berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya
menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa,
memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio
pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara
a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun
menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya. Karena itu, sudah
saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang
benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya

16
meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki
bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia.
Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara
praktis dan konkret adalah syariah Islam.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu secara
teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling
bertentangan serta sulit untuk diintegralkan. Ketegasan makna ayat tersebut maka
dapat dipahami bahwa ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu
pengeatahuan dan agama. Didalam Islam Ilmu bisa mencakup seluruh
pengetahuan, baik yang diupayakan maupun yang diwahyukan ALLAH
Subhaanahu wa ta’alaa kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Termasuk juga, apakah
yang disebut di dalam Islam Ilmu Dhorury atau Ilmu Nadhory. Mendikotomikan
ilmu secara serampangan juga keliru, dari sisi sumber atau dasar pengambilannya
ilmu di dalam Islam terbagi dua, Ilmu Syar’iy dan Ilmu Ghairu Syar’iy. Semoga
bermanfaat, Wallahu A’lam Bish Shawab.

18
DAFTAR PUSTAKA

http://hartorajih.blogspot.co.id/2014/11/dikotomi-ilmu-dalam-peradaban-
islam.

http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/2008/08/02/dikotomisme-
ilmuadakah-itu/

https://media.neliti.com/media/publications/70254-ID-mengakhiri-
dikotomi-ilmu-dalam-dunia-pen.pdf

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-
islam/fatwa/10/05/08/114856-apa-hukum-bayi-tabung-menurut-islam

http://www.bayitabung.net/tag/fatwa-mui/

19

Anda mungkin juga menyukai