Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH DIKOTOMI DAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

DOSEN PENGAMPU

BAPAK ABDUL HADI

KELOMPOK:

HANA AMALINDA (210104010212)

RESTI AULIA RAHMAH (210104010214)

SITI RUQAYYAH (210104010210)


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,kami
tidak dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak
lupa shalawat serta salam selalu kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW,yang syafaatnya kita nantikan kelak. Makalah ini berjudul
“Sejarah Dikotomi dan Islamisasi Ilmu Pemgetahuan” Tujuan penulisan makalah
ini untuk memenuhi tugas Pengantar Integrasi Ilmu program studi Komunikasi
dan Penyiaran Islam.

Terimakasih kepada Dosen pancasila yaitu bapak Abdul Hadi, atas bantuan dan
arahannya kepada kami,terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan
yang telah mendukung selesainya makalah ini tepat waktu. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat
terbuka pada kritik dan saran yang membangun sehingga makalah ini bisa lebih
baik lagi.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita dalam mengingat,memahami


sejarah dan diambil hikmahnyaserta pelajaran untuk kehidupan sehari-
hari,Terimakasih.

Banjarmasin, 8 Oktober 2021


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................

BAB I SEJARAH DIKOTOMI ILMU .....................................................................

A. Pengertian Sejarah Dikotomi Ilmu ............................................................

B. Dikotomi Ilmu dalam Perspektif Islam .......................................................

C. Ilmu dalam Perspektif Islam .......................................................................

D. Dikotomi dalam Sejarah Pendidikan Islam ................................................

1. Cara memperoleh Ilmu ...............................................................................

2. Obyek Ilmu ..................................................................................................

3. Manfaat Ilmu ..............................................................................................

4. Pembagian/Klasifikasi Ilmu .........................................................................

BAB II ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ........................................................

A. Latar Belakang Munculnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan ..........................

B. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan ...................................................................

C. Pendekatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ..................................................

D. Tantangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ....................................................

BAB I
A. PENGERTIAN SEJARAH DIKOTOMI ILMU

Memahami pengertian dikotomi ilmu, tentunya dengan lebih dahulu


memfokuskan pengertian harfiah dari kata “dikotomi” itu sendiri, sebab dalam hal
ini kata “ilmu” hanyalah sebagai obyek, Kata “dikotomi” berasal dari bahasa
Inggris “dichotomy” yang artinya membedakan dan mempertentangkan dua hal
yang berbeda,2 Kata yang dalam bahasa Inggrisnya “dichotomy” tersebut,
digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang
arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “pembagian atas dua
kelompok yang saling bertentangan”. Dengan memahami pengertian tersebut,
maka pengertian dari rangkaian kata “dikotomi ilmu” adalah berarti membagi
atau membedakan ilmu menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling
bertentangan. Dengan demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral
terhadap ilmu adalah berarti dikotomi ilmu. Sehingga, secara umum ada tersebut
istilah “ilmu umum (non agama)” dan “ilmu agama”; “ilmu dunia” dan “ilmu
akhirat’; “ilmu hitam” dan “ilmu putih”; “ilmu eksak” dan “ilmu non-eksak” dan
lain-lain. Akan tetapi, dalam tulisan ini pengertian yang akan digunakan hanyalah
pengertian yang membedakan terhadap “ilmu agama” dan “ilmu umum (non
agama)”; “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”; ilmu syrar’iyyah dan ghairu syar’iyyah
atau istilah lain yang pengertiannya sejenis dengannya, bukan pengertian lainnya.
Istilah lain yang senada dengan pengertian dikotomi ilmu tersebut, Harun
Nasution menyebutnya dengan istilah “dualisme ilmu”.5 Sedangkan sikap atau
paradigma yang memahami dan/atau meyakini tentang adanya dikotomi dalam
ilmu seperti maksud pengertian di atas, adalah disebut dengan sikap, pandangan
atau paradigma dikotomis. Akhirnya, secara konteks, pengertian dikotomi ilmu
dalam tulisan ini adalah adanya paradigma dan/atau sikap pada sebagian umat
Islam yang memandang adanya perbedaan dan pertentangan antara “ilmu
agama” dan “ilmu non-agama”. Sampai pada pengertian dan tahap yakni sekedar
membedakan jenis atau melakukan klasifikasi terhadap ilmu, sebenarnya tidak
menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika sampai berlebihan, bahkan
melakukan diskriminasi terhadap ilmu yang berujung pada mewajibkan kepada
salah satunya dan tidak mewajibkan kepada yang lainnya bahkan sampai ada yang
berani gegabah mengharamkannya.

B. Dikotomi Ilmu dalam Perspektif Islam

Pengertian “perspektif Islam” adalah berarti perspektif yang sedikitnya ditinjau


dari perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah, karena keduanya adalah sumber hukum
Islam yang utama. Oleh karena itu pula, maka menyoroti dikotomi ilmu dari
perspektif Islam adalah berarti.

Dalam ajaran Islam, sikap dikotomis terhadap ilmu—dalam arti yang berlebihan,
bahkan diskriminatif—bukan saja tidak didapati dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
akan tetapi yang didapati justru sebaliknya, yakni bertentangan dengan pesan
integral dari alQur’an itu sendiri. Al-Qur’an sama sekali tidak melakukan
diskriminasi dalam menyebut dan menganjurkan pendalaman ilmu pengetahuan
ke dalam sebutan “ilmu agama” dan “ilmu non agama”. Bahkan, contoh sikap dari
Rasulullah SAW dan para sahabatnya hingga generasi sesudahnya memberikan
contoh yang kontra produktif dengan sikap dikotomis berlebihan terhadap ilmu.
Al-Islam adalah agama dan tuntunan hidup bagi manusia yang universal dan
sempurna. Tujuan diturunkan agama kepada manusia pun adalah untuk
kesejahteraan hidup manusia, bukan saja di dunia, akan tetapi hingga kehidupan
abadi di akhirat nanti. Dengan konsep ini saja jelas sekali bahwa Islam
mendasarkan ajarannya kepada semua ilmu yang dapat memberikan kebaikan
dan kesejahrteraan untuk dunia dan akhirat. Ajaran Islam menegaskan bahwa
segala ilmu pengetahuan hakikatnya adalah bersumber dari satu, yakni Allah SWT
sebagai sumber segala ilmu. Hal ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam firman-
Nya:

‫وله الملك يوم ينفخ فى‬,‫وهوالذي خلق السموات واألرض بالح ّق ويوم يقول كن فيكون قوله الح ّق‬
37) ‫ الخبير‬,‫ وهوالحكيم‬,‫ الغيب والشهادة‬,‫)الصورعالم‬

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah
perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah” lalu terjadilah, dan di tangan-
Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia Mengetahui yang ghaib
dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS.
AlAn’am [6]: 73) .

Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah yang Maha Mengetahui yang ghaib dan
yang nampak sebagai dimensi dari seluruh benda di belantara jagat raya ini, ghaib
bagi yang immaterial dan nampak bagi yang material—karena memang aspek
ontologis dan epistemologis ilmu dalam Islam meliputi keduanya,yakni yang
material dan immaterial. Dalam hal ini, Ibn ‘Abbas menyebut yang ghaib sebagai
apa yang tersembunyi pada manusia dan yang nampak sebagai aktivitas
manusia.Allah juga menegaskan dalam dialognya dengan para Malaikat di awal
penciptaan Nabi Adam yang akan didaulat menjadi khalifah di muka bumi. Di saat
para Malaikat menolak dan mempertanyakan alasan Allah memilih Nabi Adam,
maka Allah kemudian mengungkapkan kelebihan Adam yang telah diberikan
semua “nama” (yakni ilmu).Ayat ini juga menunjukkan bahwa manusia
dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik
benda-benda. Ia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa.8 Selain intu, ayat
pertama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya adalah ayat tentang membaca,
yakni Iqra’, yang mempunyai pengertian denotatif kepada umatnya untuk dapat
membaca, di samping maknayakni yang material dan immaterial. Dalam hal ini,
Ibn ‘Abbas menyebut yang ghaib sebagai apa yang tersembunyi pada manusia
dan yang nampak sebagai aktivitas manusia.

Penghargaan Allah terhadap orang yang berilmu pun diungkap dalam Al-Qur’an
sebagaimana firman-Nya yang menyebutkan kedudukan ilmu dan orang yang
berilmu adalah :

1) Tidak sama antara orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang
tidak berilmu, bagaikan perbedaan antara orang yang dapat melihat dengan
orang buta.

2) Allah menyebut kata yang berkata dasar “ alima” dengan segala bentuk
derivasinya sebanyak lebih dari 200 buah. Dan secara khusus menyebutkan kata
“ulama’“ yang artinya orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dalam dua ayat
khusus sebagai penghormatan.

3) Dilarang mengikuti sesuatu tanpa ilmu,seperti firman-Nya

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengli-hatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’ [17]: 36) Mengikuti sesuatu
tanpa ilmu adalah suatu larangan, betapa dalam hal ini Allah sangat melarang
tindakan taqlid (ikut-ikutan) secara membabi buta, berarti pula harus berpikir
cerdas dan kritis dalam mengikuti sesuatu.
4) Sebutan khusus untuk orang yang berilmu, yakni ulu al-albab,dan ulu al-’ilm .

5) Allah banyak menyebut kata “akal” atau fikiran, orang yang berakal/berfikir dan
sindiran keras bagi orang yang tidak menggunakan akal/fikiran.

6) Kedudukan khusus untuk orang yang berilmu, lebih tinggi beberapa derajat
dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu.

Dengan demikian, jelaslah bahwa di dalam perspektif Islam, kalaulah boleh ada
istilah dikotomi ilmu, ia hanyalah sekedar pembedaan atau klasifikasi atas jenis-
jenis ilmu saja, karena memang setiap ilmu memiliki perbedaan karakteristik, baik
dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya. Islam sama sekali tidak
mengenal dikotomi ilmu berlebihan dan diskriminatif, apalagi sampai
mengharamkan salah satunya. Justru sebaliknya, Islam memposiskkan keduanya
secara paralel, selama memberikan nilai dan manfaat positif bagi manusia guna
mendatangakan kebaikan bagi manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat.

C. Ilmu dalam Perspektif Islam

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa ternyata Islam menempatkan dan


memberikan penghargaan yang istimewa terhadap ilmu, dengan tanpa
melakukan diskriminasi dan membatasi jenis ilmu pengetahuannya itu sendiri.
Dari hal tersebut, jelaslah bahwa segala ilmu pengetahuan hakikatnya berasal dari
satu sumber, yakni dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Ilmu, Allah
SWT24 Betapa Allah menempatkan posisi sangat penting terhadap ilmu, sehingga
wajarlah kalau Allah SWT menurunkan ayat pertamanya dengan kata “Iqra’” yang
berarti “bacalah” dan ini merupakan hal pertama dan mendasar sebagai pijakan
ataupun secara konotatif yang berarti membaca atau melihat segala hal yang
tampak dan tidak tampak. Kata “’ilm” dari segi bahasa berarti “kejelasan”, karena
itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan
misalnya kata alam (bendera), ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung),
alamat (alamat) dan sebagainya. Dengan demikian, kata “ilmu” adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Kata “ilmu” dengan berbagai bentuknya,
di dalam AlQur’an terulang sebanyak 854 kali.Hal ini juga menjadi bukti tentang
besarnya penghargaan Allah SWT terhadap ilmu. Dengan pengertian tersebut di
atas, maka meminjam istilah R. Mulyadhi Kartanegara dapatlah disimpulkan
bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya.
Pengertian tersebut menggambarkan begitu luasnya ruang lingkup ilmu, baik dari
segi sumber, obyek, epistemologi, bahkan aksiologinya. Ilmu tidak bisa dipandang
secara parsial dan marjinal, tetapi justru sebagai satu kesatuan sumber dan
kesatuan eksistensi.

Sumber segala ilmu adalah dari Allah SWT, sedangkan segala eksistensi pada
hakikatnya juga berasal dari Allah. Pengistilahan untuk ini mungkin lebih tepat jika
dipandang sebagai “tauhid” atau integritas dalam keilmuan. Sehingga, obyek ilmu
pun akhirnya harus diyakini tidak hanya yang inderawi (fisik), tetapi juga yang
non-inderawi atau non-fisik (metafisik). Secara lebih terperinci, ruang lingkup dari
kajian tentang ilmu ini dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Cara Memperoleh Ilmu

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, tampak jelas bahwa yang dikatakan


“ilmu” adalah segala sesuatu yanilmu. Membaca adalah pijakan ilmu yang sangat
mendasar baik dalam arti sesungguhnya (denotatif) diketahui oleh manusia, yang
hakikatnya berasal dari Allah SWT dan diperoleh manusia melalui usahanya
sendiri berdasarkan kekuatan rekayasanya (Basyariyah), ataupun anugerah yang
langsung diberikan oleh Allah SWT (Mukasyafah).Ilmu mukasyafah disebut juga
‘ilm ladunni, yaitu ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia.yakni berarti
membaca tulisan.Sedangkan ilmu basyariyah yang disebut juga dengan‘ilm kasbi,
yaitu ilmu yang diperoleh karena usaha manusia.

Pada kenyataannya, ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang ‘ilm kasbi jauh
lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘ilm ladunni. Hal ini dapat
dimengerti, bahwa hanya dalam keadaan dan syarat tertentu saja Allah
menganugerahkan ilmu-Nya kepada hamba-Nya, akan tetapi secara keseluruhan
Allah memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada manusia untuk
berupaya dan berolah pikir, itulah salah satu alasan Allah menganugerahkan akal
kepada manusia, sebagai “fasilitas” lebih yang Allah berikan, melebihi makhluk-
makhluk lainnya. Dalam memperoleh atau mendapatkan ilmu, tentu ada cara dan
sarana yang digunakan. Setidaknya ada empat sarana yang dapat digunakan
untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang terungkap di dalam al-Qur’an:

ً ) ‫ واألفإدة لعلّكم وهلال اخرجكم من بطون ا ّمهاتكم ال تعلمون شيأ تشكرون‬,‫وجعل لكم ال ّسمع واألبصار‬
37)

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar
kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh
pengetahuan)”. (QS. Al-Nahl [16] : 78)

Dari penjelasan ayat tersebut, mengisyaratkan empat sarana yang dapat


dipergunakan untuk memperoleh ilmu/pengetahuan, yakni: (1) pendengaran
(telinga), (2) penglihatan (mata), (3) akal dan (4) hati

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam mendapat pengetahuan,


manusia dapat memperolehnya dengan cara mendengar, melihat ataupun
merasakan sesuatu yang baru, sehingga menjadi pengetahuan yang baru bagi
dirinya. Begitu juga dengan akal, seseorang mungkin hanya dengan kemampuan
akalnya, melalui trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, uji
kemungkinan (probabilitas), ia mampu mendapat pengetahuan baru yang belum
didapatkan sebelumnya.

2. Obyek Ilmu

Mengingat hal itu, sebagian ilmuwan Muslim— khususnya kaum Shufi—


kemudian memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat al-Ilahiyah al-
Khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hirarki keseluruhan realitas
wujud. Kelima hal tersebut adalah: (1) alam nasut (alam materi), (2) alam malakut
(alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) lam lahut (sifat-sifat Ilahiyah) dan
(5) alam hahut (wujud zat Ilahi).30 Kelima hal atau obyek tersebut adalah bidang
garapan ilmu pengetahuan dalam Islam. Nyatalah bahwa Islam mengenal obyek
ilmu yang multi dimensi, tidak hanya dimensi materi yang dapat didengar, dilihat
atau dirasakan saja seperti yang diklaim oleh para ilmuwan modern, umumnya
ilmuwan barat yang tidak mengenal Islam. Itulah sebabnya, mengapa Islam pada
masa jayanya begitu mencengangkan dunia dengan eksplorasi ilmu
pengetahuannya, hampir di semua bidang yang pada masa itu bangsa-bangsa lain
di dunia umumnya masih dalam kegelapan, karena Islam memberi celah
penelitian di hampir semua aspek dan obyek, yang tidak hanya sebatas materi,
tetapi juga yang non-materi.

Dari wahyu yang pertama diturunkan, sebenarnya sudah ditemukan petunjuk


tentang pemanfaatan ilmu. Melalui kalimat “Iqra’ bismi rabbika” dijelaskan bahwa
titik tolak atau motivasi pencarian ilmu dan tujuan akhirnya adalah haruslah
karena Allah. Kemudian, dikarenakan pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan
manusia, justru sebaliknya, manusia yang membutuhkan Allah, maka berarti
motivasi “karena dan untuk Allah” adalah motivasi dan upaya yang dapat
mendatangkan manfaat dan kemaslahatan untuk makhluk-Nya.

3. Manfaat Ilmu

Semboyan “ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam.
Apapun ilmunya, materi pembahasannya harus selalu bismi rabbika, atau dengan
kata lain harus bernilai rabbani. Sehingga, ilmu yang dalamkenyataannya dewasa
ini— terkesan “bebas nilai”, oleh ilmuwan Muslim harus menjadi dan bernilai
rabbani. 31 Dengan demikian, ilmuwan Muslim hanya akan mengeksplorasi ilmu
yang jelas-jelas memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk umat manusia.
Mereka akan menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak
menghasilkan manfaat, apalagi hanya menghabiskan energi.32 Dalam kaitan ini,

Rasulullah SAW sering berdoa: ‫ال ّل ّه ّم إنّي اعوذ بك من عل م ال ينفع‬

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.

4. Pembagian/Klasifikasi Ilmu

Mengingat bahwa segala ilmu atau pengetahuan yang dimiliki atau didapatkan
manusia hakikatnya adalah ilmu yang diberikan oleh Allah SWT, dan lebih dari itu
ilmu yang diberikan adalah sebagai sarana untuk kemaslahatan dan penuntun
hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat, maka penulis meyakini, bahwa
tidak ada pemilahan “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat” yang terkesan membedakan
secara diametral antara dua kepentingan yang berbeda. Dengan demikian, yang
ada hanyalah pembagian atau klasifikasi atas jenis-jenis ilmunya saja. Pertama,
jika dilihat dari materi atau bahan kajian ilmu yang dipelajari (ontologi), maka
nyata bahwa ilmu hanya dibedakan jenis-jenisnya saja. Ada ilmu yang dibutuhkan
dan dikembangkan dalam keperluan perhitungan (seperti aritmetika/
matematika); keperluan kebahasaan (nahwu, sharaf, sintaksis, grammar atau
sebutan dan jenis lainnya); kepentingan riyadhah atau olah fisik dan ketangkasan
jasmani; kepentingan ilmu-ilmu alam (sains dan teknik); kepentingan akhlak atau
perilaku manusia (baik sikap sesama manusia maupun sikap kepada Tuhan);
kepentingan interaksi antar manusia (mu’amalah; ekonomi); kepentingan
mengenal, memahami dan melakukan pendekatan kepada Tuhan; dan ilmu-ilmu
untuk kepentingan yang lainnyaKedua, Jika dilihat dari sisi aksiologis dan/atau
orientasi dan penerapan ilmu, maka ada ilmu yang orientasinya langsung
dirasakan dan diterapkan dalam kehidupan sesama manusia (di dunia)—dalam
hal ini hasil yang didapatkan lebih touchable dan visible (dapat dirasakan dan
dapat dilihat)—, di samping itu ada juga ilmu yang orientasinya lebih tertuju
kepada kedekatan kepada Tuhan—yang akibatnya lebih dirasakan sebagai
kepuasan spiritual dan hasilnya diyakini akan didapatkan sesudah kematian (di
akhirat). Secara umum dan terstruktur, pembagian ilmu dapatlah ditinjau menjadi
tiga bagian besar, yaitu: a. Ditinjau dari sisi materi/obyeknya, maka ilmu dibagi
menjadi dua, yaitu:

1) Obyek ilmu yang bersifat materi

2) Obyek ilmu yang bersifat non-materi

b. Ditinjau dari sisi cara memperolehnya, ilmu dibedakan

menjadi dua, yaitu: Ilmu Kasbi atau Mubasyarah dan Ilmu Ladunni atau
Mukasyafah

c. Ditinjau dari sisi manfaat atas penerapan dan orientasinyanya

maka ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Ilmu yang diterapkan dan bermanfaat
langsung untuk kehidupan manusia di dunia2) Ilmu yang bermanfaat secara tidak
langsung
BAB II

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

A.Latar Belakang Munculnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Seiring berjalannya waktu, peradaban Islam telah mengalami


kemajuan di berbagai aspek bidang. Kemajuan peradaban ini ditandai
dengan adanya revolusi ilmiah secara besar-besaran dalam dunia Islam.
Munculnya para cerdik cendikia di berbagai disiplin ilmu pengetahuan
menjadi salah satu tanda dari adanya revolusi ilmiah dalam Islam, baik
dalam bidang agama maupun pengetahuan umum. Tidak hanya yang
menyangkut permasalahan teologi dan ilmu fiqih, namun juga dalam
bidang lainnya seperti filsafat, astronomi, matematika, kedokteran, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, adanya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang ini membawa pengaruh yang luar biasa terhadap
kemajuan sains modern, yang kemudian berdampak pada ilmu agama.
Sains modern Barat seringkali mendominasi bahkan terpisah dari ilmu
agama. Hingga pada akhirnya, hal tersebut membawa nilai-nilai agama
seolah merosot dan berada dalam keterbelakangan.

Menurut Salafudin dalam jurnalnya, hilangnya aspek kesakralan dari


konsep ilmu umum serta sikap keilmuan muslim yang defensif
menyebabkan terjadinya stagnasi yang berbahaya bagi perkembangan
keilmuan Islam. Karena itu, muncullah sebuah gagasan untuk
mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir
keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan
tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah “Islamisasi ilmu
pengetahuan”.
Berlandaskan dari kesadaran umat Islam, bahwa hegemoni sains
modern saat ini telah berhasil menggeser posisi dan berakibat pada
melemahnya ilmu agama, maka diperlukan adanya Islamisasi terhadap ilmu
pengetahuan. Menurut Al-Attas bahwa tantangan pengetahuan yang
disebarkan keseluruh dunia Islam oleh peradaban Barat merupakan
tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam. Islamisasi pengetahuan
berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap sains produk
Barat yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana
pengembangan sistem pendidikan Islam agar diperoleh sains yang bercorak
“khas islami”. Menurut Feisal, sains yang islami harus meliputi iman,
kebaikan dan keadilan manusia, baik sebagai individu dan sosial.

Bagi Al-Attas, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan pertama-


tama sains Barat harus dibersihkan terlebih dahulu dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kemudian merumuskan dan
memadukan dengan ajaran Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci
sehingga dihasilkan komposisi yang merangkum pengetahuan inti.
Sedangkan menurut Al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan
jalan menuang kembali seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka Islam,
yaitu penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai disiplin ilmu dengan
wawasan ajaran Islam.

Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut bertujuan mewujudkan


kemajuan peradaban yang islami dan masing-masing tidak menghendaki
adanya keterpurukan kondisi umat Islam di tengah-tengah akselarasi
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
demikian, diharapkan permasalahan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
modern dapat dipadukan dalam proses pendidikan. Menurut Al-Attas
tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk melindungi umat Islam
dari ilmu yang sudah tercemar dan dengan demikian menyesatkan. Dengan
ilmu, diharapkan dapat menambah keimanan seorang muslim. Demikian
pula halnya dengan Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu dapat memberikan
keamanan, kebaikan dan keadilan bagi umat manusia.
B. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, proses Islamisasi ilmu


pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam
hingga jaman sekarang. Ayat-ayat terawal yang diwahyukan kepada Nabi
Saw, yakni Q.S. Al-Alaq : 1-5 secara jelas menegaskan semangat Islamisasi
ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia
adalah sumber dan asal ilmu manusia.³

Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yakni sekitar abad


kedelapan Masehi, proses Islamisasi ilmu berlanjut secara besar-besaran,
ditandai dengan pelaksanaan kegiatan penterjemahan terhadap karya-
karya dari Persia atau Iran dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan
ulang disesuaikan dengan konsep agama Islam.

Selain itu, pada tahun 1930-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan


perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Iqbal
menyadari bahwa ilmu yang dikembangkan oleh Barat telah bersifat
ateistik, sehingga bisa menggoyahkan akidah umat, untuk itu Iqbal
menyarankan umat Islam agar mengonversikan ilmu pengetahuan modern.
Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut atas ide yang
dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi secara jelas problem
epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler
itu dan juga tidak mengemukakan saran-saran atau program konseptual
atau metodologis untuk mengonversikan ilmu pengetahuan tersebut
menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam.⁴

Kemudian gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dimunculkan kembali


oleh Syed Hossein Nasr, seorang pemikir muslim Amerika kelahiran Iran
pada tahun 1960-an. Nasr menyadari eksistensi bahaya sekularisme dan
modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah Nasr meletakkan
asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui
karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976).
Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian
merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.⁵

Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-


Attas sebagai proyek Islamisasi yang mulai diperkenalkannya pada
Konferensi Dunia Pendidikan Islam yang pertama di Makkah pada tahun
1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan
menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains dan
Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu al-Attas menyampaikan makalah yang
berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the
Definition and Aims of Education. Ide ini kemudian disempurnakan dalam
bukunya berjudul Islam and Secularism (1978) dan The Concepts of
Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education
(1980). Peristiwa inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit
proses Islamisasi selanjutnya.

C. Pendekatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia Islam mempunyai banyak


ragam pendekatan dalam pengimplementasiannya. Di antaranya terdapat 3
pendekatan dalam Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu : pendekatan
labelisasi/ayatisasi, pendekatan aksiologis, dan pendekatan penerapan
nilai-nilai Islam dan Konsep Tauhid.

a. Pendekatan Labelisasi / ayatisasi

Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pendekatan labelisasi/ayatisasi


adalah memberikan indentitas islami terhadap suatu teori atau ilmu
pengetahuan tertentu. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi
bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang memberikan
penjelasan tentang segala sesuatu, seperti dalam Q.S. An-Nahl : 89
“.....dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim).” (An Nahl :
89). Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa berbagai macam aspek
pengetahuan dapat dicari informasinya dari Al-Qur’an sehingga bisa
dilakukan labelisasi terhadap suatu teori ilmu pengetahuan. Menurut
Salafudin dalam jurnalnya, dalam pendekatan labelisasi ini, ilmu
pengetahuan dan Islam tidak bertentangan.⁶ Artinya, pemberian
indentitas melalui labelisasi terhadap suatu teori pengetahuan
sejalan dan tidak bertentangan dengan agama Islam.

Adapun tokoh yang melakukan pendekatan melalui labelisasi ini di


antaranya adalah Maurice Bucaille, seorang dokter ahli bedah asal
Perancis yang kemudian masuk Islam, menyatakan bahwa tidak ada
satu ayat pun yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan
sebaliknya semua teori ilmu pengetahuan dapat dicari rujukannya
dalam Al Qur’an.

b. Pendekatan Aksiologis

Islamisasi melalui pendekatan aksiologis dilakukan dengan


menjadikan Islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan
(aksiologi), tanpa mempermasalahkan aspek ontologis dan
epistemologis ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga dalam
pendekatan ini, ilmu pengetahuan tidak dipermasalahkan karena
pendekatan ini hanya mempermasalahkan orang yang menggunakan
ilmu pengetahuan tersebut. Adapun tokoh yang menganut gagasan
Islamisasi melalui pendekatan ini di antaranya ialah Fazlur Rahman
dan Harun Nasution.

Sementara itu, model pendekatan Islamisasi ilmu pengetahuan ini


menyisakan permasalahan yang cukup mendasar. Ilmu pengetahuan
dan teknologi pada kenyataannya tidak bisa dipisahkan antara
epistemologis, ontologis dan aksiologisnya. Sehingga, melakukan
Islamisasi ilmu pengetahuan hanya dari sisi aksiologis, tanpa
menyentuh aspek epistemologis dan ontologis merupakan suatu hal
yang sulit kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin. Ilmu
pengetahuan dan teknologi saat ini berada di tangan manusia yang
tidak Islami, sehingga mengisi sisi aksiologinya merupakan pekerjaan
yang sangat berat.

c. Pendekatan Nilai-Nilai Islam dan Konsep Tauhid

Dalam pendekatan ini, Islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan dengan


cara memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konsep ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ilmu pengetahuan tidaklah netral, tetapi penuh
muatan-muatan nilai-nilai yang dimasukkan oleh orang yang
merancangnya. Jadi Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi
dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri,
bukan hanya pada sisi penggunaannya. Gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan dengan pendekatan ini antara lain dianut oleh Naquib
Al-Attas, Ziaudin Sardar dan AM Syaefuddin.

Dalam konsepsi Tauhid, ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah


dari Allah, yang disebut ilmullah. Allah sebagai Al Kholiq, pencipta
alam semesta ini, Ia Maha Mengetahui segalanya dari yang paling
kecil hingga yang paling besar, yang ghoib maupun yang nyata.
Karena itu Allah merupakan sumber ilmu pengetahuan. Seperti yang
telah tercantum dalam Q.S. Al-Hadid : 4, “Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di
atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepada-Nya dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Al
Hadid : 4).

D. Tantangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

a.Komitmen Kaum Muslimin


Tidak semua kaum muslimin sepakat dengan ide Islamisasi ilmu
pengetahuan, bahkan Naquib Al-Attas mengungkapkan bahwa tantangan
terbesar terhadap perkembangan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan
muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Kalangan umat Islam yang
tidak mendukung ide Islamisasi, antara lain akibat kedangkalan
pengetahuan umat Islam terhadap agamanya sendiri (Nata, 2003: 126).
b. Komitmen Sarjana Islam

Komitmen sarjana Islam masih perlu dipertanyakan. Tuntutan


kehidupan yang memunculkan pola hidup materialisme, konsumerisme dan
hedonisme menyebabkan mengikisnya semangat dan idealisme sarjana
Islam untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Ilmu dianggap sebagai
komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya,
orientasi dalam menuntut ilmu atau pun dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah” tetapi
untuk kepentingan diri sendiri.
c. Komitmen Institusi pendidikan tinggi Islam

Permasalahan memudarnya idealisme juga terjadi pada institusi


Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi Islam yang seharusnya menjadi ujung
tombak gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan, sering terjebak dalam sikap
pragmatisme. Sebagian Perguruan Tinggi Islam hanya berorientasi untuk
memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan
bukan lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan.

d. Tantangan Globalisasi

Tantangan globalisasi yang terus berkembang seiring dengan


perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin menyuburkan
materialisme dan gaya hidup hedonisme dan konsumeristis. Hal ini
berimplikasi pada memudarnya idealisme dan semangat mewujudkan
Islamisasi ilmu pengetahuan.
E. Tokoh-tokoh yang mengemukakan tentang Dikotomi Ilmu

Dalam sejarah pendidikan Islam, ada beberapa tokoh yang mengungkapkan


tentang dikotomi ilmu, yang meskipun sebenarnya tokoh-tokoh yang
bersangkutan tidak nyata-nyata membedakan secara diametral dan konfrontatif
antara ilmu-ilmu yang dimaksud. Bahkan, beberapa tokoh hanyalah menyikapi
tentang prioritas ilmu-ilmu yang harus dipelajari—baik sebagai ide dasar yang
mereka ungkapkan, ataupun karena mengkritisi keadaan politik yang terjadi
waktu itu. Akan tetapi, sejarah tetaplah menjadi sejarah yang tidak akan pernah
bisa diubah. Karena, pada kenyataannya sebagian umat Islam menganggapnya
sebagai “fatwa” baku yang “sangat benar” dan “wajib diikuti” tanpa menelaah
maksud hakikinya. Di antara tokoh-tokoh yang mengemukakan hal-hal seputar
dikotomi ilmu adalah,Al-Syafi’I,Al-Qabisi,Al-Ghazali,Burhanuddin Al-Zarnuji,Ibn,
Jama’ah dan Ibn Taimiyah
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Cet. Ke-2. Jakarta:


Logos Wacana Ilmu. al-Abrasyi, ‘Athiyah. 1975. Al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo:
Maktabah ‘Isa al-Babi al-halabi. Achmad, Amrullah. 1991. Pendidikan Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Yogyakarta. Affandi, Mochtar. 1990. The Method of
Muslim Learning All Illustrated in alZarnuji’s Ta’lim al-Muta’allim, Thesis.
Montreal: Institute of Islamic Studies, Mc-Gill University. Ahmad, Muhammad Abd
al-Qadir. 1986. Ta’lim Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Beirut: Mathba’ah al-
Sa’adah.. Ahmed, Muniruddin. 1968. Moslem Education and The Scholar’s Social
Status Upto The 5th Century Moslem Era (11st Century Christian Era) in The Light
of Tarich Baghdad. Verlag: Der Islam Zurich. Ahmed Shabir, et. Al. 1997. Islam dan
Ilmu Pengetahuan, terjemahan: Zetira Nadia Rahmah, cet. Ke-2. Bangil: Islamic
Cultural Workshop. al-‘Ali, Hasan Abd. Tt. Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qorn al-
Rabi’ al-Hijri. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby. al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1997. Filsafat
Islam. Terjemahan: Pustaka Firdaus. Cet. Ke-8. Jakarta: Pustaka Firdaus. Amin,
Ahmad. 1965. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdhah. Amin, Ahmad. 1972.
Dhuha al-Islam. Juz I. Kairo: Maktabah al-Nahdhah. Amin, Ahmad. 1972b. Zhuhr
al-Islam. Juz I. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby. Amin, Husayn Ahmad. 2000. Seratus
Tokoh dalam Sejarah Islam. Editor: Cucu Cuanda. Cet. ke-5. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Armstrong, Thomas. 1994. Multiple Intelligences in The Classroom.
Alexandria, Virginia, USA: ASCD (Association for Supervision and Curriculum
Development

Irma Novayani, M.Pd.I, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed


M. Naquib Al-Attas dan Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International
Institute of Islamic Though Civilization (ISTAC)”, Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul
Kamal NW Kembang Kerang, No. 1 (2017)

Salafudin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, Jurnal Forum Tarbiyah, No. 2 (2013)


Sholeh, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas”, Jurnal Al-Hikmah, No. 2 (2017)

M. Ghufron, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Perspektif Sejarah, Kontroversi dan


Perkembangannya)”, Jurnal Urwatul Wutsqo 1, No. 1 (2012

Anda mungkin juga menyukai