DOSEN PENGAMPU
KELOMPOK:
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,kami
tidak dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak
lupa shalawat serta salam selalu kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW,yang syafaatnya kita nantikan kelak. Makalah ini berjudul
“Sejarah Dikotomi dan Islamisasi Ilmu Pemgetahuan” Tujuan penulisan makalah
ini untuk memenuhi tugas Pengantar Integrasi Ilmu program studi Komunikasi
dan Penyiaran Islam.
Terimakasih kepada Dosen pancasila yaitu bapak Abdul Hadi, atas bantuan dan
arahannya kepada kami,terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan
yang telah mendukung selesainya makalah ini tepat waktu. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami sangat
terbuka pada kritik dan saran yang membangun sehingga makalah ini bisa lebih
baik lagi.
BAB I
A. PENGERTIAN SEJARAH DIKOTOMI ILMU
Dalam ajaran Islam, sikap dikotomis terhadap ilmu—dalam arti yang berlebihan,
bahkan diskriminatif—bukan saja tidak didapati dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
akan tetapi yang didapati justru sebaliknya, yakni bertentangan dengan pesan
integral dari alQur’an itu sendiri. Al-Qur’an sama sekali tidak melakukan
diskriminasi dalam menyebut dan menganjurkan pendalaman ilmu pengetahuan
ke dalam sebutan “ilmu agama” dan “ilmu non agama”. Bahkan, contoh sikap dari
Rasulullah SAW dan para sahabatnya hingga generasi sesudahnya memberikan
contoh yang kontra produktif dengan sikap dikotomis berlebihan terhadap ilmu.
Al-Islam adalah agama dan tuntunan hidup bagi manusia yang universal dan
sempurna. Tujuan diturunkan agama kepada manusia pun adalah untuk
kesejahteraan hidup manusia, bukan saja di dunia, akan tetapi hingga kehidupan
abadi di akhirat nanti. Dengan konsep ini saja jelas sekali bahwa Islam
mendasarkan ajarannya kepada semua ilmu yang dapat memberikan kebaikan
dan kesejahrteraan untuk dunia dan akhirat. Ajaran Islam menegaskan bahwa
segala ilmu pengetahuan hakikatnya adalah bersumber dari satu, yakni Allah SWT
sebagai sumber segala ilmu. Hal ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam firman-
Nya:
وله الملك يوم ينفخ فى,وهوالذي خلق السموات واألرض بالح ّق ويوم يقول كن فيكون قوله الح ّق
37) الخبير, وهوالحكيم, الغيب والشهادة,)الصورعالم
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah
perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah” lalu terjadilah, dan di tangan-
Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia Mengetahui yang ghaib
dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS.
AlAn’am [6]: 73) .
Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah yang Maha Mengetahui yang ghaib dan
yang nampak sebagai dimensi dari seluruh benda di belantara jagat raya ini, ghaib
bagi yang immaterial dan nampak bagi yang material—karena memang aspek
ontologis dan epistemologis ilmu dalam Islam meliputi keduanya,yakni yang
material dan immaterial. Dalam hal ini, Ibn ‘Abbas menyebut yang ghaib sebagai
apa yang tersembunyi pada manusia dan yang nampak sebagai aktivitas
manusia.Allah juga menegaskan dalam dialognya dengan para Malaikat di awal
penciptaan Nabi Adam yang akan didaulat menjadi khalifah di muka bumi. Di saat
para Malaikat menolak dan mempertanyakan alasan Allah memilih Nabi Adam,
maka Allah kemudian mengungkapkan kelebihan Adam yang telah diberikan
semua “nama” (yakni ilmu).Ayat ini juga menunjukkan bahwa manusia
dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik
benda-benda. Ia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa.8 Selain intu, ayat
pertama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya adalah ayat tentang membaca,
yakni Iqra’, yang mempunyai pengertian denotatif kepada umatnya untuk dapat
membaca, di samping maknayakni yang material dan immaterial. Dalam hal ini,
Ibn ‘Abbas menyebut yang ghaib sebagai apa yang tersembunyi pada manusia
dan yang nampak sebagai aktivitas manusia.
Penghargaan Allah terhadap orang yang berilmu pun diungkap dalam Al-Qur’an
sebagaimana firman-Nya yang menyebutkan kedudukan ilmu dan orang yang
berilmu adalah :
1) Tidak sama antara orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang
tidak berilmu, bagaikan perbedaan antara orang yang dapat melihat dengan
orang buta.
2) Allah menyebut kata yang berkata dasar “ alima” dengan segala bentuk
derivasinya sebanyak lebih dari 200 buah. Dan secara khusus menyebutkan kata
“ulama’“ yang artinya orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dalam dua ayat
khusus sebagai penghormatan.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengli-hatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’ [17]: 36) Mengikuti sesuatu
tanpa ilmu adalah suatu larangan, betapa dalam hal ini Allah sangat melarang
tindakan taqlid (ikut-ikutan) secara membabi buta, berarti pula harus berpikir
cerdas dan kritis dalam mengikuti sesuatu.
4) Sebutan khusus untuk orang yang berilmu, yakni ulu al-albab,dan ulu al-’ilm .
5) Allah banyak menyebut kata “akal” atau fikiran, orang yang berakal/berfikir dan
sindiran keras bagi orang yang tidak menggunakan akal/fikiran.
6) Kedudukan khusus untuk orang yang berilmu, lebih tinggi beberapa derajat
dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa di dalam perspektif Islam, kalaulah boleh ada
istilah dikotomi ilmu, ia hanyalah sekedar pembedaan atau klasifikasi atas jenis-
jenis ilmu saja, karena memang setiap ilmu memiliki perbedaan karakteristik, baik
dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya. Islam sama sekali tidak
mengenal dikotomi ilmu berlebihan dan diskriminatif, apalagi sampai
mengharamkan salah satunya. Justru sebaliknya, Islam memposiskkan keduanya
secara paralel, selama memberikan nilai dan manfaat positif bagi manusia guna
mendatangakan kebaikan bagi manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Sumber segala ilmu adalah dari Allah SWT, sedangkan segala eksistensi pada
hakikatnya juga berasal dari Allah. Pengistilahan untuk ini mungkin lebih tepat jika
dipandang sebagai “tauhid” atau integritas dalam keilmuan. Sehingga, obyek ilmu
pun akhirnya harus diyakini tidak hanya yang inderawi (fisik), tetapi juga yang
non-inderawi atau non-fisik (metafisik). Secara lebih terperinci, ruang lingkup dari
kajian tentang ilmu ini dapat diungkapkan sebagai berikut:
Pada kenyataannya, ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang ‘ilm kasbi jauh
lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘ilm ladunni. Hal ini dapat
dimengerti, bahwa hanya dalam keadaan dan syarat tertentu saja Allah
menganugerahkan ilmu-Nya kepada hamba-Nya, akan tetapi secara keseluruhan
Allah memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada manusia untuk
berupaya dan berolah pikir, itulah salah satu alasan Allah menganugerahkan akal
kepada manusia, sebagai “fasilitas” lebih yang Allah berikan, melebihi makhluk-
makhluk lainnya. Dalam memperoleh atau mendapatkan ilmu, tentu ada cara dan
sarana yang digunakan. Setidaknya ada empat sarana yang dapat digunakan
untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang terungkap di dalam al-Qur’an:
ً ) واألفإدة لعلّكم وهلال اخرجكم من بطون ا ّمهاتكم ال تعلمون شيأ تشكرون,وجعل لكم ال ّسمع واألبصار
37)
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar
kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh
pengetahuan)”. (QS. Al-Nahl [16] : 78)
2. Obyek Ilmu
3. Manfaat Ilmu
Semboyan “ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam.
Apapun ilmunya, materi pembahasannya harus selalu bismi rabbika, atau dengan
kata lain harus bernilai rabbani. Sehingga, ilmu yang dalamkenyataannya dewasa
ini— terkesan “bebas nilai”, oleh ilmuwan Muslim harus menjadi dan bernilai
rabbani. 31 Dengan demikian, ilmuwan Muslim hanya akan mengeksplorasi ilmu
yang jelas-jelas memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk umat manusia.
Mereka akan menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak
menghasilkan manfaat, apalagi hanya menghabiskan energi.32 Dalam kaitan ini,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
4. Pembagian/Klasifikasi Ilmu
Mengingat bahwa segala ilmu atau pengetahuan yang dimiliki atau didapatkan
manusia hakikatnya adalah ilmu yang diberikan oleh Allah SWT, dan lebih dari itu
ilmu yang diberikan adalah sebagai sarana untuk kemaslahatan dan penuntun
hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat, maka penulis meyakini, bahwa
tidak ada pemilahan “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat” yang terkesan membedakan
secara diametral antara dua kepentingan yang berbeda. Dengan demikian, yang
ada hanyalah pembagian atau klasifikasi atas jenis-jenis ilmunya saja. Pertama,
jika dilihat dari materi atau bahan kajian ilmu yang dipelajari (ontologi), maka
nyata bahwa ilmu hanya dibedakan jenis-jenisnya saja. Ada ilmu yang dibutuhkan
dan dikembangkan dalam keperluan perhitungan (seperti aritmetika/
matematika); keperluan kebahasaan (nahwu, sharaf, sintaksis, grammar atau
sebutan dan jenis lainnya); kepentingan riyadhah atau olah fisik dan ketangkasan
jasmani; kepentingan ilmu-ilmu alam (sains dan teknik); kepentingan akhlak atau
perilaku manusia (baik sikap sesama manusia maupun sikap kepada Tuhan);
kepentingan interaksi antar manusia (mu’amalah; ekonomi); kepentingan
mengenal, memahami dan melakukan pendekatan kepada Tuhan; dan ilmu-ilmu
untuk kepentingan yang lainnyaKedua, Jika dilihat dari sisi aksiologis dan/atau
orientasi dan penerapan ilmu, maka ada ilmu yang orientasinya langsung
dirasakan dan diterapkan dalam kehidupan sesama manusia (di dunia)—dalam
hal ini hasil yang didapatkan lebih touchable dan visible (dapat dirasakan dan
dapat dilihat)—, di samping itu ada juga ilmu yang orientasinya lebih tertuju
kepada kedekatan kepada Tuhan—yang akibatnya lebih dirasakan sebagai
kepuasan spiritual dan hasilnya diyakini akan didapatkan sesudah kematian (di
akhirat). Secara umum dan terstruktur, pembagian ilmu dapatlah ditinjau menjadi
tiga bagian besar, yaitu: a. Ditinjau dari sisi materi/obyeknya, maka ilmu dibagi
menjadi dua, yaitu:
menjadi dua, yaitu: Ilmu Kasbi atau Mubasyarah dan Ilmu Ladunni atau
Mukasyafah
maka ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Ilmu yang diterapkan dan bermanfaat
langsung untuk kehidupan manusia di dunia2) Ilmu yang bermanfaat secara tidak
langsung
BAB II
b. Pendekatan Aksiologis
d. Tantangan Globalisasi