Anda di halaman 1dari 45

TUGAS GOOD MANUFACUTING PRACTICE

(GMP) BANGUNAN DAN PERSONALIA

Dengan dosen pengampu :


Dessy Erliani Mugita Sari, M.Farm.,Apt

Oleh :

Nama : Sri Hartini


NIM : 201905081
Kelas : 2B (S1 Farmasi)

Program Studi S1 Farmasi


Stikes Cendekia Utama Kudus
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kehadiran-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah proposal farmasi industri
pabrik obat herbal terstandar. Pembuatan proposal ini merupakan salah satu syarat
untuk mendapatkan izin usaha industri farmasi obat herbal terstandar.
Dengan segala kerendahan hati kami sadari sepenuhnya bahwa laporan
proposal ini jauh dari kesempurnaan, namun besar harapan kami kiranya proposal
ini dapat diterima. Demi mencapai perbaikan segala kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan proposal ini sangat diharapkan.

Kudus, 05 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Industri Farmasi
B. Pengertian Obat Herbal Terstandar
C. Persyaratan Industri Obat Herbal Terstandar
D. Gambaran Umum Produk Zingferia
E. Cara Pembuatan OHT yang Baik
F. Aspek- Aspek pada CPOTB
BAB III PEMBAHASAN
A. Alur Bahan Baku yang Baik
B. Cara Produksi Obat yang Baik
C. Alur Produksi yang Baik pada Serbuk Instan Zingferia
D. Alur Produksi yang Baik pada Minuman Zingferia
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Indonesia menduduki keragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah
Brasil dengan 7000 jenis tanaman berkhasiat sebagai obat. Tanaman obat telah
lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alternatif
pengobatan, baik untuk pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan
kesehatan serta peningkatan derajat kesehatan.(Buletin Pascapanen, 2011)
Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature)
menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan obat herbal yang
diyakini tidak memiliki efek samping seperti obat kimia dan harga yang lebih
terjangkau daripada obat sintetik. Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan
pasar dan perkembangan jumlah industri obat herbal di Indonesia. Di dunia
Internasional, perkembangan obat herbal makin pesat dengan pemasok
terbesar adalah dari Cina, Eropa dan Amerika Serikat. Di Afrika presentasi
populasi yang menggunakan obat herbal mencapai 60-90%, di Australia
sekitar 40-50%, Eropa 40-80%, Amerika 40%, Kanada 50% dengan jumlah
penjualan termasuk bahan baku mencapai US $ 43 miliar.(WHO, 2003)
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mendorong pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam Indonesia serta untuk menjadikan obat
tradisional khususnya obat herbal terstandar sebagai suatu komiditi yang
unggul maka perlu dikembangkan industri obat herbal di Indonesia. Hal ini
didasarkan pada besarnya sumber daya alam hayati dan tingginya permintaan
pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri terhadap kebutuhan obat
herbal baik berupa produk obat herbal yang sudah jadi maupun dalam bentuk
bahan baku. Modal yang digunakan dalam usaha industri obat herbal
terstandar ini menggunakan modal sendiri dan modal perbankan. Dengan
demikian, diharapkan dapat menjadi acuan bagi investor, perbankan, dan
pengusaha dalam pengembangan industri obat dari bahan alam sehingga
industri ini dapat lebih berkembang dan dapat meningkatkan perekonomian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara pembuatan obat herbal yang baik?
2. Bagaimana alur bahan baku yang baik dalam industri?
3. Bagaimana cara produksi obat herbal terstandar yang baik pada sediaan
serbuk Zingferia?
4. Bagaimana cara produksi obat herbal terstandar yang baik pada sediaan
ekstrak Zingferia?

C. Tujuan
Untuk memahami cara pembuatan sediaan serbuk Zingferia dan sediaan
ekstrak Zingferia sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a) Pengertian Industri Farmasi


Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan
obat atau bahan obat. Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa
agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko
yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak
efektif.

b) Obat Herbal Terstandar


Obat Herbal Terstandar (OHT) menurut Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.41.1384 adalah sediaan obat
bahan alam yang telah dibuktikan keamanan secara ilmiah dengan uji
praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Menurut Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK. 00.05.4.2411 Obat Herbal
Terstandar (OHT) harus memenuhi kriteria:
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
b. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan Obat Herbal Terstandar (OHT) harus sesuai
dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
Selain itu, Obat Herbal Terstandar (OHT) tidak boleh mengandung:
a. Bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat
b. Narkotika atau psikotropika
c. Hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan perundang
undangan yang berlaku
d. Etil alkohol dengan kadar lebih besar dari 1% (untuk sediaan cairan)
kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan
pengenceran
Pada kemasan Obat Herbal Terstandar harus mencantumkan logo dan
tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”.

Gambar. Logo Obat Herbal Terstandar (OHT)

c) Persyaratan Industri Obat Herbal Terstandar


Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh
industri farmasi. Setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin
industri farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud
adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana yang
tercantum dalam Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah
sebagai berikut:
1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,
produksi, dan pengawasan mutu; dan
5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian.
Dikecualikan dari persyaratan di atas poin 1 dan 2, bagi pemohon izin
industri farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

D. Gambaran Umum Produk Zingferia


Industri ini termasuk Industri Kecil Obat Tradisional yang bergerak
dibidang obat-obatan herbal. Zingferia merupakan produk obat tradisional
(obat herbal terstandar) yang berasal dari rempah-rempah yaitu jahe (Zingiber
officinalis) dan kencur (Kaempferia galanga). Nama produk Zingferia berasal
dari nama latin masing-masing rempah-rempah yaitu Zingiber dan
Kaempferia yang disingkat menjadi Zingferia. Di Indonesia jahe dan kencur
sering kita jumpai dengan mudah dan memiliki banyak khasiat yang
diperlukan bagi tubuh.

E. Cara Pembuatan Obat Herbal Terstandar yang Baik


CPOTB merupakan pedoman yang harus diterapkan dalam seluruh
rangkaian proses di industri farmasi dalam pembuatan obat tradisonal, sesuai
dengan keputusan Menteri Kesehatan RI No.43/Menkes/SK/II/1988 tentang
Cara Pembuatan Obat tradisional yang Baik. Pedoman CPOTB bertujuan
untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaanya (Badan POM, 2012).
CPOTB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada
proses pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat penting untuk
menjamin bahwa obat yang bermutu tinggi tidaklah cukup bila produk jadi
hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting
adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut (to build quality
into the product). Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan pengemas,
proses produksi, pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai, serta
personel yang terlibat. Oleh karena itu, Pemastian Mutu suatu obat hendaknya
dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat(Badan
POM, 2012).
CPOTB bertujuan untuk menjamin obat tradisional dibuat secara
konsisten memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan
tujuan penggunaannya. CPOTB mencakup seluruh aspek produksi dan
pengendalian mutu.

F. Aspek-Aspek CPOTB
1. Manajemen Mutu
Industri Farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai
dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang
membahayakan penggunaannya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak
efektif. Manajemen Mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini
melalui suatu “kebijakan mutu” yang memerlukan partisipasi dan komitmen
jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para
distributor.
Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan,
diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan
diterapkan secara benar serta menginkorporasi cara pembuatan obat yang baik
termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko mutu. Hal ini hendaklah
didokumentasikan dan dimonitor efektifitasnya. Unsur dasar Manajemen
Mutu adalah:
a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur
organisasi, prosedur, proses dan sumber daya.
b. Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk atau jasa pelayanan
yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.
Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik (CPOTB).Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek
Manajemen Mutu yang saling terkait.Konsep tersebut diuraikan di sini untuk
menekankan hubungan dan betapa penting konsep tersebut dalam produksi
dan pengawasan produk (Badan POM, 2012).
2. Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan
sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat tradisional yang
benar. Oleh sebab itu industri obat tradisional bertanggung jawab untuk
menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk
melaksanakan semua tugas. Tanggung jawab tiap personil hendaklah dipahami
masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip
CPOTB dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk
instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Struktur organisasi industri obat secara umum yaitu:

Gambar 2.1 Struktur Organisasi

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi Pasal 10, suatu industri farmasi obat
jadi dan bahan baku obat setidaknya harus mempekerjakan secara tetap
minimal tiga orang apoteker WNI sebagai manager atau penanggung jawab
produksi, pengawasan mutu (Quality Control/QC), dan pemastian mutu
(Quality Assurance/QA). Ketiga bagian ini (produksi, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu) harus dipimpin oleh orang yang berbeda yang tidak saling
bertanggung jawab satu terhadap yang lain (indipenden) agar tidak terjadi
tumpang tindih tugas dan perannya. Dari peraturan tersebut, sudah jelas bahwa
apoteker diperlukan di industri farmasi, setidaknya untuk memimpin ketiga
bagian tersebut.
Baik manager produksi, QC, maupun QA, ketiganya haruslah merupakan
apoteker yang sudah berpengalaman di industri farmasi dan memenuhi
kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, seorang apoteker yang bekerja di
industri farmasi tidak serta merta dapat menduduki posisi-posisi tersebut tetapi
harus memulai karirnya dari bawah, misalnya dari level staff.
Produksi hendaknya dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB). CPOB sendiri menjamin produk yang dihasilkan memenuhi
persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar
(registrasi). Oleh karena itu, bagian produksi bertugas untuk menjalankan
proses produksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan sesuai dengan
ketentuan CPOB. Bagian pengawasan mutu (QC) bertanggung jawab penuh
dalam seluruh tugas pengawasan mutu mulai dari bahan awal, produk antara,
produk ruahan, dan produk jadi. Sementara bagian pemastian mutu (QA)
bertugas untuk memverifikasi seluruh pelaksanaan proses produksi, pemastian
pemenuhan persyaratan seluruh sarana penunjang produksi, dan pelulusan
produk jadi. Dalam hal ini, pemastian mutu adalah suatu konsep luas yang
mencakup semua hal yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang
dihasilkan, seperti personel, sanitasi dan higiene, bangunan, sarana penunjang,
dan lain-lain.
Selain ketiga bidang tersebut masih banyak wilayah pekerjaan di industri
farmasi yang juga sebenarnya membutuhkan peran apoteker di dalamnya,
antara lain:
Penelitian dan pengembangan (Research & Development/R&D)
Di bagian penelitian dan pengembangan, baik untuk obat baru ataupun me
too product, farmasis atau apoteker berperan dalam menentukan formula,
teknik pembuatan, dan menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan,
produk antara, dan produk jadi.
Pengembangan produk ini dilakukan mulai dari skala laboratorium, skala
pilot, hingga skala produksi. Di beberapa industri, bagian pengembangan
produk juga bertanggung jawab terhadap desain kemasan produk.
PPIC (Production Planning and Inventory Control)
Bagian ini bertugas merencanakan produksi dan mengendalikan
keseimbangan antara persediaan dengan permintaan sehingga tidak
terjadi overstock  maupun understock. Bagian PPIC ini biasanya juga
bergabung dengan bagian gudang (gudang bahan baku, bahan kemas, dan
produk jadi) dan dikepalai oleh seorang apoteker. Karena apoteker dibekali
pengetahuan tentang manajemen dan juga dibekali pengetahuan mengenai
stabilitas bahan baku dan stabilitas sediaan sehingga penyimpanan dapat
dilakukan di tempat yang tepat dan mutunya tetap terjaga.
Pembelian (Purchasing)
Bagian pembelian melayani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang
dibutuhkan baik untuk proses produksi, proses penelitian dan pengembangan
produk, maupun untuk pengujian-pengujian yang dilakukan QC. Kepala atau
manager pembelian sebaiknya seorang apoteker karena apotekerlah yang
mengetahui tentang bahan baku dan bahan kemas itu sendiri beserta dokumen-
dokumen penyertanya sehingga perusahaan tidak salah memilih atau tertipu
oleh supplier (pemasok bahan baku atau bahan kemas).
Registrasi
Dalam registrasi obat ke Badan POM diperlukan dokumen-dokumen yang
harus disiapkan, seperti dokumen bahan aktif, formula, proses pembuatan,
data uji disolusi terbanding, data uji stabilitas, dan lain-lain. Data-data tersebut
yang mengerti adalah seorang farmasis.
Promosi obat kepada tenaga profesional lain (medical representative)
Apoteker dapat mempromosikan obat kepada tenaga profesional lain
seperti kepada dokter karena apotekerlah yang paling mengerti tentang obat
sehingga dapat menjelaskan keunggulan produk yang ditawarkannya dari sisi
ilmiah.
3. Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain,
konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat
dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak
dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko
terjadi kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan
pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan
pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang
dapat menurunkan mutu obat. Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa
untuk menghindarkan pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, seperti
pencemaran dari udara, tanah dan air serta dari kegiatan industri lain yang
berdekatan.

Contoh lay out atau denah suaatu industri obat tradisional

Keterangan:
Area A
1. Manager produksi 5. Manager administrasi
2. Sekretaris 6. Manager keuangan
3. Direktur utama 7. Manager pemasaran
4. Wakil direktur 8. Manager bagian umum

Area B
1. Divisi keamanan 3. Divisi proses produksi
2. Divisi material handing
4. Kadiv administrasi karyawan dan 7. Divisi quality control
perusahaan 8. Divisi pemasukan
5. Kadiv kebersihan 9. Divisi penjualan
6. Divisi packing

Area C
1. Gudang bahan baku 8. Tempat filling
2. Tempat penyimpanan bahan baku 9. Tempat pengemasan dan
3. Tempat penyucian pengepakan
4. Tempat pengeringan 10. Tempat penyimpanan bahan
5. Tempat ekstraksi pengemas
6. Tempat penimbangan 11. Tempat penyimpanan produk jadi
7. Tempat mixing

Area D

1. Ruangan ganti
2. Ruang laminar air flow
3. Laboratoriu fisika
4. Laboratorium kimia fisika
5. Laboratorium kimia
6. Laboratorium mikrobiologi
3. Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi
yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan
tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets
dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah
kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang
umumnya berdampak buruk pada mutu produk.
4. Sanitasi dan Higieni
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat tradisional. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi
personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta
wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran
produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu
program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Karena
sumbernya, bahan obat tradisional dapat mengandung cemaran mikrobiologis;
di samping itu, proses pemanenan/pengumpulan dan proses produksi obat
tradisional sangat mudah tercemar oleh mikroba. Untuk menghindarkan
perubahan mutu dan mengurangi kontaminasi, diperlukan penerapan sanitasi
dan higiene berstandar tinggi. Bangunan dan fasilitas serta peralatan
hendaklah dibersihkan dan, di mana perlu, didisinfeksi menurut prosedur
tertulis yang rinci dan tervalidasi.
5. Aspek Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur tervalidasi
yang telah ditetapkan; dan memenuhi ketentuan CPOTB yang menjamin
senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta
memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Untuk bahan
mentah - baik yang dibudidayakan maupun yang hidup secara liar, dan yang
digunakan baik dalam bentuk bahan mentah maupun sudah melalui tehnik
pengolahan sederhana (misal perajangan atau penghalusan) - tahap kritis
pertama dalam proses produksi, dalam hal ini di mana persyaratan teknis ini
mulai diterapkan, hendaklah ditentukan dengan jelas. Penjelasan tentang hal
tersebut hendaklah dinyatakan dan didokumentasikan. Petunjuk diberikan
seperti berikut. Namun untuk proses seperti ekstraksi, fermentasi dan
pemurnian, penentuannya hendaklah ditetapkan berdasarkan kasus-perkasus.
1. Pengumpulan/pembudidayaan dan /atau pemanenan, proses pasca panen
termasuk pemotongan pertama dari bahan alamiah hendaklah dijelaskan
secara rinci.
2. Jika diperlukan penghalusan lebih lanjut dalam proses pembuatannya,
hendaklah hal tersebut dilakukan sesuai CPOTB.
3. Dalam hal bahan aktif, sesuai definisi dalam Glosarium, terdiri hanya dari
rajangan atau serbuk, aplikasi dari persyaratan teknis ini dimulai pada
proses fisik yang mengikuti pemotongan awal dan perajangan, dan
termasuk pengemasan.
4. Jika ekstrak digunakan, prinsip-prinsip dari persyaratan teknis ini
hendaklah diberlakukan pada setiap tahap produksi mengikuti proses pasca
panen / pasca pengumpulan.
5. Dalam hal produk jadi diolah secara fermentasi, penerapan CPOTB
hendaklah meliputi seluruh tahap produksi sejak pemotongan awal dan
penghalusan.

UMUM
Bahan hendaklah ditangani dengan cara yang tidak mengubah produk.
Pada saat bahan alamiah tiba di pabrik hendaklah langsung diturunkan dan
dibongkar. Selama proses ini berlangsung hendaklah bahan alamiah
dihindarkan kontak langsung dengan tanah. Lebih lanjut, hendaklah juga
dihindarkan dari sinar matahari langsung (kecuali hal tersebut merupakan
kebutuhan spesifik, misal pengeringan dengan sinar matahari) dan hendaklah
terlindung dari hujan serta kontaminasi mikroba. Hendaklah diperhatikan
“klasifikasi“ atas kebutuhan area terkendali dengan mempertimbangkan
kemungkinan kontaminasi mikroba.
6. Aspek Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan
Obat Tadisional yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara
konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.
Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua
tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal
pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.
Ruang lingkup Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel,
spesifikasi dan pengujian serta organisasi, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan
dilakukan, dan bahwa bahan-bahan yang tidak diluluskan untuk digunakan,
atau produk jadi diluluskan untuk dijual atau didistribusikan, sampai
kualitasnya dinilai memenuhi syarat. Pengawasan Mutu tidak terbatas pada
kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang
terkait dengan mutu produk. Independensi Pengawasan Mutu dari Produksi
adalah fundamental sehingga Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan
dengan benar.
7. Aspek Inspeksi Diri
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek
produksi dan pengawasan mutu industri obat tradisional memenuhi ketentuan
Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Program inspeksi diri
hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOTB
dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri
hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten
dari perusahaan. Ada manfaatnya bila juga menggunakan auditor luar yang
independen. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping
itu, pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali produk
jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan
perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah
didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Hal-hal
mengenai personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, dokumentasi,
produksi, pengawasan mutu, distribusi produk jadi, penanganan keluhan dan
penarikan produk jadi dan inspeksi diri hendaklah diinspeksi secara berkala
mengikuti program yang telah disusun sebelumnya untuk memverifikasi
pemenuhan terhadap prinsip pemastian mutu. Semua inspeksi diri hendaklah
dicatat. Laporan hendaklah mencantumkan semua observasi selama inspeksi
dan usul untuk tindakan korektif yang diperlukan. Laporan tindak lanjut
hendaklah dicatat juga.
8. Cara Penyimpanan Dan Pengiriman Obat Tradisional Yang Baik
Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan
dan manajemen rantai pemasokan produk yang terintegrasi. Dokumen ini
menetapkan langkah yang tepat untuk membantu pemenuhan tanggung jawab
bagi semua yang terlibat dalam kegiatan pengiriman dan penyimpanan
produk. Dokumen ini memberikan pedoman bagi penyimpanan dan
pengiriman produk jadi dari pabrik ke distributor.
9. Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk
Dan Produk Kembalian
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan
terjadi kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur
tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun
suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui
atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif.
10. Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan
dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu.
Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap
personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga
memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul
karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen
Produksi Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan
dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.
Keterbacaan dokumen adalah sangat penting.
11. Aspek Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,
disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan Penerima Kontrak harus dibuat
secara jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak.
Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets
produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)
Catatan: Bab ini meliputi tanggung jawab industri obat tradisional terhadap
Badan POM dalam hal pemberian izin edar dan pembuatan obat. Hal ini tidak
dimaksudkan untuk memengaruhi tanggung jawab legal dari Penerima
Kontrak dan Pemberi Kontrak terhadap konsumen.
12. Kualifikasi dan Validasi
CPOTB mensyaratkan Industri Farmasi untuk mengidentifikasi validasi
yang perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari
kegiatan yang dilakukan.Kualifikasi adalah istilah yang digunakan untuk
validasi mesin, peralatan produksi maupun sarana penunjang. Kualifikasi
adalah tindakan pembuktian bahwa perlengkapan, fasilitas atau sistem yang
digunakan dalam suatu proses atau sistem akan selalu bekerja dengan kriteria
yang diinginkan dan konsisten. Terdapat empat macam kualifikasi yang
dilakukan di Industri Farmasi yaitu kualifikasi desain, kualifikasi instalasi,
kualifikasi operasional dan kualifikasi kinerja.
Validasi merupakan tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa
tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme
yang digunakan dalam produksi maupun pengawasan mutu akan senantiasa
mencapai hasil yang diinginkan. Seluruh kegiatan validasi hendaklah
direncanakan.Unsur utama program validasi dirinci dengan jelas dan
didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen
setara.RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. Pada
umumnya validasi proses dilakukan sebelum produk dipasarkan (validasi
prospektif). Dalam keadaan tertentu, jika hal tersebut tidak memungkinkan,
validasi dapat juga dilakukan selama proses produksi rutin dilakukan (validasi
konkuren). Proses yang sudah berjalan hendaklah juga divalidasi (validasi
retrospektif).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Alur Bahan Baku yang Baik


Bahan baku pembuatan obat herbal terstandar (OHT) disebut sebagai
simplisia. Simplisia yang digunakan adalah dalam bentuk kering sehingga
tidak diperlukan proses pencucian dan pengeringan lagi. Dengan demikian,
tidak diperlukan bak penampungan air. Proses pengeringan pun dilakukan
oleh pemasok bahan baku dimana bahan baku diperoleh di daerah
Darussalam, Banda Aceh. Simplisia yang dapat digunakan sebagai bahan
pembuat OHT sangat banyak dan beragam. Komposisinya sangat ditentukan
oleh jenis OHT yang akan dihasilkan.
Bentuk bahan baku tersebut berupa rimpang. Proses pembelian dapat
dilakukan setiap setiap bulan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi segala
resiko yang mungkin terjadi apabila stok bahan baku disimpan dalam jumlah
besar untuk kebutuhan produksi satu tahun. Resiko yang mungkin terjadi
adalah resiko kehilangan, resiko kerusakan ataupun resiko peningkatan kadar
air. Pada umumnya pasokan bahan baku tersebut lancar sehingga tidak
mengganggu proses produksi.
Kualitas bahan baku/simplisia akan sangat menentukan kualitas jamu yang
dihasilkan. Bahan yang harus dipersiapkan untuk membuat temulawak instan
adalah sebagai berikut :
Umbi atau Rimpang Jahe dan Kencur Kering
Secara umum, kualitas simplisia yang baik dapat dilihat dari parameter/kriteria
sebagai berikut :
 Tingkat kebersihan
 Tingkat kekeringan
 Warna
 Tingkat ketebalan
 Keseragaman ukurannya
 Bersih dari kotoran
Menurut Badan POM (2002), cara pengelolaan simplisia yang baik adalah
sebagai berikut :
1) Sortasi
Sortasi merupakan suatu proses pemisahan produk yang sudah bersih
menjadi bermacam- macam kualitas atas sifat-sifat fisik. Adapun tujuan
dari sortasi adalah untuk memperoleh kualitas yang lebih baik dan
seragam, baik untuk bahan mentahnya maupun untuk produk yang
dihasilkan.
2) Pencucian
Pencucian bertujuan untuk memperoleh simplisia yang bersih serta bebas
dari kotoran yang mungkin terikut saat pemanenan atau pengangkutan.
Pencucian dapat menurunkan jumlah mikroba patogen yang menyebabkan
pembusukan dan membuat penampakan fisik simplisia lebib menarik.
3) Pengecilan Ukuran/Perajangan
Perajangan pada simplisia dilakukan untuk mempermudah proses
selanjutnya, seperti pengeringan, pengemasan, penyimpanan. Perajangan
biasanya hanya dilakukan pada simplisia yang tebal dan tidak lunak seperti
akar, rimpang, batang dan lain-lain. Ukuran perajangan sangat
berpengaruh pada kualitas bahan simplisia. Jika perajangan terlalu tipis
dapat menambah kemungkinan berkurangnya zat yang terkandung dalam
simplisia.
4) Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran serta
kontaminasi oleh jamur atau patogen yang dapat menurunkan kualitas atau
mengakibatkan keracunan pada saat bahan dikonsumsi. Pengeringan dapat
dilakukan langsung dibawah teriknya sinar matahari, di angin – anginkan
atau dipanaskan pada suhu tertentu dalam ruang pengeringan dengan suhu
60 derajat.
Pemilihan suplier Quality
Assurance
(Apoteker)
Staff purchase order
(Minimal D3) Pesan bahan baku
Penanggung jawab
Apoteker (Manager)

Penerimaan Bahan baku Staff gudang


(Minimal D3)

Quality Control
Karantina bahan baku
(Apoteker)

Penyimpanan bahan baku Staff gudang


(Minimal D3)

Quality Control Karantina bahan baku


(Apoteker)

Sesuai spesifikasi Tidak sesuai spesifikasi

Quality Terima Tolak


Control
(Apoteker)

Pemindahan bahan baku dari gudang ke area produksi

Gambar 3.1 Alur Bahan Baku

B. Cara Produksi Obat yang Baik


Bagian produksi dipimpin oleh seorang Manajer Produksi yang
membawahi 4 Asisten Manajer yaitu Produksi I, Produksi II, Produksi III dan
Pengemasan. Alur proses produksi pada pada tiap bagian produksi ini dimulai
dari bagian PPPI memberikan Surat Perintah Kerja (SPK) kepada masing-
masing bagian produksi untuk produksi, yang disertai dengan Bon Penyerahan
Bahan Baku (BPBB).
Bon Penyerahan Bahan Kemas (BPBK), Man Hour (MH), Machine Hour
(MCH), dan Berita Acara Produksi (BAP). Pengembangan produk akan
memberikan Catatan Pengolahan Bets (CPB) dan Catatan Pengemasan Bets
(CPSB). BPBK akan diteruskan ke gudang kemas, sedangkan BPBB serta
CPB akan dikirimkan ke penimbangan sentral. Kemudian bahan baku yang
telah ditimbang akan dikirim ke masing-masing bagian produksi untuk
melakukan kegiatan produksi.
Staff Operator Produksi ialah sebuah jabatan didalam sebuah perusahaan
yang memiliki tanggung jawab dalam mengelola atau memproses suatu
barang dari bahan baku menjadi bahan jadi seperti yang diperlukan oleh
perusahaan yang bersangkutan.
Produksi I
Asisten manajer produksi I adalah seorang apoteker, yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan produksi I, yaitu produksi tablet non betalaktam dan
Anti Retro Viral (ARV). Rifampicin memiliki ruangan khusus untuk produksi
mulai dari proses mixing sampai akhir pencetakan, sedangkan produksi ARV
dilakukan di gedung terpisah dari produksi 1. Asisten manajer dibantu oleh 4
supervisor, yaitu Spv. Granulasi, Spv. Pencetakan 40 tablet, dan Spv.
Penyalutan tablet dan Spv. Produksi dan Pengemasan ARV. Adapun tahapan-
tahapan produksi, sebagai berikut:
1) Granulasi
Metode yang digunakan dalam proses produksi tablet meliputi granulasi
basah, granulasi kering dan metode cetak langsung.
a) Granulasi basah
Pada metode granulasi basah diawali dengan membuat larutan
pengikat. Proses pencampuran awal yaitu bahan aktif, bahan pengisi,
sebagian penghancur dan larutan pengikat dicampur menggunakan mixer
Diosna. Bahan yang telah tercampur kemudian dikeringkan dalam ruang
Dehumidifier. Dilakukan pemeriksaan LOD (Loss On Drying), jika
memenuhi syarat dilakukan pengayakan dengan Communiting
Fitzmill/Oscilating Granulatoragar distribusi partikelnya lebih seragam.
Tahap akhir adalah pencampuran akhir dengan fase luar atau lubrikan,
biasanya digunakan Magnesium Stearat atau Talk, menggunakan alat V-
mixer sehingga menjadi massa cetak. Selanjutnya, massa cetak tersebut
akan dikirim ke Karantine In Process (KIP) untuk dilakukan pemeriksaan
oleh bagian In Process Control (IPC).
b) Granulasi kering
Pada granulasi kering, proses pencampuran awal dilakukan dengan
mengayak semua bahan, kemudian dilakukan pencampuran awal
menggunakan mixer Diosna V-250. Setelah itu, digranulasi dengan
metoda slugging menggunakan mesin cetak atau compacting
menggunakan Roller Compactor kemudian dilakukan pengayakan dengan
menggunakan Oscillating Granulator sampai diperoleh granul yang siap
untuk dicetak. Setelah granul terbentuk, kemudian dilakukan proses
pencampuran akhir dengan fase luar menggunakan V-mixer untuk
memperoleh massa cetak. Massa cetak yang dihasilkan dikirim ke KIP
untuk dilakukan pemeriksaan oleh IPC.
c) Cetak langsung
Proses cetak langsung dilakukan dengan pengayakan semua bahan
aktif dan bahan pembantu ke dalam satu wadah, V-mixer sampai menjadi
massa cetak. Selanjutnya massa cetak dikirim ke KIP untuk dilakukan
pemeriksaan oleh IPC.
2) Pencetakan tablet
Setelah melalui pemeriksaan IPC dan dinyatakan memenuhi syarat, massa
cetak tersebut dikembalikan ke Bagian Produksi I untuk dicetak. Setelah
selesai pencetakan tablet, maka dibawa ke KIP untuk pemeriksaan
laboratorium oleh QC.
3) Penyalutan
Proses penyalutan dilakukan terhadap beberapa sediaan tablet. Tablet salut
yang diproduksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Jakarta ada dua
jenis, yaitu tablet salut film dan tablet salut gula.
a) Tablet salut gula
Proses pembuatan tablet salut gula terdiri dari 4 tahap,
yaitu Protecting/Sealing, Sub Coating, Coating/Coloring dan Polishing.
 Protecting. Pada awal proses penyalutan, tablet inti akan mengalami
penyalutan awal yang disebut dengan protecting dengan tujuan untuk
melakukan proteksi terhadap tablet inti. Bahan yang biasa digunakan
adalah larutan Shellac. Proses selanjutnya adalah mengeringkan tablet
inti yang telah terproteksi tersebut ke dalam dehumidifier dengan suhu
40 C selama 17 jam.
 Sub coating. Untuk menambah bobot tablet, biasanya menggunakan
Magnesii Oxydum Talc. Setelah proses sub coating tablet kembali
dikeringkan di dalam dehumidifier dengan suhu 40°C selama 17 jam.
 Coating/Coloring. Tablet yang telah kering kemudian dilakukan
coating/ coloring yaitu dengan membasahi tablet menggunakan larutan
gula, pengawet dan pewarna sampai diperoleh bentuk tablet dengan
permukaan yang halus dengan pewarnaan yang merata. Setelah
dilakukan proses coating, tablet dikeringkan di dalam dehumidifier
dengan suhu 40oC selama 17 jam.
 Tahap akhir adalah proses polishing, biasanya menggunakan polishing
wax untuk memberikan warna yang mengkilap dari tablet salut dan
pengeringan dilakukan kembali dengan suhu 40oC selama 17 jam.
Setelah seluruh proses selesai, tahap seleksi dilakukan secara manual
(visual pada meja kaca) dan dengan mesin, kemudian dilakukan IPC.
b) Tablet salut film
Prosesnya lebih sederhana dengan efisiensi waktu yang lebih baik.
Proses penyalutan film hanya terdiri dua tahap, yakni pada tablet inti
dilakukan spraying dan dilanjutkan dengan Polishing. Setelah penyalutan,
dilakukan seleksi untuk memeriksa kualitas penyalutan. Produk yang
terseleksi dengan baik kemudian dikirim ke karantina menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium.
Produksi II
Produksi II berada di bawah tanggung jawab Asisten Manajer
Produksi II untuk menangani produk kapsul, krim, cairan dan sirup kering
non betalaktam dan produk steril (injeksi). Asisten manajer dibantu oleh
empat supervisor, yaitu: Spv. Kapsul, Spv, Krim, Spv. Cairan dan sirup
kering non betalaktam, Spv. Sediaan steril (injeksi).
1) Pembuatan sediaan kapsul
Proses pembuatan kapsul di lakukan dengan metode granulasi. Granul yang
terbentuk dibawa ke KIP untuk dilakukan pemeriksaan oleh IPC. Setelah
memenuhi syarat dibawa kembali ke ruangan produksi kapsul untuk
dilakukan filling kapsul menggunakan mesin bosch dengan metode punches
and dies. Kapsul yang terbentuk dilakukan polishing, kemudian dibawa
kembali ke KIP untuk pengujian oleh IPC.
2) Pembuatan sediaan krim
Produk krim di buat dari fase air dan fase minyak yang terlebih dahulu di
lakukan peleburan. Kedua fase di mixing dengan mesin planetary pada
suhu 35°- 40°C sampai terbentuk basis krim. Zat aktif di campur ke sedikit
basis di lumpang sampai homogen. Kemudian zat aktif di mixing ke dalam
basis, kemudian dibawa ke KIP untuk di lakukan uji. Setelah memenuhi
syarat uji, dibawa kembali ke ruang produksi krim untuk
dilakukan filling ke tube.
3) Pembuatan sediaan cairan
Bahan aktif dan bahan tambahan di lakukan mixing dalam sebuah tangki
sampai homogen. Bagian KIP akan melakukan sampling ke produksi cairan
untuk di lakukan pemeriksaan oleh IPC. Setelah memenuhi syarat, di
lakukan filling ke botol. Selama proses filling di lakukan pengecekan
keseragaman volume setiap 30 menit, kemudian dilakukan capping.
4) Pembuatan sediaan steril (injeksi)
Produk steril dibuat pada kondisi yang terkendali dan dipantau dengan
teliti. Oleh karena itu, untuk membuat sediaan steril diperlukan suatu
ruangan terpisah dengan rancangan bangunan dan konstruksi khusus.
Tekanan udara di dalam ruangan lebih tinggi dari ruangan sekitarnya untuk
menghindari terjadinya kontaminasi silang.
5) Pengolahan air produksi
Pengolahan air yang akan digunakan oleh bagian produksi berada di bawah
tanggung jawab Produksi II. Air yang dihasilkan dari proses pengolahan ini
akan digunakan untuk pembuatan sediaan cairan, pembuatan injeksi dan
pencucian wadah seperti botol, tutup botol dan ampul.
Produksi III
Produksi III khusus memproduksi antibiotik turunan penisilin (betalaktam)
yaitu Ampicilin dan Amokcilin. Gedung betalaktam menurut CPOB harus
dipisahkan dengan gedung yang lain karena sifat kontaminasi dari produk
betalaktam terhadap sediaan obat lain (berhubungan dengan reaksi
alergi/anafilaksis). Produk betalaktam ini diformulasi menjadi tiga bentuk
sediaan yaitu tablet, kapsul dan sirup kering. Plant Jakarta memproduksi
kapsul dan sirup kering hanya sampai pencampuran sedangkan pengisian
dimakloonkan.
Proses produksi betalaktam pada dasarnya sama dengan produksi sediaan
non betalaktam, proses pembuatan tablet dilakukan dengan granulasi
kering.
Narkotika dan Psikotropika
PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Jakarta memiliki hak khusus untuk
mengimpor, memproduksi dan mendistribusikan obat-obatan golongan
narkotika di Indonesia sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No
199/Menkes/SK/III/1996.
Pengemasan
Bagian pengemasan yang dipimpin oleh Asisten Manajer dibantu oleh 5
Supervisor (Spv.) yaitu Supervisor KIP (Karantina In Process); Spv.
pengemasan primer; Spv. pengemasan sekunder sediaan tablet dan kapsul;
Spv. pengemasan sekunder sediaan liquid, krim, injeksi, sirup kering
narkotik/psikotropik; dan Spv. Penandaan.
Proses pengemasan dimulai setelah produk ruahan diluluskan oleh QC.
Semua produk dikemas sesuai dengan bahan kemasan yang telah
ditentukan. Produk yang telah melalui pengemasan primer kemudian
dimasukkan ke jalur pengemasan sekunder sesuai dengan bentuk
sediaannya.
1) KIP (Karantina In Process)
Supervisor KIP bertugas menerima, menyimpan dan mengeluarkan produk
massa (kecuali sirup dan injeksi), produk antara (krim, cairan, granul dan
lain-lain) dan produk ruahan sampai produk jadi (untuk semua produk,
termasuk sediaan injeksi dan sirup) untuk dilakukan pemeriksaan
laboratorium oleh IPC.
Ada 5 jenis bon penyerahan :
Bon I: Penyerahan produk antara dari bagian produksi ke KIP.
 Bon II: Penyerahan produk antara yang telah diperiksa dari KIP
kebagian produksi untuk melanjutkan proses.
 Bon III: Penyerahan produk ruahan dari bagian produksi ke KIP
 Bon IV: Penyerahan produk ruahan dari KIP ke bagian pengemasan.
 Bon V: Penyerahan produk jadi dari bagian pengemasan ke gudang
produk jadi.
2) Pengemasan primer
Pengemasan primer dikhususkan untuk sediaan padat, yaitu tablet dan
kapsul. Pengemasannya dimulai dari proses stripping, blistering atau
counting (dimasukkan dalam botol).
a) Strip
Bahan yang digunakan untuk stripping adalah polycellonium. Alat
stripping yang digunakan contohnya adalah Forecma.
b) Blister
Bahan blister yang digunakan adalah Aluminium foil. Alat blisterring
yang digunakan ada Duankwei.
c) Counting ke dalam botol
Biasanya digunakan untuk obat yang murah atau tablet salut gula.
Alat yang digunakan adalah chi new.
3) Pengemasan sekunder sediaaan tablet dan kapsul
Bertanggung jawab terhadap pengemasan sekunder dari produk yang telah
dikemas pada pengemasan primer tablet dan kapsul. Hasil strip dan blister
yang lulus tes kebocoran dilanjutkan ke pengemasan sekunder yaitu dengan
memasukkannya ke dalam dus dan box.
4) Pengemasan sekunder sediaan liquid, krim, injeksi, sirup kering
narkotik/psikotropik
Pada pengemasan sekunder ada 12 jalur pengemasan dimana jalur 1-
8 untuk jalur pengemasan sekunder untuk produk tablet dan kapsul, jalur 9-
10 adalah jalur pengemasan sekunder untuk sediaan cair dan semisolid,
jalur 11-12 terletak pada ruangan tertutup yang merupakan jalur
pengemasan sekunder narkotika dan psikotropika.
5) Penandaan
Supervisor penandaan mendapat Rencana Harian dari bagian pengemasan
sehari sebelumnya dan memiliki tugas memberikan penandaan pada leaflet,
etiket dan box yang berupa expired date, manufacturing date, No. Batch
dan Harga Eceran Tertinggi (HET).

C. Alur Produksi yang Baik pada Serbuk Instan Temulawak


1. Fasilitas Produksi dan Peralatan
Untuk memproduksi jamu tradisional dibutuhkan fasilitas dan peralatan
produksi sebagai berikut yang disajikan pada Tabel dibawah. Setiap
fasilitas dan peralatan produksi yang digunakan harus selalu berada di
tempatnya masing-masing. Peralatan produksi tersebut juga harus
digunakan dalam keadaan bersih dan higienis.
Tabel 3.1. Jenis Peralatan Produksi
No Jenis Peralatan Satuan Jumlah
.
1 Timbangan duduk Buah 2
2 Timbangan kecil Buah 2
3 Mesin penggerak Buah 2
4 Mesin penggiling Buah 4
5 Mesin penyaring Buah 2
6 Alat pengepres Buah
7 Alat pengukur kadar air Buah 1
8 Alat sortir/terpal M2 100
9 Alat sortir/tampah Buah 6
10 Rak besar Buah 7
11 Tong Buah 10
12 Ember besar/wadah Buah 10
13 Tampah penyimpanan Buah 30
2. Personalia
Tenaga kerja yang digunakan pada industri jamu tradisional tidak
memerlukan keahlian khusus karena teknologi yang digunakan masih
sederhana. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tergantung pada kapasitas
produksi yang digunakan. Dari informasi pengusaha jamu tradisional di
Kabupaten Sukoharjo, untuk kapasitas 9.600 kg serbuk jamu per bulan
dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 20 orang. Tugas/tanggung jawab yang
dilakukan adalah menyortir, meramu dan menggiling,
mengayak/menyaring, mengisi jamu ke dalam kemasan, mengepres, dan
menerima barang. Selain karyawan yang melakukan tugas-tugas tersebut,
tenaga kerja juga meliputi manajer/pemilik usaha yang bertanggung jawab
terhadap jalannya usaha jamu tradisional secara keseluruhan.
3. Teknologi
Teknologi yang digunakan dalam proses produksi jamu secara umum
dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu tradisional dan modern.
Pada teknologi yang tradisional, poses produksi yang dilakukan hanya
sedikit menggunakan mesin, prosesnya relatif sederhana, dan produk yang
dihasilkan dapat berupa serbuk atau cairan. Mesin yang dapat digunakan
pada teknologi ini adalah mesin giling dan mesin penyaringan. Pada
teknologi yang lebih modern, proses produksi dilakukan dengan
menggunakan peralatan/mesin yang lebih banyak, prosesnya lebih
kompleks, dan produk yang dihasilkannya dapat berupa ekstrak jamu dan
berbentuk pil atau kaplet. Mesin yang dapat digunakan pada teknologi
yang lebih modern ini adalah ekstraktor, evaporator, aroma recovery, dan
retrifikasi (pemurnian).
4. Proses Produksi
Proses produksi yang dilakukan pada industri obat herbal terstandar
menggunakan teknologi yang relative sederhana/tradisional karena produk
jamu yang dihasilkan adalah berupa serbuk jamu. Secara umum proses
produksi yang dilakukan meliputi tahapan sebagai berikut :
a. Bahan baku datang dari pemasok dalam bentuk kering
b. Pengambilan sampel bahan baku, jika kualitasnya cocok maka dibeli
c. Sortasi bahan baku dilakukan untuk memisahkan bahan baku yang
baik dengan yang tidak baik yang terlihat secara fisik, misalnya daun
yang sudah layu. Sortasi juga dilakukan untuk memisahkan benda
asing yang mungkinterdapat dalam bahan baku tersebut, misalnya
kotoran atau tanah.
d. Pengukuran kadar air
Menurut aturan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, setiap
industri jamuharus memiliki alat laboratorium, minimal alat untuk
mengukur kadar airbahan baku jamu. Sebaiknya simplisia kering yang
akan digunakan untukpembuatan jamu memiliki kadar air maksimal 11
%. Jika ternyata kadarair simplisia tersebut di atas 11 % maka
dilakukan proses pengeringan/penjemuran.
e. Penimbangan bahan baku sesuai kebutuhan menggunakan timbangan
duduk
f. Penggilingan simplisia menjadi serbuk
Simplisia yang telah ditimbang digiling dengan menggunakan mesin
penggiling yang digerakkan oleh mesin penggerak. Sebaiknya jenis
atau ukuran pisau pada mesin penggiling yang digunakan untuk
menggiling daun dan rimpang berbeda. Pisau pada mesin penggiling
harus selalu diganti setiap 3 bulan untuk menjamin hasil gilingan
selalu dalam ukuran yang seharusnya. Pada perhitungan keuangan,
diasumsikan dalam setiap bulan ada pisau yang diganti untuk mesin
penggiling yang berbeda, karena jumlah mesin penggiling yang
digunakan lebih dari satu (pisau tidak diganti pada saat yang
bersamaan untuk semua mesin penggiling). Harga pisau untuk
menggiling daun dan rimpang diasumsikan sama. Berikut cara
produksi serbuk yang baik menurut BPOM.
a. Penyaringan/pengayakan dengan saringan 120 mesh.
Proses penyaringan dilakukan untuk menghasilkan serbuk dengan
ukuran yang halus dan seragam. Dari proses penyaringan ini, pada
umumnya serbuk yang tidak lolos adalah sekitar 15 - 20 %.
b. Peramuan/pencampuran sesuai kombinasi yang diinginkan Serbuk
jamu yang telah disaring kemudian diramu dengan jumlah dan
komposisi yang disesuaikan dengan jenis jamu yang akan dihasilkan.
Proses peramuan/ pencampuran ini dilakukan secara manual.
c. Pengukuran kadar air serbuk jamu
Sebelum dikemas, sebaiknya dilakukan pengukuran kadar air serbuk
jamu untuk menjamin tingkat kekeringan serbuk tersebut. Kualitas
serbuk yang baik adalah yang memiliki kadar air tidak lebih dari 5 %.
Tetapi proses pengukuran kadar air ini juga belum dilakukan oleh
pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo.
d. Pengemasan dalam bentuk sachet dan pak
Serbuk jamu dimasukkan dengan ukuran rata-rata 7 - 8 gram ke dalam
kemasan sachet kemudian dipres dengan alat pengepres dan dilakukan
secara manual. Setiap 10 sachet dipak dalam kemasan plastik.
Beberapa pak jamu dikemas lagi dalam plastik bening dengan ukuran
besar. Beberapa jenis serbuk jamu tidak dikemas dalam bentuk sachet,
tetapi dikemas secara kiloan dengan kemasan plastik yang lebih besar.
e. Penyimpanan produk jadi sebelum dijual
Jamu yang siap dijual disimpan terlebih dahulu dalam rak-rak besar
secara teratur. Gudang penyimpanan jamu harus kering dan tidak
lembab sehingga tidak menurunkan kualitas jamu yang telah
dihasilkan. Rak-rak penyimpanan tidak boleh menempel pada dinding,
tetapi harus ada sedikit jarak sehingga jamu tersebut tidak menjadi
lembab.
f. Distribusi produk jadi pada konsumen
Merupakan proses penyampaian jamu tradisional dari produsen ke
konsumen. Pada tahap ini pun harus diperhatikan aspek higienis dan
pengaturan peletakannya, baik pada saat pengangkutan maupun
penyimpanan di kios/toko.
Obat bahan alam termasuk jamu yang diproduksi oleh industri obat bahan
alam (IOT) maupun industri kecil obat bahan alam (IKOT) mempunyai
persyaratan yang sama yaitu aman untuk digunakan, berkhasiat/bermanfaat
dan bermutu baik. Oleh karena itu semua usaha di bidang industri obat
bahan alam harus dapat menerapkan Cara Pembuatan Obat tradisonal yang
Baik (CPOTB) agar dapat menghasilkan obat bahan alam yang memenuhi
syarat. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan CPOTB
adalah:
a. Personalia
b. Bangunan
c. Peralatan
d. Sanitasi dan higiene
e. Penyiapan bahan baku
f. Pengolahan dan pengemasan
g. Pengawasan mutu
h. Inspeksi diri
i. Dokumentasi
j. Penanganan terhadap hasil pemantauan produk di peredaran

C. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi


Jamu tersebut berbentuk serbuk yang dikemas dalam kemasan sachet
dengan ukuran rata-rata 7 - 8 gram per sachet dan dikemas dalam bentuk
pak sehingga 1 pak terdiri dari 10 sachet. Tetapi ada juga serbuk yang
dijual secara kiloan, tidak dalam bentuk sachet. Penentuan jumlah dan jenis
jamu yang diproduksi adalah berdasarkan permintaan dan pengalaman dari
penjualan sebelumnya.
Jamu yang bermutu baik adalah jamu yang telah mendapatkan izin edar
(POM-TR) dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM)
untuk setiap item produknya, sehingga ada jaminan keamanan dalam
mengkonsumsi jamu tersebut. Setiap jenis bahan baku dan produk jadi
diperiksa di laboratorium BBPOM. Tetapi bukan berarti jamu tradisional
yang belum ada izin edarnya bermutu rendah. Jamu tersebut juga dapat
berkualitas baik asalkan memperhatikan sanitasi dan higienis dalam setiap
proses produksinya yaitu dari mulai penanganan bahan baku sampai
distribusi produk jadi. Selain itu faktor kritis lain dalam menghasilkan jamu
berkualitas baik adalah pemilihan bahan baku. Bahan baku yang digunakan
haruslah bahan baku yang berkualitas baik sehingga akan menghasilkan
jamu bermutu baik.
D. Produksi Optimum
Berdasarkan hasil survey pengusaha jamu tradisional di Kabupaten
Sukoharjo, kapasitas usaha produksi optimum yang dapat dicapai adalah
dengan mengolah bahan baku sekitar 12 ton per bulan atau setara dengan
jumlah produk sebesar 9,6 ton (9.600 kg). Dengan demikian, rendemen
produksi adalah sebesar 80 %. Apabila terjadi peningkatan jumlah
permintaan, maka dapat dilakukan lembur untuk menambah jam kerja.
Dari 9.600 kg serbuk jamu yang dihasilkan, sebanyak 8.755 kg dikemas
dalam bentuk sachet, sementara sisanya yaitu 845 kg dijual dalam bentuk
kiloan. Pengisian serbuk ke dalam sachet diasumsikan 8,5 gram walaupun
isi kemasan sachet adalah 7 - 8 gram. Hal ini disebabkan ada serbuk yang
tercecer sebanyak kurang lebih 0,5 gram. Dengan demikian, dari 8.755 kg
atau 8.755.000 gram dihasilkan 1.030.000 sachet jamu atau 103.000 pak
jamu.
E. Kendala Produksi
Kendala produksi yang dihadapi oleh pengusaha jamu tradisional di
Kabupaten Sukoharjo adalah keterbatasan peralatan yang dimiliki.
Contohnya adalah alat pengepres/pengemas yang digunakan masih bersifat
manual sehingga agak menghambat proses produksi. Kendala lain adalah
sulitnya untuk mendapatkan izin edar dari BBPOM karena mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan yaitu untuk biaya pengujian serbuk jamu di
laboratorium. Sebagai gambaran, biaya yang dikeluarkan untuk tes
laboratorium untuk satu jenis produk adalah sekitar Rp 2.250.000 dan itu
pun belum tentu lolos uji kesehatan. Hambatan lain untuk mendapatkan izin
edar adalah kurang tersedianya apoteker untuk setiap pengusaha jamu.
Idealnya satu apoteker bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap 5 pengusaha jamu. Menurut ketua KOJAI, di
Kabupaten Sukoharjo hanya terdapat 3 apoteker sehingga perannya kurang
optimal. Sebagai contoh, dari sekitar 75 jenis jamu yang diproduksi oleh
pengusaha jamu tradisional, baru 9 jenis jamu yang sudah mendapatkan
izin edar. Menurut data KOJAI, dari sekitar 60 anggota, yang sudah
memiliki izin edar baru sekitar 15 pengusaha. Untuk kepentingan
perhitungan keuangan, diasumsikan jenis item produk jamu yang diuji di
laboratorium adalah 10 item produk per tahun. Sehingga biaya pengujian
laboratorium selama satu tahun adalah sebesar Rp 22.500.000 per tahun.
Sedangkan untuk biaya apoteker, karena satu apoteker bertanggung jawab
untuk 5 pengusaha jamu, maka biaya satu apoteker ditanggung oleh 5
pengusaha. Diasumsikan biaya satu apoteker adalah Rp 3.000.000 per
bulan, maka satu pengusaha mengeluarkan dana Rp 600.000 untuk biaya
apoteker.

D. Alur Produksi yang Baik pada Minuman Temulawak


Untuk proses produksi, bahan baku akan diminta melalui form permintaan
bahan, untuk kemudian ditimbang dan dilanjutkan ke bagian produksi.
Transfer bahan baku dari gudang ke area produksi juga jadi aspek penting
tersendiri. Karena spesifikasi ruang gudang dengan spesifikasi ruang produksi
berbeda.
Penimbangan biasanya dilakukan oleh personil Produciton Planing and
Inventory Control (PPIC), atau operator produksi khusus penimbangan,
dengan disaksikan oleh supervisor. Setiap bahan juga memilki prioritas
penimbangan dan pengawasan masing-masing.
Dalam tahapan produksi dilakukan validasi proses untuk mengetahui
keadaan/kelayakan bahan selama proses, agar setiap tahap dapat diketahui dan
jika ada kesalahan akan dapat segera diperbaiki. Untuk proses pengolahan
bagian IPC (In Process Control) yang berwenang untuk menentukan bahan
tersebut boleh dilanjutkan ke tahapan pengolahan berikutnya, atau dilakukan
perlakuan lain (reject/pengolahan ulang, dll.) IPC ada yang masuk dalam
struktur QC.
Setelah proses pengolahan berhasil dilalui dengan baik, masuk pada proses
cetak atau lainnya. Setelah melalui berbagai macam proses pengolahan, suatu
produk akan sampai pada tahap produk ruahan. Produk ruahan adalah
produk yang hanya memerlukan satu tahap lagi sehingga menjadi produk jadi.
Produk ruahan adalah cairan siap filling yang belum dikemas.
Produk ruahan ini kemudian akan memasuki tahap pengemasan. Jika pada saat
pengolahan, digunakan Prosedur Pengolahan Induk, kali ini akan digunakan
Prosedur Pengemasan Induk. Kemasan sendiri terdiri dari kemasan primer
berupa botol kaca berlangsung di grey area, kemasan sekunder berupa box
berlangsung di black area, dan tersier berupa karton.
Produk jadi yang sudah ditransfer, tidak langsung dikemas secara sekunder.
Produk ini akan melalui serangkaian uji terlebih dahulu sehingga dinyatakan
memenuhi syarat dan mendapat release dari Quality Control Department. Jika
produk sudah mendapat release  dari Quality Control Department kemudian
dikemas menurut Prosedur Pengemasan Induk.
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum
penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan
untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan
untuk memastikan produk dan Catatan Pengemasan Bets memenuhi semua
spesifikasi yang ditentukan.
Label, karton, bahan pengemas dan bahan cetak lain diperiksa nomor bets/lot,
tanggal kadaluwarsa dan informasi lain sesuai dengan perintah pengemasan
hendaklah diawasi dengan ketat pada tiap tahap proses sejak diterima dari
gudang sampai menjadi bagian dari produk atau dimusnahkan.

Bahan Baku

Quality Control Penerimaan dan Karantina


(Apoteker)

Bahan Baku

3
Manager Produksi
PPIC Penimbangan dan Pencampuran
(Apoteker)

Bahan Setengah Jadi

Quality Control Karantina


(Apoteker)
Bahan Setengah Jadi

Manager Produksi PPIC Pengisian


(Apoteker)
produk dalam jumlah banyak

Quality Control Karantina


(Apoteker)
produk dalam jumlah banyak

Asisten Manajer PPIC Pengemasan

Produk Jadi
Quality Control
(Apoteker) Karantina

Produk Jadi

Gambar 3.2 Alur Produksi Minuman Temulawak


Tabel 3.2 Peralatan yang digunakan
No. Jenis Peralatan Satuan Jumlah
1 Timbangan duduk Buah 2
2 Mesin penggerak Buah 2
3 Mesin penggiling Buah 4
4 Mesin penyaring Buah 2
5 Mesin pengisian Buah 5
7 Alat pengukur kadar air Buah 1
8 Alat sortir Buah 2
9 Alat sortir/tampah Buah 6
10 Rak besar Buah 7
11 Tong Buah 10
12 Ember besar/wadah Buah 10
13 Tampah penyimpanan Buah 30
Tabel 3.3 Bahan yang digunakan

No. Bahan
1 Jahe dan Kencur
2 Pelarut : air murni
3 Pemanis : gula jawa

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Alur Produksi
Bahan baku yang diterima dari gudang, kemudian ditimbang di bagian
penimbangan yang dilakukan oleh karyawan bagian penimbangan yang
memiliki kualifikasi minimal D3 farmasi. Proses penimbangan dilakukan
sesuai dengan SOP Penimbangan yang telah ditetapkan oleh Manager
produksi. Pada proses penimbangan dilakukan in process control oleh
karyawan bagian QC dibawah tanggung jawab Manager QC yang dapat
dijabat oleh Apoteker yang telah memiliki pengalaman minimal 5 tahun
dibidang QC. Setelah proses penimbangan selesai, dilakukan proses
pencampuran yang dilakukan di ruangan mixing yang dikerjakan oleh
karyawan bagian mixing dengan kualifikasi minimal D3 teknik farmasi,
pada proses mixing dilakukan pengawasan pada proses pencampuran oleh
karyawan bagian QC dibawah tanggung jawab manager QC. Pengawasan
pada saat proses mixing dilakukan agar dapat meminimalkan kejadian
yang tidak diinginkan seperti kontaminasi silang yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada produk. Setelah melalui tahap
pencampuran produk kemudian dikemas dalam kemasan yang sesuai
dengan standar pengemasan. Proses pengemasan dilakukan berdasarkan
SOP Pengemasan yang ditetapkan oleh Manager Produksi dan telah
divalidasi oleh Bagian QA. Proses pengemasan dilakukan oleh personel
bagian pengemasan yang memiliki kualifikasi minimal pendidikan
menegah/SMK dan diawasi oleh personel bagian QC. Sebelum dipasarkan
produk jadi di cek kembali oleh bagian QA untuk memastikan mutu
produk sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Manager QA.
Semua tahapan proses produksi dilakukan berdararkan cara produksi yang
baik yang menjadi acuan dalam produksi suatu produk.
2. Alur Bahan Baku
Bahan baku diperoleh dari supplier resmi yang telah teregistrasi oleh
BPOM RI. Pengadaan bahan baku merupakan tanggung jawab dari bagian
pengadaan. Bagian pengadaan melakukan pengadaan bahan baku sesuai
dengan SOP Pengadaan Bahan Baku yang telah ditetapkan oleh Manager
QA yang dapat dijabat oleh Apoteker. Bahan Baku yang sampai di pabrik
diperiksa oleh karyawan bagian QA untuk memastikan bahwa bahan baku
telah memenuhi persyaratan mutu. Setelah bahan baku dinyatakan telah
memenuhi syarat, kemudian bahan baku disimpan di dalam gudanng
penyimpanan bahan mentah (raw material) sesuai dengan SOP
Penyimpanan bahan baku yang telah ditetapkan oleh Manager QA. Bahan
baku di keluarkan dari gudang penyimpanan apabila ada permintaan dari
bagian produksi untuk dilakukan pembuatan produk. Semua tahapan
proses dilakukan berdasarkan cara pengadaan bahan baku yang baik yang
menjadi acuan dalam pengadaan bahan baku yang ditetapkan oleh
Manager QA.
3. Alur Produksi Produk
a. Serbuk Instan Temulawak
Proses produksi Serbuk Instan Temulawak terdiri dari sortasi bahan
baku, pengukuran kadar air, penimbangan bahan baku, penggilingan
simplisia, pengayakan dengan saringan, pencampuran sesuai kombinasi
yang diinginkan, Pengukuran kadar air serbuk, pengemasan dalam
bentuk sachet dan pak dan penyimpanan yang semua proses tersebut
menjadi tanggung jawab dari Manager Produksi dan Manager Quality
Control yang dapat dijabat oleh seorang Apoteker yang telah memiliki
pengalaman minimal 5 tahun. Proses produksi dilakukan pada ruangan –
ruangan terpisah. Pada proses sortasi dilakukan pada ruangan sortasi,
sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan oleh Manager produksi,
kemudian pada pembuatan serbuk instan dilakukan didalam ruangan
pembuatan serbuk, pada proses ini dilakukan pengawasan oleh personel
QC dibawah tanggung jawab Manager QC untuk mencegah terjadinya
kontaminasi dan menjaga kualitas dari prduk itu sendiri. Selanjutnya
dilakukan proses pencampuran dilakukan pada ruangan mixing. Proses
mixing dilakukan berdasarkan SOP Mixing yang telah ditetapkan
Manager Produksi, pada proses mixing dilakukan pengawasan (in
process control) oleh personel QC dibawah tanggung jawab Manajer QC,
guna memastikan proses pencampuran dilakukan dengan benar sehingga
mutu dari produk dapat terjamin. Setelah proses pencampuran selesai
kemudian produk di kemas didalam kemasan yang sesuai dengan
persyaratan pada ruangan pengemasan. Pengemasan dilakukan oleh
karyawan bagian pengemasan yang memiliki kualifikasi minimal
pendidikan menengah/SMK. Pengemasan dilakukan berdasarkan SOP
Pengemasan yang ditetapkan oleh Manager Produksi yang telah
divalidasi oleh Bagian QA. Setelah produk selesai dikemas, dilakukan
pemeriksaan produk jadi oleh karyawan bagian QA untuk memastikan
bahwa produk jadi yang dihasilkan tidak mengalami cacat fisik/atau
kerusakan dan sesuai dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan.
b. Minuman Temulawak
Untuk proses produksi, bahan baku akan diminta melalui form
permintaan bahan, untuk kemudian ditimbang dan dilanjutkan ke
bagian produksi. Transfer bahan baku dari gudang ke area produksi
juga jadi aspek penting tersendiri. Karena spesifikasi ruang gudang
dengan spesifikasi ruang produksi berbeda. Penimbangan biasanya
dilakukan oleh personil Produciton Planing and Inventory Control
(PPIC), atau operator produksi khusus penimbangan, dengan
disaksikan oleh supervisor. Setiap bahan juga memilki prioritas
penimbangan dan pengawasan masing-masing. Dalam tahapan
produksi dilakukan validasi proses untuk mengetahui
keadaan/kelayakan bahan selama proses, agar setiap tahap dapat
diketahui dan jika ada kesalahan akan dapat segera diperbaiki. Untuk
proses pengolahan bagian IPC (In Process Control) yang berwenang
untuk menentukan bahan tersebut boleh dilanjutkan ke tahapan
pengolahan berikutnya, atau dilakukan perlakuan lain
(reject/pengolahan ulang, dll.) IPC ada yang masuk dalam struktur QC.
Setelah proses pengolahan berhasil dilalui dengan baik, masuk pada
proses cetak atau lainnya. Setelah melalui berbagai macam proses
pengolahan, suatu produk akan sampai pada tahap produk
ruahan. Produk ruahan adalah produk yang hanya memerlukan satu
tahap lagi sehingga menjadi produk jadi. Produk ruahan adalah cairan
siap filling yang belum dikemas. Produk ruahan ini kemudian akan
memasuki tahap pengemasan. Jika pada saat pengolahan, digunakan
Prosedur Pengolahan Induk, kali ini akan digunakan Prosedur
Pengemasan Induk. Kemasan sendiri terdiri dari kemasan primer
berupa botol kaca berlangsung di grey area, kemasan sekunder berupa
box berlangsung di black area, dan tersier berupa karton. Produk jadi
yang sudah ditransfer, tidak langsung dikemas secara sekunder. Produk
ini akan melalui serangkaian uji terlebih dahulu sehingga dinyatakan
memenuhi syarat dan mendapat release dari Quality Control
Department. Jika produk sudah mendapat release dari Quality Control
Department kemudian dikemas menurut Prosedur Pengemasan Induk.
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum
penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum
diluluskan untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat
hendaklah dilaksanakan untuk memastikan produk dan Catatan
Pengemasan Bets memenuhi semua spesifikasi yang ditentukan. Label,
karton, bahan pengemas dan bahan cetak lain diperiksa nomor bets/lot,
tanggal kadaluwarsa dan informasi lain sesuai dengan perintah
pengemasan hendaklah diawasi dengan ketat pada tiap tahap proses
sejak diterima dari gudang sampai menjadi bagian dari produk atau
dimusnahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan nomor.

1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Jakarta

Anonim. 2009. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang

Baik 2009. Jakarta : Badan POM RI.

Salmiyatun . 2003. Panduan Pembuangan Limbah Perbekalan Farmasi. Jakarta :

EGC
Anonim. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009

Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta

Mashuda, Ali. 2011. Pedoman Cara Kefarmasian Yang Baik. Jakarta : Kerjasama

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia Dengan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker

Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai