Anda di halaman 1dari 13

INTERAKSI ZAT KIMIA

3 November 2010
oleh Fadhil Hayat

Salah satu masalah dalam toksikologi terutama toksikologi lingkungan adalah kenyataan
bahwa orang praktis selalu menggunakan campuran zat, yang seringkali susunan kualitatif
dan kuantitatifnya beragam. Akibatnya penentuan risiko yang timbul akibat pemakaian
campuran zat hampir tidak mungkin. Zat toksik biasanya berada dalam bentuk
campuran/kombinasi, sehingga harga MAC tidak begitu berarti. Oleh karena itu harga MAC
bukan merupakan nilai pasti, tetapi hanya merupakan batas yang diizinkan. Dalam praktek,
harus digunakan konsentrasi yang secara ekonomis dan teknis paling rendah. Tujuannya
bukan batas-tanpa-efek (no-effect-level) melainkan batas-tanpa-risiko (no-risk-level). Untuk
interaksi dua zat atau lebih terdapat berbagai kemungkinan. Kedua zat itu dapat diabsorpsi
bersama-sama atau dapat pula ada perbedaan waktu antara absorpsi senyawa yang satu
dengan absorpsi senyawa yang lain. Kombinasi dapat menyebabkan diperkuatnya efek toksik,
atau dua efek toksik yang tak saling mempengaruhi atau reaksi toksik yang diperlemah.
Reaksi toksik yang diperlemah berlaku pada pemberian zat yang bekerja melindungi atau
penggunaan antidot pada keracunan.

INTERAKSI SELAMA FASE EKSPOSISI

Kombinasi Zat yang membahayakan

Kombinasi zat yang membahayakan adalah kombinasi dari zat-zat yang hanya berbahaya jika
diberikan bersama-sama. Zat semacam ini harus disimpan secara terpisah, harus dibungkus
dan diangkut secara terpisah pula. Contohnya, jika asam berkontak dengan sianida akan
terbentuk gas asam sianida yang sangat toksik (HCN). Berbagai peroksida dapat
menimbulkan ledakan kalau berkontak dengan logam atau senyawa logam tertentu. Logam
alkali, aluminium dan magnesium bubuk tidak boleh berkontak dengan halogen dan
karbontetraklorida, karena akan bereaksi dengan hebat (Ingat peristiwa bom di Bali). Untuk
meminimalkan bahaya, maka diperlukan penanganan dalam hal pengangkutan dan
penyimpanan zat yang berisiko menimbulkan bahaya. Risiko ledakan atau kebakaran harus
dinyatakan secara jelas dengan tanda khusus pada kemasan atau ruang penyimpanan.

Bahaya kebakaran dan penanggulangannya

Penggunaan air pada penanggulangan kebakaran mempunyai masalah tersendiri. Berbagai zat
kimia, bila bereaksi dengan air membebaskan gas yang mudah terbakar(misalnya logam
alkali natrium dan kalium, kalsiumkarbida). Bila terkena air akan terurai dan membentuk gas
beracun serta kalor dalam jumlah besar (misalnya aluminium klorida, fosfortriklorida, dan
fosfida). Uap dan gas beracun dapat pula terbentuk pada kebakaran atau pada
penanggulangan kebakaran. Jika pada pembuatan kerangka kapal digunakan pembakar
asetilen, serta kapal dicat dengan zat warna yang mengandung timbal atau senyawa timbal,
akan sangat berbahaya kalau pekerjaan tersebut dilakukan dalam ruang tertutup.

Pembentukan produk toksik dalam lingkungan


Pada reaksi kimia antara zat-zat yang mencemari lingkungan, terdapat bahaya timbulnya
produk toksik, bahkan tanpa perlakuan apapun oleh manusia. Contohnya adalah kabut
fotokimia. Kabut terdiri dari zat yang terbentuk karena interaksi nitrogen oksida dan
hidrokarbon tertentu dengan oksigen, dibawah pengaruh sinar matahari. Ozon dan peroksida
organik merangsang selaput lendir dengan sangat kuat. Hasil pembakaran industri dan mobil
dapat berubah menjadi kabut fotokimia pada kondisi cuaca tertentu, misalnya pada
penyinaran oleh sinar matahari dan tak ada angin. Contoh lain adalah berubahnya senyawa
raksa anorganik menjadi senyawa raksa organik oleh mikroorganisme, terutama metil dan
dimetil raksa (II). Karena senyawa raksa organik bersifat lipofil, maka akan tertimbun dalam
ikan dan anjing laut. Hal yang sama terjadi pada DDT, yang menyebabkan terjadinya
pemekatan sepanjang rantai makanan, dan hewan/organisme yang ada pada ujung rantai ini
akan terkena bahayanya.

Adsorbensia dalam Filter

Penggunaan adsorbensia dalam filter (termasuk filter pada topeng gas) juga dapat dilihat
sebagai interaksi zat selama fase eksposisi. Karena terdapat begitu banyaknya racun yang
berbeda-beda, maka tidak dapat digunakan filter universal. Tergantung pada jenis uap atau
gas racun yang mungkin terjadi, maka digunakan filter tertentu yang ditandai dengan nomor
atau warna.

Pembentukan produk toksik oleh kerja sistem biologik

Pembentukan senyawa metil dan dimetil raksa (II) yang relatif toksik daripada raksa
anorganik oleh mikroorganisme, serta pembentukan HCN dari sianogen (misalnya, dari
amigdalin dengan bantuan ludah) merupakan contoh pembentukan produk toksik karena kerja
sistem biologi. Contoh lain adalah pembentukan asam sulfida yang toksik selama proses
pembusukan. Pembentukan nitrosamin karsinogenik pada reaksi antara nitrit dengan sejumlah
amin pada pH rendah, misalnya dalam lambung. Nitrit terdapat dalam produk-produk daging
dan dapat juga terjadi dari nitrat yang terdapat dalam air tanah dan sayur yang pada
penanamannya menggunakan pupuk yang mengandung N dalam jumlah besar.

Peningkatan absorpsi racun oleh ikan

Untuk perlindungan lingkungan perlu diketahui bahwa ikan yang berkontak dengan deterjen,
akan menyebabkan absorpsi berbagai racun melalui insang ikan tersebut diperbesar. Hal ini
berarti bahwa pemeriksaan dengan zat tunggal untuk menentukan batas toleransi akan dapat
memberikan hasil yang salah, karena toksisitas akan dapat sangat dipertinggi dengan adanya
deterjen yang secara praktis terdapat dalam semua air limbah.

INTERAKSI SELAMA FASE TOKSIKOKINETIK

Interaksi semacam ini akan meyebabkan naik atau turunnya konsentrasi zat dalam plasma
atau menyebabkan bertambah lama atau bertambah singkatnya obat/zat ada dalam organisme.
Berbagai zat, mulai dari zat kimia biasa sampai obat-obatan bahkan komponen makanan
dapat ikut ambil bagian disini.

Interaksi antara senyawa yang menginhibisi biotransformasi zat asing dengan zat toksik
Inhibisi enzim yang berperan pada biotransformasi dapat menaikkan kerja biologik suatu zat
dan dengan demikian akan memperkuat efek toksiknya. Karena sejumlah besar senyawa
kimia yang masuk ke dalam organisme, pada metabolismenya diuraikan oleh beberapa enzim
yang sama, maka seringkali terjadi interaksi pada proses enzimatiknya. Induksi enzim,
disamping dapat timbul karena insektisida (DDT) atau obat-obatan tertentu, juga dapat
disebabkan oleh zat kimia yang digunakan di industri.

Interaksi akibat reaksi pendesakan

Pendesakan zat toksik dari berbagai tempat ikatan, dapat mengubah distribusi zat tersebut
dalam jaringan, dan kerja toksik akan meningkat atau pada keadaan tertentu juga dapat turun.
Yang paling berarti adalah interaksi pada ikatan protein plasma. Karena pendesakan suatu
tokson dari tempat ikatannya pada protein plasma, maka konsentrasinya dalam jaringan akan
naik.

Interaksi kimiawi langsung

Berbagai antidot bekerja dengan melakukan interaksi dengan zat toksik yang ada dalam
tubuh. Jika pada keracunan secara oral digunakan emetika atau laksansia (misalnya
magnesium atau natrium sulfat), maka interaksi terjadi pada peralihan dari fase eksposisi ke
fase farmakokinetik. Contoh lain dari interaksi kimiawi langsung ialah perubahan asam
sianida menjadi asam rodanida dengan pemberian tiosulfat, atau menciptakan terjadinya
methemoglobinemia secara sengaja dengan nitrit pada keracunan HCN. Tidak seperti
hemoglobin, methemoglobin mengikat HCN dan dengan demikian mencegah inhibisi sistem
redoks pada rantai pernapasan di dalam sel.

Cara mempengaruhi laju ekskresi

Pada ekskresi juga dapat terjadi interaksi, dan interaksi ini akan menyebabkan perubahan laju
ekskresi. Zat pengasam atau pembasa yang mengubah pH urin akan dapat mempengaruhi laju
ekskresi asam atau basa lemah. Pengaruh pada ekskresi ini terjadi pada transpor pasif, artinya
pada absorpsi ulang zat bersangkutan dari urin melalui epitel tubulus masuk ke dalam plasma.
Interaksi pada proses angkutan aktif, antara lain dalam ginjal, terjadi jika suatu zat mengusir
zat lain dari sistem pengemban (carrier) yang berperan pada transpor aktif. Produk konjugasi,
yang terbentuk sebagai produk akhir metabolisme zat asing dalam tubuh, pada umumnya
diekskresi melalui transpor aktif. Karena sistem transpor untuk ekskresi sangat terbatas untuk
sejumlah zat, maka interaksi pada transpor aktif sering terjadi.

INTERAKSI SELAMA FASE TOKSIKODINAMIK

Masuknya beberapa racun bersama-sama, yang cara kerjanya sangat berbeda satu dari yang
lainnya, seringkali mempertinggi risiko karena dengan kerja zat yang satu tidak jarang
kemampuan pertahanan tubuh berkurang hingga daya tahan tubuh terhadap racun lainnya
juga berkurang. Dalam hal ini terutama pada kerja karsinogenik dan mutagenik, karena
biasanya jika dua karsinogen atau dua mutagen bekerja, akan terjadi sumasi (penjumlahan)
dari kerja kedua zat tersebut. Juga kontak sebelumnya dengan zat karsinogen atau mutagen
patut diperhitungkan. Sumasi kerja dapat pula terjadi pada kerusakan kronis yang terjadi
sebelumnya. Contohnya, perokok berat terutama rokok putih seringkali menderita bronkhitis
kronis, dan patut dipertanyakan apakah orang ini harus ditempatkan pada kedudukan dimana
terjadi rangsangan tambahan lagi bagi saluran napasnya. Pada umumnya setiap orang yang
bekerja pada suatu tempat yang mengharuskannya berkontak dengan zat yang dengan cara
apapun dapat menimbulkan kerusakan kronis, sebaiknya waktu kerja dibatasi. Misalnya,
setelah waktu eksposisi tertentu, diadakan pertukaran atau mutasi kerja. Risiko keracunan di
tempat pekerjaan akan lebih tinggi pada orang yang selalu minum obat atau yang selalu
merokok. Penggolongan interaksi toksikodinamik dari zat aktif biologi dapat digunakan
untuk mengenal dan mengatasi persoalan yang timbul akibat pemakaian kombinasi beberapa
zat. Pada kombinasi dua zat dapat terjadi kemungkinan berikut: (1) kombinasi suatu zat aktif
A dengan zat B yang tak aktif akan tetapi dapat mengubah kerja zat A, dan (2) kombinasi dua
zat, yang keduanya aktif.

Antagonisme

Antagonisme Persaingan (Kompetitif). Pada jenis antagonisme ini, agonis dan antagonis
bekerja pada pusat aktif yang sama, reseptor yang sama. Antagonis mendesak agonis dari
tempat kerjanya. Jenis antagonisme semacam ini terjadi antara metabolit dan antimetabolit,
vitamin dan antivitamin, histamin dan antihistamin, kolinergika dan antikolinergika, dll.
Antagonis persaingan (kompetitif) dapat mengambil tempat agonis tetapi tak dapat
mengambil alih fungsi agonis tersebut. Antagonisme persaingan penting dalam bidang
toksikologi, karena banyak antidot mendasarkan kerjanya pada antagonisme ini.

Antagonisme Kimia. Antagonisme kimia atau antagonisme dengan penetralan (netralisasi)


adalah suatu bentuk antagonisme, yang dalam peristiwa ini antagonis bereaksi secara kimia
dengan agonis dan kemudia menginaktifkannya. Jenis antagonisme ini juga sering berguna
pada penanganan keracunan. Antagonisme kimia terjadi pada fase toksokinetik.

Antagonisme non-kompetitif. Pada antagonisme non kompetitif, antagonis mengganggu


timbulnya efek oleh agonis. Tanpa bereaksi sendiri dengan agonis ataupun reseptor
spesifiknya. Hal ini berarti bahwa suatu antagonis non kompetitif bekerja pada salah satu
tingkat reaksi biokimia atau biofisika, yang ada setelah interaksi agonis-reseptor menuju efek
sesungguhnya. Beberapa antagonis non kompetitif dengan cara kerja yang berbeda dapat saja
mengantagonisasi agonis yang sama, sedangkan satu antagonis non kompetitif dapat pula
mengantagonis (melawan) berbagai agonis dengan tempat kerja yang berbeda. Sejumlah
antidot terutama yang digunakan untuk penanganan simptomatik keracunan, bekerja sebagai
antagonis non kompetitif.

Antagonisme fungsi. Yang dimaksud dengan antagonisme fungsi adalah jika efek suatu
agonis diperlemah oleh efek berlawanan dari agonis lain yang bekerja pada sistem sel yang
sama tetapi pada reseptor yang berlainan.

Antagonisme fisiologi mirip dengan antagonisme fungsi. Disini juga terjadi antagonisme
antara dua agonis, tetapi agonis bekerja pada sistem sel yang berbeda dan menimbulkan efek
berlawanan pada sistem sel ini sehingga efek yang diukur merupakan resultante kedua efek
tersebut.

Sinergisme

Berbagai jenis sinergisme terjadi pada interaksi selama fase eksposis dan toksokinetik.
Misalnya, sinergisme antara suatu tokson dengan zat, yang meninggikan absorpsinya atau
yang menghambat inaktivasi biokimia atau ekskresinya. Sinergisme lain yang juga terjadi
pada fase toksikokinetik, ialah naiknya pembentukan metabolit toksik oleh senyawa yang
menaikkan kapasitas sistem enzim di hati dengan induksi. Sedangkan sinergisme pada fase
toksikodinamik terutama sinergisme zat karsinogenik dan mutagenik.

FAKTOR RISIKO TERHADAP TOKSISITAS


19 Oktober 2010
oleh Fadhil Hayat

Setiap zat pada dosis tertentu dapat bekerja sebagai racun. Seringkali keadaanlah yang
menentukan apakah suatu zat bekerja toksik atau tidak. Zat berbahaya adalah zat yang
risikonya besar. Untuk mendapatkan data risiko pengaruh zat berbahaya ini ada beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas berdasarkan fase
toksik, yaitu fase eksposisi, fase toksikokinetik, dan fase toksikodinamik.

FAKTOR RISIKO PADA FASE EKSPOSISI

Dosis

Dosis ditentukan oleh konsentrasi dan lamanya eksposisi zat yang diberikan pada seseorang.
Faktor tertentu seperti ventilasi di tempat kerja, jenis kerja, kegunaan pelindung debu pada
mesin yang menimbulkan debu, memegang peranan penting pada penentuan dosis. Dosis
juga dipengaruhi oleh jumlah jam kerja (termasuk lembur) dan waktu kerja. Konsentrasi zat
berbahaya yang ada di lingkungan seringkali lebih tinggi pada sore hari daripada pagi hari,
pada saat pekerjaan baru dimulai. Untuk membatasi eksposisi sebaiknya istirahat kerja
dilakukan di tempat yang tidak tercemar (terkontaminasi). Juga penting untuk mempersingkat
jangka waktu eksposisi dengan melakukan pergantian kerja.

Higiene Kerja Umum

Pakaian kerja yang tercemari (terkontaminasi) setelah berdinas tidak dibawa pulang dan
secara teratur dibersihkan. Hal yang penting juga untuk higiene kerja yaitu menyimpan zat
berbahaya secara terpisah, dengan benar dan aman. Hal ini juga berlaku untuk zat kimia yang
digunakan dalam rumah tangga seperti deterjen, pelarut kosmetika dan obat. Bahan-bahan ini
harus disimpan sedemikian rupa sehingga tak mudah dicapai anak-anak. Terutama anak balita
yang secara alamiah akan memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya.
Kecerobohan yang tak bertanggung jawab yang kadang-kadang menjurus pada perbuatan
kriminal seringkali merupakan penyebab keracunan anak-anak.

Higiene Kerja Perorangan

Higiene perorangan di tempat kerja dapat dicapai antara lain dengan menjelaskan pada
pekerja bagaimana misalnya membatasi pembentukan debu dan sedapat mungkin
menghindari kontak antara bahan berbahaya dengan kulit. Juga menerangkan pemakaian alat-
alat kerja, sarung tangan dan lain-lain secara benar. Peraturan saja tidak cukup, tetapi harus
dilaksanakan. Harus diperhatikan bahwa pekerja dapat mengerti peraturan yang ada.
Kurangnya tanggung jawab sosial dan intelegensia pemberi kerja dapat menyebabkan
timbulnya bahaya kerja karena cara yang salah.

Pelaksanaan Pengawasan

Pengawasan yang penting yaitu memeriksa ulang nilai MAC. Sangat penting untuk
menentukan konsentrasi zat berbahaya sewaktu-waktu secara teratur di tempat kerja, untuk
memastikan bahwa nilai MAC tidak terlampaui. Jika digunakan zat radioaktif, harus
diperhatikan bahwa pekerja memakai plakat dengan film yang peka penyinaran, yang
menunjukkan dosis penyinaran radioaktif. Dengan suatu sistem perlindungan lingkungan,
pengotoran udara harus secara teratur dijaga dan kemudian diikuti dengan peringatan jika
nilai toleransi sudah terlampaui.

Nilai MAC dapat dibandingkan dengan nilai ADI (Acceptable Daily Intake). Nilai ini penting
untuk menentukan jumlah yang diizinkan dari bahan tambahan pada makanan dan residu
(termasuk pestisida). Nilai ADI ialah dosis (dalam mg/kg BB) atau konsentrasi zat (dalam
ppm) yang tidak menunjukkan kerja biologi (no effect level), dibagi dengan suatu faktor
keamanan. Faktor keamanan ini tergantung pada jumlah data yang ada tentang toksisitas
senyawa tersebut. Pada DDT misalnya yang jumlah data toksikologinya sangat banyak dan
sejumlah uji toksisitasnya menunjukkan hasil negatif, maka faktor keamanannya mempunyai
harga 10, sedangkan dieldrin diharuskan memiliki faktor 200 karena pada mencit
menunjukkan kerja karsinogenik.

Peraturan Perundang-undangan

Sampai batas tertentu, pejabat yang berwenang dapat memberikan pedoman berdasarkan
perundang-undangan tentang pengembangan zat yang kurang berbahaya. Kadang-kadang
dapat dihindari secara menyeluruh pemakaian zat yang berbahaya. Contohnya penggantian
fosfor kuning pada kepala korek api dengan fosfor merah, penukaran bahan anti letup pada
bensin yang mengandung timbal dengan bahan anti letup bebas timbal karena meningkatnya
pencemaran lingkungan oleh timbal, penggantian deterjen yang mencemari lingkungan
dengan deterjen lain, dan pelarangan penggunaan DDT. Pada umumnya pejabat yang
berwenang tidak dapat melarang pemakaian zat tertentu secara mutlak tetapi mereka dapat
membuat peraturan yang lebih ketat.

Keadaan Fungsi Organ yang Berkontak

Keadaan fungsi organ yang berkontak dengan suatu zat toksik, akan mempengaruhi kerja
eksposisi. Hal ini terutama berlaku untuk sistem respirasi dan kulit. Pada respirasi dapat
dibedakan antara jumlah zat yang terdapat dalam udara yang dihirup dan jumlah zat yang
tertinggal dalam paru-paru. Hal yang terakhir ini bukan ukuran jumlah zat yang diabsorpsi.
Jumlah yang tertinggal dalam paru-paru sebanding dengan volume pernapasan tiap menit dan
perbedaan konsentrasi udara yang dihirup dan udara yang dikeluarkan. Oleh karena itu, hal
ini tergantung pada, antara lain, frekuensi pernapasan, beban kerja dan usia yang
bersangkutan, juga pada suhu dan kelembaban udara relatif.

Absorpsi melalui kulit dipengaruhi oleh kandungan kelembaban, peredaran darah kulit dan
keadaan masing-masing lapisan kulit. Jika permukaan lapisan lemak kulit rusak, maka tidak
hanya zat lipofil yang diabsorpsi, tetapi juga zat hidrofil. Pada absorpsi melalui saluran
pencernaan pH lokal sangat berperan (kecuali untuk toksikologi kerja).

Pada keadaan dimana terjadi bioinaktivasi atau bioaktivasi dalam hati, maka cara masuknya
zat ke dalam organisme memegang peranan penting. Zat yang diinaktivasi dengan cepat di
hati, akan lebih toksik jika masuk melalui pernapasan atau melalui kulit dibandingkan dengan
pemasukan secara oral. Sebaliknya zat yang menjadi toksik di hati, maka pemberian secara
oral akan lebih toksik daripada cara pemberian lain. Contohnya, paration yang dalam bentuk
aslinya tidak toksik, tetapi dalam hati diubah menjadi paraoksan yang merupakan racun
sesungguhnya dan merupakan inhibitor tak bolak-balik yang sangat kuat dari
asetilkolinesterase.

FAKTOR RISIKO PADA FASE TOKSIKOKINETIK

Keadaan Fungsi Organ pada Ekskresi dan Detoksifikasi

Untuk biotransformasi dan ekskresi, keadaan fungsi hati dan ginjal sangat penting. Karena
untuk eliminasi, hubungan kedua sistem organ ini sangat erat. Pada pasien yang berpenyakit
hati dan insufisiensi ginjal, terjadi perlambatan detoksifikasi dan ekskresi zat toksik, sehingga
jika terjadi kontak dengan zat toksik maka pasien tersebut lebih peka dibandingkan dengan
orang normal.

Yang harus dipertimbangkan tidak hanya keadaan fungsi organ yang bertanggung jawab pada
ekskresi, yaitu ginjal, tetapi juga keadaan fungsi saluran urin. Hal ini terutama berlaku untuk
hidrolisis konjugat (misalnya glukuronida) zat toksik terutama karsinogen.

Eksposisi Sebelumnya

Eksposisi dengan suatu zat yang terjadi sebelumnya, yang terakumulasi di dalam tubuh
(misalnya, timbal, insektisida tertentu) akan mempertinggi risiko pada kontak berikutnya
dengan zat tersebut. makin besar jumlah yang tersimpan dalam tubuh, bahaya yang
diakibatkan mobilisasi dari jaringan lemak atau tulang akan makin tinggi. Jika bahaya
semacam ini ada, maka tugas orang yang bersangkutan harus diubah atau bahkan berganti
profesi.

Perbedaan pada Pra-disposisi Genetik

Perbedaan genetik dapat merupakan penyebab perbedaan kemampuan tubuh untuk


menawarkan racun, misalnya terjadinya perpanjangan kerja suksinikolin pada pasien dengan
kelainan genetik dari kolineterase plasma, atau perbedaan laju asetilasi obat. Suatu sistem
enzim yang kurang mampu menawarkan racun, dapat menyebabkan kadar xenobiotika lebih
tinggi dari biasanya.

Pelaksanaan Uji Eksposisi secara Berkala

Uji yang dilaksanakan secara berkala pada orang yang tereksposisi racun yang potensial
dapat merupakan tindakan pencegahan untuk menemukan secara dini hal tersebut. Uji ini
biasanya dilakukan pada urin, karena konsentrasi zat asing atau metabolitnya dalam urin pada
umumnya lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga identifikasi dalam urin akan lebih
mudah. Walaupun metode untuk penentuan dalam urin harus cukup peka untuk dapat
mengukur juga kadar dibawah MAC.

FAKTOR RISIKO PADA FASE TOKSIKODINAMIK

Perbedaan Kepekaan Perorangan

Perbedaan kepekaan perorangan dapat mempengaruhi baik fase toksokinetik maupun


toksodinamik. Contohnya usia, jenis kelamin, kehamilan gizi dan keadaan kesehatan
menyeluruh dari individu bersangkutan. Pada kehamilan terutama pada 3 bulan pertama,
disamping diperhatikan pengaruh obat-obatan juga harus diperhatikan pengaruh zat toksik.

Pasien yang cenderung terkena reaksi alergi, juga akan berbahaya jika berkontak dengan zat
kimia. Pasien yang berpenyakit saluran napas, misalnya asma dan bronkhitis, akan cepat
bereaksi terhadap pengotoran udara.

Perbedaan karena Faktor Genetik

Pada fase toksodinamik juga dapat terjadi perbedaan karena faktor genetik. Contohnya,
tingginya pembentukan methemoglobin pada pasien yang menderita kekurangan glukose-6-
fosfat dehidrogenase dalam eritrositnya.

Eksposisi Sebelumnya

Kontak yang terjadi sebelumnya juga berperan pada fase toksodinamik, terutama pada racun
yang menunjukkan adanya kumulasi kerja (misalnya karsinogen, mutagen). Dalam hal ini
risiko akan dipertinggi karena kerusakan kromosom yang terjadi pada waktu lampau dan
yang terjadi sekarang akan dijumlahkan (beradisi). Oleh karena itu  eksposisi dengan zat yang
menyebabkan kerusakan genetik harus dicegah sebelum dan selama masa pubertas. Hal ini
juga akan berlaku sinar radioaktif dan senyawa karsinogen potensial selama usia
pertumbuhan. Kemungkinan besar perokok berat, yang risikonya untuk menderita penyakit
saluran napas dan kanker paru-paru tinggi, akan lebih peka terhadap zat kimia yang juga
merusak seperti rokok.

Pemeriksaan Kesehatan yang teratur

Pada toksikologi kerja, pemeriksaan kesehatan yang teratur bagi para pekerja yang berkontak
dengan zat toksik harus merupakan bagian upaya pencegahan. Disamping itu, adanya bukti-
bukti yang kuat tentang bahaya keracunan akan menyebabkan ketidaktenangan dan rasa
takut. Dengan analisis yang teliti tentang penyebab kegagalan kerja karena penyakit dan
keluhan keadaan penyakit pada berbagai industri, akan dapat dideteksi bahaya, yang dapat
dicegah dengan menggunakan mekanisme pelindung yang tepat.

Pemeriksaan Epidemiologi Umum

Untuk mendapatkan petunjuk tentang faktor penyebab penyakit di tempat kerja, dapat
dianalisis data yang didapatkan dari daftar isian tentang riwayat kerja seseorang. Penyebaran
geografis penyakit yang timbul di daerah tertentu (misalnya jenis kanker tertentu) merupakan
kemungkinan lain untuk mendeteksi penyebab kerusakan semacam itu. Biasanya cara hidup
dan kebiasaan makan berpengaruh pada kerja zat toksik. Contohnya, penyakit Itai-itai yang
ada pada daerah tertentu di Jepang. Penyakit ini disebabkan oleh konsentrasi kadmium yang
tinggi dalam sungai di daerah tersebut yang berasal dari tambang seng. Hasil analisis
menunjukkan bahwa dalam makanan dan air minum kadar kadmium mencapai 1 ppm,
sehingga tiap orang menerima 2 mg kadmium tiap hari.

Contoh lain adalah penyakit Minamata, yang timbul di sekitar teluk Minamata di Jepang. Di
sini penyakit disebabkan oleh konsentrasi senyawa raksa yang tinggi (50-80 mg/kg) dalam
ikan yang berasal dari teluk tersebut. Industri di sana menggunakan raksa sebagai katalisator
dalam jumlah besar, dan sisa buangan, antara lain metilmerkuri, dialirkan ke teluk sehingga
dengan cara ini terjadi pencemaran air. Senyawa raksa yang larut dalam lemak akan
tertimbun dengan cepat dalam organ biologi.

Disamping pemeriksaan penduduk secara teratur, informasi penting tentang bahaya


lingkungan dapat diperoleh pula dari pemeriksaan fauna dan flora, sehingga risiko yang
timbul dari penggunaan racun dapat ditekan. Contohnya adalah musnahnya lumut, tumbuhan
epifit ini sangat peka terhadap SO2- segera setelah konsentrasi SO2 dalam udara lebih besar
dari 0,035 ppm.

Keadaan Gawat Darurat

Disamping MAC, pada keadaan tertentu juga digunakan nilai lain, misalnya pada
pembersihan ruangan. Nilai adalah ETL (Emergency Tolerance Limit=Batas Toleransi
Darurat) yang nilainya lebih tinggi, tetapi hanya diizinkan untuk waktu yang singkat. Pada
keadaan gawat darurat digunakan nilai EEL (Emergency Eksposure Limit=Batas Eksposisi
Darurat), yang memberikan waktu eksposisi maksimum untuk konsentrasi zat toksik tertentu.

FAKTOR RISIKO PADA PEJAMU

Spesies, Strain dan Individu

Terdapat perbedaan efek toksik antara satu spesies dengan spesies yang lain. Hal ini
digunakan untuk mengembangkan, misalnya pestisida yang lebih toksik bagi hama daripada
bagi manusia dan mamalia lain. Diantara berbagai spesies mamalia, efek toksikan kurang
lebih serupa. Meskipun demikian, diantara mamalia pun ada perbedaan yang menonjol dalam
toksisitas. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme detoksikasi.

Keragaman dalam bioaktivasi juga memyebabkan banyak perbedaan dalam toksisitas.


Meskipun perbedaan dalam biotransformasi, termasuk bioaktivasi, menyebabkan variasi
spesies dalam kerentanannya terhadap sebagian besar zat kimia, faktor lain seperti absorpsi,
distribusi, dan ekskresi juga berperan.

Terlepas dari variasi kerentanan antara satu spesies dan spesies lain, serta antara satu strain
dengan strain lain, ada juga variasi di antara individu dalam spesies yang sama dan strain
sama. Variasi individual semacam itu biasanya relatif kecil, tetapi ada beberapa kekecualian.

Seks, Status Hormonal dan Kehamilan

Hewan jantan dan betina dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap
toksikan dengan cara yang sama pula. Meskipun demikian, ada perbedaan kuantitatif yang
menonjol dalam kerentanan mereka, terutama pada tikus. Tikus betina lebih peka daripada
tikus jantan terhadap insektisida organofosfat. Perbedaan antarseks dalam kerentanan juga
terlihat untuk zat kimia lain. Ketidakseimbangan hormon nonseksual dapat juga mengubah
kerentanan hewan terhadap toksikan. Ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa
tikus hamil lebih rentan terhadap aktivitas karsinogenik.

Umur

Neonatus dan hewan yang sangat muda umumnya lebih rentan terhadap toksikan. Untuk
sebagian besar toksikan, organisme muda 1,5 – 10 kali lebih rentan daripada yang dewasa.
Lebih rentannya hewan muda terhadap banyak toksikan ini disebabkan defisiensi berbagai
sistem enzim detoksikasi. Namun tidak semua zat kimia lebih toksik pada umur muda. Zat-
zat tertentu, terutama perangsang SSP, tidak begitu toksik bagi neonatus.

Toksikan tertentu lebih banyak diserap oleh mahluk muda daripada mahluk dewasa.
Misalnya, anak-anak dapat menyerap timbal 4 – 5 kali lebih banyak daripada orang dewasa
dan dapat menyerap kadmium 20 kali lebih banyak. Lebih besarnya kerentanan terhadap
morfin pada anak-anak, disebabkan oleh kurang efisiennya sawar darah-otak.

Status Gizi

Biotransformasi utama dari toksikan dikatalisis oleh sistem oksidase fungsi campur
(MFO=Mix Function Oksidase) mikrosom. Defisiensi asam-asam lemak esensial dan protein
biasanya menekan aktivitas MFO. Berkurangnya MFO berbeda pengaruhnya pada toksisitas
zat kimia. Sejumlah penelitian karsinogenesis telah menunjukkan bahwa pengurangan jumlah
zat makanan dapat menurunkan kejadian tumor. Kekurangan protein biasanya menurunkan
tumorigenesitas karsinogen. Defisiensi vitamin A, C dan E menekan fungsi MFO. Disamping
itu defisiensi vitamin A juga meningkatkan kerentanan sistem pernapasan terhadap
karsinogen.

Beberapa makanan mengandung cukup banyak zat kimia yang merupakan penginduksi kuat
bagi MFO, misalnya, safrol, flavon, xantin, dan indol, serta DDT dan PCB (bifenil poliklorin)
sebagai pencemar makanan.

Penyakit

Hati adalah organ utama tempat biotransformasi zat-zat kimia, sehingga penyakit seperti
hepatitis akut dan kronis, sirosis hati, dan nekrosis hati sering mengakibatkan menurunnya
biotransformasi. Penyakit ginjal dapat juga mempengaruhi manifestasi toksik berbagai zat
kimia. Efek ini terjadi akibat kacaunya fungsi ekskresi dan metabolik ginjal. Penyakit jantung
yang berat juga dapat meningkatkan toksisitas beberapa zat kimia dengan mengganggu
sirkulasi hati dan ginjal, sehingga mempengaruhi fungsi metabolik dan ekskresi alat tubuh
ini. Penyakit saluran napas seperti asma membuat penderitanya jauh lebih rentan terhadap
pencemaran udara (SO2).

FAKTOR LINGKUNGAN SEBAGAI FAKTOR RISIKO

Faktor Fisik

Perubahan suhu dapat mengubah toksisitas. Efek suhu lingkungan terhadap besar dan
lamanya respons tampaknya berhubungan dengan reaksi biokimia yang bergantung suhu,
yang berperan dalam menimbulkan efek dan biotransformasi bahan kimia itu. Sementara itu
penelitian mengenai hubungan antara tekanan barometrik dan toksisitas kimia berawal dari
pajanan manusia terhadap toksikan di angkasa luar serta dalam kapal selam atau peralatan
selam. Pengaruh perubahan tekanan barometri pada toksisitas zat kimia tampaknya terutama
diakibatkan oleh berubahnya tekanan oksigen, bukan karena efek tekanan secara langsung.

Iradiasi seluruh tubuh meningkatkan toksisitas perangsang SSP tetapi menurunkan toksisitas
depresan SSP. Namun iradiasi ini tidak berefek pada analgesik seperti morfin. Efek toksikan
sering memperlihatkan pola harian yang terutama berhubungan dengan siklus cahaya.

Faktor sosial

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan peternakan dan berbagai jenis faktor sosial
dapat mengubah toksisitas bahan kimia pada hewan, seperti penanganan hewan, cara
pengandangan (satu demi satu atau dalam kelompok), jenis sangkar, dan bahan alas.

http://fadhilhayat.wordpress.com/

Toksikologi
January 9, 2010 · Filed under Farmako

Toksikologi merupakan cabang ilmu science yang mempelajari tentang efek negatif bahan
kimia terhadap makhluk hidup. Efek negatif yang dimaksud yaitu menyimpang dari kondisi
normal (paling bahaya adalah efek molekular sebagai dasar terbentuknya kanker). Toksisitas
adalah derajat suatu bahan yang berbahaya.

Masyarakat memandang semua bahan adalah racun yang membedakan adalah dosis. Menurut
ilmu toksikologi, toxicant merupakan bahan yang jika dosisnya menurun sudah bisa
menimbulkan efek negatif.

Ilmu toksikologi dibagi lagi macamnya, antara lain: mekanisme toksikologi, regulatory
toksikologi, descriptive toksikologi, forensic toksikologi, environmental toksikologi, clinical
toksikologi, developmental toksikologi, serta toksigenomik.

Regulatory toksikologi adalah ilmu toksikologi yang mempelajari tentang dosis (limit)dari
bahan kimia yang bisa diterima oleh makhluk hidup. Descriptive toksikologi adalah ilmu
yang menjelaskan tentang efek-efek toksis dengan testing ke animal-animal. Forensic
toksikologi adalah ilmu yang meneliti toxicant yang membuat orang tersebut mati (forensik).
Environment toksikologi adalah ilmu menjelaskan cyclus pulutan den efeknya terhadap
lingkungan.

Respon terhadap toksikan meliputi: berubah mencari kesetimbangan baru, berdasarkan port
d’entry, bisa lokal atau sistemik, reversibel atau ireversibel, bisa timbul cepat atau lambat.
Pada kurva dosis respon bisa terdapat NOEL (no observed effect level), linear range (batas
dimana dosis sebanding dengan efek). Maximum efek ditandai dengan dosis yang makin
meningkat menunjukkan efek yang tetap.

Tidak semua bahan yang masuk tubuh bisa memasuki plasenta atau otak karena adanya
mekanisme pertahanan tubuh. Mekanisme pertahanan aktif yaitu kontrol absorbsi Fe bebas
feritin (feritin meningkat maka absorbsi menurun). Terdapat juga mekanisme
biotransformasi toksikan (supaya tidak terdapat dalam tubuh bentuk bebasnya) dan juga
mekanisme eliminasi. Hepar merupakan organ yang paling penting untuk biotransformasi
toksikan.

Toksisitas akut disebabkan karena paparan tunggal/ single dose. Toksisitas akut bertujuan
untuk menetapkan lethal dose 50 (LD50). Toksisitas subkronik disebabkan oleh paparan
berulang dalam waktu <1/2 expected life. Toksisitas kronik dikatakan jika paparannya >1/2
expected life.

Fase toksikologi dimulai dari paparan kemudian toksikokinetik (absorbsi, distribusi,


metabolisme, ekskresi), dilanjutkan toksikodinamik. Paparannya bergantung pada dosis
(bioavailabilitas) yaitu faktor yang mempengaruhi banyaknya.  Absorbsi tergantung dari sifat
kelarutan dan sifat membran. Efeknya bisa seperti sel atau tidak. Distribusi dipengaruhi oleh
rute distribusi, barrier dan storagenya (ex. DDT didepo di lemak sehingga terjadi redistribusi
jika starvation, Pb didepo di tulang, Demineralisasi tulang terjadi jika kebutuhan calsium
meningkat pada ibu hamil sehingga bahaya untuk bayi). Biotransformasi pada konjugasi bisa
menginaktifkan bahan yang aktif.

Pada distribusi, dikenal adanya sekuestrasi (bisa kima yang langsung mengikat DNA secara
ireversibel sehingga timbul karsinoma). Biotransformasi terutama oleh sistem CYP. Bisa
terjadi reaksi bioaktivasi (ex. bromobenzene, CCl4, termasuk parasetamol menyebabkan
nekrosis dan karsinogenesis jaringan). Eliminasinya terutama melalui ginjal.

Toksikodinamik, ada yang dikenal sebagai ultimate toxicant (molekul yang akan bereaksi
dengan molekul sasaran dan menyebabkan perubahan fungsi). Kebanyakan efek toksik akan
mengalami fase repair dulu (sifat toksik muncul jika repairnya gagal).

Parameter toksidinamik antara lain: LD50, TD50, LC50, NOEL, dan ADI

Ukuran toksisitas LD50 yaitu dosis yang bisa menyebabkan kematian 50% hewan coba
(semakin menurun maka semakin mematikan). Jika dosis itu menimbulkan efek toksik 50%
binatang coba dinamakan TD50. Dikenal juga LC50 yang pemberiannya bersama zat pelarut
(udara, air). LC50 ditentukan oleh kecepatan hewan coba untuk menginhalasi/minum
tergantung kebutuhan hewan coba tersebut (parameter konsentrasi toxin dalam larutan yang
menyebabkan kematian 50% binatang coba). Penghitungannya tidak sama dengan LD50.
NOEL (no observed effect level) yaitu dosis toxin maksimal yang tidak menyebabkan
kematian pada 50% hewan coba. ADI (accetable daily intake) merupakan dosis toksikan
yang dapat dikonsumsi setiap hari tanpa menyebabkan toksik terhadap tubuh manusia.

Pengukuran toksisitas hanya dilakukan di laboratorium pada hewan coba. Efek samping
digunakan untuk memprediksi efek paparan pada manusia. Desainnya sudah baku, untuk
meminimalisir bias selektif.

Selain toksik, juga perlu diperhatikan alergi obat. Alergi memiliki berbagai macam tipe.
Alergi obat tipe II contohnya penggunaan antipsikotik dapat menimbulkan gejala
agranulositosis.

Like this:
http://merumerume.wordpress.com/2010/01/09/toksikologi/

Anda mungkin juga menyukai