Anda di halaman 1dari 16

PPDH XXXII Kelompok 5

LAPORAN PEMERIKSAAN HASIL NEKROPSI UNGGAS


Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga

Oleh:
Indra Raja Syahputra, S.KH
NIM 061813143027

DEPARTEMEN PATOLOGI VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
LAPORAN NEKROPSI UNGGAS

I. Tanggal nekropsi
Selasa 19 Juni 2019

II. Tujuan
1. Mengetahui cara nekropsi, mengambil sampel, pembuatan preparat histopatologi,
dan interpretasi hasil diagnosis yang baik dan benar.
2. Mengetahui perubahan makroskopis dan mikroskopis dari organ-organ yang
mengalami perubahan patologis dari suatu penyakit.
3. Mengetahui diagnosa suatu penyakit akibat perubahan patologi anatomi.

III. LANDASAN TEORI


Nekropsi atau bedah bangkai adalah teknik lanjutan dari teknik diagnosa
klinik untuk mengukuhkan diagnosa suatu penyakit. Prinsip dari nekropsi adalah
pemeriksaan jaringan yang dilakukan dengan membuka bangkai hewan yang
sudah mati dan mengamati perubahan anatomis, kelainan yang terjadi terkadang
bersifat spesifik (patognomonis) pada kasus tertentu.

IV. Alat dan bahan


 Alat
- Scalpel - Gunting tumpul-tumpul
- Blade - Meja seksi
- Pinset anatomis - Pot organ
- Gunting lancip-lancip
 Bahan
- Ayam broiler jantan
- Formalin 10%

V. Cara kerja
 Prosedur Nekropsi Pada Ayam
1. Ayam dimatikan dengan cara emboli pada otak.
2. Ayam dibasahi dengan air untuk mencegah bulu dan kotoran yang menempel
beterbangan.
i
3. Telentangkan ayam dan buka bagian sayap kanan kiri.
4. Mulut dipotong pada sudut lateral dan dilakukan inspeksi pada rongga mulut.
5. Dilanjutkan sayatan sepanjang leher sampai ke daerah pangkal dada.
6. Sayatan memanjang dilakukan pada oesophagus dan crop kemudian di
inspeksi.
7. Dibuat sayatan memanjang pada laring dan trakea dan di inspeksi.
8. Paruh bagian di preparir dengan potongan melintang di dekat mata. Hal ini
akan memungkinkan pemeriksaan rongga hidung dan akan mengekspos ujung
anterior sinus infraorbital.
9. Dilakukan sayatan lateral yang membujur melalui dinding setiap sinus dan
diperiksa.
10. Bagian kulit longgar antara permukaan medial dari bagian paha dan perut
dilakukan insisi, hal ini bertujuan untuk menginspeksi kaki bagian lateral dan
untuk mendisartikulasi sendi pinggul.
11. Dibuat sayatan memanjang melalui otot-otot dada di setiap sisi dan di atas
persimpangan costochondral. Ujung anterior setiap sayatan harus memotong
pada cerukan dada dan titik tengah dorso-ventral. Dengan gunting tulang,
dilakukan pemotongan melalui coracoid dan clavicula.
12. Dibuat sayatan melintang melalui bagian posterior dari otot-otot abdomen.
dilanjutkan dengan membuat insisi di bagian anterior melalui persimpangan
costochondral. Dinding perut ventral dan bagian dada dilepaskan, kemudian
diamati kantung udara yang terkuak.
13. Setiap organ di preparir menggunakan prosedur steril dan diamati kelainan
yang mungkin ditemukan.
 Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi
1. Sampel organ yang akan diperiksa dipotong dengan ukuran 1x1x1 cm,
kemudian direndam dalam larutan neutral buffer formalin (NBF).
2. Sampel organ selanjutnya diperkecil lagi dengan irisan tipis untuk disimpan
dalam tissue cassette dan dilakukan fiksasi dalam larutan NBF.
3. Setelah fiksasi, dilakukan proses dehidrasi dan clearing dengan satu sesi
larutan yang terdiri dari: alkohol 70 %, alkohol 80 %, alkohol 90 %, alkohol
96 %, alkohol absolut, xylol, dan parafin, secara bertahap dalam waktu satu
hari.
4. Sampel organ diblocking dengan embedding set yang dituangi parafin cair
kemudian didinginkan.
5. Blok yang sudah dingin disectioning menggunakan microtome dengan
ketebalan ± 1 – 5 mikron.
6. Proses yang terakhir adalah pewarnaan dengan metode Harris Hematoxylin –
Eosin dan mounting media.
7. Preparat histopatologi diamati di bawah mikroskop dan dicatat perubahan
mikroskopik yang ditemukan.

VI. Hasil Pemeriksaan


A. Signalement
1. Hewan : Ayam
2. Ras : Broiler
3. Pemilik : Pedagang pasar Wonokromo, Surabaya
4. Alamat : Jagir, Kecamatan Wonokromo, Surabaya
5. Jenis kelamin : Jantan
6. Tanggal nekropsi : 18 Juni 2019
B. Gejala Klinis
Ayam tidak menunjukkan abnormalitas pada sistem tubuhnya dan tampak
sehat
C. Hasil Pemeriksaan
 Fisik
1. Kulit : Normal, dengan permukaan kulit berwarna merah muda
dan warna bulu putih bersih
2. Kaki : Normal dengan kuku tajam
3. Mata : Konjuntiva Normal
4. Telinga : Tidak ada perubahan pada telinga.
5. Hidung : Tidak terdapat leleran lendir
6. Mulut : Tidak ditemukan perubahan lesi, atau lendir disekitar mulut.
7. Kloaka : Bersih, tidak terdapat bekas feses yang mongering

 Sistem Respirasi dan Sirkulasi


1. Esofagus : Normal
2. Sinus : Tidak terdapat eksudat atau lendir.
3. Trakea : Normal, tidak terdapat lesi
4. Paru-paru : Terdapat foci nekrotik tersebar merata
5. Jantung : Normal, terdapat foci nekrotik

Gambar 1. Kondisi jantung normal. Pulmo normal berwarna merah gelap dan terdapat foci
nekrotik tersebar merata.

 Sistem Pencernaan
1. Tembolok : Normal
2. Proventrikulus : Normal
3. Ventrikulus : Normal
4. Hepar : Normal, terdapat foci nekrotik
5. Empedu : Normal
6. Limpa : Normal
7. Pancreas : Normal
8. Usus halus : Pada duodenum ditemukan haemorrhage dengan
mukosa berwarna putih keruh. Pada jejunum tidak
ditemukan lesi maupun haemorrhage, namun warna
mukosa berubah menjadi kuning di sepanjang saluran.
Pada Illeum tampak normal, tidak dijumpai perubahan
patologis pada mukosa.
Gambar 2. Mukosa jejunum tampak berwarna kuning, terdapat haemorrhagi pada mukosa jejunum.

 Sistem Urinaria

1. Ginjal : tampak haemorrhage


 Sisem Genital
1. Testis : Normal
 Otak dan Sistem Pertahanan
1. Otak : Normal
D. Organ yang Mengalami Perubahan.
1. Pulmo

Haemorrhagik
pada pulmo

Gambar 3. Pulmo tampak dipenuhi dengan haemorrahage

Infitrasi sel radang


PMN

Gambar 4. Pulmo ayam terdapat infiltrasi radang PMN dan akumulasi eritrosit pada septa alveoli. Pada
perbesan 100x
Diagnosa Morfologis : Pneumonia Kataralis

2. Jantung
Gambar 5. Makroskopis jantung tampak pada gambar ditemukannya nekrotik dan organ
tampak pucat

Gambar 6. Mikroskopis hepar dengan perbesaran 400x. Terdapat infiltrasi sel radang
PMN, struktur sel otot jantung masih tampak normal.
Diagnosa Morfologis : Myocarditis

3. Hepar

Gambar 7. Makroskopis hepar tampak Gambar 8. Makroskopis hepar tampak


normal. Ujung organ lancip, warna merah normal. Namun terdapat foci nekrotik.
tua, permukaan mengkilap namun beberapa
bagian tampak lebih gelap (panah biru).
Gambar 9. Mikroskopis hepar dengan perbesaran 100x. Pada kotak putih menunjukan
area/zona nekrotik. Zona nekrotik tampak Pucat

Infitrasi sel radang PMN

Terdapat Haemorrhagik
di sinusoid

Gambar 10. Mikroskopis hepar dengan perbesaran 400x. Ditemukan infiltrasi sel radang
PMN dan haemorrhagi di sinusoid.

Gambar 11. Mikroskopis hepar dengan perbesaran 40x. Terdapat foci nekrotik intralobular
di beberapa tempat dan menyebar dalam organ hepar.

Diagnosa Morfologis : Multifokal Nekrosis Hepatis


4. Mukosa Usus Halus (Jejunum)

Gambar 12. Dijumpai haemorrhage pada mukosa jejunum, mukosa tampak berwarna
putih dan pucat

Gambar 13. Mikroskopis jejunum dengan perbesaran 40x tampak villi usus mengalami
ruptur
Gambar 14. Mikroskopis duodenum dengan perbesaran 400x. Tampak haemorrhagi (panah
biru) , infiltrasi sel radang PMN di sekitar kripta liberkulun.(panah hijau)

Diagnosa Morfologis : Enteritis Catarrhal

6. Ginjal

Gambar 15. Makroskopis Ginjal. Tampak haemorrhagi (panah biru), ginjal tampak
abormal, konsistensi mengeras.
Diagnosa Morfologis : Nefritis Intersitial Kronis

Gambar 16. Mikroskopis Ginjal perbesaran 100X. Terdapat infiltrasi sel radang MN pada
intesitial tubulus ginjal (panah biru). Ditemukan proliferasi jaringan ikat (panah
hijau). Terjadi atropi tubulus ginjal.

VII. PEMBAHASAN
A. DIAGNOSA
Ayam yang telah dinekropsi diduga mengalami Fowl Thypoid.

B. ETIOLOGI
Fowl Thypoid merupakan penyakit septicemia yang disebabkan oleh bakteri
gram negative Salmonella gallinarum dari genus Enterobacteriaceae. Salmonella
memiliki kenampakan morfologis berupa bakteri batang dengan flagellar petrichous di
seluruh tubuhnya. Terbagi dalam 2 spesies, 6 subspesie dan 2400 serovar menjadikan
Salmonella sebagai salah satu bagian dari Enterobacteriacea yang memiliki varian
cukup besar. Namun berbeda dengan Salmonella pada umumnya, Salmonella
gallinarum tidak memiliki flagellar yang dapat dipergunakan untuk bergerak.

C. CARA PENULARAN DAN PATOGENESIS


Fowl Thypoid ini ditransmisikan melalui kontaminasi peroral (melalui
pakan, air atau kanibalisme) dan secara inhalan (melalui saluran pernapasan). Selain
itu, bakteri ini juga dapat menginfeksi melalui luka terbuka pada tubuh. Keberadaan
dari Salmonella gallinarum dapat ditemukan pada feses atau ungags yang terinfeksi
(OIE, 2000). Pathogenesis dan patogenesitas dari Salmonella gallinarum bergantung
pada kemampuan bakteri ini untuk menginvasi, bertahan hidup, berkembang biak di
dalam sel, terutama pada makrofag (The Center for Food Security and Public Health,
2019).
Untuk dapat menginfeksi tubuh, Salmonella masuk secara peroral. Sifat
biokimia Salmonella yang secara harfiahnya dapat tahan pada kondisi asam
membuatnya dapat melewati proventrikulus tanpa hambatan, yang kemudian
dilanjutkan dengan bergerak masuk ke usus kecil, menginvasi epitel dari saluran
pencernaan yang kemudian berproliferasi pada epitel dan sistem limfatik usus
(GALT) (The Center for Food Security and Public Health, 2019).
Setelah menginvasi epitel, Salmonella bereplikasi secara intraseluler dan
menyebar ke jaringan mesenterika pada limfonodus local melalui sistem sirkulasi
tubuh (Gianella, 1996). Di sisi lain, akibat adanya invasi Salmonella pada saluran
pencernaan ini turut menyebabkan terjadinya respon peradangan akut yang apabila
berjalan secara berkelanjutan dapat menimbulkan terjadinya ulser dan diare (Gianella,
1996).

D. GEJALA KLINIS
Unggas dengan Fowl Typhoid positif kerap menunjukkan gejala klinis
berupa depresi, anoreksia, berkerumun, sayap terkulai, dehidrasi, sesak napas, diare,
peningkatan suhu tubuh, badan lemas, penurunan berat badan dan adanya sisa feses
yang masih melekat pada anus. Pada beberapa kondisi, Fowl Typhoid ini tidak
menunjukkan gejala klinis yang meonjol pada hari kelima hingga kesepuluh setelah
telur ditetaskan (OIE, 2000).
Selain itu, terjadinya penurunan produksi telur, feritilitas dan daya tetas
juga turut mengikuti, bergantung pada tingkat keparahan dari infeksi yang sedang
berjalan. Kejadian akan kematian terjadi pada hari kelima hingga kesepuluh setelah
adanya infeksi (OIE, 2000).
E. PATOLOGI ANATOMI
Pada kasus perakut, Fowl Typhoid dapat menyebabkan kematian pada fase
pengeraman tanpa menunjukkan adanya lesi patologis makros. Berbeda dengan
perjalan penyakit difase akut, hepar mengalami pembesaran dan kongesti, hal ini juga
dapat terjadi pada limpa dan ginjal. Kondisi pembesaran pada limpa turut disertai
dengan tampaknya bintik-bintik putih berupa foci nekrotik pada permukaan organ.
Selain itu, kuning telur dapat mengalami koagulasi yang bersifat serous atau
berbentuk menyerupai massa granulum. Tak hanya itu, eksudat fibrin turut dapat
ditemukan pada peritoneum, nodul tumor menyerupai miokardium yang dapat juga
dijumpai pada kasus Marek. Hal yang patut diperhatikan bahwa nodul pada jantung
ini dapat menyebabkan terjadinya chronic passive congestion sebagai akibat dari
membesarnya nodul tersebut yang akhirnya mendistorsi hepar yang dapat berujung
pada asites (OIE, 2000).
Nodul yang sama dapat pula ditemukan pada pancreas, pulmo, tembolok
dan sekum. Keberadaan nodul pada sekum mengandung massa kaseosa di dalamnya.
Selain itu, pada beberapa unggas dapat mengalami pembengkakan pada persendian
yang berisi cairan kental. Perubahan patologis anatomis lainnya berupa eksudat pada
ruang anterior mata, pembengkakan pada bantalan kaki atau persendian sayap (OIE,
2000).

F. DIAGNOSA BANDING
Lesi pada saluran pencernaan harus dibedakan dari Marek dan lesi hepatic
akibat infeksi Yersinia pseudotuberculosis. Lesi pada saluran pernapasan harus dapat
dibedangan dengan Aspergillosis. Sedangkan lesi pada persendian harus dibedakan
dengan Synovitis dan Bursitis yang diakibatkan oleh infeksi dari agen bacterial atau
viral lainnya (Markos, 2016).

G. PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN


Prinsip dari pengendalian dari terjadinya Fowl Typhoid ini harus diikuti
dengan adanya penerapan sistem biosekuriti yang baik dan benar melalui menerapkan
kontrol akan kebersihan perkandangan yang baik, vaksinasi, desinfeksi pada lokasi
kandang dan eradikasi (Markos, 2016).
VIII. KESIMPULAN
Ayam yang dinekropsi pada laporan ini mengalami Fowl Thypoid karena
dalam pemeriksaan Histopatologi pulmo mengalami bronchopneumonia, multifocal
nekrosis hepatis dan enteritis catarrhal yang mengindikasikan akan terjadinya infeksi
sistemik akibat dari adanya Salmonella gallinarum yang berjalan akut.

Daftar Pustaka

Dutta, P., Borah, M.K., Gangli, R. dan Singathia, R. 2015. Gross or Histopathological Impac
of Salmonella gallinarum Isolated from Layer Chickens in Jaipur and their
Antibiogram Assay. International Journal of Advanced Veterinary Science and
Technology. Vol. 4(1): 153-159.
Forshell, L. Plym and Wierup, M. 2006. Salmonella Contamination: A Significant Challenge
to the Global Marketing of Animal Food Products. International Office of
Epizootics. 25(2):541-554
Markos, Teferi. 2016. A Review on Pulloru Disease and it’s Economic Importance in Poultry
Industry. Journal of Poultry Science and Technology.
The Center for Food Security and Public Health. 2019. Fowl Typhoid and Pullorum Disease.
College of Veterinary Medicine. Iowa State University.
Shivaprasad. 2000. Fowl Typhoid and Pullorum Disease. International Office of Epizootics.
19(2): 405-424.
The World Organization for Animal Health. 2008. Terrestrial Manual - Salmonellosis. France

Anda mungkin juga menyukai