Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

OTITIS MEDIA

Dosen Pembimbing: Ns. Safri, M.Kep, Sp.Kep.M.B

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. Aulia Sadeva ( 1711113637) 7. Gita Febriani (1711122591)


2. Ayu Lestari (1711113612) 8. Ilham Muarif (1711113741)
3. Ayu Rintiani (1711122759) 9. Maideni Fortuna (1711113732)
4. Dede Hidayat (1711121847) 10. Permata Regina Sonia (
5. Dwi Reski (1711113633) 11. Putri Dwi Ayu Ningrum (1711113656)
6. Fauziah Irwan (1711113748) 12. Rabika Zariyati Putri (

UNIVERSITAS RIAU

FAKULTAS KEPERAWATAN

2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah dengan judul
“Otitis Media” ini dengan baik.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pembimbing atas bimbingan yang telah
diberikan shingga makalah ini dapat selesai. Terimakasih juga kami ucapkan kepada pihak-pihak
yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah dan materi yang kami sajikan masih kurang
sempurna. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun unruk
menyempurnakan makalah ini, demikian makalah ini kami sampaikan semoga bermanfaat bagi
pembaca.

Rabu, 02 Oktober 2019

Pekanbaru

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover...............................................................................................i
Kata pengantar...............................................................................ii
Daftar isi..........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................1
1.2 Tujuan....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................5
2.1 Defenisi..................................................................................5
2.2 Etiologi...................................................................................5
2.3 Epidemiologi..........................................................................7
2.4 Patofisiologi...........................................................................8
2.5 Komplikasi.............................................................................10
2.6 Manifestasi Klinis...................................................................11
2.7 Pemeriksaan Diagnostik........................................................12
2.8 Penatalaksanaan...................................................................13
2.9 Asuhan keperawatan.............................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................21
3.1 Kesimpulan............................................................................21
3.2 Saran.....................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang dimaksud dengan telinga
tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan
telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius (Tortora
dkk, 2009). Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaituefusi telinga tengah yang
akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya tanda
inflamasi akut, serta munculnya gejala ot algia, iritabilitas, dan de mam (Linsk dkk, 1997;
Kaneshiro, 2010; WHO, 2010).
Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang
umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan ekonomi
rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi pada tiap-tiap
negara (Aboet, 2006; WHO, 2006; WHO-SEARO, 2007). Penyakit ini juga telah
menimbulkan beban lain yang cukup berarti, diantaranya waktu dan biaya. Ramakrishnan
menemukan bahwa OMA merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi di
Amerika Serikat (Ramakrishnan, 2007). Salah satu laporan Center for Disease Control
and Prevention (CDC) dalam salah satu programnya yaitu CDC’s Active Bacterial Core
Surveillance (ABCs) di Amerika Serikat tahun 1999 menunjukkan kasus OMA terjadi
sebanyak enam juta kasus per tahun. Meropol, dkk juga mendapati 45-62% indikasi
pemberian antibiotik pada anak-anak di Amerika Serikat disebabkan OMA (Meropol
dkk, 2008). Oleh karena pemakaian antibiotik yang tinggi, beban negara tersebut yang
digunakan untuk kasus OMA tergolong signifikan, melebihi 3,8 triliun dolar setiap
tahunnya (Heikkinen dkk, 1999). Sementara itu di Kanada, tepatnya di Quebec, biaya
penanganan OMA diperkirakan menghabiskan dana lebih dari sepuluh juta dolar setiap
tahunnya dan tenaga medis menghabiskan waktu kira-kira 4,9 jam untuk keseluruhan
penanganan OMA (Dube dkk, 2011).
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan dengan
terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan

1
kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase
perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba Eustachius memang memiliki
posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia
lebih dewasa (Tortora dkk, 2009). Hal inilah yang membuat kecenderungan terjadinya
OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan usia dewasa
(Torpy, 2010).
Berdasarkan realita yang ada, Donaldson menyatakan bahwa anak-anak berusia 6-
11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring dengan
pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usia yang lebih tua,
beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase kejadian yang cukup
kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun. Setelah
gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupu n beberapa
individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering
mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang,
individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun
mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi
virus juga mengalami OMA (Donaldson, 2010).
Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus OMA
berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai negara.
Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi,
balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan
terjadi, namun dengan frekuensi yang t ida k setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010).
Di Amerika Serikat, Lanphear, dkk menyatakan bahwa otitis media merupakan diagnosis
yang paling sering ditegakkan pada anak-anak pra-sekolah, bahkan kejadiannya
meningkat selama dekade terakhir (Lanphear dkk, 1997). Donaldson (2010) bahkan
menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan OMA sebelum
usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan studi di Quebec dan mendapatkan
bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1 kali episode OMA.
Berbeda dengan para peneliti sebelumnya, Balzanelli, Yonamine, dan Geyik
menemukan hasil yang cukup berbeda mengenai kasus OMA pada orang dewasa.
Balzanelli, dkk (2003) pada tahun 1993-2000 menemukan 11 pasien OMA yang berusia

2
antara 21-71 tahun Di Brazil, Yonamine, dkk dalam studinya mengemukakan bahwa
estimasi insidensi OMA pada orang dewasa berkisar 0,004% dan progresivitas kasus
OMA umumnya lebih berat pada orang dewasa (Yonamine dkk, 2009). Hal ini berbeda
dengan kasus OMA pada anak-anak, karena meskipun sering terjadi, kasus OMA pada
anak-anak umumnya dapat membaik dengan perhatian khusus (watchful waiting) tanpa
perlu diberikan antibiotik tertentu, kecuali adanya indikasi lain (Bylander dkk, 2007).
Geyik, dkk (2002) dalam studinya di Turki mendapatkan 56 kasus OMA pada orang
dewasa.
Di Indonesia sendiri, belum ada data akurat yang ditemuka n untuk menunjukkan
angka kejadian, insidensi, maupun prevalensi OMA. Suheryantomenyatakan bahwa
OMA merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, bahkan di
poliklinik THT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 1995 dan tahun 1996, OMA
menduduki peringkat enam dari sepuluh besar penyakit terbanyak dan pada tahun 1997
menduduki peringkat lima, sedangkan di poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada tahun 1995 menduduki peringkat dua (Suheryanto, 2000). Di sisi lain, penelitian
maupun pendataan yang meninjau hubungan faktor usia dan kejadian OMA belum
pernah dilakukan di Medan. Situasi ini mencetuskan pemikiran untuk mengetahui
hubungan faktor usia dengan terjadinya OMA, secara khusus di RSUP H. Adam Malik
Medan periode 2009-2010.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada
klien dengan Otitis Media.
2. Tujuan khusus
1) Mahasiswa dapat mengetahui defenisi Otitis Media.
2) Mahasiswa dapat mengetahui etiologi Otitis Media.
3) Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi Otitis Media.
4) Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi Otitis Media.
5) Mahasiswa dapat mengetahu Komplikasi Otitis Media.
6) Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis Otitis Media.

3
7) Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan diagnostic Otitis Media.
8) Mahasiswa dapat menegtahui penatalaksanaan Otitis Media.
9) Mahasiswa dapat memahami Asuhan Keperawatan Otitis Media.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Otitis Media


 Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
 Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah
(Buchman, 2003).
 Penyakit Otitis Media adalah infeksi yang terjadi pada rongga telinga tengah
akibat disfungsi Tuba Eustasius (TE).
 Otitis Media adalah inflamasi pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustacius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
2.2 Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media.
Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga pencegahan
invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga merupakan
salah satu faktorpenyebab yang paling sering walaupun perkembangan dari OMSK
merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret otitis
media supuratif kronis berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut.
Bakteri yang sering di jumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus danProteus sp. Sedangkan bakteri pada OMSA yaitu
Streptococcus pneumoniae, H. influenza dan Morexella kataralis (Nursiah, 2003).
Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK yaitu E. Coli, Difteroid, Klebsiella dan
bakteri anaerob seperti Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan
berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab

5
biasanya adalah Pneumococcus, Streptococcus atau Haemophylus influenzae. Tetapi
pada OMSK keadaan ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani, infeksi
lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi. Pengobatan penyakit
infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan hasil uji kepekaan kuman
(Nursiah, 2003).
Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak
dan jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis dan sinusitis) mencapai telinga tengah melalui tuba
eustachius. Fungsi tuba eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang
dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom. Adanya tuba patulous
menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di
Amerika Serikat (Nursiah, 2003).
Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah
defisiensi immun sistemik, kelainan humoral (seperti hipo gamma globulinemia) dan cell
mediated (seperti infeksi HIV) dapat sebagai manifestasi sekresi telinga kronis. Penyebab
OMSK antara lain:
a. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi mempunyai hubungan
erat dimana kelompok sosioekonomi rendah memilikiinsiden yang lebih
tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan
secara umum dan tempat tinggal yang padat (Kumar, 1996).
b. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis
media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder (Kumar,
1996).
c. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis
media akut atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa
yang menyebabkan berkembang menjadi keadaan kronis (Kumar, 1996).

6
d. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif. Organisme yang terutama
dijumpai adalah gram negatif, flora tipe usus dan beberapa organisme lainnya
(Kumar, 1996).
e. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi bakteri dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara
normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan
bakteri (Kumar, 1996).
f. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar
terhadap otitis media kronis (Kumar, 1996).
g. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi (Kumar, 1996).

h. Gangguan fungsi tuba eustachius.


Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema
tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum
diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba
tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal (Nursiah,
2003).

2.3 Epidemioligi
Hampir 85% anak memiliki episode otitis media akut paling sedikit satu kali
dalam 3 tahun pertama kehidupan dan 50% anak mengalami 2 episode atau lebih. Anak
yang menderita otitis media pada tahun pertama, mempunyai kenaikan risiko otitis media
kronis ataupun otitis media berulang. Insiden penyakit akan cenderung menurun setelah
usia 6 tahun. Di Amerika Serikat, hampir semua anak pada usia 2 tahun akan mengalami

7
otitis media, dan kira-kira 17 persen anak usia 6 bulan telah mengalami 3 episode atau
lebih. Episode yang sering berulang mengakibatkan peningkatan kekhawatiran dan
kecemasan orang tua, disamping juga biaya kesehatan yang harus ditanggung. Pada
negara berkembang komplikasi yang sering ditemukan adalah gangguan pendengaran,
untuk itu pemberian vaksinasi pneumokokus penting untuk mencegah otitis media dan
komplikasinya.

2.4 Patofisiologis
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan
pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan
terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba
Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA). Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar
kemungkinan terjadinya OMA.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa
yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus tubarius
dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid pada anak dapat mengisi
nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius
serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba.
Tuba eustakius secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius
melindungi telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan
memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam telinga
tengah. Obstruksi mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat mengakibatkan efusi
telinga tengah. Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi
dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring. Obstruksi fungsional dapat
terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago penyokong tuba. Obstruksi fungsional
ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga
tengah menjadi negatif dan jika menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah.

8
Bila tuba eustakius mengalami obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret
nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila membran timpani
mengalami perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis atau
bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat juga dapat menyebabkan efusi
telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang lebih
pendek dibandingkan dewasa, yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks
sekresi nasofaring. Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi
saluran nafas yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi
dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering
menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Otitis media akut merupakan inflamasi telinga tengah dengan onset gejala dan
tanda klinis yang cepat, seperti nyeri, demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis
media yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi telinga tengah yang
asimtomatik. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani yang
menurun, dengan bentuk menjadi cembung, kemerahan dan keruh.

9
2.5 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari
abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi
tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough
(2003) dalam Djaafar (2005). komplikasi OMA terbagi kepada:
1) komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut ,
paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis).
2) ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).
Komplikasi dari OMSK dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial.
1) Komplikasi intratemporal yaitu abses subperiosteal, labirintitis, paresis
fasial, dan petrositis.
2) Komplikasi intrakranial yaitu abses ekstradura, abses perisinus,
tromboflebitis sinus lateral, abses otak, dan meningitis otikus.
OMSK dengan tanda komplikasi intratemporal atau intrakranial harus
direncanakan mastoidektomi secepatnya. Istilah mastoiditis digunakan ketika infeksi
menyebar dari mukosa sampai melibatkan dinding tulang sel–sel mastoid. Faktor–faktor
yang menyebabkan terjadinya mastoiditis ini antara lain: virulensi kuman, kerentanan
tubuh penderita, pneumatisasi mastoid, dan kolesteatoma.

10
Dalam era praantibiotik, dari 3225 pasien, 209 (6,4%) terdapat komplikasi
intrakranial; 48% meningitis otikus, 22,5% trombosis sinus lateral atau abses subdural,
16,5% abses otak, dan 13% komplikasi lain. Tindakan mastoidektomi dan antibiotik dosis
tinggi yang dapat menembus sawar otak dan diberikan secara intravena dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Abses subgaleal adalah akumulasi pus yang terdapat di suatu ruang antara
periosteum dan galea aponeurotika. Terjadi proses peradangan kronis pada daerah telinga
tengah dan tulang temporal sehingga dapat menyebar keluar dari mastoid melalui vena
emissaria interoseus yang berada dalam tulang temporal atau melalui sinus sigmoid dan
sinus dural. Terkadang infeksi dapat keluar dari kranium sampai keluar korteks tulang
temporal dan berakhir di ruang subgaleal sehingga dapat berkembang menjadi abses
subgaleal.6 Bakteri yang berpotensi invasif pada kasus mastoiditis dengan komplikasi
abses subgaleal adalah Streptococcus β hemolyticus, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, dan Proteus.

2.6 Manifestasi Klinis


1) Otitis Media Akut
Berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, OMA dapat dibagi menjadi 5
stadium:
a. Stadium radang tuba Eustachii (Salpingitis)
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membrane
timpani akibat terjadinya tekanan negatif didalam telinga tengah, karena
adanya absorbs udara. Kadang-kadang membran timpani sendiri tampak
normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi
tidak dapat dideteksi. Dari penderita sendiri biasanya mengeluh telinga
terasa tersumbat (oklusi tuba), gembrebeg (tinnitus low frequence), kurang
dengar, seperti mendengar suara sendiri (otofoni) dan kadang-kadang
penderita merasa pengeng tapi belum ada rasa otalgia.
b. Stadium Hiperemis (presupurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di
membran timpani. Mukosa cavum timpani mulai tampak hiperemis atau

11
oedem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang
serosa sehingga sukar terlihat. Pada stadium ini penderita merasakan
otalgia karena kulit dimembran timpani tampak meregang.
c. Stadium Supurasi
Oedem yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitel superfisial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum
timpani, menyebabkan membran timpani menjadi menonjol (bulging)
kearah telinga luar. Pada kedaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat. Serta rasa nyeri ditelinga bertambah hebat. Pada anak-
anak sering disertai kejang dan anak menjadi rewel. Apabila tekanan
eksudat yang purulen dicavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemik akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta terjadi thrombophlebitis
pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini
pada membrane timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
berwarna kekuningan, ditempat ini akan terjadi rupture, sehingga jika
tidak dilakukan insisi membaran timpani (miringitomi) maka
kemungkinan besar membran timapani akan rupture dan discharge keluar
keliang telinga luar. Dengan melakukan miringitomi incisi akan menutup
kembali karena belum terjadi perforasi spontan dan belum pernah terjadi
nekrosis pada pembuluh darah.
d. Stadium Perforasi
Stadium ini terjadi apabila terjadi ruptur pada membrane timpani
yang bulging pada saat stadium supurasi. Lubang tempat rupture (perforasi
tidak mudah menutup kembali).
e. Stadium Resolusi
Membrane timpani yang utuh, bila terjadi kesembuhan maka
keadaan membrane timpani perlahan-lahan akan normal kembali.
Sedangkan pada membrane timpani yang utuh tapi tidak terjadi
kesembuhan, maka akan berlanjut menjadi menjadi Glue Ear. Pada
keadaan ini sebaiknya dilakukan incise pada membrane timpani
(miringtomi) untuk mencegah terjadinya perforasi spontan. Pada

12
membrane timpani yang mengalami perforasi, bila tejadi kesembuhan dan
menutup maka akan menjadi Dry ear (sekret berkurang dan akhirnya
kering). Sedangkan bila tidak terjadi kesembuhan maka akan berlanjut
menjadi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), di mana sekret akan
keluar terus menerus atau hilang timbul.
2) Otitis Media Subakut
- Efusi 3 minggu- 3 bulan
3) Otitis Media Kronik/ menetap
- Efusi lebih dari 3 bulan

2.7 Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang


1) Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Adanya cairan yang keluar atau berada di sekitar liang telinga,mungkin
akan terlihat luka di sekita yang mengakibatkan adanya cairan keluar berupa
serosa,serosa-mukosa,mucus,purulent mukorulen dangam jenis cair ataupun
kental.Kemungkinan adanya luka ( lubang ) pada kavum timpani.Jika disertai
peradangan,akan terlihat kemerahan,di sertai pembengkakan.Jika disebabkan
karena masuknya benda asing maka akan terlihat adanya benda asing ( dapar
dilihat secara langsung atau dengan alat khusus).Adanya pembentukan
kolesteatoma penimbunan bahan putih yang menyurupainkulit) di telinga
tengah.Kolesteatoma menyebabkan kerusakan tulang dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi yang serius.Pada otitis media akut ataupun
otitis kronik tidak jauh hanya saja pada otitis media kronik kondisi klien lebih
parah dan lama diderita.
b. Palpasi
Saat ditekan terasa adanya benjolan dan adanya adanya nyeri tekan.
2) Pemeriksaan Penunjang
a. Otoskop pneumatic untuk melihat membrane timpani yang penuh,dan
bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mobilitas.

13
b. Kultur dan uji sensitifitas: dilakukan bila dilakukan timpanosensitesis
(aspirasi jarum dan telinga tengah melalui membran timpani).
c. Timpanogram untuk mengukur kesesuian dan kekakuan membrane
timpani.

2.8 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis jenis otitis media ditegakkan, target penatalaksanaan adalah
resolusi dari gejala, mencegah atau mengurangi kemungkinan rekurensi. Terapi otitis
media akut oklusi tuba adalah dekongestan topikal dan antibiotik oral. Terapi otitis media
hiperemis adalah analgetik dan antibiotik oral. Terapi otitis media akut supurasi adalah
miringotomi, analgetik, dan antibiotik oral. Terapi otitis media perforasi adalah bilas
dengan H2O2 dan antibiotik topikal. Terapi otitis media resolusi adalah pemantauan
secara rutin. Terapi otitis media supuratif kronis benigna adalah bilas dengan H2O2 dan
antibiotik. Terapi otitis media supuratif kronis maligna adalah mastoidektomi.

1) Medikamentosa
Otitis media dengan gejala ringan-sedang umumnya akan sembuh secara
spontan dan hanya membutuhkan terapi suportif berupa pemberian analgesik.
2) Analgesik
Analgesik sistemik seperti ibuprofen (10 mg/kg setiap 6 jam) dan
parasetamol (15 mg/kg setiap 6 jam) maupun analgesik lokal berupa suspensi
telinga antipyrine/benzocaine bermanfaat untuk mengatasi nyeri akibat otitis
media.
3) Antibiotik
Antibiotik dapat diberikan secara oral maupun topikal. Antibiotik
sebaiknya tidak diberikan pada anak usia di atas 6 bulan dengan otitis media
dengan gejala ringan-sedang (keadaan umum masih baik dan stabil, otalgia
tidak berat, dan demam tidak lebih dari 39 derajat Celsius). Lakukan observasi
selama 48-72 jam dan pemberian terapi suportif berupa pemberian analgesik

14
dan jika gejala tidak membaik, baru antibiotik diberikan. Pada anak di bawah
6 bulan, antibiotik diberikan tanpa perlu melakukan penundaan pemberian.
Antibiotik lini pertama yang dapat diberikan adalah amoksisilin dengan
dosis 80-90 mg/kgBB diberikan dalam dosis terbagi 2 kali per hari atau
ofloksasin dengan dosis 10 tetes (pada usia di atas 12 tahun) atau 5 tetes (pada
usia di bawah 12 tahun), 2 kali sehari, selama 7-10 hari.

Pada pasien dengan alergi penisilin hipersensitivitas tipe 1, berikan antibiotik


golongan makrolida dengan dosis sebagai berikut:

1) Azithromycin
Per oral 30 mg/kgBB dosis tunggal
Per oral 20 mg/kgBB diberikan sekali sehari, selama 3 hari
Per oral 5-10 mg/kgBB diberikan sekali sehari, selama 5 hari
2) Claritromycin
per oral 15 mg/kgBB diberikan dalam dosis terbagi 3 kali per hari

Pada pasien dengan alergi penisilin hipersensitivitas nontipe 1, sefalosporin dapat


diberikan dengan dosis berikut:

1) Cefdinir per oral 14 mg/kgBB (maksimum 600 mg/hari) diberikan sekali


sehari atau dalam dosis terbagi 2 kali per hari, selama 5- 10 hari
2) Cefpodoxime per oral 10 mg/kgBB (maksimum 400 mg/hari) diberikan sekali
sehari atau dalam dosis terbagi 2 kali per hari, selama 5-10 hari
3) Cefuroxime per oral 30 mg/kg (maksimum 1 gram/hari) dalam dosis terbagi 2
kali per hari, selama 5-10 hari

Jika gejala menetap selama 4-6 hari, berikan amoksiklav 90 mg/kg 1 kali per hari
selama 10 hari. Ceftriaxon intravena/intramuskular dapat diberikan dengan dosis 50
mg/kgBB satu kali per hari, selama 3 hari pada pasien dengan muntah atau resisten
terhadap amoksiklav. Jika tetap tidak ada respon terhadap terapi, berikan clindamycin
oral 30-40 mg/kgBB dalam dosis terbagi 4 kali per hari dan lakukan timpanosentesis
untuk kultur dan uji resistensi. Ganti antibiotik sesuai hasil kultur dan uji resistensi
yang dilakukan.

15
1) Antihistamin
Penggunaan antihistamin dapat memperpanjang durasi efusi otitis media.
Untuk itu, antihistamin tidak disarankan diberikan secara rutin untuk otitis
media.

2.9 Asuhan Keperawatan Otitis Media


1) Pengkajian Fokus
a. Riwayat kesehatan : adakah baru-baru ini infeksi pernafasan atas
ataukah sebelumnya klien mengalami ISPA, ada nyeri daerah telinga,
perasaan penuh atau tertekan di dalam telinga, perubahan
pendengaran.
b. Pemeriksaan fisik : tes pendengaran, memeriksa membran timpani.
2) Data yg muncul pada saat pengkajian
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua
telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram

16
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga
sebelumnya, alergi

3) Pemeriksaan Diagnostik
a. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
b. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran
timpani
c. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis
(Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
4) Pemeriksaan Fisik
a. Otoskopi
 Perhatikan adanya lesi pada telinga luar
 Amati adanya oedema pada membran tympani Periksa adanya
pus dan ruptur pada membran tympani
 Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada membran
tympani
b. Tes bisik
Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi, kemudian
dilakukan tes bisik, pada klien dengan OMA dapat terjadi penurunan
pendengaran pada sisi telinga yang sakit
c. Tes garpu tala
 Tes Rinne : pada uji rinne didapatkan hasil negatif
 Tes Weber : pada tes weber didapatkan lateralisasi ke arah
telinga yang sakit
Terapi tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi-infeksi saluran nafas atas, dengan
pemberian antibiotik dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
a) Stadium Oklusi, Tujuan : membuka kembali tuba eustachius, sehingga
tekanan berkurang di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung,
HCl efedrin 0,5% dalamlarutan fisiologik (anak <12 tahun) atau HCl
efedrin 1% (di atas 12 tahun danpada orang dewasa).

17
b) Stadium Presupurasi : Obat tetes hidung dan analgetika, antibiotika
(biasanya dari golongan penisilin/ampisilin).
c) Stadium Supurasi : Disamping antibiotika, idealnya harus disertai dengan
miringotomi bila membran tympani masih utuh.
d) Stadium Resolusi : Membran tympani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi dan perforasi membran tympani menutup.

5) Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera fisik.
b. Gangguan persepsi sensori (pendengaran) b.d perubahan resepsi, transmisi
dan integritas sensori.
c. Ansietas b.d ancaman terhadap konsep diri.

6) Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen penyebab cidera fisik
Kriteria Hasil NOC :
Menunjukkan Tingkat Nyeri yang dibuktikan oleh indicator
sebagai berikut (sebutkan 1-5 : sangat berat, berat, sedang, ringan atau
tidak ada) :
 Ekspresi nyeri pada wajah
 Gelisah/ ketegangan otot
 Durasi episode nyeri
 Merintih dan menangis
 Gelisah
Intervensi NIC :
O: Lakukan pengkajian yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
awitan dan durasi, frekuensi, intensitas, kualitas atau keparahan nyeri dan
factor presipitasinya.
N: Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respon pasien
terhadap analgesik.

18
E: Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
C: Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil

b. Gangguan persepsi sensori (pendengaran) b.d perubahan resepsi, transmisi


dan integritas sensori
Kriteria Hasil NOC :
 Orientasi kognitif : Kemampuan untuk mengidentifikasi orang,
tempat dan waktu secara akurat.
 Komunikasi : Reseptif : Resepsi dan interpretasi pesan verbal dan
non verbal.
 Perilaku kompensasi pendengaran : Tindakan pribadi untuk
mengidentifikasi, memantau, dan mengompensasi kehilangan
pendengaran
Intervensi NIC :
 Pemantauan Neurologis : Mengumpulkan dan menganalisis data
pasien untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologis.
 Stimulus Kognitif : Meningkatkan kesadaran dan pemahaman
terhadap sekitar melalui penggunaan stimulus terencana.
 Peningkatan Komunikasi : Defisit pendengaran : Membantu
pembelajaran dan penerimaan metode alternative untuk menjalani
hidup dengan penurunan fungsi pendengaran.
 Orientasi Realitas : Promosi kesadaran pasien terhadap identitas
pribadi, waktu dan lingkungan

c. Ansietas b.d ancaman terhadap konsep diri


Kriteria Hasil NOC:
 Menunjukkan Pengendalian Diri Terhadap Ansietas yang
dibuktikan oleh indicator sebagai berikut (sebutkan 1-5 tidak
pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau selalu).

19
 Merencanakan strategi koping untuk situasi penuh tekanan.
 Mempertahankan performa peran.
 Memantau distorsi persepsi sensori.
 Memantau manifestasi perilaku ansietas.
 Menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas
Intervensi NIC:
O: Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien
N: Bantu pasien untuk memfokuskan pasien pada situasi saat ini,
sebagai cara untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang
dibutuhkan untuk mengurangi ansietas
E: Berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia,
seperti teman, tetangga, kelompok, tempat ibadah, lembaga
kesukarelawanan dan pusat rekreasi
C: Berikan obat untuk menurunkan ansietas, jika perlu

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut Smeltzer, 2001, Otitis Media Akut (OMA) merupakan suatu infeksi pada
telinga tengah yang disebabkan karena masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga
tengah. Penyebab utama dari OMA adalah tersumbatnya saluran/tuba eustachius yang
bisa disebabkan oleh proses peradangan akibatinfeksi bakteri yang masuk ke dalam tuba
eustachius tersebut, kejadian ISPA yangberulang pada anak juga dapat menjadi faktor
penyebab terjadinya OMA pada anak.
Stadium OMA dapat terbagi menjadi lima stadium, antara lain: StadiumHiperemi,
Oklusi, Supurasi, Koalesen, dan Stadium Resolusi. Dimana manifestasidari OMA juga
tergantung pada letak stadium yang dialami oleh klien. Terapi dariOMA juga berdasar
pada stadium yang dialami klien. Dari perjalanan penyakitOMA, dapat muncul beberapa
masalah keperawatan yang dialami oleh klien,antara lain: gangguan rasa nyaman (nyeri),
perubahan sensori persepsipendengaran, gangguan komunikasi, dan kecemasan.
3.2 Saran
Untuk pencapaian kualitas keperawatan secara optimal sebaiknya proses
keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan. Perawatan tidak kalah
pentingnya dengan pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa
perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Nursiah S (2003). Pola kuman aerob penyebab omsk dan kepekaan terhadap beberapa
antibiotika di bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.
2. http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-siti%20nursiah.pdf. Diakses pada 15 Mei
2015.

22
3. Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Buku Ajar Ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorokan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
4. Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB, Ballenger
JJ,eds. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16thedition. New
York: BC Decker;2003. p.249-59.
5. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI;2007.p.65-9.
6. Darrow DH, Dash N, Derkay CS. Otitis media: concepts and controversies. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg 2003;11:416-423.
7. Linsk R, Blackwood A, Cooke J, Harrison V, Lesperance M, Hildebrandt M. Otitis
media. Guidelines for clinical care. UMHS otitis media guidelin May, 2002: 1-12
8. Ghanie A. Penatalaksanaan otitis media akut pada anak. Tinjauan pustaka.
Palembang: Departemen THT-KL FK Unsri/RSUP M.Hoesin;2010.
9. Auinger PA, Lanphear, BP, Kalkwarf HJ and Mansour ME. Trends in Otitis Media
Among Children in the United States.
10. Blomgren K and Pitkaranta A. Is it Possible to diagnose acute otitis media accurately
in primary health care?. Fam practice.
11. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill WE. https://www.aafp.org. [Online].;
December 2007. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2007/1201/p1650.html#sec-1.
12. Donaldson JD. https://emedicine.medscape.com. [Online].; December 2017.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#a1.
13. Bonney AG, Goldman RD. https://www.ncbi.nlm.nih.gov. [Online].; January 2014.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3994816/.

23

Anda mungkin juga menyukai