Anda di halaman 1dari 7

PERINCIAN BERHUKUM DENGAN

SELAIN HUKUM ALLAH


Oleh: Ma’ali Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh

(Diterjemahkan oleh: Muhammad Rizal)

‫ﭧﭐﭨﭐﱡﭐ ﱁ ﱂ ﱃ ﱄ ﱅ ﱆ ﱇ ﱈ ﱉ ﱊ ﱋ ﱌ ﱍ ﱎ ﱏ ﱐ ﱑ ﱒ‬

٦٠ :‫ﱘ ﱚ ﱛ ﱜ ﱝ ﱞ ﱟ ﱠ ﱠ النساء‬
‫ﱓ ﱔﱕ ﱖﱗ ﱙ‬
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang
mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka
masih menginginkan berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk kufur kepada thaghut itu. Dan setan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”[An-Nisa'
: 60]

********************

Persoalan ini -maksudku persoalan berhakim kepada selain syari’at


Allah- merupakan salah satu persoalan yang banyak kerancuan di
dalamnya, khususnya bagi para pemuda di negeri ini dan selainnya. Dan
itu adalah salah satu sebab perpecahan kaum muslimin; Karena orang-
orang memandangnya tidak satu (pemahaman).

Yang wajib bagi penuntut ilmu adalah meninjau bagaimana


dalilnya, bagaimana penjelasan ulama tentang makna-makna dalil
tersebut dan bagaimana mereka memahaminya dari tinjauan Ushul Syar'i
dan Tauhid, serta bagaimana penjelasan mereka dalam persoalan-
persoalan tersebut.
Di antara kerancuannya adalah: Mereka (awamm dan
penuntut ilmu) menjadikan persoalan “Persoalan hukum dan
berhakim itu satu”. Maksudnya, mereka menjadikannya sebagai
satu bentuk, padahal bentuknya berbeda. Di antara bentuknya adalah:
Bahwa ada Tasyrī' (legislasi) untuk Taqnīn (kodifikasi hukum) yang tidak
terikat (independen), sebanding dengan hukum Allah ‫جل وعال‬, yaitu
undang-undang buatan yang tidak terikat dengan syari’at.

Pengodifikasian hukum ini statusnya adalah kufur, dan


pembuatnya, yaitu legislator dan yang mengesahkannya, menjadikan
legislasi ini dinisbatkan padanya yang mana dia membuat keputusan
hukum berdasarkan hukum-hukum tersebut. Legislator ini kafir, dan
kekafirannya zhahir (jelas/nyata). Karena dia menjadikan dirinya
sendiri sebagai thaghut, berarti menyeru manusia untuk menyembahnya,
dan dia ridha dalam hal peribadataan ketaatan.

Kemudian ada orang yang berhukum dengan kodifikasi hukum ini -ini
perihal kedua-.

Jadi ada:

I. Legislator
II. Orang yang berhukum dengannya
III. Orang yang berhakim dengannya
IV. Orang yang menjadikannya di negerinya, yaitu bagian dari
negara

Maka kita mempunyai empat perihal (pembahasan).


I. Legislator

Legislator dan orang yang menaatinya dalam menjadikan yang


halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal serta berlawanan
dengan syari'at Allah; Ini kafir, dan orang yang menaatinya dalam hal
tersebut, sungguh dia telah menjadikannya Tuhan selain Allah.

II. Orang yang berhukum dengannya

Hākim (orang yang memutuskan hukum) dengan legislasi tersebut,


ada perinciannya. Jika menghakimi sekali atau dua kali atau lebih dari itu
dan bukan suatu kebiasaan baginya, sedangkan dia mengetahui bahwa itu
adalah maksiat -maksudnya Qādhi (hakim) yang menghakimi- dia
mengetahui bahwa itu adalah maksiat dan malah menghakiminya dengan
selain syari'at Allah. Maka hukumnya seperti pelaku dosa, dan dia tidak
kafir sampai dia menghalalkan (istihlāl). Oleh karenanya kamu dapati
sebagian ulama mengatakan, “Hukum dengan selain syari'at Allah, maka
dia tidak kafir kecuali jika menghalalkan”, ini benar, Tetapi hal ini tidak
diturunkan (diberlakukan) pada kodifikasi hukum dan legislasi.

Maka hakim (yang berbuat demikian) sebagaimana ucapan Ibnu


Abbas: “Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksudkan, itulah Kufrun
duna kufr”, yaitu barangsiapa yang menghakimi satu persoalan atau dua
persoalan dengan hawa nafsunya dengan selain syari'at Allah, sedangkan
dia mengetahui bahwa itu adalah maksiat dan dia tidak menghalalkan,
inilah Kufrun duna kufr.

Adapun hakim yang sama sekali tidak berhukum dengan syari'at


Allah, dan selalu berhukum serta mengharuskan orang-orang (berhukum)
dengan selain syari'at Allah, di antara para ulama ada yang berkata: “Dia
kafir mutlak, seperti kekafiran orang yang mengesahkan undang-
undang buatan”; Karena Allah ‫ جل وعال‬berfirman: “Mereka
menginginkan berhakim kepada thaghut”. Maka orang yang berhukum
dengan selain syari'at Allah secara mutlak, berarti menjadikan dirinya
thaghut. “Padahal mereka telah diperintahkan untuk kufur kepada
thaghut itu.” [An-Nisa' : 60]. Dan di antara ulama ada yang berkata:
“Bahkan semacam ini, dia tidak kafir sampai dia menghalalkan”; Karena
terkadang dia melakukan hal tersebut dan berhukum dengannya,
sementara dia sendiri meyakini (bahwa itu maksiat). Maka dia hukumnya
seperti pecandu maksiat yang tidak bertaubat dari perbuatan tersebut.

Pendapat pertama, -yaitu orang yang selalu berhukum dengan selain


syari’at Allah dan mengharuskan orang-orang (berhukum) dengan selain
syari’at Allah, maka dia kafir-, menurutku ini benar, dan itu adalah
pendapat kakekku Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah di
dalam risalahnya “Tahkīm Al-Qawānīn”. Karena sebenarnya dia tidak
menampakkan isi hati yang kufur kepada thaghut, sebaliknya dia
menampakkan pengagungan kepada undang-undang buatan dan
pengagungan hukum kepada undang-undang buatan.

Perihal ketiga adalah berhakim, perihal pertama adalah legislator,


perihal kedua adalah Hākim (orang yang memutuskan hukum).

III. Orang yang berhakim dengannya

Perihal ketiga adalah orang-orang yang berhakim yaitu orang yang


dia dan lawan seterunya menempuh untuk berhakim kepada undang-
undang buatan. Ini juga ada perinciannya.

(Pertama): Jika dia menginginkan berhakim kepadanya (thaghut)


dengan sungguh-sungguh, dan memandang bahwa menempuh hukum
dengannya diperbolehkan serta ingin berhakim kepada thaghut, tanpa
membencinya, maka ini juga kafir. Karena dia masuk dalam ayat ini,
tidak akan terkumpul -sebagaimana kata para ulama- irādat (kemauan,
keinginan) berhakim kepada thaghut bersamaan dengan iman kepada
Allah, bahkan dia menafikan ini. Allah ‫ جل وعال‬berfirman: “Tidakkah
engkau memperhatikan orang-orang yang mengaku”.

Kedua: dia tidak menginginkan berhakim, tetapi dia malah


berhakim, entah terpaksa melakukannya, sebagaimana terjadi di negara
lain, bahwa dia memaksa lawan seterunya (untuk mediasi) kepada Ahli
hukum buatan atau kepada hakim yang berhukum dengan undang-undang
buatan. Atau dia mengetahui bahwa kebenaran ada pada syari'at, lantas
menyerahkan urusannya kepada seorang hakim yang memakai undang-
undang buatan yang diketahui sesuai dengan hukum syar'i. Maka yang
orang menyerahkan urusannya dalam menggugat lawan seterunya kepada
hakim yang memakai undang-undang buatan yang diketahui bahwa
syari'at dapat memberi haknya, dan undang-undang buatan itu sesuai
dengan syari'at. Ini juga sah, menurutku, boleh. Dan sebagian para ulama
berpendapat: “Dia meninggalkannya walaupun kebenaran di pihaknya”,
Allah ‫ جل وعال‬menyifati orang-orang munafik dengan firman-Nya:
“Tetapi, jika kebenaran di pihak mereka, mereka datang kepadanya
(Rasul) dengan patuh.” [An-Nur : 49] (Silakan lihat ayat sebelumnya:
46-48).

Maka orang yang memandang bahwa kebenaran ada pada syari'at,


dan dia tidak membolehkan menyerahkan urusan kepada selain syari’at,
kecuali menyangkut apa yang telah Allah ‫ جل وعال‬syari’atkan untuknya,
maka dia tidak masuk dalam hal irādat (kemauan, keinginan) berhakim
kepada thaghut, berarti dia tidak sudi. Akan tetapi dia menggugat
berhukum kepada syari’at, yang telah diketahui bahwa syari’at
memutuskan hukum untuknya, berarti dia menjadikan hukum undang-
undang buatan sebagai wasilah hak/kebenaran sesuai syari'at yang
ditetapkan untuknya.

Inilah tiga perihal.


IV. Orang yang menjadikannya di negerinya, yaitu bagian dari
negara

Perihal keempat adalah perihal daulah/negara yang berhukum


dengan selain syari’at, berhukum dengan undang-undang buatan. Negara-
negara yang berhukum dengan undang-undang buatan, juga berdasarkan
kalam Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan rincian kalam tentang
persoalan ini dalam fatwa-fatwanya, atau kesimpulan kalamnya,
BAHWA KUFUR KEPADA UNDANG-UNDANG BUATAN
ADALAH FARDHU (WAJIB).

Adapun berhakim kepada undang-undang buatan di negara-negara


yang jika masih samar dan jarang (undang-undang buatan), berarti
negerinya adalah negeri islam, yakni negaranya adalah Daulah Islam. Dan
perkara tersebut hukumnya seperti kesyirikan-kesyirikan yang terdapat di
negeri tersebut. Beliau berkata: “Jika perkara tersebut nampak merajalela,
berarti Dār-nya adalah Dār Kufr”, yakni negaranya adalah Daulah Kufr.

Jadi, hukum bagi negara (yang terdapat undang- undang buatan) mengacu
pada perincian...

Jika berhakim kepada undang-undang buatan itu sedikit dan samar,


maka hukumnya seperti termasuk negara-negara yang zhalim, atau negara
yang berdosa dan bermaksiat, atau nampak sebagian kesyirikan di negara-
negara tersebut. Dan jika perkara tersebut nampak dan merajalela -
"nampak, lawannya adalah samar" dan "merajalela, lawannya adalah
sedikit"-, Beliau berkata: “Berarti Dār-nya adalah Dār Kufr”.

Perincian ini benar; Karena kita ketahui bahwa di negara-negara


islam sana ada perundang-undangan yang tidak sesuai dengan syari'at
Allah, sedangkan para ulama zaman dahulu tidak menghukumi Dār
tersebut sebagai Dār Kufr dan tidak menghukumi negara-negara tersebut
sebagai negara- negara Kufriyyah. Itu karena kesyirikan mempunyai
pengaruh pada Dār. Dan jika kita katakan Dār, maksudnya adalah Daulah
(negara).
Jadi, apabila (berhakim kepada thaghut) nampak merajalela, berarti
negaranya adalah Daulah Kufr, dan apabila sedikit dan samar, atau
nampak sedikit namun segera diingkari, berarti negerinya adalah negeri
islam dan Dār-nya adalah Dār Islām, serta negaranya adalah Daulah
Islām.

Perincian ini konteksnya jelas, terkumpul semua pendapat para


ulama, dan kamu tidak akan dapati pertentangan antara pendapat ulama
yang satu dan lainnya, sehingga masalah ini tidak samar lagi. ‫إن شاء هللا تعالی‬

Anda mungkin juga menyukai