Anda di halaman 1dari 4

GAMBARAN KASUS

DEMO DI MANOKWARI RUSUH, POLISI NEGOSIASI DENGAN PENDEMO


Telah terjadi kerusuhan di Manokwari, Papua pada Senin, 19 Agustus 2019 yang melibatkan
mahasiswa dan tokoh masyarakat setempat. Peristiwa ini bermula ketika mahasiswa dan tokoh
masyarakat menyampaikan aspirasi mereka terkait insiden kekerasan dan pengusiran mahasiwa
Papua di Malang dan Surabaya beberapa hari lalu. Mahasiswa pun nekat memblokade seluruh
perempatan jalan hingga melakukan pembakaran dan perusakan beberapa fasilitas umum. Polisi
pun berusaha untuk bernegosiasi dengan mahasiswa dan tokoh masyarakat di Manokwari. Hal
ini bertujuan agar para demonstran membuka jalan yang diblokade dan tidak melakukan
perusakan atau pembakaran fasilitas umum. Hasil dari negosiasi yang dilakukan pihak aparat
kepolisian dengan para demonstran, para demonstran tidak melakukan tindakan anarkis tetapi
masih memblokade sejumlah jalanan.
KRONOLOGI KASUS

Sabtu 17/8/2019 : Polisi mengangkut paksa 43 mahasiswa Papua ke Mapolrestabes Surabaya.


Pengangkutan paksa dilakukan diindikasi karena terjadinya perusakan dan pembuangan bendera
merah putih ke selokan. Hal ini diduga dilakukan oleh oknum mahasiswa Papua.

Minggu 18/8/2019 : Informasi menyebar luas ke seluruh jajaran mahasiswa di Manokwari


sehingga memicu mulainya perencanaan perlawanan terhadap tindakan persekusi dan main
hakim sendiri yang dilakukan oleh aparat.

Senin 19/8/2019 (Pagi): Massa melakukan protes dugaan massa diketahui menyampaikan protes
terkait dugaan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di sejumlah daerah, seperti
Malang, Surabaya, dan Semarang. Aksi tersebut dilakukan dengan cara warga menyebar ke
sejumlah jalan sambil membawa senjata tajam dan spanduk. Sebagian massa yang membawa
senjata tajam menebang pohon untuk memblokade sejumlah ruas jalan. Massa terindikasi
melakukan tindakan anarkisme. Kapolda memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk
menunjukkan aspirasi secara tertib, namun spontanitas para mahasiswa dan demonstran memicu
terjadinya tindak anarkisme.

Senin 19/8/2019 (Siang) : Massa melakukan pembakaran terhadap gedung DPRD Papua Barat.
Hal ini mengakibatkan lumpuh total sejumlah toko dan bank pemerintahan. Aparat keamanan
dikerahkan di beberapa titik untuk mengamankan situasi.

Senin 19/8/2019 (Sore) : Kerusuhan terus meluas hingga Sorong dan Makassar yang disinyalir
karena dipicu oleh hoax yang beredar.

Selasa 20/8/2019 : Proses kerusuhan diredam dengan negosiasi antara pihak kepolisian. Proses
negosiasi dilakukan bermula dengan mundurnya pihak kepolisian agar pihak pengunjuk rasa
menjadi lebih tenang. Pihak kapolda juga menggunakan pihak ketiga yakni tokoh masyarakat
untuk membantu menenangkan pihak demonstran.
Selasa 20/8/2019 : Permintaan maaf gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa akibat
tindakan kekerasan yang terjadi terhadap 43 mahasiswa. Gubernur Papua Barat, Lukas Enembe
melakukan penghimbauan kepada pihak gubernur agar proses demo tidak terlalu berlebihan dan
dapat dilakukan secara lebih tertib.

Senin 2/9/2019 : Sejumlah elemen mahasiswa dan aktivis mengajukan 5 solusi yakni : Pertama,
mendorong Presiden agar segera mendesak Kapolri untuk mengusut dan mengungkap aktor
intelektual terhadap pengrusakan tiang bendera dalam kasus penyerangan asrama Papua di
Surabaya termasuk pelaku ucapan rasis. Kedua, mendesak Presiden agar segera menarik
penambahan aparat TNI/Polri yang diterjunkan, serta menginstruksikan Menkominfo untuk
membuka akses Internet di Papua dan Papua Barat. Ketiga, mendesak Pemerintah untuk selalu
mengedepankan cara dialog dalam menyelesaikan masalah di Papua. Keempat, mendesak
Presiden menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan aparat keamanan untuk menjamin
keamanan dan kenyamanan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia. Kelima, mendorong semua
elemen bangsa untuk tetap menguatkan semangat persatuan nasional sesama anak bangsa.

Indikasi Masalah : Diduga bahwa pemicu terjadinya permasalahan adalah pihak organisasi yang
menentang pemerintahan akibat luka politik dan trauma lama pada konflik negara. Hal ini
membutuhkan pemecahan masalah pada tingkat nasional atau kenegaraan. Namun secara
spesifik hingga saat ini masih belum ditemukan dalang utama kasus kerusuhan Manokwari
tersebut.

Solusi yang diberikan : Melihat bahwa kasus Papua ini menjalar akibat dari berbagai kronologi
masa lalu semenjak orde lama. Luka politik yang berbekas dari hal ini adalah berbagai kejadian
yang terjadi akibat supresi, penekanan dan isolasi oleh pihak pemerintah pusat yang menciptakan
paradigma anti sosialis dari para masyarakan Papua. Hal ini kemudian dipicu kembali alhasil
kerusuhan yang terjadi pada manokwari. Pendekatan yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo
yakni melakukan politik pembangunanisme di Papua dan program-program populis yang belum
sepenuhnya diterima dan hasilnya belum dirasakan oleh masyarakat Papua. Kebijakan BBM satu
harga tidak dinikmati oleh masyarakat adat dan masyarakat multi-suku di pedalaman Papua.
Demikian pula pembangunan jalan trans Papua tidak menyentuh aspek kepentingan dasar
masyarakat Papua, dan justru semakin mendegradasi lingkungan dan konservasi hutan. Padahal
masyarakat papua membutuhkan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan yang merupakan
wujud layanan sosial dasar yang paling dibutuhkan.

https://www.suara.com/news/2019/10/02/103420/dituding-jadi-dalang-rusuh-di-papua-barat-
begini-jawaban-knbp

https://www.tribunnews.com/regional/2019/08/19/kronologi-kerusuhan-di-manokwari-dugaan-
penyebab-hingga-keterangan-wagub-papua-barat?page=4

https://katadata.co.id/berita/2019/08/19/polri-masih-negosiasi-dengan-pengunjuk-rasa-atasi-
kerusuhan-papua
https://www.liputan6.com/regional/read/4053450/5-rekomendasi-penyelesaian-gejolak-papua

ANALISIS KASUS

Aksi demonstrasi yang dilakukan antara kedua belah pihak pada kasus yang digambarkan
merupakan bentuk perubahan formasi dari proses negosiasi itu sendiri. Dalam hal ini, proses
perubahan formasi merupakan orientasi yang dimaksudkan sebagai bagian dari bagaimana
sebuah proses negosiasi diarahkan sesuai dengan visi maupun misi dari kedua belah pihak. Pada
tahap pertama proses negosiasi terjadi dengan strategi yang lebih memiliki arah integratif. Proses
negosiasi diharapkan mampu memberikan titik temu atau target kepada kedua belah pihak
dengan adanya beberapa solusi maupun pihak yang dapat diuntungkan secara paralel. Proses
negosiasi integratif yang pertama dilakukan diharapkan mampu memberikan jawaban kepada
pihak demonstran yang hendak mendapatkan keadilan maupun jawaban terhadap permasalahan
yang terjadi. Keadilan disini, merupakan sebuah sumber daya atau target negosiasi yang dapat
diberikan secara langsung dan direct sehingga secara faktual bahwa proses negosiasi ini
memperebutkan sebuah sumber daya yang tidak perishable. Keadilan disini hadir dalam pola
tanggapan ataupun umpan balik pihak pemerintahan atas tindakan yang terjadi. Hal ini dilihat
dari perspektif para demonstran. Strategi integratif ini masih mungkin untuk dilakukan. Namun
ada beberapa faktor seperti tatanan hukum, birokrasi hukum, serta supremasi hukum yang
menjadi sebuah paradigma negatif bari para demonstran sehingga mereka tidak mampu
mendapatkan sebuah titik target yang mereka harapkan dari hasil negosiasi ini. Ketika hambatan
tersebut menjadi sebuah lapisan yang bersifat koheren terhadap kedua belah pihak, hal ini
menjadi pemicu adanya transisi. Transisi ini kemudian terjadi akibat tindakan anarkisme yang
ditunjukan sebagai Aggressive Behavior dalam suatu proses negosiasi. Tindak agresif ini yang
memaksa terjadinya transisi secara fundamental terhadap pola prilaku dari demonstran dan
pemerintahan. Pola tersebut yang kemudian mengubah strategi kedua belah pihak untuk
melakukan bargaining atau proses tawar menawar dengan strategi yang berarah, Distributif.

Dalam hal ini, pihak yang melakukan negosiasi secara distributif merupakan pemerintah dan
pihak demonstran. Namun halnya supremasi hukum yang dimiliki pemerintah merupakan sebuah
kekuatan utama yang dimiliki pihak negosiator untuk mengendalikan proses negosiasi.
Supremasi hukum inilah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya transisi berorientasi
anarkisme. Secara praktisi, kedua pihak tetap memiliki strategi mereka sendiri dengan tujuan
mencapai target mereka yakni jawaban konkrit dan jelas, keadilan, serta kedamaian proses
negosiasi. Namun menghadapi berbagai aksi agresif yang dilakukan pihak demonstran, pihak
pemerintah yang memiliki supremasi hukum menggunakan strategi snow job. Dalam hal ini
pihak pemerintah yang cenderung asertif pada awalnya, merupakan pihak negosiator yang
memiliki informasi yang jauh lebih komplementer dan menjadi sebuah fondasi bagi pihak
negosiator untuk tetap kukuh pada hal yang menjadi pendirian bagi diri mereka. Fondasi snow
job pada dasarnya hanya dapat dimiliki oleh pihak-pihak yang memegang kendali penuh
terhadap satuan operasi organisasinya, dalam hal ini pemerintah. Tanpa transisi yang jelas
fondasi snow job yang memiliki interelasi dengan tindakan agresif dan taktik intimidasi yang
dikemukakan oleh pihak demonstran tidak akan menemukan sebuah titik solusi atau tetap berada
pada titik awal dengan setiap pihak yang tetap mengharapkan hadirnya solusi pada titik retensi
masing – masing pihak. Namun transisi ini kemudian terjadi secara perlahan karena meluasnya
dampak secara signifikan terhadap sistem kenegaraan. Transisi kembali dipicu sebagai bentuk
sistem demokrasi yang menghadapi supremasi hukum. Perminta maaf yang kemudian dituturkan
oleh tokoh-tokoh yang bersangkutan merupakan salah satu bentuk transisi strategi pihak
pemerintah dalam memberikan umpan balik terhadap taktik Hardball yang digunakan. Umpan
balik ini termasuk upaya mengembalikan situasi negosiasi menjadi situasi yang cenderung
kondusif. Umpan balik ini yang kemudian juga merupakan tindakan manajemen konflik yang
dilakukan oleh pihak pemerintahan untuk mengatasi situasi organisasi. Manajemen konflik yang
kemudian digunakan adalah compromising. Pemerintah melakukan kompromi dengan
menunjukkan perhatian terhadap titik retensi kedua belah pihak secara paralel. Kompromi ini
cenderung membantu mereka untuk memahami kedua pihak secara sesama untuk kemudian
mampu mencapai sebuah titik solusi. Namun dalam manajemen konflik, terdapat berbagai tahap
yang harus dilakukan untuk mencapai sebuah solusi permasalahan yang dalam hal ini ada asal
dari kebutuhan negosiasi tersebut.

Menilik balik proses negosiasi yang terjadi mengusut pada kenyataan yang diperlukan oleh pihak
demonstran merupakan sebuah target masif yang merupakan proyeksi sebagai luka politik atas
kejadian-kejadian yang telah menjadi trauma. Trauma ini merupakan bagian dari sebuah tujuan
yang harus dicapai oleh pihak demonstran. Tanpa disadari, proses negosiasi distributif yang
dijalankan kedua belah pihak memiliki rasio titik retensi yang berbeda cukup signifikan. Titik
retensi yang dimiliki oleh pihak demonstran cenderung masif sebagai bentuk tanggapan konkrit
dan kritisi terhadap polah pemerintahan yang telah memberikan luka politik pada pihaknya.
Proses negosiasi masih dapat berlanjut secara prosedural, namun hal ini tidak akan tercapai
dengan mudah jika menilik terhadap rasio titik retensi yang sangat besar. Dalam menangani hal
ini diperlukan kekuatan supremasi hukum sepenuhnya, kehadiran supremasi hukum merupakan
penyedian strategi BATNA sebagai pilihan solusi akhir terbaik. Dalam hal ini pemerintahan
menawarkan highball dalam menanggapi titik retensi yang cukup besar. Penawaran highball ini
diharuskan untuk diusahakan dipenuhi, bukan hanya sebagai solusi sementara. Penawaran
highball pada konteks ini merupakan fokus pembangunan infrastruktur pada wilayah Papua
dalam bentuk jawaban atas tingginya titik retensi yang ditawarkan oleh pihak negotiator. Solusi
akhir ini merupakan solusi jangka panjang pada sebuah negosiasi yang perlu untuk dijaga
keberlanjutannya untuk menuntaskan negosiasi secara utuh.

Anda mungkin juga menyukai