MATA KULIAH:
Manajemen PAK
Dosen Pengampu:
Oleh:
Pemasaran sekolah
Pemahaman tentang marketing jasa pendidikan sebenarnya tidak lepas dari
konsep bisnis dan konsep perusahaan (corporate). Namun, konsep marketing dalam dunia
pendidikan sudah sejak lama digaungkan di dunia sejak lama, lebih tepatnya pada tahun
1970 di Amerika Serikat (Alma, 2003). Kotler (1999) memberikan definisi yang paling
mendasar tentang marketing:
“What does the term marketing mean? Marketing must be understood not in the old
sense of making a sale - 'selling' - but in the new sense of satisfying customer
needs. Many people think of marketing only as selling and advertising. And no
wonder, for every day we are bombarded with television commercials, newspaper
ads, direct mail and sales calls. Someone is always trying to sell us something. It
seems that we cannot escape death, taxes or selling!”.
Kotler memberikan penekanan pada kata customer needs yang merupakan terminologi paling
benar terhadap makna dari marketing, yaitu kegiatan marketing adalah memuaskan
pelanggan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Pendidikan merupakan produk yang berupa jasa, yang mempunyai karakteristik sebagai
berikut (Rahmat, 2016):
1) Lebih bersifat tidak berwujud dari pada berwujud.
2) Produksi dan konsumsi bersamaan waktu.
3) Kurang memiliki standar dan keseragamaan.
Terkait dengan jasa pendidikan, baik Kotler maupun ahli pemasaran lainnya, setuju dan
sepakat bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu termasuk non-profit
organization (Kotler, 1999); yaitu kegiatan melayani konsumen yang berupa murid, siswa,
atau mahasiswa, dan juga masyarakat umum yang dikenal dengan stakeholder (Alma, 2003).
Lembaga pendidikan yang pada hakikatnya bertujuan memberi layanan, akan
memberikan layanan tersebut kepada pihak yang ingin dilayani, pihak yang dilayani
ingin memperoleh kepuasan dari layanan tersebut. Layanan ini dapat dilihat dalam berbagai
bidang, mulai dari layanan yang berbentuk fisik, sampai pada layanan yang berbentuk
fasilitas dan proses yang bermutu. Inilah yang disebut konsep sebenarnya dari marketing.
Pemasaran pendidikan mempunyai 7 elemen pokok, yaitu :
1. Product, merupakan hal yang paling mendasar yang akan menjadi pertimbangan
preferensi pilihan bagi customer, merupakan segala sesuatu yang dapat
ditawarkan kepada customer yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya.
2. Price, merupakan elemen yang berjalan sejajar dengan mutu produk, dimana
apabila mutu produk baik, maka calon siswa berani membayar lebih tinggi apabila
dirasa dalam batas kejangkauan pelanggan pendidikan.
3. Place, adalah letak lokasi sekolah mempunyai peran yang sangat penting,
karena lingkungan dimana jasa disampaikan merupakan bagian dari nilai dan
manfaat jasa yang dipersep sikan cukup berperan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan pilihan.
4. Promotion, merupakan suatu bentuk komunikasi pemasaran yaitu aktivitas
pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk,
atau mengingaatkan pasar sasaran atas lembaga dan produknya agar bersedia
menerima, membeli dan loyal pada produk yang di tawarkan oleh lembaga tersebut.
5. People, ini menyangkut peran pemimpin dan civitas akademika dalam
meningkatkan citra lembaga, dalam arti semakin berkualitas unsur pemimpin
dan civitas akademika dalam melakukan pelayanan pendidikan maka akan
meningkat jumlah pelanggan.
6. Physical evidence, merupakan sarana dan prasarana yang mendukung proses
penyampaian jasa pendidikan sehingga akan membantu tercapainya janji lembaga
kepada pelanggannya.
7. Process, ini adalah penyampaian jasa pendidikan merupakan inti dari seluruh
pendidikan, kualitas dari seluruh elemen yang menunjang proses pendidikan
menjadi hal yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan proses
pembelajaran sekaligus sebagai bahan evaluasi terhadap pengelolaan lembaga
pendidikan dan citra yang terbentuk akan membentuk circle dalam merekrut
pelanggan pendidikan.
Konflik dan negosiasi
Dalam sebuah lembaga yang memiliki banyak orang berbeda dengan latar belakang
berbeda pula akan ada banyak peran, pertimbangan, pemikiran, kebutuhan yang muncul. Hal
tersebut membuat lembaga tidak dapat terhindar dari konflik-konflik yang perlu diselesaikan.
Lembaga pendidikan pun tidak terlepas dari hal tersebut dan oleh karenanya lembaga
pendidikan perlu menyadari konflik yang terjadi agar dapat menyelesaikan atau
meminimalisir konflik.
Kata konflik dalam bahasa Yunani disebut dengan configere atau conflictum yang berarti
saling berbenturan. Arti kata ini menunjukkan pada semua bentuk benturan, tabrakan,
ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi
yang antagonis atau bertentangan. Dapat pula diartikan bahwa konflik merupakan relasi-
relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan,
interes-interes eksklusif yang tidak bisa dipertemukan, sikap emosional yang bermusuhan,
dan struktur-struktur nilai yang berbeda (Hendyat, 2010).
Afzalur Rahim (Efendi, 2015) menyatakan bahwa konflik merupakan keadaan interaktif
antar individu, kelompok dan organisasi yang menghasilkan sebuah situasi tidak cocok,
pertentangan, dan perbedaan. Senada dengan pendapat Afzalur, Ross Stagner yang dikutip
oleh J. Winardi yaitu, konflik merupakan sebuah situasi di mana dua orang (atau lebih)
menginginkan tujuan-tujuan yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang
di antara mereka, tetapi hal itu tidak mungkin cicapai oleh kedua belah pihak. Wahjosumidjo
(2002) memberikan definisi yang sederhana dalam mendefinisikan konflik yaitu, "segala
macam bentuk hubungan antara manusia yang mengandung sifat berlawanan".
Clinton F. Fink (1968) mendefenisikan konflik sebagai berikut:
a. Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan
tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan; interest-interest eksklusif dan tidak
bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-
struktur nilai yang berbeda.
b. Konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah
yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol,
tersembunyi, tidak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka,
kekerasan perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru-hara,
makar, perang dan lain-lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut konflik merupakan sebuah kondisi baik
secara psikologis maupun lahiriah yang muncul akibat interaksi antar individu, kelompok dan
organisasi yang saling bertentangan, berbeda, tidak sesuai, dan mengandung sifat berlawanan.
Winardi (2004) mengemukakan beberapa hal yang menjadi sumber terjadinya konflik
dalam organisasi yaitu:
1. Interdependensi Arus Kerja (Work-Flow Interdependence)
Suatu organisasi harus dimanage sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian
interdependen, yang masing-masing melaksanakan fungsi-fungsi khusus, tetapi
terkoordinasi dalam wujud pembagian kerja. Andaikata interdependensi arus
kerja adalah demikian rupa hingga seseorang atau kelompok harus
mengandalkan diri pada kontribusi-kontribusi dari pihak lain untuk
melaksanakan tugas mereka, maka kondisi-kondisi yang muncul matang untuk
terjadinya konflik.
2. Asimetri (Asymetry)
Konflik karena asimetri cenderung terjadi, apabila seseorang yang memiliki
kekuasaan rendah memerlukan bantuan, oarng yang memiliki kekuasaan tinggi
yang tidak beraksi terhadap permintaan tersebut dan apabila orang-orang yang
memiliki nilai-nilai yang secara dramatik berbeda sekali dipaksa untuk bekerja
sama melaksakan suatu tugas atau apabila seseoarng yang berstatus tinggi
diharuskan untuk berinteraksi dengan dan mungkin tergantung pada pihak lain
yang berstatus rendah.
3. Ambiguitas Peranan (Role Ambiguity or Domain Ambiguity)
Kurangnya pengarahan yang cukup atau kejelasan tujuan-tujuan serta tugas-
tugas bagi orang-orang dalam peranan kerja mereka dapat menyebabkan
timbulnya situasi penuh stress dan yang cenderung menimbulkan konflik. Pada
tingkat kelompok atau departemen, hal tersebut sering kali muncul sebagai
ambiguitas domain-domain atau juridiksi-juridiksi. Maksudnya, dua kelompok
cenderung berkonflik apabila tidak ada satupun diantara mereka memahami
siapa yang bertanggung jawab terhadap apa.
4. Kelangkaan Sumber Daya (Resource Scarcity)
Kebutuhan-kebutuhan aktual atau yang dipersepsi persaingan mendapatkan
sumber-sumber daya langka, menyebabkan hubungan-hubungan kerja antara
individu-individu atau kelompok-kelompok cenderung mengalami konflik. Hal
tersebut terutama relevan bagi setiap individu-individu atau kelompok-kelompok
yang berada dalam organisasi-organisasi yang sedang mengalami kemunduran,
berbeda dengan organisasi-organisasi yang sedang berkembang. Sumber-sumber
daya biasanya langka dalam masa mundurnya suatu organisasi dengan akibat
bahwa sering kali terjadi pemotongan-pemotongan atau pengurangan-
pengurangan (budget). Mengingat bahwa berbagai orang atau kelompok-
kelompok berupaya untuk memposisikan diri mereka sedemikian rupa, sehingga
mereka dapat meraih bagian maksimum dari perbedaan sumber-sumber daya
yang ada, maka pihak lain akan menentangnya atau melaksanakan tindakan-
tindakan kontra guna mempertahankan kepentingan mereka masing-masing.
Sumber-sumber daya bersifat esensial bagi ketahanan dan kemakmuran individu-
individu atau kelompok-kelompok di dalam organisasi-organisasi. Akibatnya
kelangkaan sumber daya sering kali menyebabkan timbulnya konflik.
Maddux (2001) menyebutkan lima pendekatan dasar untuk menyelesaikan konflik.
Kelima pendekatan tersebut bisa digunakan oleh kepala sekolah sebagai strategi untuk
menyelesaikan konflik di sekolah; yaitu: menghindari, akomodasi, menang/kalah, kompromi,
dan kolaborasi penyelesaian masalah:
1. Menghindari
Merupakan reaksi yang dilakukan oleh satu orang atau kedua belah pihak dalam
upayanya tidak terlibat dengan masalah-masalah yang dapat menimbulkan
perbedaan atau pertentangan. Kecenderungan untuk menghindari konflik dapat
juga didasarkan pada suatu pandangan bahwa konflik dapat merugikan dan
dianggap tidak sopan, apabila isu konflik tidak penting dan dampak negatif lebih
besar daripada manfaat/keuntungannya.
2. Akomodasi
Pimpinan atau satu orang mengalah terhadap berbagai kehendak/kemauan orang
lain. Akomodasi dapat berarti memelihara suatu hubungan dengan pihak lain,
atau suatu sikap menyetujui, tidak agresif, kooperatif, bahkan dengan
mengorbankan keinginan pribadi.
3. Menang/kalah
Bersifat konfrontatif, menuntut, dan agresif. Strategi ini juga bisa disebut sebagai
kompetisi atau persaingan, yang merupakan suatu bentuk perjuangan apabila dua
pihak berlomba untuk berebut untuk mencapai suatu tujuan yang sama. Jika
dalam suatu kompetisi tidak disertai aturan yang jelas, maka kompetisi mudah
berkembang menjadi pertikaian yang tidak dapat dikendalikan dan cenderung
yang kuat menang.
4. Kompromi
Merupakan reaksi terhadap konflik dengan cara mencari jalan tengah yang dapat
diterima oleh pihak-pihak yang terlibat. Mementingkan pencapaian sasaran
utama semua pihak serta memelihara hubungan baik (agresif namun kooperatif).
Agar dalam suatu kompromi tidak ada pihak yang dirugikan, maka masing-
masing pihak harus saling mengerti dan memahami, sehingga kedua pihak
mendapatkan apa yang diinginkan.
5. Kolaborasi (penyelesaian masalah) atau kerjasama
Merupakan kesediaan untuk menerima kebutuhan pihak lain. Kolaborasi sangat
berguna jika masing-masing pihak yang sedang berkonflik mempunyai tujuan
yang berbeda dan kompromi tidak dapat dilakukan. Kolaborasi bertujuan untuk
mendapatkan keinginan dari masing-masing kelompok, sehingga kedua belah
pihak menang dan tidak ada yang dikalahkan. Hal ini bisa terjadi jika pihak-
pihak yang terlibat konflik mau membicarakan pokok permasalahan secara
terbuka, sehingga solusi saling menguntungkan dapat ditemukan tanpa
merugikan satu pihak pun.
Menurut Robbins (2003) terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Pandangan
tradisional memandang konflik secara negatif dan disamakan dengan istilah kekerasan,
perusakan dan ketidakrasionalan untuk konotasi negatifnya. Konflik dapat memiliki sifat
dasar yang merugikan dan harus dihindari. Dalam pandangan hubungan manusia menyatakan
bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi.
Karena konflik itu tak terelakkan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan
konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik membawa manfaat
pada kinerja kelompok atau organisasi. Dalam pandangan interaksionis, konflik justru di
pandang penting keberadaanya menurut pendangan interaksionis. Menurut pandangan ini
konflik harus di tumbuhkan karena jika organisasi selalu terdiri atas anggota-anggota yang
selalu kooperatif, damai, dan tenang hanya akan membawa kearah apatis, anti perubahan,
alias jauh dari inovasi. Tentunya konflik yang ditumbuhkan berada dalam keadaan yang
masih dapat dikontrol atau sekedar cukup untuk membuat kelompok dinamis, kritis, dan
kreatif.
Kesimpulan
Humas atau hubungan masyarakat dalam pendidikan berperan penting bagi keberlangsungan
suatu lembaga pendidikan. Humas pendidikan berhubungan dengan beragam kelompok
seperti pers, pemerintah, masyarakat, konsumen, karyawan, warga sekolah, komite, dan
stockholder. Manajemen humas pendidikan dapat menolong dalam pemasaran pendidikan
sehingga sebuah lembaga pendidikan dapat memberikan suatu jasa yang memenuhi
kebutuhan masyarakat. Serta ketika terjadi konflik dalam lembaga pendidikan humas dapat
berperan dalam menangani konflik bahkan meminimalisir terjadinya konflik.